Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 33

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 33


bertugas justru berada di luar gardu.
Namun malam itu Saruju dan Damar tidak nampak
gembira seperti biasanya. Hanya sekali-kali saja mereka
ikut tertawa. Namun keduanya lebih banyak dipengaruhi
oleh kegelisahan mereka tentang diri mereka sendiri,
terutama keluarga mereka.
Apalagi jika mereka berada di tengah-tengah kawan-
kawannya. Anak-anak muda Tanah Perdikan itu bukan saja
anak-anak muda yang pandai menyabit rumput dan
bersenandung di padang penggembalaan. Atau mencangkul
di sawah dan menebang kayu di hutan. Namun anak-anak
muda itu pada umumnya juga memiliki ilmu kanuragan
meskipun baru dasarnya saja. Bahkan ada di antara mereka
yang telah mendapat tempaan secara khusus dan menjadi
pemimpin kelompok pengawal di padukuhannya.
Dalam pada itu, ketika kawan-kawannya yang lain sudah
tertidur di gardu, sementara mereka yang bertugas meronda
sedang berkeliling dan justru menitipkan gardu itu kepada
Damar dan Saruju yang tidak tertidur, maka Saruju sempat
berdesis, "Apakah aku dapat mempunyai keberanian untuk
meninggalkan kehidupan seperti ini dan kembali ke dalam
kehidupan yang kelam?".
Damar menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian
berdesis perlahan-lahan, "Sebenarnya aku pun berpendapat
demikian. Tetapi bagaimana dengan keluarga kita. Mungkin
kita sendiri tidak akan berpikir lagi tentang mati. Kita
sebenarnya sudah lama mati dan kini mendapat
kesempatan untuk hidup kembali meskipun seolah-olah
42 SH. Mintardja hanya sekedar pinjaman. Tetapi bagaimana dengan ayah,
ibu dan adik-adik." "Itulah soalnya" berkata. Saruju, "namun aku tiba-tiba
saja mempunyai pendapat. Tetapi jangan tergesa-gesa sebab
aku mengkhianati perjuangan Jipang."
Damar memandang Saruju dengan tajamnya. Namun
kemudian ia bertanya, "Kita berusaha mempertahankan
kehidupan kita sekarang, sekaligus mempertahankan hidup
keluarga kita" Bahkan jika terpaksa dengan kekerasan
sekalipun?" Saruju menarik nafas dadam-dalam. Namun katanya,
"Hanya satu impian yang ngaya wara. Kita benar-benar
sudah dicengkam oleh kuku-kuku yang tajam. Apapun yang
akan kita lakukan atau tidak melakukannya sama sekali
berarti kematian." Damar mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tahu yang
kau pikirkan. Jika kita tidak berhasil membunuh Risang,
maka tugas kita akan beralih. Mempertahankan hidup kita
dan keluarga kita." Saruju memandang Damar dengan ragu-ragu. Namun
Damar kemudian telah berkata, "Jangan ragu-ragu. Aku
tidak akan mengkhianatimu. Jika kau berpendirian
demikian, maka aku pun akan bersikap yang sama pula."
Saruju termangu-mangu, sejenak. Namun kemudian ia
menggeretakkan giginya, "Kita harus berhasil membunuh
anak itu. Aku tidak mau seorang pun dari keluargaku akan
terbunuh." Damar mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu. 43 SH. Mintardja Keduanya pun kemudian terdiam. Yang terdengar adalah
dengkur yang bersahutan di gardu. Anak-anak muda yang
tidur nyenyak, sama sekali tidak menghiraukan apa yang
bergejolak di hati Saruju dan Damar.
Sejenak kemudian Saruju yang gelisah itu pun telah
berbaring pula berdesakkan dengan kawankawannya yang
tertidur sehingga udara malam tidak terasa mendingin.
Damar laah yang kemudian duduk diatas amben yang
tinggi, yang dibuat anak-anak, muda itu, di sebelah gardu
itu, Diselimutinya dirinya dengan kain panjang sambil
memeluk lutut. Gambaran-gambaran yang beraneka datang
dan pergi dari rongga. matanya. Namun akhirnya ia hanya
menggeretakkan giginya. Demikianlah hari-hari berikutnya kedua orang anak
muda itu memang berusaha untuk dapat semakin dekat
dengan rumah Kepala Tanah Perdikan apapun alasannya.
Namun dalam kesempatan yang jarang itu, mereka sama
sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Risang yang semakin
tangkas itu selalu berada dibawah lindungan orang-orang
yang beirilmu tinggi. Bahkan untuk melakukan tugasnya
sambil membunuh diripun agaknya tidak mungkin
dilakukannya, Sementara itu hari-hari pun merambat semakin dekat
deagan batas akhir dari waktu yang diberikan oleh Ki
Rangga Gupita. Ketika separuh dari bulan yang kedua itu telah lewat,
maka pada satu malam Damar berkata, "Aku akan dapat
menjadi gila karena tugas ini"
Saruju: mengangguk-augguk. Katanya, "Kita sudah
dipengaruhi oleh satu kehidupan yang hanya berlandaskan
kepentingan duniawi. Kita harus berusaha
menyingkirkannya dari diri kita. Kita harus kembali kepada
44 SH. Mintardja jiwa perjuangan kita. Dengan demikian kita tidak akan
menjadi ragu-ragu." "Ragu-ragu atau tidak ragu-ragu. Tetapi kesempatan itu
memang tidak ada" berkata Damar.
Saruju menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih
mencoba menggeretakkan giginya sambil berkata, "Kita
akan menyerbu memasuki halaman rumah itu di siang hari
esok, apapun yang terjadi."
"Nah, bukankah kita memang sudah menjadi gila. Jika
hal itu kita lakukan, maka kita benar-benar telah gila seperti
yang aku katakan. Kita akan mati ditangan para pengawal
sebelum kita menyentuh anak itu. Sementara keluarga kita
akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang Tanah
Perdikan ini. Sekaligus kemarahan Ki Rangga dan Nyi
Wiradana." desis Damar.
Saruju menggeram. Dengan nada rendah ia kemudian
berkata, "Ya. Kita memang akan menjadi gila."
Namun bagaimanapun juga, keduanya masih belum
menemukan kesempatan apapun juga untuk melakukannya.
Adalah diluar dugaan mereka, ketika pada suatu hari,
mereka mendengar dari anak-anak muda, yang berada
digardu, bahwa esok pagi Iswari akan melihat ujung hutan
yang menjorok memasuki Tanah Perdikan disisi selatan.
Hutan itu akan dapat diusahakan sebagian untuk dijadikan
Tanah persawahan. Agaknya orang-orang Tanah Perdikan
Semboyan memang memerlukan tanah baru, yang dapat
diusahakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
rakyat. Tetapi Iswari tidak dengan serta merta
memerimtahkan agar mereka menebangi hutan sekehendak
hati. Baik disisi Selatan, Utara, atau, yang berada disebelah
Timur yang masih merupakan hutan yang lebat yang
45 SH. Mintardja sebagian besar memang berada didaerah Tanah Perdikan
Sembojan -itu sendir. "Apa yang dapat kita lakukan?" berkata Damar.
"Kita tidak tahu, apakah anak itu akan dibawanya atau
tidak" berkata Saruju.
"Jika dibawa?" bertanya Damar pula.
"Kita tetap tidak dapat berbuat apa-apa." jawab Saruju.
Lalu, "Tetapi, jika anak itu ditinggalkannya di rumah; maka
kita dapat mencobanya."
"Kita akan pergi ke rumah Kepala, Tanah Perdikian
sementara Iswari pergi?" bertanya Damar.
"Ya. Adalah kebetulan bahwa jambu air dirumahku
sedang berbuah, lebat, "Aku akan memetiknya dan
meamilih yang paling baik untuk kita bawa ke rumah
Iswari" berkata Saruju.
"Lalu, apakah yang dapat aku pergunakan sebagai alasan
untuk pergi ke rumah Kepala Tanah Perdikan itu"-bertanya
Damar. "Kata pergi bersama-sama. Mungkin ada orang yang
mencurigai kita justru pada saat Iswari pergi. Tetapi
bukankah kita akan melakukan tugas kita meskipun
seandainya sambil membunuh diri." sahut Saruju.
"Ya. Kita akan mati. Dan sanak kadang di rumah kita
akan tetap hidup. Tetapi hidup mereka pun tidak ubahnya
dengan mati, karena semua orang di Tanah Perdikan ini
akan memusuhi mereka." desis Damar.
"Jangan menjadi cengeng seperti itu. Bukankah kita
prajurit Jipang yang perkasa, yang tidak akan berkhianat
46 SH. Mintardja meskipun kita terperosok kedalam lautan madu sekalipun?"
geram Saruju. Damar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengetahui bahwa yang diucapkan Saruju itu tidak sesuai
dengan gejolak perasaannya yang kacau sebagaimana
perasaannya sendiri. Sehingga, karena itu maka sambil
mengangguk-angguk Damar menyahut, "Ya. Kita adalah
orang-orang perkasa. Betapapun kita diburu oleh
kegelisahan bahkan ketakutan."
Saruju tersenyum betapapun kecutnya.
Namun, hari itu Saruju memang memetik buah jambu
airnya. Cukup banyak. Kemudian memilih yang paling baik
dirantara jambu air yang setenggok itu disiapkan untuk
diantar ke rumah Iswari esok.
Dalam pada itu, semalam suntuk Saruju hampir tidak
dapat tidur barang sekejap pun. Kegelisahan memang
mencengkam jantungnya. Bahkan seperti yang dikatakan
Damsr, bahwa mereka akan dapat menjadi gila dengan
tugas itu. Ketika ayam jantan berkokok menjelang dini, Saruju
sudah siap dengan jambunya. Tetapi ia tidak dapat segera
berangkat ke rumah Iswari, karena menurut kabar yang
didengarnya, baru ketika matahari sepenggalah, Iswari akan
pergi ke hutan itu untuk melihat dan menancapkan patok-
patok atas bagian yang akan dijadikan persawahan.
Terasa hari bergerak dengan malasnya. Lambat sekali.
Bahkan rasa-rasanya tidak bergerak, karena matahari tidak
segera terbit. 47 SH. Mintardja Saruju terkejut ketika ibunya bertanya dengan suara lembut keibuan, "Kau
nampak gelisah sekali Saruju. Bukankah tidak pantas kau pergi sepagi ini
hanya untuk memberikan jambu itu ke rumah Kepala
Tanah Perdikan." Saruju mengangguk kecil katanya,, "Aku memang
gelisah biyung. Tetapi tidak
apa-apa. Aku hanya berpikir,
apakah mungkin aku juga mendapat kesempatan mengerjakan sawah yang akan dibuat di bekas hutan yang akan ditebang itu."
"O," ibunya mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya,, "Jangan gelisah. Seharusnya kau tidak perlu
memikirkannya. Bukankah sawah kita cukup luas?"
"Tetapi bukankah aku tidak sendiri" Sawah itu akan
dibagikan kepadaku dan adik-adikku kelak. Jika aku
mendapat tanah itu, maka biarlah tanah kita sekarang
diberikan kepada adik-adik saja."
Ibunya tersenyum. Katanya,, "Kau tidak usah berpikir
sajauh itu. Mungkin kehidupan kita akan berubah. Jika
keadaan Tanah Perdikan ini semakin baik, maka kita akan
mendapatkan kesempatan-kesempatan baru kemudian,"
berkata ibunya. Saruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
mengatakan gejolak perasaannya yang sebenarnya.
48 SH. Mintardja Betapa lambannya, namun akhirnya matahari puin terbit
juga. Bahkan kemudian memanjat langit dan sampailah
saatnya matahari itu sepenggalah.
Dengan jantung yang berdegupan keras, Saruju telah
membawa sebakul jambu air yang paling baik dari hasil
kebunnya menuju ke padukuhan. Di sudut padukuhan
ditemuinya Damar telah menunggunya. Nampaknya Damar
pun telah dicengkam oleh kegelisahan pula.
Berdua mereka telah pergi ke Padukuhan Induk. Mereka
telah mulai kehilangan pertimbangan-pertimbangan nalar
mereka yang bening. Jika untuk waktu-waktu sebelumnya
keduanya masih mampu menghindari kemungkinan pergi
bersama-sama justru karena mereka berdua telah menyerah
bersama-sama pula, maka saat itu mereka telah
melupakannya. Ketika mereka mendekati padukuhan induk, maka
mereka mengetahui bahwa Iswari memang sudah berangkat
bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan yang
lain dan beberapa orang bekel dari padukuhan-padukuhan
yang dianggap miskin, karena tanahnya yang kurang baik.
Mereka akan melihat dan menilai hutan disisi Selatan,
apakah hutan itu akan dapat memberikan kemungkinan-
kemungkinan baru bagi Tanah Perdikan Sembojan.
"Mereka telah berangkat," berkata Saruju., "Anak itu
tentu tidak dibawa serta."
"Mudah-mudahan," berkata Damar.
Saruju tidak menjawab lagi. Namun jantungnyalah yang
berdegupan semakin keras.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian mereka memasuki regol halaman rumah
Kepala Tanah Perdikan itu, maka keringat telah membasahi
tubuh kedua anak muda itu. Ketika seorang penjaga
49 SH. Mintardja bertanya kepada mereka, maka mereka pun telah menjadi
gagap. "Apakah kau mempunyai kepentingan dengan Nyi
Wiradana?" bertanya pengawal itu yang sudah dikenalnya
pula dengan baik. Saruju menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah
mencoba tersenyum sambil berkata, "Ya. Aku ingin
menghadap." "Nyi Wiradana sudah berangkat," jawab pengawal itu.
"O," Saruju mengangguk-angguk.
Tetapi Saruju pun kemudian berkata, "Tetapi apa
salahnya jika kau mengetahuinya. Aku akan memberikan
jambu hasil kebunku sendiri kepada anak Nyi Wiradana
yang nakal itu." "Hanya itu?" bertanya pengawal itu.
Saruju tertawa, katanya, "Tidak. Aku juga akan memohon
kepada Nyi Wiradana untuk dapat berbuat sesuatu atas
hutan itu. Sebagaimana kau ketahui, tanah kami berdua
terlalu sempit untuk dibagi-bagikan dengan adik-adik kami
kelak." "O," pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya,, "Tetapi
menurut pendengaranku, tanah itu terutama akan diberikan
kepada orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan
yang paling miskin di Tanah Perdikan ini karena tanah
garapannya tidak lagi memberikan harapan. Itulah agaknya
yang mendorong Nyi Wiradana untuk membuka hutan baru
dan berusaha menghutankan kembali tanah-tanah yang
tidak lagi dapat digarap sebagai tanah persawahan."
Saruju mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia
berkata,, "Baiklah. Jika demikian biarlah aku menghadap
50 SH. Mintardja Nyi Wiradana nanti sore. Sekarang, biarlah aku
memberikan jambu ini kepada Risang. Aku tidak tahu
apakah anak itu menyukainya atau tidak."
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya,, "Aku tidak melihat anak itu sejak pagi.
Namun entahlah. Cobalah bertanya kepada orang dalam."
"Tetapi lewat pintu yang mana?" bertanya Saruju.
"Masuk sajalah lewat seketheng itu. Dilongkangan akan
kau temui seseorang. Atau jika tidak maka kau dapat
mengetuk pintu butulan," berkata pengawal itu.
Saruju mengangguk kecil. Ia pun kemudian berjalan
bersama Damar memasuki seketheng.
Jantung kedua orang anak muda itu menjadi semakin
berdebar-debar karenanya.
Karena di longkangan belakang seketheng itu tidak
terdapat seorang pun, maka Saruju memang telah mengetuk
pintu butulan. Sementara itu ia berdesis, "Damar, tataplah
langit untuk yang terakhir. Kita akan membunuh diri
sekarang ini." Damar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apapun
yang akan terjadi." Saruju mengangguk. Katanya, "Kita adalah pahlawan-
pahlawan yang pantas mendapat penghargaan tertinggi jika
Jipang kelak benar-benar berdiri."
Namun tiba-tiba saja Damar tersenyum. Tetapi
senyumnya terasa pahit sekali.
Saruju yang termangu-mangu itu pun sekali lagi
mengetuk pintu butulan. Semakin keras.
51 SH. Mintardja Sejenak kemudian terdengar langkah mendekati pintu.
Ketika pintu terbuka, seorang perempuan telah berdiri di
depan pintu. "O," Saruju menjadi gagap. "Sebenarnya aku ingin
menghadap Nyi Wiradana untuk sedikit berbicara tentang
tanah. Tetapi ternyata Nyi Wiradana telah berangkat."
"Ya," sahut perempuan itu. "Bersama para bekel dan
beberapa orang bebahu."
"Jika demikian, maka biarlah aku memberikan jambu
yang aku petik langsung dari kebun sendiri kepada Risang.
Mudah-mudahan ia menyukainya," berkata Saruju.
Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Sayang, Risang sedang tidur."
"Sepagi ini?" bertanya Saruju. "Bukankah matahari baru
naik?" "Badannya agak kurang sehat. Semalam anak itu panas
dan pagi ini baru dapat tidur agak nyenyak. Karena itu,
maka ibunya berpesan agar anak itu tidak dibangunkan
sampai saatnya ia bangun sendiri," berkata perempuan itu.
Saruju dan Damar menjadi berdebar-debar. Satu
kesempatan yang paling baik bagi mereka. Mungkin
kesempatan yang demikian baru akan datang beberapa
bulan lagi, melampaui jatah waktu yang diberikan kepada
mereka. Karena itu, maka tiba-tiba Damar pun berkata, "Bibi,
apakah kami berdua diperbolehkan untuk menengoknya
barang sejenak. Jika anak itu sudah terbangun, kami akan
memberikan jambu air ini. Anak itu tentu senang
menerimanya." 52 SH. Mintardja "Tetapi ibunya berpesan, agar tidak seorang pun
mengganggunya," berkata perempuan itu.
"Kami tidak akan mengganggunya. Kami tidak akan
membangunkannya. Kami hanya akan menengoknya. Ia
sangat lucu, lincah bahkan tangkas menurut umurnya,
melampaui ketangkasan anak-anak sebayanya," berkata
Damar. Perempuan itu ragu-ragu. Namun kemudian katanya,
"Baiklah. Masuklah."
Damar memandang Saruju sejenak. Dadanya menjadi
berdebar-debar. Jika mereka berhasil menengok anak itu,
maka mereka akan mempergunakan kesempatan itu sebaik-
baiknya meskipun mereka berdua kemudian akan mati.
"Mudah-Mudahan para pemimpin dan keluarga Nyi
Wiradana pergi bersamanya, sehingga hanya pemomong
sajalah yang menungguinya," berkata kedua anak muda itu
di dalam hatinya. Kedua anak muda itu mengikuti perempuan yang
membawanya masuk ke ruang dalam. Ternyata bilik Risang
ada disenthong kiri di antara tiga senthong yang berjajar
menghadap ke ruang tengah.
Namun kedua orang anak muda itu tertegun. Mereka
untuk sesaat berdiri mematung. Di atas tikar pandan yang
dibentangkan di depan bilik sebelah kiri, yang disebut oleh
perempuan itu sebagai bilik yang dipergunakan oleh Risang
dan pemomongnya, duduk seorang laki-laki yang
rambutnya sudah mulai memutih. Kiai Badra.
Tulang belulang kedua anak muda itu bagaikan terlepas
dari sendi-sendinya. Harapan mereka untuk melakukan
tugas mereka tiba-tiba bagaikan terbang ditiup angin.
53 SH. Mintardja Mereka tahu pasti, siapakah Kiai Badra itu dan sampai
dimana kemampuan laki-laki tua itu. Sementara itu, ia
adalah kakek buyut Risang yang disebutnya sedang sakit itu.
Dada mereka bergetar ketika mereka mendengar suara
orang tua itu, "Marilah ngger. Duduklah."
Kedua anak muda itu bagaikan tidak berdaya untuk
berbuat lain kecuali sebagaimana dikatakan oleh Kiai Badra
itu. Sambil menjinjing sekeranjang jambu air, Saruju
bergeser mendekati diikuti oleh Damar. Kedua anak muda
itu pun kemudian duduk di depan pintu Senthong kiri.
"Marilah ngger. Apakah angger berdua mempunyai
keperluan?" berkata Kiai Badra.
Sesaat keduanya bagaikan membeku. Namun kemudian
Saruju pun menjawab, "Ya Kiai. Sebenarnyalah kami berdua
ingin menghadap Nyi Wiradana."
"Apakah ada masalah yang timbul di antara kalian?"
bertanya Kiai Badra. "Bukan di antara kami Kiai. Tetapi kami berdua ingin
mengajukan permohonan kepada Nyi Wiradana," jawab
Saruju. "Permohonan apa?" bertanya orang tua itu.
"Bukankah Nyi Wiradana berniat untuk membuka hutan
bagi tanah persawahan?" jawab Saruju pula.
"Sebenarnyalah bahwa kami ingin memohon agar kami
diperkenankan untuk ikut menggarap tanah itu."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "memang kalian harus menemui Nyi Wiradana.
Hanya Nyi Wiradana yang dapat memberikan keputusan.
Tetapi apakah orang tua kalian memang tidak mempunyai
sebidang tanah garapan yang baik?"
54 SH. Mintardja "Ayah memang mempunyai sebidang tanah garapan.
Tetapi jika aku diperkenankan mendapatkan tanah, maka
aku tidak akan mengganggu orang tuaku lagi. Aku ingin
berdiri sendiri sementara tanah orangtuaku dapat diberikan
kepada adik-adiku," berkata Saruju.
"Aku juga ingin berbuat demikian Kiai," sahut Damar.
"Kami ingin membuktikan pula, bahwa kami masih
mempunyai kemauan bekerja dan ikut membangun Tanah
Perdikan ini." Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Aku dapat
menghargai sikap kalian, anak-anak muda. Tetapi segalanya
tergantung sekali kepada Nyi Wiradana."
"Ya Kiai. Aku mengerti," Saruju pun mengangguk-
angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi Kiai. Selain
menghadap Nyi Wiradana, kami ingin memberikan jambu
air ini kepada Risang. Aku dengar anak itu sedang sakit."
"O," Kiai Badra mengangguk-angguk. "Anak itu memang
sedang agak kurang sehat. Ia tidur sepanjang pagi. Malam
tadi ia hampir tidak tidur sama sekali."
"Jika demikian apakah kami diperkenankan sekadar
menengoknya?" bertanya Saruju.
Kiai Badra berpikir sejenak. Namun kemudian
jawabannya, "Sebaiknya nanti saja ngger, jika ia sudah
terbangun." "Kami hanya akan sekadar melihat," desak Damar.
"Sudah lama kami tidak melihatnya. Terakhir kami lihat
anak itu berlari-lari di halaman. Tiba-tiba saja ia sekarang
sakit." 55 SH. Mintardja "Terima kasih atas perhatian kalian ngger," berkata Kiai
Badra. "Tetapi sayang, anak itu harus beristirahat sebanyak-
banyaknya." "Kami tidak akan membangunkannya," berkata Damar
yang mulai tidak sabar. "Kami hanya akan menengoknya
saja." "Sabarlah ngger. Nanti atau besok, jika anak itu sudah
bangun, kalian akan dapat menemuinya" berkata Kiai
Badra. Damar dan Saruju mulai gelisah. Mereka menjadi cemas
bahwa mereka benar-benar akan gagal memanfaatkan
kesempatan yang sudah ada dihadapan hidung mereka.
Yang terbayang di rongga mata mereka adalah keluarga
mereka yang sedang diancam ujung pedang oleh Ki Rangga
dan Nyi Wiradana yang muda.
Dalam kegelisahan tiba-tiba saja Saruju mendesak, "Kiai,
apakah jeleknya jika kami berdua sekedar menengok Risang
yang sedang sakit. Bukankah kami, rakyat Tanah Perdikan
ini mempunyai kewajiban untuk menghormati bakal Kepala
Tanah Perdikannya" Apalagi jika ia sedang sakit, maka
adalah kewajiban kami untuk ikut berprihatin."
Kiai Badra memandang kedua anak muda itu berganti-
ganti. Dengan nada sareh ia berkata, "Angger berdua. Sekali
lagi kami, keluarga Risang mengucapkan terima kasih.
Tetapi Risang sedang tidur nyenyak. Biarlah ia tidur. Setiap
derit pintu dapat membangunkannya. Karena itu, maka
sekali lagi aku mohon, datanglah kemudian. Kapanpun."
Wajah Saruju dan Damar menjadi tegang. Keduanya
benar-benar bagaikan menjadi gila oleh kesempatan yang
terlepas itu. Karana itu maka Saruju semakin mendesaknya,
"Kiai, beri kami kesempatan."
56 SH. Mintardja Sebelum Kiai Badra menjawab, Damar pun telah menda
saknya pula, "Biarkan kami memasuki biliknya."
Kiai Badra tidak segera menjawab. Namun
dipandanginya kedua anak muda itu berganti-ganti.
Meskipun sorot mata orangg itu terlampau lunak, namun
rasa-rasanya sorot mata itu telah menghunjam kedalam
jantung mereka. Apalagi ketika dengan nada berat Kiai Badra berkata,
"Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki anak-anak-
muda.?" Pertanyaan itu telah mengguncang jantung Damar dan
Saruju. Untuk beberapa saat lamanya keduanya hanya
berdiam diri bagaikan membaku.
"Angger berdua" Kiai Badralah yang mendesak, "apakah
sebenarnya kepentingan angger berdua dengan Risang?"
Keduanya masl tetap berdiam diri. Namun keringat
dingin telah membasahi seluruh tubuh Damar dan Saruju.
Jantung mereka serasa akan pecah ketika tiba, tiba saja
Ki,ai Badra itu berkata, "Angger berdua. Sesuatu telah
mengungkit pertanyaan dihatiku. Justru karena kalian
mendesak untuk dapat menemui Risang yang sedang
tertidur anyenyak. Apakah sebenarnya yang telah terjadi
atau yang mungkin dapat terjadi pada anak itu?"
Kedua orang anak muda itu tiba-tiba telah terbungkam.
Sementara itu Kiai Badra telah mendesak, "Katakan.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin aku dapat membantu kalian jika ada persoalan
didalam diri kalian."
Kedua orang anak muda itu tidak menjawab. Namun di
wajah mereka terbayang persoalan yang sangat rumit yang
bergejolak didalam dada mereka.
57 SH. Mintardja Sementara itu maka Kiai Badra pun telah menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata, "Angger berdua. Aku hampir
tidak percaya bahwa orang yang hari ini datang mencari
Risang adalah kalian berdua. Bahkan dengan agak
mepdesak kalian ingin hertemu dengan anak itu"
Isi dada keduanya serasa terguncang semakin keras.
Bahkan darah mereka terasa berhenti mengalir ketika
mereka kemudian mendengar Kiai Badra berkata, "Risang
tidak sedang sakit."
Kedua anak muda itu memandang Kiai Badra dengan
tajamnya, seakan-akan mereka ingin melihat isi dada orang
tua itu. Dengan suara gemetar Saruju bertanya, "Apa sebenarnya
yang terjadi dengan Risang."
"Risang tidak apa-apa. Ia bermain di gandok bersama
pemomongnya ditunggui oleh Gandar dan Bibi," berkata
Kiai Badra. "Kenapa anak yang sehat itu disebut sedang sakit?"
bertanya Damar. "Anak-anak muda," berkata Kiai Badra. "Seperti sudah
aku katakan, aku menjadi sangat heran, bahwa yang datang
mencari Risang adalah kalian berdua. Anak muda yang
selama ini kami kenal baik dan memberikan arti yang besar
bagi Tanah Perdikan ini."
Kedua anak muda itu pun kemudian menundukkan
kepalanya. Namun demikian Damar masih juga bertanya,
"Bagaimana dengan mereka yang mencari Risang?"
"Anak-anak muda," berkata Kiai Badra. "Pengalaman
telah mengatakan, bahwa ada pihak yang tidak senang
58 SH. Mintardja dengan kehadiran Risang. Ada pihak yang berusaha untuk
membunuhnya. Ada-ada saja cara yang ditempuhnya."
Saruju dan Damar menarik nafas. Tetapi mereka tidak
mengatakan sesuatu. "Karena itu, ketika Iswari mempunyai rencana untuk
meninggalkan rumahnya karena tugasnya, maka ia telah
berpesan, agar pengawasan terhadap Risang diperketat.
Rasa-rasanya Iswari sudah menjadi jera atas peristiwa yang
telah terjadi. Usaha untuk membunuh Risang. Karena
itulah, maka Risang telah disembunyikannya. Sementara
itu, kami telah mempunyai dugaan buruk kepada orang
yang telah mencari Risang," berkata Kiai Badra.
Dada kedua anak muda itu bagaikan didera oleh
hentakan-hentakan yang sangat menyakitkan.
"Anak-anak muda," berkata Kiai Badra. "Aku minta maaf
jika dugaan kami salah. Tetapi dengan terpaksa kami tidak
dapat mempertemukan kalian dengan Risang. Nanti jika
ibunya sudah kembali, maka silakan menemuinya. Tetapi
terus terang aku katakan, bahwa Risang tidak sakit."
Saruju dan Damar menjadi bingung. Mereka tidak segera
dapat menjawab atau menanggapi kata-kata Kiai Badra itu.
Apalagi ketika Kiai Badra kemudian berkata, "Anak-anak
muda. Jika kalian mencari Iswari, bukankah kalian tahu
bahwa Iswari memang sedang pergi" Sehingga kecurigaan
kami, jika kami menduga bahwa kalian berdua dengan
sengaja datang setelah Iswari berangkat untuk dapat
bertemu langsung dengan Risang. Mungkin untuk benar-
benar memberikan jambu air itu. Tetapi mungkin untuk
kepentingan yang lain."
Wajah kedua anak muda itu bukan saja menjadi tegang.
Tetapi juga menjadi pucat.
59 SH. Mintardja "Anak-anak muda. Katakan terus terang," berkata Kiai
Badra. "Barangkali itu lebih baik bagi kalian dan lebih baik
bagi kami, keluarga yang tinggal di rumah ini. Apalagi
kalian berdua termasuk orang yang paling lambat
menyerahkan diri." "O, Kiai," tiba-tiba saja Saruju tidak lagi dapat menahan
hatinya yang meledak. Saruju yang garang yang pernah
memasuki beberapa buah rumah untuk merampok. Yang
pernah mencegat orang ditengah-tengah bulak untuk
menyamun itu, tiba-tiba saja menangis. Kepalanya
menunduk sampai dahinya menyentuh lantai. Sementara
itu Damar pun seakan-akan telah membeku karenanya.
Namun jantungnya pun rasa-rasanya bagaikan berhenti
berdetak melihat sikap Saruju dan hentakan-hentakan yang
ada di dalam dirinya sendiri. ia sadar bahwa Kiai Badra
sebenarnyalah telah mencurigai mereka dan menuduh
mereka untuk berbuat sesuatu atas Risang. Kiai Badra
bahkan telah menghubungkan kehadirannya itu dengan
saat-saat penyerahannya, sehingga dengan demikian Kiai
Badra menganggap bahwa ia memang menyerah hanya
sekadar sebagai satu cara untuk melakukan satu
pengkhianatan. "Kami tidak akan dapat berbohong terhadap Kiai,"
berkata Saruju yang terisak.
Damar menepuk bahu kawannya sambil berkata lemah.
"Baiklah kita berterus terang. Tidak ada gunanya bagi kita
untuk menyembunyikan diri lagi. Jika dengan demikian kita
harus dihukum mati, biarlah hukuman itu segera dilakukan.
Sementara itu kehidupan keluarga kita pun telah terancam."
Kiai Badra pun telah menepuk pundak Saruju sambil
berkata, "Katakan terus terang anak-anak muda. Jika ada
60 SH. Mintardja jalan keluar, marilah kita tempuh untuk mengatasi
persoalan ini." Saruju masih terisak. Karena itu, maka katanya
kemudian kepada Damar, "Katakan Damar. Apa saja yang
kita ketahui tentang diri kita. Aku tidak akan bersembunyi
lagi." Damar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dikuatkannya hatinya untuk mengucapkan kata-kata
pengakuan dihadapan Kiai Badra, bahwa mereka memang
mempunyai tugas untuk membunuh Risang.
Berbeda dengan dugaan mereka bahwa Kiai Badra akan
segera bertindak dengan kasar menangkap mereka dan
menyerahkan mereka kepada para pengawal, maka Kiai
Badra justru untuk beberapa saat lamanya hanya
mengangguk-angguk saja. Bahkan kemudian katanya dengan nada lembut, "Anak-
anak muda. Menilik cerita yang kalian ucapkan, maka
sebenarnyalah bahwa kalian telah kehilangan gairah untuk
kembali ke lingkungan yang keras dan kelam itu. Sehingga
dengan demikian kalian tidak berusaha dengan sungguh-
sungguh untuk melakukan tugas kalian. Namun kalian telah
diancam, satu demi satu kelaurga kalian akan dibunuh."
"Ya Kiai," sahut Damar. "Itulah yang membuat kami
berdua hampir menjadi gila. Pertentangan yang luar biasa
terjadi di dalam diri kami masing-masing. Sehingga
akhirnya kami datang ke rumah ini semata-mata demi
keselamatan keluarga kami, karena sebenarnyalah kami
sudah kehilangan gairah tentang apa yang disebutnya
sebagai satu perjuangan untuk menegakkan Jipang
kembali." 61 SH. Mintardja Kiai Badra mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja suaranya
terdengar lemah, "Sebenarnyalah bahwa aku menaruh
kasihan kepada kalian berdua."
"Kiai," wajah Damar menjadi semakin tegang.
"Anak-anak muda," berkata Kiai Badra. "Persoalan kalian
memang pantas untuk dibicarakan, karena persoalan kalian
akan menyangkut ketenangan Tanah Perdikan ini."
"Kiai," berkata Saruju yang gagap. "Kami menyerahkan
segalanya kepada kebijakan Kiai dan kemudian Nyi
Wiradana. Jika kami harus menjalani hukuman mati, kami
tidak akan ingkar. Namun kami mohon keluarga kami
mendapat perlindungan."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Tetapi baginya
persoalan yang dihadapi oleh kedua anak muda itu memang
persoalan yang cukup rumit. Yang memerlukan penanganan
secara khusus dan hati-hati.
Sebelum Kiai Badra memberikan tanggapan, maka tiba-
tiba saja terdengar derap beberapa ekor kuda memasuki
halaman. Wajah Damar dan Saruju pun menjadi semakin
pucat karenanya. Sementara itu Kiai Badra pun berdesis,
"Itulah mereka datang."
"Kiai, gantung aku Kiai. Tetapi bagaimana dengan
keluargaku," suara Saruju masih gemetar.
"Aku akan membicarakannya nanti dengan Iswari,"
berkata Kiai Badra. Lalu, "Duduk sajalah disini bersama
aku." Kedua anak muda itu telah benar-benar pasrah. Mereka
tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan menghadapi
persoalan mereka. Untuk lari dari hadapan Kiai Badra pun
tidak mungkin karena mereka menyadari kemampuan
62 SH. Mintardja orang tua itu. Karena itu, maka yang paling baik bagi
mereka adalah menyerahkan segalanya kepada Kiai Badra
dan kemudian kepada Nyi Wiradana.
Beberapa saat kemudian mereka mendengar suara
beberapa orang yang naik dan duduk di pendapa.
Damar dan Saruju bagaikan membeku ketika mereka
kemudian melihat pintu yang terbuka dan Nyi Wiradana
memasuki regol dalam itu.
Nyai Wiradana terkejut. Katanya, "O, ternyata ada tamu."
Sebelum Damar dan Saruju menjawab, Kiai Badralah
yang berkata, "Angger Saruju dan Damar membawa
sekeranjang jambu air untuk kita."
"O, terima kasih," sahut Nyai Wiradana. "Aku memang
senang sekali jambu air."
"Selanjutnya, keduanya memang mempunyai
kepentingan dengan kau, Iswari," berkata Kiai Badra.
"Mereka memerlukan perlindungan. Tetapi nanti sajalah
kita bicarakan. Barangkali kau masih harus menemui
orang-orang yang pergi bersamamu memasang patok di
hutan itu." Iswari tersenyum. Dengan nada dalam ia berkata,
"Baiklah. Aku selesaikan dahulu persoalan tanah di hutan
itu." Iswari pun kemudian kembali ke pendapa dan berbicara
tentang banyak hal dengan tamu-tamunya. Terutama para
bekel yang merasa padukuhannya tandus dan tidak lagi
mempunyai harapan untuk dikembangkan lagi.
Pembicaraan itu rasa-rasanya menjadi sangat lama bagi
Damar dan Saruju yang menunggu di dalam. Meskipun Kiai
Badra banyak memberikan petunjuk terutama mengenai
63 SH. Mintardja ketahanan jiwani menghadapi persoalan mereka, namun
kegelisahan yang sangat masih tetap mencengkam perasaan
mereka. Keduanya belum dapat meraba, apa yang akan
dilakukan oleh Nyi Wiradana setelah ia mendengar tentang
tugas keduanya di Tanah Perdikan itu.
Namun akhirnya pembicaraan Nyi Wiradana dengan
para bekel dan beberapa orang bebahu itu pun selesai juga.
Para bebahu itu setelah mendapat hidangan minum dan
makanan, telah mohon diri meninggalkan pendapa rumah
Kepala Tanah Perdikan itu. Namun pembicaraan itu
agaknya masih belum tuntas, karena dalam dua hari lagi
mereka masih harus datang untuk melanjutkan
pembicaraan itu. Sepeninggalan para bekel dan para bebahu, maka Iswari
pun telah masuk kembali ke ruang dalam. Namun
ketajaman penggraitanya memang telah menangkap, bahwa
tentu ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi pada kedua
orang anak muda itu. Ketika Iswari kemudian duduk di
antara mereka, maka Kiai Badra lah yang menyampaikan
persoalan kedua anak muda itu. Namun ternyata yang
dikatakan oleh Kiai Badra membuat jantung kedua anak
muda itu rasa-rasanya semakin lambat berdenyut.
Ternyata orang tua itu dengan hati-hati telah
memberikan keterangan yang sangat meringankan beban
keduanya. Orang tua itu tidak dengan serta merta
melontarkan tuduhan yang dapat mengancam mereka
untuk bergantung ditiang gantungan.
"Iswari," berkata Kiai Badra. "Kedua anak muda ini
datang untuk mengadukan persoalannya. Mereka
memerlukan perlindungan dari ancaman Ki Rangga Gupita
dan Warsi. Mereka mengaku terus terang bahwa kehadiran
mereka di Tanah Perdikan ini memang mendapat tugas
64 SH. Mintardja khusus. Menyerah, mendapatkan kepercayaan dan
kemudian membunuh Risang. Tetapi setelah mereka berada
di Tanah Perdikan ini, mereka mengalami pergolakan
jiwani. Kesadaran telah tumbuh di hati mereka, sehingga
mereka tidak berniat lagi untuk melakukan tugas mereka.
Tetapi persoalan baru timbul, karena Ki Rangga dan Warsi
telah mengancam akan membunuh keluarganya satu demi
satu sampai mereka berdua berhasil membunuh Risang."
Nyi Wiradana mengerutkan keningnya. Sejenak diamati
kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Namun
kemudian Nyi Wiradana itu mengangguk-angguk.
Dengan nada dalam ia bertanya, "Jadi kalian benar-benar
telah menyadari, bahwa kalian sebenarnya adalah bagian
dari Tanah Perdikan ini?"
"Kami menyadari," jawab keduanya hampir bersamaan.
"Kami tidak berkeberatan memberikan perlindungan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada kalian asal kalian benar-benar mengerti persoalan
yang sebenarnya kalian hadapi," berkata Iswari.
"Kami mencoba untuk mengerti," berkata Saruju.
Iswari mengerutkan keningnya. Ia melihat mata Saruju
dan isaknya yang masih tertinggal satu-satu. Dengan
demikian Iswari mengerti bahwa Saruju itu telah menangis.
Adalah jarang sekali terjadi, bahwa seorang laki-laki
menangis jika tidak ada ledakan jiwa yang tidak terbendung
lagi. Karena itu, maka Iswari pun berkata, "Coba, katakan
dengan terus terang. Ancaman dan perlindungan yang kau
inginkan." 65 SH. Mintardja Damarlah yang kemudian menceriterakan ancaman yang
pernah diterimanya dari Ki Rangga dan Nyi Wiradana yang
muda jika mereka gagal membunuh Risang.
Jantung Iswari berdesir juga mendengar pengakuan
keduanya untuk melakukan tugas yang terkutuk itu.
Sasarannya adalah anaknya. Bahkan Iswari itu ternyata
tidak lagi mampu menguasai gejolak perasaan seorang ibu
yang anaknya terancam. Karena itu di luar kehendaknya ia
bertanya, "Apakah kedatangan kalian hari ini sebenarnya
untuk melakukan tugas itu tetapi gagal?"
"Sudah aku katakan," Kiai Badra lah yang menjawab.
"Mereka datang untuk mohon perlindungan. Akulah yang
menerima mereka berdua sejak mereka datang."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Namun untuk sesaat
ia masih berdiam diri. Jantung kedua anak muda itu menjadi semakin
bergejolak. Mereka melihat kerut di wajah Iswari. Agaknya
tanggapan Iswari agak berbeda dengan tanggapan Kiai
Badra. Namun tiba-tiba saja Iswari itu menarik nafas dalam-
dalam. Kemudian katanya, "Baiklah. Agaknya aku harus
mendengarkan keluhan setiap orang yang tinggal di Tanah
Perdikan jika memang mereka memerlukan aku."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Keduanya
memang sangat memerlukan perlindungan. Keduanya
mengaku hampir menjadi gila karenanya. Mereka merasa
tidak akan mampu melakukan tugas mereka, sementara
keluarga mereka telah diancam untuk dibunuh seorang
demi seorang sampai orang yang terakhir."
Iswari mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih
juga bertanya, "Jika mereka merasa tidak mampu
66 SH. Mintardja melakukan tugas ini, apakah sebenarnya mereka berniat
untuk melakukannya."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Iswari, apapun yang bergetar di dalam dada
kedua anak muda itu kita tidak dapat mengetahuinya.
Tetapi yang kita lihat, mereka telah datang, menyerahkan
diri dan bahkan mohon perlindunganmu. Karena kau kini
adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan, maka ia memang harus datang kepadamu."
Iswari memandang kakeknya dengan sorot mata yang
bergetar antara percaya dan tidak percaya. Namun
kemudian pandangannya menjadi lunak. Katanya dengan
nada rendah keibuan, "Baiklah. Apapun niat di hati, namun
sekarang kalian telah pasrah. Aku akan mencoba
menghindarkan diri dari getar perasaanku sebagai seorang
ibu yang cemas karena anaknya selalu terancam."
Saruju dan Damar menundukkan kepalanya dalam-
dalam. Keduanya memang tidak dapat lagi mengendalikan
keharuannya, sehingga Saruju telah menjadi terisak
kembali. Sementara itu, Damar berusaha untuk menahan
titik-titik air hangat di pelupuk matanya. Namun Damar
berhasil bertahan untuk tidak menangis seperti Saruju.
Sementara itu, Iswari pun kemudian bertanya tentang
keluarga kedua orang anak muda itu. Siapa sajakah
keluarga mereka yang terancam oleh Ki Rangga Gupita dan
Warsi jika keduanya gagal membunuh Risang.
"Semua ada sepuluh orang," desis Saruju.
"Jika setiap bulan mereka membunuh seorang, maka
mereka akan habis dalam waktu sepuluh bulan," desis Nyi
Wiradana. "Itulah yang sangat merisaukan," desis Damar.
67 SH. Mintardja "Jadi kau masih mempunyai waktu berapa hari lagi?"
bertanya Nyi Wiradana. "Tidak ada setengah bulan lagi," jawab Saruju dengan
suara bergetar. "Baiklah. Aku akan memikirkan satu cara untuk
melindungi kalian dengan keluarga kalian. Tetapi sudah
tentu bahwa kami memerlukan bantuan kalian sekeluarga."
"Tentu Nyi Wiradana," sahut Damar dengan serta merta.
"Kami akan melakukan segala perintah."
"Apakah sampai hari ini keluarga kalian sudah
mengetahui adanya ancaman ini?" bertanya Iswari.
"Belum," jawab Damar. "Kami tidak sampai hati untuk
mengatakannya. Keluarga kami, terutama orang tua kami
yang memang sudah tua, akan menjadi sangat gelisah.
Sementara itu dua adikku yang perempuan tentu akan
kehilangan kegembiraannya, justru pada saat remajanya."
"Nah, agaknya kalian dapat merasakan, betapa
gelisahnya seorang yang diancam bahaya. Bahkan
keluargamu pula. Jika kalian merasa cemas akan nasib
orang tua kalian dan adik-adik kalian, maka kalian tentu
akan dapat membayangkan, bagaimana cemasnya seorang
ibu yang nyawanya terancam setiap saat tanpa batas waktu,"
berkata Iswari. Damar dan Saruju tergetar hatinya mendengar kata-kata
Iswari. Sebelumnya mereka tidak pernah
membayangkannya, apalagi mencoba untuk merasakannya.
Namun kemudian mereka menyadari, perasaan itu tentu
tumbuh di hati perempuan itu sebagaimana kecemasan dan
kegelisahan yang tumbuh di hati mereka. Bahkan kasih
sayang seorang ibu kepada anak-anaknya tentu melampaui
segala-galanya. 68 SH. Mintardja KARENA kedua anak muda itu tidak menjawab, maka
Iswarilah yang kemudian berkata, "Jadi gejolak kegelisahan
dihati kita mempunyai persamaan. Kita masing-masing
dibayangi ketakutan bahwa kita akan kehilangan orang-
orang yang kita cintai." Iswari berhenti sejenak, lalu,
"Namun memang ada bedanya. Anakku masih kecil,
sehingga mudah disembunyikan. Anak itu tidak akan pergi
terlalu jauh dari ibunya dan tidak akan keluar dari halaman
rumah ini tanpa kawan. Sementara itu, orang tua, adik-adik
dan sanak kadangmu tidak dapat terlalu dibatasi. Mereka
mempunyai kewajiban di luar rumah. Mungkin di sawah, di
pasar atau dimana saja. Itulah yang memerlukan
perhitungan tersendiri."
"Kita dapat membatasi gerak mereka demi keselamatan
mereka sendiri," berkata Kiai Badra.
"Mungkin memang demikian," sahut Iswari kemudian.
"Dan itulah yang perlu kita atur bersama."
"Kami serahkan segala-galanya kepada Nyi Wiradana,"
berkata Saruju kemudian. "Baiklah. Kita masih mempunyai sedikit waktu untuk
mengatur langkah-langkah kita," jawab Nyi Wiradana.
Namun sementara itu Damar pun berkata, "Tetapi Nyi.
Sebenarnya bahwa kaki tangan Ki Rangga Gupita dan Warsi
itu selalu berkeliaran di Tanah Perdikan ini. Bahkan
kadang-kadang aku tidak mengenalinya sama sekali atau
ingat-ingat lupa terhadap seseorang yang memasuki Tanah
Perdikan ini." Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Semakin dekat dengan waktu yang diberikan, maka orang-
orang mereka akan semakin banyak berkeliaran disini. Itu
kita sadari. Karena itu dalam waktu singkat, kita harus
69 SH. Mintardja sudah menemukan satu cara untuk melindungi kalian.
Tentu cara yang paling mudah adalah membawa keluarga
kalian kesatu tempat yang dijaga oleh sekelompok
pengawal. Namun agaknya kita perlu juga
memperhitungkan kemungkinan untuk menjebak orang-
orang yang datang. Bukan sekadar mengejar mereka dan
membunuh mereka beramai-ramai."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Nah, jika
demikian, untuk sementara pembicaraan kita sampai disini.
Pulanglah. Usahakan untuk dapat menyampaikan ancaman
ini kepada keluarga kalian. Jika mereka tidak mengetahui,
maka keadaan tentu akan sangat berbahaya bagi mereka.
Mereka sama sekali tidak berhati-hati dan berbuat
sebagaimana biasa mereka lakukan. Sebab lambat atau
cepat, pada akhirnya mereka memang harus mengetahui.
Harus." Damar dan Saruju mengangguk meskipun nampak
keragu-raguan. Tetapi mereka memang harus pulang dan
mengatur perasaan mereka untuk menyampaikan persoalan
mereka kepada keluarga mereka di rumah.
Dalam pada itu, maka Kiai Badra pun kemudian berkata,
"Jangan cemas bahwa rahasia kalian akan diketahui orang
lain. Kita akan menyimpan rahasia ini."
Tetapi suara Saruju rendah, "Akhirnya mereka akan
mengetahuinya juga, Kiai. Jika Ki Rangga benar-benar
melaksanakan ancamannya, maka Tanah Perdikan ini
memang akan terganggu. Semua mata akan memandang
kepadaku, menuduhku dan keluargaku akan terasing di
Tanah Perdikan ini."
Namun Kiai Badra tersenyum sambil berkata, "Bukankah
kita dapat mengatakan kepada orang-orang Tanah
Perdikan, bahwa Ki Rangga mendendam karena kalian
70 SH. Mintardja menyerah dan meninggalkan mereka, sementara itu mereka
sangat membutuhkan tenaga kalian" Dalam dunia yang
kelam dari orang-orang yang berhati hitam, maka mereka
yang dianggap berkhianat atau meninggalkan ikatan
mereka, maka orang itu tentu akan dibunuh."
Damar dan Saruju tidak menjawab. Sementara itu Iswari
pun berkata, "Baiklah. Kalian dapat pulang sekarang. Kita
akan berbicara lagi pada kesempatan lain."
Kedua orang anak muda itu mengangguk dalam-dalam.
Bahkan Saruju pun tiba-tiba telah mencium kaki Kiai Badra
yang dengan serta merta menariknya sambil berkata,
"Jangan kehilangan sifat-sifatmu sebagai laki-laki. Tentu
saja laki-laki yang baik setelah kau bertekad meninggalkan
duniamu yang hitam itu."
"Ya Kiai," desis Saruju yang kemudian minta diri untuk
kembali pulang. Damar pun telah minta diri pula sehingga
keduanya kemudian meninggalkan halaman rumah itu
dengan kepala tunduk. Namun di regol keduanya terpaksa berhenti ketika
pengawal yang menyapa mereka ketika mereka masuk itu
bertanya, "He, apakah kalian sudah bertemu dengan anak
itu." "Sudah," Saruju mencoba tersenyum. Namun pengawal
itu melihat sesuatu yang lain di mata Saruju. Namun
pengawal itu tidak tahu pasti apakah yang terjadi.
"Apakah ia menangisi Risang yang katanya agak sakit?"
bertanya pengawal itu kepada diri sendiri. Namun
kemudian ia pun berdesis, "Alangkah cengengnya."
Saruju dan Damar pun tanpa berpaling berjalan tergesa-
gesa meninggalkan regol rumah Kepala Tanah Perdikan itu.
71 SH. Mintardja Untunglah bahwa tidak banyak kawan-kawannya yang
bertemu di sepanjang jalan di padukuhan induk itu.
Demikian mereka ke luar dari padukuhan induk, maka
mereka pun telah memilih jalan simpang untuk
menghindarkan diri kemungkinan bertemu dengan kawan-
kawan mereka lebih banyak lagi disepanjang perjalanan
pulang. Bahkan kemudian keduanya pun telah sepakat untuk
mengambil jalan yang berbeda menuju ke rumah masing-
masing. Di sepanjang jalan keduanya dipenuhi oleh berbagai
macam perasaan. Mereka merasa sangat berterima kasih
kepada Kiai Badra, yang telah melindunginya sehingga
mereka berdua mendapat kesempatan untuk mengatasi
persoalan yang menerpa keluarganya.
Namun hari itu mereka masih belum dapat
menyampaikan persoalan itu kepada keluarganya. Mereka
masih harus mengumpulkan keberanian untuk
mengutarakan persoalan yang sebenarnya.
Menjelang malam kedua anak muda itu telah bertemu di
gardu. Seperti biasanya keduanya secara terpisah telah pergi
ke gardu berkumpul dengan kawan-kawannya, meskipun
mereka sedang gelisah, agar tidak menarik perhatian
apabila mereka tidak datang.
Keduanya berusaha untuk berlaku sebagaimana yang
mereka lakukan sehari-hari. Sehingga dengan demikian
tidak seorang pun di antara kawan-kawan mereka yang
tahu, apakah yang telah terjadi pada mereka.
Pada kesempatan itu, maka Damar dan Saruju sepatah
dua patah kata berbicara juga tentang pertemuan merreka
dengan Nyi Wiradana. Ketika mereka berdua duduk di
72 SH. Mintardja amben yang berada di sebelah gardu itu, Saruju sempat
berdesis, "Aku belum dapat menyampaikannya kepada
keluargaku." "Aku juga," sahut Damar.
Keduanya terdiam, ketika kawannya yang lain ikut pula


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk bersama mereka. Pembicaraan mereka pun
kemudian berkisar pada peristiwa yang baru-baru saja
menggemparkan penduduk. Seekor harimau agaknya telah
tersesat keluar dari hutan dan beberapa orang sempat
melihatnya dan mengusirnya kembali ke dalam hutan.
Namun sementara itu, di rumah Iswari telah terjadi satu
pembicaraan yang khusus. Ternyata Iswari telah mendesak
Kiai Badra untuk mengatakan tentang kedua anak muda itu.
"Kakek, bukankah mereka datang siang itu dengan
rencana untuk membunuh Risang?" bertanya Iswari.
"Aku tidak tahu pasti," jawab Kiai Badra. "Mereka hanya
datang untuk memberikan jambu air itu. Memang mereka
minta untuk dapat menyerahkan jambu air itu langsung
kepada Risang." "Tetapi kenapa kakek nampaknya melindungi mereka?"
bertanya Iswari. "Bukankah kakek juga menyadari, bahwa
aku tidak akan dengan serta merta menjatuhkan hukuman
kepada mereka?" "Aku tahu Iswari. Tetapi dihadapanku, kedua orang anak
muda itu menyatakan penyesalannya. Aku percaya bahwa
sebenarnya mereka tidak ingin melakukan perintah yang
mereka terima, membunuh Risang. Tetapi Ki Rangga
Gupita dan Warsi telah memaksa mereka dengan ancaman.
Karena itu, aku pun percaya bahwa mereka benar-benar
hampir menjadi gila," jawab Kiai Badra. Namun kemudian
katanya, "Tetapi bagiku Iswari, yang penting adalah
73 SH. Mintardja bagaimana sikap mereka selanjutnya. Kita memang tidak
akan dapat mempercayai sepenuhnya tanpa pertimbangan-
pertimbangan lain. Namun untuk sementara aku yakini
bahwa keduanya menyesal, kemudian bahkan kehilangan
pegangan dan pasrah kepada kita untuk memohon
perlindungan. Kau jangan terpancang pada satu dugaan,
bahwa orang-orang itu sudah berniat untuk membunuh
anakmu. Karena itu maka mereka adalah musuh-
musuhmu." "Aku berusaha untuk melupakan rencana itu kakek.
Tetapi alangkah sulitnya untuk membedakan seorang
Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang baik
dengan pribadiku sebagai seorang ibu," berkata Iswari.
Kiai Badra pun memaklumi perasaan Iswari sebagai
seorang ibu. Niat yang tumbuh di hati seseorang untuk
membunuh anaknya telah cukup kuat mendorongnya untuk
bertindak jauh, meskipun belum terjadi.
Namun untunglah bahwa Iswari masih mampu
mengendalikan dirinya terhadap kedua orang anak muda
itu. Dalam pada itu, maka Kiai Badra pun kemudian berkata,
"Yang justru perlu diperhitungkan kemudian adalah
bagaimana kita melindungi dua keluarga yang terancam
bahaya itu." "Kita memang harus merencanakan dengan cermat,"
berkata Iswari. "Bahkan apabila mungkin menjebak orang-
orang Ki Rangga Gupita yang sebagian besar tentu bekas
prajurit Jipang, sedangkan para pengikut Warsi agaknya
telah dihimpun kembali para pengikut Kalamerta."
74 SH. Mintardja "Kita memang memerlukan waktu untuk berbicara
dengan orang-orang tua di Tanah Perdikan ini. Khususnya
Kiai dan Nyai Soka," berkata Kiai Badra.
"Besok kita akan berbicara. Waktunya memang sudah
terlalu sempit," sahut Nyai Wiradana.
"Ya, waktunya memang tinggal beberapa hari lagi.
Menurut pendapatku, Ki Rangga Gupita tentu tidak hanya
sekadar mengancam. Tetapi ia akan benar-benar
melakukannya. Setidak-tidaknya ia akan mendapatkan
kepuasan tersendiri jika ia dapat membunuh dengan alasan
yang dianggapnya cukup kuat," berkata Kiai Badra.
"Baiklah," berkata Iswari. "Sekarang agaknya kakek dan
nenek itu sedang beristirahat. Biarlah aku tidak
mengganggunya." Iswari pun kemudian meninggalkan Kiai Badra yang
duduk seorang diri. Sejenak Iswari telah singgah ke bilik
Risang yang tidur bersama pemomongnya dan Bibi.
Ketika pintu berderit, ternyata Bibi telah terbangun.
Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat
Iswarilah yang berdiri dimuka pintu.
"Pintunya masih belum diselarak Bibi?" bertanya Iswari.
"Belum Nyai," jawab Bibi. "Aku tahu Nyi Wiradana masih
berbincang dengan Kiai Badra. Aku memang membiarkan
pintu tidak diselarak, karena Nyai Wiradana tentu masih
akan menengok Risang yang tidur nyenyak."
"Tetapi bukankah ia tidak apa-apa?" bertanya Nyi
Wiradana. "Tidak. Kenapa?" bertanya Bibi.
75 SH. Mintardja "Siang tadi, anak itu telah dinyatakan seolah-olah sedang
kurang sehat," berkata Nyi Wiradana.
"Ah. Tidak apa-apa. Bukankah hal itu dilakukan untuk
kebaikannya," jawab Bibi.
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. kemudian ia pun
telah keluar dari bilik itu dan pergi ke biliknya disebelah.
Sementara itu Bibi pun telah menyelarak pintu pula.
Dalam pada itu Nyi Wiradana memang menjadi gelisah.
Usaha untuk membunuh anaknya masih saja dilakukan oleh
orang-orang yang berniat buruk. Ia pun kemudian
menduga, bahwa akhirnya niat membunuh itu tidak lagi
dilambari dengan suatu kepentingan tertentu. Mereka yang
merasa putus asa dan gagal untuk memperoleh pengesahan
atas hak sebagai Kepala Tanah Perdikan di Sembojan, maka
tidak ada yang lebih memuaskan bagi mereka kecuali
membunuh anaknya. Kegelisahan itu benar-benar telah mencengkam
perasaannya, sehingga rasa-rasanya ia ingin mengambil
Risang dan dibawanya tidur bersamanya.
Namun Nyi Wiradana itu pun kemudian berkata kepada
diri sendiri, "Di belakang bilik itu terdapat bilik yang besar
yang sejak Risang dalam bahaya dipergunakan oleh Gandar
bahkan jika kebetulan ada di Sembojan, Sambi Wulung dan
Jati Wulung pun ada di dalam bilik itu pula sebagaimana
halnya malam ini. Sementara itu, Kiai Badra ternyata lebih
senang tidur di amben panjang disisi pintu butulan di ruang
dalam. Meskipun Kiai Badra mempunyai bilik sendiri di
gandok sebagaimana Kiai dan Nyai Soka, namun ia lebih
senang tidur di ruang dalam. Agaknya kakek itu juga
mencemaskan keadaan Risang."
76 SH. Mintardja Dengan demikian hati Iswari itu menjadi agak tenang. Di
sekitar bilik Risang terdapat orang-orang yang akan dapat
melindunginya jika bahaya itu datang di malam hari.
Bahkan di dalam bilik itu sendiri terdapat Bibi yang
memiliki kemampuan yang tinggi pula setelah ia mendapat
tuntunan dari Nyai Soka secara khusus.
Di hari berikutnya kehidupan di Tanah Perdikan itu
berjalan sebagaimana hari-hari yang lain. Tetapi berbeda
dengan kehidupan pada keluarga Damar dan Saruju.
Keduanya bersepakat bahwa pada hari itu, mereka akan
memberitahukan keadaan mereka yang sebenarnya kepada
keluarga mereka sebagaimana dipesankan oleh Kiai Badra
dan Iswari. Sehingga dengan demikian maka baik Saruju
maupun Damar berpendapat, bahwa akan ada perubahan
yang terjadi dalam kehidupan keluarga mereka.
Sebenarnyalah, sejak pulang dari gardu menjelang pagi,
Damar memang tidak langsung masuk ke ruang dalam. Ia
tidak mengetuk pintu sebagaimana biasanya jika ia pulang
dari gardu kapan pun juga. Tetapi Damar telah berbaring di
amben panjang yang terletak diserambi samping rumahnya.
Tanpa dapat memejamkan mata oleh kegelisahan Damar
menunggu hari menjadi pagi sambil menganyam kata-kata
yang akan diucapkan kepada keluarganya tentang dirinya
serta ancaman Ki Rangga Gupita dan Nyi Wiradana yang
muda atas keluarganya. Saruju pun menjadi gelisah. Tetapi Saruju tidak tidur
diserambi. Ia telah mengetuk pintu dan masuk ke dalam
biliknya yang kemudian ditutupnya dan diselaraknya dari
dalam. Kegelisahan di hati Saruju tidak kurang dari kegelisahan
yang ditanggungkan oleh Damar. Bahkan Saruju
77 SH. Mintardja membayangkan, apakah keluarganya justru tidak akan
selalu berada dalam ketakutan.
"Tetapi Nyi Wiradana dan Kiai Badra telah sanggup
memberikan perlindungan," berkata Saruju di dalam
hatinya. Tetapi ia pun kemudian masih mempertanyakan,
sejauh mana perlindungan itu akan dapat diberikan.
Ketika ayam jantan berkokok didini hari, seperti
biasanya, orang tua Damar telah bangun untuk menyapu
halaman, sementara Damar biasanya mengambil air untuk
mengisi jambangan dan genthong di dapur serta padasan di
dekat pintu butulan. Tetapi pagi itu, mereka terkejut ketika mereka
menemukan Damar tertidur di serambi. Dengan nada
rendah ayahnya bertanya, "Apakah semalam kita tidak
mendengar Damar mengetuk pintu sehingga ia tidur
diserambi?" "Entahlah," sahut ibunya. "Biasanya kita mendengarnya
ia mengetuk pintu." Tetapi keduanya tidak membangunkan Damar yang
nampak tidur dengan nyenyaknya, karena sebenarnyalah
Damar baru saja sempat memejamkan matanya dalam
kegelisahan. Namun Damar tidak lama tidur di serambi itu. Beberapa
saat kemudian ia pun segera terbangun. Bahkan ia tergagap
ketika ternyata ia bangun terlalu siang.
Ayahnya yang melihat Damar tergesa-gesa bangkit ia pun
tersenyum. Bahkan ia bertanya, "Apakah kau semalam
mengetuk pintu dan kami tidak mendengarnya?"
Damar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawabnya, "Tidak ayah. Aku memang tidak mengetuk pintu.
78 SH. Mintardja Aku kembali dari gardu sudah hampir pagi. Maksudku aku
tinggal menunggu sebentar, ayah tentu sudah akan segera
terbangun dan membuka pintu. Namun agaknya aku
tertidur diserambi."
"Jika kau masih merasa mengantuk, pindah sajalah ke
dalam. Kebilikmu sendiri," berkata ayahnya.
"Tidak ayah," berkata Damar. "Agaknya aku sudah
tertidur cukup lama, sehingga rasa-rasanya memang sudah
tidak mengantuk lagi."
Ayahnya tersenyum. Ia melihat Damar sambil mengusap
matanya pergi ke pakiwan, mencuci muka dan kemudian
seperti biasanya ia pun telah pergi ke sumur. Sejenak
kemudian terdengar derit senggot ketika Damar mulai
mengambil air untuk mengisi jambangan di pakiwan dan
kemudian di dapur dan padasan.
Demikianlah maka setiap saat di hari itu membuat
Damar dan Saruju rasa-rasanya semakin gelisah. Mereka
menyusun keberanian untuk mengatakan kepada
keluarganya dan mereka pun sedang mereka-reka dari arah
mana mereka akan mulai. Namun akhirnya mereka pun berketetapan hati, mau
tidak mau mereka harus berbicara untuk kebaikan keluarga
mereka sendiri. Sementara itu, hari itu juga Iswari telah berbicara dengan
orang-orang tua di rumahnya. Kiai Badra, Kiai dan Nyai
Soka dan bahkan Bibi, Gandar, Sambi Wulung dan Jati
Wulung yang ada di rumah itu, telah terkumpul untuk
membicarakan persoalan yang dihadapi oleh Damar dan
Saruju. "Aku sependapat bahwa orang-orang itu harus dijebak,"
berkata Gandar. 79 SH. Mintardja "Aku sependapat," sahut Iswari. "Tetapi cara yang mana
yang akan kita tempuh?"
Gandar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Salah seorang di antara kita tinggal bersama
keluarga itu." Iswari termangu-mangu sejenak. Sementara itu Gandar
meneruskan, "Sudah tentu bukan orang-orang tua. Kita
yang lebih muda ini akan dapat melakukannya."
"Bagus," tiba-tiba Sambi Wulung menyahut. "Biarlah aku
dan Jati Wulung melakukannya. Kami masing-masing akan
tinggal seorang disetiap keluarga. Dengan demikian di
dalam keluarga itu setidak-tidaknya ada dua orang yang
akan mampu bertahan jika benar ada usaha untuk
melakukan pembunuhan. Salah seorang dari kami berdua
dan Damar serta Saruju sendiri."
Iswari mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Tetapi dengan demikian maka seluruh keluarga itu tidak
akan pernah keluar dari rumah mereka. Mereka tidak ada
yang dapat pergi ke pasar atau kemanapun juga. Karena jika
salah seorang dari kalian mengantar ke pasar, maka yang di
rumah akan terancam bahaya. Dan sebaliknya."
"Tetapi kita dapat menggerakkan bukan hanya kedua
orang itu saja," berkata Kiai Badra. "Kita dapat
menggerakkan para pengawal. Namun kita harus menjaga
agar Damar dan Saruju tidak tercemar di mata mereka."
"Untuk kita tidak akan terlalu sulit," jawab Iswari.
"Seperti yang pernah kakek katakan, kita dapat mengatakan
kepada para pengawal, bahwa Damar dan Saruju telah
diancam oleh Ki Rangga dan Warsi, karena keduanya telah
dianggap berkhianat tanpa menyebut tugas yang
dibebankan kepada mereka."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

80 SH. Mintardja "Jika demikian, maka tidak ada salahnya jika kita
mempergunakan juga para pengawal," berkata Kiai Soka.
"Selain mengawasi rumah kedua orang anak muda itu, juga
mengawasi seluruh Tanah Perdikan. Kita juga dapat
mempergunakan para pengawal bergantian untuk
melindungi keluarga kedua anak muda itu jika mereka ke
luar dari halaman rumah mereka."
"Aku sependapat Kiai," berkata Iswari. "Tetapi
pelaksanaannya tidak begitu mudah, agar yang dilakukan
itu tidak diketahui oleh orang-orang yang ingin kita jebak."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 29. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
81 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh sembilan
Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema 82 SH. Mintardja 83 SH. Mintardja "KITA akan menyerahkannya kepada Gandar, Sambi
Wulung dan Jati Wulung serta para pemimpin pengawal.
Namun pengertian kita tentang keadaan yang sebenarnya
dari Damar dan Saruju hanya terbatas di antara kita saja,"
berkata Kiai Badra. Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat.
Segalanya yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana
itu kita serahkan kepada mereka. Namun kalian harus
berhati-hati jika yang memasuki Tanah Perdikan itu adalah
Ki Rangga dan Warsi itu sendiri. Apalagi jika Randukeling
ikut campur pula. Dalam rencana kalian harus
diperhitungkan pula unsur isyarat jika kalian menemui
kesulitan." Dengan demikian, maka Gandar, Sambi Wulung dan Jati
Wulung telah mendapat tugas untuk mengatur
perlindungan terhadap keluarga Damar dan Saruju. Untuk
tugas itu mereka mendapat wewenang berhubungan dengan
para pengawal. Namun mereka tidak akan mengatakan
keadaan Damar dan Saruju yang sebenarnya.
Dalam waktu dekat, maka Gandar, Sambi Wulung dan
Jati Wulung telah menemui pemimpin pengawal untuk
menyampaikan persoalan Damar dan Saruju.
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa hanya
Damar dan Saruju" Bukankah banyak di antara anak-anak
muda yang pernah terlibat dalam gerombolan yang
dipimpin oleh para bekas Senapati Jipang dan Nyi
Wiradana muda itu yang menyerah?"
Gandar tertegun sejenak. Namun kemudian jawabannya,
"Aku kurang tahu. Tetapi ancaman itu terasa pada
84 SH. Mintardja keduanya, karena mereka telah mendapat keterangan dari
bekas kawan mereka untuk berhati-hati. Agaknya Damar
dan Saruju sebelumnya dianggap orang-orang yang
dibutuhkan dalam lingkungan mereka. Sementara itu
keduanya termasuk orang-orang terakhir yang menyerah."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Tetapi ia
masih juga bertanya, "Tetapi kenapa termasuk keluarga
mereka?" "Itulah yang kami tidak tahu," jawab Gandar. "Tetapi
ancaman itu benar-benar telah didengar oleh keduanya.
Untunglah masih ada kawannya yang sempat
menyampaikan ancaman itu."
"Hal itu pantas untuk diselidiki lebih jauh," desis
pemimpin pengawal itu. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Pemimpin pengawal
itu memang tidak terlalu dungu untuk percaya begitu saja
terhadap keterangan Gandar. Karena itu maka Gandar pun
bertanya, "Apa yang harus diselidiki?"
"Mungkin kedua orang itu telah dibebani tugas apapun
juga. Tetapi keduanya tidak sanggup melakukannya,
sehingga karena itu mereka justru telah diancam, bahkan
keluarganya," berkata pemimpin pengawal itu.
Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin juga
dapat terjadi demikian. Tetapi bahwa Damar dan Saruju
mohon perlindungan itu adalah pertanda bahwa mereka
mempercayakan diri mereka kepada kita."
Tetapi pemimpin pengawal itu masih juga berkata,
"Gandar. Kau tahu bahwa sasaran dari Nyi Wiradana yang
muda itu saat ini adalah Risang. Siapa tahu bahwa kedua
orang itu sebenarnya telah dibebani untuk membunuh anak
itu. Tetapi mereka tidak sanggup melakukannya karena
85 SH. Mintardja banyak hal. Mungkin tidak sampai hati. Tetapi mungkin
mereka memang tidak melihat kesempatan itu. Karena itu,
maka kau yang berada di rumah Risang, seharusnya
berhati-hati menghadapi persoalan ini."
Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya
kami pun telah sampai pada dugaan seperti itu. Tetapi
selama ini kita belum pernah melihat keduanya melakukan
sesuatu yang merugikan apalagi mencurigakan. Mereka juga
belum pernah menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan
hal itu. Bahkan mereka telah datang dan pasrah diri untuk
mendapatkan perlindungan keselamatan. Sebenarnya
mereka. berdua tidak merasa cemas tentang diri mereka
sendiri. Bagaimanapun juga mereka memiliki kemampuan
untuk menjaga diri mereka sendiri. Namun yang mereka
cemaskan justru keluarga mereka. Karena ancaman itu
berlaku pula atas keluarga mereka."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Tetapi
masih terpancar di tatapan matanya keragu-raguan, bahkan
kecurigaan. Gandar, Sambi Wulung dan Jabi Wulung tidak dapat
menyalahkan pemimpin pengawal itu. Mereka harus
mendapat bahan untuk meyakinkannya, sehingga
kecurigaan pemimpin pengawal itu tidak merambat
kesemua pengawal di Tanah Perdikan Sembojan.
Untuk itu, maka Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung
telah berusaha untuk memanggil Damar dan Saruju untuk
mencari alasan yang lebih mantap dan sesuai sehingga
mereka tidak memberikan keterangan yang saling
bertentangan. Damar dan Saruju mengangguk-angguk katika mereka
mendengar keterangan Gandar tentang sikap pemimpin
pengawal. Keduanya pun mengerti bahwa sikap itu adalah
86 SH. Mintardja sikap yang wajar sebagaimana sikap seorang pagawal yang
baik. "Apa yang dapat aku katakan tentang kalian?" desis
Gandar. Kedua orang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja
Suruju berdesis kepada Damar, "Damar. Bukankah kita
mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai alasan
untuk memburu kita?"
"Apa?" bertanya Damar, .
"Kita sudah melarikan sejumlah harta benda milik Ki
Rangga Gupita" berkata Saruju.
Damar menarik nafas dalamdalam. Sambil mengangguk-
angguk ia berkata, "Ya. Yang ada itu akan dapat menjadi
alasan bagi Ki Rangga untuk memburu kita."
Gandar pun mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kalian
membawa sesuatu yang berharga dari sarang Ki Rangga
itu." "Yang diberikan itu sebenarnya adalah bekal bagi kami
selama kami bertugas. Bekal yang cukup banyak menurut
ukuran kami" jawab Saruju.
Gandar mengangguk-angguk, Katanya, "Kami akan
melaporkan kepada Nyi Wiradana. Kami kemudian akan
mengambilnya, dan menjadikan sebagai bahan alasan,
kenapa kalian diburu oleh Ki Rangga, tidak seperti kawan-
kawan kalian yang telah menyerah sebelumnya."
Iswari yang kemudian mendengar tentang sikap
pemimpin pengawal serta bekal yang tersimpan itu pun
menyetujui pendapat Gandar.
87 SH. Mintardja Karenaa itu, maka Gandar pun telah menjadikan hal itu
sebagai alasan yang kuat, kenapa Ki Rangga dan Warsi
mengancam kedua anak muda itu bahkan keluarganya.
Bersama pemimpin pengawal Gandar diantar oleh
Damar dan Saruju pergi ketempat yang tersembunyi itu
diikuti oleh Kiai Badra, Bagaimanapun juga mereka, masih
harus selalu memperhitungkan kemungkinan hadirnya Ki
Randukeling. Orang-orang Sembojan masih belum
mengetahui, bahwa Ki Randukeling telah baberapa lama
tidak berhubungan dengan Ki Rangga dan Nyi Wiradana.
Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan buruk
maka mereka telah pergi di malam hari.
Ternyata Damar dan Saruju tidak borbohong. Pemimpin
pengawal itu melihat sendiri, bahwa Damar dan Saruju
memang menyembunyikan barang dan uang yang mereka
ambil dari sarang Ki Rangga Gupita dan Nyi Wiradana.
Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu tidak
mencurigai Damar dan Saruju sebagai orang yang
mendapat perintah untuk melakukan sesuatu tetapi gagal.
"Bagi Ki Rangga, kau telah berkhiarat dua kali" desis
pemimpin pengawal itu.. Damar dan Saruju hanya mengangguk saja. Mereka tidak
dapat membantah, karena anggapan itu bagi mereka adalah
yang paling baik. Keduanya lebih senang dituduh
berkhianat terhadap Ki Rang,a dan Nyi Wiradana daripada
tuduhan-tuduhan yang lain yang lebih mempersulit
kedudukan mereka. DI malam itu juga, maka semua yang telah
disembunyikan oleh Damar dan Saruju itu telah dibawa ke
Sembojan. Saruju dan Damar sepakat menyerahkan
88 SH. Mintardja semuanya itu bagi kepentingan para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan. "Tidak ada hubungannya
sama sekali dengan permohonanku untuk mendapat perlindungan,"
berkata Saruju yang cemas
jika disangka telah menyerahkan semuanya itu sebagai upah perlindungan
terhadap dirinya. Namun Nyi Wiradana yang menyaksikan penyerahan yang dilakukan
di rumahnya itu pun berkata,
"Kami mengerti. Dan semuanya itu akan dipergunakan sebaik- baiknya oleh para pengawal untuk melengkapi dirinya.
Mungkin untuk memperbanyak jumlah kentongan di gardu-
gardu, mungkin untuk membuat gardu-gardu baru atau hal-
hal lain yang berarti."
"Uang dan barang-barang itu tidak seberapa banyak,"
berkata Damar. "Berapapun jumlahnya, yang penting bahwa kalian telah
dengan ikhlas menyerahkannya," berkata Iswari.
Damar dan Saruju itu pun mengangguk-angguk.
Nampaknya dengan demikian dikalangan para pengawal
dan anak-anak muda tidak timbul persoalan tentang tugas
mereka yang sebenarnya. 89 SH. Mintardja Untuk beberapa hari, di gardu-gardu, di sudut-sudut
padukuhan, di banjar dan ditempat-tempat anak-anak
muda berkumpul, persoalan Damar dan Saruju itu menjadi
bahan pembicaraan. Namun kemudian perlahan-lahan
mereka pun telah melupakannya. Yang kemudian justru
menjadi persoalan mereka adalah bagaimana melindungi


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga Saruju dan Damar itu dari ancaman orang-orang
yang telah tersisih dari pergaulan itu.
Hanya Iswari sajalah yang tidak pernah melupakan tugas
sebenarnya Damar dan Saruju. Bagaimanapun juga ia masih
berpesan secara khusus kepada Bibi dan Gandar, agar
mereka mengawasi anaknya baik-baik. "Bukan maksudku tidak
mengakui menyesalan Damar dan Saruju. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa,
mungkin mereka masih harus memikirkan kemungkinan itu lagi,"
berkata Iswari kepada Bibi.,
"Atau karena keduanya telah
gagal, maka mereka telah mengirimkan orang lain untuk melakukannya."
Bibi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah berpesan kepada pemomongnya. Jika
tidak ada orang lain, maka sebaiknya Risang dibawa masuk
saja ke ruang dalam. Hanya jika ada aku, Gandar atau Nyi
Wiradana sendiri, Risang boleh bermain di halaman."
Nyi Wiradana mengangguk kecil. Katanya,
"Sebenarnyalah ia memang perlu bermain di halaman. Ia
90 SH. Mintardja memerlukan kawan yang dapat bermain bersama. Anak itu
tidak dapat dikungkung untuk hidup sendiri tanpa orang
lain. Sejak kanak-kanak seharusnya ia sudah belajar hidup
dalam satu lingkungan sesamanya."
"Tetapi Risang berada dalam keadaan yang khusus,"
desis Bibi. Wajah Iswari memang menjadi murung. Namun Bibi pun
kemudian berkata, "Kitalah yang harus mengusahakan agar
Risang dapat bermain dengan kawan-kawannya tanpa
kecemasan. Pengawal di sekitar halaman rumah ini
sebaiknya diperketat tanpa menarik perhatian. Menurut
pendengaranku, kematian Ki Gede Sembojan yang dahulu
juga karena serangan jarak jauh, apalagi penyerangnya
tidak dapat diketemukan, meskipun akhirnya dapat
diketahui, siapakah yang melakukannya."
Iswari mengangguk-angguk. Risang baginya merupakan
persoalan khusus yang selalu membebani hatinya.
Meskipun di halaman itu ada Bibi, Gandar dan bahkan ada
dirinya sendiri, namun agaknya orang yang berniat jahat itu
akan mencari seribu jalan agar niatnya dapat terlaksana.
Tetapi Iswari pun menyadari, bahwa ia adalah Pemangku
Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Ia tidak boleh
tenggelam dalam persoalan dirinya sendiri saja. Tetapi ia
wajib memikirkan seluruh Tanah Perdikan Sembojan.
Hitam putihnya Tanah Perdikan itu sebagian tergantung
dari padanya. Dan yang harus dipikirkannya antara lain adalah
permohonan perlindungan dari Damar dan Saruju.
Dalam pada itu, meskipun Tanah Perdikan Sembojan
telah menyatakan kesediaan untuk memberikan
perlindungan, namun Damar dan Saruju masih saja tetap
91 SH. Mintardja gelisah. Keduanya tidak lagi menyembunyikan senjata di
rumah. Tetapi di dinding sebelah pembaringan, tergantung
pedang. Dibawah tikarnya terdapat pisau belati panjang.
Meskipun demikian, Damar dan Saruju masih merasa
segan untuk membawa senjata jika ia keluar rumah. Karena
itu, maka mereka telah membawa senjata pendek yang
dapat disembunyikan dibawah kain panjangnya.
Namun agar tidak menimbulkan salah paham di antara
kawan-kawannya, Damar dan Saruju telah melaporkan
kepada pemimpin pengawal Tanah Perdikan dan pemimpin
pengawal di padukuhannya, bahwa ia memang membawa
senjata. "Aku merasa terancam," berkata Saruju., "Bukan hanya
sekadar khayalanku. Tetapi ancaman itu benar-benar
pernah aku dengar. Untunglah masih ada kawanku yang
memberitahukan rencana penyingkiran itu."
Para pemimpin pengawal itu tidak merasa berkeberatan.
Apalagi mereka memang sudah tahu, bahwa Damar dan
Saruju memang harus mendapat perlindungan.
Ketika kemudian saat-saat yang ditakutkan itu datang,
maka sekali lagi Damar dan Saruju menemui Gandar dan
mengatakan apa yang sebenarnya dapat terjadi atas mereka.
"Baiklah," berkata Gandar., "Kami akan mengatur sebaik-
baiknya. Tetapi keluargamu juga harus membantu kami,
apalagi bagi kepentingan keselamatan mereka sendiri."
Sebenarnyalah, dengan memaksa diri Damar dan Saruju
memang telah menyampaikan kepada keluarga mereka,
ancaman dari bekas perwira dalam tugas sandi di Jipang
dan Nyi Wiradana yang muda. Meskipun kepada
keluarganya Damar dan Saruju juga tidak mengatakan apa
yang sebenarnya, namun dengan demikian, maka keluarga
92 SH. Mintardja Damar dan Saruju telah menyadari, betapa bahaya
mengancam hidup mereka. Namun ternyata bahwa ayah Damar dan Saruju
bukannya penakut. Dalam keadaan terjepit, maka mereka
pun telah mempersiapkan senjata disisi pembaringan
mereka. Ayah Damar telah menggantungkan tombaknya disisi
amben tempat tidurnya, sementara ayah Saruju meletakkan
ploncon tombaknya dekat disebelah pemberingannya pula.
Tetapi ibunya dan adik-adiknya yang selalu dibayangi
oleh kecemasan dan ketakutan. Adik-adik Damar tidak lagi
berani pergi ke pasar. Demikian juga adik-adik Saruju tidak
mau keluar lagi dari regol halaman rumahnya. Apalagi ibu
mereka melarangnya, agar mereka tidak mengalami
bencana disepanjang jalan.
Bahkan ibu Damar dan Saruju pun sebenarnya telah
melarang kedua anak muda itu untuk keluar. Namun
keduanya tidak merasa perlu untuk bersembunyi di dalam
rumah saja. "Kawan-kawanku sudah tahu akan ancaman ini," berkata
Damar kepada ibunya. "Mereka telah bersedia melindungi
aku jika ancaman itu benar-benar akan dilakukan."
"Tetapi kau tidak selalu bersama dengan kawan-
kawanmu," berkata ibunya. "Di jalan-jalan dan di lorong-
lorong kau sering berjalan sendiri. Jika pada saat itu, kau
diterkam dari belakang?"
"Aku akan berhati-hati ibu," berkata Damar, karena
sebenarnyalah bahwa yang dicemaskan Damar adalah
justru ibunya serta adik-adiknya.
93 SH. Mintardja Namun yang mengejutkan memang telah terjadi. Ketika
Saruju pada satu hari berdiri di regol rumahnya, maka
jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Dilihatnya
seseorang yang memang sudah dikenalnya. Orang itu
adalah orang yang pernah mendapat tugas untuk
menghubunginya dan memberikan batasan waktu disertai
dengan ancaman-ancamannya.
Sejenak Saruju tertegun. Namun yang berdiri diseberang
jalan di depan regol rumahnya itu hanya seorang. Karena
itu maka hatinya menjadi sedikit tenang. Jika terjadi
kekerasan, maka ia tidak akan gentar melawan orang itu
seandainya tidak ada orang lain yang melihatnya.
Namun ketika Saruju memadang disekitarnya, orang itu
berkata, "Aku sendiri Saruju."
Saruju menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian
melangkah menyeberang jalan dan mendekati orang itu.
"Untuk apa kau datang lagi kepadaku?" bertanya Saruju.
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Kau aneh Saruju. Seharusnya kau tahu, untuk apa aku
datang?" Saruju termangu-mangu sejenak. Dipandangi orang itu
dengan tajamnya. Lalu katanya, "Kau akan
memberitahukan kepadaku, bahwa waktu yang diberikan
kepadaku telah habis."
"Tidak," jawab orang itu. "Bukan begitu. Waktu yang
diberikan kepadamu tidak terbatas. Kapan saja kau
melakukannya bukan menjadi soal bagi Ki Rangga dan Nyi
Wiradana." 94 SH. Mintardja Saruju mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Jadi apa yang kau katakan beberapa waktu yang
lalu itu tidak benar?"
"Bukan tidak benar,. Yang tidak benar adalah waktu yang
diberikan kepadamu telah habis," jawab orang itu.
"Aku tidak mengerti," desis Saruju.
Orang itu tersenyum. Tetapi bagi Saruju, senyumnya
seperti senyum iblis yang melihat tanah merah dikuburan.
Dengan nada datar orang itu berkata, "Saruju. Kau masih
mempunyai kesempatan. Sekarang, besok, bulan ini atau
bulan berikutnya. Namun yang penting kau ingat adalah,
bahwa setiap bulan Ki Rangga dan Nyi Wiradana akan
mengambil keluarga Damar seorang. Mungkin bulan ini
keluargamu, sedangkan bulan berikutnya keluarga Damar.
Pembunuhan ini akan berhenti jika kau sudah berhasil
dengan tugasmu. Tetapi jika sampai orang terakhir kau dan
Damar tidak berhasil membunuh Risang, maka kau dan
Damar adalah orang yang terakhir yang akan dibunuh oleh
Ki Rangga dan Nyi Wiradana."
"Setan," geram Saruju. Hampir ia menerkam orang itu.
Tetapi ia masih sempat menahan diri.
"Nah, pikirkan Saruju," berkata orang itu. "Bulan ini kau
sudah memasuki bulan pertama dari ancaman hukuman itu.
Jika bulan ini kau tidak berhasil membunuh Risang, maka
Ki Rangga akan benar-benar membunuh. Bukan sekadar
mengancam. Bahkan Ki Rangga sudah berpesan, siapakah
di antara keluargamu dan keluarga Damar yang pertama
akan dikorbankan. Mungkin kakek Damar, atau barangkali
adikmu atau siapapun yang paling tidak berarti di dalam
keluargamu dan keluarga Damar. Baru di bulan berikutnya
mungkin harus kau korbankan orang yang lebih dekat
95 SH. Mintardja denganmu atau Damar. Demikian berturut-turut setiap
bulan sampai saatnya kau berhasil membunuh anak itu."
Saruju menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia
menantang orang itu. Bahkan karena ia sudah berpijak pada satu alas yang
jelas ia tidak merasa takut
lagi seandainya saat itu ia
harus bertempur melawan orang itu dan bahkan membunuhnya sekaligus. Tetapi Saruju tidak melakukannya. Jika demikian maka ia akan membuka pertentangan yang luas. Ki Rangga tidak
akan lagi menghitung hari dan bulan, serta satu-satu
keluarganya. Tetapi mereka tentu berusaha membunuh
sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya, sehingga dengan demikian maka perlindungan
yang harus diberikan oleh Tanah Perdikan Sembojan akan
menjadi sangat berat. Bahkan justru akan berakibat
sebaliknya. Usaha untuk menjebak mereka akan menjadi
sulit, karena mereka akan menyadari apa yang sebenarnya
mereka hadapi. Karena itu, betapapun jantung Saruju bergejolak, namun
ia pun kemudian berkata, "Kembalilah kepada Ki Rangga.
Katakan, bahwa dalam waktu dekat, aku akan
menyelesaikan tugas ini. Tetapi katakan, bahwa seandainya
Ki Rangga atau Nyi Wiradana sendiri pun tidak akan
mampu melakukannya."
96 SH. Mintardja Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah
ia berkata, "Jangan berkata begitu. Jika hal itu benar-benar
aku katakan kepada Ki Rangga, maka akibatnya akan sangat
rumit bagimu." Tetapi Saruju justru menjawab, "Aku ingin kau benar-
benar mengatakannya agar mereka memikirkannya, yang
kami lakukan bukan sekadar bermain-main."
Orang yang datang itu termangu-mangu sejenak. Namun
ketika ia sempat menatap mata Saruju, agaknya anak muda
itu berkata dengan sungguh-sungguh. Bahkan orang itu
seakan-akan melihat gejolak perasaan yang dahsyat di
dalam dada Saruju. Sementara itu, selagi orang itu mencoba menilai sikap
Saruju, maka seseorang telah lewat di jalan itu. Seolah-olah
tanpa mengacuhkannya, orang itu menyapa Saruju sambil
berjalan terus, "kau tidak ke pasar Saruju?"
Saruju memandang orang itu sejenak. Namun ia pun
kemudian menjawab, "Nanti aku menyusul, Gandar."
Orang yang lewat itu memang Gandar. Tetapi ia tidak
berhenti. Ia hanya sedikit berpaling. Namun ia melangkah
terus semakin lama semakin jauh. Tetapi disebuah simpang
tiga, Gandar itu telah hilang dikelokan.
"Siapa orang itu?" orang yang menemui Saruju itu
bertanya. "Orang diujung padukuhan," jawab Saruju pendek.
Orang itu tidak bertanya lebih jauh. Namun kemudian
katanya, "Baiklah Saruju. Aku tidak merasa perlu untuk
secara khusus menemui Damar. Kau sajalah yang berkata


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadanya bahwa aku telah datang. Kau bicarakan dengan
Damar, siapakah orang pertama yang akan kalian
97 SH. Mintardja korbankan. Barangkali dapat kau pilih orang yang paling
tidak berarti dalam hidup kalian."
Darah Saruju memang terasa mendidih di dalam
jantungnya. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu selain
menjawab, "Aku akan berbicara dengan Damar."
Orang itu pun kemudian minta diri sambil mengangguk
kecil ia berkata, "Jangan salahkan aku Saruju. Aku hanya
sekadar menjalankan perintah. Juga seandainya kelak aku
harus datang dan mengambil seorang di antara keluargamu
atau Damar. Itu pun bukan salahku."
"Pergilah," berkata Saruju. "Dalam waktu dekat kau akan
melihat, anak yang bernama Risang itu dibawa ke kuburan."
Orang itu tidak menjawab lagi. Tetapi bibirnya nampak
tersenyum. Senyum yang tajamnya melampaui tajamnya
pisau pencukur. Beberapa saat kemudian, maka orang itu pun telah
meninggalkan Saruju sendiri termangu-mangu. Orang itu
telah berjalan menyusuri jalan padukuhan.
Saruju berdiri tegak ditempatnya sampai orang itu
hilang. Sambil menggeretakkan giginya, ia kemudian
melangkah keregol halaman rumahnya diseberang jalan.
Namun langkahnya tertegun. Ia melihat lagi Gandar
berjalan dari arah yang sama seperti saat ia lewat ketika
orang yang diperintah Nyi Wiradana itu masih berada
disitu. "Darimana kau?" bertanya Saruju.
"Aku hanya berputar saja melingkar lewat jalan sempit di
belakang rumah ini," sahut Gandar, yang tersenyum kecil.
Tetapi senyumnya berbeda sekali dengan senyum orang
yang datang atas perintah Ki Rangga dan Warsi itu. Lalu
98 SH. Mintardja katanya selanjutnya. "Aku memang mempunyai dugaan
buruk terhadap orang itu. Maaf jika dugaan itu salah."
Saruju mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar."
"Jadi orang itu adalah orang Ki Rangga Gupita?"
bertanya Gandar pula. "Ya. Ia datang untuk menyampaikan ancaman itu sekali
lagi. Batas waktu telah habis. Jika bulan ini aku gagal
melakukan tugasku, maka salah seorang keluargaku atau
keluarga Damar akan diambilnya," berkata Saruju.
"Aku sebenarnya memang menunggu kau memberikan
isyarat," berkata Gandar. Lalu ia pun bertanya, "Bagaimana
jika orang itu kita tangkap saja?"
"Jika orang itu kita tangkap, maka Ki Rangga akan
menyadari bahwa aku benar-benar telah berkhianat.
Dengan demikian maka mereka akan berbuat sangat hati-
hati," jawab Saruju.
Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Kita hanya
menunda untuk sebulan. Jika orang yang pertama mereka
tugaskan untuk membunuh keluargamu gagal atau bahkan
hilang di Tanah Perdikan ini, maka Ki Rangga pun akan
melakukan sikap serupa sebagaimana jika orang itu kita
tangkap. Namun kita dapat menunda sebulan ini tanpa
mengguncang ketenangan Tanah Perdikan."
Saruju mengangguk-angguk. Namun Gandar pulalah
yang berkata, "Tetapi baiklah. Dalam sebulan banyak hal
dapat terjadi." Saruju mengangguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya,
"Darimana kau tahu bahwa ada orang yang menemuiku?"
"Kebetulan saja aku bertemu dengan orang yang pantas
dicurigai. Dari jarak yang agak jauh aku mengikutinya dan
99 SH. Mintardja melihat orang itu berhenti di seberang jalan di depan regol
halaman rumahmu ini."
Saruju menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima
kasih. Dalam bulan ini agaknya ancaman itu akan benar-
benar dilakukan." "Kita akan mengatur diri. Kalian pun harus berusaha
mengatur setiap kegiatan keluargamu. Demikian pula
Damar," berkata Gandar.
"Baik. Aku akan melakukannya," jawab Saruju. Namun ia
pun kemudian berkata, "Marilah. Silakan singgah barang
sejenak." Tetapi Gandar menggeleng. Katanya, "Besok sajalah. Aku
masih akan pergi ke sawah."
Saruju mengangguk-angguk pula. "Baiklah. Aku pun
akan pergi ke rumah Damar. Ia harus mengetahui pula,
bahwa ancaman itu telah datang lagi."
Demikianlah, maka Gandar telah meninggalkan rumah
Saruju. Sementara itu Saruju pun minta diri kepada orang
tuanya untuk pergi ke rumah Damar.
"Hati-hatilah," desis ayahnya yang sudah tahu apa yang
sebenarnya sedang membayangi anaknya.
Ibunyalah yang menjadi sangat cemas. Bukan saja
terhadap Saruju tetapi juga keluarganya. Jika Saruju tidak
ada, maka orang-orang yang berniat buruk akan dapat
datang dan melakukan niatnya dengan leluasa.
"Jangan takut," berkata ayah Saruju. "Jika Saruju tidak
ada di rumah, aku tidak akan pergi."
"Tetapi kakang sudah terlalu tua untuk menghadapi
kekerasan," berkata ibu Saruju.
100 SH. Mintardja "Bukankah sudah ada kentongan di dalam rumah kita,"
berkata ayah Saruju. "Kenthongan yang akan dapat
memanggil para pengawal yang memang sudah bersedia
melindungi kita." Namun bagaimanapun juga kecemasan memang tengah
mencengkam keluarga Saruju dan Damar. Bahkan ibu
Saruju itu pernah berkata, "Bagaimana jika kita mengungsi
saja dari Tanah Perdikan ini. Kita mempunyai keluarga
yang tinggal di tempat lain."
Tetapi ayah Saruju menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada gunanya. Mereka akan memburu kita sampai kemanapun juga. Justru disini Nyi Wiradana, Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan telah menyatakan kesediaannya untuk melindungi kita." Ibu Saruju itu menundukkan kepalanya. Tetapi kecemasan yang mencengkam jantungnya terasa semakin menghimpit.
Apalagi jika dilihatnya anak-anaknya yang lebih kecil
menjadi ketakutan pula. Namun ayahnyalah yang selalu menghibur, "Jangan
takut. Kita berada di antara orang-orang yang baik terhadap
kita. Kita tidak dapat menghindari hal ini sebagai akibat
kesalahan Ki Wiradana yang telah membiarkan anak-anak
mudanya terseret ke dalam arus pemberontakan Jipang.
101 SH. Mintardja Apa yang terjadi pada Saruju adalah akibat dari kesalahan
Ki Wiradana itu yang mulai dengan kehadiran Warsi."
Istrinya mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun
juga ancaman itu tidak akan pernah dapat diabaikan.
Dalam pada itu, Gandar telah melihat sendiri, bahwa
Saruju memang dibayangi oleh orang-orang yang
ditugaskan oleh Ki Rangga telah membicarakannya pula
dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung. Namun dengan
hati-hati Gandar selalu menghindari kesan, bahwa Saruju
dan Damar memang menyandang tugas untuk membunuh
Risang. Itulah sebabnya maka hanya kepada Sambi Wulung dan
Jati Wulung sajalah Gandar menceritakan kehadiran orang
yang memberikan ancaman kepada Saruju itu.
"Kami masing-masing akan berada di rumah kedua anak
muda itu," berkata Sambi Wulung.
"Mungkin ini satu cara yang dapat ditempuh," sahut
Gandar. "Dengan demikian maka kita sudah dapat
memberikan sedikit ketenangan kepada keluarga yang
ketakutan itu. Sementara itu para pengawal pun akan selalu
memperhatikan setiap isyarat yang dibunyikan."
Atas persetujuan Iswari, maka Sambi Wulung kemudian
telah berada di rumah Saruju, sedang Jati Wulung berada di
rumah Damar. Mereka sebagai dua orang perantau dan
pengembara dengan cepat dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan keluarga itu. Bahkan Sambi Wulung yang berada di
rumah Saruju seakan-akan telah berada di lingkungan
keluarga sendiri. Ia bekerja sebagaimana Saruju bekerja.
Pagi-pagi ia sudah menimba air, membersihkan kandang
dan menjemur kayu bakar. 102 SH. Mintardja "Jika semua itu kau lakukan, lalu apa yang harus aku
lakukan?" bertanya Saruju.
Sambi Wulung tertawa. Katanya, "Masih banyak yang
harus kau lakukan. Aku hanya mengisi jambangan di
pakiwan. Kau harus mengisi genthong di dapur. Jika aku
membersihkan kandang, kaulah yang menyingkirkan
kotorannya. Dan masih banyak kerjamu sehingga sampai
saat ini kaupun masih nampak sibuk."
"Aku harus membuat kesibukan-kesibukan baru,"
berkata Saruju. "Kau dapat bantu ayahmu. Kaulah yang pergi ke sawah,
karena hidupmu tidak terancam, setidak-tidaknya untuk
beberapa waktu ini. Biarlah ayahmu di rumah, karena
ayahmu termasuk salah seorang di antara yang terancam
jiwanya," berkata Sambi Wulung.
Saruju mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan
Sambi Wulung. Lebih baik ia sendiri yang melakukan kerja
ayahnya di sawah, karena baginya, ancaman itu baru akan
datang kemudian. Sebenarnya ayah Saruju merasa keberatan. Ia sudah
terbiasa bekerja keras. "Jika aku harus tinggal di rumah saja, aku akan merasa
seperti seorang tahanan. Atau barangkali tanpa kerja yang
berarti aku akan merasa terlalu cepat menjadi tua dan
pikun," berkata ayah Saruju.
"Kita berada dalam keadaan yang khusus," jawab Saruju.
"Bila datang saatnya, semuanya akan kembali sebagaimana
sewajarnya." Ayah Saruju mengangguk-angguk. Namun sebenarnya ia
tidak merasa takut dengan segala macam ancaman. Ia
103 SH. Mintardja merasa berada di dalam lingkungan keluarga besar yang
baik, yang siap membantunya bila diperlukan.
Namun Saruju sempat juga meyakinkannya, bahwa yang
dihadapi adalah segerombolan orang-orang yang tidak lagi
mengenal tata kehidupan yang berperadaban, sehingga
akhirnya ayah Saruju itu pun setuju untuk menyerahkan
semua tugas di sawah kepada Saruju.
"Jika tenagamu tidak lagi
mampu mencakup semua kerja di sawah, Saruju,"
berkata ayahnya. "Kau dapat
mengupah satu dua orang untuk membantumu mengerjakan pekerjaan yang
segera harus dilakukan. Bukankah biasanya kita melakukan berdua?" Tetapi Saruju itu tersenyum sambil berkata,
"Aku lebih muda dari ayah.
Aku akan dapat melakukannya lebih baik dari ayah." Ayahnya mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian mengangguk-angguk. "Bagus. Jika demikian aku
yakin, hasil panen kita akan bertambah banyak nanti."
Saruju tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja.
Sebenarnyalah kehadiran Sambi Wulung di rumah
Saruju memang dapat memberikan ketenangan. Saruju
telah menceriterakan kepada keluarganya, bahwa Sambi
Wulung adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi. Jauh
104 SH. Mintardja lebih tinggi dari dirinya sendiri. Sementara itu, Sambi
Wulung tidak merasa dirinya seperti seorang yang
diperlukan di rumah itu. Bahkan ia telah membantu
melakukan kerja yang berat.
Di rumah Damar, Jati Wulung menjadi anggota keluarga
yang sangat akrab bagi adik-adik Damar. Sebenarnyalah
yang paling dicemaskan oleh Damar adalah kedua adik
perempuannya. Ia menjadi gembira ketika ia melihat kedua
adik perempuannya itu menjadi sangat dekat dengan Jati
Wulung seperti kepada pamannya sendiri. Jati Wulung
menyenangi kedua adik Damar itu. Ia sering memerlukan
duduk dibawah sebatang pohon yang rindang atau duduk
diserambi di sore hari sambil bercerita tentang dongeng-
dongeng yang menarik. Ternyata Jati Wulung adalah
seorang yang seakan-akan mengenal hampir semua
carangan cerita Panji. Ia bercerita tentang Timun Emas,
tentang Kleting Kuning, Brambang Bawang dan cerita
tentang Keong Emas. Jika Jati Wulung sedang bercerita, maka kedua adik
Damar itu sudah lupa makan sehingga ibunya sering


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggilnya berkali-kali.
Jati Wulunglah yang kemudian mengalah. Katanya,
"Sudahlah. Besok aku akan bercerita lagi."
"Tetapi paman belum menceritakan, apa yang terjadi
dengan Jaka Tarub itu kemudian," desak adik Damar yang
besar ketika Jati Wulung bercerita tentang Jaka Tarub dan
Dewi Nawang Wulan kepada kedua gadis remaja itu.
"Nanti sajalah, atau besok. Biyung kalian telah menunggu
kalian makan, mumpung hari masih belum terlalu malam,"
berkata Jati Wulung. 105 SH. Mintardja Kedua gadis remaja itu merasa segan untuk. beanjak dari
tempatnya. Tetapi, ibunya telah memanggilnya lagi, agar
keduanya segera makan. Ayahnya sudah duduk pula di
amben besar menunggunya. Bahkan kemudian Damar pun
menghampiri mereka sambil berkata, "Ayah juga menunggu
paman Jati Wulung untuk makan."
Adik Damar yang kecillah yang paling kecewa Tetapi
sambil tertawa Jata Wulung berkata. "Besok siang aku akan
melanjutkan ceritera Jaka Tarub itu "
Dengan kehadiran Jati Wulung di rumah Damar, maka
terasa kehidupan keluarga itu, menjadi bertambah lengkap.
Namun mereka tidak juga dapat melupakan kegelisahan
yang mengancam mereka. Namun, setiap kali sebagaimana
Saruju, Damar pun menceriterakan kepada keluarganya,
bahwa Jati Wulung memiliki kelebihan dari kebanyakan
orang. Itulah sebabnya ia ditugaskan untuk melindungi
mereka. Sementara itu Saruju dan Damar menjadi semakin sering
bertemu. Mereka berusaha untuk saling nundapat
keterangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi atas keluarga mereka.
Dalam pada itu, waktu berjalan terus tanpa berhenti..
Setiap hari selalu dilewati oleh keluarga Saruju dan Damar
dengan kecemasan dan ketegangan..
Namun Gandar yang mengikuti perkembangan mereka,
berusaha untuk menenangkan hati mereka sekeluarga.
Kepada Saruju dan Damar ia mengatakan, bahwa para
pengawal sudah mendapat penjelasan tentang
kemungkinan yang dapat minimpa keluarga Saruju dan
Damar itu. 106 SH. Mintardja Tetapi sebenarnyalah bahwa bukan hanya Saruju dan
Damar sajalah yang menjadi semakin cemas dari hari ke
hari ke hari. Iswari pun tidak kurang cemasnya mengingat
keselamatan Risang. Bahkan terhadap Saruju dan Damar,
Iswari masih belum dapat mempercayainya sepenuhnya.
Iswari masih belum dapat yakin bahwa pada satu saat jika
kesempatan datang Saruju dan Damar tidak melakukan
tugas yang dibebankan kepada, mereka demi keselamatan
keluargamya. Ketika hal itu, diutarakannya kepada Kiai Badra, maka
Kiai Badra berkata, "Hal itu tidak akan dilakukannya. Jika
Ia melakukannya juga, maka ia tentu berpikir, bahwa
keselamatan keluarganya akan tetap terancam. Jka bukan
oleh Ki Rangga Gupita, maka justru oleh para pongawal
Tanah Perdikan sendiri jika ia berani mangusik Risang."
Iswari mengangguk-angguk. Nalarnya dapat mengerti
pendapat Kiai Badra, Tetapi, perasaannya kadang-kadang
tidak dapat diaturnya dengan penalarannya.
Tetapi, Kiai Badra tidak melihat akibat buruk dalam.
Sikap Iswari. Ia hanya berhati-hati saja sehingga
pengamatan terhadap anaknya justru, diperketat. Dan itu
tidak menimbulkan persoalan bagi orang lain.
Sementara itu, para pengawal yang tidak tahu tentang
tugas dan kewajiban Damar serta Saruju yang sebenarnya,
telah menaruh perhatian yang :besar pula terhadap mereka.
Di malam hari, pengawasan terhadap rumah Saruju dan
Damar menjadi semakin bersungguh-sungguh pula.
Sementara itu, di rumah Saruju dan Damar telah diletakkan
kenthongan yang tidak hanya sebuah. Tetapi beberapa,
buah. Di. longkangan, di ruang dalam, di serambi dan di
dapur. Dengan demikian dimana pun keluarga mereka
berada, mereka dapat membunyikan isyarat apabila
107 SH. Mintardja diperlukan. Sementara para pengawal di Gardu akan
dengan cepat dapat mengambil langkah-langkah tertentu.
Untuk dapat bergerak lebih cepat, maka isyarat yang
dibunyikan di rumah Saruju dan Damar memang dibuat
sedikit berbeda, sehingga setiap pengawal, bahkan setiap
orang akan segera mengetahui dari manakah isyarat itu
berasal. Dari hari kehari, maka ketegangan dihati Saruju dan
Damar pun menjadi kian memuncak. Kepada Gandar
mereka sudah berterus terang, bahwa jika bulan itu mereka
tidak dapat membunuh Risang, maka seorang keluarganya
akan iambil. "Biarlah Sambi Wulumg dan Jati Wulung
mempersiapkan diri". berkata Gandar, "para pengawal akan
mampu bergerak cepat. Dengan sengaja digardu yang paling
dekat dengan rumah kalian, petugas pengawalan diperkuat.
Sedangkan untuk sementara kalian berdua tidak perlu
berada digardu. Jika kalian pergi juga ke gardu, kalian
harus sangat berhati-hati dan segara kembali pulang.
Dengan demikian maka di rumah kalian sedikitnya sudah
ada dua orang yang akan melindungi keluarga kalian sambil
menunggu para pengawal yang akan segera datang."
Seperti yang dipesankan oleh Gandar, maka Saruju dan
Damar tidak lagi berlama-lama berada di gardu. Bahkan
kawan-kawannya di gardu pun telah memberi mereka
kesempatan untuk tidak perlu datang.
Tetapi Saruju berkata, "Jika aku tidak menjumpai kalian
dalam sehari, rasa-rasanya aku justru terasing sehingga aku
menjadi ketakutan." "Tetapi kalian harus lebih banyak mengawasi keluarga
kalian di rumah," sahut seorang kawannya.
108 SH. Mintardja Saruju dan Damar mengangguk mengiakan. Dan mereka
memang tidak lagi terlalu lama berada di gardu disetiap
malam. Tetapi seperti yang dikatakan, jika ia tidak pergi ke
gardu, rasa-rasanya ia terlepas dari ikatan kekeluargaan
dengan anak-anak muda dan para pengawal.
Hari-hari pun merambat melewati pertengahan bulan.
Kegelisahan dalam keluarga Saruju dan Damar pun menjadi
semakin meningkat. Saat yang mendebarkan itu akan
segera datang pada keluarga mereka.
Dalam pada itu Sambi Wulung dan Jati Wulung pun
menjadi kian berhati-hati. Keduanya lebih banyak berada di
ruang dalam rumah keluarga Saruju dan Damar. Hanya
kadang-kadang saja mereka berada di halaman atau di
kebun. Mereka tidak mau kehilangan kesempatan
pengamatan terhadap keluarga itu barang sekejap pun.
Jati Wulung yang berada di rumah Damar menjadi
semakin dekat dengan kedua adik perempuan Damar.
Damar sendiri menganjurkan dan bahkan menitipkan
kedua adiknya itu kepada Jati Wulung tanpa setahu kedua
adiknya itu. Namun kebiasaan Jati Wulung untuk bercerita masih
saja dilakukan. Kecuali untuk mengisi waktu Jati Wulung
itu sendiri, dengan dongeng-dongeng itu, Jati Wulung dapat
mengurangi ketegangan di hati kedua gadis remaja itu.
Menjelang hari-hari terakhir pada bulan yang ditentukan
itu, Saruju dan Damar menjadi semakin berhati-hati.
Demikian pula Sambi Wulung dan Jati Wulung. Keduanya
ikut merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh
keluarga serumah dimana mereka tinggal.
Dalam pada itu, Iswari pun menjadi semakin berhati-hati
pula mengawasi Risang. Bagaimanapun juga ia merasa
109 SH. Mintardja cemas, bahwa pada saat-saat terakhir yang gawat, Saruju
dan Damar berubah pikiran. Meskipun nalarnya,
sebagaimana dikatakan oleh Kiai Badra, sependapat bahwa
hal itu tidak akan dilakukan.
Namun Bibi pun menjadi semakin dekat pula kepada
Risang. Jika tidak Saruju dan Damar, mungkin ada orang
lain yang mendapat perintah untuk melakukannya. Jika
pengamatan mereka hanya tertuju kepada Saruju dan
Damar saja, maka mereka akan menjadi lengah.
Hari-hari terakhir di bulan itu dihadapi dengan penuh
ketegangan oleh Saruju dan Damar. Namun mereka sudah
benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Di
setiap rumah itu sedikitnya ada tiga orang yang akan dapat
mengadakan perlawanan sementara sebelum para pengawal
datang setelah mereka mendengar isyarat.
Sambi Wulung dan Jati Wulung merupakan orang-orang
yang berilmu tinggi. Saruju sendiri dan Damar pernah pula
menempa diri dalam oleh kanuragan. Sementara ayah dari
kedua orang anak muda itu merasa sebagai laki-laki juga
sepantasnya melindungi keluarga mereka masing-masing.
Menjelang hari terakhir, Damar lah yang terkejut ketika
ia melihat seseorang berdiri di depan regol halaman
rumahnya. Orang itu pernah dikenalnya, karena orang itu
adalah kepercayaan Ki Rangga yang pernah menemuinya
sebelumnya. Tanpa diketahui oleh keluarganya, Damar mendekatinya.
Namun sebelumnya ia sudah berbisik kepada Jati Wulung
bahwa orang itu adalah orang yang dikirim oleh Ki Rangga
Gupita. "Apakah ancaman itu akan dilaksanakan hari ini?"
bertanya Jati Wulung. 110 SH. Mintardja "Seharusnya belum. Tetapi siapa tahu, bahwa hal itu
dilakukannya juga," jawab Damar.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak ikut
mendekat. Ia mengawasi Damar dari kejauhan. Namun siap
untuk meloncat mendekat jika diperlukan.
"Selamat bertemu kembali Damar," berkata orang itu
ketika Damar mendekatinya.
"Pesan apa yang kau bawa?" bertanya Damar langsung
pada persoalannya. "Baiklah," berkata orang itu. "Kau bertanya langsung
sehingga aku pun akan menjawab langsung."
"Bukankah itu lebih baik?" bertanya Damar pula.
Orang itu mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Dan aku tidak
terlalu lama berdiri disini."
"Cepat, katakan," desak Damar.
"Dua hari lagi waktu pada batasan pertama telah habis.
Bukan berarti bahwa kau tidak lagi terikat kepada
kewajibanmu. Tetapi kau akan memasuki batas waktu
kedua. Dalam dua hari ini jika kau tidak dapat melakukan
tugasmu, siapakah di antara keluargamu yang akan kau
serahkan kepada kami," desis orang itu.
"Gila," geram Damar.
"Jangan berkata kasar," berkata orang itu. "Bukankah
sudah menjadi paugeran. Dan kau harus menjalaninya.
Nah, bukankah dengan cara ini Ki Rangga masih
mempunyai itikad yang baik?" Ia masih sempat bertanya,
"Siapakah di antara keluargamu yang paling tidak
diperlukan di dalam lingkungan keluargamu. Biar orang
itulah yang akan kami ambil pertama-tama, karena Ki
111 SH. Mintardja Rangga memang ingin membuktikan, bahwa ancamannya
memang akan dilakukan."
Darah Damar terasa mulai menjadi panas. Wajahnya
nampak kemerah-merahan, sedangkan matanya
memandang orang itu dengan tajamnya.
Namun orang itu berkata, "Jangan marah Damar. Kau
hanya akan mempersulit dirimu sendiri saja."
Jantung Damar berdegup semakin keras. Namun
kemudian timbul penalarannya, sehingga ia tidak
menerkam dan mencekik orang itu. Apalagi ketika orang itu
berkata, "Atau barangkali kau akan membicarakannya
dengan Saruju" Mungkin salah seorang di antara keluarga
Saruju saja yang akan diserahkan sebagai tumbal?"
Damar menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian menunduk sambil berdesis, "Baiklah. Apa boleh
buat. Kami memang tidak dapat menjalankan tugas kami
pada waktunya karena kesulitan yang tidak teratasi," Damar
terhenti sejenak, lalu. "Ki Sanak. Jika kau memang harus
mengambil seorang di antara kami, agaknya aku memang
harus menunjuk orang yang paling tidak berharga di dalam
keluarga kami. Nah, untuk pertama kali ini aku akan
menyerahkan pamanku itu. Ia adalah adik ayahku.
Meskipun tenaganya sangat aku perlukan di rumah ini,
tetapi ia adalah salah seorang di antara keluargaku yang
mempunyai jarak hubungan darah paling jauh."
"Pamanmu?" bertanya orang itu dengan kerut didahi.
"Ya. Itu, jika kau sempat melihat ke halaman, yang
sedang membelah kayu bakar," berkata Damar.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia berdesis,
"Aku akan menyampaikan kepada Ki Rangga dan Nyi
Wiradana. Aku tidak tahu apakah usulmu dapat disetujui.
112 SH. Mintardja Agaknya yang dimaksud Ki Rangga adalah orang-orang
yang paling dekat denganmu. Ayah, ibu atau adik-
adikumu." "Katakan saja kepada Ki Rangga. Untuk bulan ini biarlah
pamanku kau ambil, jika dalam dua hari ini aku tidak
berhasil membunuh Risang," berkata Damar.
"Seandainya Ki Rangga tidak menyetujuinya?" bertanya
orang itu. "Kau belum bertanya kepadanya," berkata Damar.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan dipersulit begitu."
"Aku tidak akan mempersulit persoalan ini," jawab orang
itu. "Tetapi tentu lebih baik jika aku tidak mondar-mandir
ke rumahmu atau ke rumah Saruju. Jika aku sudah
membawa jawaban itu sekaligus, maka Ki Rangga akan
tinggal melaksanakan saja."
"Aku tidak akan menyebut nama lain. Ambil saja
pamanku itu. Mungkin ayahku akan jatuh sakit karenanya.
Tetapi itu lebih baik daripada jika kau ambil orang lain dari
keluargaku," berkata Damar.
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan mengatakan kepada Ki Rangga, bahwa kau
memberikan pamanmu sebagai tumbal kegagalanmu pada
batasan waktu pertama ini. Jika dibatasan waktu kedua kau
gagal lagi, mungkin aku akan melemparkan gilirannya
kepada keluarga Saruju."
"Aku tidak sempat memikirkannya sekarang," sahut
Damar. Demikianlah orang itu pun kemudian meninggalkan
regol halaman rumah Damar.
113 SH. Mintardja Dengan dada yang berdegupan Damar memperhatikan
orang itu sehingga berbelok di simpang tiga di ujung. Baru
kemudian ia memasuki regol halaman rumahnya dan
mendekati Jati Wulung yang memang sedang membelah
kayu bakar. "Apa katanya?" bertanya Jati Wulung.
"Ia memerlukan kepastian, siapakah di antara keluargaku
yang akan aku korbankan karena kegagalan pada batasan
waktu yang pertama ini," jawab Damar.
"Gila," geram Jati Wulung. "Tetapi batasan waktu yang
bagaimana?" "Bulan ini. Di bulan depan ia tentu akan datang lagi dan
minta nama baru jika kita sekadar tunduk kepada mereka,"
jawab Damar. Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia bertanya,
"Tetapi apakah kau juga memberikan nama yang
dimintanya?" "Ya," jawab Damar.
"Damar," wajah Jati Wulung menjadi tegang. "Kau
memang akan mengorbankan salah seorang keluargamu?"
"Ya. Aku sudah menyebut seseorang yang paling pantas
untuk diambilnya pertama kali," jawab Damar.
"Jadi apa artinya aku berada di rumah ini?" bertanya Jati
Wulung. "Maaf, bahwa aku tidak membicarakannya dahulu
denganmu. Nama yang aku berikan itu adalah nama
pamanku, Jati Wulung. Yang sering menceriterakan
dongeng-dongeng yang menarik kepada adik-adikku,"
jawab Damar. 114 SH. Mintardja Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Katanya, "Dalam keadaan yang
menegangkan itu kau sempat juga bergurau. Tetapi
gurauanmu tepat. Aku tidak berkeberatan."
Damar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi itu
belum meyakinkan." "Kenapa?" bertanya Jati Wulung.
"Mungkin Ki Rangga akan menolak jika yang aku
serahkan sebagai tumbal untuk pertama kali itu pamanku.
Mereka akan memilih orang dari darah yang langsung
dalam hubungan keluargaku. Ayah, ibu atau adik-adik.
Bahkan kakek," jawab Damar.
"Sudahlah," berkata Jati Wulung. "Jangan hiraukan lagi.
Jika mereka datang, maka persoalannya tentu sudah lain.
Bukankah kita memang ingin menjebak mereka. Biar
sajalah apa kata mereka dan siapakah menurut mereka yang
paling baik untuk dikorbankan kali ini."
Damar mengangguk-angguk. Namun setiap waktu mala
petaka akan dapat menimpa keluarga mereka. Ia tidak
dapat membayangkan, berapa orang yang akan datang
untuk mengambil korbannya itu. Mungkin hanya dua orang
atau tiga orang. Tetapi mungkin lebih banyak lagi.
Itulah sebabnya, setelah hari terakhir berlalu, maka baik
Saruju maupun Damar memang lebih banyak berada di
rumah. Baik malam maupun siang hari. Keduanya tidak lagi
terpisah dengan senjata mereka. Demikian pula ayah
mereka. Dimana pun mereka berada, dilambung mereka
tergantung parang yang dapat mereka pergunakan sebagai
senjata. Sementara itu didekat pembaringan mereka,
terdapat tombak dan bahkan senjata-senjata lainnya.
115 SH. Mintardja Saat-saat yang gawat itu pun telah dilaporkannya kepada
Gandar, sehingga Gandar pun telah mengambil sikap pula.
Para pengawal diperintahkannya untuk lebih berhati-hati.
Mereka tidak saja sekadar menunggu. Tetapi jika mereka
melihat orang yang mencurigakan di dalam padukuhan
yang terutama dihuni oleh Damar dan Saruju, mereka harus
mengamati orang itu dengan seksama.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Rangga dan Nyi
Wiradana telah berusaha untuk mengambil dua kesempatan
Kelelawar Hijau 2 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Anak Pendekar 6
^