Raja Penyihir Sinting 2
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting Bagian 2
lan, berdesak-desakan di muka pintu, dan melon-
gok keluar dari jendela untuk melihat siapa orang yang berteriak-teriak itu.
Juga mendengarkan ka-ta-kata yang diucapkannya.
Nenek ini ketukkan tongkatnya tiga kali ke
tanah. Kemudian berkata lagi.
"Camkanlah, kata-kataku ini! Dan dengar-
kan baik-baik! Bila kalian menginginkan musibah
ini segera berakhir, lakukanlah apa yang aku pe-
rintahkan tadi! Dan... yang kedua, kalian harus
memberikan separuh dari hasil sawah dan ladang
kalian setiap musim panen!"
Seorang laki-laki beranjak mendekati wani-
ta tua renta itu. Dan dengan memberanikan diri
dia berkata. "Apapun syarat itu akan kami penuhi...!
Tetapi sampai kapankah kami akan menaruh se-
sajen dan memberikan separuh dari hasil sawah
dan ladang kami" Juga dimana kami harus mele-
takkan sesajen, dan kemana kami harus memba-
wa separuh hasil bumi itu?" Laki-laki ini bernama Prawira. Dia baru beberapa
hari menetap di desa
itu, karena mendengar laporan dari keluarganya
mengenai kejadian aneh yang menimpa desa ke-
dua orang tuanya. Prawira adalah murid dari Pe-
santren Sawung Galing yang berada di kaki Gu-
nung Honje. Orang tuanya adalah kepala desa di
desa itu. Nenek ini tatapkan matanya pada laki-laki
berpakaian serba putih itu. Kemudian perdengar-
kan suara tertawa terkekeh. Lalu menjawab per-
tanyaan itu. "Hik hik hik... mengenai lamanya aku be-
lum bisa menentukan. Sesajen itu harap kalian
letakkan di samping rumah dengan digantung!
Dan hanya dilakukan setiap malam Jum'at saja,
dengan mempersembahkan pada Peri Ratu Ke-
muning yang diniatkan dalam hati dan diucapkan
dengan kata-kata. Sedangkan separuh hasil bumi
kalian antar ke hutan di sebelah Timur sana. Le-
takkan di sekeliling sebuah batu besar yang ter-
dapat di situ...!" sahut si nenek tua renta dengan suara nyaring.
Sejurus lamanya Prawira tertegun. Diam-
diam hatinya terkejut, karena jelas hal itu meru-
pakan suatu hal yang disebut musyrik dalam
agama yang dianutnya. Hal ini serupa dengan
menyembah Iblis! Batu besar di dalam hutan itu
memang ada terdapat di tempat itu. Apakah batu
besar itu kini sudah dikuasai Peri Ratu Kemuning
seperti yang dikatakan nenek tua itu. Kalau sya-
rat-syarat yang dikatakan si nenek adalah menju-
rus ke arah kesesatan, berarti Peri Ratu Kemun-
ing adalah serupa dengan makhluk Iblis! Diam-
diam dia justru mencurigai nenek itu yang tak di-
ketahui dari mana asalnya. Dan dia berpendapat
adanya suatu muslihat tersembunyi yang diguna-
kan untuk memeras penduduk, disamping meru-
sak keimanan manusia terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Saat itu si nenek kembali perdengar-
kan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"Hihik...hik...hik... tampaknya kau ragu-
ragu, orang muda! Bagiku tak soal dengan mau
atau tidaknya kalian mengerjakan syarat itu, ka-
rena aku hanya akan menolong kalian! Akan te-
tapi bila kalian tak memenuhi persyaratan itu,
aku khawatir musibah lainnya yang lebih mena-
kutkan akan menimpa penduduk desa ini!" kata si nenek. Selesai berkata mendadak
sesuatu telah terjadi di depan mata penduduk desa itu. Tubuh
si nenek tiba-tiba lenyap berubah menjadi gum-
palan asap putih. Ketika asap melenyap... terden-
gar suara mengikih tanpa ujud. Suara tertawa itu
kian lama kian menjauh, hingga akhirnya lenyap.
Para penduduk serentak berlompatan ke-
luar dari masing-masing pondok. Beberapa orang
memburu ke arah Prawira. Diantaranya terdapat
ayahnya yaitu kepala desa itu.
"Suatu hal yang sangat aneh, ayah...!" kata Prawira menatap laki-laki tua,
ayahnya. "Hal ini sangat aneh! Aku curiga nenek tua renta itu bu-kannya mau
menolong penduduk, akan tetapi ju-
stru mau menjerumuskan ke arah kesesatan yang
nyata, dan ke lembah kesengsaraan yang lebih
parah...!"
"Aku sendiri tak mengetahui siapa nenek
tua itu. Tapi jelaslah dia bukan seorang manusia
biasa, karena dapat melenyapkan diri seperti han-
tu. Tapi... hm, marilah kita bicara di rumah saja!"
Pak Bajo membubarkan para penduduk yang
mengerumuni mereka, dengan memberi nasihat
agar tenang, dan jangan terburu-buru mengambil
keputusan seperti yang disarankan nenek tua
renta itu. Sementara dia akan mencari jalan ke-
luar dari kejadian ini, serta munculnya musibah
di desa itu. Atau mungkin akan meminta bantuan
seorang Kyai yang dapat menangkal atau mengu-
sir wabah kutukan.
Selesai membubarkan para penduduk, ke-
duanya bergegas kembali ke rumah. Sementara
para penduduk segera kembali ke pondoknya
masing-masing dengan seribu pertanyaan dalam
benak. Siapakah nenek tua aneh itu" Apakah
seorang dukun sakti" Ataukah makhluk dedemit
penunggu hutan" Dan bermacam tafsiran lainnya
memenuhi kepala. Namun semua itu tak mampu
mereka memecahkannya...
7 Sore itu... seekor kuda keluar dari halaman
rumah kepala desa, berpenunggang seorang laki-
laki. Dialah Prawira. Pemuda berusia tiga pulu-
han tahun ini membedal kudanya dengan cepat
ke arah barat. Agaknya Prawira mengejar waktu,
sehingga dia melarikan kudanya dengan melebihi
kecepatan yang biasa dia lakukan. Tampak wa-
jahnya diliputi ketegangan yang luar biasa.
"Aku harus cepat tiba di kaki Gunung
Honje secepatnya untuk melaporkan kejadian ini.
Tapi sebaiknya aku menyimpang dulu ke Desa
Bojong Manik, mengabarkan hal ayah sakit men-
dadak pada paman Gagak Wulung!" kata. Prawira dalam hati dengan perasaan tidak
tenteram. Dan dilarikan kudanya sekencang-kencangnya bagai
dikejar setan. Saat itu sebuah bayangan putih berkelebat
dari dalam hutan bagaikan sebuah bayangan
hantu yang bergerak secepat hembusan angin.
Prawira tersentak kaget, karena tahu-tahu ku-
danya meringkik keras dan mengangkat kaki de-
pannya. Nyaris dia terjungkal kalau dia bukan
seorang yang ahli menunggang kuda. Kejadian
aneh itu membuat Prawira terheran juga terkejut.
Tak biasanya kuda tunggangannya berbuat demi-
kian. Prawira berusaha menjinakkan binatang itu
dengan menghentakkan kaki ke perut kuda serta
melecut binatang itu sambil menghardik-hardik.
Tapi kuda itu terus melonjak-lonjak dengan
memperdengarkan ringkikan tiada henti.
Laki-laki itu hampir hilang akal. Disaat itu-
lah tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik,
dibarengi dengan munculnya sesosok bayangan
putih di hadapannya. Ternyata bayangan putih
itu adalah seorang wanita berbaju serba putih
dengan ikat pinggang warna hitam. Rambutnya
terurai sampai melebihi bahu. Prawira tersentak
kaget. "Hihihi... kau hendak kemana Prawira....?"
"Siapakah kau?" bentak Prawira. Heran ju-ga terkejut laki-laki ini karena tak
mengenali wanita itu, yang mengetahui namanya. Juga kemun-
culannya yang seperti hantu.
"Hihi... Prawira! Aku tahu kau murid Kyai
Rangga Jati! Kau tak mengenalku, tapi aku men-
genalmu, karena aku pernah diusir dari Pesant-
ren Sawung Galing!" menyahut wanita itu. Prawira tersentak kaget. Sepasang
matanya membela-
lak. "Kau... Galuh Ranti...?" sentak Prawira. Dia memang ada mendengar Kyai
Rangga Jati pernah
mempunyai seorang murid yang diusir dari Pe-
santren Sawung Galing, karena bertingkah laku
tidak senonoh, sehingga membuat malu orang tua
itu. Kejadian itu telah lewat lebih sepuluh tahun
yang silam. Prawira hanya mendengar dari Kyai
Rangga Jati yang menceritakan hal kejadian itu
kepadanya. "Benar apa yang kau duga itu! Aku me-
mang Galuh Ranti! Tentu Kyai Rangga Jati telah
menceritakan padamu!"
"Hm, apa maksudmu menghadangku?"
tanya Prawira. Diam-diam dia sudah punya pira-
sat tidak baik dengan kemunculan wanita itu.
"Hihi... aku hanya mau bertanya, akan ke-
manakah kau" Tampaknya kau sangat tergesa-
gesa?" sahut Galuh Ranti dengan sikap sangat genit. Usia wanita ini kira-kira
sekitar tiga puluh lima tahun. Dari sikap dan dandanannya yang
berpupur tebal serta alis hitam dan bibir bergin-
cu, sudah dapat diterka kalau dia seorang wanita
jalang. Apalagi Prawira telah mengetahui watak
serta perbuatannya yang mencemarkan nama
Kyai Guru Rangga Jati, hingga sampai mengusir
wanita muridnya itu.
"Aku akan ke Pesantren Sawung Galing
menemui Kyai Guru! Ada hal penting yang akan
aku sampaikan...! Kuharap kau memberi jalan
dan tak menggangguku, Galuh Ranti!" sahut Prawira. Sementara kudanya telah
kembali tenang.
Entah hal apakah yang membuat binatang itu ti-
ba-tiba meringkik keras dan nampak seperti ke-
takutan. "Hal penting apakah hingga kau nampak
begitu tergesa-gesa" Kalau boleh aku mengetahui.
Hm, siapa tahu aku bisa membantumu...?"
"Aku tak dapat mengatakannya! Hm, apa-
kah kau berani datang ke Pesantren Sawung Gal-
ing setelah kau diusir oleh Guru?" Wanita itu tertawa dingin, seraya menyahut.
"Mengapa tidak" Mari kita kesana bersa-
ma-sama! Sudah lama aku tak melihat pesantren
itu, apakah murid Kyai Rangga Jati semakin ber-
tambah" Dan tentu keadaan di sana telah banyak
berubah sejak aku tinggalkan..." Prawira jadi me-lengak. Tak menyangka kalau
Galuh Ranti mena-
warkan diri untuk turut bersama ke Pesantren
Sawung Galing. Dan tanpa disadari tatapan mata Galuh
Ranti yang mengandung kekuatan ghaib telah be-
kerja untuk mempengaruhi laki-laki itu. Saat itu
Prawira yang tadinya tak mau memperdulikan
wanita itu, mendadak merasa suatu kekuatan
aneh yang telah memaksa dia menatap pandan-
gan mata Galuh Ranti, hingga dia tertegun mema-
tung. Kekuatan yang hebat itu ternyata mampu
merobah pandangan mata lawan menjadi pudar.
Prawira seperti merasa pikirannya menjadi ko-
song. Dan satu bisikan halus tiba-tiba menyelinap ke daun telinganya.
"Prawira...! Tak tahukah kau bahwa aku
sangat mencintaimu" Aku sudah jatuh hati pa-
damu sejak kau datang ke Pesantren Sawung Gal-
ing. Sayang aku dicemburui oleh Somala anak
angkat Guru pada sepuluh tahun yang lalu, hing-
ga aku difitnah bahwa aku telah mengadakan hu-
bungan badan dengannya. Padahal tujuannya
adalah agar segera dinikahkan padanya. Tapi ju-
stru aku telah diusir dari pesantren! Aku tak
mencintainya, Prawira...! Dan sampai saat ini aku masih mencintaimu... Apakah
kau akan membiarkan aku merana mendendam cinta sampai
kulit tubuhku menjadi keriput" Lihatlah aku
Prawira! Aku masih cantik, bukan" Dan sampai
saat ini aku masih perawan. Tak seorang laki-
lakipun yang menyentuh diriku. Karena aku ma-
sih mengharapkan kau..."
Kata-kata bermadu mengandung bisa itu
menyelinap ke telinga Prawira dan menyentakkan
hati laki-laki ini hingga terpana. Dan satu kekuatan ghaib telah membuat pemuda
ini perlahan- lahan turun dari punggung kudanya. Kemudian
melangkah mendekati wanita itu.
"Kau... kau memang masih sangat cantik,
Galuh Ranti. Masih cantik seperti dulu..." berkata Prawira dengan suara mendesis
dan mata tak berkejap menatap wanita di hadapannya. Dalam
pandangannya Galuh Ranti bahkan telah berubah
menjadi seorang gadis yang sangat cantik luar bi-
asa. Disaat itulah tiba-tiba lengan Galuh Ranti
bergerak cepat menotok tubuh laki-laki itu. Akan
tetapi sebelum lengannya menyentuh tubuh Pra-
wira, mendadak terdengar bentakan keras.
"Perempuan bejat!"
"Whuuuk...!" Mendadak sambaran angin
keras telah membuat tubuh wanita ini terhuyung
ke samping hingga gerakan tangannya luput un-
tuk menotok Prawira. Dan tahu-tahu sesosok tu-
buh telah muncul di tempat itu. Prawira tersadar
seketika dari pengaruh kekuatan ghaib wanita
itu. Sebaliknya Galuh Ranti berubah pucat wa-
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahnya melihat siapa orang yang telah berdiri di
hadapannya. "Guru...!" teriak Prawira dengan wajah girang. "Prawira! menyingkirlah! Murid
durhaka bukan tandinganmu!" berkata kakek tua berjubah hijau dengan tasbih di
tangannya itu. "Kyai Rangga Jati...!?" sentak Galuh Ranti dalam hati. Akan tetapi dia telah
melompat berdiri tegak dengan sikap waspada.
"Bagus! Aku tak perlu datang ke Pesantren
Sawung Galing untuk membalas perlakuanmu
mengusir diriku, kakek tua!" berkata Galuh Ranti dengan suara dingin.
"Hm, setelah kau menuntut ilmu dengan
seorang manusia sesat berilmu setan, apakah
masih juga mau merusak muridku yang lain?"
berkata Kyai Rangga Jati dengan sikap tenang.
"Hihihi.... syukurlah kalau kau mengeta-
hui! Aku bebas menentukan pilihanku setelah
kau usir dari pesantren! Dan kau datang hanya
akan mengantar nyawa, kakek tua sok suci! Ke-
tahuilah, sejak hari itu kau mengusirku, aku san-
gat mendendam. Dan dendam itu tak akan lenyap
sebelum aku menghancurkan orang-orang Pe-
santren Sawung Galing termasuk dirimu!" teriak Galuh Ranti dengan suara lantang.
Prawira tersentak dari pengaruh hebat
yang telah menyeret dirinya, dan hampir saja dia
kena perangkap halus wanita itu, kalau gurunya
tak muncul di tempat itu. Sesaat antaranya dia
tertegun. Tapi segera melompat ke hadapan Ga-
luh Ranti dengan membentak keras.
"Perempuan setan! Hampir saja kau mem-
pengaruhi diriku untuk berbuat maksiat dengan-
mu! Sebelum kau menghancurkan kami, langka-
hilah mayatku terlebih dulu!" Prawira secepat kilat mencabut keris di balik
bajunya, dan mener-
jang wanita itu. Kyai Rangga Jati berteriak mem-
beri peringatan. Akan tetapi terlambat. Galuh
Ranti gerakkan sepasang lengannya ke depan.
Cahaya kuning membersit... Detik itu juga ter-
dengar teriakan Prawira. Tubuhnya terhuyung ke
belakang. Sepasang mata laki-laki itu membela-
lak. Dia merasakan sekujur tubuhnya seperti dis-
engat ratusan binatang berbisa. Dan samar-
samar pandangan matanya melihat ratusan kala
menggerumuti sekujur tubuh.
"Ilmu iblis..." sentak Prawira dengan terperangah. Akan tetapi saat itu juga
tubuhnya ter- jungkal roboh, dan berkelojotan sekarat. Dan da-
lam waktu singkat setelah meregang nyawa, laki-
laki itupun hembuskan nafasnya. Ratusan kala
itu lenyap berbareng dengan lenyapnya kabut uap
kuning pada tubuh Prawira.
Kyai Rangga Jati terperanjat. Dia sudah
mengetahui kalau Galuh Ranti muridnya itu telah
menjadi murid seorang tokoh berilmu sesat. Dan
dia sudah menduga Prawira bukanlah tandingan-
nya. Akan tetapi dia tak sempat menahan laki-
laki itu yang menerjang Galuh Ranti setelah sece-
pat kilat mencabut kerisnya.
"Perempuan bejat! Ternyata hatimu begitu
telengas! Kau benar-benar telah menjadi hamba
iblis!" bentak Kyai Rangga Jati dengan melangkah mundur setindak. Diam-diam dia
mempersiapkan diri dengan membaca kalimat-kalimat suci dalam
hati. Jari lengannya tak berhenti menghitung biji tasbih. "Hihi...hi... kelak
nyawamupun akan me-nyusul murid-muridmu, Kyai! Saat ini aku mem-
biarkan kau hidup untuk sementara...!" berkata Galuh Ranti. Mendadak tubuhnya
lenyap berubah jadi gumpalan asap putih, dan lenyap dari pan-
dangan mata Kyai Rangga Jati.
Laki-laki tua ini terperangah, dalam desis
suaranya memuji asma Tuhan. Sesaat dia terpa-
ku menatap pada mayat muridnya. Hatinya diam-
diam tersentak mendengar kata-kata Galuh Ranti
tadi. Kyai Rangga jati teringat pada anak angkat-
nya, Somala yang belum kembali ke pesantren se-
jak mohon diri untuk menyambangi saudaranya
ke kampung halamannya. Somala pergi dengan
tiga orang murid laki-lakinya.
Pada saat itulah sebuah bayangan berkele-
bat muncul. "Sobat Kyai...! Pergilah tinggalkan tempat
ini. Serahkan perempuan iblis dan gurunya pada-
ku! Biar aku yang menumpas kedua manusia ter-
kutuk itu!" terdengar suara bernada besar dan parau. Alangkah terkejutnya Kyai
Rangga jati ketika melihat di tempat itu telah berdiri seorang
kakek katai berjubah putih berkepala besar, men-
cekal tongkat berbentuk bulan sabit di bagian
ujungnya. "Ah...!" Kiranya anda sobat Badubala, si
Tongkat Bulan Sabit!" berkata Kyai Rangga Jati ketika mengenali kakek katai ini.
Kaum dunia Rimba Hijau memang mengenal siapa adanya ka-
kek katai ini. Yaitu seorang tokoh yang sering
memisahkan diri dari kemelut dunia persilatan,
seperti juga Kyai Rangga Jati. Pergi dan muncul-
nya tak lain karena suatu sebab. Yaitu mencari
isterinya yang dilarikan orang, atau melarikan diri dengan orang lain. Selama
lebih dari empat puluh
tahun hidupnya digunakan untuk mengembara
ke setiap pelosok. Selama puluhan tahun itu telah dua kali dia merambah wilayah
ini. Rupanya hanya berputar-putar saja di sekeliling wilayah
Pulau Jawa sampai hampir habis usianya. Sung-
guh dia seorang yang harus dikasihani. Dimana
dia muncul selalu membawakan sajak melalui se-
nandungnya. Hingga bila mendengar suara se-
nandung yang kalimatnya itu-itu juga, orang lan-
tas tahu siapa yang datang. Bagi yang sudah ser-
ing berjumpa. Kyai Rangga Jati dengan menun-
dukkan kepala. Tiba-tiba dia mengerutkan kening
seraya menatap pada kakek katai itu.
"Sobat Badubala... Aku yang lebih banyak
menggembleng murid-muridku dalam keagamaan,
tak mengerti dan tak banyak mengetahui lagi ten-
tang keadaan dunia Rimba Hijau. Apakah kau
yakin kejadian yang melanda di beberapa tempat
dalam wilayah ini adalah perbuatan isterimu dan
muridnya?"
"Hm, walau aku belum yakin benar, tapi
sudah kukatakan aku telah mengendus bau tu-
buhnya! Maka, kukira sebaiknya kau kembali sa-
ja ke kaki Gunung Honje sambil menguburkan
jenazah muridmu! Mengenai kejadian di tempat
ini adalah urusanku!" kata si kakek katai. Sejenak Kyai Rangga Jati tercenung,
tapi kemudian berkata. "Kalau begitu, baiklah, sobatku...! Dan te-
rima kasih atas bantuanmu.,.!" Selesai berkata Kyai Rangga Jati melompat
menghampiri ke arah
mayat Prawira. Kemudian memondong tubuh la-
ki-laki itu, dan dibawanya berkelebat tanpa meno-
leh lagi. Kakek katai ini menatap sampai sosok tu-
buh Kyai tua itu lenyap dari pandangan mata. Se-
saat dia menghela nafas, kemudian menekan
ujung tongkatnya. Dan bagaikan sebuah boneka
sebesar bocah kecil, tubuh kakek katai melayang,
kemudian lenyap tak kelihatan lagi...
8 Galuh Ranti berkelebat bagaikan sebuah
bayangan hantu ke arah hutan setelah sebelum-
nya menebarkan uap kabut kuning ke arah ru-
mah kepala desa. Sementara tubuh wanita telen-
gas itu lenyap merambas hutan, di dalam rumah
kepala desa terdengar suara jeritan seorang wani-
ta. "Tidak! Oh, tidaaak! Tidaaaaak....!" Wanita isteri kepala desa ini melihat
ratusan kala berke-rumun di sekujur tubuh suaminya. Dengan mata
membelalak dia melihat kejadian aneh itu. Dan
menjeritlah wanita ini ketakutan melihat sua-
minya meregang sekarat berkelojotan di atas
pembaringan. Selang sesaat, nyawa laki-laki ke-
pala desa itupun melayang. Dan... robohlah wani-
ta ini tak sadarkan diri setelah mengetahui sua-
minya tewas. Beberapa orang penduduk melompat ke-
luar dari dalam pondoknya. Lalu berlari ke arah
rumah besar kepala desa. Apa yang dilihat oleh
mereka membuat terperanjat beberapa laki-laki
ini. Dilihatnya isteri kepala desa dalam keadaan
pingsan tergeletak di pintu kamar. Sedangkan di
dalam kamar tampak kepala desa dalam keadaan
tewas dengan sekujur tubuh penuh dengan ratu-
san kala dan binatang berbisa lainnya. Tentu saja mereka segera berlarian
keluar, tanpa sempat
menggotong tubuh wanita tua itu.
Sesosok bayangan melesat di samping ru-
mah, dan tahu-tahu telah berada di jendela ka-
mar kepala desa itu. Ternyata tak lain dari si kakek katai. Mata kakek katai ini
tertuju pada mayat laki-laki kepala desa itu. Bibirnya berdesis.
"Keparat! Murid si Peri Ratu Kemuning
sungguh keterlaluan! Hm, kini sudah saatnya
memusnahkan kedua manusia guru dan murid
itu!" Selesai mendesis geram, tubuhnya berkelebat lenyap dari jendela kamar
tanpa seorangpun
yang mengetahui.
Menjelang malam tampak suatu kejadian
aneh terjadi di dalam hutan itu. Entah sejak ka-
pan berdirinya, tahu-tahu telah tersembul sebuah
istana terbuat dari batu-batu yang kokoh kuat,
dengan tiga buah menara yang menjulang ke lan-
git. Sebuah istana aneh yang tampak seperti da-
lam sebuah dongeng... Tapi hal itu tampak jelas
di depan mata si kakek katai yang memandang
dengan mata membelalak dan terperangah...
"Istana iblis...!" sentak Badubala si Tongkat Bulan Sabit dengan suara mendesis.
Berdiri di atas cabang pohon kayu besar dengan mata
membelalak lebar, kakek katai ini tertegun mema-
tung. Di saat yang sama sesosok bayangan ber-
kelebat di sisi hutan. Gerakannya ringan sekali.
Akan tetapi si kakek katai telah dapat mengetahui kemunculan orang itu. Matanya
yang besar berkejap-kejap memandang ke bawah ke arah sosok
bayangan itu. "Hm, siapa lagi yang muncul di malam be-
gini" Manusia atau dedemit?" Berdesis si kakek katai. Mendadak tubuhnya melesat,
dan lenyap di kegelapan. Sementara itu sosok tubuh yang muncul di
sisi hutan itu, tengah tertegun menatap ke celah
semak belukar. Di antara keremangan cahaya bu-
lan dia telah melihat adanya sebuah istana aneh
yang memiliki tiga buah menara tinggi. Siapa
adanya orang ini adalah seorang laki-laki yang
membungkus kepalanya dengan jilbab warna hi-
tam. Berkumis dan berjenggot lebat berwarna ke-
coklatan. Mengenakan jubah berlengan panjang
berwarna gelap.
"Istana aneh! Istana gaib! Sungguh menak-
jubkan!" Terdengar laki-laki itu berkata sendiri.
Mendadak tubuh laki-laki berjilbab ini melesat ke udara, dan bersalto dua kali.
Tahu-tahu lenyap
tak kelihatan kemana berkelebatnya. Hal itu ter-
nyata tak luput dari pandangan mata si kakek ka-
tai yang memperhatikan dari tempat gelap di balik semak. "He" Begitu cepatnya
dia menghilang"
Aneh! Kukira mataku masih tajam untuk melihat
jelas walaupun keadaan bagaimana gelapnya se-
kalipun..." berkata si kakek katai dalam hati. Sebagai seorang tokoh Rimba Hijau
yang sudah ka- wakan dan berilmu tinggi, walau jarang menga-
lami pertarungan, tapi kakek ini bermata tajam.
Gerakan sehalus apapun dapat dilihatnya di da-
lam gelap. Tapi kali ini dia benar-benar terkejut, karena tak melihat gerakan
laki-laki berjilbab itu kemana arahnya. Tahu-tahu lenyap di depan ma-ta.
"Hm, aku tak tahu dia kawan atau lawan...
Tapi dari kata-katanya dia juga terheran melihat
kemunculan istana aneh itu! Sebaiknya aku tak
terburu-buru bertindak. Ingin kulihat, apakah
esok pagi istana aneh itu akan lenyap lagi" Du-
gaanku keras bahwa semua ini adalah ulah per-
buatan seorang perempuan tukang sihir yang ku-
duga adalah isteriku" memikir dan berkata dalam hati si kakek katai. Kemudian
diapun berkelebat
dari sisi hutan itu...
* * * Sementara itu di atas salah sebuah menara
istana aneh tampak tersembul sebuah kepala seo-
rang wanita... Ternyata kepala si nenek tua renta yang tadi siang berteriak-
teriak di tengah desa.
Tampak nenek ini memandang ke bawah menara,
mengawasi hutan yang mengelilingi istana itu.
"Heheh...hik...hik... tak seorangpun akan
mengira Peri Ratu kemuning adalah aku sendiri.
Dan takkan seorangpun mengira kalau akulah si
penyebar bencana itu! Bagus...! Muridku Galuh
Ranti dapat diandalkan untuk melenyapkan ma-
nusia-manusia pembangkang yang mau mengha-
langi cita-citaku! Akan kudirikan sebuah kerajaan di atas kekuasaanku. Kekuasaan
seorang manusia penghamba iblis! Karena aku merasa iblis te-
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah banyak membantuku! Semakin banyak pengi-
kutku akan bertambah panjanglah usiaku, dan ...
hihik...hihik...hik... aku akan kembali menjadi
muda dan cantik lagi..!" berkata wanita tua bungkuk itu, dan tertawa terkekeh-
kekeh. Mendadak seekor burung gagak terbang
dari arah luar sambil bersuara keras memekik-
mekik. Burung gagak ini hinggap di pundak si
nenek bungkuk. "Ada apa, manis..." Mengapa kau berteriak-
teriak" Katakanlah! Apakah ada sesuatu yang kau
lihat diluar sana?" bertanya si nenek pada burung gagak itu. Burung gagak
bagaikan mengerti pertanyaan nenek tua renta itu sambil memekik-
mekik terbang dari jendela menara. Tahulah si
nenek bahwa ada sesuatu yang telah membuat
burung gagak peliharaannya bersikap demikian.
Nenek ini mendengus, dan berdesis.
"Heh! Siapa manusianya yang berani me-
masuki pintu gerbang istanaku, berarti dia ingin
cepat mengantar nyawa...!" Sekejap tubuh Peri Ratu Kemuning lenyap jadi gumpalan
asap putih. Tahu-tahu telah berada di bagian bawah, tepat di
depan pintu gerbang. Akan tetapi mendadak se-
pasang mata nenek tua ini membelalak lebar, dan
wajahnya berubah kaget. Apakah yang dilihat-
nya" Ternyata burung gagak peliharaannya tam-
pak terkapar mati menggeletak di tanah.
"Hah! Apa yang telah terjadi?" sentak wanita tua ini dengan suara berteriak
kaget. "Gagakku... oh, gagakku...?"?" teriaknya sambil berkelebat dan lengannya
menjumput bangkai burung yang barusan terbang ke bawah
menara itu. Tapi kini dijumpai dalam keadaan tak
bernyawa lagi. Saat itu sebuah bayangan berkele-
bat dari arah dalam ruangan.
"Apakah yang telah terjadi. Guru...?" Ternyata Galuh Ranti adanya. Tersentak
kaget wani- ta ini melihat bangkai burung gagak peliharaan
gurunya telah menjadi bangkai.
"Keparat! Siapakah yang telah melakukan-
nya. Guru" Biar aku membekuk manusianya!"
berkata Galuh Ranti dengan wajah geram.
"Heh! Cari keparat itu di sekitar istana!"
berkata Peri Ratu Kemuning dengan suara lan-
tang. Burung Gagak ditangannya dibantingnya ke
tanah. Akan tetapi terjadi sesuatu keanehan yang
seumur hidup baru terjadi di depan matanya. Bu-
rung gagak itu ternyata berubah menjadi sebuah
batu. Baik si nenek maupun Galuh Ranti sama
terkejut. "Keparat! Aku tertipu! Hm, ternyata ada
manusia yang telah memiliki ilmu sihir menelu-
sup kemari. Siapakah dia?" sentak Peri Ratu Kemuning dengan wajah berubah
mengelam. "Siapakah orangnya. Guru" Apakah kira-
kira kau mengetahui?" Sejurus lamanya si nenek tercenung. Mendadak dia
berjingkrak dan meng-gerung dengan suara keras. "Keparat! Kurang
ajar...! Apakah dia si pemilik sihir putih?"
"Siapa yang kau maksudkan. Guru?" tanya Galuh Ranti. Nenek ini tak menjawab,
tapi segera merapal mantera-mantera. Mendadak bulan se-
perti lenyap disaput kabut hitam yang datang
bergulung-gulung. Dan perlahan-lahan istana
aneh itupun lenyap tertutup kabut hitam. Semua
jadi gelap pekat.
Ketika rembulan kembali muncul... tampak
istana aneh itu telah lenyap sirna. Tempat itu
kembali menjadi hutan rimba yang lebat seperti
asalnya. Dan kedua perempuan penganut ilmu ib-
lis itupun lenyap pula entah kemana perginya...
Saat itu di atas dahan sebuah pohon besar,
tampak si laki-laki berjilbab yang berdiri menjublak terpaku, karena melihat
istana aneh yang
membuat dia terheran dan terkagum-kagum telah
lenyap sirna dari pandangan mata. Laki-laki ber-
jilbab ini garuk-garuk tengkuknya yang tidak gat-
al, kemudian lengannya mengusap kumis dan
jenggotnya. Aneh! Seketika jenggot dan kumis le-
bat berwarna kecoklatan itu tahu-tahu lenyap.
Siapa adanya laki-laki ini" Ketika dia melepaskan
jilbabnya, ternyata dia seorang pemuda berambut
gondrong. Dan siapa adanya orang berjubah ini
tiada lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.
"Heh...! Aku tak boleh kehilangan jejak ke-
dua perempuan iblis itu! Jelas nenek tua renta itu adalah si Peri Ratu Kemuning,
si penguasa ilmu
sihir hitam seperti petunjuk suara gaib si Raja
Penyihir Sinting! Sungguh luar biasa hebatnya il-
mu hitam perempuan tua itu... Hm, aku harus
berhati-hati agar tak terperangkap jebakan mere-
ka..." berdesis Nanjar.
"Rupanya ada seseorang pula yang men-
gincar nyawa Peri Ratu kemuning dan muridnya.
Kakek katai yang pernah kujumpai bersenandung
di atas bukit itu, ternyata berada di wilayah ini.
Haha... bagus! Dia bisa dijadikan teman untuk
melabrak perempuan-perempuan iblis penyebar
bala itu!" kata Nanjar dalam hati. Tubuhnyapun berkelebat lenyap dari dahan
pohon itu... 9 Kakek Katai Badubala membentak keras.
Tubuhnya mendadak berkelebat dari atas wu-
wungan rumah...
"Perempuan kuntilanak! Berhenti kau!"
Bayangan putih yang berkelebat memasuki mulut
desa itu mendadak terhenti karena sesosok tubuh
telah berdiri menghadang. Tersentak kaget wanita
berpakaian serba kuning ini melihat seorang ka-
kek katai telah berdiri dengan tatapan mata tajam
bagai menembus jantung menghalangi jalan. Ter-
nyata dia seorang gadis berbaju kuning berwajah
cantik. "Siapakah kau, kakek pendek katai" Aku tak mengenalmu! Mengapa kau
menyebutku perempuan kuntilanak" Dan tahu-tahu mengha-
dang langkah orang?" tanya gadis ini dengan
menjungkatkan alisnya.
"Heh...heh.... tak perlu kau menyamar se-
gala dengan ilmu sihir hitammu! Aku telah men-
genali bau tubuhmu, walaupun sudah empat pu-
luh tahun kau merat (minggat) dari sisiku, karena kabur dengan laki-laki lain!"
bentak si kakek katai dengan suara dingin. "Tampakkan wajah asli-mu. Papulini!
Aku Badubala masih berhak meng-
hukummu karena perbuatanmu itu, dan minta
ampunlah kepada Tuhan sebelum aku membu-
nuhmu. Karena kau telah bersekutu dengan iblis,
dan menebar bencana di muka bumi ini!"
"Hihi...hi... bagus! matamu tajam, Baduba-
la! Akan tetapi kau cuma inginkan kematian! Per-
soalan masa silam sudah lama basi! Akan tetapi,
aku masih punya rasa kasihan padamu, Baduba-
la! Seharusnya kau tahu diri untuk tak terus
mengejarku... Tahukah kau bahwa aku menikah
denganmu empat puluh tahun yang lalu adalah
cuma berpura-pura saja?" sahut gadis ini. Selesai berkata tiba-tiba asap putih
mengepul... Dan sosok tubuh gadis cantik itu telah berubah menjadi
seorang nenek tua bungkuk.
"Hihik... hik... Badubala! Lihatlah ujud asliku! Aku telah menjadi seorang tua
bungkuk, buruk dan tak enak untuk dipandang. Tapi den-
gan ilmuku yang hebat, aku bisa merubah diri
menjadi seorang gadis jelita berusia belasan ta-
hun...!" "Perempuan iblis! Tadinya aku mengira kau
akan sadar setelah menjelang usia tua! Sean-
dainya kau tak mempelajari ilmu sesat dan meng-
gunakannya untuk kejahatan dan kemaksiatan,
mungkin aku masih bisa memaafkanmu. Tapi
kau sudah bukan manusia lagi!" bentak si kakek katai dengan mata mendelik. Dan
dia sudah tak dapat menahan kemarahannya yang tersimpan
selama empat puluh tahun. Kakek ini mengge-
rung keras. Tongkat bulan sabitnya menyambar
dahsyat! "Whuuuk..."
"Blasssh!"
Nenek tua bungkuk gerakkan lengannya
mengibas. Ujung lengan jubah menghantam men-
tal tongkat si kakek katai. Sebelah lengannya
menghantam dengan pukulan yang membersitkan
uap kuning. Akan tetapi si kakek katai telah men-
celat ke udara. Gerakan itu dibarengi dengan ten-
dangan kaki ke arah kepala si nenek. Terkejut
wanita tua ini karena angin yang membersitkan
kekuatan tendangan yang hebat bertenaga dalam
penuh dari sebelah kaki kecil si kakek katai. Akan tetapi secepat itu pula
rambutnya mendadak menyambar untuk menggubat kaki lawan. Kakek ka-
tai terkejut. Secepat kilat dia menahan serangan.
Gerakan ini disusul dengan hantaman pangkal
tongkat ke arah batok kepala si nenek.
"Keparat!" maki perempuan tua ini. Men-
dadak dia melenyapkan diri menjadi gumpalan
asap... "Bhuk!" Satu hantaman keras tahu-tahu membuat tubuh si kakek katai
terjungkal dan terlempar berguling-guling. Dan terdengar suara ter-
tawa-tertawa terkekeh tanpa ujud.
"Hihik...hik... mampuslah kau, Badubala!"
Kakek katai mengeluh panjang. Sesaat dia terpa-
na dengan wajah menyeringai menahan sakit pa-
da punggungnya yang seperti dihantam palu. Pu-
kulan itu seperti membuat beku aliran darahnya.
"Manusia bejat! Aku akan adu jiwa den-
ganmu!" bentaknya. Kakek katai rentangkan kedua tangannya. Menyambarlah kilatan
sinar pu- tih ke arah depan.
"Bhumm!" Terdengar ledakan keras meng-
guntur. Itulah jurus pukulan Halilintar yang telah dilontarkan si kakek katai.
Ternyata sepasang
mata kakek ini entah menggunakan ilmu apa, dia
dapat melihat di mana adanya sosok tubuh si ne-
nek bungkuk. Ternyata wanita tua bekas isterinya
itu telah merentangkan pula kedua lengannya.
Uap kuning menyambar ke depan, dan terjadilah
ledakan tadi. Bersamaan dengan terdengarnya ledakan
itu, tampak tubuh si nenek terhuyung beberapa
langkah ke belakang. Tapi akibatnya sangat fatal
bagi si kakek katai. Tubuhnya terlempar belasan
tombak. Wanita tua bungkuk yang menggelari di-
rinya si Peri Ratu Kemuning ini tampak menye-
ringai. Wajahnya agak memucat, dan setetes da-
rah mengalir di sudut bibirnya. Disaat itulah terdengar suara teriakan seorang
wanita. "Guru...!" Dan sebuah bayangan putih berkelebat muncul di tempat itu. Ternyata
yang da- tang adalah Galuh Ranti. Wanita ini menatap gu-
runya dengan tersentak kaget.
"Apa yang terjadi, Gitru..." Siapa yang telah melukaimu?" Belum lagi nenek tua
itu menjawab, terdengar gemboran suara bentakan keras di belakangnya. Wanita ini
balikkan tubuh dengan ce-
pat, dan lengannya menghantam...
"Blug!" Terdengar jeritan merobek udara diiringi terlemparnya tubuh. Ternyata
entah sejak kapan datangnya seorang laki-laki berbaju hitam
telah muncul dan menyerang wanita itu.
"Kau... Somala...?" sentak Galuh Ranti menatap pada laki-laki yang tergeletak di
tanah me- nyeringai kesakitan. Sebuah pedang tampak ter-
geletak tak jauh di dekatnya. Keadaan laki-laki itu sangat mengenaskan, karena
beberapa tulang dadanya remuk. Cairan darah mengalir membasahi
bajunya yang hancur di bagian depan.
"Kau... perempuan bejat! Kau... telah mem-
bunuh Prawira. Sungguh keji hatimu... perem-
puan iblis..." terputus-putus suara laki-laki ini ketika berkata menatap Galuh
Ranti dengan mata
membelalak. "Hihi... kau terlalu gegabah menyerang dari
belakang, Somala,...! Sayang... tadinya aku masih mengharapkan kau, tapi kini
tak mungkin lagi!"
sahut wanita ini. Sebelah lengannya terulur. Dan
menyambarlah uap kuning ke arah laki-laki itu.
Uap kuning yang aneh itu sekejap telah mem-
bungkus tubuh Somala. Selang sesaat terjadilah
kengerian yang berlangsung di depan mata. Uap
kuning mendadak berubah menjadi ratusan ekor
kala dan binatang berbisa yang menyengat dan
mematuk sekujur tubuh laki-laki itu. Somala ber-
teriak menyayat hati. Tubuhnya berkelojotan me-
regang nyawa. Selang tak lama jiwa pemuda ma-
lang itupun melayang
10 Sementara kejadian tadi tengah berlang-
sung, seorang pemuda gondrong entah sejak ka-
pan telah berdiri beberapa tombak di tempat itu.
Sepasang lengannya menyangga tubuh si kakek
katai. Entah bagaimana ketika si kakek katai tadi terlempar belasan tombak
akibat benturan pukulan tenaga dalam yang telah dipapaki oleh Peri
Ratu Kemuning. "Pemuda gagah... siapakah kau..." berkata si kakek katai dengan nafas memburu.
Dia me-rasai sekujur tubuhnya seperti digigiti ratusan
semut dan sekujur tulang terasa ngilu, akibat
benturan kedua arus tenaga dalam tadi. Akan te-
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi sesaat antaranya ada hawa aneh yang telah
membuat rasa sakit itu lenyap. Ketika membuka
mata kakek katai tertegun karena tubuhnya be-
rada dalam pondongan seorang pemuda berambut
gondrong. "Aku adalah orang yang kau temui tadi ma-
lam di sisi hutan itu, kakek...!" menyahut si Dewa Linglung. Tertegun Badubala
mendengarnya. Matanya membelalak lebar menatap wajah si pemu-
da. "Tapi kulihat wajahmu penuh jembros dan
kumis lebat...?" sanggah si kakek katai.
"Haha... aku cuma mengenakan kumis dan
jenggot palsu, sobat kakek pendekar... Oh, ya!
Bukankah kau yang bergelar si Tongkat Bulan
Sabit" Aku pernah menjumpaimu beberapa bulan
yang lalu ketika kau naik di punggung seekor ke-
ledai tua..." sambung Nanjar. Kemudian menu-
runkan kakek katai itu ke tanah.
"Dari mana kau mengetahui julukanku?"
sentak si kakek katai. Akan tetapi sebelum Nanjar menjawab, mendadak bersyiur
angin keras menyambar ke arah mereka.
Nanjar gerakkan lengan mendorong tubuh
kakek katai itu, sedangkan dirinya sendiri berke-
lebat ke samping dengan gerakan terhuyung. Ter-
nyata serangkum angin berhawa panas telah me-
nyerang mereka. Rambasan angin itu disusul
dengan bentakan keras si nenek bungkuk.
"Bocah edan! Katakan apa hubunganmu
dengan si tua bangka Raja Penyihir Sinting?" Ta-hu-tahu di hadapan mereka telah
berdiri si nenek
Peri Ratu Kemuning.
"Hai, nenek bau kentut! Lebih baik kau
merubah ujudmu jadi perawan ompong saja kalau
mau berhadapan denganku!" teriak Nanjar den-
gan hati mendongkol. Karena hampir saja dia ke-
na sambaran pukulan uap kuning kalau tak ber-
gerak cepat menghindarkan diri.
"Kunyuk sinting! Jawab pertanyaanku se-
belum kukirim jiwamu ke liang Akhirat, atau ku
penjarakan seumur hidup seperti si Raja Penyihir
Sinting!" bentak nenek tua ini dengan menggeram marah karena ucapan si Dewa
Linglung. Diam-diam dalam hati pemuda ini tersentak mendengar
keterangan yang tanpa sengaja keluar dari mulut
wanita iblis itu.
"Jadi si Raja Penyihir Sinting dipenjarakan
seumur hidup oleh nenek bau kentut ini?" berkata Nanjar dalam hati.
Karena yang ditanya diam menjublak, ne-
nek ini membentak lagi.
"Bocah gendeng! cepat katakan siapa kau
sebenarnya?"
"Nenek sombong! Tak perlu kau mengeta-
hui siapa diriku, dan apa hubunganku dengan
orang yang kau sebutkan tadi! Katakan padaku di
mana kau menyekap orang tua itu?" kata Nanjar.
Peri Ratu kemuning tertawa terkekeh, kemudian
berkata. "Kalau kau mau bergabung dengan diriku,
aku akan memberitahukan! Kau pastilah murid-
nya. Dan kaulah orangnya yang telah mengecoh
aku tadi malam! Hihik..hik.. kau cukup tampan
untuk menjadi pendampingku, bocah gagah!" Seraya berkata itu diam-diam Peri Ratu
Kemuning mulai mempergunakan ilmu tenungnya melalui
pandangan matanya yang menyorot tajam mena-
tap pemuda itu. Diam-diam diapun ingin menge-
tahui apakah benar pemuda itu yang telah men-
gecohnya menyihir sebuah batu hingga seperti
seekor burung gagak yang telah mati" Hal itu
sangat membuat terkejut dirinya, karena tak per-
nah dia mengalami kekeliruan dalam penglihatan.
Nyata ilmu orang yang mengecohnya tidak di ba-
wah ilmu sihir hitam yang dimiliki. Dia telah
menduga suatu kemungkinan orang itu memiliki
ilmu sihir putih. Dan ilmu sihir putih itu hanya berada pada sebuah kitab yang
sampai saat ini
tak diketahui di mana adanya. Hanya si Raja Pe-
nyihir Sintinglah yang mengetahui. Untuk itulah
dia telah menyekap si Raja Penyihir Sinting di dalam penjara bawah tanah hingga
hampir sembilan
belas tahun, karena laki-laki itu tak mau berga-
bung dengannya.
Saat itu si kakek katai tertegun melihat pe-
rubahan sikap gondrong yang tampak terpaku
dengan mata menatap wanita iblis bekas iste-
rinya. Rasa khawatir menyelinap di hati Badubala
pada pemuda yang telah menolongnya itu. Diam-
diam dia mengumpulkan sisa-sisa tenaga dalam
yang dimilikinya. Akibat gempuran tadi telah me-
lenyapkan sebagian tenaga dalam, dan membuat
dia terluka dalam. Ternyata dia telah mengetahui
kalau nenek tua itu mulai main ilmu hitam untuk
mempengaruhi si pemuda dengan kekuatan pan-
caran matanya. Dengan membentak keras, tiba-tiba kakek
katai menerjang... Kedua lengannya menghantam
ke depan, mengirim pukulan Halilintar. Akan te-
tapi didetik itu sebuah bayangan putih berkele-
bat. Sebelum sinar putih meluncur dari kedua te-
lapak tangannya, kakek katai perdengarkan jeri-
tan parau. Tubuhnya terlempar ke samping ber-
gulingan. Ternyata Peri Ratu Kemuning telah ge-
rakkan lengannya menghantam dengan pukulan
tenaga dalam yang telah dipersiapkan ke arah si
Tongkat Bulan Sabit. Gerakannya ternyata lebih
cepat dari serangan si kakek katai, karena diam-
diam nenek tua ini sudah menduga akan hal itu.
Berbareng dengan terlemparnya tubuh Ba-
dubala, sebuah bayangan putih berkelebat mun-
cul. Ternyata Galuh Ranti. Wanita ini membentak
marah. "Kakek katai! Kau mau main curang?" Ketika itu juga dari lengannya
menyambar uap kun-
ing ke arah si kakek katai yang tubuhnya baru
saja berhenti berguling. Tak ampun lagi uap kun-
ing merambas tubuh si kakek katai. Namun ber-
bareng dengan kejadian itu, terdengar jeritan me-
nyayat hati ketika didetik yang bersamaan tam-
pak kilatan sinar putih membias udara... Apakah
yang terjadi" Ternyata teriakan menyayat hati itu terdengar dari mulut Galuh
Ranti. Gadis ini terhuyung ke depan dan roboh terjungkal. Tampak
sebuah keris telah terhunjam di punggungnya.
Ketika dengan tak terduga Galuh Ranti bergerak
bangkit, tampak ujung keris telah menembus ke
dada. Pucat pias wajah wanita ini. Sementara itu
di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh berju-
bah hijau. Siapa adanya orang tak lain dari Kyai
Rangga jati. "Keparat...! kau... kau... kubunuh kau
Kyai...!" menggembor Galuh Ranti bagai seekor harimau terluka. Tubuhnya mendadak
bangkit berdiri. Sepasang lengannya menggetar terentang
untuk mengirim pukulan kearah laki-laki tua be-
kas gurunya itu. Akan tetapi untaian tasbih di
tangan Kyai Rangga Jati telah menyambar terle-
bih dulu. "Kau tak layak hidup lagi, murid murtad!"
membentak Kyai Rangga Jati. Kilatan sinar tasbih
menyambar... Galuh Ranti menjerit sekali lagi.
Dan kali ini terkapar tak bangkit lagi.
Sementara itu Peri Ratu Kemuning yang
mengadu kekuatan mata dengan Nanjar berhasil
memaksa pemuda itu melangkah mendekat.
Sayang disaat dia berhasil mempengaruhi pemu-
da itu dengan kekuatan tenungnya, kakek katai
Badubala telah mengecoh, hingga kekuatan ilmu
hitamnya mengendur. Apa yang dihadapi Nanjar
ternyata sangat mencengangkan. Karena pemuda
itu melihat sosok tubuh di hadapannya berubah
sangat menyeramkan. Nenek tua bungkuk itu be-
rubah ujud menjadi makhluk mengerikan berke-
pala empat. Lidahnya menjulur panjang mengelu-
arkan lendir yang berbau busuk.
Empat lidah telah menjulur ke arah si De-
wa Linglung untuk menggubat tubuhnya. Akan
tetapi ketika si kakek katai tadi menerjang wanita itu, tiga lidah mendadak
lenyap, juga empat buah
kepala yang menyeramkan itu tinggal sebuah lagi.
Hal ini telah menguntungkan Nanjar. Karena dis-
aat yang membuat dia tercengang itu satu gelom-
bang kekuatan dahsyat yang tak terlihat telah
merambas dan membelenggu kaki dan tangannya
hingga tak dapat digerakkan.
Tatapan mata nenek itu telah menegang-
kan urat syarafnya hingga dia tak mampu merap-
al mantera untuk melepaskan diri. Nyaris bahaya
besar dialami si Dewa Linglung. Disaat ketiga li-
dah lenyap, dia berhasil melepaskan diri dari be-
lenggu ghaib dan syarafnya terbuka. Dilihatnya
lidah makhluk yang tinggal sebuah itu menyam-
bar ke arah leher. Sedangkan di lain saat kedua
lengan Peri Ratu Kemuning yang telah berubah
menjadi sepasang lengan berbulu dengan kesepu-
luh jarinya yang berkuku runcing mencengkeram
ke arah batok kepalanya.
Di detik bahaya maut itulah si Dewa Lin-
glung berkelebat ke samping. Dan secepat kilat
dia telah mencabut pedang mustika Naga Merah
dari balik punggung. Detik berikutnya tampak ki-
latan cahaya merah merambas udara...
"Jrosss!" Terdengarlah teriakan parau
mengerikan merambah udara. Pedang mustika
Naga Merah berhasil menublas punggung mak-
hluk yang mengerikan itu. Darah menyembur dari
luka di punggung makhluk itu ketika Nanjar me-
nyentakkan pedangnya.
"Grrr... keparat! Kuremukan kau...!" teriak makhluk itu. Tapi lagi-lagi kilatan
cahaya merah berkelebat. "Cras! Cras! Cras!" Darah memercik ber-
hamburan. Tampak kejadian yang sangat menge-
rikan. Tubuh makhluk itu terpotong menjadi be-
berapa bagian. Akan tetapi bagian kepala mak-
hluk itu yang putus sebatas leher kembali melun-
cur ke arah si Dewa Linglung.
Lidahnya menyambar...! Dan dari sepasang
matanya meluncur kilatan sinar biru. Namun se-
belum sinar biru itu menyambar ke tubuh si De-
wa Linglung terdengar bentakan halus diiringi ba-
caan suara tasbih memuji kebesaran Tuhan. Si-
nar hijau menyambar ke arah kepala makhluk
itu. Ternyata itulah serangan untaian tasbih di
tangan Kyai Rangga Jati yang mengakhiri perta-
rungan. Terdengar suara letupan keras. Kepala
makhluk itu berubah jadi gumpalan asap hitam.
Keadaan tiba-tiba jadi berubah. Cuaca menjadi
gelap gulita. Bumi serasa bergoncang. Petir me-
nyambar-nyambar di angkasa, dibarengi bertiup-
nya angin keras...
Ketika cuaca kembali terang seperti se-
mula, tampak tubuh mengerikan yang terpotong-
potong itu telah berubah menjadi potongan tubuh
si nenek tua renta. Batok kepalanya hancur, dan
wajahnya tak berbentuk lagi.
Sesaat keadaan menjadi hening... Nanjar
terpaku menatap dengan hati bergidik ngeri. Keli-
hatannya kejam, tapi apa boleh buat. Dia terpak-
sa harus melakukan. Dan kematian manusia iblis
itupun telah dibantu oleh Kyai Rangga Jati. Orang tua ini beranjak mendekati
Nanjar setelah me-mungut tasbihnya yang tergeletak di tanah.
"Kyai aku kagum dengan ilmu yang kau
miliki. Nyaris aku menemui bahaya, dan aku ma-
sih sangsi dan bingung, bagaimana menumpas
makhluk yang mengerikan penjelmaan nenek tua
itu?" kata Nanjar. Matanya menatap potongan tubuh Peri Ratu Kemuning.
"Ah, tak ada dalam dunia ini ilmu yang he-
bat! Semua ilmu itu milik Tuhan Pencipta Alam
Semesta. Iblis pun diciptakan oleh Tuhan. Maka
hanya kemurahan Tuhanlah, hingga kita bisa
menumpas manusia yang telah dikuasai iblis
ini...!" sahut Kyai Rangga Jati. Nanjar manggut-manggutkan kepala. Mendadak
Nanjar teringat
pada si kakek katai yang turut punya andil dalam
pertarungan menumpas dua perempuan iblis itu.
Segera dia gamit lengan Kyai Rangga Jati,
dan mendahului berkelebat. Mereka menjumpai si
kakek katai Badubala telah tewas dengan mata
meram. Agaknya kematiannya belum lama, kare-
na di saat pertarungan itu terjadi dia masih bisa pentang mata dengan nafas
tersengal menyaksi-kan kejadian di depan matanya. Dan dia merasa
puas meninggalkan alam fana, setelah mengeta-
hui kematian manusia iblis bekas isterinya yang
telah meninggalkan dirinya empat puluh tahun
yang silam. * * * Matahari telah condong di arah Barat. Pe-
gunungan seperti tegaknya pagar biru dan hijau
yang menampakkan kedamaian hati. Nanjar ber-
pisah dengan Kyai Rangga Jati, setelah mereka
menguburkan jenazah kakek katai Badubala dan
seorang murid laki-laki yang juga anak angkatnya
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bernama Somala itu. Dua mayat perempuan iblis
itu juga ditimbun disatu lubang.
"Kini akan pergi kemanakah aku...?" ber-gumam si Dewa Linglung. Lengannya meng-
garuk-garuk tengkuknya. Mendadak Nanjar me-
rasa perutnya geli bagai digelitik. Dia merogohkan lengannya ke balik baju,
ketika lengannya keluar
lagi seekor tikus putih tampak bergelantung den-
gan kepala di bawah karena ujung ekornya dijepit
dua jari lengannya.
"Haha... kau lapar, manis" Hehe... akan
kucarikan makanan buatmu!" kata Nanjar sambil tertawa. Nanjar melangkah pergi
sambil mema-sukkan binatang itu ke sela bajunya. Ingatan si
Dewa Linglung melayang jauh ke tanah bersalju
di mana tikus putih itu telah mengganggu keme-
sraannya bersama gadis asing bermata biru.
"Ah, Yulian... seandainya kau berada di
sampingku..." desisnya sambil tersenyum-senyum sendiri....
TAMAT https://www.facebook.com/Du
niaAbuKeisel Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Naga Pembunuh 12 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Amarah Pedang Bunga Iblis 5
lan, berdesak-desakan di muka pintu, dan melon-
gok keluar dari jendela untuk melihat siapa orang yang berteriak-teriak itu.
Juga mendengarkan ka-ta-kata yang diucapkannya.
Nenek ini ketukkan tongkatnya tiga kali ke
tanah. Kemudian berkata lagi.
"Camkanlah, kata-kataku ini! Dan dengar-
kan baik-baik! Bila kalian menginginkan musibah
ini segera berakhir, lakukanlah apa yang aku pe-
rintahkan tadi! Dan... yang kedua, kalian harus
memberikan separuh dari hasil sawah dan ladang
kalian setiap musim panen!"
Seorang laki-laki beranjak mendekati wani-
ta tua renta itu. Dan dengan memberanikan diri
dia berkata. "Apapun syarat itu akan kami penuhi...!
Tetapi sampai kapankah kami akan menaruh se-
sajen dan memberikan separuh dari hasil sawah
dan ladang kami" Juga dimana kami harus mele-
takkan sesajen, dan kemana kami harus memba-
wa separuh hasil bumi itu?" Laki-laki ini bernama Prawira. Dia baru beberapa
hari menetap di desa
itu, karena mendengar laporan dari keluarganya
mengenai kejadian aneh yang menimpa desa ke-
dua orang tuanya. Prawira adalah murid dari Pe-
santren Sawung Galing yang berada di kaki Gu-
nung Honje. Orang tuanya adalah kepala desa di
desa itu. Nenek ini tatapkan matanya pada laki-laki
berpakaian serba putih itu. Kemudian perdengar-
kan suara tertawa terkekeh. Lalu menjawab per-
tanyaan itu. "Hik hik hik... mengenai lamanya aku be-
lum bisa menentukan. Sesajen itu harap kalian
letakkan di samping rumah dengan digantung!
Dan hanya dilakukan setiap malam Jum'at saja,
dengan mempersembahkan pada Peri Ratu Ke-
muning yang diniatkan dalam hati dan diucapkan
dengan kata-kata. Sedangkan separuh hasil bumi
kalian antar ke hutan di sebelah Timur sana. Le-
takkan di sekeliling sebuah batu besar yang ter-
dapat di situ...!" sahut si nenek tua renta dengan suara nyaring.
Sejurus lamanya Prawira tertegun. Diam-
diam hatinya terkejut, karena jelas hal itu meru-
pakan suatu hal yang disebut musyrik dalam
agama yang dianutnya. Hal ini serupa dengan
menyembah Iblis! Batu besar di dalam hutan itu
memang ada terdapat di tempat itu. Apakah batu
besar itu kini sudah dikuasai Peri Ratu Kemuning
seperti yang dikatakan nenek tua itu. Kalau sya-
rat-syarat yang dikatakan si nenek adalah menju-
rus ke arah kesesatan, berarti Peri Ratu Kemun-
ing adalah serupa dengan makhluk Iblis! Diam-
diam dia justru mencurigai nenek itu yang tak di-
ketahui dari mana asalnya. Dan dia berpendapat
adanya suatu muslihat tersembunyi yang diguna-
kan untuk memeras penduduk, disamping meru-
sak keimanan manusia terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Saat itu si nenek kembali perdengar-
kan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"Hihik...hik...hik... tampaknya kau ragu-
ragu, orang muda! Bagiku tak soal dengan mau
atau tidaknya kalian mengerjakan syarat itu, ka-
rena aku hanya akan menolong kalian! Akan te-
tapi bila kalian tak memenuhi persyaratan itu,
aku khawatir musibah lainnya yang lebih mena-
kutkan akan menimpa penduduk desa ini!" kata si nenek. Selesai berkata mendadak
sesuatu telah terjadi di depan mata penduduk desa itu. Tubuh
si nenek tiba-tiba lenyap berubah menjadi gum-
palan asap putih. Ketika asap melenyap... terden-
gar suara mengikih tanpa ujud. Suara tertawa itu
kian lama kian menjauh, hingga akhirnya lenyap.
Para penduduk serentak berlompatan ke-
luar dari masing-masing pondok. Beberapa orang
memburu ke arah Prawira. Diantaranya terdapat
ayahnya yaitu kepala desa itu.
"Suatu hal yang sangat aneh, ayah...!" kata Prawira menatap laki-laki tua,
ayahnya. "Hal ini sangat aneh! Aku curiga nenek tua renta itu bu-kannya mau
menolong penduduk, akan tetapi ju-
stru mau menjerumuskan ke arah kesesatan yang
nyata, dan ke lembah kesengsaraan yang lebih
parah...!"
"Aku sendiri tak mengetahui siapa nenek
tua itu. Tapi jelaslah dia bukan seorang manusia
biasa, karena dapat melenyapkan diri seperti han-
tu. Tapi... hm, marilah kita bicara di rumah saja!"
Pak Bajo membubarkan para penduduk yang
mengerumuni mereka, dengan memberi nasihat
agar tenang, dan jangan terburu-buru mengambil
keputusan seperti yang disarankan nenek tua
renta itu. Sementara dia akan mencari jalan ke-
luar dari kejadian ini, serta munculnya musibah
di desa itu. Atau mungkin akan meminta bantuan
seorang Kyai yang dapat menangkal atau mengu-
sir wabah kutukan.
Selesai membubarkan para penduduk, ke-
duanya bergegas kembali ke rumah. Sementara
para penduduk segera kembali ke pondoknya
masing-masing dengan seribu pertanyaan dalam
benak. Siapakah nenek tua aneh itu" Apakah
seorang dukun sakti" Ataukah makhluk dedemit
penunggu hutan" Dan bermacam tafsiran lainnya
memenuhi kepala. Namun semua itu tak mampu
mereka memecahkannya...
7 Sore itu... seekor kuda keluar dari halaman
rumah kepala desa, berpenunggang seorang laki-
laki. Dialah Prawira. Pemuda berusia tiga pulu-
han tahun ini membedal kudanya dengan cepat
ke arah barat. Agaknya Prawira mengejar waktu,
sehingga dia melarikan kudanya dengan melebihi
kecepatan yang biasa dia lakukan. Tampak wa-
jahnya diliputi ketegangan yang luar biasa.
"Aku harus cepat tiba di kaki Gunung
Honje secepatnya untuk melaporkan kejadian ini.
Tapi sebaiknya aku menyimpang dulu ke Desa
Bojong Manik, mengabarkan hal ayah sakit men-
dadak pada paman Gagak Wulung!" kata. Prawira dalam hati dengan perasaan tidak
tenteram. Dan dilarikan kudanya sekencang-kencangnya bagai
dikejar setan. Saat itu sebuah bayangan putih berkelebat
dari dalam hutan bagaikan sebuah bayangan
hantu yang bergerak secepat hembusan angin.
Prawira tersentak kaget, karena tahu-tahu ku-
danya meringkik keras dan mengangkat kaki de-
pannya. Nyaris dia terjungkal kalau dia bukan
seorang yang ahli menunggang kuda. Kejadian
aneh itu membuat Prawira terheran juga terkejut.
Tak biasanya kuda tunggangannya berbuat demi-
kian. Prawira berusaha menjinakkan binatang itu
dengan menghentakkan kaki ke perut kuda serta
melecut binatang itu sambil menghardik-hardik.
Tapi kuda itu terus melonjak-lonjak dengan
memperdengarkan ringkikan tiada henti.
Laki-laki itu hampir hilang akal. Disaat itu-
lah tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik,
dibarengi dengan munculnya sesosok bayangan
putih di hadapannya. Ternyata bayangan putih
itu adalah seorang wanita berbaju serba putih
dengan ikat pinggang warna hitam. Rambutnya
terurai sampai melebihi bahu. Prawira tersentak
kaget. "Hihihi... kau hendak kemana Prawira....?"
"Siapakah kau?" bentak Prawira. Heran ju-ga terkejut laki-laki ini karena tak
mengenali wanita itu, yang mengetahui namanya. Juga kemun-
culannya yang seperti hantu.
"Hihi... Prawira! Aku tahu kau murid Kyai
Rangga Jati! Kau tak mengenalku, tapi aku men-
genalmu, karena aku pernah diusir dari Pesant-
ren Sawung Galing!" menyahut wanita itu. Prawira tersentak kaget. Sepasang
matanya membela-
lak. "Kau... Galuh Ranti...?" sentak Prawira. Dia memang ada mendengar Kyai
Rangga Jati pernah
mempunyai seorang murid yang diusir dari Pe-
santren Sawung Galing, karena bertingkah laku
tidak senonoh, sehingga membuat malu orang tua
itu. Kejadian itu telah lewat lebih sepuluh tahun
yang silam. Prawira hanya mendengar dari Kyai
Rangga Jati yang menceritakan hal kejadian itu
kepadanya. "Benar apa yang kau duga itu! Aku me-
mang Galuh Ranti! Tentu Kyai Rangga Jati telah
menceritakan padamu!"
"Hm, apa maksudmu menghadangku?"
tanya Prawira. Diam-diam dia sudah punya pira-
sat tidak baik dengan kemunculan wanita itu.
"Hihi... aku hanya mau bertanya, akan ke-
manakah kau" Tampaknya kau sangat tergesa-
gesa?" sahut Galuh Ranti dengan sikap sangat genit. Usia wanita ini kira-kira
sekitar tiga puluh lima tahun. Dari sikap dan dandanannya yang
berpupur tebal serta alis hitam dan bibir bergin-
cu, sudah dapat diterka kalau dia seorang wanita
jalang. Apalagi Prawira telah mengetahui watak
serta perbuatannya yang mencemarkan nama
Kyai Guru Rangga Jati, hingga sampai mengusir
wanita muridnya itu.
"Aku akan ke Pesantren Sawung Galing
menemui Kyai Guru! Ada hal penting yang akan
aku sampaikan...! Kuharap kau memberi jalan
dan tak menggangguku, Galuh Ranti!" sahut Prawira. Sementara kudanya telah
kembali tenang.
Entah hal apakah yang membuat binatang itu ti-
ba-tiba meringkik keras dan nampak seperti ke-
takutan. "Hal penting apakah hingga kau nampak
begitu tergesa-gesa" Kalau boleh aku mengetahui.
Hm, siapa tahu aku bisa membantumu...?"
"Aku tak dapat mengatakannya! Hm, apa-
kah kau berani datang ke Pesantren Sawung Gal-
ing setelah kau diusir oleh Guru?" Wanita itu tertawa dingin, seraya menyahut.
"Mengapa tidak" Mari kita kesana bersa-
ma-sama! Sudah lama aku tak melihat pesantren
itu, apakah murid Kyai Rangga Jati semakin ber-
tambah" Dan tentu keadaan di sana telah banyak
berubah sejak aku tinggalkan..." Prawira jadi me-lengak. Tak menyangka kalau
Galuh Ranti mena-
warkan diri untuk turut bersama ke Pesantren
Sawung Galing. Dan tanpa disadari tatapan mata Galuh
Ranti yang mengandung kekuatan ghaib telah be-
kerja untuk mempengaruhi laki-laki itu. Saat itu
Prawira yang tadinya tak mau memperdulikan
wanita itu, mendadak merasa suatu kekuatan
aneh yang telah memaksa dia menatap pandan-
gan mata Galuh Ranti, hingga dia tertegun mema-
tung. Kekuatan yang hebat itu ternyata mampu
merobah pandangan mata lawan menjadi pudar.
Prawira seperti merasa pikirannya menjadi ko-
song. Dan satu bisikan halus tiba-tiba menyelinap ke daun telinganya.
"Prawira...! Tak tahukah kau bahwa aku
sangat mencintaimu" Aku sudah jatuh hati pa-
damu sejak kau datang ke Pesantren Sawung Gal-
ing. Sayang aku dicemburui oleh Somala anak
angkat Guru pada sepuluh tahun yang lalu, hing-
ga aku difitnah bahwa aku telah mengadakan hu-
bungan badan dengannya. Padahal tujuannya
adalah agar segera dinikahkan padanya. Tapi ju-
stru aku telah diusir dari pesantren! Aku tak
mencintainya, Prawira...! Dan sampai saat ini aku masih mencintaimu... Apakah
kau akan membiarkan aku merana mendendam cinta sampai
kulit tubuhku menjadi keriput" Lihatlah aku
Prawira! Aku masih cantik, bukan" Dan sampai
saat ini aku masih perawan. Tak seorang laki-
lakipun yang menyentuh diriku. Karena aku ma-
sih mengharapkan kau..."
Kata-kata bermadu mengandung bisa itu
menyelinap ke telinga Prawira dan menyentakkan
hati laki-laki ini hingga terpana. Dan satu kekuatan ghaib telah membuat pemuda
ini perlahan- lahan turun dari punggung kudanya. Kemudian
melangkah mendekati wanita itu.
"Kau... kau memang masih sangat cantik,
Galuh Ranti. Masih cantik seperti dulu..." berkata Prawira dengan suara mendesis
dan mata tak berkejap menatap wanita di hadapannya. Dalam
pandangannya Galuh Ranti bahkan telah berubah
menjadi seorang gadis yang sangat cantik luar bi-
asa. Disaat itulah tiba-tiba lengan Galuh Ranti
bergerak cepat menotok tubuh laki-laki itu. Akan
tetapi sebelum lengannya menyentuh tubuh Pra-
wira, mendadak terdengar bentakan keras.
"Perempuan bejat!"
"Whuuuk...!" Mendadak sambaran angin
keras telah membuat tubuh wanita ini terhuyung
ke samping hingga gerakan tangannya luput un-
tuk menotok Prawira. Dan tahu-tahu sesosok tu-
buh telah muncul di tempat itu. Prawira tersadar
seketika dari pengaruh kekuatan ghaib wanita
itu. Sebaliknya Galuh Ranti berubah pucat wa-
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahnya melihat siapa orang yang telah berdiri di
hadapannya. "Guru...!" teriak Prawira dengan wajah girang. "Prawira! menyingkirlah! Murid
durhaka bukan tandinganmu!" berkata kakek tua berjubah hijau dengan tasbih di
tangannya itu. "Kyai Rangga Jati...!?" sentak Galuh Ranti dalam hati. Akan tetapi dia telah
melompat berdiri tegak dengan sikap waspada.
"Bagus! Aku tak perlu datang ke Pesantren
Sawung Galing untuk membalas perlakuanmu
mengusir diriku, kakek tua!" berkata Galuh Ranti dengan suara dingin.
"Hm, setelah kau menuntut ilmu dengan
seorang manusia sesat berilmu setan, apakah
masih juga mau merusak muridku yang lain?"
berkata Kyai Rangga Jati dengan sikap tenang.
"Hihihi.... syukurlah kalau kau mengeta-
hui! Aku bebas menentukan pilihanku setelah
kau usir dari pesantren! Dan kau datang hanya
akan mengantar nyawa, kakek tua sok suci! Ke-
tahuilah, sejak hari itu kau mengusirku, aku san-
gat mendendam. Dan dendam itu tak akan lenyap
sebelum aku menghancurkan orang-orang Pe-
santren Sawung Galing termasuk dirimu!" teriak Galuh Ranti dengan suara lantang.
Prawira tersentak dari pengaruh hebat
yang telah menyeret dirinya, dan hampir saja dia
kena perangkap halus wanita itu, kalau gurunya
tak muncul di tempat itu. Sesaat antaranya dia
tertegun. Tapi segera melompat ke hadapan Ga-
luh Ranti dengan membentak keras.
"Perempuan setan! Hampir saja kau mem-
pengaruhi diriku untuk berbuat maksiat dengan-
mu! Sebelum kau menghancurkan kami, langka-
hilah mayatku terlebih dulu!" Prawira secepat kilat mencabut keris di balik
bajunya, dan mener-
jang wanita itu. Kyai Rangga Jati berteriak mem-
beri peringatan. Akan tetapi terlambat. Galuh
Ranti gerakkan sepasang lengannya ke depan.
Cahaya kuning membersit... Detik itu juga ter-
dengar teriakan Prawira. Tubuhnya terhuyung ke
belakang. Sepasang mata laki-laki itu membela-
lak. Dia merasakan sekujur tubuhnya seperti dis-
engat ratusan binatang berbisa. Dan samar-
samar pandangan matanya melihat ratusan kala
menggerumuti sekujur tubuh.
"Ilmu iblis..." sentak Prawira dengan terperangah. Akan tetapi saat itu juga
tubuhnya ter- jungkal roboh, dan berkelojotan sekarat. Dan da-
lam waktu singkat setelah meregang nyawa, laki-
laki itupun hembuskan nafasnya. Ratusan kala
itu lenyap berbareng dengan lenyapnya kabut uap
kuning pada tubuh Prawira.
Kyai Rangga Jati terperanjat. Dia sudah
mengetahui kalau Galuh Ranti muridnya itu telah
menjadi murid seorang tokoh berilmu sesat. Dan
dia sudah menduga Prawira bukanlah tandingan-
nya. Akan tetapi dia tak sempat menahan laki-
laki itu yang menerjang Galuh Ranti setelah sece-
pat kilat mencabut kerisnya.
"Perempuan bejat! Ternyata hatimu begitu
telengas! Kau benar-benar telah menjadi hamba
iblis!" bentak Kyai Rangga Jati dengan melangkah mundur setindak. Diam-diam dia
mempersiapkan diri dengan membaca kalimat-kalimat suci dalam
hati. Jari lengannya tak berhenti menghitung biji tasbih. "Hihi...hi... kelak
nyawamupun akan me-nyusul murid-muridmu, Kyai! Saat ini aku mem-
biarkan kau hidup untuk sementara...!" berkata Galuh Ranti. Mendadak tubuhnya
lenyap berubah jadi gumpalan asap putih, dan lenyap dari pan-
dangan mata Kyai Rangga Jati.
Laki-laki tua ini terperangah, dalam desis
suaranya memuji asma Tuhan. Sesaat dia terpa-
ku menatap pada mayat muridnya. Hatinya diam-
diam tersentak mendengar kata-kata Galuh Ranti
tadi. Kyai Rangga jati teringat pada anak angkat-
nya, Somala yang belum kembali ke pesantren se-
jak mohon diri untuk menyambangi saudaranya
ke kampung halamannya. Somala pergi dengan
tiga orang murid laki-lakinya.
Pada saat itulah sebuah bayangan berkele-
bat muncul. "Sobat Kyai...! Pergilah tinggalkan tempat
ini. Serahkan perempuan iblis dan gurunya pada-
ku! Biar aku yang menumpas kedua manusia ter-
kutuk itu!" terdengar suara bernada besar dan parau. Alangkah terkejutnya Kyai
Rangga jati ketika melihat di tempat itu telah berdiri seorang
kakek katai berjubah putih berkepala besar, men-
cekal tongkat berbentuk bulan sabit di bagian
ujungnya. "Ah...!" Kiranya anda sobat Badubala, si
Tongkat Bulan Sabit!" berkata Kyai Rangga Jati ketika mengenali kakek katai ini.
Kaum dunia Rimba Hijau memang mengenal siapa adanya ka-
kek katai ini. Yaitu seorang tokoh yang sering
memisahkan diri dari kemelut dunia persilatan,
seperti juga Kyai Rangga Jati. Pergi dan muncul-
nya tak lain karena suatu sebab. Yaitu mencari
isterinya yang dilarikan orang, atau melarikan diri dengan orang lain. Selama
lebih dari empat puluh
tahun hidupnya digunakan untuk mengembara
ke setiap pelosok. Selama puluhan tahun itu telah dua kali dia merambah wilayah
ini. Rupanya hanya berputar-putar saja di sekeliling wilayah
Pulau Jawa sampai hampir habis usianya. Sung-
guh dia seorang yang harus dikasihani. Dimana
dia muncul selalu membawakan sajak melalui se-
nandungnya. Hingga bila mendengar suara se-
nandung yang kalimatnya itu-itu juga, orang lan-
tas tahu siapa yang datang. Bagi yang sudah ser-
ing berjumpa. Kyai Rangga Jati dengan menun-
dukkan kepala. Tiba-tiba dia mengerutkan kening
seraya menatap pada kakek katai itu.
"Sobat Badubala... Aku yang lebih banyak
menggembleng murid-muridku dalam keagamaan,
tak mengerti dan tak banyak mengetahui lagi ten-
tang keadaan dunia Rimba Hijau. Apakah kau
yakin kejadian yang melanda di beberapa tempat
dalam wilayah ini adalah perbuatan isterimu dan
muridnya?"
"Hm, walau aku belum yakin benar, tapi
sudah kukatakan aku telah mengendus bau tu-
buhnya! Maka, kukira sebaiknya kau kembali sa-
ja ke kaki Gunung Honje sambil menguburkan
jenazah muridmu! Mengenai kejadian di tempat
ini adalah urusanku!" kata si kakek katai. Sejenak Kyai Rangga Jati tercenung,
tapi kemudian berkata. "Kalau begitu, baiklah, sobatku...! Dan te-
rima kasih atas bantuanmu.,.!" Selesai berkata Kyai Rangga Jati melompat
menghampiri ke arah
mayat Prawira. Kemudian memondong tubuh la-
ki-laki itu, dan dibawanya berkelebat tanpa meno-
leh lagi. Kakek katai ini menatap sampai sosok tu-
buh Kyai tua itu lenyap dari pandangan mata. Se-
saat dia menghela nafas, kemudian menekan
ujung tongkatnya. Dan bagaikan sebuah boneka
sebesar bocah kecil, tubuh kakek katai melayang,
kemudian lenyap tak kelihatan lagi...
8 Galuh Ranti berkelebat bagaikan sebuah
bayangan hantu ke arah hutan setelah sebelum-
nya menebarkan uap kabut kuning ke arah ru-
mah kepala desa. Sementara tubuh wanita telen-
gas itu lenyap merambas hutan, di dalam rumah
kepala desa terdengar suara jeritan seorang wani-
ta. "Tidak! Oh, tidaaak! Tidaaaaak....!" Wanita isteri kepala desa ini melihat
ratusan kala berke-rumun di sekujur tubuh suaminya. Dengan mata
membelalak dia melihat kejadian aneh itu. Dan
menjeritlah wanita ini ketakutan melihat sua-
minya meregang sekarat berkelojotan di atas
pembaringan. Selang sesaat, nyawa laki-laki ke-
pala desa itupun melayang. Dan... robohlah wani-
ta ini tak sadarkan diri setelah mengetahui sua-
minya tewas. Beberapa orang penduduk melompat ke-
luar dari dalam pondoknya. Lalu berlari ke arah
rumah besar kepala desa. Apa yang dilihat oleh
mereka membuat terperanjat beberapa laki-laki
ini. Dilihatnya isteri kepala desa dalam keadaan
pingsan tergeletak di pintu kamar. Sedangkan di
dalam kamar tampak kepala desa dalam keadaan
tewas dengan sekujur tubuh penuh dengan ratu-
san kala dan binatang berbisa lainnya. Tentu saja mereka segera berlarian
keluar, tanpa sempat
menggotong tubuh wanita tua itu.
Sesosok bayangan melesat di samping ru-
mah, dan tahu-tahu telah berada di jendela ka-
mar kepala desa itu. Ternyata tak lain dari si kakek katai. Mata kakek katai ini
tertuju pada mayat laki-laki kepala desa itu. Bibirnya berdesis.
"Keparat! Murid si Peri Ratu Kemuning
sungguh keterlaluan! Hm, kini sudah saatnya
memusnahkan kedua manusia guru dan murid
itu!" Selesai mendesis geram, tubuhnya berkelebat lenyap dari jendela kamar
tanpa seorangpun
yang mengetahui.
Menjelang malam tampak suatu kejadian
aneh terjadi di dalam hutan itu. Entah sejak ka-
pan berdirinya, tahu-tahu telah tersembul sebuah
istana terbuat dari batu-batu yang kokoh kuat,
dengan tiga buah menara yang menjulang ke lan-
git. Sebuah istana aneh yang tampak seperti da-
lam sebuah dongeng... Tapi hal itu tampak jelas
di depan mata si kakek katai yang memandang
dengan mata membelalak dan terperangah...
"Istana iblis...!" sentak Badubala si Tongkat Bulan Sabit dengan suara mendesis.
Berdiri di atas cabang pohon kayu besar dengan mata
membelalak lebar, kakek katai ini tertegun mema-
tung. Di saat yang sama sesosok bayangan ber-
kelebat di sisi hutan. Gerakannya ringan sekali.
Akan tetapi si kakek katai telah dapat mengetahui kemunculan orang itu. Matanya
yang besar berkejap-kejap memandang ke bawah ke arah sosok
bayangan itu. "Hm, siapa lagi yang muncul di malam be-
gini" Manusia atau dedemit?" Berdesis si kakek katai. Mendadak tubuhnya melesat,
dan lenyap di kegelapan. Sementara itu sosok tubuh yang muncul di
sisi hutan itu, tengah tertegun menatap ke celah
semak belukar. Di antara keremangan cahaya bu-
lan dia telah melihat adanya sebuah istana aneh
yang memiliki tiga buah menara tinggi. Siapa
adanya orang ini adalah seorang laki-laki yang
membungkus kepalanya dengan jilbab warna hi-
tam. Berkumis dan berjenggot lebat berwarna ke-
coklatan. Mengenakan jubah berlengan panjang
berwarna gelap.
"Istana aneh! Istana gaib! Sungguh menak-
jubkan!" Terdengar laki-laki itu berkata sendiri.
Mendadak tubuh laki-laki berjilbab ini melesat ke udara, dan bersalto dua kali.
Tahu-tahu lenyap
tak kelihatan kemana berkelebatnya. Hal itu ter-
nyata tak luput dari pandangan mata si kakek ka-
tai yang memperhatikan dari tempat gelap di balik semak. "He" Begitu cepatnya
dia menghilang"
Aneh! Kukira mataku masih tajam untuk melihat
jelas walaupun keadaan bagaimana gelapnya se-
kalipun..." berkata si kakek katai dalam hati. Sebagai seorang tokoh Rimba Hijau
yang sudah ka- wakan dan berilmu tinggi, walau jarang menga-
lami pertarungan, tapi kakek ini bermata tajam.
Gerakan sehalus apapun dapat dilihatnya di da-
lam gelap. Tapi kali ini dia benar-benar terkejut, karena tak melihat gerakan
laki-laki berjilbab itu kemana arahnya. Tahu-tahu lenyap di depan ma-ta.
"Hm, aku tak tahu dia kawan atau lawan...
Tapi dari kata-katanya dia juga terheran melihat
kemunculan istana aneh itu! Sebaiknya aku tak
terburu-buru bertindak. Ingin kulihat, apakah
esok pagi istana aneh itu akan lenyap lagi" Du-
gaanku keras bahwa semua ini adalah ulah per-
buatan seorang perempuan tukang sihir yang ku-
duga adalah isteriku" memikir dan berkata dalam hati si kakek katai. Kemudian
diapun berkelebat
dari sisi hutan itu...
* * * Sementara itu di atas salah sebuah menara
istana aneh tampak tersembul sebuah kepala seo-
rang wanita... Ternyata kepala si nenek tua renta yang tadi siang berteriak-
teriak di tengah desa.
Tampak nenek ini memandang ke bawah menara,
mengawasi hutan yang mengelilingi istana itu.
"Heheh...hik...hik... tak seorangpun akan
mengira Peri Ratu kemuning adalah aku sendiri.
Dan takkan seorangpun mengira kalau akulah si
penyebar bencana itu! Bagus...! Muridku Galuh
Ranti dapat diandalkan untuk melenyapkan ma-
nusia-manusia pembangkang yang mau mengha-
langi cita-citaku! Akan kudirikan sebuah kerajaan di atas kekuasaanku. Kekuasaan
seorang manusia penghamba iblis! Karena aku merasa iblis te-
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah banyak membantuku! Semakin banyak pengi-
kutku akan bertambah panjanglah usiaku, dan ...
hihik...hihik...hik... aku akan kembali menjadi
muda dan cantik lagi..!" berkata wanita tua bungkuk itu, dan tertawa terkekeh-
kekeh. Mendadak seekor burung gagak terbang
dari arah luar sambil bersuara keras memekik-
mekik. Burung gagak ini hinggap di pundak si
nenek bungkuk. "Ada apa, manis..." Mengapa kau berteriak-
teriak" Katakanlah! Apakah ada sesuatu yang kau
lihat diluar sana?" bertanya si nenek pada burung gagak itu. Burung gagak
bagaikan mengerti pertanyaan nenek tua renta itu sambil memekik-
mekik terbang dari jendela menara. Tahulah si
nenek bahwa ada sesuatu yang telah membuat
burung gagak peliharaannya bersikap demikian.
Nenek ini mendengus, dan berdesis.
"Heh! Siapa manusianya yang berani me-
masuki pintu gerbang istanaku, berarti dia ingin
cepat mengantar nyawa...!" Sekejap tubuh Peri Ratu Kemuning lenyap jadi gumpalan
asap putih. Tahu-tahu telah berada di bagian bawah, tepat di
depan pintu gerbang. Akan tetapi mendadak se-
pasang mata nenek tua ini membelalak lebar, dan
wajahnya berubah kaget. Apakah yang dilihat-
nya" Ternyata burung gagak peliharaannya tam-
pak terkapar mati menggeletak di tanah.
"Hah! Apa yang telah terjadi?" sentak wanita tua ini dengan suara berteriak
kaget. "Gagakku... oh, gagakku...?"?" teriaknya sambil berkelebat dan lengannya
menjumput bangkai burung yang barusan terbang ke bawah
menara itu. Tapi kini dijumpai dalam keadaan tak
bernyawa lagi. Saat itu sebuah bayangan berkele-
bat dari arah dalam ruangan.
"Apakah yang telah terjadi. Guru...?" Ternyata Galuh Ranti adanya. Tersentak
kaget wani- ta ini melihat bangkai burung gagak peliharaan
gurunya telah menjadi bangkai.
"Keparat! Siapakah yang telah melakukan-
nya. Guru" Biar aku membekuk manusianya!"
berkata Galuh Ranti dengan wajah geram.
"Heh! Cari keparat itu di sekitar istana!"
berkata Peri Ratu Kemuning dengan suara lan-
tang. Burung Gagak ditangannya dibantingnya ke
tanah. Akan tetapi terjadi sesuatu keanehan yang
seumur hidup baru terjadi di depan matanya. Bu-
rung gagak itu ternyata berubah menjadi sebuah
batu. Baik si nenek maupun Galuh Ranti sama
terkejut. "Keparat! Aku tertipu! Hm, ternyata ada
manusia yang telah memiliki ilmu sihir menelu-
sup kemari. Siapakah dia?" sentak Peri Ratu Kemuning dengan wajah berubah
mengelam. "Siapakah orangnya. Guru" Apakah kira-
kira kau mengetahui?" Sejurus lamanya si nenek tercenung. Mendadak dia
berjingkrak dan meng-gerung dengan suara keras. "Keparat! Kurang
ajar...! Apakah dia si pemilik sihir putih?"
"Siapa yang kau maksudkan. Guru?" tanya Galuh Ranti. Nenek ini tak menjawab,
tapi segera merapal mantera-mantera. Mendadak bulan se-
perti lenyap disaput kabut hitam yang datang
bergulung-gulung. Dan perlahan-lahan istana
aneh itupun lenyap tertutup kabut hitam. Semua
jadi gelap pekat.
Ketika rembulan kembali muncul... tampak
istana aneh itu telah lenyap sirna. Tempat itu
kembali menjadi hutan rimba yang lebat seperti
asalnya. Dan kedua perempuan penganut ilmu ib-
lis itupun lenyap pula entah kemana perginya...
Saat itu di atas dahan sebuah pohon besar,
tampak si laki-laki berjilbab yang berdiri menjublak terpaku, karena melihat
istana aneh yang
membuat dia terheran dan terkagum-kagum telah
lenyap sirna dari pandangan mata. Laki-laki ber-
jilbab ini garuk-garuk tengkuknya yang tidak gat-
al, kemudian lengannya mengusap kumis dan
jenggotnya. Aneh! Seketika jenggot dan kumis le-
bat berwarna kecoklatan itu tahu-tahu lenyap.
Siapa adanya laki-laki ini" Ketika dia melepaskan
jilbabnya, ternyata dia seorang pemuda berambut
gondrong. Dan siapa adanya orang berjubah ini
tiada lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.
"Heh...! Aku tak boleh kehilangan jejak ke-
dua perempuan iblis itu! Jelas nenek tua renta itu adalah si Peri Ratu Kemuning,
si penguasa ilmu
sihir hitam seperti petunjuk suara gaib si Raja
Penyihir Sinting! Sungguh luar biasa hebatnya il-
mu hitam perempuan tua itu... Hm, aku harus
berhati-hati agar tak terperangkap jebakan mere-
ka..." berdesis Nanjar.
"Rupanya ada seseorang pula yang men-
gincar nyawa Peri Ratu kemuning dan muridnya.
Kakek katai yang pernah kujumpai bersenandung
di atas bukit itu, ternyata berada di wilayah ini.
Haha... bagus! Dia bisa dijadikan teman untuk
melabrak perempuan-perempuan iblis penyebar
bala itu!" kata Nanjar dalam hati. Tubuhnyapun berkelebat lenyap dari dahan
pohon itu... 9 Kakek Katai Badubala membentak keras.
Tubuhnya mendadak berkelebat dari atas wu-
wungan rumah...
"Perempuan kuntilanak! Berhenti kau!"
Bayangan putih yang berkelebat memasuki mulut
desa itu mendadak terhenti karena sesosok tubuh
telah berdiri menghadang. Tersentak kaget wanita
berpakaian serba kuning ini melihat seorang ka-
kek katai telah berdiri dengan tatapan mata tajam
bagai menembus jantung menghalangi jalan. Ter-
nyata dia seorang gadis berbaju kuning berwajah
cantik. "Siapakah kau, kakek pendek katai" Aku tak mengenalmu! Mengapa kau
menyebutku perempuan kuntilanak" Dan tahu-tahu mengha-
dang langkah orang?" tanya gadis ini dengan
menjungkatkan alisnya.
"Heh...heh.... tak perlu kau menyamar se-
gala dengan ilmu sihir hitammu! Aku telah men-
genali bau tubuhmu, walaupun sudah empat pu-
luh tahun kau merat (minggat) dari sisiku, karena kabur dengan laki-laki lain!"
bentak si kakek katai dengan suara dingin. "Tampakkan wajah asli-mu. Papulini!
Aku Badubala masih berhak meng-
hukummu karena perbuatanmu itu, dan minta
ampunlah kepada Tuhan sebelum aku membu-
nuhmu. Karena kau telah bersekutu dengan iblis,
dan menebar bencana di muka bumi ini!"
"Hihi...hi... bagus! matamu tajam, Baduba-
la! Akan tetapi kau cuma inginkan kematian! Per-
soalan masa silam sudah lama basi! Akan tetapi,
aku masih punya rasa kasihan padamu, Baduba-
la! Seharusnya kau tahu diri untuk tak terus
mengejarku... Tahukah kau bahwa aku menikah
denganmu empat puluh tahun yang lalu adalah
cuma berpura-pura saja?" sahut gadis ini. Selesai berkata tiba-tiba asap putih
mengepul... Dan sosok tubuh gadis cantik itu telah berubah menjadi
seorang nenek tua bungkuk.
"Hihik... hik... Badubala! Lihatlah ujud asliku! Aku telah menjadi seorang tua
bungkuk, buruk dan tak enak untuk dipandang. Tapi den-
gan ilmuku yang hebat, aku bisa merubah diri
menjadi seorang gadis jelita berusia belasan ta-
hun...!" "Perempuan iblis! Tadinya aku mengira kau
akan sadar setelah menjelang usia tua! Sean-
dainya kau tak mempelajari ilmu sesat dan meng-
gunakannya untuk kejahatan dan kemaksiatan,
mungkin aku masih bisa memaafkanmu. Tapi
kau sudah bukan manusia lagi!" bentak si kakek katai dengan mata mendelik. Dan
dia sudah tak dapat menahan kemarahannya yang tersimpan
selama empat puluh tahun. Kakek ini mengge-
rung keras. Tongkat bulan sabitnya menyambar
dahsyat! "Whuuuk..."
"Blasssh!"
Nenek tua bungkuk gerakkan lengannya
mengibas. Ujung lengan jubah menghantam men-
tal tongkat si kakek katai. Sebelah lengannya
menghantam dengan pukulan yang membersitkan
uap kuning. Akan tetapi si kakek katai telah men-
celat ke udara. Gerakan itu dibarengi dengan ten-
dangan kaki ke arah kepala si nenek. Terkejut
wanita tua ini karena angin yang membersitkan
kekuatan tendangan yang hebat bertenaga dalam
penuh dari sebelah kaki kecil si kakek katai. Akan tetapi secepat itu pula
rambutnya mendadak menyambar untuk menggubat kaki lawan. Kakek ka-
tai terkejut. Secepat kilat dia menahan serangan.
Gerakan ini disusul dengan hantaman pangkal
tongkat ke arah batok kepala si nenek.
"Keparat!" maki perempuan tua ini. Men-
dadak dia melenyapkan diri menjadi gumpalan
asap... "Bhuk!" Satu hantaman keras tahu-tahu membuat tubuh si kakek katai
terjungkal dan terlempar berguling-guling. Dan terdengar suara ter-
tawa-tertawa terkekeh tanpa ujud.
"Hihik...hik... mampuslah kau, Badubala!"
Kakek katai mengeluh panjang. Sesaat dia terpa-
na dengan wajah menyeringai menahan sakit pa-
da punggungnya yang seperti dihantam palu. Pu-
kulan itu seperti membuat beku aliran darahnya.
"Manusia bejat! Aku akan adu jiwa den-
ganmu!" bentaknya. Kakek katai rentangkan kedua tangannya. Menyambarlah kilatan
sinar pu- tih ke arah depan.
"Bhumm!" Terdengar ledakan keras meng-
guntur. Itulah jurus pukulan Halilintar yang telah dilontarkan si kakek katai.
Ternyata sepasang
mata kakek ini entah menggunakan ilmu apa, dia
dapat melihat di mana adanya sosok tubuh si ne-
nek bungkuk. Ternyata wanita tua bekas isterinya
itu telah merentangkan pula kedua lengannya.
Uap kuning menyambar ke depan, dan terjadilah
ledakan tadi. Bersamaan dengan terdengarnya ledakan
itu, tampak tubuh si nenek terhuyung beberapa
langkah ke belakang. Tapi akibatnya sangat fatal
bagi si kakek katai. Tubuhnya terlempar belasan
tombak. Wanita tua bungkuk yang menggelari di-
rinya si Peri Ratu Kemuning ini tampak menye-
ringai. Wajahnya agak memucat, dan setetes da-
rah mengalir di sudut bibirnya. Disaat itulah terdengar suara teriakan seorang
wanita. "Guru...!" Dan sebuah bayangan putih berkelebat muncul di tempat itu. Ternyata
yang da- tang adalah Galuh Ranti. Wanita ini menatap gu-
runya dengan tersentak kaget.
"Apa yang terjadi, Gitru..." Siapa yang telah melukaimu?" Belum lagi nenek tua
itu menjawab, terdengar gemboran suara bentakan keras di belakangnya. Wanita ini
balikkan tubuh dengan ce-
pat, dan lengannya menghantam...
"Blug!" Terdengar jeritan merobek udara diiringi terlemparnya tubuh. Ternyata
entah sejak kapan datangnya seorang laki-laki berbaju hitam
telah muncul dan menyerang wanita itu.
"Kau... Somala...?" sentak Galuh Ranti menatap pada laki-laki yang tergeletak di
tanah me- nyeringai kesakitan. Sebuah pedang tampak ter-
geletak tak jauh di dekatnya. Keadaan laki-laki itu sangat mengenaskan, karena
beberapa tulang dadanya remuk. Cairan darah mengalir membasahi
bajunya yang hancur di bagian depan.
"Kau... perempuan bejat! Kau... telah mem-
bunuh Prawira. Sungguh keji hatimu... perem-
puan iblis..." terputus-putus suara laki-laki ini ketika berkata menatap Galuh
Ranti dengan mata
membelalak. "Hihi... kau terlalu gegabah menyerang dari
belakang, Somala,...! Sayang... tadinya aku masih mengharapkan kau, tapi kini
tak mungkin lagi!"
sahut wanita ini. Sebelah lengannya terulur. Dan
menyambarlah uap kuning ke arah laki-laki itu.
Uap kuning yang aneh itu sekejap telah mem-
bungkus tubuh Somala. Selang sesaat terjadilah
kengerian yang berlangsung di depan mata. Uap
kuning mendadak berubah menjadi ratusan ekor
kala dan binatang berbisa yang menyengat dan
mematuk sekujur tubuh laki-laki itu. Somala ber-
teriak menyayat hati. Tubuhnya berkelojotan me-
regang nyawa. Selang tak lama jiwa pemuda ma-
lang itupun melayang
10 Sementara kejadian tadi tengah berlang-
sung, seorang pemuda gondrong entah sejak ka-
pan telah berdiri beberapa tombak di tempat itu.
Sepasang lengannya menyangga tubuh si kakek
katai. Entah bagaimana ketika si kakek katai tadi terlempar belasan tombak
akibat benturan pukulan tenaga dalam yang telah dipapaki oleh Peri
Ratu Kemuning. "Pemuda gagah... siapakah kau..." berkata si kakek katai dengan nafas memburu.
Dia me-rasai sekujur tubuhnya seperti digigiti ratusan
semut dan sekujur tulang terasa ngilu, akibat
benturan kedua arus tenaga dalam tadi. Akan te-
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi sesaat antaranya ada hawa aneh yang telah
membuat rasa sakit itu lenyap. Ketika membuka
mata kakek katai tertegun karena tubuhnya be-
rada dalam pondongan seorang pemuda berambut
gondrong. "Aku adalah orang yang kau temui tadi ma-
lam di sisi hutan itu, kakek...!" menyahut si Dewa Linglung. Tertegun Badubala
mendengarnya. Matanya membelalak lebar menatap wajah si pemu-
da. "Tapi kulihat wajahmu penuh jembros dan
kumis lebat...?" sanggah si kakek katai.
"Haha... aku cuma mengenakan kumis dan
jenggot palsu, sobat kakek pendekar... Oh, ya!
Bukankah kau yang bergelar si Tongkat Bulan
Sabit" Aku pernah menjumpaimu beberapa bulan
yang lalu ketika kau naik di punggung seekor ke-
ledai tua..." sambung Nanjar. Kemudian menu-
runkan kakek katai itu ke tanah.
"Dari mana kau mengetahui julukanku?"
sentak si kakek katai. Akan tetapi sebelum Nanjar menjawab, mendadak bersyiur
angin keras menyambar ke arah mereka.
Nanjar gerakkan lengan mendorong tubuh
kakek katai itu, sedangkan dirinya sendiri berke-
lebat ke samping dengan gerakan terhuyung. Ter-
nyata serangkum angin berhawa panas telah me-
nyerang mereka. Rambasan angin itu disusul
dengan bentakan keras si nenek bungkuk.
"Bocah edan! Katakan apa hubunganmu
dengan si tua bangka Raja Penyihir Sinting?" Ta-hu-tahu di hadapan mereka telah
berdiri si nenek
Peri Ratu Kemuning.
"Hai, nenek bau kentut! Lebih baik kau
merubah ujudmu jadi perawan ompong saja kalau
mau berhadapan denganku!" teriak Nanjar den-
gan hati mendongkol. Karena hampir saja dia ke-
na sambaran pukulan uap kuning kalau tak ber-
gerak cepat menghindarkan diri.
"Kunyuk sinting! Jawab pertanyaanku se-
belum kukirim jiwamu ke liang Akhirat, atau ku
penjarakan seumur hidup seperti si Raja Penyihir
Sinting!" bentak nenek tua ini dengan menggeram marah karena ucapan si Dewa
Linglung. Diam-diam dalam hati pemuda ini tersentak mendengar
keterangan yang tanpa sengaja keluar dari mulut
wanita iblis itu.
"Jadi si Raja Penyihir Sinting dipenjarakan
seumur hidup oleh nenek bau kentut ini?" berkata Nanjar dalam hati.
Karena yang ditanya diam menjublak, ne-
nek ini membentak lagi.
"Bocah gendeng! cepat katakan siapa kau
sebenarnya?"
"Nenek sombong! Tak perlu kau mengeta-
hui siapa diriku, dan apa hubunganku dengan
orang yang kau sebutkan tadi! Katakan padaku di
mana kau menyekap orang tua itu?" kata Nanjar.
Peri Ratu kemuning tertawa terkekeh, kemudian
berkata. "Kalau kau mau bergabung dengan diriku,
aku akan memberitahukan! Kau pastilah murid-
nya. Dan kaulah orangnya yang telah mengecoh
aku tadi malam! Hihik..hik.. kau cukup tampan
untuk menjadi pendampingku, bocah gagah!" Seraya berkata itu diam-diam Peri Ratu
Kemuning mulai mempergunakan ilmu tenungnya melalui
pandangan matanya yang menyorot tajam mena-
tap pemuda itu. Diam-diam diapun ingin menge-
tahui apakah benar pemuda itu yang telah men-
gecohnya menyihir sebuah batu hingga seperti
seekor burung gagak yang telah mati" Hal itu
sangat membuat terkejut dirinya, karena tak per-
nah dia mengalami kekeliruan dalam penglihatan.
Nyata ilmu orang yang mengecohnya tidak di ba-
wah ilmu sihir hitam yang dimiliki. Dia telah
menduga suatu kemungkinan orang itu memiliki
ilmu sihir putih. Dan ilmu sihir putih itu hanya berada pada sebuah kitab yang
sampai saat ini
tak diketahui di mana adanya. Hanya si Raja Pe-
nyihir Sintinglah yang mengetahui. Untuk itulah
dia telah menyekap si Raja Penyihir Sinting di dalam penjara bawah tanah hingga
hampir sembilan
belas tahun, karena laki-laki itu tak mau berga-
bung dengannya.
Saat itu si kakek katai tertegun melihat pe-
rubahan sikap gondrong yang tampak terpaku
dengan mata menatap wanita iblis bekas iste-
rinya. Rasa khawatir menyelinap di hati Badubala
pada pemuda yang telah menolongnya itu. Diam-
diam dia mengumpulkan sisa-sisa tenaga dalam
yang dimilikinya. Akibat gempuran tadi telah me-
lenyapkan sebagian tenaga dalam, dan membuat
dia terluka dalam. Ternyata dia telah mengetahui
kalau nenek tua itu mulai main ilmu hitam untuk
mempengaruhi si pemuda dengan kekuatan pan-
caran matanya. Dengan membentak keras, tiba-tiba kakek
katai menerjang... Kedua lengannya menghantam
ke depan, mengirim pukulan Halilintar. Akan te-
tapi didetik itu sebuah bayangan putih berkele-
bat. Sebelum sinar putih meluncur dari kedua te-
lapak tangannya, kakek katai perdengarkan jeri-
tan parau. Tubuhnya terlempar ke samping ber-
gulingan. Ternyata Peri Ratu Kemuning telah ge-
rakkan lengannya menghantam dengan pukulan
tenaga dalam yang telah dipersiapkan ke arah si
Tongkat Bulan Sabit. Gerakannya ternyata lebih
cepat dari serangan si kakek katai, karena diam-
diam nenek tua ini sudah menduga akan hal itu.
Berbareng dengan terlemparnya tubuh Ba-
dubala, sebuah bayangan putih berkelebat mun-
cul. Ternyata Galuh Ranti. Wanita ini membentak
marah. "Kakek katai! Kau mau main curang?" Ketika itu juga dari lengannya
menyambar uap kun-
ing ke arah si kakek katai yang tubuhnya baru
saja berhenti berguling. Tak ampun lagi uap kun-
ing merambas tubuh si kakek katai. Namun ber-
bareng dengan kejadian itu, terdengar jeritan me-
nyayat hati ketika didetik yang bersamaan tam-
pak kilatan sinar putih membias udara... Apakah
yang terjadi" Ternyata teriakan menyayat hati itu terdengar dari mulut Galuh
Ranti. Gadis ini terhuyung ke depan dan roboh terjungkal. Tampak
sebuah keris telah terhunjam di punggungnya.
Ketika dengan tak terduga Galuh Ranti bergerak
bangkit, tampak ujung keris telah menembus ke
dada. Pucat pias wajah wanita ini. Sementara itu
di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh berju-
bah hijau. Siapa adanya orang tak lain dari Kyai
Rangga jati. "Keparat...! kau... kau... kubunuh kau
Kyai...!" menggembor Galuh Ranti bagai seekor harimau terluka. Tubuhnya mendadak
bangkit berdiri. Sepasang lengannya menggetar terentang
untuk mengirim pukulan kearah laki-laki tua be-
kas gurunya itu. Akan tetapi untaian tasbih di
tangan Kyai Rangga Jati telah menyambar terle-
bih dulu. "Kau tak layak hidup lagi, murid murtad!"
membentak Kyai Rangga Jati. Kilatan sinar tasbih
menyambar... Galuh Ranti menjerit sekali lagi.
Dan kali ini terkapar tak bangkit lagi.
Sementara itu Peri Ratu Kemuning yang
mengadu kekuatan mata dengan Nanjar berhasil
memaksa pemuda itu melangkah mendekat.
Sayang disaat dia berhasil mempengaruhi pemu-
da itu dengan kekuatan tenungnya, kakek katai
Badubala telah mengecoh, hingga kekuatan ilmu
hitamnya mengendur. Apa yang dihadapi Nanjar
ternyata sangat mencengangkan. Karena pemuda
itu melihat sosok tubuh di hadapannya berubah
sangat menyeramkan. Nenek tua bungkuk itu be-
rubah ujud menjadi makhluk mengerikan berke-
pala empat. Lidahnya menjulur panjang mengelu-
arkan lendir yang berbau busuk.
Empat lidah telah menjulur ke arah si De-
wa Linglung untuk menggubat tubuhnya. Akan
tetapi ketika si kakek katai tadi menerjang wanita itu, tiga lidah mendadak
lenyap, juga empat buah
kepala yang menyeramkan itu tinggal sebuah lagi.
Hal ini telah menguntungkan Nanjar. Karena dis-
aat yang membuat dia tercengang itu satu gelom-
bang kekuatan dahsyat yang tak terlihat telah
merambas dan membelenggu kaki dan tangannya
hingga tak dapat digerakkan.
Tatapan mata nenek itu telah menegang-
kan urat syarafnya hingga dia tak mampu merap-
al mantera untuk melepaskan diri. Nyaris bahaya
besar dialami si Dewa Linglung. Disaat ketiga li-
dah lenyap, dia berhasil melepaskan diri dari be-
lenggu ghaib dan syarafnya terbuka. Dilihatnya
lidah makhluk yang tinggal sebuah itu menyam-
bar ke arah leher. Sedangkan di lain saat kedua
lengan Peri Ratu Kemuning yang telah berubah
menjadi sepasang lengan berbulu dengan kesepu-
luh jarinya yang berkuku runcing mencengkeram
ke arah batok kepalanya.
Di detik bahaya maut itulah si Dewa Lin-
glung berkelebat ke samping. Dan secepat kilat
dia telah mencabut pedang mustika Naga Merah
dari balik punggung. Detik berikutnya tampak ki-
latan cahaya merah merambas udara...
"Jrosss!" Terdengarlah teriakan parau
mengerikan merambah udara. Pedang mustika
Naga Merah berhasil menublas punggung mak-
hluk yang mengerikan itu. Darah menyembur dari
luka di punggung makhluk itu ketika Nanjar me-
nyentakkan pedangnya.
"Grrr... keparat! Kuremukan kau...!" teriak makhluk itu. Tapi lagi-lagi kilatan
cahaya merah berkelebat. "Cras! Cras! Cras!" Darah memercik ber-
hamburan. Tampak kejadian yang sangat menge-
rikan. Tubuh makhluk itu terpotong menjadi be-
berapa bagian. Akan tetapi bagian kepala mak-
hluk itu yang putus sebatas leher kembali melun-
cur ke arah si Dewa Linglung.
Lidahnya menyambar...! Dan dari sepasang
matanya meluncur kilatan sinar biru. Namun se-
belum sinar biru itu menyambar ke tubuh si De-
wa Linglung terdengar bentakan halus diiringi ba-
caan suara tasbih memuji kebesaran Tuhan. Si-
nar hijau menyambar ke arah kepala makhluk
itu. Ternyata itulah serangan untaian tasbih di
tangan Kyai Rangga Jati yang mengakhiri perta-
rungan. Terdengar suara letupan keras. Kepala
makhluk itu berubah jadi gumpalan asap hitam.
Keadaan tiba-tiba jadi berubah. Cuaca menjadi
gelap gulita. Bumi serasa bergoncang. Petir me-
nyambar-nyambar di angkasa, dibarengi bertiup-
nya angin keras...
Ketika cuaca kembali terang seperti se-
mula, tampak tubuh mengerikan yang terpotong-
potong itu telah berubah menjadi potongan tubuh
si nenek tua renta. Batok kepalanya hancur, dan
wajahnya tak berbentuk lagi.
Sesaat keadaan menjadi hening... Nanjar
terpaku menatap dengan hati bergidik ngeri. Keli-
hatannya kejam, tapi apa boleh buat. Dia terpak-
sa harus melakukan. Dan kematian manusia iblis
itupun telah dibantu oleh Kyai Rangga Jati. Orang tua ini beranjak mendekati
Nanjar setelah me-mungut tasbihnya yang tergeletak di tanah.
"Kyai aku kagum dengan ilmu yang kau
miliki. Nyaris aku menemui bahaya, dan aku ma-
sih sangsi dan bingung, bagaimana menumpas
makhluk yang mengerikan penjelmaan nenek tua
itu?" kata Nanjar. Matanya menatap potongan tubuh Peri Ratu Kemuning.
"Ah, tak ada dalam dunia ini ilmu yang he-
bat! Semua ilmu itu milik Tuhan Pencipta Alam
Semesta. Iblis pun diciptakan oleh Tuhan. Maka
hanya kemurahan Tuhanlah, hingga kita bisa
menumpas manusia yang telah dikuasai iblis
ini...!" sahut Kyai Rangga Jati. Nanjar manggut-manggutkan kepala. Mendadak
Nanjar teringat
pada si kakek katai yang turut punya andil dalam
pertarungan menumpas dua perempuan iblis itu.
Segera dia gamit lengan Kyai Rangga Jati,
dan mendahului berkelebat. Mereka menjumpai si
kakek katai Badubala telah tewas dengan mata
meram. Agaknya kematiannya belum lama, kare-
na di saat pertarungan itu terjadi dia masih bisa pentang mata dengan nafas
tersengal menyaksi-kan kejadian di depan matanya. Dan dia merasa
puas meninggalkan alam fana, setelah mengeta-
hui kematian manusia iblis bekas isterinya yang
telah meninggalkan dirinya empat puluh tahun
yang silam. * * * Matahari telah condong di arah Barat. Pe-
gunungan seperti tegaknya pagar biru dan hijau
yang menampakkan kedamaian hati. Nanjar ber-
pisah dengan Kyai Rangga Jati, setelah mereka
menguburkan jenazah kakek katai Badubala dan
seorang murid laki-laki yang juga anak angkatnya
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bernama Somala itu. Dua mayat perempuan iblis
itu juga ditimbun disatu lubang.
"Kini akan pergi kemanakah aku...?" ber-gumam si Dewa Linglung. Lengannya meng-
garuk-garuk tengkuknya. Mendadak Nanjar me-
rasa perutnya geli bagai digelitik. Dia merogohkan lengannya ke balik baju,
ketika lengannya keluar
lagi seekor tikus putih tampak bergelantung den-
gan kepala di bawah karena ujung ekornya dijepit
dua jari lengannya.
"Haha... kau lapar, manis" Hehe... akan
kucarikan makanan buatmu!" kata Nanjar sambil tertawa. Nanjar melangkah pergi
sambil mema-sukkan binatang itu ke sela bajunya. Ingatan si
Dewa Linglung melayang jauh ke tanah bersalju
di mana tikus putih itu telah mengganggu keme-
sraannya bersama gadis asing bermata biru.
"Ah, Yulian... seandainya kau berada di
sampingku..." desisnya sambil tersenyum-senyum sendiri....
TAMAT https://www.facebook.com/Du
niaAbuKeisel Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Naga Pembunuh 12 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Amarah Pedang Bunga Iblis 5