Pencarian

Gadis Dari Alam Kubur 1

Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Bagian 1


Satu Suasana di tepi lereng Gunung Setan pagi
itu, sunyi senyap. Seperti biasanya hanya terdengar suara desir angin dan
kicauan burung. Lain-
nya tak ada. Mungkin hanya geresek dedaunan
yang tertiup angin.
Gunung itu dipanggil Gunung Setan kare-
na tempatnya yang menyeramkan sekaligus
mengerikan. Sepertinya di gunung itu ada beberapa makhluk yang tak kelihatan dan
siap mengganggu siapa saja.
Karena keseramannya itulah gunung itu
dipanggil Gunung Setan.
Penduduk yang berdiam di sekitar gunung
itu bila senja telah datang tak satu pun yang berani keluar rumah, sampai
matahari muncul
kembali keesokan harinya. Bagi mereka, lebih
baik berdiam di rumah daripada terjadi apa-apa.
Dan di pagi yang cukup cerah ini, nampak
tiga orang penunggang kuda mendekati lereng
Gunung Setan. Ketiganya nampak lelah sekali.
Melihat dari cara berpakaiannya yang ringkas dan pedang di punggung, mereka
sepertinya orang-orang rimba persilatan.
Ketiganya berhenti di depan sebuah wa-
rung kecil. Melihat kedatangan ketiga orang itu, membuat penduduk di sekitar
sana bertanya-tanya. Siapakah mereka"
Ketiga orang itu pun memasuki warung ke-
cil itu. Dan memesan makanan dan minuman
yang terlalu banyak untuk mereka bertiga. Na-
mun kelihatannya mereka habis melakukan satu
perjalanan yang cukup jauh. Karena hidangan
yang banyak itu dapat mereka habiskan.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri.
Dan berseru lantang, menarik perhatian orang-
orang yang sedang makan.
"Maafkan aku, Saudara-saudaraku! Siapa-
kah gerangan yang bisa menunjukkan jalan me-
nuju puncak Gunung Setan"!"
Sebagian besar orang yang sedang makan
di warung itu, tahu jalan menuju puncak Gunung
Setan. Namun tak satu pun yang menyahut. Me-
reka terus menikmati hidangan mereka saja. Seo-
lah suara tadi tak pernah ada, bahkan tak pernah terdengar. Dan kata-kata orang
itu tidak menarik perhatian mereka lagi.
Orang itu berkata lagi, "Barang siapa yang bisa menunjukkan jalan menuju puncak
Gunung Setan, akan kami beri hadiah lima belas tail uang perak!" Uang perak saat itu
adalah jumlah yang sangat besar. Namun tak satu pun penduduk
yang menyahut. Bagi mereka, pergi ke puncak
Gunung Setan sama dengan mengantarkan nya-
wa dengan percuma.
Hmm, apa ketiga orang ini ingin mampus
di sana" Atau sebenarnya mereka sudah bosan
hidup" Karena tak ada yang menyahut, ketiga
orang itu pun segera membayar apa yang telah
mereka makan. Lalu keluar dan menaiki kuda
mereka kembali.
Ketiganya adalah orang-orang yang memi-
liki kepandaian ilmu kanuragan yang lumayan.
Mereka menamakan diri, Tiga Pedang Perak! Ka-
rena pedang yang berada di punggung masing-
masing terbuat dari perak murni.
Tiba-tiba di hadapan mereka muncul satu
sosok tubuh berperawakan sedang. Wajah orang
itu jelek sekali. Dengan mata yang sebelah tertu-tup dan sebelah terbuka. Gigi
orang itu pun ke-
luar. Dia menyeringai pada Tiga Pedang Perak.
Salah seorang dari Tiga Pedang Perak yang
bernama Banusura berkata, "Hei, orang jelek!
Mau apa kau menghadang perjalanan kami"!"
Orang itu masih menyeringai.
"Maafkan aku, Tuan-tuan. Namaku Seto
Mulia," kata orang itu sambil menjura.
"Hmm... Seto Mulia... katakan ada apa kau
menghadang perjalanan kami?"
"Maafkan aku, Tuan-tuan. Tadi kudengar,
Tuan-tuan tengah mencari orang untuk menun-
jukkan jalan menuju puncak Gunung Setan."
"Hmm, benar. Kau tahu orangnya?"
"Mudah sekali, Tuan."
"Katakan pada kami, siapa orangnya?"
tanya Banusura sedikit gembira.
"Itu masalah gampang, Tuan-tuan. Tetapi...
bagaimana dengan pembayarannya?"
"Lima belas tail uang perak."
"Terlalu murah. Jalan menuju Puncak Gu-
nung Setan begitu susah."
"Berapa yang pantas?"
"Dua puluh tail uang perak dan seekor ku-
da." "Pemeras!" terdengar yang berwajah cukup seram berseru. Dia bernama
Abilaga. Seto Mulia menyeringai.
"Bila Tuan-tuan tidak mau, aku tidak me-
maksa," katanya sambil berbalik.
"Hei, tunggu!" seru Banusura.
Orang itu berbalik dan kembali menyerin-
gai. "Bagaimana, Tuan?"
"Baik, dua puluh tail uang perak dan see-
kor kuda. Nah, katakan siapa orangnya?"
"Hehehe... dia tak jauh berada di dekat
Tuan-tuan..."
Seto Mulia terkekeh.
"Hei, jadi kau sendiri"!" seru Banusura sedikit kaget.
"Benar, Tuan. Bagaimana" Setuju?"
"Benar kau tahu jalan menuju puncak Gu-
nung Setan?"
"Tahu dengan pasti."
"Apa sangsinya bila kau tidak tahu?"
"Hehehe... leherku sebagai taruhannya.
Dan aku pun tahu apa yang Tuan-tuan kehendaki
di puncak Gunung Setan."
"Apa yang kau ketahui," kata Banusura yang merasa tengah berhadapan dengan
manusia licik. "Makam Eyang Ringkih Dewi... pendekar wanita yang telah terkubur ratusan
tahun di puncak Gunung Setan..."
Dan makin sadarlah Banusura akan kelici-
kan Seta Mulia. Dia berkata.
"Apa lagi yang kau ketahui?"
"Letak makam itu pun aku tahu, Tuan...
dan dari semua penduduk yang ada di sini, hanya akulah seorang yang tahu semua
itu. Karena aku
sering mencari kayu di puncak Gunung Setan..."
Banusura mendesah. "Baik, kapan kau bi-
sa mengantar kami?"
"Besok, pagi. Sebaiknya Tuan-tuan hari ini beristirahat saja. Di ujung jalan
sana ada sebuah penginapan yang cukup murah."
"Baik, besok pagi kita melakukan perjala-
nan menuju puncak Gunung Setan."
Terdengar suara Seto Mulia terkekeh.
"Bagaimana dengan bayaran itu, Tuan?"
"Besok kau akan mendapatkan separuh
uang muka dari seluruhnya. Dan seekor kuda...."
"Hehehe... aku minta sekarang, Tuan-
tuan... saat ini aku sedang kalah berjudi. Kumin-ta uang muka sekarang... bila
tidak, musnahlah harapan Tuan-tuan untuk datang ke puncak Gunung Setan dan
mengambil sebuah cambuk sakti
milik Eyang Ringkih Dewi...."
Banusura mendesah. Orang ini agaknya
tahu banyak tentang makam Eyang Ringkih Dewi
dan cambuk Sutra Sakti. Banusura menjadi me-
naruh harap pada Seto Mulia.
Memang, kedatangan Tiga Pedang Perak ke
Gunung Setan untuk menggali makam Eyang
Ringkih Dewi, pendekar wanita yang perkasa,
yang memiliki cambuk Sutra Sakti. Biarpun wani-
ta itu dari golongan hitam yang sepak terjangnya amat mengerikan dan berbahaya,
ketiga orang itu tidak takut. Bagi mereka bahkan, Eyang Ringkih
Dewi seorang pendekar wanita yang gagah perka-
sa; Karena mereka sendiri adalah orang-orang da-ri golongan hitam.
Permintaan Seto Mulia pun disetujui. Ba-
nusura menyerahkan sepuluh tail uang perak pa-
danya. "Hehehe...!" Seto Mulia terkekeh. "Tuan-tuan tak usah khawatir aku akan
melarikan diri.
Rumahku di dekat sungai sana. Tidak susah
mencariku. Anak dan istriku berdiam di sana....
Selamat pagi, Tuan-tuan... dan selama beristirahat..." Lalu laki-laki berwajah
jelek itu berlalu sambil terkekeh meninggalkan Tiga Pedang Perak.
Abilaga yang sejak tadi jengkel mendengar
kata-kata Seto Mulia berkata, "Hhh! Licik! Ini pe-merasan namanya!"
"Tenanglah, Abilaga," kata Banusura. "Yang penting kita menemukan orang yang
bisa menunjukkan jalan menuju puncak Gunung Setan."
"Benar kata-katamu, Banusura," kata Jagalila yang sejak tadi terdiam. "Untuk
saat ini, yang membuat kita menurut pada orang itu, ka-
rena dialah kunci dari seluruh pencarian kita."
"Benar apa yang dikatakan Jagalila. Untuk
sementara kita menurut saja dan memenuhi se-
mua kemauan dari orang jelek yang mengaku
bernama Seto Mulia."
"Lalu?" tanya Abilaga. Sebelum Banusura menjawab, Jagalila menyelak, "Lalu...
bukankah kau telah punya rencana tersendiri, Banusura?"
Banusura terbahak. "Benar, Jagalila. Ren-
cana itu telah tersusun matang di benakku. Dan
semuanya akan kulaksanakan. Orang seperti dia
tak akan pernah kuberi ampun. Setelah semua-
nya beres, kita bunuh dia!"
Lalu sambil terbahak, ketiganya menjalan-
kan kuda mereka menuju ke penginapan. Begitu
mereka masuk ke kamar yang mereka pesan, da-
tang pula ke tempat itu dua orang wanita.
Yang seorang bertanya, "Tiga orang yang
berpedang di punggung, memesan nomor bera-
pa?" Penjaga penginapan itu menyahut, "5."
"Terima kasih, kami pesan kamar nomor
6," kata wanita itu lagi. Lalu keduanya pun memasuki kamar yang telah mereka
pesan. Melihat dari gerak-gerik keduanya, agak-
nya mereka punya rencana tersendiri terhadap
Tiga Pedang Perak. Karena berulangkali kedua
wanita itu nampak keluar masuk kamar.
Menjelang senja, Keduanya mendengar pin-
tu Tiga Pedang Perak terbuka. Nampak Abilaga
keluar dari kamar itu.
"Juwita... kau ikutilah dia!" kata wanita itu pada yang satu. Yang satunya lebih
muda dan seorang gadis remaja. Wajahnya jelita. Usianya ki-ra-kira baru 17 tahun.
"Baik, Bibi!" Lalu gadis yang bernama Juwita itu pun keluar dari kamarnya. Dan
dengan hati-hati mengikuti ke mana perginya Abilaga.
Dan menjelang malam, dia baru kembali ke
penginapan itu.
Wanita yang lebih tua segera bertanya.
"Bagaimana, Juwita?"
"Dia hanya membeli seekor kuda, Bibi...."
"Hmm... barangkali untuk penunjuk jalan
yang bermuka jelek itu. Juwita, sebaiknya kau tidur saja. Mungkin besok kita
harus melakukan
perjalanan yang cukup jauh...."
Dua Meskipun licik, Seto Mulia ternyata dapat
dipercaya. Keesokan paginya, dia sudah menung-
gu di luar penginapan Tiga Pedang Perak.
Ketiga orang itu yang sudah bersiap pun
keluar dari penginapan mereka. Seto Mulia terta-wa melihat kini ada empat ekor
kuda yang terikat di depan penginapan itu.
"Kita berangkat sekarang, Tuan-tuan?"
tanya Seto Mulia.
"Lebih cepat lebih baik. Berapa lama yang
kita butuhkan untuk tiba di sana?" tanya Banu-
sura. "Bila kita berangkat sekarang, besok pagi baru tiba di sana. Itu pun bila
tanpa beristirahat."
"Baiklah kalau begitu. Kita berangkat saja sekarang."
Mereka segera naik kuda masing-masing.
Dan tanpa setahu mereka, dua pasang mata
memperhatikan kepergian mereka.
"Kita susul sekarang, Bibi?" tanya Juwita yang sudah tidak sabaran.
"Sabar saja, Juwita... biarkan keempat
orang itu agak menjauh, baru nanti kita menyu-
sul..." sahut Bibinya sambil tersenyum.
Sebenarnya kedua wanita itu adalah murid
dan guru. Muridnya bernama Juwita, sedangkan
gurunya bernama Dewi Kantilaras atau yang ber-
juluk Dewi Bunga Biru. Karena Dewi Kantilaras
bersenjatakan bunga berwarna biru. Namanya
sudah cukup dikenal di rimba persilatan.
Terdengar lagi suara Juwita berkata, "Kita sudah hampir sebulan mengikuti
perjalanan Tiga
Pedang Perak, Bibi. Dan kini kita tahu, mereka
mempunyai penunjuk jalan menuju Puncak Gu-
nung Setan. Apakah kita harus mengikuti mereka
terus Bibi?" suara Juwita terdengar seperti kelu-han. Dewi Kantilaras, yang
berusia kira-kira 35
tahun tersenyum lagi sambil memandang Juwita.
Dia ingat sekali, 17 tahun yang lalu dia menemukan seorang bocah perempuan
sedang menangis
di tepi hutan. Sendirian. Dan bocah itu sepertinya
sengaja ditinggalkan oleh orangtuanya.
Dewi Kantilaras yang saat itu baru berusia
18 tahun segera mengambilnya dan mengasuh-


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Dia pun mengajarkan ilmu silat pada bocah
itu. Ketika Juwita berusia 15 tahun, Dewi Kantilaras menceritakan semua kejadian
itu. Juwita cuma menangis sesenggukan kare-
na mengetahui bahwa dia ternyata bukan anak
kandung dari wanita itu.
Atas suruhan Dewi Kantilaras sendiri, dia
mengubah panggilannya menjadi bibi.
"Kalau itu maumu, baiklah, Juwita," kata Dewi Kantilaras sambil mengajak Juwita
berjalan ke belakang penginapan itu. Di sana ada dua ekor kuda milik mereka.
Dengan lincah keduanya segera naik ke
punggung kuda masing-masing dan menggebah
kuda mereka untuk menyusul Tiga Pedang Perak
dan Seto Mulia.
*** Gunung Setan memang menyeramkan.
Menjelang senja, Tiga Pedang Perak dan
Seto Mulia telah menempuh separuh perjalanan.
Nampak pula mereka cukup letih. Meskipun me-
reka menunggangi kuda, namun panas yang cu-
kup menyengat membuat mereka menjadi agak
kelelahan. "Kita beristirahat saja dulu, Banusura..."
usul Jagalila. "Baik! Seto, kita beristirahat dulu!"
Seto Mulia cuma mengangguk. Baginya,
meneruskan perjalanan sekarang pun tak menja-
di soal. Uang, sisa uang yang sepuluh tail lagi yang menjadi dambaannya
sekarang. Baginya, dia
tak perduli dengan makam Eyang Ringkih Dewi.
Uang, uang itu dibutuhkannya!
Semalam dia kalah lagi di meja judi. Dan
nafsu untuk bermain kembali menderanya. Judi
baginya sudah mendarah daging. Dan nafsulah
yang berperan pada semua ini. Bila kita sukar
mengekang nafsu, hancurlah semuanya. Tetapi
kebanyakannya orang lebih mudah diperbudak
nafsu, daripada memperbudak nafsu. Inilah yang
sebenarnya sangat membahayakan.
Bila kita sudah diperbudak nafsu, maka
semuanya akan sulit dikekang. Dan kadang kita
akan kesukaran untuk membedakan mana yang
baik dan buruk, mana yang benar dan salah.
Seperti Seto Mulia ini. Baginya nafsu ada-
lah tuan dari segala tuan!!
Agak jauh dari sana, dua ekor kudapun
berhenti. Kedua penunggangnya pun nampak ke-
lelahan. Mereka pun beristirahat.
"Bibi..." bisik Juwita.
"Ya?"
"Tempat ini menyeramkan sekali, Bibi...."
"Kau takut, Juwita?"
"Sebenarnya, iya... tapi dekat Bibi, apa
yang harus ku takuti?"
Dewi Kantilaras tersenyum. "Orang-orang
memanggil gunung ini dengan sebutan Gunung
Setan, karena keseramannya."
"Kita masih meneruskan perjalanan, Bibi?"
"Benar, Juwita. Aku sangat mengidam-
ngidamkan cambuk Sutra Sakti, yang pernah di-
miliki oleh Eyang Ringkih Dewi. Tokoh dari golongan hitam yang amat sakti..."
"Lalu rencana Bibi bagaimana?"
"Bila mereka sudah menemukan ma-
kam itu dan mendapatkan Cambuk Sutra Sakti,
kita akan merebutnya, sekaligus membunuh me-
reka..." Juwita cuma mengangguk saja. Dia tahu ilmu silat yang dimiliki oleh
bibinya sekaligus gurunya ini sangat tinggi. Namun tiba-tiba terdengar keributan
tak jauh dari tempat mereka.
Serentak keduanya melihat. Di tempat isti-
rahatnya, nampaklah Tiga Pedang Perak sedang
bertempur melawan seorang kakek yang bersenja-
takan tongkat berkepala buaya.
Dewi Kantilaras berdesis, "Hmm... Siluman
Dewa Buaya... rupanya dia pun berniat untuk
mendapatkan Cambuk Sutra Sakti..."
"Siapakah Siluman Dewa Buaya, Bibi?"
tanya Juwita yang sangat tertarik. Berulang kali dia melihat pertempuran dan
telah berulang kali pun dia terlibat pertempuran, namun kali ini yang dilihatnya
nampak begitu hebat. Diam-diam dia
kagum dengan kakek bertongkat kepala buaya itu
yang masih bisa mengimbangi tiga serangan dari
pengeroyoknya yang telah mencabut pedang mas-
ing-masing. "Sebenarnya... tak seorang pun yang tahu
nama asli Siluman Dewa Buaya. Orang hanya ta-
hu dia seorang kakek sakti yang berdiam di Sun-
gai Buaya. Dan menjadi dewa para buaya. Kesak-
tiannya amat tinggi. Dan kekejamannya sama
dengan buaya, tak mengenal ampun bagi siapa
pun. Dan agaknya dia pun tertarik dengan Cam-
buk Sutra Sakti..." kata Dewi Kantilaras. Lalu terdengar desahannya.
"Kenapa, Bibi?"
"Agaknya kita mempunyai penghalang pu-
la..." "Bibi takut?"
Dewi Kantilaras tersenyum. "Aku tak per-
nah takut dengan siapa pun, Juwita..."
Di tempat beristirahatnya, memang Tiga
Pedang Perak tengah bertarung hebat melawan
seorang kakek yang bersenjatakan tongkat dan di ujung tongkat itu berbentuk
kepala buaya. Mereka sendiri tidak menyangka ketika
mendadak beberapa senjata rahasia mendesing ke
arah mereka. Dan serentak ketiganya bersalto.
Hanya Seto Mulia yang kebingungan mengapa
mendadak saja ketiganya melompat ke depan.
Dan dia baru mengetahui jawabannya keti-
ka di hadapan mereka berdiri seorang kakek
berwajah tirus dengan tubuh kurus kerempeng.
Kakek itu menyeringai dan terkekeh.
Tiga Pedang Perak tahu siapa kakek itu.
Dan mereka pun menjadi siaga. Dalam hati mere-
ka mengumpat kesal, karena berarti perjalanan
mereka ini telah dicium oleh orang-orang rimba
persilatan. Dan mereka tak mau banyak cakap lagi,
serentak ketiganya maju menerjang Siluman De-
wa Buaya yang cuma terkekeh saja.
Dan menyambut serangan pedang perak
mereka dengan tongkatnya.
"Hehehe... rupanya kalian tidak suka meli-
hat kemunculanku ini..." terkekeh Siluman Dewa Buaya sambil menangkis serangan-
serangan yang datang. "Siluman Dewa Buaya! Lebih baik kau me-
nyingkir saja dari sini!" geram Banusura sambil terus mencoba mendesak.
"Hehehe... mengapa mesti ada larangan se-
perti itu, Banusura?"
"Karena kami menginginkan nyawamu!"
"Hehehe... biar tak ada penghalang bagimu
untuk mendapatkan Cambuk Sutra Sakti, bukan"
Hehehe... mengapa tidak kau ajak sekalian saja
aku, Banusura?"
"Kakek siluman!" terdengar dengusan Abilaga yang panasan namun polos dan jujur.
"Kami tak ingin membunuhmu sebenarnya, namun kau
sudah menampakkan diri dan sepertinya siap un-
tuk mati sekarang!!"
"Hehehe... Abilaga.. apakah kau dan kedua
temanmu itu mampu untuk mengalahkan aku?"
terkekeh lagi si kakek. "Atau... kalian yang harus mampus hari ini di tanganku?"
"Keparaaat!!" terdengar bentakan Jagalila sambil bersalto melewati kedua
temannya dan menghunus pedang peraknya ke arah jantung Si-
luman Dewa Buaya.
Siluman Dewa Buaya cuma terkekeh. Dan
bergerak menangkis dengan tongkatnya.
"Traaak!"
Terjadi benturan antara pedang perak di
tangan Jagalila dan tongkat berkepala buaya mi-
lik Siluman Dewa Buaya.
Tubuh Jagalila mendadak terlontar ke be-
lakang. Dia merasakan tangannya bergetar. Se-
perti pula pedangnya yang dirasakannya seperti
menghantam tembok besar. Bila bukan tongkat
yang telah dialiri tenaga dalam itu dengan mudah saja terpatah menjadi dua
bagian. Tetapi tongkat itu telah dialiri tenaga dalam yang kuat, di samping
terbuat dari bambu yang sangat langka.
Siluman Dewa Buaya terkekeh. "Hehehe...
lebih baik kalian membunuh diri di depanku se-
belum aku makin tega dan menurunkan tangan
telengas kepada kalian!" desisnya menyebar maut.
"Hhh!" Banusura mendengus. "Kami, Tiga Pedang Perak yang akan mengambil nyawamu,
Siluman Dewa Buaya!"
"Hehehe... lebih baik kalian cepatlah mem-
bunuh diri dan tak perlu banyak omong lagi!"
"Kau yang jeri rupanya!"
"Hehehe... biasa, orang mau mati selalu
banyak omong!"
"Anjing buduk! Tahan serangan!!" geram
Banusura memaki keras. Dia bukan main jeng-
kelnya melihat kenyataan ini. Dan dia tak pernah menyangka ada yang membuntuti
perjalanan mereka. Bila terjadi seperti ini bukankah yang membuntuti lebih enak"
Makanya kini dia menyerang dengan penuh
amarah dan membabi buta. Namun Siluman De-
wa Buaya begitu tangguh. Tongkatnya bergerak
dengan cepat dan kadang menderu dengan hebat.
Tongkat itu kadang menusuk, menotok, memu-
kul, menangkis dan menampar. Benar-benar satu
pertunjukkan permainan tongkat yang hebat ten-
gah ditampilkan oleh Siluman Dewa Buaya.
Dan sebentar saja Banusura terdesak.
Hingga suatu ketika kakinya terhantam tongkat
Siluman Dewa Buaya hingga dia sempoyongan.
Dan dengan satu jeritan yang cukup kuat,
Siluman Dewa Buaya bertekad untuk menghabisi
Banusura. Dia menerjang dengan mengayunkan
tongkatnya ke kepala Banusura.
Tiba-tiba terjadi benturan keras.
"Traaaak!!"
Ayunan tongkat Siluman Dewa Buaya tidak
mengenai sasarannya. Malah menghantam pe-
dang perak milik Abilaga yang menangkis untuk
menyelamatkan nyawa kawannya.
Siluman Dewa Buaya bersalto ke belakang.
Belum lagi dia hinggap di bumi, Jagalila sudah
menderu maju dengan pedang terhunus.
Siluman Dewa Buaya tak mau dirinya dija-
dikan sasaran empuk pedang perak milik Jagalila.
Dengan satu gerakan yang fantastis, Siluman
Dewa Buaya menangkis pedang itu dan melenting
kembali ke belakang dengan bantuan tongkatnya
yang dijadikan sebagai tumpuan untuk men-
gayunkan tubuhnya.
"Hehehe.... ternyata kalian memang nekat
sekali!" terkekeh Siluman Dewa Buaya begitu hinggap di bumi. "Bagus! Aku pun tak
ingin tanggung-tanggung lagi bermain-main dengan kalian!
Nah, kali ini tahan serangan! Tongkat Buaya
Mengejar Mangsa!"
Lalu Siluman Dewa Buaya pun menerjang
kembali. Kali ini tongkatnya bagaikan memiliki
mata untuk menyerang lawannya. Begitu cepat,
tangguh dan berbahaya.
Abilaga dan Jagalila berusaha menahan se-
rangan-serangan tongkat Siluman Dewa Buaya.
Namun mereka bagaikan telah terkurung oleh
arus desiran angin yang cukup kuat, yang ditim-
bulkan oleh desingan dari tongkat itu.
Banusura sendiri tak bisa berbuat banyak,
karena kakinya begitu sakit sekali. Dan sukar untuk diajak berjalan. Ayunan
tongkat Siluman De-
wa Buaya telah mematahkan tulang keringnya.
Kini dia tengah mengalirkan tenaga dalamnya.
Keringat terlihat bercucuran di wajah dan
sekujur tubuhnya.
Perlahan-lahan matahari mulai membe-
namkan diri, seolah enggan untuk melihat per-
tunjukan darah yang sebentar lagi akan bersim-
bah. Dan tiba-tiba terdengar pekikan Siluman
Dewa Buaya. Tubuhnya mendadak bersalto dua
kali ke udara. Dan tongkatnya siap menyapu ke-
pala dari Abilaga dan Jagalila.
Sebisanya keduanya menghindar dan me-
nangkis, Abilaga berguling menghindarkan diri.
Sedangkan Jagalila langsung melompat ke kiri.
Serangan yang berbahaya itu luput menge-
nai sasarannya. Namun bagi Siluman Dewa
Buaya ini sudah bukan main-main lagi. Dia pun
tak mau bertindak tanggung lagi.
Masih bersalto di udara dia melentingkan
kembali tubuhnya. Dan mendekati Banusura
yang sudah duduk terdiam mengaliri tenaga da-
lamnya. Tongkat Siluman Dewa Buaya pun siap un-
tuk menerkam mangsanya.
"Crasss!"
Tanpa ampun lagi tombak itu menghantam
kepala Banusura hingga pecah. Terdengar peki-
kan yang merobek alam sekitar dengan keras.
Lalu tubuh itu pun ambruk. Sementara Si-
luman Dewa Buaya telah berdiri tegap di bumi


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gagah. Dan terkekeh yang membuat Ab-
ilaga dan Jagalila menjadi murka. Mereka seakan melupakan keadaan Banusura yang
sudah ke-payahan. Dan mereka tak bisa lagi untuk meno-
long Banusura. Kini matilah salah seorang dari Tiga Pe-
dang Perak yang tangguh.
Dan melihat kenyataan itu, Abilaga dan
Jagalila pun semakin murka. Keduanya menderu
maju dan untuk membalas kematian Banusura.
"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Si-
luman keparat!" gertak Abilaga sambil mengayunkan pedangnya dengan hebat.
Begitu pula dengan Jagalila yang tak mau
ketinggalan untuk ambil bagian membalas kema-
tian Banusura. Pedang perak di tangannya berke-
lebat dengan hebat mencari sasaran.
"Hehehe.. kalian cepatlah membunuh diri
dengan jalan menusukkan pedang kalian ke jan-
tung kalian!" kata Siluman Dewa Buaya sambil terkekeh.
"Laknat! Kau harus membayar dengan ji-
wamu, Siluman keparat!!"
"Hehehe... keluarkanlah segenap kemam-
puanmu! Aku pun sudah jenuh untuk bertarung
lebih lama! Nah, kalian layani jurus tongkatku
yang satu ini. Tongkat Buaya mencari Buruan!"
Dan tongkat itu pun makin hebat bergerak.
Penuh tenaga dan berbahaya. Hingga suatu saat,
kedua lawannya berada dalam kepungan tongkat
itu. Tak ada jalan lain, Abilaga dan Jagalila
mencoba untuk menerobos kepungan tongkat
yang bergerak dengan cepat itu!!
*** Tiga "Heeeeiiiiit!!" keduanya memekik keras mencoba menerobos. Pedang perak di tangan
masing-masing siap untuk melindungi tubuh
masing-masing. Namun kepungan tongkat Siluman Dewa
Buaya memang sulit untuk ditembus. Tetapi ke-
duanya telah nekat. Bagi mereka lebih baik mati berkalang tanah daripada
membunuh diri Kejadian yang nekat itu pun terjadi.
Dua tubuh itu menderu melesat mencoba
menerobos kepungan tongkat yang bagaikan seri-
bu. "Des!"
"Des!"
Dua sosok tubuh mencelat dari kepungan
tongkat yang jadi bagaikan seribu. Dan tubuh kedua itu pun muntah darah lalu
ambruk dengan nyawa melayang.
Deruan tongkat itu berhenti. Siluman Dewa
Buaya terkekeh.
"Hehehe... tak satu pun yang berhasil me-
nembus pertahanan ku ini. Dan tak seorang pun
yang akan berhasil. Tak akan pernah berhasil...."
Sementara itu Seto Mulia yang menyaksi-
kan pertarungan yang mendebarkan itu bering-
sut-ingsut ketakutan. Dia ngeri melihat kematian tiga orang yang menyewa jasanya
itu. Dan lebih ngeri ketika teringat tinggal dia kini seorang. Ten-
tunya Siluman Dewa Buaya akan menjadikannya
penunjuk jalan menuju Puncak Gunung Setan.
Dugaannya memang benar, karena kini ke-
pala Siluman Dewa Buaya menoleh padanya. Se-
pasang matanya yang cekung menatap tajam.
Tiba-tiba terdengar kekehannya.
"Hehehe... kau tak bisa melarikan diri dari-ku orang jelek! Ayo cepat kau
katakan jalan mana yang harus kutempuh untuk menuju puncak Gunung Setan?"
Seto Mulia menelan ludahnya. Kengerian
itu semakin merambat. Mengerikan.
"Aku.."
"Ya, kau bertugas untuk mengantarkan
aku ke puncak Gunung Setan! Mengerti"!"
Tak bisa Seto Mulia menolak lagi. Segala
kelicikannya telah lenyap. Dia ngeri melihat kakek bermata cekung itu membunuhi
orang-orang itu dengan mudahnya. Dan kini mau tak mau dia
harus menuruti perintah kakek itu.
"Iya... ya, Tuan..." katanya tersendat, takut-takut.
"Tuan" Heheheh... bagus, bagus... panggil
aku Tuan... hehehe... Tuan, tuan..." Siluman De-wa Buaya bersorak gembira
seperti anak kecil
mendapat permen. Bahkan dia menari-nari.
Di tempat persembunyiannya, Dewi Kanti-
laras dan Juwita tersenyum geli melihat tingkah kakek itu. Mereka tadi cukup
kaget ketika melihat Tiga Pedang Perak dengan mudah dikalahkan
oleh kakek itu.
Tetapi mengingat betapa kejam dan telen-
gasnya kakek itu menurunkan tangan, membuat
Juwita sedikit bergidik. Namun begitu dilihat gurunya nampak tenang saja dia pun
mencoba un- tuk tenang. "Dia kejam sekali, Bibi...." akhirnya keluar pula kata-kata yang ditahannya.
"Ya... orang-orang rimba persilatan sudah
tahu betapa kejamnya kakek gila itu... Dia tak akan pernah melepaskan musuhnya
bila belum mati..." sahut Dewi Kantilaras.
Lalu keduanya memperhatikan lagi Silu-
man Dewa Buaya yang tengah berkata pada Seto
Mulia. "Sekarang juga berangkat ke sana!"
"Tapi... aku lelah sekali..." sahut Seto Mulia takut-takut,
"Lelah" Hehehe... lelah, kau lelah, ya?" terkekeh kakek itu. Dan tiba-tiba dia
membentak, "Ayo cepat! Atau ku paksa kau seperti orang-orang yang telah jadi mayat itu,
hah"!"
Seto Mulia bagaikan disengat lebah men-
dengar suara yang keras menggelegar itu. Me-
mang tak ada pilihan lain. Meskipun lelah menderanya, dia menaiki kembali
kudanya. Siluman
Dewa Buaya pun menaiki salah seekor kuda yang
ada di sana. Sementara itu Juwita tengah berkata pada
Dewi Kantilaras.
"Mereka pergi lagi, Bibi...."
"Benar. Pasti Siluman Dewa Buaya telah
memaksa orang jelek itu."
"Lalu sekarang kira bagaimana, Bibi?"
"Maumu?"
"Aku tidak mau bertindak setengah-
setengah lagi, Bibi."
"Maksudmu?"
"Kita ikuti saja mereka sekarang juga, Bi-
bi." Dewi Kantilaras tersenyum.
"Bagus! Kau memang gadis yang pembera-
ni, Juwita!" kata Dewi Kantilaras sambil melompat menaiki kudanya. Disusul
dengan Juwita. Lalu keduanya pun menjalankan kudanya
mengikuti kuda-kuda yang bergerak di depan.
Malam pekat. Untunglah purnama bersinar den-
gan terang. *** Mentari di ufuk timur sana sudah menam-
pakkan bias kemerahannya. Tanda sebentar lagi
kemunculannya akan tiba dan mulai tugas rutin-
nya menerangi seluruh jagat raya.
Sebagian sinarnya pun mulai menerangi
bagian puncak dari Gunung Setan. Nampak dua
orang penunggang kuda menjalankan kudanya
secara perlahan, menapaki bagian-bagian jalan
yang cukup terjal. Bila tidak hati-hati dan penuh perhitungan bisa terjungkal,
terguling ke bawah.
Agaknya Seto Mulia memang sudah men-
genali jalan itu. Dia dengan mudah saja memapa-
kinya. Walaupun tubuhnya terasa letih dan ma-
tanya amat mengantuk, dipaksakannya juga un-
tuk terus. Di belakangnya Siluman Dewa Buaya
nampak masih dalam keadaan segar bugar.
Beberapa puluh meter dari mereka, nam-
pak Dewi Kantilaras dan Juwita menjalankan ku-
danya secara hati-hati pula.
Berulangkali Dewi Kantilaras berseru hati-
hati pada Juwita yang nampak sudah mengantuk.
"Hati-hati, Juwita! Kau harus berkonsen-
trasi penuh bila tidak ingin celaka!"
"Iya, Bibi!"
Juwita mencoba mengalirkan hawa mur-
ninya ke kedua matanya untuk mengusir rasa
kantuknya. Memang tubuhnya sudah penat seka-
li. Beberapa saat kemudian, saat matahari telah muncul, terdengar seruan Seto
Mulia, "Kita telah tiba di puncak Gunung Setan,
Tuan!" Siluman Dewa Buaya terkekeh.
"Hehehe... bagus, bagus. Nah, sekarang
tunjukkan di mana makam Eyang Ringkih Dewi
berada!" "Saya... saya tidak tahu, Tuan..." kata Seto Mulia mencoba menghindar, karena
dia tahu kakek itu amat kejam sekali. Satu pikiran ada di
benaknya. Bila dia memberitahukan di mana ma-
kam Eyang Ringkih Dewi berada, belum tentu dia
akan mendapatkan upah dari petunjuknya ini.
Malah Seto Mulia berpikir, dia akan dibunuh setelah semua ini selesai. Makanya
dia mencoba un-
tuk berbohong. Namun Siluman Dewa Buaya jelas tidak
mau menerima begitu saja. Tongkatnya tiba-tiba
bergerak. "Tuk!"
Ujung tongkat itu telah menotok tubuh Se-
to Mulia hingga tak bisa bergerak.
"Hehehe... benar kau tidak tahu, Orang je-
lek?" "Ia.. iya, Tuan..." kata Seto Mulia yang merasa tubuhnya amat sukar untuk
digerakkan. Dia
merasa tersiksa sekali.
"Bagus! Kalau begitu biar aku yang cari
sendiri! Dan kau tak akan pernah kulepaskan da-
ri totokkan itu! Biar kau mampus dipatuk ular di tempat yang menyeramkan ini,
dan kaku selama-lamanya!"
Wajah Seto Mulia pias.
Memerah. Dan ketakutan. "Aku... aku..."
"Hehehe.. kau sesungguhnya tahu, bukan"
Nah, cepat tunjukkan! Bila tak ingin melihat aku marah dan menyiksamu!"
Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Seto
Mulia. Bila dia tahu semuanya akan berakhir se-
perti ini, tak pernah dia mau menerima pekerjaan sebagai petunjuk jalan dari
Tiga Pedang Perak.
Biar dengan upah sebesar apa pun!
Tapi mau apa lagi"
Semua sudah terjadi dan dia tak mungkin
dapat melepaskan diri lagi.
Takut-takut dia mengangguk.
"Iya... iya, Tuan...."
"Hehehe..." tongkat itu bergerak lagi, "Tuk!"
dan terbebaslah Seto Mulia.
Lalu dengan teramat terpaksa, Seto Mulia
pun menunjukkan makam Eyang Ringkih Dewi.
Ternyata letaknya di dalam sebuah goa yang ter-
dapat di puncak Gunung Setan. Goa itu cukup
menyeramkan. Dengan sedikit dipaksa, Seto Mu-
lia mengikuti Siluman Dewa Buaya memasuki goa
itu. Siluman Dewa Buaya terkekeh begitu meli-
hat sebuah makam yang telah jelek dan rusak.
Batu nisannya tak ada sama sekali. Bahkan ma-
kam itu hampir rata dengan tanah. Bau lumut
menguap dari dinding goa.
"Benar ini makam Eyang Ringkih Dewi,
Orang jelek?" tanyanya.
"Be... benar, Tuan... Sayalah yang pertama kali menemukan makam ini."
"Bagus! Bagus! Hehehe... Cambuk Sutra
Sakti akan menjadi milikku dan akulah yang
menjadi penguasa di rimba persilatan ini!!"
Lalu dengan gerakan tongkatnya, Siluman
Dewa Buaya mulai menggali makam itu. Seto Mu-
lia cuma memperhatikan dengan perasaan ngeri.
Pertama ngeri karena takut pada Siluman Dewa
Buaya. Kedua ngeri karena akan melihat mayat
yang telah terpendam ratusan tahun yang lalu.
Bukankah ini suatu pemandangan yang
mengerikan"!
Dan dia bergidik ngeri ketika kedua tangan
Siluman Dewa Buaya mengangkat mayat yang te-
lah ratusan tahun terkubur itu.
Bau busuk menguap dari tubuh mayat itu.
Menyebarkan aroma yang tidak sedap. Menyen-
gat. Teramat menyengat. Seluruh tubuh mayat itu telah rusak. Mengerikan. Dan
teramat mengerikan. Seto Mulia langsung muntah karena bau
busuk yang tak kepalang tanggung baunya.
Dia langsung berlari keluar goa untuk
menghirup udara segar. Dan dia masih muntah-
muntah kembali.
Tak lama kemudian muncul Siluman Dewa
Buaya sambil membopong mayat yang telah ru-
sak dan membusuk itu. Di bahunya terdapat se-
buah cambuk yang bagus sekali. Tangkai cambuk
itu terbuat dari baja yang amat kuat. Sedangkan bagian surainya terbuat dari
sutra yang indah sekali. Namun meskipun terbuat dari sutra yang
nampak lembut, sebuah batu besar pun dapat
hancur digebah oleh cambuk itu.
Bahkan sebuah senjata pusaka pun akan
pecah berantakan bila terhantam cambuk itu. Itulah Cambuk Sutra Sakti milik


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Ringkih De-
wi, tokoh dari golongan hitam yang hidup ratusan tahun yang lalu.
Di tempat persembunyiannya, Dewi Kanti-
laras mendesah melihat Cambuk Sutra Sakti be-
rada di tangan Siluman Dewa Buaya. Cambuk
yang diimpi-impikannya untuk dijadikan senjata
andalannya. Dia harus merebut senjata pusaka itu se-
karang juga. Lalu katanya pada Juwita, "Juwita... Bibi
akan merebut Cambuk Sutra Sakti dari tangan
Siluman Dewa Buaya sekarang..."
"Tapi Bibi..."
"Kau tunggu di sini saja."
"Bukankah Bibi masih lelah?"
Dewi Kantilaras tersenyum. Merasa senang
diperhatikan oleh anak angkat sekaligus murid-
nya itu, "Tenanglah. Bibi sanggup menghadapinya."
"Kalau begitu, biar aku bantu, Bibi."
"Tidak usah. Kau di sini saja," setelah berkata begitu, Dewi Kantilaras bersalto
dari ku- danya. Beberapa kali tubuhnya berputar di udara, dan hingga di depan Siluman
Dewa Buaya yang
teramat terkejut. Tetapi dia cuma terkekeh.
"Hehehe... Dewi Bunga Biru rupanya yang
telah hadir di tempat ini..."
"Hhhh!!" sepasang mata Dewi Kantilaras bersinar penuh perhitungan, "Kakek peot,
cepat kau serahkan cambuk sakti itu padaku!!"
"Serahkan" Hehehe... tak semudah yang
kau kira, Dewi..."
"Kakek peot! Jangan banyak omong! Ku-
minta serahkan padaku Cambuk Sutra Sakti itu!"
"Hehehe.... tak mudah, Dewi... tak mudah
untuk mendapatkan cambuk sakti ini dari tan-
ganku...."
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Siluman
Buaya darat!"
"Hehehe.... atau kau yang telah bosan hi-
dup, Dewi! Aku sudah tahu bahwa kau dari per-
tengahan jalan menuju puncak Gunung Setan ini
telah menguntit aku, bukan" Hehehe.... kau tak
bisa mungkir, Dewi! Nah, apa kau ingin seperti
Tiga Pedang Perak, hah?"
Dewi Kantilaras terdiam. Dia baru menya-
dari kalau Siluman Dewa Buaya telah mengetahui
dirinya diikuti olehnya dan Juwita.
Terdengar lagi suara Siluman Dewa Buaya
terkekeh, "Hehehe... di mana temanmu yang cantik itu, hah" Aku sebenarnya sudah
tidak tahan untuk melihatnya lagi dan mencicipi kehangatan
tubuhnya..."
"Busuk sekali mulutmu, Kakek peot!" geram Dewi Kantilaras dengan wajah memerah.
"Hehehe... kau tentunya marah karena aku
tak berminat denganmu, bukan" Sabarlah, De-
wi... nanti pun kau akan kuberikan kehangatan!
Hehehe...."
Wajah itu semakin memerah. Dan kemara-
hannya pun mulai naik.
"Mulut busuk! Cepat kau serahkan Cam-
buk Sutra Sakti itu, bila tidak... kau akan mampus di pagi ini! Dan Puncak
Gunung Setan men-
jadi kuburanmu untuk selama-lamanya!"
"Hehehe... tak semudah itu, Dewi... He-
hehe.. nah, kau cobalah!"
"Kakek jelek!" maki Dewi Kantilaras dengan berang. Tiba-tiba tangannya bergerak
ke depan. Empat Tiga buah bunga senjata rahasianya yang
berwarna biru melesat deras ke arah Siluman
Dewa Buaya. Bunga berwarna biru itu mengan-
dung racun yang amat mematikan. Jangankan
menancap di tubuh lawan, terserempet saja su-
dah amat berbahaya.
Siluman Dewa Buaya tahu soal itu. Dan
dia pun tak mau dirinya dijadikan sasaran den-
gan empuk senjata rahasia milik Dewi Bunga Bi-
ru. Masih membopong mayat Eyang Ring-
kih Dewi yang rusak dan busuk itu, dia bersalto menghindar sambil terkekeh,
"Hehehe... rupanya kau tak sabaran juga, Dewi... Hehehe... pembe-rang pula?"
"Kakek peot! Jangan banyak omong lagi!
Lihat serangan!"
Tubuh Dewi Kantilaras menderu dengan
cepat. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalamnya, tertuju pada wajah
dan dada Siluman
Dewa Buaya. Dengan satu gerakan yang amat cepat dan
sukar diikuti oleh mata, Siluman Dewa Buaya
meletakkan mayat Eyang Ringkih Dewi dan dia
sendiri bersalto ke samping hingga serangan Dewi Kantilaras luput dari
sasarannya. Melihat serangannya gagal, Dewi Kantilaras
pun menyerang kembali. Kali ini lebih hebat dan dahsyat, berbahaya.
Siluman Dewa Buaya pun kali ini tidak
hanya menghindar. Dia pun mulai membalas
dengan gebukan tongkat berkepala buaya pada
ujungnya. Di puncak Gunung Setan itu pun terjadi
pertarungan yang teramat berbahaya dan menge-
rikan. Kedua tokoh jago rimba persilatan ini tak kenal ampun lagi. Keduanya,
saling serang dan
menangkis. Hebat. Cepat. Berbahaya, Dan sekaligus mengerikan.
Seto Mulia sendiri hanya berdiri kaku me-
lihat perkelahian yang mendebarkan itu. Dia tak mampu lagi untuk berpikir
melarikan diri. Tubuhnya mendadak kaku. Hanya memperhatikan
jalannya pertarungan itu dengan tegang.
Di tempat persembunyiannya, Juwita sen-
diri tak bisa menahan debaran hatinya melihat
pertarungan itu.
Dia mendesah dan berdoa semoga gurunya
memenangkan pertarungan. Namun agaknya un-
tuk menang susah, karena mengimbangi Siluman
Dewa Buaya yang bergerak cepat dengan tong-
katnya telah memusingkan Dewi Kantilaras.
Dewi Kantilaras pun sudah membuka ju-
rus barunya, Bidadari Menyebar Bunga. Hingga
gerakannya dengan cepat berputar, melompat,
bersalto dan memburu.
Siluman Dewa Buaya pun sudah membuka
permainan tongkatnya. Tongkat Buaya Mengejar
Mangsa, yang membuat Dewi Kantilaras harus
bertindak penuh perhitungan. Dia pun tak mau
dirinya dijadikan sasaran tongkat itu. Meskipun dirinya terkepung, Dewi
Kantilaras masih memainkan jurus Bidadari Menyebar Bunganya.
Dan mendadak saja tubuhnya melenting dan tan-
gan kanannya bergerak.
Tiga bunga biru yang mengandung racun
itu berkelebat mengejar Siluman Dewa Buaya.
Namun satu pertunjukan permainan tong-
kat yang amat hebat pun diperlihatkan oleh Siluman Dewa Buaya.
Tongkatnya bergerak dengan cepat mema-
paki tiga senjata rahasia milik Dewi Kantilaras.
"Cep!"
"Cep!"
"Cep!"
Dan ketika Siluman Dewa Buaya berdiri te-
gak dengan tongkat di tangan, nampaklah tiga
bunga biru itu telah menancap di tongkat milik-
nya. "Hehehe...kau lihat, Dewi... sia-sia belaka kau membuang-buang senjata
rahasiamu!"
Kalau mau jujur, secara diam-diam Dewi
Kantilaras pun kagum dan salut dengan permai-
nan tongkat yang diperlihatkan oleh Siluman De-
wa Buaya. Yang begitu cepat dan hebat.
Tetapi sudah tentu dia tak mau menunjuk-
kan kekagumannya. Dia malah mendengus mele-
cehkan. "Hhh! Tongkat untuk memukul anjing saja
kau perlihatkan padaku, Buaya Darat!!"
Wajah Siluman Dewa Buaya memerah.
Lalu katanya sambil memutar-mutar tong-
katnya hingga menimbulkan suara gemuruh, dia
berkata, "Kalau begitu baiklah, Dewi... kau akan melihat sampai di mana
kehebatan tongkatku ini!
Aku tadi kagum kau bisa meloloskan diri dari jurus Tongkat Buaya Mengejar
Mangsa! Nah, kau
sambutlah jurusku yang berikut ini! Tongkat
Menggapai Matahari!!"
Setelah berkata begitu, Siluman Dewa
Buaya pun kembali menyerang Dewi Kantilaras
dengan cepat dan gencar. Permainan tongkatnya
kali ini begitu hebat. Seolah tongkat itu menjadi seribu. Dan setiap kali
berdesing, Dewi Kantilaras merasakan hawa panas yang keluar dari tongkat
itu. "Heit!" bentaknya sambil bersalto ketika tongkat itu mengancam kedua
kakinya. Namun tanpa diduganya, tongkat itu terus memburunya
yang masih melayang di udara.
Dewi Kantilaras sejenak kaget dan bingung,
namun dengan cepat dia melempar tiga bunga bi-
runya. "Sing!"
"Sing!"
"Sing!"
Siluman Dewa Buaya yang tengah membu-
ru, mengurungkan niatnya. Dan menangkis tiga
bunga biru itu hingga terpental.
Sementara Dewi Kantilaras telah berdiri te-
gap di bumi. Kedua kakinya terbuka. Dia mende-
sis mendebarkan, "Kau terimalah jurusku ini, Siluman Dewa Buaya! Bidadari
Memetik Bunga!!"
Lalu dengan satu pekikan yang cukup ke-
ras, tubuh Dewi Kantilaras menderu kembali. An-
gin yang ditimbulkan dari kelebatan tubuhnya
menerpa Siluman Dewa Buaya cukup terkejut pu-
la. Namun tak ada jalan lain baginya untuk
menghindar lagi. Dia pun memekik keras mema-
paki serangan dari Dewi Kantilaras.
"Haaaaiiiiiittttt!!!!"
Dua pekikan terdengar keras.
Dan dua benturan yang hebat pun tak tere-
lakkan lagi. "Duaaaarrr!!"
Dua benturan dari tenaga dan jurus yang
tangguh pun terjadi dan menimbulkan suara se-
perti ledakan. Debu-debu di sekitar sana berter-bangan dan daun-daun pun
berguguran. Dan dua sosok tubuh itu pun terpental ke
belakang. Masing-masing menahan rasa sakit di
dada mereka. Dan secara berbarengan keduanya
muntah darah. "Huaaakkk!!"
Lalu kembali keduanya saling tatap dengan
penuh amarah dan meradang.
"Serahkan Cambuk Sutra Sakti itu padaku,
Buaya keparat!!" desis Dewi Kantilaras.
"Hhhh! Tak akan pernah, Dewi... tak akan
pernah... Sebelum aku berkalang tanah..."
"Baik! Kamu harus kubuat mampus dulu
sebelum menyerahkan Cambuk Sutra Sakti pa-
daku!!" "Hhhh! Dan kau pun akan merasakan kesaktian cambuk ini, Dewi!!"
Secara tiba-tiba Siluman Dewa Buaya
mengambil cambuk yang tersampir erat di ba-
hunya. Lalu dia pun mulai mengayun-
ayunkannya. "Taaarrrrr!!"
Suara cletar yang ditimbulkan cambuk itu
amat mengerikan dan mendebarkan. Tanpa dis-
adarinya, bulu kuduk Dewi Kantilaras berdiri.
Cambuk itu seperti satu alat penghisap darah
yang tak mengenal ampun.
Siluman Dewa Buaya terkekeh melihat wa-
jah pias Dewi Kantilaras.
"Hehehe... kau ngeri melihat kehebatan
cambuk ini, Dewi..."
"Siluman Dewa Buaya, serahkan cambuk
itu cepat! Sebelum kau kubunuh!"
"Atau kau yang harus kubunuh dengan
cambuk yang kau impikan ini, Dewi!"
"Anjing buduk!"
"Nah, seranglah anjing buduk ini!!" tantang
Siluman Dewa Buaya sambil mengayun-ayunkan
cambuk itu hingga menimbulkan suara cletar
yang teramat keras, dan mengerikan.
Dewi Kantilaras pantang ditantang seperti
itu. Apa pun yang terjadi dia telah bertekad untuk merebut Cambuk Sutra Sakti
itu. Maka dia pun
bersiap. Karena disadarinya senjata yang berada di tangan lawannya amat
berbahaya, dia pun
membuka jurus pamungkasnya. Bidadari Menge-
jar Bidadari. Jurus yang amat berbahaya sekaligus amat
mematikan. Karena itu merupakan jurus yang te-
rakhir dan menjadi pamungkas dari Dewi Kantila-
ras. "Hehehe... keluarkanlah seluruh kepan-daianmu. Dewi!"
"Terimalah serangan ini, Siluman Kepa-


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rat!!" seru Dewi Kantilaras. Dan dia pun membentangkan kedua tangannya. Dan
perlahan-lahan kedua tangan itu berubah menjadi merah. Berca-
haya dan mengeluarkan hawa yang cukup panas.
Siluman Dewa Buaya pun kagum dan se-
dikit ngeri melihat jurus yang dikeluarkan oleh Dewi Kantilaras. Tetapi dia
hanya tertawa saja.
Dan dia yakin senjata cambuk yang berada di
tangannya lebih berbahaya daripada jurus yang
dikeluarkan oleh Dewi Kantilaras.
Dewi Kantilaras pun tak mau menunggu
waktu lagi. Dia pun menyerang dengan hebat. Si-
luman Dewa Buaya pun segera menyambutnya.
Kakek berwajah cekung itu ternyata agak
sulit untuk memainkan cambuk sakti itu, karena
jarak tubuh Dewi Kantilaras begitu dekat pa-
danya. Bahkan dia pun terdesak hebat oleh se-
rangan-serangan tangguh dari jurus Bidadari
Mengejar Bidadari milik Dewi Kantilaras.
"Hihihi... ternyata kau tak bisa memainkan cambuk itu, Kakek peot!" ejek Dewi
Kantilaras yang merasa berada di atas angin. "Cepat berikan padaku cambuk itu,
sebelum kau kubuat mati di
sini!!" "Jangan gembira dulu, Dewi... aku... haet!"
ucapan Siluman Dewa Buaya terpotong karena
dia harus bersalto menghindari cecaran serangan Dewi Kantilaras.
Namun itu adalah satu keberuntungan pa-
da Siluman Dewa Buaya, karena dengan bersalto
jaraknya dengan Dewi Kantilaras agak menjauh.
Dan ini membuatnya dapat bergerak untuk me-
mainkan cambuknya.
Dewi Kantilaras menyadari kesalahannya.
Karena dia tidak menjaga jarak. Namun Dewi
Kantilaras seakan tak perduli dengan jarak yang sudah meregang itu. Baginya
hanya satu, Cambuk Sutra Sakti harus menjadi miliknya!!
"Siluman keparat! Kukatakan untuk terak-
hir kalinya, serahkan cambuk itu padaku seka-
rang juga! Cepaat!!" bentak Dewi Kantilaras sambil berpikir untuk mendesak dan
tak memberi ke-
sempatan lagi pada Siluman Dewa Buaya.
"Hehehe... sekaranglah saatnya untuk uji
coba dengan cambuk sakti ini, Dewi! Majulah lagi!
Kau akan kubuat lumat dengan cambuk ini!!"
Melihat hal itu, memang tak ada jalan lain
untuk Dewi Kantilaras. Maka dia pun menyerang
kembali dengan jurus Bidadari Mengejar Bidadari.
Namun Siluman Dewa Buaya tak mau
mengulangi kesalahannya untuk kedua kalinya.
Kali ini dia pun langsung memainkan cambuk-
nya. "Tarrrrr!!" ujung cambuk itu berbunyi dengan keras.
Dan dengan satu gerakan yang hebat, Si-
luman Dewa Buaya memainkan cambuknya ke
arah tubuh Dewi Kantilaras yang tengah menye-
rang. Ujung cambuk itu siap menyambar tubuh
Dewi Kantilaras. Menjemput nyawanya. Terdengar
pekikan keras dari Dewi Kantilaras dan mengem-
pos kembali tubuhnya untuk bersalto ke bela-
kang. Bila dia terlambat sedikit saja, maka maut taruhannya.
"Taaaarrrrr!!"
Ujung cambuk itu menyambar angin.
Melihat dirinya berada di atas angin, Silu-
man Dewa Buaya pun mencecar dengan Cambuk
Sutra Sakti. Ganas dan berbahaya.
Dewi Kantilaras sebisanya untuk menghin-
dari serangan-serangan cambuk itu karena dia tidak mau dirinya mati di ujung
cambuk yang hen-
dak direbutnya.
"Hehehe... mau lari ke mana kau, Dewi"
Bukankah kau ingin memiliki cambuk ini" Nah,
rebutlah dari tanganku!"
"Anjing buduk!"
Dewi Kantilaras mencoba untuk membalas,
namun serangan cambuk itu telah mengepungnya
dan sukar baginya untuk menerobos.
Dia mencoba dengan senjata rahasianya.
Namun begitu senjata rahasia itu melesat, dengan cepat Siluman Dewa Buaya
menggerakkan cambuknya.
Dan tiga buah bunga biru pun hancur ber-
keping-keping. "Hehehe... sia-sia belaka kau menghadapi
aku sekarang, Dewi! Sia-sia belaka!!"
"Bangsat peot! Kau harus mampus di tan-
ganku hari ini juga!"
"Hehehe... sejak tadi kau hanya berkata
begitu, Dewi... Mana, mana buktinya" Kau malah
lari seperti kucing dikejar anjing!"
"Anjing buduk!" Kembali Dewi Kantilaras mencoba menyerang kembali. Namun lagi-
lagi serangannya gagal karena dia harus menghindar-
kan ujung cambuk sakti itu.
"Hehehe... kau tak akan bisa lari, Dewi...
Tak akan bisa lari... Kau akan mampus di ujung
cambuk ini.... hehehe..."
Kembali Siluman Dewa Buaya mencecar
dengan hebat. Berkali-kali serangannya luput karena dengan mengandalkan
kegesitannya Dewi
Kantilaras berhasil menghindar.
Namun akibatnya sungguh hebat.
Karena telah berulangkali cambuk yang lo-
los itu, menghantam batu besar dan pepohonan
hingga hancur berantakan dan tumbang.
Dewi Kantilaras dapat membayangkan aki-
batnya bila tubuhnya terkena ujung cambuk itu.
Tentunya dia tak akan sempat lagi untuk berte-
riak karena tubuhnya telah hancur.
Melihat kenyataan ini, Dewi Kantilaras ti-
dak berani lagi untuk mencoba menyerang. Dia
hanya menghindar sekuat tenaga. Dan men-
coba untuk meloloskan diri.
Namun cambuk itu seolah telah menge-
pungnya dan membelenggu langkahnya. Mem-
buatnya sama sekali tak berdaya selain hanya bi-sa menghindar saja.
Dan satu ketika, dia tak mungkin bisa un-
tuk menghindar lagi. Karena cambuk itu telah
benar-benar mengepung langkahnya.
Hingga suatu saat, terdengar pekikan dari
Siluman Dewa Buaya sambil mengayunkan cam-
buknya. "Mampuslah kau, Dewi!!"
Dewi Kantilaras sendiri tak bisa lagi untuk
Kisah Para Penggetar Langit 4 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Eng Djiauw Ong 18
^