Ki Anjeng Laknat 2
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Bagian 2
"Celaka, Kunti.....!"
Teriakan si kakek sudah tak dihiraukanya lagi.
Pedang terus meluncur membabat bagian pangkal len-
gan kiri kanan. Sekejap lagi nampaknya Ki Anjeng
Laknat benar-benar kehilangan tangannya jika saja
pada saat itu tidak terdengar suara teriakan menggele-dek merobek kesunyian.
"Pedangmu pedang tumpul. Yang kau babat
adalah baja keras. Pedang patah dan bagian ujungnya
menembus dadamu sendiri!" Apa yang terjadi kemudian memang sama persis dengan
apa yang dikatakan
oleh suara tadi. Pedang Kunti Menak mengeluarkan
suara berdentring keras saat menghantam pangkal
lengan Ki Anjeng Laknat. Tidak hanya sampai disitu
saja. Pedang itu patah, bagian ujungnya terpental berbalik lalu meluncur deras
ke arah Kunti Menak. Kejut si nenek bukan alang-alang. Dia lebih kaget lagi
ketika melihat patahan pedang berbalik meluncur menghantam ke bagian dada.
Perempuan tua ini melompat ke samping, ja-
tuhkan diri dan terus bergulingan. Cepat sekali dia
bangkit, lalu memutar tubuh memandang ke arah da-
tangnya suara. "Begawan Panji Kwalat! Begawan edan berani
kau mencampuri urusan orang!" hardik Kunti Menak kalap. Begawan Panji Kwalat
kalap. Begawan Panji
Kwalat yang datang dengan membawa seorang pemuda
yang dalam keadaan terluka di atas pangkuannya ini
hanya tersenyum sinis. Dia yang selalu berjalan den-
gan tubuh mengambang sesuai dengan yang dia ke-
hendaki malah alihkan perhatiannya pada Ki Anjeng
Laknat. "Kakang sampai kapan kau berlaku bodoh akibat diperbudak cinta. Dua
puluh tahun kau dihukum
seperti itu. Kini malah kedua tangan dan kakimu hen-
dak dia buntungi. Celakanya kau hanya diam saja, pa-
dahal kesaktian yang kau miliki jauh lebih tinggi ting-katannya dibandingkan
diriku dan dirinya. Sebaiknya
kita habisi saja dia sekarang agar tak menjadi penyakit di kemudian hari!"
dengus Begawan Panji Kwalat sengit.
"Adikku, jangan kau bunuh dia. Dia sorgaku,
dia permataku. Jika dia mati aku bisa kehilangan sor-ga!" cegah Ki Anjeng
Laknat. Berkata begitu si kakek diam-diam perhatikan pemuda gondrong berpakaian
merah yang nampaknya dalam keadaan terluka itu.
"Mungkinkah yang dibawa Begawan Panji Kwalat adalah si bocah itu. Si bocah itu
Lira Watu Sasangka?" ba-
tin si kakek. "Kakang seribu gadis bisa ku carikan untukmu.
Buat apa kau mencintai nenek rongsokan itu" Dia cu-
ma rongsokan hidup yang tidak ada gunanya." kata sang Begawan mencemooh.
Akibat campur tangan si Begawan saja sudah
membuat Kunti Menak menjadi marah bukan main,
apalagi kini Begawan berkaki lumpuh itu menghinanya
dengan kata-kata yang menyakitkan. Kunti Menak ten-
tu semakin tidak dapat menahan diri.
"Begawan palsu, manusia laknat lahir batin.
Kau memang layak kubuat mampus!" si nenek berteriak lantang. Laksana kilat dia
hantamkan kedua tan-
gannya ke arah sang Begawan. Sinar hitam melesat
dari telapak tangan Kunti Menak, hawa panas memba-
kar. Begawan Panji Kwalat walaupun membawa beban
namun dengan cepat bergerak ke samping. Tangan di-
putar lalu diangkat, satu gelombang sinar putih ber-
bentuk kerucut terbalik menyambut hantaman si ne-
nek. "Dingin....!" teriak si kakek lumpuh yang berjalan mengambang di udara.
Ketika pukulan berhawa
panas itu memasuki lingkaran kerucut dari cahaya
mendadak saja pukulan sakti Kunti Menak berubah
menjadi dingin. Masih dengan memangku pemuda
yang dibawanya dia angkat tangan kirinya siap meng-
habisi Kunti Menak.
"Adikku.... jangan bunuh dia. Ku mohon....!"
satu suara berseru. Tak perlu melihat ke arah datangnya suara Begawan Panji
Kwalat yang sekujur tubuh-
nya dipenuhi serbuk kapur sudah tahu yang baru saja
bicara tadi adalah kakangnya Ki Anjeng Laknat.
"Kau meminta aku tidak membunuhnya, pa-
dahal dia hampir membuat kau celaka. Mengingat kita
saudara sedaging, baiklah permintaanmu ini akan ku-
kabulkan. Aku hanya akan membuatnya menjadi pa-
tung!" sahut Begawan itu dingin. Dia lalu robah gerakan tangannya. Tangan
diangkat tinggi, lalu bergerak turun seperti gerakan mengusap ke arah Kunti
Menak, mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Jadilah kau patung hidup. Tidak akan pernah
terjaga tidak pula dapat bergerak terkecuali ada suara petir menyambar dekat
telingamu!" seru si kakek.
Ucapannya ini bukan ucapan biasa, tapi mengandung
satu kekuatan yang bisa membuat orang menjadi se-
perti yang diinginkannya. Dan memang itulah yang
kemudian terjadi pada Kunti Menak. Si nenek yang
masih dalam keadaan tercengang melihat serangannya
dapat dilumpuhkan lawan tiba-tiba merasakan ada
hawa dingin yang sangat luar biasa menyergap tubuh-
nya mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
Bersamaan dengan itu pula dia tak dapat menggerak-
kan seluruh bagian tubuhnya. Tubuh itu bukan saja
hanya terasa kaku, tapi juga terasa dingin luar biasa.
"Kurang ajar! Aku tak mau dipermalukan se-
perti ini." rutuk Kunti Menak. Dia kemudian bangkitkan tenaga dalam berhawa
panas yang bersumber
dari bagian pusar. Tenaga dalam tidak bekerja, reaksi yang diharapkan tidak
kunjung muncul. Pucat pasi
wajah si nenek.
"Bangsat kau Begawan. Jika tidak kau bunuh
aku hari ini, aku bersumpah kelak pasti akan menca-
rimu!" teriak Kunti Menak. Suara makian hanya diba-las dengan tawa panjang
Begawan Panji Kwalat. Se-
mentara itu dia semburkan ludahnya ke rantai batu
yang mengitari tangan serta kaki Ki Anjeng Laknat.
Saat rantai batu terkena semburan ludah maka rantai
batu mengepulkan asap putih disertai suara gemere-
tak. Rantai hancur berkeping-keping. Ki Anjeng Laknat begitu terbebas langsung
berlari mendapatkan Kunti
Menak. "Kekasihku... kekasihku, kau tidak apa-apa bukan?" tanya si kakek merasa
cemas. Akan tetapi si nenek malah mendampratnya.
"Tua gila, sebaiknya minggat kau ke neraka. Aku tak sudi melihatmu lagi!"
Ki Anjeng Laknat nampak kecewa sekali. Meli-
hat sang kakak berubah sedih Begawan Panji Kwalat
sudah tak dapat lagi menahan rasa jengkelnya pada
sang kakek. "Dia muak melihat tampangmu kakang. Se-
baiknya kau ikuti aku. Muridku Lira Watu Sasangka,
Panji Anom Penggetar Jagad perlu kita obati!" seru si kakek. Seakan baru
tersadar Ki Anjeng Laknat cepat
berpaling. "Diakah orangnya yang waktu masih dalam kandungan ku rawat dulu?"
tanya Ki Anjeng Laknat.
Adiknya Begawan Panji Kwalat tidak menanggapi, dia
malah melesat tinggalkan tempat itu.
Tidak menunggu lebih lama, setelah meman-
dang ke arah Kunti Menak si kakek pun berkelebat
pergi. "Bangsat kakak beradik itu, kelak aku pasti akan menghabisinya. Tapi
apakah pemuda tadi memang benar anak Mawar Pelangi" Anak jahanam se-
perti itu firasat ku mengatakan hanya menjadi penebar bencana saja!" rutuk Kunti
Menak sinis. 7 Dua ekor kuda di pacu cepat meninggalkan
Kiara Condong. Di atas punggung kuda berbulu hitam
itu masing-masing ditunggangi oleh seorang laki-laki berbadan tegak, berpakaian
serba hitam, berwajah
angker dipenuhi cambang brewok lebat. Melihat cara
mereka menunggang kuda yang tidak ubahnya seperti
di kejar setan, paling tidak mereka sedang tergesa-gesa atau hendak melakukan
sesuatu yang amat penting.
Sampai di tepi hutan Watu Gamping, penung-
gang kuda yang berada di bagian belakang memper-
lambat lari kudanya. Sampai akhirnya kuda tunggan-
gan dihentikan secara mendadak.
Melihat orang di depan hentikan kuda, maka
yang berada di belakang juga ikut menghentikan tung-
gangannya. "Mengapa berhenti?" tanya si brewok yang berbadan agak pendek.
"Adik Sugriwa" Tidakkah kau mendengar ada
seseorang yang mengikuti kita?" kata orang yang di depan resah.
"Suara apa" Sejak tadi aku tak mendengar sua-
ra apapun." sahut si berewok yang dipanggil Sugriwa.
Mendengar jawaban itu si tinggi besar yang wajahnya
tak kalah seram dengan sang teman nampak tidak
puas. Dia geleng kepala. Tatap matanya memandang
ke jurusan hutan yang terdapat di sebelah kiri mereka.
"Aku mendengar suara siulan. Sejak mening-
galkan pemuda itu perasaanku entah mengapa jadi ti-
dak enak. Jangan-jangan dia tak mempercayai kita.
Lalu sengaja membiarkan kita pergi, untuk kemudian
membunuh kita di tempat ini!" Mendengar ucapan si tinggi tegap Sugriwa bulu
kuduknya meremang. Hati
dan fikirannya jadi tidak enak. Tapi dia malah tertawa.
"Kakang Subali. Jangan perturutkan kata hati
dan perasaan. Pemuda jahanam itu tak mungkin me-
nyusul kita. Bukankah kita sudah berjanji untuk men-
gabdi kepadanya" Dia malah menjanjikan imbalan be-
sar, jika kita sanggup menggagalkan pertemuan para
pendekar di Kiara Condong nanti."
"Mengabdi..." desis Subali disertai seringai
aneh, namun wajah membayangkan rasa tidak puas.
Dengan perasaan jengkel dia melanjutkan. "Sejak nenek moyang kita masih hidup,
Macan Seribu belum
pernah hidup menjadi budak orang lain. Sampai seka-
rang sebagai keturunannya kita juga tidak layak men-
gabdi kepada siapa saja, juga termasuk kepada pemu-
da jahanam yang tidak kita kenal asal usulnya!" dengus Subali.
"Aku sendiri juga punya tekad yang sama. Tapi
pemuda itu telah memberikan minuman beracun pada
kita. Kita tak mungkin lolos dari kematian, hanya dia yang dapat memunahkan
racun di dalam tubuh kita.
Pengaruh racun itu kurasakan semakin menghebat,
kalau tidak percaya coba kakang hirup udara dalam-
dalam." kata Sugriwa
Di sertai senyum mencibir Subali menarik na-
fas dalam-dalam. Mendadak dia merasakan dadanya
jadi sakit, sesak luar biasa. Sedangkan Sugriwa dapat melihat wajah Subali
berubah pucat laksana mayat.
"Kakang wajahmu...."!" seru Sugriwa.
"Keparat jahanam!" maki Subali gusar. Dia
mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Sedang-
kan matanya dipejamkan. Dengan mata masih terpe-
jam pula dia berkata. "Kau benar, pemuda sial itu tidak main-main dengan
ancamannya. Baru kali ini kita
kena dikerjai orang."
"Apakah engkau masih tidak mau mengakui
kenyataan yang terjadi dengan kita kakang"!"
"Diam...!" Subali berteriak marah. "Tidak, pernah kusangka kelalaian kita yang
sekejap itu harus
dibayar mahal. Hem... agaknya kita memang tidak
punya pilihan lain. Kita harus turuti apa yang menjadi keinginannya. Tidak
mengapa, tapi bila kelak dia
memberikan obat penawar racun itu pada kita, disitu-
lah kesempatan kita untuk membalas dendam!" geram Subali. "Sekarang apa yang
harus kita lakukan, kakang?" tanya Sugriwa.
Yang ditanya terdiam beberapa saat lamanya.
Setelah itu dia menggelengkan kepala.
"Pemuda itu menyuruh kita menghalangi setiap
orang yang dalam perjalanan ke Kiara Condong. Apa-
pun tujuannya jelas dia tidak ingin siapapun sampai
ke tempat itu."
"Konon di tempat itu akan diadakan pertemuan
para pendekar dan beberapa tokoh golongan lurus.
Apa maksud dan tujuan dari pertemuan mereka aku
tak tahu!" jelas Sugriwa.
"Tugas kita tidak ringan. Yang akan kita hadapi adalah orang-orang berkepandaian
tinggi. Ini akan
menyulitkan kita."
"Tapi untuk mundur nampaknya juga tidak
mudah. Kita hanya punya kesempatan hidup selama
lima puluh hari lagi. Jika sampai pada waktu yang di-tetapkan kita tidak kembali
menemui pemuda itu, ajal segera datang menjemput. Riwayat Macan Seribu ta-mat,
dan kita mati sia-sia." Sugriwa menimpali.
"Sudahlah, kita memang sedang dihadapkan
pada pilihan sulit. Seandainya kita tidak turuti keinginan pemuda itu kita bakal
kehilangan kesempatan un-
tuk memandang indahnya dunia lebih lama. Karena
itu sebaiknya kita turuti saja keinginannya." pada ak-
hirnya Subali memutuskan.
Sugriwa tentu saja merasa senang. Karena jauh
di lubuk hati laki-laki itu dia tidak ingin mati muda.
Kalau mungkin dia ingin hidup seribu tahun lagi.
"Kakang... dalam keadaan seperti ini kurasa pi-
lihan mu adalah pilihan yang bijaksana. Sekarang
alangkah baiknya kita lanjutkan saja perjalanan ini!"
kata Sugriwa siap menyentakkan tali kekang kuda. Ba-
ru saja Subali anggukkan kepala, pada saat itu kemba-li terdengar suara siulan
panjang. Macan Seribu ter-
sentak kaget. Hampir bersamaan mereka memandang
ke arah datangnya suara.
Di sebelah kiri jalan dimana suara siulan tadi
terdengar tidak terlihat siapapun berada di sana. Subali dan Sugriwa saling
pandang. "Apa kataku, sejak kita meninggalkan pemuda
itu aku merasa seperti ada orang yang mengikuti. Du-
gaanku ternyata tidak meleset!" desis Subali. Suaranya lirih perlahan.
"Ada suara tak ada orangnya. Jelas suara si-
ulan itu datang dari satu tempat yang sangat jauh. Berarti siapapun orangnya
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti memiliki tenaga dalam
serta kesaktian yang tidak rendah!" Sugriwa menyahuti.
"Kau benar. Agaknya inilah tugas pertama yang
harus kita bereskan!" berkata begitu Subali kitarkan pandang matanya ke
sekeliling tempat dimana mereka
berada. Orang yang keluarkan siulan sama sekali masih
belum terlihat. Subali menjadi gusar. "Kurang ajar, ada orang hendak
mempermainkan kita!" kata laki-laki bertampang seram itu sambil kepalkan
tinjunya. "Kakang lihat....!" Sugriwa tiba-tiba keluarkan seruan tercekat. Dia menunjuk ke
depan dengan mata
mendelik. Seketika Subali pun memandang ke arah yang
dimaksud. Laki-laki itu terperangah ketika melihat di tengah jalan setapak itu
berdiri tegak seorang kakek berpakaian kuning gading berambut panjang riap-
riapan. Wajah orang itu sama sekali tidak terlihat karena tertutup rambut.
Melihat kehadiran orang yang
entah sejak kapan berada disitu, Macan Serbu mak-
lum siapapun adanya kakek ini tentu dia bukan orang
sembarangan. Sehingga Subali berbisik pada Sugriwa.
"Aku mencium adanya gelagat yang tidak beres. Hendaknya kau bersikap waspada!"
Sementara itu kakek yang berdiri di tengah ja-
lan saat itu membuka mulut berucap. "Keadaan begini gelap, padahal matahari
panas membakar. Kiara Condong entah berada dimana, si tua berjalan tidak tahu
arah. Wahai saudara dapatkah kau tunjukkan arah
kepadaku?"
"Siapa dirimu adanya?" tanya Subali
"Ha ha ha. Orang memanggilku Si Mata Aneh,
padahal lihatlah, apakah aku memiliki mata?" berkata begitu orang berpakaian
kuning gading singkapkan
rambutnya yang panjang menutupi wajah.
"Hah...!" Sugriwa dan Subali sama keluarkan seruan tertahan ketika melihat
seraut wajah seorang
kakek di penuhi cacat parut besar, sedangkan sepa-
sang matanya sama sekali lenyap, hanya tinggal beru-
pa rongga besar berwarna hitam kemerahan. Sungguh
mengerikan sekaligus menjijikkan keadaannya.
Di depan mereka si kakek tertawa mengekeh.
Beberapa saat sepasang mata yang hanya berupa dua
rongga besar itu seolah memandang ke arah Subali
dan Sugriwa. "Setelah berpuas diri melihatku, sekarang aku
ingin meminta pada kalian untuk mengantarku ke Kia-
ra Condong!" kata Si Mata Aneh. Subali tertegun, rasa takutnya melihat keadaan
kakek itu kini mendadak lenyap berganti dengan keberanian begitu teringat pada
pemuda yang telah meracuni mereka.
"Orang tua apa kepentinganmu pergi ke tempat
itu.?" tanya Subali.
"Apa kepentinganku, buat apa kuberitahukan
pada kalian. Cepat antarkan aku kesana jika kalian tidak ingin mendapat
kesulitan!" hardik si kakek.
"Kakek buta, kami bukan budakmu. Bagaima-
na mungkin kami harus mengantarmu ke Kiara Con-
dong, sedangkan seseorang telah memberikan tugas
pada kami untuk membunuh siapa saja yang coba-
coba datang ke sana!" dengus Sugriwa. Tanpa disadari dia telah keterlepasan
bicara. Si kakek dongakkan kepalanya ke atas lalu
umbar tawanya. Begitu suara tawa lenyap dia meng-
hardik. "Dua kurcaci keparat, berani menolak permintaanku apakah tidak takut
mati?" "Percuma kau mengancam kami kakek buta.
Kami Macan Seribu mana takut mati." dengus Subali gusar. "Macan Seribu.... Macan
Seribu....!" Si kakek berkata sambil mengingat-ingat. Begitu teringat siapa
adanya Macan Seribu tawa Si Mata Aneh pun seolah
tidak terbendung lagi.
"Macan Seribu, nama kalian pernah aku den-
gar. Orang lain boleh takut mendengar gelaran kalian, tapi bagiku tidak ada
artinya sama sekali!" ucap Si Ma-ta Aneh dingin. Merasa tidak dipandang muka
oleh Si Mata Aneh, Subali dan Sugriwa pun menjadi berang.
Dia berpaling pada adiknya sambil berteriak. "Bunuh tua bangka buta itu!"
"Ha ha ha. Yang kau minta memang yang ku-
tunggu sejak tadi!" jawab Sugriwa.
"Jika minta mampus mengapa tidak maju seka-
ligus?" tantang Si Mata Aneh.
"Kakek buta keparat. Melihat cacat mu rasanya
kau tidak layak menghadapi kami berdua!" seru Subali.
"Ha ha ha. Oh... begitu. Sikap takabur dan
memandang rendah orang lain hanya akan mencela-
kakan diri sendiri. Sekarang tunggu apalagi, majulah!"
teriak Si Mata Aneh sinis.
Subali sama sekali tidak menanggapi, sebalik-
nya Sugriwa tanpa menunggu lebih lama lagi langsung
menggebrak kudanya. Kuda meringkik keras, lalu ber-
gerak menerjang Si Mata Aneh. Sementara Sugriwa
yang duduk di atasnya langsung menghantam kepala
kakek itu dengan pukulan tangan kosong. Si Mata
Aneh tertawa tergelak begitu merasakan adanya hawa
dingin menyambar kepala. Seakan melihat saja dia me-
lompat ke belakang hindari pukulan lawan, sedangkan
tangan kiri dihantamkannya ke bagian kaki depan ku-
da yang bergerak menerjang ke bagian dada.
Wuut! Kraak! Kraak! Terdengar suara tulang bederak. Kuda besar itu
meringkik keras ketika dua kaki depannya patah ter-
kena hantaman pukulan si kakek. Kuda tersungkur ke
depan. Jika Sugriwa tidak melompat ke udara ber-
jungkir balik tiga kali niscaya tubuhnya ikut terbanting.
"Jahanam keparat! Kau patahkan kaki kudaku,
tua bangka buta!" teriak laki-laki itu kalap.
"Sekarang kaki kuda, sekejap lagi kaki dan le-
hermu yang kau patahkah!" sahut Si Mata Aneh.
Kalaplah Sugriwa mendengar ucapan sinis la-
wannya. Sementara Subali yang tidak pernah me-
nyangka kehebatan yang dimiliki lawan diam-diam
terkejut. "Kakek buta jahanam itu. Ternyata dia tidak dapat dipandang enteng.
Jika Sugriwa tidak segera
menggunakan goloknya. Bisa jadi Si Mata Aneh dapat
mencelakainya!" batin Subali. Namun dia masih belum turun tangan membantu
Sugriwa. Seakan mendengar apa yang dikatakan Subali,
Sugriwa tiba-tiba mencabut golok besarnya yang ter-
gantung di pinggang. Golok yang berbadan lebar pada
bagian ujungnya dan mempunyai empat lubang yang
berderet rapi dari bagian ujung hingga ke pangkal itu berwarna merah darah.
Sambil mengacungkan golok di
atas kepala Sugriwa berteriak. "Mata Aneh.... kau lihat apa yang di tanganku
ini?" Seru laki-laki itu lantang.
Si Mata Aneh yang saat itu berdiri bertolak
pinggang, dengan rongga matanya yang bolong me-
mandang lurus ke depan. Tak lama dia tersenyum si-
nis. "Mataku buta, mata batin melihat saat ini kau
memegang senjata. Aku tak dapat memastikan senjata
apa, tapi aku dapat merasakan perbawa ketajaman-
nya!" sahut si kakek.
"Bagus." ujar Sugriwa yang sempat terkejut karena lawan mengenali benda yang
digenggamnya wa-
laupun dia tak memiliki mata sama sekali.
"Dengan golok ini aku aka memenggal kepala-
mu!" "Jangankan memenggal kepala, menggores tubuhku sekalipun barangkali tak
akan mampu melaku-
kannya! Ha ha ha."
*** 8 Wajah Sugriwa semakin mengelam mendengar
ucapan Si Mata Aneh. Perlahan golok bergerak turun.
Mata golok menghadap ke depan, sedangkan pung-
gungnya menempel di bagian hidung. Sugriwa berko-
mat-kamit, tubuhnya bergetar hebat. Lalu golok yang
menempel pada hidung dan dahinya itu beberapa ke-
jab kemudian nampak mengepulkan asap kemerahan.
Wuut! Disertai kepulan asap menebar bau amis darah
golok berkelebat ke depan menyambar pinggang Si Ma-
ta Aneh. Sambaran golok yang disertai menebar hawa
dingin luar biasa itu membuat si kakek maklum senja-
ta di tangan lawan bahkan senjata sembarangan, pal-
ing tidak mengandung racun jahat. Karena itu dia tak mau bersikap ayal. Begitu
golok membabat pinggang
dia berkelit ke belakang. Sambaran golok luput dari
sasaran, tapi dengan cepat Sugriwa sudah membalik-
kan badan. Dengan beringas dia mengayunkan senja-
tanya ke arah dada. Selagi senjata itu menderu Mata
Aneh miringkan tubuhnya ke kiri. Tangan kanan beru-
saha memukul pergelangan tangan lawan yang meme-
gang golok. Sedangkan kepalanya di gelengkan ke de-
pan. Sugriwa yang tak menyangka lawan dapat me-
lakukan serangan balik seperti itu begitu sabetan goloknya luput dia cepat tarik
senjata ke belakang. Tapi pada saat itu hantaman rambut di kakek yang tiba-tiba
berubah kaku laksana kawat baja mendera wa-
jahnya. "Kurang ajar!" seru Sugriwa. Cepat sekali dia tarik wajahnya hindari
sambaran rambut. Namun tak
urung bahunya masih kena di hantam belasan ujung
rambut lawannya.
Ceep! Cep! Cep!
"Akh....!"
Terhuyung-huyung dengan muka pucat Sugri-
wa masih dapat selamatkan diri. Akan tetapi bahunya
mengucurkan darah. Rasa nyeri mendera membuat la-
ki-laki itu mengernyit kesakitan.
"Hantam kepalanya Sugriwa!" teriak Subali.
Tidak diingatkan sekalipun Sugriwa saat itu
memang bermaksud menghantam kepala lawannya.
Tapi laki-laki itu tidak langsung menyerang bagian
yang diincarnya. Begitu dia melihat kesempatan senja-ta di tangannya berkelebat
menderu menghantam ke-
dua kaki Si Mata Aneh. Mendapat serangan seperti itu si kakek yang mengandalkan
pendengaran itu melompat di udara.
Bret! Breet! Cess! Cess! Kedua orang itu sama keluarkan pekikan keras.
Ketika Si Mata Aneh jejakkan kakinya kembali nampak
jelas bagian pahanya kanan kiri mengucurkan darah.
Celana di bagian paha robek besar, sedangkan Sugriwa sendiri sekarang dekap
wajahnya yang mengucurkan
darah. Golok besar di tangan terlepas mental jauh dari jangkauan. Kiranya ketika
melompat ke atas tadi lawan kibaskan rambut panjangnya yang dapat melentur
atau berubah keras laksana kawat baja. Tak pelak lagi ketika Sugriwa dengan
penuh semangat dapat melukai
paha lawan, di sisi lain rambut si kakek bagaikan ja-rum menancapi wajah
Sugriwa. Melihat kejadian yang berlangsung sangat cepat
ini, Subali menggerung marah. Dia mencabut goloknya
dengan gerakan laksana kilat laki-laki itu melesat dari atas punggung kuda.
Sambil berkelebat golok terayun
ke bagian dada, leher dan perut Si Mata Aneh. Sinar
Merah menderu dan agaknya si kakek tak mungkin la-
gi dapat menghindar selamatkan diri.
Perhitungan Subali ternyata meleset, karena
lawan dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh
kini berkelebat melesat di udara. Selagi tubuhnya
mengambang di udara tangan kiri bergerak mengusap
telunjuk jari tangan kanan. Begitu diusap, dari bagian punggung jemari tangan
Mata Aneh terkuak. Sesuatu
yang mirip dengan mata tapi berwarna putih polos
berkedip. Jemari telunjuk itu kemudian diarahkannya
pada Subali dan Sugriwa.
Wuus! Wuus! Wuuus!
Sebagaimana julukannya, si kakek bergelar Si
Mata Aneh. Karena dia memiliki senjata andalan beru-
pa sebuah mata yang secara aneh melekat di bagian
jari telunjuk. Kenyataan ini nampaknya baru disadari oleh Subali ketika dia
melihat dari punggung jari telunjuk lawan menderu berturut-turut tiga larik
sinar merah kehitaman yang langsung menghantam tiba bagian
tubuhnya. Rasa kaget di hati laki-laki itu berlangsung se-
kejap saja, di lain saat dia memutar golok di tangannya hingga membentuk perisai
diri yang amat kokoh.
Trang! Subali memekik kaget ketika golok besarnya
yang dipergunakan untuk menangkis nampak leleh
seperti dilebur di atas bara. Subali terpaksa campakkan golok yang kini hanya
tinggal setengahnya. Dia jatuhkan diri berguling-guling mencari selamat.
"Bagus kalau kau bisa mengelak. Sekarang ku-
bunuh dulu adikmu!" gumam Si Mata Aneh yang saat itu telah jejakkan kedua
kakinya sejarak empat tombak dari Sugriwa. Begitu kaki si kakek menyentuh
lantai, dia kibaskan tangannya ke arah laki-laki itu. Sugriwa yang saat itu
menjerit-jerit karena kedua ma-
tanya yang berlumuran darah tak dapat dipergunakan
untuk melihat lagi nekad menyerang si kakek dengan
sambaran kuku-kuku tangannya yang panjang hitam
mengandung racun.
Meskipun Si Mata Aneh tak dapat melihat, se-
rangan berbahaya Sugriwa ini dengan cepat dapat di-
elakkan. Sambil mengelak ibu jari digerakkan dari kanan ke kiri.
Wuut! Wuut! Buuum! Sugriwa terbanting keras ketika sinar maut
yang memancar dari punggung jari telunjuk si kakek
menghantam dada dan perutnya. Laki-laki itu menjerit setinggi langit, dadanya
berlubang, isi perut berbu-raian keluar. Sugriwa berkelojotan sesaat, kemudian
terdiam tak berkutik lagi. Melihat kematian adiknya
Subali menggerung. Dengan mata mendelik besar dia
berteriak. "Kau bunuh saudaraku satu-satunya. Sungguh aku tak akan mengampuni
jiwamu!" "Ha ha hai. Untuk membunuhku bukan persoa-
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lan yang mudah. Majulah, aku telah siap untuk mene-
rima hukuman darimu!" kata Si Mata Aneh lantang.
Benar si kakek berkata begitu, malah dia meli-
pat kedua tangan di depan dada bersikap seperti orang yang pasrah siap menerima
kematian. Tapi ketika
Subali menyerang Si Mata Aneh dengan jurus-jurus
Macan Seribu, lawan ternyata tidak tinggal diam. Dengan gesit dia menghindari
sambaran kuku-kuku Sub-
ali. Tendangan beruntung yang dilakukan laki-laki itu juga dapat dielakkannya.
Melihat ketangguhan lawan, Subali jadi tambah
penasaran. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya, sete-
lah kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa.
Dua sosok tubuh itu kini tak ubahnya seperti bayan-
gan saja. Saling serang dan saling gempur tidak berkeputusan. Sampai akhirnya
terdengar suara bergedebu-
kan disertai suara robeknya kain di susul dengan ter-pentalnya dua sosok tubuh,
satu ke kanan dan sa-
tunya lagi ke sebelah kiri.
Si Mata Aneh dekap dadanya yang robek terke-
na sambaran kuku Subali. Baju kuningnya robek be-
sar, darah meleleh dan si kakek menyeringai menahan
sakit. Tak jauh didepannya Subali nampak megap-
megap akibat terkena pukulan Mata Aneh di bagian
dadanya. Susah payah Subali mencoba bangkit berdiri.
Tapi belum lagi dia semua berdiri tegak, lawan telah menyerangnya dengan
mempergunakan kekuatan ma-ta tunggal di bagian jari telunjuk.
Serangan pertama si kakek dapat dihindarinya,
tapi ketika dari mata tunggal di atas jari telunjuk
membersit tiga larik sinar merah berturut-turut Subali tak mampu menghindar
seluruh serangan itu. Salah
satu sinar menghantam bagian kening. Subali jatuh
terpental, keningnya berlubang besar mengepulkan
asap tipis. Ketika sosok laki-laki ini jatuh menyentuh tanah dia tewas seketika
dengan mata mendelik. Mata
aneh tertawa dingin. Tanpa menghiraukan mayat la-
wannya dia balikkan badan dan berkelebat pergi ting-
galkan tempat itu.
*** Kakek bersongkok putih Manusia Seribu Tahun
membawa Gento Guyon melewati pintu gerbang putih
yang diselimuti kabut putih tebal setelah sampai pada akhir batas perjalanan
mereka. Setelah melewati pintu gerbang dia merasakan
sekujur tubuhnya menjadi enteng dan sejuk. Lalu per-
lahan pemuda itu merasakan kakinya menyentuh be-
ludru yang amat sejuk.
Gento membuka mata ketika tidak lagi merasa-
kan sentuhan tangan orang di bagian punggungnya.
Dia memperhatikan suasana di sekelilingnya. Si pe-
muda jadi tercekat ketika mendapati dirinya berada di suatu tempat yang asing di
mana tanah, bukit serta
bebatuan yang terdapat di tempat berwarna biru ba-
gaikan hamparan laut luas.
"Kakek Seribu Tahun, dimana saat ini aku be-
rada" Aku belum pernah melihat pemandangan seperti
ini sebelumnya." kata Gento heran juga bingung. Tapi, tak ada jawaban. Ketika
pemuda itu palingkan kepala
ke belakang dia jadi tambah kaget karena Manusia Se-
ribu Tahun yang telah membawa ke tempat itu sama
sekali lenyap entah kemana.
"Kakek... dimanakah kau?" tanya Gento lagi, beberapa saat lamanya dia menunggu.
Gema suaranya lenyap, namun dia tetap tidak melihat atau mendengar suara si kakek. Gento
berpaling ke belakang. Sepi!
Yang terlihat tidak lebih hanya hamparan kabut me-
mutih bagaikan permadani yang menghalangi pandan-
gan mata. "Celaka, jangan-jangan dia memang sengaja
hendak mencampakkan aku di tempat ini" Tempat apa
ini namanya" Tidak ada manusia, tidak ada siapapun
meski cuma seekor kecoak." gerutu si pemuda. Gento
kemudian berjalan mondar-mandir di atas hamparan
tanah berwarna biru itu dengan hati diliputi kebim-
bangan. "Mungkin inilah tempatnya yang sering disebut
orang sebagai tanah tak bertuan. Tanpa kakek itu jelas aku tak mungkin bisa
menemukan jalan pulang. Aneh,
dia seperti orang yang tidak bertanggung jawab. Aku
jadi khawatir bukan mustahil dia telah menipuku!" fikir Gento.
Selagi fikirannya dibuncah berbagai perasaan
curiga, maka pada saat itu pula mendadak sontak ter-
dengar suara raungan aneh sayup-sayup di kejauhan.
Murid kakek gendut Gentong Ketawa tersentak kaget.
Dia cepat balikkan badan dan memandang ke arah
mana suara tadi berasal. Belum lagi lenyap rasa kaget yang menyelimuti
perasaannya pada saat itu pula di
depannya muncul satu sosok angker mengerikan. Sa-
ma seperti dirinya sosok itu bertelanjang dada. Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-
bulu hitam lebat, berkuku
panjang, rambut panjang hitam riap-riapan. Sedang-
kan wajahnya juga ditumbuhi bulu, alis mata hitam
kereng, mata merah laksana bara. Selain itu di sudut bibir sosok angker ini
mencuat dua pasang taring yang runcing dan tajam berlumuran darah.
Yang membuat Gento jadi bertambah heran
raut wajah sosok bercelana biru itu sama persis seperti dirinya. Hanya tubuhnya
dua kali lebih tinggi dari dirinya. "Mahluk salah kaprah, siapa dirimu adanya"
Wajahmu mirip sekali dengan diriku, sedangkan ba-
gian yang lainnya seperti setan. Atau kau memang se-
tan kesasar yang sengaja menyaru seperti diriku?"
tanya Gento heran.
"Ya, karena aku adalah amarah, aku kebencian,
aku angkara murka dan aku malapetaka. Aku adalah
bagian dari dirimu yang paling buruk. Gento.... sosok ku ada dalam diri setiap
orang. Siapa saja yang mengikuti sifat-sifat yang kusebutkan dia berada dalam
kesesatan, hidup dalam kehinaan dan sengsara sela-
manya. Ha ha ha!" kata sosok angker mirip Gento.
"Tapi... aku tak pernah merasakan kehadiran
dirimu. Bagaimana kau bisa mengaku kau adalah ba-
gian dari diriku. Sejak kapan kau mengikuti aku?"
tanya Gento heran.
Sosok Gento berwajah angker mengerikan di
depan sana menyeringai. "Aku tidak mengikutimu, tapi menyertaimu, menyatu dalam
jiwa dan telah ada sejak
kau dilahirkan di dunia ini. Aku adalah amarah....
ujud ku baru terlihat dalam bentuk perbuatan. Celakalah orang yang selalu
mengikuti kehendakku. Betapa
mulia orang yang mampu merantai tangan dan kaki-
ku." kata sosok itu pelan.
"Sekarang aku mengerti, jadi kau ini adalah
emosi jiwa?"
"Kau benar."
"Lalu mengapa kau memperlihatkan diri?"
tanya si pemuda. "Apakah kau ingin aku merantai mu?" "Kau hanya bisa melakukan
itu bila telah me-mahami sifat ku. Bila kau membuatku tidur selamanya
berarti kau telah membelenggu seluruh tubuhku!"
"Berarti aku harus bersikap sabar, menahan di-
ri dari amarah."
"Benar. Karena kau adalah seorang calon pen-
dekar sakti, maka kau harus mengutamakan sikap sa-
bar." "Hal seperti itu sangat sulit dilakukan manusia pada umumnya, terkecuali
para dewa."
"Kau bukan manusia umum, bukan orang ke-
banyakan. Sikap sabar harus lebih banyak kau tum-
buhkan dalam dirimu. Jika kau tidak ingin aku men-
gendalikan hidupmu. Andai aku yang menjadi kendali
dalam kehidupanmu, maka yang kau dapatkan hanya
malapetaka dan segala keburukan yang seharusnya ti-
dak perlu terjadi!"
"Baiklah, sekarang lebih baik kau pergi saja.
Aku muak melihat tampangmu!" kata Gento sambil
tertawa. "Hmm, aku memang akan pergi. Sebelum pergi
dan kembali dalam dirimu kau harus mengingat satu
hal, aku hanya bisa kau kalahkan dengan akalmu!"
ujar si sosok angker.
Gento anggukkan kepala. Begitu si pemuda
mengangguk, pemuda ini merasakan adanya hembu-
san angin yang menampar sekujur tubuhnya. Samba-
ran angin yang terasa panas itu membuat si gondrong
memandang ke depan. Gento dibuat melongo, karena
sosok angker yang mengaku sebagai bagian dari di-
rinya itu ternyata telah lenyap. Sebagai gantinya kini muncul sosok Gento yang
lain. Sosok serba putih berkepala besar bukan main, kemudian di sebelah kirinya
muncul sosok lain berwarna merah seperti darah. Tak
sampai di situ saja di sebelah kanan sosok serba putih yang berasal dari kabut
itu muncul pula sosok Gento
yang sangat besar luar biasa.
Kehadiran ketiga sosok yang semuanya mirip
dengan dirinya ini membuat menjadi lemas, lututnya
goyah dan diapun jatuh terduduk.
"Kalian siapa lagi" Apakah masih merupakan
bagian dari diriku" Mengapa banyak amat?" tanya pemuda itu dengan suara
bergetar. "Benar, kami memang merupakan bagian dari
dirimu." ketiga sosok yang berdiri tegak di depan Gento dan nampak meliuk-liuk
ketika ditiup angin menjawab
serentak. Aneh bahkan sungguh sulit dipercaya, hing-
ga membuat Gento gelengkan kepala berulang kali.
"Apa yang kulihat saat ini rasanya tidak masuk
akal!" katanya.
"Gento, akulah akalmu. Atas izin Gusti Allah
dan dengan keinginan orang yang telah membawamu
ke alam Tanpa Benci itu, kami yang merupakan bagian
dari dirimu hadir di depanmu." Yang menjawab adalah sosok serba putih yang
berdiri tegak diantara dua
lainnya. "Kau siapa?" tanya Gento sambil matanya mencari-cari kalau Manusia Seribu Tahun
hadir pula dis-
itu. Tapi kakek itu bersongkok hitam yang usianya
mendekati seribu tahun itu tak terlihat.
"Aku adalah akalmu, Gento. Jika kau mampu
membuat aku terjaga selamanya, maka aku bisa me-
nunggang nafsumu, aku bisa mengendalikan sosok
yang bernama amarah, aku bisa mengatur nafsu serta
berbagai keinginan rendah yang ada dalam dirimu. Ji-
ka kau menjadi kendali dalam dirimu, hidup berada
dalam keselamatan, sebaliknya jika aku yang dikenda-
likan nafsu serta amarahmu. Kau akan hidup dalam
kesesatan dan celaka." kata sosok serba putih tenang.
"Lalu yang di sebelah kirimu siapa?" tanya murid Gentong Ketawa sambil melirik
ke arah sosok serba merah seperti darah.
"Aku adalah bagian dirimu yang terlihat." menyahuti sosok serba merah. "Aku
adalah ujud kasarmu, terdiri dari kulit daging tulang dan darah. Aku
adalah selimut sekaligus tempat bernaung dari tiga
bagian lainnya. Tiga bagian yang berteduh dalam
naungan ku adalah, akal atau fikiran. Perasaan yang
terbagi menjadi beberapa bagian. Diantaranya adalah
yang menemuimu pertama tadi, lalu perasaan kesaba-
ran dan kasih sayang. Bagian ketiga yang berada da-
lam perlindungan ku adalah tenaga....!" menerangkan sosok serba putih.
"Akulah tenaga!" menyambungi sosok Gento
yang berbadan besar luar bisa. "Aku adalah kekuatan.
Dengan kehadiranku kau dapat berbuat apa saja. Tapi
diriku akan sangat menderita bila kau pergunakan pa-
da jalan yang dimurka Gusti Allah."
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat ba-
gian-bagian dari diriku sendiri." ujar Gento takjub.
"Kau merasa beruntung karena semua ini atas
bantuan Manusia Seribu Tahun. Jika bukan atas ke-
mauannya dan juga atas izin Gusti Allah, jangan harap kau dapat melakukannya." kata sosok akal.
"Lalu apa tujuan kalian memperlihatkan diri?"
tanya si pemuda penuh rasa ingin tahu.
"Kami tidak punya kuasa untuk menerangkan-
nya. tanyakan saja semua itu pada Manusia Seribu
Tahun! Sekarang sudah tiba waktunya bagi kami un-
tuk menyatu kembali dengan dirimu!" kata sosok serba putih. Tak berselang lama
sosok berkepala besar
ujudnya memudar, semakin lama semakin melenyap,
ia berubah menjadi cahaya putih. Secara aneh cahaya
itu akhirnya melesat, bergerak di bagian ubun-ubun
Gento lalu lenyap dari pandangan mata.
Gento merasakan fikiran dan pandangan ma-
tanya menjadi terang kembali. Kemudian hal yang sa-
ma juga terjadi pada sosok serba merah yang mengaku
sebagai ujud kasar Gento. Kemudian disusul pula oleh sosok tenaga. Sosok besar
yang telah berubah menjadi cahaya kemilau itu kemudian bergerak menyelimuti
Gento dan meresap ke sekujur tubuhnya.
"Akkh....!"
Gento mengeluh tertahan ketika merasakan
hawa panas terasa seolah menembusi sekujur tubuh-
nya. Dia rebah terkapar, sepasang matanya menatap
ke arah langit biru. Apa yang dilihat dan yang terjadi tadi rasanya memang sulit
di terima olehnya.
Sejuta tanya kini menemui otaknya. Ingin seka-
li dia bertemu dengan manusia Seribu Tahun secepat-
nya. Tapi dia tak tahu dimana orang tua itu saat ini berada. Kakek itu setelah
melewati gerbang putih meninggalkan dirinya begitu saja. Padahal begitu banyak
masalah yang ingin ditanyakannya.
9 Saat murid gendut Gentong Ketawa masih da-
lam menelentang seperti itu tiba-tiba dia mendengar
suara langkah kaki yang begitu ringan di belakangnya.
Gento cepat bangkit, duduk sambil palingkan kepala
ke belakang. Pemuda ini tertegun ketika melihat seo-
rang gadis berpakaian serba putih berdiri tegak hanya dua langkah di
belakangnya. "Kau... kau siapa?" tanya si pemuda terbata-bata. "Aku utusan Manusia Seribu
Tahun. Dia memberi perintah padaku untuk membawamu ke ruangan
penggodokan!" sahut gadis cantik itu tegas.
"Ruang penggodokan! Apakah ini berarti dia
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hendak memasak ku hidup-hidup" Hei... kau jangan
bercanda. Sekarang ini aku sedang bingung, jangan
kau buat aku jadi marah!"
"Bukankah amarah telah bertemu dengan diri-
mu" Bukankah dia telah memperlihatkan rupanya
yang asli. Mengapa kau lebih suka membebaskan ran-
tai yang membelenggunya?"
"Ah, ternyata kau sudah tahu. Bagus, sekarang
aku ingin bertemu dengan kakek itu!" kata si pemuda.
"Kalau kau ingin bertemu, sebaiknya ikuti aku!"
kata si gadis. Gento bangkit berdiri. Ketika dia hendak men-
gikuti si gadis mendadak pemuda itu jadi ragu.
"Apa lagi yang kau tunggu?" tanya gadis berpakaian putih begitu melihat Gento
tidak juga beranjak dari tempatnya.
"Aku khawatir kau menipuku, sebagaimana
kakek itu menipu diriku!"
Terlihat ada kilatan aneh dimata si gadis begitu
mendengar ucapan Gento. "Kakek itu tak pernah me-nipumu, kau sekarang berada di
Alam Batas Biru. Di
tempat ini tidak ada manusia lain yang dirugikan!"
"Baik. Jika kau sudah berkata begitu. Sekarang
kita temui kakek itu." kata Gento akhirnya.
Gadis berpakaian serba putih itu memutar tu-
buhnya, lalu berkelebat pergi dengan diikuti oleh Gen-to di belakangnya. Tak
lama mereka berlari sampailah mereka di satu tempat yang diselimuti tabir merah.
Tabir merah yang membentang di depan mereka ben-
tuknya seperti bangunan megah menjulang tinggi ke
langit. Si gadis mendekati pintu yang bentuknya seper-ti tabir. Lalu tangannya
menyentuh tabir itu dengan
gerakkan menyibak sebanyak tiga kali. Tabir di depan si gadis mendadak terbuka,
dari dalam ruangan yang
diselimuti tabir itu memancar cahaya merah terang.
Dari tempatnya berdiri meskipun ada cahaya yang
memancar dari balik tabir Gento sama sekali tak dapat
melihat apapun yang terdapat di dalamnya. Namun
pada saat itu pula Gento mendengar suara yang sangat di kenalnya, suara Manusia
Seribu Tahun. "Masuklah anak manusia yang terlahir dengan
nama Gento Guyon!" kata si kakek. Orang tua itu kemudian bicara ditujukan pada
sang dara. "Terima kasih atas bantuanmu, Ratih Kumala. Kembalilah ke
tempat peristirahatan mu!" Si gadis rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Kemudian tubuhnya di-bungkukkan sebagaimana orang yang memberi peng-
hormatan pada orang yang sangat dihormatinya.
"Terima kasih, kek." kata Ratih Kumala. Bersamaan dengan itu pula saat kening si
gadis menyen- tuh tanah, maka terdengar suara letusan keras yang
disertai dengan menebarnya asap tebal berwarna putih menghalangi pemandangan.
Ketika asap lenyap, maka
sosok Ratih Kumala pun lenyap dari pandangan mata.
"Gadis itu, mungkin saja gadis jejadian. Boleh
jadi dia tercipta dari angin!" Sekali lagi Gento gelengkan kepala.
Setelah itu si pemuda langkahkan kakinya me-
nuju tabir merah. Dia lalu memasuki pintu tabir yang terbuka. Sampai di dalam
ruangan yang diselimuti tabir dan diterangi cahaya merah menyala dia melihat
Manusia Seribu Tahun duduk di atas batu biru ber-
bentuk bundar. Gento bergerak lebih mendekat lalu
duduk tak jauh di depan orang tua bersongkok putih
tersebut. Perlahan sepasang mata si kakek yang terpejam nampak membuka. Sekejap
dan pandangi pemuda
itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Setelah
itu mulutnya yang tertutup kumis serba putih mem-
buka berucap. "Aku melihat begitu banyak beban pertanyaan yang memenuhi
kepalamu. Sebelum aku bica-
ra pada inti persoalan, sekarang ini jika di hatimu ada
ganjalan, katakan saja!"
Gento terdiam sejenak, berfikir. Tak lama ke-
mudian dia bertanya. "Kek.... setelah melewati gerbang putih, mengapa kau
meninggalkan aku?"
Dengan tenang si kakek menjawab. "Sengaja ku
tinggalkan dirimu karena aku ingin memberimu ke-
sempatan untuk bertemu dengan dirimu."
"Dengan diriku sendiri" Apa maksudmu?" tanya si pemuda tak mengerti.
Si kakek tersenyum, namun hanya sekedar se-
nyum sekilas dan tidak berlebihan. Setelah senyu-
mannya lenyap dia berkata. "Bukankah atas kuasa Gusti Allah kau telah bertemu
dengan amarahmu, nafsu yang membuat manusia jadi gelap mata kehilangan
kendali diri. Kemudian kau berjumpa dengan akal so-
sok yang tidak dapat dilihat namun dapat dirasa kehadirannya. Akal itu adalah
puncak dari segalanya. Akal pula yang menentukan baik buruk, jahat tidaknya
seseorang."
"Lalu sosok merah yang menyerupai diriku itu
siapakah?" tanya Gento.
"Dia sudah mengatakan bahwa dirinya meru-
pakan bagian dari tubuhmu, atau jasad kasarmu.
Tanpa jasad manusia tidak akan terlihat. Jasad tidak ubahnya seperti rumah. Di
rumah itu diam beberapa
anggota keluarga yang satu sama lain mempunyai ika-
tan dan rasa saling ketergantungan. Jika rumah bo-
brok dan hancur, maka para penghuninya menjadi
sangat menderita bahkan mati. Di samping semua itu
Gento, dengan adanya jasad kasar manusia jadi mem-
punyai tenaga. Tenaga adalah satu kekuatan, dia siap melakukan apa saja.
Sedangkan baik buruknya diri
apa yang dihasilkan tenaga itu segalanya tergantung
akal dan niat." jelas si kakek.
"Jadi apa artinya dari semua yang kau perli-
hatkan kepadaku itu kek?" tanya Gento.
"Aku tidak akan menerangkan segalanya secara
lebih mendalam. Karena jika kau tak kuat meneri-
manya kau menjadi gila."
"Padahal sekarang ini sudah agak miring, bu-
kankah begitu kek?" ujar Gento disertai senyum.
"Terserah kau menilai dirimu apa. Yang jelas
dirimu terdiri dari kulit, daging, tulang dan darah. Itu ujud kasarmu. Sedangkan
ujud yang tak terlihat adalah, akal fikiran, nafsu, roh dan tenaga. Segala apa
yang kusebutkan ini membuat dirimu bernama Gento.
Itulah unsur kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan. Yang ingin kubicarakan saat ini bukan men-
genai dirimu, melainkan tenaga yang ada dalam dirimu yang dapat dipergunakan
untuk menolong sesama
manusia, membela golongan yang tertindas dan men-
jadi penegak kebenaran. Kelak kau dapat menjadi sa-
lah satu Pendekar Penegak kebenaran. Untuk menjadi
seorang pendekar yang tangguh, pendekar sakti kau
harus kuat lahir dan batin."
"Kek, jika masalah kekuatan batin kau tak per-
lu risau. Kujamin batin ku kuat, karena hampir setiap pagi aku minum ramuan jamu
yang dicampur dengan
telor setengah matang!" celetuk si pemuda.
"Bocah pokrol kampret. Yang ku maksud bukan
itu. Kuat batin bukan berarti kau sanggup memberi
kebahagiaan kepada istri. Yang ku maksud dengan ba-
tin yang kuat kau harus mempunyai pendirian teguh,
mampu mengendalikan nafsu rendah dan sanggup
menghadapi segala cobaan yang terjadi dalam hidup-
mu! Kau harus mampu mengekang amarahmu, kau
juga mesti sanggup menggunakan akal sehat dalam si-
tuasi apapun."
"Kalau begitu berat juga kek. Terus terang aku
masih muda, orang muda pantang melihat kulit mulus
dan jidat licin. Artinya jika melihat gadis yang cantik aku masih suka
tertarik." kata si pemuda polos.
"Jidat ku juga licin Gento. Apakah kau tertarik juga?" Gento cepat gelengkan
kepala. "Walah, aku belum gila, otak belum lagi rusak,
bagaimana mungkin aku bisa menyukai kaum sejenis.
Ha ha ha!"
"Anak manusia, batasi bicaramu." hardik Manusia Seribu Tahun. Mendapat teguran
seperti itu Gento langsung katupkan mulutnya. "Dengar Gento.
Sebagai manusia normal wajar saja tertarik pada la-
wan jenisnya. Tapi harap kau tahu batas dan aturan.
Aku ingin menjadikan mu sebagai seorang Pendekar
Sakti. Aku mau kau bisa mewakili keinginan baikku
untuk menegakkan keadilan di dunia persilatan. Kare-
na itu aku akan menurunkan beberapa ilmu sakti
yang kumiliki kepadamu. Di samping itu aku akan
mengajarimu cara menghimpun atau membangkitkan
tenaga sakti yang bersumber dari tujuh bagian di tu-
buhmu. Pusat pembangkit tenaga itu aku menama-
kannya Cakra."
Mendengar ucapan si kakek Gento jadi tercen-
gang. "Kek.... selama ini yang ku tahu orang hanya bi-sa menghimpun atau
mengerahkan tenaga dalam dari
bagian pusarnya saja. Bagaimana kau bisa mengata-
kan tenaga dalam bisa dihimpun dan dikerahkan dari
tujuh titik di bagian tubuh seseorang?" tanya si pemuda heran.
"Cara seperti yang kau sebutkan itu sudah ku-
no, aku tahu cara seperti itu yang paling banyak dipakai oleh orang-orang di
rimba persilatan."
"Memang benar, kek."
"Membangkitkan tenaga atau Cakra hanya dari
satu sumber sangat berbahaya bagi orang itu. Karena
jika seseorang memusnahkan sumber pembangkit te-
naga dalam satu-satunya itu, dia berarti telah kehilangan kekuatan dan
kesempatan. Dengan begitu dia
dengan mudah dapat ditaklukkan oleh lawannya. Tapi
jika selain itu orang memiliki enam pembangkit cakra lainnya. Maka orang itu
tidak mudah ditundukkan, dia dapat menggunakan sumber tenaga dari bagian mana
saja yang dia inginkan!" jelas Manusia Seribu Tahun.
Mendengar penjelasan si kakek Gento manggut-
manggut penuh rasa takjub. "Kek kalau begitu aku mau kau mengajari aku
membangkitkan tenaga sakit
di enam bagian tubuhku yang lain." ujar si pemuda penuh semangat.
"Boleh saja. Semua itu segera kau dapatkan.
Cuma....!" Manusia Seribu Tahun tidak lanjutkan ucapannya.
"Cuma apa kek?"
Si kakek gelengkan kepala.
"Apakah aku tidak pantas mempelajarinya?"
"Bukan itu." sahut si orang tua.
"Apakah kau menilai orang geblek macamku ini
tidak sanggup mengamalkannya?"
"Lalu apa?" tanya Gento lagi.
"Untuk memudahkan mu menyerap ilmu dan
membuka enam titik sumber pembangkit cakra yang
baru kau harus menjalani puasa tidak makan, tidak
minum di tambah tidak tidur selama dua puluh satu
hari. Kau sanggup?" ujar si kakek.
Mendengar jawaban Manusia Seribu Tahun
Gento terdiam. Namun setelah berfikir sejenak akhir-
nya dia anggukkan kepalanya. "Aku sanggup... aku
akan mencobanya!" ujar si pemuda.
"Bagus. Kalau begitu tetaplah kau duduk dis-
itu, jangan bergerak, jangan pula bersuara. Sampai
aku membangunkan mu dua puluh satu hari yang
akan datang!" habis berkata sosok si kakek mendadak raib. Gento sendiri tak
melihat kemana lenyapnya kakek itu. Dia menarik nafas pendek, lalu perlahan
mulai pejamkan matanya.
10 Dalam dua puluh dua di Tabir Batas Biru, bu-
lan empat belas memancarkan cahayanya yang kuning
kemilau. Sinar bulan yang kuning keemasan meman-
tul dipermukaan tanah biru, menyajikan pemandan-
gan sejuk indah dipandang mata.
Sementara di dalam tabir merah yang berben-
tuk sebuah bangunan tempat tinggal Gento telah dua
puluh satu hari melakukan tapa tanpa makan minum
juga tidur. Gento benar-benar sangat tersiksa sekali.
Apalagi di tempat itu bila siang hari panas terik bukan main, sedangkan malam
hari dinginnya bukan main.
Tapi berkat semangat ketabahan serta keyakinan diri, Gento akhirnya mampu juga
menyelesaikan tapa sebagaimana yang diminta oleh si kakek.
Malam itu tepat tengah malam Gento membuka
matanya ketika dia mendengar suara langkah-langkah
kaki mendekat ke tengah ruangan. Sepasang matanya
terbelalak lebar ketika melihat berbagai jenis buah-
buahan terhidang di depannya. Dapat dibayangkan
bagaimana perasaan Gento yang selama dua puluh sa-
tu hari tidak makan walau barang sebutir nasi pun.
Melihat buah-buahan yang terhidang di depannya
Gento julurkan tangan hendak mengambil buah-
buahan itu. Selagi tangannya hampir menyentuh ane-
ka buah-buahan yang terhidang, pada saat itu pula dia mendengar suara seseorang
menegurnya. "Eitt... jangan kau sentuh. Jangan pula kau
makan!" Kaget murid Gentong Ketawa segera palingkan
wajah dan memandang langsung ke arah datangnya
suara. Wajah Gento jadi cemberut ketika mengetahui
orang yang menegurnya tadi bukan lain adalah Manu-
sia Seribu Tahun.
"Orang tua, perutku lapar sekali. Ada makanan
mengapa tidak boleh dimakan, kalau cuma membuat
aku ngiler mengapa kau suguhkan di hadapanku?" ka-ta pemuda itu dengan suara
lirih. "Kau lihat baik-baik, apakah yang terhidang di
hadapanmu memang makanan atau sebaliknya?" ujar si kakek. Gento pun melakukan
apa yang diperintah-kan si kakek. Dia jadi tercengang begitu melihat buah-buah
tadi kini sama sekali berubah menjadi belatung
berwarna hitam kecoklat-coklatan. Gento merasakan
perutnya bergelung, mual dan ingin muntah.
"Orang tua apa maksud dari semua ini?" tanya Gento merasa jijik ada marah juga
ada. Si kakek melangkah mendekati. Dia mengulurkan kendi berisi air
berwarna putih pada pemuda itu. Setelah itu dia ki-
baskan tangannya ke arah nampan tanah berisi bela-
tung. Nampan mental dan langsung lenyap begitu
menyentuh selubung merah yang menyelimuti tempat
itu. "Minumlah sampai habis. Air itu akan membuat
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhmu yang lemah menjadi segar kembali." kata si kakek. Sesuai anjuran Manusia
Seribu Tahun Gento
meneguk isi kendi sedikit-demi sedikit hingga tuntas.
Beberapa saat kemudian pemuda merasakan sekujur
tubuhnya terasa segar dan ringan sekali. Gento pan-
dangi kendi yang telah kosong. "Hemm, enak sekali, air apa ini namanya?"
"Aku menamakannya air Pelenyap Sejuta Kele-
suan. Siapa yang meminumnya tubuhnya yang lemah
akan terasa segar, tenaga yang dia miliki juga akan pu-lih seperti sediakala."
"Apa yang kau katakan nampaknya memang
benar. Kini aku merasakan semua yang kau katakan
itu!" kata Gento.
Manusia Seribu Tahun tersenyum. Dia kemu-
dian berkata. "Gento.... agaknya sekarang saatnya bagiku untuk mengatakan bahwa
aku akan menurunkan
sebagian ilmu sakti yang kumiliki. Tapi sebelum itu
aku akan jelaskan padamu tentang tujuh Inti Cakra
pembangkit tenaga manusia."
"Kakek Seribu Tahun, sebelumnya aku
ucapkan terima kasih atas kepercayaan yang kau beri-
kan. Tapi apakah engkau mau menurunkan cara
membangkitkan tenaga dalam itu padaku?" tanya si pemuda. Manusia Seribu Tahun
anggukkan kepala.
"Tepat. Karena itu duduklah yang baik!"
Gento memperbaiki sikap duduknya. Kedua
kaki dalam keadaan bersila sedangkan kedua tangan-
nya ditumpangkan di atas lutut. Setelah memperhati-
kan Gento sekilas si kakek melanjutkan. "Pada dasar-nya di dalam tubuh manusia
yang satu tersimpan tu-
juh sumber pembangkit tenaga sakti. Tujuh sumber
pembangkit tenaga, atau cakra manusia terletak di tujuh titik mulai dari bagian
kepala sampai ke bagian
punggung. Masing-masing pusat cakra atau pusat ke-
kuatan mempunyai kemampuan daya serang tersendi-
ri. Aku akan menyebutkan ketujuh pusat cakra itu.
Agar kau lebih mudah mengingatkannya pusat pem-
bangkit cakra sebagai pusat pembangkit tenaga. Kau
paham?" Gento anggukan kepala.
"Pusat pembangkit tenaga manusia yang per-
tama berada di bagian atas kepala. Sebenarnya inilah pusat seluruh kekuatan.
Jika kau mampu menghimpun tenaga dan mengerahkannya dari bagian atas ke-
palamu, aku mampu menghancurkan apa saja yang
ada di depanmu. Tapi yang terpenting segala apapun
yang kau lakukan akibatnya harus kau tanggung sen-
diri. Sedangkan yang kedua adalah tenaga yang berpu-
sat di bagian kening. Orang yang mampu membang-
kitkan tenaga hendaknya dia sanggup berfikir secara
jernih dalam menghadapi masalah. Sedangkan pem-
bangkit tenaga yang ketiga terletak dibagian tenggorokan. Jika kau mampu
membangkitkan tenaga dari ba-
gian yang kusebutkan ini hendaknya kau sanggup un-
tuk bicara benar. Katakan saja jika memang salah dan katakan yang benar jika itu
benar. Lalu pusat pembangkit tenaga ke empat berada di bagian jantung. Ji-ka kau
telah mampu mengerahkan tenaga dalam dari
bagian jantung ini, dengan sendirinya kau memiliki ra-sa cinta, rasa kasihan.
Kekuatan yang bersumber dari jantungmu bahkan sanggup menumbuhkan berbagai
penyakit batin. Bila kau pergunakan untuk mengha-
dapi musuh yang keras kepala lagi tinggi hati, mudah-mudahan segala sifat yang
dia miliki akan luntur. Lawan bisa berubah menjadi kawan, sedangkan rasa
benci dapat berubah menjadi rasa cinta. Karena se-
sungguhnya segala kekerasan serta pertikaian yang
terjadi di dunia ini karena tidak adanya rasa saling
sayang menyayangi dan kasih mengasihi sesamanya.
Sedangkan yang kelima pusat pembangkit tenaga sati
itu letaknya berada di bagian pusar. Kau sudah tahu cara menghimpun serta
mengerahkan tenaga yang
bersumber dari bagian ini. Bagian pusat juga merupa-
kan tempat bersemayamnya keangkuhan manusia. Ka-
rena itu kau harus pandai mengekangnya. Sebab ke-
sombongan cepat atau lambat dapat menghancurkan
manusia itu sendiri. Yang ke enam adalah sumber te-
naga yang berpusat di sekitar bagian alat kelamin manusia. Sumber tenaga yang
berpusat di bagian ini sangat jarang sekali dipergunakan, terkecuali bila
seseorang ingin punya keturunan atau orang itu sudah me-
nikah....!"
"Kek... bagaimana kalau aku kebetulan lupa
dan sampai menggunakannya?" tanya Gento tiba-tiba.
"Kalau sampai lupa, sebaiknya kau mengarah-
kannya ke pohon berduri atau pohon bambu." sahut si kakek. walau Gento
tersenyum-senyum, namun wajah
si kakek tetap nampak begitu serius. "Bagaimana kau bisa lupa terkecuali
kewarasan otakmu benar-benar
terganggu. Kau dengar... yang ke tujuh adalah Pusat
tenaga sakti yang bersumber dari bagian dasar pung-
gungmu. Bagian ini adalah pusat segala pertahanan-
mu yang terakhir. Kau bisa menggunakannya kapan
saja dimana kau butuhkan."
Lagi-lagi Gento memotong. "Kalau ku kerahkan
tenaga dalam dari bagian bawah punggung apakah
orang tidak marah padaku?"
"Maksudmu?"
"Karena aku pasti tak dapat menahan kentut!"
ujar Gento. Wajah si kakek mengernyit, tapi matanya yang
bening nampak berbinar. "Ya, paling tidak kau harus
bisa melakukannya bila kentut. Karena dengan begitu
daya serangnya akan makin bertambah hebat. Siapa-
pun yang kau hadapi dapat kau jatuhkan tanpa kau
lukai, sementara dia akan sadar kembali begitu tenaga yang terkandung dalam
serangan dasar punggungmu
lenyap!" menerangkan si kakek.
Gento gelengkan kepala sambil unjukkan tam-
pang cemberut. "Akibatnya tentu akan membuat malu diriku kek. Orang pasti akan
memberi ku gelar baru
Pendekar tukang buang angin, tukang kentut. Lebih
baik aku tak usah mengajarkan yang satu itu padaku
kek." "Anak manusia. Tidak bisa, tujuh titik yang kusebutkan itu merupakan satu
kesatuan. Tujuh kekua-
tan yang terdapat dalam satu tubuh, satu jasad, satu diri, yaitu dirimu Gento.
Jika kelak kau tinggalkan
tempat ini kau akan kuberi gelar Pendekar Sakti 71
Gento Guyon apakah semua ini tidak menyenangkan
hatimu?" "Setiap kepercayaan yang kau berikan padaku
adalah suatu amanah yang harus kujalankan. Bukan-
kah menyia-nyiakan kepercayaan orang adalah suatu
dosa, bagaimana aku bisa senang?" ujar Gento.
"Bagus, ternyata otakmu cukup cerdik. Seka-
rang kau bersiap-siaplah! Aku akan mengerahkan se-
bagian kekuatan sakti yang kumiliki kepadamu!" ujar si kakek.
Gento menarik nafas dalam, lalu menghem-
buskannya secara perlahan. Setelah itu diapun meme-
jamkan matanya.
11 Di depan sana Manusia Seribu Tahun silang-
kan kedua tangannya di depan dada. Mulut orang tua
ini berkemak-kemik, lalu secara perlahan sekujur tu-
buh kakek itu nampak bergetar. Getaran semakin la-
ma semakin menghebat yang disusul dengan menge-
pulnya kabut tipis berwarna seperti pelangi. Ketika kabut yang keluar dari
bagian ubun-ubun Manusia Seri-
bu Tahun bergerak dalam ketinggian sejengkal di atas kepala si kakek, kabut itu
membentuk sosok Manusia
Seribu Tahun dalam rupa cahaya tujuh warna yang
berkilauan menyilaukan mata. Cahaya selanjutnya
bergerak melesat dari sosok Manusia Seribu Tahun
melesat kebagian atas kepala Gento. Kemudian secara
perlahan seolah tersedot masuk ke dalam tubuh si
pemuda melalui bagian atas kepalanya.
Gento terguncang, tubuhnya menggeletar dan
dibasahi keringat bercucuran ketika tujuh cahaya da-
lam membentuk serta rupa si kakek menjalar ke seku-
jur tubuhnya. Pemuda ini meronta, menggeliat dan ke-
luarkan suara raungan hebat.
Hawa panas dan hawa dingin mendera pemuda
itu silih berganti. Tubuh laksana dicabik, tulang belu-langnya seperti
bertanggalan. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama, bahkan kemudian
terlihat ada darah menetes dari bagian hidung, lubang telinga serta mulut Gento.
Tidak kurang dari sepeminum teh, cahaya tu-
juh warna dalam tujuh rupa bayangan Manusia Seribu
Tahun bergerak keluar, berpindah dari bagian atas
ubun-ubun Gento kebagian kepala sosok si kakek
yang duduk bersila di depan pemuda itu. Tujuh sinar
pelangi pada akhirnya lenyap dan amblas kembali ke
dalam tubuh orang tua itu. Di depannya sana Gento
mengerang. Sekujur tubuhnya mendadak seperti terse-
rang demam tinggi. Dia berusaha membuka mata, tapi
begitu mata terbuka pandangan matanya malah men-
jadi gelap. Murid kakek gendut Gentong Ketawa itu
akhirnya terguling tidak sadarkan diri.
Manusia Seribu Tahun turunkan kedua tan-
gannya yang bersilangan di depan dada. Setelah itu dia bangkit berdiri. Kembali
mulutnya berkomat-kamit.
Setelah itu jari telunjuknya diacungkan. Berturut-
turut tujuh larik sinar melesat dari ujung jemari si kakek. Sinar pertama
berwarna putih melesat ke bagian
atas kepala Gento. Sinar itu segera lenyap begitu menyentuh kepala Gento.
Sedangkan sinar kedua yang
melesat dari ujung jemari tangan si kakek berwarna
Ungu. Sinar ini menderu ke bagian kening dan segera
lenyap begitu menyentuh pertengahan kening Gento.
Begitu sinar ungu amblas meresap ke bagian kening-
nya, maka melesat pula sinar yang ketiga. Sinar ke tiga berupa sinar biru yang
bergerak lurus ke bagian tenggorokan si pemuda. Sebagaimana dua sinar lainnya.
Sinar biru ini langsung lenyap begitu menyentuh tenggorokan. Setelah itu dari
ujung jemari si kakek melesat sinar hijau kemerahan. Sinar ini bergerak ke arah
jantung dan hati Gento. Lalu sinar yang ke lima, ke enam dan ketujuh masing-
masing berwarna, kuning, kuning
gading dan merah. Ketiga sinar itu berturut-turut melesat ke bagian pusar, bawah
pusat juga bagian dasar punggung Gento.
Meresapnya tujuh larik sinar yang mengenai tu-
juh titik bagian di tubuh pemuda itu membuat sosok
Gento yang masih belum sadarkan diri berguncang
hebat. Tetapi ternyata apa yang dilakukan si kakek tidak hanya sampai disitu
saja. Dia kemudian mengam-
bil sesuatu dari balik saku bajunya. Benda yang diam-
bil si kakek ternyata berupa kalung bermata batu berwarna putih buram
kecoklatan, berbentuk bulat lon-
jong. Si kakek menimang kalung di tangannya sekejap.
Mulutnya seakan bergumam berucap. "Kalung Batu
Raja Langit. Orang yang kita tunggu telah datang. Aku telah mengisi tubuhnya
dengan ilmu Menitis Bayangan
Raga dan Ilmu Membelah Jasad. Aku juga sudah
membuka tujuh titik pembangkit cakra, tujuh pem-
bangkit tenaga dalam di tubuhnya. Selanjutnya, batu
Raja Langit kau boleh menyertai Pendekar Sakti 71
Gento Guyon!" kata si kakek. Mendadak dia memegang mata kalung dengan jari
telunjuk dan ibu jari. Bagian depan mata kalung yang bertitik hitam pada bagian
tengahnya di arahkan pada bagian telapak tangan dan
dada kiri pemuda itu. Setelah itu Manusia Seribu Ta-
hun menekan kedua sisi mata kalung.
Set! Seet! Berturut-turut dari titik hitam di bagian depan
mata kalung menderu angin laksana topan yang diser-
tai melesatnya dua larik sinar biru. Sinar itu masing-masing menghantam dada
kiri juga telapak tangan ka-
nan Gento. Asap bercampur menebarkannya bau se-
perti daging terbakar mengepul. Ketika asap lenyap,
baik di bagian dada kiri maupun di bagian telapak
tangan kanan Gento yang terkena hantaman sinar biru
tadi kini tertera rajah berupa angka 71. Manusia Seri-bu Tahun selanjutnya
menghampiri Gento. Kalung
bermata batu berbentuk bujur telur lalu dilingkarkan dileher pemuda itu.
Tak berselang lama si kakek berdiri tegak kem-
bali Lalu tangan kirinya dilambaikan ke arah dada tepat di bagian jantung pemuda
itu. Gento yang dalam
keadaan tak sadarkan diri tersentak. Beberapa jenak
lamanya dia tertegun. Pertama yang dirasakannya ada-
lah rasa sakit di dada juga dibagian telapak tangan.
Ketika dia melihat telapak tangan dan dadanya pemu-
da ini tersendak kaget.
"Tujuh satu, apa-apaan ini kek?" desis pemuda itu. Dia mengusap dadanya pulang
balik. Tapi angka
71 juga tidak mau hilang.
"Ha ha ha. Seperti yang kukatakan aku membe-
rimu gelar Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Selain itu aku juga telah menurunkan
ilmu Menitis Bayangan
Raja dan ilmu Membelah Jasad."
"Menitis Bayangan Raga, bagaimana caranya
aku menggunakannya?" tanya si pemuda.
"Kedua ilmu itu dapat kau pergunakan di saat
kau benar-benar terdesak. Cukup kau menyebut kebe-
saran Gusti Allah, setelah itu bayangkanlah wajahku.
Maka kedua ilmu itu dapat bekerja dengan sendirinya."
Menerangkan si kakek. Gento menjadi terkesan sekali
mendengar uraian Manusia Seribu Tahun. Sekali lagi
dia memandang dadanya, kembali dan dibuat kaget
ketika melihat sebuah kalung bermata batu melingkar
di lehernya. "Kalung apa ini kek, jelek amat?"
"Itulah kalung Batu Raja Langit. Kalung itu
menyimpan kesaktian dan kekuatan dahsyat. Kau bisa
menggunakannya cukup dengan mengerahkan tenaga
dalam ke bagian mata kalung, lalu mengusap kalung
itu tiga kali." ujar si kakek.
"Apakah aku boleh mencoba seluruh ilmu yang
kau berikan di tempat ini kek?"
Manusia Seribu Tahun gelengkan kepala
"Alam Batas Biru adalah tempat yang sangat
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rawan dengan berbagai gangguan. Jika kau menggu-
nakan ilmu itu di tempat ini, berarti tempat tinggalku akan jadi porak poranda.
Ketahuilah, ketika dirimu ti-
dak sadarkan diri aku telah membuka tujuh titik pem-
bangkit tenaga dalammu. Cara menggunakan tenaga
dalam yang terletak di enam titik itu sama seperti
mengerahkan atau menghimpun tenaga dalam yang
bersumber dari bagian pusar. Hanya penggunaan te-
naga dalam di bagian atas kepalamu boleh diperguna-
kan tiga purnama sekali. Jika kau melanggar pantan-
gan ini jangan salahkan aku jika nantinya kau beru-
bah menjadi orang yang kurang waras."
"Segala pesanmu akan ku ingat baik-baik. Aku
mengucapkan rasa terima kasih atas segala apa yang
kau berikan padaku. Tapi kek, setelah pergi dari sini apakah kelak aku boleh
menyambangimu?"
"Sebaiknya tak usah. Jika aku merasa ada yang
ingin kusampaikan, aku pasti akan mencarimu."
"Bagaimana kalau aku memerlukanmu kek?"
"Kau cukup mengetuk bumi tiga kali sambil
memanggil namaku!" jawab si kakek. "Nah, usai sudah apa yang menjadi
kewajibanku. Selanjutnya aku titipkan amanat kepadamu. Sekarang bersiap-siaplah
kau. Aku akan mengantarmu ke alam kehidupanmu
yang sebenarnya!"
"Kek sebelum pergi, apakah boleh aku bertemu
dengan Ratih Kumala sekedar ingin mengucapkan te-
rimakasih dan salam perpisahan?" tanya Gento sambil menyeringai.
Si kakek gelengkan kepala.
"Salam mu akan kusampaikan. Kelak kau pasti
bertemu dengannya!"
Walaupun agak kecewa mendengar ucapan si
kakek, namun akhirnya Gento berdiri juga. "Aku sudah siap kek?" Tanpa bicara
barang sepatah katapun si kakek mendekati Gento. Begitu Manusia Seribu Tahun
menyentuh punggungnya Gento merasakan tu-
buhnya laksana di bawa terbang. Sekejap kemudian
Gento merasakan tangan si kakek yang menempel di
punggungnya di tarik lepas. Gento jadi kaget ketika
mendengar suara orang tua itu.
"Cukup hingga disini aku mengantarmu!"
"Kek....!" ucapan Gento mendadak terputus ketika mendapati tubuhnya meluncur
deras ke bawah,
lalu jatuh berkerosakan menimpa reranting pepoho-
nan. Bluk! Pendekar Sakti Gento Guyon jatuh bergedebu-
kan dan terhempas di pinggir sungai. Pemuda itu me-
ringis kesakitan, tubuhnya menggeliat, matanya ter-
pentang lebar. Mata itu makin membulat besar ketika
dia melihat sosok seorang gadis setengah telanjang
yang mandi di kali itu nampak repot menutupi aurat-
nya sambil berlari ke balik semak belukar.
"Ha ha ha! Nasibku tidak jelek-jelek amat. Ka-
kek itu iseng menjatuhkan aku di pinggir sungai ini.
Agaknya dia sengaja agar aku berkesempatan melihat
pemandangan bagus.!" kata pemuda itu sambil tertawa terkekeh. Sejurus lamanya
dia memandang ke arah lenyapnya sang dara, lalu tanpa menunggu lama lagi dia
berkelebat pergi.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Misteri Elang Hitam 1 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Sumpah Palapa 3
"Celaka, Kunti.....!"
Teriakan si kakek sudah tak dihiraukanya lagi.
Pedang terus meluncur membabat bagian pangkal len-
gan kiri kanan. Sekejap lagi nampaknya Ki Anjeng
Laknat benar-benar kehilangan tangannya jika saja
pada saat itu tidak terdengar suara teriakan menggele-dek merobek kesunyian.
"Pedangmu pedang tumpul. Yang kau babat
adalah baja keras. Pedang patah dan bagian ujungnya
menembus dadamu sendiri!" Apa yang terjadi kemudian memang sama persis dengan
apa yang dikatakan
oleh suara tadi. Pedang Kunti Menak mengeluarkan
suara berdentring keras saat menghantam pangkal
lengan Ki Anjeng Laknat. Tidak hanya sampai disitu
saja. Pedang itu patah, bagian ujungnya terpental berbalik lalu meluncur deras
ke arah Kunti Menak. Kejut si nenek bukan alang-alang. Dia lebih kaget lagi
ketika melihat patahan pedang berbalik meluncur menghantam ke bagian dada.
Perempuan tua ini melompat ke samping, ja-
tuhkan diri dan terus bergulingan. Cepat sekali dia
bangkit, lalu memutar tubuh memandang ke arah da-
tangnya suara. "Begawan Panji Kwalat! Begawan edan berani
kau mencampuri urusan orang!" hardik Kunti Menak kalap. Begawan Panji Kwalat
kalap. Begawan Panji
Kwalat yang datang dengan membawa seorang pemuda
yang dalam keadaan terluka di atas pangkuannya ini
hanya tersenyum sinis. Dia yang selalu berjalan den-
gan tubuh mengambang sesuai dengan yang dia ke-
hendaki malah alihkan perhatiannya pada Ki Anjeng
Laknat. "Kakang sampai kapan kau berlaku bodoh akibat diperbudak cinta. Dua
puluh tahun kau dihukum
seperti itu. Kini malah kedua tangan dan kakimu hen-
dak dia buntungi. Celakanya kau hanya diam saja, pa-
dahal kesaktian yang kau miliki jauh lebih tinggi ting-katannya dibandingkan
diriku dan dirinya. Sebaiknya
kita habisi saja dia sekarang agar tak menjadi penyakit di kemudian hari!"
dengus Begawan Panji Kwalat sengit.
"Adikku, jangan kau bunuh dia. Dia sorgaku,
dia permataku. Jika dia mati aku bisa kehilangan sor-ga!" cegah Ki Anjeng
Laknat. Berkata begitu si kakek diam-diam perhatikan pemuda gondrong berpakaian
merah yang nampaknya dalam keadaan terluka itu.
"Mungkinkah yang dibawa Begawan Panji Kwalat adalah si bocah itu. Si bocah itu
Lira Watu Sasangka?" ba-
tin si kakek. "Kakang seribu gadis bisa ku carikan untukmu.
Buat apa kau mencintai nenek rongsokan itu" Dia cu-
ma rongsokan hidup yang tidak ada gunanya." kata sang Begawan mencemooh.
Akibat campur tangan si Begawan saja sudah
membuat Kunti Menak menjadi marah bukan main,
apalagi kini Begawan berkaki lumpuh itu menghinanya
dengan kata-kata yang menyakitkan. Kunti Menak ten-
tu semakin tidak dapat menahan diri.
"Begawan palsu, manusia laknat lahir batin.
Kau memang layak kubuat mampus!" si nenek berteriak lantang. Laksana kilat dia
hantamkan kedua tan-
gannya ke arah sang Begawan. Sinar hitam melesat
dari telapak tangan Kunti Menak, hawa panas memba-
kar. Begawan Panji Kwalat walaupun membawa beban
namun dengan cepat bergerak ke samping. Tangan di-
putar lalu diangkat, satu gelombang sinar putih ber-
bentuk kerucut terbalik menyambut hantaman si ne-
nek. "Dingin....!" teriak si kakek lumpuh yang berjalan mengambang di udara.
Ketika pukulan berhawa
panas itu memasuki lingkaran kerucut dari cahaya
mendadak saja pukulan sakti Kunti Menak berubah
menjadi dingin. Masih dengan memangku pemuda
yang dibawanya dia angkat tangan kirinya siap meng-
habisi Kunti Menak.
"Adikku.... jangan bunuh dia. Ku mohon....!"
satu suara berseru. Tak perlu melihat ke arah datangnya suara Begawan Panji
Kwalat yang sekujur tubuh-
nya dipenuhi serbuk kapur sudah tahu yang baru saja
bicara tadi adalah kakangnya Ki Anjeng Laknat.
"Kau meminta aku tidak membunuhnya, pa-
dahal dia hampir membuat kau celaka. Mengingat kita
saudara sedaging, baiklah permintaanmu ini akan ku-
kabulkan. Aku hanya akan membuatnya menjadi pa-
tung!" sahut Begawan itu dingin. Dia lalu robah gerakan tangannya. Tangan
diangkat tinggi, lalu bergerak turun seperti gerakan mengusap ke arah Kunti
Menak, mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Jadilah kau patung hidup. Tidak akan pernah
terjaga tidak pula dapat bergerak terkecuali ada suara petir menyambar dekat
telingamu!" seru si kakek.
Ucapannya ini bukan ucapan biasa, tapi mengandung
satu kekuatan yang bisa membuat orang menjadi se-
perti yang diinginkannya. Dan memang itulah yang
kemudian terjadi pada Kunti Menak. Si nenek yang
masih dalam keadaan tercengang melihat serangannya
dapat dilumpuhkan lawan tiba-tiba merasakan ada
hawa dingin yang sangat luar biasa menyergap tubuh-
nya mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
Bersamaan dengan itu pula dia tak dapat menggerak-
kan seluruh bagian tubuhnya. Tubuh itu bukan saja
hanya terasa kaku, tapi juga terasa dingin luar biasa.
"Kurang ajar! Aku tak mau dipermalukan se-
perti ini." rutuk Kunti Menak. Dia kemudian bangkitkan tenaga dalam berhawa
panas yang bersumber
dari bagian pusar. Tenaga dalam tidak bekerja, reaksi yang diharapkan tidak
kunjung muncul. Pucat pasi
wajah si nenek.
"Bangsat kau Begawan. Jika tidak kau bunuh
aku hari ini, aku bersumpah kelak pasti akan menca-
rimu!" teriak Kunti Menak. Suara makian hanya diba-las dengan tawa panjang
Begawan Panji Kwalat. Se-
mentara itu dia semburkan ludahnya ke rantai batu
yang mengitari tangan serta kaki Ki Anjeng Laknat.
Saat rantai batu terkena semburan ludah maka rantai
batu mengepulkan asap putih disertai suara gemere-
tak. Rantai hancur berkeping-keping. Ki Anjeng Laknat begitu terbebas langsung
berlari mendapatkan Kunti
Menak. "Kekasihku... kekasihku, kau tidak apa-apa bukan?" tanya si kakek merasa
cemas. Akan tetapi si nenek malah mendampratnya.
"Tua gila, sebaiknya minggat kau ke neraka. Aku tak sudi melihatmu lagi!"
Ki Anjeng Laknat nampak kecewa sekali. Meli-
hat sang kakak berubah sedih Begawan Panji Kwalat
sudah tak dapat lagi menahan rasa jengkelnya pada
sang kakek. "Dia muak melihat tampangmu kakang. Se-
baiknya kau ikuti aku. Muridku Lira Watu Sasangka,
Panji Anom Penggetar Jagad perlu kita obati!" seru si kakek. Seakan baru
tersadar Ki Anjeng Laknat cepat
berpaling. "Diakah orangnya yang waktu masih dalam kandungan ku rawat dulu?"
tanya Ki Anjeng Laknat.
Adiknya Begawan Panji Kwalat tidak menanggapi, dia
malah melesat tinggalkan tempat itu.
Tidak menunggu lebih lama, setelah meman-
dang ke arah Kunti Menak si kakek pun berkelebat
pergi. "Bangsat kakak beradik itu, kelak aku pasti akan menghabisinya. Tapi
apakah pemuda tadi memang benar anak Mawar Pelangi" Anak jahanam se-
perti itu firasat ku mengatakan hanya menjadi penebar bencana saja!" rutuk Kunti
Menak sinis. 7 Dua ekor kuda di pacu cepat meninggalkan
Kiara Condong. Di atas punggung kuda berbulu hitam
itu masing-masing ditunggangi oleh seorang laki-laki berbadan tegak, berpakaian
serba hitam, berwajah
angker dipenuhi cambang brewok lebat. Melihat cara
mereka menunggang kuda yang tidak ubahnya seperti
di kejar setan, paling tidak mereka sedang tergesa-gesa atau hendak melakukan
sesuatu yang amat penting.
Sampai di tepi hutan Watu Gamping, penung-
gang kuda yang berada di bagian belakang memper-
lambat lari kudanya. Sampai akhirnya kuda tunggan-
gan dihentikan secara mendadak.
Melihat orang di depan hentikan kuda, maka
yang berada di belakang juga ikut menghentikan tung-
gangannya. "Mengapa berhenti?" tanya si brewok yang berbadan agak pendek.
"Adik Sugriwa" Tidakkah kau mendengar ada
seseorang yang mengikuti kita?" kata orang yang di depan resah.
"Suara apa" Sejak tadi aku tak mendengar sua-
ra apapun." sahut si berewok yang dipanggil Sugriwa.
Mendengar jawaban itu si tinggi besar yang wajahnya
tak kalah seram dengan sang teman nampak tidak
puas. Dia geleng kepala. Tatap matanya memandang
ke jurusan hutan yang terdapat di sebelah kiri mereka.
"Aku mendengar suara siulan. Sejak mening-
galkan pemuda itu perasaanku entah mengapa jadi ti-
dak enak. Jangan-jangan dia tak mempercayai kita.
Lalu sengaja membiarkan kita pergi, untuk kemudian
membunuh kita di tempat ini!" Mendengar ucapan si tinggi tegap Sugriwa bulu
kuduknya meremang. Hati
dan fikirannya jadi tidak enak. Tapi dia malah tertawa.
"Kakang Subali. Jangan perturutkan kata hati
dan perasaan. Pemuda jahanam itu tak mungkin me-
nyusul kita. Bukankah kita sudah berjanji untuk men-
gabdi kepadanya" Dia malah menjanjikan imbalan be-
sar, jika kita sanggup menggagalkan pertemuan para
pendekar di Kiara Condong nanti."
"Mengabdi..." desis Subali disertai seringai
aneh, namun wajah membayangkan rasa tidak puas.
Dengan perasaan jengkel dia melanjutkan. "Sejak nenek moyang kita masih hidup,
Macan Seribu belum
pernah hidup menjadi budak orang lain. Sampai seka-
rang sebagai keturunannya kita juga tidak layak men-
gabdi kepada siapa saja, juga termasuk kepada pemu-
da jahanam yang tidak kita kenal asal usulnya!" dengus Subali.
"Aku sendiri juga punya tekad yang sama. Tapi
pemuda itu telah memberikan minuman beracun pada
kita. Kita tak mungkin lolos dari kematian, hanya dia yang dapat memunahkan
racun di dalam tubuh kita.
Pengaruh racun itu kurasakan semakin menghebat,
kalau tidak percaya coba kakang hirup udara dalam-
dalam." kata Sugriwa
Di sertai senyum mencibir Subali menarik na-
fas dalam-dalam. Mendadak dia merasakan dadanya
jadi sakit, sesak luar biasa. Sedangkan Sugriwa dapat melihat wajah Subali
berubah pucat laksana mayat.
"Kakang wajahmu...."!" seru Sugriwa.
"Keparat jahanam!" maki Subali gusar. Dia
mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Sedang-
kan matanya dipejamkan. Dengan mata masih terpe-
jam pula dia berkata. "Kau benar, pemuda sial itu tidak main-main dengan
ancamannya. Baru kali ini kita
kena dikerjai orang."
"Apakah engkau masih tidak mau mengakui
kenyataan yang terjadi dengan kita kakang"!"
"Diam...!" Subali berteriak marah. "Tidak, pernah kusangka kelalaian kita yang
sekejap itu harus
dibayar mahal. Hem... agaknya kita memang tidak
punya pilihan lain. Kita harus turuti apa yang menjadi keinginannya. Tidak
mengapa, tapi bila kelak dia
memberikan obat penawar racun itu pada kita, disitu-
lah kesempatan kita untuk membalas dendam!" geram Subali. "Sekarang apa yang
harus kita lakukan, kakang?" tanya Sugriwa.
Yang ditanya terdiam beberapa saat lamanya.
Setelah itu dia menggelengkan kepala.
"Pemuda itu menyuruh kita menghalangi setiap
orang yang dalam perjalanan ke Kiara Condong. Apa-
pun tujuannya jelas dia tidak ingin siapapun sampai
ke tempat itu."
"Konon di tempat itu akan diadakan pertemuan
para pendekar dan beberapa tokoh golongan lurus.
Apa maksud dan tujuan dari pertemuan mereka aku
tak tahu!" jelas Sugriwa.
"Tugas kita tidak ringan. Yang akan kita hadapi adalah orang-orang berkepandaian
tinggi. Ini akan
menyulitkan kita."
"Tapi untuk mundur nampaknya juga tidak
mudah. Kita hanya punya kesempatan hidup selama
lima puluh hari lagi. Jika sampai pada waktu yang di-tetapkan kita tidak kembali
menemui pemuda itu, ajal segera datang menjemput. Riwayat Macan Seribu ta-mat,
dan kita mati sia-sia." Sugriwa menimpali.
"Sudahlah, kita memang sedang dihadapkan
pada pilihan sulit. Seandainya kita tidak turuti keinginan pemuda itu kita bakal
kehilangan kesempatan un-
tuk memandang indahnya dunia lebih lama. Karena
itu sebaiknya kita turuti saja keinginannya." pada ak-
hirnya Subali memutuskan.
Sugriwa tentu saja merasa senang. Karena jauh
di lubuk hati laki-laki itu dia tidak ingin mati muda.
Kalau mungkin dia ingin hidup seribu tahun lagi.
"Kakang... dalam keadaan seperti ini kurasa pi-
lihan mu adalah pilihan yang bijaksana. Sekarang
alangkah baiknya kita lanjutkan saja perjalanan ini!"
kata Sugriwa siap menyentakkan tali kekang kuda. Ba-
ru saja Subali anggukkan kepala, pada saat itu kemba-li terdengar suara siulan
panjang. Macan Seribu ter-
sentak kaget. Hampir bersamaan mereka memandang
ke arah datangnya suara.
Di sebelah kiri jalan dimana suara siulan tadi
terdengar tidak terlihat siapapun berada di sana. Subali dan Sugriwa saling
pandang. "Apa kataku, sejak kita meninggalkan pemuda
itu aku merasa seperti ada orang yang mengikuti. Du-
gaanku ternyata tidak meleset!" desis Subali. Suaranya lirih perlahan.
"Ada suara tak ada orangnya. Jelas suara si-
ulan itu datang dari satu tempat yang sangat jauh. Berarti siapapun orangnya
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti memiliki tenaga dalam
serta kesaktian yang tidak rendah!" Sugriwa menyahuti.
"Kau benar. Agaknya inilah tugas pertama yang
harus kita bereskan!" berkata begitu Subali kitarkan pandang matanya ke
sekeliling tempat dimana mereka
berada. Orang yang keluarkan siulan sama sekali masih
belum terlihat. Subali menjadi gusar. "Kurang ajar, ada orang hendak
mempermainkan kita!" kata laki-laki bertampang seram itu sambil kepalkan
tinjunya. "Kakang lihat....!" Sugriwa tiba-tiba keluarkan seruan tercekat. Dia menunjuk ke
depan dengan mata
mendelik. Seketika Subali pun memandang ke arah yang
dimaksud. Laki-laki itu terperangah ketika melihat di tengah jalan setapak itu
berdiri tegak seorang kakek berpakaian kuning gading berambut panjang riap-
riapan. Wajah orang itu sama sekali tidak terlihat karena tertutup rambut.
Melihat kehadiran orang yang
entah sejak kapan berada disitu, Macan Serbu mak-
lum siapapun adanya kakek ini tentu dia bukan orang
sembarangan. Sehingga Subali berbisik pada Sugriwa.
"Aku mencium adanya gelagat yang tidak beres. Hendaknya kau bersikap waspada!"
Sementara itu kakek yang berdiri di tengah ja-
lan saat itu membuka mulut berucap. "Keadaan begini gelap, padahal matahari
panas membakar. Kiara Condong entah berada dimana, si tua berjalan tidak tahu
arah. Wahai saudara dapatkah kau tunjukkan arah
kepadaku?"
"Siapa dirimu adanya?" tanya Subali
"Ha ha ha. Orang memanggilku Si Mata Aneh,
padahal lihatlah, apakah aku memiliki mata?" berkata begitu orang berpakaian
kuning gading singkapkan
rambutnya yang panjang menutupi wajah.
"Hah...!" Sugriwa dan Subali sama keluarkan seruan tertahan ketika melihat
seraut wajah seorang
kakek di penuhi cacat parut besar, sedangkan sepa-
sang matanya sama sekali lenyap, hanya tinggal beru-
pa rongga besar berwarna hitam kemerahan. Sungguh
mengerikan sekaligus menjijikkan keadaannya.
Di depan mereka si kakek tertawa mengekeh.
Beberapa saat sepasang mata yang hanya berupa dua
rongga besar itu seolah memandang ke arah Subali
dan Sugriwa. "Setelah berpuas diri melihatku, sekarang aku
ingin meminta pada kalian untuk mengantarku ke Kia-
ra Condong!" kata Si Mata Aneh. Subali tertegun, rasa takutnya melihat keadaan
kakek itu kini mendadak lenyap berganti dengan keberanian begitu teringat pada
pemuda yang telah meracuni mereka.
"Orang tua apa kepentinganmu pergi ke tempat
itu.?" tanya Subali.
"Apa kepentinganku, buat apa kuberitahukan
pada kalian. Cepat antarkan aku kesana jika kalian tidak ingin mendapat
kesulitan!" hardik si kakek.
"Kakek buta, kami bukan budakmu. Bagaima-
na mungkin kami harus mengantarmu ke Kiara Con-
dong, sedangkan seseorang telah memberikan tugas
pada kami untuk membunuh siapa saja yang coba-
coba datang ke sana!" dengus Sugriwa. Tanpa disadari dia telah keterlepasan
bicara. Si kakek dongakkan kepalanya ke atas lalu
umbar tawanya. Begitu suara tawa lenyap dia meng-
hardik. "Dua kurcaci keparat, berani menolak permintaanku apakah tidak takut
mati?" "Percuma kau mengancam kami kakek buta.
Kami Macan Seribu mana takut mati." dengus Subali gusar. "Macan Seribu.... Macan
Seribu....!" Si kakek berkata sambil mengingat-ingat. Begitu teringat siapa
adanya Macan Seribu tawa Si Mata Aneh pun seolah
tidak terbendung lagi.
"Macan Seribu, nama kalian pernah aku den-
gar. Orang lain boleh takut mendengar gelaran kalian, tapi bagiku tidak ada
artinya sama sekali!" ucap Si Ma-ta Aneh dingin. Merasa tidak dipandang muka
oleh Si Mata Aneh, Subali dan Sugriwa pun menjadi berang.
Dia berpaling pada adiknya sambil berteriak. "Bunuh tua bangka buta itu!"
"Ha ha ha. Yang kau minta memang yang ku-
tunggu sejak tadi!" jawab Sugriwa.
"Jika minta mampus mengapa tidak maju seka-
ligus?" tantang Si Mata Aneh.
"Kakek buta keparat. Melihat cacat mu rasanya
kau tidak layak menghadapi kami berdua!" seru Subali.
"Ha ha ha. Oh... begitu. Sikap takabur dan
memandang rendah orang lain hanya akan mencela-
kakan diri sendiri. Sekarang tunggu apalagi, majulah!"
teriak Si Mata Aneh sinis.
Subali sama sekali tidak menanggapi, sebalik-
nya Sugriwa tanpa menunggu lebih lama lagi langsung
menggebrak kudanya. Kuda meringkik keras, lalu ber-
gerak menerjang Si Mata Aneh. Sementara Sugriwa
yang duduk di atasnya langsung menghantam kepala
kakek itu dengan pukulan tangan kosong. Si Mata
Aneh tertawa tergelak begitu merasakan adanya hawa
dingin menyambar kepala. Seakan melihat saja dia me-
lompat ke belakang hindari pukulan lawan, sedangkan
tangan kiri dihantamkannya ke bagian kaki depan ku-
da yang bergerak menerjang ke bagian dada.
Wuut! Kraak! Kraak! Terdengar suara tulang bederak. Kuda besar itu
meringkik keras ketika dua kaki depannya patah ter-
kena hantaman pukulan si kakek. Kuda tersungkur ke
depan. Jika Sugriwa tidak melompat ke udara ber-
jungkir balik tiga kali niscaya tubuhnya ikut terbanting.
"Jahanam keparat! Kau patahkan kaki kudaku,
tua bangka buta!" teriak laki-laki itu kalap.
"Sekarang kaki kuda, sekejap lagi kaki dan le-
hermu yang kau patahkah!" sahut Si Mata Aneh.
Kalaplah Sugriwa mendengar ucapan sinis la-
wannya. Sementara Subali yang tidak pernah me-
nyangka kehebatan yang dimiliki lawan diam-diam
terkejut. "Kakek buta jahanam itu. Ternyata dia tidak dapat dipandang enteng.
Jika Sugriwa tidak segera
menggunakan goloknya. Bisa jadi Si Mata Aneh dapat
mencelakainya!" batin Subali. Namun dia masih belum turun tangan membantu
Sugriwa. Seakan mendengar apa yang dikatakan Subali,
Sugriwa tiba-tiba mencabut golok besarnya yang ter-
gantung di pinggang. Golok yang berbadan lebar pada
bagian ujungnya dan mempunyai empat lubang yang
berderet rapi dari bagian ujung hingga ke pangkal itu berwarna merah darah.
Sambil mengacungkan golok di
atas kepala Sugriwa berteriak. "Mata Aneh.... kau lihat apa yang di tanganku
ini?" Seru laki-laki itu lantang.
Si Mata Aneh yang saat itu berdiri bertolak
pinggang, dengan rongga matanya yang bolong me-
mandang lurus ke depan. Tak lama dia tersenyum si-
nis. "Mataku buta, mata batin melihat saat ini kau
memegang senjata. Aku tak dapat memastikan senjata
apa, tapi aku dapat merasakan perbawa ketajaman-
nya!" sahut si kakek.
"Bagus." ujar Sugriwa yang sempat terkejut karena lawan mengenali benda yang
digenggamnya wa-
laupun dia tak memiliki mata sama sekali.
"Dengan golok ini aku aka memenggal kepala-
mu!" "Jangankan memenggal kepala, menggores tubuhku sekalipun barangkali tak
akan mampu melaku-
kannya! Ha ha ha."
*** 8 Wajah Sugriwa semakin mengelam mendengar
ucapan Si Mata Aneh. Perlahan golok bergerak turun.
Mata golok menghadap ke depan, sedangkan pung-
gungnya menempel di bagian hidung. Sugriwa berko-
mat-kamit, tubuhnya bergetar hebat. Lalu golok yang
menempel pada hidung dan dahinya itu beberapa ke-
jab kemudian nampak mengepulkan asap kemerahan.
Wuut! Disertai kepulan asap menebar bau amis darah
golok berkelebat ke depan menyambar pinggang Si Ma-
ta Aneh. Sambaran golok yang disertai menebar hawa
dingin luar biasa itu membuat si kakek maklum senja-
ta di tangan lawan bahkan senjata sembarangan, pal-
ing tidak mengandung racun jahat. Karena itu dia tak mau bersikap ayal. Begitu
golok membabat pinggang
dia berkelit ke belakang. Sambaran golok luput dari
sasaran, tapi dengan cepat Sugriwa sudah membalik-
kan badan. Dengan beringas dia mengayunkan senja-
tanya ke arah dada. Selagi senjata itu menderu Mata
Aneh miringkan tubuhnya ke kiri. Tangan kanan beru-
saha memukul pergelangan tangan lawan yang meme-
gang golok. Sedangkan kepalanya di gelengkan ke de-
pan. Sugriwa yang tak menyangka lawan dapat me-
lakukan serangan balik seperti itu begitu sabetan goloknya luput dia cepat tarik
senjata ke belakang. Tapi pada saat itu hantaman rambut di kakek yang tiba-tiba
berubah kaku laksana kawat baja mendera wa-
jahnya. "Kurang ajar!" seru Sugriwa. Cepat sekali dia tarik wajahnya hindari
sambaran rambut. Namun tak
urung bahunya masih kena di hantam belasan ujung
rambut lawannya.
Ceep! Cep! Cep!
"Akh....!"
Terhuyung-huyung dengan muka pucat Sugri-
wa masih dapat selamatkan diri. Akan tetapi bahunya
mengucurkan darah. Rasa nyeri mendera membuat la-
ki-laki itu mengernyit kesakitan.
"Hantam kepalanya Sugriwa!" teriak Subali.
Tidak diingatkan sekalipun Sugriwa saat itu
memang bermaksud menghantam kepala lawannya.
Tapi laki-laki itu tidak langsung menyerang bagian
yang diincarnya. Begitu dia melihat kesempatan senja-ta di tangannya berkelebat
menderu menghantam ke-
dua kaki Si Mata Aneh. Mendapat serangan seperti itu si kakek yang mengandalkan
pendengaran itu melompat di udara.
Bret! Breet! Cess! Cess! Kedua orang itu sama keluarkan pekikan keras.
Ketika Si Mata Aneh jejakkan kakinya kembali nampak
jelas bagian pahanya kanan kiri mengucurkan darah.
Celana di bagian paha robek besar, sedangkan Sugriwa sendiri sekarang dekap
wajahnya yang mengucurkan
darah. Golok besar di tangan terlepas mental jauh dari jangkauan. Kiranya ketika
melompat ke atas tadi lawan kibaskan rambut panjangnya yang dapat melentur
atau berubah keras laksana kawat baja. Tak pelak lagi ketika Sugriwa dengan
penuh semangat dapat melukai
paha lawan, di sisi lain rambut si kakek bagaikan ja-rum menancapi wajah
Sugriwa. Melihat kejadian yang berlangsung sangat cepat
ini, Subali menggerung marah. Dia mencabut goloknya
dengan gerakan laksana kilat laki-laki itu melesat dari atas punggung kuda.
Sambil berkelebat golok terayun
ke bagian dada, leher dan perut Si Mata Aneh. Sinar
Merah menderu dan agaknya si kakek tak mungkin la-
gi dapat menghindar selamatkan diri.
Perhitungan Subali ternyata meleset, karena
lawan dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh
kini berkelebat melesat di udara. Selagi tubuhnya
mengambang di udara tangan kiri bergerak mengusap
telunjuk jari tangan kanan. Begitu diusap, dari bagian punggung jemari tangan
Mata Aneh terkuak. Sesuatu
yang mirip dengan mata tapi berwarna putih polos
berkedip. Jemari telunjuk itu kemudian diarahkannya
pada Subali dan Sugriwa.
Wuus! Wuus! Wuuus!
Sebagaimana julukannya, si kakek bergelar Si
Mata Aneh. Karena dia memiliki senjata andalan beru-
pa sebuah mata yang secara aneh melekat di bagian
jari telunjuk. Kenyataan ini nampaknya baru disadari oleh Subali ketika dia
melihat dari punggung jari telunjuk lawan menderu berturut-turut tiga larik
sinar merah kehitaman yang langsung menghantam tiba bagian
tubuhnya. Rasa kaget di hati laki-laki itu berlangsung se-
kejap saja, di lain saat dia memutar golok di tangannya hingga membentuk perisai
diri yang amat kokoh.
Trang! Subali memekik kaget ketika golok besarnya
yang dipergunakan untuk menangkis nampak leleh
seperti dilebur di atas bara. Subali terpaksa campakkan golok yang kini hanya
tinggal setengahnya. Dia jatuhkan diri berguling-guling mencari selamat.
"Bagus kalau kau bisa mengelak. Sekarang ku-
bunuh dulu adikmu!" gumam Si Mata Aneh yang saat itu telah jejakkan kedua
kakinya sejarak empat tombak dari Sugriwa. Begitu kaki si kakek menyentuh
lantai, dia kibaskan tangannya ke arah laki-laki itu. Sugriwa yang saat itu
menjerit-jerit karena kedua ma-
tanya yang berlumuran darah tak dapat dipergunakan
untuk melihat lagi nekad menyerang si kakek dengan
sambaran kuku-kuku tangannya yang panjang hitam
mengandung racun.
Meskipun Si Mata Aneh tak dapat melihat, se-
rangan berbahaya Sugriwa ini dengan cepat dapat di-
elakkan. Sambil mengelak ibu jari digerakkan dari kanan ke kiri.
Wuut! Wuut! Buuum! Sugriwa terbanting keras ketika sinar maut
yang memancar dari punggung jari telunjuk si kakek
menghantam dada dan perutnya. Laki-laki itu menjerit setinggi langit, dadanya
berlubang, isi perut berbu-raian keluar. Sugriwa berkelojotan sesaat, kemudian
terdiam tak berkutik lagi. Melihat kematian adiknya
Subali menggerung. Dengan mata mendelik besar dia
berteriak. "Kau bunuh saudaraku satu-satunya. Sungguh aku tak akan mengampuni
jiwamu!" "Ha ha hai. Untuk membunuhku bukan persoa-
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lan yang mudah. Majulah, aku telah siap untuk mene-
rima hukuman darimu!" kata Si Mata Aneh lantang.
Benar si kakek berkata begitu, malah dia meli-
pat kedua tangan di depan dada bersikap seperti orang yang pasrah siap menerima
kematian. Tapi ketika
Subali menyerang Si Mata Aneh dengan jurus-jurus
Macan Seribu, lawan ternyata tidak tinggal diam. Dengan gesit dia menghindari
sambaran kuku-kuku Sub-
ali. Tendangan beruntung yang dilakukan laki-laki itu juga dapat dielakkannya.
Melihat ketangguhan lawan, Subali jadi tambah
penasaran. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya, sete-
lah kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa.
Dua sosok tubuh itu kini tak ubahnya seperti bayan-
gan saja. Saling serang dan saling gempur tidak berkeputusan. Sampai akhirnya
terdengar suara bergedebu-
kan disertai suara robeknya kain di susul dengan ter-pentalnya dua sosok tubuh,
satu ke kanan dan sa-
tunya lagi ke sebelah kiri.
Si Mata Aneh dekap dadanya yang robek terke-
na sambaran kuku Subali. Baju kuningnya robek be-
sar, darah meleleh dan si kakek menyeringai menahan
sakit. Tak jauh didepannya Subali nampak megap-
megap akibat terkena pukulan Mata Aneh di bagian
dadanya. Susah payah Subali mencoba bangkit berdiri.
Tapi belum lagi dia semua berdiri tegak, lawan telah menyerangnya dengan
mempergunakan kekuatan ma-ta tunggal di bagian jari telunjuk.
Serangan pertama si kakek dapat dihindarinya,
tapi ketika dari mata tunggal di atas jari telunjuk
membersit tiga larik sinar merah berturut-turut Subali tak mampu menghindar
seluruh serangan itu. Salah
satu sinar menghantam bagian kening. Subali jatuh
terpental, keningnya berlubang besar mengepulkan
asap tipis. Ketika sosok laki-laki ini jatuh menyentuh tanah dia tewas seketika
dengan mata mendelik. Mata
aneh tertawa dingin. Tanpa menghiraukan mayat la-
wannya dia balikkan badan dan berkelebat pergi ting-
galkan tempat itu.
*** Kakek bersongkok putih Manusia Seribu Tahun
membawa Gento Guyon melewati pintu gerbang putih
yang diselimuti kabut putih tebal setelah sampai pada akhir batas perjalanan
mereka. Setelah melewati pintu gerbang dia merasakan
sekujur tubuhnya menjadi enteng dan sejuk. Lalu per-
lahan pemuda itu merasakan kakinya menyentuh be-
ludru yang amat sejuk.
Gento membuka mata ketika tidak lagi merasa-
kan sentuhan tangan orang di bagian punggungnya.
Dia memperhatikan suasana di sekelilingnya. Si pe-
muda jadi tercekat ketika mendapati dirinya berada di suatu tempat yang asing di
mana tanah, bukit serta
bebatuan yang terdapat di tempat berwarna biru ba-
gaikan hamparan laut luas.
"Kakek Seribu Tahun, dimana saat ini aku be-
rada" Aku belum pernah melihat pemandangan seperti
ini sebelumnya." kata Gento heran juga bingung. Tapi, tak ada jawaban. Ketika
pemuda itu palingkan kepala
ke belakang dia jadi tambah kaget karena Manusia Se-
ribu Tahun yang telah membawa ke tempat itu sama
sekali lenyap entah kemana.
"Kakek... dimanakah kau?" tanya Gento lagi, beberapa saat lamanya dia menunggu.
Gema suaranya lenyap, namun dia tetap tidak melihat atau mendengar suara si kakek. Gento
berpaling ke belakang. Sepi!
Yang terlihat tidak lebih hanya hamparan kabut me-
mutih bagaikan permadani yang menghalangi pandan-
gan mata. "Celaka, jangan-jangan dia memang sengaja
hendak mencampakkan aku di tempat ini" Tempat apa
ini namanya" Tidak ada manusia, tidak ada siapapun
meski cuma seekor kecoak." gerutu si pemuda. Gento
kemudian berjalan mondar-mandir di atas hamparan
tanah berwarna biru itu dengan hati diliputi kebim-
bangan. "Mungkin inilah tempatnya yang sering disebut
orang sebagai tanah tak bertuan. Tanpa kakek itu jelas aku tak mungkin bisa
menemukan jalan pulang. Aneh,
dia seperti orang yang tidak bertanggung jawab. Aku
jadi khawatir bukan mustahil dia telah menipuku!" fikir Gento.
Selagi fikirannya dibuncah berbagai perasaan
curiga, maka pada saat itu pula mendadak sontak ter-
dengar suara raungan aneh sayup-sayup di kejauhan.
Murid kakek gendut Gentong Ketawa tersentak kaget.
Dia cepat balikkan badan dan memandang ke arah
mana suara tadi berasal. Belum lagi lenyap rasa kaget yang menyelimuti
perasaannya pada saat itu pula di
depannya muncul satu sosok angker mengerikan. Sa-
ma seperti dirinya sosok itu bertelanjang dada. Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-
bulu hitam lebat, berkuku
panjang, rambut panjang hitam riap-riapan. Sedang-
kan wajahnya juga ditumbuhi bulu, alis mata hitam
kereng, mata merah laksana bara. Selain itu di sudut bibir sosok angker ini
mencuat dua pasang taring yang runcing dan tajam berlumuran darah.
Yang membuat Gento jadi bertambah heran
raut wajah sosok bercelana biru itu sama persis seperti dirinya. Hanya tubuhnya
dua kali lebih tinggi dari dirinya. "Mahluk salah kaprah, siapa dirimu adanya"
Wajahmu mirip sekali dengan diriku, sedangkan ba-
gian yang lainnya seperti setan. Atau kau memang se-
tan kesasar yang sengaja menyaru seperti diriku?"
tanya Gento heran.
"Ya, karena aku adalah amarah, aku kebencian,
aku angkara murka dan aku malapetaka. Aku adalah
bagian dari dirimu yang paling buruk. Gento.... sosok ku ada dalam diri setiap
orang. Siapa saja yang mengikuti sifat-sifat yang kusebutkan dia berada dalam
kesesatan, hidup dalam kehinaan dan sengsara sela-
manya. Ha ha ha!" kata sosok angker mirip Gento.
"Tapi... aku tak pernah merasakan kehadiran
dirimu. Bagaimana kau bisa mengaku kau adalah ba-
gian dari diriku. Sejak kapan kau mengikuti aku?"
tanya Gento heran.
Sosok Gento berwajah angker mengerikan di
depan sana menyeringai. "Aku tidak mengikutimu, tapi menyertaimu, menyatu dalam
jiwa dan telah ada sejak
kau dilahirkan di dunia ini. Aku adalah amarah....
ujud ku baru terlihat dalam bentuk perbuatan. Celakalah orang yang selalu
mengikuti kehendakku. Betapa
mulia orang yang mampu merantai tangan dan kaki-
ku." kata sosok itu pelan.
"Sekarang aku mengerti, jadi kau ini adalah
emosi jiwa?"
"Kau benar."
"Lalu mengapa kau memperlihatkan diri?"
tanya si pemuda. "Apakah kau ingin aku merantai mu?" "Kau hanya bisa melakukan
itu bila telah me-mahami sifat ku. Bila kau membuatku tidur selamanya
berarti kau telah membelenggu seluruh tubuhku!"
"Berarti aku harus bersikap sabar, menahan di-
ri dari amarah."
"Benar. Karena kau adalah seorang calon pen-
dekar sakti, maka kau harus mengutamakan sikap sa-
bar." "Hal seperti itu sangat sulit dilakukan manusia pada umumnya, terkecuali
para dewa."
"Kau bukan manusia umum, bukan orang ke-
banyakan. Sikap sabar harus lebih banyak kau tum-
buhkan dalam dirimu. Jika kau tidak ingin aku men-
gendalikan hidupmu. Andai aku yang menjadi kendali
dalam kehidupanmu, maka yang kau dapatkan hanya
malapetaka dan segala keburukan yang seharusnya ti-
dak perlu terjadi!"
"Baiklah, sekarang lebih baik kau pergi saja.
Aku muak melihat tampangmu!" kata Gento sambil
tertawa. "Hmm, aku memang akan pergi. Sebelum pergi
dan kembali dalam dirimu kau harus mengingat satu
hal, aku hanya bisa kau kalahkan dengan akalmu!"
ujar si sosok angker.
Gento anggukkan kepala. Begitu si pemuda
mengangguk, pemuda ini merasakan adanya hembu-
san angin yang menampar sekujur tubuhnya. Samba-
ran angin yang terasa panas itu membuat si gondrong
memandang ke depan. Gento dibuat melongo, karena
sosok angker yang mengaku sebagai bagian dari di-
rinya itu ternyata telah lenyap. Sebagai gantinya kini muncul sosok Gento yang
lain. Sosok serba putih berkepala besar bukan main, kemudian di sebelah kirinya
muncul sosok lain berwarna merah seperti darah. Tak
sampai di situ saja di sebelah kanan sosok serba putih yang berasal dari kabut
itu muncul pula sosok Gento
yang sangat besar luar biasa.
Kehadiran ketiga sosok yang semuanya mirip
dengan dirinya ini membuat menjadi lemas, lututnya
goyah dan diapun jatuh terduduk.
"Kalian siapa lagi" Apakah masih merupakan
bagian dari diriku" Mengapa banyak amat?" tanya pemuda itu dengan suara
bergetar. "Benar, kami memang merupakan bagian dari
dirimu." ketiga sosok yang berdiri tegak di depan Gento dan nampak meliuk-liuk
ketika ditiup angin menjawab
serentak. Aneh bahkan sungguh sulit dipercaya, hing-
ga membuat Gento gelengkan kepala berulang kali.
"Apa yang kulihat saat ini rasanya tidak masuk
akal!" katanya.
"Gento, akulah akalmu. Atas izin Gusti Allah
dan dengan keinginan orang yang telah membawamu
ke alam Tanpa Benci itu, kami yang merupakan bagian
dari dirimu hadir di depanmu." Yang menjawab adalah sosok serba putih yang
berdiri tegak diantara dua
lainnya. "Kau siapa?" tanya Gento sambil matanya mencari-cari kalau Manusia Seribu Tahun
hadir pula dis-
itu. Tapi kakek itu bersongkok hitam yang usianya
mendekati seribu tahun itu tak terlihat.
"Aku adalah akalmu, Gento. Jika kau mampu
membuat aku terjaga selamanya, maka aku bisa me-
nunggang nafsumu, aku bisa mengendalikan sosok
yang bernama amarah, aku bisa mengatur nafsu serta
berbagai keinginan rendah yang ada dalam dirimu. Ji-
ka kau menjadi kendali dalam dirimu, hidup berada
dalam keselamatan, sebaliknya jika aku yang dikenda-
likan nafsu serta amarahmu. Kau akan hidup dalam
kesesatan dan celaka." kata sosok serba putih tenang.
"Lalu yang di sebelah kirimu siapa?" tanya murid Gentong Ketawa sambil melirik
ke arah sosok serba merah seperti darah.
"Aku adalah bagian dirimu yang terlihat." menyahuti sosok serba merah. "Aku
adalah ujud kasarmu, terdiri dari kulit daging tulang dan darah. Aku
adalah selimut sekaligus tempat bernaung dari tiga
bagian lainnya. Tiga bagian yang berteduh dalam
naungan ku adalah, akal atau fikiran. Perasaan yang
terbagi menjadi beberapa bagian. Diantaranya adalah
yang menemuimu pertama tadi, lalu perasaan kesaba-
ran dan kasih sayang. Bagian ketiga yang berada da-
lam perlindungan ku adalah tenaga....!" menerangkan sosok serba putih.
"Akulah tenaga!" menyambungi sosok Gento
yang berbadan besar luar bisa. "Aku adalah kekuatan.
Dengan kehadiranku kau dapat berbuat apa saja. Tapi
diriku akan sangat menderita bila kau pergunakan pa-
da jalan yang dimurka Gusti Allah."
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat ba-
gian-bagian dari diriku sendiri." ujar Gento takjub.
"Kau merasa beruntung karena semua ini atas
bantuan Manusia Seribu Tahun. Jika bukan atas ke-
mauannya dan juga atas izin Gusti Allah, jangan harap kau dapat melakukannya." kata sosok akal.
"Lalu apa tujuan kalian memperlihatkan diri?"
tanya si pemuda penuh rasa ingin tahu.
"Kami tidak punya kuasa untuk menerangkan-
nya. tanyakan saja semua itu pada Manusia Seribu
Tahun! Sekarang sudah tiba waktunya bagi kami un-
tuk menyatu kembali dengan dirimu!" kata sosok serba putih. Tak berselang lama
sosok berkepala besar
ujudnya memudar, semakin lama semakin melenyap,
ia berubah menjadi cahaya putih. Secara aneh cahaya
itu akhirnya melesat, bergerak di bagian ubun-ubun
Gento lalu lenyap dari pandangan mata.
Gento merasakan fikiran dan pandangan ma-
tanya menjadi terang kembali. Kemudian hal yang sa-
ma juga terjadi pada sosok serba merah yang mengaku
sebagai ujud kasar Gento. Kemudian disusul pula oleh sosok tenaga. Sosok besar
yang telah berubah menjadi cahaya kemilau itu kemudian bergerak menyelimuti
Gento dan meresap ke sekujur tubuhnya.
"Akkh....!"
Gento mengeluh tertahan ketika merasakan
hawa panas terasa seolah menembusi sekujur tubuh-
nya. Dia rebah terkapar, sepasang matanya menatap
ke arah langit biru. Apa yang dilihat dan yang terjadi tadi rasanya memang sulit
di terima olehnya.
Sejuta tanya kini menemui otaknya. Ingin seka-
li dia bertemu dengan manusia Seribu Tahun secepat-
nya. Tapi dia tak tahu dimana orang tua itu saat ini berada. Kakek itu setelah
melewati gerbang putih meninggalkan dirinya begitu saja. Padahal begitu banyak
masalah yang ingin ditanyakannya.
9 Saat murid gendut Gentong Ketawa masih da-
lam menelentang seperti itu tiba-tiba dia mendengar
suara langkah kaki yang begitu ringan di belakangnya.
Gento cepat bangkit, duduk sambil palingkan kepala
ke belakang. Pemuda ini tertegun ketika melihat seo-
rang gadis berpakaian serba putih berdiri tegak hanya dua langkah di
belakangnya. "Kau... kau siapa?" tanya si pemuda terbata-bata. "Aku utusan Manusia Seribu
Tahun. Dia memberi perintah padaku untuk membawamu ke ruangan
penggodokan!" sahut gadis cantik itu tegas.
"Ruang penggodokan! Apakah ini berarti dia
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hendak memasak ku hidup-hidup" Hei... kau jangan
bercanda. Sekarang ini aku sedang bingung, jangan
kau buat aku jadi marah!"
"Bukankah amarah telah bertemu dengan diri-
mu" Bukankah dia telah memperlihatkan rupanya
yang asli. Mengapa kau lebih suka membebaskan ran-
tai yang membelenggunya?"
"Ah, ternyata kau sudah tahu. Bagus, sekarang
aku ingin bertemu dengan kakek itu!" kata si pemuda.
"Kalau kau ingin bertemu, sebaiknya ikuti aku!"
kata si gadis. Gento bangkit berdiri. Ketika dia hendak men-
gikuti si gadis mendadak pemuda itu jadi ragu.
"Apa lagi yang kau tunggu?" tanya gadis berpakaian putih begitu melihat Gento
tidak juga beranjak dari tempatnya.
"Aku khawatir kau menipuku, sebagaimana
kakek itu menipu diriku!"
Terlihat ada kilatan aneh dimata si gadis begitu
mendengar ucapan Gento. "Kakek itu tak pernah me-nipumu, kau sekarang berada di
Alam Batas Biru. Di
tempat ini tidak ada manusia lain yang dirugikan!"
"Baik. Jika kau sudah berkata begitu. Sekarang
kita temui kakek itu." kata Gento akhirnya.
Gadis berpakaian serba putih itu memutar tu-
buhnya, lalu berkelebat pergi dengan diikuti oleh Gen-to di belakangnya. Tak
lama mereka berlari sampailah mereka di satu tempat yang diselimuti tabir merah.
Tabir merah yang membentang di depan mereka ben-
tuknya seperti bangunan megah menjulang tinggi ke
langit. Si gadis mendekati pintu yang bentuknya seper-ti tabir. Lalu tangannya
menyentuh tabir itu dengan
gerakkan menyibak sebanyak tiga kali. Tabir di depan si gadis mendadak terbuka,
dari dalam ruangan yang
diselimuti tabir itu memancar cahaya merah terang.
Dari tempatnya berdiri meskipun ada cahaya yang
memancar dari balik tabir Gento sama sekali tak dapat
melihat apapun yang terdapat di dalamnya. Namun
pada saat itu pula Gento mendengar suara yang sangat di kenalnya, suara Manusia
Seribu Tahun. "Masuklah anak manusia yang terlahir dengan
nama Gento Guyon!" kata si kakek. Orang tua itu kemudian bicara ditujukan pada
sang dara. "Terima kasih atas bantuanmu, Ratih Kumala. Kembalilah ke
tempat peristirahatan mu!" Si gadis rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Kemudian tubuhnya di-bungkukkan sebagaimana orang yang memberi peng-
hormatan pada orang yang sangat dihormatinya.
"Terima kasih, kek." kata Ratih Kumala. Bersamaan dengan itu pula saat kening si
gadis menyen- tuh tanah, maka terdengar suara letusan keras yang
disertai dengan menebarnya asap tebal berwarna putih menghalangi pemandangan.
Ketika asap lenyap, maka
sosok Ratih Kumala pun lenyap dari pandangan mata.
"Gadis itu, mungkin saja gadis jejadian. Boleh
jadi dia tercipta dari angin!" Sekali lagi Gento gelengkan kepala.
Setelah itu si pemuda langkahkan kakinya me-
nuju tabir merah. Dia lalu memasuki pintu tabir yang terbuka. Sampai di dalam
ruangan yang diselimuti tabir dan diterangi cahaya merah menyala dia melihat
Manusia Seribu Tahun duduk di atas batu biru ber-
bentuk bundar. Gento bergerak lebih mendekat lalu
duduk tak jauh di depan orang tua bersongkok putih
tersebut. Perlahan sepasang mata si kakek yang terpejam nampak membuka. Sekejap
dan pandangi pemuda
itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Setelah
itu mulutnya yang tertutup kumis serba putih mem-
buka berucap. "Aku melihat begitu banyak beban pertanyaan yang memenuhi
kepalamu. Sebelum aku bica-
ra pada inti persoalan, sekarang ini jika di hatimu ada
ganjalan, katakan saja!"
Gento terdiam sejenak, berfikir. Tak lama ke-
mudian dia bertanya. "Kek.... setelah melewati gerbang putih, mengapa kau
meninggalkan aku?"
Dengan tenang si kakek menjawab. "Sengaja ku
tinggalkan dirimu karena aku ingin memberimu ke-
sempatan untuk bertemu dengan dirimu."
"Dengan diriku sendiri" Apa maksudmu?" tanya si pemuda tak mengerti.
Si kakek tersenyum, namun hanya sekedar se-
nyum sekilas dan tidak berlebihan. Setelah senyu-
mannya lenyap dia berkata. "Bukankah atas kuasa Gusti Allah kau telah bertemu
dengan amarahmu, nafsu yang membuat manusia jadi gelap mata kehilangan
kendali diri. Kemudian kau berjumpa dengan akal so-
sok yang tidak dapat dilihat namun dapat dirasa kehadirannya. Akal itu adalah
puncak dari segalanya. Akal pula yang menentukan baik buruk, jahat tidaknya
seseorang."
"Lalu sosok merah yang menyerupai diriku itu
siapakah?" tanya Gento.
"Dia sudah mengatakan bahwa dirinya meru-
pakan bagian dari tubuhmu, atau jasad kasarmu.
Tanpa jasad manusia tidak akan terlihat. Jasad tidak ubahnya seperti rumah. Di
rumah itu diam beberapa
anggota keluarga yang satu sama lain mempunyai ika-
tan dan rasa saling ketergantungan. Jika rumah bo-
brok dan hancur, maka para penghuninya menjadi
sangat menderita bahkan mati. Di samping semua itu
Gento, dengan adanya jasad kasar manusia jadi mem-
punyai tenaga. Tenaga adalah satu kekuatan, dia siap melakukan apa saja.
Sedangkan baik buruknya diri
apa yang dihasilkan tenaga itu segalanya tergantung
akal dan niat." jelas si kakek.
"Jadi apa artinya dari semua yang kau perli-
hatkan kepadaku itu kek?" tanya Gento.
"Aku tidak akan menerangkan segalanya secara
lebih mendalam. Karena jika kau tak kuat meneri-
manya kau menjadi gila."
"Padahal sekarang ini sudah agak miring, bu-
kankah begitu kek?" ujar Gento disertai senyum.
"Terserah kau menilai dirimu apa. Yang jelas
dirimu terdiri dari kulit, daging, tulang dan darah. Itu ujud kasarmu. Sedangkan
ujud yang tak terlihat adalah, akal fikiran, nafsu, roh dan tenaga. Segala apa
yang kusebutkan ini membuat dirimu bernama Gento.
Itulah unsur kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan. Yang ingin kubicarakan saat ini bukan men-
genai dirimu, melainkan tenaga yang ada dalam dirimu yang dapat dipergunakan
untuk menolong sesama
manusia, membela golongan yang tertindas dan men-
jadi penegak kebenaran. Kelak kau dapat menjadi sa-
lah satu Pendekar Penegak kebenaran. Untuk menjadi
seorang pendekar yang tangguh, pendekar sakti kau
harus kuat lahir dan batin."
"Kek, jika masalah kekuatan batin kau tak per-
lu risau. Kujamin batin ku kuat, karena hampir setiap pagi aku minum ramuan jamu
yang dicampur dengan
telor setengah matang!" celetuk si pemuda.
"Bocah pokrol kampret. Yang ku maksud bukan
itu. Kuat batin bukan berarti kau sanggup memberi
kebahagiaan kepada istri. Yang ku maksud dengan ba-
tin yang kuat kau harus mempunyai pendirian teguh,
mampu mengendalikan nafsu rendah dan sanggup
menghadapi segala cobaan yang terjadi dalam hidup-
mu! Kau harus mampu mengekang amarahmu, kau
juga mesti sanggup menggunakan akal sehat dalam si-
tuasi apapun."
"Kalau begitu berat juga kek. Terus terang aku
masih muda, orang muda pantang melihat kulit mulus
dan jidat licin. Artinya jika melihat gadis yang cantik aku masih suka
tertarik." kata si pemuda polos.
"Jidat ku juga licin Gento. Apakah kau tertarik juga?" Gento cepat gelengkan
kepala. "Walah, aku belum gila, otak belum lagi rusak,
bagaimana mungkin aku bisa menyukai kaum sejenis.
Ha ha ha!"
"Anak manusia, batasi bicaramu." hardik Manusia Seribu Tahun. Mendapat teguran
seperti itu Gento langsung katupkan mulutnya. "Dengar Gento.
Sebagai manusia normal wajar saja tertarik pada la-
wan jenisnya. Tapi harap kau tahu batas dan aturan.
Aku ingin menjadikan mu sebagai seorang Pendekar
Sakti. Aku mau kau bisa mewakili keinginan baikku
untuk menegakkan keadilan di dunia persilatan. Kare-
na itu aku akan menurunkan beberapa ilmu sakti
yang kumiliki kepadamu. Di samping itu aku akan
mengajarimu cara menghimpun atau membangkitkan
tenaga sakti yang bersumber dari tujuh bagian di tu-
buhmu. Pusat pembangkit tenaga itu aku menama-
kannya Cakra."
Mendengar ucapan si kakek Gento jadi tercen-
gang. "Kek.... selama ini yang ku tahu orang hanya bi-sa menghimpun atau
mengerahkan tenaga dalam dari
bagian pusarnya saja. Bagaimana kau bisa mengata-
kan tenaga dalam bisa dihimpun dan dikerahkan dari
tujuh titik di bagian tubuh seseorang?" tanya si pemuda heran.
"Cara seperti yang kau sebutkan itu sudah ku-
no, aku tahu cara seperti itu yang paling banyak dipakai oleh orang-orang di
rimba persilatan."
"Memang benar, kek."
"Membangkitkan tenaga atau Cakra hanya dari
satu sumber sangat berbahaya bagi orang itu. Karena
jika seseorang memusnahkan sumber pembangkit te-
naga dalam satu-satunya itu, dia berarti telah kehilangan kekuatan dan
kesempatan. Dengan begitu dia
dengan mudah dapat ditaklukkan oleh lawannya. Tapi
jika selain itu orang memiliki enam pembangkit cakra lainnya. Maka orang itu
tidak mudah ditundukkan, dia dapat menggunakan sumber tenaga dari bagian mana
saja yang dia inginkan!" jelas Manusia Seribu Tahun.
Mendengar penjelasan si kakek Gento manggut-
manggut penuh rasa takjub. "Kek kalau begitu aku mau kau mengajari aku
membangkitkan tenaga sakit
di enam bagian tubuhku yang lain." ujar si pemuda penuh semangat.
"Boleh saja. Semua itu segera kau dapatkan.
Cuma....!" Manusia Seribu Tahun tidak lanjutkan ucapannya.
"Cuma apa kek?"
Si kakek gelengkan kepala.
"Apakah aku tidak pantas mempelajarinya?"
"Bukan itu." sahut si orang tua.
"Apakah kau menilai orang geblek macamku ini
tidak sanggup mengamalkannya?"
"Lalu apa?" tanya Gento lagi.
"Untuk memudahkan mu menyerap ilmu dan
membuka enam titik sumber pembangkit cakra yang
baru kau harus menjalani puasa tidak makan, tidak
minum di tambah tidak tidur selama dua puluh satu
hari. Kau sanggup?" ujar si kakek.
Mendengar jawaban Manusia Seribu Tahun
Gento terdiam. Namun setelah berfikir sejenak akhir-
nya dia anggukkan kepalanya. "Aku sanggup... aku
akan mencobanya!" ujar si pemuda.
"Bagus. Kalau begitu tetaplah kau duduk dis-
itu, jangan bergerak, jangan pula bersuara. Sampai
aku membangunkan mu dua puluh satu hari yang
akan datang!" habis berkata sosok si kakek mendadak raib. Gento sendiri tak
melihat kemana lenyapnya kakek itu. Dia menarik nafas pendek, lalu perlahan
mulai pejamkan matanya.
10 Dalam dua puluh dua di Tabir Batas Biru, bu-
lan empat belas memancarkan cahayanya yang kuning
kemilau. Sinar bulan yang kuning keemasan meman-
tul dipermukaan tanah biru, menyajikan pemandan-
gan sejuk indah dipandang mata.
Sementara di dalam tabir merah yang berben-
tuk sebuah bangunan tempat tinggal Gento telah dua
puluh satu hari melakukan tapa tanpa makan minum
juga tidur. Gento benar-benar sangat tersiksa sekali.
Apalagi di tempat itu bila siang hari panas terik bukan main, sedangkan malam
hari dinginnya bukan main.
Tapi berkat semangat ketabahan serta keyakinan diri, Gento akhirnya mampu juga
menyelesaikan tapa sebagaimana yang diminta oleh si kakek.
Malam itu tepat tengah malam Gento membuka
matanya ketika dia mendengar suara langkah-langkah
kaki mendekat ke tengah ruangan. Sepasang matanya
terbelalak lebar ketika melihat berbagai jenis buah-
buahan terhidang di depannya. Dapat dibayangkan
bagaimana perasaan Gento yang selama dua puluh sa-
tu hari tidak makan walau barang sebutir nasi pun.
Melihat buah-buahan yang terhidang di depannya
Gento julurkan tangan hendak mengambil buah-
buahan itu. Selagi tangannya hampir menyentuh ane-
ka buah-buahan yang terhidang, pada saat itu pula dia mendengar suara seseorang
menegurnya. "Eitt... jangan kau sentuh. Jangan pula kau
makan!" Kaget murid Gentong Ketawa segera palingkan
wajah dan memandang langsung ke arah datangnya
suara. Wajah Gento jadi cemberut ketika mengetahui
orang yang menegurnya tadi bukan lain adalah Manu-
sia Seribu Tahun.
"Orang tua, perutku lapar sekali. Ada makanan
mengapa tidak boleh dimakan, kalau cuma membuat
aku ngiler mengapa kau suguhkan di hadapanku?" ka-ta pemuda itu dengan suara
lirih. "Kau lihat baik-baik, apakah yang terhidang di
hadapanmu memang makanan atau sebaliknya?" ujar si kakek. Gento pun melakukan
apa yang diperintah-kan si kakek. Dia jadi tercengang begitu melihat buah-buah
tadi kini sama sekali berubah menjadi belatung
berwarna hitam kecoklat-coklatan. Gento merasakan
perutnya bergelung, mual dan ingin muntah.
"Orang tua apa maksud dari semua ini?" tanya Gento merasa jijik ada marah juga
ada. Si kakek melangkah mendekati. Dia mengulurkan kendi berisi air
berwarna putih pada pemuda itu. Setelah itu dia ki-
baskan tangannya ke arah nampan tanah berisi bela-
tung. Nampan mental dan langsung lenyap begitu
menyentuh selubung merah yang menyelimuti tempat
itu. "Minumlah sampai habis. Air itu akan membuat
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhmu yang lemah menjadi segar kembali." kata si kakek. Sesuai anjuran Manusia
Seribu Tahun Gento
meneguk isi kendi sedikit-demi sedikit hingga tuntas.
Beberapa saat kemudian pemuda merasakan sekujur
tubuhnya terasa segar dan ringan sekali. Gento pan-
dangi kendi yang telah kosong. "Hemm, enak sekali, air apa ini namanya?"
"Aku menamakannya air Pelenyap Sejuta Kele-
suan. Siapa yang meminumnya tubuhnya yang lemah
akan terasa segar, tenaga yang dia miliki juga akan pu-lih seperti sediakala."
"Apa yang kau katakan nampaknya memang
benar. Kini aku merasakan semua yang kau katakan
itu!" kata Gento.
Manusia Seribu Tahun tersenyum. Dia kemu-
dian berkata. "Gento.... agaknya sekarang saatnya bagiku untuk mengatakan bahwa
aku akan menurunkan
sebagian ilmu sakti yang kumiliki. Tapi sebelum itu
aku akan jelaskan padamu tentang tujuh Inti Cakra
pembangkit tenaga manusia."
"Kakek Seribu Tahun, sebelumnya aku
ucapkan terima kasih atas kepercayaan yang kau beri-
kan. Tapi apakah engkau mau menurunkan cara
membangkitkan tenaga dalam itu padaku?" tanya si pemuda. Manusia Seribu Tahun
anggukkan kepala.
"Tepat. Karena itu duduklah yang baik!"
Gento memperbaiki sikap duduknya. Kedua
kaki dalam keadaan bersila sedangkan kedua tangan-
nya ditumpangkan di atas lutut. Setelah memperhati-
kan Gento sekilas si kakek melanjutkan. "Pada dasar-nya di dalam tubuh manusia
yang satu tersimpan tu-
juh sumber pembangkit tenaga sakti. Tujuh sumber
pembangkit tenaga, atau cakra manusia terletak di tujuh titik mulai dari bagian
kepala sampai ke bagian
punggung. Masing-masing pusat cakra atau pusat ke-
kuatan mempunyai kemampuan daya serang tersendi-
ri. Aku akan menyebutkan ketujuh pusat cakra itu.
Agar kau lebih mudah mengingatkannya pusat pem-
bangkit cakra sebagai pusat pembangkit tenaga. Kau
paham?" Gento anggukan kepala.
"Pusat pembangkit tenaga manusia yang per-
tama berada di bagian atas kepala. Sebenarnya inilah pusat seluruh kekuatan.
Jika kau mampu menghimpun tenaga dan mengerahkannya dari bagian atas ke-
palamu, aku mampu menghancurkan apa saja yang
ada di depanmu. Tapi yang terpenting segala apapun
yang kau lakukan akibatnya harus kau tanggung sen-
diri. Sedangkan yang kedua adalah tenaga yang berpu-
sat di bagian kening. Orang yang mampu membang-
kitkan tenaga hendaknya dia sanggup berfikir secara
jernih dalam menghadapi masalah. Sedangkan pem-
bangkit tenaga yang ketiga terletak dibagian tenggorokan. Jika kau mampu
membangkitkan tenaga dari ba-
gian yang kusebutkan ini hendaknya kau sanggup un-
tuk bicara benar. Katakan saja jika memang salah dan katakan yang benar jika itu
benar. Lalu pusat pembangkit tenaga ke empat berada di bagian jantung. Ji-ka kau
telah mampu mengerahkan tenaga dalam dari
bagian jantung ini, dengan sendirinya kau memiliki ra-sa cinta, rasa kasihan.
Kekuatan yang bersumber dari jantungmu bahkan sanggup menumbuhkan berbagai
penyakit batin. Bila kau pergunakan untuk mengha-
dapi musuh yang keras kepala lagi tinggi hati, mudah-mudahan segala sifat yang
dia miliki akan luntur. Lawan bisa berubah menjadi kawan, sedangkan rasa
benci dapat berubah menjadi rasa cinta. Karena se-
sungguhnya segala kekerasan serta pertikaian yang
terjadi di dunia ini karena tidak adanya rasa saling
sayang menyayangi dan kasih mengasihi sesamanya.
Sedangkan yang kelima pusat pembangkit tenaga sati
itu letaknya berada di bagian pusar. Kau sudah tahu cara menghimpun serta
mengerahkan tenaga yang
bersumber dari bagian ini. Bagian pusat juga merupa-
kan tempat bersemayamnya keangkuhan manusia. Ka-
rena itu kau harus pandai mengekangnya. Sebab ke-
sombongan cepat atau lambat dapat menghancurkan
manusia itu sendiri. Yang ke enam adalah sumber te-
naga yang berpusat di sekitar bagian alat kelamin manusia. Sumber tenaga yang
berpusat di bagian ini sangat jarang sekali dipergunakan, terkecuali bila
seseorang ingin punya keturunan atau orang itu sudah me-
nikah....!"
"Kek... bagaimana kalau aku kebetulan lupa
dan sampai menggunakannya?" tanya Gento tiba-tiba.
"Kalau sampai lupa, sebaiknya kau mengarah-
kannya ke pohon berduri atau pohon bambu." sahut si kakek. walau Gento
tersenyum-senyum, namun wajah
si kakek tetap nampak begitu serius. "Bagaimana kau bisa lupa terkecuali
kewarasan otakmu benar-benar
terganggu. Kau dengar... yang ke tujuh adalah Pusat
tenaga sakti yang bersumber dari bagian dasar pung-
gungmu. Bagian ini adalah pusat segala pertahanan-
mu yang terakhir. Kau bisa menggunakannya kapan
saja dimana kau butuhkan."
Lagi-lagi Gento memotong. "Kalau ku kerahkan
tenaga dalam dari bagian bawah punggung apakah
orang tidak marah padaku?"
"Maksudmu?"
"Karena aku pasti tak dapat menahan kentut!"
ujar Gento. Wajah si kakek mengernyit, tapi matanya yang
bening nampak berbinar. "Ya, paling tidak kau harus
bisa melakukannya bila kentut. Karena dengan begitu
daya serangnya akan makin bertambah hebat. Siapa-
pun yang kau hadapi dapat kau jatuhkan tanpa kau
lukai, sementara dia akan sadar kembali begitu tenaga yang terkandung dalam
serangan dasar punggungmu
lenyap!" menerangkan si kakek.
Gento gelengkan kepala sambil unjukkan tam-
pang cemberut. "Akibatnya tentu akan membuat malu diriku kek. Orang pasti akan
memberi ku gelar baru
Pendekar tukang buang angin, tukang kentut. Lebih
baik aku tak usah mengajarkan yang satu itu padaku
kek." "Anak manusia. Tidak bisa, tujuh titik yang kusebutkan itu merupakan satu
kesatuan. Tujuh kekua-
tan yang terdapat dalam satu tubuh, satu jasad, satu diri, yaitu dirimu Gento.
Jika kelak kau tinggalkan
tempat ini kau akan kuberi gelar Pendekar Sakti 71
Gento Guyon apakah semua ini tidak menyenangkan
hatimu?" "Setiap kepercayaan yang kau berikan padaku
adalah suatu amanah yang harus kujalankan. Bukan-
kah menyia-nyiakan kepercayaan orang adalah suatu
dosa, bagaimana aku bisa senang?" ujar Gento.
"Bagus, ternyata otakmu cukup cerdik. Seka-
rang kau bersiap-siaplah! Aku akan mengerahkan se-
bagian kekuatan sakti yang kumiliki kepadamu!" ujar si kakek.
Gento menarik nafas dalam, lalu menghem-
buskannya secara perlahan. Setelah itu diapun meme-
jamkan matanya.
11 Di depan sana Manusia Seribu Tahun silang-
kan kedua tangannya di depan dada. Mulut orang tua
ini berkemak-kemik, lalu secara perlahan sekujur tu-
buh kakek itu nampak bergetar. Getaran semakin la-
ma semakin menghebat yang disusul dengan menge-
pulnya kabut tipis berwarna seperti pelangi. Ketika kabut yang keluar dari
bagian ubun-ubun Manusia Seri-
bu Tahun bergerak dalam ketinggian sejengkal di atas kepala si kakek, kabut itu
membentuk sosok Manusia
Seribu Tahun dalam rupa cahaya tujuh warna yang
berkilauan menyilaukan mata. Cahaya selanjutnya
bergerak melesat dari sosok Manusia Seribu Tahun
melesat kebagian atas kepala Gento. Kemudian secara
perlahan seolah tersedot masuk ke dalam tubuh si
pemuda melalui bagian atas kepalanya.
Gento terguncang, tubuhnya menggeletar dan
dibasahi keringat bercucuran ketika tujuh cahaya da-
lam membentuk serta rupa si kakek menjalar ke seku-
jur tubuhnya. Pemuda ini meronta, menggeliat dan ke-
luarkan suara raungan hebat.
Hawa panas dan hawa dingin mendera pemuda
itu silih berganti. Tubuh laksana dicabik, tulang belu-langnya seperti
bertanggalan. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama, bahkan kemudian
terlihat ada darah menetes dari bagian hidung, lubang telinga serta mulut Gento.
Tidak kurang dari sepeminum teh, cahaya tu-
juh warna dalam tujuh rupa bayangan Manusia Seribu
Tahun bergerak keluar, berpindah dari bagian atas
ubun-ubun Gento kebagian kepala sosok si kakek
yang duduk bersila di depan pemuda itu. Tujuh sinar
pelangi pada akhirnya lenyap dan amblas kembali ke
dalam tubuh orang tua itu. Di depannya sana Gento
mengerang. Sekujur tubuhnya mendadak seperti terse-
rang demam tinggi. Dia berusaha membuka mata, tapi
begitu mata terbuka pandangan matanya malah men-
jadi gelap. Murid kakek gendut Gentong Ketawa itu
akhirnya terguling tidak sadarkan diri.
Manusia Seribu Tahun turunkan kedua tan-
gannya yang bersilangan di depan dada. Setelah itu dia bangkit berdiri. Kembali
mulutnya berkomat-kamit.
Setelah itu jari telunjuknya diacungkan. Berturut-
turut tujuh larik sinar melesat dari ujung jemari si kakek. Sinar pertama
berwarna putih melesat ke bagian
atas kepala Gento. Sinar itu segera lenyap begitu menyentuh kepala Gento.
Sedangkan sinar kedua yang
melesat dari ujung jemari tangan si kakek berwarna
Ungu. Sinar ini menderu ke bagian kening dan segera
lenyap begitu menyentuh pertengahan kening Gento.
Begitu sinar ungu amblas meresap ke bagian kening-
nya, maka melesat pula sinar yang ketiga. Sinar ke tiga berupa sinar biru yang
bergerak lurus ke bagian tenggorokan si pemuda. Sebagaimana dua sinar lainnya.
Sinar biru ini langsung lenyap begitu menyentuh tenggorokan. Setelah itu dari
ujung jemari si kakek melesat sinar hijau kemerahan. Sinar ini bergerak ke arah
jantung dan hati Gento. Lalu sinar yang ke lima, ke enam dan ketujuh masing-
masing berwarna, kuning, kuning
gading dan merah. Ketiga sinar itu berturut-turut melesat ke bagian pusar, bawah
pusat juga bagian dasar punggung Gento.
Meresapnya tujuh larik sinar yang mengenai tu-
juh titik bagian di tubuh pemuda itu membuat sosok
Gento yang masih belum sadarkan diri berguncang
hebat. Tetapi ternyata apa yang dilakukan si kakek tidak hanya sampai disitu
saja. Dia kemudian mengam-
bil sesuatu dari balik saku bajunya. Benda yang diam-
bil si kakek ternyata berupa kalung bermata batu berwarna putih buram
kecoklatan, berbentuk bulat lon-
jong. Si kakek menimang kalung di tangannya sekejap.
Mulutnya seakan bergumam berucap. "Kalung Batu
Raja Langit. Orang yang kita tunggu telah datang. Aku telah mengisi tubuhnya
dengan ilmu Menitis Bayangan
Raga dan Ilmu Membelah Jasad. Aku juga sudah
membuka tujuh titik pembangkit cakra, tujuh pem-
bangkit tenaga dalam di tubuhnya. Selanjutnya, batu
Raja Langit kau boleh menyertai Pendekar Sakti 71
Gento Guyon!" kata si kakek. Mendadak dia memegang mata kalung dengan jari
telunjuk dan ibu jari. Bagian depan mata kalung yang bertitik hitam pada bagian
tengahnya di arahkan pada bagian telapak tangan dan
dada kiri pemuda itu. Setelah itu Manusia Seribu Ta-
hun menekan kedua sisi mata kalung.
Set! Seet! Berturut-turut dari titik hitam di bagian depan
mata kalung menderu angin laksana topan yang diser-
tai melesatnya dua larik sinar biru. Sinar itu masing-masing menghantam dada
kiri juga telapak tangan ka-
nan Gento. Asap bercampur menebarkannya bau se-
perti daging terbakar mengepul. Ketika asap lenyap,
baik di bagian dada kiri maupun di bagian telapak
tangan kanan Gento yang terkena hantaman sinar biru
tadi kini tertera rajah berupa angka 71. Manusia Seri-bu Tahun selanjutnya
menghampiri Gento. Kalung
bermata batu berbentuk bujur telur lalu dilingkarkan dileher pemuda itu.
Tak berselang lama si kakek berdiri tegak kem-
bali Lalu tangan kirinya dilambaikan ke arah dada tepat di bagian jantung pemuda
itu. Gento yang dalam
keadaan tak sadarkan diri tersentak. Beberapa jenak
lamanya dia tertegun. Pertama yang dirasakannya ada-
lah rasa sakit di dada juga dibagian telapak tangan.
Ketika dia melihat telapak tangan dan dadanya pemu-
da ini tersendak kaget.
"Tujuh satu, apa-apaan ini kek?" desis pemuda itu. Dia mengusap dadanya pulang
balik. Tapi angka
71 juga tidak mau hilang.
"Ha ha ha. Seperti yang kukatakan aku membe-
rimu gelar Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Selain itu aku juga telah menurunkan
ilmu Menitis Bayangan
Raja dan ilmu Membelah Jasad."
"Menitis Bayangan Raga, bagaimana caranya
aku menggunakannya?" tanya si pemuda.
"Kedua ilmu itu dapat kau pergunakan di saat
kau benar-benar terdesak. Cukup kau menyebut kebe-
saran Gusti Allah, setelah itu bayangkanlah wajahku.
Maka kedua ilmu itu dapat bekerja dengan sendirinya."
Menerangkan si kakek. Gento menjadi terkesan sekali
mendengar uraian Manusia Seribu Tahun. Sekali lagi
dia memandang dadanya, kembali dan dibuat kaget
ketika melihat sebuah kalung bermata batu melingkar
di lehernya. "Kalung apa ini kek, jelek amat?"
"Itulah kalung Batu Raja Langit. Kalung itu
menyimpan kesaktian dan kekuatan dahsyat. Kau bisa
menggunakannya cukup dengan mengerahkan tenaga
dalam ke bagian mata kalung, lalu mengusap kalung
itu tiga kali." ujar si kakek.
"Apakah aku boleh mencoba seluruh ilmu yang
kau berikan di tempat ini kek?"
Manusia Seribu Tahun gelengkan kepala
"Alam Batas Biru adalah tempat yang sangat
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rawan dengan berbagai gangguan. Jika kau menggu-
nakan ilmu itu di tempat ini, berarti tempat tinggalku akan jadi porak poranda.
Ketahuilah, ketika dirimu ti-
dak sadarkan diri aku telah membuka tujuh titik pem-
bangkit tenaga dalammu. Cara menggunakan tenaga
dalam yang terletak di enam titik itu sama seperti
mengerahkan atau menghimpun tenaga dalam yang
bersumber dari bagian pusar. Hanya penggunaan te-
naga dalam di bagian atas kepalamu boleh diperguna-
kan tiga purnama sekali. Jika kau melanggar pantan-
gan ini jangan salahkan aku jika nantinya kau beru-
bah menjadi orang yang kurang waras."
"Segala pesanmu akan ku ingat baik-baik. Aku
mengucapkan rasa terima kasih atas segala apa yang
kau berikan padaku. Tapi kek, setelah pergi dari sini apakah kelak aku boleh
menyambangimu?"
"Sebaiknya tak usah. Jika aku merasa ada yang
ingin kusampaikan, aku pasti akan mencarimu."
"Bagaimana kalau aku memerlukanmu kek?"
"Kau cukup mengetuk bumi tiga kali sambil
memanggil namaku!" jawab si kakek. "Nah, usai sudah apa yang menjadi
kewajibanku. Selanjutnya aku titipkan amanat kepadamu. Sekarang bersiap-siaplah
kau. Aku akan mengantarmu ke alam kehidupanmu
yang sebenarnya!"
"Kek sebelum pergi, apakah boleh aku bertemu
dengan Ratih Kumala sekedar ingin mengucapkan te-
rimakasih dan salam perpisahan?" tanya Gento sambil menyeringai.
Si kakek gelengkan kepala.
"Salam mu akan kusampaikan. Kelak kau pasti
bertemu dengannya!"
Walaupun agak kecewa mendengar ucapan si
kakek, namun akhirnya Gento berdiri juga. "Aku sudah siap kek?" Tanpa bicara
barang sepatah katapun si kakek mendekati Gento. Begitu Manusia Seribu Tahun
menyentuh punggungnya Gento merasakan tu-
buhnya laksana di bawa terbang. Sekejap kemudian
Gento merasakan tangan si kakek yang menempel di
punggungnya di tarik lepas. Gento jadi kaget ketika
mendengar suara orang tua itu.
"Cukup hingga disini aku mengantarmu!"
"Kek....!" ucapan Gento mendadak terputus ketika mendapati tubuhnya meluncur
deras ke bawah,
lalu jatuh berkerosakan menimpa reranting pepoho-
nan. Bluk! Pendekar Sakti Gento Guyon jatuh bergedebu-
kan dan terhempas di pinggir sungai. Pemuda itu me-
ringis kesakitan, tubuhnya menggeliat, matanya ter-
pentang lebar. Mata itu makin membulat besar ketika
dia melihat sosok seorang gadis setengah telanjang
yang mandi di kali itu nampak repot menutupi aurat-
nya sambil berlari ke balik semak belukar.
"Ha ha ha! Nasibku tidak jelek-jelek amat. Ka-
kek itu iseng menjatuhkan aku di pinggir sungai ini.
Agaknya dia sengaja agar aku berkesempatan melihat
pemandangan bagus.!" kata pemuda itu sambil tertawa terkekeh. Sejurus lamanya
dia memandang ke arah lenyapnya sang dara, lalu tanpa menunggu lama lagi dia
berkelebat pergi.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Misteri Elang Hitam 1 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Sumpah Palapa 3