Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 23

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 23


Namun baginya, siapapun juga, tetapi jika ia datang atas nama
Jipang, maka ia pun harus dihancurkannya pula.
Tetapi segala sesuatunya tergantung atas perintah yang
diterimanya menghadapi pasukan lawan yang semakin terdesak
itu. Meskipun demikian Pajang masih tetap memperhitungkan
kehadiran pasukan Jipang itu, sehingga Pajang tidak dapat
mengirimkan pasukan yang kuat menyusul pasukan yang
dipimpin langsung oleh Adipati Pajang untuk menghadapi
pasukan Jipang yang dipimpin langsung oleh Adipati Jipang.
Dengan demikian maka pasukan Pajang telah tertahan untuk
tidak mengambil langkah-langkah yang keras terhadap pasukan
Jipang yang terdiri dari anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan. 4 SH. Mintardja Karena itulah maka di hari berikutnya pasukan kecil dari
Tanah Perdikan Sembojan itu tidak dapat gangguan sama sekali
dari orang-orang Pajang. Namun satu hal yang dipahami oleh orang-orang Pajang
bahwa di antara pasukan kecil itu terdapat sedikitnya dua orang
yang berilmu tinggi, sehingga para pemimpin Pajang harus
memperhatikannya. Hari itu dilalui oleh pasukan Tanah Perdikan Sembojan
dengan ketegangan yang mencengkam. Para pengamatnya dengan waspada
mengamati padang perdu diluar
hutan. Tetapi ternyata mereka tidak
pernah melihat sesuatu yang
mencurigakan. Sementara itu, para pengamat dan petugas sandi
dari Pajang memperhatikan
pasukan itu dari kejauhan.
Namun mereka mendapat perintah untuk tidak berbuat
sesuatu atas pasukan itu atau
memancing keadaan, sehingga
timbul kegelisahan yang akan dapat mengubah kedudukan
pasukan yang sudah diketahui tempatnya itu.
Ketika kemudian malam turun, maka para petugas sandi pun
telah memperketat pengamatan mereka. Bukan saja pada
pasukan kecil di hutan itu. Tetapi juga pada pasukan induk dari
kekuatan Jipang yang berada di sisi Timur itu.
Dengan cermat mereka memperhatikan, apa yang terjadi dan
apa yang telah dilakukan oleh kedua bagian dari pasukan Jipang
itu. Kemudian atas hasil pengamatan mereka setelah lewat senja,
maka para petugas sandi dari Pajang memperhitungkan, bahwa
5 SH. Mintardja kedua pasukan itu akan melakukan satu gerakan bersama pada
malam itu. "Apakah mereka akan menyerang?" bertanya salah seorang di
antara para petugas sandi.
"Kita siapkan pasukan Pajang untuk menahan mereka jika
benar mereka akan menyerang. Tetapi semuanya masih harus
diperhitungkan," jawab yang lain.
Karena itu, maka laporannya telah sampai kepada para
pemimpin prajurit Pajang tentang gerakan-gerakan dari kedua
pasukan Jipang itu. Memang ada beberapa dugaan. Di antaranya adalah, bahwa
kedua pasukan itu sedang berusaha untuk menemukan jalan agar
mereka dapat menggabungkan diri.
"Mereka tidak akan dengan serta merta menyerang dari dua
alas yang berbeda. Apalagi nampaknya pasukan yang datang
kemudian itu belum mapan," berkata salah seorang Senapati
setelah mengurai semua laporan yang sampai kepadanya dari
segala pihak. Beberapa orang Senapati sependapat. Nampaknya kedua
pasukan yang bersiap-siap itu sekadar mencari jalan untuk saling
bergabung. Meskipun demikian, pasukan Pajang tidak ingin mengalami
akibat yang buruk dari kelengahannya. Pasukan Jipang itu dapat
saja melakukan sesuatu yang tidak terduga atau yang tidak
diperhitungkan sebelumnya. Menyerang dengan pasukan yang
kurang mampu alas berpijaknya di malam hari.
Karena itu, maka semua kubu pertahanan Pajang pun telah
dipersiapkan. Pasukan berkuda yang meskipun tidak begitu besar
telah siap menjelajahi daerah perbatasan. Jika benar pasukan
Jipang itu menyerang disisi yang mana pun, pasukan Pajang
telah siap untuk menghadapinya.
Dengan tegang para petugas sandi mengamati gerak pasukan
Jipang. Mereka mengikuti dengan cermat apa yang telah
6 SH. Mintardja ditugaskan untuk menilai keadaan mengambil kesimpulan bahwa
pasukan Jipang itu tidak akan menyerang.
"Seperti yang sudah kita duga sebelumnya," berkata seorang
petugas sandi. "Pasukan Jipang itu sekadar menjemput kawan-kawannya
yang terlalu kecil untuk berjalan sendiri di daerah lawan seperti
ini," sahut yang lain.
"Kita akan melakukan hal yang sama jika kita mengalami
keadaan seperti itu," berkata yang lain lagi.
Namun para petugas sandi itu tidak meninggalkan sasaran
pengamatan mereka sehingga pasukan yang bergabung itu
kembali ke landasan pertahanan mereka semula.
Seorang petugas sandi menarik nafas dalam-dalam. Dengan
tegang ia mengikuti gerak pasukan Jipang itu. Namun demikian
ia masih juga sempat bergumam, "Satu gerakan yang manis.
Gelar yang dipasang pada saat-saat yang gawat merupakan gelar
yang sangat mapan, sehingga seandainya pasukan Pajang
menyerang, mereka akan sempat menemukan jalan keluar."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Sejak semula kita
menyadari, bahwa para Senapati Jipang adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan yang tinggi. Bukankah dalam tata
keprajuritan Pajang dan Jipang mempunyai sumber yang sama,
sehingga banyak kesamaan di dalam tata gerak kita dengan
mereka?" Petugas yang pertama mengangguk-angguk. Namun ia pun
berdesis, "Tetapi ingat, mereka tidak terdiri dari para prajurit
Jipang. Tetapi mereka terdiri dari orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan." "Tetapi pelatih-pelatih mereka dan sekarang yang memegang
kendali atas mereka adalah orang-orang Jipang," jawab
kawannya. 7 SH. Mintardja Petugas sandi yang pertama mengangguk-angguk. Desisnya,
"Ya. Yang memegang kendali atas mereka adalah orang-orang
Jipang." Karena itulah, maka pasukan Pajang kemudian mendapat
laporan bahwa meskipun sebagian dari pasukan Jipang itu adalah
anak-anak muda dari Tanah Perdikan, namun mereka memiliki
kemampuan sebagaimana prajurit Jipang.
"Tetapi bagaimanapun juga kita mendapat perintah untuk
memperlakukan mereka tidak sebagaimana kita memperlakukan
prajurit Jipang itu sendiri," berkata salah seorang Senapati.
Tetapi perintah itu memang sangat berat untuk dapat
dilakukan dengan seksama. Dalam pertempuran yang
sebenarnya, apabila orang-orang Tanah Perdikan Sembojan
bergabung dengan para prajurit Jipang, para prajurit Pajang
tentu sulit untuk memilih dan memperlakukan mereka dengan
cara yang berbeda. Dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang
dipimpin oleh Ki Wiradana memang telah bergabung dengan
pasukan Jipang yang sebagian mereka juga terdiri dari anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan. Kedatangan mereka telah
disambut dengan gembira oleh anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan. Pada saat pasukan Jipang itu menjemput mereka,
maka anak-anak Sembojan itu tidak sempat menyatakan
kegembiraan mereka atas kedatangan kawan-kawan mereka yang
menyusul kemudian itu. Baru setelah mereka berada di rumah-
rumah yang mereka pergunakan sebagai barak-barak pasukan
Jipang disisi Timur Pajang itu, maka mereka dapat menyatakan
perasaan mereka. Anak-anak muda yang telah lebih dahulu
berada di Pajang itu merasa seolah-olah mereka mendapat
kesempatan untuk melihat kampung halamannya di Tanah
Perdikan Sembojan. Namun dalam pada itu, pada kesempatan yang mereka
dapatkan kemudian untuk berbicara agak panjang, anak-anak
muda yang datang kemudian menjadi berdebar-debar.
8 SH. Mintardja Kesempatan menempa diri anak-anak muda itu tidak seluas
kawan-kawan mereka yang terdahulu. Karena itu ketahanan
tubuh mereka agak berbeda.
Namun seorang di antara anak-anak Tanah Perdikan
Sembojan yang telah berada lebih dahulu di Pajang itu pun
berkata, "Tetapi dengan demikian kita telah mendapatkan satu
pengalaman yang dahsyat di dalam hidup kita. Pada satu saat,
jika kita mendapat kesempatan kembali ke Tanah Perdikan
Sembojan, kita akan membuat Tanah Perdikan Sembojan
menjadi satu Tanah Perdikan yag luar biasa kuatnya."
"Jika kesempatan itu tidak dapat kita dapatkan?" bertanya
kawannya. "Kita gugur dalam perjuangan yang suci untuk menegakkan
garis keturunan tahta di Tanah ini," jawab kawannya.
Bagaimanapun juga, terasa kulit anak muda yang datang
kemudian itu meremang. Gambaran-gambaran yang
didapatkannya dari kawan-kawannya memang menggetarkan.
Karena itu memang ada beberapa tanggapan atas ceritera
tentang pertempuran-pertempuran yang pernah terjadi di
Pajang. Ada di antara anak-anak muda itu yang menjadi bangga,
bahwa mereka telah mendapat kesempatan untuk melakukan
satu kerja dan tugas besar. Tetapi ada di antara mereka yang
menjadi berdebar-debar karena kerja yang terbentang dihadapan
mereka benar-benar kerja yang harus dilakukan dengan
mempertaruhkan nyawa. Sementara itu mereka tidak tahu dan
tidak yakin, apakah yang disebut perjuangan itu benar-benar
mempunyai nilai seperti yang dikatakan.
"Siapakah yang sebenarnya berhak atas tahta Demak?"
bertanya beberapa orang di antara mereka. Tetapi tidak seorang
pun yang dapat menjawab dengan mantap. Kecuali jika mereka
bertanya kepada para prajurit Jipang.
Sementara itu, Ki Randukeling dan Ki Rangga Gupita tengah
berbicara dengan para pemimpin pasukan Jipang. Ki
Randukeling berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang
9 SH. Mintardja dihadapi Tanah Perdikan lebih dahulu dengan dukungan prajurit
Jipang yang ada di Pajang.
"Kami berkeberatan Ki Randukeling," jawab Panglima prajurit
Jipang, "Kami mendapat tugas disini. Kami memerlukan bantuan
segala pihak untuk tugas ini. Bukan sebaliknya, meskipun kami
berjanji bahwa jika tugas kami disini sudah selesai, kami akan
pergi ke Tanah Perdikan Sembojan, mengantar kembali anak-
anak muda yang telah dengan gagah berani membantu kami
dalam perjuangan ini. Merekalah yang tentu akan dapat
menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan mereka tanpa campur
tangan orang lain. Tetapi jika keadaan memaksa maka kami pun
tidak akan segan-segan turun tangan. Aku yakin, bahwa tugas itu
akan selesai dalam satu hari."
"Benar Ki Sanak," jawab Ki Randukeling. "Jika dikerjakan
maka kerja itu akan selesai dalam satu hari. Tetapi untuk sampai
ke hari yang satu itu, kita harus menunggu berapa bulan atau
barangkali lebih lama lagi."
"Aku tidak dapat melanggar tugas dan wewenang yang
diberikan kepadaku oleh Ki Patih Mantahun," jawab Panglima
itu. "Karena itu, jika memang keadaan memaksa, maka aku akan
mengirimkan utusan untuk berbicara dengan Patih Mantahun
tentang permintaan Ki Randukeling."
Ki Randukeling termangu-mangu. Namun ia dapat
membayangkan, bahwa berhubungan dengan pemimpin
Kadipaten Jipang memerlukan waktu yang lama. Namun
demikian Ki Randukeling tidak dapat memaksakan kehendaknya.
Sementara itu Ki Wiradana yang mendengarkan pembicaraan
itu mencoba untuk menyambung, "Terima kasih atas segala
kesediaan Ki Sanak. Sebagai pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan, maka aku sangat mengharapkan bantuan itu,
sebagaimana kami telah membantu pasukan Jipang disini.
Namun apabila mungkin, kami memang mengharapkan segala
sesuatunya terjadi lebih cepat, seperti yang diminta oleh Ki
Randukeling." 10 SH. Mintardja Tetapi Ki Wiradana itu terdiam ketika Warsi menggamitnya
dengan kasar meskipun tersembunyi. Namun Ki Wiradana segera
menyadari bahwa Warsi tidak sependapat dengan kata-katanya
itu. Tetapi Panglima itu menjawab, "Aku mengerti. Tetapi aku pun
minta kalian mengerti batas-batas tugasku dan persoalan yang
besar yang sedang dihadapi oleh Jipang. Sudah tentu aku tidak
dapat melupakan bantuan yang besar dari Tanah Perdikan.
Bahkan Jipang pun akan segera mendengar apa yang telah kalian
lakukan disini." Ki Wiradana hanya menarik nafas saja, sementara Warsilah
yang menjawab. "Kami serahkan segala kebijaksanaan kepada Ki
Sanak. Kami memang sudah bertekad untuk membantu
sebagaimana kami katakan kepada Ki Rangga. Karena itu, maka
seharusnya kami justru tidak membuat pasukan Jipang disini
dibebani dengan persoalan-persoalan yang terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan." Panglima pasukan Jipang itu tersenyum. Katanya, "Terima
kasih. Jipang akan memberikan imbalan sesuai bahkan
melampaui apa yang telah diberikan oleh Tanah Perdikan
Sembojan. Jika Pajang telah hancur, dan kekuasaan berada di


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan Jipang, maka Jipang akan menata kembali pemerintahan
yang tersebar dari ujung Demak sampai ke ujung lainnya. Dari
ujung Barat sampai ke ujung Timur, dari pesisir Utara sampai ke
pesisir Selatan." Yang mendengarkan mengangguk-angguk. Ki Rangga Gupita
yang tersenyum berkata, "Masa depan itulah yang mendorong
Tanah Perdikan Sembojan bersedia melakukan apa saja. Aku
tahu pasti, bahwa Tanah Perdikan Sembojan merupakan bagian
kekuatan Jipang disisi Selatan, yang dalam masa yang mendatang
akan dapat dipergunakan sebagai landasan kekuatan Jipang di
lingkungan ini." 11 SH. Mintardja Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat
Panglima pasukan Jipang dan Warsi tersenyum. Namun wajah
Wiradanalah yang menjadi buram.
Tetapi Ki Randukeling tidak mengatakan sesuatu.
Dengan demikian, maka ada dua hal yang akan dilakukan oleh
Panglima pasukan Jipang. Tetap membayangi pasukan Pajang di
perbatasan dengan kekuatan yang sudah bertambah betapapun
kecilnya, serta mengirimkan utusan kepada Ki Patih Mantahun
untuk mohon pertimbangan, apakah tugasnya di Pajang dapat
ditinggalkan barang sepekan untuk menyelesaikan persoalan
Tanah Perdikan Sembojan. Namun ketika pertemuan itu kemudian diakhiri, maka Warsi
telah berkata kepada kakeknya, "Kakek terlalu tergesa-gesa.
Kenapa kita harus mempersoalkan Tanah Perdikan itu"
Seandainya kita dapat merebutnya kembali, apakah kita akan
dapat mempertahankannya jika anak-anak kita harus kembali ke
Pajang untuk berjuang bersama-sama pasukan Jipang disini?"
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Biarlah kita menunggu utusan yang pergi ke
Jipang. Mungkin para pemimpin Jipang dapat memberikan
petunjuk yang justru kita anggap lebih baik dari pendapat kita
disini. Namun bagiku kedudukan para prajurit Jipang dan anak-
anak dari Tanah Perdikan disini tanpa alas. Jika perjuangan ini
berlangsung lama, maka dari mana anak-anak mendapat
dukungan bagi makan mereka dan sumber kebutuhan-kebutuhan
yang lain. Kita tidak akan dapat menggantungkannya dari Jipang
yang jauh, karena mungkin di antara Jipang dan Pajang ini
pasukan Pajang akan sempat memotong segala hubungan antara
pasukan Jipang yang berada disini dan di Kadipaten atau di
pesangrahan sebelah Bengawan Sore. Kita juga tidak dapat
menggantungkan kemungkinan untuk memeras rakyat Pajang
sendiri agar selalu memberikan berasnya kepada kita. Padahal
kebutuhan beras itu semakin lama menjadi semakin banyak.
Bahkan mungkin juga kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kita
12 SH. Mintardja memerlukan lauk pauk dan kebutuhan-kebutuhan lain yang sulit
dihindari." Warsi termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti keterangan
kakeknya. Namun ia tidak begitu tertarik untuk melakukan
sebagaimana dikatakan oleh kakeknya untuk membentuk
landasan perjuangan di Tanah Perdikan Sembojan.
"Perang ini tidak akan terlalu lama," berkata Warsi di dalam
hatinya. "Menurut pendengaranku dari Ki Rangga Gupita,
berdasarkan perhitungan yang sungguh-sungguh, maka pasukan
Jipang di tepi Bengawan Sore akan dengan cepat menghancurkan
pasukan Pajang, asal Pajang tidak sempat mengirimkan bantuan
kepada pasukan Pajang yang berhadapan dengan pasukan Jipang
itu." Dengan demikian maka untuk sementara pasukan Jipang di
Pajang sebelah Timur tidak mengubah kebijaksanaan mereka
untuk tetap membayangi Pajang agar Pajang tidak melepaskan
pasukan untuk membantu pasukannya yang dipimpin langsung
oleh Adipati Pajang. Namun dalam pada itu, pertentangan antara Jipang dan
Pajang itu telah berkembang semakin jauh. Usaha beberapa
pihak untuk menyelesaikan persoalan Jipang dan Pajang itu
dengan damai, tidak dapat tanggapan yang baik dari kedua belah
pihak yang sudah terlanjur dibakar oleh permusuhan.
Ketika seseorang yang mempunyai pengaruh yang besar atas
kedua Adipati itu berusaha untuk mencari penyelesaian dengan
mempertemukan kedua Adipati itu langsung, justru hampir saja
menimbulkan perang tanding.
Betapapun segannya, kedua orang Adipati itu memenuhi
permintaan orang yang mereka hormati itu untuk datang. Namun
ketika keduanya benar-benar telah duduk berhadapan, selagi
orang yang berusaha untuk mempertemukan mereka belum
hadir, telah terjadi sesuatu yang sangat menegangkan.
Sebenarnya orang yang memiliki pengaruh yang besar itu
ingin melihat kedua orang Adipati yang memiliki banyak
13 SH. Mintardja kelebihan dari orang kebanyakan itu mampu menemukan satu
pemecahan yang lebih baik dari perang. Namun yang terjadi
bukanlah yang dikehendaki. Ketika kedua orang yang
bermusuhan itu hadir, mereka telah dibekali dengan sikap curiga
dan bahkan kebencian. Arya Penangsang yang duduk berhadapan dengan Adipati
Pajang itu tiba-tiba justru tertarik kepada keris Adipati
Hadiwijaya. Dalam ruang yang hening tegang itu, tiba-tiba saja
Arya Penangsang bertanya kepada Adipati Hadiwijaya," Adimas,
nampaknya keris adimas itu memancarkan cahaya tuah yang luar
biasa besarnya. Apakah adimas memiliki keris yang baru?"
"Bukan kakangmas," jawab Hadiwijaya," Ini adalah kerisku
yang dahulu." "Sambil menunggu, apakah aku diperkenankan meminjam
keris adimas. Aku tertarik sekali karena nampaknya aku belum
pernah melihat keris adimas yang satu ini."
Adipati Hadiwijaya menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah
Arya Penangsang. Namun yang dilihatnya adalah senyum
dibibirnya yang hampir tertutup oleh kumisnya yang tebal.
"Apakah aku terlalu berprasangka," bertanya Adipati
Hadiwijaya di dalam hatinya. "Mungkin kakangmas Arya
Penangsang benar-benar sekadar ingin mengisi kekakuan
suasana yang menegangkan ini. Tetapi satu-satunya cara adalah
demikian." Karena itu, maka akhirnya Adipati Hadiwijaya itu telah
menjawab, "Keris ini bukan keris yang baik kakangmas. Jika
sekilas keris ini nampak lebih baik dari yang lain, itu hanya ujud
luarnya saja. "Ah," desis Arya Penangsang. "Jangan merendahkan diri
begitu. Aku tahu bahwa adimas memiliki ketajaman penglihatan
atas jenis-jenis pusaka dan benda-benda bertuah. Karena itu,
biarlah aku melihat keris itu barang sebentar."
14 SH. Mintardja Adipati Hadiwijaya masih ragu-ragu. Ia melihat Arya
Penangsang itu juga membawa keris sendiri. Jika ia bermaksud
buruk, maka ia tidak perlu meminjam kerisnya yang belum tentu
memiliki daya kekuatan sebagaimana keris Arya Penangsang
yang terkenal itu. Adipati Hadiwijaya mengenali keris Arya
Penangsang itu sejak lama. Keris yang diberi nama Kiai Setan
Kober itu merupakan keris yang sulit dicari duanya diseluruh
Demak. Karena itu, akhirnya Adipati Pajang itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Katanya di dalam hatinya, "Aku terlalu
berprasangka." Dengan demikian, maka Hadiwijaya itu pun menjawab,
"Baiklah kakangmas. Tetapi kakangmas jangan mentertawakan
keris itu. Keris yang barangkali tidak berarti dibandingkan
dengan Kiai Setan Kober yang kakangmas bawa itu."
Adipati Jipang itu tersenyum. Namun keningnya berkerut
ketika ia melihat Adipati Hadiwijaya itu benar-benar menarik
kerisnya yang diselipkannya di punggungnya.
Dengan gerak naluriah Adipati jipang itu justru bangkit berdiri
dan bergeser surut. Adipati Hadiwijaya tertegun sejenak. Namun kemudian
katanya, "Nah, bukankah keris ini tidak berarti apa-apa bagi
kakangmas." Arya Penangsang memandangi keris itu sejenak. Namun
kemudian ia pun bergeser pula untuk menerima keris itu,
meskipun ia tetap berhati-hati.
Sejenak Adipati Jipang itu mengamati keris Adipati
Hadiwijaya yang berada ditangannya. Namun tiba-tiba wajah
Arya Penangsang itu berubah. Senyumnya tiba-tiba saja telah
lenyap dari bibirnya. Pandangan matanya pun telah berubah pula
seakan-akan memancarkan api kemarahan yang sudah lama
tertahan di dadanya. Dengan nada berat Arya Penangsang itu
berkata, "Keris seorang Adipati tentu keris yang bertuah. Karena
itu, aku ingin mencoba, apakah benar dengan keris ini aku akan
15 SH. Mintardja dapat mengakhiri pertentangan antara Pajang dan Jipang. Bukan
dengan satu tusukan di dada menembus jantung, tetapi dengan
goresan kecil di lengan atau bahkan di ujung jari. Keris seorang
Adipati akan mampu membunuh seseorang yang betapapun
saktinya hanya dengan goresan kecil yang tidak lebih dari
sentuhan ujung duri."
Wajah Adipati Hadiwijaya menegang. Ternyata bahwa
kecurigaannya bukannya berlebihan. Bukan sekadar prasangka
atau bahkan mimpi buruk. Apalagi ketika tiba-tiba saja Adipati Jipang itu telah bersikap.
"Apa artinya kakangmas?" bertanya Adipati Hadiwijaya.
"Kita adalah laki-laki," jawab Arya Penangsang. "Selama ini
kita telah mengorbankan berpuluh bahkan beratus orang yang
tidak berkepentingan langsung dengan persoalan kita. Karena itu,
marilah persoalan kita ini kita selesaikan sendiri. Kita selamatkan
para prajurit bahkan orang-orang yang tidak bersenjata di
padukuhan-padukuhan."
Wajah Adipati Hadiwijaya menjadi tegang. Namun sebagai
seorang Adipati maka Hadiwijaya tidak akan ingkar. Ketika pada
mulanya ia mencoba untuk berlaku sebaik-baiknya dihadapan
orang yang sama-sama mereka hormati, maka sikap Arya
Penangsang itu benar-benar telah menggelapkan hatinya dan
hilanglah segala macam unggah-ungguh yang harus
dilakukannya. Karena itu, maka Adipati Pajang itu pun mundur selangkah. Ia
pun tiba-tiba telah menyingkapkan bajunya yang panjang.
Dengan suara bergetar ia berkata, "Inilah pusakaku yang
sebenarnya kakangmas. Kakangmas tentu mengenal Kiai Crubuk.
Meskipun ujudnya sangat sederhana, namun aku yakin bahwa
pusakaku ini akan dapat menyelesaikan persoalan."
"Bagus," geram Arya Penangsang. "Ternyata kau jantan juga
adimas." 16 SH. Mintardja Adipati Pajang pun telah bersiap sepenuhnya menghadapi
segala kemungkinan. Sementara itu Arya Penangsang menjadi
ragu-ragu, justru karena Adipati Pajang telah menggenggam
pusakanya yang memang sudah dikenalnya lebih dahulu dari
Crubuk. Meskipun demikian Adipati Jipang itu ingin mencobanya, jika
keris yang dipinjamnya dari Adipati Pajang itu tidak dapat
membunuh pemiliknya sendiri, maka ia masih membawa
kerisnya yang disegani oleh setiap orang diseluruh Demak, Kiai
Setan Kober. Namun dalam pada itu, pada saat-saat gejolak perasaan
kedua Adipati itu memuncak,
orang yang sama-sama mereka
hormati itu telah memasuki
ruangan. Betapa terkejutnya
orang itu. Namun kedua Adipati itu pun ternyata telah
mengurungkan niatnya untuk
berperang tanding. "Inikah yang akan terjadi?"
bertanya orang yang telah
memanggil keduanya. Kedua Adipati itu tertegun.
Mereka mulai menyadari betapa dorongan perasaan mereka tidak terkendali, justru pada saat-saat seorang yang
berpengaruh atas mereka keduanya berusaha ingin mendapatkan
penyelesaian yang lebih baik dari perang.
Tetapi dengan demikian maka pembicaraan tidak akan dapat
berlangsung dengan baik, sehingga orang yang berpengaruh atas
keduanya itu berkata, "Aku sangat kecewa atas peristiwa ini.
Ternyata Kanjeng Adipati berdua adalah anak-anak ingusan yang
belum dewasa menanggapi persoalan yang ingin aku
17 SH. Mintardja ketengahkan. Karena itu, biarlah aku menunda pertemuan ini
sampai saat-saat yang akan aku usulkan kemudian."
Kedua Adipati itu dipersilakan kembali ke pesanggrahan
masing-masing. Namun dengan pesan, "Aku mohon Kanjeng
Adipati berdua menetapi kedudukan kalian sebagai kesatria.
Silakan kembali ke pesanggrahan masing-masing. Kalian tidak
akan berlaku seperti dua orang gembala yang berkelahi di padang
karena berebut sebutir telur burung puyuh."
Kedua Adipati itu pun kemudian mohon diri setelah keduanya
memohon maaf atas tingkah laku mereka, serta Adipati Jipang
mengembalikan keris Adipati Pajang yang dipinjamnya, dan yang
hampir saja dipergunakan untuk mengakhiri hidup pemiliknya.
Namun ternyata bahwa Adipati Pajang pun telah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Di luar, kedua kelompok pengawal masing-masing menunggu
dengan tegang. Sebenarnyalah mereka masing-masing telah
bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan.
Bagaimanapun juga mereka tidak dapat lepas dari perasaan
saling mencurigai. Namun kemudian kedua Adipati yang mereka sertai itu telah
keluar bersama-sama diiringi orang yang telah mengundang
mereka untuk satu pembicaraan yang seharusnya dapat
mengurangi ketegangan, namun yang hasilnya justru sebaliknya.
Tetapi diperjalanan kembali ke pesanggrahan masing-masing
tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Keduanya telah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menempuh jalan yang berbeda.
Namun bagaimana pun juga, peristiwa itu telah membuat
keduanya menjadi saling membenci dan mendendam. Kedua
Adipati yang masih mempunyai saluran kekeluargaan itu benar-
benar telah dibakar oleh permusuhan yang sulit untuk dapat
bertaut kembali. Sementera itu, perang masih berlangsung terus meskipun
tidak merupakan perang gelar yang menentukan. Tetapi
dibeberapa tempat, pasukan-pasukan yang berkelompok dari
18 SH. Mintardja kedua belah pihak, kadang-kadang telah berbenturan dan korban
pun berjatuhan. Di Pajang pasukan Jipang yang merasa tidak mampu
memecahkan kekuatan Pajang memang tidak berusaha untuk
memasang gelar. Tetapi pasukan Jipang itu selalu saja
mengganggu agar Pajang tidak sempat mengirimkan pasukan
untuk memperkuat kedudukan pasukannya yang berada di bawah
pimpinan langsung Adipati Pajang di tepi Bengawan Sore.
Dengan demikian, maka usaha Ki Randukeling untuk
memperkuat kedudukan landasan di Tanah Perdikan Sembojan
pun menjadi semakin sulit. Namun Ki Randukeling kemudian
dapat mengerti, meskipun ia telah berpendirian bahwa cara
itulah yang lebih baik. Dalam pertempuran yang lama dukungan
makanan dan perlengkapan itu sangat dipentingkan.
Namun sementara itu, para Senapati di Pajang pun selalu
mengganggu kedudukan pasukan Jipang di Pajang. Apalagi
pasukan Jipang disisi Timur. Senapati itu masih saja selalu
melakukan hubungan dengan para pemimpin di Tanah Perdikan
Sembojan. "Sembojan sedang berusaha membenahi diri dengan tenaga
yang sangat terbatas," pesan Iswari kepada para Senapati di
Pajang, "Karena itu, mohon dijaga agar pasukan Jipang tetap
berada dalam pengamatan Pajang."
Para Senapati di Pajang pun telah berusaha memenuhi pesan
itu. Mereka pun berkepentingan agar Sembojan tidak menjadi
landasan kekuatan pasukan Jipang di daerah Pajang itu. Karena
itulah maka Pajang selalu berusaha mengganggu pasukan Jipang.
Dengan demikian, maka pasukan Jipang itu tidak akan pernah
sempat berbuat lain dari mempertahankan dirinya.
Dalam setiap pembicaraan, maka Panglima pasukan Jipang
disisi Timur itu selalu mengatakan, bahwa kekuatan Jipang itu
tidak akan dapat dikurangi. Mereka pun tidak akan dapat
meninggalkan kedudukan mereka, agar jika terjadi sesuatu
perubahan keseimbangan pasukan Pajang dan Jipang pada
19 SH. Mintardja kekuatan induk mereka, pasukan itu tidak dibebani tanggung
jawab. Di Tanah Perdikan Sembojan, Iswari telah bekerja keras
dibantu oleh para Bekel dan bebahu Tanah Perdikan yang
sebelumnya seakan-akan telah kehilangan kedudukannya.
Tetapi Sembojan telah menjadi sebuah Tanah Perdikan yang
lemah. Sebagian besar anak-anak mudanya telah berada di
Pajang bersama pasukan Jipang. Sementara itu, yang masih
tinggal di Sembojan harus bekerja keras melakukan tugas-tugas
yang seharusnya dilakukan oleh tenaga yang jauh lebih banyak.
Namun demikian tidak ada kesempatan untuk mengeluh bagi
para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan yang menggeser
kedudukan Ki Wiradana itu. Yang terbentang dihadapan mereka
adalah tugas dan tanggung jawab yang sangat berat.
Meskipun demikian, betapapun berat tugas yang harus mereka
lakukan, namun orang-orang Sembojan merasa sempat menarik
nafas dalam-dalam. Selama ini nafas mereka merasa sesak
dikejar-kejar oleh seribu macam kewajiban tanpa mengerti hak
mereka yang sebenarnya. Yang kemudian tampil dalam tugas-tugas yang biasanya
dilakukan oleh anak-anak muda, adalah semua orang laki-laki
yang sudah dewasa sampai batas mereka yang masih mempunyai
kekuatan yang cukup untuk bekerja. Sementara itu para remaja
telah mendapat tugas mereka masing-masing. Bahkan anak-anak
pun telah melakukan apa yang paling sesuai bagi mereka.
Sedangkan perempuan-perempuan Tanah Perdikan pun tidak
mau tinggal diam. Meskipun tenaga mereka tidak sekuat tenaga
laki-laki, namun dengan kemauan yang keras, maka mereka pun
dapat menghasilkan kerja yang besar bagi padukuhan mereka
masing-masing. Di samping kerja keras untuk memperbaiki kesejahteraan dan
tata kehidupan, maka Tanah Perdikan Sembojan pun mencoba
untuk menyusun kekuatan yang tersisa. Seperti dalam kerja,
maka laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata telah
20 SH. Mintardja menyatakan dirinya untuk ikut menjadi pengawal Tanah
Perdiakan Semboyan. Bahkan mereka yang sebelumnya
menangisi anak mereka yang berangkat ke Pajang, telah datang
kepada Ki Bekel untuk menyatakan kesediaan mereka pula.
"Tidak, semua orang harus jadi pengawal" jawab Ki Bekel,
"banyak lapangan kerja yang dapat kau masuki."
"Aku akan menunjukkan kepada anakku kelak jika ia masih
dilindungi Tuhan dan sempat kembali, bahwa aku, ayahnya telah
berusaha menebus langkah-langkahnya yang sesat" jawab orang
itu. Tetapi Ki Bekel menjawab, "Anakmu tidak bersalah mutlak. Ia
telah terbawa oleh arus yang tidak dapat dilawannya. Bagaimana
sikapmu jika anakmu itu kembali dalam barisan yang justru
menyerang Tanah ini?"
"Aku akan berusaha bertemu di medan. Aku akan memberikan
kesadaran kepadanya. Atau aku berikan dadaku jika itu
memberikan kepuasan kepadanya, sebagaimana ia akan puas
melihat Tanah Perdikan ini menjadi karang abang" jawab orang
itu. Namun, langkah Iswari tidak terbatas pada Tanah
Perdikannya saja. Ia menghubungi beberapa Kademangan di
sekitar Tanah. Perdikannya atas narna anak laki-lakinya yang
akan mewarisi kedudukan kakeknya karena ayahnya
berhalangan. Beberapa hal telah dibicarakan. Bahkan Iswari berhasil
meyakinkan mereka untuk bekerja bersama menghadapi ke-
mungkinan yang sangat buruk apabila Ki Wiradana, serta orang-
orang yang berada di sekelilingnya kembali untuk menguasai
Tanah Perdikan Semboyan dengan bantuan dari manapun juga.
"Jika mereka tidak berhasil memasuki Tanah Perdikan ini,
maka mereka akan mempergunakan Kademangan-kademangan
di sekitar Tanah Perdikan ini sebagai landasan" berkata lswairi,
"karena itu maka setiap Kademangan pun harus menyusun
21 SH. Mintardja kekuatan yang dapat dikerahkan untuk mengatasinya. Sudah
tentu, kita harus bekerja sama."
Para Demang itu pun menyadari. Sementara rnereka, telah
mendengar dan mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi di
Tanah Perdilkan Sembojan pada masa pemerintaban Ki
Wiradana. Meskipun Ki Wiradana dan orang-orang yang mem-
pengaruhinya belum lama meninggalkan Tanah Perdikan untuk
pergi ke Pajang, namun perubahan-perubahan pun telah mulai
nampak. "Ada beberapa orang yang akan dapat membantu anak-anak
muda di Kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan
untuk berlatih menguasai beberapa jenis sennjata. Meskipun
waktunya tarlalu, pendek, namun itu lebih baik daripada tidak
sama sekali." berkata Iswari.
Temyata pendekatan yang dilakukan Iswari itu mendapat
sambutan yang sangat baik, Di Kademangan-kademangan itu
pun, telah ditingkatkan kegiatan anak-anak muda untuk me-
ngadakan latihan-latihan menggunakan senjata. Dalam waktu
yang sangat pendek, mereka diusahakan untuk dapat mengenali
oleh kanuragan. Dengan demikiaan maka kesibukan pun telah berkembang.
Tidak saja di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi juga di
Kademangan-kademangan di sekitarnya. Keputusan Ki Wiradana
untuk berpihak kepada Jipang telah menjadi salah satu sebab,
mangapa Kademangan-kademangan itu menjadi semakin dekat
dengan Iswari. Memang ada kecemasan pada Kademangan-kademangan itu
bahwa Ki Wiradana serta orang-orang Jipang yang men-
dukungnya akan mendendam dan berbuat sewenang-wenang
apabila mereka sempat kembali dan merebut kedudukan mereka.
Namun mereka pun berpengharapan bahwa Jipang tidak akan
dapat menang atas Pajang, sehingga prajurit-prajurit Jipang
tidak akan berani berbuat sekehendak hati rnereka sendiri karena
22 SH. Mintardja Pajang akan dapat mengambil tindakan yang keras terhadap
mereka. Karena itulah, maka langkah anak-anak muda di sekitar Tanah
Perdikan Sembojan itu pun telah berderap pula dengan irama
yang mantap, sebagaimana dilakukan oleh anak-anak Tanah
Perdikan Sembojan sendiri.
Sernentara itu, pertentangan antara Jipang dan Pajang tidak
juga mereda. Suasana justru menjadi semakin panas, meskipun
kedua belah pihak yang berada di pasanggrahan seberang-
menyeberang Bengawan Sore masih belum mengambil langkah-
langkkah. Tetapi, di beberapa daerah benturan-benturan kekuatan justru
semakin banyak terjadi. Adipati Jipang yang tidak
telaten menunggu saat yang di-
anggap paling baik, berusaha
untuk memecahkan kebekuan
yang mencengkam kedua kekuatan induk Pajang dan
Jipang yang sudah berhadapan.
Pertempuran-pertempuran yang tersebar di beberapa
daerah tidak akan dapat memecahkan persoalan dan menyelesaikan perselisihan itu.
Di satu medan, pasukan Pajang
berhasil mendesak pasukan
Jipang. Tetapi di medan yang
lain terjadi sebaliknya. Namun
di sekitar Kota Pajang, pasukan
Pajang masih tetap menguasai keadaan sepenuhnya.
Tetapi, setiap kali Arya Penangsang ingin menyerang
pesanggrahan Adipati Hadiwijaya di Pajang, Patih Mantahun se-
lalu berusaha menghalanginya.
23 SH. Mintardja "Kenapa kau tiba-tiba telah berubah menjadi pengecut
Mantahun,?" berkatanya Arya Penangsang.
"Ampun Kangjeng Adipati," jawab Mantahun, "sudah berkali-
kali hamba katakan, bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini,
pasukan Kangjeng Adipati jangan manyeberangi Bengawan
Sore." "Omong kosong" bentak Arya Pemangsang, "kau kira
Bengawan Sore itu mampu menghisap kemampuan Arya
Penangsang" Ilmuku yang aku sadap dari beberapa orang guru
dan aku dapatkan dengan laku yang berat, tidak akan susut
seujung duri pun jika aku menyeberang Bengawan Sore. Aku
dengan ilmuku, akan sanggup mengakhiri hidup Adipati Pajang
yang tamak dan sombong itu."
"Hamba percaya Kangjeng Adipati" jawab Mantaun,
"Kangjeng Adipati memang memiliki ilmu yang tiada taranya.
Tetapi sekali lagi hamba mohon, jangan menyeberang Bengawan
Sore. Bukan karena kemampuan dan ilmu Kangjeng Adipati akan
susut. Tetapi keadaan pasukan Jipang pada saat-saat
menyeberangi Bengawan yang luas itu sangat lemah. Pasukan
Jipang harus mengatasi arus Bengawan Sore yang meskipun
tidak terlalu deras, tetapi agak dalam dan panjang. Pada saat
yang demikian pasukan Pajang yang berada di seberang akan
dapat memanfaatkan keadaan itu untuk menguramgi jumlah
pasukan Jipang sebanyak-banyaknya"
"Tetapi jika, aku sampai naik ke darat, maka aku akan
memusnahkan pasukan Pajang itu" jawab Arya Penangsang."
"sementara itu aku yakin tidak ada pusaka orang , Pajang yang
mampu melukaii kulitku. Mungkin ada juga ada yang dapat
tergores di kulitku itu, tetapi tidak akan ada yang mampu
membunuhku, karena kematianku justru terletak di tajamnya
pusakaku sendiri, Setan Kober."
"O, ampun Kangjeng" potong, Ki Patih Mantahun, "jangan
Kangjeug menyebut lagi tentang rahasia yang terbesar dari batas
hidup Kangjeng Adipati sendiri itu."
24 SH. Mintardja "Aku hanya mengatakannya di hadapanmu, karena aku tahu
kesetiaanmu kepadaku" jawab Arya Penangsang.
"Hamba mengerti Kangjeng. Dan hambapun pernah
mendengar Kangjeng menyebutnya. Dalam keadaan seperti
sekarang ini, mungkin ada telinga dan mata di celah-celah
dinding ruang atau di serambi dan di lingkungan."
"Aku tidak peduli. Keris itu tidak pernah terpisah daripadaku"
jawab Arya Penangsang. Ki Patih Mantahun menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Sudahlah Kangjeng. Tetapi sekali lagi hamba
mohon pasukan Jipang jangan menyeberangi Bengawan Sore."
"Jadi apa artinya kita berada disini" Jika pasukan Pajang tidak
juga menyeberangi Bengawan itu, apakah kita akan berada disini
sampai tua?" bertanya Arya Penangsang.
"Hamba memang sudah tua Kanjeng," jawab Patih Mantahun.
"Tetapi kita harus sedikit tenang menghadapi Adipati Pajang
yang mempunyai perhitungan yang cermat. Kedua panglimanya
yang memiliki perhitungan yang tajam itu, menjadikan pasukan
Pajang memiliki landasan yang kuat diseberang sebagaimana
pasukan kita disini. Pemanahan dan Penjawi adalah dua orang
Panglima yang jarang ada bandingnya. Karena itu, maka aku
mohon sekali lagi Kanjeng Adipati memperhitungkan setiap
langkah yang akan diambil."
"Aku tidak sabar," jawab Adipati Jipang.
"Kelemahan itulah yang akan dipergunakan oleh orang-orang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pajang untuk menjebak Kanjeng Adipati. Karena itu, Kanjeng
Adipati harus menyadarinya. Mungkin pada suatu saat kita akan
mempergunakan cara yang dapat mengejutkan orang-orang
Pajang," berkata Patih Mantahun.
"Bagaimana jika kita mengambil jalan melingkar. Kita akan
menyeberangi Bengawan ini tetapi tidak dihadapan pasukan
Pajang. Kita menempuh perjalanan menyusuri Bengawan ini
beberapa ratus tonggak, kemudian kita menyeberang. Baru
25 SH. Mintardja setelah kita berada di seberang kita menyerang kedudukan
Adipati Pajang dari lambung," berkata Arya Penangsang.
"Mungkin cara itu dapat ditempuh. Tetapi sudah tentu dengan
perhitungan yang teliti, karena pengamat dari Pajang yang
melihat perjalanan pasukan ini, akan memberikan isyarat,
sehingga pasukan Pajang pun akan mengikuti perjalanan
pasukan kita menelusuri sungai," jawab Mantahun.
"Kita memang sudah pikun," geram Arya Penangsang. "Jika
demikian, kita pindahkan saja pusat pemerintahan Demak disini.
Kita memerintah Demak dari tempat ini sambil menunggui
Hadiwijaya yang terkantuk-kantuk di pesanggrahannya."
Ki Patih Mantahun menarik nafas dalam-dalam. Ia mengenal
sifat dan watak Arya Penangsang seperti mengenal sifat dan
wataknya sendiri. Hatinya yang mudah terbakar dan darahnya
yang cepat mendidih kadang-kadang merugikan kedudukannya.
Apalagi jika mereka sudah berada di medan perang.
Karena itu, maka menunda keinginan Arya Penangsang untuk
segera selesai dengan persoalannya, kalah atau menang, maka
Patih Mantahun itu pun berkata, "Kanjeng, sebenarnya ada jalan
lain yang dapat ditempuh."
"Jalan apa" Menyerah?" geram Adipati Jipang.
"Tentu saja tidak," jawab Patih Mantahun. "Untuk mengurangi
korban dari antara mereka yang tidak bersalah dan tidak tahu-
menahu persoalannya, maka sebenarnya ada jalan lain yang
dapat Kanjeng lakukan?"
"Bagus," sahut Adipati Jipang. "Aku memang sudah berpikir
untuk menantang Adipati Pajang itu berperang tanding. Jika kau
sependapat, maka aku akan menantangnya. Di darat atau
ditengah Bengawan Sore. Dihadapan saksi-saksi dari orang-orang
yang berpengaruh di Demak serta para Panglima dari kedua
belah pihak. Siapa yang tinggal hidup, ialah yang berhak menjadi
Sultan Demak menggantikan paman Trenggana."
26 SH. Mintardja "O, bukan itu yang hamba maksud," Patih Mantahun telah
memotong dengan serta merta.
Arya Penangsang mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi
ia bertanya, "Jika bukan cara itu, lalu cara yang mana?"
"Ampun Kanjeng Adipati,"
jawab Patih Mantahun. "Hamba justru ingin mengusulkan satu cara yang
lain." "Cara apa?" bertanya Adipati
Jipang tidak sabar. "Satu cara yang dapat kita
lakukan untuk mencapai maksud kita tanpa banyak korban dikedua belah pihak.
Bagaimana pertimbangan Kanjeng Adipati jika kita
memerintahkan beberapa orang yang kita anggap memiliki kelebihan untuk berusaha memasuki pesanggrahan Adipati Pajang?" bertanya Ki Patih Mantahun.
"Untuk apa?" bertanya Arya Penangsang pula.
"Membunuh Adipati Pajang. Jika Adipati Pajang terbunuh,
maka perang untuk seterusnya akan berhenti. Di Pajang tidak
akan ada orang yang dapat menggantikan kedudukannya dan
berani melawan Kanjeng Adipati," jawab Patih Mantahun.
"Gila," geram Arya Penangsang. "Kau ajari aku berlaku licik
he" Kau ajari aku bertindak sebagai seorang pencuri yang licik
dan pengecut. Tidak akan menantangnya berperang tanding."
"Jangan Kanjeng," sahut Patih Mantahun. "Cobalah Kanjeng
dengar. Bukankah ayahanda Arya Penangsang juga dibunuh
dengan cara yang licik" Dan bukankah kita juga pernah
27 SH. Mintardja menempuh cara yang sama untuk membunuh Kanjeng Sunan
Prawata dan Adipati Kalinyamat?"
Wajah Arya Penangsang menegang. Namun kemudian ia
menggeram, "Jika kita membunuh dengan cara yang sama itu
bukannya karena aku takut berhadapan dengan mereka dalam
perang tanding. Tetapi bagiku mereka tidak mempunyai bobot
yang pantas untuk melakukan perang tanding melawanku.
Karena itu, maka lebih baik mereka diselesaikan dengan cara
tersendiri tanpa menitikkan keringatku. Tetapi berbeda dengan
Adipati Pajang, Hadiwijaya adalah seorang yang menurut
pendengaranku memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, aku
menganggap bahwa ia pantas untuk turun ke gelanggang dalam
perang tanding melawanku. Jika aku menang, maka orang akan
melihat betapa tinggi kemampuan Arya Penangsang, tetapi jika
aku kalah, namaku tidak akan tercemar karena aku telah
berperang tanding dengan orang yang memiliki tingkat
kedudukan dan ilmu yang setataran."
"Tetapi bagaimanapun ada juga bedanya," jawab Patih
Mantahun. "Kanjeng Adipati memiliki darah keturunan langsung
dari Demak. Lalu siapakah Adipati Pajang yang pada masa
mudanya disebut Mas Karebet itu atau yang juga dipanggil Jaka
Tingkir?" Arya Penangsang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ia menantu paman Sultan Trenggana."
"Ya. Ia memang menantu. Tetapi bukankah Kanjeng Adipati
mengetahui, betapa liciknya cara yang ditempuhnya, sehingga ia
dapat memasuki lingkaran keluarga pamanda Sultan
Trenggana?" berkata Mantahun. "Anak itu hanya mengandalkan
modal ujud lahiriahnya. Ia memang seorang anak muda yang
tampan pada waktu ia mengabdi di istana Sultan Trenggana.
Dengan modal itulah ia dapat mencuri hati salah seorang putri
Sultan Trenggana. Nah, betapa nistanya ceritera yang
selanjutnya, terjadi sehingga Kanjeng Sultan Trenggana tidak
dapat lagi menghindari kenyataan itu, jika ia tidak ingin
kehilangan putrinya yang sangat dikasihinya."
28 SH. Mintardja "Bagaimana dengan Kebo Danu di hutan Prawata" Bukankah
karena kesaktian Karebet maka ia berhak kembali ke istana?"
bertanya Arya Penangsang.
"Semua itu tidak lebih dari satu permainan yang sudah
disusun oleh Karebet itu sendiri, dibantu oleh beberapa orang
pendukungnya, sehingga seakan-akan yang terjadi itu benar-
benar satu kelebihan dari Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir
itu," berkata Mantahun. "Karena itu, hamba persilakan Kanjeng
mendengarkan pendapat hamba. Mengirimkan beberapa orang
untuk memasuki pesanggrahan dan membunuh Jaka Tingkir itu."
Arya Penangsang mengerutkan keningnya. Untuk beberapa
saat ia berdiam diri memikirkan pendapat Patih Mantahun itu.
Namun kemudian katanya, "Ada juga baiknya untuk dicoba
sambil menunggu kemungkinan lain yang dapat terjadi dengan
pasukan yang saling membeku ini. Mungkin dengan langkah itu
akan timbul satu gejolak yang dapat menggerakkan kedudukan
kita disini." Dengan demikian maka Arya Penangsang telah menyerahkan
sepenuhnya persoalan kepada Ki Patih Mantahun. Dengan nada
datar ia berkata, "Terserah kepadamu Mantahun. Aku tidak
begitu tertarik meskipun aku tidak berkeberatan. Yang penting
bagiku, Hadiwijaya akan terbangun dan berbuat sesuatu sehingga
seakan-akan tidak sekadar membuang waktu tak berarti
menunggu Bengawan Sore ini.
"Ia akan mati dan tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi,"
jawab Mantahun. "Semua pengikutnya akan ketakutan dan
akhirnya Pajang akan menyerah."
Arya Penangsang tidak mendengarkan lagi mimpi Mantahun
itu. Bahkan ia pun segera meninggalkan tempat itu untuk melihat
kudanya yang bernama Gagak Rimang.
Sementara itu, Patih Mantahun yang telah mendapat izin
untuk berusaha membunuh Adipati Pajang itu pun telah
memanggil seorang kepercayaannya untuk menghadap.
29 SH. Mintardja "Ampun Ki Patih," berkata orang itu. "Apakah ada tugas yang
penting yang harus hamba lakukan?"
Ki Patih Mantahun itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ada
tugas yang sangat berat yang harus kau lakukan. Nyawamu akan
menjadi taruhan." "Hamba tidak pernah berkeberatan," jawab orang itu. "Mati
dalam melakukan tugas bagi hamba justru merasa lebih baik dari
pada mati terbaring di amben karena diterkam oleh penyakit."
"Tetapi tugasmu kali ini benar-benar tugas yang sulit untuk
dapat kau lakukan," berkata Patih Mantahun.
"Tugas apapun tidak akan pernah menggetarkan jantung
hamba," jawab orang itu.
Patih Mantahun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Dengarlah. Kau harus membunuh seseorang."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
tertawa. Jawabnya, "Satu permainan yang menyenangkan.
Apakah tugas itu termasuk berat bagi hamba Ki Patih tahu,
bahwa hamba adalah seorang yang memiliki bekal yang cukup
untuk melakukannya."
"Mungkin kau memiliki bekal yang cukup jika aku
memerintahkanmu untuk membunuh penghuni rumah disudut
padukuhan itu," jawab Mantahun. "Tetapi kali ini kau harus
membunuh seorang prajurit linuwih."
Orang itu terpaksa mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia bertanya, "Siapa yang harus aku bunuh" Bukankah Ki
Patih Mantahun mengetahui, bahwa aku pernah berguru kepada
lebih dari tiga orang pertapa yang memiliki ilmu yang tuntas?"
"Jangan membual," jawab Mantahun. "Aku tahu ketiga orang
gurumu itu." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat
menyombongkan diri dihadapan Ki Patih Mantahun, karena ia
30 SH. Mintardja tahu benar bahwa Patih Mantahun memiliki ilmu melampaui
guru-gurunya. Namun dalam pada itu, Patih Mantahun itu pun berkata
selanjutnya, "Tetapi ada satu yang menarik padamu. Salah
seorang gurumu menguasai ilmu sirep. Aku pun tahu bahwa kau
juga sudah mewarisi ilmu sirep itu, sehingga dengan ilmu itu kau
akan dapat melakukan tugasmu. Tentu saja kau tidak akan
sendiri. Kau akan pergi bersama tiga orang lain yang juga
memiliki tataran ilmu seperti tataran ilmumu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia masih bertanya,
"Siapakah yang harus hamba bunuh" Sebenarnya hamba lebih
senang bekerja sendiri. Orang lain agaknya akan justru dapat
mengganggu tugas-tugas hamba."
"Jangan terlalu sombong," desis Ki Patih Mantahun. "Besok
aku pertemukan kau dengan tiga orang yang akan pergi
bersamamu itu." "Tetapi Ki Patih Mantahun memberitahukan, siapakah yang
harus hamba bunuh," berkata orang itu.
"Besok aku akan memberitahukan kepada kalian dalam waktu
yang bersamaan," jawab Ki Patih Mantahun. Lalu, "Namun aku
ingin menunjukmu sebagai pemimpin kelompok yang terdiri atas
empat orang itu. Namun dengan keterangan, jika tidak seorang
pun di antara tiga orang yang akan pergi bersamamu itu memiliki
kelebihan darimu. Jika ternyata salah seorang di antara ketiga
orang itu memiliki ilmu yang lebih tinggi darimu, maka ialah
yang akan menjadi pemimpin di antara kalian."
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia
berkata, "Hamba tidak gelisah karena tiga orang itu. Hamba
yakin, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki
kelebihan dari hamba. Tetapi yang menggelisahkan hamba
adalah justru karena Patih Mantahun tidak menyebut nama
orang yang harus hamba bunuh itu. Sebenarnya, jika hamba tahu
pasti, maka hamba akan dapat mengatakan, bahwa hamba tidak
memerlukan seorang kawanpun."
31 SH. Mintardja "Jangan membual," bentak Patih Mantahun. "Aku
mengenalmu. Mengenal guru-gurumu. Aku tahu takaran
kemampuanmu." Orang itu terdiam. Sebenarnya Patih Mantahun mengetahui
segala-galanya. Karena itu, maka orang itu pun mohon diri ketika Ki Patih
Mantahun berkata, "Kau boleh pergi sekarang. Yang sangat aku
perlukan padamu adalah kemampuanmu menyebarkan sirep."
"Baik Ki Patih," jawab orang itu. "Hamba akan menunggu
perintah selanjutnya. Sepeninggal orang itu, maka Patih Mantahun pun telah
mempersiapkan segala-galanya. Seperti yang dikatakannya, maka
ia pun menghubungi ketiga orang yang lain. Orang yang menurut
pendapat Patih Mantahun memiliki kemampuan yang tinggi dan
sesuai untuk tugas yang sangat berat itu.
Sementara Patih Mantahun mempersiapkan rencananya,
maka telah datang utusan dari Panglima pasukan Jipang di
Pajang. Utusan itu menghadap Ki Patih dengan membawa
persoalan yang menyangkut pasukan Jipang di sisi Timur Pajang.
Patih Mantahun memang memikirkan pernyataan utusan itu.
Sebagaimana dikatakan oleh utusan itu, bahwa Ki Randukeling
mempunyai pertimbangan tersendiri tantang pasukan Jipang di
Pajang. "Aku dapat mengerti," berkata Patih Mantahun. "Tetapi aku
berharap bahwa perang antara Jipang dan Pajang itu tidak akan
berkepanjangan. Sementara itu, Jipang sedang mempersiapkan
satu gempuran terakhir terhadap pasukan induk Pajang yang ada
disini. Karena itu, untuk sementara pasukan itu harus tetap
berada ditempat, agar Pajang tidak sempat mengirimkan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bantuannya kepada pasukannya yang ada disini."
"Panglima pasukan Jipang disisi Timur juga sudah mengambil
keputusan yang demikian," jawab utusan itu. "Tetapi keputusan
Ki Patih akan memantapkan keputusan itu, sementara Ki
32 SH. Mintardja Randukeling akan merasa puas pula karena ia tidak merasa
seakan-akan pendapatnya sekadar dipotong oleh Panglima
pasukan Jipang di Pajang itu."
"Ia berhak mengambil keputusan," berkata Patih Mantahun.
"Ia adalah seorang Panglima yang diangkat oleh Kanjeng Adipati
Arya Penangsang." "Tetapi orang itu mengenal Ki Randukeling sebagai seorang
yang dekat dengan Ki Patih," jawab utusan itu.
"Baiklah. Katakan kepada Ki Randukeling, bahwa untuk
sementara aku tidak dapat menyetujuinya. Mungkin dalam
perkembangan berikutnya aku dapat mempertimbangkannya
lagi," berkata Ki Patih.
Dengan keputusan itulah utusan itu kemudian kembali ke
Pajang untuk menyampaikannya kepada Panglimanya dan Ki
Randukeling yang sebenarnya sudah tidak terlalu mendesak lagi.
Apalagi ketika Ki Randukeling melihat dari dekat, bahwa pasukan
Pajang selalu saja mengganggu pasukan Jipang itu meskipun
tidak dengan serangan yang menentukan.
*** Pada saat-saat yang demikian, Tanah Perdikan Sembojan
benar-benar telah berusaha menyusun dirinya. Beberapa
Kademangan di sekitarnya telah bangkit pula. Mereka memiliki
anak-anak muda yang justru jauh lebih banyak dibandingkan
dengan Tanah Perdikan Sembojan sendiri, yang sebagian dari
anak-anak mudanya telah berada di Pajang.
Tata kehidupan pun telah berubah pula perlahan-lahan.
Namun terasa oleh setiap penghuni Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara hubungan dengan tetangga Kademangan pun rasa-
rasanya menjadi semakin akrab. Bahkan dalam tata kehidupan
sehari-hari rasa-rasanya Kademangan-kademangan itu tidak
terpisah oleh batas dengan Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun Tanah Perdikan Sembojan menjadi lemah karena
kehilangan banyak anak-anak mudanya, namun Tanah Perdikan
33 SH. Mintardja Sembojan tetap mempunyai pengaruh yang besar terhadap
lingkungan di sekitarnya. Kademangan-kademangan disebelah-
menyebelah Tanah Perdikan itu masih tetap menghormati Tanah
Perdikan dan bahkan seakan-akan justru berkiblat kepadanya,
karena beberapa orang yang dikirim oleh Tanah Perdikan
Sembojan benar-benar dapat memberikan bimbingan dan
tuntunan kepada anak-anak muda di Kademangan-kademangan
itu dalam olah kanuragan.
Sembojan telah dengan sengaja memamerkan kelebihannya
untuk tetap mempertahankan pengaruhnya. Karena itulah, maka
orang-orang yang dikirim ke Kademangan-kademangan telah
dengan sengaja meskipun terkendali menunjukkan kelebihan
mereka. Bahkan Sambi Wulung dan Jati Wulung pun telah
memamerkan ketrampilannya. Ditanamnya patok-patok bambu
yang tidak sama tingginya disebuah tanah yang cukup lapang.
Kemudian dengan kecepatan gerak dan ketangkasannya
mempertahankan keseimbangan, keduanya seakan-akan telah
berloncatan dan menari-nari diatas tonggak-tonggak bambu itu.
Kemudian mereka pun telah menunjukkan kemampuan
mereka mempermainkan senjata. Pada saat keduanya berada di
atas patok-patok bambu maka keduanya telah menunjukkan satu
permainan senjata yang mengagumkan.
Di tempat lain Kiai Soka sendiri juga bermain-main bersama
Kiai Badra. Orang-orang tua itu mempunyai cara tersendiri untuk
memancing minat orang-orang di Kademangan sebelah untuk
bekerja keras mempelajari kemungkinan dengan senjata.
Ternyata bahwa usaha mereka itu pun berhasil. Beberapa anak
muda terpilih dengan mengikuti latihan-latihan khusus.
Sementara itu kemampuan mereka harus disebarkan kepada
kawan-kawan mereka. Di samping orang-orang tua yang berilmu tinggi, itu maka
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang tersisa, yang
pernah ditempa oleh para perwira Jipang dapat juga membantu
34 SH. Mintardja memberikan latihan kepada anak-anak muda di Kademangan-
kademangan itu. Dengan demikian, maka dalam waktu yang terhitung singkat,
di Kademangan-kademangan itu telah terdapat kesibukan yang
luar biasa. Sementara anak-anak mudanya pun mulai mengenali
bagaimana caranya memegang senjata.
Ternyata bahwa kemauan anak-anak muda itu demikian
besarnya sehingga mereka seakan-akan tidak mengenal waktu.
Mereka berlatih kapan saja disela-sela kewajiban mereka disawah
dan kewajiban-kewajiban yang lain, di samping latihan-latihan
pada waktu yang memang sudah ditentukan, dua hari sekali.
*** Dalam pada itu, di pesanggrahan Patih Mantahun, dipinggir
Bengawan Sore, telah terjadi satu pendadaran bagi mereka yang
akan menjalankan tugas yang diberikan oleh Patih Mantahun. Di
tempat yang tersembunyi dari penglihatan orang lain, Patih
Mantahun telah berusaha untuk melihat kemampuan dari
keempat orang itu. Mereka harus melakukan sebagaimana diperintahkan oleh
Patih Mantahun untuk mendapatkan penilaian, siapakah di
antara mereka yang paling pantas untuk memimpin kawan-
kawan mereka dalam tugas yang sangat berat itu.
"Dalam keadaan terpaksa, maka kalian harus menghindarkan
diri dari kemungkinan yang paling buruk. Karena itu, maka aku
ingin melihat, apakah kalian memiliki kemampuan berlari.
Meskipun yang lain dapat berlari cepat, tetapi jika seorang di
antara mereka tertangkap maka kerahasiaan tugas kalian akan
terancam," berkata Patih Mantahun.
Keempat orang itu mengumpat. Seorang di antaranya berkata,
"Kami adalah orang-orang yang memiliki nama yang besar.
Untuk apa kami harus berlomba lari seperti anak-anak."
"Tutup mulutmu," bentak Patih Mantahun, "Jika kau tidak
berani melakukannya, pergi saja dari sini."
35 SH. Mintardja Orang itu tidak berani bertanya lebih lanjut. Ia menyadari
watak Patih Mantahun yang tua itu. Dalam usianya yang semakin
banyak, maka kekerasan hati dan sikapnya tidak juga berkurang.
"Kalian tidak akan mendapat upah apapun juga selain
kepemimpinan. Siapa yang menang akan menjadi bahan
pertimbangan, karena masih ada beberapa pertarungan lagi di
antara kalian," berkata Patih Mantahun.
Orang itu tidak mengelak. Mereka berempat harus berlari
menuju sebatang pohon yang sangat besar. Setelah melingkari
pohon itu maka mereka harus kembali ke Patih Mantahun.
"Kalian tidak hanya lari secepatnya saja. Tetapi kalian boleh
saling menghalangi. Sedikit kekerasan memang akan terjadi.
Tetapi harus tetap mengendalikan diri, bahwa kalian sedang
dalam pendadaran, sehingga siapa yang mencederai yang lain
sampai parah, ia justru dianggap kalah," berkata Patih Mantahun.
"Gila," geram mereka di dalam hati. Tetapi tidak seorang pun
yang berani menolak rencana Ki Patih Mantahun itu.
Sementara itu, mereka pun segera mempersiapkan diri. Ki
Patih Mantahun pun kemudian membagikan masing-masing
seutas tali sepanjang satu depa. Katanya, "Ini adalah satu-satunya
senjata kalian. Kalian dapat mempergunakan sepanjang tidak
membunuh yang lain."
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun mereka pun
menyadari, bahwa derajat kepemimpinan itu ternyata harus
mereka tebus dengan permainan yang keras dan bahkan mungkin
kasar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang
tinggi dan merasa bahwa yang satu tidak akan kalah dari yang
lain. Karena itulah, maka tidak seorang pun di antara mereka
yang merasa gentar menghadapi pendadaran itu. Bahkan mereka
merasa justru saling dipermainkan oleh Ki Patih Mantahun.
Tetapi sebenarnya Ki Patih ingin melihat bukan saja siapakah
yang paling tangkas dan berkemampuan tertinggi, tetapi ia juga
36 SH. Mintardja ingin melihat apakah keempat orang itu memiliki keseimbangan
untuk melakukan satu tugas tertentu.
Sejenak kemudian Ki Patih Mantahun pun telah memberikan
isyarat untuk bersiap. Kemudian ia pun mulai menghitung, "Satu,
dua, tiga." Keempat orang itu pun segera meloncat berlari. Mereka telah
mengerahkan bukan saja kemampuan wadag mereka, tetapi
didorong oleh tenaga cadangan yang kuat di dalam hati mereka,
maka mereka pun telah berlari seperti anak panah yang terlepas
dari busurnya. Namun agaknya mereka masih belum berniat untuk saling
menghalangi. Mereka masih berusaha untuk lebih dahulu sampai
ke pohon besar yang harus mereka putari.
Ternyata keempat orang itu memiliki kecepatan berlari yang
hampir sama. Dorongan kekuatan yang melampaui kekuatan
orang kebanyakan memang memberikan kelebihan atas keempat
orang itu. Namun demikian, Ki Patih Mantahun masih menunggu, apa
yang terjadi kemudian jika keempat orang itu mencoba saling
menghalangi. Ketika keempat orang itu hampir bersamaan mencapai pohon
besar yang harus mereka putari, maka mulailah mereka saling
menghalangi. Seorang di antara mereka telah mencoba
menyentuh kaki yang lain yang sebelumnya menjadi agak lengah
justru karena ia mendapat kesempatan berada paling depan.
Ternyata bahwa sentuhan pada kakinya itu telah membuatnya
kehilangan keseimbangan, sehingga ia pun telah jatuh terguling
di tanah. Seorang yang hampir saja menginjaknya telah meloncat
dengan tangkasnya. Bahkan demikian orang Itu menjejak tanah,
tiba-tiba tangannya telah menangkap lengan orang yang lain.
Dengan satu hentakan maka orang itu pun telah terdorong
menyamping. Seperti yang terjatuh itu, maka ia pun kehilangan
keseimbangan. 37 SH. Mintardja Tetapi yang lain pun tidak tinggal diam. Bahkan seorang di
antara mereka telah menyekap yang lain dan membantingnya
ditanah. Sementara itu, yang membanting kawannya itupun tidak
sempat berlari lebih jauh, karena seorang telah mendekap
kakinya. Semula keempat orang itu masih dibatasi oleh keseganan
mereka untuk berbuat lebih
keras. Namun semakin lama
keseganan itupun menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya, mereka pun mulai
saling mendorong, saling menyekap dan bahkan benturan-benturan kekerasan
sulit untuk dihindari lagi.
Itulah yang ingin dilihat oleh
Patih Mantahun. Satu perkelahian segi empat yang
membingungkan. Namun ketajaman penglihatan Patih Mantahun dapat mengamati dengan cermat,
keempat orang yang dihadapinya itu. Apalagi ketika kemudian
mereka menjadi saling memukul dan menghindar. Mendorong
dan mendera. Untuk beberapa saat perkelahian yang aneh itupun terjadi.
Jika semula mereka hanya sekadar mempergunakan tenaga
wadag mereka, maka semakin lama merekapun telah merambah
kepada kemampuan ilmu mereka.
Dengan seksama Ki Patih Mantahun mengamati tali yang ada
di tangan masing-masing. Untuk beberapa saat tali itu rasa-
rasanya justru mengganggu. Namun ketika mereka sudah sampai
kepada saat-saat yang menentukan, maka tali itu pun mulai
dipergunakan. Seorang di antara mereka telah menghentakkan
38 SH. Mintardja tali itu sehingga terdengar ledakan melampaui kerasnya ledakan
cambuk. Namun seorang di antara mereka, telah mengerahkan
kemampuan ilmunya, sehingga tali tiba-tiba telah berubah
menjadi sebuah tongkat yang kuat bagaikan baja. Namun
sebelum ia dapat mempergunakannya, seutas tali telah membelit
pergelangannya, seakan-akan seekor ular yang buas yang
menyerang begitu tiba-tiba.
Tetapi tali yang membelit pergelangan tangan itu tidak
mampu merenggut tongkat yang digenggamnya erat-erat.
Sementara itu telah terdengar lagi ledakan yang seakan-akan
memecahkan selaput telinga.
Ki Patih Mantahun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
merasa kecewa terhadap keempat orang itu. Mereka memiliki
ilmu yang seimbang sehingga dalam keadaan tertentu tidak ada
di antara mereka yang akan menjadi sebab kegagalan tugas
mereka, kecuali jika mereka berempat bersama-sama kehilangan
kesempatan untuk melakukan tugas mereka.
Dalam benturan ilmu segi empat itu sekaligus Ki Patih
Mantahun dapat memperbandingkan setiap kemampuan mereka
dengan langsung sehingga ia tidak memerlukan waktu yang
terpisah-pisah. Namun dengan demikian, maka keempat orang itu bergeser
lambat sekali. Tidak ada kemajuan yang mendekatkan mereka
kepada garis awal yang akan juga menjadi garis akhir. Bahkan
sekali-kali seseorang di antara mereka harus terdorong mundur
satu dua langkah. Namun ia pun dengan serta merta telah
meloncat mendahului yang lain. Tetapi tiba-tiba saja seutas tali
telah menjerat kakinya, dan satu hentakan telah menariknya
mundur pula. Ki Patih Mantahun menunggu dengan sabar permainan yang
kemudian telah mengasyikkan itu. Ia harus menilai dengan
cermat kemampuan yang tersimpan disetiap orang yang sedang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanding. Justru karena kemampuan mereka seimbang, maka
39 SH. Mintardja agak sulit bagi Ki Patih Mantahun untuk menentukan urutan
kemampuan mereka. Sebenarnyalah keempat orang itu sudah menjadi kehilangan
kendali diri. Itulah sebabnya mereka benar-benar saling
menyerang dengan garangnya. Namun ketahanan tubuh mereka
melampaui ketahanan tubuh orang kebanyakan sehingga karena
itu maka mereka masing-masing masih mampu untuk bertahan.
Namun dalam pada itu, bagaimana pun lambatnya, mereka
telah berkisar pula setapak demi setapak mendekati garis batas.
Sementara itu Ki Patih menunggu dengan telaten, namun dengan
pengamatan yang cermat untuk menilai kemampuan mereka.
Bahkan dengan nada dalam ia bergumam bagi dirinya sendiri,
"Siapa yang lemah dan memiliki kemampuan yang tidak
seimbang, tentu akan digilas oleh pendadaran yang berat itu."
Sebenarnyalah jika ada di antara mereka yang ilmunya terpaut
banyak dari yang lain, akan mengalami kesulitan untuk tetap
bertahan. Bahkan mungkin jika yang demikian, ia tidak akan
mampu lagi untuk bangkit.
Dengan demikian maka Ki Patih Mantahun tidak perlu lagi
menyisihkannya, karena dengan sendirinya ia akan tersisih.
Tetapi betapapun lambatnya mereka maju, namun keempat
orang itu mampu mendekati garis batas. Namun dalam keadaan
yang sangat gawat, seorang di antara mereka mencoba melenting
mencapai garis yang ditentukan oleh Ki Patih Mantahun. Namun
seutas tali telah menjeratnya sehingga ia pun telah tertahan
karenanya. Bahkan tiba-tiba saja sebuah lecutan yang keras
terasa memukul punggungnya, sehingga karena itu, maka ia pun
telah menggeliat. Pada saat itu seorang yang lain telah berusaha untuk
meloncatinya. Tetapi kakinya bagaikan terantuk tongkat besi.
Namun dengan tangkasnya ia berusaha memperbaiki
keseimbangannya agar ia tetap tegak.
Tetapi pada saat yang demikian, seorang justru telah berguling
seperti gumpalan asap tertiup angin. Demikian ringannya
40 SH. Mintardja melintasi garis batas. Ketika orang yang lain menerkamnya, maka
orang yang berguling itu sempat menggeliat menghindarkan
dirinya. Sejenak kemudian orang itu pun telah melenting berdiri.
Kemudian dengan suara lantang ia berkata, "Akulah yang
pertama memasuki perbatasan."
Kawan-kawannya pun telah tegak pula berdiri. Mereka semua
sudah melintasi garis, hampir bersamaan. Selisih waktunya tidak
lebih dari sekejap. Patih Mantahun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
telah melihat semuanya. Aku telah menyaksikan bagaimana
kalian memperebutkan tanggung jawab. Karena seorang
pemimpin justru harus bertanggung jawab sepenuhnya."
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu,
terasa tubuhnya mereka menjadi sangat letih. Tulang-tulang
mereka bagaikan retak-retak di dalam ubuhnya. Perasaan nyeri
dan pedih terasa dari ujung rambut sampai keujung ibu jari kaki
mereka. Sementara itu, mereka masih menunggu pendadaran
berikutnya. Tetapi Ki Patih Mantahun itu pun berkata, "Aku tidak akan
melakukan pendadaran lagi. Aku menganggap bahwa yang kalian
lakukan sudah cukup, sehingga aku sudah menjadi yakin,
siapakah yang sebaiknya menjadi pemimpin di antara kalian."
Keempat orang itu menjadi tegang. Tetapi mereka sama sekali
tidak menjawab. Mereka menunggu, apa yang akan dikatakan
oleh Ki Patih Mantahun tentang mereka.
Meskipun demikian keempat orang itu sudah dapat menduga,
bahwa orang yang pertama melintasi batas itulah yang akan
ditetapkan menjadi pemimpin mereka.
Dalam pada itu, maka Ki Patih Mantahun pun berkata,
"Dengarlah. Menurut penilaianku, kalian memiliki kesempatan
yang sama karena kalian telah menunjukkan kemampuan yang
41 SH. Mintardja sama. Tetapi ada satu kelebihan pada seorang di antara kalian,
yaitu kemampuan menguasai dan menyebarkan ilmu sirep."
Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Patih
berkata selanjutnya, "Karena itu, maka aku menetapkannya
untuk menjadi pemimpin di antara keempat orang yang akan aku
bekali dengan tugas-tugas yang sangat berat."
Orang yang memiliki ilmu sirep dan yang kebetulan mampu
berguling melintasi batas mendahului kawan-kawannya
meskipun hanya sekejap itu pun mengangguk hormat sambil
berkata, "Terima kasih atas kepercayaan Ki Patih. Hamba akan
mencoba melakukan tugasku sebaik-baiknya."
"Sebenarnya bagiku yang paling penting bukan siapakah yang
akan menjadi pemimpin. Tetapi aku ingin melihat tataran
kemampuan kalian. Agaknya kemampuan kalian yang satu
dengan yang lain tidak terpaut terlalu banyak, sehingga dengan
demikian maka kalian akan dapat bekerja bersama dengan baik.
Saling mengisi dalam tugas yang sangat berat ini," berkata Patih
Mantahun. Lalu tiba-tiba saja ia berkata, "Siapakah yang merasa
berkeberatan atas keputusanku ini?"
Tidak seorang pun yang menjawab. Sehingga dengan
demikian maka Patih Mantahun pun berkata selanjutnya. "Baik.
Jika demikian maka kalian akan mendapat kesempatan untuk
melakukan tugas yang mungkin tidak pernah kalian duga
sebelumnya." "Siapakah yang harus kami bunuh?" bertanya orang yang
memiliki ilmu sirep dan yang diangkat menjadi pemimpin di
antara keempat orang itu. "Sampai saat ini Ki Patih belum
menyebutnya. Bahkan setiap kali Ki Patih hanya membuat kami
menjadi berdebar-debar saja."
Ki Patih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku baru akan
mengatakannya setelah aku yakin, bahwa kalian akan dapat
menyelesaikan tugas ini. Yang akan kau bunuh adalah orang yang
memiliki ilmu melampaui setiap orang di antara kalian. Karena
42 SH. Mintardja itu, hanya dengan saling mengisi, maka kalian akan dapat
mengatasi persoalan."
"Ya, tetapi siapakah yang menjadi sasaran?" desak orang yang
telah dipercaya untuk memegang pimpinan itu dengan tidak
sabar. Ki Patih Mantahun memandang orang itu dengan tajamnya.
Namun kemudian bibirnya bergerak menyebut sebuah nama,
"Hadiwijaya." Setiap mata terbelalak karenanya. Orang yang diangkat
menjadi pimpinan itu bergerak setapak maju sambil berdesis,
"Hadiwijaya. Adipati Pajang maksud Ki Patih."
"Ya. Adipati Pajang," sahut Ki Patih Mantahun.
Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara
itu terdengar Ki Patih menggeram, "Apakah kalian merasa takut"
Jika kalian merasa takut, sebaiknya kalian katakan sekarang,
karena aku tidak akan memaksakan perintah kepada para
pengecut. Jika sebenarnya kalian takut, namun terpaksa dalam
melakukan perintah ini, maka akibatnya akan tidak baik. Dengan
demikian maka aku ingin mendapat ketegasan. Berani atau tidak.
Jika kalian menyatakan tidak berani, maka tentu tidak ada orang
lain yang harus melakukan kecuali aku sendiri."
"Jangan Ki Patih," cegah pimpinan dari keempat orang itu.
"Ki Patih jangan tergesa-gesa mengambil sikap seperti itu.
Biarlah kami berempat akan menyatakan kesediaan kami.
Namun kami mohon petunjuk dan kesempatan untuk
mempelajari keadaan."
"Aku merasa mampu untuk melakukan sendiri. Jika aku
minta kalian melakukannya, semata-mata untuk menghindari
kesan bahwa Jipang telah berusaha memotong perang yang
sedang berlangsung dengan satu pembunuhan. Meskipun
akhirnya mereka pun tentu akan menduga seperti itu, tetapi
mereka tidak akan dapat berkata semena-mena tanpa bukti.
Karena itu, kalian harus tetap menjaga rahasia yang akan kalian
43 SH. Mintardja emban bersama dengan tugas yang berat itu. Apakah kalian
mengerti maksudku?" "Hamba mengerti Ki Patih," jawab pimpinan kelompok yang
terdiri dari empat orang itu. "Seandainya kami, atau salah
seorang dari kami tertangkap, maka kami mati bersama rahasia
itu." Ki Patih Mantahun mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus.
Aku percaya kepada kalian. Jika salah seorang di antara kalian
atau lebih bahkan semuanya saja tertangkap atau mati dalam
tugas itu, maka keluarga kalian akan menjadi tanggung jawab
kami. Keluarga kalian akan mendapat hadiah yang tidak ternilai
harganya." "Terima kasih," jawab pimpinan dari keempat orang itu.
"Sekali hamba mohon petunjuk dan sedikit waktu barang dua tiga
hari untuk mengamati keadaan."
"Aku tidak berkeberatan," jawab Patih Mantahun. "Tetapi
dalam waktu dua tiga hari atau selama-lamanya sepekan jika
kalian tidak berhasil maka leher kalian akan menjadi taruhan.
Hanya ada dua pilihan bagi kalian. Berhasil atau mati."
Keempat orang itu mengangguk-angguk.
"Katakan, apakah kalian bersedia atau tidak," desak
Mantahun. Tidak ada jawaban lain yang mereka ucapkan kecuali
bersedia. Perintah sudah telanjur diucapkan. Jika seorang di
antara mereka menolak, maka untuk menjaga keutuhan rahasia,
maka yang menolak itu tentu akan dibinasakan, bagaimanapun
caranya. "Malam nanti aku akan memberikan beberapa petunjuk,"
gumam Patih Mantahun. Demikianlah, ketika malam tiba, keempat orang itu telah
menghadap Patih Mantahun di pesanggrahannya. Mereka
mendapat beberapa petunjuk tentang tugas mereka dan sedikit
keterangan tentang orang yang bernama Hadiwijaya.
44 SH. Mintardja "Hadiwijaya memiliki seribu macam ilmu. Pada masa
mudanya ia adala pengembara, bahkan petualang yang
menyusuri hutan, lereng-lereng pegunungan, memasuki gua-gua
dan berguru pada para pertapa," berkata Patih Mantahun.
Keempat orang itu mendengarkan dengan cermat. Mereka
memang merasa bahwa tugas mereka saat ini adalah tugas yang
sangat berat. Hadiwijaya adalah seorang Adipati yang berada di
pesanggrahan dalam suasana perang. Ia adalah Panglima
pasukannya dan karena itu penjagaan atas dirinya tentu
dilakukan sangat kuat. Tetapi keempat orang itu merasa bahwa mereka pun memiliki
ilmu linuwih. Ki Patih Mantahun yang juga memiliki ilmu yang
sangat tinggi itu tentu mampu menilai, apakah mereka berempat
akan dapat atau setidak-tidaknya pantas melakukan tugas itu
atau tidak. Namun beberapa pesan Patih Mantahun sangat berarti bagi
mereka berempat. Menurut keterangan yang didengar oleh Patih
Mantahun, Adipati Pajang itu memiliki ilmu yang kebal.
"Ilmu itu tentu hanya diterapkan jika ia turun ke medan atau
dalam perang tanding. Tetapi tidak jika ia sedang tidur lelap di
pesanggrahannya. Apalagi jika ia merasa aman di bawah
pengawalan pasukannya yang kuat dan tangguh," berkata Ki
Patih Mantahun. "Karena itu, maka kau harus menemukannya
dalam keadaan tidur. Kau harus cepat bertindak, sebelum orang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu terbangun dan apalagi
mampu dan sempat mengeterapkan ilmu kebalnya. Jika
demikian, maka kau tentu akan gagal."
"Baiklah Ki Patih," jawab pimpinan dari keempat orang itu.
"Hamba dan kawan mohon restu, mudah-mudahan hamba dan
kawan-kawan mampu menjunjung kepercayaan Ki Patih untuk
melakukan tugas ini"
"Lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Aku yakin kalian akan
berhasil. Apalagi seorang di antara kalian memiliki kemampuan
melepaskan ilmu sirep, sehingga akan banyak menolong tugas-
45 SH. Mintardja tugas kalian memasuki pesanggrahan yang tentu tidak akan
sekuat istana Pajang sendiri," pesan Patih Mantahun pula.
Demikianlah keempat orang itu pun kemudian mohon diri.
Mereka akan mempersiapkan diri lahir dan batin untuk
melakukan tugas yang sangat berat itu. Mereka benar-benar
harus bertaruh nyawa, karena mereka akan memasuki
pesanggrahan perang. Bukan pesanggrahan pada saat-saat
Hadiwijaya bercengkerama di pinggir-pinggir hutan sambil
berburu kijang. "Selama-lamanya sepekan kalian harus sudah selesai dengan
tugas ini," berkata Patih Mantahun.
"Hamba Ki Patih," jawab pemimpin dari keempat orang itu.
"Kami akan mencoba melakukan sebaik-baiknya. Di hari-hari
pertama kami masih mencoba untuk mengamati keadaan
pesanggrahan itu. Mungkin kami mempunyai cara yang akan
mempermudah tugas-tugas kami."
"Lakukanlah apa yang baik menurut kalian," berkata Ki Patih
Mantahun kemudian. Keempat orang itu pun kemudian mohon diri. Di luar
pesanggrahan mereka membicarakan apa yang akan mereka
lakukan untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu.
Keempat orang itu pun kemudian telah membagi tugas. Dua
orang di antara mereka akan berupaya untuk dapat mendekati
pesanggrahan Pajang dengan dalih apapun juga. Tetapi mereka
tidak akan bersama-sama. Mereka akan menempuh cara mereka
masing-masing. Dengan demikian di hari berikutnya, keempat orang itu pun
telah berpencar. Mereka menyeberangi Bengawan Sore ditempat
yang berbeda dan tidak berada dihadapan pesanggrahan Pajang
maupun Jipang. Di hari pertama orang-orang itu mengamati pesanggrahan
hanya dari kejauhan. Dua orang yang memang bertugas untuk
mendekati pesanggrahan itu melihat, bahwa di antara orang-
46 SH. Mintardja

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang lewat didekat pesanggrahan itu adalah orang-orang
yang menjajakan beberapa jenis makanan dan buah-buahan.
Orang-orang itu mencoba menghubungi penjual buah-buahan
itu ketika para penjual meninggalkan pesanggrahan. Dari mereka
orang-orang itu mendapat beberapa keterangan bahwa para
prajurit Pajang yang berada di pesanggrahan itu sering membeli
dari mereka buah-buahan dan makanan.
"Apakah mereka tidak dilarang membeli dari orang-orang
yang sebelumnya tidak mereka kenal seperti kalian?" bertanya
orang yang ingin berusaha mendekati itu.
"Sebagian dari mereka membeli juga," jawab para penjual.
"Aku tidak tahu, apakah sebenarnya mereka dilarang atau tidak.
Namun selama ini kami tidak pernah diusir jika kami menjajakan
makanan dan buah-buahan. Bahkan orang-orang tertentu
mendapat pesanan untuk menyerahkan sayur-sayuran ke dapur
dalam jumlah yang cukup banyak, karena di dapur itu telah
dimasak makan dan lauk pauknya bagi semua prajurit yang ada
di pesanggrahan itu. Orang yang ingin mengamati pesanggrahan
itu mengangguk-angguk. Hari itu mereka berusaha keras untuk
dapat menentukan satu langkah. Akhirnya mereka pun berhasil
menghubungi para penjual makanan bahkan para penjual sayur-
sayuran. Ketika salah seorang di antara mereka yang ingin mendekati
pesanggrahan itu menyatakan ingin ikut berjualan sayur-sayuran,
maka para penjual itu merasa keberatan.
"Kau dapat menyaingi kami," berkata salah seorang di antara
para penjual itu. "Hak itu sudah kami dapat sejak semula mereka
berada disini." Tetapi orang itu berkata, "Tidak. Sama sekali tidak. Aku tidak
akan mengurangi hak kalian. Aku hanya akan menjualnya kepada
kalian sehingga dengan demikian kalian masih akan mendapat
keuntungan. Jika aku menyerahkan sayur-sayuran ke dapur,
tentu atas nama kalian. Dan aku tidak mau, berapa kalian
47 SH. Mintardja mendapat uang dari mereka, asal kalian sudah membayar aku
sesuai dengan pembicaraan."
Sebenarnyalah orang-orang yang mendapat tugas dari Patih
Mantahun itu sama sekali tidak memperhitungkan untung atau
rugi. Mereka dapat menjual sayur-sayuran dengan harga yang
lebih rendah dari penjual yang manapun juga. Bahkan bersedia
mengirim sayur-sayuran itu langsung ke dalam pesanggrahan
tanpa minta upah tambahan.
Dengan memecahkan beberapa kesulitan maka akhirnya dua
orang di antara keempat orang itu berhasil mendekati barak.
Yang seorang sebagai pedagang buah-buahan tanpa banyak
persoalan dengan pedagang-pedagang yang lain, yang seorang
baru pada hari keempat berhasil memasuki pesanggrahan dengan
membawa sayur-sayuran yang dijualnya cukup murah kepada
orang-orang yang biasanya mengirimkan sayur-sayuran ke
pesanggrahan itu. Namun dengan demikian, maka pada hari keempat itu pula,
keempat orang itu bertemu dan berbicara tentang rencana
mereka memasuki pesanggrahan. Beberapa bagian dari
pesanggrahan itu sempat dilihat dan dikenali oleh kedua orang
yang sempat memasukinya. "Waktu kita tinggal sehari," berkata pemimpin kelompok itu,
"Apakah malam ini kita akan melakukannya?"
Seorang di antara mereka berkata, "Hari ini kita belum
mempersiapkan diri. Mungkin secara lahir kita memang sudah
siap sejak kita berangkat."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sependapat. Kita harus bersiap lahir dan batin. Secara badani dan
jiwani." Akhirnya kelompok itu memutuskan bahwa mereka akan
memasuki pesanggrahan itu besok malam. Malam itu, dan sehari
sebelumnya mereka akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya
lahir dan batin. Bahkan bila mungkin mereka akan mengadakan
semacam latihan untuk memasuki pesanggrahan itu, setidak-
48 SH. Mintardja tidaknya mengenali pesanggrahan itu di malam hari, dan
mencoba untuk mengetahui dimanakah para penjaga dan para
peronda berada. Demikianlah, ketika malam
menjadi semakin kelam pada
hari keempat itu, maka keempat orang itu pun telah
dengan sangat berhati-hati
mendekati pesanggrahan. "Kau coba untuk menebarkan ilmu sirep,"
berkata salah seorang di antara
keempat orang itu. "Tidak sekarang," jawab
pemimpin kelompok itu. "Dengan demikian dapat
menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan, sehingga karena itu, mereka
justru akan bersiaga di malam berikutnya."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dengan demikian,
maka mereka harus sangat berhati-hati.
Dengan kemampuan yang tinggi, maka keempat orang itu
berhasil mendekati pesanggrahan. Mereka seakan-akan
merangkak dan bahkan kadang-kadang merayap seperti seekor
ular dibelakang gerumbul-gerumbul perdu.
Dari tempat mereka, maka mereka dapat melihat para
prajurit Pajang yang berjaga-jaga. Dua orang berada di regol
pesanggrahan dengan senjata siap di tangan, sementara setiap
kali, dua orang yang lain berjalan mengelilingi pesanggrahan itu.
"Tentu ada juga para penjaga lain di dalam lingkungan
pesanggrahan," berkata orang yang sempat memasuki
pesanggrahan itu. "Di dalam pesanggrahan terdapat barak-barak
yang berpencar. Nampaknya barak-barak itu dibangun dengan
49 SH. Mintardja tergesa-gesa di sekitar rumah aslinya. Namun cukup rapat dan
kuat." "Apakah kau tahu dimanakah Hadiwijaya tinggal di dalam
barak itu?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Ya. Dari orang-orang yang berada didapur, aku mendapat
keterangan bahwa Hadiwijaya ada disebuah barak kecil ditengah-
tengah barak-barak yang lain, justru dibelakang rumah yang
sebenarnya yang dipergunakan untuk pesanggrahan itu. Barak itu
pun adalah bangunan susulan. Bukan bangunan yang menjadi
bagian dari rumah yang dipergunakan untuk barak itu," jawab
kawannya yang berhasil menjadi penjual sayur dan
mengantarkan langsung ke dapur meskipun baru pada hari
keempat. Keempat orang itu pun kemudian mengelilingi pesanggrahan
itu untuk memperhitungkan, bagian manakah yang paling lemah
dari pesanggrahan Hadiwijaya itu. Dari tempat itulah mereka
akan mencoba memasuki pesanggrahan besok malam.
"Mudah-mudahan ilmu sirepku cukup tajam untuk membius
semua prajurit yang bertugas pada malam besok," berkata
pemimpin kelompok itu. "Jika tidak, maka aku harap sebagian
besar dari mereka akan tertidur, sementara kita akan dapat
memasuki pesanggrahan. Ternyata bahwa malam itu, keempat orang itu mendapatkan
banyak bahan yang akan dapat mereka pergunakan dimalam
berikutnya, memasuki pesanggrahan untuk membunuh Adipati
Hadiwijaya. Namun dihari berikutnya, salah seorang di antara mereka
yang sudah telanjur menyanggupi menyerahkan sayur-sayuran
harus masih bekerja keras. Tetapi orang itu telah menghubungi
beberapa penjual sayur-sayuran dan membayarnya dengan harga
yang lebih tinggi dari para pembeli yang lain meskipun orang itu
akan menjadi rugi. 50 SH. Mintardja Tetapi pekerjaan itu dapat diselesaikannya sebelum matahari
sepenggalah, sehingga ia masih akan mempunyai waktu untuk
mempersiapkan diri sebagaimana kawan-kawannya.
Bahkan satu keuntungan yang didapatkannya, bahwa hari itu
ia sempat melihat Ki Pemanahan dan Panjawi berjalan-jalan
melihat-lihat keadaan di dapur. Semula mereka tidak mengenali
kedua orang yang nampaknya memiliki wibawa yang tinggi itu.
Baru kemudian dari para petugas di dapur ia mengetahui, bahwa
kedua orang itu adalah Ki Pemanahan dan Ki Panjawi. Dua orang
panglima yang disegani oleh kawan maupun lawan.
"Menilik cahaya wajah mereka dan sikap mereka, keduanya
memang orang-orang yang berjiwa besar dan memiliki ilmu yang
sangat tinggi," berkata orang yang sempat bertemu dengan
Pemanahan dan Panjawi itu.
"Kau cemas tentang mereka?" bertanya pemimpin
kelompoknya. "Jika aku berkata jujur, agaknya memang demikian," jawab
orang yang melaporkannya. "Tetapi aku harus mempunyai
perhitungan nalar. Keduanya tentu tidak akan meronda di malam
hari karena tugas-tugas itu tentu dilakukan oleh para prajurit.
Hanya dalam keadaan tertentu saja mereka akan keluar dari bilik
mereka." "Sebaiknya kau memantapkan sikapmu lebih dahulu,"
berkata pemimpin kelompok itu.
"Ki Patih Mantahun tentu sudah mengenal kedua orang itu
dengan baik, sebagaimana ia mengenal Hadiwijaya. Pada saat
Demak masih tegak, maka mereka tentu sering berhubungan dan
mungkin mereka pernah bersama-sama berada di satu medan.
Karena itu, kau dan kita semua harus yakin, bahwa menurut
penilaian Ki Patih Mantahun, kita pantas untuk melakukan tugas
ini." "Ya. Aku menyadari," jawab orang lain.
51 SH. Mintardja "Yang kau lihat itu barulah ujud lahiriahnya saja. Apakah
ujud lahiriahnya itu akan menentukan tataran kemampuan
mereka?" sahut pemimpin kelompok itu.
Orang yang melihat Ki Pemanahan dan Ki Panjawi itu pun
mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Mungkin saja jiwani aku
memang belum siap sekarang. Tetapi masih ada waktu. Kita
dapat menyiapkan diri sampai saatnya menjelang senja."
Demikianlah, maka mereka berempat pun telah berusaha
untuk menempa perasaan masing-masing. Dengan demikian
maka keempat orang itu berusaha untuk memasuki gelanggang
dalam keadaan yang benar-benar telah siap apapun yang terjadi.
Bahkan seandainya mereka harus diterkam oleh maut sekalipun.
Ketika matahari mulai menjadi semburat kuning, maka
keempat orang itu pun telah membenahi dirinya. Mereka sempat
makan bekal yang mereka persiapkan. Kemudian bersiap-siap
sepenuhnya. Senjata mereka pun telah mereka lihat, sehingga
mereka yakin bahwa senjata itu tidak akan mengecewakan
mereka. Betapapun tabahnya hati mereka, namun ketika gelap mulai
turun, mereka pun menjadi berdebar-debar juga. Bahkan dengan
jujur pemimpin kelompok itu berkata, "Kita harus menemukan
ketenangan hati. Aku merasa gelisah oleh tugas yang sangat berat
ini, meskipun aku adalah orang yang tidak pernah tergetar
jantungku melihat tanganku bergelimang darah. Tetapi kali ini
kita mengemban tugas yang memang sangat berat dan sulit. Kita
harus mengakui, agar dengan demikian kita dapat melangkah di
atas tanah yang mapan, bukan sekadar dalam kebanggaan mimpi.
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka
menyadari sepenuhnya betapa beratnya tugas mereka. Memasuki
sebuah pesanggrahan perang seorang Adipati yang sedang
memimpin pasukannya, siap untuk bertempur. Apalagi seorang
Adipati yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Demikianlah ketika malam mulai turun, maka keempat orang
itu pun benar-benar telah bersiap lahir dan batin. Dengan kepala
52 SH. Mintardja tengadah mereka memandang pesanggrahan yang telah
diselubungi oleh kegelapan. Pesanggrahan yang terletak disebuah
padukuhan dipinggir Bengawan Sore.
Sejenak kemudian maka mereka pun mulai melangkahkan
kaki mereka mendekati pesanggrahan itu. Perlahan-lahan dan
sangat berhati-hati. Tidak mustahil bahwa mereka akan dapat
bertemu dengan sekelompok prajurit yang sedang mengamati
keadaan di sekitar pesanggrahan itu.
"Penjagaan yang paling kuat adalah pada wajah pesanggrahan
itu yang menghadap ke Bengawan Sore," berkata pemimpin
kelompok itu. "Sebagaimana pernah kita bicarakan, kita akan
memasuki lingkungan pesanggrahan lewat lambung sebelah kiri.
Bukan begitu?" "Ya," jawab kawannya yang pernah memasuki pesanggrahan
itu, "Jika kita berhasil masuk, maka aku telah melihat arah yang
harus kita tuju di dalam pesanggrahan."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Sementara itu,
semakin dekat mereka dengan pesanggrahan, mereka pun
menjadi semakin berhati-hati. Bahkan untuk beberapa saat
mereka harus menunggu, karena malam masih terlalu dangkal
untuk melakukan tugas mereka.
Namun akhirnya saat yang mereka tunggu, yang menurut
perhitungan mereka paling tepat untuk melakukan tugas itu telah
datang juga. Beberapa saat menjelang tengah malam.
Dengan hati-hati mereka telah merayap mendekati
pesanggrahan dari lambung kiri. Kemudian mereka mencari
tempat yang terlindung untuk mulai dengan usaha mereka
memasuki pesanggrahan itu.
"Kita harus melakukan bersama-sama," berkata pemimpin
kelompok itu. "Aku akan melepaskan ilmu sirep. Aku minta
kalian membantuku dengan cara apapun juga yang dapat kalian
lakukan. Dengan demikian maka ilmu sirep itu akan menjadi
semakin tajam. Jika saatnya sampai, maka para prajurit tentu
akan tertidur nyenyak."
53 SH. Mintardja Meskipun ketiga orang kawannya tidak memiliki ilmu yang
dapat melepaskan ilmu sirep, namun mereka dapat membantu
dengan cara mereka masing-masing untuk mendorong


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemampuan ilmu sirep itu agar menjadi lebih tajam.
Demikianlah, maka ketiga orang kawannya tudak memiliki
ilmu yang dapat melepaskan sirep, namun mereka dapat
membantu dengan cara mereka masing-masing untuk
menodrong kemampuan ilmu sirep itu agar menjadi lebih tajam.
Udara malam yang sejuk terasa menjadi semakin sejuk. Angin
yang sumilir menyentuh dedaunan, mengusap tubuh-tubuh para
prajurit yang sedang bertugas.
Beberapa orang prajurit yang duduk di dalam regol gardu
pesanggrahan itu masih sibuk berbincang tentang tugas-tugas
mereka. Dua orang di antara mereka mencoba melawan perasaan
kantuk dengan permainan macanan. Permainan yang memang
sering mereka lakukan jika mereka bertugas. Sementara itu, dua
orang di antara mereka bertugas di regol dengan senjata
telanjang. Mereka berjalan hilir mudik dengan tegapnya.
Sedangkan di sela-sela longkangan, di antara bangunan-
bangunan yang ada di pesanggrahan itu, beberapa orang prajurit
sedang berjaga-jaga pula. Di sudut belakang pesanggrahan itu
dua orang prajurit juga berjalan hilir mudik, silang menyilang.
Sedangkan disudut lain, dua orang prajurit berdiri tegak
memandang kegelapan. Sebenarnyalah bahwa penjagaan di dalam pesanggrahan itu
cukup kuat. Hampir setiap sudut pesanggrahan itu dapat
dijangkau oleh pengamatan para prajurit bertugas.
Di luar pesanggrahan, empat orang sedang dengan tekun
menyebarkan satu kekuatan yang dapat mempengaruhi
ketahanan para prajurit yang bertugas. Dengan ilmu sirep maka
para prajurit itu akan diserang oleh perasaan kantuk yang tidak
terlawan. Untuk beberapa saat, terjadi benturan kekuatan antara para
prajurit yang bertugas dengan ilmu sirep yang mulai
54 SH. Mintardja menyelubungi pesanggrahan itu. Para perwira tertinggi di
pesanggrahan itu memang sudah tertidur sejak menjelang tengah
malam. Mereka mempercayakan penjagaan dan pengamatan
kepada para prajurit yang sedang bertugas. Sehingga dengan
demikian mereka tidak sempat menyadari apa yang telah terjadi.
Bahkan mereka pun bagaikan telah dibius sehingga pada saat
mereka tidur, terasa tidur itu menjadi semakin nyenyak.
Dua orang yang sedang bermain makanan pun telah tidak
sanggup lagi berpikir. Mereka sekali-kali masih melihat batu
kerikil yang mereka pergunakan sebagai biji-biji permainan.
Namun sekali-kali batu-batu kerikil itu menjadi kabur dan tidak
lagi dapat mereka lihat karena mata mereka mulai terpejam.
Seorang prajurit yang bertugas malam itu sebagai
penanggung jawab penjagaan dan pengamatan berusaha untuk
menyadari apa yang telah terjadi. Ada niatnya untuk bangkit dan
melihat berkeliling. Namun niatnya itu tidak pernah
dilakukannya. Ia memang turun dari gardu. Dengan sisa
kesadarannya ia melihat obor yang terpancang di atas regol.
Namun kemudian ia telah duduk kembali dibibir gardu. Rasa-
rasanya badannya menjadi sangat berat untuk turun lagi dan
berjalan berkeliling. Pada saat yang demikian, kawan-kawannya yang berada
digardu itu pun telah mulai tertidur pula. Bahkan ada di antara
mereka yang justru mulai mendengkur.
"He, siapa tertidur itu?" geram pemimpin kelompok yang
bertugas itu. Tidak ada jawaban. Prajurit yang bertanggung jawab itu
berpaling. Tetapi yang dilihatnya sekadar bayangan-bayangan
kabur yang tidak jelas. Bahkan kemudian prajurit itu pun telah
tersandar dinding gardu pula. Sementara matanya mulai
terpejam. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya. Matanya yang
terpejam menjadi semakin rapat.
55 SH. Mintardja Prajurit yang bertugas memimpin kelompok itu tidak sempat
melihat bahwa dua orang diregol itu pun telah tertidur pula.
Bahkan prajurit-prajurit yang bertugas di sudut-sudut belakang
dan di long-kangan. Demikian, maka pesanggrahan itu benar-benar telah menjadi
lengang. Yang ada hanyalah tarikan-tarikan nafas yang teratur
karena para petugas malam itu sudah tertidur.
Dalam pada itu, pemimpin dari empat orang yang mendapat
tugas dari Ki Patih Mantahun telah mencapai puncak ilmunya.
Ketika ia kemudian mengangkat wajahnya, maka ia pun berdesis
dengan penuh keyakinan, "Ilmuku sudah mencengkam seluruh
isi pesanggrahan." Kawan-kawannya pun telah mulai bangkit pula dari usaha
mereka untuk membantu dengan cara mereka masing-masing.
Berarti atau tidak berarti, karena mereka pun yakin, tanpa
bantuan mereka, sirep itu pun akan dapat mencengkamnya.
"Marilah," berkata pemimpin dari keempat orang itu, "Kita
memasuki pesanggrahan. Meskipun aku yakin bahwa sirepku
telah mempengaruhi seisi pesanggrahan, namun kita harus tetap
berhati-hati. Mungkin ada satu dua orang yang terlepas dari
pengaruh sirepku." "Bagaimana dengan barak-barak lain di luar lingkungan itu?"
bertanya seorang di antara keempat orang itu.
"Mereka tidak tahu apa yang terjadi di induk pesanggrahan
ini," jawab pemimpinnya. "Tetapi sekali lagi, kita memang harus
berhati-hati. Kita tahu bahwa beberapa puluh tonggak dari
tempat ini terdapat juga barak-barak para prajurit Pajang.
Bahkan tidak hanya di satu tempat. Tetapi jarak itu cukup
memisahkan persoalan yang akan terjadi malam ini di
pesanggrahan Adipati Hadiwijaya ini."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
menjawab. 56 SH. Mintardja Demikianlah maka mereka berempat pun telah menuju ke
tempat yang mereka anggap paling baik. Mereka akan memasuki
pesanggrahan Adipati Hadiwijaya itu dari lambung kiri.
Untuk beberapa saat lamanya, keempat orang itu berusaha
untuk meyakinkan bahwa di dalam halaman pesanggrahan tidak
terdapat lagi para prajurit yang berjaga-jaga atau berjalan
mengelilingi halaman. Mereka memang tidak mendengar sesuatu. Mereka tidak
mendengar gemeremang atau langkah yang berdesir. Bahkan
mereka tidak mendengar tarikan nafas di balik dinding halaman
itu. "Aku akan melihatnya," desis salah seorang dari keempat
orang itu. Pemimpinnya tidak berkeberatan. Dibiarkannya seorang
kawannya meloncat dengan sangat hati-hati ke atas dinding.
Orang itu pun kemudian menelungkup melekat dinding
halaman itu sambil memperhatikan isi halaman pesanggrahan.
Untuk beberapa saat orang itu berdiam diri. Namun ternyata
bahwa ia sama sekali tidak mendengar apapun juga dan tidak
melihat sesuatu yang bergerak. Suasana di pesanggrahan itu
bagaikan menjadi beku. Orang itu pun memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Karena itu maka sejenak kemudian, ketiga orang yang lain pun
telah berloncatan pula. Setelah menunggu sejenak diatas dinding,
maka hampir berbareng mereka meluncur turun ke dalam
lingkungan halaman pesanggrahan itu dan untuk beberapa saat
mereka berusaha bersembunyi dibalik perdu.
Namun tiba-tiba seorang di antara mereka berdesis sambil
menunjuk ke arah sesuatu.
"Apa?" bertanya kawannya.
Namun akhirnya mereka berempat sempat melihat. Dua
orang prajurit yang tertidur nyenyak, terbaring ditanah dibawah
57 SH. Mintardja bayangan tanaman hias yang tumbuh di halaman samping.
Tanaman yang nampaknya kurang terpelihara, karena para
prajurit agaknya lebih memperhatikan senjata mereka daripada
tanaman hias yang tumbuh di halaman.
"Mari kita lihat," desis pemimpin kelompok itu.
Dengan hati-hati pula mereka berempat pun berusaha
mendekati kedua orang yang tertidur itu. Ketika mereka
menyentuh tubuh itu, maka agaknya keduanya tertidur sangat
nyenyak. "Marilah," berkata pemimpin kelompok, "Kita sudah berhasil
membuat mereka dan tentu juga seisi pesanggrahan ini tidur."
"Kemana kita sekarang?" bertanya salah seorang di antara
mereka. "Jangan membuang waktu," jawab pemimpinnya. "Kita
langsung menuju ke bilik Adipati Hadiwijaya. Kita harus
menemukannya dalam keadaan tidur."
"Ikut aku," berkata orang yang pernah mengenali isi
pesanggrahan itu. Ia sudah mengetahui sebagaimana dikatakan
oleh orang-orang yang bekerja didapur, bahwa Adipati
Hadiwijaya ada di dalam sebuah barak khusus yang dibangun
kemudian. Bukan berada di dalam rumah induk yang memang
sudah ada sebelumnya. Seperti pada saat mereka masuk, maka dengan hati-hati
sekali mereka mendekati barak itu. Di kelokan longkangan
mereka menemukan dua lagi prajurit yang tertidur nyenyak.
"Apakah kita tidak memaksa mereka untuk tidur selama-
lamanya?" bertanya salah seorang diantara keempat orang itu.
"Tidak perlu" jawab pemimpinnya, "kita hanya akan
membuang waktu. Mereka tidak akan terbangun sampai fajar.
Mungkin seseorang dapat mengguncang-guncangnya. Tetapi
selama sisa pengaruh sirep itu masih menyelubungi
pasanggrahan ini, maka ia akan tetap tertidur."
58 SH. Mintardja Kawannya rnengamgguk-angguk. Mereka yakin bahwa yang
dikatakan oleh pemimpin kelompoknya itu benar.
"Marilah" berkata pemimpin kelompok itu, "jangan terlambat.
Jika ada prajurit penghubung dari barak-barak yang lain datang
ke tempat ini, maka mereka tentu akan menjumpai, keadaan yang
mengejutkan." "Jika mereka memasuki lingkungan ini, apakah mereka tidak
terkena sirep?" bertanya seorang yang lain.
"Mungkin ia akan dapat terkena pengaruhnya" jawab
pemimpin kelompok itu. "Tetapi kita sendiri tidak" desis yang lain.
"Kita memasuki daerah sirep ini dengan sadar dan kesiagaan"
jawab pemimpin kelompok itu.
Demikianlah, maka mereka pun langsung menuju ke barak
Adipati Hadiwijaya. Ketika dengan hati-hati mereka merangkak
mendekat, maka mereka menemukan dua orang penjaga di pintu
barak itu tertidur pula dengan nyenyaknya. Bahkan seorang
diantaranya telah mendengkur meskipun tidak terlalu keras.
Sejenak keempat orang itu termangu-manga. Mereka sadar,
bahwa yangberada didalam barak itu adalah seorang yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Satu pertanyaan telah
menggelitik hati. "Apakah Adipati Hadiwijaya juga terkena pengaruh sirep?"
` Tetapi menurut perhitungan mereka, Adipati Pajang itu
memang sudah tertidur sejak malam merambat semakin dalam.
Bahkan sebelum sirep itu mencengkam seisi pasanggrahan.
Karena itu ada atau tidak ada sirep, maka Adipati Hadiwijaya itu
tentu tertidur didalam barak itu. Jika kemudian sirep itu juga
menyentuhnya., maka tidurnya pun akan menjadi semakin
nyenyak. 59 SH. Mintardja "Meskipun demikian, keempat orang itu masih juga berdebar-
debar. Rasa-rasanya mereka akan memasuki sebuah kandang
harimau putih yang paling garang, mempunyai kulit yang kebal
sebagaimana pernah mereka dengar dalam ceritera-ceritera.
Bahkan menurut ceritera Ki Patih Mantahun, bahwa salah satu
kekuatan aji Adipati Pajang adalah aji Macan Putih, disamping aji
Lembu Sekilan dan Tameng Waja yang diwarisinya dari
mertuanya, Kanjeng Sultan Trenggana.
Namun keempat orang itu berharap bahwa dalam keadaan
tidur, semua aji itu tidak diterapkannya, karena ia merasa bahwa
barak itu telah dijaga dengan kuatnya.
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu pun telah
merayap sejengkal demi sejengkal mendekati pintu. Mereka
harus meyakinkan tentang kedua orang prajurit yang tertidur itu.
Demikianlah seorang di antara keempat orang itu pun telah
merangkak mendekati kedua orang prajurit yang tidur tersandar
dinding. Kedua tombak dari kedua prajurit tersandar pula.
Dengan mendengarkan pernafasannya dan bahkan kemudian
meraba tubuhnya, maka orang yang mendekatinya itu pun yakin
bahwa keduanya tertidur tanpa mungkin angun dalam waktu
dekat. Pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk ketika ia
mendapat isyarat dari orang yang sudah berada di depan pintu
itu. Keempat orang itu pun kemudian telah berada didepan pintu
pula. Mereka tidak mematikan obor yang terpancang di atas
pintu, agar jika masih juga ada orang yang terbangun dan melihat
dari kejauhan tidak menjadi curiga karenanya.
"Kita akan masuk?" berkata pemimpin kelompok itu.
"Ya. Kita akan masuk," desis yang lain.
Mereka pun perlahan-lahan mencoba membuka pintu.
Ternyata pintu diselerak dari dalam.
60 SH. Mintardja "Apakah kita akan memecahkan pintu?" bertanya salah
seorang dari keempat orang itu.
"Tidak," jawab pemimpin kelompok. "Dengan demikian kita
akan membuat kisruh. Keretak selarak pintu yang patah mungkin
akan dapat membangunkan Adipati Pajang itu sendiri."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang di
antara mereka bertanya, "Lalu apakah yang akan kita lakukan?"
"Kau dapat berlaku seperti pencuri. Kau masuk ke dalam
barak dengan menggali bebatur di bawah dinding," berkata
pemimpinnya. Kawannya tidak membantah. Ia sadar, bahwa dalam keadaan
yang demikian, mereka harus bekerja sama sebaik-baiknya.
Waktu mereka tidak terlalu banyak.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian, maka seorang di antara mereka telah
menggali tanah dibawah dinding bambu sebuah bangunan baru
yang ternyata adalah barak kecil yang dipergunakan oleh Adipati
Pajang itu sendiri. Untuk menggali itu memang diperlukan waktu. Tetapi karena
hal itu sudah sering dilakukannya pada saat orang itu masih
melakukan pencurian dahulu, maka pekerjaan itu termasuk cepat
pula selesai. Apalagi tanah memang tidak begitu keras.
Dari lubang itulah maka orang yang menggali itu masuk.
Sejenak kemudian, maka selarak pintu pun telah terangkat dan
pintu itu sudah terbuka. "Terima kasih," berkata pemimpin kelompok. "Mari jangan
membuang waktu." Keempat orang itu pun kemudian memasuki barak kecil itu,
sementara pintu pun telah ditutup kembali dari dalam.
Sejenak keempat orang itu termangu-mangu. Mereka berdiri
disebuah ruang yang sempit. Sementara itu, mereka menghadapi
sebuah pintu lagi yang tertutup.
61 SH. Mintardja Seorang di antara keempat orang itu telah meraba pintu yang
tertutup itu. Kemudian ia pun berdesis, "Sebuah pintu lereg."
"Apakah pintu itu juga diselarak?" bertanya pemimpin
kelompoknya. Orang itu meraba pintu itu mencoba untuk mendorongnya,
karena pintu itu harus digeser menyamping jika hendak dibuka.
Ternyata pintu itu tidak diselarak. Karena itu, maka dengan
sangat hati-hati pintu itu pun telah dibuka.
Keempat orang terkejut ketika sebatang tombak rebah di sela-
sela pintu yang terbuka sedikit itu. Untunglah bahwa seorang
diantara mereka cepat menangkapnya.
Untuk beberapa saat meresa saling berpandangan. Namun
kemudian mereka pun menyadari bahwa tombak itu tersandar di
pintu, karena para penjaga yang tertidur didalam ruang sebelah.
Ketika pintu itu terbuka semakin lebar, maka sebenarnyalah,
dua orang prajurit di sebelah menyebelah pintu itu telah tertidur
nyenyak. Keempat orang itu sempat menarik nafas dalam-dalam
kemudian mereka pun telah memasuki sebuah ruang dalam yang
lebih luas. Bangunan yang tidak begitu besar itu ternyata telah dibuat
dengan baik dan kuat. Meskipun dari luar barak itu nampaknya
sederhana, tetapi di bagian dalam ruangan-ruangannya diatur
dan dihiasi dengan baik, sehingga memberikan ketenangan
penghuninya. "Ada tiga bilik" desis salah seorang dari keempat orang itu.
"Jelas bukan yang tengah" desis pemimpin kelompoknya, "kau
lihat bahwa pintu di bilik tengah itu tidak tertutup rapat sehingga
kita dapat melihat kedalam."
"Memang biasanya tidak di bilik tengah" sahut kawannya.
62 SH. Mintardja Sebenarnyalah bahwa di bilik tengah itu hanya terisi oleh
sebuah pembaringan yang besar dengan berbagai kelengkapan
tidur yang bertumpuk. Tetapi tidak dipergunakan oleh siapa pun
juga. "Sekarang kita tinggal memilih" berkata pemimpin kelompok,
"yang sebelah kiri atau yang sebelah kanan."
"Kita akan melihatnya" desis seorang diantara mereka.
Dengan sangat berhati-hati orang itu mendekati pintu. Dengan
pendengarannya yang tajam ia mendengarkan tarikan nafas
didalamnya. Namun keningnya berkerut, ketika terdenagar
tarikan nafas tidak hanya seorang.
Orang itu pun telah memanggil dengan isyarat ketiga
kawannya untuk meyakinkannya, bahwa yang didengarnya ada-
lah tarikan nafas beberapa orang.
"Kita mencari kesempatan untuk mengintip" bisik salah
seorang diantara mereka. Yang lain mangangguk-angguk.
Dengan hati-hati orang itu pun berusaha untuk melihat ke
dalam lewat celah-celah dinding dan pintu. Dengan mengungkit
dinding bilik itu, maka orang itu dapat melihat, siapakah yang
berada didalam bilik. Orang itu mengerutkan keningnya. Selangkah ia bergeser
surut. Dengan demikian maka berturut-rturut ketiga orang
kawanya pun dapat mengintipnya pula.
"Puteri" desis pemimpin keloanpak itu "tentu permaisuri.
Sedangkan yang tidur di latai adalah para embannya,
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu, maka
pemimpin kelompak itupun berkata selanjutnya "Jika demikian,
maka Adipati Pajang tentu berada di bilik sebelah."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun nampak
kegelisahan mulai menyentuh lagi jantung mereka.
63 SH. Mintardja Pemimpin kelompok itu pun kemudian mulai mengatur diri.
Dengan nada rendah ia berkata, "Aku dan seorang diantara kalian
akan memasuki bilik itu dan sekaligus membunuh Adipati
Pajang. Sementara dua orang yang lain akan menjaga pintu.
"Mungkin saja terjadi satu kesulitan, bahkan ada orang yang
memasuki ruang ini pula. Kalian berdua harus bertahan agar
tidak seorangpun masuk kedalam: ruang itu sebelum aku keluar
setelah menghunjamkan sejataku ke tubuh Adipati Pajang."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
Dengan demikian maka mereka berempatpun telah mendekati
bilik sebelah. Sejenak Mereka termangu-mangu di muka bilik itu
dengan jantung yang tegang.
Dalam pada, itu, malam memang sudah menjadi semakin
dalam. Tengah malam sudah lewat beberapa lama. Udara malam
masih saja terasa sejak mengusap tubuh-butuh yang tertidur.
Namun demikian, keringat dingin telah membasahi pakaian
keempat orang yang berusaha untuk membunuh Adipati
Hadiwijaya. Dalam heningnya malam mereka mendengar suara cengkerik
yang berderik di halaman. Bahkan mereka pun telah mendengar
suara angkup dan bajangkerek yang ngelangut.
Keempat orang itu mengangkat wajahnya ketika mereka
mendengar suara kentongan di kejauhan. Seorang di antara
mereka berbisik, "Kentongan manakah yang berbunyi tu?"
"Cukup jauh," jawab pemimpin kelompoknya. "Jangan
hiraukan." Kawannya tidak menjawab lagi. Sementara itu, maka kedua
orang yang sudah ditentukan termasuk pemimpin kelompok itu
pun telah mendekati pintu. Mereka masing-masing telah
menggengam keris telanjang di tangannya, sementara dua orang
ang lain akan menjaga di luar pintu. Mereka pun telah
menggenggam keris pula di tangan masing-masing.
64 SH. Mintardja Pemimpin kelompok itu telah mulai meraba pintu. Dicobanya
untuk mendorong ke samping. Namun orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Pintu itu pun tidak diselarak dari dalam.
Tetapi justru demikian itu, ketika pintu mulai bergerak
tangannya pun menjadi gemetar. Karena itu, maka pintu itu pun
dilepaskannya sambil menarik nafas dalam-dalam.
Kawan-kawannya hanya termangu-mangu saja
memperhatikan pemimpin kelompok yang nampaknya memang
menjadi sangat tegang itu. Mereka menyadari apa yang
bergejolak di dalam jantungnya, sebagaimana di dalam jantung
mereka masing-masing Dalam pada itu, suara bajangkerek rasa-rasanya menjadi
semakin keras. Semakin hening suasana malam, maka suara itu
menjadi semakin jelas dan bahkan semakin ngelangut. Apalagi
Harpa Iblis Jari Sakti 32 Tangan Berbisa Karya Khu Lung Lencana Pembunuh Naga 11
^