Pencarian

Liang Pemasung Sukma 3

Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma Bagian 3


telingaku sudah tuli" Tadi sebelum tanah ini ber-
guncang keras aku sempat mendengar suara ber-
gemuruh seperti pohon tumbang. Suara itu bisa
kupastikan datang dari gua Kalimayat.
"Mungkinkah gua yang hendak kita datangi
runtuh?" tanya Gento.
"Mengapa bisa runtuh?"
"Mana aku tahu. Melihat gua itu saja aku
belum pernah." sahut murid kakek Gentong Keta-wa sambil bersungut-sungut.
"Sebaiknya kita ke sana sekarang!" berkata begitu tanpa menunggu lebih lama
nenek berwajah remuk mengerikan berhidung sumplung segera ba-
likkan badan. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi
dia segera berkelebat pergi. Di satu tempat di atas pendataran tinggi si nenek
hentikan langkah. Karena si nenek berhenti Gento yang mengikuti tak
jauh di belakangnya juga ikut berhenti.
Hampir bersamaan kedua orang itu lalu
sama layangkan pandang ke arah mulut gua yang
jaraknya hanya belasan tombak dari tempat mere-
ka berada. Baik Gento maupun nenek Palasik sa-
ma keluarkan seruan kaget ketika melihat apa
yang terjadi di sana.
"Bukankah orang yang tengah terlibat per-
kelahian di depan mulut gua itu adalah gendut
sinting gurumu Gento?" gumam si nenek.
Sang pendekar tergagap mendengar ucapan
si nenek. "Esh... apa katamu nek" Aku yakin sosok besar itu adalah salah satu
dari manusia raksasa
penghuni puncak bukit Kemukus. Kurasa dia te-
was. Sekarang aku tahu suara gemuruh yang kita
dengar tadi pasti berasal dari dirinya."
"Bocah edan, kau ini bicara apa?" geram si nenek. "Memangnya tadi kau bertanya
apa nek?" "Ah, kukira kau memperhatikan gurumu
yang sedang terlibat pertarungan tidak tahunya
yang kau lihat manusia raksasa yang sudah mati.
Mengapa kau hiraukan dia. Coba kau perhatikan
baik-baik, saat ini gurumu mendapat serangan
gencar dari lawannya. Jika kita tidak segera mem-
bantu gurumu bisa mati penasaran!"
Pendekar Sakti 71 terdiam. Kembali dia
layangkan pandang ke arah mulut gua, Gento jadi
terkesiap. Apa yang dikatakan nenek Palasik me-
mang benar adanya. Saat itu gurunya sedang ter-
libat satu perkelahian sengit dengan seorang ne-
nek yang tidak dikenalnya. Dari jarak yang cukup
tidak begitu jauh itu si pemuda dapat melihat si
gendut dalam keadaan terdesak menghadapi gem-
puran hebat lawannya.
"Gendut... gendut baru menghadapi nenek
bau tanah saja sudah kalang kabut. Apa karena
kau dan dia sudah sama-sama tua atau barangkali
kau sengaja memberi hati pada lawanmu" kata
Gento. "Bocah goblok, gurumu dalam keadaan terdesak kau malah mentertawainya.
Apa kau tidak melihat lawannya memiliki ilmu dan jurus-jurus
yang hebat?" gumam si nenek. Si pemuda me-
nanggapi ucapan si nenek dengan mencibirkan
mulutnya. Lalu tanpa bicara apa-apa Pendekar
Sakti 71 layangkan pandangan matanya ke arah
gurunya. Benar seperti yang dikatakan nenek Pa-
lasik nampaknya lawan memang bukan manusia
sembarangan, jurus-jurus serta pukulan yang di-
lancarkannya sangat berbahaya. Tapi semua se-
rangannya itu bersumber pada gerak dan tingkah
laku binatang. "Nenek itu menggunakan jurus-jurus Seri-
gala!" Orang yang diajak bicara menyeringai. "Rupanya kau tidak tahu siapa yang
dihadapi oleh gu-
rumu itu?"
"Memangnya siapa?" tanya Gento.
"Manusia jelek yang satu itu bernama Ni
Pambayon bergelar Bayangan Maut. Dia adalah
musuh besar Angin Pesut."
"Hah...!" Gento terperangah. "Jika begitu berarti Angin Pesut sekarang ini ada
di sana!" tukas sang pendekar.
"Kurasa begitu. Cuma aku tidak melihat-
nya." "Sebaiknya sekarang kita ke sana saja!"
usul Gento. "Hik hik hik! Jika kau sebagai muridnya
memiliki kepandaian hebat, masa gurumu tidak
sanggup menghadapi nenek itu?" ujar si nenek
disertai tawa sinis.
"Yang aku takutkan bukan nenek itu."
"Lalu apa?" tanya nenek Palasik sambil
memandang tajam ke arah Gento.
"Muridnya."
Nenek Palasik tertawa mengikik. "Kau aneh,
gurunya tidak kau risaukan. Sebaliknya kau ma-
lah merisaukan muridnya" Apakah ini tidak terba-
lik namanya" Apakah murid nenek itu cantik
hingga kau tidak tega menjatuhkan tangan keras
padanya?" tanya si nenek lagi sambil menduga-
duga gerangan apakah yang menjadi ganjalan bagi
pemuda itu. Pendekar Sakti 71 gelengkan kepala. "Sama
sekali bukan kecantikannya, nek. Kerisauanku
yang pertama, murid Bayangan Maut kemungki-
nan besar adalah putri kakek Angin Pesut. Se-
dangkan yang kedua kudengar Pedang Tumbal Pe-
rawan saat ini berada di tangan gadis itu."
Nenek Palasik sebenarnya sempat terkejut
mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan
Gento. Biarpun dirinya belum pernah melihat ba-
gaimana rupa dan bentuk pedang Tumbal Pera-
wan. Namun nenek Palasik sudah mengetahui ka-
lau pedang Tumbal Perawan beberapa pekan te-
rakhir ini telah menimbulkan suatu kegegeran be-
sar dan telah banyak meminta korban. Senjata itu
bukan saja merupakan senjata yang sangat berba-
haya. Selain mengandung racun jahat pedang
Tumbal Perawan menyimpan satu kekejian yaitu
menyedot habis darah orang yang menjadi kor-
bannya. "Lalu apa yang harus kita lakukan. To?"
Gento layangkan pandangannya ke arah so-
sok berpakaian merah yang duduk bersila di atas
batu. Kemudian dia berkata. "Kau lihat gadis yang di sana itu nek?" tanya sang
pendekar sambil menunjuk ke arah dimana sang dara berada. Nenek
Palasik melirik ke arah yang ditunjuk Gento. Sete-
lah itu dia anggukkan kepala.
"Aku menaruh duga gadis itu adalah murid
Bayangan Maut putri dari Angin Pesut." ujar nenek Palasik.
"Tepat sekali. Aku menaruh dugaan telah
terjadi sesuatu pada kakek Angin Pesut." gumam sang pendekar.
Si nenek kernyitkan keningnya. "Dugaan"
Dugaan apa maksudmu?" si nenek menukas.
"Kurasa Angin Pesut sudah tewas nek.
Mungkin dia gagal menyadarkan anaknya. Bisa ja-
di gadis itu tidak terima, lalu akibat pengaruh
Bayangan Maut dia lalu membunuh ayahnya sen-
diri." "Ah, celaka. Benar-benar anak yang durhaka!" "Gadis itu tidak bisa
disalahkan. Karena sejak kecil dia berada dalam asuhan Bayangan
Maut. Selama dalam asuhannya tentu saja Bayan-
gan Maut meracuninya dengan berbagai pengaruh,
tipu muslihat pokoknya apa saja sehingga dia ak-
hirnya benar-benar merasa yakin bahwa orang tu-
anya memang sudah tidak ada lagi di dunia ini."
"Benar-benar gila. Dia telah mengatur sega-
la sesuatunya dalam jangka waktu yang amat pan-
jang. Bayangan Maut memang benar-benar manu-
sia licik."
"Bukan licik, dia cukup cerdik. Balas den-
dam yang sangat sempurna. Anak dan ayah saling
membunuh, bukankah ini sebuah kenyataan yang
menyakitkan?" kata Gento.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Guruku mungkin butuh bantuan. Kita
hanya tinggal menunggu kesempatan yang terbaik.
Bukannya aku bicara sombong selama gadis itu ti-
dak ikut mengeroyok guruku dan mempergunakan
pedang Tumbal Perawan. Aku yakin nenek itu tak
bakal sanggup membunuhnya. Paling juga mem-
buatnya babak belur!" Gento berucap sambil menahan senyum.
Si nenek jadi tertawa mendengar gurauan
Gento. "Bocah sial kau!"
7 Kita kembali pada Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang tengah terlibat perkelahian
antara hidup dan mati. Ketika itu kakek gendut ini telah menderita luka-luka di
beberapa bagian tubuhnya. Bagian keningnya yang terkena tinju la-
wannya nampak marah memar, sedangkan pada
bagian dada yang terkena sambaran kuku-kuku
Bayangan Maut nampak meneteskan darah. Baju
hitamnya sudah tidak berupa pakaian lagi, selain
kotor berselimut debu juga tercabik-cabik di bebe-
rapa bagian. Selain itu bagian bawah kaki celana si gen-
dut juga robek besar. Di balik celana darah terus
menetes dari luka memanjang akibat serangan si
nenek. Sebaliknya lawan yang pada saat itu me-
nyerang si gendut dengan jurus andalan yang di-
kenal dengan nama 'Bayangan Serigala' juga men-
galami nasib tak jauh lebih baik dari kakek Gen-
tong Ketawa. Pakaian di bagian punggung si nenek yang
terkena pukulan si gendut nampak hangus, bagian
pipi menggembung bengkak terkena tamparan ke-
ras si gendut. Lalu baju di bagian perut robek terkena sambaran senjata kakek
Gentong Ketawa yang berupa sebuah besi pipih bercabang dua
berwarna putih mengkilat berujung runcing den-
gan kedua sisi tajam dan berbentuk seperti gagang
ketapel. Dibandingkan dengan Bayangan Maut
sesungguhnya kakek Gentong Tertawa lebih men-
derita lagi. Sungguhpun saat itu dia masih dalam
keadaan segar bugar, namun si kakek di luar se-
pengetahuan lawan sebenarnya menderita cidera
di bagian dalam. Biarpun dia mengalami nasib se-
perti itu, sama sekali si gendut yang satu ini tidak menunjukkan tanda-tanda
penderitaan. Mulut kakek Gentong Ketawa selalu mengurai senyum. Apa
yang diperlihatkan si kakek tentu saja mengun-
dang heran bagi Bayangan Maut. Sehingga kini se-
telah dapat tegak kembali akibat bentrok pukulan
dengan si gendut, sambil memperhatikan gerak ge-
rik lawan dalam hati Bayangan Maut berkata.
"Gendut sinting yang satu ini entah punya ilmu apa. Pukulanku seolah tidak
membawa akibat apa-apa bagi dirinya. Kulihat tubuhnya seolah-
olah kebal pukulan. Padahal ketika aku mengha-
jarnya tadi, aku menggunakan setengah dari tena-
ga sakti yang kumiliki!"
"Nenek serigala. Apa yang ada dalam otak-
mu. Sejak tadi kau memandangku terus. Apakah
ini merupakan suatu tanda bagiku bahwa kita ti-
dak perlu menyambung nyawa. Sebagai gantinya
kita saling berpandangan sampai akhirnya kita
saling jatuh cinta. Ahh... hidup ini memang asyik-
asyik sedap, bukankah begitu nenek cantik?" sindir si kakek. Mulutnya berkata
begitu. Tapi yang
sebenarnya diam-diam dia salurkan tenaga dalam
lewat tatapan matanya.
Apa yang dilakukan kakek Gentong Ketawa
ini dirasakan benar oleh Bayangan Maut. Sambil
mendengus dia palingkan wajahnya ke jurusan
lain. Tapi celaka! Kepala si nenek sulit digerakkan, lehernya seolah menjadi
kaku seperti dipantek.
"Kakek jahanam itu rupanya diam-diam
hendak mengadu jiwa denganku. Aku tidak mau
melayaninya dengan cara seperti itu. Sekarang su-
dah waktunya bagiku untuk menggunakan jurus
Serigala Seribu." geram si nenek.
Sambil menggeram pula Bayangan Maut
menggelengkan kepala dengan satu sentakan ke-
ras. "Hik hik hik! Kau hendak mencoba menipuku dengan cara seperti itu, gendut"
Kau tak bakal bi-sa melakukannya!" dengus si nenek begitu berhasil membebaskan
diri dari pengaruh sorot mata kakek
Gentong Ketawa.
"Jika sekarang kau sudah bebas, lalu kau
bisa berbuat apa" Kau hendak memanggil murid-
mu agar dapat bersama-sama melakukan penge-
royokan terhadapku" Silahkan saja. Ha ha ha!"
"Kakek keparat perlu apa aku mengeroyok-
mu. Dengan kedua tanganku ini aku sanggup
membunuhmu!" Bayangan Maut menggeram. Se-
kejap saja nenek itu melesat ke arah lawannya.
Laksana kilat tubuhnya berkelebatan di udara
menyambar dada dan bagian belakang tubuh si
kakek. Gentong Ketawa kembangkan kedua tan-
gannya, lalu menyambuti serangan lawan dengan
tusukan senjata bercabang dua.
Tapi lawannya dengan mudah dapat meng-
hindar serangan senjata si gendut yang datang
laksana badai, malah kini sambil menghindar
Bayangan maut segera melancarkan serangan ba-
lasan. Si kakek bergerak mundur hindari tendan-
gan dan pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
Setelah itu dia balas melakukan serangan yang tak


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalah sengitnya.
Tetapi semua serangan balik yang dilancar-
kan oleh si kakek ternyata dapat ditangkis oleh si nenek. Bahkan tusukan maupun
babatan senjata
di tangan si gendut selalu mengenai tempat ko-
song. Kenyataan ini tentu cukup mengejutkan bagi
kakek Gentong Ketawa.
Sadar lawan telah mengerahkan hampir se-
bagian besar dari ilmu simpanannya si kakek se-
gera melompat ke udara. Melihat lawan berusaha
meloloskan diri Bayangan Maut segera memotong
gerak lawannya sambil melepaskan satu tendan-
gan menggeledek. Dalam keadaan mengambang
tentu sangat sulit bagi kakek gendut ini untuk
menghindar. Namun dia tidak kehabisan akal,
dengan tangan kiri dia menangkis tendangan la-
wan sedangkan tangan kanan meluncur deras
mencari sasaran di bagian perut.
Dess! Plak! Tangkisan yang dilakukan si gendut luput.
Tendangan mengenai dada si kakek, sebaliknya se-
rangan tangan kanan kakek gendut Gentong Ke-
tawa juga menghantam perut Bayangan Maut.
Si gendut jatuh bergedebukan, sedangkan
lawannya meskipun sempat terhuyung-huyung
namun masih bisa jatuhkan diri dengan kedua
kaki terlebih dulu menjejak tanah.
Kini sambil memegangi perutnya yang se-
perti hancur Bayangan Maut menatap lurus ke de-
pan. Dia melihat kakek gendut meringkuk, dari
mulutnya yang meneteskan darah terdengar suara
erangan tak berkeputusan. Jelas dia menderita lu-
ka dalam yang tidak ringan.
Menyangka lawannya sudah tidak berdaya
Bayangan Maut dengan nada sinis berkata lan-
tang. "Manusia keparat! Kau lihatlah ke langit! Kulihat di atas sana malaikat
maut siap menjemput
nyawamu untuk segera dibawa ke neraka. Kuakui
di antara musuh-musuhku kau adalah salah seo-
rang lawan yang cukup tangguh. Namun pada ak-
hirnya kenyataan membuktikan siapa yang terbaik
di antara kita!"
Si gendut menyeringai kesakitan. Setelah
bersusah payah akhirnya dia mampu duduk men-
jelepok di atas tanah pasir. Sejenak dia menarik
nafasnya yang menggap-menggap. Kemudian sam-
bil menyeka darah yang meleleh di sudut bibirnya
kakek Gentong Ketawa dongakkan kepala meman-
dang ke langit. Setelah menatap langit sambil ter-
senyum dia menggumam. "Bayangan Maut, ru-
panya matamu sudah lamur. Kau mengatakan me-
lihat malaikat maut siap menjemputku. Padahal
yang kulihat saat ini adalah para bidadari cantik
yang tersenyum penuh rasa cinta. Aku yakin kau
pasti merasa iri atas kehadiran mereka sehingga
kau jadi bicara ngaco! Ha ha ha!"
Lenyaplah sudah kesabaran Bayangan
Maut. Dia lalu menarik kedua tangannya ke bela-
kang. Dengan cepat si nenek salurkan tenaga da-
lam ke bagian tangannya. Sementara itu mulut si
nenek berkemak-kemik dan sesekali dari mulut itu
keluar lolongan.
Hanya dalam beberapa kejapan kedua tan-
gan si nenek telah berubah menjadi merah kehi-
taman. Si kakek yang melihat semua itu menyada-
ri lawan nampaknya siap melepaskan pukulan
yang menjadi andalannya. Dia tidak mau men-
gambil resiko. Meskipun saat itu kakek Gentong
Ketawa tengah menderita cidera di bagian dalam,
namun dia juga siap melepaskan pukulan Raja
Dewa Ketawa. Pukulan itu adalah salah satu ilmu
andalan si kakek.
"Auuung...!"
Si nenek keluarkan suara lolongan panjang.
Bersamaan dengan itu pula sosoknya melesat ke
arah kakek gendut sambil hantamkan kedua tan-
gannya ke arah orang tua itu. Si kakek jadi terke-
sima ketika melihat bagaimana dari tangan
Bayangan Maut melesat sinar merah dan hitam.
Sinar itu berturut-turut membentuk rupa sosok
serigala yang menerkam ke arahnya dengan mulut
ternganga siap mencabik-cabik. Yang mengerikan
sinar berbentuk sosok serigala itu ternyata tidak
satu, tapi banyak saling susul menyusul secara
mengerikan. Si gendut menyadari inilah saatnya dia me-
lepaskan pukulan sebelum cahaya berupa serigala
tersebut menerjang dan mencabik-cabik tubuhnya.
Tanpa menunggu sambil tetap duduk menjelepok
di atas pasir si kakek dorongkan kedua tangan
menyambuti pukulan lawan. Segulung sinar ber-
warna biru merah dan jingga menderu di udara,
membuat suasana di sekitarnya berubah panas
seperti berada di neraka. Lalu terjadilah benturan keras yang disertai dengan
terdengarnya suara ledakan berdentum.
Sebelumnya si kakek dalam keadaan terlu-
ka. Akibat luka-lukanya itu membuat kakek Gen-
tong Ketawa tak bisa menggunakan tenaga dalam
penuh. Tak ayal si gendut terjengkang. mulutnya
kembali menyemburkan darah. Celakanya pada
waktu itu Bayangan Maut terus melakukan gebra-
kan sambil hantamkan tangan kembali ke arah si
kakek. Cahaya merah dan hitam yang menderu da-
ri tangan Bayangan Maut kembali membentuk so-
sok serigala yang siap memporak porandakan tu-
buh lawannya. Namun ketika pukulan Bayangan
Maut hampir menelan habis sosok si gendut, pada
saat itulah terdengar suara bentakan menggeledek
disertai berkelebatnya dua sosok bayangan ke arah
si nenek. "Siapa yang berani membuat celaka si gendut dia harus berhadapan
denganku!" bersamaan dengan terdengarnya suara teriakan itu ter-
lihat segulung angin berhawa panas dan selarik
sinar biru memapas pukulan yang dilepaskan oleh
Bayangan Maut. Pukulan sinar yang membentuk
sosok-sosok serigala itu tak dapat dihindari lagi
akhirnya berbenturan di udara dengan pukulan
yang dilepaskan oleh dua sosok yang berkelebat di
udara. Buuum! Buum!
Dua ledakan dahsyat berturut-turut meng-
guncang tempat itu. Bayangan Maut keluarkan je-
ritan tertahan, tubuhnya terdorong mundur bebe-
rapa tombak. Tapi meskipun tubuhnya sempat
oleng nenek itu masih dapat jatuhkan diri dengan
kedua kaki terlebih dulu menjejak tanah. Wajah
angker si nenek nampak memucat dadanya terasa
sesak bukan main. Dengan hati masih diliputi rasa
kaget Bayangan Maut memandang lurus ke de-
pannya. Dua sosok yang menyerangnya dengan
pukulan jarak jauh tidak kelihatan akibat udara di sekitarnya tertutup debu.
Barulah ketika debu le-
nyap si nenek melihat di depan sana berdiri tegak
seorang nenek berpakaian hitam berkaki kuda.
Wajah nenek itu tak kalah menyeramkan diban-
dingkan dirinya sendiri. Karena muka nenek di
depan sana selain hancur mengerikan juga tidak
memiliki hidung.
Jika sosok nenek yang satu ini tidak sedap
dipandang mata, lain halnya dengan sosok yang
satunya lagi. Yang satu ini adalah seorang pemuda
tampang berambut gondrong bertelanjang dada. Di
bagian dada itu tergantung sebuah kalung perma-
ta batu berbentuk bulat lonjong. Lagak si pemuda
selalu cengengesan seperti orang sinting. Ketika
Bayangan Maut memandang ke arah pemuda itu
dia bersikap acuh tak acuh. Seolah dia mengang-
gap kehadiran si nenek yang hampir mencelakai si
gendut sepi-sepi saja. Malah pemuda gondrong itu
bertanya pada kakek Gentong Ketawa. "Gendut...
kulihat tubuhmu babak belur begitu" Dasar kakek
tolol, pada perempuan jelek seperti itu masih juga bersikap mengalah. Memang apa
yang kau harapkan dari tua bangka seperti dia sehingga kau
mau saja digebuki" Ha ha ha!"
Si gendut yang setelah peristiwa terjadinya
ledakan nampak berusaha menyembuhkan luka
dalamnya melalui pengerahan hawa murni segera
membuka matanya. Dia memandang ke arah si
gondrong. Hatinya menjadi girang melihat kehadi-
ran muridnya. Ketika dia melirik ke arah nenek
yang bersama sang murid kakek Gentong Ketawa
unjukkan wajah cemberut. Sambil bersungut-
sungut dan unjukkan wajah marah si gendut
mendamprat. "Gege... dasar bocah tolol. Memangnya selama ini kau kelayapan ke
mana saja?"
Dikatakan bocah edan pemuda itu bukan-
nya marah, tapi malah tertawa tergelak-gelak.
Enak saja dia menjawab. "Menurutmu aku pergi
ke mana, ndut" Tentu saja aku pergi ke sorga me-
lihat bidadari-bidadari cantik!" sahut sang pendekar. Si gendut delikkan
matanya. "Otakmu be-
nar-benar tidak beres. Kalau kau pergi ke sorga
mengapa yang bersamamu itu seorang genderuwo
berujud seorang nenek bermuka tak karuan?"
Lagi-lagi sang pendekar tertawa bergelak.
Sedangkan nenek yang bersamanya menggerutu
geram dan memandang pada kakek Gentong Ke-
tawa dengan mata mendelik.
"Guru salah sangka. Selesai ke surga aku
mampir ke neraka. Disana aku bertemu dia. Lalu
malaikat penjaga menitipkan nenek ini. Aku ter-
paksa membawanya. Kata penjaga itu nenek yang
kini bersamaku bisa kau jadikan teman hidup. Ha
ha ha!" "Puah...bocah edan. Apa kau mengira gurumu ini sudah tak sanggup mencari
pendamping hidup sendiri?" damprat si kakek.
"Gendut pesek, lagipula siapa yang sudi
menjadi istrimu. Kalau aku mau selusin kakek bu-
tut sepertimu masih bisa kudapatkan dengan mu-
dah!" damprat si nenek gusar.
"Ha ha ha. Biarpun butut-butut begini aku
tidak ada duanya." Si kakek lalu mengelus hi-
dungnya. Sambil menyengir dia kembali berkata.
"Hidungku memang pesek, tapi masih lumayanlah daripada kau tidak punya hidung
sama sekali!"
Sambil tersenyum Pendekar Sakti 71 me-
nimpali ucapan gurunya. "Guruku memang tidak
ada duanya. Dia tidak ubahnya seperti barang an-
tik, seperti yang pernah kulihat perabotannya juga antik! Ha ha ha!"
Nenek Palasik menggeram. Setengah berbi-
sik dia berkata ditujukan pada Gento. "Sejak awal memang sudah kuduga, kau dan
gurumu si gendut gila itu memang bukan orang-orang yang tidak
memiliki kewarasan." dengus si nenek.
Melihat nenek Palasik berbisik-bisik kakek
Gentong Ketawa bertanya pada muridnya. "Gege...
memangnya dedemit kesasar itu bicara apa?"
Pendekar Sakti 71 tersenyum, namun ke-
mudian dengan mimik serius dia menyahuti. "Ah...
dia cuma mengatakan dulu ketika kau masih mu-
da dan badanmu belum segendut sekarang kau
merupakan pemuda idaman setiap gadis. Tapi ka-
tanya dasar tidak ada keberesan pada otakmu
maka kau lebih suka menjalin hubungan kasih
dengan para janda genit!"
"Hah dia bicara seperti itu?" teriak si kakek sambil delikkan matanya. Beberapa
saat dengan muka merah akibat menahan malu karena raha-
sianya dibongkar orang si gendut pandangi si ne-
nek. Nenek Palasik tertawa mengikik melihat si
gendut yang salah tingkah. Barulah kemudian dia
berkata. "Kau lupa padaku Gentong Ketawa" Atau kau sudah tidak mengenali tua
bangka buruk ini"
Si gendut terkesiap, bola matanya membu-
lat besar. Dengan mulut bergetar si kakek beru-
cap. "Kau... kau. Bukankah kau Nyai Palasik, Setan Betina dari Ungaran?"
"Hik hik hik. Bagus kalau matamu belum
lamur, sobatku."
"Ah, aku tak menyangka yang hadir di ha-
dapanku ini dirimu adanya sobatku!" ujar si kakek. "Aku juga tak menduga kakek
jelek yang hampir mampus di tangan nenek itu adalah diri-
mu!" sahut si nenek.
Gentong Ketawa mengekeh sambi bertanya.
"Bagaimana kau bisa bertemu dengan muridku?"
"Mengenai pertanyaanmu itu biarlah mu-
ridmu bocah edan ini yang menjawab nanti setelah
urusan di sini selesai. Yang terpenting sekarang ki-ta bereskan urusanmu
mengenai nenek itu!" ujar nenek Palasik.
Kakek Gentong Ketawa manggut-manggut.
Dia bersama yang lain-lainnya kemudian sama
memandang ke arah Bayangan Maut juga ke arah
gadis berpakaian merah yang masih duduk di atas
batu. Gadis itu masih memejamkan mata, seolah
tidak perduli dengan semua kejadian yang ber-
langsung di tempat itu.
"Inikah manusianya yang menghendaki ke-
matian Angin Pesut, ndut?" tanya si nenek ditujukan pada kakek Gentong Ketawa.
"Kau tidak salah. Konon dulunya dia adalah
kekasih Angin Pesut. Tapi kemudian terjadi sesua-
tu....!" Ucapan si gendut segera dipotong oleh ne-
nek Palasik. "Kau tidak usah menceritakan mimpi buruk hidupnya. Aku sudah tahu,


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku sudah mendengarnya sejak lama!" ujar si nenek.
Gento memandang ke segenap penjuru. Ka-
rena dia tidak melihat adanya Angin Pesut di seki-
tar tempat itu selain mayat manusia raksasa
Senggana, pemuda itu lalu ajukan pertanyaan.
"Ndut... aku tak melihat kakek Angin Pesut. Di manakah dia" Apakah nenek setan
itu telah membunuhnya?"
"Saat ini dia berada dalam Liang Pemasung
Sukma. Mengenai nasibnya aku belum tahu. Keti-
ka datang aku hendak memeriksa ke dalam gua,
tapi nenek itu menghalangiku!" jelas si kakek.
"Hem, lalu bagaimana kakek raksasa ini bi-
sa menemui ajal?" tanya sang pendekar.
Kakek Gentong ketawa menunjuk ke atas
batu dimana Indah Sari berada. "Dia yang mem-
bunuhnya!"
Beberapa jenak lamanya Pendekar Sakti 71
Gento Guyon dan nenek Palasik memandang pada
si gadis. Sang pendekar tak dapat menutupi rasa
kagetnya saat melihat pedang yang tergantung di
pinggang Indah Sari.
Kepada nenek Palasik dia berbisik. "Senjata
itu, bukankah merupakan senjata maut yang ber-
nama Pedang Tumbal Perawan?"
Si nenek tidak segera menjawab, dia men-
gamat-amati pedang berangka lengan manusia itu
beberapa jenak lamanya. Setelah itu barulah dia
menganggukkan kepalanya. "Kau tidak salah Gen-to. Pedang yang tergantung di
pinggangnya me-
mang Pedang Tumbal Perawan. Senjata itu amat
berbahaya. Bahkan mungkin tiga kali lebih berba-
haya dari nenek yang di depan kita."
"Jika gadis itu tak bisa dibuat sadar, aku
terpaksa mengambil tindakan tegas. Pedang Tum-
bal Perawan nampaknya sudah memakan korban.
Raksasa ini aku yakin adalah orang tua Anggagi-
ni." "Anggagini siapa?" tanya si nenek.
"Seorang gadis yang dulunya pernah mene-
rima akibat dari pengaruh Racun Perubah Ben-
tuk." Si nenek terdiam, dia coba mengingat-ingat.
"Hh, kalau tak salah keluarga raksasa ini ada empat, lalu yang tiga orang lagi
kemana?" Gento gelengkan kepala. "Kurasa mengenai raksasa itu tak penting.
Mereka ada dimana tak perlu kita per-soalkan. Yang harus kulakukan saat ini
adalah mencari tahu apakah Angin Pesut masih hidup
atau sudah mati!"
"Kalau begitu kau harus masuk ke dalam
gua itu Gento!" ujar si nenek.
"Persoalan memeriksa gua serahkan pada-
ku." Kakek Gentong Ketawa tiba-tiba menyahuti.
Sang Pendekar memandang gurunya den-
gan penuh rasa khawatir. Dia sadar saat ini gu-
runya belum pulih sepenuhnya dari luka dalam
yang dia derita. Karena itu dia bertanya. "Guru...
menurutku urusan melihat Angin Pesut ke dalam
gua biar dilakukan oleh nenek Palasik sahabatmu.
Sedangkan kau sebaiknya istirahat, kalau perlu
kau boleh tidur. Kau cari sendiri tempat yang
aman!" ujar sang pendekar.
Si gendut langsung delikkan matanya. "Kau
jangan menganggap remeh lawanmu Gege. Nenek
itu manusia gila. Jika dia maju bersama muridnya
aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian ber-
dua!" "Guru, apa gunanya kau punya murid jika setiap menghadapi kesulitan besar
kau yang selalu
repot sendiri!" ujar Gento.
Kakek Gentong Ketawa tersenyum. Dia me-
rasa senang mendengar ucapan muridnya. Tetapi
sebagai guru tentu saja dia tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki
pada Gege. "Baiklah. Ada baiknya aku menyingkir ke
tempat yang aman. Aku hendak tidur, kalau kau
merasa kesulitan cukup berteriak yang keras gu-
rumu ini pasti segera datang memberi bantuan!"
habis berkata si kakek bangkit berdiri, setelah itu tanpa menoleh dia
menghampiri batu bundar, merebahkan tubuhnya di sana sambil memejamkan
mata namun tetap memasang telinga.
Setelah melihat kakek gendut merebahkan
diri, Gento kini berpaling pada nenek Palasik.
"Nek...sekarang sudah waktunya kau menyelidiki ke dalam gua itu!" ujar si
pemuda. Nenek Palasik anggukkan kepala. Tanpa
menunggu lebih lama nenek itu segera berkelebat
ke arah gua. Namun di luar dugaan Bayangan
Maut yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik
orang tiba-tiba tekankan tumit kaki kirinya.
Wuuut! Laksana kilat dia melesat menghadang ge-
rakan nenek Palasik sambil kirimkan satu jotosan
ke arah perut orang. Nenek Palasik terkesiap, tapi cepat lipat sikunya. Siku
segera didorong menangkis jotosan lawan.
Duuuuk! Terdengar seruan kaget. Nenek Palasik ter-
dorong mundur, tubuhnya tergetar namun masih
sempat jatuhkan diri dengan dua kaki menjejak
tanah. Sebaliknya sosok Bayangan Maut hanya
terdorong satu tindak. Dia pandang ke depan den-
gan mata melotot.
"Nenek hidung sumplung berkaki kuda, aku
sudah sering mendengar namamu. Tak pernah ku-
sangka hari ini kita bertemu. Kalau aku tidak sa-
lah mengingat bukankah kau sendiri memendam
kesumat pada Angin Pesut. Kalau tak salah pula,
suamimu dibunuh laki-laki terkutuk itu. Mengapa
kini kau malah hendak membantu Angin Pesut?"
damprat Bayangan Maut.
Nenek Palasik menyeringai. Dia maklum da-
ri benturan tadi ternyata tenaga dalam yang dimi-
liki Bayangan Maut berada satu tingkat di atasnya.
Dia harus berhati-hati tapi juga segera menjawab
pertanyaan orang. "Bayangan Maut, persoalan
dendamku kepada Angin Pesut telah kuselesaikan
dalam suatu pertarungan yang adil. Jika hari ini
aku berada di hadapanmu semata-mata bukan ka-
rena aku membela Angin Pesut. Semua itu semata-
mata kulakukan demi menepati janjiku pada pe-
muda itu!" tegas si nenek.
Bayangan Maut menyeringai. "Memangnya
kau punya janji apa dengan bocah gondrong gila
ini" Mau hidup bergendak dengannya?" desis
Bayangan Maut sinis.
"Hik hik hik. Niat hati memeluk bukit apa
daya bukitnya runtuh. Bayangan Maut, kau tidak
usah iri. Jika dirimu merasa tertarik pada gon-
drong itu silahkan kau bawa saja!"
Bayangan Maut kertakkan rahang. Sekali
melompat dia telah berada di hadapan nenek Pala-
sik. Kemudian secara tak terduga tangannya kiri
kanan secara bersilangan menyambar ke arah ne-
nek Palasik. Si nenek tersentak kaget, dia berusa-
ha melompat mundur sambil menangkis serangan
lawan dengan melakukan totokan pada bagian
bawah lengan. Bret! Bret! Gerakan nenek Palasik kiranya kalah cepat
dengan sambaran kuku lawan. Akibatnya bagian
dada si nenek robek besar. Biarpun begitu Bayan-
gan Maut juga tak kalah kagetnya ketika menda-
pati bagaimana bagian sikunya mendadak menjadi
kaku tak dapat digerakkan.
Dengan langkah terhuyung Bayangan Maut
cepat mengusap lengannya dengan tangan satu la-
gi yang luput dari totokan. Sebentar saja totokan
lawan lenyap. Begitu terbebas dari totokan lawan
si nenek menyerbu ke arah nenek Palasik. Tapi si
nenek yang sudah merasakan kehebatan Bayan-
gan Maut tak mau berlaku tolol untuk yang kedua
kalinya. Sekali kakinya dihentakkan ke tanah,
maka tubuhnya langsung amblas lenyap dari pan-
dangan. Bayangan Maut jadi terkesima untuk bebe-
rapa jenak lamanya. Selagi dia tertegun mulutnya
mendesis. "Ilmu Menyusup Bumi...!" Bayangan Maut
berseru kaget. Justru pada waktu itu permukaan
tanah nampak bergerak-gerak seperti hidup. Gera-
kan tanah yang bergelombang seperti air laut cepat sekali mendekat ke arah
Bayangan Maut. Perempuan tua ini baru menyadari bahaya yang men-
gancamnya ketika tanah yang dijadikan sebagai
tempat berpijak sekonyong-konyong amblas. Lalu
dari dalam tanah yang amblas itu menyambar se-
pasang tangan ke bagian kaki Bayangan Maut. Da-
lam kagetnya tak menyangka mendapat serangan
sehebat itu Bayangan Maut masih berusaha me-
nyelamatkan diri dengan cara melompat di udara.
Tapi gerakan yang dilakukan masih kalah cepat
dengan sambaran kedua tangan lawan yang me-
nyembul dari bawah permukaan tanah.
Kratp! Kreek! Begitu kedua kaki kena dicengkeram,
Bayangan Maut merasakan tubuhnya dibetot ke
bawah dan dibawa masuk ke dalam tanah. Nenek
itu tentu saja jadi kelabakan. Apa yang terjadi pa-da dirinya memang merupakan
suatu kenyataan
yang jauh dari jangkauan akal sehat. Bagaimana
mungkin lawan dapat memperlakukan dirinya se-
perti itu. Dalam gelapnya suasana di bawah sana
Bayangan Maut menjadi sasaran pukulan-pukulan
maut lawannya. Si nenek menggerung hebat, se-
mentara permukaan tanah nampak bergerak-gerak
akibat perkelahian sengit yang berlangsung di da-
lamnya. Sementara itu ketika tubuh Bayangan Maut
terbetot amblas ke dalam tanah, pada waktu ber-
samaan Indah Sari yang merasakan goncangan
hebat pada batu yang didudukinya nampak mem-
buka matanya. Begitu mata terbuka sang dara
memandang ka arah gurunya. Gadis ini segera
berseru kaget ketika melihat bagaimana tubuh gu-
runya tiba-tiba terperosok amblas ke dalam tanah
seolah ada satu kekuatan yang membetotnya dari
bagian dalam. Tak ingin melihat gurunya menga-
lami nasib celaka. Sambil berteriak nyaring dan
menghunus pedang miliknya sendiri Indah Sari
berkelebat ke arah lenyapnya Bayangan Maut. Dia
lalu hunjamkan pedangnya ke tempat yang dia
perkirakan musuh besar gurunya berada. Melihat
ini Gento tentu tidak ingin terjadi sesuatu pada
nenek Palasik. Karena itu sang pendekar melom-
pat ke depan. Dengan gerakan yang sulit diikuti
kasat mata dia menghantam tangan Indah Sari
yang memegang pedang.
Plak! Hantaman yang dilakukan Gento tepat
mengenai sasaran. Pedang di tangan sang dara ter-
lepas mental, melambung tinggi ke udara lalu me-
luncur jatuh menimpa salah satu batu yang terda-
pat di sekitarnya.
8 Indah Sari tertegun, apa yang terjadi pada
dirinya merupakan suatu kenyataan yang sulit di-
percaya. Ketika dia memandang ke depan sang da-
ra lebih terkejut lagi ketika melihat seorang pemu-da tampan berambut gondrong
berdiri tegak di ha-
dapannya. Dia yakin pemuda itulah yang telah
membuat pedangnya terjatuh.
"Kau... apakah kau muridnya kakek gendut
itu?" tanya sang dara dengan suara bergetar.
"Kau tak salah. Kakek gendut yang tidur di
atas batu itu memang guruku." Sahut sang pendekar. "Kalau tak salah bukankah kau
anak kakek Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan?"
Di luar dugaan pertanyaan Gento mem-
bangkitkan amarah di hati Indah Sari. Dengan ma-
ta menyorot tajam penuh kebencian dan muka
merah padam sang dara berteriak. "Pemuda ber-
mulut lancang. Kau orang gila ketiga yang menga-
takan aku sebagai anak Angin Pesut!"
Gento tersenyum. "Kau tidak bisa menging-
kari satu kenyataan bahwa sesungguhnya kau
anak kakek Angin Pesut. Cuma karena kau terlalu
lama bersama dengan Bayangan Maut, kau jadi
lupa pada asal usulmu. Aku yakin nenek jelek
yang saat ini sedang berjuang melawan maut di
dalam tanah itu telah menghasutmu, meracuni ji-
wa dan fikiranmu sehingga membuatmu tak bisa
menerima kenyataan yang ada. Indah Sari, keta-
huilah kakek Angin Pesut sangat merindukan di-
rimu selama ini. Belasan tahun dia kehilangan di-
rimu. Belasan tahun pula dia meninggalkan kehi-
dupan sesat menjalani kehidupan sebagaimana
yang telah digariskan Tuhan. Semua itu semata-
mata demi rasa cintanya pada dirimu. Mengapa
kini kau tidak mau mengakuinya sebagai seorang
ayah?" tanya Gento.
Pertanyaan sang pendekar memang cukup
menggugah perasaan sang dara. Tapi bila dia ingat
pada pesan gurunya yang pernah mengatakan


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar dia tidak percaya pada ucapan semua orang.
Maka dia jadi mengesampingkan perasaannya
sendiri. Malah dengan suara lantang sang dara
bertanya. "Jika benar aku adalah anak musuh besar guruku apa buktinya?"
"Kakek Angin Pesut pernah mengatakan
anaknya yang hilang mempunyai tanda berupa ta-
hi lalat di bagian punggungnya. Sekarang tanyalah
pada dirimu sendiri apakah kau mempunyai tanda
seperti yang kusebutkan itu?"
Indah Sari nampak ragu-ragu. Dia memang
harus mengakui apa yang dikatakan Gento. Sang
dara menjadi bingung, beberapa saat dia bergulat
dengan fikirannya sendiri. Tapi lagi-lagi dia teringat pada semua ucapan
gurunya. Sehingga dengan
keras dia gelengkan kepala.
"Pemuda penipu! Seperti yang lainnya, kau
juga manusia sinting yang mencoba mengecohku.
Tapi aku tak setolol yang kau duga. Sekarang te-
rimalah kematianmu!" selesai berkata, laksana kilat sang dara mencabut Pedang
Tumbal Perawan yang tergantung di pinggangnya. Di tangan Indah
Sari senjata itu bergetar di samping memancarkan
cahaya hitam redup menggidikkan.
"Pedang di tangannya bukan senjata biasa.
Jika bapak raksasa itu dapat dibunuhnya, bukan
mustahil dia juga akan membunuh semua orang
yang mencoba menyadarkan dirinya." batin Gento.
Dengan suara lantang murid kakek gendut Gen-
tong Ketawa. "Gadis tolol, siapa yang menipumu.
Aku cuma menyadarkan dirimu dengan mengata-
kan yang sebenarnya, walau kau tidak percaya,
masak aku mau memaksa!"
Sebagai jawaban Indah Sari melompat ke
arah Gento sambil gerakkan pedang lancarkan sa-
tu tusukan dan babatan. Pedang menggeletar he-
bat mengeluarkan suara gemeletak aneh seperti
suara tulang terbakar. Sinar hitam bertaburan di
udara disertai menebarnya hawa dingin laksana
es. Gento merasakan tiba-tiba nafasnya seperti
tersendat, tenggorokan laksana dicekik setan ter-
kena pengaruh pebawa pedang.
Terkejut pemuda itu melompat mundur. La-
lu meliukkan tubuhnya menghindari terjangan
senjata lawan. Dalam serangan pertama ini si ga-
dis dibuat kecewa karena tusukan maupun baba-
tan yang dilakukannya hanya mengenai tempat
kosong. Indah Sari tidak merasa putus asa, dia te-
rus merangsak maju sambil memperhebat seran-
gannya. Sang dara yakin lawan kali ini tidak bakal dapat meloloskan diri dari
serangan pedangnya.
Karena Indah Sari menyerangnya dengan
kekuatan penuh, dalam waktu sekejap sinar hitam
telah mengurung sang pendekar dari segala penju-
ru. Gento terus bergerak mundur. Mengandalkan
jurus Belalang Mabuk dan jurus Dewa Awan sang
pendekar hindari serangan gencar lawannya. Se-
sekali tubuhnya melompat di udara. Setiap ada
kesempatan dia juga membalas serangan lawan
dengan pukulan tangan kosong. Tapi setiap puku-
lan yang dilepaskannya membentur pedang lawan.
Maka pukulan itu lenyap tanpa bekas.
Gento leletkan lidah, tubuhnya dalam wak-
tu lima belas jurus telah basah bersimbah kerin-
gat. Dalam pada itu sayup-sayup dia mendengar
gurunya yang menelentang di atas batu sambil pe-
jamkan matanya menyenandungkan bait-bait
syair. Panas yang terik
Terang benderang
Seperti kegelapan bagi sang anak
Belasan tahun berada dalam gelap
Dalam bimbingan sang kelam
Mata dan hatinya menjadi buta
Kini setelah lama tersesat dia tidak tahu lagi Kemana arah pulang
Anak yang malang ujudnya tidak dapat dis-
entuh Anak yang malang keayuannya mematikan
Di tangannya tergenggam tangan iblis
Tangan iblis tidak bisa dibuat sembarangan
Kalau tak ingin jiwa melayang
Wahai anak asuhan tabib setan
Konon kau punya pentungan"
Punya seribu ilmu tak akan bisa digunakan
Banyak ilmu mematikan akal
Pentungan wahai pentungan
Dimana kau disimpan
Kemudian suara si kakek lenyap, yang ter-
dengar kini hanya berupa suara dengkuran kakek
Gentong Ketawa yang seolah telah pulas dibuai
mimpi. Sambil Gento sendiri sadar ucapan gu-
runya bukan tanpa makna. Dia tahu di dalam se-
nandung itu terdapat suatu teka-teki yang harus
dicari jalan pemecahannya. Gentopun kemudian
sambil menghindari serangan senjata Indah Sari
berusaha memecahkan teka-teki tersebut. Dia ta-
hu si anak malang yang dimaksudkan gurunya
pastilah gadis yang menjadi lawannya. Tapi kata-
kata terakhir yang diucapkan gurunya itu apa ar-
tinya. "Gendut brengsek, mau memberi tahu saja mengapa harus berbelit-belit
membingungkan orang. Kurang ajar....!" Gerutu sang pendekar begitu sambaran pedang lawan
nyaris menjebol bagian
perutnya. Pendekar Sakti 71 terpaksa berjumpali-
tan ke belakang. Indah Sari terus merangsak ma-
ju, bahkan kini melepaskan tendangan menggele-
dek secara berantai. Menghadapi serangan pedang
itu saja Gento sudah dibuat kerepotan, apalagi ki-
ni dia harus menghindari tendangan pula. Lebih
celakanya lagi Gento juga terpaksa berfikir keras
mengartikan kata-kata yang diucapkan gurunya.
"Pentungan! Aku tidak menyimpan pentun-
gan!" Gento menggerendeng sambil hindari ten-
dangan dan babatan senjata lawannya. Kalang ka-
but sang pendekar menghindari serangan-
serangan berbahaya. Sedangkan otaknya kem-
bali berfikir. "Aku dapat.... gendut itu tak mungkin menyebut pentungan yang di
bawah pusarku ini. Kurasa pentungan yang dimaksudkannya ada-
lah senjata warisan Tabib Setan itu pasti yang di-
maksudkannya!" Baru saja Gento menemukan ja-
waban dari teka-teki dalam senandung syair butut
gurunya pedang di tangan lawan berkelebat me-
nyambar leher Gento.
Sang pendekar belalakan mata, tapi cepat
merunduk dengan kaki setengah ditekuk.
Tess! Pedang lewat, leher Gento selamat namun
ujung pedang masih sempat membabat putus
rambut gondrongnya. Gento berseru kaget, lalu ja-
tuhkan diri yang dilanjutkan dengan gerakan ber-
gulingan di atas tanah. Pada waktu bersamaan la-
wan melompati dirinya sambil kirimkan satu ten-
dangan menggeledek ke bagian perut Gento. Ce-
patnya tendangan serta tak menduga lawan masih
dapat mengirimkan tendangan keras ke arahnya
membuat Gento tak sempat menghindar.
Buuk! "Wuarkh...!"
Gento menjerit kaget. Tubuhnya terlempar
sampai sejauh tiga tombak. Terbungkuk-bungkuk
Gento merangkak dan bangkit berdiri. Dia terba-
tuk-batuk dari mulutnya menyembur darah segar.
Tapi dengan cepat dia keluarkan senjata yang
menjadi andalannya.
Begitu senjata yang berupa gada dengan
panjang hampir dua jengkal dan besarnya seibu
jari. Sambil menyeringai menahan sakit Gento me-
lintangkan Penggada Bumi di depan dada. Semen-
tara diam-diam dia salurkan tenaga dalam ke ba-
gian hulu senjata dalam genggamannya.
Melihat senjata lawan yang sekecil itu Indah
Sari meludah. Dengan sinis dan memandang ren-
dah dia berkata. "Dengan senjata itu kau hendak melawan Pedang Tumbal Perawan.
Ketahuilah jika
ada gada yang besarnya seratus kali dari gada
yang ada di tanganmu belum tentu sanggup me-
nandingi pedangku. Senjata seperti itu untuk
menggebuk anjing sekalipun tidak akan terasa!"
Gento tersenyum dingin. "Dengan senjata
penggebuk anjing ini aku akan menggebuk tu-
buhmu yang beracun sampai lumat!" sahut Gento.
Sang dara yang terus menerus memandang
ke arah senjata aneh di tangan Gento hendak
mengucapkan sesuatu. Tapi kemudian dia malah
keluarkan seruan kaget ketika melihat gada ber-
warna kuning keemasan dengan besar tak lebih
dari ibu jari kaki itu kini menunjukkan suatu pe-
rubahan aneh. Penggada bumi mendadak meman-
carkan cahaya kuning kemilau. Mamancarnya ca-
haya dibarengi dengan membesarnya gada terse-
but. Mula-mula gada membesar sepuluh kali li-
pat dari aslinya. Tapi setiap saat gada terus berubah besar dan memanjang sampai
akhirnya sebe- sar batang kelapa dengan panjang sekitar dua
tombak. Di atas batu dengkuran si kakek gendut ti-
ba-tiba lenyap, mulut komat-kamit seperti orang
bermimpi makan enak. Setelah terdengar suara si
kakek. "Senjata itu memang hebat. Tapi sifatnya kok ya seperti punyaku, suka
membesar dan men-gempis. Dasar yang memberikan senjata itu tabib
gila, tidak heran jika prilaku senjatanya seperti
itu!" setelah itu suara si kakek lenyap berganti dengan suara dengkuran.
Gento tidak menanggapi ucapan si kakek
yang entah mengigau atau bicara dalam keadaan
sadar. Dia kemudian menyerbu ke depan. Gada di
tangannya berputar sebat, angin menderu dingin,
cahaya kuning keemasan bertaburan di udara. In-
dah Sari kertakkan rahangnya, dia menyambut se-
rangan Gento dengan mengibaskan pedang di tan-
gannya. Sementara itu Bayangan Maut yang sempat
diseret ke dalam tanah oleh lawannya tiba-tiba
terpental ke udara. Sekujur tubuh si nenek sudah
berselemotan debu, sedangkan pakaiannya robek
di sana sini. Bagian pipi lebam membiru terkena
pukulan. Tak lama setelah nenek itu jejakkan ka-
kinya dengan tubuh terhuyung nafas megap-
megap. Dari lubang menganga yang dilewati
Bayangan Maut berkelebat pula sosok nenek Pala-
sik. Tubuh orang tua ini juga nampak dipenuhi
luka cakaran. Darah berwarna merah kehitaman
mengalir dari setiap luka di sekujur tubuhnya.
Kiranya biarpun nenek Palasik menarik la-
wan ke tanah. Lawan ternyata tidak dapat dike-
cohnya. Bayangan Maut hanya sekejap saja kela-
bakan. Setelah menutup jalan pernafasan untuk
menghindari tanah agar tidak masuk ke dalam sa-
luran nafas, dia segera membalas serangan gencar
lawannya. Kini dalam keadaan sama-sama terluka
Bayangan Maut dengan nafas memburu berseru.
"Kau tak bakal lolos dari kematian nenek bodoh!"
Nenek Palasik yang sudah terluka tidak
menanggapi. Sebaliknya tubuh si nenek melesat ke
udara. Selagi di udara dia lakukan gerakan memu-
tar tubuh dua kali, setelah itu kakinya melesat
menghantam dada Bayangan Maut. Sekali tumit
kaki nenek Palasik yang setajam mata tombak itu
mengenai sasaran dada Bayangan Maut pasti jebol
sampai ke punggung.
Tapi Bayangan Maut dengan gesit mengeser
langkahnya ke sebelah kiri sebanyak satu tindak.
Tendangan nenek Palasik luput. Menyadari ten-
dangannya tidak mengenai sasaran tangan nenek
Palasik melayang menghantam wajah.
Plaak! Bayangan Maut terpelintir akibat hantaman
yang mendera wajahnya. Namun dengan cepat
tangannya menyambar ke arah dada nenek Pala-
sik. Tak menyangka mendapat serangan yang
amat cepat seperti itu nenek Palasik tidak sempat
mengelak. Tak ayal lagi sambaran kuku si nenek men-
jebol dadanya. Nenek Palasik meraung keras. Ka-
kek Gentong Ketawa diam-diam mengawasi jalan-
nya perkelahian terkesiap melihat apa yang terjadi pada sahabatnya.
Laksana kilat orang tua itu berkelebat
menghantam bahu Bayangan Maut. Lawan menje-
rit dan jatuh terbanting. Tapi usaha kakek gendut
untuk menyelamatkan nenek Palasik terlambat.
Perempuan cacat wajah itu sudah terkapar dengan
dada berlubang menyemburkan darah.
"Palasik!" seru si gendut setengah mengerang. Si nenek mengerang lirih. Dengan
nafas me- gap-megap nenek itu berkata. "Gendut sahabatku.
Nenek itu terlalu tangguh, kau berhati-hatilah!" selesai berkata begitu kepala
nenek itupun terkulai.
"Sahabatku!" teriak si kakek histeris.
"Kau tak usah bersedih gendut. Karena se-
bentar lagi aku juga bakal mengirimmu ke neraka.
Kau bisa bertemu dan berkumpul kembali den-
gannya di sana!" kata Bayangan Maut yang saat itu telah berdiri di depan si


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi siap hantamkan
pukulan. Kakek gendut Gentong Ketawa marah besar.
Dia bangkit berdiri, tapi sebelum si kakek sempat
berdiri tegak, tanpa memberi kesempatan Bayan-
gan Maut segera menghantam orang tua itu den-
gan pukulan Seribu Serigala Berebut Bangkai.
Gentong Ketawa bergulingan ke samping.
Dari tangan Bayangan Maut sinar hitam berkiblat
menghantam si kakek. Pada waktu itu pula ter-
dengar suara teriakan. "Bayangan Maut jika kau bunuh kakek itu jiwamu tak bakal
kuampuni!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara te-
riakan itu satu bayangan berkelebat dari mulut
gua. Sedangkan dari telapak tangannya berkiblat
sinar putih menyilaukan mata.
"Pukulan Ratap Langit!" seru Bayangan
Maut yang sempat palingkan kepala memandang
ke arah orang yang keluarkan seruan.
Buum! Buum! Terdengar suara ledakan dahsyat dua kali
berturut-turut. Ledakan pertama adalah pukulan
yang dilepaskan Bayangan Maut yang cuma me-
nyambar baju si gendut sampai hangus. Sedang-
kan ledakan kedua adalah akibat pukulan yang di-
lepaskan sosok bayangan yang keluar dari gua.
Bayangan itu bukan lain adalah Angin Pesut.
Bayangan Maut tentu saja menjadi kaget seolah
tak percaya melihat Angin Pesut mampu bebaskan
diri dari pendaman Liang Pemasung Sukma.
Bayangan Maut sendiri sempat terbanting,
pukulan yang dilepaskan Angin Pesut menyambar
tangannya hingga tangan itu kini hangus hancur
mengerikan. Sebaliknya kakek Gentong Ketawa merasa
lega melihat Angin Pesut dalam keadaan selamat. 9
Kedua musuh bebuyutan itu kini saling
berhadap-hadapan. Bayangan Maut sambil meno-
tok urat besar di bagian sikunya berkata. "Manusia jahanam, bagaimana kau bisa
meloloskan diri
dari Liang Pemasung Sukma?"
Dengan tatapan dingin Angin Pesut yang
sempat melirik ka arah Indah Sari yang terlibat
perkelahian sengit dengan Gento menjawab. "Hal itu tidaklah penting. Yang jelas,
kau jangan libatkan sahabatku Gentong Ketawa dalam masalah
kita." Tegas si Kakek.
"Aku membunuh siapa saja yang berada di
pihakmu!" dengus Bayangan Maut.
"Angin Pesut kau tak usah risau. Sebagai
sahabat tentu saja kita punya kewajiban saling to-
long menolong!" ujar si gendut.
"Sobat Gentong Ketawa. Kuminta menying-
kirlah, aku akan membuat perhitungan dengan
manusia satu ini!" ujar Angin Pesut.
"Ha ha ha. Kebetulan sekali aku lagi tidak
enak badan. Jika kau memintaku begitu dengan
senang hati pasti kuturuti!" ujar si gendut. Lalu dengan terbungkuk-bungkuk dia
membopong mayat nenek Palasik menyingkir dari situ.
Seperginya kakek gendut Bayangan Maut
segera berkata. "Sungguhpun saat ini aku telah kehilangan sebelah tangan, tapi
jangan harap kau
dapat meloloskan diri dari tanganku!"
"Sungguhpun aku menghancurkan tubuh-
mu, hai itu tidaklah sebanding dengan kesala-
hanmu yang telah memperdaya muridmu! Dan
kau mengira masih bisa membunuhku dengan ke-
terbatasanmu itu?" sahut si kakek.
Bayangan Maut berteriak lantang. Seiring
dengan teriakannya itu tubuhnya berkelebat le-
nyap dari pandangan mata. Bersamaan dengan itu
pula tiba-tiba Angin Pesut merasakan ada angin
menyambar ke bagian pinggang, dada dan kepa-
lanya. Si kakek menggeram, lalu secepat kilat dia
memutar tangannya menangkis serangan lawan.
Duk! Duk! Bentrokan keras terjadi, Bayangan Maut ke-
luarkan seruan tertahan. Benturan itu membuat si
nenek terhuyung. Angin Pesut menggeram, lalu le-
paskan satu jotosan ke dada si nenek.
Bayangan Maut jatuh bergedebukan, dari
sudut-sudut bibir si nenek meneteskan darah per-
tanda dia mengalami luka di dalam. Tapi Bayan-
gan Maut dengan cepat bangkit berdiri. Dia mak-
lum tak mungkin dapat menghancurkan Angin Pe-
sut dalam keadaan menderita cidera seperti itu.
Karenanya Bayangan maut segera mengeluarkan
jurus-jurus andalannya berupa rangkaian jurus
Serigala Seribu dan juga jurus Bayangan Serigala.
Dalam waktu singkat si nenek yang telah
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dia miliki
tersebut telah menyerang Angin Pesut dengan se-
rangan beruntun yang datangnya bagaikan air
bah. Beberapa saat Angin Pesut memang sempat
terdesak hebat mendapat serangan itu. Namun ke-
tika si kakek mengerahkan jurus-jurus andalan-
nya pula keadaan jadi berbalik.
Sementara itu perkelahian antara Gento
dan Indah Sari sudah sampai pula pada titik pun-
caknya. Sang pendekar yang sadar tubuh lawan-
nya mengandung racun yang mematikan bila sam-
pai tersentuh olehnya terus menggunakan Pengga-
da Bumi untuk mencecar lawan. Beberapa kali
benturan keras antara Pedang Tumbal Perawan
dengan Penggada Bumi terjadi. Bunga api berpija-
ran di udara, sedangkan tubuh mereka sama ter-
getar hebat. Tapi yang membuat sang dara heran
gada yang selalu memancarkan cahaya kuning
berkilauan itu tidak putus terbabat senjatanya.
"Pemuda itu dan gada di tangannya bukan
senjata sembarangan. Aku harus menyerang ba-
gian kakinya!" batin sang dara yang saat itu kembali terluka akibat benturan
senjata milik sang
Pendekar. Indah Sari melompat mundur ketika gada di
tangan Gento menghantam kepalanya. Dia lalu
melepaskan pukulan tangan kosong ke arah la-
wan. Begitu tangan kirinya menghantam ke depan,
maka Indah Sari pun menyerbu ke arah lawan.
Pedang di tangan kiri gadis ini membabat ke ba-
gian kaki Gento. Si pemuda melompat lalu me-
nangkis serangan pedang lawannya.
Traang! Benturan keras kembali terjadi, pedang di
tangan si gadis terlepas dari tangannya. Pedang itu terpental lalu jatuh tak
jauh dari tempat terjadinya perkelahian antara Angin Pesut dengan Bayangan
Maut. Melihat senjata lawannya jatuh, Gento se-
benarnya tidak ingin menjatuhkan tangan keji pa-
da sang dara. Tapi gadis ini kiranya berlaku ne-
kad. Dia tetap menyerang Gento dengan pukulan
dan tendangan bertubi-tubi. Merasa didesak si
pemuda terpaksa menggerakkan tangannya yang
memegang gada. Dengan begitu pukulan maupun tendangan
Indah Sari gagal mencapai sasaran. Sebaliknya
gada besar di tangan sang Pendekar terus melun-
cur dan menghantam bagian rusuk sang dara.
Braak! "Wuaakhgh...!"
Indah Sari menjerit setinggi langit. Hanta-
man gada membuat tubuhnya terpelanting sejauh
lima tombak. Gadis itu terkapar tidak berkutik la-
gi. Dengan cepat Gento mendatangi. Ketika hendak
memeriksa, gurunya yang melihat niat Gento sege-
ra berkata. "Jangan kau lakukan. Kau bisa keracunan. Biarkan saja, dia hanya
pingsan. Mungkin
beberapa tulang rusuknya ada yang patah. Jika
Angin Pesut selamat, biar gadis itu diurus olehnya karena tubuh Angin Pesut juga
kebal terhadap berbagai jenis racun.
"Guru kau sendiri bagaimana?" tanya Gento khawatir.
"Aku, aku tidak apa-apa. Cuma sahabatku
Palasik tidak ketolongan jiwanya" sahut si gendut.
"Ah, aku turut sedih mendengarnya." Desah Gento sambil melangkah menghampiri si
kakek yang memeluki jasad nenek Palasik.
Sementara itu di tempat terjadinya perkela-
hian kembali terjadi benturan keras antara tangan
Angin Pesut dengan kaki Bayangan Maut. Tubuh
kakek beralis dan berambut merah itu nampak
terhuyung-huyung. Di depan sana Bayangan Maut
jatuh menelentang. Ketika tangannya menggapai-
gapai hendak berdiri tangan si nenek menyentuh
hulu pedang Tumbal Perawan. Si nenek yang su-
dah terluka parah menyeringai kegirangan. Tapi
juga sedih karena menduga muridnya tentulah te-
lah binasa di tangan murid si gendut. Sambil me-
megang pedang dengan tangan kirinya. Perempuan
itu berkata. "Angin Pesut barangkali Indah Sari telah tewas akibat kekejaman
para sahabatmu. Se-
karang kukatakan terus terang kepadamu bahwa
sebenarnya Indah Sari adalah anakmu yang kucu-
lik belasan tahun yang lalu. Kini setelah anakmu
dibunuh oleh pemuda itu apakah tidak tergerak di
hatimu untuk menuntut balas atas kematiannya?"
tanya si nenek sengaja memanas-manasi. Tapi ru-
panya Angin Pesut sungguhpun mengetahui Indah
Sari memang anaknya sebagaimana yang dia duga
selama ini. Kiranya dia sudah tidak kena dibujuk
lagi. Dengan tegas dia berkata. "Jika dia mati, semua itu bukan salah sahabatku.
Mereka semua terpaksa melakukannya demi membela diriku.
Kematian Indah Sari kuanggap sebagai suatu tak-
dir!" Mendengar ucapan Angin Pesut legalah hati Gento juga perasaan gurunya.
Sebaliknya Bayangan Maut menjadi geram karena muslihatnya ter-
nyata tidak membawa hasil.
"Angin Pesut kau lihatlah pedang ini!"
Dengan tatapan dingin si kakek meman-
dang ke arah pedang di tangan si nenek. Kemu-
dian dengan suara dingin pula dia menjawab. "Pedang di tanganmu adalah Pedang
Tumbal Pera- wan. Konon kehebatannya dapat membuat lawan
tidak berdaya. Jika pedang itu kau pergunakan
untuk membelah tubuhku. Meskipun aku memiliki
ilmu ajian Pancasona, tubuhku dapat dipastikan
tidak bakal bersatu kembali. Tapi kau lupa, sebe-
lum pedang itu menyentuh tubuhku, mungkin tu-
buhmu telah luluh lantak terkena pukulan Ratap
Langit! " "Huh, kita lihat... siapa yang cepat, pukulan mautmu atau pedang di tanganku
ini!" Bayangan Maut menutup ucapan dengan memutar sebat pedang di tangannya.
Suara angin menderu-deru, si-
nar hitam berkiblat di udara. Suasana di sekitar-
nya mendadak jadi redup terkena pebawa pedang.
Angin Pesut sadar, jika sampai Pedang
Tumbal Perawan mengenai bagian tubuhnya, san-
gat kecil kemungkinan bagi dirinya dapat melo-
loskan diri dari maut. Karena itu si kakek sejak
awal sudah merapal ilmu ajian Ratap Langit sam-
bil salurkan tenaga sakti ke arah tangannya.
Begitu si kakek melihat sinar hitam bergu-
lung-gulung bergerak cepat ke arahnya, si kakek
segera menghantamkan kedua tangannya ke arah
Bayangan Maut. Dari telapak tangan si kakek ber-
kiblat sinar putih menyilaukan mata. Hawa panas
bergulung-gulung menyertai melesatnya sinar pu-
tih itu. Lalu...
Buuum! Kraaash! Satu ledakan keras mengguncang tempat
itu. Lamping tebing curam runtuh sedangkan di
tengah suara ledakan terdengar jeritan lolong
Bayangan Maut yang kemudian lenyap. Semua
yang berada di tempat itu jadi terkesima. Mereka
sama memandang ke arah Bayangan Maut. Na-
mun nenek itu tidak kelihatan. Ketika kegelapan
yang menyelimuti tempat sekitarnya lenyap ter-
dengar suara kerontangan pedang.
Angin Pesut tegak tergontai dengan muka
pucat dan pakaian hancur tak karuan. Gento dan
gurunya mencari-cari Bayangan Maut. Mereka jadi
tercekat ketika melihat tengkorak kepala dan tu-
lang belulang yang hangus mengepulkan asap me-
nebar bau daging terbakar.
"Apakah yang kita lihat itu adalah tengko-
raknya Bayangan Maut guru?" tanya Gento sambil meraba tengkuknya yang mendadak
dingin. "Ya... dia telah menjadi korban ilmu ajian
Ratap Langit. Kau lihatlah, Pedang Tumbal Pera-
wan yang tergeletak di samping tulang belulang
Bayangan Maut juga tinggal besi bengkok yang
hangus tidak berguna. Ah, kesaktian yang dimiliki
oleh manusia yang satu itu memang sulit dicari
tandingannya!" gumam si kakek memuji.
Dalam kesempatan itu Angin Pesut dengan
langkah gontai dan wajah kuyu menghampiri me-
reka. Orang tua itu setelah menatap pada Gento
dan gurunya segera berkata. "Para sahabatku, kalian sudah begitu banyak
membantu. Entah den-


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan apa aku bisa membalas segala budi kalian."
ujar Angin Pesut.
"Kakek Angin Pesut. Bantuan yang kami be-
rikan tidaklah seberapa. Sebelumnya aku mohon
maaf karena terpaksa menciderai anakmu!"
Angin Pesut anggukkan kepala. Dia meno-
leh ke arah Indah Sari yang dalam keadaan terluka
dan tak sadarkan diri.
Seolah mengerti apa yang dipikirkan Angin
Pesut, kakek Gentong Ketawa berkata. "Angin Pe-
sut, kau bawalah anakmu. Dia masih bisa kau
sembuhkan meski memakan waktu agak lama.
Kau bimbinglah dia, mudah-mudahan dia bisa
menerima kenyataan yang sebenarnya!" ujar si
gendut. "Anak itu tidak bersalah. Sebagai orang tua
akulah yang bersalah. Karena hitam putihnya
anakku, baik buruknya jalan yang dia tempuh se-
muanya tergantung padaku!" ujar si kakek seolah menyesali.
"Kakek... masih belum terlambat bagi kakek
untuk membimbing Indah Sari. Bukankah begitu
guru?" kata Gento sambil kedipkan matanya pada si gendut.
"Muridku benar sobatku Angin Pesut. Ba-
walah dia secepatnya. Cidera pada bagian tulang
rusuknya perlu segera mendapatkan perawatan."
"Kalian semua adalah sahabat-sahabatku
yang baik. Sekali ini aku mohon pamit!" ujar Angin Pesut. Kakek itu kemudian
menjura penuh rasa
hormat. Setelah itu dia menghampiri Indah Sari.
Setelah membopong sang dara, Angin Pesutpun
berkelebat pergi meninggalkan Gento dan gurunya.
Si gendut menarik nafas. "Sekarang lega
sudah hatiku. Mudah-mudahan Indah Sari bisa
menerima keberadaan ayahnya!"
"Aku juga berharap begitu. Tapi di hatiku
sendiri sebenarnya ada satu ganjalan guru." ujar Gento sambil tersenyum.
"Eeh, bocah edan. Kau punya ganjalan
apa?" "Aku tak bisa menceritakannya sekarang.
Sebaiknya kita urus dulu mayat nenek Palasik."
"Ah, kau. Jika kau tak mau mengatakan ge-
rangan apa yang mengganjal hatimu aku tak mau
mengubur nenek itu!" kata si gendut sambil bersungut-sungut.
"Kalau kau tak mau ya sudah. Aku juga bi-
sa menguburnya sendiri. Karena segalanya kuker-
jakan sendiri agar mudah aku akan mengubur ne-
nek ini dengan posisi berdiri!"
"Bocah gelo. Kau bisa kualat. Lagj pula...
akh... kau tidak boleh begitu. Biarpun sudah mati
nenek ini bekas sahabatku!" gerutu si kakek.
"Bekas sahabat atau bekas kekasih" Kalau
dia bekas kekasihmu berarti nenek ini bukan pe-
rawan tapi sudah janda. Ha ha ha!" kata sang
pendekar. Kakek Gentong Ketawa jadi kalang kabut.
"Bocah sial. Kau tahu apa!" dengus si kakek. Orang tua ini kemudian meninggalkan
mu- ridnya untuk membuat sebuah kubur buat sang
sahabat. Di belakangnya Gento terus tertawa men-
gekeh. - Tamat - EPISODE SELANJUTNYA!!!
SENGKALA ANGIN DARAH
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
SENGKALA ANGIN DARAH
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 16 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Pendekar Cacad 3
^