Pencarian

Racun Darah 1

Gento Guyon 23 Racun Darah Bagian 1


1 Matahari belum lama tenggelam. Tapi Kuil
tua yang bersebelahan dengan belasan makam
yang terletak di tepi Kaliurang itu telah terbungkus kegelapan. Hujan gerimis
sudah lama terhenti,
hanya mendung masih nampak bergayut di langit.
Kesunyian di kawasan Kaliurang yang mencekam
sesekali diseling dengan suara deru angin dan su-
ara kodok. Tapi suasana seperti itu nampaknya tidak
berpengaruh bagi kakek berambut lurus berpa-
kaian hitam yang duduk mencangkung di bagian
emperan depan kuil.
Ketenangan si kakek tak berlangsung lama
karena tiba-tiba dia mendengar suara desah tari-
kan nafas seseorang dari arah sudut sebelah kiri
kuil. Anehnya si kakek tidak melihat siapapun ha-
dir di situ. Si kakek menyeringai, lalu gelengkan
kepala. Dari mulutnya kemudian terdengar ucapan
perlahan. "Heran, yang kudengar tadi sama sekali bukan suara desau angin, tapi
jelas suara tarikan
nafas orang. Datangnya bukan dari dalam, tapi da-
ri luar. Lalu siapa?"
Kakek ini kembali memandang ke sudut se-
belah kiri kuil. Tidak ada tanda-tanda ada orang
muncul disitu, tapi si kakek yakin apa yang sem-
pat didengarnya tadi sama sekali bukan angin. Tak
sabar dia berseru. "Orang yang baru datang! Apa maksudmu bersembunyi di situ"
Jika kau datang
dengan maksud baik hendaknya cepat keluar tun-
jukkan diri!"
Suara si kakek berlalu.
Tak ada jawaban.
Dinginnya udara menjelang malam terasa
semakin menggigit. Si kakek berpakaian hitam jadi
tidak sabar Sekali si kakek berpakaian hitam berambut
panjang lurus membuat gerakan, tahu-tahu so-
soknya telah melesat, mengapung beberapa jenak
dalam ketinggian lebih dari tiga tombak lalu ber-
jumpalitan ke arah rerumpun semak belukar yang
terdapat di sudut kiri kuil.
Ketika orang tua ini jejakkan kaki di balik
rerumpun semak itu diam-diam dia jadi tercekat.
Tak percaya dengan pandangan matanya sendiri si
kakek pentang matanya. "Kegelapan menyelimuti tempat ini, tapi aku jelas tak
salah melihat. Sosok hitam yang berdiri tegak di bawah pohon itu memang manusia.
Dari sini wajahnya tak dapat kuli-
hat jelas. Tapi sepasang matanya yang memancar-
kan cahaya dalam gelap, ah... jangan-jangan me-
mang dia"!" si kakek membatin, lalu gelengkan kepala. Belum lagi si kakek sempat
ajukan perta- nyaan, sosok hitam yang berdiri tegak di bawah
pohon berucap. "Kita bertemu kembali, Tapa Gedek. Sepuluh tahun berlalu sudah.
Setelah persa- habatan tidak lagi mesra bagai layaknya sepasang
kekasih. Satu sama lain diantara kita masih ada
ganjalan di dalam hati. Aku inginkan nyawamu
saat ini, sayang para sahabatmu di dalam kuil ma-
sih membutuhkan kehadiranmu dan aku pun ma-
sih harus menyelesaikan satu urusan besar. Ha ha
ha hik hik hik!"
Tak menyangka orang mengenali siapa di-
rinya kakek yang dikenal dengan julukan Tapa
Gedek itu surut mundur satu langkah.
Sebagaimana kebiasaannya si kakek ge-
lengkan kepala pulang balik. Kening berkerut, Ta-
pa Gedek berfikir keras mencoba mengingat siapa
adanya orang yang berdiri dalam kegelapan di ba-
wah pohon. Tapi dia tak mampu mengingat dalam
hati cuma bisa menduga. "Kalau memang dia... ah rasanya tak mungkin, aku tahu
matanya tidak seperti mata orang ini, terang seolah memancarkan
cahaya...!"
"Kau sudah tak mengenali aku lagi bukan"
Bagus... kelak akan ada setan yang memberimu
petunjuk. Tapa Gedek, dosamu kepadaku seperti
buih di lautan. Dua minggu mendatang aku akan
datang menagihnya. Hik hik ha ha ha!"
Selesai berkata sosok hitam dalam kegela-
pan memutar tubuh siap melangkah pergi. Ternya-
ta Tapa Gedek tidak membiarkan orang pergi begi-
tu saja. Sekali dia berkelebat tahu-tahu sudah
menghadang langkah orang. "Kau hendak lari kemana" Jika aku memang punya salah
denganmu cepat jelaskan yang salah apa ku. Seandainya aku
punya dosa padamu kapan aku melakukannya."
dengus si kakek.
Sosok hitam tertawa mengekeh. "Kuberi kau
kebebasan menikmati udara segar sampai dua
minggu mendatang kau malah menentang maut.
Engkau mengira dengan ilmu Tiga Topan Meng-
guncang Bumi, kau mampu menghalangi niatku
untuk mencabut nyawamu" Hik hik hik."
Walau sempat terkejut tak menyangka
orang mengenal ilmu pukulan sakti yang dia mili-
ki, tapi dengan penuh ketenangan Tapa Gedek
sambil gelengkan kepala menjawab. "Bagus, ru-
panya kau mengenali ilmuku. Jika kau tak mau
mengatakan siapa dirimu dan dosa apa yang telah
kulakukan, dengan ilmu itu pula aku menghajar-
mu." geram si kakek.
"Kau manusia keras kepala, Tapa Gedek.
Penjelasan yang kau minta baru akan kau da-
patkan dua minggu yang akan datang!" sahut sosok serba hitam.
"Kurang ajar. Aku orang yang paling tidak
suka menunda urusan. Sekarang juga aku akan
membereskan persoalan diantara kita!" habis berucap tanpa pernah terduga Tapa
Gedek rentang- kan lima jari tangan kanannya di atas dada. Begitu tangan diangkat dan
digoyangkan ke depan berta-burlah tiga cahaya merah biru dan kuning di uda-
ra. Tiga sinar bagai kunang-kunang menderu ke
arah sosok di depannya. Namun betapa pun dia
menyadari serangan itu dapat menghanguskan
apa saja yang menjadi sasarannya, sosok ini ma-
lah umbar tawa dingin menggidikkan.
"Tapa Gedek, neraka telah merindukan ke-
datanganmu. Segala ilmu rongsokan kini tak laku
lagi di hadapanku!" Sambil berucap orang itu memutar tubuhnya.
Wuuuus! "Hah...!"
Tapa Gedek tercengang begitu melihat ba-
gaimana orang di depannya mendadak raib beru-
bah menjadi gumpalan asap. Pukulan yang dile-
paskan mengenai tempat kosong, mengguncang
kawasan di sekitar kuil. Dengan wajah pucat dan
tatapan nyalang si kakek mencari-cari. Dalam ge-
lapnya malam si kakek tak dapat melihat dimana
orang yang diserangnya itu berada. Selagi Tapa
Gedek dalam kebingungan seperti itu mendadak
dia merasa ada angin menyambar di bagian telinga
yang disusul dengan suara orang berbisik.
"Aku bukan seperti dulu, Tapa Gedek. Saat
ini aku dekat sekali dengan urat lehermu. Jika aku mau mencabut nyawamu semudah
membalikkan telapak tangan. "
Disambar petir Tapa Gedek mungkin tidak
akan sekaget ini. Bagaimana tidak" Orang yang
dia serang tahu-tahu berada di sampingnya se-
dangkan dia sama sekali tidak merasakan kehadi-
ran orang itu. Si kakek laksana melihat setan hantamkan
tangannya ke sebelah kiri. Pukulan Tiga Topan
Mengguncang Bumi berkiblat disertai suara ber-
gemuruh luar biasa.
"Hik hik ha ha! Kau menyangka dapat
membunuhku dengan cara semudah itu Tapa Ge-
dek. Aku ada disini, di depanmu...!" satu suara menggema di tengah-tengah suara
deru dahsyat pukulan yang dilepaskan si kakek. Di sampingnya
kembali terdengar suara ledakan berdentum. Tu-
buh Tapa Gedek bergetar dilanda guncangan pu-
kulan sendiri. Cepat dia memandang ke depan
mencoba menembus kegelapan. Kini kembali dia
melihat sepasang mata berpijar memancarkan ca-
haya, memandang ke arahnya dengan tatapan
mengejek. "Tapa Gedek, yang baru kau saksikan
hanya sebagian dari apa yang aku miliki. Sekarang
kau boleh melihat bagian yang lain. Selamat ting-
gal Tapa Gedek, tak lama lagi aku pasti kembali
untuk mengambil nyawamu!" berkata begitu sosok yang diserangnya tadi hentakkan
kaki kanannya ke tanah. Buuum! Satu ledakan keras berdentum merobek ke-
sunyian, api berpijar. Tanah yang dipijaknya am-
blas, menimbulkan lubang besar. Bersamaan den-
gan itu pula sosok hitam tadi ikut amblas, seolah
tubuhnya tersedot ke dalam lubang menganga. Se-
lanjutnya terdengar tawa panjang, tanah tempat
Tapa Gedek berpijak bergetar disertai suara meng-
gemuruh hebat seolah ada makhluk raksasa yang
bergerak merayap di dalamnya. Dalam kagetnya
Tapa Gedek keluarkan seruan tertahan.
"Ilmu Menyusup Bumi"!" Si kakek geleng-
kan kepala berulang kali. "Bagaimana mungkin"
Tak kusangka ilmu itu benar-benar ada" Tapi sia-
pakah orang tadi. Kejadian sepuluh tahun yang la-
lu... terlalu banyak peristiwa yang terjadi dimasa itu, tak mungkin aku
mengingatnya satu persatu."
Lagi-lagi Tapa Gedek gelengkan kepala.
Setelah menarik nafas beberapa kali dan
memandang ke arah lubang dimana sosok hitam
yang matanya memancarkan cahaya tadi mele-
nyapkan diri, kakek itu akhirnya kembali ke kuil
dan masuk ke ruangan dalam.
Ketika si orang tua sampai di ruangan da-
lam. Setidaknya empat pasang mata memandang
kedatangannya dengan penuh tanda tanya. Mas-
ing-masing dari ke empat orang itu. Yang pertama
dan duduk dekat pelita adalah seorang kakek be-
rambut hijau, berkulit hijau bermata sipit seperti orang hendak tidur. Kakek
yang satu itu dikenal
dengan nama Datuk Lemah Hijau. Ilmunya tinggi,
puluhan tahun yang silam kabarnya dengan ke-
saktian yang dia miliki menenggelamkan beberapa
pulau di pantai selatan.
Yang kedua adalah seorang kakek bermata
lebar, berpakaian serba merah bertubuh kurus
ceking bertelinga panjang seperti telinga kelinci.
Orang tua yang satu ini bernama Ki Menoreh Sete-
runya Tapa Gedek. Itu sebabnya melihat kedatan-
gan kakek ini dia hanya melirik sebentar, lalu ce-
pat palingkan wajahnya ke arah lain. Tapa Gedek
tersenyum mencibir dan bersikap tidak mau per-
duli. Di sebelah si ceking duduk seorang laki-laki berpakaian biru, berumur
sekitar empat puluh li-ma tahun, berkening menonjol bersenjata pedang.
Laki-laki itu bukan lain adalah Kertadilaga. Yang
terakhir adalah seorang laki-laki bertelanjang dada bercawat hitam. Orang yang
satu ini berbadan
pendek bundar seperti bola, wajahnya polos men-
gesankan keluguan dan lucu. Adapun orang yang
perut maupun lehernya ini dapat membesar dan
mengecil seperti kodok dikenal dengan julukan
Dewa Kodok. Si gendut pendek seperti bola inilah yang
pertama menegur Tapa Gedek begitu melihat ke-
hadiran kakek itu.
"Kami disini tadi mendengar suara ledakan
dan seperti ada orang berkelahi. Katakan apa yang
terjadi di luar sana!"
Tapa Gedek menyeringai, lalu duduk di
samping Dewa Kodok. Dia memandang ke arah
empat orang yang telah berkumpul di dalam ruan-
gan kuil itu sejenak. Setelah itu baru menjawab
pertanyaan Dewa Kodok. "Aku telah berada di luar sana cukup lama. Tak terdengar
olehku suara ledakan, juga suara orang berkelahi seperti katamu,
Dewa Kodok. Mungkin kau terlalu banyak beren-
dam dalam air hingga menjadikan telingamu tuli!"
"Kami semua disini mendengar suara leda-
kan itu dan merasakan getarannya." kata Datuk Lemah Hijau dan Kertadilaga hampir
bersamaan. Si kakek usap-usap janggutnya yang lebat, lalu
tersenyum mencibir.
"Yang kalian dengar adalah suara geluduk
menyambar pucuk pohon. Tak perlu dipersoalkan,
tak usah diributkan. Daripada membicarakan hal
yang tidak perlu bukankah lebih baik sekarang
membicarakan persoalan yang menjadi dasar per-
temuan kita di tempat ini?" ujar Tapa Gedek disertai gelengan kepala.
2 Terkecuali Ki Menoreh yang kurang begitu
suka pada Tapa Gedek tiga orang lainnya merasa
tidak puas mendengar jawaban si kakek. Pasti ada
sesuatu yang terjadi, sesuatu yang dirahasiakan
oleh Tapa Gedek dan orang lain tak boleh menge-
tahuinya. Kertadilaga ingin bertanya lebih jauh, na-
mun pada saat itu Datuk Lemah Hijau sudah


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka mulut. "Aku yang paling lama berada
disini. Sebelum kalian sampai aku telah sampai
lebih dulu. Kertadilaga, kau yang punya hajat dan
keperluan. Undanganmu telah kami terima. Seka-
rang katakan apa kepentinganmu mengundang
aku dan orang-orang yang hadir disini?"
Laki-laki berpakaian serba biru ini angguk-
kan kepala, lalu dengan tatapan bersahabat dia
berkata. "Pertama saya mengucapkan banyak te-
rima kasih atas kesediaan para sahabat yang su-
dah saya anggap sebagai sesepuh sekaligus orang
tua sendiri di tempat ini. Sebagaimana yang telah
sama kita ketahui di luaran terbetik kabar bahwa
selama dua tahun belakangan ini musuh nomor
satu dunia persilatan golongan putih, yaitu Kala
Bayu alias Angin Pesut atau yang lebih dikenal
dengan julukan Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayan-
gan telah mengasingkan diri di wilayah sebelah se-
latan Kotagede. Konon kabarnya dia bertobat dan
mensucikan diri di tempat itu. Apa yang dilaku-
kannya adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana
lazimnya manusia yang pernah melakukan seribu
satu kejahatan. Tapi mengingat kita masih punya
kepentingan dengan orang tua itu, sudah sepatut-
nya kita meminta apa yang menjadi hak kita!"
"Kau betul, Kertadilaga. Sengaja dari jauh
aku datang ke tempat ini memenuhi undanganmu
adalah agar aku dapat mengambil kembali kitab
Hitam Pembangkit Mayat yang telah dicuri oleh
Angin Pesut belasan tahun yang lalu. Bukan
hanya itu saja. Dia juga harus menanggung akibat
dari dosanya karena telah membunuh adikku, Da-
tuk Lemah Habang." kata kakek angker berbadan hijau menggeram. "Aku sendiri
punya kepentingan untuk mengambil kitab Gelombang Naga yang dicuri Angin Pesut
puluhan tahun yang silam" menimpali Tapa Gedek sambil gelengkan kepala.
"Persoalannya tidak akan semudah itu. An-
gin Pesut bukan lagi manusia tapi iblis yang memi-
liki segudang ilmu segudang kepintaran. Puluhan
tahun segala kitab yang dicuri ada di tangannya.
Aku yakin Angin Pesut telah berhasil menguasai
seluruh isi kitab curiannya itu. Bukan hanya itu
saja para sahabat. Angin Pesut juga orangnya cer-
dik. Dia telah menciptakan ilmu lain yang tak ka-
lah dahsyatnya dari ilmu yang didapatnya dari ki-
tab curian!" menerangkan Dewa Kodok.
"Betapapun hebat ilmu yang dimilikinya, ji-
ka kita yang hadir disini menggempurnya secara
serentak masakan tak dapat membunuhnya?"
dengus Ki Menoreh disertai seringai sinis.
"Persoalannya tidak segampang yang kita
bayangkan. Angin Pesut telah menguasai ilmu
Pembangkit Mayat. Ilmu itu didapatnya dari kitab
Hitam Pembangkit Mayat yang bukan lain adalah
kitab milik guruku. Jika dia menggunakan ilmu
itu. Satu-satunya senjata yang kuperkirakan dapat
menandinginya adalah Pedang Tumbal Perawan!"
kata Kertadilaga.
Semua orang yang berada di dalam ruangan
itu sama kerutkan alisnya dan sama pula meman-
dang ke arah si baju biru.
"Pedang Tumbal Perawan. Baru sekali ini
aku mendengar nama senjata itu." Desis Datuk
Lemah Hijau. Kertadilaga menyeringai.
"Datuk benar. Senjata yang saya sebutkan
itu memang baru saya pesan dari seorang ahli
pembuat senjata dari perak di Kotagede. Adik saya
Wedus Jaran Kalabakan beberapa hari yang lalu
saya perintahkan untuk mengambil senjata yang
kupesan itu. Tapi...!" Kertadilaga hentikan ucapan.
Wajahnya mendadak berubah murung.
"Apa yang telah terjadi Kertadilaga?" tanya Dewa Kodok.
Si baju biru menarik nafas pendek. Matanya
menatap kosong ke arah pelita satu-satunya yang
menerangi ruangan itu. "Saya tidak tahu apa yang terjadi paman. Sampai saat ini
adik saya itu masih belum juga kembali!"
"Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang
tidak beres telah terjadi. Kertadilaga, tolong katakan padaku siapa orangnya
yang kau percaya
membuat senjata untukmu itu?" tanya Tapa Ge-
dek. "Ki Ageng Pamanakan kek." jawab Kertadilaga. "Dia orang tua sakti yang sangat
ahli dalam bidangnya." memuji Ki Menoreh. "Pilihanmu tidak keliru." "Ki Ageng
Pamanakan manusia licik pemuja setan. Bagaimana memesan senjata padanya sebagai
suatu pilihan yang tepat?" dengus Tapa Gedek.
"Apa maksudmu orang tua?" tanya Kertadi-
laga heran. "Aku tahu rahasia kehidupan pembuat sen-
jata di Kotagede. Dalam pandanganku, saat ini
adikmu sedang mengalami suatu kesulitan besar.
Dia terpancing oleh nafsunya sendiri. Dan semua
itu bisa mencelakakannya." ujar Tapa Gedek serius. Mereka yang berada di dalam
ruangan itu tercengang mendengar ucapan Tapa Gedek. Kerta-
dilaga jadi cemas, Datuk Lemah Hijau tak dapat
menutupi kegelisahannya. Sedangkan Dewa Kodok
keluarkan suara raungan seperti kodok. Lehernya
yang dapat menggelembung besar kembang kem-
pis. Kemudian dia memandang ke arah Tapa Ge-
dek sambil ajukan pertanyaan.
"Apakah senjata yang dipesan Kertadilaga
bukan senjata sakti mandraguna?"
Dengan tenang Tapa Gedek menjawab. "Da-
lam pandangan batinku, aku melihat satu kekua-
tan dahsyat terkandung dalam senjata tersebut.
Namun aku lebih banyak melihat kekuatan dan
pengaruh iblis lebih banyak menguasainya. Senja-
ta itu akan menjadi sulit dikendalikan oleh siapa-
pun. Dia dapat bergerak dengan sendirinya. Hal ini mengingatkan aku pada ilmu
Ratap Langit yang
dimiliki oleh Angin Pesut. Angin Pesut juga tak
sanggup mengendalikan ilmu Ratap Langit jika di-
rinya diserang orang. Walaupun misalnya dia tidak
punya keinginan untuk menyakiti orang lain!" ujar kakek yang mempunyai kebiasaan
geleng kepala itu. "Tak usah didengar. Dia orang tidak waras.
Belum lama ketika aku sampai disini dia bahkan
meramalkan akulah orang pertama yang bakal
menemui ajal di tangan Angin Pesut." Dengus Ki Menoreh disertai tatapan sinis.
Mendengar ucapan kakek berpakaian me-
rah bermata lebar bertelinga panjang macam telin-
ga kelinci, Tapa Gedek sama sekali tak tersing-
gung. Sebaliknya dia malah mengumbar tawa
sambil berucap. "Kalian semua yang ada di kuil butut ini jangan ada satupun yang
percaya padaku. Seperti yang dikatakannya aku memang orang
gila. Tapi nanti akan kita lihat apa yang bakal terjadi. Ha ha ha!"
"Sudah, jangan ada lagi pertikaian diantara
kita." ujar Datuk Lemah Hijau. Dia lalu berkata ditujukan pada Kertadilaga.
"Hendaknya mengenai adikmu kita kesampingkan dulu. Yang terpenting
untuk saat itu kita harus bersatu kekuatan agar
dapat menghancurkan Angin Pesut."
"Tapi saya membutuhkan senjata itu." ujar Kertadilaga.
"Senjata yang kau pesan walau berada di
tangan siapapun tetap akan menimbulkan malape-
taka." ujar Tapa Gedek.
"Lalu apa yang akan kita lakukan selanjut-
nya?" tanya Dewa Kodok.
"Tidak ada pilihan lain. Segala sesuatu
nampaknya tidak bisa ditunda. Sekarang juga kita
berangkat ke Imogiri." kata Ki Menoreh tegas.
"Kalau sudah kita dapatkan kata sepakat,
sebaiknya segera kita tinggalkan tempat ini." berkata Datuk Lemah Hijau. Dia
lalu bangkit berdiri.
Dengan diikuti oleh yang lainnya sang Datuk ke-
luar dari kuil.
"Kau mengapa tidak segera beranjak dari si-
tu, Tapa Gedek?" tanya Dewa Kodok yang sudah
siap tinggalkan ruangan itu. Si kakek gelengkan
kepala. Sambil tersenyum Tapa Gedek segera ber-
diri. "Biasanya orang yang datang paling akhir akan menemui ajal belakangan.
Naluriku mengatakan kau akan babak belur di tangan Angin Pe-
sut, sobat Dewa Kodok! Ha ha ha!"
"Tapa Gedek manusia sialan. Semakin tua
otakmu rupanya semakin tidak beres hingga bica-
ramu selalu ngaco!"
Tapa Gedek tidak menanggapi, hanya ta-
wanya menggema di kegelapan malam yang pekat.
* * * Obat penawar racun yang diberikan oleh
Indah Sari Purnama memang dirasakan oleh Jaran
Kalabakan dapat mengurangi penderitaan yang di-
alaminya akibat menyentuh pedang Tumbal Pera-
wan yang kini berada di tangan gadis itu.
Tapi kini setelah pedang berada di tangan
dara berpakaian serba merah itu, tentu timbul ke-
sulitan lain bagi Jaran Kalabakan. Bagaimana pun
pedang harus dapat direbutnya. Senjata pesanan
yang telah merenggut nyawa pembuatnya sendiri
sangat dibutuhkan oleh Kertadilaga guna untuk
menghadapi Angin Pesut. Tapi kini, setelah pedang
jatuh di tangan Indah Sari Purnama, Jaran Kala-
bakan juga merasa tidak mudah untuk menakluk-
kan gadis itu. Indah Sari walaupun masih sangat
muda, ternyata memiliki kepandaian sangat tinggi.
Di samping itu sekujur tubuhnya mengandung ra-
cun. Hanya ada satu kesempatan yang dapat dila-
kukannya. Kesempatan itu akan datang tidak lama
lagi. Karenanya tanpa bicara apa-apa Jaran Kala-
bakan terus mengikuti si gadis yang berjalan di
depannya. "Inikah sungai yang kau maksudkan itu,
orang tua?" tanya sang dara sambil hentikan langkah dan menatap ke arah sungai
berbatu berair jernih yang terdapat di depannya.
"Iya, betul. Inilah sungai yang kukatakan.
Airnya bening, cukup dalam. Kau bisa mandi se-
puasmu!" jawab Jaran Kalabakan.
"Kalau begitu aku ingin mandi selekasnya.
Menjauhlah dari sini, orang tua. Jangan berani
mengintip jika tak ingin aku membutakan mata-
mu!" tegas gadis itu.
"Gadis penolongku. Jika aku terlalu jauh
darimu, siapa nanti yang akan menjaga pedang.
Begitu banyak orang yang menginginkan senjata
itu. Aku sendiri sudah tua, buat apa berlaku tolol
dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna"!"
"Hemm, begitu. Kau boleh tetap berada dis-
ini, tapi jangan berani memandang ke sungai sebe-
lum mendapat aba-aba dariku!"
"Baiklah Indah Sari. Aku akan duduk disini
memandang ke jurusan lain." ujar Jaran Kalabakan. Sang dara berjalan mendekati
tepian sun- gai. Pedang Tumbal Perawan yang berangka lengan
gadis mayat hidup diletakkannya di atas batu. Se-
telah itu tanpa sungkan dan curiga pada suasana
di sekitarnya dia menanggalkan pakaiannya hing-
ga sang dara dalam keadaan polos telanjang.
Byuuuur! Terdengar suara kecipak air di dalam langit.
Dengan bebas sang dara berenang mondar-mandir
penuh keriangan.
Di tempat duduknya Jaran Kalabakan tidak
dapat lagi menenangkan perasaan. Aku sudah
memikirkan segala sesuatunya. Yang terpenting
saat bukan bersenang-senang dengan gadis itu.
Dia terlalu berbahaya bagiku. Aku harus mengam-
bil pedang dan pergi secepatnya dari sini selagi dia berada di dalam sungai.
Tapi aku tak mungkin
menyentuh gagang pedang itu. Aku harus meng-
gunakan alat pelapis tangan agar tidak keracu-
nan!" kata laki-laki itu dalam hati.
3 Dari balik pakaiannya Jaran Kalabakan
mengeluarkan sarung tangan dari kulit. Cepat se-
kali dan tanpa menimbulkan kecurigaan setelah
memasang benda itu di tangannya, Jaran Kalaba-
kan menahan nafas. Kemudian dengan posisi tetap
memunggungi sungai dia beringsut mendekati ba-
tu dimana Pedang Tumbal Perawan tergeletak di
bawah tumpukan pakaian Indah Sari Purnama.
Begitu posisinya berada dekat dengan benda yang
menjadi incarannya. Jaran Kalabakan dengan ke-
cepatan luar biasa langsung menyambar pedang
itu. Tapi pada waktu bersamaan secara tak ter-
duga dua bayangan kuning melesat keluar dari ba-
lik ketinggian pohon. Satu bergerak ke arah Jaran
Kalabakan dan satunya lagi melesat ke arah sun-
gai di sertai dua bentakan berturut-turut.
"Baju merah kau tak pantas memiliki pe-
dang itu!"
"Peruntungan baik. Hari ini Dua Budak Se-
tan dapat rejeki besar. Yang satu berupa gadis
cantik mulus menggiurkan. Satunya lagi pedang
pembunuh yang luar biasa!"
Belum lenyap rasa kaget dihati Jaran Kala-
bakan, pedang yang menjadi incarannya kini telah
berada di tangan orang. Baru saja laki-laki ini
memandang ke depannya dan belum lagi dia sem-
pat melihat siapa adanya orang itu satu hantaman
keras menghantam dadanya.


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buuuk! Kraaak! Jaran Kalabakan menjerit keras, tubuhnya
terpelanting, tiga tulang rusuknya berderak patah
membuat Jaran Kalabakan meraung kesakitan.
Megap-megap dengan mulut semburkan darah,
Jaran Kalabakan memandang ke depannya. Dia
melihat satu sosok berbadan tinggi tegap beram-
but lurus berjari tangan dua, terdiri dari jempol
dan empat jari lainnya yang saling dempet satu
sama lain berdiri tegak di depannya.
Sosok pemuda itu berwajah angker, rambut
lurus seperti jarum. Sedangkan mulut lancip, wa-
jahnya berbentuk segitiga. Selain wajahnya yang
bersisik di seling bulu-bulu kasar, kedua tangan-
nya juga dipenuhi sisik yang kerasnya melebihi ba-
ja. Belum lagi lenyap rasa kaget di hati Jaran Ka-
labakan melihat kemunculan pemuda aneh berjari
gampit ini, pada waktu bersamaan pula terdengar
suara pekikan Indah Sari. Jerit kaget yang disertai dengan makian. "Manusia tak
berujud, bangsat
kurang ajar. Berani mati muncul di tempat ini se-
lagi aku mandi! Jahanam, minggat dari hadapan-
ku!" teriak gadis itu sengit. Berkata begitu dia hantamkan tangan kanannya ke
arah orang yang ber-
gerak menyambarnya. Kemudian laksana kilat dia
menyelam untuk menyembunyikan auratnya yang
tak terlindung apa-apa.
Orang yang dimaki dan diserang tidak
urungkan niatnya. Dia malah tertawa ganda, lalu
miringkan tubuhnya ke kiri hindari serangan ga-
nas yang dilepaskan sang dara.
Setelah berjumpalitan di udara, dia jejakkan
kakinya di atas air. Hebat luar biasa. Begitu men-
jejak diatas permukaan air tubuhnya sama sekali
tidak tenggelam. Kedua kaki bahkan tetap menga-
pung. Jelas sekali apa yang dilakukannya itu san-
gat jarang bahkan mustahil dapat dilakukan oleh
tokoh silat yang memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sangat sempurna sekalipun.
Sosok serba kuning itu kini sambil tertawa-
tawa balikkan badan. Gerakan kakinya tidak jauh
berbeda dengan orang yang menginjak tanah. So-
sok yang keadaannya sama dengan orang yang
menyerang Jaran Kalabakan itu memandang ke
dalam air dimana Indah Sari nampak sibuk men-
jauh darinya. "Ha ha ha! Kakang, aku melihatnya dengan
jelas. Tubuhnya padat, mulus luar biasa.
Ahk...kakang, aku jadi tidak sabar...!" seru orang ini dengan lidah terjulur
mata belingsatan seperti hendak melompat dari dalam rongganya.
Sosok satunya yang saat itu siap menghabi-
si Jaran Kalabakan tanpa menoleh langsung me-
nanggapi. "Ikan segar ada di depanmu. Cepat kau tangkap. Nanti setelah kau dapat
baru kita bagi dua. Kau yang duluan juga boleh. Tapi sebaiknya
aku yang lebih tua mendapat giliran pertama. Se-
karang pedang telah kudapatkan. Cepat tangkap
gadis itu!" teriak orang yang dipanggil kakang.
"Akan kulakukan. Akupun sudah sangat in-
gin memeluknya!" sahut sang adik yang berdiri tegak di atas air sungai.
Pemuda itu kemudian memutar kedua tan-
gannya yang langsung diarahkan ke permukaan
air. Angin menderu disertai suara gemuruh luar
biasa. Begitu serangan sepasang tangan berjari
dempet satu sama lain menyentuh permukaan air,
secara mengejutkan air sungai dimana gadis bera-
da berputar membentuk satu pusaran hebat. In-
dah Sari bertahan agar dirinya tidak terbawa pen-
garuh pusaran air yang diciptakan pemuda baju
kuning. Dalam keadaan tubuh polos dia berpikir
keras. "Pertama yang harus kulakukan adalah
menyelamatkan diri agar dapat berpakaian leng-
kap. Setelah itu aku baru menghajar mereka!" batinnya dalam hati.
Pada saat si gadis yang mulai terombang
ambing terseret pusaran arus sungai. Mendadak
pemuda tadi sentakkan tangannya ke atas. Air
muncrat kemana-mana, sosok si gadis ikut terbe-
tot ke atas. Dia mencoba bertahan namun sia-sia.
Kejap kemudian sosok Indah Sari melayang ke
udara. Pemuda baju kuning yang semula siap lan-
carkan totokan ke bagian tubuh gadis itu untuk
beberapa saat jadi terpesona melihat sosok telan-
jang yang mengapung di udara.
"Ahhh...ckk...ckk...ck... luar biasa...?" si pemuda tanpa sadar berseru memuji.
Selagi pemuda itu terkagum-kagum melihat
pemandangan yang terpentang di depan matanya,
kesempatan yang sekejap ini dipergunakan oleh
sang dara. Begitu tubuhnya meluncur deras ke
arah pemuda berwajah segi tiga itu, tubuhnya ber-
putar, kaki meluncur lalu menjejak dada pemuda
itu. Dengan mempergunakan daya dorong kaki
yang menjejak dada orang Indah Sari melesat ke
seberang sungai.
Wuut! Jlik! Jlik! Jlik!
Slap! Begitu jejakkan kaki ke seberang sungai,
hanya dengan tiga kali berjumpalitan saja sosok-
nya lenyap. Pemuda berpakaian kuning yang sem-
pat terhuyung akibat hantaman kaki gadis tadi ki-
ni berseru kaget.
"Kakang, ikannya lolos... walah ikan bagus
itu lolos...!" teriaknya kalang kabut.
"Sial. Mengapa kau biarkan lolos, kejar dan
tangkap!" Sang kakak balas berteriak.
Dengan nafas memburu tersengal serta da-
da menyesak dikobari nafsu pemuda itu berkelebat
ke arah lenyapnya sang dara. Sementara itu pe-
muda satunya lagi kini bergerak mendekati Jaran
Kalabakan dengan sikap mengancam.
"Untuk melenyapkan jejak, aku terpaksa
membunuhmu orang tua!" kata pemuda itu dingin.
Jaran Kalabakan keluarkan suara mengge-
rung, nafas megap-megap karena tiga tulang ru-
suknya yang patah salah satu diantaranya mero-
bek paru-parunya.
"Kau hendak membunuhku" Apa salah dan
dosaku!" tanya Jaran Kalabakan sambil meman-
dang mendelik penuh amarah dendam ke arah so-
sok mengerikan di depannya.
"Dua Budak Setan adalah kami, aku salah
satu diantaranya memang ditugaskan melakukan
apa saja di muka bumi ini. Termasuk diantaranya
menggoda, menghasut, membunuh dan mengan-
jurkan agar manusia melakukan perbuatan mak-
siat sepanjang hidupnya. Ha ha ha, Tadi kau ber-
tanya apa salah dan dosamu" Kesalahanmu kare-
na kau terlalu bodoh, dosamu karena kau mengi-
kuti nafsumu."
"Jahanam! Kubunuh kau!" teriak Jaran Ka-
labakan. Dengan tubuh terhuyung dia segera
bangkit berdiri. Begitu dia dapat berdiri tegak, Jaran Kalabakan segera menyerbu
ke depan. Dua pukulan beruntun dilepaskannya. Itupun masih
belum cukup, begitu pukulan melabrak tubuh la-
wan dia menyusulnya dengan satu tendangan ga-
nas luar biasa.
Buum! Dua pukulan mengenai tempat kosong me-
nimbulkan ledakan berdentum. Tapi Jaran Kala-
bakan jadi terkesiap ketika melihat kenyataan la-
wan mendadak raib, lenyap dari hadapannya.
Selagi Jaran Kalabakan masih diliputi rasa
kaget luar biasa dia mendengar suara dengus na-
fas dibelakangnya. Laksana kilat dia balikkan ba-
dan, tapi pada saat itu ada satu tangan menceng-
keram rambutnya. Sambil menahan rasa sakit luar
biasa di bagian dada dan kepalanya dia mencoba
memandang ke depan.
"Hah.... bagaimana mungkin dia tahu-tahu
berada disampingku?" rutuk laki-laki itu. Pemuda berbaju kuning menyeringai.
"Takdirmu mati di tanganku!" kata si pemu-da. Kemudian dia mempererat
jambakannya. "Makhluk keparat tak berujud, apa yang
kau katakan tak semudah yang kau bayangkan."
sahut Jaran Kalabakan. Dengan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya dia menghantam dada dan
perut pemuda itu.
Buuk! Buuk! "Ha ha ha! Pukulanmu tak ada artinya ba-
giku!" seru Budak Setan Ke Satu sambil mengumbar tawanya. Jaran Kalabakan
kembali dicekam
rasa kaget. Pukulan yang dilepaskannya tadi ada-
lah pukulan Memecah Gunung Memecah Karang.
Jangankan manusia, tembok baja sekalipun pasti
akan leleh. Tapi pemuda itu sama sekali tak ber-
geming. Malah tangan yang dipergunakan untuk
memukul kini menggembung bengkak.
"Jahanam ini bagaimana bisa memiliki tu-
buh melebihi baja?"
Belum hilang rasa kaget di hati Jaran Kala-
bakan satu cahaya merah menyambar dadanya.
Sebelum dia tahu benda apa adanya cahaya
tadi telah menembus dada. Jaran Kalabakan kelu-
arkan suara seperti tersedak ketika hawa panas
menikam dadanya. Laki-laki itu menggelepar, se-
pasang matanya mendelik. Secara samar seiring
dengan pandangannya yang makin memudar dia
melihat benda merah panjang terjulur dari mulut
lawannya. Benda sepanas bara, setajam pedang
yang bukan lain adalah lidah pemuda itu secara
perlahan bergerak menyusut, selanjutnya lenyap
di balik mulutnya.
Jaran Kalabakan jatuh terhempas. Nya-
wanya amblas sebelum tubuhnya menyentuh ta-
nah. Budak Setan Ke Satu timang pedang di tan-
gannya. Mulut menyeringai memperhatikan kea-
nehan sarung pedang yang terbuat dari lengan
tangan manusia.
"Aku mencium adanya hawa iblis dalam
senjata ini. Dengan pedang ini aku dan adikku
pasti sanggup membunuh orang itu, paling tidak
meringkusnya lalu membawa dia ke hadapan Em-
pu Jagad Sukma." membatin Budak Setan Ke Sa-
tu. "Kakang... gadis itu lenyap. Pesta kita gagal.
Ah, cilaka sekali...!" satu suara berseru disertai berkelebatnya sosok tubuh
menyeberangi sungai.
"Tolol dan celaka sekali dirimu. Kau bagiku
selalu tidak berguna dan pembawa kesialan. Me-
nangkap seorang gadis saja tidak becus. Agaknya
kau ingin aku memusnahkan dirimu, lalu men-
gembalikanmu ke neraka?" maki Budak Setan Ke
Satu, sengit. Budak Setan Ke Dua menggigil ketakutan.
"Kakang jangan! Aku menerima salah, mohon di-
maafkan." kata pemuda itu.
"Seribu kali aku memberimu maaf. Seribu
kesalahan kau lakukan. Ketahuilah, Empu Jagad
Sukma mengutus kita bukan untuk kesia-siaan.
Sekarang kau ikuti aku. Orang tua itu harus kita
tangkap secepatnya!" dengus Budak Setan Ke Satu sengit. Sang adik hanya
anggukkan kepala. Kedua
pemuda itu kemudian berkelebat pergi.
Selang tak berapa lama setelah kepergian
Dua Budak Setan. Dari seberang sungai berkelebat
satu sosok tubuh dalam keadaan polos. Sosok
yang bukan lain adalah Indah Sari Purnama mera-
sa lega, karena pakaiannya masih tetap utuh te-
ronggok di tempat semula. Cepat si gadis sambar
pakaian dan mengenakannya.
Setelah berpakaian lengkap dia memandang
ke atas batu. Wajah gadis itu mendadak berubah
pucat, mulut bergetar seperti hendak mengu-
capkan sesuatu, sedangkan sepasang matanya
melotot. Dia tak melihat Pedang Tumbal Perawan
ada di tempatnya.
"Dua pemuda tak karuan ujud itu pasti
yang telah membawanya. Siapa mereka yang se-
benarnya. Kudengar tadi salah seorang dianta-
ranya menyebut nama Empu Jagad Sukma. Apa
hubungannya mereka dengan si terkutuk yang sa-
tu itu?" kata Indah Sari. "Tak ada pilihan lain, aku harus mengejar mereka dan
merebut pedang itu
kembali!" Sang dara kitarkan pedang ke sekitar tem-
pat itu. Dia melihat Jaran Kalabakan terbujur ka-
ku dengan dada berlubang hangus menghitam se-
perti terkena senjata tajam yang sangat panas luar biasa. "Belum begitu banyak
yang kuketahui tentang Jaran Kalabakan. Tak kusangka dia mati se-
cepat itu. Aku tak perlu mengurusnya." Gumam si gadis. Tanpa fikir panjang Indah
Sari Purnama la-lu memutar tubuh siap melangkah pergi. Tapi pa-
da saat itu matanya membentur satu sosok berupa
kabut dalam ujud yang berubah-ubah. Tanpa sa-
dar sang dara surut satu langkah, sedangkan bi-
birnya yang tipis kemerahan mengundang gairah
mendesis. "Guru..."!"
Ketika Indah Sari menyebut kata itu. Kabut


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ujudnya dalam rupa seorang nenek dan seri-
gala itu lenyap tidak meninggalkan bekas. Setelah
itu sayup-sayup sang dara mendengar suara beru-
pa ngiangan seperti suara nyamuk ditelinganya.
"Kau kutugaskan untuk membunuh musuh
besarku Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Dela-
pan Bayangan. Mengapa kau malah melantur den-
gan mengurusi segala macam pedang pembawa
petaka" Ketahuilah, setiap laki-laki adalah musuh
yang harus kau bunuh. Kau tidak boleh bergaul
dengan mereka. Sekarang jangan kau tunda lagi,
pergi ke Imogiri. Angin Pesut ada di sana. Lakukan apa yang menjadi tugasmu!"
"Ta... tapi pedang itu, guru... Aku berkein-
ginan untuk memilikinya." sahut si gadis.
Kembali terdengar suara ngiangan di telinga
gadis itu. "Untuk sekarang tidak. Tapi nanti setelah tugasmu selesai kau
jalankan!"
"Baiklah, murid tidak berani membantah.
Sekarang aku pergi!" kata gadis itu. Setelah menjura hormat ke arah lenyapnya
sosok dalam rupa
seorang nenek dan serigala tadi Indah Sari balik-
kan badan dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
4 Pendekar Sakti 71 Gento Guyon duduk ter-
menung menatapi sayap buatan yang tergeletak di
depannya. Ternyata untuk membuat sayap buatan
tidak mudah. Beberapa kali sayap dicoba. Kalau
tidak robek tertiup angin pasti patah.
Sang pendekar merasa kepalanya menjadi
pusing, dia usap wajahnya yang basah pulang ba-
lik. Tak lama setelah pulang balik mengitari
sayap buatan yang hancur, Gento melirik ke arah
kakek berpakaian putih berhidung pesek berwajah
polos yang juga sibuk dengan sayap buatannya.
"Bagaimana Ki. Apakah sayap buatanmu
sudah siap untuk membawa diriku dan dirimu
terbang mengarungi rawa ini?" tanya sang pendekar sambil cibirkan mulut,
sementara tatap ma-
tanya memandang lurus ke tengah Rawa yang di-
huni ratusan kawasan buaya.
Si kakek menggaruk rambutnya, kemudian
dia duduk diam. Wajahnya membayangkan rasa
putus asa. "Kalau sayap kita buat dari kulit dan rang-
kanya kita buat dari besi, mungkin sayap buatan
baru dapat menahan berat badanmu."
"Badanmu juga, Aki."
"Hah, bukankah menurut perjanjian kau
yang akan menyeberang ke pulau apung di tengah
rawa itu?" tanya si kakek nampak jerih.
Sang Pendekar tertawa lebar. "Perjanjiannya
memang begitu, Ki. Tapi engkau harus ingat, yang
hendak kulakukan menyangkut kepentinganmu
sendiri. Pula aku tak kenal dengan Srimbi. Bagai-
mana aku memberi penjelasan begitu muncul di
pulau itu. Ha ha ha."
"Kau bisa jelaskan kalau dirimu saha-
batku!" "Tidak semudah itu Aki. Dunia ini penuh muslihat, orang tidak akan mudah
percaya pada orang lain. Apalagi orang itu baru dikenalnya.
Apapun alasanmu kau harus ikut. Jika kau meno-
lak, berarti pergi ke pulau terapung gagal karena
aku tak mau melakukannya seorang diri."
"Ah, Pendekar 71, kau telah mengadali tua
bangka ini. Mana aku punya muka untuk bertemu
dengan bekas kakak iparku itu." kata kakek Sateaki kecut. Nampaknya ada ganjalan
dihati kakek itu hingga dia begitu memaksa agar Gento yang
pergi mewakili dirinya. Gento tertawa lebar. "Kalau kau merasa malu bertemu
dengan bekas kakak
iparmu bagaimana kalau mukamu kukuliti, atau
kupenggal saja kepalamu. Kujamin kau tak bakal
dikenalinya. Ha ha ha."
"Pendekar sinting, kepalaku pusing memi-
kirkan semua ini. Kau masih terus saja bercanda.
Ingat Gento, waktuku begitu sempit. Aku ingin
menolong saudaraku Angin Pesut. Kuharap aku
bisa melakukan apa yang dipesannya sebelum dia
tewas ditangan musuh-musuhnya."
"Kalau begitu hentikan pembuatan sayap ti-
ruan ini."
"Hah...apakah kau sudah gila"!" hardik si
kakek kaget. "Ha ha ha. Kau betul Ki, dalam keadaan se-
perti ini kau harus bisa berfikir sepertiku. Seperti cara berfikirnya orang
gila!" kata Gento.
Kakek Sateaki kerutkan keningnya. Dia
memandang tajam ke arah pemuda itu. "Apa mak-
sudmu?" "Maksudku begini. Kita tak usah lagi memi-
kirkan segala macam sayap buatan ini. Karena ki-
ta bukan burung. Bagaimana kalau kita mencari
burung benaran yang dapat membawa kita ke pu-
lau itu?" Diingatkan tentang burung, si kakek lang-
sung dekap dan raba-raba bagian bawah perutnya.
"Aku juga punya. Bocah sial. Sejak dulu
yang ini mana bisa terbang. Tidak punya sayap.
Paling juga bisanya bangun tidur, bangun lagi lalu tidur lagi." kata si kakek
polos. "Aki sialan, jangan ngaco. Yang ku maksud
adalah burung sungguhan. Bukan barang rongso-
kan seperti punyamu itu. Ha ha ha."
"Pendekar edan. Siapa bilang punyaku
rongsokan. Kau boleh melihat punyaku masih ba-
gus." dengus si kakek sengit. Seakan lupa diri dia selorotkan celananya ke
bawah. "Bagus, keluarkan saja. Kalau perlu telan-
jang sekalian biar kupentung...!"
Si kakek batalkan niatnya. Dengan wajah
cemberut dia bangkit berdiri. Beberapa saat dia
mundar-mandir di depan Gento.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan.
Apakah kau punya burung besar yang dapat
membawa kita menyeberangi Rawa Buaya ini?"
"Ha ha ha. Kebetulan yang aku punya seba-
gaimana adanya. Tapi aku akan berusaha mencari
akal untuk menghadirkan apa yang kita inginkan."
ujar sang pendekar.
"Bicara melantur boleh saja, Gento. Satu hal
yang perlu kau ingat, sejak aku masih bayi hingga
sampai ubanan begini. Aku belum pernah melihat
burung sebesar yang ada dalam fikiranmu." kata si kakek sinis.
Gento terdiam. Dia berfikir andai waktu itu
Tabib Setan tidak menghancurkan burung silu-
man yang oleh Dipati Durga diberinya nama Mak-
hluk Kutukan Neraka dengan ilmu Kaji Asal. Tentu
burung itu dapat dipergunakannya untuk menye-
berangi rawa. Untuk lebih jelasnya (Baca Sang Pe-
taka). "Ilmu Kaji Asal. Hemm... tabib penuh kesialan itu memang pernah
mengajarkannya padaku.
Apakah ilmu itu kini dapat kupergunakan untuk
mengembalikan Makhluk Kutukan Neraka kembali
seperti semula" Dia makhluk siluman, mungkin
tidak akan sulit untuk membangkitkannya." fikir sang pendekar. "Akan kucoba...!"
Murid si gendut Gentong Ketawa lalu duduk
di atas batu. Tanpa bicara dia lipat kedua kakinya.
Dua tangan diletakkannya di atas lutut, lalu per-
lahan kedua matanya dipejamkan.
Melihat apa yang dilakukan Gento mengun-
dang rasa heran dihati si kakek.
"Apa yang hendak dilakukan oleh Pendekar
edan ini" Mulut komat-kamit dada kembang kem-
pis, kepala digelengkan seperti orang menderita
penyakit ayan. Huh... ada-ada saja. Ingin kulihat
apa yang terjadi!" berkata si kakek disertai tersenyum mencibir. Lalu dengan
mulut melongo Sa-
teaki pandangi Gento yang saat itu sekujur tubuh-
nya telah basah bersimbah keringat.
Sementara itu di atas batu Gento masih te-
tap dalam sikapnya. Mata terpejam, dua kaki ber-
sila hanya kedua tangannya kini disilangkan ke
depan dada. "Makhluk Kutukan Neraka. Makhluk Silu-
man.... kutahu dirimu telah hancur. Mungkin
hangus gosong. Atas restu Gusti Allah, berkat ilmu Kaji Asal kuharapkan
kehadiranmu. Di sini dalam
waktu secepatnya...!" desis Gento. Kata-kata itu diucapkannya berulang kali
sampai mulut sang
pendekar mengeluarkan busa putih. Bagian atas
kepalanya mengepulkan asap tipis bergerak me-
liuk-liuk di udara kemudian lenyap di tiup angin.
Pada waktu bersamaan di saat Gento teng-
gelam dalam rapalan mantra-mantranya. Di satu
tempat tepatnya di daerah Teluk Rembang air laut
di bagian teluk itu bergolak hebat. Gejolak air menimbulkan gelombang menggila.
Lalu secara per-
lahan namun cukup pasti dari bagian dasar laut di
tepi teluk itu menyembur satu sosok berupa mak-
hluk besar. Makhluk besar berwarna hitam berkepala
seperti burung rajawali dan bersayap seperti kele-
lawar keluarkan suara pekikan keras. Kemudian
makhluk yang seolah baru bangkit dari kematian
dan berkubur di tempat itu kepakkan dua sayap
raksasanya. Wuuuk! Wuuuhk...!
Bersamaan dengan kepakan sayap sang
makhluk, bagian tubuhnya yang lain terangkat
naik. Dua sayap kembali mengepak, makhluk hi-
tam raksasa itu membubung tinggi lalu melesat
deras ke arah suara orang yang seakan-akan me-
manggil dirinya.
Di tempat Gento dan Sateaki berada saat itu
suasana masih dalam keadaan redup. Namun se-
kujur tubuh pemuda itu telah basah bersimbah
keringat. "Pemuda gelo ini mungkin sengaja me-
ngelabuhi aku. Tapi kulihat dia begitu serius. Sia-pa Makhluk Kutukan Neraka
yang disebutnya be-
rulang-ulang tadi. Kakeknya atau kerabat pemuda
ini?" batin si kakek.
Selagi orang tua itu terombang-ambing da-
lam keraguan. Pada waktu itu pula mendadak di
kejauhan sana terdengar suara pekikan menggele-
dek. Si kakek tercekat, lalu cepat arahkan pan-
dang ke arah datangnya suara aneh tadi.
Lain lagi halnya dengan Gento. Begitu dia
mendengar suara pekikan yang sangat dikenalnya
dia langsung melompat dari atas batu, lalu sambar
tali dadung yang tergeletak di depannya.
"Makhluk Kutukan Neraka"!" desis pemuda
itu, gembira ada kecut juga ada.
"Heh, apa yang hendak kau lakukan, Pen-
dekar Sakti 71?" tanya Sateaki heran.
"Bersiaplah, Ki. Makhluk Kutukan Neraka
telah datang. Banyak-banyak berdoa. Kalau perlu
kau juga harus mempergunakan tali." ujar sang pendekar.
Selagi si kakek dibuat heran mendengar su-
ara pekikan menggeledek tadi kini rasa heran di-
tambah lagi oleh perasaan bingung.
"Gento, buat apa segala macam tali."
Kesal si kakek bertanya melulu dengan ke-
tus sang pendekar menjawab. "Untuk persediaan gantung diri Ki. Bukankah orang
tua jika sudah tidak berguna lebih baik membunuh diri saja. Ha ha
ha!" "Pendekar gila sialan!" mulut Sateaki berkata begitu, tapi walau dia tak
mengerti kegunaan ta-li itu namun si kakek tetap menyambar tali yang
tergeletak di atas tanah. Baru saja si kakek bang-
kit berdiri kembali dia dikejutkan dengan terden-
garnya suara menggemuruh yang disertai dengan
pekikan dahsyat luar biasa. Cepat dia putar kepala ke arah sebelah timur.
Seketika sepasang mata Sateaki yang redup terbelalak lebar. Mulut ternganga tapi
tak sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Apa yang dilihatnya saat itu
bukan lain ada-
lah sosok makhluk raksasa, berkepala seperti ra-
jawali bersayap seperti kelelawar. Sedangkan ka-
kinya mencuat panjang terjuntai seakan hendak
menghunjamkan kuku-kuku jarinya yang panjang
tajam. "Ki jangan bengong disitu. Begitu burung siluman itu melintas di depan
kita sangkutkan tali
diantara cakar-cakar binatang itu. Kita siap berge-layutnya mengarungi rawa
buaya. Aku jamin sega-
lanya menjadi asyik Ki." teriak Gento.
"Astaga. Apa aku sanggup melakukannya"
Pemuda itu sengaja ingin mencari mati dalam kegi-
laannya!" membatin Sateaki dengan perasaan ciut dan tubuh keluarkan keringat
dingin. "Sekarang, Ki. Burung itu lewat diatas kita!"
teriak sang pendekar. Sambil berteriak dengan se-
kuat tenaga Gento lemparkan talinya yang telah
dibubul pada bagian ujungnya ke arah kaki mak-
hluk siluman itu. Sebaliknya jika tali milik Gento tersangkut pada salah satu
kaki binatang itu maka
tali yang dilemparkan Sateaki gagal mencapai sa-
saran akibat si kakek terlalu gugup disamping tu-
buhnya sempat terhuyung dilanda angin kepakan
sayap Makhluk Kutukan Neraka.
"Sial, aku gagal Gento." teriak si kakek ditujukan pada sang pendekar yang saat
itu mulai

Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergelayutan pada tali yang salah satu ujungnya
melihat kaki Makhluk Kutukan Neraka.
"Walah kakek tolol. Cepat kau sambar
ujung taliku. Kau boleh bergelantungan disana.
Cepat lakukan...!" seru pemuda itu.
Dengan gugup, sebagaimana yang dikata-
kan Gento, Sateaki berlari mengejar ujung tali
yang terus bergerak dan kini menggantung di uda-
ra itu. Yeep! "Kena...kena Gento. Ha ha ha. Tak disangka
berhasil juga akhirnya!" ujar kakek itu dengan perasaan bangga.
"Kau boleh tertawa sepuasmu, Ki. Tapi jaga
kedua kakimu jangan sampai digerogot putus oleh
makhluk-makhluk liar yang berdiam di tengah ra-
wa! Ha ha."
Selagi si kakek yang bergelantungan di
ujung tali dan berada persis di bawah Gento terta-
wa tergelak-gelak, begitu memandang ke bawah
tawa si kakek lenyap seketika. Wajahnya menda-
dak berubah pucat. Si kakek menjerit kalang ka-
but sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi men-
jauh dari air. "Gento, tolong aku. Perintahkan burung itu
terbang lebih tinggi agar kakiku tidak menyentuh
air rawa. Pendekar Sakti 71, celaka...kawanan
buaya bermunculan. Mereka menyambar kakiku.
Oala...tobat...tolong...!" jerit Sateaki panik.
Meskipun saat itu murid si Gendut Gentong
Ketawa sendiri sempat dibuat merinding melihat
kemunculan puluhan buaya yang menyambar sal-
ing berebut kaki si kakek yang terseret-seret diatas permukaan air. Tak urung
dia tidak dapat menahan tawanya juga.
"Hebat, Ki. Nasibmu memang seperti umpan
di ujung kail. Aku sendiri mana bisa memerintah
Makhluk Kutukan Neraka. Dia bukan binatang
piaraanku. Mungkin dia hanya patuh pada perin-
tah setan. Lihat... nampaknya dia kurang senang
kita bergelayutan di kakinya. Gawat Ki. Binatang
yang membawa kita mulai berontak. Ah...lehernya
terjulur, kepalanya melengkung. Paruh mematuk-
matuk tali yang menahan tubuh kita." kata Gento.
Pemuda itu semakin mempererat cekalannya pada
tali. "Setan sialan. Kau masih bisa tertawa disitu. Aku disini ketakutan
setengah mati. Sialan,
kencingku ngocor...!" teriak Sateaki.
Gento katubkan mulutnya. Dia mencoba
sentakkan tali agar Makhluk Kutukan Neraka ter-
bang lebih tinggi. Apa yang diharapkan Gento me-
mang terjadi sehingga si kakek kini aman dari
jangkauan mulut kawanan buaya air itu. Tapi be-
rada dalam ketinggian baik Gento maupun Sateaki
malah semakin tersiksa. Makhluk Kutukan Neraka
terbang tak tentu arah, terkadang tubuhnya oleng,
melambung naik dan berusaha mematuk Gento
yang berada di bawahnya. Tak ayal lagi tubuh me-
reka pontang-panting tak karuan arah. Gento mu-
lai merasa perutnya mual bukan main, kepala pen-
ing dan perutnya bergelung mual.
Penderitaan Sateaki lebih parah lagi. Dia
yang pontang-panting bergelayutan pada ujung tali
hampir tak sanggup bertahan. Pandangannya ber-
kunang-kunang, wajah si kakek pucat pasi.
5 Kaak! Kreak! Kreak! Kaki makhluk siluman
berkepala burung rajawali dan bersayap kelelawar
kini melejang-lejang disertai pekikan laksana me-
robek langit. Kepalanya yang dapat menjulur pan-
jang dengan posisi menekuk menyambar ke arah
Gento. Dengan begitu sang pendekar terpaksa me-
rosot lebih ke bawah untuk menghindari patukan
paruh makhluk siluman yang tajam berkeluk.
"Pendekar tolol, mengapa kau turun disini"
Posisiku makin terjepit aku bisa jatuh!" pekik si
kakek. "Aku terpaksa melakukannya. Kalau tidak aku bisa mampus dicabik-cabik
binatang itu." sahut si pemuda. Dia lalu memandang ke kawasan
rawa. Tak ada apapun yang terlihat dari ketinggian itu. "Aki... dimana pulau
terapung yang kau katakan itu?"
"Adanya di tengah rawa di bawah sana,
Gento." sahut si kakek. Dengan tubuh terombang ambing dihempas angin juga gerak
makhluk yang tidak menentu Sateaki coba memperhatikan kawa-
san rawa luas di bawahnya. Kemudian samar-
samar dia melihat satu gugusan pulau kecil ber-
warna hijau. Si kakek kembali berteriak.
"Pendekar Sakti 71, aku sudah melihat pu-
lau itu. Letaknya di sebelah kanan posisi kita. Sekarang apa yang akan kita
lakukan. Kau harus
memerintahkan makhluk sialan itu terbang me-
rendah ke sebelah kanan."
"Makhluk ini sudah kukatakan bukan bina-
tang piaraanku. Aku tak dapat memberinya perin-
tah apapun. Ahk... dia terbang semakin tinggi.
Mungkin dia marah karena kau mengatakan mak-
hluk sialan."
"Kalau begitu kita harus terjun dari keting-
gian ini." usul si kakek.
"Jadi manusia jangan tolol. Sekarang kita
berada diatas ketinggian lebih dari dua ratus tom-
bak. Kalaupun itu dapat kita lakukan, begitu me-
nyentuh air kita segera lumat dihantam buaya-
buaya di dalam rawa."
"Kau betul juga. Pulau itu diluar jangkauan
kita. Tapi... kudengar kau punya gada aneh. Den-
gan gadamu kurasa kita dapat sampai ke pulau
itu." ujar si kakek.
"Kakek sialan. Yang punya gada bukan
hanya aku saja, kau juga punya gada aneh. Per-
gunakanlah gada milikmu sendiri. Aku jamin begi-
tu gada kau buka, buaya dalam rawa langsung
menggerogotnya sampai putus. Ha ha ha!"
"Pendekar Sakti 71, maksudku gadamu
yang bisa membesar dan memanjang itu." Si kakek kembali berteriak.
Gento pun menyahut tidak kalah kerasnya.
"Aki... agaknya otakmu memang sudah miring.
Kau tahu bukan cuma gadaku yang bisa membe-
sar dan panjang. Tapi gadamu juga bisa begitu,
apalagi bila melihat perempuan cantik, jidad licin.
Kita sama punya gada, perlu apa lagi diributkan?"
jawab sang pendekar jengkel.
Si kakek lebih mendongkol lagi. Gento jelas
salah mengerti tentang apa yang dimaksudkannya.
Dengan geram Sateaki berkata. "Pendekar sinting.
Turut yang kudengar kau memiliki senjata sakti
mandraguna berupa Gada Sakti Pendera Bumi."
"Ha ha ha. Kalau gada itu yang kau mak-
sudkan aku memang punya, kukira gada yang
lain." kata Gento disertai tawa terpingkal-pingkal.
"Benar-benar pendekar edan. Kau fikir gada
yang mana?"
"Gada yang itu, kau tahu maksudku bu-
kan" Ha ha ha!"
Si kakek yang mengetahui maksud ucapan
Gento tak lagi dapat menahan tawanya. Kedua
orang ini memang aneh, walau mereka saat itu se-
dang berada dalam ancaman bahaya besar, na-
mun masih sempatnya mereka tertawa.
Kieek! Makhluk Kutukan Neraka kembali meme-
kik. Kali ini kakinya yang terlilit tali dikibaskan ke depan. Begitu tali
mengikuti gerakan kaki sang
makhluk, tanpa ampun lagi sosok Gento dan Sa-
teaki yang bergelantungan di tali itu ikut terpental ke depan. Si kakek kembali
menjerit ketakutan.
Sedangkan Gento merutuk tak berkeputusan.
Belum lagi mereka dapat menguasai diri,
mendadak Gento merasakan tubuhnya meluncur
deras ke bawah. Kaget pemuda itu mendongak ke
atas. Wajah pemuda itu sontak berubah pucat.
"Celaka...! Aku... tali yang melilit kaki Makhluk Kutukan Neraka terlepas.
Ah...gawat...!" teriak pemuda itu.
"Habislah sudah, tamat riwayat kita!" seru Sateaki tak kalah paniknya. Makhluk
Kutukan Neraka begitu dapat membebaskan diri dari libatan
tali segera membumbung tinggi ke angkasa. Ber-
putar-putar beberapa kali lalu bergerak ke sebelah timur dan lenyap dari
pandangan mata.
Baik Gento maupun Sateaki sudah tak
sempat memperhatikan semua itu. Tubuh mereka
terus meluncur ke bawah. Dalam kesempatan itu
Gento sudah meraih senjata saktinya yang cuma
sebesar ibu jari kaki dengan panjang tidak lebih
dari dua jengkal yang terselip di pinggangnya. Tapi ketika dia hendak
mengerahkan tenaga sakti ke
bagian dada, timbul keraguan di hatinya mampu-
kah gada itu nantinya menahan berat tubuh me-
reka" Keraguan di hati sang Pendekar berangsur
lenyap ketika si kakek yang jatuh kalang kabut
berteriak. "Cepat kerahkan tenaga dalammu. Lakukan apa saja yang kau bisa. Jika
Gada sudah membesar, pergunakan ilmu mengentengi tubuh
untuk menahan beratnya. Biarkan aku yang men-
dayung dari belakang." ujar Sateaki.
"Bagus, kurasa itu memang gagasan yang
tepat." sambil menyahuti ucapan orang tua itu Gento segera kerahkan seluruh
tenaga dalam yang
dia miliki. Mendadak sontak suatu keanehan yang
sangat luar biasa terjadi. Gada yang sebesar ibu
jari kaki dengan panjang hanya dua jengkal itu se-
ketika berubah menggelembung besar, panjangnya
juga bertambah hampir tiga puluh kali lipat. Gento terus kerahkan tenaga dalam
dan menyalurkannya
ke bagian hulu gada. Senjata sakti itu kini tidak
dapat lagi dicekal walaupun dengan memperguna-
kan dua tangannya. Gento terpaksa memeluk gada
yang besarnya mencapai seratus kali lipat.
"Celaka... gada ini hampir tak terpeluk
olehku, Ki." seru Gento yang saat itu hanya dapat memeluk setengah dari hulu gada yang telah berubah membesar.
Sateaki tidak menyahuti. Gento hanya
mendengar suara benda berat terjatuh ke air. Keti-
ka melihat ke bawah, sang pendekar mendapati
kakek berpakaian putih itu telah tercebur ke da-
lam rawa. Tubuhnya tenggelam lenyap sesaat, un-
tuk kemudian muncul lagi. Bersamaan dengan
munculnya kepala si kakek dari segala penjuru
kawasan rawa yang tak terukur dalamnya itu ber-
munculan pula ratusan buaya besar berkepala
kuning. Kawanan binatang melata ini segera me-
nyerbu ke arah jatuhnya kakek Sateaki. Melihat
ratusan kepala bergerak mengapung ke arahnya
dengan mulut ternganga lebar si kakek menjerit
tak karuan. Byuur! Gento dan gadanya yang telah membesar ja-
tuh tak jauh di samping si kakek.
"Orang tua, senjataku kini telah berubah
seperti balok besar. Sekarang aku kerahkan tena-
ga dalam ke gada ini agar tetap dalam keadaan se-
perti ini. Kau harus mendayung selekasnya. Kare-
na aku tak punya kekuatan untuk membuat gada
ini terapung diatas air lebih lama!" seru sang pendekar dengan nafas memburu.
Si kakek cepat naik ke atas gada, sela-
matkan kaki dan tangannya dari sambaran kawa-
nan mulut buaya.
"Dengan apa aku harus mendayung. Tidak
ada kayu kulihat disekitar sini!" ujar si kakek dengan wajah pucat dan lidah
terjulur. "Ah, mengapa berlaku tolol. Pergunakan ke-
dua tanganmu, dua kaki atau apa saja. Pulau itu
sudah tidak jauh lagi. Lekas lakukan..."!" teriak si pemuda.
Perintah sang pendekar membuat jantung si
kakek seolah berhenti berdenyut. Betapa tidak
kawanan buaya rawa itu sekarang mulai menye-
rang gada yang ditumpangi Gento dan si kakek.
Libasan ekor yang dilakukan kawanan binatang
itu silih berganti membuat gada dan orang-orang
yang berada di atasnya jadi berombang-ambing
dan nyaris terpental ke dalam rawa. Sateaki berfi-
kir jika tangannya dipergunakan untuk men-
dayung, begitu tangan menyentuh air tentu pulu-
han moncong buaya yang berada di bawah gada
siap menyambutnya. Apa yang hendak dilakukan-
nya memang penuh bahaya. Dia bisa kehilangan
kedua tangan, tapi membiarkan Gento mengerah-
kan ilmu mengentengi tubuh untuk menahan Ga-
da agar jangan sampai tenggelam tentu saja mus-
tahil sekali. Lama kelamaan kekuatannya akan
melemah dan pada akhirnya gada itu bersama me-
reka juga pasti tenggelam.
"Sialan, semua urusan benar-benar jadi ka-
piran!" maki si kakek kesal. Orang tua ini kemudian menghantam sisi kanan kiri
gada. Air mun- crat ke udara disertai ledakan berdentum. Bebera-
pa buaya kena dihantam remuk. Air rawa berubah
memerah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Sateaki. Dengan sekuat tenaga dia mendayung
dengan kedua tangannya. Kawanan buaya yang
luput dari pukulan maut si kakek bergerak menge-
jar. Tergesa-gesa si kakek terus mendayung. Bebe-
rapa kali tangannya nyaris menjadi santapan. Wa-
laupun saat itu Gento benar-benar dilanda kete-
gangan yang luar biasa. Namun melihat si kakek


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mendayung pulang balik mengangkat tan-
gannya dari jangkauan mulut buaya yang terus
mengejar mereka Gento jadi tak dapat menahan
tawanya. "Terus Ki. Tidak ada jalan selamat bagi kita
selain dapat mencapai pulau itu secepatnya. Ter-
kecuali kau mau menyerahkan dirimu pada
buaya-buaya kelaparan itu. Ha ha ha!"
"Inilah perjalanan yang paling gila dan pal-
ing sial sepanjang hidupku. Kalau aku tak berte-
mu dengan pendekar sinting sepertimu, mungkin
akan jadi lain ceritanya."
"Ha ha ha. Aku yakin sampai ajal datang
menjemputmu kau tetap tak bisa melakukan se-
suatu apapun untuk melaksanakan tugas yang di-
berikan oleh saudara seperguruanmu itu." sahut Gento masih dengan tertawa-tawa.
"Kuakui kau memang cerdik. Tapi tindakan
nekad yang kau lakukan penuh resiko dan maut."
kata Sateaki di tengah dengus nafasnya yang
memburu. "Tenang Ki. Tak usah marah, kita sudah
hampir sampai. Tapi... akh... tenaga saktinya su-
dah hampir terkuras habis. Aki, gada ini mulai
kembali ke ujud semula." teriak si pemuda.
"Biyung... tobat. Biar kudayung lebih cepat!"
sahut si kakek. Dan tangannya laksana titiran kini bergerak mengayuh di
kedalaman air. Begitu ujung
gada menyentuh tepi daratan pulau terapung Gen-
to berseru. "Ki... kita telah sampai. Sekarang kau me-
lompatlah lebih dulu."
"Hah, kita sudah sampai. Selamat... sela-
mat...!" Sateaki bangkit berdiri. Dengan tubuh terhuyung dia melompat ke
daratan, lalu jatuh ter-
duduk dengan muka pucat nafas kembang kem-
pis. Gento tarik balik tenaga saktinya. Secara perlahan senjata Sakti Gada
Pendera Bumi kembali
mengecil kembali ke ujudnya semula.
Kawanan buaya tidak lagi mengejar, mereka
hanya mundar-mandir di tepian rawa. Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon segera menyelipkan senjata
saktinya di balik pinggang celana. Dia lalu duduk
bersila, mencoba mengatur jalan nafas dan mene-
nangkan debaran jantung. Tak sampai sepeminum
teh, sang pendekar membuka matanya yang terpe-
jam. Dia kitarkan pandang ke sekeliling tempat itu.
Yang pertama dilihatnya adalah pendataran tanah
gambut yang hitam, lalu pepohonan yang menju-
lang tinggi dan bebatuan hitam yang berkilat-kilat terkena sinar matahari.
Gento melirik kesamping dimana Sateaki
duduk disitu dalam keadaan terangguk-angguk
karena mengantuk dan kelaparan.
"Ki...!" Gento memanggil.
Si kakek berjingkrak kaget. Dua mata dibu-
ka lebar. "Ada apa?" tanya si kakek.
"Pulau ini sepi sekali Ki" Tapi aku merasa
seperti ada orang yang mengawasi kehadiran kita."
"Kau terlalu berperasangka buruk. Pulau ini
tidak seberapa luas, sebaiknya sekarang kita cari
tempat kediaman bekas kakak iparku itu." Gento mengangkat bahu.
"Terserah. Aku hanya mengikut saja!"
Lalu keduanya bangkit berdiri, kemudian
berjalan beriringan memasuki kawasan semak be-
lukar yang terlindung pepohonan menjulang tinggi
yang terdapat di pulau apung itu.
6 Setelah melewatkan malam di Kotagede dan
mencari keterangan tentang muridnya pada pen-
duduk setempat kakek berpakaian hitam berpipi
tembem berhidung pesek berkening lebar dengan
bobot lebih dari dua ratus kati itu akhirnya memu-
tuskan untuk pergi ke Imogiri.
Sore harinya ketika matahari hampir teng-
gelam di ufuk barat kakek gendut yang bukan lain
adalah Gentong Ketawa ini sampai di sebuah ban-
gunan batu yang telah porak poranda. Tak jauh di
belakang reruntuhan puing gedung itu di tepi se-
buah telaga berair jernih bergeletakan empat sosok mayat yang telah membusuk.
Untuk beberapa jenak lamanya si gendut
pandangi mayat-mayat itu. Merasa kurang puas,
sambil mendekap hidung dia memeriksa ke empat
mayat itu. Si kakek melihat empat pedang tergele-
tak tak jauh dari mayat. Ketika melihat bentuk ba-
dan dan gagang pedang si gendut keluarkan suara
tercekat. "Bukankah mereka ini empat dari Enam Pe-
dang Bayangan" Siapa yang telah membunuh me-
reka. Tadi aku juga melihat tulang belulang berse-
rakan di sekitar reruntuhan gedung. Tempat ini ti-
dak ubahnya seperti ladang pembantaian." Si kakek membatin dalam hati.
"Sialan... mengapa aku selalu dihadapkan
dengan hal-hal yang tidak menyenangkan begini"
Bocah edan itu hilang raib tak karuan. Apakah
mungkin dia telah bertemu dengan tabib gila, lalu
mengikuti tabib geblek itu tak karuan kejuntrun-
gannya. Gelo betul, aku sudah letih mencari. Jan-
gankan orangnya, kentut bocah sial itu pun tak
tercium olehku!" maki si kakek.
Matahari hampir tenggelam di punggung
bukit, membiaskan semburat merah bagaikan ba-
ra api yang menganga. Udara di kawasan itu mulai
terasa dingin menusuk. Angin bertiup keras
menghempas bebatuan yang mencuat bertonjolan
di sekitar kawasan telaga, menimbulkan suara
bergemuruh menyeramkan.
Tak lama serombongan burung belibis me-
lintas di tempat itu. Suasana menjadi gegap gempi-
ta oleh kelepak sayap dan suara burung tersebut.
Setelah itu kesunyian kembali menyelimuti daerah
di sekitar kawasan telaga.
Si kakek dongakkan kepala. "Tidak kulihat
tanda-tanda kehadiran muridku di tempat ini.
Mungkin dia berada di satu kawasan lain, berca-
kap-cakap dengan seorang gadis. Gadis yang ma-
na" Mutiara Pelangi, Bidadari Biru atau Nyi Sekar
Langit. Begitu banyak gadis yang pernah ditemui
oleh bocah edan itu. Tapi tak satupun yang leng-
ket. Bocah tolol begitu gadis mana yang mau den-
gannya" Ha ha ha!"
Selagi si kakek mentertawakan ucapannya
sendiri. Pada waktu bersamaan satu bayangan hi-
tam ke arah si kakek. Tawa si gendut Gentong Ke-
tawa mendadak lenyap. Air mukanya berubah dan
si gendut sempat surut mundur satu langkah ke
belakang begitu melihat sesosok tubuh tinggi se-
mampai berpakaian serba berambut dan beralis
merah tahu-tahu berdiri tegak berkacak pinggang
hanya sejarak tiga langkah di depannya.
Beberapa saat lamanya kakek Gentong Ke-
tawa menatap orang di depannya dengan pandan-
gan menyelidik. Dia rasa-rasa mengenali kakek
yang satu ini. Tapi kapan dan dimana si gendut
lupa. Selagi hati si gendut menduga-duga tak in-
gin memastikan siapa adanya kakek angker yang
satu ini. Mendadak kesunyian dipecahkan dengan
terdengarnya suara tangis putus asa.
"Ah, dia menangis. Tidak ada kabar duka ci-
ta, akupun bahkan belum mengatakan apa-apa,
aneh mengapa tiba-tiba saja dia menangis. Hem,
agaknya orang ini memang bukan manusia waras.
Atau dia begitu sedih melihat tubuhku yang begini
besar?" batin si gendut sambil berkipas-kipas dengan tangannya.
Tangis dan lolong kakek itu demikian pilu
hingga mengundang si kakek untuk bertanya.
"Orang tua beralis merah. Gerangan apa ki-
ranya yang membuatmu menangis pilu di malam
gelap dimana purnama pun tidak mau unjukkan
diri. Apakah kau menangisi empat mayat yang ter-
bujur di pinggir telaga itu atau ada lain hal yang membuatmu begitu bergundah,
sedih hati?" tanya si kakek. Kemudian dia berkata lagi seolah ditujukan pada
diri sendiri. "Seandainya saja aku dapat menolong. Jika saja aku bisa
meringankan pende-
ritaanmu, tentu dengan senang hati aku dapat me-
lakukannya!"
Mendengar ucapan tulus si gendut seketika
itu juga tangis si kakek terhenti. Dua belah pipinya yang bersimbah air mata
diusapnya hingga licin,
sedangkan sepasang mata si alis merah yang me-
natap kosong kini berkedap-kedip. Tidak disangka
pula si kakek jatuhkan diri berlutut di depan kaki si gendut. Beberapa kali
kepalanya dibenturkan ke
tanah sebagai rasa pengungkapan terima kasih
yang mendalam. Untuk yang kedua kalinya kakek gendut di-
buat tercengang juga melongo melihat sikap orang.
Dia tersenyum sambil mengusap kening lebarnya
pulang balik. "Orang ini agaknya siluman penghuni tela-
ga. Tak ada manusia menyembah manusia. Tapi
dia malah menyembah gendut tolol begini." batin si kakek. Gendut ini melangkah
maju lalu tepuk bahu
kakek beralis merah. Orang itu ternyata tak juga
beranjak dari tempatnya. Malah masih dengan si-
kap seperti orang menyembah dia berkata. "Gendut yang kuhormati, boleh jadi kau
tak mengenal- ku, boleh jadi kau lupa pada keganasanku pulu-
han tahun yang silam. Namun aku yang hina ini
dengan mengesampingkan rasa malu terhadapmu
berterus-terang ingin mengakui segala macam do-
sa yang pernah kulakukan."
"Dosa apa yang pernah kau lakukan, orang
tua?" tanya si gendut.
"Aku... aku, telah melakukan lima kejaha-
tan besar. Pertama aku pernah melakukan pem-
bunuhan. Kedua aku juga pernah melakukan pen-
curian dan perampokan, yang ketiga aku pernah
melakukan fitnah keji, yang ke empat aku pernah
merusak puluhan kehormatan wanita. Dan yang
ke lima aku durhaka pada kedua orang tuaku!"
jawab si kakek. Tangisnya kembali meledak begitu
dia mengucapkan dosa ke lima.
Si gendut Gentong Ketawa merasa tengkuk-
nya merinding mendengar pengakuan kakek bera-
lis merah. Rasanya belum pernah dia mendengar
atau melihat orang melakukan kejahatan sekeji
itu. Setelah menatap orang yang berlutut di de-
pannya dengan penuh sikap waspada akhirnya si
gendut berucap. "Kejahatanmu melebih takaran, orang tua. Bangsa Iblis sekalipun
belum tentu melakukan kejahatan sebanyak itu. Aku yakin setan
merinding mendengar pengakuanmu. Rasanya kau
tidak layak tinggal di atas dunia ini."
"Lalu aku pantasnya tinggal di mana?"
tanya si alis merah.
"Kau patut tinggal di kakus, comberan atau
neraka jahanam." sahut si gendut tegas. Walau begitu dalam hatinya dia berkata
setengah merutuk. "Kau mau tinggal dimana buat apa aku perduli. Apa kau mengira
aku ini ki lurah yang bertugas mengawasi penduduk?"
Mendengar ucapan si gendut kakek berpa-
kaian hitam beralis merah sama sekali tidak ma-
rah. Dia kemudian malah berkata penuh harap.
"Apa yang kau katakan itu membuat aku semakin
yakin kau pasti sanggup menolongku. Ah, betapa
aku gembira karena hidupku segera berakhir!" ka-ta si kakek, lalu dongakkan
kepala memandang
kegelapan malam.
"Bicaramu kacau. Kau belum mengatakan
pertolongan apa yang bisa kiranya aku berikan.
Bagaimana kau menjadi yakin sedangkan aku be-
lum tentu menyanggupi pertolongan yang kau
minta?" ucap si gendut.
Kakek berbadan tinggi semampai yang me-
nyungkur sujud di depannya kini bangkit berdiri.
Melihat cara orang bergerak yang demikian cepat,
si gendut merasa yakin pastilah orang di depannya
berkepandaian tidak rendah. Kembali Gentong Ke-
tawa berfikir keras untuk mengingat siapa adanya
orang beralis merah ini. Tapi otaknya ternyata tak mampu mengingat.
"Mau tidaknya kau menolongku itu persoa-
lan nanti. Sekarang kau adalah tamuku. Karena
itu sebaiknya ikut ke tempat kediamanku yang le-
taknya tak jauh dari sini."
"Kalau kau beranggapan begitu aku tidak
keberatan. Tapi jika kau ternyata menipuku, aku
tak akan mengampuni dirimu!" kata si gendut.
Kakek alis merah tidak menanggapi. Dia
memutar tubuh, lalu berkelebat ke arah sebelah
timur telaga dengan diikuti oleh kakek Gentong
Ketawa. Tempat tinggal si tinggi besar ternyata tidak
seperti yang dibayangkan oleh si gendut, yaitu
bangunan sederhana yang disekitarnya ditumbuhi
berbagai tanaman dan pohon buah-buahan. Tak
disangka tempat tinggal kakek ini hanya berupa
sebuah gua yang terletak di sebuah celah sempit
yang diapit dua bukit curam dan terjal. Bagian
mulut gua terlindung oleh akar-akaran tetumbu-
han merambat. Jika mata tidak jeli tentu orang ti-
dak mudah menemukan gua ini.
Ketika si gendut mengikuti kakek tinggi
memasuki mulut gua dia melihat cahaya merah te-


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang benderang menerangi seantero penjuru ruan-
gan bagian dalam gua yang luas. Tapi langkah si
kakek mendadak terhenti begitu dia melihat satu
pemandangan aneh dan menyeramkan. Di sebelah
kiri ruangan gua si gendut melihat sebuah kapak
besar menancap di bagian dada sosok mayat yang
telah menjadi kerangka. Kerangka mayat itu ter-
sandar di dinding gua. Tak jauh dari mayat perta-
ma terlihat pula dua sosok mayat lainnya. Kedua
mayat itu tergeletak di lantai dengan tubuh han-
gus gosong mengerikan hingga si gendut tak dapat
memastikan siapa adanya dua orang yang mene-
mui ajal secara menggenaskan ini.
Melihat keadaan mayat-mayat tersebut
mengingatkan si gendut pada satu ilmu ganas
yang di dunia persilatan hanya dimiliki oleh seo-
rang tokoh sesat. Si kakek merasakan tengkuknya
menjadi dingin. Dia memandang mendelik pada
orang yang kini duduk menghadapnya di tengah
ruangan gua. Sekali lagi si kakek pandangi orang
itu, mulai rambut, wajah dan kedua alisnya yang
merah. Ingat akan sesuatu si kakek menepuk ke-
ningnya sendiri. Dengan suara bergetar mulutnya
berucap. "Kalau tak salah bukankah dua orang
yang terbunuh ini akibat terkena hantaman ilmu
Ratap Langit" Kalau tak salah, bukankah engkau
orangnya yang bergelar Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan asli bernama Kala Bayu alias Angin Pe-
sut?" tanya kakek Gentong Ketawa dengan mata
mendelik. Kakek alls merah yang duduk menunggu
sempat unjukkan wajah kaget. Tapi dia kemudian
dengan penuh ketenangan anggukkan kepala.
Dengan tenang pula dia menjawab. "Aku
maklum kegelapan di luar sana membuat engkau
tak segera mengenaliku, orang gendut. Tapi walau
belum pernah berjumpa denganmu, melihat pe-
nampilanmu aku bisa memastikan kau pasti ka-
kek sakti Gentong Ketawa dari gunung Merbabu,"
kata si kakek tinggi. Si gendut diam-diam terkejut tak menyangka orang mengenali
siapa dirinya. Ra-sa kaget si gendut kemudian berubah menjadi ta-
wa. "Katakan terus terang bukankah kau Angin Pesut?" tanya si kakek masih terus
saja tertawa. Ketika Kakek alls merah anggukkan kepala
seketika itu juga tawa si gendut lenyap. Mata si-
pitnya mendelik seperti melihat setan.
"Kau tak salah menerka, orang itu memang
mati akibat terkena hantaman ilmu Ratap Langit
dan benar pula kuakui diriku yang kini berada di
hadapanmu adalah Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan. Namun hendaknya kau ketahui orang
itu terbunuh bukan atas kemauanku sendiri. Dua
orang yang tergeletak di atas lantai itu adalah Iblis Tangan Batu dan Iblis
Lidah Api. Mereka sengaja
datang dari tanah seberang karena ingin meminta
senjata Sakti Panah Matahari. Senjata itu dulu mi-
lik gurunya. Hantu Pembawa Petaka..."
"Panah Matahari. Kalau tak salah kau per-
nah membuat kegegeran dengan senjata itu dian-
taranya dengan membunuh ratusan perajurit se-
napati Waduk Kedung di Kalasan." potong Gentong Ketawa.
Sepasang mata Angin Pesut nampak mere-
dup. "Apa yang kau katakan itu memang tidak
keliru." "Kau bunuh mereka karena kau tak mau mengembalikan senjata curian milik
guru mereka bukan?" tanya si gendut.
Angin Pesut gelengkan kepala.
"Dalam hal ini justeru kau keliru, orang tua.
Panah Matahari kuserahkan pada mereka, namun
mereka meminta belasan kitab curianku yang lain.
Aku tak memberikannya, lalu mereka meminta
nyawaku. Dengan senang hati aku menyuruh me-
reka mengambilnya. Karena sejak aku mengun-
durkan diri dari dunia persilatan dua tahun yang
lalu, aku telah menyatakan bertobat. Tapi
sayang...!" kata Angin Pesut sambil gelengkan kepala. "Mereka tak sanggup
membunuhku. Padahal aku tak melakukan perlawanan sekalipun, meski-pun mereka
menggunakan panah matahari yang
baru saja kuserahkan!"
"Aku merasa senang jika semua yang kau
katakan itu memang benar adanya. Padahal bila
mengenang segala kejahatan yang pernah kau la-
kukan ingin rasanya aku mewakili para tokoh rim-
ba persilatan untuk menghukummu. Hanya bila
kufikir lebih jauh lagi, biarlah waktu yang akan
menghukummu."
"Tidak orang tua. Kau sudah berjanji mau
menolongku. Sekarang aku benar-benar sangat
mengharapkan pertolonganmu itu." kata Angin Pesut setengah meratap.
Tentu saja ucapan kakek alis merah ini
membuat Gentong Ketawa tak dapat menahan ta-
wanya. Beberapa saat kemudian ketika tawa si ka-
kek lenyap dia berkata. "Angin Pesut pertolongan apa yang dapat kau harapkan
dari orang tua geblek macamku ini. Kau manusia yang memiliki se-
gala macam kesaktian, kau bahkan salah satu dari
pentolan tokoh sesat. Kau memiliki segudang ilmu,
lalu pertolongan apa lagi yang bisa kau harapkan
dariku?" "Orang tua, kau adalah sesepuh kaum go-
longan putih. Kau dikenal sebagai memiliki kecer-
dikan luar biasa. Terus-terang aku ingin meminta
padamu agar kau sudi kiranya menguras semua
ilmu yang kumiliki, hingga tidak bersisa barang
satupun. Setelah semua ilmuku kau kuras kau ju-
ga harus membunuhku...!" ujar Angin Pesut.
Tercenganglah si gendut mendengar per-
mintaan Angin Pesut. Beberapa saat lamanya dia
menatap tajam pada kakek yang duduk di depan-
nya dengan mulut tercengang seolah tidak per-
caya. "Angin Pesut, agaknya kau telah kehilangan kewarasanmu. Begitu banyak
manusia di rimba
persilatan ini yang ingin memiliki ilmu kesaktian
tinggi, tapi kau malah ingin menguras ilmumu.
Sungguh permintaanmu itu suatu keinginan gila
dan tak masuk akal"!" ujar si kakek gendut.
Angin Pesut tundukkan wajahnya.
Dengan mata berkaca-kaca dia menyahut.
"Ilmu tinggi tanpa didasari keluhuran budi pekerti hanya membuat seseorang hidup
terpuruk dalam kehinaan. Dia akan menjadi hamba dari amarah
dan budak hawa nafsunya sendiri. Aku tidak bica-
ra dusta, hal itu telah terjadi pada diriku sendiri.
Akibat perbuatanku dulu membuat banyak nyawa
melayang sia-sia. Banyak fihak merasa dirugikan,
sehingga kini sebagian diantaranya menyimpan
dendam kesumat padaku."
"Kau takut pada mereka?"
"Ha ha ha. Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan mengenal rasa takut pada sesama ma-
nusia" Allah. Aku takut Dia tak berkenan men-
gampuni diriku. Dosaku menggunung, melebihi
buih dilautan banyaknya. Aku tidak mau lagi ada
nyawa melayang sia-sia di tanganku." ucap Angin Pesut penuh kesungguhan.
Si gendut tersenyum mencibir. "Mulutmu
berkata begitu, tapi ternyata masih ada saja orang yang kau bunuh!" dengus si
kakek. Ucapan si gendut membuat Angin Pesut ke-
luarkan suara tangis menggerung. Dua tangan di-
remas dan dibantingkan di atas batu besar yang
terdapat di sebelah kirinya.
Plang! Plang! Tangan yang sengaja hendak dihancurkan-
nya itu tidak cidera sama sekali. Malah benturan
tangan dengan batu memijarkan bunga api. Batu
hancur berkeping-keping. Masih dengan menangis
sesunggukan kakek alis merah mengambil palu
batu. Tangan kiri diletakkan di lantai gua yang keras. Lalu palu dihantamkan ke
tangan itu. Treng! Treeng! Tangan kiri tidak remuk Angin Pesut seakan
seperti lupa diri. Dia menyambar pedang baju pu-
tih yang tergantung di dinding gua. Dengan pe-
dang itu dia membabat tangan kanan kiri silih
berganti. Karena dua tangan juga tidak putus, pe-
dang di arahkan ke kaki, lalu berpindah ke perut,
selanjutnya ditikamkannya pula ke dada dan be-
rakhir di kepala.
Pletak! Pletak!
Tak satu pun dari tusukan bacokan mau-
pun tebasan pedang yang mampu menciderai tu-
buh Angin Pesut.
Si gendut yang menyaksikan semua ini dan
tidak sempat mencegah dengan mata terbelalak
kini geleng kepala.
"Hebat. Ini suatu pertunjukan yang jarang
terjadi. Ilmu kesaktianmu begitu tinggi Angin Pe-
sut, sungguh hebat luar biasa. Aku menyatakan
salut kepadamu." memuji kakek Gentong Ketawa.
Tangis Angin Pesut tiba-tiba terhenti. Pe-
dang di tangan kanan yang telah rompal bergugu-
san dicampakkannya ke lantai. Kini dengan mata
mendelik dia menatap si gendut. "Orang tua... aku sama sekali tidak memintamu
untuk mengagumi
apa yang kau lihat. Ucapanmu itu hanya menya-
kitkan perasaanku!" pekik Angin Pesut sedih. "Apa yang kau saksikan saat ini
semuanya sebagai suatu tanda bahwa aku ingin membunuh diri, karena
aku tak ingin menyakiti orang lain. Ketahuilah
orang tua, aku tidak membunuh kedua orang itu.
Iblis Tangan Batu dan Iblis Lidah Api tewas terke-
na serangan ilmu Ratap Langit. Ilmuku itu bekerja
dengan sendirinya tanpa sanggup kukendalikan
bila aku merasakan sakit yang hebat."
"Sungguh satu ilmu yang keji!" desis kakek Gentong Ketawa merinding.
"Bukan hanya keji, tapi juga ganas. Itulah
sebabnya setelah bertobat aku berusaha membu-
nuh diri, karena aku tak ingin ada orang lagi yang celaka di tanganku. Sayangnya
tak satupun senjata yang dapat melukai tubuhku!"
"Ha ha ha. Apakah membunuh diri jalan sa-
tu-satunya untuk menyelesaikan masalah yang
kau hadapi. Angin Pesut" Apa kau mengira Tuhan
tidak menghukummu, jika kau mati secara sesat
seperti itu" Angin Pesut... ketahuilah, berbuat baik setelah bertobat jauh lebih
baik dari membunuh
diri. Orang mati kalau bisa bicara masih ingin hi-
dup. Tapi kau justeru memilih jalan sebaliknya."
kata si kakek. Mendengar ucapan si gendut, Angin Pesut
jadi terdiam mencoba merenungi dan memikirkan
apa yang diucapkan kakek Gentong Ketawa.
7 Apa yang dikatakan oleh si gendut nam-
paknya memang dapat diterima oleh Angin Pesut.
Hingga tak lama kemudian dia berkata. "Kalau begitu aku tak jadi bunuh diri.
Tapi kau harus me-
musnahkan seluruh ilmu yang kumiliki." ujar si kakek kemudian.
"Ha ha ha. Aku tidak keberatan menghan-
curkan ilmu kesaktian yang kau miliki. Tapi sete-
lah melihat begitu tinggi dan banyaknya ilmu yang
kau miliki, rasanya aku tak mungkin sanggup
Pedang Kiri Pedang Kanan 7 Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Payung Sengkala 6
^