Pencarian

Pedang Pusaka Dewa Matahari 2

Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari Bagian 2


tangan. Tangan yang satunya lagi mengepal. Dan mendadak mengeluarkan asap.
Inilah puncak ilmu Keduanya.
Keduanya menamakan golok kembar mengacau gunung. Murid Ki Rengser hanya pantas
dilawan oleh ilmu golok macam ini.
Madewa yang dua kali menghalau
serangan mereka pada Genda, terkejut.
Dia tidak bisa menahan serangan itu kalau hanya dengan bersembunyi. Dia harus
menampakkan diri.
Maka dia melompat. Dengan sekali salto saja dia sudah berdiri di hadapan
keduanya, melindungi Genda yang
menggigil ketakutan.
Keduanya terbelalak. Tapi kemudian menggeram.
"Mau apa kau" Jangan halangi perbuatan kami!"
"Perbuatan yang salah, harus dihalau! Aku bertugas melakukannya!"
sahut Madewa tenang.
"Bangsat!" dengus Caraka. "Siapa kau?"
"Kau sedang mencari siapa tadi?"
sahut Madewa lagi.
"Muridnya Ki Rengser!"
"Nah, sekarang muridnya itu sudah berdiri di hadapan kalian! Kalian mau apa"!"
Keduanya terbelalak, tak percaya.
Menoleh pada Genda yang sedang menatap Madewa. Tak percaya pula. Tapi kemudian
dia menghela nafas lega. Buru-buru dia melongok pada kedua orang itu.
"Nah, benarkah" Bukan aku orangnya yang menjadi murid Ki Rengser! Malu tuh!"
katanya meledek, lalu akan melangkah.
Tapi Caraka membentak, "Jangan pergi kau! Hei, kawan! Benar kau muridnya Ki
Rengser?" Madewa mengangguk sambil tersenyum.
"Akulah murid tunggalnya, Madewa Gumilang!"
"Bagus! Sekarang serahkan pedang pusaka dewa matahari kepada kami!
Cepat!" "Jangan mimpi, Kawan. Aku tidak memiliki benda itu! Sekarang kuminta, cepat
pergi dari tempat ini sebelum aku marah!"
"Bangsat cilik! Kau sangka kami takut"!"
"Mungkin tidak kalau kalian sudah tidak sayang dengan nyawa kalian!"
"Setan kau!" geram Caraka dan Tikam berbarengan. Mereka menyatukan tenaga lagi.
Dan serentak menggeram serayo menyerang. Golok kembar mengacau gunung, membuat
Madewa agak kaget. Dia tidak berani mengadu tenaga, buru-buru dia menghindar.
Sepasang golok itu meleset.
Dan memakan pohon di depannya, yang langsung tumbang sekali tebas.
Genda semakin ketakutan. Dia
bersembunyi di balik batu besar.
Madewa tersenyum. Ilmu yang bagus.
Dia mulai menghimpun tenaga. Pukulan bayangan sukma merangkum di tangannya.
Ketika kedua orang itu menyerang, kali
ini Madewa menyambut. Sama dengan teriakan yang menggelegar.
Dua buah tenaga besar beradu,
akibatnya menjadi. kacau. Keduanya terpental ke belakang. Tempat itu seakan
bergoncang. Debu berkepul tebal.
Madewa langsung bersalto dan
berdiri dengan kedua tangan bersatu di dada. Menghimpun nafas dan tenaganya.
Sementara kedua orang itu jatuh ambruk dan tak bernafas lagi.
Genda yang sudah setengah mampus ketakutannya, menghela nafas lega dan tenaga
membuka matanya. Tidak seberapa tenaga kedua orang itu. Dia pun tadi bisa
mengimbanginya dengan jurus Tembok Menghalau Badai.
"Terima kasih, Tuan penolong. Kalau tidak ada Tuan, pasti saya sudah mati,"
terdengar suara Genda sopan. Orangnya membungkuk hormat di hadapan Madewa.
Madewa tersenyum.
"Kebetulan saja aku melihat semua ini."
Tuan ini melihatnya" Oh, kalau
begitu pasti dia yang menolongnya dari sabetan golok dan terjangan kedua orang
itu. Sekali lagi Genda berterima kasih.
"Kalau boleh saya tahu, benarkah Tuan muridnya Ki Rengsersari?"
Madewa tersenyum lagi.
"Jangan panggil aku Tuan. Yah, kebetulan aku murid tunggalnya Ki Rengser.
Kenapa?" "Oh!" Genda celingukan seolah kuatir ada yang mengintip. "Tuan harus berhati-
hati. Orang-orang jago sedang ramai mencari Tuan."
"Kenapa mereka mencariku?"
"Karena Tuan membawa pusaka dewa matahari itu."
"Oh, Tuhan. Lagi-lagi pusaka itu,"
Madewa mengeluh. Dalam hati
dia menyambung, benar-benar isu yang menghancurkan. Dia semakin ingin bertemu dengan
orang yang menyebarkan kabar bohong itu. Ah, mungkinkah Genda bisa
dimanfaatkannya"
"Ya, Tuan. Sebaiknya Tuan
bersembunyi saja. Oh, bagaimana kalau di tempat saya?"
Madewa menatap laki-laki kurus itu.
"Kalau tidak keberatan?"
Genda menggeleng. "Karena Tuan orang baik, dan sudah menolongku."
"Baiklah. Mungkin untuk sementara ada baiknya aku tinggal di rumahmu."
Keduanya mulai melangkah.
Malam mulai merambat, ketika Genda datang dari bekerja. Setiba mengantar
Madewa ke rumahnya, Genda langsung berangkat bekerja, sebagai perawat kuda-kuda.
Ia membawa beberapa bungkus makanan ketika pulang.
Keduanya makan di temani lilin
kecil. "Kata Tuan tadi siang, Tuan mau bercerita tentang kedatangan Tuan ke daerah ini.
Boleh dilanjutkan?"
Madewa mengangguk. Ia menyelesaikan makannya dulu. Lalu, "Ya, aku memang ada
perlu.... Benar ceritamu, guruku dan Gundaling, mati saling bunuh. Sedangkan
Bandartaman, mati di tangan Pratiwi, si Selendang merah. Tapi masalah pedang
itu, tidak ada padaku. Juga tidak pada guruku. Ketahuilah Genda, sebenarnya
pusaka itu tidak ada pada guruku. Guruku tidak memilikinya. Itu hanya kabar
bohong yang diberitakan orang yang iri pada guruku...."
"Jadi?" potong Genda tidak sabar.
"Ya, pusaka itu hanya kabar bohong saja. Kedatanganku pun, ingin mencari orang
yang menyiarkan kabar bohong itu.
Yang telah membuat hidup guruku tidak tenang. Dan mati secara mengerikan."
Terkenang lagi semua yang terjadi di benak Madewa. Pertama dia bertemu Ki
Rengsersari. Diangkat jadi murid.
Belajar. Diberi nasehat. Dan hari yang menentukan itu, sebelum gurunya sempat
beristirahat, maut telah menjemputnya!
Madewa mendesah.
Genda jadi tidak enak. Dia merasa bersalah karena mengembalikan ingatan Madewa
tentang kejadian sedih itu.
"Ah, sebaiknya Tuan tidur saja dulu.
Besok baru kita bicarakan soal ini lagi."
"Sebentar Genda. Kau bisa
membantuku"'
"Bantu apa?"
"Pergaulanmu luas. Temanmu banyak.
Kau pasti bisa menemukan kabar-kabar baru untukku. Kalau ada yang bicara tentang
pusaka itu, beritahukan padaku.
Bisa kau?"
"Untuk Tuan aku akan melakukannya."
"Terima kasih, Genda. Kau tidurlah lebih dulu."
"Aku tidak mengantuk, Tuan."
"Aku juga. Kita lanjutkan obrolan ini?"
"Terserah, Tuan."
Madewa hanya mengangguk. Dan
obrolan itu terus berlanjut. Sampai kokok ayam terdengar, mereka masih asyik
bicara. Tanpa terasa ngantuk.
Genda sudah bersiap hendak
berangkat bekerja lagi keesokan harinya.
Ia berpesan pada Madewa, agar jangan ke mana-mana, karena keselamatannya tidak
menjamin. "Aku tidak akan jauh dari rumah ini," sahut Madewa tersenyum. Sahabat barunya
ini begitu menguatirkan
keselamatannya.
"Baiklah, Tuan. Kupikir, Tuan juga mampu menghalau setiap serangan yang datang.
Aku berangkat dulu, Tuan."
Madewa mengangguk. Genda pergi dengan langkah pelan. Rumah majikannya tidak jauh
dari tempat tinggainya. Beberapa saat kemudian dia sudah tiba di sana. Dan
langsung menuju ke kandang kuda.
Kuda-kuda itu sehat. Berjumlah sepuluh ekor. Majikannya memang orang yang kaya.
Bertubuh gendut. Dia seorang duda.
Istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya yang cuma semata wayang. Dan
majikannya itu tidak ingin menikah lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan rohaniahnya, dia tinggal mendatangi tempat 'kupu-kupu
cantik' bersarang yang memang dia sendiri yang mengelolanya. Atau
mendatangkannya dua orang yang masih muda dan cantik ke rumahnya.
Herannya, anak gadisnya yang tumbuh menjadi kembang yang sangat cantik, tidak
tahu akan hal itu. Biparsena memang
hebat menyembunyikan belangnya dari anaknya, Ratih Ningrum.
Kadang-kadang Genda juga heran,
majikannya yang jelek itu punya anak secantik Ratih Ningrum.
Ketika dia sedang mengelurkan
kuda-kuda itu untuk dibawa ke padang rumput, gadis itu sudah berdiri di pintu
kandang. "Kang gendang," panggilnya dengan suara yang lembut.
Genda terkejut. Dia bisa kena marah oleh majikannya karena anak
kesayangannya berada di tempat kotor ini.
"Ada apa, Den Putri?" tanyanya hormat.
"Saya ingin jalan-jalan."
"Oh, silahkan. Tinggal pilih kudanya, Den Putri. Saya akan urusi nanti."
"Biar aku yang mengurusnya."
"Jangan, Den putri. Nanti kena marah ayah."
"Tidak! Ayah lagi ada tamunya. Nggak tahu siapa. Nenek tua yang genit!"
Ratih Ningrum menunjuk kuda tinggi yang berwarna putih. Genda buru-buru memasang
perlengkapan kuda itu. Lalu,
"Silahkan, Den putri."
Ratih Ningrum meloncat ke atas kuda.
Ia berkata pada Genda, "Kalau ditanya Ayah, aku pergi jalan-jalan!"
"Iya, Den putri!"
Ratih Ningrum menggeprak kudanya yang langsung meloncat dengan indah.
Genda geleng-geleng kepala. Kecantikan gadis itu begitu memukaunya. Penuh pesona
yang sukar ditepiskan. Ah, apa-apaan dia melamunkan gadis itu. Mimpi! Jangan
suka berkhayal, nanti jadi pusing sendiri.
Ia melanjutkan pekerjaannya lagi.
Dari arah samping terdengar suara majikannya, "Jadi itu keputusanmu, Nini?"
Nenek Tua yang berdiri di sampingnya mengangguk.
"Tidak ada jalan lain, tinggal dia satu-satunya yang diharapkan," kata nenek tua
yang tidak lain adalah Niniwulandari.
"Baik! Akan saya usahakan untuk mendapatkannya!"
"Bagus, Biparsena! Kau seorang murid yang jempolan. Mengerti kemauan gurunya!
Aku permisi. Sambil mencari tahu tentang orang itu."
"Hati-hati, Nini!"
Niniwulandari terkekeh. Langkahnya tidak mencerminkan seorang nenek tua yang
lemah. Tapi penuh gairah dan tenaga.
Ia melangkah dengan tegap.
Biparsena mengusap-usap dagunya.
Rupanya yang dicari gurunya itu telah tiba di sini. Bagus, kita akan
mencarinya! Genda masih bekerja. Dia pura-pura menggosok kuda itu ketika majikannya menoleh.
"Kemari sebentar, Genda!"
"Ya, Tuan!"
"Aku punya tugas untukmu!" "Tugas apa, Tuan."
"Cari keterangan, tentang orang asing yang masuk ke daerah ini."
"Maksud Tuan?"
"Kemungkinan besar orang asing itu akan merusak daerah kita ini. Dikabarkan akan
adanya bencana yang besar bagi daerah ini. Makanya kau cari tahu siapa saja yang
datang. Mengerti?"
"Mengerti, Tua."
Biparsena mengangguk puas.
"Tadi kulihat Ratih Ningrum berada di sini" Di mana dia sekarang?"
"Sedang jalan-jalan dengan
menunggang kuda, Tuan."
"Hmm, bagus kalau begitu. Nafsu syahwatku sudah tidak kuat kubendung lagi.
Tolong panggil dua wanita muda yang cantik ke mari. Cepat Genda, aku sudah tidak
tahan!" "Baik, Tuan!"
Yah, memang hanya pembantu-pembantu setianya saja, Biparsena mau membuka
rahasia, kalau dia membuka tempat praktek pelacuran di daerah ini. Genda pun
tahu tempatnya. Dia memilih dua orang yang cantik dan membawanya ke rumah
majikannya. Tak kalah kemudian, dari kamar itu terdengar nafas rintihan dan erangan.
Hari sudah agak siang ketika Ratih Ningrum berniat untuk kembali. Ia memutar
haluan kudanya. Ketika melewati rumah Genda, dia melihat seorang pemuda sedang
melamun di depan rumah itu.
Ratih Ningrum heran. Bukankah hanya Genda yang menghuni rumah itu" Lalu siapa
orang itu. Jangan-jangan dia mau berbuat jahat.
Ratih Ningrum bukan gadis penakut.
Apalagi ayahnya berkuasa di sini.
Perlahan menjalankan kudanya mendekati pemuda yang tak lain Madewa Gumilang.
Pemuda itu kaget mendengar langkah kuda mendekatinya. Juga kaget melihat
betapa cantiknya penunggang kuda itu.
Baru kali ini Madewa melihat gadis secantik dia.
Ratih Ningrum jadi agak malu dengan tatapan Madewa yang jelas mengagumi
kecantikannya. Dia membentak, "Hei, kamu siapa"!"
Madewa tergagap. Lalu tersenyum
sambil buru-buru berdiri.
"Oh, saya bernama Madewa Gumilang, Nona."
"Kamu sedang apa di sini?"
"Duduk-duduk saja."
"Maksudku... di rumah ini?"
"Oh, aku tinggal bersama Genda, sahabatku, Nona. Sekarang dia sedang bekerja di
keluarga Biparsena."
Melihat tingkah pemuda itu sopan, kecurigaan Ratih Ningrum menghilang.
"Aku baru tahu kalau Genda punya teman...."
"Saya teman barunya, Nona." Mata Madewa tetap tidak berpaling sedikit pun dari
wajah Ratih Ningrum. Masih tetap menikmati kecantikan itu selagi gadis itu masih
ada. "O ya, namaku Ratih Ningrum."
"Nama yang indah. Secantik
orangnya," puji Madewa setulus hati.
Wajah Ratih Ningrum memerah. Baru kali ini dia mendengar pujian dari seorang
pemuda yang begitu terus terang.
Berulang kali di mendengar pemuda-pemuda mengagumi kecantikannya, tapi hanya
secara sembunyi-sembunyi.
Wajah yang memerah itu, semakin
menambah kecantikannya. Madewa
geleng-geleng kepala. Mendesah.
"Saya gembira sekali bisa
berkenalan dengan gadis cantik macam, Nona."
"Panggil aku, Ratih," kata Ratih sambil menunduk. Menghindari tatapan Madewa
yang terus menerus. Mendadak dadanya bergetar. Tatapan itu pun mempesonanya.


Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatapan yang tulus. Tidak ada
gairah yang menjijikkan. Ia
menenangkan gemuruh dadanya. "Ah, hari ini sudah siang! Aku permisi dulu,
Madewa!" "Tunggu sebentar, Nona! Boleh...
aku tahu rumahmu?"
Ingin sekali Ratih menyebutkan
rumahnya. Tapi dia kuatir. Dia tahu ayahnya, yang melarangnya bergaul dengan
pemuda-pemuda kampung. Dia hanya pantas berdampingan dengan bangsawan, begitu
kata ayahnya. "Ah, dekat kok!" hanya itu jawaban Ratih.
"Di mana?"
"Pokoknya dekat." Ratih melengos.
"Yuk, ah! Aku permisi!"
"Ratih!" panggil Madewa penasaran.
Tapi kuda itu sudah membawa Ratih pulang ke rumahnya. Hanya Madewa yang masih
berdiri menatap hilangnya kuda yang membawa gadis cantik itu.
Madewa mendesah. Entah berapa
banyak dia telah menjumpai gadis secantik Ratih, tapi baru kali ini hatinya
bergetar melihat seorang gadis.
Ah, apakah dia telah jatuh cinta dengan gadis itu"
Madewa kembali duduk di tempatnya tadi. Heran, sejak tadi yang
direnungkannya adalah bagaimaan cara mencari orang yang menjadi musuh besarnya
itu yang telah menjadikan akhir hidup gurunya penuh derita tetapi sekarang,
bayangan Ratih Ningrum yang cantik yang menggodanya.
Wajah itu betapa manisnya.
Senyumnya memikat sekali. Kembali Madewa mendesah. Diam-diam dia merasa agak
beruntung karena singgah di desa ini, yang memberinya kesempatan untuk
berkenalan dengan Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Madewa mendongak.
Seseorang telah berdiri di dekatnya.
Madewa merasa mengenal laki-laki ini.
Orang yang berbicara dengan Genda kemarin di warung nasi itu. Madewa pun tahu
namanya. Buntoro.
"Maaf, apakah Genda ada di rumah?"
tanya Buntoro. "Oh, dia sedang bekerja di rumah Biparsena," sahut Madewa sambil tersenyum. Dia
harus bisa mengambil hati orang-orang di desa ini, agar mereka jangan curiga
dengan pendatang baru.
"Baiklah, nanti saya kembali lagi,"
kata Buntoro seraya pergi. Madewa hanya mengangguk. Kembali lamunannya bekerja.
Dan seraut wajah Ratih Ningrum
menggodanya lagi!
Madewa cepat-cepat menghimpun hawa murninya, mengusir bayangan indah itu.
Dan pikirannya pun bekerja lagi, mencari jalan untuk menemukan orang yang
menyebabkan isu tentang pusaka dewa matahari.
Sementara itu Buntoro agak
bergegas. Dia heran, ternyata orang yang kemarin makan di warung nasi itu,
tinggal di rumah Genda. Hmm, Genda baik hati sekali kau menerima orang asing
yang tidak diketahui asal usulnya. Dia harus memperingatkan Genda agar berhati-hati.
Tanpa buang waktu lagi, Buntoro
pergi ke rumah Biparsena. Majikan Genda itu, yang juga majikannya. Dia melihat
Genda masih berada di kandang. Buru-buru dia mendekat.
"Genda siapa orang yang tinggal di rumahmu itu?" tanyanya terburu-buru pula.
Genda menoleh. Agak tertawa.
"Kamu bicara apa?"
"Aku curiga dengan laki-laki yang berada di rumahmu, Genda."
"Siapa maksudmu" Madewa?"
"Aku tidak tahu siapa nama pemuda itu. Tapi dia orang asing, Genda. Bisa saja
dia membuat keributan di sini."
Genda tertawa pelan.
"Aku mengenal dia dengan baik, Buntoro.
Aku yakin, dia pun orang baik-baik.
Dia tidak akan membuat onar seperti yang kau takutkan."
"Tapi kita harus berhati-hati, Genda."
"Aku bisa menjaga diri, Buntoro. Aku lebih takut dengan orang-orang yang manis
mulut daripada dengannya."
Wajah Buntoro agak memerah. Merasa disindir. Dia terdiam. Akhirnya dia
pergi sambil menggerutu. Dibilangin kok tidak mau peduli. Buntoro juga perawat
kuda-kuda Biparsena. Kadang-kadang bergantian dengan Genda.
Setelah Buntoro pergi, muncul Ratih Ningrum sambil membimbing kudanya.
Wajahnya kelihatan ceria sekali. Dia bernyanyi-nyanyi kecil. Genda
mengangkat wajahnya. Gembira melihat putri majikannya itu senang. Ia
menyambut. "Senang perjalanan Den Putri hari ini?"
"Iya, Kang Genda. Udara pagi ini sejuk sekali. Burung-burung pun ramai
berterbangan dan bernyanyi," sahut Ratih Ningrum dengan suaranya yang lembut.
"Syukurlah kalau begitu," Genda memasukkan kuda itu. Dan kembali menemui Ratih
Ningrum yang masih berdiri di dekat kandang kuda itu. Genda heran, tidak
biasanya Ratih menunggu di situ. Pasti ada apa-apa. "Ada apa lagi, Den Putri?"
Ratih Ningrum nampak tersipu. Ia menunduk malu-malu. Genda semakin keheranan.
"Ada yang menyusahkan, Den Putri?"
Ratih Ningrum buru-buru menggeleng.
"Tidak, hari ini aku senang sekali."
"Lalu apa yang membuat Den Putri menunggu di sini" Lebih baik Den Putri masuk,
tempat ini kotor. Nanti Den Putri kena marah oleh ayah."
"Tidak, tidak. Ayah ada tamunya lagi. Siapa sih kedua gadis yang cekikikan di
ruang tamu itu?"
Sejenak Genda menahan nafas. Ah, untung Tuannya sudah selesai 'bekerja'.
"Tamunya mungkin. Biasa Den Putri, ayah Den Putri orang terpandang di desa ini
dan banyak yang minta nasehat darinya," kata Genda dengan harapan Ratih Ningrum
tidak mempersoalkan tamu itu lagi.
Ratih Ningrum kembali terdiam.
Nampak ragu-ragu. Kemudian,
"Kang Genda...."
"Apa, Den Putri?"
"Siapa... pemuda yang ada di
rumahmu?" tanya Ratih Ningrum malu-malu, lalu menunduk. Tidak pantas seorang
gadis menanyakan seorang pemuda secara terang-terangan begitu.
Genda tersenyum mengerti. Jadi itu yang membuat Ratih Ningrum menunggunya di
tempat ini. "Dia teman saya, Den Putri," kata Genda hormat, sedikit pun tidak menggoda Ratih
Ningrum yang sudah kuatir dituduh
perempuan genit. Dalam hati Genda bilang, siapa pun akan tertarik dengan Madewa
Gumilang yang tampan dan gagah itu.
Merasa Genda tidak menggodanya,
Ratih Ningrum melanjutkan
pertanyaannya, "Sejak kapan kau berteman dengan dia, Kang Genda?"
"Belum lama, Den Putri. Pemuda itu datang dari tempat yang jauh, dan tidak punya
tempat tinggal. Jadi untuk sementara dia tinggal di rumah saya...."
"Apakah dia tidak ingin bekerja?"
"Oh, dia ingin sekali, Den Putri.
Tapi pekerjaan apa" Cari kerja itu sangat sulit sekali."
Wajah Ratih Ningrum berseri-seri.
"Kalau benar dia mau bekerja, aku akan bilang pada ayah. Pasti ada pekerjaan
untuknya."
Genda tersenyum. Ia sudah menduga pasti itu jawabannya. Ah, Ratih Ningrum sudah
jatuh cinta rupanya pada Madewa, sampai menginginkan dekat dengannya.
Dengan bekerja di situ, bukankah dia bisa berdekatan dengan Madewa"
Ratih Ningrum jengah Genda
tersenyum begitu. Buru-buru ia berpaling dan berlari ke kamarnya.
* * * 5 Biparsena memperhatikan tubuh
Madewa Gumilang dengan seksama.
Sementara di sampingnya Ratih Ningrum duduk dengan tersipu. Hari ini dia
berdandan secantik mungkin.
Sebenarnya Biparsena tidak mau
mengambil seorang pekerja lagi, tapi dia tidak tega menolak permintaan putri
tersayanganya. Maka keesokkan harinya dia langsung menyuruh Genda memanggil
Madewa menghadap.
Madewa pun sebenarnya hendak
melanjutkan perjalanan lagi, karena sudah tiga hari dia tinggal di daerah ini
belum ada kabar lagi tentang orang yang ribut-ribut mencari Pusaka Dewa
Matahari. Tetapi Genda menahan,
menyuruhnya menerima pekerjaan yang akan disodorkan Biparsena. Biparsena orang
yan terpandang, dan dia punya keterangan yang banyak dan luas.
"Baiklah," kata Biparsena akhirnya.
"Kau kuangkat menjadi pengawal pribadi putriku."
Ratih Ningrum tercekat sejenak.
Pemuda itu akan menjadi
pengawal pribadinya" Oh, alangkah pandainya ayahnya mencarikan pekerjaan yang memang dia
sukai. Dijaga oleh pemuda yang disukainya, betapa indahnya!
Biparsena melanjutkan
perkataannya, "Tapi sebelumnya, kau harus diuji dulu ilmu silatmu. Kalau melihat
potonganmu, kau pandai silat.
Tapi aku akan melihatnya dulu!" Setelah bicara itu, Biparsena bertepuk dua kali.
Dari balik ruangan yang berdinding tebal, muncul tiga orang pengawal yang
memakai pakaian dan bersenjata
berlainan. Mereka merupakan pengawal pribadi Biparsena.
"Madewa, mereka yang akan
mengujimu! Beri hormat pada mereka!"
Madewa berbalik. Agak membungkuk sedikit pada ketiga orang jago
kepercayaan Biparsena. Ketiganya balas membungkuk.
"Bagus! Sekarang kalain perkenalkan diri!"
Yang memakai baju hijau dan
berselempang pedang di belakang maju selangkah. "Perkenalkan, Mukti, si pedang
kembar!" Yang memakai baju seperti orang
keraton maju pula selangkah. "Patidina, si keris tunggal, Yang terakhir tidak
memakai baju. Bercelana gombrang warna hitam. Rambutnya dikepang ke belakang.
Kalau dilihat sekilas, dia bukan orang sini. Matanya agak sipit. Kulitnya pun
putih. "Tek Jien, pukulan seribu!"
suaranya seram Memberi kesan kalau dia orang yang kejam.
Biparsena bertepuk lagi. "Bagus, bagus! Madewa kau hadapilah mereka!
Jangan tanggung-tanggung! Keluarkan semua ilmumu! Kalau kau lengah, nyawamu
melayang! Pedang kembar, hadapi dia!"
Selesai Biparsena berseru, Mukti alias si Pedang Kembar segera meloncat ke
depan. Langkahnya ringan. Dia menunggu Madewa menghampiri. Madewa melirik dulu
pada Ratih Ningrum yang berubah pucat.
Juga Genda yang berlutut dengan tubuh gemetar. Keduanya tidak mengharapkan uji
coba macam ini!
Madewa melangkah perlahan. Sikapnya tenang. Di hadapannya Mukti menghormat,
Madewa balas menghormat. Saling bungkuk.
Biparsena berseru lagi,
"Mulai!" Serentak si Pedang Kembang membuka jurusnya. Kaki kanannya
menggeser ke belakang. Dadanya tegak.
Tangan kanannya mengembang ke samping.
Tangan kiri menekuk di dada.
Kelihatannya pertahanannya kosong, tapi penuh pukulan rahasia dan tenaga.
Madewa pun membuka jurusnya. Jurus ular warisan gurunya mendiang Ki Rengsersari.
Dia membuka jurus Ular Mematuk Katak. Tangannya saling merapat.
Lalu mengembang dan berhenti di dada.
Mukti langsung menyerang, menjerit seraya meluncurkan tangan kanannya ke arah
wajah Madewa. Tangan Madewa beraksi cepat. Dia menangkis pukulan itu dan
tangannya bagaikan gerakan ular meluncur ke perut Mukti. Mukti menarik
tangannya, menahan pukulan itu dengan sikunya.
Secara tak langsung pertahanan atasnya kosong. Tangan kiri Madewa bergerak
cepat. Mematuk dada Mukti dengan keras.
Mukti terhuyung. Madewa tidak
melanjutkan serangannya. Karena dia pikir, ini hanya latihan. Tapi
perbuatannya itu membangkitkan
kemarahan Mukti. Cepat dia meloloskan kedua pedangnya. Dan memainkan keduanya
dengan hebat. Pedangnya berkelebat dengan
dahsyat. Bahkan desingnya membuat sakit telinga.
Madewa tetap berdiri tegak. Dia
berpikir, kalau diserang tidak mungkin.
Kalau diam dia akan diserang. Madewa tidak mau mengeluarkan ilmu andalannya,
pukulan bayangan sukma. Karena Madewa kuatir, penyamarannya akan diketahui
dengan terlihatnya ilmu itu.
Mukti masih mendemonstrasikan
kehebatan ilmu pedangnya. Dan di saat itulah Madewa ingat akan ilmu pandangan
sukma. Diam-diam dia mengerahkannya.
Mencari di mana kelemahan ilmu pedang Mukti. Dan terlihat, kalau kedua pedang
kembar Mukti itu hanya melindungi bagian atas saja dan bagian bawah sebatas
lutut. Hanya satu kelemahannya, pergelangan kaki!
Maka ketika Mukti menyerang, dengan tetap menggunakan jurus Ular Mamatuk Katak,
Madewa menyambar pergelangan kaki Mukti. Gerakannya cepat dan menyentak.
Dan benar dugaannya tadi. Mukti jadi kelimpungan. Dia mendengus keras, pemuda
ini tahu kelemahan ilmunya. Dia
mengangkat kedua kakinya dan bersalto ke belakang!
Mukti menyerang lagi. Justru ini yang ditunggu Madewa. Ketika Mukti membabatkan
pedangnya ke leher dan kaki Madewa, pemuda itu menghindar ke
belakang. Tetapi langsung menerjang ke depan, menembus kedua pedang itu.
Perbuatan yang berbahaya. Penuh resiko.
Tapi perhitungan Madewa matang.
Gerakannya pun lebih cepat. Tangan kanan cepat menangkap pergelangan kaki kiri
Mukti. Dan membantingnya dengan keras.
Sementara tangan kirinya menotok pangkal lengan Mukti yang membuatnya
berkunang-kunang.
Terdengar tepukan dari atas. Ratih Ningrum bertepuk tangan gembira.
Biparsena pun hanya manggut-manggut. Dia sudah menduga, kalau pemuda ini punya
kemampuan. "Keris Tunggal!!"
Begitu dipanggil, Patidina langsung menusukkan keris ampuhnya ke lambung Madewa.
Rupanya dia sudah tahu kehebatan pemuda itu, makanya tak perlu basa-basi lagi.
Madewa terkejut. Tidak bisa mengelak lagi. Keris Patidina tepat menuju sasaran.
Tapi keris itu tidak nembus, malah terdengar suara
"Trak!"
Patidina bersalto ke belakang,
memenangkan hatinya yang keheranan.
Seharusnya keris itu sudah bisa membunuh pemuda itu. Madewa pun heran. Tetapi
kemudian dia tersenyum. Keris Patidina
mengenai Seruling Naga yang terselip di angkinnya!
"Kita bertarung lagi, Patidina!"
tantang pemuda itu.
Patidina menggeram. Dia menyerang lagi. Kerisnya bergerak cepat. Kali ini Madewa
menyambut. "Duk!" Pukulannya bersarang di dada Patidina yang merasakan ingin muntah.
Kelincahannya kalah oleh Madewa. Orang itu jatuh ke lantai.
Belum lagi Biparsena berseru
memanggil Tek Jien, orang itu sudah menyerang Madewa dengan pukulan tangan


Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosongnya. Sungguh hebat. Pukulan itu terlihat banyak sekali, seakan berjumlah
seribu. Sungguh pantas julukan Pukulan Seribu untuk Tek Jaien!
Madewa kembali menyambut. Dia
merubah jurusnya. Dengan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga, Madewa memapakai
serangan Tek Jien. Tangannya bergerak cepat. Dan bisa mengimbangi pukulan tangan
seribu Tek Jien, Tek Jien mempercepat serangannya. Madewa pun mempercepat
pukulannya. Suatu ketika keduanya bersiap. Dan menerjang dengan serentak!
Semua kaget. Ratih Ningrum menjerit ngeri. Genda menahan nafas, lalu
melengos. Tidak ingin melihat apa kejadian selanjutnya.
Terdengar suara yang keras sekali.
Dari tangan keduanya terlihat kepulan asap, menandakan masing-masing
menaikkan tenaga ke tangan.
Sekali lagi terdengar suara keras itu. Dan jeritan yang disusul tubuh ambruk.
Tek Jien tergeletak dengan bibir berdarah. Sementara Madewa hanya terhuyung
selangkah. Lalu berdiri tegak, siap menyambut lagi serangan Tek Jien.
Biparsena bertepuk. Menandakan uji coba selesai.
"Bagus, Madewa! Kau memenuhi syarat untuk menjaga putriku! Beri salam pada
mereka, karena mereka lebih tua darimu!"
Pemuda itu mengangguk hormat.
Melepaskan totokannya
dari pangkal lengan Mukti. Membantu Patidina berdiri.
Dan mengusap darah di bibir Tek Jien dengan angkinnya.
Ketiga pengawal itu surut
kemarahannya. Hilang rasa malu mereka, begitu melihat jiwa kesatria Madewa yang
tidak sombong. Dan mau menolong mereka dari rasa malu di depan Biparsena. Kalau
mereka yang bisa menjatuhkan Madewa, langsung diserangnya Madewa sampai mati.
Tapi pemuda itu tidak melakukannya!
"Madewa!" panggil Biparsena. "Mulai hari ini, kau harus tinggal di sini!
Ambil barang-barangmu! Dan mulai hari ini pula, keselamatan putriku,
kupercayakan kepadamu!"
Madewa berlutut. "Pekerjaan ini saya terima, Tuan!"
Biparsena mengangguk-angguk puas.
Ratih Ningrum tersenyum gembira, karena Madewa berada di dekatnya!
Niniwulandari manggut-manggut
mendengar penuturan itu. Dipandanginya laki-laki yang memberi kabar itu padanya.
"Benar kata-katamu?" tanyanya seakan tak percaya.
"Benar, Nini. Pemuda itu orang baru di sini! Dia bernama Madewa Gumilang!"
"Apa kira-kira dia tahu tentang Pusaka
Dewa Matahari?" gumam
Niniwulandari. "Soal itu jangan kuatir Nini. Saya bisa mengoreknya dari Genda."
"Kau yakin?"
"Yakin. Dan saya mau membantu Nini.
Asalkan Nini juga mau mewujudkan keinginan saya untuk mempersunting Ratih
Ningrum." Niniwulandari terkekeh. "Soal itu, jangan kuatir. Aku bisa mengurusnya dari
Biparsena. Asal kau bisa menjalankan tugasmu dengan baik, aku pun akan
mewujudkan keinginanmu. He... he...."
"Semua yang Nini perintahkan, akan saya lakukan."
Niniwulandari terkekeh lagi. Merasa senang karena orang ini begitu patuh.
"Sekarang juga kau harus mencari keterangan itu."
* * * 6 Hari ini Madewa mengawal Ratih
Ningrum berjalan-jalan. Gadis itu kelihatan gembira sekali. Berkali-kali ia
menyuruh agar Madewa menjajarkan langkah kudanya dengan kuda dia. Sebagai
pengawal, Madewa hanya mengikuti saja.
Ratih Ningrum yang cantik itu kerap kali membuatnya bergetar. Apalagi kalau
terjadi saling tatap tak sengaja, keduanya sama-sama menunduk dengan wajah
memerah. Tetapi Madewa sadar, sebagai
pengawal dia tidak boleh melakukan apa-apa. Apalagi sampai mencintai Ratih
Ningrum. Udara sore itu sejuk. Ratih Ningrum menjalankan kudanya dengan hati-hati Madewa
menjajarinya. "Kamu betah tinggal di sini, Madewa?" tanya Ratih Ningrum dengan senyum yang
manis. Bibir merekah yang mungil itu menantang sekali untuk dikecup.
"Betah, Den Putri...."
"Mengawalku?"
"Itu sudah tugasku, Den Putri."
"Dulu aku selalu berjalan-jalan sendirian. Dengan kudaku ini. Aku selalu menolak
kalau disuruh ayah membawa pengawal. Tetapi sekarang, aku malah suka kau kawal"
Kau tahu kenapa?"
"Tidak, Den Putri."
Wajah Ratih Ningrum memerah.
Padahal dia berharap Madewa tahu arti ucapan itu, kalau dia mencintainya.
Ratih Ningrum jadi malu sendiri.
Buru-buru ia menggeprak kudanya. Kudanya melesat ke depan.
Dalam hati Madewa tersenyum. Ia
sebenarnya mengerti apa maksud Ratih Ningrum. Tetapi seperti yang
diragukannya, apakah pantas dia
berdampingan dengan gadis secantik itu"
Tiba-tiba terdengar suara Ratih
Ningrum minta tolong. Madewa menepak
kudanya dengan keras hingga melaju dengan cepat. Di depan sana, Ratih Ningrum
tengah ditarik oleh seorang laki-laki berwajah seram. Sedangkan kudanya
dipegangi oleh dua orang laki-laki yang lain.
"Tolong! Tolong aku, Madewa!!"
jerit Ratih Ningrum.
Madewa semakin mempercepat lari
kudanya. Begitu dekat, dia langsung bersalto dari atas kuda. Dan berbalik
menerjang laki-laki yang menyeret Ratih Ningrum itu.
"Des! Des!"
Dua buah pukulan mengenai laki-laki itu. Pegangannya pada Ratih Ningrum
terlepas. Madewa cepat melindungi gadis itu dengan jalan merangkulnya.
"Kalian bangsat-bangsat rendah!
Yang kerjanya hanya membuat onar saja!"
Dua laki-laki yang memegangi kuda, berkelebat ke depan. Mereka siap menyerang.
Golok panjang tercengkram di tangan masing-masing. Begitu pula dengan yang
diserang Madewa tadi. Geram ia bangkit.
"Pemuda gila! Kau harus menebus semua ini dengan nyawamu!" seraya sambil
mencabut goloknya.
Madewa tersenyum, menyahut tenang,
"Nyawa kalian yang akan kucabut! Aku tidak suka dengan orang yang selalu membuat
keonaran! Yang kerjanya hanya merusak saja. Cepat kalian berlutut dan minta
maaf, sebelum aku telengas menjatuhkan tangan!"
"Bangsat! Kau kira kami takut" Lihat serangan, pemuda sombong!" sehabis berkata
demikian, orang itu menyerang.
Madewa berputar ke depan. Hingga Ratih Ningrum berada di belakangnya. Dengan
tenang ia menyambut serangan itu. Jurus Ular Meloloskan Diri digunakan dengan
mantap. Tak satu serangan pun yang mengenai sasaran.
Melihat temannya dipermainkan, dua orang yang lain membantu. Kini tiga buah
golok berkelebatan dengan cepat.
Lagi-lagi Madewa mampu menghindari semua serangan itu. Bahkan ia sempat memukul
salah seorang dari mereka. Dan
"brerkk!"
baju orang itu koyak termakan
jarinya. "Ha-ha-ha... cepat kalian berlutut!
Sebelum aku marah!"
"Setan! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" Orang itu melempar goloknya.
Dengan tangan kosong dia menyerang.
Pukulan lurus ke wajah dielakkan dengan mudah oleh Madewa. Dan tangannya cepat
menyambar batang leher orang itu.
Sedetik orang itu tak berkelit, bisa mampus dia!
"Sreet!"
Madewa merasakan tangannya
menjambret kalung orang itu, Ia tertawa.
"Ha-ha-ha... hati-hatilah kalian.
Kalung ini... hei!" Madewa terperanjat.
Orang-orang itu pun kaget. Ratih Ningrum hanya berdiri ketakutan. Tubuhnya
menggigil. Madewa mengenali kalung ini.
Tidak mungkin, kalung ini ada dua buah di dunia ini. Ini kalung ibu, pemberian
dari ayahnya. Madewa hafal! Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya. Dan menatap
orang-orang itu dengan bengis!
"Hhh! Sekarang dengarkan aku"
Apakah kalian yang telah memperkosa dan menyebabkan kematian seorang wanita di
goa tepi hutan dua setengah tahun yang lalu?" tanyanya marah.
Orang-orang tu berpandangan. Dan mendadak mereka tertawa serempak.
"Ha... ha... ha... memang itu perbuatan kami. Kenapa" Wanita itu ibumu" Ha...
ha... daripada dia
kedinginan, lebih baik kami beri kehangatan, bukan?"
Mendidih Madewa mendengarnya. Jadi ketiga orang ini yang telah memperkosa dan
menyebabkan ibunya bunuh diri. Dia tidak perlu mencari susah-susah kalau begini.
"Bangsat rendah!" suara Madewa bergetar menahan marah. "Hari ini kalian akan
menerima ajal yang mengerikan!!
Dengarkan, akulah anak dari wanita yang kalian perkosa itu! Dan hari ini aku
akan membalaskan sakit hati ibuku!
Bersiaplah!!"
Ketiga orang itu yang tak Iain dari Mangkara, Rengga dan Toban,
perampok-perampok yang telah memperkosa Wasih Inten. Melihat Madewa beringas
demikian, ketiganya bersiap. Mereka sadar akan kehebatan pemuda itu. Maka
ketiganya pun bersiap dengan golok masing-masing.
Madewa tidak bertindak tanggung, dia mengerahkan ilmu pukulan bayangan sukmanya.
Kemarahannya sudah menjadi-jadi.
Dia merasa orang-orang macam mereka dihapuskan saja dari muka bumi ini.
Tanpa membuang waktu lagi, dia
langsung menyerang. Ketiga orang itu serentak memapaki. Tiga buah golok
ditangkisnya dengan tangan kanan.
Serentak golok-golok itu terlepas.
Ketiganya merasakan panas yang luar biasa mengalir dari golok itu ke telapak
tangan masing-masing.
Begitu golok mereka terlepas,
Madewa langsung menyerang kembali.
Serangannya cepat.
Duk! Duk! Duk! Pukulannya bersarang di masing
masing tubuh mereka. Dan satu per satu ambruk dengan tubuh hancur.
Ratih Ningrum menjerit.
"Aaah!!" Ia menutup wajahnya dan berpaling.
Madewa masih berdiri tegak dengan kedua tangan masih mengepal. Ia puas melihat
ketiga lawannya ambruk. Dengan geram ia menengadah. Berseru pada langit,
"Ibuuu! Lihatlah, anakmu telah menuntut balas! Tenanglah kau di sisi-Nya!!"
Madewa mendekap wajahnya dengan
kedua telapak tangannya. Hatinya puas.
Dendam Ibu sudah terbalaskan. Ratih Ningrum yang kaget melihat Madewa sekejam
itu, berlari ke kudanya. Dan melarikan kudanya kencang-kencang. Madewa menoleh.
Dan cepat mengejar. Hanya
tiga kali salto saja, dia sudah bisa mengiringi Ratih Ningrum.
"Den Putri! Berhenti!"
"Tidak! Kau kejam, Madewa!!" seru Ratih Ningrum terus melarikan kudanya.
Madewa menahan tali kekang kuda itu.
Secara paksa kuda berhenti. Ringkiknya menggema keras. Ratih Ningrum
terpelanting ke belakang. Madewa dengan cepat menyambar, hingga tubuh gadis itu
jatuh dalam rangkulannya. Ratih Ningrum menangis segugukan. Madewa menurunkan
dan mendudukan gadis itu di rumput.
"Maafkan aku, Den Putri...." kata Madewa serba salah. Ratih Ningrum adalah gadis
terpelajar. Dia belum pernah menyaksikan pembunuhan. Dan betapa kagetnya dia
melihat Madewa begitu telengas menurunkan tangan tadi. Ratih Ningrum masih
segugukan. "Aku... yah... aku terpaksa membunuh mereka.. .. Karena mereka orang-orang yang
kejam. Yang tega-teganya membunuh ibuku setelah memperkosanya. Aku... aku terpaksa, Den
Putri". Ratih Ningrum mengangkat wajahnya.
Wajahnya yang cantik nampak semakin cantik karena air mata. Matanya yang memerah
membuah wajahnya merah dadu. Ia
mengusap air matanya. Mengerti mengapa Madewa kejam itu.
"Aku...."
"Maafkan aku, Den Putri. Tidak seharusnya Den Putri menyaksikan pembunuhan
tadi...." Tetapi gadis itu menggeleng. "Aku bisa memahami perasaanmu... Madewa....
Mungkin aku pun... akan berbuat
demikian... jika... ibu yang... oh!"
Tanpa sadar Madewa merangkul gadis itu. Tanpa sadar pula Ratih Ningrum
merebahkan tubuhnya di dada Madewa.
Angin bertiup lembut.
Madewa berbisik, "Hari sudah sore, Den Putri.... Kita harus segera
kembali...."
Ratih Ningrum tersentak begitu
sadar ada dalam pelukan pemuda itu.
Buru-buru ia bangkit, menaiki kudanya.
Madewa segera menyusul.
Sejak kejadian dua hari yang lalu, perasaan rindu Ratih Ningrum pada Madewa
semakin menjadi-jadi. Walaupun setiap hari bertemu, tetap saja dia merasakan
rindu yang amat s-ngat.
Apalagi ketika itu tanpa sadar dia merebahkan tubuhnya dalam rangkulan pemuda
itu. Ihh, memerah wajah Ratih Ningrum kalau mengingatnya.
Demikian pula dengan Madewa. Hampir sebulan dia bekerja sebagai pengawal pribadi
Ratih Ningrum. Tetapi sampai saat ini, dia belum mendengar orang yang ribut
mencarinya dan mencari pedang pusaka itu. Madewa berpikir, dia harus segera
melanjutkan perjalanan sesuai dengan perintah almarhum gurunya.
Pekerjaan mencari pemerkosa ibunya, telah selesai dilakukan. Suatu kebetulan
belaka dia bertemu dengan orang-orang itu. Dan diam-diam... dia ingin mencari
ayahnya. Ayah yang ditinggalkannya hampir 13 tahun.
Madewa pun sadar, kalau lama-lama berada di sini, dia semakin jatuh cinta pada
Ratih Ning-nim. Setiap kali berdekatan, dirasakannya suatu getaran hebat yang
mengganggu jiwanya. Madewa pun tahu, kalau Ratih Ningrum menaruh hati pula
padanya. Malam ini bulan bersinar dengan
penuh. Madewa duduk sendiri di taman depan kamar gadis itu. Tempat biasa dia
menjaga kalau tidak mengantar gadis itu berjalan-jalan. Tatapannya menatap ke
depan. Menatap sinar yang remang-remang.
Mencari jalan bagaimana caranya menemui musuh besarnya, orang yang menyebarkan
kabar palsu itu pada gurunya.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap langkah yang ringan sekali.
Madewa menoleh. Dia buru-buru bangkit dan tersenyum begitu melihat siapa yang
datang. Ratih Ningrum dengan pakaian tidurnya yang indah.
"Belum tidur, Den Putri?"
Ratih Ningrum menggeleng. Wajahnya semakin cantik disinari oleh bulan.
Madewa menahan degup jantungnya yang semakin keras dan tak beraturan. Gadis itu
duduk, dan menyuruh pemuda itu duduk.
"Aku belum mengantuk, Madewa...."
"Hari sudah larut malam. Angin malam tidak baik untuk kesehatan Den
Putri...."
Ratih Ningrum mengeluh. "Madewa...


Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berapa kali kukatakan padamu, janganlah panggil aku 'Den Putri', panggil
saja namaku kenapa, sih" Atau...
namaku jelek... hingga kau enggan menyebutnya?"
Madewa gelagapan ditembak begitu.
Memang, sudah beberapa kali Ratih Ningrum memperingatkannya agar
memanggil namanya saja. Tetapi Madewa tetap merasa, kalau dia hanya seorang
pengawal yang tak pantas berbuat lancang demikian.
"Ti... tidak, Den Putri... Eh, Ratih... Nama Den... eh... kamu bagus...
Ratih. Ratih Ningrum... nama yang indah sekali... aku... aku... suka menyebut
namamu, Ratih...."
Ratih Ningrum tersenyum. Dadanya bergetar mendengar pemuda itu memanggil
namanya. Betapa mesranya, sampai meresap ke dada. Betapa enaknya nama itu
disebut dari mulut Madewa Gumilang.
"Madewa...."
"Ya... Ratih?"
Tahu-tahu Ratih Ningrum menunduk.
Suaranya tersendat. "Selama... tinggal di sini... apakah kau merasakan sesuatu
yang baru?"
Madewa yang belum tahu maksud gadis itu, menjawab, "Ya... suasana di tempat ini
lain dengan di tempatku dulu. Aku punya sahabat baru... dan banyak pula kawan
baru...." "Bukan itu, "Ratih Ningrum menyahut gemas.
Madewa menoleh heran. "Jadi?"
Wajah gadis itu memerah. "Kau...
tidak merasakannya seperti aku
merasakannya?"
Madewa bingung. Perasaan yang baru itu" Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, yang
semakin menunduk tersipu.
"Saya... tidak mengerti... Ratih "
"Sungguh?" Suara Ratih Ningrum tersendat, agak kecewa.
Madewa perlahan mengangguk.
"Ya." Tetapi sejurus kemudian, dia mendesah. Yah, dia mengerti. Mengerti apa
perasaan baru itu. Ini yang
ditakutinya sekaligus diingininya. Dia pun merasakan itu. Merasakan cinta yang
membara. Tetapi... apakah pantas dirinya berdampingan dengan Ratih Ningrum yang
cantik dan terpandang itu"
Terdengar suara gadis itu lagi. Agak tersendat dan ragu-ragu.
"Madewa... aku... aku...."
Madewa menghela nafas. Dia tidak ingin melihat Ratih Ningrum kecewa.
Perlahan dipegangnya tangan gadis itu yang terkejut, tapi kemudian menunduk.
Hatinya bergemuruh hebat, tetapi damai sekali dalam genggaman itu.
"Saya... juga merasakan hal yang sama, Ratih...." bisik Madewa pelan, tapi sudah
merupakan jawaban yang indah untuk Ratih Ningrum. Gadis itu
mengangkat wajahnya. Matanya
ber-seri-seri. "Benarkah, Madewa?" wajahnya memerah.
Madewa mengangguk. "Ya, Ratih. Tapi apa pantas saya mengutarakannya kepada
Ratih, sementara saya hanya seorang pesuruh?"
"Jangan... jangan kau pikiran soal itu, Madewa. Aku... aku mencintaimu. Kau juga
mencintaiku" Kita coba untuk mewujudkannya...."
"Meskipun banyak rintangan?" Madewa tersenyum menyaksikan kemurnian cinta gadis
itu. "Meskipun banyak rintangan," sahut Ratih Ningrum mantap.
Madewa menatap mata Ratih
dalam-dalam. Mata itu menggambarkan gairah cinta yang bergelora.
Perlahan-lahan Madewa mendekatkan wajahnya. Dan mengecup bibir Ratih yang merah
basah, yang membalas dengan malu-malu. Keduanya berciuman dengan bergairah.
Saling kulum dan memberi.
Tanpa sadar, kalau sejak tadi sepasang mata marah memperhatikan mereka.
Beberapa saat kemudian, Madewa
melepaskan ciumannya. Ia memegang kedua bahu Ratih Ningrum.
"Kamu harus tidur, Ratih," bisik Madewa mesra, tepat di telinga gadis itu.
Kali ini Ratih Ningrum mengangguk.
Dia tidak gelisah lagi. Penantian dan pencariannya sudah menemukan titik temu.
Dia balas berbisik, "Aku akan menuruti kata-katamu...."
Madewa tersenyum. "Selamat tidur, Ratih. Mimpilah yang indah."
"Aku akan memimpikan kamu, Madewa,"
sahut Ratih sambil mendekatkan wajahnya lagi. Madewa mengecup bibir itu. Ratih
Ningrum mengeluh dalam kecupannya. Lalu beranjak menuju kamarnya.
Madewa menatap sosok gadisnya dari belakang. Betapa indahnya bentuk tubuh itu.
Ciuman tadi pun menggairahkan sekali. Menandakan betapa lamanya gadis itu
memendam cinta padanya.
Setelah gadis itu menghilang,
Madewa termenung lagi. Kali ini
pikirannya tenang. Tidak dihantui oleh perasaan rindu yang menggebu.
Sepasang mata yang mengintai,
berkelebat. Menghilang ditelan malam, dengan perasaan yang marah sekali.
Sementara Madewa masih duduk berjaga di taman dekat kamar Ratih Ningrum.
* * * Wanita itu sudah hampir sebulan
berjalan kaki. Dia kelihatan lemah.
Wajahnya agak pucat. Tapi wajahnya tetap cantik. Juga potongan tubuhnya yang
menggairahkan, yang membuat setiap mata laki-laki berpaling ke arahnya.
Ketika memasuki warung nasi itu, beberapa pasang mata pria yang makan di sana,
seakan-akan tak henti lepas dari tubuh wanita itu, yang begitu tipis pakaiannya
dan menampakkan bagian buah dadanya yang montok, yang seakan mau meloncat keluar
karena kegerahan.
Selendang merahnya pun
sekali-sekali terjatuh. Entah sengaja entah tidak, tapi kesempatan itu tidak
dilewatkan oleh pandangan bergairah dari beberapa laki-laki. Namun wanita itu
tetap saja asyik makan, tak perduli dengan tubuhnya yang membuat orang begitu
penasaran. Salah seorang pengunjung warung
nasi tidak tahan menahan nafsunya. Dia bernama Agriwe. Tubuhnya besar.
Berewokan lebat. Wajahnya pun seram. Dia beringsut mendekat wanita itu, yang tak
lain Pratiwi alias si Selendang Merah.
Setelah membunuh Bandartaman,
Pratiwi segera berangkat mencari Madewa.
Dia heran, karena pemuda itu berhasil
melepaskan diri dari totokannya. Dengan jengkel Pratiwi menghampiri mayat
Bandartaman. Semua ini gara-gara dia!
Mangsa empuk yang sudah di tangan lepas begitu saja. Dengan geram Pratiwi
mengayunkan selendangnya ke mayat Bandartaman, yang seketika itu juga hancur
berantakan. Setelah puas
mencabik-cabik mayat itu, Pratiwi segera berangkat. Tak memperdulikan mayat
Gundaling, kawan seperjalannya.
Dan hari ini Pratiwi tiba di desa tempat Madewa berada.
Agriwe menelan air liurnya setelah melihat dada Pratiwi lebih dekat. Berani ia
mencolek dagu Pratiwi. Pratiwi yang sedang tidak mau mencari ribut,
mendiamkan saja. Justru membuat Agriwe keenakan. Dengan lebih berani dia meraba
leher Pratiwi. Pratiwi kembali
terdiam. Tangan Agriwe lebih turun ke bawah. Meraba payudara Pratiwi, bahkan
meremasnya! Justru ini yang membangkitkan
kemarahan Pratiwi. Biarpun dia dewi cabul yang kotor, tapi orang jelek macam
Agriwe tidak masuk dalam jajarannya.
Dengan geram disambarnya minumnya, dan dituangkannya ke kepala Agriwe yang asyik
meremas-remas. Agriwe terkejut. Ia mendengus
marah. Tapi Pratiwi tetap tenang. Malah para pengunjung berbalik jadi kecut.
Wanita itu belum kenal Agriwe
barangkali. Dialah raja maling yang ditakuti orang di daerah itu. Tetapi mereka
juga belum kenal Pratiwi
Selendang merah yang ditakuti di rimba persilatan.
"Hai, gadis! Nekat sekali kau melakukan itu padaku"!" geram Agriwe.
"Kenapa memang?" sahut Pratiwi tenang. "Kau pun ceriwis meremas payudaraku!"
Agriwe terbahak. "Karena kau menggairahkan...."
Pratiwi melirik dengan manja.
Senyumnya mengembang dengan genit.
"Kalau kau suka, minta baik-baik. Aku pun akan melayanimu."
Kata-kata itu membuat Agriwe
keenakan. Marahnya surut. Langsung saja dia merangkul Pratiwi dan menciumnya
dengan bertubi-tubi. Pratiwi berusaha meronta. Dan dengan sekali sikut saja,
Agriwe melepaskan rangkulannya. Dia mengaduh.
"Maaf," desah Pratiwi pura-pura.
Dan buru-buru mengusap dada Agriwe. "Aku
tidak sengaja. Kamu juga sih,
kubilangkan, baik-baik."
Agriwe tersenyum tegak. Sinar
matanya bergairah menjijikkan.
"Aku akan minta baik-baik. Di mana kau mau melayaniku?"
"Di mana saja," kata Pratiwi manja.
"Bagaimana kalau di rumahku?"
"Istrimu bagaimana?"
Agriwe terbahak lagi. Istri" Dia tidak punya yang nama istri. Tapi untuk pemuas
nafsunya dia cukup datang ke tempat 'kupu-kupu cantik' milik
Biparsena, karena Agriwe yang bertugas menjaga tempat itu.
"Aku tidak punya istri. Pokoknya layani aku dengan baik."
Pratiwi mengangguk menggemaskan.
Lidahnya menjilat bibirnya, membuat Agriwe menahan nafas.
"Ayolah," kata Pratiwi. "Tapi tolong bayar makanan yang aku makan."
Dengan tertawa Agriwe membayar.
Lalu bergaya menggandeng wanita cantik macam Pratiwi, yang lain hanya menantap
dengan iri. Cemburu, karena dengan sekali gaet, Agriwe bisa terbang ke sorga
dengan wanita baru yang kemungkinan besar masih perawan. Pasti mata Agriwe akan
terbalik karena enaknya.
Tetapi dugaan mereka ternyata
meleset. Begitu sampai di rumah Agriwe, Pratiwi langsung masuk kamar. Dan
bertelanjang bulat. Mata Agriwe nanar menatap indahnya tubuh itu. Dia langsung
membuka seluruh bajunya. Dan menubruk tubuh indah Pratiwi.
Diciumnya habis-habisan. Nafas
Agriwe memburu dengan dahsyat. Tetapi ketika dia akan memulai, Pratiwi memukul
tengkuk Agriwe, yang membuatnya
terhuyung, dengan mata
berkunang-kunang.
Pratiwi langsung menyambar
pakaiannya. Dan menekuk leher Agriwe dengan gemas.
"Ini upahnya bagi orang ceriwis,"
desis Pratiwi dengan suaranya yang sesungguhnya. Yang tinggi dan terdengar
kejam. Agriwe mengaduh. Bangsat! Wanita ini ternyata tidak sembarangan. Dia menjerit
lagi karena Pratiwi menekuk lagi lehernya.
"Aduh! Katakan apa keinginanmu, aku akan menjawabnya! Jangan... jangan kau
pelintir leherku!!" rintih Agriwe kesakitan.
Pratiwi terkikik. "Rupanya kau takut mati juga. Hmm, baik. Aku akan
mengampunimu. Sekarang jawab
pertanyaanku. Kau pernah mendengar pemuda yang bernama Madewa Gumilang?"
"Siapa?"
"Madewa Gumilang. Kau pernah dengar?"
Agriwe berpikir. "Madewa...
madewa... ya, ya. Aku tahu!"
"Di mana pemuda itu?" tanya Pratiwi bersemangat.
"Lepaskan leherku, baru kukatakan."
"Jangan main-main, aku bisa membunuhmu dengan sekali tekuk. Cepat katakan.
"Aku tidak akan katakan, sebelum kau cabut ancamanmu itu," kata Agriwe yang
merasa menang. Tapi dia belum tahu Pratiwi, yang selalu masa bodoh terhadap
musuhnya. Dia memang melepaskan
tangannya, tapi ketika Agriwe hendak berdiri, tangan Pratiwi berkelebat. Lima
buah jarum mautnya menancap di dada, lengan dan paha Agriwe. Agriwe mengaduh.
Pratiwi terkikik.
"Cepat katakan, kalau tidak, aku tidak akan memberikan pemunah racun itu!"
Agriwe tergagap. Dia terhuyung. Dan jatuh di sudut ranjang. Wajahnya pucat.
Racun itu cepat sekali menjalar.
"Yah... yah... pemuda itu berada di sini," suaranya melemah.
"Di mana, katakan cepat"!" sahut Pratiwi terburu-buru.
"Berikan aku obat pemunah racunmu, racun ini kuat sekali," mohon Agriwe dengan
suara yang semakin lemah.
"Cepat katakan dulu, di mana!"
"Di... di...." Agriwe tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi, karena dia
langsung ambruk tak bernyawa.
Pratiwi mendesah. Ah, kenapa lima buah jarum yang dilemparnya sehingga lebih
cepat memakan nyawa Agriwe"
Pratiwi membenahi pakaiannya. Ia meludahi tubuh Agriwe dengan jijik, lalu pergi
meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang jalan dia selalu
menanyakan tentang Madewa Gumilang. Bagi yang tidak tahu, dia langsung
membunuhnya! Bagi yang tahu, setelah memberitahu, dia pun membunuhnya!
Beberapa hari kemudian, tenarlah nama Pratiwi si selendang merah sebagai gadis
pembunuh berdarah dingin! Juga Madewa Gumilang yang setiap kali diteriakan agar
keluar dari persembunyiannya, kalau tidak ingin nyawa lebih banyak berjatuhan.
Seketika keadaan desa Bojongronggo itu menjadi kacau. Bagaikan dewa maut yang
datang dan menjajah, desa itu menjadi penuh bayangan kematian.
Pratiwi tetap dewi cabul yang ganas.
Yang tak segan-segan menjatuhkan tangannya pada siapa pun.
Sepak terjang Pratiwi sampai ke
telinga Biparsena. Sebagai orang yang terpandang, Biparsena tidak
menginginkan keonaran itu berlanjut.
Apalagi masalah kedatangan Pratiwi ada hubungannya dengan pegawainya yang baru.
Madewa Gumilang!
Hari itu juga dia memanggil pemuda itu untuk menghadap. Madewa pun datang
menghadap. Ia duduk bersila di hadapan Biparsena yang tidak senang akhir-akhir
ini padanya. "Kau sudah mendengar tentang datangnya wanita yang bergelar Selendang merah,
Madewa?" tanya Biparsena tanpa basa-basi. Langsung ke permasalahan.
Madewa terdiam. Pratiwi, rupanya dia sudah sampai ke daerah ini. Hmm, dengan
begini, penyamarannya akan ketahuan. Walaupun tidak menyamarkan nama dan
rupanya, Madewa selama ini merahasiakan siapa dirinya, yang tak
lain adalah murid tunggal Ki
Rengsersari. "Ya Tuanku. Saya mendengar kabar itu."
"Kau tahu apa yang dilakukannya?"
"Ya Tuanku. Dia telah membuat keonaran dan pembunuhan di desa ini."
"Dan kau kenal siapa dia?"
"Saya mengenalnya...."
"Hmm... siapa dia, Madewa?"
Madewa terdiam. Agak ragu-ragu.
"Kau kenal dia, Madewa"!" Suara Biparsena meninggi.
"Ya."
"Jelaskan, siapa dia"!"
"Dia... musuh saya, Tuanku."
"Musuh" Lalu kau tidak mau keluar untuk menghadapinya" Sedangkan rakyat yang
lain mati karena ulahnya" Madewa, kau harus segera keluar untuk
menghadapinya. Biar kejadian ini tidak berlarut-larut. Dan penduduk tidak takut
dibayangi kematian. Hmm, kalau aku boleh tahu, apa yang menyebabkan sumber


Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permusuhan itu?"
Madewa terdiam. Ini sudah sampai ke pangkal persoalan. Dia tidak boleh membuka
rahasianya sendiri. Dia
menjawab, "Hanya persoalan adu kepandaian saja, Tuanku. Tiga tahun yang
lalu, saya pernah bertarung dengannya, dan dia kalah Mungkin kali ini dia akan
menuntut balas."
"Tapi kudengar... ada hubungannya dengan Pedang Pusaka Dewa Matahari. Apa benar
itu?" Madewa berkata dalam hati, dia pun tahu tentang itu. Berita yang sudah meluas.
Dan kedatangan Selendang Merah itu bisa membahayakan posisinya.
"Tentang itu, saya tidak tahu, Tuanku. Mungkin Tuanku salah mendengar keterangan
yang ada."
Biparsena manggut-manggut.
"Baiklah, kau
selesaikan masalahmu
dengan Selendang Merah. Dan ada satu lagi masalah yang harus kau jalani."
"Apa itu, Tuanku?"
"Kau harus menerima hukuman dariku!"
Madewa terkejut.
"Hukuman apa, Tuanku?"
Pandangan Biparsena berubah menjadi sengit. Ia kelihatan benar-benar jengkel.
"Madewa... kau tahu, apa derajatmu di sini" Kau hanya seorang pengawal yang
rendah, atau tak lebih dari seorang
pesuruh. Tapi kau
berani-beraninya berhubungan dengan putriku, putri seorang kaya raya yang tak
pantas berdampingan dengan orang macam kau!
Aku tahu hubungan kau dengan
putriku. Sekarang pintaku, kau putuskan hubungan dengan putriku, agar jangan
berlarut-larut. Putriku hanya cocok berdampingan dengan
seorang putra bangsawan! Mengerti?"
Madewa tertunduk. tidak menyangka soal itu yang menjadi kemarahan
Biparsena. Walaupun keduanya sudah berusaha menyembunyikan hubungan mereka, toh
Biparsena mencium pula.
Madewa tidak tahu, kalau sepasang mata yang mengintainya malam itu, telah
mengadukan perbuatannya pada Biparsena!
"Kau mengerti,
Madewa?" Suara
Biparsena tajam.
Madewa mengangguk. "Ya Tuanku. Saya akan berusaha menghindari putri Ratih
Ningrum." "Bagus! Malam ini, kau tak perlu menjaga putriku, uruslah masalahmu dengan si
Selendang Merah. Jangan kembali sebelum selesai!"
Madewa mengangguk. Dia menjura
hormat. Lalu undur ke belakang. Ketika aku melewati kamar Ratih Ningrum, dia
melihat gadis itu menatapnya dengan
gembira, karena menyangka Madewa akan mengunjunginya seperti biasa.
Tapi Ratih Ningrum tersentak ketika Madewa hanya melengos
dan terus melangkah, tanpa berucap... tanpa melambai....
Ratih Ningrum sedih, ia tertunduk pilu. Ada apa dengan kekasihnya itu"
Mengapa dia menjadi tak acuh. Ratih Ningrum pun melihat perubahan pada wajah
kekasihnya, yang kelihatan lesu.
Dan ketika Madewa melewati kandang kuda, sepasang mata bersinar gembira karena
telah berhasil menyingkirkan saingannya dalam merebut Ratih Ningrum.
Lalu orang itu masukkan kuda-kuda ke kandang, karena memang itu tugasnya!
* * * 7 Kedatangan Pratiwi si selendang
merah, juga menarik perhatian
Niniwulandari. Dia telah lama mengenal Pratiwi. Dewi cabul bergenjatakan
selendangnya yang ampuh.
Kira-kira empat tahun yang lalu, dia pernah bertempur dengan Pratiwi, ketika
dewi cabul itu datang hendak merebut pedang pusaka siluman mata air yang
dimilikinya. Tetapi Pratiwi berhasil dikalahkannya.
Lalu muncul Kebo Winata, jagoan dari timur, yang juga akan merebut pusaka itu.
Dan dia berhasil dikalahkannya. Pusaka siluman mata air berhasil direbut Kebo
Winata. Dengan membawa luka dalam yang
parah, Nniniwulandari melarikan diri ke pegunungan Pengging. Di sana dia melatih
ilmu silatnya lebih dalam. Apalagi ketika dia sedang mandi di sungai,.
terlihat di dinding-dinding goa, rangkaian jurus silat yang bagus dan indah.
Bagai menemukan emas,
Niniwulandari mempelajari jurus silat itu. Lalu mencari Kebo Winata. Dan
herannya, Kebo Winata mati terbunuh, serta pusaka Siluman mata air lenyap
diambil pembunuh.
Saat itu juga Niniwulandari
bersumpah. Akan mencari dan membunuh orang yang telah mengambil pedang
pusakanya. Sampai kemudian tersiar kabar, kalau Ki Rengsersari memiliki pula
sebuah pusaka yang hebat, pusaka dewa matahari. Pusaka itu pun banyak
diperebutkan orang. Niniwulandari
sendiri pernah berniat akan merebut pedang pusaka itu, sebagai ganti pusaka
miliknya yang hilang. Tapi sebelum niatpya terlaksana, Ki Rengsersari mati
terbunuh oleh Gundaling! Dan pusaka hilang entah ke mana.
Hanya yang dia ketahui, Ki
Rengsersari mempunyai seorang murid. Dan kemungkinan besar pedang itu
ada padanya! Lalu sekarang, mau apa Pratiwi alias selendang merah mencari pengawal Ratih
Ningrum" Ada urusan apa dia dengannya"
Niniwulandari bangkit dari
duduknya. Ia harus menjumpai Pratiwi.
Dia harus tahu semuanya. Barangkali saja pengawal Ratih Ningrum yang dia tahu
bernama Madewa Gumilang, punya
keterangan yang bagus tentang pusaka dewa matahari! Siapa tahu.
Niniwulandari bergegas. Dia
mendengar Pratiwi tinggal di gubuk kecil dekat hulu sungai. Dan di sana pula dia
membawa pemuda-pemuda tampan yang berhasil dipikat untuk diambil
keperjakaannya.
Seperti ketika Niniwulandari
datang. Dari gubuk itu terdengar kekehan manja dan lenguh kenikmatan dan desah
nafas yang memburu. Lalu disambung
lenguhan panjang, yang menandakan penghuninya baru saja meraih kenikmatan yang
tiada tara. Niniwulandari menggeram. Bisa habis perjaka desa ini dihisap oleh Pratiwi.
Geram dia mengambil sebuah kerikil kecil. Lalu dilempar ke arah pintu.
Lemparannya seperti biasa saja, tanpa tenaga. Tapi pintu yang terkunci itu
terhempas, dan copot dengan mengeluarkan suara yang mengagetkan.
Serentak Pratiwi bangkit. Menyambar pakaiannya. Begitu pula dengan pemuda yang
masih memejamkan mata keenakan.
Mengenakan pakaiannya dengan
terburu-buru. "Jangan takut," kata Pratiwi menenangkannya. "Kalau ada apa-apa, biar aku yang
urus." Pemuda itu mengangguk dengan
terburu-buru pula.
"Kau duduk di situ!" kata Pratiwi.
"Aku akan melihat siapa yang berbuat usil begini."
Bersamaan dengan itu terdengar
suara dari luar, "Hei, dewi cabul! Cepat kau menampakkan diri! Aku sudah tidak
sabar ingin berjumpa denganmu!"
Pratiwi menajamkan telinganya.
Mengingat-ingat akan suara itu. Kayaknya
dia pernah mengenal. Hmm, tidak salah lagi. Nenek cerewet itu. Mau apa lagi dia"
Mengganggu keenakkan orang saja.
Tadi disangkanya Madewa yang d-tang. Dia sudah bersiap hendak mengeluarkan ilmu
pengharum tubuhnya, biar pemuda itu terangsang.
Pratiwi keluar dengan langkah
tegap. Niniwulandari terkekeh melihat wajah Pratiwi yang kusut dan rambut yang
kusut pula. "He... he... maafkan aku, Pratiwi!
Aku mengganggu kesenanganmu!" sambutnya sambil ter-senyum.
"Jangan banyak cakap! Mau apa kau ke sini"!" bentak Pratiwi jengkel.
"Jangan marah dulu, Dewi cabul. Ada beberapa pertanyaan yang aku perlukan
jawabannya darimu."
"Aku tidak punya waktu menjawab pertanyaanmu!" sahut Pratiwi hendak masuk lagi.
"Tunggu! Ingat Pratiwi, aku pernah mengalahkanmu. Dan kau akan takluk di
tanganku hari ini! Jawab pertanyaanku!"
bentak Nenek tua itu tegas.
Pratiwi terdiam. Yah, dia pernah merasakan betapa hebatnya ilmu nenek tua ini.
Pratiwi menunggu. Niniwulandari memulai pertanyaannya.
"Maksud apa kau datang ke tempat ini, Pratiwi?"
"Aku hendak mencari orang yang bernama Madewa Gumilang!" sahut Pratiwi masam.
"Ada masalah apa kau dengan dia?"
"Kau tidak perlu tahu, nenek tua.
Ini urusanku!"
"Baik! Aku tidak memaksamu. Dengar Pratiwi, kata berita, Ki Rengsersari mati
terbunuh oleh Gundaling, sedangkan Gundaling itu teman seperjalananmu. Aku
yakin, kamu pasti tahu soal itu. Di mana ada Gundaling, pasti ada Selendang
Merah. Di mana ada Selendang Merah, pasti ada Gundaling! Ceritakan kematian
Gundaling dan Ki Rengsersari! Cepat, Pratiwi!!"
Pratiwi terdiam. Kalau nenek tua ini tahu semuanya, bisa runyam. Dia pasti akan
tahu siapa Madewa Gumiiang itu. Dan dia akan merebut pusaka dewa matahari
darinya. Tetapi membohongi
Niniwulandari sama saja mencari mati.
Pratiwi yakin, dia akan kalah oleh nenek peot ini. Apalagi tenaganya selama tiga
jam dipakai buat bergelut dengan pemuda tampan yang sekarang duduk ketakutan di
gubuknya. Tak ada pilihan lain. Pratiwi
menceritakan semuanya!
Benar dugaannya, nenek tua itu
terkejut. Dia memang tengah mencari murid dari Ki Rengsersari!
"Kau bicara jujur, Pratiwi?"
"Aku jujur, Nenek Tua!"
Niniwulandari terkekeh. Dia menatap Pratiwi dengan sinar mengancam.
"Aku akan bertarung dengan siapa saja yang berhasil memiliki pusaka dewa
matahari itu. Kau akan merebutnya dari Madewa, bukan?"
Pratiwi menatap sengit. Sama
seperti suaranya, "Enak saja kau bilang!
Aku tidak tertarik dengan pusaka itu, Nenek Tua! Aku lebih tertarik dengan
Madewa, yang tampan dan gagah!"
Niniwulandari terkekeh lagi.
"Baik, baik. Bagaimana kalau kita bekerja sama?"
"Maksudmu?"
"Kita gempur pemuda itu. Aku dapat bagian pusaka, dan kau dapat bagian pemuda
itu sendiri. Bagaimana, Selendang Merah?"
Pratiwi terdiam. Dia
manggut-manggut. Lalu tertawa.
"Aku setuju dengan usul itu. Tapi ingat, pemuda itu jangan cidera sedikit
pun! Aku telah menantangnya untuk datang ke tempat ini!"
"Bagus! Kapan itu?"
"Tengah malam, saat purnama bersinar."
Niniwulandari terkekeh senang.
"Baik, nanti malam aku akan datang.
Sekarang kau teruskan bersenang-senang lagi dengan pemuda itu."
Setelah berkata begitu,
Niniwulandari melompat ke belakang.
Bersalto tiga kali. Gerakannya cepat dan indah. Lalu menghilang, hanya kekehnya
yang terdengar mengejek Pratiwi.
Pratiwi menghela nafas lega.
Setidaknya bisa menghindari bentrokan dengan nenek sakti itu. Dan tidak sia-sia
dia mencari Madewa Gumilang. Sampai kapan pun dia akan mencari pemuda itu.
Dia ingin membalas kematian Gundaling, yang telah lima tahun melanglang buana
bersamanya. Tetapi sebelum dibunuh, dia akan menyerap sari perjaka pemuda itu.
Kalau Niniwulandari dapat
membantunya, dia pasti dapat memiliki pemuda itu. Menitik air liur Pratiwi
membayangkannya.
Masih tersenyum senang, Pratiwi
masuk lagi ke gubuknya. Ia langsung bertelanjang bulat. Mengangkangkan
kedua pahahya di muka pemuda desa itu, yang masih berdiri dengan wajah pucat.
"Hei, ayo kita teruskan lagi!"
bentak Pratiwi.
"Aku... aku...." Pemuda itu menyahut lirih. Ia tak sanggup melayani nafsu setan
Pratiwi. "Kamu kenapa" Ayo kita
bersenang-senang lagi."
"Aku letih, Pratiwi.... Tenagaku serasa habis. Bagaimana kalau besok?"
Pratiwi tersenyum. Bangkit.
Membelai wajah pemuda itu. Tapi sedetik kemudian terdengar suara "krak!". Tangan
Pratiwi telah memuntir leher pemuda itu sampai patah!
"Hhh! Pemuda tak berguna! Baru sebentar saja sudah loyo! Orang macam kau lebih
baik mampus saja" geram Pratiwi sambil meludahi tubuh yang telah menjadi mayat
itu. Genda heran, ketika dia datang tidak melihat Madewa. Biasanya pemuda itu duduk
berdua dengan Ratih Ningrum di taman depan kamar gadis itu.
Dan dia lebih heran, ketika melewati kamar Ratih Ningrum mendengar isak gadis
itu. Lho, apa yang telah terjadi" Kenapa gadis itu menangis" Apa ada
pertengkaran antara keduanya. Atau, Ratih Ningrum kena marah ayahnya. Tapi salahnya apa"
Terdengar panggilan dari dalam.
"Genda! Ke sini sebentar!"
Genda buru-buru menghampiri orang yang memanggilnya, yang tak lain Biparsena,
majikannya. Ia membungkuk hormat di depan Biparsena yang duduk sambil merokok di
ruang dalam. "Ya, Tuanku."
"Duduk! Sekarang kau ceritakan padaku, tentang temanmu itu," kata Biparsena yang
membuat Genda kebingungan. "Teman saya, banyak, Tuanku. Yang mana yang Tuan maksudkan?"
"Madewa!"
"Madewa?"
Biparsena mendeham. "Ya, pemuda sahabat barumu itu. Sekarang ini seorang wanita
yang bernama Pratiwi tengah mencarinya, entah dengan alasan apa. Dan aku ingin
tahu, kenapa dia mencari Madewa. Untuk itu aku ingin mendengar siapa Madewa
sebenarnya."
Genda terdiam. Haruskan dia katakan semua itu, padahal dia sudah berjanji pada
Madewa untuk tidak akan mengatakan siapa sebenarnya pemuda itu pada siapa pun.
Biparsena berang Genda hanya diam saja.
"Hei, Genda! Kau tahu aku tidak suka bertele-tele, bukan" Cepat kau katakan apa
yang kau ketahui!" bentak Biparsena karena Genda diam saja.
Genda membungkuk. "Saya tidak tahu apa-apa tentang dia, Tuanku."
"Bagaimana mungkin" Dia hampir tinggal selama lima hari bersamamu.
Mustahil dia tidak bercerita tentang dirinya!" Suara Biparsena terdengar sinis.
"Jawab pertanyaanku itu, Genda.
Aku membutuhkan keterangan tentang diri pemuda itu. Kau tahu, Pratiwi semakin
menjadi-jadi ganasnya gara-gara pemuda itu. Dan aku yakin, tidak dengan
sembarangan alasan Selendang Merah Mencari pemuda itu."
"Saya...."
"Genda!!" Suara Biparsena marah.
Matanya melotot ganas. Wajahnya memerah, membuat Genda tertunduk ketakutan. Tak


Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada jalan lain, dia harus mengatakan semuanya kalau tidak mau dimarahi
majikannya. Sebelum berkata, Genda berbisik dalam hati,
"Maafkan aku sahabat. Aku hanya rakyat kecil yang perlu makan. Kalau dipecat
dari pekerjaanku, aku makan apa"
Aku memberitahukan tentang dirimu, sahabat. Maafkan aku...."
Perlahan Genda mengangkat wajahnya.
Ia mengangguk. "Ya, Tuanku. Yang saya tahu...
pemuda itu sedang mencari seseorang, yang katanya musuh besarnya. Tapi entah
siapa orangnya. Dia sendiri tidak mengenalnya," suara Genda bergetar.
"Aneh." Biparsena mengusap-ngusap dagunya. Tidak puas dengan jawaban demikian.
Tetapi sikapnya sudah
merupakan isyarat bagi Genda, agar dia meneruskan perkataannya.
"Memang aneh. Sebenarnya... dia adalah murid tunggal dari Pendekar Ular Sakti
alias Ki Rengsersari...."
Sampai di situ Genda bicara Biparsena melotot dan berseru kaget,
"Hah?" Lalu dia menurunkan suaranya. "Benar dia murid Ki Rengsersari?"
"Begitulah pengakuannya. Dan saat ini, dia tengah mencari orang yang membuat
kabar palsu tentang gurunya yang memiliki pusaka dewa matahari. Menurut Madewa,
gurunya tidak memiliki pusaka yang hebat itu."
Biparsena mendengus. "Tidak mungkin! Ki Rengsersari pasti memiliki pusaka itu!"
"Tetapi Madewa berkeras tidak."
"Jelas dia mengatakan tidak, soalnya dia tidak ingin orang tahu kalau pedang itu
sekarang berada padanya."
"Tetapi dia tidak membawa apa-apa ketika bertemu dengan saya, Tuanku."
Biparsena terbahak. "Kau bodoh, Genda. Sudah disembunyikan olehnya. Hmm,
sekarang aku baru mengerti. Si Selendang Merah mencarinya, pasti soal pusaka
itu. Untung dia cepat kuusir, kalau tidak, aku bisa bentrok dengan Pratiwi, dewi
cabul itu!"
"Ke mana dia, Tuanku?" tanya Genda cemas. Kata-kata majikannya berusan merupakan
jawaban tentang
kebingungannya tidak melihat Madewa hari ini.
"Aku tidak tahu ke mana perginya.
Tapi kusuruh mencari Pratiwi!" Biparsena mematikan rokoknya. "Sekarang kau
kembali ke tempatmu.
Terima kasih atas keteranganmu."
Genda berbalik. Melangkah kembali ke tempatnya bekerja. Tiba-tiba suara lembut
terdengar di belakangnya.
"Kang Genda...."
Genda berbalik. "Oh, Den Putri."
Wajah Ratih Ningrum sembab. Matanya memerah. Dari semalam dia menangis,
memikirkan Madewa. Madewa begitu sombong sekali. Dia tidak menyambut
senyumannya. Dan langsung berjalan tanpa membalas lambaiannya sedikit pun. Gadis itu
terguguk. Apa Madewa marah padanya" Bosan padanya" Hari ini pun dia tidak nampak.
Sudah dicari tidak diketemukan juga. Apa Madewa pergi meninggalkannya"
Ikuti dalam kisah Selanjutnya :
"Dendam Orang Orang Gagah"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kelana Buana 9 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Patung Emas Kaki Tunggal 11
^