Dayang Tiga Purnama 2
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama Bagian 2
"Aneh.... Mengapa dia berkata..." Padahal seandainya
dia tidak perdengarkan suara tentu aku tak tahu keberadaannya di tempat ini...."
Murid Pendeta Sinting berpaling. Memandang ke
depan, dia tidak melihat siapa-siapa. Hanya rimbun
gerombolan rumpun bambu. Joko putar pandangan.
Tapi belum juga melihat adanya seseorang.
"Siapa yang bicara"!" Pendekar 131 berteriak karena tidak juga melihat adanya
orang setelah agak lama
edarkan pandangan berkeliling.
"Ah.... Seandainya aku tahu kau tidak melihatku....
Tentu aku tidak akan bersuara...."
Pendekar 131 Joko Sableng menoleh lagi ke arah
mana telinganya mendengar suara yang baru saja didengar. Dan mungkin takut orang
sudah melakukan
gerakan sebelum dia gerakkan kepala, Joko sengaja
berpaling sebelum suara orang selesai.
"Astaga! Kalau saja dia tidak bersuara, siapa pun
juga pasti tidak menduga kalau itu adalah manusia!"
Joko mendelik memperhatikan satu gerumbulan rumpun bambu yang di sebelahnya
terdapat satu gundukan tanah agak tinggi di mana terlihat satu sosok tubuh duduk
dengan kedua kaki ditekuk dan kepalanya
dibenamkan dalam-dalam di belakang tekukan kedua
kakinya. Sementara kedua tangannya merangkap erat
pada kedua kakinya.
Beberapa saat murid Pendeta Sinting memperhatikan. "Hem.... Aku harus hati-hati.
Aku tak mau tertipu
untuk kedua kalinya...." Joko membatin ingat akan
penipuan yang dilakukan Hantu Pesolek ketika berada
di lembah berbatu cadas.
"Harap tidak sungkan tunjukkan muka...." Pendekar 131 berujar tanpa membuat
gerakan mendekati
sosok tubuh yang sembunyikan tampang di belakang
tekukan kedua kakinya.
"Harap tidak salah duga. Aku bukannya sungkan
tunjukkan tampang. Tapi aku takut!"
Joko kerutkan dahi. Lalu berkata. "Takut pada siapa"!"
"Apa kau melihat orang lain di tempat ini..."!" orang
yang duduk di atas gundukan tanah balik bertanya.
Pendekar 131 putar pandangan berkeliling. Yakin
tidak ada orang lain, dia baru sadar apa maksud ucapan orang. Hingga kemudian
dia berkata. "Rasanya kita belum pernah bertemu. Adalah hal
aneh kalau kau takut padaku!"
"Kita memang belum pernah bertemu. Tapi begitulah adanya! Aku takut tunjukkan
tampang padamu!
Jangan bertanya mengapa.... Penjelasan yang akan
kuberikan malah akan membuatmu tak mengerti. Lagi
pula hal itu tak mungkin kulakukan. Tunjukkan tampang saja aku takut, mana aku
berani memberi penjelasan!"
"Bukan saja sikapnya yang aneh. Ucapannya juga
membingungkan! Siapa dia sebenarnya"! Jangan-jangan dia sengaja menghadangku di
hutan ini! Buktinya, dia sengaja memberitahukan keberadaannya meski sebenarnya
aku tadi tidak bisa merasakan kehadirannya di tempat ini!"
Murid Pendeta Sinting memperhatikan orang sekali
lagi. "Hem.... Daripada berurusan dengan orang yang
tak kukenal dan bersikap aneh, lebih baik aku teruskan perjalanan ini!"
Tanpa buka suara lagi, Pendekar 131 balikkan tubuh lalu melangkah teruskan
perjalanan. Namun baru
saja mendapat tiga tindak, orang di atas tanah agak
tinggi sudah perdengarkan suara lagi.
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk bertanya. Tapi apa boleh buat. Mungkin
baru padamu aku beranikan diri untuk ajukan tanya!"
Murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Lalu putar
diri lagi dan berkata dalam hati. "Dia sembunyikan wajah di belakang rangkapan
kedua kakinya. Tapi nyatanya dia bisa melihatku.... Hem...."
"Apa yang akan kau tanyakan"!" Akhirnya Joko
bertanya. "Ini adalah hutan perbatasan menuju sebuah lembah yang aku takut untuk
mengatakan lembah apa
namanya. Apa kau hendak ke lembah itu"!"
Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya memperhatikan orang sekali lagi dengan
lebih seksama. Dia mulai curiga dengan pertanyaan orang. Hingga ia memutuskan
untuk tidak mau mengatakan terus terang.
"Sebenarnya aku tak enak mengatakannya padamu.
Tapi lebih tidak enak lagi kalau aku tidak memberi
penjelasan padamu! Sudah beberapa hari ini perutku
laksana diaduk-aduk. Sudah beberapa tombak ku telusuri, tapi aku tidak menemukan
tempat yang layak
untuk tumpahkan adukan perutku Ini. Kebetulan di
jalan tadi aku diberi tahu orang jika di sebelah hutan
bambu ini ada sebuah aliran sungai! Mudah-mudahan
petunjuk orang tadi benar! Rasanya aku sudah tak betah lagi untuk bertahan! Apa
memang benar di sebelah
hutan bambu ini ada sebuah aliran sungai"!"
"Anak muda.... Sayang sekali aku tidak bisa memberi penjelasan. Bukan karena
apa. Aku takut untuk
memberi tahu. Kau paham maksudku, bukan"!"
"Bagaimana aku bisa paham maksudmu"! Kau takut tunjukkan tampang! Takut memberi
penjelasan!"
"Maaf, Anak Muda.... Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku takut...."
"Baiklah! Aku tidak akan minta penjelasan apa-apa
padamu. Tapi kuharap kau tidak takut memberitahukan siapa nama atau mungkin
gelarmu!" Orang yang wajahnya disembunyikan di belakang
rangkapan kedua tekukan kakinya perdengarkan tawa
panjang bergelak hingga rangkapan kedua kakinya
berguncang. Lalu terdengar suaranya.
"Jangan bertanya siapa nama atau gelarku, Anak
Muda! Bukan saja tak ada gunanya bagimu, lebih dari
itu aku takut untuk mengatakannya!"
"Hem.... Kalau aku terus bicara pada orang ini, aku
tak akan sampai tujuan!" gumam Joko. Lalu tanpa bu-
ka mulut lagi dia putar diri dan melangkah teruskan
perjalanan. Mendapat sepuluh langkah, Pendekar 131 cepat palingkan wajah berharap orang di
atas tanah tidak
menduga dan dia bisa melihat tampang orang.
Namun murid Pendeta Sinting jadi tercengang sendiri. Sepasang matanya
dijerengkan besar-besar dan
tubuhnya kembali diputar balik menghadapi tempat
mana tadi orang duduk di atas tanah.
"Aneh.... Jangan-jangan dia bukan manusia!" desis
Joko dengan kuduk merinding. Karena ternyata orang
yang tadi duduk dengan rangkapkan kaki sudah tidak
kelihatan lagi sosoknya!
Mungkin untuk yakinkan diri, murid Pendeta Sinting melompat ke arah gundukan
tanah agak tinggi.
Lalu pentangkan mata dan memandang liar berkeliling.
Sepasang telinganya dipasang baik-baik. Tapi sejauh
Ini dia tidak bisa menyiasati di mana keberadaan
orang. "Hem.... Mudah-mudahan ini bukan satu isyarat
buruk!" Akhirnya Joko bergumam sendiri lalu berkelebat lanjutkan perjalanan.
Setelah berlari kira-kira lima puluh tombak, murid
Pendeta Sinting sampai di ujung hutan bambu. Dia
menghela napas lega. Bukan saja karena tidak menemukan halangan tapi juga karena
dia menemukan aliran sungai.
"Hem.... Aku butuh alat untuk menyeberang! Tidak
mungkin aku berenang, apalagi aku belum kenal situasi daerah Ini!" Joko berpikir
setelah menghitung jarak
lebarnya sungai yang harus dilalui.
"Aku harus membuat rakit! Bukan tak mungkin
enam sungai lainnya juga butuh alat untuk menyeberanginya!"
Pendekar 131 sudah putar diri hendak kembali ke
hutan bambu untuk membuat rakit. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba
dari tikungan sungai
di ujung sana meluncur sebuah sampan.
Ada keanehan. Begitu sampan bergerak menelikung, tiba-tiba luncurannya terhenti.
Sampan itu diam
tak bergerak di atas aliran sungai. Dan murid Pendeta
Sinting tidak melihat adanya orang yang mengemudikan sampan!
Joko memperhatikan beberapa lama. Dia sudah
memutuskan untuk tidak hiraukan keanehan yang dilihat. Namun begitu dia hendak
teruskan niat untuk
kembali ke hutan dan membuat rakit, mendadak sampan di tikungan sungai sana
terlonjak ke atas laksana
disapu gelombang dahsyat, padahal tidak terlihat adanya sapuan gelombang yang
menghantam! "Busyet! Jangan-jangan hutan ini dihuni bukan
bangsa manusia! Tapi aku harus menyelidik! Daripada
terjadi urusan di sana nanti, lebih baik baik urusan itu
terjadi di sini!"
Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke arah
tikungan sungai. Namun dia
tidak mau bertindak ayal. Seraya berkelebat dia kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Begitu tegak di tempat yang lurus dengan sampan
yang masih bergoyang-goyang di atas aliran sungai,
Joko cepat edarkan pandangan.
"Sebenarnya aku takut menegurmu, Anak Muda!
Tapi apa hendak dikata. Tegakmu menghalangi pandanganku...!" Mendadak satu suara
terdengar. Saking kagetnya, hampir saja Joko terlonjak. Dia
cepat berpaling ke belakang. Kontan saja sepasang matanya mendelik.
*** LIMA HANYA beberapa langkah di belakang Pendekar 131
terlihat satu sosok tubuh duduk di atas tanah di samping sebuah bongkahan batu
cadas dengan kedua kaki
dirangkapkan dan ditekuk. Sementara wajahnya dibenamkan dalam-dalam di belakang
rangkapan kedua
kakinya, hingga raut wajahnya tidak kelihatan.
"Dia lagi!" desis murid Pendeta Sinting. "Bagaimana
tahu-tahu sudah duduk di sini"! Anehnya lagi, aku tidak bisa menyiasati
keberadaannya! Dan apa maksud
ucapannya tegakku menghalangi pandangannya"! Bukankah dia sengaja sembunyikan
wajah di belakang
kedua kakinya"! Bagaimana dia bisa bilang pandangannya terhalang..."! Orang
aneh! Apa yang dipandangnya"!"
Pendekar 131 putar kepala lurus ke depan. "Hem...
Benda yang lurus dengannya adalah sampan itu! Jadi... Gerakan sampan itu pasti
karena ulahnya! Tapi
apa maksudnya"! Untuk mengundang kepenasaranku
dan agar aku mendekat kemari"!"
Baru saja Joko membatin begitu, orang yang duduk
dengan sembunyikan wajah di belakang rangkapan
kedua kakinya perdengarkan suara.
"Anak muda! Walau aku takut bertanya, tapi kali ini
terpaksa aku memberanikan diri! Bukankah kau tadi
mengatakan hendak menumpahkan adukan perutmu"!
Tapi...." Belum sampai orang lanjutkan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah menyahut.
"Harap jangan banyak bertanya.... Aku takut menjawabnya!" Murid Pendeta Sinting
sengaja mengikuti logat orang yang duduk di atas tanah.
Mendengar sahutan Joko, orang yang duduk di atas
tanah perdengarkan tawa ngakak. Lalu buka rangkapan kedua kakinya dan memandang
ke arah murid Pendeta Sinting dari sela kedua kakinya yang terbuka.
Lalu angkat suara.
"Aku gembira sekaligus takut mendengar sahutanmu! Kau tidak takut mengatakan
siapa kau sebenarnya"!"
"Hem.... Orang macam dia harus dilayani seperti sikapnya!" Joko membatin. Lalu
lorotkan tubuh dan duduk dengan rangkapan kedua kaki. Sementara wajahnya segera
dibenamkan dalam-dalam ke belakang
rangkapan kedua kakinya. Lalu sambuti ucapan
orang. "Aku takut sekaligus senang mendengar kau mau
bertanya! Namun harap jangan bertanya siapa aku....
Bukan saja karena kau belum memperkenalkan diri,
namun lebih dari itu, aku takut untuk menjawabnya...!"
"Ah.... Tampaknya kita manusia yang seirama! Seandainya saja kita tidak sama-
sama merasa takut...."
"Harap tidak mengandai-andai.... Aku takut mendengarnya!" kata Joko seraya buka
sedikit rangkapan
kedua kakinya dan mengintip orang.
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk memberi tahu. Tapi karena kita manusia
yang seirama, aku
harus memberi penjelasan! Aku tidak merasa takut kalau bicara mengandai-
andai...."
"Hem.... Begitu"! Lalu andai-andai apa yang akan
kau katakan"!"
"Seandainya kau seorang pendatang dari negeri asing.... Dan seandainya kau
mencari tahu tentang satu
tempat.... Mungkin aku bisa sedikit membantu!"
Murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Hingga tan-
pa sadar dia angkat kepalanya dan memandang lekatlekat pada sela rangkapan kedua
kaki orang. Namun
terlambat. Karena orang di hadapannya sudah takupkan kembali rangkapan kedua
kakinya. "Sepertinya dia tahu siapa aku dan apa maksud tujuanku.... Hem.... Aku akan coba
bertanya...."
Membatin begitu, akhirnya Joko buka suara bertanya.
"Siapa pun kau adanya. Kau mau membantuku"!"
Yang ditanya tertawa dahulu sebelum menjawab.
"Anak muda.... Harap kau tidak lupa. Aku tadi bicara seandainya! Jadi maukah
nantinya kau mendapat
penjelasan seandainya juga"!"
"Sialan!" gumam Joko seraya beranjak bangkit. "Tak
ada gunanya bicara dengan manusia seperti dia!"
Pendekar 131 kembali arahkan pandang matanya
ke arah sampan yang terapung di atas aliran sungai.
"Mungkin sampan itu miliknya.... Seandainya saja
aku.... Ah. Mengapa aku jadi ikut-ikutan mengandaiandai"! Lebih baik aku membuat
rakit!" Joko sudah putar diri. Tapi sebelum bergerak lebih
jauh, orang yang duduk di atas tanah berucap.
"Seandainya kau tidak takut membawa sampan itu,
silakan kau mengambilnya!"
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampan itu milikmu"!"
"Aku takut mengatakannya!"
Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang.
Tampaknya dia sudah tak sabar menghadapi orang.
Hingga tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak
tinggalkan tempat itu.
"Tunggu, Anak Muda! Aku takut berada sendirian di
tempat ini! Kau tak takut bukan untuk menemaniku
beberapa saat saja"! Tampaknya kita akan kehadiran
seorang tamu...!"
"Aku takut mendengar permintaanmu!" Enak saja
Joko menyahut lalu tanpa pedulikan orang, dia teruskan langkah.
Saat itulah Joko melihat satu bayangan berkelebat
ke arahnya. Joko cepat berpaling ke arah orang yang
duduk di atas tanah. "Hem.... Aku tidak ingin terlibat
urusan dengan orang! Tampaknya orang yang datang
punya masalah dengan dia!"
Pendekar 131 cepat hendak berkelebat. Namun tahu-tahu bayangan yang berkelebat
sudah berada beberapa tombak di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi
Joko cepat lorotkan tubuh. Lalu duduk dengan rangkapkan kedua kaki dan
selinapkan kepala di belakang
kedua kakinya. Dan perlahan-lahan pentangkan mata
mengintip orang dari sela kedua kakinya yang dibuka
sedikit. Murid Pendeta Sinting melihat seorang pemuda berusia tiga puluh tahunan berwajah
tampan bertubuh
kekar. Rambutnya hitam lebat dan panjang sebahu
menutupi sebagian pundak dan wajahnya. Sepasang
matanya tajam dengan alis tebal mencuat serta kumis
tebal melintang. Pemuda ini mengenakan pakaian berupa jubah hitam panjang
sebatas mata kaki melapis
baju berwarna putih.
Untuk beberapa saat si pemuda yang telah tegak
dua belas langkah di hadapan murid Pendeta Sinting
lepas pandangan silih berganti pada Joko dan orang
yang duduk di sebelah samping sana. Jelas pandangannya membayangkan rasa aneh
dan bertanyatanya.
"Di sini ada dua manusia yang bersikap sama.... Sayang, selama ini aku hanya
tahu nama orang dan belum pernah melihatnya! Hem.... Mana di antara kedua
manusia ini yang kucari"!" Si pemuda berjubah hitam
panjang bergumam.
Mungkin merasa kebingungan untuk menentukan
pilihan, akhirnya si pemuda gerakkan kepala pulang
balik seraya berkata.
"Aku datang mencari manusia bergelar Paduka Seribu Masalah! Siapa di antara
kalian berdua yang memiliki gelar Paduka Seribu Masalah"!"
Orang yang duduk di seberang sana perdengarkan
sahutan. "Anak muda berjubah hitam! Harap tidak ajukan
tanya. Aku takut menjawabnya!"
Mendengar sahutan orang, murid Pendeta Sinting
tidak tinggal diam. Dia segera menyambut.
"Anak muda berjubah hitam! Aku juga takut menjawabnya!"
Gerakan kepala si pemuda berjubah hitam terhenti.
Parasnya berubah membesi. Dagunya terangkat mengembung. Saat lain dia ditegakkan
wajah mendongak
lalu berkata. "Aku tanya sekali lagi. Siapa di antara kalian berdua yang bergelar Paduka
Seribu Masalah"!"
Karena khawatir dirinya yang dituduh, Pendekar
131 cepat-cepat berkata.
"Anak muda berjubah hitam! Sebenarnya aku takut
mengatakannya. Tapi daripada terjadi salah paham,
aku beranikan diri untuk mengatakannya. Kalau yang
kau cari adalah Paduka Seribu Masalah, bukan aku
orangnya...!"
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat pemuda
berjubah hitam segera berpaling ke arah orang yang
duduk di seberang sana. Namun sebelum pemuda ini
angkat suara, orang yang duduk sudah perdengarkan
suara. "Anak muda berjubah hitam! Aku juga bukan Pa-
duka Seribu Masalah!"
Si pemuda berjubah hitam menyeringai dingin. Dalam hati dia membatin. "Dari ciri
yang kudengar, jelas
mereka berdua memiliki ciri orang yang kucari! Sayang
mereka tidak ada yang mau mengaku! Padahal aku
yakin, salah satu dari mereka adalah Paduka Seribu
Masalah! Aku telah datang jauh-jauh sampai ke tempat ini! Aku harus mendapatkan
jawaban pasti! Bagaimanapun caranya!"
Membatin begitu, akhirnya si pemuda berjubah hitam berucap lagi.
"Baiklah! Aku tidak akan memaksa kalian untuk
mengaku siapa di antara kalian yang Paduka Seribu
Masalah meski aku yakin salah satu di antara kalian
adalah Paduka Seribu Masalah! Aku datang mencari
jawaban! Harap di antara kalian mau menjawab pertanyaanku!"
"Aku senang mendengar kau tidak memaksa.... Tapi
harap tidak kecewa. Bukan saja aku takut mendengar
pertanyaanmu, namun aku juga takut menjawabnya!"
Pendekar 131 menyahut terlebih dahulu.
"Jawabanku sama dengan dia!" Orang yang duduk
di seberang menimpali.
"Hem.... Tampaknya kalian berdua memaksaku untuk bertindak lebih keras!" sambil
berkata begitu, si
pemuda berjubah hitam angkat kedua tangannya.
Tangan kanan diarahkan pada murid Pendeta Sinting,
sementara tangan kiri diluruskan pada orang yang duduk di seberang.
"Tahan dulu, Anak Muda.... Bukan saja aku takut
dengan caramu, tapi kurasa tindakanmu tidak akan
menyelesaikan masalah...!" ujar Joko sambil mengintip
dari sela rangkapan kedua kakinya.
"Benar.... Tindakanmu menakutkanku, Anak Mu-
da.... Padahal...."
Belum sampai orang yang duduk di seberang selesaikan ucapan, si pemuda berjubah
hitam sudah memotong. "Persetan dengan ketakutan kalian! Jika tidak ada
yang mengaku, kalian berdua akan tahu akibatnya!"
Karena tak mau terlibat urusan, Joko segera perdengarkan suara.
"Anak muda berjubah hitam! Seandainya saja kau
mau sebutkan diri, mungkin kami tidak terlalu takut
lagi untuk mengaku dan menjawab pertanyaanmu!"
"Hem.... Baik! Kuturuti permintaanmu!" kata pemuda berjubah hitam sambil
memandang tajam pada sosok Pendekar 131. "Aku adalah Datuk Kala Sutera!"
"Pertanyaanmu yang harus kami jawab"!" tanya
murid Pendeta Sinting.
"Selama hampir lima belas tahun aku mencari jejak
lima orang anakku! Tapi sejauh ini aku gagal menemukannya! Aku butuh jawaban, di
mana kira-kira kelima
anakku itu"!"
"Celaka! Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya"! Aku tidak kenal dengan
pemuda bernama Datuk Kala Sutera itu! Apalagi kelima anaknya.... Kalau sampai aku menjawab asal
kena, pasti dia tahu!
Hem...." Pendekar 131 bergumam dalam hati. Beberapa saat dia terdiam.
"Kau telah tahu siapa aku dan apa pertanyaanku!
Aku butuh keteranganmu!"
"Kalau saja kau tidak takut mengatakannya padaku. Mengapa kau bertanya soal
kelima anakmu padaku"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Paduka Seribu Masalah telah dikenai sebagai manusia yang tahu segala macam
masalah! Tentu tidak
sulit memberi keterangan padaku!"
"Hem.... Begitu"! Seandainya kau tidak merasa takut menjawab pertanyaanku
dahulu. Mungkin...."
"Aku akan jawab pertanyaanmu!" Pemuda berjubah
hitam sudah berkata menukas sebelum Joko sempat
selesaikan ucapannya.
"Kalau kau merasa punya anak, pasti kau memiliki
seorang istri! Kau tidak takut mengatakan siapa istrimu"!"
Pertanyaan Joko membuat si pemuda berjubah hitam yang sebutkan diri sebagai
Datuk Kala Sutera tersentak kaget. Dia tidak segera menjawab pertanyaan.
Sebaliknya tengadahkan wajah dengan kepala menggeleng.
Mendapati sikap Datuk Kala Sutera, murid Pendeta
Sinting cepat berujar.
"Kau takut mengatakan siapa istrimu"!"
"Aku tidak takut mengatakannya! Tapi aku tidak ingat lagi siapa istriku!"
"Aneh.... Bagaimana mungkin seorang suami bisa
lupa pada istrinya"!" kata Joko dalam hati. Lalu berkata.
"Datuk Kala Sutera. Kau tak perlu cemas atau takut. Katakan saja terus terang.
Siapa istrimu!"
"Aku tidak ingat!"
"Hem.... Kau pasti takut mengatakan jika kau sudah memiliki perempuan lain
hingga tidak ingat lagi
pada istri!"
"Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku tidak
memiliki perempuan lain! Dan aku benar-benar tidak
ingat lagi siapa istriku!"
"Bagaimana bisa begitu"!"
"Aku sendiri tak tahu! Yang jelas begitulah adanya!"
"Lalu apakah kau juga tidak ingat siapa nama istrimu"!" tanya Joko.
Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. "Aku
juga tidak ingat lagi siapa nama istriku!"
"Hem.... Lalu apakah kau juga lupa, istrimu seorang
perempuan atau laki-laki"!"
"Aku datang butuh keterangan! Bukan untuk menjawab pertanyaan gila seperti ini!"
Datuk Kala Sutera
membentak. Pendekar 131 tahan tawanya. Lalu buka suara lagi.
"Kau mengatakan mencari kelima anakmu. Kau masih
ingat berapa anak laki-laki dan anak perempuan?"
"Semuanya perempuan!"
"Kau ingat siapa nama mereka"!"
"Mereka belum sempat kuberi nama!"
"Dari keterangan pemuda ini, juga dari ucapan
orang yang duduk di seberang sana yang tahu-tahu bisa menebak tepat siapa
diriku, pasti orang yang duduk
itulah yang bergelar Paduka Seribu Masalah...."
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Datuk Kala Sutera sudah buka suara.
"Aku menunggu keteranganmu!"
"Gawat! Bagaimana ini..."! Jawaban bagaimana
yang harus kukatakan"!"
"Kau dengar ucapanku! Aku juga telah turuti permintaan dan menjawab semua
pertanyaanmu! Jangan
membuat aku tak sabar!" Datuk Kala Sutera kembali
buka mulut setelah ditunggu agak lama murid Pendeta
Sinting tidak juga memberi keterangan.
"Datuk Kala Sutera... Kau kuberi waktu tiga hari..."
"Jahanam! Apa maksudmu"!"
"Seandainya kau tidak lupa siapa nama istrimu,
pasti aku bisa memberi keterangan saat ini juga! Tapi,
karena kau tidak ingat siapa istrimu, aku butuh waktu
untuk menjawab pertanyaanmu! Kembalilah tiga hari
mendatang. Kau akan memperoleh jawaban yang kau
inginkan!"
Datuk Kala Sutera berpikir beberapa saat. Lalu berkata.
"Baik! Aku akan kembali tiga hari mendatang! Tapi
aku perlu jaminan!"
Joko sempat terkesiap. Hampir saja dia angkat kepalanya. Untung dia sadar dan
buru-buru benamkan
lagi wajahnya dalam-dalam ke belakang rangkapan kedua kakinya. Lalu bertanya.
"Datuk Kala Sutera... Kau datang mencari jawaban. Tidak seharusnya kau minta
jaminan segala! Hal
itu membuatku takut... Ini akan mengakibatkan hilangnya konsentrasiku untuk
mencari jawaban atas
pertanyaanmu...."
Datuk Kala Sutera geleng kepala. "Itu urusanmu!
yang jelas kau telah mengucapkan janji! Dan kau tak
usah takut.... Jaminan yang kuminta tidaklah sulit!"
"Seandainya kau tidak takut mengatakan apa jaminan yang kau minta...."
Datuk Kala Sutera memandang dahulu silih berganti pada sosok murid Pendeta
Sinting dan orang
yang duduk di seberang. Lalu berkata.
"Di sini ada dua orang yang bersikap sama. Sejauh
ini belum ada di antara kalian yang mengaku sebagai
paduka Seribu Masalah! Aku tidak mau tertipu...."
"Maksudmu..."!"
"Karena kau yang tadi menjanjikan jawaban padamu, aku ingin tahu bagaimana wajah
di balik rangkapan kedua kakimu!"
"Celaka! Kalau sampai dia dapat mengenaliku, tak
mungkin lagi aku bisa berkelit...." Joko membatin dengan dada berdebar tidak
enak. Datuk Kala Sutera melangkah maju mendekati Pendekar 131. Lalu berkata.
"Angkatlah wajahmu!"
"Aku takut.... Bukan karena...."
"Aku minta kau tunjukkan tampangmu!" Datuk Kala Sutera sudah membentak sebelum
Pendekar 131 sempat teruskan ucapannya.
"Aduh.... Tidak kusangka kalau akan begini akibatnya! Ini akan membuat masalah!"
"Aku minta jaminan yang tidak sulit untuk kau lakukan! Tapi tampaknya kau
keberatan! Ini satu bukti
kalau kau hendak memuslihatiku!"
"Jangan salah sangka... Tidak ada maksud untuk
memuslihatimu. Aku hanya takut dan tidak terbiasa
tunjukkan tampang pada orang... Percayalah! Tiga hari
mendatang kau akan menemuiku di sini dan mendapat jawaban yang kau minta!"
Datuk Kala Sutera geleng kepala. "Kalau kau tidak
mau menuruti jaminan yang kuminta, aku akan menunggumu di sini! Tidak jadi soal
sampai berapa hari!"
"Wah.... Ini makin celaka! Bisa-bisa perjalananku
terhambat! Sialnya mengapa orang di seberang sana
itu tidak juga perdengarkan suara"!"
"Kau tinggal memberi keputusan! Mau tunjukkan
tampang dan aku akan pergi serta kembali lagi tiga hari mendatang, atau kau
tetap akan sembunyikan wajahmu tetapi aku akan menunggu jawabanmu di sini!"
Datuk Kala Sutera angkat suara sambil teruskan tindakan mendekati sosok murid
Pendeta Sinting.
"Daripada cari penyakit, lebih baik kuturuti permintaannya. Begitu dia pergi,
aku akan bertanya pada
orang yang duduk di seberang sana itu tentang jawaban apa kelak yang harus
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukatakan!"
Berpikir sampai di situ akhirnya perlahan-lahan
Pendekar 131 angkat kepalanya dari balik rangkapan
kedua kakinya. Datuk Kala Sutera hentikan langkah. Sepasang matanya dipentang memandang tajam
pada wajah murid
Pendeta Sinting.
"Hem.... Ternyata seorang pemuda! Benarkan dia
Paduka Seribu Masalah"!" Datuk Kala Sutera bimbang.
"Ah.... Itu bukan urusanku! Yang penting tiga hari di
depan dia harus bisa memberi keterangan! Jika sampai
dia berdusta, aku tak segan-segan membuatnya berkalang tanah!"
Habis membatin begitu, Datuk Kala Sutera putar diri setengah lingkaran. "Siapa
pun kau adanya, kau telah mengikat janji denganku! Tiga hari mendatang aku
akan datang menagihnya! Kalau kau berdusta, selembar nyawamu menjadi
jaminannya!"
Datuk Kala Sutera tertawa pendek. Melirik sesaat
pada Pendekar 131 lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu. *** ENAM PENDEKAR 131 cepat tegak berdiri lalu arahkan
pandang matanya pada orang yang duduk di seberang
begitu sosok Datuk Kala Sutera tidak kelihatan lagi.
"Harap kau berkata jujur. Bukankah kau orangnya
yang bergelar Paduka Seribu Masalah"!" Joko ajukan
tanya. "Jangan memaksaku, Anak Muda.... Aku takut
menjawabnya! Apalagi kau minta aku harus bicara jujur!"
"Baik! Salah atau benar dugaanku, yang pasti aku
percaya kau adalah Paduka Seribu Masalah! Sekarang
aku perlu bantuanmu! Tolong katakan padaku, jawa-
ban bagaimana kelak yang harus kukatakan pada Datuk Kala Sutera!"
"Anak muda... Aku benar-benar takut mengatakannya! Ini bukan urusan kecil... Aku
takut terlibat!"
"Hem... Begitu"!" ujar Joko lalu melangkah mendekati orang. "Kalau kau tak mau
membantuku, terpaksa
aku akan melibatkanmu lebih jauh dalam urusan ini!
Aku tahu bagaimana caranya!"
Orang yang duduk perdengarkan gumaman tak jelas. Joko hentikan langkah lima
tindak di hadapan
orang lalu berkata.
"Terus terang saja. Aku tidak punya waktu banyak
berada di tempat ini! Kuharap kau segera memberi keputusan!"
"Anak muda... Seandainya urusan ini kita hadapi
bersama-sama. Mungkin rasa takutku bisa berkurang!"
"Maksudmu..."!"
"Aku takut berada sendirian di tempat ini! Kalau
kau tidak keberatan atau takut, kuharap kau mengajakku ke mana kau akan pergi!"
"Lalu urusan dengan Datuk Kala Sutera"!"
"Walau sebenarnya aku takut, tapi aku akan beranikan diri untuk mengambil alih
urusan menakutkan itu! Asal... Kau tidak ketakutan untuk mengajakku ikut serta
ke mana kau akan pergi... Jika tidak,
terpaksa aku cuci tangan!"
Pendekar 131 menghela napas panjang. "Aduh....
Daripada akhirnya aku dihadang urusan yang tak ada
juntrungannya ini, lebih baik kuturuti saja permintaannya. Siapa tahu pula dia
nantinya bisa sedikit
membantu dalam urusanku!"
Setelah membatin begitu, Joko angkat suara. "Baiklah... Aku akan mengajakmu ikut
serta! Tapi kuharap
kau nantinya tidak takut memberi jawaban pada Datuk Kala Sutera!"
"Kalau bersamamu, aku yakin tidak takut memberi
jawaban pada siapa saja!"
"Mengapa begitu"!"
"Jangan bertanya! Aku takut memberi keterangan!"
"Busyet! Jawabannya balik lagi!" gerutu murid Pendeta Sinting dalam hati. Lalu
berkata. "Aku hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai! Kau tidak takut berterus terang mengatakan
jika kau tahu tempat itu"!"
"Aku tidak takut berterus terang. Aku memang tahu
lembah itu! Malah aku tidak takut mengatakan jika
kedatanganmu ke lembah itu untuk bertemu dengan
manusia berjuluk Dewa Asap Kayangan! Dan masalahmu adalah urusan janji dengan
seorang gadis!"
Pendekar 131 tersentak kaget. "Hem.... Aku makin
yakin jika manusia satu ini adalah Paduka Seribu Masalah! Aku tidak mengenalnya
sebelum ini. Tapi dia
sudah tahu masalahku...! Apakah dia juga tahu urusan peta di tanganku"!"
Ingat akan urusan itu, mendadak Pendekar 131 teringat pada Hantu Pesolek.
Seketika parasnya berubah
dan perlahan-lahan surutkan langkah seraya membatin. "Belum lama berselang aku
juga bertemu dengan
orang yang sepertinya banyak tahu urusanku.... Namun nyatanya aku tertipu....
Jangan-jangan orang ini
adalah Hantu Pesolek! Bukankah dia takut menunjukkan tampang..."!" Dada Joko
jadi berdebar. "Bagaimana enaknya...?"
Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan
begitu rupa, orang yang duduk di hadapannya perdengarkan suara.
"Sikapmu menunjukkan kau takut dan bimbang!"
"Bukan aku menyinggung. Tapi belum lama berselang aku telah ditipu orang! Dia
seolah-olah tahu banyak urusanku! Lalu memberi petunjuk! Ternyata semua itu
hanyalah muslihatnya saja!"
"Aku takut mendengar ceritamu.... Tapi kuharap
kau tidak takut mendengar ucapanku. Bukankah yang
memuslihatimu adalah seorang pemuda pesolek..."!"
"Hem.... Nyatanya dia tahu...! Jangan-jangan dia
Hantu Pesolek juga!"
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut dan sungkan
mengatakannya. Namun agar tidak ada salah sangka
di antara kita, perlu kujelaskan padamu. Kau tak usah
takut kalau aku adalah orang yang menipumu! Aku
baru kali ini bertemu denganmu.... Tapi jangan lantas
kau memintaku untuk tunjukkan wajah! Hal itu adalah sesuatu yang paling
kutakutkan!"
"Hem.... Kalau begitu kau adalah Paduka Seribu
Masalah!" "Kau tak usah takut. Bersama berlalunya waktu,
kelak kau akan mendapat jawabannya...."
Murid Pendeta Sinting berpikir beberapa saat. Lalu
berkata. "Baiklah.... Sekarang kuharap kau berada di depan!
Kita menuju ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!"
Orang yang duduk di atas tanah gerakkan tangan
kanannya ke udara. Lalu membuat gerakan melambai.
Joko cepat berpaling dengan dahi berkerut. Namun
ketegangannya mereda bahkan sepasang matanya sedikit membelalak tatkala tahu apa
yang dilakukan orang. Bersamaan dengan lambaian tangan kanan orang,
sampan yang terapung di atas aliran sungai bergerak
merapat. Dan belum sampai benar-benar merapat, Joko merasakan deruan angin
halus. Lalu terlihat so-sok
orang berkelebat dengan posisi duduk. Kejap lain
orang yang tadi duduk merangkapkan kaki di atas tanah, telah duduk di atas
sampan! "Sebentar lagi hari akan gelap! Sementara perjalanan masih agak jauh! Kuharap
agar kau tidak membuang-buang waktu!" Orang yang tadi duduk di atas
tanah dan kini telah duduk di atas sampan berkata.
Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat lalu melompat dan tegak di
belakang orang. Bersamaan
itu kedua tangan orang yang duduk rangkapkan kedua
kaki bergerak-gerak. Hebatnya, saat itu juga sampan
berpenumpang dua orang itu bergerak melintasi aliran
sungai! "Apakah kira-kira tiga hari mendatang kita sudah
bisa kembali ke hutan bambu itu"!" Joko ajukan tanya
setelah agak lama sama berdiam diri.
"Aku takut untuk memastikannya! Semua itu tergantung selesai tidaknya
urusanmu...!"
"Kau tahu siapa sebenarnya manusia yang sebutkan diri dengan Datuk Kala Sutera
itu?" Yang ditanya terdiam beberapa lama. Lalu berujar.
"Aku tidak tahu benar. Cuma aku pernah dengar..."
"Apakah betul semua keterangannya"!"
"Dia tidak berkata dusta...! Semua keterangannya
benar!" Pendekar 131 tertawa. "Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi"! Mana ada suami yang bisa tidak ingat lagi siapa nama istrinya"!"
"Anak muda... Jangan dikira aku menakut-nakutimu kalau kukatakan, apa yang ada
di muka bumi ini
segalanya serba mungkin! Malah tidak mustahil pula
kau kelak akan terlibat di dalam urusan Datuk Kala
Sutera!" Mendengar ucapan orang, Joko makin keraskan ta-
wanya hingga sampan yang ditumpanginya bergoyang-goyang. "Aku tahu...," kata
Joko. "Aku telah terlibat dalam urusan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi
keterlibatanku hanya sebatas perjanjianku tadi!"
Kini balik orang yang duduk di hadapan Joko yang
perdengarkan tawa panjang sebelum akhirnya berkata.
"Sekali lagi jangan kira aku menakut-nakutimu,
Anak Muda.... Justru perjanjianmu tadi adalah awal
sebuah urusan panjang!"
"Kau tidak takut menjelaskannya lebih jauh"!"
Yang ditanya geleng kepala. "Sayang sekali, Anak
Muda.... Aku takut menjelaskannya lebih jauh!"
Murid Pendeta Sinting lagi-lagi menghela napas
panjang. Mungkin untuk tenangkan diri akhirnya murid Pendeta Sinting bergumam
sendiri dalam hati.
"Ah.... Mungkin dia hanya menakut-nakutiku...."
Baru saja Joko bergumam tenangkan diri, orang
yang duduk di depannya angkat suara.
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut mengatakannya padamu. Tapi coba kau lihat
dengan seksama.
Apakah kau melihat seseorang di seberang sana"!"
Pendekar 131 segera lepas pandangan ke seberang.
Namun Joko hanya melihat hamparan tanah terbuka
yang banyak ditebari batu-batu. Tidak satu sosok yang
terlihat. "Aku tidak melihat siapa-siapa!"
"Anak muda.... Jangan cepat memutuskan! Coba
kau teliti sekali lagi!"
Dengan enggan Joko pentangkan mata lalu edarkan
pandangan ke hamparan tanah terbuka yang ditebari
batu-batu. Namun hingga matanya pedih mencari-cari,
dia tidak dapat menemukan seseorang.
"Aku tidak melihat siapa-siapa!"
"Hem.... Syukurlah! Mudah-mudahan penglihatan-
mu yang benar!" ujar orang yang duduk rangkapkan
kaki. Lalu gerakkan kedua tangannya beberapa kali
seolah melambai. Saat yang sama sampan yang ditumpangi meluncur deras. Dan
beberapa saat kemudian telah merapat di tepian.
Dua tombak lagi sampan itu menyentuh tepi aliran
sungai, orang yang duduk rangkapkan kaki gerakkan
pantatnya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu sudah duduk di samping sebuah
bongkahan batu.
Murid Pendeta Sinting edarkan pandangan sekali
lagi. Lalu ikut berkelebat dan tegak tidak jauh dari
orang yang duduk di samping bongkahan batu.
Baru saja Joko tegak berdiri, mendadak satu
bayangan berkelebat. Joko tersentak kaget dan cepat
ber-paling. Memandang ke depan, dia melihat seorang
gadis berparas cantik berambut panjang dikelabang
dua. Sepasang matanya bulat dan tajam. Hidungnya
mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. Gadis
ini mengenakan pakaian berwarna ungu.
"Harap sebutkan nama dan tujuan!" Mendadak si
gadis perdengarkan bentakan.
Joko memandang pulang balik ke arah orang yang
duduk di tanah rangkapkan kedua kaki. Lalu ke arah
gadis cantik berbaju ungu di hadapannya.
"Hem.... Penglihatan orang yang duduk itu sangat
luar biasa sekali! Aku yakin dia tadi tidak mengangkat
wajah melihat ke tempat ini. Tapi nyatanya dia bisa
mengetahui keberadaan orang...."
Sementara murid Pendeta Sinting membatin begitu,
gadis cantik berbaju ungu di hadapannya arahkan
pandangannya pada Joko sesaat. Lalu pada orang yang
duduk rangkapkan kaki.
Dahi si gadis berkerut. Sikap orang yang tidak mengangkat wajahnya membuat gadis
ini mulai terlihat
agak jengkel, apalagi murid Pendeta Sinting sendiri tidak segera menjawab
pertanyaannya. Hingga seraya
arahkan pandangan ke jurusan lain dia buka mulut
lagi. "Kalian tidak ada yang mau sebutkan nama dan tujuan! Harap segera angkat kaki
dari tempat ini!"
"Tunggu! Tunggu!" tahan Joko sambil pulang balikkan kedua tangan. "Aku Joko...
Joko Sableng!"
Si gadis berpaling menatap pada Joko. Lalu melirik
pada orang yang duduk rangkapkan kaki.
Lirikan mata si gadis membuat Joko maklum. Dia
cepat-cepat angkat suara. "Dia adalah sahabatku. Namanya..." Joko kebingungan
sebutkan nama. "Anak muda bernama Joko Sableng..." Orang yang
duduk rangkapkan kaki perdengarkan suara. "Jangan
sebutkan nama. Aku takut mendengarnya!"
Gadis berbaju ungu mendelik. Kemarahan jelas
membayang di wajahnya. Joko tahu gelagat. Dia cepat
mendekati si gadis. Namun belum sampai mendapat
dua langkah, si gadis sudah membentak.
"Tetap di tempatmu!"
Pendekar 131 batalkan niat. Lalu mendahului buka
suara sebelum si gadis angkat bicara.
"Harap maafkan.... Jangankan kau. Aku sebagai
sahabatnya saja belum tahu siapa dia sebenarnya!"
Joko sunggingkan senyum. Namun senyumnya segera
diputus ketika mendapati si gadis memberengut dan
palingkan wajah sambil berucap ketus.
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap segera tinggalkan tempat ini!"
"Kami memang akan segera pergi.... Tujuan kami
memang bukan tempat ini! Tapi.... Aku tadi telah sebutkan nama padamu. Sebelum
aku pergi, kuharap
kau mau juga perkenalkan diri!"
"Aku Dayang Tiga Purnama!"
"Hem.... Melihat wajah gadis ini, membuatku teringat pada beberapa orang gadis
yang belum lama berselang sempat kutemui!" Tanpa sadar terbayang paras
wajah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera, dan dua gadis berbaju
merah dan kuning yang
sempat dijumpainya di pinggiran sungai saat bersitegang dengan Bidadari Pedang
Cinta dan bukan lain
adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala. "Aku telah sebutkan nama. Kuharap kalian segera
angkat kaki!" Gadis yang baru sebutkan nama Dayang
Tiga Purnama berucap agak lantang tanpa memandang.
"Bagaimana"! Kau tidak takut teruskan perjalanan"!" Joko bertanya pada orang
yang duduk rangkapkan kaki.
"Anak muda.... Kalau memang tidak ada hal lain
yang akan kau bicarakan dengan gadis cantik itu, aku
tidak takut untuk teruskan ikut bersamamu!"
"Dayang Tiga Purnama.... Kau tinggal di tempat
ini"!"
"Itu urusanku! Aku tak ingin memberi keterangan
apa-apa! Yang kuinginkan kalian segera angkat kaki
teruskan perjalanan!"
"Kau ada hubungan dengan gadis bernama Bidadari
Delapan Samudera"!" Joko ajukan tanya tidak pedulikan ucapan Dayang Tiga
Purnama. "Kau dengar! Aku tak ingin memberi keterangan
apa-apa!" "Kenal dengan Paduka Seribu Masalah"!"
Dayang Tiga Purnama terlengak. Diam-diam dalam
hati gadis ini membatin. "Dari parasnya, sepertinya dia
bukan asli orang negeri ini! Siapa dia sebenarnya"!
Mengapa bertanya tentang Paduka Seribu Masalah"!
Apakah dia juga tengah mencari Paduka Seribu Masalah..."!"
"Tampaknya kau memang tidak ingin memberi keterangan.... Aku tidak memaksa!"
Joko tersenyum lalu
gerakkan tangan menyentuh pundak orang yang duduk rangkapkan kaki memberi
isyarat. Saat lain murid
Pendeta Sinting melangkah.
"Tunggu!" Dayang Tiga Purnama berseru. Namun
Joko seolah tidak mendengar seruan orang. Dia teruskan langkah. Sementara orang
yang duduk rangkapkan kaki tidak bergerak dari tempatnya semula.
"Hai! Tunggu!" Dayang Tiga Purnama berteriak sekali lagi seraya melompat dan
tegak dengan sikap
menghadang di depan Pendekar 131.
*** TUJUH PENDEKAR 131 hentikan langkah. Memandang si
gadis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun sejauh ini murid Pendeta
Sinting masih kancingkan mulut.
Dayang Tiga Purnama sendiri sedikit merasa jengah
dipandangi orang begitu rupa hingga dia cepat alihkan
pandangan. Dalam hati dia berkata. "Apakah aku layak bertanya padanya"! Dia
seperti orang asing. Mungkinkah dia tahu tentang Paduka Seribu Masalah"!
Ah...." "Mau utarakan sesuatu"!" Akhirnya Joko buka suara.
Dayang Tiga Purnama menoleh. Mulutnya sudah
bergerak membuka. Namun entah mengapa, menda-
dak gadis cantik ini cepat-cepat katupkan kembali mulutnya seraya gelengkan
kepala. Saat lain dia putar diri
hendak melangkah.
"Dari sikapnya, jelas dia ingin mengutarakan sesuatu. Tapi jelas pula dia merasa
bimbang...." Joko membatin. Lalu berkata.
"Aku tahu. Kau bimbang hendak ucapkan sesuatu.
Harap tidak berprasangka buruk. Kita memang baru
bertemu. Tapi tak ada salahnya kalau kau ingin mengutarakan sesuatu padaku.
Siapa tahu kita bisa saling
membantu...!"
Dayang Tiga Purnama urungkan niat langkahkan
kaki. Lalu perlahan-lahan putar diri lagi menghadap
murid Pendeta Sinting. Tapi lagi-lagi gadis cantik ini
batalkan niat untuk berucap meski mulutnya telah
bergerak membuka.
Pendekar 131 tersenyum. "Dayang Tiga Purnama...."
Hanya sampai di situ Joko berucap. Karena si gadis telah perdengarkan suara.
"Tidak keberatan mengatakan siapa kau sebenarnya"!"
"Hem.... Ucapanmu membuktikan kalau kau masih
menaruh sak wasangka padaku.... Tapi tak apa.... Seperti kukatakan tadi. Aku
Joko Sableng!"
"Bukan itu maksud pertanyaanku...."
Murid Pendeta Sinting maklum akan maksud
Dayang Tiga Purnama. Seraya anggukkan kepala dia
berkata. "Aku memang bukan orang negeri ini. Aku berasal
dari negeri jauh di seberang laut!"
"Datang jauh-jauh dari negeri seberang laut. Pasti
kau punya tujuan sangat penting hingga sampai di negeri ini...."
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Ceritanya sangat
panjang. Yang jelas kalaupun aku sampai menginjakkan kaki di negeri ini, itu
semua bukan kusengaja.
Mungkin hanya takdir yang membawaku.... Tapi aku
tidak kecewa dengan suratan yang harus kujalani. Karena aku selalu bertemu
dengan gadis-gadis cantik sepertimu...."
Wajah Dayang Tiga Purnama bersemu merah. Namun kali ini gadis cantik berbaju
ungu itu tidak berusaha palingkan wajah. Sebaliknya memandang tajam
pada bola mata murid Pendeta Sinting. Hingga untuk
beberapa lama kedua orang ini saling berpandangan.
"Aku tadi mendengar kau sebutkan nama seorang
gadis.... Kau tengah dalam perjalanan mencarinya"!"
tanya Dayang Tiga Purnama dengan suara sedikit direndahkan.
Joko menjawab dengan gelengkan kepala seraya berucap. "Di negeri ini, aku sempat
bertemu dengan beberapa orang gadis. Di antaranya adalah gadis bernama Bidadari
Delapan Samudera. Kalau aku tadi menyebutnya, semata-mata karena aku melihat
kemiripan antara kau dengan Bidadari Delapan Samudera....
Kau mengenalnya"!"
Dayang Tiga Purnama tersenyum dengan menggeleng. Lalu berujar.
"Kau tadi juga sebut-sebut orang berjuluk Paduka
Seribu Masalah.... Kau mengenalnya"!"
Joko terdiam beberapa lama. Tanpa sadar matanya
bergerak memandang ke arah orang yang masih duduk
rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu. "Aku belum bisa memastikan apakah dia
manusianya yang
bernama Paduka Seribu Masalah meski dari sikap dan
ucapannya aku menduga dia adalah Paduka Seribu
Masalah!" Joko alihkan pandangan pada Dayang Tiga
Purnama. "Dari ucapan pertanyaannya, jangan-jangan
gadis ini tengah mencari Paduka Seribu Masalah....
Hem.... Bagaimana aku harus menjawab"!"
Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Dayang Tiga Purnama ulangi pertanyaan. "Kau mengenal Paduka Seribu Masalah"!"
"Dia adalah sahabatku...."
Dayang Tiga Purnama terkejut. "Dia baru saja mengaku sebagai orang dari negeri
seberang laut. Bagaimana mungkin dia juga mengaku sebagai sahabat Paduka Seribu
Masalah"! Bukankah Paduka Seribu Masalah adalah tokoh negeri ini"!"
"Boleh aku bertanya. Sejak kapan kau berada di tanah Tibet"!" tanya Dayang Tiga
Purnama. "Memang belum lama. Tapi mungkin nasib baik
yang membawaku bisa bersahabat dengan beberapa
orang di negeri ini! Sebagai orang negeri ini, tentu kau
juga mengenal Paduka Seribu Masalah. Benar..."!" Joko balik bertanya untuk
meyakinkan dugaan apakah
orang yang tengah duduk rangkapkan kaki di sebelah
bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah.
Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Joko jadi bertanya-tanya dalam
hati. "Hem.... Gadis ini
sepertinya tidak mengenali orang yang duduk rangkapkan kaki itu. Jangan-jangan
orang itu bukan Paduka Seribu Masalah... Kalau dia Paduka Seribu Masalah, tentu
gadis ini mengenalinya sejak pertama melihat. Tapi mengapa Datuk Kala Sutera
menduga orang itu adalah Paduka Seribu Masalah"! Mana di antara
keduanya yang benar..."!"
"Aku memang orang negeri ini..." Akhirnya Dayang
Tiga Purnama berkata setelah agak lama terdiam. "Tapi
nyatanya kau lebih beruntung..."
"Maksudmu..."!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Kau belum lama berada di negeri ini. Tapi kau te-
lah bersahabat dengan Paduka Seribu Masalah! Sementara aku melihat pun belum
pernah!" "Hem.... Sepertinya kau punya urusan dengan Paduka Seribu Masalah!" Joko
langsung menebak setelah
menyimak ucapan-ucapan Dayang Tiga Purnama.
"Sebenarnya aku tidak punya urusan apa-apa dengan Paduka Seribu Masalah.
Bagaimana aku bisa
punya urusan kalau bertemu pun belum pernah"!"
"Belum pernah bertemu bukan satu jaminan kalau
orang itu tidak punya urusan..."
"Hem... Ucapannya benar juga... Apakah aku harus
bertanya padanya"! Apakah ucapannya bisa dipercaya"!" Dayang Tiga Purnama
dilanda kebimbangan.
Lalu bertanya. "Benar kau adalah sahabat Paduka Seribu Masalah"!"
"Aku tidak mau membuka urusan dengan orang
dengan mengaku-aku dan berkata dusta!" kata Joko
setelah yakin kalau orang yang duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu
adalah Paduka Seribu
Masalah. "Mau mengatakan padaku di mana aku bisa bertemu dengannya"!"
"Walau kau belum pernah bertemu, mungkin kau
sudah pernah dengar. Mencari Paduka Seribu Masalah
adalah urusan gampang-gampang sulit! Tidak dicari
mendadak saja nongol, tapi kalau tengah dicari dia
seolah lenyap ditelan bumi!" Joko hentikan ucapannya
sejenak. Lalu menyambung.
"Kalau kau percaya padaku, katakan saja apa urusanmu dengan Paduka Seribu
Masalah! Kalau nanti
aku bertemu dengannya, aku bisa mengutarakan!"
Dayang Tiga Purnama menghela napas. Lalu tengadahkan sedikit kepalanya. Jelas
wajahnya mem- bayangkan perasaan gelisah dan galau.
"Aku bukan tak percaya padamu...," akhirnya
Dayang Tiga Purnama berucap. "Tapi aku tidak bisa
mengutarakan maksud selain pada Paduka Seribu Masalah!"
"Itu sama saja kau belum percaya padaku! Tapi terserah padamu.... Aku hanya
menawarkan...!"
"Terima kasih.... Mungkin aku masih butuh waktu!
Kalau kelak aku gagal, tidak mustahil aku terpaksa
akan mengutarakan maksudku padamu.... Sekarang
kau hendak ke mana"!" Dayang Tiga Purnama alihkan
pembicaraan. "Benar ini tempat yang harus dilewati kalau ingin
sampai Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai"!"
"Kalau kau ingin ke lembah itu, kau telah melewati
jalan yang benar!"
"Terima kasih.... Aku harus segera pergi!" kata Joko
seraya arahkan pandangan pada orang yang duduk
rangkapkan kaki. Lalu berseru.
"Sahabatku.... Bagaimana sekarang"! Kau akan terus bersamaku atau tetap berada
di sini"!"
"Kau jangan menakut-nakuti aku dengan ucapan
seperti itu! Di antara kita sudah terjadi sepakat! Kau
pasti takut pergi tanpa aku, begitu juga sebaliknya!
Aku tidak akan berani tanpa bersamamu!"
Mendengar ucapan orang, Joko cepat putar diri.
Namun sebelum melangkah dia masih buka suara lagi.
"Dayang Tiga Purnama.... Kau benar-benar tidak
mau mengutarakan urusanmu dengan Paduka Seribu
Masalah"!"
Yang ditanya berpaling pada orang yang duduk
rangkapkan kaki. "Ah.... Sebaiknya aku utarakan saja.
Sepertinya dia pemuda baik-baik.... Tapi aku tidak ingin orang yang duduk itu
mendengarnya pula meski
dia adalah sahabat pemuda itu!"
Karena tidak ada jawaban, murid Pendeta Sinting
berpaling. Saat yang sama Dayang Tiga Purnama alihkan pandangan matanya dari
orang yang duduk rangkapkan kaki. Lalu melangkah mendekati Joko dan
berkata pelan. "Aku akan mengatakannya padamu. Tapi..." Si gadis tidak lanjutkan ucapan. Tapi
melirik pada orang
yang duduk rangkapkan kaki.
Murid Pendeta Sinting tampaknya dapat membaca
gelagat. "Kau tak ingin ada orang lain yang mendengarnya"!"
Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala sambil
berkata setengah berbisik. "Bukan aku tak percaya
dengan sahabatmu itu. Tapi rasanya tak enak kalau
urusanku diketahui banyak orang! Kuharap kau mengerti..."
Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melangkah. Joko tersenyum. Tanpa pikir
panjang lagi dia
segera mengikuti di belakang si gadis.
Di tempat yang agak jauh dari orang yang duduk
rangkapkan kaki, Dayang Tiga Purnama berhenti. Lalu
berucap begitu Joko berhenti tidak jauh di belakangnya.
"Sebelum kukatakan, aku minta padamu. Harap
apa yang kukatakan nanti tidak kau bicarakan pada
siapa saja selain dengan Paduka Seribu Masalah!"
"Aku akan pegang janji! Sekarang katakanlah...."
"Selama ini aku hidup bersama seorang Eyang. Pada mulanya memang seperti tidak
ada hal yang perlu
diselesaikan. Namun begitu aku agak besar, mulai timbul pertanyaan... Karena
selama itu aku belum pernah
mengenal siapa orangtuaku. Aku mulai sering menanyakan perihal kedua orangtuaku
pada Eyang. Namun
jawaban yang kuperoleh selama ini tidak membuatku
puas. Sepertinya Eyang menyembunyikan sesuatu padaku..." Dayang Tiga Purnama
hentikan keterangannya. Wajahnya berubah sedikit murung. Sementara
murid Pendeta Sinting menyimak keterangan si gadis
dengan seksama tanpa buka mulut.
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gelagat Eyang membuatku penasaran. Hingga tak
henti-hentinya aku terus bertanya padanya. Tapi jawaban yang kuterima masih saja
belum membuatku
puas. Dan sikap Eyang membuatku makin yakin kalau
Eyang menyembunyikan sesuatu. Hingga pada akhirnya aku memaksa Eyang untuk
mengatakan apa sebenarnya yang disembunyikan padaku...."
"Dia mau mengatakannya"!" Joko bertanya.
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. "Dia tetap tidak mau mengatakannya! Hingga
aku mengancam akan pergi meninggalkan dia kalau dia tetap tidak mau
membuka diri!"
"Lalu..."!"
"Akhirnya Eyang memberi penjelasan. Bahwa satusatunya orang yang bisa memberi
keterangan adalah
Paduka Seribu Masalah! Tapi jawaban itu belum membuatku tenang. Aku bertanya
mengapa harus Paduka
Seribu Masalah yang memberi keterangan! Eyang tidak
mau menjelaskan. Dia hanya berpesan, kalau aku ingin tahu, aku harus mencari
Paduka Seribu Masalah!"
Untuk kedua kalinya Dayang Tiga Purnama hentikan ucapannya. Setelah menghela
napas dan arahkan
pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki
di seberang sana, gadis ini buka mulut lagi.
"Aku bertanya pada Eyang di mana bisa kutemui
Paduka Seribu Masalah. Jawaban yang kuterima hampir mirip dengan ucapanmu tadi.
Mencari Paduka Seribu Masalah adalah urusan gampang-gampang susah!
Dia tidak bisa ditentukan di mana beradanya. Lebih
dari Itu aku tidak memperoleh keterangan bagaimana
manusia yang bernama Paduka Seribu Masalah!"
"Hem.... Lalu mengapa kau berada di tempat ini"!"
"Daerah ini adalah tempat tinggalku. Di sebelah sana ada sebuah goa agak besar.
Di sanalah selama ini
aku hidup bersama Eyang...." Dayang Tiga Purnama
arahkan telunjuknya pada satu jurusan.
"Joko.... Seandainya kau nanti bertemu dengan Paduka Seribu Masalah, kuharap kau
mau membantuku.
Kau telah tahu di mana tempat tinggalku...."
"Kau yakin Paduka Seribu Masalah dapat membuka
rahasia hidupmu"!"
"Pada mulanya aku memang heran dengan keterangan Eyang. Tapi setelah aku mencari
keterangan, aku mendapatkan kabar, jika manusia yang bergelar
Paduka Seribu Masalah adalah seorang yang memiliki
kepandaian aneh. Dia tahu seribu masalah orang
meski orang yang belum pernah dikenalnya! Tapi aku
mendapatkan kesulitan untuk mencarinya meski aku
telah berusaha!"
Pendekar 131 menghela napas panjang seakan ikut
merasakan kesenduan Dayang Tiga Purnama. Lalu
berkata pelan. "Masih ada yang hendak kau sampaikan"!"
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. "Aku hanya
meminta kau tidak mengatakan apa yang baru kuutarakan pada orang lain selain
Paduka Seribu Masalah..."
Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu arahkan
pandang matanya pada orang yang duduk rangkapkan
kedua kaki. "Dayang Tiga Purnama... Aku harus segera teruskan
perjalanan. Kalau boleh tahu, apakah aku masih me-
merlukan sampan untuk melintasi enam sungai berikutnya"!"
"Kau tidak perlu lagi sampan itu. Kau memang akan
melintasi enam sungai lagi sebelum mencapai lembah.
Tapi sungai itu bisa dilewati dengan melompat-lompat.
Karena hanya aliran sungai kecil dan banyak batubatu yang dapat kita buat
loncatan hingga sampai ke
tepian...."
"Terima kasih.... Sekarang aku harus pergi. Mudahmudahan aku segera memperoleh
keterangan yang
kau perlukan...."
Habis berkata begitu, Joko melangkah kembali ke
arah orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru
mendapat enam langkah dia ingat sesuatu. Seraya palingkan wajah, Joko bertanya.
"Siapa nama eyangmu..."!"
"Kita nanti mungkin masih bertemu lagi. Kelak aku
akan memberitahukan padamu! Selamat jalan...."
Joko tersenyum, lalu berpaling lagi pada orang yang
duduk rangkapkan kaki. Namun baru saja kepalanya
bergerak, sosok yang duduk rangkapkan kaki telah
membuat gerakan. Sosoknya melesat dengan tetap dalam posisi duduk dan saat lain
sudah berada jauh di
sana! "Hai! Tunggu...!" Joko berteriak, lalu berlari menyusul.
Dayang Tiga Purnama pandangi sosok murid Pendeta Sinting. Saat itulah mendadak
dia sadar. "Ah...
Mengapa aku cepat percaya pada pemuda itu..."! Padahal aku belum kenal betul
siapa dia... Tapi... Mudah-mudahan saja semua keterangannya benar...."
Dayang Tiga Purnama terus memperhatikan hingga
sosok murid Pendeta Sinting dan orang yang tadi duduk rangkapkan kaki lenyap di
ujung sana. Lalu putar
Kisah Sepasang Rajawali 32 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Manusia Harimau Marah 5
"Aneh.... Mengapa dia berkata..." Padahal seandainya
dia tidak perdengarkan suara tentu aku tak tahu keberadaannya di tempat ini...."
Murid Pendeta Sinting berpaling. Memandang ke
depan, dia tidak melihat siapa-siapa. Hanya rimbun
gerombolan rumpun bambu. Joko putar pandangan.
Tapi belum juga melihat adanya seseorang.
"Siapa yang bicara"!" Pendekar 131 berteriak karena tidak juga melihat adanya
orang setelah agak lama
edarkan pandangan berkeliling.
"Ah.... Seandainya aku tahu kau tidak melihatku....
Tentu aku tidak akan bersuara...."
Pendekar 131 Joko Sableng menoleh lagi ke arah
mana telinganya mendengar suara yang baru saja didengar. Dan mungkin takut orang
sudah melakukan
gerakan sebelum dia gerakkan kepala, Joko sengaja
berpaling sebelum suara orang selesai.
"Astaga! Kalau saja dia tidak bersuara, siapa pun
juga pasti tidak menduga kalau itu adalah manusia!"
Joko mendelik memperhatikan satu gerumbulan rumpun bambu yang di sebelahnya
terdapat satu gundukan tanah agak tinggi di mana terlihat satu sosok tubuh duduk
dengan kedua kaki ditekuk dan kepalanya
dibenamkan dalam-dalam di belakang tekukan kedua
kakinya. Sementara kedua tangannya merangkap erat
pada kedua kakinya.
Beberapa saat murid Pendeta Sinting memperhatikan. "Hem.... Aku harus hati-hati.
Aku tak mau tertipu
untuk kedua kalinya...." Joko membatin ingat akan
penipuan yang dilakukan Hantu Pesolek ketika berada
di lembah berbatu cadas.
"Harap tidak sungkan tunjukkan muka...." Pendekar 131 berujar tanpa membuat
gerakan mendekati
sosok tubuh yang sembunyikan tampang di belakang
tekukan kedua kakinya.
"Harap tidak salah duga. Aku bukannya sungkan
tunjukkan tampang. Tapi aku takut!"
Joko kerutkan dahi. Lalu berkata. "Takut pada siapa"!"
"Apa kau melihat orang lain di tempat ini..."!" orang
yang duduk di atas gundukan tanah balik bertanya.
Pendekar 131 putar pandangan berkeliling. Yakin
tidak ada orang lain, dia baru sadar apa maksud ucapan orang. Hingga kemudian
dia berkata. "Rasanya kita belum pernah bertemu. Adalah hal
aneh kalau kau takut padaku!"
"Kita memang belum pernah bertemu. Tapi begitulah adanya! Aku takut tunjukkan
tampang padamu!
Jangan bertanya mengapa.... Penjelasan yang akan
kuberikan malah akan membuatmu tak mengerti. Lagi
pula hal itu tak mungkin kulakukan. Tunjukkan tampang saja aku takut, mana aku
berani memberi penjelasan!"
"Bukan saja sikapnya yang aneh. Ucapannya juga
membingungkan! Siapa dia sebenarnya"! Jangan-jangan dia sengaja menghadangku di
hutan ini! Buktinya, dia sengaja memberitahukan keberadaannya meski sebenarnya
aku tadi tidak bisa merasakan kehadirannya di tempat ini!"
Murid Pendeta Sinting memperhatikan orang sekali
lagi. "Hem.... Daripada berurusan dengan orang yang
tak kukenal dan bersikap aneh, lebih baik aku teruskan perjalanan ini!"
Tanpa buka suara lagi, Pendekar 131 balikkan tubuh lalu melangkah teruskan
perjalanan. Namun baru
saja mendapat tiga tindak, orang di atas tanah agak
tinggi sudah perdengarkan suara lagi.
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk bertanya. Tapi apa boleh buat. Mungkin
baru padamu aku beranikan diri untuk ajukan tanya!"
Murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Lalu putar
diri lagi dan berkata dalam hati. "Dia sembunyikan wajah di belakang rangkapan
kedua kakinya. Tapi nyatanya dia bisa melihatku.... Hem...."
"Apa yang akan kau tanyakan"!" Akhirnya Joko
bertanya. "Ini adalah hutan perbatasan menuju sebuah lembah yang aku takut untuk
mengatakan lembah apa
namanya. Apa kau hendak ke lembah itu"!"
Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya memperhatikan orang sekali lagi dengan
lebih seksama. Dia mulai curiga dengan pertanyaan orang. Hingga ia memutuskan
untuk tidak mau mengatakan terus terang.
"Sebenarnya aku tak enak mengatakannya padamu.
Tapi lebih tidak enak lagi kalau aku tidak memberi
penjelasan padamu! Sudah beberapa hari ini perutku
laksana diaduk-aduk. Sudah beberapa tombak ku telusuri, tapi aku tidak menemukan
tempat yang layak
untuk tumpahkan adukan perutku Ini. Kebetulan di
jalan tadi aku diberi tahu orang jika di sebelah hutan
bambu ini ada sebuah aliran sungai! Mudah-mudahan
petunjuk orang tadi benar! Rasanya aku sudah tak betah lagi untuk bertahan! Apa
memang benar di sebelah
hutan bambu ini ada sebuah aliran sungai"!"
"Anak muda.... Sayang sekali aku tidak bisa memberi penjelasan. Bukan karena
apa. Aku takut untuk
memberi tahu. Kau paham maksudku, bukan"!"
"Bagaimana aku bisa paham maksudmu"! Kau takut tunjukkan tampang! Takut memberi
penjelasan!"
"Maaf, Anak Muda.... Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku takut...."
"Baiklah! Aku tidak akan minta penjelasan apa-apa
padamu. Tapi kuharap kau tidak takut memberitahukan siapa nama atau mungkin
gelarmu!" Orang yang wajahnya disembunyikan di belakang
rangkapan kedua tekukan kakinya perdengarkan tawa
panjang bergelak hingga rangkapan kedua kakinya
berguncang. Lalu terdengar suaranya.
"Jangan bertanya siapa nama atau gelarku, Anak
Muda! Bukan saja tak ada gunanya bagimu, lebih dari
itu aku takut untuk mengatakannya!"
"Hem.... Kalau aku terus bicara pada orang ini, aku
tak akan sampai tujuan!" gumam Joko. Lalu tanpa bu-
ka mulut lagi dia putar diri dan melangkah teruskan
perjalanan. Mendapat sepuluh langkah, Pendekar 131 cepat palingkan wajah berharap orang di
atas tanah tidak
menduga dan dia bisa melihat tampang orang.
Namun murid Pendeta Sinting jadi tercengang sendiri. Sepasang matanya
dijerengkan besar-besar dan
tubuhnya kembali diputar balik menghadapi tempat
mana tadi orang duduk di atas tanah.
"Aneh.... Jangan-jangan dia bukan manusia!" desis
Joko dengan kuduk merinding. Karena ternyata orang
yang tadi duduk dengan rangkapkan kaki sudah tidak
kelihatan lagi sosoknya!
Mungkin untuk yakinkan diri, murid Pendeta Sinting melompat ke arah gundukan
tanah agak tinggi.
Lalu pentangkan mata dan memandang liar berkeliling.
Sepasang telinganya dipasang baik-baik. Tapi sejauh
Ini dia tidak bisa menyiasati di mana keberadaan
orang. "Hem.... Mudah-mudahan ini bukan satu isyarat
buruk!" Akhirnya Joko bergumam sendiri lalu berkelebat lanjutkan perjalanan.
Setelah berlari kira-kira lima puluh tombak, murid
Pendeta Sinting sampai di ujung hutan bambu. Dia
menghela napas lega. Bukan saja karena tidak menemukan halangan tapi juga karena
dia menemukan aliran sungai.
"Hem.... Aku butuh alat untuk menyeberang! Tidak
mungkin aku berenang, apalagi aku belum kenal situasi daerah Ini!" Joko berpikir
setelah menghitung jarak
lebarnya sungai yang harus dilalui.
"Aku harus membuat rakit! Bukan tak mungkin
enam sungai lainnya juga butuh alat untuk menyeberanginya!"
Pendekar 131 sudah putar diri hendak kembali ke
hutan bambu untuk membuat rakit. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba
dari tikungan sungai
di ujung sana meluncur sebuah sampan.
Ada keanehan. Begitu sampan bergerak menelikung, tiba-tiba luncurannya terhenti.
Sampan itu diam
tak bergerak di atas aliran sungai. Dan murid Pendeta
Sinting tidak melihat adanya orang yang mengemudikan sampan!
Joko memperhatikan beberapa lama. Dia sudah
memutuskan untuk tidak hiraukan keanehan yang dilihat. Namun begitu dia hendak
teruskan niat untuk
kembali ke hutan dan membuat rakit, mendadak sampan di tikungan sungai sana
terlonjak ke atas laksana
disapu gelombang dahsyat, padahal tidak terlihat adanya sapuan gelombang yang
menghantam! "Busyet! Jangan-jangan hutan ini dihuni bukan
bangsa manusia! Tapi aku harus menyelidik! Daripada
terjadi urusan di sana nanti, lebih baik baik urusan itu
terjadi di sini!"
Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke arah
tikungan sungai. Namun dia
tidak mau bertindak ayal. Seraya berkelebat dia kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Begitu tegak di tempat yang lurus dengan sampan
yang masih bergoyang-goyang di atas aliran sungai,
Joko cepat edarkan pandangan.
"Sebenarnya aku takut menegurmu, Anak Muda!
Tapi apa hendak dikata. Tegakmu menghalangi pandanganku...!" Mendadak satu suara
terdengar. Saking kagetnya, hampir saja Joko terlonjak. Dia
cepat berpaling ke belakang. Kontan saja sepasang matanya mendelik.
*** LIMA HANYA beberapa langkah di belakang Pendekar 131
terlihat satu sosok tubuh duduk di atas tanah di samping sebuah bongkahan batu
cadas dengan kedua kaki
dirangkapkan dan ditekuk. Sementara wajahnya dibenamkan dalam-dalam di belakang
rangkapan kedua
kakinya, hingga raut wajahnya tidak kelihatan.
"Dia lagi!" desis murid Pendeta Sinting. "Bagaimana
tahu-tahu sudah duduk di sini"! Anehnya lagi, aku tidak bisa menyiasati
keberadaannya! Dan apa maksud
ucapannya tegakku menghalangi pandangannya"! Bukankah dia sengaja sembunyikan
wajah di belakang
kedua kakinya"! Bagaimana dia bisa bilang pandangannya terhalang..."! Orang
aneh! Apa yang dipandangnya"!"
Pendekar 131 putar kepala lurus ke depan. "Hem...
Benda yang lurus dengannya adalah sampan itu! Jadi... Gerakan sampan itu pasti
karena ulahnya! Tapi
apa maksudnya"! Untuk mengundang kepenasaranku
dan agar aku mendekat kemari"!"
Baru saja Joko membatin begitu, orang yang duduk
dengan sembunyikan wajah di belakang rangkapan
kedua kakinya perdengarkan suara.
"Anak muda! Walau aku takut bertanya, tapi kali ini
terpaksa aku memberanikan diri! Bukankah kau tadi
mengatakan hendak menumpahkan adukan perutmu"!
Tapi...." Belum sampai orang lanjutkan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah menyahut.
"Harap jangan banyak bertanya.... Aku takut menjawabnya!" Murid Pendeta Sinting
sengaja mengikuti logat orang yang duduk di atas tanah.
Mendengar sahutan Joko, orang yang duduk di atas
tanah perdengarkan tawa ngakak. Lalu buka rangkapan kedua kakinya dan memandang
ke arah murid Pendeta Sinting dari sela kedua kakinya yang terbuka.
Lalu angkat suara.
"Aku gembira sekaligus takut mendengar sahutanmu! Kau tidak takut mengatakan
siapa kau sebenarnya"!"
"Hem.... Orang macam dia harus dilayani seperti sikapnya!" Joko membatin. Lalu
lorotkan tubuh dan duduk dengan rangkapan kedua kaki. Sementara wajahnya segera
dibenamkan dalam-dalam ke belakang
rangkapan kedua kakinya. Lalu sambuti ucapan
orang. "Aku takut sekaligus senang mendengar kau mau
bertanya! Namun harap jangan bertanya siapa aku....
Bukan saja karena kau belum memperkenalkan diri,
namun lebih dari itu, aku takut untuk menjawabnya...!"
"Ah.... Tampaknya kita manusia yang seirama! Seandainya saja kita tidak sama-
sama merasa takut...."
"Harap tidak mengandai-andai.... Aku takut mendengarnya!" kata Joko seraya buka
sedikit rangkapan
kedua kakinya dan mengintip orang.
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk memberi tahu. Tapi karena kita manusia
yang seirama, aku
harus memberi penjelasan! Aku tidak merasa takut kalau bicara mengandai-
andai...."
"Hem.... Begitu"! Lalu andai-andai apa yang akan
kau katakan"!"
"Seandainya kau seorang pendatang dari negeri asing.... Dan seandainya kau
mencari tahu tentang satu
tempat.... Mungkin aku bisa sedikit membantu!"
Murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Hingga tan-
pa sadar dia angkat kepalanya dan memandang lekatlekat pada sela rangkapan kedua
kaki orang. Namun
terlambat. Karena orang di hadapannya sudah takupkan kembali rangkapan kedua
kakinya. "Sepertinya dia tahu siapa aku dan apa maksud tujuanku.... Hem.... Aku akan coba
bertanya...."
Membatin begitu, akhirnya Joko buka suara bertanya.
"Siapa pun kau adanya. Kau mau membantuku"!"
Yang ditanya tertawa dahulu sebelum menjawab.
"Anak muda.... Harap kau tidak lupa. Aku tadi bicara seandainya! Jadi maukah
nantinya kau mendapat
penjelasan seandainya juga"!"
"Sialan!" gumam Joko seraya beranjak bangkit. "Tak
ada gunanya bicara dengan manusia seperti dia!"
Pendekar 131 kembali arahkan pandang matanya
ke arah sampan yang terapung di atas aliran sungai.
"Mungkin sampan itu miliknya.... Seandainya saja
aku.... Ah. Mengapa aku jadi ikut-ikutan mengandaiandai"! Lebih baik aku membuat
rakit!" Joko sudah putar diri. Tapi sebelum bergerak lebih
jauh, orang yang duduk di atas tanah berucap.
"Seandainya kau tidak takut membawa sampan itu,
silakan kau mengambilnya!"
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampan itu milikmu"!"
"Aku takut mengatakannya!"
Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang.
Tampaknya dia sudah tak sabar menghadapi orang.
Hingga tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak
tinggalkan tempat itu.
"Tunggu, Anak Muda! Aku takut berada sendirian di
tempat ini! Kau tak takut bukan untuk menemaniku
beberapa saat saja"! Tampaknya kita akan kehadiran
seorang tamu...!"
"Aku takut mendengar permintaanmu!" Enak saja
Joko menyahut lalu tanpa pedulikan orang, dia teruskan langkah.
Saat itulah Joko melihat satu bayangan berkelebat
ke arahnya. Joko cepat berpaling ke arah orang yang
duduk di atas tanah. "Hem.... Aku tidak ingin terlibat
urusan dengan orang! Tampaknya orang yang datang
punya masalah dengan dia!"
Pendekar 131 cepat hendak berkelebat. Namun tahu-tahu bayangan yang berkelebat
sudah berada beberapa tombak di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi
Joko cepat lorotkan tubuh. Lalu duduk dengan rangkapkan kedua kaki dan
selinapkan kepala di belakang
kedua kakinya. Dan perlahan-lahan pentangkan mata
mengintip orang dari sela kedua kakinya yang dibuka
sedikit. Murid Pendeta Sinting melihat seorang pemuda berusia tiga puluh tahunan berwajah
tampan bertubuh
kekar. Rambutnya hitam lebat dan panjang sebahu
menutupi sebagian pundak dan wajahnya. Sepasang
matanya tajam dengan alis tebal mencuat serta kumis
tebal melintang. Pemuda ini mengenakan pakaian berupa jubah hitam panjang
sebatas mata kaki melapis
baju berwarna putih.
Untuk beberapa saat si pemuda yang telah tegak
dua belas langkah di hadapan murid Pendeta Sinting
lepas pandangan silih berganti pada Joko dan orang
yang duduk di sebelah samping sana. Jelas pandangannya membayangkan rasa aneh
dan bertanyatanya.
"Di sini ada dua manusia yang bersikap sama.... Sayang, selama ini aku hanya
tahu nama orang dan belum pernah melihatnya! Hem.... Mana di antara kedua
manusia ini yang kucari"!" Si pemuda berjubah hitam
panjang bergumam.
Mungkin merasa kebingungan untuk menentukan
pilihan, akhirnya si pemuda gerakkan kepala pulang
balik seraya berkata.
"Aku datang mencari manusia bergelar Paduka Seribu Masalah! Siapa di antara
kalian berdua yang memiliki gelar Paduka Seribu Masalah"!"
Orang yang duduk di seberang sana perdengarkan
sahutan. "Anak muda berjubah hitam! Harap tidak ajukan
tanya. Aku takut menjawabnya!"
Mendengar sahutan orang, murid Pendeta Sinting
tidak tinggal diam. Dia segera menyambut.
"Anak muda berjubah hitam! Aku juga takut menjawabnya!"
Gerakan kepala si pemuda berjubah hitam terhenti.
Parasnya berubah membesi. Dagunya terangkat mengembung. Saat lain dia ditegakkan
wajah mendongak
lalu berkata. "Aku tanya sekali lagi. Siapa di antara kalian berdua yang bergelar Paduka
Seribu Masalah"!"
Karena khawatir dirinya yang dituduh, Pendekar
131 cepat-cepat berkata.
"Anak muda berjubah hitam! Sebenarnya aku takut
mengatakannya. Tapi daripada terjadi salah paham,
aku beranikan diri untuk mengatakannya. Kalau yang
kau cari adalah Paduka Seribu Masalah, bukan aku
orangnya...!"
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat pemuda
berjubah hitam segera berpaling ke arah orang yang
duduk di seberang sana. Namun sebelum pemuda ini
angkat suara, orang yang duduk sudah perdengarkan
suara. "Anak muda berjubah hitam! Aku juga bukan Pa-
duka Seribu Masalah!"
Si pemuda berjubah hitam menyeringai dingin. Dalam hati dia membatin. "Dari ciri
yang kudengar, jelas
mereka berdua memiliki ciri orang yang kucari! Sayang
mereka tidak ada yang mau mengaku! Padahal aku
yakin, salah satu dari mereka adalah Paduka Seribu
Masalah! Aku telah datang jauh-jauh sampai ke tempat ini! Aku harus mendapatkan
jawaban pasti! Bagaimanapun caranya!"
Membatin begitu, akhirnya si pemuda berjubah hitam berucap lagi.
"Baiklah! Aku tidak akan memaksa kalian untuk
mengaku siapa di antara kalian yang Paduka Seribu
Masalah meski aku yakin salah satu di antara kalian
adalah Paduka Seribu Masalah! Aku datang mencari
jawaban! Harap di antara kalian mau menjawab pertanyaanku!"
"Aku senang mendengar kau tidak memaksa.... Tapi
harap tidak kecewa. Bukan saja aku takut mendengar
pertanyaanmu, namun aku juga takut menjawabnya!"
Pendekar 131 menyahut terlebih dahulu.
"Jawabanku sama dengan dia!" Orang yang duduk
di seberang menimpali.
"Hem.... Tampaknya kalian berdua memaksaku untuk bertindak lebih keras!" sambil
berkata begitu, si
pemuda berjubah hitam angkat kedua tangannya.
Tangan kanan diarahkan pada murid Pendeta Sinting,
sementara tangan kiri diluruskan pada orang yang duduk di seberang.
"Tahan dulu, Anak Muda.... Bukan saja aku takut
dengan caramu, tapi kurasa tindakanmu tidak akan
menyelesaikan masalah...!" ujar Joko sambil mengintip
dari sela rangkapan kedua kakinya.
"Benar.... Tindakanmu menakutkanku, Anak Mu-
da.... Padahal...."
Belum sampai orang yang duduk di seberang selesaikan ucapan, si pemuda berjubah
hitam sudah memotong. "Persetan dengan ketakutan kalian! Jika tidak ada
yang mengaku, kalian berdua akan tahu akibatnya!"
Karena tak mau terlibat urusan, Joko segera perdengarkan suara.
"Anak muda berjubah hitam! Seandainya saja kau
mau sebutkan diri, mungkin kami tidak terlalu takut
lagi untuk mengaku dan menjawab pertanyaanmu!"
"Hem.... Baik! Kuturuti permintaanmu!" kata pemuda berjubah hitam sambil
memandang tajam pada sosok Pendekar 131. "Aku adalah Datuk Kala Sutera!"
"Pertanyaanmu yang harus kami jawab"!" tanya
murid Pendeta Sinting.
"Selama hampir lima belas tahun aku mencari jejak
lima orang anakku! Tapi sejauh ini aku gagal menemukannya! Aku butuh jawaban, di
mana kira-kira kelima
anakku itu"!"
"Celaka! Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya"! Aku tidak kenal dengan
pemuda bernama Datuk Kala Sutera itu! Apalagi kelima anaknya.... Kalau sampai aku menjawab asal
kena, pasti dia tahu!
Hem...." Pendekar 131 bergumam dalam hati. Beberapa saat dia terdiam.
"Kau telah tahu siapa aku dan apa pertanyaanku!
Aku butuh keteranganmu!"
"Kalau saja kau tidak takut mengatakannya padaku. Mengapa kau bertanya soal
kelima anakmu padaku"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Paduka Seribu Masalah telah dikenai sebagai manusia yang tahu segala macam
masalah! Tentu tidak
sulit memberi keterangan padaku!"
"Hem.... Begitu"! Seandainya kau tidak merasa takut menjawab pertanyaanku
dahulu. Mungkin...."
"Aku akan jawab pertanyaanmu!" Pemuda berjubah
hitam sudah berkata menukas sebelum Joko sempat
selesaikan ucapannya.
"Kalau kau merasa punya anak, pasti kau memiliki
seorang istri! Kau tidak takut mengatakan siapa istrimu"!"
Pertanyaan Joko membuat si pemuda berjubah hitam yang sebutkan diri sebagai
Datuk Kala Sutera tersentak kaget. Dia tidak segera menjawab pertanyaan.
Sebaliknya tengadahkan wajah dengan kepala menggeleng.
Mendapati sikap Datuk Kala Sutera, murid Pendeta
Sinting cepat berujar.
"Kau takut mengatakan siapa istrimu"!"
"Aku tidak takut mengatakannya! Tapi aku tidak ingat lagi siapa istriku!"
"Aneh.... Bagaimana mungkin seorang suami bisa
lupa pada istrinya"!" kata Joko dalam hati. Lalu berkata.
"Datuk Kala Sutera. Kau tak perlu cemas atau takut. Katakan saja terus terang.
Siapa istrimu!"
"Aku tidak ingat!"
"Hem.... Kau pasti takut mengatakan jika kau sudah memiliki perempuan lain
hingga tidak ingat lagi
pada istri!"
"Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku tidak
memiliki perempuan lain! Dan aku benar-benar tidak
ingat lagi siapa istriku!"
"Bagaimana bisa begitu"!"
"Aku sendiri tak tahu! Yang jelas begitulah adanya!"
"Lalu apakah kau juga tidak ingat siapa nama istrimu"!" tanya Joko.
Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. "Aku
juga tidak ingat lagi siapa nama istriku!"
"Hem.... Lalu apakah kau juga lupa, istrimu seorang
perempuan atau laki-laki"!"
"Aku datang butuh keterangan! Bukan untuk menjawab pertanyaan gila seperti ini!"
Datuk Kala Sutera
membentak. Pendekar 131 tahan tawanya. Lalu buka suara lagi.
"Kau mengatakan mencari kelima anakmu. Kau masih
ingat berapa anak laki-laki dan anak perempuan?"
"Semuanya perempuan!"
"Kau ingat siapa nama mereka"!"
"Mereka belum sempat kuberi nama!"
"Dari keterangan pemuda ini, juga dari ucapan
orang yang duduk di seberang sana yang tahu-tahu bisa menebak tepat siapa
diriku, pasti orang yang duduk
itulah yang bergelar Paduka Seribu Masalah...."
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Datuk Kala Sutera sudah buka suara.
"Aku menunggu keteranganmu!"
"Gawat! Bagaimana ini..."! Jawaban bagaimana
yang harus kukatakan"!"
"Kau dengar ucapanku! Aku juga telah turuti permintaan dan menjawab semua
pertanyaanmu! Jangan
membuat aku tak sabar!" Datuk Kala Sutera kembali
buka mulut setelah ditunggu agak lama murid Pendeta
Sinting tidak juga memberi keterangan.
"Datuk Kala Sutera... Kau kuberi waktu tiga hari..."
"Jahanam! Apa maksudmu"!"
"Seandainya kau tidak lupa siapa nama istrimu,
pasti aku bisa memberi keterangan saat ini juga! Tapi,
karena kau tidak ingat siapa istrimu, aku butuh waktu
untuk menjawab pertanyaanmu! Kembalilah tiga hari
mendatang. Kau akan memperoleh jawaban yang kau
inginkan!"
Datuk Kala Sutera berpikir beberapa saat. Lalu berkata.
"Baik! Aku akan kembali tiga hari mendatang! Tapi
aku perlu jaminan!"
Joko sempat terkesiap. Hampir saja dia angkat kepalanya. Untung dia sadar dan
buru-buru benamkan
lagi wajahnya dalam-dalam ke belakang rangkapan kedua kakinya. Lalu bertanya.
"Datuk Kala Sutera... Kau datang mencari jawaban. Tidak seharusnya kau minta
jaminan segala! Hal
itu membuatku takut... Ini akan mengakibatkan hilangnya konsentrasiku untuk
mencari jawaban atas
pertanyaanmu...."
Datuk Kala Sutera geleng kepala. "Itu urusanmu!
yang jelas kau telah mengucapkan janji! Dan kau tak
usah takut.... Jaminan yang kuminta tidaklah sulit!"
"Seandainya kau tidak takut mengatakan apa jaminan yang kau minta...."
Datuk Kala Sutera memandang dahulu silih berganti pada sosok murid Pendeta
Sinting dan orang
yang duduk di seberang. Lalu berkata.
"Di sini ada dua orang yang bersikap sama. Sejauh
ini belum ada di antara kalian yang mengaku sebagai
paduka Seribu Masalah! Aku tidak mau tertipu...."
"Maksudmu..."!"
"Karena kau yang tadi menjanjikan jawaban padamu, aku ingin tahu bagaimana wajah
di balik rangkapan kedua kakimu!"
"Celaka! Kalau sampai dia dapat mengenaliku, tak
mungkin lagi aku bisa berkelit...." Joko membatin dengan dada berdebar tidak
enak. Datuk Kala Sutera melangkah maju mendekati Pendekar 131. Lalu berkata.
"Angkatlah wajahmu!"
"Aku takut.... Bukan karena...."
"Aku minta kau tunjukkan tampangmu!" Datuk Kala Sutera sudah membentak sebelum
Pendekar 131 sempat teruskan ucapannya.
"Aduh.... Tidak kusangka kalau akan begini akibatnya! Ini akan membuat masalah!"
"Aku minta jaminan yang tidak sulit untuk kau lakukan! Tapi tampaknya kau
keberatan! Ini satu bukti
kalau kau hendak memuslihatiku!"
"Jangan salah sangka... Tidak ada maksud untuk
memuslihatimu. Aku hanya takut dan tidak terbiasa
tunjukkan tampang pada orang... Percayalah! Tiga hari
mendatang kau akan menemuiku di sini dan mendapat jawaban yang kau minta!"
Datuk Kala Sutera geleng kepala. "Kalau kau tidak
mau menuruti jaminan yang kuminta, aku akan menunggumu di sini! Tidak jadi soal
sampai berapa hari!"
"Wah.... Ini makin celaka! Bisa-bisa perjalananku
terhambat! Sialnya mengapa orang di seberang sana
itu tidak juga perdengarkan suara"!"
"Kau tinggal memberi keputusan! Mau tunjukkan
tampang dan aku akan pergi serta kembali lagi tiga hari mendatang, atau kau
tetap akan sembunyikan wajahmu tetapi aku akan menunggu jawabanmu di sini!"
Datuk Kala Sutera angkat suara sambil teruskan tindakan mendekati sosok murid
Pendeta Sinting.
"Daripada cari penyakit, lebih baik kuturuti permintaannya. Begitu dia pergi,
aku akan bertanya pada
orang yang duduk di seberang sana itu tentang jawaban apa kelak yang harus
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukatakan!"
Berpikir sampai di situ akhirnya perlahan-lahan
Pendekar 131 angkat kepalanya dari balik rangkapan
kedua kakinya. Datuk Kala Sutera hentikan langkah. Sepasang matanya dipentang memandang tajam
pada wajah murid
Pendeta Sinting.
"Hem.... Ternyata seorang pemuda! Benarkan dia
Paduka Seribu Masalah"!" Datuk Kala Sutera bimbang.
"Ah.... Itu bukan urusanku! Yang penting tiga hari di
depan dia harus bisa memberi keterangan! Jika sampai
dia berdusta, aku tak segan-segan membuatnya berkalang tanah!"
Habis membatin begitu, Datuk Kala Sutera putar diri setengah lingkaran. "Siapa
pun kau adanya, kau telah mengikat janji denganku! Tiga hari mendatang aku
akan datang menagihnya! Kalau kau berdusta, selembar nyawamu menjadi
jaminannya!"
Datuk Kala Sutera tertawa pendek. Melirik sesaat
pada Pendekar 131 lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu. *** ENAM PENDEKAR 131 cepat tegak berdiri lalu arahkan
pandang matanya pada orang yang duduk di seberang
begitu sosok Datuk Kala Sutera tidak kelihatan lagi.
"Harap kau berkata jujur. Bukankah kau orangnya
yang bergelar Paduka Seribu Masalah"!" Joko ajukan
tanya. "Jangan memaksaku, Anak Muda.... Aku takut
menjawabnya! Apalagi kau minta aku harus bicara jujur!"
"Baik! Salah atau benar dugaanku, yang pasti aku
percaya kau adalah Paduka Seribu Masalah! Sekarang
aku perlu bantuanmu! Tolong katakan padaku, jawa-
ban bagaimana kelak yang harus kukatakan pada Datuk Kala Sutera!"
"Anak muda... Aku benar-benar takut mengatakannya! Ini bukan urusan kecil... Aku
takut terlibat!"
"Hem... Begitu"!" ujar Joko lalu melangkah mendekati orang. "Kalau kau tak mau
membantuku, terpaksa
aku akan melibatkanmu lebih jauh dalam urusan ini!
Aku tahu bagaimana caranya!"
Orang yang duduk perdengarkan gumaman tak jelas. Joko hentikan langkah lima
tindak di hadapan
orang lalu berkata.
"Terus terang saja. Aku tidak punya waktu banyak
berada di tempat ini! Kuharap kau segera memberi keputusan!"
"Anak muda... Seandainya urusan ini kita hadapi
bersama-sama. Mungkin rasa takutku bisa berkurang!"
"Maksudmu..."!"
"Aku takut berada sendirian di tempat ini! Kalau
kau tidak keberatan atau takut, kuharap kau mengajakku ke mana kau akan pergi!"
"Lalu urusan dengan Datuk Kala Sutera"!"
"Walau sebenarnya aku takut, tapi aku akan beranikan diri untuk mengambil alih
urusan menakutkan itu! Asal... Kau tidak ketakutan untuk mengajakku ikut serta
ke mana kau akan pergi... Jika tidak,
terpaksa aku cuci tangan!"
Pendekar 131 menghela napas panjang. "Aduh....
Daripada akhirnya aku dihadang urusan yang tak ada
juntrungannya ini, lebih baik kuturuti saja permintaannya. Siapa tahu pula dia
nantinya bisa sedikit
membantu dalam urusanku!"
Setelah membatin begitu, Joko angkat suara. "Baiklah... Aku akan mengajakmu ikut
serta! Tapi kuharap
kau nantinya tidak takut memberi jawaban pada Datuk Kala Sutera!"
"Kalau bersamamu, aku yakin tidak takut memberi
jawaban pada siapa saja!"
"Mengapa begitu"!"
"Jangan bertanya! Aku takut memberi keterangan!"
"Busyet! Jawabannya balik lagi!" gerutu murid Pendeta Sinting dalam hati. Lalu
berkata. "Aku hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai! Kau tidak takut berterus terang mengatakan
jika kau tahu tempat itu"!"
"Aku tidak takut berterus terang. Aku memang tahu
lembah itu! Malah aku tidak takut mengatakan jika
kedatanganmu ke lembah itu untuk bertemu dengan
manusia berjuluk Dewa Asap Kayangan! Dan masalahmu adalah urusan janji dengan
seorang gadis!"
Pendekar 131 tersentak kaget. "Hem.... Aku makin
yakin jika manusia satu ini adalah Paduka Seribu Masalah! Aku tidak mengenalnya
sebelum ini. Tapi dia
sudah tahu masalahku...! Apakah dia juga tahu urusan peta di tanganku"!"
Ingat akan urusan itu, mendadak Pendekar 131 teringat pada Hantu Pesolek.
Seketika parasnya berubah
dan perlahan-lahan surutkan langkah seraya membatin. "Belum lama berselang aku
juga bertemu dengan
orang yang sepertinya banyak tahu urusanku.... Namun nyatanya aku tertipu....
Jangan-jangan orang ini
adalah Hantu Pesolek! Bukankah dia takut menunjukkan tampang..."!" Dada Joko
jadi berdebar. "Bagaimana enaknya...?"
Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan
begitu rupa, orang yang duduk di hadapannya perdengarkan suara.
"Sikapmu menunjukkan kau takut dan bimbang!"
"Bukan aku menyinggung. Tapi belum lama berselang aku telah ditipu orang! Dia
seolah-olah tahu banyak urusanku! Lalu memberi petunjuk! Ternyata semua itu
hanyalah muslihatnya saja!"
"Aku takut mendengar ceritamu.... Tapi kuharap
kau tidak takut mendengar ucapanku. Bukankah yang
memuslihatimu adalah seorang pemuda pesolek..."!"
"Hem.... Nyatanya dia tahu...! Jangan-jangan dia
Hantu Pesolek juga!"
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut dan sungkan
mengatakannya. Namun agar tidak ada salah sangka
di antara kita, perlu kujelaskan padamu. Kau tak usah
takut kalau aku adalah orang yang menipumu! Aku
baru kali ini bertemu denganmu.... Tapi jangan lantas
kau memintaku untuk tunjukkan wajah! Hal itu adalah sesuatu yang paling
kutakutkan!"
"Hem.... Kalau begitu kau adalah Paduka Seribu
Masalah!" "Kau tak usah takut. Bersama berlalunya waktu,
kelak kau akan mendapat jawabannya...."
Murid Pendeta Sinting berpikir beberapa saat. Lalu
berkata. "Baiklah.... Sekarang kuharap kau berada di depan!
Kita menuju ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!"
Orang yang duduk di atas tanah gerakkan tangan
kanannya ke udara. Lalu membuat gerakan melambai.
Joko cepat berpaling dengan dahi berkerut. Namun
ketegangannya mereda bahkan sepasang matanya sedikit membelalak tatkala tahu apa
yang dilakukan orang. Bersamaan dengan lambaian tangan kanan orang,
sampan yang terapung di atas aliran sungai bergerak
merapat. Dan belum sampai benar-benar merapat, Joko merasakan deruan angin
halus. Lalu terlihat so-sok
orang berkelebat dengan posisi duduk. Kejap lain
orang yang tadi duduk merangkapkan kaki di atas tanah, telah duduk di atas
sampan! "Sebentar lagi hari akan gelap! Sementara perjalanan masih agak jauh! Kuharap
agar kau tidak membuang-buang waktu!" Orang yang tadi duduk di atas
tanah dan kini telah duduk di atas sampan berkata.
Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat lalu melompat dan tegak di
belakang orang. Bersamaan
itu kedua tangan orang yang duduk rangkapkan kedua
kaki bergerak-gerak. Hebatnya, saat itu juga sampan
berpenumpang dua orang itu bergerak melintasi aliran
sungai! "Apakah kira-kira tiga hari mendatang kita sudah
bisa kembali ke hutan bambu itu"!" Joko ajukan tanya
setelah agak lama sama berdiam diri.
"Aku takut untuk memastikannya! Semua itu tergantung selesai tidaknya
urusanmu...!"
"Kau tahu siapa sebenarnya manusia yang sebutkan diri dengan Datuk Kala Sutera
itu?" Yang ditanya terdiam beberapa lama. Lalu berujar.
"Aku tidak tahu benar. Cuma aku pernah dengar..."
"Apakah betul semua keterangannya"!"
"Dia tidak berkata dusta...! Semua keterangannya
benar!" Pendekar 131 tertawa. "Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi"! Mana ada suami yang bisa tidak ingat lagi siapa nama istrinya"!"
"Anak muda... Jangan dikira aku menakut-nakutimu kalau kukatakan, apa yang ada
di muka bumi ini
segalanya serba mungkin! Malah tidak mustahil pula
kau kelak akan terlibat di dalam urusan Datuk Kala
Sutera!" Mendengar ucapan orang, Joko makin keraskan ta-
wanya hingga sampan yang ditumpanginya bergoyang-goyang. "Aku tahu...," kata
Joko. "Aku telah terlibat dalam urusan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi
keterlibatanku hanya sebatas perjanjianku tadi!"
Kini balik orang yang duduk di hadapan Joko yang
perdengarkan tawa panjang sebelum akhirnya berkata.
"Sekali lagi jangan kira aku menakut-nakutimu,
Anak Muda.... Justru perjanjianmu tadi adalah awal
sebuah urusan panjang!"
"Kau tidak takut menjelaskannya lebih jauh"!"
Yang ditanya geleng kepala. "Sayang sekali, Anak
Muda.... Aku takut menjelaskannya lebih jauh!"
Murid Pendeta Sinting lagi-lagi menghela napas
panjang. Mungkin untuk tenangkan diri akhirnya murid Pendeta Sinting bergumam
sendiri dalam hati.
"Ah.... Mungkin dia hanya menakut-nakutiku...."
Baru saja Joko bergumam tenangkan diri, orang
yang duduk di depannya angkat suara.
"Anak muda.... Sebenarnya aku takut mengatakannya padamu. Tapi coba kau lihat
dengan seksama.
Apakah kau melihat seseorang di seberang sana"!"
Pendekar 131 segera lepas pandangan ke seberang.
Namun Joko hanya melihat hamparan tanah terbuka
yang banyak ditebari batu-batu. Tidak satu sosok yang
terlihat. "Aku tidak melihat siapa-siapa!"
"Anak muda.... Jangan cepat memutuskan! Coba
kau teliti sekali lagi!"
Dengan enggan Joko pentangkan mata lalu edarkan
pandangan ke hamparan tanah terbuka yang ditebari
batu-batu. Namun hingga matanya pedih mencari-cari,
dia tidak dapat menemukan seseorang.
"Aku tidak melihat siapa-siapa!"
"Hem.... Syukurlah! Mudah-mudahan penglihatan-
mu yang benar!" ujar orang yang duduk rangkapkan
kaki. Lalu gerakkan kedua tangannya beberapa kali
seolah melambai. Saat yang sama sampan yang ditumpangi meluncur deras. Dan
beberapa saat kemudian telah merapat di tepian.
Dua tombak lagi sampan itu menyentuh tepi aliran
sungai, orang yang duduk rangkapkan kaki gerakkan
pantatnya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu sudah duduk di samping sebuah
bongkahan batu.
Murid Pendeta Sinting edarkan pandangan sekali
lagi. Lalu ikut berkelebat dan tegak tidak jauh dari
orang yang duduk di samping bongkahan batu.
Baru saja Joko tegak berdiri, mendadak satu
bayangan berkelebat. Joko tersentak kaget dan cepat
ber-paling. Memandang ke depan, dia melihat seorang
gadis berparas cantik berambut panjang dikelabang
dua. Sepasang matanya bulat dan tajam. Hidungnya
mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. Gadis
ini mengenakan pakaian berwarna ungu.
"Harap sebutkan nama dan tujuan!" Mendadak si
gadis perdengarkan bentakan.
Joko memandang pulang balik ke arah orang yang
duduk di tanah rangkapkan kedua kaki. Lalu ke arah
gadis cantik berbaju ungu di hadapannya.
"Hem.... Penglihatan orang yang duduk itu sangat
luar biasa sekali! Aku yakin dia tadi tidak mengangkat
wajah melihat ke tempat ini. Tapi nyatanya dia bisa
mengetahui keberadaan orang...."
Sementara murid Pendeta Sinting membatin begitu,
gadis cantik berbaju ungu di hadapannya arahkan
pandangannya pada Joko sesaat. Lalu pada orang yang
duduk rangkapkan kaki.
Dahi si gadis berkerut. Sikap orang yang tidak mengangkat wajahnya membuat gadis
ini mulai terlihat
agak jengkel, apalagi murid Pendeta Sinting sendiri tidak segera menjawab
pertanyaannya. Hingga seraya
arahkan pandangan ke jurusan lain dia buka mulut
lagi. "Kalian tidak ada yang mau sebutkan nama dan tujuan! Harap segera angkat kaki
dari tempat ini!"
"Tunggu! Tunggu!" tahan Joko sambil pulang balikkan kedua tangan. "Aku Joko...
Joko Sableng!"
Si gadis berpaling menatap pada Joko. Lalu melirik
pada orang yang duduk rangkapkan kaki.
Lirikan mata si gadis membuat Joko maklum. Dia
cepat-cepat angkat suara. "Dia adalah sahabatku. Namanya..." Joko kebingungan
sebutkan nama. "Anak muda bernama Joko Sableng..." Orang yang
duduk rangkapkan kaki perdengarkan suara. "Jangan
sebutkan nama. Aku takut mendengarnya!"
Gadis berbaju ungu mendelik. Kemarahan jelas
membayang di wajahnya. Joko tahu gelagat. Dia cepat
mendekati si gadis. Namun belum sampai mendapat
dua langkah, si gadis sudah membentak.
"Tetap di tempatmu!"
Pendekar 131 batalkan niat. Lalu mendahului buka
suara sebelum si gadis angkat bicara.
"Harap maafkan.... Jangankan kau. Aku sebagai
sahabatnya saja belum tahu siapa dia sebenarnya!"
Joko sunggingkan senyum. Namun senyumnya segera
diputus ketika mendapati si gadis memberengut dan
palingkan wajah sambil berucap ketus.
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap segera tinggalkan tempat ini!"
"Kami memang akan segera pergi.... Tujuan kami
memang bukan tempat ini! Tapi.... Aku tadi telah sebutkan nama padamu. Sebelum
aku pergi, kuharap
kau mau juga perkenalkan diri!"
"Aku Dayang Tiga Purnama!"
"Hem.... Melihat wajah gadis ini, membuatku teringat pada beberapa orang gadis
yang belum lama berselang sempat kutemui!" Tanpa sadar terbayang paras
wajah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera, dan dua gadis berbaju
merah dan kuning yang
sempat dijumpainya di pinggiran sungai saat bersitegang dengan Bidadari Pedang
Cinta dan bukan lain
adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala. "Aku telah sebutkan nama. Kuharap kalian segera
angkat kaki!" Gadis yang baru sebutkan nama Dayang
Tiga Purnama berucap agak lantang tanpa memandang.
"Bagaimana"! Kau tidak takut teruskan perjalanan"!" Joko bertanya pada orang
yang duduk rangkapkan kaki.
"Anak muda.... Kalau memang tidak ada hal lain
yang akan kau bicarakan dengan gadis cantik itu, aku
tidak takut untuk teruskan ikut bersamamu!"
"Dayang Tiga Purnama.... Kau tinggal di tempat
ini"!"
"Itu urusanku! Aku tak ingin memberi keterangan
apa-apa! Yang kuinginkan kalian segera angkat kaki
teruskan perjalanan!"
"Kau ada hubungan dengan gadis bernama Bidadari
Delapan Samudera"!" Joko ajukan tanya tidak pedulikan ucapan Dayang Tiga
Purnama. "Kau dengar! Aku tak ingin memberi keterangan
apa-apa!" "Kenal dengan Paduka Seribu Masalah"!"
Dayang Tiga Purnama terlengak. Diam-diam dalam
hati gadis ini membatin. "Dari parasnya, sepertinya dia
bukan asli orang negeri ini! Siapa dia sebenarnya"!
Mengapa bertanya tentang Paduka Seribu Masalah"!
Apakah dia juga tengah mencari Paduka Seribu Masalah..."!"
"Tampaknya kau memang tidak ingin memberi keterangan.... Aku tidak memaksa!"
Joko tersenyum lalu
gerakkan tangan menyentuh pundak orang yang duduk rangkapkan kaki memberi
isyarat. Saat lain murid
Pendeta Sinting melangkah.
"Tunggu!" Dayang Tiga Purnama berseru. Namun
Joko seolah tidak mendengar seruan orang. Dia teruskan langkah. Sementara orang
yang duduk rangkapkan kaki tidak bergerak dari tempatnya semula.
"Hai! Tunggu!" Dayang Tiga Purnama berteriak sekali lagi seraya melompat dan
tegak dengan sikap
menghadang di depan Pendekar 131.
*** TUJUH PENDEKAR 131 hentikan langkah. Memandang si
gadis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun sejauh ini murid Pendeta
Sinting masih kancingkan mulut.
Dayang Tiga Purnama sendiri sedikit merasa jengah
dipandangi orang begitu rupa hingga dia cepat alihkan
pandangan. Dalam hati dia berkata. "Apakah aku layak bertanya padanya"! Dia
seperti orang asing. Mungkinkah dia tahu tentang Paduka Seribu Masalah"!
Ah...." "Mau utarakan sesuatu"!" Akhirnya Joko buka suara.
Dayang Tiga Purnama menoleh. Mulutnya sudah
bergerak membuka. Namun entah mengapa, menda-
dak gadis cantik ini cepat-cepat katupkan kembali mulutnya seraya gelengkan
kepala. Saat lain dia putar diri
hendak melangkah.
"Dari sikapnya, jelas dia ingin mengutarakan sesuatu. Tapi jelas pula dia merasa
bimbang...." Joko membatin. Lalu berkata.
"Aku tahu. Kau bimbang hendak ucapkan sesuatu.
Harap tidak berprasangka buruk. Kita memang baru
bertemu. Tapi tak ada salahnya kalau kau ingin mengutarakan sesuatu padaku.
Siapa tahu kita bisa saling
membantu...!"
Dayang Tiga Purnama urungkan niat langkahkan
kaki. Lalu perlahan-lahan putar diri lagi menghadap
murid Pendeta Sinting. Tapi lagi-lagi gadis cantik ini
batalkan niat untuk berucap meski mulutnya telah
bergerak membuka.
Pendekar 131 tersenyum. "Dayang Tiga Purnama...."
Hanya sampai di situ Joko berucap. Karena si gadis telah perdengarkan suara.
"Tidak keberatan mengatakan siapa kau sebenarnya"!"
"Hem.... Ucapanmu membuktikan kalau kau masih
menaruh sak wasangka padaku.... Tapi tak apa.... Seperti kukatakan tadi. Aku
Joko Sableng!"
"Bukan itu maksud pertanyaanku...."
Murid Pendeta Sinting maklum akan maksud
Dayang Tiga Purnama. Seraya anggukkan kepala dia
berkata. "Aku memang bukan orang negeri ini. Aku berasal
dari negeri jauh di seberang laut!"
"Datang jauh-jauh dari negeri seberang laut. Pasti
kau punya tujuan sangat penting hingga sampai di negeri ini...."
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Ceritanya sangat
panjang. Yang jelas kalaupun aku sampai menginjakkan kaki di negeri ini, itu
semua bukan kusengaja.
Mungkin hanya takdir yang membawaku.... Tapi aku
tidak kecewa dengan suratan yang harus kujalani. Karena aku selalu bertemu
dengan gadis-gadis cantik sepertimu...."
Wajah Dayang Tiga Purnama bersemu merah. Namun kali ini gadis cantik berbaju
ungu itu tidak berusaha palingkan wajah. Sebaliknya memandang tajam
pada bola mata murid Pendeta Sinting. Hingga untuk
beberapa lama kedua orang ini saling berpandangan.
"Aku tadi mendengar kau sebutkan nama seorang
gadis.... Kau tengah dalam perjalanan mencarinya"!"
tanya Dayang Tiga Purnama dengan suara sedikit direndahkan.
Joko menjawab dengan gelengkan kepala seraya berucap. "Di negeri ini, aku sempat
bertemu dengan beberapa orang gadis. Di antaranya adalah gadis bernama Bidadari
Delapan Samudera. Kalau aku tadi menyebutnya, semata-mata karena aku melihat
kemiripan antara kau dengan Bidadari Delapan Samudera....
Kau mengenalnya"!"
Dayang Tiga Purnama tersenyum dengan menggeleng. Lalu berujar.
"Kau tadi juga sebut-sebut orang berjuluk Paduka
Seribu Masalah.... Kau mengenalnya"!"
Joko terdiam beberapa lama. Tanpa sadar matanya
bergerak memandang ke arah orang yang masih duduk
rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu. "Aku belum bisa memastikan apakah dia
manusianya yang
bernama Paduka Seribu Masalah meski dari sikap dan
ucapannya aku menduga dia adalah Paduka Seribu
Masalah!" Joko alihkan pandangan pada Dayang Tiga
Purnama. "Dari ucapan pertanyaannya, jangan-jangan
gadis ini tengah mencari Paduka Seribu Masalah....
Hem.... Bagaimana aku harus menjawab"!"
Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Dayang Tiga Purnama ulangi pertanyaan. "Kau mengenal Paduka Seribu Masalah"!"
"Dia adalah sahabatku...."
Dayang Tiga Purnama terkejut. "Dia baru saja mengaku sebagai orang dari negeri
seberang laut. Bagaimana mungkin dia juga mengaku sebagai sahabat Paduka Seribu
Masalah"! Bukankah Paduka Seribu Masalah adalah tokoh negeri ini"!"
"Boleh aku bertanya. Sejak kapan kau berada di tanah Tibet"!" tanya Dayang Tiga
Purnama. "Memang belum lama. Tapi mungkin nasib baik
yang membawaku bisa bersahabat dengan beberapa
orang di negeri ini! Sebagai orang negeri ini, tentu kau
juga mengenal Paduka Seribu Masalah. Benar..."!" Joko balik bertanya untuk
meyakinkan dugaan apakah
orang yang tengah duduk rangkapkan kaki di sebelah
bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah.
Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Joko jadi bertanya-tanya dalam
hati. "Hem.... Gadis ini
sepertinya tidak mengenali orang yang duduk rangkapkan kaki itu. Jangan-jangan
orang itu bukan Paduka Seribu Masalah... Kalau dia Paduka Seribu Masalah, tentu
gadis ini mengenalinya sejak pertama melihat. Tapi mengapa Datuk Kala Sutera
menduga orang itu adalah Paduka Seribu Masalah"! Mana di antara
keduanya yang benar..."!"
"Aku memang orang negeri ini..." Akhirnya Dayang
Tiga Purnama berkata setelah agak lama terdiam. "Tapi
nyatanya kau lebih beruntung..."
"Maksudmu..."!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Kau belum lama berada di negeri ini. Tapi kau te-
lah bersahabat dengan Paduka Seribu Masalah! Sementara aku melihat pun belum
pernah!" "Hem.... Sepertinya kau punya urusan dengan Paduka Seribu Masalah!" Joko
langsung menebak setelah
menyimak ucapan-ucapan Dayang Tiga Purnama.
"Sebenarnya aku tidak punya urusan apa-apa dengan Paduka Seribu Masalah.
Bagaimana aku bisa
punya urusan kalau bertemu pun belum pernah"!"
"Belum pernah bertemu bukan satu jaminan kalau
orang itu tidak punya urusan..."
"Hem... Ucapannya benar juga... Apakah aku harus
bertanya padanya"! Apakah ucapannya bisa dipercaya"!" Dayang Tiga Purnama
dilanda kebimbangan.
Lalu bertanya. "Benar kau adalah sahabat Paduka Seribu Masalah"!"
"Aku tidak mau membuka urusan dengan orang
dengan mengaku-aku dan berkata dusta!" kata Joko
setelah yakin kalau orang yang duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu
adalah Paduka Seribu
Masalah. "Mau mengatakan padaku di mana aku bisa bertemu dengannya"!"
"Walau kau belum pernah bertemu, mungkin kau
sudah pernah dengar. Mencari Paduka Seribu Masalah
adalah urusan gampang-gampang sulit! Tidak dicari
mendadak saja nongol, tapi kalau tengah dicari dia
seolah lenyap ditelan bumi!" Joko hentikan ucapannya
sejenak. Lalu menyambung.
"Kalau kau percaya padaku, katakan saja apa urusanmu dengan Paduka Seribu
Masalah! Kalau nanti
aku bertemu dengannya, aku bisa mengutarakan!"
Dayang Tiga Purnama menghela napas. Lalu tengadahkan sedikit kepalanya. Jelas
wajahnya mem- bayangkan perasaan gelisah dan galau.
"Aku bukan tak percaya padamu...," akhirnya
Dayang Tiga Purnama berucap. "Tapi aku tidak bisa
mengutarakan maksud selain pada Paduka Seribu Masalah!"
"Itu sama saja kau belum percaya padaku! Tapi terserah padamu.... Aku hanya
menawarkan...!"
"Terima kasih.... Mungkin aku masih butuh waktu!
Kalau kelak aku gagal, tidak mustahil aku terpaksa
akan mengutarakan maksudku padamu.... Sekarang
kau hendak ke mana"!" Dayang Tiga Purnama alihkan
pembicaraan. "Benar ini tempat yang harus dilewati kalau ingin
sampai Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai"!"
"Kalau kau ingin ke lembah itu, kau telah melewati
jalan yang benar!"
"Terima kasih.... Aku harus segera pergi!" kata Joko
seraya arahkan pandangan pada orang yang duduk
rangkapkan kaki. Lalu berseru.
"Sahabatku.... Bagaimana sekarang"! Kau akan terus bersamaku atau tetap berada
di sini"!"
"Kau jangan menakut-nakuti aku dengan ucapan
seperti itu! Di antara kita sudah terjadi sepakat! Kau
pasti takut pergi tanpa aku, begitu juga sebaliknya!
Aku tidak akan berani tanpa bersamamu!"
Mendengar ucapan orang, Joko cepat putar diri.
Namun sebelum melangkah dia masih buka suara lagi.
"Dayang Tiga Purnama.... Kau benar-benar tidak
mau mengutarakan urusanmu dengan Paduka Seribu
Masalah"!"
Yang ditanya berpaling pada orang yang duduk
rangkapkan kaki. "Ah.... Sebaiknya aku utarakan saja.
Sepertinya dia pemuda baik-baik.... Tapi aku tidak ingin orang yang duduk itu
mendengarnya pula meski
dia adalah sahabat pemuda itu!"
Karena tidak ada jawaban, murid Pendeta Sinting
berpaling. Saat yang sama Dayang Tiga Purnama alihkan pandangan matanya dari
orang yang duduk rangkapkan kaki. Lalu melangkah mendekati Joko dan
berkata pelan. "Aku akan mengatakannya padamu. Tapi..." Si gadis tidak lanjutkan ucapan. Tapi
melirik pada orang
yang duduk rangkapkan kaki.
Murid Pendeta Sinting tampaknya dapat membaca
gelagat. "Kau tak ingin ada orang lain yang mendengarnya"!"
Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala sambil
berkata setengah berbisik. "Bukan aku tak percaya
dengan sahabatmu itu. Tapi rasanya tak enak kalau
urusanku diketahui banyak orang! Kuharap kau mengerti..."
Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melangkah. Joko tersenyum. Tanpa pikir
panjang lagi dia
segera mengikuti di belakang si gadis.
Di tempat yang agak jauh dari orang yang duduk
rangkapkan kaki, Dayang Tiga Purnama berhenti. Lalu
berucap begitu Joko berhenti tidak jauh di belakangnya.
"Sebelum kukatakan, aku minta padamu. Harap
apa yang kukatakan nanti tidak kau bicarakan pada
siapa saja selain dengan Paduka Seribu Masalah!"
"Aku akan pegang janji! Sekarang katakanlah...."
"Selama ini aku hidup bersama seorang Eyang. Pada mulanya memang seperti tidak
ada hal yang perlu
diselesaikan. Namun begitu aku agak besar, mulai timbul pertanyaan... Karena
selama itu aku belum pernah
mengenal siapa orangtuaku. Aku mulai sering menanyakan perihal kedua orangtuaku
pada Eyang. Namun
jawaban yang kuperoleh selama ini tidak membuatku
puas. Sepertinya Eyang menyembunyikan sesuatu padaku..." Dayang Tiga Purnama
hentikan keterangannya. Wajahnya berubah sedikit murung. Sementara
murid Pendeta Sinting menyimak keterangan si gadis
dengan seksama tanpa buka mulut.
Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gelagat Eyang membuatku penasaran. Hingga tak
henti-hentinya aku terus bertanya padanya. Tapi jawaban yang kuterima masih saja
belum membuatku
puas. Dan sikap Eyang membuatku makin yakin kalau
Eyang menyembunyikan sesuatu. Hingga pada akhirnya aku memaksa Eyang untuk
mengatakan apa sebenarnya yang disembunyikan padaku...."
"Dia mau mengatakannya"!" Joko bertanya.
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. "Dia tetap tidak mau mengatakannya! Hingga
aku mengancam akan pergi meninggalkan dia kalau dia tetap tidak mau
membuka diri!"
"Lalu..."!"
"Akhirnya Eyang memberi penjelasan. Bahwa satusatunya orang yang bisa memberi
keterangan adalah
Paduka Seribu Masalah! Tapi jawaban itu belum membuatku tenang. Aku bertanya
mengapa harus Paduka
Seribu Masalah yang memberi keterangan! Eyang tidak
mau menjelaskan. Dia hanya berpesan, kalau aku ingin tahu, aku harus mencari
Paduka Seribu Masalah!"
Untuk kedua kalinya Dayang Tiga Purnama hentikan ucapannya. Setelah menghela
napas dan arahkan
pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki
di seberang sana, gadis ini buka mulut lagi.
"Aku bertanya pada Eyang di mana bisa kutemui
Paduka Seribu Masalah. Jawaban yang kuterima hampir mirip dengan ucapanmu tadi.
Mencari Paduka Seribu Masalah adalah urusan gampang-gampang susah!
Dia tidak bisa ditentukan di mana beradanya. Lebih
dari Itu aku tidak memperoleh keterangan bagaimana
manusia yang bernama Paduka Seribu Masalah!"
"Hem.... Lalu mengapa kau berada di tempat ini"!"
"Daerah ini adalah tempat tinggalku. Di sebelah sana ada sebuah goa agak besar.
Di sanalah selama ini
aku hidup bersama Eyang...." Dayang Tiga Purnama
arahkan telunjuknya pada satu jurusan.
"Joko.... Seandainya kau nanti bertemu dengan Paduka Seribu Masalah, kuharap kau
mau membantuku.
Kau telah tahu di mana tempat tinggalku...."
"Kau yakin Paduka Seribu Masalah dapat membuka
rahasia hidupmu"!"
"Pada mulanya aku memang heran dengan keterangan Eyang. Tapi setelah aku mencari
keterangan, aku mendapatkan kabar, jika manusia yang bergelar
Paduka Seribu Masalah adalah seorang yang memiliki
kepandaian aneh. Dia tahu seribu masalah orang
meski orang yang belum pernah dikenalnya! Tapi aku
mendapatkan kesulitan untuk mencarinya meski aku
telah berusaha!"
Pendekar 131 menghela napas panjang seakan ikut
merasakan kesenduan Dayang Tiga Purnama. Lalu
berkata pelan. "Masih ada yang hendak kau sampaikan"!"
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. "Aku hanya
meminta kau tidak mengatakan apa yang baru kuutarakan pada orang lain selain
Paduka Seribu Masalah..."
Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu arahkan
pandang matanya pada orang yang duduk rangkapkan
kedua kaki. "Dayang Tiga Purnama... Aku harus segera teruskan
perjalanan. Kalau boleh tahu, apakah aku masih me-
merlukan sampan untuk melintasi enam sungai berikutnya"!"
"Kau tidak perlu lagi sampan itu. Kau memang akan
melintasi enam sungai lagi sebelum mencapai lembah.
Tapi sungai itu bisa dilewati dengan melompat-lompat.
Karena hanya aliran sungai kecil dan banyak batubatu yang dapat kita buat
loncatan hingga sampai ke
tepian...."
"Terima kasih.... Sekarang aku harus pergi. Mudahmudahan aku segera memperoleh
keterangan yang
kau perlukan...."
Habis berkata begitu, Joko melangkah kembali ke
arah orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru
mendapat enam langkah dia ingat sesuatu. Seraya palingkan wajah, Joko bertanya.
"Siapa nama eyangmu..."!"
"Kita nanti mungkin masih bertemu lagi. Kelak aku
akan memberitahukan padamu! Selamat jalan...."
Joko tersenyum, lalu berpaling lagi pada orang yang
duduk rangkapkan kaki. Namun baru saja kepalanya
bergerak, sosok yang duduk rangkapkan kaki telah
membuat gerakan. Sosoknya melesat dengan tetap dalam posisi duduk dan saat lain
sudah berada jauh di
sana! "Hai! Tunggu...!" Joko berteriak, lalu berlari menyusul.
Dayang Tiga Purnama pandangi sosok murid Pendeta Sinting. Saat itulah mendadak
dia sadar. "Ah...
Mengapa aku cepat percaya pada pemuda itu..."! Padahal aku belum kenal betul
siapa dia... Tapi... Mudah-mudahan saja semua keterangannya benar...."
Dayang Tiga Purnama terus memperhatikan hingga
sosok murid Pendeta Sinting dan orang yang tadi duduk rangkapkan kaki lenyap di
ujung sana. Lalu putar
Kisah Sepasang Rajawali 32 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Manusia Harimau Marah 5