Pencarian

Badai Di Laut Arafuru 1

Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Bagian 1


BADAI DI LAUT ARAFURU Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-82S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
1 lai. Cirebon di akhir abad ke-XVII....
Dari sinilah kisah Badai di Laut Arafuru dimu-
Hari itu, matahari pagi bersinar cerah. Embun
yang semalam menyirami rumput-rumput di halaman
Gedung Karesidenan Cirebon tampak dari jauh berkilau-kilau seperti butiran
intan, satu per satu perlahanlahan bergulir jatuh ke tanah, terusir oleh
kehangatan surya pagi Di sana-sini kelihatan kupu-kupu beterbangan
kian ke mari di atas rumput hijau yang laksana permadani. Kupu-kupu bersayap
indah itu, seakan-akan
riang ceria menyambut suasana baru pergantian pejabat tinggi Belanda dari Letnan
Jenderal Leonard Van
Eisen yang tewas di Kandanghaur dengan Letnan Jenderal Van den Smooth.
Di pagi yang cerah itu, dua orang pejabat Belanda berpakaian preman tampak di
bagian belakang
gedung Karesidenan sedang menuju ke tempat penyimpanan kuda. Mereka ialah Letnan
Jenderal Van den Smooth dengan seorang tamunya, perwira tinggi.
"Goed! Kowe orang kerja rajin!" puji Van den
Smooth sambil mendekati kacung perawat kudanya.
Anak muda yang sedang bekerja memandikan kuda itu
kaget. Ia menoleh ke arah datangnya sapaan itu.
"Saya Tuan," ujarnya dengan gugup. Ia menatap wajah pejabat Belanda itu
sepintas, kemudian menunduk dan meneruskan pekerjaannya sambil menyikat bulu-
bulu kuda serta membersihkan lumpur yang
melekat di celah-celah kukunya. Sementara tamu Van
den Smooth memperhatikan cara kerja dan ketelitian
anak muda itu. "Jij punya kacung yang rajin," ujar perwira
tinggi yang kurus jangkung sambil tersenyum kepada
jenderal itu, "U punya kuda kelihatan sehat-sehat dan
bersih!" "Dank U Well! Dia orang inlander yang setia pada majikan, Ik senang dengan
kerjanya," tanggap Van
den Smooth. Ia menatap perawat kudanya itu dengan
simpatik. "Kelihatannya kuda yang satu itu berlumpur
banyak," komentar sang tamu sambil menunjuk pada
seekor kuda hitam kekar.
"Memang! Kuda itu baru melakukan perjalanan
jauh ke Kandanghaur," jelas Van den Smooth, "Jalannya terlalu becek akibat hujan
terus-menerus."
"O, ya" Bagaimana dengan Jaka Sembung?"
"Beres! Semua siasat berjalan lancar. Ik berhasil memasang perangkap jitu dengan
membujuk dan mengundangnya ke Karesidenan untuk merundingkan
status otonomi."
"Lantas?" usut perwira tinggi itu ingin tahu.
"Pemerintah Kerajaan Belanda, tentu tidak bodoh mau berunding dengan
pemberontak. Sesampai di
Cirebon, begitu turun dari kereta kuda, ekstremis itu
langsung kita ringkus dan jebloskan ke dalam penjara
tanpa ada perlawanan."
"Wah! Jij punya taktik sudah jempolan!" seru
sang tamu sambil mengeluarkan tangan, mengucapkan selamat.
Yang dipuji merasa senang. Kedua mereka berangkulan diakhiri dengan tawa
terbahak-bahak.
"Apa rencana Jij selanjutnya terhadap gembong
ekstremis itu, Jenderal?" tanya perwira tinggi itu bersemangat.
"Jaka Sembung akan kita singkirkan ke sebuah
pulau di sebelah Timur Hindia Belanda."
"Ke sebuah pulau?"
"Ya, sebuah pulau yang masih hutan belantara
dengan penduduknya yang masih liar," jelas Van den
Smooth terbuka.
"Pulau apa itu, Jenderal?"
"Pulau Papua!"
"Oh, ya, Ik ingat," kata si kurus jangkung itu,
"kalau Ik tak salah, penduduk pulau itu masih terlalu
primitif dan ganas."
"Pulau itulah yang paling ideal untuknya, bukan?"
Tamu itu mengangguk... kemudian tertawa lagi
dengan nada penuh ejekan.
Anak muda, perawat kuda yang turut mendengar percakapan itu, baru mendapat
keterangan yang
jelas tentang Jaka Sembung, kakak kandungnya yang
sedang dicari-carinya. Di satu segi, anak muda itu merasa senang karena orang
yang dicari masih hidup, tetapi di pihak lain ia sangat merasa khawatir akan
nasib saudara kandungnya yang akan dibuang oleh Belanda ke suatu pulau terpencil
di luar Jawa. "Jadi," sambung Jenderal Van den Smooth,
"Dengan dibuangnya Jaka Sembung jauh ke seberang
lautan, desa Kandanghaur kembali lagi ke tangan kita."
"Bagaimana dengan Kapten James?"
"Ia sudah dipindahkan ke Batavia, seminggu
sebelum Jaka Sembung ditangkap."
"Itu tindakan yang tepat," puji perwira tinggi itu
dengan nada sungguh-sungguh.
"Ik sudah lama mendengar, James memang
sangat bersimpati terhadap perjuangan pendekar Islam
itu dalam menentang pemerintah Belanda," komentar
sang tamu yang juga menguasai masalah.
Kacung yang sejak tadi memasang telinganya
mendengar percakapan tersebut, diam-diam berpikir
keras. Hatinya semakin gemas dan khawatir terhadap
rencana jahat Belanda itu.
"Kalau begitu, Jaka Sembung telah ditipu mentah-mentah oleh Belanda jahat itu
karena mereka tak
mampu menangkapnya dengan jalan kekerasan," gerutu anak muda itu sendirian.
"Aku harus segera memberitahukan hal ini kepada Kak Sri Ayuningrum," ujar adik
Jaka Sembung dalam hatinya gelisah.
Malam itu juga, sesosok tubuh tampak ke luar
mengendap-endap dari gedung Karesidenan. Ia berlari
dengan gesitnya menuju ke tempat Sri Ayuningrum
menginap. Di sebuah gubuk terpencil ia berhenti dan
mengetuk pintunya beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Hatinya
yang sedang cemas, mendadak lebih cemas ketika suara dari dalam gubuk kakaknya
tidak terdengar sama sekali.
"Kak! Kak! Buka pintunya!" seru anak muda itu
tak sabar. Keadaan di dalam gubuk tetap sepi. Jawaban
yang diharapkan dari kakaknya tidak juga terdengar.
Antara kesal dan khawatir sekali lagi ia mencoba.
"Kak! Kak! Buka pintu!" serunya dengan kuat
setengah berteriak.
"Siapa?" tanya suara dari dalam.
"Aku Kak, Kaswita!"
Di celah-celah pintu menyembul kepala kakaknya dengan kepala masih memakai
mukena. "Kakak sedang sembahyang?" tanya Kaswita
dengan nada malu. "Maafkan aku, Kak!"
"Ada apa, kau seperti dikejar-kejar?" tanya kakaknya heran.
"Celaka, Kak!"
"Celaka bagaimana?" Kakaknya tambah heran.
"Kang Parmin yang sedang kita cari, telah ditangkap Kumpeni Belanda," lapor
Kaswita dengan gugup dan cemas. Sri Ayuningrum terdiam sejenak seperti terpaku
di depan pintu.
"Di mana Kang Parmin sekarang?" tanya Sri
sambil membuka mukenanya.
"Dia ditahan di gedung Karesidenan dan dijaga
ketat oleh serdadu dan pendekar bayaran."
"Ya, Allah! Jauh-jauh dari puncak gunung Ciremai kita ke mari ingin bertemu
dengannya, dia ditangkap," gumam Sri Ayuningrum pada dirinya dengan
sedih. "Untuk apa ia ditangkap" Dan untuk apa ia ditahan?" tanya Sri tanpa tahu ke mana
pertanyaan itu diarahkan. "Kang Parmin dianggap gembong ekstremis,
Kak!" "Lantas apa maunya?"
"Tak lama lagi, Kang Parmin akan diasingkan
ke luar pulau Jawa," jawab Kaswita dengan nada lesu.
"Dari mana kau tahu?"
"Aku dengar sendiri percakapan Jenderal kunyuk itu tadi pagi, ketika aku sedang
membersihkan kudanya." "Gawat, kalau begitu!" gumam Sri setengah
berbisik, "Apa akal kita, Dik?"
"Satu-satunya jalan, kita harus berusaha membebaskan Kang Parmin dalam waktu
yang singkat, sebelum Kang Parmin dinaikkan ke kapal untuk diangkut ke luar
pulau Jawa ini," jawab Kaswita dengan
bernafsu. Sri Ayuningrum, adik Jaka Sembung atau kakak Kaswita terdiam sejenak. Ia
berpikir keras bagaimana cara membebaskan kakaknya itu.
"Kak! Kita tidak akan dapat menyelesaikan ma-
salah dengan berpikir terus, tetapi kita harus bertindak cepat. Bagaimana
hasilnya, bagaimana nanti," ujar
Kaswita dengan tekad mantap.
"Jadi, bagaimana rencanamu, Dik! Aku ikut saja," tukas Ayuningrum, membenarkan
pendapat adiknya.
"Tengah malam nanti, kita harus bertindak. Kita sudah tidak banyak kesempatan
lagi!" "Baiklah aku setuju!"
Di luar gubuk suasana sepi. Cahaya bulan muda yang baru mengembang mengirimkan
sinarnya yang remang-remang. Angin malam yang berhembus
tenang dari pegunungan membawa rasa sejuk, sehingga hampir seluruh penduduk di
kota Cirebon terlena
dalam tidurnya karena kelelahan.
Pada waktu yang sepi, dan sunyi itulah dua
bayangan terlihat sedang mereka-reka tingginya tembok yang mengelilingi gedung
Karesidenan. Mereka tidak lain dari Sri Ayuningrum bersama adiknya Kaswita, yang
ingin segera memanjat tembok tinggi itu untuk membebaskan kakak mereka, Jaka
Sembung dari tahanan Kumpeni Belanda.
"Dari sini kita loncat," Terdengar bisik Kaswita,
"Penjagaannya kosong, Kak!"
Ayuningrum segera mendekati Kaswita. Mereka
mengawasi suasana sejenak, kemudian kedua bayangan itu melejit ke atas tembok
dengan mudahnya. Tetapi, begitu mereka muncul, mereka sangat terperanjat. Tiga
sosok bayangan mendekati mereka. Sri Ayuningrum secepat kilat menghunus
pedangnya dan ketika hendak menyerang dengan jurus maut, terdengar,
"Ssst! Tunggu dulu, kita kawan!"
Sri Ayuningrum menahan pedangnya sambil
bergumam, "Ha! Kawan" Siapa kalian dan apa perlunya ke mari?"
"Sama dengan kalian untuk membebaskan Jaka Sembung," jawab salah seorang di
antara mereka, "Kami si Kembar Tiga Malaikat!"
"Kalian wanita semua?"
"Mengapa" Tak ada beda wanita dengan pria
dalam membela kebenaran dan mengusir penjajah Belanda," jawab Si Kembar Tiga
Melati itu dengan tegas.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Sri Ayuningrum bersahabat.
"Kalian berdua segera masuk menerobos ke
kamar tahanan Jaka Sembung dan kami bertiga siap
menghadapi penjaga-penjaga itu," perintah salah seorang dari Kembar Tiga Melati
tanpa membuang-buang
waktu. Ketiga pendekar wanita itu maju lebih dahulu
sambil menahan Sri Ayuningrum dan Kaswita dengan
tangannya. "Ssst! Itu dia penjaga-penjaga tengik, biar aku
yang membereskan mereka, kalian bersembunyi, lekas!" perintah Kepala Kembar Tiga
Melati dengan tegas
tanpa ragu. Begitu perintah selesai diucapkan, kedua
anggota Kembar Melati lainnya menyelinap dengan cepat tanpa suara.
Tidak begitu jauh dari situ, terlihat tiga orang
pendekar bayaran yang bekerja untuk Kumpeni Belanda mundar-mandir seperti ada
firasat jelek. Salah seorang di antara mereka berkata dengan nada curiga,
"Panjul! Rasa-rasanya ada suatu yang tidak beres, bersiaplah!"
"Siap!" sahut kedua kawannya dengan serentak.
Seorang pendekar bayaran yang tinggi tegap,
dengan waspada memasang telinga dan mata, mengawasi tiap bunyi dan gerak, tetapi
tiba-tiba ia menjerit
dengan keras karena punggungnya terbacok golok dari
belakang. Setelah itu ia rubuh ke tanah tidak berkutik
lagi "Itu imbalan setimpal untuk penghianat bangsa," bentak seorang pendekar wanita
dengan geram, sambil menendang pendekar busuk itu dengan jijik.
Tidak lama kemudian terjadilah hiruk-pikuk di
gedung Karesidenan. Serdadu-serdadu Kumpeni Belanda dan pendekar sewaan mulai
kalang kabut dengan senjata di tangan. Mereka terus berusaha mengepung pendekar-
pendekar si Kembar Tiga Melati.
Salah seorang di antara tiga pendekar Wanita
tersebut, benar-benar terkepung. Berbagai senjata diarahkan kepadanya. Teriakan
"Maling! Maling! Bunuh
dia! Bunuh!" Terdengar terus-menerus.
Tetapi, apa yang terjadi" Ketika sang pendekar
itu melejit ke atas, puluhan senjata yang diarahkan
kepadanya, namun dengan kecepatan yang luar biasa,


Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak satu pun senjata-senjata itu mengenai tubuh mereka.
"Alhamdulillah!" ucap pendekar wanita tersebut
sambil melejit kembali ke atas tembok.
"Bangsat awewe, Setan!" serapah pendekarpendekar bayaran dengan kesal dan marah.
Mereka terus mencoba hendak menangkap pendekar-pendekar
wanita itu, tetapi gerakan mereka benar-benar seperti
angin. Baru saja terlihat dari depan, tiba-tiba berkelebat yang lain dari
belakang. Banyak korban yang jatuh
dari serdadu-serdadu jaga dan tidak kurang pula pendekar bayaran yang sama
sekali tidak berkutik menghadapi gerakan silat Tiga Melati.
Sementara itu, Kaswita dan Sri Ayuningrum
menyelinap perlahan-lahan ke kamar tahanan, tempat
Jaka Sembung ditahan. Tetapi sebelum tiba di tempat
yang dituju, terdengar suatu bentakan keras, "Hei, siapa kau?"
Sri Ayuningrum tidak menjawab, tetapi seren-
tak dengan membalik tubuhnya yang ramping, suatu
tusukan pedang menusuk tembus di jantung pengawal
yang membentaknya. Pengawal itu rubuh seketika dan
tidak bangun lagi. Sri tersenyum puas dan berbalik
kembali untuk menuju ke kamar tahanan. Tetapi, tanpa diduga dari mana datangnya,
sebuah tombak berdesing di dekat telinganya, tetapi ia berhasil berkelit
cepat. Ketika ia melihat ke arah datangnya tombak,
tiba-tiba terdengar teriakan Kaswita, "Kak Sri, kau dibokong dari belakang!"
Tetapi, Sri Ayuningrum tidak sempat mengelak
lagi. Namun Tuhan belum menakdirkan pendekar
wanita itu harus tewas di tangan orang jahat. Ayunan
beliung bermata dua milik Kaswita telah mampir lebih
dahulu membabat leher si pembokong itu.
Sri Ayuningrum secepat itu pula menggunakan
kesempatan untuk menuju ke kamar tahanan Jaka
Sembung. "Belok ke kanan, Kak Sri" Kaswita memberi petunjuk kepada kakaknya.
Sementara itu, di luar terdengar suara derap
sepatu serdadu Kumpeni Belanda yang makin lama
makin tambah banyak. Mereka menuju ke bagian belakang gedung tempat terjadinya
bentrokan berdarah.
Ketika tiba di sebuah gang, serdadu-serdadu
itu menjadi sangat terperanjat ketika melihat munculnya sesosok tubuh dengan
tiba-tiba. "Hei! Siapa itu?" tanya seorang pendekar yang
membantu serdadu Belanda. Pertanyaan itu tidak terjawab, hanya dari balik
kegelapan malam itu, tampak
sepasang mata dengan sorot tajam dan mengancam.
Kemudian muncul perlahan-lahan di suatu tempat
yang terang. "Ha!?" seru para pendekar bayaran sambil
mengepung tamu yang tidak diundang itu.
"He, kakinya buntung!" teriak salah seorang
pengepungnya. Pendekar buntung itu mulai bergerak
dibantu oleh tongkat penyangga di sebelah kakinya
yang buntung. Melihat pendekar buntung itu, makin lama makin mendekat, tiba-tiba dengan gerak
serentak para pengawal menyerbu untuk menyergap pendekar cacat
itu. Tetapi, sebelum sempat mereka menjamah badan
pendekar buntung, satu persatu mereka jatuh terkulai
dengan senjata tajam menancap di badan. Rupanya
senjata-senjata itu berasal dari tongkat penyangga
pendekar buntung.
"Hebat sekali!" bisik seorang serdadu Kumpeni
Belanda yang melihat kejadian tersebut.
Setelah kejadian itu, pendekar buntung dengan
langkah perlahan tetapi pasti segera meninggalkan
tempat itu. Ketika ia melewati tempat-tempat penjagaan, sekali lagi pendekar ini
dikepung untuk ditangkap.
"Kurung Iblis buntung itu!" teriak salah seorang
serdadu. "Jangan kasih peluang! Tangkap!" teriak yang
lain dengan gemuruh.
Tetapi, pendekar tangguh itu tidak sedikit pun
bergeming. Dengan tenang ia melewati serdaduserdadu yang mengepungnya.
"Serang!" Salah seorang pendekar bayaran
memberikan perintah kepada kawan-kawannya. Sejumlah pendekar kawakan maju
menyerbu untuk menangkap pendekar cacat itu.
Tetapi, tahu-tahu, beberapa orang dari mereka
rubuh ke tanah tanpa gerakan yang berarti dari pendekar tersebut.
Bersamaan dengan peristiwa itu, Sri Ayuningrum dan adiknya Kaswita telah berada
di dekat kamar tahanan Jaka Sembung. Kedua adik Jaka Sembung itu mengintip
dengan sabar dari kedua sisi kamar. Mereka menunggu kesempatan baik dengan penuh
perhitungan. Sri Ayuningrum dan Kaswita melihat dua orang
serdadu jaga di kiri kanan pintu dengan senapan masing-masing di tangan.
"Aku tak khawatir dengan bedil locok itu," kata
Kaswita dalam hati. Apa yang diperkirakan oleh adiknya, Sri Ayuningrum pun
beranggapan sama.
Kaswita segera memberikan isyarat agar kakaknya memulai serangan dan ia sendiri
mendobrak pintu tahanan. Sri Ayuningrum perlahan-lahan bergeser setindak demi setindak ke
samping serdadu jaga
yang ada di sebelahnya. Kemudian dengan tenang ia
berkata setengah berbisik, "Jangan ngantuk, Tuan!"
Tentu saja serdadu jaga itu sangat kaget, tetapi sebelum sempat ia membalik
badan, Sri Ayuningrum sudah lebih dahulu membeset perut serdadu yang malang itu.
Melihat serangan tersebut kawan jaganya segera mengangkat senapan hendak
membokong Sri Ayuningrum dari belakang, tetapi sebelum niatnya kesampaian, Sri telah lebih
dahulu menyilangkan pedangnya ke belakang tanpa berbalik. Tusukan pedang
Sri Ayuningrum mengena sasarannya, tepat di jantung
kedua serdadu jaga itu, sebentar berkelojotan menahan sakit, kemudian meringkuk
dengan kedua tangannya menutup luka.
Sementara itu, tanpa menyia-nyiakan waktu,
Kaswita segera membobol pintu dengan senjata beliungnya yang ampuh. Ketika pintu
telah terbuka, Kaswita segera melompat ke dalam kamar tahanan, disusul dari
belakang oleh Sri Ayuningrum.
"Kosong, Kak!" seru Kaswita dengan kesal. Harapannya setinggi gunung untuk
membebaskan Jaka
Sembung, ternyata sia-sia.
"Mereka mengelabui kita, Dik!"
"Mereka juga menjebak kita, Kak Sri!"
"Cepat keluar meninggalkan tempat ini, tidak
ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini," kata Sri
Ayuningrum setengah perintah. Kaswita dengan beliung di tangan melompat ke luar
kamar tahanan. Di
ujung gang yang panjang sejumlah serdadu Belanda
muncul sambil membentak dengan suara keras, "Godverdom-me Zeg!"
Kedua adik kakak, Kaswita dan Sri Ayuningrum
segera membalik badan untuk lari ke arah berlawanan,
tetapi gang itu telah terkepung oleh serdadu Belanda.
Puluhan laras senjata bedil terarah kepada mereka.
"Jangan lari!" suatu teriakan keras terdengar,
"Kalau kalian lari kami tembak!" Kaswita dan Sri Ayuningrum tertegun ragu. Kedua
mereka memperhatikan
serdadu yang sedang mengepung.
"Hei, kau kacung Letnan Jenderal Van den
Smooth, bukan?" tanya seorang serdadu yang sempat
mengenal Kaswita.
"Bagaimana, Kak?" bisik Kaswita.
"Tidak ada jalan lain, kecuali memberikan perlawanan," jawab Sri Ayuningrum,
"Gunakan jurus Walang Sungsang!"
Begitu petunjuk Sri Ayuningrum selesai, kedua
pendekar kakak beradik itu berjumpalitan dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya, sehingga senapansenapan yang ditujukan kepada mereka, meletus tanpa
sasaran. Sementara itu, seorang serdadu yang berdiri
terpisah segera membidik senapannya, tetapi "Hiyaat!"
Senjata beliung Kaswita telah mendahuluinya sehingga
pelor yang dibidikkan serdadu itu tidak pernah keluar
dari larasnya sampai ia menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Kaswita yang ahli berjumpalitan, beberapa waktu terus bergerak di udara sehingga
beberapa orang serdadu menerima tendangan telak dari kaki pendekar
muda itu. Sementara itu, Sri Ayuningrum berkelebat turun di tempat yang diperkirakan tidak
berbahaya, tetapi dugaannya meleset. Begitu ia berada di tanah, dua
laras senapan dengan cepat mengarah ke dadanya.
"Menyerah Kowe orang!" bentak seorang serdadu Belanda siap untuk menembak,
tetapi Sri Ayuningrum dengan cepat mengayunkan pedangnya ke samping dan tepat
mengenai tangan serdadu yang ada di
sebelah kanannya sehingga senapan yang dipegangnya
jatuh terpelanting. Sementara serdadu, yang ada di
samping kirinya mencoba menembak, tetapi sia-sia. Sri
Ayuningrum dalam posisi tidur memutar badannya seperti gasing sambil menggaet
kaki serdadu itu dengan
cepat sehingga ia terjatuh. Ketika serdadu itu hendak
memungut kembali senapannya, tiba-tiba terus diinjak
dan suatu tendangan kuat yang dilakukan Sri Ayuningrum bersarang di rahang
bawahnya, sehingga ia
terjengkang jatuh telentang dan tidak sadarkan diri.
Sri Ayuningrum merasa lega terlepas dari kepungan. Pendekar muda itu tidak
menyadari dirinya
sedang diikuti oleh sepasang mata yang mencari kesempatan untuk membokongnya
dari belakang. Tetapi, niat buruk itu tidak kesampaian. Sebelum senapannya memuntahkan peluru
ke tubuh pendekar itu, beliung Kaswita telah lebih dahulu merobek
tubuh serdadu itu.
Pertarungan antara serdadu Belanda dengan
pengikut Jaka Sembung yang berlangsung mulai ten-
gah malam sampai menjelang subuh masih belum
berhasil dipadamkan oleh Kumpeni Belanda.
Sementara itu, korban di pihak Kumpeni Belanda semakin banyak berjatuhan, tetapi
serdadu bantuan terus didatangkan tidak henti-hentinya.
"Kak Sri! Kita harus cepat meninggalkan tempat
ini, sebelum matahari terbit. Tidak ada gunanya lagi
mencari gara-gara dengan Kumpeni Belanda. Orang
yang ingin kita bebaskan pun sudah tak ada di sini,"
kata Kaswita setengah berbisik.
"Memang! Suasananya pun semakin berbahaya.
Belanda terus menerus mendatangkan balabantuan,"
tanggap Sri Ayuningrum.
Begitu perkataan Sri Ayuningrum selesai, begitu pula kedua pendekar muda itu
melesat ke udara.
Sebentar kemudian mereka sudah berada di atas tembok pekarangan gedung. Serentak
dengan itu, terdengar suara tembakan bertubi-tubi memekakkan telinga.
Dalam hujan peluru yang deras itu, mereka
menghilang tanpa seorang pun tahu ke mana perginya....
2 Baru sebentar Kaswita dan Sri Ayuningrum tiba
di gubuk mereka yang terpencil itu, dari kejauhan terdengar suara adzan Subuh
sayup-sayup, di selingi kokok ayam.
Setelah istirahat sebentar, mereka pun melakukan sholat Subuh. Dalam sholat itu,
mereka memanjatkan doa kepada Tuhan semoga Jaka Sembung dilindungi-Nya.
"Apa rencana kita sekarang, Dik?" tanya Sri
sambil menatap wajah adiknya dengan tatapan lesu.
"Aku tak tahu, Kak!" jawab Kaswita dengan nada sedih. "Tetapi, yang jelas, kita
harus berbuat sesuatu dalam usaha membebaskan Kang Parmin."
Sejenak kedua pendekar itu mencoba mencari
jalan keluar. "Apakah tidak mungkin Kang Parmin sudah dinaikkan ke atas kapal?" kata Kaswita
seperti bertanya
pada dirinya. "Kita ke pantai," ujar Sri Ayuningrum sambil
menghela pedangnya yang terletak di atas tempat tidur.
Kedua mereka segera bergegas menuju pantai.
Dalam suasana remang-remang itu, para nelayan sudah mulai ramai. Ada yang baru
kembali dari laut dengan membawa ikan hasil tangkapannya, ada pula yang
sedang bersiap-siap untuk turun ke laut.
"Dik!" bisik Sri Ayuningrum kepada Kaswita
yang jalan seiring, "Buka matamu. kalau-kalau ada
serdadu Kumpeni Belanda yang memata-matai kita."
Kaswita mengangguk. Mereka terus menuju ke
tepi pantai. "Mang!" Sri Ayuningrum tiba-tiba berhenti dan
bertanya kepada seorang nelayan yang sedang menatap jauh ke laut, "Kapalnya
sudah berangkat?"
Nelayan yang ditanya dengan tiba-tiba itu kaget. Kemudian dengan nada ramah
menjawab, "Sudah,
Neng!" "Sudah lama?"
"Kira-kira setengah jam yang lalu."
"Banyak membawa penumpang?" Kaswita menyeling.
"Kali ini tidak membawa penumpang umum, tetapi hampir semuanya serdadu Kumpeni
Belanda," Nelayan itu menjelaskan dengan jujur apa yang diketahuinya.
"Mungkin mereka membawa tahanan barangkali..." kata Kaswita acuh tak acuh untuk
memberikan kesan apa yang ditanya itu tidak penting.
"Memang! Kulihat ada seorang tahanan berperawakan tinggi kekar dikawal serdadu
Kumpeni Belanda ketika naik tangga dengan tangan dirantai."
"Terima kasih, Mang!" ucap Sri Ayuningrum
sambil menatap Kaswita dengan pandangan berarti.
"Tidak salah lagi, Kak! Tahanan yang dikatakan
Mamang tadi pasti Kang Parmin alias Jaka Sembung,"
ujar Kaswita dengan hati panas.
Apa yang diceritakan nelayan tadi kepada Sri
Ayuningrum dan Kaswita memang benar. Menjelang
Subuh kapal berukuran besar itu mengangkat sauh
dan mengembangkan layar. Kemudian kapal tersebut
berangkat menuju laut lepas dengan membawa tahanannya, Jaka Sembung.
Akal licik dan tipu muslihat Kumpeni. Belanda
memang terkenal di mana-mana, terutama di negerinegeri jajahannya.
Sejak Jaka Sembung dijadikan tahanan melalui
siasat licik, pemerintah Kumpeni Belanda sudah memperkirakan apa yang bakal
terjadi. Mereka sudah menyangka, penahanan Jaka Sembung di gedung Karesidenan
itu, sama artinya dengan mengundang pendekar-pendekar kawakan untuk membuat
onar. Dugaan itu segera menjadi suatu kenyataan.
Malam itu, sebelum peristiwa berdarah terjadi di gedung Karesidenan, Letnan Van
den Smooth sudah lebih-dahulu mendapat informasi dari penyelidiknya
bahwa akan ada suatu penyerbuan untuk membebaskan Jaka Sembung dari sekelompok


Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar yang simpatisan kepadanya.
Karena itu, Van den Smooth segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengamankan
Jaka Sembung di sebuah tempat yang sangat dirahasiakan.
Sebuah, kapal dagang Belanda yang kebetulan sedang
berlabuh di pelabuhan Cirebon, dicarter oleh penguasa
setempat. Ketika penyerbuan para pendekar simpatisan
Jaka Sembung berlangsung, Jaka Sembung dipindahkan ke kapal setelah mereka
merasa serbuan itu hampir-hampir tidak terbendung oleh serdadu-serdadu jaga yang
begitu banyak jumlahnya.
Semula Letnan Jenderal Van den Smooth hendak menjadikan serbuan pendekar-
pendekar tersebut
sebagai suatu perangkap untuk menangkap semua
pendekar simpatisan Jaka Sembung, tetapi pejabat
tinggi itu tidak membayangkan betapa hebatnya sepak
terjang rekan-rekan Jaka Sembung itu. Van den
Smooth sangat kecewa, dan salah perhitungan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Kaswita.
"Sabar, Dik! Kita harus melakukan sesuatu, tetapi tentu dengan pertimbangan yang
matang," jawab
kakaknya tersenyum.
Menjelang matahari terbit di sebelah Timur,
tampak sebuah perahu nelayan merapat ke pangkalan
dan membongkar muatan.
"Tuh, ada perahu," ujar Sri Ayuningrum sambil
menarik tangan Kaswita yang sedang melamun.
Mereka segera berlari-lari menuju ke pangkalan.
"Pak! Tolong pinjamkan kami perahu," cetus
Kaswita dengan kaku, tanpa berbasa-basi sedikit pun.
Sri Ayuningrum merasakan sikap kaku adiknya itu sehingga sempat menatapnya
dengan kesal. Pemilik perahu tertegun sejenak sambil memandang Kaswita dengan pandangan
tersinggung. "Apa katamu, anak muda. Pinjam perahu" Adaada saja," gumam nelayan itu dengan
kesal, "Aku be-
lum pernah melihat tampang kalian, datang-datang
mau pinjam perahu, apa-apaan ini?"
"Maafkan dia, Pak!" potong Sri Ayuningrum,
"Dia adik saya."
"Apa maksud kalian sebenarnya?" tanya nelayan itu lembut.
"Kalau mungkin kami mau menyewa perahu
Bapak untuk beberapa waktu," jelas pendekar wanita
itu dengan ramah.
"Perahu ini bukan punyaku, Neng! Aku hanya
menyewanya dari Cukong dengan cara bagi hasil," tolak nelayan itu dengan halus.
"Kalau begitu, Bapak jual saja perahu ini kepada kami. Berapa harganya bukan
soal, akan kami
bayar sekarang juga," kata Sri Ayuningrum dengan penuh basa-basi.
"Aku tidak dapat memberikan harganya, Neng!"
"Ah, sudah, jangan bertele-tele! Ini uang-nya,"
kata Kaswita yang masih tetap bernada kaku karena ia
memang telah terlanjur kaku.
Nelayan pemilik perahu itu segera menyambut
pundi-pundi yang berisi uang tersebut.
"Berapa jumlahnya?"
"Cukup untuk beli 100 ekor kerbau!" jawab
Kaswita ketus. Tanpa menunggu jawaban boleh atau tidak dari
nelayan itu, Kaswita melompat ke dalam perahu sambil ngedumel, "Habis gajiku
selama menjadi kacung
Belanda!" Tanpa sedikit pun menyia-nyia waktu, Sri Ayuningrum turun ke perahu dan langsung
memegang dayung, sementara Kaswita membelok haluan perahunya dengan cekatan dan
meninggalkan pangkalan.
"Hei, anak muda! Kalian mau ke mana?" teriak
nelayan itu dengan gembira.
"Mau berlayar!" jawab Kaswita seenaknya.
"Jangan! Segera balik!" Nelayan tua itu memberi isyarat "Sebentar lagi akan
turun angin putaran.
Heeei! Kembali kalian!" Tetapi Kaswita sedikit pun tidak menggubris, meskipun
nelayan tua itu berteriak
sekuat-kuatnya.
"Rupanya, mereka sangat khawatir akan keselamatan kita," kata Sri Ayuningrum
yang dapat merasakan sikap baik nelayan tua itu.
Kaswita dan Sri Ayuningrum segera mengayuh
perahunya ke tengah.
"Ke mana arah kita, Dik?"
"Tenang saja, Kak! Segalanya akan beres!"
"Beres bagaimana?" tanya Sri Ayuningrum ragu-ragu.
"Aku banyak pengalaman tentang berlayar,
Kak! Kakak terus berdayung dan aku pegang kemudi,"
jawab Kaswita mulai bisa tersenyum lagi.
"Baik, Tuan Nakhoda!" Sri Ayuningrum bergurau dengan adiknya.
"Sekarang Kakak berdayung terus sampai ke
tengah! Kemudian layar kita kembangkan."
"Ya, tetapi di mana letak pulau Papua yang kau
ceritakan itu?"
"Dari sini ke Timur dan terus ke Timur sampai
kita ketemu dengan kapal Belanda yang membawa
Kang Parmin."
"Wah! Sederhana sekali kalau begitu," ujar Sri
Ayuningrum mulai ragu, "Bagaimana kita tahu arah
Timur, jika matahari sudah tenggelam nanti?"
"Pendeknya mudah, Kak!" kata Kaswita sok tahu.
"Hei, jangan semua dipermudah! Nanti salahsalah bisa kita nyasar ke mana-mana."
"Tidak, Kak! Jika malam hari, arah bisa kita ke-
tahui dengan melihat 'Bintang Gubuk Pence ng'."
"Bintang Gubuk Penceng?" ulang Sri Ayuningrum mulai percaya pada kemampuan
Kaswita. Ketika matahari terbit di sebelah Timur, mereka
telah jauh meninggalkan pantai. Kaswita dengan sigap
mulai mengembangkan layar. Perahunya pun melaju
dengan kencang beberapa mil.
"Kalau begini terus lajunya, kita akan cepat dapat menyusul kapal keparat itu,"
ujar Sri Ayuningrum
sambil berhenti mendayung sementara.
Tetapi, tiba-tiba angin bertiup kencang. Langit
yang tadinya biru, kini berangsur-angsur berubah
menjadi hitam pekat dan mendung seperti menggantung di atas kepala mereka.
"Lihat itu ombaknya semakin besar!" keluh Sri
Ayuningrum dengan rasa khawatir, "Kalau salah-salah
ombak itu dapat membalikkan perahu kita, Dik!"
"Tenang, Kak! Berdoalah kepada Tuhan karena
Dia-lah juru selamat kita satu-satunya." Kata-kata
Kaswita ternyata benar-benar merupakan penangkal
keraguan kakaknya.
Sri Ayuningrum dengan tenang menjaga keseimbangan perahunya sambil berdoa dalam
hati dan pasrah kepada Tuhan. Sementara itu terlihat Kaswita
dengan cekatan menurunkan layar untuk menjaga perahu tidak sampai terbalik.
Ombak raksasa mulai bergulung-gulung dan
sekali-sekali mengangkat perahu kecil yang ditumpangi kedua kakak-beradik itu
tinggi-tinggi. Kemudian
perlahan-perlahan terhempas kembali bersama gelombang yang memecah.
"Jangan gugup, Kak! Jaga keseimbangan!"
Hanya itu yang selalu diperingatkan oleh Kaswita. Sri
Ayuningrum semakin tabah menghadapi ancaman
alam yang semakin dahsyat itu.
Sementara itu, ombak kelihatan mulai jinak
kembali dan perahu kecil yang tahan bantingan bergerak lagi dengan tenang.
"Alhamdulillah!" ucap Sri Ayuningrum dengan
penuh rasa syukur, tetapi begitu ucapan itu selesai, tiba-tiba di depan mereka
terlihat segulungan ombak
yang tinggi menjulang menyongsong perahu kecil mereka. Perahu itu seperti
terlempar ke atas dan air laut
seperti menghempas badan Sri Ayuningrum ke luar perahu.
"Kakak!" seru Kaswita dengan keras sambil menyambar tubuh kakaknya yang tercebur
ke laut. Tetapi, ia tidak berhasil. Ia hanya melihat sepintas lalu
tangan yang menggapai-gapai di permukaan air, agaknya jauh dari perahu. Kemudian
tubuh itu kelelap hilang dari pandangan.
Gadis pedalaman ini rupanya memang tidak
pandai berenang.
Kaswita menjadi panik. Dengan harap-harap
cemas ia menanti munculnya tangan kakaknya itu ke
permukaan air kembali. Harapannya itu menjadi kenyataan. Rupanya Tuhan belum
menentukan ajal Sri
Ayuningrum harus mati di dasar laut. Kaswita segera
menyambar tangan itu dengan sigap dan mengangkat
tubuh kakaknya itu ke dalam perahu. "Alhamdulillah!"
ucap Kaswita sambil menelungkupkan badan Sri Ayuningrum.
Kini laut kembali berangsur-angsur menjadi tenang. Angin yang memacu ombak
perlahan-lahan berhenti sementara langit sedikit demi sedikit cerah kembali.
"Bagaimana Kak?" tanya Kaswita ketika melihat
kakaknya bergerak perlahan-lahan mengangkat kepala.
"Perutku serasa kembung dan kepalaku pus-
ing," jawab Sri Ayuningrum. Kemudian kepalanya tergolek kembali.
Sehari penuh hari itu mereka bertempur melawan keganasan alam.
Sementara itu, matahari yang sudah condong
ke Barat, perlahan-lahan tenggelam di kaki langit, digantikan oleh ratu malam.
Itulah malam pertama dari
petualangan mereka.
Ketika itu langit tampak berwarna biru muda.
Bintang-bintang bertaburan di sana-sini, berkelip-kelip
dari kejauhan seperti taburan mutiara yang berkilauan.
Sri Ayuningrum sudah berangsur-angsur sehat
kembali. "Kita makan, Dik!" ajak sang kakak merasa
berhutang budi. Sri Ayuningrum membuka bagian bawah perahu. Ia mengeluarkan
sebuah keranjang makanan yang berisikan bekal selama dalam perjalanan.
Mereka pun santap bersama dengan penuh rasa nikmat karena perut mereka memang
sedang dalam keadaan lapar. Sementara itu, perahu kecil ini terus berlayar di
tengah lautan dengan tenang, dikayuh perlahan-lahan
oleh Sri Ayuningrum.
"Kak! Lihatlah bintang itu," seru Kaswita sambil
menunjuk ke sebuah bintang.
"Mengapa?" tanya kakaknya berhenti mendayung, sementara perahu melaju terus
didorong ombak dari belakang,
"Itulah bintang Gubuk Penceng yang kuceritakan Kakak siang tadi."
"Yang mana?"
"Itu yang berbentuk salib!"
Sri Ayuningrum mengangguk-angguk pertanda
mengerti. "Dialah bintang sahabat nelayan, yang selalu
berbaik hati menuntun mereka ke arah tujuan," jelas
Kaswita. Malam itu laut begitu tenangnya. Ombak kecilkecil seperti berkejar-kejaran. Air
terlihat berkelip-kelip
seperti hendak mengatakan hidup itu laksana lautan
sebentar bergejolak, sebentar tenang.
Perahu Kaswita melaju dengan tenang. Angin
mendorong dari belakang lewat layar yang dipasang
oleh nahkoda muda, pendekar Kaswita. Malam itu tak
banyak masalah! Pada waktu dinihari, perahu itu telah
memasuki laut Flores.
"Kakak tidur nyenyak sekali!" ujar Kaswita yang
terus semalaman memegang kemudi.
"Aku terlalu lelah, Dik," kata Sri Ayuningrum,
"Dan perutku pun terasa lapar."
"Makanan semalam masih ada, Kak?"
"Mengapa" Kau juga lapar?" Kaswita mengangguk sambil tersenyum.
Merekapun menyantap bersama makanan yang
tersisa kemarin.
"Persiapan makanan kita habis!" kata Sri Ayuningrum sambil membuang bungkusan
yang sudah kosong ke laut.
"Jangan khawatir, Kak! Di laut banyak makanan. Di air ada ikan dan di udara ada
burung," ujar
Kaswita sambil menunjuk beberapa ekor burung camar yang terbang tenang pagi itu.
"Daging burung enak sekali," tambah Kaswita
sambil menelan air liur. "Kalau Kakak suka, gunakanlah pedang mata dua Kakak
itu." "Tetapi, bagaimana makannya, mentah-mentah
begitu saja?" tanya Sri Ayuningrum seperti enggan.
"Apa boleh buat! Di sini tidak ada api! Tak ada
pula tetangga yang lewat yang boleh diminta," jawab
Kaswita dengan mata masih saja menatap ke burungburung camar yang terbang
rendah. Malam kedua telah pula dilewati dengan mulus.
Pagi hari ketika mereka telah tiba di laut Banda.
"Oh, lihat air laut di sini jernih sekali," kata Sri
Ayuningrum setengah heran. "Ikan-ikannya jinak dan
berkawan-kawan."
Kaswita turut juga menyaksikan keadaan laut
Banda yang sama sekali belum pernah dikunjungi,
meskipun ia pernah mengikuti kapal sebagai seorang
kelasi yang menjelajahi pulau-pulau di Nusantara.
Pagi itu cuaca terang benderang. Matahari
mengirimkan sinar lembutnya ke permukaan laut. Sementara angin pagi berhembus
sepoi-sepoi seperti
membelai kedua tubuh pendekar muda yang sedang
menggenggam sebuah tekad untuk membebaskan
saudara mereka dari tangan besi penjajah Belanda.
Laut Banda yang tenang dan jernih itu tampak bersahabat dengan mereka.
Layar yang sejak semalam terpasang sangat
membantu tugas Sri Ayuningrum. Gadis muda yang
cantik dan cekatan itu duduk dengan tenang sambil
menatap jauh ke depan. Hatinya berlari jauh lebih cepat dari perahu sehingga di
wajahnya membayang rasa
ketidak sabaran. Ingin saja cepat-cepat dapat mencegat kapal Belanda yang
menyandera kakaknya Jaka
Sembung. Kaswita yang memegang kemudi, sekali-sekali
menoleh kepada kakaknya dan diam-diam seperti merasakan ada sesuatu yang sedang
menjadi lamunan
saudaranya itu.


Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakak melamun?" tanya Kaswita penuh perhatian.
"Tidaaak," jawab Sri Ayuningrum, mencoba
menyembunyikan perasaan hatinya,
ta ini?" "Tetapi kira-kira berapa lama lagi pelayaran ki-
"Mengapa, Kak" Kakak sudah tidak sabar?" tukas Kaswita dengan tersenyum mencoba
menghibur kakaknya. "Itu sangat tergantung pada cepat lambatnya perahu kita ini dapat
mengejar kapal besar itu," jelas pemuda itu.
Ketika mereka sudah melewati laut Banda sejauh beberapa mil, dari depan
kelihatan langit mulai
mendung dan perlahan-lahan menghitam. Angin sekali-sekali datang dengan tiba-
tiba disertai gelombang
besar. "Mungkin badai akan datang lagi," seru Kaswita, "Kakak berhati-hati!"
Sri Ayuningrum diam membisu. Matanya terusmenerus mengawasi suasana alam
sekitarnya yang dia
sendiri tidak tahu untuk apa" Sementara Kaswita mulai repot dengan kemudi yang
selalu dipertahankan harus tetap ke Timur.
Dalam kesibukan demikian, Kaswita masih
sempat memberikan semangat untuk kakaknya, "Biar
sejuta badai mengamuk, Kak, kita harus tetap sampai
ke tempat tujuan!"
Begitu selesai kata-kata itu lepas dari mulutnya, di atas mereka terlihat
sesuatu pusaran angin
yang berbentuk kerucut seperti mengebor air laut yang
akan mereka lalui sehingga tidak jauh dari perahu mereka ternganga sebuah jurang
air laut dalam yang sangat mengerikan.
"Puting beliung!" teriak Kaswita yang tetap setia
pada kemudi. Lembah air laut yang dibuat angin puting beliung itu sudah terlalu
dekat dengan perahu mereka dan tidak mungkin dielakkan lagi.
Ketika perahu mereka berputar-putar seperti
sabut dan terseret ke dalam pusaran air itu, Kaswita
hanya sempat berteriak keras, "Berpegang kuat-kuat
Kak!" Perahu kecil itu beserta dua orang pendekar
muda yang ada di dalamnya mendadak lenyap dari
permukaan laut tanpa bekas. Sementara suasana di
sekitarnya tenang kembali seperti tak pernah terjadi
apa-apa. Tidak lama kemudian, terlihat perahu naas
itu muncul kembali perlahan-lahan ke permukaan air
dalam keadaan telungkup.
"Kak Sri! Kak Sri, di mana Kakak?" seru adiknya ketika ia menyadari dirinya
telah berada kembali
di permukaan laut.
"Di sini, Dik! Di sini!" jawab Sri Ayuningrum
sambil mendongakkan kepala ke atas dan melihat
Kaswita ada di depannya.
"Syukur Alhamdulillah, kita diselamatkan Allah," kata Ayuningrum sambil memejam
mata. Kemudian ia meminta kepada adiknya, "Apa yang harus kita
lakukan dalam keadaan begini, Dik!"
"Aku belum tahu, Kak! Mari kita pasrahkan diri
kepada Tuhan," ujar Kaswita seraya merapatkan pipinya dengan sisi perahu.
Tetapi, tiba-tiba Sri Ayuningrum mendengar sesuatu di sekitarnya. Ia
memperhatikan keadaan di sekelilingnya dan apa yang tampak
olehnya" Sekeliling mereka terlihat sirip ikan hiu yang
muncul ke permukaan air.
"Cepat naik ke atas, Kak! Ikan-ikan itu sangat
berbahaya," kata Kaswita yang sedikit banyak tahu
tentang laut. "Hati-hati Kak!"
Sebagai pendekar, untuk melejit ke punggung
perahu dalam posisi terbalik itu bukanlah suatu yang
sukar. Ketika kedua penumpang perahu itu terlihat
bergerak, seekor ikan hiu kuning meluncur dengan cepat menyambar kaki Sri
Ayuningrum, tetapi ia hanya
berhasil menelan seember air laut asin yang tidak diperlukan.
Merasa gagal, akhirnya ikan-ikan hiu itu terlihat memukul-mukul air dengan
ekornya sambil mengelilingi perahu telungkup itu. Kaswita dan kakaknya
berdiri tegak di punggung perahu dengan mulut yang
komat-kamit berdoa kepada Tuhan agar selamat dari
malapetaka yang ngeri itu.
Tetapi, belum selesai dari malapetaka yang satu, malapetaka lain mengancam pula.
Perahu kecil yang menjadi tumpuan harapan itu bocor. Dari lubang
bocor itu, memancar air ke atas seperti air mancur.
"Wah, Kak! Sewaktu-waktu perahu ini bisa
tenggelam," kata Kaswita yang memang tanggap dalam
semua hal. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak ada yang harus kita lakukan, kecuali menjaga keseimbangan," jawab Nahkoda
Kaswita yang tidak pernah kehabisan akal.
"Maksudmu supaya tidak terbalik?" tanya Sri
Ayuningrum. "Ini sudah terbalik" kata Kaswita melucu. Dalam keadaan begitu mencekam, anak
muda itu masih sempat bercanda.
"Maksudmu supaya tidak tenggelam?"
"Ya!" Sri Ayuningrum menatap adiknya sejenak.
Diam-diam dalam hatinya mulai merasa lucu.
"Apa tidak bisa kebocoran itu ditutup?" saran
Sri Ayuningrum.
"Tidak mungkin, Kak! Kita tidak punya alat apa
pun, kecuali menutupnya dengan kaki," ujar Kaswita
yang secara tidak sadar telah memberikan jalan.
"Ya, kita tutup saja dengan kaki, sekedar mengurangi kebocoran itu," potong Sri
Ayuningrum. "Bagus usul Kakak!" puji Kaswita kagum.
Karena kebocoran itu ada di tengah-tengah,
kaki kiri Kaswita dan kaki kiri kakaknya dirapatkan
menghadap ke Timur, akhirnya lubang kebocoran yang
tidak begitu lebar tertutup rapat oleh telapak kaki mereka.
Demikianlah dengan tekad dan semangat baja,
kedua adik-kakak membiarkan diri mereka terkatungkatung di tengah lautan luas
sambil berdoa dan berdoa
kepada Tuhan. "Kalau begini terus, kita tidak akan dapat mencapai tujuan. Karena perahu kita
hanyut begitu saja
mengikuti arus," kata Kaswita.
"Jadi bagaimana baiknya?" Sri Ayuningrum seperti menyerah.
"Sekarang kebocoran itu tidak kita tutup dengan telapak kaki, tetapi kita sumbat
dengan kain, kemudian kita duduk di atasnya," kata Kaswita mendapat gagasan
baru. "Sebagai kemudi sekaligus sebagai pendayung
mungkin pedangku bisa," tambah Sri Ayuningrum melengkapi gagasan adiknya.
"Tetapi, mana kain untuk menutup bocornya?"
tanya Sri Ayuningrum.
"Itu kain batik, Kak!"
Sang Kakak melihat kepada kain yang terbelit
di pinggangnya.
"Tidak apa," pikirnya, "Toh aku masih memiliki
celana ketat yang melekat di badanku."
Dengan kain batik Sri Ayuningrum, lobang kebocoran itu segera ditutup. Air yang
tadinya memuncrat ke atas lewat kebocoran sekarang sudah tidak lagi.
Kini semangat mereka marak kembali. Sri Ayuningrum dengan menggunakan pedang
bermata duanya mulai mendayung perlahan-lahan, sementara
Kaswita duduk di belakang menggunakan senjata beliung sebagai kemudi.
Papan tempat berpijak itu mulai beringsut sehasta demi sehasta secara terarah.
Untuk pengganjal
perut, mereka menyantap ikan-ikan yang kebetulan
melompat ke atas punggung perahu.
"Sampai kapan kita terus begini, Dik?" tanya
Sri Ayuningrum dengan nada haru, tanpa berhenti
berdayung. Kaswita tertegun sejenak dan matanya
menatap jauh ke depan; kemudian dengan lesu berkata, "Sampai kita berhasil
membebaskan Kang Parmin"
Sementara itu, papan tumpangan yang berwujud perahu terbalik itu terus bergerak
dengan tetap dan pasti. Tiba-tiba Kaswita agak kaget ketika ia melihat jauh ke depan sebuah
bayangan kapal besar yang
sedang berlayar.
"Kak! Lihatlah itu!" Kaswita menunjuk jauh ke
depan. "Kapal?"
"Ya, aku yakin itu kapal Belanda yang sedang
kita kejar."
"Kalau ya apa yang harus kita lakukan, Dik?"
"Kita atur siasat mulai sekarang. Bagaimana
caranya kita bisa naik ke kapal?"
"Bukankah itu mudah untuk kita" Sekali melejit kita sudah berada di geladak,"
kata Sri Ayuningrum
tersenyum. "Ya! Cuma kita harus hati-hati! Jangan sampai
kehadiran kita ini sempat diketahui oleh Belandabelanda licik itu."
Mata Sri Ayuningrum tidak lepas-lepasnya
mengikuti bayangan kapal besar itu dengan penuh penasaran.
"Kang Parmin! Tunggulah kami datang! Kami
pasti akan membebaskanmu," gumam pendekar wani-
ta itu pada dirinya.
"Alhamdulillah, Kak! Penderitaan kita tidak siasia. Apa pun yang akan terjadi,
Kang Parmin harus kita bebaskan, meskipun untuk itu aku harus memberikan nyawaku
sebagai tebusan," ujar Kaswita dengan
terharu sambil memeluk kakaknya.
3 Matahari perlahan-lahan tenggelam di kaki langit sebelah Barat. Beberapa perahu
tidak jauh dari
Pendekar Kaswita dan kakaknya Pendekar Ayuningrum terlihat melaju dengan kencang
seperti mengejar
kapal besar yang terus berlayar itu.
Selain itu terlihat pula sebuah perahu kecil
bercadik. Perahu itu didayung oleh sepasang tangan
yang kukuh kuat. Sekali merengkuh, perahu itu melaju jauh seperti terbang di
permukaan air. Wajahnya
berewokan dilengkapi dengan kumis tebal yang berwibawa. Sorot matanya tajam
seperti mata burung rajawali.
Tidak jauh dari perahu itu, tampak pula sebuah rakit 'koritiki' yang berisi tiga
orang. Kelihatannya mereka semua menuju ke satu arah membuntuti
kapal Belanda yang besar itu.
"Hei, batasi, jangan terlalu dekat dengan kapal,"
terdengar sebuah perintah yang keluar dari salah seorang yang ada di atas rakit.
"Ya, kita berhenti agak jauh sedikit sambil menunggu malam," tambah seorang
tokoh yang kelihatan
agak lebih tua.
Sementara itu, sebuah perahu besar yang
hampir semua berisikan wanita-wanita remaja, mem-
perlambat lajunya perahu. Seorang wanita cantik yang
duduk di buritan mengeluarkan perintah dengan suara
nyaring, "Turunkan layar! Berhenti pada jarak yang tidak terjangkau teropong!"
Begitu perintah itu selesai, terlihat kesibukan
gadis-gadis itu melaksanakan tugasnya masingmasing.
Tidak lama kemudian, sesuai dengan instruksi,
perahu besar itu pun membuang jangkar menanti malam tiba.
Terpisah beberapa mil dari perahu besar itu,
terlihat pula sebuah perahu lain, yang juga membuntuti kapal Belanda yang
membawa pendekar Jaka
Sembung. "Turunkan layar!" kata yang duduk di buritan
perahu. Seorang wanita yang berada di dekat tiang
layar segera melaksanakan perintah itu.
"Akhirnya, bisa juga kita susul kapal Belanda
laknat itu, Umang!" ujar gadis yang sedang menurunkan layar.
"Ya, semua tergantung pada kesungguhan dan
semangat kita, Mira." Laki-laki yang duduk di buritan
perahu, yang disebut Umang terus menatap kapal Belanda yang tidak jauh dari
depannya berpura-pura
seakan-akan ia sedang memancing.
Ketika itu, kapal Belanda yang berhenti di tengah lautan, melakukan pemeriksaan
suasana di laut.
Dua orang Belanda berdiri di buritan kapal sambil meneropong jauh ke belakang
yang sudah diarunginya.
"Apa tidak mungkin, pendekar-pendekar simpatisan Jaka Sembung menyusul kita,
Kapten?" Pertanyaan itu muncul ketika pembantu Kapten melihat beberapa perahu
kecil lewat teropongnya.
"Nee!" jawab Kapten dengan singkat, "Terlalu
berbahaya! Kalau juga mereka melakukannya, perahu-
perahu mereka pasti dipukul badai dan menjadi korban ikan-ikan besar!"
"Tetapi, bukankah mereka orang-orang pribumi
yang terkenal pandai mengarungi samudra luas?"
"Mungkin, tetapi tidak semua inlanders pandai
berlayar. Hanya orang-orang Bugis saja yang dapat
melakukan hal itu, sedangkan ekstremis yang ada di
kapal sekarang adalah orang Jawa atau Sunda," jelas
Kapten kapal yang berpengalaman itu.
"Maaf, Kapten... mereka itu bukan orang-orang
biasa," bantah sang pembantu ingin mengorek pendapat, "Mereka pasti pendekar-
pendekar yang punya kemampuan dan kecekatan bertarung yang luar biasa
seperti yang terjadi di gedung Karesidenan Cirebon beberapa malam yang lalu."
"Gonverdomme zeg!" bentak Kapten itu ketika
mendengar nada pembicaraan pembantunya yang seperti memuji pendekar inlanders.
Sementara itu, di sebuah ruangan sempit di geladak kapal paling bawah, Jaka
Sembung meringkuk
sendirian dengan kedua tangan kiri dan kanan terikat
oleh dua rantai besar yang terpisah.
Namun dari wajahnya, sedikit pun tidak terlihat
rasa sedih dan takut. Ia duduk dengan tenang tanpa
kawan yang dapat diajak bicara, seakan-akan ia pasrah diri kepada Tuhan.
Sekali-sekali hatinya terasa panas dan mau rasanya ia berteriak-teriak mencaci
maki orang-orang
Belanda yang ada di kapal itu. Tetapi, akhirnya ia
kembali bertanya pada diri, "Untuk apa?" Yang penting
baginya, bagaimana ia membebaskan diri dari tawanan
Kumpeni Belanda sekarang ini, untuk kemudian
menghajar mereka habis-habisan.
Hampir setiap malam Jaka Sembung diganggu
oleh kenangannya sendiri. Ia teringat istrinya Roijah
yang sangat dicintainya dan terbayang kembali di depan matanya kelicikan Letnan
Jenderal Van den
Smooth yang tanpa moral mengibulinya sehingga ia
masuk tahanan tanpa perlawanan.
Kisah ini berputar kembali seperti rekaman


Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang baru terjadi. Jaka Sembung masih ingat pada suatu hari, sepasukan tentara
berkuda dari Cirebon datang ke Kandanghaur menjumpainya.
Alasan kedatangan itu sebagai utusan Pemerintah Kerajaan Belanda guna menjemput
James dan kekasihnya Elsye van Eisen untuk dipindahkan ke Batavia.
Sebenarnya, Jaka Sembung tidak percaya pada
alasan itu. Ia telah menduga sejak semula, James dan
Elsye pada suatu ketika pasti akan disingkirkan oleh
Belanda dari Kandanghaur. Belanda tahu benar kedua
orang Belanda itu terlalu dekat dengannya. Karena itu,
selama James masih di Kandanghaur, Belanda sama
sekali tidak dapat melancarkan tipu muslihatnya yang
sudah disusun. "Bagaimana Tuan?" tanya Van den Smooth kepada Jaka Sembung.
"Saya tidak berhak mempertahankan James
dan Elsye, jika mereka memang bersedia, tetapi suatu
catatan untuk Tuan, kami tidak suka melihat ia dipaksa dengan dalih apa pun,"
jawab Jaka Sembung dengan tegas.
Rupanya James dan Elsye memang tidak keberatan untuk dipindahkan ke Batavia.
Karena itu, Jaka
Sembung terpaksa melepaskannya. Jaka Sembung
sangat terharu ketika James merangkulnya dan membisikkan kata, "Parmin, mijn
Broer! Teruskan perjuangan Anda. Aku ikut berdoa dari jauh. Meskipun kita
berlainan bangsa, tetapi persahabatan kita akan tetap
abadi. Aku sangat menyesal sampai sekarang pun aku
belum dapat membantumu."
Kata-kata itu terasa semakin berarti ketika ia
berada dalam tahanan di kapal itu.
Jaka Sembung membayangkan kembali, betapa
akrabnya pergaulan Roijah dengan Elsye. Ketika mereka berpisah, Roijah memeluk
Elsye kuat-kuat. Ia teringat kembali betapa tulusnya hati nona Belanda itu
ketika hendak menolongnya ke luar dari Rumah Tahanan
Militer Kumpeni sehingga ia sendiri menderita berat
dan James tertembak.
"Roijah, mijn Zus! Kuharap engkau tidak melupakan aku, meskipun kita berpisah
jauh. Hanya aku
sangat menyesali diriku sendiri karena tak sempat menyaksikan kelahiran bayimu
kelak," kata-kata itu pun
terus terngiang di telinga Jaka Sembung.
Hari itu, Parmin Jaka Sembung dan Roijah Bajing Ireng mengantarkan keberangkatan
kedua rekannya itu sampai ke kereta kuda sehingga kereta itu berangkat perlahan-
lahan meninggalkan halaman rumah.
Jaka Sembung masih ingat, sebulan setelah
keberangkatan James dan Elsye dari Kandanghaur,
pasukan yang sama datang lagi ke rumahnya untuk
menjemput Parmin menghadap Residen di Cirebon guna merundingkan batas-batas
kedaulatan daerah kekuasaan Parmin sebagai penguasa di Kandanghaur
"Bagaimana Tuan Parmin" Tidak keberatan bukan untuk memenuhi panggilan Residen
ini?" tanya
Letnan Jenderal Van den Smooth dengan ramah.
Parmin terdiam sejenak. Hatinya ragu terutama
entah apa yang terpikir olehnya, Parmin mengangguk
perlahan-lahan.
"Baiklah Jenderal! Aku penuhi panggilan ini!"
jawab Jaka Sembung dengan mantap.
"Karena perundingan dengan Residen ini tidak
memerlukan waktu lama, kami usulkan agar Tuan
Parmin tidak usah mengikutsertakan pengawal. Pengawalan kami cukup kuat untuk
menjaga keamanan
Tuan. Dan kami berjanji akan mengantar Tuan kembali ke desa Kandanghaur setelah
perundingan selesai,"
ujar Letnan Jenderal Van den Smooth dengan manis.
Karena yakin akan kesungguhan dan keramahan perwira tinggi Belanda yang memimpin
pasukan itu, Parmin sebagai pendekar kesatria sedikit pun tidak
menaruh prasangka jelek kepada pejabat tersebut.
"Baiklah, dengan syarat Tuan benar-benar memegang teguh pada ucapan Tuan sendiri
sebagai seorang perwira terhormat," kata Parmin Jaka Sembung
sambil memberi hormat.
"Dank U well! Kami atas nama kerajaan Belanda akan menepati janji!" supah Letnan
Jenderal Van den Smooth dengan sungguh-sungguh.
Setelah selesai pembicaraan dengan utusan Residen Cirebon, Parmin segera pamit
kepada istrinya,
Roijah. "Kang! Berhati-hatilah!" ucap Roijah dengan sedih.
Hari itu Parmin benar-benar mendapat penghormatan istimewa dari Belanda. Dia
dipersilahkan duduk dalam kereta kuda, di samping Letnan Jenderal
Van den Smooth.
Ketika hendak naik ke kereta, gadis kecil Kinong berkata setengah berbisik,
"Mengapa tidak membawa golok dan tongkatmu, Kang?"
Tiba-tiba hati Parmin berdetak mendengar pertanyaan gadis kecil itu, tetapi ia
segera menjawab, "Oh,
tidak! Kang Parmin pergi dengan tuan-tuan yang baik
hati. Kinong jaga Kak Roijah baik-baik ya!"
"Tetapi, cepat kembali ya Kak!?"
Tetapi kenyataan sama sekali tidak seperti yang
telah dijanjikan. Sesampai di depan gedung Karesidenan, Jaka Sembung tidak
disambut sebagai tamu yang
terhormat, tetapi disambut oleh serdadu-serdadu
Kumpeni Belanda dengan suatu kepungan yang ketat.
Parmin alias Jaka Sembung sangat terkejut. Ia
sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk melawan... akhirnya ia diangkut ke
kapal dengan kedua
belah tangannya dirantai seperti anjing.
Ketika kenangannya sampai di situ, setitik demi
setitik air matanya mengalir menyusuri jalur pipinya.
Kemudian jatuh ke pangkuannya tanpa tangan yang
menyeka, meskipun tangannya sendiri.
Jaka Sembung kaget, ketika ia menyadari ia
menangis. "Seharusnya aku tidak menangis...!" sesal hatinya dengan mendalam.
*** Sementara itu, sejumlah pendekar yang bertekad untuk membebaskan Parmin, Jaka
Sembung dari tawanan Kumpeni Belanda, sudah mulai mendekat ke
kapal dengan hati-hati.
"Aneh juga, Mira!" kata Umang sambil berdayung.
"Apa yang aneh?"
"Mengapa Jaka Sembung tidak melawan ketika
ditangkap di gedung Karesidenan?" Umang menyesalkan.
"Kita tidak tahu suasana ketika itu. Mungkin
Jaka Sembung tidak melihat kemungkinan itu. Mungkin ia sudah memperhitungkan
bahwa jika ia melawan
ia pasti tewas, yang berarti perjuangannya berakhir
sampai di situ," Mirah menggambarkan perkiraannya.
Umang terdiam sejenak, sepertinya ia dapat
menerima pikiran Mirah karena belum pernah dalam
sejarah hidup Jaka Sembung sebagai pendekar menyerah begitu saja seperti yang
terjadi di Cirebon.
"Tetapi, mengapa pula Belanda tidak membunuhnya ketika itu?"
"Pertanyaanmu tidak menyenangkan untuk didengar," kata Mirah. "Seharusnya kita
bersyukur Jaka Sembung tidak mereka bunuh sehingga kita tidak kehilangan seorang kawan yang
paling berarti dalam perjuangan."
Umang tersentak dari lamunannya. Ia tidak
mengira pertanyaannya yang begitu sederhana, mempunyai arti yang seburuk itu.
Tetapi sebelum sempat ia
menyatakan penyesalannya, Mirah melanjutkan katakatanya, "Kewajiban kita
sekarang hanya satu yaitu
membebaskan Jaka Sembung dari tawanan Kumpeni
Belanda, bagaimana?" Mirah mendekati Umang sambil
menepuk bahunya.
"Siap, Mirah!" tanggap Umang dengan senyum.
Sementara itu, tidak jauh dari perahu mereka
tampak remang-remang sebuah rakit yang juga searah
dengan mereka. "Apakah mereka menuju ke kapal itu juga?"
tanya Mirah. "Kelihatannya memang begitu."
"Kalau begitu," ujar Mirah, "Mari kita dekati
mereka!" Ketika mereka mendekat ke rakit itu, terdengar
salah seorang yang sedang mendayung rakit dengan
sebilah bambu panjang berkata, "Untung sekali Jaka
Sembung tidak ditembak oleh Belanda!"
Mirah yang berdiri dekat Umang segera mencolek paha kawannya.
"Ada apa?" tanya Umang setengah berbisik.
"Mereka juga sedang membicarakan Jaka Sem-
bung seperti kita tadi."
"Kalau begitu,"
"Ya, mereka juga pendekar-pendekar yang hendak membebaskan Jaka Sembung dari
tawanan Kumpeni Belanda" potong Mirah, seakan-akan mereka tidak sendiri.
"Ah, tidak semudah itu Kumpeni Belanda berani menembak Jaka Sembung," terdengar
pembicaraan dari rakit, "Karena kalau itu mereka lakukan persoalan
yang dihadapi Kumpeni Belanda semakin bertambah
banyak. Pemberontakan rakyat akan terjadi besarbesaran. Para pendekar seluruh
Jawa Barat pasti turun tangan. Masalahnya menjadi tambah rumit. Penjajah Belanda
sekarang ini sedang menghadapi pemberontakan bangsa kita di mana-mana," jelas
seorang yang ada di rakit.
Umang dan Mirah yang mendengar percakapan
mereka sama tersenyum.
"Mirah!" bisik Umang, "Kita tak usah mengusik
mereka yang sedang berbincang itu!"
"Lantas?"
"Kita terus menuju ke kapal!"
Sementara itu percakapan di rakit berjalan terus.
"Di mana saja pemberontakan yang sedang terjadi?" tanya seseorang.
"Banyak Kang! Misalnya di Aceh, di Minangkabau, di Makassar dan di tempat-tempat
lain," jelas seorang pemuda yang rupanya lebih banyak tahu.
"Seharusnya memang begitu! Untuk mengusir
penjajah, seluruh bangsa kita di Nusantara ini harus
bersatu." "Benar katamu," potong seorang yang lebih tua,
"Kita tidak bisa melawan mereka sendiri-sendiri. Karena dengan sendiri-sendiri
kita akan mudah dimusnah-
kan begitu saja. Karena itu, aku mendukung gagasan
Jaka Sembung yang ingin mempersatukan seluruh
pendekar di tanah air."
"Tetapi untuk mewujudkan cita-cita itu memerlukan waktu yang panjang, mungkin
sampai ke anakanak cucu kita yang kesekian," tambah yang lain.
Sementara itu malam semakin turun. Angin
mulai terasa berhembus kencang mengajak ombak
berdansa. Para pendekar pantai yang dapat membaca
gelagat, segera mendayung perahunya. Mereka mendekati kapal besar Belanda
seperti semut-semut Marabunta yang sedang merayap. Di balik kapal itulah mereka
berkumpul sambil membuat rencana penyerbuan
ke atas kapal. Malam yang semakin pekat dan deru ombak
yang susul-menyusul dengan suara yang cukup keras,
ditambah pula angin kencang yang menghantamhantam dinding kapal, telah membuat
suasana di kapal Belanda resah dan khawatir.
"Angin kencang begini akan berlangsung lama,
Kapten," kata Nahkoda memberi pendapat. "Malam ini
mungkin kapal tidak bisa berlayar. Sebaiknya kita beristirahat sampai angin
reda." Kapten kapal dapat menerima usul nahkoda
itu. Ia segera mengumumkan keberangkatan kapal ditunda.
Mendengar pengumuman itu, semua yang ada
di kapal merasa senang. Mereka bisa istirahat. Bisa
berdansa di ruangan dansa yang memang tersedia.
Mereka bisa mabuk-mabukkan sampai pagi.
"Suasana dingin seperti ini bisa menjadi sangat
menyenangkan, jika kita rayakan dengan arak dan
wanita, Kapten!" usul nahkoda dengan tersenyum.
"Mengapa, tidak" Kalau itu menyenangkan,"
kata Kapten sependapat.
Kru kapal beserta staf administrasinya sangat
gembira mendapat kesempatan seperti itu. Serdadu
Kumpeni Belanda yang sejak bertolak dari pelabuhan
Cirebon kelihatan muram dan gelisah, kini berkumpul
berkelompok-kelompok sambil minum arak.
"Hore, horee!" teriak beberapa kru; seorang di
antaranya bernyanyi seenaknya, "Arak sudah ada, mana wanitanya?" Nyanyian itu
semakin lama semakin
berkembang dan akhirnya dinyanyikan oleh semua kru
dengan meriah. Kapten yang mendengar kata-kata itu, diamdiam menyadari hal itu sebagai suatu
tuntutan dari anak buahnya yang iseng. Karena itu sang Kapten
membiarkan saja kegembiraan itu berlalu.
Dalam suasana gembira dan kemeriahan itu, di
lambung kapal tiga sosok tubuh sedang berusaha naik
ke kapal lewat seutas tali.
"Biar kau naik duluan," bisik salah seorang di
antara mereka. "Hati-hati!"
"Jangan khawatir! Serdadu-serdadu itu sedang
lupa daratan!" Hal-hal yang seperti itu, bukan suatu
yang sulit bagi seorang pendekar. Ketika seorang yang
terakhir mendapat giliran, tiba-tiba dari atas kapal terdengar bentakan keras,
"Siapa di situ?"
Orang yang sedang memanjat itu berhenti sejenak sambil merapatkan badannya ke
dinding anjungan.
Dalam suasana malam yang remang-remang
itu, dua kelasi yang sedang minum-minum, jauh dari
kelompoknya yang lain, tiba-tiba melihat sesosok tubuh wanita berwajah cantik
dengan dada setengah telanjang.
"Heei! Arak ada, wanitanya pun sudah ada," bisik salah seorang di antara mereka.
"Cantik sekali!"
"Seperti bidadari?" tanya kawannya.
"Ssst!" tiba-tiba wanita cantik itu memberi isyarat dengan telunjuk di bibir
sambil mendekati kedua
kelasi yang sejak tadi menatapnya. "Jangan berisik!
Aku datang untuk menghibur kalian, mengerti?"
Kedua kelasi itu mengangguk gembira. "Siapa
kau?" tanya seorang dengan suara pelan.
"Kalian tidak tahu siapa aku?"


Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua kelasi setengah tua itu menggeleng.
"Aku simpanan Kapten kalian, yang tidak pernah keluar dari kamarnya." jawab
wanita cantik itu
memperlebar bukaan dadanya.
"Mengapa Nona berani ke mari?" tanya seorang
di antara mereka dengan sekelumit rasa takut.
"Kapten kalian sudah tidur pulas di kamarnya
setelah kuninabobokkan. Lantas apa salahnya aku dan
beberapa simpanan Kapten mu itu turut menghibur
kalian sebagai anak buahnya?"
"Apa betul Nona mau menghibur kami?"
"Hei, buat apa aku datang dalam pakaian begini, jika hanya untuk membohongi
kalian?" "Goed, aku duluan Fred!" kata salah seorang di
antara mereka yang mungkin lebih tinggi kedudukannya dari yang lain.
"Oh, nee! Ik lebih bulu!"
"Aku tidak suka kalian berebut seperti itu," sela
si Nona berpura-pura ngambek. "Sekarang atur baikbaik siapa duluan dan segera
cari kamar kosong."
"Baik, Nona! Ayoh Jos, kita cepat cari kamar!"
Si Nona yang tidak lain dari seorang pendekar
pengikut Jaka Sembung diam-diam tersenyum. Tidak
lama kemudian, nona pendekar itu sudah berada di
sebuah kamar kosong. Celana hitam yang mengetat di
paha ditanggalkan sehingga yang masih tersisa hanya
celana dalamnya. Sang Nona yang pendekar itu bersandiwara sedemikian rupa
sehingga tidak sedikit pun
menimbulkan kecurigaan calon korbannya.
Beberapa saat kemudian, Jos yang sejak semula ingin duluan masuk kamar. Ia
tersirap sejenak ketika melihat si Nona dalam pakaian minim seperti itu,
dan merebahkan diri dengan pose yang sangat menantang.
"Ayo cepat apa maumu?" bisik si Nona, "Kasihan kawanmu menunggu lama di luar."
"Kau cantik sekali, Nona!" ujar Jos seraya
menggerayangkan tangannya ke mana-mana. Tetapi
ketika kelasi itu hendak beraksi, tiba-tiba kedua tangan gadis itu bergerak
cepat. Jos jatuh terduduk di
lantai dengan rasa heran sambil mulutnya mengeluarkan darah segar, akhirnya
kelasi malang itu menemui
ajalnya. Sang Nona segera bergerak cepat. Tubuh kelasi
yang sudah kaku itu segera diseret ke bawah tempat
tidur. Sementara Fred yang menunggu di luar sudah
tak sabar. Ia mulai gelisah. Ngebetnya hampir tak tertahan.
"Heei, mengapa begitu lama" Cepat buka pintunya Jos, kita gantian."
Tidak lama kemudian, pintu terbuka perlahanlahan. Fred masuk tergesa-gesa.
Tetapi, begitu nongol
di depan pintu, sebuah sabetan keras dengan telapak
tangan, yang diayunkan oleh si nona tepat mengenai
lehernya. Korban itu jatuh tidak berkutik
Ketika Nona pendekar Kembar Tiga Melati melakukan tugasnya dengan baik dan
lancar sehingga
hanya dalam beberapa waktu saja sejumlah kelasi dan
serdadu Kumpeni Belanda telah menjadi korban. Lima
kamar kosong yang dipakai oleh pendekar-pendekar
Kembar Tiga Melati penuh dengan mayat.
Ketika pembunuhan beruntun di kapal sedang
menjadi-jadi, Sri Ayuningrum dan Kaswita baru tiba di
sisi kapal. "Mari kita bersiap untuk naik!" ajak Kaswita setengah perintah.
"Kapalnya besar sekali, Dik! Aku sangsi apa
aku mampu melejit sampai ke pagar dek itu tanpa
tempat berpijak untuk locatan?"
"Jadikanlah punggung perahu ini sebagai landasan loncat, Kak! Biar aku yang
menjaga keseimbangannya."
"Baiklah kalau begitu," Sri Ayuningrum segera
bersiap. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh sambil mengerahkan segenap
kekuatannya, Sri
Ayuningrum melejit dengan cepat ke atas kapal yang
tinggi itu. "Bagus Kak, kau berhasil!" gumam Kaswita
sendirian. Sesampai di kapal, Sri Ayuningrum segera
mencari tali tambang yang banyak bertumpuk di buritan. Tali itu diturunkan ke
bawah sementara ujungnya
diikat pada sebuah tonggak besi yang ada di tempat
itu. Sebentar kemudian Kaswita sudah berada pula di
atas kapal. Suasana di geladak kelihatan sepi. Sri Ayuningrum dan Kaswita dengan waspada
memperhatikan keadaan di sekitar itu, "Sudah ke mana semua awak
kapal ini?" tanya Kaswita setengah berbisik.
"Mana Kakak tahu!?"
"Kalau begitu, Kakak coba periksa ke haluan
kapal dan aku ke buritannya," ujar Kaswita membagi
tugas. Ia langsung melompat menuju ke buritan dan
Kaswita bergerak ke haluan.
Ketika Kaswita memasuki bagian buritan kapal,
mendadak ia tertegun. Dari jauh ia melihat dua orang
wanita muda yang sedang sibuk mengangkat sesuatu.
Kaswita perlahan mencoba mendekati tempat kedua
wanita itu berada. Tiba-tiba ia mendengar suatu percakapan dengan jelas.
"Nuna, Neneng! Cepat ke mari bantu aku melemparkan bangkai-bangkai Belanda busuk
ini ke laut!" "Tunggu Kak Unui, aku sedang berpakaian,"
jawab dua orang yang dipanggil itu di balik sebuah
tiang. Kaswita mencoba melangkah lebih dekat lagi.
Tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat di sebuah
ruangan terbuka bergelimpangan mayat-mayat Belanda, yang sebagian besar telah
dilemparkan ke laut oleh
ketiga gadis itu.
"Alangkah hebatnya ketiga gadis itu," pikir
Kaswita, "Kalau begitu mereka pasti kawan, bukan lawan. Tetapi, mendekati
seorang pendekar secara mendadak, akibatnya terlalu besar," pikir pendekar muda
itu. Karena itu, keinginannya untuk berkenalan dengan ketiga gadis itu
diurungkan sementara.
Tiba-tiba Kaswita mendadak kaget ketika mendengar suara gemerincing besi beradu,
tidak jauh dari
tempat ia berdiri. Belum hilang lagi kagetnya, tiba-tiba
ia melihat wajah seorang wanita dan gerakannya yang
demikian cekatan.
"Bagus Mirah! Kau pintar melempar tali, di mana kau belajar, hah!?"
Gadis itu dengan riang menjawab, "Dari ilmu
'Lalawa Hideung'."
"Lalawa Hideung?" ulang Kaswita meniru ucapan gadis yang baru naik ke atas
geladak kapal. "Nama
itu pernah kudengar, di mana ya?"
"Hati-hati Umang!" teriak gadis itu dari atas
kapal. "Rupanya ada temannya di bawah," pikir Kaswita dengan penuh tanda tanya.
Sementara itu matanya
terus mengawasi gadis di geladak yang sedang menunggu kawannya dari bawah.
Tidak lama kemudian, muncullah sebuah kepala di dinding geladak seperti
menggapai-gapai. Gadis
itu segera membantunya sambil mengeluh pelan, "Beginilah susahnya orang buntung
tangan." Gadis itu hanya tersenyum. Kemudian dengan
cara bahu-membahu mereka mengawasi suasana di
sekitar geladak.
"Hati-hati Mirah, bukan tidak mungkin Belanda
memasang perangkap untuk kita. Karena keadaan sepi
seperti ini, tahu-tahu kita dibokong orang dari belakang dan mati konyol."
Mirah tidak menanggapi kata-kata Umang karena apa yang dikatakan itu sudah
diketahui kebenarannya.
"Sebaiknya Mirah kita berpencar saja dengan
tujuan yang sama yaitu memeriksa di mana Jaka
Sembung disekap," Umang mengusulkan pendapat.
Pendekar bertangan satu segera bertindak.
"Baik!" ujar Mirah sambil melompat dengan cepat dan lenyap seketika.
Sementara Kaswita yang mengintip tidak jauh
dari tempat itu sesaat menjadi bingung.
"Aneh!" gumamnya sendiri, "Aku pernah melihat pendekar buntung itu di gedung
Karesidenan turut
bertempur melawan serdadu Kumpeni Belanda. Kalau
begitu kedua pendekar tadi pasti kawan, bukan musuh," Kaswita menarik
kesimpulan. Diam-diam Kaswita merasa lega karena yang
ingin membebaskan Jaka Sembung dari tahanan Belanda, bukan hanya dia dan
kakaknya, tetapi banyak,
"Aku ingin memberitahukan hal ini kepada Kak Sri,"
niatnya di hati.
Sementara itu pendekar-pendekar Kembar Tiga
Melati terus sibuk membenahi mayat orang-orang Belanda. Mereka semua dibuang ke
laut hanyut dibawa
gelombang. Ketika Nuna, anggota Kembar Tiga Melati sedang menyeret seorang serdadu Kumpeni
Belanda yang berbadan gemuk besar, sesosok tubuh yang belum dikenal berpapasan pantat
dengannya sehingga
hampir saja ia jatuh.
"Hei, siapa kau?" tanya Nuna dengan bentakan
keras. Yang ditanya belum sempat menjawab karena
kaget, Nuna langsung menuduh, "Tidak salah lagi, kau
pasti antek-antek sewaan Belanda."
"Jangan menuduh kalau belum jelas!" kata lawannya dengan tersinggung.
"Jangan banyak bacot kau!" teriak Nuna sambil
menyerang dengan pedangnya secepat kilat. Tak ada
orang yang dapat menahan serangan mendadak seperti
itu, kecuali pendekar-pendekar yang sudah berpengalaman.
Begitu serangan Nuna melayang, lawannya masih sempat menghunus pedang membendung
serangan tersebut sehingga kedua pedang itu melekat satu sama
lain dengan getaran keras.
"Hei, kau jago juga rupanya," ujar Nuna mengejek sambil menyerang untuk kedua
kalinya. Tetapi, lawannya dengan cepat melejit ke atas dan bertengger di
anjungan kapal sambil berteriak, "Aku Mirah! Teman
seperjuangan Jaka Sembung."
Nuna yang hendak melakukan serangan berikutnya terkejut. Lututnya mendadak lemas
dan diamdiam dia menyesali sikapnya yang tanpa selidik lebih
dahulu. Merasa Nuna salah alamat, Mirah segera turun
dari anjungan dan bersalaman.
"Kita memang belum pernah saling kenal, siapakah nama Anda?" ujar Mirah dengan
ramah. "Aku Nuna, saudara ketiga dari Kembar Tiga
Melati." "Maafkan aku, Nuna!" ucap Mirah dengan rendah hati dan lembut.
"Aku yang harus minta maaf kepadamu atas
kekasaran ku," jawab Nuna tersipu malu.
"Ah, tidak menjadi soal," tangkis Mirah "Yang
penting kita sudah saling memaafkan." Nuna mengangguk seraya pamit. Tetapi Mirah
menahannya sejenak, "Di mana tempat Jaka Sembung ditawan, Nuna?"
"Maaf, Mirah. Aku juga belum tahu," jawab Nuna tersenyum, "Yang penting sekarang
serdaduserdadu Kumpeni Belanda harus kita singkirkan lebih
dahulu dari kapal ini."
Di bagian lain, Umang sedang mengawasi sesosok tubuh yang berkelebat cepat di
haluan kapal. "Gerakannya begitu ringan dan cekatan," gumam Umang dengan penuh kecurigaan.
"Orang itu
pasti seorang jago silat yang disewa oleh Kumpeni Belanda. Aku harus
mengikutinya dan membikin ia
mampus lebih dahulu sebelum ia tahu aku dan Mirah
di kapal ini."
Umang segera melejit menyusul sosok tubuh
yang dianggap musuhnya itu. Sri Ayuningrum sebagai
pendekar wanita yang memiliki ilmu tinggi tiba-tiba ia
merasa ada seseorang yang menguntitnya.
"Kaswita?" tanya hatinya.
"Bukan!" Seakan-akan ada suara yang menjawab.
"Belanda?"
"Bukan!"
Kini Sri Ayuningrum bertambah yakin dirinya
diintai orang. Pendekar itu diam-diam segera mempersiapkan diri untuk menghadapi
setiap kemungkinan
yang akan terjadi.
Tiba-tiba suatu serangan deras yang datang dari anjungan kapal, melaju dengan
pesat membokongnya dari belakang dengan sebilah pedang. Tetapi begitu serangan
datang, naluri silat yang sudah mendarah
daging membuatnya berkelit dengan cepat sambil melejit ke atas. Kemudian
melakukan serangan balasan
dengan suatu jurus yang ampuh.
"Berapa kau dibayar oleh Belanda, Pendekar
tengik!" bentak Sri Ayuningrum dengan sangat marah.
Lebih-lebih karena serangannya dapat dielakkan begitu saja oleh Umang. Umang
tersentak mendengar katakata lawannya yang sedang dihadapi.
Sebelum sempat Umang memikirkan cara
menghentikan pertempuran itu, Sri Ayuningrum kembali melakukan serangan di udara
ketika lawannya
tampak hendak menghindarkan diri.
Tetapi Umang, pendekar lengan tunggal itu bukanlah pendekar sembarangan. Dengan
kegesitannya, sekali lagi berhasil mengelak serangan Sri Ayuningrum.
Ketika mereka kembali berada di geladak,
Umang dengan napas terengah berteriak, "Tunggu Nona! Kita kawan, bukan musuh!
"Apa maksudmu?" tanya Sri Ayuningrum dengan ketus.
"Aku pernah berjuang bersama-sama Jaka
Sembung melawan Lalawa Hideung," jelas Umang dengan sikap sopan. Sementara Sri
Ayuningrum menatapnya dengan heran.
"Bukankah kau juga yang membantu kami di
gedung Karesidenan beberapa hari yang lalu?"
Umang menatap Sri Ayuningrum dengan pan-
dangan penuh penyesalan. "Benar!"
"Oh, maafkan atas kekasaran ku," ujar Sri
sambil menunduk.
"Sebenarnya, Anda ini siapa?" tanya Umang
dengan ramah. "Aku Sri Ayuningrum, adik Kang Parmin Jaka
Sembung." "Adik sekandung?" tanya Umang ingin tahu.


Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya dan aku mempunyai seorang adik bernama
Kaswita yang juga turut bertempur mati-matian di gedung Karesidenan," jelas Sri
Ayuningrum terperinci.
"Ah, kalau begitu akulah yang harus meminta
maaf, Dik! Aku telah terlalu banyak berhutang budi
kepada Kakakmu!" Umang memberikan suatu pengakuan jujur sambil berlutut di depan
Sri Ayuningrum.
Sementara itu di bagian buritan kapal, Kaswita
terus mengadakan penyelidikan sambil mencari tahu
di ruang mana kakaknya, Jaka Sembung ditawan.
Sambil mengawasi suasana kapal, peristiwa tiga dara
yang membuang mayat-mayat serdadu Kumpeni Belanda ke laut dan peristiwa seorang
dara yang naik ke
kapal bersama seorang kawannya, terus menjadi pikiran Kaswita.
Ketika pendekar muda itu sampai di depan sebuah anjungan di bagian tengah, ia
tertegun sejenak
dengan heran. Di ruang yang luas itu, kelihatan olehnya mayat-mayat serdadu
Kumpeni Belanda dan kelasi
kapal bergelimpangan.
"Wah! Hasil kerja siapa nih, hebat sekali!" seru
Kaswita tanpa disadari. "Kak Sri" Jelas bukan! Ia berada di bagian haluan
kapal," Kaswita berdialog dengan dirinya sambil cepat-cepat meninggalkan ruangan
terbuka yang mengerikan itu.
Baru beberapa langkah Kaswita berjalan, tibatiba di sebuah kamar terdengar suara
kedebrak- gedebruk. Kaswita segera melompat dan bersembunyi.
Tidak lama kemudian terdengar lagi suara seperti barang jatuh ke lantai.
Ketika itu rasa ingin tahu Kaswita muncul tak
tertahan. Perlahan-lahan ia keluar dari tempat persembunyiannya. Sambil melihat
ke kiri kanan ia mendekati sesuatu yang terpental dari kamar.
Para Ksatria Penjaga Majapahit 20 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Riwayat Lie Bouw Pek 14
^