Pencarian

Munculnya Keris Kiyai Jaran 1

Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang Bagian 1


Dia datang Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti
orang linglung Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng 'lima' tokoh aneh
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU SUARA TERIAKAN GADIS itu terhenti ketika
lengan si penculik bergerak menotok urat suaranya.
Selanjutnya dengan gerakan ringan si penculik berke-
lebat cepat ke arah hutan rimba di belakang bukit.
Kecepatan bergerak orang ini memang sangat
mengagumkan. Dengan sebat terus menerobos masuk
ke dalam hutan rimba. Tak lama bayangan si penculik
yang memanggul korbannya dipundak itupun lenyap
ditelan rimbunnya pepohonan dan semak belukar...
Ternyata si penculik ini berpikiran cerdik. Dia
tak terus merambah hutan rimba. Tapi segera membe-
lok ke arah timur. Dan menuju ke arah muara sungai
yang harus melewati bukit berbatu-batu.
Secara kebetulan tampak sebuah perahu ter-
tambat di tepi muara. Entah perahu milik siapa....
Tak berayal segera laki-laki ini bergerak me-
lompat mendekati.
"Bagus, sampan ini agaknya memang disedia-
kan untukku...!" gumamnya dengan tertawa menyeringai. Ringan sekali gerakannya.
Sekali berkelebat dia telah hinggapkan kaki di tengah sampan. Perahu yang
agak lumayan besarnya itu hanya bergoyang sedikit.
Kemudian dengan sebat dia membaringkan gadis da-
lam pondongannya ke atas geladak.
Sekali lengannya membetot, putuslah tambang
pengikat perahu itu.
Kemudian dengan dayung ditangannya dia
mendorong sampan ke tengah sungai.
Tak lama perahu itupun telah meluncur cepat
membelah air menuju ke hilir dan terus ke laut lepas.
Dalam beberapa saat saja sudah tak kelihatan
lagi.... Pemuda ini tertawa menyeringai. Ternyata dia
tak lain dari Sucitro alias Jaka Kumbara. Gadis itu
adalah Kuntari yang diculiknya dari pesanggrahan
Tongkat Suci. Kini sepasang matanya mulai menampakkan
kejalangannya menatap sosok tubuh gadis cantik yang
tergolek tak sadarkan diri digeladak perahu.
Dayungnya tak dipergunakan untuk mengayuh
lagi, dan membiarkan perahunya terapung-apung tan-
pa arah dipermainkan gelombang. Sementara sepasang
matanya mulai menjalari sosok tubuh gadis dihada-
pannya. Menyusuri lekuk liku tubuh sang dara cantik
mata membinar-binar.
Sekejap kemudian Jaka Kumbara telah mele-
takkan dayungnya di sisi buritan. Dan melangkah le-
bar mendekati sang korban.
"Haha... sungguh beruntung aku mendapatkan
gadis semanis ini. Jaka Kumbara memang pandai me-
milih gadis cantik!" berkata dia menggumam memuji dirinya sendiri.
Bagaikan seekor serigala yang siap melahap
mangsanya, lengan Jaka Kumbara menjulur.... Dan...
Bret! bret! Brebeet!
Dalam beberapa kali gerakan saja dia telah
membuat pakaian si gadis koyak-koyak.
Napas Jaka Kumbara memburu. Hidungnya
kembang-kempis. Air liurnya menetes dan matanya ja-
lang membinar-binar merayapi bagian-bagian tubuh
sang dara yang membuat darahnya serasa panas ber-
golak. Kejap berikutnya dia telah lepaskan pakaian
atasnya. Kemudian melepaskan keris yang terselip di
ikat pinggang, dan meletakkannya di sisi geladak.
Sementara ombak terus mempermainkan pera-
hu mengombang-ambingkan kesana kemari.
Di saat itu, tiba-tiba angin bertiup keras. Cuaca
mendadak menjadi gelap. Entah dari mana munculnya
tahu-tahu pusaran angin menyapu ombak, hingga pe-
rahu itu seketika jadi berputar-putar.
Pemuda ini jadi terperanjat melihat kejadian
aneh itu. Lengannya cepat menyambar keris pusa-
kanya, lalu berpegang kuat pada sisi badan perahu.
"Apakah yang terjadi?" sentaknya dalam hati.
Wajahnya berubah pucat pias. Jaka Kumbara merasa
telah berbuat kesalahan, tapi tak tahu kesalahan apakah yang telah dilakukannya,
pikirnya dalam benak.
Diiringi kilatan petir yang menyambar-nyambar
tiba-tiba terdengar suara tertawa yang membuat berdi-ri bulu roma.
"Hoahaha...haha...haha... Jaka Kumbara, be-
lum saatnya kau mengumbar keinginanmu! Kau harus
menunjukkan baktimu terlebih dulu pada Raja Iblis!
Kau bakal banyak menghadapi tantangan! Oleh karena
itu kau harus menghadap sang Maharaja Iblis untuk
menyempurnakan ilmu yang kau miliki...!"
Sepasang mata Jaka Kumbara terbelalak men-
dengar suara yang membangunkan bulu roma itu.
Disamping rasa takut dan khawatir yang luar biasa,
pemuda ini segera menjawab.
"Aku...aku bersedia! Aku akan menghadap Raja
Iblis! Tapi tunjukkan dimana aku harus menemuinya!"
suara lantang Jaka Kumbara membaur diantara deru
angin dan deburan ombak.
Tak ada jawaban! Pusaran angin masih mem-
buat perahu itu berputar-putar.
Tapi semakin lama semakin perlahan. Cuaca
ternyata telah kembali menjadi cerah. Ombak telah
menjadi tenang seperti sedia kala. Camar-camar laut tampak mulai terlihat
beterbangan diatas permukaan
air. Perahu itu telah berhenti berputar dan terom-
bang-ambing dipermainkan ombak kecil. Sesekali me-
nimbulkan suara gemericik air yang menampar badan
perahu. Sosok tubuh gadis itu masih terkapar membu-
gil digeladak. Akan tetapi aneh! Si pemuda bernama
Jaka Kumbara itu tak kelihatan berada di atas perahu.
Ya! Jaka Kumbara memang telah lenyap dari perahu
itu... Hanya pakaian atasnya saja yang teronggok digeladak.
*** Sebuah sampan kecil meluncur dari kejauhan
mendekati perahu yang terapung-apung ini. Sampan
kecil itu dinaiki oleh dua orang kakek dan nenek tua renta yang rambutnya sudah
memutih. Si kakek mengenakan jubah bulu yang dijahit
bersambung-sambung dari sejenis binatang pemakan
ikan. Sedangkan si nenek pasangannya mengenakan
jubah kembang-kembang warna-warni. Sepintas mere-
ka seperti sepasang remaja yang tengah pelesir dengan berperahu menikmati
keindahan alam dan laut.
Hanya saja keduanya bukan remaja lagi, tapi
sepasang kakek dan nenek yang sudah keriput.
Anehnya bukan si kakek yang mendayung pe-
rahu, tapi wanita pasangannya yang mempergunakan
dayung mengayuh perahu sampan kecil itu.
Sedangkan si kakek enak-enakkan duduk ber-
sila. Yang lebih aneh adalah gerakan mendayung si
nenek tua itu. Tampaknya dia cuma sekali dua men-
gayuh dayungnya, tapi gerakan meluncur sampan ke-
cil itu demikian pesatnya.
Siapa adanya kakek dan nenek berpakaian
aneh itu" Ternyata mereka adalah dua orang tokoh
Rimba Persilatan. Si kakek adalah seorang tokoh yang bergelar si Cerpelai Sakti.
Dan si nenek pasangannya bergelar si Musang Betina Mata Empat. Gelarnya
kedengarannya sangat aneh. Tapi diwilayah tenggara
nama gelar itu sangat terkenal dan ditakuti para bajak laut. Yang menjadi
perhatian si Musang Betina Mata
Empat adalah sebuah perahu yang sejak tadi tera-
pung-apung di tengah laut.
Dia dengan sahabatnya yang tengah berperahu
menuju ke sebuah pulau diselat tersebut, segera memutar kemudi. Hatinya tertarik
untuk mengetahui sia-
pa si pemilik perahu, dan apa yang telah terjadi. Karena dia melihat adanya
kejanggalan pada perahu itu
yang terapung-apung di tengah laut seperti tiada yang mengemudikan.
Ketika perahu mereka hampir mendekat, si ne-
nek berhenti mengayuh.
Perahu itu meluncur terbawa sisa tenaga kayu-
han, dan pelahan-lahan makin mendekati. Laki-laki
berjubah bulu telah bangkit berdiri. Kepalanya terjulur untuk melihat isi
perahu. Akan tetapi berbeda dengan si nenek Tubuhnya berkelebat melompat dengan
gerakan indah bagaikan burung camar melampaui kepala
si Cerpelai Sakti.
Gerakannya sangat ringan ketika sepasang ka-
kinya hinggap digeladak perahu.
Baru saja ujung kakinya menyentuh papan pe-
rahu, terdengar si nenek berteriak kaget. Sepasang
matanya membelalak menatap sosok tubuh yang terge-
letak didepannya.
"Ada apa, sobat Musang Betina?" teriak si Cerpelai Sakti mendengar si nenek
tersentak seperti orang terkejut. Walaupun dia telah berdiri dan julurkan kepala
untuk melihat ke dalam perahu yang terapung
itu, tapi karena terhalang tubuh si nenek yang hinggap digeladak perahu itu
membelakanginya, pandangan
matanya jadi terhalang.
Tak sabar menunggu jawaban si nenek, kakek
ini enjot tubuhnya untuk menyusul melompat ke pe-
rahu tersebut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara bentakan si nenek membelah
udara. Gerakan lengan si nenek yang mengibas itu
menyambar tubuh si Cerpelai Sakti yang tengah me-
lambung di udara.
"Kembali ke tempatmu, kakek tua bangka!"
Tentu saja laki-laki tua ini jadi terkejut karena
tahu-tahu dia merasakan sambaran angin keras yang
menghantam ke arahnya. Mau tak mau dia gunakan
sepasang lengannya untuk menangkis serangan. Plak!
Karena si Cerpelai Sakti tak gunakan tenaga
penuh untuk menangkis, tubuhnya terpental balik.
Nyaris saja dia tercebur ke laut. Akan tetapi satu tenaga aneh dari sepasang
lengannya telah menarik perahu kecil yang ditumpangi itu meluncur mendekat.
Hingga dengan aman dia dapat jejakkan kaki lagi diperahunya semula. Seketika wajah si
kakek ini berubah merah. Hatinya agak mendongkol dengan perbuatan si nenek
kawan seperjalanannya itu.
"Apakah yang kau lihat, nenek peot hingga kau
menolak aku untuk turut melihatnya?" teriak si Cerpelai Sakti menggembor
penasaran. Gerakan benturan tenaga dalam tadi cukup
membuat kaki si nenek bergeser setapak dari tempat
berdirinya. Badan perahu yang dipijaknya agak oleng
dan bergoyang. Si nenek perdengarkan suara tertawa aneh. La-
lu balikkan tubuh ke arah si Cerpelai Sakti.
"Maaf, sobat tua, kukira kau bukanlah seorang
kakek mata keranjang makin tua makin jalang, bu-
kan" Di dalam perahu ini ada tergeletak seorang gadis yang kukira dalam keadaan
pingsan. Akan tetapi keadaan pakaiannya tidak keruan, dan hampir-hampir tak
berpakaian sama sekali. Itulah sebabnya aku melarang kau melihatnya!"
Penjelasan si nenek Musang Betina Mata Empat
membuat si Cerpelai Sakti jadi membelalakkan mata
karena terkejut.
"Oo... pantas...pantas, tanpa hujan angin kau
menyerangku, rupanya itulah sebabnya...!" berkata si Cerpelai Sakti dengan
manggut-manggutkan kepala.
"Benar, kuharap kau memaafkan sikapku ba-
rusan, sobat tua Cerpelai Sakti!" sahut si nenek dengan tersenyum.
"Tak apa! Lalu apa yang harus aku lakukan?"
Kakek ini goyang-goyangkan tangannya, seraya
jatuhkan pantatnya kembali duduk dilantai papan pe-
rahu. "Kau tunggulah sebentar! Nanti kalau sudah
"aman" baru kuperkenankan naik ke perahu ini!" kata si nenek seraya balikkan
tubuh dan segera bergegas
memeriksa keadaan gadis tersebut.
Benarlah, gadis itu hanya pingsan saja. Namun
dia mengetahui sang gadis dalam keadaan tertotok.
"Hm, agaknya seseorang telah berniat memper-
kosanya. Tapi belum sampai terjadi..." gumam si nenek dengan mengerutkan
keningnya. Matanya menatap
pada seonggok pakaian atas diatas geladak. Disambar-
nya pakaian atas itu, lalu diperiksanya.
"Bagus, untung ada pakaian ini... bisa diper-
gunakan untuk menutup tubuhnya!" desis si nenek.
Kemudian cepat menutupi bagian tubuh terla-
rang si gadis. "Entah siapa manusia bejat yang tak ta-hu adat itu" Untunglah....
gadis ini masih suci. Aku
harus segera membuka totokan dan menyadarkannya"
pikir si nenek.
Cepat dia julurkan lengannya untuk membuka
jalan darah yang tertutup dibeberapa tempat tubuh
dara itu. Lalu memijit-mijit tengkuk Kuntari untuk
menyadarkannya. Tak lama gadis itupun membuka
matanya. Terbelalak mata Kuntari melihat seorang pe-
rempuan tua berada dihadapannya.
"Oh, siapa kau?" sentaknya dengan wajah pucat. Ketika dia melihat pakaiannya
sobek-sobek dan
keadaan tubuhnya sedemikian rupa, dia tersadar akan
apa yang telah terjadi. Segera dia teringat bahwa dirinya telah ditotok dan
dibawa lari oleh laki-laki yang membuat kerusuhan dipesanggarahan Tongkat Suci.
Detik itu juga tiba-tiba dia menjerit histeris, la-
lu jatuh terkulai tak sadarkan diri...


Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Musang Betina Mata Empat jadi geleng-
gelengkan kepala, seraya menghela napas.
"Kukira belum saatnya aku menanyakan keja-
dian yang telah menimpa pada anak ini. Entah siapa
bocah perempuan ini..." Sebaiknya kubawa saja kepe-
rahuku!" pikir si nenek.
Baju milik Jaka Kumbara segera dikenakan pa-
da tubuh gadis itu. Kemudian si nenek mengeluarkan
sesuatu dari dalam jubahnya. Ternyata sebuah kain
sutera hitam. Kain tersebut lalu dipergunakan untuk
membungkus tubuh Kuntari. Setelah selesai cepat dia
memondong tubuh si gadis.
"Gadis ini perlu pertolongan, sobat Cerpelai tua!
Kita akan membawanya sekalian ketempat tujuan. Aku
belum bisa menanyakan apa yang telah terjadi, karena dia pingsan lagi...!
Seseorang telah menotoknya!" kata si nenek menatap si Cerpelai Sakti yang tengah
memandang ke arahnya.
"Matamu memang tajam, nenek peot. Pantas
kau mencurigai perahu yang terapung-apung ini! En-
tah anak gadis siapa bocah perempuan ini?" kata si kakek Cerpelai Sakti
memandang gadis dalam pondongan si nenek setelah wanita tua ini melompat ke
perahunya. "Hm, kini giliran kau yang mengayuh perahu!"
berkata si Musang Betina tanpa menanggapi kata-kata
kawan seperjalanannya.
"Heheh... heh... baik, aku memang sudah bosan
duduk ongkang-ongkang kaki saja!" tertawa si Cerpelai Sakti. Selesai berkata
mendadak tubuhnya mencelat
ke udara dengan gerakan salto yang indah. Gerakan
ini dilakukan laki-laki tua ini adalah untuk berpindah tempat duduk diburitan
perahu. Ilmu meringankan
tubuh si Cerpelai Sakti memang tak berada di bawah si nenek. Dengan ringan
kakinya menjejak di lantai papan buritan perahu tanpa menimbulkan goyangan se-
dikitpun. Tak lama dia telah jatuhkan pantatnya duduk
diatas sampan. Dan sesaat antaranya sampan kecil itu telah meluncur pesat
bagaikan terbang diatas air...
Si Musang Betina Mata Empat telah pula du-
duk dengan memondong tubuh dara yang masih tak
sadarkan diri ini.
DUA Jaka Kumbara merasakan tubuhnya melayang
pesat di udara. Pandangan matanya nanar dan menja-
di gelap. Dia merasakan sekujur tulang persendian tubuhnya seperti dilolosi.
Lemah tanpa tenaga. Akhirnya dia tak tahu apa-apa lagi.
Entah beberapa saat lamanya kemudian, ketika
Jaka Kumbara membuka matanya, dia jadi terkejut
karena telah berada didalam sebuah gua berbau pen-
gap. Pemuda ini jadi belalakkan matanya memandang
kesekeliling yang cuma dinding-dinding batu cadas.
"Hah... dimanakah aku!" sentaknya berdesis.
Saat itulah terdengar suara yang berpantulan diiringi suara tertawa menyeramkan
dari sekeliling penjuru.
"Jaka Kumbara, disinilah tempat kau bertapa!
Lakukanlah tapa selama empat puluh hari empat pu-
luh malam untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang
kau miliki!"
Suara itupun lenyap bersamaan dengan le-
nyapnya pula suara tertawa yang menggidikkan dari
sekeliling ruangan goa. Itulah suara-suara tertawa pa-ra iblis! Agaknya digoa
inilah tempat yang diperuntukkan bagi Jaka Kumbara untuk menyempurnakan il-
munya. "Terima kasih, pukulun.....hamba akan melaksanakannya, hamba akan
melaksanakannya!" sahut
Jaka Kumbara alias Sucitro dengan tergagap.
Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Ke-
tegangan yang amat luar biasa menyelinap dalam ha-
tinya. Jantungnya berdebaran keras. Dan keringat
dingin mengembun ditengkuknya.
Ruangan goa itu amat menyeramkan. Batu-
batu runcing berbentuk kerucut serta relung-relung
goa yang bagaikan ruas tulang didalam rongga perut
ular raksasa. Puluhan tulang tengkorak kepala manu-
sia bergeletakan disekitar ruangan. Dan hampir dis-
etiap sudut penuh dengan sarang laba-laba. Sementa-
ra suara cicit-cicit kelelawar semakin menambah se-
ramnya suasana didalam goa itu.
Jaka Kumbara mendapatkan keris kutukan ib-
lis masih tergenggam ditangannya. Lengannya tergetar memegang benda itu.
Tiba-tiba benda itu lenyap sirna dari tangan-
nya, dan berubah menjadi segumpal asap hitam. Lagi-
lagi ia terperangah. Saking terkejutnya, nyaris pemuda itu jatuh pingsan, karena
asap hitam itu tahu-tahu telah berubah menjadi sesosok makhluk yang menye-
ramkan. Tubuhnya berbulu. Kedua kakinya mirip kaki
binatang. Perutnya buncit. Wajahnya sangat menye-
ramkan. Sepasang matanya bulat besar dan berwarna
merah menyala bagai bara api. Rambutnya putih be-
riapan bergerak-gerak seperti hidup. Seringainya me-
nakutkan memperlihatkan gigi-gigi yang runcing. Dan
lidah yang terjulur panjang meneteskan lendir. Baunya busuk membuat perut mulas
mau muntah. Makhluk ini perdengarkan suara tertawa terke-
keh-kekeh yang membuat jantung Jaka Kumbara se-
rasa berhenti berdenyut.
"Jaka Kumbara, kau akan memiliki kerismu la-
gi, bila kau telah selesai bertapa!" berkata makhluk itu.
Kemudian makhluk penjelmaan keris Kutukan Iblis itu
lenyap sirna. "Oh., terima kasih, terima kasih, Pukulun...!"
kata Jaka Kumbara seraya bersujud. Rasa girang dan
takut menjadi satu membuat tubuhnya tergetar den-
gan sekujur tubuh basah oleh keringat dingin.
Demikianlah, si pemuda bernama Jaka Kum-
bara itupun bertapa didalam goa itu menjalankan pe-
rintah yang diterimanya...
Pagi hari dibulan Maulud itu sangat cerah. Ma-
tahari membersit sinarnya yang masih lemah, mem-
buat kilauan-kilauan embun yang melekat di dedau-
nan bagaikan butir-butir mutiara.
Deburan ombak dipesisir pantai Pulau Bali me-
nerbitkan irama-irama syahdu diselingi suara bangau
dan camar-camar laut yang bersliweran diatas permu-
kaan air. Pesisir pantai itu jauh dari perkampungan ne-
layan. Suasana tempat itu kelihatan tenang dan tenteram. Sebuah pondok kayu
beratap rumbia dengan
tiang-tiang pancang yang panjang terlihat tak jauh dari pantai pasir putih.
Sesosok tubuh tampak bergerak membuat lom-
patan-lompatan diatas karang dan pasir. Tampaknya
seperti tengah berlatih ilmu silat. Siapa dia adanya, tak lain dari seorang
gadis berpakaian warna merah jam-bu. Dia membuat gerakan melompat-lompat dengan
sesekali lengannya mengibas atau memukul dengan
pukulan kosong.
Selang belasan jurus tampak sang gadis meru-
bah gerakan, Tubuhnya meletik indah, sebelah kaki terangkat merentang sembilan
puluh derajat. Sedang se-
belah lagi tegak lurus. Gerakan ini dibarengi dengan teriakan yang menyibak
udara, Ternyata sasarannya adalah sebatang pohon
kelapa yang sudah tak berdaun lagi.
Whuuuuuk! Kiranya jurus tendangan ini berisikan tenaga
dalam. Karena angin keras segera menyambar ke arah
batang pohon nyiur itu.
DUK! Krraaak...! BRRUUUK!
Sangat luar biasa, tanpa kakinya menyentuh
sasaran, ternyata batang pohon nyiur itu telah patah berderak dan roboh tumbang.
Sementara sang gadis
membuat gerakan melompat kebelakang dengan lom-
patan salto, dan hinggapkan kaki dengan ringan diatas pasir. Sejenak dara ini
termangu-mangu. Tampaknya
dia tak menyangka kalau jurus tendangan ini dapat
berhasil dengan memuaskan.
Pada saat itulah terdengar suara tertawa terke-
keh diiringi munculnya sesosok tubuh dari pintu pon-
dok. "Hihih... hihih... bagus, kau telah berhasil
mempergunakan jurus menendang Iblis, muridku! He-
bat, hebat! Dalam waktu cuma satu setengah bulan
kau telah dapat melakukan dengan sempurna!"
Entah bagaimana berkelebatnya sosok tubuh
itu, tahu-tahu telah berada dihadapan si gadis. Ter-
nyata dia seorang nenek tua berjubah putih. Siapa
adanya nenek ini tiada lain dari si Musang Betina Mata Empat. Dan gadis itu
tiada lain dari KUNTARI, yang telah ditolong dan dibawa ketempat ini oleh si
nenek bersama seorang kakek tua si Cerpelai Sakti. Kuntari terkejut, karena menyangka
wanita tua itu tak ada di-pondok.
"Aih, guru..., kapan kau kembali!" Bukankah
kau mengatakan akan kembali besok sore?" tanya si gadis seraya jatuhkan diri
duduk bersimpuh di depan
wanita itu. "Hi...hih... aku membatalkan niatku untuk me-
nemui si Cerpelai tua, karena kupikir dia belum selesai dengan urusannya!"
"Eh. Sejak kapan kau berlatih, sepagi ini sudah berkeringat?" tanya si nenek.
"Sejak shubuh tadi, guru..." sahut Kuntari seraya bangkit berdiri. "Bocah
gendeng, tahukah kau bahwa jurus menendang Iblis itu baru bisa dikuasai
kurang lebih selama enam bulan" Tapi kau cuma da-
lam waktu singkat telah berhasil menguasai!" si nenek geleng-geleng kepala
kagum. "Ah, guru terlalu memuji..." tukas Kuntari tersipu. Tapi diam-diam hatinya
girang bukan main. Pa-
dahal hampir setengah bulan dia melakukan jurus
tendangan itu dengan sasaran batang pohon kelapa
itu, tapi jangankan batangnya patah atau hancur. Ber-gemingpun tidak. Adalah
sangat aneh kalau tadi dia
bisa menumbangkannya...
"Hm, jurus-jurus pukulan yang terdiri dari tiga belas jurus itupun kulihat kau
telah menguasai. Cuma kau mempergunakan tanpa berisikan tenaga dalam!"
"Apakah nama ketiga belas jurus itu, guru?"
tanya Kuntari. "Itulah yang tak bisa kujawab! Karena aku be-
lum memberikan nama jurus-jurus itu!" sahut si nenek sambil memijit-mijit
dagunya. "Aneh, jadi jurus-jurus itu tanpa nama?"
"Hah" Apa katamu" Jurus tanpa nama?" sen-
tak si nenek dengan mata melotot lebar.
"Ya, guru.....karena jurus-jurus itu tak berna-
ma, jadi kukatakan tanpa nama?" kata Kuntari dengan menatap heran.
Mendadak si nenek berjingkrak melompat se-
raya berteriak, dan tertawa terkekeh-kekeh.
"Hih...hih... nama yang bagus, nama yang ba-
gus! Kukira itulah nama yang tepat untuk ketiga belas jurus itu!" teriak si
Musang Betina Mata Empat.
"Jadi...jadi maksud guru, nama ketiga belas ju-
rus itu adalah jurus tanpa Nama?"
"Benar, benar! Itu yang kumaksudkan. Kau bo-
leh beri nama begitu...!" sahut wanita tua itu dengan tertawa terkekeh.
Kuntari jadi geleng-geleng kepala. "Aiih, kau ini ada-ada saja, guru...!" kata
Kuntari dengan tersenyum.
Tapi dia setuju dengan nama itu.
"Hm, perasaanku agak lain, muridku... tam-
paknya bakal terjadi sesuatu. Sayang... padahal se-
tengah bulan lagi adalah giliran si Cerpelai Sakti untuk memberikan jurus-jurus
simpanannya padamu!" suara si nenek seperti bergumam walaupun ditujukan pada
muridnya. Kuntari agak melengak, tapi sebelum dia ber-
tanya, si nenek telah menyambung kata-katanya.
"Si Cerpelai tua itu adalah orang yang paling
sabar didunia ini. Kelak kalau kau beruntung men-
dapatkan ilmunya, tak akan semudah itu orang mero-
bohkanmu. Sayang, dia sedang ada urusan. Menurut
perhitungan dia sudah tiba kemarin sore..."
"Urusan apakah yang sedang dikerjakannya,
guru?" tanya Kuntari.
"Marilah kita duduk didalam pondok, muridku.
Mungkin keteranganku ada gunanya buatmu...!" sahut si wanita tua. Lalu balikkan
tubuh dan melangkah
menuju pondok. Dengan benak diliputi bermacam pertanyaan,
Kuntari mengikuti si nenek. Sikap gurunya yang aneh
itu membuat dia tak mengerti.
Namun dia tak dapat banyak bertanya. Selain
mematuhi perintah sang guru.
Deburan-deburan ombak yang memecah dipan-
tai seperti juga deburan jantungnya. Entah hal apakah yang akan diceritakan si
nenek gurunya itu mengenai
urusan si Cerpelai Sakti. Dan siapakah sebenarnya si Cerpelai Sakti itu"
TIGA Setahun yang lalu seorang pendekar dari pulau
Bali bernama I Made Galung telah meminjam senjata
pusakanya. I Made Galung adalah keponakan iparnya,
atau suami dari keponakannya. Yaitu anak perempuan
adik kandung si Cerpelai Sakti!" kata si nenek memulai keterangan.
"Senjata pusaka si Cerpelai Sakti adalah se-
buah keris yang terbuat dari besi kuning, yang dina-
mai Kyai Jaran Goyang. Kabarnya keris itu bisa men-
geluarkan suara seperti ringik kuda...! Senjata pusaka itu dipinjam berkenaan
adanya suatu wabah penyakit
yang mengkhawatirkan didesa Tegalingga, tempat me-
netap I Made Galung."
"Akan digunakan untuk apakah keris tersebut"
Apa hubungannya dengan wabah penyakit?" tanya
Kuntari tak mengerti.
"Menurut keterangan I Made Galung, akan di-
pergunakan untuk tumbal! Karena menurut seorang
dukun sakti dari Klungkung, penyakit itu bisa lenyap dengan tumbal keris besi
kuning!" Kuntari manggut-manggut mengerti. Lalu diam
mendengarkan uraian sang guru. Walaupun sebe-
narnya hatinya bertanya-tanya, penyakit apakah yang
sangat aneh obatnya itu"


Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi ternyata belakangan baru diketahui, ka-
lau I Made Galung telah diperdayai oleh si dukun dari Klungkung itu yang sengaja
menyebarkan penyakit
terhadap keluarga I Made Galung.
Tujuannya adalah karena dia mengetahui I
Made Galung mengikat kekeluargaan dengan orang ta-
nah Jawa. Dan salah satunya adalah si Cerpelai Sakti yang menjadi kakak mertua I
Made Galung. Kesempa-tan itu dipergunakan baik-baik. Entah dari mana kha-
barnya dia mengetahui si Cerpelai Sakti memiliki senjata keris besi kuning.
Sudah lama dia menginginkan benda pusaka
itu. Penyakit yang disebar si dukun itu adalah pe-
nyakit aneh, karena dia mempergunakan cara ghaib
dengan bantuan setan! Istri I Made Galung diguna-
guna menjadi seperti orang hilang ingatan. Dia hanya mau diobati oleh si dukun
tua yang bernama Wayan
Gde Nepsu itu. Dan menolak diobati oleh siapa saja.
Hal itulah yang membuat si Cerpelai tua bingung.
Tentu saja permintaan si dukun dari Klung-
kung itu harus diturut, kalau tak mau sang kepona-
kannya itu kehilangan jiwa. Apalagi adiknya sangat sekali mengharapkan
pertolongannya.
Dukun tua itu berjanji akan mengembalikan se-
telah Ktut Malini sembuh dari penyakitnya...!" Si nenek berhenti sebentar. Dia
terbatuk-batuk beberapa saat
ketika meneguk air kendi yang disediakan Kuntari.
"Lalu bagaimana, guru...?" tanya Kuntari tak sabar. "Dapatkah penyakit Ktut
Malini disembuhkan?"
"Itulah yang menjadi persoalan! Karena si du-
kun itu bukannya mengobati penyakitnya, tapi juga
mencicipi tubuhnya!"
"Oh...!?" Kuntari tersentak dengan membelalakkan mata.
"Dukun keparat!" memaki Kuntari dengan gigi gemeretuk.
"Lalu bagaimana selanjutnya, guru?" desak si gadis anak seorang tokoh persilatan
bernama PUR-BAYANA itu.
"Ktut Malini memang bisa disembuhkan. Akan
tetapi sekaligus I Made Galung menceraikan istrinya!"
"Aiih... kasihan pemuda Bali itu...!" berkata hati Kuntari.
"Bagaimana dengan keris pusaka kakek Cer-
pelai Sakti" Apakah lalu dikembalikan?" tanya Kuntari.
Si nenek menghela napas, lalu menjawab de-
ngan suara agak trenyuh.
"Keris pusaka itu menurut Wayan Gde Nepsu
hilang tanpa krana, setelah keponakan si Cerpelai Sak-ti itu sembuh dari
penyakitnya. Menurut Wayan Gde
Nepsu telah menjadi tebusan atas penyakit Ktut Mali-
ni. Si Cerpelai tua tak bisa bilang apa-apa selain menerima kenyataan itu. Tapi
I Made Galung merasa tak
enak hati pada orang tua itu.
Dia berjanji akan menggantinya dengan senjata
pusaka lain. I Made Galung kemudian menghilang dari pesi-
sir pantai Pulau Bali dan sampai beberapa bulan ini
tak ada khabarnya....!"
Kuntari manggut-manggut mendengar penutu-
ran si nenek. "Lalu maksud apakah kakek Cerpelai datang ke
pulau Bali ini?"
"Dia akan membawa pulang keponakannya,
kembali ke tanah Jawa!"
Kuntari krenyitkan keningnya, lalu berkata.
"Ada dua hal yang aku kurang jelas, guru! Pertama, apakah Ktut Malini kemudian
menikah dengan dukun
dari Klungkung itu" Dan kedua, bukankah I Made Ga-
lung mengetahui kalau istrinya telah sengaja diguna-
gunai oleh dukun itu, tapi mengapa dia tak ambil tindakan pada manusia itu?"
Nenek tua ini tertawa terkekeh, lalu menjawab.
"Aku mana mengetahui urusan I Made Galung" Tapi kukira dengan menceraikan
istrinya itulah tindakan
tegas yang dilakukannya!"
"Hm, hal ini agaknya masih bisa masuk akal.
Mungkin kepergiannya adalah untuk mencari peng-
ganti keris pusaka kakek Cerpelai dengan senjata pu-
saka lain!" berkata Kuntari dalam hati.
"Mengenai Ktut Malini, walaupun telah menjadi
istri atau tidak, si Cerpelai tua harus memaksanya untuk kembali. Karena atas
permintaan kedua orang tu-
anya!" Barulah Kuntari mengerti apa maksudnya si Cerpelai Sakti itu berangkat ke
Klungkung. Disamping memikirkan keadaan orang, diam-diam Kuntari sendiri
memikirkan keadaan nasibnya. Selama satu setengah
bulan dia berada dipesisir pantai Bali, dia mulai terin-
gat pada manusia bernama JAKA KUMBARA, yang te-
lah menculik dan nyaris memperkosa dirinya itu. Bah-
kan laki-laki itupun telah membunuh Purbarini si Srigala Putih Betina alias
bibinya. Dan membunuhi bela-
san anak buah perguruan Tongkat Suci yang diketuai
oleh bibi dan pamannya si Srigala Putih Jantan, Pra-
najaya... Selain itu juga beberapa orang tokoh persilatan
yang menjadi tetamu undangan turut menjadi korban
ketelengasan manusia itu.
Diam-diam Kuntari bersyukur dapat tertolong
oleh si nenek Musang Betina Mata Empat ini yang ke-
mudian mengangkatnya sebagai murid.
Ada satu hal yang membuat dia agak heran.
Yaitu sikap gurunya. Tampaknya sang guru seperti te-
gang sejak sebelum memulai percakapan di dalam
pondok. Kini dilihatnya ketegangan di wajah si nenek semakin jelas.
Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah. Ke-
tajaman mata Kuntari ternyata dapat mengetahui ka-
lau diam-diam si nenek tengah mengatur pernapasan.
Dan menyalurkan tenaga dalam kesegenap anggota
tubuhnya. Jantung gadis ini berdetak keras. Keanehan si-
kap dan kata kata si nenek tadi diluar pondok segera dapat terjawab, karena
tiba-tiba si nenek perdengarkan suara menyapa yang ditujukan pada seseorang di-
luar pondok. "Sobat Cerpelai Tua, kau sudah datang?"
"Kakek Cerpelai Sakti?" sentak Kuntari ke-
rutkan kening, menatap si nenek dengan heran dan
memandang keluar pondok.
Saat itu si nenek telah berkelebat melompat ke-
luar dari dalam pondok.
Ketika Kuntari menyusul dan sembulkan kepa-
lanya dipintu, tampak si kakek Cerpelai Sakti telah
berdiri tegak dihalaman dengan pandangan mata ta-
jam menatap nenek tua dihadapannya. Suasana tam-
pak tegang! Seperti juga tegangnya hati Kuntari yang me-
natap kedua orang yang saling berhadapan itu. "Apakah yang terjadi" Mengapa
mereka berubah seperti
dua orang musuh yang akan mengadu nyawa?" desis si gadis keheranan.
Saat itu si Cerpelai Sakti telah buka suara. Su-
ara yang kedengarannya parau, yang ditujukan pada si nenek tua sahabatnya itu.
"Bagus, sungguh tak kukira seujung rambut-
pun, kalau semua ini adalah kau yang mendalangi!
Kau yang menjadi biang keroknya! Sungguh benar-
benar tak kusangka...!"
Suara parau si kakek Cerpelai Sakti membelah
kesepian pantai, seperti menindih deburan-deburan
ombak yang memecah dibatu karang.
"Hm, mana bocah perempuan keponakanmu,
sobat Cerpelai tua" Bukankah kau akan membawanya
pulang ke tanah Jawa?" tanya si Musang Betina Mata Empat, tanpa mengacuhkan
kata-kata laki-laki tua itu.
"Tak usah main sandiwara lagi, nenek peot!"
sahut si Cerpelai Sakti mendengus. "Bukankah dia sudah kau bawa pulang beberapa
bulan yang lalu" Hm,
terima kasih atas kesediaanmu mengantarnya pada
orang tuanya. Akan tetapi katakanlah, apa sebenarnya maksudmu dengan sandiwara
ini" Apa maksud kepergian I Made Galung" Dan apa sebabnya kau mempera-
lat Wayan Gde Nepsu?"
Pertanyaan si kakek dijawab dengan suara ter-
tawa wanita tua ini terkekeh-kekeh. Lalu sahutnya.
"Sobat Cerpelai tua...! Baiklah. Aku akan men-
gatakan yang sebenarnya. Karena kukira telah tiba
saatnya aku membuka rahasia! Tapi aku akan ber-
tanya dulu padamu. Apakah yang kau lakukan ter-
hadap Wayan Gde Nepsu?"
"Heh, aku telah mengirim nyawanya ke Nera-
ka!" sahut si kakek datar. Nyata walaupun didalam dada laki-laki tua itu penuh
kemarahan, tapi dia tampak seperti bicara biasa saja.
"Bagus, itulah yang memang aku harapkan!
Tahukah kau siapakah Wayan Gde Nepsu itu" Dia
adalah anak dari perempuan piaraanmu. Perempuan
yang kau tergila-gila padanya! Baik, aku buka rahasia!
Nah, dengarlah, agar kau ketahui, perempuan yang
kau gandrungi itu telah kukirim lebih dulu nyawanya
ke Akhirat!"
Pernyataan si Musang Betina Mata Empat
membuat mata kakek ini jadi melotot lebar. Seperti
mendengar petir disiang hari saja layaknya laki-laki tua ini berseru kaget.
"Dan... agar kau ketahui pula, bahwa I Made
Galung adalah anakmu. Anak yang keluar dari rahim-
ku dua puluh tahun yang lalu! Dialah darah dagingmu
sendiri!" Lagi-lagi si Cerpelai Sakti terperangah kaget.
Kali ini kakinya melangkah setindak kebelakang secara tak disadari. Jantungnya
bergoncang keras.
"Benarkah apa yang kau katakan itu, Sora-
mah?" tanya si kakek dengan membelalak. Untuk pertama kalinya sejak dua puluh
tahun lebih dia me-
manggil nama pada perempuan tua itu.
"Hihih...hih... aku mengatakan yang sebenar-
nya!" sahut si nenek serius. Sinar matanya tajam menatap kakek tua itu.
"Jadi... jadi waktu itu kau... kau hamil?" sentak si Cerpelai Sakti.
"Sangat memalukan bila kita mengguar kisah
lama itu, Cerpelai tua!" sahut si nenek seraya menen-
gadah menatap langit.
"Akan tetapi itulah kenyataannya! Selama ini
aku memang sengaja menutup rahasia. Karena aku
akan membalas sakit hatiku padamu. Kau masih tetap
kuanggap sahabatku, walau dulu kau pernah jadi ke-
kasihku...! Kini aku puas sudah, karena manusia-manusia
yang kubenci telah mampus! Nah, satu lagi perta-
nyaanmu yang belum kujawab adalah kepergian I
Made Galung. Dia memang telah kusuruh pergi sejauh
mungkin. Biarlah dia hidup menjadi seorang pengem-
bara. Dan... kukira wajar kalau dia mewarisi senjata pusaka keris Kyai Jaran
Goyang, bukan?"
Tulang-tulang persendian tubuh si Cerpelai
Sakti seperti dilolosi mendengar keterangan si nenek.
Keringat sebesar-besar kacang menetes dida-
hinya. Suaranya tergetar ketika berkata.
"Jadi... jadi apa yang akan kau lakukan seka-
rang?" Musang Betina Mata Empat tertawa terkekeh.
Suara tertawa yang terdengar seperti mengiris jantung laki-laki tua itu. Tubuh
wanita tua ini bergoyang-goyang. Ternyata dibalik tertawanya, si Musang Betina
Mata Empat telah menahan perasaan pedih, dendam,
benci dan kemarahan yang menjadi satu. Tiba-tiba dia berhenti tertawa. Wajahnya
kelam membesi. Sepasang
matanya menatap tajam kakek tua dihadapannya.
"Inilah saatnya kita menentukan siapa diantara
kita yang akan menemui kematian! Karena tempat ini
memang telah kurencanakan untuk menjadi ajang per-
tarungan kita!" suara si Musang Betina tua ini seperti menghunjam kejantung
laki-laki tua itu.
Dia termangu beberapa saat. Wajahnya seben-
tar pucat sebentar merah.
"Akan tetapi ada satu syarat yang harus kau
penuhi..." kata si nenek tiba-tiba, seraya menoleh pada
Kuntari. "Aku telah mengangkat gadis ini menjadi mu-
ridku. Dan aku telah pula mewariskan beberapa jurus
ilmu kepandaianku padanya. Permintaanku adalah, bi-
la aku yang akan menemui kematian, jadikanlah dia
muridmu!" "Bagaimana kalau ternyata aku yang tewas?"
kata si kakek Cerpelai Sakti dengan suara parau. Pertanyaan itu membuat wanita
tua ini jadi tercenung.
"Kalau begitu kau harus mengajarinya bebera-
pa jurus ilmu kepadaianmu padanya terlebih dulu..."
kata si nenek lirih. Ketegangan yang sudah memuncak
itu perlahan-lahan sirna. Wanita tua ini ternyata telah menarik kembali kekuatan
tenaga dalamnya dikedua
lengan dan kaki yang siap dipergunakan untuk me-
nempur si Cerpelai Sakti.
"Untuk sementara pertarungan ini kita tunda..."
katanya lirih, lalu balikkan tubuh dan melompat ke-
pintu pondok. Si Cerpelai Sakti mendadak tertawa tergelak-
gelak. Tertawa yang teramat geli hingga kedua ma-
tanya sampai mengeluarkan air mata.
"Hahaha...hehe.... soal asmara, soal cinta ter-
nyata masih terbawa sampai tua bangka. Kita ini su-
dah sama-sama hampir pikun, Soramah! Sayang, dulu
aku tak mengerti betapa besarnya cintamu terha-
dapku. Aku dulu memang brutal! Aku masih senang
ugal-ugalan. Kini semua yang kumiliki telah habis! Ta-pi biarlah...! Mungkin
tulang-tulang rapuhku masih bi-sa menghadapimu. Atau kalau kau mengingini kema-
tianku, aku dengan pasrah akan memberikan jiwaku
padamu..."
Si nenek merandek menahan langkahnya. Lalu
balikkan tubuh dan menatap si Cerpelai Sakti. Ternya-ta sepasang mata wanita tua
ini telah berkaca-kaca.
Sejenak dia tertegun memandang laki-laki yang pernah dicintainya itu. Dua puluh
tahun dia memendam rasa
cinta itu. Tapi kini perasaan itu telah mati! Dia hanya menunggu saat
pertarungan untuk melampiaskan ke-kecewaan hatinya. Hanya itulah yang bisa
menyelesai-

Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan persoalan. EMPAT Benar saja seperti yang dikatakan si nenek Mu-
sang Betina Mata Empat. Si Cerpelai Sakti memang
seorang yang paling sabar diatas dunia ini. (kata si nenek tentunya). Dengan
tekun dia mengajari Kuntari ti-ga jurus ilmu kepadaiannya yang paling luar
biasa. Yaitu pertama jurus Cerpelai Sakti Membongkar Bukit.
Kedua jurus Cerpelai Sakti Menyambar Bangau. Ketika
jurus Cerpelai Sakti Menggunting Badai.
Ketiga jurus itu adalah jurus yang paling dian-
dalkan si kakek dan yang paling dahsyat. Ketiga jurus ini jarang dipergunakan
kalau tak menjumpai lawan
yang tinggi ilmunya.
Adalah gadis bernama Kuntari itu nasibnya
memang sangat mujur. Tak angin tak hujan tahu-tahu
dua orang kakek dan nenek rela memberikan ilmu si-
latnya. Walaupun dengan melalui persengketaan rumit
yang diam-diam terselubung diantara keduanya.
Nasib baik yang muncul secara kebetulan itu
tak disia-siakan oleh Kuntari. Dengan sepenuh hati dia mempelajari ketiga jurus
si kakek Cerpelai Sakti Gadis itu seolah-olah menemukan durian runtuh. Secara
kebetulan dia berotak cerdas. Bahkan kecerdasannya
sangat luar biasa. Kalau mempelajari jurus-jurus dari si nenek adalah dalam
waktu setengah bulan, tapi ke-
tiga jurus si Cerpelai Sakti cuma dikuasai dalam waktu kurang dari satu bulan.
Hal itu membuat si kakek jadi terkejut juga terkagum-kagum.
"Luar biasa......anak siapakah kau sebenarnya,
bocah bagus?" tanya laki-laki tua itu.
"Ayahku bernama Purbayana. Dalam dunia per-
silatan ayah dijuluki si Pendekar Sastrawan!" sahut Kuntari.
Si Cerpelai Sakti manggut-manggut, seraya
menghela napas.
"Uaih, tak kusangka dunia ini penuh kemelut!
Aku sendiri telah terlihat dalam kemelut. Setelah kau berhasil mempelajari
ketiga jurusku, aku segera akan menghadapi satu pertarungan maut yang agaknya
sukar terhindarkan!" kata si kakek dengan tersenyum pedih. "Kemelut dalam hidup
adalah lumrah. Tapi kalau sampai harus terjadi pertumpahan darah memang
sangat disesalkan. Apakah tak ada jalan lain selain
itu" Kukira sebaiknya kakek mencari jalan damai...!"
ujar Kuntari. Entah mengapa dalam hatinya timbul ra-
sa kasihan pada laki-laki tua yang tak mau disebut
guru ini. Baru saja suasana menjadi hening beberapa
saat tiba-tiba telah dipecahkan oleh suara batuk-batuk dikejauhan. Ketika
Kuntari menoleh, tampak si nenek
Musang Betina Mata Empat telah muncul, setelah
hampir setengah bulan menghilang dari tempat itu.
"Hihihih... hih... apa katamu, muridku" Kuden-
gar kau menyebut-nyebut jalan damai" Hm, jalan da-
mai itu cuma bisa ditempuh dengan pertarungan. Di
akhir pertarungan itulah terletak kedamaian! Dan kedamaian itu lebih langgeng,
bukan" Hihih...hih..."
"Ngaco!" desis Kuntari dalam hati. Tapi dia tak bisa bicara apa-apa. Menasihati
dua orang kakek dan
nenek yang punya pengalaman dan pengetahuan 100
kali lipat dari dirinya yang masih muda belia itu sama dengan segentong air yang
dimasukkan ke dalam da-nau. Ada baiknya dia tak ikut campur. Oleh sebab itu
cepat-cepat Kuntari menjura pada gurunya ini.
"Maafkan aku, guru.....aku telah keterlepasan
bicara. Sebenarnya aku tak boleh ikut campur urusan
kalian orang-orang tua!"
"Ya, ya, sebaiknya memang begitu! Kau me-
mang sudah waktunya angkat kaki dari pulau Bali ini!
Dan hari ini adalah hari keberangkatanmu! Kau telah
berhasil mendapatkan jurus-jurus ilmu kepandaian
kami berdua! Pesanku jangan kau membuat malu na-
ma kami kelak...! Nah aku telah siapkan perahu buat-
mu dipantai. Lebih cepat kau pergi lebih baik!" berkata si nenek dengan suara
tandas. Sejenak Kuntari menatap wanita tua itu dengan
mata mendelong. Sepasang mata yang bening itu men-
dadak berkaca-kaca. Lalu gadis ini beralih memandang pada si Cerpelai Sakti.
Kakek ini cuma bisa tersenyum trenyuh. Dia mengangguk dan berkata lirih.
"Pergilah, itu lebih baik dari pada kau berlama-lama disini...!"
Kuntari mengangguk dengan hati terharu. Tiba-
tiba dia menjura di depan kakek itu. "Terima kasih atas semua kebaikan yang
telah kau berikan padaku,
kakek Cerpelai Sakti".
Lalu dia bangkit berdiri dan jatuhkan diri ber-
lutut di depan si nenek Musang Betina Mata Empat.
"Guru...! Semua jasamu akan kuingat selama
hayat masih dikandung badan. Terima kasih atas sega-
la kebaikanmu, guru...! Semoga Tuhan akan membalas
budi baik kalian! Selamat tinggal, guru..." Setelah bangkit berdiri dan menatap
si kakek Cerpelai sekali lagi, Kuntari balikkan tubuh dan berlari cepat menuju
pantai. Benar Saja, sebuah sampan kecil memang telah
disediakan untuknya. Itulah sampan yang diper-
gunakan kedua kakek dan nenek tersebut untuk me-
nyeberang kepesisir pulau Bali itu.
Tak ayal dia cepat melompat mendekati. Sete-
lah memeriksa dayung dan alat-alat dalam perahu,
Kuntari cepat mendorongnya dari atas pasir. Tak lama dengan mempergunakan
dayungnya untuk mengayuh,
sampan kecil itu pun meluncur dipermukaan laut.
Makin lama semakin mengecil dan semakin
jauh. Akhirnya lenyap...
Suara burung camar dan deburan ombak laut
yang memecah dipantai seperti turut mengantar ke-
pergian gadis itu, diikuti pandangan mata kedua kakek dan nenek ini yang siap
untuk bertarung mempertaruhkan nyawa.
"CERPELAI TUA! sudahkah kau siapkan dirimu
untuk menghadapi jurus-jurus ilmu pukulanku?" suara si Musang Betina Mata Empat
membias udara. Laki-
laki tua dihadapannya tersenyum menjawab.
"Aku sudah siap sejak tadi, Soramah...!"
"Heh, kuharap kau tak menyebutku dengan
nama itu lagi, Cerpelai tua, seperti juga aku takkan menyebut namamu
sebenarnya!"
"Kau masih seperti dulu...aneh, lucu, tegas dan masih bisa kukatakan cantik!"
berkata si kakek dengan menggeleng-gelengkan kepala. Matanya meman-
dang perempuan itu dari ujung kaki sampai ujung
rambut. "Edan, geblek! Kambingpun akan tertawa den-
gar pujianmu terhadap seorang nenek peot macam
aku! Sudahlah, Cerpelai tua! Bersiaplah untuk meng-
hadapi seranganku!" kata-kata si nenek diakhiri dengan bentakan santar. Sejak
tadi dia telah menyiapkan tenaga untuk menempur laki-laki tua. Kinilah saatnya.
Ternyata nenek inilah yang mengawali serangan.
Mendadak tubuhnya melesat. Sepasang lengan-
nya terkembang.
Inilah jurus Menangkap Matahari Menggilas
Badai. Melihat sambaran sepasang lengan yang mem-
baurkan hawa panas dan dingin itu, tahulah si Cerpe-
lai Sakti kalau si nenek menggunakan jurus tersebut.
"Serangan yang hebat!" puji si kakek. Mulutnya memuji, tapi lengannya bergerak
menangkis serangan
itu. PLAKK! Akibat benturan kedua pasangan lengan itu, si
Cerpelai Sakti terhuyung lima langkah dan si nenek
cuma tiga langkah. Jelaslah dalam segebrakan baru-
san kalau tenaga dalam si Musang Betina lebih tinggi setingkat dari si Cerpelai
Sakti. Akan tetapi hal itu tak membuat si nenek bergi-
rang, karena justru dia merasa laki-laki tua itu sengaja mengalah. Hal ini
menimbulkan kegusaran hatinya,
"Cerpelai tua, dulu kau telah mengecewakan aku...
apakah kini kau mau membuat aku kecewa untuk ke-
dua kalinya" Jangan sungkan-sungkan! Aku tak ingin
ada belas kasihan dalam pertarungan ini!" bentak si nenek. "Baik, kau
bersiaplah!" teriak si Cerpelai Sakti.
Mendadak dia gerakkan kedua lengannya memutar
membuat lingkaran besar di depan tubuhnya.
Terdengar suara tulang-tulangnya yang berkri-
utan. Inilah pertanda dia tengah menghimpun tenaga
dalam. Melihat demikian, si nenekpun segera memper-
siapkan diri mengaliri kedua lengan dan sepasang ka-
kinya dengan tenaga dalam.
Hawa panas dan dingin segera membaur dise-
kitar tempat itu.
"Hadapilah jurus Sepasang Cerpelai Menyerbu
Langit!" bentak si kakek. Teriakan ini dibarengi dengan berkelebatnya tubuh si
kakek ke udara setinggi enam tombak diatas kepala wanita kosen itu.
Mendadak tubuh laki-laki tokoh tua itu lenyap
terbungkus jubahnya yang memusing di udara. Dan
tiba-tiba menyambar ke arah si nenek yang agak tertegun melihat jurus yang aneh
itu. Nenek ini cukup terkejut. Akan tetapi dia telah
siap untuk mempergunakan tangan dan kakinya
menghantam ke arah si Cerpelai Sakti.
WHUUK! Whuuk! Whuuk!
Tiga serangan beruntun menyambar deras ba-
gaikan hujan air bah. Dan tak dapat dihindari lagi oleh lawannya.
Si Cerpelai Sakti terlempar belasan tombak
bergulingan. Tubuhnya baru berhenti berguling ketika tercebur ke dalam laut.
Sesaat si Musang Betina ini terperangah. Tak
menyangka kalau serangannya akan menemui sasa-
ran. Jurus terakhir yang dipergunakan adalah jurus
Menendang Iblis. Sedangkan kedua pukulan lengannya
adalah salah satu dari jurus Tanpa Nama.
"Kakang Jumantra...! Oh..." sentaknya lirih secara tak sadar. Setitik air bening
menyembul disudut matanya. Dan detik itu juga dia telah melompat untuk memburu
ke arah sang korban.
Jubah si Cerpelai Sakti tampak terapung-apung
dipermukaan laut timbul tenggelam. Hampir separuh
jubah tampak berserpihan hangus.
Sepasang mata wanita tua ini memandang tak
berkedip. Tiba-tiba wajahnya berubah. Dan detik itu
juga tubuhnya meletik ke udara. Terdengar suara ben-
takan si nenek membelah udara. Dan ketika sepasang
lengannya mengibas. Menyambarlah dua gelombang
angin dahsyat ke arah batu karang.
BHLARRR! Batu karang itu hancur menjadi serpihan kecil-
kecil yang menebar di udara. Tapi sebuah bayangan
sosok tubuh telah melesat terlebih dulu sebelum se-
rangan menyambar batu karang itu.
Ternyata itulah sosok tubuh si Cerpelai Sakti.
Barulah si nenek sadar akan kehebatan ilmu Sepasang
Cerpelai Menyerbu langit yang dipergunakan laki-laki tua itu. Ternyata yang
diserang si nenek adalah jubah yang terbuat dari kulit-kulit Cerpelai itu.
Sedangkan tubuhnya sendiri telah meloloskan diri, seperti juga seekor kelomang
yang meninggalkan rumah siputnya.
"Hahahehehehe... tak percuma kau dijuluki si
Musang Betina Mata Empat, nenek peot!" si Cerpelai Sakti tertawa tergelak-gelak.
"Huh, kau kira aku seorang anak kecil yang bi-
sa ditipu oleh permainanmu?" mulutnya berkata demikian, tapi diam-diam hati si
nenek terkejut. Nyaris saja dia terkecoh dan menyangka si Cerpelai Sakti telah
tewas terkena serangan mautnya.
Akan tetapi wanita tua ini tak tahu kalau se-
mua gerak-gerik dirinya tak luput dari pandangan ma-
ta si Cerpelai Sakti yang bersembunyi dibalik batu karang. Dia tahu kalau
direlung hati perempuan itu ma-
sih bersemayam benih-benih cinta yang disembunyi-
kan. Bahkan setitik air bening dari sepasang mata Si nenek yang berkaca-kaca itu
masih sempat terlihat.
Walaupun dengan cepat wanita itu menyembunyikan
dengan gumpalan rambut yang menutupi matanya
*** Cerpelai Sakti gunakan lompatan ringan untuk
mendekat. Akan tetapi satu bentakan keras yang di-
iringi sambaran pukulan dahsyat telah memaksa dia
untuk kembali gunakan lompatan menghindar kalau
tak mau tubuhnya remuk seperti batu karang tadi.
Kakek yang hanya memakai baju sutera tipis
warna hitam ini berhasil menyelamatkan diri, dan
hinggapkan kaki diatas batang nyiur yang doyong ke
arah laut. Wajah si wanita tua kini berubah merah pa-
dam, karena serangannya luput. Kembali dia melompat
maju. Tampak wajahnya semakin kelam. Hawa pem-
bunuhan semakin terasa. Dengan mendengus seperti
melepas kedongkolan hatinya, si nenek mulai, meng-
himpun tenaga dalam lagi, pada sepasang lengan
dan kaki. "Hehe...hehe... jurus Menendang Iblis mu san-
gat luar biasa, Soramah...! Maafkan aku, karena aku
menyebut nama itu. Apakah kau benar-benar mau
membunuhku?" bertanya si Cerpelai Sakti.
Suaranya begitu trenyuh kedengaran ditelinga
si wanita tua ini.
Tiba-tiba hatinya tersentak ketika melihat jelas
pada laki-laki tua itu, tampak darah mengalir dari sudut bibirnya.
Seketika sadarlah dia kalau si Cerpelai tua te-
lah terkena serangan ketika menangkis serangan jurus Menendang Iblis yang
dilakukan beruntun dengan dua
jurus pukulan maut. Saat kejadian itu si Cerpelai telah menyerang terlebih dulu
dengan menggunakan jurus
Sepasang Cerpelai Menyerbu Langit.
Pada pandangan mata, kelihatannya jurus si
Cerpelai Sakti lebih unggul. Tapi kenyataannya walaupun si nenek Musang Betina
itu terkecoh, ternyata serangan ketiga dari rentetan serangan si nenek, yaitu
jurus Menendang Iblis telah berhasil mengenai sasaran. Walaupun tidak terlalu
telak. Kalau si Cerpelai Sakti tak melindungi tubuh-
nya dengan hawa sakti, tentu jiwanya telah melayang.
Kesemuanya itu karena dia terlambat meloloskan baju
kulit Cerpelainya.


Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memang mau..." membentak si nenek.
Keangkuhan hatinya mendadak muncul. Akan
tetapi kata-katanya tertahan karena....
LIMA ENTAH DARI MANA DATANGNYA... tahu-tahu
sesosok tubuh telah berada ditempat itu.
Kemunculannya membuat si nenek Musang Be-
tina agak terpaku. Dengan mata membelalak dia me-
natap ke arah orang itu.
Siapa adanya orang ini mereka tiada mengeta-
hui. Si Cerpelai Sakti dengan memegangi dadanya yang terasa nyeri serta
pernapasan agak sesak, meneliti perawakan orang ini dari wajah sampai ke kaki.
Keadaan orang ini memang agak lucu dan
aneh. Dia muncul dari sebuah lubang diantara celah-
celah karang di bawah kakinya, dimana air laut me-
nembus sampai kelubang itu. Tentu saja keadaan tu-
buh basah kuyup.
Karena munculnya secara aneh, tentu saja
membuat kedua orang kakek dan nenek itu jadi terhe-
ran-heran. "Eh, dimanakah ini" Dan siapakah kalian dua
orang tua?" tanyanya. Ternyata dia seorang laki-laki yang masih berusia muda.
Berambut lurus, berwajah
gagah. Hidungnya agak besar dengan mata kemera-
han-merahan. Pemuda ini tak mengenakan baju.
Hanya memakai celana pangsi warna hitam yang ba-
sah oleh air laut. Disela ikat pinggang kainnya terselip
sebuah keris di sisi perut.
Siapakah dia adanya, tiada lain dari Jaka Kum-
bara alias Sucitro. Entah bagaimana asalnya hingga
dia bisa tersembul keluar dari lubang disela karang
itu, tepat dihadapan kedua orang kakek dan nenek
yang tengah mempertaruhkan jiwanya.
"Hm, sebelum kami mengatakan siapa diri ka-
mi, sebutkan dulu siapa kau ini anak muda" Kau
muncul dari dasar bumi seperti hantu! sungguh mem-
buat aku si tua bangka ini jadi terkejut!" berkata si nenek Musang Betina.
Pertanyaan si nenek membuat pemuda ini ter-
tegun sejenak. Tapi segera perdengarkan suara tertawa terge-
lak-gelak. "Haha... aku memang manusia setengah hantu!
Namaku Jaka Kumbara. Ketika aku menyelam ke da-
lam laut telah terbawa pusaran air yang mengantarkan aku ke dalam lubang di
bawah kakiku ini. Nah, begitu-lah ceritanya. Kini katakan padaku apakah nama
dara- tan ini" Dan siapakah kalian orang-orang tua" Apakah yang tengah kalian lakukan
ditempat ini?"
Jawaban Jaka Kumbara membuat si Musang
Betina mengerutkan keningnya. "Jaka Kumbara...?"
desis si nenek pelahan.
"Hm, siapakah gurumu, anak muda?" tanya si nenek tanpa mengacuhkan pertanyaan
orang. Yang ditanya tertawa menyeringai.
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku adalah ma-
nusia setengah hantu. Tentu saja guruku adalah han-
tu alias iblis!"
Bukan saja si Musang Betina Mata Empat yang
terheran-heran, akan tetapi juga si Cerpelai Sakti ternganga mendengar jawaban
pemuda itu. Akan tetapi
wanita tua itu telah membentak marah.
"Bocah sinting, di depan si Musang Betina Mata
Empat dan si Cerpelai Sakti kau berani bicara main-
main?" Tak dinyana hentakan wanita tua itu justru awal dari bencana maut. Karena
seketika wajah Jaka
Kumbara berubah mengelam.
Senyumnya lenyap bagai tersapu angin. Se-
pasang matanya menatap tajam si Musang Betina ba-
gaikan hunjaman yang menusuk jantung.
Wanita tua ini tersentak. Hatinya terasa berde-
bar kencang. Tak terasa kakinya melangkah mundur
setindak. Apa yang terjadi pada Jaka Kumbara gerangan"
Ternyata di telinganya telah membisik suara yang
membuat darahnya seketika mendidih. "Jaka Kumba-ra, takkan ada seorangpun yang
kau biarkan menghi-
namu, kau telah diremehkan! Dan itu adalah pantang
bagimu!" Sementara si Cerpelai Sakti seperti telah men-
dapat pirasat buruk. Dia melihat burung-burung ban-
gau beterbangan seperti ketakutan.
"Bencana apakah yang bakal terjadi?" sentaknya dalam hati.
Wajahnya mendadak berubah pucat. Rasa nyeri
pada dadanya seperti lenyap karena terpana dengan
keanehan disekitar tempat itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan Jaka Kumbara
menggetarkan jantung.
"Nenek tua sombong! Jadi kau yang bergelar si
Musang Betina Mata Empat, dan kawanmu itu si Cer-
pelai Sakti" Bagus... kiranya kalian adalah tokoh-
tokoh kaum Rimba Hijau yang punya nama besar!
Akan kulihat apakah kau mampu mempertahankan
nama besar kalian?"
Tentu saja kata-kata pemuda itu bagaikan petir
yang menggelegar disiang bolong terdengar ditelinga si Musang Betina ini.
Komendongkolan hatinya terhadap si Cerpelai
Sakti segera beralih pada pemuda itu.
"Bocah setan! Walaupun kau muncul dari dasar
bumi sekalipun aku si Musang Betina tak akan mem-
biarkan nama besarku diinjak-injak oleh sebangsa ce-
curut air macam kau! Akan kubuat kau terkubur dida-
sar lubang itu untuk selama-lamanya!" Bentakan ini disusul oleh teriakan
mengerung yang mencabik udara. Tubuh wanita itu melesat menerjang Jaka Kumba-
ra. Dan dari sepasang lengannya menyambar dua ge-
lombang angin panas.
Akan tetapi saat itu Jaka Kumbara telah men-
cabut kerisnya yang terselip di sisi perut. Benda itu di-acungkan ke atas.
BHLLLAASSSS! Aneh, gelombang angin dahsyat berhawa panas
itu seketika hilang lenyap bagai tersedot ke dalam
benda pusaka pemuda itu.
Si nenek terkejut, karena tiba-tiba rasakan te-
naga dalamnya seperti terkuras lenyap. Dia terhuyung limbung dan jatuh
menggelosoh diatas pasir.
Akan tetapi cepat bangkit berdiri. Wajahnya be-
rubah pucat pias.
Jantungnya berdenyut keras. Dan dengan su-
sah payah dia mencoba menghimpun kembali tenaga
dalamnya. Sementara matanya menatap keris ditangan
pemuda itu. Benda sakti macam apakah itu" Sen-
taknya dalam hati. Akan tetapi keangkuhan hati wani-
ta ini tak membuat dia ciut nyalinya. Dalam waktu se-peminuman teh dia berhasil
menghimpun tenaga da-
lamnya. "Bocah setan! Siapakah kau sebenarnya?" ben-
tak si Musang Betina. Dia merasa penasaran untuk
mengetahui siapa lawannya yang sesungguhnya.
"Heh, sudah kukatakan, namaku Jaka Kum-
bara! Keris pusaka di tanganku ini telah keluar dari serangkanya, berarti telah
tiba saatnya untuk menghirup darah! Kematianmu sudah diambang pintu, orang
tua...!" sahut Jaka Kumbara dengan suara dingin.
Tiba-tiba si kakek Cerpelai Sakti melompat ke
hadapan pemuda ini.
"Anak muda! Kuharap kau bersabar dulu! Aku
si Cerpelai Tua dan sahabatku si Musang Betina ini
tak mempunyai silang sengketa padamu. Kalau kesa-
lahan ada dipihak kami, sudilah kau memaafkan..."
berkata laki-laki tua ini seraya menjura.
"Hm, kaupun harus mampus, aku mencium
bahwa bajuku berada ditempat ini. Kalian pasti ada
hubungannya dengan seorang gadis yang tertotok
pingsan didalam sebuah perahu di tengah laut. Seti-
dak-tidaknya pastilah kalian yang menolongnya!"
"Jadi...jadi kaulah manusia yang telah mencu-
lik gadis bernama Kuntari itu dan berniat memperko-
sanya?" sentak si Cerpelai Sakti hampir berbareng dengan si nenek Musang Betina
Mata Empat. Wanita
tua ini telah melompat kesamping si kakek Cerpelai.
"Benar! Nah, katakan dimana gadis itu seka-
rang?" Bertanya dingin Jaka Kumbara. Sepasang matanya bagai mata hantu menatap
kedua kakek dan ne-
nek itu. Kedua tokoh tua Rimba Hijau ini tak menjawab.
Mereka saling menatap.
"Inilah saatnya kita bersatu....!" berdesis pelahan si Cerpelai Sakti.
Si nenek Musang Betina menatap pada laki-laki
bekas kekasihnya. Bibirnya serasa kelu untuk menja-
wab. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum haru.
Dia sadar bahwa manusia yang dihadapinya bukan la-
wan biasa. "Ah, seandainya ada keris Kyai Jaran Goyang..."
pikir Soramah. Akan tetapi mereka tak dapat lama-lama ter-
paku, karena Jaka Kumbara telah membentak keras.
"Tua bangka-tua bangka apakah telinga kalian
tuli?" Bentakan itu disusul dengan sambaran angin yang menggidikkan ke arah
mereka. Detik itu juga keduanya telah melompat keka-
nan dan kekiri... Dan bagaikan telah berjanji terlebih dulu, mereka langsung
menyerang pemuda itu.
Si nenek menghantam dengan pukulan maut
ke arah batok kepala lawan dari arah samping kiri, dan si kakek Cerpelai dari
samping kanan. Dua jurus pukulan mengandung maut itu dilakukan secara serem-
pak. Tampaknya akan sukar dihindari oleh lawan
yang bagaimana tinggi ilmunya sekalipun. Karena me-
reka melakukan dengan sangat cepat dan diluar du-
gaan. Memang... serangan mengenai sasaran, akan te-
tapi berbareng dengan tibanya kedua serangan itu,
mendadak tubuh Jaka Kumbara lenyap dan berubah
jadi gumpalan asap hitam.
Kedua kakek dan nenek ini terganga... Dan pa-
da saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan parau merobek udara. Tahu-tahu
si Cerpelai Sakti menjerit
panjang. Kedua lengannya memegangi lehernya yang
mengucurkan darah. Dia terhuyung-huyung menahan
tubuhnya. Lalu terjungkal roboh dan berkelojotan ba-
gai ayam disembelih.
Namun tak lama tubuh laki-laki itupun diam
tak bergeming lagi.
Membeliak mata si Musang Betina. Darahnya
tersirap. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Seolah tak percaya dia melihat
kejadian itu. Tak terasa kakinya melangkah mundur beberapa tindak.
Tahulah si Musang Betina Mata Empat kalau
dia benar-benar berhadapan dengan manusia setengah
hantu atau iblis. Tiba-tiba dia menggembor keras se-
raya mencabut senjata tusuk konde Emas yang terse-
lip dirambutnya. "Manusia iblis pengecut... tampakkan dirimu, aku akan adu jiwa
denganmu!"
Wajah si nenek Musang Betina tampak beri-
ngas. Sepasang matanya bercucuran air mata. Bagai-
kan kalap dia melompat kesana-kemari mencari ma-
nusia yang telah membunuh si Cerpelai Sakti.
"Kakang Jumantra...!" teriaknya terisak, seraya melompat ke arah sosok tubuh
laki-laki tua yang terkapar tak bergeming lagi itu.
Akan tetapi didetik itulah terdengar suara jeri-
tan si nenek Musang Betina Mata Empat. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Tahu-tahu darah segar menyem-
bur dari pangkal lehernya. Robohlah wanita malang
yang berilmu tinggi ini tanpa dapat melakukan perla-
wanan sama sekali.
Di saat sekarat lengannya berhasil mencekal
pergelangan tangan si Cerpelai Sakti. Digenggamnya
lengan sang kekasih erat-erat, dan nyawanya pun me-
layang... *** Jaka Kumbara masukkan keris Kutukan Iblis
ke dalam serangkanya yang terselip di sisi perut. Sepasang mata iblisnya menatap
kedua sosok tubuh kor-
ban ketelengasannya itu. Lalu melangkah mendekati...
Sesuatu yang bersinar kekuningan menarik
perhatiannya, tergeletak tak jauh dari wanita tua itu.
Ternyata tusuk konde Emas si Musang Betina yang be-
lum sempat dipergunakan. Jaka Kumbara bungkuk-
kan tubuh dan memungut benda itu. Setelah diamati
sejenak, lalu dimasukkan kesela ikat pinggang kain-
nya. Kemudian melangkah pelahan menuju pondok di
sisi pantai itu dengan langkah kaku....
ENAM Sebuah perahu besar berlayar gagah membelah
ombak mengarungi perairan selat Bali. Perahu itu berbendera kuning dengan gambar
seekor burung walet.
Seorang laki-laki yang berdiri tegak digeladak paling depan adalah seorang laki-
laki bertubuh kekar. Ber-cambang bauk lebat. Pada bajunya yang terbelah ba-
gian tengahnya nampak bulu-bulu dada yang lebat.
Bagi orang-orang perairan disekitar selat, de-
ngan hanya melihat benderanya telah dapat me-
ngetahui siapa pemilik perahu besar itu. Dialah si Setan Laut, Walet Perkasa.
Ternyata laki-laki kekar diatas geladak itulah
orangnya. Enam orang anak buahnya adalah termasuk
para murid juga anggota si Setan Laut, Walet Perkasa.
Perahu layar besar ini juga memiliki belasan orang
awak yang berada didaratan.
Sebagai kapal pengangkut barang, nama walet
Perkasa sudah terkenal sebagai kapal yang dapat di-
andalkan keamanannya. Karena para anak buah si
Walet Perkasa rata-rata orang yang berilmu tinggi.
Sementara itu sebuah perahu sampan kecil
yang meluncur pesat di tengah laut telah menarik perhatian laki-laki kekar ini.
Teropongnya segera dipergunakan untuk me-
ngetahui lebih jelas.
"Hm, sampan kecil ditumpangi seorang gadis..."


Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aneh! Baru hari ini aku melihat ada seorang gadis
sendirian berani mengarungi perairan selat Bali yang ombaknya cukup ganas!"
desisnya terheran-heran.
Dua orang anak buahnya segera melompat mengham-
piri ketika dia memberi isyarat.
"Arahkan perahu ke arah sampan kecil itu! In-
gin kulihat lebih dekat, siapa gadis yang berani berlayar seorang diri itu!"
perintah si Walet Perkasa, seraya menunjuk ke laut lepas dihadapannya.
"Siap, ketua!" sahut kedua laki-laki itu serem-pak. Tak lama tampak perahu layar
besar itu beralih arah, dan meluncur cepat membelah permukaan air
menyusul perahu kecil dihadapannya. Sementara an-
gin laut bertiup cukup kencang membantu menghem-
bus layar perahu besar itu. Hingga bagaikan seekor
naga air yang meluncur pesat membelah gelombang...
Siapa, adanya gadis itu takkan sukar diterka.
Perawan Lembah Wilis 24 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja 8
^