Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 24

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 24


bagi mereka yang pernah mendengar ceritera tentang terjadinya
ajangkerek itu. Untuk beberapa saat orang-orang di dalam kelompok itu yang
menjadi utusan Ki Patih Mantahun itu bagaikan membeku.
Namun pemimpin kelompok itu segera menyadari apa yang
terjadi. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun berdesis, "Marilah.
Tabahkan hati kalian, sebagaimana harus aku lakukan."
Sekali lagi orang itu memegang daun pintu lereg. Tetapi
tangan itu sudah tidak ergetar lagi.
Perlahan-lahan orang itu mendorong pintu ke samping.
Ketika celah-celah pintu itu menjadi semakin lebar, maka
jantungnya memang bergejolak semakin keras. Mereka berempat
kemudian melihat Adipati Hadiwijaya itu tidur dengan
berselimut kain panjang. Justru membelakangi pintu yang sudah
terbuka itu. Untuk beberapa saat lamanya keempat orang itu berusaha
menenangkan gejolak jantung mereka. Baru kemudian pemimpin
kelompok serta seorang lagi yang ditugaskannya untuk memasuki
bilik itu bersamanya mulai melangkah masuk. Perlahan-lahan
dan sangat berhati-hati. 65 SH. Mintardja Adipati Hadiwijaya itu tidak boleh terbangun dan apalagi
sempat membangunkan aji Macan Putihnya atau ajinya yang lain
yang dapat membuatnya kebal.
Beberapa langkah dibelakang Adipati Pajang yang
membelakangi pintu itu, kedua orang itu berhenti. Mereka pun
telah membuat ancang-ancang dan mengeterapkan semua ilmu
dan kemampuan yang ada pada mereka. Keris ditangan mereka
mulai bergetar. Bahkan seakan-akan keris itu mulai membara.
Keris yang seolah-olah merasa sangat kehausan itu pun
kemudian telah siap menerkam mangsanya serta menghisap
darahnya. Sejenak kemudian berdiri tegak. Namun sejenak kemudian
maka keduanyapun telah meloncat menerkam dengan ujung keris
masing-masing. Suara bajangkrek diluar menjadi semakin keras. Seakan-akan
menjerit kesakitan meskipun tikaman keris itu mengenai Adipati
Pajang dan sama sekali tidak menyentuh bajangkrek itu.
Namun kedua orang itu menjadi heran dan bahkan kemudian
menjadi berdebar-debar dan kebingungan. Ujung keris mereka
sama sekali tidak mampu menembus kulit Adipati Pajang itu.
Namun keduanya tidak putus asa. Dengan mengerahkan
segenap kekuatan dan tenaga mereka mengulangi lagi,
menghujamkan keris di tangan mereka ke tubuh Adipati Pajang
yang nampaknya tertidur lelap itu.
Tetapi keris itu pun sama sekali tidak berhasil melukai kulit
Adipati Pajang. Bahkan ternyata hiruk pikuk itu justru telah
membangunkannya. Ketika Adipati Pajang menyingkapkan selimutnya dan ujung
kain panjangnya mengenai kedua orang yang sedang berusaha
membunuhnya itu, maka rasa-rasanya kedua orang itu telah
tertimpa setumpuk batu padas yang runtuh dari tebing
pegunungan. 66 SH. Mintardja Karena itu, maka keduanya telah terlempar dan terbanting
jatuh sampai ke depan pintu bilik itu.
Kedua kawannya yang berada diluar, ketika mendengar kedua
kawannya jatuh terguling dilantai, telah meloncat pula
menjenguknya. Namun yang mereka lihat adalah, kedua
kawannya itu telah terkapar dilantai. Dengan susah payah
keduanya berusaha untuk bangkit berdiri, sementara keduanya
justru telah mendorong kawan-kawannya yang datang
membantunya itu untuk keluar dari dalam bilik itu.
Kedua kawannya yang sedang menolong itu pun menyadari
keadaan ketika mereka melihat Adipati Pajang itu bangkit dari
tidurnya dan kemudian duduk dibibir pembaringannya itu.
Karena itu maka dengan tergesa-gesa mereka keluar dari bilik
itu dan berusaha untuk berlari ke pintu keluar.
Namun sekali lagi mereka terkejut. Ketika mereka berada di
ruang tengah, maka dihadapan mereka telah berdiri dua orang
dengan tangan bersilang didada.
Hampir di luar sadarnya, salah seorang di antara keempat
orang itu berdesis, "Ki Pemanahan dan Ki Penjawi."
"Kau mengenal aku?" bertanya Ki Pemanahan.
"Ya. Aku mengenal tuan berdua," suara orang itu mulai
gemetar. Namun pemimpin kelompok kecil itu dengan cepat
menguasai diri sambil menggeram, "Jangan mencoba
menghalangi kami." Tetapi Ki Pemanahan dan Ki Penjawi itu tertawa. Sementara
Ki Pemanahan itu pun bertanya, "Apakah kalian berhasil
membunuh Kanjeng Adipati?"
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian terdengar jawabannya, "Minggir, atau kerisku akan
menghisap darah kalian."
67 SH. Mintardja "Jangan keras kepala," sahut Ki Penjawi. "Kalian telah
terkepung. Seandainya kalian lolos dari pintu ini, maka diluar,
prajurit Pajang telah siap untuk menghujani kalian dengan ujung
senjata." "Aku tidak peduli," jawab orang itu.
"Tenanglah. Lihatlah dibelakangmu. Kanjeng Adipati telah
turun dari peraduan. Kalian hampir pingsan terkena ujung kain
panjangnya, apalagi jika Kanjeng Adipati dengan sengaja berbuat
sesutau atas kalian."
Wajah keempat orang itu menjadi semakin tegang. Mereka
menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Ki Pemanahan dan
Ki Penjawi adalah dua orang Panglima yang sangat disegani oleh
siapapun juga. Mereka memiliki kemampuan yang sangat tinggi
pula. Apalagi Kanjeng Adipati Hadiwijaya itu pun telah berada
dibelakangnya pula. "Nah," bertanya Ki Pemanahan. "Apakah kalian masih akan
melawan?" Pemimpin kelompok kecil utusan Ki Patih Mantahun yang
akan membunuh Kanjeng Adipati itu pun memandangi wajah
kawan-kawannya. Nampaknya wajah-wajah itu telah diwarnai
dengan keputusasaan. Apakah yang akan mereka lakukan tidak
akan memberikan arti apa-apa. Mereka memang sudah
merasakan, ujung kain panjang Adipati Pajang itu telah
mendorong mereka sehingga mereka jatuh terbanting dilantai.
Sementara itu terdengar Adipati Pajang berkata, "Sudahlah.
Jangan kau risaukan apa yang telah terjadi. Duduklah."
Keempat orang itu menjadi semakin bingung. Namun ketika
mereka sekali lagi memandang wajah Adipati Pajang, rasa-
rasanya kewibawaannya telah mencengkam jantung mereka,
sehingga mereka sama sekali tidak dapat melawannya.
Dengan lemahnya keempat orang itu pun kemudian duduk di
lantai. Kangjeng Adipati Pajang, Ki Pemanahan dan Ki Penjawi
berdiri di hadapan mereka dengan jarak beberapa langkah.
68 SH. Mintardja Tanpa mengangkat wajah wajah mereka, keempat orang itu
duduk dengan jantung yang berdebaran.
"Kalian tidak meamerlukan senjata itu" berkata Ki Penjawi.
Keempatnya dengan gugup telah menyarungkan keris me-
reka. Sementara Ki Pemanahan berkata, "Nah, dengan demikian
kita akan dapat berbicara, dengan lebih baik."
Keempat orang itu masih tetaip duduk sambil menundukkan
wajah wajah mereka. "Ki Sanak" berkata Adipati Pajang kemudian, "ternyata kalian
memiliki ilmu yang luar biasa. Kalian telah menyebartikan ilmu
sirep yang demikian tajamnya sehingga semua prajurit yang ada
di pasanggrahan ini telah tertidur nyenyak."
Keempat orang itu sama sekali tidak berani menjawab.
"Beruntunglah bahwa kami bertiga terlepas dari sergapan
ilmu sirepmu itu, sehingga kami terlepas dari bahaya maut.
Khususnya aku sendiri" berkata Kangjeng Adipati.
Keempat orang itu menjadi semakin tunduk. Mereka sudah
tidak dapat membayangkan lain tentang diri mereka, daripada
tergantung di tiang gantungan besok dan menjadi tontonan
orang-orang Pajang. "Satu tontonan yang tentu menyenangkan mereka" berkata
pemimpin kelompok itu didalam hatinya.
Sementara itu, Ki Pemanahan berkata, "Ki Sanak. Sampai
sekarang pengaruh sirepmu masih mencengkam. Lihat, prajurit
yang tertidur itu masih juga tidur dengan nyenyaknya."
Tidak ada jawaban sama sekali, sedangkan kepala yang
tunduk itu masih saja menunduk. Bahkan semakin dalam.
"Keributan yang terjadi di ruang ini sama sekali tidak dapat
membangunkannya" berkata Ki Penjawi.
Jantung keempat orang itu menjadi semakin berdegupan
69 SH. Mintardja Akhirnya sebenarnyalah Adipati Pajang sampai pada satu
pertanyaan yang sangat ditakuti oleh keempat orang itu. Dengan
nada rendah Adipati Pajang bertanya, "Ki Sanak. Siapakah
sebenarnya kalian dan siapakah yang memerintahkan kalian
melakukan perbuatan yang tercela ini ?"
Keempat orang itu menunduk semakin dalam, namun
jantung mereka terasa berdentangan. Pertanyaan itu adalah per-
mulaan dari kesulitan-kesulitan yang bakal datang dan akan
memuncak pada satu cengkaman badani dan jiwani yang
mungkin akan sangat berat bagi mereka.
Kadang-kadang memang timbul dorongan untuk membunuh
diri saja dengan melawan ketiga orang itu. Tetapi tarnyata
mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya
meskipun mereka adalah orang-orang pilihan. Wibawa dari
ketiga orang itu benar-benar tidak teratasi oleh kegarangan
mereka sebagaimana mereka nyatakan sebelum mereka
berangkat. "Siapa Ki Sanak?" bertanya Ki Pemanahan pula.
"Maaf Kangjeng Adipati" jawab pemimpin kelompok itu.
Tetapi betapapun ia berusaha untuk menunjukkan kebesaran
jiwanya, namun suaranya masih tetap bergetar, "Kangjeng
Adipati tentu sudah mengetahui, bahwa hamba tidak akan dapat
menjawab pertanyaan Kanjeng Adipati itu."
Adipati Pajang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
justru tersenyum sambil berkata "Bagus. Ternyata kalian adalah
orang-orang yang memang pantas melakukan tugas seperti ini.
Selain memiliki ilmu yang tinggi, kalian juga mampu
merahasiakan dan menjunjung nama orang yang memerintahkan
kalian melakukan tindakan ini."
"Itu adalah kewajiban hamba Kangjeng Adipati dan juga
tanggung jawab hamba." suara pemimpin kelompok itu masih
bergetar. "Benar sekali" desis Adipati Pajang, "kau harus bertanggung
jawab sebagai akibat dari kesediaannnu melakukan tugas ini.
70 SH. Mintardja Bagi kalian tentu lebih baik mati dalam keadaan yang
bagaimanapun juga daripada berbicara tentang orang yang
menugaskan kalian." Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia tidak menjawab, sementara dada mereka berempat terasa
menjadi semakin sesak. "Kematian dan penderitaan tentu bukan apa-apa bagi kalian
yang setia pada janji" berkata Adipati Pajang, "sifat itulah yang
sangat menyenangkan bagi lawan-lawan kalian, karena mereka
mendapat kesempatan untuk bertanya lebih lama. Tetapi jika kau
dengan serta merta mengaku, maka permainan pun akan segera
berhenti." Keringat dingin semakin deras mengalir di seluruh tubuh
keempat orang itu. Tetapi mereka memang sudah menyadari, jika
mereka gagal dan apalagi tertangkap maka akibatnya akan terjadi
sebagaimana yang dikatakan oleh Adipati Pajang.
Apalagi keempat orang itu menyadari, sifat-sifat Adipati
Pajang pada masa mudanya. Maka kemungkinan yang paling
pahit akan mereka alami. Tetapi itu, adalah akibat yang memang mungkin terjadi atas
mereka yang telah menyatakan kesediaan untuk mengemban
tugas yang sangat berat itu. Jika mereka berhasil, maka nama
mereka akan disanjung di seluruh Jipang. Namun jika gagal, yang
paling pahit itu lah yang akan dialaminya.
Karena keempat orang itu tidak segera menjawab, maka Ki
Pemanahan lah yang berbicara, "Ki Sanak. Apakah kalian sedang
mempertimbangkan kemungkinan yang paling baik yang akan
kalian lakukan?" Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Ke-
mudian dengan nada dalam ia berkata, "Terserah apa yang akan
tuan-tuan lakukan atas diri kami. Kami telah menyerah dan kami
tidak akan dapat berbuat apa-apa. Tetapi kami terpaksa tidak
dapat mengatakan apa-apa tentang diri kami."-
71 SH. Mintardja Ki Pemanahan mengangguk-angguk. Sementara itu Adipati
Pajangpun berkata, "Aku senang kepada kalian. Kalian adalah
contoh dari utusan-utusan yang setia dan tidak gentar
menghadapi apapun juga. Kalian tidak gentar menghadapi tiang
gantungan. Bahkan kalian juga tidak gentar menghadapi tekanan
yang dapat mendera tubuh kalian."
"Apabaleh buat Kangjeng Adipati" jawab pemimpin kelompok
itu, "hamba hanya ingin menempatkan diri pada kedudukan
hamba. Hamba adalah orang-orang yang tidak berarti selain
untuk kepentingan seperti ini. Karena itu, biarlah hamba
termasuk orang yang bertanggung jawab atas tugas yang
dibebankan diatas pundak hamba."
"Itulah yang menarik" jawab Adipati Pajang, "dalam
kedudukan apapun juga seseorang harus dapat menunjukkan
pertanggungan jawabnya atas kedudukan dan jabatannya. Karena
itu, apa yang kau lakukan adalah satu ujud dari kesetiaan dan
tanggung jawabmu." Keringat keempat orang itu telah membasahi setiap be. itattg
pada pakaian mereka. Pujian. itu rasa-rasanya membuat mereka
semakin dekat deagan cambuk dan tongkat yang akan melecut
dan mendera tubuh mereka. Bahkan mungkin api dan bara besi
runcing yang dihadapkan ke biji mata mareka.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Adipati Pajang itu berkata, "Karena itu Ki Sanak. Atas
sikap kalian yang mengagumkan itu, kami sama sekali tidak akan
menghukum kalian. Kalian akan kami beri kesempatan untuk
meninggalkan barak ini dengan bebas dan kembali ketempat
kalian berangkat. Jika yang kalian lakukan ini alas kehendak
kalian sendiri, maka aku minta untuk tidak kalian ulangi. Tetapi
jika yang kalian lakukan ini karena perintah seseorang, maka
laporkan kepadanya apa yang telah terjadi atas kalian dan
sampaikan salam kami kepada mereka."
Hampir bersamaan keempat orang itu mengangkat wajah
mereka. Namun nampak pada tatapan mata mereka, bahwa
mereka kurang percaya atas keterangan itu.
72 SH. Mintardja "Agaknya kalian menjadi curiga bahwa kami akan menjebak
kalian dengan cara pengecut" berakta Adipati Pajang.
Tetapi Pemanahan lah yang tertawa. Katanya, "Maaf Ki
Sanak. Aku telah mengatakan kepada kalian bahwa diluar
prajurit Pajang telah menunggu, kalian dengan senjata ditangan.
Tetapi sebenarnyalah bahwa sirepmu masih mencengkam. Lihat,
prajurit itu, masih belum bangun juga."
Keampat orang itu memang menjadi bingung. Mereka tidak
mengerti apa yang sebenarnya akan terjadi atas mereka. Namun
sekali lagi Kangjeng Adipati Pajang berkata, "Tinggalkan
pasanggrahan ini dengan tanpa perasaan cemas asal kalian tidak
terperosok kedalam barak yang lain. Aku jamin, bahwa lalian
akan selamat keluar dari dinding halaman barak ini. Asal kalian
langsung meninggalkan lingkungan pasanggrahan pasukan
Pajang dengan hati-hati dan tidak mengganggu prajurit yang
sedang meronda, maka kalian akan selamat sampai ke rumah.
Sekali lagi sampaikan salamku kepada orang yang
memerintahkan kalian dan barangkali kau akan dapat membawa
sekedar uang untuk keluargamu"
Benar-benar diluar dugaan. Adipati Pajaag itu pun telah
mengambil segenggam uang. Dilemparkannya keping-keping
uang itu kepada keempat orang itu.
"Ambil atas perintahku atau kami akan menggantungmu di
tepi Bengawan Sore agar dilihat oleh orang-orang Jipang bahwa
kepercayaannya tidak berdaya berbuat sesuatu di pasanggrahan
orang-orang Pajang." barkata Adipati Hadiwijaya.
Denyut jantung orang-orang yang menjadi utusan Ki Patih
Mantahun itu terasa bagaikan terhenti. Agaknya Adipati
Hadiwijaya itu sudah dapat menduga, siapakah yang meme-
rintahkan mereka untuk datang ke pasanggrahannya dan
membunuhnya." Karena itu tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali
memungut keping-keping uang itu.
73 SH. Mintardja "Nah, sekarang tinggalkan tempat ini sebelum para prajurit
terbangun karena kekuatan sirepmu tidak berdaya lagi atau aku
melepaskan kekuatan aji untuk menghapuskan kekuatan
sirepmu. Jika aku kehendaki, atau barangkali kakang Pemanahan
dan Kakang Penjawi inginkan, sirepmu sebenarnya tidak akan
berdaya apa-apa di Pasanggrahan ini. Bahkan aku atau kakang
Pemanahan dan kakang Penjawi akan mampu membuat kalian
berempatlah yang tertidur di pasanggrahan ini, atau membuat
kalian bingung dan tidak tahu jalan keluar." berkata Adipati
Pajang. Keempat orang itu pun kemudian mulai bergeser. Tetapi
keragu-raguan masih nampak di wajah mereka.
"Aku adalah Adipati Hadiwijaya dari Pajang. Yang aku
katakan adalah kata-kata seorang kesatria yang tidak akan palsu"
berkata Adipati Pajang itu,
"Ampun Kangjeng Adipati" berkata pemimpin kelompok itu,
"hamba dan kawan-kawan hamba mohon diri,"
"Hati-hatilah" berkata Adipati Pajang, "diluar pasanggrahan
banyak prajurit Pajang yang meronda. Jika kalian bertemu
dengan mereka maka berusahalah untuk bersembunyi, karena
jika kalian mengganggu mereka karena kalian merasa berilmu
tinggi, maka kalian akan benar-benar terjebak. Tetapi itu adalah
karena kesalahan kalian sendiri."
"Ampun Kangjeng Adipati. Kami sudah barang tentu tidak
akan berani melakukannya" jawab pemimpin kelompok itu.
Demikianlah, maka keempat orang itu pun telah
meninggalkan lingkungan pasanggrahan Adipati Hadiwijaya.
Mereka telah diantar oleh Ki Pemanahan dan Ki Penjawi sampai
ke regol. Di regol, digardu dan di beberapa tempat, para prajurit masih
tertidur nyenyak. Namun sekali lagi Ki Pemanahan berkata,
"Jangan kau sangka bahwa kami tidak mempunyai kekuatan yang
dapat melawan ilmu sirepmu. Yang kami lakukan sementara ini
adalah dengan sengaja menunggu, apa yang akan terjadi.
74 SH. Mintardja Kangjeng Adipati sama sekali tidak sedang tertidur dan kami
berdua melihat bagaimana kalian masuk halaman pasanggrahan
ini lewat lambung." ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 20. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
75 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 76 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja KEEMPAT orang itu sama sekali tidak menjawab. Mereka
tiba-tiba saja merasa betapa kecilnya mereka yang dengan
sombong telah menerima tugas untuk membunuh Adipati Pajang
yang besar itu. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi untuk beberapa saat masih
tetap berdiri diregol. Mereka mengamati keempat orang yang
berjalan menjauh dan kemudian hilang dikegelapan.
Seperti pesan Adipati Pajang, maka keempat orang itu, dengan
behati-hati meninggalkan lingkungan pasanggrahan pasukan
Pajang. Dengan selamat mereka sampai ke tepi Bengawan Sore
yang tidak menghadap ke kedua pasanggrahan yang
berseberangan. Seperti pada saat mereka melintasi Bengawan
menuju ke pasanggrahan orang-orang Pajang, maka mereka
menyeberang dengan arah yang berlawanan.
"Aku tidak mengerti" berkata pemimpin kelompak itu,
"kenapa kami tidak dibunuh."
"Tentu Adipati Pajang mempunyai maksud tertentu" jawab
seorang diantara mereka. "Ya" jawab yang tain, "ini tahu satu penghinaan bagi orang-
orang Jipang lewat kami. Tetapi kami tidak akan berani untuk
tidak mengatakan yang sebenarnya. Bagaimanapun juga kami
sudah gagal. " "Seperti Yang dikatakan oleh Ki Patih, kita akan dapat
dipenggal. Bukan oleh orang-orang Pajang, justru, oleh
orangorang Jipang sendiri." berkata pemimpin kelompok itu.
Keempat orang itu memahaani kemungkinan itu. Seorang
diantara mereka sambil menarik nafas berkata, "Ya. Kita akan
mati oleh orang-orang Jipang sendiri. Mereka tentu akan
menghukum kita dengan cara, yang barangkadi tidak pernah kita
pikirkan lebih dahulu. Apalagi jika mereka mengetahui, betapa
Adipati Pajang telah menghina utusan mereka."
2 SH. Mintardja "Jadi, apakah lebih baik kita tidak menghadap Ki Patih
Mantahun?" tiba-tiba seorang diantara mereka berdesis.
Ketiga orang kawannya, termangu-mangu. Namun pemimpin
dari keempat orang itu berkata, "Kita adalah laki-laki. Kita harus
mempertanggung jawabkan tugas kita, meskipun itu akan berarti
maut bagi kita. Adipati Pajang tersentuh hatinya karena kita
bersikap sebagai laki-laki meskipun ada juga niatnya menghina
orang-orang Jipang. Namum kita tidak sepantasnya berkhianat
dengan melarikan diri tanpa melaporkan hasil tugas yang
dibebankan kepada kita. Jika Ki Patih Mantahun menganggap
bahwa kita, harus dihukum mati sebagai satu kemungkinan yang
paling baik buat kita, kita akan menghadapinya sebagai laki-laki."
Ketiga orang kawannya pun mengangguk-angguk. Dengan
mantap salah seorang dari ketiga orang kawannya itu berkata, -
Baiklah. Apapun Yang akan kita hadapi."
Demikianlah, maka keempat orang itu pun telah bersikap
bulat. Mereka akan menghadap Ki Patih Mantahun, apapun yang.
mungkin terjadai atas diri mereka. .
Kedatangan mereka di kepatihan membuat Ki Patih Mantahun
berdehar-debar. Dengan serta merta keempat orang itu telah
dipanggil menghadap tanpa orang lain.
Ki Patih Mantahun yang melihat keempat orang itu berwajah
buram menjadi berdebar-debar. Dengan tidak sabar ia bertanya -
Bagaimana tugas yang kalian lakukan" Apakah berhasil atau
tidak?" Keempat orang itu termangu--mangu. Namun mereka tidak
akan dapat berdiam diri saja. Karena itu, maka pemimpin dari
keempat orang itupun kemudian berkata, "Ampun Ki Patih.
Sebenarnyalah kami sudah berusaha untuk berhuat sebaik-
baiknya menurut kemampuan kami."
Wajah Ki Patih menjadi tegang. Ketajaman peggraitanya
segera menangkap suasana yang timbul dari sikap ke empat
orang itu. Karena itu maka dengan suara bergetar ia berkata,
"Apakah kalian telah gagal?"
3 SH. Mintardja Pemimpin dari keempat orang itu menunduk dalam-dalam
sambil berkata, "Kami mohon beribu ampun. Sebenarnyalah
kami telah gagal." Patih Mantahun menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih
menahan diri sambil bertanya, "Apa yang telah terjadi" Kenapa
kalian tidak mati saja di pasanggrahan itu" Dengan demikian
maka nama kalian akan menjadi semarak diantara orang-orang
Jipang, karena kalian telah gugur dalam tugas. Tetapi, apakah
kau sadari, bahwa dengan demikian yang akan terjadi atas kalian
akan jauh lebih buruk daripada mati dicincang oleh prajurit
Pajang?" Keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Terasa kulit
mereka meremang dan leher mereka pun terasa mulai tercekik
oleh tali gantumgan. Namun pemimpin kelamipok kecil itu kemudian menjawaib,
"Ampun Ki Patih. Apapun Yang terjadi, hamba tidak akan
ingkar." "Katakan, apakah yang telah kalian lakukan di pasanggrahan
orang-orang Pajang itu"- perintah Ki Patih Mantahun.
- Keempat orang itu tidak akan dapat berbohong. Pemimpin
merekapun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi atas
mereka berempat. Merekapun menceriterakan bahwa Adipati
Pajang telah memberikan uang kepada mereka.
Kemarahan Ki Patih Mantahun tidak tertahankan lagi. Tiba-
tiba saja kakinya telah menghantam dagu pemimpin kelompok
kecilnya sehingga orang itu telah terlempar selangkah dan jatuh
terlentang. Sementara itu yang lainpun telah terkena pula oleh
hantaman kaki dan tangannya sehingga keempat orang itu telah
mengaduh kesakitan sambil merangkak bangun;
"Ampun Ki Palih" desis pemimpin kelompok itu.
4 SH. Mintardja "Kau tahu, apa artinya
semuanya itu he?" Ki Patih
hampir berteriak. "Kami tahu Ki Patih" jawab
pemimpin kelompok itu terputus~putus sambil berusaha untuk duduk kembali
sambil menundukkan wajah,
"orang-orang Pajang memang
berusaha menghina orang- orang Jipang. Tetapi kami tidak
dapat berkhianat terhadap Ki
Patih. Memang terpikir oleh
kami untuk melarikan diri dan
tidak lagi menghadap Ki Patih
sekarang ini, karena kami
sudah membayangkan, bahwa Ki Patih tentu akan sangat marah
oleh penghinaan ini. Tetapi dengan demikian kami bukanlah
orang laki-laki. Kami untuk selanjutnya akan menjadi buruan.
Bahkan jika hal ini terdengar oleh orangorang Pajang, maka kami


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun mungkin akan dicari dan dibunuh pula. Sebenarnyalah
bahwa kami datang menghadap untuk menyerahkan nasib kami
kepada Ki Patih." Ki Paitih yang marah itu menarik nafas dalam-dalam.
Keempat orang itu ternyata memiliki kesetiaan yang tinggi.
Meskipun mereka menyadari apa yang mungkin terjadi atas
mereka, tetapi mereka tetap datang melaporkan kegagalan
mereka. Justru karena itu, maka kemarahan Ki Patih pun tiba-tiba
telah mereda. Sekali ia menarik nafas delam-dalam untuk
menghirup udara yang sejuk, seakan-akan Ki Patih yang tua itu
ingin mengendapkan hatinya yang sedang bergejolak.
"Orang-orang Pajang demikian sambongnya menghadapi
kalian" geram Ki Patih Mantabun, "dalam keadaan saperti ini
kadang-kadang timbul pula niatku sebagaimana niat Kangjeng
5 SH. Mintardja Adipati Arya Penangsang. Rasa-rasanya sebagai laki-laki aku
tergelitik untuk menantang perang tanding Pemanahan dan
Penjawi. Bahkan Adipati Pajang sendiri."
Keempat orang itu hanya dapat menunduk tanpa dapat
mengatakan sesuatu. Mereka hanya dapat menunggu Ki Patih itu
menyebut hukuman apa yang akan mereka terima karena
kegagalan yang telah terjadi dalam tugas-tugas yang mereka
lakukan. Namun untuk beberapa saat Ki Patih Mantahun merenung.
Keempat orang itu telah menunjukkan kesetiaannya yang
mengagumkan. Karena itu, maka apakah sepantasnya ia
menjatuhkan hukuman yang berat terhadap mereka. Sebenarnya,
tanpa kesetiaan itu, mereka memang dapat melarikan diri dan
tidak perlu datang kepadanya. Dalam suasana yang kisruh karena
peperangan ini, maka Jipang tentu tidak akan sempat
memikirkan mereka dan memerintahkan beberapa orang prajurit
memburu mereka. Tetapi ternyata bahwa keempat oranng itu,dengan suka rela
telah datang menghadap dan melaporkan apa yang telah terjadi.
Karena itu, maka kemarahan Ki Patih itu pun mampu
ditekannya dalam-dalam. Dengan nada datar Ki Patih itu pun
kcmudian berkata, "Aku mengcrti, bahwa kalian memang bukan
apa-apa dihadapan Adipati Pajang dan kedua Panglimanya yang
bernama Pemanahan dan Penjawi itu. Karena itu, maka
kegagalan yang kalian alami adalah wajar, karena yang terjadi
tidak sebagaimana kalian perhitungkan. Adipati Pajang itu
ternyata tidak sedang tertidur, demikian pula Pemanahan dan
Penjawi. Karena itu, kali ini aku tidak akan menghukummu.
Meskipun karena kegagalan itu, orang-orang Pajang telah
menghina kita semuanya, tetapi kalian hanya sekedar
dipergunaikan oleh mereka sebagai aiat. Karena itu, yang terjadi
bw kan salahmu." Keempat orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka
tidak dapat membayangkan, apa yang mungkin terjadi atas diri
6 SH. Mintardja mereka. Namun Ki Patih itu berkata selanjutnya, "Baiklah kalian
kembali ke rumah kalian masing-masing. Kali ini, tugas kalian
hanya sampai disini. Mungkin lain kali aku memerlukan kalian
lagi., "Ki Patih terdiam sejenak, lalu - tetapi ingat. Kami masih
menuntut kesetiaan kalian. Jangan kalian sebut apa yang telah
terjadi, meskipun hanya dengan keluarga kalian sendiri. Bahkan
kalian kembali dalam keadaan hidup itu sama sekali bukan
merupakan kebanggaan bagi kalian, tetapi kalian harus
merasakan betapa kalian tidak labih dari debu dibandingkan
dengan osang-orang berilmu tinggi."
Pemimpim kelompok itu, dan bahkan ketiga orang kawannya
serentak mengangkat wajah mereka. Namun wajah-wajah itu pun
kembali menunduk. Dengan nada damam pemimpin kelompok
itu berkata " Kami mengucapkan terimna kasih yang tidak
terhingga atas kemurahan Ki Patih terhadap. Tentu kami tidak
akan dapat melupakannya. Kami akan tetap menjadi hamba yang
setia dan tidak akan berkhianat dalam keadaan apapun juga."
"Baik" berkata Ki Patih, "sekarang kalian aku ijinkan
meninggalkan pasanggrahan ini. Tetapi setiap saat, aku mungkin
memerlukan kalian lagi dalam persoalan yang lain. Kalian tidak
akan dapat ingkar, karena nyawa kalian ada di tanganku."
Sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan ternyata telah
terjadi. Ternyata Ki Patih Mantahun tidak menghukum nereka,
apalagi menggantung mereka.
Dengan perasaan yang tidak menentu, maka mereka berempat
pun kemudian meninggalkan pesanggrahan Ki Patih, pulang ke
rumah masing-masing. "Satu kcajaiban telah terjadi," berkata pemimpin kolompok itu
ketika mereka belum berpisah.
"Rasa-rasanya dua kali kita mati dan hidup kembali" sahut
yang lain. "Nyawa kita memng rangkap" berkata kawannya pula,
7 SH. Mintardja "Totapi kita masih akan menghadapi banyak kemungkinan"
sahut orang yang keempat, "kemungkinan yang paling pahit
adalah satu tugas yang akan membawa kita kedalIam maut."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi pemimpin
kelompok itu kemudian berkata, "Jika terjadi demikian, maka
sejak sekarang kila harus mempersiapkan diri kita.
Sebernarnyalah hidup yang kita miliki sekarang sekedar
perpanjangan dari saat kematian yang seharusnya sudah kita
alami. Keinginan orang-orang Pajang menghina orang-orang
Jipang telah menyelamatkan kita, sementara harga diri Ki Patih
Mantahun pun telah melindungi kita dari maut. Ki Patih tentu
merasa malu untuk membunuh kita, sementara orang-orang
Pajang yang menjadi sasaran pembunuhan yang kita lakukan itu
pun tidak membunuh kita."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi seorang diantara
mereka berkata, "Apapun alasannya, kita ternyata masih tetap
hidup. Kita. masih sempat membuat perhitungan dan
pertimbangan. Apakah kita, akan tetap memberikan pengertian
tentang kesetiaan seperti sesaat sebelum kita meninggalkan
pesanggrahan Ki Patih. Atau ternyata bahwa kita akan
memberikan arti yang lain."
Pemimpin kelamipok itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kita akan segera berpisah. Tetapi marilah kita berjanji,
bahwa kita masih akan tetap saling berhubungan, mungkin
didorong oleh nasib yang pernah kita alami bersama. Mungkin
didorong oleh perasaan lain yang tidak dapat aku katakan."
Ketiga orang kawannya mengangguk-angguk pula. Seorang
diantara mereka berkata, "Baiklah. Kita akan tetap
berhubungan." Demikianlah akhirnya keempat orang itupun berpisah. Mereka
akan kembali ke rumah mereka masing-masing. Namun
bagaimanapun juga mereka masih tetap merasa dibayangi oleh
kekuasaan Ki Patih Mantahun yang telah membebaskan mereka
dari hukuman mati. 8 SH. Mintardja "Tetapi masih mungkim terjadi, Ki Patih, memerintahkan
petugas sandinya untuk membunuhku dengan cara lain" berkata
salah seorang diantara mereka didalam hatinya.
Sementara itu, ketika keeanpat orang itu telah
meninggalkannya, maka Patih Mantahun mulai merenung.
Ketika kemudian iaa memanggil seorang Senapati
kepercayaannya dan menceriterakan apa yang terjadi, maka
Senopati itu berkcata, "Ampun Ki Patih. Agaknya memang tidak
ada cara lain kecuali perang terbuka."
"Aku juga berpikir demikian" jawab Ki Patih Mantahun,
"tetapi kita harus mempunyai cara yang baik untuk melintasi
Bengawan Sore." "Kita akan dapat menyebaraag di tempat lain, tidak dihadapan
pasanggrahan orang-orang Pajang. Kita tinggal
memperhitungkan kemungkinan yang paling baik untuk
melakukannya." jawab Senapati itu.
"Itulah yang sulit. Sebagaianana kita lakukan atas pasukan
Pajang, maka Pajang pun tentu menyebarkan para petugas
sandinya untuk mengamati gerak pasukan kita. Baik siang
maupun malam. Seandainya kita ingin menggeser pasukan kita
dan menyeberangi Bengawan, maka para petugas sandi dari
Pajang tentu akan memberikan isyarat kepada para
pemimpinnya, sehingga pasukan Pajang yang sudah dipersiapkan
dan mampu bergerak setiap saat sebagaimana pasukan kita, akan
mengikuti pasukan kita yang menelusuri Bengawan ini." jawab Ki
Patih. "Jika demikian, apakah kita akan menunggu saja tanpa batas
waktu ?" bertanya Senopati itu".
"Tentu, tidak. Tetapi kita akan menentukan langkah-langkah
yang paling baik. Kangjeng Adipati pun nampakrnya sudah tidak
sabar lagi. Tetapi yang penting bagi kita, jika kita bargerak,
gerakan itu harus berhasil. Jika sekali kita gagal, maka rasa-
rasanya sulit untuk memperbaiki keadaan." jawab Ki Patih.
9 SH. Mintardja Senepati itu mengangguk-angguk. Sementara itu, kedudukan
kedua pasukan itu pun masih, tetap di ternpatnya.
Memang ada usaha beberapa orang tua yang terpengaruh atas
kedua orang Adipati itu untuk menemukan jalan keluar dari,
persoalan yang mereka hadapi. Apalagi pasukan-pasukan Pajang
dan Japang yang tersebar telah bertempur dimana-mana.
Meskipun pentempuran-pertempuran itu bukan perteimpuran
yang menentukan, namun dengan demikian kehidupan seluruh
wilayah Demak terasa goncang. Bahkan memang ada beberapa
orang Adipati yang justru memanfaatkan keadaan untuk
memisahkan diri, dari Demak. Namun untuk menyatakan dengan
terbuka mereka memang harus berpikir dua tiga kali lagi.
Namun dengan demikian, maka perhitungan Ki Patih tekanan
memang harus dipusatkan kapada perang terbuka serta kekuatan
pasukan Jipang yang tesebar. Terutama pasukan Jipang yang ada
di sekitar Pajang itu sendiri.
Dalam pada itu, pasukan Jipang di sekitar Pajang mernang
masih tetap melakukan kegiatan mereka. Tetapi, sebaliknya
pasukan Pajang pun tidak tinggal diam. Baik disisi Barat,
maupum disisi Timur yang diperkuat oleh anak-anak muda
Sembojan yang sudah terlatih dengan baik, sehingga sebagian
besar diantara mereka, setelah ditempa oleh pengalaman
beberapa saat tidak lagi berbeda dengan para prajurit Jipang itu
sendiri. Sementara itu, meskipun Ki Patih Mantahun dengan sengaja
hanya berdiam, diri, tanpa memberikan laporan kegagalan,
keempat orang utusannya, namun ketika tiba-tiba saja Arya
Penangsang teringat, maka ia pun telah bertanya kepada Ki Patih,
apakah ia melanjutkan usahanya untuk membunuh Adipati
Pajang. "Hamba hanya mernerintahkan untuk menjajagi
kemungkinan" jawab Patilh Mantahun yang mengelak dari
peristiwa yang sebenarnya terjadi. Sebab dengan demikian, maka
Arya Penangsang tentu akan menjadi sangat marah.
10 SH. Mintardja Arya Penangsang mengangguk-angguk ketika Patih Mantahun
kemud.ian mengatakan, "Ternyata penjagaan di pasanggrahan itu
terlampau, ketat dan berlapis-lapis, sesuai dengan sifat licik dan
penakut dari Adipati Hadiwijaya.
"Tidak" sahut Arya Penangsang, "dimas Adipati Hadiwijaya
bukan seorang penakut. Sudah seribu kali aku katakan. Mungkin
ia dapat berlaku licik, Tetapi ia adalah scorang yang berani
menghadapi segala akibat dari perbuatannya."
Ki Patih Mantahun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak menjawab. Sementara itu Arya Penangsang pun berkata,
"Aku, akan menunggu lagi beberapa saat lagi. Tetapi jika kita
tidak menemukan cara untuk menghancurkan prajurit Pajang,
maka aku akan memimpin pasukanku menyerang langsung
kekuatan Pajang di Pasanggrahannya. Kita dapat mengatur
pasukan kita sehingga sebagian diantara kita akan dapat saling
melindungi dengan senjata lontar jarak jauh."
"Tetapi hamba mohon Kangjeng tidak tengesa-gesa meagambil
sikap" berkata Ki Patih Mantahun sambil menyembah,
"menghadapi kekuatan Pajang kita harus berhati-hati. Mungkin
kita memerlukan waktu yang agak panjang, tetapi kita akan
meyakini kemenangan yang akan kita peroleh."
Arya Penangsang menggeretakkan giginya. Tetapi baginya Ki
Patih Mantahun adalah seorang yang untuk waktu yang lama
selalu mendampinginya dengan sabar, tetapi petunjuk-
petunjuknya kadang-kadang memang menentukan.
Karena itu, maka Arya Penangsang untuk sementara memang
harus menahan diri betapapun darahnya terasa bergejolak.
Dalam pada itu, pasukan Pajang justru telah memperkuat
penjagaan setelah terjadi percobaan pembunuhan atas Kangjeng
Adipati Hadiwijaya, karena mungkin saja terjadi usaha yang lain
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi,
dan tidak sekedar mempercayakan diri kepada kekuatan ilmu
sirep yang tidak mampu menguasai Adipati Pajang dan para
Panglirna pasukannya. Namun dalam pada itu, pasukan Pajang
11 SH. Mintardja pun telah memperketat pengamatan mereka atas pasukan Jipang,
karena banyak kemungkinan akan dapat terjadi dalam suasana
yang menjadi semakin panas. Agaknya kedua belah pihak sudah
tidak melihat lagi kemungkinan lain daripada penyelesaian
dengan kekerasan. Perang besar besaran
*** Sementara itu, ketika hari-hari berlalu, maka anak-anak muda
Sembojan serta Kademangan-kademangan di sekitamya menjadi
kian mengenal senjata dan penggunaannya. Dengan tckun
mereka berlatih. Bahkan pada saat-saat mereka menunggu air di
sawah. Ada atau tidak ada kawannya. Biasanya mereka hanya
sekedar duduk terkantuk kantuk sampai saatnya air yang
mengalir kedalam kotak-kotak sawah itu penuh dan rata. Tetapi
mereka tidak lagi rnenyia-nyiakan waktu. Selagi air mengalir
kedalam kotak-kotak sawah, maka rnereka telah berloncatan
melatih diri dengan atau tidak dengan senjata. Bahkan mereka
memanfaatkan setiap kesempatan untuk meningkatkan
ketahanan tubuh mereka. Anak-anak muda itu setiap kali pergi
dan pulang dari sawah, mereka selalu berlari-lari bahkan kadang-
kadang justru mengambil jalan melingkar yang lebih jauh.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanah Perdikan Sembojan dan Kademangan-kademangan di
sekitarnya benar-benar dalam suasana perang.
Iswari dan orang-orang, yang membantunya memimpin Tanah
Perdikan Sembojan atas nama anak Ki Wiradana itu pun telah
berusaha untuk menemukan jalan lain agar mereka dapat
mempengaruhi anak-anak muda yang sudah terlanjur berada
didalam pasukan Jipang. Namun agaknya berbahaya sekali jika mereka mengirimkan
satu dua orang ke Pajang untuk mencari hubungan dengan anak-
anak muda itu diluar pengetahuan orang-orang Jipang.
"Nampaknya sulit untuk melakukannya" desis Kiai Badra,
"orang-orang Jipang tentu mengawasi anak-anak Sombojan
dengan ketat." 12 SH. Mintardja "Tetapi mereka memperlakukan anak-anak Sembojan dengan
baik" berkata Iswari, "menurut laporan yang kami terima dari
para penghubung yang dikirim oleh Pajang, maka kedudukan
anak-anak Sembojan tidak ubahnya dengan prajurit-prajurit
Jipang sendiri." "Mungkin" jawab Kiai Badra, "tetapi mereka akan tetap
diawasi. Meskipun anak-anak muda Sembojan itu mempunyai
kedudukan seperti para prajurit Jupang, agaknya sekedar di
medan perang. Bagaimanapun juga Jipang tentu mempunyai
kecurigaan terhadap anak-anak muda itu, apalagi setelah ada
diantara mereka yang meninggalkan pasukannya."
Iswari mengangguk-angguk. Namun ia pun berdesis, "Kasihan
anak-anak itu. Seorang demi seorang mereka akan gugur tanpa
memberikan arti bagi tanah kelahirannya."
"Kita akan selalu mencari kesempatan" berkata Kiai Badra,
"tetapi tidak tergesa-gesa dan sangat berhati-hati. Apalagi kini
para pemimpin Tanah Perdikan ini termasuk Ki Wiradana sendiri
berada di Pajang." "Mereka bukan pemimpin Tanah Perdikan ini" jawab Iswari
lantang. "Maksudku, Ki Wiradana dan beberapa orang yang
mempengaruhinya" jawab Kiai Badra.
Iswari mengangguk, Namun bagaimanapun juga menurut pendirian Iswari, anak-
anak muda Sembojan itu harus diselamatkan."
"Ada dua kemungkinan yang terjadi jika kita tidak
menyelamatkan mereka. Bukan saja wadag mereka, tetapi juga.
jiwa mereka" berkata Iswari, "kemungkinan pertama, mereka
akan habis di peperangan, sedangkan kemungkiman yang kadua
mereka yang tersisa akan datang kembali ke kampung
halamannya sebagai musuh yang menyimpan dendam didalam
hati. Mereka tidak lagi melihat kita dan orang-orang Sembojan
13 SH. Mintardja sebagai keluarganya, tetapi kita dan orang-orang Sembojan tentu
mereka anggap sebagai pengkhianat yang harus dihancurkan."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sependapat Iswari. Tetapi aku pun melihat kesulitan yang
mungkin tidak teratasi untuk mencoba menghubungi anak-anak
muda yang berada di Pajang."
Iswari tidak membantah. Katanya, "Kita akan menunggu
perkembangan kemungkinannya."
"Ya. Kita akan selalu berhubungan dengan orang-orang
Pajang. Kita tidak perlu lagi menempatkan penghubung di
tempat yang tersembunyi itu. Kita akan minta penghubung dari
Pajang untuk langsung datang ke Tanah Perdikan Sembojan
saja." berkata Kiai Badra.
Sambil menunggu perkembangan keadaan, maka tidak ada
yang dapat dilakukan oleh orang-orang Sembajan dan sekitarnya
daripada mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Pada saat yang demikian maka pertempuran di segala medan
pun ternyata telah meningkat. Kegagalan Ki Patih Mantahun
untuk membunuh Adipati Pajang ternyata mempunyai pengaruh
yang tersebar. Ki Patih Mantahun telah memerintahkan semua
pasukan Jipang di segala tempat untuk meningkatkan
pertempuran. Perintah Ki Patih itu memang mempunyai akibat yang besar.
Bukan saja pertempuran yang semakin membakar, tetapi orang-
orang Jipang yang tidak lagi mempunyai persediaan makanan,
telah mulai menghubungi orang-orang di sekitar medan
pertempuran. Meskipun pengiriman persediaan itu masih terus
dilakukan oleh prajurit-prajurit khusus dari Jipang, tetapi arus
persediaan itu, sering mengalami hambatan karena beberapa
sebab. Orang-orang Pajang yang berhasil mencium jalur
angkutan bahan makanan dan persediaan perlengkapan untuk
orang-orang Jipang telah berusaha untuk memotongnya,
Namun usaha orang-orang Pajang memotong pengarimam
persediaan dan peralatan itu, telah memaksa orang-orang Jipang
14 SH. Mintardja untuk mencari gantinya dari lingkungan yang termasuk tlatah
Pajang. Ketika pertempuran terjadi dimana-mana, maka medan yang
berada di bagian Timur Pajang itu pun telah menjadi semakin
panas pula. Perintah Ki Patih Mantahun pun telah sampai kepada
mereka, agar mereka meningkatkan gangguan mereka terhadap
Pajang. Demgan sejumlah anak-anak muda yang datang kemudian
bersama para pemimpinnya, maka pasukan Jipang itu memang
menjadi semakin kuat. Tetapi itu tidak berarti bahwa pasukan
Jipang itu mampu mendesak pasukan Pajnmg. Namun pasukan
itu memang menjadi boban yang semakin berat bagi Pajang.
Kehadiran Ki Rangga Gapita dan Ki Randukeiling, saudagar
yang ternyata adalah ayah Warsi, orang yang pemah diaku
sebagai ayah Warsi dan Warsi sendiri, bersama para pemimpin
dari Jipang membuat pasukan itu kadang-kadang memunjukkan
kelebihannya atas pasukan Pajang. Tetapi pasukan Pajang
ternyata mampu menghimpun prajurit yang lebih banyak
dibandingkan dengan pasukan Jipang.
Namun sebenarnyalah bahwa Ki Wiradana yang ada ditengah-
tengah anak-anak muda Sembojan yang bergabung dengan
pasukan Jipang itupun menjadi sangat prihatin. Seorang demi
seorang, anak-anak muda itu gugur sebagaimana dibayangkan
oleh Iswari. Dalam pertempuran-pertempuran yang kadang-
kadang terjadi dengan sengit, maka anak-anak muda itu tidak
lagi dapat seluruhnnya melindungi dirinya. Orang-orang Pajang
pun tidak lagi mampu membedakan, yang manakah prajurit
Jipang yang sebenarnya dan yang manakah anakanak muda
Sembojan yang ttergabung didalam pasukan Jipang itu, apalagi
anak-anak muda Sembajan sendiri telah berusaha dengan
segenap kemampuan mereka untuk membunuh prajurit-prajurit
Pajang sebagaimana dilakukan oleh prajurit Jipang.
15 SH. Mintardja Tetapi Ki Wiradana tidak dapat berbuat apapun juga.
Betapapun perasaannya bergejolak, namun ia harus melihat
anakanak mudanya itu berkurang seorang demi seorang.
Sementaira itu Warsi tidak lagi banyak menghiraukannya.
Sekali-sekali Warsi memang berbicara dengannya. Tetapi Warsi
lebih banyak memberikan, perintah-perintah dan membentaknya
daripada berbicara sebagai seorang isteri yang baik.
Tetapi Wiradana harus menahan diri. Keprihatinanmya atas anak-
anak muda Sembojan, kegelisahannya menghadapi
masa depan telah berdesakan
didalam dadanya dengan penyesalan yang tidak kunjung
ada habisnya. Keadaan yang
dihadapinya itu bagaikan cerrnin yang menunjukkan cacat-cacat yang ada didalam
dirinya. Bukan cacat jasmaniah
tetapi cacat-cacat rohaniah
yang tidak dapat diobatinya
lagi. Namunn semuanya sudah terlanjur. Tidak ada jalan baginya untuk kembali. Di Perdikan
Sembojan, Iswari yang tentu penuh dengan dendam telah
menguasai pemerintahan dan mendapat dukungan dari rakyat
Tanah Perdikan itu. Dengan demikian, Maka Ki Wiradana tidak lagi merasa
memiliki sesuatu. Samuanya telah terlepas dari tangannya. Dan
Warsi pun agaknya menjadi lebih dekat dengan Ki Rangga Gupita
daripada dengan dirinya. Namun sekali-kali Ki Wiradana dapat juga tersenyum melihat
anak laki-lakinya, meskipun pemomongnya lah yang sering
16 SH. Mintardja menitikkan air matanya karena kerinduannya kepada
keluarganya dan kepada kampung halamannya.
Tetapi senyum di bibirnya itu pun segera larut jika Ki
Wiradana mulai membayangkan masa depan anaknya itu. Karena
dalam keadaan yang demikian ia tidak pernah dapat melupakan
anaknya yang lain, yang lahir dari Iswari.
Penyesalan yang paling dalam telah menusuk jantungnya.
Namun ia tidak kuasa berbuat apa-apa atas kedua anaknya itu.
Dua orang anak-anak lak-i-laki yang lahir dari dua orang ibu yang
saling bermusuhan Sementara di belakang keduanya berdiri,
kekuatan yang akan dapat saling menghancurkan.
Tetapi Wiradana sudah hanyut ole arus yang menyeretnya
kedalam satu keadaan yang sangat pahit. Ia tidak saja
menghancurkan keluarganya sendiri. Tetapi ia juga sudah
menghancurkan Tanah Perdikan Sembojan. Isi Tanah Perdikan
Sembojan pun telah terpecah. Anak-anak mudanya saling
bermusuhan. Baginya itu adalah satu gambaran dari masa depan
anak-anaknya dengan kekuatan yang menjadi pendukung
masing-masing. Namun Wiradana tidak pernah mempunyai kesempatan untuk
merenungi anaknya terlalu lama. Setiap saat Warsi akan datang
membentaknya dan menyuruhnya melakukan sesuatu diantara
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang ada di Pajang.
Pasukan Pajang pun ternyata telah mempergunakan setiap
kesempatan untuk mengganggu pasukan Jipang. Apalagi, ketika
Pajang menyadari bahwa Jipang berusaha untuk meningkatkan
serangan-serangannya. Maka Pajang justru telah melakukan hal
yang sama. Karena itulah maka pertempuran-pertempuran telah
menjadi semakin sering terjadi.
Namun untuk menghadapi kelebihan kemampuan para
pemimpin pasukan Jipang disisi sebelah Timur karena hadirnya
para pemimpin dari pasukan Tanah Perdikan Sembojan, maka
Pajang pun telah mengerahkan perwira-iperwiranya yang
dianggap mampu mengimbangi kemampuan orang-orang
17 SH. Mintardja tertentu dari Tanah Perdikan Sembojan itu meskipun mungkin
mereka harus bertempur dalam kelompok-kelompok kecil.
Terutama jika mereka harus menghadapi Ki Randukeling yang
sekali-sekali pernah juga turun ke medan.
Kehadiran Warsi di medan pertempuran disisi Timur Pajang itu tolah menjadi bahan
pembicaraan diantara prajurit-
prajurit Pajang. Mereka menyebutnya sebagai Macan
Betina. Kelebihan Warsi dalam
alah kanuragan kadang-kadang
membuat orang-orang Pajang
terheran-heran, sehingga untuk
menghadapinya diperlukan tiga
ampat orang prajurit. Itu pun
ternyata bahwa para prajurit itu
tidak mampu mengalahkan Warsi di peperangan, Sehingga
setiap kali ternyata Warsi, masih
saja memimpin sekelompok pasukan Jipang yang terdiri dari anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan di medan.
Ceritera tentang Macan Betina dan tentang Ki Randukeling
itupun ternyata telah sampai pula ke Tanah Peerdikcan
Sembojan. Karena itulah maka dengan serta merta Iswari pun
berkata kepada kakeknya, "Kakek, aku akan pergi ke Pajang."
"Untuk apa?" bertanya Kiai Badra..
"Aku akan berada diantara pasukan Pajang. Aku akan
berusaha berternu dengan orang yang disebut Macan Betina itu"
geram Iswari. Kiai Badra menggeleing. Katanya, "Belum waktunya kalian
berhadapan. Apalagi di medan perang antara Pajang dan Jipaag."
18 SH. Mintardja Tetapi Iswari sempat menjalaskan, "Kehadiran para pemimpin
pengkhianat itu akan mempengaruhi keseimbangan. Meskipun
semula pasukan Pajang mampu mengimbangi bahkan mendesak
pasukan Jipang, namun kehadiran orang-orang yang berilmu
tinggi secara pribadi itu tentu akan mempengaruhi gelar pula.
Apalagi Macan Betina itu dan Ki Randukeling"
Kiai Badra mengangguk-angguk. Ia pun sebenarnya
sependapat dengan Iswari. Tetapi para penghubung dari Pajang
tidak pernah menyatakan kecernasannya tentang kehadiran Ki
Randukeling bersama beberapa orang yang lain, namun sekali-
sekali penghubung itu juga menyebut betapa sulitnya memagari
gerak Ki Randukelimg jika sekali-sekali ia turun ke medan.
Tetapi penghubuug itu pun berkata, "Ada tiga orang Senapati
yang secara khusus mendapat tugas menghadapi Ki Randukeling
bersama beberapa prajurit. Meskipun Jipang mempunyai
beberapa orang yang memiliki ilmu yang melejit diantara para
prajurit, tetapi Pajang mempunyai prajurit yang lebih banyak.
Pajang telah mengerahkan semua prajurit yang ada, sementara
tugas-tugas keprajuritan didalam kota telah diserahkan kepada
anak-anak muda yang mengalami latihan-latihan khusus. Bahkan
anak-anak muda itu sebagian telah berada dimedan pula bersama
para prajurit." Kiai Badra dengan keterangan itu berusaha meyakinkan
Iswari, bahwa ia tidak perlu cemas dengan kehadiran Ki


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Randukeling di medan. "Tetapi pertempuran tidak selalu berada didalam perang
gelar" berkata, Iswari, "sekali-sekali Ki Randukeling akan dapat
menyusup dengan Pasukan kecil menyerang tempat-tempat
terpencil." "Mereka tentu sudah menyusun jenis-jenis isyarat" berkata
Kiai Badra, "karena itu, maka pasukan Pajang lah yang lebih
banyak mengambil sikap atas pasukan Jipang meskipun pasukan
Jipang juga meningkatkan geraknya."
19 SH. Mintardja Iswari mengangguk-angguk. Namun ia melihat kakeknya itu
pun kemudian merenung. Bahkan Kiai Badra itu pun kemudian
berkata, "Aku akan berbicara dengan Kiai Soka dan Gandar."
"Silahkan kakek" jawab Iswari, "jika kita menempatkan
kekuatan diantara pasukan Pajang bukan berarti bahwa kita
merasa memiliki kelebihan dari, Pajang. Kita mengerti bahwa
kekuatan Pajang yang tertinggi tentu berada di tepi Bengawan
Sore dihadapan Pasanggrahan pasukan Jipang. Pajang
sebelumnya tentu tidak akan memperhitungkan kekuatan yang
tiba-tiba saja tampil diantara pasukan Jipang itu,"
Demikianlah Kiai Badra pun kemudian membicarakan satu,
kemungkinan untuk membantu pasukan Jipang khusus
menghadapi orang-orang yang samula berada di Tanah Perdikan
Sembojan. "Kita ingin melawan mereka dimanapun" berkata Kiai Badra
kemudian, "di Tanah Perdikan ini dan di Pajang."
Kiai Soka ternyata sependapat dengan Kiai Badra. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata., "Kita dapat melakukannya. Satu
dua orang diantara kita akan pergi ke Pajang bersama
penghubung itu. Jika kita diijinkan, maka kita akan dapat
mencari kesempatan berhadapan dengan para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan yang berada di Pajang.
"Mereka bukan para pemimpin Tanah Perdikan menurut
Iswari" potong Kiai Badra.
Kiai Soka tersenyum. Katanya, "Iswari benar. Mereka bukan
para pemimpin Tanah Perdikan ini. Tetapi yang kita maksud
bukankah orang-orang yang telah mempengaruhi Ki Wiradana
dalam memegang kendali pemerintahan sejak meninggalnya Ki
Gede." "Jika demikian, maka biarlah aku pergi ke Pajang. Aku
titipkan Iswari kepada Kiai dan Nyai Soka. Biarlah Gandar
menemani aku di Pajang. Mungkin aku mernerlukan kawan
berbincang menjelang tidur di malam hari." berkata Kiai Badra.
20 SH. Mintardja "Jangan kau" berkata Kiai Soka, "sudah lama aku, tidak pergi
bertamasa. Biarlah aku pergi bersama Gandar. Kau asuh cucumu
dan biarlah Nyai Soka selalu membimbingnya untuk
meningkatkan ilmunya. Karena pada suatu ketika ada
kemungkinan bahwa Iswari akan bertemu sendiri dengan Warsi.
Sementara itu Sambi Wulumg dan Jati Wulung akan dapat
maneruskan tugasnya membimbing anak-anak muda antuk
meningkatkan kemampuan mereka pula bersama dengan mereka
yang pernah mendapat bimbingan dari para perwira Jipang."
Kiai Badra termangu-anangu. Namun akhirnya ia sependapat.
Katanya, "Baiklah. Kita akan membicarakannya bersama."
Ketika orang-orang yang kemudian mendukung Iswari yang
memerintah Tanah Perdikan Sembojan atas nama anaknya itu
berkumpul, maka telah diambil satu kesimpulan, bahwa Kiai
Soka dan Gandar akan berangkat ke Pajang untuk secara khusus
menghadapi terulama Ki Randukeling.
"Tugasku tidak membunuhnya" berkata Kiai Soka, "tetapi
sekedar membatasi geraknya, karena membunuh Ki Randukeling
bukan satu pekerjaan yang mudah."
Kiai Badra anengangguk-aatgguk. Katanya, "Kita semua
pernah mendengar kemampuan Ki Randukeling, Karena itu, jika
ia tidak lagi dapat berbuat sekehendak hatinya di Pajang, maka
itu pun sudah memadai. Sementara Itu, Kiai Soka akan mendapat
gambaran langsung tentang sikap anak-anak muda Sembojan di
Pajang." "Anak-anak muda Semhojan itu tentu belum mengenal aku"
berkata Kiai Soka. "Itu lebih baik, sehingga tidak ada prasangka apapun juga
sebelumnya. Apapun tanggapan yang akan mereka berikan, Kiai
Soka adalah orang baru bagi mereka," jawab Kiai Badra,
Demikianlah, maka bersama dengan seorang penghubung,
maka Kiai Soka telah menetapkan, di keesokan harinya untuk
berangkat ke Pajang, bersama Gandar. Ternyata bahwa Gandar
pun merasa gembira dengan tugasnya.. Dengan nada berat ia
21 SH. Mintardja berkata, "Kita, akan menghadapi Ki Wiradana dan orang-
orangnya dimanapun mereka berada. Kita akan dapat bekerja
sama dengan Pajang karena Ki Wiradana bekerja sama deugan
orang-orang Jipang."
Iswari yang ada juga didalam pemtemuan itu berkata, "Ya.
Kita telah memperluas medan. Kita, bertempur melawan mereka
dimanapun. Sokarang kita melawan mereka tidak di Tanah
Perdikan ini, tetapi di Pajang. Sayang, bahwa kita tidak
mempunyai kekuatan cukup untuk kita bawa ke Pajang untuk
langsung menghadapi mereka di segala medan."
Kiai Badra tersenyum. Kepada penghubung yang datang dari
Pajang ia berkata, "Bukan maksud kita memanfaatkan kekuatan
Prajurit Pajang." Penghubung itu pun tersenyum pula. Katanya, "Aku mengerti
maksud kalian." Dengan demikian, maka pertemuan itu. tetah menentukan
sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Soka. Di keesokan harinya
Kiai Soka dan Gandar akan mengikuti penghubung itu ke Pajang.
Jika panglima pasukan Pajang tidak berkeberatan, maka Kiai
Soka dan Gandar akan ikut berada di medan., "Bukan untuk
membantu Pajang karena Pajang kekurangan Senopati. Bukan
pula memanfaatkan Pajang yang memang sedang berperang
dengan Jipang, tetapi kami memang ingin membuka medan di
segala tempat" berkata Kiai Soka sambil tersenyum pula. Lalu
katanya, "Sementara itu, jika aku dapat membantu membatasi
gerak Ki Randukeling, maka ketiga orang Senopati yang
mendapat tugas khusus itu dapat berada di medan dalam tugas
yang lain." Penghubung itu pun mengangguk-angguk. Katanya, "Kita.
akan bersama-sama melihat medan."
Malam itu, Kiai Saka telah mempersiapkan dirinya karena
esok harinya ia akan pergi ke Pajang. Demikian pula Gandar.
Sementara itu, ia telah berpesan kepada Nyai Soka untuk benar-
benar mempersiapkan Iswari, agar pada saatnya Iswari benar-
22 SH. Mintardja benar mampu menyelesaikan persoalannya, sudah tentu dengan
segala macam cara. Halus atau kalau perlu kasar.
"Aku akan berusaha" berkata Nyai Soka, "ia sudah menguasai
semua unsur yang diperlukan. Ia sudah mengembangkannya.
Mungkin yang diperlukan adalah latihan-latihan yang ajeg. Ia
sudah melampaui laku yang paling berat dan berhasil dengan
baik." "Syukurlah" berkata Kiai Soka, "nampaknya, segala sesuatunya
sudah meranubat untuk mencapai puncak persoalan. Kita tidak
tahu berapa lama Pajang dan Jipang bermusuhan. Karena hal ini
akan berpengaruh juga atas Tanah Perdikan ini dengan segala
persoalannya Demikianlah, ketika dini hari menjelang fajar di keesokan
harinya, maka tiga orang tolah bersiap-siap untuk berangkat.
Seorang penghubung, Kiai Soka dan Gandar. Mereka
mengenakan pakaian petani yang akan pergi, ke sawah agar tidak
menarik banyak perhatian. Meskipun demikian, mereka
membawa juga kain panjang yang dapat dikenakannya jika perlu
atau sekedar diikatkan di lambung untuk menutup ikat pinggang
mereka yang besar dan tebal.
Iswari dan Kiai Badra mengantar mereka sampai ke regol.
Sementara Nyai Soka, Sambi Wulung dan Jati Wulung bahkan
berdiri diluar regol. Kiai Soka masih. juga memberikan beberapa
pesan kepada Nyai Soka dan kedua orang kakak beradik
seperguruan itu. Sejenak kemudian maka ketiga orang itu telah melangkah
menjauh dan hilang di tikungan dalam keremangan fajar.
"Mudah-mudahan Yang Maha Murah selalu molindungi
mereka" desis Nyai Soka.
"Ya nek" sahut Iswasi, "kita akan -selalu, berdoa untuk
mereka." Kiai Badrapun mengangguk-angguk. Ia tidak mengatakan
sesuatu. Tetapi didalam hati ia pun sepandapat dengan Iswari.
23 SH. Mintardja Karena betapapun tinggi ilmu seseorang, namun ia tetap terbatas
dalam kelemahannya. Karena itu, maka sandainya yang paling
kuat bagi seseorang adalah Yang Maha Murah.
Dalam pada itu, Kiai Soka yang rambutnya sudah mulai
memutih itu berjalan dengan langkah-langkah yang tidak terlalu
cepat disamping penghubung yang datang dari Pajang.
Sementara itu Gandar berjalan di belakang mereka.
Perjalanan ke Pajang adalah perjalanan yang cukup panjang.
Namun agaknya ketiga orang itu adalah orang-orang yang sudah
terbiasa berjalan jauh, sehingga mereka tidak terlalu memikirkan
jarak yang akan mereka tempuh.
Namun di sepanjang jalan Kiai Soka, Gandar dan penghubung
dari Pajang itu sempat melihat, akibat yang terjadi didalam tata
kehidupan karena peperangan. Meskipun perang itu sendiri tidak
menyentuh padukuhan-padukuhan yang jauh dari Pajang, namun
asap peperangan itu agaknya terasa juga sampai ke tempat yang
jauh itu. Pasar-pasar tidak lagi terlalu ramai. Beberapa orang
yang merasa mempunyai banyak anak dan masih kecil-kecil telah
berusaha untuk menyimpan bahan makanan. Namun dari
pendengaran ketiga orang itu ketika rnereka sejenak berada di
pasar, menyimpan pun membuat mereka menjadi cemas, bahwa
sekali-sekali akan datang prajurit dari manapun juga. Terutama
yang sangat mereka takuti adalah prajurit Jipang, karena mereka
merasa sebagai orang-orang Pajang, yang akan merampas
simpanan mereka yang saharusnya menjadi persediaan bagi
anak-anak mereka. Namun disamping kecemasan, maka orang-orang di
padukuhan-padukuhan itu cepat menjadi curiga. Jika ada orang
yang kurang mereka kenal lewat, maka orang itu akan salalu
diawasi. Bahkan anak-anakpun kadang-kadang berlarian
ketakutan siapapun yang lewat itu.
Kiai Saka yang berjalan di sebelah penghubung itu pun
kemudian berdesis, "Inilah akibat dari peperangan. Meskipun
24 SH. Mintardja tempat-tempat ini jauh dari ajang pertempuran, tetapi ketakutan,
kecemasan dan ketidak pastian sangat terasa pula."
Penghutbung itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia
berkata, "Bagaimanapun juga perang mempunyai akibat yang
tidak baik." Kiai Soka menarik nafas sambil besgumam, "Tetapi perang itu
masih saja selalu terjadi."
Penghubung itu tidak menjawab. Tetapi ia pun berkata kepada
diri sendiri, "Yang paling dibenci itu setiap kali telah terjadi."
Gandar yang berjalan di belakang mereka tidak menyambung
sepatah katapun. Ia lebih banyak merenungi medan-medan yang
akan dimasukinya di Pajang. Ia sudah mulai membayangkan
betapa pertempuran-pertempuran itu terjadi hampir setiap saat,
tersebar dan kacau. Jarang sekali terjadi nerang gelar yang
beradu dada. Tetapi yang sering terjadi adalah benturan-
benturan kekerasan dimana-mana.
Tetapi akibat perang dan kekerasan itu bukan saja telah
menimbulkan ketakutan dan keceanasan. Tetapi kadang-kadang
juga menimbulkan kekasaran sikap dan tidak terkedali.
Ketika. Kiai Soka dian kedua orang yang berjalan bersamanya
menyusur sebuah pategalan, maka mereka telah dikejutkan oleh
satu peristiwa yang telah menyayat hati. Beberapa orang laki-laki
muda sedang menyeret dua orang perempuan dengan kasarnya.
Perempuan itu tidak sempat menjerit panjang. Tetapi suaranya
segera terputus karena mulutnya telah tersumbat lagi.
Tetapi jerit yang terputus itu sempat didengar oleh Kiai Soka,
penghubung dari Pajang itu dan Gandar. Karena itu, maka
mereka pun telah berlari memasuki pategalan itu.
Kahadiran mereka memang telah mengejutkan, beberapa
orang laki-laki muda yang sedang menyeret dua orang
perempuan itu. Seorang diantara mereka dengan kasar telah
membentak, "Apa kerjamu disini he?"
25 SH. Mintardja Yang menjawab adalah Gandar, "Siapa kalian" Orang-orang
Jipang yang berada dan bekeliaran di Pajang?"
Laki-laki muda itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja
seorang diantara kedua orang perempuan itu sempat menjawab
karena mulutnya yang terlepas, "Bukan Mereka laki-laki
pedukuhan sebelah." Gandar menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia
berkata, "Ternyata aku salah duga. Yang jelek-jelek aku kira
selalu dilakukan oleh orang-orang Jipang. Tetapi temyata bahwa
orang Pajang pun telah melakukan hal yang terkutuk ini.
"Gila" geram salah seorang laki-laki muda "apakah urusan
kalian dengan kami?"
"Yang kalian lakukan adalah urusan semua orang. Justru pada
saat Pajang sedang berprihatfin, kalian telah menjadi biadab"
jawab Gandar. Lai-laki muda itu menjadi marah. Beberapa orang diantara
mereka segera mengepung Gandar, sedangkan dua diantara
mereka masih tetap memegangi kedua orang perempuan itu.
Laki-laki yang mengepung Gandar itu tidak begitu
memperhatikan Kiai Soka yang disangkanya sebagaimana
orangorang tua yang lain, sedang penghubung dari Pajang itu pun
sepantasnya menilik ujudnya tidak lebih dari seorang gembala
kambing yang sedang lapar.
Hanya Gandar lah yang oleh beberapa orang laki-laki muda Itu
dinilai berbahaya. Karena itu, maka hanya Gandar lah yang
mendapat perhatian dari mereka.
Apalagi nampaknya Kiai Soka dan penghubung dari Pajang itu
tidak berani berbuat sesuatu. Mereka dimata beberapa orang laki


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki muda itu seakan-akan menjadi ketakutan,.
Sebenarnyalah penghubung dari Pajang itu sudah hampir
melangkah maju ketika ia melihat Gandar sudah terkepung.
Tetapi Kiai Soka telah menggamitmya ketika Penghubung itu
26 SH. Mintardja berpaling kepadanya, maka penghubung itu mengerti maksud
Kiai Soka, sehingga ia pun tidak berbuat apa-apa.
Sementara itu, salah seorang diantara laki-laki itu berkata,
"Kau telah masuk kedalam liang ular bandotan. Tidak akan ada
jalan kembali. Setiap orang yang akan dapat melaporkan
peristiwa ini kepada siapapun, akan dilenyapkan, karena jika
tingkah laku kami diketahui oleh orang-orang padukuhan, maka
kami dapat membayanghan apa yang akaa terjadi atas kami."
"Anak setan" gerarn Gandar, "jika kau tahu akibat dari
perbuatanmu, kenapa hal itu kalian lakukan" Hukuman yang
palimg pantas bagi kalian adalah hukuman picis, atau hukuman
yang dipasrahkan kepada tangan-tangan orang padukuhan itu."
"Ya. Karena itu, maka kalian bertiga akan mati disini" berkata
laki-laki muda itu. "Kau kira perempuan-perempuan itu tidak akan dapat
berbicara tentang kalian?" bertanya Gandar.
Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya dengan
nada tinggi, "Merekapun akan mati."
"Gila" geram Gandar, "meskipun kalian belum berhasil
berbuat laku iblis itu, tetapi kalian telah berniat melakukanriya.
Maka hukuman kalianpun sepantasnya adalah hukuman yang
seberat-beratnya. Kalian harus dihajar sampai, setengah mati
atau menjadi cacat atau kehilangan akal sama sekali."
' Laki-laki muda itu menjadi sangat marah. Dengan garangnya
ia berkata kepada kawan-kawannya, "Orang ini harus kita bunuh.
"Ya" jawab laki-laki mulai yang lain, "ia sangat berbahaya bagi
kita." Yang lain lagi tiba-tiba sudah menyahut, "Cepat kita lakukan.
Sebelum ada orang yang menengok pategalanya."
"Musim begini jamg orang pergi menengok pategalannya"
tiba-tibu saja diluar dugaan penghubung dari Pajangg itu
berdesis. 27 SH. Mintardja Semua orang berpaling kepadanya. Namun, penghubung itu
tiba-tiba telah bergeser dan berdiri di belakaag Kiai Soka seperti
sikap seorang yang sangat ketakutan.
Beberapa laki-laki muda itu sama sekali tidak
menghiraukannya lagi. Mereka pun kemudian bergeser semakin
mendekati Gandar. Bahkan seorang yang paling garang diantara
merekapun kemudian berkata sebagai aba-aba, "Cepat kita
selesaikan orang-orang gila ini."
Kawan-kawannyapun segera bersiap. Namun Gandar pun
telah bersiap pula. Bahkan dengan suara bergetar ia berkata,
"Kalian adalah orang-orang Pajang yang sejenis dengan Ki
Wiradana yang menjadi, liar karena perempuan. Bahkan yang
kalian lakukan adalah tingkah yang lebih nista lagi. Kau akan
dikutuk oleh setiap orang yang berotak waras dan kau akan
dihadapkan pada tanggung jawab kepada Yang Maha Adil, katena
perempuan-perempuan itu adalah mahluk-Nya sebagaimana
kalian." Beberapa orang laki-laki muda itu tidak sabar lagi
menghadapinya, sementara itu kedua orang perempuan yang
dipegangi oleh dua orang diantara laaki-laki muda itu pun telah
mulai meronta, telah bergeser semakin dekat. Seorang diantara
mereka bahkan telah mulai menyerang dengan kakinya yang ke
garah dada. Gandar bergeser. Tetapi tiba-tiba saja beberapa orang itu telah
menyerangnya bersama-sama dari jarak yang cakup dekat.
Gandar memang tidak dapat menghindari semua serangan itu.
Tetapi Gandar adalah orang yang terlatih dan orang yang telah
menyusun daya tahannya sehingga memiliki kekuatan daya tahan
yang sangat besar. Karena itu, serangan-wnang,an itu baginya hampir tidak
mempunyai pengaruh dan sama sekali tidak menumbuhkan
akibat apapun juga. Bahkan ia pun sempat mernbalas serangan-
serangan itu dengan serangan pula.
28 SH. Mintardja Gandar memang belum ingin, langsung menumbangkan
lawan-lawannya. Ia ingin menunjukkan bahwa beberapa laki-laki
muda itu tidak akan dapat berbuat apa-apa jika mereka
berhadapan dengan kekuatan ilmu kanuragan yang sebenarnya.
Bahkan Gandar telah berniat untuk menghukum, orang-orang itu
agar mereka menjadi jera, sebelum kedua perempuan itu akan
sempat melaporkan apa yang terjadi kepada Ki Bekel agar Ki
Bekel dapat memberikan hukuman lagi yang sesuai dengan
tingkah laku mereka. Sejenak kemudian maka telah terjadi perkelahian antara
Gandar melawan beberapa orang laki-taki muda itu. Namun
sebenarnyalah bahwa laki-laki muda yang bersama-sama
berusaha untuk membunuh Gandar itu tidak dibekali oleh
kemampuan yang memadai. Satu dua orang diantara mereka
nampalmya pernah berlatih kanuragan, totapi kemampuan
mereka sama sekali tidak berarti bagi Gandar.
Ketika Gandar mulai berputar, maka kepungan itupun segera telah pecah.
Seakan-akan ada kekuatan yang tidak mereka ketahui
telah mengacaukan kepungan
itu. Hampir setiap orang merasa telah didorong oleh
kekuatan yang tidak mereka
ketahui itu. Bahkan dua orang
diantara mereka telah terbarting jatuh menelentang.
Tetapi beberapa orang laki-
laki mudaa itu menganggap
hahwa yang terjadi itu hanyalah satu kebetulan saja,
karena rnereka kurang berhati-hati dan menganggap bahwa
lawan mereka tidak akan memberikan perlawanan yang berarti.
29 SH. Mintardja Dengan demikian maka orang-orang itu pun menjadi, lebih
berhati-hati. Mereka tidak lagi asal saja melingkari Gandar dan
menyerang beramai-ramai. Setelah mereka melihat sekilas apa yang dapat dilakukan oleh
Gandar, maka mareka pun mulai menyadari, bahwa mereka tidak
dapat memperlakukan orang itu sekehendak hati mereka.
Seanantara itu, Kiai Soka dan penghubung ddari Pajang itu.
memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Namun dalam
sekejap mereka telah dapat menduga, bahwa perkelahian itu akan
cepat berakhir. Sejenak kemudian. Kiai Sokapun telah barbisik di telinga
penghubung dari Pajang itu, "Jaga, jangan sampai ada yang
melarikan diri. Mereka memang harus mendapat hukuman yang
setimpal" "Seandainya ada yang melarikan diripun tidak apa" jawab
penghubung itu, "bukankah satu saja diantara mereka yang
tertangkap atau membebaslcan kedua perempuan itu, sudah
cukup bahan untuk mengetahui mereka semuanya?"
Kiai Soka mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Gandar
agaknya ingin memberikan hukuman kepada mereka semuanya
sebelum mereka jatuh ketangan Ki Bekel dan orang-orang
padukuhan." Penghubung dari Pajang itu mengangguk-angguk. Iapun
mengerti maksud Kiai Soka. Karena iau, maka keduanya pun
kemudian justru telah berpencar.
Beberapa orang laki-laki muda yang berkeIahi melawan
Gandar itu terkejut melihat sikap kedua orang yang semula
dianggapnya sama sekali tidak berdaya itu. Yang seorang adalah
laki-laki tua sedangkan yang lain seperti orang yang kelaparan.
Namun tiba-tiiha mereka justru telah menarik perhatian.
Kiai Soka yang bergeser justru telah mendekati kedua orang,
perempuan yang meronnta semakin kuat. Sementara
penghubung dari Pajang itu berada di sebelah lain.
30 SH. Mintardja Kedua orang yang memegangi perempuan itu pun menjadi
curiga melihat Kiai Soka mendekati mereka. Sementara itu
keduanya, harus lebih memperhatikan perempuan-perempuan
yang meronta-ronta itu. Dalam kebingungan tiba-tiba seorang, diantara laki-laki muda
itu telah memukul tengkuk perempuan yang sedang meromba
itu, sambil berteriak, "Diam kau. Jika kau masih meronta-ronta,
aku akan mencekikmu."
Perempuan itu justru berteriak kesakitan. Namun tiba-tiba
saja ia terdiam, karena laki-laki muda yang memegangi yang
benar-benar telah mencekiknya.
Kiai Soka terkejut melihat
tingkah laku laki-laki muda itu.
Unntuk sesaat ia menjadi ragu-
ragu. Apakah ia akan bertindak
atau tidak. Tetapi jika ia
berdiam diri saja, maka perempuan itu, benar-benar
akan dapat mati tercekik.
Karena itu, maka Kiai Soka
tidak dapat berbuat lain daripada mendekati laki-laki
itu, sementara laki-laki itu
berteriak, "Pergi. Jika kau maju
selangkah lagi, aku bunuh
perempuan ini seketika, dan
aku akan marnbunuhmu juga."
Tetapi seakan-akan laki-laki
itu tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Ia tidak tahu apa
yang sebenarnya telah nenjada. Namun, tiba-tiba saja terasa
tengkuknya tersentuh tangan. Namun kernudian tubuhnya terasa
sangat lemah. Tangannya tidak mampu lagi menekan leher
perempuan itu. Bahkan ketika perempuan itu sekali lagi berusaha
31 SH. Mintardja melepaskan diri laki-laki muda yang memeganginya itu pun telah
terjatuh dengan lemahnya.
Perempuan itu justru menjadi heran. Sementara Kiai Soka
telah berada selangkah di belakangnya.
"Kau tidak apa-apa?" bertanya Kiai Soka.
Perempuan itu memutar tubuhnya. Ia menjerit tertahan ketika
ia melihat laki-laki yang memeganginya itu terbaring lemah di
sebelahnya. "Kau tidak apa-apa?" Kiai Soka mengulang.
"Tidak" jawab perempuan itu gagap.
Namun Kiai Soka tidak sempat bertanya lebih banyak lagi.
Tiba-tiba saja laki-laki yang soorang telah menyeret periempuan
yang dipegangnya dengan kasar dan memaksanya lari
mengikutinya. Tetapi nasibnya ternyata seperti juga yang terjadi atas
kawannya. Tiba-tiba saja ia telah terlempar dan terbanting jatuh.
Meskipun ia tidak pingsan, tetapi rasa-rasanya tubuhnya menjadi
sangat lemah. Tulang-tulangnya bagaikan terlepas, sehingga
karena itu maka orang itu tidak mampu lagi berdiri dan apalagi
melarikan diri. Kedua orang perempuan itu telah bebas. Namun Kiai Soka
kemudian boerkata, "Jangan pergi dahulu."
Perempuan itu termangu-mangu. Namun mereka tidak
mampu lagi berpikir tentang diri mereka, sehingga mereka masih
tetap berdiri tegak di tempatnya.
Beberapa orang laki-laki yang sedang berkelahi melawan
Gandar dan sudah menjadi semakin terdesak menjadi semakin
bingung melihat tingkah laku Kiai Soka yang semula dianggapnya
sebagai sekedar orang yang sudah menjadi tua.
Namun tiba-tiba mereka melihat kawan-kawannya telah
terbanting tanpa sempat rnemberikan perlawanan.
32 SH. Mintardja Semenntara itu, Gandar pun mulai berusaha untuk
mengakhiri. perkelahian. Geraknya menjadi seanakin cepat dan
keras. Sehingga kemudian seorang demi seorang telah
disakitinya. Serangan-serangannya hampir tidak pernah dapat
dielakkan. Setiap orang yang bersama-sama mengeroyoknya itu telah
tersentuh tangannya. Yang terkena dadanya, rasa-rasanya
nafasnya telah menjadi tersumbat. Yang tersentuh keningnya,
kepalanya terasa hampir terlepas dari lehernya. Sementara yang
dikenai punggungnya, tulang belakangnya seakan-akan telah
retak. Karena itulah, maka setiap orang di antara laki-laki muda yang
berkelahi melawan Gandar itu merasa bahwa mereka memang
tidak akan mampu mengalahkannya. Meskipun Gandar hanya
seorang diri, tetapi ternyata bahwa kecepatan geraknya mampu
mengimbangi lawan-lawannya.
Beberapa orang laki-laki muda itu merasa bahwa jika mereka
berkelahi terus, maka mereka mungkin akan dapat terbunuh
karenanya. Gandar nampaknya tidak mengekang dirinya
sehingga setiap kali, terdengar seorang lawannya mengaduh dan
menyeringai kesakitan. Bahkan seorang di antara mereka telah
terlempar jatuh dan tertatih-tatih berusaha untuk dapat bangkit.
Tetapi malang baginya, bahwa ia justru telah terinjak oleh
kawannya sendiri sehingga sekali ia mengaduh menahan sakit,
sementara kawannya yang menginjaknya pun telah terjatuh pula
justru menimpanya. Dengan demikian, maka orang-orang yang berkelahi melawan
Gandar itu mudai dibayangi aleh ketakutan. Gandar pun telah
bergerak semakin cepat. Ia mulai melakukan sebagaimana
dikatakan. Ia mulai menghukum orang-orang yang telah menjadi
biadab itu dengan mengenai tubuh mereka dengan serangan-
serangan yang keras. Meskipun demikian Gandar bukan terlepas sama sekali dari
pengendalian diri. Ia memang tidak ingin membunuh. Karena itu,
33

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SH. Mintardja ia hanya mempergunakan tenaga cadangannya untuk
mempercepat geraknya. Tetapi ia tidak mampergunakan untuk
meningkatkan kekuatan serangannya agar tidak seorang pun
yang terbunuh karenanya. Tetapi lawan-lawannya agaknya tidak ingin mati di tempat itu,
karena menurut penglihatan mereka orang yang dikeroyoknya itu
memiliki kemampuan yang tidak terhingga. Mereka tidak tahu,
bahwa lawannya itu tidak berniat untuk membunuh. Sehingga
karena itu, mereka mulai berpikir untuk melarikan diri.
Seorang laki-laki muda yang bertubuh pendek nampaknya
tidak dapat menahan ketakutannya. Ketika kawan-kawannya
mulai mengaduh lagi maka tiba-tiba saja ia pun telah berusaha
untuk meloncat dan melarikan diri.
Tetapi malang baginya. Penghubung dari Pajang itu ternyata
lebih cepat dan ia pun berhasil menangkapnya. Memukul di
perutnya. Orang bertubuh pendek itu terbungkuk. Namun tiba-tiba saja
lutut penghubung dari Pajang itu telah mengenai wajah orang itu.
Penghubung itu tidak pula mengerahkan segenap kekuatannya
sebagaimana juga dilakukan oleh Gandar. Namun demikian bagi
orang bertubuh pendek itu, maka rasa-rasanya kiamat telah
menerkamnya. Matanya menjadi berkunang-kunang dan sejenak
kemudian ia pun telah menjadi pingsan.
Kawan-kawannya yang lain pun tiba-tiba juga dijangkiti oleh
ketakutan yang semakin meningkat Dua orang diantara
merekapun telah berusaha untuk lari pula. Namun seorang di
antaranya terjatuh karena kakinya terkait kaki penghubung dari
Pajang itu, sementara yang lain dapat ditangkap pergelangan
tangannya dan tubuhnya terasa telah terputar cepat sekakali.
Ketika tangan itu dilepaskan, maka tubuhnya bagaikan terlempar
keras sekali. Tanpa dapat mengendalikan diri, maka tubuh itu,
telah menghantam sebatang pohon, di pategalan yang menjadi
rusak itu. 34 SH. Mintardja Tulang-tulangnya terasa berpatahan. Ia pun telah jatuh pula
terlentang disisi sebatang pohon kelapa.
Sementara itu, kawannya yaag terjatuh karena kakinya terkait
itu pun telah membentur sebatang pohon pula ketika ia jatuh
tertalungkup. Dahinya mengenai pokok pohan turi. Meskipun
tidak begitu besar, tetapi dahi itu pun telah terluka oleh goresan
batang turi sehingga darahpun telah mengalir dari luka itu.
Luka itu sendiri sebenarnya tidak terlalu besar. Tetapi
sebagaimana yang sering terjadi, luka di bagian kepala memang
banyak mengalirkan darah.
Dalam pada itu, Gandar pun telah melakukan sebagaimana
dikatakannya. Setiap orang harus mendapat hukumannya,
sebelum mereka jatuh ketangan Ki Bekel dan orang-orangnya.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berkelahi melawan
Gandar itu pun tidak lagi mampu bertahan. Mereka tidak sempat
pula melarikan diri, karena penghubung dari Pajang serta Kiai
Soka telah menahan mereka.
Sejenak kemudian, maka orang-orang itu pun telah terbaring
di, tanah sambil menyeringai kesakitan. Beberapa orang
diantaranya nampak matanya menjadi biru, sementara keningnya
bagaikan membengkak. Yang lain tangannya serasa patah dan
tidak dapat bergerak lagi. Sedangkan ada pula dian tara mereka
yang menjadi pingsan dan ada yang tubuhnya dilumuri oleh
darah dari luka lukanya. Kedua perempuan yang ketakutan itupun menjadi sangat
pucat Namun mereka pun merasakan bahwa mereka telah
terlepas dari bahaya yang paling pahit, dan bahkan mungkin
nyawanya pun terancam pula karena laki-laki yang telah mereka
kenal, itu tiba-tiba menjadi liar.
"Kena apa mereka tiba-tiba memperlakukan kalian sepeeti
itu?" bertanya Kiai Soka kepada kedua orang perempuan itu.
35 SH. Mintardja Kedua penempuan itu masih gemetar. Tetapi seorang di antara
mereka sudah dapat menjawab, "Mungk:in ada diantara yang
mendendam kami." "Kenapa mendendam?" bertanya Kiai Soka.
"Ada diantara mereka yang menghendaki kami menjadi
isterinya. Tetapi niat itu tidak pernah dapat terjadi karena orang
tua kami tidak menyetujuinya. Ternyata dua orang yang
mendendam itu mendapat beberapa orang kawan untuk
melakukan perbuatan terkutuk ini." jawab perempuan itu,
"ditambah lagi suasana yang tidak menentu serta kekacauan yang
terjadi dimana-mana."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Angin yang
berhembus dari medan peperangan telah meracuni tata
kehidupan. Tetapi apakah kalian berani pulang berdua ke
padukuhan ?" Kedua orang perempuan itu saling berpandangan.
"Bukankah orang-orang yang mengganggu kalian itu sudah
tidak berdaya lagi?" desak Kiai Soka.
Kedua orang perempuan itu tidak segera menjawab. Karena
itu maka Kiai Soka pun berkata selanjutnya, "Kembalilah ke
padukuhan. Laporkan apa yang terjadi kepada Ki Bekel. Biarlah
Ki Bekel datang kemari. Kami bertiga akan menunggui mereka,
agar tidak seorang pun sempat melarikan diri.
Kedua orang ku termangu-manggu. Namun kemudian salah
seorang diantara mereka yang nampaknya lebih tenang
menghadapi persoalan yang gawat itu berkata, "Kami akan
mencoba." Demikianlah kedua orang itu pun kemudian berjalan denagan
jantung yang masih berdegupan. Kiai Soka mengantar mereka
sampai kepinggir pategalan. Lalu katanya, "Nah, berjalanlah
sendiri. Bukankah padukuhanmu tidak terlalu iauh"
"Yang nampak diseberang bulak pendek itulah padukuhan
kami" jawab salah seorang dari kedua perempuan itu.
36 SH. Mintardja "Aku awasi kalian dari sini" berkata Kiai Soka.
Kedua orang itupun kemudian turun kejalan setelah
membenahi pakaian mereka yang kusut. Dengan tergesa-gesa
keduanya melintasi bulak kecil dan hilang ditegal padukuhan.
Sejenak kemudian, dipadukuhan itu telah terdengar suara
kentongan yang menjalar. Tidak terbiasa bahwa suara
kenthongan terdengar disiang hari meskipun sudah menyelang
sore. Kiai, Soka menarik nafas. Beberapa saat kemudian ia pun
melihat sekelompok orang laki-laki bersenjata telah keluar dari
padukuhan. Kiai Soka pun dengan cepat telah kembali ketempat Gandar
berkelahi. Orang-orang yang dihajar oleh Gandar itu pun masih
saja belum mampu untuk bangkit. Meskipun yang pingsan telah
sadar, tetapi rasa-rasanya ia masih belum dapat bangkit berdiri.
Ketika kemudian terdengar suara ribut mendekati tempat itu,
maka Kiai Soka pun telah memberi isyarat kepada Gandar dan
penghubung dari Pajang itu untuk meninggalkan tempat.
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel dan orang-orang
padukuhan telah sampai di tempat itu atas petunjuk kedua orang
perempuan yang hampir saja mengalami malapetatka.
Kemarahan Ki Bekel tidak dapat ditahan lagi ketika ia melihat
seorang diantara laki-laki muda yang sedang tertatih-tatih
mereka untuk berdiri. "Kau" geram Ki Bekel, "jadi kau yang telah melakukannya
bersama anak-anak iblis ini he"
Laki-laki muda utu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi
pucat sekali. Ia menjadi lebih ketakutan menghadapi Ki Bekel
daripada ketiga orang yang telah pergi itu.
Ki Bekel yang marah itu maju selangkah. Sekali lagi ia
membentak, "Beberapa saat yang lalu, kau sudah menyatakan
dihadapanku dan dihadapan para bebahu, bahwa kau tidak akan
melakukan perbuatan terkutuk itu. Adalah hak perempuan itu
37 SH. Mintardja dan orang tuanya untuk menolak lamaranmu, karena setiap
orang dipadukuhan ini tahu siapa kau. Dan dengan demikian kau
menjadi sakit hati dan berusaha melakukan perbuatan iblis ini
he" Bahkan kau telah membawa kcawan-kawanmu pula
bersamamu." Orang itu tidak menjawab.
Sementara Ki Bekel membentaknya lebih keras,
"Dengar anak setan. Apakah
kau memang menantang aku he
?" Orang itu masih belum menjawab. Tetapi kemarahan
Ki Bekel nampaknya sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-
tiba saja ia telah memukul
perut orang itu sekuat tenaganya. Terdengar keluhan tertahan.
Orang itu terbungkuk sambil
memegangi perutnya yang menjadi sangat sakit dan mual.
Dengan serta merta Ki Bekal telah menangkap rambut orang
itu. Sambil rnengibas-kibaskannya ia berteriak, "Hukuman apa
yang pantas aku berikan kepadamu he?"
Orang-orang yang datang bersamanyapun tertegun. Mereka
tidak pernah melihat Ki Bekel marah seperti itu. Justru karena
itu, maka mereka malahan menjadi termangu mangu.
Naman sejenak kemudian terdengar Ki Bekel itu berkata
kepada orang-orang yang datang bersamanya, "Tangkap semua
orang yang ada disini."
Orang-orangnya itupun tiba-tiba bagaikan tersadar dari
mimpi. Merekapun kemudian bergerak serentak, menangkap
semua orang yang masih kesakitan itu.
38 SH. Mintardja "Ikat mereka" perintah Ki Bekel.
Beberapa orang termangu-mangu. Mereka tidak membawa
tali. Namun seorang diantara mereka berkata, "Kita cari serat
batang pisang. Beberapa orangpun telah mencari batang pisang di pategalan
itu. Dengan serat pada batang pisang mereka telah mengikat
setiap orang. Meskipun pengikat itu tidak terlalu kuat, tetapi
ikatan itu telah memberikan kesan bahwa mereka adalah orang-
orang tangkapan. Tetapi dalam pada itu, Ki Bekel itu pun bertanya kepada kedua
perempuan yang telah melaporkan peristiwa yang menimpa diri
mereka itu, "Dimanakah orang-orang yang kau sebut-sebut itu?"
"Menurut kata-katanya, mereka menunggui orang-orang tni Ki
Bekel" jawab salah seorang dari kedua orang pereanpuan itu.
Namun Ki Bakel ternyata tidak menemukan mereka. Bahkan
ketika beberapa orang pembantunya mencari, mereka tidak
menjumpai seorang pun. Tetapi seseorang pun kemudian berkata kepada Ki Bekel, "Aku
menemukan jejak mereka."
Ki Bekel dan beberapa orang pun kemudian melilhat, bekas
kaki-orang-arang yang meninggalkan tempat itu.
"Memang tiga orang" berkata Ki Bekel.
"Siapakah mereka itu Ki Bekel?" bertanya salah seorang
diantara para bebahu yang ikut bersama Ki Bekel.
Ki Bekel menggeleng, Katanya, "Aku tidak tahu. Tetapi
agaknya mereka adalah orang-orang berilmu. Mungkin mereka
adalah tiga orang prajurit sandi yang sedang bertugas. Tetapi
mungkin juga bukan."
"Ya, ternyata seorang diantara mereka mampu mengalahkan
beberapa orang laki-laki gila. itu" desis seseorang.
39 SH. Mintardja Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia teringat
kepada orang-orang yang telah melakukan perbuatan terkutuk
itu. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak, "Seret mereka ke
padukuhan. Tempatkan mereka di banjar. Semua orang
pedukuban harus melihat wajah-wajah mereka. Aku tidak peduli,
apakah mereka ada yang sudah berkeluarga atau belum. Ikat
mereka pada pepohonan di halaman banjar itu. Tetapi setiap
orang harus dijaga agar tidak ada pengkhianat yang akan
berusaha membebaskan mereka."
Para bebahu dan orang-orang yang ikut bersama Ki Bekel
dengan senjata di tangan itupun sebenarnya telah marah pula
seperti Ki Bekel. Karena itu, maka dengan kasar mereka telah
menyeret orang-orang yang hampir saja melakukan perbuatan
yang paling keji itu keluar dari pategalan meskipun orang-orang
yang mereka seret itu adalah tetangga-tetangga mereka sendiri.
Namun mereka adalah orang yang memang mempunyai cacat
didalam pergaulan sehari-hari di padukuhan.
Ki Bekel dan beberapa orang bebahu untuk beberapa saat
masih berada di pategalan. Tetapi mereka bena-benar tidak dapat
rnenjumpai tiga orang yang telah menolong kedua orang
perempuan itu. Sementara itu, orang-orang yang sebenarnya masih kesakitan
karena sikap Gandar itu pun tanpa dapat mengelak telah diseret
dengan kasar, bahkan sekali-sekali mereka telah didera, dipukul
dan ditendang, untuk dibawa ke banjar padukuhan. Kelakuan
mereka memang telah membuat semua peughuni padukuhan itu
menjadi marah. Diluar penglihatan orang-orang padukuhan itu serta Ki Bekel,
maka Kiai Soka, Gandar dan penghubung dari Pajang
menyaksikan orang-orang yang diseret ke padukuhan itu dengan
kerut di kening. Bagaimanapun juga ternyata Kiai Soka menjadi
cemas. Katanya, "Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang
marah itu?" 40 SH. Mintardja "Tidak apa-apa" jawab penghubung dari Pajang mereka adalah
keluarga sendiri." "Tetapi nampaknya orang-orang padukuhan itu benar-benar
menjadi marah dan tidak lagi teringat bahwa yang mereka seret
itu adalah tetangga-tetangga mereka sendiri." berkata Kiai Soka.
"Mudah mudahan dengan demikian mereka menjadi jera."
geram Gandar, "bahkan jika tetangga-tetangganya tidak sampai
hati menghajar mereka, biarlah diserahkan kepadaku."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kau" sahut Kiai Saka, "sebaiknya kita memang tidak ikut
campur. Mudah-mudahan Ki Bekel tidak kehilangan akal,
sehingga orang-orang padukuhan itu dapat mengadili orang-
orang yang bersalah itu dengan sebaik-baiknya, tidak dibayangi
oleh kemarahan yang meledak-ledak. Agaknya orangorang itu
memang bukan orang-orang yang dapat hidup rukun dengan
tetangga-tetangganya."
Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bergumam,
"Kesalahan mereka adalah kesalahan yang sangat besar. Jika
perbuatan tenrutuk itu terjadi, maka orang-orang itu sepantasnya
dihukum sangat berat "
"Meskipun belum terjadi, tetapi niat mereka melakukan uya
memang sudah memungkinkan mereka untuk dihukum - berkata
petugas penghubung dari Pajang itu, "tetapi sebaiknya Ki Bekel
mengadilinya dengan kepala dingin."
Kiai Soka mengangguk-angguk pula. Sementara itu orang-
orang yang telah ditangkap itu telah diseret masuk ke padukuhan.
Baru kemudian ketiga orang yang akan pergi ke Pajang itu
melihat Ki Bekel dan beberapa orang bebahu menyusul.
"Agaknya Ki Bekel telah mencari kita" berkata Gandar.
"Ya. Kedua orang perempuan itu tentu telah mengatakan apa
yang terjadi" sahut penghubung dari Pajang itu.
Sebenarnyalah Ki Beke1 merasa sangat kecewa bahwa ia tidak
dapat menemukan orang-orang yang telah menolang kedua orang
perempuan itu. Demikian pula orang tua mereka. Agaknya
41 SH. Mintardja mereka masih merasa berhutang sebelum mereka sempat
mengucapkan terima kasih bahwa anak-anak mereka telah
dilepaskan dari tindakan yang jahanam.
Ketika Ki Bekel dan beberapa orang babahu telah lenyap
kedalam padukuhan, maka Kiai Soka pun berkata, "Marilah kita
melanjutkan perjalanan."
Penghubung dari Pajang itu pun mengangguk-angguk. Tetapi
ia masih juga bergumam, "Di padukuhan-padukuhan yang lain,
mungkin akan dapat timbul akibat pula karena angin peperangan
yang berhembus kesemua penjuru Pajang. Mungkin peristiwanya
berbeda, tetapi akibatnya adalah keresahan sebagaimana terjadi
di padukuhan ini." Kiai Soka menarik napas panjang. Katanya, "Memang
mungkin sekali. Semuanya itu harus mendapat perhatian dari
Pajang. - "Pajang menyadari, tetapi kami tidak mempunyai pasukan
yang cukup luas jangkauannya karena sebagiaa besar kekuatan
kami berada di pinggir Bengawan Sore." jawab penghubung itu.
Kiai Soka mengerti juga bahwa prajurit Pajang seakan-akan
telah terbagi habis di medan-medan perang yang berpencar.
Sehingga padukuhan-padukuhan yang tersebar agaknya kurang
mendapat perhatian. Sementara itu penghubung dari Pajang itupun berkata, "IYni
adalah satu pengalaman yang mahal. Dalam keadaan seperti ini,
maka disadari betapa pantingnya pengawal di Kademangan-
kadeanangan dan padukuhan-padukuhan. Dengan demikian
maka para pengawal itu akan dapat melakukan pengamanan
setidak-tidaknya bagi kademangan masing-masing. Karena
menurut perhitungan, para penjahat pun akan dapat
mempergunakan kesempatan seperti ini untuk dengan semena-
mena melakukan kejahatannya."
Kiai Soka mengangguk-angguk pula. Katanya, "Ya. Dengan
demikian maka setiap Kademangan. akan dapat menjaga diri
mereka sendiri." 42 SH. Mintardja Penghubung itu berdesis, "Hal ini akan dapat kita sampaikan
kepada para Senopati. Mungkin mereka pun akan menyadarinya
pula bahwa selama ini kita kurang memperhitungkan
kemungkinan seperti ini. Justru karena merasa kuat dan
memiliki prajurit yang cukup. Namun tennyata dalam keadaan
seperti sekarang, prajurit yang dirasa cukup itu masih juga
kurang. Dan kekurarngan itu dapat diatasi dengan menyerahkan
pertanggungan jawab perlindungan kepada
Kademangankademangan masing-masing. "
Kiai Soka masih saja mengangguk--angguk. Tetapi Gandar
sama sekali tidak menyambung. Perhatiannya masih tertuju
kepada orang-orang yang. telah mencoba untuk melakukan
perbuatan terkutuk itu. Namun dalam pada itu, maka Kiai Soka pun telah mangajak
mereka untuk bergerak. Mereka masih harus melanjutkan
perjalanan ke Pajang. Meskipun jaraknya sudah tidak terlalu jauh
lagi, namun mereka tidak dapat terlalu lama terhenti. Karena
mereka menyadari, bahwa selama itu, peperangan dapat saja
membakar padukuhan-padukuhan di sekitar Per'batasan.
"Sebentar lagi kita akan memasuki daerah yang berada
didalam lingkungan ajang peperarngan." berkata penghubung
itu. Kiai Soka berpaling ke arah Gandar. Numpaknya Gandar pun
mendengarkan keterangan penghubung itu dengan bersungguh-
sungguh. Demikianlah maka mereka bertiga pun telah melanjutkan
perjalanan. Kiai Soka dan Gandar harus membuka medan
menghadapi orang-orang Tanah Perdikan Sembojan di
perbatasan kota di Pajang.
Dengan demikian maka, Iswari telah menunjukkan sikapnya
kepada Warsi, bahwa. Iswari benar-benar berani menghadapi
Warsi dimanapun dan dalam keadaan apapun, sehingga
perlawanan yang dapat diberikannya tidak hanya terbatas di
43 SH. Mintardja Tanah Perdikan Sembojan, tetapi di, Pajangpun Iswari telah
menempatkan kekuatannya untuk melawan Warsi.
Kehadiran Kiai Soka dan Gandar dalam hubungannya dengan
kekuatan Pajang memang tidak banyak berpengaruh, Meskipun
para Senapati Pajang telah mengucapkan terima kasih pula,
kepada mereka. Namun Kiai Soka sendiri telah berkata, "Yang
penting bagi kami adalah satu pernyataan perang mutlak
melawan Warsi dan orang-orang yaag ada di sekitarnya. Mungkin
kedatangan kami memang tidak akan memberikan pengaruh
apapun juga bagi perang antara Pajang dan Jipang di sisi sebelah
Timur Pajang ini. Tetapi tentu akan memberikan pengaruh
terhadap orang-orang Tanah Perdikan Semboylan yang ada
disini. Sebenarnyalah kedatangan kami adalah satu pernyataan
tekad kami. Mungkin pada kesempatan lain, kami akan
memanggil sekelompok kecil anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan untuk mengguncang perasaan anak-anak muda yang
sudah terlanjur berada diantara oraag-orang Jipang."
Para Senapati Pajang mengaagguk-angguk. Seorang diantara
mereka bertanya, "Apakah kalian sudah dikenal oleh anak-anak
muda Sembojan?" "Aku mungkin belum" jawab Kiai Soka, "tetapi Gandar sudah
banyak dikenal bahkan Ki Wiradana mengenalnya dengan baik."
Senapati itu mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, "Baiklah.
Kami akan rnembantu apapun yang baik bagi kalian menghadapi
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Karena kehadiran kalian
pun akan memberikan arti bagi kami untuk ikut membatasi gerak
orang yang bernama Ki Randukeling itu."
Dengan demikian maka Kiai. Soka dan Gandarpun telah
ditempatkan di lingkungan ajang pertempuran disisi Timur.
Sementara itu Kiai Soka pun telah berpesan kepada Gandar,
"Tugas kita bukan untak membunuh siapapun. Tetapi kita akan
sekedar membatasi ruang gerak para pengikut Warsi disamping
pernyataan perang ltu sendiri"
44 SH. Mintardja "Tetapi apa salahnya jika kita membunuh mereka" berkata
Gandar, "bukankah itu akan berarti bahwa kita telah mengurangi
lawan jika kita benar-benar harus menghadapi mereka kalak?"
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya,
"Biarlah mereka menyadari, bahwa kekalahan yang mereka alami
kelak adalah kekalahan menghadapi orang-orang Tanah
Perdikan. Bukan kekalahan dari orang-orang Pajang. Jika kita
membunuh sekarang, tentu apa yang kita lakukan ini
dianggapnya sebagai kemenangan orang-orang Pajang atas
mereka, sehingga mereka tidak menyadari, bahwa perkembangan
kekuatan Tanah Perdikan akan dapat benar-benar mengalahkan
mereka." Tetapi Gandar masih menjawab, "Tetapi apakah yang akan
terjadi jika ternyata mereka kelak mempunyai kakuatan yang
cukup yang tidak akan dapat kita lawan?"
"Kita akan tetap bekerja sama dengan Pajang. Tetapi dalam
kedudukan yang berbeda." jawab Kiai Soka.
Kiai Soka menyadari, bahwa Gandar masih tetap merasa, tidak
puas dengan keterangannya itu. Tetapi karena Gandar kemudian
tidak bertanya tentang apapun lagi, maka Kiai Soka pun tidak
berkata lebih lanjut."
Ketika Kiai Soka dan Gandar telah beristirahat sehari, maka
mereka pun mulai melihat-lihat medan. Mereka telah berada
diantara prajurit Pajang yang mulai menyerang kedudukan
orang-orang Jipang, meskipun tidak dalam gerakan yang
menentukan" - Kita akan menyerang kedudukan Jipang yang sebagian besar
terdiri dari orang-orang Tanah Perdikan Sernbojan" berkata
Senapati yang memimpin serangan itu, "dalam serangan yang
demikian, kita telah menentukan satu kelompok kecil yang
mungkin harus berhadapan dengan orang-orang terpenting dari
Tanah Perdikan Sembojan itu. Karena itu, biasanya dalam
serangan terhadap mereka, kita membawa orang-orang terkuat
yang ada di medan ini selain jumlah pasukan yang memadai."
45 SH. Mintardja Kiai Soka dan Gandar mengangguk-angguk. Ia pun melihat
beberapa orang perwira ada didalam pasukan itu, yang menurut
perhitungannya agak terlalu banyak bagi pasukan yang bergerak
dalam keadaan wajar, dibanding dengan besarnya pasukan.
Namun Kiai Soka menyadari, bahwa didalam pasukan orang-
orang Tanah Perdikan Sembojan memang terdapat beberapa
orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Disamping Ki
Randukeling juga terdapat Warsi sendiri, ayahnya dan beberapa
orang lain. Bahkan ternyata, bahwa Ki Rangga Gupita telah
banyak berada diantara pasukan yang terdiri dari anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan daripada diantara para prajurit
Jipang sendiri. Pasukan Pajang itu melingkari beberapa padukuhan untuk
menaapai satu sasaran yang telah diperhitungkan lebih dahulu.
Mereka akan menyerang dari arah lambung.
Tetapi serangan semacam itu bukannya serangan yng akan
menentukan kedudukan. Namun dengan serangan-serangan yang
demikian maka pasukan Pajang akan tetap rnenunjukkan bahwa
Pajang mempunyai kekuatan yang masih cukup besar
menghadapi Jipang yang berusaha meningkatkan gerakannya
sesuai dengan perintah Patih Mantahum
"Tujuan kita bukan untuk mendesak mundur pasukan Jipang
yang berada di padukuhan itu" berkata Senapati yang memimpin
pasukan Pajang, "meskipun demikian jika mungkin dan
diperhitungkan tidak akan jatuh korban terlalu banyak, kita akan
mengusir mereka keluar. Namun tidak untuk menduduki tempat
itu. Tetapi dengan demikian kita sudah memberikan pukulan
lahir dan batin" Kiai Soka mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa pasukan
Jipang tidak hanya berada disatu padukuhan. Sementara yang
akan menjadi sasaran mereka adalah padukuhan yang dihuni
oleh pasukan yang lebih banyak terdiri dari orang dari Tanah
Perdikan Semibojan. 46 SH. Mintardja Meskipun demikian para Senapati Pajang tidak melangkah
dengan tanpa perhitungan yang cermat. Mereka sudah
memperhitungkan, bagaimana mereka harus menarik diri jika
serangan mereka sudah dianggap cukup memberikan peringatan
kepada pasukan Jipang tentang kekuatan Pajang dihadapan
orang-orang Jipang itu, sehingga dengan demikian Jiipang tidak
akan dapat bergerak leluasa dan mengambil prakarsa dalam
pentempuran-pertempuran selanjutnya, karena para petugas
sandi Pajang sudah mengetahui perintah Ki Patih Mantahun
untuk meningkatkan serangan-serangan pasukan Jipang
dimanapun mereka berada. Dalam pada itu, kedatangan pasukan Pajang itu pun telah
diketahui pula oleh para pengamat dari Jipang. Karena itu, maka
sebelum pasukan Pajang itu mendekati sasaran dari lambung,
pasukan Jipang telah bersiap-siap pula. Justru bagian dari
pasukan Jipang yang sebagian besar terdiri dari anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembajan. Ketika laporan tentang kedatangan pasukan Pajang itu
disampaikan kepada Senapati Pajang yang ada di padukuhan itu,
maka ia pun segera memerintahkan para pemimpin kelompok
untuk berkumpul. Senapati itupun telah mengundang para
pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan yang ada di padukuhan
itu. "Sebentar lagi, pasukan Pajang akan menyerang kedudukan
kita. Kita tidak boleh menunjukkan kelemahan. Kita harus
menunjukkan kekuatan Jipang dimana-mana. Seorang
penghubung akan pergi ke padukuhan di seberang sungai. Sejauh
mungkin mereka harus mengirimkan bantuan yang dapat segera
mereka gerakkan," berkata Senapati itu, "Kita harus memukul
mundur pasukan Pajang itu atau menghancurkannya sama
sekali." Ki Rangga Gupita mengangguk-angguk. Tetapi ia pun
bertanya, "Apakah kekuatan pasukan Pajang itu, sudah kita
ketahui?" 47 SH. Mintardja "Sudah dapat kita kira-kirakan. Pasukan itu memang lebih
kuat dibandingkan dengan pasukan Jipang ada di padukuhan itu.
Tetapi sementara kita bertahan, maka bantuan tebtu akan segera
datang. " "Kita memang harus menunjukkan kekuatan kita" sahut
Warsi, "kita, para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan yang
turun ke medan." Ki Randukeling pun menyahut, "Sikap orang-orang Pajang
memang sangat menjemukan. Aku tahu, mereka tentu
menyiapkan para perwiranya untuk menghadapi kita yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dianggap memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi aku sudah jemu
dengan permainan seperti itu. Kita harus mulai bersungguh-
sungguh." "Aku sudah bersungguh-sungguh sejak aku berada di medan"
berkata Ki Rangga, "mungkin Ki Randukelingl yang belum
bersungguh-sungguh."
"Mungkin. - jawab Ki Randukeling, "sebenarnya aku masih
segan membunuh orang terlalu banyak. Tetapi tingkah taku
orang-orang Pajang memang sudah memuakkan."
"Seharusnya kita sudah melakukannya sejak perintah Ki Patih
Mantahun disebarkan" berkata Senapati Jipang ita, "kita semua
harus memperbanyak gelombang-gelombang serangan dan
menunjukkan kekuatan yang sebesar-besarnya dimana-mana.
Langkah itu diambil sebagai pendahuluan gerakan terakhir yang
akan dilakukan oleh kekuatan induk pasukan Jipang di tepi
Bengawan Sore. Sebab menurut perhitungan dan tanda-tanda
yang dilihat oleh para petugas sandi, ada niat Pajang untuk
menarik sebagian dari pasukannya memperkuat kedudukannya
di tepi Bevgawan Sore itu."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kitalah yang mengambil langkah-langkah menentukan. Bukan
Pajang. Kita harus menunjukkan bahwa kekuatan Jipang di
sekitar Pajang ini pun cirkup besar untuk menghancurkan
pasukan Pajang yang tersisa."
48 SH. Mintardja "Nah, kita harus bersiap sekarang." berkala Senapati itu.
Para pemimpin pasukan Jipang dan Tanah Pendikan
Sembojan itu pun segera pergi ke pertahanan yang telah mereka
susun didalam lingkungan dinding padukuhan. Sementara itu
dua orang penghubung telah pergi ke penempatan pasukan
Jipang yang lain, untuk minta bantuan seperlunya atas dasar
perhitungan para pengamat atas besarnya pasukan Pajang.
Ki Randukeling yang telah berada di garis pertahanan itu pun
kemudian berkata, "Waktunya memang sudah datang. Jika aku
terlalu banyak membunuh, maka itu bukan salahku. Orang-orang
Pajang harus mengakui kelemahan mereka."
"Seperti kebiasaan mereka, maka mereka akan menempatkan
beberapa orang untuk melawan kakek sehingga gerak kakek
sangat terbatas. Demikian juga terhadap kami. Agaknya mereka
sudah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat untuk
itu." desis Warsi. "Aku masih dapat melakukan sesuatu diatas batas
kemampuan beberapa orang prajurit Pajang itu. Apalagi dalam
gerak pasukan yang tidak sepenuhnya seperti ini." berkata Ki
Itandukeling, "dan sekarang benar-benar telah menjadi muak."
"Kenapa kakek baru muak sekarang?" bertanya Warsi, "kenapa
tidak sejak kita terusir dari Tanah Perdikan Sembojan" Kakek,
kita tidak boleh membuang waktu. Tetapi kakek pun harus
mengakui bahwa cara Pajang membatasi gerak kita, memang
menyulitkan kita." Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
memerlukan bantuan kalian. Jika para perwira itu berkelompok,
kenapa kita tidak melakukannya hal yang sama, khusus untuk
mengikat mereka dalam pertempuran" Jika kalian berhasil, maka
aku akan mendapat kesempatan."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat.
Kita dapat berkelompok seperti para perwira Pajang. Jika mereka
berkelampok untuk menghadapi seorang diantaca kita, maka jika
49 SH. Mintardja kita juga berkelompok, maka mereka lah yang tentu akan
mengalami kesulitan."
Senapati pasukan Jipang itu menyahut, "Apakah sebaiknya
kita coba sebentar lagi?"
"Ya" jawab Ki Randukeling, "biarlah orang-orang Pajang
menyadari, bahwa kita sudah muak melihat tingkah laku
mereka." "Baiklah" berkata Ki Rangga, "aku akan bertempur bersama
Warsi dan ayahnya. Kami bertiga tentu akan menggetarkan
kekuatan Pajang yang terlalu yakin akan kekuatan diri sendiri.
sekelompok perwira tidak akan berarti bagi kami bertiga."
"Kau jangan mengabaikan kemampuan para perwira Pajang"
sahut Senapati Jipang, "sebaiknya kalian berada didalam satu
kelompok bersama Ki Randukeling. Jika pertempuran telah
berlangsung, maka kalian akan dapat mengambil langkah-
langkah yang paling menguntungkan. Bukankah diantara kalian
masih ada para pemimpin yang lain" Misalnya Ki Wiradana
sendiri?" Ki Randukeling mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku
sependapat. Kita tidaik usah terpecah pecah. Kita akan
menghadapi kelornpok-kelompok perwira itu dengan cara yang
tidak pernah mereka bayangkan semula."
Senapati Jipang itu pun berkata pula, "Kami pun akan
membuat kelompok-kelompok pula untuk menghadapi mereka."
Demikianlah, maka pasukan Jipang itu telah mengatur diri
untuk menerima serangan pasukan Pajang. Mereka telah
melakukan satu cara yang berbeda dari yang pernah mereka
lakukan sebelumnya. Sernentara itu pasukan Pajang pun menjadi semakin dekat,
sementara semua orang didalam pasukan itu telah bersiap-siap.
Beberapa, orang perwira khusus yang memiliki kennampuan
melebihi prajurit kebanyakan, serta mempunyai kemungkinan
untuk menempatkan diri dalam perlawanan yang berat
50 SH. Mintardja menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari Jipang dan Tanah
Perdikan Sembojan telah mengelompok pula. Para prajurit pun
telah menerima perintah untuk pada setiap saat menempatkan
diri bersama para perwira itu, jika para perwira itu memerlukan.
"Jumlah kita lebih banyak dari pasukan Jipang yang ada di
padukuhan itu" berkata Senapati yang memimpin pas.ukan
Pajang, "bahkan seandainya datang bantuan dari pedukuhan
yang lain." Senapati Pajang itu pun kemudian memberikan isyarat ketika
pasukannya telah mendekati padukuhan yang dihuni oleh
pasukan Jipang. Namun pasukan dipadukuhan itu yang
terbanyak adalah justru orang-orang dari Tanah Perdikan
Sembojan. Pasukan Pajang itu berhenti beberapa puluh tonggak dari
padukuhan. Mereka pun kemudian menebarkan pasukannya
dalam galar, sehingga Pajang telah siap bertempur dalam perang
gelar yang utuh. Sementara itu pasukan Jipang pun, telah bersiap pula. Mereka
pun telah menebar pula. Namun mereka masih teta:p berada
dibalik dinding padukuhan. Sebagian justru telah berlindung
dibalik pepohonan dengan tombak di tangan, sedangkan yang
lain memegaag busur dan anak panah.
Ki Rangga tersenyum. Katanya, "Setelah hari ini lewat, kita
akan memperbanyak gelombang serangan-serangan. Kitalah yang
akan menentukan, kapan kita bertempur dan kapan kita
beristirahat. Kita pula yang akan menghitung berapa orang di
satu hari telah kita bunuh di antara prajurit Pajang, sehingga
akhirnya prajurit Pajang itu akan habis sendirinya, dan kita akan
menduduki Pajang. Jika terjadi demikian, maka pasukan Pajang
di tepi Bengawan Sore akan terkejut dan kehilangan gairahnya
untuk bertempur, sehingga Jipang akan dengan mudah
menumpas mereka, seperti memijit buah ranti."
51 SH. Mintardja Sementara itu Ki Randukeling berkata, "Tugas kita belum
selesai seandainya Pajang pecah. Kita masih harus merebut
kembali Tanah Perdikan Sembojan."
"O," Ki Rangga tertawa. "Setelah hari ini lewat, kita" Tidak ada
sepenginang Sembojan akan dapat kita selesaikan."
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Katanya, "Ki Rangga
ternyata tidak mempunyai gambaran yang benar tentang Tanah
Pedang Penakluk Iblis 7 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Amanat Marga 6
^