Rahasia Si Badju Perak 4
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bagian 4
gagah, mengapa tidak memberi muka terus tinggal ngeloyor pergi begitu saja, terhitung apa
perbuatanmu ini" Memandang rendah Se-ting-siang-mo agaknya?"
Sitinggi besar ini bukan lain adalah Tok-sa-ciang To Bok-san.
Belum sempat Thian-ih membuka suara kedua penunggang kuda itu sudah melesat tiba
dihadapannya, terdengar sicakap putih itu menimbrung: "Toako, dilihat dari usia orang ini
tidak mirip dengan Ho-lotoa !"
Tok-sa-ciang atau pukulan pasir beracun To Bok-san agak tercengang mendengar seruan
saudaranya, dengan cermat segera ia amat-amati wajah Thian-ih, memang benar tidak mirip
dengan bentuk wajah Ho Han yang pernah didengarnya dulu. Segera ia membentak gusar:
"Bedebah, kukira setan wajah putih yang tulen betul-betul telah datang tak tahunya hanya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
barang tiruan belaka. Bocah keparat, siapa kau" Mengapa kau menggembol senjata istimewa
dari Mo-san-sam-kui?"
Thian-ih menahan gejolak hatinya, sahutnya lantang: "Cayhe Sam-ho Thio Thian-ih!"
Tanya To Bok-san mengerut kening: "Apa hubunganmu dengan Seng-po-sat Thio Thian-ki dari
Thio-keh-cheng di Shoatang?"
"Itulah mendiang engkohku, baru sebulan yang lalu dia meninggal dunia................"
Tak nyana sikap To Bok-san lantas berubah halus, katanya lemah lembut: "O, kiranya adalah
Thio-jichengcu. Sebenarnya kita juga sudah dengar tentang kabar buruk engkohmu itu, apa
celaka kita sedang repot saat itu jadi tak sempat pergi melawat harap suka dimaafkan. Ingin
kami tanya pada Ji-chengcu apakah Pek-bian-kui telah kau bunuh?"
"Untuk memperebutkan harta tak bernilai Mo-san-sam-kui, Kam-liang-chit-tongcu beserta
Liong-gwa-hou-toang dan anak buahnya telah saling cakar dan bunuh di Kilam sampai
akhirnya semua gugur bersama tanpa ketinggalan satupun yang hidup. Senjata Pek-bian-kui
ini secara kebetulan kutemukan................."
"Jelasnya mereka gugur bersama karena memperebutkan dua butir mutiara mestika bukan"
Kalau begitu tentu kedua butir mutiara itu telah terjatuh ditangan Ji-chengcu.................."
"Toako," sela Hun-tiap si kupu jelita Go Hong dari samping. "Buat apa kau main sungkan apa
segala dengan bangsat ini. Hud-sucia (rasul Budha, yang dimaksud disini adalah Thio Thian-ki)
sudah mati, kita tiada hubungan apa-apa lagi dengan bocah ini, bekerja jangan kepalang
tanggung bunuh sekalian bocah ini kan beres."
Sekilas To Bok-san melerok ke arah Go Hong lalu katanya kepada Thian-ih: "Ji-chengcu,
ketahuilah bahwa hubungan kita dengan engkohmu sangat akrab, kitapun tidak ingin
membuat kesukaran terhadap kalian, untuk menghindarkan pertengkaran kuharap kau suka
melulusi beberapa permintaan kita. Pertama: mengenai kedua butir mutiara itu.
Mo-san-sam-kui, para Tongcu dari Kam-liang-pay serta Liong-gwa-hou-tiang dengan anak
buahnya semua sudah mampus karena memperebutkan kedua mutiara itu, benda-benda
berharga yang membawa sial dan bencana ini lebih baik jangan selalu kau kangkangi saja,
demi keselamatan dan ketentraman hidupmu, aku memberanikan diri mohon kepada
Ji-chengcu untuk meninggalkan saja kedua benda bertuah itu kepada kita. Hal kedua tentang
gadis dalam kereta yang kau kawal itu. Harap diketahui bahwa adikku yang berjuluk Kupu jelita
Go Hong sampai setua ini masih belum menikah, tentang nama dan kedudukannya sudah
cukup tenar dan disegani di kalangan Kangouw. Waktu melihat gadis dalam kereta itu, ai
mungkin sudah takdir dan ada jodoh, selintas pandang saja dia lantas jatuh cinta,
kuharap....................."
"Stop !" mendadak Thian-ih menghardik dengan murka, kalau mau minta mutiara sih mungkin
masih dapat dirundingkan, tak nyana sedemikian besar nyali penjahat ini serta kurangajar
berani mengincar pula adik Hong-gi, keruan bukan kepalang gusar hatinya, semprotnya:
"Kalian ini memang bangsa rendah yang hina dina, tak perlu banyak mulut lagi, tak mungkin
permintaan kalian kululuskan !"
Seketika berubah air muka To Bok-san, tidak ketinggalan Go Hong pun berjingkrak gusar,
tantangnya sambil membolang-balingkan sepasang pedangnya: "Orang she Thio, kalau kau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tidak tinggalkan perempuan jelita itu, biar pedang tuan besarmu ini menghabisi jiwamu."
Sekali enjot ringan sekali Thian-ih loncat turun dari tunggangannya, jengeknya dingin: "Baik,
mari maju ingin aku berkenalan dengan kepandaian hebat manusia bejat macammu ini !"
terdengar kedua tongkat pendeknya berdenting, tanpa banyak cakap lagi segera ia
mendahului turun tangan, kedua tongkatnya dibagi dua jurusan mengetok kepala dan
menjojoh ulu hati, sekaligus ia lancarkan serangan mematikan !
Tapi ternyata kepandaian Go Hong ini juga tidak lemah, dengan sengit ia tangkis dan balas
menyerang, sinar pedangnya berkeredep kian kemari berpetakan seperti kuntum bunga.
Dalam sekejap mata tujuh delapan jurus telah berlalu.
Sambil bersilat Thian-ih perhatikan juga kondisi pihak musuh, dilihatnya gerak gerik Kupu jelita
Go Hong ini memang serasi dengan julukannya, bukan saja lincah tapi juga gesit serta tangkas
sekali, ternyata Ginkangnya lumayan. Tapi ilmu pedangnya biasa saja tiada sesuatu tipu-tipu
ilmu pedangnya yang perlu diketengahkan. Legalah hatinya, pikirnya: penjahat macam dia ini
kalau dibiarkan hidup terus hanya mengotori dunia dan menimbulkan bencana bagi yang
lemah, terpaksa aku harus melenyapkan duri dan sumber bencana yang membahayakan itu,
paling tidak juga harus dibuat cacat supaya tidak dapat beroperasi lagi. Tentang To Bok-san
gampanglah dilayani selanjutnya.
Begitulah dalam suatu kesempatan dengan sengaja ia memberi lobang kelemahan gerak
tongkatnya untuk memancing, yaitu dengan jurus Heng-gan-seng-hong (menoleh kesamping
melihat puncak) tongkatnya menyambar dari samping terus menyelonong ketempat kosong.
Benar juga Go Hong kena tipu, secepat kilat kedua pedangnya dirangkap menjadi satu terus
hendak menjungkit keatas dan menusuk ke lambung Thian-ih, tapi sebelum serangan ini
berhasil mendadak Thian-ih unjukkan kelihayan permainan silatnya. Tangkas sekali
tongkatnya yang menyamber lewat tadi membalik keatas dari bawah menggunakan jurus
Yap-te-coan-le sambil mengerahkan tenaga untuk menekan kebawah, maka terdengarlah
suara ''trang" yang nyaring, hasil dari benturan keras ini menyebabkan kedua batang pedang
Go Hong patah menjadi empat potong. Saking kaget lekas-lekas ia melompat mundur dengan
ketakutan. Melihat saudaranya kena kecundang To Bok-san tidak tinggal diam, gesit sekali ia sambitkan
dua pisau terbang menyerang Thian-ih. Sudah tentu Thian ih tidak berpeluk tangan, kinilah
saatnja ia pertunjukkan ketrampilan kepandaiannya. Secepat kilat tiba-tiba tubuhnya melejit
tinggi menerjang maju, tongkat ditangan kanan ditarikan untuk menangkis senjata rahasia To
Bok-san sedang tongkat ditangan kiri langsung menjojoh ke dada Go Hong, maka terdengarlah
jeritan panjang yang mengerikan, seketika tubuhnya roboh terkapar dan jiwapun melayang.
Sesaat Thian-ih berhasil merobohkan musuh saat itu pula To Bok-san sudah memburu tiba
dibelakangnya, begitu melihat saudara angkat tewas dengan mengerikan seketika berkobarlah
amarahnya, hatinya geram dan pedih sekali. Sambil menggerung keras sebelah tangan diayun
terus menghantam dengan kerasnya. Thian-ih insaf bahwa ilmu waduk musuh sangat lihay
tidak mempan sembarang senjata, tapi betapapun dia takkan mau unjuk kelemahan
dihadapan musuh. Dengan jurus Kim-le-coan-po (ikan emas menerobos gelombang), selicin
belut mendadak tubuhnya menyelusup lewat dari ketiak To Bok-san. seketika pukulan To Bok
san yang dilancarkan sekuat tenaga dan bernafsu itu mengenai tempat kosong sehingga debu
dan krikil beterbangan. Terdengar mulutnya berkaok-kaok memberi aba-aba kepada para anak
buahnya: "Hayo kawan, serbu kereta itu..............."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tanpa menyerang lagi kearah Thian-ih, To Bok-san malah mempelopori berlari kearah kereta.
Gusar Thian-ih bukan kepalang, sambil memutar kencang sepasang tongkatnya, ia menyerbu
kedalam kalangan kawanan penjahat itu, perbawanya seperti harimau kelaparan yang minta
korban, sepasang tongkatnyapun ditarikan sedemikian hebat, tak peduli siapa saja yang
merintangi pasti roboh mampus atau paling tidak juga luka berat.
Dalam pada itu dilihatnya To Bok-san sudah naik keatas kereta, karena jarak yang agak jauh
tak sempat lagi ia memburu maju untuk merintangi, terpaksa dari kejauhan ini sebuah
tongkatnya disambitkan dengan sekuat tenaga. Memang cukup hebat kepandaian To Bok-san
ini, dengan mudah saja ia ulurkan telapak tangannya segede kipas untuk menangkap tongkat
Thian-ih yang menyamber tiba dan sedikit gerakan merandek ini lebih dari cukup untuk
Thian-ih menyusul tiba, beruntun ia lancarkan lima serangan mematikan terdengarlah jerit dan
pekik kesakitan para anak buah To Bok-san, mereka jungkir balik malang melintang diatas
tanah dan tak mungkin dapat diselamatkan lagi.
Sementara itu To Bok-san sudah pegang kemudi dan mulai memacu kuda kereta sambil
membentak-bentak. Saat mana Thian-ih juga sudah memburu tiba disamping kereta beruntun
tongkatnya menutuk beberapa jalan darah ditubuhnya, terang gamblang kalau serangannya
itu kena dengan telak. Sungguh tidak nyana bahwa ternyata ilmu weduk To Bok-san sudah
terlatih sedemikian ampuh, kulit dagingnya keras laksana batu dan pandai menutup jalan
darah lagi, tutukan Thian-ih itu sia-sia belaka, malah hampir saja kakinya kena tergilas roda
kereta. Tiada jalan lain mendadak Thian-ih melompat keatas terus menyikap kencang kedua kaki
lawan terus ditarik kebawah, seketika mereka bergumul dan bergelindingan diatas tanah.
Begitu melompat bangun langsung To Bok-san menggenjot ke lambung Thian-ih.
Mengerahkan delapan bagian tenaganya Thian-ih juga bersiap terus dorong kedepan. "Blang"
kedua tenaga saling bentur ditengah udara, ternyata tenaga pukulan Thian-ih masih ada
unggul sedikit, To Bok-san terpental sempoyongan, tanpa memberi kesempatan musuh
bernapas dan berdiri tegak Thian-ih sudah menerjang tiba lagi sambil menggasak perut lawan
dengan sebuah pukulan keras. Justru perut merupakan tempat terlemah bagi orang yang me-
latih ilmu weduk seketika terdengar To Bok-san mengerung tertahan, tubuhnya
berguling-guling sampai jauh setelah merangkak bangun terus ngacir lintang-pukang tanpa
menoleh lagi. Cepat-cepat Thian-ih jemput kedua tongkatnya, dilihatnya kereta itu tengah dilarikan oleh
anak buah To Bok-san, lekas-lekas ia kerahkan seluruh tenaga dan kembangkan ilmu ringan
tubuh secepat kilat ia mengejar, tak lama kemudian jarak semakin dekat kereta dapat disusul,
anak buah To Bok-san menjadi ketakutan loncat turun terus melarikan diri. Thian ih tidak
sempat mengejar dan menghajar mereka, yg perlu adalah menghentikan kereta. Setelah
kereta dapat dihentikan, bergegas ia menyingkap tenda dan melongok kedalam, mungkin
saking kejut dan takut Li Hong-gi meringkuk pingsan dalam kereta, cepat-cepat Thian-ih
memberi pertolongan, setelah melihat tiada kurang suatu apa legalah hatinya.
Perlahan-lahan Hong-gi siuman, melihat dirinya dalam pelukan Thian-ih wajahnya yang jelita
seketika mengulum senyum manis mesra, tanyanya dengan suara lirih lembut: "Koko, mereka
sudah kauusir?" Thian-ih mengangguk, katanya, "Mereka sudah pergi, apakah mereka tadi mengganggu kau"''
Li Hong-gi menggelendot dalam pelukannya, sahutnya: "Tidak, aku baik-baik saja, sebaliknya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
apakah kau terluka?"
Thian-ih menggeleng, tapi Hong-gi sudah melihat diatas pundaknya ada sedikit lecet,
cepat-cepat ia tarik lengan orang terus diperiksa, wajahnya penuh mengunjuk kasih sayang
dan prihatin, omelnya: "Lihatlah, disini berlubang, mengapa bohong" Terasa sakit tidak?"
Sikap yang lemah lembut penuh kasih sayang ini mengkili-kili hati Thian-ih, terasakan suatu
perasaan yang belum pernah dialami selama ini dalam benaknya sehingga semangat dan
pikirannya melayang-layang seperti berada diawang-awang, tanpa merasa ia kesima
memandangi wajah nan ayu molek ini.
Melihat orang terlongong dan tidak bicara, Hong-gi goncangkan tubuh orang sambil tanyanya
aleman: "Koko, kenapa kau?"
Thian-ih tersentak sambil tertawa geli, sahutnya: "Tukang kereta, entah lari kemana"
Terpaksa aku harus memegang kendali sendiri."
"Itu tambah baik. Selama ini kau tidak dengar kata, sekarang kau harus duduk dalam kereta
menemani aku." "Ya, tapi aku hanya seorang kusir kereta yang harus duduk didepan, masa ada harganya duduk
bersama nona secantik kau dalam kereta."
"Memang kau adalah kusir kereta dan aku adalah Nonamu maka kau harus dengar
perintahku." "Mana hamba berani membangkang. Nona silakan memberikan perintah apa kita harus segera
berangkat?" Hong-gi angkat kepala, wajahnya cerah cemerlang penuh harapan dan bahagia, dengan suara
merdu dan lirih ia berbisik: "Aku tidak ingin kau menjadi kusir. Aku ingin kau menjadi
........suamiku!" Thian-ih merasa hatinya bangga dan penuh madu, setelah hening sekian lama dan saling
mencurahkan isi hati masing-masing, segera ia keluar dari dalam tenda terus pegang kendali
melanjutkan perjalanan. Di Pakkia Thian-ih mempunyai seorang famili yang membuka toko kelontong dipintu sebelah
timur. Disinilah Hong-gi dititipkan sementara waktu sambil berusaha mencari alamat Nyo
Hway-giok. Hari kedua secara lazimnya Thian-ih datang berkunjung sambil menyampaikan
kartu namanya dan mohon bertamu dengan Nyo Hway-giok Nyo-kongcu, siapa tahu setelah
sekian lama menunggu centeng yang menyampaikan kartu namanya itu keluar lagi
mengabarkan bahwa Nyo Hway-giok ternyata tak berada dirumah. Hal ini dimaklumi oleh
Thian-ih kalau Nyo Hway-giok pasti rikuh dan tak enak menemui dirinya, apa boleh buat
terpaksa dia kembali, pikirnya biarlah nanti malam saja secara diam-diam aku datang
berkunjung dan menemuinya.
Malam itu cuaca sangat gelap, ini menguntungkan bagi gerak gerik Thian-ih yang seringan
kucing berloncatan di-atap genteng melesat menuju ke rumah gedung keluarga Nyo, meski
penjagaan gedung megah ini sangat ketat namun dengan Ginkang Thian-ih yang lihay mudah
sekali ia menyelundup kedalam gedung, namun sekian lama ubek-ubekan jejak Nyo Hway-giok
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
memang susah diketemukan.
Beruntun empat hari sudah berlalu tanpa hasil, kian hari hatinya terasa kesal dan penat, untuk
menghibur diri ia melancong kemana saja ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang
sambil selalu berusaha menyirapi berita tentang diri Nyo Hway-giok. Hari itu secara kebetulan
kakinya melangkah sampai dipuncak Ban-siu-san yang kenamaan itu. Memandang panorama
indah yang terbentang didepan matanya membuatnya terkenang akan segala peristiwa yang
telah dialaminya selama ini, tanpa merasa ia menghela napas hati terasa mendelu. Tengah ia
asyik dalam lamunannya tiba-tiba terasakan olehnya ada orang tengah mengawasi
gerak-geriknya, waktu ditoleh sekali menyelusup bayangan orang itu lantas menghilang dibalik
rumpun bunga. Pikir Thian-ih, kunyuk itu pasti begundal To Bok-san yang disuruh menguntit
dan mengawasi gerak-gerikku. Masakan dikota raja yang dijaga keras dan ramai ini mereka
berani berlaku kurang-ajar dan membikin ribut. Perlahan-lahan ia menyusuri sebuah jalanan
kecil terus langsung turun gunung. Waktu melewati sebuah hutan kecil tiba-tiba dari rumpun
pohon kanan kirinya berloncatan keluar tujuh delapan orang yang bersenjata lengkap terus
mengepung Thian-ih. Waktu ditegasi ternyata adalah Tok-sa-ciang To Bok-san dengan para
kawan begundalnya. Terdengar To Bok-san menjengek sambil menyeringai iblis: "Thio Thian-ih, dicari
kemana-mana jejakmu tidak ketemu, ternyata kau juga pandai berfoya-foya disini."
Thian-ih bersikap sabar, sahutnya kalem: "To Bok-san, apa lukamu sudah sembuh" Ada
keperluan apa kau mencari aku?"
To Bok-san tertawa ejek, sahutnya takabur: "Bagus, kau masih ingat peristiwa dulu itu. Terima
kasih akan belas kasihan Ji-chengcu tempo hari hingga To Bok-san masih hidup sampai
sekarang. Tapi betapapun kematian adikku itu harus kubalas. Mari, mari, biar kuperkenalkan,
inilah Lo Ka Siangjin dari Hud-kong-si dari Ban-siu-san ini." Seorang lhama bertubuh tinggi
besar segera maju sambil sedikit membungkuk diri.
Wajah Lo Ka Siangjin ini merah menyala, kedua biji matanya melotot bundar sebesar kelereng
memancarkan sinar berkilat. Jelas lwekangnya sudah mencapai kesempurnaannya. Diam-diam
bercekat hati Thian-ih. Sementara itu To Bok-san juga perkenalkan kawan-kawan lainnya.
Mereka terdiri dari kakak beradik keluarga Sia yang tenar di utara termasuk dari golongan
hitam, masing-masing bernama Lo-han-kun Sia hwi-i dan Siang-cia-cu Sia Hwi-kong. Dan
masih ada lagi Tiang bwe-kiau Kiu Keng-po, Siau-wi-ci Sun Kay-ka, Loh-sian-hong Pau
Kok-tam, mereka adalah gembong-gembong silat dari kalangan Kangouw juga.
Secara sopan dan merendah diri Thian-ih membalas setiap penghormatan, setelah perkenalan
ini selesai Siau-wi-ci Sun Kay-ka tampil bicara mewakili kawan-kawannya, katanya bahwa
tujuan kedatangan mereka ini adalah minta supaya Thian-ih suka menyerahkan kedua butir
mutiara mestika itu. Sementara Lo Ka Siangjin hanya ingin perempuan yang diincar Go Hong
tempo hari supaya diserahkan kepadanya, kalau Thian-ih mau melulusi permintaan kedua ini
perhitungan tentang terbunuhnya Go Hong boleh dikesampingkan.
Sedapat mungkin Thian-ih berlaku sabar dan menahan gusar, sahutnya bahwa tentang
mutiara boleh dirundingkan, lain halnya dengan perempuan itu adalah calon istri Nyo
Hway-giok Nyo-kongcu putra sekretaris militer Nyo-tayjin yang disegani di istana raja, tiada
hak dirinya untuk menyerahkan begitu saja. Saking kewalahan mereka minta Thian-ih segera
mengeluarkan kedua butir mutiara itu, tapi Thian-ih berkata tidak membawa serta, sudah
tentu para penjahat itu tidak percaya malah hendak menggeledah badan Thian-ih. Akhirnya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih naik darah dan mengumpat caci perbuatan mereka yang keterlaluan, dari bertengkar
akhirnya mereka angkat senjata dan bertempur.
Dasar berangasan Loh-sian-hong Pau Kok-tam menyerbu terlebih dahulu sambil mengayun
Hoa-san). Sekonyong-konyong terdengar suara "Trang" yang nyaring, sebatang anak panah melesat tiba
persis mengenai golok Pau Kok-tam sehingga senjatanya ini tersampok miring kesamping.
Tengah para hadirin melengak, dari rimba sebelah kanan sana berloncatan keluar beberapa
orang, pelopornya ternyata bukan lain adalah Lim Han, kepala Bhayangkari istana. Legalah
hati Thian-ih. golok tunggalnya dengan jurus Lak-pi-hoa-san (membelah gunung Tanpa tedeng aling-aling lagi segera Lim Han menerangkan bahwa kedua butir mutiara itu
adalah milik gudang istana raja yang hilang dan tengah dalam pengejaran, sudah harusnyalah
kalau kedua butir mutiara itu diserahkan kepala rombongannya. Kalau pihak kalian tidak terima
dan berkukuh hendak mengangkangi kedua mutiara itu, baiklah dijanjikan empat hari lagi
diadakan pertemuan mengadu kepandaian untuk menentukan menang dan asor, tempatnya
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditentukan di gunung batu diluar kota sebelah barat. Ditekankan pula oleh Lim Han bahwa
mereka hanya akan menyelesaikan urusan ini secara aturan Kangouw tanpa membawa bala
tentara untuk membantu, hanya beberapa jago dari Bhayangkari serta Thio Thian-ih saja.
Seumpama pihaknya yang menang urusan tidak perlu diperpanjang, kalau sebaliknya dengan
suka rela kedua mutiara itu akan dipersembahkan.
Nama dan kedudukan Lim Han sudah menggetarkan kota raja dan daerah utara, kepandaian
silatnya tiada tandingan diantara para kerabat dari kesatuan Bhayangkari di seluruh istana
raja. Sudah tentu seumpama belum pernah lihat juga pasti sudah pernah dengar tentang
pribadi serta sepak terjangnya, namun betapapun daya tarik kedua butir mutiara itu
sedemikian besar, meskipun mereka segan menghadapi Lim Han toh mereka menebalkan
muka untuk mengadu untung.
Bahwasanya dalam kalangan Kangouw paling menghargai dan menjunjung tinggi sikap gagah
seorang kesatria. Kalau Lim Han sudah berani menjanjikan tempat dan waktu untuk mengadu
kepandaian, terpaksa mereka menyetujui dan mundur teratur, bubarlah pertengkaran dalam
hutan kecil ini. Dalam perjalanan pulang ke kota Lim Han bertanya kepada Thian-ih mengapa bisa sampai di
kota raja. Thian-ih menerangkan sejelas-jelasnya maksud kedatangannya. Sungguh Lim Han
merasa kagum dan memuji sikap dan tindakan Thian-ih yang setia kawan, ujarnya:
"Ji-chengcu, sepak terjangmu ini benar-benar membuat aku tunduk dan takluk benar-benar.
Nyo Hway-giok adalah sahabat kentalku, biarlah aku yang pergi membujuknya."
Thian-ih bertanya apakah kedua butir mutiara yang disimpannya itu perlu diserahkan untuk
meringankan beban para kerabat Bhayangkari yang terhukum. Lim Han mengatakan tidak
perlu sambil menghela napas, katanya memberi keterangan lebih lanjut: "Ji-chengcu, bicara
terus terang sebetulnya benda-benda berharga yang tercuri dari gudang negara sangat
banyak dan tak ternilai harganya, ketahuilah kedua butir mutiara itu hanya sebagian kecil dari
delapan belas mutiara yang turut hilang. Selain membekuk sibaju perak kurasa peristiwa ini
akan selamanya terbengkalai susah dipecahkan."
Ditanyakan pula oleh Thian-ih apakah belakangan ini ada kabar beritanya tentang si baju perak
itu. Lim Han menerangkan lagi: "Si baju perak sudah menghilang bagai ditelan bumi entah
sembunyi dimana. Kalangan pemerintah juga insaf bahwa urusan ini terlalu besar dan berat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
betapa pun takkan dapat segera dipecahkan dalam waktu singkat maka terpaksa anak
buahnya banyak diberi kelonggaran. Maka menurut hematku, untuk sementara ini biarlah
kedua butir mutiara itu titip padamu dulu. Siapa tahu dalam pertempuran empat hari yang
akan datang pihak kita yang kalah, jadi gampanglah menyerahkan kepada mereka."
Bicara tentang kawanan penjahat itu menurut keterangan Lim Han bahwa Lo Ka Siangjin
adalah yang paling ampuh dan merupakan lawan terberat. Lo Ka Siangjin ini adalah tokoh dari
aliran Mi-cong di Tibet yang paling disegani, sebelum ini diapun pernah bertugas didalam
istana, karena melanggar aturan dan kurang disiplin akhirnya diusir. Kemudian dengan
kekerasan ia rebut dan mengepalai Hud-kong-si di Ban-siu-san itu. Lwekang dan Gwakangnya
memang sudah mencapai titik kesempurnaannya, betapapun harus hati-hati menghadapi dan
jangan memandang ringan padanya. Selain itu Siau-wi-ci Sun Kay-ka juga agak menonjol
diantara para kawannya, ilmu ruyung lemasnya sudah menggetarkan kalangan silat daerah
utara barat laut, merupakan kepandaian tunggal yang jarang dapat dicari keduanya. Kalau
dibanding kekuatan kedua belah pihak, semestinya pihak Bhayang-kara kudu berhati-hati,
soalnya karena banyak anak buahnya yang tengah keluar bertugas mengejar harta negara
yang dicuri itu, yang masih ketinggalan dalam kota raja tidak seberapa, hingga bantuan yg
sangat diperlukan didepan mata sangat susah diharap. Kesempatan menang dalam pertem-
puran kali ini agaknya sangat minim sekali.
Setelah mengetahui alamat tinggal Thian-ih, Lim Han ambil berpisah dan berjanji untuk
mencari Nyo Hway-giok dan berusaha membujuknya. Malam itu dia datang memberi jawaban
kepada Thian-ih bahwa katanya Nyo Hway-giok sudah memaklumi tentang hubungan Li
Hong-gi dengan Thian-ih serta semua seluk beluknya. Dia nyatakan kekagumannya serta
menaruh simpatik terhadap Thian-ih malah dianjurkan supaya perjodohan ini lekas terangkap,
tidak lupa pula diterangkan bahwa pihak keluarga Nyo sudah kirim utusan ke Kilam untuk
membatalkan perjodohan ini. Diharap Thian-ih tidak perlu banyak ragu-ragu dan bimbang lagi
segeralah kembali ke kampung halaman untuk segera melangsungkan pernikahan bersama Li
Hong-gi. Sungguh diluar dugaan Thian-ih bahwa ternyata urusan bisa berlarut sedemikian
panjang, betapapun ia masih sungkan dan serba susah untuk menerima, sedapat mungkin ia
minta kepada Lim Han untuk mempertemukan secara berhadapan dengan Nyo Hway-giok,
dimana dirinya dapat memberikan penjelasan secara terbuka. Melihat orang minta secara
serius dan bersungguh hati, Lim Han tidak enak menolak permintaan ini, terpaksa ia melulusi
untuk berusaha mempertemukan mereka.
Hari kedua Lim Han datang memberitahu bahwa dia telah berjanji dengan Nyo Hway-giok
untuk bermain catur di In-hun-si yang terletak disebelah pintu utara nanti malam. Kalau Nyo
Hway-giok selalu menolak kedatangannya, terpaksalah menggunakan cara ini untuk
mempergokinya disana. Diam-diam Thian-ih sudah bersiap. Maka malam itu secara diam-diam
ia mendatangi In-hun-si diluar pintu utara, dimana terlihat Lim Han tengah berhadapan
dengan Nyo Hway-giok asyik bermain catur diruangan dalam. Terdengar dalam pembicaraan
mereka Lim Han selalu menyinggung-nyinggung soal perjodohan, dibujuknya Nyo Hway-giok
supaya tidak lagi menolak maksud baik Thio Thian-ih yang suci murni. Tapi sikap Nyo
Hway-giok tetap dingin sambil tertawa kecut, selalu ia mengalihkan pembicaraan.
Tak tertahan lagi segera Thian-ih menerobos keluar sambil berseru: "Saudara Hway-giok!"
Begitu mata mereka saling pandang segera Nyo Hway-gok putar tubuh terus melesat pergi,
Lim Han coba menarik lengan bajunya, sekali kebas Nyo Hway-giok luputkan diri malah
langkahnya makin dipercepat. Sudah tentu Thian-ih tidak tinggal diam, dengan kencang ia
mengejar sambil berkaok-kaok. Tanpa merasa terjadilah lomba adu ringan tubuh yang hebat
diantara mereka berdua. Nyo Hway-giok mengenakan pakaian warna putih mulus, meskipun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
cuaca sangat pekat, namun bayangannya tampak melayang ringan sekali bagai segulung asap
mengembang ditengah udara. Benak Thian-ih penuh kata-kata yang hendak dicurahkan, maka
dengan kencang ia mengejar terus tidak kalah pesatnya.
Begitulah kejar mengejar ini terus berlangsung sekian lamanya sampai mereka tiba disebuah
pegunungan yang penuh bangunan candi-candi kuno, disinilah bayangan putih Nyo Hway-giok
mendadak menyelinap hilang. Thian-ih tidak hiraukan lagi segala pantangan dan bahaya
langsung ia menerjang masuk kedalam. Dari kegelapan sebelah pojok didepan sana terlihat
bayangan putih Nyo Hway-giok berkelebat lantas terdengarlah suaranya berkata: "Ji-chengcu,
janganlah kau mendesak aku sedemikian rupa.''
Seru Thian-ih: "Nyokongcu, kejadian dalam kuburan tempo hari kita tahu sama tahu, tak perlu
kujelaskan lagi, harap sukalah kau dengar sepatah kataku: Karena mengagumi kau sebagai
laki-laki sejati, dalam keadaan yg terpaksa aku tolong menyembuhkan Li Hong-gi hanya untuk
kau bukan untuk kepentinganku, terbukti dia kubawa ke kota raja ini untuk kuserahkan kepada
kau. Selama ini kita masih dapat menjaga norma-norma kesusilaan belum pernah terjadi hubu-
ngan diluar batas, ketahuilah Hong-gi masih suci murni kupandang dia sebagai adik
kandungku sendiri, terserah kau percaya/tidak keteranganku ini, kelak kau sendiri bisa me-
meriksa dan membuktikan kebenaran ucapanku ini...."
Dari tempat gelap sana terdengar sahutan Nyo Hway-giok: "Aku maklum akan semua itu.
Terus terang aku sangat mengagumi dan menghargai sikap dan pribadi saudara. Tapi aku juga
jelas bahwa Li Hong-gi hanya mencintai kau saja, sebagai kesatria aku rela berkorban demi
kebahagiaan kalian berdua.''
Thian-ih menjadi gugup, serunya: "Dendam kesumat melibat diriku, bagi orang kelana di
Kangouw keselamatan jiwa susah diduga, mana mungkin aku merangkap jodoh dengan Li
Hong-gi, kuminta saudara suka berpikir secara mendalam dan maklumilah kesukaranku
ini......" sejenak ia merandek, tidak terdengar reaksi Nyo Hway-giok lantas ia menyambung lagi
: "Tak lama ini aku harus segera pergi. Bersama Lim Han kami telah menantang Lo Ka Siangjin
dari Hud-kong-si, juga To Bok San serta Sun Kay Ka dan para penjahat lainnya digunung batu
diluar kota sebelah barat, kalah atau menang susah diduga. Sekali lagi kutekankan kuanggap
Hong-gi sebagai adikku sendiri, kuingin ada orang menjaga dan melindungi keselamatannya
baru legalah rasa hatiku menuju ke medan laga. Terpaksalah kalau malam ini aku harus
mengejar-ngejar kau tak lain hanya untuk memberi tahu pendirianku dalam soal ini. Waktu da-
tang tadi aku sudah suruh orang mengantar Hong-gi ke gedung rumahmu......"
Bayangan Nyo Hway-giok kelihatan sedikit bergerak. Thian-ih lanjutkan ucapannya:
"Kudoakan kalian hidup rukun dan bahagia sampai dihari tua. Kalau besok aku beruntung
masih hidup juga akan segera tinggalkan kota raja untuk selanjutnya jejakku tanpa tujuan
yang menentu, janganlah kalian kuatirkan tentang diriku........."
Habis kata-katanya begitu memutar tubuh badannya segera melejit tinggi keluar bangunan
candi, langsung menemui Lim Han menyerahkan kedua butir mutiara itu kepadanya. Malam itu
juga ia keluar kota kearah barat mencari penginapan dibawah gunung batu.
Malam itu Thian-ih tidak dapat tidur karena banyak pikiran yang merangsang dan berkecamuk
dalam benaknya. Terpikir olehnya bahwa pangkal semua persoalan ini adalah karena
gara-gara dirinya. Sikap jantan Lim Han dengan pambeknya yang besar memang harus dipuji,
kalau besok pihaknya tidak mempunyai pegangan untuk menang maka sulitlah dapat
mempertahankan kedua butir mutiara itu, ada lebih baik aku seorang diri menyerbu ke
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Hud-kong-si menempur Lo Ka Siangjin, demi setia kawan aku harus berani berkorban untuk
kepentingan umum. Karena ketetapan hatinya ini bergegas ia bangun dan bersiap berangkat.
Malam sudah berlarut setelah siap sekadarnya Thian-ih melompat keluar dari jendela
kamarnya. Sekonyong-konyong sayup-sayup terdengar dentingan beradunya senjata dari
puncak gunung batu sana. Thian-ih menjadi heran dan terperanjat, tanpa berayal lagi secepat
terbang ia berlari kencang menuju ke puncak, dengan Ginkangnya yang hebat sebentar saja ia
sudah sampai. Dalam keremangan cuaca cahaya bintang, terlihat Lo ka Siangjin, Sia-si
bersaudara, Kiu Keng-po, Sun Kay-ka, Pau Kok-tam dan To Bok-san bertujuh semua hadir.
Kalau To Bok-san, Lo Ka Siangjin dan Sun Kay-ka hanya menonton saja di pinggiran adalah
keempat kawannya itu tengah bertempur sengit mengeroyok seorang berkedok hitam. Orang
berkedok hitam itu bersenjata pedang panjang, meskipun dibawah gencetan empat senjata
musuh yang merangsak begitu hebat namun gerak pedang si orang berkedok masih tampak
lincah dan garang sekali, begitu lincahnya seumpama naga menari ditengah udara, banyak
menyerang dari pada membela diri.
Thian-ih menyangka orang berkedok itu adalah Lim Han, tanpa ragu-ragu lagi segera ia
menerjang masuk ke tengah gelanggang. Dengan jurus Loh-jit-hui-ko (surya tenggelam
setinggi genter), kedua tongkat pendeknya menjojoh dan menyerampang ke pinggang Pau
Kok-tam, karena tidak menyangka ada serangan datang secara tiba-tiba Pau Kok-tam tak
keburu berkelit lagi sambil menjerit kesakitan tubuhnya tersungkur jatuh dan luka berat.
Serentak To Bok-san dan Sun Kay-ka segera maju merintangi, begitu berhadapan To Bok-san
langsung dorong kedua telapak tangannya ke depan, sementara Sun Kay-ka mengayun
ruyung lemasnya, sebelum senjatanya tiba angin keras sudah menyamber lebih dulu. Thian-ih
tidak berani gegabah, kedua tongkatnya juga tidak tinggal diam, ditarikan sehebat mungkin
untuk menghadapi serangan musuh.
Ilmu ruyung Sun Kay-ka memang merupakan kepandaian cukup hebat yang sudah terlatih
sempurna, bukan saja tenaganya besar jurus tipunya juga beraneka ragam. Maka Thian-ih
harus bermain cerdik tak mau menyambuti secara kekerasan, apalagi setiap ada kesempatan
To Bok-san ikut menyergap dari samping, memang cara permainan ini sangat licik dan
serangan juga ganas dan telengas pula, besar hasratnya hendak menuntut balas bagi
kematian adik angkatnya sikupu jelita Go Hong.
Menghadapi kedua lawan berat ini terpaksa Thian-ih harus boyong keluar kepandaian ajaran
Suhunya, untung Ginkangnya lebih unggul, tapi untuk sementara waktu sukar juga untuk
dapat merobohkan lawan berat ini.
Dalam gelanggang sebelah sana siorang berkedok melayani keroyokan Sia-si bersaudara dan
Kiu Keng-po, sejak Pau Kok-tam roboh terluka siorang berkedok lebih leluasa pula
menggerakkan senjatanya, serangannya semakin gencar, lambat laun dia berada diatas angin.
Dalam pertempuran yang sengit itu mendadak terdengar jeritan yang mengerikan, sikala
jengking Sia Hui-kong terluka berat oleh tusukan pedang siorang berkedok, Lo-han-kun Sia
Hwi-i menyerbu mati-matian hendak menolong saudaranya hampir saja jiwa sendiri juga
amblas. Terdengar siorang berkedok bergelak panjang suaranya bagai keluhan naga,
mendadak permainan pedang panjangnya semakin gencar terus merangsak dengan serangan
berantai, keruan dua musuh yang ketinggalan didesak kerepotan.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan pihaknya ini, segera Lo Ka Siangjin menggerung
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
gusar sambil menggentakkan tongkat besinya, bentaknya: "Bocah keparat, biarlah aku
menghadapimu!" "Wut" kencang sekali tongkat besarnya itu menyambar dengan deras mengarah pinggang.
Gesit sekali siorang berkedok melompat menyingkir, tapi tak urung pedangnya kena
terserempet sampai terpental miring. Dalam gebrak pertama saja posisinya sudah tidak
menguntungkan, seketika ia terdesak dibawah angin.
Bukan kepalang kejut Thian-ih melihat keadaan siorang berkedok yang berbahaya itu, pikirnya
kalau tidak diberi bantuan pasti celakalah siorang berkedok dibawah tongkat musuh. Berpikir
memang gampang, tapi To Bok-san dan Sun Kay-ka yang dihadapi ini juga bukan lawan lemah,
melepaskan diri dari kerubutan mereka saja sukar apalagi merobohkan satu persatu. Waktu
matanya melirik dilihatnya siorang berkedok sudah berganti siasat bertempur menggunakan
keunggulan Ginkangnya dia bermain petak berlari dan berloncatan mengitari Lo Ka Siangjin.
Untung begitu Lo Ka Siangjin turun gelanggang Sia Hwi-i dan Kiu Keng-po segera
mengundurkan diri, maka siorang berkedok lebih leluasa unjukkan kegesitan tubuhnya, dalam
waktu singkat agaknya masih kuat bertahan.
Lambat laun permainan Thian-ih juga semakin mantep dan semangatpun dapat terhimpun,
kini gerak permainan tongkatnya berubah menggunakan ajaran tunggal perguruan
Kiam-bun-it-ho, disamping itu dia juga amati dengan seksama permainan dan lobang
kelemahan musuh. Akhirnya dapatlah diketahui bahwa Lwekang To Bok-san agak lemah dari
kawannya, mungkin karena lukanya tempo hari masih belum sembuh betul, semakin lama
bertempur lukanya menjadi kambuh dan permainannya menjadi semakin lamban sebaliknya
napas memburu ngos-ngosan. Thian-ih insaf bahwa ilmu weduk orang memang sangat ampuh
sampai tidak mempan senjata, hanya pusarnyalah satu-satunya tempat kelemahannya.
Diam-diam hatinya berkeputusan hendak menyerempet bahaya untuk memperoleh
kemenangan, begitu tetap pikirannya segera ia bergerak melaksanakan rencananya itu.
Begitulah secara mendadak kedua tongkatnya dipentang kedua jurusan, tongkat kanan
menyampok ruyung Sun Kay-ka berbareng tubuhnya berjongkok terus bergulingan ditanah
kebawah kaki To Bok-san. Sebelum To Bok-san menginsafi dirinya tengah terancam bahaya,
dengan jurus Tam-liong-ki-cu (naga meraih mutiara), tongkat kiri Thian-ih tepat menjojoh
pada pusarnya, seketika ia melolong seram sambil menyemprotkan darah segar. Sungguh
diluar dugaan setelah terluka berat itu tubuh To Bok-san yang tinggi besar itu masih kuat
berdiri sambil meringis, melotot matanya sebesar jengkol. Menyedot hawa dalam
perlahan-lahan ia angkat kedua tangannya terus didorong ke arah Thian-ih. Sebat sekali
Thian-ih lompat menyingkir, tapi ruyung Sun Kay-ka juga telah membayangi tubuhnya, untung
masih sempat ia menangkis.
Sementara itu pukulan To Bok-san tadi agaknya merupakan himpunan seluruh sisa tenaganya,
maka begitu pukulannya mengenai tempat kosong segera tubuhnya yang besar itu jatuh
tersungkur dan tak bangun lagi.
Hasil tipu yang dilancarkan Thian-ih ini benar merupakan tipu ajaran gurunya yang lihay
haruslah dibanggakan kemenangan yang gilang gemilang ini. Karena meninggalnya To
Bok-san, Sun Kay-ka sendiri menjadi kerepotan menghadapi Thian-ih, maka cepat-cepat Kiu
Keng-po dan Sia Hwi-i menubruk maju untuk membantu. Sekarang Thian-ih dikerubut dari tiga
jurusan. Betapapun ilmu ruyung Sun Kay-ka lebih lihay dari permainan senjata
kawan-kawannya. Ruyung lemasnya itu merupakan ancaman yang paling bahaya. Terpaksa
Thian-ih harus curahkan semua perhatian dan kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
baru dapat mengatasi cercahan serangan musuh yang dahsyat ini.
Begitu To Bok-san menemui ajalnya, segera serangan Lo Ka Siangjin tambah diperhebat,
keruan siorang berkedok semakin keripuhan terdesak dibawah angin. Memang Lwekangnya
kalah jauh dibanding lawan, tongkat musuh juga berat dan susah dilayani pula, berulang kali
sudah jiwanya terancam elmaut. Sementara itu, keadaan Thian ih juga tidak lebih
menguntungkan. Mendadak Lo Ka Siangjin membentak keras: "Kena !" tongkat besar dan berat itu tiba-tiba
menyelonong tiba menjojoh dengan kecepatan luar biasa. Tiada lain jalan terpaksa siorang
berkedok harus menangkis, "trang", benturan hebat ini menyebabkan pedang panjang siorang
berkedok terpental terbang ketengah udara entah kemana. Untuk menyelamatkan diri tangkas
sekali ia jumpalitan menyingkir kesamping. Namun Lo Ka Siangjin juga telah memburu tiba
sambil menggenjot dada dengan tangan kanannya. Siorang berkedok mendakkan tubuh untuk
menyingkir tak urung pundaknya juga sudah keserempet angin pukulan yang hebat ini,
seketika tubuhnya terhuyung roboh.
Betapa Thian-ih takkan terkejut, sedikit perhatian terpecah hampir saja ia harus membayar
mahal akan kelalaiannya ini. Senjata Sia Hwi-i hampir saja mematahkan tulang dadanya,
untung dia masih sempat menyampok. Karena desakan serangan berantai yang bekerja sama
secara ketat ini terpaksa Thian-ih harus himpun semangat dan tenaga demi keselamatan
sendiri. Dalam pada itu, sekali melangkah maju tongkat Lo Ka Siangjin langsung mengepruk ke batok
kepala siorang berkedok, tiada jalan lain lagi siorang berkedok mandah pasrah nasib saja
sambil meramkan mata menunggu ajal. Serentak pada saat yang gawat itu, Thian-ih
menggerung bagai banteng ketaton sambil mengayun sepasang tongkatnya tubuhnyapun
berputar seperti gangsingan, karena perbuatan yang nekad ini pundak kirinya tergantol bolong
oleh senjata gantolan Kiu Keng-po, darah segar membasahi seluruh tubuhnya. Tapi Thian-ih
tidak rasakan sakit dan tak hiraukan lukanya sendiri, ternyata tidaklah sia-sia pengorbanannya
karena ia berhasil juga membobol kepungan musuh. Langsung menubruk kearah Lo Ka
Siangjin. Sebelum tubuhnya meluncur sampai, sekonyong-konyong dilihatnya secarik sinar perak
berkelebat dari tengah udara, dari atas sebuah pohon melesat turun bayangan seseorang
laksana malaikat dewata terus mengebutkan lengan bajunya. Serangkum angin deras kontan
menerjang ke arah Kiu Keng-po bertiga sampai mereka terpental jungkir balik.
Bayangan itu membekal pedang panjang yang berkilau kuning keemasan, sedikit menutul
diatas tongkat Lo Ka Siangjin, tongkat besi yang besar dan berat itu kontan terbang ketengah
udara dan jatuh melesak kedalam tanah.
Sekilas Lo Ka Siangjin melirik kearah orang yang baru tiba ini serta melihat seorang tua
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berambut dan berjenggot uban bertubuh tinggi mengenakan jubah panjang warna abu-abu,
sikapnya tenang berwajah welas asih tengah tersenyum kepadanya. Lo Ka Siangjin beramai
kenal siapakah siorang tua beruban ini. Saking ketakutan mereka lari lintang pukang turun
gunung seperti dikejar setan sampai senjata sendiri juga tidak dihiraukan.
Tanpa membuka suara siorang tua beruban itu memayang tubuh siorang berkedok terus
dipanggulnya, sebelum pergi ia tersenyum memandang kepada Thian-ih yang sedang
terlongong tak bergerak, begitu memutar tubuhnya terus melayang pergi bagai seekor bangau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
terbang sekejap saja bayangannya telah menghilang dari pandangan mata.
Thian-ih termangu sekian lama diatas gunung. Siapakah siorang tua ubanan berjenggot
panjang ini, bukan saja Lwekangnya sedemikian hebat, ilmu ringan tubuhnya naga-naganya
dapat menandingi gurunya Kiam-bun-it-ho. Sayang tadi tak sempat menanyakan nama
Locianpwe itu untuk berkenalan.
Dengan hati risau dan kesal Thian-ih turun gunung, belum jauh jalan yang ditempuhnya,
terdengar derap langkah kuda yang gemuruh tengah mendatangi dengan cepat, sekejap saja
delapan ekor kuda telah mencongklang datang, waktu ditegasi kiranya adalah kawanan dari
Bhayangkara yang dipimpin oleh Lim Han sendiri.
Begitu melihat Thian-ih, Lim Han lantas bertanya: "Apa kau tidak terluka " Bagaimana keadaan
Nyo-kongcu ?" "Nyo Hway-giok maksudmu" Aku tidak melihatnya, hanya ada seorang berkedok, dia terluka
dan sudah ditolong oleh seorang tua beruban berjenggot panjang.''
Lim Han turun dari atas kuda, Thian-ih lantas menuturkan peristiwa yang baru terjadi diatas
gunung. Lim Han membanting kaki, katanya gegetun: "Orang berkedok itu adalah Hway-giok. Dia rela
berkorban demi terangkap perjodohanmu dengan Li Hong-gi, seorang diri ia mendahului
menantang Lo Ka Siangjin dan kawan-kawannya untuk bertempur diatas gunung. Sayang aku
terlambat mendapat kabar ini."
Thian-ih menguatirkan keadaan Li Hong-gi, tanyanya gugup: "Lim-heng, apakah Hong-gi
sudah diantar tiba dirumah keluarga Nyo"''
"Ai, urusan malah semakin runyam, mendengar maksudmu hendak menyerahkan dia kepada
keluarga Nyo, nona Li lantas marah-marah dan menangis tergerung-gerung. Sekarang dia
entah menghilang kemana, coba kau pikir bagaimana kita harus bertindak?"
Tanpa banyak kata lagi Thian-lh bergegas pulang, benar juga memang kamar Li Hong-gi sudah
kosong, keluarga familinya memberi tahu dengan wajah merengut: bahwa setelah tahu
Thian-ih sengaja tidak mau menemui malah hendak menyerahkan dirinya kepada keluarga
Nyo, gusarnya bukan kepalang, pintu kamarnya ditutup kencang dan menangis seharian tak
mau keluar meskipun sudah digedor berulang-kali. Sebetulnya famili Thian-ih tidak setuju akan
tindakan Thian-ih ini, mereka sudah mempersiapkan kereta dan hendak membujuk Thian-ih
kalau dia pulang. Siapa tahu waktu sorenya hendak mengantar makanan baru diketahui pintu
kamarnya ternyata sudah terpentang, orangnya juga telah menghilang entah kemana"
Keruan gugup Thian-ih bukan main seperti semut dalam kuali panas. Sedemikian besar kota
raja ini kemana pula harus mencari jejaknya. Apalagi pergi seorang diri tanpa membekal
sepeser uang, wajahnya begitu ayu molek lagi, bukan mustahil bisa terjadi sesuatu yang
membahayakan jiwanya, bukankah menambah kapiran, menyesal juga sudah kasep.
Untung pengaruh Lim Han dikota raja sangat besar dan banyak kenalan lagi, segera
anak-buahnya disebar untuk menyirapi kemana-mana. Hari kedua baru didapat kabar bahwa
Li Hong-gi sudah menyewa sebuah kereta, seorang diri melakukan perjalanan kearah timur.
Tanpa sangsi lagi Thian-ih minta diri pada Lim Han terus cemplak kudanya mengejar kearah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
timur. Karena risau dan tak tentram Thian-ih jadi banyak berpikir ditengah jalan, kalau menurut
petunjuk arah timur yang ditempuh Li Hong-gi ini pasti tujuannya adalah Kilam. Tapi Kilam
berada diselatan mengapa dia menuju ke timur, bukan mustahil kusir kereta telah menipunya.
Berpikir begitu hatinya semakin tak enak kudanya dipacu secepat terbang, selama perjalanan
ini, entah berapa kuda sudah dikorbankan, tapi dia sendiri tidak mengenai lelah. Setiap kali
menemui kereta tertutup ditengah jalan tanpa bertanya langsung ia singkap tenda kereta
dengan cambuk ditangannya, sudah tentu perbuatan kasar ini menimbulkan banyak
kegaduhan yang tak diinginkan, tapi Thian-ih tak peduli akan semua itu, yang dipikirkan hanya
Li Hong-gi namun sebegitu jauh jejaknya belum diketemukan.
Beberapa hari kemudian Thian-ih memasuki daerah Shoa-tang dan sampai di karesidenan
Samho dimana letak kampung halamannya. Thian-ih berpikir apakah perlu dirinya mampir
dulu kerumah, sudah berapa lama ini ia tinggalkan rumahnya sejak wafatnya engkohnya
tempo hari. Rumah sebesar itu hanya didiami enso dan beberapa bujang laki perempuan.
Teringat olehnya betapa besar kasih sayang enso (istri Thian-ki) kepadanya, tak tega dan
sedih rasa hatinya. Tanpa merasa ia belokkan kudanya menuju kearah rumahnya.
Waktu sampai didepan rumah, keadaan sekitar rumahnya sunyi sepi, keadaan ini jauh berbeda
waktu engkohnya masih hidup dulu, terasa pilu dan pedih perasaannya.
Melihat kedatangan Thian-ih ini penjaga pintu berjingkrak girang seperti ketiban rejeki
nomplok, sambil berkaok-kaok ia berlari kedalam rumah. Seisi rumah menjadi ribut dan berlari
keluar semua menyambut kedatangannya sambil unjuk hormat dan memberi selamat
kepadanya. Thian-ih garuk-garuk kepala keheranan seperti menyongsong kedatangan
mempelai saja lagaknya dirinya dibimbing masuk kedalam rumah.
Tak lama kemudian dibawah bimbingan seorang dayang Liu-si ensonya juga keluar,
cepat-cepat Thian-ih maju menyapa serta menanyakan kesehatan orang. Wajah pucat
ensonya tampak berseri girang, tak ketinggalan ensonya ini juga mengucapkan selamat dan
bahagia kepadanya. Lebih besar rasa heran dan tak mengerti Thian-ih "selamat'' apa dan
darimana" Liu-si menghela napas panjang, katanya: "Semasa hidup engkohmu, aku tidak punya
keturunan. Harapan kita hanya kau seorang. Kini dia telah meninggal, hatikupun sudah
membeku, menyembah Budha, sucikan diri, besar harapanku kau lekas berkeluarga supaya
lekas tercapai keinginanku. Bila kau sudah menikah dan punya keturunan berarti selesailah
tugasku ini, hatikupun akan sangat gembira......" sejenak ia berdiam diri, lalu sambungnya lagi
sambil tersenyum penuh arti: "Pergilah ke kamarmu melihat sendiri !"
Thian-ih terperanjat, adakah sesuatu apa yang tengah menanti didalam kamarku" Tiba-tiba
tergerak hatinya, tidak sempat membersihkan badan dan ganti pakaian bergegas ia berlari ke
kamarnya. Sambil tertawa cekikikan seorang dayang menyingkap kerai membuka pintu.
Terlihat olehnya seorang cantik bak bidadari nan ayu molek tengah berdiri tersenyum mesra
dalam kamar, dia tak lain tak bukan adalah tambatan hatinya Li Hong-gi.
Setelah tertegun sejenak, baru Thian-ih menghela napas lega, siapapun menduga seorang
gadis lemah dari keluarga orang berada yang biasanya dipingit dapat melakukan perjalanan
jauh dengan selamat sampai dirumahnya. Sudah tentu enso serta seluruh penghuni rumah ini
sangat setuju bila jodoh yang setimpal ini terangkap, kalau dirinya menolak lagi pasti ensonya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
marah. Memang tindakan Li Hong-gi sangat tepat, sampai Thian-ih termangu sekian lama
didepan pintu, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Para dayang sudah menyingkir sambil mengikik geli, Hong-gi lantas berlenggong mendekati
dan menarik tangannya, katanya mesra: "Pergilah mandi dan tukar pakaian ! Lihatlah begitu
kotor tubuhmu itu !"
Wajah nan ayu penuh seri serta ucapan yang kasih sayang membuat Thian-ih terpesona sekian
lama, pikirannya bagai melayang di-awang-awang. Kata-kata yang sudah disiapkan hendak
menegor tindakan orang yang ceroboh itu tak kuasa lagi terucapkan.
Dengan tatapan tajam Hong-gi berkata lagi: "Waktu masih panjang, nanti setelah kau
membersihkan diri kita bicara lagi." Naga-naganya ia sudah dapat menebak isi hati Thian-ih yg
hendak menegor tindakannya karena pergi tanpa pamit itu, maka suaranya mengandung
kegetiran hati yang harus dikasihani. Keruan Thian-ih menjadi tak tega dan menunduk tak
berani beradu pandangan dengan sorot mesra yang penuh perasaan itu. Tanpa berani
membangkang lagi segera ia mengundurkan diri membersihkan diri dan ganti pakaian, susah
dirasakan senang atau bersyukurkah hatinya ini.
Malam itu, Liu-si mengundang Thian-ih menghadap ke kamar semadinya, dalam kesempatan
ini Thian-ih menuturkan pengalaman selama ini. Selama mendengarkan Liu-si berulang kali
bersabda Budha setelah cerita Thian-ih habis, cepat-cepat ia berkata: "Ji-siok, untuk
selanjutnya tak kuijinkan kau keluar menempuh bahaya lagi, permusuhan lebih gampang
diikat daripada dilerai, seumpama kau dapat membunuh musuh engkohmu juga tidak bisa
hidup kembali. Sejak kematian engkohmu, keluarga Thio kita tinggal kau seorang, kalau
sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sebagai orang yang lebih lanjut usia tidak
memberikan petuah dan nasehat serta bertanggung jawab, kalau aku mati rasanya malu aku
menemui leluhur kita di alam baka........."
Thian-ih tunduk tak berani bersuara, dengan cermat ia perhatikan petuah dan nasehat
ensonya. Diam-diam ia membatin, enso pasti membantu Hong-gi untuk membujuk aku
merangkap perjodohan ini. Betul juga akhirnya Liu-si buka bicara dengan lebih ramah dan
lemah lembut: "Betapa besar dan luhur cinta nona Li kepadamu, lahir dari keluarga besar dan
kenamaan lagi, bisa membaca dan kenal sopan santun pula, wajahnya sedemikian cantik baru
kali ini aku melihat gadis cantik begitu rupa seumur hidup ini. Wataknya lemah lembut dan
supel lagi, sejak kedatangannya seisi rumah ini menjadi bertambah semarak dan riang
gembira, semua hormat dan menghargai sikapnya yang bajik itu. Orang yang serba pandai
seperti dia ini, Ji-siok mengapa kau masih rela hendak menyerahkannya kepada Nyo-kongcu
apa segala"......" Kini suaranya mengandung penyesalan dan marah, tak tertahan lagi ia
menegor penuh dongkol. "Sungguh aku tidak habis mengerti mengapa kau main sungkan dan
bimbang, ceroboh lagi.........."
Mana Thian-ih berani main debat, sejak kecil ia diasuh dan dibesarkan oleh Liu-si
dipandangnya sebagai orang tuanya sendiri, apalagi ensonya ini sejak lama sudah
mengasingkan diri dari dunia ramai umumnya, pasti takkan mengerti tentang segala hal ihwal
dunia persilatan, ada lebih baik bungkam saja tanpa banyak komentar.
Dua hari lamanya Thian-ih mengeram diri dalam rumah tanpa pergi ke-mana-mana. Hong-gi
melayani segala keperluannya dengan penuh kasih sayang dan mesra. Seorang diri tidur di
kamar buku merasakan kenikmatan hidup yang serba lengkap dan rapi dibawah asuhan
pembantu rumah tangganya, semua kemewahan ini selamanya belum pernah terasakan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dalam kelananya di perantauan.
Akan tetapi semangat kejantanannya untuk menuntut balas masih berkobar dan bergelora
dalam dadanya. Kelima orang berkedok dan sibaju perak adalah musuh-musuh yang setiap
saat selalu terbayang dalam ingatannya, penasaran rasanya sebelum rasa dendam ini
terlampias. Terkenang akan para kawan yang telah mati seperjoangan, kangen pula pada para
sahabat yang masih hidup. Teringat betapa bajik dan luhur So Tiong dan adiknya, Hi Si-ing
murid keponakan yang telah menjadi gila, serta Ciu Hou yang menghilang tak diketahui mati
hidupnya dan Nyo Hway-giok yang terluka berat ditolong orang entah dibawa kemana, setiap
terbayang wajah-wajah mereka ini seolah-olah terasa mereka tengah mendesak dan
menganjurkan supaya dirinya segera meninggalkan kampung halaman berkelana di Kangouw
mencari musuh-musuh besarnya.
Sebaliknya kecantikan, kelemah lembutan Li Hong-gi yang penuh kasih sayang itu laksana
sesuatu kekuatan yang membelenggu sanubarinya sehingga tak kuasa dirinya melepaskan
diri, dia berharap supaya Thian-ih selalu mendampingi disisinya, tak memikirkan lagi soal
menuntut balas dan segala urusan tetek-bengek yang membahayakan jiwa. Sudah tentu
Thian-ih tidak rela dibelenggu ketat demikian, tapi setiap kali bentrok dalam pandangan yang
penuh kasih mesra itu luluhlah hatinya, mulutnya terbungkam tak kuasa mencurahkan isi
hatinya untuk mengabaikan maksud baik orang.
Masih teringat oleh Thian-ih bahwa Hong-gi dulu pernah menghilang secara misterius, tapi
akhirnya dibawa orang kembali lagi. Dan kejadian yang terakhir si baju perak itu juga datang
mengunjunginya. Naga-naganya semua peristiwa itu terikat dan berhubungan erat satu sama
lain, sedikit banyak Li Hong-gi pasti mengetahui seluk beluk kejadian itu. Bagaimana
pengalamannya setelah dirinya diculik, inilah hal yang perlu segera diketahui oleh Thian-ih.
Maka secara halus ia mencari akal untuk mengorek keterangannya.
Ternyata Li Hong-gi juga cerdik, tanyanya tertawa: "Mengapa sedemikian mendetail kau
menanyakan kejadian itu" Kau curiga aku mengalami sesuatu yang merugikan diriku"
Ketahuilah selain merasa ketakutan Li Hong-gi tidak kurang suatu apa." Memang lazimnya
suatu penculikan kalau tidak minta tebusan yang tinggi nilainya pasti hendak merusak
kehormatan sang gadis yang diculik itu. Justru pengalaman dirinya ini sangat janggal dan
aneh. Bukan saja Li Hong-gi tidak kehilangan perhiasannya, badannya juga masih suci bersih.
Lantas apakah tujuannya menculik dirinya ini sampai sekarang masih belum dapat diketahui.
Thian-ih mendengar sambil mengawasi dengan mendelong. Keruan dalam anggapan Hong-gi
bahwa Thian-ih sudah salah sangka bahwa dirinya telah diperkosa, maka sambil menunduk
malu-malu ia mencubit lengan Thian-ih sambil mencemoohkan pandangannya yang keliru itu.
Melihat orang salah paham Thian-ih tertawa geli, cepat-cepat ia memberikan keterangan,
maksudnya hanya ingin mengetahui tentang rupa dan bentuk orang-orang yang telah
menculik dan mengantarnya pulang itu, mungkin pula mendengar atau melihat sesuatu tanda
khas serta melihat suatu kejadian apa"
Tutur Hong-gi penuh kenangan: "Waktu aku diculik dulu pada tengah malam yang buta rata.
Tahu-tahu seorang berkedok yang mengenakan pakaian putih perak kemilau menerjang
masuk kedalam kamarnya, tangannya membekal Loh-kim Pokiam. Begitu tiba dia lantas
mengancam dengan pedangnya terus menjejalkan sesuatu benda kedalam mulutku terus
dimasukkan kedalam karung besar. Diantara sadar tak sadar Hong-gi merasakan dirinya
dibawa menempuh perjalanan yang sangat jauh, saking ketakutan hingga ia jatuh pingsan dan
tak tahu apa yang dialami selanjutnya dan kemana dirinya telah dibawa"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Akhirnya pada keesokan malamnya ia ditolong orang dan siuman dari pingsannya,
orang-orang ini memberi makan dan minum pada dirinya, sikapnya halus dan membujuk
dirinya supaya tidak takut karena segera akan diantar pulang. Mereka mengenakan seragam
hitam berjumlah lima orang, salah seorang yg bersuara serak agaknya menjadi pemimpin
karena empat yang lain sangat tunduk dan mendengar segala perintahnya.
Lima orang seragam hitam berkedok, bukankah mereka itu algojo-algojo pembunuh
engkohnya" Hampir saja Thian-ih melonjak kaget. Menurut penjelasan Hong-gi bahwa kelima
orang itu tidak mau memperkenalkan diri, hanya dalam perjalanan pulang itu secara kebetulan
ia mendengar mereka tengah berunding hendak pergi ke Kanglam mencari sebuah
perkumpulan yang bernama Ho-bwe-pang.
Ho-bwe-pang. Thian-ih masih ingat waktu engkohnya baru saja wafat Ho-bwe-pang Pangcu
Kun-suseng Liok Peking juga datang melawat. Ia adalah sahabat kental engkohnya betapapun
takkan mungkin mencelakai jiwanya, urusan ini benar-benar agak janggal dan tak masuk akal.
Thian-ih ingin selekasnya pergi ke Kanglam mencari tahu di Ho-bwe-pang, dia beritahu
maksudnya ini kepada Hong-gi, sudah tentu Hong-gi tidak rela dia pergi menempuh bahaya
tapi melihat Thian-ih bertekad bulat susah dibujuk akhirnya ia hendak ikut juga. Kini Thian-ih
sendiri yang serba runyam, perjalanan sedemikian jauh penuh bahaya lagi mana mungkin ia
ajak Hong-gi yang berbadan lemah kaum perempuan yang ayu molek lagi, bagaimana juga ia
tidak menyetujui. Begitulah karena masing-masing mengukuhi pendapatnya tanpa ada
penyelesaian yang konkrit, sampai pemberangkatan Thian-ih tertunda sekian lama.
Pada hari ketiga, mendadak ada puluhan penunggang kuda yang mendatangi Thio-keh-cheng,
puluhan penunggangnya adalah para Bhayangkari dari kota raja dipimpin oleh Hwe-poan-koan
Siu Hoa. Siu Hoa adalah sahabat terdekat Lim Han merupakan salah seorang berkepandaian
tinggi dari kesatuan Bhayangkara itu.
Tersipu-sipu Thian-ih keluar menyambut. Dasar Hwe-poan-koan Siu Hoa ini orang berangasan
begitu melihat Thian-ih segera ia menjengek sambil tertawa dingin, tanpa turun dari atas
kudanya segera ia menyuruh Thian-ih: "Ji-chengcu, segera kau ikut kami pergi."
Thian-ih tertegun, tanyanya: "Ada terjadi apa lagi dikota raja?"
Siu Hoa mendengus, serunya gusar: "Thio Thian-ih, kau masih berpura-pura" Apa yang kau
perbuat pasti hatimu tahu sendiri. Lim Han masuk penjara karena kau, jiwanya terancam
dalam waktu dekat, beginikah sikapmu terhadap sahabat baik" Hehehe, sekarang tak perlu
banyak mulut, kau ikut kami langsung bicara dengan Lim Han saja !"
Thian-ih tak habis mengerti apa yang telah terjadi. Hwe-poan-koan (pena berapi) Siu Hoa
berjingkrak murka tak mau memberi keterangan, maka salah seorang anak buahnya yang
memberi penjelasan. Kiranya persoalan mengenai kedua butir mutiara mestika itu, setelah
Thian-ih menyerahkan kepada Lim Han, Lim Han langsung menyerahkan kepada atasannya,
namun setelah diperiksa ternyata bahwa kedua mutiara itu palsu, betapapun Lim Han tak
dapat main debat lagi, kontan dirinya dihukum masuk penjara dan diperiksa dengan keras.
Siu Hoa ini adalah sejawat dengan Lim Han, dia tahu bahwa kedua mutiara itu adalah
penyerahan dari Thian-ih, maka lekas-lekas ia pimpin anak buahnya mencari Thian-ih.
Diam-diam Thian-ih mengeluh dalam hati. Betapa besar kasiat kedua mutiara itu dapat
melindungi tubuh Li Hong-gi selama seratus hari tanpa membusuk, sepanjang perjalanan jauh
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tidak membuat badan kotor, disimpan begitu rapat dan dia sendiri yang langsung
menyerahkan kepada Lim Han, mana mungkin bisa palsu. Semakin pikir hatinya semakin kesal
dibuatnya. Sipena berapi loncat turun dan atas kuda terus menjambret lengan baju Thian-ih, hardiknya:
"Thio Thian-ih, apa lagi yang perlu kau katakan" Ikut saja perintah kami !"
Thian-ih mengebas sambil menyingkir kesamping. Thian-in insaf betapapun dirinya susah
memberi penjelasan. Jejak kelima orang berkedok sudah diketahui, inilah saat dirinya pergi ke
Ho-bwe-pang mencari tahu. Kalau ke kota raja tersaruk kedalam persoalan yang tidak
menguntungkan, bukan mustahil dirinya bakal masuk penjara juga. Kalau kedua mutiara itu
tak dapat diketemukan selama hidup ini pasti dirinya hidup dibelakang terali-besi, bagaimana
juga persoalan ini sulit diselesaikan dalam waktu singkat, aku harus berusaha membikin terang
segala-galanya. Walaupun Lim Han sedikit menderita tapi takkan dihukum mati. Lebih baik
dirinya mencari kedua mutiara itu untuk menolongnya keluar. Karena ketetapan pikiran ini
segera ia berkata kepada Siu Hoa: "Aku tidak bisa ikut kau......"
Belum ucapannya habis, Siu Hoa sudah menggerung gusar sambil melolos golok
dipinggangnya, bentaknya: "Thio Thian-ih, kami memperoleh tugas untuk membekukmu, kau
berani membangkang pada pemerintah?"
Thian-ih menjadi gugup, serunya: "Saudara Siu, dengar dulu penjelasanku."
Watak Siu Hoa memang kasar dan kaku, semprotnya: "Tiada yang perlu dijelaskan, ikut aku
pergi!" Sembari mengumpat caci, kelima jarinya diulur mengcengkeram dada Thian-ih. Thian-ih
berkelit, namun dengan jurus Lak-pi-hoa-san (membelah gunung Hoa-san) golok Siu Hoa
sudah mengancam batok kepalanya. Ringan sekali Thian-ih loncat menyingkir, terdengar Siu
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoa mencaci: "Beginikah murid Kim-bun-it-ho yang kenamaan itu, tak ubahnya sebagai
pencuri picisan. Tak malu kau angkat diri sebagai seorang kesatria, biar hari ini Siu Hoa belajar
kenal dengan kepandaianmu."
Karena didesak demikian rupa, jengkel juga Thian-ih akhirnya, untuk membela diri terpaksa ia
harus menggerakkan tangannya juga, sekali kebas ia sampok bacokan golok lawan. Tenaga
Siu Hoa ini besar dan serangannya juga berbahaya. Thian-ih sendiri masih ragu-ragu untuk
turun tangan, tenaganya hanya empat lima bagian saja yang terkerahkan, meskipun golok
lawan kena disampok, telapak tangan sendiri juga terasa pedas.
"Thio Thian-ih," Siu Hoa berkaok-kaok, "Kau ini pokrol bambu, berani kau membangkang,
betapapun hari kau harus diringkus."
"Wut, wut, wut." beruntun tiga kali ia lancarkan serangan berantai mengarah tempat-tempat
vital yang membahayakan jiwa Thian-ih. Terpaksa Thian-ih harus berloncatan menghindar.
Melihat lawan mendesak sedemikian rupa tanpa mau dengar penjelasannya memaki lagi nama
baik perguruan, timbullah amarahnya. Begitulah waktu Siu Hoa mengayun goloknya
menyerang lagi, jurus ini dinamakan Gu-kak-kut-su (buku tergantung ditanduk kerbau),
tenaganya besar membacok sambil menendang. Apa boleh buat, kali ini Thian-ih harus
membalas. Kedua jarinya dirangkapkan dengan jurus Hoan-te-hoan-lian (membalik bunga
teratai dari bawah), tangan menutuk jalan darah, kakinya juga tidak tinggal diam menggeser
kedudukan hanya terpaut serambut saja serangan golok Siu Hoa mengenai tempat kosong.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sekejap saja mereka sudah bergebrak puluhan jurus, mendadak sipena berapi berpaling
sambil membentak: "Kalian masuk, geledah seluruh rumah adakah gadis she Li itu, ringkus dia
sekalian!" Para anak buahnya serentak mengiakan terus menerjang sambil menenteng senjata. Thian-ih
menguatirkan keselamatan Hong-gi, hatinya menjadi gugup, pikirnya bagaimanapun mereka
harus dicegah untuk bertindak sembrono. Maka teriaknya: "Saudara Siu, lekas berhenti,
dengarkan penjelasanku !" sambil berteriak ia melesat menghadang di depan pintu.
Melihat orang agaknya sudah nekad untuk melawan, Siu Hoa angkat tangan menghentikan
kawan-kawannya, jengeknya dingin: "Thio Thian-ih, kalau kau seorang laki, kau harus
menolong Lim Han dari penderitaan dalam penjara, lekas ikut aku !"
Seru Thian-ih gugup: "Kedua mutiara itu betul-betul tak berada di tanganku, ikut kalian juga
tiada gunanya. Jalan yang paling tepat biarlah aku mencari kedua mutiara itu dulu untuk
menolong Lim-toako dikota raja !"
Siu Hoa menghardik keras: "Kentut, terang kau takut dihukum dan hendak melarikan diri, tuan
besarmu ini masa begitu gampang kau apusi !''
Mengayun senjata dengan garang ia menyerang serabutan. Terpaksa Thian-ih harus melayani
lagi. Sipena berapi Siu Hoa terkenal akan ilmu goloknya yang bernama Ban-seng-to-hoat, Lim
Han sangat mengagumi kepandaiannya ini maka menariknya menjadi pembantunya yang
sangat diandalkan. Ilmu goloknya ini berjumlah tiga puluh enam jurus, jurus demi jurus
mengalun berantai saling sambung, ditambah tenaga pembawaannya memang luar biasa,
maka goloknya itu dapat diputar dan dipermainkan secepat kitiran. Sekarang melihat ilmu silat
Thian-ih ternyata juga cukup lihay, diketahui pula adalah murid Kiam-bun-it-ho yang disegani
oleh kalangan persilatan, maka tanpa ayal lagi ia permainkan ilmu golok Ban-seng-to-hoat
yang dibanggakan itu. Sedemikian lancar dan tangkas sekali permainan Siu Hoa ini sambung menyambung tiada
putusnya perbawanya menjadi hebat sekali. Thian-ih hanya melayani dengan tangan kosong
paling-aling hanya dapat mengimbangi saja. Thian-ih tahu jurus ilmu golok musuh ini yang
paling lihay adalah tiga jurus yang terakhir, yaitu Tay-beng-han-cau (Garuda pulang sarang),
Ping-hiat-ho-coan (sungai es mengalir deras), Wi-siu-lam-thian (berpaling melihat langit
selatan). Ketiga jurus lihay ini dilancarkan secara berantai pula sekaligus, jarang ada musuh
yang bisa lolos atau selamat dari serangan goloknya ini. Tengah hatinya merancang cara
bagaimana dirinya harus memecahkan serangan musuh ini, disamping itu juga tidak sampai
melukai musuh, supaya dia tahu diri dan mundur teratur. Sekejap saja tiga puluh enam jurus
Ban-seng-to-hoat sudah dilancarkan sampai jurus-jurus terakhir. Benar juga sipena berapi Siu
Hoa lancarkan ketiga jurus berantai itu. Kilat golok menyambar dari samping. Thian-ih ulurkan
kedua jarinya seperti jepitan tanpa berkelit atau menyingkir dengan jurus Seng-kong-sam-siok
(sinar bintang kelap-kelip), secepat kilat ia mendahului menutuk jalan darah Tiong-ting-hiat di
dada Siu Hoa. Jalan darah ini penting dan mematikan, serangan Thian-ih cukup ganas lagi,
mau tak mau Siu Hoa pasti menarik pulang goloknya dan berganti jurus dengan
Peng-hiat-ho-coan, lalu bersama dengan itu dirinya menarik kedua jarinya dirobah dengan
pukulan telapak tangan untuk memunahkan jurus berantai ketiga yaitu Wi-siu-lam-thian. Maka
gebrak terakhir ini pasti dapat diakhiri dengan sama-sama selamat tanpa terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan. Perhitungan Thian-ih ini sebetulnya sudah matang, begitu kedua jarinya ditutukkan, siapa tahu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
diluar perhitungannya Siu Hoa ternyata tidak berobah permainannya, malah tubuh dan
goloknya itu menubruk maju bersamaan. Keruan kejut Thian-ih bukan kepalang, untuk
menyingkir dan membatalkan serangan sendiri sudah tak mungkin pula, dalam saat yang
gawat itu ia mendakan tubuh. Golok Siu Hoa hanya memapas jatuh topi Thian-ih, sebaliknya
kedua jarinya itu tepat sekali menembusi dada Siu Hoa. Terdengar sipena api Siu Hoa melolong
tinggi terus roboh terkulai.
Para anak buah sipena berapi segera menerjang maju sambil memaki: "Bocah keparat, kau
berani membangkang dan membunuh petugas hukum, kau sudah tak ingin hidup lagi"''
Seketika Thian-ih dihujani berbagai serangan senjata. Tahu bahwa tak mungkin lagi memberi
penjelasan secara damai, Thian-ih bergerak tidak kepalang tanggung lagi, telapak tangannya
bergerak cepat angin pukulannya cukup menyampok dan menangkis serangan senjata para
musuh, disamping itu jari tangannya juga tidak tinggal diam. Di antara pendatang ini selain Siu
Hoa seorang tiada seorang pun yang berkepandaian tinggi, melihat Thian-ih mulai berlaku
garang, mereka insaf kalau bukan tandingnya, terpaksa kali ini harus mengalah dan mundur
teratur. Begitulah sambil memayang tubuh sipena berapi Siu Hoa segera mereka
mengundurkan diri. Salah seorang diantara mereka berseru dengan penuh kebencian: "Thio
Thian-ih, kau berani membangkang dan membunuh petugas hukum, lari ke ujung langit pun
kesatuan dari Bhayangkara akan mengejar dan meringkusmu. Betapapun kau harus menebus
jiwa Siu-toako, tunggulah saatnya." habis berkata terus tinggal pergi naik kuda.
Thian-ih tahu kalau para Bhayangkara itu paling menjunjung tinggi gengsi kesatuannya, setiap
kali menangkap orang boleh sesuka hatinya tanpa memberitahu dulu kepada petugas
setempat. Tanpa sengaja dirinya telah melukai Siu Hoa, pasti mereka akan meluruk datang lagi
dengan bala bantuan yang lebih tinggi kepandaiannya. Tujuan utama mereka adalah dirinya,
mungkin bisa menyangkut pribadi Li Hong-gi. Kini kesalahan telah terjadi selain menyerahkan
diri menebus dosa, hanya melarikan diri dan mengembara satu-satunya jalan untuk
selamatkan diri. Betapa susah hatinya ini, waktu ia membalikkan tubuh tampak Li Hong-gi tengah menuntun
dua ekor kuda yang sudah lengkap dengan pelana dan perlengkapan seperlunya, tidak
ketinggalan pula membawa pedang. Kiranya Hong-gi sudah tahu akan terjadinya keributan
yang mengakibatkan tewasnya Siu Hoa itu, urusan sudah berlarut sedemikian rupa selain
melarikan diri tiada jalan lain lagi untuk menyelamatkan diri. Waktu Thian-ih tengah bertempur
seru tadi, diam-diam ia menyiapkan kedua ekor kuda untuk melarikan diri bersama.
Dengan merasa pilu dan berat perasaan Thian-ih untuk meninggalkan kampung halaman ini.
Entah kapan baru dapat kembali lagi setelah bepergian kali ini, demi menghindari diri dari
penangkapan. Sebelum berangkat ia harus minta diri kepada ensonya Liu-si. Tapi Hong-gi
keburu telah bicara: "Tidak usah, enso menyuruh kita segera berangkat, dia suruh kau
waspada dan menjaga diri, tak usah kuatir akan keadaan dirumah."
Thian-ih merasa hampa, sekilas ia melirik kearah Hong-gi, terlihat orang telah berganti pakaian
mengenakan celana panjang yang ringkas dan leluasa untuk naik kuda, kepalanya juga sudah
memakai topi rumput yang besar, terang dia juga sudah siap melakukan perjalanan jauh.
Tanya Thian-ih: "Apa kau bisa menunggang kuda" Perjalanan sedemikian jauh apa kau kuat
bertahan?" Hong-gi tersenyum, sahutnya: "Meskipun aku tidak pandai silat, sejak kecil aku sudah belajar
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menunggang kuda dibelakang kebon rumahku dulu !" nadanya ringan penuh semangat dan
kepercayaan. Thian-ih tertawa getir, berkelana tanpa tujuan membawa serta wanita secantik bidadari,
bukan saja membuat orang-orang sepanjang jalan ngiler dan sirik, malah mungkin terjadi
peristiwa yang tidak diinginkan. Betapapun tubuhnya yang lemah itu takkan kuat menahan
terik matahari dan hujan angin. Sekali jatuh sakit susahlah dibayangkan akibatnya. Apalagi
kalau pasukan Bhayangkara itu mengejar tiba, bertempur atau melarikan diri dengan adanya
dia ikut serta pasti kurang leluasa.
Hong-gi cerdik dan cermat, tahu dia apa yang tengah Thian-ih pikir dan kuatirkan. Bola
matanya berputar lantas katanya sambil merengut: "Koko, kalau kau tidak mau bawa aku
biarlah pasukan Bhayangkara itu datang meringkus aku. Tegakah kau membiarkan aku
meringkuk dalam penjara ?"
Apa boleh buat terpaksa Thian-ih harus berpikir panjang, tujuan utama perjalanan kali ini
adalah Ho-bwe-pang di Kanglam, maka segera ia ayun cambuknya bersama Hong-gi mulai
melakukan perjalanan ke selatan.
Tidak mengherankan lagi, kecantikan Hong-gi yang luar biasa ini telah menarik perhatian
orang-orang di sepanjang jalan. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti
pencegatan tokoh-tokoh penjahat semacam Go Hong tempo hari, Thian-ih mengusulkan
supaya Hong-gi mengenakan pakaian laki-laki saja. Memang dengan pakaian laki-laki ini
mereka dapat mengelabui orang. Sejak hari itu mereka melakukan perjalanan sebagai kakak
beradik. Hari itu mereka menginap dalam sebuah hotel. Dilihatnya seluruh tubuh Thian-ih penuh
kotoran debu, sebaliknya dirinya masih putih bersih, diam-diam ia merasa heran, teringat
olehnya bukankah kedua mutiara mestika itu telah dikembalikan kepada Lim Han, lalu dari
mana dan mengapa dirinya sekarang masih dapat menolak kotoran debu itu. Ini benar-benar
aneh, waktu diperiksa buntalannya dan seluruh tubuh kudanya juga bersih tanpa tertempel
sedikit debu pun. Karena heran diam-diam ia memberi tahu kepada Thian-ih, segera mereka
mencari dan menggeledah seluruh perbekalan dan semua yang terbawa termasuk baju yang
dipakainya, tapi kedua mutiara itu masih tidak diketemukan.
Hari kedua waktu berangkat, tanpa sengaja Thian-ih melihat Hong-gi masih mengenakan
anting-anting, Thian-ih tertawa geli ujarnya: "Dik, coba lihat memang kau ini terlalu ceroboh,
sudah berpakaian laki-laki tapi tidak mencopot anting-anting, pasti semua orang yang
melihatmu akan terheran-heran."
Hong-gi terkikik geli juga, cepat ia tanggalkan kedua anting-antingnya, waktu ditimang-timang
ia menjadi heran dan mengawasi kedua anting-antingnya itu dengan kesima, serunya kejut:
"Koko, lihatlah, bukankah ini kedua butir....................." sadar telah kelepasan omong
cepat-cepat ia telan kata-kata selanjutnya.
Thian-ih mengulur tangan menyambuti, memang kedua butir mutiara mestika itulah yang
telah diporotkan menjadi permata kedua anting-anting itu. Diam-diam ia heran dan curiga.
Terang kalau kedua butir mutiara itu telah diserahkan kepada Lim Han, lalu siapa pula yang
mengembalikan dan diganti dengan permata anting-anting Hong-gi. Siapakah yang telah
berbuat demikian usil" Mungkinkah si baju perak yang misterius itu, kalau benar dia lalu apa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
lagi maksud tujuannya " Kini setelah dapat menemukan kedua mutiara mestika ini, dirinya
sudah kadung menjadi pelarian, bagaimana juga tak mungkin menyerahkannya ke kota raja.
Terpaksa setelah kembali dari Kanglam, barulah dititipkan orang untuk menolong Lim Han dari
penjara. Hari itu mereka sampai di Yang-ciu, terpaut dari markas besar Ho-bwepang tidak jauh lagi,
karena terburu nafsu melanjutkan perjalanan Thian-ih kehilangan kesempatan untuk
menginap, kini hari sudah hampir petang, mereka masih dipertengahan jalan, entah adakah
tempat penginapan di depan sana. Untung sepanjang jalanan ini agak sepi, mereka dapat
membedal kuda secepat terbang.
Sepeminuman teh kemudian dari kejauhan tampak disebelah kiri jalan didepan sana pintu
gerbang sebuah perkampungan, cepat-cepat mereka keprak kuda menuju kesana. Pintu
gerbang ditutup rapat, segera Thian-ih maju mengetok pintu dan minta menginap satu malam.
Sipenjaga pintu segera berlari masuk memberi lapor. Sambil menunggu Thian-ih angkat kepala
dilihatnya diatas pintu gerbang terpancang papan nama besar yang bertuliskan empat huruf
emas yang gede-gede, samar-samar dikeremangan malam itu ia membaca "Hong-kiam-san-cheng'' empat huruf tulisan kuno.
Thian-ih terkejut, serunya: "Ternyata perkampungannya Kwi-loya !"
Hong-gi tidak tahu siapakah Kwi-loyacu itu. Maka Thian-ih menerangkan, Kwi-loyacu ini
bernama Kwi Chun, semasa mudanya bekerja sebagai Popiau pada suatu perusahaan expedisi
di Kanglam, namanya sudah menggetarkan kalangan Persilatan, pedang panjang dan senjata
rahasia yang dinamakan buntut kalajengking belum pernah menemui tandingannya, selama
tigapuluh tahun belum pernah terkalahkan, tak heran perusahaannya itu sedemikian besar
sampai selatan dan utara sungai besar, relasinya tersebar dimana-mana, maka dikalangan
persilatan dia diangkat sebagai ketua dari organisasi expedisi diseluruh daerah Kanglam,
karena mengagumi kepandaiannya itu para sahabatnya memberi julukan Thi-piat-kim-liong
(naga mas berpunggung besi).
Pada usia enampuluh tahun Kwi Chun menanggalkan pedang mengundurkan diri dari dunia
persilatan, secara besar-besaran ia umumkan pengunduran dirinya ini kepada semua golongan
dan aliran silat seluruh negeri, bahwa untuk selanjutnya dia tidak akan turut campur lagi segala
urusan tetek bengek dunia persilatan. Sudahlah jamak bagi kaum persilatan yang hidup
dengan sesuap nasi dari penghasilan mengantar barang menanam permusuhan dengan para
penjahat, dan akhirnya mereka pasti mengalami banyak keributan dan hidup tidak tentram
pada hari tuanya. Apalagi seperti Kwi Chun yang namanya sedemikian disanjung puji sebagai
tokoh yang diagungkan, maka pengunduran dirinya itu dianggap tepat dan cerdik.
Tengah Thian-ih memberi keterangan, penjaga pintu sudah keluar lagi dengan seorang
laki-laki, tapi bukan tuan rumah sendiri. Orang ini menyilahkan Thian-ih berdua masuk.
Tampak Thi-piat-kim-liong tengah menanti kedatangannya di ruang tamu yang besar. Setelah
saling memperkenalkan diri, dengan seksama Kwi Chun amat-amati Hong-gi yang berada
disamping Thian-ih. Segera Thian-ih memperkenalkan: "Ini adalah Cu Bing-cu-hiante !"
Takut konangan penyamarannya, Hong-gi segera membungkuk tubuh tanpa membuka suara.
Secara lazimnya Thian-ih mengucapkan terima kasih akan kesediaan tuan rumah yang sudi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menerima kedatangannya. Kwi Chun hanya ganda tersenyum saja sambil suruh pelayan
menyediakan kamar dan segala keperluan. Meskipun dengan ramah ia layani tamunya tapi air
mukanya mengunjuk adanya ganjalan hati yang tengah merisaukan benaknya, keningnya
selalu berkerut seakan ada sesuatu urusan besar yang tengah dipikirkan.
Selagi mereka asyik bicara seorang dayang tiba-tiba melaporkan: "Loya, nona jatuh pingsan
lagi, Hujin minta Loya segera masuk."
Kwi Chun mengulapkan tangannya, katanya tidak sabaran, "Katakan kepada Hujin suruh dia
menyiapkan segala keperluan. Buat apa aku mesti masuk melihat dia meninggal secara
mengenaskan begitu!"
Thian-ih segera berdiri memberi hormat serta ujarnya: "Kami tidak tahu kalau nona sedang
sakit, maaf kalau kedatangan kita ini terlalu mengganggu, silakan paman masuk aku dan
Cu-hiante hanya menginap semalam saja, besok pagi-pagi segera melanjutkan perjalanan.''
Kwi Chun menghela napas panjang, katanya: "Thio hiantit, kalau tidak kujelaskan sikap Lohu
yang tidak genah ini pasti menimbulkan salah paham kalian dianggap aku sengaja
menyepelekan kalian.'' Selang sesaat berkatalah Kwi Chun lebih jauh sambil tertawa getir: "Lohu sudah berusia
enampuluh tahun dan hanya dikaruniai seorang anak perempuan, sungguh tak beruntung
seminggu yang lalu dia terserang penyakit aneh yang susah diobati, jiwanya sudah diambang
pintu akhirat, hatiku menjadi risau........"
Tak tertahan lagi segera Thian-ih bertanya: "Entah nona terserang penyakit apa, masa tiada
obat mujarab untuk mengobatinya."
Sahut Thi-piat-kim-liong menghela napas: "Entah aku ini dulu pernah berbuat dosa apa,
penyakitnya itu adalah bisul berbisa. Menurut kata tabib yang memeriksa bahwa selain ada
Le-hwe-po-cu yang dapat menyedot bisa dan menyembuhkan luka, kasiatnya sangat mujarab
tiada obat lain lagi. Tapi mutiara mestika sedemikian ..........ai!"
Tanpa merasa Thian-ih dan Hong-gi saling pandang, sungguh tak nyana didunia ini ada urusan
yang sedemikian kebetulan, bukankah Le-hwe-po-cu yang dikatakan itu kebetulan berada
pada Hong-gi. Terdengar Kwi Chun berkata lagi: "Kupernah dengar cerita orang katanya di istana raja ada
sebutir mutiara mestika itu, selain butir itu kemana pula harus dicari. Gadisku itu tahun ini
berumur delapanbelas belum ditunangkan, siapa nyana terserang penyakit jahat begitu,
kelihatannya tiada harapan lagi...... Tuhan, oh, Tuhan. Aku Kwi Chun selamanya berlaku lurus
dan bijaksana, mengapa pada hari tuaku ini mendapat pembalasan yang tidak adil ini?" Tak
tertahan lagi Thi-piat-kim-liong yang sudah tua ini menangis sesenggukan terbawa oleh
perasaannya yang sedih dan pilu.
Sekilas Hong-gi melirik kearah Thian-ih, Thian-ih sedikit mengangguk, Hong-gi lantas berkata
lantang: "Paman Kwi tak perlu susah, kebetulan siautit juga membawa serta Le-hwe-pocu,
kalau memang manjur marilah kita coba-coba."
Meskipun berpakaian laki-laki namun suara Hong-gi masih kecil melengking, Kwi Chun
menyangka pendengarannya yang salah, cepat-cepat ia bertanya: "Apa, dimana Le-hwe-pocu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
itu?" "Paman," sahut Thian-ih, "Mungkin sudah takdir, Cu-hiante kebetulan membawa mutiara yang
diperlukan itu, kalau memang manjur kasiatnya lekaslah dicoba saja."
Saking kegirangan Kwi Chun sampai berjingkrak, serunya sambil menggenggam tangan
Hong-gi: "Cu-hiantit, apa betul kau punya mutiara itu?" matanya berlinang-linang sambil
menatap wajah Hong-gi.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hong-gi merasa tangannya kesakitan, tersipu-sipu ia manggut-manggut. Kwi Chun tertawa
keras, teriaknya sambil menarik Hong-gi: "Cu-hiantit marilah kau tolong jiwa gadisku, lekas
ikut aku." Thian-ih tetap tinggal dalam ruangan itu ditemani pembantu rumah tangga Kwi Chun.
Sementara itu Hong-gi terus ditarik masuk keruang belakang, sambil berjalan Kwi Chun
berkaok-kaok : "Kabar baik, kabar baik, tuan penolong sudah datang, lekas beritahukan
kepada Hujin!" Saking keras dan cepat tarikan Kwi Chun, Hong-gi sampai terseret megap-megap masuk ke
sebuah kamar, para pelayan perempuan segera menyingkir mengundurkan diri.
Mereka tiba dalam sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar yang lain, diambang
pintu mereka bertemu dengan seorang nyonya setengah umur, segera Kwi Chun
memperkenalkan. Kiranya nyonya ini adalah istri Kwi Chun sendiri, cepat-cepat Hong-gi
membungkuk tubuh memberi hormat sambil menyebutnya bibi. Sepasang mata Kwi-hujin
mendelong mengawasi wajah Hong-gi, terang dia terpesona akan kecakapan dan gantengnya
wajah yang putih halus ini. Hong-gi sampai kemalu-maluan diawasi sedemikian rupa.
Dari dalam bajunya Hong-gi keluarkan mutiara mestika itu terus diserahkan kepada Kwi Chun
katanya: "Mutiara yang terporot diatas anting-anting ini adalah Le-hwe-cu, bagaimana caranya
penyembuhan ini, maaf Siautit tidak dapat mengerjakan. Sampai disini saja Siautit minta diri,
biar kutunggu hasilnya nanti diruang depan sana." habis memberi hormat terus hendak
mengundurkan diri. Lekas-lekas Kwi Chun menariknya, katanya: "Cu-hiantit, nanti dulu!" lalu ia berbisik-bisik
sekian lama dengan Hujin. Hong-gi tidak tahu apa yang tengah mereka rundingkan. Hanya
dilihatnya Kwi Hujin manggut berulang-ulang.
Kwi Chun mengembalikan mutiara itu ke tangan Hong-gi serta katanya: "Hiantit, menurut
keterangan tabib, Mutiara mestika ini cukup diputar-putar sekitar luka bisul itu pasti racunnya
segera lenyap, cara ini sangat gampang, tabib juga menambahkan lebih baik kalau yang
mengerjakan penyembuhan ini adalah orang muda, maka kami memberanikan diri minta
Hiantit suka merepotkan diri." tanpa menanti jawaban Hong-gi terus ditariknya masuk kedalam
kamar. Dua pelayan dalam kamar itu segera mengundurkan diri, pintu ditutup dari luar.
Dibawah penerangan sinar pelita tampak diatas ranjang celentang seorang gadis remaja yang
bernapas empas-empis tinggal menunggu waktu saja.
Hong-gi maju mendekat, dilihatnya kedua pipi gadis ini merah membara, matanya dipejamkan,
wajahnya cukup cantik jelita, mungkin karena menahan kesakitan keningnya terkerut dalam,
keadaannya diantara sadar dan tiada.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Hong-gi kewalahan, sampai sedemikian jauh terpaksa dia harus turun tangan, pelan-pelan ia
menyingkap kemul terus membuka pakaiannya, diperiksanya luka bisul dibawah pusernya,
bisul sebesar mata uang itu sudah pecah dan mengalirkan darah hitam, sekitarnya merah dan
melepuh, keadaan ini memang sangat menguatirkan.
Sesaat sebelum turun tangan, segera Hong-gi yang cerdik ini paham segala-galanya tentang
maksud Kwi Chun suami istri, mengapa sedemikian besar kepercayaan mereka menyuruh
dirinya yang turun tangan. Setelah bimbang sekian lama akhirnya ia mulai bekerja,
memutar-mutar mutiara mestika itu disekitar luka bisul sampai beberapa kali. Benar juga
warna merah disekitar bisul itu segera lenyap dan kembali berwarna putih seperti sedia kala.
Hong-gi bekerja semakin hati-hati, putarannya semakin diperkecil disekitar bisul itu.
Mutiara penahan api ini memang benar-benar sangat mujarab kasiatnya, pelan-pelan tapi pasti
warna merah yang melepuh itu mulai kempes dan hilang, darah hitam mengalir semakin
banyak, bisul berbisa itu juga rada kempes. Napas sigadis mulai teratur dan normal kembali.
Sampai putaran yang terakhir darah hitam sudah terkuras semua. Bisul itu juga sudah sembuh
kembali, terdengar ia mulai mengeluh dan menggerakkan badan, cepat-cepat Hong-gi
membersihkan noda-noda darah, mengancingkan baju dan menutupi tubuhnya dengan kemul
lagi. Pada saat itu juga kebetulan nona Kwi telah siuman begitu kedua pasang mata saling
pandang, Hong-gi melihat sorot matanya itu mengandung rasa terima kasih tak terhingga, tapi
tampak rada-rada malu. Hong-gi segera mundur mengetok pintu, panggilnya: "Paman dan bibi
Kwi, penyakit nona sudah dapat disembuhkan, harap bukakan pintu, aku mau keluar."
Hari kedua cuaca mendadak menjadi mendung dan hujan lebat. Ini malah kebetulan bagi Kwi
Chun untuk menahan tamu-tamunya menginap semalam lagi dirumahnya. Sedemikian ramah
dan kasih sayang pelayanannya terhadap Thian-ih berdua seakan anak kandung sendiri.
Keruan Thian-ih berdua merasa risi dan tak enak hati, lambat laun mereka menyadari adanya
sesuatu yang ganjil dibelakang tabir pelayanan yang istimewa ini.
Diam-diam Hong-gi berkata kepada Thian-ih: "Kalau kita tidak segera berangkat nanti pasti
timbul urusan yang menyulitkan. Kuyakin Kwi-lothau pasti minta kau menjadi comblang."
Thian-ih sengaja menggoda: "Baik sekali. Betapa gagah dan ganteng adikku ini, setelah
semalam kau tolong jiwa nona Kwi, kalian sudah bersentuhan badan, sudah tentu harus minta
aku menjadi comblang, biarlah nona Kwi itu dinikahkan dengan adik angkatku ini. Dan ini
memang kebetulan, sanguku di perjalanan sudah habis, Kwi-loya ini kaya raya pasti persennya
padaku tidak sedikit nilainya." habis berkata ia bergelak tertawa sepuas-puasnya.
Hong-gi merengut sambil membanting kakinya, omelnya: "Hatiku tengah gugup dan pepat,
sebaliknya kau senang mempermainkan orang."
Tengah mereka ribut berkelakar, seorang pelayan mengetuk pintu melaporkan bahwa
majikannya minta Thio-kongcu keluar menemuinya.
Thian-ih bangun sambil tertawa-tawa, ujarnya: "Bagaimana" Betul tidak, adegan ini sudah
akan dimulai, tunggulah kedatanganku, tanggung ada kabar gembira bagimu."
Saking jengkel dan gugup Hong-gi memburu hendak memukulnya sambil tertawa, dengan
tenang saja Thian-ih membetulkan letak bajunya terus berlari keluar kamar, mengikuti
pelayan itu menemui majikannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Naga mas berpunggung besi sudah menanti kedatangannya di ruang tamu. Melihat Thian-ih
datang, sambil tertawa berseri ia bangkit dan mengajak ngobrol sekadarnya, lambat laun
mereka bicara ke persoalan pokok, mencari tahu riwayat hidup Cu Bing serta keadaan
keluarganya. Thian-ih tertawa geli dalam hati, dengan wajar dan samar-samar saja ia
menerangkan. Agaknya Kwi Chun sangat puas dengan pembicaraan tahap pertama ini, apalagi diketahui dari
keterangan Thian-ih tadi bahwa Cu Bing belum pernah nikah dan belum punya tunangan,
puaslah hatinya, akhirnya dengan menghela napas lega Kwi Chun bicara ke persoalan yang
pokok: "Beruntung ada mutiara mestika yang dibawa Cu-hiantit itu baru anak gadisku dapat
disembuhkan. Mutiara mestika itu betul-betul mujarab, begitu penyakitnya sembuh pagi ini dia
sudah bisa makan bubur, baru saja Lohu pergi melihatnya, semangatnya sudah pulih kembali.
Sejak kecil ia sudah belajar silat dan karena kesukaannya mengenakan pakaian putih, maka di
kalangan Kangouw orang memberi julukan Pek-yan Kwi Tong-ing. Budak kecil ini sangat tinggi
hati, orang biasa tidak akan masuk kedalam perhatiannya, maka meskipun ayu remaja sampai
sekarang belum dapat menemukan jodohnya. Memang Tuhan sungguh Maha Pengasih dan
sudah mengatur jalan hidup seseorang, secara kebetulan bertemu dengan Cu-hiantit..............."
Naga mas punggung besi ini berwatak jujur dan polos, secara terang-terangan ia curahkan isi
hatinya kepada Thian-ih. Bahwa penyakit bisul beracun Kwi Tong-ing itu tumbuh dibawah
pusarnya, mendengar Cu Bing membawa mutiara yang dibutuhkan itu, pula melihat pribadi Cu
Bing yang ganteng dan kenal sopan santun, timbullah keinginan mereka untuk mengambilnya
sebagai menantu, maka sengaja menyuruh dia turun tangan sendiri menyembuhkan penyakit
itu. Kenyataan sekarang penyakit anaknya sudah sembuh seluruhnya, jiwa raga anaknya
bagaimana juga sudah menjadi milik Cu Bing. Anak gadisnya juga sudah setuju akan
perjodohan ini, agaknya pasangan ini memang sangat cocok satu sama lain, maka diharap
Thian-ih suka tolong merangkapkan perjodohan ini. Lalu dikeluarkan sebuah gelang batu Giok,
katanya: "Kalau Cu-hiantit setuju harap dia suka terima gelang ini dan menukarnya dengan
sebuah barang tanda mata sebagai ikatan perjodohan ini. Gelang ini adalah milik anakku yang
selalu dipakainya, harap Ji-chengcu suka memberikan kepada Cu-hiantit..."
Dengan keterangan yang panjang lebar ini disangkanya Thian-ih pasti setuju dan tiada
persoalan lagi. Lahirnya Thian-ih memang tenang dan tertawa-tawa, namun hatinya risau dan
bingung, dalam keadaan yang terdesak, terpaksa ia berkata: "Maksud paman ini memang baik
dan menggembirakan sekali, namun tentang perjodohan ini betapapun harus kutanyakan dulu
kepada Cu-hiantit, entah bagaimana jawabannya nanti?"
Kwi Chun manggut-manggut penuh harapan, katanya tersipu-sipu: "Terima kasih akan jerih
payahmu dan persoalan ini kuserahkan kepada Ji-chengcu saja."
Diam-diam Thian-ih membatin: "Orang tua ini ceroboh dan gegabah. Untung ketemu Hong-gi
yang menyamar jadi pria. Jikalau seorang laki lain yang sudah menikah, bagaimana dengan
nona Kwi Tong-ing itu nanti?" Segera ia berdiri dan minta diri, Kwi Chun mengantarnya sampai
di pelataran tengah. Saat itu Hong-gi tengah menanti tidak sabaran di dalam kamar, begitu melihat Thian-ih
kembali segera ia bertanya: "Bagaimana ?"
Thian-ih tersenyum sambil mengangsurkan gelang batu Giok itu, katanya: "Perjodohan ini
sudah pasti jadi. Sang mempelai adalah Pek-yan (siwalet putih) Kwi Tong-ing yang kenamaan,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
pelajaran silatnya mendapat didikan langsung dari orang tuanya, mungkin juga pandai
menggunakan pedang dan senjata rahasia. Maka menurut aku, Cu-hiante, pemuda macammu
yang lemah tak bertenaga ini, janganlah kelak sampai dihajar oleh mempelai perempuan yang
gagah perkasa. Hahaha !"
Setelah menanyakan duduk persoalannya, Hong-gi berkata sambil mengerutkan kening:
"Koko, bicara terus terang aku sudah menduga akan terjadinya urusan ini. Sekarang lebih baik
kita terangkan secara terbuka saja."
Thian-ih ragu-ragu, ujarnya: "Kalau kita jelaskan, betapa mereka akan kecewa dan putus
harapan ! Siapa tahu bakal timbul hal-hal yang tak terduga, menurut hematku nanti malam,
kalau hujan ini sudah reda kita ngacir saja secara diam-diam."
Semua perbekalan Thian-ih dan Hong-gi sudah dipersiapkan, nanti punya nanti sampai hari
sudah petang hujan masih turun dengan lebatnya. Kwi Chun suami istri mengadakan
perjamuan dan menyuruh gadisnya keluar menyatakan terima kasihnya. Dengan sikap yang
wajar dan tanpa malu-malu nona Tong-ing menuang dua cawan arak lantas dipersembahkan
kepada Hong-gi berdua. Diam-diam Hong-gi mengeluh dalam hati, karena merasa dirinya
selalu dilirik, maka dia segera tundukkan kepala tak berani beradu pandang.
Begitulah perjamuan ini berjalan terus dengan meriahnya, kalau pihak tuan rumah sedemikian
girang dan riangnya, sebaliknya Thian-ih berdua semakin gundah duduk tidak tenang. Sampai
tengah malam, perjamuan baru bubar, sekembali di kamarnya Thian-ih dan Hong-gi duduk
tepekur dengan risau, untung juga menjelang fajar hujan agak reda, inilah kesempatan baik
untuk bolos keluar, maka cepat-cepat mereka tinggalkan gelang batu giok serta menulis
sepucuk surat pernyataan terima kasih dan sekadar penjelasan, lalu secara diam-diam
menuntun keluar kuda mereka terus dipacu sekerasnya ke selatan dibawah hujan rintik-rintik.
Beberapa lama kemudian hari pun sudah mulai terang tanah, dari kejauhan ditengah jalan raya
sebelah depan sana membedal cepat empat ekor kuda, begitu dekat tiba-tiba salah seorang
diantara mereka berteriak sambil menuding Thian-ih: "Itu dia Thio Thian-ih !"
Keruan Thian-ih terkejut, tampak olehnya bahwa mereka adalah para petugas dari kesatuan
Bhayangkari, cepat-cepat ia keprak kudanya memacu dengan kencang. Terdengar ke-empat
penunggang kuda di belakang sudah mengejar dengan kencang pula, pemimpinnya malah
membentak marah: "Thio Thian-ih, seorang kesatria tidak akan melarikan diri ! Hayo berhenti
aku ada omongan yang hendak kutanyakan."
Thian-ih juga berpikir, secepat lari kudanya ini tentu takkan dapat lari jauh, maka segera ia
berpesan kepada Hong-gi: "Dalam keadaan terdesak nanti kau jangan hiraukan aku lagi,
cepat-cepatlah kau lari kembali ke perkampungan Hong-kiam-san-cheng, bawalah mereka
keluar menolong aku disini."
Habis berkata ia menghentikan kudanya dan menanti, sekejap mata saja ke-empat ekor kuda
itu sudah mengejar tiba, begitu dekat pemimpinnya segera maju perkenalkan diri: "Jichengcu
aku adalah Coan-hun-chiu Yu Liat-bong, dan kuperkenalkan lagi ini adalah Chit-sing-to Kiu san,
ini Siau-hun-ho Lu Cau, dan ini adalah Sin-chio-ciang Khu Gi-liong, kita berempat jadi satu
krabat dalam kesatuan Bhayangkari."
Meskipun Thian-ih belum pernah bertemu dengan Yu Liat-bong dan Kiu San, namun nama
julukan mereka sudah pernah didengar di kalangan Kangouw, memang mereka berdua
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bersama Lim Han dan Siu Hoa serta enam orang lainnya termasuk sepuluh jagoan yang paling
jempolan di istana raja. Kedua temannya ini tentu juga bukan sembarang orang. Thian-ih insaf
kalau betul-betul bertempur betapa pun tinggi kepandaiannya tentu takkan kuat bertahan
menghadapi keroyokan mereka berempat.
Terdengar Yu Liat-bong si tangan penembus awan berkata: "Ji-chengcu adalah seorang
kesatria, sudah lama kami dengar namamu yang mulia. Kalau kami mengejar sedemikian
kencang tak lain tak bukan hanya untuk menolong Lim Han yang masih terkurung di penjara
karena penggantian mutiara palsu itu. Sekarang tak peduli kedua mutiara itu kau bekal atau
tidak, kuharap kau suka memberi muka turutlah kita ke kota raja untuk melepaskan Lim Han
yang menderita dalam penjara.........." sejenak ia merandek lalu sambungnya lagi, "Tentang
kematian Siu Hoa, sudah tentu kita sesalkan kepandaiannya yang masih cetek, dan apa boleh
buat. Tapi sayangnya waktu kita periksa jenazahnya, ternyata bahwa pergelangan tangannya
terkena sebatang senjata rahasia yang sangat beracun..............."
Thian-ih terkejut, tanyanya cepat: "Mana ada kejadian begitu, waktu kita bertempur karena
tak sempat lagi menarik tanganku jalan darah di dada Siu-toako kena tertutuk........"
Khu Gi-liong yang berdiri disamping Yu Liat-bong segera membentak dengan sedihnya:
"Bangsat rendah, kau masih hendak mungkir, Ban-seng-to-hoat yang dimainkan pamanku
belum selesai dilancarkan mengapa dia tidak mampu membela diri sampai tertutuk jalan darah
mematikan. Sebab musababnya tidak lain karena pergelangan tangannya sudah terkena
senjata rahasia yang keji, kau kira dapat mengelabui para orang gagah di seluruh dunia" Hm
!" Memang hal ini tidak terpikirkan oleh Thian-ih. Diingat keadaan waktu itu, tenaga dalam sipena
berapi Siu Hoa sangat hebat, sedang tutukan itu hanya gertakan belaka supaya lawan menarik
kembali serangannya. Memang tiga jurus serangan berantai Siu Hoa belum sempat dilancar-
kan habis lantas kena tertutuk mati, sungguh keadaan seperti itu sangat janggal dan
mencurigakan, dipikir-pikir tanpa merasa tubuhnya merinding dan berdiri bulu kuduknya.
Bukan mustahil si baju perak berpedang emas itu pula yang menjadi gara-gara dalam peristiwa
ini" Melihat orang termenung diam, Yu Liat-bong tersenyum ejek: "Ji-chengcu, siapa akan duga
murid kenamaan Kiam-bun-it-ho ternyata bisa berbuat serendah itu membokong orang
dengan senjata rahasia beracun. Ketahuilah Siu Hoa memikul tugas untuk menangkapmu,
sebetulnya ada permusuhan apa dengan kau, sampai sedemikian tega kau turun tangan
keji......... Sekarang, keponakan Siu Hoa, Khu Gi-liong ini sudah datang, kita beramai ingin
minta pertanggungan jawabmu !"
Thian-ih menjawab dengan lantang: "Tuan-tuan harap dengarkan dulu penjelasanku.
Sebetulnya aku Thio Thian-ih belajar di Kiam bun-san belum tamat lantas keluar dari
perguruan sebab kematian engkohku Thio Thian-ki yang dianiaya itu. Karena besar hasratku
hendak menuntut balas maka aku berkelana di kalangan Kangouw, setiap kali aku bertanding
dengan orang meskipun ilmu silatku rendah, selalu aku hanya bersenjata pedang dan
bertempur secara jantan, belum pernah berlaku keji dan serendah itu, apa lagi menggunakan
senjata rahasia beracun yang jahat itu....................."
Bantah Khu Gi-liong dengan sedih: "Tatkala itu hanya kau dan pamanku saja yang sedang
bertempur, jikalau bukan kau berlaku licik, lalu siapa yang melepas senjata rahasia itu" Masa
senjata rahasia itu bisa terbang sendiri mengeram dalam pergelangan tangan pamanku........"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih ragu-ragu, lalu sahutnya: "Sebetulnya aku tiada niat hendak melukai saudara Siu Hoa,
waktu itu serangan tiga jurus berantai yang dilancarkan itu belum selesai, aku turun tangan
hanya menggertak dia supaya merobah cara permainannya, tak terduga sedikitpun ia tidak
menangkis atau mengelak malah menerjang langsung ke depan sampai aku gelagapan dan tak
sempat menarik pulang tutukanku yang tepat mengenai di dadanya. Kalau dipikirkan memang
keadaan waktu itu rada-rada janggal dan aneh, mungkin ada seseorang sembunyi dan
membokong, maka akulah yang menjadi kambing hitamnya............."
"Kentut !" bentak Khu Gi-liong, "Siapa mau percaya obrolanmu itu !"
Kata Thian-ih lagi: "Tentang kedua butir mutiara itu, baru beberapa saat tadi diketemukan di
anting-anting nona Hong gi, kalian boleh ambil kembali untuk..............."
Ucapannya ini membuat keempat orang itu berjingkrak, Chit-sing-to Kiu San segera
membentak: "Thio Thian-ih, kau tak perlu obral mulutmu yang manis itu. Kau sendiri sudah
mengaku kalau mutiara itu berada di tangan kalian, apa lagi yang perlu diperdebatkan ! Terang
dengan sengaja kau menukar yang tulen dengan yang palsu untuk menipu Lim Han. Tapi kau
masih berani membangkang dan melawan petugas hukum yang hendak meringkusmu, malah
membunuh Siu Hoa lagi dengan alasan mutiara itu tak berada di tanganmu."
"Waktu itu memang kami belum tahu kalau mutiara itu masih ada." demikian Thian-ih coba
menerangkan, "Entah siapa yang menjadi gara-gara memporotkan kedua mutiara itu kedalam
hiasan anting-anting nona Hong-gi..............."
Yu Liat-bong si tangan penembus awan tertawa ejek: "Ji-chengcu, betapapun ucapan yang
menipu orang ini kita takkan mau percaya. Urusan dinas ini harus kau patuhi dan kalian ikut
kita ke kota raja." "Mutiara dapat kami serahkan, tapi kami takkan ikut pergi, karena kami masih ada urusan
penting." Si tombak sakti Khu Gi-liong menghardik gusar: "Bangsat kurcaci, kau masih berani melawan
Sumpah Palapa 29 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Ilmu Ulat Sutera 9
gagah, mengapa tidak memberi muka terus tinggal ngeloyor pergi begitu saja, terhitung apa
perbuatanmu ini" Memandang rendah Se-ting-siang-mo agaknya?"
Sitinggi besar ini bukan lain adalah Tok-sa-ciang To Bok-san.
Belum sempat Thian-ih membuka suara kedua penunggang kuda itu sudah melesat tiba
dihadapannya, terdengar sicakap putih itu menimbrung: "Toako, dilihat dari usia orang ini
tidak mirip dengan Ho-lotoa !"
Tok-sa-ciang atau pukulan pasir beracun To Bok-san agak tercengang mendengar seruan
saudaranya, dengan cermat segera ia amat-amati wajah Thian-ih, memang benar tidak mirip
dengan bentuk wajah Ho Han yang pernah didengarnya dulu. Segera ia membentak gusar:
"Bedebah, kukira setan wajah putih yang tulen betul-betul telah datang tak tahunya hanya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
barang tiruan belaka. Bocah keparat, siapa kau" Mengapa kau menggembol senjata istimewa
dari Mo-san-sam-kui?"
Thian-ih menahan gejolak hatinya, sahutnya lantang: "Cayhe Sam-ho Thio Thian-ih!"
Tanya To Bok-san mengerut kening: "Apa hubunganmu dengan Seng-po-sat Thio Thian-ki dari
Thio-keh-cheng di Shoatang?"
"Itulah mendiang engkohku, baru sebulan yang lalu dia meninggal dunia................"
Tak nyana sikap To Bok-san lantas berubah halus, katanya lemah lembut: "O, kiranya adalah
Thio-jichengcu. Sebenarnya kita juga sudah dengar tentang kabar buruk engkohmu itu, apa
celaka kita sedang repot saat itu jadi tak sempat pergi melawat harap suka dimaafkan. Ingin
kami tanya pada Ji-chengcu apakah Pek-bian-kui telah kau bunuh?"
"Untuk memperebutkan harta tak bernilai Mo-san-sam-kui, Kam-liang-chit-tongcu beserta
Liong-gwa-hou-toang dan anak buahnya telah saling cakar dan bunuh di Kilam sampai
akhirnya semua gugur bersama tanpa ketinggalan satupun yang hidup. Senjata Pek-bian-kui
ini secara kebetulan kutemukan................."
"Jelasnya mereka gugur bersama karena memperebutkan dua butir mutiara mestika bukan"
Kalau begitu tentu kedua butir mutiara itu telah terjatuh ditangan Ji-chengcu.................."
"Toako," sela Hun-tiap si kupu jelita Go Hong dari samping. "Buat apa kau main sungkan apa
segala dengan bangsat ini. Hud-sucia (rasul Budha, yang dimaksud disini adalah Thio Thian-ki)
sudah mati, kita tiada hubungan apa-apa lagi dengan bocah ini, bekerja jangan kepalang
tanggung bunuh sekalian bocah ini kan beres."
Sekilas To Bok-san melerok ke arah Go Hong lalu katanya kepada Thian-ih: "Ji-chengcu,
ketahuilah bahwa hubungan kita dengan engkohmu sangat akrab, kitapun tidak ingin
membuat kesukaran terhadap kalian, untuk menghindarkan pertengkaran kuharap kau suka
melulusi beberapa permintaan kita. Pertama: mengenai kedua butir mutiara itu.
Mo-san-sam-kui, para Tongcu dari Kam-liang-pay serta Liong-gwa-hou-tiang dengan anak
buahnya semua sudah mampus karena memperebutkan kedua mutiara itu, benda-benda
berharga yang membawa sial dan bencana ini lebih baik jangan selalu kau kangkangi saja,
demi keselamatan dan ketentraman hidupmu, aku memberanikan diri mohon kepada
Ji-chengcu untuk meninggalkan saja kedua benda bertuah itu kepada kita. Hal kedua tentang
gadis dalam kereta yang kau kawal itu. Harap diketahui bahwa adikku yang berjuluk Kupu jelita
Go Hong sampai setua ini masih belum menikah, tentang nama dan kedudukannya sudah
cukup tenar dan disegani di kalangan Kangouw. Waktu melihat gadis dalam kereta itu, ai
mungkin sudah takdir dan ada jodoh, selintas pandang saja dia lantas jatuh cinta,
kuharap....................."
"Stop !" mendadak Thian-ih menghardik dengan murka, kalau mau minta mutiara sih mungkin
masih dapat dirundingkan, tak nyana sedemikian besar nyali penjahat ini serta kurangajar
berani mengincar pula adik Hong-gi, keruan bukan kepalang gusar hatinya, semprotnya:
"Kalian ini memang bangsa rendah yang hina dina, tak perlu banyak mulut lagi, tak mungkin
permintaan kalian kululuskan !"
Seketika berubah air muka To Bok-san, tidak ketinggalan Go Hong pun berjingkrak gusar,
tantangnya sambil membolang-balingkan sepasang pedangnya: "Orang she Thio, kalau kau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tidak tinggalkan perempuan jelita itu, biar pedang tuan besarmu ini menghabisi jiwamu."
Sekali enjot ringan sekali Thian-ih loncat turun dari tunggangannya, jengeknya dingin: "Baik,
mari maju ingin aku berkenalan dengan kepandaian hebat manusia bejat macammu ini !"
terdengar kedua tongkat pendeknya berdenting, tanpa banyak cakap lagi segera ia
mendahului turun tangan, kedua tongkatnya dibagi dua jurusan mengetok kepala dan
menjojoh ulu hati, sekaligus ia lancarkan serangan mematikan !
Tapi ternyata kepandaian Go Hong ini juga tidak lemah, dengan sengit ia tangkis dan balas
menyerang, sinar pedangnya berkeredep kian kemari berpetakan seperti kuntum bunga.
Dalam sekejap mata tujuh delapan jurus telah berlalu.
Sambil bersilat Thian-ih perhatikan juga kondisi pihak musuh, dilihatnya gerak gerik Kupu jelita
Go Hong ini memang serasi dengan julukannya, bukan saja lincah tapi juga gesit serta tangkas
sekali, ternyata Ginkangnya lumayan. Tapi ilmu pedangnya biasa saja tiada sesuatu tipu-tipu
ilmu pedangnya yang perlu diketengahkan. Legalah hatinya, pikirnya: penjahat macam dia ini
kalau dibiarkan hidup terus hanya mengotori dunia dan menimbulkan bencana bagi yang
lemah, terpaksa aku harus melenyapkan duri dan sumber bencana yang membahayakan itu,
paling tidak juga harus dibuat cacat supaya tidak dapat beroperasi lagi. Tentang To Bok-san
gampanglah dilayani selanjutnya.
Begitulah dalam suatu kesempatan dengan sengaja ia memberi lobang kelemahan gerak
tongkatnya untuk memancing, yaitu dengan jurus Heng-gan-seng-hong (menoleh kesamping
melihat puncak) tongkatnya menyambar dari samping terus menyelonong ketempat kosong.
Benar juga Go Hong kena tipu, secepat kilat kedua pedangnya dirangkap menjadi satu terus
hendak menjungkit keatas dan menusuk ke lambung Thian-ih, tapi sebelum serangan ini
berhasil mendadak Thian-ih unjukkan kelihayan permainan silatnya. Tangkas sekali
tongkatnya yang menyamber lewat tadi membalik keatas dari bawah menggunakan jurus
Yap-te-coan-le sambil mengerahkan tenaga untuk menekan kebawah, maka terdengarlah
suara ''trang" yang nyaring, hasil dari benturan keras ini menyebabkan kedua batang pedang
Go Hong patah menjadi empat potong. Saking kaget lekas-lekas ia melompat mundur dengan
ketakutan. Melihat saudaranya kena kecundang To Bok-san tidak tinggal diam, gesit sekali ia sambitkan
dua pisau terbang menyerang Thian-ih. Sudah tentu Thian ih tidak berpeluk tangan, kinilah
saatnja ia pertunjukkan ketrampilan kepandaiannya. Secepat kilat tiba-tiba tubuhnya melejit
tinggi menerjang maju, tongkat ditangan kanan ditarikan untuk menangkis senjata rahasia To
Bok-san sedang tongkat ditangan kiri langsung menjojoh ke dada Go Hong, maka terdengarlah
jeritan panjang yang mengerikan, seketika tubuhnya roboh terkapar dan jiwapun melayang.
Sesaat Thian-ih berhasil merobohkan musuh saat itu pula To Bok-san sudah memburu tiba
dibelakangnya, begitu melihat saudara angkat tewas dengan mengerikan seketika berkobarlah
amarahnya, hatinya geram dan pedih sekali. Sambil menggerung keras sebelah tangan diayun
terus menghantam dengan kerasnya. Thian-ih insaf bahwa ilmu waduk musuh sangat lihay
tidak mempan sembarang senjata, tapi betapapun dia takkan mau unjuk kelemahan
dihadapan musuh. Dengan jurus Kim-le-coan-po (ikan emas menerobos gelombang), selicin
belut mendadak tubuhnya menyelusup lewat dari ketiak To Bok-san. seketika pukulan To Bok
san yang dilancarkan sekuat tenaga dan bernafsu itu mengenai tempat kosong sehingga debu
dan krikil beterbangan. Terdengar mulutnya berkaok-kaok memberi aba-aba kepada para anak
buahnya: "Hayo kawan, serbu kereta itu..............."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tanpa menyerang lagi kearah Thian-ih, To Bok-san malah mempelopori berlari kearah kereta.
Gusar Thian-ih bukan kepalang, sambil memutar kencang sepasang tongkatnya, ia menyerbu
kedalam kalangan kawanan penjahat itu, perbawanya seperti harimau kelaparan yang minta
korban, sepasang tongkatnyapun ditarikan sedemikian hebat, tak peduli siapa saja yang
merintangi pasti roboh mampus atau paling tidak juga luka berat.
Dalam pada itu dilihatnya To Bok-san sudah naik keatas kereta, karena jarak yang agak jauh
tak sempat lagi ia memburu maju untuk merintangi, terpaksa dari kejauhan ini sebuah
tongkatnya disambitkan dengan sekuat tenaga. Memang cukup hebat kepandaian To Bok-san
ini, dengan mudah saja ia ulurkan telapak tangannya segede kipas untuk menangkap tongkat
Thian-ih yang menyamber tiba dan sedikit gerakan merandek ini lebih dari cukup untuk
Thian-ih menyusul tiba, beruntun ia lancarkan lima serangan mematikan terdengarlah jerit dan
pekik kesakitan para anak buah To Bok-san, mereka jungkir balik malang melintang diatas
tanah dan tak mungkin dapat diselamatkan lagi.
Sementara itu To Bok-san sudah pegang kemudi dan mulai memacu kuda kereta sambil
membentak-bentak. Saat mana Thian-ih juga sudah memburu tiba disamping kereta beruntun
tongkatnya menutuk beberapa jalan darah ditubuhnya, terang gamblang kalau serangannya
itu kena dengan telak. Sungguh tidak nyana bahwa ternyata ilmu weduk To Bok-san sudah
terlatih sedemikian ampuh, kulit dagingnya keras laksana batu dan pandai menutup jalan
darah lagi, tutukan Thian-ih itu sia-sia belaka, malah hampir saja kakinya kena tergilas roda
kereta. Tiada jalan lain mendadak Thian-ih melompat keatas terus menyikap kencang kedua kaki
lawan terus ditarik kebawah, seketika mereka bergumul dan bergelindingan diatas tanah.
Begitu melompat bangun langsung To Bok-san menggenjot ke lambung Thian-ih.
Mengerahkan delapan bagian tenaganya Thian-ih juga bersiap terus dorong kedepan. "Blang"
kedua tenaga saling bentur ditengah udara, ternyata tenaga pukulan Thian-ih masih ada
unggul sedikit, To Bok-san terpental sempoyongan, tanpa memberi kesempatan musuh
bernapas dan berdiri tegak Thian-ih sudah menerjang tiba lagi sambil menggasak perut lawan
dengan sebuah pukulan keras. Justru perut merupakan tempat terlemah bagi orang yang me-
latih ilmu weduk seketika terdengar To Bok-san mengerung tertahan, tubuhnya
berguling-guling sampai jauh setelah merangkak bangun terus ngacir lintang-pukang tanpa
menoleh lagi. Cepat-cepat Thian-ih jemput kedua tongkatnya, dilihatnya kereta itu tengah dilarikan oleh
anak buah To Bok-san, lekas-lekas ia kerahkan seluruh tenaga dan kembangkan ilmu ringan
tubuh secepat kilat ia mengejar, tak lama kemudian jarak semakin dekat kereta dapat disusul,
anak buah To Bok-san menjadi ketakutan loncat turun terus melarikan diri. Thian ih tidak
sempat mengejar dan menghajar mereka, yg perlu adalah menghentikan kereta. Setelah
kereta dapat dihentikan, bergegas ia menyingkap tenda dan melongok kedalam, mungkin
saking kejut dan takut Li Hong-gi meringkuk pingsan dalam kereta, cepat-cepat Thian-ih
memberi pertolongan, setelah melihat tiada kurang suatu apa legalah hatinya.
Perlahan-lahan Hong-gi siuman, melihat dirinya dalam pelukan Thian-ih wajahnya yang jelita
seketika mengulum senyum manis mesra, tanyanya dengan suara lirih lembut: "Koko, mereka
sudah kauusir?" Thian-ih mengangguk, katanya, "Mereka sudah pergi, apakah mereka tadi mengganggu kau"''
Li Hong-gi menggelendot dalam pelukannya, sahutnya: "Tidak, aku baik-baik saja, sebaliknya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
apakah kau terluka?"
Thian-ih menggeleng, tapi Hong-gi sudah melihat diatas pundaknya ada sedikit lecet,
cepat-cepat ia tarik lengan orang terus diperiksa, wajahnya penuh mengunjuk kasih sayang
dan prihatin, omelnya: "Lihatlah, disini berlubang, mengapa bohong" Terasa sakit tidak?"
Sikap yang lemah lembut penuh kasih sayang ini mengkili-kili hati Thian-ih, terasakan suatu
perasaan yang belum pernah dialami selama ini dalam benaknya sehingga semangat dan
pikirannya melayang-layang seperti berada diawang-awang, tanpa merasa ia kesima
memandangi wajah nan ayu molek ini.
Melihat orang terlongong dan tidak bicara, Hong-gi goncangkan tubuh orang sambil tanyanya
aleman: "Koko, kenapa kau?"
Thian-ih tersentak sambil tertawa geli, sahutnya: "Tukang kereta, entah lari kemana"
Terpaksa aku harus memegang kendali sendiri."
"Itu tambah baik. Selama ini kau tidak dengar kata, sekarang kau harus duduk dalam kereta
menemani aku." "Ya, tapi aku hanya seorang kusir kereta yang harus duduk didepan, masa ada harganya duduk
bersama nona secantik kau dalam kereta."
"Memang kau adalah kusir kereta dan aku adalah Nonamu maka kau harus dengar
perintahku." "Mana hamba berani membangkang. Nona silakan memberikan perintah apa kita harus segera
berangkat?" Hong-gi angkat kepala, wajahnya cerah cemerlang penuh harapan dan bahagia, dengan suara
merdu dan lirih ia berbisik: "Aku tidak ingin kau menjadi kusir. Aku ingin kau menjadi
........suamiku!" Thian-ih merasa hatinya bangga dan penuh madu, setelah hening sekian lama dan saling
mencurahkan isi hati masing-masing, segera ia keluar dari dalam tenda terus pegang kendali
melanjutkan perjalanan. Di Pakkia Thian-ih mempunyai seorang famili yang membuka toko kelontong dipintu sebelah
timur. Disinilah Hong-gi dititipkan sementara waktu sambil berusaha mencari alamat Nyo
Hway-giok. Hari kedua secara lazimnya Thian-ih datang berkunjung sambil menyampaikan
kartu namanya dan mohon bertamu dengan Nyo Hway-giok Nyo-kongcu, siapa tahu setelah
sekian lama menunggu centeng yang menyampaikan kartu namanya itu keluar lagi
mengabarkan bahwa Nyo Hway-giok ternyata tak berada dirumah. Hal ini dimaklumi oleh
Thian-ih kalau Nyo Hway-giok pasti rikuh dan tak enak menemui dirinya, apa boleh buat
terpaksa dia kembali, pikirnya biarlah nanti malam saja secara diam-diam aku datang
berkunjung dan menemuinya.
Malam itu cuaca sangat gelap, ini menguntungkan bagi gerak gerik Thian-ih yang seringan
kucing berloncatan di-atap genteng melesat menuju ke rumah gedung keluarga Nyo, meski
penjagaan gedung megah ini sangat ketat namun dengan Ginkang Thian-ih yang lihay mudah
sekali ia menyelundup kedalam gedung, namun sekian lama ubek-ubekan jejak Nyo Hway-giok
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
memang susah diketemukan.
Beruntun empat hari sudah berlalu tanpa hasil, kian hari hatinya terasa kesal dan penat, untuk
menghibur diri ia melancong kemana saja ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang
sambil selalu berusaha menyirapi berita tentang diri Nyo Hway-giok. Hari itu secara kebetulan
kakinya melangkah sampai dipuncak Ban-siu-san yang kenamaan itu. Memandang panorama
indah yang terbentang didepan matanya membuatnya terkenang akan segala peristiwa yang
telah dialaminya selama ini, tanpa merasa ia menghela napas hati terasa mendelu. Tengah ia
asyik dalam lamunannya tiba-tiba terasakan olehnya ada orang tengah mengawasi
gerak-geriknya, waktu ditoleh sekali menyelusup bayangan orang itu lantas menghilang dibalik
rumpun bunga. Pikir Thian-ih, kunyuk itu pasti begundal To Bok-san yang disuruh menguntit
dan mengawasi gerak-gerikku. Masakan dikota raja yang dijaga keras dan ramai ini mereka
berani berlaku kurang-ajar dan membikin ribut. Perlahan-lahan ia menyusuri sebuah jalanan
kecil terus langsung turun gunung. Waktu melewati sebuah hutan kecil tiba-tiba dari rumpun
pohon kanan kirinya berloncatan keluar tujuh delapan orang yang bersenjata lengkap terus
mengepung Thian-ih. Waktu ditegasi ternyata adalah Tok-sa-ciang To Bok-san dengan para
kawan begundalnya. Terdengar To Bok-san menjengek sambil menyeringai iblis: "Thio Thian-ih, dicari
kemana-mana jejakmu tidak ketemu, ternyata kau juga pandai berfoya-foya disini."
Thian-ih bersikap sabar, sahutnya kalem: "To Bok-san, apa lukamu sudah sembuh" Ada
keperluan apa kau mencari aku?"
To Bok-san tertawa ejek, sahutnya takabur: "Bagus, kau masih ingat peristiwa dulu itu. Terima
kasih akan belas kasihan Ji-chengcu tempo hari hingga To Bok-san masih hidup sampai
sekarang. Tapi betapapun kematian adikku itu harus kubalas. Mari, mari, biar kuperkenalkan,
inilah Lo Ka Siangjin dari Hud-kong-si dari Ban-siu-san ini." Seorang lhama bertubuh tinggi
besar segera maju sambil sedikit membungkuk diri.
Wajah Lo Ka Siangjin ini merah menyala, kedua biji matanya melotot bundar sebesar kelereng
memancarkan sinar berkilat. Jelas lwekangnya sudah mencapai kesempurnaannya. Diam-diam
bercekat hati Thian-ih. Sementara itu To Bok-san juga perkenalkan kawan-kawan lainnya.
Mereka terdiri dari kakak beradik keluarga Sia yang tenar di utara termasuk dari golongan
hitam, masing-masing bernama Lo-han-kun Sia hwi-i dan Siang-cia-cu Sia Hwi-kong. Dan
masih ada lagi Tiang bwe-kiau Kiu Keng-po, Siau-wi-ci Sun Kay-ka, Loh-sian-hong Pau
Kok-tam, mereka adalah gembong-gembong silat dari kalangan Kangouw juga.
Secara sopan dan merendah diri Thian-ih membalas setiap penghormatan, setelah perkenalan
ini selesai Siau-wi-ci Sun Kay-ka tampil bicara mewakili kawan-kawannya, katanya bahwa
tujuan kedatangan mereka ini adalah minta supaya Thian-ih suka menyerahkan kedua butir
mutiara mestika itu. Sementara Lo Ka Siangjin hanya ingin perempuan yang diincar Go Hong
tempo hari supaya diserahkan kepadanya, kalau Thian-ih mau melulusi permintaan kedua ini
perhitungan tentang terbunuhnya Go Hong boleh dikesampingkan.
Sedapat mungkin Thian-ih berlaku sabar dan menahan gusar, sahutnya bahwa tentang
mutiara boleh dirundingkan, lain halnya dengan perempuan itu adalah calon istri Nyo
Hway-giok Nyo-kongcu putra sekretaris militer Nyo-tayjin yang disegani di istana raja, tiada
hak dirinya untuk menyerahkan begitu saja. Saking kewalahan mereka minta Thian-ih segera
mengeluarkan kedua butir mutiara itu, tapi Thian-ih berkata tidak membawa serta, sudah
tentu para penjahat itu tidak percaya malah hendak menggeledah badan Thian-ih. Akhirnya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih naik darah dan mengumpat caci perbuatan mereka yang keterlaluan, dari bertengkar
akhirnya mereka angkat senjata dan bertempur.
Dasar berangasan Loh-sian-hong Pau Kok-tam menyerbu terlebih dahulu sambil mengayun
Hoa-san). Sekonyong-konyong terdengar suara "Trang" yang nyaring, sebatang anak panah melesat tiba
persis mengenai golok Pau Kok-tam sehingga senjatanya ini tersampok miring kesamping.
Tengah para hadirin melengak, dari rimba sebelah kanan sana berloncatan keluar beberapa
orang, pelopornya ternyata bukan lain adalah Lim Han, kepala Bhayangkari istana. Legalah
hati Thian-ih. golok tunggalnya dengan jurus Lak-pi-hoa-san (membelah gunung Tanpa tedeng aling-aling lagi segera Lim Han menerangkan bahwa kedua butir mutiara itu
adalah milik gudang istana raja yang hilang dan tengah dalam pengejaran, sudah harusnyalah
kalau kedua butir mutiara itu diserahkan kepala rombongannya. Kalau pihak kalian tidak terima
dan berkukuh hendak mengangkangi kedua mutiara itu, baiklah dijanjikan empat hari lagi
diadakan pertemuan mengadu kepandaian untuk menentukan menang dan asor, tempatnya
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditentukan di gunung batu diluar kota sebelah barat. Ditekankan pula oleh Lim Han bahwa
mereka hanya akan menyelesaikan urusan ini secara aturan Kangouw tanpa membawa bala
tentara untuk membantu, hanya beberapa jago dari Bhayangkari serta Thio Thian-ih saja.
Seumpama pihaknya yang menang urusan tidak perlu diperpanjang, kalau sebaliknya dengan
suka rela kedua mutiara itu akan dipersembahkan.
Nama dan kedudukan Lim Han sudah menggetarkan kota raja dan daerah utara, kepandaian
silatnya tiada tandingan diantara para kerabat dari kesatuan Bhayangkari di seluruh istana
raja. Sudah tentu seumpama belum pernah lihat juga pasti sudah pernah dengar tentang
pribadi serta sepak terjangnya, namun betapapun daya tarik kedua butir mutiara itu
sedemikian besar, meskipun mereka segan menghadapi Lim Han toh mereka menebalkan
muka untuk mengadu untung.
Bahwasanya dalam kalangan Kangouw paling menghargai dan menjunjung tinggi sikap gagah
seorang kesatria. Kalau Lim Han sudah berani menjanjikan tempat dan waktu untuk mengadu
kepandaian, terpaksa mereka menyetujui dan mundur teratur, bubarlah pertengkaran dalam
hutan kecil ini. Dalam perjalanan pulang ke kota Lim Han bertanya kepada Thian-ih mengapa bisa sampai di
kota raja. Thian-ih menerangkan sejelas-jelasnya maksud kedatangannya. Sungguh Lim Han
merasa kagum dan memuji sikap dan tindakan Thian-ih yang setia kawan, ujarnya:
"Ji-chengcu, sepak terjangmu ini benar-benar membuat aku tunduk dan takluk benar-benar.
Nyo Hway-giok adalah sahabat kentalku, biarlah aku yang pergi membujuknya."
Thian-ih bertanya apakah kedua butir mutiara yang disimpannya itu perlu diserahkan untuk
meringankan beban para kerabat Bhayangkari yang terhukum. Lim Han mengatakan tidak
perlu sambil menghela napas, katanya memberi keterangan lebih lanjut: "Ji-chengcu, bicara
terus terang sebetulnya benda-benda berharga yang tercuri dari gudang negara sangat
banyak dan tak ternilai harganya, ketahuilah kedua butir mutiara itu hanya sebagian kecil dari
delapan belas mutiara yang turut hilang. Selain membekuk sibaju perak kurasa peristiwa ini
akan selamanya terbengkalai susah dipecahkan."
Ditanyakan pula oleh Thian-ih apakah belakangan ini ada kabar beritanya tentang si baju perak
itu. Lim Han menerangkan lagi: "Si baju perak sudah menghilang bagai ditelan bumi entah
sembunyi dimana. Kalangan pemerintah juga insaf bahwa urusan ini terlalu besar dan berat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
betapa pun takkan dapat segera dipecahkan dalam waktu singkat maka terpaksa anak
buahnya banyak diberi kelonggaran. Maka menurut hematku, untuk sementara ini biarlah
kedua butir mutiara itu titip padamu dulu. Siapa tahu dalam pertempuran empat hari yang
akan datang pihak kita yang kalah, jadi gampanglah menyerahkan kepada mereka."
Bicara tentang kawanan penjahat itu menurut keterangan Lim Han bahwa Lo Ka Siangjin
adalah yang paling ampuh dan merupakan lawan terberat. Lo Ka Siangjin ini adalah tokoh dari
aliran Mi-cong di Tibet yang paling disegani, sebelum ini diapun pernah bertugas didalam
istana, karena melanggar aturan dan kurang disiplin akhirnya diusir. Kemudian dengan
kekerasan ia rebut dan mengepalai Hud-kong-si di Ban-siu-san itu. Lwekang dan Gwakangnya
memang sudah mencapai titik kesempurnaannya, betapapun harus hati-hati menghadapi dan
jangan memandang ringan padanya. Selain itu Siau-wi-ci Sun Kay-ka juga agak menonjol
diantara para kawannya, ilmu ruyung lemasnya sudah menggetarkan kalangan silat daerah
utara barat laut, merupakan kepandaian tunggal yang jarang dapat dicari keduanya. Kalau
dibanding kekuatan kedua belah pihak, semestinya pihak Bhayang-kara kudu berhati-hati,
soalnya karena banyak anak buahnya yang tengah keluar bertugas mengejar harta negara
yang dicuri itu, yang masih ketinggalan dalam kota raja tidak seberapa, hingga bantuan yg
sangat diperlukan didepan mata sangat susah diharap. Kesempatan menang dalam pertem-
puran kali ini agaknya sangat minim sekali.
Setelah mengetahui alamat tinggal Thian-ih, Lim Han ambil berpisah dan berjanji untuk
mencari Nyo Hway-giok dan berusaha membujuknya. Malam itu dia datang memberi jawaban
kepada Thian-ih bahwa katanya Nyo Hway-giok sudah memaklumi tentang hubungan Li
Hong-gi dengan Thian-ih serta semua seluk beluknya. Dia nyatakan kekagumannya serta
menaruh simpatik terhadap Thian-ih malah dianjurkan supaya perjodohan ini lekas terangkap,
tidak lupa pula diterangkan bahwa pihak keluarga Nyo sudah kirim utusan ke Kilam untuk
membatalkan perjodohan ini. Diharap Thian-ih tidak perlu banyak ragu-ragu dan bimbang lagi
segeralah kembali ke kampung halaman untuk segera melangsungkan pernikahan bersama Li
Hong-gi. Sungguh diluar dugaan Thian-ih bahwa ternyata urusan bisa berlarut sedemikian
panjang, betapapun ia masih sungkan dan serba susah untuk menerima, sedapat mungkin ia
minta kepada Lim Han untuk mempertemukan secara berhadapan dengan Nyo Hway-giok,
dimana dirinya dapat memberikan penjelasan secara terbuka. Melihat orang minta secara
serius dan bersungguh hati, Lim Han tidak enak menolak permintaan ini, terpaksa ia melulusi
untuk berusaha mempertemukan mereka.
Hari kedua Lim Han datang memberitahu bahwa dia telah berjanji dengan Nyo Hway-giok
untuk bermain catur di In-hun-si yang terletak disebelah pintu utara nanti malam. Kalau Nyo
Hway-giok selalu menolak kedatangannya, terpaksalah menggunakan cara ini untuk
mempergokinya disana. Diam-diam Thian-ih sudah bersiap. Maka malam itu secara diam-diam
ia mendatangi In-hun-si diluar pintu utara, dimana terlihat Lim Han tengah berhadapan
dengan Nyo Hway-giok asyik bermain catur diruangan dalam. Terdengar dalam pembicaraan
mereka Lim Han selalu menyinggung-nyinggung soal perjodohan, dibujuknya Nyo Hway-giok
supaya tidak lagi menolak maksud baik Thio Thian-ih yang suci murni. Tapi sikap Nyo
Hway-giok tetap dingin sambil tertawa kecut, selalu ia mengalihkan pembicaraan.
Tak tertahan lagi segera Thian-ih menerobos keluar sambil berseru: "Saudara Hway-giok!"
Begitu mata mereka saling pandang segera Nyo Hway-gok putar tubuh terus melesat pergi,
Lim Han coba menarik lengan bajunya, sekali kebas Nyo Hway-giok luputkan diri malah
langkahnya makin dipercepat. Sudah tentu Thian-ih tidak tinggal diam, dengan kencang ia
mengejar sambil berkaok-kaok. Tanpa merasa terjadilah lomba adu ringan tubuh yang hebat
diantara mereka berdua. Nyo Hway-giok mengenakan pakaian warna putih mulus, meskipun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
cuaca sangat pekat, namun bayangannya tampak melayang ringan sekali bagai segulung asap
mengembang ditengah udara. Benak Thian-ih penuh kata-kata yang hendak dicurahkan, maka
dengan kencang ia mengejar terus tidak kalah pesatnya.
Begitulah kejar mengejar ini terus berlangsung sekian lamanya sampai mereka tiba disebuah
pegunungan yang penuh bangunan candi-candi kuno, disinilah bayangan putih Nyo Hway-giok
mendadak menyelinap hilang. Thian-ih tidak hiraukan lagi segala pantangan dan bahaya
langsung ia menerjang masuk kedalam. Dari kegelapan sebelah pojok didepan sana terlihat
bayangan putih Nyo Hway-giok berkelebat lantas terdengarlah suaranya berkata: "Ji-chengcu,
janganlah kau mendesak aku sedemikian rupa.''
Seru Thian-ih: "Nyokongcu, kejadian dalam kuburan tempo hari kita tahu sama tahu, tak perlu
kujelaskan lagi, harap sukalah kau dengar sepatah kataku: Karena mengagumi kau sebagai
laki-laki sejati, dalam keadaan yg terpaksa aku tolong menyembuhkan Li Hong-gi hanya untuk
kau bukan untuk kepentinganku, terbukti dia kubawa ke kota raja ini untuk kuserahkan kepada
kau. Selama ini kita masih dapat menjaga norma-norma kesusilaan belum pernah terjadi hubu-
ngan diluar batas, ketahuilah Hong-gi masih suci murni kupandang dia sebagai adik
kandungku sendiri, terserah kau percaya/tidak keteranganku ini, kelak kau sendiri bisa me-
meriksa dan membuktikan kebenaran ucapanku ini...."
Dari tempat gelap sana terdengar sahutan Nyo Hway-giok: "Aku maklum akan semua itu.
Terus terang aku sangat mengagumi dan menghargai sikap dan pribadi saudara. Tapi aku juga
jelas bahwa Li Hong-gi hanya mencintai kau saja, sebagai kesatria aku rela berkorban demi
kebahagiaan kalian berdua.''
Thian-ih menjadi gugup, serunya: "Dendam kesumat melibat diriku, bagi orang kelana di
Kangouw keselamatan jiwa susah diduga, mana mungkin aku merangkap jodoh dengan Li
Hong-gi, kuminta saudara suka berpikir secara mendalam dan maklumilah kesukaranku
ini......" sejenak ia merandek, tidak terdengar reaksi Nyo Hway-giok lantas ia menyambung lagi
: "Tak lama ini aku harus segera pergi. Bersama Lim Han kami telah menantang Lo Ka Siangjin
dari Hud-kong-si, juga To Bok San serta Sun Kay Ka dan para penjahat lainnya digunung batu
diluar kota sebelah barat, kalah atau menang susah diduga. Sekali lagi kutekankan kuanggap
Hong-gi sebagai adikku sendiri, kuingin ada orang menjaga dan melindungi keselamatannya
baru legalah rasa hatiku menuju ke medan laga. Terpaksalah kalau malam ini aku harus
mengejar-ngejar kau tak lain hanya untuk memberi tahu pendirianku dalam soal ini. Waktu da-
tang tadi aku sudah suruh orang mengantar Hong-gi ke gedung rumahmu......"
Bayangan Nyo Hway-giok kelihatan sedikit bergerak. Thian-ih lanjutkan ucapannya:
"Kudoakan kalian hidup rukun dan bahagia sampai dihari tua. Kalau besok aku beruntung
masih hidup juga akan segera tinggalkan kota raja untuk selanjutnya jejakku tanpa tujuan
yang menentu, janganlah kalian kuatirkan tentang diriku........."
Habis kata-katanya begitu memutar tubuh badannya segera melejit tinggi keluar bangunan
candi, langsung menemui Lim Han menyerahkan kedua butir mutiara itu kepadanya. Malam itu
juga ia keluar kota kearah barat mencari penginapan dibawah gunung batu.
Malam itu Thian-ih tidak dapat tidur karena banyak pikiran yang merangsang dan berkecamuk
dalam benaknya. Terpikir olehnya bahwa pangkal semua persoalan ini adalah karena
gara-gara dirinya. Sikap jantan Lim Han dengan pambeknya yang besar memang harus dipuji,
kalau besok pihaknya tidak mempunyai pegangan untuk menang maka sulitlah dapat
mempertahankan kedua butir mutiara itu, ada lebih baik aku seorang diri menyerbu ke
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Hud-kong-si menempur Lo Ka Siangjin, demi setia kawan aku harus berani berkorban untuk
kepentingan umum. Karena ketetapan hatinya ini bergegas ia bangun dan bersiap berangkat.
Malam sudah berlarut setelah siap sekadarnya Thian-ih melompat keluar dari jendela
kamarnya. Sekonyong-konyong sayup-sayup terdengar dentingan beradunya senjata dari
puncak gunung batu sana. Thian-ih menjadi heran dan terperanjat, tanpa berayal lagi secepat
terbang ia berlari kencang menuju ke puncak, dengan Ginkangnya yang hebat sebentar saja ia
sudah sampai. Dalam keremangan cuaca cahaya bintang, terlihat Lo ka Siangjin, Sia-si
bersaudara, Kiu Keng-po, Sun Kay-ka, Pau Kok-tam dan To Bok-san bertujuh semua hadir.
Kalau To Bok-san, Lo Ka Siangjin dan Sun Kay-ka hanya menonton saja di pinggiran adalah
keempat kawannya itu tengah bertempur sengit mengeroyok seorang berkedok hitam. Orang
berkedok hitam itu bersenjata pedang panjang, meskipun dibawah gencetan empat senjata
musuh yang merangsak begitu hebat namun gerak pedang si orang berkedok masih tampak
lincah dan garang sekali, begitu lincahnya seumpama naga menari ditengah udara, banyak
menyerang dari pada membela diri.
Thian-ih menyangka orang berkedok itu adalah Lim Han, tanpa ragu-ragu lagi segera ia
menerjang masuk ke tengah gelanggang. Dengan jurus Loh-jit-hui-ko (surya tenggelam
setinggi genter), kedua tongkat pendeknya menjojoh dan menyerampang ke pinggang Pau
Kok-tam, karena tidak menyangka ada serangan datang secara tiba-tiba Pau Kok-tam tak
keburu berkelit lagi sambil menjerit kesakitan tubuhnya tersungkur jatuh dan luka berat.
Serentak To Bok-san dan Sun Kay-ka segera maju merintangi, begitu berhadapan To Bok-san
langsung dorong kedua telapak tangannya ke depan, sementara Sun Kay-ka mengayun
ruyung lemasnya, sebelum senjatanya tiba angin keras sudah menyamber lebih dulu. Thian-ih
tidak berani gegabah, kedua tongkatnya juga tidak tinggal diam, ditarikan sehebat mungkin
untuk menghadapi serangan musuh.
Ilmu ruyung Sun Kay-ka memang merupakan kepandaian cukup hebat yang sudah terlatih
sempurna, bukan saja tenaganya besar jurus tipunya juga beraneka ragam. Maka Thian-ih
harus bermain cerdik tak mau menyambuti secara kekerasan, apalagi setiap ada kesempatan
To Bok-san ikut menyergap dari samping, memang cara permainan ini sangat licik dan
serangan juga ganas dan telengas pula, besar hasratnya hendak menuntut balas bagi
kematian adik angkatnya sikupu jelita Go Hong.
Menghadapi kedua lawan berat ini terpaksa Thian-ih harus boyong keluar kepandaian ajaran
Suhunya, untung Ginkangnya lebih unggul, tapi untuk sementara waktu sukar juga untuk
dapat merobohkan lawan berat ini.
Dalam gelanggang sebelah sana siorang berkedok melayani keroyokan Sia-si bersaudara dan
Kiu Keng-po, sejak Pau Kok-tam roboh terluka siorang berkedok lebih leluasa pula
menggerakkan senjatanya, serangannya semakin gencar, lambat laun dia berada diatas angin.
Dalam pertempuran yang sengit itu mendadak terdengar jeritan yang mengerikan, sikala
jengking Sia Hui-kong terluka berat oleh tusukan pedang siorang berkedok, Lo-han-kun Sia
Hwi-i menyerbu mati-matian hendak menolong saudaranya hampir saja jiwa sendiri juga
amblas. Terdengar siorang berkedok bergelak panjang suaranya bagai keluhan naga,
mendadak permainan pedang panjangnya semakin gencar terus merangsak dengan serangan
berantai, keruan dua musuh yang ketinggalan didesak kerepotan.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan pihaknya ini, segera Lo Ka Siangjin menggerung
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
gusar sambil menggentakkan tongkat besinya, bentaknya: "Bocah keparat, biarlah aku
menghadapimu!" "Wut" kencang sekali tongkat besarnya itu menyambar dengan deras mengarah pinggang.
Gesit sekali siorang berkedok melompat menyingkir, tapi tak urung pedangnya kena
terserempet sampai terpental miring. Dalam gebrak pertama saja posisinya sudah tidak
menguntungkan, seketika ia terdesak dibawah angin.
Bukan kepalang kejut Thian-ih melihat keadaan siorang berkedok yang berbahaya itu, pikirnya
kalau tidak diberi bantuan pasti celakalah siorang berkedok dibawah tongkat musuh. Berpikir
memang gampang, tapi To Bok-san dan Sun Kay-ka yang dihadapi ini juga bukan lawan lemah,
melepaskan diri dari kerubutan mereka saja sukar apalagi merobohkan satu persatu. Waktu
matanya melirik dilihatnya siorang berkedok sudah berganti siasat bertempur menggunakan
keunggulan Ginkangnya dia bermain petak berlari dan berloncatan mengitari Lo Ka Siangjin.
Untung begitu Lo Ka Siangjin turun gelanggang Sia Hwi-i dan Kiu Keng-po segera
mengundurkan diri, maka siorang berkedok lebih leluasa unjukkan kegesitan tubuhnya, dalam
waktu singkat agaknya masih kuat bertahan.
Lambat laun permainan Thian-ih juga semakin mantep dan semangatpun dapat terhimpun,
kini gerak permainan tongkatnya berubah menggunakan ajaran tunggal perguruan
Kiam-bun-it-ho, disamping itu dia juga amati dengan seksama permainan dan lobang
kelemahan musuh. Akhirnya dapatlah diketahui bahwa Lwekang To Bok-san agak lemah dari
kawannya, mungkin karena lukanya tempo hari masih belum sembuh betul, semakin lama
bertempur lukanya menjadi kambuh dan permainannya menjadi semakin lamban sebaliknya
napas memburu ngos-ngosan. Thian-ih insaf bahwa ilmu weduk orang memang sangat ampuh
sampai tidak mempan senjata, hanya pusarnyalah satu-satunya tempat kelemahannya.
Diam-diam hatinya berkeputusan hendak menyerempet bahaya untuk memperoleh
kemenangan, begitu tetap pikirannya segera ia bergerak melaksanakan rencananya itu.
Begitulah secara mendadak kedua tongkatnya dipentang kedua jurusan, tongkat kanan
menyampok ruyung Sun Kay-ka berbareng tubuhnya berjongkok terus bergulingan ditanah
kebawah kaki To Bok-san. Sebelum To Bok-san menginsafi dirinya tengah terancam bahaya,
dengan jurus Tam-liong-ki-cu (naga meraih mutiara), tongkat kiri Thian-ih tepat menjojoh
pada pusarnya, seketika ia melolong seram sambil menyemprotkan darah segar. Sungguh
diluar dugaan setelah terluka berat itu tubuh To Bok-san yang tinggi besar itu masih kuat
berdiri sambil meringis, melotot matanya sebesar jengkol. Menyedot hawa dalam
perlahan-lahan ia angkat kedua tangannya terus didorong ke arah Thian-ih. Sebat sekali
Thian-ih lompat menyingkir, tapi ruyung Sun Kay-ka juga telah membayangi tubuhnya, untung
masih sempat ia menangkis.
Sementara itu pukulan To Bok-san tadi agaknya merupakan himpunan seluruh sisa tenaganya,
maka begitu pukulannya mengenai tempat kosong segera tubuhnya yang besar itu jatuh
tersungkur dan tak bangun lagi.
Hasil tipu yang dilancarkan Thian-ih ini benar merupakan tipu ajaran gurunya yang lihay
haruslah dibanggakan kemenangan yang gilang gemilang ini. Karena meninggalnya To
Bok-san, Sun Kay-ka sendiri menjadi kerepotan menghadapi Thian-ih, maka cepat-cepat Kiu
Keng-po dan Sia Hwi-i menubruk maju untuk membantu. Sekarang Thian-ih dikerubut dari tiga
jurusan. Betapapun ilmu ruyung Sun Kay-ka lebih lihay dari permainan senjata
kawan-kawannya. Ruyung lemasnya itu merupakan ancaman yang paling bahaya. Terpaksa
Thian-ih harus curahkan semua perhatian dan kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
baru dapat mengatasi cercahan serangan musuh yang dahsyat ini.
Begitu To Bok-san menemui ajalnya, segera serangan Lo Ka Siangjin tambah diperhebat,
keruan siorang berkedok semakin keripuhan terdesak dibawah angin. Memang Lwekangnya
kalah jauh dibanding lawan, tongkat musuh juga berat dan susah dilayani pula, berulang kali
sudah jiwanya terancam elmaut. Sementara itu, keadaan Thian ih juga tidak lebih
menguntungkan. Mendadak Lo Ka Siangjin membentak keras: "Kena !" tongkat besar dan berat itu tiba-tiba
menyelonong tiba menjojoh dengan kecepatan luar biasa. Tiada lain jalan terpaksa siorang
berkedok harus menangkis, "trang", benturan hebat ini menyebabkan pedang panjang siorang
berkedok terpental terbang ketengah udara entah kemana. Untuk menyelamatkan diri tangkas
sekali ia jumpalitan menyingkir kesamping. Namun Lo Ka Siangjin juga telah memburu tiba
sambil menggenjot dada dengan tangan kanannya. Siorang berkedok mendakkan tubuh untuk
menyingkir tak urung pundaknya juga sudah keserempet angin pukulan yang hebat ini,
seketika tubuhnya terhuyung roboh.
Betapa Thian-ih takkan terkejut, sedikit perhatian terpecah hampir saja ia harus membayar
mahal akan kelalaiannya ini. Senjata Sia Hwi-i hampir saja mematahkan tulang dadanya,
untung dia masih sempat menyampok. Karena desakan serangan berantai yang bekerja sama
secara ketat ini terpaksa Thian-ih harus himpun semangat dan tenaga demi keselamatan
sendiri. Dalam pada itu, sekali melangkah maju tongkat Lo Ka Siangjin langsung mengepruk ke batok
kepala siorang berkedok, tiada jalan lain lagi siorang berkedok mandah pasrah nasib saja
sambil meramkan mata menunggu ajal. Serentak pada saat yang gawat itu, Thian-ih
menggerung bagai banteng ketaton sambil mengayun sepasang tongkatnya tubuhnyapun
berputar seperti gangsingan, karena perbuatan yang nekad ini pundak kirinya tergantol bolong
oleh senjata gantolan Kiu Keng-po, darah segar membasahi seluruh tubuhnya. Tapi Thian-ih
tidak rasakan sakit dan tak hiraukan lukanya sendiri, ternyata tidaklah sia-sia pengorbanannya
karena ia berhasil juga membobol kepungan musuh. Langsung menubruk kearah Lo Ka
Siangjin. Sebelum tubuhnya meluncur sampai, sekonyong-konyong dilihatnya secarik sinar perak
berkelebat dari tengah udara, dari atas sebuah pohon melesat turun bayangan seseorang
laksana malaikat dewata terus mengebutkan lengan bajunya. Serangkum angin deras kontan
menerjang ke arah Kiu Keng-po bertiga sampai mereka terpental jungkir balik.
Bayangan itu membekal pedang panjang yang berkilau kuning keemasan, sedikit menutul
diatas tongkat Lo Ka Siangjin, tongkat besi yang besar dan berat itu kontan terbang ketengah
udara dan jatuh melesak kedalam tanah.
Sekilas Lo Ka Siangjin melirik kearah orang yang baru tiba ini serta melihat seorang tua
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berambut dan berjenggot uban bertubuh tinggi mengenakan jubah panjang warna abu-abu,
sikapnya tenang berwajah welas asih tengah tersenyum kepadanya. Lo Ka Siangjin beramai
kenal siapakah siorang tua beruban ini. Saking ketakutan mereka lari lintang pukang turun
gunung seperti dikejar setan sampai senjata sendiri juga tidak dihiraukan.
Tanpa membuka suara siorang tua beruban itu memayang tubuh siorang berkedok terus
dipanggulnya, sebelum pergi ia tersenyum memandang kepada Thian-ih yang sedang
terlongong tak bergerak, begitu memutar tubuhnya terus melayang pergi bagai seekor bangau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
terbang sekejap saja bayangannya telah menghilang dari pandangan mata.
Thian-ih termangu sekian lama diatas gunung. Siapakah siorang tua ubanan berjenggot
panjang ini, bukan saja Lwekangnya sedemikian hebat, ilmu ringan tubuhnya naga-naganya
dapat menandingi gurunya Kiam-bun-it-ho. Sayang tadi tak sempat menanyakan nama
Locianpwe itu untuk berkenalan.
Dengan hati risau dan kesal Thian-ih turun gunung, belum jauh jalan yang ditempuhnya,
terdengar derap langkah kuda yang gemuruh tengah mendatangi dengan cepat, sekejap saja
delapan ekor kuda telah mencongklang datang, waktu ditegasi kiranya adalah kawanan dari
Bhayangkara yang dipimpin oleh Lim Han sendiri.
Begitu melihat Thian-ih, Lim Han lantas bertanya: "Apa kau tidak terluka " Bagaimana keadaan
Nyo-kongcu ?" "Nyo Hway-giok maksudmu" Aku tidak melihatnya, hanya ada seorang berkedok, dia terluka
dan sudah ditolong oleh seorang tua beruban berjenggot panjang.''
Lim Han turun dari atas kuda, Thian-ih lantas menuturkan peristiwa yang baru terjadi diatas
gunung. Lim Han membanting kaki, katanya gegetun: "Orang berkedok itu adalah Hway-giok. Dia rela
berkorban demi terangkap perjodohanmu dengan Li Hong-gi, seorang diri ia mendahului
menantang Lo Ka Siangjin dan kawan-kawannya untuk bertempur diatas gunung. Sayang aku
terlambat mendapat kabar ini."
Thian-ih menguatirkan keadaan Li Hong-gi, tanyanya gugup: "Lim-heng, apakah Hong-gi
sudah diantar tiba dirumah keluarga Nyo"''
"Ai, urusan malah semakin runyam, mendengar maksudmu hendak menyerahkan dia kepada
keluarga Nyo, nona Li lantas marah-marah dan menangis tergerung-gerung. Sekarang dia
entah menghilang kemana, coba kau pikir bagaimana kita harus bertindak?"
Tanpa banyak kata lagi Thian-lh bergegas pulang, benar juga memang kamar Li Hong-gi sudah
kosong, keluarga familinya memberi tahu dengan wajah merengut: bahwa setelah tahu
Thian-ih sengaja tidak mau menemui malah hendak menyerahkan dirinya kepada keluarga
Nyo, gusarnya bukan kepalang, pintu kamarnya ditutup kencang dan menangis seharian tak
mau keluar meskipun sudah digedor berulang-kali. Sebetulnya famili Thian-ih tidak setuju akan
tindakan Thian-ih ini, mereka sudah mempersiapkan kereta dan hendak membujuk Thian-ih
kalau dia pulang. Siapa tahu waktu sorenya hendak mengantar makanan baru diketahui pintu
kamarnya ternyata sudah terpentang, orangnya juga telah menghilang entah kemana"
Keruan gugup Thian-ih bukan main seperti semut dalam kuali panas. Sedemikian besar kota
raja ini kemana pula harus mencari jejaknya. Apalagi pergi seorang diri tanpa membekal
sepeser uang, wajahnya begitu ayu molek lagi, bukan mustahil bisa terjadi sesuatu yang
membahayakan jiwanya, bukankah menambah kapiran, menyesal juga sudah kasep.
Untung pengaruh Lim Han dikota raja sangat besar dan banyak kenalan lagi, segera
anak-buahnya disebar untuk menyirapi kemana-mana. Hari kedua baru didapat kabar bahwa
Li Hong-gi sudah menyewa sebuah kereta, seorang diri melakukan perjalanan kearah timur.
Tanpa sangsi lagi Thian-ih minta diri pada Lim Han terus cemplak kudanya mengejar kearah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
timur. Karena risau dan tak tentram Thian-ih jadi banyak berpikir ditengah jalan, kalau menurut
petunjuk arah timur yang ditempuh Li Hong-gi ini pasti tujuannya adalah Kilam. Tapi Kilam
berada diselatan mengapa dia menuju ke timur, bukan mustahil kusir kereta telah menipunya.
Berpikir begitu hatinya semakin tak enak kudanya dipacu secepat terbang, selama perjalanan
ini, entah berapa kuda sudah dikorbankan, tapi dia sendiri tidak mengenai lelah. Setiap kali
menemui kereta tertutup ditengah jalan tanpa bertanya langsung ia singkap tenda kereta
dengan cambuk ditangannya, sudah tentu perbuatan kasar ini menimbulkan banyak
kegaduhan yang tak diinginkan, tapi Thian-ih tak peduli akan semua itu, yang dipikirkan hanya
Li Hong-gi namun sebegitu jauh jejaknya belum diketemukan.
Beberapa hari kemudian Thian-ih memasuki daerah Shoa-tang dan sampai di karesidenan
Samho dimana letak kampung halamannya. Thian-ih berpikir apakah perlu dirinya mampir
dulu kerumah, sudah berapa lama ini ia tinggalkan rumahnya sejak wafatnya engkohnya
tempo hari. Rumah sebesar itu hanya didiami enso dan beberapa bujang laki perempuan.
Teringat olehnya betapa besar kasih sayang enso (istri Thian-ki) kepadanya, tak tega dan
sedih rasa hatinya. Tanpa merasa ia belokkan kudanya menuju kearah rumahnya.
Waktu sampai didepan rumah, keadaan sekitar rumahnya sunyi sepi, keadaan ini jauh berbeda
waktu engkohnya masih hidup dulu, terasa pilu dan pedih perasaannya.
Melihat kedatangan Thian-ih ini penjaga pintu berjingkrak girang seperti ketiban rejeki
nomplok, sambil berkaok-kaok ia berlari kedalam rumah. Seisi rumah menjadi ribut dan berlari
keluar semua menyambut kedatangannya sambil unjuk hormat dan memberi selamat
kepadanya. Thian-ih garuk-garuk kepala keheranan seperti menyongsong kedatangan
mempelai saja lagaknya dirinya dibimbing masuk kedalam rumah.
Tak lama kemudian dibawah bimbingan seorang dayang Liu-si ensonya juga keluar,
cepat-cepat Thian-ih maju menyapa serta menanyakan kesehatan orang. Wajah pucat
ensonya tampak berseri girang, tak ketinggalan ensonya ini juga mengucapkan selamat dan
bahagia kepadanya. Lebih besar rasa heran dan tak mengerti Thian-ih "selamat'' apa dan
darimana" Liu-si menghela napas panjang, katanya: "Semasa hidup engkohmu, aku tidak punya
keturunan. Harapan kita hanya kau seorang. Kini dia telah meninggal, hatikupun sudah
membeku, menyembah Budha, sucikan diri, besar harapanku kau lekas berkeluarga supaya
lekas tercapai keinginanku. Bila kau sudah menikah dan punya keturunan berarti selesailah
tugasku ini, hatikupun akan sangat gembira......" sejenak ia berdiam diri, lalu sambungnya lagi
sambil tersenyum penuh arti: "Pergilah ke kamarmu melihat sendiri !"
Thian-ih terperanjat, adakah sesuatu apa yang tengah menanti didalam kamarku" Tiba-tiba
tergerak hatinya, tidak sempat membersihkan badan dan ganti pakaian bergegas ia berlari ke
kamarnya. Sambil tertawa cekikikan seorang dayang menyingkap kerai membuka pintu.
Terlihat olehnya seorang cantik bak bidadari nan ayu molek tengah berdiri tersenyum mesra
dalam kamar, dia tak lain tak bukan adalah tambatan hatinya Li Hong-gi.
Setelah tertegun sejenak, baru Thian-ih menghela napas lega, siapapun menduga seorang
gadis lemah dari keluarga orang berada yang biasanya dipingit dapat melakukan perjalanan
jauh dengan selamat sampai dirumahnya. Sudah tentu enso serta seluruh penghuni rumah ini
sangat setuju bila jodoh yang setimpal ini terangkap, kalau dirinya menolak lagi pasti ensonya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
marah. Memang tindakan Li Hong-gi sangat tepat, sampai Thian-ih termangu sekian lama
didepan pintu, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Para dayang sudah menyingkir sambil mengikik geli, Hong-gi lantas berlenggong mendekati
dan menarik tangannya, katanya mesra: "Pergilah mandi dan tukar pakaian ! Lihatlah begitu
kotor tubuhmu itu !"
Wajah nan ayu penuh seri serta ucapan yang kasih sayang membuat Thian-ih terpesona sekian
lama, pikirannya bagai melayang di-awang-awang. Kata-kata yang sudah disiapkan hendak
menegor tindakan orang yang ceroboh itu tak kuasa lagi terucapkan.
Dengan tatapan tajam Hong-gi berkata lagi: "Waktu masih panjang, nanti setelah kau
membersihkan diri kita bicara lagi." Naga-naganya ia sudah dapat menebak isi hati Thian-ih yg
hendak menegor tindakannya karena pergi tanpa pamit itu, maka suaranya mengandung
kegetiran hati yang harus dikasihani. Keruan Thian-ih menjadi tak tega dan menunduk tak
berani beradu pandangan dengan sorot mesra yang penuh perasaan itu. Tanpa berani
membangkang lagi segera ia mengundurkan diri membersihkan diri dan ganti pakaian, susah
dirasakan senang atau bersyukurkah hatinya ini.
Malam itu, Liu-si mengundang Thian-ih menghadap ke kamar semadinya, dalam kesempatan
ini Thian-ih menuturkan pengalaman selama ini. Selama mendengarkan Liu-si berulang kali
bersabda Budha setelah cerita Thian-ih habis, cepat-cepat ia berkata: "Ji-siok, untuk
selanjutnya tak kuijinkan kau keluar menempuh bahaya lagi, permusuhan lebih gampang
diikat daripada dilerai, seumpama kau dapat membunuh musuh engkohmu juga tidak bisa
hidup kembali. Sejak kematian engkohmu, keluarga Thio kita tinggal kau seorang, kalau
sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sebagai orang yang lebih lanjut usia tidak
memberikan petuah dan nasehat serta bertanggung jawab, kalau aku mati rasanya malu aku
menemui leluhur kita di alam baka........."
Thian-ih tunduk tak berani bersuara, dengan cermat ia perhatikan petuah dan nasehat
ensonya. Diam-diam ia membatin, enso pasti membantu Hong-gi untuk membujuk aku
merangkap perjodohan ini. Betul juga akhirnya Liu-si buka bicara dengan lebih ramah dan
lemah lembut: "Betapa besar dan luhur cinta nona Li kepadamu, lahir dari keluarga besar dan
kenamaan lagi, bisa membaca dan kenal sopan santun pula, wajahnya sedemikian cantik baru
kali ini aku melihat gadis cantik begitu rupa seumur hidup ini. Wataknya lemah lembut dan
supel lagi, sejak kedatangannya seisi rumah ini menjadi bertambah semarak dan riang
gembira, semua hormat dan menghargai sikapnya yang bajik itu. Orang yang serba pandai
seperti dia ini, Ji-siok mengapa kau masih rela hendak menyerahkannya kepada Nyo-kongcu
apa segala"......" Kini suaranya mengandung penyesalan dan marah, tak tertahan lagi ia
menegor penuh dongkol. "Sungguh aku tidak habis mengerti mengapa kau main sungkan dan
bimbang, ceroboh lagi.........."
Mana Thian-ih berani main debat, sejak kecil ia diasuh dan dibesarkan oleh Liu-si
dipandangnya sebagai orang tuanya sendiri, apalagi ensonya ini sejak lama sudah
mengasingkan diri dari dunia ramai umumnya, pasti takkan mengerti tentang segala hal ihwal
dunia persilatan, ada lebih baik bungkam saja tanpa banyak komentar.
Dua hari lamanya Thian-ih mengeram diri dalam rumah tanpa pergi ke-mana-mana. Hong-gi
melayani segala keperluannya dengan penuh kasih sayang dan mesra. Seorang diri tidur di
kamar buku merasakan kenikmatan hidup yang serba lengkap dan rapi dibawah asuhan
pembantu rumah tangganya, semua kemewahan ini selamanya belum pernah terasakan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dalam kelananya di perantauan.
Akan tetapi semangat kejantanannya untuk menuntut balas masih berkobar dan bergelora
dalam dadanya. Kelima orang berkedok dan sibaju perak adalah musuh-musuh yang setiap
saat selalu terbayang dalam ingatannya, penasaran rasanya sebelum rasa dendam ini
terlampias. Terkenang akan para kawan yang telah mati seperjoangan, kangen pula pada para
sahabat yang masih hidup. Teringat betapa bajik dan luhur So Tiong dan adiknya, Hi Si-ing
murid keponakan yang telah menjadi gila, serta Ciu Hou yang menghilang tak diketahui mati
hidupnya dan Nyo Hway-giok yang terluka berat ditolong orang entah dibawa kemana, setiap
terbayang wajah-wajah mereka ini seolah-olah terasa mereka tengah mendesak dan
menganjurkan supaya dirinya segera meninggalkan kampung halaman berkelana di Kangouw
mencari musuh-musuh besarnya.
Sebaliknya kecantikan, kelemah lembutan Li Hong-gi yang penuh kasih sayang itu laksana
sesuatu kekuatan yang membelenggu sanubarinya sehingga tak kuasa dirinya melepaskan
diri, dia berharap supaya Thian-ih selalu mendampingi disisinya, tak memikirkan lagi soal
menuntut balas dan segala urusan tetek-bengek yang membahayakan jiwa. Sudah tentu
Thian-ih tidak rela dibelenggu ketat demikian, tapi setiap kali bentrok dalam pandangan yang
penuh kasih mesra itu luluhlah hatinya, mulutnya terbungkam tak kuasa mencurahkan isi
hatinya untuk mengabaikan maksud baik orang.
Masih teringat oleh Thian-ih bahwa Hong-gi dulu pernah menghilang secara misterius, tapi
akhirnya dibawa orang kembali lagi. Dan kejadian yang terakhir si baju perak itu juga datang
mengunjunginya. Naga-naganya semua peristiwa itu terikat dan berhubungan erat satu sama
lain, sedikit banyak Li Hong-gi pasti mengetahui seluk beluk kejadian itu. Bagaimana
pengalamannya setelah dirinya diculik, inilah hal yang perlu segera diketahui oleh Thian-ih.
Maka secara halus ia mencari akal untuk mengorek keterangannya.
Ternyata Li Hong-gi juga cerdik, tanyanya tertawa: "Mengapa sedemikian mendetail kau
menanyakan kejadian itu" Kau curiga aku mengalami sesuatu yang merugikan diriku"
Ketahuilah selain merasa ketakutan Li Hong-gi tidak kurang suatu apa." Memang lazimnya
suatu penculikan kalau tidak minta tebusan yang tinggi nilainya pasti hendak merusak
kehormatan sang gadis yang diculik itu. Justru pengalaman dirinya ini sangat janggal dan
aneh. Bukan saja Li Hong-gi tidak kehilangan perhiasannya, badannya juga masih suci bersih.
Lantas apakah tujuannya menculik dirinya ini sampai sekarang masih belum dapat diketahui.
Thian-ih mendengar sambil mengawasi dengan mendelong. Keruan dalam anggapan Hong-gi
bahwa Thian-ih sudah salah sangka bahwa dirinya telah diperkosa, maka sambil menunduk
malu-malu ia mencubit lengan Thian-ih sambil mencemoohkan pandangannya yang keliru itu.
Melihat orang salah paham Thian-ih tertawa geli, cepat-cepat ia memberikan keterangan,
maksudnya hanya ingin mengetahui tentang rupa dan bentuk orang-orang yang telah
menculik dan mengantarnya pulang itu, mungkin pula mendengar atau melihat sesuatu tanda
khas serta melihat suatu kejadian apa"
Tutur Hong-gi penuh kenangan: "Waktu aku diculik dulu pada tengah malam yang buta rata.
Tahu-tahu seorang berkedok yang mengenakan pakaian putih perak kemilau menerjang
masuk kedalam kamarnya, tangannya membekal Loh-kim Pokiam. Begitu tiba dia lantas
mengancam dengan pedangnya terus menjejalkan sesuatu benda kedalam mulutku terus
dimasukkan kedalam karung besar. Diantara sadar tak sadar Hong-gi merasakan dirinya
dibawa menempuh perjalanan yang sangat jauh, saking ketakutan hingga ia jatuh pingsan dan
tak tahu apa yang dialami selanjutnya dan kemana dirinya telah dibawa"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Akhirnya pada keesokan malamnya ia ditolong orang dan siuman dari pingsannya,
orang-orang ini memberi makan dan minum pada dirinya, sikapnya halus dan membujuk
dirinya supaya tidak takut karena segera akan diantar pulang. Mereka mengenakan seragam
hitam berjumlah lima orang, salah seorang yg bersuara serak agaknya menjadi pemimpin
karena empat yang lain sangat tunduk dan mendengar segala perintahnya.
Lima orang seragam hitam berkedok, bukankah mereka itu algojo-algojo pembunuh
engkohnya" Hampir saja Thian-ih melonjak kaget. Menurut penjelasan Hong-gi bahwa kelima
orang itu tidak mau memperkenalkan diri, hanya dalam perjalanan pulang itu secara kebetulan
ia mendengar mereka tengah berunding hendak pergi ke Kanglam mencari sebuah
perkumpulan yang bernama Ho-bwe-pang.
Ho-bwe-pang. Thian-ih masih ingat waktu engkohnya baru saja wafat Ho-bwe-pang Pangcu
Kun-suseng Liok Peking juga datang melawat. Ia adalah sahabat kental engkohnya betapapun
takkan mungkin mencelakai jiwanya, urusan ini benar-benar agak janggal dan tak masuk akal.
Thian-ih ingin selekasnya pergi ke Kanglam mencari tahu di Ho-bwe-pang, dia beritahu
maksudnya ini kepada Hong-gi, sudah tentu Hong-gi tidak rela dia pergi menempuh bahaya
tapi melihat Thian-ih bertekad bulat susah dibujuk akhirnya ia hendak ikut juga. Kini Thian-ih
sendiri yang serba runyam, perjalanan sedemikian jauh penuh bahaya lagi mana mungkin ia
ajak Hong-gi yang berbadan lemah kaum perempuan yang ayu molek lagi, bagaimana juga ia
tidak menyetujui. Begitulah karena masing-masing mengukuhi pendapatnya tanpa ada
penyelesaian yang konkrit, sampai pemberangkatan Thian-ih tertunda sekian lama.
Pada hari ketiga, mendadak ada puluhan penunggang kuda yang mendatangi Thio-keh-cheng,
puluhan penunggangnya adalah para Bhayangkari dari kota raja dipimpin oleh Hwe-poan-koan
Siu Hoa. Siu Hoa adalah sahabat terdekat Lim Han merupakan salah seorang berkepandaian
tinggi dari kesatuan Bhayangkara itu.
Tersipu-sipu Thian-ih keluar menyambut. Dasar Hwe-poan-koan Siu Hoa ini orang berangasan
begitu melihat Thian-ih segera ia menjengek sambil tertawa dingin, tanpa turun dari atas
kudanya segera ia menyuruh Thian-ih: "Ji-chengcu, segera kau ikut kami pergi."
Thian-ih tertegun, tanyanya: "Ada terjadi apa lagi dikota raja?"
Siu Hoa mendengus, serunya gusar: "Thio Thian-ih, kau masih berpura-pura" Apa yang kau
perbuat pasti hatimu tahu sendiri. Lim Han masuk penjara karena kau, jiwanya terancam
dalam waktu dekat, beginikah sikapmu terhadap sahabat baik" Hehehe, sekarang tak perlu
banyak mulut, kau ikut kami langsung bicara dengan Lim Han saja !"
Thian-ih tak habis mengerti apa yang telah terjadi. Hwe-poan-koan (pena berapi) Siu Hoa
berjingkrak murka tak mau memberi keterangan, maka salah seorang anak buahnya yang
memberi penjelasan. Kiranya persoalan mengenai kedua butir mutiara mestika itu, setelah
Thian-ih menyerahkan kepada Lim Han, Lim Han langsung menyerahkan kepada atasannya,
namun setelah diperiksa ternyata bahwa kedua mutiara itu palsu, betapapun Lim Han tak
dapat main debat lagi, kontan dirinya dihukum masuk penjara dan diperiksa dengan keras.
Siu Hoa ini adalah sejawat dengan Lim Han, dia tahu bahwa kedua mutiara itu adalah
penyerahan dari Thian-ih, maka lekas-lekas ia pimpin anak buahnya mencari Thian-ih.
Diam-diam Thian-ih mengeluh dalam hati. Betapa besar kasiat kedua mutiara itu dapat
melindungi tubuh Li Hong-gi selama seratus hari tanpa membusuk, sepanjang perjalanan jauh
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
tidak membuat badan kotor, disimpan begitu rapat dan dia sendiri yang langsung
menyerahkan kepada Lim Han, mana mungkin bisa palsu. Semakin pikir hatinya semakin kesal
dibuatnya. Sipena berapi loncat turun dan atas kuda terus menjambret lengan baju Thian-ih, hardiknya:
"Thio Thian-ih, apa lagi yang perlu kau katakan" Ikut saja perintah kami !"
Thian-ih mengebas sambil menyingkir kesamping. Thian-in insaf betapapun dirinya susah
memberi penjelasan. Jejak kelima orang berkedok sudah diketahui, inilah saat dirinya pergi ke
Ho-bwe-pang mencari tahu. Kalau ke kota raja tersaruk kedalam persoalan yang tidak
menguntungkan, bukan mustahil dirinya bakal masuk penjara juga. Kalau kedua mutiara itu
tak dapat diketemukan selama hidup ini pasti dirinya hidup dibelakang terali-besi, bagaimana
juga persoalan ini sulit diselesaikan dalam waktu singkat, aku harus berusaha membikin terang
segala-galanya. Walaupun Lim Han sedikit menderita tapi takkan dihukum mati. Lebih baik
dirinya mencari kedua mutiara itu untuk menolongnya keluar. Karena ketetapan pikiran ini
segera ia berkata kepada Siu Hoa: "Aku tidak bisa ikut kau......"
Belum ucapannya habis, Siu Hoa sudah menggerung gusar sambil melolos golok
dipinggangnya, bentaknya: "Thio Thian-ih, kami memperoleh tugas untuk membekukmu, kau
berani membangkang pada pemerintah?"
Thian-ih menjadi gugup, serunya: "Saudara Siu, dengar dulu penjelasanku."
Watak Siu Hoa memang kasar dan kaku, semprotnya: "Tiada yang perlu dijelaskan, ikut aku
pergi!" Sembari mengumpat caci, kelima jarinya diulur mengcengkeram dada Thian-ih. Thian-ih
berkelit, namun dengan jurus Lak-pi-hoa-san (membelah gunung Hoa-san) golok Siu Hoa
sudah mengancam batok kepalanya. Ringan sekali Thian-ih loncat menyingkir, terdengar Siu
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoa mencaci: "Beginikah murid Kim-bun-it-ho yang kenamaan itu, tak ubahnya sebagai
pencuri picisan. Tak malu kau angkat diri sebagai seorang kesatria, biar hari ini Siu Hoa belajar
kenal dengan kepandaianmu."
Karena didesak demikian rupa, jengkel juga Thian-ih akhirnya, untuk membela diri terpaksa ia
harus menggerakkan tangannya juga, sekali kebas ia sampok bacokan golok lawan. Tenaga
Siu Hoa ini besar dan serangannya juga berbahaya. Thian-ih sendiri masih ragu-ragu untuk
turun tangan, tenaganya hanya empat lima bagian saja yang terkerahkan, meskipun golok
lawan kena disampok, telapak tangan sendiri juga terasa pedas.
"Thio Thian-ih," Siu Hoa berkaok-kaok, "Kau ini pokrol bambu, berani kau membangkang,
betapapun hari kau harus diringkus."
"Wut, wut, wut." beruntun tiga kali ia lancarkan serangan berantai mengarah tempat-tempat
vital yang membahayakan jiwa Thian-ih. Terpaksa Thian-ih harus berloncatan menghindar.
Melihat lawan mendesak sedemikian rupa tanpa mau dengar penjelasannya memaki lagi nama
baik perguruan, timbullah amarahnya. Begitulah waktu Siu Hoa mengayun goloknya
menyerang lagi, jurus ini dinamakan Gu-kak-kut-su (buku tergantung ditanduk kerbau),
tenaganya besar membacok sambil menendang. Apa boleh buat, kali ini Thian-ih harus
membalas. Kedua jarinya dirangkapkan dengan jurus Hoan-te-hoan-lian (membalik bunga
teratai dari bawah), tangan menutuk jalan darah, kakinya juga tidak tinggal diam menggeser
kedudukan hanya terpaut serambut saja serangan golok Siu Hoa mengenai tempat kosong.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sekejap saja mereka sudah bergebrak puluhan jurus, mendadak sipena berapi berpaling
sambil membentak: "Kalian masuk, geledah seluruh rumah adakah gadis she Li itu, ringkus dia
sekalian!" Para anak buahnya serentak mengiakan terus menerjang sambil menenteng senjata. Thian-ih
menguatirkan keselamatan Hong-gi, hatinya menjadi gugup, pikirnya bagaimanapun mereka
harus dicegah untuk bertindak sembrono. Maka teriaknya: "Saudara Siu, lekas berhenti,
dengarkan penjelasanku !" sambil berteriak ia melesat menghadang di depan pintu.
Melihat orang agaknya sudah nekad untuk melawan, Siu Hoa angkat tangan menghentikan
kawan-kawannya, jengeknya dingin: "Thio Thian-ih, kalau kau seorang laki, kau harus
menolong Lim Han dari penderitaan dalam penjara, lekas ikut aku !"
Seru Thian-ih gugup: "Kedua mutiara itu betul-betul tak berada di tanganku, ikut kalian juga
tiada gunanya. Jalan yang paling tepat biarlah aku mencari kedua mutiara itu dulu untuk
menolong Lim-toako dikota raja !"
Siu Hoa menghardik keras: "Kentut, terang kau takut dihukum dan hendak melarikan diri, tuan
besarmu ini masa begitu gampang kau apusi !''
Mengayun senjata dengan garang ia menyerang serabutan. Terpaksa Thian-ih harus melayani
lagi. Sipena berapi Siu Hoa terkenal akan ilmu goloknya yang bernama Ban-seng-to-hoat, Lim
Han sangat mengagumi kepandaiannya ini maka menariknya menjadi pembantunya yang
sangat diandalkan. Ilmu goloknya ini berjumlah tiga puluh enam jurus, jurus demi jurus
mengalun berantai saling sambung, ditambah tenaga pembawaannya memang luar biasa,
maka goloknya itu dapat diputar dan dipermainkan secepat kitiran. Sekarang melihat ilmu silat
Thian-ih ternyata juga cukup lihay, diketahui pula adalah murid Kiam-bun-it-ho yang disegani
oleh kalangan persilatan, maka tanpa ayal lagi ia permainkan ilmu golok Ban-seng-to-hoat
yang dibanggakan itu. Sedemikian lancar dan tangkas sekali permainan Siu Hoa ini sambung menyambung tiada
putusnya perbawanya menjadi hebat sekali. Thian-ih hanya melayani dengan tangan kosong
paling-aling hanya dapat mengimbangi saja. Thian-ih tahu jurus ilmu golok musuh ini yang
paling lihay adalah tiga jurus yang terakhir, yaitu Tay-beng-han-cau (Garuda pulang sarang),
Ping-hiat-ho-coan (sungai es mengalir deras), Wi-siu-lam-thian (berpaling melihat langit
selatan). Ketiga jurus lihay ini dilancarkan secara berantai pula sekaligus, jarang ada musuh
yang bisa lolos atau selamat dari serangan goloknya ini. Tengah hatinya merancang cara
bagaimana dirinya harus memecahkan serangan musuh ini, disamping itu juga tidak sampai
melukai musuh, supaya dia tahu diri dan mundur teratur. Sekejap saja tiga puluh enam jurus
Ban-seng-to-hoat sudah dilancarkan sampai jurus-jurus terakhir. Benar juga sipena berapi Siu
Hoa lancarkan ketiga jurus berantai itu. Kilat golok menyambar dari samping. Thian-ih ulurkan
kedua jarinya seperti jepitan tanpa berkelit atau menyingkir dengan jurus Seng-kong-sam-siok
(sinar bintang kelap-kelip), secepat kilat ia mendahului menutuk jalan darah Tiong-ting-hiat di
dada Siu Hoa. Jalan darah ini penting dan mematikan, serangan Thian-ih cukup ganas lagi,
mau tak mau Siu Hoa pasti menarik pulang goloknya dan berganti jurus dengan
Peng-hiat-ho-coan, lalu bersama dengan itu dirinya menarik kedua jarinya dirobah dengan
pukulan telapak tangan untuk memunahkan jurus berantai ketiga yaitu Wi-siu-lam-thian. Maka
gebrak terakhir ini pasti dapat diakhiri dengan sama-sama selamat tanpa terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan. Perhitungan Thian-ih ini sebetulnya sudah matang, begitu kedua jarinya ditutukkan, siapa tahu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
diluar perhitungannya Siu Hoa ternyata tidak berobah permainannya, malah tubuh dan
goloknya itu menubruk maju bersamaan. Keruan kejut Thian-ih bukan kepalang, untuk
menyingkir dan membatalkan serangan sendiri sudah tak mungkin pula, dalam saat yang
gawat itu ia mendakan tubuh. Golok Siu Hoa hanya memapas jatuh topi Thian-ih, sebaliknya
kedua jarinya itu tepat sekali menembusi dada Siu Hoa. Terdengar sipena api Siu Hoa melolong
tinggi terus roboh terkulai.
Para anak buah sipena berapi segera menerjang maju sambil memaki: "Bocah keparat, kau
berani membangkang dan membunuh petugas hukum, kau sudah tak ingin hidup lagi"''
Seketika Thian-ih dihujani berbagai serangan senjata. Tahu bahwa tak mungkin lagi memberi
penjelasan secara damai, Thian-ih bergerak tidak kepalang tanggung lagi, telapak tangannya
bergerak cepat angin pukulannya cukup menyampok dan menangkis serangan senjata para
musuh, disamping itu jari tangannya juga tidak tinggal diam. Di antara pendatang ini selain Siu
Hoa seorang tiada seorang pun yang berkepandaian tinggi, melihat Thian-ih mulai berlaku
garang, mereka insaf kalau bukan tandingnya, terpaksa kali ini harus mengalah dan mundur
teratur. Begitulah sambil memayang tubuh sipena berapi Siu Hoa segera mereka
mengundurkan diri. Salah seorang diantara mereka berseru dengan penuh kebencian: "Thio
Thian-ih, kau berani membangkang dan membunuh petugas hukum, lari ke ujung langit pun
kesatuan dari Bhayangkara akan mengejar dan meringkusmu. Betapapun kau harus menebus
jiwa Siu-toako, tunggulah saatnya." habis berkata terus tinggal pergi naik kuda.
Thian-ih tahu kalau para Bhayangkara itu paling menjunjung tinggi gengsi kesatuannya, setiap
kali menangkap orang boleh sesuka hatinya tanpa memberitahu dulu kepada petugas
setempat. Tanpa sengaja dirinya telah melukai Siu Hoa, pasti mereka akan meluruk datang lagi
dengan bala bantuan yang lebih tinggi kepandaiannya. Tujuan utama mereka adalah dirinya,
mungkin bisa menyangkut pribadi Li Hong-gi. Kini kesalahan telah terjadi selain menyerahkan
diri menebus dosa, hanya melarikan diri dan mengembara satu-satunya jalan untuk
selamatkan diri. Betapa susah hatinya ini, waktu ia membalikkan tubuh tampak Li Hong-gi tengah menuntun
dua ekor kuda yang sudah lengkap dengan pelana dan perlengkapan seperlunya, tidak
ketinggalan pula membawa pedang. Kiranya Hong-gi sudah tahu akan terjadinya keributan
yang mengakibatkan tewasnya Siu Hoa itu, urusan sudah berlarut sedemikian rupa selain
melarikan diri tiada jalan lain lagi untuk menyelamatkan diri. Waktu Thian-ih tengah bertempur
seru tadi, diam-diam ia menyiapkan kedua ekor kuda untuk melarikan diri bersama.
Dengan merasa pilu dan berat perasaan Thian-ih untuk meninggalkan kampung halaman ini.
Entah kapan baru dapat kembali lagi setelah bepergian kali ini, demi menghindari diri dari
penangkapan. Sebelum berangkat ia harus minta diri kepada ensonya Liu-si. Tapi Hong-gi
keburu telah bicara: "Tidak usah, enso menyuruh kita segera berangkat, dia suruh kau
waspada dan menjaga diri, tak usah kuatir akan keadaan dirumah."
Thian-ih merasa hampa, sekilas ia melirik kearah Hong-gi, terlihat orang telah berganti pakaian
mengenakan celana panjang yang ringkas dan leluasa untuk naik kuda, kepalanya juga sudah
memakai topi rumput yang besar, terang dia juga sudah siap melakukan perjalanan jauh.
Tanya Thian-ih: "Apa kau bisa menunggang kuda" Perjalanan sedemikian jauh apa kau kuat
bertahan?" Hong-gi tersenyum, sahutnya: "Meskipun aku tidak pandai silat, sejak kecil aku sudah belajar
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menunggang kuda dibelakang kebon rumahku dulu !" nadanya ringan penuh semangat dan
kepercayaan. Thian-ih tertawa getir, berkelana tanpa tujuan membawa serta wanita secantik bidadari,
bukan saja membuat orang-orang sepanjang jalan ngiler dan sirik, malah mungkin terjadi
peristiwa yang tidak diinginkan. Betapapun tubuhnya yang lemah itu takkan kuat menahan
terik matahari dan hujan angin. Sekali jatuh sakit susahlah dibayangkan akibatnya. Apalagi
kalau pasukan Bhayangkara itu mengejar tiba, bertempur atau melarikan diri dengan adanya
dia ikut serta pasti kurang leluasa.
Hong-gi cerdik dan cermat, tahu dia apa yang tengah Thian-ih pikir dan kuatirkan. Bola
matanya berputar lantas katanya sambil merengut: "Koko, kalau kau tidak mau bawa aku
biarlah pasukan Bhayangkara itu datang meringkus aku. Tegakah kau membiarkan aku
meringkuk dalam penjara ?"
Apa boleh buat terpaksa Thian-ih harus berpikir panjang, tujuan utama perjalanan kali ini
adalah Ho-bwe-pang di Kanglam, maka segera ia ayun cambuknya bersama Hong-gi mulai
melakukan perjalanan ke selatan.
Tidak mengherankan lagi, kecantikan Hong-gi yang luar biasa ini telah menarik perhatian
orang-orang di sepanjang jalan. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti
pencegatan tokoh-tokoh penjahat semacam Go Hong tempo hari, Thian-ih mengusulkan
supaya Hong-gi mengenakan pakaian laki-laki saja. Memang dengan pakaian laki-laki ini
mereka dapat mengelabui orang. Sejak hari itu mereka melakukan perjalanan sebagai kakak
beradik. Hari itu mereka menginap dalam sebuah hotel. Dilihatnya seluruh tubuh Thian-ih penuh
kotoran debu, sebaliknya dirinya masih putih bersih, diam-diam ia merasa heran, teringat
olehnya bukankah kedua mutiara mestika itu telah dikembalikan kepada Lim Han, lalu dari
mana dan mengapa dirinya sekarang masih dapat menolak kotoran debu itu. Ini benar-benar
aneh, waktu diperiksa buntalannya dan seluruh tubuh kudanya juga bersih tanpa tertempel
sedikit debu pun. Karena heran diam-diam ia memberi tahu kepada Thian-ih, segera mereka
mencari dan menggeledah seluruh perbekalan dan semua yang terbawa termasuk baju yang
dipakainya, tapi kedua mutiara itu masih tidak diketemukan.
Hari kedua waktu berangkat, tanpa sengaja Thian-ih melihat Hong-gi masih mengenakan
anting-anting, Thian-ih tertawa geli ujarnya: "Dik, coba lihat memang kau ini terlalu ceroboh,
sudah berpakaian laki-laki tapi tidak mencopot anting-anting, pasti semua orang yang
melihatmu akan terheran-heran."
Hong-gi terkikik geli juga, cepat ia tanggalkan kedua anting-antingnya, waktu ditimang-timang
ia menjadi heran dan mengawasi kedua anting-antingnya itu dengan kesima, serunya kejut:
"Koko, lihatlah, bukankah ini kedua butir....................." sadar telah kelepasan omong
cepat-cepat ia telan kata-kata selanjutnya.
Thian-ih mengulur tangan menyambuti, memang kedua butir mutiara mestika itulah yang
telah diporotkan menjadi permata kedua anting-anting itu. Diam-diam ia heran dan curiga.
Terang kalau kedua butir mutiara itu telah diserahkan kepada Lim Han, lalu siapa pula yang
mengembalikan dan diganti dengan permata anting-anting Hong-gi. Siapakah yang telah
berbuat demikian usil" Mungkinkah si baju perak yang misterius itu, kalau benar dia lalu apa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
lagi maksud tujuannya " Kini setelah dapat menemukan kedua mutiara mestika ini, dirinya
sudah kadung menjadi pelarian, bagaimana juga tak mungkin menyerahkannya ke kota raja.
Terpaksa setelah kembali dari Kanglam, barulah dititipkan orang untuk menolong Lim Han dari
penjara. Hari itu mereka sampai di Yang-ciu, terpaut dari markas besar Ho-bwepang tidak jauh lagi,
karena terburu nafsu melanjutkan perjalanan Thian-ih kehilangan kesempatan untuk
menginap, kini hari sudah hampir petang, mereka masih dipertengahan jalan, entah adakah
tempat penginapan di depan sana. Untung sepanjang jalanan ini agak sepi, mereka dapat
membedal kuda secepat terbang.
Sepeminuman teh kemudian dari kejauhan tampak disebelah kiri jalan didepan sana pintu
gerbang sebuah perkampungan, cepat-cepat mereka keprak kuda menuju kesana. Pintu
gerbang ditutup rapat, segera Thian-ih maju mengetok pintu dan minta menginap satu malam.
Sipenjaga pintu segera berlari masuk memberi lapor. Sambil menunggu Thian-ih angkat kepala
dilihatnya diatas pintu gerbang terpancang papan nama besar yang bertuliskan empat huruf
emas yang gede-gede, samar-samar dikeremangan malam itu ia membaca "Hong-kiam-san-cheng'' empat huruf tulisan kuno.
Thian-ih terkejut, serunya: "Ternyata perkampungannya Kwi-loya !"
Hong-gi tidak tahu siapakah Kwi-loyacu itu. Maka Thian-ih menerangkan, Kwi-loyacu ini
bernama Kwi Chun, semasa mudanya bekerja sebagai Popiau pada suatu perusahaan expedisi
di Kanglam, namanya sudah menggetarkan kalangan Persilatan, pedang panjang dan senjata
rahasia yang dinamakan buntut kalajengking belum pernah menemui tandingannya, selama
tigapuluh tahun belum pernah terkalahkan, tak heran perusahaannya itu sedemikian besar
sampai selatan dan utara sungai besar, relasinya tersebar dimana-mana, maka dikalangan
persilatan dia diangkat sebagai ketua dari organisasi expedisi diseluruh daerah Kanglam,
karena mengagumi kepandaiannya itu para sahabatnya memberi julukan Thi-piat-kim-liong
(naga mas berpunggung besi).
Pada usia enampuluh tahun Kwi Chun menanggalkan pedang mengundurkan diri dari dunia
persilatan, secara besar-besaran ia umumkan pengunduran dirinya ini kepada semua golongan
dan aliran silat seluruh negeri, bahwa untuk selanjutnya dia tidak akan turut campur lagi segala
urusan tetek bengek dunia persilatan. Sudahlah jamak bagi kaum persilatan yang hidup
dengan sesuap nasi dari penghasilan mengantar barang menanam permusuhan dengan para
penjahat, dan akhirnya mereka pasti mengalami banyak keributan dan hidup tidak tentram
pada hari tuanya. Apalagi seperti Kwi Chun yang namanya sedemikian disanjung puji sebagai
tokoh yang diagungkan, maka pengunduran dirinya itu dianggap tepat dan cerdik.
Tengah Thian-ih memberi keterangan, penjaga pintu sudah keluar lagi dengan seorang
laki-laki, tapi bukan tuan rumah sendiri. Orang ini menyilahkan Thian-ih berdua masuk.
Tampak Thi-piat-kim-liong tengah menanti kedatangannya di ruang tamu yang besar. Setelah
saling memperkenalkan diri, dengan seksama Kwi Chun amat-amati Hong-gi yang berada
disamping Thian-ih. Segera Thian-ih memperkenalkan: "Ini adalah Cu Bing-cu-hiante !"
Takut konangan penyamarannya, Hong-gi segera membungkuk tubuh tanpa membuka suara.
Secara lazimnya Thian-ih mengucapkan terima kasih akan kesediaan tuan rumah yang sudi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menerima kedatangannya. Kwi Chun hanya ganda tersenyum saja sambil suruh pelayan
menyediakan kamar dan segala keperluan. Meskipun dengan ramah ia layani tamunya tapi air
mukanya mengunjuk adanya ganjalan hati yang tengah merisaukan benaknya, keningnya
selalu berkerut seakan ada sesuatu urusan besar yang tengah dipikirkan.
Selagi mereka asyik bicara seorang dayang tiba-tiba melaporkan: "Loya, nona jatuh pingsan
lagi, Hujin minta Loya segera masuk."
Kwi Chun mengulapkan tangannya, katanya tidak sabaran, "Katakan kepada Hujin suruh dia
menyiapkan segala keperluan. Buat apa aku mesti masuk melihat dia meninggal secara
mengenaskan begitu!"
Thian-ih segera berdiri memberi hormat serta ujarnya: "Kami tidak tahu kalau nona sedang
sakit, maaf kalau kedatangan kita ini terlalu mengganggu, silakan paman masuk aku dan
Cu-hiante hanya menginap semalam saja, besok pagi-pagi segera melanjutkan perjalanan.''
Kwi Chun menghela napas panjang, katanya: "Thio hiantit, kalau tidak kujelaskan sikap Lohu
yang tidak genah ini pasti menimbulkan salah paham kalian dianggap aku sengaja
menyepelekan kalian.'' Selang sesaat berkatalah Kwi Chun lebih jauh sambil tertawa getir: "Lohu sudah berusia
enampuluh tahun dan hanya dikaruniai seorang anak perempuan, sungguh tak beruntung
seminggu yang lalu dia terserang penyakit aneh yang susah diobati, jiwanya sudah diambang
pintu akhirat, hatiku menjadi risau........"
Tak tertahan lagi segera Thian-ih bertanya: "Entah nona terserang penyakit apa, masa tiada
obat mujarab untuk mengobatinya."
Sahut Thi-piat-kim-liong menghela napas: "Entah aku ini dulu pernah berbuat dosa apa,
penyakitnya itu adalah bisul berbisa. Menurut kata tabib yang memeriksa bahwa selain ada
Le-hwe-po-cu yang dapat menyedot bisa dan menyembuhkan luka, kasiatnya sangat mujarab
tiada obat lain lagi. Tapi mutiara mestika sedemikian ..........ai!"
Tanpa merasa Thian-ih dan Hong-gi saling pandang, sungguh tak nyana didunia ini ada urusan
yang sedemikian kebetulan, bukankah Le-hwe-po-cu yang dikatakan itu kebetulan berada
pada Hong-gi. Terdengar Kwi Chun berkata lagi: "Kupernah dengar cerita orang katanya di istana raja ada
sebutir mutiara mestika itu, selain butir itu kemana pula harus dicari. Gadisku itu tahun ini
berumur delapanbelas belum ditunangkan, siapa nyana terserang penyakit jahat begitu,
kelihatannya tiada harapan lagi...... Tuhan, oh, Tuhan. Aku Kwi Chun selamanya berlaku lurus
dan bijaksana, mengapa pada hari tuaku ini mendapat pembalasan yang tidak adil ini?" Tak
tertahan lagi Thi-piat-kim-liong yang sudah tua ini menangis sesenggukan terbawa oleh
perasaannya yang sedih dan pilu.
Sekilas Hong-gi melirik kearah Thian-ih, Thian-ih sedikit mengangguk, Hong-gi lantas berkata
lantang: "Paman Kwi tak perlu susah, kebetulan siautit juga membawa serta Le-hwe-pocu,
kalau memang manjur marilah kita coba-coba."
Meskipun berpakaian laki-laki namun suara Hong-gi masih kecil melengking, Kwi Chun
menyangka pendengarannya yang salah, cepat-cepat ia bertanya: "Apa, dimana Le-hwe-pocu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
itu?" "Paman," sahut Thian-ih, "Mungkin sudah takdir, Cu-hiante kebetulan membawa mutiara yang
diperlukan itu, kalau memang manjur kasiatnya lekaslah dicoba saja."
Saking kegirangan Kwi Chun sampai berjingkrak, serunya sambil menggenggam tangan
Hong-gi: "Cu-hiantit, apa betul kau punya mutiara itu?" matanya berlinang-linang sambil
menatap wajah Hong-gi.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hong-gi merasa tangannya kesakitan, tersipu-sipu ia manggut-manggut. Kwi Chun tertawa
keras, teriaknya sambil menarik Hong-gi: "Cu-hiantit marilah kau tolong jiwa gadisku, lekas
ikut aku." Thian-ih tetap tinggal dalam ruangan itu ditemani pembantu rumah tangga Kwi Chun.
Sementara itu Hong-gi terus ditarik masuk keruang belakang, sambil berjalan Kwi Chun
berkaok-kaok : "Kabar baik, kabar baik, tuan penolong sudah datang, lekas beritahukan
kepada Hujin!" Saking keras dan cepat tarikan Kwi Chun, Hong-gi sampai terseret megap-megap masuk ke
sebuah kamar, para pelayan perempuan segera menyingkir mengundurkan diri.
Mereka tiba dalam sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar yang lain, diambang
pintu mereka bertemu dengan seorang nyonya setengah umur, segera Kwi Chun
memperkenalkan. Kiranya nyonya ini adalah istri Kwi Chun sendiri, cepat-cepat Hong-gi
membungkuk tubuh memberi hormat sambil menyebutnya bibi. Sepasang mata Kwi-hujin
mendelong mengawasi wajah Hong-gi, terang dia terpesona akan kecakapan dan gantengnya
wajah yang putih halus ini. Hong-gi sampai kemalu-maluan diawasi sedemikian rupa.
Dari dalam bajunya Hong-gi keluarkan mutiara mestika itu terus diserahkan kepada Kwi Chun
katanya: "Mutiara yang terporot diatas anting-anting ini adalah Le-hwe-cu, bagaimana caranya
penyembuhan ini, maaf Siautit tidak dapat mengerjakan. Sampai disini saja Siautit minta diri,
biar kutunggu hasilnya nanti diruang depan sana." habis memberi hormat terus hendak
mengundurkan diri. Lekas-lekas Kwi Chun menariknya, katanya: "Cu-hiantit, nanti dulu!" lalu ia berbisik-bisik
sekian lama dengan Hujin. Hong-gi tidak tahu apa yang tengah mereka rundingkan. Hanya
dilihatnya Kwi Hujin manggut berulang-ulang.
Kwi Chun mengembalikan mutiara itu ke tangan Hong-gi serta katanya: "Hiantit, menurut
keterangan tabib, Mutiara mestika ini cukup diputar-putar sekitar luka bisul itu pasti racunnya
segera lenyap, cara ini sangat gampang, tabib juga menambahkan lebih baik kalau yang
mengerjakan penyembuhan ini adalah orang muda, maka kami memberanikan diri minta
Hiantit suka merepotkan diri." tanpa menanti jawaban Hong-gi terus ditariknya masuk kedalam
kamar. Dua pelayan dalam kamar itu segera mengundurkan diri, pintu ditutup dari luar.
Dibawah penerangan sinar pelita tampak diatas ranjang celentang seorang gadis remaja yang
bernapas empas-empis tinggal menunggu waktu saja.
Hong-gi maju mendekat, dilihatnya kedua pipi gadis ini merah membara, matanya dipejamkan,
wajahnya cukup cantik jelita, mungkin karena menahan kesakitan keningnya terkerut dalam,
keadaannya diantara sadar dan tiada.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Hong-gi kewalahan, sampai sedemikian jauh terpaksa dia harus turun tangan, pelan-pelan ia
menyingkap kemul terus membuka pakaiannya, diperiksanya luka bisul dibawah pusernya,
bisul sebesar mata uang itu sudah pecah dan mengalirkan darah hitam, sekitarnya merah dan
melepuh, keadaan ini memang sangat menguatirkan.
Sesaat sebelum turun tangan, segera Hong-gi yang cerdik ini paham segala-galanya tentang
maksud Kwi Chun suami istri, mengapa sedemikian besar kepercayaan mereka menyuruh
dirinya yang turun tangan. Setelah bimbang sekian lama akhirnya ia mulai bekerja,
memutar-mutar mutiara mestika itu disekitar luka bisul sampai beberapa kali. Benar juga
warna merah disekitar bisul itu segera lenyap dan kembali berwarna putih seperti sedia kala.
Hong-gi bekerja semakin hati-hati, putarannya semakin diperkecil disekitar bisul itu.
Mutiara penahan api ini memang benar-benar sangat mujarab kasiatnya, pelan-pelan tapi pasti
warna merah yang melepuh itu mulai kempes dan hilang, darah hitam mengalir semakin
banyak, bisul berbisa itu juga rada kempes. Napas sigadis mulai teratur dan normal kembali.
Sampai putaran yang terakhir darah hitam sudah terkuras semua. Bisul itu juga sudah sembuh
kembali, terdengar ia mulai mengeluh dan menggerakkan badan, cepat-cepat Hong-gi
membersihkan noda-noda darah, mengancingkan baju dan menutupi tubuhnya dengan kemul
lagi. Pada saat itu juga kebetulan nona Kwi telah siuman begitu kedua pasang mata saling
pandang, Hong-gi melihat sorot matanya itu mengandung rasa terima kasih tak terhingga, tapi
tampak rada-rada malu. Hong-gi segera mundur mengetok pintu, panggilnya: "Paman dan bibi
Kwi, penyakit nona sudah dapat disembuhkan, harap bukakan pintu, aku mau keluar."
Hari kedua cuaca mendadak menjadi mendung dan hujan lebat. Ini malah kebetulan bagi Kwi
Chun untuk menahan tamu-tamunya menginap semalam lagi dirumahnya. Sedemikian ramah
dan kasih sayang pelayanannya terhadap Thian-ih berdua seakan anak kandung sendiri.
Keruan Thian-ih berdua merasa risi dan tak enak hati, lambat laun mereka menyadari adanya
sesuatu yang ganjil dibelakang tabir pelayanan yang istimewa ini.
Diam-diam Hong-gi berkata kepada Thian-ih: "Kalau kita tidak segera berangkat nanti pasti
timbul urusan yang menyulitkan. Kuyakin Kwi-lothau pasti minta kau menjadi comblang."
Thian-ih sengaja menggoda: "Baik sekali. Betapa gagah dan ganteng adikku ini, setelah
semalam kau tolong jiwa nona Kwi, kalian sudah bersentuhan badan, sudah tentu harus minta
aku menjadi comblang, biarlah nona Kwi itu dinikahkan dengan adik angkatku ini. Dan ini
memang kebetulan, sanguku di perjalanan sudah habis, Kwi-loya ini kaya raya pasti persennya
padaku tidak sedikit nilainya." habis berkata ia bergelak tertawa sepuas-puasnya.
Hong-gi merengut sambil membanting kakinya, omelnya: "Hatiku tengah gugup dan pepat,
sebaliknya kau senang mempermainkan orang."
Tengah mereka ribut berkelakar, seorang pelayan mengetuk pintu melaporkan bahwa
majikannya minta Thio-kongcu keluar menemuinya.
Thian-ih bangun sambil tertawa-tawa, ujarnya: "Bagaimana" Betul tidak, adegan ini sudah
akan dimulai, tunggulah kedatanganku, tanggung ada kabar gembira bagimu."
Saking jengkel dan gugup Hong-gi memburu hendak memukulnya sambil tertawa, dengan
tenang saja Thian-ih membetulkan letak bajunya terus berlari keluar kamar, mengikuti
pelayan itu menemui majikannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Naga mas berpunggung besi sudah menanti kedatangannya di ruang tamu. Melihat Thian-ih
datang, sambil tertawa berseri ia bangkit dan mengajak ngobrol sekadarnya, lambat laun
mereka bicara ke persoalan pokok, mencari tahu riwayat hidup Cu Bing serta keadaan
keluarganya. Thian-ih tertawa geli dalam hati, dengan wajar dan samar-samar saja ia
menerangkan. Agaknya Kwi Chun sangat puas dengan pembicaraan tahap pertama ini, apalagi diketahui dari
keterangan Thian-ih tadi bahwa Cu Bing belum pernah nikah dan belum punya tunangan,
puaslah hatinya, akhirnya dengan menghela napas lega Kwi Chun bicara ke persoalan yang
pokok: "Beruntung ada mutiara mestika yang dibawa Cu-hiantit itu baru anak gadisku dapat
disembuhkan. Mutiara mestika itu betul-betul mujarab, begitu penyakitnya sembuh pagi ini dia
sudah bisa makan bubur, baru saja Lohu pergi melihatnya, semangatnya sudah pulih kembali.
Sejak kecil ia sudah belajar silat dan karena kesukaannya mengenakan pakaian putih, maka di
kalangan Kangouw orang memberi julukan Pek-yan Kwi Tong-ing. Budak kecil ini sangat tinggi
hati, orang biasa tidak akan masuk kedalam perhatiannya, maka meskipun ayu remaja sampai
sekarang belum dapat menemukan jodohnya. Memang Tuhan sungguh Maha Pengasih dan
sudah mengatur jalan hidup seseorang, secara kebetulan bertemu dengan Cu-hiantit..............."
Naga mas punggung besi ini berwatak jujur dan polos, secara terang-terangan ia curahkan isi
hatinya kepada Thian-ih. Bahwa penyakit bisul beracun Kwi Tong-ing itu tumbuh dibawah
pusarnya, mendengar Cu Bing membawa mutiara yang dibutuhkan itu, pula melihat pribadi Cu
Bing yang ganteng dan kenal sopan santun, timbullah keinginan mereka untuk mengambilnya
sebagai menantu, maka sengaja menyuruh dia turun tangan sendiri menyembuhkan penyakit
itu. Kenyataan sekarang penyakit anaknya sudah sembuh seluruhnya, jiwa raga anaknya
bagaimana juga sudah menjadi milik Cu Bing. Anak gadisnya juga sudah setuju akan
perjodohan ini, agaknya pasangan ini memang sangat cocok satu sama lain, maka diharap
Thian-ih suka tolong merangkapkan perjodohan ini. Lalu dikeluarkan sebuah gelang batu Giok,
katanya: "Kalau Cu-hiantit setuju harap dia suka terima gelang ini dan menukarnya dengan
sebuah barang tanda mata sebagai ikatan perjodohan ini. Gelang ini adalah milik anakku yang
selalu dipakainya, harap Ji-chengcu suka memberikan kepada Cu-hiantit..."
Dengan keterangan yang panjang lebar ini disangkanya Thian-ih pasti setuju dan tiada
persoalan lagi. Lahirnya Thian-ih memang tenang dan tertawa-tawa, namun hatinya risau dan
bingung, dalam keadaan yang terdesak, terpaksa ia berkata: "Maksud paman ini memang baik
dan menggembirakan sekali, namun tentang perjodohan ini betapapun harus kutanyakan dulu
kepada Cu-hiantit, entah bagaimana jawabannya nanti?"
Kwi Chun manggut-manggut penuh harapan, katanya tersipu-sipu: "Terima kasih akan jerih
payahmu dan persoalan ini kuserahkan kepada Ji-chengcu saja."
Diam-diam Thian-ih membatin: "Orang tua ini ceroboh dan gegabah. Untung ketemu Hong-gi
yang menyamar jadi pria. Jikalau seorang laki lain yang sudah menikah, bagaimana dengan
nona Kwi Tong-ing itu nanti?" Segera ia berdiri dan minta diri, Kwi Chun mengantarnya sampai
di pelataran tengah. Saat itu Hong-gi tengah menanti tidak sabaran di dalam kamar, begitu melihat Thian-ih
kembali segera ia bertanya: "Bagaimana ?"
Thian-ih tersenyum sambil mengangsurkan gelang batu Giok itu, katanya: "Perjodohan ini
sudah pasti jadi. Sang mempelai adalah Pek-yan (siwalet putih) Kwi Tong-ing yang kenamaan,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
pelajaran silatnya mendapat didikan langsung dari orang tuanya, mungkin juga pandai
menggunakan pedang dan senjata rahasia. Maka menurut aku, Cu-hiante, pemuda macammu
yang lemah tak bertenaga ini, janganlah kelak sampai dihajar oleh mempelai perempuan yang
gagah perkasa. Hahaha !"
Setelah menanyakan duduk persoalannya, Hong-gi berkata sambil mengerutkan kening:
"Koko, bicara terus terang aku sudah menduga akan terjadinya urusan ini. Sekarang lebih baik
kita terangkan secara terbuka saja."
Thian-ih ragu-ragu, ujarnya: "Kalau kita jelaskan, betapa mereka akan kecewa dan putus
harapan ! Siapa tahu bakal timbul hal-hal yang tak terduga, menurut hematku nanti malam,
kalau hujan ini sudah reda kita ngacir saja secara diam-diam."
Semua perbekalan Thian-ih dan Hong-gi sudah dipersiapkan, nanti punya nanti sampai hari
sudah petang hujan masih turun dengan lebatnya. Kwi Chun suami istri mengadakan
perjamuan dan menyuruh gadisnya keluar menyatakan terima kasihnya. Dengan sikap yang
wajar dan tanpa malu-malu nona Tong-ing menuang dua cawan arak lantas dipersembahkan
kepada Hong-gi berdua. Diam-diam Hong-gi mengeluh dalam hati, karena merasa dirinya
selalu dilirik, maka dia segera tundukkan kepala tak berani beradu pandang.
Begitulah perjamuan ini berjalan terus dengan meriahnya, kalau pihak tuan rumah sedemikian
girang dan riangnya, sebaliknya Thian-ih berdua semakin gundah duduk tidak tenang. Sampai
tengah malam, perjamuan baru bubar, sekembali di kamarnya Thian-ih dan Hong-gi duduk
tepekur dengan risau, untung juga menjelang fajar hujan agak reda, inilah kesempatan baik
untuk bolos keluar, maka cepat-cepat mereka tinggalkan gelang batu giok serta menulis
sepucuk surat pernyataan terima kasih dan sekadar penjelasan, lalu secara diam-diam
menuntun keluar kuda mereka terus dipacu sekerasnya ke selatan dibawah hujan rintik-rintik.
Beberapa lama kemudian hari pun sudah mulai terang tanah, dari kejauhan ditengah jalan raya
sebelah depan sana membedal cepat empat ekor kuda, begitu dekat tiba-tiba salah seorang
diantara mereka berteriak sambil menuding Thian-ih: "Itu dia Thio Thian-ih !"
Keruan Thian-ih terkejut, tampak olehnya bahwa mereka adalah para petugas dari kesatuan
Bhayangkari, cepat-cepat ia keprak kudanya memacu dengan kencang. Terdengar ke-empat
penunggang kuda di belakang sudah mengejar dengan kencang pula, pemimpinnya malah
membentak marah: "Thio Thian-ih, seorang kesatria tidak akan melarikan diri ! Hayo berhenti
aku ada omongan yang hendak kutanyakan."
Thian-ih juga berpikir, secepat lari kudanya ini tentu takkan dapat lari jauh, maka segera ia
berpesan kepada Hong-gi: "Dalam keadaan terdesak nanti kau jangan hiraukan aku lagi,
cepat-cepatlah kau lari kembali ke perkampungan Hong-kiam-san-cheng, bawalah mereka
keluar menolong aku disini."
Habis berkata ia menghentikan kudanya dan menanti, sekejap mata saja ke-empat ekor kuda
itu sudah mengejar tiba, begitu dekat pemimpinnya segera maju perkenalkan diri: "Jichengcu
aku adalah Coan-hun-chiu Yu Liat-bong, dan kuperkenalkan lagi ini adalah Chit-sing-to Kiu san,
ini Siau-hun-ho Lu Cau, dan ini adalah Sin-chio-ciang Khu Gi-liong, kita berempat jadi satu
krabat dalam kesatuan Bhayangkari."
Meskipun Thian-ih belum pernah bertemu dengan Yu Liat-bong dan Kiu San, namun nama
julukan mereka sudah pernah didengar di kalangan Kangouw, memang mereka berdua
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bersama Lim Han dan Siu Hoa serta enam orang lainnya termasuk sepuluh jagoan yang paling
jempolan di istana raja. Kedua temannya ini tentu juga bukan sembarang orang. Thian-ih insaf
kalau betul-betul bertempur betapa pun tinggi kepandaiannya tentu takkan kuat bertahan
menghadapi keroyokan mereka berempat.
Terdengar Yu Liat-bong si tangan penembus awan berkata: "Ji-chengcu adalah seorang
kesatria, sudah lama kami dengar namamu yang mulia. Kalau kami mengejar sedemikian
kencang tak lain tak bukan hanya untuk menolong Lim Han yang masih terkurung di penjara
karena penggantian mutiara palsu itu. Sekarang tak peduli kedua mutiara itu kau bekal atau
tidak, kuharap kau suka memberi muka turutlah kita ke kota raja untuk melepaskan Lim Han
yang menderita dalam penjara.........." sejenak ia merandek lalu sambungnya lagi, "Tentang
kematian Siu Hoa, sudah tentu kita sesalkan kepandaiannya yang masih cetek, dan apa boleh
buat. Tapi sayangnya waktu kita periksa jenazahnya, ternyata bahwa pergelangan tangannya
terkena sebatang senjata rahasia yang sangat beracun..............."
Thian-ih terkejut, tanyanya cepat: "Mana ada kejadian begitu, waktu kita bertempur karena
tak sempat lagi menarik tanganku jalan darah di dada Siu-toako kena tertutuk........"
Khu Gi-liong yang berdiri disamping Yu Liat-bong segera membentak dengan sedihnya:
"Bangsat rendah, kau masih hendak mungkir, Ban-seng-to-hoat yang dimainkan pamanku
belum selesai dilancarkan mengapa dia tidak mampu membela diri sampai tertutuk jalan darah
mematikan. Sebab musababnya tidak lain karena pergelangan tangannya sudah terkena
senjata rahasia yang keji, kau kira dapat mengelabui para orang gagah di seluruh dunia" Hm
!" Memang hal ini tidak terpikirkan oleh Thian-ih. Diingat keadaan waktu itu, tenaga dalam sipena
berapi Siu Hoa sangat hebat, sedang tutukan itu hanya gertakan belaka supaya lawan menarik
kembali serangannya. Memang tiga jurus serangan berantai Siu Hoa belum sempat dilancar-
kan habis lantas kena tertutuk mati, sungguh keadaan seperti itu sangat janggal dan
mencurigakan, dipikir-pikir tanpa merasa tubuhnya merinding dan berdiri bulu kuduknya.
Bukan mustahil si baju perak berpedang emas itu pula yang menjadi gara-gara dalam peristiwa
ini" Melihat orang termenung diam, Yu Liat-bong tersenyum ejek: "Ji-chengcu, siapa akan duga
murid kenamaan Kiam-bun-it-ho ternyata bisa berbuat serendah itu membokong orang
dengan senjata rahasia beracun. Ketahuilah Siu Hoa memikul tugas untuk menangkapmu,
sebetulnya ada permusuhan apa dengan kau, sampai sedemikian tega kau turun tangan
keji......... Sekarang, keponakan Siu Hoa, Khu Gi-liong ini sudah datang, kita beramai ingin
minta pertanggungan jawabmu !"
Thian-ih menjawab dengan lantang: "Tuan-tuan harap dengarkan dulu penjelasanku.
Sebetulnya aku Thio Thian-ih belajar di Kiam bun-san belum tamat lantas keluar dari
perguruan sebab kematian engkohku Thio Thian-ki yang dianiaya itu. Karena besar hasratku
hendak menuntut balas maka aku berkelana di kalangan Kangouw, setiap kali aku bertanding
dengan orang meskipun ilmu silatku rendah, selalu aku hanya bersenjata pedang dan
bertempur secara jantan, belum pernah berlaku keji dan serendah itu, apa lagi menggunakan
senjata rahasia beracun yang jahat itu....................."
Bantah Khu Gi-liong dengan sedih: "Tatkala itu hanya kau dan pamanku saja yang sedang
bertempur, jikalau bukan kau berlaku licik, lalu siapa yang melepas senjata rahasia itu" Masa
senjata rahasia itu bisa terbang sendiri mengeram dalam pergelangan tangan pamanku........"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih ragu-ragu, lalu sahutnya: "Sebetulnya aku tiada niat hendak melukai saudara Siu Hoa,
waktu itu serangan tiga jurus berantai yang dilancarkan itu belum selesai, aku turun tangan
hanya menggertak dia supaya merobah cara permainannya, tak terduga sedikitpun ia tidak
menangkis atau mengelak malah menerjang langsung ke depan sampai aku gelagapan dan tak
sempat menarik pulang tutukanku yang tepat mengenai di dadanya. Kalau dipikirkan memang
keadaan waktu itu rada-rada janggal dan aneh, mungkin ada seseorang sembunyi dan
membokong, maka akulah yang menjadi kambing hitamnya............."
"Kentut !" bentak Khu Gi-liong, "Siapa mau percaya obrolanmu itu !"
Kata Thian-ih lagi: "Tentang kedua butir mutiara itu, baru beberapa saat tadi diketemukan di
anting-anting nona Hong gi, kalian boleh ambil kembali untuk..............."
Ucapannya ini membuat keempat orang itu berjingkrak, Chit-sing-to Kiu San segera
membentak: "Thio Thian-ih, kau tak perlu obral mulutmu yang manis itu. Kau sendiri sudah
mengaku kalau mutiara itu berada di tangan kalian, apa lagi yang perlu diperdebatkan ! Terang
dengan sengaja kau menukar yang tulen dengan yang palsu untuk menipu Lim Han. Tapi kau
masih berani membangkang dan melawan petugas hukum yang hendak meringkusmu, malah
membunuh Siu Hoa lagi dengan alasan mutiara itu tak berada di tanganmu."
"Waktu itu memang kami belum tahu kalau mutiara itu masih ada." demikian Thian-ih coba
menerangkan, "Entah siapa yang menjadi gara-gara memporotkan kedua mutiara itu kedalam
hiasan anting-anting nona Hong-gi..............."
Yu Liat-bong si tangan penembus awan tertawa ejek: "Ji-chengcu, betapapun ucapan yang
menipu orang ini kita takkan mau percaya. Urusan dinas ini harus kau patuhi dan kalian ikut
kita ke kota raja." "Mutiara dapat kami serahkan, tapi kami takkan ikut pergi, karena kami masih ada urusan
penting." Si tombak sakti Khu Gi-liong menghardik gusar: "Bangsat kurcaci, kau masih berani melawan
Sumpah Palapa 29 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Ilmu Ulat Sutera 9