Pencarian

Selubung Awan Hitam 2

Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam Bagian 2


Dia memasukkan jarinya ke mulut... tampaknya
dia berusaha memuntahkan serbuk yang telah di-
minumnya. Akan tetapi kaki Windu Pati telah bergerak menendang, hingga tubuh
laki-laki itu terlempar bergulingan. Sakera mencoba bangkit dengan mengerang...
Akan tetapi kembali tersungkur.
Dan kali ini tubuhnya tak bergerak lagi.
Reka Ananta melompat menghampiri perwira
muda itu. Windu Pati menoleh. Keduanya saling
pandang. Namun segera kepala prajurit itu me-
lompat ke arah Sakera. Lalu memeriksa pernapa-
sannya. "Matikah dia?" bertanya Reka Ananta. Windu
Pati menggeleng. Lalu menghampiri laki-laki saha-
bat ayahnya itu.
"Dia cuma pingsan...! Aneh! Racun apakah yang
telah digunakannya" "
"Kita tunggu sampai dia sadarkan diri!" kata
Reka Ananta. Windu Pati mengangguk.
Beberapa saat lamanya mereka menanti...
"Untunglah matamu jeli, Windu Pati! Dan kau
bertindak cepat!" memuji Reka Ananta.
"Kukira mata paman lebih jeli dari mataku..."
tukas Windu Pati sambil tersenyum. Perwira muda ini mengakui kalau saja tak
melihat gerak biji ma-ta orang tua itu yang melirik ke arah pintu ruang tengah,
mungkin dia tak mengetahui kalau ada
orang yang menguping pembicaraan mereka.
Ketika Windu Pati meneruskan berbicara den-
gan berbisik, dan berkata-kata lebih perlahan, dia mendengar suara tindakan kaki
menjauh dari arah pintu ruang tengah itu. Tahulah Windu Pati kalau pembicaraan
mereka ada yang mencuri dengar...
Ketika Windu Pati menyuruh para prajuritnya
beristirahat, dia sengaja menyelinap ke dalam
ruang pesanggrahan. Dan diam-diam memperhati-
kan kesibukan. Dengan pandangan matanya dia
dapat melihat gerak-gerik mencurigakan seorang murid ayahnya. Diam-diam dia
mengingat wajah
dan pakaian laki-laki itu. Windu Pati yang jarang berkunjung ke tempat ayahnya
memang tak seberapa hapal dengan murid-murid perguruan Mata-
hari. Kemudian Windu Pati kembali ke ruang tengah
menemui Reka Ananta.
Ketika seorang murid menyuguhkan air minum
dengan cerek dan dua buah cawan ke ruangannya, Windu Pati mengenali laki-laki
itulah yang dicurigai. Namun dia tetap bersikap biasa. Dengan
membungkuk-bungkuk laki-laki murid ayahnya
itu mengundurkan diri, dan lenyap dibalik ruang tengah.
Windu Pati menuangkan air dalam cerek ke da-
lam kedua cawan. Dia tampak mengerutkan ken-
ing, karena yang disuguhkan adalah air teh. Hal itu diluar kebiasaan. Karena dia
tahu didapur perguruan itu tak menyimpan serbuk teh.
Dia memberi isyarat pada Reka Ananta agar tak
meminum air itu.
Lalu Windu Pati bergegas ke ruang dalam. Ma-
tanya mencari-cari laki-laki yang dicurigai itu dan barusan mengantarkan
minuman. Dia melihat laki-laki itu berada diruang lain, tempat menyimpan air dan makanan
bila telah selesai dimasak. Tampak laki-laki itu tengah menuangkan air minum
dalam cawan untuk dibagikan
pada prajurit-prajurit Kadipaten.
Hatinya syak, dan kecurigaannya semakin besar
melihat laki-laki itu berhenti bekerja seraya memegangi perutnya. Dia menyuruh
temannya meng- gantikan pekerjaannya, dan mengatakan akan
membuang hajat.
Windu Pati melihat kepura-puraan pada wajah
laki-laki itu. Dan dengan diam-diam dia mengun-titnya. Hingga kemudian jelaslah
kedustaan laki-laki itu, karena bukan menuju ke arah tempat
pembuangan hajat, tapi dengan langkah berindap
justru menuju ke arah pintu ke luar diruang belakang gedung perguruan itu....
Windu Pati tak sabar menantikan Sakera sadar
dari pingsannya.
Dia mengambil air dari dalam bak, dan meng-
guyur kepala laki-laki itu.
Tampak Sakera menggerakkan tubuhnya. Aki-
bat guyuran air dingin itu membuat dia sadar dari pingsannya. Tampaknya telah
terjadi sesuatu dengan Sakera, akibat dicekok air bercampur serbuk yang
ditemukan disaku bajunya. Sementara si
perwira muda dan Reka Ananta terus memperha-
tikan apa reaksi dari serbuk itu.
Laki-laki ini bangkit berdiri. Wajahnya basah
kuyup oleh air. Tapi dia tak memperdulikan, bahkan seperti tak mengacuhkan pada
Windu Pati yang berdiri dihadapannya atau mungkin dia sama sekali tak melihatnya. Matanya
tampak kuyu seperti orang mengantuk. Dia berjalan kesana kema-ri dengan
terhuyung-huyung tak tahu arah mana
yang dituju, macam orang linglung.
Windu Pati dan Reka Ananta saling pandang.
Kemudian mereka kembali memperhatikan sikap
Sakera. Bahkan Windu Pati segera menghampiri
dan berdiri dihadapannya. Aneh! Sama sekali dia tak melihat orang dihadapannya.
Windu Pati yang penasaran menggoyang-
goyangkan tangannya didepan hidung Sakera. Tapi laki-laki ini benar-benar tak
melihatnya. Tiba-tiba perwira muda ini mencengkeram baju
laki-laki itu, seraya membentak.
"Lihat ke arahku, jahanam!" Akan tetapi aneh.
Sakera kelihatannya tak terkejut. Matanya menatap kosong ke arah depan. Barulah
Windu Pati yakin kalau laki-laki itu telah menjadi orang yang tanpa rasa, buta
dan tuli. Perlahan dia melepaskan cengkeramannya. Lalu menoleh pada Reka Ananta.
"Racun itu sungguh jahat! Dia telah menjadi manusia tak berguna!" berkata
perwira ini lirih.
Diam-diam hati Windu Pati bergidik, seandainya tadi dia tak bersikap waspada
tentu bukan musta-hil dirinya yang akan mengalami hal seperti itu kalau
akibatnya tak akan jauh berbeda dengan laki-laki itu.
Tiba-tiba hatinya tersentak. Dia menatap Reka
Ananta tajam. "Celaka....! Jangan-jangan di telah menaruh racun pula di air minum yang
disuguhkan para prajurit....!"
Tak menunggu jawaban laki-laki tua itu dan si
perwira muda melompat dari ruangan itu ke arah ruangan depan.
Terlambat! Ketika perwira muda itu tiba diruang depan pesanggrahan, tampak
sebelas orang prajurit bawahannya dalam keadaan berjalan terhuyung kesana kemari
tanpa tujuan, tak bedanya dengan Sakera laki-laki yang telah dicekok serbuk
racun. Reka Ananta yang menyusul ke belakang Windu
Pati hanya bisa membelalakkan mata terperangah.
"Kita terlambat, Windu Pati..." berdesis laki-laki tua.
"Ya.... kita memang terlambat!" keluh perwira
muda ini dengan wajah berubah mengelam.
Saat itu delapan orang murid ayahnya tampak
berlari-lari menghadap si perwira muda. Wajah-
wajah mereka kesemuanya tampak pucat ketaku-
tan. "Kami.... kami tak tahu mengapa para prajurit
jadi demikian..." Kami benar-benar tak mengetahuinya, Raden...!" salah seorang
memberi laporan.
Windu Pati mengangkat tangannya.
"Bangunlah! Kalian tak bersalah apa-apa. Pe-
nyebabnya adalah rekan kalian sendiri yang bernama Sakera! Apakah kalian
mengenalnya?"
"Sakera...?" sentak mereka hampir serempak.
"Ya! Dia yang telah menaruh racun jahat itu diair minum. Bahkan juga menyuguhkan
air yang telah diberi ramuan kepadaku!"
Seketika delapan murid perguruan Matahari itu
terperanjat. "Sakera belum lama menjadi murid di pergu-
ruan ini. Rupanya dia seorang penjahat yang me-nyelundup...?" berkata salah
seorang. "Dialah orang yang memberitahu pertama kali,
dan melihat kamar pribadi guru pintunya terbuka.
Ketika kami memeriksa, ternyata guru tidak ada.
Dan kami menemukan surat ancaman itu tergele-
tak diatas meja kamar guru..." salah seorang
memberikan keterangan.
"Keparat! Dimana manusia itu. Akan kugorok
batang lehernya!" Salah seorang murid perguruan Matahari mencabut senjatanya
dari pinggang, lalu melompat dari itu. Tapi segera dicegah oleh Windu Pati.
"Tahan! Tak kuizinkan dari kalian membunuh-
nya. Dia akan diruang belakang. Nasibnya tak
berbeda dengan nasib para prajuritku. Mungkin
lebih parah lagi. Tangkap manusia itu, dan ma-
sukkan dalam kamar tertutup. Dia akan menjadi
bukti dihadapan Kanjeng Adipati bahwa dialah
manusianya yang telah meracuni para prajurit!"
Selesai Windu Pati berkata, maka berhambu-
ranlah delapan murid perguruan Matahari untuk
meringkus laki-laki bernama Sakera itu.
Tentu saja dengan mudah tanpa perlawanan
sama sekali, Sakera dapat diringkus. Tak urung beberapa orang menghajarnya juga,
karena tak dapat menahan rasa geram dan marahnya. Sakera
diseret dengan tubuh terikat dan dimasukkan dalam ruangan tertutup, lalu dikunci
dari luar. Windu Pati kemudian memerintahkan mereka
membuang semua air minum, dan makanan. Un-
tunglah tak seorang dari murid perguruan Mata-
hari yang sempat meminum air dan memakan ma-
kanan yang telah dibubuhi racun oleh laki-laki bernama Sakera itu. Sakera diduga
seorang anak buah si Awan Hitam yang sengaja diselundupkan
di perguruan itu...
Walaupun belum jelas, karena bisa saja Sakera
adalah seseorang yang mengambil kesempatan
menangguk diair keruh. Memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan. Dengan
diracunnya semua orang yang berada ditempat itu, bukankah dengan mudah dia menggondol uang
emas dan perhiasan yang dibawa oleh Windu Pati..."
*** TUJUH WANITA BERCADAR HITAM ITU melemparkan
tubuh Jumanti ke atas pembaringan beralas kulit harimau. Dalam keadaan tubuh
masih tertotok,
sehingga gadis itu tak mampu berbuat sesuatu la-gipula apa artinya perlawanan
baginya" Dia tak lebih dari seekor pelanduk yang berada dicengkeram seekor
harimau betina.
Sejak berada di atas pundak si Awan Hitam da-
lam perjalanan ke tempat itu Jumanti tak habis-habisnya menyesali nasib dirinya,
dan mengutuk si Awan Hitam yang telah memperalatnya. Jumanti sadar bahwa dirinya
telah berada dalam gengga-man tangan seorang manusia yang berjiwa aneh,
dan mempunyai kelainan jiwa. Juga berwatak ke-
jam dan sadis! Selain itu wanita itu juga berilmu tinggi, dan banyak tipu
muslihatnya yang licik.
Awan Hitam mempunyai beberapa orang anak
buah yang kesemuanya laki-laki. Mereka bekerja secara rahasia. Diantaranya ada
seorang anak buahnya yang bernama Sakera. Jumanti yang te-
lah disekap selama beberapa bulan ditempat persembunyian itu sangat tahu persis.
Dan kesemua anak buahnya tak ada seorang-
pun yang berani menyeleweng dari perintahnya.
Setiap hasil rampokan akan disetorkan pada si
Awan Hitam. Termasuk juga gadis-gadis yang berhasil dicu-
liknya. Gadis yang tertawan biasanya akan di jadi-
kan korban dari pelampiasan nafsu bejat si Awan Hitam yang diluar garis kodrat
manusia. Setelah puas atau bosan, kemudian si gadis ba-
ru diserahkan pada anak buahnya. Tentu saja dia memberikan kebebasan pada setiap
anak buahnya untuk menikmati kehangatan tubuh gadis-gadis
itu. Namun dalam jangka waktu yang telah diten-tukan si gadis harus mereka
bunuh. Demikian li-hai dan licinnya si Awan Hitam dalam memberi pe-tunjuk pada
setiap orang-orangnya, hingga sampai saat ini tak seorangpun dari anak buahnya
yang tertangkap. Bahkan sampai saat ini tempat persembunyian wanita itu belum
ada seorangpun yang mengetahuinya. Setiap anak buahnya akan
dibekali semacam serbuk racun yang dapat mem-
buat orang mati rasa dan tak dapat berpikir apa-apa, tak ubahnya seperti orang
dungu. Jumanti tampaknya sangat diistimewakan oleh
si Awan Hitam. Nasibnya bagus, karena sampai
saat ini wanita yang punya kelainan jiwa itu belum melemparkan dirinya kepada
anak-anak buahnya,
yang untuk selanjutnya akan dilenyapkan nya-
wanya. Seperti nasib para korban lainnya.
Kemunculan Nanjar yang diketahui bergelar si
Dewa Linglung alias Pendekar Naga Merah ternya-ta telah tercium oleh Awan Hitam,
atas laporan orang-orangnya. Begitu rapinya wanita itu me-nyembunyikan jejak,
dan rahasia dirinya yang ter-selubung. Hingga walaupun orang bisa mengeta-
hui gelarnya, tapi tak mengetahui dimana markas persembunyiannya berada. Bahkan
orang tak akan mengira kalau dirinya adalah seorang wanita!
Mengetahui kalau jejaknya tengah dilacak oleh
pendekar itu, diam-diam dia memasang perang-
kap. Hingga dia berhasil memperdayakan si Dewa Linglung melalui umpan yang
dilakukan oleh Jumanti. Ternyata Awan Hitam mengingini pedang
mustika Naga Merah Nanjar. Dengan serbuk racun yang membangkitkan birahi
dicampur dengan serbuk racun yang dapat membuat orang menjadi
dungu, dia berhasil memiliki dua buah pusaka si Dewa Linglung.
Namun wanita itu ingkar janji untuk membe-
baskan Jumanti, dan kembali menawan gadis itu.
Bahkan sebelumnya telah menculik ayah Jumanti, yaitu ketua perguruan Matahari.
*** JUMANTI MASIH TERMANGU dengan tubuh
kaku tak dapat digerakkan. Ketika selang sesaat wanita itu muncul lagi dari
ruang dalam. Tampaknya dia berlebih dulu menyimpan barang-barang
rampasan milik Nanjar, baru kemudian kembali ke kamar pribadinya dimana tampak
gadis itu masih terbaring seperti tadi dipembaringan.


Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kemunculan si Awan Hitam, wajah Ju-
manti tampak kelihatan pucat. Seperti dia sudah menduga apa yang akan dilakukan
wanita itu. Tampak wanita yang telah membuka cadar hitam-
nya itu menghampiri, sementara gadis ini merasakan jantungnya berdetak keras.
Sepasang matanya menatap tajam gadis itu,
dan tampak membinar-binar.
Lalu berdiri didepan Jumanti. Gadis ini menga-
tupkan matanya. Sikapnya tampak tegang menanti apa yang akan terjadi.
"Adik manis...! Aku akan membuka totokan di-
tubuhmu. Tapi kali ini kau harus melayaniku sebaik mungkin....!" berkata wanita
ini lirih. Jumanti tetap mengatupkan matanya. Dia me-
nyahut dengan suara menggetar.
"Tidak! Aku tak mau melakukan perbuatan gila
ini! Aku... Aku sudah hampir gila rasanya! Le-
paskan aku! atau... lebih baik kau bunuhlah aku sekarang juga!" Setelah berkata
demikian, gadis ini menangis terisak-isak. Wanita ini hanya tersenyum. Senyum
yang sangat kaku. Akan tetapi
tampaknya dia sudah tak dapat menahan hasrat.
Hasrat yang telah ditahan sejak siang tadi ketika melihat kejadian didalam kamar
tempat menjebak si pendekar muda Dewa Linglung.
Lengannya bergerak menanggalkan jubahnya.
Lalu melepaskan penghalang bagian-bagian tu-
buhnya yang terlarang. Kemudian dia menggerai-
kan rambutnya yang panjang lebat. Lalu... dengan sekali sentak dia telah menarik
kain penutup tubuh gadis itu.
Jumanti membelalakan mata. Tubuhnya yang
kini tak tertutup sehelai benang tampak semakin menggetar. Wajahnya semakin
memuncat. Akan tetapi pandangan mata si Awan Hitam
kian berkilat-kilat menatap ke sekujur tubuh dara itu. Napasnya memburu...
"Kau harus mau, adik manis... apakah kau tak
sayang nyawa ayahmu?" berkata si Awan Hitam.
"Aku berjanji akan melakukan kau dengan lembut.
Aku tak akan mencambukmu lagi. Dan., aku yakin kau akan merasakan perasaan yang
berbeda kali ini!" Ancaman itu tampaknya membuat gadis ini tak
bisa berkata apa-apa.
Dia sangat menyayangi ayahnya. Tapi bisakah
dia mempercayai mulut wanita yang sudah men-
dustainya itu" Betapa menyesalnya dia telah menjebak si pendekar Dewa Linglung
bernama Nanjar itu. Mengapa dia tak berterus terang, dan mengatakan yang
sebenarnya"
"Awan Hitam! Sadarkah kau bahwa kita sama-
sama seorang perempuan" Sadarkah kau bahwa
apa yang telah kau perbuat selama ini adalah perbuatan terkutuk" Kau telah
melanggar kehendak
Yang Maha Kuasa! Hidupmu penuh berlumur do-
sa! Mengapa kau tak mau menjadi manusia baik-
baik. Walau kau dapat menguasai tubuhku dan
berbuat sesukamu, tapi hatiku tidak rela!" Mendengar kata-kata Jumanti yang
demikian itu membuat kilatan mata wanita ini agak memudar.
Lengannya yang sudah menjamah dada gadis itu
dilepaskan. Dia menatap dengan pandangan ko-
song ke depan. Mendadak dia tertawa dingin, lalu berkata.
"Hihi.... kau mengatakan mengapa aku tak mau
menjadi manusia baik-baik" Hm, aku telah beru-
saha menjadi manusia yang paling baik, paling setia pada suamiku. Aku ingin
hidup tenteram dan bahagia...! Tapi apa yang ku dapatkan" Suamiku menyeleweng
dengan gadis lain, dengan perempuan yang lebih cantik dariku! Dia mulai tak men-
gacuhkan aku. Aku tak dihargai lagi sebagai seorang istri...! Betapa sakitnya
hatiku dapat kau bayangkan! Dengan hati hancur kutinggalkan suamiku! Aku pergi
jauh, jauh sekali... Kemudian aku berguru dan menuntut ilmu. Sejak aku turun
gunung, aku telah patah hati dan membenci laki-laki! Kemudian... aku mulai
menyelami kehidupan manusia yang berjenis kelamin laki-laki! Ternyata laki-laki
lebih tinggi derajatnya dari kaum perempuan! Aku mulai berpikir, mengapa aku tak
ditakdirkan jadi laki-laki" Laki-laki seenaknya saja me-nyakiti hati perempuan.
Dia dapat mempunyai istri banyak, dan bebas melakukan apa saja. Tidak seperti
perempuan yang harus menurut perintah suami.
Sejak itu pikiranku sering mulai dirasuk keinginan untuk menjadi seorang laki-
laki. Kupikir akupun bisa berbuat seperti laki-laki! Kemudian akupun
mencobanya... dan ternyata aku bisa menda-
pat kepuasan lebih dari yang telah aku rasakan.
Aku bisa berkuasa seperti laki-laki, dan bersikap kasar seperti laki-laki. Dulu
sewaktu aku masih menjadi seorang istri. Aku sering dicambuk dan didera untuk
mendapatkan kepuasannya. Kini
akupun bisa berbuat seperti itu...! Nah! kau pa-ham bukan..." Betapa sukarnya
menjadi orang baik-baik!"
Awan Hitam mengakhiri kata-katanya. Dia me-
natap gadis itu tajam-tajam, seperti menunggu
reaksi atas apa yang telah diceritakannya.
"Kau telah keliru, dan salah jalan, Awan Hitam!
Seharusnya kau tak bertindak seperti itu terhadap
kaummu sendiri. Bukan saja kau telah menipu dirimu sendiri, akan tetapi juga
merusak jiwamu sendiri! Tak semua laki-laki akan bersipat begitu.
Dan tak semua laki-laki memandang rendah kaum
perempuan. Derajat manusia tak diukur dari per-bedaan jenisnya, tapi dari
keluhuran budi peker-ti...! Kau melihat seekor binatang" Binatang adalah lebih
rendah derajatnya dari manusia. Tapi kalau manusia bertingkah buruk maka
derajatnya akan
lebih rendah dari binatang! Mengapa kau sebagai manusia menuruti tingkah laku
mirip binatang"
Kau bukan saja melakukan kejahatan merampok
harta benda, tapi juga membunuh dan memper-
mainkan sesama jenismu, mengikuti hawa nafsu
iblis yang lebih jahat dari binatang. "
Kata-kata tajam Jumanti seperti sebatang jarum yang menancap di ulu hatinya
dirasakan oleh si Awan Hitam. Mata wanita ini mendelik lebar.
"Kau-kau menganggap aku lebih jahat dari bi-
natang..." bentaknya dengan suara menggetar menahan marah. Tangannya menjambak
rambut Jumanti. Gadis ini meringis menahan sakit, dengan menggigit bibirnya. Namun
matanya tak ber-
kedip menatap wanita dihadapannya. Tampaknya
Jumanti telah menantang kematian. Lebih cepat
wanita itu menurunkan tangan maut, akan lebih
baik baginya dari pada harus tersiksa lahir dan batin.
*** DELAPAN CUKUP AWAN HITAM! Kejahatanmu telah mele-
bihi takaran! Jangan kau menambah dosa lagi!
Menyerahlah! Kau harus mempertanggung jawab-
kan perbuatanmu!" Bentakan lantang menyambar
gendang telinga si Awan Hitam. Tentu saja mem-
buat wanita ini terkejut bagai disambar geledek, dan tanpa sadar dia melepaskan
cengkeramannya pada rambut gadis itu.
Ketika dia membalikkan tubuh, alangkah terpe-
ranjatnya dia melihat seorang pemuda berambut
gondrong telah berdiri dihadapannya. Di lengannya tercekal sebatang pedang yang
masih berada dalam serangka, dan sebuah seruling tulang berkepala Naga terselip
dipinggangnya. "Pendekar Dewa Linglung!?"
Sentak Jumanti yang mengenali pemuda itu.
Akan halnya si Awan Hitam detik itu juga me-
nyambar pakaiannya, dan...
Brak! Lengannya menghantam hancur jendela
kamar. Detik selanjutnya tubuhnya berkelebat melesat keluar jendela dan lenyap
merambas masuk ke dalam hutan. Melihat si Dewa Linglung tahu-tahu muncul dikamar
pribadinya dengan keadaan
segar-bugar, Awan Hitam terkejut setengah mati, dan langsung melarikan diri.
Ternyata Nanjar tak mengejar. Sekali melompat
dia telah mendekati Jumanti, dan lengannya bergerak membuka totokan ditubuh
gadis itu. "Cepat cari pakaianmu, dan tutupi tubuhmu!"
ujar Nanjar sambil berpaling. Jumanti sesaat terpaku. Seperti mimpi rasanya dia
melihat pemuda gagah itu ternyata masih segar bugar. Bahkan telah menolong
dirinya... Namun tak ayal segera dia melompat dari pem-
baringan, dan menyambar kain yang teronggok dilantai kamar. Lalu berdiri disudut
kamar. "Kak Nanjar...! Maafkan aku...! Aku.... t... telah..."
"Sudahlah! aku sudah mengetahui semuanya.
Kau tak bersalah apa-apa...!" sahut Nanjar, seraya lambat-lambat dia berpaling
menatap gadis itu.
Melihat Jumanti telah membungkus tubuhnya
dengan kain, Nanjar menghela napas lega.
Dan tatapan kedua pasang mata itu saling be-
radu.... Tampak sepasang mata Jumanti berkaca-
kaca. Bibirnya tersenyum agak kaku, seperti sukar rasanya dia menggerakkan
bibirnya. Akan tetapi tiba-tiba mulut dara ini jadi ternganga. Matanya
membelalak. Apakah yang dilihatnya" Ternyata sosok tubuh pemuda gondrong itu
perlahan-lahan melenyap, dan sirna dari pandangan matanya.
"Ahh...!" Apakah aku bermimpi?" sentak Ju-
manti tersentak.
Akan tetapi dia merasa tidak tengah bermimpi.
Bahkan dia mencoba mencubit lengannya, dan te-
rasa sakit. Tiba-tiba jantungnya melonjak keras. Dalam
benaknya terbayang ketika tubuh pendekar muda
itu terkapar dilantai kamar, dalam rumah yang dipergunakan untuk
memperdayakannya. Tubuh
yang membugil itu ditendang oleh si Awan Hitam,
dan terlempar ke sudut ruangan tanpa sedikitpun bergerak lagi.
Dia tak mengetahui lagi apakah pendekar muda
itu hidup atau mati, atau cuma pingsan saja..."
Bisa saja dia mati karena hantaman pukulan si
Awan Hitam yang telah membokongnya. Dan kalau
pendekar itu memang benar-benar telah mati, ten-tu yang barusan muncul adalah
hantunya....! Memikir demikian gadis ini keluarkan keringat
dingin ditengkuknya.
Tapi kemudian memikir lagi, apakah pendekar
gagah itu memiliki ilmu halimun hingga bisa mele-nyapkan diri" Seribu tiga
pertanyaan memenuhi
benaknya, tapi selang sesaat segera gadis itu melompat cepat memasuki ruangan
rahasia si Awan
Hitam. Matanya mencari-cari pakaian wanita itu yang mungkin bisa dipakainya. Dia
tahu saat itu wanita itu pasti sudah kabur tunggang langgang.
Tampaknya dia sangat ketakutan melihat kemun-
culan si Dewa Linglung secara tiba-tiba dalam
ruangan kamar pribadinya yang tertutup.
Tak memakan waktu lama dia menemukan se-
perangkat pakaian si Awan Hitam. Dan tanpa
buang waktu segera mengenakannya. Baru saja
dia mau beranjak keluar, tiba-tiba dia merandek.
Benaknya memikir...
"Hm, dikamar inilah iblis perempuan itu me-
nyimpan harta rampokannya..." Disaat matanya
tengah menjalari sekitar ruangan itu memperhatikan barang-barang hasil rampokan,
tiba-tiba pan-dangannya tertumbuk pada benda yang menggan-
tung di dinding.
Mata Jumanti membelalak... dan sekali lengan-
nya bergerak, dia telah menyambar kedua buah
benda itu. "Aneh...! Bukankah ini pedang dan seruling mi-
lik pendekar muda itu" Mengapa masih berada
disini?" sentak gadis ini dalam hati. Tentu saja dia terheran. Karena jelas tadi
dia melihat kedua benda yang dirampas si Awan Hitam telah berada di tangan
Nanjar. Dalam herannya dia termangu-mangu.
Tapi segera sembunyikan pedang itu di bela-
kang punggung dibalik pakaiannya.
Sedangkan seruling tulang diselipkan diping-
gang, dibalik pakaian.
Tak membuat waktu Jumanti melompat keluar
dari ruangan kamar pribadi si Awan Hitam.
Akan tetapi baru saja dia tiba diluar, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Awan Hitam! Manusia iblis kau telah terku-
rung! Jangan coba-coba melarikan diri!" Bersa-
maan dengan terdengarnya bentakan itu, belasan sosok tubuh tahu-tahu telah
mengurungnya. Tentu saja membuat gadis ini terperanjat bukan main.
Yang membentak ternyata tak lain dari seorang la-ki-laki berpakaian orang
Kerajaan. Dialah Tu-
menggung GALIH PINUTUR yang muncul bersama
anak buahnya disarang persembunyian si Awan
Hitam. "Tahan...! Aku bukan si Awan Hitam!" teriak
Jumanti. Akan tetapi Tumenggung ini kembali
membentak. "Penipu busuk! Seribu kali kau berganti muka,
jangan harap aku tak akan mengenali!" Selesai
membentak dia berpaling pada anak-anak buah-
nya. "Cepat telan pil penawar racun! Perempuan se-
sat ini memiliki pukulan uap beracun yang ganas!"
Mendengar perintah itu, segera belasan prajurit anak buahnya merogohkan lengan
di masing-masing ke saku bajunya. Tampaknya mereka telah mempersiapkan terlebih
dulu. Dan hampir secara berbarengan mereka menelan benda kecil menye-rupai butir
pel itu. Tumenggung ini kembali membentak Jumanti
yang berdiri dengan mulut ternganga karena he-
rannya. "Kau tak akan dapat mengelabui aku lagi, Awan
Hitam. Ternyata perampok ulung dan penculik gadis-gadis itu sebenarnya bukan
seorang laki-laki"
Haha...pantas! Pantas kami orang Kerajaan sukar melacak jejakmu! Tapi kali ini
kau tak akan dapat meloloskan diri lagi, iblis betina!"
"Gila! Aku benar-benar disangka si Awan Hitam!
Celaka...!" Oh, apakah karena aku mengenakan
pakaian si Awan Hitam?" melengak Jumanti, Na-
mun dia tak dapat berpikir lagi. Dalam saat seperti itu penjelasannya akan sia-
sia saja. Tak ada jalan lain baginya selain mempertahankan diri. Mendadak dia
teringat pada pedang milik pendekar Dewa Linglung yang terselip dibalik pakaian
dibelakang punggungnya. Demi melindungi keselamatan jiwanya terpaksa dia


Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencabut senjata itu.
Melihat cahaya merah yang memancar dari
benda pedang aneh berbentuk seekor naga yang
menjulurkan ekornya berada ditangan Jumanti,
sepasang mata Tumenggung Galih Pinutur tampak
berkilat-kilat.
"Pedang mustika Naga Merah...!?" sentaknya da-
lam hati. Tapi segera dia membentak dingin.
"Bagus! Ternyata kau telah mencuri pedang
pendekar muda berjulukan si Dewa Linglung itu"
Hm, ternyata kau benar-benar seorang perampok
ulung! Tapi jangan harap kau dapat meloloskan di-ri dari kematian! Pedang
mustika itu harus dikembalikan pada pemiliknya!" Selesai berkata, laki-laki ini
segera beri isyarat pada anak buahnya untuk menerjang. Sementara dia sendiri
segera mencabut klewangnya dari pinggang.
Tak ada pilihan lain bagi gadis itu selain mempertahankan jiwanya. Menghadapi
serangan dari segala jurusan dari para prajurit Kerajaan itu, Jumanti segera membentak keras
dan memutar pe-
dangnya. *** SEMBILAN PULUHAN TOMBAK DARI TEMPAT ITU....
Diatas dahan pohon tampak seseorang duduk
bersila. Sepasang matanya terpejam. Siapa adanya pemuda berambut gondrong ini
tiada lain dari
Nanjar si Dewa Linglung.
Adalah hal yang aneh, karena tangan Nanjar
saat itu tampak mencekal dua buah benda milik-
nya. Yaitu Pedang Mustika Naga Merah, dan serul-
ing tulang kepala naga.
Selang sesaat Nanjar tampak membuka ma-
tanya. Bibirnya tersenyum menatap pedang dan
seruling ditangannya. Kemudian dia melompat
bangun. "Hm, sejak aku memiliki ilmu Sihir Putih wari-
san si Raja Penyihir Sinting baru kali ini aku menggunakan aji yang disebut
Melepas Sukma! Ingin kulihat, apakah gadis itu benar-benar terlepas totokannya. Dan kukira
sudah saatnya aku
meringkus manusia bergelar si Awan Hitam itu..."
mendesis Nanjar. Setelah menyelipkan seruling tu-langnya dipinggang, Nanjar
berkelebat turun dari dahan pohon, dan berkelebat cepat merambas hutan
belantara... *** SEMENTARA ITU pertarungan tak seimbang an-
tara seorang gadis menghadapi serbuan belasan
prajurit Kerajaan dibawah pimpinan Tumenggung
Galih Pinutur baru saja berlangsung. Ketika Jumanti memutar pedang Naga Merah.
Maka memancar sinar merah berkredepan
membuat mata para prajurit yang menerjangnya
dengan tombak-tombak terhunus menjadi silau.
Akan tetapi tiga orang prajurit telah menyerang dari samping kanan dan kiri
serta dari belakang.
Tiga batang tombak meluncur deras....
Trangng...! Gadis itu membalikkan tubuh dan menangkis
dengan sambaran pedangnya.
Akibatnya membuat mata ketiga prajurit itu
membelalak, karena masing-masing tombak mere-
ka telah putus tertabas.
Tumenggung Galih Pinutur yang melihat keta-
jaman pedang mustika itu sejenak terpaku. Sepasang matanya tambah berkilat-
kilat. Tiba-tiba dia membentak nyaring.
"Semua mundur!"
Tak sampai dua kali dia memberi perintah, be-
lasan prajurit itu segera melompat mundur. Akan tetapi tiba-tiba terjadilah
keanehan ditempat itu.
Tampak para prajurit itu sama berteriak dan
melepaskan senjatanya.
Tubuh mereka terhuyung-huyung dengan mata
mendelik dan lidah terjulur.
Masing-masing prajurit memegangi leher dan
perut yang mereka rasakan seolah-olah terbakar.
Selang sesaat satu persatu menjerit dan roboh
bergelimpangan.
Tentu saja kejadian itu membuat Jumanti ter-
heran. Akan tetapi dia segera menemukan jawa-
bannya, ketika tiba-tiba Tumenggung Galih Pinutur melompat mendekati dirinya.
Gadis ini terkejut dan menyilangkan pedangnya didepan dada. Tapi
laki-laki itu segera berkata sambil menyimpan senjatanya.
"Jangan takut, gadis manis...! Simpanlah pe-
dang rampasan itu. Kau dapat memilikinya kalau kau mengingini! Aku tak akan
berbuat apa-apa.
Kita orang sendiri...!"
"Apa maksudnya semua ini" Mengapa kau
membunuh para prajuritmu sendiri dengan me-
nyuruh menelan pel beracun itu" Dan apa mak-
sudmu dengan kata-kata Orang sendiri...?" bentak gadis ini dengan rasa curiga
masih belum lenyap.
Tumenggung Galih Pinutur tersenyum mengelus
jenggotnya yang cuma sejumput.
"Aku tahu bahwa kau sebenarnya bukan si
Awan Hitam! Bukankah kau anak gadis Ki Wikalpa ketua perguruan Matahari?"
berkata laki-laki ini.
Jumanti melengak. Dia tak mengerti pada sikap
dan perbuatan yang dilakukan Tumenggung itu.
"Benar! Namaku Jumanti. Aku ditawan dan di-
peralat oleh si Awan Hitam. Saat ini aku tengah mencari jalan untuk meloloskan
diri. Pedang mustika ini adalah milik si Pendekar Dewa Linglung yang telah
dirampas oleh si Awan Hitam. Lalu
apakah tujuanmu sebenarnya" Aku sama sekali
tak menginginkan pedang rampasan ini. Bahkan
aku akan mengembalikan pada pemiliknya!"
Tampaknya Tumenggung Galih Pinutur tengah
memikir untuk mencari jawaban pertanyaan gadis itu. Disaat itulah tiba-tiba
terdengar suara tertawa dingin, disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan tubuh manusia.
Siapa yang muncul ternyata tak lain dari si
Awan Hitam. "Hihi...hik... rupanya kau mengakali aku, adik manis" Sejak kapan kau punya ilmu
sihir hingga membuat mataku silap?"
Tentu saja gadis itu terkejut. Ketika dia berpaling, disaat itu pula lengan
Tumenggung Galih Pinutur menghantam ke depan.
Plak! Terlepaslah pedang mustika itu dari tangan
Jumanti. Disaat si gadis tersentak kaget, secepat kilat laki-laki ini telah
luncurkan lengannya menotok.
Tak ampun lagi seketika itu juga dara ini men-
geluh, dan roboh dengan tulang persendian kaku tak dapat digerakkan.
"Bagus!" berkata si Awan Hitam. Detik itu juga dia melompat untuk menjumput
pedang Naga Merah yang terlempar. Tapi ternyata saat itu Tu-
menggung Galih Pinutur juga tengah melompat
untuk memungut pedang tersebut.
Namun gerakannya kalah cepat. Karena wanita
itu telah menyambarnya terlebih dulu....
"Berikan pedang itu padaku, Awan Hitam!" ben-
tak laki-laki ini dengan wajah berubah merah padam.
"Huh! Enak saja! Aku yang bersusah payah
mendapatkannya, kau yang mau mengenyam ha-
silnya?" menyahut si Awan Hitam. Kemudian me-
lanjutkan kata-katanya. "Silahkan kau bawa gadis itu untuk pemuas nafsumu! Tapi
ingat! Kau hanya boleh pergi dengan tangan kosong. Tak secuilpun harta rampasan
yang kukumpulkan kuperbolehkan kau membawanya!" Berkerot geraham Tu-
menggung ini. Biji Matanya membesar. Laki-laki ini membentak marah.
"Kau bicara seenak perutmu saja, Martoleni!
Walau kita masih satu perguruan tapi kita berbeda tempat! Kau di tempat kotor,
dan aku ditempat
bersih!" "Huh! Percuma saja kau ditempat bersih, kalau
ternyata dirimu sendiri kotor!" ejek si Awan Hitam.
Disaat kedua orang ini tengah saling berteng-
kar, dua sosok tubuh kira-kira lima puluh tombak dari tempat itu tampak berjalan
cepat sambil bercakap-cakap dengan suara perlahan. Siapa adanya mereka tiada
lain dari si Kepala Prajurit Windu Pa-ti dan seorang laki-laki berusia empat
puluh lima tahun lebih. Dialah Reka Ananta.
"Lihat paman! Tapak kaki kuda semakin banyak
disini..." desis Windu Pati. Reka Ananta menganggukkan kepala. Lalu
memperhatikan bekas-bekas
tapak kaki kuda itu yang tampak ditanah dan
rumput basah. "Kukira rombongan berkuda itu rombongan la-
sykar Kerajaan! Aku menemukan tanda pangkat
ini..!" kata Reka Ananta seraya menunjukkan ben-da yang ditemukan diantara
rerumputan. Ternyata sebuah lencana. Hati Windu Pati tercekat. Dia
mengambil benda itu dari tangan laki-laki tua itu.
Lalu memperhatikan baik-baik.
"Hm, ini lencana yang biasa dipakai oleh prajurit bawahan Tumenggung Galih
Pinutur!" sentak
perwira muda ini.
"Apakah Adipati memerintahkan Tumenggung
Galih Pinutur juga untuk meringkus si Awan Hi-
tam?" berkata Windu Pati.
"Bisa juga demikian...! Apakah kau tak menge-
tahui hal itu." tukas Reka Ananta. Windu Pati menggeleng.
"Hm, mari kita teruskan pelacakan jejak kaki
kuda itu, paman...!" kata perwira ini seraya menyimpan benda itu dalam saku
bajunya. Keduanya segera merambas semak belukar mengikuti tapak-
tapak bekas kaki kuda.
Reka Ananta yang merambas semak sebelah
kanan mendadak merandek, dia berkata perlahan.
"Aku melihat banyak jejak kaki berterompah
kulit ditempat ini!"
"Tunggu! Beri tanda tempat yang kau temukan
itu, paman... dan cepat kemari!" kata Windu Pati.
Reka Ananta mengiyakan. Setelah mematahkan
sebatang ranting kayu, dia menemui pemuda itu
yang melacak ke sebelah kiri.
"Apakah yang kau temukan?" tanya laki-laki ini.
"Aku mendengar suara ringkik kuda dibalik se-
mak sana...!"
"Mari kita melihatnya!" sentak Reka Ananta.
Bergegas keduanya merambas semak. Tapak kaki
kuda memang tak kelihatan lagi karena tempat itu agak gelap dari rimbunnya
pepohonan yang mene-duhi.
Akhirnya mereka berhasil menemukan tiga ekor
kuda ditengah semak belukar. Ketiga ekor kuda itu dalam keadaan tertambat pada
masing-masing tali yang diikatkan ke batang pohon.
"Tak salah dugaanku! Kuda hitam kekar itu mi-
lik Tumenggung Galih Pinutur...!" berkata Windu Pati dengan berbisik. Kemudian
dia memberi isyarat pada Reka Ananta untuk kembali ke tempat
tadi. Tak lama keduanya telah mengikuti jejak tapak-
tapak kaki beralas terompah kulit yang ditemui oleh Reka Ananta. Selang
sesaat.... "Tapak-tapak kaki lenyap! Kukira mereka ber-
pencar!" desis Reka Ananta. Windu Pati mengang-
guk membenarkan, seraya ujarnya.
"Jelaslah kalau Tumenggung Galih Pinutur te-
lah turut serta dalam tugas ini. Bagus! kita telah gagal mengatur rencana
membekuk manusia bergelar Awan Hitam itu. Hal ini menguntungkan bagi kita,
karena kita tak mengetahui dimana adanya markas si Awan Hitam. Bagiku tak
menjadi soal, apakah Tumenggung Galih Pinutur yang berhasil
meringkus manusia itu, dan dia yang mendapat
penghargaan. Penghargaan yang memang patut di-
terimanya dari Kanjeng Adipati. Yang penting aku bisa mengetahui bagaimana nasib
ayah dan adikku...!"
"Aku setuju dengan pendapatmu, Windu Pati!
Keselamatan ayah dan adikmulah yang paling
penting!" tukas Reka Ananta. Diam-diam dalam
hati laki-laki ini memuji kebersihan jiwa si perwira muda itu.
Keduanya segera beranjak maju. Mereka men-
duga tempat yang dituju tak jauh lagi. Benar saja mereka telah melihat sebuah
bangunan kayu bera-tap rumbia berada di tengah kerimbunan pohon-
pohon besar. Baru saja menindak kurang lebih lima belas
langkah, mendadak mereka mendengar suara
orang bertengkar mulut.
Cepat-cepat Windu Pati memberi isyarat agar
tak bergerak dulu. Terdengar suara seorang wanita membentak.
"Tidak! Kau kembalilah ke Kota Raja! Jangan hiraukan aku!"
Kemudian terdengar suara laki-laki.
"Aku sudah memutuskan untuk berhenti jadi
Tumenggung. Aku bosan diperintah Adipati. Kuki-ra lebih enak jadi petualang! Aku
bisa hidup bebas seperti dulu."
Itulah suara Tumenggung Galih Pinutur. Windu
Pati melengak heran.
"Siapakah wanita itu, dan apakah yang menye-
babkan Tumenggung itu mau mengundurkan di-
ri?" perwira Kerajaan ini berkata dalam hati. Karena penasaran pemuda ini segera
melompat keluar dari tempat persembunyian. Alangkah terperanjat-nya Windu Pati
ketika melihat belasan prajurit Kerajaan bergeletakan ditempat itu. Dalam
terkejutnya dia berteriak tertahan. Tentu saja teriakan kaget itu membuat
Tumenggung Galih Pinutur terkejut dan menoleh kebelakang. Seketika berubah
wajahnya melihat Windu Pati si Kepala Prajurit itu muncul bersama seorang laki-
laki seusia dirinya.
Segera dia mengetahui siapa adanya laki-laki itu.
"Windu Pati... dan si ketua perguruan Trisula
Dewa?" desisnya terkejut. "Edan! Apa yang terjadi dengan SAKERA" Apakah dia
gagal meracun anj-ing Adipati ini dan sebelas anak buahnya?" berkata Tumenggung
dalam hati. Dalam situasi seperti ini ternyata Tumenggung Galih Pinutur tiba-
tiba berubah haluan. Mendadak dia membentak keras
pada wanita itu.
"Perempuan bejat hina dina! Dosamu sudah tak
terampuni, Awan Hitam! Setelah kau membunuh
belasan orang prajuritku, kau mengajak aku be-
kerja sama dalam kejahatan" Walaupun kau
memberikan padaku lebih dari separuh dari harta
rampokan itu jangan harap aku sudi mengampuni
jiwamu!"

Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumenggung Galih Pinutur menutup kata-
katanya dengan hantaman keras ke arah batok
kepala wanita itu.
Melihat datangnya serangan, Awan Hitam mi-
ringkan tubuhnya ke samping. Namun Tumeng-
gung itu kembali merangsak dengan serangan se-
rangan susulan. Terpaksa wanita ini gunakan pedangnya untuk menabas dan balas
menyerang. Ternyata wanita ini memiliki kegesitan tubuh yang mengagumkan. Beberapa kali
jotosan lengan dan
tendangan kaki Tumenggung itu berhasil dielak-
kan. Whuuut! Whuuut!
Cahaya merah membias udara... Tumenggung
Galih Pinutur tersentak kaget.
Terasa hawa dingin menyambar menyentuh ku-
lit tubuh. Kalau saja dia tak lemparkan tubuhnya dan berguling ke samping,
mungkin saat itu pinggangnya telah dapat tertabas pedang.
Sementara itu Windu Pati dan Reka Ananta
berdiri dengan terpaku menatap kearah pertarungan. Disamping heran karena
mendengar disebut-
nya wanita itu dengan sebutan Awan Hitam, mere-ka juga kesima melihat pedang
berbentuk aneh yang memancarkan cahaya merah ditangan wanita
itu. Bahkan mereka terkejut melihat sambaran pedang itu nyaris mencelakai
Tumenggung Galih Pinutur.
Disaat itulah tiba-tiba mata Windu Pati terbentur pada sesosok tubuh wanita yang
tergeletak tak jauh dari pertarungan. Jantungnya melonjak...
dan detik itu juga dia melompat ke arah gadis yang terkapar itu untuk melihat
lebih jelas. Membelalak seketika mata Windu Pati mengetahui wanita itu tak lain
dari adik perempuannya.
"Jumanti...!?" teriaknya dengan terperanjat.
Disaat itu Tumenggung Galih Pinutur berguling
kearahnya. "Dia cuma pingsan saja! Cepat kalian bereskan
wanita iblis itu! Dialah si Awan Hitam! Biar aku merawat lukanya. Adikmu telah
terkena racun ganas akibat pukulan Uap Beracun wanita telengas itu!" berbisik
Tumenggung ini.
Dalam saat seperti itu sukar bagi Windu Pati
untuk tidak mempercayai apa yang diucapkan si
Tumenggung. Dia bangkit berdiri, dan mencabut
sepasang pedang tipisnya dari pinggang. Wajahnya mengelam, giginya berkerot.
Pemuda ini membentak keras seraya melompat
kedepan wanita itu.
"Benarkah kau si Awan Hitam"!"
Orang yang dibentak tersenyum dingin. Ma-
tanya berkilat melihat pemuda dihadapannya.
"Tidak salah perwira gagah! Hihi...tentunya kau anak sulung Ki Wikalpa yang
berdiam di Kota Ra-ja" Bagus! Kedatanganmu memang telah kunanti-
kan. Ayahmu telah menjadi manusia tak berguna.
Aku telah memberi dia minum serbuk racun yang
paling ganas! Rupanya kau beruntung tak berna-
sib buruk seperti sebelas orang anak buahmu...!"
"Keparat! Sudah kuduga laki-laki bernama Sa-
kera itu adalah anak buahmu! Kau.... kau benar-
benar licik! Tapi aku belum percaya sepenuhnya bila seorang perempuan sepertimu
telah melakukan pemerkosaan terhadap sesama jenismu!"
Walaupun saat itu dada Windu Pati rasanya se-
perti mau meledak karena marahnya mendengar
apa yang telah dilakukan wanita itu, tapi dia masih bisa menahan diri.
"Hihi...hik... aku memang punya kelainan jiwa, anak muda! Aku benci pada semua
laki-laki, termasuk Tumenggung itu, juga ayahmu sendiri!"
"Ayahku....?" sentak Kepala Prajurit ini.
"Benar! Ayahmu adalah manusia yang paling
kubenci. Tahukah kau Windu Pati" Aku adalah
bekas isterinya sebelum tua bangka itu memperis-terikan ibumu! Dua belas tahun
yang lalu aku telah membunuh perempuan yang telah merebut
suamiku itu, yaitu ibumu. Aku telah mencekok
ibumu dengan serbuk racun yang menghantar
nyawanya ke liang kubur. Waktu itu nasib ayahmu masih bagus, karena aku tak
membunuhnya. Cukup dengan aku memotong sebelah kakinya seba-
gai pembalasan dendamku terhadap dirinya.
Sengaja kubiarkan dirinya tetap hidup. Karena
suatu ketika aku akan menyiksanya lebih kejam
dari siksaan yang telah kualami semenjak aku
menjadi isterinya! Namun hatiku belum puas be-
lum menghancurkan seluruh keturunannya!"
Bagaikan mendengar petir mengguntur disiang
hari, Windu Pati tersentak kaget. Dia sama sekali tak menyangka kalau wanita itu
ada sangkut paut dengan keluarganya. Disaat itulah tiba-tiba dengan gerakan
cepat sekali wanita itu menusukkan
pedang ditangannya ke dada Windu Pati.
Akan tetapi pada detik yang sama tiba-tiba se-
butir batu kecil telah menghantam badan pedang, bahkan lebih cepat dari gerakan
luncuran pedang itu.
Seketika pedang Naga merah terlepas dari tan-
gan wanita itu. Windu Pati bagai baru tersadar da-ri kesimanya. Dia melompat
kebelakang dengan
jantung menyentak. Nyaris nyawa melayang....
Sesosok tubuh berkelebat dari balik pepohonan.
Hal itu tak luput dari mata si Awan Hitam. Dengan cepat dia menyambar pedang
yang menancap ditanah tak jauh darinya. Hatinya mencelos ketika melihat siapa
yang muncul ditempat itu.
"Pendekar Dewa Linglung...!?" sentaknya dalam
hati. Secara tak sadar dia mundur dua langkah.
Matanya menatap tajam si pemuda gondrong.
"Haha... rupanya tukang perkosa gadis itu seo-
rang perempuan gendeng" Pantas sukar aku mela-
cak jejak!"
Kalau Windu Pati menatap dengan pandangan
kagum melihat pendekar yang bergelar si Dewa
Linglung itu ternyata seorang pemuda gagah be-
rambut gondrong. Si Awan Hitam menatapnya
dengan terheran. Karena ditangan pemuda itu tercekal juga sebuah pedang yang
sama dengan yang berada ditangannya.
"Apakah pendekar ini memiliki sepasang pedang
yang sama bentuknya?" berkata si Awan Hitam dalam hati. Mendadak dia teringat
pada kejadian tadi dimana pemuda itu muncul dikamar pribadinya.
Jelas di melihat pedang dan seruling tulang kepala
Naga telah berada ditangan pemuda gondrong itu.
Kalau saja dia tak dalam keadaan telanjang bulat mungkin tak nantinya dia kabur
dengan mendo-brak jendela.
"Hm, Dewa Linglung! Rupanya kau memiliki se-
pasang pedang mustika! Kalau kau mau berga-
bung denganku, tentu kita akan menjadi sepasang tokoh Rimba Hijau yang sukar
terkalahkan!" berkata wanita ini dengan nada rendah.
Diam-diam wanita ini mengagumi kehebatan
pendekar muda ini yang telah mampu memunah-
kan racun dalam tubuhnya. Padahal racun yang
dibekalkan pada Jumanti adalah lebih keras dari racun lainnya.
Satu hal yang aneh adalah sosok tubuh yang
muncul dikamar pribadinya. Benarkah pemuda itu sendiri yang telah memasuki
kamarnya, ataukah
dia cuma tertipu pandangan mata saja" Keragu-
raguan tampak jelas membayang pada raut muka
wanita ini. "Baik! Aku bersedia bergabung denganmu asal-
kan kau berikan harta rampasan itu padaku se-
muanya!" berkata Nanjar sambil tersenyum. Tapi Nanjar meneruskan lagi ucapannya.
"Juga sekalian kau serahkan dirimu untuk kuringkus!"
Walau nyalinya agak menciut dengan muncul-
nya pendekar muda yang misterius itu, namun
wanita ini masih mampu membentak marah.
"Bocah jumawa! Kau hadapi pedangmu sendiri!"
seraya membentak wanita ini menerjang dengan
sambaran pedang ditangannya. Akan tetapi disaat itu Dewa Linglung sudah
berkelebat ke samping,
dan melompat ke atas dahan pohon. Diam-diam
Nanjar menggunakan ilmu Sihir Putihnya.
"Haha... Awan Hitam! Kau keliru kalau me-
nyangka aku memiliki sepasang pedang! Apakah
kau tak melihat jelas benda yang kau pegang itu seekor kepiting" Apakah kau mau
merebusnya un-tukku?"
Terperanjat seketika si Awan Hitam saat melihat pedang yang berada ditangannya
tiba-tiba lenyap.
Matanya membelalak lebar ketika dia melihat lengannya menggenggam seekor
kepiting. Bahkan terasa binatang itu bergerak-gerak
menggelitik telapak tangannya. Tanpa berpikir dua kali, wanita ini melempar
binatang itu dari tangannya sambil menjerit terkejut.
Apa yang telah dilemparkan itu adalah masih
berbentuk sebuah pedang, yaitu pedang mustika
Naga Merah. Dan didetik itulah si Dewa Linglung dengan sebat menangkapnya.
"Haha...haha... terimakasih, Awan Hitam. Kau
telah mengembalikan pedangku! Tapi masih satu
lagi benda yang belum kau kembalikan!"
Melotot mata si Awan Hitam melihat di tangan
si Dewa Linglung tampak dua buah pedang yang
sama. Tapi pedang Naga Merah satunya tiba-tiba lenyap secara aneh.
Tahulah dia kalau dirinya kena tipu. Tapi ha-
tinya tersentak karena mengetahui pemuda gon-
drong itu memiliki ilmu sihir yang luar biasa hingga dia tertipu oleh pandangan
matanya sendiri.
Merasa dirinya dalam bahaya, lalu wanita ini mengambil jalan pintas, berkelebat
melarikan diri!
Melihat si Awan Hitam menghambur melarikan
diri, Reka Ananta yang sedari tadi cuma diam terpaku ditempatnya, terdengar
membentak keras,
dan mengejar wanita itu.
"Perempuan iblis, kau tak akan dapat melo-
loskan diri lagi!"
Tubuh Reka Ananta si Pendekar tua bergelar si
Tongkat Trisula Dewa itu berkelebat bagai seekor alap-alap memburu mangsanya.
"Tinggalkan nyawamu manusia terkutuk!" ben-
tak Reka Ananta.
Sesaat saja dia telah menghadang di depan si
Awan Hitam. "Kau masih ingat peristiwa enam belas tahun
yang lalu"
Perhatikan wajahku! Akulah suami orang yang
kau bunuh! Kau telah membunuh istriku tanpa
sebab, disaat isteriku baru saja melahirkan seorang bayi perempuan! Waktu itu
aku berhasil me-lukai wajahmu dengan goresan pedangku. Tapi
saat itu ilmuku terlalu rendah, hingga kau berhasil menabas putus sebelah tangan
kananku!" berkata dingin Reka Ananta.
Tentu saja berubah piaslah paras si Awan Hi-
tam. Segera dia mengenali siapa adanya laki-laki itu. Tampaknya Reka Ananta tak
dapat membendung kemarahannya lagi. Dia menerjang dengan
sambaran tombak Trisulanya.
Terjadilah pertarungan yang mendebarkan. Na-
mun baru lewat empat-lima jurus wanita itu membentak keras dan menghamburkan
senjata rahasia jarum-jarum beracun.
Suatu hal yang tidak diduga, Reka Ananta sama
sekali tak menghiraukan serangan yang mengan-
dung maut itu buat dirinya. Bersamaan dengan
menancapnya ratusan jarum ke tubuhnya, tombak
Trisulanya pun menembus jantung si Awan Hitam.
Wanita ini mengerang. Tubuhnya terhuyung-
huyung. Darah merembes dari dadanya yang ter-
panggang Tombak Trisula Dewa.
Namun tak lama terlihat tubuh wanita itu oleng, lalu roboh terjungkal...
Dewa Linglung dan Windu Pati segera melompat
memburu ke tempat itu.
"Paman...!?" teriak Windu Pati seraya melompat ke arah tubuh Reka Ananta. Akan
tetapi dia tak berani memeluknya, karena melihat ratusan jarum menancap ditubuh
laki-laki sahabat ayahnya itu.
Sementara itu Nanjar menatap ke arah si Awan
Hitam. Ternyata wanita itu telah melepaskan nya-wa. Kematiannya seperti sudah
ditakdirkan untuk mati di tangan Reka Ananta. Yaitu suami dari seorang wanita
yang telah dibunuhnya belasan tahun yang silam.
Perwira muda itu menitikkan air mata melihat
keadaan laki-laki sahabat ayahnya dalam keadaan sekarat. Tampaknya Reka Ananta
masih mampu untuk membuka mata. Bibirnya bergerak-gerak
mengeluarkan kata-kata terputus-putus.
"Windu... Pa... ti... mau... kah... kau... me...
me... nu... hi... permin... ta... an... ku...?"
Pemuda ini tersenyum, dan anggukkan kepala
dengan terharu.
"Tentu, paman...! Katakanlah...! Aku pasti akan
memenuhi permintaanmu..." menyahut Windu Pa-
ti. Reka Ananta tampak kelihatan senang. Bibirnya tersenyum. Lalu kembali dia
berkata dengan terputus-putus.
"Am... bil.. lah... a., n., a., k... ga.. dis... ku...
un... tuk... is.. tri... mu..." Windu Pati mengang-gukkan kepala. Baru saja
perwira muda itu men-
gangguk, kepala Reka Ananta terkulai. Nyawanya melayang dari raganya.
Windu Pati teteskan air bening dari pelupuk
matanya. Dia tenggelam dalam keharuan, dan terpaku sampai beberapa saat lamanya.
Ketika dia menoleh kearah si Dewa Linglung,
terkejut pemuda ini karena melihat pendekar mu-da itu tak ada disekitar tempat
itu. "Ah, kemanakah pendekar aneh itu...?" sentak-
nya berdesis. Mendadak dia teringat pada adiknya yang dibawa oleh Tumenggung
Galih Pinutur. Ada rasa syak dihatinya terhadap Tumenggung itu.
Setelah menutupi mayat Reka Ananta dengan
dedaunan, Windu Pati segera mencari adik perempuannya. Dia memeriksa seluruh
ruangan didalam bangunan yang dijadikan markas si Awan Hitam.
Alangkah terkejutnya perwira muda ini karena tak mendapatkan Tumenggung berada
ditempat itu. Dalam sebuah ruangan dia hanya menemukan
secarik kain bertulisan. Cepat dia membacanya.
Aku mengejar Tumenggung itu, kukira dia telah kabur melarikan diri membawa harta
rampasan dan adik perempuanmu. Sebaiknya kau kembali sa-ja ke Kota Raja.
Urusan itu serahkan padaku! DEWA LINGLUNG
Wajah Windu Pati membersitkan rasa girang.
Segera disimpannya kain bertulisan itu dalam sa-ku baju.
"Sebenarnya aku akan mencari dimana ayahku
ditawan si Awan Hitam. Tapi baiklah, aku akan ke Kota Raja dulu memberitahukan


Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal ini pada Kanjeng Adipati..." berkata perwira muda ini dalam ha-ti. Selesai
mengambil keputusan, pemuda Kepala Prajurit ini segera berkelebat meninggalkan
tempat itu.... *** Malam itu juga Windu Pati tiba di Kota Raja, se-
telah sebelumnya menyimpang dulu keperguruan
Matahari untuk mengambil kuda. Perwira muda
ini langsung menghadap Adipati. Lalu melaporkan semua kejadian. Kemudian dia
menunjukkan surat yang ditulis oleh Nanjar si Dewa Linglung.
Keesokan harinya ketika Adipati tengah bersiap-siap untuk meninjau keadaan di
markas si Awan Hitam, tiba-tiba tiga ekor kuda muncul di ujung jalan memasuki pintu gerbang
Kota Raja. Duduk dipunggung kuda paling depan adalah
seorang gadis belia.
Siapa adanya gadis itu tiada lain dari Jumanti.
Dipunggung kuda kedua dibelakang gadis itu tampak dua sosok mayat laki-laki tak
dikenal. Dipunggung kuda ketiga adalah sebuah bunta-
lan kain entah berisi benda apa. Dan dibagian belakang sekali tampak seorang
laki-laki berjalan tersaruk-saruk mengikuti dibelakang kuda. Kedua lengannya
dalam keadaan terbelenggu, dan terikat dengan kuda didepannya.
Siapa adanya laki-laki ini adalah tak lain dari Tumenggung Galih Pinutur.
Keadaannya tak ada
bedanya dengan sebelas orang prajurit yang bera-da di perguruan Matahari.
Kegembiraan Windu Pati tak terlukiskan. Dia
memeluk adik perempuannya dengan terharu.
Adipati segera diperintahkan prajuritnya untuk memasukkan Tumenggung Galih
Pinutur ke dalam
kamar tahanan. Ternyata buntalan kain diatas
punggung kuda adalah benda-benda berharga ha-
sil rampokan si Awan Hitam yang bekerja sama
dengan Tumenggung Galih Pinutur.
"Dimana pendekar aneh bergelar Dewa Linglung
itu?" bertanya Windu Pati
"Dia baru saja pergi..! Dan menyuruhku mem-
berikan surat ini pada Kanjeng Adipati!" sahut Jumanti. Bergegas pemuda ini
memberikannya pada Adipati. Dalam surat itu Nanjar mengatakan di mana
disimpannya obat penawar racun dalam kamar
Tumenggung. Surat singkat itu dibaca berulang-
ulang oleh Adipati. Didengarkan oleh Windu Pati dan Jumanti, serta beberapa
orang prajurit kadipaten.
"Pendekar aneh! Menulis suratpun sesingkat
ini...!" Windu Pati dan Jumanti saling tatap dengan
tersenyum. Namun kegembiraan dalam hati mere-
ka sungguh tak berlukiskan. Terlebih-lebih Ju-
manti. Masih teringat ketika pendekar gagah berambut
gondrong itu menolong dirinya dari tangan Tu-
menggung Galih Pinutur yang mau memperko-
sanya. Kedua mayat itu adalah anak buah Tu-
menggung itu yang berhasil ditewaskan dalam pertarungan.
"Bagaimana ayah kita, apakah sudah diketemu-
kan?" tanya Jumanti.
"Kita akan mencarinya hari ini di markas si
Awan Hitam...!" sahut Windu Pati. Jumanti men-
gangguk. TAMAT https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan: Clickers Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
Document Outline
SATU *** *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** *** TUJUH *** *** DELAPAN *** SEMBILAN *** *** TAMAT Pendekar Pemanah Rajawali 17 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Tembang Tantangan 4
^