Pencarian

Kemelut Iblis 1

Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Bagian 1


1 Dangau kecil itu terletak di atas telaga, bertiang
bambu beratap rumbia kering. Di atas bagian atap ter-
dapat lubang empat persegi mungkin gunanya sebagai
jalan keluar masuknya udara, bisa jadi juga merupa-
kan sebuah jendela merangkap pintu mengingat keem-
pat sisi dinding tertutup rapat dan tidak terlihat
adanya pintu di keempat bagian dinding dangau terse-
but. Saat itu masih sangat pagi, keadaan di sekelil-
ing telaga masih terang-terang tanah. Dalam kesu-
nyian pagi yang tenang dari dalam dangau satu suara
berucap. "Nyana, kapan pertemuan para tokoh itu berlangsung" Saat ini hari apa,
tanggal dan malam atau
sudah siang?"
Lalu ada suara orang batuk-batuk kecil disertai
suara nafas menguik. Dangau di atas telaga bergoyang
keras. Selanjutnya terdengar suara kecil menjawab.
"Kalau kau bertanya hari, mungkin ini hari Rabu, kalau mengenai tanggal. Mana
aku tahu. Sejak kecil aku
tak pernah belajar menghitung, otakku bebal. Selain
itu guruku cerewet, setiap melakukan kesalahan kepa-
la langsung di jitak. Lihat saja kepalaku banyak sekali pitaknya.
Orang yang ajukan pertanyaan menarik nafas,
suasana di dalam dangau kembali berubah sunyi.
"Nyana, kalau tak salah sekarang sudah pagi. Tidak bisa tidak kita harus pergi
ke Kiara Condong. Kau harus ikut denganku, kau ku dukung di bahu ku. Aku
membutuhkan penunjuk jalan."
"Sekarang memang sudah pagi. Aku memaklu-
mi keadaanmu, tubuh kurus kering, tangan dan kaki
begitu juga hanya perutmu saja yang gendut besar se-
perti kerbau bunting. Tapi apa perlunya kita kesana"
Orang seperti kita tak dibutuhkan disana, bahkan me-
reka, para tokoh yang mengadakan pertemuan sama
sekali tak memandang muka pada kita." menyahuti
orang yang di panggil Nyana.
"Manusia selalu memandang orang lain dari se-
gi penampilannya, kedudukan juga hartanya. Kita
kaum segolongan dengan mereka. Biarpun mereka
bersikap seperti itu, namun aku merasa perlu untuk
ikut menyumbangkan tenaga. Apa yang akan terjadi
adalah peristiwa besar. Dan belum tentu setiap niat
baik disambut dengan baik, terlebih-lebih oleh kaum
golongan hitam. Mereka pasti tidak suka hal itu terja-di." kata yang pertama
tadi. Terdengar suara tawa di tengah desah nafas
yang tersendat. "Sapa, kita ini kaum cacat. Badanku sehat walaupun sedikit
bengek, tapi kakiku buntung.
Sedangkan kau, kaki dan tanganmu kurus kering, pe-
rut besar seperti orang bunting, tapi matamu buta.
Sungguhpun begitu jika memang itu kau punya mau
aku hanya mengikuti saja. Yang terpenting kau harus
menggendong aku di atas bahumu. Ha ha ha." kata
Nyana diiringi tawa bergelak.
"Seperti dulu. Aku yang mendukung kau yang
menjadi penunjuk jalan! Sekarang kau naik ke bahu
ku!" Tak ada jawaban, hanya tawa yang terdengar disertai guncangan keras pada
dangau. Setelah itu terdengar suara menderu dari bagian atap dangau yang
terbuka seperti jendela melesat dua sosok tubuh yang
saling menempel satu sama lain. Enak saja dua sosok
serba kuning yang saling menempel itu salah satunya
lakukan gerakan berjumpalitan ke tepi telaga. Begitu si kurus ceking yang
mendukung si gemuk berkaki buntung jejakkan kaki di tanah di tepi telaga, maka
dan- gau yang ditinggalkannya pun roboh.
"Aku seperti mendengar suara orang menga-
muk di tengah telaga. Saudaraku Nyana coba katakan
apa yang terjadi padaku!" tanya si kurus bertangan, kaki kecil berperut buncit
pada laki-laki sebaya yang duduk di atas bahunya.
Nyana tersenyum mendengar pertanyaan Sapa.
Dengan cepat lalu menoleh ke arah telaga dan menja-
wab. "Tak ada orang yang berkelahi, dugaanmu ngawur. Yang kulihat tempat tinggal
kita roboh tercerai
berai. Sekarang baiknya kita menuju ke selatan telaga ini. Dari ujung sebelah
selatan sana ada jalan menuju ke Kiara Condong."
"Baiklah," kata laki-laki buta. Enak saja dia me-langkahkan kaki. Tapi
langkahnya kemudian terhenti
begitu si gemuk yang duduk di bahunya menepuk ba-
gian kepalanya. "Ada apa lagi?" tanya Sapa.
"Mengapa kau menuju ke arah barat. Memang-
nya kau mau buang hajat" Kalau mau ke selatan, pu-
tar tubuhmu satu langkah ke sebelah kanan." ujar Nyana. Si kurus kering berperut
buncit Sapa mengge-rutu. "Kau sudah tahu biar mataku ini melek tapi tak bisa
melihat. Mana aku bisa membedakan selatan uta-ra?" kata Sapa, dia lalu memutar
langkah menghadap ke kanan. Seperti tadi baru beberapa langkah dia me-nindak
Nyana yang jadi penunjuk jalan kembali mene-
puk kepala Sapa. Si buta ini tentu saja jadi kesal siap mendamprat. Akan tetapi
Nyana sudah berbisik dekat
telinganya. "Ssst... jangan berisik. Aku melihat sesuatu....!"
"Sesuatu apa" Katakan cepat!" desak Sapa tidak sabar.
"Aku...aku...!" suara Nyana terbata-bata seperti ada sesuatu yang menyumbat
tenggorokannya. Sepa-
sang mata yang melek namun tak dapat melihat itu
berkedip-kedip. "Hemm aku merasakan jantungmu
berdetak lebih cepat, darah berdesir. Kakimu yang
buntung terasa gemetar, lalu ku rasakan pula anumu
bergerak-gerak. Aku yakin kau melihat suatu peman-
dangan bagus. Pemandangan indah memiliki nyawa,
katakan padaku!"
"Kau betul. Saat ini aku melihat perempuan
yang sedang mandi." kata Nyana.
"Hah...!" Sapa belalakkan matanya. Sudut sekeliling mata si buta berkeriapan.
Sepasang matanya
timbul tenggelam seperti tambur yang dipukul seorang
algojo. "Bagaimana rupanya, apakah dia mandi dalam keadaan polos?" tanya Sapa
ingin tahu. "Kau betul."
"Cantik telanjang. Apakah mulus?" tanya si bu-ta lagi sambil menelan ludahnya.
"Mulus... benar-benar mulus. Wajah lumayan
cantik, rambut tak begitu panjang. Hemm, indah be-
tul." "Rasanya rugi aku jadi buta begini. Kalau tidak aku tentu bisa ikutan
melihat pemandangan itu." ujar Sapa seakan menyesali kebutaannya.
"Rejekiku besar sejak dulu cuma rejekimu yang
kecil. Aduh mulusnya!" kata Nyana lagi. "Licin berkilat, sungguh yang satu ini
luar biasa sekali."
"Maksudmu... maksudmu pahanya licin?" Sapa
menelan ludah. "Tidak, bukan" Malah bagian itu hitam?" Nyana menyahuti.
Lagi-lagi mata buta Sapa mendelik.
"Jadi yang licin apanya?"
"Kepalanya yang botak sangat licin." kata Nyana. Laki-laki berkaki buntung itu
kemudian tertawa
terbahak-bahak. Sapa unjukkan wajah cemberut tapi
otaknya berfikir. "Jangan-jangan dia....?" batin Sapa.
"Sapa. Apakah kau tak mau tanya bagian tu-
buhnya yang lain?"
Yang ditanya gelengkan kepala.
"Kau baru saja melakukan suatu kedustaan
padaku" Harusnya tadi aku tak menanggapi?"
Nyana tak dapat lagi menahan tawanya. Tawa
itu membuat tubuhnya berguncang keras hingga
membuat tubuh kurus kering Sapa yang mendukung-
nya ikut pula bergoyang.
"Kau betul Sapa. Yang kulihat dan kukatakan
padamu itu sebetulnya adalah monyet botak yang se-
dang mandi. Aku tak tahu apa monyet jantan apa mo-
nyet betina. Ha ha ha."
"Setan buntung sialan. Hari masih pagi kau su-
dah mengadali aku." damprat Sapa. Demikian jengkel-nya dia sampai kemudian tanpa
bicara lagi langsung
berlari dengan kecepatan luar biasa. Nyana yang jadi
penunjuk jalannya tentu saja jadi ketakutan dan men-
cengkeram rambut Sapa dengan erat sambil berteriak.
"Hei, hei. Larinya yang pelan. Belok kiri, jangan ke kanan. Yang di sebelah
kanan itu jurang. Nah belok lagi ke kanan yang di sebelah kiri penuh onak duri."
Sapa mengomel panjang pendek. "Sialan, me-
mang sekarang kita sudah sampai dimana?"
"Baru di ujung telaga!" kata Nyana menyahuti.
"Berlari dari tadi baru sampai di ujung tela-
ga."!" si buta delikkan matanya. "Nyana apakah kau tak melihat atau mendengar
ada orang yang mengikuti
kita sejak tadi?"
Si gendut berkaki buntung memandang ke se-
kelilingnya. Tapi dia tidak melihat suatu apapun terkecuali suara gemeretak
ranting seperti terinjak sesuatu.
"Aneh, suaranya sudah kudengar, tapi orangnya sama sekali belum kulihat"!" Nyana
membatin dalam hati.
Laki-laki itu kemudian menepuk bahu Sapa memberi
isyarat agar melanjutkan perjalanan. Tapi setelah di-
tunggu Sapa tetap tak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Orang itu tidak boleh dianggap angin lewat.
Aku merasa dia mengawasi kita terus. Aku yakin dia
bukan orang yang membawa tujuan baik." kata Sapa lagi. Nyana diam-diam mulai
diliputi perasaan tidak
enak. Selagi Nyana memandang nyalang mencari ke
setiap penjuru sudut, maka pada saat itu pula satu
semak belukar di sebelah kirinya terkuak, satu kepala tersembul. Muncul sosok
tubuh berpakaian serba merah. Belum lagi hilang rasa kaget di hati Nyana, sosok
berpakaian merah itu sudah berkelebat ke arah mereka menghadang di tengah jalan.
Ternyata dia adalah seorang pemuda tampan,
kedua alis matanya hitam tebal. Mata mencorong ta-
jam menyorotkan keangkuhan dan kesombongan. Pe-
muda itu memandang ke arah Sapa dan Nyana bebe-
rapa jenak lamanya. Setelah itu sesungging senyum
meremehkan bermain di bibir si pemuda.
"Dua manusia cacat yang berjalan dengan tu-
buh tumpang tindih. Kalian hari ini harus merasa ber-
syukur karena telah bertemu dengan seorang majikan
besar. Nah, agar tidak mendapat kesulitan, sebaiknya
jawab pertanyaanku!" kata pemuda itu dengan sikap angkuh.
Baik Sapa mau pun Nyana yang di dunia persi-
latan di kenal dengan julukan Sepasang Dewa Berwa-
jah Ganda jadi kaget mendengar ucapan orang. Nyana
yang duduk di atas bahu saudaranya memandang
mendelik pada pemuda di depannya. Sebaliknya Sapa
yang tidak bisa melihat ajukan pertanyaan dengan su-
ara perlahan. "Siapa kunyuk gendeng yang mengaku sebagai majikan kita itu Nyana"
Katakan bagaimana
ciri-cirinya!"
"Masih sangat muda, pakaian merah rambut
panjang, alis tebal. Sedangkan tatapan matanya me-
nyimpan segala kekejian yang dimiliki setan!" jawab Nyana. "Dia tak pantas
menjadi majikan kita, dia lebih pantas menjadi mandor di neraka." kata Sapa
mencibir. Walau kedua orang ini bicara dengan suara
perlahan saja, namun semua itu tetap terdengar oleh
si baju merah dengan jelas. Hingga membuat wajah Si
pemuda berubah merah padam. "Dua manusia cacat
keparat. Sekali lagi kau bicara sembarangan. Maji-
kanmu ini tak akan memberi ampun." hardik si pemu-da.
Bentakan itu membuat Sapa menjadi sangat
jengkel. Dia memberi isyarat pada Nyana berupa
guyangan bahu kiri. Tapi Nyana malah mengetuk ke-
pala Sapa yang botak sebagai tanda tak usah terlalu
cepat mengambil tindakan karena mereka sama sekali
belum mengenal siapa dan apa maksud tujuan pemu-
da itu. "Majikan, mungkin kami akan memanggilmu
begitu. Tapi kau harus mengatakan siapa dirimu ini!"
ujar Nyana bersikap tenang namun curiga. Kedua pipi
si pemuda menggembung besar, rahangnya bergemele-
tukan sedangkan matanya mencorong marah. "Dua
kunyuk cacat celaka, kau tidak layak ajukan perta-
nyaan padaku. Aku Panji Anom yang patut bertanya,
sedangkan kalian harus menjawab mengerti"!" bentak si baju merah yang ternyata
Panji Anom Penggetar Jagad. Semakin bertambah mendidihlah Sapa men-
dengar dampratan itu. Tanpa sadar, saking marahnya
salah satu kaki dihentakkan ke batu. Batu itu hancur
berkeping-keping.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Nyana lang-
sung berucap. "Maaf, kau jangan melotot seperti itu.
Saudaraku ini punya sakit aneh pada kakinya. Untuk
menghilangkan penyakit itu terkadang dia merasa per-
lu berbuat begitu." Apa yang dikatakan Nyana ini se-mata-mata adalah untuk
menghindari sesuatu yang ti-
dak diinginkan, karena pemuda itu kelihatannya bu-
kan pemuda sembarangan.
"Segala ilmu picisan, jika aku mau saat ini juga aku sanggup membuat tubuh
saudaramu itu berubah
menjadi serpihan debu. Sayang aku ada keperluan lain
yang sangat penting. Pertanyaanku hanya satu, dima-
nakah letak daerah Kiara Condong?"
Baik Sapa maupun Nyana diam-diam menjadi
kaget. Pemuda itu menanyakan daerah yang hendak
mereka tuju. Pasti ada sesuatu yang hendak diper-
buatnya. Sesuatu apa dan untuk apa" Semuanya ma-
sih tidak jelas. Tapi mereka sama meyakini apapun tu-
juan pemuda itu pasti membekal maksud-maksud
yang tidak baik.
"Kalian tidak tuli, mengapa tidak menjawab?"
tanya Panji Anom curiga juga geram.
"Aku yang akan menjawab. Daerah yang kau
tanyakan itu masih jauh." kata Sapa menyahuti.
"Mungkin kau harus melewati ujung dunia dan melewati langit karena letak daerah
yang kau tanyakan
adanya di neraka! Ha ha ha!" jawablah yang tak terduga ini bukan saja membuat
Panji Anom melengak ka-
get, sebaliknya Nyana juga tak kalah kagetnya.
"Dasar buta mulutmu suka bicara ceroboh!"
sesal Nyana yang agaknya dapat membaca kehebatan


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dimiliki oleh pemuda itu.
2 Kali ini Panji Anom sudah tak dapat lagi mem-
bendung kemarahannya. Didahului dengan bentakan
keras menggeledek dia kibaskan lengan bajunya. Dari
ujung lengan baju yang dikibaskan terdengar suara
menderu yang disertai menebarnya hawa panas mem-
bakar. Nyana jadi terkesima, namun dia cepat sekali
dorongkan kedua tangannya ke depan menyambuti se-
rangan lawan yang sangat berbahaya ini. Sebaliknya
Sapa yang buta begitu merasa ada hawa panas me-
nyambar tubuhnya langsung jatuhkan diri ke belakang
setelah jauh sebelumnya sempat lepaskan pukulan
yang sama. Gerakan menjatuhkan diri ini diteruskan den-
gan serangkaian gerakan bergulung-gulung seperti ro-
da berputar. Dengan begitu sesekali tubuh Nyana be-
rada di atas lain saat berpindah ke bawah. Hebatnya
lagi tubuh dua bersaudara ini tetap saling menempel
dengan ketat satu sama lain.
Buuum! Buum! Di belakang Sepasang Dewa Berwajah Ganda
ini terdengar suara ledakan berdentum.
Tubuh yang bergulung-gulung itu sempat ber-
getar. Di depan sana Panji Anom berdiri tegak dengan
kedua kaki terpentang. Dari bentrokan tenaga dalam
tadi dia sudah dapat mengukur kalau tenaga dalam
kedua lawannya ternyata jauh berada di bawah pemu-
da itu sendiri.
"Calon bangkai celaka. Hanya sedikit kau
punya kepandaian sekarang berani bertingkah di de-
panku. Tak ada jalan selamat terkecuali mampus!"
Dengan gerakan secepat walet menyambar Pan-
ji Anom melompat ke depan, dalam keadaan seperti itu
dia lepaskan satu tendangan menggeledek ke arah la-
wan. Wuuut! "Masuk ke air!" teriak Nyana begitu melihat ka-ki lawan mendera punggungnya.
Tapi sayang gerakan
pasangannya agak lamban, sehingga tanpa dapat di-
hindari lagi laki-laki itu jadi sasaran tendangan.
Dees! "Walah... remuk... remuk punggungku!" pekik Nyana kalang kabut. Herannya walau
dia kena diten-dang lawannya, tapi kakinya yang buntung masih saja
menempel di dada Sapa sehingga si kurus buta ikut
pula terkapar. "Buta tolol, kau terlalu mengikuti perasaan hati dan mulutmu. Kubilang kau
jangan membuat perkara,
sebaliknya malah cari penyakit. Akibatnya kau lihat
sendiri!" rutuk Nyana sambil meringis kesakitan.
"Kau sendiri manusia tolol, mengapa mau saja
dihina orang!" dengus Sapa tak mau kalah. Dia sendiri dengan cepat segera
bangkit berdiri sedangkan saat itu Panji Anom sambil berteriak keras langsung
lepaskan pukulan ke arah mereka.
"Kalian hidup tapi tak berguna bagi orang lain.
Sekarang lebih baik kalian berangkat ke neraka!" belum lagi suara Panji Anom
lenyap, dari telapak tan-
gan si pemuda yang telah berubah menghitam hingga
ke bagian siku melesat sinar hitam menggidikkan yang
langsung menghantam tubuh kedua lawannya. Sepa-
sang Dewa Berwajah Ganda tentu saja tidak tinggal di-
am. Begitu mereka melihat sinar hitam pekat meluruk
deras ke arah mereka keduanya langsung menghan-
tam menyambuti serangan lawan. Tapi kemudian me-
reka berubah kaget ketika mendapat kenyataan bahwa
pukulan yang mereka lepaskan bahkan saja tak sang-
gup membendung serangan lawan tapi juga amblas
tersedot ke dalam sinar merah itu.
"Selamatkan diri!" teriak Nyana memberi aba-aba pada Sapa. Si kurus kering yang
memang telah menyadari adanya gelagat yang tidak baik ini langsung saja jejakkan kakinya
lakukan satu gerakan yang
membuat tubuh mereka melesat di udara. Tapi secepat
apapun dia bergerak lakukan tindakan penyelamatan
bagian bawah kakinya sampai sebatas pusar masih
sempat terkena sambaran serangan lawannya.
Jesss! Sapa menjerit kesakitan, dia dan adiknya jatuh
tenggelam ke dalam telaga yang dalam. Dua sosok tu-
buh itu begitu menyentuh permukaan air langsung
tenggelam tidak timbul lagi. Panji Anom Penggetar Ja-
gad sunggingkan seringai sinis. Tapi dalam hati dia ju-ga merasa kecewa karena
tidak sempat mendapat ja-
waban dari apa yang dia tanyakan. "Dua kacoa cacat itu sungguh manusia tak tahu
penyakit. Mereka pasti
tak akan selamat setelah terkena pukulan Kutukan
Dalam Pusara." Fikir pemuda itu. Murid Begawan Panji Kwalat itu terdiam sejurus
lamanya, mata memandang
ke tengah telaga. Karena menganggap Sapa dan Nyana
benar-benar telah mati terkena pukulannya, maka
tanpa menunggu lebih lama lagi dia segera tinggalkan
tempat itu. Hanya beberapa saat setelah Panji Anom berla-
lu di tepi telaga muncul seorang pemuda lain berambut gondrong. Wajah pemuda itu
cukup tampan bertelanjang dada dan bercelana hitam. Di bagian leher pemu-
da ini melingkar seuntai kalung bermata batu berben-
tuk bulat lonjong berwarna putih pudar agak kuning
kecoklatan. Saat sampai di tepi telaga si gondrong yang bu-
kan lain adalah Gento Guyon ini langsung saja mem-
basuh mukanya. Setelah itu menyusul kedua tangan
baru kemudian bagian kaki. Di saat ia membasuh se-
bagian kaki Gento tanpa sengaja memandang ke ten-
gah telaga. Sepasang mata pemuda itu mendelik ketika
melihat air di tengah telaga nampak bergelombang he-
bat disertai gelembung-gelembung air yang semakin
lama banyak bermunculan dipermukaan air.
"Mahluk apakah yang ada di dalam telaga itu"
Apakah mungkin setan telaga munculkan diri me-
nyambut kehadiranku?" kata si gondrong seorang diri.
Belum juga hilang rasa heran di hati pemuda itu, di
atas muncul dua sosok tubuh berpakaian serba kun-
ing yang saling menempel satu sama lain. Begitu mun-
culkan diri salah seorang diantaranya sambil sembur-
kan air yang memenuhi rongga mulut langsung berka-
ta. "Masih untung kita memiliki ilmu Bernafas Dalam Air. Kalau tidak bukan hanya
tubuh jelek ini saja yang amblas ditelan telaga, tapi nyawa juga bisa ikut
tergu-sur!" "Walau buntung kaki kau memang masih beruntung. Tapi aku, tubuhku
dan dada ke bawah seper-
ti remuk, sakitnya bukan main. Malah sebagian tu-
buhku sekarang ini tidak terasa seperti beku!" menyahuti yang satunya lagi.
"Sekarang sebaiknya kita berenang ke tepi! Se-
mua penyakit harus kau tanggung sendiri karena ini
memang salahmu. Punya mulut suka bicara semba-
rangan!" kata yang kakinya menempel di bahu saudaranya. Yang dimarahi hanya diam
saja, mulut komat-
kamit entah apa yang dibaca.
Sementara mereka kemudian berenang menepi,
maka Gento yang berdiri tegak di tepi telaga nampak
melongo memperhatikan kedua orang yang berenang
dalam posisi menelentang itu.
Ketika si cacat Sapa dan Nyana tiba di tepi tela-
ga, orang ini jadi terkejut melihat kehadiran Gento di
tempat itu. Terhuyung-huyung Sapa yang selama ini
mendukung adiknya kemanapun mereka pergi menco-
ba berdiri. Tapi gagal, malah dia kemudian menjerit
dan tergelimpang roboh.
"Ada apa dengan dirimu, Sapa?" tanya Nyana
yang juga ikut terguling hingga dia terlepas dari punggung si buta.
"Aduh, kakiku seperti lumpuh. Jahanam tadi
nampaknya sengaja membuat kakiku cacat seumur
hidup!" jawab Sapa.
Gento Guyon sendiri pertama melihat si cacat
kaki dan si buta mata ini sempat merasa prihatin juga sedih. Namun. ia tak lagi
mampu menahan gelak tawanya ketika melihat mulai dari pusar hingga ke kaki
si kurus berperut besar bermata buta dalam keadaan
polos, alias telanjang. Kalaupun ada sisa-sisa celana yang melekat ditubuhnya
bagian sisa celana itu tidak
menutupi tempat yang seharusnya tertutupi.
"Ha ha ha. Semula aku menduga kalian dede-
mit penghuni telaga. Tidak tahunya hanya dua orang
sinting yang habis pelesiran di dalam telaga ini."
Nyana yang dapat melihat langsung meman-
dang tajam pada Gento. Yang dipandang malah terta-
wa tergelak-gelak. Sedangkan Sapa masih dalam kea-
daan menelentang hanya dapat kedap-kedipkan ma-
tanya yang putih buta.
"Nyana....!" Si tangan dan kaki kurus berperut buncit besar membuka mulut.
"Siapa orang yang berada di depan kita saat ini. Mendengar suaranya aku ya-
kin dia bukan pemuda yang membuat kakiku jadi se-
perti ini. Jika tadi kita hampir mendapat celaka, aku khawatir sekarang kita
bertemu dengan orang gila."
Mendengar ucapan Sapa, Gento bukannya ma-
rah tapi malah tertawa sampai ada air mata yang ke-
luar dari matanya.
Sambil duduk Nyana kembali pandangi si gon-
drong. "Sapa, kurasa dia memang orang kurang waras.
Orang ini memakai kalung batu."
"Kalung... kalung. Biasanya yang diberi kalung
hanya binatang penjaga berkaki empat. Coba kau lihat
belakang punggung apakah kau melihat ada ekor tum-
buh di situ?" tanya Sapa lagi.
Si pemuda langsung katupkan mulutnya begitu
mendengar ucapan si buta berbadan kurus kering.
Sementara itu sambil merangkak Nyana sudah mengi-
tari Gento seperti orang yang memeriksa sesuatu.
"Bagaimana ekornya ada tidak"
"Tidak, mungkin sengaja disembunyikan di ba-
lik celana belakang!" sahut Nyana. Laki-laki itu kemudian tertawa. Walaupun
Gento sempat dibuat jengkel
melihat ulah si gemuk berkaki buntung, namun meli-
hat orang ini tertawa dia juga ikutan tertawa sambil
menunjuk-nunjuk ke arah Sapa yang terlentang. Keti-
ka Nyana ikut memandang ke arah yang ditunjuk Gen-
to, maka laki-laki itu delikkan mata dan jadi kalang kabut sibuk mencari apa
saja yang dapat dipergunakan untuk menutup aurat Sapa.
Kiranya laki-laki itu sendiri dengan kedua tan-
gan terpaksa mendekap selangkangannya.
"Apa kukatakan, dasar kalian berdua orang sin-
ting. Orang lain diperiksa, diteliti. Diri sendiri auratnya sampai kemana-mana.
Ha ha ha!" kata Gento disertai tawa tergelak-gelak.
Selagi pemuda itu tertawa, tiba-tiba terdengar
suara bentakan. "Dasar edan, apa yang kau pergunakan untuk menutup ini ku?"
hardik Sapa pada adiknya. "Aku tidak menemukan pakaian, jadi kupakai saja daun
talas hutan untuk menutupi itunya!" jawab Nyana gugup.
Sapa jadi kelojotan, tangannya terus mengga-
ruk bagian yang terkena getah daun talas.
"Sialan...sialan.....! Kau saudara kurang ajar.
Lihat, aku jadi kegatalan. Akh...akh....!"
Nyana jadi bingung tak tahu harus berbuat
apa. Gento masih dengan tertawa-tawa keluarkan se-
suatu dari balik saku celananya. Benda yang ternyata
hanya sebelah dari bagian celana itu diberikan pada
Nyana. Laki-laki berkaki buntung itu menerimanya.
Tapi begitu disingkapkan dia jadi belalakkan mata dan memandang murid si gendut
Gentong Ketawa dengan
terheran-heran.
Seolah mengerti apa yang difikirkan Nyana
enak saja Gento menjawab. "Bagian dari celana itu merupakan celana wasiat.
Beruntung saudaramu dapat
yang kanan. Sedangkan yang sebelah kiri dibawa oleh
guruku entah kemana. Jika langsung dipakai cuma
yang di sebelah kanan saja yang tertutup. Sedangkan yang sebelah kiri mengintip
keluar. Sebaliknya di robek saja, biar bisa tertutup semua. Ha ha ha."
"Pemuda edan sialan, pemberianmu ini tak da-
pat kami lupakan. Kelak kami Sepasang Dewa Berwa-
jah Ganda pasti akan membalasnya!" kata Sapa. Sedangkan Nyana dengan muka
cemberut sibuk merobek
sempalan celana itu hingga menjadi kain yang lebar.
Gento Guyon sendiri begitu mendengar Sapa
menyebut julukan mereka tak dapat menahan se-
nyum. "Kalian berdua menyandang gelar Dewa. Tapi kurasa kalian adalah dewa yang
sengsara. Buat apa
memakai gelar seperti itu jika harus hidup seperti ini"
Yang satu badannya gemuk, tapi kaki buntung sesak
nafas. Sedangkan yang satunya lagi badan kurus ker-
ing, tangan kecil kaki kecil, cuma perut yang besar ca-cingan. Sudah itu mata
buta lagi. Sungguh baru hari
ini aku melihat dewa, tapi tiba-tiba saja hatiku jadi se-
dih dan menjadi iba. Ha ha ha!" kata Gento,
Saat itu Sapa sudah melilitkan celana yang te-
lah dirobek menjadi kain hingga bentuknya seperti sa-
rung. Tapi laki-laki berumur tiga puluhan ini masih
belum sanggup menggerakkan badan mulai dari dada
ke bawah. "Pemuda gila, kau boleh bicara apa saja. Kare-
na kau telah menanam satu budi besar jadi aku tak
ambil perduli segala ucapanmu. Sekarang kau jawab
siapa namamu dan kau hendak kemana?" tanya Sapa.
"Kau ingin tahu siapa namaku. Dengar baik-
baik paman berdua, namaku Gento." jawab si pemuda serius. "Sedangkan mengenai
tujuanku, aku tak dapat mengatakannya. Lalu kalian sendiri mengapa sampai
tenggelam di dalam telaga" Apakah ingin menjadi
ikan" Ha ha ha."
Melihat sikap Gento yang ramah, walau tingkah
lakunya seperti orang sinting, Sepasang Dewa Berwa-
jah Ganda jadi cepat akrab. Si kaki buntung kemudian
menyahuti. "Namaku Nyana, sedangkan saudaraku itu Sapa. Kami sebenarnya hendak
ke Kiara Condong. Ta-pi baru saja hendak melakukan perjalanan kami diha-
dang oleh seorang pemuda gila berambut gondrong."


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas Nyana. "Gila berambut gondrong?" desis Gento. "Bagaimana ciri-cirinya.?" tanya Gento
beberapa saat kemudian setelah berdiam diri cukup lama.
"Pemuda itu berpakaian merah, lagak bicaranya
penuh kesombongan. Dia sangat angkuh bahkan min-
ta pada kami untuk memanggilnya majikan!" jelas Sa-pa.
"Berpakaian merah, sombong." gumam si pe-
muda. Wajahnya mendadak berubah memerah, se-
dangkan mata terpentang lebar. "Siapa lagi bangsat dengan ciri-ciri seperti itu.
Pasti dia! Panji Anom Peng-
getar Jagad alias Lira Watu Sasangka alias Begawan
Muda. Bukankah terakhir kali aku bertemu dia terluka
parah akibat hantaman senjata Bidadari Biru. Kemu-
dian kulihat seseorang melarikannya. Bagaimana
mungkin dia dapat sembuh secepat itu. Padahal dia
terkena senjata ampuh Bintang Penebar Petaka. Jika
tidak ditolong oleh seseorang yang berkepandaian san-
gat tinggi. Tapi mengapa dia muncul di sini?" fikir Gento. Dia terdiam, mencoba
berfikir memutar otak. Satu
kemungkinan yang pasti. "Aku tahu sekarang. Dia pasti hendak ke Kiara Condong.
Bukankah pertemuan pa-
ra pendekar dan tokoh-tokoh rimba persilatan akan
berlangsung tidak lama lagi?"
"Gento, kulihat wajahmu pucat, mata mendelik,
bibir bergetar. Apakah kau mengenal siapa adanya
pemuda itu?" tanya Nyana nampak heran sekali.
"Pada bedebah yang satu itu aku bukan saja
kenal, tapi malah sudah pernah bentrok dengannya.
Pemuda itu bernama Panji Anom. Dia manusia yang
memiliki seribu akal licik otaknya dipenuhi dengan
berbagai macam rencana jahat lagi keji. Disamping itu ilmunya sangat tinggi.
Masih untung kalian dapat menyelamatkan diri." ujar Gento.
"Saudaraku Nyana memang selamat, kalau pun
ada kekurangan pada kakinya itu terjadi sejak dulu.
Sedangkan aku, kakiku sekarang ini terus lumpuh. Ji-
ka aku lumpuh berarti kami semua tak dapat pergi
kemanapun. Karena saudaraku Nyana ini biasanya
cuma duduk d bahu ku!"
"Kalau saudara bisanya cuma menjadi benalu,
lebih baik suruh mati atau bunuh diri saja!" kata Gento menanggapi. Walaupun
begitu dia tetap mengham-
piri Sapa. Sejenak dia memeriksa bagian tubuh Sapa
yang dingin bagaikan es tanpa menghiraukan Nyana
yang memandangnya dengan mata mendelik karena
ucapan Gento tadi.
"Paman terkena pukulan berbahaya, dalam
waktu tiga hari mendatang jika tidak cepat menda-
patkan pertolongan bukan hanya kaki paman saja
yang lumpuh tapi juga sekujur tubuh paman akan
mengalami kelumpuhan. Sekarang aku hanya bisa
memberikan obat. Obat ini warisan Tabib Setan. Jika
tabib itu tidak berdusta, maka jiwamu selamat. Jika
dia ternyata berbohong, mungkin paman Nyana harus
membuat selamatan tiga hari mendatang" aku rasanya
tak perlu bertanya, kemana Panji Anom pergi. Aku ha-
rus menyusulnya ke Kiara Condong!" kata Gento. Setelah memberikan tiga butir pil
berwarna hitam merah
dan biru cepat sekali Gento berdiri. Sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap
dari pandangan mata.
"Hi Gento... tunggu. Pil ini obat atau racun?"
tanya Nyana dengan suara keras. Di kejauhan sana
terdengar suara tawa tergelak-gelak.
"Pastinya aku tak tahu, entah racun entah ob-
at. Yang aku tahu Tabib Setan itu tabib gila. Terka-
dang racun dibilangnya obat, terkadang obat dia bilang racun. Tapi aku yakin
yang kuberikan itu adalah salah satu dari yang aku sebutkan! Ha ha ha!"
"Bocah edan sialan tadi sungguh membuat aku
jadi bingung dan takut!" keluh Nyana. Ketika dia memandang obat itu matanya
mendelik seperti melihat
setan. "Bocah itu pasti tidak berdusta. Berikan obat itu, masukkan ke dalam
mulutku. Kalau umur pendek
aku pasti mati setelah makan obat ini." kata Sapa tanpa merasa ragu sedikitpun.
Nyana dengan berat hati terpaksa masukkan ti-
ga pil pemberian Gento ke dalam mulut Sapa. Begitu
tiga butir obat melewati tenggorokkannya, Sapa segera merasakan tenggorokan dan
perutnya terasa panas se-
perti terbakar. Sapa menjerit-jerit. Hawa panas terus menjalar ke sekujur
tubuhnya. Sedangkan di bagian
dada ke bawah satu keanehan terjadi. Bagian tubuh
yang terasa lumpuh itu mengepulkan asap tipis ber-
warna kehitam-hitaman. Seketika itu pula Sapa mera-
sakan kedua kakinya mulai dapat digerakkan. Bahkan
sebagian tubuh yang berubah dingin laksana es itu ki-
ni terasa hangat kembali. Si buta Sapa berseru kegi-
rangan. "Aku bisa sembuh... aku bisa sembuh. Bocah edan itu tidak berdusta. Dia
hebat, obatnya mujarab!"
serunya dengan wajah penuh kegirangan.
"Syukur aku turut merasa senang. Dengan be-
gitu kau bisa menggendongku lagi. Ha ha ha!" sahut Nyana ikut girang pula.
3 Di samping tebing batu si kakek berambut pu-
tih riap-riapan itu sandarkan tubuhnya. Nafasnya
agak mengengah. Sejak bentrok dengan Raja Pengemis
kakek tua bermata buta ini menang mengalami luka
dalam yang cukup berat. Masih beruntung dia ketika
lawan mengerahkan ilmu Ajian Penyedot Raga, si ka-
kek langsung melepaskan sinar maut yang keluar dari
mata tunggalnya yang menempel di bagian jari telun-
juk tangan kanan. Sehingga sebelum tubuhnya terse-
dot oleh pengaruh kesaktian ilmu lawan dia masih da-
pat selamatkan diri. Walaupun dia selamat dan berha-
sil melarikan diri, tapi si kakek buta atau yang dikenal dengan nama Si Mata
Aneh ini mengalami guncangan
dibagian dalam. Sampai kini luka dalam itu masih te-
rasa nyeri, walaupun dia telah berusaha menyembuh-
kannya melalui penyaluran tenaga dalam.
Si Mata Aneh kemudian duduk lalu julurkan
kedua kakinya sedang punggung tetap bersandar pada
lamping batu. Dia menarik nafas, selanjutnya dua kaki disilangkan dalam keadaan
bersila. Rupanya Si Mata
Aneh mencoba sembuhkan luka dalam yang dia derita
melalui penyaluran tenaga dalam. Tak lama berlalu
dua rongga mata yang growong itu sudah mengatup.
Tubuh si kakek berpakaian kuning mengucurkan ke-
ringat, selain itu tangan dan kakinya juga bergetar.
Hawa panas mengalir ke sekujur tubuh, membuat rasa
sakit di bagian dada akan bertambah hebat. Si kakek
keluarkan suara racau tak karuan. Terlebih-lebih saat dari bagian dada
mengepulkan asap tipis berwarna
kemerahan, suara racau semakin bertambah keras.
Di balik gerumbul semak belukar sosok gadis
yang terus mengikuti dan mengintai gerak-gerik si ka-
kek dengan jelas dapat melihat semua ini. Dengan cu-
kup jelas apalagi saat itu pula purnama bersinar cu-
kup terang. "Dia orang yang sangat berbahaya. Jika ku-
biarkan hidup, bukan mustahil dia akan membuat ke-
kacauan di Kiara Condong yang akan berlangsung dua
hari mendatang. Nenek tua itu memberi perintah ke-
padaku agar menyapu bersih seluruh daerah dimana
pertemuan akan berlangsung dari gangguan orang-
orang seperti dia. Jika aku mau turun tangan kurasa
sekarang adalah waktu yang tepat untuk menghabisi
Si Mata Aneh. Sekarang itu dia sedang memusatkan
fikiran dan segala perasaan itu menyembuhkan luka
dalam akibat pukulan Raja Pengemis. Dalam keadaan
seperti itu hanya dengan sekali hantam aku yakin
nyawanya langsung amblas!" berkata si pengintai yang bukan lain adalah Roro
Centil. Diam-diam gadis berpakaian putih dengan motif kembang-kembang merah
salurkan tenaga dalam ke tangan kiri. Sedangkan tan-
gan kanan segera memegang hulu pedang yang terselip
di pinggang sebelah kiri. Dia sudah berniat untuk
membunuh lainnya dengan didahului satu pukulan
yang dilanjutkan dengan serangan pedang. Tetapi ge-
rakan Roro Centil sekonyong-konyong jadi tertahan ka-
rena saat itu dia dikejutkan dengan terdengarnya sua-
ra gelak tawa seseorang.
Suara tawa disertai dengan berkelebatnya satu
sosok tubuh yang langsung berdiri tegak di bawah ke-
rimbunan pohon rindang tak jauh di depan Si Mata
Aneh. Kakek buta itu sendiri yang sedang mengerah-
kan hawa saktinya jadi terusik, tersentak kaget hingga konsentrasinya buyar tapi
dia merasa cukup beruntung karena proses penyembuhan itu sudah sampai
pada tahap akhir sehingga dia tidak menderita akibat
yang tak diinginkan.
"Bangsat mana yang berani mengusik ketenan-
ganku disini!" hardik Si Mata Aneh. Dua rongga matanya yang besar hitam
kemerahan memandang ke de-
pan. Daun telinga kiri kanan bergerak-gerak. Seolah
rongga mata bolong itu dapat melihat, Si Mata Aneh
kembali berkata. "Aku mencium bau amis, sayang terlalu banyak orang di dunia ini
yang tubuhnya menebar
bau busuk seperti ini." Kemudian Si Mata Aneh miringkan kepala dan pasang
telinga dengan baik. Entah
mengapa dengan tidak terduga si kakek di balik rasa
kejutnya malah mengumbar tawa.
"Aku mendengar ada denyut jantung, tapi telin-
gaku ini juga menangkap adanya denyut otak. Tidak
satu, mungkin puluhan boleh jadi ratusan. Denyut pu-
luhan otak yang campur aduk hingga membuat jalan
fikiran jadi kacau. Kau yang saat ini berdiri dihadapanku pasti setan alas
berilmu aneh berkepala besar.
Aku tidak dapat ditipu, kau si segala cerdik segala akal si penyedot otak
bergelar Perampas Benak Kepala!" te-
bak Si Mata Aneh.
Di balik semak belukar tak jauh dari situ, Roro
Centil jadi terperangah mendengar ucapan Si Mata
Aneh. Saat itu dia memang melihat satu sosok tubuh
berpakaian serba hitam berdiri tegak di bawah kegela-
pan batang pohon. Sosok aneh itu memiliki ukuran
kepala sepuluh kali lebih besar dari kepala orang biasa. Potongan dagu berbentuk
bulat runcing, sedang-
kan dibagian atas menggembung bengkak, berkerenyu-
tan seperti bisul yang siap meletus. Roro Centil sama sekali tak dapat melihat
wajah orang berkepala besar
itu karena posisi orang itu memunggungi dirinya. Tapi walaupun begitu ia jelas
baru kali ini melihat sosok
berkepala besar tersebut.
"Siapa dia" Dari nada bicaranya mungkin Si
Mata Aneh mengenal siapa adanya orang itu" Aku in-
gin lihat apa yang terjadi, jika ternyata mereka bersahabat, usahaku untuk
membunuh Si Mata Aneh pasti
akan mengalami banyak kendala." Roro Centil membatin dalam hati.
"Klak! Klak! Klak!" di depan sana si pendek berkepala besar kembali mengumbar
tawa. Tawa anehnya
kemudian terhenti disusul dengan ucapan. "Mata
Aneh, kau memang tidak salah menduga. Adapun
orang yang berdiri dihadapanmu saat ini memang Pe-
rampas Benak Kepala adanya. Aku si cerdik pandai.
Kemampuanku dalam hal berfikir melebihi orang pin-
tar di dunia ini. Tapi terkadang...!"
Si Mata Aneh langsung menyahuti. "Terkadang
tingkah lakumu seperti binatang jika otak binatang di dalam kepalamu sedang
bekerja. Kau memang cerdas,
sayang kecerdasanmu mendekati kegilaan karena isi
kepalamu kau campur adukkan dengan otak orang
lain. Ha ha ha!" kata si kakek buta disertai tawa mencibir.
Di bawah kegelapan pohon sekeliling kepala
manusia penyedot otak ini berkeredutan seperti jan-
tung yang memompa kan darah. Sepasang mata yang
hampir tertunduk kelopak bagian atas nampak mem-
buka. Dalam gelap mata yang kemerahan itu seolah
memancing sinar angker dingin menggidikkan.
"Semua yang kau ucapkan tidak ku bantah.
Tiap hari korban terus berjatuhan. Jiwa mereka me-
layang, karena isi kepalanya ku sedot habis. Tapi semua itu belum memiliki arti
apa-apa karena aku masih
punya suatu keinginan yaitu menyedot otak semua to-
koh-tokoh hebat di dunia persilatan termasuk satu di-
antaranya adalah dirimu! Klak Klak Klak!" kata Perampas Benak Kepala disertai
tawa aneh. Wajah Si Mata Aneh berubah pucat, ucapan to-
koh cerdas dari Neraka Bangkai itu sungguh tak per-
nah dia duga sama sekali. Tapi rasa kagetnya hanya
berlangsung sesaat saja, pada detik lainnya si kakek
buta keluarkan suara menggembor penuh tantangan.
"Sungguh tak pernah kusangka. Aku menge-
nalmu sejak kau berada di Neraka Bangkai. Jika kau
menghendaki diriku mengapa kau tidak melakukannya
sejak dulu" Saat itu kepalamu belum sebesar seka-
rang, sedangkan otakmu belum banyak tercampur
dengan otak busuk milik orang lain, "dengus Si Mata Aneh. Di balik tempat
persembunyian Roro Centil
yang ikut mendengarkan pembicaraan itu jadi terse-
nyum. "Kakek buta itu rupanya mengenal si kepala besar. Mereka kenal satu sama
lain, aku jadi ingin melihat apa yang hendak dilakukan si kepala besar pada si
buta." fikir si gadis.
Dalam kesempatan itu Perampas Benak Kepala
menjawab ucapan Si Mata Aneh. "Waktu itu aku belum memiliki kekuatan serta bekal
yang cukup. Sekarang
setelah segala ilmu yang kumiliki menjadi sangat sem-
purna kurasa tidak ada salahnya jika kau menghenda-
ki otakmu. Jika nanti isi kepalamu sudah menyatu
dengan otakku, mungkin aku baru bisa mengetahui
rencana-rencana apa saja yang ada dalam otakmu se-
lama ini."
"Kau cerdas, tapi terlalu bermimpi jika ingin
menyatukan otakmu dan otakku. Menurutku sekarang
ini bukankah lebih baik kita bersatu pendapat satukan kekuatan. Beberapa hari
yang datang akan ada pertemuan kaum yang mengatas namakan dirinya sebagai


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

golongan putih. Jika pertemuan dibiarkan berlang-
sung, kelak mereka akan bersatu. Seandainya hal itu
terjadi kelak kita mengalami banyak kesulitan untuk
mencari keuntungan dari mereka."
"Apa maksudmu mata aneh" Kau mengajakku
untuk menghancurkan mereka" Kemudian bila mereka
telah hancur apa lagi yang kau inginkan?" tanya Perampas Benak Kepala.
"Ha ha ha. Benar dugaanku kau cerdas tapi
akibat kecerdasanmu itu menjadikan dirimu sebagai
manusia paling tolol. Jika mereka kita biarkan bersa-
tu, mereka akan menjadi kuat. Sedangkan kaum sesat
tetap menjadi golongan yang lemah. Aku tak mengin-
ginkan hal itu terjadi. Kita harus menghancurkan me-
reka. Kelak bila persatukan kaum golongan putih da-
pat kita pecah belahkan, tak sulit lagi bagimu untuk
mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau bisa ber-
buat apa saja, sedangkan aku pasti selalu mendukung
setiap rencanamu!" ujar Si Mata Aneh. Melihat dari pembicaraan ini jelas sudah
kalau yang sebenarnya Si
Mata Aneh jerih pada Perampas Benak Kepala.
"Manusia bangsat durjana. Sebelum kau meng-
hancurkan para pendekar yang hendak mengadakan
pertemuan itu, aku yang akan menghancurkan lebih
dulu. Sebelum kau membunuh mereka, aku pasti akan
membunuhmu sepuluh kali!" rutuk Roro Centil geram.
Si Perampas Benak Kepala menggeleng perla-
han. "Sayang sekali Mata Aneh aku tak membutuhkan semua dari yang kau sebutkan
itu. Saat ini aku hanya
membutuhkan otak yang mempunyai berbagai kelebi-
han. Aku tak pernah inginkan harta atau kedudukan.
Karena kau termasuk orang yang memiliki kemam-
puan yang hebat, maka akupun akan meminta isi ke-
palamu!" tegas si penyedot otak. Di tempat persembunyiannya Roro Centil
tersenyum. "Syukur... keputusan kepala besar membuat
aku tak usah bersusah payah mencabut nyawa buruk
si buta itu!"
Mata Aneh jadi hilang kesabarannya menden-
gar keputusan Perampas Benak Kepala. Dia julurkan
kedua kakinya, kemudian bangkit tegak. Dengan suara
lantang dia kemudian berkata. "Manusia segala kesia-lan. Diajak mencari
kesenangan kau malah memilih ja-
lan celaka. Apa kau mengira aku takut padamu?" dengus Si Mata Aneh sinis. Dia
lalu melanjutkan. "Jika ta-di aku memberi penawaran padamu, bukan berarti
aku merasa takut padamu. Boleh saja kau bunuh ra-
tusan orang lain dengan kekuatan kepalamu. Namun
jangan coba kau melakukan tindakan gegabah pada-
ku." "Kau terlalu yakin dengan kemampuan mata tunggalmu kakek pikun. Jika
kepalaku ini mampu
menghancurkan bukit, menjebol batok kepala setiap
orang apa susahnya menjebol kepalamu?"
"Perampas Benak Kepala, rupanya kau belum
pernah mengalami batu sandungan selama hidupmu.
Kau lihatlah sekarang apa yang aku lakukan!" teriak si kakek buta. Baru saja
gema suaranya lenyap Si Mata
Aneh lakukan gerakan cepat dengan melompat ke de-
pan. Melihat lawan menghantam kepalanya yang be-
sar, si penyedot otak lalu gerakan dua tangannya. Satu dipergunakan untuk
menangkis sedangkan tangan
yang satunya lagi hantamkan satu pukulan mengarah
dibagian dada. Tapi Perampas Kepala jadi tercekat, karena be-
gitu serangan dan tangkisan yang dilakukannya men-
deru ke depan. Si kakek buta batalkan serangan den-
gan menarik kedua tangan ke belakang. Masih dalam
keadaan mengambang di udara dia lakukan gerakan
sedemikian rupa hingga kaki menghadap ke atas dan
kedua tangan menghadap ke bawah sejajar dengan ke-
pala lawan yang besar bukan main. Tangan itu kemu-
dian langsung menghantam disertai pengerahan tena-
ga dalam penuh ke arah kepala lawannya.
Walaupun Perampas Benak Kepala merasakan
adanya angin menyambar dari bagian atas kepala. Dia
yang terkadang melangkah dengan terhuyung-huyung
tak sempat lagi menghindar. Sehingga dengan telak
pukulan kedua tangan Si Mata Aneh menghantam ba-
gian atas kepalanya.
Dieeel!!! Kepala yang kena hantaman bukannya remuk
sebagaimana yang diharapkan si kakek buta. Tapi te-
tap tak mengalami akibat apapun, malah Si Mata Aneh
diam-diam jadi kaget karena dia tidak ubahnya seperti memukul karet berlapis-
lapis, hingga tak urung membuat tubuhnya laksana dicampakkan akibat tenaga
dalamnya membalik.
4 Bukan hanya Si Mata Aneh saja yang tercen-
gang melihat kejadian ini sebaliknya Roro Centil juga
dibuat kaget. Betapa tidak, kepala Perampas Benak
Kepala kelihatannya seperti lembek, berkerenyutan tak mau diam. Bahkan urat-urat
darahnya bertonjolan seperti mau meletus. Tapi anehnya ketika Si Mata Aneh
menghantamnya dengan satu pukulan bertenaga da-
lam tinggi kepala besar itu sama sekali tidak remuk.
Hanya kedua kaki si kepala besar saja yang amblas
sampai sedalam lutut.
Perampas Benak Kepala dengan tubuh oleng
tarik satu demi satu kakinya yang terbenam. Setelah
itu kepalanya digolang golengkan. Belum lagi Peram-
pas Benak Kepala melakukan suatu tindakan, maka
pada saat itu pula Si Mata Aneh tanpa memberi ke-
sempatan lagi kembali berkelebat lancarkan serang-
kaian tendangan yang tidak berkeputusan ke dada dan
perut lawan. Si kepala besar dengan sigap menangkis
tendangan gencar yang dilancarkan lawannya. Dengan
begitu dia tidak dapat menerapkan ilmu Penyedot Otak
yang dia miliki.
Ternyata sehebat apapun orang ini menangkis
tendangan lambat laun pertahanannya jebol juga. Satu
tendangan menggeledek berhasil menyusup menghan-
tam perut si penyedot otak hingga membuatnya ter-
banting jatuh menelentang. Di sana Perampas Benak
Kepala sedang berusaha bangkit berdiri kesempatan
itu dipergunakan oleh Mata Aneh untuk mengusap
punggung telunjuk jari tangan kanannya. Bagian mata
di jari telunjuk mengedip dan membuka. Si Mata Aneh
langsung mengarahkan mata di telunjuk jarinya itu ke
arah lawan. Tiga kali mata tunggal yang berada di atas telunjuk berkedip
berturut-turut tiga larik sinar merah membersit lalu melesat dengan kecepatan
kilat menghantam ke bagian kepala lawannya. Perampas Benak
Kepala keluarkan suara menggerung, di saat itu dia telah berdiri tegak dengan
tangan disilangkan ke depan
dada. Sedangkan dari kepalanya membersit tiga larik
sinar biru yang meluncur deras sambil meliuk-liuk
memapak serangan lawannya. Tiga sinar merah dan
sinar biru tadi kemudian bertubrukan di udara hingga
terdengar suara letupan tiga kali berturut-turut. Selanjutnya tiga sinar merah
itu amblas tersedot sinar biru yang mencuat dari bagian samping kepala si
penyedot otak. Ternyata bukan hanya sampai di situ saja aki-
batnya, karena begitu sinar merah lenyap mata yang
tumbuh di atas jemari tangan itu ikut pula terbetot hingga tanggal. Si Mata Aneh
menjerit setinggi langit.
Sementara satu sinar yang lebih dahsyat kini mencuat
dari kening Perampas Benak Kepala. Seperti seekor
ular yang berlari cepat sinar itu menderu ke bagian
ubun-ubun Si Mata Aneh. Dalam keadaan menderita
sakit yang teramat sangat, dimana dia sendiri tidak
dapat melihat Si Mata Aneh yang telah kehilangan ma-
ta ajaibnya masih dapat merasakan ada hawa aneh
menyambar bagian atas kepalanya. Tanpa pikir pan-
jang lagi Si Mata Aneh langsung jatuhkan diri, bergu-
lingan di atas tanah hindari serangan sinar yang me-
mancar dari bagian kening lawan. Celakanya sinar itu
seolah memiliki mata dan nyawa, terus mengejar ke-
manapun Si Mata Aneh menghindar.
"Jahanam sialan!" rutuk si kakek buta sambil lepaskan salah satu pukulan
mautnya. Karena dia tak
dapat melihat dimana posisi lawannya maka serangan
yang dilepaskannya menjadi ngawur dan menghantam
semak belukar dimana Roro Centil bersembunyi. Se-
mak belukar hangus gosong diterjang api. Si gadis
sambil merutuk dalam hati cepat menyingkir, kembali
berlindung di tempat yang aman lanjutkan intaiannya.
Ternyata bukan hanya Roro Centil saja yang
menyaksikan perkelahian sengit itu, karena di suatu
tempat tersembunyi dan terlindung dari cahaya rem-
bulan satu sosok tubuh mendekam disana, memperha-
tikan setiap gerak-gerik Perampas Benak Kepala den-
gan mata membelalak penuh rasa takjub sedangkan
mulut mengulum senyum muslihat.
Di depannya sana sinar biru tadi kini sudah
menghunjam di bagian atas kepala Si Mata Aneh. Si
kakek buta mencoba lindungi bagian ubun-ubunnya
dengan dua tangan. Tapi dia kembali menjerit, dua
tangan yang dipergunakan untuk melindungi kepala
laksana disengat bara api. Bahkan tangan itu berlu-
bang besar. Mata aneh kehilangan akal dan daya un-
tuk menyelamatkan diri sementara kepalanya sendiri
dirasakan bagai mau meledak. Beberapa detik sinar
menghunjam batok kepalanya, tak lama kemudian ter-
dengar suara letupan, bagian atas kepala terkuak,
otaknya tersedot, lalu bergerak melewati sinar biru itu menuju ke arah bagian
kepala lawan. Ketika cairan
otak itu menyentuh kening Perampas Benak Kepala,
gumpalan otak langsung lenyap, sementara kepala
manusia penyedot otak semakin menggembung besar.
Ketika cairan otak di dalam kepala Si Mata
Aneh terkuras habis dan kakek buta itu sendiri sudah
tak dapat bergerak lagi. Maka sinar biru yang sanggup menjebol kepala lawan dan
dapat memindahkan otak
Si Mata Aneh kepalanya sendiri, secara perlahan na-
mun pasti sinar tadi nampak meredup berangsur surut
dan kemudian lenyap tak meninggalkan bekas.
Terhuyung-huyung Perampas Benak Kepala ke-
luarkan suara tawa panjang. Sepasang matanya ber-
kedap-kedip, berputar liar seakan ada pergolakan di
dalam kepalanya.
"Glak! Glak! Glak! Sekarang aku baru mengerti,
setelah terjadi sambung rasa dan sambung otak ter-
nyata si picak yang otaknya telah kusatukan dengan
otakku ini punya sejuta rencana. Aha, dia ingin men-
jadi raja, raja diraja dunia persilatan. Aduh... sekarang otak siapa ini yang
bekerja?" kata si kepala besar sambil memukul kepalanya sendiri. "Ah, mengapa
otak yang ini cuma perempuan saja yang difikirkannya.
Aduh... aduh... fikiran berubah lagi. Entah otak milik siapa lagi sekarang yang
ikut berfikir. Ah, ternyata
cuma angka-angka perjudian. Sialan betul.!" rutuk Perampas Benak Kepala. "Wah...
celaka betul. Semua otak yang tergabung dalam kepalaku ikutan berfikir.
Otakku kacau... walah kacau...!" teriak laki-laki berkepala besar itu. Dengan
terhuyung-huyung dia berlari
cepat tinggalkan tempat itu.
Sosok yang mendekam dan ikut menyaksikan
kejadian yang mengerikan tadi tidak tinggal diam. Dia langsung mengikuti ke arah
mana Perampas Benak
Kepala melenyapkan diri.
Sedangkan Roro Centil yang tidak mengetahui
ada orang lain yang turut menyaksikan kejadian itu tidak mengejar laki-laki
berkepala besar itu. Sekarang
dia keluar dari tempat persembunyiannya. Ketika dia
mendekati mayat Si Mata Aneh, dilangit bulan tertutup sekelompok awan, hingga
suasana di tempat itu hanya
terang temaram. Roro Centil berjongkok di samping
mayat si kakek buta. Dia segera memeriksa bagian ke-
pala. Gadis cantik ini bergidik ngeri, kepala dipalingkan ke arah lain sedangkan
matanya dalam keadaan
terpejam. "Tak pernah kumenyangka sinar biru itu sang-
gup menjebol batok kepala kakek buta ini. Penyedot
otak atau pemindah otak. Siapapun dirinya dia ternya-
ta lebih berbahaya dari Si Mata Aneh ini. Seandainya dia bermaksud membuat
kekacauan dalam pertemuan
para tokoh dan pendekar di Kiara Condong nanti, be-
lum tentu aku sanggup mencegahnya. Si Mata Aneh
salah satu tokoh sesat yang berilmu tinggi saja dapat dibunuhnya, apalagi aku"
Tapi bagaimana pun aku
harus melakukan tugas yang diberikan oleh Si Muka
Setan, sekalipun aku harus berkorban nyawa untuk
melakukan tugas yang sangat mulia ini aku tidak per-
duli!" kata si gadis seorang diri. Sekali lagi dia memperhatikan bagian kepala
yang bolong melompong dan
berlumuran darah itu. Tak lama dia bangkit berdiri.
Setelah terdiam sejenak lamanya dia kemudian memu-
tuskan untuk segera ke Kiara Condong untuk segera
melaporkan tentang kemunculan tokoh aneh berkepala
besar itu pada Si Muka Setan. Roro Centil kemudian
memutar langkah, tapi dia jadi tercekat ketika melihat di depannya sana kini
nampak seorang pemuda berdiri
tegak dengan dua tangan disilangkan ke depan dada.
Pemuda gondrong bertelanjang dada itu memandang-
nya dengan bibir menyunggingkan senyum.
Roro Centil tentu saja jadi kaget, karena dia
sama sekali tidak mendengar suara langkah orang. La-
lu bagaimana si gondrong itu tahu-tahu sudah berada
di situ. Hanya satu kemungkinan, siapapun pemuda
gondrong yang ada di depannya pasti memiliki ilmu
dan kepandaian tinggi. Roro Centil harus bersikap
waspada. Walaupun pemuda ini berwajah polos dan
seperti tak membekal maksud jahat, tapi dia tidak bo-
leh percaya dengan sikap manis yang ditunjukkan
orang. "Sejak tadi kulihat kau memelototi mayat itu.
Adakah dia saudaramu, ayah, atau mungkin suami-


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu?" Si gondrong yang tak betah diam mulai usil.
Ucapan terakhir si gondrong tanpa disadari membuat
wajah si gadis berubah merah padam. Tapi paling ti-
dak sedikit banyaknya ucapan si pemuda membuat
Roro Centil jadi kaget. "Dia telah mengawasiku sejak tadi, sedangkan aku sendiri
tidak merasakan kehadi-
rannya. Jika dia datang dengan membawa maksud bu-
ruk tentu sudah sejak tadi hal itu dilakukannya." fikir si gadis. Sungguhpun
mungkin si gondrong bukan
orang jahat, tapi Roro Centil tetap unjukkan wajah
bengis. "Setan gondrong, siapa dirimu ini" Buat apa kau campuri segala
urusanku?" bentak Roro Centil. Si gondrong Pendekar Sakti Gento Guyon yang
dibentak bukannya surut, sebaliknya malah mengumbar ta-
wanya. "Oh dunia, rupanya jalannya roda kehidupan ini sudah terbalik. Ada
seorang gadis cantik bersuami-kan tua bangka buta. Ha ha ha!" kata Gento. Dia
lalu melanjutkan ucapannya. "Siapapun diriku ini tidak penting. Seperti katamu
tadi, aku ini cuma setan gondrong kesasar. Cuma mungkin peruntunganku lagi
mujur, sedang tersesat bertemu dengan gadis cantik
pula. Duh gusti... mungkin inilah bukti dari mimpiku
semalam...!"
Terpancing dengan lagak dan cara bicara Gento
yang terkesan polos seenaknya, tanpa sadar Roro Cen-
til ajukan pertanyaan. "Memangnya tadi malam kau mimpi apa?" tanya si gadis.
Gento tak langsung menjawab dia maju selang-
kah. Sebaliknya Roro Centil malah surut ke belakang
satu tindak. "Tadi malam, hem, aku mimpi duduk di atas
kursi kebesaran. Kursi itu berada di bawah pohon du-
rian. Sayang sekali kursinya ambruk ditabrak setan,
sedangkan dari atas durian jatuh menimpa kepalaku.
Ha ha ha!" sahut Gento lalu tertawa lagi.
"Pemuda sinting! Siapa kau dan apa maksud-
mu mengintai diriku!" hardik Roro Centil sungguhpun dalam hati dia merasa geli
mendengar ucapan Gento
yang melantur. Diam-diam dia menjadi suka dengan
watak maupun prilaku si gondrong.
"Bagusnya kau memanggilku Gento. Kau sendi-
ri siapa" Mengapa kau menuduh aku telah mengintai-
mu" Terus-terang aku kebetulan saja melintasi daerah
ini. Ketika melihatmu berada di depan mayat itu semu-
la aku mengira kau hantu cantik yang sedang berduka
cita. Karena itu aku tidak mau mengganggu. Sekarang
aku mohon pamit, hendak berlalu dari hadapanmu!"
selesai berkata Gento siap hendak melangkah pergi.
Tapi Roro Centil hentikan gerakan pemuda itu dengan
menghadang di depannya.
"Tunggu!" berseru si gadis.
Gerakan Gento jadi tertahan. Tanpa menoleh
dia bertanya. "Kau melarang aku pergi, apakah ini berarti kau menyukai aku" Atau
barangkali sudah jatuh
cinta pada pandangan pertama! Ha ha ha."
"Pemuda sinting kurang ajar, lancang sekali
mulutmu. Kau kira aku ini gadis apa?" damprat si gadis dengan mata melotot ke
arah si pemuda. "Ketahuilah, mayat yang kepalanya berlubang ini adalah salah
satu tokoh sesat yang hendak melakukan kejahatan di
Kiara Condong...!"
Begitu menyebut daerah itu Roro Centil dekap
mulutnya, seakan dia merasa bersalah karena keterle-
pasan bicara. Gento manggut-manggut, seakan sudah tak
merasa asing dengan daerah yang disebutkan gadis di-
depannya. Kemudian dia mengguman seperti mengu-
lang kata-kata yang diucapkan gadis itu. "Kiara Condong... Kiara Condong."
Setelah itu sejenak Gento pandangi si mayat. Mayat terbujur kaku, berpakaian
kun- ing, rongga matanya berlubang besar berwarna merah
kehitaman. Lalu pemandangan yang sudah menye-
ramkan itu ditambah dengan keseraman yang lain
dengan adanya sebuah lubang menganga di atas kepa-
la. Gento bergidik ngeri. Dia raba tengkuknya, tengkuk itu kini bukan terasa
tengkuk lagi, tapi sudah berubah dingin laksana es. Dia memandang pada gadis di
depannya, tenggorokannya terasa tercekat ketika dia
ajukan pertanyaan. "Makhluk jelek mengerikan ini, engkaukah yang telah
membunuhnya?"
Roro Centil gelengkan kepala. "Bukan aku tapi
seseorang berilmu tinggi. Kepalanya besar. Dia me-
mindahkan otak orang ini ke dalam kepalanya." sahut Roro Centil. Kemudian secara
panjang lebar dia menuturkan apa yang terjadi. Gento Guyon dibuat tercen-
gang mendengar penurutan si gadis.
"Ada manusia mampu menyedot otak orang lain
melalui kekuatan sinar yang terpancar dari kepalanya.
Sungguh aku baru kali ini mendengarnya!" kata Gento seakan pada dirinya sendiri.
"Orang itu akan menjadi suatu ancaman yang
sangat besar bagi pertemuan para tokoh."
Gento kembali menatap ke arah si mayat. "Si
Mata Aneh, sepak terjangnya konon kudengar mem-
buat geger dunia persilatan. Tidak kusangka begitu
bertemu nyawanya sudah berangkat ke akherat. Lalu
kau sendiri sebenarnya ditugaskan sebagai mandor,
pengawal atau apa oleh Si Muka Setan?" tanya Gento polos. "Aku... aku dibebani
tugas untuk menyikat habis para pengacau tengik yang berusaha mengganggu
jalannya pertemuan." jawab Roro Centil ragu-ragu.
Gento mengendus-endus badannya sendiri,
cuping hidungnya kembang kempis sambil menyengir
dia nyeletuk. "Kebetulan sekali badanku bau tengik.
Jika kau mau menyikatnya, budi baikmu tak akan ku-
lupakan seumur hidup. Ha ha ha."
Bukannya marah si gadis malah ikut tertawa.
"Pantas sejak kau hadir disini aku mencium bau bu-
suk. Agaknya kau bangsanya tikus comberan yang ti-
dak pernah mandi. Hi hi hi."
"Kau mungkin betul. Belakangan aku sibuk se-
kali hingga tidak sempat mengurus diri sendiri. Terus-terang aku sekarang ini
sedang mengejar seseorang."
kata Gento Guyon kembali berubah serius.
"Seseorang siapa?" tanya si gadis dengan alis berkerut tajam.
"Mungkin situ kenal atau pernah mendengar
pemuda bernama Lira Watu Sasangka, alias Panji
Anom Penggetar Jagad atau Begawan Muda.?"
Roro Centil menggeleng, karena memang baru
kali ini mendengar nama itu.
"Namaku bukan Situ, cukup kau panggil Roro
saja. Sedangkan mengenai orang yang kau sebutkan
aku sama sekali tak mengenalnya."
Senyum-senyum Gento menyahut. "Habis sejak
tadi kau tak mau mengatakan siapa namamu, jadi ku-
panggil Situ saja."
"Kau sudah tahu namaku, sekarang ceritakan
tentang pemuda itu!" pinta si gadis, tanpa mereka sadari kini keduanya menjadi
akrab seolah mereka tidak
ubahnya seperti orang yang sudah bersahabat lama
saja. Sebaliknya Gento juga mengakui gadis yang men-
gaku bernama Roro memang cantik. Wajahnya bulat
lonjong, berambut hitam panjang berpakaian ungu.
Selain itu dia juga sangat lincah dan enak diajak bica-ra. Mudah akrab, namun
penuh rasa curiga.
"Panji Anom," Pendekar Sakti Gento Guyon
membuka ucapan. "Pemuda itu memiliki kesaktian
tinggi, dia cerdik, licik banyak akal juga sangat berbahaya. Terus-terang saat
ini aku khawatir dengan ke-
munculannya." Kata si pemuda. dia lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan
Panji Anom sampai kemudian murid Begawan Panji Kwalat itu terluka dan
dilarikan oleh seseorang yang hingga sampai saat ini
belum diketahui siapa adanya. Mengenai pertemuan
Gento dengan Panji Anom dapat diikuti dalam Episode
Bidadari Biru. "Sekarang aku tambah khawatir lagi dengan munculnya Perampas
Benak Kepala."
"Bagaimana kau bisa tahu ada pertemuan di
Kiara Condong?" tanya Roro Centil.
"Guruku yang mengatakan hal itu kepadaku.
Sayang guruku sendiri kemudian raib tak ketahuan
dimana rimbanya saat ini. Aku tak tahu bagaimana
nasibnya. Aku hanya bisa berdoa semoga dia dalam
keadaan selamat."
Sekali lagi Gento menuturkan tentang angin
putih yang menerbangkan gurunya hingga membuat
orang tua itu terpesat entah kemana.
"Siapapun gurumu pasti dia adalah seorang
manusia berkepandaian tinggi dan mempunyai penga-
laman luas."
"Ah rupanya dia belum tahu siapa guruku" Ka-
lau sintingnya tidak lagi angot bicaranya memang lem-
pang. Coba kalau sedang senewen orang bisa berang-
gapan guruku manusia sinting." batin Pendekar Sakti Gento Guyon sambil tersenyum
sendiri. Walau hatinya
bicara begitu, namun mulutnya berucap lain. "Kau betul. Guruku manusia paling
baik sedunia, paling tidak kepada diriku. Dia jarang marah, paling juga setahun
sekali!" "Mendengar ceritamu itu, mungkin sangat menyenangkan bila aku bisa
bertemu dengan beliau." ujar Roro Centil sambil memandang pada Gento penuh
kagum. Gento tersenyum. "Bertemu dengan beliau memang sesuatu yang menyenangkan,
terkadang juga menyebalkan." kata Gento. "Tapi sudahlah, sekarang ini aku harus ke Kiara
Condong." berkata begitu Gento
pun siap hendak melangkah pergi.
"Kita mempunyai tujuan yang sama. Jika kau
tak keberatan atau mungkin tidak membuat kekasih-
mu marah kurasa ada baiknya kita meneruskan perja-
lanan bersama-sama." Kemudian Roro Centil melirik ke Gento, mencoba melihat
bagaimana reaksi pemuda
itu. Tapi Gento Guyon ternyata hanya diam saja. Ma-
lah kepalanya mendongak ke langit, memandang ke
arah bulan yang kini bersinar terang kembali.
"Malam begini indah. Berjalan sendiri hanya
berteman angin alangkah sunyinya. Kurasa perjalanan
ini tambah menyenangkan bila berdua bersama seo-
rang gadis cantik. Lebih menyenangkan lagi bila gadis itu adalah kekasihnya!"
sindir Gento disertai tawa tergelak-gelak.
"Gento kau sedang bersair atau sedang mengi-
gau?" tanya Roro Centil malu-malu.
"Menurutmu apakah aku sedang bersair.?"
Si gadis gelengkan kepala.
"Seorang penyair selalu menghembuskan nafas
berupa kata-kata yang indah. Sedangkan yang kau
ucapkan tadi rasanya sangat berbeda sekali."
"Hemm...!" Gento menggumam tapi juga mulai
mengayunkan langkahnya.
Roro Centil mengikuti tak jauh di belakang mu-
rid si gendut Gentong Ketawa.
"Jadi menurutmu tadi aku sedang apa?" tanya Gento kemudian.
"Kau bisa saja sedang mengigau, seperti orang
yang terserang demam panas tinggi. Hi hi hi."
"Tidak mengapa aku berpenyakit demam asal-
kan kau yang menjadi tabibnya. Ha ha ha." kata pemuda itu pula disertai tawa
tergelak-gelak.
5 Si nenek berpakaian merah yang rambutnya
dihias dengan tusuk konde berbentuk burung merak
itu terus kucurkan air mata. Sedangkan di depannya
seorang kakek tua yang memanggul jasad kaku seo-
rang nenek tua berpakaian kuning berenda putih ber-
wajah setan. Sama seperti nenek yang terus mengikuti
tak jauh dibelakang, maka perasaan si kakek yang
rambut serta jenggot dikepang ini juga diliputi pera-
saan sedih dan duka yang mendalam. Betapapun so-
sok tanpa nyawa yang menderita luka bolong mengeri-
kan di bagian kepala ini adalah seorang tokoh sekali-
gus satu-satunya orang yang mempunyai gagasan un-
tuk mempersatukan seluruh kaum golongan putih.
Segala keinginannya itu baru saja hendak di-
ujudkan, tapi siapa menyangka dalam perjalanan me-
nuju ke tempat pertemuan bersejarah itu jiwanya me-
layang. Sekarang walaupun Si Muka Setan telah men-
jadi mayat, si kakek dan si nenek yang dikenal dengan nama Malaikat Kuku Seribu
Kepang Lima Belas dan Si
Burung Merak telah bertekad untuk melanjutkan per-
temuan, meneruskan cita-cita luhur Si Muka Setan.
Walau dalam pertemuan nanti akan terjadi keguncan-
gan sehubungan berita duka yang menimpa pencetus
cita-cita luhur itu. Biarlah walaupun Muka Setan tidak dapat lagi memimpin
pertemuan dalam upaya mempersatukan kaum rimba persilatan aliran putih. Tapi
Malaikat Kuku Seribu tetap merasa yakin, arwah Si
Muka Setan pasti akan turut menyaksikan semua itu
sehingga Muka Setan dapat beristirahat dengan tenang
di alam sana. "Sobatku Burung Merak, sebentar lagi kita su-
dah sampai di tempat tujuan. Apakah kau dapat men-
jamin keamanan di tempat ini?" Si kakek tanpa menoleh ajukan pertanyaan. Nenek
yang terus mengikuti
sekaligus berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang
tidak diingini cepat seka air matanya. Pelupuk mata Si Burung Merak saat itu
nampak bengkak menggembung besar, mungkin karena dia terlalu banyak men-
gucurkan air mata di sepanjang perjalanan. Dengan
suara serak parau diliputi kegundahan Si Burung Me-
rak menjawab. "Aku telah menempatkan penjaga di setiap sudut, di tempat-tempat
tersembunyi yang musta-
hil dapat diketahui oleh pihak musuh. Selain itu pen-
jaga di tempat terbuka juga telah siap. Alat rahasia, berupa jebakan telah ku
atur begitu rupa hingga setiap tamu yang tidak diundang segera menemui ajal
sebelum mereka sempat melampiaskan niat kejinya!" Malaikat Kuku Seribu merasa
puas mendengar penjelasan
Si Burung Merak.
"Aku percaya kau manusia yang memiliki piki-
ran cerdik. Tidak salah jika sahabat almarhum Si Mu-
ka Setan memilihmu untuk menjadi wakilnya dalam
mengatur segala persiapan jalannya pertemuan." kata Malaikat Kuku Seribu kagum.
Si nenek sama sekali tidak merasa tersanjung
mendengar pujian itu. Beberapa saat suasana berubah
hening, hanya langkah-langkah kaki saja yang terden-
gar. Kakek dan nenek tua ini tenggelam dalam fikiran-


Gento Guyon 14 Kemelut Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya sendiri. Tak berselang lama mereka melewati ti-
kungan jalan. Setelah lewat di tikungan itu tampaklah umbul-umbul berwarna
kuning, merah juga biru ber-deret berjejer di sepanjang kanan kiri jalan. Selain
itu puluhan pengawal berseragam putih berdiri tegak ber-deret menyambut
kehadiran mereka.
Di ujung umbul-umbul yang terpasang ternyata
telah berkumpul belasan tokoh juga pendekar golon-
gan persilatan. Ternyata mereka datang lebih awal di
tempat itu. Bersikap seperti tidak pernah terjadi apapun Malaikat Kuku Seribu
dan Si Burung Merak terus
melangkah kaki mendekati sebuah rumah besar dima-
na para tokoh berkumpul di situ.
Lalu terdengar seorang penjaga di depan pintu
berteriak ditujukan pada semua orang yang berada di
dalam rumah. "Wakil ketua dan sahabatnya telah datang!"
Dari dalam rumah berdinding kayu bulat ber-
munculan belasan orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Semula mereka
girang melihat kedatangan
Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seribu. Tapi ke-
gembiraan itu berubah menjadi rasa kaget penuh tan-
da tanya ketika melihat satu sosok tubuh terbujur
memelintang dalam panggulan Malaikat Kuku Seribu.
Mereka berlompatan menyerbu ke arah dua to-
koh ini begitu mengenali bahwa mayat yang dibawa
oleh Malaikat Kuku Seribu tiada lain adalah mayat Si
Muka Setan orang yang mereka tunggu.
"Gusti Allah apa yang terjadi dengan ketua per-
temuan ini?" tanya seorang laki-laki setengah baya bersenjata pedang. Dia adalah
Aribaya, ketua pergu-ruan Bulan Terang wakil dari barat.
"Siapa yang membunuhnya!" terdengar satu
suara lain. "Keparat jahanan. Mengapa bukan aku yang
menjadi korban" Mengapa harus dia, orang yang san-
gat kuhormati dan memiliki segudang cita-cita luhur!"
satu suara lainnya menyentak. Dari arah belakang sa-
tu sosok melompat ke depan menyibakkan gelombang
kerumunan orang yang hendak melihat mayat Si Muka
Setan yang baru dibaringkan ke tanah oleh si kakek
beralis merah. Orang yang menyeruakkan kerumunan itu ter-
nyata adalah seorang laki-laki bermuka penuh cele-
mongan hitam, berpakaian serba biru memakai topi
tinggi berbentuk tanduk kerbau. Orang ini dikenal
dengan julukan Gelombang Tangis Dalam Duka. Se-
perti biasanya dia selalu menangis bila melihat orang mati, terlebih-lebih orang
yang meninggal itu dalam
keadaan terluka parah. Tapi tangisnya langsung le-
nyap berganti dengan tawa bila dia melihat sesuatu
yang lucu. Dibandingkan Si Muka Setan, kakek yang
satu ini memiliki ilmu kesaktian sulit dijajaki. Si Muka Setan sendiri menaruh
hormat padanya, sayang dia
punya prilaku aneh angin-anginan.
Kini begitu si kakek dapat berada di depan si
mayat dia langsung duduk bersimpuh kucurkan air
mata. Dia menangis melolong, meratap menghiba-hiba.
Membuat orang yang berada di sekelilingnya ikut teng-
gelam dalam kesedihan. Bahkan banyak diantara me-
reka yang mulai ikut menangis mengikuti irama tangis
si kakek. Kiranya tangis si kakek mengandung suatu
pengaruh yang sangat kuat hingga membuat orang lain
jadi ikut terhanyut.
Selagi orang lain ikut tenggelam dalam tangi-
sannya, Gelombang Tangis Dalam Duka berucap. "Mu-ka Setan, malang nian suratan
nasibmu. Sudah muka
buruk seperti setan suratan nasibmu buruk pula. Pa-
dahal kau manusia yang sangat baik di dunia ini. Dulu juga kau sering membantu
diriku. Aku ditimpa kesu-sahan, kau datang menolong, aku lapar kau yang
memberi makan, dan... dan aku yang berhutang kau
yang membayar...! Huk huk huk!" kata si kakek masih tetap saja menangis berhiba-
hiba. Musibah yang terjadi memang terasa memilu-
kan, tapi baik Si Burung Merak maupun Malaikat Ku-
ku Seribu yang tak terkena pengaruh tangisan si ka-
kek tak mau membiarkan semua itu berlarut-larut.
Baginya yang pergi biarlah pergi, setiap kesedihan
yang berlarut-larut tak mungkin mengembalikan orang
yang telah mati.
Malaikat Kuku Seribu kemudian melangkah
maju, lalu menyentuh bahu Gelombang Tangis Dalam
Duka. Si kakek langsung memandang ke atas "Hu hu-huhu... apa...?" dengus si
orang tua yang merasa tangisnya terusik dengan mata melotot.
"Sahabatku, Gelombang Tangis. Ku mohon hen-
tikan kesedihanmu. Kasihan sobat-sobat kita yang jadi ikutan menangis karena
tangismu. Kita harus mengu-burkan sahabat Muka Setan secepatnya. Hal ini bukan
berarti kita melupakan segala budi baiknya. Tapi kita harus segera mengadakan
pertemuan. Penyatuan golongan putih sudah waktunya untuk dilaksanakan.
Apalagi mengingat waktunya sangat mendesak, dan ti-
dak tertutup kemungkinan saat ini ada musuh yang
mengancam jiwa dan keselamatan kita. Selain itu aku
berharap setelah acara penguburan dan pertemuan
nanti berakhir, kiranya kita dapat menyatukan kekua-
tan untuk mencari pembunuh sahabat kita Si Muka
Setan!" jelas Malaikat Kuku Seribu secara panjang lebar.
"Huk huk, jadi aku tak boleh sedih disini, jadi
aku tak diizinkan menangis disini. Padahal saat ini
dukaku tiada terkira. Kalau aku tak boleh menangis
tak boleh bersedih di tempat ini, baiknya aku pergi untuk melanjutkan tangis dan
kesedihanku di tempat
lain. Huk huk huk." berkata begitu sambil menutupi wajah dan melangkah dengan
terbungkuk-bungkuk
Gelombang Tangis Dalam Duka tinggalkan kerumunan
orang ramai. "Sahabatku Gelombang Tangis, tunggu!" seru Si Burung Merak.
Yang dipanggil jangankan berbalik, sedang ber-
palingpun tidak. Dia terus saja melangkah sambil me-
nangis sedangkan tubuhnya tetap membungkuk seper-
ti orang yang berlaku sopan pada orang lain yang dile-watinya. Padahal tak ada
orang lain di sekeliling si kakek. "Sahabat, apakah kau tak ikut menghadiri
jalannya pertemuan"!" tanya Malaikat Kuku Seribu seolah mengingatkan.
Gelombang Tangis sudah tak perduli, sementa-
ra langkahnya kian menjauh. Tanpa pernah menoleh
ke belakang dia menjawab.
"Pertemuan... pertemuan apa" Hatiku sudah
terlanjur sedih sudah pula amat terluka. Yang ingin
kudengar adalah suaranya sahabatku Si Muka Setan.
Jika dia sudah mati pertemuan itu tak ada lagi gu-
nanya bagiku. Biarkan aku berpuas diri dalam kesedi-
han dan tangisan duka. Si tua ini mohon dimaklum,
mohon pamit karena hendak teruskan tangis di tempat
lain. Huk huk huk!"
"Gelombang Tangis, kau boleh menangis di
tempat ini sampai bosan!" kata Si Burung Merak yang merasa tidak enak melihat
kepergian si kakek karena
orang tua aneh itu merupakan seorang tokoh sesepuh
golongan putih yang sangat disegani.
Walaupun Si Burung Merak sudah berusaha
membujuk dan mencegah kepergian Gelombang Tangis
Dalam Duka, tapi percuma saja. Karena kakek itu
dengan sangat cepat sekali telah lenyap dari pandan-
gan mata. Si Burung Merak hendak mengejar, tapi di-
cegah oleh Malaikat Kuku Seribu.
"Manusia yang satu itu tak usah dikejar. Jika
dia tak berkenan dia bisa marah besar. Lebih baik kau perintahkan para sahabat
yang lain untuk memper-siapkan acara penguburan!" ujar Malaikat Kuku Seribu.
Si Burung Merak menarik nafas pendek, dia la-
lu segera memberi aba-aba pada para pendekar serta
beberapa tokoh yang hadir di tempat itu untuk mem-
buat sebuah kubur, peti mati dan beberapa hal lain
yang sangat diperlukan dalam acara penguburan itu.
Menjelang sore hari, jenazah Si Muka Setan
pun segera diturunkan ke dalam liang lahat. Belasan
pendekar yang seluruhnya terdiri dari aliran putih ini tak dapat membendung air
matanya ketika melihat jenazah si nenek mulai ditimbun dengan tanah mereka.
Suasana penguburan berlangsung dalam keheningan
mencekam, hanya gemeretak suara tanah yang me-
nimpa penutup peti mati saja yang terdengar bagai
mengetuk dada mereka yang hadir.
Setelah liang lahat menjadi sebuah gundukan
tinggi bertabur bunga Si Burung Merak meletakkan
sebuah batu besar di atas kepala makam. Dalam ke-
sempatan itu pula Burung Merak dengan kepala ter-
tunduk dan suara bergetar dalam keharuan berucap.
"Muka Setan sahabat kami. Segala kekejian yang terjadi denganmu, kami yang
berkumpul disini tak akan
melupakannya. Kami berjanji di depan kuburmu dis-
aksikan oleh langit dan bumi, pasti akan mencari
orang yang telah membunuhmu setelah pertemuan ini
berakhir!" kata si nenek dengan mata berkaca-kaca.
Malaikat Kuku Seribu Kepang Lima Belas me-
langkah maju. Kakek ini dengan tak kalah sedihnya
berucap. "Aku Malaikat Kuku Seribu. Segala yang terjadi pada dirimu saat ini
telah membakar darah tuaku.
Api kemarahan yang berkobar dalam diriku akan
menghanguskan pembunuh jahanam yang telah mele-
nyapkan jiwamu. Biarlah aku pertaruhkan sisa hi-
dupku untuk menyabung nyawa demi membela harga
diri dan kehormatan kaum golongan putih!"
"Kami semua siap mengorbankan nyawa!" seru
para pendekar juga tokoh yang berada di sekeliling ku-
bur. Seolah-olah ikut pula terbakar oleh kemarahan
dan dendam. "Terima kasih atas bantuan kalian semua. Tapi
hal penting yang harus kalian ingat, mulai malam nan-
ti pertemuan akan dilangsungkan di tempat rahasia.
Kita harus mencapai suatu kata sepakat agar persa-
Wanita Iblis 24 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Setan Harpa 4
^