Pencarian

Jasa Susu Harimau 2

Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Bagian 2


menyilaukan. Kepalanya besar, mulutnya terbuka dan lidah merah menjulur keluar.
Kepalanya besar, mulutnya terbuka
dan lidah merah menjulur
keluar. Melihat lebarnya mulut dan besarnya kepala ular itu, jangan lagi
manusia, seekor harimaupun bila berhasil disambar dapat ditelan mentah-mentah.
Kepala ular raksasa itu
bergantung menjulur ke bawah dari dahan. Bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri,
bergoyang-goyang seakan sudah siap untuk menangkap korbannya. Sedang suara
mendesis keras tidak pernah putus, dan uap tipis kehijauan menyebar sekitarnya.
Kepala ular yang
semula tergantung agak tinggi itu, sedikil demi sedikit sudah bergeser turun.
Ketika itu Sritanjung sudah
menghunus pedangnya yang bersinar kebiruan. Di tempat agak gelap ini, sinar
kebiruan itu lebih tampak, kemudian dilintangkan di depan dada.
Sesungguhnya dalam menghadapi
musuh Surya Lelana lebih pengalaman, dan ia tidak pernah gentar. Tetapi sekarang
ini ia berhadapan dengan ular raksasa, hatinya menjadi tegang dan berdebar-
debar. Ular itu bergantung di dahan dan dapat menyambar secara tidak terduga dan
sebaliknya dirinya takkan gampang melakukan serangan balasan.
Kepala ular raksasa itu
bergantung menjulur ke bawah dari dahan. Bergerak-gerak ke kanan dank e kiri,
bergoyang-goyang seakan sudah siap untuk menagkap korbannya.
Ia menjadi khawatir melihat
Sritanjung dan memperingatkan, Tanjung hati-hatilah! Ular itu amat berbahaya!
Sritanjung tertawa manis,
sahutnya, Jangan khawatir. Aku sudah biasa berhadapan dengan segala macam
binatang buas! Tiba-tiba tubuh gadis itu melesat tinggi. Sinar biru menyambar ke arah kepala
ular. Siut.... wutt..,. sessss ....
Sritanjung melayang turun dengan, mata terbelalak heran. Gerakannya tadi sudah
cepat dan pedangnya menyambar.
Namun ternyata ular itu dapat
menghindar, kepalanya malah menyambar dan mulut terbuka diiringi desis panjang.
Untung Sritanjung cukup waspada dan gesit, hingga sambaran moncong ular itu
luput. Jahanam ular liar! bentak Surya Lelana sambil melesat tinggi dan pedangnya
menyambar. Sekalipun gerakan Surya Lelana kalah gesit dibanding Sritanjung, tetapi dalam
ilmu pedang lebih matang.
Ia menggunakan tipu pancingan dan ketika kepala ular itu menghindar pedangnya
menyambar secara tepat.
Surya Lelana kaget setengah mati.
Sabetannya tepat mengenai kepala ular raksasa. Tetapi pedangnya mental dan
hampir saja dirinya celaka apabila tidak gesit menghindari sambaran mulut ular.
Celaka! Dia kebal senjata!
serunya sesudah mendarat.
Jangan khawatir. Aku tahu caranya mengalahkan! ujar Sritanjung
bersungguh-sungguh. Mari kita cari batu yang keras dan cukup besar.
Masing-masing cukup sebutir dan nanti batu itu kita sambitkan pada saat dia
menyambar. Watak ular, setiap benda yang menyerang akan disambar. Nah, di saat
ular menelan batu, saat itu pula kita bertindak. Kita serang matanya, karena
mata tak mungkin kebal!
Bagus! Kau memang cerdik,
Tanjung. Pujian itu menyebabkan Sritanjung senang sekali, Gadis ini tersenyum, lalu
mendahului melangkah mencari batu keras. Tak lama kemudian mereka sudah
memperoleh. Batu itu warnanya hitam sebesar kepala manusia, lalu mereka kembali
ke dekat ular. Ular raksasa itu desisnya semakin keras. Lidahnya yang merah menjulur keluar dan
mulutnya terbuka ingin menelan. Ular itu karena sudah tua menyebabkan kulitnya
kebal. Tetapi sekalipun kebal ia merasakan sakit juga oleh babatan pedang.
Karena itu si ular menjadi marah, ia merosot turun dan kepala ular itu sekarang
sudah hampir menyentuh tanah.
Ternyata tubuh ular itu disamping besar juga panjang sekali. Sekalipun kepala
sudah hampir menyentuh tanah tetapi tubuhnya masih melilit dahan.
Sritanjung memberi isyarat kepada Surya Lelana. Kemudian hampir
berbareng dua butir batu menyambar.
Ular raksasa itu dalam keadaan amat marah. Melihat melayangnya benda hitam,
tidak takut. Ular itu juga tidak menghindar dan malah membuka mulut lebar-lebar,
dan jelas tidak sadar akan bahaya.
Blung blung... cap cap....
Hampir berbareng dengan masuknya dua butir batu ke dalam mulut itu, menyambarlah
dua ujung pedang ke mata.
Sambaran ujung pedang itu mengenai mata secara tepat, karena ular dalam
kesakitan dan tidak bisa menghindar.
Dan akibatnya sepasang mata ular itu pecah dan darah merah membanjir.
Celakanya lagi pedang itu menembus otak, sehingga otak ular itupun mengalir
bercampur darah.
Lebih celaka lagi bagi si ular, setiap benda yang sudah masuk ke dalam mulut
tidak bisa keluar lagi. Maka ular ini kesakitan luar biasa, tubuhnya merosot dan
terbanting ke tanah, lalu kelabakan, berputaran dan kelojotan di tanah. Makin
kuat gerakan ular itu, sekitarnya menjadi morat-marit dan darahpun mengucur
lebih banyak. Namun makin lama gerakan ular ini semakin menjadi lemah, sedangkan bau anyir
menyengat hidung dan tak lama kemudian tidak bergerak lagi.
Surya Lelana dan Sritanjung
gembira. Mereka membersihkan pedang masing-masing lalu disarungkan.
Setelah pedang di dalam sarung, pemuda dan pemudi ini saling bersenyum dan
saling pandang. Dua-duanya gembira sudah berhasil membunuh ular raksasa itu.
Akan tetapi makin lama pandang mata dua orang muda ini berlainan dengan waktu
sebelumnya. Ketika mereka bertemu pandang, mata mereka berkilat-kilat. Disusul
oleh getaran aneh, getaran yang tidak lagi dapat dilawan dan menggerakkan kaki
masing-masing untuk saling menghampiri.
Menurut pandang mata Surya
Lelana, wajah Sritanjung semakin cantik dan mempesona. Pandang matanya redup
seakan mengharapkan sesuatu yang tidak terucapkan.
Sebaliknya menurut pandangmata Sritanjung, pemuda tampan bemama Surya Lelana itu
menjadi semakin tambah tampan dan menarik hatinya. Lalu timbul pula perasaan
aneh yang belum pernah ia rasakan dan mendorong gadis ini untuk mendekati.
Dua orang muda ini seperti
terkena pengaruh ajaib. Setelah saling mendekati lengan mereka terulur, dan
tiba-tiba saja muda-mudi ini saling peluk dan berdekapan. Perawan yang galak dan
liar ini entah sebabnya, tiba-tiba saja jinak ketika hidung pemuda itu menyentuh
pipi halus. Sritanjung tidak menolak dan
memberontak, malah beberapa jenak kemudian bibir mereka saling bertemu dan
berciuman, dan merupakan
pengalaman pertama bagi Sritanjung.
Namun tiba-tiba kaki mereka
menggigil dan lemas, lalu tidak tercegah lagi dua orang muda ini roboh masih
dalam keadaan berpelukan. Mereka tidak bergerak sama sekali, karena mereka sudah
pingsan. Di luar tahu Sritanjung maupun Surya Lelana, racun uap yang
disemburkan oleh ular raksasa tadi telah meracuni mereka. Kalau saja dua orang
ini hanya orang biasa, tentu sudah roboh mati.
Untung bagi dua orang muda ini, di dalam tubuh sudah mengalir hawa sakti. Hawa
sakti yang melindungi tubuh itu dapat bergerak sendiri tanpa digerakkan. Dan
oleh perlindungan hawa sakti ini mereka tidak mati keracunan.
Namun karena mereka tidak sadar terpengaruh racun, mereka tidak berusaha
mengusir racun itu dari dalam tubuh. Dan sebagai akibatnya tubuh menjadi panas,
dan celakanya pula racun ular raksasa ini mempunyai pengaruh berbahaya terhadap
rangsangan birahi.
Baik Surya Lelana maupun
Sritanjung tidak menyadari keadaan ini. Karena itu masing-masing
terpesona, kemudian saling peluk dan berciuman. Masih untung pengaruh racun ular
raksasa itu kuat, hingga
menyebabkan mereka pingsan. Kalau saja tidak keburu pingsan, entah apa yang akan
terjadi pada diri dua orang muda itu.
Tak lama kemudian Surya Lelana sadar lebih dahulu. Ia kaget
mendapatkan dirinya berpelukan dengan Sritanjung. Tetapi dasar nakal, ia tidak
cepat berusaha melepaskan pelukannya dan malah dibiarkan lengan Sritanjung
melingkar pada lehernya.
Malah kemudian pemuda ini memejamkan matanya kembali, pura-pura masih pingsan.
Kepalanya memang dirasakan masih agak pening dan disamping itu
kehangatan tubuh Sritanjung dirasakan amat menyenangkan. Dada yang lembut
menekan dadanya menyebabkan pikirannya melayang tidak karuan. Perasaan aneh yang
selama ini belum pernah ia rasakan memenuhi dadanya.
Sebenarnya Surya Lelana bukan
pemuda mata keranjang dan suka main perempuan. Ia malah bisa dikatakan pemuda
yang tak pernah mendekati wanita. Akan tetapi sekarang merasakan kehangatan ini,
menyebabkan ia tak mau mengakhiri.
Tetapi sekalipun demikian Surya Lelana pemuda sopan. Ia tidak mau menggunakan
kesempatan sekalipun Dewi Sritanjung masih pingsan. Hanya samar-samar ia ingat,
ia tadi sudah berciuman mesra sekali dengan gadis ini.
Ia menjadi heran sendiri. Apa
saja yang sudah mendorong mereka hingga terjadi peristiwa aneh seperti ini"
Kemudian ia teringat
perkelahiannya tadi dengan ular raksasa. Dan tiba-tiba saja ia dapat menduga,
mungkin sekali peristiwa aneh ini sebagai akibat racun ular itu.
Pada saat Surya Lelana masih
sibuk berpikir tentang apa yang dialami, ia merasakan adanya gerakan Sritanjung.
Ia tahu gadis galak ini mulai sadar, namun ia tetap pura-pura masih pingsan dan
ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis ini kepada dirinya.
Tetapi diam-diam ia memang merasa bersalah juga, kendati apa yang sudah terjadi
diluar kesadarannya. Karena itu ia rela dipukul, disiksa maupun dibunuh oleh
gadis ini. Plakk.... plakk....
Surya Lelana nanar seketika
menerima tamparan dua kali. Ia melompat bangkit sambil mengucak sepasang matanya
dan kemudian memandang Sritanjung dengan pandang mata pura-pura keheranan. Ia melihat jelas,
wajah gadis itu sebentar merah dan sebentar pucat sambil berdiri berkacak
pinggang. Dalam hati Surya Lelana tersenyum geli. Tamparan itu bukan apa-apa dibandingkan
dengan kehangatan pelukannya. Kalau saja boleh, ia sedia dipukul duakali lagi
asal boleh mencium lagi.
Surya Lelana! Kenapa sekarang kau berubah menjadi mata keranjang"
katanya dalam hati dan mencaci dirinya sendiri. Hem, ingatlah kau seorang
ksatrya dan tidak dibenarkan berbuat tercela, lebih-lebih terhadap
perempuan. Engkau harus pandai menghargai dan menempatkan wanita pada tempatnya.
Tahukah engkau, apabila wanita sudah marah bisa
menjungkirbalikkan dunia ini"
Berdebar hatinya mendengar
cacimaki hati sucinya itu. Kemudian sambil mengusap pipinya yang masih panas, ia
bertanya, Apakah sebabnya kau memukul aku..."
Surya! Engkau kurangajar. Apa
yang sudah kaulakukan.....kaulakukan.... "
Kendati membentak marah namun
Sritanjung tampak malu-malu juga, dan diam-diam Surya Lelana terpesona.
Sebab walaupun sedang marah,
kecantikan gadis ini tidak juga berkurang.
Tanjung, sabarlah, jawabnya. Aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Aku
roboh pingsan... ahh...
celaka! Ular itu.... ya, kita sudah keracunan oleh ular keparat itu.
Ahh... kepalaku pening...
Surya Lelana tidak menipu. Ia
memang merasakan pening dan kepalanya seperti tambah besar setelah berdiri.
Menjadi jelas bahaya racun ular masih mengeram dalam tubuh.
Tanjung! Aturlah pernapasan!
terusnya. Usirlah racun ular itu sampai tuntas.
Tanpa menunggu jawaban Surya
Lelana sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan.
Dewi Sritanjung menjadi sadar. Ia merasakan pula kepalanya pening. Dan merupakan
pertanda di dalam tubuhnya masih terdapat racun berbahaya. Maka tanpa membuka
mulut lagi gadis inipun menjatuhkan diri duduk bersila, lalu menyalurkan hawa
sakti dari pusar guna mendesak dan mendorong keluar racun ular yang masuk paru-
paru. Untung sekali mereka sudah
memiliki dasar kuat. Setelah mengatur pernapasan, sedikit demi sedikit racun
ular tersebut dapat didesak dan didorong keluar dan kepala mereka sudah tidak
pening lagi. Sebenarnya Surya Lelana sudah
berhasil mengusir racun ular itu lebih dahulu. Namun pemuda ini tidak cepat
mengakhiri semadhinya, karena sadar jangan sampai mendahului gadis galak ini.
Maka sambil memejamkan mata ini ia justru dapat mengingat kembali, saat nikmat
berpelukan dan berciuman tadi.
Berbeda dengan Sritanjung.
Setelah kepalanya tidak pening lagi ia melompat berdiri. Ia melihat Surya Lelana
masih duduk bersila, dan mengamati penuh perhatian. Diam-diam ia mengakui Surya
Lelana pemuda tampan, dan dalam hati mengakui pula apa yang terjadi merupakan
kenangan yang menyenangkan juga. Dan teringat semua itu timbul rasa sesalnya,
mengapa ia tadi sudah memukul pemuda itu.
Menurut pendapatnya, bagaimanapun Surya Lelana tak bersalah. Secara jujur ia
mengakui pula, segalanya takkan terjadi apabila dirinya tidak menanggapi. Dan
samar-samar ia juga ingat, dirinya tadi juga memeluk Surya Lelana dan kemudian
membalas ciuman pemuda itu. Dewi Sritanjung menghela napas panjang. Ia sekarang
sadar, ucapan Surya Lelana benar. Semua yang sudah terjadi akibat pengaruh racun
ular. Karena Surya Lelana masih duduk tidak bergerak, Dewi Sritanjung tidak mengganggu
dan gadis ini kemudian duduk diatas batu seraya mengamati bangkai ular yang tadi
mereka bunuh. Ular itu luar biasa besar dan
panjangnya, dan amat berbahaya bagi manusia maupun binatang hutan. Maka dengan
terbunuh matinya ular ini, berarti dapat mengamankan hutan ini dari gangguan.
Tiba-tiba ia mendengar suara
gerakan Surya Lelana. Ketika
memalingkan muka pemuda itu sudah berdiri. Sritanjung melihat pula pipi pemuda
itu masih merah agak bengkak.
Sritanjung segera meninggalkan batu dan menghampiri.
Surya... maafkanlah aku....
Untuk sejenak Surya Lelana
melengak. Tetapi kemudian ia tersenyum dan diam-diam memuji kejujuran dan
keluguan gadis ini yang tidak segan minta maaf, sekalipun sebenarnya kurang
perlu. Terima kasih. Tetapi aku memang patut kau-pukul, sahut Surya Lelana menyesal.
Sudahlah, apakah sebabnya kau
jadi ngambek" kata gadis ini sambil tertawa lirih. Ular keparat itulah yang
menjadi gara-gara. Tetapi ahh, sudahlah... mari kita cepat pulang, hari sudah
sore. Amat berbahaya bagi kita apabila terlalu lama di sini.
Sesungguhnya ingin sekali sang pemuda mengambil kulit ular itu untuk dibawa ke
Majapahit. Namun teringat pengaruh racun ular yang dapat membangkitkan
rangsangan birahi, ia membatalkan niatnya. Maka ia
mengangguk lalu melangkah berdampingan menuju pulang.
Untuk beberapa saat mereka tidak membuka mulut. Pengaruh kenangan yang baru saja
mereka alami, sekarang agak mengganggu.
Namun tiba-tiba mereka kaget


Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar aum harimau. Bagi Surya Lelana aum itu tidak ada artinya.
Tetapi bagi Sritanjung tahu belaka apabila harimau itu kesakitan.
Celaka! Harimauku diganggu orang!
Serunya tertahan.
Tubuhnya sudah melesat menuju
arah aum harimau. Surya Lelana kaget dan gugup dan cepat melompat untuk memburu.
Dugaan Dewi Sritanjung memang
tepat. Auman nyaring tadi merupakan jerit kesakitan.
4 Tadi setelah Klentreng dan
Senggung diusir Sritanjung, dua ekor harimau tua ini menuju pondok. Namun
binatang tetap binatang. Kendati jinak, tetap selewengan mencari mangsa. Setelah
perut kenyang dua ekor harimau ini menuju sungai untuk mencari minum.
Di saat menuju sungai ini dua
ekor harimau itu kaget melihat berlabuhnya perahu ke tepi. Dari perahu itu
kemudian berlompatlah sepuluh orang laki-laki.
Sekalipun binatang Klentreng dan Senggung merupakan binatang yang terlatih. Dua
ekor harimau ini bisa menduga orang-orang itu bukan orang baik. Maka dari tempat
bersembunyi dua ekor harimau ini mengaum lalu
menerjang dengan cakaran dan gigitan taring tajam.
Sepuluh orang itu memang tidak menduga akan diserang harimau. Maka tidak
mengherankan sekali terjang, dua orang sudah roboh kesakitan dan menderita luka
parah. Delapan orang yang lain menjadi marah. Mereka cepat mencabut senjata dan
mengeroyok. Jahanam harimau liar! teriak
salah seorang. Kau sudah membunuh dua orang kawanku. Untuk membalaskan sakit
hati, jantung dan hatimu akan aku makan mentah-mentah.
Klentreng dan Senggung masing-
masing menghadapi empat orang. Dengan garang sambil menggeram dua ekor harimau
itu mengamuk hebat sekali.
Berkat latihan Kiageng Tunjung Biru dua ekor harimau ini dapat berkelahi
tangkas. Sambaran senjata dapat dihindari, sedangkan balasannya amat berbahaya.
Sebaliknya orang-orang itu bukan orang lemah. Maka walaupun sudah mendapat
pelajaran berkelahi, dua ekor harimau itu sulit dapat merobohkan lawan. Kalau
tadi sekali sergap dua orang roboh, adalah karena tidak pernah menduga.
Dua ekor harimau ini mengamuk
hebat sekali. Tetapi delapan orang yang mengeroyok itupun cukup hati-hati. Dan
lebih-lebih sesudah melihat dan merasakan, harimau ini berbeda dengan harimau
lain dan luar biasa.
Banyak kali serangan mereka dapat dihindari secara aneh.
Setelah berkelahi dan mengeroyok cukup lama belum juga berhasil, maka salah
seorang dari mereka, yang bertubuh tinggi besar sudah berteriak.
Hai harimau siluman! Rasakan
pisau terbangku ini!
Enam buah sinar putih melesat dan menyebar ke arah Senggung. Sambaran itu kuat
sekali dan dilepaskan dari jarak dekat. Tentu saja sulit bagi Senggung untuk
menghindarkan diri. Dan jangan lagi seekor harimau seperti Senggung, manusia
sekalipun kalau ilmu kepandaiannya belum tinggi kiranya takkan mudah dapat
menyelamatkan diri.
Senggung mengaum keras sekali
karena kesakitan. Dua batang pisau telah menancap dalam perut dan leher, dan
seketika itu juga roboh.
Saking gembiranya salah seorang dari mereka melompat maju seraya mengangkat
golok untuk memenggal leher. Tetapi orang ini terlalu sembrono dan kurang
perhitungan, harimau itu belum mati. Harimau itu masih dalam kesakitan hebat,
kebuasan dan kekuatannya bertambah. Maka sebelum golok berhasil memancung leher,
orang itu malah kena terkam.
Dua puluh kuku tajam menancap di tubuhnya. Orang itu roboh menjerit ngeri satu
kali. Selanjutnya orang itu sudah mati karena kepalanya masuk ke dalam mulut
harimau. Tiga orang kawannya kaget dan
menerjang maju untuk menolong. Hujan bacokan dan tikaman melubangi sekujur tubuh
Senggung. Tetapi walaupun Senggung mati, orang itu juga mati.
Melihat si jantan mati, Klentreng mengaum keras sekali. Tanpa
mempedulikan keselamatannya sendiri, Klentreng sudah mengamuk hebat, guna
membalaskan sakit hati si jantan yang dicintainya. Tetapi justru dalam keadaan
marah ini, Klentreng
kehilangan perhitungan dan menyerang secara nekad. Hingga mempercepat
kekalahannya menghadapi keroyokan tujuh orang. Sebagai akibatnya Klentreng pun
mati dengan tubuh hancur.
Di saat Klentreng roboh ini
tibalah Sritanjung. Gadis ini marah bukan main melihat dua ekor harimau yang
disayang itu tidak bernyawa lagi dengan tubuh mandi darah. Maka sambil
melengking nyaring Sritanjung sudah menerjang dengan pedangnya.
Tring cring.... tring.... trang
... Sritanjung terhuyung, pedangnya tergetar dan telapak tangannya panas, ketika
pedangnya ditangkis beberapa senjata lawan. Tetapi sebaliknya tiga di antara
tujuh orang itu terbelalak pucat, ketika mengamati senjatanya tinggal separo.
Dengan mata berapi saking marah, gadis ini sudah menghardik, Siapakah di antara
kamu yang sudah membunuh harimauku"
Laki-laki tinggi besar yang
menjadi pemimpin itu maju sambil memandang Sritanjung dengan mata terbelalak.
Kemudian dari mulutnya terdengar suara gagap, Kau... kau di sini..."
Sritanjung memandang orang itu.
Hardiknya, Siapakah kau" Dan apakah kau sudah kenal aku"
Ahh.... ohhh... engkau mirip
sekali. Tetapi kau masih terlalu muda....
Ucapan orang ini membingungkan Sritanjung. Lalu gadis ini membentak, Aku mirip
siapa" Lekas katakanlah, jika tidak pedangku ini takkan mau memberi ampun lagi.
Laki-laki tinggi besar itu
terkekeh. Sahutnya, Uah.... galaknya.
Ibarat bunga.... kau ini bunga melati.
Mungil, tetapi menarik hati. Hemm....
katakanlah sekarang, apakah hubunganmu dengan Anwari"
Siapakah Anwari "
Calon isteriku yang lari. Kau....
ohh.... kau mirip sekali dengan dia.
Tidaklah mengherankan apabila
laki-laki ini berhadapan dengan Sritanjung lalu menyebut nama Anwari.
Sebab orang ini adalah Joyo Brewu yang dahulu melarikan diri ketakutan kepada
Bupati Saradan dan Mpu Nala. Ketika itu Joyo Brewu yang sudah menawan Dewi
Anwari, ibu Dewi Sritanjung ini, melarikan diri bersama Kresno dan Lontang,
lewat jalan rahasia yang sudah dipersiapkan.
Belasan tahun lalu Joyo Brewu
memang kaya raya dan terkenal mata keranjang. Apabila sudah menginginkan
perempuan, ia takkan berhenti berusaha baik dengan jalan halus maupun kasar.
Itulah sebabnya waktu itu Dewi Anwari dia lawan, dan dengan paksa akan
diperisteri. Untuk kemudian peristiwa ini diketahui oleh Mpu Nala yang
kedudukannya sebagai pejabat tinggi Majapahit. Dan berkat pertolongan ini,
kemudian Dewi Anwari kawin dengan Mpu Nala.
Sepasang pengantin itu hidup
bahagia, dan Nala sudah merencanakan memboyong ke kota Majapahit. Tetapi
celakanya ketika itu Ibu angkatnya, Nyai Joyokretiko lancang mulut, menceritakan
keadaan Dewi Anwati yang sebenarnya, ialah puteri Kuti yang memberontak.
Mpu Nala kaget. Dirinya adalah seorang pejabat tinggi Majapahit. Maka apabila ia
mengawini anak pemberontak Kuti, hal ini berarti bisa
membahayakan kedudukannya. Sebagai akibatnya Mpu Nala lalu meninggalkan Dewi
Anwari diam-diam.
Waktu itu Dewi Anwari sudah hamil hampir tujuh bulan. Ia menjadi sedih sekali
setelah Mpu Nala pergi hanya meninggalkan secarik surat Saking sedih dan
menyesal perempuan ini hampir bunuh diri. Tetapi sekalipun urung bunuh diri,
Dewi Anwari merasa selalu dirundung sedih. Akibatnya ketika melahirkan anaknya,
ibu ini meninggal.
Nyai Joyokretiko yang merasa
bersalah membocorkan asal-usul Dewi Anwari terpukul batinnya dan gila.
Maka kemudian sebagai hasil musyawarah penduduk setempat, orok merah itu
kemudian dihanyutkan ke sungai Widas, dan akhirnya ditemu dan diselamatkan oleh
Kiageng Tunjung Biru.
Itulah yang pernah terjadi
belasan tahun lalu.
Untuk menghindarkan dari bahaya, kemudian Joyo Brewu dan pembantunya melarikan
diri ke Sadeng. Secara kebetulan di Sadeng sedang terjadi pergolakan dan Bupati
Sadeng memberontak. Maka Joyo Brewu diterima dan membantu memberontak.
Akan tetapi kemudian ternyata
cita-cita Bupati Sadeng ini
berantakan, ketika pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mpu Mada dan Adityawarman
menyerbu. Pasukan Sadeng terpukul kocar-kacir dan bupatinya tewas dalam perang.
Kemudian sisanya melarikan diri.
Joyo Brewu juga mencari tempat persembunyian. Selama ini mereka selalu berpindah
tempat dan sebagai penopang hidup melakukan perampokan.
Namun merampok ini makin lama menjadi sulit karena perlawanan penduduk dan
bantuan pasukan keamanan. Oleh karena itu ia tadi menepi dengan maksud mendarat.
Tidak terduga sama sekali, usaha pendaratannya ini harus mengorbankan tiga orang
anak buahnya. Peristiwa ini membuat ia amat menyesal. Namun sekarang setelah
berhadapan dengan gadis jelita yang mirip dengan Anwari, rasa sesal itu lenyap
dan kejantanannya malah bangkit kembali.
Menurut pikirannya, inilah kesempatan bagus. Gadis ini sekarang hanya seorang
diri. Joyo Brewu menyeringai seperti iblis kelaparan. Sebagai laki-laki buaya sejak
masih muda, ia menjadi lupa daratan.
Engkau memang mirip dengan
Anwari, istriku yang melarikan diri, katanya. Heh heh heh heh, kau mirip dengan
dia dan sekarang kau harus menggantikan Anwari. Kau.... kau harus menjadi
istriku! Keparat! Setan alas! teriak
Sritanjung yang tersinggung. Monyet tua macam kau, berani membuka mulut
sembarangan di depanku" Huh, apakah kau sudah bosan hidup"
Heh heh heh heh, Joyo Brewu
mengejek. Kau perempuan, apakah yang kau andalkan berani menantang aku"
Manis, engkau jangan keras kepala. Heh heh heh heh, sekalipun sudah berumur, aku
akan bisa membahagiakan engkau....
heiiiiit..... Joyo Brewu yang belum selesai
bicara ini terpaksa melompat
menghindarkan diri seraya berteriak kaget, ketika seleret sinar biru menyambar
dada. Ia mengebutkan tangan kanan untuk menghalau pedang,
sedangkan tangan kiri menyambar cepat guna mencengkeram pergelangan tangan
lawan. Tetapi Joyo Brewu kemudian berteriak kaget sambil melompat mundur. Sebab
tahu-tahu pedang gadis itu telah membalik dan hampir menabas tangan kirinya.
Walaupun dirinya seorang yang
luas pengalaman, ia merasa kaget sekali menghadapi ilmu pedang gadis ini. Dalam
satu gebrakan saja dirinya sudah hampir celaka.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan lantang, Bangsat tua! Engkau berani
mengacau tempat ini"
Bentakan itu kemudian disusul
berkelebatnya Surya Lelana. Dua orang anak buah Joyo Brewu dengan golok
menyambut berbareng. Tetapi Surya Lelana hanya tersenyum, tidak
menghindarkan diri dan dengan
menggunakan jari tangan menyentil golok dengan tangan kanan sekaligus
melancarkan pukulan dengan tangan kiri.
Tring cring plak bukk....
Aduhh...! Dua batang golok itu terpental oleh sentilan Surya Lelana. Kemudian dua
penyerang itu memekik nyaring dan roboh dengan kepala pecah. Empat orang yang
lain terbelalak dan tidak sembarangan berani maju.
Surya Lelana dengan mata berapi-api berteriak kepada Dewi Sritanjung, Tanjung!
Berikan monyet tua itu kepadaku!
Enak saja kau bicara! sahut gadis ini sambil menggerakkan pedangnya.
Gerakan pedang itu menggetar
sehingga pedang yang semula menyerang dada, kemudian mengancam pundak kanan dan
leher Joyo Brewu. Serangan ini benar-benar mengejutkan Joyo Brewu dan terpaksa
harus menghindarkan diri dengan gugup.
Sambil terus menyerang,
Sritanjung berkata lagi, Surya! Aku masih sanggup menghajar monyet busuk ini!
Surya Lelana tidak menjawab. Ia sudah berhadapan dengan empat orang yang
mengeroyok dan tidak berani sembrono lagi. Ia cepat mencabut pedang dan
mengamuk. Pedangnya bergulung-gulung menyambar ke sana ke mari. Namun berkat
kerjasama empat orang itu, mereka dapat mengeroyok rapi sekali.
Joyo Brewu yang hampir celaka
menjadi marah. Ia memang laki-laki yang tak pemah mau melepaskan
perempuan cantik, lebih-lebih gadis muda dan cantik seperti Sritanjung ini.
Namun demikian ia seorang kasar, berangasan dan kejam. Kalau sudah marah ia
tidak peduli apapun lagi, dan bagi dirinya yang lebih penting adalah
mempertahankan nyawa dari maut. Maka setelah merasa tak mampu melawan dengan
tangan kosong, ia mencabut senjatanya sebatang tongkat baja.
Tongkat itu memang aneh. Bisa
berubah menjadi panjang dan pendek menurut kegunaan. Disamping itu bagian dalam
tongkat itupun berlubang.
Apabila alat rahasia ditekan akan segera menyambarlah puluhan batang jarum yang
berbahaya karena beracun.
Trang....! Joyo Brewu kaget
ketika tongkatnya terpotong sedikit berbenturan dengan pedang lawan. Ia menjadi
sadar pedang lawan merupakan pedang pusaka. Maka ia membentak marah, huh, bocah
celaka. Engkau berani merusak senjataku" Mampuslah!
Joyo Brewu menyodok ke arah dada, tetapi untung sekali Sritanjung dapat bergerak
seperti burung walet. Ia menghindar sambil menyabetkan
pedangnya, namun ahh gadis ini tertipu.
Trang....! Dewi Sritanjung kaget dan wajahnya pucat. Sabetan tongkat hampir saja
menyebabkan pedangnya lepas dan telapak tangannya panas seperti terbakar. Baru
sadarlah gadis ini, gerakan menyodok tadi hanya tipuan belaka. Dewi Sritanjung
seorang gadis yang belum berpengalaman. Karena belum berpengalaman ia tadi cepat
berbesar hati, ketika pedangnya berhasil membabat ujung senjata lawan.
Rasa besar hati ini merupakan musuh utama bagi orang berkelahi. Lalu timbul rasa
merendahkan lawan dan akibatnya merugikan diri sendiri.
Sritanjung amat marah dan segera mengerahkan kepandaian dengan maksud dapat
merobohkan lawan. Tetapi sekarang Joyo Brewu amat ber-hati-hati hingga sulit
untuk menabas senjata lawan. Joyo Brewu sudah membalas menyerang baik dari jarak
dekat maupun jauh. Memang senjatanya memungkinkan untuk dapat menyerang dari
segala jarak. Karena secara otomatis senjata itu bisa pendek maupun panjang.
Dan karena melihat sekalipun
gerakannya gesit dan dilindungi pedang pusaka, tetapi gerakannya masih agak
canggung dan hijau, Joyo Brewu masih sempat ketawa dan mengejek. Hatinya gembira
dan merasa pasti akan dapat menangkap gadis cantik ini. Sebagai laki-laki yang
suka berburu perempuan, dalam
benaknya sudah terbayang
nafsunya yang kotor. Maka kalau semula sudah marah dan akan membunuh lawan,
sekarang berubah lagi. Ia berusaha agar dapat menangkap dan menawan hidup-hidup
gadis ini. Gagasan Joyo Brewu yang
menyeleweng ini justru menolong Dewi Sritanjung. Sebab serangan balasan yang
dilancarkan Joyo Brewu sekarang berubah mengarah bagian tubuh yang tidak
berbahaya. Di pihak lain Surya Lelana yang dikeroyok empat orang berkelahi dengan gelisah,
mengkhawatirkan keselamatan Sritanjung.


Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengingat bahaya yang sewaktu-
waktu bisa menimpa Dewi Sritanjung ini ia mengerahkan seluruh kepandaiannya
untuk secepatnya mengalahkan lawan.
Oleh gerakan cepat pedangnya, menyusul salah seorang pengeroyoknya menjerit
ngeri dan dadanya berlubang.
Makin berkurangnya jumlah yang mengeroyok, pemuda ini semakin garang.
Empat orang pengeroyoknya ini yang dua orang sudah terluka darah mengucur dari
luka, menyebabkan gerakannya kurang gesit. Tak lama kemudian terdengar jeritan
ngeri, seorang lawan terkutung lengannya oleh sabetan pedang Surya Lelana.
Akan tetapi justru penderitaan anak-buahnya itu kemudian
membangkitkan kemarahan Joyo Brewu.
Tiba-tiba saja tangan kiri bergerak dan menyambarlah beberapa batang pisau
kecil. Sritanjung kaget dan berteriak, Surya....
Sambil berteriak gadis ini sudah kembali menerjang dengan pedangnya ke arah
dada. Namun dengan terkekeh mengejek Joyo Brewu berhasil
menghindar ke samping dan berbareng menyabetkan tongkat ke arah tangan.
Disusul gerak tongkat yang diteruskan untuk menyerampang kaki.
Sesungguhnya sekalipun tanpa
diperingatkan, Surya Lelana sudah tahu serangan pisau itu. Karena itu pedang
diputar cepat untuk melindungi tubuh.
Tring... tring... tring pisau yang dilemparkan Joyo Brewu runtuh di tanah.
Karena takut sisa anak buah Joyo Brewu melarikan diri. Pemuda ini tak mau
memberi kesempatan. Orang yang terluka pahanya, lari terpincang-pincang dan
gerakannya lambat. Dalam waktu singkat punggungnya telah berlubang oleh tikaman
pedang. Melihat anak buahnya berantakan Joyo Brewu tambah marah. Dengan menggunakan
kesempatan baik di saat Sritanjung menghindari serangannya, ia melompat jauh.
Secepat kilat ia menekan alat rahasia pada tongkatnya dan menyusul sinar
berkeredep keluar dari lubang tongkat, menyambar Surya Lelana.
Sritanjung kaget berbareng marah.
Ia menerjang maju dan nekad menyerang Joyo Brewu sambil berteriak nyaring.
Surya! Awas belakang....!
Joyo Brewu terkekeh mengejek.
Serangan jarum beracun seperti ini selama hidup belum pernah gagal.
Karena itu ia sudah memastikan pemuda itu
akan segera roboh dan tanpa
kesulitan lagi dirinya akan bisa menangkap gadis cantik yang galak ini.
Hatinya tidak menyesal sekalipun harus mengorbankan anak buahnya, karena dirinya
akan mendapat ganti seorang gadis muda yang mirip dengan Anwari.
Akan tetapi agaknya Dewata belum menghendaki Surya Lelana mati muda.
Pada saat berbahaya itu berkelebatlah bayangan yang bergerak seperti kilat,
menyusul angin dahsyat menyambar ke arah puluhan jarum beracun itu hingga runtuh
ke tanah. Ahhh.... Kakek...!
Uwa Guru....! Hampir berbareng Sritanjung dan Surya Lelana berteriak, melihat munculnya
Kiageng Tunjung biru. Dan tentu saja munculnya kakek ini disaat berbahaya, amat
menggembirakan dua orang muda itu.
Joyo Brewu menjadi gentar dan
kaget melihat munculnya seorang kakek, tetapi tubuhnya masih gagah dan kuat.
Kalau dua orang muda itu saja cukup tangguh, apalagi kakek itu, tentu sulit
dilawan. Maka secepat kilat ia sudah melarikan diri.
Surya Lelana dan Sritanjung tak mau melepaskan begitu saja, dan cepat mengejar.
Tetapi mendadak dua orang muda ini kaget ketika Kiageng Tunjung Biru sudah
menghadang sambil men-egah.
Jangan! Biarkan dia pergi!
Kakek! protes Sritanjung. Mengapa orang jahat itu Kakek biarkan pergi "
Mereka datang dan mengacau, malah mereka sudah membunuh Klentreng dan
Senggung.... Hemm.... orang itu mempunyai
senjata yang amat berbahaya. Kiageng Tunjung Biru memberikan alasannya.
Kamu tak gampang mengalahkan dan salah-salah malah celaka.
Tetapi toh ada Kakek. Kakek tentu dapat mengatasi dia!
Heh heh heh heh. Kalau mengingat bahayanya orang itu dibiarkan hidup terus,
memang pantas aku turun tangan.
Tetapi orang itu sudah melarikan diri dan tidak berani melawan aku. Betapa dunia
ini akan menertawakan aku sebagai seorang tua yang tak tahu diri nekad menghajar
orang yang sudah tidak berani melawan.
Sritanjung mengerutkan alis lalu bersungut-sungut. Katanya, Kek, engkau ini
bagaimana" Jelas dia tadi mau membunuh Surya Lelana secara curang.
Dan dia juga sudah membunuh Klentreng dan Senggung, malah juga bermaksud
menangkap aku. Tetapi mengapa Kakek biarkan dia lari"
Kiageng Tunjung Biru mengerti
perasaan muridnya yang penasaran ini.
Dan ia sadar juga, jalan pikiran Sritanjung bahwa orang yang sudah membuat
kerugian harus dibalas dan kalau perlu dibunuh. Namun kakek ini jelas tidak mau
dipengaruhi oleh nafsu seperti itu.
Karena yang bunuh membunuh
akhirnya akan menimbulkan balas dendam yang takkan ada habisnya.
Ketika dirinya masih muda
dirinyapun mempunyai pendirian dan pendapat seperti Sritanjung ini.
Dengan dalih orang jahat dan banyak melakukan kejahatan dan pembunuhan.
Namun setelah dirinya menjadi tua dan pikun, hal tersebut tinggal dalam
penyesalan. Sesudah menghela napas kakek ini menjawab halus. Mereka telah membunuh Klentreng
dan Senggung, itu tak bisa dipungkiri. Namun sebaliknya kamu telah membunuh
tujuh manusia. Nah, dua ekor binatang sudah diganti dengan tujuh nyawa manusia.
Apakah kamu belum juga puas"
Sritanjung membantah, Tetapi
bukan aku yang membunuh mereka.
Tanjung, engkau atau orang lain bukanlah soal. Surya telah membunuh tujuh orang,
tidak lain karena membela dan membantu kerepotanmu, berarti Surya berdiri di
pihakmu. Dengan demikian pihakmu telah berhasil membalaskan kematian Klentreng
maupun Senggung.
Dewi Sritanjung membantingkan
kakinya ke tanah saking penasaran.
Tetapi Joyo Brewu dan anak buahnya sudah mendayung perahu dan sudah jauh.
Dengan demikian Sritanjung sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Tiba-tiba Sritanjung menjerit
nyaring lalu lari ke arah Klentreng dan yang sudah tidak bergerak. Ia menubruk,
memeluk sambil menangis.
Gadis ini menangis sejadi-jadinya, menyebabkan Kiageng Tunjung Biru dan Surya
Lelana terharu.
Kiageng Tunjung Biru menatap
Surya Lelana kemudian katanya halus, Surya, biarkan dia menangis sampai puas dan
jangan kauganggu. Sekarang aku minta tolong kepadamu, buatlah lubang kubur untuk
tujuh orang ini.
Sedang aku juga akan membuat lubang kubur untuk Klentreng dan Senggung.
Surya Lelana menyanggupkan diri sambil membungkuk memberi hormat.
Kemudian pemuda ini sudah bekerja membuat lubang kubur dengan pedangnya.
Kiageng Tunjung Biru masih
berdiri dan diam-diam amat terharu melihat adegan dan tangis muridnya ini.
Bagaimanapun antara Klentreng dengan Sritanjung mempunyai pertalian batin yang
amat kuat. Dan kendati Klentreng hanya seekor harimau dan Sritanjung manusia,
tetapi mereka itu tidak bedanya ibu dengan anak. Berkat air susu Klentreng maka
Sritanjung bisa hidup terus dan tumbuh menjadi gadis cantik.
Sekarang kalau Sritanjung
menangis sambil memeluk bangkai harimau ini, kiranya sudah wajar. Ia percaya
dalam tubuh Sritanjung terdapat getaran gaib yang tak dapat dilihat oleh mata
manusia secara lahir. Menyadari hal tersebut, Kiageng Tunjung Biru tak mau
mengganggu. Kemudian kakek ini menghela napas pendek. Diam-diam ia berterima kasih kepada
Dewata, bahwa dirinya datang tepat pada saat Surya Lelana dan Sritanjung dalam
bahaya. Sedikit terlambat saja tentu Surya Lelana sudah mati terbunuh dan
Sritanjung diculik orang.
Kenyataannya memang kakek ini
menyadari, kedatangannya di tempat ini seperti dibimbing oleh tangan gaib,
hingga tepat pada saat yang amat genting, ia dapat memberi pertolongan.
Maka setelah menghela napas pendek, ia melangkah perlahan. Ia mematahkan
sebatang dahan pohon sebesar lengan manusia dewasa. Kemudian menggunakan kayu
ini ia mulai menggali lubang.
Apa yang kemudian terjadi sungguh mengagumkan. Surya Lelana yang sibuk pula
menggali lubang berhenti menggali dan teraganga keheranan melihat apa yang
tengah dilakukan kakek itu.
Sekalipun hanya menggunakan kayu, ternyata setiap tusukan tidak kalah dengan
sepuluh kali tusukan pedang yang ia lakukan. Tanah itu dengan cepat sudah
tergali cukup dalam.
Melihat itu Surya Lelana tidak berani bermalas-malas. Ia pun
mengerahkan tenaga agar lubang kubur yang dibuat cepat selesai.
Akhirnya selesai pula lubang
kubur yang dibuat Surya Lelana.
Ketika ia berhenti ternyata
Kiageng Tunjung Biru sudah lebih dahulu selesai.
Tak lama kemudian Sritanjung
sudah puas menangis. Ia tampak menyesali sekali karena Klentreng dan Senggung
mati. Kiageng Tunjung Biru memandang Surya Lelana. Ia kemudian berkata halus, Surya,
sesuatu yang hidup di dunia ini tentu akan mati. Karena itu kematian tidak dapat
dihindari siapapun, karena merupakan kodrat alam. Yang lama tumbang, yang tua
mati dan yang baru muncul dan yang muda tumbuh. Jadi, kematian atau pungkasan
(akhir) hidup itu merupakan permulaan bagi yang baru. Sebab di dunia ini tidak
ada yang abadi dan yang abadi hanya yang di sana, sesudah manusia atau yang
disebut hidup ini mati.
Kakek itu berhenti sejenak,
sesudah menghela napas pendek, terusnya, Surya, kalau demikian halnya yang sudah
tentu terjadi di dunia ini, mengapa sesuatu yang sudah berakhir atau sampai pada
pungkasannya harus disesalkan" Jika terjadi demikian jelas kau keliru.
Kiageng Tunjung Biru berhenti
lagi dan menghela napas pendek. Orang tua itu menggunakan sudut matanya
mengerling ke arah Sritanjung, karena sesungguhnya ucapannya memang
diiujukan kepada gadis ini.
Surya Lelana berdiam diri dan
menundukkan kepalanya.
Sesudah mengangguk-angguk kakek ini meneruskan, Surya, di dunia ini berlaku yang
serba berlawanan. Ada suka dan ada duka. Ada gelap dan ada terang. Karena itu
ada kehidupan juga ada kematian. Jadi, semua itu wajar.
Semua itu sudah semestinya, sesuai dengan kodrat alam. Nah, jika engkau sudah
mengetahui hai ini, akan menjadi tebal keyakinanmu bahwa semua ini sudah ada
yang mengatur, ialah Yang Maha Tinggi. Ya, sudah diatur oleh Dewata Agung. Jika
semua ini sudah ada yang mengatur, maka engkau akan sadar bahwa apa yang terjadi
atas dirimu tak mungkin dapat kauhindari. Malah kematian pun tak juga dapat kau
tolak. Oleh karena itu engkau harus mau menerima hidup ini secara wajar. Apa adanya!
Wajar dan apa adanya berarti
engkau tidak mengadakan perbandingan dan penilaian. Maka apabila kau sudah dapat
menerima hidup ini secara wajar, engkau akan memperoleh ketenangan batin yang
sebenarnya, tanpa kau buat-buat! Laksana air telaga yang amat dalam.
Kakek ini berhenti
sejenak mencari kesan, baru kemudian
meneruskan, Ya, laksana air telaga yang amat dalam. Walaupun orang mengganggu
dengan memasukkan sesuatu benda ke dalam telaga, guncangannya hanya terjadi
sesaat dan dipermukaan saja. Ada contoh lain, pohon nyiur. Ia selalu teguh baik
di waktu banyak air maupun di saat kemarau, akan tetap hidup tanpa perubahan,
namun selalu berbunga dan berbuah.
Surya Lelana mengangguk-angguk dan amat memperhatikan. Pemuda ini sadar petunjuk
ini benar-benar berharga.
Sritanjung yang masih duduk
terisak mendengar pula apa yang diucapkan gurunya. Ibarat sebuah wadah,
Sritanjung ini merupakan wadah yang masih kosong. Ia merupakan gadis yang belum
berpengalaman oleh
pergaulan yang gampang mempengaruhi jiwa muda dan bisa menyesatkan. Karena itu
begitu mendengar nasihat kakek ini, ia cepat menjadi sadar. Tak ada gunanya
menangis, kecewa dan menyesal oleh matinya dua ekor harimau itu.
Ahh, Kakek benar. Yang hidup akan mati. Klentreng dan Senggung sudah mati,
mengapa harus disesalkan" Mari, segera kita kuburkan, Surya. Tetapi manusia
jahat itu biarkan saja geletak menjadi makanan burung gagak.
Mendengar ucapan gadis ini kakek itu cepat menanggapi, Apapun yang sudah mati
adalah mati. Yang mati itu suci, dan tidak dapat disangkut-pautkan dengan hidup.
Apapun yang pernah dilakukan ketika masih hidup tiada hubungannya sesudah mati.
Karena itu lebih baik kita kubur saja.
Pada mulanya Sritanjung cemberut mendengar ucapan kakeknya ini. Namun setelah
dipikir dan dirasakan, ia tak dapat membantah lagi benarnya pendapat kakek itu.
Sebagai gadis yang polos ia segera pula mengakui.
Ahh, kakek benar lagi, katanya.
Mari, sekarang kita kuburkan semuanya.
Akan tetapi meskipun begitu kelak akan datang saatnya aku melakukan
pembalasan. Balas membalas, dendam mendendam dan benci membenci, merupakan pangkal dari
segala keributan dan tiada kerukunan manusia di dunia ini, ujar Kiageng Tunjung
Biru halus. Sebaliknya sebagai akibatnya, manusia ini akan kejam melebihi
binatang buas antara manusia sendiri. Tanjung, pikiran semacam itu akan
menyebabkan orang menjadi mabuk, lupa bahwa di atas manusia ini masih ada Yang
Maha Tinggi. Lupa bahwa apa yang terjadi sudah menjadi kehendakNya yang tak
terbantahkan oleh manusia lagi. Akan tetapi secara wajar, justru akan merasakan
sudah merupakan kehendak Dewata Agung.
Kek, apakah sebabnya kau bilang begitu" Orang jahat itu sudah membunuh Klentreng
dan Senggung. Mengapa harus kita biarkan saja tanpa pembalasan"
Tanjung, apakah sangkamu
Klentreng dan Senggung bisa mati apabila tidak dikehendaki Yang Maha Tinggi"
Apapun yang dilakukan manusia di dunia ini, kalau belum dikehendaki oleh Dewata
Agung semuanya akan gagal.
Orang yang akan dibalas bisa
menghindarkan diri dan akan hidup terus. Tetapi sebaliknya, tanpa dibalaspun
kalau sudah kehendak Dewata Agung, tentu akan mati juga. Mungkin karena takdir
dan mungkin dibunuh orang lain. Tanjung, yang sudah mati biarlah mati dan
hadapilah tanpa penilaian dan perbandingan. Hadapilah secara wajar dan apa
adanya. Dan jangan beranggapan bahwa Klentreng dan Senggung ini mati karena
dibunuh orang. Kalau demikian Kakek menjadi
pengecut dan akibatnya kita akan selalu dihina orang! bantah Sritanjung sambil
bertolak pinggang. Hemm, aku tidak sudi menjadi pengecut dan dihina orang.
Heh heh heh heh, Kiageng Tunjung Biru terkekeh. Tanjung, ternyata kau mencampur
adukkan persoalan yang tidak ada hubungannya. Dengar baik-baik, Cucuku, bebas
dari rasa benci, bebas dari mendendam dan balas-membalas, adalah kebesaran hati
karena semua itu tidak baik. Jadi, bukan pengecut dan bukan pula mau dihina
orang lain. Kakek ini berhenti dan memandang cucunya penuh kasih. Katanya lebih lanjut, Akan
tetapi sebaliknya, apabila orang mau menyadari dan menghayati dengan wajar,
takkan ada lagi apa yang engkau maksudkan itu.
Hemm, apakah yang disebut pengecut dan apa pula yang disebut hina itu"
Bukankah semua hanyalah anggapan belaka" Nah, kalau hanya anggapan dari orang
berarti bukanlah ketentuan yang harus dianut.
Nah, kalau memang tidak merasa sebagai pengecut, mengapa pula merasa terhina"
lanjut kakek itu. Sebaliknya pula mengapa engkau menjadi gembira, bangga dan
senang mendengar orang memuji dan menghormatimu" Inilah bahayanya manusia yang
gampang diombang-ambingkan perasaan. Oleh pikiran! Akan tetapi sebaliknya kalau
menghadapi dengan pikiranmu yang kosong, secara wajar, apa adanya, engkau takkan
merasakan semua itu.


Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena semua yang terjadi di dunia ini sumbernya bukan lain oleh permainan
pikiran manusia sendiri.
Surya Lelana yang umurnya lebih tua dan luas pengalaman lebih gampang menangkap
apa yang dimaksud kakek ini.
Sebaliknya Sritanjung yang belum dapat menangkap maksud gurunya masih belum
puas. Namun karena cuaca sudah hampir gelap, ia tidak mau banyak mulut lagi.
Dengan tangkas bangkai Klentreng dan Senggung dipondong ke liang kubur.
Surya Lelana segera pula merawat orang-orang yang sudah mati oleh tangannya
maupun oleh harimau. Tidak lama kemudian semuanya sudah terkubur.
5 Keesokan paginya jadilah Surya Lelana meninggalkan hutan ini kembali ke Ibukota
Majapahit. Sritanjung mengantar sampai tepi sungai. Untuk beberapa saat lamanya
mereka saling pandang. Dua orang muda ini merasa berat untuk berpisah kendati
baru berkenalan beberapa hari.
Tanjung, entah mengapa sebabnya rasanya amat berat hatiku untuk berpisah dengan
engkau, ujar pemuda itu sambil memegang lengan Sritanjung.
Kapan kau pergi ke Ibukota Majapahit"
Entahlah, sahut Sritanjung sambil menggeleng. Tetapi yang jelas akan datang
saatnya aku pergi ke sana.
Hemm, Surya... engkau tidak tahu bahwa akupun... berat sekali rasanya berpisah
dengan engkau....
Jawaban Sritanjung ini merupakan pencerminan hati. Jawaban yang jujur.
Ia berat berpisah karena merasa cocok memperoleh
kawan sama-sama muda.
Sekarang begitu Surya Lelana pergi ia merasa kehilangan. Ia tidak mempunyai
kawan lagi kecuaii harimau yang tinggal dua ekor saja. Manusia satu-satunya
hanya kakeknya, akan tetapi kakek itu lebih banyak tenggelam dalam dunianya
sendiri, sehingga apabila tidak saatnya memberi pelajaran dan melatih ia tidak
memperoleh perhatian sama sekali.
Akan tetapi ucapan Sritanjung ini diartikan secara salah oleh Surya Lelana.
Pemuda yang sudah cukup dewasa ini menganggap bahwa Sritanjung mengucapkan kata-
kata ini sebagai pernyataan yang tertarik dan jatuh cinta.
Karena menduga salah Surya Lelana menjadi gembira. Lalu teringatlah
pengalamannya kemarin ketika berciuman akibat pengaruh racun ular. Sekarang
sebelum berpisah timbul keinginannya untuk mencium gadis ayu ini. Karena menurut
pendapatnya apakah salahnya, kalau gadis ini memang suka kepada dirinya"
Tiba-tiba saja Surya memeluk
erat. Sritanjung yang kaget meronta dan menjerit. Tetapi jeritannya tidak dapat
keluar, karena bibirnya sudah tersumbat oleh bibir pemuda nekad ini.
Maksud untuk merontapun menjadi gagal karena tiba-tiba tubuhnya menjadi
gemetaran. Ada perasaan aneh yang menyebabkan hatinya bahagia
mendapatkan ciuman ini. Sekarang seakan tubuhnya melayang di udara dan dibawa
oleh perasaan. Dan tanpa sesadarnya, gadis inipun menanggapi apa yang dilakukan
Surya Lelana. Akan tetapi beberapa saat
kemudian Sritanjung, sadar akan dirinya. Ia meronta dan lepas, lalu tangan kanan
bergerak seperti kilat menyambar dan menampar plak plak....
Dua kali pipi Surya Lelana
ditampar Sritanjung, seperti yang sudah terjadi kemarin. Akan tetapi Surya
Lelana tidak marah malah tersenyum.
Pipi Sritanjung agak merah dan malah menambah kecantikannya. Warna merah pada
pipinya ini terpengaruh oleh rasa malu berbareng marah. Kemudian sambil mendelik
gadis ini mendamprat,
Surya! Mengapa engkau berani
berbuat seperti ini kepada diriku"
Apakah engkau sengaja menghina aku"
Surya Lelana terkesiap. Melihat sikapnya, jelas gadis ini marah, dan kalau
demikian bisa runyam. Menyadari keadaan ini ia cepat minta maaf.
Tanjung.... ohh.... maafkan aku.
Tetapi.... aku tidak main-main. Terus terang saja.... aku cinta padamu.....
Makin tambah merah pipi
Sritanjung mendengar pengakuan Surya Lelana yang blak-blakan mengaku cinta itu.
Tiba-tiba saja jantungnya berdegup lebih cepat. Untuk menutupi perasaan ini ia
membentak, Sudahlah, jangan banyak mulut lagi. Lekaslah engkau pergi dari tempat
ini sebelum aku marah.
Surya Lelana terbelalak kaget.
Tetapi kemudian ia menghela napas, membungkuk dan berkata, Baiklah Tanjung,
selamat tinggal.
Tanpa menunggu jawaban Surya
Lelana sudah lari ke tepi sungai lalu meloncat ke perahu kendaraannya. Surya
Lelana mencoba menengok ketika sudah di tengah sungai, tetapi ah, gadis ayu itu
sudah lenyap entah ke mana.
* * * Akan tetapi beberapa saat
kemudian Sritanjung, sadar akan dirinya. Ia meronta dan iepas, lalu tangan kanan
bergerak seperti kilat menyambar dan menampar plak plak......
Tanpa terasa lagi, setahun sudah lewat. Sritanjung sekarang sudah berumur 17
tahun dan telah menjadi seorang dara remaja, bak bunga sedang mekar. Tubuhnya
ramping tetapi padat berisi sedang wajahnya semakin cantik jelita dan raut
wajahnya mirip sekali dengan ibunya, Dewi Anwari. Sayang sekali gadis jelita ini
tidak pernah sempat merasakan kasih sayang ibunya maupun mengenal ayahnya.
Demikian pula ayah, dan satu-satunya manusia di dunia ini yang mencurahkan kasih
sayangnya kepada dirinya, hanyalah Kiageng Tunjung Biru seorang, yang menurut
perasaannya adalah kakeknya sendiri. Sedang mahluk lain dan memberi kasih sayang
kepada dirinya adalah empat ekor harimau tutul, tetapi yang dua ekor sekarang
sudah mati. Malam itu amat dingin. Hujan
turun deras sekali dan guntur
menggelegar, menyambar-nyambar di angkasa. Di luar pondok amat gelap, demikian
pula di dalam pondok amat gelap.
Pondok Kiageng Tunjung Biru tanpa penerangan. Sekalipun demikian setiap kilat
menyambar akan tampaklah keadaan di dalam pondok secara sekilas.
Kiageng Tunjung Biru duduk bersila di atas tikar beralas rumput kering, sedang
Dewi Sritanjung sendiri duduk di depannya, dan bersila pula.
Tidak seorangpun di antara mereka membuka mulut. Sebab di saat ini guru dan
murid ini sedang tenggelam dalam semadinya. Adapun dua ekor harimau tutul
piaraan yang bernama Tumpak dan Manis juga berdiam diri mendekam pada sudut
pondok. Agaknya dua ekor harimau ini tahu majikannya sedang menghadapi saat-saat
penting, maka tidak berani membuat keributan.
Keadaan seperti ini memang sudah terjadi sejak dua hari lalu dimulai ketika
sesudah senja. Dengan demikian berarti keadaan semacam ini sudah berlangsung dua
hari dua malam. Waktu yang cukup panjang, namun guru dan murid ini belum juga
menghentikan semadinya. Mereka berubah bagai patung.
Memang sejak kakek ini menerima surat dari Mpu Mada, kakek ini menggembleng
murid tunggalnya dengan latihan-latihan berat. Dewi Sritanjung hampir tidak
mempunyai waktu lagi untuk bermain-main dengan Tumpak dan Manis. Latihan berat
itu dimaksud agar apa yang diharapkan Kiageng Tunjung Biru bisa terwujud. Agar
kelak kemudian hari menjadi seorang dara perkasa. Menjadi pembela keadilan dan
kebenaran. Latihan berat itu ternyata dapat dilampaui oleh Sritanjung dengan
memuaskan dan membuat gurunya bangga.
Bagi orang yang tidak terlatih betapa derita orang harus duduk bersila tidak
bergerak, tidak dalam keadaan tidur dan perut kosong, selama dua hari dua malam.
Tetapi bagi Sritanjung walaupun baru berumur 17
tahun tidak pernah mengeluh setiap kali gurunya memerintahkan apa saja.
Justru ketekunannya dan sungguh-
sungguh dalam melaksanakan perintah gurunya ini, ia memperoleh kemajuan pesat
dan amat mengagumkan.
Malam ini telah lewat dan
kemudian datanglah pagi. Namun guru dan murid ini masih tenggelam dalam
semadinya. Dua ekor harimau tutul bernama Tumpak dan Manis itupun masih tetap mendekam pada
sudut pondok, tidak mau meninggalkan pondok dan mencari mangsa. Matanya juga
terpejam, seakan dua ekor harimau ini mengikuti yang dilakukan oleh majikan.
Meniru bersemadi, meniru berpuasa sekalipun tidak tahu apa maksud majikannya.
Sekalipun lambat waktu terus
bergerak dan matahari bergeser secara tetap. Tanpa terasa matahari sudah
tenggelam di barat dan Kiageng Tunjung Biru mendahului membuka mata. Pondok
gelap dan diluar pondok pun gelap.
Tetapi sekalipun gelap dari celah dinding kakek ini melihat langit cerah dan
jutaan bintang menghias langit biru, sesudah semalam turun hujan dengan deras.
Diam-diam kakek ini kagum melihat muridnya belum bergerak.
Dan ketika memandang ke arah dua ekor harimau itupun kakek ini manggut-manggut
dengan bibir tersenyum.
Tanjung, sudah cukup. Hentikan semadimu! ujarnya.
Akan tetapi Dewi Sritanjung yang ketika itu menutup, babahan hawa sanga
(sembilan lubang pada tubuhnya) dan dalam keadaan mematikan rasa itu tidak
mendengar suara gurunya. Setelah tiga kali kakek ini memanggil, barulah
Sritanjung sadar dari semadinya.
Apakah yang kau rasakan sekarang"
Tubuh nyaman dan panca indera
lebih tajam. Tetapi anehnya saya tidak merasa lapar dan haus sahut gadis ini.
Bagus. Sekarang coba perhatikan apa yang terjadi dalam tubuhmu"
Gadis ini tak cepat menjawab. Ia memperhatikan keadaan dalam tubuhnya, dan
sejenak ia menyahut, Kek, ada semacam hawa yang hangat pada pusar, seperti
gumpalan yang mendesak ke sana dan kemari.
Bagus! Salurkanlah sekarang
gumpalan hawa pada pusar itu. Jangan tergesa, perlahan saja tetapi pasti agar
kemudian beredar di seluruh bagian tubuhmu. Itulah hawa sakti berkat latihan dan
semadimu. Tetapi, hati-hati dan jangan kau paksakan.
Jika mendapat kesulitan, jelaskanlah.
Mulai! Ayo mulai.
Sesuai petunjuk gurunya gadis ini mulai menyalurkan dan menguasai gumpalan hawa
sakti pada pusar yang mendesak-desak itu. Pada mulanya gadis ini dapat mendesak
dan menyalurkan hawa sakti itu secara lancar dan merasakan pula badannya hangat
dan nyaman. Namun ketika hawa sakti itu digiring naik ke atas, ke kepala, tiba-
tiba gadis ini kaget dan
berteriak. Kek, kepalaku berdenyut dan
pening. Teruskan. Tetapi jangan kaupaksa.
Sritanjung meneruskan perintah gurunya sekalipun kepala terasa berdenyutan
seperti mau pecah. Di saat gadis ini hampir tak kuat menahan lagi, tengkuknya
merasa diusap oleh tangan dengan perlahan dan didengar pula suara gurunya.
Marilah aku bantu.
Betapa heran gadis ini setelah diusap gurunya, rasa berdenyutan dan pening tadi
menghilang lalu hawa sakti itu menyalur dengan lancar.
Salurkan ke dada. Kemudian tarik kembali ke pusar.
Perintah itu diturut. Dan setelah selesai dan membuka mata, gadis ini berkata.
Kek, tubuhku lebih nyaman lagi rasaya. Pendengaran dan
pandanganku lebih tajam dibanding sebelumnya.
Kemudian pada suatu malam, Dewi Sritanjung duduk di depan kakeknya.
Tiba-tiba saja persoalan yang selama ini menggoda hatinya timbul kembali.
Maka gadis ini memandang gurunya, lalu berkata.
Kek, aku sudah cukup sabar
menunggu jawaban Kakek. Bertahun-tahun setiap kakek kutanya tentang ayah-
bundaku, selalu menjawab agar sabar dan belum waktunya.
Sritanjung berhenti lalu
memandang kakeknya sejenak kemudian lanjutnya, Kek, sekarang aku sudah tujuh
belas tahun. Sudah cukup dewasa dan cukup umur. Apakah Kakek masih akan
beralasan lagi belum waktunya"
Kiageng Tunjung Biru tersenyum, lalu jawabnya halus, Engkau benar.
Memang sudah waktunya engkau tahu siapakah ayah dan bundamu. Baiklah Cucuku,
esok pagi berangkatlah ke Ibukota Majapahit, cari dan temuilah dinda Gajah Mada
sambil membawa suratku. Dari dialah engkau akan mendapat keterangan, siapakah
orang tuamu. Dan yang perlu kau ketahui, engkau bukanlah puteri orang
sembarangan. Berdebar hati gadis ini mendengar ucapan kakek sekaligus gurunya ini.
Ada dua macam hal yang menyebabkan hatinya berdebar. Pertama datang kepada Gajah
Mada berarti pula bertemu dengan Surya Lelana, pemuda tampan dan diam-diam
menarik hatinya itu. Dan tiba-tiba saja wajahnya terasa panas, sebab segera
teringatlah peristiwa setahun lalu. Saat mereka berpisah Surya Lelana mencium
dirinya. Diam-diam ia merasa heran,
mengapa tiada perasaan marah dan benci oleh kelancangan pemuda itu" Yang
terkesan dalam dadanya hanyalah agak main.
Kemudian yang kedua, benarkah
dirinya bukan anak sembarangan" Lalu siapakah dirinya ini, apakah puteri Gajah
Mada sendiri " Tetapi pikiran ini dibantah sendiri. Manakah mungkin puteri
Mahapatih Majapahit, diserahkan kepada gurunya ini dan hidup terasing di hutan"
Kek, katakanlah terus-terang.
Siapakah sebenarnya ayah dan bundaku"
desaknya. Engkau akan segera tahu sendiri sesudah tiba di Majapahit, sahut kakek ini.
Tapi... tapi ... bagaimanakah
dengan Kakek setelah diriku pergi"
Lalu siapakah yang mengurus Kakek"
Kiageng Tunjung Biru ketawa
perlahan, jawabnya, Apakah sebabnya kau merepotkan aku yang sudah tua ini"
Tak ada yang perlu kau pikirkan tentang diriku.
Tetapi kakek sudah tua maka aku tidak tega meninggalkan kau. Maka apakah tidak
sebaiknya Kakek bersama pergi dengan aku saja" Dan kalau tidak eh... lebih baik
aku tidak usah pergi saja. Biarlah aku terus menunggu dan melayani kebutuhanmu.
Kakek itu terkekeh kemudian
katanya, Cucuku, dahulu, sebelum engkau hidup bersama kakek di sini, kakekmu
hidup seorang diri dan dapat pula memenuhi kebutuhan hidupnya.
Karena itu dengan kepergianmu ini tidak akan menimbulkan akibat apa-apa bagiku.
Engkau masih muda dan hari depanmu masih amat jauh. Dan apa yang akan kau
peroleh jika kau hanya mengenal hutan yang sunyi ini" Maka engkau harus terjun
ke dunia ramai, terjun ke masyarakat agar engkau mengenal corak dunia dan corak
manusia hidup di dunia ini. Gunakan ilmu kepandaianmu untuk membela keadilan.
Untuk membela kebenaran. Cucuku, ketahuilah di dunia ini tidak
terhitung jumlahnya manusia yang buruk watak dan mendekatkan diri dengan nafsu
dan kejahatan. Selama keadaan manusia masih seperti sekarang ini, manusia-
manusia seperti engkau dibutuhkan tenaganya oleh masyarakat.
Kiageng Tunjung Biru berhenti dan menghela napas pendek. Sejenak kemudian kakek
ini meneruskan, Tetapi Cucuku, untuk kepentinganmu, engkau harus hati-hati
terjun ke dalam masyarakat. Karena engkau akan berhadapan dengan berbagai macam
peristiwa yang selama ini belum pernah kau alami dan saksikan. Hemm, siapa tahu
apabila dalam kepergianmu ke Ibukota Majapahit ini, secara tidak sengaja kau
bertemu dengan orang berjuluk Si Tangan Iblis maupun cucu dan murid-muridnya...
Kek, siapakah Si Tangan Iblis
itu" Sritanjung tertarik.
Orang yang berjuluk Si Tangan
Iblis itu adalah seorang sakti mandraguna tetapi jahat dan kejam.
Hindarkan diri jangan sampai kau terlibat urusan dengan orang itu maupun murid-
muridnya. Itu amat berbahaya.
Tetapi aku tidak takut.
Aku mengerti. Namun lebih baik kau menghindarkan diri agar terhindar dari
bahaya. Aku tak ingin berselisih dengan dia. Tetapi jika dia memulai, aku akan melawan.
Heh heh heh heh, kakek ini
terkekeh. Jangan takabur, Cucuku, karena akan merugikan dirimu sendiri.
Dan kau juga jangan kecewa dan menyesal jika aku mengatakan
sejujuraya, kau bukan lawan yang sebanding dengan Si Tangan Iblis.
Ibarat buah semangka melawan durian, tidak mungkin menang dan lebih dekat dengan
bahaya maut. Itulah sebabnya aku berpesan, agar engkau berusaha menghindarkan
diri dengan kakek sakti itu.
Baiklah Kek, aku perhatikan dan aku akan berusaha menghindarkan diri.


Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Kek, jelaskan padaku, siapakah Si Tangan Iblis itu"
Baiklah aku jelaskan. Orang yang sudah kakek-kakek dan bernama Si Tangan Iblis
itu, bertempat tinggal di Tosari. Ia inempuatyai bebe-rapa orang murid dan juga
tiga orang cucu. Sekarang ini keluarga Si Tangan Iblis sedang bersebaran dalam
usaha mencari cucunya yang bungsu bernama Sentikno.
Karena bocah itu meninggalkan rumah tanpa pamit, setelah mendengar cerita
kakeknya. Cerita tentang apa, dan mengapa pula bocah bernama Sentiko itu pergi diam-diam "
Dan kepergian bocah itu mencari siapa" tanya Sritanjung. Dan aku juga heran,
mengapa Kakek yang tidak pernah pergi, bisa tahu
peristiwa itu"
Kiageng Tunjung Biru tersenyum.
Tidaklah mengherankan apabila muridnya ini bertanya seperti itu, karena jika ia
pergi Sritanjung tidak pernah tahu.
Ia selalu pergi diam-diam dalam usaha menyadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
maupun memantau segala sesuatu yang terjadi di dalam masyarakat.
Itulah ia bisa menceritakan sesuatu yang baru bagi Sritanjung.
Tanjung, kurang perlu kautanyakan mengapa aku tahu. Yang penting harus kau
ketahui sekarang ini, kau harus hati-hati dalam perjalananmu ke Ibukota
Majapahit agar tidak sampai tertipu orang yang tidak bertanggung jawab maupun
terlibat dalam peristiwa Si Tangan Iblis itu.
Kemudian diceritakan oleh Kiageng Tunjung Biru, bahwa nama sebenarnya adalah
Taruno. Dan sesudah menetap di Tosari mengganti namanya dengan Si Tangan Iblis.
Taruno dulunya prajurit Majapahit berpangkat Lurah. Akan tetapi karena melakukan
penyelewengan dan merugikan nama baik pasukan Majapahit, Taruno dipecat.
Karena sakit hati kemudian
menjadi kepala bajak laut dan bajak sungai. Tetapi kemudian gerombolan ini
hancur berantakan diserang oleh Mpu Nala dan pasukannya. Ia berhasil dan ketika
tahun 1319 Kuti memberontak, ia menggabungkan diri. Namun sayang sekali
pemberontakan Kuti gagal dan Taruno buron. Lalu di saat ia
merantau, ia mendengar kabar dari seorang sahabatnya, anaknya yang menjadi
prajurit Bhayangkara, Karimun dibunuh mati oleh Gajah Mada.
Mendengar ini Taruno marah sekali karena menduga anaknya dilibatkan dalam
perkaranya. Padahal yang benar dibunuhnya
Karimun tiada hubungan dengan
kesalahan Taruno, ujar kakek itu.
Karimun dibunuh mati oleh Gajah Mada dalam usaha menjaga rahasia tempat
persembunyian Raja Jayanegara yang meninggalkan keraton dan bersembunyi di
Bedander. Sritanjung tidak membuka mulut dan mempe-hatikan. Sebab ia
menganggap, cerita ini besar
kegunaannya dalam hubungan
kepergiannya ke Majapahit.
Sebagai akibat matinya Karimun, keluarga yang ditinggalkan berantakan.
Isteri Karimun lalu menyerahkan dua orang anak perempuannya yang masih kecil
kepada tetangga. Dan janda ini kemudian memadu kasih dengan seorang pemuda yang
dicintai sejak Karimun masih hidup.
Ahh.... jadi isteri itu berani menyeleweng" tanya Sritanjung.
Kiageng Tunjung Biru mengangguk dan meneruskan ceritanya. Taruno menjadi
penasaran. Kemudian menantu tidak setia itu dibunuh secara kejam, termasuk pula
pemuda kekasihnya itu.
Taruno masih belum puas, maka keluarga pemuda itupun semua dibantai.
Ahh.... kejam sekali! seru
Sritanjung. Taruno alias Si Tangan Iblis
memang kejam dan ganas. Itulah sebabnya aku berpesan agar kau hati-hati dan
jangan mencampuri urusan kakek itu, sahut kakek ini.
Diceritakan seterusnya, dua orang cucu itu lalu diboyong oleh Taruno.
Yang besar bernama Sarindah berumur empat tahun dan yang kecil bernama Sarwiyah
berumur tiga tahun. Si Tangan Iblis memilih Tosari sebagai tempat tinggalnya.
Guna kepentingan dua cucunya ini agar ada yang merawat, kemudian Taruno merampas
seorang gadis dari desa Gempol untuk diperisteri.
Dari isteri yang belum 18 tahun ini kemudian lahirlah anak laki-laki diberi nama
Sentiko. Lalu ketika Sentiko berumur tiga tahun, pada suatu malam Taruno
menangkap basah isterinya sedang berzina dengan pemuda dari desa Gempol juga.
Tak ampun lagi isteri dan pemuda itu kemudian dibunuh secara kejam. Namun
ternyata Taruno belum puas, Sentiko yang tidak berdosa itu diangkat untuk
dibanting... Ahh.... kasihan bocah itu...
Sritanjung pucat.
Memang Sentiko tentu mati jika jadi dibanting, sahut Kiageng Tunjung Biru.
Tetapi untung sekali Sarindah yang sudah berumur 9 tahun dan Sarwiyah yang sudah
berumur 8 tahun, dapat menolong. Dua bocah ini terjaga dari tidurnya akibat
terjadi keributan, kemudian memeluk lutut kakeknya ketika melihat Sentiko akan di
banting. Demikianlah, untuk menghilangkan kenangan yang tidak menyenangkan itu maka
Sentiko dibiasakan memanggil kakek dan bukan ayah. Dan karena umurnya paling
muda, maka Sentiko sebagai cucu termuda.
Tetapi apakah sebabnya Sentiko pergi" selidik Sritanjung.
Itu adalah gara-gara Sarindah dan Sarwiyah yang mendesak kepada Si Tangan Iblis
agar diberitahu siapakah ayah bundanya, dan siapa pula yang sudah membunuh,
jelas Kiageng Tunjung Biru sambil menghela napas pendek. Dan celakanya Si Tangan
Iblis memberikan keterangan salah. Ia memfitnah paman gurumu Gajah Mada.
Apakah sebabnya memfitnah Paman Gajah Mada"
Si Tangan Iblis memang licik.
Oleh dendam kesumatnya, ia mendidik kepada cucu dan semua muridnya agar membenci
dan memusuhi Gajah Mada. Maka setelah mendengar penjelasan itu, Sentiko pergi
diam-diam dengan maksud akan membalas dendam dan membunuh Gajah Mada.
Sekecil itu manakah Sentiko mampu melawan Gajah Mada" Sritanjung heran.
Memang amat mustahil bisa
terlaksana. Namun nyatanya bocah kecil itu sudah nekad dan akan membalas dendam.
Itulah cucuku, cerita ringkas tentang Si Tangan Iblis. Maka dalam kepergianmu ke
Ibukota Majapahit kau harus selalu berhati-hati. Jangan gampang terpancing oleh
tipu muslihat orang, dan jangan mencampuri urusan orang sebelum jelas. Sudahlah,
Cucuku, sekian dulu cerita tentang Si Tangan Iblis. Hari sudah malam dan
mengasolah. Sekian dulu cerita ini kita
akhiri. Tetapi cerita ini secara keseluruhan belum selesai. Perjalanan masih
panjang dan Dewi Sritanjung akan mengalami berbagai peristiwa dalam
perjalanannya menuju Ibukota
Majapahit, dalam usaha bertemu dengan ayah kandungnya. Anda akan terharu,
tergelitik dan berdebar kiranya dalam mengikuti kisah Dewi Sritanjung ini.
Akan tetapi agar Anda dapat
mengkuti kisah tentang Si Tangan Iblis, silakan membaca lanjutan buku Seri Dewi
Sritanjung ini dengan judul
"SI TANGAN IBLIS". Lebih menarik, seru dan mendebarkan. Mungkinkah Sentiko cucu
Si Tangan Iblis yang sudah diceritakan oleh Kiageng Tunjung Biru ini dapat
membunuh Gajah Mada"
TAMAT Sala, awal tahun 1987
Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Harpa Iblis Jari Sakti 15 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Mencari Bende Mataram 5
^