Pencarian

Iblis Penebus Dosa 2

Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa Bagian 2


yang dapat membesar dan mengecil.
"Kok...kok...kung...!" Sosok gemuk pendek seperti kodok keluarkan suara tidak
ubahnya seperti kodok.
Dengan kepala tetap digelengkan tiada hen-
ti, Tapa Gedek kini bangkit berdiri. Wajah orang
tua ini nampak berubah cerah seketika. "Dewa
Kodok. Ha ha ha. Sudah kuduga memang kau
orangnya. Sobatku kemarilah, berendam lama di
dalam air bisa membuatmu masuk angin."
Begitu suara si kakek lenyap, dengan meng-
gunakan perutnya yang melembung besar sosok
berbadan pendek namun tegak meluncur ke arah
Tapa Gedek. Begitu tubuhnya hampir mendekati
batas air dengan kuil tua dia lakukan gerakan ber-
jumpalitan sedemikian rupa, lalu jatuhkan diri di
depan si kakek ceking dengan dua tangan dan ka-
ki menyentuh lantai.
Kuung! Satu suara panjang seperti kodok bergema,
bersamaan dengan terdengarnya suara itu maka
perut yang tadinya menggelembung besar seperti
mau meletus kini mengecil kembali ke ukuran
normal. Si ceking dan si gendut pendek saling ber-
pandangan, kemudian sama mengumbar tawa be-
kakakan. "Sobatku ceking geleng kepala. Rupanya
kau dapat undangan butut dari Kertadilaga. Tak
kusangka mau-maunya kau datang kemari." kata
Dewa Kodok yang memiliki wajah polos tanpa ku-
mis tanpa janggut dan bermuka seperti kodok.
"Kau sendiri rupanya menerima undangan
itu. Kemudian kau datang kemari memenuhi un-
dangan bocah ingusan."
"Siapa bilang aku memenuhi undangannya.
Kau sudah tahu kebiasaanku. Di mana ada hujan
di situ ada Dewa Kodok. Dimana ada air Dewa Ko-
dok pasti tinggal di situ. Bagiku sendiri undangan itu tidak menarik perhatian,
tapi apa yang terjadi setelah orang-orang yang menghutangkan dosa
pada Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan."
"Maksudmu...?"
Dewa Kodok menyapu wajahnya yang polos
dengan telapak tangan. Setelah itu dengan nada
prihatin dia berkata. "Angin Pesut bukan manusia biasa. Dia benar-benar seorang
iblis yang tak seo-rangpun tahu dimana titik kelemahan ilmunya ka-
rena begitu banyak ilmu sakti yang dia miliki. Be-
lum lama ini aku bahkan menyirap kabar Angin
Pesut telah bertobat. Dia mengasingkan diri di sa-
tu tempat tak jauh dari Kotagede. Di sana dia be-
rusaha menebus segala dosa kesalahan yang per-
nah dia lakukan. Konon pula dia telah berusaha
memusnahkan ilmu sakti yang dia miliki. Tapi il-
mu yang dimilikinya demikian banyak, satu dian-
tara ilmu yang dia miliki kabarnya dapat menye-
rang musuh di luar kehendak Angin Pesut." jelas Dewa Kodok.
"Kalau Angin Pesut memang berusaha me-
musnahkan ilmu di tubuhnya, aku percaya dia
bertobat. Tanpa ilmu kita dengan mudah dapat
membunuhnya dan mengambil barang-barang pu-
saka yang pernah dirampasnya!"
"Tapa Gedek, enak saja kau bicara. Ru-
panya kau belum dengar, Angin Pesut tak sanggup
memusnahkan ilmu yang dia miliki. Jika dia sen-
diri tak sanggup memusnahkan ilmu yang ada pa-
da dirinya apa kau mengira kita bakal sanggup
membunuhnya?"
"Ha ha ha. Jika kita datang ke selatan Kota-
gede dengan menempuh jalan seorang diri. Kurasa
tak satupun dari kita yang bakal dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan
hidup. Tapi aku yakin
jika kita berlima bersatu padu gabungkan kekua-
tan, masakan kita tak mampu membunuh iblis
itu." ujar Tapa Gedek.
"Kita berlima, apa maksudmu?" tanya Dewa Kodok tak mengerti.
"Rupanya kau tak tahu di dalam kuil itu te-
lah berkumpul Datuk Lemah Hijau, Ki Menoreh
dan Kertadilaga."
"Jika sudah berkumpul mengapa kau tidak
masuk ke dalam bergabung dengan mereka?" Tapa Gedek geleng kepala.
"Apapun keputusan dari hasil pertemuan
itu aku setuju saja. Yang terpenting aku dapat me-
rebut kembali kitab Gelombang Naga yang dicuri
Angin Pesut puluhan tahun yang silam."
"Kitab milik gurumu itu mungkin telah di-
musnahkannya. Apalagi sejak lama Angin Pesut
telah berhasil mengamalkan ilmu maut itu."
"Tidak menjadi soal, namun aku ingin sega-
lanya menjadi jelas. Kitab itu menjadi tanggung
jawabku." Dewa Kodok manggut-manggut. "Aku juga
mempunyai tugas untuk mengambil kitab Guntur
Bumi." ujar laki-laki itu.
"Berarti kita mempunyai tujuan yang sama."
"Kalau begitu sebaiknya kau ikut dalam
pertemuan ini." kata Dewa Kodok.
"Tidak! Kau masuklah ke dalam, aku ingin
berjaga-jaga di luar sini." kata Tapa Gedek.
Dewa Kodok terdiam sejenak seolah sedang
berpikir keras. Tak lama kemudian Dewa Kodok
tertawa mengekeh. "Aku tahu sekarang, di dalam sana ada Ki Menoreh. Agaknya
ganjalan yang terjadi antara kalian dimasa lalu masih belum lenyap
dari hatimu. Ah...sudah tua, kau mungkin masih
perjaka. Tapi perlu dipertanyakan apakah dia
sampai saat ini masih seorang gadis dan yang le-
bih penting lagi mungkinkah dia masih mencin-
taimu?" Tapa Gedek melengak kaget.
"Eh, apa maksudmu Dewa Kodok?" tanya si
kakek ceking pura-pura tak mengerti.
"Ha ha ha. Masa lalumu begitu kelabu,
hingga membuatmu pernah kehilangan kewara-
san. Walaupun sempat menjadi sinting kemudian
waras lagi, masa kau lupa dengan perempuan
yang bernama Ni Mesra Selangit?"
"Ah...!" Tapa Gedek mengeluh tertahan, lalu tepuk keningnya sendiri. "Mudah-
mudahan dia tak diundang oleh Kertadilaga."
"Kuharap begitu. Tapi ketahuilah jika sam-
pai sekarang kalian masih tetap berselisih dengan
Ki Menoreh karena persoalan lama, aku mengang-
gap kau ini manusia tolol."
"Aku tak pernah mempersoalkan masa lalu
lagi." "Lalu kenapa kau sepertinya tidak suka melihat kehadiran Ki Menoreh yang
ikut hadir dalam
pertemuan ini?"
"Aku suka, tapi kami tadi sudah terlibat
pertengkaran karena aku mengatakan dia adalah
korban pertama yang akan menemui ajal di tangan
Angin Pesut."
"Ramalan gila. Lalu aku korban ke berapa"
Ha ha ha."
Tapa Gedek gelengkan kepala. "Manusia se-
pertimu tak usah kuramal nanti juga mati sendiri."
jawab si kakek.
"Kau benar. Sekarang aku mohon pamit.
Aku ingin bergabung dengan mereka yang sudah
berkumpul di dalam sana."
Tapa Gedek anggukkan kepala. Dewa Kodok
sendiri kemudian menggelundungkan diri menuju
ke arah bagian dalam kuil. Hanya sekejap saja so-
sok bulat pendek itu lenyap dari hadapan Tapa
Gedek. Si kakek gelengkan kepala, lalu kembali
duduk mencangkung di tempatnya semula.
7 Kita tinggalkan dulu Tapa Gedek dan para
sahabatnya yang telah berkumpul di kuil tua di
tepi Kaliurang. Marilah kita ikuti perjalanan Ki
Ageng Pamanakan yang saat itu telah jauh me-
ninggalkan Kotagede bersama Wedus Jaran Kala-
bakan yang menderita keracunan. Kini mereka te-
lah menyeberangi sungai Oyo. Setelah menyebe-
rangi sungai mereka masih harus melanjutkan
perjalanan lagi menuju Wonosari. Di tempat ini Ki
Ageng Pamanakan memiliki sebuah tempat peristi-
rahatan yang terletak di tepi rimba belantara. Da-
lam benak orang tua ini sudah tersusun segudang
rencana untuk mendapatkan apa yang dia ingin-
kan, sementara tak jauh di belakangnya gadis
yang telah dibangkitkannya terus mengikuti si ka-
kek dengan langkah-langkah kaku. Sepanjang ja-
lan dari bagian luka di dada si gadis yang ditanca-pi Pedang Tumbal Perawan
tidak hentinya mene-
teskan darah. Ketiga orang ini akhirnya sampai di lereng
bukit. Dari kaki bukit terlihat sebuah rumah se-
derhana berdinding papan dengan pintu berwarna
hitam. Ki Ageng Pamanakan sunggingkan seringai
aneh. Dia pindahkan Wedus Jaran Kalabakan
yang semula dalam kempitan ketiaknya ke atas
bahu. "Ki Ageng...apa sebenarnya yang hendak kau lakukan kepadaku?" tanya Jaran
Kalabakan yang suara tercekat.
"Aku akan mengawinkan dirimu dengan
Mayat Hidup yang ikut bersama kita itu. Para se-
tan akan menjadi saksi atas pernikahan kalian.
Kau pasti akan berbahagia hidup dengannya. Se-
lagi kau berbulan madu dengan gadis mayat itu,
aku akan membuat senjata yang tak kalah hebat-
nya dengan Pedang Tumbal Perawan. Keris yang
kubuat nantinya akan kuberi nama Keris Tumbal
Perjaka. Ha ha ha!"
Terkejutlah Jaran Kalabakan mendengar
penjelasan si kakek. "Tua bangka keparat, rupanya otakmu sudah berubah sinting.
Lepaskan aku!" teriak laki-laki itu.
Si kakek tersenyum sinis. "Saat ini tubuh-
mu menderita keracunan hebat. Kulepas juga per-
cuma. Kau bisa tewas seketika setelah bergerak
sebanyak sepuluh langkah! Ha ha ha!"
Mendidihlah darah Jaran Kalabakan di-
buatnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka
Ki Ageng Pamanakan akan memperlakukan dirinya
begitu rupa. Padahal selama ini kakek sakti ahli
pembuat senjata bertuah itu dia kenal sebagai
orang tua yang sangat santun, rendah hati juga
orang yang selalu memenuhi janji. Tapi kali ini
mengapa Ki Ageng berubah menjadi manusia ber-
hati keji" Setan mana yang telah merasuki ji-
wanya" "Ki Ageng...ketika aku mengambil senjata
pesanan ke rumahmu, kakang ku Kertadilaga
mengetahui kepergianku. Dia pasti tidak tinggal
diam jika aku tidak kembali dalam waktu dua ha-
ri." "Persetan dengan Kertadilaga. Sepuluh o-
rang seperti kakang mu aku tidak takut. Kau tak
perlu menggertakku. Jika ingin bahagia dan ingin
keselamatan, sebaiknya kau ikuti apa yang menja-
di keputusanku!" ujar si kakek tegas.
Orang tua itu kemudian kembali langkah-
kan kaki mendaki lereng bukit sementara Mayat
Hidup terus mengikuti orang tua itu.
Jaran Kalabakan tentu saja tidak mau di-
rinya dijadikan korban oleh si kakek apalagi dijo-
dohkan dengan gadis yang telah menjadi mayat
itu. Karenanya diam-diam diapun mengerahkan
tenaga dalam ke bagian kedua tangannya. Dia ber-
fikir begitu berhasil menyalurkan seluruh kekua-
tan sakti yang dia miliki dia akan menghantam
kepala Ki Ageng Pamanakan. Dengan sekali han-
tam pasti kepala orang itu remuk.
Tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh
membuat Jaran Kalabakan jadi terkejut setengah
mati. Dia bukan saja tak mampu mengerahkan te-
naga sakti yang dimilikinya, namun juga akibat
pengerahan tenaga dalam yang gagal membuat
dadanya laksana mau meledak. Laki-laki itu ma-
kin bertambah kaget ketika merasakan ada cairan
hangat yang menetes dari lubang hidungnya. Tak
ingin Ki Ageng tahu apa yang tengah terjadi, Jaran Kalabakan menyeka hidungnya.
Lalu dia perhatikan punggung tangannya. Darah! Ternyata darah
yang menetes dari lubang hidung Jaran Kalaba-
kan. "Gila! Racun itu rupanya telah menyerang jantung dan sekujur pembuluh darah
yang ada di tubuhku." batinnya kecut.
"Aku tak mungkin dapat menyelamatkan di-
ri!" kata Jaran Kalabakan lagi.
Sementara itu mereka kini sudah sampai di
halaman rumah milik Ki Ageng Pamanakan yang
berada di lereng bukit itu. Ki Ageng kemudian
mendorong pintu. Terdengar suara berkereketan
ketika daun pintu terbuka lebar. Dengan diikuti
oleh Mayat Hidup laki-laki itu melangkah masuk.
Orang tua berpakaian serba putih menurunkan
Jaran Kalabakan dari atas panggulannya, kemu-
dian membaringkan laki-laki itu di atas balai bam-
bu. "Tidurlah dengan tenang di situ. Aku akan
mempersiapkan perhelatan besar agar acara per-
nikahan kalian dapat dilangsungkan dengan me-
riah!" ujar si kakek. Selesai berkata begitu dia berpaling pada Mayat Hidup yang


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri tegak tak
jauh di sampingnya. Kepada gadis cantik berdaster
hitam yang dadanya ditancapi pedang ini si kakek
berucap. "Gadis yang dikorbankan, kau jaga calon suamimu itu. Jangan biarkan dia
pergi kemana-pun.!" ujar si kakek.
Mayat Hidup keluarkan suara menggerung
disertai anggukkan kepala dengan gerakan yang
serba kaku. Ki Ageng menyeringai puas. Lalu dia balik-
kan badan, selanjutnya berkelebat keluar lenyap
entah kemana. Jaran Kalabakan yang ditinggalkan tidak
tinggal diam. Dengan cepat dia melompat turun
dari atas balai bambu. Tak lama kemudian dia
mendekati gadis berdaster hitam. "Aku harus dapatkan pedang yang menancap di
dada mayat ini.
Aku tahu Pedang Tumbal Perawan sangat beracun.
Kini tubuhku terlanjur keracunan karena menyen-
tuh pedang itu. Apa salahnya jika aku menco-
banya sekali lagi." batin Jaran Kalabakan.
"Kau mencoba mengambil pedang ini, calon
suamiku" Kau tidak akan mendapatkannya. Ter-
kecuali kau benar-benar telah menjadi suamiku!"
Mayat Hidup tak terduga keluarkan suara mengge-
rung, hingga membuat langkah Jaran Kalabakan
jadi tertahan. "Jahanam, bagaimana mungkin dia mengetahui segala rencanaku" Dan
yang anehnya lagi mengapa kini dia bisa bicara?" batin laki-laki itu. Jaran Kalabakan raba
tengkuknya yang dingin
laksana es. Dengan mata mendelik dia meman-
dang ke arah gadis di depannya. Belum lagi hilang
rasa kaget di hati pada waktu bersamaan pula ter-
dengar tawa mengikik keras yang disertai dengan
berkelebatnya satu sosok tubuh yang langsung
menerobos masuk ke bagian dalam rumah. Rasa
kaget di hati Jaran Kalabakan melihat Mayat Hi-
dup dapat bicara kini berganti dengan ragu kagum
begitu melihat kehadiran seorang gadis cantik ber-
pakaian serba merah berambut panjang di dalam
ruangan itu. Sebaliknya Mayat Hidup begitu mendengar
kehadiran gadis itu diam-diam mulai bersikap
waspada. "Gadis berpakaian merah siapa dirimu dan ada keperluan apa kau datang
kemari?" tanya Jaran Kalabakan. Jauh dilubuk hati laki-laki itu
kehadiran gadis cantik ini menumbuhkan harapan
tersendiri baginya untuk meloloskan diri dari tan-
gan Ki Ageng Pamanakan.
Di luar dugaan teguran rumah Jaran Kala-
bakan disambut dingin oleh gadis itu. Disertai se-
ringai sinis dia menjawab "Aku melihat tubuhmu keracunan. Kupastikan umurmu
tidak sampai sa-tu hari lagi jika kau tidak cepat mendapatkan per-
tolongan!"
Apa yang dikatakan gadis berpakaian merah
membuat Jaran Kalabakan jadi kaget. Dengan ta-
tapan seakan tak percaya dia pandangi gadis itu.
Dalam hati berkata. "Bagaimana dia bisa tahu aku keracunan" Siapa dia yang
sebenarnya?"
"Kudengar tadi kau bertanya siapa aku dan
apa keperluanku" Hi hi hi. Siapa aku tidak pent-
ing. Aku sengaja datang menyusul kemari karena
aku inginkan Pedang Tumbal Perawan yang me-
nancap di dada mayat gadis itu."
"Ah, celaka. Dia menginginkan benda yang
sama. Tapi jika aku pandai menggunakan akal
muslihat, kurasa aku dapat memanfaatkan tena-
ganya." fikir laki-laki itu.
"Sobat, jika kau mau mengambil pedang di
dada mayat itu cepatlah ambil. Setelah itu tinggalkan tempat ini. Aku khawatir
Ki Ageng segera
muncul lagi di tempat ini!"
"Kau seperti merestui keinginanku. Bagai-
mana dengan dirimu sendiri?" tanya gadis itu disetai tatapan penuh selidik.
Jaran Kalabakan tersenyum kecut.
"Mengenai diriku tak usah kau hiraukan.
Tubuhku menderita keracunan hebat, tak mung-
kin tersembuhkan. Aku segera mati. Yang aku
khawatirkan adalah dirimu, kau masih begini mu-
da, cantik luar biasa. Jika Ki Ageng melihat keha-
diranmu disini aku takut dia tak bakal mele-
paskanmu. Ki Ageng bukan orang yang dulu ku-
duga. Kini segala tindak tanduknya sulit ditebak.
Begitu dia datang, kau bukan saja mendapat kesu-
litan. Tapi malapetaka besar mungkin bisa me-
nimpamu!" ujar Jaran Kalabakan. Wajahnya terlihat sangat ketakutan sekali. Gadis
cantik berpa- kaian merah yang tadinya bermaksud menghabisi
semua yang ada di dalam rumah itu kini merasa
simpati pada Jaran Kalabakan. Dia tersenyum,
wajahnya nampak bersahabat. Sedangkan tatap
matanya yang dingin kini berubah ramah.
"Terima kasih atas peringatanmu. Guruku
mengatakan setiap laki-laki tidak boleh dipercaya.
Kepadamu pun aku tidak percaya, tapi jika kau
mau bekerja sama denganku, kemungkinan aku
bisa menolongmu!"
"Aku tak pernah berharap kau percaya pa-
daku. Apa yang kukatakan adalah kenyataan yang
sebenarnya. Cepat kau ambil pedang itu dan sete-
lah itu tinggalkan tempat ini sedapat yang kau la-
kukan!" ujar Jaran Kalabakan.
"Terima kasih atas peringatanmu, sobat."
kata gadis berpakaian merah. Dia kemudian me-
mutar tubuh hingga kini menghadap langsung ke
arah Mayat Hidup.
"Gadis Malang, jika kau mau menyerahkan
Pedang yang menancap di dadamu itu dengan su-
karela, kujamin jasad mu tidak kusakiti. Jika kau
menolak aku pasti akan menghancurkanmu!"
Mayat Hidup sunggingkan seringai dingin.
Matanya yang menatap kosong memperlihatkan
rasa tidak senang. Dengan suara terputus-putus
dia menjawab. "Di-ri-ku se-pe-nuh-nya mi-lik Ki Ageng. Tu-buh-ku mi-lik ca-lon
su-a-mi-ku. Ka-u
be-ra-ni me-nyen-tuh-ku, be-rar-tik ke-ma-ti-an
ba-gi-mu...!"
"Jangan hiraukan ucapannya. Ambil pedang
di dadanya cepat...!" seru Jaran Kalabakan.
Mendengar ucapan laki-laki itu terkejutlah
mayat hidup. "Ka-u ca-lon su-a-mi ya-ng ti-dak ber-bak-ti...!"
"Mayat keparat, siapa sudi kawin dengan
bangkai!" sahut Jaran Kalabakan sengit.
"Tenang sobat, biar kubereskan mayat keras
kepala ini secepatnya!" kata gadis berpakaian merah. Lalu dengan kecepatan
laksana kilat gadis itu berkelebat ke depan. Tangan kanan dipergunakan
untuk mencabut pedang yang tertancap di dada si
mayat, sedangkan tangan kiri menghantam kepala
Mayat Hidup. Dua serangan ini masih dibarengi
dengan tendangan kaki. Empat serangan dilaku-
kan sekaligus, tentu tidak sembarang orang dapat
melakukannya, walau seorang tokoh persilatan
berkepandaian tinggi sekalipun. Di tempatnya ber-
diri Jaran Kalabakan sampai tercengang dibuat-
nya. Namun timbul pula keraguan di hati laki-laki
itu. Gagang pedang mengandung racun memati-
kan, begitu tangan si gadis menyentuh pedang itu,
dia pasti akan mengalami hal sebagaimana yang
terjadi pada dirinya.
Sementara itu Mayat Hidup dengan gerakan
yang kaku selamatkan kepalanya dengan meng-
hindar ke kiri. Hantaman yang mengarah ke ba-
gian kepala dapat dielakkan oleh Mayat Hidup,
namun dua tendangan yang menghantam perut
tak mampu dia hindari. Tidak itu saja gagang pe-
dang kena dicekal pula oleh gadis cantik ini.
Des! Des! Broll Tendangan yang amat cepat dan keras luar
biasa membuat Mayat Hidup jatuh terpelanting
bergedebukan menghantam dinding ruangan yang
ada di belakangnya. Lebih dari itu kini pedang di
dada mayat itu telah berpindah tangan.
"Astaga! Sulit dipercaya. Gadis itu sama se-
kali tidak terperangah oleh racun ganas yang ter-
dapat di hulu pedang?" seru Jaran Kalabakan heran namun juga bergidik ngeri.
Di depan sana gadis baju merah nampak
berputar-putar. Pedang ditangannya secara aneh
seolah berubah liar dan sulit dikendalikan. Dalam
kesempatan itu Jaran Kalabakan yang pernah
mendengar penjelasan Ki Ageng Pamanakan begitu
melihat kejadian ini segera berseru.
"Gadis baju merah sobatku. Pedang itu tak
memiliki rangka, kau harus memberinya rangka.
Tidak ada rangka yang aman baginya terkecuali
bagian tubuh manusia. Potong tangan mayat itu!"
Gadis baju merah yang saat itu nampak ke-
repotan mengendalikan pedang di tangannya begi-
tu mendengar aba-aba Jaran Kalabakan segera
menyerbu ke arah Mayat Hidup yang tengah beru-
saha bangkit berdiri. Melihat sinar hitam menderu
ke arah pangkal lengannya Mayat Hidup coba me-
nyelamatkan diri dengan bergulingan ke samping.
Namun gerakannya kaku dan lambat sekali. Tanpa
ampun Pedang Tumbal Perawan di tangan sang
dara menebas putus pangkal lengannya. Seperti
kilat menyambar gadis berpakaian merah sambar
kutungan tangan. Pedang kemudian ditusukkan
mulai dari pangkal lengan hingga ke ujung jari mi-
lik mayat hidup.
Begitu senjata bersarang di penggalan
pangkal lengan. Pedang tidak lagi meronta. "Pedang aneh...pedang kematian bagi
setiap orang yang harus kusingkirkan!" batin si gadis kagum.
Wuuus! Dara berpakaian merah tercekat ketika me-
rasakan ada angin dingin menyambar di bela-
kangnya. Dia cepat jatuhkan diri, kemudian balik-
kan badan. Ternyata sambaran angin berasal dari
serangan Mayat Hidup. Gadis itu kertakkan ra-
hang. "Akan kubuat leleh tubuhmu sampai tinggal tulang belulangmu saja!" dengus
si gadis. Lalu setelah gantungkan pedang berangka tangan manu-
sia sang dara cengkeramkan sepuluh jari tangan-
nya ke bagian dada dan perut Mayat Hidup.
Crees! Jesss! Cessss! Hunjaman sepuluh jari tangan di dada dan
bagian perut Mayat Hidup membuat mayat berdas-
ter hitam itu melolong. Asap tebal menebar bau
busuknya bangkai mengepul di udara. Secara
aneh namun mengerikan sosok mayat itu meleleh
dari bagian dada, perut, kepala dan ke sekujur tu-
buh Mayat Hidup. Tak berapa lama kemudian
mayat itu pun ambruk dalam rupa tulang belulang
yang hangus gosong seperti terbakar.
Gadis berpakaian merah tarik kedua tan-
gannya. Dia menyeringai, sedangkan tatap ma-
tanya berubah dingin menggidikkan. "Sobatku, cepat tinggalkan rumah ini, aku
akan menghancur-
kannya!" perintah gadis itu.
"Ah, ilmu apa yang dimiliki gadis ini" Mayat
itu dibuatnya leleh?" batin Jaran Kalabakan. Tak urung dengan gugup dia
menjawab. "Baiklah, aku akan keluar secepatnya!" Laki-laki tua segera keluar
menuju halaman depan. Di dalam rumah ga-
dis itu mengetrapkan ajian yang dia miliki. Dua
tangan yang bersilangan di depan dada kemudian
diputar, lalu tubuhnya melesat ke atas dalam kea-
daan berputar pula.
Wuuus! Wus! Byar! Byarr...!
Sinar hitam menggidikkan yang mencuat
dari kedua tangan sang dara membuat rumah itu
porak poranda. Puing-puing bertebaran di udara
dalam keadaan dikobari api. Sosok gadis itu sendi-
ri kemudian muncul diantara puing-puing rumah
dalam ketinggian tujuh tombak, lalu berjumpalitan
melewati kobaran api. Dengan gerakan tanpa sua-
ra sedikitpun dia jejakkan kaki tak jauh dari Jaran Kalabakan yang tegak
tercengang menyaksikan segala kedahsyatan ilmu yang dimiliki gadis terse-
but. "Gadis ini bukan manusia sembarangan.
Tubuhnya mengandung racun ganas. Tapi jika aku
pandai memanfaatkannya aku pasti memperoleh
banyak keuntungan dari dirinya!" batin Jaran Kalabakan yang kini selain ingin
merebut pedang Tumbal Perawan juga muncul keinginan-keinginan
kotor dalam hatinya.
8 Penuh rasa kagum Jaran Kalabakan mena-
tap gadis di sampingnya beberapa jenak lamanya.
Kemudian dengan mulut mengurai senyum dia
berkata. "Belum pernah aku melihat gadis memiliki kehebatan seperti dirimu.
Masih sangat muda
tapi memiliki ilmu hebat!" puji Jaran Kalabakan.
"Kau sudah mau mati tapi masih saja ber-
mulut manis!" dengus si gadis.
"Aku bicara apa adanya! Dan semua...!" Ja-
ran Kalabakan tidak lagi sempat melanjutkan uca-
pannya karena pada waktu bersamaan terdengar
suara teriakan mengguntur yang disertai dengan
berkelebatnya satu sosok serba putih ke arah me-
reka. "Manusia keparat manalagi yang berani me-rusak segala rencanaku?"
Begitu suara teriakan lenyap, di depan gadis


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian merah berdiri tegak sosok kakek tua
berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Ki
Ageng Pamanakan.
Melihat kehadiran orang tua itu sang dara
tersenyum dingin, sedangkan Jaran Kalabakan ja-
di cemas. Orang tua itu menatap ke arah si gadis dan
Jaran Kalabakan silih berganti. Setelah itu dia
memandang ke arah rumahnya yang telah beru-
bah menjadi puing-puing dikobari api.
Menatap ke arah tempat kediamannya wa-
jah si kakek berubah bengis dan angker. Ketika
memandang ke bagian pinggang si gadis dimana
pedang rampasan itu tergantung mengerunglah
kakek ini. "Keparat jahanam siapa kau?" hardik si kakek marah bukan main.
"Dia adalah orang yang akan mengirimmu
ke neraka, Ki Ageng!" Jaran Kalabakan menyeletuk. "Aku tak bertanya padamu Jaran
jahanam!" hardik si kakek sengit
"Ha ha ha. Kau tidak bertanya. Aku telah
berbaik hati sekedar menerangkan!"
"Kau manusia mau mampus. Kau tidak
bakal lolos jauh dari tanganku." Ki Ageng Pamana-
kan keluarkan suara menggeram.
Jaran Kalabakan tidak menanggapi, dia
hanya tertawa mengekeh. Sedangkan Ki Ageng
memandang dengan tatapan sinis ke arah dara
berpakaian merah.
"Pedang itu bagaimana bisa berpindah tan-
gan" Dia juga tahu cara menyimpan pedang agar
tidak menjadi liar. Aku harus dapatkan senjata itu kembali. Gadis ini harus
kutangkap hidup-hidup.
Tubuhnya cantik mulus, nanti sebelum aku be-
rangkat ke selatan Kotagede untuk menemui Angin
Pesut aku akan meluangkan waktu agar dapat
bersenang-senang dengannya." batin Ki Ageng Pamanakan.
Dengan suara keras kakek ini kemudian
berkata. "Gadis cantik siapa dirimu" Kembalikan pedang itu kepadaku!"
"Jika kau minta pedang, aku pasti tidak
akan mengembalikannya. Aku Indah Sari Purna-
ma, jika kau inginkan diriku sekarang juga aku
bersedia menjadi milikmu!" kata gadis itu disertai senyum memikat.
Ki Ageng tercengang, dia tidak ubahnya se-
perti mendapat durian runtuh mendengar kata-
kata gadis itu.
"Benar kau bersedia menjadi kekasihku?"
tanya Ki Ageng seolah tidak percaya.
Indah Sari Purnama anggukkan kepala.
"Celaka, gadis ini kata-katanya tidak dapat
dipegang. Bagaimana dia bisa berubah pikiran da-
lam waktu sekejap?" batin Jaran Kalabakan ce-
mas. Dia bisa membayangkan bagaimana posi-
sinya bila Indah Sari Purnama berada di pihak si
kakek. "Seribu pedang bisa kubuat. Jika kau menjadi kekasihku, pedang Tumbal
Perawan boleh menjadi milikmu!"
"Hi hi hi. Kemarilah orang tua gagah, maju
lebih mendekat. Peluklah aku...!" kata gadis berbaju merah, seraya kembangkan
kedua tangannya.
Dada dibusungkan, bibir yang kemerahan dibasahi
siap dilumat. Melihat tingkah si gadis yang menantang,
mendidih darah tua Ki Ageng, dada terasa menye-
sak, wajah memerah dibakar gairah. Tanpa fikir
panjang si kakek menghambur dalam pelukan In-
dah Sari Purnama. Tapi begitu tangannya menyen-
tuh leher gadis itu mendadak Ki Ageng keluarkan
seruan keras. Pelukannya di pinggang sang dara
sontak dilepaskan. Dan dia melompat mundur se-
jauh tiga tombak.
Ketika Ki Ageng memandang ke arah kedua
tangannya, tercekatlah dia. Kedua tangannya kini
tidak utuh lagi, tapi sudah hangus gosong menge-
pulkan asap tipis kebiruan. Warna biru juga den-
gan cepat menjalar naik dari telapak tangan ke ba-
gian lengan. Bukan hanya itu saja dadanya yang
tadi sempat menempel ketat di dada sang dara
nampak hangus. "Racun...tubuhmu beracun?" pekik Ki
Ageng Pamanakan dengan muka pucat dan nafas
tersengal. Gadis itu sendiri nampak bingung den-
gan apa yang terjadi. Tadinya begitu si kakek
mendekat dia telah siap mematahkan batang leher
Ki Ageng. Tapi tak disangka racun dalam tubuh-
nya bekerja begitu saja. "Pasti semua ini adalah perbuatan guruku!" batin Indah
Sari Purnama. Ki Ageng Pamanakan sendiri saat itu nam-
pak sibuk menotok beberapa urat darah yang ter-
dapat di bagian dada dan juga di kedua lengannya
mencegah agar racun tidak menjalar ke sekujur
tubuhnya. "Gadis ini ternyata lebih berbahaya dari ular berbisa." membatin Jaran
Kalabakan. Laki-laki itu menjauh dari halaman untuk melihat apa yang
bakal terjadi. Dicelakai seperti itu Ki Ageng Pamanakan
tentu saja menjadi sangat marah sekali. Dia me-
lompat maju sambil berteriak. "Gadis penipu! Engkau mengira dapat meloloskan
diri dari tanganku"
Setelah kau buat cacat tangan dan dadaku begini
rupa, aku bersumpah akan mencincangmu!" teriak si kakek. Teriakan menggeledek Ki
Ageng disusul dengan hantaman kedua tangannya ke arah si ga-
dis. Dari telapak tangan yang cacat menderu sege-
lombang angin berhawa panas luar biasa. Indah
Sari memang sempat terkesiap begitu merasakan
sambaran hawa panas yang menerpa tubuhnya.
Namun sambil tertawa tergelak-gelak dia cepat je-
jakkan kakinya hingga sosok sang dara melesat di
udara. Di tempat Indah Sari berdiri terjadi ledakan berdentum disertai
mencuatnya satu lubang menganga hitam akibat pukulan Ki Ageng yang tidak
mengenal sasarannya. Ki Ageng tak membiarkan
lawannya lolos begitu saja. Sambil mencabut keris
kembar yang tersembunyi di balik pakaian dia
mengejar lawan, hingga terjadilah pertarungan
sengit di udara. Keris di tangan si kakek secara
bersilangan dan silih berganti menghantam Indah
Sari. Hebatnya dalam keadaan mengapung seper-
ti itu dengan gerakan yang gesit sekali sang dara
selalu dapat menghindari babatan maupun tusu-
kan keris lawannya.
Tak menyangka lawannya memiliki ilmu se-
hebat itu, sambil kertakkan rahang Ki Ageng Pa-
manakan kini gerakkan kerisnya ke bagian wajah
dan juga ke perut Indah Sari. Masih dengan men-
gambang di udara gadis itu bergerak mundur. Tak
kalah sengit sambil menghindari sabetan keris
yang mengandung racun itu sang dara lancarkan
serangan balasan. Namun si kakek yang telah ma-
tang dalam pengalaman bertempur ini dengan
mudah dapat menghindari serangan balasan la-
wannya. Satu saat Ki Ageng babatkan keris di tangan
kanannya dari atas ke bawah, sedangkan keris di
tangan kiri membabat ke arah pinggang dengan
gerakan mendatar. Serangan ini jelas tak dapat di-
elakkan dengan mudah. Indah Sari terpaksa laku-
kan gerakan berjumpalitan ke belakang menjauhi
si kakek. Akan tetapi si kakek yang sudah dapat
membaca gerakan lawan segera mengejar. Selagi
tubuh sang dara meluncur ke bawah kaki Ki Ageng
bergerak menyambuti.
Deees! Tendangan yang luar biasa kerasnya mem-
buat Indah Sari jatuh terpelanting. Gadis itu kelu-
arkan suara raungan aneh. Pinggangnya yang ke-
na ditendang lawan seperti mau remuk. Dia nam-
paknya membutuhkan waktu agar dapat kembali
tegak berdiri. Melihat ini si kakek tak menyia-nyiakan ke-
sempatan yang ada. Diapun menyerbu siap hun-
jamkan dua bilah senjata saktinya ke dada dan pe-
rut sang dara. Melihat bahaya besar mengancam Indah
Sari, Jaran Kalabakan pura-pura menunjukkan
rasa simpatinya dengan menyerang Ki Ageng dari
arah samping. Tanpa menoleh Ki Ageng gerakkan
kakinya. "Manusia sampah jangan campuri uru-
sanku!" Dess! Tendangan keras kakek itu yang mengenai
bagian kepala si Jaran membuatnya jatuh terpe-
lanting. Saat terhempas dia merasa kepalanya lak-
sana mau meledak dan dia merasakan sejuta ku-
nang-kunang bertabur dalam pemandangannya.
Gerak tubuh Ki Ageng tidak terbendung, la-
ju serangannya tak ada lagi yang dapat menahan-
nya. Dua jengkal lagi ujung keris di tangannya
mengenal sasaran. Indah Sari cepat mencabut Pe-
dang Tumbal Perawan dari rangka tangan yang
tergantung di bagian pinggang.
"Agaknya kau sudah ditakdirkan mampus
oleh senjatamu sendiri kakek tua!" ucapan sang dara dibarengi dengan
berkelebatnya pedang di
tangan Indah Sari. Bagaimanapun senjatanya le-
bih panjang dibandingkan senjata di tangan si ka-
kek. Tak ayal lagi senjata itupun mencabik perut
Ki Ageng dari kiri ke kanan.
Ki Ageng menjerit setinggi langit, mata men-
delik seakan tak percaya dengan apa yang terjadi
pada dirinya. Perutnya berbusaian keluar, darah
mengucur deras. Dia ambruk, jatuh menelungkup
di samping Indah Sari. Sebelum senjata yang seo-
lah memiliki nyawa itu bergerak mengikuti ke-
mauannya sendiri sang dara kembali masukkan
pedang Tumbal Perawan ke tempat semula, yaitu
lengan mayat gadis yang dijadikan rangka pedang.
Dengan terhuyung-huyung dara yang seku-
jur kulitnya mengandung racun ganas mematikan
ini bangkit berdiri. Sejenak dia menarik nafas panjang sedangkan sepasang
matanya memandang ke
arah Jaran Kalabakan yang ketika itu nampak
memijit-mijit kepalanya.
Dari balik celananya Indah Sari mengelua-
rkan sebuah tabung terbuat dari batang padi. Isi
tabung dikeluarkan. Tiga buah benda hitam meng-
gelinding jatuh di telapak tangannya. Tabung dis-
impannya lagi. Dia melangkah mendekati Jaran
Kalabakan. Lalu menyerahkan tiga obat itu pada
sang Jaran. "Paling tidak kau telah menolongku. Makan-
lah obat itu. Racun dalam tubuhmu segera punah
dalam waktu dua hari!" ujar si gadis.
"Terima kasih, aku berhutang nyawa pada-
mu, Indah Sari Purnama!" ucap Jaran Kalabakan sambil bungkukkan tubuhnya dalam-
dalam. Si gadis diam saja, Jaran Kalabakan telan
tiga obat pemunah racun. Setelah menelan obat
itu dia merasakan tenggorokan dan tubuhnya lak-
sana terbakar. Tapi hawa panas tak lama kemu-
dian berangsur lenyap, berganti dengan hawa din-
gin menyejukkan.
"Ah, obatmu sungguh manjur sekali! Kau
gadis yang sangat luar biasa." puji laki-laki itu. Sejak mengetahui kehebatan
Indah Sari Purnama,
Jaran Kalabakan kini sikapnya memang terkesan
menjilat sekali.
"Aku tak butuh pujianmu. Saat ini aku se-
dang mengemban suatu tugas yang cukup berat.
Aku hendak pergi ke selatan Kotagede! Kau hen-
dak kemana?" tanya sang dara.
"Aku...aku tak punya tujuan. Kalau tak ke-
beratan bolehkah aku ikut denganmu?" tanya Jaran Kalabakan. Indah Sari terdiam
sebentar seolah
tengah berfikir. Baru kemudian dia menjawab.
"Terserah padamu. Aku tidak menyuruh, tidak pu-la menolak."
"Kalau boleh aku tahu, buat apa kau pergi
ke selatan Kotagede?"
Wajah cantik itu berubah seketika. Walau-
pun menunjukkan rasa tidak senang dengan tegas
dia menjawab. "Guruku memberiku satu tugas untuk membunuh seseorang!"
Jawaban si gadis membuat Jaran Kalaba-
kan sempat tercekat. "Jangan-jangan..." Hanya dia yang tinggal disana." batin
laki-laki itu. "Kalau ikut, sekarang berangkat. Tapi aku
harus mencari sungai dulu, aku perlu mandi un-
tuk membersihkan badanku yang kotor."
"Ah...ini adalah kesempatan yang bagus. Ji-
ka dia mandi aku pasti bisa berbuat banyak!" fikir
Jaran Kalabakan. Dengan muka manis dia lalu
berkata. "Indah Sari, tak jauh dari sini ada sebuah sungai. Airnya cukup dalam
dan jernih. Mari ku-tunjukkan...!"
Indah Sari Purnama anggukkan kepala,
namun wajah maupun tatapan matanya tetap din-
gin tak bersahabat.
Tak lama mereka akhirnya melangkah pergi
tinggalkan tempat itu.
9 Kembali pada Gento yang baru saja berhasil
meloloskan diri dari kejaran gadis cantik berbadan tinggi tidak ubahnya raksasa itu
kini memperlam-bat larinya. Di satu tempat sang pendekar dengan


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nafas masih mengengah segera hentikan langkah.
Takut gadis raksasa itu masih mengejar dirinya
beberapa kali dia menoleh ke belakang. Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon seka wajahnya yang ber-
simbah keringat. Dia mengurut dada untuk mene-
nangkan diri meredakan debaran jantung.
"Selamat...selamat-selamat. Untung aku ti-
dak kena ditangkapnya, masih sukur dia tak sam-
pai menginjakku. Aku heran, bagaimana ada ma-
nusia raksasa di tanah Jawa ini. Kukira ada sesu-
atu yang tidak beres. Huuuh...aku merasa letih
sekali." gumam Gento. Murid kakek gendut Gen-
tong Ketawa kitarkan pandangannya ke sekeliling
tempat itu. Tak jauh di sebelah kirinya terdapat
sebuah pohon gundul yang batangnya setengah
condong ke tengah rawa. Ke tempat itulah Gento
langkahkan kakinya. Tak berapa lama sang pen-
dekar dengan santainya merebahkan diri di batang
pohon condong yang menghadap ke tengah rawa.
Dengan berbantalkan kedua tangan, se-
dangkan kaki bersilangan di atas lutut pemuda ini
mencoba pejamkan matanya.
Justru begitu mata terpejam yang terbayang
di matanya pemandangan yang dilihatnya di ten-
gah sungai tadi. Gento tersenyum-senyum sendiri
seperti orang sinting.
"Wajah cantik, kulit mulus, dada putih be-
sarnya macam gentong, pinggul luar biasa. Pemu-
da macammu mana mungkin bisa menjadikan ga-
dis raksasa tadi sebagai istrimu. Sekali dia menin-dihmu, badanmu bisa amblas
dan kau bisa men-
dapat tambahan almarhum di depan namamu se-
ketika, gondrong gila" Ha ha ha!" satu suara tiba-tiba berkumandang merobek
kesunyian rawa di
tengah lembah. Senyum Gento seketika lenyap, rasa kaget
membuat dia hampir jatuh tercebur ke tengah ra-
wa berair keruh itu. Kelabakan pemuda itu bangkit
kemudian duduk. Sepasang matanya mencari-cari,
memandang ke segenap sudut penjuru rawa. Tapi
dia tak melihat ada orang lain di tempat itu.
"Bingung gondrong tukang mengintip" Atau
lamunanmu buyar gara-gara mendengar suara-
ku" Hem...hampir saja kau tercebur ke dalam ra-
wa itu." kembali satu suara mengumandang merobek kesunyian yang disetai gelak
tawa yang tak berkeputusan. Gento usap wajahnya pulang balik. "Ada
suara tak ada orangnya. Dia mengetahui kejadian
di pinggir kali. Jangan-jangan dia si baju putih
yang sempat dikejar oleh gadis raksasa tadi." Gento membatin. Dengan suara keras
sang pendekar berkata. "Kau bukan hantu penunggu rawa. Kau
melihat apa yang kulakukan, ketahuilah aku bu-
kan mengintip gadis mandi. Dan cuma melihat sa-
ja, mubazir kan melewatkan pemandangan bagus.
Dan aku mulai yakin kau sebenarnya biangnya
tukang mengintip!"
"Ha ha ha. Tahu saja kau bocah gondrong.
Gadis raksasa itu tadi memang luar biasa. Tapi
sayang dia sarat dengan riwayat. Hidupnya pun ti-
dak bahagia, kasihan!"
"Eh, kau tahu latar belakang kehidupan
orang, aku curiga jangan-jangan tiap malam kau
tidur dengannya. Atau kau mengintip bagaimana
caranya gadis raksasa itu tidur, ngorok atau tidak, ngiler atau ngompol. Ha ha
ha!" sahut Gento lalu tertawa gelak-gelak.
"Gondrong sial. Aku tidak usil amat seba-
gaimana yang kau bayangkan. Paling juga kalau
ada kesempatan aku bersembunyi di dalam lubang
hidungnya. Atau duduk di atas dadanya, ha ha
ha." "Setan! Siapa kau" Apakah penunggu rawa ini atau calon suami gadis raksasa
tadi?" tanya Gento. "Aku sudah tua, gondrong. Walaupun sama tinggi sama besar
denganmu tapi di mata gadis ta-di aku tak ada artinya. Kalau dia kawin denganku
sama saja dia kawin dengan nyamuk. Kau tahu
apa maksudku bukan." Ha ha ha!"
"Ha ha ha! Kau setan sialan. Bicara ngacok
tapi tak mau tunjukkan diri!" dengus Gento.
"Siapa bilang aku tak mau tunjukkan diri.
Sejak tadi aku berada di sini. Masa' kau tak meli-
hatku. Apakah matamu sudah berubah seperti
mata raksasa tadi, hingga aku tak terlihat oleh-
mu?" Sekali lagi Gento edarkan pandangan ma-
tanya ke segenap penjuru arah. Dia tak melihat
apa-apa terkecuali rawa yang sangat luas seakan
tak mengenal batas.
"Bocah gelo, matamu jelalatan kemana-
mana. Aku ada disini, di pohon ini tolol!" kata suara itu. "Eeh, suaranya dekat
sekali!" batin Gento.
Cepat sekali pemuda ini memandang ke ujung ba-
tang pohon yang didudukinya. Ternyata pada sa-
lah satu cabang pohon dimana dirinya berada ter-
lihat seorang kakek tua berbadan tegak berhidung
pesek pipi tembem. Wajah kakek itu mengingatkan
Gento pada gurunya si gendut Gentong Ketawa.
Bedanya kakek berpakaian serba putih ini tidak
sebesar dan seberat gurunya. Melihat cara kakek
itu duduk di ujung cabang pohon serta kehadiran-
nya yang tidak diketahui oleh sang pendekar, dia
maklum siapapun adanya orang tua aneh itu pas-
tilah memiliki ilmu meringankan tubuh yang sem-
purna disamping memiliki ilmu kesaktian yang ti-
dak terduga. "Pengintip tua sialan. Rupanya kau punya
kebiasaan pamer ilmu di depan orang lain?" kata si pemuda. Dia tak dapat menahan
senyum melihat tampang lucu si kakek.
Yang diejek malah tertawa tergelak-gelak.
"Aku datang kesana bukan hendak mengin-
tip gadis mandi telanjang." ujar orang tua itu serius. "Bukan mengintip" Lalu
kau datang ingin menyiasati gadis raksasa yang seperti katamu tadi
sarat dengan riwayat?" dengus sang pendekar disertai senyum mengejek.
Orang tua di ujung cabang pohon menye-
ringai, lalu dengan gerakan enteng dia berjumpali-
tan di udara sebanyak delapan kali kemudian je-
jakkan kakinya tak jauh dari pinggir rawa.
Enak saja dia duduk di atas batu. Dua tan-
gan menopang dagu, sedangkan sepasang ma-
tanya yang jenaka memandang kosong ke tengah
rawa yang berair keruh dan permukaannya selalu
bergejolak tak mau diam.
"Kau termenung. Apakah pemandangan ba-
gus tadi kini memenuhi isi batok kepalamu?"
tanya Gento yang kini turun lalu berdiri tegak di
depan si kakek.
Si kakek geleng kepala. Wajahnya yang sela-
lu mengesankan kelucuan nampak berubah se-
rius. Tak lama kemudian dia memandang ke arah
Gento dengan tatapan seolah penuh selidik.
"Gondrong sialan siapa namamu?" Tiba-tiba si kakek ajukan pertanyaan.
Jengkel dikatai sialan terus menerus Gento
menjawab. "Kau sudah tahu namaku. Namaku ya
si sialan itu!'
Orang tua berpakaian serba putih mengga-
ruk habis kepalanya, lalu tertawa tergelak-gelak.
"Rupanya pemuda tolol macammu masih mengen-
al rasa marah. Katakan siapa namamu?"
"Namaku Gento Guyon!" sahut si pemuda
singkat. Di depan sana si kakek berjingkrak kaget.
Mulut ternganga sedangkan air mukanya sempat
berubah. "Kau... bukankah kau orangnya yang
bergelar Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Murid
kakek aneh berbadan besar Gentong Ketawa?" desis si kakek.
Kini Gento yang jadi melongo.
"Eh, bagaimana kau bisa mengenalku" Ber-
temu dengan makhluk langka macammu rasanya
baru sekali ini!"
"Ha ha ha. Nama besarmu sudah lama aku
dengar. Apa ini kau anggap suatu keanehan?"
"Tidak. Kurasa memang tidak ada yang
aneh. Sesuatu yang kuanggap aneh kurasa justru
ada pada dirimu." ujar si pemuda.
Si kakek memperhatikan dirinya sendiri.
"Kurasa diriku pun tidak ada yang aneh."
"Apakah tidak aneh jika orang tua seperti-
mu masih punya keisengan dengan mengintip ga-
dis" Biasanya orang tua yang sudah bau tanah le-
bih banyak mendekatkan diri memohon pengam-
punan dosa pada Gusti Allah, kau malah sebalik-
nya!" Wajah si kakek bersemu merah mendengar ucapan Gento. "Kau tidak tahu apa
yang sedang kufikirkan. Jika kau mengerti duduk persoalan
yang sebenarnya kau juga pasti jadi pusing kepa-
la." Gento terdiam sejenak, lalu berkata.
"Apakah ini ada hubungannya dengan intip
mengintip itu?"
"Heh, jangan sembarangan kau bicara. Aku
baru beberapa kali datang ke sana. Dan tadi itu
segalanya secara kebetulan." ujar si kakek.
"Maaf, apakah kebetulan yang kau mak-
sudkan adalah kebetulan ketahuan oleh gadis itu"
Ha ha ha."
"Terserah kau mau berpendapat apa, Pen-
dekar Sakti 71. Yang jelas aku merasa perjumpaan
kita yang tidak sengaja ini kuanggap awal dari su-
atu keberuntungan."
Sang pendekar kerutkan keningnya tanda
tak mengerti. "Apa maksudmu orang tua?"
"Namaku Sateaki...!"
Ucapan si kakek terputus karena Gento
langsung tertawa begitu si kakek menyebut na-
manya. Begitu tawanya terhenti Gento bertanya.
"Namamu aneh amat orang tua. Sebenarnya kau
ini pedagang sate atau tukang makan sate. Atau
aki-aki tukang sate?" Sateaki geleng kepala.
"Aku bukan salah satu dari yang kau se-
butkan. Mungkin orang tuaku dulu tukang jual
sate. Entahlah, namaku memang begitu adanya,
kau jangan membuat kepalaku jadi tambah pus-
ing!" "Baiklah," ujar Gento. "Tadi kau mengata-
kan perjumpaanmu denganku kau anggap sebagai
suatu keberuntungan. Apa maksudmu..."!" tanya Gento. Si kakek tidak langsung
menjawab. Dia te-gadahkan wajahnya ke langit. Langit cerah, mata-
hari bersinar cerah. Beberapa ekor kawanan bu-
rung yang terbang melintas di atas mereka kebetu-
lan buang hajat. Kotorannya menimpa ke wajah
Sateaki. Si kakek menyumpah habis-habisan.
Gento yang melihat wajah Sateaki berlepotan koto-
ran burung tak dapat menahan tawanya.
"Anggap saja itu satu keberuntungan juga.
Ha ha ha!"
"Burung-burung sialan." umat Sateaki. Kini dia memandang ke arah pemuda yang
sudah duduk di depannya.
"Kau lihat rawa yang luas itu, Pendekar
71?" "Sejak tadi aku sudah melihatnya. Lalu apanya yang aneh?" tanya Gento
heran. Sateaki tersenyum getir. "Disinilah duduk
persoalannya! Sudah sebulan ini aku mondar-
mandir di tempat ini. Aku ingin menyeberang ke
tengah rawa itu. Aku mau mencapai pulau yang
terletak di tengah rawa."
"Buat apa" Apakah kau mau bunuh diri"
Lagi pula aku tidak melihat adanya pulau di ten-
gah rawa itu?"
"Pulau apung itu tertutup kabut di siang
hari. Aku bermaksud datang kesana bukan mau
membunuh diri, tapi ingin menjumpai seseorang."
Menerangkan kakek itu.
"Lalu mengapa tidak segera kau lakukan,
apa yang menjadi kesulitanmu Sate?"
"Panggil saja aku kakek aki!" kata si kakek menyebut nama panggilannya.
"Ah, kau ini manusia aneh. Bukankah Aki
juga berarti kakek. Jadi aku harus memanggilmu,
Kakek Kakek begitu. Sudahlah biar kupanggil di-
rimu Aki saja!"
"Terserahmulah kau mau memanggil apa."
ujar Sateaki mengalah. Setelah pandangan ma-
tanya menerawang sebentar ke tengah telaga dia
kemudian melanjutkan. "Aku punya seorang sau-
dara seperguruan. Namanya Angin Pesut, atau Ka-
la Bayu, namun dia dikenal dengan gelaran Iblis
Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Kejahatannya se-
langit tembus. Ilmunya sulit dijajaki, karena sejak muda dia gemar mencuri kitab
berisi pelajaran il-mu sakti juga mencuri berbagai senjata. Puluhan
tahun dia malang melintang di rimba persilatan.
Kejahatan dia tebar dimana-mana. Banyak tokoh
dibuat cacat, tewas hingga melahirkan dendam
bagi mereka yang ditinggalkan. Namun kini di saat
begitu banyak orang ingin membalaskan sakit hati
dendam kesumat dia telah bertobat. Saudaraku
Angin Pesut sendiri tidak perduli dengan pembala-
san yang dilakukan orang-orang yang pernah diru-
gikannya. Kalau pun harus mati di tangan mereka,
dia sudah pasrah dan sedikitpun tidak ada keingi-
nan untuk melawan. Jika pun mereka yang datang
ingin mengambil kitab atau senjata yang pernah
dicuri oleh saudaraku itu dia juga telah pasrah


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan pasti akan dikembalikan. Tobat yang dia laku-
kan telah membuat dia rela mengorbankan nya-
wanya demi menebus segala dosa yang telah dila-
kukannya. Sampai saat ini Angin Pesut masih hi-
dup. Orang-orang rimba persilatan yang ingin me-
nuntut balas tewas secara menggenaskan...!" ujar si kakek.
"Aki, kau mengatakan saudaramu tidak
akan melakukan perlawanan jika bekas musuh-
musuhnya datang menyerang. Kalau demikian
halnya bagaimana orang-orang bisa mati?"
"Perlu kau ketahui, sampai saat ini Angin
Pesut tak sanggup memunahkan ilmu yang dia mi-
liki. Karena ilmunya begitu banyak. Salah satu da-
ri segala ilmu hebat yang dimilikinya itu adalah il-mu Ratap Langit. Sejak dulu
Angin Pesut tak
sanggup mengendalikan ilmu yang satu ini. Sebab
ilmu Ratap Langit dapat bekerja dengan sendirinya
tanpa terkendali bila pemilik ilmu itu berada da-
lam ancaman bahaya besar. Selain yang kuse-
butkan tadi, dia juga memiliki ilmu Gelombang
Naga. Ilmu itu tak pernah dipergunakannya lagi
sejak dia menurunkannya pada salah seorang mu-
ridnya yang bernama Sanjaya ketika Angin Pesut
tinggal di Lembah Setan."
"Sanjaya...!" seru Gento kaget.
"Kau kenal pemuda itu?" tanya si kakek.
"Benar, aku pernah bertemu dengan San-
jaya alias Pendekar Sesat Patah Hati." jawab Gento. Dia kemudian menuturkan
segala apa yang di-
lakukan oleh pemuda berwajah rusak bagai dica-
cah itu secara gamblang dan jelas. Untuk lebih je-
lasnya (Baca Episode Tabib Setan).
10 Beberapa saat berlalu, Sateaki terdiam
mencoba merenungi apa yang dikatakan oleh Pen-
dekar Sakti 71 Gento Guyon. Tak lama kemudian
terdengar suara si kakek memecah keheningan
suasana. "Menurutku, korban akan banyak berjatuhan jika para tokoh melakukan
penyerangan be-
sar-besaran ke tempat tinggal Angin Pesut. Terke-
cuali ada orang yang sanggup memusnahkan selu-
ruh ilmu yang dia miliki."
"Menurutmu, siapa yang sanggup melaku-
kannya?" tanya Gento.
"Aku tidak tahu, Angin Pesut pernah men-
gatakan padaku, jika ada orang yang mampu
membangkitkan tenaga dalam dari lima sumber ti-
tik di tubuhnya barangkali seluruh ilmunya baru
bisa dikuras habis dari tubuhnya..." Menerangkan si kakek.
Gento diam-diam terkejut. "Lima sumber
pembangkit tenaga dalam. Aku sendiri, oleh Ma-
nusia Seribu Tahun telah diwarisi tujuh pembang-
kit tenaga dalam. Tujuh cakra, tujuh pusat kekua-
tan. Tapi aku tak mau bersikap jahil dengan mem-
pergunakan tujuh Cakra atau sumber pusat tena-
ga untuk melenyapkan ilmu siapapun. Kakek ini
tak tahu, lebih baik aku tak mengatakannya." fikir Gento. "Aki...apakah orang-
orang itu tidak dapat
dicegah" Atau apakah mereka tidak tahu kalau il-
mu yang mereka miliki masih belum dapat diper-
gunakan untuk membunuh saudaramu itu?"
"Para tokoh, juga pendekar dunia persilatan
itu terlalu keras kepala perturutkan kata hati
mengikuti amarah. Lagi pula mereka datang untuk
meminta benda-benda berharga milik sanak ka-
dangnya yang dulu pernah diambil paksa oleh An-
gin Pesut."
"Mengapa kau tidak mau memberi penjela-
san pada mereka tentang adanya kemungkinan
bahaya yang mengancam diri mereka?" ujar Gento.
"Kau masih belum juga mengerti penjela-
sanku, Pendekar Sakti 71. Kau harus ingat, aku
ini adalah adik seperguruan Angin Pesut. Jika ku-
jelaskan apa yang kau katakan itu pada mereka.
Mereka tentu saja beranggapan aku melindungi
Angin Pesut dan menganggap ada persekongkolan
diantara kami. Aku bukan Angin Pesut, ilmu yang
kumiliki serba terbatas. Salah-salah mereka bisa
membunuhku!"
Apa yang dikatakan Sateaki memang masuk
akal. Pada umumnya para tokoh yang datang men-
jumpai Angin Pesut adalah orang yang merasa
pernah dirugikan. Setidaknya kedatangan mereka
ke tempat kediaman Angin Pesut selain ingin me-
minta kembali apa yang diambil Iblis Tujuh Rupa
Delapan Bayangan paling tidak juga untuk mem-
balas dendam. Mengingat kakek Sateaki masih
mempunyai hubungan saudara seperguruan den-
gan Angin Pesut, tindakan pencegahan yang dila-
kukan Sateaki bisa menimbulkan kesalah faha-
man. "Aki, sekarang dimana saudaramu itu bera-da?" tanya Gento setelah terdiam
cukup lama. "Saudaraku itu saat ini tinggal tak jauh di
sebelah selatan Kotagede. Umurnya sudah sangat
lanjut, kasihan sekali."
"Lalu apa yang kau lakukan disini" Kau
mengaku hampir sebulan berada di tepi rawa ini."
"Benar. Aku telah mengatakan hendak me-
nuju ke tengah rawa. Aku ingin ke pulau ter-
apung yang terdapat di tengah rawa itu untuk
menjumpai seorang perempuan bernama Serimbi."
"Srimbi itu apamukah. Istrimu, kekasih
atau nenekmu, Ki?"
"Bocah sial. Mulutmu jangan asal bicara.
Makanya dengar dulu." kata Sateaki sambil un-
jukkan tampang cemberut. Gento tersenyum si
kakek melanjutkan. "Srimbi adalah bekas istri pertama Angin Pesut."
"Oh!!...memang istrinya ada berapa?"
"Yang resmi ada lima belas. Yang tidak res-
mi mana aku tahu. Walah sejak tadi kau bertanya
melulu jadi aku sampai lupa apa yang hendak ku-
katakan." damprat si kakek.
"Angin Pesut menyuruhku untuk mene-
muinya guna meminta obat penawar racun pem-
besaran tubuh yang terjadi pada keluarga gadis
raksasa tadi. Dulu Angin Pesut telah mencelakai
ayah dan ibu kedua anak raksasa tadi dengan ra-
cun Perubah Bentuk. Sehingga tubuh mereka te-
rus membesar melebihi ukuran manusia normal.
Sekarang nampaknya setelah insaf Angin Pesut in-
gin menebus dosa kesalahannya pada keluarga
Senggana dan Senggini. Dengan memberikan obat
penawar racun Perubah Bentuk tubuh mereka
akan kembali ke ukuran yang semestinya."
"Jadi Angin Pesut tak punya obat penawar,
tapi punya racunnya?"
"Racun dan obat penawar itu sendiri dulu
yang menciptakan adalah Srimbi. Semasa mereka
masih menjadi suami istri, Srimbi memberikan ra-
cun Perubah Bentuk itu pada saudaraku, tapi ti-
dak memberikan penawarnya. Kemudian mereka
berpisah setelah terjadi perselisihan besar. Perselisihan Angin Pesut dengan
istrinya dikarenakan
anak perempuan mereka satu-satunya hilang en-
tah kemana. Sampai sekarang anak perempuan itu
entah dimana. Seandainya dia masih hidup,
mungkin usianya sama denganmu."
"Kemudian mengapa kau tidak mau mene-
mui orang tua gadis raksasa tadi?"
"Untuk apa" Mencari mati! Sampai saat ini
mereka mendendam pada Angin Pesut. Malah ku-
dengar mereka sedang bersiap-siap mencari sau-
dara seperguruanku itu. Namun mereka tak dapat
berangkat secepatnya karena kudengar Senggana
dan Senggini saat ini sedang menderita sakit."
"Ah, dunia ini memang aneh. Seharusnya
mereka bersyukur karena akibat terkena Racun
Perubah Bentuk tubuh mereka menjadi besar se-
perti raksasa. Aku sendiri berfikir bagaimana ca-
ranya agar bisa seperti gadis itu!"
"Otakmu memang tidak waras. Aku tahu,
dalam fikiranmu yang kotor jika tubuhmu bisa be-
rubah besar seperti gadis itu dengan leluasa kau
dapat menjalin tali kasih dengan gadis cantik itu
bukan?" Gento menyengir sambil mengusap wajah-
nya pulang balik. "Tau saja kau Ki!"
"Aku pernah muda. Sudah menjadi sifat la-
ki-laki, pantang melihat perempuan cantik berji-
dad licin."
"Wah, ternyata walaupun sudah tua selera
kita sama ya Ki?"
"Laki-laki tidak tua, tidak yang muda dalam
urusan yang satu itu semua hampir sama. Umur
boleh tua, kulit boleh keriput. Tapi soal yang beginian boleh diadu sampai
semaput." "Dasar kakek diamput!"
Sateaki dan Gento sama tertawa terbahak-
bahak. Tak berselang lama begitu tawa si kakek
terhenti dengan wajah serius dia berucap. "Pendekar Sakti 71 walau bagaimana pun
aku harus bisa menolong saudaraku. Walau sekedar meringankan
beban penderitaan batin yang menekan perasaan-
nya." "Berarti kau harus menuju ke tengah rawa itu untuk menjumpai bekas istri
Angin Pesut." tebak Gento.
"Kau benar." jawab Sateaki. "Mengapa tidak kau lakukan. Kau bisa berenang atau
menggunakan balok kayu sedangkan aku bisa menontonmu
dari sini sambil makan angin!"
"Bocah geblek. Enak saja kau bicara, kau
belum tahu makhluk apa yang berdiam di tengah
rawa itu."
"Memangnya apa?" tanya si pemuda. Tanpa
bicara si kakek memungut sebuah batu sebesar
kepalan tangan. Kemudian batu dilemparkannya
ke tengah rawa. Begitu batu menyentuh permu-
kaan air, lalu bergerak tenggelam. Pada saat itu
pula air rawa bergolak di segala penjuru arah. Ge-
rakan semakin nyata dengan munculnya belasan
makhluk bermoncong runcing panjang bergigi
runcing dengan ekor panjang bergerigi. Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon tercengang dengan mulut
terganga melihat pemandangan di tengah rawa itu.
"Rawa ini ternyata dihuni oleh kawanan
buaya?" membatin sang pendekar dalam hati. Kini dia baru mengerti mengapa kakek
Sateaki selama sebulan kerjanya cuma mondar-mandir di sekitar
telaga tanpa berani melakukan penyeberangan.
Walaupun begitu dengan bercanda dia berkata.
"Orang tua pengecut baru menghadapi kawanan
kadal air saja sudah kehilangan nyali."
"Pemuda sinting. Yang kau lihat itu buaya,
sama sekali bukan kadal air." damprat si kakek.
"Lalu bagaimana kau bisa menyeberang
agar sampai ke pulau terapung di tengah rawa
ini?" "Aku sudah mencobanya dengan menggunakan rakit dan perahu kayu. Rakitku
langsung hancur dihantam puluhan ekor bergerigi yang
muncul secara tak terduga. Kemudian ketika aku
menggunakan perahu. Perahu itu juga berkeping-
keping menjadi sasaran mereka." ujar si kakek putus asa.
"Artinya kau tidak akan pernah sampai ke
pulau itu terkecuali kau punya sayap seperti bu-
rung hingga kau aman dari jangkauan buaya-
buaya itu."
"Kau betul, sayang aku dilahirkan sebagai
manusia bukan sebagai burung." sahut Sateaki.
Gento kembali terdiam, otaknya berfikir.
Tak lama kemudian dia mendapatkan satu akal
hingga membuat wajahnya berseri-seri. Sateaki
yang melihat semua itu cepat ajukan pertanyaan.
"Kau punya usul Pendekar 71?"
"Usulku banyak. Pertama aku bisa mem-
buat sebuah perahu panjang, aku yang men-
dayung perahu sedangkan kau kujadikan umpan
di belakang. Kujamin kawanan buaya tidak akan
menggangguku karena ada yang mereka mangsa di
belakang perahu, yaitu dirimu!" menerangkan
Gento dengan mimik serius.
"Pemuda gila." damprat si kakek.
Dengan tenang dan tanpa menghiraukan
ucapan si kakek Gento melanjutkan ucapannya.
"Yang kedua, bagaimana kalau kita buat
semacam sayap. Sayap buatan itu bisa kita ikat di
lengan kanan dan lengan kirimu. Tapi mengguna-
kan sayap buatan untuk mengarungi rawa yang
begitu luas harus menunggu angin kencang."
"Ah, pemuda cerdik, usulmu bagus sekali.
Aku memilih usul ini. Tapi... tapi...!"
"Tapi kenapa Ki?"
"Aku...aku takut ketinggian." kata Sateaki malu-malu.
"Jadi bagaimana?" tanya Gento.
"Inilah susahnya."
"Aku tidak takut ketinggian. Cuma aku ti-
dak kenal dengan orang yang hendak kau jumpai!"
"Apakah ini berarti kau bersedia memban-
tuku?" "Membantu bagaimana?"
"Maksudku mewakili diriku pergi ke tengah
rawa ini?"
"Ha ha ha! Enak di Aki tidak enak di aku.
Kau duduk tenang di sini menonton sementara


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku menggantikan tugas yang seharusnya engkau
yang melakukan. Padahal kau tahu terlalu besar
resiko yang harus kuhadapi. Aki...apakah kau
pernah membayangkan bagaimana jika sayap ti-
ruan yang kita buat tiba-tiba patah sebelum sam-
pai ke tempat tujuan?"
"Tentu nyawa taruhannya." sahut Sateaki.
"Kalau aku mati apakah kau bisa mengganti
nyawaku dan menghidupkan aku kembali?"
Dengan muka sedih si kakek gelengkan ke-
pala. "Kalau kau mati, aku tak bisa berbuat apa-apa. Namun terus-terang aku
sebenarnya malu
bertemu dengan bekas kakak iparku. Kalau eng-
kau bersedia mewakili aku memintakan obat pe-
munah racun itu tentu aku sangat berterima ka-
sih!" Gento terdiam, setelah memikirkan segala sesuatunya diapun kemudian
mengalah. "Baiklah, aku akan membantu. Sekarang kita harus membuat sayap agar
aku dapat terbang kesana!"
Mendengar keputusan Gento, tentu saja
kakek itu merasa senang sekali. Disalaminya Gen-
to berulang-ulang. "Terima kasih. Terima kasih...!"
11 Kedua sosok yang terbaring di atas ranjang
kayu raksasa itu tidak ubahnya seperti balok rak-
sasa yang baru saja habis ditebang. Ketika pemu-
da raksasa membawa Tabib Setan ke dalam ruan-
gan rumah raksasa terdengar suara dengkur dan
erangan yang tak berkeputusan. Membuat telinga
si kakek jadi pengang sendiri.
"Dua manusia ini besarnya seperti ikan
paus. Melihat tidurnya yang nyenyak begini ra-
sanya mereka bukan seperti orang yang sakit?"
membatin di kakek yang berada dalam genggaman
tangan pemuda raksasa berkulit hitam gosong
yang menangkapnya.
"Kau telah melihat orang tuaku, kakek ker-
dil. Sekarang aku akan membangunkan mereka."
kata pemuda yang tingginya hampir menyandak
langit-langit rumah besar itu perlahan. Sebelum
sosok manusia besar ini bergerak menghampiri pe-
rempuan dan laki-laki tua yang terbaring di atas
ranjang kayu dia menurunkan Tabib Setan.
"Ayah...ibu, aku Anggagana datang meng-
hadap!" kata pemuda itu sambil mengguncang ba-hu perempuan dan laki-laki tua itu
silih berganti.
Tak berselang lama suara dengkur dan
erang kesakitan lenyap. Laki-laki dan perempuan
tua tersebut menggeliat, sepasang mata yang ke-
merahan terbuka, kemudian keduanya bangkit
dan duduk di atas ranjang.
"Aggagana, mana adikmu Anggagini" Apa-
kah kau telah membuatkan obat untuk kami?"
tanya sosok laki-laki tua itu sambil usap janggut-
nya yang meranggas seperti pohon bambu yang
habis terbakar.
"Seperti yang ayah lihat, api di tungku be-
lum menyala. Kuali yang kugunakan untuk mere-
bus ramuan masih kosong...!" jawab Anggagana
dengan wajah tertunduk.
"Jadi apa saja kerjamu, anakku" Kau tidak
tahu, kepala kami rasanya mau meledak. Perut
mulas seperti diiris-iris. Penderitaan yang kami rasakan rasanya sudah tidak
tertahankan lagi!" kata raksasa tua marah.
"Sudahlah, jangan kau marahi anak kita te-
rus menerus, terlalu banyak kau marahi dia bisa
jadi tolol kakang!" kata manusia raksasa perempuan. "Tidak kumarahi sekalipun
sejak dulu dia memang sudah tolol." sahut sang suami ketus.
"Ayah...tidak baik marah melulu. Aku be-
lum menyiapkan obat seperti biasanya karena aku
telah bertamu dengan tamu ini!" berkata begitu Anggagana menunjuk ke arah Tabib
Setan yang berdiri di pinggir ranjang. Sepasang suami istri itu memandang ke arah Tabib
Setan. Keduanya berjingkrak kaget hingga membuat ranjang kayu ber-
goyang terus. Tabib Setan terhuyung, dengus na-
fas suami istri manusia raksasa tua itu membuat
tubuh sang tabib laksana dipanggang.
"Kau membawa kakek cebol berjanggut ke
rumah kita untuk apa" Apakah dia cukup berkha-
siat untuk dijadikan campuran ramuan obat ka-
mi?" tanya raksasa perempuan.
Anggagana gelengkan kepala.
"Lalu untuk apa kakek cebol rongsokan
ini?" hardik raksasa laki-laki.
"Sialan, enak saja dia mengatakan aku ce-
bol rongsokan." gerutu Tabib Setan bersungut-
sungut. "Ayah, dia mengaku dirinya adalah seorang
tabib." jawab Anggagana.
Sepasang mata laki-laki tua itu nampak
berkedip-kedip. Sekali tangannya bergerak, ping-
gang Tabib Setan kena diraihnya. Dia memandangi
sang tabib dengan tatap penuh selidik.
"Benar kau seorang tabib, kakek cebol?" Tabib Setan anggukkan kepala.
"Aku Senggana dan itu istriku Senggini.
Siapa dirimu?"
"Aku Tabib Setan...!"
"Sial." maki laki-laki itu tanpa sadar dia me-lepaskan sang tabib. Jika si kakek
tidak berjumpa-
litan selamatkan diri mungkin kepalanya sudah
membentur bibir ranjang. Baru saja si kakek je-
jakkan kaki, laki-laki itu membentuk anaknya.
"Anak goblok. Mengapa setan kau bawa kemari"
Dia tabibnya para setan, mana mungkin bisa men-
gobati kami!"
"Kalau begitu kita rebus saja dia untuk di-
jadikan bubur." sahut Anggagana lugu.
Mendengar ucapan ayah dan anak itu hi-
langlah kesabaran dan rasa takut yang menyeli-
muti perasaan sang tabib. Dengan lantang dia ke-
mudian berkata.
"Keluarga manusia besar. Kalian dengar,
Tabib Setan hanyalah sebuah gelar. Aku bukan se-
tan benaran. Kalian ini manusia, tapi cuma besar
badan tak punya otak untuk berfikir. Gajah dan
kerbau badannya sama besar, otak ada fikiran ti-
dak punya. Lalu apa bedanya kalian dengan ker-
bau?" "Kakek cebol. Lancang sekali kau bicara.
Mereka adalah orang tuaku, jaga mulutmu!" hardik Anggagana. Suaranya yang keras
kembali membuat sang tabib jadi terhuyung-huyung, kepa-
la sakit dan telinganya laksana mau jebol.
Sambil menahan sakit sang tabib berkata.
"Aku tahu sepanjang hidup lebih dari dua puluh tahun kalian menderita. Jika
kalian ingin aku
memberikan obatnya, aku harus memeriksa kalian
lebih dulu." kata si kakek.
Mendengar ucapan Tabib Setan terkejutlah
Senggana dan Senggini. Yang membuat mereka
heran bagaimana kakek itu tahu penyakit yang
mereka derita sudah berlangsung selama itu" "Hebat, kau dapat menebak berapa
lama penyakit yang kuderita ini. Sekarang aku baru percaya ka-
lau kau adalah seorang tabib." kata Senggana dengan suara berubah pelan
bersahabat. "Kalau begitu katakan apa penyakit kami
dan apa pula obatnya?" tanya raksasa perempuan.
"Aku bukan Tuhan yang Maha tahu. Ba-
gaimana aku bisa mengatakan penyakit kalian jika
aku belum memeriksanya?" dengus Tabib Setan
jengkel. "Aku harus melakukan pemeriksaan di ba-
gian dada dan kepala. Baru nanti kukatakan apa
penyakit yang kau derita!" tegas si kakek lagi.
"Aku saja atau istriku juga?"
"Keduanya."
"Aku setuju. Sekarang lakukanlah!" ujar
Senggana. Laki-laki tua itu kemudian merebahkan
diri di atas ranjang. Si kakek segera menghampiri.
Dalam keadaan rebah permukaan dada raksasa
itu tingginya sebatas leher sang tabib. Tak lama
sang tabib segera melakukan pemeriksaan. Kepala
Senggana diketuk-ketuknya beberapa kali. Setelah
itu dia berpindah ke bagian dada sang raksasa.
Dada dipencet diketuk, pencet ketuk. Begitulah
yang dilakukan berulang-ulang. Setelah itu tanpa
bicara apa-apa dia memberi isyarat pada Senggini
agar melakukan apa yang dilakukan Senggana. Pe-
rempuan berusia empat puluhan namun masih te-
tap cantik itu tanpa ragu merebahkan tubuhnya.
Sang tabib datang menghampiri. Sama seperti
yang dilakukannya terhadap senggana, Tabib Se-
tan pun mengetuk-ngetuk kepala perempuan itu
sambil manggut-manggut. Selesai mengetuk kepa-
la dia pun memeriksa ke bagian dada. Bedanya ji-
ka tadi dia memencet dan mengetuk dada Sengga-
na dengan keras. Kini yang dilakukan Tabib Setan
agak lain. Dada Senggini diusap, dielus, diusap la-gi dan lagi. Hingga membuat
mata perempuan itu
berkedap-kedip.
Dasar Tabib Setan melihat Senggini kedip-
kedipkan matanya seperti keenakan dia terus saja
mengusap. Dalam hati sang tabib menyeletuk.
"Nah... yang ini baru sip. Lembut kulitnya, hangat suasananya. Tidak seperti
Senggana, kasar kulitnya besar dan keras tulang rusuknya."
"Tabib, apa yang kau lakukan" Mengapa
lama amat kau memeriksa dada istriku?" hardik Senggana curiga ada cemburu juga
ada. Kaget, sang tabib cepat tarik kedua tangan-
nya yang dipergunakan untuk mengusapi dan
membelai. Sebaliknya Senggini yang sempat terbuai
dengan usapan lembut si kakek nampak terbatuk-
batuk sambil pegangi dadanya.
"Penyakit istrimu paling parah. Aku mem-
butuhkan waktu agak lama untuk mengetahui pe-
nyakitnya." kata si kakek tenang. Raksasa Senggagana manggut-manggut! Dalam hati
sang tabib mencibir. "Rasakan, sesekali kau memang perlu dikerjai. Ternyata istrimu lebih
cerdik, keenakan
dia kuusapi. Agar tak menyolok dia pura-pura ba-
tuk kesakitan. Agaknya ada yang tidak beres terja-
di pada suami istri ini. Perempuan ini seperti orang kelaparan. Namun mereka
mengidap racun yang
sama." "Tabib, katakan apa penyakit kami?" tanya Senggana sudah tidak sabar
lagi. Si kakek tak segera menjawab. Dia duduk,
hingga dalam penglihatan ketiga raksasa itu so-
soknya semakin bertambah kecil saja. Tak lama
kemudian sang tabib dengan tenang menjawab.
"Kalian dulu pasti pernah terkena pukulan beracun 'Perubah Bentuk'. Racun
seperti yang kuse-
butkan selain langka juga sangat berbahaya. Ra-
cun Perubah Bentuk telah mempengaruhi kelenjar
otak kecil dan mengganggu keseimbangan otak be-
sar. Terganggunya fungsi otak membuat sel-sel tu-
buh kalian mengalami perubahan. Perubahan itu
juga terjadi pada tulang belulang hingga membuat
tubuh kalian menjadi besar seperti ini. Aku berani menjamin dulunya kalian
adalah manusia biasa.
Perubahan sel-sel tubuh yang terjadi akhirnya
menurun pada anakmu yang bernama Anggagana
ini." kata sang tabib.
Ketiga manusia raksasa sama tercengang,
tak menyangka Tabib Setan dapat mengetahui pe-
nyakit mereka secara tepat.
"Sungguh, kau kakek cebol dan tabib yang
amat luar biasa?" memuji Senggini dengan mata berbinar penuh rasa kagum.
"Apa yang kau katakan memang benar Ta-
bib. Seseorang telah mencelakai kami dengan pu-
kulan beracun. Kini yang menderita bukan saja
Anggagana, tapi puteri kami juga mengalami hal
yang sama." kata Senggana menimpali.
"Lalu mengapa kami menderita pusing ke-
pala serta rasa mual yang hebat kakek tabib?"
tanya Senggini. Tabib Setan menatap wanita can-
tik itu sejenak. Diam-diam si kakek jadi kaget. Dia merasa tatap mata Senggini
bukan tatap pandang
yang wajar. Tatapan perempuan itu menyimpan
suatu keinginan yang membakar.
"Gawat... jangan-jangan keisenganku tadi
telah ditafsirkan lain olehnya. Dia menderita keracunan, tapi racun lain yang
lebih hebat mengeram
jauh di lubuk hatinya." batin si kakek.
"Puluhan tahun kalian mengalami keracu-
nan, tanpa pernah mengobatinya secara tepat. Ke-
jadian yang telah berlangsung lama itu membuat
otak kalian mengalami kerusakan, begitu juga ba-
gian jantung." jelas si kakek.
"Jahanam keparat, semua ini karena ulah
Angin Pesut!" geram Senggana sambil kepal-
kepalkan tinjunya.
"Siapa Angin Pesut." tanya si kakek.
"Angin Pesut adalah iblis manusia durjana
yang menimbulkan malapetaka dimana saja." jelas Senggini. Dia lalu menceritakan
segala sesuatunya
yang berhubungan dengan Iblis Tujuh Rupa Dela-
pan Bayangan itu.
"Kami ingin membalas segala penderitaan
kami selama ini. Sayang baru saja rencana hendak
dijalankan keadaan kami sudah begini." ujar


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senggana. "Aku tidak mau mencampuri urusan orang.
Aku hanya ingin membantu mengobati penyakit
kalian." ujar si kakek yang diam-diam sempat kaget begitu Senggini menyebut nama
Angin Pesut. "Aku tahu, tapi apakah kau bisa mengem-
balikan keadaan kami seperti sebelumnya?" tanya Senggana.
"Aku hanya seorang tabib. Ilmu pengetahu-
anku tentang pengobatan boleh luas. Tapi sebagai
manusia aku tetap memiliki keterbatasan. Sejauh
yang bisa kulakukan hanyalah menyembuhkan.
Bukan mengembalikan keadaan tubuh kalian se-
bagaimana semula." jawab si kakek.
"Jadi kami tetap dalam keadaan seperti ini
selamanya?" tanya Senggini kecewa.
Tanpa berani memandang ke arah perem-
puan itu si kakek menjawab. "Setiap penyakit pasti ada obatnya. Setiap racun
pasti ada penawarnya.
Begitulah Gusti Allah dengan kekuasannya yang
tak terhingga menjadikan segala sesuatunya seca-
ra berpasang-pasangan!" ujar si kakek.
"Tabib, kami bisa memaklumi apa yang kau
katakan. Kalaupun kami tak bisa kembali seperti
semula. Kami sudah sangat berterima kasih jika
kau mampu menyembuhkan penyakit kami. Seka-
rang katakan apa yang harus kami lakukan." ujar Senggana.
"Aku membutuhkan daun Sembung, daun
Tapa Dara, daun Sambung Nyawa, daun kumis
Dewa, daun puteri Pemalu juga air Kencing Dewa.
Yang kusebutkan terakhir tak usah dicari karena
aku punya persediaannya."
"Kalau begitu biar kucari ramuan yang di-
katakan kakek cebol ini, ayah, ibu...!" kata Anggagana dengan senang hati.
Suami istri itu anggukkan kepala.
"Pergilah anakku." ujar Senggini.
Anggagana bangkit berdiri. Sebelum pergi
dia berkata pada Tabib Setan."Tabib... jika ternyata nanti kau tak mampu
menyembuhkan penyakit
orang tuaku, kubunuh kau!" ancam pemuda itu.
"Ha ha ha. Usaha di tangan manusia. Tak-
dir di tangan Tuhan." kata si kakek disertai tawa mengekeh.
"Tabib sialan enak saja dia bicara." rutuk
Anggagana sambil berkelebat pergi.
Sepeninggalnya si pemuda, Tabib Setan
berkata. "Dua suami istri raksasa. Maaf, aku harus meninggalkan kalian. Aku akan
keluar seben- tar untuk menyiapkan segala sesuatunya." ujar si kakek. "Baiklah. Tapi awas,
jika kau sampai melarikan diri, aku pasti akan mencarimu!" ancam
Senggana. "Aku tak akan pergi kemana-mana." kata
sang tabib. Tak lama kemudian si kakek melangkah ke-
luar dari rumah yang besar itu. Senggana begitu
Tabib Setan berlalu segera merebahkan diri di atas ranjang. Lain halnya dengan
Senggini istrinya. Perempuan itu nampak gelisah.
"Tabib Setan, bagaimana aku harus memu-
lainya. Setelah kelahiran anakku yang kedua. Se-
panjang hidupku dilanda kesunyian. Aku telah
lama kehilangan kehangatan dari seorang suami.
Aku merindukannya. Apakah mungkin tabib itu
mengetahui segala keresahanku?" batin Senggini.
Dia mengusap dadanya tepat di bagian yang dibe-
lai sang tabib tadi. Perempuan itu mendesah halus
disertai sesungging senyum penuh harapan.
TAMAT NANTIKAN KELANJUTANNYA!
RACUN DARAH Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Memanah Burung Rajawali 28 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Pendekar Bloon 5
^