Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 37

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 37


dilubangi tubuhnya dengan senjata.
Betapa kisruhnya pertempuran yang terjadi kemudian.
Apalagi sebagian prajurit Pajang tidak sempat mengenakan
tanda-tanda keprajuritan mereka, sehingga memang
kadang-kadang sering terjadi salah paham.
Tetapi bagaimanapun juga para pengikut Ki Rangga dan
Warsi mengerahkan kemampuan mereka, namun
sebenarnyalah setiap kemampuan itu ada batasnya. Juga
kemampuan sekelompok orang yang merasa dirinya
berilmu tinggipun ada batasnya pula.
Itulah sebabnya, maka betapa besar kemauan, betapa
tingginya keberanian dan betapa luasnya pengalaman,
namun para pengikut Warsi dan Ki Rangga itu tidak mampu
lagi mengatasi desakan para prajurit Pajang.
Pertempuran yang berlangsung tanpa gelar itu semakin
lama semakin bergeser menjauhi mulut goa dan barak yang
diperebutkan itu. Satu demi satu, para pengikut Ki, Rangga
itu pun telah jatuh di medan. Bekas prajurit Jipang yang
gagah berani tanpa mengenal menyerah itu pun tidak lagi
melihat kemungkinan bahwa mereka akan dapat merebut
kembali sarang yang bagi mereka sangat berharga itu.
Namun demikian, Ki Rangga dan Warsi masih
bertempur dengan garangnya.
Tetapi kenyataan yang mereka hadapi tidak dapat
mereka ingkari. Jika mereka masih tetap bertahan dalam
pertempuran yang semakin berat sebelah itu, maka keadaan
mereka akan menjadi semakin parah.
Itulah sebabnya, maka tidak ada cara lain yang dapat
ditempuh untuk menyelamatkan diri selain meninggalkan
neraka itu. 4 SH. Mintardja Namun demikian, Ki Rangga dan Warsi menyadari,
bahwa untuk meninggalkan tempat itu diperlukan cara
yang keras dan kasar. Mungkin para pemimpin akan dapat melakukannya. Tetapi bagi para pengikut
mereka, maka akan sulit diketemukan jalan untuk melarikan diri. Hanya ada
satu jalan keluar dan masuk
ke sarang itu. Seandainya usaha melarikan diri itu dilakukan,
maka tentu akan jatuh korban yang tidak terhitung
banyaknya. Sementara mereka yang sempat melepaskan
diri itu pun tidak akan terlalu banyak. Tetapi itu lebih baik
dari semua pasukan mati terbunuh atau tertangkap tanpa
bersisa seorang pun. Itulah sebabnya, maka Ki Rangga Gupita telah
memberikan isyarat khusus yang hanya diketahui oleh
Warsi. Karena mereka bertempur di tempat yang tidak
terlalu jauh, maka ketika Ki Rangga meneriakkan isyarat
sandi yang disangka semacam umpatan atau hentakan
kemarahan, maka Warsi pun telah menjawabnya dengan
cara yang sama. Bagi lawan-lawan mereka, isyarat itu tidak segera
menarik perhatian. Mereka menyangka bahwa Ki Rangga
sekedar mengungkapkan kemarahannya dengan umpatan-
umpatan kasar. Demikian pula dengan Warsi yang
mengucapkan kata-kata yang kurang pantas.
5 SH. Mintardja Namun sebenarnyalah bahwa keduanya telah sepakat
untuk melarikan diri dari medan.
Karena itulah, maka sejenak kemudian hampir
berbareng Ki Rangga dan Warsi telah meneriakkan aba-aba
yang serupa. Para prajurit Pajang serta Gandar yang bertempur
melawan Warsi memang menjadi curiga. Mereka memang
menganggap bahwa tentu sesuatu akan terjadi.
Tetapi mereka tidak mendapat banyak kesempatan.
Tiba-tiba saja sekelompok pengikut Ki Rangga dan Warsi
telah menyerbu mereka yang sedang bertempur melawan Ki
Rangga dan Warsi. Mereka telah meninggalkan lawan-
lawan mereka dengan serta merta.
Sikap itu telah mengejutkan baik lawan Ki Rangga
maupun lawan Warsi. Namun yang sekejap itu telah cukup
bagi Ki Rangga dan Warsi untuk meloncat meninggalkan
medan. Lawan-lawannya memang berniat untuk mengejarnya.
Tetapi mereka telah dikerumuni oleh lawan-lawan yang
bukan sebenarnya. Mereka adalah orang-orang yang setia
mengabdi kepada Ki Rangga dan Warsi demi satu cita-cita.
Namun pengabdian yang membuta tuli itu benar-benar
membuat Gandar dan Senapati Pajang justru menjadi iba.
Mereka tidak lebih dari umpan-umpan yang tidak berharga
sama sekali, yang oleh Ki Rangga dan Warsi agaknya
disebut-sebut sebagai pahlawan yang gugur dalam
mempertahankan cita-cita. Setiap orang yang terbunuh
selalu digelari sebagai pahlawan, sedangkan yang bukan
pahlawan selalu dikatakannya sebagai pengkhianat.
Demikianlah, maka seperti serangga yang menyerbu
nyala obor yang berkobar-kobar, maka para pengikut Ki
6 SH. Mintardja Rangga dan Warsi itu telah menyerbu mereka yang berada
di mulut lorong. Gerakan itu justru demikian dahsyatnya, sehingga para
prajurit Pajang telah benar-benar terdesak kesamping.
Orang-orang Jipang dan bekas para pengikut Kalamerta itu
seperti orang yang kehilangan nalar, melampaui orang yang
sedang mabuk, melakukan gerakan yang seakan-akan tidak
mereka sadari. Dalam kemelut yang aneh di muka mulut lorong sempit
itu, Ki Rangga dan Warsi telah sempat melarikan diri.
Mereka berlari menuruni jalan setapak diikuti oleh
beberapa orang pemimpin kelompok dan bekas perwira
Jipang. Sementara itu, para prajurit Pajang benar-benar
mengalami kesulitan untuk mengusir orang-orang yang
berputus asa itu untuk mendapatkan jalan memasuki lorong
sempit itu untuk mengejar Ki Rangga, Warsi dan
pengikutnya yang lain. Sementara itu di lorong sempit itu pengikut Ki Rangga
dan Warsi mengalir seperti aliran parit kecil di musim
basah. Satu-satu meluncur dengan cepatnya. Susul
menyusul tidak henti-hentinya.
Namun yang bernasib buruk adalah mereka yang benar-
benar menjadi umpan. Tetapi mereka yang menjalaninya
merasa dirinya telah berjuang dengan mengorbankan apa
saja yang mereka miliki. Termasuk jiwa mereka.
Ada semacam kebanggaan dihati para pengikut Ki
Rangga, jika mereka sempat berkorban untuk cita-cita
mereka yang tergantung di langit. Mereka menghendaki
agar Jipang bangkit kembali.
Bahkan kawan-kawan mereka pun menaruh hormat
dan bangga atas mereka yang gugur sebagai pahlawan itu.
7 SH. Mintardja Demikianlah yang terjadi di salah satu sarang Ki Rangga
dan Warsi itu. Sejumlah pengikut mereka telah
mengumpankan diri untuk memberi kesempatan orang-
orang terpenting diantara mereka melarikan diri dari
tangan para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan. Kemarahan memang memuncak di dada setiap prajurit
Pajang dengan langkah terakhir yang diambil oleh para
pengikut Ki Rangga dan Warsi itu.
Namun dalam keadaan yang penuh oleh gejolak perasaan
itu, para pemimpin prajurit Pajang masih sempat berpikir,
sehingga mereka berusaha mencegah kemarahan yang
meluap-luap dari para prajurit itu. Hampir saja para
prajurit Pajang tidak dapat mengekang diri dan membantai
orang-orang yang dengan sengaja mengorbankan diri itu.
Tetapi para perwiranya berhasil mencegahnya. Namun
dalam usaha menyibak sumbatan di mulut lorong itu,
korban di antara para pengikut Ki Rangga itu seakan-akan
sudah tidak terhitung jumlahnya.
Betapapun kemarahan menyesak di dada para prajurit
Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan,
namun mereka memang harus merelakan sebagian dari
lawan mereka, termasuk Ki Rangga dan Warsi, melarikan
diri sehingga luput dari tangkapan tangan mereka.
Meskipun demikian, dipandang dari satu sisi, maka
mereka telah berhasil menghancurkan pasukan Ki Rangga.
Korban yang jatuh memang terlalu banyak. Selebihnya
mereka yang tertawan. Kekuatan Ki Rangga dan Wasi sudah
susut separo lebih. Tetapi satu hal yang harus mereka perhitungkan pula.
Dengan demikian maka sisa kekuatan Ki Rangga itu tentu
8 SH. Mintardja akan mengosongkan sarang-sarang mereka, terutama
sarang yang dianggap cukup besar. Mereka akan
memindahkan harta benda rampasan yang mereka miliki ke
tempat yang tidak diketahui.
Namun para pemimpin prajurit Pajang dan pengawal
Tanah Perdikan Sembojan itu belum siap
membicarakannya. Mereka masih dicengkam oleh suasana
yang memang mengerikan. Kematian yang hampir saja
tidak dapat dikekang. Dengan cermat maka kemudian dilakukan penghitungan
jumah pasukan prajurit Pajang dan pengawal Tanah
Perdikan Sembojan. Sebagian dari mereka telah
mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan
terbunuh dari mereka. Para pemimpin prajurit Pajang masih belum
memerintahkan para prajurit untuk mengumpulkan mayat
para pengikut Ki Rangga, apalagi yang terluka. Para
pemimpin itu menilai bahwa perasaan pasukan itu masih
terasa pedih. Bukan saja karena mereka tidak sempat
mengejar dan menangkap para pemimpin dan apalagi Ki
Rangga dan Warsi itu sendiri, tetapi mereka harus
menyaksikan kawan-kawan mereka menjadi korban.
Ternyata bahwa korban di pihak Pajang yang benar-
benar terbunuh, terhitung tidak terlalu banyak. Namun
yang luka-luka yang justru lebih banyak.
Baru setelah kawan-kawan para prajurit dan pengawal
Tanah Perdikan itu selesai terkumpul, baik yang gugur
maupun yang terluka, maka Senapati Pajang itu pun
memerintahkan para prajurit mempergunakan tenaga para
tawanan untuk mengumpulkan orang-orang Jipang dan
bekas pengikut Kalamerta yang terluka dan terbunuh.
9 SH. Mintardja "Setan," geram seorang prajurit. "Kenapa kita tidak
membunuh saja semuanya."
Kawannya menyahut, "Kita cekik saja mereka."
Namun seorang perwira yang mendengar pembicaraan
itu berdesis, "Lalu apakah bedanya, prajurit yang telah
kehilangan akal dan prajurit yang masih lengkap
penalarannya" Bukankah justru dalam kesempatan seperti
ini kita menunjukkan bahwa kita berjalan di jalan yang
dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Agung?"
Para prajurit itu terdiam. Namun ternyata bahwa mereka
mulai merenungi kata-kata perwira itu. Betapapun
kemarahan, kekecewaan dan berbagai perasaan bercampur
baur di dalam jantungnya, namun mereka masih mampu
mempergunakan penalaran mereka. Bahwa mereka masih
tetap terikat pada paugeran perang dan tanggung jawab
mereka sebagai seorang yang percaya kepada masa
langgeng serta pengadilan yang Maha Tinggi.
Karena itu, maka akhirnya mereka pun menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu,
namun perwira itu mengerti, bahwa prajuritnya tidak lagi
sekadar dibakar oleh perasaannya.
Ternyata bahwa di kelompok-kelompok yang lain, para
perwira memang harus memberikan banyak bimbingan
kepada para prajurit Pajang dan juga para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan, agar mereka tidak tenggelam dalam
arus perasaan mereka yang bergejolak.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, para prajurit
Pajang telah memerintahkan tawanan mereka yang tidak
terluka, untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka
dibawah pengawasan yang mantap oleh para prajurit Pajang
itu. Bagaimana pun juga tawanan mereka adalah orang-
10 SH. Mintardja orang yang berbahaya. Meskipun nampaknya mereka telah
tunduk dibawah perintah, namun kemungkinan yang tidak
terduga masih dapat terjadi.
Sebenarnyalah bahwa dalam kesibukan mengumpulkan
orang-orang yang terluka itu, masih juga ada bekas prajurit
Jipang yang berubah pendirian. Mereka tidak ingin
membiarkan dirinya menjadi tawanan orang-orang Pajang
dan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan
dengan seorang yang semula merupakan seorang gegedug
yang ikut dalam gerombolan Kalamerta bekas prajurit
Jipang itu sempat berdesis sambil mengangkat seorang
kawan mereka yang terluka, "Tugas kita sudah selesai. Kita
sudah melindungi usaha para pemimpin kita untuk
melarikan diri, sehingga kita sendiri tertawan. Dengan
demikian apakah salahnya jika kita sekarang berusaha un-
tuk melarikan diri?"
Bekas pengikut Kalamerta itu berpikir sejenak. Lalu
katanya, "Itu akan lebih baik. Mereka tidak akan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlakukan kita sebagai manusia lagi. Kita tentu akan
mengalami perlakuan yang sangat pahit jika kita tetap
berada di tangan iblis-iblis dari Pajang itu. Bahkan mungkin
kita diperlakukan sebagai mahluk yang lebih rendah dari
binatang." "Hati-hatilah" desis kawan mereka yang terluka itu.
"Kau jangan berkhianat" geram bekas prajurit itu, "jika
kau tidak terluka parah, maka aku akan mengajakmu serta."
"Aku tidak akan berkhianat." suaranya sendat, "tetapi
hati-hatilah. Orang-orang Pajang dan orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan menjadi garang seperti iblis."
"Aku mengerti" jawab bekas prajurit Jipang itu.
11 SH. Mintardja Bekas pengikut Kalamerta itu pun mengangguk-angguk
pula. Sementara itu, seorang prajurit Pajang mengawasinya
dengan tombak merunduk. Namun prajurit Pajang itu tidak
tahu apa yang mereka bicarakan.
Setelah meletakkan kawannya yang terluka itu di lantai
salah sebuah barak yang memang dipergunakan untuk
mengumpulkan orang-orang yang terluka, maka keduanya
telah turun lagi ke bekas arena pertempuran. Tetapi
keduanya telah berjalan menuju ke tempat yang paling
dekat dengan mulut lorong.
Di tempat itupun banyak kawan-kawan mereka yang
terluka. Ketika orang-orang Pajang dan Tanah Perdikan
Sembojan berusaha membuka mulut lorong itu yang
disumbat oleh kawan-kawan mereka telah terjadi
pertempuran yang sengit. Demikian pula pada saat para
pemimpin dari bekas para prajurit Jipang dan gerombolan
Kalamerta berusaha untuk meninggalkan tempat itu, maka
orang-orang yang putus asa telah berusaha untuk menjadi
seorang pahlawan dengan menguak pasukan Pajang yang
berada di mulut lorong itu.
Karena itu, maka kedua orang itu telah mendekati
seorang bekas prajurit Jipang yang terbaring di sebelah
mulut lorong itu dengan luka yang menganga di pundak dan
di atas lambungnya. Meskipun luka itu tidak
membunuhnya, namun ia sudah tidak mampu lagi berbuat
sesuatu selain berbaring sambil mengerang.
"Bagaimana keadaanmu?" bertanya bekas prajurit Jipang
yang ingin melarikan diri itu.
Orang itu berdesis diantara erang kesakitan, "Rasa-
rasanya hari akan kiamat."
12 SH. Mintardja "Marilah" desis bekas prajurit yang akan melarikan diri
itu. Ia pun kemudian menempatkan tubuh kawannya yang
terluka itu pada sikap yang siap untuk diangkat. Namun ia
tidak segera melakukannya. Dipandanginya prajurit Pajang
yang berdiri lima langkah daripadanya. Ternyata prajurit
Pajang itu tidak sedang mengawasinya.
"Kau lihat yang berdiri di mulut lorong itu" desis bekas
pengikut Kalamerta. Bekas prajurit Jipang itu termangu-mangu. Selain
prajurit yang berada di dekat mereka, maka dimulut lorong
itupun telah berjaga-jaga seorang prajurit yang lain dengan
pedang didalam pelukan. Keduanya pun kemudian telah menebarkan pandangan
mereka. Setiap lima langkah memang terdapat prajurit
Pajang atau pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi
keduanya benar-benar telah berniat untuk lari atau mati.
Mereka tidak ingin merasakan hidup dalam tekanan lahir
dan batin. Sehingga karena itu, maka keduanyapun telah
bersiap-siap pula. "Tunggulah disini" desis bekas prajurit Jipang itu kepada
kawannya, "aku akan mencari jalan yang paling baik
bagiku." Prajurit yang terluka itu mengerutkan keningnya. Namun
keluhannya justru terdiam.
Bahkan dengan suara lirih ia bertanya, "Apa yang akan
kau lakukan?" Bekas prajurit Jipang itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Aku akan melarikan diri."
13 SH. Mintardja "Sangat berbahaya," desis yang terluka itu dengan suara
tersendat-sendat. "Seperti kau lihat, dimana-mana berdiri
prajurit Pajang yang garang. Mereka akan dapat bertindak
keras dan kasar." "Aku tidak peduli. Tetapi lari adalah cara yang baik untuk
menghindarkan diri dari kesengsaraan yang tidak
berkeputusan. Jika kau gagal dan mati, itu pun lebih baik
dari menjadi tawanan orang-orang Pajang," jawab bekas
prajurit Jipang itu. "Kenapa kau menyerah?" bertanya yang terluka.
"Aku terseret oleh sikap kawan-kawanku sebelum aku
sempat berpikir. Sekarang aku telah dapat merenungkan
serba sedikit, apa yang baik aku lakukan," jawab bekas
prajurit Jipang itu. Kawannya yang terluka itu tidak menahannya. Tetapi ia
berdesis, "Berhati-hatilah. Kau lihat ujung-ujung senjata itu.
Mungkin mati memang lebih baik. Tetapi terluka seperti
aku ini, rasanya sungguh tidak menyenangkan. Apalagi luka
dan berada ditangan musuh. Tetapi aku tidak akan dapat
membunuh diri, karena membunuh diri adalah salah satu
jalan yang sesat." "Aku tidak membunuh diri," berkata bekas prajurit itu.
"Tetapi aku akan melarikan diri. Mati adalah satu akibat
yang mungkin terjadi. Dan aku tidak akan menyesal jika
mati itulah yang terjadi atas diriku."
Kawannya yang terluka itu mengangguk kecil. Namun
sejenak kemudian ia pun menyeringai menahan pedih
karena lukanya yang menyengat. Bahkan kemudian
terdengar ia mengeluh tertahan.
Pada keadaan yang demikian, bekas prajurit Jipang itu
telah memberikan isyarat kepada kawannya untuk bergerak.
14 SH. Mintardja Perlahan ia berdesis, "Kita mencari jalan kita masing-
masing. Tetapi berdua akan bersama-sama mencapai mulut
lorong itu." Kawannya, bekas pengikut Kalamerta itu pun
mengangguk kecil. Kemudian ia pun menghitung perlahan-
lahan. "Satu, dua, tiga."
Pada hitungan ketiga, kedua orang itu bangkit. Dengan
serta merta mereka berlari ke mulut lorong yang tidak
begitu jauh. Seorang prajurit yang melihat mereka itu pun dengan
serta merta telah berteriak. "Awas. Orang itu melarikan
diri." Beberapa orang prajurit Pajang dan pengawal Tanah
Perdikan telah bergerak. Namun seorang di antara orang
yang berlari itu telah mencapai mulut lorong.
Semuanya itu terjadi demikian cepatnya, sehingga
prajurit yang berada di mulut lorong itu belum sempat
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena itu, maka
ketika ia masih terkejut melihat peristiwa itu, maka ia
melihat dua orang bersama-sama berlari ke arahnya dari
arah yang berbeda. Prajurit itu ternyata sedikit terlambat. Ketika ia bersiap
menerima kedatangan orang yang agaknya sudah lebih
dekat daripadanya, maka ternyata bahwa serangan yang
pertama justru datang dari orang yang lain. Sebuah
tendangan kaki yang sangat keras telah melemparkannya,
sehingga jatuh terguling di tanah. Hampir saja ia tergelincir
masuk ke dalam jurang yang dalam. Namun ia sempat
berpegangan pada sebatang pohon perdu.
Dengan tangkas ia meloncat bangkit, dengan senjata
masih ditangan. Tetapi ternyata seorang di antara kedua
15 SH. Mintardja orang yang melarikan diri itu sempat memungut sebuah
pedang. Malang bagi prajurit Pajang itu. Demikian ia bangkit
maka sebuah pedang telah mematuknya. Ia memang
sempat memiringkan tubuhnya. Namun ujung pedang itu
telah mengoyak pundaknya, demikian dalamnya sehingga
terasa seakan-akan lengannya menjadi lumpuh sebelah.
Orang yang menyerang itu tidak bertahan terlalu lama. Ia
pun kemudian telah meloncat ke mulut lorong.
Tetapi ternyata kawannya telah bertempur dengan seorang prajurit yang dengan
cepat mencapai mulut lorong
itu pula. Dengan tangkasnya
ia berusaha menahan kedua
orang yang akan melarikan
diri itu. Namun seorang yang akan melarikan diri itu pun telah
mampu memungut sebuah tombak pendek yang tercecer
di medan yang kisruh sebelumnya. Dengan tombak
pendek itu ia mencoba untuk
menembusnya dan berlari menemui lorong.
Tetapi prajurit Pajang itu adalah prajurit yang sedang
marah sekali. Ia melihat seorang kawannya yang terluka di
pundaknya. Karena itu, maka prajurit Pajang itu seakan-
akan telah kehilangan pengekangan diri.
Namun sejenak kemudian kedua orang yang melarikan
diri itu telah bersama-sama berada dimulut lorong untuk
16 SH. Mintardja bertempur berpasangan. Seorang membawa pedang yang
lain membawa tombak pendek.
Pada saat yang demikian beberapa orang prajurit telah
meloncati orang-orang yang terluka untuk mencapai mulut
lorong pula. Mereka harus membantu kawannya yang akan
menghadapi kedua orang yang siap untuk melarikan diri
itu. Namun ternyata sikap kedua orang itu telah memancing
kekisruhan yang lebih besar lagi. Karena beberapa orang
bekas prajurit Jipang yang sedang mengusung kawan-
kawannya yang terluka, tiba-tiba saja telah digelitik oleh
sikap kedua orang yang akan melarikan diri itu.
Beberapa orang, yang tidak sempat berpikir panjang,
telah bangkit pula dan dengan serta merta melakukan usaha
yang sama. Menuju ke mulut lorong.
Tetapi pada saat yang bersamaan beberapa orang prajurit
Pajang pun telah sampai kemulut lorong pula, sehingga
sejenak kemudian telah terjadi pula pertempuran. Orang-
orang yang berusaha melarikan diri itu telah
mempergunakan senjata apa saja yang dapat mereka
temukan di bekas medan pertempuran itu. Senjata yang
terjatuh dari tangan orang-orang yang terluka yang belum
sempat dikumpulkan. Kekacauan pun segera terjadi. Pertempuran yang kisruh
telah terjadi lagi dimulut lorong. Beberapa orang bekas
prajurit Jipang dan pengikut Kalamerta telah
mempergunakan kesempatan untuk berusaha melarikan
diri. Dengan tanpa ragu-ragu mereka telah menikam
prajurit yang berusaha menahan mereka, sehingga ternyata
ada beberapa orang prajurit yang terluka pula, bahkan
gugur. 17 SH. Mintardja Tetapi dengan demikian kemarahan prajurit Pajang
seakan-akan telah terungkit kembali. Yang melihat
kawannya berlumuran darah menjadi seakan-akan
kehilangan nalar. Mereka tidak lagi mau berpikir panjang.
Senjatalah yang menjadi lantaran menyatakan perasaan
mereka yang terguncang. Tetapi keadaan yang tiba-tiba itu memang kurang
menguntungkan bagi prajurit Pajang. Semakin lama bekas
prajurit Jipang dan pengikut Kalamerta semakin banyak
yang berniat untuk melarikan diri.
Seorang pemimpin kelompok yang sedang bertugas
diantara para prajuritnya yang terkejut melihat keadaan itu,
telah melontarkan isyarat. Sebuah suitan nyaring terdengar
menggetarkan udara. Suitan itu telah bersambung dari satu mulut kemulut
lain, sehingga sejenak kemudian, maka para prajurit Pajang
yang beristirahat, serta anak-anak muda dari Tanah
Perdikan Sembojan telah dihentakkannya. Mereka yang
sedang beristirahat itu pun dengan serta merta telah
berloncatan bangkit dengan senjata didalam genggaman.
Dalam sekejap memang sudah terlintas didalam jantung
mereka kemungkinan orang-orang yang mereka tawan itu
berusaha untuk mencari saat-saat kelemahan.
Ternyata dugaan itu benar. Demikian para prajurit dan
para pengawal Tanah Perdikan itu berada di bekas medan
yang garang itu, mereka telah melihat pertempuran telah
menyala lagi. Sebagian dari mereka dengan cepat menguasai para
tawanan yang masih terheran-heran melihat keadaan,
sementara yang lain telah turun ke medan.
18 SH. Mintardja Para pemimpin prajurit Pajang dan pengawal Tanah
Perdikan Sembojan memang terkejut, meskipun kecurigaan
terjadinya usaha seperti itu memang ada. Namun ada
kecemasan yang lain yang mencengkam jantung mereka.
Dengan peristiwa itu, maka mereka akan menjadi semakin
sulit untuk mengendalikan kemarahan para prajurit Pajang
dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Sebenarnyalah orang-orang Pajang dan Tanah Perdikan
Sembojan itu menjadi sangat marah. Beberapa kawan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka telah terluka dan terbunuh, justru ketika
pertempuran telah dianggap selesai.
Dengan demikian, maka seorang prajurit Pajang tiba-tiba
saja telah berteriak, "Pengkhianat. Kalian semua harus
dihukum mati." Sebenarnyalah para prajurit Pajang dan para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan tidak lagi sempat berpikir lain
kecuali membunuh orang-orang yang telah mengkhianati
kepercayaan mereka. Apalagi karena beberapa orang kawan
mereka telah terluka dan gugur.
Kekerasan pun kemudian telah terjadi di sekitar mulut
lorong itu. Orang-orang yang berusaha melarikan diri itu
pun telah menentukan dua pilihan, lari atau mati. Tidak
ada-lagi niat di kepalanya untuk menyerah kepada prajurit-
prajurit Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan yang
menjadi buas itu. Karena itu maka pertempuran kecil itu justru menjadi
semakin garang. Terdengar teriakan-teriakan kemarahan
dari kedua belah pihak. Tidak ada orang di arena itu yang
berusaha untuk menundukkan lawan mereka agar
menyerah. Yang terdengar didalam dada mereka adalah
kidung kematian yang semakin lama manjadi semakin
keras. 19 SH. Mintardja Sebenarnyalah para prajurit Pajang yang berdatangan itu
telah bertempur dengan tanpa kendali. Demikian pula para
pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan. Pedang mereka
menikam, menusuk dan menebas tanpa kekangan.
Ketika seorang bekas prajurit Jipang sempat menerobos
pertempuran dan melarikan diri turun lewat lorong itu,
disusul seorang yang lain, maka seorang prajurit Pajang
telah melontarkan tombaknya. Tetapi tombak itu sama
sekali tidak mengenai orang yang melarikan diri.
"Gila" prajurit itu mengumpat. Namun ia tidak dapat
turun mengejarnya, karena ia sudah tidak bersenjata lagi.
Apalagi jalan berbatu yang terjal itu tidak terbiasa
dilaluinya, sehingga ia harus berpikir ulang untuk turun
berlari mengejar kedua orang itu.
Namun ternyata bahwa tiga orang prajurit dan dua orang
pengawal Tanah Perdikan telah berlari lewat di sebelahnya
menuruni lorong itu dan berusaha untuk menyusul.
Tetapi kedua orang yang melarikan diri itu mengenal
medan lebih baik dari pengejarnya, sehingga mereka
sempat mencapai jarak yang semakin lama semakin jauh.
Tetapi sepeninggal kedua orang itu, maka kawan-
kawannya mengalami perlakuan yang lebih parah. Prajurit
yang kehilangan tombaknya itu memang tidak menyusul
kawan-kawannya yang mengejar kedua orang yang sempat
lari itu. Tetapi ia telah memungut senjata yang lain dan
dengan penuh kemarahan telah mengayunkan senjata itu
seperti orang yang sedang mabuk.
Dalam pada itu, maka para perwira Pajang dan para
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah berada di arena
pertempuran yang baru itu. Dengan susah payah mereka
mengekang para prajurit dan para pengawal Tanah
20 SH. Mintardja Perdikan untuk tidak membatasi semua orang yang
berusaha untuk melarikan diri itu.
Dengan susah payah pula Gandar, Sambi wulung dan Jati
Wulung menahan kemarahan para pengawal Tanah
Perdikan yang telah berada didaerah pertempuran itu.
Apalagi ketika ternyata seorangpengawal telah terluka pula
ditusuk justru dari belakang.
Bersama-sama para Senapati Pajang, maka mereka
berusaha untuk menahan agar para prajurit Pajang dan
para pengawal Tanah Perdikan berlaku wajar.
Tetapi pada saat-saat usaha mereka hampir berhasil,
maka orang-orang yang akan melarikan diri itu masih saja
mengadakan perlawanan membabi buta. Mereka tidak mau
mengerti bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu, diluar daerah pertempuran yang kacau itu,
para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan telah mengepung rapat.
"Mereka tidak lagi berpikir wajar" desis Gandar.
"Mereka memang berusaha untuk membunuh diri" desis
seorang Senapati Pajang. Karena itulah maka orang-orang yang melarikan diri itu
tidak mau mendengar seruan untuk menyerah buat kedua
kalinya. Karena itulah maka orang-orang yang melarikan diri itu
tidak mau mendengar seruan untuk menyerah buat kedua
kalinya. "Jika kita menyerah lagi, maka tubuh kita akan hancur
juga oleh orang-orang Pajang dan orang-orang Sembojan,"
teriak seorang bekas parjurit Jipang.
"Aku menjamin," sahut seorang Senapati Pajang.
21 SH. Mintardja Tetapi orang yang akan melarikan diri itu sama sekali
tidak menghiraukan. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat
menyergap Senapati yang telah meneriakkan perintah
untuk menyerah itu. Senapati itu dengan tangkasnya mengelak. Tetapi bekas
prajurit Jipang itu benar-benar seperti orang yang kurang
waras. Ia pun telah mengamuk sejadi-jadinya.
Dengan demikian maka Senapati yang meneriakkan
perintah untuk menyerah dan akan menjamin keselamatan
mereka yang menyerah, justru telah disudutkan dalam satu
keadaan yang sama sekali tidak diinginkannya. Ia justru
telah bertempur sendiri melawan seorang bekas prajurit
Jipang. Meskipun Senapati itu memang tidak kehilangan akal,
tetapi menghadapi orang yang sedang mengamuk itu
memang tidak terlalu banyak pilihan baginya. Untuk
beberapa saat ia masih berusaha menahan senjatanya
sekadar untuk menangkis serangan-serangan yang
membabi-buta itu. Senapati itu mengharap bahwa bekas
prajurit Jipang itu akan kelelahan dan kehabisan tenaga.
Tetapi ternyata tidak demikian. Prajurit itu benar-benar
seperti kerasukan iblis. Ia menyerang sambil berteriak-
teriak mengerikan. "Lepaskan senjatamu," teriak perwira itu.
"Kita akan mati bersama-sama," teriak bekas prajurit
Jipang itu tidak kalah kerasnya.
Senapati itu ternyata tidak mempunyai kesempatan
untuk berpikir lebih jauh.
22 SH. Mintardja Ternyata orang yang bagaikan mengamuk itu tidak
segera kelelahan dan apalagi menyerah. Justru semakin
lama ia menjadi semakin berbahaya.
Karena itulah, maka akhirnya Senapati itu menjadi
marah. Ketika beberapa kali ia meneriakkan peringatan
tidak juga didengar, bahkan orang itu telah berteriak-teriak
pula, maka kesabaran Senapati itu pun akhirnya sampai ke
batas pula. Ujung senjatanya pun kemudian benar-benar di
arahkan kepada orang yang telah kehilangan akal itu.
Bekas prajurit Jipang itu tertegun sejenak, ketika terasa
senjata pedang itu mengenai lengannya. Sementara itu
Senapati berkata, "Menyerahlah."
"Gila. Kubunuh kau. Aku tidak mau mati sendiri," teriak
bekas prajurit Jipang yang meloncat sambil mengayunkan
senjatanya lebih cepat lagi. Meskipun darah telah mengalir
dari lukanya tetapi tenaganya sama sekali masih belum
susut. Namun Senapati Pajang itu telah menahannya dengan
sekali lagi benar-benar mengarahkan ujung senjatanya ke
tubuhnya. Ketika orang Itu meloncat menyerang, Senapati
itu sempat menghindarinya. Namun justru senjatanya
teracu lurus ke arah dada lawannya.
Tetapi Senapati itu memang tidak berniat
membunuhnya. Karena itu maka ujung senjatanya telah
digesernya sedikit menyamping. Sebuah luka pun kemudian
telah menganga di pundak bekas prajurit Jipang itu. Darah
pun telah mengalir deras. Tetapi ia benar-benar bagaikan
gila. Ia masih saja meloncat sambil mengayunkan
senjatanya mendatar. Ketika senjatanya tidak menyentuh
lawannya, maka sekali lagi ia meloncat menyerang langsung
ke arah dada. Tetapi sekali lagi ia gagal. Namun ia tidak
23 SH. Mintardja berhenti. Dengan teriakan nyaring bekas prajurit Jipang itu
masih memburu dengan garangnya.
Akhirnya Senapati Pajang itu tidak mempunyai pilihan
lain. Ketika serangan dari lawannya yang bagaikan gila itu
mengalir tanpa henti-hentinya meskipun telah dilukainya di
lengan dan pundaknya, maka ia tidak dapat berbuat lain.
Dalam pertempuran berikutnya, maka Senapati itu
benar-benar telah mengarahkan pedangnya ke dada
lawannya. Justru pada saat bekas prajurit Jipang itu meloncat
sambil mengayunkan senjatanya mendatar menebas ke arah
leher Senapati itu, maka Senapati itu telah berjongkok
rendah. Pada saat senjata lawannya terayun di atas
kepalanya, maka tangannya pun telah terjulur lurus. Ujung
senjatanya telah menggapai dada bekas prajurit Jipang itu
langsung menembus sampai ke jantung.
Prajurit Jipang itu berteriak keras sekali dengan umpatan
yang paling kasar. Namun ketika Senapati itu menarik
pedangnya, maka tubuh itu pun telah terhuyung-huyung
dan jatuh terjerembab di tanah.
Senapati Pajang itu tertegun. Ia telah berusaha untuk
mencegah pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Tetapi
ia sendiri justru telah membunuh seorang lawan.
Sebenarnyalah, orang-orang yang akan melarikan diri itu
sama sekali tidak menghiraukan segala peringatan. Ketika
Gandar berhasil menahan gejolak perasaan para pengawal
yang ada di arena, maka para pengawal itu sendirilah yang
hampir saja menjadi korban, sehingga akhirnya para
pengawal itu tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
membinasakan lawan mereka yang putus asa dan bahkan
membunuh diri itu. 24 SH. Mintardja Seorang pengawal yang telah terluka dengan marah telah
menusukkan pedangnya sambil berteriak, "Itulah yang
memang diinginkannya."
Lawannya itu menggeram. Namun kemudian tubuhnya
telah jatuh di tanah. Demikianlah pertempuran itu menjadi pertempuran yang
lebih mengerikan dari pertempuran yang terdahulu.
Meskipun yang terlibat tidak terlalu banyak, namun seakan-
akan pertempuran itu tidak mempunyai penyelesaian lain
kecuali membunuh. Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung akhirnya
melibatkan diri. Sebagaimana beberapa orang perwira
Pajang. Namun mereka berusaha untuk menguasai lawan-
lawannya tanpa membunuhnya.
Gerakan yang tiba-tiba dan serta merta itu memang
menimbulkan kemarahan yang luar biasa. Beberapa orang
tawanan yang sedang ditugaskan untuk menolong kawan-
kawan mereka yang terluka, telah berusaha melarikan diri.
Hal itu benar-benar telah menyinggung perasaan para
prajurit Pajang. Apalagi karena ada di antara kawan-kawan
mereka yang telah terluka bahkan terbunuh pula justru
pada saat mereka berusaha menolong lawan mereka yang
terluka. Namun beberapa saat kemudian Gandar, Jati Wulung
dan Sambi Wulung serta para Senapati Pajang berhasil
menguasai anak buah masing-masing. Tetapi yang terjadi
benar-benar sudah parah. Di antara mereka yang
melakukan perlawanan untuk melarikan diri, tidak ada
separo yang masih tetap hidup.
"Mereka perlu mendapat penjagaan khusus," perintah
Senapati yang memimpin pasukan Pajang.
25 SH. Mintardja Demikianlah, maka orang-orang itu telah digiring ke
dalam satu barak khusus. Mereka dimasukkan ke dalam
satu bilik yang paling kuat. Sementara di bilik sebelah
menyebelah dilakukan penjagaan yang kuat pula. Demikian
pula di depan dan dibelakang. Bahkan para penjaga itu
tidak mengabaikan kemungkinan mereka melarikan diri
lewat atap yang terdiri dari anyaman ilalang dan ijuk.
Peristiwa itu mempersulit para pemimpin prajurit Pajang
dan para Pengawal Tanah Perdikan Sembojan untuk
menahan agar para prajurit dan para pengawal tidak
menjadi terlalu garang terhadap para tawanan. Namun
sikap para tawanan sendiri memang kadang-kadang sampai
menjengkelkan. Mereka seakan-akan justru telah
memancing persoalan. Demikianlah, betapapun sulitnya, namun para Senapati
Pajang dan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah
berhasil menguasai keadaan. Namun yang terjadi itu
merupakan pengalaman bagi mereka. Karena itu, maka
mereka yang dipekerjakan untuk menolong kawan-kawan
mereka telah jauh dikurangi sementara pengawasan pun
menjadi semakin tinggi. Meskipun demikian ada juga prajurit yang bergumam,
"Salah kita. Biar saja mereka mati karena kehabisan darah."
Kawannya yang justru telah tergores pedang berkata,
"Kenapa mereka tidak dihukum mati saja setelah terbukti
berusaha berkhianat. Hukuman bagi seorang pengkhianat
adalah hukuman mati."
/Kebencian ternyata telah tersebar di jantung para
prajurit Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan. Seorang pengawal yang melihat seorang bekas
pengikut Kalamerta hanya duduk saja sementara kawan-


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

26 SH. Mintardja kawannya yang dipekerjakan sibuk mengusung mereka
yang terluka. "He, kenapa kau duduk
saja?" bentak pengawal
Tanah Perdikan itu. "Kenapa tidak kau lakukan
sendiri?" jawab orang itu
kasar. Pengawal itu tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba
kakinya telah menyambar mulut orang itu. Demikian
kerasnya sehingga dua giginya telah patah. Orang itu telah terdorong
dan jatuh terlentang. Namun
dengan cepat ia bangkit. Dari mulutnya mengalir darah
karena giginya yang patah itu.
"Cari senjata" tantang pengawal itu, "aku bukan pengecut yang
membunuh lawannya tanpa senjata."
Bekas pengikut Kalamerta itu termangu-mangu. Pandangan
mata pengawal itu bagaikan bara yang memancarkan panas api
kemarahan. Untunglah Jati Wulung cepat melihat peristiwa itu. Dengan
tergesa-gesa ia mendekat sambil bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Satu penghinaan. Masalahnya bukan antara tawanan dan
pengawal. Tetapi antara laki-laki dan laki-laki. Biar ia mencari
senjata. Atau pinjamkan senjatamu." sahut pengawal yang
kehilangan kendali itu. Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata kepada tawanan itu, "Ikut aku."
27 SH. Mintardja Tetapi sikap tawanan itu masih juga menjengkelkan sekali. Ia
sempat berpaling kepada pengawal itu sambil berkata, "Nyawamu
telah diselamatkan."
Pengawal itu benar-benar tidak dapat mengekang diri. Sekali
lagi kakinya menyambar lambung. Demikian kerasnya sehingga
bekas pengikut Kalamerta itu terlempar selangkah dan terbanting
di tanah. Terdengar orang itu mengerang kesakitan. Namun di
wajahnya memancar kemarahan yang tidak tertahankan. Betapa
sakitnya lambungnya. Bahkan perutnya pun menjadi mual.
Ketika ia terhuyung-huyung bangkit, ia masih juga
menggeram, "Sayang, aku tidak mendapat kesempatan.
"Tutup mulutmu" bentak Jati Wulung, "jika kau masih saja
mengigau, akulah yang akan mematahkan lehermu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan geram ia berkata,
"Siapapun juga, jika aku mendapat kesempatan, aku akan
membuktikan bahwa secara pribadi, aku tidak kalah oleh setiap
orang yang dengan dada tengadah memasuki tempat ini. Kalian
memenangkan perang ini karena jumlah kalian jauh lebih
banyak." Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada
pengawal itu, "Biarlah aku yang menyelesaikannya."
Tetapi Jati Wulung tidak memberikan senjata kepada orang
itu. Justru ia telah memberikan pedang yang dibawanya kepada
pengawal yang juga marah itu.
"Biarlah aku yang menyelesaikannya, justru karena aku tidak
ingin melihat kematian-kematian lagi." katanya.
"Tetapi aku sudah dihinanya" geram pengawal itu, "biarlah
aku menyelesaikannya sebagai seorang laki-laki."
Tetapi Jati Wulung menggeleng. Katanya, "Serahkan
kepadaku." 28 SH. Mintardja Pengawal yang mengenal siapakah Jati Wulung itu tidak
memaksanya. Ia tahu, bahwa Jati Wulung memiliki kelebihan
jauh daripadanya. Itulah sebabnya maka ia pun terdiam.
Beberapa orang dikejauhan melihat apa yang agaknya akan
terjadi. Para prajurit yang siap dengan senjata ditangan, serta
para pengawal yang termangu-mangu. Namun merekapun
mengenal Jati Wulung. Sementara itu para Senapati Pajang
melihat Jati Wulung menyerahkan senjatanya kepada orang lain,
sehingga mereka pun mengerti, bahwa Jati wulung tidak ingin
membunuh. "Kecuali jika ia tersudut" desis Gandar yang melihat pula jarak
yang agak panjang. Untuk beberapa saat, kesempatan yang diberikan oleh Jati
Wulung itu memang menarik perhatian. Tetapi para prajurit dan
pengawal yang telah mendapat satu pengalaman, berusaha untuk
tetap menguasai para lawanan yang mendapat tugas
mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka, agar mereka
tidak terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi itu.
Beberapa. saat kemudian, bekas pengikut Kalamerta itu telah
bersiap. Ia masih sempat mengusap darah di mulutnya karena
giginya yang patah. Lambungnya sudah tidak begitu terasa sakit
lagi. "Kubunuh kau" geramnya.
Jati Wulung pun telah bersiap pula menunggu serangan orang
yang hampir menjadi gila itu.
Demikianlah maka orang itu pun telah benar-benar siap untuk
menerkam. Ketika ia melihat kesempatan terbuka, maka dengan
serta merta ia meloncat sambil mengayunkan tangannya kearah
wajah Jati Wulung. Jati Wulung memang terkejut melihat orang itu tidak
mengepalkan tangannya. Tetapi jari tangan orang itu terbuka,
sehingga seakan-akan ia sedang menerkam dengan kuku-
kukunya. . 29 SH. Mintardja "Cara yang kasar" geram Jati Wulung.
Namun ternyata Jati Wulung tidak mau berkepanjangan.
Apalagi ketika ia sadar, bahwa beberapa orang sedang
memperhatikannya, termasuk Senapati Pajang yang ada di
tempat itu. Karena itu, demikian tangan orang itu hampir menyentuh
wajahnya, maka tiba-tiba saja ia telah menangkap
pergelangannya. Hampir tidak disadari, apa yang dilakukannya,
maka tangan orang itu telah terpiliil di belakang punggungnya.
Demikian keras tekanan tangan Jati Wulung, sehingga terdengar
orang itu berteriak kesakitan.
"Nah, apa lagi yang akan kau katakan" geram Jati wulung,
"kau sangka bahwa kau benar-benar seorang yang memiliki
kemampuan untuk berkelahi melawan orang Sembojan?"
Orang itu menyeringai kesakitan. Tetapi ia masih berkata,
"Beri kesempatan kita bertempur dengan senjata."
"Baik" jawab Jati Wulung, "tetapi jangan salahkan aku jika aku
melubangi kedua belah matamu dan membiarkan kau tetap
hidup" Justru aku akan melepaskannya di tempat ini jika saatnya
kami kembali ke Sembojan."
Orang itu ternyata mulai berpikir. Sementara itu Jati Wulung
semakin menekan tangan orang itu dan berkata, "Sebelum
matamu aku lubangi, maka tanganmulah yang harus aku
patahkan." "Jangan" teriak orang itu.
"Jika demikian, katakan bahwa kau tidak akan berbuat gila
lagi." perintah Jati Wulung.
Orang itu agaknya masih juga berpegang pada harga dirinya.
Karena ita ia tidak mengatakan sebagaimana diperintahkan oleh
Jati Wulung. "Katakan" bentak Jati Wulung sambil menekan tangan itu
semakin keras. 30 SH. Mintardja Orang itu memang mengaduh. Tetapi ia tidak mengatakannya.
Jati Wulung yang hampir kehabisan kesabaran tiba-tiba tidak
saja menekan tangan orang itu, tetapi dengan keras orang itu
telah dibantingnya sehingga jatuh tertelungkup. Tangannya
masih terpilin di belakang, sementara kaki Jati Wulung telah
menginjak punggungnya. "Katakan, atau kau akan mati dengan cara ini" Jati Wulung
hampir berteriak sambil menekan lebih keras lagi.
Rasa-rasanya tangan dan bahkan punggung orang itu akan
patah. Perasaan sakit yang luar biasa telah menggigit sampai
ketulang. Karena itu orang itu tidak dapat berkata lain daripada,
"Baik. Baik. Aku akan mengatakannya."
"Katakan sekarang" bentak Jati Wulung.
"Ya" desis orang itu, "aku tidak akan melakukannya lagi."
"Katakan bahwa kau tidak akan berbuat gila lagi" tekan Jati
Wulung. "Ya. Aku tidak akan berbuat gila lagi" ulang orang itu.
"Setan" geram Jati Wulung, "sekarang apa katamu tentang
orang-orang Sembojan?"
"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak akan berbuat gila
lagi" berkata orang itu sambil menyeringai.
"Apa katamu tentang orang-orang Sembojan, he?"
Jati Wulung justru menekan tangan dan punggung orang itu
semakin keras. "Luar biasa" orang itu hampir tidak dapat berkata lagi karena
harus menahan sakit, "luar biasa."
Perlahan-lahan Jati Wulung melepaskan tangan orang itu.
Kemudian ditendangnya lambungnya sambil berkata, "Bangkit,
dan ikuti aku." 31 SH. Mintardja Orang itupun kemudian terhuyung-huyung bangkit pula.
Rasa-rasanya ia melihat Jati Wulung seperti sesosok hantu
dimatanya. Sorot matanya yang membara terasa menusuk sampai
kejantung. "Ikut aku" bentak Jati Wulung sekali lagi.
Orang itu pun telah berjalan mengikuti Jati Wulung. Ia
sempat berpaling hanya sekejap, memandang pengawal
yang kemudian menyerahkan kembali pedang Jati Wulung
itu. Tetapi ia pun segera menundukkan kepalanya, karena
pengawal itu masih juga memandangnya dengan penuh
kemarahan. Tindakan Jati Wulung yang keras itu memang
mempunyai pengaruh. Bekas prajurit Jipang dan bekas
pengikut Kalamerta harus berpikir ulang jika mereka akan
membuat persoalan lagi dengan para prajurit Pajang atau
para pengawal Tanah erdikan. Ternyata bahwa dalam
keadaan tertentu mereka memang akan melakukan
kekerasan. Demikianlah, atas dasar beberapa pengalaman maka
para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan menjadi lebih berhati-hati. Bagi mereka, maka
bekas para prajurit Jipang dan bekas pengikut Kalamerta
adalah orang-orang yang menjadi putus asa dan kehilangan
pegangan. Karena itu, maka sebagian dari mereka melihat
kematian adalah satu-satunya jalan keluar dari
ketidakpastian itu. Namun mereka tidak mendapat kesempatan lagi. Apalagi
setelah mereka selesai mengumpulkan kawan-kawan
mereka yang terluka dan menyelenggarakan kawan-kawan
mereka yang terbunuh. Sementara itu para prajurit Pajang dan para pengawal
Tanah Perdikan telah mengadakan pembenahan diri di
32 SH. Mintardja hari-hari berikutnya. Namun satu-satu masih juga ada di
antara mereka yang terluka parah yang tidak dapat ditolong
lagi. Baik di antara para prajurit Pajang, para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan, maupun di antara bekas prajurit
Jipang dan bekas para pengikut Kalamerta.
Bagaimana para petugas yang memiliki kemampuan
dalam ilmu pengobatan berusaha keras, namun
kemampuan mereka pun terbatas, sehingga karena itu,
maka pengobatan mereka atas orang-orang yang terluka,
terutama yang parah, ada juga yang mengalami kegagalan.
Dalam pada itu, maka para pemimpin prajurit Pajang
dan pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mengadakan
pembicaraan tentang sikap yang akan mereka ambil
selanjutnya. Namun pada umumnya mereka berpendapat, bahwa
mereka tidak akan dapat melanjutkan usaha mereka untuk
menumpas sampai tuntas kekuatan Ki Rangga Gupita dan
Warsi. "Saat ini mereka tentu sudah mengalihkan sarang-sarang
mereka," berkata seorang Senapati Pajang.
Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat.
Ki Rangga dan Warsi adalah orang-orang yang cerdik.
Sekaligus licik. Meskipun kekuatan mereka telah
dipatahkan disini, namun bukan berarti bahwa mereka akan
menghentikan kegiatan mereka. Apalagi mereka tentu
masih mempunyai persediaan harta benda yang cukup.
Sebagaimana kita ketahui, disini, salah satu dari sarangnya,
terdapat sekian banyak harta benda yang sangat berharga.
Kita dapat membayangkan, dibeberapa sarang yang lain,
bahkan dipusat kepemimpinan mereka, tentu terdapat harta
benda yang lebih banyak lagi."
33 SH. Mintardja "Namun semuanya itu menjadi semakin sulit kita
dapatkan," desis seorang perwira Pajang.
Panglima pasukan Pajang itu pun mengangguk-angguk.
Memang tidak banyak gunanya jika mereka mengerahkan
kekuatan yang masih ada untuk pergi ke sarang-sarang Ki
Rangga dan Warsi berikutnya. Pengenalan para tawanan
tentu tidak akan banyak menolong untuk menunjukkan
kemana semua harta benda yang sudah dikumpulkan itu
disembunyikan. Menurut pendapat panglima prajurit Pajang itu, bahwa
yang tertawan di antara mereka yang datang bersama Ki
Rangga dan Warsi tentu berasal dari beberapa sarang yang
tersebar. Tetapi seperti pendapat para Senapatinya dan para
pemimpin pengawal Tanah Perdikan, bahwa sarang-sarang
itu tentu sudah dikosongkan.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi apa yang akan kita lakukan?" bertanya Panglima itu
meskipun sebenarnya ia sendiri sudah mempunyai rencana.
Pertanyaan itu sekadar ingin menyesuaikan apakah
pendapatnya sama dengan pendapat para Senapati yang
lain dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan.
Dalam pada itu seorang di antara para Senapatinya pun
berkata, "Kita akan membawa semuanya kembali. Para
tawanan dan harta benda yang telah didapat oleh para
pengikut Ki Rangga Gupita. Memang sulit untuk
menemukan kembali siapakah yang telah kehilangan harta
benda sebanyak itu yang agaknya telah dikumpulkan dalam
waktu yang cukup lama. Namun Pajang agaknya akan dapat
mempunyai cara yang paling baik untuk mempergunakan
harta benda itu sehingga manfaatnya dapat dirasakan
kembali oleh orang banyak, dan barangkali termasuk
mereka yang telah kehilangan."
34 SH. Mintardja Panglima pasukan Pajang itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Baiklah. Aku sependapat. Kita akan kembali
dengan membawa semua harta benda dan tawanan. Semua
kebijaksanaan akan kita serahkan kepada Kanjeng Sultan
Hadiwijaya. Benda-benda yang berharga tinggi mungkin
masih akan dapat ditelusuri siapakah pemiliknya."
Para pemimpin dari Pajang dan Tanah Perdikan
Sembojan sependapat dengan rencana itu. Tetapi mereka
tidak dapat dengan tergesa-gesa meninggalkan sarang itu.
Beberapa orang masih belum dapat bangkit dari
pembaringan. Baik para prajurit Pajang dan para pengawal
Tanah Perdikan Sembojan, maupun para tawanan yang
terluka parah. Sedangkan mereka pun tidak akan dapat meninggalkan
orang-orang yang terluka disarang itu.
Sementara itu para pemimpin dari Pajang dan Tanah
Perdikan Sembojan masih memperkirakan kemungkinan-
kemungkinan buruk yang dapat terjadi jika Ki Rangga dan
Warsi berhasil menghimpun kekuatan yang lebih besar lagi.
"Kemungkinan yang kecil sekali," berkata Panglima
prajurit Pajang. "Kita telah menghancurkan mereka. Mereka
tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk bertempur.
Tetapi mereka tentu masih memiliki tenaga yang memadai
untuk memindahkan sarang-sarang mereka dengan segala
isinya." Dengan demikian maka pasukan Pajang dan para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan untuk beberapa lama
masih harus tinggal ditempat itu. Untunglah bahwa selain
bekal yang mereka bawa, di tempat itu terdapat timbunan
bahan-bahan makanan yang mereka perlukan, sehingga
para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan itu
35 SH. Mintardja tidak perlu cemas, bahwa mereka akan kekurangan
makanan. Sementara itu, Ki Rangga Gupita dan Warsi yang berhasil
melepaskan diri dari tangan-tangan Pajang dan Tanah
Perdikan Sembojan masih berada di antara orang-orangnya
yang sempat mengikutinya. Seperti yang diduga dan
diperhitungkan oleh para pemimpin prajurit Pajang dan
para pengawal Tanah Perdikan Sembojan, yang pertama-
tama dilakukan oleh Ki Rangga Gupita dan Warsi adalah
menyelamatkan harta benda yang telah mereka kumpulkan,
yang mereka sebut sebagai bekal untuk membiayai rencana
mereka menegakkan kembali kuasa Jipang dan
menghancurkan Pajang. Namun dalam pada itu, Ki Rangga dan Warsi pun telah
mengumpat tidak ada habis-habisnya. Kekuatan mereka
benar-benar telah dipatahkan. Sebagian besar pengikutnya
telah dihancurkan dan ditawan. Hanya sebagian kecil saja di
antara mereka yang sempat melarikan diri bersamanya.
Sehingga dengan demikian, maka kekuatannya yang tinggal
seakan-akan sudah tidak berarti lagi.
"Kita harus mulai dari permulaan," berkata Ki Rangga
geram. "Apaboleh buat," sahut Warsi. "Tetapi aku masih tetap
pada pendirianku. Aku akan memasuki Sembojan dan
mempergunakan Sembojan sebagai landasan untuk
perjuangan selanjutnya. "Tetapi kita tidak boleh lepas dari kenyataan," berkata Ki
Rangga yang agaknya lebih banyak mempergunakan
penalaran daripada perasaannya. "Untuk memasuki
Sembojan sekarang ini bukan satu pekerjaan yang mudah.
Kita tidak lagi dapat menekan Sembojan dengan kekuatan.
Anak terkutuk itu tidak juga memberikan kemungkinan
36 SH. Mintardja apapun juga. Apalagi bahwa anak iblis yang ada di
Sembojan itu masih hidup."
Warsi termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba kebenciannya
kepada anaknya sendiri, yang dikandung dan dilahirkannya,
menjadi semakin memuncak. Di wajah anak itu terbayang
semua kegagalan yang pernah dialaminya. Kekecewaan
terhadap Ki Wiradana telah ditumpahkannya semuanya
kepada anaknya meskipun anak itu dilahirkannya sendiri.
Tetapi anak itu lahir karena benih yang ditanam oleh Ki
Wiradana yang mengecewakan itu.
Di hari-hari pertama, maka Ki Rangga Gupita dan Warsi
telah berhasil memindahkan semua kekayaan yang
dimiliknya. Dari satu persembunyian kepersembunyian
yang lain. Namun demikian Ki Rangga Gupita dan Warsi sama
sekali tidak menyentuh padepokannya. Padepokan yang
memberikan kesan yang berlawanan dengan tata kehidupan
Ki Rangga dan Warsi yang sebenarnya, karena padepokan
itu dianggap sebagai sebuah padepokan yang bersih, penuh
perasaan kasih dan memancarkan kehidupan yang bening
sebagaimana mata air yang memberikan daya kehidupan
bagi yang sempat mendapatkan alirannya.
Ki Rangga dan Warsi masih tetap berhasil membuat
sekat pemisah antara dua wajah kehidupan yang
ditempuhnya. Ia pun berhasil membatasi pengenalan para
pengikutnya atas padepokannya yang tenang dan
bernafaskan kedamaian itu.
Tetapi disisi lain, Ki Rangga dan Warsi telah tenggelam
semakin dalam di kehidupan yang kelam.
Justru karena pengikutnya menjadi semakin sedikit
setelah dihancurkan oleh pasukan Pajang dan Tanah
37 SH. Mintardja Perdikan Sembojan, maka Ki Rangga Gupita dan Warsi
sendiri tidak segan-segan untuk ikut serta mengumpulkan
harta benda dengan cara yang kasar itu.
Sementara itu, setelah beberapa hari pasukan Pajang dan
Tanah Perdikan Sembojan berada disarang Ki Rangga yang
berhasil direbut itu, maka mereka telah mulai berkemas
untuk kembali ke Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan.
Sebagian dari mereka yang terluka telah mulai nampak
baik. Mereka sudah sanggup menempuh perjalanan
meskipun mungkin sangat lambat. Sedangkan mereka yang
memang tidak sanggup untuk berjalan karena luka-lukanya
yang berat, maka Panglima pasukan Pajang telah
memerintahkan membuat semacam tandu yang sederhana.
Para prajurit Pajang dan para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan akan membawa kawan-kawan mereka yang
memang benar-benar tidak dapat berjalan dengan tandu
itu. Sementara para pengikut Ki Rangga akan membawa
kawan-kawan mereka yang terluka pula.
Demikianlah, maka persiapan itu pun telah dilakukan
selama tiga hari. Beberapa buah tandu yang sederhana telah
dibuat dengan bambu dan tali-tali ijuk.
Demikian pula para prajurit Pajang telah membuat
tempat yang akan dapat dipergunakan untuk membawa
harta benda yang mereka ketemukan didalam goa, yang
agaknya telah dipertahankan dengan sekuat tenaga oleh
para pengikut Ki Rangga Gupita. Sehingga karena itu, maka
ternyata korban menjadi terlalu banyak yang jatuh.
Tetapi harta benda yang terdapat didalam goa itu
memang cukup banyak. Harta benda yang oleh Ki Rangga
selalu dikatakan kepada para pengikutnya sebagai bekal
untuk menegakkan kembali kuasa Jipang dan sekaligus
menghancurkan Pajang. 38 SH. Mintardja Demikianlah setelah semua siap, maka dibawah
pengawasan para Senapati Pajang dan para pemimpin
pengawal Tanah Perdikan Sembojan, maka harta benda dari
dalam goa itupun telah dikeluarkan.
Semua mata terbelalak melihat harta benda yang sekian
banyaknya itu. Beberapa kotak perhiasan perempuan yang
terbuat dari emas. Bahkan terdapat pula permata intan dan
berlian. Sebagian lagi kotak-kotak yang berisi pendok keris
dari emas, timang emas dengan tretes berlian, serta benda-
benda berharga lainnya. Panglima pasukan Pajang yang melihat perhiasan itu
menggeleng gelengkan kepalanya. Katanya, "Dimana saja
benda-benda itu telah diambil?"
Gandar termangu-mangu menyaksikan benda-benda itu.
Ia melihat tongkat gading yang tidak terlalu besar. Di ujung
dan pangkalnya telah diselut dengan emas dan permata.
"Bukan main" desis Gandar, "yang sebuah itu saja
harganya tentu mahal sekali."
"Itu adalah hasil yang didapat oleh para pengikutnya
selama mereka mengembara setelah Jipang jatuh" berkata
seorang Senapati. Dengan pengikut yang besar, maka
dengan cepat Ki Rangga berhasil mengumpulkan benda-
benda berharga itu. Agaknya daerah yang pertama-tama
menjadi sasaran adalah justru daerah medan pertempuran
itu. Pada saat-saat mereka mulai terdesak, maka setiap
padukuhan yang disinggahi telah dikuras habis. Apalagi
padukuhan-padukuhan yang ditinggalkan mengungsi oleh
penghuninya yang dengan tergesa-tergesa meninggalkan
tempat tinggalnya." "Tentu masih ada beberapa tempat penyimpanan yang
lain" desis Sambi Wulung.
39 SH. Mintardja "Ya. Tentu masih" sahut Panglima pasukan Pajang,
"tetapi kami gagal untuk mencapainya, justru karena
pasukan Ki Rangga Gupita telah datang dan menyerang
tempat ini. Bahkan mungkin masih lebih banyak dari yang
tersimpan ditempat ini."
Para Senapati dan para pemimpin pengawal Tanah
Perdikan Sembojan mengangguk-angguk. Tetapi mereka
harus mengakui kenyataan itu, bahwa mereka telah gagal
untuk mencapai beberapa sarang Ki Rangga dan Warsi.
Namun demikian agaknya mereka telah berhasil
mematahkan pasukan Ki Rangga dan Warsi, karena
sebagian besar orang-orangnya telah terbunuh dan
menyerah. Demikianlah, setelah semua persiapan selesai, pasukan
Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan itu pun telah bersiap
untuk meninggalkan tempat itu. Di paling depan pasukan
Pajang yang membawa tanda-tanda kebesaran diiringi oleh
beberapa kelompok pasukan yang kuat. Bagaimanapun juga
mereka harus memperhitungkan saat-saat mereka
menuruni lorong itu. Jika para tawanan menjadi gila, maka
pasukan yang berada di depan itulah yang pertama-tama
harus menahan mereka. Di belakang mereka, kelompok-kelompok pasukan
Pajang mengawasi para tawanan yang mereka kelompokkan
pula. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka kelompok-
kelompok tawanan itu pun disekat oleh kelompok-
kelompok prajurit Pajang.
Sementara itu, para tawanan harus membawa kawan-
kawan mereka yang memang tidak mampu untuk berjalan.
Dibelakang para tawanan adalah para prajurit Pajang
yang membawa benda-benda berharga, juga di atas tandu.
Baru kemudian di paling belakang adalah mereka yang
40 SH. Mintardja membawa kawan-kawan mereka yang yang masih belum
mampu untuk berjalan sendiri bersama-sama dengan para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang pada saatnya
akan memisahkan diri. Hampir di ujung belakang, Jati Wulung yang berdiri
bersama dengan Damar dan Saruju, sempat berbicara
banyak tentang pengikut Ki Rangga dan cara mereka
mencari harta benda itu. "Kami berdua pernah melakukannya," berkata Damar
yang kadang-kadang masih merasakan lukanya agak pedih.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia
bertanya, "Apakah kalian membunuh pula dalam
perampokan-perampokan itu?"
"Kami berusaha untuk tidak melakukannya," Saruju lah
yang menjawab. "Tetapi satu dua kali, kelompok kami
terpaksa juga melakukannya. Bahkan mungkin para bekas
prajurit Jipang dan para pengikut Kalamerta itu lebih
banyak melakukannya."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Saruju berkata pula, "Kadang-kadang kami memang
disudutkan untuk melakukan pembunuhan."
"Perbuatan yang memang harus dicegah," desis Jati
Wulung. "Pengalaman itulah yang sampai sekarang masih tetap
menyiksa perasaan kami," berkata Saruju. "Rasa-rasanya
kami selalu dikejar-kejar oleh dosa-dosa kami. Namun
kesempatan untuk ikut serta menumpas kejahatan seperti
ini rasa-rasanya telah memperingan beban kami. Seakan-
akan kami mendapat kesempatan untuk menebus utang-
utang kami." 41

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SH. Mintardja Jati Wulung sempat memandang wajah kedua anak
muda itu. Dari sorot matanya, mereka benar-benar
menunjukkan penyesalan yang mendalam.
Karena itu, maka Jati Wulung pun berkata, "Kalian
masih mempunyai banyak kesempatan untuk
menunjukkan, bahwa yang kalian lakukan itu bukannya
tumbuh dari nurani kalian. Kalian terpaksa melakukannya
karena kalian memang tidak mempunyai pilihan lain.
Ternyata ketika kesempatan itu terbuka, maka kalian telah
memilih jalan lain meskipun dengan demikian kalian
terancam maut." "Agaknya mati akan merupakan jalan yang lebih baik
daripada kami harus kembali mengulangi perbuatan yang
terkutuk itu," sahut Damar.
Jati Wulung merasa bahwa yang diucapkan itu benar-
benar memancar dari dasar hati. Kedua anak muda yang
telah mengalami hidup dalam dunia yang kelam itu dapat
memperbandingkannya dengan dunianya yang kini
dipilihnya. Sementara itu, setelah para Senapati dan Gandar yang
ikut serta menentukan langkah-langkah pasukan itu
menganggap semuanya telah siap, maka mereka telah
menyerahkannya kepada Panglima untuk memberikan aba-
aba, sementara para Senapati dan Gandar telah kembali ke
dalam pasukan masing-masing.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Panglima pasukan
Pajang itu pun telah menjatuhkan perintah kepada
pasukannya untuk bersiap sepenuhnya. Ketika kemudian
bende berbunyi yang pertama kali, maka setiap orang telah
tegak ditempat masing-masing. Tandu pun telah mulai
diangkat, sementara para Senapati dan pemimpin kelompok
telah berada di antara kelompok mereka.
42 SH. Mintardja Para bekas prajurit Jipang, ketika mendengar bende dan
aba-aba itu, terasa kulit mereka pun meremang. Mereka
teringat pada saat mereka masih berada di dalam pasukan
yang teratur seperti pasukan Pajang itu. Mereka pun pernah
berdiri di dalam barisan yang ditandai dengan tunggul,
rontek dan kelebet. Mereka pun pernah mendapat aba-aba
langsung dengan suara bende. Ketika bende berbunyi untuk
pertama kali, maka mereka pun mulai bergerak.
Kini mereka mendengar suara bende. Tetapi mereka pun
sadar, bahwa aba-aba itu tidak ditujukan kepada mereka.
Tetapi kepada para prajurit Pajang yang justru telah
menawan mereka. Para bekas prajurit Jipang itu menyadari,
bahwa mereka saat itu adalah tawanan yang tidak dapat
mengangkat dadanya setelah mendengar aba-aba. Jika
kemudian mereka harus berjalan, maka mereka akan
berjalan dengan kepada tunduk. Dibelakang mereka prajurit
Pajang siap menerkam mereka dengan ujung tombak jika
mereka melakukan sedikit saja kesalahan.
Sesaat kemudian telah terdengar suara bende untuk yang
kedua kalinya. Para pemimpin kelompok pun kemudian
telah memerintahkan pasukannya untuk berangkat kembali
ke Pajang, meninggalkan sarang para pengikut Ki Rangga
Gupita yang beberapa hari yang lalu bagaikan menjadi
neraka. Untuk memberikan alas kebanggaan bagi pasukannya,
maka tunggul, rontek dan kelebet pun telah diangkat di
ujung pasukan. Tanda-tanda kebesaran itu memang
memberikan dorongan kekuatan bagi para prajurit Pajang.
Mereka akan selalu menyadari, bahwa kehadiran mereka
ditempat itu adalah karena mereka menjunjung tinggi
perintah Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Bahkan
mereka yang terluka, yang masih merasakan pedih dan
43 SH. Mintardja sakit, telah melupakannya. Mereka berjalan dengan dada
tengadah memandang lambaian kelebet yang tersangkut
pada tunggulnya. Demikianlah, maka ujung pasukan itu pun telah
mencapai inulut lorong yang sempit itu. Dengan hati-hati
ujung pasukan itu mulai memasuki jalan yang menurun.
Mereka memang tidak berjalan terlalu cepat. Bukan karena
mereka tidak dapat melakukannya. Tetapi Senapati yang
berada diujung pasukan itu harus memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Jika mereka
berjalan terlalu cepat, tanpa menghiraukan tubuh dan ekor
dari pasukan itu, maka hal itu akan merupakan satu.
kelengahan. Karena justru didalam tubuh pasukan itu
terdapat para tawanan yang jumlahnya cukup banyak.
Karena itu, maka perlahan-lahan pasukan itu merayap
turun. Mereka yang masih belum sembuh benarpun tidak
akan dapat berjalan terlalu cepat.
Seperti seekor ular naga raksasa, pasukan itu menyusuri
lorong yang berkelok-kelok. Namun yang di sebelah
menyebelahnya menganga jurang yang cukup dalam.
Tetapi perjalanan mereka tidak terlalu mendebarkan
sebagaimana saat mereka memanjat lorongitu.;Perjalanan
mereka saat itu tidak lagi ditunggu aleh ujung-ujung senjata
yang akan dapat melubangi tubuh mereka.
Meskipun demikian mereka tidak dapat meninggalkan
kewaspadaan karena didalam tubuh mereka terdapat orang-
orang yang telah berusaha menghancurkan pasukan itu.
Para tawanan yang ada didalam iring-iringan itu memang
tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Mereka mengerti bahwa pasukan yang ada dipaling depan
dari pasukan yang merayap turun itu adalah kekuatan yang
44 SH. Mintardja sulit untuk ditembus, meskipun para tawanan pun telah
disekat-sekat oleh kelompok-kelompok prajurit Pajang yang
akan dapat menghancurkan mereka jika ada diantara para
tawanan yang akan melarikan diri.
Ternyata mereka memerlukan waktu yang cukup lama
untuk menempuh perjalanan menuruni lorong itu. Ketika
ujung pasukan itu sudah sampai ke tanah yang agak datar,
maka perjalanan mulai menjadi lebih rancak, meskipun
mereka masih harus selalu mengingat bahwa ekor
pasukannya masih berada di lorong yang menurun itu.
Namun dalam pada itu, pasukan itu tidak menyadari,
bahwa dari kejauhan mereka selalu diawasi oleh beberapa
orang yang berdiri berpencar dan berlindung di belakang
gerumbul-gerumbul perdu. Dari gumuk-gumuk yang terdapat disana-sini, orang-
orang itu mengawasi pasukan
Pajang yang meninggalkan bukit yang pernah menjadi
sarang para pengikut Ki Rangga dan Warsi. Bahkan di
antara mereka terdapat Ki
Rangga dan Warsi itu sendiri.
Telah beberapa hari mereka menempatkan pengawas disekitar bukit itu.
Bahkan di malam yang gelap,
satu dua orang yang paling
berani di antara para pengikut Ki Rangga yang tersisa, telah
berani memanjat tebing yang dalam yang langsung
mencapai bagian belakang dari barak. Karena para prajurit
Pajang dan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan tidak
45 SH. Mintardja menduga sama sekali akan hal itu, maka orang-orang itu
ternyata telah luput dari pengamatan para petugas yang
berjaga-jaga di barak itu.
Merekalah yang kemudian melaporkan kepada Ki Rangga
dan Warsi bahwa nampaknya para prajurit yang berada di
sarang itu sudah bersiap-siap untuk pergi.
Itulah sebabnya, maka Ki Rangga dan Warsi telah
memerlukan untuk menunggui mereka di atas gumuk kecil
di dekat mulut lorong itu.
Beberapa saat lamanya mereka menunggu pasukan itu
merambat dengan malasnya. Bahkan Ki Rangga yang tidak
telaten itu telah mengumpat.
"Pemalas-pemalas itu nampaknya sudah kelaparan,"
geram Ki Rangga. "Jika aku mempunyai kekuatan yang
memadai, maka sekaranglah saatnya menghancurkan
mereka." Tidak seorang pun yang menjawab. Namun hampir
semua orang menganggap pasukan itu merayap terlalu
lamban. Tetapi bagaimanapun lambannya, namun akhirnya orang
yang terakhir telah lepas dari lorong yang menurun itu.
Agaknya Jati Wulunglah orang yang terakhir dari iring-
iringan yang cukup panjang itu. Damar dan Saruju yang
berjalan agak di depan mereka karena keduanya berada di
dalam barisan. Sekali Jati Wulung masih berpaling. Namun ia pun
kemudian telah melangkah menyusul pasukan yang
berjalan agak lebih cepat itu.
Sementara itu, karena iring-iringan itu kemudian
berjalan ditanah datar dan tidak sempit oleh jurang, maka
46 SH. Mintardja pengawasan terhadap para tawanan menjadi lebih ketat.
Para tawanan akan dapat mengambil setiap kesempatan
untuk melarikan diri. Jika mereka memang sudah berputus
asa, maka mereka tidak akan dapat meloncat ke halaman
disebelah menyebelah lorong yang mereka lewati jika iring-
iringan itu melalui padukuhan. Namun mereka akan dapat
juga meloncat ke sawah dan berusaha menyelinap di antara
tanaman-tanaman yang berbatang panjang.
Karena itulah, maka kemudian para prajurit Pajang pun
telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan.
Dalam pada itu, ketika ekor pasukan itu menjadi semakin
jauh dari ujung lorong yang menurun dari puncak bukit itu,
maka Ki Rangga Gupita bersama Warsi dengan beberapa
orang pengiringnya telah memanjat lorong itu. Mereka telah
didorong oleh satu keinginan untuk melihat bekas sarang
mereka yang telah dihancurkan oleh prajurit Pajang dan
Pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Ketegangan telah mencengkam jantung mereka ketika
mereka memasuki pelataran goa yang masih nampak
menganga itu. Namun yang sudah tidak berarti apa-apa lagi
bagi mereka. Isi goa itu telah habis dibawa oleh para
prajurit Pajang, sehingga tidak ada lagi yang tersisa.
Namun demikian, Ki Rangga dan Warsi itu pun telah
memasuki goa itu pula. Ketegangan memang semakin
mencengkam jantung. Mereka melihat sudut-sudut goa
yang tidak lagi menjadi tempat menyimpanan harta benda
yang sangat berharga, yang mereka dapatkan dengan susah
payah, bahkan sekali-kali telah mengorbankan nyawa.
Mungkin pemiliknya, tetapi mungkin seorang di antara
orang-orangnya yang telah melakukan perampokan itu.
47 SH. Mintardja "Orang-Orang Pajang memang gila" geram Ki Rangga.
"Mereka melibatkan diri langsung persoalan Tanah
Perdikan Sembojan." "Terkutuklah orang-orang Pajang," geram Warsi pula.
Namun Ki Rangga tidak dapat ingkar, bahwa
sebenarnyalah ia menyadari bahwa persoalannya bukan
sekadar persoalan Tanah Perdikan Sembojan, tetapi
persoalan antara Pajang dan sisa-sisa kekuatan Jipang.
Apalagi kekuatan Jipang yang tersisa itu telah melakukan
gangguan bagi ketenangan hidup di wilayah Pajang. Dengan
pertimbangan itulah maka dua kepentingan telah bertemu
antara kekuatan Pajang dan kekuatan Tanah Perdikan
Sembojan untuk memusuhi Ki Rangga dan Warsi. Sembojan
berkepentingan mematahkan kekuatan Ki Rangga dan
Warsi yang tersisa, agar mereka tidak lagi mampu
mengganggu ketenangan Sembojan, apalagi mendudukinya.
Sementara Pajang ingin mempertahankan kedamaian di
Pajang setelah Pajang berhasil mengalahkan Jipang.
Apalagi sebagai satu negara, maka Pajang memang wajib
melindungi rakyatnya yang jika perlu memang dengan
kekerasan. Namun dalam pada itu dendam Warsi pun juga tidak
kunjung padam kepada orang-orang terutama para
pemimpin Sembojan. Ketika ia kemudian melihat-lihat
barak yang telah dipergunakan oleh para prajurit Pajang
dan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan, maka
darahnya bagaikan mendidih. Kemarahannya tidak dapat
dikekang lagi, sehingga ia pun kemudian menggeram, "Aku
sendiri akan membunuh anak Iswari."
"Apa yang kau katakan?" bertanya Ki Rangga Gupita.
48 SH. Mintardja "Aku sendiri akan datang ke Tanah Perdikan Sembojan
dan membunuh Risang. Anak iblis itu harus mati. Aku tidak
peduli lagi, apakah Puguh akan mendapatkan hak untuk
menggantikannya jika ia mati. Tetapi kematiannya itu
sendiri akan dapat memberikan kepuasan atas dendamku
itu," jawab Warsi yang tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Ki Rangga Gupita tidak mencegahnya justru pada saat
jantung Warsi bergejolak. Jika ia berusaha mencegahnya
saat itu, maka Warsi justru akan pergi ke Sembojan saat itu
juga. Karena itu, maka Ki Rangga pun justru telah melangkah
meninggalkan Warsi yang termangu-mangu. Ki Rangga itu
berjalan hilir mudik sambil memperhatikan barak-barak
yang kosong. Namun yang isinya tidak lagi teratur. Agaknya
pada saat pasukan Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan
akan meninggalkan tempat itu, mereka telah memindah-
mindahkan isi barak-barak itu.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, maka Ki Rangga dan Warsi pun telah
pergi pula ke lumbung persediaan pangan mereka. Ternyata
lumbung itu memang tidak kosong sama sekali. Masih ada
bekal yang tersisa. Tetapi sebagian besar dari beras yang
tersimpan telah dipergunakan oleh para prajurit Pajang dan
para Pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
"Kau lihat," geram Warsi. "Bahwa prajurit Pajang pun
tidak kalah rakusnya dengan tikus-tikus beras" Mereka
telah menghabiskan persediaan beras kita. Aku ingin tahu,
apa yang akan terjadi jika kita tidak mempunyai persediaan
beras yang demikian banyaknya."
Ki Rangga tidak menjawab. Tetapi ia sempat berkata
kepada diri sendiri, "Tentu para pengikutku juga yang
makan beras itu selain para prajurit Pajang dan para
49 SH. Mintardja pengawal Tanah Perdikan, karena para pengikutku itu telah
tertawan. Jika prajurit Pajang tidak membawa bekal sendiri,
demikian pula para pengawal Tanah Perdikan, maka beras
itu tentu sudah habis."
Beberapa saat kemudian, mereka pun telah mengelilingi
seluruh sarang mereka yang telah direbut oleh orang-orang
Pajang dan gagal direbut kembali itu. Rasa-rasanya dendam
yang menyala di dalam hati Warsi bagaikan disiram dengan
minyak. Karena itu maka ia benar-benar bertekat untuk
membunuh Risang sebagai pelepasan dendam dan sakit
hatinya. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Gupita, Warsi dan
para pengikutnya tidak segera meninggalkan tempat itu.
Mereka masih ingin mengenang kembali saat-saat tempat tu
masih mereka pergunakan sebagai sarang dan tempat
penyimpanan harta benda meskipun tidak seluruhnya.
Mereka menduga, bahwa tempat itu sulit untuk dicapai
karena hanya sebuah lorong saja yang menghubungkan
tempat itu. Namun ternyata sepasukan Pajang dan Tanah
Perdikan yang kuat telah berhasil menghancurkan
pertahanan di tempat itu meskipun mereka telah bertempur
dengan tidak mengenal takut. Tetapi dengan demikian
maka korban pun jatuh tanpa perhitungan.
Karena di dalam goa itu masih terbentang beberapa helai
tikar pandan, maka mereka pun telah duduk-duduk di
dalam goa itu. Meskipun tidak lagi terdapat harta benda
yang tidak terhitung banyaknya.
Sementara itu pasukan Pajang dan pasukan pengawal
Tanah Perdikan menjadi semakin jauh. Para prajurit Pajang
telah berusaha sejauh-jauhnya agar tidak terjadi hal-hal
yang dapat mengguncangkan iring-iringan itu. Para
tawanan telah mendapat pengamatan yang seksama,
50 SH. Mintardja sehingga sulit sekali seorang atau sekelompok dari mereka
menemukan lubang untuk melarikan diri.
Dengan para tawanan, bahkan dengan orang-orang yang
terluka, maka perjalanan pasukan itu menjadi semakin
lamban. Meskipun yang terluka parah sudah diusung pakai
tandu, tetapi masih juga ada di antara mereka yang merasa
sudah baik dan berjalan sendiri, mamun akhirnya
mengalami kesulitan karena lukanya yang bagaikan kambuh
lagi. Meskipun demikian betapapun lambatnya, pasukan itu
tetap bergerak maju sebagaimana dikehendaki Panglima
Pajang. Bahkan jika perlu, maka orang-orang yang benar-
benar tidak lagi mampu berjalan akan didukung oleh
kawan-kawannya. Atau bergantian naik tandu yang
dipanggul oleh kawan-kawan mereka sendiri.
Dalam perjalanan yang lambat itu, iring-iringan yang
cukup panjang itu tidak dapat mencapai Kedung Waringin.
Karena itu, mereka telah bermalam disebuah padukuhan
yang lain. Dengan menunjukkan tanda-tanda kebesaran
pasukan Pajang, maka mereka tidak mengalami kesulitan
untuk mendapatkan tempat bermalam.
Panglima Pajang telah mengambil satu kebijaksanaan,
bahwa yang justru akan berada di banjar adalah semua
tawanan. Pintu banjar akan ditutup dan diselarak dari luar.
Demikian pula semua pintu samping dan pintu butulan.
Dengan demikian maka para prajurit akan menjadi lebih
mudah mengawasi mereka. Sementara itu prajurit justru berada di pendapa dan
diserambi. Serambi depan, serambi samping dan bahkan
diserambi belakang. Mereka telah membentangkan tikar
yang mereka pinjam dari banjar itu pula. Tanpa menunggu
51 SH. Mintardja perintah, maka mereka telah berbaring bertebaran, selain
yang mendapat perintah untuk bertugas.
Sementara itu para Senapati dan para pemimpin
pengawal Tanah Perdikan dengan waspada pula ikut
mengamati para tawanan yang semuanya telah berada di
banjar. Ternyata di banjar padukuhan itu, para prajurit dan para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan telah mendapat
sambutan yang sangat baik. Ki Bekel padukuhan itu telah
memerintahkan sekelompok perempuan untuk menyiapkan
makan dan minum bagi para prajurit, para pengawal namun
juga para tawanan. Di banjar itu, dengan tiba-tiba telah terjadi kesibukan
seolah-olah banjar itu baru saja dipergunakan untuk sebuah
peralatan. Dimana-mana terdapat seorang yang berbaring
kelelahan. Apalagi mereka yang memang masih dalam
perawatan karena luka-luka mereka.
Lewat tengah malam, makan dan minuman itu baru siap.
Namun ternyata bahwa justru karena itu, maka makanan
dan minuman itu terasa nikmat sekali, meskipun makanan
itu tidak lebih dari nasi bungkus.
Iring-iringan itu hanya bermalam semalam di padukuhan
itu. Pagi-pagi benar mereka meneruskan perjalanan.
Meskipun mereka akan sampai ke Kademangan Kedung
Waringin sebelum matahari mendekati punggung bukit,
tetapi agaknya Senapati Pajang itu pun telah memutuskan
bahwa mereka juga akan bermalam di Kademangan Kedung
Waringin. Di Kedung Waringin nanti, pasukan itu akan terbagi.
Iring-iringan itu kemudian menelusuri jalan-jalan yang
menghubungkan antara padukuhan-padukuhan dengan
52 SH. Mintardja menarik banyak perhatian. Tetapi hampir setiap orang
mengenali, bahwa iring-iringan itu adalah prajurit Pajang
yang membawa tawanan. Demikianlah, ketika pasukan itu memasuki Kademangan
Waringin, maka mereka telah diterima oleh Demang
Kedung Waringin di banjar Kademangan. Seperti malam
sebelumnya, maka para tawananlah yang kemudian
dimasukkan ke dalam banjar. Sementara itu, para prajurit
berada di pendapa banjar dan diserambi sekitar banjar.
Yang tidak mendapat tempat, maka oleh Ki Demang telah
ditempatkan di rumah-rumah yang memadai di sekitar
banjar itu. Ki Demang pun seakan-akan telah dengan tiba-tiba
mengadakan perhelatan. Juga sekelompok orang telah
ditugaskan untuk menyiapkan makan dan minuman bagi
para prajurit, para pengawal dan para tawanan. Menjelang
senja, para pemimpin Pajang dan Tanah Perdikan
Sembojan sempat berbincang-bincang dengan Ki Demang.
Mereka sempat menceritakan peristiwa yang mendebarkan
yang telah terjadi di salah satu sarang para pengikut Ki
Rangga Gupita. Namun mereka pun telah membicarakan pula kelanjutan
dari perjalanan mereka. Di Kademangan itu pasukan akan
berpisah. Pasukan Pajang akan melanjutkan perjalanannya
kembali ke Pajang dengan membawa tawanan dan harta
benda, sementara itu para pengawal dari Tanah Perdikan
Sembojan akan memisahkan diri dan kembali ke Tanah
Perdikan. Ternyata tidak ada persoalan yang timbul di antara
mereka. Gandar telah menyerahkan segala sesuatunya
kepada Pajang, karena memang Pajanglah yang berhak
untuk mengambil keputusan tentang persoalan itu.
53 SH. Mintardja Mereka pun kemudian sepakat, bahwa disaat matahari
terbit keesokan harinya, maka pasukan Pajang akan
berangkat lebih dahulu. Baru kemudian setelah pasukan
Pajang meninggalkan padukuhan induk itu, pasukan Tanah
Perdikan Sembojan akan meninggalkan Kademangan itu.
Demikianlah, malam itu, para prajurit, para pengawal
dan juga para tawanan sempat beristirahat cukup panjang.
Mereka makan secukupnya. Dan bahkan Ki Demang juga
telah menyediakan makan bagi mereka di pagi hari. Pada
saat matahari mulai membayang, makan dan minuman pun
telah siap, sehingga sebelum melanjutkan perjalanan, maka
para prajurit dan para tawanan pun telah mendapat makan
pagi mereka. Seperti yang telah direncanakan, maka para prajurit
Pajanglah yang telah bersiap lebih dahulu. Mereka berbaris
dengan tertib dan menempatkan pada tawanan ditempat-
tempat yang tidak memungkinkan mereka meloncat keluar
dari barisan. Beberapa saat kemudian, maka pasukan Pajang itulah
yang mulai bergerak meninggalkan padukuhan induk
Kedung Waringin. Mereka menyusuri jalan padukuhan
merayap ke pintu gerbang.
Orang-orang padukuhan itu seakan-akan telah dihisap
seluruhnya ke luar dari rumah-rumah mereka untuk
menyaksikan sepasukan prajurit dengan pertanda
kebesarannya yang membawa tawanan yang dapat mereka
tangkap dalam pertempuran.
Baru ketika pasukan Pajang itu sudah ke luar dari
padukuhan induk, maka pasukan Sembojanlah yang telah
bersiap. Mereka tidak membawa tawanan dan tidak
membawa harta yang dapat mereka rampas. Namun di
antara mereka terdapat kawan-kawan mereka yang masih
54 SH. Mintardja belum dapat berjalan sendiri sehingga mereka harus
diusung dengan tandu. Ternyata perhatian orang-orang padukuhan itu terhadap
para pengawal Sembojan pun tidak kalah besarnya. Ada
semacam kebanggaan, bahwa bukan prajurit pun mampu
menyusun kekuatan sebagaimana sepasukan prajurit.
Demikianlah maka kedua pasukan itu telah maju ke arah
mereka masing-masing. Pasukan Pajang langsung kembali ke Pajang untuk
memberikan laporan tentang hasil tugas mereka, demikian
pula pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang kembali ke
kampung halaman. Meskipun ada juga sedikit kebanggaan yang dapat
mereka sampaikan kepada para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan tentang hasil perjalanan mereka, namun mereka
tidak akan dapat ingkar bahwa mereka telah gagal untuk
menguasai sarang-sarang Ki Rangga Gupita yang lain,
kecuali hanya satu. Namun justru ditempat itu pula mereka
barhasil menghancurkan pasukan Ki Rangga Gupita dan
Warsi. Bahkan yang tentu akan membuat mereka trenyuh
adalah ledakan tangis yang bakal terjadi, karena tidak
semua pengawal yang berangkat meninggalkan Sembojan
itu kembali lagi. Tetapi sejak berangkat hal itu sudah dimengerti akan
terjadi. Mereka tidak akan dapat menghindarkan diri dari
kehilangan beberapa orang di antara mereka. Bahkan ketika
Gandar kembali untuk memanggil beberapa orang
kawannya menyusul pasukan yang terdahulu telah
mengatakan kepada mereka yang akan berangkat, bahwa
kemungkinan untuk tetap hidup dan untuk mati sama
55 SH. Mintardja beratnya. Sehingga karena itu maka Gandar telah
memberikan kebebasan kepada para pengawal untuk
bersedia ikut atau tidak.
Agaknya perasaan yang demikian, bahwa pasukan itu
telah kehilangan anak-anak muda terbaiknya, telah
merayapi setiap hati, justru saat-saat iring-iringan itu
menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Karena itu, maka rasa-rasanya iring-iringan itu tidak
memancarkan kecerahan pasukan yang menang perang
tetapi lebih banyak kemuraman karena perasaan
kehilangan, karena tidak semua yang pergi itu kembali.
Demikianlah maka iring-iringan itu telah menyusuri
jalan-jalan yang panjang. Namun karena Gandar telah
mengambil jalan kembali sebagaimana ia berangkat, maka
etiap orang segera mengetahui bahwa pasukan Tanah
Perdikan Sembojan dengan tunggul kebesaran pertanda
limpahan kuasa Pajang, kembali pulang setelah
menunaikan tugas mereka. Banyak juga orang yang memberikan penghormatan
disepanjang perjalanan. Ketika orang-orang itu melihat
anak-anak muda yang diusung di atas tandu-tandu
sederhana, maka tahulah mereka, bahwa pasukan itu tentu
sudah mengalami perjuangan yang sangat berat.
Apalagi anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu
memang nampak letih setelah perjalanan panjang,
perlahan-lahan dan dibebani oleh perasaan yang buram
karena kehilangan beberapa kawan.
Namun bagaimanapun juga, setelah dipanggang oleh
panasnya matahari, maka iring-iringan itu telah menjadi
semakin dekat dengan Tanah Perdikan Sembojan. Tanah
56 SH. Mintardja Perdikan yang terhitung cukup besar dan mempunyai isi


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lebih padat dari daerah sekitarnya.
Namun karena pasukan itu berjalan sangat lamban,
justru karena kawan-kawan mereka yang terluka, ternyata
mereka tidak dapat mencapai Tanah Perdikan Sembojan
saat matahari telah turun sampai ke punggung bukit.
Karena itu meskipun sudah dekat, Gandar memang
memutuskan untuk beristirahat semalam di tengah-tengah
pategalan. Ia tidak dapat memaksa orang-orang yang
terluka, apalagi yang mengalami cidera pada kakinya, untuk
berjalan terus. Sementara yang lain pun agaknya juga
merasa kelelahan. Apalagi mereka yang bergantian
membawa tandu yang memuat orang-orang mereka yang
masih parah. Tetapi sementara pasukan itu beristirahat di pategalan,
maka Gandar telah memerintahkan tiga orang yang oleh pengakuannya sendiri belum merasa sangat
letih, untuk mendahului, memberitahukan bakal kedatangan pasukan itu esok
siang. Namun justru mereka hanya bertiga, maka perjalanan mereka menjadi
berlipat kecepatannya. Mereka tidak perlu mengingat kawan-kawan mereka yang kakinya belum pulih,
serta kawan-kawannya yang mengangkat tandu.
57 SH. Mintardja Meskipun demikian, namun ketiga orang itu memasuki
Tanah Perdikan setelah saat sepi orang. Setelah padukuhan-
padukuhan itu menjadi lengang.
Tetapi padukuhan-padukuhan itu tidak tertidur nyenyak.
Seperti yang dipesankan Gandar kepada anak-anak muda,
bahwa mereka sebaiknya berada di gardu-gardu perondan.
Jika mereka tidak sempat pergi ke gardu karena sesuatu hal,
maka dirumah pun anak-anak muda jangan kehilangan
kesiagaan. Karena itu, ketiga orang itu melalui sebuah gardu
perondan, maka mereka telah mendapat sambutan yang
serta merta. Selain pertanyaan tentang keselamatan maka mereka
pun telah bertanya tentang seribu macam persoalan yang
mungkin dialami oleh pasukan Sembojan, dimana ketiga
anak muda itu ikut serta.
"Besok kalian akan tahu semuanya," berkata salah
seorang dari ketiga orang itu. "Besok pasukan kita akan
memasuki Tanah Perdikan. Sekarang aku mendapat tugas
untuk melaporkan kepada para pemimpin Tanah Perdikan
ini, bahwa pasukan kami itu masih harus beristirahat satu
malam di pategalan, karena betapapun juga kami memaksa
namun kami tidak akan dapat berjalan lebih cepat.
Ketiga orang itu dengan hati-hati telah menolak untuk
berhenti lebih lama lagi di gardu untuk bercerita, karena
mereka pun ingin segera dapat menghadap Nyai Wiradana
untuk memberikan laporan tentang pasukan yang terhenti
itu. Demikian pula di gardu-gardu berikutnya. Dengan
alasan-alasan yang masuk akal ketiga orang anak muda itu
58 SH. Mintardja selalu menghindar jika kawan-kawan mereka
mempersilakan mereka untuk singgah.
Ketika ketiga orang anak muda itu kemudian sampai di
rumah Nyi Wiradana, maka rumah itu pun memang sudah
sepi. Tetapi para pengawal yang berada di regol masih tetap
menjalankan tugasnya dengan baik. Demikian pula para
pengawal yang berada di gardu depan dan sudah tentu juga
yang lain, yang berada disekitar rumah itu.
"Sebenarnya kami ingin menghadap," berkata salah
seorang di antara ketiga anak-anak muda itu.
Yang bertugas memang termangu-mangu. Tetapi mereka
mengerti, bahwa ketiga orang itu adalah bagian dari
pasukan mereka yang dibawa Gandar untuk langsung
menusuk kubu lawan mereka yang sangat menggelisahkan
karena usaha-usaha mereka untuk membunuh Risang, serta
niat mereka untuk kembali ke Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka salah seorang pengawal itu pun
kemudian berkata, "Kami akan mencoba untuk
membangunkannya." Dengan sangat hati-hati pula, pemimpin pengawal yang
bertanggung jawab malam itu atas pengamanan lingkungan
rumah Nyai Wiradana, perlahan-lahan telah mengetuk
pintu pringgitan. Ia tidak tahu dengan tepat, dimana Nyai Wira-dana tidur,
karena kadang-kadang ia tidur sendiri, namun kadang-
kadang ia tidur dibilik Risang yang tidak diketahui oleh
banyak orang, karena kecemasan ibunya, bahwa pada suatu
ketika dapat saja seseorang memasuki rumahnya dimalam
hari lewat jendela yang tidak sewajarnya.
Setelah beberapa kali mengetuk, maka yang terdengar
adalah batuk-batuk seorang laki-laki.
59 SH. Mintardja "Nah," berkata pemimpin peronda itu, "Sudah ada yang
terbangun. Jika bukan Kiai Badra, tentu Kiai Soka."
Ketiga orang pengawal yang baru datang itu
mengangguk-angguk. Mereka merasa aman bahwa kedua
orang tua itu masih tetap berada di Tanah Perdikan. Karena
dalam keadaan yang kemelut ini, keduanya memang sangat
dibutuhkan. Agaknya mereka pun sadar, sehingga mereka
tidak segera kembali ke padepokan mereka masing-masing.
Ketika sekali lagi pengawal itu mengetuk perlahan-lahan,
maka terdengar langkah kaki mendekati daun pintu.
Dengan suara berat orang di dalam pintu itu bertanya,
"Siapa diluar?"
"Kami, para peronda," jawab pemimpin pengawal itu.
"Para peronda?" terasa perasaan heran terloncat pada
nada suaranya. "Ada sesuatu yang penting yang ingin kami sampaikan"
jawab pemimpin kelompok pengawal yang sedang bertugas
meronda itu. Sejenak kemudian maka pintu pringgitan itu pun
terbuka. Yang nampak berdiri dibelakang pintu itu ternyata
adalah Kiai Badra. "O," pemimpin peronda itu bergeser selangkah mundur.
"Kami mohon maaf Kiai, bahwa kami mengganggu Kiai.
Namun kami terpaksa melakukan karena ketiga orang
kawan kami yang ikut serta dalam pasukan Gandar telah
datang dan ingin menghadap Nyi Wiradana."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi tiga
orang di antara mereka telah datang?"
60 SH. Mintardja "Ya Kiai," jawab pemimpin peronda itu. "Mereka ingin
segera melaporkan diri kepada Nyi Wiradana mungkin juga
laporan-laporan yang lain pun akan disampaikan juga."
"Baiklah," berkata Kiai Badra. "Marilah. Duduklah di
ruang dalam saja." Pemimpin peronda itu telah membawa tiga orang itu
masuk. Mereka kemudian dipersilakan duduk oleh Kiai
Badra, sementara itu maka orang tua itu pun berkata.
"Aku akan membangunkan Iswari." Demikianlah, maka
sejenak kemudian, bukan saja Iswari telah duduk bersama
mereka, tetapi juga Kiai Badra, Nyai Soka yang
dibangunkan pula. "Kenapa kalian hanya bertiga?" bertanya Iswari.
"Maaf Nyai," jawab salah seorang di antara mereka.
"Pasukan kami terhenti ketika matahari mulai terbenam.
Sementara itu kami bertiga mendapat tugas untuk
mendahului dan melaporkan bahwa besok lewat tengah hari
pasukan kami akan memasuki Tanah Perdikan."
Iswari mengerutkan keningnya. Katanya, "Jika pada saat
begini kalian sudah memasuki padukuhan induk ini,
bukankah itu berarti jaraknya sudah tidak terlalu jauh lagi.
Kenapa mereka tidak terus saja kembali ke Tanah Perdikan
ini." Ketiga orang itu memahami pertanyaan Iswari. Karena
itu seorang di antara mereka berkata, "Nyai, jaraknya
sebenarnya memang sudah tidak terlalu jauh lagi. Tetapi
keadaan pasukan kami tidak memungkinkan lagi untuk
berjalan terus." Wajah Iswari menjadi tegang. Namun anak muda yang
memberikan laporan itu menyadari bahwa Iswari menjadi
61 SH. Mintardja gelisah karenanya. Karena itu, maka ia pun segera
memberikan penjelasan tentang keadaan pasukan pengawal
Tanah Perdikan. Iswari dan orang-orang tua di Tanah Perdikan itu pun
mendengarkan laporan itu dengan seksama. Dengan jelas
mereka mendapat gambaran apa yang telah terjadi dan
bagaimana kedudukan pasukan mereka kemudian.
Iswari mengangguk-angguk. Ketegangannya pun telah
berkurang, meskipun ia tidak menjadi terlalu gembira
karenanya. Iswari telah mendengar laporan bahwa keadaan
pasukannya memang letih. Apalagi bahwa Tanah Perdikan
Sembojan terpaksa melepaskan sebagian dari anak-anaknya
yang terbaik. Ketika laporan anak muda itu selesai, maka Iswari pun
kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Baiklah," berkata Iswari. "Kami akan menerima pasukan
itu besok di halaman banjar yang lebih luas dari halaman
rumah ini. Mudah-mudahan keadaan pasukan itu tidak
mengejutkan seisi Tanah Perdikan ini."
"Mungkin juga mengejutkan, Iswari," berkata Kiai Badra.
"Tetapi tentu tidak akan terlalu banyak berpengaruh atas
tata kehidupan di Tanah Perdikan ini. Apalagi setiap orang,
setiap ibu yang melepaskan anaknya dan setiap istri yang
melepaskan suaminya, telah dibekali dengan persiapan
batin, bahwa hal seperti ini akan mungkin terjadi. Meskipun
kita pun dapat mengerti, bahwa seseorang akan tetap
bersedih, bahwa yang terjadi itu telah menimpa dirinya."
Iswari mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Soka
berkata, "Tetapi kita tidak mempunyai pilihan lagi. Anak-
anak muda pun tidak mempunyai pilihan lain. Namun kita
wajib untuk selalu mengenang pengorbanan yang telah
62 SH. Mintardja mereka berikan bagi kampung halaman ini. Jika kemudian
Tanah Perdikan ini menjadi sejahtera maka pengorbanan
anak-anak tercinta itu merupakan salah satu alas dari
keberhasilan Tanah Perdikan ini."
"Sebenarnyalah demikian kakek," desis Iswari. Lalu,
"Baiklah. Sekarang terserah kalian. Apakah kalian akan
menunggu besok di mulut lorong, dibawah pintu gerbang
atau kalian akan kembali menyongsong mereka dan
memberi tahukan bahwa mereka akan diterima di dalam
banjar, tidak dihalaman rumah ini."
Ketiga orang itu saling berpandangan. Namun kemudian
seorang di antara mereka menjawab, "Besok pagi-pagi
benar kami akan menyongsong mereka."
"Jika demikian, sebaiknya kalian beristirahat. Apakah
kalian akan kembali di rumah kalian masing-masing atau
kalian akan tidur saja disini" Sebaiknya kalian belum perlu
pulang lebih dahulu. Jika kalian pulang, maka kalian akan
dikerumuni oleh tetangga-tetangga kalian yang bertanya
tentang anak laki-lakinya atau tentang suaminya atau
tentang keluarganya yang lain yang ikut serta dalam
pasukan itu," berkata Iswari kemudian.
Ketiganya termangu-mangu. Sementara itu Kiai Badra
berkata, "Sebaiknya kalian tetap disini. Agaknya kalian
tidak akan terlalu banyak terganggu."
Sambil mengangguk-angguk seorang di antara mereka
bertiga menjawab, "Baiklah, kami akan berada disini Nyai.
Besok pagi-pagi benar menjelang fajar, kami akan pergi.
Agaknya disini kami tidak akan terlalu banyak terganggu."
Namun belum lagi mulutnya terkatub, mereka telah
dikejutkan oleh suara orang banyak diluar. Seorang peronda
kemudian memberitahukan bahwa beberapa orang telah
63 SH. Mintardja memasuki halaman. Mereka segera ingin tahu, bagaimana
keadaan pasukan yang telah agak lama meninggalkan
Tanah Perdikan itu. Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata
dugaan kita keliru. Disini pun kalian telah didatangi banyak
orang yang ingin segera tahu berita tentang sanak kadang
mereka. Tetapi sebaiknya kalian tidak menemui mereka dan
tidak mengatakan sesuatu tentang pasukan itu."
Seorang diantara ketiga orang itupun menyahut, "Ya
Nyai. Ketika kami memasuki padepokan yang pertama dari
Tanah Perdikan ini kami sudah melewati gardu peronda,
sehingga kami telah dihentikan mereka yang sedang
meronda untuk menjawab beberapa pertanyaan. Tetapi
kami memang mengatakan kepada mereka, bahwa pasukan
itu akan segera datang. Sebaiknya mereka menunggu saja
sampai pasukan itu datang."
"Jadi orang-orang itu tentu mendengar dari para
peronda. Agaknya kau tidak hanya dipadukuhan pertama
saja melewati gardu, tetapi tentu di hampir setiap
padukuhan".berkata Iswari.
"Agaknya memang demikian Nyai" Jawab salah seorang
diantara ketiga anak muda itu.
Nyai Wiradana mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Baiklah. Pergilah ke bilik disamping. Kau dapat
beristirahat disana. aku akan menemui orang-orang yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang itu." Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun Kiai Badra lah
yang kemudian berkata, "Marilah. Kita akan pergi ke bilik
itu." 64 SH. Mintardja Kiai Badra pun kemudian telah bangkit dan melangkah
keluar ruang dalam diikuti oleh ketiga orang anak muda itu.
Mereka melintasi serambi dan menyeberangi longkangan.
Ternyata mereka telah ditempatkan di gandok.
"Beristirahatlah" berkata Kiai Badra, "bukankah besok
pagi-pagi sekali kalian akan menyongsong pasukan itu?"
Ketiga orang itupun kemudian merlasuki bilik itu. Tetapi
rasa-rasanya tidak enak juga bahwa mereka tidak menemui
kawan-kawan mereka atau mungkin orang tua dari kawan-
kawan mereka yang berada di halaman. Tetapi karena Nyai
Wiradana menghendaki begitu, maka mereka tidak dapat
membantahnya. Demikianlah, maka Nyi Wiradana sebagaimana
dikatakannya telah keluar kependapa. Ternyata dihalaman
menjadi semakin banyak orang yang datang untuk
mendapat berita dari keluarga, sanak-kadang dan sahabat-
sahabat mereka yang telah pergi ke medan.
Namun Iswari lah yang kemudian berkata dihadapan
mereka, "Sayang Ki Sanak. Ketiga anak itu terlalu letih. Ia
sekarang sedang tidur di gandok. Besok menjelang pagi
mereka harus sudah menyongsong pasukan yang bakal
datang. Sementara itu ternyata ketiga orang anak itu tidak
terlalu banyak mengingat apa yang telah terjadi. Siapa yang
mengalami kesulitan atau keterangan-keterangan lain.
Karena itu bersabarlah. Besok siang pasukan akan datang."
Orang-orang itu memang menjadi kecewa. Tetapi mereka
tidak dapat memaksa, karena yang menghadapi mereka
adalah Nyai Wiradana sendiri.
Namun untuk beberapa lama orang-orang itu masih
berkerumun-kerumun di halaman dan diluar regol. Namun
nampaknya Nyai Wiradana tidak akan merubah
65 SH. Mintardja pendiriannya. Katanya, "Saudara-saudara. Jika kalian
memaksa, ketiga orang anak muda itu memang dapat
memberikan keterangan. Tetapi jika keterangan mereka
salah, maka akibatnya akan lebih mengecewakan saja.
Karena itu, aku mohon dengan sangat agar kalian dapat
mengerti." Orang-orang itupun kemudian terpaksa meninggalkan halaman rumah Nyai Wiradana betapapun mereka merasa kecewa. Tetapi mereka tidak
akan memaksa ketiga orang
yang berada didalam rumah
Ki Wiradana itu untuk berbicara. Sepeninggal orang-orang itu, maka pintu pringgitan
pun telah ditutup kembali.
Rumah itu kembali terlena
dalam keheningan. Semua orang didalam rumah itu telah membaringkan dirinya
kembali di pembaringannya masing-masing.
Diluar rumah, para petugas telah kembali ke tempat
mereka pula. Namun sebenarnyalah para peronda itupun
ingin segera tahu berita yang lebih terperinci dari pasukan
yang akan kembali itu. Tetapi mereka tidak berani
melanggar kehendak Nyai Wiradana untuk menunda semua
keterangan sampai esok. Pagi-Pagi benar, para penghuni rumah itu memang
sudah terbangun. Bahkan di ruang dalam, Risang telah
bermain-main di atas sehelai tikar pandan. Setelah mandi
66 SH. Mintardja dan berbenah diri, ketiga orang anak muda yang akan
menyongsong pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu pun
telah bersiap sepenuhnya. Mereka ingin meninggalkan
Tanah Perdikan itu sebelum fajar, agar mereka tidak
diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat
dijawabnya di sepanjang jalan.
Beberapa saat ketiganya masih sempat bermain-main
dengan Risang yang tidak mereka ketahui dari mana ia
datang. Namun demikian, Risang tidak lepas dari
pengawasan Bibi yang agaknya telah mencurigai semua
orang yang berada di dekat Risang.
Setelah ketiga orang anak muda itu minum-minuman
panas dan makan pagi, maka mereka pun telah
meninggalkan rumah Nyai Wiradana untuk menyongsong
pasukan yang agaknya sudah siap pula berangkat menuju ke
Tanah Perdikan Sembojan pada saat-saat yang demikian.
Seperti yang telah direncanakan, maka ketiga orang itu
tidak ke luar dari padukuhan induk lewat pintu gerbang.
Tetapi mereka telah keluar lewat lorong sempit pada
butulan dinding padukuhan untuk menghindari gardu-
gardu tertentu yang masih banyak ditunggui oleh anak-anak
muda. Sebenarnyalah, di gardu di mulut jalan padukuhan induk,
masih banyak anak-anak muda yang duduk-duduk sambil
berbicara tentang kedatangan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan. Namun sebenarnyalah bahwa mereka telah
menunggu ketiga kawannya yang akan menyongsong
pasukan itu. Mungkin mereka dapat menghentikan ketiga
anak muda itu sebentar dan bertanya tentang keadaannya.
"Aku hanya ingin tahu, apakah kakakku tidak mengalami
kesulitan di perjalanannya yang menurut pendengaranku
67 SH. Mintardja sangat berat," desis salah seorang anak muda. "Aku tidak
akan bertanya tentang macam-macam."
"Aku juga hanya ingin bertanya tentang satu nama,"
sahut yang lain. Namun dalam pada itu, sampai fajar nampak mewarnai
langit, ketiga anak muda itu tidak lewat di mulut lorong.
"Apakah mereka terlambat bangun?" bertanya salah
seorang di antara mereka.
"Apakah ia mengambil jalan lain?" bertanya yang lain.
"Semalam ia datang lewat jalan ini," gumam seorang
bertubuh kurus. "Seharusnya ia keluar lewat jalan ini pula."
Tetapi sampai pagi menjadi semakin terang, ketiga anak
muda itu tidak juga ke luar padukuhan induk lewat gerbang
di mulut jalan itu. Baru ketiga matahari terbit dan ketiga orang anak itu
tidak juga lewat, mereka yakin bahwa ketiganya tentu telah
mengambil jalan lain. Sehingga karena itu dengan hati
kecewa mereka telah meninggalkan pintu gerbang dan
pulang ke rumah masing-masing. Mau tidak mau, maka
mereka harus menunggu pasukan itu datang dan langsung
diterima oleh para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan di
halaman banjar. Ketika matahari terbit dan kemudian perlahan-lahan
memanjat langit, ketiga orang anak muda itu sudah berjalan
jauh. Mereka sudah mendekati batas Tanah Perdikan.
Sebentar lagi mereka sudah akan berada di luar Tanah
Perdikan dan menyusuri jalan-jalan Kademangan tetangga.
Pada saat yang sama, pasukan Tanah Perdikan Sembojan
juga sudah mulai bergerak meninggalkan tempat mereka
bermalam. Gandar, lewat para pemimpin kelompok telah
68 SH. Mintardja berpesan, agar mereka tidak merusakkan pategalan tempat
mereka bermalam dan tidak mengambil buah apapun yang
terdapat di pategalan itu.
Pada dasarnya para pengawal Tanah Perdikan memang
tidak berani melakukannya. Apalagi dengan sengaja
merusak. Karena dengan demikian maka pemilik pategalan
itu tidak dirugikannya. Ketika matahari naik, pasukan itu sudah berada di bulak
panjang. Satu iring-iringan yang cukup menarik perhatian.
Beberapa orang yang berada di sawah untuk mengairi
tanamannya, telah memerlukan untuk melihat iring-iringan
itu. "Jadi para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan
sudah kembali," desis seseorang yang juga melihat pada
saat pasukan Tanah Perdikan Sembojan berangkat. Bahkan
sampai dua tahap. Seorang kawannya mengangguk-angguk. Namun
kawannya itu kemudian berdesis, "Tentu pasukan itu
mengalami perjuangan yang berat. Kau lihat, beberapa
orang di antara mereka terpaksa diusung di atas tandu?"
"Ya," orang yang pertama mengangguk-angguk, "Tentu
ada pula yang tidak kembali."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-
angguk. Perhatian atas iring-iringan itu cukup besar. Apalagi jika
iring-iringan itu melewati padukuhan. Maka orang-orang
padukuhan itu pun sebagian besar telah berlari ke jalan
induk padukuhan itu untuk menyaksikan pasukan pengawal
Tanah Perdikan Sembojan. Namun sebagian di antara
mereka, terutama perempuan, telah mengusap dadanya
69 SH. Mintardja ketika mereka menyadari, bahwa di antara mereka tentu
telah jatuh korban. Gugur, bukan hanya terluka.
Para pengawal pasukan itu menanggapi sambutan itu
dengan gembira. Mereka melambaikan tangan mereka pula
jika orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu
melambaikan tangan mereka.
Namun dengan demikian, kerinduan mereka kepada
kampung halaman dan kepada sanak kadang mereka pun
menjadi semakin berkembang di dalam diri mereka masing-
masing. Mereka seakan-akan baru menyadari bahwa
mereka berjalan terlalu lambat. Sekelompok pengawal
memang tidak dapat berjalan lebih cepat karena keadaan
mereka. Sehingga dengan demikian, betapapun mereka
ingin cepat bertemu dengan orang-orang yang merupakan
bagian dari hidup mereka, namun mereka tidak dapat
berlari mendahului iring-iringan itu.
Ketika matahari kemudian menjadi semakin tinggi, maka
perjalanan mereka pun menjadi semakin lambat. Orang-
orang yang masih belum sembuh benar memerlukan
bantuan agar mereka dapat berjalan terus. Sementara para
pengawal yang memikul tandu harus bergantian pula
dengan kawan-kawan mereka yang lain.
Meskipun mengalami berbagai macam hambatan dari isi
pasukan itu sendiri, namun pasukan itu telah berjalan terus
sesuai dengan rencana. Mereka tidak akan berhenti lagi di
perjalanan yang tersisa itu.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan itu telah
bertemu dengan ketiga orang yang telah mendahului
kembali ke Tanah Perdikan untuk memberitahukan bahwa
pasukannya baru akan datang hari itu.
70 SH. Mintardja Kepada Gandar ketiga orang itu segera melaporkan hasil
perjalanan mereka. Nyai Wiradana memerintahkan
pasukan itu untuk langsung memasuki halaman Banjar.
Nyai Wiradana dan para pemimpin Tanah Perdikan akan
menerima pasukan itu di halaman Banjar yang lebih luas
dari halaman rumah Nyai Wiradana.
Gandar mengangguk-angguk. Sementara itu ketiga orang
itu pun telah melaporkan pula, bahwa mereka masih belum
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang
Sembojan tentang keadaan pasukannya. Ternyata bahwa
Nyai Wiradana pun telah menganjurkan pula kepada
mereka untuk berbuat demikian agar tidak menimbulkan
persoalan bagi orang-orang Tanah Perdikan terlalu awal.
"Kesedihan tentu tidak akan dapat dihindarkan," berkata
seorang dari ketiga orang itu. "Tetapi Nyai Wiradana
menghendaki keterangan itu pasti dan dapat
dipertanggungjawabkan. Bukan sekadar ingatan yang
mungkin keliru." Gandar mengangguk-angguk. Ia dapat membayangkan
suasana yang akan dihadapi di Tanah Perdikan.
Demikianlah maka pasukan itu telah berjalan lagi perlahan-
lahan. Mereka baru akan sampai di Tanah Perdikan
menjelang sore hari. Namun isi pasukan itu telah
menyatakan kesediaan mereka, bahwa mereka tidak akan
berhenti lagi sampai saatnya mereka sampai di Tanah
Perdikan. Seperti yang mereka rencanakan, maka mereka pun
berjalan terus meskipun keringat telah membasahi tubuh
mereka. Meskipun yang masih belum sembuh benar-benar
merasakan betapa pedih lukanya. Dan meskipun orang-
orang yang mengusung tandu di pundaknya mulai merasa
sakit. 71 SH. Mintardja Ketika beberapa orang yang luka mulai mengeluh, maka
kawan-kawan mereka telah membantu mereka berjalan
sambil berkata, "Bukankah perjalanan kita tinggal beberapa
puluh langkah saja."
"Ya," desis seorang yang luka di lambungnya masih
terasa pedih. "Tinggal beberapa puluh. Tetapi beberapa itu
dapat berarti tanpa hitungan."
"Marilah, aku bantu kau," desis kawannya.
Orang yang masih merasakan lukanya pedih itu tidak
menjawab. Tetapi ia sendiri memang ingin cepat sampai di
banjar. Barangkali ia akan segera menjatuhkan dirinya dan
berbaring di lantai meskipun tanpa alas sekalipun.
Demikianlah maka ketika matahari mulai turun, pasukan
itu benar-benar telah melihat dari seberang bulak yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang, ujung dari Tanah Perdikannya. Tanpa disadari,
demikian mereka muncul di bulak panjang itu, beberapa
orang telah bersorak. Kegembiraan itu bukan saja meledak
dengan serta merta. Namun mereka pun ingin melupakan
keletihan yang telah mencengkam pasukan itu.
Padukuhan yang pertama mereka lihat merupakan
dorongan bagi para pengawal untuk berjalan lebih cepat.
Mereka seakan-akan telah menemukan kekuatan baru,
sehingga mereka mampu berjalan lebih cepat dari
sebelumnya. Semakin dalam mereka melintasi bulak itu, maka
semakin dekatlah batas Tanah Perdikan Sembojan.
Sehingga akhirnya mereka pun mulai melihat sebuah tugu
kecil yang dibuat dari batu sebagai batas dan pertanda
bahwa disebelah tugu itu adalah termasuk daerah Tanah
Perdikan Sembojan. 72 SH. Mintardja Ketika ujung pasukan itu melintas di jalan memasuki
batas yang ditandai oleh tugu batu di pinggir jalan itu, maka
sekali lagi para pengawal telah bersorak gemuruh. Mereka
merasa telah memasuki pintu gerbang halaman rumah
mereka sendiri. Beberapa orang yang berada di sawah terkejut
karenanya. Namun mereka kemudian justru telah
melambai-lambaikan tangan mereka pula ke arah pasukan
yang melintasi perbatasan itu.
Demikian seluruh pasukan telah berada di dalam
lingkungan batas Tanah Perdikan, maka rasa-rasanya udara
pun menjadi semakin sejuk meskipun di langit matahari
memancar dengan teriknya. Terasa seakan-akan angin
menjadi lebih segar bertiup disela-sela dedaunan yang
rimbun dari pepohonan yang tumbuh disebelah menyebelah
jalan. Air yang mengalir di parit, di pinggir jalan itu pun
Suling Emas 9 Prabarini Karya Putu Praba Darana Tusuk Kondai Pusaka 14
^