Pencarian

Kemelut Di Pulau Aru 2

Jaka Sembung 16 Kemelut Di Pulau Aru Bagian 2


berdiri sambil tertawa-tawa di atas atap istana. Itulah si Tukang sihir Womere
bersama Wan-Da-I yang di ma-ta Pampani serta kawan-kawan maupun laskarnya
adalah tak ada bedanya dengan Maleang Pangaru sen-
diri. Demikianlah hebat dan jahatnya ilmu sihir Wo-
mere sehingga semua musuh mereka dengan sangat
mudahnya dapat diperdayai.
"Ha ha ha! Kalian lihat, betapa mudahnya aku
merebut kekuasaan kembali. Tetapi aku tak mau bu-
ru-buru. Akan kubikin kalian lebih panik lagi sampai hatiku puas." teriak Wan-
Da-I. "Jahanam kau! Kau benar-benar iblis terkutuk
dan keji. Suatu saat aku akan mematahkan batang le-
hermu, bangsat!" teriak Pampani geram.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus anak tolol Aku akan
menunggu! Lebih cepat lebih baik. Sekarang waktuku
hanya sedikit hingga tak sempat lagi bermain-main
denganmu. Tapi percayalah, aku akan segera datang.
Sampai jumpa lagi, Pampani yang tolol!"
"Turun kau!"
Akan tetapi kedua musuh besar mereka itu tidak
menyahut lagi karena sudah berkelebat dan dalam se-
kejap saja sudah hilang dari pandangan. Dengan gera-
kan yang sangat ringan, mereka meloncati atap-atap
serta pagar yang merupakan benteng istana.
Seorang penjaga menara yang sempat melihat la-
rinya kedua musuh itu mengarahkan tombaknya den-
gan cermat. Senjata tajam itu kemudian dilemparkan,
menimbulkan suara berdesing menuju sasaran. Demi-
kian cepatnya tombak itu meluncur dan dengan sangat
jitu menyambar ke arah pinggang Wan-Da-I.
Akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi,
lelaki itu berputar dan sambil menggeram menendang
tombak itu. Kuat sekali tenaga tendangan itu, sehingga tombak penjaga menara
berbalik dan meluncur cepat
sekali ke arah pemiliknya. Penjaga menara hanya sem-
pat menyaksikan kilatan cahaya menyambar ke arah-
nya, lalu tiba-tiba ia merasa dadanya nyeri. Ternyata tombak yang tadi
dilemparkannya ke arah musuh sudah menancap di dadanya sendiri.
"Aaaaaah!" Terdengar jerit panjang yang sangat memilukan ketika tubuh itu
terhempas ke bawah, dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"Buk!" Tubuh itu terjerembab sekitar sepuluh meter dari para laskar, sehingga
membuat mereka tersentak kaget. Lalu" sama-sama memburu teman me-
reka yang bernasib malang itu.
"Hah" Ilmu iblis!"
"Keparat!"
Bermacam-macam kata makian yang keluar dari
mulut para laskar itu setelah mengetahui bahwa te-
man mereka sudah tewas. Pampani, si Kaki Tunggal
dan Karta yang tiba kemudian di tempat itu hanya
menghela nafas panjang. Tampaknya pihak lawan se-
demikian mudahnya membunuh orang-orang mereka,
seolah-olah mereka hanyalah anak-anak ayam di ha-
dapan seekor elang ganas.
Pada kesempatan itu, Womere dan Wan-Da-I su-
dah jauh dari istana Pampani. Mereka tidak berlari
kencang lagi, bahkan kemudian berjalan agak santai.
Wajah kedua tokoh sesat itu tampak memancar-
kan rasa puas, tentu saja karena barusan sudah ber-
hasil memperdayai musuh-musuh mereka. Cuma agak
disayangkan, ilmu sihir Womere yang sangat hebat itu tampaknya tidak mempan
terhadap para pendekar Pulau Jawa yakni si Kaki Tunggal dan Karta sendiri. Tadi
Karta sudah hampir membunuh Pampani yang diki-ranya adalah Maleang Pangaru,
tetapi kemudian ia
pun tersadar seperti halnya si Kaki Tunggal, sehingga Pampani pun lolos dari
maut. "Hebat juga pendekar-pendekar Pulau Jawa itu.
Mereka tak mempan ilmu sihirmu Womere!"
Si tukang sihir dari pulau Kolepom sebenarnya
terkejut juga. Dan diam-diam harus merasa kagum,
karena bukan hanya sekali ini, bahkan sudah bebera-
pa kali ilmu sihirnya gagal mempengaruhi si Kaki
Tunggal dan Karta. Akan tetapi di hadapan Wan-Da-I,
si tukang sihir itu tentu saja tidak mau mengutarakan kelemahannya, bahkan
kemudian memberikan dalih
untuk menutupi rasa tak enak di hatinya.
"Memang benar, Tuanku! Tetapi itu adalah kare-
na belum seluruhnya ku keluarkan. Tapi bagaimana-
pun juga, kita sudah beruntung karena mereka tam-
paknya sudah benar-benar yakin bahwa Maleang Pan-
garu masih hidup."
Wan-Da-I manggut-manggut sambil tersenyum
gembira karena apa yang diucapkan Womere itu benar
adanya. Lalu kemudian ia menghentikan langkahnya
"Tunggu sebentar, Womere! Aku tak betah den-
gan bulu-bulu palsu ini!" Lalu Wan-Da-I pun mencopot kumisnya serta janggut
palsu yang menutupi wajahnya. Setelah itu ia mengucek-ucek rambutnya, dan ter-
lihatlah tampangnya yang asli.
"Tuanku Wan-Da-I! Mereka pasti yakin bahwa
kekuatan kita sangat besar. Apalagi karena mereka telah melihat Maleang Pangaru
dan pendeta Naomi seo-
lah-olah sudah hidup kembali. Oh, iya. Ada kabar
gembira, Tuanku! Wori sudah kembali dan membawa
barang-barang yang kita kehendaki."
"Bagus! Kalau begitu kita manfaatkan sekarang
keahlian kedua orang kulit putih itu."
Setelah tiba di sarang mereka kembali Wan-Da-I
segera memerintahkan agar Profesor Van Leinen dan
Simon dibawa menghadap. Dua pengawal bertubuh
raksasa dan berkulit hitam legam yang selama ini tak pernah lalai mengawasi
kedua tawanan itu, segera melaksanakan perintah majikannya. Profesor tua itu dan
Simon dibawa menghadap dengan kedua tangan yang
masih tetap terbelenggu.
"Lepaskan belenggu itu!" perintah Wan-Da-I. Dan setelah pengawal melepaskannya,
tokoh sesat itu berkata kepada kedua orang kulit putih tawanannya, "Sekarang
tugas untuk kalian berdua sudah menunggu.
Sesudah itu, kalian boleh bebas pergi dari sini membu-ru manusia monyet itu."
Lalu ia pun memberikan isyarat berupa anggukan kepala kepada Womere.
"Tuan-tuan," kata Womere sambil menatap wajah Profesor Van Leinen dan Simon
bergantian, "Mari ikut aku! Hai, pengawal, bawa mereka masuk!"
Kedua orang kulit putih itu kemudian dibawa ke
dalam kamar rahasia Womere. Di dalam ruangan itu
ternyata sudah banyak peti-peti berbentuk tong, yang tampaknya baru dimasukkan
ke sana. "Nah, Tuan-tuan, dalam peti-peti tong ini tersimpan bubuk-bubuk mesiu, hasil
dari ilmu pengetahuan
Barat bangsa kalian sendiri. Kini Tuan-tuan harus segera mengerjakannya untuk
kepentingan kami. Ini
adalah kerjasama yang baik di antara kita. Sebagai ra-sa terimakasih kami nanti,
kalian akan kami berikan
banyak sekali mutiara atau benda lainnya yang kalian perlukan."
"Apa maksudmu?" tanya Profesor Van Leinen
sambil mengerutkan kening. Sehingga ia tampak lebih
tua dari usia yang sebenarnya.
"Tuan-tuan harus membuat alat peledak untuk
beberapa ukuran! Selain itu, kalian pun harus menga-
jarkan cara pembuatannya kepada kami!"
Profesor Van Leinen tidak segera menyahut, teta-
pi dari raut wajahnya dapat diduga bahwa ia sangat tidak setuju dengan maksud
Womere. Agaknya, tukang
sihir itu pun sudah terlebih dulu memikirkannya. Ma-
ka ia tampak tersenyum setengah menyeringai. Sikap-
nya jelas sangat mengancam ketika berkata: "Ingat!
Janganlah coba-coba menipu kami. Kami dapat segera
mengetahui gelagat kalian. Nah, selamat bekerja!"
"Kalau kami tidak mau bagaimana?"
"Tidak mau?" Womere tertawa ngakak, "Aku yakin kalian bukanlah orang tolol yang
mau menolak maksud baik kami. Tak ada alasan bagi kalian untuk
menolaknya. Kerjakanlah dengan segera. Makin cepat
makin baik."
Profesor Van Leinen tampak menghela nafas da-
lam-dalam. Ia terlihat dari wajahnya yang pucat dan
sikapnya yang gelisah.
"Mari, Profesor! Sebaiknya kita menuruti permintaan mereka! Makin cepat makin
baik, agar kita segera bebas dari tempat neraka ini," kata Simon setengah
berbisik ke telinga ahli biologi dan ilmu alam itu.
"Simon, kita diharuskan membuat alat membu-
nuh yang paling keji untuk digunakan membantai
orang-orang yang belum tentu merupakan musuh kita.
Aku..." "Jangan tolol, Profesor!" sela Simon cepat, "Kita harus melakukannya. Tak
perduli, karena semua penduduk pribumi di sini adalah rintangan bagi usaha ki-
ta." "Tidak, Simon! Kau jangan menyamakan semuanya. Kepala suku bernama Pampani
itu orangnya lain,
ia sangat bijaksana. Ia tidak berbuat kerja paksa seperti ini jika seandainya
kita jatuh ke tangannya. Itu tandanya bahwa..."
"Tutup mulutmu, Tuan!" bentak Wan-Da-I yang sudah berada di ruangan itu "Tak ada
pilihan lain bagi
kalian kalau ingin keluar dari sarangku dalam kea-
daan selamat."
"Sebaiknya tuan-tuan segera melakukan perintah
kami. Kami masih banyak urusan, sehingga tak perlu
mendengar ocehanmu. Pengawal-pengawal raksasa itu
akan mengawasi kalian!" kata Womere pula.
Tiba-tiba sang Profesor mendengus, "Mengapa tak kalian paksa aku dengan cara
permainan boneka-boneka ajaib itu. Terus terang aku tak mau melaku-
kannya." "Hati-hati bicara, Prof! Mereka bisa marah!" bisik Simon gemetar.
"Pertanyaanmu lucu juga, Tuan. Dengan boneka-
boneka itu, akal dan pikirankulah yang memasuki diri kalian. Sedangkan kami
butuh akal pikiran kalian untuk membuat alat-alat peledak. Sudah mengertikah
engkau, Tuan?"
Profesor Van Leinen tidak menyahut lagi. Ia beru-
lang kali menarik nafas berat sehingga desah nafasnya terdengar jelas memenuhi
ruangan itu. Tetapi kemudian, salah seorang di antara kedua pengawal bertu-
buh raksasa itu menarik tangannya dengan kasar den-
gan mata mencorong tajam dan buas.
*** 3 Malam telah larut. Alam di sekitar Kepulauan Aru
sunyi senyap bagaikan alam yang mati, tanpa gerak
dan perubahan. Rembulan di langit bersinar redup,
seperti enggan menampakkan diri di atas kepulauan
yang sedang dilanda prahara itu. Angin pun berhem-
bus pelan-pelan saja, tak ubahnya sepasang kaki yang
sedang melangkah gontai dan tertatih-tatih.
Dari kejauhan terdengar suara desah ombak laut
menghempas di pantai. Sesekali terdengar pula suara
burung-burung malam, seperti sedang menyanyikan
senandung pilu. Terasa betapa malam itu menimbul-
kan suasana menyeramkan, seolah-olah dari balik de-
daunan tangan-tangan lain siap merenggut nyawa sia-
papun yang terlihat. Atau barangkali dari keheningan malam itu sudah terdengar
untaian cerita tragis yang bakal terjadi, tetapi tak seorang pun dapat menden-
garnya. Ibukota Pulau Trangan di mana terletak istana
Pampani juga tampak sangat sepi, seakan-akan sedang
lelap tertidur. Tetapi sesungguhnya tidak semua peng-huninya tertidur. Laskar
yang mendapat giliran ronda malam itu tampak masih berjaga-jaga di tempat yang
telah ditentukan.
Sekitar lima ratus meter dari pagar benteng, ter-
lihat sesosok tubuh lelaki duduk bersandar pada batu cadas. Lelaki itu
mengenakan topi pandan lebar dan di tangannya menggenggam sebatang tongkat yang
cukup panjang. Siapa lagi kalau bukan Baureksa yang diju-
luki si Kaki Tunggal.
Sekitar lima ratus meter dari tempat itu tampak
pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, berjalan mengendap-endap di sela-sela
batu-batu cadas. Melihat
keadaannya yang tidak memakai baju selain sejenis
cawat penutup aurat serta gelang-gelang besar di ke-
dua tangan dan kakinya, ia adalah penduduk pribumi
Pulau Aru. Dialah pengawal andalan serta kepercayaan Pampani, yakni Bungoru.
Seperti biasanya, si Gila Dari Muara Bondet su-
dah duduk bersemadi di laut. Di sebelah Barat istana, ada lagi sosok-sosok tubuh
mengintai dari balik semak-semak rimbun. Secara keseluruhan, mereka da-
lam suasana berjaga-jaga.
Hal itu sesuai dengan hasil perundingan Kepala
Suku Pampani bersama Karta dan si Kaki Tunggal ser-
ta para penasehat istana. Karena mereka yakin malam
itu akan datang serangan musuh, maka mereka pun
mengadakan penjagaan di segala sudut, baik di dalam
maupun di luar istana.
Akan tetapi sampai tengah malam belum terlihat
tanda-tanda pihak musuh melakukan serangan. Sua-
sana di sekitar masing-masing masih sepi. Namun
menjelang pagi, tiba-tiba dari balik tebing muncul sesosok tubuh laki-laki. Di
bawah siraman sinar rembu-
lan, terlihat tangan kanan lelaki itu buntung sebatas siku. Tangan kirinya
menghunus sebilah golok, seperti sedang mengintai musuh yang hendak dibunuh.
Laki-laki yang tak lain Umang itu terus berjalan mengen-
dap-endap di balik tebing batu cadas.
Dari balik semak-semak, muncul pula Mirah
sambil menghunus golok. Ia tampak bergerak gesit me-
loncati bebatuan dan karena gerakannya sangat cepat, maka yang tampak hanya
berkelebatnya bayangan tubuhnya.
Di sudut lain, di atas tebing muncul pula lelaki
bertubuh raksasa, yang tak lain adalah Pendekar Bu-
merang Wori. Lelaki itu berdiri tegak bagaikan patung batu cadas, dengan tangan
kiri menggenggam bumerang senjata mautnya.
Si Kaki Tunggal yang saat itu hampir tertidur, ti-
ba-tiba mendengus. Telinganya yang sangat tajam
mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Sece-
pat kilat ia berbalik dan meloncat berdiri sambil bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. "Siapa kau?" bentaknya ketika menyaksikan seorang laki-laki berdiri tak jauh di
hadapannya. Sejenak ia mengamati wajah lelaki itu dan ia pun berseru ka-
get: "Oh, kau Umang!"
"Aku datang untuk mencabut nyawamu!" bentak Umang lalu berteriak nyaring. Hampir


Jaka Sembung 16 Kemelut Di Pulau Aru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersamaan dengan itu, ia meloncat menerjang si Kaki Tunggal. Goloknya diayunkan
cepat sekali membabat ke arah leher
lawan. Untunglah sejak tadi si Kaki Tunggal sudah ber-
siap-siap, sehingga ia segera dapat menghindari den-
gan cara meloncat ke belakang sekitar lima meter.
"Umang, ingat! Aku adalah Baureksa sahabatmu!" te-riaknya.
Akan tetapi Umang tidak mengucapkan sepatah
kata pun, bahkan secara mendadak kembali mener-
jang Baureksa dengan dahsyat. Goloknya kali ini me-
nyambar ke arah kaki lawannya, sehingga Baureksa
terpaksa harus meloncat tinggi untuk menghindari se-
rangan itu. Dari atas si Kaki Tunggal melancarkan serangan. Namun kenyataan
bahwa lawannya kali ini
adalah sahabatnya sendiri yang menyerangnya hanya
karena dipengaruhi ilmu sihir lawan, membuat si Kaki Tunggal hanya melakukan
serangan yang tanggung-tanggung saja. Ketika tongkatnya menyambar kepala
Umang, lelaki berlengan tunggal itu mengangkat go-
loknya untuk menangkis.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu cukup keras dan kare-
na si Kaki Tunggal hanya mengerahkan sebagian saja
dari tenaga dalamnya, maka tubuhnya pun terdorong
mundur. Kesempatan itu digunakan Umang melancar-
kan serangan lanjutan yang tampak semakin ganas.
Sambil menangkis serangan Umang, si Kaki
Tunggal tak henti-hentinya berteriak memperingatkan
sahabatnya. Tetapi Umang tetap tak mau perduli, bah-
kan tampak beringas setiap kali si Kaki Tunggal me-
nyebut namanya. Padahal kalau misalnya si Kaki
Tunggal mau, tidak sampai tiga puluh jurus saja, ia
tentu dapat merobohkan bahkan membunuh Umang.
Tetapi bagaimana mungkin baginya membunuh kawan
sendiri" Keadaan itulah yang membuat pertarungan
berjalan seru dan berlangsung lama.
Di sudut lain Pulau Trangan, Bungoru tampak
masih duduk mengantuk tanpa menyadari bahwa Wori
sudah berjalan mengendap-endap menghampirinya.
Sepasang mata pendekar bumerang itu mendelik me-
rah dan giginya gemeretak. Lalu tanpa menimbulkan
suara teriakan, lelaki bertubuh raksasa itu menerkam Bungoru, dari belakang.
Kedua tangannya langsung
mencekik leher Bungoru, yang berperawakan raksasa
seperti dirinya.
Tentu saja Bungoru sangat terkejut! Lehernya te-
rasa sakit sekali dan nafasnya pun hampir putus.
Sambil mengerahkan segenap tenaganya, ia mencoba
meronta, tetapi cekikan lawan sangat kuat bagaikan
jepitan baja. Bungoru semakin kesakitan, tetapi ia tentu saja
tidak mau menyerah begitu saja. Tanpa memperduli-
kan rasa sakit di lehernya, ia tiba-tiba menunduk dan mengangkat tubuh lawan,
kemudian membantingkannya sekuat tenaga.
"Buk!"
Tubuh Wori terhempas keras sekali, sehingga
bukit cadas di sekitar tempat itu terasa bergetar hebat.
Pendekar Bumerang mengaduh karena punggungnya
terasa sakit sekali. Ia berusaha bangkit, namun tiba-tiba Bungoru sudah
menerkamnya. Kedua tangannya
mencengkeram dan memiting leher Wori sekuat tena-
ga. Mata Wori mendelik menahan rasa sakit luar bi-
asa di lehernya. Tetapi ia pun bukanlah lelaki yang
mudah menyerah. Sekalipun sangat kesakitan dan na-
fasnya hampir putus pula, ia balas mencekik leher
Bungoru sambil mendorong sekuat tenaga. Maka ter-
jadilah dorong mendorong, cekik mencekik dan banting membanting antara kedua
lelaki bertubuh raksasa
yang sebetulnya bersahabat itu. Cuma Wori sudah di-
pengaruhi ilmu sihir Womere, sehingga seolah-olah tak kenal lagi terhadap
Bungoru. Sedangkan Bungoru
sendiri tentu saja tidak mau mati konyol di tangan Wo-ri. Bila perlu, biar pun
sahabat atau siapapun akan ia bunuh jika bermaksud mencelakakan dirinya.
Suatu saat, Wori berhasil membantingkan tubuh
Bungoru dengan sangat kuatnya.
Dan sebelum lawannya itu berhasil bangkit, Wori
segera memungut sebongkah batu cadas sekitar empat
kali lebih besar dari kepalanya sendiri, kemudian
membantingkannya ke dada Bungoru!
Tentu saja Bungoru sangat terkejut, menyadari
nyawanya sedang terancam. Maka sambil berteriak
nyaring, ia menyilangkan tangan kirinya menangkis
hantaman batu cadas itu.
"Desss!"
Batu itu menghantam lengan kiri Bungoru dan
menjadi hancur berkeping-keping. Wori yang agaknya
tidak menyangka kehebatan lawan sempat terpaku.
Dan kesempatan yang sangat singkat itu sudah cukup
bagi Bungoru melancarkan tendangan mautnya meng-
hantam dada Wori.
Pendekar Bumerang terpelanting, menyusul pu-
kulan tangan kanan lawan mendarat telak di dadanya,
sehingga membuatnya menjerit kesakitan. Ketika Bun-
goru kembali menghantam ke arah tulang iganya, ia
berkelit ke samping, lalu memukul perut lawan. Kem-
bali kedua lelaki itu bergumul dahsyat, sehingga batu-batu cadas di tempat itu
berguncang dan batu-batu
kecil beterbangan.
Di pantai, di atas tebing, Mirah sudah bersiap-
siap melancarkan serangan mautnya. Ia mengambil
sebongkah batu cadas sebesar kepalanya, lalu dengan
mengerahkan segenap tenaga dalamnya, ia menyam-
bitkan batu itu tepat mengarah ke kepala si Gila Dari Muara Bondet yang sedang
duduk bersemadi dalam air
laut. Batu itu meluncur cepat sekali hingga hampir tak terlihat oleh mata, siap
menghancurkan kepala Karta.
"Desss!"
Batu itu hancur berkeping-keping, tetapi bukan
menghantam kepala Karta, melainkan lengan kirinya ia angkat tadi melindungi diri
dari serangan yang sangat mendadak itu. Walaupun sedang bersemadi, pendekar
itu tetap waspada. Ketika merasakan angin dahsyat
menyambar ke arah kepalanya, sadarlah pendekar itu
bahwa dirinya sedang terancam. Maka sambil menge-
rahkan tenaga dalamnya, ia mengangkat tangan ki-
rinya untuk menangkis.
"Astaga! Siapa yang menyerangku...!" teriak Karta terkejut. Ia membalikkan badan
menatap ke atas tebing. Kembali ia terperanjat setelah mengetahui bahwa yang
menyerangnya barusan adalah Mirah sendiri.
"Mirah! Jangan kau turutkan bathinmu yang ko-
tor itu. Ingatlah kau telah dipengaruhi ilmu sihir!"
"Tutup mulutmu, bangsat! Keluarlah dari situ,
hadapi aku kalau kau memang bukan pengecut. Mari
bertarung sampai salah seorang di antara kita tewas!"
"Itulah yang membuat hatiku jadi sedih, Mirah.
Aku dipaksa menghadapi kau sebagai musuh. Kita ha-
rus saling membunuh, aku atau kau yang akan mati.
Padahal kita adalah kawan sendiri, kawan seperjuan-
gan dan sama-sama sedang menderita dalam kepriha-
tinan. Kita satu cita-cita, Mirah! Apakah kau tidak
mengerti perasaanku?"
"Jangan banyak bicara kau, bedebah! Melawan
atau tidak, aku akan tetap membunuhmu. Akan ku-
buntungi kepalamu!"
Tiba-tiba Karta menjadi beringas, bukan ka-
rena marah mendengar ucapan Mirah itu, melainkan
karena telinganya menangkap sesuatu yang mencuri-
gakan di dalam air laut. Ternyata dua sosok tubuh
raksasa tiba-tiba tersembul dari dalam air, hanya sekitar empat meter di sebelah
kiri dan kanan Karta. Ke-
dua lelaki bertubuh tinggi besar itu menyeringai buas sambil menatap Karta
dengan sinar mata mencorong
tajam. Karta terkejut dan segera memasang kuda-kuda,
karena ia sudah yakin bahwa kedua laki-laki itu ada-
lah anak buah musuh yang sengaja disuruh untuk
membunuhnya. Tanpa mengucapkan apa-apa, kedua
lelaki itu menerkam Karta dari arah berlawanan. Gerakan mereka tampak sangat
cepat dan ringan, padahal
tubuh mereka yang hampir sebesar kerbau dewasa itu
tentulah sangat berat. Sadarlah si Gila Dari Muara
Bondet bahwa kedua lawan yang dihadapinya seka-
rang bukanlah orang sembarangan.
Ketika tangan kedua lawan sudah hampir me-
nyentuh tubuhnya, tiba-tiba Karta meloncat tinggi
sambil berteriak melengking nyaring. Hampir bersa-
maan dengan itu, kedua kakinya direntangkan menen-
dang dada lawan-lawannya.
"Duk!"
Tendangan geledek Karta menghantam dada ke-
dua lawan, membuat mereka terhuyung-huyung mun-
dur. Pada saat itu Karta bersalto dan menginjak kepala salah seorang lawannya
sebagai tumpuan untuk meloncat ke atas tebing. Akan tetapi baru saja menda-
ratkan kakinya, sabetan golok Mirah sudah menyam-
bar ke arah pinggangnya. Cepat dan kuat sekali serangan Mirah, sehingga tak ada
lagi kesempatan untuk
menghindar bagi Karta, selain meloncat tinggi sambil bersalto. Namun ketika
kakinya menginjak tebing cadas, golok Mirah sudah menyambar lagi.
"Buntung kakimu!" bentak Mirah.
"Aih!" Karta berseru kaget. Untuk meloncat tinggi lagi, rasanya tidak mungkin
lagi. Karena hampir bisa dipastikan sewaktu tubuhnya melayang, Mirah akan
melancarkan serangan susulan yang tak mungkin lagi
dapat dihindarinya. Maka jalan satu-satunya adalah
meloncat mundur. Selamatlah Karta dari ancaman
maut, namun tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kem-
bali terhempas ke laut.
Sebetulnya tadi Karta meloncat dari laut ke atas
tebing bukan karena gentar menghadapi dua lelaki
bertubuh raksasa itu. Bagi dia yang sudah sangat
pandai menyelam dan berenang, bertarung di darat
atau dalam air sama saja. Akan tetapi maksudnya tadi adalah untuk menyadarkan
Mirah, siapa tahu kali ini
ia berhasil sehingga istri sahabatnya itu menjadi ingat akan dirinya. Namun
tanpa diduga-duga Mirah malah
menyambutnya dengan serangan maut dan masih un-
tung baginya dapat menyelamatkan diri walaupun ha-
rus tercebur ke laut.
"Byuuuur!" Tubuh Karta terhempas dan dua pasang tangan kokoh segera menyerbunya
dari arah ber- lawanan. Salah seorang di antara lawan menjambak
rambutnya, sementara yang satu lagi mencekik leher-
nya. Menghadapi serangan itu, Karta tidaklah gentar tetapi juga tidak mau anggap
remeh. Ketika ia merasa jepitan tangan lawan semakin kuat, tiba-tiba kedua
tangannya menyambar cepat sekali ke arah selangkan-
gan kedua lawan. Terdengar suara gemeretak ketika
jemari tangan Karta dengan telak menghantam kema-
luan kedua lawan. Dua lelaki bertubuh raksasa itu
pun melepaskan tangannya dan sama-sama menjerit
panjang. Kesempatan itu digunakan Karta untuk melo-
loskan diri dengan cara menyelam menjauh. Tubuhnya
bagaikan ikan saja melesat dan berkelebat di dalam
air. Akan tetapi kedua lawannya yang sudah sangat
marah akibat serangan Karta tadi tidak mau mele-
paskan buruannya begitu saja. Keduanya pun ternyata
dapat berenang cepat sekali, sehingga dalam waktu
singkat sudah berhasil menyusul Karta.
"Celaka, mereka bisa mengejarku!" kata hati Karta cemas. Ia mencoba mempercepat
laju tubuhnya, namun tiba-tiba tangan lawan sudah berhasil men-
cengkeram lehernya. Karta mencoba berkelit, namun
kedua lawan sudah terlebih dulu mencekik lehernya.
Tenaga kedua lelaki bertubuh raksasa itu memang
luar biasa kuatnya. Rontaan Karta seperti tidak ada artinya, padahal ia sudah
mengerahkan segenap tenaga
dalamnya. Sadarlah Karta bahwa dirinya betul-betul teran-
cam bahaya maut dan jika tidak segera dapat mele-
paskan diri, kemungkinan besar ia akan tewas. Atau
paling tidak batang lehernya akan patah dan remuk
oleh jepitan lawan. Dalam keadaan yang sangat gent-
ing itu, si Gila berhasil meraih gagang goloknya. Lalu ia menyabet ke kiri dan
ke kanan, tepat merobek kulit perut lawan hingga ususnya terburai. Darah se-gar
segera menyembur, sehingga air laut di sekitar tempat
itu menjadi merah. Hanya sejenak kedua laki-laki itu menggelepar-gelepar,
kemudian terkulai lemas dan
tenggelam ke dasar laut tanpa nyawa lagi.
Karta segera menyarungkan goloknya, lalu me-
luncur cepat ke permukaan laut. Akan tetapi baru saja kepalanya tersembul, tiba-
tiba sabetan goloknya sudah menyambar.
"Hait!" Karta bersalto berseru kaget sambil melempar tubuh ke belakang hingga
kembali ia selamat
dari maut. Ternyata wanita yang menyerangnya tadi
adalah Mirah sendiri.
"Jahanam!" bentak Mirah geram karena serangannya kembali gagal. Padahal tadi ia
sudah yakin sabetan goloknya paling tidak akan membuat Karta
menderita luka parah. Namun ternyata lelaki itu memiliki ketangkasan luar biasa.
Walaupun diserang secara mendadak ketika kepalanya baru tersembul, masih
sempat mengelak. Hampir tak percaya Mirah karena
dalam keadaan segenting itu Karta masih dapat meng-
hindar. Seandainya misalnya serangannya dilancarkan-
nya di darat, tidaklah terlalu mengherankan jika lawan bisa menghindar. Tetapi
di dalam laut seperti tadi,
sungguh luar biasa. Dan makin hebat kepandaian la-
wan, makin besar pula amarah Mirah.
Sambil berteriak melengking nyaring, ia meloncat
menerjang Karta kembali. Goloknya menukik dari atas
melancarkan tusukan maut ke arah dada Karta. Se-
mentara tangan kirinya sudah dipersiapkan melancar-
kan serangan susulan.
"Aih, kau benar-benar ganas, Mirah!" teriak Karta sambil menundukkan kepala.


Jaka Sembung 16 Kemelut Di Pulau Aru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun agaknya, Mirah
sudah menduga hal itu, karena secara mendadak tan-
gan kirinya sudah menyambar dengan jari-jari terbuka ke arah leher Karta.
Serangan yang berupa tamparan dan sewaktu-
waktu dapat diubah menjadi cengkeraman maut itu
benar-benar dahsyat. Hal itu dapat dirasakan dengan
angin pukulannya, yang membuat si Gila terkejut. Ce-
pat-cepat ia mengangkat tangan kanannya untuk me-
nangkis pukulan itu.
"Duk!" Lengan yang kecil halus namun mengan-
dung tenaga dalam yang sangat kuat itu beradu keras
dengan lengan kekar Karta. Akibatnya, tubuh kedua
insan berlainan jenis itu pun terdorong. Bahkan Mirah terpaksa harus bersalto
sampai tiga kali untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, sedangkan Karta sendiri
hanya terdorong mundur beberapa langkah. Dari per-
temuan pukulan itu tadi, dapatlah diduga bahwa tena-
ga dalam Mirah masih sedikit berada di bawah Karta.
Dan hal itu pula yang membuat istri Umang se-
makin geram. Berkali-kali sudah ia melancarkan se-
rangan mautnya, baik secara terang-terangan maupun
secara sembunyi-sembunyi, namun semuanya selalu
dapat dielakkan Karta. Lelaki itu sepertinya mempu-
nyai mata lebih dari dua dan memiliki kelincahan tu-
buh yang sewaktu-waktu dapat membuatnya bergerak
bagaikan siluman saja. Benci sekali Mirah, tetapi juga sekaligus kagum. Rasa
kagum yang mengandung birahi dan gejolak hasrat yang menggebu-gebu. Semuanya
campur aduk, sehingga membuatnya tampak sangat
beringas namun serangannya menjadi ngawur sekali.
Sementara itu, Profesor Van Leinen dan Simon
sudah mulai bekerja di kamar rahasia Womere. Empat
laki-laki bertubuh raksasa anak buah si tukang sihir itu mengawasi dengan mata
yang hampir tak pernah
berkedip. Para pengawal itu tak pernah mengeluarkan
kata sepatahpun juga. Namun dari sinar mata mereka
memancar sebuah ancaman maut, akan membunuh
kedua orang kulit putih itu kalau berani macam-
macam. Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Wan-Da-I
dan Womere telah menjalin hubungan perdagangan
dengan Belanda. Mereka memberikan mutiara-mutiara
dan sebagai tukarannya adalah mesiu atau bahan-
bahan peledak. Wori sendiri yang mengantarkan mu-
tiara-mutiara itu dibantu beberapa pengawal ke Pulau
Uglo dengan menggunakan perahu layar.
Saat itu, si Gila Dari Muara Bondet sempat beru-
saha mencegahnya, namun tidak berhasil bahkan ia
menderita luka-luka oleh dua tombak pengawal perahu
yang menyerempet dadanya. Setelah bertemu dengan
orang-orang Belanda, mereka pun mengadakan jual
beli secara barteran, di mana Wan-Da-I yang diwakili Pendekar Bumerang Wori
memperoleh mesiu yang cukup banyak.
Tanpa mendapatkan kesulitan berarti, Wori
membawa mesiu itu pulang. Tentu saja Wan-Da-I san-
gat girang, apalagi setelah berhasil menawan Profesor Van Leinen dan Simon.
Kedua kulit putih itu sebetulnya hendak mengadakan penelitian terhadap manusia
kera yang menurut kabar ada di sekitar Kepulauan
Aru. Tetapi tanpa diduga-duga, keduanya jatuh ke da-
lam cengkeraman Wan-Da-I dan Womere. Dalam kea-
daan tak berdaya, kedua kulit putih yang berasal dari Negeri Belanda itu
dihadapkan kepada dua pilihan, dibunuh setelah terlebih dulu disiksa habis-
habisan atau mau menciptakan alat peledak dari mesiu yang
mereka terima dari orang-orang Belanda pula.
Kedua pilihan itu sama-sama sangat berat, teru-
tama bagi Profesor Van Leinen. Ia sudah tua dan ram-
butnya pun sudah memutih. Dalam sisa hidupnya ia
hanya ingin mencari nama sekaligus menyumbangkan
ilmu pengetahuan kepada dunia, khususnya kepada
bangsanya sendiri. Sekarang ia dipaksa pula mencip-
takan alat peledak yang ia tahu bakal digunakan Wan-
Da-I untuk menghancur leburkan Kerajaan Pampani,
yang sudah pasti akan merenggut banyak sekali kor-
ban jiwa. Kalau itu misalnya benar-benar terjadi, berarti
secara tidak langsung yang melakukan pembunuhan
itu adalah Profesor Van Leinen sendiri. Membunuh!
Alangkah ngerinya. Celakanya bukan hanya satu atau
dua orang, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan.
Bagaimana ia tega melakukannya" Alangkah sia-
sianya jika sisa hidupnya digunakan untuk mencela-
kakan manusia. Profesor Van Leinen tadinya sudah siap sedia di-
bunuh, tetapi Simon selalu mendesaknya agar menu-
ruti perintah Wan-Da-I. Alat peledak yang bakal mere-ka ciptakan itu memang akan
digunakan Wan-Da-I
untuk membunuh. Tetapi mereka melakukannya
hanya karena terpaksa, tanpa ada pilihan lain. Hidup mereka juga akan sia-sia
jika harus mati konyol di
tangan tokoh sesat itu. Itulah alasan Simon disertai kata-kata permohonan yang
sangat memelas.
Akhirnya, dengan perasaan berat, Profesor Van
Leinen menyatakan kesediaannya untuk menerima ta-
waran pihak Wan-Da-I. Kini kedua lelaki berkulit putih itu sudah mulai
menciptakan alat-alat peledak. Tak
percuma memang keduanya memiliki ilmu yang tinggi
di bidang teknologi. Bagi mereka menciptakan alat peledak dari mesiu yang sudah
tersedia bukanlah peker-
jaan yang terlalu sulit. Akan tetapi karena sangat terpaksa, pekerjaan mereka
jadi lambat sekali. Bahkan
kadang-kadang Profesor Van Leinen sengaja mengulur-
ulur waktu sambil memberikan alasan macam-macam.
"Kalau sudah begini harus di-tunggu beberapa jam"
atau "Bahan yang ini harus terlebih dulu dijemur sampai kering." Serta beberapa
alasan lainnya, walaupun sebetulnya alasannya itu hanyalah dibuat-buat saja.
Akan tetapi penduduk pribumi seperti Wan-Da-I,
Womere dan anak buah mereka mana mengerti hal-hal
seperti itu" Mereka menurut saja kata-kata Profesor
tua itu sambil sesekali memberikan ancaman agar me-
reka bekerja secepat mungkin.
Kita kembali kepada pertarungan antara si Kaki
Tunggal dengan Umang yang masih berlangsung sen-
git. Namun ternyata bahu si Kaki Tunggal sudah ter-
gores ujung senjata lawan hingga mengeluarkan darah.
Luka itu sebetulnya tidak terlalu parah, namun cukup menimbulkan rasa nyeri.
Luka itu terpaksa harus diterima si Kaki Tunggal
karena ketidaksungguhannya dalam bertarung. Lain
halnya dengan Umang, selain sangat ganas, kadang-
kadang juga nekad mengadu nyawa, seolah-olah sudah
siap mati asalkan dapat membunuh lawannya. Hal itu-
lah yang dihindari Baureksa tadi hingga bahunya
sampai terluka.
Kenyataan itu membuat si Kaki Tunggal mulai
cemas, karena kalau terus-terusan begitu tidak mus-
tahil ia akan menderita luka yang lebih berat lagi. Ma-ka ia pun memutuskan
melancarkan serangan maut-
nya, biarlah ia melukai Umang yang penting jangan
sampai membunuhnya.
Ketika Umang kembali menerjangnya dengan tu-
sukan kilat mengarah ke dada, si Kaki Tunggal berguling-gulingan di atas tanah
dan pada saat yang bersa-
maan tongkatnya sudah menyambar pinggang Umang,
"Buk!" Tongkat itu menghantam pinggang si Lengan Tunggal. Tidak terlalu keras,
namun cukup mem-
buat tubuhnya ter-pental beberapa meter. Ketika ia
bangkit kembali, tampaklah darah segar menetes dari
mulutnya pertanda bahwa ia menderita luka dalam.
Namun hal itu bukannya membuat Umang sadar, ma-
lah tampak semakin beringas. Tanpa perduli rasa sakit di pinggangnya, ia kembali
menerjang dengan sikap
siap mengadu nyawa dengan lawan.
"Kau tidak akan bisa mengalahkan aku, Umang.
Kau boleh belajar dua puluh tahun lagi untuk bisa
mengimbangi aku. Tapi kau betul-betul bermental ke-
rupuk, begitu mudahnya dipengaruhi sihir lawan." ka-
ta si Kaki Tunggal terpotong-potong, karena ia sudah sibuk kembali berloncatan
ke sana ke mari sambil
memutar tongkatnya untuk menghindari serangan
Umang. Di laut, di tepi Pantai Arafuru, si Gila Dari Muara
Bondet masih bertarung menghadapi Mirah. Sama se-
perti si Kaki Tunggal, ilmu silat Karta bukanlah tandingan lawan. Kalau ia mau
sudah sejak tadi ia bisa
menghabisi nyawa Mirah. Tapi itu tidak diinginkannya sebab bagaimanapun juga,
Mirah menyerangnya hanyalah karena dipengaruhi ilmu sihir lawan.
Sewaktu menyabetkan goloknya mengincar leher,
Karta segera mengangkat senjatanya dan sengaja men-
gerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis.
Terdengar suara berdentang nyaring ketika dua golok
itu beradu, setelah itu Mirah terpekik kaget karena goloknya sudah terlepas dari
tangan. Belum sempat berbuat apa apa, Karta sudah me-
nangkap tangannya dengan kuat, kemudian memutar-
mutar tubuh Mirah bagaikan baling-baling. Beberapa
saat kemudian, ia pun membantingkan tubuh wanita
itu ke laut. Mirah menjadi gelagapan dan berusaha berenang ke permukaan air
untuk menarik nafas. Na-
mun tiba-tiba Karta sudah membenamkannya kemba-
li. Begitulah berkali-kali dilakukan oleh Karta sehingga makin lama Mirah
semakin lemas. Bahkan akhirnya
wanita itu terkulai lemas, pingsan.
"Sudah pingsan!" kata Karta sambil mengangkat tubuh Mirah ke tepi pantai.
Pertarungan yang baru sa-ja berlangsung menyadarkannya bahwa berhadapan
dengan perempuan sebetulnya bisa bikin pusing. Tidak dilawan dirinya sendiri
mampus. Dilawan pun susah,
karena seperti tadi ia selalu tidak tega.
Perlahan-lahan, Karta membaringkan tubuh Mi-
rah di atas pantai berpasir lembut. Ditatapnya wajah
wanita itu lama sekali. Ada rasa kasihan, tetapi ada pula rasa kagum karena
sesungguhnya Mirah sangat
cantik dan menggairahkan sebagai seorang wanita.
Apalagi ketika menatap bibirnya yang tipis dan merah merekah. Rambut Mirah acak-
acakan, namun di mata
Karta hal itu justru menambah daya tariknya. Sekujur tubuh wanita basah kuyub
sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang indah terlihat cukup jelas dari balik bajunya
yang tipis. Karta menghela nafas panjang. Tanpa sadar, ia
menjadi teringat peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu, ketika ia bersama
Ranti yang kini sudah menjadi istrinya tetapi tinggal di Pulau Jawa.
Ketika itu, keduanya berada di atas rakit, di ma-
na Ranti sedang dipengaruhi ilmu sihir lawan. Karta
sangat kebingungan untuk mencari jalan keluar untuk
bisa membebaskan Ranti dari pengaruh sihir. Tetapi
kemudian, entah bagaimana terjadinya tiba-tiba ia seperti mendapat ilham.
Ia membuka seluruh pakaian yang melekat di tu-
buh Ranti, kemudian membuka pakaiannya sendiri.
Ranti, yang dulunya adalah putri angkat tokoh sesat
Gembong Wungu memang terbebas dari pengaruh sihir
dan kemudian menjadi istri Karta.
Sekarang, dalam kebingungannya si Gila Dari
Muara Bondet memutuskan untuk melakukan hal
yang sama terhadap Mirah dengan maksud agar istri
sahabatnya itu terbebas dari pengaruh sihir Womere.
Tak berani pendekar itu membayangkan bagaimana
kalau sekiranya nanti Umang mengetahuinya. Mung-
kin akan benci dan mendendamnya seumur hidup. Te-
tapi kalau Mirah terus-terusan dibiarkan terpengaruh sihir lawan, maka secara
lambat laun namun pasti, hidupnya akan menuju kehancuran.
Karta tertegun beberapa saat, kemudian menen-
gadahkan wajah ke langit. Matanya berkaca-kaca dan
kedua tangannya direntangkan, lalu dengan gemetar,
ia berkata: "Ya, Allah! Jika kau menghendaki aku untuk terpaksa berbuat dosa
seperti itu, biarlah aku melakukannya! Aku akan melakukannya...."
Setelah memejamkan mata beberapa saat, si Gila
Dari Muara Bondet segera membuka bajunya, kemu-
dian celananya hingga tubuhnya menjadi bugil. Lalu
dengan jemari gemetar dan wajah sebentar pucat se-
bentar merah, ia membuka pula pakaian Mirah. Per-
tama baju atas, kemudian pakaian bawah, dan pa-
kaian dalam. Mirah pun sudah dalam keadaan telan-
jang bulat seperti halnya Karta.
"Apa boleh buat, biarlah nanti aku disiksa di neraka asalkan kawan-kawanku
selamat...." kata Karta bergumam.
Getaran di dada Karta semakin tak menentu. Ku-
lit tubuh itu sangat mulus tanpa cacat sedikitpun juga.
Dan sekalipun sebetulnya perbuatannya itu dilakukan
bukan karena terdorong nafsu setan, namun tetap saja merupakan pelanggaran dan
dosa terkutuk. Perlahan-lahan, ia merangkak menghampiri tubuh Mirah yang
sedang telentang bugil. Diusapnya kedua pipi wanita
cantik itu sambil memejamkan mata. Didekatkannya
wajahnya ke wajah Mirah yang saat itu masih dalam
keadaan pingsan.
Lalu kemudian....
"Bleng! Glegeeerrrrr....!"
Tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat,
menggelegar sambung menyambung. Kepulauan Aru
terguncang bagaikan dilanda gempa hebat. Karta yang
saat itu sudah berada di atas tubuh Mirah merasakan
bumi di sekitar pantai bergetar hebat. Ia segera meloncat bangun dengan wajah
pucat pasi. "Ya, Allah! Rupanya kau mengutukku! Aaaaah!"
Karta berseru dengan dada terguncang seakan hendak
meledak. Ia segera menyambar pakaiannya, lalu buru-
buru mengenakannya. Dari pantai itu dia dapat meli-
hat kobaran api mencuat tinggi sekali seakan-akan
hendak menjangkau langit. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali sampai sepuluh
kali lebih terdengar suara ledakan itu menggelegar.
Ledakan-ledakan dahsyat itu ternyata menggun-
cang kola Pulau Trangan. Pepohonan rubuh dan tum-
bang, rumah-rumah penduduk pun hancur berkeping-
keping. Demikian hebatnya ledakan itu hingga puing-


Jaka Sembung 16 Kemelut Di Pulau Aru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puing rumah penduduk terbang ke angkasa setinggi
belasan meter. Menyusul kemudian, terjadilah kebakaran hebat
di beberapa tempat. Asap dan api mengamuk dan men-
julang tinggi! Penduduk menjadi gempar, lalu berham-
buran ke sana ke mari dalam keadaan panik. Tak se-
dikit di antara penduduk yang ikut ter-lempar setinggi puluhan meter dalam
keadaan tubuh cerai berai. Di
mana-mana terdengar suara jeritan dan teriakan, tan-
gisan dan yang lainnya. Hewan-hewan ternak pun ikut
panik dan berlarian dari kandangnya, hingga makin
kacau balaulah keadaan di sekitar kerajaan yang di-
pimpin oleh Pampani.
Beberapa orang penduduk sempat terlihat ke luar
dari rumahnya yang sudah hancur berkeping-keping
dan terbakar. Akan tetapi sekujur tubuh orang-orang
itu sudah terbakar pula dan baru beberapa langkah
setelah tiba di halaman, mereka roboh satu persatu.
Terdengar jeritan panjang, lalu tubuh mereka pun
hangus terbakar. Tak ada yang berani memberikan
pertolongan, bahkan sekedar berpikir untuk memberi-
kan pertolongan pun tidak. Sebab semuanya sangat
panik serta ketakutan, sehingga tidak tahu harus me-
lakukan apa, selain berlarian ke sana ke mari tak ten-
tu arah. Ada pula beberapa penduduk yang tadinya sudah
jauh dari kobaran api, namun mungkin karena sangat
panik balik lagi berlari ke rumahnya yang sudah ter-
bakar. Tanpa ampun lagi, tubuhnya pun hangus dila-
lap api. Di sudut lain, ada yang mencoba menyela-
matkan harta bendanya, namun tiba-tiba ditimpa ba-
lok-balok rumah yang rubuh terkena ledakan. Orang
itu pun terjerembab, terbakar dan tak mampu bangkit
lagi karena tak lama kemudian sudah hangus mene-
mui ajalnya, Pampani yang saat itu sedang memimpin sejum-
lah laskar untuk berjaga-jaga menghadapi gempuran
musuh, juga terlonjak kaget bagaikan disambar petir di siang bolong. Wajahnya
pucat pasi bagai tak dialiri darah lagi dan sekujur tubuhnya gemetaran
menyaksikan kotanya diguncang ledakan-ledakan dahsyat, la-
lu terbakar. "Ya, para Dewa! Kota kita dihancurkan! Malape-
taka apakah ini" Kita telah dikutuk para Dewa!" teriak Pampani antara sadar dan
tak sadar. "Kebakaran itu.... ya, Dewa Agung. Pertanda apakah gerangan ini?" kata seorang
laskar dengan mata terbelalak. "Mungkin kiamat sudah tiba?" kata yang lainnya.
Beberapa saat, Pampani dan laskarnya hanya
berdiri terpaku di tempat itu. Mereka sangat terkejut hingga hanya berdiri saja
tanpa tahu harus melakukan apa. Karena mereka masih penduduk pribumi yang belum
mengetahui banyak tentang kemajuan teknologi
belum bisa menduga sebenarnya apa yang meledak itu
dan kenapa tiba-tiba kota mereka diamuk kobaran api
yang sangat besar.
Sesuai kepercayaan turun temurun dari nenek
moyang, mereka mengira kejadian itu merupakan ku-
tukan para Dewa atau makhluk-mahkluk halus pen-
guasa di sekitar Perairan Arafuru. Tak sedikit di antara mereka yang mengira
bahwa penguasa laut sedang
marah, lalu menjatuhkan bencana sebagai hukuman.
Tentu saja penduduk yang masih berpikiran polos itu
menjadi ketakutan, hingga beberapa di antaranya
langsung berlutut. Memejamkan mata dengan mulut
komat kamit membacakan mantera penolak bala.
Seumur hidup mereka belum pernah mendengar
atau menyaksikan letusan sedahsyat itu, apalagi seca-ra susul menyusul, lalu
menimbulkan kebakaran he-
bat. Selama ini mereka paling-paling pernah menden-
gar gunung meletus yang tentu saja lain dengan apa
yang mereka saksikan sekarang.
"Ayo, mari kita bantu saudara-saudara kita!" teriak Pampani yang tiba-tiba saja
tersentak dari keter-kejutannya. Ia segera berlari sekencang-kencangnya,
diikuti para anggota laskar. Mereka kemudian membo-
bol pagar benteng dan berusaha menyelamatkan pen-
duduk yang terkurung kobaran api.
"Tenang! Tenang! Jangan panik! Segera menjauh
dari api. Ayo! Cepat!" Pampani berteriak-teriak sekuat tenaga hingga suaranya
menjadi parau. Suasana yang
tadinya gelap dan dingin, kini berubah jadi terang
benderang oleh kobaran api, disertai keadaan yang
sangat panas. Tak terkatakan bagaimana hancurnya perasaan
Pampani melihat rakyatnya banyak yang tewas dalam
peristiwa maut itu. Di mana-mana mayat bergelimpan-
gan. Ada yang sudah hangus hingga tinggal tulang be-
lulang. Ada yang tubuhnya cerai berai hingga tak bisa dikenali lagi, ada yang
tertinggal hanya bagian kepala saja, sedang tubuhnya tidak diketahui ke mana
terbang, dan sebagainya yang semuanya menimbulkan
rasa ngeri luar biasa. Tanpa sadar, air mata Pampani
jatuh satu per satu membasahi pipinya yang pucat.
Jika saat itu Pampani sedang menangis dan pen-
duduk lainnya masih dicekam ketakutan dan kesedi-
han yang amat sangat, maka di sudut lain justru ter-
dengar suara tawa penuh kegembiraan dan rasa puas.
Yang sedang tertawa itu adalah Wan-Da-I dan Womere
sendiri. Mereka sangat girang melihat Kerajaan Pam-
pani hancur lebur diamuk kobaran api dan penduduk-
nya pun banyak sekali yang menjadi korban.
"Ha ha ha. Bagus! Bagus! Akan kubikin rata den-
gan tanah hingga akan tamatlah riwayat Pampani si
keparat itu!" teriak Wan-Da-I tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergoyang-
goyang. Si tukang sihir Womere pun tertawa terpingkal-
pingkal. Demikian keras suara ketawanya, hingga air
matanya terburai membasahi pipi.
"Kita sudah berhasil, Tuanku! Tinggal membun-
tungi kepala Pampani dan para pendekar Pulau Jawa
itu!" katanya.
Hanya beberapa meter dari tempat itu, Profesor
Van Leinen berdiri menyendiri. Wajahnya pucat pasi
dan air matanya pun jatuh satu persatu. Tak terkata-
kan betapa hancurnya perasaan orang tua itu melihat
Kerajaan Pampani dilanda malapetaka yang bukan
hanya mengambil korban materi, tetapi juga korban ji-wa yang jumlahnya tentu
sangat banyak. Mereka ada-
lah orang-orang tak berdosa, yang tidak mengetahui
apa-apa. Dan semua itu terjadi adalah berkat hasil
karya cipta tangannya sendiri.
Setelah berhasil menciptakan alat-alat peledak,
Profesor tua itu bersama Simon pun kemudian dipaksa
menjelaskan cara menggunakan alat peledak itu. Ter-
nyata tidak terlalu sukar. Maka malam itu juga, Wan-
Da-I dan pembantu yang sangat dipercayainya yakni
Womere segera melaksanakan rencana yang sudah cu-
kup lama mereka bahas secara matang-matang. Kedu-
anya sudah memikirkan akibat-akibat yang mungkin
terjadi, bahkan kemungkinan paling buruk pun sudah
mereka pikirkan baik-baik.
Keduanya segera menyuruh Wori, Umang dan
Mirah untuk membunuh Karta, si Kaki Tunggal dan
Bungoru yang mereka ketahui sedang berjaga-jaga di
luar istana. Ada beberapa pertimbangan Wan-Da-I
mengambil langkah tersebut. Pertama sekali adalah
untuk mengalihkan perhatian musuh mereka yang
terkenal sangat lihai itu. Kedua, siapa tahu ketiga tawanan mereka dengan ilmu
sihir itu dapat mengalah-
kan lawan-lawannya. Tentu saja itu sangat baik, sebab tanpa pertolongan Karta
dan si Kaki Tunggal, Kerajaan Pampani dengan mudah saja dapat dihancurkan.
Kalaupun misalnya nanti Wori, Umang dan Mirah tidak
berhasil mengalahkan lawan lalu dibunuh, Wan-Da-I
tidaklah merasa rugi. Sebab ketiga pendekar itu adalah sahabat Pampani sendiri
dan hanya karena pengaruh
sihir saja makanya mau diperintah membunuh teman
mereka sendiri.
Beberapa saat setelah ketiga pendekar itu be-
rangkat, Wan-Da-I dan Womere mengajak Profesor Van
Leinen dan Simon membuktikan kehebatan alat pele-
dak itu. Sejumlah pengawal dengan senjata tombak di
tangan mengikuti dari belakang dan tampak selalu
bersiap-siap membunuh kedua lelaki berkulit putih itu apabila diperintahkan
majikan mereka.
Para pengawal yang merupakan orang-orang pili-
han Wan-Da-I segera menyusup ke dalam kerajaan
Pampani. Karena mereka memiliki ilmu yang sangat
tinggi, dengan mudah mereka dapat meletakkan alat-
alat peledak itu di kolong rumah penduduk, termasuk
di kolong istana, sesuai petunjuk majikan mereka. Setelah itu, para pengawal
pilihan itu pun berkelebat
kembali ke tempat mereka semula.
Profesor Van Leinen menolak meledakkannya,
dan sambil menekankan bahwa ia siap untuk dibunuhkarena penolakannya itu, ia mengatakan bahwa sudah
di luar perjanjian mereka. Ia hanya disuruh menciptakan alat peledak dan
mengajarinya cara mengguna-
kannya. Agaknya Wan-Da-I pun tidak mau terlalu
memaksa, sebab apa yang diucapkan Profesor tua itu
memang benar adanya. Maka ia pun meminta kese-
diaan Simon. Pemuda ini pada dasarnya memang sombong dan
kurang perduli akan nasib orang lain. Ia sadar ledakan itu pasti akan mengambil
korban jiwa dalam jumlah
banyak. Tetapi apa perdulinya" Ia toh adalah penda-
tang di Pulau Aru dan jika misalnya banyak yang te-
was, ia tidak akan rugi. Demikianlah prinsip pemuda
itu hingga dengan senang hati bersedia meledakkan
bom tarik ciptaan mereka sendiri.
"Puaskah engkau, Tuan Wan-Da-I?" Simon bertanya sambil tersenyum ke arah tokoh
sesat itu. "Puas! Sangat puas! Ilmu teknik Tuan berdua
sangat hebat. Mereka tentu akan musnah dalam seke-
jap. Kerajaan Pampani sudah hancur berantakan!"
Profesor Van Leinen mendengar percakapan itu.
Ia kembali mengeluh dalam hati dengan wajah yang
tampak semakin muram, "Oh, mijn God! Aku datang ke negeri ini bukan untuk
membunuh. Kenapa semua
ini mesti terjadi" Ampunilah aku, Tuhanku!" Ia merintih perlahan.
Suara dentuman-dentuman dahsyat itu memang
betul-betul luar biasa kuatnya. Terdengar sampai jauh ke seluruh kawasan Laut
Arafuru. Barangkali ikan-ikan di laut pun ikut merasa terkejut lalu menjauh da-
ri Kepulauan Aru. Binatang-binatang di hutan-hutan
pulau itu pun tentu sangat ketakutan, lalu berhambu-
ran melarikan diri menyeruduk semak-semak.
Dua lelaki penumpang sebuah rakit yang tam-
paknya hendak menuju Kepulauan Aru di malam itu,
juga mendengar dentuman-dentuman dahsyat itu.
Terdengar seperti guntur sambung menyambung atau
seperti gunung berapi meletus. Kedua laki-laki itu pun meloncat dari dalam kemah
rumbia di rakit itu, lalu
memperhatikan ke arah asal suara tadi.
Keduanya pun sama-sama terperanjat karena
menyadari bahwa suara tadi bukanlah guntur atau
gunung meletus. Tidak mungkin dapat menimbulkan
kebakaran. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa.
Api masih membumbung tinggi. Maka keduanya pun
mempercepat laju rakit mereka menuju Kepulauan
Aru. "Hai, Awom! Pulau apakah yang sedang terbakar itu?" tanya lelaki yang satu.
Ia masih muda, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampan dan
sangat bersih. Sinar matanya lembut namun tajam
mencerminkan sikap yang jujur dan suka menolong
sesama manusia, tetapi juga selalu tegas dan tidak
mau membiarkan kejahatan merajalela.
"Itulah Kepulauan Aru, Guru!" sahut lelaki yang dipanggil Awom itu, Ia pun masih
muda, sekitar dua
puluh lima tahun. Ia tidak mengenakan baju, sehingga otot-ototnya yang kekar
terlihat berkilau-kilau ditimpa sinar rembulan yang redup. Rambutnya keriting
dan hitam seperti kulit tubuhnya. Hidungnya pesek dan lebar, sedang tulang pipinya
tampak menonjol, mem-
buatnya tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Melihat penampilan lelaki bernama Awom itu, dapatlah diterka bahwa ia masih satu
rumpun dengan penduduk pribumi Pulau Aru. Namun kalung yang dihiasi
taring babi hutan di lehernya, ia agaknya penduduk
pribumi pulau besar sebelah Timur, tepatnya Papua.
Siapakah sebenarnya lelaki tampan dan gagah
perkasa yang dipanggil guru oleh. Awom itu" Ia tak
lain tak bukan adalah Parmin si Jaka Sembung. Seper-
ti diceritakan pada awal kisah petualangan Jaka Sem-
bung dan kawan-kawannya, mereka terpencar karena
kapal mereka dihantam ombak yang sangat besar. Si
Gila Dari Muara Bondet, si Kaki Tunggal, Umang dan
Mirah terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan Jaka
Sembung sendiri sampai ke Papua.
Di negeri itu, Jaka Sembung kemudian mengam-
bil Awom sebagai murid, baik dalam ilmu silat maupun agama Islam. Karena yakin
bahwa teman-temannya
terdampar di sekitar perairan Laut Arafuru, Parmin
menduga mereka sekarang berada di sekitar Kepu-
lauan Aru atau di Kepulauan Tanimbar.
Maka berangkatlah Jaka Sembung bersama mu-
ridnya Awom dari Papua menuju Laut Arafuru, dengan
menggunakan sebuah rakit. Tepat ketika keduanya be-
rada di Perairan Tanjung Ngabordamiu dekat Pulau
Penjuring, mereka menyaksikan salah satu pulau di
Kepulauan Aru dipenuhi kobaran api yang sangat be-
sar. Sayang sekali, kedatangan pendekar Gunung
Sembung itu agaknya sudah terlambat. Dan kisah pe-
tualangannya di Kepulauan Aru dapat pembaca ikuti
dalam kisah berikutnya nanti.
Sementara itu, si Gila Dari Muara Bondet masih
terus berlari dari pantai menuju istana. Ia sangat terkejut dan panik melihat
istana Pulau Trangan terba-
kar, sehingga meninggalkan Mirah tergeletak begitu sa-ja di tepi pantai.


Jaka Sembung 16 Kemelut Di Pulau Aru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar itu terus berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah
sangat tinggi, hingga tubuhnya tampak berkelebatan.
Dari atas tebing di sebelah kanan istana, Karta
tertegun sejenak. Istana itu telah terbakar habis. Sedang istrinya Nomina serta
putra mereka yang masih
bayi berada di dalam istana itu.
"Ya, Allah! Bagaimana dengan anak istriku?" teriak Karta gemetar. Sambil
mengeluarkan suara leng-
kingan nyaring, pendekar itu meloncat bagaikan ter-
bang menuruni bukit cadas itu. Tanpa memperdulikan
penduduk yang berlarian dalam keadaan panik, Karta
meloncati benteng pagar. Ia kemudian berhenti dan
berdiri tegak di dekat kobaran api, sehingga hawa panas segera menyerang
tubuhnya. "Nomina," gemetar lelaki itu menyebut nama istrinya.
Pada saat itu, Pampani pun sudah menyadari
bahwa adiknya Nomina ada di dalam istana ketika mu-
sibah itu terjadi. Karena peristiwa itu terjadi sangat cepat, besar kemungkinan
adiknya itu tidak sempat
menyelamatkan diri. Apalagi ia masih harus menyela-
matkan putranya.
Pampani menjadi panik sekali. Ia nekad berlari
hendak menerobos kobaran api. Beberapa pengawal-
nya menjadi terkejut, lalu mencoba mencegahnya. Na-
mun dengan kalap Pampani memukul para pengawal
itu hingga berpelantingan dan tak berani lagi mence-
gah, selain berlari mengikuti kepala suku mereka dari belakang dengan perasaan
cemas. "Nomina! Nomina!"
Pampani mendadak menghentikan langkahnya.
Ada keraguan terlintas di wajahnya menyaksikan ko-
baran api yang sangat besar. Nalurinya membisikkan
bahwa kalau ia nekad menerobos api itu, tidak ada
kemungkinan baginya untuk selamat. Tetapi ingat
akan adik serta keponakannya, keragu-raguan itu se-
ketika menjadi sirna.
Tidak! Ia tidak mungkin membiarkan kedua
orang yang sangat dicintainya itu tewas mengerikan
dalam kobaran api. Ia harus menyelamatkan mereka.
Atau kalaupun misalnya sudah terlambat, biarlah ia
mati bersama-sama dengan mereka. Itu lebih baik, da-
ripada nanti ia harus hidup sendiri tanpa adik kepo-
nakan yang sangat disayanginya.
Selama ini, Pampani memang sangat menyayangi
Nomina, adik satu-satunya yang sangat cantik tetapi
gagu itu. Apalagi kedua orang tua mereka sudah lama
meninggal dunia dan Nomina adalah saudara kan-
dungnya semata wayang. Nominalah tumpuan kasih
sayangnya dan selama ini Pampani seperti lupa mem-
bagikan kasih sayangnya kepada gadis lain hingga da-
lam usia setua itu belum menikah. Sedikit banyaknya
dipengaruhi rasa sayangnya terhadap Nomina serta
kesibukannya mengatur rakyatnya.
Sangatlah bahagianya kepala suku itu ketika
adiknya itu menikah dengan Karta. Bukan karena seo-
rang pendekar berilmu tinggi, tetapi terutama adalah sifat kesatria yang selalu
tercermin dari setiap tingkah laku maupun budi bahasanya. Apalagi setelah Nomina
melahirkan seorang bayi laki-laki mungil dan tampan, tak terlukiskan betapa
bahagianya hati Pampani. In-ginlah ia mengorbankan apa saja termasuk nyawanya
sekalipun terhadap adik serta keponakannya itu sean-
dainya diperlukan.
Ya, pengorbanan seperti itulah yang harus dila-
kukannya sekarang.
"Nominaaaa!" Pampani berteriak sekuat-kuat tenaga sambil mengepalkan tinju.
Matanya menatap liar
ke arah kobaran api. Lalu tiba-tiba ia berlari ke arah kobaran api yang membakar
istana. "Pampani! Jangan kau lakukan itu!" Karta yang sudah berada di tempat itu menjadi
terkejut melihat
Pampani nekad hendak menerobos lautan api. Akan
tetapi tampaknya, kakak iparnya itu tidak menghirau-
kan larangannya. Tentu saja si Gila Dari Muara Bondet
sangat terkejut, karena sudah dapat memperkirakan
apa yang bakal terjadi jika tindakan itu dibiarkan. Jika tidak segera dicegah,
maka akan bertambahlah korban
jiwa. "Pampani.....!" Karta kembali berteriak dan bersamaan dengan itu, tubuhnya
mencelat bagaikan ter-
bang ke arah Pampani. Demikian cepatnya gerakan
Karta sehingga para laskar tidak dapat melihat keja-
dian itu dengan jelas, apalagi sekitar tempat itu sangat silau oleh kobaran api.
Tiba-tiba saja mereka menyaksikan Karta sedang bergelut dengan Pampani, hanya
sekitar satu meter dari kobaran api. Karta berhasil me-rangkul pinggang Pampani,
sehingga membuat kepala
suku itu terjatuh dan hampir saja terguling ke dalam kobaran api. Untung dalam
keadaan yang sangat genting itu si Gila Dari Muara Bondet menarik tubuhnya ke
belakang. "Lepaskan! Lepaskan!" teriak Pampani sambil berusaha meronta-ronta sekuat
tenaga. "Jangan, Pampani! Jangan kau lakukan itu!" teriak Karta sambil mempererat
rangkulannya. Namun
rupanya Pampani sudah betul-betul nekad. Ia memu-
kul-mukul tangan Karta, lalu berusaha meloncat ke
dalam kobaran api. Tentu saja Karta semakin cemas,
karena ia sadar tenaga kakak iparnya itu pun sangat
kuat. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik ia bertindak
cepat. Demikian pikiran si Gila.
Maka ia pun mengangkat tubuh Pampani, kemudian
melemparkannya ke belakang menjauh dari kobaran
api. Setelah itu, Karta pun segera meloncat mener-
kam Pampani. Dirangkulnya kembali pinggang kepala
suku itu sekuat tenaga hingga tak mampu berkutik la-
gi. "Lepaskan! Lepaskan aku! Nomina dan kepona-
kanku terbakar di dalam api laknat itu!"
"Jangan nekad, Pampani. Tidak ada gunanya la-
gi. Biarkanlah. Relakan mereka! Kita sudah terlambat.
Bagaimana pun kau adalah kepala suku, pemimpin
dari rakyatmu. Jangan bertindak senekad itu!"
"Tapi.... tapi, oh Dewa!" Pampani kemudian menyebut-nyebut nama adiknya dengan
suara yang ma- kin lama makin pelan dan serak. Pandangan matanya
makin berkunang-kunang dan kabur. Kedua kakinya
gemetaran, tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Lalu
ia pun jatuh terhenyak.
Karta kembali menatap kobaran api, baru seka-
rang menyadari bahwa anak dan istrinya tercinta
mungkin sudah terbakar. Tadi ia hanya memikirkan
bagaimana caranya supaya Pampani jangan nekad
menerobos api. Segumpal asap hitam tebal ditiupkan
angin ke arah Karta. Ia seperti mencium aroma bau
daging istri dan anaknya yang terbakar. Jiwanya pun
serasa telah terbang meninggalkan raga.
"Anakku.... Nomina...." Karta merintih kemudian terguling roboh tak sadarkan
diri. TAMAT Apakah yang akan terjadi di Pulau Trangan sete-
lah istana Pampani dan rumah-rumah penduduk han-
cur lebur dan terbakar" Bagaimanakah akhirnya nasib
Wori, Umang dan Mirah yang sudah jatuh ke dalam
cengkeraman musuh"
Apa pula yang akan dilakukan Jaka Sembung se-
telah tiba di kepulauan itu" Walaupun sudah agak terlambat, namun ia tentu tidak
akan mau tinggal diam
melihat kejahatan Wan-Da-I dan Womere.
Ikutilah kisah petualangan Jaka Sembung ber-
sama kawan-kawannya pendekar Pulau Jawa di Kepu-
lauan Aru dalam episode berjudul:
"Menumpas Titisan Iblis Pulau Aru"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Sepasang Garuda Putih 10 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Jejak Di Balik Kabut 3
^