Pencarian

Rahasia Istana Kuno 2

Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Bagian 2


ra-puraannya dia telah menjebak Srimala untuk diba-
wa ke Istana Kuno itu....
"Inikah tempat tinggal gurumu?" tanya Srimala dengan tertegun. "Benar!" sahut
Pati Lanang dengan tersenyum setelah mereka tiba di satu ruangan.
"Tempat yang aneh, mirip sebuah istana...!" desis Srimala.
"Ya, inilah Istana Kuno!" sahut Pati Lanang dengan tertawa.
Seorang nenek tua berjubah hitam muncul dari
ruangan dalam. Perempuan tua ini berambut jarang
berwarna putih, panjangnya cuma sebatas pangkal
leher dengan sejumput gelung kecil di atas kepala.
"Guru...! Inilah kawanku....! Dia bernama Sri-
mala! Murid si Pendekar Melati Putih!" berkata Pati Lanang. Perempuan tua itu
hanya menatap sekilas pa-da gadis itu yang segera menjura. Tapi perempuan itu
seperti tak menggubrisnya. Bahkan dia berkata dengan nada suaranya yang parau
pada. Pati Lanang. "Pati Lanang! dalam beberapa hari ini kau jangan keluar.
Sewaktu-waktu aku memerlukan tenagamu!"
"Baik, guru..!" sahut Pati Lanang cepat-cepat.
Selesai berkata, nenek tua itu berkelebat keluar ruan-
gan. Akan tetapi tanpa setahu Srimala, di telinga pemuda telah menyelinap suara
si nenek yang membi-
sikkan suara dari jarak jauh.
"Pati Lanang! setelah selesai urusanmu, segera kau habisi dia. Aku tak ingin ada
orang ketiga di Istana Kuno ini. Siapa tahu kedatangannya akan mengun-
dang bencana!" Cara mengirim suara seperti ini kalau bukan dilakukan oleh orang
yang telah mencapai ke-sempurnaan tenaga dalam tingkat tinggi, amat sukar
dilakukan. Nyatalah kalau perempuan tua renta itu
seorang yang berilmu tinggi yang sukar diukur ketinggian ilmunya.
"Gurumukah itu?" bisik Srimala, dengan kening berkerut.
"Ha ha...ya! jangan heran Srimala. Walau demi-
kian dia amat baik!" sahut Pati Lanang. Mendadak, ya!
mendadak sekali tiba-tiba lengan pemuda itu telah
bergerak menotok tubuh Srimala. Tentu saja hal itu di luar dugaan gadis itu.
Dengan perdengarkan keluhan
dia roboh terkulai.
Akan tetapi dengan cepat Pati Lanang telah
menangkap dan memondongnya. Kemudian dibawanya
masuk ke dalam sebuah kamar.
Dibaringkannya tubuh sang dara di atas pem-
baringan. "Haha... Srimala. Sayang sekali aku tak dapat mengulur waktu. Selesai
aku melampiaskan hajat
ku terpaksa aku harus membunuhmu." berkata Pati Lanang dalam hati.
Sementara sepasang mata berbinar-binar me-
mandang keelokan paras dan tubuh Srimala. Sepasang
lengan pemuda itu segera meluncur untuk membuka
pakaian gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dara itu membuka matanya. "Jahanam
keparat.'" bentakan itu disusul dengan menghantamnya lengan si gadis ke arah
dada Pati Lanang. Tentu saja membuat dia terkejut dan tak menyangka sama sekali.
Akan tetapi masih
sempat dia menghindar menangkis dengan kedua len-
gannya. Tapi tak urung sambaran pukulan itu sempat
juga menghantam dadanya.
Plak! Pati Lanang terlempar bergulingan. Namun
dengan cepat dia bangkit lagi. Pemuda ini menyeringai kesakitan. Terasa olehnya
pergelangan tangannya terlepas sambungan tulangnya dan dadanya terasa nyeri.
Dan setetes darah segar mengalir dari bibirnya. Bagai disengat kala dia telah
melompat berdiri. Serasa tak percaya dia pada penglihatannya. Bukankah gadis itu
telah di totoknya" Apakah dalam beberapa kejap saja Srimala telah berhasil
membuka kembali totokan pada tubuhnya" pikir Pati Lanang.
Namun dia tak dapat berpikir lebih jauh, kare-
na gadis itu telah melompat dari pembaringan seraya membentak.
"Manusia terkutuk! sudah kuduga kau bukan
manusia baik-baik! Kau kira semudah itu kau mempe-
cundangi ku?" Srimala bertindak cepat. Lengannya menghantam jendela yang segera
menjeblak terbuka.
Akan tetapi baru saja dia mau melompat keluar gadis ini merasa ada sambaran
angin dibelakangnya diiringi bentakan Pati Lanang.
"Kau tak dapat pergi dari tempat ini, gadis cantik!" Dengan sigap Srimala
gerakkan lengannya menghantam benda yang meluncur itu. Akan tetapi ti-ba-
tiba..... Bhuss! Benda itu justru meledak mengeluarkan asap berwarna kuning.
"Celaka...! asap beracun!"
sentak Srimala. Namun terlambat. Hidungnya telah
mengendus bau asap itu. Sebisa-bisa dia menutup ja-
lan pernafasannya, akan tetapi mendadak kepalanya
dirasakan menjadi berat, dan matanya berkunang-
kunang. Robohlah dara ini dan selanjutnya dia sudah tak ingat apa-apa lagi. Akan
tetapi sebelum Pati Lanang menyangganya sesosok bayangan telah berkele-
bat cepat sekali menyambar tubuh dara itu dan mela-
rikannya. "Setan! siapa kau?" bentak Pati Lanang seraya melompat mengejar. Akan tetapi
jawabannya adalah
sambaran angin keras yang membuat dia terpaksa ha-
rus menyingkir menyelamatkan diri. Brak! pukulan tenaga dalam orang itu
menghantam tempat kosong.
Terkejut Pati Lanang karena melihat tanah bekas hantaman pukulan itu telah
berlubang. Terpaksa dia ta-
han langkahnya karena berpikir lawan bukanlah orang yang dianggap enteng. Apa
lagi dia dalam keadaan terluka. "Heh! benar kata guru! perempuan itu bisa
membawa bencana...!" berkata Pati Lanang dalam hati. Pemuda ini segera kembali
masuk ke dalam Istana Kuno
untuk mengobati lukanya.
Siapa adanya orang yang telah menyelamatkan
Srimala" Ternyata tiada lain dari Nanjar! Pemuda itu memang telah menguntit
ketika Srimala dan Pati Lanang pergi ke tempat itu. Bahkan dengan diam-diam
dia telah mendengar pembicaraan keduanya. Nanjar
telah mengetahui siapa adanya pemuda bernama Pati
Lanang itu, yang dijumpainya beberapa bulan yang la-lu baru saja habis
memperkosa seorang gadis. Diam-diam dia menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu.
Dari seorang perempuan nakal yang menjadi langga-
nannya, dia mengetahui kalau pemuda itu bernama
Pati Lanang, murid Gajah Sora si Pendekar Gajah Lengan Tunggal, ketua perguruan
Gajah Sakti. Tadinya Nanjar cuma berniat mengembalikan
selendang sutera Srimala. Bagi Nanjar memang tak terlalu sulit untuk mengetahui
jejak si gadis yang melarikan diri setelah dia melepaskan senjata selendang
suteranya. Terkejut Nanjar melihat kemunculan Pati Lanang dari balik gerombolan
semak belukar. Diam-diam dia mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.
Rasa ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu
membuat Nanjar terus menguntit, ketika keduanya
meninggalkan tempat itu....
Benar saja! Pati Lanang tidak membawa Srima-
la ke pesanggrahan Gajah Sakti. Melainkan ke suatu
tempat di dalam hutan. Semakin tercekat hati Nanjar, ketika dia melihat di
tengah hutan itu terdapat sebuah reruntuhan istana tua. Untunglah dia berlaku
hati-hati dan bergerak tanpa menimbulkan suara, hingga ketika dia tengah mencari
akal untuk memasuki istana tua
itu tak kepergok dengan si nenek penghuni Istana Ku-no yang baru saja keluar
dari dalam ruang pendopo.
Perempuan tua itu tampaknya kurang waspada den-
gan keadaan sekitarnya. Setelah mengirim suara jarak jauh pada Pati Lanang, dia
segera berkelebat lenyap keluar dari hutan itu...
Nanjar hembuskan nafasnya setelah sejak tadi
dia menahan napas ketika nenek tua itu muncul.
"Heh! untung dia tak melihatku! Bagus! Aku dapat memeriksa isi Istana tua ini
sekalian melihat apa yang akan dilakukan pemuda hidung belang itu terhadap
Srimala..." kata Nanjar dalam hati.
Demikianlah, hingga ketika Srimala nyaris ter-
jatuh lagi dalam cengkeraman Pati Lanang, si Dewa
Linglung telah bertindak cepat menyelamatkannya.
Nanjar tadinya berniat memeriksa Istana Kuno itu jadi urungkan niatnya, karena
dia harus menyelamatkan si gadis. Di tengah perjalanan dia telah menjejalkan se-
butir pel penolak racun di mulut si gadis. Untunglah dia masih bisa
menyelamatkan diri dari kepungan
pembegal-pembegal nyawa dan si Iblis Kipas Emas.
DELAPAN Srimala merasa mulutnya terkancing melihat
kenyataan yang terpampang dihadapannya. Pemuda
yang telah merebut selendang sutera itu dalam kea-
daan terluka di bagian pundak, yang tampak menga-
lirkan darah berwarna kehitaman. Tahulah dia kalau si pemuda bertampang dungu
itu terkena racun! Akan
tetapi bukankah dirinya sendiri telah terkena asap
mengandung racun yang terendus hidung akibat di-
perdayai Pati Lanang" Tampaknya pengaruh racun itu
telah lenyap. Buktinya dia tak merasakan apa-apa lagi.
Jelaslah kalau pemuda itu yang telah menolong
dirinya. Tak selang berapa lama Nanjar telah berhasil pulih dari pengaruh racun
di tubuhnya. Pelahan-lahan dia membuka matanya. Yang tampak adalah sosok tubuh
Srimala yang juga tengah menatapnya.
"Ah, kau sudah sadar, nona Srimala?" berkata Nanjar, dengan tersenyum. Lalu
melompat berdiri.
"Kaukah yang telah menolong diriku?" tanya gadis itu.
"Benar! bagaimana keadaanmu?" tanya Nanjar seraya menghampiri.
"Sudah baikan..." menyahut dia. "Apakah kau terluka oleh si Pati Lanang Pemuda
keparat itu?" Nanjar menggeleng. "Orang lain yang telah mencelakakan ku!" sahut
si Dewa Linglung, seraya ceritakan secara singkat pertarungan dengan si Iblis
Kipas Emas dan orang-orangnya.
"Ah, sungguh aku malu hati pada diri sendiri,
karena kebodohan ku nyaris saja aku jadi korban pe-
muda celaka itu! Entah cara bagaimana aku bisa
membalas budimu..." berkata Srimala dengan menun-duk. "Hahaha... jangan kau
berkata begitu, nona!
Sebenarnya aku secara tak sengaja telah berhasil menyelamatkan dirimu. Tujuanku
adalah mau mengem-
balikan benda milikmu ini!" Nanjar masukkan lengannya ke balik baju. Lalu
keluarkan selendang sutera hitam dalam kepala tangannya.
"Ini... terimalah! Dan maafkan kalau sikapku
membuat kau marah!"
Srimala menerima selendang suteranya dengan
tersipu. Entah bagaimana perasaan gadis itu setelah mendapatkan kembali senjata
itu sukar dilukiskan.
Gembira bercampur malu serta rasa menyesal
bercampur aduk menjadi satu.
"Ini pondok siapakah?" tanyanya tiba-tiba. Sejak tadi dia terheran karena di
tempat itu ada sebuah pondok.
"Entahlah! aku sendiri belum memasukinya
dan baru beberapa lama tiba disini!" sahut si Dewa Linglung. "Baik akan
kuperiksa!" Sekali melompat Nanjar telah tiba di depan pintu pondok. Telinganya
dipa-sang kalau-kalau dia dapat mendengar ada suara dari dalam. Akan tetapi tak
ada apa-apa. Melihat sarang la-ba-laba yang banyak melekat disudut pintu tahulah
Nanjar kalau pondok itu kosong. Nanjar mendorong
daun pintu yang mengeluarkan bunyi berderit. Lalu
melangkah ke dalam, Ternyata rumah itu benar-benar
tak berpenghuni. Srimala menyusul masuk ke dalam
rumah itu. "Tak ada penghuninya?" tanya si gadis.
"Ya! sebuah rumah kosong!" sahut Nanjar. "Ku-lihat hari hampir gelap. Tempat ini
bisa dipergunakan untuk bermalam...! Oh, ya kemanakah tujuanmu, no-na...?"
Srimala yang sering mendengar pemuda itu menyebutnya nona menjadi kurang enak
hati. "Namaku Srimala! sebut saja namaku...!" katanya.
"Oh, ya! ng... Srimala! apakah kau punya tu-
juan untuk bermalam di tempat ini?"
"Aku akan menginap malam ini disini!" menyahut si gadis.
"Hehe... kau tak takut atau curiga terhadapku?"
tanya Nanjar dengan tersenyum. "Aku percaya kau bukan manusia macam si Pati
Lanang!" menyahut Srimala. Nanjar cuma tersenyum seraya melangkah meng-
hampiri jendela. Dan membukanya lebar-lebar. Semilir angin meniup masuk
menyegarkan udara yang agak
berbau pengap. "Sukurlah kalau kau tak mencurigai-ku!" kata Nanjar.
"Tahukah kau siapa si Pati Lanang itu?" tanyanya. Srimala menggeleng.
"Aku baru beberapa saat mengenalnya. Sikap-
nya yang ramah itu membuat aku mempercayai kata-
katanya. Tak tahunya dia manusia berakhlak bejat!"
"Hm, dialah murid si Pendekar Gajah Lengan
Tunggal, Gajah Seta! Manusia itu memang seorang
pemuda hidung belang yang baru ketahuan belangnya!
Sungguh tak kusangka murid seorang pendekar yang
cukup punya wibawa mempunyai akhlak sedemikian
buruk!" berkata Nanjar.
Srimala tercekat hatinya karena pemuda itu
mengetahui perihal Pati Lanang.
"Apakah perempuan tua di istana kuno itu bu-
kan gurunya?" tanyanya dengan terheran. "Hm, itulah
yang aku tak habis pikir! Menurut keterangan yang
kudengar dia murid Gajah Sora si ketua perguruan
Gajah Sakti, akan tetapi dia mengakui nenek penghuni Istana Kuno itulah gurunya!
Aku memang tengah menyelidiki siapa adanya perampok perempuan yang te-
lah membunuh hartawan tua itu. Dugaanku si nenek
itulah orangnya!"
"Ah, ya! kukira dialah orangnya!" tukas Srimala. "Bagaimana rencanamu
selanjutnya?" tiba-tiba Srimala ajukan pertanyaan.
"Aku akan kembali ke Istana tua itu besok! Aku harus mengetahui siapa sebenarnya
nenek penghuni istana kuno itu. Dan ada rahasia apa di dalam istana kuno itu!" Srimala
mengangguk-angguk. "Aku akan menemanimu ke Istana Kuno itu!" Nanjar tersenyum
memandang si gadis.
"Kau tidak khawatir tertawan si Pati Lanang?"
"Hm, justru aku akan menghajarnya karena dia
telah berani berbuat kurang ajar terhadapku!" sahut Srimala dengan mata
membinar-binar. Nanjar tertawa
lalu berkata. "Perutku mendadak lapar. Kau buatlah api unggun di halaman rumah
ini, aku akan mencari
makanan! Kau juga tentunya lapar. Nah, aku berang-
kat!" Selesai berkata Nanjar berkelebat melompat keluar dari jendela, dan lenyap
dibalik rumah. Ketika malam menjelang tiba kedua pemuda
dan pemudi ini tampak telah duduk bercakap-cakap
menghadap api unggun. Sebentar-sebentar lengan
Nanjar bergerak membalik-balik daging kelinci yang di-tangkapnya. Dalam
percakapan itu Srimala mencerita-
kan riwayat hidupnya. Demikian juga Nanjar yang se-
gera tuturkan pengalamannya.
Terkejutlah Srimala mengetahui pemuda ini
adalah si Pendekar Naga Merah yang lebih dikenal
dengan julukan si Dewa Linglung.
Sampai lama dia terpukau karena tak me-
nyangka sama sekali. Srimala telah mendengar dari
gurunya mengenai pendekar aneh yang namanya telah


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul menggegerkan Rimba Hijau sejak sang guru si
Pendekar Melati Putih mengundurkan diri dan mengu-
cilkan dirinya di puncak gunung Betiri. Tentu saja hal itu membuat Srimala
bergirang hati. Karena dengan
berjumpanya dia dengan pendekar muda, gagah dan
bertampang tolol namun berilmu tinggi itu, dia tak perlu merasa khawatir...
SEMBILAN GAJAH SORA menerjang beringas dengan kiba-
san ujung lengah jubahnya. Sambaran ini membuat
tubuh si nenek penghuni Istana Kuno tergontai-gontai.
Tapi hal itu tak membuat perempuan tua berjubah hi-
tam itu berhenti terkekeh. "Hihik...hik... ternyata ilmu Menggempur Jagat mu
masih baik, Gajah Sora! Akan
tetapi permainan kuno itu sudah lapuk untuk diper-
tunjukkan di depan mataku!" berkata si nenek diantara suara tertawanya.
"Iblis perempuan! Suaramu seperti kukenal!
bukalah cadar penutup mukamu!" bentak Gajah Sora.
Dia terkejut karena perempuan bertopeng itu menge-
nali jurus yang dipergunakan, juga suaranya yang seperti dikenali.
"Hik...hik...hik... baiklah! Buka matamu lebar-lebar agar kau dapat melihat
jelas siapa aku!" berkata si perempuan bertopeng ini. Lengannya segera meraba
topeng hitam di wajahnya. Ketika topeng penutup mu-
ka itu disentakkan, Gajah Sora terperangah kaget.
"Hak!" Kau... kau RUMPINI?" teriak Gajah Sora dengan mata membeliak.
"Bagus! mata tuamu masih awas! Kalau kau in-
gin tahu lagi, akulah yang bergelar si Hantu Pencabut Nyawa! Nah! bersiaplah kau
untuk menerima kematian!" "Tunggu!" teriak Gajah Sora dengan napas te-rengah.
"Heh! apa lagi" diantara kita sudah tak ada hubungan apa-apa! Masih ingatkah kau
ketika kau men-
gusirku seperti seekor anjing pada delapan belas tahun yang silam" Sejak itu
sebutan suami istri diantara kita sudah putus. Dan aku berhak untuk berbuat apa
yang kuinginkan!" berkata perempuan tua bergelar hantu Pencabut Nyawa ini.
"Tapi itu karena kesalahanmu sendiri, Rumpi-
ni...! Siapa yang tak sakit hati kalau istrinya main se-rong dengan laki-laki
lain?" bentak Gajah Sora dengan napas memburu. Dia sungguh tak menyangka; kalau
perempuan perampok itu adalah bekas isterinya sendi-ri yang tak ada beritanya
selama delapan belas tahun ini. "Lagi ada satu hal yang akan aku tanyakan
padamu!" sambung laki-laki tua ini.
"Bertanyalah, selagi kau masih bisa bernapas!"
sahut Rumpini. Sesaat Gajah Sora menelan ludah se-
belum bicara. "Apa maksud tujuanmu dengan semua ini"
Mengapa kau mengadu domba kami, orang-orang per-
guruan Gajah Sakti dengan pihak Cecak Terbang?"
"Hihik...hik... hal itu memang sudah kami ren-
canakan! si Cecak Terbang Lawe Wereng telah berga-
bung denganku. Tujuan kami tentu saja mendirikan
sebuah partai besar yang menguasai wilayah utara ini!
Dengan adanya perguruan Gajah Sakti yang cukup
punya nama baik di wilayah ini, jelas telah mendesak perguruan Cecak Terbang
untuk gulung tikar! Aku
memang punya andil dalam urusan ini, karena... si
Cecak Terbang Lawe Wereng adalah suamiku!"
Kalau ada geledek menyambar saat itu tidaklah
membuat Gajah Sora seterkejut ini. Membelalak mata
Gajah Sora mendengar kata-kata perempuan tua diha-
dapannya itu. Seketika dia berpaling pada Lawe We-
reng yang sejak tadi cuma berdiri saja. "Ja-
di...jadi...kau...?"?" bentak Gajah Sora dengan suara parau. "Hehehe... apa yang
dikatakannya tidak salah, sobat Gajah!" berkata Lawe Wereng dengan tersenyum dan
sikap tenang. "Keparat! Apa artinya pengangkatan saudara ki-
ta?" teriak Gajah Sora menggembor marah. "Sudah kuduga sejak semula, kau memang
berniat busuk! Ternyata dugaanku benar!" Seraya melompat ke hadapan laki-laki kurus itu Gajah Sora berteriak keras.
"Kubunuh kau binatang!!" Akan tetapi pada detik itu serangkum angin dahsyat
telah mendahului menghantam ke arah punggung laki-laki tua ini. Dalam keadaan
murka kewaspadaan Gajah Sora lenyap. Terdengarlah
suara jeritan parau si Pendekar Gajah Lengan Tunggal.
Tubuhnya terlempar bergulingan. Bajunya di
bagian punggung tampak hangus.
Namun Gajah Sora cepat bangkit lagi. Tampak
wajahnya menyeringai menahan sakit. "Bedebah! kalian manusia-manusia iblis yang
tidak tahu aturan!"
membentak Gajah Sora. Kedua pipi laki-laki tua ini
menggembung. Sebelah lengannya menyilang di dada
dengan telapak tangan tegak lurus. Gajah Sora segera menghimpun hawa murni untuk
menahan rasa sakit
akibat gempuran itu. Dan siap mengeluarkan jurus-
jurus simpanannya untuk menghadapi lawan.
"Hihik.hik... masih adakah yang akan kau ta-
nyakan, pendekar Gajah?"
"Perempuan laknat! Iblis apakah yang telah me-
rubah dirimu sebusuk itu" Aku memang masih ada
pertanyaan satu lagi!" berkata Gajah Sora yang masih bisa menahan diri.
"Hihik... katakanlah!" terkekeh Rumpini si Hantu Pencabut Nyawa. Gajah Sora
menatap geram. Ingin
rasanya saat itu juga dia merobek-robek tubuh bekas isterinya itu. "Kau telah
menawan muridku Pati Lanang dan mencuri kitab pusaka Mega Mendung dari
kamarku, apakah maksudmu?"
"Hm, kau dapat menanyakan sendiri pada bo-
cah itu!" sahut si nenek seraya bertepuk tangan dua kali. Detik itu juga dari
dalam bangunan kuno melompat keluar sosok tubuh. Mendelik mata Gajah Sora
melihat pemuda itu dalam keadaan tenang-tenang saja.
Bahkan di tawanpun tidak. Hampir-hampir saja Gajah
Sora tak mempercayai penglihatannya.
"Pati Lanang! apa artinya semua ini?" teriak Gajah Sora menggembor. Sebelum
menjawab pertanyaan
itu Pati Lanang menatap pada si Hantu Pencabut Nya-
wa. "Guru! bolehkah aku mengatakannya?"
"Ya! katakanlah!" sahut iblis perempuan ini.
Semakin lebar mata Gajah Sora mendelik mendengar
murid juga keponakannya itu menyebut guru pada si
perempuan tua itu. Akan tetapi Pati lanang sudah berkata. "Gajah Sora! setelah
aku menjadi muridnya, tentu kau dapat menerka apa maksud dicurinya kitab
pusaka Mega Mendung itu" Haha... baiklah aku akan
menjawab agar lebih jelas bagimu! Akulah calon pewa-
ris kitab pusaka itu!" Bagai dihantam palu godam terasa hampir meledak dada
Gajah Sora mendengar kata-
kata muridnya. "Keparat! jadi kau telah lupakan jasa-ku merawat dan mendidikmu
selama ini" Kau berse-
kongkol dengan perempuan tak tahu adat yang justru
patut menjadi musuhmu?" bentak Gajah Sora. Darahnya seketika mendidih karena
gusarnya. "Heh! siapapun akan iri hati kalau dirinya dibedakan!" berkata Pati Lanang.
"Dibedakan" Aku tak pernah membedakan kau dengan Walet Wungu!
"Dari mana kau bisa mengetahui aku membe-
dakan kau?" berkata Gajah Sora dengan suara tertekan. "Hm, kelihatannya memang
begitu. Tapi dengan kau tak memberikan aku kesempatan mempelajari kitab pusaka
Mega Mendung itu adalah suatu bukti
bahwa aku dianak tirikan! Kau pasti hanya akan me-
wariskannya pada Walet Wungu!" sahut Pati Lanang.
Gajah Sora menghela napas, lalu katanya den-
gan suara berubah datar.
"Kau telah salah menduga, Pati Lanang! Sekali-
kali aku tak berniat demikian! Kitab pusaka Mega
Mendung itu, berisi ilmu yang menjurus ke arah ilmu sesat! Tadinya aku berniat
memusnahkan..."
"Akan tetapi kau masih berniat untuk mempe-
lajari, hingga kau tetap menyimpannya! Hihik... aku memang telah sejak lama
mencari-cari kitab pusaka
itu. Tak tahunya berada di tanganmu!" menimpa si Hantu Pencabut Nyawa.
"Dari mana kau mengetahui aku memiliki buku
pusaka itu?" Gajah Sora kerutkan keningnya menatap perempuan tua berjubah hitam
itu. "Hihik...hik.. kau kenal baik dengan Bahugoro
si Dedemit Segara Kidul" Manusia yang telah bersusah
payah mendapatkan kitab itu dan kau buat dia cacad
seumur hidup itulah yang memberitahukannya!" berkata Rumpini.
"Hah!" dimanakah iblis telengas itu?" sentak Gajah Sora terkejut.
"Dia kini berada di Blambangan. Menetap di
rumah kediaman Raden WIRAKRAMA!" sahut si Hantu Pencabut Nyawa. Kata-kata ini
diputus oleh suara tertawa terkekeh perempuan tua ini yang merasa sudah
cukup lama mengulur waktu. "Hihik...hik.. cukuplah, Gajah Sora! Saat kematianmu
telah tiba!" Begitu habis suara kata-katanya, tubuh perempuan tua ini
berkelebat. Sepasang lengannya menghantam dengan puku-
lan ganas. Akan tetapi Gajah Sora telah memper-
siapkan diri untuk menghadapi wanita tua itu. Hantaman yang bisa membobolkan
bukit itu berhasil dielakkan. "Perempuan durjana! sungguh menyesal aku tak
membunuhmu!" memaki Gajah Sora.
"Tutup mulutmu yang tak ada gunanya itu!"
bentak Rumpini.
Kembali dia menerjang ganas. Sepuluh jari-
jarinya terkembang mengarah ke batok kepala dan da-
da lawannya. Gerakan ini luar biasa cepatnya. Itulah jurus "Cakar Hantu". Sekali
terkena sasaran, batok kepala korban akan hancur kena cengkeraman dan tulang
dada ambrol. Jangankan mengenai sasaran, ter-
kena goresan kuku tangannya yang mengandung ra-
cun itu saja sudah dapat merenggut jiwa sang korban.
Akan tetapi Gajah Sora bukanlah seorang yang begitu mudah untuk dirobohkan.
Selain sudah cukup makan
asam garam persilatan, dia juga memiliki ilmu yang
tak dapat dipandang enteng.
Dengan membentak keras dia kibaskan jubah-
nya diiringi tendangan kilat ke arah lambung.
Terpaksa Hantu Pencabut Nyawa tarik kembali
serangannya untuk segera menghindari terjangan la-
wan. Agaknya Rumpini tak mau berlama-lama untuk
menghabisi lawannya. Segera dia melompat agak men-
jauh. Tampak bibir perempuan tua ini komat-kamit
seperti membaca mantera. Mendadak sebelah lengan-
nya terangkat ke arah Gajah Sora diiringi bentakan keras.
Segumpal uap biru meluncur ke arah Gajah So-
ra. Whuut! Laki-laki tua ini kebutkan lengan jubahnya yang dibarengi tenaga
dalam dahsyat. Uap biru itu
buyar. Hal itulah yang diinginkan si hantu Pencabut Nyawa. Detik itu tubuhnya
melambung ke atas melewati kepala Gajah Sora.
"Hihik... hik.. lihatlah sekelilingmu, Gajah Sora!
Hantu-hantu pencabut nyawa siap merenggut jiwamu!"
Apa yang terjadi kemudian" Tebaran uap biru
itu mendadak berubah menjadi makhluk-makhluk
menyeramkan yang banyaknya berpuluh-puluh.
"Ilmu sihir!?" desis Gajah Sora terkejut. Dengan membentak keras laki-laki ini
hantamkan pukulan-pukulan ke sekelilingnya. Akan tetapi hantu-hantu itu
bergemingpun tidak. Bahkan mereka telah meluruk
maju untuk mencengkeramkan lengan-lengannya ke
arah Gajah Sora. Sret! Pendekar tua ini cabut keluar senjata keris Wesi Kuning
dari balik bajunya. Benda ini agaknya punya pengaruh luar biasa. Buktinya
makhluk-makhluk itu buyar ketika dia kibaskan ke
arah mereka. Kali ini Gajah Sora tak membuang waktu untuk segera menerjangkan
senjata pusaka ditangan-nya. Makhluk-makhluk itu lenyap!
Menggeram gusar Rumpini. Tiba-tiba dia lem-
parkan sesuatu ke arah Gajah Sora. "Terimalah ini!"
bentaknya. Benda hitam itu dihantam dengan gempu-
ran telapak tangannya. Akan tetapi detik itu terjadilah ledakan keras. Asap
hijau menyembur keluar. Gajah
Sora terpekik kaget. Asap itu telah membuat matanya menjadi pedih. Dengan
terhuyung-huyung dia menutupi mukanya.
"Hihik...hik... rasakan Gajah Sora! Itulah asap pembuta mata! Kau telah terkena
asap itu. Matamu
akan menjadi buta seumur hidup!" mengekeh tertawa si Hantu Pencabut Nyawa.
"Isteriku! biarlah aku yang menghabiskannya!"
berkata Lawe Wereng. Dia sudah mau melompat untuk
menerjang. Akan tetapi Rumpini mengangkat tangan-
nya. "Biarkan dia menderita seperti itu, suamiku! Menyingkirlah kau!"
Lawe Wereng segera mengetahui bahayanya
asap pembuta mata itu. Segera dia menyingkir pergi.
Keadaan Gajah Sora tampak mengenaskan. Dia benar-
benar tak dapat melihat apa-apa lagi. Pandangan ma-
tanya menjadi gelap pekat. "Kurang ajar! kau.. kau benar-benar manusia terkutuk,
Rumpini!" teriak laki-laki ini. Diiringi gemboran keras yang mengguntur pendekar
berlengan tunggal ini menerjang sejadi-jadinya.
Tak peduli lagi dia ke arah mana serangannya. Pepo-
honan dan semak belukar serta batu-batu berhambu-
ran di sekitarnya akibat terjangan itu.
Pada saat itulah terdengar teriakan nyaring his-
teris dari arah belakang. "Ayaah...!" Sesosok tubuh telah berkelebat muncul
diiringi sosok tubuh lain dibelakangnya.
"Walet Wungu..." kau..." sentak Gajah Sora terkejut girang.
"Ayah! apa yang terjadi?" membelalak mata gadis ini melihat keadaan ayah
angkatnya. Dara ini me-
mang tak lain dari Walet Wungu dan Jalapaksi yang
telah menyusul dan tiba di istana kuno.
"Iblis perempuan itu telah membutakan mata-
ku! Mereka... mereka semua adalah manusia-manusia
terkutuk! termasuk Pati Lanang dan Lawe Wereng si
Cecak Terbang!" desis Gajah Sora.
"Pati Lanang dan Lawe Wereng?" sentak Walet Wungu terkejut.
"Benar! mereka telah bergabung dengan iblis
perempuan itu!" sahut Gajah Sora. Laki-laki tua ini mengusap matanya yang
berair. Menggebulah kemarahan di dada gadis ini. Akan tetapi Gajah Sora kembali
berkata. "Hati-hati dengan benda-benda yang dilempar-
kan iblis perempuan itu. Dia memiliki ilmu sihir. Kau gunakanlah keris Wesi
Kuning ini untuk menghadapi
ilmu sihirnya!"
"Baik, ayah!" sahut Walet Wungu seraya menerima keris pusaka itu dari tangan
gurunya. "Eh, dengan siapa kau datang?" tiba-tiba Gajah Sora miringkan
kepalanya. "Dia Jalapaksi, murid si Cecak Terbang!"
sahut Walet Wungu.
"Ahh...!?" terkejut si Pendekar Gajah. Sebelum Gajah Sora berkata lagi Jalapaksi
yang telah mendengar semua percakapan itu cepat-cepat buka suara.
"Demi kebenaran, aku Jalapaksi tak akan berpihak pada mereka! Tenangkanlah
hatimu, paman Gajah!"
SEPULUH "Akupun berada di pihakmu, sobat Gajah Sora!"
sebuah suara terdengar di belakang mereka. Serentak
mereka menoleh ke belakang.
"Siapa kau?" tanya pendekar tua ini dengan miringkan kepalanya.


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Raden WIRAKRAMA...!" Walet Wungu menda-
hului berkata. Gadis ini berseru girang melihat siapa yang telah berada diantara
mereka. "Benar! aku telah mengetahui semua ini! Keda-
tanganku adalah untuk mengambil kembali kitab pu-
saka Mega Mendung dari tangan iblis perempuan itu!"
berkata laki-laki panglima Kerajaan ini. "Benda itu harus dimusnahkan!"
"Ahh... sukurlah! kedatanganmu amat kuha-
rapkan sekali, Raden!" kata Gajah Sora dengan wajah girang. "Bahugora si Dedemit
Segara Kidul memang berada di tempat kediamanku. Akan tetapi dia telah sadar
dari kesesatannya. Dialah yang telah memberita-
hukan kitab pusaka Mega Mendung itu berada di tan-
ganmu! Kitab itu tak boleh jatuh ke tangan siapapun, dan harus segera
dimusnahkan. Bahugora yang telah
menjadi guruku yakin kalau kau tak akan mempelajari isi kitab itu. Sayang
kedatanganku terlambat! Kitab Sesat itu telah jatuh ke tangan manusia iblis
itu..." ujar Raden Wirakrama. Ternyata orang yang diam-
diam membuntuti Walet Wungu dan Jalapaksi itu ada-
lah Raden Wirakrama. Kemunculannya di pesanggra-
han Gajah Sakti telah keduluan oleh si Hantu penca-
but Nyawa yang membawa lari kitab Pusaka Mega
Mendung. Pada saat itu si Hantu Pencabut Nyawa telah
perdengarkan suara tertawa mengekeh. Walau diam-
diam hatinya terkejut melihat kemunculan Raden Wi-
rakrama. Tentu saja sebagai seorang tokoh berilmu
tinggi dia dapat menangkap pembicaraan mereka. Ta-
hulah Rumpini kalau panglima Kerajaan itu berpihak
pada si Pendekar Gajah dan kedatangannya untuk me-
rebut kembali kitab pusaka Mega Mendung dari tan-
gannya. "Hi hik...hik... bagus! kalian telah datang untuk mengantarkan nyawa!
Jangan mimpi di siang hari untuk merampas kitab pusaka itu dari tanganku!"
berkata si Hantu Pencabut Nyawa.
"Perempuan iblis! rencana busukmu telah ter-
cium! Cita-cita mu tak akan menjadi kenyataan!"
membentak Wirakrama. Diiringi Walet Wungu dan Ja-
lapaksi Panglima Kerajaan ini melompat ke arah Rum-
pini. Melihat demikian si Cecak Terbang Lawe Wereng dan Pati Lanang segera maju
menyongsong. "Jalapaksi! apakah kau mau menentang guru-
mu?" bentak Lawe Wereng menatap pada Jalapaksi.
Pemuda ini perlihatkan senyum sinis, dan cabut ke-
luar senjatanya. "Hei"! terpaksa! Saat ini aku tak men-ganggapmu sebagai guruku
lagi! Demi kebenaran ter-
paksa aku harus menumpas mu!" berkata Jalapaksi dengan tegas. Berubahlah air
muka Lawe Wereng.
"Bagus! Jangan menyesal kalau terpaksa aku
harus melenyapkan kau!" bentaknya. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki kurus ini
langsung menerjang ke arah pemuda itu. Dengan pedangnya Jalapaksi siap
menghadapi gurunya.
Terjadilah pertarungan seru antara guru mela-
wan murid. Sementara, itu Walet Wungu dengan ke-
marahan tak terbendung segera menerjang Pati La-
nang yang telah mencabut sepasang pedang pendek
senjatanya. "Iblis perempuan! Akulah lawanmu!" bentak Raden Wirakrama.
"Bagus! hihik...hik.. silahkan maju panglima
muda!" Tanpa ayal lagi Raden Wirakrama segera mencabut keluar dua buah senjata.
Sebuah tombak ber-
mata tiga dan sebuah kelewang yang membersitkan si-
nar putih. "Heh! pedang Mutiara Putih!" mendesis perempuan tua ini. "Bagus! ingin ku
menjajal kehebatan pedang pusaka mu itu!" Dan dengan diiringi bentakan keras si
Hantu Pencabut Nyawa mendahului menerjang. Segera saja terjadilah pertarungan
hebat. Sambaran-sambaran pedang dan tombak mata tiga panglima
muda itu menderu-deru mematahkan serangan lawan.
Sementara itu dengan hantamkan telapak tan-
gannya si Cecak Terbang Lawe Wereng siap menghabisi nyawa muridnya. Akan tetapi
dengan pedangnya Jalapaksi memapaki serangan itu. Akibatnya pemuda itu
menjerit kaget. Detik itu juga pedangnya terlepas. Jalapaksi rasakan telapak
tangannya membeku. Detik
itulah Lawe Wereng membentak keras.
"Terimalah kematianmu!"
Hantaman dahsyat yang dilontarkan Lawe We-
reng tak dapat dielakkan lagi! Menjeritlah Jalapaksi dengan tubuh terlempar
beberapa tombak. Pemuda itu
mencoba bangkit lagi. Akan tetapi kepalanya menda-
dak terkulai dan jatuh tersungkur. Walet Wungu ter-
pekik kaget. "Ah, Jalapaksi...!?" Sekali bergerak dia telah melompat menghampiri
pemuda itu. "Jalapaksi!
kau kena...?" Akan tetapi pemuda itu sudah tak bergerak lagi. Tulang dadanya
remuk dan jiwanya telah melayang. Setitik air bening membersit dicelah kelompak
mata dara ini. Seketika mendidihlah darah Walet Wungu. Kematian pemuda itu
adalah demi cintanya terha-
dap dirinya. Juga demi kebenaran! Dia telah korban-
kan jiwanya sebagai seorang pendekar!
"Manusia-manusia kotor! kalian tak patut hi-
dup dimuka bumi ini!" Membentak dara ini. Dan detik itu juga dia telah melompat
menerjang si Cecak Terbang Lawe Wereng. Keris Wesi Kuning di tangannya
menderu membelah udara. Dengan kemarahan meluap
dia mengamuk bagai kesetanan. Lawe Wereng terke-
siap kaget. Nyaris lehernya terkoyak senjata pusaka Gajah Sora itu. Dengan
sebatan dia segera gunakan
kosentrasinya. Serangan-serangan Walet Wungu me-
mang tak boleh dianggap remeh. Di samping pukulan-
pukulannya yang mengarah ke tempat-tempat berba-
haya, senjata keris Wesi Kuning itu tak kalah jauh
berbahayanya. Dengan membentak keras segera dia merobah
gerakan. Terkejutlah Walet Wungu melihat dengan se-
ketika serangan-serangannya dapat diatasi. Dan bah-
kan kini berbalik dia yang terdesak. Terpaksa Walet Wungu gunakan kelincahannya
untuk menghindari serangan-serangan lawan. Beruntung gadis ini mempu-
nyai kelebihan dalam hal kegesitan, hingga pertarungan boleh dikatakan cukup
seimbang. Di pihak lain
Raden Wirakrama masih terus menggempur si Hantu
Pencabut Nyawa dengan gencar. Ternyata panglima
muda ini telah mewarisi ilmu-ilmu Bahugora si Dede-
mit Segera Kidul. Serangan-serangannya tak memberi
kesempatan sedikitpun pada perempuan tua itu untuk
mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan ilmu sihir-
nya. Sementara itu Pati Lanang yang merasa kea-
daan tidak menguntungkan telah berkelebat masuk ke
dalam Istana Kuno...
"Haha.,.. biarlah mereka bertempur. Aku tak
boleh menyia-nyiakan kesempatan baik ini!" mendesis Pati Lanang dengan wajah
menyeringai. Sementara itu di lain tempat dua sosok tubuh
berlari cepat melintasi hutan lebat. Dari gerakan lari mereka nyatalah kalau
mereka bukan orang-orang biasa. Ternyata mereka memang bukan lain dari si Dewa
Linglung dan Srimala yang bertujuan menyatroni Istana Kuno.
"Agak pelahan, Srimala! Hati-hati! Di tempat ini banyak bahaya...!" desis Nanjar
berbisik. Benar saja.
Baru selesai Nanjar bicara telah berkelebatan sosok tubuh menghadang dari balik
semak belukar. Sebentar saja enam orang laki-laki bertampang
seram telah mengurung mereka dari segenap penjuru.
Nanjar yang mengawasi penghadang-penghadang ini
segera melihat si laki-laki berbaju kuning Iblis Kipas Emas berada diantara
mereka. "Hehe... ternyata kau masih hidup, bocah! Dan
membawa "Santapan" yang masih segar bugar! Hehe...
kali ini kau tak mungkin lolos!" berkata Iblis Kipas Emas seraya melompat
mendekat. "Habisi nyawanya! biar nona manis ini bagian-
ku!" teriak si Iblis Kipas Emas memberi tanda pada kawan-kawannya. Nanjar segera
mengetahui bahwa
kali ini lawan-lawannya bukanlah sebangsa keroco biasa, melainkan tokoh-tokoh
Rimba Hijau kaum golon-
gan hitam yang berilmu tinggi.
"Tahan!" teriak Nanjar. "Kalian menginginkan nyawaku tanpa sebab. Siapakah yang
telah memberi perintah edan macam ini?"
"Hoho... kami diberi tugas oleh ketua kami. Dialah bergelar si Hantu Pencabut
Nyawa!" menyahut la-ki-laki bertelanjang dada yang berkepala botak dengan muka
penuh berewok. Di lengannya tercekal sebuah
kapak bermata lebar. Melengak Nanjar. "Siapakah si Hantu Pencabut Nyawa itu dan
punya kedudukan
apakah dia hingga membuat kalian tunduk pada perin-
tahnya?" "Hoho... pertanyaanmu banyak sekali" Tapi
baiklah! Karena nyawamu pun tak akan tertolong lagi aku akan mengatakannya!"
berkata si botak berewok ini.
"Dialah si penghuni Istana Kuno! Yang telah
mempersatukan kami untuk mendirikan sebuah partai
besar di wilayah ini! Bahkan dalam waktu dekat akan merebut kekuasaan Kerajaan!
Hoho... kukira cukup jelas, bukan" Nah! segera bersiaplah untuk kau meng-
hadapi ajal!"
"Bagus! tak percuma kedatanganku kemari!
Sebelum ajal berpantang mati! Aku akan memperta-
hankan selembar nyawaku!" Sret! Sekali menggerakkan tangan Nanjar telah mencabut
keluar senjata pu-
sakanya. Sementara Srimala pun telah mengeluarkan se-
lendang suteranya untuk menghadapi pembegal-
pembegal nyawa ini.
Si botak berewok berkapak lebar ini tersurut
mundur melihat sinar merah yang terpancar dari ba-
dan pedang di tangan pemuda itu.
"Pedang Mustika Naga Merah!" sentak mereka hampir berbareng. Tentu saja mereka
mengenal pada senjata itu karena pada beberapa tahun yang lalu senjata pusaka itu pernah
menghebohkan Rimba Hijau.
"Heh! kiranya kau si Dewa Linglung!" Bagus!
tak percuma kami membunuhmu, karena kau bakal
menjadi duri penghalang cita-cita kami!" bentak Buto Cakil alias si Kapak
Malaikat. Laki-laki berkepala botak ini berikan tanda pada kawan-kawannya untuk
se- gera maju menerjang.
Serentak saja terdengarlah bentakan-bentakan
keras merobek udara. Kilatan-kilatan senjata tajam
meluruk bagai hujan ke arah si Dewa Linglung.
"Menjauhlah!" berkata Nanjar seraya mendorong tubuh Srimala.
Dara ini melompat dua tombak. Tapi segera te-
lah dihadang oleh si Iblis Kipas Emas. "Hehe... senja-tamu sebuah selendang
sutera. Apakah kau mau
mempertunjukkan tarian di hadapanku?" berkata laki-laki ini dengan mata membinar
dan muka menyeringai.
Sebagai jawabannya adalah...
Whuuuk! Ztarr! Selendang itu benar-benar telah mempertun-
jukkan tarian maut meluncur bagaikan seekor ular
mematuk ganas! Tahu-tahu telah merobek jubah si Ib-
lis Kipas Emas. Nyaris saja lehernya terkena serangan mendadak itu kalau dia tak
cepat melompat menghindari. Merahlah muka laki-laki ini. Seraya membentak dia
segera menerjang dara itu. "Kurang ajar! ternyata kau murid si Pendekar Melati
Putih!" kibasan lengan manusia menimbulkan uap hitam yang berbau amis.
Sadarlah Srimala kalau itulah uap beracun. Seperti
yang telah dikatakan Nanjar, manusia inilah yang telah melukainya. Srimala tutup
jalan pernafasannya.
Seraya berkelebat melompat ke sisi, selendangnya
kembali menghantam.
Ternyata gadis murid si Pendekar Melati Putih
dari puncak gunung Betiri ini bukan lawan yang en-
teng bagi si Iblis Kipas Emas. Karena dengan senjata selendang suteranya Srimala
dapat menerobos kepungan dari serangan-serangan yang dilancarkan lawan-
nya. Sementara itu di pihak lain tampaklah perta-
rungan yang tak seimbang. Lima orang mengeroyok sa-
tu orang. Akan tetapi hal itu tak membuat si Dewa
Linglung menjadi gentar. Kesempatan ini bahkan di-
pergunakan Nanjar untuk mengeluarkan jurus-jurus
simpanannya. Suara membersit bagaikan suara desis
seekor Naga yang ditimbulkan dari kibasan pedang
Naga Merah membuat lawan-lawannya sedikit terpu-
kau. Nanjar memang belum mempergunakan senja-
tanya untuk menyerang. Selama itu dia hanya men-
gandalkan kegesitan tubuhnya dengan lompatan-
lompatan kera dan liukan ular untuk menghindari se-
rangan. Kibasan pedangnya hanya dipergunakan un-
tuk mengacaukan mereka.
Laki-laki jubah merah yang bersenjata bandu-
lan berduri adalah tokoh hitam dari pesisir utara. Senjata bandulannya telah
banyak merengut nyawa. Di-
alah yang berjulukan si Setan Utara. Sifatnya yang
sombong dan takabur membuat dia membentak keras.
"Tahan! semua mundur!" teriak orang ini. Tentu saja bentakan itu membuat keempat
penyerang segera
melompat ke belakang.
"Heh! menghadapi bocah ingusan macam begini
mengapa harus main kerubutan" Biarlah aku yang
menghadapinya! Senjataku sudah lama tak menghirup
darah!" berkata si Setan Utara dengan sikap angkuh.
"Haha... ilmu macam apakah yang akan kau
gunakan untuk merenggut nyawa ku, setan muka
bengap?" berkata Nanjar dengan berdiri satu kaki. Sikap ini terlihat sekilas
seperti orang yang memandang enteng terhadap lawan. Akan tetapi itulah jurus
Siluman Bangau yang sudah dipersiapkan untuk mengha-
dapi sang lawan.
"Kurang ajar! inilah ilmu pencabut nyawa yang
akan kupergunakan!" bentak si Setan Utara. Laki-laki jubah merah yang kedua
pipinya menggembung mirip
orang bengap itu gusar sekali. Sikap Nanjar seperti
menganggap rendah dirinya. Seraya membentak keras
dia menerjang...! Senjata bandulan berdurinya mende-ru ke arah kepala si Dewa
Linglung. Serangan itu dibarengi pula dengan hantaman
lengannya ke arah dada pendekar konyol itu. Belum
lagi serangan itu datang, tiba-tiba Nanjar sudah roboh terjengkang terlebih
dulu. Tentu saja si Setan Utara tak menyangka sama sekali. Setan Utara melompat


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaget. Gerakkannya bagus sekali. Begitu serangan lolos, dia lakukan salto di
udara dan jejakkan kaki dua tombak di belakang lawannya.
Akan tetapi tersentak kaget laki-laki ini karena
merasa tubuhnya bagian bawah ada yang tidak beres.
Tahu-tahu terdengar suara tertawa tertahan dua orang kawannya. Yang tertawa
adalah Lowo Ireng si Golok
Samper Nyawa dan Jalu Wesi kepala perampok gu-
nung Burangrang.
"Mengapa kau tertawa?" bentak marah. Akan tetapi ketika dia memandang kebagian
bawah tubuhnya, merahlah seketika muka si Setan Utara. Ternyata celana pangsinya
telah terbelah menjadi dua bagian
dan merosot ke bawah.
"Haha...haha... ganti dulu celana mu dengan
yang baru, setan bengap! barulah kau maju mengha-
dapiku!" Nanjar tak dapat menahan rasa gelinya hingga dia tertawa terpingkal-
pingkal. Ternyata dengan gerakkan cepat sekali Nanjar telah gerakkan pedangnya
menabas kebagian bawah tubuh si Setan Utara.
Mendadak si Setan Utara membeliak kaget. Wa-
jahnya sekonyong-konyong berubah pucat pias. Len-
gan yang digunakan menutupi auratnya telah dibanjiri darah yang mengucur deras.
"Darah!" sentak Lowo Ireng dan Jalu Wesi dengan terperangah terkejut. Belum lagi
hilang terkejut-
nya, Si Setan Utara telah roboh terjungkal. Ketika keduanya memeriksa ternyata
nyawa si Setan Utara telah putus! Berubahlah seketika air muka pentolan-pentolan
golongan hitam ini.
Serentak mereka membentak keras dan mener-
jang si Dewa Linglung.
Pertarungan dahsyatpun kembali terjadi... Ben-
takan-bentakan dan suara beradunya senjata tajam
merobek udara. Nanjar tak dapat main-main lagi
menghadapi serangan-serangan lawan. Jurus demi ju-
rus terus berlanjut.
Sementara itu si Iblis Kipas Emas telah kelua-
rkan senjatanya. Dengan senjata ini di tangannya tampak kini Srimala terdesak
hebat. Beberapa kali nyaris senjata itu menggores kulit tubuh dan lehernya.
Kalau tadinya si Iblis Kipas Emas cuma mau merobohkan
tanpa melukainya, kali ini dia benar-benar dia mau
menghabisi nyawa sang gadis.
Detik itulah tiba-tiba berkelebat sebuah bayan-
gan putih. Tahu-tahu tubuh si Iblis Kipas Emas ter-
lempar bergulingan. Kipas mautnya hancur berteba-
ran. "Hah!" kau...kau..." membeliak mata laki-laki jubah kuning ini. Melihat
siapa yang telah berdiri di hadapannya.
"Manusia telengas! masih juga kau mengumbar
kejahatan?" terdengar bentakan halus. Sinar putih meluncur ke arah dada laki-
laki ini. Terdengarlah jeritan parau si Iblis Kipas Emas. Tubuhnya berkelojotan
bagai ayam di kuliti!
Akan tetapi cuma beberapa saat. Detik selan-
jutnya tubuh itu sudah terkapar tak bergerak. Nya-
wanya telah melayang ke Akhirat! sosok tubuh berbaju serba putih itu telah
membunuhnya dengan menghun-jamkan ujung tongkat yang digunakan sebagai pe-
nyangga tubuhnya.
Terpekik girang Srimala melihat siapa adanya
orang yang telah menolongnya itu. "Guru...!" sekali melompat dia sudah tiba di
hadapan wanita tua yang masih tampak bekas-bekas kecantikan parasnya. Dialah
si Pendekar Melati Putih! Sementara itu Nanjar telah berhasil merobohkan dua
orang lawannya. Yaitu si Kapak Malaikat dan si Golok Samber Nyawa. Kini cuma
tinggal dua orang lagi yang masih mati-matian menerjang si Dewa Linglung.
Kembali sinar merah membilas udara. Terden-
gar jerit kematian salah seorang dari dua pengeroyok itu. Ternyata Jalu Wesi si
kepala perampok dari gunung Burangrang menemui ajalnya. Tinggallah yang
seorang ini. Dia bernama Wikalpa yang bergelar si Setan Tongkat Darah. Akan
tetapi tampaknya orang ini
telah kehilangan semangat untuk bertarung. Di ke-
sempatan yang baik dia tak menyia-nyiakan untuk se-
gera melompat kabur melarikan diri.
"Kau tak dapat melarikan diri, setan tengik!"
bentak Nanjar. Nanjar gerakkan lengannya menghan-
tam dengan pukulan Inti Es. Hawa dingin menebar.
Tubuh si Setan Tongkat Darah terjungkal roboh den-
gan tubuh kejang terbalut lapisan es. Tampak si Dewa Linglung perlihatkan senyum
puas. Segera dia sarung-kan pedang Naga Merahnya ke balik punggung. Lalu
balikkan tubuhnya... Tiba-tiba wajah Nanjar menam-
pakkan keterkejutan. "Wah, celaka...!?" sentaknya. Bu-ru-buru dia balikkan
tubuhnya lagi. Ternyata cuma
mau membenarkan celananya yang kedodoran.
Pendekar Melati Putih yang berdiri tak jauh di
hadapan pemuda itu tersenyum. "Pemuda lucu, gagah dan berilmu tinggi, tapi macam
orang tolol..." berkata wanita tua ini dalam hati.
"Kak Nanjar...! inilah guruku dari puncak gu-
nung Betiri!" teriak Srimala. Gadis ini telah melompat menghampiri.
"Ah, selamat datang Pendekar Melati Putih...!"
berkata Nanjar seraya menjura. Dia memang telah
mendengar tentang guru Srimala ini. Tentu saja Nanjar disamping terkejut juga
kagum. Ternyata walaupun telah berusia cukup lanjut, namun bekas-bekas
kecantikan wanita tua ini masih tampak jelas membayang.
Di saat Nanjar bertempur tadi dia memang
mendengar suara jeritan si Iblis Kipas Emas dan sekilas melihat kemunculan
sesosok tubuh berpakaian
serba putih. Walaupun dia belum tahu jelas siapa yang datang, tapi hatinya
girang karena telah datang bantuan yang tak terduga. Hingga dia tak
mengkhawatir- kan nasib Srimala lagi.
"Senang sekali bertemu denganmu, anak muda!
Gelar lucu mu si Dewa Linglung telah kudengar sebe-
lum aku mengundurkan diri dari dunia Rimba Hijau.
Ternyata kau telah menyandang pula gelar si pendekar Naga Merah dengan
berhasilnya kau miliki pedang
mustika itu...!" berkata si Pendekar Melati Putih.
"Ah, anda terlalu memujiku, bibi..." menyahut Nanjar. "Gelar-gelar itu tak
sesuai dengan kebodohan yang kumiliki!"
"Kebodohan seseorang tak dapat dinilai dari
luar. Dengan kau berhasil menumpas kelima penjahat
besar itu serta ku melihat sendiri kehebatan mu membuat mata tuaku jadi terbuka,
bahwa telah muncul
seorang pendekar muda yang gagah perkasa pada za-
man ini...!" Pujian itu membuat Nanjar tersipu.
"Kurasa aku sendiripun tak akan mampu
menghadapi ilmu pedangmu dalam sepuluh jurus!"
lanjut si Pendekar Melati Putih.
"Ah, aku yang rendah mana berani jual lagak di hadapanmu, bibi...?"
"Hm, menurut yang kudengar pedang mustika
Naga Merah itu nama aslinya adalah bernama Kiam
Hoat Ang Liong, milik seorang kaisar di negeri Tibet!
Dalam gagang pedang itu telah disembunyikan segu-
lung kertas kulit yang berisi sembilan jurus ilmu pedang yang luar biasa
hebatnya. Kalau kau telah memiliki kesembilan jurus itu mana aku mampu bertahan
dalam sepuluh jurus?" berkata si Pendekar Melati Putih dengan tersenyum.
"Aih, bibi...! aku belum sempat mempelajari kesemuanya. Mana mungkin aku dapat
mengalahkan- mu?" tukas Nanjar dengan wajah memerah.
Srimala yang mendengarkan percakapan itu en-
tah mengapa hatinya berdebar tak keruan. Wajahnya
sebentar-sebentar berubah. Hati wanita memang sukar di terka. Siapa sangka kalau
diam-diam di hati dara ini telah bersemi bibit-bibit cinta...! Rasa simpati pada
diri Nanjar yang telah menyelamatkan dirinya dari cengkeraman Pati Lanang serta
kejujuran dan kerendahan
hati pemuda itu membuat dia semakin menaruh sim-
pati terhadap pemuda itu.
Khayalan indah di mata dara ini terputus keti-
ka mendengar Nanjar berkata.
"Bibi...! kami sebenarnya sedang dalam perjalanan ke Istana Kuno! Tempat itu tak
jauh lagi dari si-ni..." Segera Nanjar ceritakan secara singkat mengenai apa
yang telah dilihat dan didengarnya. Ternyata si pendekar Melati Putih telah
dapat menerka siapa si
penghuni istana Kuno itu.
"Hm, kalau memang benar perampok perem-
puan itu adalah si Hantu Pencabut Nyawa berhati-
hatilah terhadap dia. Setan perempuan itu memiliki
ilmu sihir dan senjata-senjata rahasia mengandung racun yang berbahaya.
Kelumpuhan kakiku pun akibat
perbuatan kejinya. Terpaksa aku memotong kedua ka-
kiku ini demi keselamatan jiwaku!" berkata pendekar wanita ini dengan air muka
berubah "Ah...!" sentak Nanjar dengan mulut ternganga.
"Hm, marilah kita kesana!" berkata Pendekar Melati Putih. Lalu menoleh pada
Srimala. "Berangkatlah lebih dulu, muridku..." Srimala mengangguk. Gadis ini
menatap sejenak pada si Dewa Linglung. Justru Nanjar tengah menatap ke arah
gadis itu. Dua pasang mata
saling bentur. Kalau Nanjar tak merasakan apa-apa,
tapi hati gadis ini. Telah bergetar. Perubahan air muka Srimala nampak sekilas
oleh si Pendekar Melati Putih gurunya.
"Pergilah kalian lebih dulu!" katanya dengan tersenyum.
"Bibi, bibi...!" sahut Nanjar dengan cepat seraya menggamit lengan Srimala,
Nanjar segera menariknya
untuk segera tinggalkan tempat itu. Nyessss! hati dara ini bagaikan disiram air
sejuk. "Oh, Nanjar..! apakah kau mengetahui isi hatiku?" teriak hatinya yang
dilipu-ti kegembiraan.
Pendekar Wanita dari gunung Betiri ini mena-
tap kepergian kedua muda-mudi itu dengan tersenyum
dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Haiih! bocah gagah berilmu tinggi itu pasti banyak digandrungi perempuan.
Srimala masih terlalu
hijau. Cintanya cuma cinta monyet! Dia belum men-
genal apa yang namanya patah hati! Kelak bila urusan sudah selesai aku perlu
menggemblengnya lagi..." berkata dalam hati pendekar wanita ini. Tak lama
tubuhnya segera berkelebat meninggalkan hutan itu. Gera-
kan wanita tua berkaki buntung ini ternyata luar biasa
cepatnya. Dalam sekejapan mata saja tubuhnya sudah
lenyap tak kelihatan lagi...
Teriakan Walet Wungu membelah udara. Keris
Wesi Kuning yang dipergunakannya terlempar ke uda-
ra. Sedangkan tubuh dara ini terlempar beberapa tombak bergulingan. Teriakan
gadis itu membuat terkejut Gajah Sora yang telah buta. Dia melompat memburu
ke arah suara orang terjatuh yang didengarnya.
Kilatan cahaya kuning yang melayang di udara
yang dibarengi jeritan Walet Wungu membuat terkejut Raden Wirakrama. Kerajaan
ini telah kehilangan sebuah senjatanya, yaitu pedang Mutiara Putih yang
menancap di batang pohon akibat benturan dengan
lengan si Hantu Pencabut Nyawa yang berisi tenaga
dalam dahsyat. Saat itu si Hantu Pencabut Nyawa tengah tertawa terkekeh. Dengan
terlepasnya pedang
mustika itu dari tangan lawan berarti kekuatan lawan jauh berkurang. Di saat
itulah kilatan sinar kuning yang melayang di udara telah terlihat, bukan saja
oleh Raden Wirakrama akan tetapi juga terlihat oleh perempuan iblis ini.
Mengetahui senjata yang melayang itu adalah
keris Wesi Kuning, panglima muda itu tak berayal lagi untuk melompat
menangkapnya. Justru saat itu si
Hantu Pencabut Nyawa juga telah julurkan lengannya
seraya melompat untuk menangkap benda pusaka si
pendekar Gajah itu. Kesempatan baik itu tak disia-
siakan perempuan iblis itu untuk menyarangkan pu-
kulan dengan lengan kirinya.
"Terimalah kematianmu, panglima muda!" Detik itulah selarik sinar merah membelah
udara. Trang! Buk! Percikan lelatu api merambah udara diiringi teriakan parau si Hantu
Pencabut Nyawa. Tubuh perem-
puan tua itu terlempar ke bumi. Selamatlah Panglima
Kerajaan itu dari kematian. Keris Pusaka Wesi Kuning meluncur deras dan menancap
di dahan pohon sampai
ke gagangnya. Terhuyung-huyung Rumpini mengangkat tu-
buhnya untuk bangkit berdiri.
Tampak darah mengalir dari kelima buah jari-
jari tangannya yang terpapas putus. Dari mulutnya
menyembur darah segar. Perempuan iblis ini rasakan
dadanya sesak dan terasa nyeri untuk bernafas. Tiga tulang rusuknya telah patah.
Akibat tendangan kilat yang dilakukan si penyerang itu.
Tampaklah di hadapan si Hantu Pencabut
Nyawa berdiam sosok tubuh. Siapa orang yang telah
menggagalkan serangan maut iblis perempuan itu tia-
da lain dari si Dewa Linglung.
Ternyata Nanjar dan Srimala telah tiba di Ista-
na Kuno. Kemunculan mereka tepat pada waktunya.
Saat itu Srimala terkejut melihat di depannya seorang laki-laki bermata buta
dengan keadaan mengenaskan
tengah meraba-raba mencari letak sesosok tubuh yang terkapar di rerumputan.
Tubuh seorang yang dalam
keadaan terluka parah. Sesosok tubuh laki-laki berpakaian abu-abu baru saja
berkelebat memasuki istana
kuno. Tadinya Srimala mau mengejar. Akan tetapi se-
gera diurungkan, karena mendengar laki-laki buta itu berteriak-teriak dengan
melangkah terhuyung kesana-kemari dengan keadaan yang mengibakan hati.
"Anakku, Walet Wungu...! ah, dimana kau" kau
terlukakah?" Gadis ini tak sampai hati untuk men-diamkan hal itu. Segera
dihampiri laki-laki buta itu.
"Bapak...! dia ada di sebelah kirimu...!" berkata Srimala.
"Oh, siapakah kau?" sentak Gajah Sora terkejut. "Tenanglah, pak tua! aku bukan
musuh...!" Srima-
la menggamit lengan Gajah Sora, lalu dituntunnya
mendekati sosok tubuh si gadis yang terkapar pingsan itu. "Ah, terima kasih...!"
ujar Gajah Sora. "Walet...!
Walet Wungu...! kau...?" tampak wajah laki-laki buta ini berubah pucat. Dia
miringkan kepala dan menem-pelkan telinganya ke perut gadis itu. "Haih!
sukurlah! kau cuma pingsan. Tapi kau telah terluka dalam! Sia-pa yang telah mencelakaimu,
anakku?" menggumam Gajah Sora dengan air mata meleleh membasahi pipi
tuanya. "Oh, nona... siapakah kau" Apakah yang telah kau ketahui" siapa yang
telah mencelakai muridku
ini?" Tiba-tiba Gajah Sora palingkan kepala ke arah Srimala. Akan tetapi yang
ditanya justru tengah memperhatikan raut muka dara yang pingsan itu.
"Dia... benarkah dia ini muridmu?" tanya Srimala. "Benar! tapi aku telah
menganggapnya sebagai anakku sendiri..." sahut Gajah Sora. "Siapakah kau, nona?"
balik bertanya Gajah Sora.
"Aku Srimala, murid si pendekar Melati Pu-
tih...!" sahut Srimala.
"Srimala"... Hm, seperti aku pernah mendengar
nama itu...?" sentak Gajah Sora dalam hati "Ya, ya...!
aku ingat! Walet Wungu pernah menyebut-nyebut na-
ma itu!" gumam si Pendekar Gajah.


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah!?" sentak Srimala terkejut. "Katakanlah, bapak! siapakah nama gadis ini"
apakah nama Walet
Wungu itu pemberianmu apakah dia mempunyai nama
lain?" tanya Srimala.
"Benar! nama ini aku yang telah memberikan-
nya. Nama sebenarnya adalah PALASARI...!" sahut Gajah Sora dengan kerutkan
kening. Kalau saja matanya
tidak buta tentulah dia dapat melihat perubahan wa-
jah Srimala. Seketika itu juga gadis ini telah memekik histe-
ris seraya memeluk tubuh Walet Wungu. "Kakaaak!
kakak Palasari...! Oh, inilah aku adikmu Srimala..."
Menangislah dara ini sejadi-jadiriya seraya memeluk dan mengguncang-guncangkan
tubuh gadis yang tak
sadarkan diri itu. Gajah Sora terpaku tak beranjak dari duduknya. Laki-laki tua
itu uraikan air mata. "Haih!
tak disangka...! pertemuan dua orang saudara kan-
dung bisa terjadi pada saat begini..." Gajah Sora geleng-gelengkan kepala dengan
terharu. Walau dia tak dapat melihat, dia dapat membayangkan betapa pertemuan
itu begitu menyayat hati.
Sebuah suara halus tiba-tiba terdengar menyi-
bak udara diantara isak tangis Srimala. "Muridku.
bangunlah! biar kuperiksa lukanya...! Srimala men-
gangkat wajahnya. Tampak gurunya telah berdiri di
hadapan mereka.
"Sobat Pendekar Melati Putih! betulkah anda
yang datang?" sentak Gajah Sora dengan wajah girang.
"Tidak salah, sobat Pendekar Gajah! Haih! men-
gapa kau bisa begini?" menyahut pendekar wanita itu.
"Iblis perempuan si Hantu Pencabut Nyawa be-
kas isteriku itulah yang membuat mataku buta!" menyahut si Pendekar Gajah.
"Ah, sungguh terlalu manusia itu. Setelah
membuat kakiku cacad, ternyata membutakan pula
matamu...! Sukurlah, iblis perempuan itu telah mam-
pus!" berkata pendekar wanita ini dengan geram.
"Si... siapa yang telah membunuhnya?" sentak Gajah Sora dengan girang.
"Dia telah tewas dengan membunuh dirinya
sendiri...!" sahut wanita ini dengan suara agak kecewa.
Dalam berkata-kata itu lengan pendekar gunung Betiri ini bekerja cepat menotok
di beberapa bagian tubuh
Walet Wungu. Lalu keluarkan sebutir pel yang segera dijejalkan ke mulut gadis
itu. Dengan bantuan air ludah dia mendorong pel itu agar masuk ke dalam perut si
gadis. Lalu gunakan tenaga dalamnya untuk memu-
lihkan kekuatan Walet Wungu. Selang tak lama Walet
Wungu tampak gerakkan tubuhnya. Lalu membuka
mata lebar-lebar. "Kakak...! kakak Palasari! aku adikmu....! Masih kenalkah kau
padaku?" "Srimala!..?"" bagai bermimpi Walet Wungu menatap gadis di depannya. Saat itu
juga kedua kakak beradik itu telah berpelukan dengan hujan air mata.
"Sobat Pendekar Gajah! kau masih punya harapan untuk dapat melihat lagi. Mudah-
mudahan belum ter-
lambat!" berkata Pendekar wanita ini seraya memeriksa mata Gajah Sora. Wanita
ini keluarkan bungkusan
obat dari dalam sebuah kantung dari balik pakaian-
nya. Dengan cepat si Pendekar Melati Putih bekerja
mencampur beberapa ramuan yang dibasahi air ludah.
Lalu diperas dan diteteskan pada kedua mata Gajah
Sora. Sisanya di balurkan ke sekitar mata. Kemudian dengan cekatan dia mengambil
segumpal kapas yang
digunakan untuk membungkus mata Gajah Sora.
Dengan menyobek ujung jubahnya ia membalut
mata pendekar tua itu.
"Jangan kau buka balutan ini selama tiga hari.
Mudah-mudahan kau dapat melihat lagi!" berkata si Pendekar Melati Putih.
"Haih! entah bagaimana aku dapat membalas
budimu, sobat Pendekar Melati Putih...!" berkata Gajah Sora dengan wajah penuh
kegembiraan tak terlu-kiskan.
Pada saat itu Nanjar muncul dengan menyeret
dua sosok tubuh yang telah tewas dengan tubuh
membeku. Itulah mayat si Cecak Terbang Lawe Wereng
dan pemuda murid Gajah Sora bernama Pati Lanang.
Dibelakangnya mengikuti si panglima Muda Raden Wi-
rakrama. Ketika kedua tubuh itu dilemparkan ke ta-
nah, bergemirincinglah uang emas dan perhiasan dari dalam baju pemuda yang telah
menjadi mayat ini.
Bagaimana kejadian sebenarnya hingga tewas-
nya si Hantu Pencabut Nyawa dan kedua orang ini"
Ternyata ketika perempuan iblis bekas isteri Gajah So-ra itu melihat keadaan
tidak menguntungkan, telah
berbuat nekat! Apalagi di saat itu keadaan dirinya sudah tak berdaya. Juga
melihat kemunculan si Pende-
kar Melati Putih yang siap merenggut nyawanya. Sekali gerakkan tangan perempuan
itu menghantam batok
kepalanya sendiri! Dan tewas dengan seketika...! Terkejut Pendekar Melati Putih,
karena tak menduga sa-
ma sekali. Pada detik itu tiba-tiba Nanjar membentak keras, seraya melompat ke
arah Istana Kuno. Berkele-batnya sosok tubuh Lawe Wereng tak luput dari pen-
glihatannya. Nanjar mengajar manusia itu. Dalam
waktu singkat Nanjar berhasil membinasakan manusia
licik penuh tipu daya itu. Ketika Nanjar memeriksa ke dalam Istana tua itu telah
menjumpai Pati Lanang
yang baru saja mengeruk barang-barang berharga
yang disembunyikan si Hantu Pencabut Nyawa. Di da-
lam kamar rahasia. Bahkan di tangan pemuda itu ter-
genggam kitab pusaka Mega Mendung.
Melihat kemunculan Nanjar di dalam ruangan
itu, Pati Lanang terkejut. Dengan gerakkan cepat dia menyelinap dan melompat
kabur melarikan diri.
Bayangan sekilas itu telah terlihat oleh Nanjar. Dengan membentak keras Nanjar
menghantam ke arah berge-
raknya bayangan itu. Tak tanggung-tanggung, yang dipergunakan adalah jurus
pukulan Inti Es. Jurus ini tak lagi digunakan dengan cara jungkir balik. Karena
dengan ketekunannya berlatih, Nanjar telah berhasil menggunakannya dengan cara
wajar. Tadinya bernama
jurus tenaga dalam sungsang
Tak ampun lagi Pati Lanang menjerit parau.
Tubuhnya terjengkang kaku. Nyawanya telah lepas
meninggalkan raganya!
Saat itulah Raden Wirakrama menyusul masuk
ke dalam Istana Kuno.
Betapa gembira dan suka citanya panglima
muda ini dengan kemenangan yang berada di pihak
mereka. Demikianlah. Ketika Nanjar keluar dari ban-
gunan tua bekas istana kerajaan itu dengan menyeret dua sosok mayat, Raden
Wirakrama mengikuti langkah
si Dewa Linglung. Tampak di tangan Panglima Kera-
jaan ini sebuah kitab yang tengah dibalik-balik lemba-rannya. Pendekar Melati
Putih melompat menghampiri.
"Kitab apakah itu, Raden Wirakrama?" bertanya pendekar wanita ini. Wanita tua
ini mengetahui kalau laki-laki itu seorang abdi Kerajaan dari keterangan Walet
Wungu. "Hm, inilah kitab pusaka Mega Mendung! kitab
sesat yang harus dimusnahkan!" menyahut panglima Kerajaan ini.
Sekali kedua lengan abdi Kerajaan itu mere-
mas. Hancurlah benda pusaka itu menjadi serpihan
kertas kecil-kecil.
"Sobat pendekar gagah.... ah, kemana dia?"
sentak Wirakrama terkejut. Baru saja dia mau mengu-
capkan terima kasih, tahu-tahu orangnya sudah le-
nyap. Srimala baru tersadar akan kepergian Nanjar.
Dia melompat berdiri dengan wajah berubah kaget.
"Dewa Linglung...." desisnya tersendat.
"Sudahlah muridku! dia sudah pergi..! Jangan-
lah kau melibatkan diri dengan api yang bisa memba-
kar dirimu sendiri. Kau masih terlalu muda untuk
urusan orang-orang dewasa! Agaknya kau masih me-
merlukan tambahan pelajaran lagi!" berkata si Pendekar Melati Putih.
"Aku masih dibolehkan tinggal di puncak gu-
nung Betiri, guru?" bertanya Srimala diantara kesedi-han yang membaur dengan
kegembiraan. "Ya, sampai kau benar-benar menjadi dewasa!"
sahut sang pendekar wanita ini dengan tersenyum.
"Tidak cuma tersendiri, Srimala. Tapi juga bersama kakakmu dan paman Pendekar
Gajah!" Matahari semakin menggelincir ke arah barat
ketika kelima sosok tubuh itu meninggalkan Istana
Kuno... Di persimpangan jalan Raden Wirakrama minta diri untuk berpisah. Dia
akan meneruskan langkahnya, kembali ke Blambangan. Tentu saja Panglima Ke-
rajaan itu telah menceritakan panjang lebar mengenai tugasnya. Juga tugas dari
gurunya untuk memusnahkan kitab sesat itu.
Pendekar Melati Putih mengangguk-angguk
dengan tersenyum.
"Selamat jalan, Raden...! Semoga Tuhan selalu
membersihkan hatimu!" berkata pendekar wanita ini.
"Terima kasih, bibi pendekar!" sahut Raden Wirakrama.
Setelah sekali lagi minta diri, Raden Wirakrama
segera melangkah pergi dan berkelebat cepat untuk
kembali ke Kota Raja.
Nun jauh di arah tenggara, tampak si Dewa
Linglung melangkah lebar sambil bernyanyi-nyanyi ke-
cil. Sekali dia menendang batu yang menggeletak di
tanah. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Eng Djiauw Ong 15 Renjana Pendekar Karya Khulung Naga Pembunuh 3
^