Pencarian

Geger Perawan Siluman 2

Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Bagian 2


dan perzinahan" Tapi mengapa sekarang dia lakukan
kepada orang lain" Bahkan harus merusak rumah
tangga Lenggani dan Lurah Prawiba segala" Oh, benar-
benar tak kuat aku menahan rasa malu jika jumpa
dengan mereka."
Hal yang membuat Yoga bimbang adalah ke-
mungkinan Lili keluar dari Gua Rama sungguh besar.
Buat Lili, menyingkirkan batu-batu yang menutup pin-
tu gua bukan merupakan pekerjaan yang sulit. Dengan
menggunakan ilmu dahsyatnya, ia dapat hancurkan
batu-batu tersebut dan pergi keluar mencari mangsa.
Bisa saja Lili. berpura-pura mempelajari ilmu 'Mata
Dewa' di dalam gua tersebut, supaya dia punya alasan
sendiri mengapa menghilang dari Yoga selama empat
puluh hari nanti"
"Tetapi di dalam Kitab Jagat Sakti, ilmu 'Mata
Dewa' hanya bisa ditempuh dalam keadaan gelap pe-kat selama empat puluh hari, dan Lili tampaknya ingin
sekali memperoleh ilmu 'Mata Dewa' itu!"
Dalam keadaan yang serba membingungkan
itu, Yoga sempat dibuat terkejut ketika tahu-tahu di
atas pohon terdengar suara,
"Orang jahat akan masuk ke dalam jerat, orang
lurus jalannya akan bahagia hidupnya...!"
Serta-merta Yoga bangkit dari duduknya dan
memandang ke atas. Matanya sedikit menyipit mencari
suara yang sedikit cadel itu, tapi tak terlihat ada orang di atas pohon
tersebut. Yoga memperhatikan beberapa
saat lamanya, memeriksa dengan lebih teliti lagi. Na-
mun pohon itu tetap saja tidak berpenghuni.
Yoga memandang datar ke arah sekelilingnya,
bahkan sempat memeriksa semak-semak di sebelah
barat. Tapi baru tiga tindak ia melangkah, terdengar
lagi suara sedikit cadel dari atas pohon,
"Orang jahat akan masuk dalam jerat, orang lu-
rus jalannya akan bahagia hidupnya...!"
Karena penasaran dan merasa dipermainkan
oleh seseorang yang bersembunyi di atas pohon, maka
Yoga pun segera lepaskan pukulan jarak jauhnya tan-
pa sinar. Wuuut...! Braaasss...! Pohon-pohon buni ber-
guguran, demikian juga daunnya, lalu seekor burung
pun melesat terbang dari kerimbunan daun. Burung
itu terbang sambil bersuara,
"Selamat tinggal... selamat tinggal... selamat
tinggal...!"
Yoga menghempaskan napas dengan hati kesal
dan sedikit geli, karena suara tersebut datangnya dari
seekor burung beo berwarna hitam berparuh kuning.
Burung itu terbang berkeliling bagai mengitari alam di
sekitar tempat Yoga berdiri itu. Mata Yoga pun me-
mandanginya terus, karena punya rasa tertarik dengan
burung beo itu. Tapi, burung tersebut segera hinggap
di balik pepohonan yang tumbuh dengan rapat. Yoga
ragu untuk mengejar dan menangkapnya.
Kejap berikutnya, dari balik pepohonan rapat
itu muncul sesosok tubuh sekal berpakaian warna
jingga. Seorang perempuan yang rambutnya disanggul
tak begitu rapi, segera melesat menghampiri Yoga den-
gan gerakan cepat bagaikan terbang. Wuuut...! Jleeg...!
"Mimpikah aku?" pikir Yoga. "Yang kulihat tadi seekor burung beo menghilang di
balik pohon, mengapa sekarang yang muncul dari balik pohon itu seorang
perempuan cantik berhidung mancung?"
Memang benar, perempuan itu berhidung man-
cung dengan mata sedikit lebar namun berbentuk in-
dah dan bercahaya meneduhkan. Ia kelihatan anggun
dengan sebatang tusuk konde dari logam emas berben-
tuk bintang pada ujung batang tusuk konde tersebut.
Ia mempunyai tahi lalat kecil di sudut bibir kirinya,
yang membuat wajah itu menjadi selain cantik juga
menggemaskan. Matanya memandangi Yoga tak berkedip, berdi-
rinya tegap. Dadanya terbusung karena memang be-
sar. Di pinggangnya terselip pedang emas berukuran
pendek, mempunyai ronce-ronce benang merah pada
gagangnya. Ia mengenakan kalung, gelang, dan giwang
emas bermata berlian. Sosok tubuhnya yang tinggi se-
jajar dengan Yoga itu cukup imbang dengan bentuk
badannya yang tidak langsing namun ramping, padat
berisi. Bibirnya yang tak terlalu tebal namun cukup
menantang itu tampak selalu tersenyum, walaupun
Yoga tahu perempuan itu dalam keadaan memendam
kemarahan. Yoga memberanikan diri menyapa lebih dulu,
"Apakah kau jelmaan dari burung beo itu?"
Perempuan tersebut tidak menjawab, hanya
berkata, "Aku butuh bertemu dengan Pendekar Raja-
wali Putih!"
Pendekar Rajawali Merah berkerut kening,
sambil matanya melihat seekor burung berkelebat
muncul dari balik pohon dan langsung hinggap di
pundak kiri perempuan yang berusia sedikit lebih tua
dari Lili, mungkin sama dengan usia Lenggani. Ru-
panya burung beo itu piaraan perempuan cantik itu,
sehingga dugaan Yoga tentang jelmaan burung beo itu
pun hilang dari benak.
Kini burung beo itu perdengarkan suaranya,
"Siapa namamu, Lintang Ayu namaku! Siapa namamu,
Lintang Ayu namaku!"
Yoga tersenyum kalem, perempuan itu meman-
dangi terus tak berkedip. Yoga pun bertanya,
"Apakah yang dimaksud burung itu, Lintang
Ayu adalah namamu?"
Burung beo hitam yang menyahut, "Benar. Be-
nar. Namaku Lintang Ayu, putri Adipati Windunegara,
murid Eyang Jubah Peri, dari perguruan Tapak Kem-
bar. Terima kasih. Terima kasih!"
"Lucu sekali burung mu itu, Nona," kata Yoga sambil menahan tawa. "Dia mewakili
mulutmu, yang mungkin akan lebih ramah sang burung daripada si
pemilik burung."
Putri Adipati Windunegara itu berkata, "Cepat,
pertemukan aku dengan Lili, Pendekar Rajawali Putih
itu! Aku tahu, kau pasti Pendekar Rajawali Merah. Pe-
dang mu punya bentuk yang sama dengan pedang
yang disandang di punggung Lili itu."
"Tunggu dulu," sela Yoga. "Apa benar kau muridnya si Jubah Peri?"
"Benar. Tapi urusanku tidak ada hubungannya
dengan Guru."
"Memang. Tapi aku hanya ingin kasih tahu pa-
damu, bahwa gurumu adalah sahabat guruku, yaitu
Eyang Dewa Geledek!"
"Aku tahu. Sebutan dan gelar Rajawali, hanya
dimiliki oleh Eyang Dewa Geledek dan Dewi Langit Pe-
rak." "Syukurlah kalau kau sudah mengetahuinya."
Tetapi urusan ini telah membuat aku dan pihak
keluargaku tidak punya rasa bersahabat dengan mu-
rid-murid tokoh sakti yang namanya cukup masyhur
itu. Ini disebabkan oleh kelakuan salah seorang murid
mereka yang bernama Lili!"
"Apa yang dilakukan oleh Lili?"
"Dia menculik adik lelakiku yang bernama Pra-
bu Anom! Padahal esok lusa ia akan menikah dengan
Putri Giri Manca. Jika sampai pernikahan itu gagal, Li-
li sama saja mencoreng nama baik keluargaku, dari
balasannya tak lain hanyalah dengan cara membu-
nuhnya! Jika Lili tak mau lepaskan Prabu Anom seka-
rang juga, aku terpaksa membunuhnya. sebelum ia
sempat mencoreng-moreng nama keluarga."
"Prabu Anom...?" gumam Yoga, lalu teringat
ucapan Bocah Bodoh tentang nama Prabu yang diper-
gokinya sedang bercumbu dengan Lili.
Jantung Yoga kembali berdetak-detak dengan
cepat, wajahnya panas karena menahan malu bercam-
pur amarah membayangkan tindakan guru angkatnya
itu. Luar biasa sekali rasa malunya Yoga, sampai-
sampai ia tak bisa berkata apa-apa kecuali hanya diam
dan membuang pandangan ke arah lain. Sedangkan
Lintang Ayu masih menatapnya dengan sikap siap la-
kukan pertarungan kapan saja.
"Kalau kau tak mau mempertemukan aku den-
gan Lili di tempat persembunyiannya, maka aku akan
memaksamu dengan pedang. Mungkin juga akan me-
lukaimu, atau bahkan terpaksa membunuhmu!" "Sa-barlah, Lintang Ayu...!" "Tak ada
kata sabar lagi bagi diriku!" ucap Lintang Ayu bernada dingin. "Aku menuntut
perbuatan murid-murid Rajawali yang konon
dikenal sebagai pembela kebenaran dan membantai
kejahatan. Mana buktinya" Ternyata aliran Rajawali
hanya membuat kerusuhan dan sama jahatnya dengan
Malaikat Gelang Emas! Murid-murid aliran Rajawali
sama sekali tidak mencerminkan sifat kependekaran-
nya, malahan lebih cenderung mencerminkan kebeja-
tan manusianya, kebuasan nafsunya, dan kerakusan
cinta! Cuih...!"
Lintang Ayu meludah. Hati Yoga bagaikan pe-
cah. Kalau bukan karena banyaknya kabar tentang
tingkah laku Lili dari berbagai pihak, sudah pasti pe-
rempuan secantik apa pun akan dihajar habis oleh Yo-
ga jika merendahkan aliran silatnya sedemikian rupa.
Sayang sekali banyak orang mengetahui tindakan Lili
seburuk itu, sehingga Yoga sulit membela aliran Raja-
wali di mata perempuan cantik itu. Yoga hanya bisa
menahan dan menahan mati-matian rasa malu yang
bergumul kuat dengan kemarahan besar dalam ha-
tinya. "Kabarnya, kaulah kekasih Lili yang sebenarnya! Aku tak tahu itu kabar
yang benar atau tidak,
yang jelas, kalau kau adalah kekasih Lili yang sebe-
narnya, maka kusarankan, bunuh saja kekasihmu itu.
Dia tidak punya harga diri sebagai seorang gadis berge-
lar pendekar. Carilah kekasih lain yang lebih memiliki
harga diri dan layak kau banggakan di mata dunia
persilatan!"
Burung beo di pundak kiri terbang, hingga di
pohon tinggi dan bersuit-suit dari atas sana. Yoga me-
mandangnya sebentar sebagai penenang guncangan
jiwanya. Kemudian, matanya turun ke bawah dalam
memandang dan tiba di wajah cantik Lintang Ayu itu.
Dengan nada tegas Yoga berkata,
"Serahkan urusan Lili kepadaku. Aku yang
akan membereskannya!"
"Kau boleh membereskannya setelah aku mem-
bawa pulang calon mempelai pria, yaitu adikku sendiri;
Prabu Anom! Selama aku belum membawa pulang
Prabu Anom, aku harus memburu Lili dan bikin perhi-
tungan sendiri dengan gadis bejatmu itu!"
"Urusan ini adalah urusan aliran Rajawali. Bu-
kan urusan perguruan lain! Kau tak perlu mencampuri
urusan kami!"
"Aku akan mencampuri, karena aliran Rajawali
telah membuka permusuhan dengan pihak kadipaten,
dan akulah senopati kadipaten itu!"
"Kalau begitu, kau telah membuka tantangan
terhadapku, Lintang Ayu" Kau telah menantang aliran
Rajawali!"
"Kalau kau menganggapnya begitu, aku tidak
keberatan dengan anggapan tersebut! Murid Jubah Pe-
ri tak pernah menghindari tantangan dari siapa pun!"
"Balk. Ini pilihan mu dan aku melayani pilihan
mu!" "Bersiaplah membela aliran sesat mu, Pengecut!"
setelah berkata demikian, Lintang Ayu cepat kibaskan
tangannya, seperti mengambil sesuatu dari ikat ping-
gangnya dan melemparkannya kepada Yoga. Wuuut!
Zlaaap...! Ternyata sinar kuning yang dilempar-
kan oleh Lintang Ayu ke dada Pendekar. Rajawali Me-
rah itu. Dengan cepat, Yoga sentakkan kakinya ke ta-
nah dan tubuhnya melesat naik dengan gerakkan tan-
gan menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
Wuuuss...! Sinar merah keluar dari telapak tangan Yo-
ga dan berbentuk seperti sepotong besi yang bergerak
dengan cepatnya.
Deeeb...! Sinar merah itu dihadang oleh telapak
tangan Lintang Ayu yang langsung membara kuning.
Sinar merah itu padam seketika tanpa hadirkan leda-
kan. Sedangkan sinar kuningnya Lintang Ayu tadi te-
lah membentur sebongkah batu sebesar kerbau, lalu
batu itu pun menjadi kristal bening warna kuning. Ke-
jap berikutnya hancur remuk tak sedikit pun ada sisa
secuil. Semuanya menjadi serbuk pasir kuning yang
menggunung di tempat batu tersebut tadi berada.
Pendekar Rajawali Merah sempat merasa ka-
gum melihat Lintang Ayu mampu menahan pukulan
sinar merahnya. Perempuan itu hanya sunggingkan
senyum sinis ketika Yoga berkata,
"Hebat juga ilmumu! Tak sia-sia kau berguru
kepada..."
"Eyang Jubah Peri tak pernah membekali mu-
ridnya dengan ilmu serendah ilmu-ilmunya aliran Ra-
jawali!" sahut Lintang Ayu, membuat Yoga semakin lebih kuat menekan luapan
murkanya. "Tunggu sebentar. Sekarang baru kuingat bah-
wa Jubah Peri bukan memiliki murid kau saja, tapi
ada satu murid yang kukenal dekat, walau sekarang
sudah tiada. Murid itu bernama Kencana Ratih!"
Lintang Ayu gerakkan matanya sedikit terpe-
ranjat lebar. Tapi sorot pandangan matanya kian ta-
jam. Ia berkata dengan nada tetap sedingin balok-
balok es dari kutub utara,
"Kencana Ratih adalah adik angkatku!"
"Oo.."!" Yoga kaget dan segera berkerut da-
hinya. "Omong kosong kalau kau kenal dengan Ken-


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cana Ratih yang sudah lama tak pernah jumpa den-
ganku." "Aku memang kenal dia. Aku bersahabat dengannya dan sama-sama
menghancurkan Gua Bidadari
dengannya, mengambil bunga Teratai Hitam dengan-
nya, dan... dan dia mencintai ku, namun terbunuh
oleh seseorang di tengah hutan!"
"Omong kosong!" bentak Lintang Ayu. "Kencana Ratih belum meninggal. Aku tak
percaya dia terbunuh
di tengah, hutan, karena dia punya jurus 'Candera
Wungu' yang sangat berbahaya itu!"
Lintang Ayu tampak gundah hatinya, antara
percaya dan tidak. Padahal Kencana Ratih memang te-
lah tewas di tangan Mahligai karena memperebutkan
Yoga, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Prasasti Tonggak Keramat").
Maka, Yoga pun berkata,
"Kalau tak percaya, aku bisa mengantarmu un-
tuk temui makamnya, karena aku sendiri yang mema-
kamkan jenazahnya. Dan... aku merasa kehilangan se-
suatu yang amat ku sayangi selama ini," ucap Yoga
dengan melemah pada akhir katanya. Lintang Ayu
pandangi wajah Yoga tiada berkedip, dan ia temukan
segumpal kesedihan di wajah tampan itu. Maka ia
menjadi percaya dengan keterangan Pendekar Rajawali
Merah itu, sehingga ia pun ikut menjadi berwajah du-
ka, yang kemudian segera berkata,
"Aku harus temui Guru untuk laporkan hal ini!
Ku tunda, urusanku denganmu, tapi ingat... aku akan
kembali lagi untuk menantang aliran Rajawali dan
membunuh satu muridnya berperilaku liar itu!"
Wuuut...! Lintang Ayu cepat sentakkan kaki
dan melesat pergi seperti kilatan cahaya jingga yang
melesat ke suatu tempat. Kini tinggallah Yoga sendi-
rian dalam ketermenungannya memandangi arah ke-
pergian Lintang Ayu. Namun otak dan hati Yoga mem-
perdengarkan keluh bagi dirinya sendiri tentang sikap
dan tindakan Lili yang benar-benar memalukan aliran
Rajawali itu. Yoga harus lakukan sesuatu untuk mem-
perbaiki nama aliran Rajawali dan mengharumkan
kembali nama mendiang gurunya agar tak tercemar di
mata dunia persilatan. "Aku akan datang sendiri ke Gua Rama tanpa si Tua Usil
dan Bocah Bodoh! Akan
ku bongkar gua itu dan kubuktikan sendiri kebenaran
apa sesungguhnya yang ada di dalam gua tersebut!
Mungkin Lili justru menyimpan Prabu di dalam gua
itu! Jahanaaam...!" geram Yoga sambil genggamkan
kedua tangan kuat-kuat, dan gigi pun menggeletuk
bersama mata yang menyipit dendam.
*** 5 PERJALANAN menuju Bukit Rama tempat di
mana Lili masuk ke dalam guanya itu, ternyata menga-
lami hambatan yang membuat tujuan tersebut tertun-
da. Hambatan itu timbul akibat Yoga melihat sekelebat
bayangan manusia berlari menembus kerimbunan po-
hon. Dalam sepintas saja, Yoga dapat kenali bayangan
yang berkelebat itu, yang tak lain adalah Anggita; gadis cantik bermata bundar
bening dan indah mengagumkan. Sebenarnya Yoga tidak ingin mempedulikan ga-
dis itu. Tetapi gadis itu tiba-tiba tampak mengendap-
endap menuju, balik pohon bersemak-semak. Gerakan
yang mencurigakan itu menarik minat ingin tahu bagi
Pendekar Rajawali Merah, sehingga ia pun berusaha
dekati Anggita pelan-pelan.
Tetapi agaknya gadis bersenjata cambuk maut
itu punya telinga yang cukup tajam. Sekalipun Yoga
telah rapatkan badan dengan batang pohon dan sem-
bunyi tanpa bernapas, namun Anggita mengetahui ada
orang yang mengintai dirinya. Maka, dengan cepat ia
mencabut cambuknya dan dilecutkannya ke arah po-
hon tersebut. Taaarrr...!
Cambuk itu melilit pada batang pohon tersebut.
Tubuh Yoga terjerat. Namun dengan cepat cambuk itu
ditarik dalam satu sentakan bertenaga dalam oleh
Pendekar Rajawali Merah. Wuuut...! Dan tubuh Anggi-
ta terbawa melayang. Wuuurrss...! Buuhg...! Anggita
terbanting tepat di depan Yoga.
Dalam sentakan berikut, cambuk itu terlepas
dari tangan Anggita. Gadis itu segera sentakkan kaki
kirinya dan melesat bangkit dari keadaan berguling-
guling. Anggita tercengang setelah sadari cambuk itu
sudah tidak di tangannya, melainkan di tangan Yoga.
Lebih tercengang lagi setelah gadis itu melihat
Pendekar Rajawali Merah lecutkan cambuk ke udara
bebas satu kali, namun mampu timbulkan suara lecu-
tan tiga kali bersama pancaran sinar biru berpendar-
pendar bagaikan petir menyambar ke sana-sini.
Taaar...! Blar, blar, blar...!
Tiga pohon pun tumbang secara bergantian.
Kraaak...! Brrrukk! Daun-daun berguguran, hingga
ada satu pohon yang kehilangan banyak daun, tinggal
tersisa antara empat atau lima daun. Padahal Anggita
tak pernah tahu bahwa senjata cambuk mautnya itu
mampu lepaskan pukulan sedahsyat itu. Karenanya,
Anggita diam terpaku di tempat menyaksikan daun-
daun beterbangan karena dihembus angin yang datang
dengan kencang setelah terjadi ledakan tiga kali dari
gerakan cambuk yang dilecutkan hanya satu kali tadi.
Yoga segera berkata setelah keadaan menjadi
tenang, "Kalau aku mau membunuhmu, alangkah mu-
dahnya saat ini"! Kau bisa kubuat seperti tiga batang
pohon itu. Mungkin tubuhmu akan menjadi tiga ba-
gian jika masih tetap ingin menyerangku!"
Gadis cantik berhidung mancung itu menahan
rasa malu. Tapi matanya kini menatap lekat ke wajah
Yoga dan lama-lama mata garang itu berubah menjadi
redup serta lembut. Ia pun segera berkata, "Kalau kau ingin membunuhku dengan
senjataku itu, lakukan-lah!" Cambuk tersebut justru dilemparkan ke arah
Anggita dan gadis itu segera menangkapnya. Pada
waktu itu matanya kian terpukau melihat senyuman
Yoga semakin mekar indah dan berkata, "Aku tak se-
jahat dugaanmu! Hanya perlu kau ketahui saja, aku
bisa menjadikan ilalang ini sebagai cambuk yang lebih
tajam dari cambuk mu, yang lebih alot dari senjatamu
itu!" seraya Yoga mencabut sebatang daun ilalang. Ilalang itu segera dimainkan
dengan jarinya, diputar-
putar dengan pandangan mata tertuju pada bola mata
Anggita yang punya bulu mata lentik itu.
Gadis itu tak tahan menerima tatapan mata Yo-
ga. Ia alihkan pandangan matanya sambil menghela
napas, kemudian menggulung cambuknya menjadi se-
buah lingkaran susun, dan ia pun berkata, "Kau telah menghambat pengejaran ku."
"Maaf, aku sebenarnya ingin tahu apa yang
kau" dekati di balik gugusan batu itu. Tapi tahu-tahu kau menyerangku."
"Apakah kau terluka?"
"Tidak."
"Syukurlah," Anggita manggut-manggut sambil
melangkah ke bawah pohon yang tadi digunakan ber-
sembunyi oleh Yoga. Matanya menatap ke bebatuan
yang dibaliknya mempunyai jalan menuruni lembah.
"Mereka pasti telah lari mendengar lecutan
cambuk mu tadi," kata Anggita tanpa memandang Yo-
ga. "Siapa yang kau maksud?" "Lili dan seorang pemuda yang kudengar dipanggilnya
dengan nama Prabu
Anom!" "Lili..."!" Yoga terperanjat dan hilang kerama-han serta keceriaannya
seketika itu juga. Ia dekati
Anggita dan berkata, "Jadi, kau melihat Lili dan Prabu"!" "Aku melihat mereka
berdua sedang berlari kejar-kejaran penuh tawa ceria. Aku mengikutinya, baru
saja berusaha menyusulnya, tapi kehadiranmu telah
menggangguku dan... mungkin ia sudah lari bersama
Prabu Anom, entah ke arah mana."
Pendekar Rajawali Merah menyimpan sesal. Ia
bergegas dekati gugusan batu itu, memandang ke arah
lembah, namun tak melihat gerakan manusia di sana.
Padahal ia ingin sekali pergoki Lili" bersama Prabu, sehingga ia bisa punya
kepastian dalam hatinya tentang
sikap Lili sebenarnya.
Anggita mendekati Yoga yang jadi termenung di
samping gugusan batu tersebut. Lalu, gadis itu per-
dengarkan suara dengan lembut,
"Apakah kau masih mencintai gadis itu?" "Aku tak tahu. Yang ku tahu, dia telah
memalukan aliran
Rajawali, mencoreng-moreng wajahku di depan orang-
orang seperti kamu, dan merusak nama baik guru-
guru kami. Kalau memang aku bisa pergoki dia ber-
buat tak senonoh atau bertindak kejam terhadap se-
seorang, aku akan punya perhitungan sendiri dengan-
nya." "Kau akan membunuhnya?"
"Mungkin," jawab Yoga pelan, itu pun setelah ia terbungkam beberapa saat. Lalu,
Anggita sengaja berdiri agak ke depan Yoga supaya bisa pandangi wajah
pemuda tampan itu dari depan, lalu bertanya,
"Kau tak menyesal apabila kau berhasil mem-
bunuhnya?"
"Yang ku sesali, mengapa ia harus berbuat be-
gitu" Kalau mendiang guru kami bisa bangkit kembali,
pasti. guru kami yang akan pancung leher Lili tanpa
ampun lagi."
Anggita diam termenung dengan mata tetap
memandang ke arah jauh, dan membiarkan angin
lembah menghembus rambutnya hingga poni di ke-
ningnya menjadi rusak, namun justru menambah ma-
nis wajahnya. Anggita berkata dengan suara pelan,
"Kalau aku menjadi kau, aku akan tinggalkan
gadis itu dan mencari gadis lain!"
"Aku tidak pikirkan gadis lain, tapi pikirkan ba-
gaimana caranya supaya aliran silat Rajawali ini tidak
jatuh di mata dunia persilatan. Guru selalu wanti-
wanti padaku agar jaga nama baik aliran Rajawali den-
gan sikap dan tutur kata. Kalau begini... aku malu se-
kali muncul di depan para tokoh dunia persilatan, se-
bab mereka akan mengecamku, setidaknya akan meni-
laiku bersikap rusak seperti Lili."
Dalam hati Anggita terucap kata, "Kasihan pe-
muda tampan ini. Dia ternyata tidak bermaksud me-
lindungi Lili, namun menjaga nama baik aliran Raja-
wali-nya. Tak seharusnya aku bermusuhan dengan-
nya. Tak semestinya, Lenggani pun menyerang dia.
Ternyata dia justru menjadi korban tindakan Lili, dan
menjadi serba salah karena tergencet antara Lili dan
korbannya. Hmmm..., kasihan sekali dia."
Pendekar Rajawali Merah segera pandangi Ang-
gita ketika bertanya,
"Benarkah Lili bercinta dengan ayahmu?"
"Mungkin kau tak percaya. Tapi kau bisa temui
sendiri ayah dan tanyakan kepada ayah. Sejak beliau
kehilangan cincin pusakanya, beliau mengupah orang
untuk mencari Lili dan membawanya kepadanya. Kini
yang menderita adalah ibuku. Ibu sering dikucilkan
oleh ayah dan kabar terakhir kudengar, ayah ingin ce-
raikan ibu! Semua itu gara-gara kehadiran Lili. Ia telah merampas cincin dan
kebahagiaan keluargaku."
"Kau mau antarkan aku pada ayahmu" Aku in-
gin bicara dengan beliau."
"Aku... aku...!" Anggita menjadi ragu untuk
mengatakan sesuatu, dan Yoga pun mendesaknya, se-
hingga Anggita kembali berkata,
"Aku takut kalau orang-orang di desaku me-
nyangka kau adalah kekasihku!"
"Apakah itu membuatmu malu?"
"Jika tidak terjadi dalam kenyataan, aku malu.
Tapi jika terjadi dalam kenyataan, aku tak pernah ma-
lu mempunyai seorang kekasih seperti dirimu, Pende-
kar Rajawali Merah."
Yoga tersenyum dan memahami maksud Anggi-
ta. Gadis itu agaknya membuka peluang dan siap me-
nerima Yoga dalam hatinya, jika Yoga ingin rapatkan
hati dan cintanya. Tapi Pendekar Rajawali Merah tidak
turuti hati kecil Anggita, bahkan ia bersikap seakan
kurang paham dengan maksud ucapan Anggita,
"Sebelum Lili berhasil memikat ayahku, dia se-
lalu bicara tentang kekasihnya yang menurutnya ber-
nama Yoga. Keluargaku banyak mendengar tentang
nama Yoga, Pendekar Rajawali Merah, dan ciri-ciri
sang kekasih itu. Yang tidak ku tahu, apakah benar
kau yang bernama Yoga?"
"Pertanyaanmu lucu," jawab Yoga sambil sung-
gingkan senyum tipis. Mereka melangkah beriringan
menuju rumah Anggita. Yoga lanjutkan kata,
"Kalau aku mengaku Pendekar Rajawali Merah,
tentunya akulah yang bernama Yoga itu."
"Adik perempuanku sering mendengar Lili me-
muji ketampanan kekasihnya. Setelah melihat sendiri,
tak kusangka, Lili punya kekasih yang benar-benar pa-
tut dibanggakan.
Yoga hanya tersenyum tipis dan tetap melang-
kah memandang sekeliling dengan gerakan matanya
yang penuh waspada itu. Anggita kembali perdengar-
kan suaranya, "Sayang dia tidak mau merawat cintanya den-
gan kemurnian dan ketulusan hati. Akibatnya, sang
kekasih jadi kecewa, dan mungkin dalam waktu dekat
akan tinggalkan dirinya."
Yoga segera alihkan percakapan supaya tidak
ke masalah cinta, "Bagaimana Lili bisa dekat dengan keluargamu?"
"Dia berhasil kalahkan Sekutu Rampok Laknat,
yang setiap sebulan sekali mengganggu warga
desa kami. Keberhasilannya itu menarik simpati ke-
luargaku, sehingga ia tinggal di rumah keluargaku se-
lama satu minggu lebih. Itulah sebabnya ia bisa dekat
dengan keluargaku, terutama dengan ayahku."
"Selama seminggu lebih itu ia tidak pergi-pergi


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari rumahmu?"
"Menurut penjelasan adik perempuanku, ia ser-
ing pergi, tapi bila malam tiba; ia pulang ke rumahku.
Karena aku belakangan ini sering tinggal di perguruan,
jadi aku tak sempat jumpa dia. Hanya diberi tahu ciri-
cirinya; pakaian merah, pedang di punggung berwarna
perak yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua
burung rajawali saling bertolak belakang dan seba-
gainya. Lalu, tadi kulihat wajahnya yang memang can-
tik itu. Dua kali aku melihatnya namun selalu gagal
menangkapnya."
Sebongkah batu menggelinding dari atas lem-
bah. Arahnya menuju tubuh Pendekar Rajawali Merah.
Suara gemuruhnya terdengar sehingga dengan cepat
Yoga berbalik arah. Melihat gerakan batu besar ingin
menggilasnya, cepat-cepat Yoga sentakkan tangan
buntungnya itu dan dari balik kain lengan baju mele-
satlah sinar merah yang menghantam batu tersebut.
Blaaar...! Batu itu pecah menjadi serpihan-
serpihan kecil. Lalu ia memandang sekeliling yang
tampak sepi, demikian pula halnya yang dilakukan
oleh Anggita, memandang penuh waspada.
"Mungkin batu itu menggelinding sendiri di luar
kesengajaan seseorang," kata Anggita.
"Baiklah, kita anggap saja begitu! Tapi firasatku
mengatakan, ada seseorang yang ingin mencelakaiku."
Kira-kira mendapat sepuluh langkah lebih se-
dikit, perjalanan mereka menjadi terhenti oleh gerakan
pohon yang tumbang tepat di depan mereka. Mereka
pun cepat melompat mundur dan pohon itu jatuh lima
langkah di depan mereka. Brrruk...I
"Tak mungkin pohon itu tumbang sendiri. Pasti
ada yang menumbangkannya," bisik Yoga kepada Ang-
gita, gadis itu diam saja namun matanya semakin me-
nyelidik sekeliling mereka.
Kejap berikutnya, mereka mendengar suara se-
ruling mengalun dengan lembut. Bunyi seruling itu
mengejutkan Anggita, lalu ia cepat bergumam dalam
ketegangan, "Aji Seta..."!"
Yoga mendengar, lalu bertanya, "Apa itu Aji Se-
ta?" "Nama seorang pemuda yang selalu mengejar-
ngejar ku karena dia mencintai ku. Cepat tinggalkan
tempat ini!"
"Mengapa harus pergi?"
"Aku tak ingin bertemu dengannya. Dan suara
seruling itu akan mempengaruhi kita untuk lakukan
bunuh diri, atau saling bermusuhan, saling bunuh di
antara kita berdua! Ia mempunyai ilmu seruling yang
cukup tinggi."
Yoga tetap kelihatan kalem, bahkan ia dekati
suara seruling itu beberapa langkah ke depan, kemu-
dian ia tarik napas dalam-dalam. dan dihembuskan
melalui hidung. Wuuuts...! Dan tiba-tiba badai pun da-
tang. Dedaunan terhempas hingga tumbangkan pohon.
Suara seruling lenyap seketika. Gemuruh angin badai
mengguncang bumi. Kejap berikut, angin badai itu
berhenti. Suasana menjadi sunyi, Anggita masih terte-
gun bengong karena terpukau melihat datangnya an-
gin badai dari lubang hidung Yoga, ia tak tahu, Yoga
telah gunakan jurus Badai Petir' untuk menguji ke-
tinggian ilmu si peniup seruling itu.
"Jika ia berilmu tinggi, ia akan mati berkeping-
keping di tempat yang jauh karena terhempas badai.
jika ilmunya masih di bawah ilmuku, ia tetap selamat!"
bisik Yoga kepada Anggita.
Anggita hanya mengangguk, tapi hatinya berka-
ta, "Pemuda ini punya ilmu macam-macam rupanya.
Dan ilmunya itu bukan ilmu yang ringan. Mungkin sa-
tu-satunya ilmu ringannya adalah yang dilepaskan un-
tuk melumpuhkan aku dan Lenggani tempo hari. Ilmu
itu hanya membuatku lemas beberapa saat, seakan
menciptakan peluang baginya untuk melarikan diri.
Setelah beberapa saat toh aku dan Lenggani kembali
segar, tidak merasa mual, pusing, dan lemas lagi.
Sungguh mengagumkan pendekar tampan ini. Aku
sangat terkesan oleh ketenangan sikapnya dan tutur
katanya yang tegas namun tidak menusuk hati itu."
Anggita setuju untuk lanjutkan langkah. Na-
mun rencana itu tertunda oleh kemunculan seorang
pemuda berkumis tipis dan mengenakan pakaian hijau
tua. Di tangan pemuda itu tampak sebatang seruling
warna hitam. Yoga dapat menebak, bahwa pemuda be-
rikat kepala merah itu pasti lelaki yang bernama Aji
Seta. Dugaan Yoga terbukti benar, karena Anggita ce-
pat menyapa sinis pemuda itu,
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Aji
Seta?" Senyum sinis tersungging di bibir pemuda yang
lumayan tampan itu. Pakaiannya sedikit kotor, itu per-
tanda ia mungkin tadi terhempas sebentar dan jatuh
ke tanah lembab ketika angin badai datang menghem-
busnya. Keadaannya tetap sehat tanpa luka sedikit
pun. Ini menandakan ilmu pemuda itu tidak lebih
tinggi dari ilmu yang dimiliki Yoga.
"Anggita, aku hanya ingin menemuimu karena
rasa rindu yang sudah lama tak terbendung lagi di da-
lam hati," kata Aji Seta sambil melirik sinis kepada Yo-ga, seakan sengaja
membuat panas hati Yoga. Namun
Yoga tetap tenang dan tidak tunjukkan sikap bermu-
suhan. Anggita segera berkata, ."Simpanlah rayuanmu itu untuk gadis lain, Aji
Seta. Tak akan berlaku untuk
diriku, karena aku. Sudah punya kekasih sendiri. Yoga
inilah kekasihku!" Anggita sengaja bergelendot di pundak kiri Yoga.
Sebenarnya Yoga ingin membantah kata-kata
itu, tapi ia segera sadar akan maksud hati Anggita.
Gadis itu ingin mengelak dari kejaran cinta Aji Seta
dengan memperkenalkan Yoga sebagai kekasihnya.
Tapi Anggita tidak berpikir bahwa hal itu akan menim-
bulkan permusuhan di dalam hati Aji Seta dan Yoga.
Padahal Yoga sendiri sebenarnya tidak ingin ikut cam-
pur masalah pribadi mereka berdua.
Aji Seta semakin tersenyum sinis, dan matanya
tertuju pada Yoga, lalu berkata dengan ketus, "Benarkah kau kekasih Anggita?"
"Kau bisa tanyakan lagi kepada Anggita," jawab Yoga.
"Apakah kau punya tiga nyawa sehingga berani
mencintai Anggita?"
"Semula ada sepuluh nyawa, tapi sekarang
tinggal satu!" jawab Yoga dengan santai, seakan sengaja memancing kemarahan Aji
Seta, pemuda itu memu-
kul-mukulkan serulingnya ke tangan kiri sambil
manggut-manggut dan berlagak meremehkan Yoga. La-
lu, terdengar lagi Aji Seta berkata ketus,
"Aku tahu tangan kirimu buntung. Lengan ba-
jumu yang kiri kosong dan tertiup angin. Sejujurnya
kukatakan padamu, Anggita tidak pantas mempunyai
kekasih seekor kerbau buntung. Jadi saranku, jangan
lagi dekati Anggita dan...."
"Cukup, Aji Seta!" bentak Anggita.. "Kau akan mati berdiri jika ucapanmu itu
masih kau teruskan!"
Aji Seta justru tertawa, "Ha, ha, ha...! Mana bi-
sa orang buntung itu membuatku mati berdiri, Anggi-
ta"! Jika kau tidak menolongnya, aku mampu tum-
bangkan dia dalam satu jurus saja!"
Anggita berkata kepada Yoga, "Jangan layani
dia! Mari kita pergi secepatnya, Yoga!"
"Aku tak ingin mengecewakan dia, Anggita. Biar
saja aku melayani tantangannya, supaya hatinya
puas!" Aji Seta berseru, "Jangan berlagak menjadi de-wa penolong di depan mata
Anggita, Kerbau Buntung!
Ku buat malu kau sekarang juga, heaaat...!".
Aji Seta sentakkan seruling hitamnya yang
pendek itu ke depan. Wuuut...! Seberkas sinar melesat
warna kuning, menghantam tubuh Pendekar Rajawali
Merah. Hanya saja, sinar itu datang terlambat, karena
Yoga tahu-tahu seperti menghilang lenyap, karena ia
gunakan jurus 'Petir Selaksa' yang mampu bergerak
cepat menyerang lawan.
Zlaaap...! Baaahg...! Krek...!
Tahu-tahu Yoga sudah berada di belakang Aji
Seta. Pemuda itu menoleh ke belakang, namun ia sege-
ra jatuh berlutut karena tulang iganya terasa patah sa-
tu. Aji Seta tak melihat gerakan Yoga menghantam tu-
lang iganya. Ia hanya merasakan satu pukulan cepat
yang mengagetkan, seperti dihembus angin besar. Ter-
nyata pukulan itu telah membuat iga Aji Seta patah
satu. "Uuhg...!" Aji Seta menyeringai kesakitan. Anggita memandang dengan heran
dan segera sadar apa
yang telah dilakukan Pendekar Rajawali Merah itu. Da-
lam hati, Anggita kembali mencatat sesuatu yang men-
gagumkan dari Pendekar Rajawali Merah. Anggita sen-
diri tak sangka kalau Yoga bisa bergerak secepat itu
dan tahu-tahu telah lenyap dari samping kanannya.
"Satu jurus telah kita lakukan. Apakah kau
anggap telah berhasil tumbangkan aku?"
"Jahanam kau! Hiaaah..!"
Clak, wuuus...! Dari ujung seruling keluar pi-
sau sepanjang satu jengkal. Pisau itu segera diki-
baskan untuk merobek dada Yoga. Namun oleh Yoga
tangan Aji Seta berhasil ditangkis dengan sekelebatan
lengannya, dan cepat-cepat tangan Yoga menguncup
kemudian menghantam ke dada kanan Aji Seta, dekat
pangkal lengannya. Dees.
"Aaah...!"
Jurus 'Rajawali Liar' meremukkan tulang dada
kanan Aji Seta. Sakitnya bukan main. Aji Seta pejam-
kan mata kuat-kuat, tapi tiba-tiba ia harus membuka
mata dalam satu gerakan cepat, karena dadanya tera-
sa panas mendapat sentakan tangan Yoga. Beehg...!
Dan akhirnya, Aji Seta muntahkan darah segar dari
mulutnya, sambil sempoyongan ke belakang. Ia jatuh
terkapar sebentar, lalu berusaha bangkit dengan
menggeliat pelan-pelan. Nafasnya dikendalikan, ma-
tanya memandang Yoga penuh dendam. Dan ketika
Yoga ingin lepaskan satu pukulan lagi, Aji Seta sudah
lebih dulu larikan diri tanpa pamit kepada siapa pun.
Wuuus...! Anggita hanya pandangi kepergian Aji Seta den-
gan senyum jumawa. Sebaris kata diucapkannya, "Se-
lamat tinggal, Aji Seta! Kurasa kau akan jumpa aku di
neraka, pada suatu saat nanti!"
"Kalau dia bisa salurkan hawa murninya, dia
tidak akan mati. Luka dalamnya akan tertolong," kata Yoga sambil memandang ke
arah larinya Aji Seta. Anggita cepat menoleh ke arah Yoga, lalu berkata sambil
tersenyum malu,
"Maafkan atas kelancanganku tadi yang telah
mengaku-aku sebagai kekasihmu."
Yoga tersenyum dan menjawab, "Aku tahu
maksud mu, kau tidak sungguh-sungguh dalam uca-
panmu. Kau tak perlu minta maaf, Anggita. Dan... se-
baiknya lupakan saja soal itu, kita harus lekas sampai
ke rumahmu sebelum malam tiba. Aku ingin bicara
dengan ayahmu!"
Anggita tidak bisa menolak. Perjalanan pun di-
lanjutkan. Mereka tiba di rumah Anggita ketika siang
hampir punah dan berganti petang. Tapi kedatangan
mereka agaknya sudah terlambat. Tangis dan jeritan
terdengar di rumah Lurah Prawiba. Kejap berikutnya
Yoga dapat keterangan dari pihak keluarga Anggita,
bahwa ayah Anggita telah mati bunuh diri karena malu
pada keluarga sehubungan dengan percintaannya den-
gan Lili. Namun hati Pendekar Rajawali Merah berkata
lain, "Kurasa bukan karena malu, tapi karena rindu!
Nasib Ki Lurah Prawiba tak jauh berbeda dengan Ra-
den Balelo; lebih baik mati daripada kehilangan Lili!"
*** 6 MASIH lumayan nasib Ki Lurah Prawiba, ia bisa
langsung mati seandainya ia gantung diri. Tapi kema-
tian Ki Lurah Prawiba bukan dengan cara gantung diri,
melainkan dengan cara menghujamkan kerisnya tepat
mengenai jantung, Sedangkan Raden Balelo, selalu sa-
ja gagal dalam usahanya bunuh diri. Padahal ia sudah
dibantu oleh pengemis Paku Juling, yang selalu me-
layaninya, mengerjakan apa perintah sang Raden itu.
Siang itu, Raden Balelo duduk termenung ber-
wajah murung di bawah bongkahan batu besar, di kaki
sebuah bukit. Batu besar itu membentuk bayangan
yang bisa digunakan untuk meneduh. Sedangkan po-
hon-pohon kurus di sekelilingnya mengipas Raden Ba-
lelo hingga merasa lebih teduh lagi. Angin berhembus
bagai membawa sejuta kesejukan. Tapi kesejukan itu
tidak bisa meresap di hati Raden Balelo yang bernasib
sial terus. Kemarin, ia sudah lakukan saran Paku Juling
agar Raden Balelo bunuh diri dengan cara melompat
dari tebing karang yang paling tinggi di sekitar pantai dekat-dekat situ. Raden
Balelo lakukan lompatan dengan kepala ke bawah. Tapi ia jatuh tidak membentur
batu karang yang ada di bawah tebing itu. Ia langsung
terbenam di perairan laut. Dan repotnya secara nalu-
riah tangan dan kaki Raden Balelo bergerak-gerak
mencapai tepian karang, ia lupa bahwa dirinya bisa
berenang, sehingga mati karena terhantam karang ti-
dak, mati karena tenggelam pun tidak.
"Tiga kali mencoba gantung diri selalu gagal,"
renungnya dengan hati sedih. "Loncat dari pohon, ja-tuhnya malah bikin kaki
keseleo saja, belum juga mati.
Cari pisau untuk bunuh diri, tak ada yang dipinjami
pisau. Memotong urat nadi pakai kulit bambu, bukan-
nya mati kehabisan darah malah jadi korengan begini.


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Uuh...! Sial amat nasibku, gagal bercinta, gagal pula
bunuh diri. Tapi, mudah-mudahan usaha yang satu ini
berhasil...." Baru saja Raden Balelo berpikir demikian, dari kejauhan sudah
tampak gerakan lari Paku Juling
yang tampak terburu-buru menghampiri ke arahnya
itu. Raden Balelo memandang dengan penuh harap. Ia
tak sabar dan segera menyambut kedatangan Paku
Juling dengan menyongsongnya dalam jarak beberapa
langkah. "Bagaimana" Berhasil?" serunya sebelum Paku
Juling lebih dekat lagi. Pengemis itu angkat satu tan-
gan, tunjukkan sebuah guci kecil yang tergenggam di
tangannya. "Saya berhasil, Raden...!" kata Paku Juling
sambil terengah-engah.
Raden Balelo berseri-seri walau masih dirun-
dung duka karena cinta. Ia segera menerima guci ter-
sebut dari Paku Juling yang berkata,
"Racun ini saya curi dari rumah Tabib Maut.
Sedikit saja sudah dapat mematikan makhluk apa
pun, apalagi jika diminum segucinya, eh... maksud
saya, apalagi jika diminum satu guci penuh begitu,
pasti cepat mematikan detak jantung, Raden!"
Pemuda berpipi sedikit bengkak itu tampak le-
bih gembira lagi. Ia menepuk-nepuk punggung Paku
Juling seraya berkata,
"Hebat. Hebat. Tak sia-sia aku punya pelayan
sehebat kamu, Paku Juling. Racun ini akan kutenggak
sampai habis, biar nyawaku cepat melayang! Terima
kasih atas bantuanmu, Paku Juling."
"Sama-sama, Raden."
"Dan terimalah satu lagi cincin ku ini sebagai
hadiah istimewa bagi keberhasilanmu mencuri racun
ganas dari seorang tabib!"
Cincin yang tempo hari mau diberikan kepada
Yoga itu, sekarang diserahkan kepada Paku Juling.
Tentu saja pengemis itu semakin girang menerimanya,
dan tak lupa ucapkan terima kasih berkali-kali.
"Sekarang," kata Raden Balelo, "Sebelum meminum racun ganas ini, aku ingin
berpesan padamu,
Paku Juling."
"Pesan apa, Raden" Pesan nasi bungkus, atau
ketan kelapa?"
"Bukan pesan makanan! Aku hanya ingin
berpesan padamu, bahwa kelak, kalau aku sudah ti-
dak bernyawa, jangan kau bawa mayatku kepada pi-
hak keluargaku, tapi makamkan di atas bukit itu...!"
sambil Raden Balelo menuding bukit di belakangnya.
"O, iya, iya... saya akan kerjakan, Raden."
"Berilah tulisan pada batu nisan ku yang ber-
bunyi: 'Raden Balelo, mati bunuh diri dengan memi-
num racun, akibat kecewa dan sakit hati terhadap cin-
tanya yang di permainkan oleh Lili, si Pendekar Raja-
wali Putih yang mendusta itu.' Nah, tulis begitu, ya"!"
"Baik. Saya ingat bunyi tulisan itu."
Raden Balelo membuka tutup guci tersebut.
Mencium bau cairan keruh sedikit kehitam-hitaman
yang ada di dalam guci tersebut. Ia menyeringai jijik,
berkedip-kedip matanya, lalu berkata,
"Baunya tidak sesedap bau teh wangi Jabalika."
"Yah, namanya racun ganas tentu baunya tak
bisa wangi, Raden."
"Akan kuminum racun ini! Akan kuminum, se-
bagai tanda aku sangat cinta kepada Lili. Kaulah sak-
sinya, ya Paku Juling?" "Ya, Raden...."
"Nah, selamat tinggal, selamat berpisah, Paku
Juling. Sekali lag! kuucapkan banyak terima kasih
atas bantuanmu selama ini."
"Selamat jalan, Raden," kata Paku Juling dengan nada menyedihkan. "Jika sudah
sampai sana, ka-
lau bisa kirim surat pada saya, Raden. Dan hati-hati,
di sana jangan jatuh cinta lagi...."
"Ya, ya...," jawab Raden Balelo sambil menahan duka di hati.
Dengan tekad membulat, dengan tangis perpi-
sahan tersimpan di dada dan membuat matanya me-
rah, Raden Balelo akhirnya menenggak habis cairan
racun dalam guci tersebut. Glek, glek, glek...! Tak se-
dikit pun disisakan untuk Paku Juling.
Hhgggrr...! Raden Balelo bersendawa, bagaikan
orang kekenyangan sehabis makan. Matanya berkedip-
kedip sambil masih tetap berdiri. Paku Juling meman-
danginya dengan wajah tegang. Raden Balelo menger-
jap-ngerjapkan matanya, memandang ke arah jauh. Ia
menunggu tubuhnya tumbang ke tanah, na-
mun sampai beberapa helaan napas masih saja tetap
berdiri. "Ba... bagai... bagaimana rasanya, Raden?"
"Aku merasa bagaikan terbang, Paku Juling."
"O, itu karena di sini memang banyak angin."
"Wajahmu... wajahmu mulai menyeramkan,
Paku Juling."
"Terima kasih, Raden. Ini memang sejak lahir
sudah menyeramkan."
Raden Balelo melangkah dekati batu besar itu
dan punggungnya bersandar dengan tangan masih pe-
gangi guci tersebut. Ia bertanya,
"Apakah wajahku sudah mulai pucat?"
"Sejak kemarin memang sudah pucat, Raden.
Karena Raden tidak doyan makan apa-apa."
"Aneh. Ternyata rasanya orang mau mati terke-
na racun ganas seperti ini, Paku Juling?"
"Melayang-layang, begitu?"
"Bukan. Rasanya... lapar sekali dan... dan... oh,
aku seperti melihat malaikat pencabut nyawa datang
mendekatiku, Paku Juling.".
Sambil menunduk tak tega, Paku Juling berka-
ta, "Itu berarti ajal Raden sudah dekat Bersiaplah, Raden...!" "Malaikat itu
berlari kemari, badannya kurus, tua, dan kulitnya hitam. Ia berwajah menyeramkan
dengan rambut pelontos, kumis dan jenggotnya pen-
dek, tapi berwarna putih.,.. Menyeramkan sekali."
Mendengar celotehan itu, Paku Juling terkejut.
Kemudian ia segera berpaling ke belakang, dan melihat
seorang lelaki tua berbadan kurus datang mendekati
mereka. Seketika itu wajah Paku Juling terperanjat te-
gang dan mulutnya gumamkan kata,
"Celaka...! Dia mengejar sampai kemari"! Cepat
Juga larinya orang itu"!"
Raden Balelo berkata dengan nada mengam-
bang, "Paku Juling... rasa-rasanya malaikat itu semakin dekat!"
"Raden... yang datang kemari bukan malaikat,
tapi Tabib Maut pemilik racun itu."
"Hah..."!" Raden Balelo langsung tersentak kaget dan melepaskan diri dari
sandarannya. Kini di hadapannya telah berdiri seorang lelaki
kurus, jangkung, bermata cekung, dan berjubah abu-
abu. Lelaki itu adalah Tabib Maut yang memiliki guci
tersebut. Begitu menatap Paku Juling, ia langsung
menamparnya dengan keras. Plaaak...! Paku Juling
sengaja tidak menghindar karena merasa bersalah.
"Pencuri busuk!" caci Tabib Maut. "Mana guci yang kau curi tadi?"
"Sud... sudah... sudah diminum oleh Raden Ba-
lelo, Ki Tabib!"
Tabib Maut tersentak kaget. Makin terkejut lagi
setelah ia merampas guci dari tangan Raden Balelo
yang ternyata sudah kosong tanpa isi lagi itu.
"Celaka! Setan kau...! Kau telah meminum ob-
atku ini, hah"!" bentak Tabib Maut kepada Raden Balelo. "Mmma... maaf Ki Tabib
Maut, semua isi guci sudah kuminum, karena aku ingin lekas mati. Aku sakit hati.
dan...." Plaaak...! Tamparan kuat mendarat di pipi Ra-
den Balelo. Tabib Maut membentak, "Bocah rakus! Bocah tolol! Kalau mau mati
minumlah racun! Jangan
minum obat penambah nafsu makan begini!"
"Hahhh..."!" Raden Balelo terkejut. "Jadi yang kuminum bukan racun ganas, Ki
Tabib"!"
"Gundulmu itu yang ganas!" gerutu Tabib Maut.
"Yang kau minum ini ramuan obat penambah nafsu
makan, alias obat penggemuk badan. Aku sendiri yang
ingin meminumnya! Tapi... sial! Sekarang sudah kau
minum habis begini, apakah aku harus menelan gu-
cinya"!" "Heh, he, he, he... kalau begitu aku salah ambil.
Bukan racun yang kuambil, tapi obat penggemuk ba-
dan. He, he, he, he...!"
Buuhg...! Tabib Maut menendang perut Paku
Juling. Tubuh pengemis bertongkat pendek itu terpen-
tal tiga langkah ke belakang. Jatuh terduduk di sana.
Sedangkan Raden Balelo menjadi tegang dan ketaku-
tan. Ia gemetar dari kepala sampai kaki, karena Tabib
Maut memandangnya dengan tajam dan lebih menye-
ramkan. Kemudian Tabib Maut yang kurus kering itu
menggeram dalam ucapannya,
"Bayar obat ini! Bayar ganti kerugian ini, atau
kupatahkan batang lehermu sampai mati, hah"!"
"Eh, hmmm... jangan! Akan... akan ku-
bayar...!":.' "Lekas bayar!"
"Hmmm... tapi... tapi aku tidak membawa uang.
Bagaimana kalau ku tukar dengan cincin ku ini?"
"Cincin..."! Hmmm... ya, boleh juga! Mana..., lekas co-pot!" Raden Balelo
akhirnya garuk-garuk kepala.
Cincin yang tinggal satu di jari kanannya itu kini su-
dah lenyap bersama perginya Tabib Maut. Hati Raden
Balelo menjadi bertambah jengkel. Maka dibentaknya
Paku Juling itu dengan suara keras hingga air liurnya
muncrat ke wajah pengemis tua tersebut,
"Bodoh! Tolol! Disuruh mencuri racun, yang di-
curi obat penambah nafsu makan! Dasar budek ku-
pingmu, ya"! Mana cincinnya! Kembalikan yang satu
tadi!" "Maaf, Raden. Saya terburu-buru sehingga salah ambil."
"Tiada maaf bagimu!" sentak Raden Balelo
sambil kembali kenakan cincinnya. "Kalau sudah begi-ni bagaimana" Aku jadi lapar
sedangkan di sekitar sini
tak ada kedai"!. Mestinya aku mati, ini malah bingung
cari makanan! Dasar bodoh tak ketulungan!"
Terpaksa mereka mencari kedai, menjual cincin
untuk makan. Karena ternyata ramuan obat buatan
Tabib Maut sungguh mujarab. Raden Balelo sangat la-
par. Ketika di kedai, ia makan cukup banyak. Namun
sambil makan tetap saja ia menggerutu tiada habisnya.
Paku Juling sembunyikan senyum gelinya melihat apa
yang di alami oleh Raden Balelo.
Pulang dari kedai, Raden Balelo tetap ajak Paku
Juling untuk cari cara terbaik untuk bunuh diri. Sam-
bil melangkah menyusuri sungai bertepian kering tan-
pa tanaman, mereka bicarakan tentang rencana bunuh
diri selanjutnya.
Tetapi, tiba-tiba Raden Balelo tersentak kaget
dan hentikan langkah ketika ia melihat seorang gadis
cantik berpakaian merah sedang berjalan berganden-
gan mesra dengan seorang lelaki berpakaian mewah,
dari kain beludru kuning kecoklatan, berkesan sebagai
orang keturunan bangsawan. Mereka tak lain adalah
orang yang dicari-cari Raden Balelo dan yang dicari
pula oleh Lintang Ayu.
"Paku Juling...! Kurasa gadis itu adalah Lili! Dia Lili, Paku Juling! Ayo, lekas
kejar dia...! Ayo...!" Raden Balelo berlari lebih dulu menaiki tanggul. Paku
Juling diam saja. Namun tiba-tiba pengemis itu sudah henti-
kan langkah Lili dan Prabu. Anom. Kejap berikut Ra-
den Balelo tiba di tempat itu.
"Lili..."!" seru Raden Balelo dengan girang. "Lili, ini aku! Raden Balelo! Oh,
Lili... aku rindu padamu...!"
Raden Balelo hendak hamburkan pelukan ke-
pada Lili, namun Prabu Anom cepat kelebatkan ka-
kinya dan menendang telak wajah Raden Balelo.
Plook...! Raden Balelo jatuh terjengkang. Lili hanya
memandang sinis dan menggeram pelan,
"Bocah edan!"
"Kau kenal dia?" tanya Prabu Anom kepada Lili.
"Tidak. Aku tidak mengenal dia. Tapi mungkin
dia salah satu orang yang tergila-gila padaku!"
Raden Balelo bangkit dengan mulut berdarah.
Ia segera berseru kepada Raden Anom,
"Kau merebut kekasihku, hah"! Sekarang kau
bertarung saja denganku. Siapa yang menang, dia ber-
hak memiliki gadis itu!"
Lili menarik tangan Prabu Anom, "Tinggalkan
dia! Jangan layani celoteh orang gila itu!"
"Hei, tunggu...!" teriak Raden Balelo. "Aku mencintaimu, Lili! Jangan pergi
dengan musang itu!
Heh...!" Raden Balelo berusaha menarik pundak Prabu Anom, namun dengan cepat
tangannya dicekal, dipe-lintir hingga Raden Balelo menyeringai kesakitan. Sete-
lah itu, satu tangan Prabu Anom menghantam dada
Raden Balelo dengan pukulan keras bertenaga dalam.
Baahg, baaahg, baahg...! Plok...! Plak...!
Duuhg...! Wuuus.'..! Tubuh Raden Balelo terlempar tinggi
dan jauh karena tendangan Prabu Anom. Sudah pasti
Raden Balelo luka parah, babak belur dan nyaris tak
bisa bernapas lagi. Banyak darah yang keluar dari mu-
lut, hidung, dan telinganya. Namun demikian, sekali-
pun sudah tak mampu bersuara lagi, Raden Balelo be-
rusaha bangkit dan ingin merebut Lili dari tangan.
Prabu Anom. Serta-merta Prabu Anom lepaskan pukulan
berbahayanya berupa selarik sinar kuning yang keluar
dari telapak tangannya. Wuuutt...! Arahnya ke kepala
Raden Balelo. Tetapi dengan gerakan cepat, Paku Jul-
ing juga lepaskan pukulan dari telapak tangannya dan
keluarlah cahaya putih yang melesat menghantam si-
nar kuning itu. Blegaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi karena tabrakan dua


Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar bertenaga dalam cukup tinggi itu. Prabu Anom
segera memandang tajam pada Paku Juling. Yang di-
pandang menampakkan sikap beraninya, lalu berkata,
"Masih ingat aku, Prabu Anom"!"
"Ya. Kau adalah Ketua Partai Pengemis Liar
yang berjuluk Paku Juling! Tapi apa urusanmu dengan
ku" Apakah kau ingin membela pemuda gila itu"!"
"Kau masih punya hutang nyawa padaku! Dua
tahun yang lalu, kau membunuh Rotan Gledek. Dan
perlu kau ketahui, Rotan Gledek adalah adik kan-
dungku sendiri! Sekarang aku menuntut balas pada-
mu, Prabu Anom! Kau harus bisa bunuh aku, jika kau
tak ingin kubunuh!"
"Biar kuhadapi dia!" kata Lili dengan lantang.
"Jangan, Lili! Ini urusan pribadi. Aku sanggup
hancurkan wajah tuanya itu dan percepat kematian-
nya, Mundurlah, biar ku tangani dia!"
Lili pun akhirnya melangkah mundur, ambil ja-
rak menjauh agar tak menjadi korban salah sasaran.
Prabu Anom bersiap hadapi Paku Juling seraya berka-
ta, "Bersiaplah untuk menyusul adik kandungmu,
Paku Juling! Heaaah!"
Paku Juling, pun tak kalah siap. Matanya tiba-
tiba berubah menjadi juling, semua manik hitam ada
di sudut mata tengah, dekat tulang hidung. Dan ia
menarik tongkatnya dari gagang sampai ke bawah.
Zuuut! Tongkat itu menjadi besi runcing putih yang
berkilauan karena pantulan sinar matahari. Senjata
runcing itu dinamakan: Paku Dewa.
Dengan menahan sakit, Raden Balelo sempat
merasa heran melihat gerakan silat Paku Juling yang
sangat cepat dan tangkas itu. Dalam hatinya Raden
Balelo berkata; "Ternyata dia orang berilmu tinggi. Kalau marahnya sudah datang,
rupanya bisa membuat
matanya menjadi juling dan tongkatnya menjadi paku
besar yang amat runcing. Pantas dia bernama Paku
Juling?" Prabu Anom mencabut pedang, kemudian ber-
tarunglah dua senjata besi itu dengan sengitnya. Me-
reka saling tebas dan saling tangkis; dan percikan
bunga api menyebar ke mana-mana jika kedua senjata
itu saling beradu dengan kuat.
Trang, trang, trang, trang...! Buuhg, jruub...!
Paku Dewa itu menghujam tembus ke dada Prabu
Anom, Tak bisa ditawar lagi, maka Prabu Anom pun
roboh tak bernyawa di tangan Paku Juling. Sedangkan
gadis cantik itu telah lenyap sejak ia tahu Prabu Anom
terdesak dan bakal menemui ajalnya.
"Ke mana larinya gadis itu tadi?" pikir Paku
Juling sambil memandang sekelilingnya.
*** 7 PULANG dari memberitahukan tentang kema-
tian Kencana Ratih kepada gurunya, Lintang Ayu te-
mukan mayat Prabu Anom terkapar di atas tanggul
sungai. Lintang Ayu periksa jenazah adiknya, lalu ia
temukan lubang hangus di dada Prabu Anom.
Hati perempuan cantik bersama burung beonya
itu bagai disekap seribu jarum-jarum tajam. Sakit,
namun mengepulkan asap dendam yang tak mudah di-
lupakan. Lintang Ayu diam beberapa saat lamanya ka-
rena menahan tangis yang ingin meledak melihat ke-
matian adiknya. Ia berjuang keras mengalahkan tan-
gis, dan akhirnya berhasil. Sekalipun demikian, dada
yang terasa sakit dan sesak itu tak dapat membuat
pernapasan Lintang Ayu menjadi longgar.
Berulang kali ia menarik napas dan berkata da-
lam hatinya, "Tunggu saatnya! Tunggu saatnya tiba!"
Esok hari adalah hari perkawinan Prabu Anom
dengan Putri Giri Manca. Jelas perkawinan itu akan
gagal total. Tapi keadaan Prabu Anom yang tewas itu
sedikit menolong martabat keluarganya, karena alasan
kegagalan perkawinan itu bisa menggunakan alasan
musibah. Hal itu lebih baik daripada mereka harus
menerima malu akibat Prabu Anom gagal menikah ka-
rena diculik oleh gadis cantik yang memikat hati Prabu
Anom. Sekalipun demikian, dendam di hati Lintang
Ayu tak bisa ditawar-tawar lagi. Darahnya yang men-
didih memancarkan bayangan seraut wajah cantik mi-
lik Pendekar Rajawali Putih. Wajah itulah yang harus
tetap diburunya setelah ia memakamkan jenazah
adiknya di pemakaman keluarga istana.
Namun sebelum mayat itu diangkat dari diba-
wanya pulang, seorang pemuda berwajah tampan lewat
di dekat tempat itu. Pemuda tersebut mengetahui Lin-
tang Ayu berlutut di samping sesosok mayat, lalu ia
pun mendekatinya dengan hati-hati.
Wajah ayu yang dibungkus duka itu segera te-
rangkat pelan-pelan. Matanya menatap pemuda tam-
pan mengenakan baju selempang dari kulit beruang
coklat yang membungkus baju putih di dalamnya. Pe-
muda itu pun menampakkan wajah berkabungnya,
sehingga Lintang Ayu merasa dihormati oleh pemuda
yang tak lain adalah Yoga itu.
Pelan-pelan Lintang Ayu berdiri dengan mata
tetap memandang Yoga. Sinar dendam masih tampak
jelas di sorot mata indahnya itu. Yoga tidak melayani
sorot mata dendam, melainkan membalas dengan ke-
teduhan. Maka, terdengarlah suara Yoga berkata,
"Jika pemuda ini adalah adikmu yang bernama
Prabu Anom, aku turut berkabung atas musibah ini!"
Lintang Ayu perdengarkan suaranya yang din-
gin, "Ini bukan musibah! Ini sebuah tantangan permusuhan; antara aliran Rajawali
dengan murid Jubah Pe-
ri!" "Apakah Lili yang membunuhnya?"
"Siapa lagi kalau bukan dia" Mungkin dia su-
dah bosan menghisap madu kemesraan adikku, lalu
dia membunuhnya karena menganggap adikku barang
bekas yang sudah waktunya dibuang! Sungguh keji
ternyata gadismu itu!"
Pendekar Rajawali Merah bersabar diri dengan
menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata den-
gan tetap tenang,
"Kalau benar dia dan terbukti memang dia, biar
kupenggal sendiri kepalanya!"
Lintang Ayu geleng-gelengkan kepalanya sambil
matanya menyipit benci, lalu berkata dengan lebih
dingin lagi, "Kau tak akan tega melakukannya, karena kau
mencintai dia!"
"Aku sudah perhitungkan baik-baik langkahku!
Demi menyelamatkan nama harum mendiang guru-
guru kami, demi membersihkan aib yang ada dalam
aliran Rajawali, ku putuskan untuk memenggal kepala
Lili jika benar dia bersalah dalam hal ini."
"Kau akan kehilangan kekasih!"
"Kekasihku bukan orang sesat. Lebih baik kehi-
langan kekasih daripada harus menderita malu tak
berkesudahan."
"Kau akan kesepian!" ucapnya semakin lirih.
"Aku sudah terbiasa hidup tanpa teman. Tak
akan kukenal kata kesepian dalam hidupku."
Lintang Ayu terbungkam dengan masih mena-
tap Yoga. Pendekar Rajawali Merah segera berkata,
"Biar aku yang menggotong mayat ini sampai ke
istanamu. Aku akan temui keluargamu dari menje-
laskan perkara yang sebenarnya!"
"Tak perlu," kata Lintang Ayu setelah menghela nafas. "Aku masih sanggup membawa
pulang sendiri adikku ini."
"Kau menolak tawaran baikku?"
"Kau tak perlu menghibur hatiku. Dendam te-
tap dendam. Akan kubalas semua ini setelah usai pe-
makaman nanti!"
Hati perempuan cantik itu cukup keras. Tak
mudah dibujuk dengan kelembutan sikap. Yoga tak
mampu melunakkan hati itu, dan ia sendiri butuh
waktu selekasnya untuk bisa menemui Lili. Akhirnya
ia tidak peduli lagi dengan kekerasan hati Lintang Ayu.
Ia cepat-cepat tinggalkan tempat dan berlari menuju
Gua Rama. Ternyata gua itu masih tertutup timbunan ba-
tu-batu besar. Sepertinya tak pernah ada seorang pun
yang menggeser atau memindahkan batu-batu terse-
but. Yoga tahu persis, sebab satu hari setelah Lili ma-
suk ke dalam gua itu, Yoga menjenguk keadaan di sa-
na. Batu-batunya masih tetap dalam susunan seperti
saat ini, "Jika ia keluar dari dalam gua, pasti batu-batu
ini akan berubah letaknya;" pikir Yoga. "Tapi jika dia tidak keluar dari dalam
gua ini, lantas bagaimana caranya dia bisa berkeliaran di luar gua dan berbuat
se- keji itu" Atau, mungkinkah gua itu punya jalan tem-
bus di tempat lain" Rasa-rasanya, sebelum dia masuk
dan menggunakan gua ini sebagai tempat menuntut
ilmu 'Mata Dewa', aku sudah memeriksa kedalaman
gua tersebut. Tak kutemukan lorong yang menuju ke
tempat lain. Gua itu buntu. Hanya mempunyai ruan-
gan yang lega saja."
Keraguan selalu menyertai hati Yoga pada saat
ia berniat ingin membongkar penutup gua tersebut.
Entah apa penyebabnya, sehingga Yoga selalu merasa-
kan ada kekuatan batin yang melarangnya membong-
Tembang Tantangan 1 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pertemuan Di Kotaraja 4
^