Pencarian

Dedel Duel 1

Gento Guyon 13 Dedel Duel Bagian 1


1 Nyala api terus berkobar, menjilat habis benda
apa saja yang terdapat di sekitarnya. Tiga bangunan
rumah yang terdiri dari satu rumah induk dan dua
rumah kerabat yang letaknya berdekatan juga ikut
musnah dilahap api. Di bagian belakang dari tiga ru-
mah ini, beberapa kandang ternak juga ikut dilahap
api. Beberapa ekor kuda pilihan, sapi, kerbau juga
kambing berkaparan mati. Kematian binatang-
binatang ini bukan karena dijilat api, tapi ada sesuatu yang lebih mengerikan
terjadi pada mahluk-mahluk
ini. Benar tubuh binatang itu dalam keadaan utuh, ti-
dak ada cacat tidak ada pula luka. Tapi satu luka
menganga terdapat di bagian kepala. Pada bagian ke-
pala ternak tersebut terdapat sebuah lubang mengan-
ga. Darah mengucur dari bagian luka, termasuk juga
hidung, serta telinga. Yang mengerikan di balik tulang kepala yang bolong tidak
lagi terdapat otak sebagaimana yang seharusnya. Otak binatang itu, hilang lenyap
amblas entah kemana. Bagian otak seperti habis dis-
edot oleh satu mahluk ganas.
Pemandangan yang tak kalah mengerikan juga
terjadi di bagian depan rumah yang terbakar. Mayat-
mayat yang terdiri dari laki-laki, perempuan juga anak-anak belasan tahun
bergelimpangan. Keadaan mereka
juga tak jauh berbeda dengan ternak yang bergeleta-
kan di belakang rumah. Hidung, mulut serta telinga
mengucurkan darah. Bagian ubun-ubun berlubang be-
sar. Isi kepala yang terdiri dari otak dan darah juga lenyap tak bersisa barang
sedikitpun. Kalaupun semua ini merupakan perbuatan
manusia, pastilah orang itu memiliki kekejian yang
sangat luar biasa.
Nampaknya tak seorangpun dari mereka yang
berada di situ dapat menyelamatkan diri. Semua tewas
terbantai secara mengenaskan. Beberapa saat lamanya
suasana dicekam kesunyian. Tapi kesunyian itu ter-
nyata tak berlangsung lama, karena dari arah timur
rumah yang terbakar mendadak terdengar suara jeri-
tan melengking laksana merobek langit. Suara jeritan
disertai dengan berkelebatnya satu sosok bayangan
tubuh berpakaian kuning dengan renda-renda putih
pada setiap ujung pakaian.
Hanya dalam sekedipan mata diantara mayat-
mayat yang bergelimpangan itu berdiri tegak seorang
perempuan tua dalam rupa buruk menyeramkan se-
perti setan. Demikian buruknya hingga wajah setan
sekalipun masih kalah seram. Melihat apa yang terjadi dan setelah meneliti salah
satu dari mayat itu jerit si nenek semakin menjadi-jadi. Dia meraung seperti
orang kesurupan.
"Setan... setan mana yang telah melakukan ke-
biadaban seperti ini. Anakku, mantuku, cucuku.... hu-
awaalah. Aku tak percaya, aku tak dapat menerima
semua kenyataan ini. Oh, tidaaak. Huk huk huk!"
Sambil menjerit seperti orang kehilangan kewarasan-
nya, kini si nenek mulai meneliti mayat-mayat itu.
Mayat sang anak yang terdiri dari pendekar-pendekar
penegak kebenaran berkaparan dalam keadaan kaku.
Yang membuatnya tak kuat melihat mayat keluar-
ganya karena kepala mereka semua bolong. Isi kepala
lenyap entah kemana.
Bergetar tubuh si nenek bermuka seangker se-
tan ini, kemarahan dan dendam kesumat memenuhi
hati fikirannya.
"Belum pernah aku melihat kekejian yang gi-
lanya sehebat ini. Aku tidak percaya binatang yang telah melakukannya. Tidak ada
binatang buas yang
hanya khusus memakan otak mangsanya. Tidak ada
pula binatang yang dapat melakukan pembakaran.
Semua ini pasti hasil perbuatan manusia. Manusia
yang memiliki kegilaan selangit tembus dan dosa se-
luas lautan! Tidak.... tidaak...!" jerit si nenek muka seram dengan tubuh
terhuyung tak kuat menahan beban
hati derita batin serta guncangan melihat nasib men-
genaskan yang menimpa kaum kerabatnya sendiri.
Seperti orang kemasukan setan sepasang mata
si nenek liar menyapu pandang ke seluruh tempat itu.
Dia tidak perduli lagi dengan kuda kesayangan mau-
pun binatang ternak lainnya yang berkaparan mati di
sembarang tempat. Lelah dia memperhatikan, namun
tak seorangpun yang terlihat di tempat itu terkecuali dirinya sendiri. Si nenek
yang memiliki wajah seseram setan neraka akhirnya menangis sesenggukan, jatuh
terduduk di antara mayat sanak keluarganya tanpa
perduli dengan teriknya matahari yang terasa panas
membakar batok kepala.
"Habis sudah keluargaku. Punah sudah anak
turun Pendekar Garuda Sakti. Apa yang harus kula-
kukan kini. Pertemuan para tokoh golongan putih
hanya tinggal satu purnama lagi. Seharusnya aku yang
memimpin pertemuan dan jalannya perundingan itu.
Tapi dengan terbunuhnya kaum kerabat ku, terlebih-
lebih putra ku Pendekar Tapak Matahari, rasanya se-
gala keinginanku untuk memimpin jalannya perundin-
gan terpaksa kubatalkan. Mungkin aku akan berka-
bung selama lebih satu purnama, mungkin pula aku
akan mengasingkan diri di Lembah Pusar Langit." fikir si nenek. Sementara itu.
air mata si orang tua tetap
bergulir dipipinya. Sejenak lamanya nenek angker ini
terdiam, berfikir lalu gelengkan kepala. "Mana mungkin aku bisa hidup tenang di
pengasingan jika pembu-
nuh kerabat ku tidak kutemukan. Rasanya arwah me-
reka tak akan tenang di alam sana jika aku tidak me-
nuntut balas. Tapi siapa yang telah berlaku keji begini rupa?" fikir si nenek.
"Selama ini aku telah kenyang malang melintang di dunia persilatan. Belum pernah
rasanya kudengar ada tokoh manapun yang mempu-
nyai prilaku aneh membunuh lawan kemudian mema-
kan otaknya. Rasanya tidak akan pernah ada tokoh-
tokoh dunia persilatan yang berlaku gila seperti itu.
Setan sekalipun tak mungkin tega melakukannya."
Sekali lagi nenek muka setan merenung. Dia
mencoba memacu otaknya untuk mengingat beberapa
tokoh rimba persilatan yang memiliki kebiasaan aneh.
Jumlahnya memang tak dapat dihitung dengan jari.
Tapi yang paling menonjol dengan kebiasaan anehnya
antara lain seorang tokoh pengemis bernama Ki Lunto.
Tokoh yang satu ini memiliki kebiasaan memakan sisa
makanan orang, berpakaian selalu rapi, walaupun di-
penuhi tambal-tambalan. Bila ingin makan, asal bekas
sisa orang walaupun harus dengan membayarnya dia
pasti melakukannya. Kemudian ada satu tokoh dari
golongan hitam. Tokoh sesat yang ini lain lagi kebia-
saannya. Dia selalu memakan binatang mengandung
bisa mentah-mentah. Bila tidak memakannya walau
barang satu hari maka tubuhnya akan mengalami ke-
rusakan, hancur dan meleleh. Beberapa tokoh lain
yang memiliki sifat dan tingkah laku aneh yang tak kalah hebatnya si nenek lupa
mengingat siapa-siapa me-
reka. Hanya orang yang memiliki kebiasaan membu-
nuh lawan, kemudian melubangi kepala dan menguras
isi otaknya baru kali ini terjadi.
"Mana mungkin aku berpangku tangan jika ke-
nyataan mengenaskan ini yang harus kuterima?" kata si nenek muka angker. Rupanya
fikiran si nenek terla-lu kalut hingga dia tak menyadari kalau sejak tadi ada
sepasang mata yang terus memperhatikan dirinya.
Orang yang berlindung di balik dinding ini ternyata ju-ga ikut terkejut melihat
apa yang terjadi di tempat itu.
"Gusti Allah, petaka apa yang kau timpakan
kepadanya. Mengapa kau biarkan kekejaman ini terja-
di" Kakak.... kasihan sekali nasib kakak Ayu Jelita. Seluruh kerabatnya termasuk
juga Pendekar Tapak Ma-
tahari nampaknya tewas terbantai. Dia pasti merasa
sangat terpukul, batinnya terguncang. Ingin rasanya
aku menghiburnya. Tapi Puteri Pemalu seperti diriku
apa diterima bila ikut mengucapkan turut berduka ci-
ta" Hik hik hik!" kata perempuan cantik berdandan menor itu sambil tertawa, lalu
tutupkan ujung jubah
panjangnya yang berwarna biru ke bagian wajah.
Sesungguhnya tawa perempuan berdandan
menor namun itu hanya pelan saja, namun karena su-
asana di tempat itu memang sangat sunyi, jangankan
suara tawa, suara daun yang bergesekan pun terden-
gar cukup jelas. Si nenek berwajah setan cepat palingkan kepala, memandang ke
arah datangnya suara ta-
wa, meski sekilas matanya sempat melihat ada satu
kepala tersembul lalu lenyap dari balik dinding. Dia
pun membentak. "Manusia tolol apa yang kau lakukan di situ" Apa kau sedang buang
hajat atau sengaja
mengintai diriku. Cepat keluar dan tinggalkan tempat
ini!" teriak si nenek muka setan yang memiliki nama bagus Ayu Jelita itu sengit.
Satu sosok berpakaian berupa jubah biru ber-
kelebat tinggalkan tempat persembunyiannya. Tak ber-
selang lama di depan nenek wajah setan berdiri tegak
gadis berdandan menor bertubuh ramping berjubah
biru. Jubah itu panjang menjela menyentuh tanah,
hingga sepasang kaki si gadis tidak terlihat sama seka-li.
"Kau perempuan gila dan bodoh, buat apa kau
datang ke tempat ini?" hardik si nenek ketus. Gadis cantik berdandan menor
pandangi orang tua didepannya. Belum lama memandang dia menutup wajahnya
dengan ujung jubah yang menjuntai di bagian leher.
Malu-malu sambil tertawa dia mengintai dari balik
ujung jubah yang dipergunakan untuk menutupi wa-
jah. Wajah cantik itu berubah sedih, sepasang mata
yang selalu mengundang rasa iba nampak basah oleh
air mata. Tapi aneh walaupun si gadis nampak sedih,
tapi mulutnya yang merah tetap mengumbar tawa.
"Kakak, aku datang tidak diundang, aku tahu
kau akan mengusirku. Karena kau malu punya adik
seperguruan sepertiku. Tapi terus terang aku turut
merasa ikut berduka atas musibah yang menimpa
kaum kerabat mu. Aku sedih kakak, hatiku terharu.
Hik hik hik." kata si gadis sambil mengumbar tawanya.
Orang yang tak mengetahui siapa adanya gadis yang
memiliki julukan Puteri Pemalu ini, tentu akan me-
nyangka bahwa ucapan turut berduka yang dikatakan
oleh Puteri Pemalu ini hanya sebagai ejekan saja, ka-
rena gadis itu malah tertawa di saat nenek muka setan dalam suasana berduka.
"Gadis sinting, dasar otakmu miring. Aku ini
bukan kakakmu, tapi gurumu. Tapi selalu saja kau
memanggilku kakak. Dasar perempuan edan, minggat
kau dari hadapanku!" hardik nenek Ayu Jelita yang memiliki gelar angker Si Muka
Setan. Gadis bermata kuyu memelas di depan si nenek
bukannya tersinggung tapi malah tutupi wajahnya
dengan malu-malu. Dari balik jubah tawanya kembali
terdengar. "Siapa bilang kau guruku. Kau bukan guru tapi
kakakku. Hik hik hik. Siapa kata aku gadis bodoh, aku tidak bodoh hanya sedikit
tolol. Aku tidak sinting, tapi hanya gila saja. Hik hik. Kakak, aku ikut sedih
melihat kejadian ini aku jadi ingin menangis saking sedihnya."
berkata begitu si gadis benar-benar kucurkan air mata.
Tapi yang anehnya dia tetap tertawa sambil sesekali
mengintai mencuri pandang ke arah Si Muka Setan
dari balik ujung jubah birunya yang dipergunakan un-
tuk menutupi wajah.
Melihat sikap Puteri Pemalu yang menjengkel-
kan dan sadar bahwa gadis itu selain daya kemam-
puan berfikirnya dangkal juga mengalami gangguan ji-
wa yang terkadang sering pula kambuh. Maka Si Wa-
jah Setan yang memang masih terhitung guru si gadis
dapat memakluminya. Tapi dia sendiri tidak suka da-
lam keadaan seperti sekarang ini. Gadis yang kehilan-
gan kewarasannya itu ada di depannya.
"Ayu Seruni," berkata Si Muka Setan sambil berusaha meredam kejengkelannya. Si
nenek sengaja menyebut nama gadis itu agar Puteri Pemalu tahu ka-
lau dirinya saat itu sedang bersungguh-sungguh. "Ku-peringatkan padamu agar
cepat tinggalkan tempat ini.
Aku tak mau masa berkabung ku terganggu oleh ke-
hadiranmu!"
"Kakak, kau tidak boleh begitu. Jika kau tang-
gung sendiri semua kedukaan ini kau bisa jadi gila.
Aku datang dengan membawa maksud yang baik. Ingin
turut merasakan kesedihan mu. Tapi kesedihan dan
amarah tidak pernah menyelesaikan persoalan. Menu-
rutku alangkah baiknya kalau kakak melakukan pe-
nyelidikan. Aku yakin pembunuh gila itu bisa kakak
tangkap. Kalau sudah tertangkap, jangan nanti kau
urus sendiri serahkan dia padaku. Aku bisa memilih
hukuman apa kira-kira nanti yang harus kujatuhkan
padanya. Hik hik hik." Puteri Pemalu kembali tertawa cekikikan, sementara
wajahnya disembunyikan di balik kain jubah.
"Murid Edan, apapun saran mu aku tidak per-
duli. Kau anak malang yang tolol dan kehilangan ke-
warasan. Bagaimana mungkin aku bisa mengikuti se-
gala nasihat orang gila. Pergii....!" hardik Si Muka Setan. Puteri Pemalu
kembali keluarkan tawa panjang.
"Kakak mengapa aku harus pergi, mana mung-
kin aku bisa meninggalkan dirimu dalam keadaan ka-
lut begini. Bagaimana jika nanti kau bunuh diri. Aku
bisa kehilangan saudara kakak! Bukankah duka mu
duka ku juga, susah senang mu bagian dari hidupku
juga. Terkecuali utang-utang mu itu urusanmu sendiri!
Hik hik hik!" kata Puteri Pemalu.
Si Muka Setan kini hilang sudah kesabarannya.
Dia menggerung keras lalu tanpa bicara lagi langsung
lepaskan pukulan ke arah Puteri Pemalu. Si gadis ber-
dandan menor yang selalu memandang lawan bica-
ranya dengan malu-malu sambil menutupi wajah itu
terkejut. Dalam kaget, saking gilanya dia malah terta-wa.


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat sekali dia membuat gerakan berputar se-
demikian rupa, lalu melompat ke samping jungkir ba-
lik selamatkan diri.
Satu ledakan menggelegar tak jauh dari tempat
Puteri Pemalu jatuhkan diri.
Debu dan asap tebal mengepul di udara menu-
tupi pandangan. Tak berselang lama setelah debu dan
pasir lenyap, maka gadis berdandan menor yang tolol
dan mengalami gangguan ingatan ini sudah tak meli-
hat lagi Si Muka Setan ada di situ.
Puteri Pemalu menggerung merasa kehilangan.
"Kakak... tega benar kau meninggalkan diriku. Hik hik hik!" kata si gadis sambil
kucurkan air mata namun dari mulutnya terdengar suara tawa.
Dengan perasaan sedih tapi mulut bersungut-
sungut Puteri Pemalu tinggalkan tempat itu.
2 Kuil yang berada di dalam tanah di bagian teb-
ing Karang Haur memang sudah hampir ratusan tahun
ditinggalkan bahkan sudah dilupakan orang. Akan te-
tapi biarpun begitu, tempat ini selalu diwarnai dengan suara cericit burung
karena di dalam kuil dihuni oleh berbagai jenis burung terutama burung walet
yang konon air liurnya mengandung khasiat hebat.
Pagi itu matahari masih belum menampakkan
diri di ufuk timur. Kabut tipis menyelimuti tebing Karang Haur juga lembah yang
terdapat di bawahnya.
Dalam suasana yang seperti itu dari bagian dalam kuil yang gelap dan hanya
diterangi oleh sebuah pelita, ti-ba-tiba terdengar satu suara berkata. "Siapa
yang telah melukai muridmu ini adik Begawan Panji Kwalat?"
tanya satu suara. Kemudian ada suara lain yang me-
nyahuti. "Yang melukai dadanya adalah seorang gadis,
berbadan putih seperti kristal. Namanya Dwi Kemala
Hijau, di tempat asal usulnya dia dikenal dengan nama Bidadari Biru."
Di dalam kuil kakek berambut putih, bermata
melesak ke dalam rongga berhidung remuk gelengkan
kepala. Dia memandang ke arah sosok pemuda gon-
drong yang bagian dadanya dibalut dengan selembar
kain berwarna putih kusam. Bagian dada itu memang
terluka parah, bahkan dua tulang iganya patah terba-
bat senjata lawan.
"Seberapa hebat kesaktian yang dimiliki oleh
gadis itu?" tanya kakek berambut putih riap-riapan sambil memandangi lawan
bicaranya. "Kurasa kesaktiannya jauh di bawah muridku,
tapi dia mempunyai senjata Bintang Penebar Petaka."
ujar kakek berkaki lumpuh berpakaian hitam yang se-
kujur tubuhnya diliputi bubuk kapur. Kemudian ka-
kek bertampang tak kalah menyeramkan dengan ka-
kek yang duduk di depannya itu menceritakan segala
sesuatunya secara gamblang dan singkat. Untuk lebih
jelasnya (baca episode Bidadari Biru). Mendengar pen-
jelasan si kakek lumpuh yang bukan lain adalah Be-
gawan Panji Kwalat ini, maka kakek berhidung remuk
yang dikenal dengan nama Ki Anjeng Laknat belalak-
kan mata, mulut ternganga. Tak percaya dia berucap.
"Bintang Penebar Bencana kalau tak salah aku
mendengar adalah sebuah senjata dari Kayangan. Sen-
jata itu adanya di Kuil Setan. Aku tidak akan heran bi-la Lira Waktu Sasangka
alias Panji Anom Penggetar
Jagad kena dilukai senjata sakti itu. Ahk.... beruntung kau cepat membawanya
kepadaku. Kalau tidak aku tidak bisa menjamin keselamatannya, adik Begawan!"
kata Ki Anjeng Laknat merasa prihatin, tapi juga masih memendam rasa penasaran
karena Panji Anom yang
semasih berada dalam kandungan tidak mempan sen-
jata ini dapat dilukai orang.
"Begawan, sekarang aku ingin tahu apakah kau
sudah menurunkan semua ilmu kepandaian yang kau
miliki?" tanya Ki Anjeng Laknat setelah terdiam bebe-
rapa saat lamanya.
Begawan Panji Kwalat yang seluruh wajahnya
bercelemongan kapur putih tersenyum. Dia meman-
dang ke arah Panji Anom yang masih belum siuman,
baru kemudian menjawab. "Segala ilmu yang kumiliki telah kuturunkan padanya.
Termasuk juga ilmu Suara
Penggendam Raga. Tapi diantara semua ilmu kesak-
tian yang kumiliki satu atau dua ilmu menjadi simpa-
nan ku sendiri. Karena aku melihat Panji Anom punya
jiwa muda bergelora yang mudah memberontak dan
menentang siapa saja! Sekarang yang menjadi masalah
adalah, apakah kau bersedia menurunkan ilmu yang
ada padamu pada Panji Anom atau tidak?" tanya Begawan Panji Kwalat.
Ki Anjeng Laknat elus-elus jenggotnya yang
panjang memutih, lalu terdengar suara tawa memba-
hak. "Mengenai hal itu tak usah kau khawatirkan. Aku memiliki beberapa ilmu
pukulan, diantaranya adalah
Kutukan Dalam Pusara juga pukulan Bangkit Dari
Kubur! Aku yakin jika dua ilmu ku gabung bersama
ilmu yang kau miliki maka Panji Anom akan menjadi
manusia hebat yang tak terkalahkan. Apalagi kini aku
telah menciptakan ilmu baru yang kuberi nama Ulat
Kepompong, ilmu yang sangat langka ini akan mem-
buat musuh-musuhnya jadi bingung. Ha ha ha!"
"Kakang.... jika benar semua yang kau katakan
itu tentu aku sangat gembira sekali. Sebab terus te-
rang aku terkadang masih merasa khawatir akan se-
suatu....!" ujar Begawan Panji Kwalat.
"Sesuatu apakah adikku, katakan saja terus te-
rang!" Begawan Panji Kwalat terdiam, berfikir dan co-ba mengingat-ingat. Tak
lama kemudian dia membuka
mulut. "Belakangan ini dunia persilatan digemparkan
oleh munculnya seorang pendekar muda yang konyol,
mungkin juga sinting tapi mempunyai ilmu kepan-
daian tinggi. Beberapa tokoh penting dunia persilatan berhasil dipencundangi,
mereka yang dapat meloloskan diri dari tangan pemuda itu menjadi jerih. Ke-
hadirannya membuat ciut nyali tokoh berbagai golon-
gan terlebih-lebih lagi dari golongan hitam seperti kita.
Lebih celaka lagi pemuda itu bahkan kulihat bersama
gurunya ketika Panji Anom mendapat serangan ganas
dari Bidadari Biru." jelas Begawan Panji Kwalat.
"Hmm, siapa nama pemuda itu" Atau mungkin
dia punya julukan, gelar?" tanya Ki Anjeng Laknat. Ada rasa tidak senang dalam
ucapannya. "Dia adalah Pendekar Sakti Gento Guyon, mu-
rid kakek gila Gentong Ketawa!" menerangkan Begawan Panji Kwalat. Jika Ki Anjeng
Laknat tunjukkan
ekspresi wajar ketika mendengar Panji Anom menga-
lami cidera berat di tangan Bidadari Biru, sebaliknya dia tak mampu menutupi
rasa kagetnya ketika Begawan Panji Kwalat menyebut nama Gentong Ketawa. Dia
sendiri begitu mengenal siapa adanya si kakek gendut
besar yang bernama Gentong Ketawa itu.
"Kakang sebenarnya ada apa denganmu. Kau
berjingkrak seperti disengat binatang berbisa, matamu mendelik seperti melihat
setan?" Begawan Panji Kwalat ajukan pertanyaan.
Ki Anjeng Laknat usap wajahnya yang keringa-
tan, perasaan jadi tidak enak, namun dia tetap menja-
wab pertanyaan adiknya. "Begawan, jika Pendekar
Sakti Gento Guyon bukan murid orang yang kau se-
butkan itu aku tidak akan sekaget ini. Tapi si gila Gentong Ketawa, tokoh dari
gunung Merbabu itu bukan
manusia sembarangan. Dia memiliki ilmu tinggi dan
sama sekali tidak bisa dipandang dengan sebelah ma-
ta. Apalagi dia masih mempunyai seorang guru berge-
lar Dewa Kincir Samudera. Si manusia laut, momok
laknat yang menguasai tujuh penjuru angin lautan.
Gento Guyon.... Hemm jika tidak kita habisi dia sece-
patnya kelak pasti akan menimbulkan kesulitan seka-
ligus petaka besar bagi kita!" tegas si kakek.
Begawan Panji Kwalat tertawa tergelak-gelak
mendengar ucapan saudara tuanya. Dia tahu persis,
ilmu kesaktiannya yang dimiliki oleh Ki Anjeng Laknat sangat tinggi. Bahkan
beberapa tingkat di atas dirinya.
Di tambah dengan kesaktian yang dia miliki dan andai
kedua ilmu itu digabung lalu diturunkan pada Panji
Anom Penggetar Jagad tentu dia akan menjadi seorang
pemuda hebat yang sulit dicari tandingannya. "Kau tertawa adikku, apakah
menurutmu ada kata-kataku
yang kau anggap lucu?" Ki Anjeng Laknat merasa tersinggung.
Tawa Begawan Panji Kwalat makin melebar,
makin bergema hingga menusuk telinga mengetarkan
dada. Bila suara tawa si kakek lumpuh lenyap maka
dengan penuh kepongahan Begawan Panji Kwalat be-
rucap. "Kakang, segala keterangan yang kau berikan padaku tidak membawa arti
apa-apa bagiku. Aku tidak
pernah merasa takut pada siapapun, apalagi hanya
terhadap seorang tua bangka gendut berlemak seperti
Gentong Ketawa." Dengus Begawan Panji Kwalat. Dia kemudian melanjutkan
ucapannya. "Kakang, apakah
kau lupa ketika aku membawa bayi yang hendak di-
bunuh oleh Kunti Menak. Bayi yang kemudian kuberi
nama Lira Watu Sasangka itu memilik banyak keisti-
mewaan dan tanda-tanda hebat yang tak pernah dimi-
liki oleh bayi manapun yang pernah terlahir ke atas
dunia ini. Antara lain, kau harus membedah perut
ibunya, murid Kunti Menak yaitu Mawar Pelangi. Bu-
kankah hal itu terjadi karena Panji Anom terbungkus
dalam satu wadah dalam rahim ibunya yang membatu.
Segala benda tajam kau pergunakan untuk mengelua-
rkan bayi dari kulit pembungkusnya yang membatu.
Karena tak berhasil lalu kau pergunakan kesaktianmu.
Kemudian di bagian dada bayi kita mendapati tujuh
buah sisik keras seperti sisik ular. Semua tanda ini
merupakan isyarat bahwa saat sekarang dia memang
harus mewujudkan suatu impian, impian besar untuk
menguasai dunia persilatan dan juga seluruh penghu-
ninya. Aku yakin jika kita berdua bersatu menurunkan
segala ilmu yang kita miliki, Panji Anom akan menjadi manusia paling hebat di
dunia ini, tak akan ada suatu kekuatanpun yang mampu mengalahkannya. Jadi jika
hanya manusia seperti Pendekar Sakti Gento Guyon
dan gurunya buat apa ditakutkan?" ujar Begawan Panji Kwalat penuh keyakinan
diri. Cukup lama Ki Anjeng
Laknat terdiam memikirkan semua apa yang di-
ucapkan oleh adiknya. Diapun akhirnya mengangguk
setuju. Baru saja Ki Anjeng Laknat hendak mengata-
kan sesuatu, pada waktu bersamaan terdengar suara
erangan. Serentak baik Begawan Panji Kwalat maupun
Ki Anjeng Laknat sama palingkan kepala dan sama
memandang ke arah pemuda berbaju merah yang ter-
geletak di atas lantai beralaskan kulit harimau. Tanpa dikomando Begawan Panji
Kwalat dengan gerakan
mengambang di atas permukaan lantai bergerak men-
datangi, begitu juga halnya dengan sang kakek.
Di atas tikar kulit harimau, Panji Anom si pe-
muda tampan bertelinga kecil yang dalam keadaan ter-
luka pandang gurunya juga kakek berambut putih
riap-riapan. Dia sadar betul ketika terjadi perkelahian antara dirinya dengan si
gondrong sinting bertelanjang
dada itu, sebenarnya dia tidak dapat dikatakan kalah.
Hanya karena gadis cantik bertubuh sebening kaca itu
turun tangan dan mengeluarkan senjata sakti Bintang
Penebar Bencana, kemudian segala sesuatunya jadi
terbalik. Dia bukan saja hampir tak sanggup mengata-
si senjata aneh yang dia inginkan, tapi lebih celaka lagi dia sempat dibuat
terluka oleh senjata itu. Masih beruntung di saat jiwanya berada dalam ancaman
ba- haya besar muncul sang guru. Jika tidak Panji Anom
tak dapat membayangkan nasib dirinya.
"Kunyuk gondrong bernama Gento Guyon dan
gadis itu, hmm kelak aku pasti akan mencarinya. Jika
bertemu dengan gondrong sialan itu akan ku siksa dia.
Daging tubuhnya akan ku kikis, sedangkan gadis can-
tik bernama Dewi Kemala Hijau" Panji Anom tertawa dalam hati. "Aku tidak mungkin
langsung membunuhnya. Dia cantik, aku bisa bersenang-senang dengan-
nya. Menikmati setiap jengkal kehangatan tubuhnya,
jika aku sudah muak dan bosan baru kemudian aku
akan membunuhnya!"
"Panji Anom muridku," berkata Begawan Panji Kwalat yang sempat terheran-heran
melihat muridnya
begitu siuman langsung tersenyum, tapi sang Begawan
juga melihat ada kemarahan di wajah pemuda itu.
"Sukurlah jika kau telah sadar. Kami sangat mence-maskan keadaanmu."
Si pemuda memandang langit-langit ruangan,
sesungging senyum tipis bermain di bibirnya. "Aku merasa berterima kasih atas
budi pertolonganmu guru.
Kelak aku akan membalasnya!" ujar Panji Anom juma-wa.
"Muridku kau tidak boleh berkata begitu. Seba-
gai guru aku pantas memberikan bantuan. Tidak usah
memakai segala peradatan."
"Bagus. Pertolonganmu akan kulupakan." kata si pemuda. Dia memandang ke arah Ki
Anjeng Laknat. Setelah memperhatikan kakek yang satu ini Panji
Anom sunggingkan senyum mengejek. "Rambut putih
panjang menutupi sebagian wajah. Mata melesak, tu-
lang pipi miring, hidung remuk. Siapakah mahluk jelek yang ada di sampingmu ini
guru. Aku merasa mau
muntah melihatnya!" dengus Panji Anom lalu cepat palingkan wajahnya ke arah
lain. Begawan Panji Kwalat sempat tercekat men-
dengar ucapan bernada menghina itu. Sebaliknya Ki
Anjeng Laknat kepalkan tinju tangan kanan. Wajah si
kakek merah padam, sepasang mata yang melesak
berkilat tajam sedangkan dadanya laksana mau mele-
dak menahan amarah.
"Panji Anom, inilah orangnya yang dulu sering
kuceritakan padamu. Dia masih terhitung saudara tu-
aku, namanya Ki Anjeng Laknat. Dia pula orang yang
selalu menjaga mu selagi kau masih berada di dalam
kandungan ibumu." Menerangkan Begawan Panji Kwa-
lat. "Hmm, aku tidak bertanya tentang ibuku. Men-
genai asal usulku tidak penting," kata Panji Anom sinis. Dia lalu memandang


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam ke arah Ki Anjeng Lak-
nat. "Jadi ini orangnya yang telah membelaku mati-matian, menjebol perut ibuku
demi menyelamatkan di-
riku adalah suatu tindakan yang sangat kupuji. Kelak
akan ku carikan sepuluh gadis cantik untukmu. Jika
kau mati aku pasti akan mengubur mayatmu dengan
posisi berdiri sebagai tanda aku sangat menghormati-
mu, orang tua!" kata Panji Anom Penggetar Jagad. Ki Anjeng Laknat diam tidak
menanggapi. Sebaliknya Begawan Panji Kwalat hanya mengurut dada menyabar-
kan diri. Tak lama setelah bicara seperti itu Panji
Anom memegang lalu mengurut dadanya yang terluka.
Ternyata luka itu sudah tidak sakit lagi.
"Guru.... kukira luka ini telah sembuh. Seperti
yang pernah kau katakan dulu padaku. Sekarang sete-
lah bertemu dengan kakek ini aku minta agar guru
menepati janji yang pernah guru ucapkan. Saat ini aku butuh ilmu yang lebih
hebat agar aku dapat membunuh monyet gondrong Gento Guyon juga gadis keparat
yang menguasai senjata Bintang Penebar Petaka!"
Begawan Panji Kwalat melirik ke arah Ki Anjeng
Laknat lalu kedipkan matanya. Ki Anjeng Laknat tahu
betul arti kedipan mata adiknya. Jauh di dalam hati
dia sebenarnya masih memendam rasa jengkel pada
Panji Anom yang mana tadi bicara seenak perut sendiri bahkan sampai menyinggung
perasaan kakek itu. Tapi
segala perasaan yang tidak enak ini ditelannya sendiri.
Dengan suara bergetar akhirnya Ki Anjeng Laknat ber-
kata. "Pertama sekali yang perlu ku tekankan, hen-daknya kau bisa membedakan
dengan siapa kau bica-
ra. Tapi denganku harus ada sedikit aturan. Yang ke-
dua musuhmu bukan hanya pemuda gondrong Gento
Guyon saja, atau gadis yang telah mencideraimu ini.
Lebih dari itu, siapapun yang menentang keinginanmu
dan menghalang-halangi segala tindakanmu dalam
mewujudkan cita-cita besar ini adalah musuh yang ha-
rus disingkirkan. Tapi kau harus ingat, untuk mewu-
judkan suatu cita-cita besar kau harus memiliki bekal yang sangat penting.
Diantaranya kau harus menggunakan kecerdikan otak, kelicikan, tipu muslihat dan
mau menempuh segala macam cara. Semua yang ku-
sebutkan itu kurasa telah ada dalam dirimu. Sekarang
aku hanya tinggal menurunkan beberapa ilmu puku-
lan sakti yang tidak ada duanya di dunia ini." ujar Ki Anjeng Laknat.
"Aku ingin tahu, kapan kakek hendak menu-
runkan ilmu pukulan hebat itu padaku?" tanya Panji Anom. "Mungkin besok pagi
setelah lukamu benar-benar sembuh." janji Ki Anjeng Laknat.
"Aku tak suka menunggu. Bagaimana jika nanti
sore saja?" tanya Panji Anom tidak sabar.
Ki Anjeng Laknat geleng-geleng kepala. "Baik-
lah, nanti sore kau boleh mempelajari semua ilmu pu-
kulan sakti yang kumiliki."
Panji Anom tertawa lebar. Dia merasa senang
karena Ki Anjeng Laknat tidak membantah keinginan-
nya. 3 Setelah memacu kuda tunggangan sekian lama,
sosok berpakaian putih yang dipunggungnya terdapat
gambar tengkorak diberi pewarna merah darah ini hen-
tikan kudanya di pinggir kawasan hutan Boyolali. Se-
kejap dia pandangi bagian perutnya yang terluka pa-
rah. Pakaian yang robek hangus disingkapkan. Ternya-
ta cukup banyak darah yang mengalir dari luka itu.
Bukan hanya terluka, tapi juga perut itu nampak ber-
lubang besar hangus menghitam. Penunggang kuda hi-
tam besar ini meringis kesakitan. Sepasang mata diba-
lik topeng kulit bergambar tengkorak menerawang ke
depan. "Aku tak mungkin bisa melanjutkan perjalanan ke Partai Tengkorak Darah.
Luka yang ku alami sangat
parah sekali. Hmmm, Mata Aneh. Kau bukan saja te-
lah menjadi pencuri tengik laknat, tapi kau juga telah membunuh saudaraku Jaran
Ketaton. Kelak jika
umurku panjang aku pasti akan mengejarmu!" geram
laki-laki itu yang bukan lain adalah pemimpin Partai
Tengkorak Darah. Sejenak lamanya sambil mendekap
bagian luka dengan tangan kiri Momok Ungaran berfi-
kir, memutar otak memikirkan jalan untuk mencari
kesembuhan. Dia lalu memandang keadaan di sekeli-
lingnya. Sekelumit harapan tersembul di dalam ha-
tinya begitu dia mengenali daerah itu.
"Kalau tak salah aku mengingat, saat itu aku
berada di pinggir kawasan hutan Boyolali. Kalau tak
salah pula bukankah juru Obat Angin Laknat juga
tinggal di sekitar kawasan ini. Seandainya saja aku bi-sa bertemu dengan
sahabatku itu. Mungkin aku bisa
minta pertolongan memohon kesembuhan. Dari pada
aku teruskan perjalanan ke partaiku, paling tidak aku membutuhkan dua hari.
Kuharap Juru Obat Angin
Laknat sekarang ada di tempat. Ukh... aku yakin pan-
caran sinar mata yang menembus perutku ini men-
gandung racun jahat. Jika aku tidak cepat menda-
patkan pertolongan nyawaku bisa amblas!" Khawatir akan keselamatan dirinya,
tanpa membuang waktu la-gi Momok Ungaran segera memutar arah kuda siap
menembus hutan lebat yang ada di depannya. Akan te-
tapi gerakan tangannya yang hendak menarik tali ken-
dali kuda jadi tertahan karena pada waktu yang ber-
samaan dia mendengar suara langkah kaki orang yang
tengah berlari. Yang membuat Momok Ungaran jadi
terkejut setiap langkah yang terdengar disertai gerakan hebat laksana goncangan
gempa yang melanda kawasan hutan itu. Rasa kejut Momok Unggaran makin
menjadi-jadi karena di tengah-tengah suara langkah
yang bergemuruh itu sesekali terdengar suara jeritan
perempuan. Belum lagi rasa kejut di hati Momok Unggaran
lenyap, mendadak semak belukar di depannya tersi-
bak, satu sosok tubuh dengan tinggi dan besar luar biasa muncul di situ. Momok
Unggaran pandang orang
itu dari bawah ke atas. Sepasang mata ketua Partai
Tengkorak Darah ini membeliak besar. Bukan karena
sosok raksasa berkulit hitam legam ini memiliki wajah angker menyeramkan,
melainkan karena laki-laki tinggi besar itu membawa seorang gadis yang sangat
dike- nalnya. Gadis itu bukan lain adalah Sriwidari, puteri Juru Obat Angin Laknat.
Berada dalam kempitan ketiak si tinggi besar Sriwidari gadis berdagu terbelah
yang memiliki kesaktian tinggi ini ternyata tidak dapat berbuat apapun untuk
menyelamatkan diri. Sebagai
orang yang telah kenyang makan garam dunia persila-
tan, hanya dengan sekali lihat Momok Unggaran segera
tahu kalau Sriwidari dalam keadaan tertotok. Sebalik-
nya si gadis begitu melihat dan mengenali siapa
adanya penunggang kuda hitam itu langsung berte-
riak. "Paman Momok Unggaran, sebaiknya pergilah sebelum terlambat. Setan Raksasa
baru saja membunuh
ayahku Juru Obat Angin Laknat!"
Teriakan Sriwidari membuat Momok Unggaran
jadi tercekat. Dia sama sekali tidak mengenali siapa
adanya orang berbadan besar seperti raksasa itu. Tapi jika dia sampai dapat
membunuh Juru Obat Angin
Laknat ini merupakan sesuatu yang cukup menge-
jutkan. Karena Momok Unggaran tahu persis sahabat-
nya itu memiliki ilmu kesaktian tinggi disamping ilmu kekebalan. "Celaka betul
nasibku hari ini. Aku berharap Juru Obat Angin Laknat dapat menyembuhkan lu-
ka dan memperpanjang umurku. Siapa sangka dia
sendiri malah jadi tidak selamat!" batin Momok Unggaran. Walaupun begitu mana
mungkin dia mau menu-
ruti perintah Sriwidari puteri sahabatnya. Apa lagi gadis itu dalam keadaan
tertawan. Mengingat hubungan
baik selama ini dengan orang tuanya, mustahil dia tega meninggalkan Sriwidari.
"Manusia bertopeng jelek, kurcaci kecil yang
dalam keadaan terluka. Sebaiknya kau segera me-
nyingkir. Aku Rajo Penitis belasan tahun kehilangan
istri kehilangan anak. Sekarang aku akan membawa
gadis cantik ini untuk kujadikan istri agar dapat memberi ku anak." dengus sosok
raksasa sambil sunggingkan seringai aneh, hingga terlihatlah sepasang taringnya
yang besar dan tajam.
"Raksasa edan salah kaprah, dari pada dia kau
jadikan istrimu lebih baik dia jadi pendamping hi-
dupku. Bukankah begitu Sriwidari?" tanya Momok Unggaran. Gadis cantik berpakaian
seronok warna ungu,
saking takut dan gugupnya jadi anggukan kepala.
"Aku... aku memang lebih suka menjadi pen-
damping paman itu daripada menjadi istri raksasa gila ini. Tubuhnya bau menyan,
aku jadi mau muntah,
hoeeek!" kata Sriwidari.
Momok Unggaran meskipun terluka demi men-
dengar ucapan Sriwidari jadi bangkit kembali seman-
gatnya. Sebaliknya sosok raksasa itu menjadi sangat
marah. "Benar kau menjadi istrinya?" tanya Rajo Penitis sambil menatap ke arah
si gadis yang berada dalam jepitan ketiaknya.
"Tentu saja betul. Aku tak berdusta!" jawab si gadis ketus.
"Kuya.... kalau begitu Mawar Pelangi ternyata
lebih setia padaku! Gadis sampah, akan kubuat am-
blas nyawa kurcaci kecil itu dulu. Setelah itu baru gili-ranmu!" berkata begitu
Rajo Penitis lalu lemparkan tubuh Sriwidari yang dikempitnya sejak tadi ke balik
se- mak belukar. Dari balik semak belukar dimana ada so-
sok tubuh mendekam di sana berseru kaget.
"Ini yang namanya mimpi kejatuhan bulan!" ce-letuknya, merasa tidak sampai hati
melihat tubuh Sri-
widari terhempas membentur batu sosok pemuda gon-
drong bertelanjang dada ini langsung ulurkan tangan
menyambuti. Sriwidari terkejut besar, dia cepat menoleh
hampir mendamprat. Tapi makian yang hendak ter-
sembur dari mulutnya mendadak ditelannya kembali
begitu melihat bahwa orang yang telah menolongnya
adalah seorang pemuda berwajah tampan. Dia merasa
senang tapi hanya sekejap karena begitu mengenali
wajah si pemuda dia jadi berseru.
"Pemuda kurang ajar. Bukankah kau orangnya
yang menjatuhkan diri di pinggir sungai di saat diriku sedang mandi te....!"
Sriwidari tidak lanjutkan ucapannya. Wajah si gadis berubah memerah.
"Mandi telanjur!" si gondrong sambil tertawa-tawa teruskan ucapan si gadis yang
terputus. "Lepaskan, turunkan aku pemuda sinting!" teriak Sriwidari. Dia mencoba meronta
bebaskan diri da-
ri pelukan si gondrong, tapi karena tubuhnya dalam
keadaan tertotok, maka dia tak mampu berbuat apa-
pun. Si gondrong bertelanjang dada yang bukan lain
Pendekar Sakti Gento Guyon adanya tertawa bergelak.
"Kau minta aku turunkan, baik. Aku kulakukan!" menyahut Gento Guyon. Enak saja
dia lepaskan kedua
tangannya yang mendukung tubuh si gadis.
Bruk! Sriwidari jatuh bergedebukan. Dia men-
geliat, mulut semburkan sumpah serapah. Si gondrong
tertawa tergelak-gelak. Mendengar suara tawa si pe-
muda, baik si raksasa Rajo Penitis maupun Momok
Unggaran berpaling ke arah Gento.
Momok Ungaran jadi delikkan mata melihat ba-
gaimana Sriwidari dipeluk dan dilepaskan oleh pemuda
itu. Sebaliknya Rajo Penitis keluarkan suara erangan
dahsyat laksana merobek langit. "Muncul lagi satu kurcaci gondrong di tempat ini
yang minta kugebuk
mampus. Heh, akan kubereskan keduanya sekalian!"
dengus Rajo Penitis. Melihat sosok raksasa itu angkat tangan kanannya yang
panjang besar luar biasa, Gento
Guyon jadi membuka mulut keluarkan tawa.
"Ha ha ha. Besarnya tubuhmu membuat aku
pantas memanggilmu Kurcaca. Hei kurcaca.... kau tak
perlu merasa iri karena aku sempat kebagian jatah
mengendong gadis itu. Aku sendiri walaupun merasa
suka tak kemaruk untuk menjadikan istri. Dia me-
mang pantas untukmu, jadi kau tak usah khawatir
aku melarikannya. Bahkan aku bisa menjaganya un-
tukmu. Nah sekarang yang menjadi sainganmu adalah
pesakitan penunggang kuda yang berkedok topeng
tengkorak, dia bisa menjadi penyakit bagi dirimu." kata Gento tak lepas dari
tawa. Ucapan Gento ternyata termakan oleh Rajo Pe-
nitis. Sehingga kini dia kembali menghadap ke arah
Momok Unggaran.
Pentolan Partai Tengkorak Darah merutuk ha-
bis-habisan. "Jahanam gondrong itu sungguh pandai bersilat lidah. Nampaknya dia
sengaja mengail di air
keruh. Keparat.... jika bangsat besar ini dapat kuhabisi secepatnya, dia pasti
tak akan luput dari tanganku!"
geram Momok Unggaran dalam hati.
"Hei, sobat kurcaca, mengapa kau diam mela-
mun begitu. Apa kau tidak berani menghadapinya.
Atau kau ingin aku mewakili dirimu untuk mencabut
nyawanya" Aku kurcaci kecil mana takut, malah se-
nang melakukan tugas untuk seorang sahabat. Tapi
apakah kau tidak malu pada dirimu sendiri" Ini uru-
san besar menyangkut harga diri. Cepatlah lakukan
sesuatu sebelum aku menghabisinya!" kata Gento memanas-manasi.
Sosok berbadan besar itu ternyata hanya ba-
dannya saja yang besar, sedangkan otaknya tumpul
mudah terpengaruh. Apalagi Gento memanggilnya so-
bat. Sehingga Rajo Penitis merasa cepat akrab. Sambil menyeringai perlihatkan
sepasang taringnya yang tajam, Rajo Penitis berkata ditujukan pada Pendekar
Sakti Gento Guyon. "Kurcaci kecil. Ucapanmu ternyata memang betul. Jika tak
kuhabisi dia, boleh jadi dia
menghabisi diriku. Sekarang tolong kau jaga calon is-
triku itu. Kau boleh menonton di situ sambil duduk
uncang-uncang kaki. Kau bisa melihat bagaimana cara
sobatmu menghabisi kadal butut memakai topeng
rongsokan itu!" kata Rajo Penitis lalu tertawa tergelak-gelak. Gento merasakan
telinganya seperti ditusuk belasan batang jarum. Dia sempat terhuyung dan jatuh
duduk dengan kaki bersilangan sebagaimana yang di-
katakan Rajo Penitis. Sebaliknya Sriwidari jatuh pingsan. Momok Unggaran jika
tidak keluarkan suara
menggembor untuk mengatasi tawa Rajo Penitis
mungkin sudah jatuh merosot dari punggung ku-


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

danya. Sambil menahan geram karena si gondrong
berhasil mempengaruhi Rajo Penitis, Momok Unggaran
berteriak lantang ditujukan pada Rajo Penitis.
"Manusia raksasa tolol. Mau saja dikadali bo-
cah ingusan. Apakah kau tak pernah berfikir bagaima-
na seandainya dia yang melarikan gadis itu. Kita bertarung mati-matian, dia
hanya tinggal mendapatkan
enaknya. Ha ha ha!"
Si tinggi besar nampak bimbang sejenak men-
dengar ucapan Momok Unggaran. Tapi Gento tidak
membiarkan kebimbangan itu berlangsung lama. "Sobatku kurcaca, kau orang yang
kuhormati. Kurcaci ke-
cil dan jelek sepertiku mana berani berbuat macam-
macam, apalagi sampai melarikan calon istri sobatnya
sendiri! Tapi semuanya terserah kau, mau membiar-
kan setan bertopeng itu hidup juga terserah. Paling tidak nantinya kau tak bisa
hidup tenang, apalagi ber-
bulan madu karena dia akan terus membayangimu.
Salah-salah baru mulai pemanasan saja dia muncul
dan minta bagian. Ha ha ha!"
"Bocah sialan tukang fitnah busuk awas kau!"
geram Momok Unggaran menjadi marah luar biasa.
"Sobatku kurcaca, lihat belum apa-apa dia su-
dah mengancamku. Apakah kau tidak merasa kasihan
dengan sobatmu yang kecil dan tidak berdaya ini" Huk
huk huk!" kata Gento sambil pura-pura menangis.
"Kurcaci terluka berkedok tengkorak. Berani
kau mengancam sahabatku. Kubunuh kau sekarang
juga!" teriak Rajo Penitis dengan suara menggembor.
4 Belum lagi suara Rajo Penitis lenyap, sosok
manusia dengan besar dan tinggi badan luar biasa ini
langsung tendangkan kaki kanannya ke arah Momok
Unggaran. Ketua Tengkorak Darah keluarkan seruan
tertahan begitu merasakan ada angin dingin laksana
puting beliung melabrak tubuhnya. Tidak tinggal diam, meskipun dalam keadaan
terluka di bagian perut aki-
bat terkena sinar Mata Aneh beberapa hari yang lalu
dia langsung melompat tinggalkan kuda mencari sela-
mat. Sedangkan kuda tunggangan itu tidak sempat la-
gi selamatkan diri. Kuda jatuh terpelanting menabrak
kayu besar, keluarkan suara ringkikan keras, tulang
berderak dan terhempas mati.
Melihat binatang tunggangannya tewas, Momok
Unggaran menggerung marah. Tidak menunggu sebe-
lum Rajo Penitis berbalik menghadap ke arahnya dan
siap melancarkan serangan kembali, Momok Unggaran
lepaskan satu pukulan jarak pendek yang langsung te-
rarah ke bagian pinggang lawannya. Serangkum sinar
merah membersit keluar dari telapak tangan Momok
Unggaran. Hawa panas menggebu, Rajo Penitis ki-
baskan tangan besarnya ke belakang. Dari tangannya
menderu hawa dingin luar biasa. Dua pukulan saling
bertemu hingga menimbulkan suara ledakan mengge-
ledek. Momok Unggaran terdorong mundur satu tindak
ke belakang, pukulan yang dilepaskannya sebagian
berbalik hampir menghantam dirinya sendiri. Akan te-
tapi Momok Unggaran sudah melompat ke udara. Di
udara dia lakukan gerakan sedemikian rupa, tubuh
berputar kaki menghantam kepala Rajo Penitis.
Satu tendangan menggeledek menghantam ke-
pala sosok manusia raksasa ini. Rajo Penitis hampir
saja jatuh tersungkur akibat tendangan itu. Kepalanya terasa pusing, berdenyut
sakit laksana mau pecah. Sosoknya tiba-tiba saja berbalik.
Duuk! Duuk! Duuk!
Rajo Penitis melangkah lebar, mulut menyerin-
gai sedangkan matanya mencorong tajam. Setiap gera-
kan kaki yang dibuatnya selalu menimbulkan getaran-
getaran hebat laksana gempa.
Tiba-tiba tangannya terjulur.
Wuuut! Tangan besar panjang itu menggapai lakukan
gerakan mencengkeram ke bagian kepala dan leher.
Tak mau konyol ditangan lawan dia melompat mun-
dur. Sambil mundur laksana kilat dia mencabut pe-
dang. Pedang dikibaskan ke depan menyambut samba-
ran tangan lawan, sinar putih berkiblat. Rajo Penitis terpaksa menarik balik
tangannya, sebagai ganti dia
lepaskan tendangan ke bagian perut lawan.
Wuuut! Tendangan berhasil dielakkan oleh Momok Un-
ggaran. Meskipun sudah terluka ternyata dia memiliki
daya tahan sekaligus tenaga dalam yang luar bisa.
Dari tempat dimana Gento berada melihat Rajo
Penitis masih belum juga mampu menjatuhkan lawan-
nya murid Gentong Ketawa ini berseru memanasi. "Sobatku kurcaca, engkau dan
orang itu sedang main ke-
toprak atau apa. Badanmu begitu besar, tapi sejak tadi kulihat kau kena diledek
oleh setan jelek bertopeng itu!
Bunuh... bunuh dia secepatnya!" teriak Gento.
"Main ketoprak tidak, kuda lumpingpun tidak.
Jangan khawatir sahabat kurcaci dia pasti akan ku-
bunuh!" teriak Rajo Penitis. Laki-laki tua berbadan tinggi besar ini kemudian
salurkan tenaga dalamnya
ke bagian kedua tangannya hingga tangan yang besar
itu mengeluarkan suara bergemeletakan.
Sementara itu di tempatnya Gento melirik ke
arah si gadis. Si gondrong kedipkan matanya begitu
mata Sriwidari mendelik ke arahnya.
"Kau tentu tak mau menjadi istri raksasa jelek
itu bukan" Mendengar pengakuanmu tadi kau lebih
suka menjadi istri manusia jahat Momok Unggaran.
Melihat pertarungan ini kurasa orang yang kau cintai
tak bakal berumur panjang, apalagi dia sudah terluka
sebelumnya. Nah...selamanya aku kagum pada orang
yang memiliki cinta sejati. Karenanya aku akan mem-
bebaskan totokan di tubuhmu, setelah bebas kau bo-
leh membela tikus comberan memakai topeng itu sam-
pai kalian berdua menemui ajal. Semua yang kulaku-
kan ini anggap saja sebagai penebus kesalahanku ke-
tika jatuh di pinggir sungai hingga tak sengaja aku terpaksa melihat kau yang
sedang mandi!" kata Gento dengan suara perlahan.
Tak pernah menyangka pemuda itu ingin mem-
bebaskan dirinya, tentu saja Sriwidari jadi terkejut dan tidak percaya, tapi
juga merasa jengkel karena si gondrong menyangka dia suka pada Momok Unggaran.
Sehingga sambil mendelik dia menjawab. "Gondrong edan, siapa sudi pada Momok
Unggaran. Dia pantas
menjadi ayahku. Lagipula segala ucapanku hanya se-
kedar bergurau. Mengapa harus diambil hati. Sekarang
kalau kau ingin menolongku cepat lakukan. Aku ingin
pergi dari tempat ini secepatnya, tapi bagaimana tanggung jawabmu nanti jika
Rajo Penitis tau kau mele-
paskan diriku?" tanya Sriwidari diam-diam merasa khawatir.
Pendekar Sakti Gento Guyon tersenyum.
"Manusia yang satu itu hanya badannya saja
yang besar, tapi isi otak sebenarnya kosong. Sudah
jangan kau fikirkan masalah itu, lain lagi kalau kau mau menjadi kekasihku! Ha
ha ha!" kata Gento lalu tertawa tertahan-tahan. Sambil tertawa dia perhatikan
wajah dan bagian tubuh si gadis lainnya sehingga dia
dapat memperkirakan di bagian mana gadis itu ditotok
oleh Rajo Penitis.
Ternyata Sriwidari mendapat totokan di bagian
tengkuk dan punggungnya. Gento mendekat, tangan
dijulurkan. Dua usapan dilakukan berturut-turut.
Hanya pelan saja, hasilnya sungguh membuat Sriwida-
ri tercengang. Bukan hanya gadis itu saja, Gento sen-
diripun ikut tercengang. Sekarang setelah bertemu
dengan Manusia Seribu Tahun tenaga dalamnya jadi
meningkat pesat.
Begitu terbebas dari totokan Sriwidari langsung
bangkit berdiri. Setelah memandang pada Gento den-
gan perasaan kagum serta penuh rasa terima kasih
tanpa menoleh atau bicara lagi dia langsung tinggalkan tempat itu.
"Celaka, mengapa aku melepaskannya!" fikir
Gento setelah Sriwidari meningalkannya. Sementara
itu didepannya sana Momok Unggaran telah mengelua-
rkan segala kepandaian yang dia miliki. Sayangnya
sampai sejauh itu walaupun Momok Unggaran telah
menggunakan jurus-jurus pedangnya yang hebat, dia
tetap tidak mampu merobohkan lawannya. Akibat luka
dan juga akibat pengerahan tenaga dalam yang terus
menerus. Tanpa disadari Momok Unggaran semakin
lama serangannya semakin melemah. Jika tadi Rajo
Penitis hanya mengambil posisi bertahan dalam meng-
hadapi gempuran lawan, maka kini dia balas melan-
carkan serangan. Sosok manusia raksasa itu tiba-tiba
berkelebat lenyap dari pandangan mata. Momok Un-
ggaran merasakan ada sambaran angin kencang mela-
brak dari delapan arah sekaligus. Laki-laki bertopeng tengkorak ini tercekat,
tapi dia cepat ambil tindakan dengan babatkan pedang ke delapan penjuru arah.
Sing! Wuut! Wuut! Babatan pedang yang dilakukan dengan bertu-
bi-tubi itu ternyata tak dapat berbuat banyak. Malah
kini dia melihat satu bayangan berkelebat melompat di atasnya. Melihat ini Momok
Unggaran tusukkan pe-
dangnya dengan kecepatan laksana kilat dari bawah ke
atas. Rajo Penitis tertawa bergelak, dalam keadaan ber-jumpalitan sedemikian
rupa jari tangan kanannya me-
nyambar cepat menyambut babatan senjata lawannya.
Tep! "Hah, keparat....!" rutuk Momok Unggaran begitu melihat pedangnya terjepit
diantara jemari tangan
lawannya. Dengan segenap sisa tenaga yang ada dia
berusaha membetot pedangnya. Tapi apa yang dilaku-
kannya itu hanya sebagai suatu kesia-siaan. Terlebih-
lebih setelah Rajo Penitis sudah jejakkan kedua ka-
kinya di atas tanah.
Momok Unggaran walaupun merasa kaget tapi
tidak kehilangan akal untuk mengatasi lawannya.
Dengan cepat sekali dia tendangkan kakinya ke bagian
tempurung lutut Rajo Penitis. Tak menyangka menda-
pat serangan seperti itu Rajo Penitis tak sempat menghindar. Dhaaak!
Tendangan yang sangat keras membuat Rajo
Penitis meraung, dengan begitu jepitan jari tangannya pada badan pedang
mengendor. Momok Unggaran menarik lepas pedangnya. Selanjutnya pedang ditusuk-
kan ke bagian perut lawan. Terhuyung-huyung Rajo
Penitis berkelit, tangan terjulur lakukan gerakan begi-tu rupa. Tahu-tahu lima
jari tangannya sudah berhasil mencengkeram hulu pedang yang tergenggam di tangan
Momok Unggaran. Satu sentakan yang sangat ke-
ras bukan saja membuat pedang terbetot lepas berpin-
dah tangan, tapi juga membuat tangan Momok Ungga-
ran laksana tanggal sedangkan tubuhnya ikut tertarik
ke depan. Tak menunggu, laksana Kilat Rajo Penitis
balikkan pedang begitu rupa hingga bagian ujungnya
menghadap ke arah lawan Pedang didorong ke depan.
Momok Unggaran yang tadinya terbetot ke depan tak
kuasa lagi menghindar.
Creess! Pedang dengan telak menembus bagian dada,
masuk ke bagian dalam tubuh dan tembus hingga ke
bagian punggung belakang. Momok Unggaran mende-
lik besar, mulutnya yang ternganga semburkan darah.
Selagi ketua partai Tengkorak darah terhuyung-
huyung sambil dekap pedang yang menembus dada,
Rajo Penitis melepaskan tendangan menggeledek yang
menghantam tubuh lawannya. Momok Unggaran terpe-
lanting dan jatuh sejauh sepuluh tombak. Rajo Penitis tertawa panjang. Selagi
manusia raksasa ini tenggelam dalam suara tawanya sendiri di saat itu pula
terdengar suara pekikan Gento.
"Celaka, sahabat kurcaca.... perempuan itu, ca-
lon istrimu melarikan diri!" kata pemuda itu dengan tubuh terbungkuk-bungkuk
seperti baru saja habis
terkena tendangan.
Tawa Rajo Penitis lenyap, dia berpaling ke arah
Gento yang jatuh berkelukuran dengan posisi me-
nungging sambil dekap bagian bawah perutnya.
5 Tertegun setengah tak percaya Rajo Penitis
memandang si pemuda dengan mata mendelik lebar.
Sepasang alisnya yang tajam terangkat naik, dia men-
jadi terheran-heran melihat Gento dalam keadaan se-
perti itu. Hanya dengan beberapa kali tindakan Rajo
Penitis sudah sampai di samping Gento yang masih
dalam keadaan posisi menungging. Salah satu tangan
Rajo Penitis berkelebat, tahu-tahu pinggang pemuda
itu sudah kena dicengkeramnya. Wuut! Sekali sentak
Gento sudah terangkat tinggi, wajahnya berhadapan
dengan wajah Rajo Penitis, hingga dia dapat merasa-
kan dengus nafas Si tinggi raksasa yang panas me-
nampar-nampar wajahnya.
Masih pura-pura kesakitan sambil memegangi
selangkangannya Gento memandang tajam ke arah Ra-
jo Penitis, saat yang sama manusia raksasa ini juga
menatapnya dengan sorot mata menyelidik. Seakan dia
ingin menjajaki akan kebenaran segala ucapan Pende-
kar Sakti Gento Guyon.
"Benar gadis itu kabur" Bagaimana bisa, se-
dangkan dia dalam keadaan tertotok?" tanya Rajo Penitis. "Be... betul. Waduh
sakitnya. Bukan aku yang membebaskan totokannya. Tapi seseorang. Waktu itu
aku merasa kagum melihat jurus-jurus silatmu se-
hingga aku jadi lengah." kata Gento berbohong. "Lalu kulihat kau meringis begitu
seperti orang mau buang
hajat, apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?"
tanya Rajo Penitis lagi. Saat bicara jarak antara mulut si raksasa dengan
telinga Gento begitu dekat sekali,
hingga murid si gendut Gentong Ketawa merasa seperti
ada halilintar yang menyambar telinganya.
"Waduh, kalau bertanya pakai kira-kira. Kau
berteriak dekat telingaku bisa membuat telinga jadi tu-li." keluh Gento. Rajo


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penitis jauhkan Gento dari mulutnya. Sedangkan pemuda itu sudah melanjutkan
sambil meringis-ringis. "Seorang nenek bungkuk me-nendang bola ku yang disini.
Bukan tendangan biasa.
Kurasa dia menggunakan ajian khusus, terbukti pe-
rutku langsung mulas dan aku jadi tak bisa mengejar-
nya." kata Gento dan tentu saja semua ini merupakan suatu kedustaan belaka.
"Orang tua itu hebat. Bola mu ditendang,
mungkin pecah, bisa jadi remuk. Coba kau lihat, biar
aku periksa. Kalau sudah tidak patut dipakai lebih
baik kau buang saja dan aku adalah orang yang paling
sanggup melakukannya!" kata Rajo Penitis siap meme-lorotkan bagian celana depan
Gento Guyon. Pemuda
itu merasa semangatnya laksana terbang, dia mati ku-
tu. Tangan kiri kini kembali didekapkan ke bawah pe-
rutnya. Akan tetapi Gento yang cerdik merasa tidak
kehabisan akal. Dia segera menanggapi. "Jangan kau buang. Biarkan saja di situ.
Lagipula anunya jelek, agak burik juga ada panunya. Apalagi belakangan aku
jarang sekali mandi. Ha ha ha!"
"Huh pantas dari sini aku sudah mencium
baunya. Kalau begitu aku tak mau menolong. Biarkan
saja yang remuk tetap remuk. Ehh, sobatku kurcaci
siapa kiranya orang yang telah melarikan calon istriku itu, bagaimana ciri-
cirinya cepat terangkan padaku!"
desak Rajo Penitis tidak sabar.
Karena semua apa yang diucapkan Gento
hanya sebagai sesuatu yang ngawur maka pertanyaan
laki-laki raksasa itu paling tidak membuat Gento jadi kelabakan. Dia terdiam
berfikir sejenak, wajahnya dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat seperti
ketakutan sekali.
"Aku... bagaimana aku berani mengatakannya.
Orang itu sangat menakutkan sekali. Tampangnya
angker, matanya merah."
"Sobatku kurcaci sinting jangan takut. Kau
mau memberi keterangan tentang orang itu, aku yang
akan mengejar aku pula yang akan membereskannya.
Cepat katakan!" desak Rajo Penitis.
"Eh...ee. Ciri-ciri nenek itu, sudah tua. Berpa-
kaian hitam, bagian leher ada rempelannya, dia mem-
punyai tongkat hitam tubuh bungkuk!" jelas Gento semakin bertambah ngawur.
Tak pernah disangka-sangka mendengar penje-
lasan Gento tak terduga Rajo Penitis berjingkrak kaget, surut satu langkah ke
belakang sedangkan matanya
memandang mendelik pada Gento.
"Aduh sobatku kurcaca, cekalan mu begini ke-
ras. Salah-salah aku bisa kau buat menjret."
Sadar akan apa yang dilakukannya Rajo Penitis
mengendurkan cekalan tangan pada bagian pinggang
Gento. Walaupun Rajo Penitis tidak bicara apa pun,
namun Gento tahu sesungguhnya sosok manusia rak-
sasa ini sedang dilanda kemarahan.
"Sobatku kurcaca, apa sebenarnya yang sedang
terjadi. Kau seperti tengah menyimpan dendam dan
amarah.?" tanya pemuda itu. Dalam hati dia berharap semoga dia tidak menyinggung
perasaan Rajo Penitis.
Sebab apapun alasannya dia tak mau menanam benih
permusuhan dengan manusia besar berotak tolol ini.
"Sobatku kurcaci tengik sialan. Ciri-ciri orang
yang kau sebutkan itu sama persis dengan orang yang
telah memisahkan diriku dengan seorang wanita yang
sangat kucintai! Rasanya tingkah nenek keparat itu
sudah melampaui batas. Akan kucari dia. Segala
penghinaan ini harus kubalas impas!" seru Rajo Penitis. Ketika bicara manusia
raksasa ini hantamkan ka-
kinya pada sebuah batu besar, batu itu bukan saja
amblas melesat ke dalam tanah tapi hancur menjadi
bubuk mengeluarkan asap tebal.
Gento tercekat, mendadak tengkuknya terasa
dingin bukan main. Dia tak bisa membayangkan ba-
gaimana jika dirinya yang dijadikan sasaran Rajo Penitis. Bisa jadi tubuhnya
medel sampai ke ampas-
ampasnya. Akan tetapi disamping itu Gento sebenarnya
merasa jengkel karena manusia raksasa itu memang-
gilnya, "tengik sialan". Dengan mengesampingkan perasaan sendiri, sambil
menyimpan rasa herannya tak
menyangka bahwa keterangannya yang ngawur itu
adalah sesuatu yang dibuat-buat, sekali lagi Gento
ajukan pertanyaan. "Sobatku kurcaca, aku melihat matamu seperti menyimpan beban
derita batin yang
hebat. Seandainya kau tidak keberatan, andai saja aku tahu derita mu, mungkin
sobat kecilmu ini dapat
memberikan sedikit bantuan yang berarti."
Rajo Penitis manggut-manggut, dari sudut pi-
pinya ada air mata yang bergulir menetes mungkin dia
merasa terharu mendengar ucapan Gento yang terke-
san tulus itu. "Raksasa goblok ini ternyata masih juga punya
perasaan. Syukur segala keteranganku yang melantur
itu cocok dengan apa yang ada dihatinya jika tidak walah aku tidak bisa menjamin
bagaimana nasibku!"
"Kurcaci baik. Huuuk huuk....!" berkata begitu Rajo Penitis melonggarkan
cekalannya pada pinggang
Gento. Dia bahkan dengan perlahan turunkan pemuda
itu. Setelah Gento menjejakkan kedua kaki ke tanah, si raksasa mengelus-elus
kepala pemuda itu tidak ubahnya seperti orang tua yang membelai rambut anaknya.
"Raksasa bodoh ini mungkin gilanya lagi angot."
batin Gento dalam hati.
"Kurcaci, aku tidak bisa jelaskan duduk soal-
nya denganmu saat ini. Mungkin nanti jika urusanku
dengan nenek keparat itu sudah kubereskan baru ku-
ceritakan pengalaman cinta pahit ku ini padamu. Se-
karang aku harus pergi dulu, kurcaci baik!" kata Rajo Penitis. Dia mengusap pipi
Gento, pelan saja memang
tapi akibat usapan itu membuat Gento merasa pipinya
seperti ditampar dan hampir membuatnya terpelating.
"Kurcaci baik, kasihan sekali dirimu. Kau su-
dah begini kecil, gondrong dan dekil, aku jadi ingat
dengan gelandangan di pasar!"
"Raksasa sialan. Tampang cakap begini dikata
dekil." rutuk Gento dalam hati. Tak urung dia menimpali ucapan Rajo Penitis.
"Sobatku kurcaca, biar jelek seperti gelandangan pasar, tapi kekasih dan calon
jo-dohku seorang puteri raja yang cantik. Dia memiliki
singgasana besar dan mewah."
"Benarkah" Kalau begitu nasibmu lebih baik
dariku. Aku ikut senang mendengarnya. Kalau aku bo-
leh tahu siapakah nama puteri itu?" tanya Rajo Penitis penasaran.
"Namanya masih dalam angan-anganku sebab
sampai saat ini dia belum terlahir ke dunia ini! Ha ha ha."
"Oalah kurcaci kecil sialan!" maki setinggi raksasa. Tawa Gento makin menjadi-
jadi. Rajo Penitis
mendadak kernyitkan keningnya. Dia kemudian me-
nyambar telapak tangan kanan Gento lalu memperha-
tikan garis-garis tangan yang tertera di atasnya. Gento jadi heran. Sebelum dia
sempat ajukan pertanyaan
akan maksud Rajo Penitis melihat telapak tangannya
si raksasa membuat mulut berucap. "Kau ini bang-
sanya pemuda yang tidak boleh melihat perempuan
cantik. Jalan hidupmu penuh dengan liku-liku dan
tantangan yang terkadang membahayakan keselama-
tan jiwa. Sifat dan tingkahmu yang lucu terkadang
membuat orang jadi salah menduga hingga mereka be-
ranggapan kau ini orang yang kurang waras. Garis
tangan ini mengatakan kau manusia baik." Menerangkan Rajo Penitis dengan mata
terpejam. Mendengar
semua ini Gento jadi kaget tapi juga sunggingkan se-
nyum. Rajo Penitis buka matanya.
"Kau hendak kemana kurcaci kecil?"
"Mungkin akan menghadiri pertemuan para to-
koh di Kiara Condong." sahut pemuda itu. Dia sebenarnya ingin mengatakan kalau
saat itu tengah men-
cari gurunya juga yang lenyap ditelan pusaran angin
putih. Tapi Gento Ragu-ragu sehingga akhirnya hanya
diam saja. "Sebelum kau pergi aku hanya bisa mengata-
kan akan ada yang tidak beres terjadi disana. Kau ha-
rus berhati-hati, karena bukan mustahil kau termasuk
salah satu yang arwahnya segera dijemput oleh malai-
kat maut. Ha ha ha!"
"Kurcaca.... apa yang tidak beres itu" Dapatkah
kau jelaskan padaku?" tanya Gento. Tak ada jawaban.
Sunyi sekali. Gento memandang ke belakangnya, dia
jadi kaget karena ternyata Rajo Penitis sudah tidak ada lagi di situ.
Pendekar Sakti Gento Guyon golang- golengkan
kepala. "Tubuhnya besar luar biasa. Bagaimana
mungkin dia pergi sementara aku tak mengetahuinya.
Sungguh dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi sekali!" kata Gento merasa kagum. Tanpa berfikir lagi pemuda ini segera
pula tinggalkan tempat itu.
6 Matahari hanya tinggal berupa bayangan merah
seperti nyala unggun api besar di ufuk langit sebelah barat. Senja itu kota
kecil di daerah Karang Mulyo sebelah selatan Kiara Condong tampak lebih ramai
dari hari-hari biasanya. Kesibukan di sebuah kedai me-
rangkap penginapan di kota itu pun nampak sangat
luar biasa sekali.
Beberapa pelayan hilir mudik para pelanggan
dan tamu yang kebanyakan terdiri dari wajah-wajah
baru itu. Tak heran bila berbagai macam hidangan
yang tersedia di kedai itu hampir habis di pesan. Pun demikian juga hanya dengan
kamar-kamar yang terdapat di rumah penginapan sederhana tersebut. Ham-
pir semuanya penuh terisi di pesan orang.
Membanjirnya pengunjung di kedai penginapan
ini tentu merupakan satu keuntungan besar bagi pe-
milik kedai. Apalagi jauh sebelumnya pemilik kedai
merangkap penginapan itu telah mendengar kabar
akan ada pertemuan penting para sesepuh dan tokoh
dunia persilatan golongan putih di daerah Kiara Con-
dong. Apapun maksud dibalik pertemuan itu pak tua
berkepala botak sebagai pemilik kedai tak mau ambil
perduli. Yang jelas untuk sampai di Kiara Condong bi-
asanya orang akan memilih jalan yang melewati Ka-
rang Mulyo, karena daerah ini satu-satunya jalan yang mudah. Memang masih ada
jalan yang lain, misalnya
melewati Giri Manuk atau Pamujan. Tapi dia jalan
yang disebutkan ini sangat sulit untuk dilalui, selain itu juga banyak
mengandung resiko berupa bahaya
yang mengandung banyak jebakan.
Di tengah-tengah sibuknya para pelayan me-
nyuguhkan hidangan untuk para tamunya. Di celah
kesibukan bapak botak menghitung kepengan sambil
mengelus-elus kepalanya yang pelontos. Di salah satu
sudut ruangan terlihat dua orang duduk di situ dalam
posisi saling berhadap-hadapan. Kedua orang ini terdi-ri dari seorang nenek
renta berpakaian merah menco-
rong, rambut digelung ke atas dengan hiasan berupa
tusuk kondai berbentuk sosok burung merak. Tokoh
perempuan yang satu ini berasal dari selatan. Na-
manya tak ada yang tahu secara pasti, tapi dia memili-ki gelaran Si Burung
Merak. Sedangkan kakek yang
duduk hadapannya berpenampilan tidak karuan.
Rambutnya yang panjang di kepang di lima belas ba-
gian, sepasang alis matanya yang panjang tegak diberi semacam pewarna merah.
Kumis menutupi mulut, janggutnya yang pan-
jang menyentuh dada juga di kepang kecil-kecil. Kakek ini memakai pakaian hitam
berkilat, tidak bersenjata, berkuku panjang hitam. Sepuluh kuku jari inilah yang
sangat berbahaya karena selain mengandung racun
jahat juga memiliki daya bunuh yang sangat luar bi-
asa. Kalau pun lawan yang menjadi sasaran sepuluh
kuku jarinya dapat meloloskan diri maka dalam waktu
dua hari tubuhnya akan membengkak, leleh lalu han-
cur mengerikan. Tokoh yang satu ini tidak dikenal baik nama ataupun asal-usul.
Tapi dia dijuluki Malaikat
Kuku Seribu Kepang Lima Belas.
"Si Muka Setan seharusnya sudah muncul di
tempat ini!" Dalam keramaian pengunjung kedai sambil edarkan pandangan si kakek
beralis merah buka
suara. Si nenek tak langsung menjawab, melainkan
ikutan edarkan pandangan mata ke segenap penjuru
kedai. Dia melihat hampir semua orang-orang yang
berada di dalam kedai adalah mereka yang juga akan
ikut ambil bagian mengamankan jalannya pertemuan.
Hal ini dikenali dari seragam putih dengan tanda pita merah di bahu kirinya.
"Para pengawal pertemuan kulihat berkumpul
disini. Semua atas perintah Si Muka Setan. Semua pe-
rintahnya sudah berjalan dengan baik. Adalah sesuatu
yang mengherankan jika Muka Setan sampai tidak
muncul." Ujar Si Burung Merak.
"Aku jadi curiga jangan-jangan terjadi sesuatu
pada orangtua itu!" kata si kakek disaput kegelisahan.
"Sesuatu, apakah ini berarti malapetaka yang
tidak terduga?" tanya Si Burung Merak lagi. Kali ini suaranya hampir tak
terdengar. "Bisa jadi. Dia yang mengajukan gagasan ini
agar golongan putih bersatu padu menyongsong masa
depan. Golongan hitam pasti tidak akan tinggal diam
melihat tercapainya gagasan yang gemilang ini. Karena Muka Setan merupakan
pemimpin dari jalannya pertemuan, aku jadi khawatir banyak tokoh-tokoh kalan-
gan hitam menghendaki jiwanya agar apa yang kita
rencanakan tidak dapat terlaksana."
"Aku berharap semua khawatiranmu tidak ter-
jadi Malaikat Kuku Seribu. Jika Muka Setan sampai
terbunuh, semua tokoh golongan putih pasti tidak
akan tinggal diam. Mereka pasti bersatu padu dan
mengumumkan perang besar pada semua golongan hi-
tam. Mereka akan berfikir seribu kali untuk melaku-
kan suatu kekejian pada Muka Setan!" ujar si nenek.
Ucapannya jadi terputus karena saat itu entah dari
mana datangnya di depan pintu telah berdiri tegak
seorang gadis berdandan menor berjubah biru. Kehadi-


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran gadis itu tentu saja menarik perhatian seluruh
pengunjung kedai itu, karena disamping terus men-
gumbar tawa gadis ini sebentar-sebentar tutupkan
ujung jubahnya yang menjuntai ke bagian wajah
layaknya seorang gadis malu-malu kucing.
"Amboi, ramai betul kedai ini. Hik hik hik! Aku
senang banyak pemuda gagah tampan berada disini.
Sungguh tak kuduga, rejekiku hari ini cukup besar.
Bebas menikmati pemandangan bagus tanpa harus
membayar. Hik hik hik. Malu aku jadinya!" berkata begitu gadis berjubah biru
tutupi wajahnya. Para pen-
gunjung yang terdiri dari para pemuda berseragam
pengawal pertemuan yang akan dilaksanakan bebera-
pa hari lagi saling berbisik. Diantaranya ada yang tertawa. Sedangkan kakek
nenek yang duduk disudut
ruangan hanya saling pandang.
"Kalau tak salah penglihatanku, gadis itu ada-
lah Puteri Pemalu. Gadis sinting murid Si Muka Setan.
Agaknya dia membawa satu kabar penting tentang gu-
runya." kata Malaikat Kuku Seribu berbisik.
"Dia gadis gila. Memanggil gurunya saja dengan
sebutan kakak. Kurasa kehadirannya tidak ada kepen-
tingan atau sangkut paut apa-pun dengan Muka Se-
tan. Biarkan saja jangan hiraukan dia. Bersikap pura-
pura sibuk atau tidak mengenal. Apapun yang dilaku-
kannya di tempat ini jangan ambil perduli." kata Si Burung Merak.
Malaikat Kuku Seribu menganggukkan kepala.
Mereka kemudian sama tundukkan muka sambil me-
nikmati hidangan masing-masing. Sedangkan si gadis
berdandan menor yang memang Puteri Pemalu adanya
sekarang sudah berada di depan pemilik kedai. Melihat penampilan gadis itu si
bapak botak nampaknya tidak
berkenan sekali.
"Pak aku meminta nasi dibungkus, lauk pauk
juga ayam jantan muda yang sudah di panggang. To-
long cepat sediakan, aku tak punya waktu berdiri ber-
lama-lama di sini. Dalam ruangan ini walaupun ba-
nyak pemandangan indah, tapi panasnya bukan main.
Aku takut bedak ku serta dandanan ku yang bagus ini
jadi luntur. Hik hik hik!" kata Puteri Pemalu sambil mengintai dari balik kain
jubahnya yang ditutupkan di bagian wajah.
"Apakah kau sanggup membayar lima kepeng
perak untuk pesananmu itu Nisanak?" tanya bapak
botak meragukan isi kantong orang.
Puteri Pemalu delikkan mata. Mulut komat-
kamit, dia marah sekali tapi sebagaimana kebiasaan-
nya dia tetap mengumbar tawanya. Tak terduga Puteri
Pemalu singkapkan ujung jubah yang menutupi wa-
jahnya. Tangan kiri entah kapan bergerak, tahu-tahu
sudah mencengkeram kepala botak pelontos bapak ke-
dai. Orang tua itu tentu saja kaget, begitu juga para tetamu yang sedang
bersantap dalam kedai. Diantaranya
ada yang menunda untuk menyuapkan makanan atau
minumnya. Ada pula yang memandang kejadian itu
dengan mata mendelik. Tapi tak kurang yang bersikap
acuh meneruskan kesibukannya seolah tidak terjadi
sesuatu apa di tempat itu.
"Apa kau lihat tua botak kalau diriku yang can-
tik ini punya tampang seperti gembel" Sial betul diri-mu ini. Kepala sampai
botak begini mungkin rambut-
mu rontok memikirkan untung melulu sepanjang hari!"
dengus Puteri Pemalu. Lalu dia dorong kepala bapak
botak hingga membuat si orang tua hampir terjeng-
kang. Para tetamu tak dapat menahan geli mendengar
ucapan dan tingkah si gadis. Apalagi sebelum mendo-
rong orang dia usap-usap kepala bapak kedai beberapa
kali. Puteri Pemalu Sendiri bersikap acuh. Dia men-
gambil satu keping uang emas, uang itu dilemparkan
di atas meja. Hanya lemparan biasa tapi membuat kep-
ing emas yang dilemparkannya amblas ke dalam kayu
meja. "Sediakan apa yang kuminta. Sekeping emas hasil dari boleh mencuri ini
bukan saja kuanggap cu-
kup membeli makanan. Tapi bisa untuk membeli kedai
seisinya berikut kepala gundul mu yang apek ini!"
"Ter.... terima kasih Nisanak. Kau baik sekali,
hidangan yang terbaik segera dipersiapkan untuk ni-
sanak." ujar bapak pemilik kedai. Dengan mata mendelik besar melihat kepingan
emas itu. Cepat dia ber-
paling pada para pelayannya sambil berkata. "Pelayan sediakan makan di bungkus
lengkap dengan ayam jantan muda yang paling besar!"
Tanpa banyak bicara pelayan menyediakan apa
yang diminta oleh Puteri Pemalu. Setelah menerima
pesanan, Puteri Pemalu mendadak lenyap dari hada-
pan mereka. Semua orang tentu saja dibuat kaget.
Hanya beberapa orang yang memiliki pandangan jeli
dan berilmu silat tinggi saja yang dapat melihat gerakan cepat Puteri Pemalu.
Ternyata gadis itu tidak langsung tinggalkan kedai. Dia duduk di atas cabang po-
hon terlindung yang berada di pojok kiri kedai. Duduk dengan uncang-uncang kaki
sambil menikmati maka-nannya.
Lenyapnya Puteri Pemalu yang secepat itu ten-
tu membuat kaget si bapak botak juga para pengawal
pertemuan yang masih berada di situ. Jika bapak bo-
tak beranggapan gadis yang datang tadi adalah sema-
cam hantu baik. Sebaliknya para pemuda bersenjata
pedang dan juga beberapa tetamu lainnya merasa ya-
kin siapapun adanya gadis sinting tadi pasti adalah tokoh muda rimba persilatan
yang mempunyai penyakit
ingatan berkepandaian tinggi.
7 Belum lagi hilang rasa heran di hati mereka
hampir dalam waktu bersamaan terdengar satu suara
sayup-sayup di kejauhan.
"Makan... makan, lapar. Jangan dihabisi, sisa-
kan untukku. Semua piring bekas jangan dicuci dulu,
biar ku makan sisanya. Jika sudah ku jilati sampai bersih silahkan berbuat apa
saja." "Hemm, sekarang muncul lagi kere pasar ku-
rang makan!" celetuk si Burung Merak.
"Tadi gadis gila sudah memberi rejeki besar pa-
da bapak botak. Sekarang Gembel kere ini hendak
memberi amal apa?" menyahuti Malaikat Kuku Seribu.
Sementara seperti si nenek perhatiannya juga tertuju
ke pintu depan. Suara tawa lenyap, tapi orangnya sa-
ma sekali belum muncul. Pertanda siapa pun dia
adanya pasti memiliki ilmu mengirimkan suara hebat
juga tenaga dalam yang sungguh luar biasa.
Tak berapa lama setelah itu terdengar suara de-
ru angin yang sangat keras luar biasa. Kain jendela
berkibaran seperti bendera, bekas peralatan makan
berpelantingan. Kursi meja yang dijadikan tempat du-
duk bergetar hebat.
Para tetamu kedai jadi tercekat mata terbelalak.
Sedangkan Si Burung Merak terkesiap. Malaikat Kuku
Seribu walaupun diam-diam terkejut namun masih sa-
ja berlaku tenang. Hanya matanya saja menatap lurus
ke depan tanpa pernah berkedip sedikitpun.
Wuuut! Jliiik! Di depan pintu kedai kini berdiri tegak seorang
laki-laki berusia sekitar empat puluh delapan tahun,
berambut hitam kelimis rapi. Berjubah kuning lebar
diwarnai tambalan. Saat berdiri orang ini masih men-
gembangkan kedua lengan jubahnya yang menjela.
Rupanya dia datang dengan tubuh berputar dan jubah
dipentang, kedua ujung lengan jubah yang menjela ini
yang membuat timbulnya angin kencang.
Malaikat Kuku Seribu Kepang Lima Belas yang
memperhatikan sejak tadi tentu jadi melengak kaget
begitu melihat siapa yang datang. Sedangkan yang
lainnya hanya mendelik dengan mulut ternganga.
Malaikat Kuku Seribu cepat berbisik. "Apakah
setan yang satu ini termasuk dalam undangan yang
akan hadir dalam pertemuan di Kiara Condong?" tanya Malaikat Kuku Seribu, lalu
melirik ke arah Si Burung
Merak. "Bukan....dia sama sekali tidak di undang. Kehadirannya di tempat ini
mungkin hanya untuk men-
gemis. Atau mungkin ada keperluan lain, siapa dapat
menduga" Dia manusia angin-anginan, walau masih
dapat disejajarkan dengan kaum golongan putih. Tapi
terkadang tindak tanduknya mencurigakan. Aku ma-
lah khawatir dia hendak melakukan kekacauan. Kepa-
da manusia yang satu ini kita harus bersikap waspa-
da!" jawab Si Burung Merak.
"Berani dia mencampuri urusan penting ini aku
pasti akan mencabik-cabik tubuhnya!" kata Malaikat Kuku Seribu sinis.
Sementara itu laki-laki berpenampilan klimis
yang dikenal dengan julukan Raja Pengemis Tangan
Akherat itu tanpa bicara lagi langsung mengumpulkan
piring-piring bekas makan dimana sisa-sisa makanan
masih terdapat disana. Semua piring yang terbuat dari tanah itu ditumpuknya di
satu tempat. Tak lupa dia
juga mengambil kendi-kendi tuak bekas minuman pa-
ra tetamu kedai. Bersikap acuh dan tanpa menghirau-
kan perhatian orang yang memandangnya dengan ta-
tapan iba dia mulai menghabiskan sisa-sisa makanan
yang terdapat di semua piring.
"Sisa makanan telah habis, sebaiknya kau se-
diakan sisa makanan lain yang terdapat di dapur pe-
layan!" kata Raja Pengemis Tangan Akherat.
"Kisanak, jika engkau mau dan mampu mem-
bayar kami masih memiliki persediaan hidangan yang
cukup." jawab salah seorang pelayan.
"Kurang ajar! Aku tak butuh makanan baru,
aku mau yang sisa bekas dimakan orang kau paham?"
hardik Raja Pengemis mulai gusar.
"Kalau itu yang kisanak inginkan sudah tidak
ada. Jika pun ada sudah basi, cuma pantas diberikan
pada anjing." Menyahuti bapak botak pemilik kedai.
"Semakin lama sisa makanan itu semakin ba-
gus, kuharap kau mau membawanya kemari!" pinta
Raja Pengemis. "Manusia kere itu selain rakus rupanya tidak
punya uang barang satu sen pun. Dia tak mau mem-
bayar, jadi yang dimintanya yang bekas melulu!" Si Burung Merak mencemooh tapi
tetap dengan berbisik.
"Hust, jangan sembarangan kau bicara. Raja
Pengemis konon kudengar punya sejenis ilmu aneh.
Menurut yang kudengar dia memakan sisa orang bu-
kan tidak punya tujuan tertentu. Raja Pengemis mem-
punyai ilmu aneh menurutnya di dalam sisa makanan
itu mengandung suatu khasiat yang bisa memperhebat
tenaga dalam juga kesaktiannya." jelas Malaikat Kuku Seribu dengan suara nyaris
tak terdengar. Tak berapa lama pelayan yang pergi ke bela-
kang untuk mengambilkan apa yang diminta Raja Pen-
gemis telah kembali dengan membawa setumpuk ma-
kanan sisa. Ketika makanan dihidangkan di atas meja
Raja Pengemis yang berpakaian warna kuning rapi
namun dipenuhi tambal-tambalan kembang kem-
piskan hidungnya sambil mengendus-endus. Mulut la-
ki-laki itu kemudian menyunggingkan senyum.
"Baunya masih harum, ini bukan sisa makan
kemarin tapi pagi tadi. Luar biasa lezatnya makanan
ini!" Raja Pengemis memuji.
Tanpa menghiraukan tatapan orang yang me-
mandangnya penuh rasa hina dan jijik Raja Pengemis
menyantap makanan itu dengan lahap. Tapi belum lagi
makanan itu habis seluruhnya tiba-tiba saja terdengar gelak tawa suara
seseorang. Suara tawa lenyap, kemudian berganti dengan ucapan bernada mencemooh.
"Ku rasakan hari telah berganti dengan malam. Sayang bulan purnama tak terlihat
ada dilangit. Aduh, betapa gelapnya dunia ini. Dalam gelap aku sampai lupa pe-
rutku belum terisi sejak pagi. Dari sini ku cium sedapnya aroma makanan. Sayang
di dalam kedai ada anjing
kere sedang mengais sisa makanan busuk. Oh kasihan
ada orang melaratnya tidak ketulungan. Masih berun-
tung diriku ini walau mata tidak melek sepanjang hi-
dup aku tak pernah makan nasi bekas!" kata suara itu. Kemudian terdengar suara
racau aneh yang dite-ruskan dengan suara senandung. "Lelo-lelo perawan tua
pusere dowo. Lelo-lelo ono rondo aduse udo. Ha ha ha."
Orang di dalam kedai diantaranya ada yang tak
dapat menahan tawa mendengar senandung orang.
Sebaliknya Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seri-
bu Kepang Lima Belas gelengkan kepala.
"Sial betul malam ini. Nampaknya kedai ini
hanya menjadi tempat berkumpulnya para orang gila
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 3 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Si Kumbang Merah 14
^