Pencarian

Dendam Orang Orang Gagah 1

Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah Bagian 1


DENDAM ORANG-ORANG GAGAH Oleh Fahri A. Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode 002 :
Dendam Orang-Orang Gagah
128 Hal.; 12 x 18 Cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 "Kang Genda dipanggil Ayah?" tanya Ratih Ningrum dengan suara tersendat.
"Soal apa gerangan, Kang Genda?"
Genda menghela nafas. Dia tahu Ratih Ningrum menangis memikirkan Madewa. Ah,
Tuannya begitu egois mengusir Madewa, sementara putrinya menangis semalaman
karena kepergian pemuda itu.
"Soal Madewa, Den Putri."
Mata Ratih Ningrum membesar.
"Kenapa dengan Madewa, Kang Genda" Dia pergi kemarin pagi. Dia tidak menoleh
sedikit pun padaku." Ratih Ningrum menyambung sedih, "Dan tidak membalas
senyumanku."
"Yah... mungkin Tuanku telah bertindak keliru atau juga benar. Memang Den Putri,
saat ini memang wanita bernama Pratiwi tengah mencari Madewa. Dan Tuan tidak
ingin seisi rumah ini menjadi terlibat. Lalu dia memutuskan, agar Madewa
menyelesaikan urusannya dengan wanita itu."
"Urusan apa, Kang Genda?" Dada Ratih Ningrum berdebar.
"Ini baru dugaan Tuan, Den Putri.
Madewa memiliki pedang pusaka dewa matahari. Dan Pratiwi datang untuk
merebutnya."
"Oh!" desah Ratih Ningrum pilu. "Dia bisa terluka, Kang Genda."
Genda mengangguk. Tidak kuasa
melihat wajah Ratih Ningrum yang begitu ketakutan. Ratih Ningrum menggigit
bibirnya. Dia tidak kuasa membayangkan Madewa terluka. Sambil menangis, dia
berlari ke kamarnya. Ditumpahkannya seluruh air matanya di atas bantal.
Bayangan wajah Madewa yang lembut, yang manis, yang selalu tersenyum berganti
dengan wajah yang menakutkan.
Cacat. Berdarah, karena bertempur dengan Pratiwi si Selendang Merah. Biarpun
tidak mengerti ilmu silat. Ratih Ningrum tahu apa kejahatan ilmu silat. Dia bisa
membinasakan lawan atau kawan!
Dan Madewa tergeletak tanpa nyawa!
Sementara itu, orang yang dicemaskannya sedang duduk melamun di suatu tempat
yang sunyi. Begitu pergi dari rumah Biparsena, Madewa Gumilang tidak langsung
pergi mencari Pratiwi. Dia berjalan ke arah barat. Ingin menenangkan pikiran-
nya. Selendang Merah rupanya masih
penasaran dengannya. Dan kehadiran selendang merah bisa membongkar
rahasianya sebagai murid tunggal Ki Rengsersari! Bisa bermunculan tokoh-tokoh
persilatan untuk merebut pusaka dewa matahari dari tangannya! Ini bisa gawat.
Karena tugas dari gurunya belum dia jalankan sementara dia bisa mati konyol di
tangan orang yang gila pusaka itu.
Hhh, ini gara-gara kemunculan
Pratiwi! Yang... ah, Madewa mendesah.
Dia ingat bagaimana heran dan sedihnya Ratih Ningrum ketika dia melengos begitu
saja. Itu memang disengaja, agar Ratih Ningrum tahu, kalau hubungannya tidak
direstui. Dia juga heran, bagaimana Biparsena bisa tahu soal itu.
Hanya satu dugaannya, ada yang
mengadukan! Tetapi siapa" Fitnah itu berdosa. Berprasangka buruk saja sudah
berdosa. Madewa mengambil sebatang rumput berwarna kuning. Menggigit-gigitnya perlahan.
Hei, aneh! Rumput ini berair.
Dan terasa manis. Madewa mengambil lagi sebatang. Mengisap-hisapnya. Manis.
Baru kali ini dia merasakan rumput berair manis. Atau ini rumpun tebu" Tidak,
tebu besar. Ini kecil.
Mendadak Madewa menguap lebar.
Matanya mendadak terasa ngantuk. Tapi dia berusaha menahan. Dia harus
memikirkan bagaimana caranya untuk menghadapi Pratiwi. Tapi kantuk itu terus
menyerangnya. Tanpa sadar Madewa tertidur pulas. Sebatang rumput aneh itu masih
menyantel di bibirnya.
Suasana daerah itu tetap sunyi.
Begitu Madewa tertidur, muncul seorang kakek tua berjubah putih. Kakek itu
menggeleng-geleng melihat Madewa.
Dia bergumam, "Hmm, rupanya rumput ajaib kelangkamaksa, berjodoh dengan
pemuda ini. Beruntung sekali pemuda ini.
Bertahun-tahun aku menjaga rumput itu, baru sekarang ada yang menghisap
sarinya." Setelah bergumam demikian, kakek
berjubah putih itu mendadak menghilang.
Sama seperti datangnya tadi, lenyapnya pun demikian.
Waktu berganti, tak terasa sore
sudah tiba. Madewa menggeliat. Tubuhnya terasa letih. Dia cepat terbangun.
Rupanya dia tertidur. Hmm, dia harus segera mencari Pratiwi. Tantangannya harus
segera disambut.
Madewa cepat melangkah, tak tahu
arah. Dia hanya mendengar, kalau si Selendang Merah itu tinggal di gubuk dekat
sungai hitam. Dia harus ke sana untuk menantangnya.
Tiba-tiba terdengar derap kuda dari arah depan. Madewa menepi. Tiga sosok tubuh
berpakaian pendekar memacu kuda mereka ke arah Madewa. Madewa cepat bersalto,
karena salah seekor kuda itu menerjangnya. Aneh! Apa maunya mereka.
Tubuh Madewa hinggap kembali di tanah dengan ringan.
Orang yang menerjang itu tertawa
ngakak. Sikapnya sombong sekali.
"Gerakan yang bagus!" katanya memuji.
Madewa memperhatikan.
"Maksud apa kalian menghadang perjalananku?" tanyanya dengan sikap tenang. "Dan
siapa kalian?"
Orang itu terbahak lagi. "Rupanya kau belum tahu nama tiga dewa penunggang kuda
yang sudah membedah langit. Kalau begitu
biar kuperkenalkan. Camkan
baik-baik! Kami ini yang disebut Tiga Dewa Penunggang Kuda. Namaku sendiri,
Wirapaksa. Yang memakai baju hitam itu Wirapati, yang terkenal dengan pukulan
geledeknya. Dan adik kami yang bungsu, Wiratiga, yang terkenal dengan aji awang-
awang! Puas?"
Madewa tetap tenang. "Lalu kalian mau apa?"
"Jangan berpura-pura, Madewa! Kami tertarik dengan murid tunggal Ki
Rengsersari! Dan kami bermaksud mencoba ilmu murid Ki Rengsersari itu!"
"Untuk apa, kalau hanya akan menimbulkan pertumpahan darah!" sahut Madea tak
kalah seramnya.
"Ha... ha... sudah jelas untuk merebut Pedang Pusaka Dewa Matahari!"
Lagi-lagi soal itu. Tidak ada jalan lain untuk berdamai. Dia harus menyambut
Tiga Dewa Penunggang Kuda itu. Maka Madewa pun bersiap.
Ketika orang itu terbahak. Suaranya membedah kesunyian. Dan mendadak mereka
menerjang dengan kuda yang meringkik hebat. Madewa menghindar, dengan jalan
bersalto tiga kali ke belakang. Tapi
belum lagi dia hinggap di tanah,
Wirapaksa kembali menerjang. Sulit bagi Madewa untuk menghindar. Maka tak urung
kakinya tersepak kuda putih Wirapaksa.
Belum juga dia bangkit, Wirapati
menyerang dengan pukulan tangan geledeknya. Madewa menyambut dengan jurus ular
ajaran Ki Rengsersari, Ular Mematuk Katak. Keduanya terpental. Pukulan tangan
geledek Wirapati membuatnya terhuyung.
Wirapati terbahak. Belum ada
seorang pun yang lolos dan pukulan tangan geledeknya. Hanya begitu saja rupanya
murid tunggal Ki Rengsersari.
Tetapi mendadak matanya melotot.
Madewa berdiri tegak dengan sikap siap.
Tak sedikit pun dia terluka. Peluh setitik pun tidak nampak di wajahnya.
Bukan hanya Wirapati yang terkejut, Madewa pun terkejut. Tadi disangkanya dia
sudah mati, ajalnya hanya sampai di sini, tapi ternyata dia masih hidup!
Madewa tidak bisa berpikir lagi,
karena Wirapati sudah menyerang kembali.
Dia penasaran. Pukulan tangan geledek tingkat tinggi. Lagi-lagi Madewa
menyambutnya. Kembali dua pukulan penuh tenaga itu beradu.
Wirapati mental ke belakang dengan muntah darah. Sedangkan Madewa berdiri tegak
tak kurang suatu apa!
Wirapaksa menggeram. Tidak bisa
dianggap enteng murid Ki Rengsersari
itu. Dengan memekik keras dia bersalto dari kudanya dan menerjang degnan pukulan
lurus ke arah Madewa. Sementara dari sebelah kiri Wiratiga sudah merapal aji
awang-awangnya. Yang terkena pukulan aji awang-awang itu, bisa kaku dan mati
membiru. Menghadapi kedua serangan itu,
Madewa. tenang-tenang saja. Tapi dia menyambut keduanya. Menunggu serangan itu
sampai padanya, lalu menghempas kedua tangannya ke depan. Kembali pukulan itu
beradu. Dan kembali Madewa tidak apa-apa.
Sementara Wirapaksa mati kelojotan.
Rupanya ketika Madewa merentangkan tangannya, Wirapaksa bersalto menghindar dan
balik menyerang. Cuma naas baginya, Wiratiga sedang melancarkan pukulannya. Tak
ayal lagi, pukulan itu terkena kakak seperguruannya sendiri!
"Kang Wirapaksa!" jeritnya terkejut. Lalu memeriksa tubuh Wirapaksa.
Tak dapat ditolong lagi, Wirapaksa sudah mampus dengan tubuh membiru!
Wiratiga berbalik dengan geram. Dan kembali dia menyerang Madewa. Kali ini
Madewa merasakan desiran angin yang panas yang siap menyambarnya. Lalu berganti
dengan rasa dingin yang
menyengat. Madewa menghimpun hawa murninya, justru ini yang fatal. Dia tidak
siap menyambut serangan Wiratiga.
Tanpa ampun lagi pukulan itu singgah di tubuhnya dengan deras. Madewa
terpental ke belakang.
"Aaaah!" terdengar jeritan. Bukan dari mulut Madewa, tapi Wiratiga! Dia
merasakan panas yang lebih besar
menyambarnya ketika pukulan nya mampir di dada Madewa. Lalu dia mengejang. Kaku.
Dan mati membiru. Pukulan aji
awang-awangnya berbalik menyerangnya!
Sementara Madewa jatuh terduduk
tanpa cidera sedikit pun. Keheranannya semakin me-besar. Siapa yang telah
melindungiku ini, desah Madewa dalam hati.
Wirapati yang terluka dalam, tidak berbuat banyak. Ia beringsut mengangkat kedua
mayat saudara seperguruannya ke kuda masing-masing. Lalu mengeprak kuda itu. Dia
sendiri naik ke kudanya. Sebelum berangkat, Wirapati menoleh pada Madewa sambil
menahan nyeri yang bukan main sakitnya.
"Ingat, Madewa! Aku, Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda,
akan menuntut balas dari kekalahan ini! Ingat, Madewa! Aku akan mencari kau di
mana saja! Aku tak akan melupakan semua ini!"
Sesudah berkata demikian, Wirapati menggeprak kudanya. Menyusul kuda-kuda yang
membawa tubuh Wirapaksa dan
Wiratiga. Kekalahan ini terasa sekali, membuat sakit hati Wirapati semakin
dalam. Apalagi dua saudara seper-
guruannya tewas di tangan pemuda itu. Dia akan datang lagi untuk menuntut balas
atas kematian mereka. Telah bertahun-tahun dia melanglang buana dengan kedua
saudara seperguruannya, dan bertahun-tahun pula mereka bersama-sama menak-lukkan
jago-jago kawakan, hingga membuat nama
mereka melambung ke langit
tertinggi. Tapi hari ini, hanya dengan bocah ingusan mereka takluk, bahkan harus ditebus
dengan nyawa kedua saudara seperguruannya! Mendidih darah Wirapati mengingat
itu. Setelah Wirapati menghilang, Madewa menghela nafas panjng. Dia telah membuat
permusuhan lagi. Ini akan menghambat perjalannya mencari musuh besarnya, yang
sampai saat ini dia sendiri tidak tahu siapa orangnya!
Tiba-tiba dia teringat akan
keanehan yang terjadi pada dirinya.
Heran, mengapa mendadak saja dia menjadi kebal yang hebat sekali" Pukulan
geledek Wirapati seakan tak dirasakan menyentuh tubuhnya. Dia hanya merasakan
usapan halus begitu pukulan itu menyentuh tubuhnya. Aneh, keajaiban apa yang
telah masuk ke dalam dirinya"
Madewa berusaha mengingat-ingat.
Tapi apa yang menyebabkan semua ini" Dia tidak tahu, kalau sumber kekuatan itu
berasal dari sari rumput yang dihisapnya
tadi. Dari rumput itu keluar air yang manis, dan air itulah yang menjadikan
tubuh Madewa kebal. Bahkan bisa
membalikkan tenaga lawan.
Rumput itu dulu merupakan tanaman pada orang sakti dan sampai pada suatu masa,
kalau bibit rumput itu hanya tinggal sebuah. Kebetulan seorang pemuda yang
bernama Kartasura, menemukan bibit rumput itu. Ia menanam dan merawatnya.
Sampai rumput itu tumbuh dengan su-bur.
Ketika dia akan memakan rumput itu, ada sebuah suara gaib menyelinap di
telinganya. Yang mengatakan, kalau dia hanya boleh merawat rumput itu saja dan
bukan pewarisnya. Jika Kartasura nekat memakannya, niscaya Dewa mengutuknya.
Itulah sebabhya, Kartasura tidak
berani mengambil sari ajaib dari rumput itu. Dan bertahun-tahun dia menjaga dan
mengawasinya. Dia juga tidak berani memberikan rumput itu kepada sembarang
orang. Akhirnya Kartasura bersumpah dalam hati, rumput itu akan dibiarkan saja sampai
ada orang yang memakannya
sendiri. Herannya, sekian lama itu rumput itu tidak membesar. Tetap seperti
sediakala. Yang akhirnya, Madewa
Gumilang menghisap sari dari rumput itu tanpa sengaja.
Dan ketika mengalirkan tenaga sakti ke dalam tubuhnya, yang mampu membuatnya
menjadi orang tak terkalahkan.
Kartasura gembira melihat ada yang menemukan rumput itu.
Dan sekarang, Madewa menggeleng-
geleng bingung. Dia tidak mempersoalkan keajaibannya itu lagi. Madewa hanya
berterima kasih pada orang yang telah menolong. Itulah keyakinannya tentang
kesaktiannya tadi. Suatu saat nanti, dia akan mencari orang yang telah
menolongnya itu.
Sekarang dia harus menghadapi
Pratiwi, sebelum wanita iblis itu semakin merajalela, juga menhindari terbukanya
rahasianya sebagai murid tunggal Ki Rengsersari, yang akan membuatnya dalam
kesulitan, karena bisa bentrok dengan orang-orang yang masih gila Pusaka Dewa
Matahari. Dengan cepat Madewa berkelebat.
Gerakannya menjadi lebih ringan. Begitu dia menghilang, sesosok tubuh berjubah
putih muncul lagi. Dia geleng-geleng kepala dengan bangga.
"Hmm, pemuda yang tangguh dan taat.
Aku bersimpati padamu.... Mudah-mudahan kau berhasil menemukan musuh besar
gurumu dan membalaskan kematiannya!"
Lalu bayangan itu menghilang.
* * * 2 Selama perjalanan pulang, perasaan bersalah semakin menggunung di hati Genda.
Dia bukan orang yang gampang mengkhianati seseorang atau membuka rahasia
seseorang, namun ancaman
Biparsena begitu menakutkannya!.
Dia membutuhkan makan. Dan dia bukan orang yang mampu. Hanya pekerjaan dari
Biparsenalah yang diharapkan bisa mencukupi kehidupannya sehari-harinya.
Dan terpaksalah dia membuka rahasia siapa sebenarnya Madewa itu, yang bisa


Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadikan malapetaka untuk dirinya.
Sambil memasuki rumahnya, perasaan itu masih menghantui Genda. Perasaan yang
bersalah dan diliputi penyesalan.
Seharusnya dia tidak perlu membuka rahasia itu. Namun. Yah... banyak sekali
namun di dunia ini. Saat itu, Genda ingin tak ada satu 'namun' pun di dunia ini.
Dan tanpa dia sadari, sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam menyelinap di
belakang rumahnya. Gerakan orang itu lincah dan ringan sekali, menandakan ia
memiliki ilmu peringan tubuh yang sempurna. Dengan hanya sekali salto saja dia
sudah berada di bubungan rumah Genda.
Gerakannya pun tak menimbulkan
suara sedikit. Ia membuka sedikit genting dan mengintip ke dalam. Yang diintip
sedang merapikan pakaiannya. Dan akan bersiap-siap hendak makan. Genda
merasa tak ada gunanya memikirkan kesalahannya lagi. Dan dia menganggap bukan
kesalahan yang sangat besar bagi dirinya.
Sosok tubuh berbalut hitam-hitam
itu membetulkan letak genting kembali.
Dia melompat dengan ringan ke bawah.
Mengetuk pintu rumah Genda dengan cepat.
Lalu menyelinap bersembunyi tanpa membuat suara sekecil pun
Genda yang akan menyendok nasi,
mengurungkan niatnya. Dia berjalan membuka pintu. Tetapi di luar tidak nampak
siapa-siapa. Genda mendengus jengkel. Perasaan bersalah terhadap Madewa Gumilang
berubah menjadi
kejengkelan yang luar biasa pada yang mengganggunya ini. Siapa yang mau main-
main di malam ini.
Hhh! Ia memeriksa keluar sebentar.
Tak ada bayangan sedikit pun yang mencurigakan. Tetapi ketika dia akan menutup
pintu. Sebuah bayangan hitam menyergapnya. Mulutnya ditekap. Dan dia diseret
masuk ke dalam.
Genda berusaha membebaskan diri.
Namun cengkraman orang itu begitu kuat.
"Cepat katakan, di mana temanmu yang bernama Madewa Gumilang berada?" tanya
sosok hitam itu dengan suara yang seram dan penuh ancaman.
Genda gelagapan. Dia megap-megap
minta dikendori tekanpan pada mulutnya.
Orang itu mengendorkan tekapan tangannya.
"Ak... aku... tidak tahu...." suara Genda terputus-putus. Belum bernafas dengan
lega. "Jangan main-main denganku!"
"Sungguh, aku tidak tahu!"
"Bangsat! Kau pasti tahu! Cepat katakan, aku tidak suka main-main!
Atau... kau ingin kumampusin"!"
"Aku sudah lama tak jumpa
dengannya!"
"Katakan!"
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu!"
"Katakan!" Orang itu memuntir lengan Genda.
Genda menjerit kesakitan. "Aku tidak tahu!"
"Katakan!" Orang itu semakin kuat memuntir. Genda semakin keras menjerit.
"Biar kau paksa aku sampai sesakit apa pun, aku tetap tidak tahu!" seru Genda
geram. Orang itu mendengus. Marah. Tapi
tidak memaksa lagi. Dia yakin Genda benar-benar tidak tahu.
Dan dengan gerakan cepat, orang itu menotok urat suara Genda, hingga pemuda itu
terdiam dengan mulut menganga.
Tubuhnya pun tak bisa bergerak, karena orang itu juga telah menotoknya. Sosok
tubuh hitam itu menggeram.
"Besok aku akan datang lagi. Katakan pada Madewa Gumilang, akulah yang
menyebarkan kabar palsu untuk gurunya!
Kalau dia ingin membunuhku, kutunggu kapan saja! Dan katakan, jaga nyawanya
baik-baik! Kalau tidak ingin cepat melayang! Ha... ha... ha...!"
Sosok hitam itu melayang keluar.
Tetapi mendadak dia berbalik. Tangannya memetik dua buah daun kebil. Daun itu
dilemparkannya ke arah leher dan dada Genda. Seketika itu totokan di tubuh Genda
terlepas. Tenaga dalam yang hebat. Hanya
dengan sehelai daun dia bisa melepaskan totokannya. Menandakan, orang itu bukan
orang sembarangan!
Orang itu sudah menghilang dalam
kegelapan malam.
Genda berbalik akan mengejar. Dia penasaran ingin tahu siapa orang itu.
Bukan main, orang itu benar-benar luar biasa. Dan keberaniannya sungguh-sungguh
luar biasa pula. Dia berani menampakkan diri dan mengaku terus terang, kalau
dialah yang telah
menyebarkan kabar palsu untuk gurunya Madewa Gumilang.
Kalau saja pemuda itu mendengar,
pasti akan langsung dibunuhnya orang itu.
Hmm, Genda merasa dia harus segera mencari pemuda itu. Untuk memberitahu semua
ini. Tetapi ke mana dia harus mencari, sedangkan bau pemuda itu pun sedikit juga
tak tercium olehnya.
Genda terdiam. Berpikir-pikir.
Kemana, ke mana akan dicarinya"
Tak ada jalan lain, dia harus
memberitahukan semua ini pada majikannya, Biparsena. Majikannya yang tidak
percaya pada kata-katanya. Dan dia bisa membuktikan kebenarannya sekarang.
Orang yang bersosok hitam itu sendiri yang mengaku dan membuktinya kejaha-
tannya. Jadi ucapan Madewa benar. Sejak
semula Genda sudah percaya pada pemuda itu. Dan dia yakin, kalau Madewa Gumilang
benar-benar murid Ki Rengsersari.
Tanpa membuang waktu lagi, Genda
segera berlari ke rumah Biparsena.
Tetapi Biparsena tidak berada di rumah.
Kata Patidina yang menemuinya, Biparsena sedang mengunjungi tempat 'kupu-kupu'
cantiknya bersama Tek Jien. Biparsena baru mendengar, kalau pengawal
'Kupu-kupu cantik'-nya yang bernama Agriwe telah tewas beberapa hari yang lalu
di tangan Pratiwi.
Genda terdiam. Tak bergairah
menceritakan kunjungan orang berpakaian serba hitam tadi kepada Patidina. Dia
langsung berpamitan.
Tetapi ketika dia sampai di pintu gerbang, "Kang Genda!"
Genda terhenti. Ratih Ningrum. Dari mana gadis ini malam-malam"
"Ya, Den Putri."
"Mencari siapa?" Ratih Ningrum mendekat.
"Tuan, Den Putri."
"Ayah sedang ke rumah Agriwe.
Katanya dia ditemukan mati di rumahnya."
"Saya sudah tahu, Den Putri. Saya...
saya permisi, Den Putri."
"Kang Genda...."
Genda tak jadi melangkah. Ia
berbalik lagi. Mata gadis itu menatapnya penuh minta pertolongan.
Genda seperti tahu apa yang akan
menjadi pertanyaan Ratih Ningrum. Pasti masalah Madewa.
"Ya, Den Putri."
"Kang Genda, sudah mendapat berita tentang Kang Madewa?"
Genda menggeleng, lesu. Dia pun akan mencari pemuda itu. Entah ke mana. Yang
penting dia akan mencarinya.
Gadis itu pun menunduk lesu. Tanpa banyak tanya lagi, dia beranjak
meninggalkan Genda. Masuk ke rumahnya.
Genda terdiam. Dan menghela nafas panjang. Kasihan gadis itu. Dia menjadi korban
ketidakjujuran ayahnya sendiri.
Genda tak menghiraukan tentang
gadis itu lagi. Dia langsung melesat pulang. Makan dengan cepat, lalu keluar
lagi. Dengan tekad bulat, tak akan pulang sebelum bertemu dengan pemuda itu.
* * * 3 Tengah malam telah tiba. Suasana di tepi sungai hitam itu sepi. Hanya desir
angin yang terdengar. Dan desah nafas turun naik yang membum yang terdengar dari
dalam gubuk kecil di tepinya.
Niniwulandari mendengus. Sejak tadi dia menunggu di sini. Pratiwi sudah asyik
lagi, dia seolah lupa kalau orang yang dicarinya akan datang malam ini. Untuk
membunuh atau dibunuh.
Niniwulandari menggerutu dalam
hati. Setiap kali dia datang, pasti Pratiwi sedang asyik. Benar-benar gila dewi
cabul itu. Bisa habis perjaka di desa ini dihisap olehnya. Lagi-lagi
Niniwulandari menggerutu. Nafsu apa yang merasuki diri Pratiwi, hingga nafsu
sexnya begitu besar.
Agaknya permainan di dalam gubuk itu telah berakhir. Dua penghuninya sedang
melepaskan kenikmatan yang terakhir itu dengan nafas panjang. Lalu terkulai
lemah di balai-balai.
Pratiwi bangkit memakai pakaiannya.
Dan berkata pada pemuda yang
menemaninya, "Cukup sudah untuk malam ini. Aku suka padamu. Kau pemuda yang kuat
dan tangguh. Aku akan memanggilmu kalau aku butuh lagi."
Pemuda itu mengangguk-angguk
tersipu. Pratiwi mencium bibir pemuda itu lama sekali sampai kehabisan nafas.
Setelah itu dia menyuruhnya untuk segera pulang. Biar begitu, Pratiwi masih
ingat, kalau Madewa Gumilang akan datang malam
ini. Dia harus segera
menyambutnya. Pemuda itu memakai pakaiannya
dengan terburu-buru. Lalu menyelinap lewat pintu belakang dan berlari
terseok-seok. Letih, karena tenaganya habis
terkuras. Niniwulandari yang melihatnya geleng-geleng kepala.
"Dasar cabul! Semakin hebat saja kurasa permainan ilmu selendang merah dewi
cabul itu!" makinya sebal.
Ia menunggu Pratiwi keluar. Udara yang dingin tak dirasakan oleh
Niniwulandari. Nenek sakti itu telah menjalari darahnya dengan tenaga
dalamnya hingga melindunginya dari rasa dingin.
Dan dia menggeram lagi. Dewi cabul itu belum keluar-keluar juga. Apa ada pemuda
lain di sana"
Benar-benar gila! Yah... siapa pun akan tertarik pada dewi cabul yang cantik
itu. Tetapi malam, ini, dia harus
'bertanding' dengan dua pemuda. Gila.
Gila! Niniwulandari menggerutu jengkel.
Ditunggunya lagi.
Tapi tak terdengar desah nafas turun naik. Sialan, pasti dewi cabul itu ingin
menggodanya! Jengkel Niniwulandari melangkah
masuk. Sebenarnya Pratiwi ingin menguji ilmu selendang merahnya pada nenek tua
itu. Makanya dia sengaja tidak keluar.
Dia menunggu sampai nenek tua itu masuk.
Dibiarkan saja Niniwulandari
memasuki gubuknya. Nenek sakti itu tidak tahu maksud Pratiwi, dia enak saja
masuk ke gubuk itu walau hatinya jengkel.
Dan mendadak saja dia berjumpa-
litan. Bersalto ke belakang dengan cepat dan hinggap dengan sempurna di tanah.
Menghindari kebutan selendang merah Pratiwi.
Pratiwi terbahak. Senang melihat
nenek sakti itu panik. Niniwulandari menggeram jengkel. Mau coba rupanya si dewi
cabul ini. Baik, akan diterimanya permainan
ini sebelum menghadapi murid Ki
Rengsersari itu. Niniwulandari diam.
Merapal ilmunya. Setelah itu dia
melangkah lagi mendekati pintu gubuk itu. Tetapi Selendang Merah Pratiwi
menyambutnya lagi.
Kali ini Niniwulandari tidak
menghindar. Dia menyambut selendang itu dengan tangkisan tangan yang langsung
membuat tangan kanannya terasa ngilu, dengan cepat ia mundur ke belakang kalau
tidak mau terkena sabetan selendang itu lagi.
Hmm, sudah hebat sekarang rupaya
ilmu selendang merah Pratiwi. Pantas,
pantas, dia berani bermain-main
dengannya. Niniwulandari menarik nafasnya.
Menghimpun tenaga dalamnya di pusarnya.
Lalu mengedarkan melalui darah dengan bantuan tenaga angin. Itulah ilmu kebalnya
yang bernama Ilmu Menghimpun Tenaga Matahari.
Sebenarnya kalau memakai tenaga
matahari, lebih dahsyat hasilnya.
Senjata macam apa pun tak akan mampu melukainya.
Setelah merapak ilmunya, Nini
wulandari melangkah lagi. Kali ini dia membiarkan selendang merah Pratiwi
menghujani tubuhnya. Niniwulandari terus melangkah. Tak menghiraukan sabetan-
sabetan selendang merah itu yang kadang berubah lemas dan tegak.
Kadang juga seperti membentuk
tombak yang ujungnya meruncing tajam!
Dan berbahaya. Namun kali ini selendang merah itu tak ada gunanya. Niniwulandari masuk dengan
selamat. Pratiwi menghentikan serangannya.
Ia terkekeh seolah senang melihat keberhasilan Niniwulandari menembus
serangannya. Padahal dia sedang menutupi kekagetannya, karena ilmu selendangnya
masih belum mampu mengalahkan ilmu menghimpun tenaga matahari milik nenek tua
itu. Dulu pun, ketika dia berniat merebut pusaka Siluman Mata Air, ilmu menghimpun
tenaga matahari itulah yang
mengalahkannya. Dan sekarang dia masih belum mampu mengalahkannya!
"Kau semakin hebat saja, Nenek tua!"
pujinya. Kali ini setulus hati.
Niniwulandari terkekeh. Menjawab
merendah, "Kau semakin hebat, Dewi cabul. Ilmu selendang merahmu sudah sempurna
sekali. Lima orang pemuda lagi yang kau hisap keperjakaannya, maka aku bisa kau
kalahkan."
Pratiwi mendengus.
"Bah! Susah mencari pemuda yang benar-benar perjaka di sini. Tadi pun sudah
tidak perjaka, hanya tampang mereka yang masih kelihatan muda. Yah...
hanya kepalang tanggung saja, nafsuku sudah minta pelampiasan, tak ada jalan
lain, kulepaskan saja pada dia.
"Itu bagus! Bisa habis perjaka di sini kalau kau hisap semuanya!"
Niniwulandari terkekeh. Mengejek dalam hati, rasakan kau, dewi cabul!
Lagi Pratiwi mendengus. Dia memakai selendang merahnya, untuk menutupi buah
dadanya yang nampak dari baju suteranya yang tipis.
Niniwulandari langsung ke
persoalan, setelah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.
"Sudah datang murid Ki Rengsersari itu?"
"Belum! Tapi bagus, aku masih sempat bercinta dengan pemuda tadi."
"Bah!"
Pratiwi tertawa. "Jangan iri kau, Nenek. Nafsumu sudah mati sih! Mungkin tengah
malam, pemuda itu datang."
"Atau dia tidak tahu di mana kau berada?"
"Dia pasti tahu. Aku sengaja menyebutkan gubukku ini pada orang-orang desa.
Lagipula, namaku sudah tenar di desa ini sebagai perusak. Bisa jadi Madewa
bertanya dan orang itu menjawab dengan benar. Hai, Nenek Tua!" panggil Pratiwi
tiba-tiba.

Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Niniwulandari mengangkat
kepalanya. Menatap dewi cabul itu. "Ada apa! Kau takut menghadapi pemuda itu"
Hhh!" Nenek itu mendengus melecehkan.
"Pukulan bayangan sukma tidak akan bisa sempurna jika dimainkan oleh orang lain,
biarpun dia itu langsung mendapatkannya dari Ki Tua yang sudah mampus itu."
Pratiwi terdiam. Sebenarnya bukan itu yang dikuatirkannya. Dia kuatir Madewa
datang tanpa pedang pusaka yang diinginkan Niniwulandari.
Nah, Ini yang menjadi masalahnya.
Nenek tua itu bisa marah besar dan ada kemungkinan dia akan membunuh Madewa.
Pratiwi menyayangkan itu. Madewa perjaka asli yang bisa dinikmati
keperjakaannya.
Hmm, dia harus mencari akal untuk menghalangi hal yang satu ini.
Dia lalu berkata dengan pura-pura ketakutan, "Yah, aku menakutkan soal yang satu
ini. Dulu aku pernah
dikalahkannya dengan pukulan bayangan sukma."
Niniwulandari terkekeh melecehkan.
"Tenang saja kau, Dewi cabul. Biar aku yang menghadapi pemuda itu. Percaya
padaku, dia akan kubuat bertekuk lutut hingga mau melayanimu dengan senang hati.
Dan ingat... pedang pusaka dewa matahari itu harus kumiliki." Nenek itu terkekeh
lagi. "Sebagai pengganti pedang Siluman Mata Air yang hilang entah ke mana."
Keduanya lalu tertawa berbarengan.
Hanya tawa keduanya itu berbeda makna.
Niniwulandari tertawa penuh kesenangan karana sebentar lagi akan memiliki pusaka
yang dihebohkan, sedangkan Pratiwi hanya tertawa berpura-pura, menutupi
kekuatirannya akan tangan telengas Niniwulandari membunuh Madewa!
Sementara itu, tanpa mereka
ketahui, sesosok berbaju hitam-hitam, mengintai dan mendengar pembicaraan mereka
dari balik semak yang tumbuh di sekitar sungai hitam itu. Langkah orang itu
ringan dan mengandung tenaga.
Buktinya Niniwulandari dan Pratiwi tidak mengetahui kedatangannya.
Padahal sebelum Pratiwi mempersilahkan Nini wulandari masuk, orang misterius itu sudah
berada di sana!
Dia hanya mengangguk-angguk
mendengar percakapan itu. Setelah tidak ada yang penting lagi menurutnya, orang
itu segera melompat dan menghilang.
Bertepatan dengan
itu, Madewa Gumilang muncul! Dia sempat melihat bayangan itu berkelebat. Tanpa bersuara
lagi, Madewa mengejar!
Agaknya orang itu tahu kalau ada
yang mengejar. Ia mempercepat larinya.
Madewa pun tak mau kalah.
Ilmu meringankan tubuh yang dipelajarinya dari Ki Rengsersari ditambah tekanannya.
Tiba-tiba Madewa menghentikan
larinya. Ia duduk persila. Daripada susah-susah dia kejar tanpa hasil, lebih
baik diperhatikan saja. Bukankah dia memiliki ilmu pandangan menembus sukma"
Maka dia pun mulai merapal. Tangannya mengembang ke samping, lalu bersatu di
dada. Dia mengambil nafas. Memejamkan matanya.
Dan mendadak saja pandangannya
mererang. Menembus gelapnya malam.
Sesosok tubuh hitam-hitam itu pun tertangkap oleh pandanganya. Orang itu tengah
celingukan, menanti orang yang mengejarnya. Tapi rasa-rasanya orang yang
mengejarnya tidak sanggup
mengikutinya. Sosok
hitam itu memperlambat langkahnya. Dan dia membuka penutup kepala sampai ke wajahnya!
Madewa terkejut. Dia kenal dengan orang itu. Pemuda yang bicara dengan
Genda di warung nasi. Buntoro! Hmm, bukan main. Pemuda yang nampak lemah itu
mempunyai simpanan ilmu yang hebat. Tapi mau apa dia mendengar pembicaraan
Niniwulandari dan Pratiwi. Madewa pun sudah mengetahui siapa yang berada di
dalam gubuk itu. Ilmu menembus sukma warisan Ki Rengser ternyata berguna sekali.
Hmm, lebih baik dia mengangkap
Buntoro saja. Dia harus tahu! Madewa pun menghentikan rapalannya. Seketika
tempat itu terlihat gelap. Pohon-pohon yang tinggi seakan berserakan. Lalu ia
berlari dengan cepat menyusul Buntoro yang berjalan tanpa perasaan diikuti.
Lebih baik disergapnya saja
Buntoro, sebelum pemuda itu bersiaga.
Maka setelah dekat, Madewa menerjang menyergap. Disangkanya dia akan mudah
meringkus Buntoro, tapi meleset. Buntoro merasakan angin mendesir ke arahnya.
Maka dia langsung bersalto ke depan.
Madewa mendengus. Kini keduanya
berhadapan. Buntoro terkejut. Orang yang mengejarnya adalah Madewa Gumilang! Dan
dia tidak menyangka kalau pemuda itu masih mengejarnya.
Dengan suara geram Buntoro berkata,
"Mau apa kau mengikuti, Murid Ki Rengsersari?"
Merah wajah Madewa diejek demikian.
Tapi dia tenang saja.
"Aku ingin tahu apa maksudmu menguping pembicaraan orang?"
"Hhh!" Buntoro mendengus.
"Pertanyaan tak mutu! Lebih baik kau minggat daripada aku marah!"
Buntoro menantangnya! Merah lagi
wajah Madewa. "Aku tidak akan minggat sebelum kau menjawab!"
"Bangsat! Apa perlumu mendengar jawabanku?"
"Tak banyak. Aku tak suka kau mencuri dengar pembicaraan orang."
"Lalu apa maumu?" Naik darah Buntoro.
"Jawab, atau kita main-main
sejenak." "Setttan!!" Geram Buntoro jengkel.
Murid Ki Rengser ini benar-benar hendak mencobanya. Disangkanya dia takut. Hmm,
murid kesayangan Niniwulandari tidak pernah mundur selangkah pun menghadapi
siapa pun juga. Tak terkecuali murid tunggal Ki Rengsersari itu.
Setelah menggeram panjang, Buntoro menerjang. Pukulannya cepat, lurus ke wajah
Madewa. Madewa merasakan tenaga yang kuat tersalur di tangan Buntoro. Dia
mengelak ke samping dan membalas dengan sapuan ke kaki Buntoro. Buntoro mencelat
ke atas. Luar biasa. Selagi tubuhnya terbang, dia bisa melancarkan tendangan-nya
tepat ke kepala Madewa. Sedetik Madewa tak merunduk, bisa mampus dia.
Lagi serangan Buntoro meleset.
Buntoro hinggap dengan mulusnya.
Dan langsung melenting lagi. Rupanya Buntoro tidak mau membuang kesempatan yang
ada untuk menyerang. Bagaimana pun posisinya dia harus menyerang. Kali ini
tangan dan kakinya bekerja bersamaan.
Madewa bersiaga. Tiba-tiba dia melenting pula. Menyambut serangan Buntoro dengan
gebrakan yang sama. Begitu hampir bertabrakan, Madewa mencelat ke samping.
Dan menendang pinggang Buntoro sampai orang itu jatuh.
Serasa ngilu pinggang Buntoro. Tapi dia langsung bangkit. Rupanya Buntoro benar-
benar murid kesayangan
Niniwulandari, buktinya dia memiliki ilmu menghimpun tenaga matahari yang hebat.
Buntoro pun langsung merapalnya.
Akan dia habisi pemuda sialan ini.
"Hmm, bersiap-siaplah, Madewa.
Ajalmu sudah dekat," ejeknya sambil menyilangkan tangan di dada.
Madewa tahu akan ilmu itu. Tapi dia heran, ini malam hari. Matahari tidak ada.
Tenaga dari mana diambilnya" Tanpa matahari ilmu itu tidak ada gunanya mestinya.
Buntoro tertawa mengejek. Rupanya dia tahu jalan pikiran Madewa.
"Jangan terkejut, Madewa. Ilmu menghimpun tenaga matahari, tanpa matahari pun
bisa dilakukan. Dia
menyerap sinar bulan dan mempersa-tukannya dengan tenaga bayu. Ini
kekuatan yang lebih dahsyat. Nah, bersiaplah menerima kematianmu!"
Buntoro menjalankan tangannya perlahan ke depan. Tiba-tiba dia melanjutkan
perkataannya, "Titip apa kau buat Ratih Ningrum?"
Madewa agak terkejut. Buntoro tahu soal itu!
"Aku tidak akan mati di tanganmu, Buntoro. Ratih Ningrum tetap akan menjadi
kekasihku yang setia."
Buntoro ngakak. "Ha... ha... jangan mimpi, Madewa! Kau akan menerima hukuman
dari Tuan Biparsena setelah membunuh Selendang Merah. Makanya, gembel
berkasih-kasihan dengan jutawan, mimpi di siang bolong!"
Merah wajah Madewa mendengar ejekan itu. Didengarnya lagi perkataan Buntoro,
"Kau tidak akan sempat membunuh Selendang Merah, karena ajalmu ada di tanganku.
Nah, kesempatan terakhir sebelum kau mampus, ketahuilah, akulah yang mengadukan
hubunganmu dengan Biparsena! Aku cemburu padamu, Madewa. Aku mencintai Ratih
Ningrum. Dan aku siap menyingkirkan sainganku dengan jalan apa pun!" Kini Madewa
mendengus. Geram.
Rupanya ini biang keladi dari semua ini.
Pantas Biparsena bisa tahu hubungannya dengan Ratih Ningrum.
Hmm, sekarang pun dia siap mengadu nyawa.
Dia tak sudi Ratih Ningrum jatuh ke pelukan laki-laki setan ini.
Madewa pun menghimpun ilmu pukulan bayangan sukmanya dengan sempurna.
Buntoro memperhatikan. Hmm, dia belum merapal dengan baik. Kesempatan yang
bagus. Dia harus menyerang!
Dan diserangnya Madewa selagi
pemuda itu tengah merapal ilmunya.
Pekikan keras membuyarkan konsentrasi Madewa. Apalagi pukulan lurus yang
mengandung tenaga yang hebat dari Buntoro sudah menerjang.
Tak ada kesempatan berkelit. Hanya satu-satunya jalan, menangkis. Tetapi
resikonya besar. Namun tak ada jalan lagi. Begitu tangan Buntoro mendekat, asal
saja Madewa menangkis.
"Aauuuh!"
Buntoro terhuyung ke belakang
dengan muntah darah! Sementara Madewa tegak tak kurang suatu apa!
Kembali keajaiban itu terjadi.
Tubuh Madewa seakan ada yang melindungi.
Lagi-lagi Madewa heran. Tadi dia mengira benar-benar hanya sampai di situ
umurnya. Hmm, siapa orangnya yang tengah melindungi dia. Madewa tidak tahu,
keajaiban itu timbul dari sari rumput kelangkamaksa yang mengandung tenaga
penghalang dari setiap serangan yang datang!
"Hauuuk!" Buntoro muntah darah lagi. Tubuhnya kejang. Rupanya
pukulannya itu mengenai dirinya sendiri.
Tanpa sempat memikirkan keheranannya, Buntoro sudah pergi untuk selama-lamanya.
Jeritannya menggema keras. Madewa mendesah. Kesombongan itu akhirnya runtuh
juga, walau dipertahankan dengan jalan apa pun.
Tetapi kepergian Buntoro memecahkan teka-teki siapa yang mengadukan
hubungannya dengan Ratih Ningrum pada Biparsena. Buntoro yang terbakar cemburu
buta! Dia pulalah yang mengintip setiap kali keduanya berhubungan.
Madewa agak menyesal, sebenarnya
dia tidak menghendaki kematian Buntoro.
Pemuda itu masih bisa dipakai untuk dimintai keterangan. Tentang keadaan di
sungai hitam itu. Tetapi begitu Madewa muncul tadi, Buntoro malah merasa dia
harus melenyapkan pemuda itu!
Yang menjadi saingannya dalam
mengambil hati Ratih Ningrum.
Gadis yang dicintainya.
Namun ajal telah datang padanya.
Madewa menengadah. Menatap langit yang agak hitam. Tiba-tiba saja dia rindu akan
Ratih Ningrum. Gadis jelita yang menggoda hatinya.
Dia rindu akan mata indah gadis itu.
Senyumnya yang hangat dan manis.
Bibirnya yang merekah dan selalu
menunduk tersipu jika dikecup.
Tapi sayang, kini tak bisa
dikecupnya lagi bibir gadis itu. Tak bisa dinikmatinya mata indah gadis itu. Tak
bisa diresapinya lagi senyum gadis itu.
Suara 'krak' dari belakang
membuyarkan lamunannya. Dia bersiaga.
Hanya seekor binatang malam yang keluar hendak mencari makan.... Dan mengi-
ngatkannya akan tantangan Pratiwi si Selendang Merah di sungai hitam.
Yah, kali ini dia harus berhadapan lagi dengan tokoh cabul yang hebat itu.
Apalagi Nini wulandari ada di sana, entah mau apa. Yang pasti dia membantu dewi
cabul itu. Madewa cepat melesat. Tantangan itu harus segera dipenuhinya. Entah apa yang
akan terjadi nanti jika dia benar-benar berhadapan dengan kedua tokoh kosen itu.
Dia akan mempertahankan selembar nyawanya! Dan Madewa berhadap, keajaiban itu
akan muncul lagi! Ah, siapa
sebenarnya orang yang berada di
belakangnya yang menolongnya itu. Madewa tidak yakin kalau keajaiban tadi muncul
dari dalam dirinya.
Karena sampai saat ini, Madewa tidak tahu apa penyebabnya.
Malam semakin merambat.
* * * 4 Di tepi sungai hitam itu,
Niniwulandari menggerutu terus sejak tadi.
Pratiwi hanya sesekali tertawa.
"Sabar, Nini. Sebentar lagi pemuda itu pasti datang. Dan kau akan memiliki
pusaka yang ampuh itu. Kau pasti akan menjadi tokoh persilatan nomor satu dan
tak ada tanding!" hibur Pratiwi setengah menghasut. Karena bantuan nenek sakti
itu amat dibutuhkannya.
Tetapi nenek itu mendengus. "Hhh!
Kalau pusaka itu sudah kudapat, akan kucari pedang Siluman Mata Airku yang
hilang. Akan kubunuh dan kucincang orang yang mengambilnya itu!"
Pratiwi tahu pusaka itu telah
berhasil direbut Kebo Winata. Tetapi dia juga tidak tahu siapa yang telah
membunuh tokoh itu dan merebut pedang pusaka.
Suatu kejadian yang masih terpendam dan memendam sejuta rahasia tentang orang
itu. "Kalau kau butuh bantuanku untuk mencarinya, aku akan membantumu."
"Hmm, setelah itu kau memintanya dariku?"
Wajah Pratiwi memerah.
"Jangan bicara demikian, Nini. Aku hanya ingin bersahabat denganmu. Ada baiknya
bukan, kita bersatu setelah tugas ini" Kekuatan kita berdua akan
menggemparkan dunia persilatan, Nini.
Akan kita taklukan jago-jago dunia lainnya. Kita tantang tokoh-tokoh kosen dari
Tiongkok. Bukankah akan menjadikan dan menempatkan nama kita di tempat
kehormatan?"
Niniwulandari tetap mendengus.
"Pintar kau, Dewi cabul! Omonganmu menjadi manis sekali! Demi keperjakaan pemuda
yang kau perlukan itu, kau bermanis membujukku!"
Lagi-lagi memerah wajah Pratiwi.
Panas dirasakannya. Dan mendadak dia menoleh ke arah yang gelap tak jauh dari
mereka menunggu. Pendengarannya yang tajam menangkap langkah orang datang.
Diliriknya Niniwulandari. Nenek
sakti itu agaknya sudah rnendengar pula, hanya dia tenang-tenang saja.
Pratiwi menduga pasti Madewa yang datang.
Dia berpikir, kalau nenek tua ini yang lebih dulu menyerang, nyawa pemuda itu
bisa melayang saat ini juga. Lebih baik dia saja yang mendahului.
Dengan cepat Pratiwi menguraikan
selendang merahnya. Dengan aliran tenaga dalam yang lemah, selendang itu tegak
di ujungnya. Dan langsung dihentakkan menyambar leher orang yang baru datang
itu, yang langsung berdiri tegak tanpa bisa bergrak. Karena tertotok oleh ujung
selendang itu. "Luar biasa!" Niniwulandari mengguman salut. Lalu melesat mendekati sosok yang
kaku itu. Pratiwi menyusul dengan cepat pula.
Dan dilihatnya Niniwulandari telah membopong tubuh yang kaku itu. Luar biasa,
nenek peot itu mampu mengangkat tubuh yang tiga kali lebih berat dari tubuhnya.
Gerakannya pun ringan. Ia mendirikan tubuh yang kaku itu di depan Pratiwi.
"Kerjaan yang hebat, Dewi cabul,"


Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya memuji.
Tetapi Pratiwi tidak gembira, tidak menyambut pujian itu. Dia malah
terbelalak jengkel. Mendengus. Pemuda itu bukan Madewa Gumilang. Bah! Siapa lagi
dia" Kalau tahu begini, biar dihancurkan saja dia oleh Niniwulandari.
Ditolehnya nenek tua itu. "Nenek tua! Bukan ini orang yang kita tunggu!"
Niniwulandari terkejut. Dia
memperhatikan tubuh yang kaku itu dengan seksama. Dan mendengus kesal pada tubuh
itu yang tak lain adalah Genda. Pengurus kuda milik Biparsena yang tengah
mencari Madewa Gumilang.
"Kau benar?" tanya Niniwulandari sangsi. Kuatir Pratiwi menipunya.
"Ya!" Pratiwi meludahi wajah Genda.
Dan tangannya mengayun. Selendang merahnya langsung berubah menjadi tombak dan
menembus tepat di jantung Genda.
Darah segar mengumbar membasahi baju
Genda. Dewi cabul itu jengkel sekali. Dia mengayunkan lagi selendang merahnya
pada tubuh yang ambruk jadi mayat itu, menampar wajah Genda hingga hancur
berantakan. Pemuda yang tengah mencari Madewa itu benar-benar sudah mampus tak
berbentuk. Dan tak sempat mengucapkan sepatah kata pun ketika maut
menjemputnya untuk ikut!
Pratiwi terkekeh senang. Dia
melampiaskan kekesalan terakhirnya dengan menendang tubuh Genda ke sungai hitam.
Byurr! Tubuh itu lambat-lambat tenggelem.
Dan kelebatan yang baru datang ini benar-benar yang mereka tunggu. Madewa
Gumilang. Sedetik dia telah terlambat datang. Kalau saja dia tidak lewat dari
satu detik itu, dia masih bisa
menyelamatkan Genda.
Dia berdiri dengan sikap gagah.
Niniwulandari yang terkekeh melihat kerjaan Pratiwi berbalik dengan sigap.
Matanya menyelidik ke arah pemuda itu. Ia terkekeh lagi. Sementara Pratiwi
langsung berbalik dan tersenyum genit.
Pemuda itu benar-benar jantan, berani datang menyambut tantangannya. Dan
kegagahan serta ketampanan pemuda itu membangkitkan kobaran nafsu birahi
Pratiwi. Ia langsung mengeluarkan ilmu
pengharum tubuhnya sambil menguraikan selendang merahnya yang langsung
menampakkan buah dadanya yang padat dan segar.
Madewa memejamkan mata sejenak
seraya menghimpun hawa murninya. Lalu dia berkata, "Aku sudah datang, Selendang
Merah." Pratiwi terkikik. "Bagus, kau memang pemuda yang jantan.... Dan aku penasaran
terhadapmu."
"Tapi kita tidak punya masalah, Selendang Merah. Kita tidak ada tali permusuhan.
Lalu untuk apa kau
menantangku?"
"Hik... hik... kalau kau mau melayaniku, aku akan melepaskanmu dengan baik-
baik." Wajah Madewa memerah. "Omonganmu kotor, Pratiwi!" geramnya yang membuat Pratiwi
terkekeh. Diam-diam dia semakin mengeluarkan ilmu pengharum tubuhnya.
Dan terlihata Madewa sedikit tersedak.
Tanpa sadar dia sudah menghirupnya.
Lagi-lagi dia menaikkan hawa murninya, untuk mengusir hawa yang menghanyutkan.
Rupanya Niniwulandari sudah bosan dengan basa-basi. Apalagi sejak tadi
diperhatikannya pemuda itu tidak membawa apa-apa, apalagi pedang yang
diimpikannya. Dia langsung membentak, "Hei, Bocah! Serahkan pusaka Dewa Matahari padaku!"
Madewa melirik. Memperhatikan nenek tua ini. Hmm, dia pernah melihat nenek ini,
yang pernah berkunjung ke rumah Biparsena. Dia juga tahu nama nenek itu,
Niniwulandari. "Pedang apa maksudmu, Nenek?"
"Hhh! Kau pura-pura, Bocah! Cepat serahkan padaku!"
Madewa tertawa keras. Menatap
mengejek. "Rupanya kutemui lagi orang tolol! Dengar, Nenek! Aku tidak memiliki
pedang itu. Juga tidak pada almarhum guruku, Ki Rengsersari!"
"Apa maksudmu, Bocah?"tanya Niniwulandari antara tak percaya dan terkejut.
"Kabar Pusaka Dewa Matahari itu hanya kabar bohong belaka! Dan tak ada seorang
pun yang memilikinya!"
"Jangan bohong kau, Bocah!!" geram nenek tua itu jengkel. Ia bersiap hendak
menyerang. Madewa masih tenang saja. Dia harus menyakini nenek tua ini kalau dia
tidak memiliki pedang pusaka itu. Itu lebih baik. Bentrok dengan nenek tua ini
dan si Selendang Merah bisa kacau!
"Aku tidak bohong, Nenek! Kupikir tokoh kosen macam kau tidak termakan kabar
bohong itu, tapi nyatanya, kau juga termakan!"
Diejek begitu wajah Niniwulandari memerah, jengkel.
"Bohong! Kau yang menyebarkan kabar bohong itu! Pedang itu ada padamu!"
"Aku benar-benar tidak mengerti!"
Madewa mengeluh sambil menggeleng geleng. "Demi Dewa Jagat Raya, aku tidak
memiliki pedang itu! Dan aku yakin, tak seorang pun di dunia ini yang memiliki
pedang itu!"
Niniwulandari menggeram marah. Dia sudah merasakan asam garam dalam rimba
persilatan. Dan dia tahu tipuan macam ucapan Madewa. Maka tanpa banyak cakap
lagi, dia langsung menerjang.
Untung Madewa sudah bersiaga sejak tadi. Dia langsung berkelit seraya membalas
dengan tendangan ke arah perut.
Niniwulandari menahan pukulannya.
Menghindar dengan jalan bersalto ke belakang. Tetapi Madewa terus
mengejarnya sambil menendang balik.
"Des!" benturan antara kaki dengan tangan itu menimbulkan suara yang lumayan.
Niniwulandari menggeram dengan
kesal. Dia membalas lagi. Kali ini tangan kanannya menyambar ke bawah. Madewa
mengangkat sebelah kakinya. Justru itu yang fatal. Gerakan tanan kanan
Niniwulandari hanya tipuan. Begitu Madewa mengangkat sebelah kakinya, kaki nenek
tua itu langsung menyambar kaki tumpuan berat badan Madewa.
"Tapi!" Madewa terpelanting. Ketika Niniwulandari mengejar hendak menje-jakkan
kakinya ke perut Madewa,
selendang merah Pratiwi menahan gerakannya. Dan membanting Niniwulandari yang
berontak dengan bersalto hingga tidak jatuh.
Niniwulandari menoleh pada Pratiwi.
Marah. "Apa maksudmu berbuat begitu"!"
"Ingat perjanjian kita!" sahut Pratiwi seraya menarik lagi selendang merahnya.
"Tapi dia tidak membawa pusaka itu!!"
"Hei, Nenek tua! Dia musuhku! Aku yang berhak menghancurkannya. Bukan dirimu
yang tak punya masalah apa-apa dengannya!!"
Niniwulandari menggeram kesal. Lalu berkata dengan sinis, "Baik! Kau selesaikan
dia! Kalau kau tidak sanggup mengalahkannya, dia menjadi bagianku!
Mau kuapakan terserah padaku! Dengar Pratiwi, dia akan kubunuh!"
Madewa yang merasa ada kesempatan untuk bangkit mengambil nafas, memu-lihkan
pernafasannya yang terasa sesak tadi. Dia bersiaga, bersiap menunggu serangan
dari si Selendang Merah.
Pratiwi pun bersiap. Selendangnya di putar-putar yang menimbulkan desingan cepat
dan angin yang agak dingin. Ia mendekat sambil menggoyangkan tubuhnya.
Buah dadanya yang hanya tertutup sedikit begitu menantang pandangan.
Apalagi dengan hawa harum yang
menguar dari tubuhnya, bisa membuat laki-laki langsung bangkit nafsu
birahinya. Tetapi Madewa telah berusaha
mati-matian menahan semua itu dengan hawa murninya.
Pratiwi belum memulai serangannya.
Sebenarnya ia merasa sayang harus mengalahkan pemuda ini yang paling tidak harus
terluka di salah satu bagian tubuh pemuda itu. Belum lagi kalau nenek tua itu
ingin membunuhnya.
Ya, dia harus dapat mengambil
keperjakaan yang terpendam di tubuh pemuda itu dulu.
"Dewi cabul! Tunggu apa lagi" Cepat kau bunuh dia!!" geram Niniwulandari.
Pratiwi menghela nafas dalam-dalam.
Lalu menyalurkan lagi tenaga dalamnya.
Hingga putaran selendangnya semakin cepat dan hebat.
Tak ada jalan lain. Dia harus
menyerang. Daripada nenek tua itu yang lebih dulu membunuh Madewa, lebih baik
dia. Dengan hentakan cepat Pratiwi
mengibaskan selendang merahnya ke leher Madewa. Untung Madewa sudah bersiap
sejak tadi. Dia langsung bersalto ke belakang. Tapi serangan Pratiwi terus
berdatangan. Begitu Madewa berdiri, Pratiwi
memukul dengan tepakan tangan kirinya.
Madewa menangkis.
"Des! Plak! Plak!"
Keduanya terhuyung. Tapi Pratiwi
lebih cepat. Sambil terhuyung begitu, dia mengibas lagi selendangnya. Madewa
cepat berkelit berguling.
Selendang Pratiwi menghantam sebuah pohon hingga berlubang. Dan serangan demi
serangan berlanjut. Keduanya sama-sama tangguh.
Niniwulandari semakin bosan karena Pratiwi belum juga menjatuhkan pemuda itu.
Dia mengibaskan tangannya. Selarik sinar biru keluar dan tertuju pada Madewa.
Sedetik Madewa tidak menghindar,
hangus sudah wajahnya dihantam sinar itu. Pratiwi bersalto karena tersentak.
Dan hinggap di depan nenek sakti itu.
"Tidak perlu membokong! Seranganmu berbahaya!" bentaknya marah.
"Kau bodoh, Pratiwi! Karena nafsumu kau masih main-main dengan bahaya!"
balas Niniwulandari sebal.
"Aku tidak merasa main-main! Aku akan menangkap anak itu!"
"Dia berbahaya, Pratiwi. Lagi pula, dia tidak membawa pusaka itu!"
"Kau mau apa?"
"Aku akan membunuhnya!"
"Hei, kalian orang-orang jahat!"
bentak Madewa jemu. "Cepat kalian
kemari! Akan kucabut nyawa busuk
kalian!!" Niniwulandari mendengus. Berpaling pada Pratiwi. Dan berkata mengejek,
"Lihat, nyawamu atau nyawanya yang hilang!"
Dan Pratiwi berpaling marah pada
pemuda itu. Dengan ganas ia menerjang lagi. Kali ini dia tidak perduli mau jadi
apa pemuda itu. Pikirannya cuma satu, anak itu harus mati! Di tangannya... atau
di tangan nenek sakti itu.
Madewa menghindar, berlompat ke
kiri. Tapi serangan Niniwulandari mengurungkan niatnya. Dia bersalto ke
belakang. Lagi serangan dari Pratiwi datang. Dua buah gelombang serangan yang
dahsyat berusaha dihindarinya dengan mati-matian.
Suatu ketika Niniwulandari
membentak. "Jatuh!"
Mendadak pertahanan Madewa goyah.
Ia terhuyung ke belakang, namun berusaha untuk tidak jatuh.
"Jatuh!"
Madewa terhuyung lagi. Tahu-tahu
dia membentak pula.
"Tidak!"
"Jatuh!"
"Tidak!" Madewa tegak lagi. Jurus Ular Menyimpan Tenaga digunakannya dengan
sempurna. Niniwulandari membentak lagi.
Pandangan matanya berubah menjadi merah.
Ia telah menggunakan ilmu sihirnya. Tapi ilmu itu tetap tak membawa pengaruh
yang besar selain membuat Madewa terhuyung sebentar untuk berdiri tegak.
"Tidak!" seru Madewa sambil menerjang. Niniwulandari tersentak.
Konsentrasinya kuat. Ia tak sempat menangkis pukulan Madewa.
"Des! Aaaah!" Ganti sekarang Niniwulandari yang terhuyung. Madewa mencecar
terus. Dua buah pukulannya mengenai bagian kaki dan wajah
Niniwulandari. Ketika akan melakukan serangan lagi, selendang merah Pratiwi
menangkap tangannya. Dan membantingnya.
Ketika ditarik itu Madewa tidak
menahan, malah mengikuti arah tarikannya. Dan mengempos tubuhnya ke arah
Pratiwi. Pratiwi terkejut. Tidak menyangka pemuda itu berbuat nekat. Dengan begitu dia
mencoba menjajagi berapa besar tenaga Pratiwi. Cepat Pratiwi melepaskan libatan
selendang merahnya dari tangan Madewa.
Dan tangan kirinya menghantam
tangan Madewa. "Plak! Plak!"
Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa berkelit ke samping. Dan bergerak
dengan cepat. "Des!"
Tubuh Pratiwi terhantam kaki
kanannya. Pratiwi mengaduh. Belum lagi
dia berdiri, Madewa sudah menerjang.
Sejak tadi dia merapal pukulan
andalannya. Tak ada jalan lain. Dia dalam
keadaan terdesak. Dia harus mengelurkan jurusnya yang paling ampuh. Kedua
tangannya mengepal. Dan mengeluarkan asap putih.
"Hiaaat!"
Niniwulandari tahu gelagat itu.
Pukulan Bayangan Sukma, siap mencabut nyawa Pratiwi yang masih terhuyung.
Dengan secepat kilat dia bersalto tiga kali dan mendorong tubuh Pratiwi.
"Wuttt!" serangan Madewa lewat di atas kepala dewi cabul itu. Menghantam dua
buah pohon yang berjajaran dan seketika hangus dengan daun berguguran.
Niniwulandari membentak dan ber-
balik. Lagi selarik sinar biru mengarah pada Madewa. Madewa tak sempat mengelak.
Ia menyongsong sinar biru itu.
"Des! Duaaar!"
Ledakan itu terdengar hebat.
Niniwulandari tertawa dalam hati. Pasti hangus tubuh pemuda itu. Demikian pula
Pratiwi, yang sudah tidak menghiraukan keperjakaan pemuda itu. Yang pasti dia
sudah membalas kematian Gundaling.
Namun kedua-duanya terbelalak
kaget. Malah Niniwulandari mengusap-usap matanya, seolah tak percaya pada
penglihatannya sendiri.
Madewa masih berdiri tegak.
Tak kurang suatu apa.
Ketika kedua lawannya sedang
terbengong itu, Madewa membentak dan menerjang. Walaupun masih terbengong,
keduanya bukan jago kemarin. Dengan reflek keduanya menghindar.
Bergulingan. Madewa terbahak.
"Ternyata sinar birumu tak berguna untukku, Nini! Pukulan Bayangan Sukma tetap
nomor satu!"
Bukan main geramnya Niniwulandari.
Selagi pemuda itu meleng, dia melepaskan lagi pukulan jarak jauhnya.
"Siing!"
Madewa terkejut. Dia telah dibuai oleh kemenangannya. Tak ampun tubuhnya
terhantam pukulan itu. Dia terguling.
Jatuh. Dan muntah darah.
Dia tidak siap dengan ilmu pukulan bayangan sukmanya. Maka dia kena
terhantam. Kalau saja bukan Madewa, mungkin orang itu sudah mati hangus tak
berbentuk. Walaupun begitu, Niniwulandari
terbahak melihat hasil kerjanya.
"Pratiwi! Kau bunuh dia!"
Tertatih selendang merah bangkit.


Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemarahannya sudah ingin meledak di ubun-ubun. Tanpa membuang waktu lagi, dia
mengayunkan selendang merahnya. Siap mencabut nyawa Madewa!
Tetapi tiba-tiba dari atas pohon
terdengar tawa terkekeh-kekeh, panjang.
Sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam dengan penutup wajahnya tergelak-gelak
sambil menggoyang-goyangkan kaki. Di tangan kanannya terdapat sebuah pedang
aneh, karena pedang itu mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata.
Mereka terkejut. Madewa heran,
apakah orang itu Buntoro" Bukankah dia sudah mampus"
Pratiwi terbelalak. Sejak tadi dia tidak mendengar adanya orang di atas pohon
itu. Pasti sejak mereka bertempur dia sudah berada di sana.
Niniwulandari lebih kaget lagi.
Pedang di tangan orang itu dikenalnya.
Pedang kepunyaannya. Pusaka Siluman Mata Air!
Hei, mengapa pedang itu ada padanya"
Apakah orang ini yang telah membunuh Kebo Winata dan merebut pedang itu"
Kemarahan Niniwulandari semakin naik. Tanpa basa-basi lagi dia menyerang.
Pukulan jarak jauhnya mengibas orang asing itu.
Tapi orang itu cepat melentingkan tubuhnya dan hinggap di tanah dengan sempurna.
Seolah sebuah kapas yang jatuh dari atas. Sementara ranting kecil yang
didudukinya itu hancur terkena pukulan jarak jauh nenek tua itu.
Orang itu terbahak.
"Ha... ha... nenek peot! Aku menampakkan diri sekarang! Dengarlah kau, Nenek
peot! Akulah yang telah
membunuh Kebo Winata, dan merebut pedang pusakamu ini!
Sekarang jika kau menginginkannya, rebutlah dariku!" Orang berpakaian hitam-
hitam itu terbahak, lalu
menyambung lagi, "Nenek peot, apa yang dikatakan pemuda itu benar! Tentang
Pusaka Dewa Matahari adalah kabar bohong!
Kau tak perlu kaget! Dan kau Madewa, akulah orang yang selama ini kau cari!
Akulah yang menyebarkan kabar bohong itu untuk gurumu, Ki Tua yang telah
mampus!" Madewa terbelalak gusar. Sakit
tidak dirasakannya lagi. Pengakuan yang telah lama ditunggu-tunggunya. Tajam ia
menatap orang itu.
"Bangsaaat!!" geramnya marah. "Kau harus membayar semua perbuatanmu itu dengan
nyawamu!" Orang itu geleng-geleng kepala.
"Jangan mimpi, Bocah. Apa bisamu, hah"!"
Sejak tadi yang tidak mengerti hanya selendang merah. Dia hanya kaget karena
tidak mengetahui adanya orang berpakaian hitam-hitam itu. Dan terbengong-bengong
mendengar orang-orang itu adu mulut.
Tetapi kemudian dia tanggap. Orang itu yang telah mencuri pusaka Siluman Mata
Air milik Niniwulandari dan penyebar kabar bohong tentang adanya pusaka dewa
matahari. Tapi apa tujuan orang itu melakukan ini semua"
Pratiwi mencetuskan keherannya,
"Kisanak, tanpa tujuan yang pasti, kau tentu tidak akan melakukan semua itu, bukan?"
Orang itu tergelak lagi. Merasa lucu dengan pertanyaan Pratiwi. "Ha... ha...
perempuan cabul, kau pintar omong juga rupanya! Kukira yang kau tahu hanya nafsu
birahi saja!" Tanpa menghiraukan wajah Pratiwi yang memerah, orang itu
melanjutkan, "Baiklah, kalian dengarkan semua! Memang pedang siluman mata air
ini kurebut dari Kebo Winata, yang telah berhasil merebutnya dari nenek peot
itu. Kalian tentu heran, kenapa aku bisa membunuh Kebo Winata" Ha... ha... racun
kelabang hitamku bekerja dengan ampuh pada air yang kusuguhi untuknya!"
Sampai di situ orang itu bicara, terdengar sahutan,
"Keji!"
"Tak ada jalan lain, Selendang Merah. Tubuh yang telah tak berdaya itu
kuhancurkan dengan pedangku! Dan
kubuang! Mudah, bukan!"
"Lalu apa maksudmu menyebarkan kabar bohong itu untuk guruku"!" bentak Madewa
yang dari tadi tak tahan untuk bicara, wajahnya memerah menahan marah.
"Ha... ha... muda saja! Biar orang-orang yang gila akan pusaka Siluman Mata Air
beralih pada Ki
Rengsersari yang memiliki pusaka Dewa
Matahari! Dan aku terbebas dari
orang-orang gila itu!
Hanya yang disayangkan, Ki
Rengsersari memiliki seorang murid, yang bisa menjadi duri bagiku! Yang menjadi
bukti terkuat, kalau kabar itu
benar-benar kabar bohong. Dan murid itu adalah kau, Madewa"
Sampai di situ, orang itu menyerang Madewa. Lengan kirinya mengembang membentuk
cakar, sasarannya adalah jantung!
Madewa berkelit lagi. Padahal dia tengah menutupi kekagetannya. Jarang orang
yang bisa menghindar dari serangan cakar macanya. Ketika dia akan menyerang
lagi, Pratiwi berseru, "Tahan!"
Orang itu melirik mengejek. "Hmm, mau apa kau, Dewi cabul?"
"Sebelum berakhir semua ini, aku ingin tahu namamu, Kisanak...."
Belum habis kalimat Pratiwi, Madewa memotong, "Biar aku bisa menulis namamu di
batu nisanmu nanti!"
Kalau tidak tertutup topeng hitam itu, pasti mereka dapat melihat betapa
memerahnya wajah orang itu. Tetapi dia hanya tertawa, padahal dalam hatinya
geram bukan main. Akan dihabisinya nanti pemuda sialan ini!
"Ha... ha... bagus, bagus! Camkan nama besarku baik-baik! Orang-orang menyebutku
pendekar Cakar Macan alias Bayangan Hitam alias...."
"Kambing kentut!" dengus Nini wulandari yang sudah tidak dapat menahan
jengkelnya. Baru sekarang ditemukannya orang yang telah merebut pedang
pusakanya. Dan orang itu berani-
beraninya muncul!
Punya ilmu macam apa dia" "Nenek peot yang pemarah!" sahut bayangan hitam dengan
nada mengejek. "Tak perlu marah-marah! Jika kau ingin merebut kembali pedangmu
ini, rebutlah! Cuma ingin, mengalahkanmu semudah membalikkan telapak tangan,
Nenek peot!!"
Niniwulandari menggeram marah.
Sekarang Madewa Gumilang tidak
dipersoalkannya lagi, karena pemuda itu benar-benar tidak memiliki pedang pusaka
dewa matahari. Kini ia berbalik pada Bayangan
Hitam. Ia menyerang bercampur hentakan tenaga dalam yang mengalir melalui
tatapannya. Bayangan hitam tahu serangan diam-diam itu. Namun kelihatan dia
tenang-tenang saja. Seolah serangan diam-diam itu tidak dirasakannya. Dia malah
tenang-tenang saja dengan mata berkedip-kedip.
Dan tahu-tahu, Niniwulandari
mengaduh pelan. Tenaganya berbalik menimpanya sendiri. Matanya sangat pedih.
Itulah yang dinamakan ajian bayangan hitam, yang membuat orang bisa termakan
tenaganya sendiri.
Si Bayangan Hitam terbahak, "Ilmu tak berguna kau pamerkan kepadaku! Kau cari
mati saja, Nenek peot!"
Niniwulandari geram bukan main.
Tahu-tahu dia berteriak dan menerjang dengan pukulan serentak. Bayangan hitam
berkelit dengan cepat. Geraknya cocok sekali dengan tingkatan ilmunya, yang
dapat bergerak bagaikan bayangan.
Tak satu pun serangan Niniwulandari yang masuk.
Bayangan hitam bersalto ke
belakang. "Kenapa hanya kau yang menyerangku, Nenek peot! Kau pun boleh menyerangku,
Madewa! Musuh besarmu berada di sini sekarang! Jangan sungkan, balaskan dendam
Ki Rengsersari! Tetapi ingat, mengalahkanmu juga tak sesulit
mengalahkan nenek peot itu!!"
Justru yang geram adalah Pratiwi.
Setidaknya, dengan datangnya Bayangan Hitam, perhatian Niniwulandari terlepas
dari Madewa. Dan ia tak mungkin bisa mengalahkan Madewa sendiri.
Tanpa banyak cakap lagi, dia
mengelebatkan selendang merahnya.
"Wuuutt!"
Dengan tangkas Bayangan Hitam menghindar. Sambil melompat itu dia berseru,
"Ha... ha... Selendang Merah rupanya turun tangan juga! Baiklah, kalian jangan
sungkan! Keroyoklah aku! Dan
kalian akan merasakan serangan kalian itu sia-sia!!"
Sehabis berkata begitu, di Bayangan Hitam meloloskan pedangnya. Benar-benar
sebuah pedang yang hebat dan
diimpi-impikan oleh orang-orang rimba persilatan!
Pedang itu memancarkan sinar putih yang luar biasa terangnya. Keadaan malam yang
gelap itu seperti pada siang hari.
Dan bagi yang mempunyai tenaga dalam lemah, bisa buta kedua matanya terkena
sinar pedang itu.
Masing-masing menahan serangan
diam-diam itu dengan menghimpun tenaga dalam mereka.
"Ayo maju! Tunggu apa lagi?" ejek Bayangan Hitam. "Kita buktikan siapa yang
digjaya! Anggaplah kita tengah mengadakan pertandingan perebutan pusaka Siluman
Mata Air! Tetapi ingat, pertarungan ini mempertaruhkan nyawa!
Yang masih sayang dengan nyawanya, lebih baik mundur! Tidur di rumah dan menyusu
pada ibu kalian!"
"Bangsat! Jangan banyak omong!
Serahkan pedang itu padaku, Bayangan Hitam!" geram Niniwulandari seraya
menyerang ke depan. Bayangan Hitam dengan lincah menghincar serangan itu.
Melihat serangannya luput,
Niniwulandari menjadi geram bukan main.
Apalagi pusaka yang dipegang Bayangan
hitam itu membuatnya semakin bernafsu untuk merebut.
Tetapi kali ini, ketika dia bergerak lagi, Bayangan Hitam mengibaskan pedang
itu. Nenek tua itu menjerit kaget dan bersalto menghindar. Namun tak urung
pakaiannya terkena dan hangus terbakar.
Bayangan Hitam tergelak-gelak. Yang lain memandang kagum dan terkejut.
Pedang yang ampuh itu semakin hebat rasanya di tangan orang yang memiliki ilmu
pedang. Seperti si Bayangan Hitam.
Madewa merasa dia harus menyerang pula. Selagi musuh besarnya berada di sini.
Dilupakannya masalahnya dengan Pratiwi dan Niniwulandari. Dan agakaya keduanya
juga melupakan masalah itu.
Dia menghimpun ilmu pukulan
bayangan sukma tingkat tinggi, karena Madewa tahu ilmu yang dimiliki Bayangan
Hitam. Dan menghantam orang itu dengan cepat. Bayangan Hitam menerjang dengan
sambaran pedangnya. Kelitan pedang itu dihindarinya dengan meloncat, tetapi
pukulannya tetap deras ke depan.
Bayangan Hitam berbalik dan mengibaskan pedangnya lagi. Lagi Madewa menghindar,
malah kakinya sempat menyampok tangan kiri orang itu.
"Des!"
Bayangan Hitam terhuyung. Madewa melanjutkan serangannya tetap dengan ajian
saktinya. Tak ada jalan lain.
Dengan terhuyung itu Bayangan Hitam memapaki serangan Madewa.
"Des!"
Kedua-keduanya terpental. Bayangan Hitam kaget juga melihat serangan hebat itu.
Tangannya terasa ngilu. Dan nyeri dirasakan.
Demikian pula dengan Madewa,
pukulan bayangan sukmanya ternyata tak membawa pengaruh pada lawannya itu.
Dia membetulkan sikapnya berdiri.
Belum lagi dia menyerang, Pratiwi sudah menyambarkan senjatanya. Tetapi Pratiwi
menjadi kaget sendiri. Disangkanya dalam posisi yang goyah itu dia akan mudah
mendaratkan selendangnya, namun
dugaannya meleset.
Selendangnya langsung putus dan
terbakar tersabet pedang pusaka itu.
"Bangsat!" geram Pratiwi marah.
"Kau telah merusak selendangku!"
"Ha... ha... tak ada gunanya kau mengomel, Pratiwi! Karena nyawamu akan kucabut
saat ini juga! "Baik! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" Pratiwi menerjang lagi.
Sungguh berbahaya. Dia berani memasuki lingkaran kibasan pedang pusaka itu.
Nini Wulandari berseru
memperingatkan,
"Hati-hati, Dewi cabul!" Lalu dia sendiri memasuki ajang pertempuran.
Dikeroyok begitu, Bayangan Hitam
masih tenang-tenang saja. Pedangnya
terus berkelebatan kesana kemari. Sampai sekian jurus kedua pengeroyoknya belum
mampu menyentuh tubuhnya. Malah dia yang telah melukai kedua pengeroyoknya!
Lengan kiri Niniwulandari tergores dan hangus. Sedangkan Pratiwi telah telanjang
bulat karena dengan cabulnya Bayangan Hitam merobek seluruh bagian baju Pratiwi
dengan pedangnya.
Pratiwi mejerit. Dia berusaha
menutupi tubuhnya dengan pakaian yang compang-camping. Dan buru-buru mengambil
sisa selendangnya dan membelitkan ke tubuhnya. Walaupun begitu tetap tak banyak
gunanya. "Biadab! Cabul kau, Bayangan Hitam!"
Bayangan Hitam malah terbahak-
bahak. Senang melihat tubuh Pratiwi yang putih mulus. Dia sengaja tak melukai
tubuh indah itu. Lebih asyik mengoyak pakaian selendang merah!
Sementara Pratiwi kalang kabut,
Niniwulandari menekap lukanya. Terasa perih sekali. Kalau saja Bayangan Hitam
tidak memiliki pusaka itu, pasti dengan mudah dikalahkannya. Biarpun terluka,
Niniwulandari bertekad, akan mengadu jiwa dengan orang itu.
Tanpa menghiraukan rasa sakitnya
lagi, dia nekad menyerang.
"Ha... ha... keluarkan semua ilmumu, Nini!"
Jelas ini merupakan ilmu pamungkas dari nenek tua itu. Ilmu kebalnya dikerahkan
sampai ke tingkat pamungkas.
Dia berharap, ilmu menghimpun tenaga matahari mampu menahan serangan pusaka itu.
Bayangan Hitam agaknya mengenal ilmu itu, dia berusaha menjaga jarak walaupun
dia memegang pedang.
Pukulan Niniwulandari bisa
dihancurkan tubuhnya jika dikehendaki.
Dan nenek tua itu menghendakinya!
"Awas!!"
Bayangan Hitam berkelit. Bersalto ke atas. Di saat tubuhnya melayang itu,
Pratiwi menerjang. Pukulannya tepat mengenai pinggang Bayangan Hitam. Namun
semua itu harus dibayar mahal. Lengan kirinya buntung ditebas pedang pusaka!
"Aaaah!" Keduanya menjerit bersamaan. Tetapi Pratiwi ambruk, sedangkan Bayangan
Hitam hanya mengeliat.
"Dewi cabul!"
jerit Madewa terkejut. Biar bagaimana pun bencinya dia pada Pratiwi, tetap! melihat wanita
itu menggeliat kesakitan, amarahnya timbul. Sejak tadi dia diam, karena berusaha
melihat titik kelemahan ilmu pedang Bayangan Hitam dengan ilmu pandangan
menembus sukma.
Dan dia akan menghancurkan orang
itu! Bersamaan dengan jerit yang
mengerikan, Madewa menyerang. Bayangan Hitam mengibaskan pedangnya. Madewa
bersalto. Di saat bersalto itulah dia ingat akan keajaiban yang kerap datang
membantunya. Tetapi mengapa tidak datang! Mana tenaga yang bisa membalikkan
serangan lawan mengenai dirinya sendiri"
Mana" Bayangan Hitam mengejar. Kali ini dibarengi dengan jurus cakar macannya.
Madewa tidak sempat berkelit. Cakar macan itu mampir di pinggangnya. Tetapi
dirasakan oleh Bayangan Hitam kalau pinggang itu terasa keras. Dan tangannya
terasa panas. Buru-buru dia melirik tangannya.
Madewa heran melihat musuhnya
menjerit. Dia baru sadar, orang itu mencengkram seruling naga pemberian gurunya.
Ingat itu, Madewa berpikir.
Yah... dia harus menggunakan seruling sakti itu.


Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan cepat dia mencabut seruling itu. Dan ingat lagi akan petuah gurunya,
kalau seruling itu tidak bisa digunakan dalam keadaan bernafsu atau marah.
Cepat-cepat dia menenangkan
dirinya. Dan duduk bersila dengan menghimpun tenaga dalamnya.
Niniwulandari menjerit jengkel.
"Pengecut!" serunya melihat Madewa duduk. Dalam medan laga, pantangan besar bagi
kesatria untuk duduk. Itu tanda menyerah! "Percuma kau sebagai murid
tunggal Ki Tua yang sakti itu, kalau menyerah!"
Madewa menyahut pelan, "Biar dia menyerangku, Nenek! Aku ingin tahu sampai di
mana kehebatannya!"
"Pengecut!" Niniwulandari menyembrut gusar. Hhh! Dia berbalik pada Bayangan
Hitam yang berdiri
tenang-tenang saja. Niniwulandari menyerang lagi. Tetapi kembali dia ambruk.
Kali ini Bayangan Hitam tak ampun lagi. Dia menyabet mati nenek tua itu.
Hilanglah sudah nyawa nenek sakti itu.
Dalam ajalnya dia masih sempat menjerit,
"Bunuh dia, Madewa!" Lalu mati!
"Nenek tua!" jerit Madewa kaget.
Sementara musuhnya tertawa terbahak.
"Jangan kau tangisi dia, Madewa!
Sekarang hadapilah aku! Sudah kukatakan, kalau hidup kalian hanya sampai di
sini!" Madewa mendengus gusar. Tatapannya nyalang. Ia menyahut angker, "Baiklah...
sekarang seranglah aku!"
Ha... ha... kau sombong. Baik. Kau lihat seranganku! Awas serangan!"
Bayangan Hitam memainkan gerakan
ilmu pedangnya. Dan menyerang. Madewa tetap duduk dengan tenang. Dengan gerakan
tenang pula dia memainkan serulingnya. Meniup dengan perlahan.
Tetapi suara seruling itu seakan
membakar telinga Bayangan Hitam yang sedang bernafsu. Jika yang menyerang itu
marah, maka kerja seruling itu lebih
cepat. Bayangan Hitam menjerit. Dan melompat ke belakang.
"Seruling Naga!"
Tetapi Madewa terus meniup seruling itu, N-danya semakin menyentak dirasakan
oleh telinga musuhnya. Dia menjerit.
Tenaga dalam dan hawa murninya serasa tidak bekerja menahan serangan seruling
itu, karena dia telah dikuasai oleh seruling itu.
Tiba-tiba dia menerjang dengan
diiringi jeritan nyaring. Pedangnya terhunus langsung ke arah jantung.
Madewa tetap meniup seruling itu. Dia berdoa, semoga seruling itu mampu menahan
serangan yang berbahaya. Tetapi pedang itu terus terhunus ke arahnya.
Seruling tidak mampu menahan! Kesempatan untuk bergerak pun susah. Tak ada detik
untuk mengelak. Inilah ajal bagi Madewa"
Tetapi keajaiban itu muncul lagi.
Belum sampai pusaka itu menyentuh tubuhnya, orang itumsudah jumpalitan dan jatuh
muntah darah. Lagi-lagi Bayangan Hitam berteriak,
"Rumput kelangkamaksa!"
Madewa menghentikan meniup
serulingnya. Dia mendengar teriakan orang itu. Rumput" Oh, Dewa... rupanya
khasiat air rumput ajaib itu yang menjadikannya sehebat ini.
Pantas, keajaiban itu tidak datang lagi. Rupanya orang yang menggunakan ini
harus dalam keadaan tenang pula.
Di saat Bayangan Hitam kelojotan, Madewa meniup serulingnya lagi.Tubuh itu
semakin kelojotan. Terlihat dari hidung dan mulut Bayangan Hitam mengeluarkan
darah. Pedang pusaka Siluman Mata Air terlepas dari genggamannya. Mengheran-kan,
Hantu Wanita Berambut Putih 3 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Anak Rajawali 5
^