Pencarian

Gempar Aji Karang Rogo 1

Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Bagian 1


Dia datang sebagai seorang pendekar.
Dia aneh dan bertindak
seperti orang yang linglung.
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG.
Pendekar sakti yang digembleng
oleh lima orang tokoh aneh.
SATU Suara seruling bernada aneh itu terdengar
di malam temaram disisi bukit. Suaranya me-
mang aneh. Karena seperti perpaduan dua suara
seruling yang ngawur. Satu berirama keras me-
lengking-lengking. Sedangkan satu irama lagi
bernada sedih mendayu-dayu.
Ternyata ditiup oleh dua orang laki-laki
berwajah hampir serupa satu sama lain. Yang
seorang duduk diatas batu di tempat ketinggian, dan seorang lagi meniup seruling
sambil menyan-darkan punggung dibatang pohon gundul di sebe-
lah bawah. Siapa adanya dua laki-laki.
Yang selain hampir serupa wajahnya, tapi
juga pakaian yang dikenakannya satu sama lain
tiada berbeda. Kedua laki-laki inilah yang digelari si Kembar Seruling Maut.
Siapa sangka suara tiupan seruling itu te-
lah mengganggu telinga orang. Saat itu sesosok
tubuh tampak tersembul dari balik bongkah batu
cadas. Sepotong bulan yang menerangi dapat me-
nangkap wajah orang ini. Dia seorang wanita tua berambut putih, bermuka lonjong.
Sepasang matanya tajam membinar ketika melihat dua orang
laki-laki enak-enakan duduk dan bersandar me-
niup seruling dimalam buta tanpa memikirkan te-
linga orang lain.
Wanita ini membentak keras. Sebelah len-
gannya mengibaskan ujung bajunya yang gon-
drong. "Kunyuk-kunyuk tak tahu diri! Lekas enyah kalian dari sini!" Mendadak
suara seruling tersirap lenyap, dan disusul oleh suara teriakan kaget kedua
laki-laki kembar itu. Karena mendadak serangkum angin keras telah membuat terle-
pas kedua seruling yang tengah mereka tiup.
Bahkan tubuh mereka terhuyung bagai dilanda
angin badai... Pucatlah seketika wajah si Kembar Serul-
ing Maut melihat di hadapan mereka tahu-tahu
telah berdiri bertolak pinggang seorang wanita tua dengan wajah cemberut dan
mata melotot menatap mereka saling bergantian.
"Siapakah kalian" Mengapa seenaknya
membuat kebisingan di tengah malam?" berkata wanita tua ini dengan suara dingin
menembus jantung. Tahu orang marah-marah, dalam hati
kedua laki-laki ini diam-diam bergirang dengan
kemunculan wanita tua ini walaupun kemuncu-
lannya telah membuat mereka terkesiap dan ter-
kejut bukan main, karena sambaran angin keras
barusan. Seperti telah saling berjanji keduanya menyambar seruling mereka yang
tergeletak di tanah, dan saat itu juga mereka telah menekuk
lutut di hadapan wanita itu seraya berkata ham-
pir berbarengan.
"Nini Sumbi...! Kami mohon menjadi mu-
ridmu!" Tentu saja hal itu membuat mata wanita tua ini jadi tambah melotot
lebar. "Dua kunyuk kembar! Siapakah kalian"
Mengapa datang-datang memintaku menjadi gu-
rumu?" bentaknya dengan suara parau menusuk.
"Kami di dunia persilatan bergelar si Kem-
bar Seruling Maut!" menyahut dua laki-laki kembar ini dengan berbareng. Namun
kepala mereka masih tetap menunduk dengan hidung menempel
di tanah. Sikap bersujud kedua laki-laki itu jelas berkeras menginginkan diri
mereka untuk menjadi murid wanita tua itu.
"Bangun!"
Terdengar bentakan dingin Nini Sumbi. Se-
belah lengannya bergerak. Dan satu kekuatan
yang hebat telah memaksa si Kembar Bukit Sul-
ing untuk mengangkat wajah, karena serangkum
angin menyambar ke arah kepala. Terasa bersyi-
urnya angin dingin menyambar. Khawatir wanita
tua itu menurunkan tangan keji membunuh me-
reka, membuat hati mereka mencelos, dan seren-
tak mereka sama-sama mengangkat sepasang
lengan untuk menyambuti serangan itu.
Dua arus tenaga dalam saling beradu.
Dan... terdengar dua laki-laki ini berteriak tertahan. Tubuh si Kembar Seruling
Maut terhuyung ke belakang. Namun secepat itu pula mereka te-
lah melompat berdiri.
"Nini Sumbi...! Kami mohon kau mengang-
kat kami sebagai muridmu...!" berkata salah seorang. Dan lagi-lagi keduanya
jatuhkan tubuhnya
berlutut. Walaupun si Kembar Seruling Maut me-
rasa dada mereka sesak karena benturan tenaga
dalam tadi, tapi mereka tetap memaksa diri untuk
kembali berlutut. Akan tetapi sebelum hal yang
kedua itu terjadi, si wanita tua itu telah kibaskan lengan jubahnya seraya
membentak. "Kalian benar-benar keras kepala! Nah,
mampuslah!" Tampaknya serangan Nini Sumbi
sukar untuk dielakkan lagi. Sambaran angin ki-
basan lengan jubahnya ternyata diiringi dengan
telapak tangan kanan wanita tua itu yang meng-
hantam dengan pukulan mematikan.
Akan tetapi sambaran keras itu ternyata
menghantam batu besar yang berada di belakang
kedua laki-laki kembar itu, dan serangan telapak tangannya yang mengandung
tenaga pukulan mematikan mendadak tertahan.
Keringat dingin sebesar-besar kacang me-
luncur turun di dahi si Kembar Seruling Maut.
Jantungnya serasa telah luruh copot dari tang-
kainya. Ternyata resiko berbahaya di depan mata telah lewat. Keyakinan mereka
sangat kuat, kalau Nini Sumbi tak mungkin menjatuhkan tangan keji
terhadap mereka tanpa sebab. Sejak jauh-jauh
hari sebelum kedatangan mereka ke tempat ini,
sudah mengetahui watak wanita tua berilmu ting-
gi beradat aneh itu.
"Hm, bangunlah kalian dua cecunguk!"
berkata dingin wanita tua ini. Tapi suaranya tak setajam tadi.
"Nini Sumbi! Kami akan bangun bila kau
telah bersedia mengangkat kami menjadi murid-
mu!" kata Kembar Seruling Maut dengan berbareng. "Kalian ini benar-benar
sinting! Mengapa
memaksa orang seenaknya" Bagaimana kalau
aku tak mau mengangkat kalian menjadi murid-
ku?" berkata demikian dalam hati Nini Sumbi di-am-diam bergirang. Kemunculan dua
pemuda kembar bertampang cukup gagah itu benar-benar
seperti mimpi kejatuhan bulan dan matahari.
"Kami... kami akan tetap bersujud sampai
mati!" menyahut Kembar Seruling Maut. Tentu saja jawaban itu membuat si wanita
tua tertegun. Tapi tak lama kemudian terdengarlah suara ter-
tawanya berderai terpingkal-pingkal.
"Angin apakah yang telah meniup kalian
sampai ke tempat ini" Dan mengapa kalian begitu berkeras ingin menjadi muridku?"
berkata Nini Sumbi selesai tertawa yang membuat rambut
yang hampir memutih semua itu tergerai menu-
tupi sebagian mukanya. Pertanyaan wanita tua
itu dijawab oleh salah seorang dari laki-laki kembar itu.
"Kami merasa kurang puas dengan ilmu
yang kami miliki saat ini. Kami mendengar berita berdiamnya seorang tokoh Rimba
Hijau berilmu tinggi disekitar lembah ini. Itulah sebabnya kami kemari, untuk mengharapkan
kemurahan hatimu
menerima kami sebagai murid!"
"Heh! Dari mana kau mengetahui nama-
ku?" tanya wanita tua ini.
"Seseorang yang menamakan dirinya si Ib-
lis Pantat Kuning!" sahut si laki-laki yang bernama Rah Banu, saudara kembarnya
bernama Rah Bono. Mendengar nama julukan itu Nini Sumbi
kerenyitkan keningnya.
"Kapan kalian berjumpa dengan saudara
seperguruanku itu?" tanya Nini Sumbi.
"Dua bulan yang lalu. Guru...!" sahut Rah Banu yang langsung menyebut guru pada
wanita itu. "Kunyuk! Siapa suruh kau menyebut aku guru" Aku toh belum mengangkatmu
sebagai muridku?" bentak Nini Sumbi berjingkrak marah.
"Ah, maafkan kami... Guru... eh, Nini Sum-
bi..." kata Rah Banu dengan wajah pucat. Siapa menyangka kalau wanita itu masih
unjukkan sikap galak. Tapi dia juga tak menyangka kalau si Iblis Pantat Kuning
itu adalah saudara seperguruan wanita tua ini.
"Apakah dia yang menyuruh kalian ke ma-
ri?" tanya Nini Sumbi.
"Tidak, Nini...! Kami mencuri dengar pem-
bicaraan si Iblis Pantat Kuning ketika tengah bercakap-cakap dengan seorang
pendekar muda ber-
gelar si Dewa Linglung! Dia menyebut-nyebut
namamu yang berdiam di lembah ini...!" Nini Sumbi tersentak mendengar disebutnya
gelar itu. "Dia bercakap-cakap dengan si Dewa Lin-
glung" Hm, membicarakan apa" Mengapa menye-
but-nyebut namaku?" tanya wanita tua ini dengan mata mendelik. Tampaknya dia tak
menyukai saudara seperguruannya yang bergelar Iblis Pan-
tat Kuning itu. Dan nama Dewa Linglung mem-
buat dia terkejut, karena dia telah mendengar se-lentingan khabar mengenai sepak
terjang pende- kar muda yang berada di aliran putih itu.
Kesempatan baik itu digunakan Rah Banu
yang menginginkan dirinya dijadikan oleh wanita kosen itu dengan memanas-manasi
hatinya. "Dia membicarakan keburukanmu, Nini...!
Dan tampaknya pendekar muda itu pandai men-
gambil hati. Kami seperti tak dipandang sebelah mata pada pertemuan golongan
kaum putih, hingga kami siang-siang mengundurkan diri...!"
kata Rah Banu. "Lelaki sundal itu memang tak pernah se-
paham denganku! Akupun mendengar ten-tang
adanya pertemuan itu yang diadakan di Kota Ra-
ja. Hm, apakah kau mengira orang-orang yang
mengaku golongan putih itu tak pernah melaku-
kan perbuatan tercela" Mereka kaum putih me-
mang sombong! Tinggi hati, dan sok suci! Aku tak mengatakan diriku putih atau
hitam. Yang jelas
aku memang tak mau datang! Dan aku bebas me-
lakukan apa yang kukehendaki, tanpa harus pa-
kai tata cara yang disyaratkan sebagai kaum
Rimba Hijau! Semua itu adalah prakarsa Patih
Mangku Jagat yang sengaja mengumpulkan kaum
Rimba Hijau untuk diperalat demi keinginannya
memperluas wilayah, sehingga dia bisa mengam-
bil muka pada Baginda Prabu Pancadriya! Aku
menduga dia punya ambisi untuk mendapatkan
pengaruh yang lebih besar di mata rakyat. Hingga walaupun pada dasarnya Baginda
Raja yang berkuasa, tapi sebenarnya dialah yang mengatur ja-
lannya pemerintahan!" ujar Nini Sumbi.
Kembar Seruling Maut sudah sejak tadi
mengangkat muka, dan manggut-manggut men-
dengarkan penuturan wanita tua itu. Adapun Nini
Sumbi ketika menyebut nama Patih Mangku Ja-
gat tampak matanya nyalang. Sepertinya dia juga menaruh kebencian pada patih
Kerajaan itu. Setelah mendengus, wanita tua ini kembali mene-
ruskan kata-katanya.
"Manusia sudah banyak berubah! Dan za-
manpun telah berubah! Kini aku tak perduli lagi dengan segala macam urusan
apapun yang ada
sangkut pautnya dengan Kerajaan Mamenang
yang kini berganti dengan nama Pengging! Tapi
pertemuan itu akan membawa pengaruh besar
dan mempersempit ruang gerak kebebasanku!
Aku memang tak mau terikat dengan segala ma-
cam peraturan. Dan... kalian dua cecunguk..." katanya sambil menatap kedua laki-
laki kembar itu.
Hati Rah Banu dan Rah Bono agak resah karena
wanita tua itu menahan kata-katanya.
"Kalian berjodoh untuk menjadi pewaris
ilmu-ilmuku!" lanjutnya dengan suara tegas. Dan dalam mengucapkan kata-kata itu,
tampak seulas senyum di sudut bibirnya serta menyembulnya
dua buah kerut pada garis lekukan di kiri kanan pipi. Walaupun sudah cukup tua,
namun wanita ini tampak masih terlihat bekas-bekas kecanti-
kannya. Tentu saja mendengar kata-kata itu Kem-
bar Seruling Maut serentak jatuhkan diri bersu-
jud, seraya ucapnya dengan serentak.
"Guru...!"
Girangnya hati kedua laki-laki yang masih
boleh dibilang dua orang pemuda ini tak alang
kepalang, hingga mereka menyebut guru berulang
kali. "Sudah! Sudah! Malam ini kalian boleh tidur di tempat kediamanku!" ujar
Nini Sumbi. Kemudian berkelebat dari situ. Tak ayal lagi kedua pemuda kembar ini
segera berkelebatan menyusul. Sebentar saja ketiga sosok tubuh itu lenyap di
keremangan malam...
DUA "Kami berjanji akan menjalankan perintah
guru, dan tak akan melanggar pantangan selama


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuntut ilmu maupun setelah keluar dari lem-
bah ini...!" Kata-kata itu diucapkan si Kembar Seruling Maut dengan berbareng
menirukan ucapan
Nini Sumbi. "Bagus! Kalian resmi jadi muridku! Kalian
telah mengambil sumpah dengan perjanjian yang
kalian ucapkan, berarti aku berhak menghukum
kalian jika kalian berani melanggarnya!"
"Ya, Guru...!" sahut Rah Banu dan Rah Bono dengan anggukan kepala.
"Bolehkah aku bertanya. Guru...?" tiba-tiba Rah Banu berkata.
"Silahkan! Hal apakah yang akan kau ta-
nyakan?" "Sampai berapa lamakah kami menuntut
ilmu?" tanya Rah Banu. Nini Sumbi terkekeh kemudian sahutnya dengan suara tegas.
"Kalian telah mempunyai dasar ilmu silat,
bahkan jurus-jurus kalian berdua dan ilmu serul-
ing serta tenaga dalam kalian sudah dapat dian-
dalkan untuk sekedar menjadi seorang pesilat.
Akan tetapi rasa kurang puas memang ada pada
setiap diri manusia. Apalagi kalian masih cukup muda. Nah, oleh karena itu aku
tak akan memberi kalian ilmu tenaga dalam atau jurus-jurus silat yang biasa.
Akan tetapi ilmu yang akan kuwa-riskan pada kalian adalah ilmu yang amat lang-
ka.... Dan untuk menguasai ilmu itu cuma me-
merlukan waktu tujuh kali bulan purnama!"
"Ilmu apakah itu. Guru...?" tanya Rah Ba-nu dan Rah Bono hampir serempak.
"Itulah ilmu ajian Karang Rogo!" sahut Nini Sumbi dengan nada suara penuh
kebanggaan. "Nama yang aneh...!" kata Rah Banu men-desis. "Kapankah kami mulai
mempelajarinya.
Guru...?" Rah Banu tak sabar bertanya. Rasanya dia ingin cepat-cepat memiliki
ilmu itu. "Apakah keistimewaan ilmu ajian Karang
Rogo itu. Guru?" Rah Bono menyela bicara sebelum wanita tua itu menyahuti
pertanyaan Rah Banu. Nini Sumbi tersenyum. Matanya berkejap-
kejap. Kemudian menyahut.
"Sabarlah! Kelak kalian akan mengetahui
keistimewaannya. Dan untuk kalian mulai mem-
pelajari, tunggulah sampai bulan purnama bebe-
rapa hari lagi. Sambil menunggu datangnya ma-
lam purnama kalian boleh melakukan semadhi.
Mari kutunjukkan tempat-tempat buat kalian!"
Rah Banu dan Rah Bono segera mengikuti
wanita tua itu mengintil di belakangnya tanpa
mengucapkan sepatah kata. Kecuali rasa girang,
karena akhirnya mereka berhasil menjadi murid
si wanita kosen itu. Ilmu apapun yang bakal me-
reka pelajari tak menjadi persoalan.
Dalam lembah itu ada banyak goa-goa.
Batu yang berada di lereng-lereng tebing.
Nini Sumbi memilih dua buah goa.
Goa di sebelah Barat diperuntukkan buat
Rah Banu, dan Rah Bono menempati goa sebelah
Timur. Selesai memberi tempat buat kedua orang
muridnya, Nini Sumbi ke tempat dia berdiam. Tak berapa lama dia sudah berada di
depan mulut goa tempat tinggalnya.
"Beres! Dua muridku yang gagah itu sudah
kupisahkan. Aku harus menyelesaikan urusanku
yang tertunda. Dan... hihik... hik... harus selesai sebelum bulan purnama.
Ramuan yang kuperlukan masih kurang lengkap. Aku masih membu-
tuhkan dua ari-ari bayi lagi!" menggumam wanita tua ini. Kemudian memasuki ruang
goa tempat dia menyimpan segala macam perlengkapan.
Ruang goa rahasia ini terletak di bagian atas. Melalui anak tangga terbuat dari
bambu baru bisa
sampai ke ruangan goa itu.
Sebuah kuali besar berisi darah tampak di
atas tungku. Tiga buah kepala tengkorak terlihat di atas rak termasuk sebuah
tengkorak kepala
buaya. Entah untuk apa tulang-tulang tengkorak
itu. Dan masih banyak lagi peralatan lainnya
yang berserakan di atas meja batu.
Nini Sumbi mendekati kuali di atas tungku
tak berapi itu, kemudian mengaduk-aduk darah
yang sudah diberi bermacam-macam ramuan itu.
Baunya lebih busuk dari pada bangkai. Wanita
tua ini ambil gayung tempurung kelapa yang ter-
sangkut di dinding batu, kemudian menciduk da-
rah dalam kuali besar. Dan... tanpa merasa jijik dia meminumnya dua tiga teguk.
"Hihihik... hihik... ramuan ajaib ini akan merobah diriku menjadi muda lagi.
Sayang masih kurang lengkap.... Hari ini juga aku harus menca-ri dua buah ari-ari yang
kuperlukan!" katanya sambil tertawa menyeringai. Nini Sumbi tak
ubahnya seperti bukan manusia. Apa yang telah
dilakukannya selama ini dengan menyekap diri di lembah itu ternyata membuat
suatu ramuan gila-gilaan. Sementara itu sesosok tubuh entah dari
mana munculnya, tahu-tahu telah berada di mu-
lut goa. Siapa adanya orang ini tak lain dari si pe-lukis gondrong. Dialah yang
bernama Tejo. "Goa apakah ini" Hm, tempat yang bagus
untuk aku berdiam diri di tempat ini..." berdesis pemuda ini tanpa mengetahui
kalau goa itu... ada penghuninya. Tentu saja terkejutnya bukan dikata lagi,
karena tahu-tahu satu bentakan keras telah membuat dia tersentak kaget, serasa
jantungnya copot.
"Kurang ajar! Siapa kau kunyuk gon-
drong?" "Welah, welah...! Ternyata sarang gen...
gendruwo?" sentak Tejo dengan mata membelalak, melihat seorang wanita berambut
hampir memutih beriapan tahu-tahu melayang dari lan-
git-langit di sudut goa.
"Aku... aku... gik! Aku..." Tejo gelagapan dan sukar mengeluarkan kata-kata.
Karena melihat betapa wajah wanita tua itu sangat menye-
ramkan. Sepasang mata yang menyorot menggi-
dikkan, dan bibir berlepotan darah.
"Apakah aku berhadapan dengan hantu
pe... peminum darah?" berkata Tejo dalam hati.
Tergetarlah jantungnya. Dan kedua lututnya
langsung saja lemas. Dia hanya mampu menelan
ludah, karena bersuarapun rasanya sukar.
"Keparat! Siapa kau" Apakah kau tuli" Sia-
pa yang mengijinkan kau masuk ke dalam goa
tempat tinggalku?" bentak Nini Sumbi dengan mata mendelik
"Oh, ma... maafkan aku, Nenek...! Aku tak
mengetahui kalau goa ini tempat tinggalmu...!
Namaku... Tej... Tejo...! Aku tersasar ke lembah ini..." Akhirnya pemuda ini
bisa mengeluarkan suara, dan menjawab dengan suara tergagap-gagap. Sementara
kakinya menyurut mundur.
Akan tetapi gelagat mau kabur itu telah diketahui Nini Sumbi. Dia perdengarkan
suara tertawa dingin. "Hm, kau telah berani memasuki goa tempat tinggalku,
jangan harap bisa keluar lagi sebelum aku memberi ijin!" Tejo batalkan niatnya
untuk angkat kaki dari tempat itu. Walau ada perasaan seram melihat wanita tua
itu, tapi dia jelas melihat dihadapannya bukanlah hantu karena
kedua kakinya menapak di tanah.
"Hehe... siapa yang mau kabur" Kalau aku
diijinkan tinggal di sini tentu saja aku senang sekali!" kata Tejo memberanikan
diri. Diam-diam dia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Nini Sumbi naikkan alisnya menjungkat. Matanya menatap pemuda itu,
dan merayapi dari ujung rambut sampai ke kaki.
"Bagus! Potonganmu boleh juga, anak mu-
da! Kalau kau mau membantu pekerjaan-ku, kau
boleh tinggal di sini!" kata Nini Sumbi.
"Celaka besar! Aku telah sembarangan bi-
cara. Hm, biarlah kuterima tawarannya. Dalam
keadaan begini aku akan sukar meloloskan diri
dari tangan perempuan gendruwo ini. Disaat dia
lengah tentu aku bisa meloloskan diri..." berkata Tejo dalam hati. Tejo garuk-
garuk kepalanya,
sambil tertawa menyeringai.
"Pekerjaan apakah yang bisa kubantu?" tanyanya.
"Hihik... hik... banyak! Banyak sekali pe-
kerjaan yang bisa kau bantu. Kalau kau bekerja
dengan baik, tentu kau akan mendapat imbalan
yang tak sia-sia! Nah, kau ikutlah aku, Tejo...!"
Nini Sumbi balikkan tubuh, lalu melang-
kah memasuki ruangan goa. Lengannya bergerak
menggeser dinding batu goa. Tampaklah sebuah
celah sebesar dua kali tubuh manusia. Tejo agak ragu untuk turut masuk ke dalam
ruangan itu. Tapi rasa ingin tahu, dan juga rasa khawatir kalau dia berbuat kekerasan, akan
menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Terpaksa Tejo setengah menyeret kakinya dengan hati
agak kebat kebit
mengikuti wanita tua itu memasuki celah dinding goa. Ternyata di sebelah sana,
kira-kira jarak sepuluh langkah terdapat sebuah ruangan lagi.
Ternyata inilah sebuah ruangan kamar yang ber-
sih. Di sebelah kiri menempel di dinding terdapat sebuah balai-balai dari kayu,
bertilamkan kain
beludru warna merah, lengkap dengan bantal dan
guling. Tejo belalakkan mata memandang ke seki-
tar ruangan. Ada sebuah cermin dari batu dan
beberapa perangkat pakaian wanita. Sebuah meja
kayu dan kursi dari potongan batang kayu bera-
laskan kulit binatang. Juga sebuah kendi dan sebuah gelas dari tanah liat.
Cahaya dalam kamar
datang dari arah langit-langit yang berbentuk ke-rucut. Tingginya kira-kira lima
belas tombak. Ruangan itu seperti ditata sedemikian rupa hing-ga tampak antik dan menyenangkan
dilihat mata. "Kau boleh tinggal di sini...! Tentang pekerjaan yang bisa kau bantu, nanti akan
kutunjuk- kan. Tapi ingat! Jangan coba-coba kau kabur dari tempat ini, karena kau akan
menyesal seribu
kali...!" berkata wanita tua itu setengah mengan-cam. "Tapi, nenek... siapakah
kau sebenarnya"
Apakah ini ruangan kamarmu?" tanya Tejo. Akan tetapi jawabannya adalah bentakan
dingin wanita tua itu.
"Hm, aku telah berbaik hati padamu, ku-
harap jangan bertanya macam-macam. Nah, se-
lamat menempati kamar ini, dan tunggu perin-
tahku nanti!" Setelah berkata Nini Sumbi berkele-
bat cepat memasuki celah batu tadi. Tejo terpe-
rangah, dan barulah sadar ketika tiba-tiba celah itu telah tertutup lagi.
"Celaka aku! Aku telah masuk perangkap
dan terjebak di dalam ruangan kamar ini...!" ke-luh Tejo dengan keringat dingin
mengembun di tengkuk. "Apakah kini yang harus kulakukan" Hm,
sementara diam dulu di kamar ini, dan beristirahat! Aku lelah sekali setelah
melakukan perjalanan tiada tentu...! Welah...! Sampai kapan aku
akan terus berpetualang" Tapi... aku memang
seorang petualang...! Urusan nanti adalah nanti!
Urusan sekarang adalah sekarang! Mataku men-
gantuk, dan aku perlu istirahat!" kata Tejo dalam hati. Dia beranjak melangkah
mendekati pembaringan kayu bertilam kain beludru tebal warna
merah itu. Dan rebahkan tubuhnya dengan mulut
menguap... * * * Entah beberapa saat lamanya dia tertidur
menggeros. Ketika terjaga hidungnya mengendus
bau harum semerbak. Tejo membuka matanya....
Alangkah terkejutnya ketika tahu-tahu melihat
seorang yang tak lain dari wanita tua yang me-
nyekapnya dalam kamar itu telah berdiri di depan pembaringan. Wajahnya sangat
dekat sekali dengan wanita itu yang kini telah berbedak tebal, dan bibirnya pun
bergincu merah. Bau harum itu adalah minyak wangi yang dipakai Nini Sumbi. Yang
membuat mata Tejo membelalak adalah wanita
itu tak berpakaian sama sekali, dan tengah mena-tapnya dengan pancaran mata yang
berbinar- binar. "Cepatlah Tejo...! Kau harus melakukan
pekerjaanmu dengan baik...! Inilah tugasmu yang pertama..." kata wanita tua itu
dengan suara berdesis lirih. Lengannya tahu-tahu terjulur ke arah dadanya yang
terbuka dan berkeringat. Terasa
wanita ini mengelus-elus dadanya dengan penuh
gairah, dan jemari-jemari wanita itu mulai bergerak untuk membuka pakaian
atasnya. Tejo terperangah kaget. Tubuhnya terge-
tar... Keringat dingin merembes di tengkuknya.
Detik itu juga dia berteriak ketakutan.
"Tidaaak...! Jangan! Jang... jang... aaan..."
Dan Tejo seketika terkulai tak sadarkan diri. Nini Sumbi menyumpah-nyumpah
dengan mendongkol. "Keparat! Setan! Sialan...!" makinya, dengan wajah berubah,
dan senyumnya yang men-
gandung madu berbisa itu lenyap seketika. Cepat dikenakan pakaiannya, dan sesaat
kemudian dia telah berkelebat keluar dari dalam ruangan ka-
mar... Tejo perlahan-lahan membuka matanya.
Ternyata dia cuma pura-pura pingsan. Telinganya dipasang lebar-lebar. Hatinya
kebat kebit khawatir wanita tua yang mabuk kepayang itu muncul
lagi. Tapi dia tak mendengar suara apa-apa. Tejo mulai menduga-duga.
"Hm, mudah-mudahan dia pergi... Dan in-
ilah kesempatan untuk meloloskan diri..." berkata Tejo dalam hati. Rasa girang
terbersit di wajah pemuda ini melihat celah dinding batu tak tertutup. Agaknya
karena mendongkolnya, wanita tua
itu lupa menutupnya. Tejo sambar kantong tikar-
nya lalu melompat mendekati mulut celah. Gera-
kannya tak menimbulkan suara. Perlahan-lahan
dia sembulkan kepala untuk melihat situasi di
luar ruangan. "Aman...!" desis Tejo. Dan detik itu juga dia telah berkelebat keluar goa. Tak
lama pemuda se-niman itu telah berlari cepat menuju ke tepi lembah. Selang tak
berapa lama dia telah keluar dari lembah, dan melompat lenyap ke dalam hutan....
Nasib mujur bagi pemuda itu karena sampai dia
keluar dari lembah itu, tak ada tanda-tanda Nini Sumbi munculkan diri.
TIGA Waktu berlari cepat.... Tak terasa sudah
hampir mendekati saat tujuh kali bulan purnama.
Selama itu Kembar Seruling Maut telah mengikuti petunjuk-petunjuk Nini Sumbi
untuk penguasaan


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aji Karang Rogo. Purnama yang ketujuh inilah
saat-saat penentuan terakhir yang harus dijalankan Rah Banu dan Rah Bono. Saat
penentuan an- tara hidup dan mati. Karena saat itu penerapan
aji Karang Rogo.
Rah Banu dan Rah Bono dalam keadaan
terkubur tubuhnya. Di atas tanah itu cuma tam-
pak menyembul dua buah kepala pemuda itu.
Di tengah-tengah di antara kedua buah ke-
pala pemuda itu tampak Nini Sumbi duduk den-
gan bersila dalam keadaan bertelanjang bulat. Sa-tu keanehan telah terlihat pada
diri Nini Sumbi sejak enam sampai mendekati ketujuh kali bulan
purnama. Rambutnya yang hampir seluruhnya
memutih itu kini telah berubah menjadi hitam
berkilat. Dan kulitnya yang keriput kembali men-gencang. Tentu saja parasnya pun
kembali muda seperti seorang wanita berusia tiga puluhan ta-
hun. Walau tak dapat dikatakan mirip seorang
gadis remaja, tapi hal itu sudah menggembirakan hati wanita itu.
Sejak siang tadi panas matahari menyengat
kulit tubuh dan kulit kepala, Nini Sumbi terus
duduk dengan memejamkan mata. Sementara
Rah Banu dan Rah Bono si Kembar Seruling Maut
diam tak berkutik dengan tubuh terkubur dan
kepala menyembul diatas tanah. Penerapan aji
Karang Rogo sangat aneh. Namun semua itu telah
dilewati oleh kedua pemuda itu. Kini tibalah saat penentuan terakhir. Mereka
menantikan saat kemunculan bulan purnama.
Beberapa saat kemudian malam pun me-
rambah alam sekitar lembah. Bulan purnama te-
lah munculkan diri.... Saat itulah tiba-tiba tubuh Nini Sumbi tergetar. Hawa
dingin menyebar dari
sekujur tubuh. Hingga tampak kepala wanita itu
mengepulkan uap putih. Wanita ini rentangkan
tangannya, dan kedua, telapak tangan segera di-
tempelkan ke kepala si Kembar Seruling Maut.
Hal ini terus berlangsung hingga tengah malam.
Tampaknya Nini Sumbi seperti tersiksa dalam pe-
nerapan ajian Karang Rogo itu.
Hawa dingin perlahan-lahan berubah men-
jadi hawa panas. Hingga Rah Banu dan Rah Bono
merasakan batok kepalanya seperti dibakar. Na-
mun dengan ketabahan yang luar biasa mereka
terus bertahan. Dan mengikuti petunjuk sang
guru seperti yang telah diajarkan. Sementara hal itu berlangsung, Nini Sumbi
tiada hentinya membaca mantera-mantera. Mantera-mantera itu ditu-
jukan pada roh seseorang.
"Mbah Jago Karang... perkenankanlah aku
mewariskan ajian Karang Rogo yang belum sem-
purna kumiliki pada kedua muridku ini. Aku mo-
hon kesempurnaan.... Rep, sirep... Matek aji pani-tis... lungsuro maring
ingsun... kasampurnan
kang sejatining kasekten..." Beberapa saat berse-lang, cuaca mendadak berubah
gelap. Bulan se-
perti tersapu awan hitam. Angin keras menderu.
Saat itulah tiba-tiba terlihat meluncur cahaya
aneh seperti tahi bintang jatuh. Cahaya aneh itu meluncur dari arah Selatan, dan
melayang turun ke mulut lembah... Tepat di atas kepala Nini
Sumbi, cahaya aneh itu meletup.
"Bhusss...!"
Cahaya aneh itu berubah menjadi gumpa-
lan asap kelabu yang kemudian lenyap seperti
menyusup masuk ke ubun-ubun wanita itu. Se-
lang sesaat terjadilah keanehan. Terdengar dua
teriakan berturut-turut. Kembar Seruling Maut
bagai dibetot tenaga raksasa. Kedua tubuh mere-
ka terangkat ke atas dan menjebol tanah tempat
memendam tubuh mereka. Kini tampak keadaan
yang menegangkan. Tubuh Nini Sumbi hampir se-
luruhnya tertimbun tanah bekas terjebolnya dua
pemuda muridnya itu, dan dalam keadaan tak
bergerak-gerak. Adapun tubuh si Kembar Serul-
ing Maut entah sudah mati entah masih bernya-
wa. Karena kedua tubuh laki-laki kembar yang
berkaparan di tanah itupun tampak tak bergerak-
gerak. Kebisuan merambah alam sekitar lembah
itu dimana tiga anak manusia dalam teka teki,
apakah masih dalam keadaan bernyawa atau me-
reka tewas dalam penetrapan ajian Karang Rogo.
* * * Sementara itu di sebelah Utara lembah...
ditengah malam yang lengang dalam kebisuan,
seorang gadis sejak tadi berdiri di muka pondok.
Matanya menatap ke arah langit di mana bulan
purnama yang bulat terang benderang dan tengah
dikagumi keindahannya mendadak lenyap. Keja-
dian aneh itu membuat dia terpaku dan tak men-
gerti. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lo-longan serigala hutan menambah
mencekamnya suasana malam yang gelap itu.
"Aneh...!" Rembulan tiba-tiba lenyap. Uda-
ra jadi berubah panas seperti siang hari. Dan cahaya aneh seperti tadi belum
pernah aku meli-
hatnya. Juga tak biasanya suara anjing-anjing
hutan itu melolong di tengah malam..." bergumam gadis ini.
Terdengar suara daun pintu membuka,
dan seorang kakek terbungkuk-bungkuk me-
langkah keluar.
"Cucuku... masuklah ke dalam. Tak baik
seorang gadis sampai larut malam berada diluar
pondok!" kata laki-laki tua ini sambil membesar-kan lampu di beranda depan.
"Baik kakek..!" menyahut gadis ini, seraya melangkah menaiki tangga papan
pondok, lalu melangkah masuk. Diam-diam dia tersentak ka-
rena orang tua itu belum tidur walaupun sejak
sore tadi telah menutup pintu kamarnya.
"Kakek belum tidur...?" tanyanya. Laki-laki ini tak menjawab. Dia menghenyakkan
tubuhnya ke kursi bambu seraya menghela napas.
"Kau melihat suatu keanehan, Panji...?"
Kakek ini malah balik bertanya. Gadis ber-
nama Panji ini mendekat. Kepalanya mengang-
guk. "Benar, Kakek...! Kakek mengetahui...?"
"Hm, sudahlah, cucuku! Kau tidurlah! Hari
sudah jauh malam. Tak lama lagi rembulan akan
muncul lagi..." sahut si kakek sambil sekali lagi menghela napas. Panji sejenak
menatap pada orang tua itu, kemudian menyahut.
"Baik, Kakek...!"
Kemudian tanpa menoleh lagi terus mema-
suki kamarnya dan mengunci pintu dari dalam.
Sementara itu laki-laki ini masih tetap duduk
menjublak dikursi bambu dengan mata menatap
keluar pondok. Siapa adanya kakek ini" Dialah laki-laki
tua yang bernama Lung Gadung yang baru bebe-
rapa bulan menetap di wilayah Utara itu. Dialah seorang tua berilmu tinggi yang
diam-diam menyembunyikan diri di tempat sunyi itu. Dengan
keadaan usia yang sudah semakin melanjut itu
sejak belasan tahun yang silam dia telah men-
gundurkan diri dari Rimba Persilatan. Bahkan ki-ni orang tak akan mengenal lagi
siapa dirinya. Apa yang dikatakan Lung Gadung pada ga-
dis cucunya itu ternyata benar. Selang tak lama rembulan kembali menampakkan
diri. Cuaca kembali terang benderang. Dan hawa panas itu
perlahan-lahan lenyap, dan berubah seperti se-
diakala lagi. Panji membuka sedikit jendela kamar un-
tuk melihat keadaan di luar. Bibirnya tampak tersembul senyuman melihat keadaan
di luar telah kembali terang benderang seperti semula. Pera-
saan tercekamnya lenyap. Dia menghela napas,
kemudian merapatkan jendela. Dan baringkan
tubuhnya di balai-balai papan beralaskan jerami ditilami kain kasar itu sambil
menghela napas le-ga.
Kakek Lung Gadung memadamkan lampu
beranda depan. Dan melangkah masuk ke dalam
kamar. Kemudian menutupkan daun pintu. Pon-
dok sederhana di sisi hutan itupun kembali
sunyi... EMPAT "Kakek...! Kejadian semalam itu sungguh
aneh...! Apakah kau mengetahui ada cahaya aneh
yang meluncur dari arah Selatan" Bentuknya se-
perti bintang sapu, atau seperti tahi bintang yang jatuh!" bertanya Panji pada
kakek Lung Gadung, ketika mereka baru saja selesai bersantap pagi.
Laki-laki tua ini tak buru-buru menyahut.
Dia meneguk kopi pahitnya. Kemudian meletak-
kan lagi di atas tikar yang terhampar di ruang
tengah pondok itu. Kemudian menghela napas.
Panji seperti tak sabar menunggu jawaban kakek
itu. Dia kembali berkata.
"Kakek... apakah itu suatu pertanda baik
atau buruk" Dan cahaya apakah itu" Cahaya
aneh itu muncul setelah bulan purnama lenyap
dan cuaca menjadi gelap pekat!"
"Aku mengerti kegelisahan hatimu, cucu-
ku...! Aku mengetahui semua kejadian aneh itu.
Baik dan buruknya pertanda itu, aku tak menge-
tahui...! Tapi sebaiknya kita berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang bakal
terjadi...!" ujar Lung Gadung menatap gadis itu.
Panji mengangguk dengan menundukkan
wajah. Tampaknya dia kurang puas dengan jawa-
ban sang kakek. Tapi dia cuma berdiam diri, wa-
lau hatinya diam-diam berkata.
"Kakek Lung Gadung pasti mengetahui...!
Akan tetapi dia sengaja menyembunyikan kekha-
watiran hatinya di hadapanku! Firasatku menga-
takan kejadian aneh itu adalah firasat buruk! Entah apakah yang bakal
terjadi...?"
Selang beberapa saat, gadis ini mulai
memberanikan diri berkata. Tampaknya hal yang
akan dikatakannya telah lama tersimpan dalam
hati. Tapi baru hari inilah dia berani mengata-
kannya. "Kakek... sebenarnya aku..." Terasa sukar bagi si gadis mengeluarkan kata-kata
itu. Hingga sesaat dia terdiam lagi sambil menelan ludah.
"Katakanlah, cucuku! Keterusterangan
adalah lebih baik dari sembunyi-sembunyi. Kare-
na sebagai seorang gadis yang telah cukup dewa-
sa kau memerlukan hal itu. katakanlah apa yang
tersimpan dalam hatimu!" ujar Lung Gadung dengan suara datar, seolah-olah dia
sudah dapat membaca isi hati sang cucu perempuannya.
"Kakek...! Sebenarnya aku ingin minta izin padamu untuk pergi ke Kota Raja. Aku
akan mengabdikan diri pada Kerajaan Pengging, karena seperti yang kuketahui almarhum
ayahku adalah bekas seorang Senapati Kerajaan Pengging atau
Mamenang...! Disamping itu aku juga ingin me-
nanyakan di mana ibuku pada orang-orang di Ko-
ta Raja. Siapa tahu mereka mengetahui di mana
beliau berada saat ini. Apakah masih hidup apa-
kah sudah tiada dalam dunia ini..." Akhirnya Panji mampu juga mengucapkan kata
hatinya yang selama ini dipendamnya dengan suara agak ber-
getar. Kakek Lung Gadung manggut-manggutkan
kepala. Dia tersenyum menatap gadis di hada-
pannya yang duduk sambil menunduk.
"Aku sudah menduga apa yang selama ini
tersimpan dalam hatimu, cucuku...!" kata laki-laki tua ini. Kemudian
melanjutkan. "Mendiang ayahmu memang bekas seorang
Senapati Kerajaan Mamenang atau Pengging. Tak
heran kalau kau ingin pula mengabdi pada Kera-
jaan! Untuk hal itu aku tak dapat melarangmu.
Dan kukira memang sudah saatnya kau berpisah
dariku. Kau sudah cukup dewasa untuk bisa
mandiri dan menentukan jalan hidupmu."
"Mengenai ibumu..." lanjut Lung Gadung, setelah menghela napas. "Kukira kau tak
akan dapat menemukannya di Kota Raja. Karena setelah menitipkan kau, dia pergi
tanpa berkata sepatah katapun. Akan tetapi dia meninggalkan sepu-
cuk surat disela bajumu. Waktu itu kau baru be-
rusia lima atau enam tahun..."
"Apakah isi surat itu, Kakek...?" tanya Panji dengan mata menatap laki-laki tua
itu. "Surat itu mengatakan, pertama dia meni-
tipkan dirimu, dan memohon agar aku mera-
watmu sampai dewasa, serta memberikan pa-
danya bekal ilmu-ilmu kedigjayaan. Kedua dia ingin agar kelak dirimu bisa
mengabdikan diri pada Kerajaan Mamenang. Ketiga mengharapkan agar
kelak setelah dewasa jangan mencari dirinya. Dalam surat dia mengatakan, bahwa
dia telah jatuh cinta pada seorang laki-laki asal Tiongkok, dan kepergiannya
adalah untuk menikah dan menetap di negeri tersebut...!" tutur Lung Gadung
dengan suara datar.
Sesaat lamanya Panji termangu-mangu.
Tampak sepasang matanya berkaca-kaca. "Begitu teganya ibu berbuat begitu"
Mengapa dia tak
membawaku ke negeri laki-laki itu?" Tanpa terasa dia berkata dengan suara
berdesis. Lung Gadung
tersenyum. Dia dapat memahami perasaan gadis
itu. "Kau tak boleh berkata begitu, cucuku...!
Saat itu kau mana mengerti persoalan ibumu"
Dan kalau kau dibawa serta ke negeri Tiongkok,
mungkin kau tak akan kenal dengan Kerajaan
Mamenang. Negeri itu terlalu jauh di seberang
lautan...! Kau juga tak akan mengenal aku! Ibu-
mu mengharapkan kau sebagai keturunan orang


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerajaan akan dapat meneruskan jejak ayah-
mu...!" hibur laki-laki tua ini dengan mengelus rambutnya.
Panji mengangguk kaku, dan menyeka air
matanya yang berderai membasahi pipi.
"Biarlah aku akan mencoba melupakan
ibu...! Tapi kau tentu mengijinkan aku pergi bukan?" kata Panji mencoba
tersenyum, walau senyum itu nampak kaku. Lung Gadung menja-
wabnya dengan anggukan kepala.
Tak terkirakan girangnya hati gadis ini.
Dengan haru dipeluknya laki-laki tua yang sela-
ma ini telah merawat dan mendidiknya. Bukan
saja dalam hal ilmu-ilmu kedigjayaan, tapi juga dalam hal pengetahuan lainnya.
Seolah-olah Lung Gadung adalah pengganti ayahnya, atau kakek-nya sendiri.
"Kapankah kau akan pergi, cucuku...?"
tanya Lung Gadung, setelah sekian saat anta-
ranya mereka saling membisu. Tampak kakek ini
menyembunyikan titik air matanya di sudut sebe-
lah kanan kelopak mata. Rasa haru dan sedih
terhampar di wajah laki-laki tua itu, walau dengan senyumnya dia dapat
menyembunyikan ke-
sedihan itu. "Kupikir hari ini juga, Kakek...!" menyahut Panji. "Kalau begitu berkemas-
kemaslah! Aku akan mengantarmu sampai perbatasan Kota Ra-ja!" ujar Lung Gadung
dengan tersenyum tawar.
Panji mengangguk, lalu bangkit berdiri. Dan ber-gegas memasuki kamarnya untuk
membenahi pakaian, serta keperluan yang akan dibawanya.
Laki-laki tua ini menghirup sisa kopi pahitnya, la-lu bangkit berdiri, dan
melangkah ke ruang de-
pan. * * * "Kakek akan tetap tinggal di pondok itu?"
tanya Panji, sesaat setelah mereka melakukan
perjalanan menerobos hutan. Lung Gadung
menggeleng. "Aku mungkin akan kembali ke puncak
Galunggung menghabiskan sisa usiaku...!" sahutnya. Panji tak berkata apa-apa
lagi. Perjalanan dilakukan dengan berlari cepat. Gadis itu kagum melihat
kehebatan ilmu lari cepat laki-laki tua yang tak boleh tidak adalah gurunya
sendiri. Dengan cepat dia mengimbangi gerakan sang ka-
kek dengan menambah kecepatan larinya. Ter-
nyata Panji mampu menyusul laki-laki tua itu.
Entah beberapa lamanya mereka melaku-
kan perjalanan. Menyeberangi sungai, merambah
hutan dan melintasi beberapa buah desa. Tak be-
rapa lama antaranya Lung Gadung menahan ge-
rakan larinya. "Kita sudah sampai diperbatasan, cucu-
ku...!" katanya. "Aku cuma bisa mengantarmu sampai ke sini...!"
"Kakek...! Betapa besar budi dan jasamu
mendidik dan memelihara aku sampai dewasa.
Entah dengan apa aku harus membalasnya...!"
kata Panji dengan air mata berlinang. Laki-laki tua itu tertawa terkekeh.
"Sudahlah, Panji, cucuku...! Temuilah Se-
napati Pramudita! Dan katakan keinginanmu. Be-
liau pasti akan menerimamu dengan senang hati!"
"Kakek mengenal Senapati Kerajaan itu?"
tanya Panji tertegun. Lung Gadung tersenyum se-
raya menyahut. "Di antara kedua anak angkatku selain
ibumu, adalah Pramudita! Nah, sampaikan sa-
lamku padanya...! Dan baik-baiklah kau menjaga
diri...!" Selesai berkata, tiba-tiba bayangan tubuh laki-laki tua itu
berkelebat. Tahu-tahu lenyap dari pandangan mata Panji. Dara ini hanya melihat
bayangan putih seperti membias udara, dan le-
nyap dibalik kerimbunan hutan...
"Kakek..."! Ah, kau..." Hanya kata-kata itu yang terucapkan di mulut dara ini.
Tanpa sempat mencium tangan orang tua itu lagi, orang tua
yang sangat dicintai dan dihormati itu telah lenyap begitu cepat. Panji mengusap
air matanya yang membasahi pipi. Kemudian menyumput
kain buntalannya yang menggeletak di tanah. Tak lama dia segera berlari cepat
memasuki tapal batas Kota Raja...
LIMA Kita beralih ke wilayah Selatan...
Sebuah perguruan silat yang cukup punya
pengaruh besar di wilayah Selatan ini bernama
Halimun Sakti. Ketua perguruan adalah seorang
laki-laki berusia empat puluhan tahun. Berwajah tampan walaupun sudah agak tua.
Berkulit putih dan bertubuh kekar. Jelas menampakkan bahwa
dia seorang yang senang berlatih, dan selalu menjaga kondisi tubuhnya. Sang
ketua Perguruan Ha-
limun Sakti ini bernama Badar Saga!
Badar Saga mempunyai dua orang isteri
yang kedua-duanya mandul. Hingga saat ini laki-
laki itu belum peroleh keturunan. Isteri pertama bernama Nyi Rumpi, dan isteri
kedua bernama Tumpuk Undung. Kedua isterinya itu berwajah
cantik. Nyi Rumpi adalah gadis anak seorang
guru pesantren yang dilamarnya sejak dia jatuh
hati pada pandangan pertama, sedangkan Tum-
puk Undung adalah gadis yang tergila-gila pa-
danya. Hingga terjadilah suatu hubungan di luar nikah. Hal itu diketahui oleh
Nyi Rumpi. Ternyata
wanita isterinya itu berhati sutera. Dia menyuruh Badar Saga mengawini.
Demikianlah, hingga
sampai berjalan lebih dari sepuluh tahun mereka berumah tangga, sampai saat ini
belum beroleh keturunan. Padahal Badar Saga sangat meng-
inginkannya. Tumpuk Undung yang berdiam di sebuah
gedung di tepi sebuah telaga kecil yang sengaja dibuatkan untuk wanita ini oleh
suaminya, tampaknya mulai merasa kurang puas dengan kea-
daannya saat itu. Entah iblis apa yang telah
membisik di hatinya, hingga dia ingin menguasai Perguruan Halimun Sakti yang
punya wilayah kekuasaan besar, dan hasil yang tidak sedikit. Karena perguruan
silat yang boleh dibilang adalah sebuah partai persilatan itu layaknya tak ubah
seperti sebuah kerajaan kecil. Di mana rakyat sekitar wilayah itu sangat tunduk
pada peraturan yang dibuat oleh sang ketua partai Perguruan Halimun Sakti.
Rasa iri pada Nyi Rumpi adalah karena dia
merasa dinomor duakan oleh Badar Saga. Sua-
minya jarang datang mengunjunginya. Dan dia
merasa seperti diasingkan di tempat terpencil itu.
Cuma dua orang pembantu, dan seorang bujang
laki-laki saja yang menemani di gedung tempat
tinggalnya. Karena hal itulah lama-kelamaan timbul
rasa tidak puas dalam dirinya. Hingga dalam hati wanita ini timbul suatu hasrat
gila, yaitu ingin menguasai Partai Halimun Sakti.
* * * "Parta...! ke marilah kau...!" Tumpuk Undung memanggil pembantu laki-lakinya.
"Ya, Ndoro Ayu...!" sahut laki-laki berkulit hitam bertubuh kekar ini, seraya
terbungkuk-bungkuk menghampiri wanita itu. Sebentar saja
dia telah tiba di hadapan sang majikan yang ke-
sepian dan bermata sayu itu. Diam-diam hati la-
ki-laki ini bergetar. Sudah sering dia dipanggil beberapa kali oleh sang
majikannya ini. Dan setiap kali bertemu selalu saja dia melihat tatapan mata
majikannya seperti mengandung daya tarik
yang sangat luar biasa. Hingga membuat jan-
tungnya berdetak cepat, dan hatinya berdebar-
debar. Selalu saja ada yang dipertanyakannya.
Atau kadang-kadang menyuruh mengerjakan sua-
tu pekerjaan yang tak begitu penting.
"Ada apa Ndoro Ayu....! Apakah ada yang
bisa hamba bantu mengerjakan?" tanya Parta.
Kepalanya menunduk. Dia tak berani menatap.
Tumpuk Undung tak menjawab. Sejenak dia
memperhatikan wajah dan tubuh kekar pemban-
tunya. "Kau sedang mengerjakan apa?" tanyanya.
"Hamba sedang membelah kayu-kayu ba-
kar, Ndoro Ayu..." sahut Parta. Jantungnya tambah berdetak cepat. Karena dia
melihat sang ma-
jikan berpakaian dengan bagian dada setengah
terbuka. Dan belahan payudaranya yang sekal itu nampak jelas memutih. Tumpuk
Undung tersenyum, lalu berkata perlahan.
"Kau bisa membantuku, bukan?" tanyanya lagi "Ten... tentu bisa, Ndoro Ayu...!
Hamba kan pesuruh yang ditempatkan di sini untuk membantu-bantu keperluan Ndoro
Ayu...!" sahut Parta agak tergagap.
"Bagus! Hm, Parta...! Kemanakah bibi-bibi
emban?" "Seorang sedang memasak air di dapur dan
seorang lagi pergi berbelanja ke pasar Desa Turi, Ndoro Ayu...!"
Tumpuk Undung. manggut-manggut. Se-
pasang matanya tampak menjalari sekujur tubuh
Parta. Seperti memperhatikan tubuhnya yang ke-
kar. "Aku ingin kau membantuku menggeser-
kan lemari pakaian dikamarku, Parta. Akan ku-
pindahkan dekat jendela!" kata Tumpuk Undung.
Hati Parta tersentak. "Menggeser lemari?" Tak terasa dia berdesis.
"Benar, Parta! Kau tak berkeberatan, bu-
kan?" kata Tumpuk Undung.
"Ti... tidak, Ndoro Ayu.... Tapi..." Parta tak meneruskan kata-katanya.
Tenggorokannya terasa kelu. Bukannya dia merasa enggan atau meno-
lak pekerjaan itu, akan tetapi rasanya hal itu kurang sopan. Apalagi saat itu
majikan laki-lakinya sedang tidak ada.
"Kau tak perlu khawatir apa-apa, Parta!
Mari... masuklah!" kata Tumpuk Undung seraya bangkit berdiri, dan melangkah
masuk ke ruangan kamar. Agak ragu laki-laki pesuruh itu. Tapi
terpaksa dia mengikuti sang majikan melangkah
masuk ke dalam kamar wanita itu yang baru per-
tama kali dimasukinya.
Parta berdiri menjublak di pintu kamar.
Matanya nanar melihat wanita majikannya itu ti-
ba-tiba melepaskan pakaian atasnya. Seketika
darahnya tersirap, ketika wanita itu berkata dengan suara berbisik.
"Parta...! Tutuplah pintu kamar, dan...
kunci sekalian..."
"Ah... apa maksudmu, Ndoro Ayu...?" tanya Parta dengan suara parau menggetar.
Jantungnya serasa berhenti berdenyut.
"Parta! Jalankan perintahku!" Tumpuk Undung membentak halus. Laki-laki ini
tersentak, kakinya menyurut mundur dengan wajah beru-
bah pucat pias.
"Ba... baik... Ndoro Ayu..." sahut Parta seraya mengunci pintu. Selesai mengunci
pintu ka- mar itu, dia berdiri menjublek dengan kepala menunduk, tak berani menatap wanita
itu. "Parta! Mendekatlah kemari!" Suara halus berpengaruh hebat itu telah memaksa
kaki Parta melangkah mendekati. Saat itu Tumpuk Undung
telah melangkah mendekat dengan sikap tak sa-
bar menunggu Parta yang melangkah kaku.
"Parta..." desis wanita ini dengan senyum merekah di bibirnya. Dan sepasang mata
yang sayu itu kini membinar-binar seperti mata seekor harimau liar. Tapi lagi-lagi
Parta menunduk tak berani menatap ke depan, dengan tubuh semakin
menggigil. "Parta! Kau laki-laki atau banci" Mengapa
tak kau gunakan kesempatan yang terbuka ini?"
berkata Tumpuk Undung dengan hati agak men-
dongkol. Namun dia tak dapat menutupi kegaira-
han yang selama ini disimpannya dalam dada.
"Ndoro Ayu... aku mengerti akan kese-
pianmu, karena Ndoro Gusti Badar Saga jarang
datang menemuimu. Tapi... jangan paksa aku me-
lakukan perbuatan itu, Ndoro Ayu...! Aku takut
diketahui suamimu.... Dan... aku ini adalah seorang pesuruh....!" Mendengar
kata-kata Parta, Tumpuk Undung tersenyum. Lengannya tahu-tahu telah merayapi
dada bidang laki-laki itu.
"Parta! Kau cukup gagah untuk menjadi
pengganti suamiku! Kau tahu, Parta" Aku mulai
benci pada Badar Saga! Dia telah bertindak ku-
rang adil! Kau lihat, aku ditelantarkan tanpa dihi-raukan. Sampai sebulan lebih
dia tak pernah ke-
mari. Aku tak peduli kau seorang pembantu! Ba-
giku sama saja! Dan... kalau kau mau, kau bisa
menduduki jabatan tinggi di Partai Halimun Sak-
ti!" kata wanita ini.
Parta menahan getaran dadanya yang
menggebu. Kata-kata Tumpuk Undung membuat
matanya membelalak.
"Menduduki jabatan tinggi di Partai Hali-
mun Sakti?" sentaknya terkejut.
"Benar! Apakah kau tak menginginkannya"
Dan aku akan menjadi pendampingmu, sebagai
isterimu!" kata Tumpuk Undung lirih.
"Gila! Suatu hal yang tak mungkin, dan tak masuk di akal!" sanggah Parta.
"Mengapa tidak" Semua bisa diatur! Dan
aku yang akan mengatur rencana kita! Sekarang
lupakanlah semua itu... Parta! Aku... aku sangat mendambakanmu, Parta...! Aku
butuh kau..." Suara wanita ini tampak semakin lirih. Dan tiba-tiba mendekap
laki-laki itu dengan gairah yang meng-gelora...
Runtuhlah benteng pertahanan Parta. Di-
pondongnya tubuh wanita setengah membugil itu
ke atas peraduan sang majikan. Dan rintangan
yang menjadi setiap penghalang di tubuh mereka
segera disingkirkan. Selang sesaat dua anak ma-
nusia itu telah tenggelam dalam rengkuhan koba-
ran api jahanam!
Parta memang bukan seorang banci, dan
kini tak lebih dari seekor kuda liar yang membed-al di padang rumput. Merambas
bukit, dan mene-
robos belukar! Dalam waktu cukup singkat, Tum-
puk Undung terkapar dengan napas terengah-
engah. Dan kuda liar yang gagah perkasa itu ber-gulir roboh dengan seringai
kepuasan... Sialan


Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banget! ENAM Rah Banu dan Rah Bono bangun terlebih
dulu, dan hampir bersamaan. Sesaat keduanya
saling pandang.
"Kakang Rah Banu! Apa yang telah terjadi
dengan kita?" tanya Rah Bono seraya menghampiri.
"Entahlah, Bono! Aku merasa ada kekua-
tan hebat yang membetot tubuhku hingga seperti
yang kau lihat, tanah tempat memendam tubuh-
ku terbongkar!"
"Akupun mengalami hal yang sama, Ka-
kang! Oh, mari kita lihat keadaan Nini Sumbi,
guru kita...!" Tak berayal lagi keduanya berlompa-tan menghampiri wanita yang
tubuhnya hampir
teruruk tanah, dan hanya bagian atas tubuh serta kepalanya saja yang menyembul
keluar. Cepat mereka membongkar tanah, dan membersihkan
dari sekujur tubuh sang guru.
Sesaat mereka tertegun memandang gu-
runya yang lebih mirip sebuah arca dalam kea-
daan duduk bersila dengan tangan agak meren-
tang. "Tubuhnya keras seperti batu...!" kata Rah Bono berdesis.
"Benar! Apakah guru telah salah mene-
rapkan aji Karang Rogo?" desis Rah Bono. Sesaat keduanya saling tatap.
"Entahlah, coba periksa pernapasannya!"
perintah Rah Banu. Pemuda ini segera tempelkan
telinganya ke dada wanita itu, dan Rah Banu
dengan cepat memeriksa denyut nadi pada perge-
langan tangan Nini Sumbi. Apa yang mereka ra-
sakan adalah, mereka tak merasai denyutan jan-
tung atau denyut urat nadi pada pergelangan
tangan dan dada wanita itu.
"Aih...! Guru telah tewas!" sentak keduanya hampir berbareng.
Beberapa saat lamanya mereka terlongong
kebingungan. Rah Banu tercenung sambil me-
langkah mondar mandir di depan "arca" Nini Sumbi. Sedangkan Rah Bono berdiri
menjublak dengan benak dipenuhi seribu satu pertanyaan.
"Mengapa Nini Sumbi tewas" Apakah aji
Karang Rogo telah berpindah ke tubuh kita?" berkata Rah Bono dengan memandang
padas sauda- ra kembarnya. Rah Banu tak menjawab. Tapi ka-
ta-kata Rah Bono membuat dia menemukan ga-
gasan yang bagus.
"Hm, mengapa tak kucoba, apakah aji Ka-
rang Rogo telah berpindah ke tubuhku dan tubuh
adikku?" kata pemuda ini dalam hati.
"Kita harus membuktikan apakah aji Ka-
rang Rogo itu telah kita miliki, Adikku...!"
"Benar! Lalu bagaimana caranya, dan apa-
kah yang akan kita lakukan terhadap mayat Nini
Sumbi?" tukas sang adik kembar.
"Tak ada jalan lain, selain menguburkan
jenazahnya. Mengenai cara kita membuktikan
apakah kita telah menguasai aji Karang Rogo, itu urusan nanti!" Rah Bono
manggut-manggutkan kepala tanda menyetujui.
Karena ditempat itu sudah ada lubang,
maka mereka tinggal memperdalam saja. Setelah
lubang diperkirakan cukup dalam, mereka ber-
henti menggali. Agak bergetar juga hati Rah Banu melihat keadaan Nini Sumbi yang
telah tiada bernyawa, dalam keadaan duduk bersila dengan len-
gan terangkat itu. Diam-diam dia mengagumi ke-
hebatan ilmu wanita tua itu yang telah mampu
merubah tubuhnya menjadi muda lagi.
Perlahan-lahan Rah Banu mengangkat tu-
buh Nini Sumbi, lalu dibawanya ke tepi lubang.
Rah Bono menerima tubuh sang guru dengan
lengannya. Kemudian mendudukkan di dasar lu-
bang. Tak lama Rah Bono melompat keluar. Rah
Banu segera menimbunnya dengan tanah. Sang
adik kembar segera membantunya agar pekerjaan
mereka cepat selesai. Selang tak lama selesailah mereka menimbun lubang. Rah
Banu mengambil sebongkah batu dan diletakkan di atas timbunan
tanah itu. Kemudian berpaling pada Rah Bono.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Adikku...!"
"Tunggu, Kakang...! Aku akan mengambil
serulingku di dalam goa!" sahut Rah Bono.
"Ah, akupun perlu mengambil serulingku!"
ujar pemuda ini.
"Mari kita mengambilnya...!" Rah Banu beranjak meninggalkan tempat itu diikuti
Rah Bono. Selesai mengambil senjata-senjata mereka yang
telah membuat mereka punya gelar Kembar Se-
ruling Maut di Rimba Persilatan, kemudian kedua pemuda kembar itupun segera
meninggalkan lembah itu... TUJUH Kemanakah perginya Kembar Seruling
Maut" Ternyata menuju ke arah Selatan, Untuk
menguji aji Karang Rogo, dimiliki atau tidaknya adalah harus dicoba dulu. Mereka
telah berem- buk untuk suatu maksud tertentu. Dengan
menggunakan ilmu lari cepat, kedua laki-laki
kembar itu berkelebat merambas hutan dan bu-
kit. Tak berapa lama mereka telah berada di
depan sebuah pesanggrahan. Rah Bono sejenak
menatap Rah Banu. Dia berkata dengan suara
berdesis. "Apakah kau yakin kita dapat mengalah-
kan Weling Sukma, Raja Pedang Pesanggrahan
Linggar Jati itu?"
"Hm, biarlah aku yang turun tangan untuk
menantangnya! Alasanku cukup kuat, karena dia
pernah menghina aku pada beberapa bulan yang
lalu. Ilmu Pedangnya sangat hebat, dan tenaga
dalamnya tinggi! Tapi justru kita harus mencari lawan yang lebih kuat! Bila aku
terdesak, barulah kau boleh membantu!" kata Rah Banu.
Rah Bono mengangguk. Saat itu dua orang
laki-laki berbaju putih tiba-tiba muncul di pintu gerbang pesanggrahan. Sejenak
keduanya menatap dua laki-laki kembar bercelana kotor tanpa
memakai baju, dan rambut yang panjang awut-
awutan itu dengan pandangan aneh.
"Siapakah kalian" Ada maksud apa datang
ke pesanggrahan kami?" bertanya salah seorang.
Laki-laki yang seorang lagi cuma berdiri dengan melipat tangan. Laki-laki ini
beralis tebal berkumis dan berjenggot kasar. Sikapnya menampak-
kan keangkuhan.
"Hm, kami ingin bertemu dengan si Raja
Pedang Weling Sukma! Suruh saja dia keluar me-
nemui kami!" sahut Rah Banu dengan sikap tak kalah angkuh. Tentu saja kedua
laki-laki itu jadi berang dengan sikap orang di depannya.
"Jembel hina dina! Seumur hidup baru aku
melihat manusia sombong seperti kau! Katakan
siapa kalian! Tak seorang tamupun yang bersikap sombong bisa kuterima melalui
aku!" membentak gusar laki-laki itu karena merasa dirinya dire-mehkan.
"Heh! Siapakah anda tuan besar, gagah"
Dan siapa pula kawanmu itu?" Bentakan marah laki-laki itu dianggap angin lewat
oleh Rah Banu. Bahkan dengan tersenyum sinis dia ajukan per-
tanyaan barusan.
"Kalian tak berharga untuk mengetahui di-
riku. Tapi biarlah kukatakan siapa kami, dan setelah itu kalian boleh angkat
kaki dari mukaku!
Ketahuilah! Aku adalah adik seperguruan si Raja Pedang! Dan orang disebelahku
adalah tetamu kakak seperguruan kami dari Partai Halimun
Sakti!" "Haha... kebetulan! Kedatangan kami adalah untuk membalas penghinaan si
Raja Pedang tempo hari. Kalau kalian berdua mau mewakilkan
diri untuk menerima gebukanku, tak apalah! Ka-
mi akan pergi dengan rasa puas! Untuk mengge-
buk kakak seperguruanmu itu biarlah lain kali
saja!" Merahlah seketika wajah laki-laki itu. Dia memang sengaja memancing agar
terjadi keributan, karena sebal melihat dua pemuda gondrong
yang bertingkah sombong tak menghargai dirinya.
"Keparat! Sudah kuduga, kedatangan ka-
lian cuma untuk mencari keributan. Apakah ilmu
kalian sudah setinggi langit, berani berkata begitu" Kau akan menyesal telah
sesumbar di depan
kami!" bentak laki-laki ini.
"Sobat Weling Moko! Serahkan anjing ku-
rap ini padaku!" Tiba-tiba laki-laki di sebelahnya rentangkan tangan, menyuruh
Weling Moko menyingkir. Tampak laki-laki jembros ini merah padam mukanya.
"Haha... boleh aku mengenal anda" Tam-
paknya Partai Halimun Sakti begitu berwibawa
dan ditakuti, dan tentunya ada anda termasuk
orang penting di partai yang hebat itu!"
"Tidak salah dugaanmu! Namaku Garba!
Akulah yang bergelar si Banteng Perkasa! Tangan kanan Partai Halimun Sakti!"
Kata-kata Garba disusul dengan mende-
runya angin keras ketika jotosan lengannya me-
nyambar ke arah dada Rah Banu. Terkejut pemu-
da ini karena merasai sambaran angin yang hebat menyerangnya.
Jelas pukulan lawan bisa meremukkan isi
dadanya. Akan tetapi inilah saatnya menguji keadaan tubuhnya, apakah aji Karang
Rogo yang te- lah diterapkan ditubuhnya selama tujuh kali bu-
lan purnama itu benar-benar telah dimiliki" Sementara itu Rah Bono cuma berdiri
dengan sikap tegang. Ternyata Rah Banu tak mengelakkan pu-
kulan mengandung maut itu. Tapi diam-diam dia
Sukma Pedang 9 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Si Pedang Tumpul 1
^