Pencarian

Dedel Duel 2

Gento Guyon 13 Dedel Duel Bagian 2


kesasar!" rutuk Si Burung Merak.
"Tak usah gegabah. Siapapun yang bicara tadi
jelas bukan ditujukan pada kita!" Malaikat Kuku Seribu menimpali.
Raja Pengemis sendiri yang jelas-jelas dirinya
dihina orang bersikap acuh tak acuh. Dia bahkan seo-
lah tidak merasa terusik. Enak saja dia meneruskan
makannya menyantap sisa makanan yang campur
aduk bekas orang. Ketika Raja Pengemis selesai ma-
kan, dia langsung meneguk sisa tuak dalam kendi be-
sar. Gluk! Gluk! Gluk!
"Hmmm, betapa lezatnya." Raja Pengemis ber-
kata sambil menyeka sisa tuak yang berselemot diku-
mis dan bibirnya. Baru saja Raja Pengemis letakkan
kendi besar di atas meja disertai pandangan heran pa-
ra tetamu warung, pada saat itu muncul seorang ka-
kek tua berambut putih panjang menjela menutupi se-
bagian wajahnya. Semua mata kini memandang ke
arah kakek berpakaian serba kuning yang baru mun-
cul. Si Burung Merak yang memiliki pengalaman luas
dan mengenal berbagai tokoh baik golongan hitam
maupun golongan putih langsung mengisiki Malaikat
Kuku Seribu. "Aku tahu siapa dia. Rambut panjang menutupi
wajah, tubuh kurus kering. Siapa lagi kalau bukan Si
Mata Aneh?"
"Dia bukan manusia baik, kehadirannya harus
kita waspadai. Mungkin dia harus kita awasi lebih ke-
tat. Gila betul, Muka Setan tidak muncul. Lain yang di-tunggu lain pula yang
datang!" gerutu si kakek dengan mulut cemberut.
Di tengah ruangan kakek berambut panjang itu
singkapkan rambut putihnya yang menutupi wajah.
Semua orang yang ada di dalam ruangan itu jadi ter-
cekat, mata melotot mulut tenganga. Siapapun akan
merasa seram melihat bagaimana sepasang mata si
kakek yang berlubang. Lubang berwarna hitam keme-
rahan membentuk dua buah rongga mengerikan.
Yang lebih mengejutkan lagi bagaimana kakek
ini dapat berjalan melenggang tanpa tongkat, padahal
dia sama sekali tak dapat melihat. Anehnya lagi ba-
gaimana si kakek dapat mengetahui di dalam ada
orang yang memakan nasi bekas"
"Aku mendengar suara desah nafas. Tidak satu
mungkin juga belasan orang yang berada di dalam
ruangan ini. Mengapa semuanya diam. Apakah yang
hadir disini hanya orang tuli dan bisu, tak bisa bicara tak dapat mendengar?"
Suara si kakek buta yang memang bukan lain Si Mata aneh adanya lenyap. Tak ada
yang memberi tanggapan. Bahkan bapak botak pemilik
warung begitu menyadari adanya gelagat yang tidak
baik langsung pergi lewat pintu belakang untuk me-
nyelamatkan segala keuntungan yang didapatnya se-
hari ini. Di sudut ruangan Si Burung Merak dan Ma-
laikat Kuku Seribu diam tak memberi reaksi. Sementa-
ra itu Raja Pengemis memperhatikan sosok yang da-
tang dari ujung rambut hingga ke kaki.
Rupanya dia mengenali kakek yang baru da-
tang bahkan sempat menghinanya tadi, sehingga sam-
bil berdiri dia semburkan ludahnya ke lantai. Akibat-
nya sungguh mengerikan. Semburan air ludah itu
membuat lubang besar di lantai. Asap mengepul tinggi
memenuhi ruangan disertai terdengarnya seperti suara
api yang membakar gumpalan garam. Asap lenyap, su-
ara berkertakan ikut lenyap. Di lantai lubang besar ta-di nampak berwarna merah
laksana bara. "Jilatan Ludah Api!" desis Si Burung Merak.
Malaikat Kuku Seribu menanggapinya dengan
senyum. Sedangkan di tengah ruangan sana Raja pen-
gemis memandang tajam ke arah Si Mata Aneh, seba-
liknya kakek angker itu juga memandang ke arah
orang di depannya dengan kedua rongga matanya.
Seolah kedua lubang mata itu dapat melihat dia berka-
ta. "Kalau tak salah penglihatanku. Bukankah saat ini aku berhadapan dengan
orang paling melarat sedu-nia?" ucap Si Mata Aneh dengan sikap meremehkan
sekali. Raja Pengemis yang mempunyai watak pendiam
dan tak perduli dengan urusan orang langsung me-
nyahuti. "Apapun dan siapapun diriku bagimu tidak penting. Aku tidak punya
urusan denganmu, aku
punya urusan lain yang sangat penting dibandingkan
bicara tak berguna dengan setan gila buta sepertimu!"
Si Mata Aneh tertawa tergelak-gelak. Padahal
tidak ada yang patut ditertawakan.
8 Puas tertawa Si Mata Aneh melangkah maju le-
bih mendekat lagi. Dia baru berhenti setelah jarak diantara mereka hanya tinggal
dua tombak. Dengan se-
nyum tetap bermain di bibirnya Si Mata Aneh berkata.
"Diantara kita tidak ada persoalan" Hmm, mungkin kau lupa beberapa tahun yang
lalu kau pernah membuat aku malu besar di salah satu rumah judi dengan
memasukkan bangkai tikus di dalam minuman ku.
Bukan hanya itu saja, kau melakukan satu kecuran-
gan dengan membalik mata dadu sehingga aku terpak-
sa gigit jari karena gadis taruhan yang seharusnya
menjadi milikku jadi berpindah ke tangan orang lain.
Raja Pengemis Tangan Akherat apakah otak busukmu
yang selalu dijajali makan sisa sudah dapat mengin-
gat?" tanya si kakek.
"Ha ha ha. Mata buta, ternyata hanya pengliha-
tanmu saja yang tidak melek. Sedangkan perabotan
yang lain masih berfungsi dengan baik. Menurutmu
apakah pantas manusia dijadikan barang taruhan. Ji-
ka orang tidak menyebut mu sebagai si buta gila saja
sudah bagus. Sekarang kau mau apa" Ingin menuntut
balas atas semua rasa malu yang sebenarnya memang
pantas kau terima"!" tanya Raja Pengemis disertai senyum mengejek.
"Wahai raja kere, jika waktu itu kau lolos dari
tanganku bukan berarti ilmu kesaktian yang kau miliki lebih tinggi dariku. Aku
tak mengejarmu semata-mata
karena aku masih memberimu kesempatan untuk
meminta maaf. Tapi kau tak melakukannya. Sekarang
segalanya terlambat, kau harus merasakan akibat dari
perbuatanmu dulu berikut bunganya!" dengus Si Mata Aneh. "Musuh bagiku tidak
kucari. Tapi kalau ada pantang bagiku untuk melarikan diri!" tak kalah sinis-nya
Raja Pengemis menanggapi.
Jawaban ini membuat Si Mata Aneh tak dapat
lagi membendung kemarahannya. Dengan cepat dia
layangkan tinjunya ke depan. Gerakan tangan diba-
rengi dengan melesatnya sosok si kakek, sedangkan
salah satu kaki sambil melayang lepaskan satu ten-
dangan ke bagian perut lawan. Raja Pengemis melihat
serangan itu berlangsung sangat cepat bukan main
pertanda Si Mata Aneh bukan saja bermaksud mence-
lakai tapi juga memang ingin membunuhnya.
Sadar dengan niat keji Si Mata Aneh, maka Ra-
ja Pengemis tidak mau berlaku ayal lagi. Cepat sekali tangannya bergerak ke arah
tumpukan piring tanah.
Laksana disapu angin topan tumpukan piring tanah
berpentalan di udara. Hebatnya lagi puluhan piring ta-di bukan hanya sekedar
menyerang dari arah depan,
tapi juga menyerbu dari delapan penjuru arah dan
menghantam di sekujur tubuh si kakek pada bagian ti-
tik yang paling rawan. Si Mata Aneh mendapat seran-
gan begitu rupa sempat tercekat. Begitu juga mereka
yang berada di dalam kedai. Sambil berserabutan me-
nyingkir ke tempat yang aman mereka terus mengawa-
si jalannya perkelahian sengit.
Di tengah-tengah ruangan Si Mata Aneh yang
mendapat serangan begitu rupa langsung lesatkan tu-
buhnya ke udara hingga kepala hampir menyandak
langit-langit ruangan. Setelah itu dia pukulkan tan-
gannya ke seluruh benda-benda yang berlesatan di
bawahnya. Praang! Belasan piring tanah hancur berkeping-keping,
jatuh berkrontangan di seluruh penjuru arah. Baru sa-
ja benda-benda ini berhamburan, tiga buah gentong
besar melayang. Satu mengemplang kepala, satu lagi
menderu ke bagian dada dan satunya lagi menghan-
tam ke bagian perut. Si Mata Aneh walaupun tak meli-
hat tapi dapat merasakan adanya angin dingin me-
nyambar disertai deru aneh berdengung. Satu tangan
lalu dihantamkan ke depan dada dan perut sedangkan
satunya lagi dipergunakan untuk melindungi wajah-
nya. Dua gentong dapat dipukul hancur, sedangkan
yang satunya lagi entah mengapa melejit, berputar ke
samping lalu membentur keras kepada di bagian bela-
kang. Prak! Gentong pecah berderak, Si Mata Aneh jejakkan
kaki dengan tubuh terhuyung-huyung. "Pengemis
bangsat!" rutuk Si Mata Aneh. Tidak perduli orang-orang terus berdatangan
menyaksikan pertarungan
itu. Si Mata Aneh mendadak lakukan gerakan cepat.
Tangan diputar sedemikian rupa, hingga menjadi
bayangan yang menghantam ke delapan penjuru arah.
Angin yang ditimbulkan akibat berkelebatnya tangan
itu memporak-porandakan meja kursi serta perabotan
lain yang terdapat di dalam kedai.
Para pemuda berseragam putih bersenjata pe-
dang mulai menyingkir. Sedangkan Si Burung Merak
dan Malaikat Kuku Seribu walaupun masih berada di
tempat duduk masing-masing nampak mulai saling
berbisik. "Si Mata Aneh belum menggunakan jari tan-
gannya yang bermata. Bila mata yang terdapat di ba-
gian telunjuk tangan kanan terbuka, Raja Pengemis
pasti akan kerepotan." kata Si Burung Merak.
"Raja Pengemis Tangan Akherat kulihat juga
belum menggunakan ilmu andalannya. Kudengar dia
memiliki ilmu kesaktian Penyedot Raga. Tak bisa ku-
bayangkan apa jadinya bila dia menggunakan ilmu
itu." kata Malaikat Kuku Seribu.
"Sudahlah, buat apa kita urus kedua orang gila
itu. Lebih baik kita kembali ke penginapan. Jika sam-
pai besok pagi Si Muka Setan tidak muncul barangkali
kita merasa perlu untuk menyelidiki." sergah Si Burung Merak. Malaikat Kuku
Seribu anggukkan kepala.
Tak berselang lama mereka sudah tinggalkan kedai
melalui jendela samping.
Di tengah ruangan itu, Raja Pengemis menjerit
keras ketika satu pukulan yang tidak terduga mela-
brak tubuhnya. Dia jatuh terhempas membentur bebe-
rapa meja. Meja hancur berantakan, tapi Raja Penge-
mis cepat bangkit berdiri. Walaupun dada yang terke-
na pukulan terasa sakit luar biasa akan tetap Raja
Pengemis tak ambil perduli. Laksana kilat dia lakukan satu lompatan. Begitu
tubuhnya melesat di udara kakinya menghantam ke bagian dada. Gerakan ini se-
sungguhnya hanya tipuan saja, karena begitu Si Mata
Aneh menangkis serangannya kaki bergerak ke atas
menghantam kepala.
Dess! Tak dapat menghindar kakek tua bermata buta
dan memakai baju warna kuning hingga sampai seba-
tas dada ini terpelanting. Sosoknya menabrak dinding
kedai, dinding hancur. Tubuh si kakek amblas dan ja-
tuh terlentang di halaman depan. Si Mata Aneh mera-
sakan kepalanya seperti berputar. Bagian belakang
kepala terasa remuk. Dengan mulut menyumpah sera-
pah dia merangkak bangkit. Terhuyung-huyung dia
berusaha tegak, sementara tangan kirinya mengusap
punggung jari telunjuk tangan kanan. Dari bagian
yang diusap mengepulkan asap tipis. Dalam gelap di-
mana di halaman itu hanya terdapat sebuah lampu
yang menerangi, Raja Pengemis yang sudah berada di
halaman dapat melihat betapa satu mata di jari telun-
juk Si Mata Aneh kini sudah terbuka.
"Kau rupanya hendak menggunakan matamu
itu kakek buta. Baik akan kulihat sampai dimana ke-
hebatannya!" dengus Raja Pengemis. Si Mata Aneh tertawa lebar. Sedangkan Raja
Pengemis langsung menge-
luarkan batu tiga persegi bertangkai bulat yang juga
terbuat dari batu. Senjata yang satu ini tidak jauh berbeda dengan cermin biasa,
bening laksana kristal na-
mun mempunyai daya pantul sepuluh kali lipat dari
cermin biasa. Di atas pohon si gadis berdandan menor yang
menyaksikan semua jadi bicara sendiri.
"Dua orang gila bertarung di malam buta entah
apa yang mereka perebutkan. Hik hik hik. Tontonan
gratis, sayang kalau dibiarkan berlalu." kata gadis itu yang bukan lain adalah
Puteri Pemalu. Di satu sudut lain seorang gadis berpakaian
putih yang selalu membuntuti si kakek buta hanya
mampu menahan nafas tanpa memberi tanggapan
apa-apa. "Kematian telah ditetapkan untukmu malam
ini. Kau tidak dapat mengundurkannya walau barang
sekejap. Silahkan kau menjadi raja gembel di akhirat!"
dengus Si Mata Aneh. Baru saja dia selesai berucap telunjuk tangannya diangkat
ke atas dalam posisi meng-
hadap ke arah Raja Pengemis. Begitu si kakek goyang-
kan tangannya, maka dari mata tunggal yang menem-
pel di punggung telunjuknya melesat tiga larik sinar
merah berturut-turut. Sinar maut itu dalam waktu
singkat hampir saja menyambar tubuh lawannya. Na-
mun Raja Pengemis cepat jatuhkan diri gulingkan ba-
dan hindari tiga sinar maut yang menghantam dirinya.
Tiga ledakan terjadi di belakangnya begitu serangan
yang tak mengenai sasaran itu menghantam tanah.
Si Mata Aneh jadi tercekat, tapi dia terus


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghujani lawan dengan lesatan sinar maut yang ke-
luar dari mata anehnya. Seperti tadi dengan gesit Raja Pengemis terus menghindar
dengan menggunakan kecepatan gerak serta ilmu meringankan tubuhnya. Tak
heran jika di tempat itu diwarnai dengan pijaran bunga api juga suara ledakan-
ledakan berdentum.
"Mata Aneh, agaknya hari ini kau akan mene-
mukan suatu ganjalan, satu pelajaran yang tak akan
dapat kau lupakan seumur hidup!" kata Raja Pengemis
dalam hati. "Raja Pengemis, kali ini kau tak akan dapat
menghindari sinar mataku. Lihat serangan!" teriak Si Mata Aneh. Tangan kanan
yang bermata itu kemudian
diputar lalu arahkan pada Raja Pengemis. Berturut-
turut dari mata telunjuk lawannya melesat sepuluh si-
nar merah yang langsung menderu mengancam sepu-
luh bagian tubuhnya. Tak menunggu lebih lama Raja
Pengemis memutar tubuh dan langsung kiblatkan
cermin batu segi tiga ditangan kirinya ke arah sepuluh sinar tadi.
Ting! Ting! Suara berdentingan akibat memantulnya sinar
yang membentur cermin batu segitiga terasa menya-
kitkan gendang telinga. Si Mata Aneh jadi tercekat begitu merasakan adanya hawa
panas yang menderu ke
arahnya. Tak tinggal diam dan menyadari serangannya
berbalik menghantam dirinya sendiri, Si Mata Aneh
dorongkan kedua tangannya ke depan.
Dia tas kerimbunan pohon terdengar satu sua-
ra menyeletuk. "Dasar buta gila. Makan tuh pencarian!" Di udara terjadi ledakan
keras berdentum, tanah terbongkar membentuk sebuah lubang besar. Ba-
tu-batu berpentalan dikobari api. Suasana yang gelap
semakin bertambah gelap. Satu-satunya lampu yang
terdapat di halaman meliuk-liuk nyaris padam. Ketika
kegelapan dari akibat tebalnya asap sirna. Di depan
sana sosok Mata Aneh sudah tidak terlihat lagi. Se-
mentara satu bayangan putih ikut mengejar ke arah
lenyapnya Si Mata Aneh. Sedangkan Raja Pengemis
masih berada di tempatnya, tegak tergontai sambil
memandangi cermin batu segitiga yang di genggamnya.
Di bagian cermin batu itu terdapat sepuluh titik kecil
pertanda hantaman sinar yang ditangkisnya tadi men-
gandung kekuatan hebat.
"Hm, tak dapat kupercaya jika tidak mengala-
minya sendiri. Mata Aneh ilmumu maju pesat. Kelak
bila bertemu kembali aku tak akan mengampuni jiwa-
mu!" kata Raja Pengemis. Sekali dia berkelebat, maka sosoknya langsung lenyap
dari pandangan mata.
Puteri Pemalu tertawa terkikik-kikik. Seluruh
kejadian yang berlangsung tadi semuanya tak lepas
dari perhatiannya. Namun gadis berotak sinting ini
masih belum dapat memastikan siapa diantara mereka
yang memiliki ilmu lebih tinggi.
"Perkelahian tadi tak ada yang kalah tak ada
yang menang. Tapi aku merasa yakin Si Mata Aneh
pasti terluka. Terbukti dia secara pengecut melarikan diri. Percuma saja dia
jadi laki-laki." gerutu si cantik gila berdandan menor itu.
Sebenarnya apa yang dilakukan Si Mata Aneh
bukan karena dia terluka atau terkejut melihat lawan
dapat mengembalikan semua serangannya. Akan tetapi
lebih dari semua itu, melalui mata yang menempel di
tangannya kakek ini melihat satu sosok mengerikan
mendekam dibalik kegelapan. Sosok yang memiliki ma-
ta tunggal sangat peka dan tajam dapat melihat satu
hal yang tidak wajar di salah satu bagian tubuh sosok itu. Karena menyangka Raja
Pengemis membawa te-man yang sengaja bersembunyi untuk kemudian ikut
menghabisinya. Maka begitu tubuhnya terguncang he-
bat dan terasa luluh lantak akibat serangannya sendiri yang membalik. Tidak mau
mengambil resiko Si Mata
Aneh cepat tinggalkan tempat itu.
9 Lenyapnya kedua orang yang terlibat perkela-
hian sengit tadi membuat suasana di sekitar lingkun-
gan kedai penginapan menjadi berubah sunyi. Justru
pada saat itu pula sosok yang mendekam tadi kini
bangkit berdiri. Sementara di dalam kedai para pe-
layan yang sempat dibuat ketakutan dengan dibantu
para pengawal yang akan ikut ambil bagian dalam
mengamankan pertemuan yang berlangsung tak lama
lagi mula sibuk menata ruangan kedai yang beranta-
kan. Di dalam gelap sosok yang seperti menjunjung
sesuatu di atas kepalanya tiba-tiba keluarkan suara melengking yang cepat sekali
berubah. Suara itu terkadang mirip dengan jeritan manusia, di lain saat be-
rubah menjadi suara lengguh, ringkik kuda, juga sua-
ra lolongan anjing.
Terkecuali Puteri Pemalu yang duduk di atas
cabang pohon sambil berusaha mengenali sosok itu.
Maka orang-orang yang berada di dalam ruangan kedai
jadi tercekat. Satu sama lain saling berpandangan dan sama pula memandang ke
satu jurusan dimana suara
yang berubah-ubah itu terdengar.
Belum lagi hilang rasa kaget yang menyelimuti
diri mereka, pada saat itu terasa adanya hembusan
angin menebar bau busuk menyengat. Yang lebih
mengejutkan lagi walau hembusan angin itu tidak ter-
lalu keras tapi membuat lampu di halaman depan pa-
dam. Lampu halaman yang padam diikuti dengan pa-
damnya seluruh lampu yang terdapat di seluruh ruan-
gan kedai. "Celaka, apa yang terjadi?" satu dari sekian ba-
nyak pengawal keluarkan seruan bernada cemas.
Tak ada yang menanggapi, semua orang diam
membisu dirayapi ketengangan. Di halaman depan da-
lam gelapnya malam yang hanya diterangi cahaya bin-
tang muncul satu sosok yang kepalanya seperti men-
junjung sesuatu yang sangat besar.
"Mahluk itu.... manusia atau apakah" Mengapa
kepalanya seperti menjunjung benda." Puteri Pemalu yang berada di atas pohon
yang sebentar menutup dan
menarik kain jubah dari wajahnya berucap. Untuk per-
tama kali Puteri Pemalu tak berani tertawa. Mungkin
inilah saat paling menakutkan bagi orang gila seperti gadis itu. Biarpun begitu
dia mencoba mengenali sosok itu. Tapi karena suasana dalam keadaan gelap sekali.
Dia tak dapat memastikan sosok hitam itu manusia
atau hantu. Satu hal yang dapat dia yakini. Sosok
yang dilihatnya bukannya menjunjung sesuatu. Tapi
kepalanya memang besar begitu rupa. Besar di bagian
atas bahkan sepuluh kali lebih besar dari kepala ma-
nusia normal. "Ladalah... aku seperti melihat hantu penjun-
jung kepala! Bagaimana kepala sebesar itu bisa keluar dari perut emaknya. Hik
hik hik!" Puteri Pemalu dekap mulutnya. Sosok hitam itu kini keluarkan suara
menggerung. Masih dalam keadaan berdiri mendadak son-
tak dari bagian kepalanya menyembul sinar biru yang
meliuk-liuk bagaikan kawanan ular yang keluar dari
lubangnya. Sinar yang keluar dari bagian sisi kepala
sosok itu kemudian menebar ke segenap penjuru arah,
namun yang lebih banyak menyerbu ke dalam kedai.
Di dalam kedai yang gelap gulita mendadak sontak
terdengar pekik dan jerit kesakitan disertai dengan suara letupan seperti suara
telur busuk yang terbakar.
Dari sinar biru yang menyerbu ke berbagai penjuru
arah ini terbentuk satu cahaya merah berbentuk se-
perti otak berwarna putih kemerahan yang kemudian
langsung bergerak kebagian kepala sosok hitam di ha-
laman. Sinar biru itu ternyata bukan hanya keluar dari sekeliling kepala sosok
itu, tapi sinar itu sekaligus merupakan satu kekuatan yang ternyata mampu menje-
bol kepala orang yang berada di dalam warung, me-
nyedot isinya untuk kemudian sinar itu memindahkan
cairan otak dimana ke bagian kepala dari mana sinar
itu berasal. Dari dalam kedai suara jeritan masih terus berlangsung. Malah dari
bagian kepala depan sosok itu kini muncul sinar biru yang kemudian meliuk meman-
jang menyerbu ke arah penginapan yang terdapat di
belakang kedai.
Dari dalam penginapan itu juga terdengar suara
jeritan menyayat memilukan. Beberapa sosok tubuh
nampak berkelebat meninggalkan penginapan. Mereka
yang keluar berserabutan ini semata-mata karena me-
rasakan kepala mereka tiba-tiba berdenyut sakit, batok kepala laksana tanggal
dan mau pecah. Tak urung se-sampainya di luar mereka jadi bingung, seperti orang
yang baru terbang semangat dan fikirannya.
Di atas cabang pohon Puteri Pemalu juga mera-
sakan hal yang sama. Ketika sinar biru itu menjilat ke segala penjuru arah
mencari sasaran otak yang pada
akhirnya otak korban berpindah ke arah sosok berke-
pala besar luar biasa itu, si gadis merasakan kepa-
lanya berdenyut sakit. Rasa sakit kian menghebat, terlebih-lebih di bagian ubun-
ubun. Tapi karena pada da-
sarnya gadis ini agak terganggu ingatannya, mendapat
serangan seperti itu dia hanya mengerahkan seluruh
tenaga sakti di bagian kepala, setelah itu rebahkan tubuhnya di bagian cabang
pohon. Dalam gelap tak dapat dihitung berapa banyak
korban yang berjatuhan. Akan tetapi yang jelas sinar
yang keluar dari sekeliling kepala sosok itu kemudian mulai meredup bergerak
meliuk kembali ke asal dari
mana puluhan sinar berasal lalu amblas ke dalam ke-
pala pemiliknya.
"Auuungg! Guk guk guk. Ha ha ha." sosok berkepala besar dan semakin bertambah
besar setelah berhasil menyedot habis otak korbannya ini memijit-
mijit bagian samping kepalanya yang lembek berkere-
nyutan tak mau diam. "Aku dapat tambahan pemiki-
ran baru. Kesaktian dan kecerdikan ku bertambah.
Eh, otak yang baru ku sedot dan kini menyatu dengan
otakku rupanya punya keinginan menjadi kesatria.
Waduh yang ini lain lagi, dia mau jadi raja, dan yang ini ...yang
ini....akh......! Kacau.... fikiran ku jadi kacau. Kraakh, belasan otak yang ku
sedot lalu ku pin-
dahkan dalam otakku punya beragam keinginan. Ti-
dak.... akh....otak-otak yang telah berkumpul dalam
kepalaku, aku hanya ingin penyatuan pemikiran. Fiki-
ran cerdik dan pintar tanpa tandingan. Hah, kurang
ajar. Arkh....!" sosok yang kepalanya masih menggem-bung besar begitu mendapat
tambahan otak baru yang
baru berhasil disedot dari korbannya tampak seperti
bingung. Rupanya ada kekacauan dalam fikirannya.
Terbukti seperti orang mabuk dia kemudian
berlari-lari tinggalkan tempat itu. Di kejauhan sana
terdengar suara sosok berkepala besar ini. Terkadang
suaranya berubah-ubah, mungkin karena di dalam
kepalanya bukan hanya otaknya sendiri yang berfikir
melainkan sudah campur aduk dengan otak korban-
korbannya. *** Matahari baru saja sembulkan diri di ufuk ti-
mur. Waktu terus berputar sedangkan roda kehidupan
berjalan kembali sebagaimana hari sebelumnya. Di se-
belah timur Karang Mulyo di atas jalan setapak si gondrong bertelanjang dada
Gento Guyon nampak berja-
lan melenggang sambil bersiul dengan irama tak bera-
turan. Sampai di sebuah tikungan jalan pemuda ini
mendadak dikejutkan oleh kemunculan dua ekor kuda
yang berlari kencang melewatinya Murid si gendut
Gentong Ketawa ini tentu menjadi heran dibuatnya.
Dua kuda putih itu lari bagai dikejar-kejar setan. Sementara di atas punggung
kuda tak terlihat seorang
pun penunggangnya.
"Aneh, kuda lari lengkap dengan pelananya.
Tapi pemiliknya tidak terlihat ikut serta. Dimana me-
reka" Kuda-kuda bagus seperti itu mengapa dibiarkan
berkeliaran tak karuan kejuntrungannya?" fikir Gento sambil gelengkan kepala.
Merasa heran atas segala keanehan yang terjadi
Pendekar Sakti Gento Guyon segera berkelebat ke arah
datangnya dua ekor kuda tadi. Ternyata jejak kaki ku-
da datang dari halaman belakang sebuah kedai. Gento
jadi terheran-heran melihat suasana kedai yang sunyi, padahal bagian pintu kedai
dalam keadaan terbuka.
Setelah meneliti dan memperhatikan suasana di sekeli-
lingnya pemuda itu kemudian memutuskan untuk
memeriksa bagian dalam kedai.
Saat pemuda ini jejakkan kakinya di dalam
ruangan kedai merangkap penginapan itu dia melihat
satu pemandangan yang sangat mengerikan yang
membuatnya jadi tercekat, mata terbelalak dan teng-
kuk merinding. "Astaga! Gusti Allah kekejian apa lagi yang se-
dang terjadi di tempat ini?" desis Gento beberapa saat
kemudian. Dia kitarkan pandangan matanya ke sege-
nap penjuru ruangan. Gento kembali gelengkan kepa-
la. Dia melihat suasana ruangan kedai yang beranta-
kan. Meja dan kursi berantakan, mayat-mayat berge-
limpangan. Yang mengerikan dari sekian banyak
mayat-mayat itu hampir seluruhnya tewas dengan ke-
pala berlubang, mata mendelik, mulut ternganga. Gen-
to mencoba meneliti salah satu mayat yang tergeletak
di depannya. Bagian kaki, tangan maupun badan
mayat itu dalam keadaan utuh, hanya bagian kepa-
lanya saja yang berlubang, bolong melompong. Isi ke-
pala terkuras habis dan tidak bersisa sama sekali.
"Aneh sekali, mahluk apa sebenarnya yang te-
lah membunuh mereka. Apa mungkin ada mahluk
buas yang doyan memakan otak. Begini banyak orang
yang terbunuh, tak satupun kepalanya yang utuh!"
gumam Gento merasa tidak habis mengerti.
Masih dengan perasaan di liputi perasaan he-
ran dan tidak mengerti Gento akhirnya menuju ke ba-
gian belakang kedai, melangkah cepat menuju ke arah
penginapan lalu memeriksa deretan kamar-kamar yang
terdapat di situ. Hampir semua kamar dalam keadaan
terkunci dari bagian dalam. Hanya beberapa dianta-
ranya saja dalam keadaan terbuka. Memeriksa kamar


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terbuka ternyata tidak berpenghuni, atau mung-
kin kamar-kamar itu ditinggalkan oleh para penye-
wanya dalam keadaan tergesa-gesa. Terbukti Gento
melihat peralatan makan minum masih terletak di me-
ja, "Aku sungguh dibuat tak habis mengerti. Jika
memang benar penyewa kamar ini kabur melarikan di-
ri, paling tidak mereka membawa serta kantong perbe-
kalannya, bukan meninggalkan barang-barang ini. Se-
suatu telah terjadi di tempat ini, sesuatu yang sangat
hebat menggoncangkan perasaan dan fikiran. Tapi
apa" Mereka melihat mahluk, atau mungkin melihat
setan?" fikir Gento. Dia kitarkan pandang matanya.
Memperhatikan ke setiap dinding ruangan sampai ak-
hirnya dia melihat sesuatu yang terasa aneh. Dengan
perasaan dipenuhi tanda tanya dia melihat lebih sek-
sama lubang yang terdapat di dinding dekat jendela.
"Lubang hitam di dinding seperti bekas ditem-
bus api, atau mungkin sesuatu yang sangat panas.
Apa hubungan semua ini dengan perginya mereka?"
Gento terdiam, berfikir mencoba menghubungkan satu
kejadian yang di kedai dengan kejadian di penginapan.
Dia jadi teringat dengan kamar-kamar lain yang pin-
tunya dalam keadaan tertutup.
Bergegas tanpa menunggu lebih lama Gento ke-
luar kembali. Ternyata lubang kecil seperti bekas terbakar terdapat diseluruh
kamar yang ada. Gento jadi
penasaran. Pintu yang terkunci dari dalam di dobrak-
nya. Pintu jebol terkuak lebar. Gento melangkah ma-
suk tanpa mengurangi kewaspadaannya. Karena di da-
lam ruangan agak gelap, dia membutuhkan waktu un-
tuk menyesuaikan diri dengan keadaan di dalam ruan-
gan itu. Ketika dia dapat melihat dalam gelap, Gento
keluarkan seruan tertahan dan surut satu tindakan ke
belakang. Dia memandang lurus ke depan dimana se-
sosok tubuh terbujur kaku dengan mata mendelik, ke-
pala berlubang. Darah menggenang membasahi tempat
tidurnya. Walaupun Pendekar Sakti Gento Guyon tidak
mengenal siapa adanya laki-laki yang terbujur kaku
dengan luka menganga di bagian kepala, tapi dari pe-
nampilan serta melihat pedang yang tergantung di atas kepala tempat tidur dia
dapat memastikan, siapapun
adanya laki-laki itu jelas berasal dari dunia persilatan.
Semakin banyak keanehan yang dilihatnya,
semakin pusing juga memikirkan semua kejadian ini.
Sekarang dia mendekati lubang kecil yang terdapat di
dinding. Lubang itu jelas seperti habis ditembus satu sinar panas yang membakar.
Tapi Gento menemukan
suatu keanehan. Dia melihat di sekitar lubang kecil tidak lebih besar dari ibu
jari itu adanya cairan darah juga cairan lain berwarna putih. Melihat sekilas dia
dapat memastikan cairan itu pastilah cairan otak.
Sekarang sedikitnya dia sudah menemukan su-
atu gambaran. "Orang itu terbunuh karena otaknya tersedot lewat dinding ini.
Tapi apakah mungkin di
dunia ini ada orang yang memiliki ilmu aneh itu. Me-
nyedot otak orang lain dari jarak tertentu. Aku belum pernah mendengarnya,
bahkan guruku sendiri belum
pernah bercerita tentang hal itu" batin Gento. Rasanya pemuda itu merasa tak
perlu memeriksa semua kamar
yang terkunci, karena paling tidak sudah bisa menerka bagaimana keadaan yang
terjadi di dalam sana.
Pemuda ini lalu keluar meninggalkan kamar
berbau amis itu, selanjutnya berkelebat menuju keba-
gian depan kedai. Di halaman kedai keadaan tetap te-
rasa sepi. Gento tak tahu harus bertanya pada siapa.
Dia ingat dari Karang Mulyo, untuk sampai ke Kiara
Condong jaraknya sudah tidak berapa jauh lagi. Paling tidak dia hanya
membutuhkan waktu satu malam perjalanan. Dia berharap dapat menemukan gurunya di
tempat pertemuan para tokoh nanti, sementara sambil
melanjutkan perjalanan dia bisa mencari tahu sekali-
gus menyelidiki siapa sebenarnya yang bertanggung
jawab dalam segala pembantaian keji itu.
"Dunia ini agaknya sudah dipenuhi dengan se-
gala kegilaan. Mengapa Gusti Allah tidak mengambil
tindakan atas segala kekejian yang terjadi?" kata pemuda itu seorang diri.
"Hik hik hik. Kau memang betul pemuda gagah,
dunia memang sudah dipenuhi oleh orang-orang gila.
Seperti dirimu itu yang bingung. Hik hik hik. Mengapa kepalaku masih pusing
begini"!" kata satu suara menyahuti ucapan Gento.
Murid si gendut Gentong Ketawa melengak ka-
get. Dia menggaruk hidungnya yang tidak gatal, lalu
memandang ke arah datangnya suara. Gento jadi ter-
senyum begitu melihat seorang gadis berdandan menor
memakai jubah warna biru menjela duduk di atas po-
hon sambil ucang-ucang kaki. Yang membuat Gento
jadi kernyitkan alisnya, gadis itu memandangnya den-
gan malu-malu, malah terkadang dia tutupkan ujung
jubahnya di bagian dada ke wajah. Seolah dia seperti gadis atau puteri pingitan
yang sangat pemalu.
"Hei gadis cantik. Mengapa kau duduk di situ.?"
tanya Gento mulai usil.
Si gadis tertawa terkikik-kikik sambil tutupi
wajahnya. Melihat ulah gadis itu Gento jadi nyengir
sendiri. "Gadis aneh. Ditanya bukan menjawab, tapi malah tutup wajahnya. Aku
jadi ikut malu jadinya."
batin Gento. 10 Di atas cabang pohon si gadis melakukan gera-
kan berayun bagaikan seekor kera yang pindah tem-
pat. Lalu dengan satu sentakan tubuh gadis itu me-
layang, jatuh di depan Gento dengan dua kaki menyen-
tuh tanah terlebih dulu.
"Pemuda cakep. Hik hik hik. Aku duduk disana
sudah sangat lama sekali. Malah kepalaku sempat
pusing, lalu aku tidur. Gila...gila.... aku melihat satu kejadian dalam kegilaan
yang luar biasa. Hihh...!" gadis itu unjukkan mimik seperti ketakutan. Si gadis
kemudian lanjutkan ucapannya. "Aih, siapakah namamu" Apakah kau sudah melihat
keadaan di dalam
sana" Kau pasti melihat mayat-mayat bergelimpangan.
Hik hik hik. Kasihan sekali, mereka tewas tanpa sem-
pat mengetahui apa yang terjadi!" Habis bicara dia kembali tutup wajahnya.
"Jadi kau sebenarnya tahu apa yang terjadi
dengan mereka?" tanya Gento, dalam hati dia membatin. "Wajahnya sih lumayan
cantik. Hanya dandanannya begini amat. Kalau bicara wajahnya selalu ditutu-
pi, mungkin dia merasa kecakepan. Jangan-jangan dia
memang gadis sinting berpenyakit ingatan!" membatin pemuda itu dalam hati.
"Kau bertanya aku berhak diam, terkecuali kau
mau mengatakan siapa dirimu pemuda gagah. Hik hik
hik!" "Apa ku kata, dia memang gadis edan. Kurasa orang gila harus dilayani
dengan kegilaan pula." fikir Gento. Lalu dengan tersenyum-senyum ia menjawab.
"Namaku ada dua, yang siang lain dan kalau malam lain. Kau mau kenal namaku yang
mana?" tanya Gento.
Puteri Pemalu singkapkan kain yang menutupi
wajahnya. Sepasang matanya dikedip-kedipkan, bibir
yang dipoles pemerah warna menyala dan nampak be-
lepotan sengaja dibuat tersenyum sedemikian rupa
hingga membuat Gento tak dapat menahan tawanya.
Mengira Gento senang melihat tingkahnya itu Puteri
Pemalu berucap. "Aku ingin tahu namamu siang ma-
lam." "Wah kalau begitu repot aku menjawabnya."
"Merasa repot akupun tak mau menjawab per-
tanyaanmu." kata Puteri Pemalu. Gento jadi garuk-garuk batang hidungnya, pura-
pura berfikir sejenak
baru kemudian menjawab. "Namaku kalau siang Ba-
gus Awan. Sedangkan kalau malam Peteng. Kau sendi-
ri siapa?" tanya Gento sengaja tak mau memberi tahu yang sebenarnya.
Si gadis tetawa. "Jadi namamu kalau digabung
menjadi satu Bagus Awan - Peteng. Hik hik hik. Nama-
ku sendiri tidak penting. Orang sering memanggilku
Puteri Pemalu."
"Wah nama yang bagus, sesuai dengan orang-
nya berwajah cantik dan tampak malu-malu." menimpali Gento sambil tersenyum.
"Tadi kau mengatakan mau menjawab pertanyaanku bila aku sudah memberi
tahu siapa namaku. Sekarang katakan apa yang kau
lihat di tempat ini sebelum pembunuhan itu terjadi?"
desak Gento tidak sabar.
Puteri Pemalu tutupi wajahnya yang tiba-tiba
nampak sangat ketakutan sekali. "Aku mau saja mengatakannya tapi aku takut. Hik
hik hik." "Kau tak perlu takut, aku ada disini." ujar Gento.
"Oh, lega hati ini jadinya." kata Puteri Pemalu.
Kening gadis ini kemudian berkerut seolah sedang be-
rusaha mengingat sesuatu. "Aduh celaka diriku ini, fikiran ku mulai kusut.
Tapi... tapi, waktu itu suasana dalam keadaan gelap sekali. Aku tak dapat
melihat dengan jelas. Tapi dalam kegelapan itu aku secara sa-
mar melihat sosok mahluk hitam. Mungkin manusia
bisa jadi juga hantu. Sosok itu memiliki kepala sangat besar. Malah sepuluh kali
lebih besar dari kepala manusia bisa. Kepala itu mengeluarkan cahaya biru. Ca-
haya bergerak kemana-mana menyerang siapa saja, la-
lu kudengar ada jeritan, aku juga melihat puluhan
otak berpindah tempat. Aku sendiri sempat diserang
sinar itu. Mungkin karena otakku ada penyakitnya
orang itu tak mau mengambilnya. Aku hanya merasa-
kan kepalaku jadi sakit luar biasa. Rasanya seperti
mau meledak. Tapi seperti yang kau lihat sampai saat
ini kepalaku tetap utuh walaupun masih terasa agak
pusing. Hik hi hik." Kemudian secara panjang lebar Puteri Pemalu menceritakan
segala sesuatunya pada
Gento. Selesai Puteri Pemalu menuturkan segalanya.
Kini Pendekar Sakti Gento Guyon malahan merasakan
kepalanya sendiri jadi ikutan pusing.
"Gadis ini gadis edan. Tak ada yang dapat men-
jamin kewarasannya. Otaknya miring. Siapa tahu dia
bicara ngelantur tak karuan kejuntrungannya. Buat
apa aku mempercayai segala ucapannya?" fikir Gento.
Beberapa saat lamanya Gento hanyut dalam kebim-
bangan. Lalu dia teringat dengan mayat-mayat yang
bergeletakan di dalam kedai, satu mayat di pengina-
pan. Dia juga ingat dengan lubang-lubang kecil bekas
terbakar yang terdapat pada setiap dinding pengina-
pan, lalu cairan otak yang melekat didinding salah sa-tu kamar dimana Gento
mendapati sosok mayat den-
gan kepala berlubang. "Bisa jadi segala keterangan gadis ini memang benar
adanya. Tapi.... bagaimana sinar bisa keluar dari kepala orang itu" Kemudian
menjebol kepala korban lalu memindahkan isi kepala orang ke
dalam kepalanya sendiri. Sungguh bagiku semua ini
merupakan kejadian langka yang sulit diterima akal"
fikir Gento. "Apa yang kau fikirkan Bagus Awan Peteng.
Apakah kau tengah memikirkan diriku, atau gadis
lain" hik hik hik."
Gento terkesiap, dia memandang ke depannya.
Pada saat itu Puteri Pemalu dengan malu-malu me-
mandangi dirinya.
"Aku tidak memikirkan gadis manapun," jawab si pemuda. "Semua kejadian ini
membuat aku jadi bingung." "Tidak usah bingung. Buat apa kau memikirkan orang
yang sudah mati. Biarkan saja, lebih baik
kau memikirkan diriku. Dan aku yakin sebenarnya
kau memang tertarik padaku."
"Gadis gila ini penuh rasa percaya diri. Huh
siapa yang memikirkan dirinya" Biarpun cantik kalau
otaknya gila siapa sudi. Setan sekalipun tidak sudi."
rutuk Gento. Tapi untuk menyenangkan perasaan si
gadis dia tetap menjawab. "Aku memang ada sedikit memikirkan dirimu. Ha ha ha."
kata pemuda itu. Dalam hati dia membatin. "Yang ku fikirkan gadis seperti dirimu
matinya kapan?"
"Oh aku merasa tersanjung. Aku senang karena
kini punya seorang kekasih. Kekasih itu adalah dirimu.
Kaulah pemuda tampan yang pertama kali menyentuh
hatiku. Oh indahnya dunia ini ku rasakan setelah aku
punya kekasih! Hatiku kini jadi ser-seran. Jantung
ndut-ndutan."
Mendengar ucapan Puteri Pemalu Gento jadi
melengak kaget. Lebih terkejut lagi ketika melihat si gadis sakit ingatan
melangkah maju kedua tangan terkembang siap merangkulnya.
"Edan.... gadis gila ini siapa bilang aku keka-
sihmu" Urusan bisa jadi runyam kalau tetap ku me-
layani." Gento pun melangkah mundur dua tindak.
Melihat sikap Gento, Puteri Pemalu hentikan langkah,
wajah cemberut unjukkan sikap marah. "Kau kekasih-ku... mengapa kau tak mau ku
peluk" Bukankah se-
mua ini merupakan suatu keberuntungan besar bagi-
mu. Banyak orang yang ingin memeluk ku, tapi semua
kutolak. Tapi kau...."!"
"Jelas saja. Yang memelukmu kakek jompo tak
bisa melihat. Kalau aku oh ruginya. Masih bagus kau
memeluk pohon." dengus Gento dalam hati. Walau hatinya berkata begitu, namun
karena dia takut gadis gi-la itu jadi makin tersinggung dengan nada membujuk
dia berucap. "Aku bukan tak mau, malah ini merupakan suatu keberuntungan besar.
Tapi kalau mau men-
dekat sebaiknya kau pejamkan mata."
"Rupanya kau malu aku melihatmu, baiklah.
Sekarang aku akan pejamkan mata Bagus Awan Pe-
teng." ucap Puteri Pemalu. Dia kemudian pejamkan kedua matanya. Selanjutnya
dengan dua tangan tetap
terkembang dia melangkah maju. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Gento. Dengan cepat dia memutar
langkah lalu berkelebat pontang panting tinggalkan si gadis gila. Di kejauhan
sana terdengar suara si pemuda sambil tertawa tergelak-gelak. "Dasar edan, siapa
yang suka dipeluk. Lebih baik kau peluk angin, kalau
perlu sampai tua sampai botak ubanan. Ha ha ha."
Puteri Pemalu tersentak kaget. Dia langsung
membuka matanya, lebih terkejut lagi ketika melihat
pemuda yang dikenalnya dengan nama Bagus Awan
Peteng telah lenyap dari hadapannya.
"Pemuda tengik sialan. Dasar laki-laki, semua-
nya tidak bisa dipercaya. Olala... kekasihku pergi meninggalkan diriku. Pemuda


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak bertanggungjawab.
Kemanapun kau lari aku pasti akan mengejarmu!" pekik Puteri Pemalu geram. Diapun
kemudian berkelebat
pergi ke arah lenyapnya Gento Guyon.
*** Begawan Panji Kwalat dan Ki Anjeng Laknat
duduk berdampingan di hadapan pemuda gondrong
tampan berpakaian serba merah.
Malam itu adalah malam pertemuan terakhir
bagi si pemuda dengan kedua kakek angker yang du-
duk di depannya. Dengan sikap gagah sambil membu-
sungkan dada, si pemuda yang tidak lain adalah Panji
Anom Penggetar Jagad alias Begawan Muda meman-
dang tajam pada gurunya juga pada kakek angker
bermata melesak berhidung remuk. Senyum sinis pe-
nuh kesombongan bermain di mulutnya. "Tua bangka muka tak karuan rupa ini telah
menurunkan sedikitnya tiga ilmu kesaktian hebat padaku. Ilmu Kutukan
Dalam Pusara, Ilmu Pukulan Bangkit Dari Kubur, juga
Ilmu Penyelamat diri Tenggiling Putih. Aku telah men-
guasai banyak ilmu penting." membatin Panji Anom dalam hati. Dia jadi teringat
pada Bidadari Biru. Gadis cantik yang tubuhnya sebening kaca, "Gadis itu bukan
saja tubuhnya sangat menggiurkan, tapi dia telah melukai dengan senjata Bintang
Penebar Petaka. Apa
yang telah dia lakukan terhadapku harus dibayarnya
dengan mahal berikut bunganya. Bila bertemu lagi,
bukan hanya senjata itu saja yang kurampas, tapi ke-
hormatannya juga akan kurenggut. Aku akan menga-
jaknya bersenang-senang sampai dia merengek minta
ampun." kata Panji Anom disertai senyum licik bermain dibibirnya. Teringat pada
si gadis, Panji Anom ja-di ingat pula pada Gento dan gurunya si gendut besar
Gentong Ketawa. Mendadak wajahnya berubah mene-
gang, pelipis bergerak-gerak sedangkan bibirnya terkatup rapat. "Untuk dua
manusia edan itu aku telah me-nyusun suatu rencana besar. Akan ku atur kematian
mereka sedemikian rupa kematian mengerikan yang
belum pernah terjadi atas manusia manapun yang
pernah mengalami penyiksaan di dunia ini!"
"Panji Anom muridku!" kata si kakek berpa-
kaian hitam yang sekujur tubuhnya dipenuhi bubuk
kapur putih. Pemuda di depannya mengangkat wajah,
memandang ke depannya dengan pongah. "Kau bukan
saja telah mewarisi semua ilmu yang ada padaku, tapi
saudaraku Ki Anjeng Laknat telah memberikan semua
ilmu andalannya padamu. Selain itu kau telah mene-
rima penggabungan tenaga sakti kami, hingga kini di-
rimu semakin menjadi hebat. Dengan segala ilmu yang
kau miliki, sekarang kau harus bisa menguasai tokoh-
tokoh penting dari berbagai golongan yang memiliki
pengaruh luas. Kau bunuh orang-orang yang menen-
tang kehendakmu. Karena untuk membangun kera-
jaan dunia baru membutuhkan biaya cukup besar,
kau harus merampas harta benda milik bangsawan,
juragan kalau perlu milik kerajaan. Setelah semua
rencana itu berjalan sebagaimana yang kau kehendaki,
baru kau layak mengumpulkan gadis-gadis cantik agar
kau dapat bersenang-senang dengannya." Ujar Begawan Panji Kwalat. Ki Anjeng
Laknat menambahkan.
"Dan untuk mewujudkan cita-cita besar itu, kau harus pandai memanfaatkan
kecerdikan otakmu kau harus
licik, kau harus pergunakan siasat, kau juga harus bi-sa mengadu domba satu sama
lain, kau mesti bisa
memanfaatkan situasi dan kesempatan yang ada. Pen-
dek kata segala sesuatu yang bisa mendatangkan
keuntungan besar harus bisa kau manfaatkan. Jika
semua yang kukatakan dapat kau jalankan dengan
baik. Aku percaya dunia pasti ada dalam genggaman
tanganmu." ujar si kakek.
"Ha ha ha, apa yang dikatakan saudaraku ini
benar, Panji Anom. Uwa gurumu telah memberikan sa-
tu gambaran yang apa bila kau mau menjalankannya
kau akan mendapatkan suatu keuntungan besar." Begawan Panji Kwalat menimpali.
"Aku percaya dan semua yang kudengar hari ini
semuanya telah ada padaku sejak lama. Ini merupa-
kan suatu pertanda antara murid dan guru telah dica-
pai suatu kata sepakat. Aku telah mendengar apa yang
terjadi dengan dunia persilatan saat ini. Untuk itu aku sudah tahu apa yang
harus kuperbuat...!" kata Panji Anom disertai senyum licik.
"Panji Anom, segala bekal telah pun kau da-
patkan. Apakah sekarang kau tidak hendak melaku-
kan tugas penting yang merupakan perjalanan awal
untuk mencapai segala keinginanmu?" tanya Begawan Panji Kwalat.
"Ha ha ha. Aku tahu guru sudah tidak sabar
menunggu hasil dari tugas-tugasku. Aku memang
hendak memohon diri, lagipula aku sudah muak meli-
hat tampang kalian berdua. Aku ingin melihat suatu
pemandangan indah yang segar. Aku juga membutuh-
kan hangatnya cahaya matahari juga hangatnya tubuh
perempuan mulus. Sekarang aku mohon pamit. Sila-
kan kalian yang tua tinggal disini, kalau perlu sampai mati. Ha ha ha."
Begawan Panji Kwalat ikut tertawa. Sebaliknya
Ki Anjeng Laknat unjukkan wajah angker. Dia memang
merasa tidak suka mendengar kata-kata kasar yang
terkadang diucapkan oleh murid adiknya itu. Tapi
sampai sejauh itu dia hanya diam saja.
"Guru dan uwa guru aku mohon pamit!" Berka-
ta begitu Panji Anom tundukkan kepala hingga me-
nyentuh lantai. Ketika keningnya menyentuh permu-
kaan lantai maka terdengar suara.
Dees! Sosok Panji Anom serta merta lenyap dari ha-
dapan kedua kakek tua ini. Begawan Panji Kwalat me-
narik nafas dalam, lalu menoleh pada Ki Anjeng Lak-
nat baru kemudian berkata. "Kakang, aku harus kembali ke bukit kapur di
Banyubiru. Kau sendiri apakah
memilih tinggal di kuil ini?"
"Aku bisa berada dimana saja aku suka. Jika
kau mau pergi, pergilah sekarang. Aku membutuhkan
beberapa hari lagi untuk menghimpun tenaga dalam."
jawab Ki Anjeng Laknat.
"Kalau begitu aku pergi dulu." kata Begawan Panji Kwalat. Dua tangan si kakek
lumpuh diketukkan
ke lantai, mendadak sontak tubuhnya mengapung di
udara, lalu bergerak melesat meninggalkan kuil di tebing batu.
11 Berdiri terpacak seperti patung sepanjang wak-
tu, hawa dingin dan panas menderanya silih berganti.
Celakanya nenek berpakaian hitam memegang tongkat
hitam tak kuasa membebaskan diri dari pengaruh ke-
kuatan gaib yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Ke-
kuatan yang dikeluarkan melalui ucapan kata-kata
sakti Begawan Panji Kwalat.
Berdiri tegak selama berhari-hari bagi si nenek
tentu merupakan suatu siksaan yang terasa begitu be-
rat. Apalagi selama itu dia tak makan juga tak pernah minum barang setetespun.
"Begawan Panji Kwalat, tua bangka murtad.
Doaku mencakup segalanya. Aku berharap Gusti Allah
menurunkan satu kekuatan, aku berharap Tuhan
mencurahkan rahmatnya pada si tua yang teraniaya
ini. Lebih dari semua itu aku berharap Gusti Allah
menjatuhkan laknat pada Begawan Panji Kwalat!" kata si nenek. Tak lama kemudian
dari mulutnya yang keri-put terdengar suara racau tak berkeputusan, seiring
dengan itu pula di langit mendung tebal kian menghi-
tam. Membuat suasana di puncak bukit yang gelap
kian bertambah gelap.
Nenek Kunti Menak coba memandang ke langit,
namun urung karena lehernya terasa kaku tak dapat
digerakkan. Di langit mendung semakin mengelam ki-
lat menyambar petir menggelegar sambung menyam-
bung tak berkeputusan.
Hujan pun kemudian turun bagai tercurah dari
langit. Dalam keadaan seperti itu timbul satu pengha-
rapan di hati si nenek.
"Petir.. petir.... menyambarlah kau kemari. Be-
baskan diriku dari kutuk laknat dari seorang Begawan
gila." rintih si nenek. Seakan dikabulkan Tuhan, tak berselang lama kilat
menyambar dekat sekali dengan si nenek. Sambaran kilat lenyap berganti dengan
gelegar suara petir yang sangat dekat sekali dengan telinga
Kunti Menak. Begitu petir berdentum dekat telinga
orangtua itu, dia merasakan tubuhnya laksana terbe-
lah, kuping berdengung dan Kunti Menak jatuh ter-
lempar sejauh delapan tombak.
Beberapa saat lamanya Kunti Menak tidak sa-
darkan diri sementara gemuruh suara hujan kian
menggila. Ketika Kunti Menak siuman dari pingsannya
dia merasakan sebelah telinganya menjadi tuli. Ada
darah yang menetes melalui lubang kuping, hidung
dan mulut. Sementara pakaiannya di sebelah kanan
hangus tercabik-cabik.
Kunti Menak mengerang lirih. Dia mencoba
menggerakkan tubuhnya. Sekujur tubuh sebelah kiri
dapat digerakkan sesuka hatinya, tapi yang sebelah
kanan terasa sakit bagai tercabik-cabik. Dia melirik ke kanan dan ke kiri,
matanya mencari-cari. Ketika matanya membentur sesuatu maka Kunti Menak terse-
nyum. Dia melihat tongkat pedang hitamnya tergeletak
tak jauh di sebelah kiri dekat dengan kaki.
"Petir itu tadi, sungguh membuat diriku hampir
celaka. Tubuhku di sebelah kanan seperti hancur, kini nyaris tak dapat ku
gerakkan. Pakaian hancur, telingaku seperti tuli. Mungkin juga jadi tuli
sungguhan. Begawan Panji Kwalat, kesalahanmu tak mungkin da-
pat kuampuni. Kelak setelah keadaanku pulih aku
pasti akan mencarimu. Aku baru saja menemukan ke-
lemahan dari ilmu yang kau miliki." geram si nenek.
Selanjutnya dia berusaha duduk, tapi untuk hal seke-
cil itupun sulit dilakukannya. Kini akhirnya dia hanya terbaring menelentang
memandang ke langit gelap
tanpa perduli sekujur tubuhnya di dera hujan yang tak berkeputusan
Selagi Kunti Menak dalam keadaan demikian
rupa, sekonyong-konyong dia mendengar suara gemu-
ruh hebat berasal dari lereng bukit. Semula orang tua ini menyangka tengah
terjadi gempa hebat di tempat
itu. Tapi alangkah kaget si nenek dibuatnya karena
apa yang dia sangkakan ternyata meleset. Yang ter-
dengar saat itu bukan gempa besar, melainkan suara
langkah-langkah kaki yang demikian berat, sehingga
setiap tindakan langkah selalu disertai dengan suara
berdebum seperti batu besar jatuh dari langit.
"Setan alas mana lagi yang datang ke tempat
ini!" Kunti Menak yang sedang menderita cidera akibat hantaman petir tadi memaki
dalam hati. Belum lagi gema suara di dalam hatinya lenyap,
pada saat itu didepannya berdiri tegak sesosok tubuh
tinggi besar berkulit hitam ditumbuhi bulu. Sosok itu tidak pantas disebut
manusia karena besar tubuhnya
yang melebihi manusia normal. Dia hanya pantas dis-
ebut raksasa. Melihat kehadiran sosok besar ini Kunti Menak jadi belalakkan
mata. "Manusia tinggi, badan seperti gajah. Bangsat
satu ini walau berpenampilan menyeramkan namun
aku tidak merasa asing. Rajo Penitis, pangkal dari segala bala dan kedukaan!"
mengeram si nenek sambil memandang ke arah sosok itu dengan penuh rasa benci.
Melihat kehadiran manusia raksasa ini seketika
timbul satu kekuatan dalam diri Kunti Menak hingga
perempuan tua itu dengan cepat melompat bangkit.
Begitu dia dapat berdiri, meskipun dengan tubuh agak
terhuyung Kunti Menak sambar tongkat pedang hi-
tamnya. Rajo Penitis kibaskan rambutnya yang pan-
jang menjela dan basah oleh siraman air hujan. Kemu-
dian mulutnya terbuka hingga terdengar satu suara
keras menggeledek meningkahi suara gemuruh air hu-
jan. "Mataku tak salah melihat, walaupun penampilan dan keadaanmu tidak ubahnya
seperti pengemis
gila yang kelayapan di tengah pasar, namun aku cepat
memastikan bukankah yang berada di hadapanku saat
ini adalah mertuaku, guru istriku yang tercinta Mawar Pelangi?" bertanya Rajo
Penitis dengan suara sopan.
Ditanya seperti itu bukan membuat hati nenek
Kunti Menak berubah lunak, melainkan jadi bertam-
bah marah. Apalagi bila dia teringat dengan segala kejadian yang menimpa
muridnya yang terkasih. Kema-
rahannya pada Begawan Panji Kwalat belum lagi surut,
apalagi kini muncul orang yang sangat dia benci, hing-ga akhirnya segala dendam
kesumat itu dia tumpah-
kan pada Rajo Penitis.
"Laki-laki laknat, pembawa petaka dan segala
kesialan. Siapa sudi bermenantukan dirimu" Kau ka-
wini muridku secara diam-diam, dunia akhirat aku ti-
dak senang. Kau harus bertanggung jawab atas segala
musibah yang terjadi akibat semua ulah mu. Kau ha-
rus menanggung segala dosa yang pernah kau laku-
kan!" hardik Kunti Menak dengan suara lantang serta tatap mata penuh kebencian.
Rajo Penitis melongo seperti orang bodoh. Seha-
rusnya dia yang mengajukan pertanyaan itu pada si
nenek. Bahkan niatnya datang menemui Kunti Menak
semata-mata karena ingin minta penjelasan dan per-
tanggung jawaban si nenek atas diri Mawar Pelangi.
Siapa nyana kini dia harus menelan segala caci maki
orang tua itu. "Orang tua ini kalau ku lawan bisa jadi kuwa-
lat. Tapi walau bagaimana pun aku harus tahu bagai-
mana nasib Mawar Pelangi istriku. Jika pun dia waktu
itu dalam keadaan hamil saat di jemput nenek-nenek
sialan ini aku harus tahu bagaimana nasib bayi itu."
gumam Rajo Penitis. Setelah puas pandangi nenek tua
dihadapannya Rajo Penitis kemudian ajukan perta-
nyaan. "Nenek jelek berpakaian rombeng. Aku sama sekali tak tahu apa maksudmu.
Aku datang mene-muimu justru karena ingin tahu dimana istriku bera-da" Aku masih
ingat waktu itu kau mengambil secara
diam-diam Mawar Pelangi dari rumahku!"
"Jahanam tengik, bukannya kau yang telah me-


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

larikan muridku. Kau tiduri dia hingga membuat pe-
rutnya masuk angin. Kini kau sengaja memutar balik-
kan fakta, apa maksudmu" Menghindar dari tanggung
jawab dan hukuman?" bentak Kunti Menak sambil delikkan mata.
"Justru aku tak menghindar tanggung jawab
hingga membuatku datang kemari. Jika kau mengata-
kan hukuman, hukuman apa" apa salah dan dosaku?"
tanya Rajo Penitis kebingungan.
"Raksasa tolol. Kau dengar, Mawar Pelangi su-
dah mati saat hendak melahirkan bayi batu. Nyawanya
amblas tak ketolongan. Jika dia tidak tidur denganmu
mana mungkin ia bunting. Jika dia tidak bunting, ma-
na mungkin dia mati. Kau sudah faham setan alas!"
Apa yang dikatakan si nenek tentu saja mem-
buat Rajo Penitis jadi tercengang. Wajah angkernya
sempat berubah pucat, sedangkan sekujur tubuhnya
nampak menggigil, menahan perasaan sedih dan duka.
"Mawar, huk huk huk. Mengapa buruk nian su-
ratan nasib ini. Kau pergi meninggalkan diriku. Ra-
sanya hidup ini semakin hampa." desis Rajo Penitis di tegah-tengah sedu
sedannya. Tapi kesedihannya berubah menjadi amarah saat matanya bertemu pandang
dengan mata si nenek. "Nenek tua, katakan bagaimana nasib anak yang
dilahirkannya!" tanya Rajo Penitis kemudian sambil memegangi dadanya yang
bergemuruh. "Sangat disayangkan anaknya di didik oleh manusia salah kaprah.
Mungkin sekarang dia sudah pergi
ke neraka bersama gurunya dan membangun sebuah
gedung megah disana!" Dengan ketus si nenek menjawab. "Nenek, apa maksud dari
semua ucapanmu ini?" "Raksasa tolol, maksudku agar aku segera me-nyusulnya ke sana.!" dengus
Kunti Menak. Rajo Penitis menjadi sangat marah mendengar
kata-kata yang diucapkan oleh Kunti Menak. Dengan
suara bergetar dia berkata. "Perempuan gila pemutus
hubungan tali kasih orang. Aku tahu dirimu saat ini
dalam keadaan terluka di bagian dalam. Tapi kata-kata yang kau ucapkan sungguh
menyakitkan dan terasa
menusuk dijantungku. Mestinya aku sudah membu-
nuhmu saat ini juga. Tapi mengingat kau telah mera-
wat Mawar Pelangi sejak dia masih kecil jiwa lapukmu
kuampuni. Tapi ingat, bila kelak kau bertemu dengan-
ku mungkin aku tak akan membiarkan mu hidup lebih
lama. Sekarang selagi aku belum berubah fikiran ce-
patlah menyingkir dari hadapanmu!" kata Rajo Penitis.
"Kecoa tengik, tanpa Mawar Pelangi hidup ini
bagiku sudah tidak memiliki arti sama sekali. Kau ti-
dak membunuhku" Sebaliknya aku sangat ingin mem-
bunuhmu saat ini juga. Sekarang bersiap-siaplah kau
untuk menerima kematian dariku!" seru Kunti Menak lalu silangkan tongkat pedang
hitamnya di depan da-da.
Melihat sikap si nenek, Rajo Penitis tertawa ter-
gelak-gelak. Saat itu hujan mulai menunjukkan tanda-
tanda akan mereda, tapi kabut tebal masih menyeli-
muti daerah di sekitar puncak bukit.
"Tua bangka tak tahu gelagat, jika itu memang
sudah menjadi keinginanmu, maka gayungpun ber-
sambut. Jika kau ingin mati aku akan meluluskan
permintaanmu!" jawab Rajo Penitis tak kalah sengit-nya. Kunti Menak tak
menanggapi, dia hanya kelua-
rkan suara menggerung. Seiring dengan suara raun-
gannya, dia jejakkan kaki, tubuhnya melesat ke depan
meluruk deras ke arah lawan. Tongkat hitam yang tadi
disilangkan ke depan dada kini menderu, berkelebat di udara. Tiga larik sinar
hitam silih berganti menusuk, membabat dan memukul ke sekujur tubuh Rajo
Penitis, mengurung setiap jalan gerak laki-laki itu hingga
membuat manusia raksasa itu terpaksa melompat
mundur. Akan tetapi baru saja Rajo Penitis jejakkan
kakinya di atas tanah sekonyong-konyong si nenek su-
dah babatkan tongkatnya ke bagian kaki. Serangan
ganas yang berlangsung sangat cepat ini tak sempat
lagi dihindari oleh lawan.
Plak! Hantaman keras melabrak tulang kering Rajo
Penitis hingga membuat manusia raksasa ini jatuh
berdebum seperti pohon besar roboh.
Sring! Si nenek keluarkan pedang dari tongkat hitam-
nya. Tanpa membuang waktu selagi lawan berusaha
bangkit berdiri dia tusukkan pedangnya ke dua bagian
tubuh Rajo Penitis. Manusia raksasa ini menggeram,
sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya dia ge-
rakkan tangannya dari samping kiri ke kanan bermak-
sud menangkap pedang lawannya.
Angin deras menyambar dari telapak tangan
Rajo Penitis, membuat tubuh si nenek terhuyung dan
serangan pedang meleset mengenai tempat kosong.
Mempergunakan kesempatan ini itu masih dalam kea-
daan terlentang lawan memutar tubuhnya begitu rupa
sehingga baik tangan ataupun kaki membabat ke tu-
buh Kunti Menak
Dia cepat cabut senjatanya yang menancap di
tanah, sambaran angin yang ditimbulkan oleh putaran
tangan lawan membuat terhuyung seperti di terpa ba-
dai. Tetapi dengan cepat sekali dia melompat menjauh
dari jangkauan serangan lawannya tapi tak urung kaki
lawan masih sempat menyambar pinggulnya.
Deees! Sambil keluarkan sumpah serapah, si nenek
berusaha mengendalikan keseimbangan. Tendangan
kaki si raksasa Rajo Penitis membuat pinggulnya sera-
sa remuk dan menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa.
Terpincang-pincang Kunti Menak mencoba
mengatur posisi, sedangkan di depan sana lawan su-
dah berdiri tegak, memutar kedua tangannya sedemi-
kian rupa, hingga dalam pandangan si nenek sepasang
tangan itu kini seolah telah berubah menjadi sepuluh
pasang. Kunti Menak tercekat, walau apa yang dilihat-
nya sempat membuat dirinya terkejut, tapi dia kemu-
dian malah tertawa terbahak-bahak.
"Kau hendak menggunakan ilmu Sepuluh Tan-
gan Bayangan" Segala ilmu setan tak laku di depan-
ku!" Lalu Kunti Menak keluarkan suara racauan. Tangan kiri yang tidak memegang
pedang menggapai ke
atas. Di lain kejab dua buah rantai batu telah berada di dalam genggaman
tangannya. Rajo Penitis yang diam-diam sempat kaget tak
menyangka lawan mengenai jurus yang dipergunakan-
nya kini jadi terkesiap begitu melihat rantai batu di tangan lawan.
"Rantai Belenggu Neraka?" desisnya.
"Hik hik hik! Dengan rantai ini akan ku beleng-
gu tangan dan kakimu. Setelah itu baru kemudian aku
membeset tubuhmu dengan pedang ini!" kata Kunti
Menak ketus dan tetap memandang enteng lawannya.
Selesai berkata dengan kecepatan laksana kilat dia
luncurkan kedua rantai itu ke arah Rajo Penitis. Begitu rantai menderu di udara,
satu melesat ke arah tangan
si raksasa sedangkan satunya lagi meluncur ke bagian
kaki. Rajo Penitis walaupun badannya besar bukan
main cepat, lakukan gerakan aneh. Hingga rantai yang
melibat kedua tangannya tak dapat mencapai sasaran.
Sebaliknya rantai yang meluncur ke bagian ka-
ki telah menggelung sekaligus melilit kaki Rajo Penitis.
Sret! Sreet! Terdengar suara gemeretak sebagai tanda ran-
tai batu telah mengunci. Rajo Penitis walaupun tangan kanannya mampu memukul
rantai yang hendak melibat tangannya hingga terpental tapi merasa sulit bergerak
karena kedua kakinya kini terbelenggu rantai
batu. Manusia raksasa ini menggerung, kakinya me-
ronta-ronta berusaha memutus rantai batu. Tapi jan-
gankan putus, bergerak pun tidak. Kunti Menak sadar
betul lawan dalam keadaan terjepit. Sambil tertawa
penuh kemenangan, si nenek lepaskan satu pukulan
ke bagian perut lawannya. Ketika tangan dihentakkan
ke depan, menderu segulung angin keras disertai ber-
kiblatnya sinar hitam berhawa panas membakar ke
arah Rajo Penitis. Laki-laki itu tak mau perutnya jebol terhantam pukulan lawan.
Maka dengan gerakan cepat
dia melompat tinggi, kedua kaki sengaja diayunkan
menyambut serangan lawan.
Wuuut! Dari kedua kaki Rajo Penitis yang terbelenggu
rantai menderu angin dingin yang langsung menyam-
but pukulan lawan. Tapi deru angin tadi seperti am-
blas lenyap dalam gemuruh serangan lawan. Tak ayal
lagi kedua kakinya pun menjadi sasaran serangan si
nenek. Buuum! Satu ledakan menggelegar laksana meng-
guncang bukit. Tapi suara ledakan tenggelam dalam
jeritan Rajo Penitis. Laki-laki itu jatuh terbanting. Tanpa disertai akibat
pukulan tadi membuat rantai yang
membelenggu kedua kakinya hancur berkeping-keping.
Padahal saat itu Kunti Menak sudah menyerbu ke arah
lawan sambil babatkan pedangnya.
Rajo Penitis yang dalam keadaan cidera kedua
kakinya sempat melihat berkiblatnya pedang dan juga
sambaran angin dingin. Sehingga dia pun bergulingan
selamatkan diri. Gerakan menghindar yang dilakukan
si raksasa membuat serangan pedang untuk yang ke-
dua kalinya jadi meleset. Ketika pedang lewat di atas perutnya, Rajo Penitis
dengan menggunakan tangan
kanan menghantam dada si nenek.
Kraaak! Terdengar suara patahnya tulang belulang. Si
nenek terpelating sambil menjerit kesakitan, kemudian jatuh bergedebuan sejauh
delapan tombak. Terpincang-pincang si raksasa yang kedua kakinya melepuh
akibat dihantam pukulan si nenek tadi langsung men-
datangi. Kunti Menak mengerang, berusaha bangkit,
namun hal itu tak pernah dapat dilakukannya. Gera-
kan tadi membuat darah menyembur dari mulut juga
hidungnya. Si nenek mengerang, mata mendelik me-
nahan sakit akibat patahnya tulang dada juga luka di
bagian dalam. Manusia raksasa memandangnya den-
gan tatapan mata kosong. Tak terduga kaki kirinya di-
angkat, lalu bergerak meluncur menghantam perut si
nenek. Terdengar suara tulang punggung berderak pa-
tah. Tubuh si nenek amblas ke dalam tanah. Dia tewas
seketika. Rajo Penitis perhatikan kedua kakinya yang
kemerah-merahan. Kedua kaki itu mengelupas. Dia
kemudian terpaksa merobek pakaian serta membalut
luka di kedua kakinya setelah sebelumnya menabur-
kan serbuk ramuan obat.
"Istriku akh, sudah mati. Tinggal anakku yang
masih hidup. Kemana aku harus mencari?" kata si Ra-jo Penitis. Dia diam sejenak
sambil berfikir. "Sahabatku-sahabatku kurcaci jelek itu barang kali dapat
kuminta bantuannya untuk mencarikan anakku! Kur-
caci... kurcaci jelek dimana kau?" teriak si raksasa.
Gema suaranya lenyap tak terjawab. Gemuruh suara
hujan mulai mereda, air hujan membasahi tubuhnya.
Rajo Penitis kemudian balikkan tubuh lalu berlari me-
nuruni bukit. 12 Terhuyung-huyung Si Burung Merak dan Ma-
laikat Kuku Seribu ayunkan langkah menuju Kiara
Condong. Saat itu baik si nenek maupun si kakek sa-
ma memijit kepalanya yang terus berdenyut dan me-
nimbulkan rasa sakit yang sungguh luar biasa. Di sua-
tu tempat Malaikat Kuku Seribu yang berjalan mengi-
kuti si nenek tak jauh di belakang orang tua itu tiba-tiba hentikan langkah,
kemudian duduk mengelepak di
atas tanah sambil pejamkan matanya.
Si nenek yang sempat menoleh ke belakang jadi
tertegun. Dia sendiri saat itu merasakan hal yang sa-
ma, kepala pusing pemandangan berkunang-kunang
sedangkan isi dalam kepalanya laksana mau tanggal.
"Sahabatku Malaikat Kuku Seribu, apa yang
terjadi dengan diriku?" tanya si nenek yang kepalanya dihiasi tusuk konde berupa
sosok burung merak. Si
kakek gelengkan kepala, dia terus berusaha menghim-
pun hawa sakti dan mengerahkannya ke bagian kepala
yang sakit. "Aku merasa kepalaku seperti mau pecah,
otakku seperti diaduk-aduk. Dan yang membuatku he-
ran, kita sudah tinggalkan penginapan dan berjalan
sejauh ini mengapa baru sekarang aku menyadarinya"
Seolah-olah aku baru saja mengalami mimpi buruk
yang sangat mengerikan." kata si kakek seperti orang yang kebingungan.
Si Burung Merak terdiam, dia kembali memijit-
mijit kepalanya yang sakit luar biasa, sedangkan urat-urat darah di bagian wajah
dan sekujur kepalanya ber-
sembulan seperti mau meledak.
Si nenek lalu terhuyung, kemudian jatuh ter-
duduk dengan mata mendelik. Burung Merak merasa-
kan dunia ini berputar. Dia mulai menyadari ada se-
suatu yang tidak beres terjadi pada bagian otaknya.
Perlahan namun pasti Burung Merak salurkan tenaga
dalam ke bagian kepalanya. Begitu tenaga dalam sam-
pai di bagian otaknya, satu pergolakan hebat terjadi hingga membuat si nenek
menjerit kesakitan. Hal yang
sama juga terjadi pada Malaikat Kuku Seribu. Kakek
ini merasakan kepalanya seperti di jungkir balik, tapi baik si kakek maupun si
nenek tetap salurkan tenaga
ke bagian kepala. Perlahan namun pasti urat darah
yang bersembulan di bagian kepala maupun wajah be-
rangsur lenyap. Rasa sakit yang sangat luar biasa ikut pula hilang. Si kakek
membuka mata, dia menyeka wajahnya yang basah bersimbah keringat. Memandang ke
depan dilihatnya nenek berpakaian merah sahabatnya
masih pejamkan mata. Dia jadi kaget ketika melihat
dari lubang hidung Si Burung Merak meneteskan da-
rah kental berwarna kehitaman.
"Burung Merak hidungmu!" seru Malaikat Kuku Seribu kecut. Di depan sana Si
Burung Merak seka darah yang menetes dari hidungnya sambil membuka


Gento Guyon 13 Dedel Duel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya yang terpejam.
"Hidungku berdarah, hidungmu juga!" berkata si nenek setelah memperhatikan
sahabatnya. Malaikat Kuku Seribu mengusap darah dengan
punggung tangannya. Kedua orang tua ini sejenak la-
manya jadi saling berpandangan. Seolah seperti orang
yang baru terjaga dari tidur yang panjang Malaikat
Kuku Seribu berucap. "Burung Merak, apakah kau tak merasakan ada sesuatu yang
aneh telah terjadi dengan
kita" Cobalah ingat baik-baik. Aku merasa waktu itu
kita berada di dalam penginapan, tidur di kamar mas-
ing-masing. Mengapa sekarang kita berada di sini?"
"Kau betul, aku sendiri saat itu sudah hampir
tertidur. Mendadak aku mendengar seperti ada suara
berdengung aneh, kemudian kulihat satu sinar me-
nembus dinding kamarku. Kemudian kepalaku seperti
mengalami guncangan hebat, hingga membuatku jadi
setengah sadar. Kemudian aku berlari menghambur
keluar. Kutemukan dirimu yang telah berubah seperti
orang linglung. Ku tarik dirimu untuk melihat apa
yang terjadi. Saat itu kulihat begitu banyak sinar biru bertaburan di udara.
Beberapa orang kulihat berlarian menyelamatkan diri. Dalam sakit yang sangat
hebat mengguncang kepala kita jadi seperti orang bodoh. Ki-
ta bukan melihat apa yang terjadi di dalam kedai, tapi malah ikut menyelamatkan
diri secara pengecut." kata Si Burung Merak.
"Ketika itu kepalaku laksana mau meledak. Ku-
lihat keadaan disekeliling ku seperti di jungkir balikkan. Ketika kita melewati
bagian belakang kedai, aku
melihat begitu banyak sinar biru bergentayangan men-
jebol kepala para pengawal pertemuan. Melalui sinar
itu aku melihat isi kepala yang tercabut dari dalam batok kepala para pengawal
kemudian melayang entah
kemana." Malaikat Kuku Seribu memberi tanggapan.
Kedua orang tua ini saling berpandangan. Mas-
ing-masing diri tenggelam dalam fikirannya sendiri.
Sampai akhirnya Si Burung Merak kembali membuka
mulut. "Sahabatku apakah arti dari semua ini?" Malai-
kat Kuku Seribu terdiam, mencoba menghubungkan
satu kejadian dengan kejadian lainnya. Baru kemudian
dia menjawab. "Apa yang terjadi ini kuanggap sebagai suatu kejadian yang sangat
langka. Sampai sejauh ini
aku hanya bisa menarik kesimpulan mungkin ada satu
tokoh berilmu aneh yang dengan ilmunya itu memin-
dahkan otak seseorang ke dalam otaknya sendiri. Atau
bisa jadi orang itu memakan otak korbannya guna me-
nambah kehebatan ilmu yang dia miliki."
"Hal pertama yang kau katakan itu rasanya
sangat mustahil sekali bahkan sulit diterima akal. Aku lebih percaya dengan yang
kedua. Dulu di selatan aku
pernah melihat bagaimana seorang tokoh sesat mem-
bunuh seorang perempuan yang hamil muda, menjebol
isi perut mengambil calon bayi lalu memakannya men-
tah-mentah. Ketika kutanya katanya dengan memakan
bayi itu akan menambah kehebatan ilmu yang dia mi-
liki. Bukankah ini suatu kenyataan yang aneh. Saat
aku hendak menghabisinya karena tindakannya itu,
ternyata ilmunya selain memiliki berbagai keanehan
juga sangat tinggi. Tapi syukurlah aku dapat membu-
nuhnya!" "Baiklah, aku lebih percaya pada kenyataan
yang kedua. Yang membuat aku menjadi heran jika
mereka semuanya terbunuh mengapa kita masih dapat
meloloskan diri. Padahal sinar maut itu seharusnya
juga menjebol kepala kita. Karena aku lihat sinar yang sama sempat menembus
dinding kamarku." Kata Malaikat Kuku Seribu.
"Aku berfikir pertanyaanmu itu dapat kujawab.
Mungkin kekuatan sinar itu terbatas pada tingkatan
tertentu, karena sasaran yang dituju cukup banyak
sekali. Kita memiliki kesaktian serta tingkat tenaga dalam yang tinggi. Sehingga
kekuatan sinar yang terbagi-
bagi itu tak mampu menembus kepala kita. Kau dan
aku hanya mengalami suatu guncangan hebat yang
membuat kepala ini seperti di betot dan otak seperti
diaduk-aduk." jelas Si Burung Merak.
"Kurasa penjelasan mu itu dapat diterima akal.
Kalaupun kemudian kita seperti orang lingkung,
menghambur sampai sejauh ini tanpa sadar. Kua-
nggap itu merupakan suatu yang wajar. Karena kita
sendiri tidak dalam keadaan siap menghadapi seran-
gan yang tidak terduga itu."
"Menurutmu siapa orang yang memiliki ilmu gi-
la seperti itu?" tanya Si Burung Merak beberapa saat kemudian. Malaikat Kuku
Seribu gelengkan kepala.
"Tidak dapat kuduga. Ilmu atau cara menghan-
curkan lawan dengan cara seperti itu tergolong langka.
Bahkan aku sendiri tak pernah mendengarnya!" jawab si kakek.
"Kita bisa menyelidikinya nanti setelah perte-
muan di Kiara Condong selesai. Aku hanya berharap
walaupun kita tak bertemu Si Muka Setan di kedai itu, semoga dia sudah sampai di
tempat tujuan dengan selamat!" kata si Burung Merak.
Kedua kakek nenek ini akhirnya bangkit berdi-
ri. Setelah itu tanpa bicara apa-apa mereka melan-
jutkan perjalanan. Karena perjalanan ke tempat tujuan masih agak jauh, Si Burung
Merak dan Malaikat Kuku
Seribu akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan
pintas. Sampai di jalan mendaki berbatu licin kedua-
nya membelok ke kanan. Akan tetapi baru saja bebe-
rapa langkah mereka menelusuri jalan pintas, Si Bu-
rung Merak yang berada di bagian depan menjerit. Tu-
buhnya surut dua langkah ke belakang, mata membe-
liak lebar, mulut ternganga sedangkan wajahnya beru-
bah pucat laksana melihat setan.
Terkejut Malaikat Kuku Seribu membuatnya
cepat memandang ke depan. Sama seperti si nenek, la-
ki-laki tua ini juga keluarkan pekik tertahan. Sekujur tubuh menggigil, namun
mata tetap tertuju ke arah
sebatang pohon dimana mereka melihat sesosok tubuh
seorang perempuan berpakaian kuning dengan renda-
renda putih. Sosok yang dalam keadaan terkapar itu
berwajah angker menyeramkan seperti setan. Rambut-
nya yang memutih dilumuri darah.
"Muka Setan...!" jerit Si Burung Merak. Nenek tua ini dengan langkah sempoyongan
berlari mendapatkan jasad kaku sosok Si Muka Setan.
"Gusti Allah, sungguh aku hampir tak percaya
melihat semua ni!" teriak Malaikat Kuku Seribu dengan perasaan tegang juga sedih
melihat nasib menge-
naskan yang dialami oleh Si Muka Setan. Sama seperti
si nenek dia juga segera datang menghampiri. Sambil
bertangisan, kakek dan nenek itu segar memeriksa ja-
sad kaku Si Muka Setan. Mereka jadi tercengang meli-
hat bagian kepala Si Muka Setan persis di atas ubun-
ubun berlubang besar. Lubang itu dilumuri darah dan
cairan otak, tapi di dalam lubang kepala itu sendiri
isinya kosong. Bagian otaknya lenyap seperti telah disedot keluar.
Dengan tubuh menggigil dilanda perasaan te-
gang dan marah Malaikat Kuku Seribu kepalkan tin-
junya. "Jahanam pembunuh itu" Ternyata dia lebih cepat dalam melakukan segala
kekejiannya. Aku ber-sumpah disaksikan langit dan bumi, ke ujung dunia
pun pasti dia akan kucari. Bangsat itu siapapun dia
adanya pasti sengaja hendak mengacaukan jalannya
pertemuan mulia nanti. Dia bukan hanya sekedar me-
nebar teror gila, tapi rupanya dia merasa tidak senang melihat dunia persilatan
berada dalam keadaan aman
damai!" "Aku tidak akan melupakan semua ini. Dia membunuh tokoh penting golongan
kita. Agaknya dia
memang sudah lama mengincar sahabat kita Si Muka
Setan." ujar Si Burung Merak disela-sela isak tangis-nya. "Kurasa memang begitu.
Kejadian ini sungguh tak pernah kuduga. Tapi walaupun Muka Setan telah
tiada, kita yang masih hidup wajib meneruskan segala
rencananya." kata Malaikat Kuku Seribu.
"Aku sependapat, lalu apakah kita akan men-
guburkan mayat Muka setan?" tanya Si Burung Merak.
"Tidak. Mayat ini harus kita bawa ke Kiara
Condong. Nanti setelah seluruh sahabat melihat
mayatnya baru kita kuburkan beramai-ramai."
"Mereka pasti akan menjadi sangat marah me-
lihat semua ini!" kata Si Burung Merak.
"Tidak menjadi apa. Kalau perlu kita bersatu
padu mencari bangsat gila penyedot otak itu nanti se-
telah pertemuan berakhir!" ujar si kakek. Dia lalu bangkit berdiri. Kemudian
mayat Muka Setan dipang-gulnya di bahu kiri. Sedangkan Si Burung Merak me-
lakukan pengawalan di belakang untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diingini. Tak berapa lama
kemudian dengan perasaan masih dibalut duka dan
kesedihan Malaikat Kuku Seribu yang memanggul
mayat Muka Setan serta sahabatnya Si Burung Merak
segera tinggalkan tempat itu untuk melanjutkan perja-
lanan. TAMAT SEGERA TERBIT !!!
KEMELUT IBLIS Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Bukit Pemakan Manusia 16 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Harimau Mendekam Naga Sembunyi 13
^