Pencarian

Dewi Penyebar Maut X 1

Candika Dewi Penyebar Maut X Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-10 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, April 1990
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1. ROTA DAN ROGA
ANGIN menderu menerpa semak-semak di bibir jurang
Kali Putih yang dari atas seakan tak berdasar itu. Perlahan dan hati-hati, namun
dengan gerak lemah gemulai, Rebeg mendahului Tun Kumala turun - menyelinap di
antara semak-semak liat dan lebat, terkadang terpeleset oleh tanah berpijak yang
gembur dan berkerikil. Wajahnya selalu tersenyum dan tampaknya ia bangga sekali
karena kali ini ada lelaki lain yang juga ketakutan di tempat itu - Tun Kumala.
Dua orang lainnya, walaupun
tampak ketakutan, adalah perempuan. Dadap dan Teki.
Di kejauhan dan di tempat yang agak tinggi serta tersembunyi di balik sebatang
pohon liar besar, Buyut Pagalan dan buyut-buyut lainnya, Buyut Tantram, Gitra,
dan Sumbing, memperhatikan rombongan aneh itu. Ju-ga si lelaki berpakaian kasar
dari Trang Galih, Ki Jalak Katenggeng.
Agak jauh dari mereka, para prajurit setia me-
nunggu, tersembunyi di dalam semak-semak.
"Mereka sudah hampir sampai ke Karang Bajul Putih
itu," bisik Buyut Sumbing.
Di kejauhan, tampak Rebeg keluar dari kungkungan
semak-semak dan kini berjalan betul-betul pada bibir jurang. Berturut-turut
muncul Tun Kumala, Dadap dan
Teki. Dari kejauhan tampak mereka terengah-engah.
"Ya," sahut Buyut Pagalan singkat. Dari jauh tampak
jelas batu karang berwarna putih, yang menjulur ke tengah mulut jurang yang
ternganga. Buyut itu pun ber-
paling pada Jalak Katenggeng.
"Adi Jalak Katenggeng," suaranya dipertegas walau-
pun masih terasa bergetar, "mohon perhatikan apa yang akan terjadi nanti...."
"Apa yang akan terjadi, Kakang Buyut?" Utusan dari
Trang Galih itu mendekat. Sikapnya pun kini semakin
akrab. "Aku akan melaksanakan kehendak Ratu Sepuh. O-
rang itu akan kusingkirkan. Dan untuk itu aku harus
menghukum orang yang mencelakakannya. Yaitu pu-
traku sendiri." Buyut Pagalan berhenti sejenak. "Jadi...
aku... masih menghormati Ratu Anom."
"Aku akan mencatat hal itu baik-baik, Kakang
Buyut, jika nanti memang begitu kejadiannya." Jalak
Katenggeng tersenyum tipis. "Pasti kau bisa mempero-
leh anugerah dari kedua pimpinan kita itu. Persoalannya kini... betulkah itu
akan terjadi?"
"Pasti, pasti..." Buyut Katenggeng mengusap keringat di dahinya dan menajamkan
matanya melihat ke kejauhan.
Rebeg dan Tun Kumala sudah berdiri di tepi Karang
Bajul Putih. Karang itu bagaikan sekeping papan batu besar, putih, menjulur ke
mulut jurang yang ternganga.
Jurang itu begitu dalam hingga dasarnya tak terlihat.
Hanya gelap jauh di bawah sana. Dan angin menerpa
begitu keras. Destar di kepala Tun Kumala melecut-
lecut, sementara Rebeg sekali-sekali membetulkan ikat kondenya yang terbuat dari
emas. "Di sinilah, Tuan," kata Rebeg, berpegangan pada se-
rumpun semak-semak kecil. "Cinta terbukti lebih agung daripada keinginan untuk
hidup. Mereka yang benar-benar mengagungkan cinta, tak gentar harus hancur
berantakan di dasar jurang sana. Ah, aku begitu me-
nyesal kenapa dahulu keinginanku untuk hancur di sini tidak terlaksana." Rebeg
menggelengkan kepala, benar-benar sedih.
"Aku juga menyesal," tambah Dadap, terengah-
engah, mengusap kulitnya yang dirobek duri di sana-
sini. "Mestinya Tuan hancur saja dulu hari itu, jadi ka-
mi tak usah susah payah kemari...."
"Tapi belum terlambat kok, Tuan," kata Teki. "Sila-
kan lho... tinggal melangkah ya... paling cuma tiga langkah...."
"Jangan, Bibi, jangan berkata begitu!" Tun Kumala
tak berani melihat ke depan. Ia pun berpegang erat-erat pada sebatang perdu.
"Hal seperti ini bukanlah mainan."
"Ya, Tuan Kumala benar, Bibi... sebab... ah, mana
orang seperti kalian mengerti hal pelik ini. Jika kalian takut lebih baik mundur
sana, yang jauh..." Dengan gerak lemah gemulai Rebeg melambaikan tangannya ke
arah kedua wanita yang secara sukarela menjadi peng-
iring Tun Kumala itu.
Tetapi gerakannya itu membuat ia menengok ke arah
belakang, dan ia terkejut. Dari balik semak-semak tiba-tiba telah muncul Rota
dan Roga, prajurit kepercayaan Buyut Pagalan. Dan keduanya bekerja cepat.
Rota menebas semak-semak yang jadi pegangan Tun
Kumala. Roga dengan merendahkan diri ke tanah, men-
cengkeram tanah untuk pegangan, menghajar kaki Tun
Kumala dengan sapuan berantai. Tun Kumala menjerit.
Pegangannya terlepas dan saat ia terhuyung, tendangan rendah Roga membuatnya
terpental. Rebeg ikut menjerit. Namun ia tak punya kesempa-
tan untuk melindungi Tun Kumala. Atau ia tak punya
kemampuan untuk itu. Pedang Rota yang menebas se-
mak-semak tadi berputar langsung mengancam perut
Rebeg. Dan secara serta-merta Rebeg melompat mun-
dur... ke tengah mulut jurang yang ternganga!
Dadap saat itu juga menjatuhkan diri seraya menca-
but golok besarnya. Namun perhatiannya terpecah pada Tun Kumala dan Rebeg yang
sudah terpental ke arah
jurang. Ia cepat menurunkan golok, tendangan Rota te-
lak mengenai perutnya. Ia mengaduh pelan, dan men-
coba menjaga keseimbangan. Sambil berpegangan den-
gan dua tangan di tanah Rota menendang Dadap den-
gan kedua belah kakinya. Dan Dadap pun menjerit
mengejar Tun Kumala. Teki begitu tertegun hingga de-
ngan mudah Roga meninju punggung wanita itu hingga
terlontar jauh.
"Hhh, sudah selesai tugas kita, Di?" tanya Roga sam-
bil terengah-engah.
Rota terbaring di bibir tebing melongok ke arah keke-laman jurang di bawahnya.
Ia pun membalikkan diri
hingga kini menengadah. Lemas.
"Huh. Kukira mereka semua pasti lumat di sana,
Kang," jawabnya kemudian.
"Juga... Tuan Muda?" tanya Roga.
"Juga." Rota mengangguk, bangkit kini. Terpekur se-
dih. "Kenapa" Kau takut amarah tuan kita?" Roga begitu
lama bekerja dengan Rota hingga tahu benar perasaan
hati sahabatnya ini.
"Tidak. Aku... aku takut pada amarah Nyai Buyut...."
Rota berdiri. Jauh di puncak sana, beberapa sosok tubuh tampak berkumpul di
bawah pohon liar besar.
Buyut Pagalan dan lain-lainnya itu. Rota melambaikan tangan, menandakan bahwa
tugasnya telah selesai. Seseorang di atas sana membalas lambaiannya.
"Nyai Buyut?" Roga tertawa. Mengusap pedangnya.
"Aku telah berjanji untuk menjaga keselamatan tuan
muda kita." Rota sesaat tertunduk, merenungi bibir jurang. Tak terdengar apa pun
dari sana kecuali deruan angin. Kemudian dadanya yang bidang seolah terangkat
oleh hirupan napas panjang.
"Kaubilang kesetiaan kita hanya pada Sang Buyut ki-
ta." Roga pun mulai melangkah naik.
"Tapi aku telah berjanji pada Nyai Buyut," sahut Ro-
ta seakan mengeluh. Ada sesuatu pada suara sahabat-
nya itu yang membuat Roga tiba-tiba berpaling. Dan ti-ba-tiba ia tertawa.
"Ah, kalau begitu... mungkin betul desas-desus yang
kudengar selama ini namun sulit kupercaya?" tanya
Roga, dengan nada masih tertawa.
Rota bersandar ke dinding cadas, menengadah ke la-
ngit yang kini membiru. Keringat mengkilap di dahinya.
Diterpa angin yang menderu-deru.
Hilang tawa dari wajah Roga. Sekilas ia menoleh ke
atas. Orang-orang di atas sana tampak tak sabar me-
nanti mereka, melambai-lambaikan tangan.
"Di, aku sudah bagai saudara kandungmu... apakah
kau menyimpan suatu rahasia yang bahkan aku pun
tak kauberitahu?" tanya Roga bersungguh-sungguh.
"Ya, Kang, maafkan aku." Rota menghantam dinding
batu tempatnya bersandar. Batu pun berantakan ron-
tok. Roga menghela napas panjang. Kemudian berkata,
"Baiklah. Jika kau tak mau aku tahu rahasiamu... ya
sudah. Tapi kita harus cepat-cepat ke atas sana."
"Kang... justru... sekarang ini aku tak bisa menahan lagi rahasia itu
darimu...." Tiba-tiba Rota mencengkeram Roga.
"Apa maksudmu, Di?"
"Kang... Rebeg... tuan muda kita... sesungguhnya
bukanlah putra Sang Buyut...," kata Rota lemah.
"Apa?" Roga tentu terkejut.
"Ya... ya... Nyai Buyut... dan aku... sesungguhnya...
ah... Rebeg adalah anakku, Kang!"
Roga agaknya sudah menduga pengakuan ini. Ia
menatap Rota dalam-dalam. Kemudian menghela napas
panjang. "Aku tak tahu apakah itu urusanku, Di. Kubilang...
kau bagai saudara kandungku... jika memang sudah
terlanjur begitu... aku sebagai saudara tuamu seharusnya menghukummu. Tak layak
kau sampai punya kela-
kuan seperti itu. Tetapi... juga sebagai saudaramu...
dan karena sudah terlanjur kaulakukan... mungkin aku wajib melindungimu
juga...." Kembali Roga menghela
napas panjang. "Kaulihat betapa bingungnya aku?"
"Aku tak mau kau bingung, Kang. Aku tak berani
minta kau melindungiku. Hanya... kuharap kau me-
ngerti perasaanku... jika kelak... kelak aku berbuat sesuatu yang... di luar
jalur...."
"Maksudmu?"
"Tuan kita, Sang Buyut, begitu kejam. Ia telah me-
maksaku untuk membunuh anaknya sendiri, yang se-
sungguhnya adalah anakku. Aku sudah melaksanakan
tugasku sebagai prajurit. Kau tak bisa menyangkal itu kan, Kang?"
"Hm."
"Aku akan menahan diri. Jika... jika ia masih keterla-luan mengumbar
kemurkaannya... maka aku mungkin
tak bisa menahan diri, Kang."
Kedua orang itu tiba-tiba berhenti. Saling pandang.
"Aku tak bisa menjanjikan apa-apa padamu, Di," ka-
ta Roga akhirnya. "Tetapi aku seorang prajurit. Aku harus melakukan tugasku. Kau
begitu juga. Apa pun yang kauperbuat... sesungguhnya kau telah melanggar hak-mu.
Tindakan Sang Buyut tak bisa kauanggap tindakan
pribadi. Itu adalah tindakan pimpinan. Sedangkan kau, kau yang semestinya
melindungi Nyai Buyut... kau telah berbuat salah besar. Jadi, kuperingatkan, Di,
jangan punya pikiran yang aneh-aneh."
Rota memandang sahabatnya dengan pandang tajam
tak berkedip. Roga pun tak mau kalah membalas tegas
pandangan itu. Akhirnya Rota yang berpaling.
"Baiklah, Kang... jika itu maumu. Kelak kalau kita
harus berhadapan sebagai lawan, aku hanya bisa mo-
hon belas kasihanmu." Rota melanjutkan perjalanannya melata di tebing terjal
itu. Roga beberapa saat merenung. Kemudian ia pun mengikuti Rota.
2. PERANG TANDING
TANAH lapang itu terpencil. Dikelilingi batu-batu raksasa serta pepohonan besar
serta rapat. Ini adalah daerah tak bertuan yang menjadi perbatasan desa Uteran
yang menjadi pusat pemerintahan daerah Akuwu Uteran.
Di pinggir tanah lapang itu sekelompok lelaki me-
nunggu. Bersenjata lengkap, dan siap. Lengkap pula
dengan umbul-umbul besar Reta-Seta, pertanda naung-an kewibawaan Wilwatikta
serta umbul-umbul Akuwu
Uteran sendiri yang berwarna kuning kemerahan. Aku-
wu Tunggul Seloka ada di sana. Tua, namun gagah dan
berwajah dalam. Di sampingnya, Juru Wira Prakara
masih bertengger di atas kudanya. Bukan hanya untuk
gagah-gagahan saja, tetapi juga karena masih terlalu capek untuk turun. Di
sampingnya berdiri prajurit ke-percayaannya, Ki Gubar, yang bukan saja siap
melin- dungi junjungannya, tetapi juga siap membantunya tu-
run dari kuda, jika perlu. Namun sesungguhnya, seba-
gai layaknya para ksatria muda Wilwatikta, Juru Wira Prakara adalah seorang
prajurit cukup tangguh dan
tangkas di atas punggung kuda. Bentuk tubuhnya yang
kurang menguntungkan itu diimbangi oleh kelihaiannya berkuda serta kuda yang
memang sudah terlatih dan
terawat. Di sekitar mereka para prajurit Uteran juga bersiaga.
Sedang jauh di tepi lapangan, para prajurit yang bukan
inti menunggu di keteduhan pepohonan.
"Wuah, mana mereka, Akuwu?" desah Juru Wira
Prakara dari atas kudanya. Napasnya masih terengah-
engah. "Orang lucu yang tadi datang menantang itu apa benar orang dari Pagalan"
Jangan-jangan hanya badut, hi hi hi...."
"Itu tadi adalah Ki Roga, Gusti." Ki Gara, seorang
prajurit Uteran yang berada di belakang Akuwu Tunggul Seloka tak tahan untuk
tidak menjawab. "Dan dia terkenal sebagai seorang prajurit yang dug-deng!"
"Apa benar?" Wira Prakara tertawa lagi.
"Itu mereka datang, Junjungan," tukas Ki Tunggul
Seloka, sedikit tak senang prajuritnya ditertawakan.
"Ah, ya! Mereka membawa bendera berontak, heh?"
Wajah Juru Wira Prakara yang tadi berseri muram se-
ketika. Di kejauhan, muncul dari balik pepohonan raksasa,
memang telah tampak sebatang umbul-umbul tunggal
berwarna merah darah, dibawa oleh seorang prajurit
berjalan kaki. Dan tak jauh di belakangnya segerombol penunggang kuda juga
muncul. Akuwu Tunggul Seloka mengernyitkan kening.
"Yang berkuda di depan itu, Gusti, dari kiri adalah buyut-buyut Tantram, Gitra,


Candika Dewi Penyebar Maut X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagalan, dan Sumbing,"
kata Tunggul Seloka. "Hamba tak mengenal orang yang
kelima. Aneh. Ia tidak berpakaian sebagai seorang prajurit ataupun bahkan warna-
warna daerah sini. Tetapi ia berani berkuda sederet dengan para buyut itu."
"Hmh." Wira Prakara menudungkan tangannya pada
matanya. "Mungkinkah itu jago andalan mereka" Hh,
apakah dia antek Dewi Candika" Hmh. Dua orang di be-
lakang mereka itu... aku kenal. Satunya si badut Roga itu, bukan?"
"Benar, Junjungan. Tampaknya mereka telah begitu
yakin akan kekuatan mereka... hingga merasa cukup
hanya membawa orang sebanyak itu."
"Itulah takabur. Rasanya menghancurkan mereka
bagai melumat buah ranti saja!"
Tak terasa Akuwu Tunggul Seloka melihat pada para
prajurit di dekatnya. Para buyut itu terkenal sakti-sakti.
Mampukah mereka berbuat banyak dalam perang tan-
ding" Gara agaknya merasakan lirikan junjungannya. Ia
menghela napas panjang dan maju mendekat. "Jika
Junjungan memperkenankan, biar hamba jadi tumbal
Uteran, dan akan hamba coba melawan para buyut
itu...." "Ah, kalau cuma mereka saja, si Gubar juga mampu
melindasnya. Betul, Gubar?" tegur Juru Wira Prakara
pada prajurit kesayangannya.
"Jelas, Gusti." Ki Gubar langsung menghunus pe-
dang panjangnya. "Takkan malu hamba belajar di Wil-
watikta, Gusti!"
"Bagus. Jika kau berhasil membunuh salah satu
buyut itu, desanya boleh kaumiliki, Gubar!" Wira Prakara tertawa.
Tunggul Seloka sekilas memandang gusar pada Juru
Wira Prakara, tetapi kemudian ia hanya berkata pada
Gara, "Janji yang sama untukmu, Gara. Juga Sora dan
Kosa. Siapa pun yang mampu membunuh salah satu
buyut itu akan memperoleh desanya."
"Terima kasih, Junjungan!" serentak prajurit yang
bernama Gara, Sora, dan Kosa menyahut dan berdatang
sembah. Berempat dengan Gubar mereka pun maju
menghadang di depan kedua junjungan itu.
Sementara itu rombongan para buyut tadi telah tiba
dan berhenti sekitar sepuluh langkah di hadapan rom-
bongan Akuwu Uteran.
Beberapa saat kedua rombongan itu hening. Yang
terdengar hanyalah desah angin dan ringkikan kuda,
serta kepakan umbul-umbul tertiup angin.
Kemudian Juru Wira Prakara agaknya tak kuat lagi,
membentak, "Keparat kalian! Berani memasang umbul-
umbul membangkang di hadapan sang Reta-Seta?"
"Kami memutuskan memisahkan diri dari Wilwa-
tikta. Kalianlah sesungguhnya yang harus menurunkan
umbul-umbul!" sahut Buyut Pagalan dengan galak dan
memakai bahasa kasar.
"Wuah! Buyut Pagalan! Berani kau berkata seperti
itu di hadapanku?" Tunggul Seloka kini tersinggung ju-ga. "Kenapa tidak"!
Semestinya, mulai sekarang kau
yang menganggap aku sebagai junjunganmu, Tunggul
Seloka!" sahut Buyut Pagalan berani.
"Weladalah! Jadi sudah kauputuskan untuk meng-
adu kadigdayan dengan kami, huh, Buyut Pagalan?" ge-
ram Tunggul Seloka, menggamit tombaknya.
Buyut Pagalan tertawa, melompat turun dari kuda-
nya dan melambaikan gadanya. "Sudah wajar jika yang
kuat menguasai yang lemah. Hayo, majulah kau, Tung-
gul Seloka!"
"Keparat kau!" Tak tahan lagi Gara melompat maju,
langsung membabatkan pedang. Tetapi sambil tertawa
Buyut Pagalan telah berputar pada kakinya dan gada-
nya yang terbuat dari besi menghajar keras pedang Ga-ra. "Gusti Akuwu, biar
hamba bereskan mereka!" Sora
dan Kosa berseru hampir bersamaan dan menghambur
maju menyerang buyut-buyut lain yang masih berada di atas kuda. Buyut Sumbing
berseru terkejut. Kudanya
mendompak keras ke atas karena dengan telak ujung
tombak Sora berhasil menyambar, mengiris leher kuda
itu. "Keparat, kau!" Buyut Sumbing memaki dan lang-
sung melompat menubruk ke arah Sora dengan masing-
masing tangan menggenggam keris kembar. Sementara
itu Buyut Tantram telah mendahului melompat turun
dari kuda dan menyambut pedang Kosa dengan pedang
pula. "Hei, kalau begini... kau lawan aku, hah?" Gubar
pun maju dan menudingkan pedangnya pada Roga yang
berada di belakang Buyut Gitra.
"Eh, kau tidak menantang aku, kunyuk?" Buyut Gi-
tra menahan Roga agar tidak maju. Dengan tenang
buyut ini turun menguraikan senjata cambuknya yang
bermatakan ujung keris. "Maju sini, biar aku sabet pan-tatmu beberapa kali!" Dan
cambuknya betul-betul melesat melecut mengarah dada Gubar.
"Hmm, rame, rame...." Juru Wira Prakara memutar
kudanya mundur, matanya menyipit mengawasi mereka
yang sedang bertempur. Dan Jalak Katenggeng. Beta-
papun naluri keprajuritannya mengatakan pastilah
rombongan para buyut ini menyimpan sesuatu andalan.
Dan yang aneh di antara mereka hanyalah orang berpa-
kaian kasar ini.
Jalak Katenggeng seolah tak memperhatikan dirinya
diperhatikan Juru Wira Prakara. Ia memperhatikan em-
pat pasang orang yang sedang bertempur itu.
Gara lawan Buyut Pagalan. Buyut Pagalan setangguh
senjatanya. Gada besinya lugas menghajar dan menge-
jar, gerakannya yang patah-patah semua memiliki hawa penghancur dahsyat. Buyut
ini agaknya merasa gembira mendapat lawan setimpal. Dan memang pedang Gara
begitu lincah. Begitu indah. Dan selalu mengancam.
Hampir tak terlihat Jalak Katenggeng menggelengkan
kepala. Rota yang berada di sisinya menangkap kernyit
di kening utusan Trang Galih itu. Diam-diam tangannya yang mengepal hulu pedang
mencengkeram makin keras.
"Kenapa, Rota?" bisik Jalak Katenggeng tanpa me-
lirik. "Gusti Buyut mestinya tidak mengikuti irama pe-
dang," gumam Rota. "Pedang itu bukan pedang pusaka.
Sebaiknya dilabrak saja."
"Aha!" Jalak Katenggeng manggut. "Pikiranmu tepat.
Kau selalu mengutarakan pikiranmu pada Sang
Buyut?" "Jika beliau memintanya," sahut Rota, seolah menye-
sal berbicara terlalu banyak.
"Sayang. Semestinya beliau lebih sering mendengar-
kanmu," Jalak Katenggeng memperkeras suaranya. "Ba-
gaimana tentang Buyut Sumbing?"
Rota diam. "Rota, aku bertanya padamu!" bisik Jalak Kateng-
geng. "Kakang Roga lebih ahli dalam ulah tombak," sahut
Rota. "Tapi dia diam. Dan kau yang kutanya," sahut Jalak
Katenggeng. "Tadi pun kau tak minta izin dia untuk
menjawabku. Dan kurasa... sudah banyak hal yang
kaulakukan tanpa minta persetujuan Roga. Ya, kan?"
Suara Jalak Katenggeng terasa bernada mengejek.
Rota mengertakkan gigi.
"Hamba tidak wajib menjawab pertanyaan Tuan.
Hamba adalah bawahan Sang Buyut," sahut Rota ge-
ram. "Ah, kau sungguh jeli. Kau tak mau memberi jawab-
an karena kau yakin Buyut Sumbing akan roboh?" Sua-
ra Jalak Katenggeng semakin mengejek.
Tetapi kata-kata itu terjadi.
Tadinya Buyut Sumbing memang begitu gagah. Keris
kembar di kedua tangannya gesit sekali mengiringi gerak ujung tombak yang
bertangkai panjang itu. Namun
Sora makin lama makin hebat gerak tombaknya. Sesaat
berputar bagai baling-baling. Sesaat mengejar bagai
ular. Dan Buyut Sumbing jadi terengah-engah. Dan
mundur. "Sang Buyut dari Sumbing terkenal dengan ulah jurit
khas Hutan Sela. Ia pasti bisa menyelamatkan diri," se-tengah kesal Rota berkata
agak keras. Dan agaknya kata-kata ini didengar oleh Buyut Sum-
bing. Ia mengubah gerakannya. Kini badannya mem-
bungkuk, gerakannya lebih merapat ke tanah hingga
menyulitkan senjata panjang Sora.
Jalak Katenggeng tertawa.
"Matamu sungguh tajam, Prajurit. Tentang Buyut
Tantram?" Jalak Katenggeng terus mengejar.
Juru Wira Prakara sementara itu tiba-tiba memper-
oleh suatu pikiran aneh. Perang tanding memang ber-
langsung seperti perang tanding. Tetapi orang asing itu agaknya tidak mau segera
turun tangan karena... ya,
mungkin ia sedang mengulur waktu!
Tapi... mengulur waktu untuk apa"
Sesaat ia memandang berkeliling. Di depannya ramai
oleh bentakan dan entakan mereka yang sedang ber-
tempur. Di pihak 'sana' yang tidak bertempur tinggal sekitar dua puluh orang
prajurit. Mereka dalam keadaan menunggu. Dua puluh orang! Mungkinkah"
Tak terasa Juru Wira Prakara berpaling ke arah garis hutan jauh di belakangnya.
Di sana memang terdapat
pasukan utama dari Uteran, yang siap menyerbu jika ia memberi tanda. Mengapa
musuh hanya membawa se-jumlah sangat kecil pasukan"
Tiba-tiba ia merinding.
Mungkin musuh memang mengulur waktu. Pasukan
mereka yang lebih besar akan secara sembunyi menyu-
sup hutan untuk menyergap pasukan dari Uteran dan
Wilwatikta yang tersembunyi di hutan!
"Akuwu! Tunggu apa lagi. Hayo, habiskan mereka!"
Juru Wira Prakara tiba-tiba mengentak kudanya, me-
nerjang langsung ke arah Jalak Katenggeng.
"Biar hamba, Gusti!" Akuwu Tunggul Seloka berte-
riak mencegah. Namun terlihat ketangkasan Sang Juru
dalam berkuda. Kedua tangannya tak lagi mengenda-
likan kuda itu. Dan sang kuda agaknya sudah begitu
terlatih hingga terjangannya terarah - menumbangkan
musuh atau memberi kesempatan bagi tuannya untuk
mempergunakan senjatanya. Senjata Juru Wira Prakara
sendiri juga khas - sebilah pedang yang berwarna kehi-
jauan di tangan kanan, dan perisai dengan mata tom-
bak di tengah lingkaran permukaannya.
Sekali terjang, Rota dan Roga melompat serentak ke
pinggir. Dan Rota langsung dicecar sambaran pedang
hijau yang menyinarkan bau harum itu, sementara
dengan mudah serangan Roga ditangkis dengan perisai
yang sekali-sekali bahkan ikut menyerang!
"Kau mengantar nyawa, Orang Wilwatikta!" Jalak Ka-
tenggeng tertawa. Dengan sekali gerak ia melepaskan
kain yang tadi melilit pinggangnya. Kini ia hanya berca-wat. Dan kainnya tadi
diputarnya di atas kepalanya.
"Jangan kurang ajar!" Saat itu Tunggul Seloka me-
nyerbu masuk dengan tombaknya. Tombak berujung
logam kemerahan itu sudah begitu terkenal sebagai pe-nakluk musuh. Tanpa banyak
bunga-bunga tombak itu
pun langsung ke dada Jalak Katenggeng.
Jalak Katenggeng membuat gerakan yang menyebab-
kan Juru Wira Prakara tertegun.
Dua langkah ke kiri, sekali memutar tubuh dan
mundur selangkah untuk maju dua langkah lagi. Agak
lucu. Karena itulah Juru Wira Prakara ingat sekali. Itu langkah Ra Sindura dulu!
Dengan gerakan tadi, Jalak Katenggeng lolos dari
tombak Tunggul Seloka, lolos dari terjangan kuda Juru Wira Prakara, lolos dari
sambaran si pedang hijau, dan
... kainnya langsung melibat kaki depan kuda Sang Ju-ru! Juru Wira Prakara
menjerit. Kudanya bagaikan di-
sambar kekuatan dahsyat. Meringkik keras dan terem-
pas hebat! Juru Wira Prakara sendiri telah melompat
dan mengguling pergi. Tanah tempat dia jatuh berde-
bum mengepulkan debu oleh hantaman ujung kain Ja-
lak Katenggeng. Juru Wira berguling cepat ke kiri, pedang hijaunya langsung
menebas Rota. Rota tenang me-
lompat dan balas menyerang Sang Juru yang masih ter-
geletak di tanah.
Tombak Tunggul Seloka menderu berputar beralih
mangsa. Tangan Rota bergetar nyeri saat pedangnya di-hantam tombak itu. Dan
secepat kilat ujungnya pun ti-ba-tiba meluncur ke arah dada Rota.
"Huh!" Tiba-tiba saja Jalak Katenggeng menggeram
dan kainnya menghantam tombak Tunggul Seloka. Rota
sesungguhnya sudah menerima nasib. Sambaran tom-
bak itu begitu deras dan kuat. Takkan mungkin ditangkis! Namun sungguh ajaib.
Kain Jalak Katenggeng agaknya lebih tangguh. Tombak itu terhantam pergi dan Ro-
ta tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Pedangnya me-
luncur cepat menyusur batang tombak serta langsung
terhunjam di pangkal lengan Akuwu Tunggul Seloka.
Akuwu itu tampak tertegun sesaat. Memandang tak
percaya pada pedang yang tertancap di tubuhnya. Ke-
mudian ia terhuyung roboh.
"Hei! Hentikan pertempuran! Akuwu Tunggul Seloka
telah tewas!" Jalak Katenggeng berteriak nyaring.
Semua memang kemudian tertegun. Berhenti. Ber-
paling. "Duh, Gusti!" terdengar seru Gara perlahan. Dan ti-
ba-tiba ia kalap. Buyut Pagalan yang juga tertegun, tak melihat gelagat. Gara
menebas dengan pedangnya. Dan
Buyut Pagalan pun roboh dengan dada terbelah.
"Amuk! Bela gugurnya Sang Akuwu!" pekik Gara,
menghambur menyerbu Jalak Katenggeng.
"Hei, kau pun harus mampus!" pekik Rota dan Roga
bersamaan, melihat Buyut Pagalan roboh. Tebasan pe-
dang mereka berdua menghadang Gara. Tapi Gara me-
lompat menghindar untuk langsung menubruk Jalak
Katenggeng. "Hah, dengar dulu! Dengar, Para prajurit Uteran!" Jalak Katenggeng berteriak
lagi, sementara kainnya di-


Candika Dewi Penyebar Maut X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putarkannya melibat pedang Gara. "Berhenti! Tak ada
gunanya kalian bertempur!"
"Hah. Bagi prajurit Wilwatikta, tak ada kata tak berguna jika untuk membela
negara!" geram Juru Wira
Prakara bangkit. "Kau yang tak tahu besarnya langit
perkasanya Mahameru.... Biar kau bisa bergerak segesit burung branjangan, kau
yang hanya beberapa gelintir
ini bisa berbuat apa lawan barisan pendam kami, hah?"
Geram pedang hijaunya ditebaskan pada Jalak Kateng-
geng. Kembali Jalak Katenggeng mempertontonkan lang-
kah-langkah anehnya, dan ia tertawa. "Barisan pendam mana yang kaumaksud, Juru.
Lihat hutan tempat bari-sanmu bersembunyi... mungkinkah bala bantuan itu
yang kaumaksud?"
Ada nada tertawa di ucapan Jalak Katenggeng. Tak
terasa Juru Wira Prakara menoleh. Demikian pula yang lain.
Hutan di kejauhan itu sepi. Terlalu sepi. Para prajurit yang tadi ada di sana
tampak terkapar di tanah. Dari jarak sejauh ini, mereka tampak tidur.
"Mereka takkan bisa membantumu, Juru. Lebih baik
kau bergabung saja dengan kami," kata Jalak Kateng-
geng. Sunyi sekali kemudian. Orang-orang Uteran dan
Wilwatikta. Apakah... orang-orang itu... telah... tewas"
Tidak. Atau... setidak-tidaknya belum semua. Sebab
tiba-tiba dari balik pepohonan hutan sepucuk umbul-
umbul berwarna merah dan putih, muncul!
"Ah!" seru Juru Wira Prakara lega. "Lihatlah... sang Reta-Seta masih berdiri!"
Dan Sang Juru yang bertubuh bundar gempal itu tertawa terkial-kial. Jalak
Katenggeng sesaat tampak mengernyitkan keningnya. Ada se-
suatu yang tak beres di sana. Mestinya bukan Sang Re-ta-Seta yang muncul. Tetapi
bendera merah tanda be-
rontak. "Hayo! Kau saja yang menyerah, Orang gila! Mungkin
bisa kaupilih cara matimu nanti!" kata Sang Juru.
Tiba-tiba saja, Rota bertindak. Ia tak tahu siasat apa yang sedang dilakukan
Jalak Katenggeng. Tetapi agaknya siasat itu gagal. Dan di depan kakinya
tergeletak buyutnya. Bermandikan darah. Tak bernapas.
"Mati untuk Sang Buyut!" Rota berteriak, dan dengan
beringas ia menyerbu Juru Wira Prakara.
Juru Wira Prakara tentu saja waspada terhadap se-
rangan gelap macam ini. Perutnya seakan dipasangkan-
nya untuk menjadi sasaran empuk pedang Rota. Tetapi
sebelum pedang Rota sampai pedang hijaunya telah
menyambar. Rota sampai menjerit keras. Saat itu, se-
mua orang telah bergerak lagi. Dan Jalak Katenggeng
menghantam pedang Juru Wira dengan kainnya. Dan
kini ia mengamuk dengan hebat. Ia tak melulu melayani
seorang lawan. Dengan gerakannya yang aneh seolah ia berada di semua tempat,
membantu para buyut yang
mungkin sedang tertekan atau menggebuk lawan yang
lengah. Jeritan-jeritan maut terdengar. Akhirnya sunyi kembali.
"Bagaimana, Juru?"
Suara itu adalah suara Jalak Katenggeng.
Kembali, makin banyak tubuh bergelimpangan. Yang
berdiri hanyalah orang-orang yang berontak. Dan Juru Wira Prakara yang masih
memegang pedang namun da-ri tubuhnya mengucur darah dari beberapa tempat.
"Kau belum membunuh ksatria Wilwatikta. Kau ma-
sih punya kesempatan bertobat dan diampuni," sahut
Juru Wira Prakara tersengal-sengal. "Juga... siapa pun di belakangmu... terutama
yang gerakannya seperti ka-mu itu... sungguh menjijikkan...," Juru Wira Prakara
berbicara kacau bagai orang demam.
"Kau tidak paham. Kau yang harus menyerah!" kata
Jalak Katenggeng.
"Tidak!" Perlahan Juru Wira Prakara mengangkat pe-
dang hijaunya. "Juga kalian semua... kembalilah takluk pada wibawa....
Wilwatiktaaaaaaaaaa!" sambil menjerit keras Juru Wira Prakara menyerbu Jalak
Katenggeng. Tapi baru berjalan dua langkah, pedang Rota telah
membabatnya dari belakang. Dan ia terguling tumbang.
Sunyi lagi. Semua yang ada memandang pada Jalak Kateng-
geng. Jalak Katenggeng sendiri merenungi hutan di kejau-
han. Apa yang terjadi di sana" Umbul-umbul Reta-Seta yang tadi berdiri megah di
antara pepohonan, entah sejak kapan telah lenyap. Apakah tadi memang ada
prajurit Wilwatikta yang masih hidup" Dan, ya, mengapa
orang-orangnya tidak muncul. Mungkinkah mereka se-
mua tewas" Atau... yah, mungkin di sana juga ada pertempuran habis-habisan. Dan
ada seorang prajurit yang masih hidup. Namun kini mungkin melarikan diri saat
melihat apa yang terjadi di tengah lapangan ini. Me-
mang, jika pimpinan telah tiada, dan ia hanya sendiri, mau apa lagi" Yang jelas,
memasuki hutan itu saat ini mungkin kurang bijaksana. Biarlah ia menunggu
beberapa saat, apa yang akan terjadi.
Roga akhirnya memberanikan diri bertanya, "Tuan...
lalu kami bagaimana?"
Jalak Katenggeng tersentak dari renungannya.
"Ah, ya. Kalian memang bukan pemimpin. Hanya pe-
mimpi!" Ia berpaling memandangi para buyut itu satu
per satu. Mereka gelisah. Mungkin pikiran untuk berontak sesungguhnya tak ada
pada mereka. Mungkin ha-
nya karena desakan Buyut Pagalan saja. Dan kini me-
reka ketakutan. Hanya satu yang dilihatnya tak terpen-garuh. Bahkan mungkin ia
sedang melamun. Rota, pen-
gawal Buyut Pagalan. Laki-laki itu malah bermain tanah dengan jari kakinya. Dan
menghela napas panjang.
"Kalian harus punya pemimpin. Pertempuran terbu-
ka tak bisa dihindarkan. Siapa yang akan kalian pilih?"
tanya Jalak Katenggeng.
Para buyut itu saling pandang sesaat. Kemudian
tunduk lagi. Dan Rota saja yang mengangkat muka, me-
lihat ke arah perbukitan yang menyembunyikan jurang
Kali Putih. "Ah, rasanya tak ada di antara kalian yang berani ja-di pemimpin?" tanya Jalak
Katenggeng. Bahasanya su-
dah kasar. Lagunya melecehkan. Namun tak ada yang
tersinggung. Semua sudah tahu kehebatannya.
"Baiklah. Kukatakan di sini, kemenangan kali ini
adalah kemenangan besar. Trang Galih tidak akan me-
nyia-nyiakan kemenangan ini. Kami akan segera mengi-
rim pasukan ke sini. Nah, siapa yang mau jadi pimpi-
nan di sini?"
Tak ada yang menjawab. Satu per satu Jalak Ka-
tenggeng menatap wajah-wajah di depannya. Dan satu
per satu orang-orang itu menundukkan muka, kalah
wibawa. Tapi ada seorang yang tak berkedip meman-
dangnya. Rota. Rota sesungguhnya memandangi perbukitan jauh di
belakang Jalak Katenggeng. Perbukitan yang menyem-
bunyikan Kali Putih. Pandangannya kosong. Namun ia
tak berkedip membalas pandangan Jalak Katenggeng.
"Kau... kau pengawal Buyut Pagalan, bukan?" tiba-
tiba Jalak Katenggeng bertanya hampir membentak.
"Hhhah?" Sesaat Rota tersentak dari lamunannya.
"Tuan berbicara padaku?"
"Ya, benar. Majikanmu tewas. Apa yang ingin kau-
lakukan?" tanya Jalak Katenggeng.
"Mungkin aku akan membalas dendam," kata Rota
lemah dan perlahan berjalan mendekati mayat Buyut
Pagalan. Jalak Katenggeng mengikuti langkahnya.
"Tapi pada siapa?" Rota bergumam, membersihkan
tubuh bekas majikannya. "Mereka yang bertanggung
jawab atas kematiannya sudah tewas semua."
"Kau bisa meneruskan cita-citanya," kata Jalak Ka-
tenggeng. "Cita-citanya hanyalah impiannya. Bagaimana aku
harus meneruskan impian orang lain?"
"Cita-citanya adalah keinginan untuk meluaskan ke-
kuasaan, meluhurkan namanya...."
"Aku tak berniat untuk itu," sahut Rota.
"Bagaimana kalau kau kuangkat menjadi akuwu
daerah ini?"
Pertanyaan itu bagaikan petir menyambar di tengah
hari bolong. "Ah, kedudukan hanyalah sementara saja. Dan ke-
dudukan hanyalah kesepakatan dari rakyat. Aku tak
mau semua itu."
"Aku suka kejujuranmu. Itu kaumiliki lebih besar
dari yang dimiliki lainnya. Aku makin yakin, kau pantas jadi akuwu di daerah
ini." "Tunggu, Tuan. Tuan tak berhak mengangkatku
menjadi apa pun. Masih banyak yang lebih berhak."
"Lihat saja. Apakah ada yang tidak setuju?"
Hening. Mata Rota heran memandang berkeliling.
Orang-orang gagah itu tampak kuyu. Dan Jalak Ka-
tenggeng begitu perkasa mengawasi mereka, sebelah
tangan bertolak pinggang, tangan yang lain menyangga dagu.
"Bagaimana" Ada yang tidak setuju?" tanya Jalak
Katenggeng lagi. Membentak dengan halus.
Tiba-tiba para buyut yang tersisa itu menekuk lutut, bersimpuh dan menyembah
pada Rota. "Hei, hei, maaf... tunggu, Tuan-tuan...," Rota begitu gugup. "Kakang Roga...
jangan!" serunya pada sahabatnya yang terakhir menunduk berlutut.
"Tuan-tuan... Sang Buyut junjunganku... jangan
berbuat begitu... aku tak berani menerima sembah
Tuan-tuan semua!!" Rota berusaha mencegah terus.
"Mereka mengakuimu sebagai pimpinan. Dan itu tak
bisa kauubah lagi." Jalak Katenggeng tersenyum. "Lebih baik terima sajalah
kehormatan ini."
"Tidak, tidak... Tuan-tuan keliru...."
"Mereka hanya akan mendengarkan perintahmu, bu-
kan permohonanmu," tukas Jalak Katenggeng.
"Kalau begitu, kuperintahkan Tuan-tuan berdiri dan
jangan menganggap diriku sebagai apa pun!" Rota ham-
pir berteriak. "Perintah takkan mereka penuhi," kata Jalak Ka-
tenggeng. "Tidak! Pokoknya tidak!" Rota hampir putus asa. De-
ngan mata menyala ia menatap Jalak Katenggeng. Jalak Katenggeng tertawa.
"Ayolah. Serang aku. Dan aku takkan melawan. Jika aku tewas di tanganmu, hormat
me- reka padamu akan melangit!"
"Tapi... aku tak ingin jadi apa pun!" teriak Rota.
"Sang Rajasa dahulu mungkin juga berkata begitu..."
Tenang Jalak Katenggeng mendekati kudanya. "Toh ak-
hirnya beliau menurunkan raja-raja besar di tanah Ja-wa."
Rota kehabisan kata-kata, terpukau memperhatikan
Jalak Katenggeng menaiki kudanya. "Aku akan segera
kembali, membawa bantuan yang Tuan perlukan, Akuwu."
"Tuan takkan bisa mencegahku menyerahkan diri
pada Wilwatikta!" seru Rota.
"Tentu. Tapi aku yakin, Tuan takkan melakukan itu."
Jalak Katenggeng memutar kudanya. Memperhatikan
para buyut itu. Kemudian ia mengangguk. Memacu ku-
danya menuju hutan.
Lama sekali Rota berdiri termenung. Sementara para
buyut dan Roga masih mematung menunduk, bersim-
puh. Begitu besar perubahan kejadian ini. Buyut Pagalan
tewas. Si Rebeg lenyap. Ah. Dan mungkin pemuda itu
adalah anaknya! Dan... kini... dia jadi akuwu" Begitu gampang" Apakah ini bukan
hanya mimpi"
"Kakang Roga...," ucapnya perlahan, tak sengaja.
"Daulat, Junjungan...." Roga betul-betul menyem-
bah! "Kau jangan mempermainkan aku!" dengus Rota.
"Kehendak dewata juga yang mempermainkan Tuan,
Junjungan," sembah Roga. "Dan hamba akan mengikuti
apa yang digariskan dewata."
"Maksudmu... kau akan menganggap aku sebagai...
akuwumu?" tanya Rota perlahan.
"Benar, Junjungan."
"Apakah semua orang akan menerima itu?"
"Anggap saja itu sebagai cobaan dewata, Junjungan.
Hamba akan menjunjung segala titah Tuan. Tapi kalau
kemudian, ada yang tidak setuju, dan Tuan jatuh dari kedudukan itu... maka
itulah bukti bahwa dewata telah mengambil kembali kurnia pada Tuan."
"Ah, kau benar." Tiba-tiba Rota tampak begitu lega.
"Kau benar. Kita anggap ini suatu ujian. Dan aku akan mencoba untuk kalah. Aku
akan berbuat banyaaak hal
yang menyalahi peraturan. Biar dewata murka. Biar
manusia-manusia memusuhiku. Biar aku terbangun
dari mimpi ini."
"Hamba tentu setuju, Junjungan," Roga menyembah
rendah. "Para buyut juga setuju" Katakanlah terus terang.
Satu saja di antara Tuan menyatakan ragu, aku rela
mundur saat ini," kata Rota memandang para buyut.
"Hamba setuju," sembah buyut Tantram.
"Hamba setuju," sembah buyut Sumbing.
"Hamba setuju," sembah buyut Gitra.
"Junjungan, Tuan perintahkan apa saja pada ham-
ba, dan hamba akan buktikan bahwa kesetiaan hamba
bukan di mulut saja. Misalnya," Roga tersenyum, "boleh Paduka perintahkan agar
hamba loncat ke Kali Putih.
Dan itu pasti hamba lakukan."
"Sungguh?" Tiba-tiba mata Rota bersinar tajam. "Itu
suatu cara menguji yang tepat sekali, Kakang Roga.
Sungguh usul bagus!"
"Jadi Paduka akan menitahkan hamba meloncat ke
Kali Putih?" Roga agak mengernyitkan kening.
"Ya," jawab Rota tegas. Matanya tajam memandang
Roga. Para buyut pun tegang memandang Roga.
"Baiklah. Jika itu yang Paduka perintahkan, maka
tentu hamba akan melakukannya," kata Roga kemu-
dian. "Bagus. Sementara itu... Buyut Tantram dan Sum-
bing... kalian cepat pulang dan bawa pasukan besar
menghadang di Bukit Rambut. Kurasa Uteran akan se-
gera mengirimkan pasukan penumpas. Buyut Gitra...
kauambil pasukanmu untuk mengawalku." Ia terme-


Candika Dewi Penyebar Maut X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nung merenungi Jalak Katenggeng yang di kejauhan
tampak telah memasuki hutan. "Kalian goblok semua,"
gumamnya. "Dengan dukungan orang seperti dia, se-
mua orang bisa jadi akuwu. Bahkan lebih dari itu. Tapi kalian tak mau
menggunakan kesempatan itu." Ia berhenti sejenak. "Entah apa yang terjadi di
sana. Hanya aku yakin, apa pun pasti akan bisa dibereskannya. Ka-renanya...
kalau kelak kita menyerang ke Uteran, maka Uteran akan menerima kita sebagai
penguasa baru. Dan namaku akan berbunyi... Tunggul Reta... untuk mengingat
banjir darah merah di padang ini. Ayo!"
3. PANEMBAHAN MEGATRUH
JALAK KATENGGENG berhenti di tepi hutan. Di sini
memang telah tampak beberapa tubuh bergelimpangan.
Tak ada yang dikenalnya. Ia pun masuk hutan.
Hutan itu hanya hutan kecil. Pepohonannya tidak
begitu rapat, walaupun memang tumbuh besar bagai
raksasa. Suasana memang remang-remang oleh rim-
bunnya dedaunan. Namun tidak terlalu menyeramkan.
Jalak Katenggeng menjalankan kudanya perlahan di
antara semak-semak dan pepohonan besar.
Ia tak pernah merasa takut. Namun tiba-tiba saja
dadanya serasa berdebar keras. Bukan oleh beberapa
sosok tubuh yang terbujur di antara pepohonan itu dan dikenalnya sebagai bagian
dari pasukan sandi yang selalu mengiringinya. Tetapi oleh bau wangi kayu cendana
yang tiba-tiba menusuk hidung.
"Dewata melahirkanmu di bumi ini, di sini...." Tiba-
tiba suara itu seakan begitu saja menembus otaknya.
Seolah bukan lewat telinga. Tapi seperti sesuatu pikiran yang muncul mendadak.
"Dan bumi ini memberimu
makan... memberimu hidup...."
Blingsatan Jalak Katenggeng melirik ke kiri dan ke
kanan. "Dewata juga memberimu raja. Serta pemerintah-
an...." Heran. Apakah ia memikirkan ini, atau seseorang berbicara padanya.
"Selama bumi ini masih menghidupimu... selama ra-
jamu masih melindungimu... mengapa kau mencoba
merusak tatanan jagat?"
"Siapa kau?" Jalak Katenggeng berseru parau.
"Apakah kau percaya jika kukatakan bahwa aku ka-
ta hatimu?" suara itu seolah begitu saja terngiang dalam hatinya.
"Aku takkan selicik kau... tak berani menampakkan
diri...." Jalak Katenggeng diam-diam mengerahkan ke-
kuatan dalamnya.
"Jelas. Jadi... kauakui kau jauh lebih licik dari aku
...." Suara itu seolah tertawa. Kemudian bernada sedih.
"Kau telah mencuri ilmu, itu bisa kumengerti. Tetapi kau mengorbankan orang-
orangmu untuk mati... itu
membuatku sedih. Lebih sedih lagi.... kau seolah bang-ga akan siasatmu."
"Mereka prajurit. Mati di medan laga adalah bangga.
Dan... bukankah kau yang membunuh mereka" Lalu...
mengapa kau seolah tak berdosa" Bahkan kuyakin kau
membunuh mereka dari persembunyianmu!"
"Untuk apa aku berdebat denganmu"! Pencuri kecil
seperti engkau, mana bisa mendapat anugerah untuk
bertemu denganku" Aku tidak takabur. Memang begitu-
lah keadaannya. Jika orang yang mengajari ilmumu itu memperolehnya dari jalan
yang lurus, maka suatu saat engkau pasti takluk dan bertobat, karena ilmuku
bukanlah ilmu sesat. Jika orang yang mengajarimu me-
mang berniat jahat, kau dan dia akan hancur. Aku sa-
ma sekali tak usah bertindak. Katakan saja pada guru-mu. Kau telah mendengar
suara Megatruh."
Dan tiba-tiba, suasana sunyi mencekam. Jalak Ka-
tenggeng merasa bahwa siapa pun orang yang berbicara tadi - entah orang, entah
gandarwa - telah pergi.
Megatruh. Suara itu tadi menyebut nama tersebut.
Dan nama ini pernah didengarnya di Trang Galih. Tidak secara langsung, memang.
Sekali pernah didengarnya
dari Ratu Sepuh. Sekali dari Sang Nagabisikan sendiri.
Dan semuanya berkenaan dengan ilmu yang dipelaja-
rinya. Jalak Katenggeng memperhatikan tangannya dengan
kedua tinju terkepal keras. Ia merasa dirinya begitu hebat. Dengan lambaran
ajiannya, pukulan yang dilontarkannya akan membawa perbawa panas yang hebat.
Bahkan pernah dilihatnya Sang Nagabisikan membakar
batu karang dengan pukulan dahsyatnya. Apakah ini
ilmu curian" Jika ya, bisa dibayangkan kehebatan ilmu aslinya.
Dan orang yang bernama Megatruh itu.
Kembali bulu kuduknya berdiri. Ditendangnya perut
kudanya dengan tumit. Dan kuda itu berjalan perlahan.
Ke mana" Semestinya ia harus ke Uteran. Dengan pasukan
sandinya. Dan membuat kacau di sana hingga para
buyut nantinya leluasa menyerbu ke sana.
Tapi... tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetak.
Entah bagaimana, sekitar sepuluh langkah dari tempatnya berada, seorang lelaki
tua berpakaian hanya lilitan kain putih di tubuh, berdiri memandangnya.
Orang itu masih cukup jauh. Di balik semak-semak
lagi. Tetapi pandangannya begitu tajam, seolah menembus dada Jalak Katenggeng.
Apakah orang ini... Megatruh"
"Siapa kau?" tanya Jalak Katenggeng memberanikan
diri, perlahan turun dari kuda.
"Ternyata bukan kau...," orang tua itu seolah berbi-
sik. "Sss... siapa?" tanya Jalak Katenggeng lagi. Dia agak lega. Jelas orang ini
bukan orang yang suaranya didengarnya tadi. Kalau tidak, mengapa ia tampak ragu-
ragu" "Tidak... bukan kau yang memancarkan keharuman
ini...." Orang tua itu tampak menghela napas panjang, dan berpaling. Tapi orang
itu agaknya sejenak ragu.
Mengernyitkan alisnya yang putih dan memandang lagi
pada Jalak Katenggeng.
"Mengapa kau ada di sini?" si orang tua bertanya.
"Kenapa?"
"Apa hubunganmu dengan orang-orang yang ber-
sembunyi serta kemudian membunuh orang-orang Wil-
watikta?" "Mengapa kau bertanya?"
"Sebab... aku yang membunuh mereka. Memang bu-
kan urusanku. Tapi aku tak rela ada orang dibunuh secara sembunyi-sembunyi. Nah,
apa hubunganmu de-
ngan mereka?"
"Kaubunuh?" Jalak Katenggeng bertanya heran.
Orang itu begitu kurus hingga menginjak kotoran pun
rasanya tak akan gepeng.
"Sesungguhnya aku tak tega. Dan aku tahu itu ber-
dosa. Aku terlalu terlibat dengan perasaan duniaku...."
Orang itu betul-betul menunduk, mengeluh. "Aku sung-
guh berdosa... dan patut dihukum dengan hukuman
dewata yang terberat...."
"Apakah... apakah dosamu itu... jika aku boleh ber-
tanya?" Jalak Katenggeng merasa lebih baik ia meng-
ulur waktu... entah untuk apa.
"Pertama, aku telah marah," orang itu berkata sedih.
"Marah?" Jalak Katenggeng benar-benar heran. "Kau
... seorang brahmana?" Matanya mengernyit memper-
hatikan orang di depannya, mencari tanda-tanda kasta brahmana. Namun tanda-tanda
itu tak ada. "Kedua, aku meninggalkan kebrahmanaanku, dan
lebih berpikir bagai seorang ksatria... aku tak rela nega-raku dirongrong
orang...."
"Ah... kurasa dosa itu tak begitu besar. Malahan,
mungkin bukan dosa. Bagaimana kau bisa merasa pas-
ti?" "Keluarga besarku porak-poranda. Dan aku marah.
Kulihat orang membunuh prajurit Wilwatikta. Dan aku
ingin juga membunuh. Aku begitu malu pada diriku."
"Aku tak tahu apa-apa tentang ini. Mungkin kau ha-
rus melakukan upacara sesuatu."
"Ya. Aku harus berkorban. Aku harus mengorbankan
semua yang kuanggap merongrong Wilwatikta. Terma-
suk kau!" "Apa... apa maksudmu?" Entah kenapa, di dada Ja-
lak Katenggeng kini timbul rasa takut lagi. Padahal
orang tua itu tampak sabar sekali. Dan lemah.
"Kau memusuhi Wilwatikta. Jadi kau musuhku.
Ikutlah aku..."
"Untuk apa... dan kau siapa?" Jalak Katenggeng
menggeser kaki memasang kuda-kuda.
"Untuk sasaran latihan. Aku baru dapat murid baru.
Ia tak punya lawan tanding. Ikutlah aku."
"Kau gila!"
Tiba-tiba tangan orang tua itu meluncur. Masih jauh, tadinya. Dan Jalak
Katenggeng tadinya tak hendak bergerak. Tetapi mendadak saja tangan orang itu
ternyata begitu dekat dengan mukanya. Sekilas Jalak Katenggeng melihat gerakan
kaki si orang tua. Inilah gerakan menggeser tubuh yang juga dipelajarinya. Hanya
yang ini begitu sempurna. Si tua sama sekali tak tampak
bergerak! Putus asa Jalak Katenggeng menghantam tangan itu
sambil menggeser kakinya pula.
Pukulannya mengena angin, sedang mendadak saja
rambutnya tercengkeram dan dientak. Hawa panas
membuatnya langsung pingsan.
4. DI DASAR KALI PUTIH
TEMPAT itu begitu jauh di kedalaman bumi, tertutup
pula oleh rimbunnya semak-semak di dinding tebing jurang, hingga memang dari
atas tak tampak.
Kali Putih hanya sebuah kali kecil, deras di antara
padas. Ada ruang terbuka sedikit. Dan beberapa tulang kerangka manusia melumut.
Tempat ini memang tepat
di bawah Karang Bajul Putih. Beberapa orang memang
telah ada yang melompat dari atas sana. Dan hancur.
Tidak Tun Kumala.
Ia kini duduk di batu menekap muka.
Di belakangnya, di dalam ceruk di dinding batu ter-
baring seseorang dengan tubuh hampir penuh dibebat
kain dan bau obat-obatan menusuk hidung. Orang itu
terbalut hampir rata, dari ujung kaki ke ujung kepala.
Hanya hidung dan mulutnya yang tampak. Dan ini me-
nunjukkan bahwa orang itu wanita. Kulitnya kehita-
man. Lembut. Mungkin cantik. Dan Tun Kumala -
sebagai Rara Sindu - seakan pernah melihatnya.
Ia sendiri hampir tak tahu apa yang terjadi. Ia jatuh dari atas sana. Jauh di
tempat yang dari sini hanya merupakan satu titik biru di tengah kegelapan yang
mirip gua. Dia jatuh bersama Rebeg. Teki. Dan Dadap.
Entah bagaimana, ia selamat. Ditolong oleh orang
tua itu. Tetapi si orang tua hanya bisa menangkap dirinya. Yang lain, katanya,
tidak tertangkap. Tewas.
Ia tak habis berpikir. Orang di atas itu, mungkin per-lu membunuh dia. Mungkin
mereka sudah tahu ia
orang Wilwatikta. Tetapi kenapa Rebeg dan lainnya harus dibunuh juga"
Lalu, kalau memang ia harus dibunuh, mengapa ha-
rus dibuang ke tempat ini"
Siapakah orang tua itu"
Ia belum sempat bicara. Orang itu sudah pergi.
Tidak. Tahu-tahu si orang tua telah berada di situ.
Menyeret sebuah tubuh.
Tun Kumala ketakutan segera berdiri.
Orang tua itu lama memandangnya. Kemudian ia
memeriksa wanita yang dibalut-balut itu.
"Dia sadar?" tanya si tua kemudian.
"Dia... dia minta air...," Tun Kumala tergagap.
"Kauberi?" Si tua mengernyitkan kening.
"Aku... aku tak berani... lancang...."
"Hm. Bagus. Ia memang tak boleh terkena air. Sa-
yang obat-obatan yang ada di daerah sini semua tak
memadai. Tak ada gunanya kucuri," orang tua itu ber-
sungut-sungut. "Si... siapakah... Tuan?" Tun Kumala memberanikan
diri. "Untuk apa kau tahu" Mungkin kau menyesaliku ka-
rena bunuh dirimu tak terlaksana."
"Aku bukan bunuh diri. Aku didorong oleh seseo-
rang. Kami semua...." Tun Kumala menundukkan ke-
pala. "Semua temanmu tewas. Atau... mungkin lawanmu
juga ikut jatuh" Dua perempuan. Satu lelaki. Itu yang tewas. Aku heran juga.
Kalau kalian bunuh diri bersama... sungguh kecewa tiga wanita membelai kematian
pria yang hanya seperti itu."
"Hanya seperti itu bagaimana" Eh... jadi... Tuan tahu aku... wanita?" Gugup Tun
Kumala memperhatikan pakaiannya. Masih rapi, walaupun sobek di sana-sini.
"Tak sulit menerka kau wanita, walaupun aku tak
usah membuka pakaianmu." Si tua berpaling, dan me-
nengadah ke kegelapan di atas mereka.
"Terima kasih." Tun Kumala menunduk tersipu.
"Sedang lelaki itu... tadinya dia juga kukira perem-
puan." "Ah. Tetapi ia punya selera seni tinggi... walaupun
ya... sangat tak terpelajar...." Tun Kumala masih menunduk. Dan terpandang
olehnya orang yang dibawa si
tua tadi. Dan ia terkejut. "Heh?"
"Kenapa" Kau kenal dia?"
"Dia juga jatuh dari... atas sana?"
"Tidak. Aku yang membawanya dari hutan kecil per-
batasan Uteran."
"Dia... pembantu para pemberontak itu...." Sesaat
Tun Kumala terkejut sendiri dan matanya terbelalak
memandang si tua.
"Kenapa?"
"Aku belum tahu siapa Tuan...."
Naga Kemala Putih 4 Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Kemelut Blambangan 7
^