Ki Anjeng Laknat 1
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Bagian 1
1 Matahari hampir tenggelam ke balik peraduan-
nya saat pemuda gondrong bertelanjang dada dan ka-
kek berbadan gendut besar luar biasa itu sampai di
sebuah tebing sungai Topo Wates. Beberapa saat la-
manya si gondrong dan si gendut yang bukan lain ada-
lah Gento Guyon dan gurunya kakek gendut Gentong
Ketawa menelusuri tebing curam di tepi sungai Topo
Wates ini mendadak hentikan langkahnya. Si kakek
gendut memandang lurus ke depan, orang tua ini ke-
mudian menarik nafas.
"Matahari baru saja tenggelam, mengapa dae-
rah ini cepat sekali berubah gelap. Padahal tebing ini tidak terlindung oleh
pepohonan tinggi atau gunung
menjulang." berkata si kakek dengan suara perlahan namun juga ada sekelumit rasa
heran dalam nada suaranya itu.
Si gondrong bercelana biru sama mengawasi
tempat sekelilingnya. "Keadaan seperti ini apa aneh-nya. Kiara Condong masih
jauh dari sini. Sebaiknya ki-ta teruskan saja perjalanan ini!" ujar si gondrong
menanggapi. Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Perjalanan tidak diteruskan malam ini. Aku
perlu mencari tempat berlindung untuk melepas lelah.
Besok pagi sekali baru kita lanjutkan perjalanan kita!"
"Mengapa begitu" Aku tidak merasa lelah. Ka-
lau guru mau bermalam di sini sendirian silahkan, sedangkan aku tetap
melanjutkan perjalanan seorang di-
ri." kata Gento.
"Rupanya kau tahu arah ke Kiara Condong?"
tanya si kakek gendut, lalu cibirkan mulutnya.
"Ha ha ha. Ndut... gendut. Itulah gunanya
punya mulut. Walau aku kurang tahu letak daerah itu.
Di perjalanan aku bisa bertanya pada siapa saja yang kujumpai disana. Aku akan
menuju ke arah matahari
terbit. Bukankah daerah yang hendak kita tuju letak-
nya seperti yang kusebutkan tadi?"
Si kakek gendut unjukkan wajah cemberut.
Tanpa pernah terduga tangan kirinya berkelebat me-
nyambar. Tahu-tahu kini bahu kiri Gento sudah bera-
da dalam cengkeraman gurunya.
"Hei, apa-apaan ini gendut" Apakah kau sudah
gila!" teriak si pemuda. Lalu dengan gerakan cepat Gento Guyon gerakkan bahunya
yang dicengkeram gurunya. Tapi jangankan terlepas, sebaliknya akibat gerakan
meloloskan diri yang dilakukannya membuat
cengkeraman semakin bertambah keras. Sakit yang di-
timbulkan akibat cengkeraman itu sungguh sangat
luar biasa sekali.
"Kau tidak pernah pergi kemanapun, apalagi
untuk pertemuan para pendekar di Kiara Condong
tanpa diriku! ha ha ha."
"Gendut sinting. Kau berlaku sesuka hatimu
pada muridmu. Jangan salahkan jika aku terpaksa
bersikap kurang ajar!" selesai berucap dengan gerakan cepat bukan main si pemuda
memutar tubuhnya, lalu
sikunya dihantamkan ke dada gurunya yang gembrot.
Desss! Tak menyangka mendapat serangan seperti itu
dari muridnya. Tubuh besar dengan bobot lebih dari
dua ratus kati itu jatuh terpental. "Walah bocah edan, memukul tidak bilang!"
damprat si kakek. Dengan gerakan ringan si kakek bangkit berdiri. Ia usap
dadanya bekas pukulan yang berwarna kemerahan. Di depannya Gento Guyon berdiri
berkacak pinggang.
"Kau mau minta tambah lagi ndut?" tanya Gen-
to disertai seringai mengejek.
Kakek gendut Gentong Ketawa tersenyum sinis
pula. Enak saja dia menjawab. "Boleh juga, sudah lama aku menginginkan hal
seperti ini. Pukulan dan
tendangan bisa membuat badanku seperti dipijit. Tapi jika cuma pukulan seperti
yang kau lakukan ini, bagiku tidak ada artinya sama sekali. Sekarang carilah
bagian tubuhku yang paling empuk, kau boleh menghan-
tam bagian mana saja yang kau suka. Ha ha ha." Dan si gendut pun kemudian
tertawa gelak-gelak.
Baru saja murid si Gento Guyon hendak men-
gatakan sesuatu, mendadak sontak terdengar suara
bergemuruh hebat yang datang dari arah sebelah sela-
tan muara sungai Topo Wates. Gento tercekat, sebaliknya tawa si kakek lenyap
seketika. Orang tua itu me-
mutar badan menghadap langsung ke arah terdengar-
nya suara menggemuruh yang semakin bertambah ke-
ras itu. Dalam kegelapan petang menjelang malam,
murid dan guru sama pentang matanya lebar-lebar.
Tak ada kata yang terucap, namun baik Gento dan si
kakek tanpa sadar segera bersikap waspada.
Suara bergemuruh semakin mendekat disertai
dengan hembusan angin kencang yang pada akhirnya
diiringi dengan munculnya cahaya putih bergulung-
gulung ke arah si kakek.
Melihat cahaya putih yang datang bersama pu-
saran angin bergemuruh yang menyergap ke arah si
kakek. Maka Gento pun berteriak keras.
"Gendut menyingkir!"
Dan sebelum teriakan si pemuda lenyap si gen-
dut dengan gerakan cepat jatuhkan diri lalu bergulingan menjauhi sergapan cahaya
putih itu. Serangan ca-
haya aneh yang datang ini begitu luput dari sasaran-
nya kini malah menyerang ke arah Gento yang berdiri
di depannya. Tak tinggal diam pemuda itu hantamkan
kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam ke
arah cahaya putih yang begulung berputar ke arahnya.
Begitu dua tangan dilontarkan sinar merah menderu,
sedangkan sosok Gento melesat ke udara.
Buuuum! Benturan yang demikian keras tidak membuat
pecahan cahaya putih itu hancur atau tercerai berai.
Malah kini setelah bergetar hebat bergerak ke kiri me-labrak Gentong ketawa. Si
kakek tercekat, dia melihat di sebelah sana Gento baru saja jejakkan kakinya.
Walaupun saat itu suasana dalam keadaan gelap, namun
agaknya si kakek tahu muridnya mengkhawatirkan
keselamatannya.
Sama seperti apa yang dilakukan oleh Gento
tadi, si gendut pun tanpa membuang waktu segera do-
rongkan kedua tangannya ke arah lingkaran cahaya
yang berpilin-pilin mengejar ke arahnya.
Wuuut! Plesh! Satu keanehan yang sulit dipercaya terjadi. Sa-
tu gelombang angin yang bersumber dari pukulan si
kakek menderu dan menghantam lingkaran cahaya
putih yang bergerak disertai hembusan angin keras
luar biasa. Tapi yang mengherankan dan membuat si
gendut geleng kepala, hantaman bertenaga dalam ting-
gi yang dilepaskannya tadi sama sekali tidak membawa akibat apa pun sebagaimana
yang diharapkannya. Malah kini Gentong Ketawa merasakan seolah tubuhnya
ikut tertarik memasuki lingkaran cahaya putih yang
terus bergerak ke arahnya.
Dalam keadaan heran bercampur rasa kecut itu
si kakek kembali mengumbar pukulan-pukulan maut-
nya. Tapi gerakan maupun serangan yang dilakukan-
nya ini saking kerasnya daya tarik sang cahaya di dalam pandangan muridnya
segala gerakkan yang dila-
kukan si kakek seolah seperti gerakan orang tenggelam menggapaikan tangannya.
"Guru.... apa-apaan kau?" seru Gento yang
menganggap gurunya terus bercanda.
Pada saat itu si kakek semakin tenggelam da-
lam lingkaran cahaya putih. aneh yang mengurungnya.
"Gento... kau larilah selamatkan dirimu!" dalam keadaan terjebak demikian rupa
si kakek berteriak
memberi ingat pada muridnya. Melihat keadaan gu-
runya yang seperti tidak berdaya. Barulah Gento men-
gerti bahwa yang dilihatnya tadi bukan suatu kenya-
taan yang dibuat-buat melainkan satu bukti bahwa
gurunya saat itu tengah menghadapi satu masalah
rumit tak terpecahkan. Apapun dan dari manapun asal
usul cahaya putih yang datang bersama hembusan to-
pan puting beliung itu Gento tidak tahu sama sekali.
Hanya pemuda itu merasa pasti ada sesuatu yang ti-
dak beres bakal segera terjadi. Karena itu dengan hati diliputi perasaan tegang
Gento mencoba menolong gurunya. Dia melompat ke depan, tangan kiri siap mele-
paskan pukulan sakti Raja Dewa Ketawa sedangkan
tangan kanan siap menghantam dengan pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis. Masing-masing pukulan sakti itu adalah warisan gurunya
Gentong Ketawa dan Tabib
Setan. Dua tangan siap di dorongkannya ke depan.
Tapi tak urung si gondrong bertelanjang dada ini di-
buat melengak ketika melihat kini betapa sosok gu-
runya kini sudah terangkat naik terbungkus dalam
lingkaran cahaya putih yang terus berputar seperti
gasing. "Guru... apa yang terjadi dengan dirimu!" teriak Gento cemas.
Dari balik cahaya sebening kaca mulut si kakek
nampak bergerak-gerak seolah memberi jawaban. He-
rannya Gento sama sekali tak dapat mendengar suara
gurunya. Seolah suara si kakek terhalang satu tembok kaca. "Kurang ajar!
Bagaimana semua ini bisa terjadi?" seru Gento sengit dan tanpa fikir panjang
lagi dua tangannya langsung dihantamkan ke atas.
Wuuuues! Wuuus!
Sinar merah dan sinar biru berkiblat melesat
cepat dari telapak tangan pemuda itu, tapi karena jarak sasaran sudah sangat
jauh dari jangkauan maka
pukulan Gento yang menghantam tepat pada sasaran
tidak menimbulkan akibat apa-apa. Sementara itu ca-
haya putih yang berhasil memulas dan menggulung
tubuh si gendut kini terus melesat bersama si kakek
yang telah diringkusnya.
"Celaka, guru..."!" desis si gondrong. Tanpa membuang waktu lagi pemuda ini
mengejar ke arah
lenyapnya Gentong Ketawa. Sampai di satu tempat dia
terpaksa hentikan pengejaran begitu melihat cahaya
yang membawa gurunya mendadak raib dari pandan-
gan mata. "Kurang ajar" Tidak akan ada cahaya yang
mampu membawa guruku. Aku yakin cahaya itu pasti
berasal dari ilmu kesaktian seseorang. Tapi siapa
orangnya yang memiliki ilmu sehebat itu. Guruku yang gendut saja mampu diringkus
dan dibawanya, apalagi
aku" Kemana aku harus mencari. Mungkinkah ada se-
seorang yang tidak menghendaki aku dan guruku pergi
ke Kiara Condong" Aku mencium adanya satu gelagat
yang tidak baik. Aku harus menyelidiki semua ini. Aku berharap tidak terjadi
sesuatu yang tidak diingini pada si gendut. Malam begini gelap, apakah aku harus
terus mengejar guruku atau bermalam di daerah ini." kata Gento seorang diri.
Pemuda ini menarik nafas pendek. Kemudian
dia duduk di atas gundukan batu besar. Dia terdiam,
tercenung dan mencoba memikirkan segala suatu yang
baru saja terjadi pada gurunya. Selagi Gento terom-
bang ambing dalam fikirannya sendiri. Pada saat yang sama hidungnya mengendus
bau sesuatu yang sangat
menyengat. Bau kemenyan.
Gento melengak kaget, cepat dia palingkan ke-
pala dan memandang ke arah mana bau menyengat
yang membuat dingin tengkuknya itu berasal. Tidak
ada sosok apapun yang terlihat, terkecuali kegelapan yang demikian pekatnya.
"Aneh, tidak ada siapapun, tidak ada pula
hembusan angin. Tapi aku mencium bau aneh ini ber-
campur bau orang yang sudah hampir mati. Jangan-
jangan memang ada mahluk halus pemakan kemenyan
gentayangan di sekitar tempat ini?" fikir si pemuda.
2 Tak lama berselang belum lagi hilang rasa he-
ran di hati sang pendekar, mendadak terlihat ada cahaya putih laksana kilat
menyambar dari langit. Seketika kegelapan di sekitar bibir tebing di tepi sungai
Topo Wates berubah menjadi terang benderang. Dan
pemuda itu mengusap matanya beberapa kali ketika
melihat di sebelah kirinya entah dari mana datangnya
muncul kabut putih tebal mengapung di udara dalam
ketinggian tidak lebih dari setengah tombak. Selagi
pemuda itu diliputi rasa heran yang amat sangat, ca-
haya kilat lenyap dan suasana di sekeliling tempat itu kembali di saput
kegelapan. "Anak manusia yang bernama Gento Guyon.
Lihat dan pandanglah kemari!" satu suara berseru membuat Gento melengak kaget
dan berpaling ke arah
mana suara tadi terdengar. Kali ini Gento benar-benar melengak kaget. Tidak jauh
di sebelah kirinya dimana tadi kabut putih munculkan diri kini berdiri tegak se-
sosok tubuh. Sosok dalam rupa seorang kakek tua
renta bermata jernih dengan tatap matanya yang me-
nyorot tajam namun mengandung sejuta kasih dan ke-
lembutan. Sosok kakek itu berpakaian serba putih,
kedua pipi cekung, gigi putih laksana kilauan mutiara.
Sedangkan di atas kepala orang tua ini bertengger sebuah songkok putih yang
menutupi rambutnya yang
juga putih dalam keadaan tergelung.
Melihat kemunculan orang tak dikenal, timbul
kecurigaan di hati sang pendekar bukan mustahil ke-
munculan orang tua berwajah bersih seakan tanpa do-
sa ini ada kaitan dengan lenyapnya sang guru.
Walaupun begitu Gento untuk beberapa saat
lamanya tak mampu bicara apapun melihat kemuncu-
lan orang tua yang tidak terduga ini.
"Pemuda gondrong, aku datang untuk menjem-
put mu lalu membawamu ke suatu tempat yang jauh
dari gemerlapnya kehidupan dunia." kembali si kakek berucap.
Gento tersenyum, lalu ajukan pertanyaan.
"Orang tua siapa dirimu ini" Kau mengatakan hendak menjemputku dan meninggalkan
gemerlapnya kehidupan dunia. Maksudmu apakah kau hendak membawa-
ku ke akherat?"
Kakek di depan Gento tersenyum. Dia kemu-
dian menjawab. "Kau boleh memanggilku Manusia Seribu Tahun. Aku bukan hendak
membawamu ke akhe-
rat. Tapi ke satu tempat yang kuberi nama Alam Batas Kehidupan."
Gento tertawa bergelak. Sesaat setelah tawanya
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lenyap dia berucap. "Alam Batas Kehidupan" Tempat apakah itu" Apakah alamnya
orang-orang sekarat dan
mereka yang hendak mati" Huh...orang tua, siapapun
dirimu. Ketahuilah sekarang ini fikiran ku sedang pusing, begitu banyak
persoalan yang harus kuselesaikan bersama guruku. Tapi entah siapa yang punya
ulah, mendadak guruku lenyap entah dibawa kemana oleh
cahaya putih celaka. Atau mungkin kau tahu kemana
cahaya putih itu membawa guruku?" tanya sang pendekar sambil menatap sosok kakek
yang berdiri men-
gambang di atas tanah.
"Mengenai gurumu tidak susah kau fikirkan.
Nasibnya tergantung apa yang dia lakukan. Takdir
apapun yang terjadi pada gurumu, semua itu merupa-
kan kehendak Gusti Allah, tak seorang pun manusia
yang dapat menentang takdir kehendak Tuhan!" si kakek menjawab.
"Orang tua, apa yang kau katakan adalah sua-
tu kenyataan yang tidak dapat ku pungkiri. Tapi terus terang aku tidak dapat
pergi begitu saja tanpa aku ta-hu bagaimana nasib guruku!"
"Bocah nakal, waktuku tidak banyak. Sudah
kukatakan jangan kau fikirkan gurumu. Kau harus
ikut denganku, sekarang juga!!" tegas si kakek namun tetap dengan nada lembut
membujuk. Sang pendekar menyeka wajahnya, memandang
ke arah si kakek sesaat kemudian tawanya pun mele-
dak. "Kakek aneh, aku bukan barang yang gampang di tenteng mudah dibawa. Aku
juga bukan bocah tolol
yang mau ikut dengan orang yang tak kukenal begitu
saja, tanpa kuketahui maksud dan tujuanmu memba-
waku. Jika kau tak mau mengatakan tujuanmu yang
sebenarnya, jangan harap aku ikut denganmu!" tegas Gento. "Hem." si kakak
menggumam sambil usap-usap jenggotnya yang putih berkilau. "Gento... aku
membawamu ke tempat kediamanku karena aku ingin menja-
dikan mu sebagai seorang pendekar sakti. Seorang
pendekar bukanlah seperti dirimu yang sekarang. Kau
harus digembleng lagi secara lahir batin. Hingga kelak bukan hanya keadaan
lahirnya saja yang menjadi kokoh, tapi sebaliknya batinmu juga akan memiliki ke-
kuatan yang seimbang. Harusnya kau patut bersyukur
kepada Gusti Allah karena kau terpilih olehku menjadi manusia yang kuharapkan
dapat menegakkan keadilan dan menjadi pembela kebenaran, menolong kaum
lemah yang tertindas dari tangan penguasa yang sewe-
nang-wenang dan kejamnya kehidupan dunia ini. Itu
adalah bagian yang terkecil yang perlu kusampaikan
kepadamu. Sekarang bersiap-siaplah kau untuk mela-
kukan perjalanan denganku!" berkata begitu kakek yang mengaku bergelar Manusia
Seribu Tahun itu tanpa terduga julurkan tangannya. Anehnya tangan yang
terjulur itu mendadak berubah panjang, meliuk berke-
lok-kelok bagaikan lidah siap melilit tubuh sang pendekar. Meskipun Gento sempat
dibuat heran juga me-
lihat tangan si kakek dapat berubah sedemikian rupa.
Tapi Gento tak kehilangan kewaspadaannya. Ketika dia melihat tangan si kakek
mencengkeram ke arah ping-
gang pemuda ini melompat mundur selamatkan diri
sambil melepaskan pukulan mautnya.
Wuuus! Dari telapak tangan Gento lidah api mencuat
dan menyambar tangan si kakek. Orang tua ini diam-
diam terkejut, tapi kemudian mengumbar senyum
sambil berkata. "Pukulan Selaksa Duka" Sungguh pukulan seperti itu dimataku
menjadi tidak berguna!"
Habis berkata tangan si kakek yang terjulur
dan berubah menjadi panjang itu kemudian sengaja di
tadahkan. "Sengaja mencari mati, buntung tanganmu!"
desis si pemuda dalam hati. Dan dengan telak pukulan itu menghantam tangan si
kakek. Besss! Dengan telak pukulan yang dilancarkan Gento
mengenai sasarannya. Tapi sungguh aneh pukulan
yang menghantam tangan kakek itu sama sekali tidak
mengakibatkan apapun bagi Manusia Seribu Tahun.
"Bukan aku bicara sombong andaipun kau per-
gunakan seluruh ilmu pukulan yang kau miliki. Bagi-
ku semua itu tidak akan ada gunanya. "kata si kakek.
Mendengar ucapan orang yang terkesan men-
cemooh itu Gento jadi kesal sehingga tanpa bicara
apapun murid si kakek gendut Gentong Ketawa ini se-
cara bertubi-tubi dan silih berganti mengumbar puku-
lan mautnya. Pukulan maut yang dilepaskan secara berun-
tun itu menimbulkan ledakan-ledakan keras mengge-
legar membuat tebing di pinggir sungai itu laksana di guncang gempa. Tapi
kenyataan yang terjadi di depannya sungguh membuat Gento jadi tercengang. Sosok
kakek di depannya sana walaupun terkena pukulan
Gento yang bertubi-tubi, jangankan terluka atau ro-
boh, sedang bergeming pun tidak.
"Celaka! Kakek ini kukira bukan manusia bena-
ran, tapi mungkin setan yang menjelma menjadi ma-
nusia" Jika dia memang manusia sungguhan pasti se-
jak tadi tubuhnya hancur berkeping-keping terkena
pukulanku!" batin Gento dalam hati sambil menarik nafas dan gelengkan kepala.
Di depannya sana sambil tersenyum seolah
mengerti apa yang tersimpan di lubuk hati pemuda itu Manusia Seribu Tahun
berucap. "Ketahuilah anak manusia yang bernama Gento Guyon. Aku bukan setan,
bukan pula iblis, bukan hantu atau sebangsanya me-
medi. Diriku sama halnya seperti dirimu. Terdiri dari darah, tulang dan daging.
Cuma aku memiliki tingka-tan lebih tinggi dari manusia lain. Sekarang... demi
ke-baikanmu sendiri kau harus ikut denganku. Pergi ke
suatu tempat....!"
"Ha ha ha! Bicara melantur boleh saja. Tapi
persoalannya menjadi tidak semudah yang kau
bayangkan. Kau boleh membawa pergi bayangan ku,
orang tua. Sedangkan aku bebas pergi kemanapun aku
suka!" berkata begitu murid Gentong Ketawa ini balikkan badan lalu berkelebat
pergi tinggalkan Manusia
Seribu Tahun. Dalam gelapnya malam sosok Gento lenyap dari
pandangan si kakek. Orang tua itu tertawa bergelak.
"Ha ha ha. Bocah keblinger. Kau belum tahu,
gerak dan langkahku tidak terbatas pada jarak, ruang dan waktu. Walaupun kau
dapat lari secepat yang dilakukan setan, namun aku dapat mengejarmu hanya
dalam sekedipan mata!" kata si kakek.
Di kejauhan sana Gento yang masih mendengar
ucapan Manusia Seribu Tahun sambil terus berlari
sunggingkan senyum sinis. "Dasar kakek gila. Dia
mengira dapat mengejarku yang sudah berlari sejauh
ini. Coba saja kalau mampu!"
Plash! Jlik! "Hah....!" Gento terperangah. Sekonyong-
konyong langkahnya terhenti ketika secara tak terduga orang yang ditinggalkannya
kini telah menghadangnya.
"Kau hendak lari kemana, bocah" Aku baru sa-
ja hendak menunjukkan mu suatu jalan menuju ke
surga, tapi kau malah memilih jalan ke neraka. Sung-
guh manusia tolol!"
"Orang tua, aku tak sudi ikut denganmu!" dengus si gondrong. Seperti tadi dia
cepat balikkan badan dan siap meninggalkan Manusia Seribu Tahun. Tapi
apa yang terjadi kemudian membuat pemuda ini terce-
kat. Mendadak dia merasa sekujur tubuhnya tak dapat
digerakkan, kaku seperti tertotok walau sebenarnya
Manusia Seribu Tahun tidak menotoknya.
"Habis sudah! Apa yang dilakukan kakek ini
terhadapku" Aku hanya merasakan hembusan angin
menerpa punggungku, setelah itu aku tak mampu ber-
gerak sama sekali!" Sang pendekar diam-diam mengeluh. Sebelum Gento sempat
bicara apapun atas keja-
dian yang menimpa dirinya, pada saat itu dia merasa-
kan ada satu tangan yang begitu besar mencengkeram
pinggangnya. Setelah itu Gento merasa tubuhnya se-
perti diangkat dan dibawa melesat ke udara.
"Hei, apa-apaan ini...!" teriak si gondrong, sedangkan tangannya menggapai kian
kemari mencari selamat. Pada saat itu terdengar bentakan di belakang-
nya. "Kau mau meloloskan diri, lalu minggat mencari gurumu. Lakukanlah, aku akan
melepaskanmu. Begitu kulepas tubuhmu akan melayang dan jatuh. Sampai
di bawah kepalamu menghempas batu lalu remuk. Ji-
ka kepalamu hancur, rohmu gentayangan penasaran,
tidak diterima langit tidak diterima bumi!"
"Sialan memang sekarang aku berada di ma-
na?" teriak Gento masih juga meronta.
"Ha ha ha. Buka matamu, setelah itu lihat ke
bawah!" seru si kakek keras.
Tanpa sadar Gento lakukan apa yang diperin-
tahkan si kakek. Mendadak sontak gerakan meronta
yang dilakukannya terhenti. Mata si pemuda mendelik
besar mulut ternganga. Tubuh menggigil tengkuknya
tidak terasa tengkuk lagi, melainkan setelah berubah menjadi dingin laksana es.
Dengan suara bergetar, dan dalam takut yang demikian mencekam Gento akhirnya
mampu juga membuka mulut ajukan pertanyaan.
"Kk... kau membawaku terbang?"
"Ha ha ha! Anggap saja begitu!" menyahuti si kakek. "Ah, gila. Sulit kupercaya.
Tidak punya sayap kok bisa terbang!" desis sang pendekar dengan perasaan kecut.
Dalam takutnya diapun pejamkan mata.
Sedangkan hati tidak putus-putusnya memanjatkan
doa. Dalam keadaan seperti itu pula tanpa sadar ba-
gian bawah celana Gento basah kuyup, entah karena
keringat atau air kencing.
3 Dinginnya udara malam menjelang pagi terasa
mencucuk hingga ke sumsum tulang. Suasana dalam
keadaan gelap dan hanya diterangi cahaya bintang
gemintang yang bertaburan angkasa sana.
Di satu pendataran tanah berbatu, satu sosok
terkapar disitu dalam keadaan menelentang, sedang-
kan tangan serta kedua kakinya terbelenggu empat
rantai panjang terbuat dari batu yang kerasnya mele-
bihi baja. Sosok itu sama sekali tidak bergerak, wajah
menengadah ke atas sedangkan kedua matanya yang
terlindung rambut panjang awut-awutan melotot me-
mandang ke arah bintang yang bertaburan di langit.
Dilihat sepintas lalu sosok berpakaian hitam ini
tidak ubahnya seperti orang yang sudah meninggal
dunia, karena sekujur tubuhnya seakan diam membe-
ku, sedangkan dada sama sekali tidak bergerak seba-
gaimana umumnya orang yang sudah mati.
Keadaan seperti itu ternyata tidak berlangsung
lama karena sesaat kemudian satu keanehan terjadi
pada diri orang ini. Sosok yang diam itu bergetar hebat, getaran diiringi dengan
keluarnya asap tipis yang bergulung-gulung seperti kabut. Kabut itu kemudian
menebar ke seluruh permukaan tubuh si gadis, hingga
sosoknya seolah lenyap. Seiring dengan itu pula, tangan dan kaki yang
terbelenggu rantai bergetar hingga menimbulkan suara berkerontakan berisik.
"Hraaagh...!"
Terdengar suara pekik melengking. Kabut putih
yang menyelimuti sosok kakek berpakaian hitam le-
nyap. Bersamaan dengan itu pula belenggu rantai batu yang melilit kedua tangan
dan kaki si kakek berubah
merah laksana bara. Cahaya merah semakin menjadi-
jadi. Anehnya si kakek tidak merasakan panas akibat semua ini. Malah dia dengan
segenap tenaga yang dia
miliki akhirnya menggerakkan kedua kaki dan tangan-
nya serentak. Rettt! Raaak! Satu sentakan yang keras luar biasa membuat
rantai batu hancur menjadi kepingan bara api menyala yang berlesatan ke segala
penjuru arah dan menerangi suasana di sekelilingnya yang di saput kegelapan.
Begitu tangan serta kakinya terbebas dari be-
lenggu rantai batu meledaklah tawa sosok kakek ber-
pakaian hitam itu. "Ha ha ha! Pada akhirnya aku dapat juga menikmati kebebasan
dari akhir sebuah hukuman. Sekarang aku dapat pergi kemanapun aku su-
ka.!" kata orang tua itu.
Dia lalu gerakan badan dan duduk di tempat
mana dirinya selama ini terbaring. Baru saja suara si kakek lenyap. Di
belakangnya tiba-tiba terdengar satu suara menyahuti. "Kau tidak akan pernah
pergi kemanapun, tua bangka. Walau kau mampu membebaskan
diri dari rantai batu yang membelenggu tangan dan
kedua kakimu!"
Bagaikan di sengat kalajengking yang sangat
berbisa, si kakek berjingkrak kaget, serentak dia memutar badan menghadap ke
belakang lalu matanya je-
lalatan memandang ke depan. Kakek yang baru terbe-
bas dari belenggu rantai jadi tercekat.
Wajahnya memucat dibasahi keringat dingin.
Sepasang mata membeliak sedangkan mulut ternganga
lebar. "Kunti Menak.... Bagaimana kau tahu-tahu muncul kembali di sini?" desis
si kakek. Heran juga merasa jerih. Dalam gelapnya malam si nenek dongakkan
wajah, lalu tongkat hitam di tangan kiri diketukkan di atas batu tiga kali.
Setelah itu perempuan berbadan bongkok inipun mengumbar tawanya.
Puas dia tertawa nenek yang dipanggil Kunti
Menak menatap lurus ke arah kakek yang duduk di
depannya. "Aku bisa muncul di mana saja Ki Anjeng Lak-
nat! Aku gentayangan seperti setan, walaupun aku bu-
kan turunan setan sungguhan. Hik hik hik!" jawab perempuan itu disertai tawa.
"Kunti, apapun katamu, sekarang aku mohon
kebijaksanaan mu. Dulu kau pernah mengatakan, jika
aku mampu menghancurkan rantai batu ini, berarti
aku sudah bebas dari hukumanmu. Sekarang aku
mampu menghancurkan rantai batu yang telah mema-
sung ku selama ini. Sesuai dengan perjanjian aku min-ta kebebasan!" ujar si
kakek. Nenek di depannya berkacak pinggang. Dari
mulut perempuan itu terdengar suara dengusan pan-
jang. Sementara dada si nenek nampak kembang kem-
pis seakan tengah berusaha meredam satu gejolak
yang membuncah di dalam hatinya. Dengan suara lan-
tang dia membentak. "Kau tidak akan pernah mempe-roleh kebebasan apapun Anjeng
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laknat. Aku telah ke-
hilangan segalanya. Kau harus menjalani hukuman
lain sampai tiba masanya rasa puas di hati gundah di hatiku hilang tak
berbekas."
"Kunti.... segala sesuatu yang telah terjadi tak mungkin dapat kembali
sebagaimana keadaan semula.
Muridmu yang tewas tak mungkin dapat hidup lagi.
Semuanya sudah merupakan takdir ketentuan yang
maha kuasa. Lagi pula muridmu kini sudah ada yang
menggantikan, yaitu anaknya. Dia sudah menjadi pe-
muda dewasa, selain itu dia bahkan telah mewarisi
hampir semua ilmu yang diturunkan oleh adikku. Se-
harusnya kau merasa bangga mempunyai cucu sehe-
bat Lira Watu Sasangka. Aku sudah menerima salah....
aku jalani hukuman yang kau jatuhkan selama hampir
dua puluh tahun. Jika saja aku tidak mengingat hu-
bungan lama, apakah kau mengira aku mau kau per-
lakukan seperti ini" Aku bisa bertempur denganmu
sampai salah seorang dari kita terpaksa menjadi bang-kai tak berguna."
Mendengar ucapan si kakek, nenek bertongkat
hitam itu merasa darahnya laksana mendidih. "Tua bangka keparat. Apapun alasanmu
kau tetap tidak dapat menghidupkan muridku yang sudah mati. Ki An-
jeng Laknat hukuman itu harus kau jalani lagi, paling tidak sampai sepuluh tahun
mendatang. Jika kau menolak aku akan jatuhkan tangan keras kepadamu!" Si nenek
mengancam. Ki Anjeng Laknat tertawa tergelak-gelak, lalu gelengkan kepala.
"Kunti.... menurutkan sebaiknya kita sudahi
saja persoalan ini. Kau seharusnya ingat dulu kau
adalah kekasihku. Karena persoalan Mawar Pelangi
membuat hubungan kita yang baik menjadi renggang.
Sekarang sudah saatnya kita berbaikan kembali, lalu
kita jalani hidup ini sebagaimana adanya susah se-
nang kita tanggung berdua. Kita bahkan bisa menik-
mati manisnya sisa madu asmara meskipun kita su-
dah tua. Ha ha ha!"
Merah padam wajah si nenek, kedua matanya
mendelik besar. Mata berkilat-kilat memancarkan ca-
haya kebencian. Dengan geram pula dia membentak.
"Tua bangka keparat. Aku ingat, dulu pernah menjadi kekasihmu selama belasan
tahun. Tidak terhitung kau
mengajakku berbuat terkutuk, tapi kau tidak pernah
mau bersedia menikahi ku. Tua bangka tak bertang-
gungjawab. Jangan kau pernah berfikir kita bisa ber-
baikan kembali, kau tetap berada disini. Aku akan merantai mu, sampai tiba
saatnya masa pembebasan se-
puluh tahun yang akan datang!" Kunti Menak mene-gaskan. Lalu laksana kilat dia
gerakan tangannya ke
udara, detik kemudian entah dari mana datangnya di
tangan si nenek tergenggam dua buah rantai batu baja yang berlubang pada bagian
tengahnya. Melihat dua
benda di tangan si nenek, Ki Anjeng Laknat tercekat.
Dia sadar, walau rantai itu terlihat sebagai barang
yang sangat sederhana namun bila sampai dilempar-
kan ke udara bisa berubah menjadi senjata yang san-
gat berbahaya. Setiap saat ujung rantai bisa meliuk, melilit atau mematuk tidak
ubahnya seperti seekor
ular. "Kunti... kau jangan main-main dengan benda di tanganmu, urungkan
keinginanmu. Sebaiknya kita
berdamai dan akhiri segala silang sengketa yang terjadi antara kita selama ini!"
pinta Ki Anjeng Laknat.
"Siapa yang main-main?"
"Kunti kekasihku"!"
"Aku bukan kekasihmu!" hardik si nenek tegas.
"Oh Kunti. Ingat... Kunti, aku menyesal atas kejadian itu. Namun satu hal yang
harus kau sadari, jika seluruh manusia dan jin bersatu kekuatan untuk
menghidupkan orang yang mati, semua itu tidak
mungkin pernah tercapai. Tidak ada manusia yang
mampu menentang kehendak takdir yang telah diga-
riskan Gusti Allah." Si kakek masih berusaha menya-darkan Kunti Menak.
Perempuan itu tertawa panjang menyeramkan.
"Gusti Allah, kau ingat pada Nya" Selama hidup kau bergelimang kesesatan
bermandi dosa. Selama hidup
banyak orang kau bunuh semena-mena, banyak pula
anak gadis orang yang kau nodai. Ini salah satu kor-
ban dari ilmu tololmu itu!" selesai berkata si nenek dengan gerakan perlahan
ketukkan tongkat hitam di
tangannya. Tanah kemudian bergetar disertai suara
gemuruh hebat. Api menyala yang menerangi pendata-
ran puncak bukit tersibak, lalu tanah di bagian bawah
api unggun meledak. Api unggun bertebaran di udara,
bersamaan dengan itu dari bagian tanah yang meledak
melesat satu sosok tubuh berambut panjang riap-
riapan. Si nenek melesat ke udara, dengan tangan ka-
nan dia sambuti sosok telanjang yang baru saja ter-
lempar keluar dari dalam tanah yang terbelah itu.
Kemudian ketika si nenek jejakkan kakinya ke
tanah, dia memondong sosok tubuh perempuan telan-
jang tadi. Dengan perlahan dia baringkan sosok kaku
telanjang di atas tanah.
Sejurus dia memandang ke depan, setelah itu
dia berseru. "Ki Anjeng Laknat kau lihatlah perempuan malang ini. Tubuhnya putih
mulus, dada montok ping-gul bagus. Perempuan secantik ini seharusnya tidak
mati secepat itu. Dia layak hidup lima puluh tahun la-gi, dia pantas mendapat
kehangatan pelukan laki-laki.
Tapi... karena ulahmu dia menemui ajal secara sia-
sia.!" Di depan sana Ki Anjeng Laknat sibakkan sebagian rambutnya yang memutih
panjang riap-riapan
menutupi wajah. Sepasang mata yang seperti amblas
ke dalam rongga terbuka lebar. Bagian hidungnya yang seperti remuk bekas
benturan benda keras kembang
kempis mengendus. Dengan tatap tak berkedip dia
pandangi sosok yang dalam keadaan polos telanjang
tanpa nyawa tersebut. Sosok mayat telanjang itu me-
mang tidak kehilangan kecantikannya bagian tubuh
masih utuh karena si nenek sengaja membaluri mayat
itu dengan sejenis ramuan yang membuatnya tidak ru-
sak. Sedetik lamanya si kakek merasa darahnya lak-
sana mendidih, tenggorokan turun naik. Namun bila
perhatiannya beralih ke arah bagian perut, si kakek
mendadak merasa mual dan jadi miris sendiri.
Di bagian perut mayat terdapat sebuah luka
menganga yaitu berupa robekan besar memanjang.
Luka itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu,
saat si mayat yang bernama Mawar Pelangi hendak
melahirkan anaknya. Meskipun dua puluh tahun telah
berlalu luka itu nampaknya tidak pernah berubah, be-
gitu juga dengan tubuhnya yang hanya tinggal sosok
tanpa nyawa. "Tatap dan pandanglah baik-baik. Pandang
dengan hati nurani mu sebagai manusia, bukan den-
gan nafsumu. Andai dia yang sudah mati bisa bicara,
dia pasti ingin membunuhmu seratus kali. Kebencian
serta rasa dendamnya kepadamu dia bawa sampai ma-
ti. Ki Anjeng Laknat, ingatlah akan segala kesalahan yang telah kau perbuat,
buka fikiranmu, lapangkan
dadamu!" kata si nenek dengan suara perlahan namun membuat si kakek jadi
tersentak kaget.
Dengan suara tersendat dia kemudian menja-
wab. "Semuanya terjadi luar perhitungan. Aku ingin menjadikan anaknya sebagai
raja diraja dunia persilatan. Jika akhirnya nyawa Mawar tidak tertolong, tentu
ini diluar kuasa dan kemampuanku!" Ki Anjeng Laknat membela diri.
"Puah, laki-laki keparat. Enak saja kau bicara.
Serahkan kedua tangan serta kedua kakimu jika tak
ingin mencari perkara!" hardik Kunti Menak.
"Kunti aku tidak takutkan dirimu. Aku menga-
lah semata-mata karena aku masih punya rasa cinta
kepadamu. Aku tak tega menurunkan tangan jahat
kepadamu. Kunti, percayalah walau kita sudah sama
tua cintaku padamu selalu panas menggebu. Bukan-
kah lebih baik kau lupakan saja mimpi buruk itu. Kita bisa menjalin cinta
kembali, bersenang-senang layak-nya pengantin"!"
Semakin bertambah gusar Kunti Menak men-
dengarnya. Sambil menahan kemarahan si nenek pan-
dang sosok Mawar yang tergeletak dekat api unggun.
Melihat mayat itu terkenang kembali segala kejadian
yang telah berlangsung puluhan tahun yang silam.
4 Puri Bahagia Setan dua puluh tahun yang lalu.
Pagi itu mendung tebal menyelimuti daerah sekitarnya.
Di salah satu ruangan seorang perempuan tua berba-
dan bongkok beberapa kali ketukkan tongkat hitamnya
di atas perut seorang perempuan muda berwajah can-
tik berpakaian kembang-kembang. Walaupun ketukan
itu cuma perlahan saja, namun sakit yang ditimbulkan akibat ketukan sungguh
sangat luar biasa. Perempuan
cantik itu menggeliat, merintih namun tak berani menjerit. Tatap matanya
menerawang kosong memandang
ke bagian langit-langit kamarnya. Sedangkan dari ma-
tanya air mata terus bergulir tiada henti.
"Mawar Pelangi....setelah kuketuk perutmu, se-
telah kurasakan gerakan yang ada. Sekarang aku tahu
mengapa kau muntah, kepalamu pusing sepanjang ha-
ri. Muntah mu itu pasti karena kau terlalu banyak tidur dengan laki-laki. Gadis
goblok tolol, sekarang kau bunting sudah. Siapa laki-laki bejad yang telah
membuatmu jadi seperti ini?" hardik perempuan itu sengit.
"Guru... laki-laki itu adalah Rajo Penitis." sahut Mawar Pelangi. Mendengar
jawab muridnya si perempuan bertongkat berjingkrak kaget dan sampai surut
dua langkah. Sepasang mata membelalak lebar.
"Bangsat jahanam. Bagaimana gadis secantik-
mu bisa tertarik dan jatuh dalam pelukan laki-laki
gendut pendek hidung pesek berbibir dower itu" Agak-
nya matamu sudah terbalik, otak berubah pikun. Ba-
nyak pemuda gagah yang bisa kau taklukkan. Tapi
kau malah tergoda pada bangsat penggoda wanita yang
anak turunnya keleleran di sepanjang jalan. Bukan
hanya bergaul, tapi bunting segala malah. Semprul
edan!" teriak sang guru. Melihat kemarahan gurunya, sementara ujung tongkat
orang tua itu masih bersite-kan pada perutnya yang putih mulus, tentu saja Ma-
war Pelangi tak berani bertindak sembarangan yang
dapat membuat perempuan itu jadi gelap mata.
Dengan suara tercekat dia menyahuti. "Guru....
antara aku dan Rajo Penitis sudah sama saling cinta.
Kami juga diluar sepengetahuan guru sudah menikah.
Jika sekarang aku hamil buat apa hal ini kita ri-
butkan. Anak ini kelak akan membuat suasana di Puri
Bahagia Setan akan menjadi lebih hidup!"
"Jadah! Kau menikah dengan bangsat laknat
itu di luar sepengetahuanku. Aku tak sudi meres-
tuinya, dan aku tetap menganggap hubunganmu den-
gannya tidak sah. Jika orang melempar wajahku den-
gan kotoran sapi sakitnya kuanggap tidak seberapa.
Jika kau menusukkan seribu mata pedang di tubuh-
ku, kuanggap kematianku sebagai hal yang lumrah.
Tapi kau mencoreng wajahku dengan aib besar serta
rasa malu yang tak terhingga. Inikah balas budimu selama bertahun-tahun aku
mengurus mu"!"
"Guru harap maafkan aku. Aku sangat mencin-
tainya. Karena itu aku menikah dengannya secara di-
am-diam." kata Mawar Pelangi membela diri.
"Kau menikah, kau kawin diam-diam kau men-
gatakan cinta padanya, apakah semua itu kau lakukan
bukan karena nafsu?"
"Cinta campur nafsu, guru." jawab Mawar Pe-
langi. "Setan! aku tak akan biarkan anak itu hidup dan terlahir ke dunia ini.
Dia harus kubunuh. Kelak
kau harus menikah dengan laki-laki yang aku senan-
gi!" Selesai berkata perempuan ini jauhkan tongkat da-ri perut Mawar Pelangi.
Dengan tangan kiri yang telah teraliri tenaga sakti berhawa dingin si nenek
bermaksud mengeluarkan calon bayi di dalam rahim murid-
nya. Tidal lama berselang tangan yang telah dialiri tenaga dalam itu kemudian
ditempelkan di bagian perut
sebelah bawah. Melihat apa yang dilakukan gurunya dan sete-
lah merasakan adanya hawa panas yang mengalir de-
ras ke bagian rahim Mawar Pelangi berseru. "Guru apa yang hendak kau lakukan?"
"Perempuan tolol, tentu saja mengeluarkan ca-
lon bayi dari perutmu!" dengus si nenek.
"Tidak. Kau tidak boleh melakukannya.!" cegah gadis itu. Dengan sekuat tenaga
dia berusaha membebaskan diri dan menepis tangan kiri gurunya yang
menekan di bawah perut. Tapi laksana kilat gurunya
menotok beberapa bagian tubuhnya hingga membuat
Mawar Pelangi tak dapat berbuat apapun.
Tak ada yang dapat dilakukan oleh si gadis ter-
kecuali menangis. Sementara itu hawa panas yang
menyakitkan mulai mengalir deras menembus bagian
letak janin. Di bagian perut terasa ada gerakan serta getaran-getaran seolah
janin di dalam rahim itu meronta. Perempuan setengah baya itu mendadak ker-
nyitkan keningnya. Ada sesuatu yang membuatnya ka-
get. Selagi hati Kunti Menak ini dipenuhi rasa kaget dan tanda tanya besar. Satu
tenaga yang sangat hebat menghantam tangan kirinya yang menempel di bagian
perut Mawar Pelangi.
Dess! Dess! Dess!
"Akhh....!"
Laksana dicampakkan Kunti Menak jatuh ter-
pental. Punggungnya menabrak dinding. Dinding Puri
Bahagia Setan hancur berkeping-keping. Perempuan
itu dalam kejutnya berusaha bangkit berdiri. Apa yang dilakukannya itu ternyata
tidak mudah karena punggungnya seperti remuk. Wajah pucat, nafas sesak dan
hidung kembang kempis.
Kunti Menak himpun tenaganya, begitu bangkit
dia memandang ke arah balai ketiduran dimana mu-
ridnya rebah di situ tak bisa bergerak hanya bisa keluarkan suara.
"Siapa yang memukulku tadi. Mustahil Mawar
yang melakukannya. Tubuh bocah kupret itu dalam
keadaan tertotok"
Kunti Menak gelengkan kepalanya yang terasa
pusing. Dia mencoba berfikir, mengingat-ingat. Sewak-tu dia kerahkan tenaga
sakti yang mematikan tadi, ti-ba-tiba dia merasa ada satu kekuatan dan dalam
yang bergerak menolak kekuatan tenaga dalamnya. Satu
kekuatan hebat yang bukan saja membuat tangan ki-
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rinya terasa lumpuh tapi juga mampu mencampakkan
Kunti Menak bahkan melukai tubuh di bagian dalam.
"Jadi... jadi bayi itukah yang telah menyerang-
ku tadi" bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?" desis Kunti Menak masih belum
juga mampu menghi-
langkan rasa kagetnya.
Sebaliknya Mawar Pelangi sendiri sebenarnya
juga merasa heran dan tak pernah mengerti mengapa
gurunya sampai terbanting. Tapi paling tidak untuk
sementara dia merasa lega karena gurunya tidak beru-
saha membuat janinnya celaka. Jauh di dalam hati dia
berharap agar Rajo Penitis yang menjadi suaminya da-
tang ke Puri Kebahagiaan Setan guna menyelamatkan
dirinya. Di depannya sana sang guru tertegun. Dia masih berniat melakukan
keinginannya. Tapi keraguan
menyelimuti diri perempuan itu, takut hal yang sama
terulang kembali.
"Ada yang tidak beres. Aku yakin sekali. Aku
harus menemui Ki Anjeng Laknat. Hanya dia yang bisa
mengetahui berbagai hal yang tak dapat dilihat oleh
kasat mata." fikir Kunti Menak. Tanpa bicara apapun pada muridnya lagi Kunti
Menak tinggalkan kamar
muridnya dan berkelebat pergi menuju ke tempat ting-
gal Ki Anjeng Laknat yang letaknya tak jauh dari Puri Bahagia Setan.
*** Ki Anjeng Laknat duduk diam di atas tumpu-
kan lima tengkorak kepala manusia yang dilapisi jera-mi pada bagian atasnya.
Rambut yang panjang kelabu
dan hampir memutih secara keseluruhan dibiarkan
menutupi sebagian wajahnya. Di depan tokoh sesat,
momok yang sangat ditakuti di dunia persilatan itu
terdapat sebuah benda bulat mirip bola berwarna kebi-ru-biruan. Kelebihan bola
itu bila disentuh akan me-
mancarkan cahaya terang mengagumkan. Selain itu
melalui benda bulat yang berasal dari batu bernama
Batu Bola Neraka itu pemiliknya dapat melihat hal-hal yang berhubungan dunia
gaib atau sesuatu yang tak
mampu ditembus dengan kasat mata.
Duduk lama di depan Batu Bola Neraka, kakek
yang memiliki bola mata melesak ke dalam rongga ber-
hidung remuk berpakaian hitam tampak tak pernah
bergerak sama sekali. Sepasang matanya memandang
ke depan. Tapi tak urung ketika dia mendengar suara
langkah-langkah kaki mendekati pintu rumahnya dia
alihkan perhatian ke arah pintu.
"Ki Anjeng Laknat aku hendak bertemu den-
ganmu. Apakah kau ada di dalam?" tanya satu suara.
Si kakek yang mengenali suara orang langsung menja-
wab. "Masuklah Kunti Menak. Untuk kepentingan
mu pintu rumahku selalu terbuka." sahut Ki Anjeng Laknat disertai tawa pendek.
"Maksudku apakah kau tidak sedang...."!" suara Kunti Menak terputus seolah ragu
untuk melan- jutkan. Di dalam terdengar suara tawa panjang. Ru-
panya Ki Anjeng Laknat tahu arah ucapan Kunti Me-
nak. "Kau tak usah khawatir. Pintu ku terbuka selalu, tapi bukan berarti tubuhku
juga dalam keadaan
terbuka seluruhnya. Tapi jika kau mau, jika kau me-
minta aku tak keberatan melakukannya, kekasihku!
Ha ha ha!!" kata si kakek disertai tawa panjang.
"Tua bangka gila. Jangan bicara melantur. Saat
ini aku punya satu kepentingan yang tak dapat ditun-
da. Aku butuh pertolonganmu." dengus si nenek sengit.
"Untukmu pertolongan selalu pula kuberikan.
Tapi setelah itu kau harus mengucapkan janji untuk
bersenang-senang denganku. Sudah lama kita tidak
bermesraan. Padahal darahku selalu panas bergelora,
kekasihku!" ujar Ki Anjeng Laknat.
Kunti Menak memaki panjang pendek, pintu di-
tendangnya hingga terbuka lebar. Memandang ke da-
lam ruangan suasana nampak gelap temaram. Kunti
Menak juga melihat si kakek yang bernama Ki Anjeng
Laknat duduk menghadap bola batu. Perempuan itu
melangkah masuk. Ki Anjeng Laknat yang memperha-
tikan kehadirannya sejak tadi mengulum senyum dan
menelan ludah. "Beberapa purnama tidak bertemu ternyata kau
semakin bertambah cantik Kunti. Ingin sekali rasanya aku memelukmu!" kata kakek
angker itu sambil menyeka bibirnya.
"Jangan berani kau berlaku kurang ajar pada-
ku. Aku bisa membunuhmu!" hardik Kunti Menak.
Walau begitu dia tetap menghampiri Ki Anjeng Laknat
bahkan kini duduk di hadapan kakek itu.
Ki Anjeng Laknat sama sekali tak hiraukan
ucapan Kunti Menak. Malah ketika bicara kemudian
ucapannya berbau mesum. "Seribu kali kau mengan-camku hendak membunuh. Tapi
setelah kau jatuh da-
lam pelukan kau malah merengek, meminta tambah
lagi... dan lagi. Kunti Menak, bagaimana kalau malam nanti kita habiskan waktu
untuk bersenang dan berpuas-puas diri. Kau pasti bersedia melayaniku bukan!"
kata si kakek, lagi-lagi dia tertawa.
Blaak! Satu tamparan keras mendarat dipipi si kakek
hingga membuat orang tua itu terjajar.
Pipi keriputnya memerah sedangkan bibirnya
meneteskan darah. Ki Anjeng Laknat usap pipinya be-
kas tamparan pulang balik. Bukannya marah dia ma-
lah tersenyum. Kini dia sadar kalau kekasihnya saat
itu sedang membawa satu persoalan yang serius.
Selesai mengusap pipi Ki Anjeng Laknat ajukan
pertanyaan. "Kunti sayang ku, baiklah sekarang katakan apa keperluanmu
menyambangi diriku"!" ujar si kakek bersikap sungguh-sungguh.
"Aku datang kemari semata-mata karena murid
tolol itu. Mawar Pelangi hamil"!" menerangkan Kunti Menak. Semula dia berharap
kakek tua yang menjadi
kekasih gelapnya selama ini terkejut mendengar penje-lasannya. Tapi apa yang
diharapkannya itu ternyata
tidak terjadi. Wajah angker Ki Anjeng Laknat tidak
menunjukkan perubahan apa-apa, tetap datar biasa
saja. "Sudah menjadi kodratnya perempuan memang harus melahirkan, itu kenyataan
yang wajar. Lain lagi halnya bila ada laki-laki hamil. Kurasa itu baru merupakan
suatu kejutan. Dan aku merasa perlu melihat-
nya. Lalu apa istimewanya bila muridmu hamil. Kau
sendiri sering hamil, hamil denganku diluar nikah.
Anak-anak yang kau kandung tak pernah hidup, kare-
na kau memaksanya keluar selagi dia masih berada
dalam kandungan." kata Ki Anjeng Laknat memberi tanggapan.
Kunti Menak delikkan mata mendengar ucapan
kekasihnya. Tubuhnya bergetar menahan amarah.
Dengan suara tertekan dia membuka mulut. "Keparat tua. Jangan kau ungkit masalah
pribadiku. Semua ini
gara-gara ulahmu. Sedangkan mengenai muridku Ma-
war Pelangi. Aku tak mau dia meniru apa yang telah
terjadi denganku," dengus Kunti Menak.
Ki Anjeng Laknat menarik nafas pendek. Dia
terdiam sejenak, berfikir baru kemudian melanjutkan.
"Tak ada gunanya kita bertengkar. Sekarang
lanjutkan ucapanmu!"
"Adapun orang yang menghamili Mawar Pelangi
adalah si keparat Rajo Penitis." ujar Kunti Menak. Dia lalu menceritakan segala
sesuatu yang terjadi termasuk juga saat dirinya hendak memijit hancur calon
bayi yang dikandung oleh Mawar Pelangi. Selesai Kunti
Menak menceriterakan segala sesuatunya, Ki Anjeng
Laknat jadi geleng kepala juga merasa takjub.
"Ini merupakan kejadian yang sangat luar bi-
asa. Kunti Menak.... jika kau mau turut apa kataku.
Sebaiknya kau jangan bunuh bayi itu. Biarkan dia hi-
dup. Aku yakin bila besar nanti dia akan menjadi raja diraja dunia persilatan
sepanjang masa." ujar si kakek.
Mendengar keputusan Ki Anjeng Laknat, Kunti
Menak jadi terkesiap. Apa yang dikatakan kekasihnya
sungguh bertentangan dengan apa yang menjadi kein-
ginannya. "Aku tak mau memelihara anak turun Rajo Pe-
nitis. Akupun tak sudi mempercayai ucapanmu begitu
saja. Terkecuali kau bisa membuktikannya melalui Ba-
tu Bola Neraka. Aku melihat dengan mata kepalaku
apa yang tergambar di dalam batu biru kemudian aku
akan mempertimbangkannya." tegas perempuan itu tetap ngotot.
Ki Anjeng Laknat terdiam, tapi hatinya berkata.
"Jika aku tidak salah kehamilan Mawar Pelangi pernah tergambar di dalam mimpi
ku. Aku sudah mendapat
semacam petunjuk. Jika kau berhasil merawatnya dan
menjaga Mawar Pelangi sampai tiba waktunya mela-
hirkan, barangkali kelak aku bisa menjadikan bayi
yang terlahir sebagai raja diraja dunia persilatan.
Hem.......... aku bisa menurunkan ilmuku selagi bayi itu dalam kandungan. Mawar
Pelangi adalah gadis
yang cantik. Sudah lama aku inginkan dia, kurasa jika aku dapat mengancamnya dia
pasti bersedia menuruti
apa permintaanku. Untuk menjadikan bayi itu sem-
purna tak ada salahnya jika aku ikut membantu lahir
batin" Ki Anjeng Laknat tersenyum penuh arti.
"Tua bangka, apa yang membuatmu terse-
nyum?" tanya Kunti Menak setengah membentak.
Ki Anjeng Laknat gelengkan kepala. "Tak ada
kekasihku. Jika pun aku tersenyum, semata-mata ka-
rena aku mengingat betapa keras kepalanya dirimu.
Aku maklum, sekarang juga akan ku penuhi permin-
taanmu. Nanti aku akan tahu apakah bayi dalam kan-
dungan muridmu itu punya arti di masa depan atau
tidak. Jika ternyata dugaanku meleset dan kehadiran-
nya tidak membawa guna bagi kita, seperti keinginan-
mu maka kita harus membunuhnya." tegas Ki Anjeng Laknat. Kakek tua itu lalu
memberi isyarat dengan anggukkan kepala agar Kunti Menak mendekat padanya.
Dengan cepat Kunti Menak mendekati si kakek.
Setelah dia duduk di sebelah Ki Anjeng Laknat, si kakek beringsut lebih ke depan
mendekati Batu Bola Ne-
raka. Ki Anjeng Laknat tarik nafas dan menghem-
buskannya dengan perlahan. Kedua mata yang melesat
ke dalam rongga setengah dipejamkan. Bibirnya yang
berwarna merah segar berkemak-kemik seperti mem-
baca mantra sedangkan kedua tangannya yang hitam
ditumbuhi bulu lebat dijulurkan lurus ke arah Batu
Bola Neraka yang sengaja diletakkan di atas tungku
dupa batu. Saat kedua telapak tangan menempel di
kedua sisi Batu Bola Neraka, maka batu itu bergetar.
Bukan hanya Batu Bola Neraka saja yang bergetar he-
bat. Tapi sekujur tubuh si kakek ikut bergetar, se-
dangkan bagian wajahnya bermandikan keringat. Per-
lahan namun pasti bola batu yang berwarna biru
nampak memijar, memancarkan cahaya biru terang
namun sejuk. Hingga membuat siapapun yang meli-
hatnya jadi merasa ngantuk.
Beberapa saat berlalu, semakin lama Batu Bola
Neraka semakin bertambah terang. Sedangkan ra-
cauan dari mulut Ki Anjeng Laknat semakin bertam-
bah keras dan jelas. "Batu sakti batu bertuah, pembe-rian iblis bingkisan setan.
Aku ingin kau perlihatkan kesaktianmu. Dunia gaib menjadi tempat asal usulmu.
Antara gaib dengan gaib saling berhubungan. Aku in-
gin kau memperlihatkan bagaimana bentuk janin dan
masa depan bayi itu kelak, bayi yang saat ini berada dalam kandungan seorang
anak manusia bernama
Mawar Pelangi." kata Ki Anjeng Laknat.
Baru saja kakek itu katupkan bibirnya, detik
itu pula dari bagian Batu Bola Neraka terdengar suara desisan panjang yang
diiringi dengan menebarnya asap biru yang memenuhi seluruh permukaan bola batu.
Asap biru berbau amis membubung tinggi ke udara.
Suara desisan yang mengepulkan asap lenyap berganti
dengan letupan dua kali berturut-turut. Suara letupan itu membuat asap biru yang
menyelimuti sekeliling bo-la batu juga bagian kedua tangan Ki Anjeng Laknat
lenyap seketika. Batu Bola Neraka nampak seperti biasa, hanya warnanya lebih
biru. Sedangkan pada salah sa-tu bagian permukaannya terlihat satu bentuk perut
dan sosok perempuan cantik dalam keadaan hamil
empat bulan. Ki Anjeng Laknat menoleh ke arah Kunti Menak
sambil berkata. "Kau lihatlah baik-baik."
Secara aneh begitu Kunti Menak memperhati-
kan bagian perut mengandung janin yang terlihat di
permukaan bola batu biru semakin membesar. Sema-
kin lama terlihat sebentuk sosok calon anak manusia.
Tetapi yang mengherankan sosok calon bayi itu nam-
paknya mengalami pengerasan dan seperti terbungkus
sesuatu berbentuk bulat tidak ubahnya bagai anak
ayam yang terbungkus cangkang telur.
"Ada sesuatu yang aneh, ada yang tidak beres.
Tapi mungkinkah....!" batin Ki Anjeng Laknat. Dia lalu berkata keras. "Batu Bola
Neraka, katakan, perlihatkan pada kami apakah bayi itu kelak punya guna
dan kekuasaan di dunia ini atau tidak!"
Batu Bola Neraka bergetar. Seakan mengerti
dari bagian kepala bayi memancarkan cahaya terang
berwarna merah laksana darah. Melihat isyarat ini wajah Ki Anjeng Laknat berubah
berseri-seri. Dia bahkan anggukkan kepala ke arah Kunti Menak.
Puas melihat apa yang telah diperlihatkan oleh
Batu Bola Neraka itu, mulut Ki Anjeng Laknat kembali berkemak-kemik. Dua tangan
yang menempel pada bo-la batu digerak-gerakkan. Cahaya biru yang memancar
dari sekeliling batu sakti nampak meredup kehilangan cahaya, hingga pada
akhirnya bola batu itu kembali
seperti semula.
Ki Anjeng Laknat angkat kedua tangan dari bo-
la itu. Dia memutar tubuh hingga kini duduk saling
berhadapan dengan Kunti Menak.
"Sekarang segalanya semakin bertambah jelas.
Bayi itu kelak akan merubah wajah dunia, kemungki-
nan besar dia bisa menjadi raja diraja dunia persilatan.
Semua bukti sudah kau lihat sendiri. Sebagian dianta-ra bukti dari kebesaran
baik itu kau sudah merasa-
kannya. Kekasihku... jika kau membunuh bayi itu sa-
ma artinya kau menghilangkan satu keberuntungan
yang sangat besar. Tapi untuk membuat dia menjadi
seperti yang kita inginkan, sebaiknya Mawar Pelangi
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku yang merawatnya sampai dia melahirkan." tegas Ki Anjeng Laknat.
"Apa" kau yang merawatnya" Tidakkah kau
punya niat mesum, memanfaatkan kesempatan yang
ada dengan mengail di air keruh?" sindir Kunti Menak sambil memandang tajam pada
si kakek. Ki Anjeng Laknat tertawa. "Kunti-Kunti. Sama
sekali rupanya kau tak percaya padaku. Masa aku tega berbuat yang tidak-tidak
pada muridmu. Bagiku dapat
bermesraan denganmu pun sudah kuanggap lebih dari
cukup. Walaupun aku hidup dalam kesesatan, tapi ha-
tiku tak pernah mendua!" kata kakek. Walau dia bicara begitu tapi hatinya lain
lagi. "Kejadian ini sungguh memalukan. Bocah itu
telah mencorengkan kotoran di wajahku. Tapi kau se-
perti membelanya." kata si nenek seolah menyesalkan.
"Tak ada siapapun yang ku bela, karena kau
tahu rasa kesalmu adalah kekesalanku juga. Kunti....
sudahlah, jangan banyak berfikir. Tugasku sudah selesai. Sebaiknya kita
bersenang-senang saja." ujar Ki Anjeng Laknat. Berkata begitu si kakek raih bahu
Kunti Menak. Tak lama kemudian dia sudah tenggelam dalam pelukan si kakek.
Sepasang tangan Ki Anjeng Laknat gentayangan
ke sekujur tubuh Kunti Menak. Sedangkan nafasnya
mendengus bagaikan kuda tua yang habis berlari jauh.
Walaupun Kunti Menak nampak meronta, namun si
kakek tahu kalau penolakannya itu hanya suatu kepu-
ra-puraan saja. Di langit dua kelompok mega berben-
tuk kuda seakan berkejar-kejaran. Sementara di seke-
liling rumah kediaman Ki Anjeng Laknat suasana
nampak sunyi. 5 Menunggu datangnya masa kelahiran, berbagai
ramuan berkhasiat telah dimakan oleh Mawar Pelangi.
Selama itu dia benar-benar dimanja oleh Ki Anjeng
Laknat. Segala permintaan perempuan cantik itu dipe-
nuhi, terkecuali satu hal yaitu mencari Rajo Penitis suami dari perempuan itu.
Hanya diluar sikap baik
kakek ini, di balik sepengetahuan Kunti Menak dalam
waktu-waktu tertentu Ki Anjeng Laknat meminta sesu-
atu berupa imbalan pada Mawar Pelangi. Imbalan itu
berupa pelampiasan nafsu keji dari si kakek.
Karena permintaan itu disertai ancaman yang
bisa membahayakan keselamatan Mawar Pelangi juga
bayi yang dikandungnya. Maka perempuan cantik itu
tak kuasa menolak. Apalagi Ki Anjeng Laknat menga-
takan melalui hubungan seperti itulah dia dapat me-
nyalurkan sekaligus menurunkan kesaktian yang dimi-
likinya pada sang bayi.
Siang itu genap menginjak bulan ketiga belas
kehamilan Mawar Pelangi. Di dalam kamarnya dia
nampak merintih tidak berkeputusan. Ki Anjeng Lak-
nat dengan telaten menungguinya.
"Paman... perutku mulas sekali. Aku sudah ti-
dak tahan." keluh Mawar Pelangi sambil menyeringai kesakitan.
"Kehamilan mu ini memang sangat luar biasa.
Seharusnya kau melahirkan tepat di saat kandungan
mu berumur sembilan bulan, tapi aneh sampai usia
kandungan mencapai usia tiga belas bulan tanda-
tanda melahirkan itu baru ada. Bersabarlah... aku
pasti membantumu!" kata Ki Anjeng Laknat dengan dada berdebar. Kakek tua ini
lalu memijit perut Mawar Pelangi. Astaga! Si kakek jadi kaget ketika merasakan
perut Mawar Pelangi kerasnya melebihi batu.
"Celaka. Dia tidak mungkin bisa melahirkan se-
cara wajar. Tubuh bayi dalam perutnya ini pasti dis-
elubungi lapisan keras seperti batu. Apa yang harus
kulakukan?" batin Ki Anjeng Laknat. Si kakek terdiam, sedangkan matanya
memandang bagian bawah perut
Mawar Pelangi yang tertutup kain hingga sebatas ba-
gian paha. Apa yang dilihatnya kemudian membuat si
kakek jadi tercekat.
Diantara cairan bening dia melihat adanya cai-
ran darah bergumpal-gumpal. Bahkan semakin diper-
hatikan darah yang keluar dari bagian bawah perut itu semakin banyak yang
keluar. "Dia mengalami pendarahan hebat!" desis Ki Anjeng Laknat panik. Sementara itu
Mawar Pelangi nampak semakin lemah, wajah perempuan itu kian
bertambah pucat. Sedangkan matanya sayu seolah te-
lah kehilangan harapan untuk hidup lebih lama.
"Mawar... Mawar.... bertahanlah. Aku akan me-
lakukan sesuatu untukmu!" kata si kakek. Dengan tergopoh-gopoh dia berlari ke
ruangan depan dimana
Batu Bola Neraka berada. Langkah si kakek tertahan
ketika dirinya sampai diambang pintu. Sepasang mata
si kakek mendelik seperti melihat setan. Ada rasa takut membayang diwajahnya.
"Kk... kau... Bagaimana kau bisa mengetahui
Mawar saat ini telah menunjukkan tanda-tanda mela-
hirkan?" tanya si kakek.
Si perempuan yang ternyata adalah Kunti Me-
nak adanya diam tak memberi jawaban. Dia malah me-
lompat ke arah tempat tidur. Sampai di balai ketiduran muridnya dia langsung
memeriksa nadi di pergelangan
tangan Mawar Pelangi. Tidak ada detak nadi, tak ada
pula detak jantung. Saat dia memandang ke bagian
wajah perempuan itu dilihatnya sepasang mata Mawar
Pelangi membeliak lebar dan tak pernah berkedip lagi.
"Dia mati. Sekarang mana tanggung jawabmu
tua bangka Laknat" Muridku-muridku mati. Huhu-
hu....!" seru Kunti Menak sambil menangis tersedu-sedu.
"Kunti... dia tadi masih hidup. Dia hendak me-
lahirkan, aku telah berusaha untuk menolongnya.
Kunti, bayi itu tidak bisa keluar dari jalan yang semes-tinya. Aku harus
melakukan sesuatu untuk menyela-
matkannya!" sergah Ki Anjeng Laknat.
"Tua bangka keparat, penipu tengik sialan.
Mawar muridku telah mati. Apa lagi yang hendak kau
lakukan padanya heh"!" bentak Kunti Menak sengit.
"Menyingkirlah sebentar. Mawar boleh saja ma-
ti, tapi anaknya harus diselamatkan!" seru Ki Anjeng Laknat. "Kau hanya membuat
muridku menderita. Apapun yang kau lakukan nanti, bagiku bayi itu tidak
penting. Kau harus menerima hukuman pasung dari-
ku.!" Sekali lagi si nenek berteriak. Namun dia masih memberi kesempatan pada Ki
Anjeng Laknat untuk
mengerjakan apa yang ingin dilakukannya.
Ki Anjeng Laknat tanpa fikir panjang lagi lang-
sung dekati Mawar Pelangi. Dengan mempergunakan
kuku jari telunjuknya yang panjang dia membelah ba-
gian bawah perut perempuan itu. Begitu perut bawah
terkuak dia mengeluarkan sesuatu berbentuk bulat
seperti telur dari bagian rahim Mawar Pelangi. Benda terbalut cairan darah itu
ternyata memang sangat keras luar biasa. Tak mungkin dapat dibelah walaupun
dengan menggunakan golok tajam sekalipun.
Sementara itu Kunti Menak begitu melihat apa
yang dilakukan oleh Ki Anjeng Laknat jadi marah be-
sar. "Ki Anjeng apa yang kau lakukan. Kau menjebol
perut Mawar. Kubunuh kau, kubunuh"!" teriak si nenek menggerung.
"Kau boleh membunuhku, kau boleh menghu-
kumku, tapi nanti setelah aku selesai memecahkan se-
lubung batu yang menyelimuti bayi ini." sahut si kakek dengan sikap seakan tidak
peduli. Tanpa merasa khawatir Kunti Menak memukulnya dari arah belakang si
kakek menggunakan seluruh kesaktiannya untuk
menghancurkan selubung batu yang bentuknya mirip
kulit telur itu. Berkali-kali usaha ini dilakukannya dengan sangat hati-hati.
Pada kali yang ke tujuh selubung lapisan batu yang menyelimuti sang bayi dapat
dihancurkan. Begitu selubung batu terkuak, maka bayi laki-
laki itu menangis. Si kakek berjingkrak kegirangan.
Sebaliknya Kunti Menak tetap menangis
"Bocah hebat ini, Kunti lihatlah. Di bagian da-
danya terdapat tujuh buah sisik besar. Sisik ini seperti sisik ular, tapi juga
keras seperti lapisan batu. Bayi hebat bayi ajaib!"
"Aku tidak perduli dengan bayi itu. Kelahiran-
nya telah merenggutkan nyawa muridku. Kau harus
bertanggung jawab, kau harus dihukum." kata Kunti Menak. Tiba-tiba saja dia
bangkit berdiri. Dia melangkah cepat mendekati Ki Anjeng Laknat. Si kakek cepat
menoleh dan bersikap melindungi bayi. Dia jadi kaget begitu melihat di tangan
Kunti Menak kini telah tergenggam dua buah rantai batu. Itulah rantai belenggu
yang siap memasung kaki dan tangan kekasihnya.
"Kunti, kemarahan tidak pernah menyelesaikan
persoalan. Eling Kunti. Ingat, hati boleh panas tapi kepala harus dingin."
"Dulu kau pernah mengatakan akan bertang-
gung jawab bila sampai terjadi sesuatu pada muridku."
"Memang, aku tidak akan mengingkari janji.
Tapi. Apakah kau sudi mengurus bayi ini?" tanya Ki Anjeng Laknat.
"Aku lebih senang merawat mayat Mawar dari
pada bayi itu." tegas Kunti Menak dingin.
"Bukankah bocah ini cucumu?"
"Aku tak pernah mengakui dia sebagai cucuku.
Karena kuanggap kehadirannya sebagai pembawa
bala." Si kakek gelengkan kepala. "Baiklah Kunti. Hukuman pasung itu akan
kuterima, tapi aku harus me-
nunggu Begawan Panji Kwalat adikku. Sebab selama
aku menjalani hukuman yang kau jatuhkan. Anak ini
akan kutitipkan padanya. Aku tahu dia pasti akan da-
tang sebentar lagi!" ujar si kakek.
Baru saja suara si kakek lenyap mendadak pin-
tu depan terbuka dihembus angin keras. Baik Ki An-
jeng Laknat maupun Kunti Menak sama palingkan ke-
pala dan sama pula memandang ke arah pintu.
Tak berselang lama muncul satu sosok. Sosok
seorang kakek tua berpakaian hitam berambut pan-
jang, berkaki lumpuh. Dia tidak berjalan dengan kaki maupun tangannya. Melainkan
mengambang di udara
dalam keadaan bersila.
"Adikku Begawan Panji Kwalat, syukur salam
gaib mu sampai padamu. Kau datang tepat pada wak-
tunya!" kata Ki Anjeng Laknat disertai senyum. Si kaki lumpuh yang datang dengan
keadaan bersila dan tubuh mengambang itu sama sekali tak bergeming. Tatap
matanya mencorong tajam memandang pada Ki Anjeng
dan Kunti Menak. Sebaliknya Kunti Menak tentu saja
jadi kaget karena baru pertama kali ini bertemu den-
gan Begawan Panji Kwalat yang bukan lain adalah adik Ki Anjeng Laknat.
"Setan lumpuh ini agaknya memiliki kesaktian
tinggi. Konon kudengar setiap kata yang diucapkannya dapat menimbulkan bencana
bagi musuh-musuhnya.
Tapi siapa perdulikan dia"!" dengus Kunti Menak da-
lam hati. "Kakang seperti mimpi ku tadi malam, bayi ba-
tu ini lahir hari ini. Sungguh sulit kupercaya. Kita dapat rejeki besar. Bayi
ini kelak akan menjadi manusia hebat. Biarkan aku mengurusnya." ujar Begawan
Panji Kwalat. Masih dalam keadaan mengambang di udara,
Sang Begawan dekat bayi itu. Dia meneliti, mulutnya
berdecak beberapa kali. Setelah mengambil bayi dari
atas balai-balai bambu. Begawan Panji Kwalat berpal-
ing dan memandang ke arah Kunti Menak. "Kakak....
aku yakin kau adalah kekasih kakang ku. Aku Bega-
wan Panji Kwalat tidak mau mencampuri urusanmu
dengan kakang ku. Terus terang bayi ini akan kubawa
pergi." tegas sang Begawan yang telah menggendong bayi. Dia lalu menoleh pada Ki
Anjeng Laknat. "Kakang janji apapun yang telah kau ucapkan padanya kau tak
boleh mengingkarinya. Jalani hukuman itu. Jangan
kau fikirkan bayi ini karena aku akan mendidiknya.
Kelak, jika ada umur panjang mungkin kita bisa
menggembleng bayi aneh ini bersama-sama." Selesai berkata Begawan Panji Kwalat
berkelebat pergi.
Seperginya Begawan itu Ki Anjeng Laknat ber-
kata pada Kunti Menak. "Kunti kekasihku. Aku tahu kesaktianku tiga kali lebih
tinggi di atasmu. Tapi aku tak mau menyakitimu. Sekarang jika kau hendak
menghukum aku dengan rantai batu pemasung jasad
itu lakukanlah!" ujar si kakek.
Kunti Menak mendengus. "Jika menurut kata
hati aku ingin sekali membunuhmu. Tapi biarlah. Hu-
kuman pasung badan ini juga tidak lebih ringan dari
hukuman mati." dengus Kunti Menak.
Perempuan itu lalu lemparkan dua rantai batu.
Satu ke bagian tangan si kakek sedangkan satunya la-
gi ke bagian kaki.
Rantai batu melayang dan menjerat kaki serta
tangan Ki Anjeng Laknat hingga kakek itu jatuh terduduk dalam keadaan tidak
dapat bergerak sama sekali.
Sedangkan Kunti Menak segera mengurus
mayat Mawar Pelangi untuk diawetkan.
6 Sudahlah kau ingat semuanya Ki Anjeng Lak-
nat. Tidakkah dapat kau bayangkan betapa pedihnya
hatiku" Aku terus merasa kehilangan muridku Mawar
Pelangi. Itulah sebabnya sampai hari aku selalu me-
nyimpan mayatnya. Agar dapat selalu ku kenang sega-
la kelucuannya di masa kecil. Tapi kau membuat sega-
lanya menjadi rusak dan berubah. Atau mungkin keti-
ka muridku ini berada dalam pengasuhan mu kau te-
lah memintanya untuk melakukan tindakan keji seba-
gaimana yang kau lakukan padaku" Kau harus men-
gaku Ki Anjeng. Kau tak bisa memungkirinya!"
Ki Anjeng Laknat tersentak dari lamunannya.
Beberapa saat berlalu si kakek berambut putih pan-
jang riap-riapan hanya mampu memandangi Kunti
Menak. "Kau diam, berarti semua apa yang kukatakan ini memang benar adanya.
Bukankah begitu Ki Anjeng,
kau memaksa Mawar untuk tidur denganmu.?" tanya si nenek disertai seringai
sinis. "Kunti... bagiku kau adalah....!"
"Cukup! Kurasa semua laki-laki memang begi-
tu. Pandai berdusta dan suka menipu. Serahkan tan-
gan dan kakiku cepat!" perintah Kunti Menak.
Karena semua yang dikatakan oleh bekas keka-
sihnya itu merupakan suatu kenyataan yang tak
mungkin disangkal, maka Ki Anjeng Laknat ulurkan
kedua tangannya pada Kunti Menak. Begitu tangan
terjulur dan kedua kaki dirapatkan, maka Kunti Me-
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nak gerakkan tangan ke depan. Satu ke arah tangan
sedangkan yang satunya lagi ke bagian kaki. Dua ran-
tai batu di tangan si nenek laksana kilat meluncur sebat ke dua arah. Tahu-tahu
ke dua rantai batu telah melilit tangan sekaligus kaki Ki Anjeng Laknat
Sreet! Sreeet! Melihat belenggu rantai telah menjerat dua
anggota tubuh penting Ki Anjeng Laknat, maka Kunti
Menak pun tertawa tergelak-gelak. Si kakek tentu saja menjadi kaget. Dia tak
tahu apa yang akan dilakukan
oleh nenek tua ini.
"Dasar laki-laki bodoh. Sekarang ini apakah
kau mengira aku hanya sekedar menghukum dengan
cara seperti itu. Apa kau menduga sikapmu yang pura-
pura baik dan menurut itu akan membuat hatiku
menjadi luluh. Lalu kau berharap aku akan kembali
jatuh dalam pelukan mu. Tua bangka rongsokan, perlu
kiranya kau ketahui sejak Mawar Pelangi meninggal
pintu hatiku telah tertutup untukmu. Mawar melebihi
anakku sendiri. Tapi secara tidak sengaja kau telah
menyia-nyiakan titipan ku. Tindakanmu itu merupa-
kan suatu kesalahan besar yang tak dapat ku maaf-
kan!" Ki Anjeng Laknat tatap ke depan. "Kunti, buruk nian nasib tua bangka ini.
Apakah aku sudah tidak boleh membuka pintu hatimu mengetuk pintu maaf,
memohon pengertian darimu."
"Huh, mana mungkin. Pintu hatiku telah ter-
kunci, kuberi palang dan kupantek dari bagian dalam.
Tidak ada maaf bagimu."
"Kunti, apakah aku tidak boleh berdiri atau du-
duk di depan pintu mu yang telah terkunci itu?" tanya si kakek memelas.
"Tidak bisa walau cuma di emperannya saja."
dengus Kunti Menak sinis.
"Kunti, aku bisa mati. Tanpa cinta mu aku tak
akan bisa hidup lebih lama lagi."
"Semua itu akan lebih bagus agar dunia ini ti-
dak penuh sesak oleh manusia busuk sepertimu."
"Oh, kiamatlah sudah harapanku." si kakek
mengeluh tertahan.
Kunti Menak sama sekali tak menjawab, tong-
kat di tangan kanannya digerakkan ke atas, sedangkan tangan kiri menarik bagian
ujung tongkat. Sreeet! Ternyata tongkat itu bukan hanya sekedar
tongkat biasa. Karena begitu salah satu ujungnya dis-entakkan maka terlihatlah
kilatan cahaya putih menyilaukan. Ki Anjeng Laknat tercekat, mata mendelik se-
dangkan tubuh kucurkan keringat dingin.
"Kun... Kunti jangan main-main dengan senjata
itu. Kau hendak berbuat apa?" tanya si kakek, suaranya bergetar dilanda
ketakutan. Dia sadar jika si nenek menggunakan pedang untuk mencelakainya, jelas
ini bisa membahayakan keselamatan jiwa, karena saat
itu tangan dan kakinya dalam keadaan terikat.
Di depan sana Kunti Menak tertawa tergelak-
gelak. Tawa lenyap, dengan mata mendelik dia meng-
hardik. "Siapa yang main-main dengan tongkat pedang. Dasar tua bangka pikun.
Beratus kali menipuku, kau perdayai aku dengan cinta palsumu. Kini Mawar
Pelangi telah tiada. Dia mati harapanku lenyap. Me-
nanti janjimu hanya satu kedustaan saja. Kau sering
mengatakan hendak menikahi ku, mengawini aku. Ta-
pi sampai sekarang, hingga wajah yang dulu cantik ini jadi keriput dan tubuh
segar menggairahkan jadi reyot segala janjimu tak pernah kau laksanakan."
"Kunti masalah kawin bukankah sudah, hanya
menikahnya saja yang selalu tertunda. Sekarang be-
baskan aku, kita cari dukun untuk menikahkan kita!"
kata Ki Anjeng Laknat. Saking gugupnya dia tidak da-
pat mengontrol kata-katanya hingga jadi salah ucap.
Kunti Menak menjadi berang, lalu putar pedang
merangkap tongkat yang tergenggam di tangannya. Pe-
dang menderu memancarkan gulungan sinar putih
kemilau memedihkan mata.
"Rupanya otakmu benar-benar sudah pikun.
Orang kawin harus ke juru nikah, bukan ke dukun!"
hardik Kunti Menak sengit.
"I... iya kau betul. Maksudku juga ke situ, aku hanya salah bicara!" kata Ki
Anjeng Laknat yang merasa semakin miris karena sinar pedang itu kini bergerak
membabat ke bagian lengan dan kaki.
Naga Naga Kecil 1 Anak Berandalan Karya Khu Lung Rahasia Hiolo Kumala 21
1 Matahari hampir tenggelam ke balik peraduan-
nya saat pemuda gondrong bertelanjang dada dan ka-
kek berbadan gendut besar luar biasa itu sampai di
sebuah tebing sungai Topo Wates. Beberapa saat la-
manya si gondrong dan si gendut yang bukan lain ada-
lah Gento Guyon dan gurunya kakek gendut Gentong
Ketawa menelusuri tebing curam di tepi sungai Topo
Wates ini mendadak hentikan langkahnya. Si kakek
gendut memandang lurus ke depan, orang tua ini ke-
mudian menarik nafas.
"Matahari baru saja tenggelam, mengapa dae-
rah ini cepat sekali berubah gelap. Padahal tebing ini tidak terlindung oleh
pepohonan tinggi atau gunung
menjulang." berkata si kakek dengan suara perlahan namun juga ada sekelumit rasa
heran dalam nada suaranya itu.
Si gondrong bercelana biru sama mengawasi
tempat sekelilingnya. "Keadaan seperti ini apa aneh-nya. Kiara Condong masih
jauh dari sini. Sebaiknya ki-ta teruskan saja perjalanan ini!" ujar si gondrong
menanggapi. Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Perjalanan tidak diteruskan malam ini. Aku
perlu mencari tempat berlindung untuk melepas lelah.
Besok pagi sekali baru kita lanjutkan perjalanan kita!"
"Mengapa begitu" Aku tidak merasa lelah. Ka-
lau guru mau bermalam di sini sendirian silahkan, sedangkan aku tetap
melanjutkan perjalanan seorang di-
ri." kata Gento.
"Rupanya kau tahu arah ke Kiara Condong?"
tanya si kakek gendut, lalu cibirkan mulutnya.
"Ha ha ha. Ndut... gendut. Itulah gunanya
punya mulut. Walau aku kurang tahu letak daerah itu.
Di perjalanan aku bisa bertanya pada siapa saja yang kujumpai disana. Aku akan
menuju ke arah matahari
terbit. Bukankah daerah yang hendak kita tuju letak-
nya seperti yang kusebutkan tadi?"
Si kakek gendut unjukkan wajah cemberut.
Tanpa pernah terduga tangan kirinya berkelebat me-
nyambar. Tahu-tahu kini bahu kiri Gento sudah bera-
da dalam cengkeraman gurunya.
"Hei, apa-apaan ini gendut" Apakah kau sudah
gila!" teriak si pemuda. Lalu dengan gerakan cepat Gento Guyon gerakkan bahunya
yang dicengkeram gurunya. Tapi jangankan terlepas, sebaliknya akibat gerakan
meloloskan diri yang dilakukannya membuat
cengkeraman semakin bertambah keras. Sakit yang di-
timbulkan akibat cengkeraman itu sungguh sangat
luar biasa sekali.
"Kau tidak pernah pergi kemanapun, apalagi
untuk pertemuan para pendekar di Kiara Condong
tanpa diriku! ha ha ha."
"Gendut sinting. Kau berlaku sesuka hatimu
pada muridmu. Jangan salahkan jika aku terpaksa
bersikap kurang ajar!" selesai berucap dengan gerakan cepat bukan main si pemuda
memutar tubuhnya, lalu
sikunya dihantamkan ke dada gurunya yang gembrot.
Desss! Tak menyangka mendapat serangan seperti itu
dari muridnya. Tubuh besar dengan bobot lebih dari
dua ratus kati itu jatuh terpental. "Walah bocah edan, memukul tidak bilang!"
damprat si kakek. Dengan gerakan ringan si kakek bangkit berdiri. Ia usap
dadanya bekas pukulan yang berwarna kemerahan. Di depannya Gento Guyon berdiri
berkacak pinggang.
"Kau mau minta tambah lagi ndut?" tanya Gen-
to disertai seringai mengejek.
Kakek gendut Gentong Ketawa tersenyum sinis
pula. Enak saja dia menjawab. "Boleh juga, sudah lama aku menginginkan hal
seperti ini. Pukulan dan
tendangan bisa membuat badanku seperti dipijit. Tapi jika cuma pukulan seperti
yang kau lakukan ini, bagiku tidak ada artinya sama sekali. Sekarang carilah
bagian tubuhku yang paling empuk, kau boleh menghan-
tam bagian mana saja yang kau suka. Ha ha ha." Dan si gendut pun kemudian
tertawa gelak-gelak.
Baru saja murid si Gento Guyon hendak men-
gatakan sesuatu, mendadak sontak terdengar suara
bergemuruh hebat yang datang dari arah sebelah sela-
tan muara sungai Topo Wates. Gento tercekat, sebaliknya tawa si kakek lenyap
seketika. Orang tua itu me-
mutar badan menghadap langsung ke arah terdengar-
nya suara menggemuruh yang semakin bertambah ke-
ras itu. Dalam kegelapan petang menjelang malam,
murid dan guru sama pentang matanya lebar-lebar.
Tak ada kata yang terucap, namun baik Gento dan si
kakek tanpa sadar segera bersikap waspada.
Suara bergemuruh semakin mendekat disertai
dengan hembusan angin kencang yang pada akhirnya
diiringi dengan munculnya cahaya putih bergulung-
gulung ke arah si kakek.
Melihat cahaya putih yang datang bersama pu-
saran angin bergemuruh yang menyergap ke arah si
kakek. Maka Gento pun berteriak keras.
"Gendut menyingkir!"
Dan sebelum teriakan si pemuda lenyap si gen-
dut dengan gerakan cepat jatuhkan diri lalu bergulingan menjauhi sergapan cahaya
putih itu. Serangan ca-
haya aneh yang datang ini begitu luput dari sasaran-
nya kini malah menyerang ke arah Gento yang berdiri
di depannya. Tak tinggal diam pemuda itu hantamkan
kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam ke
arah cahaya putih yang begulung berputar ke arahnya.
Begitu dua tangan dilontarkan sinar merah menderu,
sedangkan sosok Gento melesat ke udara.
Buuuum! Benturan yang demikian keras tidak membuat
pecahan cahaya putih itu hancur atau tercerai berai.
Malah kini setelah bergetar hebat bergerak ke kiri me-labrak Gentong ketawa. Si
kakek tercekat, dia melihat di sebelah sana Gento baru saja jejakkan kakinya.
Walaupun saat itu suasana dalam keadaan gelap, namun
agaknya si kakek tahu muridnya mengkhawatirkan
keselamatannya.
Sama seperti apa yang dilakukan oleh Gento
tadi, si gendut pun tanpa membuang waktu segera do-
rongkan kedua tangannya ke arah lingkaran cahaya
yang berpilin-pilin mengejar ke arahnya.
Wuuut! Plesh! Satu keanehan yang sulit dipercaya terjadi. Sa-
tu gelombang angin yang bersumber dari pukulan si
kakek menderu dan menghantam lingkaran cahaya
putih yang bergerak disertai hembusan angin keras
luar biasa. Tapi yang mengherankan dan membuat si
gendut geleng kepala, hantaman bertenaga dalam ting-
gi yang dilepaskannya tadi sama sekali tidak membawa akibat apa pun sebagaimana
yang diharapkannya. Malah kini Gentong Ketawa merasakan seolah tubuhnya
ikut tertarik memasuki lingkaran cahaya putih yang
terus bergerak ke arahnya.
Dalam keadaan heran bercampur rasa kecut itu
si kakek kembali mengumbar pukulan-pukulan maut-
nya. Tapi gerakan maupun serangan yang dilakukan-
nya ini saking kerasnya daya tarik sang cahaya di dalam pandangan muridnya
segala gerakkan yang dila-
kukan si kakek seolah seperti gerakan orang tenggelam menggapaikan tangannya.
"Guru.... apa-apaan kau?" seru Gento yang
menganggap gurunya terus bercanda.
Pada saat itu si kakek semakin tenggelam da-
lam lingkaran cahaya putih. aneh yang mengurungnya.
"Gento... kau larilah selamatkan dirimu!" dalam keadaan terjebak demikian rupa
si kakek berteriak
memberi ingat pada muridnya. Melihat keadaan gu-
runya yang seperti tidak berdaya. Barulah Gento men-
gerti bahwa yang dilihatnya tadi bukan suatu kenya-
taan yang dibuat-buat melainkan satu bukti bahwa
gurunya saat itu tengah menghadapi satu masalah
rumit tak terpecahkan. Apapun dan dari manapun asal
usul cahaya putih yang datang bersama hembusan to-
pan puting beliung itu Gento tidak tahu sama sekali.
Hanya pemuda itu merasa pasti ada sesuatu yang ti-
dak beres bakal segera terjadi. Karena itu dengan hati diliputi perasaan tegang
Gento mencoba menolong gurunya. Dia melompat ke depan, tangan kiri siap mele-
paskan pukulan sakti Raja Dewa Ketawa sedangkan
tangan kanan siap menghantam dengan pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis. Masing-masing pukulan sakti itu adalah warisan gurunya
Gentong Ketawa dan Tabib
Setan. Dua tangan siap di dorongkannya ke depan.
Tapi tak urung si gondrong bertelanjang dada ini di-
buat melengak ketika melihat kini betapa sosok gu-
runya kini sudah terangkat naik terbungkus dalam
lingkaran cahaya putih yang terus berputar seperti
gasing. "Guru... apa yang terjadi dengan dirimu!" teriak Gento cemas.
Dari balik cahaya sebening kaca mulut si kakek
nampak bergerak-gerak seolah memberi jawaban. He-
rannya Gento sama sekali tak dapat mendengar suara
gurunya. Seolah suara si kakek terhalang satu tembok kaca. "Kurang ajar!
Bagaimana semua ini bisa terjadi?" seru Gento sengit dan tanpa fikir panjang
lagi dua tangannya langsung dihantamkan ke atas.
Wuuuues! Wuuus!
Sinar merah dan sinar biru berkiblat melesat
cepat dari telapak tangan pemuda itu, tapi karena jarak sasaran sudah sangat
jauh dari jangkauan maka
pukulan Gento yang menghantam tepat pada sasaran
tidak menimbulkan akibat apa-apa. Sementara itu ca-
haya putih yang berhasil memulas dan menggulung
tubuh si gendut kini terus melesat bersama si kakek
yang telah diringkusnya.
"Celaka, guru..."!" desis si gondrong. Tanpa membuang waktu lagi pemuda ini
mengejar ke arah
lenyapnya Gentong Ketawa. Sampai di satu tempat dia
terpaksa hentikan pengejaran begitu melihat cahaya
yang membawa gurunya mendadak raib dari pandan-
gan mata. "Kurang ajar" Tidak akan ada cahaya yang
mampu membawa guruku. Aku yakin cahaya itu pasti
berasal dari ilmu kesaktian seseorang. Tapi siapa
orangnya yang memiliki ilmu sehebat itu. Guruku yang gendut saja mampu diringkus
dan dibawanya, apalagi
aku" Kemana aku harus mencari. Mungkinkah ada se-
seorang yang tidak menghendaki aku dan guruku pergi
ke Kiara Condong" Aku mencium adanya satu gelagat
yang tidak baik. Aku harus menyelidiki semua ini. Aku berharap tidak terjadi
sesuatu yang tidak diingini pada si gendut. Malam begini gelap, apakah aku harus
terus mengejar guruku atau bermalam di daerah ini." kata Gento seorang diri.
Pemuda ini menarik nafas pendek. Kemudian
dia duduk di atas gundukan batu besar. Dia terdiam,
tercenung dan mencoba memikirkan segala suatu yang
baru saja terjadi pada gurunya. Selagi Gento terom-
bang ambing dalam fikirannya sendiri. Pada saat yang sama hidungnya mengendus
bau sesuatu yang sangat
menyengat. Bau kemenyan.
Gento melengak kaget, cepat dia palingkan ke-
pala dan memandang ke arah mana bau menyengat
yang membuat dingin tengkuknya itu berasal. Tidak
ada sosok apapun yang terlihat, terkecuali kegelapan yang demikian pekatnya.
"Aneh, tidak ada siapapun, tidak ada pula
hembusan angin. Tapi aku mencium bau aneh ini ber-
campur bau orang yang sudah hampir mati. Jangan-
jangan memang ada mahluk halus pemakan kemenyan
gentayangan di sekitar tempat ini?" fikir si pemuda.
2 Tak lama berselang belum lagi hilang rasa he-
ran di hati sang pendekar, mendadak terlihat ada cahaya putih laksana kilat
menyambar dari langit. Seketika kegelapan di sekitar bibir tebing di tepi sungai
Topo Wates berubah menjadi terang benderang. Dan
pemuda itu mengusap matanya beberapa kali ketika
melihat di sebelah kirinya entah dari mana datangnya
muncul kabut putih tebal mengapung di udara dalam
ketinggian tidak lebih dari setengah tombak. Selagi
pemuda itu diliputi rasa heran yang amat sangat, ca-
haya kilat lenyap dan suasana di sekeliling tempat itu kembali di saput
kegelapan. "Anak manusia yang bernama Gento Guyon.
Lihat dan pandanglah kemari!" satu suara berseru membuat Gento melengak kaget
dan berpaling ke arah
mana suara tadi terdengar. Kali ini Gento benar-benar melengak kaget. Tidak jauh
di sebelah kirinya dimana tadi kabut putih munculkan diri kini berdiri tegak se-
sosok tubuh. Sosok dalam rupa seorang kakek tua
renta bermata jernih dengan tatap matanya yang me-
nyorot tajam namun mengandung sejuta kasih dan ke-
lembutan. Sosok kakek itu berpakaian serba putih,
kedua pipi cekung, gigi putih laksana kilauan mutiara.
Sedangkan di atas kepala orang tua ini bertengger sebuah songkok putih yang
menutupi rambutnya yang
juga putih dalam keadaan tergelung.
Melihat kemunculan orang tak dikenal, timbul
kecurigaan di hati sang pendekar bukan mustahil ke-
munculan orang tua berwajah bersih seakan tanpa do-
sa ini ada kaitan dengan lenyapnya sang guru.
Walaupun begitu Gento untuk beberapa saat
lamanya tak mampu bicara apapun melihat kemuncu-
lan orang tua yang tidak terduga ini.
"Pemuda gondrong, aku datang untuk menjem-
put mu lalu membawamu ke suatu tempat yang jauh
dari gemerlapnya kehidupan dunia." kembali si kakek berucap.
Gento tersenyum, lalu ajukan pertanyaan.
"Orang tua siapa dirimu ini" Kau mengatakan hendak menjemputku dan meninggalkan
gemerlapnya kehidupan dunia. Maksudmu apakah kau hendak membawa-
ku ke akherat?"
Kakek di depan Gento tersenyum. Dia kemu-
dian menjawab. "Kau boleh memanggilku Manusia Seribu Tahun. Aku bukan hendak
membawamu ke akhe-
rat. Tapi ke satu tempat yang kuberi nama Alam Batas Kehidupan."
Gento tertawa bergelak. Sesaat setelah tawanya
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lenyap dia berucap. "Alam Batas Kehidupan" Tempat apakah itu" Apakah alamnya
orang-orang sekarat dan
mereka yang hendak mati" Huh...orang tua, siapapun
dirimu. Ketahuilah sekarang ini fikiran ku sedang pusing, begitu banyak
persoalan yang harus kuselesaikan bersama guruku. Tapi entah siapa yang punya
ulah, mendadak guruku lenyap entah dibawa kemana oleh
cahaya putih celaka. Atau mungkin kau tahu kemana
cahaya putih itu membawa guruku?" tanya sang pendekar sambil menatap sosok kakek
yang berdiri men-
gambang di atas tanah.
"Mengenai gurumu tidak susah kau fikirkan.
Nasibnya tergantung apa yang dia lakukan. Takdir
apapun yang terjadi pada gurumu, semua itu merupa-
kan kehendak Gusti Allah, tak seorang pun manusia
yang dapat menentang takdir kehendak Tuhan!" si kakek menjawab.
"Orang tua, apa yang kau katakan adalah sua-
tu kenyataan yang tidak dapat ku pungkiri. Tapi terus terang aku tidak dapat
pergi begitu saja tanpa aku ta-hu bagaimana nasib guruku!"
"Bocah nakal, waktuku tidak banyak. Sudah
kukatakan jangan kau fikirkan gurumu. Kau harus
ikut denganku, sekarang juga!!" tegas si kakek namun tetap dengan nada lembut
membujuk. Sang pendekar menyeka wajahnya, memandang
ke arah si kakek sesaat kemudian tawanya pun mele-
dak. "Kakek aneh, aku bukan barang yang gampang di tenteng mudah dibawa. Aku
juga bukan bocah tolol
yang mau ikut dengan orang yang tak kukenal begitu
saja, tanpa kuketahui maksud dan tujuanmu memba-
waku. Jika kau tak mau mengatakan tujuanmu yang
sebenarnya, jangan harap aku ikut denganmu!" tegas Gento. "Hem." si kakak
menggumam sambil usap-usap jenggotnya yang putih berkilau. "Gento... aku
membawamu ke tempat kediamanku karena aku ingin menja-
dikan mu sebagai seorang pendekar sakti. Seorang
pendekar bukanlah seperti dirimu yang sekarang. Kau
harus digembleng lagi secara lahir batin. Hingga kelak bukan hanya keadaan
lahirnya saja yang menjadi kokoh, tapi sebaliknya batinmu juga akan memiliki ke-
kuatan yang seimbang. Harusnya kau patut bersyukur
kepada Gusti Allah karena kau terpilih olehku menjadi manusia yang kuharapkan
dapat menegakkan keadilan dan menjadi pembela kebenaran, menolong kaum
lemah yang tertindas dari tangan penguasa yang sewe-
nang-wenang dan kejamnya kehidupan dunia ini. Itu
adalah bagian yang terkecil yang perlu kusampaikan
kepadamu. Sekarang bersiap-siaplah kau untuk mela-
kukan perjalanan denganku!" berkata begitu kakek yang mengaku bergelar Manusia
Seribu Tahun itu tanpa terduga julurkan tangannya. Anehnya tangan yang
terjulur itu mendadak berubah panjang, meliuk berke-
lok-kelok bagaikan lidah siap melilit tubuh sang pendekar. Meskipun Gento sempat
dibuat heran juga me-
lihat tangan si kakek dapat berubah sedemikian rupa.
Tapi Gento tak kehilangan kewaspadaannya. Ketika dia melihat tangan si kakek
mencengkeram ke arah ping-
gang pemuda ini melompat mundur selamatkan diri
sambil melepaskan pukulan mautnya.
Wuuus! Dari telapak tangan Gento lidah api mencuat
dan menyambar tangan si kakek. Orang tua ini diam-
diam terkejut, tapi kemudian mengumbar senyum
sambil berkata. "Pukulan Selaksa Duka" Sungguh pukulan seperti itu dimataku
menjadi tidak berguna!"
Habis berkata tangan si kakek yang terjulur
dan berubah menjadi panjang itu kemudian sengaja di
tadahkan. "Sengaja mencari mati, buntung tanganmu!"
desis si pemuda dalam hati. Dan dengan telak pukulan itu menghantam tangan si
kakek. Besss! Dengan telak pukulan yang dilancarkan Gento
mengenai sasarannya. Tapi sungguh aneh pukulan
yang menghantam tangan kakek itu sama sekali tidak
mengakibatkan apapun bagi Manusia Seribu Tahun.
"Bukan aku bicara sombong andaipun kau per-
gunakan seluruh ilmu pukulan yang kau miliki. Bagi-
ku semua itu tidak akan ada gunanya. "kata si kakek.
Mendengar ucapan orang yang terkesan men-
cemooh itu Gento jadi kesal sehingga tanpa bicara
apapun murid si kakek gendut Gentong Ketawa ini se-
cara bertubi-tubi dan silih berganti mengumbar puku-
lan mautnya. Pukulan maut yang dilepaskan secara berun-
tun itu menimbulkan ledakan-ledakan keras mengge-
legar membuat tebing di pinggir sungai itu laksana di guncang gempa. Tapi
kenyataan yang terjadi di depannya sungguh membuat Gento jadi tercengang. Sosok
kakek di depannya sana walaupun terkena pukulan
Gento yang bertubi-tubi, jangankan terluka atau ro-
boh, sedang bergeming pun tidak.
"Celaka! Kakek ini kukira bukan manusia bena-
ran, tapi mungkin setan yang menjelma menjadi ma-
nusia" Jika dia memang manusia sungguhan pasti se-
jak tadi tubuhnya hancur berkeping-keping terkena
pukulanku!" batin Gento dalam hati sambil menarik nafas dan gelengkan kepala.
Di depannya sana sambil tersenyum seolah
mengerti apa yang tersimpan di lubuk hati pemuda itu Manusia Seribu Tahun
berucap. "Ketahuilah anak manusia yang bernama Gento Guyon. Aku bukan setan,
bukan pula iblis, bukan hantu atau sebangsanya me-
medi. Diriku sama halnya seperti dirimu. Terdiri dari darah, tulang dan daging.
Cuma aku memiliki tingka-tan lebih tinggi dari manusia lain. Sekarang... demi
ke-baikanmu sendiri kau harus ikut denganku. Pergi ke
suatu tempat....!"
"Ha ha ha! Bicara melantur boleh saja. Tapi
persoalannya menjadi tidak semudah yang kau
bayangkan. Kau boleh membawa pergi bayangan ku,
orang tua. Sedangkan aku bebas pergi kemanapun aku
suka!" berkata begitu murid Gentong Ketawa ini balikkan badan lalu berkelebat
pergi tinggalkan Manusia
Seribu Tahun. Dalam gelapnya malam sosok Gento lenyap dari
pandangan si kakek. Orang tua itu tertawa bergelak.
"Ha ha ha. Bocah keblinger. Kau belum tahu,
gerak dan langkahku tidak terbatas pada jarak, ruang dan waktu. Walaupun kau
dapat lari secepat yang dilakukan setan, namun aku dapat mengejarmu hanya
dalam sekedipan mata!" kata si kakek.
Di kejauhan sana Gento yang masih mendengar
ucapan Manusia Seribu Tahun sambil terus berlari
sunggingkan senyum sinis. "Dasar kakek gila. Dia
mengira dapat mengejarku yang sudah berlari sejauh
ini. Coba saja kalau mampu!"
Plash! Jlik! "Hah....!" Gento terperangah. Sekonyong-
konyong langkahnya terhenti ketika secara tak terduga orang yang ditinggalkannya
kini telah menghadangnya.
"Kau hendak lari kemana, bocah" Aku baru sa-
ja hendak menunjukkan mu suatu jalan menuju ke
surga, tapi kau malah memilih jalan ke neraka. Sung-
guh manusia tolol!"
"Orang tua, aku tak sudi ikut denganmu!" dengus si gondrong. Seperti tadi dia
cepat balikkan badan dan siap meninggalkan Manusia Seribu Tahun. Tapi
apa yang terjadi kemudian membuat pemuda ini terce-
kat. Mendadak dia merasa sekujur tubuhnya tak dapat
digerakkan, kaku seperti tertotok walau sebenarnya
Manusia Seribu Tahun tidak menotoknya.
"Habis sudah! Apa yang dilakukan kakek ini
terhadapku" Aku hanya merasakan hembusan angin
menerpa punggungku, setelah itu aku tak mampu ber-
gerak sama sekali!" Sang pendekar diam-diam mengeluh. Sebelum Gento sempat
bicara apapun atas keja-
dian yang menimpa dirinya, pada saat itu dia merasa-
kan ada satu tangan yang begitu besar mencengkeram
pinggangnya. Setelah itu Gento merasa tubuhnya se-
perti diangkat dan dibawa melesat ke udara.
"Hei, apa-apaan ini...!" teriak si gondrong, sedangkan tangannya menggapai kian
kemari mencari selamat. Pada saat itu terdengar bentakan di belakang-
nya. "Kau mau meloloskan diri, lalu minggat mencari gurumu. Lakukanlah, aku akan
melepaskanmu. Begitu kulepas tubuhmu akan melayang dan jatuh. Sampai
di bawah kepalamu menghempas batu lalu remuk. Ji-
ka kepalamu hancur, rohmu gentayangan penasaran,
tidak diterima langit tidak diterima bumi!"
"Sialan memang sekarang aku berada di ma-
na?" teriak Gento masih juga meronta.
"Ha ha ha. Buka matamu, setelah itu lihat ke
bawah!" seru si kakek keras.
Tanpa sadar Gento lakukan apa yang diperin-
tahkan si kakek. Mendadak sontak gerakan meronta
yang dilakukannya terhenti. Mata si pemuda mendelik
besar mulut ternganga. Tubuh menggigil tengkuknya
tidak terasa tengkuk lagi, melainkan setelah berubah menjadi dingin laksana es.
Dengan suara bergetar, dan dalam takut yang demikian mencekam Gento akhirnya
mampu juga membuka mulut ajukan pertanyaan.
"Kk... kau membawaku terbang?"
"Ha ha ha! Anggap saja begitu!" menyahuti si kakek. "Ah, gila. Sulit kupercaya.
Tidak punya sayap kok bisa terbang!" desis sang pendekar dengan perasaan kecut.
Dalam takutnya diapun pejamkan mata.
Sedangkan hati tidak putus-putusnya memanjatkan
doa. Dalam keadaan seperti itu pula tanpa sadar ba-
gian bawah celana Gento basah kuyup, entah karena
keringat atau air kencing.
3 Dinginnya udara malam menjelang pagi terasa
mencucuk hingga ke sumsum tulang. Suasana dalam
keadaan gelap dan hanya diterangi cahaya bintang
gemintang yang bertaburan angkasa sana.
Di satu pendataran tanah berbatu, satu sosok
terkapar disitu dalam keadaan menelentang, sedang-
kan tangan serta kedua kakinya terbelenggu empat
rantai panjang terbuat dari batu yang kerasnya mele-
bihi baja. Sosok itu sama sekali tidak bergerak, wajah
menengadah ke atas sedangkan kedua matanya yang
terlindung rambut panjang awut-awutan melotot me-
mandang ke arah bintang yang bertaburan di langit.
Dilihat sepintas lalu sosok berpakaian hitam ini
tidak ubahnya seperti orang yang sudah meninggal
dunia, karena sekujur tubuhnya seakan diam membe-
ku, sedangkan dada sama sekali tidak bergerak seba-
gaimana umumnya orang yang sudah mati.
Keadaan seperti itu ternyata tidak berlangsung
lama karena sesaat kemudian satu keanehan terjadi
pada diri orang ini. Sosok yang diam itu bergetar hebat, getaran diiringi dengan
keluarnya asap tipis yang bergulung-gulung seperti kabut. Kabut itu kemudian
menebar ke seluruh permukaan tubuh si gadis, hingga
sosoknya seolah lenyap. Seiring dengan itu pula, tangan dan kaki yang
terbelenggu rantai bergetar hingga menimbulkan suara berkerontakan berisik.
"Hraaagh...!"
Terdengar suara pekik melengking. Kabut putih
yang menyelimuti sosok kakek berpakaian hitam le-
nyap. Bersamaan dengan itu pula belenggu rantai batu yang melilit kedua tangan
dan kaki si kakek berubah
merah laksana bara. Cahaya merah semakin menjadi-
jadi. Anehnya si kakek tidak merasakan panas akibat semua ini. Malah dia dengan
segenap tenaga yang dia
miliki akhirnya menggerakkan kedua kaki dan tangan-
nya serentak. Rettt! Raaak! Satu sentakan yang keras luar biasa membuat
rantai batu hancur menjadi kepingan bara api menyala yang berlesatan ke segala
penjuru arah dan menerangi suasana di sekelilingnya yang di saput kegelapan.
Begitu tangan serta kakinya terbebas dari be-
lenggu rantai batu meledaklah tawa sosok kakek ber-
pakaian hitam itu. "Ha ha ha! Pada akhirnya aku dapat juga menikmati kebebasan
dari akhir sebuah hukuman. Sekarang aku dapat pergi kemanapun aku su-
ka.!" kata orang tua itu.
Dia lalu gerakan badan dan duduk di tempat
mana dirinya selama ini terbaring. Baru saja suara si kakek lenyap. Di
belakangnya tiba-tiba terdengar satu suara menyahuti. "Kau tidak akan pernah
pergi kemanapun, tua bangka. Walau kau mampu membebaskan
diri dari rantai batu yang membelenggu tangan dan
kedua kakimu!"
Bagaikan di sengat kalajengking yang sangat
berbisa, si kakek berjingkrak kaget, serentak dia memutar badan menghadap ke
belakang lalu matanya je-
lalatan memandang ke depan. Kakek yang baru terbe-
bas dari belenggu rantai jadi tercekat.
Wajahnya memucat dibasahi keringat dingin.
Sepasang mata membeliak sedangkan mulut ternganga
lebar. "Kunti Menak.... Bagaimana kau tahu-tahu muncul kembali di sini?" desis
si kakek. Heran juga merasa jerih. Dalam gelapnya malam si nenek dongakkan
wajah, lalu tongkat hitam di tangan kiri diketukkan di atas batu tiga kali.
Setelah itu perempuan berbadan bongkok inipun mengumbar tawanya.
Puas dia tertawa nenek yang dipanggil Kunti
Menak menatap lurus ke arah kakek yang duduk di
depannya. "Aku bisa muncul di mana saja Ki Anjeng Lak-
nat! Aku gentayangan seperti setan, walaupun aku bu-
kan turunan setan sungguhan. Hik hik hik!" jawab perempuan itu disertai tawa.
"Kunti, apapun katamu, sekarang aku mohon
kebijaksanaan mu. Dulu kau pernah mengatakan, jika
aku mampu menghancurkan rantai batu ini, berarti
aku sudah bebas dari hukumanmu. Sekarang aku
mampu menghancurkan rantai batu yang telah mema-
sung ku selama ini. Sesuai dengan perjanjian aku min-ta kebebasan!" ujar si
kakek. Nenek di depannya berkacak pinggang. Dari
mulut perempuan itu terdengar suara dengusan pan-
jang. Sementara dada si nenek nampak kembang kem-
pis seakan tengah berusaha meredam satu gejolak
yang membuncah di dalam hatinya. Dengan suara lan-
tang dia membentak. "Kau tidak akan pernah mempe-roleh kebebasan apapun Anjeng
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laknat. Aku telah ke-
hilangan segalanya. Kau harus menjalani hukuman
lain sampai tiba masanya rasa puas di hati gundah di hatiku hilang tak
berbekas."
"Kunti.... segala sesuatu yang telah terjadi tak mungkin dapat kembali
sebagaimana keadaan semula.
Muridmu yang tewas tak mungkin dapat hidup lagi.
Semuanya sudah merupakan takdir ketentuan yang
maha kuasa. Lagi pula muridmu kini sudah ada yang
menggantikan, yaitu anaknya. Dia sudah menjadi pe-
muda dewasa, selain itu dia bahkan telah mewarisi
hampir semua ilmu yang diturunkan oleh adikku. Se-
harusnya kau merasa bangga mempunyai cucu sehe-
bat Lira Watu Sasangka. Aku sudah menerima salah....
aku jalani hukuman yang kau jatuhkan selama hampir
dua puluh tahun. Jika saja aku tidak mengingat hu-
bungan lama, apakah kau mengira aku mau kau per-
lakukan seperti ini" Aku bisa bertempur denganmu
sampai salah seorang dari kita terpaksa menjadi bang-kai tak berguna."
Mendengar ucapan si kakek, nenek bertongkat
hitam itu merasa darahnya laksana mendidih. "Tua bangka keparat. Apapun alasanmu
kau tetap tidak dapat menghidupkan muridku yang sudah mati. Ki An-
jeng Laknat hukuman itu harus kau jalani lagi, paling tidak sampai sepuluh tahun
mendatang. Jika kau menolak aku akan jatuhkan tangan keras kepadamu!" Si nenek
mengancam. Ki Anjeng Laknat tertawa tergelak-gelak, lalu gelengkan kepala.
"Kunti.... menurutkan sebaiknya kita sudahi
saja persoalan ini. Kau seharusnya ingat dulu kau
adalah kekasihku. Karena persoalan Mawar Pelangi
membuat hubungan kita yang baik menjadi renggang.
Sekarang sudah saatnya kita berbaikan kembali, lalu
kita jalani hidup ini sebagaimana adanya susah se-
nang kita tanggung berdua. Kita bahkan bisa menik-
mati manisnya sisa madu asmara meskipun kita su-
dah tua. Ha ha ha!"
Merah padam wajah si nenek, kedua matanya
mendelik besar. Mata berkilat-kilat memancarkan ca-
haya kebencian. Dengan geram pula dia membentak.
"Tua bangka keparat. Aku ingat, dulu pernah menjadi kekasihmu selama belasan
tahun. Tidak terhitung kau
mengajakku berbuat terkutuk, tapi kau tidak pernah
mau bersedia menikahi ku. Tua bangka tak bertang-
gungjawab. Jangan kau pernah berfikir kita bisa ber-
baikan kembali, kau tetap berada disini. Aku akan merantai mu, sampai tiba
saatnya masa pembebasan se-
puluh tahun yang akan datang!" Kunti Menak mene-gaskan. Lalu laksana kilat dia
gerakan tangannya ke
udara, detik kemudian entah dari mana datangnya di
tangan si nenek tergenggam dua buah rantai batu baja yang berlubang pada bagian
tengahnya. Melihat dua
benda di tangan si nenek, Ki Anjeng Laknat tercekat.
Dia sadar, walau rantai itu terlihat sebagai barang
yang sangat sederhana namun bila sampai dilempar-
kan ke udara bisa berubah menjadi senjata yang san-
gat berbahaya. Setiap saat ujung rantai bisa meliuk, melilit atau mematuk tidak
ubahnya seperti seekor
ular. "Kunti... kau jangan main-main dengan benda di tanganmu, urungkan
keinginanmu. Sebaiknya kita
berdamai dan akhiri segala silang sengketa yang terjadi antara kita selama ini!"
pinta Ki Anjeng Laknat.
"Siapa yang main-main?"
"Kunti kekasihku"!"
"Aku bukan kekasihmu!" hardik si nenek tegas.
"Oh Kunti. Ingat... Kunti, aku menyesal atas kejadian itu. Namun satu hal yang
harus kau sadari, jika seluruh manusia dan jin bersatu kekuatan untuk
menghidupkan orang yang mati, semua itu tidak
mungkin pernah tercapai. Tidak ada manusia yang
mampu menentang kehendak takdir yang telah diga-
riskan Gusti Allah." Si kakek masih berusaha menya-darkan Kunti Menak.
Perempuan itu tertawa panjang menyeramkan.
"Gusti Allah, kau ingat pada Nya" Selama hidup kau bergelimang kesesatan
bermandi dosa. Selama hidup
banyak orang kau bunuh semena-mena, banyak pula
anak gadis orang yang kau nodai. Ini salah satu kor-
ban dari ilmu tololmu itu!" selesai berkata si nenek dengan gerakan perlahan
ketukkan tongkat hitam di
tangannya. Tanah kemudian bergetar disertai suara
gemuruh hebat. Api menyala yang menerangi pendata-
ran puncak bukit tersibak, lalu tanah di bagian bawah
api unggun meledak. Api unggun bertebaran di udara,
bersamaan dengan itu dari bagian tanah yang meledak
melesat satu sosok tubuh berambut panjang riap-
riapan. Si nenek melesat ke udara, dengan tangan ka-
nan dia sambuti sosok telanjang yang baru saja ter-
lempar keluar dari dalam tanah yang terbelah itu.
Kemudian ketika si nenek jejakkan kakinya ke
tanah, dia memondong sosok tubuh perempuan telan-
jang tadi. Dengan perlahan dia baringkan sosok kaku
telanjang di atas tanah.
Sejurus dia memandang ke depan, setelah itu
dia berseru. "Ki Anjeng Laknat kau lihatlah perempuan malang ini. Tubuhnya putih
mulus, dada montok ping-gul bagus. Perempuan secantik ini seharusnya tidak
mati secepat itu. Dia layak hidup lima puluh tahun la-gi, dia pantas mendapat
kehangatan pelukan laki-laki.
Tapi... karena ulahmu dia menemui ajal secara sia-
sia.!" Di depan sana Ki Anjeng Laknat sibakkan sebagian rambutnya yang memutih
panjang riap-riapan
menutupi wajah. Sepasang mata yang seperti amblas
ke dalam rongga terbuka lebar. Bagian hidungnya yang seperti remuk bekas
benturan benda keras kembang
kempis mengendus. Dengan tatap tak berkedip dia
pandangi sosok yang dalam keadaan polos telanjang
tanpa nyawa tersebut. Sosok mayat telanjang itu me-
mang tidak kehilangan kecantikannya bagian tubuh
masih utuh karena si nenek sengaja membaluri mayat
itu dengan sejenis ramuan yang membuatnya tidak ru-
sak. Sedetik lamanya si kakek merasa darahnya lak-
sana mendidih, tenggorokan turun naik. Namun bila
perhatiannya beralih ke arah bagian perut, si kakek
mendadak merasa mual dan jadi miris sendiri.
Di bagian perut mayat terdapat sebuah luka
menganga yaitu berupa robekan besar memanjang.
Luka itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu,
saat si mayat yang bernama Mawar Pelangi hendak
melahirkan anaknya. Meskipun dua puluh tahun telah
berlalu luka itu nampaknya tidak pernah berubah, be-
gitu juga dengan tubuhnya yang hanya tinggal sosok
tanpa nyawa. "Tatap dan pandanglah baik-baik. Pandang
dengan hati nurani mu sebagai manusia, bukan den-
gan nafsumu. Andai dia yang sudah mati bisa bicara,
dia pasti ingin membunuhmu seratus kali. Kebencian
serta rasa dendamnya kepadamu dia bawa sampai ma-
ti. Ki Anjeng Laknat, ingatlah akan segala kesalahan yang telah kau perbuat,
buka fikiranmu, lapangkan
dadamu!" kata si nenek dengan suara perlahan namun membuat si kakek jadi
tersentak kaget.
Dengan suara tersendat dia kemudian menja-
wab. "Semuanya terjadi luar perhitungan. Aku ingin menjadikan anaknya sebagai
raja diraja dunia persilatan. Jika akhirnya nyawa Mawar tidak tertolong, tentu
ini diluar kuasa dan kemampuanku!" Ki Anjeng Laknat membela diri.
"Puah, laki-laki keparat. Enak saja kau bicara.
Serahkan kedua tangan serta kedua kakimu jika tak
ingin mencari perkara!" hardik Kunti Menak.
"Kunti aku tidak takutkan dirimu. Aku menga-
lah semata-mata karena aku masih punya rasa cinta
kepadamu. Aku tak tega menurunkan tangan jahat
kepadamu. Kunti, percayalah walau kita sudah sama
tua cintaku padamu selalu panas menggebu. Bukan-
kah lebih baik kau lupakan saja mimpi buruk itu. Kita bisa menjalin cinta
kembali, bersenang-senang layak-nya pengantin"!"
Semakin bertambah gusar Kunti Menak men-
dengarnya. Sambil menahan kemarahan si nenek pan-
dang sosok Mawar yang tergeletak dekat api unggun.
Melihat mayat itu terkenang kembali segala kejadian
yang telah berlangsung puluhan tahun yang silam.
4 Puri Bahagia Setan dua puluh tahun yang lalu.
Pagi itu mendung tebal menyelimuti daerah sekitarnya.
Di salah satu ruangan seorang perempuan tua berba-
dan bongkok beberapa kali ketukkan tongkat hitamnya
di atas perut seorang perempuan muda berwajah can-
tik berpakaian kembang-kembang. Walaupun ketukan
itu cuma perlahan saja, namun sakit yang ditimbulkan akibat ketukan sungguh
sangat luar biasa. Perempuan
cantik itu menggeliat, merintih namun tak berani menjerit. Tatap matanya
menerawang kosong memandang
ke bagian langit-langit kamarnya. Sedangkan dari ma-
tanya air mata terus bergulir tiada henti.
"Mawar Pelangi....setelah kuketuk perutmu, se-
telah kurasakan gerakan yang ada. Sekarang aku tahu
mengapa kau muntah, kepalamu pusing sepanjang ha-
ri. Muntah mu itu pasti karena kau terlalu banyak tidur dengan laki-laki. Gadis
goblok tolol, sekarang kau bunting sudah. Siapa laki-laki bejad yang telah
membuatmu jadi seperti ini?" hardik perempuan itu sengit.
"Guru... laki-laki itu adalah Rajo Penitis." sahut Mawar Pelangi. Mendengar
jawab muridnya si perempuan bertongkat berjingkrak kaget dan sampai surut
dua langkah. Sepasang mata membelalak lebar.
"Bangsat jahanam. Bagaimana gadis secantik-
mu bisa tertarik dan jatuh dalam pelukan laki-laki
gendut pendek hidung pesek berbibir dower itu" Agak-
nya matamu sudah terbalik, otak berubah pikun. Ba-
nyak pemuda gagah yang bisa kau taklukkan. Tapi
kau malah tergoda pada bangsat penggoda wanita yang
anak turunnya keleleran di sepanjang jalan. Bukan
hanya bergaul, tapi bunting segala malah. Semprul
edan!" teriak sang guru. Melihat kemarahan gurunya, sementara ujung tongkat
orang tua itu masih bersite-kan pada perutnya yang putih mulus, tentu saja Ma-
war Pelangi tak berani bertindak sembarangan yang
dapat membuat perempuan itu jadi gelap mata.
Dengan suara tercekat dia menyahuti. "Guru....
antara aku dan Rajo Penitis sudah sama saling cinta.
Kami juga diluar sepengetahuan guru sudah menikah.
Jika sekarang aku hamil buat apa hal ini kita ri-
butkan. Anak ini kelak akan membuat suasana di Puri
Bahagia Setan akan menjadi lebih hidup!"
"Jadah! Kau menikah dengan bangsat laknat
itu di luar sepengetahuanku. Aku tak sudi meres-
tuinya, dan aku tetap menganggap hubunganmu den-
gannya tidak sah. Jika orang melempar wajahku den-
gan kotoran sapi sakitnya kuanggap tidak seberapa.
Jika kau menusukkan seribu mata pedang di tubuh-
ku, kuanggap kematianku sebagai hal yang lumrah.
Tapi kau mencoreng wajahku dengan aib besar serta
rasa malu yang tak terhingga. Inikah balas budimu selama bertahun-tahun aku
mengurus mu"!"
"Guru harap maafkan aku. Aku sangat mencin-
tainya. Karena itu aku menikah dengannya secara di-
am-diam." kata Mawar Pelangi membela diri.
"Kau menikah, kau kawin diam-diam kau men-
gatakan cinta padanya, apakah semua itu kau lakukan
bukan karena nafsu?"
"Cinta campur nafsu, guru." jawab Mawar Pe-
langi. "Setan! aku tak akan biarkan anak itu hidup dan terlahir ke dunia ini.
Dia harus kubunuh. Kelak
kau harus menikah dengan laki-laki yang aku senan-
gi!" Selesai berkata perempuan ini jauhkan tongkat da-ri perut Mawar Pelangi.
Dengan tangan kiri yang telah teraliri tenaga sakti berhawa dingin si nenek
bermaksud mengeluarkan calon bayi di dalam rahim murid-
nya. Tidal lama berselang tangan yang telah dialiri tenaga dalam itu kemudian
ditempelkan di bagian perut
sebelah bawah. Melihat apa yang dilakukan gurunya dan sete-
lah merasakan adanya hawa panas yang mengalir de-
ras ke bagian rahim Mawar Pelangi berseru. "Guru apa yang hendak kau lakukan?"
"Perempuan tolol, tentu saja mengeluarkan ca-
lon bayi dari perutmu!" dengus si nenek.
"Tidak. Kau tidak boleh melakukannya.!" cegah gadis itu. Dengan sekuat tenaga
dia berusaha membebaskan diri dan menepis tangan kiri gurunya yang
menekan di bawah perut. Tapi laksana kilat gurunya
menotok beberapa bagian tubuhnya hingga membuat
Mawar Pelangi tak dapat berbuat apapun.
Tak ada yang dapat dilakukan oleh si gadis ter-
kecuali menangis. Sementara itu hawa panas yang
menyakitkan mulai mengalir deras menembus bagian
letak janin. Di bagian perut terasa ada gerakan serta getaran-getaran seolah
janin di dalam rahim itu meronta. Perempuan setengah baya itu mendadak ker-
nyitkan keningnya. Ada sesuatu yang membuatnya ka-
get. Selagi hati Kunti Menak ini dipenuhi rasa kaget dan tanda tanya besar. Satu
tenaga yang sangat hebat menghantam tangan kirinya yang menempel di bagian
perut Mawar Pelangi.
Dess! Dess! Dess!
"Akhh....!"
Laksana dicampakkan Kunti Menak jatuh ter-
pental. Punggungnya menabrak dinding. Dinding Puri
Bahagia Setan hancur berkeping-keping. Perempuan
itu dalam kejutnya berusaha bangkit berdiri. Apa yang dilakukannya itu ternyata
tidak mudah karena punggungnya seperti remuk. Wajah pucat, nafas sesak dan
hidung kembang kempis.
Kunti Menak himpun tenaganya, begitu bangkit
dia memandang ke arah balai ketiduran dimana mu-
ridnya rebah di situ tak bisa bergerak hanya bisa keluarkan suara.
"Siapa yang memukulku tadi. Mustahil Mawar
yang melakukannya. Tubuh bocah kupret itu dalam
keadaan tertotok"
Kunti Menak gelengkan kepalanya yang terasa
pusing. Dia mencoba berfikir, mengingat-ingat. Sewak-tu dia kerahkan tenaga
sakti yang mematikan tadi, ti-ba-tiba dia merasa ada satu kekuatan dan dalam
yang bergerak menolak kekuatan tenaga dalamnya. Satu
kekuatan hebat yang bukan saja membuat tangan ki-
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rinya terasa lumpuh tapi juga mampu mencampakkan
Kunti Menak bahkan melukai tubuh di bagian dalam.
"Jadi... jadi bayi itukah yang telah menyerang-
ku tadi" bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?" desis Kunti Menak masih belum
juga mampu menghi-
langkan rasa kagetnya.
Sebaliknya Mawar Pelangi sendiri sebenarnya
juga merasa heran dan tak pernah mengerti mengapa
gurunya sampai terbanting. Tapi paling tidak untuk
sementara dia merasa lega karena gurunya tidak beru-
saha membuat janinnya celaka. Jauh di dalam hati dia
berharap agar Rajo Penitis yang menjadi suaminya da-
tang ke Puri Kebahagiaan Setan guna menyelamatkan
dirinya. Di depannya sana sang guru tertegun. Dia masih berniat melakukan
keinginannya. Tapi keraguan
menyelimuti diri perempuan itu, takut hal yang sama
terulang kembali.
"Ada yang tidak beres. Aku yakin sekali. Aku
harus menemui Ki Anjeng Laknat. Hanya dia yang bisa
mengetahui berbagai hal yang tak dapat dilihat oleh
kasat mata." fikir Kunti Menak. Tanpa bicara apapun pada muridnya lagi Kunti
Menak tinggalkan kamar
muridnya dan berkelebat pergi menuju ke tempat ting-
gal Ki Anjeng Laknat yang letaknya tak jauh dari Puri Bahagia Setan.
*** Ki Anjeng Laknat duduk diam di atas tumpu-
kan lima tengkorak kepala manusia yang dilapisi jera-mi pada bagian atasnya.
Rambut yang panjang kelabu
dan hampir memutih secara keseluruhan dibiarkan
menutupi sebagian wajahnya. Di depan tokoh sesat,
momok yang sangat ditakuti di dunia persilatan itu
terdapat sebuah benda bulat mirip bola berwarna kebi-ru-biruan. Kelebihan bola
itu bila disentuh akan me-
mancarkan cahaya terang mengagumkan. Selain itu
melalui benda bulat yang berasal dari batu bernama
Batu Bola Neraka itu pemiliknya dapat melihat hal-hal yang berhubungan dunia
gaib atau sesuatu yang tak
mampu ditembus dengan kasat mata.
Duduk lama di depan Batu Bola Neraka, kakek
yang memiliki bola mata melesak ke dalam rongga ber-
hidung remuk berpakaian hitam tampak tak pernah
bergerak sama sekali. Sepasang matanya memandang
ke depan. Tapi tak urung ketika dia mendengar suara
langkah-langkah kaki mendekati pintu rumahnya dia
alihkan perhatian ke arah pintu.
"Ki Anjeng Laknat aku hendak bertemu den-
ganmu. Apakah kau ada di dalam?" tanya satu suara.
Si kakek yang mengenali suara orang langsung menja-
wab. "Masuklah Kunti Menak. Untuk kepentingan
mu pintu rumahku selalu terbuka." sahut Ki Anjeng Laknat disertai tawa pendek.
"Maksudku apakah kau tidak sedang...."!" suara Kunti Menak terputus seolah ragu
untuk melan- jutkan. Di dalam terdengar suara tawa panjang. Ru-
panya Ki Anjeng Laknat tahu arah ucapan Kunti Me-
nak. "Kau tak usah khawatir. Pintu ku terbuka selalu, tapi bukan berarti tubuhku
juga dalam keadaan
terbuka seluruhnya. Tapi jika kau mau, jika kau me-
minta aku tak keberatan melakukannya, kekasihku!
Ha ha ha!!" kata si kakek disertai tawa panjang.
"Tua bangka gila. Jangan bicara melantur. Saat
ini aku punya satu kepentingan yang tak dapat ditun-
da. Aku butuh pertolonganmu." dengus si nenek sengit.
"Untukmu pertolongan selalu pula kuberikan.
Tapi setelah itu kau harus mengucapkan janji untuk
bersenang-senang denganku. Sudah lama kita tidak
bermesraan. Padahal darahku selalu panas bergelora,
kekasihku!" ujar Ki Anjeng Laknat.
Kunti Menak memaki panjang pendek, pintu di-
tendangnya hingga terbuka lebar. Memandang ke da-
lam ruangan suasana nampak gelap temaram. Kunti
Menak juga melihat si kakek yang bernama Ki Anjeng
Laknat duduk menghadap bola batu. Perempuan itu
melangkah masuk. Ki Anjeng Laknat yang memperha-
tikan kehadirannya sejak tadi mengulum senyum dan
menelan ludah. "Beberapa purnama tidak bertemu ternyata kau
semakin bertambah cantik Kunti. Ingin sekali rasanya aku memelukmu!" kata kakek
angker itu sambil menyeka bibirnya.
"Jangan berani kau berlaku kurang ajar pada-
ku. Aku bisa membunuhmu!" hardik Kunti Menak.
Walau begitu dia tetap menghampiri Ki Anjeng Laknat
bahkan kini duduk di hadapan kakek itu.
Ki Anjeng Laknat sama sekali tak hiraukan
ucapan Kunti Menak. Malah ketika bicara kemudian
ucapannya berbau mesum. "Seribu kali kau mengan-camku hendak membunuh. Tapi
setelah kau jatuh da-
lam pelukan kau malah merengek, meminta tambah
lagi... dan lagi. Kunti Menak, bagaimana kalau malam nanti kita habiskan waktu
untuk bersenang dan berpuas-puas diri. Kau pasti bersedia melayaniku bukan!"
kata si kakek, lagi-lagi dia tertawa.
Blaak! Satu tamparan keras mendarat dipipi si kakek
hingga membuat orang tua itu terjajar.
Pipi keriputnya memerah sedangkan bibirnya
meneteskan darah. Ki Anjeng Laknat usap pipinya be-
kas tamparan pulang balik. Bukannya marah dia ma-
lah tersenyum. Kini dia sadar kalau kekasihnya saat
itu sedang membawa satu persoalan yang serius.
Selesai mengusap pipi Ki Anjeng Laknat ajukan
pertanyaan. "Kunti sayang ku, baiklah sekarang katakan apa keperluanmu
menyambangi diriku"!" ujar si kakek bersikap sungguh-sungguh.
"Aku datang kemari semata-mata karena murid
tolol itu. Mawar Pelangi hamil"!" menerangkan Kunti Menak. Semula dia berharap
kakek tua yang menjadi
kekasih gelapnya selama ini terkejut mendengar penje-lasannya. Tapi apa yang
diharapkannya itu ternyata
tidak terjadi. Wajah angker Ki Anjeng Laknat tidak
menunjukkan perubahan apa-apa, tetap datar biasa
saja. "Sudah menjadi kodratnya perempuan memang harus melahirkan, itu kenyataan
yang wajar. Lain lagi halnya bila ada laki-laki hamil. Kurasa itu baru merupakan
suatu kejutan. Dan aku merasa perlu melihat-
nya. Lalu apa istimewanya bila muridmu hamil. Kau
sendiri sering hamil, hamil denganku diluar nikah.
Anak-anak yang kau kandung tak pernah hidup, kare-
na kau memaksanya keluar selagi dia masih berada
dalam kandungan." kata Ki Anjeng Laknat memberi tanggapan.
Kunti Menak delikkan mata mendengar ucapan
kekasihnya. Tubuhnya bergetar menahan amarah.
Dengan suara tertekan dia membuka mulut. "Keparat tua. Jangan kau ungkit masalah
pribadiku. Semua ini
gara-gara ulahmu. Sedangkan mengenai muridku Ma-
war Pelangi. Aku tak mau dia meniru apa yang telah
terjadi denganku," dengus Kunti Menak.
Ki Anjeng Laknat menarik nafas pendek. Dia
terdiam sejenak, berfikir baru kemudian melanjutkan.
"Tak ada gunanya kita bertengkar. Sekarang
lanjutkan ucapanmu!"
"Adapun orang yang menghamili Mawar Pelangi
adalah si keparat Rajo Penitis." ujar Kunti Menak. Dia lalu menceritakan segala
sesuatu yang terjadi termasuk juga saat dirinya hendak memijit hancur calon
bayi yang dikandung oleh Mawar Pelangi. Selesai Kunti
Menak menceriterakan segala sesuatunya, Ki Anjeng
Laknat jadi geleng kepala juga merasa takjub.
"Ini merupakan kejadian yang sangat luar bi-
asa. Kunti Menak.... jika kau mau turut apa kataku.
Sebaiknya kau jangan bunuh bayi itu. Biarkan dia hi-
dup. Aku yakin bila besar nanti dia akan menjadi raja diraja dunia persilatan
sepanjang masa." ujar si kakek.
Mendengar keputusan Ki Anjeng Laknat, Kunti
Menak jadi terkesiap. Apa yang dikatakan kekasihnya
sungguh bertentangan dengan apa yang menjadi kein-
ginannya. "Aku tak mau memelihara anak turun Rajo Pe-
nitis. Akupun tak sudi mempercayai ucapanmu begitu
saja. Terkecuali kau bisa membuktikannya melalui Ba-
tu Bola Neraka. Aku melihat dengan mata kepalaku
apa yang tergambar di dalam batu biru kemudian aku
akan mempertimbangkannya." tegas perempuan itu tetap ngotot.
Ki Anjeng Laknat terdiam, tapi hatinya berkata.
"Jika aku tidak salah kehamilan Mawar Pelangi pernah tergambar di dalam mimpi
ku. Aku sudah mendapat
semacam petunjuk. Jika kau berhasil merawatnya dan
menjaga Mawar Pelangi sampai tiba waktunya mela-
hirkan, barangkali kelak aku bisa menjadikan bayi
yang terlahir sebagai raja diraja dunia persilatan.
Hem.......... aku bisa menurunkan ilmuku selagi bayi itu dalam kandungan. Mawar
Pelangi adalah gadis
yang cantik. Sudah lama aku inginkan dia, kurasa jika aku dapat mengancamnya dia
pasti bersedia menuruti
apa permintaanku. Untuk menjadikan bayi itu sem-
purna tak ada salahnya jika aku ikut membantu lahir
batin" Ki Anjeng Laknat tersenyum penuh arti.
"Tua bangka, apa yang membuatmu terse-
nyum?" tanya Kunti Menak setengah membentak.
Ki Anjeng Laknat gelengkan kepala. "Tak ada
kekasihku. Jika pun aku tersenyum, semata-mata ka-
rena aku mengingat betapa keras kepalanya dirimu.
Aku maklum, sekarang juga akan ku penuhi permin-
taanmu. Nanti aku akan tahu apakah bayi dalam kan-
dungan muridmu itu punya arti di masa depan atau
tidak. Jika ternyata dugaanku meleset dan kehadiran-
nya tidak membawa guna bagi kita, seperti keinginan-
mu maka kita harus membunuhnya." tegas Ki Anjeng Laknat. Kakek tua itu lalu
memberi isyarat dengan anggukkan kepala agar Kunti Menak mendekat padanya.
Dengan cepat Kunti Menak mendekati si kakek.
Setelah dia duduk di sebelah Ki Anjeng Laknat, si kakek beringsut lebih ke depan
mendekati Batu Bola Ne-
raka. Ki Anjeng Laknat tarik nafas dan menghem-
buskannya dengan perlahan. Kedua mata yang melesat
ke dalam rongga setengah dipejamkan. Bibirnya yang
berwarna merah segar berkemak-kemik seperti mem-
baca mantra sedangkan kedua tangannya yang hitam
ditumbuhi bulu lebat dijulurkan lurus ke arah Batu
Bola Neraka yang sengaja diletakkan di atas tungku
dupa batu. Saat kedua telapak tangan menempel di
kedua sisi Batu Bola Neraka, maka batu itu bergetar.
Bukan hanya Batu Bola Neraka saja yang bergetar he-
bat. Tapi sekujur tubuh si kakek ikut bergetar, se-
dangkan bagian wajahnya bermandikan keringat. Per-
lahan namun pasti bola batu yang berwarna biru
nampak memijar, memancarkan cahaya biru terang
namun sejuk. Hingga membuat siapapun yang meli-
hatnya jadi merasa ngantuk.
Beberapa saat berlalu, semakin lama Batu Bola
Neraka semakin bertambah terang. Sedangkan ra-
cauan dari mulut Ki Anjeng Laknat semakin bertam-
bah keras dan jelas. "Batu sakti batu bertuah, pembe-rian iblis bingkisan setan.
Aku ingin kau perlihatkan kesaktianmu. Dunia gaib menjadi tempat asal usulmu.
Antara gaib dengan gaib saling berhubungan. Aku in-
gin kau memperlihatkan bagaimana bentuk janin dan
masa depan bayi itu kelak, bayi yang saat ini berada dalam kandungan seorang
anak manusia bernama
Mawar Pelangi." kata Ki Anjeng Laknat.
Baru saja kakek itu katupkan bibirnya, detik
itu pula dari bagian Batu Bola Neraka terdengar suara desisan panjang yang
diiringi dengan menebarnya asap biru yang memenuhi seluruh permukaan bola batu.
Asap biru berbau amis membubung tinggi ke udara.
Suara desisan yang mengepulkan asap lenyap berganti
dengan letupan dua kali berturut-turut. Suara letupan itu membuat asap biru yang
menyelimuti sekeliling bo-la batu juga bagian kedua tangan Ki Anjeng Laknat
lenyap seketika. Batu Bola Neraka nampak seperti biasa, hanya warnanya lebih
biru. Sedangkan pada salah sa-tu bagian permukaannya terlihat satu bentuk perut
dan sosok perempuan cantik dalam keadaan hamil
empat bulan. Ki Anjeng Laknat menoleh ke arah Kunti Menak
sambil berkata. "Kau lihatlah baik-baik."
Secara aneh begitu Kunti Menak memperhati-
kan bagian perut mengandung janin yang terlihat di
permukaan bola batu biru semakin membesar. Sema-
kin lama terlihat sebentuk sosok calon anak manusia.
Tetapi yang mengherankan sosok calon bayi itu nam-
paknya mengalami pengerasan dan seperti terbungkus
sesuatu berbentuk bulat tidak ubahnya bagai anak
ayam yang terbungkus cangkang telur.
"Ada sesuatu yang aneh, ada yang tidak beres.
Tapi mungkinkah....!" batin Ki Anjeng Laknat. Dia lalu berkata keras. "Batu Bola
Neraka, katakan, perlihatkan pada kami apakah bayi itu kelak punya guna
dan kekuasaan di dunia ini atau tidak!"
Batu Bola Neraka bergetar. Seakan mengerti
dari bagian kepala bayi memancarkan cahaya terang
berwarna merah laksana darah. Melihat isyarat ini wajah Ki Anjeng Laknat berubah
berseri-seri. Dia bahkan anggukkan kepala ke arah Kunti Menak.
Puas melihat apa yang telah diperlihatkan oleh
Batu Bola Neraka itu, mulut Ki Anjeng Laknat kembali berkemak-kemik. Dua tangan
yang menempel pada bo-la batu digerak-gerakkan. Cahaya biru yang memancar
dari sekeliling batu sakti nampak meredup kehilangan cahaya, hingga pada
akhirnya bola batu itu kembali
seperti semula.
Ki Anjeng Laknat angkat kedua tangan dari bo-
la itu. Dia memutar tubuh hingga kini duduk saling
berhadapan dengan Kunti Menak.
"Sekarang segalanya semakin bertambah jelas.
Bayi itu kelak akan merubah wajah dunia, kemungki-
nan besar dia bisa menjadi raja diraja dunia persilatan.
Semua bukti sudah kau lihat sendiri. Sebagian dianta-ra bukti dari kebesaran
baik itu kau sudah merasa-
kannya. Kekasihku... jika kau membunuh bayi itu sa-
ma artinya kau menghilangkan satu keberuntungan
yang sangat besar. Tapi untuk membuat dia menjadi
seperti yang kita inginkan, sebaiknya Mawar Pelangi
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku yang merawatnya sampai dia melahirkan." tegas Ki Anjeng Laknat.
"Apa" kau yang merawatnya" Tidakkah kau
punya niat mesum, memanfaatkan kesempatan yang
ada dengan mengail di air keruh?" sindir Kunti Menak sambil memandang tajam pada
si kakek. Ki Anjeng Laknat tertawa. "Kunti-Kunti. Sama
sekali rupanya kau tak percaya padaku. Masa aku tega berbuat yang tidak-tidak
pada muridmu. Bagiku dapat
bermesraan denganmu pun sudah kuanggap lebih dari
cukup. Walaupun aku hidup dalam kesesatan, tapi ha-
tiku tak pernah mendua!" kata kakek. Walau dia bicara begitu tapi hatinya lain
lagi. "Kejadian ini sungguh memalukan. Bocah itu
telah mencorengkan kotoran di wajahku. Tapi kau se-
perti membelanya." kata si nenek seolah menyesalkan.
"Tak ada siapapun yang ku bela, karena kau
tahu rasa kesalmu adalah kekesalanku juga. Kunti....
sudahlah, jangan banyak berfikir. Tugasku sudah selesai. Sebaiknya kita
bersenang-senang saja." ujar Ki Anjeng Laknat. Berkata begitu si kakek raih bahu
Kunti Menak. Tak lama kemudian dia sudah tenggelam dalam pelukan si kakek.
Sepasang tangan Ki Anjeng Laknat gentayangan
ke sekujur tubuh Kunti Menak. Sedangkan nafasnya
mendengus bagaikan kuda tua yang habis berlari jauh.
Walaupun Kunti Menak nampak meronta, namun si
kakek tahu kalau penolakannya itu hanya suatu kepu-
ra-puraan saja. Di langit dua kelompok mega berben-
tuk kuda seakan berkejar-kejaran. Sementara di seke-
liling rumah kediaman Ki Anjeng Laknat suasana
nampak sunyi. 5 Menunggu datangnya masa kelahiran, berbagai
ramuan berkhasiat telah dimakan oleh Mawar Pelangi.
Selama itu dia benar-benar dimanja oleh Ki Anjeng
Laknat. Segala permintaan perempuan cantik itu dipe-
nuhi, terkecuali satu hal yaitu mencari Rajo Penitis suami dari perempuan itu.
Hanya diluar sikap baik
kakek ini, di balik sepengetahuan Kunti Menak dalam
waktu-waktu tertentu Ki Anjeng Laknat meminta sesu-
atu berupa imbalan pada Mawar Pelangi. Imbalan itu
berupa pelampiasan nafsu keji dari si kakek.
Karena permintaan itu disertai ancaman yang
bisa membahayakan keselamatan Mawar Pelangi juga
bayi yang dikandungnya. Maka perempuan cantik itu
tak kuasa menolak. Apalagi Ki Anjeng Laknat menga-
takan melalui hubungan seperti itulah dia dapat me-
nyalurkan sekaligus menurunkan kesaktian yang dimi-
likinya pada sang bayi.
Siang itu genap menginjak bulan ketiga belas
kehamilan Mawar Pelangi. Di dalam kamarnya dia
nampak merintih tidak berkeputusan. Ki Anjeng Lak-
nat dengan telaten menungguinya.
"Paman... perutku mulas sekali. Aku sudah ti-
dak tahan." keluh Mawar Pelangi sambil menyeringai kesakitan.
"Kehamilan mu ini memang sangat luar biasa.
Seharusnya kau melahirkan tepat di saat kandungan
mu berumur sembilan bulan, tapi aneh sampai usia
kandungan mencapai usia tiga belas bulan tanda-
tanda melahirkan itu baru ada. Bersabarlah... aku
pasti membantumu!" kata Ki Anjeng Laknat dengan dada berdebar. Kakek tua ini
lalu memijit perut Mawar Pelangi. Astaga! Si kakek jadi kaget ketika merasakan
perut Mawar Pelangi kerasnya melebihi batu.
"Celaka. Dia tidak mungkin bisa melahirkan se-
cara wajar. Tubuh bayi dalam perutnya ini pasti dis-
elubungi lapisan keras seperti batu. Apa yang harus
kulakukan?" batin Ki Anjeng Laknat. Si kakek terdiam, sedangkan matanya
memandang bagian bawah perut
Mawar Pelangi yang tertutup kain hingga sebatas ba-
gian paha. Apa yang dilihatnya kemudian membuat si
kakek jadi tercekat.
Diantara cairan bening dia melihat adanya cai-
ran darah bergumpal-gumpal. Bahkan semakin diper-
hatikan darah yang keluar dari bagian bawah perut itu semakin banyak yang
keluar. "Dia mengalami pendarahan hebat!" desis Ki Anjeng Laknat panik. Sementara itu
Mawar Pelangi nampak semakin lemah, wajah perempuan itu kian
bertambah pucat. Sedangkan matanya sayu seolah te-
lah kehilangan harapan untuk hidup lebih lama.
"Mawar... Mawar.... bertahanlah. Aku akan me-
lakukan sesuatu untukmu!" kata si kakek. Dengan tergopoh-gopoh dia berlari ke
ruangan depan dimana
Batu Bola Neraka berada. Langkah si kakek tertahan
ketika dirinya sampai diambang pintu. Sepasang mata
si kakek mendelik seperti melihat setan. Ada rasa takut membayang diwajahnya.
"Kk... kau... Bagaimana kau bisa mengetahui
Mawar saat ini telah menunjukkan tanda-tanda mela-
hirkan?" tanya si kakek.
Si perempuan yang ternyata adalah Kunti Me-
nak adanya diam tak memberi jawaban. Dia malah me-
lompat ke arah tempat tidur. Sampai di balai ketiduran muridnya dia langsung
memeriksa nadi di pergelangan
tangan Mawar Pelangi. Tidak ada detak nadi, tak ada
pula detak jantung. Saat dia memandang ke bagian
wajah perempuan itu dilihatnya sepasang mata Mawar
Pelangi membeliak lebar dan tak pernah berkedip lagi.
"Dia mati. Sekarang mana tanggung jawabmu
tua bangka Laknat" Muridku-muridku mati. Huhu-
hu....!" seru Kunti Menak sambil menangis tersedu-sedu.
"Kunti... dia tadi masih hidup. Dia hendak me-
lahirkan, aku telah berusaha untuk menolongnya.
Kunti, bayi itu tidak bisa keluar dari jalan yang semes-tinya. Aku harus
melakukan sesuatu untuk menyela-
matkannya!" sergah Ki Anjeng Laknat.
"Tua bangka keparat, penipu tengik sialan.
Mawar muridku telah mati. Apa lagi yang hendak kau
lakukan padanya heh"!" bentak Kunti Menak sengit.
"Menyingkirlah sebentar. Mawar boleh saja ma-
ti, tapi anaknya harus diselamatkan!" seru Ki Anjeng Laknat. "Kau hanya membuat
muridku menderita. Apapun yang kau lakukan nanti, bagiku bayi itu tidak
penting. Kau harus menerima hukuman pasung dari-
ku.!" Sekali lagi si nenek berteriak. Namun dia masih memberi kesempatan pada Ki
Anjeng Laknat untuk
mengerjakan apa yang ingin dilakukannya.
Ki Anjeng Laknat tanpa fikir panjang lagi lang-
sung dekati Mawar Pelangi. Dengan mempergunakan
kuku jari telunjuknya yang panjang dia membelah ba-
gian bawah perut perempuan itu. Begitu perut bawah
terkuak dia mengeluarkan sesuatu berbentuk bulat
seperti telur dari bagian rahim Mawar Pelangi. Benda terbalut cairan darah itu
ternyata memang sangat keras luar biasa. Tak mungkin dapat dibelah walaupun
dengan menggunakan golok tajam sekalipun.
Sementara itu Kunti Menak begitu melihat apa
yang dilakukan oleh Ki Anjeng Laknat jadi marah be-
sar. "Ki Anjeng apa yang kau lakukan. Kau menjebol
perut Mawar. Kubunuh kau, kubunuh"!" teriak si nenek menggerung.
"Kau boleh membunuhku, kau boleh menghu-
kumku, tapi nanti setelah aku selesai memecahkan se-
lubung batu yang menyelimuti bayi ini." sahut si kakek dengan sikap seakan tidak
peduli. Tanpa merasa khawatir Kunti Menak memukulnya dari arah belakang si
kakek menggunakan seluruh kesaktiannya untuk
menghancurkan selubung batu yang bentuknya mirip
kulit telur itu. Berkali-kali usaha ini dilakukannya dengan sangat hati-hati.
Pada kali yang ke tujuh selubung lapisan batu yang menyelimuti sang bayi dapat
dihancurkan. Begitu selubung batu terkuak, maka bayi laki-
laki itu menangis. Si kakek berjingkrak kegirangan.
Sebaliknya Kunti Menak tetap menangis
"Bocah hebat ini, Kunti lihatlah. Di bagian da-
danya terdapat tujuh buah sisik besar. Sisik ini seperti sisik ular, tapi juga
keras seperti lapisan batu. Bayi hebat bayi ajaib!"
"Aku tidak perduli dengan bayi itu. Kelahiran-
nya telah merenggutkan nyawa muridku. Kau harus
bertanggung jawab, kau harus dihukum." kata Kunti Menak. Tiba-tiba saja dia
bangkit berdiri. Dia melangkah cepat mendekati Ki Anjeng Laknat. Si kakek cepat
menoleh dan bersikap melindungi bayi. Dia jadi kaget begitu melihat di tangan
Kunti Menak kini telah tergenggam dua buah rantai batu. Itulah rantai belenggu
yang siap memasung kaki dan tangan kekasihnya.
"Kunti, kemarahan tidak pernah menyelesaikan
persoalan. Eling Kunti. Ingat, hati boleh panas tapi kepala harus dingin."
"Dulu kau pernah mengatakan akan bertang-
gung jawab bila sampai terjadi sesuatu pada muridku."
"Memang, aku tidak akan mengingkari janji.
Tapi. Apakah kau sudi mengurus bayi ini?" tanya Ki Anjeng Laknat.
"Aku lebih senang merawat mayat Mawar dari
pada bayi itu." tegas Kunti Menak dingin.
"Bukankah bocah ini cucumu?"
"Aku tak pernah mengakui dia sebagai cucuku.
Karena kuanggap kehadirannya sebagai pembawa
bala." Si kakek gelengkan kepala. "Baiklah Kunti. Hukuman pasung itu akan
kuterima, tapi aku harus me-
nunggu Begawan Panji Kwalat adikku. Sebab selama
aku menjalani hukuman yang kau jatuhkan. Anak ini
akan kutitipkan padanya. Aku tahu dia pasti akan da-
tang sebentar lagi!" ujar si kakek.
Baru saja suara si kakek lenyap mendadak pin-
tu depan terbuka dihembus angin keras. Baik Ki An-
jeng Laknat maupun Kunti Menak sama palingkan ke-
pala dan sama pula memandang ke arah pintu.
Tak berselang lama muncul satu sosok. Sosok
seorang kakek tua berpakaian hitam berambut pan-
jang, berkaki lumpuh. Dia tidak berjalan dengan kaki maupun tangannya. Melainkan
mengambang di udara
dalam keadaan bersila.
"Adikku Begawan Panji Kwalat, syukur salam
gaib mu sampai padamu. Kau datang tepat pada wak-
tunya!" kata Ki Anjeng Laknat disertai senyum. Si kaki lumpuh yang datang dengan
keadaan bersila dan tubuh mengambang itu sama sekali tak bergeming. Tatap
matanya mencorong tajam memandang pada Ki Anjeng
dan Kunti Menak. Sebaliknya Kunti Menak tentu saja
jadi kaget karena baru pertama kali ini bertemu den-
gan Begawan Panji Kwalat yang bukan lain adalah adik Ki Anjeng Laknat.
"Setan lumpuh ini agaknya memiliki kesaktian
tinggi. Konon kudengar setiap kata yang diucapkannya dapat menimbulkan bencana
bagi musuh-musuhnya.
Tapi siapa perdulikan dia"!" dengus Kunti Menak da-
lam hati. "Kakang seperti mimpi ku tadi malam, bayi ba-
tu ini lahir hari ini. Sungguh sulit kupercaya. Kita dapat rejeki besar. Bayi
ini kelak akan menjadi manusia hebat. Biarkan aku mengurusnya." ujar Begawan
Panji Kwalat. Masih dalam keadaan mengambang di udara,
Sang Begawan dekat bayi itu. Dia meneliti, mulutnya
berdecak beberapa kali. Setelah mengambil bayi dari
atas balai-balai bambu. Begawan Panji Kwalat berpal-
ing dan memandang ke arah Kunti Menak. "Kakak....
aku yakin kau adalah kekasih kakang ku. Aku Bega-
wan Panji Kwalat tidak mau mencampuri urusanmu
dengan kakang ku. Terus terang bayi ini akan kubawa
pergi." tegas sang Begawan yang telah menggendong bayi. Dia lalu menoleh pada Ki
Anjeng Laknat. "Kakang janji apapun yang telah kau ucapkan padanya kau tak
boleh mengingkarinya. Jalani hukuman itu. Jangan
kau fikirkan bayi ini karena aku akan mendidiknya.
Kelak, jika ada umur panjang mungkin kita bisa
menggembleng bayi aneh ini bersama-sama." Selesai berkata Begawan Panji Kwalat
berkelebat pergi.
Seperginya Begawan itu Ki Anjeng Laknat ber-
kata pada Kunti Menak. "Kunti kekasihku. Aku tahu kesaktianku tiga kali lebih
tinggi di atasmu. Tapi aku tak mau menyakitimu. Sekarang jika kau hendak
menghukum aku dengan rantai batu pemasung jasad
itu lakukanlah!" ujar si kakek.
Kunti Menak mendengus. "Jika menurut kata
hati aku ingin sekali membunuhmu. Tapi biarlah. Hu-
kuman pasung badan ini juga tidak lebih ringan dari
hukuman mati." dengus Kunti Menak.
Perempuan itu lalu lemparkan dua rantai batu.
Satu ke bagian tangan si kakek sedangkan satunya la-
gi ke bagian kaki.
Rantai batu melayang dan menjerat kaki serta
tangan Ki Anjeng Laknat hingga kakek itu jatuh terduduk dalam keadaan tidak
dapat bergerak sama sekali.
Sedangkan Kunti Menak segera mengurus
mayat Mawar Pelangi untuk diawetkan.
6 Sudahlah kau ingat semuanya Ki Anjeng Lak-
nat. Tidakkah dapat kau bayangkan betapa pedihnya
hatiku" Aku terus merasa kehilangan muridku Mawar
Pelangi. Itulah sebabnya sampai hari aku selalu me-
nyimpan mayatnya. Agar dapat selalu ku kenang sega-
la kelucuannya di masa kecil. Tapi kau membuat sega-
lanya menjadi rusak dan berubah. Atau mungkin keti-
ka muridku ini berada dalam pengasuhan mu kau te-
lah memintanya untuk melakukan tindakan keji seba-
gaimana yang kau lakukan padaku" Kau harus men-
gaku Ki Anjeng. Kau tak bisa memungkirinya!"
Ki Anjeng Laknat tersentak dari lamunannya.
Beberapa saat berlalu si kakek berambut putih pan-
jang riap-riapan hanya mampu memandangi Kunti
Menak. "Kau diam, berarti semua apa yang kukatakan ini memang benar adanya.
Bukankah begitu Ki Anjeng,
kau memaksa Mawar untuk tidur denganmu.?" tanya si nenek disertai seringai
sinis. "Kunti... bagiku kau adalah....!"
"Cukup! Kurasa semua laki-laki memang begi-
tu. Pandai berdusta dan suka menipu. Serahkan tan-
gan dan kakiku cepat!" perintah Kunti Menak.
Karena semua yang dikatakan oleh bekas keka-
sihnya itu merupakan suatu kenyataan yang tak
mungkin disangkal, maka Ki Anjeng Laknat ulurkan
kedua tangannya pada Kunti Menak. Begitu tangan
terjulur dan kedua kaki dirapatkan, maka Kunti Me-
Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nak gerakkan tangan ke depan. Satu ke arah tangan
sedangkan yang satunya lagi ke bagian kaki. Dua ran-
tai batu di tangan si nenek laksana kilat meluncur sebat ke dua arah. Tahu-tahu
ke dua rantai batu telah melilit tangan sekaligus kaki Ki Anjeng Laknat
Sreet! Sreeet! Melihat belenggu rantai telah menjerat dua
anggota tubuh penting Ki Anjeng Laknat, maka Kunti
Menak pun tertawa tergelak-gelak. Si kakek tentu saja menjadi kaget. Dia tak
tahu apa yang akan dilakukan
oleh nenek tua ini.
"Dasar laki-laki bodoh. Sekarang ini apakah
kau mengira aku hanya sekedar menghukum dengan
cara seperti itu. Apa kau menduga sikapmu yang pura-
pura baik dan menurut itu akan membuat hatiku
menjadi luluh. Lalu kau berharap aku akan kembali
jatuh dalam pelukan mu. Tua bangka rongsokan, perlu
kiranya kau ketahui sejak Mawar Pelangi meninggal
pintu hatiku telah tertutup untukmu. Mawar melebihi
anakku sendiri. Tapi secara tidak sengaja kau telah
menyia-nyiakan titipan ku. Tindakanmu itu merupa-
kan suatu kesalahan besar yang tak dapat ku maaf-
kan!" Ki Anjeng Laknat tatap ke depan. "Kunti, buruk nian nasib tua bangka ini.
Apakah aku sudah tidak boleh membuka pintu hatimu mengetuk pintu maaf,
memohon pengertian darimu."
"Huh, mana mungkin. Pintu hatiku telah ter-
kunci, kuberi palang dan kupantek dari bagian dalam.
Tidak ada maaf bagimu."
"Kunti, apakah aku tidak boleh berdiri atau du-
duk di depan pintu mu yang telah terkunci itu?" tanya si kakek memelas.
"Tidak bisa walau cuma di emperannya saja."
dengus Kunti Menak sinis.
"Kunti, aku bisa mati. Tanpa cinta mu aku tak
akan bisa hidup lebih lama lagi."
"Semua itu akan lebih bagus agar dunia ini ti-
dak penuh sesak oleh manusia busuk sepertimu."
"Oh, kiamatlah sudah harapanku." si kakek
mengeluh tertahan.
Kunti Menak sama sekali tak menjawab, tong-
kat di tangan kanannya digerakkan ke atas, sedangkan tangan kiri menarik bagian
ujung tongkat. Sreeet! Ternyata tongkat itu bukan hanya sekedar
tongkat biasa. Karena begitu salah satu ujungnya dis-entakkan maka terlihatlah
kilatan cahaya putih menyilaukan. Ki Anjeng Laknat tercekat, mata mendelik se-
dangkan tubuh kucurkan keringat dingin.
"Kun... Kunti jangan main-main dengan senjata
itu. Kau hendak berbuat apa?" tanya si kakek, suaranya bergetar dilanda
ketakutan. Dia sadar jika si nenek menggunakan pedang untuk mencelakainya, jelas
ini bisa membahayakan keselamatan jiwa, karena saat
itu tangan dan kakinya dalam keadaan terikat.
Di depan sana Kunti Menak tertawa tergelak-
gelak. Tawa lenyap, dengan mata mendelik dia meng-
hardik. "Siapa yang main-main dengan tongkat pedang. Dasar tua bangka pikun.
Beratus kali menipuku, kau perdayai aku dengan cinta palsumu. Kini Mawar
Pelangi telah tiada. Dia mati harapanku lenyap. Me-
nanti janjimu hanya satu kedustaan saja. Kau sering
mengatakan hendak menikahi ku, mengawini aku. Ta-
pi sampai sekarang, hingga wajah yang dulu cantik ini jadi keriput dan tubuh
segar menggairahkan jadi reyot segala janjimu tak pernah kau laksanakan."
"Kunti masalah kawin bukankah sudah, hanya
menikahnya saja yang selalu tertunda. Sekarang be-
baskan aku, kita cari dukun untuk menikahkan kita!"
kata Ki Anjeng Laknat. Saking gugupnya dia tidak da-
pat mengontrol kata-katanya hingga jadi salah ucap.
Kunti Menak menjadi berang, lalu putar pedang
merangkap tongkat yang tergenggam di tangannya. Pe-
dang menderu memancarkan gulungan sinar putih
kemilau memedihkan mata.
"Rupanya otakmu benar-benar sudah pikun.
Orang kawin harus ke juru nikah, bukan ke dukun!"
hardik Kunti Menak sengit.
"I... iya kau betul. Maksudku juga ke situ, aku hanya salah bicara!" kata Ki
Anjeng Laknat yang merasa semakin miris karena sinar pedang itu kini bergerak
membabat ke bagian lengan dan kaki.
Naga Naga Kecil 1 Anak Berandalan Karya Khu Lung Rahasia Hiolo Kumala 21