Pencarian

Keris Kutukan Iblis 2

Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis Bagian 2


jah-wajah mereka jadi berubah pucat. Nama keris itu
saja sudah membuat bulu roma berdiri.
"Aku hanya bisa menyuruhnya pergi mening-
galkan wilayah ini. Itupun dengan kekuatan batin yang kumiliki!" kata Eyang Bimo
Gundil melanjutkan kata-
katanya. "Tampaknya Eyang telah mampu menguasai
pemuda itu dengan kekuatan ilmu batin yang Eyang
miliki, akan tetapi mengapa Eyang tak menyuruh dia
memberikan keris itu" Bukankah tanpa keris itu dia
dapat kita ringkus?"
Senopati Rah Butho yang sejak tadi cuma diam
saja, agaknya tak dapat menahan diri untuk membuka
mulut. Dia menganggap cara kakek itu sama saja den-
gan memindahkan malapetaka ke tempat lain. Karena
itu dia menyanggah cara si kakek yang cuma mengusir
pemuda itu, tapi malapetaka akan tetap mengancam di
wilayah lain. Senopati Rah Butho telah merasakan be-
tapa hebatnya keris itu yang telah mampu membuat
terlepas klewangnya. Yang paling hebat adalah hawa
dingin yang menyambar dan membekukan aliran da-
rah ditubuhnya."
Mendengar sanggahan Senopati Rah Butho,
Eyang Bimo Gundil tertawa terkekeh-kekeh, membuat
sang Senopati melengak heran.
"Heheh...heheh... tidak semudah itu, raden...!
Kekuatan bathinku tak mampu untuk melakukan hal
itu. Tanpa setahu kalian aku telah mencobanya. Tahu-
kah kalian bahwa pemuda itu telah menjadi sakti den-
gan adanya keris Kutukan Iblis itu ditangannya?"
"Lalu apakah kalian akan menganggap aku
membiarkan pemuda itu menyebar bencana di wilayah
lain" Sama sekali tidak! Justru itulah yang menjadi
tugasku dan tugas kaum pendekar untuk mele-
nyapkan keangkara-murka. Nah! Silahkan kalian
kembali ke Kerajaan atau segera pergi mengurus
mayat Empu Tanuboyo, lalu secepatnya kembali ke
Kadipaten. Aku telah lebih dulu mengetahui kematian
Empu Tanuboyo, karena aku sudah menduga dari
tempat tinggal Empu itulah asalnya malapetaka dan
bencana!" Selesai berkata, si kakek aneh tertawa terke-
keh-kekeh. Akan tetapi alangkah terkejutnya semua
yang berada ditempat itu, karena melihat eyang Bimo
Gundil telah lenyap entah kemana. Tapi suara terta-
wanya masih terdengar terkekeh-kekeh. Namun tak
lama kemudian suara itu semakin menjauh dan le-
nyap... Patih Gajah Rono segera perintahkan Tumeng-
gung Kandilangu untuk menuju ke tempat Empu Ta-
nuboyo dengan disertai empat orang perwira kerajaan
untuk membawa mayat laki-laki pembuat senjata itu.
Kini persoalan siapa pembunuh Adipati Wukir
Kamenda dan istrinya telah jelas.
Dan semakin jelas setelah ditemui sepucuk su-
rat didekat mayat Empu Tanuboyo.
Yaitu sepucuk surat yang ditujukan kepada is-
tri Adipati, yaitu Dewi Banondari putri sang Empu. Dalam surat itu ada disebut-
sebut nama Sucitro. Tentu-
lah yang dimaksud adalah si pemuda bernama Jaka
Kumbara itu. Jelas pemuda itu telah menggunakan
nama samaran pada dirinya.
Selang tak berapa lama tampaklah iring-iringan
pasukan Kerajaan meninggalkan lereng gunung sunyi
itu dengan membawa jenazah Empu Tanuboyo yang
malang. Dikejauhan tampak cahaya merah membersit
ke langit. Hari memang telah menjelang senja. Dan ha-ri itu adalah hari
berkabungnya Kerajaan Whirata.
Namun mereka masih bisa menarik napas lega karena
bahaya bisa tersingkirkan, walaupun hati mereka ma-
sih kurang puas. Karena biang malapetaka itu masih
bercokol diatas bumi ini. Dan masih menjadi teka-teki apakah kaum pendekar dan
Eyang Bimo Gundil bisa
menumpasnya"...
TUJUH Kita beralih kesatu tempat di wilayah timur,
dimana berdiri sebuah perguruan yang bernama Per-
guruan Tongkat Suci. Pesanggrahan ini berada diatas
sebuah bukit kapur dikelilingi lembah yang juga ber-
nama Lembah Tongkat Suci. Ketua perguruan ini ada-
lah sepasang suami istri yang bergelar si Sepasang Srigala Putih.
Murid-murid perguruan Tongkat Suci tengah
bersukacita, karena guru mereka baru saja mempero-
leh karunia seorang bayi perempuan. Memang sejak
lebih dari lima tahun sepasang suami istri itu men-
dambakan seorang keturunan. Kiranya keinginan me-
reka terkabul, setelah sembilan bulan guru perempuan mereka mengandung. Dan hari
ini sepasang Srigala
Putih memperoleh seorang keturunan.
Sang suami yang digelari si Srigala Putih Jan-
tan itu bernama Pranajaya, dan istrinya yang digelari si Srigala Putih Betina
bernama Purbarini.
Sejak mereka mendirikan perguruan di wilayah
itu, tidak sedikit Sepasang Srigala Putih ini menanam persahabatan dengan para
tokoh pendekar.
Tentu saja berita itu segera disiarkan ke bebe-
rapa tempat untuk mengundang para sahabat si sepa-
sang pendekar. Pranajaya adalah seorang laki-laki berusia ku-
rang lebih 35 tahun. Seorang laki-laki berwajah tam-
pan, berwibawa dan berilmu tinggi. Kerendahan ha-
tinya serta kewibawaan yang terpancar pada diri laki-laki ketua perguruan
Tongkat Suci ini membuat dia
dihormati dan dihargai sesama kau pendekar.
Istrinya adalah seorang yang berusia 30 tahun.
Berparas cantik, anggun dan berperangai halus. Il-
munya tak jauh dibawah suaminya. Keduanya meru-
pakan sepasang tokoh yang sepadan bagaikan Rama
dan Shinta. Kelahiran bayi mungil itu sangat menggembira-
kan hati Purbarini.
Tak henti-hentinya dia memandangi sang bayi
dengan wajah berseri-seri.
Ketika suaminya muncul dipintu kamar, dia be-
rusaha bangkit untuk duduk.
"Kakang Prana! Oh, lihatlah bayi kita...! Dia tak mau diam, agaknya mencari-
carimu. Dia ingin melihat
jelas siapa ayahnya"
"Jangan duduk dulu, istriku. Tetaplah me-
nyandar pada bantal itu. Kau tak boleh banyak berge-
rak dulu" Pranajaya setengah melompat dan menahan tubuh istrinya, lalu
membaringkannya lagi pelahan-lahan. "Aku baru saja memerintahkan murid-murid ki-
ta untuk mengabarkan berita gembira ini pada paman
Purbayana, serta sekalian sahabat-sahabat kita...!"
"Ah, bagus sekali! Apakah kau tak mengundang
Eyang guru?"
"Tentu, istriku! Tapi tak ada seorangpun yang
mengetahui tempat tinggalnya. Aku berniat mene-
muinya untuk mengabarkan berita ini...!" sahut Pranajaya dengan tersenyum.
Lengannya membelai rambut
istrinya. Menatapnya sejenak, lalu beralih memandang pada sang jabang bayi.
"Kau akan pergi sekarang, kakang?" tanya Purbarini kerutkan keningnya.
"Sebaiknya begitu! Malam nanti kita akan men-
gadakan selamatan. Aku ingin dihadiri oleh Eyang
Guru kita!" sahut Pranajaya.
Purbarini terdiam sejenak. Sebenarnya dia mau
menahan. Entah mengapa hatinya merasa tak enak.
Dalam saat-saat seperti itu dia masih ingin ditemani sang suami. Tapi segera dia
berkata. "Pergilah kau mengabarinya, kakang... Sudah
lebih setahun ini dia tak menyambangi kita. Entah bagaimana keadaan beliau
sekarang?"
"Aku sudah dua kali menemui beliau. Pertama
mengabarkan tentang kehamilanmu!"
Senyum Purbarini cuma sekilas saja menden-
gar kata-kata suaminya, yang segera beranjak keluar
kamar. Purbarini menatap punggung laki-laki itu hing-ga lenyap di balik pintu
kamar. Si Srigala Putih Jantan Pranajaya siap berang-
kat meninggalkan bukit dan lembah tongkat Suci den-
gan menunggang kuda. Binatang itu berbulu hitam le-
gam berkilat-kilat karena terawat baik. Ketika dipintu pesanggrahan seorang
gadis tiba-tiba menyusulnya.
Gerakannya lincah ketika melompat ke depan kuda
Pranajaya. "Paman Prana! kau mau kemana?" tanya si gadis itu yang ternyata Kuntari sang
keponakan istri
Pranajaya, yang masih terhitung adik iparnya.
"Eh, Kuntari. Sukurlah kau muncul. Aku men-
cari-carimu katanya kau sedang sibuk membantu di-
dapur. Aku tak mau mengganggu, tapi kau sudah
muncul. ada yang akan kupesankan padamu!"
"Kakak Prana belum menjawab pertanyaanku.
Kini sudah pesan apa segala. Kakak kini bagaimana,
sih" Istri baru melahirkan bukannya menunggui ma-
lah ditinggal pergi!" kata Kuntari dengan seperti men-gomeli kakak iparnya.
Pranajaya tersenyum. Dia mengetahui kalau
sang adik iparnya ini memang seorang yang doyan
ngomong alias bawel, tidak seperti bibinya. Tapi Kuntari memang seorang gadis
yang berwajah manis, lin-
cah dan periang. Pranajaya sering dibuat tertawa dengan tingkahnya yang
terkadang lucu tapi juga membi-
kin jengkel. Namun laki-laki ini amat menyayanginya.
"Hahaha... nenek bawel, bibimu sudah selamat,
begitu juga sang jabang bayi adikmu. Aku bukan tak
mau menunggui bibimu, tapi akan mengabarkan peris-
tiwa bahagia ini pada Eyang Guru paman dan bibi!"
sahut Pranajaya dengan tertawa bergelak.
"Siapakah Eyang guru paman dan bibi itu, dan
dimana tempat kediamannya" Mengapa tak menyuruh
orang kita saja menyampaikan undangan?"
"Pertanyaanmu banyak sekali, nenek bawel. Be-
liau itu bisa kau sebut Eyang Buyut. Namanya Bimo
Gundil. Tak ada yang tahu tempat kediamannya selain
aku. Maka terpaksa aku yang mengabari. Nah, je-
laskah nenek bawel?"
"Eyang Buyut Bimo Gundil?" tukas Kuntari
dengan kerenyitkan kening.
"Ya, mengapa" tanya Pranajaya.
"Apakah beliau seorang pertapa?"
"Benar! Orang-orang persilatan menggelari be-
liau si Pertapa Mata Dewa!" Pranajaya menjelaskan.
"Oh, julukan yang hebat! Eyang Buyut tentu
seorang yang berilmu tinggi. Aku ingin sekali bertemu dengan beliau. Selama ini
aku hanya mendengar cerita ayah saja mengenai Eyang Buyut Bimo Gundil..."
berkata Kuntari dengan wajah berubah girang.
"Nah! bagus! kalau begitu kau jagalah bibimu
baik-baik. Temani beliau bercakap-cakap. Sore nanti
aku sudah kembali bersama Eyang Buyut Bimo Gun-
dil!" kata Pranajaya.
Kuntari mengangguk lalu beranjak ke sisi
memberi jalan. Laki-laki itupun segera membedal kuda keluar
dari pintu pesanggrahan.
Debu mengepul semakin jauh, dan kuda hitam
serta penunggangnya si Serigala Putih Jantan semakin menjauh melintasi lembah.
Tak lama antaranya Kuntari sudah berjalan kea rah pesanggrahan utama un-
tuk menemui bibinya Purbarini.
DELAPAN Hari panas terik. Mentari tepat berada diatas
kepala, ketika seorang pemuda berpakaian kain kasar
bertampang kumal melintasi rumah tua disisi bukit.
Seseorang bertopi capil agaknya baru saja melepas lelah setelah mencangkul tanah
dibelakang rumah. Se-
buah cerek dan sebuah gelas kosong yang sudah ba-
sah oleh air berada didekatnya. Laki-laki itu baru saja membasahi tenggorokannya
dengan air dingin. Terasa
nikmat dan menyegarkan sekali.
Ketika itulah si pemuda bertampang kumal
memasuki halaman rumahnya. Melihat laki-laki yang
duduk diberanda rumah dan baru saja melepas topi
capilnya, si pemuda langsung menyapa.
"Selamat siang paman Tumenggung!" Tentu sa-ja membuat laki-laki tua ini yang tak
lain dari Tu- menggung Kandilangu cepat menoleh.
Begitu asyiknya dia duduk sambil melamun,
hingga tak diketahui munculnya pemuda itu. Kemun-
culannya membuat dia terkesiap.
"Hm, selamat siang...! Eh, siapakah anda?" ta-nyanya dengan menatap tajam-tajam.
Nyaris saja dia
menyangka yang muncul si Jaka Kumbara.
Hatinya sudah mencelos dan jantungnya ter-
sentak. "Syukurlah bukan dia..! Tapi siapakah pemuda ini?" bertanya-tanya dia
dalam hati. "Siapakah aku" Hm, cobalah paman terka!"
Yang ditanya justru balik bertanya dengan cengar-
cengir memandang ke arahnya.
Pemuda itu berpakaian serba gombrong. Dan
sebuah buntalan kain berada dibahunya. Diperhatikan
sejenak laki-laki gondrong bertampang kumal itu.
"Hm, aku sudah tak ingat lagi. Kalau kau men-
genalku, segeralah sebutkan siapa dirimu, anak muda!
Jangan membuat aku penasaran..." kata Tumenggung Kandilangu.
"Hahaha... baru lewat beberapa bulan saja, kau
sudah lupa padaku, paman Kandilangu... eh, maksud-
ku paman Tumenggung!"
Laki-laki tua ini jadi kerutkan kening memikir.
Siapa adanya pemuda itu yang mengenal dirinya, tapi
dia sendiri tak mengenalinya lagi.
"Haih, agaknya usia tuaku telah membuat aku


Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi linglung. Aku sungguh-sungguh tak ingat siapa
kau, anak muda...!" katanya dengan menggaruk-garuk kepala. "Hm, siapakah yang
linglung, paman" Aku ataukah kau...?" bertanya pemuda itu.
"Mungkin aku, mungkin juga ka...kau...! He"
Apakah kau si Jaka Linglung" Benarkah kau Jaka
Linglung yang telah menolongku pada beberapa bulan
yang lalu dari serangan harimau?" Mendadak ingatan Tumenggung Kandilangu kembali
terang. Beberapa bulan yang lalu ketika dia dengan empat orang pengawal
melintasi sebuah hutan telah diserang oleh seekor harimau belang yang amat
besar. Binatang ganas itu te-
lah melukai tiga orang anak buahnya.
Kulitnya kebal senjata tajam. Tinggallah dia
berdua dengan seorang anak buahnya yang masih be-
rusaha membunuh binatang tersebut.
Menghadapi harimau yang sedemikian besar
dan ganas, hati Tumenggung mulai kecut. Apalagi
anak buahnya yang seorang langsung angkat kaki
alias kabur ketakutan. Terpaksa dia harus menghada-
pi seorang diri.
Dalam pertarungan bahunya terluka terkena
serangan sang harimau. Nyalinya sejak tadi memang
telah menciut. Kini semakin ciut saja ketika kuku binatang ganas itu mencakar
dan melukai bahunya. Ke-
ris pusakanya sedikitpun tak mampu menembus kulit
binatang itu. Pada saat itulah muncul seorang pemuda kum-
al yang menyelamatkan jiwanya. Ketika taring-taring
binatang ganas itu hampir merencah lehernya, menda-
dak harimau itu mengerang kesakitan. Tubuhnya ter-
lempar beberapa tombak. Ternyata dia terkena puku-
lan si pemuda kumal itu.
Sang harimau agaknya jerih melihat lawan yang
baru muncul itu. Dengan mengaum kesakitan dia me-
lompat pergi...
"Haha... benar! paman Tumenggung." kata pemuda itu sambil tertawa geli.
"Hehe... haha... sudah kuduga kaulah pasti si
pendekar muda yang gagah itu. Angin apa yang me-
niupmu hingga kau sampai kemari, nak Jaka?"
Tumenggung Kandilangu mempersilahkan Nan-
jar duduk didekatnya.
"Secara kebetulan aku lewat ke wilayah ini, dan
aku teringat pada paman Tumenggung yang pernah
mengajakku singgah kemari...!" sahut Nanjar.
"Nak Jaka! senang sekali aku bertemu kau.
Tunggu sebentar aku ambilkan gelas untukmu. Kau
pasti haus sekali!" kata laki-laki tua ini seraya beranjak masuk ke dalam rumah,
Nanjar hanya tersenyum.
"Haih, orang tua ini selalu menyebutku Jaka.
Tampaknya dia benar-benar telah berhenti menjadi
seorang Tumenggung. Ataukah memang masih menja-
bat pangkat itu, karena dia pernah mengatakan akan
mengundurkan diri dari jabatan itu..." berkata Nanjar dalam hati.
Tumenggung Kandilangu kembali lagi dengan
membawa sebuah gelas dalam nampan dan sepiring
ubi kayu rebus yang masih hangat
Tak lama mereka telah duduk bercakap-cakap
sambil menikmati santapan siang. Laki-laki tua itupun menuturkan keadaan
dirinya. "Jadi benar paman sudah berhenti dari jabatan
Tumenggung?"
"Benar, nak Jaka! Sudah kukatakan padamu,
bahwa aku sudah tak mau hidup terikat tugas lagi.
Aku ingin bebas dan hidup menyendiri di sisi bukit ini sambil berkebun
menghabiskan masa tuaku..."
"Ah, paman. Kau belum terlalu tua. Tubuhmu
masih kuat. Cuma semangatmu saja yang melemah.
Mungkin karena kau sudah terlalu bosan menjadi abdi
Kerajaan!" kata Nanjar.
"Benar katamu, nak Jaka! lebih dari tiga puluh
tahun aku mengabdi pada Kerajaan. Kukira sudah
saatnya aku pensiun!" tukas laki-laki ini.
"Oh, ya! Banyak peristiwa terjadi setelah aku
kembali dari tugas beberapa bulan yang lalu, nak Ja-
ka..." Bekas Tumenggung yang baru lewat sepekan
melepaskan jabatannya itu segera menceritakan peris-
tiwa-peristiwa yang terjadi selama ini. Tentu saja Nanjar terkejut mendengar
tentang munculnya keris Kutu-
kan Iblis yang berada ditangan seorang pemuda ber-
nama Sucitro alias Jaka Kumbara yang telah memba-
wa malapetaka maut. Dengan seksama dia menden-
garkan penuturan laki-laki tua itu selanjutnya.
"Eyang Bimo Gundil cuma mampu mengusir
pemuda itu keluar dari wilayah ini. Tapi hal itu amat meresahkan pihak kerajaan,
karena khawatir disatu
saat pemuda itu kembali kewilayah ini dan membuat
keonaran dan menimbulkan malapetaka berdarah la-
gi!" Sejenak Nanjar tercenung mendengar penutu-
ran Kandilangu. Hatinya membathin, kalau hal ini di-
biarkan akan menimbulkan malapetaka dimana-mana.
Dan sudah menjadi tuntutan kaum pendekar untuk
menumpas segala macam kebathilan. "Apapun yang
terjadi aku harus mencari jejak si pemuda bernama
Sucitro alias Jaka Kumbara itu, dan melenyapkan ke-
ris Kutukan iblis!" berkata Nanjar. Laki-laki bekas Tumenggung itu manggut-
manggutkan kepala.
Setelah cukup mendapat keterangan, Nanjar
segera mohon diri. Kandilangu menahan pemuda itu
agar jangan terburu-buru pergi. Dia beranjak menuju
kesamping rumah. Disana terdapat sebuah kandang
kuda. Lalu kembali dengan menuntun binatang itu.
"Ini kuda hadiah dari Patih Gajah Rono padaku.
Pakailah kuda ini, dan kuberikan padamu. Semoga
kau dapat mempergunakannya dan meringankan per-
jalananmu!" kata Kandilangu.
Nanjar membelalakkan matanya menatap laki-
laki tua seperti tak percaya.
"Kau bersungguh-sungguh, paman?"
"Haha...hehe... mengapa tidak" Aku tak memer-
lukannya, kecuali cangkul dan arit ini untuk mengga-
rap tanah dan kebunku!" tukas Kandilangu.
"Ah, terimakasih, paman. Kau sungguh baik
sekali!" kata Nanjar bergirang seraya mengamati kuda jantan berbulu coklat
kemerahan itu. "Hoi, kuda yang bagus dan kekar!" Pujinya.
"Akan kupergunakan untuk melacak jejak si pemuda bernama Jaka Kumbara itu!" kata
Nanjar seraya menepuk-nepuk leher kuda. Binatang itu meringkik pela-
han dan mengangguk-anggukkan kepala. "Dia sudah tak sabar untuk membawa kau
pergi. Mungkin berdiam dikandang pengap itu amat membosankan!" kata Kandilangu
dengan tersenyum.
Nanjar tertawa. Sekali gerakkan tubuh dia telah
melompat ke punggung kuda. "Baiklah, paman Kandilangu. Aku mohon diri.
Terimakasih atas pemberian
kudamu" kata Nanjar.
"Selamat jalan, nak Jaka Linglung!" sahut laki-laki tua ini dengan tersenyum
haru. Lalu melepas ke-
pergian Nanjar dengan lambaian tangan. Sebentar saja sosok kuda dan
penunggangnya itu pun lenyap dari
pandangan mata laki-laki tua ini.
"Haih. Semoga Tuhan selalu melindunginya...!"
berkata Kandilangu pelahan. Lalu balikkan tubuh dan
beranjak ke beranda rumah untuk mengambil cangkul
dan arit meneruskan pekerjaannya menggarap tanah...
*** SEMBILAN Pemuda bernama Sucitro yang mengaku ber-
nama Jaka Kumbara tampak memasuki sebuah desa
diluar wilayah Kerajaan Whirata. Langkahnya lebar
menuju ketengah desa. Sepasang matanya jelalatan
kesana-kemari. Seorang gadis yang tengah menuntun adiknya
berpapasan dengan pemuda itu. Gadis itu berjalan
agak kepinggir dan tampak seperti menghindari berta-
tapan mata dengan Jaka Kumbara.
Akan tetapi justru pemuda ini malah menatap-
nya dengan pandangan liar. Sekali menggerakkan tu-
buh dia sudah mencegat gadis itu.
"Haha... mau kemana, adik" Jalanmu terburu-
buru?" tanya Jaka Kumbara dengan wajah menyeringai.
Tentu saja membuat gadis itu tersurut mundur
dengan wajah berubah pucat pias. "Jangan ganggu aku...!" berkata gadis ini
dengan suara menggetar karena rasa takutnya.
Sedangkan adiknya seorang bocah laki-laki be-
rusia lima tahun memegangi kakaknya dengan ketaku-
tan mau menangis.
"Haha... jangan takut, aku tak akan menggang-
gumu. Siapa namamu adik?" berkata Jaka Kumbara
dengan tertawa.
Tapi gadis itu tak menyahut. Tapi malah makin
mundur ketakutan. Wajahnya semakin pucat dan tu-
buhnya gemetar. Dan si bocah laki- laki mulai menan-
gis. Mendadak bocah laki-laki itu terjungkal ro-
boh... dan terdengar jeritan pendek si gadis. Akan tetapi cuma sekejap, karena
detik itu tubuhnya terkulai diatas pundak Jaka Kumbara. Dan kejap berikutnya
dengan gerakan cepat telah dibawa berkelebat dari sisi jalan itu. Sebentar
kemudian bayangan tubuh pemuda
itu lenyap dibalik rumpun bambu.
Ternyata Jaka Kumbara telah gerakkan len-
gannya menepiskan si bocah laki-laki hingga roboh ter-jerembab. Kemudian menotok
gadis itu dan memba-
wanya melompat pergi dari sisi jalan. Dan ternyata gerakan menepis itu telah
berakibat datangnya maut ba-
gi si bocah. Kepalanya terhantam keras ke batu, dan bocah yang malang itu tewas
seketika dengan kepala
rengat. Dibalik semak belukar Jaka Kumbara melem-
parkan tubuh si gadis ke atas rumput. Wajahnya me-
nyeringai dengan mata liar memandang tubuh sang
gadis yang terkulai tak sadarkan diri.
Gemparlah penduduk desa itu ketika melihat
seorang bocah laki-laki tewas dengan keadaan menge-
rikan disisi jalan. Beberapa orang laki-laki berkerumun melihat mayat si bocah.
Salah seorang mengenali siapa adanya bocah berusia lima tahun yang tewas itu.
"Anak ini pasti ada yang membunuhnya. Dia
Juntoro anak pak Kuwu. Setahuku tadi baru pulang
dari kedai bersama kakak perempuannya Murinah.
Aneh, kemana gadis itu perginya?" berkata salah seorang dari mereka.
Laki-laki itu adalah pak Gularso, tetangga pak
Kuwu. Dia mengetahui kalau Murinah sering berada
dikedai membantu ibunya berjualan. Beberapa orang
segera mengangkat mayat bocah itu. Sementara yang
lainnya sibuk mencari si gadis.
"Lihat! Ada bekas telapak kaki disini. Pasti ga-
dis itu diculik orang!" teriak salah seorang laki-laki berselempang sarung.
Beberapa orang melompat untuk melihat be-
kas-bekas telapak kaki yang ditunjukkan itu. "Benar!
pasti dia diculik!"
"Jangan-jangan si penculik itu mau..." berkata seorang pemuda.
"Cepat menyebar ke sekitar tempat ini! Cari
penculik keparat itu, kalau bertemu bunuh mampus
saja!" teriak seorang laki-laki berbaju hitam tak sabar.
Dia yakin si penculik masih belum jauh dari tempat
kejadian. Segera saja tujuh delapan orang menyebar ke sekitar sisi jalan itu.
Kebetulan lima diantaranya membawa benda
tajam yang selalu diselipkan dipinggang. Masing-
masing mencabut golok dan badiknya. Salah seorang
mencabut sebatang bambu pagar yang berujung runc-
ing. Empat orang melompat ke arah hutan bambu.
Sedang tiga-empat orang lagi menyeberang kesisi jalan dan melacak jejak si
penculik disekitar kebun yang penuh pohon-pohon rimbun dan semak belukar itu.
Sementara dua orang lagi cepat memondong
mayat si bocah laki-laki yang malang itu ketengah de-sa.
Alangkah terperanjatnya keempat orang-orang
desa ini ketika menemukan sesosok tubuh perempuan
dalam keadaan membugil dibalik semak belukar. Sege-
ra mereka mengenali perempuan itu adalah si gadis
yang bernama Murinah, anak pak Kuwu. Pak Gularso
hampir tak percaya ketika melihat keadaan si gadis
yang telah tewas dengan dua luka dilambung dan
pangkal leher gadis itu. Darah mengental disekitar pe-rut dan dada.
Bergetar tubuh keempat laki-laki ini menahan
amarah. "Cepat cari manusia iblis terkutuk itu! Cincang dia sampai hancur!" teriak pak
Gularso dengan suara parau menggetar. Ketiga kawannya segera berlompatan
mencari jejak si manusia durjana
"Ya, Tuhan! Bencana apakah yang telah me-
nimpa desa ini?" gumam laki-laki ini seraya memaling-kan wajahnya. Hatinya bagai
terluka melihat kebiada-
ban manusia yang telah tega berbuat sekeji itu.
Mereka yakin perbuatan keji itu pasti dilakukan
seorang manusia. Keresahan tampak mulai terasa di-
hati masing-masing penduduk. Hari itu juga dikubur-
kan dua jenazah dengan diiringi deraian air mata.
SEPULUH Matahari mulai agak menggelincir dari poros-
nya. Sinarnya agak redup. Sesosok bayangan tampak
melintasi lembah Tongkat Putih dengan pesat. Ketika
sosok bayangan itu berhenti disisi bukit kapur, segera terlihat siapa adanya
sosok bayangan itu. Ternyata
tiada lain dari Jaka Kumbara.
Pemuda ini sejenak mengawasi pesanggrahan
yang terletak diatas bukit.
"Hm, ingin kulihat siapa gerangan orang-orang
penghuni pesanggrahan itu. Tentu ini sebuah pergu-
ruan silat. Haha... bagus! Ingin kulihat, apakah mere-ka mampu mengungguli ilmu
kepandaianku" Keris
yang kumiliki benar-benar hebat. Aku yang tak pernah belajar ilmu silat, tetapi
bisa menewaskan empat orang perwira Kerajaan yang penasaran mengejarku. Haha-


Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ha... mereka cari mampus saja!" berkata Jaka Kumbara dalam hati.
Teringat pemuda ini ketika dia melintasi perba-
tasan Kerajaan Whirata. Saat itu dia pergi ke arah timur dengan berjalan santai,
dia menjumpai sebuah
sungai berair jernih. Tentu saja hatinya tak tahan untuk berendam diri diair
yang sejuk itu.
Setelah puas mandi, dia membaringkan tubuh-
nya ditepian. Hampir dia tertidur karena mengantuk.
Tiba-tiba terasa kerisnya bergetar. Dengan terkejut dia membuka mata. Alangkah
terkejutnya ketika dia
membuka mata, empat sosok tubuh tengah mengham-
pirinya dengan berindap-indap tanpa menimbulkan
suara. Seketika dia melompat berdiri.
Ternyata empat orang perwira Kerajaan siap
mengirim nyawanya ke Akhirat. Karena keempat per-
wira itu masing-masing telah menghunus klewang un-
tuk merencah tubuhnya.
Tahulah dia bahwa keempat perwira itulah
yang diperintahkan Patih Gajah Rono untuk membun-
tutinya. Tapi dia telah menipu mereka dengan mem-
buat kudanya seolah-olah mengalami kecelakaan ter-
sungkur kesemak belukar.
Keempat perwira Kerajaan itu adalah perwira
kelas satu. Tentu saja ilmu kepandaiannya tidaklah
dapat dianggap enteng. Melihat manusia yang akan
mereka lumatkan mendadak terbangun dan melompat
berdiri, keempatnya agak terkejut. Akan tetapi detik itu juga mereka menerjang
dengan klewang-klewangnya...
Sucitro alias Jaka Kumbara merasa yakin akan
kekuatan ghaibnya. Tangannya seperti digerakkan ke-
kuatan aneh untuk mencabut kerisnya. Terdengar jeri-
tan keempat perwira Kerajaan itu ketika dia mengi-
baskan senjata itu. Hawa dingin yang membekukan
aliran darah seketika menebar dibarengi dengan ben-
turan keras dari senjata-senjata lawan yang tersampok mental. Jaka Kumbara
perdengarkan suara tertawa
terbahak-bahak melihat keempat lawannya terengah-
engah dengan tubuh menggigil dan wajah pucat pias.
Pemuda ini menghampiri satu persatu. Dan keris Ku-
tukan Iblis dihunjamkan kejantung lawan. Begitu mu-
dahnya bagi Jaka Kumbara untuk mengirim nyawa la-
wan-lawannya ke Akhirat.
Tapi yang membuat aneh, adalah dia tak mam-
pu menolak kekuatan ghaib yang dipancarkan melalui
tatapan mata si kakek aneh yang mengusirnya keluar
dari wilayah Kerajaan Whirata. Kerisnya menggetar
dan lengannya seperti digerakkan kekuatan ghaib un-
tuk menyimpan keris maut itu ke dalam serangkanya.
Dan diapun pergi meninggalkan wilayah kerajaan itu.
Siapa adanya kakek itu masih menjadi perta-
nyaan bagi dirinya. Tapi dia tak perlu takut, karena keris itu masih berada
ditangannya. Kini sepasang matanya memandang ke arah pesanggrahan diatas bukit
kapur itu. Dari dalam dadanya bergolak rangsangan
hebat untuk menyebar maut. Keris Kutukan iblis se-
perti meronta-ronta tak sabar untuk menghirup darah!
Detik itu juga dia telah berkelebat mendekati
pesanggrahan perguruan Tongkat Suci. Gerakannya
gesit ketika menyelinap masuk ke sebuah jendela ka-
mar yang terbuka.
Ternyata itulah ruangan kamar si Serigala Pu-
tih Betina, Purbarini. Wanita yang baru melahirkan itu terkejut melihat sesosok
tubuh melompat masuk dari
jendela. "Siapa kau?" membentak Purbarini dengan wajah pucat karena terkejut.
Saat itu Kuntari si gadis ke-
ponakannya baru saja meninggalkan kamar. Jendela
kamar memang sengaja dibuka karena hawa dalam
kamar terasa panas. Sepasang mata Jaka Kumbara je-
lalatan memandang wanita ini. Sebentar menatap pada
sang bayi, sebentar beralih pada Purbarini.
"Hahaha... kau cukup cantik dan sangat cantik!
Siapa namamu, nona" Dan... apakah ini bayimu?" Ja-ka Kumbara seperti tak
memperdulikan pertanyaan
Purbarini. Bahkan dia memandang dengan berahi
membakar dada. Purbarini memang hanya mengena-
kan selapis kain saja penutup tubuhnya. Wanita ini
cepat mendekap bayinya, dengan hati berdebar tak ke-
ruan. "Apa yang akan kau lakukan" Siapakah kau?"
Purbarini mencoba berkata dengan suara agak lunak.
Tapi diam-diam dia khawatir sekali karena melihat tatapan mata laki-laki itu
tajam menusuk jantung, dan
seperti merayapi sekujur tubuhnya.
Sebagai seorang pendekar wanita Purbarini sa-
dar akan bahaya. Dia cukup dapat menduga bahwa
dia berhadapan dengan seorang laki-laki hidung be-
lang. Tapi keadaan tubuhnya masih lemah. Diam-diam
dia menyesali kepergian suaminya, dan mengumpat
anak buahnya yang tak mengetahui ada orang yang
masuk menyelinap ke dalam pesanggrahan.
"Jangan takut! Aku akan bersikap baik pada-
mu, nona!" berkata Jaka Kumbara dengan tertawa
menyeringai. Dan tiba-tiba saja dia telah mencabut kerisnya. "Jangan coba-coba
berteriak, kalau tak ingin bayimu kubunuh mampus!" ancam Jaka Kumbara seraya
melompat kepintu dan mengunci pintu kamar.
"Apa yang akan kau lakukan?" sentak Purbarini dengan wajah semakin pucat.
"Lepaskan bayimu, dan... kau harus menuruti
keinginanku!" berkata Jaka Kumbara seraya melangkah mendekati. Purbarini yang
masih lemah itu bagai
mendengar petir disiang hari mendengar ancaman laki-
laki itu. Keadaan Purbarini seperti telur diujung tan-duk. Dan Jaka Kumbara
semakin melangkah mende-
kati. Pada detik itulah tiba-tiba terdengar ketukan pintu disertai suara seorang
perempuan. "Bibi Purbarini...! Ada siapakah didalam" Men-
gapa kau mengunci pintu kamar?" itulah suara Kuntari si gadis keponakan wanita
ini. "Keparat!" memaki Jaka Kumbara dengan suara berdesis. Laki-laki ini cepat
melangkah mendekati pintu. "Hm, suaranya sangat merdu, tentu seorang gadis.
Bagus, hari ini aku bisa merasakan kehangatan dua
perempuan sekaligus!" berkata Jaka Kumbara dalam hati. Pada detik itulah
Purbarini melihat adanya kesempatan baik. Lengannya meraih sebuah gunting di-
balik lipatan selimut bayi. Gunting yang memang biasa disediakan didekat bayi
itu melesat kepunggung Jaka
Kumbara ketika Purbarini menggerakkan tangannya.
Walaupun tenaga wanita ini masih lemah, tapi lempa-
ran itu cukup kuat.
Akan tetapi membelalak mata Purbarini karena
benda itu seperti menghantam kapas saja layaknya.
Punggung Jaka Kumbara seperti dihalangi satu kekua-
tan tenaga dahsyat yang menolak lemparan benda ta-
jam itu. Gunting itu mental batik dan jatuh dilantai.
Akan tetapi hal itulah yang membuat malape-
taka bagi sang Srigala Putih Betina. Karena seketika Jaka Kumbara berbalik.
Wajahnya menyeringai gusar.
Detik selanjutnya tubuhnya berkelebat. Dan terdengarlah jeritan wanita itu.
Darah menyembur membasahi
tempat tidur. Keris Kutukan iblis telah meminta korban jiwa. Tanpa berkelojotan
lagi, wanita pendekar itu tewas seketika.
Sang jabang bayipun terjaga dari tidurnya dan
menangis keras. Pada saat itulah pintu kamar dido-
brak dari luar. Terdengar suara bergedubrakan. Pintu itu hancur berkepingan, dan
sesosok bayangan bertubuh ramping melompat ke dalam.
"Hah! Apa yang terjadi" siapa kau?" teriak Kuntari dengan wajah pucat. Ketika
melihat keris ditangan laki-laki itu, dan melihat darah menggenang
didada sang bibi, seketika menjeritlah gadis ini.
SEBELAS PRANAJAYA hatinya gelisah. Dia tak menemu-
kan Eyang gurunya, Bimo Gundil ditempat kediaman-
nya. Entah kemana perginya si Pertapa Mata Dewa itu.
Sejak siang tadi hatinya gelisah. Tiba-tiba saja dia teringat pada istrinya
dipesanggrahan. Bayangan-
bayangan wajah sang istri mendadak semakin sering
muncul dimatanya. Hal itulah yang membuat dia mela-
rikan kudanya bagaikan terbang agar cepat tiba di pesanggrahan Tongkat Suci.
Ketika akan melintasi lembah Tongkat Suci
mendadak seekor kuda menyusulnya dari arah timur.
Tentu saja Pranajaya agak menahan lari kudanya un-
tuk melihat siapa adanya penunggang kuda itu.
Semakin lama semakin dekat. Segera terlihat
siapa si penunggang kuda coklat kemerahan itu. Ter-
nyata tak lain dari Nanjar si Dewa Linglung.
"Sobat Pranajaya, Srigala Putih Jantan! ada
apakah kau melarikan kuda bagai dikejar setan?" bertanya Nanjar dengan agak
terengah-engah. Sesaat laki-laki ini menatap pemuda berbaju gumbrong kumal itu.
Mendadak wajahnya berseri gembira.
"Haih! Kiranya kau sobat pendekar Dewa Lin-
glung. Senang sekali bertemu denganmu. ..!" sapa Pranajaya. Dia mengenal Nanjar
ketika setahun yang lalu pernah diadakan perlombaan adu ketangkasan dilem-bah
Tongkat Putih. Perlombaan itu memang diadakan
setiap setahun sekali. Pranajaya mengenal Nanjar dari gadis keponakannya,
Kuntari, yang ternyata telah ber-sahabat dengan si Dewa Linglung.
Pranajaya segera tuturkan maksudnya secara
singkat. Kemudian dia mengajak Nanjar untuk singgah
kepesanggrahannya. Nanjar memang bertujuan mene-
mui sahabatnya itu berkenaan dengan tujuannya
mencari jejak si pemuda bernama Sucitro alias Jaka
Kumbara. Tentu saja dia tak menolak. Tak lama dua
ekor kuda itu melintas cepat di lembah Tongkat Suci...
Sukar diceritakan betapa terperanjat dan se-
dihnya hati Pranajaya ketika menjumpai istrinya da-
lam keadaan tewas. Belasan mayat tampak bergelim-
pangan dihalaman pesanggrahan. Menurut laporan
anak buahnya, dipesanggrahan telah muncul seorang
laki-laki mengaku bernama Jaka Kumbara. Laki-laki
asing itu masuk kamar tanpa diketahui seorangpun
dan membunuh sang guru wanita mereka. Baru dike-
tahui ketika terdengar jeritan Kuntari.
Ketika mereka memburu ke tempat kejadian,
Kuntari sang gadis adik ipar Pranajaya telah berada
dalam pondongan laki-laki itu. Belasan orang anak
buah perguruan Tongkat Suci mengurung pemuda itu.
Akan tetapi akibatnya delapan orang tewas. Saat itu
beberapa orang tetamu pendekar yang diundang Pra-
najaya telah tiba. Merekapun terlibat dalam pertarungan. Namun beberapa orang
tewas menjadi korban ke-
ganasan keris pusaka ditangan si laki-laki tersebut.
Sebelum meninggalkan pesanggrahan laki-laki
itu menyebutkan siapa dirinya. Kemudian berkelebat
pergi meninggalkan puncak bukit kapur.
"Kemana perginya bangsat biadab itu?" tanya Nanjar membentak salah seorang anak
buah Pranajaya. "Ke... ke arah utara sana, den..." sahut laki-laki yang ditanya.
Tak ayal tanpa menunggu lama lagi,
Nanjar keprak pantat kuda tunggangannya untuk
mengejar si pembuat malapetaka.
*** Sementara itu di satu tempat tak jauh dari wi-
layah lembah Tongkat Suci. Tampak dua sosok tubuh
tengah saling berhadapan. Siapa adanya dua orang itu tiada lain dari dua orang
kakek dan nenek tua renta.
Yang laki-laki ternyata si kakek aneh Bimo
Gundil alias si Pertapa Mata Dewa. Dan si nenek tua
renta bertubuh agak bungkuk itu belum jelas siapa
adanya. Karena kedua kakek dan nenek itu tengah ter-
lihat pertengkaran sengit.
"Sungguh tak kusangka kau si Iblis Bungkuk
Siluman Tengkorak Bolong yang telah mendalangi
munculnya malapetaka itu! Apakah maksudmu sebe-
narnya memperalat pemuda bernama Sucitro itu un-
tuk melakukan kejahatan dan kebiadaban dimuka
bumi ini?" berkata Bimo Gundil dengan membentak gusar. "Hik hik hik... baiklah
kalau kau ingin mengetahui, kakek tua renta yang sudah dekat liang kubur!
Ketahuilah, bahwa Sucitro alias Jaka Kumbara adalah
keturunan keluarga besarku sendiri. Dia masih cucu-
ku sendiri...! Aku telah bersumpah takkan mem-
biarkan seorang keturunan dari keluarga besarku
menjadi seorang pendekar. Selama aku masih bernya-
wa jangan harap hal itu bisa terjadi."
"Mengapa kau bersumpah gila semacam itu?"
potong Bimo Gundil dengan mata membelalak.
"Hik hik hik... Semua itu karena, biasa.... soal asmara. Seperti kau tidak
pernah muda saja, Bimo
Gundil!" sahut si nenek bungkuk mencibirkan bibirnya. "Nenek konyol! Segala
macam soal asmara
mengapa kau bawa-bawa ke dalam kemelut yang pe-
nuh malapetaka" Kau ini sungguh-sungguh bukan
manusia!" maki Bimo Gundil dengan mendelik gusar.
Hampir saja matanya melejit saking gusarnya.
"Huh! Siapa yang tak mendongkol dan sakit ha-
ti. Setelah ayahku tewas, ibuku menikah lagi dengan
seorang laki-laki yang usianya jauh dibawah usia ibu-ku sepuluh tahun. Laki-laki
itu ternyata seorang tokoh golongan hitam. Dunia memang sudah gila! Dan na-sibku
memang sial. Ayah tiriku itu mata keranjang.
Suatu malam dia memasuki kamarku, dan mengge-
rayangi tubuhku. Benar-benar terkutuk, ternyata aku
telah dibius. Aku tak dapat menolak keinginannya. Dia berhasil menggagahi
diriku. Perbuatan terkutuk itu terus berlangsung beberapa kali tanpa setahu
ibuku. Aku hamil! Perutku membengkak. Aku lari dari rumah
terkutuk itu. Terlalu edan! Rupanya anakku sakit hati melihat tingkah suaminya.
Suami main gila, diapun
turut main gila!" Sampai disini si nenek bungkuk berhenti sebentar untuk menarik
napas panjang seperti
melepaskan rasa sesak didadanya.
Si kakek Bimo Gundil tercengang mendengar-
kan, dan menggeleng-gelengkan kepala. "Benar-benar keluarga edan!" tak sadar
mulutnya mendesis.
"Lalu apa yang kau sendiri telah lakukan?" ta-nyanya penasaran. Si nenek bungkuk
tertawa terke- keh-kekeh serak sampai mengeluarkan air mata.
"Hik hik hik... akupun tak lebih gila dari mere-ka!" sahutnya setelah tertawanya
mereda.

Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang kau lakukan?" tanya Bimo Gundil
ingin tahu. "Pertama aku benci laki-laki! Begitu bencinya
aku sehingga setiap melihat lelaki aku ingin membu-
nuhnya! Tapi belakangan aku mulai merasakan bahwa
hanya laki-laki yang dapat memberikan kepuasan, ke-
bahagiaan pada wanita. Hatiku diamuk rasa cemburu
bila melihat sepasang sejoli bermain asrama... eh, asmara! Maka mulailah aku
mengejar laki-laki. Tapi aku tak ingin mempunyai keturunan lagi. Sebab itu
setiap laki-laki yang sudah jatuh ke dalam tanganku segera kubunuh mampus!
Begitu membabi butanya aku
mengejar laki-laki, tanpa kusadari aku telah berhu-
bungan dengan menantuku sendiri!" Sampai disini si nenek bungkuk Siluman
Tengkorak Bolong terisak-isak. "Hik hik hik... ternyata keluargaku benar-benar
keluarga rusak bejat, dan... edan! Itulah sebabnya aku merasa bahwa kami semua
orang-orang rusak! Karena
ayahku sendiri adalah seorang penjahat besar. Ibuku
adalah istri orang yang dibawa lari olehnya. Mereka
kumpul kebo, hingga melahirkan diriku! Nah, masih
kurang lengkap jalan ceritanya. Ketahuilah, bahwa Sucitro itu adalah cucu adik
tiriku, yaitu menantuku
sendiri. Aku sadar bahwa kami semua adalah keturu-
nan orang-orang sesat. Akupun pergi mengasingkan
diri mempelajari ilmu sesat. Ilmu siluman. Ilmu Iblis!
Ilmu macam-macam yang kesemuanya sesat. Aku su-
dah kepalang menjadi manusia jahat. Oleh sebab itu
aku bersumpah untuk membuat keturunan keluarga-
ku menjadi manusia sesat!
Dengan ilmuku yang dibantu para iblis, aku
"meramu" sebongkah besi dengan ilmu-ilmu ghaib dari para siluman. Bongkah besi
itu ditemukan Adipati
Wukir Kamenda dan dibawa ke pondok Empu Tanu-
boyo untuk dirubah menjadi sebuah keris. Itulah keris Kutukan iblis!
Keris itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang
yang dalam dadanya berisi dendam, cemburu, dan sa-
kit hati! Keris itu memang berjodoh dengan Sucitro. Karena dialah yang
kuharapkan dapat menjadi pengganti
generasi penerus keluarga besarku! Dia harus menjadi seorang yang paling jahat
dan penyebar malapetaka
dikolong jagat ini. Sesuai dengan janjiku pada para iblis yang telah memberikan
aku kesaktian-kesaktian
serta bermacam ilmu ghaib!
Nah, kukira cukuplah keteranganku! Kini si-
lahkan kau kakek bangkotan yang pernah menjadi sa-
lah seorang suamiku mengambil kesimpulan. Salah-
kah aku kalau aku bersikap demikian" Bukankah tan-
pa kejahatan takkan tercipta keadilan" Dan buat apa
adanya kebenaran diatas jagat ini bila tak ada kejahatan?" Nenek bungkuk
Tengkorak Bolong mengakhiri penuturan riwayatnya yang kelam dan gelap.
Serrrr...! Bulu tengkuk kakek Bimo Gundil se-
perti merinding mendengar cerita si nenek bungkuk.
*** DUA BELAS Manusia edan! Kaulah biang malapetaka ini!"
membentak kakek Bimo Gundil. Lengannya bergerak
ke depan. Serangkum sinar putih menyambar ke arah
si nenek bungkuk.
"Hik hik hik... kau mau jadi pahlawan kesian-
gan?" Teriak nenek tua renta ini. Lengannya mengibas.
Whuuuk! Segelombang angin dahsyat menerpa memapaki
serangan si kakek Bimo Gundil.
Bhlarrr! Terdengar letusan hebat. Tubuh Bimo Gundil
tampak terhuyung beberapa langkah kebelakang. Se-
dangkan kaki si nenek bungkuk tampak melesak seba-
tas mata kaki. Terdengar si nenek batuk-batuk beberapa kali.
Dan setetes darah kental mengalir turun dari sudut
bibirnya yang keriput. Dengan ilmu memberatkan tu-
buh dia mampu menahan serangan lawan. Bahkan
kakek Bimo Gundil terhuyung beberapa langkah aki-
bat benturan kedua pukulan bertenaga dalam itu.
Namun ternyata berakibat si nenek bungkuk
sedikit terluka dalam. Ternyata tenaga dalam mereka
berimbang. Buktinya kakek Bimo Gundil juga menga-
lirkan darah dari mulutnya.
"Hik hik hik, tenaga dalammu cukup hebat,
Bimo Gundil. Tapi kau tak kan mampu menahan pu-
kulan ghaibku!" bentak si nenek bungkuk.
"Gunakanlah seluruh ilmu sesatmu, nenek
kuntilanak!" teriak Bimo Gundil dengan berang. Akan tetapi diam-diam dia telah
membentengi seluruh tubuhnya dengan kekuatan ghaib. Sebuah tongkat pen-
dek berwarna putih bagaikan salju telah ter-genggam
ditangannya. Nenek bungkuk Siluman Tengkorak Bolong
menggeram bagai terkena penyakit ayan. Sepasang
lengannya menyilang didepan dada. Bibirnya berke-
mak-kemik membaca mantera.
Sementara itu tak jauh dari tempat pertarun-
gan tampak sesosok tubuh berdiri sejak tadi melihat
semua kejadian. Bahkan mendengar pertengkaran ke-
dua kakek dan nenek itu. Dialah Nanjar alias si Dewa Linglung. Ketika dia
membedal kuda untuk mengejar
Jaka Kumbara, Nanjar tak berhasil menemukan jejak
pemuda pembuat malapetaka itu.
Mendadak telinganya mendengar suara benta-
kan-bentakan dan celoteh dua orang yang seperti ten-
gah bertengkar bicara. Dengan tanpa menimbulkan
suara Nanjar melompat dari kudanya. Kemudian me-
nyelinap kebalik batu mencari dari mana arah suara-
suara itu. Terlihatlah dua orang kakek dan nenek bung-
kuk yang sama-sama bertubuh aneh tengah saling
berhadapan. Dari pembicaraan kedua kakek nenek itu
Nanjar dapat mengetahui siapa adanya mereka. Tentu
saja dia dapat mengetahui kakek aneh bertubuh kurus
kecil berkepala besar itu adalah Bimo Gundil, dan nenek bungkuk itu yang
bergelar si Siluman Tengkorak
Bolong. Nanjar terkejut karena pernah mendengar na-
ma julukan itu, sebagai julukan seorang tokoh hitam
yang tak ada khabar ceritanya.
Dengan penuh perhatian Nanjar mengikuti ja-
lannya pertarungan, hingga dia lupa pada niatnya
memburu Jaka Kumbara.
Dua tokoh itu tampak saling menggunakan il-
mu-ilmu ghaib dan tengah saling serang. "Bimo Gun-
dil, tua bangka tengik! Lihatlah! Langit akan ambruk!
Badai taufan akan menggilasmu! Ombak lautan me-
nerjangmu untuk membinasakan kau manusia som-
bong yang sok menjadi pahlawan!" teriak si nenek bungkuk dengan suara melengking
parau. Tiba-tiba cuaca berubah gelap pekat. Angin ke-
ras membersit. Petir menyambar laksana kilatan-
kilatan lidah api. Dan Hujan badai bercampur air bah bergulung-gulung entah dari
mana datangnya menerjang kakek Bimo Gundil.
Laki-laki tua renta dongakkan kepalanya mena-
tap gulungan ombak dan badai yang bergulung-gulung
siap menelannya.
"Ilmu iblis!" sentak Nanjar dengan mata membelalak. Tanpa disadari dia telah
melompat ke atas ku-da karena ngeri tertambus lautan ombak dan badai
yang menggunung.
Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara ben-
takan kakek Bimbo Gundil.
"Asal api kembali menjadi asap, asal air kemba-
li menjadi uap. Asal badai kembali menjadi angin.
Dengan nama Tuhan yang Maha Pencipta, kembalilah
kalian pada asalnya!"
Bentakan itu disusul dengan menyambarnya
tongkat putih ditangan kakek Bimo Gundil ke arah si
nenek bungkuk. Blharr! Percikan cahaya merah menerangi udara. Le-
nyaplah seketika badai taufan dan ombak yang bergu-
lung-gulung serta kilatan lidah api yang menyambar-
nyambar. Cuaca kembali cerah seperti sedia kala.
Tongkat putih pendek kakek Bimo Gundil me-
luncur jatuh dan menancap dua inci diujung kaki si
nenek bungkuk Siluman Tengkorak Bolong. Saat itu-
lah Bimo Gundil menerjang perempuan tua itu.
"Kakek tua renta keparat! Terimalah ini!" bentak si nenek bungkuk. Ratusan sinar
hijau meluruk ke arah si kakek. Itulah pukulan Siluman Kelabang Hijau.
Terkesiap kakek Bimo Gundil. Serangan itu
adalah diluar dugaannya sama sekali. Pada saat itu
Nanjar telah melompat dari punggung kuda. Ditangan-
nya tergenggam pedang mustika Naga Merah. Melihat
bahaya mengancam si kakek, detik itu juga tubuh
Nanjar berkelebat...
PLAK! BHLARRR! Tiga batang tubuh tampak terlempar diiringi
pekikan-pekikan yang membaur merobek udara.
Sesaat suasana ditempat itu menjadi hening.
Begitu hening mencekam. Tiga sosok tubuh itu tak sa-
tupun yang terlihat bergerak.
Selang beberapa saat salah satu sosok tubuh
tampak bergerak. Itulah sosok tubuh Nanjar alias si
Dewa Linglung. Nanjar yang berusaha menyelamatkan jiwa Bi-
mo Gundil berhasil menggagalkan serangan maut ne-
nek bungkuk Siluman Tengkorak Bolong.
Dari mulut Nanjar mengalir darah kental kehi-
taman. Jelas dia terluka dalam. Pelahan dia bangkit
dan dengan pandangan nanar melihat kesekelilingnya.
Tampak kakek Bimo Gundil terkapar tak bergerak. Ta-
pi napasnya masih terlihat turun naik. Ketika berpaling pada si nenek bungkuk,
perempuan tua renta itu
telah tewas dengan dada tertembus pedang mustika
Naga Merah. Bagaimana hal itu bisa terjadi" Ternyata se-
detik sebelum terjadi benturan ketiga pukulan, Nanjar sempat menghunjamkan
pedang mustika Naga Merah
kedada si Siluman Tengkorak Bolong...
Dengan setengah menyeret tubuhnya Nanjar
mendekati kakek Bimo Gundil. Dadanya serasa sesak,
dan sakit sekali. Sejenak dia duduk untuk menyalur-
kan hawa murni mengusir racun yang mengendap da-
lam tubuhnya. Selang sesaat Nanjar kembali muntah-
kan darah kental menggelogok. Jelas pukulan si nenek bongkok sangat dahsyat.
Agaknya itulah pukulan terakhir yang dilepas
untuk membunuh lawan, karena dia yakin akan men-
girim nyawa lawan ke Akhirat.
Tak dinyana kemunculan Nanjar merobah na-
sib naas sang lawan yang berbalik menewaskan di-
rinya! Saat itu kakek Bimo Gundil telah siuman dari pingsannya. Napasnya
tersengal-sengal. Wajahnya pucat pias bagai tak berdarah. Jubah dibagian dadanya
tampak hangus, dan bergambar telapak tangan mem-
biru agak kehijauan. Ternyata yang telah terkena pu-
kulan si nenek bungkuk adalah kakek ini.
Kakek ini tersenyum menatap Nanjar. Dia men-
getahui kalau pemuda itulah yang telah membantunya
disaat kritis mengancam jiwanya. Sesaat dia menatap
Nanjar lalu berpaling memandang ke arah si nenek
bungkuk si Siluman Tengkorak Bolong yang telah te-
was dengan dada tertembus pedang Naga Merah. Meli-
hat benda pusaka itu tahulah Bimo Gundil siapa
adanya si pendekar muda itu.
"Ah... kiranya anda si Pendekar Naga Merah, si
Dewa Linglung yang telah kudengar namanya...! Teri-
makasih atas bantuanmu, sobat pendekar muda..."
"Kakek Bimo Gundil! kau terluka parah?" tanya Nanjar dengan suara parau.
"Heheh.. heh... tak apa. Aku puas karena telah
melihat kematian manusia biang malapetaka ini. Ta-
pi... bencana itu belum lenyap, anak muda..." Kata Bimo Gundil dengan suara
parau tersendat-sendat.
"Aku akan mencari jejak pemuda bernama Jaka
Kumbara itu, kakek... Tenangkan hatimu. Bertahanlah
untuk hidup. Aku akan membantumu menyembuhkan
lukamu... Haih! pukulan nenek tua renta itu sangat
mengerikan!" Nanjar merayap mendekati dan mencekal tangan si kakek yang
menggapainya. "Aku percaya kau akan berhasil menumpas-
nya..." kata Bimo Gundil dengan terharu. Digenggamnya tangan Nanjar erat-erat.
Dia merasa ajalnya sudah terlalu dekat. Ingin dia mengatakan sesuatu, tapi
napasnya telah memburu.
"Se.. selamat tingg... ggal, pendekar ga.. gah..."
Itulah ucapannya yang terakhir. Kepalanya ter-
kulai dan napasnya pun lepas meninggalkan raganya.
Nanjar terpaku beberapa saat.
Tapi segera sadar bahwa dia harus hidup dan
mengobati luka dalamnya. Karena tugas kependekaran
terus memanggil dirinya.
"Aku akan teruskan tugasmu, kakek Bimo
Gundil..! demi tegaknya keadilan dan kebenaran di-
bumi... ini...!" Kata Nanjar berdesis. Lalu melepaskan cekalan tangannya pada
lengan kakek itu yang telah
mendahului pergi ke Alam Baka.
Lama Nanjar berdiri terpaku memandang dua
mayat dihadapannya. Pedang mustika Naga Merah ba-
ru saja disarungkan kebelakang punggung. Lalu me-
nutup gagang pedang dengan kain buntalannya. Dike-
jauhan tampak debu mengepul...
Ternyata orang-orang perguruan Tongkat Suci
telah menyusul ke tempat itu. Saat itu kuda berbulu coklat kemerahan pemberian
Kandilangu berlari mendekati si Dewa Linglung...
Nanjar gerakkan tubuhnya melompat kepung-
gung binatang itu.
"Aku harus segera pergi secepatnya..." desis Nanjar. Dia tak ingin membuat
kecewa si Serigala Putih Jantan Pranajaya dan anak-anak buahnya. Nanjar
cepat membedal kudanya meninggalkan tempat itu.
Menerobos semak belukar, dan lenyap ditelan hutan


Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rimba... Ketika fajar merekah, nun jauh dibelakang bu-
kit dan pegunungan tampak seorang pemuda berpa-
kaian kumal menunggang kuda diantara jalan setapak.
Dari mulutnya terdengar suara nyanyian seperti se-
buah sajak yang diulang-ulang beberapa kali.
"Hidup ini seperti mimpi...
Bertarung adalah permainan kaum pendekar.
Beginilah hidup si pengelana...
Bercanda dengan maut!
Bergurau dengan kemelut...!
Entah dimana adanya kedamaian"
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kemelut Di Cakrabuana 1 Istana Kumala Putih Karya O P A Pendekar Guntur 2
^