Pencarian

Prasasti Tonggak Keramat 3

Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat Bagian 3


memandang Yoga kembali.
"Yo, katakan, apa yang terjadi pada dirimu"!"
tanya Lili, sementara itu Gadis Linglung tersenyum-
senyum menikmati ketampanan yang membuat ha-
tinya berdesir-desir itu.
Tak lama kemudian terdengar suara Yoga ber-
nada tegas dan datar,
"Siapa yang telah membunuh Kencana Ratih"!"
Lili berkerut dahi dengan heran, walau ia sege-
ra tahu permasalahannya dan bisa menebak apa yang
telah terjadi. Tapi Gadis Linglung berkerut dahi karena merasa asing dengan nama
itu, sehingga ia bertanya
kepada Yoga, "Kencana Ratih itu nama seekor burung atau
nama seekor kucing"!"
Yoga melangkah cepat, lalu menendang tulang
kaki Gadis Linglung. Duugh...! Gadis Linglung menga-
duh, ia menyangka akan ditampar dan sudah siapkan
tangkisan, namun ternyata ditendang tulang kakinya.
"Jaga bicaramu!" kata Yoga dengan dingin, kemudian melangkah menjauhi mereka
tiga tindak, sete-
lah Itu kembali berpaling dan bertanya lagi dengan na-da tetap dingin,
"Mengakulah kalian, siapa di antara kalian
yang membunuh Kencana Ratih"!"
Gadis Linglung berseru, "Bukan aku, Setan!
Kenapa kau tendang kakiku, hah"!"
Plakkk...! Wajah Gadis Linglung ditampar Lili
dengan keras. Lili pun menghardik.
"Jangan berani-berani membentaknya, tahu"!
Aku memang tidak membunuh... siapa itu ta-
di?" "Kalau tidak membunuh ya bilang saja tidak
membunuh! Tak perlu membentak-bentak dia!" Lili melotot. Gadis Linglung
menggerutu tak jelas sambil
bersungut-sungut.
Terdengar Yoga berseru memanggil, "Bocah Bo-
doh!" "Ya, Tuan...!" Bocah Bodoh maju.
"Kau yang membunuh dia"!"
"Betul, Tuan!" jawabnya dengan mantap. "Saya terpaksa, Tuan. Saya sudah
mengalah, sampai hidung
saya bercucuran darah, tapi dia tetap menghajar saya dan meminta pedang pusaka
itu. Mau tak mau, karena
saya terpepet, saya bunuh si Sabuk Geni itu, Tuan.
Soalnya...."
"Yang ku maksud Kencana Ratih! Bukan Sabuk
Geni!" bentak Yoga.
"O, Kencana Ratih..."! Wah, maaf, Tuan... saya
belum kenal dengan perempuan itu, dan tidak ada ma-
salah apa-apa. Jadi saya tidak membunuhnya. Kalau
Sabuk Geni, memang. Saya sudah mengalah, sampai
hidung saya berdarah, tapi...."
"Cukup!" sentak Yoga.
"Betul, Tuan. Saya sudah cukup. Cukup puas
bisa membunuh Sabuk Geni," jawab Bocah Bodoh polos saja, tanpa menyadari bahwa
jawaban itu salah
pengertian dan tidak digubris lagi oleh Yoga. Kini mata Yoga menatap Lili dan
berkata, "Kau, Guru"!"
"Jangan menuduhku. Aku tak suka."
"Kencana Ratih tewas seperti halnya Lem-
bayung Senja, Jalak Hutan, dan Mutiara Naga!"
Lili tersentak, karena ia kenal dengan Mutiara
Naga dan pernah ikut sembuhkan Mutiara Naga saat
gadis itu sakit. Yoga menjelaskan ciri-ciri yang sama itu, dan sedikit ungkapkan
rasa persahabatannya dengan mereka, sehingga membuatnya menjadi berang.
"Kalau kau mencurigai aku, kau salah besar,
Yo! Selama ini aku bersama Tua Usil sampai tiba di si-ni! Kau boleh tanyakan
pada...." Zing, zing, zing, zing, zing...!
Tiba-tiba sejumlah senjata rahasia datang be-
runtun, melesat ke tubuh Lili. Gerakannya sangat ce-
pat. Datang dari arah samping kiri dan dengan cekatan Lili menangkap serangan
senjata rahasia tersebut. Li-ma senjata bisa ditangkap melalui sela-sela jari
Pendekar Rajawali Putih, tapi karena datangnya lebih dari lima dan secara
beruntun, maka dua diantaranya menancap di lengan kiri dan dada kanan, sedikit
di ba- wah pundak. Jreb, jrreb...!
"Ahg...!" Lili terpekik, sedangkan Yoga segera berseru cemas, "Guru..."!"
"Yo, kejar dia...!" suara Lili memberat. Yoga berpaling ke belakang, sekelebat
bayangan melesat melarikan diri. Yoga cepat kejar bayangan orang yang
menyerang Lili dengan senjata rahasia itu. Jelas orang tersebut akan membunuh
Lili tanpa mau dilihat siapa
pun. Pada saat Yoga mengejar si penyerang gelap, tubuh Lili menjadi lemas, dan
ia jatuh terkulai. Untung
segera ditangkap oleh kedua tangan Tua Usil yang berseru, "Nona, Li..."!"
Keadaan menjadi tegang. Tua Usil bingung me-
lihat Lili menjadi pucat pasi. Dua senjata rahasia berbentuk lempengan bunga
masih menancap di tubuh
Lili. Tubuh itu menjadi dingin dan mulai bengkak me-
merah pada bagian yang tertancap senjata rahasia itu.
Bocah Bodoh segera berseru, "Senjata itu jahat! Dia punya racun ganas!"
"Celaka! Bagaimana aku harus mengata-
sinya?"Tua Usil makin tegang.
'Tunggu sebentar. Tadi kulihat ada daun Sekar
Balak di sana!" Bocah Bodoh bergegas pergi mengambil daun Sekar Balak yang bisa
dipakai melenyapkan racun ganas. Tapi bisakah untuk racun yang itu"
* * * 7 DAUN Sekar Balak hampir sama khasiatnya de-
ngan bunga Teratai Hitam. Daun Sekar Balak bisa un-
tuk sembuhkan luka karena racun ganas. Tapi ada ti-
ga racun yang tak bisa disembuhkan memakai daun
Sekar Balak, dan hanya bisa disembuhkan oleh bunga
Teratai Hitam. Dan beruntung sekali racun yang me-
nyerang tubuh Pendekar Rajawali Putih itu bukan
termasuk racun yang harus membutuhkan Bunga Te-
ratai Hitam. Berkat kecekatan Bocah Bodoh dalam menda-
patkan daun tersebut, maka nyawa Lili bisa lolos dari ancaman maut racun yang
ada di senjata rahasia tersebut. Pada waktu Bocah Bodoh tiba dari mencari
daun Sekar Balak, Gadis Linglung sudah meninggal-
kan tempat tanpa mau peduli tentang lukanya Lili. Tua Usil dan Bocah Bodoh tidak
hiraukan kepergian Gadis
Linglung itu. "Makan daun ini!" kata Bocah Bodoh kepada
Tua Usil. Ia disodori beberapa lembar daun Sekar Ba-
lak. "Makanlah...!"
Tua Usil membentak karena tegang, "Yang kena
racun Nona Li, bukan aku! Masa' yang harus makan
daun ini aku"!"
"Jangan ditelan, Tolol! Dikunyah-kunyah saja
sampai lembut, nanti ditempelkan pada lukanya!"
"Ooo...!" Tua Usil segera menarik napas lega.
Lalu ia mulai memakan daun tersebut. Katanya, "Semuanya dimakan"!"
"Kamu itu kambing apa manusia" Masa' mau
makan daun sebanyak itu sekaligus"! Satu-satu saja!"
Bocah Bodoh saat itu berlagak pintar. Ia tahu persis tentang hal itu karena
belajar dari ibunya.
Tua Usil mengunyah-ngunyah selembar daun
Sekar Balak, Bocah Bodoh juga mengunyahnya, tapi
dengan gerakan cepat. Sambil mengunyah daun, ia
berkata kepada Tua Usil,
"Buka pakaian Nona Li!"
"Hah..."! Kau sudah gila" Mau telanjangi Nona
Li"!" Tua Usil mendelik kaget. Tapi Bocah Bodoh bersungut-sungut, dan berkata,
"Habis, bagaimana kita mau tempelkan daun
yang sudah kita kunyah ini kalau lukanya tertutup
pakaian"!"
Tua Usil tertegun, "Iya, ya..."! Kalau luka di
lengan masih bisa tanpa membuka pakaian, tapi luka
di dada, bagaimana"!"
"Yaaaah...!" Bocah Bodoh terbengong melom-
pong. "Ada apa?"
"Daun yang ku kunyah tertelan semua! Habis
dipakai sambil berdebat, aku jadi lupa kalau yang ku makan adalah daun penawar
racun!" "Dasar rakus! Lantas bagaimana" Apakah kau
akan mati?"
"Memang tidak membuat mati. Tapi... berarti
aku akan mengalami sukar buang air besar!"
"Ya, sudahlah... air kecil saja yang dibuang.
Ayo, kunyah lagi!"
Kalau saja Lili dalam keadaan sadar, pasti dia
akan jijik dan menolak keras tubuhnya ditempeli daun yang sudah dikunyah Tua
Usil dan Bocah Bodoh. Untung Lili dalam keadaan tak sadar, sehingga kedua
orang itu dapat dengan bebas menempelkan daun yang
dikunyahnya berkali-kali. Sebab setiap daun yang ha-
bis dikunyah lalu ditempelkan, dalam waktu cepat
akan kering dan terlepas, sehingga hal itu harus dilakukan secara berulang-
ulang. Tetapi hasilnya cukup hebat. Dalam waktu
singkat luka yang membengkak itu cepat kempes. Da-
rah dan racun tersedot oleh kunyahan daun Sekar Ba-
lak itu. Lili pun segera sadar dan nafasnya kembali
lancar, darahnya pun lancar. Yang ia tanyakan hanya
dua hal, "Siapa yang mencabut senjata rahasia itu" Sia-
pa yang mencarikan daun penawar racun itu?"
Tua Usil menjawab, "Yang mencabut senjata
saya, Nona Li. Tapi yang mencarikan daun penawar
racun itu Bocah Bodoh! Yang mengunyah daun, kami
berdua!" "Mengunyah"! Jadi... kunyahan daun itu di-
tempelkan di kulitku?"
Tua Usil dan Bocah Bodoh tak ada yang berani
menjawab. Keduanya sama-sama diam. Lalu Bocah
Bodoh pun segera berkata,
"Maaf, Nona Li... saya harus segera pergi menu-
ju Prasasti Tonggak Keramat itu."
"Kudengar kau tadi menyebutkan tentang pu-
saka. Maksudmu pusaka apa?" tanya Lili.
"Pusaka Pedang Jimat Lanang. Pusaka itu milik
gurunya ibu saya, dan pusaka itu diwariskan kepada
Ibu oleh sang Guru. Tetapi karena Ibu lumpuh, maka
Ibu mengutus saya untuk mencarinya."
"Jadi, pedang itu nantinya menjadi milikmu?"
tanya Tua Usil.
"Kalau menurut pesan Ibu memang begitu. Ta-
pi, terserah nanti bagaimana keputusan Ibu; apakah
mau diserahkan kepadaku, atau digunakan sendiri,
atau diserahkan kepada orang lain, aku tak berani
mendului keputusan Ibu!"
"Anak yang patuh kau sebenarnya, Bocah Bo-
doh!" kata Lili. Lalu dia bertanya kepada Cola Colo,
"Apa kehebatan pedang itu menurut ibumu?"
"Pedang itu bisa untuk memotong baja, tapi ti-
dak bisa untuk memotong kuku," jawab Bocah Bodoh.
"Pedang itu, katanya bisa menjadi panjang kalau disentakkan dengan tenaga dalam
kecil. Pedang itu juga
bisa bergerak sendiri dan pemegangnya hanya ikuti sa-ja gerakkan itu. Kata Ibu
juga, pedang itu bisa lukai lawan lewat bayangan lawan. Yang jelas, pedang itu
sangat tajam, dan bisa untuk memotong pohon sebe-
sar itu dengan satu kali tebas," sambil Bocah Bodoh menuding pohon besar di
depannya. "Hebat sekali pedang itu?" gumam Tua Usil
dengan kagum. 'Ya. Memang hebat. Padahal, kata Ibu, pedang
itu berukuran pendek, tidak sepanjang pedangnya No-
na Li itu!" Bocah Bodoh berapi-api menceritakannya.
Hati Lili pun memuji kehebatan pedang itu, ba-
tinnya berkata, "Pedang itu cukup hebat. Kalau sampai jatuh di tangan orang
sesat, oh... sangat berbahaya!
Padahal Bocah Bodoh ini belum tentu bisa pertahan-
kan pedang tersebut. Dia terlalu polos dan jujur dan mudah kena tipu orang
sesat. Agaknya aku perlu berikan perlindungan terhadap Bocah Bodoh ini, biar pe-
dang itu tidak jatuh ke tangan orang sesat!"
Lili memandang sekeliling, menunggu kedatan-
gan Yoga. Tapi hatinya yakin, bahwa Yoga pasti bisa
mengatasi musuh yang menyerang secara gelap tadi.
Karenanya, Lili pun berkata kepada Bocah Bodoh,
"Bocah Bodoh, ibumu yang bernama Nyai Sem-
bur Maut itu adalah teman guruku! Aku ingin bertemu
dengan ibumu, karena aku belum pernah jumpa den-
gan beliau. Aku hanya dengar cerita tentang orang
sakti yang bernama Nyai Sembur Maut, dan guruku
itulah yang menceritakannya."
"O, ya" Kalau begitu, Nona Li nanti ikut pulang bersama saya saja! Ibu pasti
senang kalau saya pulang
dengan membawa murid dari temannya!"
"Baiklah. Tapi sekarang kau kubantu mencari
pedang yang menjadi hak waris mu itu! Aku hanya
akan melindungimu dari gangguan orang jahat yang
ingin memiliki pedang tersebut. Soal tempatnya dan
bagaimana cara mengambilnya kuserahkan kepada-
mu." "Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita lekas ke Prasasti Tonggak Keramat
itu, Nona Li!"
"Masih jauhkan dari sini?"
"Saya rasa sudah dekat. Karena menurut Ibu,
ciri-ciri tanah di dekat Pusaka Tonggak Keramat ada-
lah terdapatnya tanaman Sekar Balak, banyak beba-
tuan dl sekitarnya, dan...."
"Dan ini adalah Lembah Maut!" sahut Tua Usil.
"Dari tadi aku juga membatin begitu. Tapi aku
tidak tahu Prasasti Tonggak Keramat ada di sebelah
mana?" "Bagaimana kalau kita cari di sebelah barat du-lu secara bersama-sama?"
usul Tua Usil. "Ciri-cirinya bagaimana?"
"Ada telapak tangan Eyang Guru, letak tonggak


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu itu agak miring, tinggi batu sebatas perut, eh...
tinggi batu sebatas perut atau tinggi perut sebatas ba-tu, ya" Aku agak lupa
untuk yang itu!" kata Bocah Bodoh. 'Yang jelas, menurut cerita Ibu, tonggak batu
itu merupakan tonggak sejarah, sebagai peringatan bahwa
dulu, Eyang Guru pertama kali mendapatkan ilmunya
di tanah Lembah Maut. Persisnya ya di Prasasti Tong-
gak Keramat itu berada."
"Baiklah. Mari kubantu mencari di sebelah ba-
rat dulu," kata Tua Usil, kedua lelaki itu segera bangkit, tapi Lili masih duduk
dengan melepas lelah, kaki melonjor punggung bersandar pada sebongkah batu.
"Nona Li tidak ikut?"
"Sebentar. Aku masih butuh beberapa waktu
untuk menyegarkan tubuh. Kalian pergilah ke barat,
aku awasi dari sini!"
Mata Lili memandang sekeliling, mengawasi
Tua Usil dan Bocah Bodoh mencari prasasti tersebut.
Sambil memperhatikan mereka dan menjaganya, hati
Lili berucap kata sendiri,
"Cola Colo... orang yang amat menyedihkan.
Sudah setua itu tapi cara berpikir dan bersikapnya
masih seperti bocah. Kalau sekarang ibunya masih hi-
dup, berarti usia Ibunya sudah cukup banyak. Sein-
gatku, dulu Guru pernah cerita bahwa Nyai Sembur
Maut itu tokoh sakti yang lumpuh dan tidak dapat disembuhkan akibat bertarung
dengan Malaikat Gelang
Emas. Suaminya terbunuh oleh Malaikat Gelang Emas,
dia sendiri menderita kelumpuhan seumur hidupnya.
Rupanya sejak suaminya meninggal, Nyai Sembur
Maut tidak pernah mau menikah lagi, sehingga ia
hanya mempunyai seorang anak, yaitu Cola Colo. Me-
lihat sikap kekanak-kanakan si Bocah Bodoh itu, aku
yakin Bocah Bodoh anak tunggal yang terlalu disayang oleh ibunya, dan selalu
dicemaskan oleh sang Ibu, sehingga segala sesuatunya selalu diawasi oleh sang
ibu. Akibatnya, Cola Colo sampai setua itu masih seperti
anak kecil yang diperhatikan dan dijaga baik-baik oleh sang Ibu. Cola Colo tidak
akan menjadi dewasa jika
sang Ibu tidak memberinya kepercayaan untuk hidup
mandiri. Barangkali baru sekaranglah Cola Colo diberi kepercayaan untuk
selesaikan tugas sendiri, sedangkan sebelumnya ia selalu dikhawatirkan oleh sang
Ibu jika pergi ke mana-mana. Hmm...! Kasihan si Bocah
Bodoh itu...!"
Sampai menjelang sore, Tua Usil dan Bocah
Bodoh belum temukan pula tugu atau batu yang men-
jadi prasasti tersebut. Dan Lili walaupun malas mem-
bantu mencari, tetapi juga sebenarnya ikut meman-
dang ke sekeliling, sampai akhirnya ia terkejut,
"Hai, gila...! Bukankah batu yang dipakai ber-
sandar sejak tadi ini berukuran setinggi perut dan
agak miring" Dan juga... dan juga... nah, benar du-
gaanku! Batu yang ku sandari ini ada bekas telapak
tangan"!" Lili memperhatikan bekas telapak tangan kanan-kiri yang ada di batu
tersebut. Jika sejak tadi tidak terlihat oleh mereka, itu karena bekas telapak
tangan pada batu tersebut tertutup punggung Lili. Menyadari hal itu, jantung
Lili menjadi berdetak-detak dan merasa gembira.
Pada waktu mereka sudah merasa menyerah
mencari di sebelah barat, mereka bergegas untuk men-
cari di sebelah timur. Tetapi mereka dipanggil Lili pada saat melintas di depan
Lili. "Belum ketemu juga, Nona!" kata Tua Usil.
"Saya rasa batu itu sudah hilang, menggelinding karena diterpa badai atau hujan
atau tanah longsor."
Lili hanya tersenyum dan berkata, "Untuk apa
kalian susah-susah mencarinya" Bukankah sejak tadi
aku duduk dan bersandar pada Prasasti Tonggak Ke-
ramat?" "Mak... maksud Nona Lili... batu ini yang kami cari dari tadi?" tanya
Bocah Bodoh setengah tidak percaya-Lili segera bangkit berdiri, lalu menunjuk
pada bekas telapak tangan di batu tersebut,
"Lihatlah...! Bukan itu bekas telapak tangan
yang usianya sudah mencapai puluhan tahun"! Mung-
kin mencapai seratus tahun lebih!"
Bocah Bodoh berapi-api memandangi telapak
tangan yang membentuk cekungan sendiri pada batu
tersebut. Ia mulai berseri-seri dan tersenyum gembira sambil menatap si Tua
Usil. Katanya kemudian,
"Benar, Tua Usil! Batu inilah prasasti yang kita
cari!" "Ya, ampuuun...! Mengapa kita tadi repot-repot mencarinya di sebelah
barat"!" Tua Usil terkekeh-kekeh sendiri.
"Menurut Ibu," kata Bocah Bodoh. "Pedang itu ada di sekitar prasasti ini"! Kalau
begitu, ada di sebelah mana, ya?" Bocah Bodoh garuk-garuk kepala sambil
memandang sekeliling, Lili dan Tua Usil juga ikut memperhatikan sekeliling.
Tanpa sadar mereka pun
menyebar. Tempat itu nyaris dikelilingi oleh tebing yang
tak terlalu tinggi. Bukit yang ada di atas mereka mempunyai tebing datar dan tak
bisa didaki. Dinding tebing banyak ditanami oleh rumput liar dan tanaman jalar.
Namun tiba-tiba tampak seseorang memandang
dari atas tebing, muncul bagaikan sudah sejak tadi
ada di balik pohon di atas bukit. Orang tersebut men-gincar Bocah Bodoh.
Terbukti ke mana pun perginya
Bocah Bodoh selalu diperhatikan, tak lepas dari pan-
dangan matanya.
Orang berwajah angker itu tak lain adalah Han-
tu Tamak Getih. Rupanya ia sudah sempat atasi luka-
lukanya di bagian rusuk walau belum sembuh betul.
Rupanya ia pun sudah tak sabar dan ingin menda-
patkan pedang pusaka itu. Seperti tadi, sekarang pun Hantu Tamak Getih menyangka
bahwa pedang pusaka
itu ada di pundak Lili.
Dengan gerakan bersalto tiga kali, Hantu Ta-
mak Getih melompat dari atas bukit sambil lepaskan
suara liarnya, "Heaaah...!"
Seketika itu Lili dan Tua Usil berpaling me-
mandang ke arah datangnya suara teriakan itu. Tetapi mereka telah terlambat.
Hantu Tamak Getih sudah lebih dulu menyandera Bocah Bodoh dengan keadaan
kepala Bocah Bodoh siap dipatahkan dalam satu sen-
takan putar. "Serahkan pedang pusaka itu kepadaku, atau
kupatahkan kepala Bocah Bodoh temanmu ini"!" katanya kepada Pendekar Rajawali
Putih. "Kami sedang mencari pusaka itu. Kalau kau
mau ikut mencari, silakan saja!" jawab Lili dengan tenang. "Aku tahu, pedang itu
sudah kalian temukan.
Sekarang ada di punggungmu, Nona Cantik" Aku si
Hantu Tamak Getih, orang yang tak bisa ditipu! Serahkan pedang itu. Lekas!"
Bocah Bodoh menyeringai kesakitan, ia beru-
saha merintih dan berkata kepada Lili, "Nona Lili... tolong... tolong serahkan
saja pedang itu, kepala saya sakit sekali, Nona Li. Aaauuh...!" Bocah Bodoh
memekik keras karena Hantu Tamak Getih kian memelintir
kepalanya. Lili segera melepaskan pedangnya sebagai ja-
minan keselamatan Bocah Bodoh itu. Tapi di luar du-
gaan Hantu Tamak Getih yang tersenyum-senyum ke-
girangan, karena mau dapatkan pedang pusaka, tiba-
tiba Pendekar Rajawali Putih kibaskan tangannya, dan dari ujung dua jari tangan
itu melesat selarik sinar putih berkilauan yang segera menghantam dada kiri Han-
tu Tamak Getih. Sinar itu hanya berjarak satu jari dari leher Bocah Bodoh. Jika
Bocah Bodoh bergerak, maka
sinar putih itu akan kenai leher Bocah Bodoh.
Tapi untunglah Bocah Bodoh tidak bergerak
walau menahan sakit, sehingga sinar itu tepat kenai
dada kiri dekat pundak orang yang siap memelintir kepalanya. Zlaap...! Duub...!
Hantu Tamak Getih terpental dengan tangan mengembang karena menahan rasa
sakit dan panas yang tiada bandingnya itu. Mengem-
bangnya jemari tangan Hantu Tamak Getih membuat
pegangan pada kepala Bocah Bodoh terlepas dan orang
itu tersentak mundur sambil memekik.
Cola Colo justru diam saja, terbengong melom-
pong memandangi Hantu Tamak Getih terpental dan
jatuh duduk di bawah sebongkah batu. Tua Usil segera berteriak,
"Bocah Bodoh...! Lekas kemari! Jangan di situ
terus! Huhh...! Memang dasar manusia bodoh!" omel Tua Usil, merasa jengkel oleh
kebodohan Cola Colo.
Tapi ketika Bocah Bodoh mendengar seruan Tua Usil,
ia segera sadar dan cepat lari bersembunyi di salah sa-tu gugusan batu.
Hantu Tamak Getih menggerang liar. Matanya
memandang dengan buas dan angker. Ketika itu, ia
segera kerahkan kekuatan tenaga dalamnya dengan
mengangkat dua tangan dalam keadaan kaki berdiri
merenggang, lalu dari tangan yang disentakkan pendek itu keluarlah sinar putih
dari ujung kesepuluh jarinya itu.
"Heaaah...!"
Zraab...! Kesepuluh sinar putih tertuju semua-
nya ke tubuh Lili. Pendekar Rajawali Putih tahu-tahu seperti menghilang, padahal
bergerak dengan sentakkan jempol kaki ke tanah cukup pelan. Zlaapp...!
Tahu-tahu Pendekar Rajawali Putih sudah be-
rada di belakang Hantu Tamak Getih. Orang berwajah
angker itu sempat kebingungan mencari ke mana per-
ginya gadis cantik yang membawa pedang pusaka ter-
sebut. Ketika ia clingak-clinguk begitu, Lili mencolek pundaknya dari belakang.
Hantu Tamak Getih menoleh. Plookkk...!
Gerakkan kepala yang menoleh ke belakang itu
dibarengi dengan hantaman tangan yang berkekuatan
tenaga dalam tinggi. Pukulan itu membuat wajah Han-
tu Tamak Getih bagai dihantam dengan batu sebesar
kepala kerbau. Tubuhnya terpental tanpa ampun lagi.
Kepalanya membentur batu besar dalam jarak tiga
tombak di belakangnya. Prak!
Tubuh yang tersandar berlutut di batu itu sege-
ra dihantam oleh Lili dengan pukulan yang meman-
carkan sinar putih keperakan dari tangan kanannya.
Claap...! Deesss...! Selarik sinar putih keperakan itu membuat tubuh Hantu Tamak
Getih terlempar ke atas
tinggi-tinggi dengan dada mengepulkan asap. Ia tak
mampu memperoleh keseimbangan tubuh, sehingga
ketika bergerak turun, tubuhnya bagai dibanting den-
gan sangat kuat. Bruuhg...! Prak...!
"Aaauh...!" erang Hantu Tamak Getih, matanya terpejam rapat-rapat. Mulutnya
semburkan ludah darah yang kental dan segar. Lalu dia segera bangkit,
dan dengan sisa tenaganya ia melarikan diri.
* * * 8 PENGEJARAN Yoga kali ini berhasil. Ia memo-
tong jalan dan menghadang di balik gundukan tanah
cadas. Ketika seseorang lewat di depan gundukan ta-
nah cadas itu, Yoga segera lepaskan pukulan 'Cakar
Gersang' yaitu sinar merah berkerlip dari ujung jari te-lunjuk yang mampu
melesat cepat dan tak akan
mungkin bisa ditangkis. Claap...!
"Ahhg...!" terdengar suara pekik seseorang. Tubuh berbaju kuning yang sedang
larikan diri itu rubuh terjungkal. Pendekar Rajawali Merah segera melompat
dan mencabut pedangnya dengan berang.
Blaarrr...! Petir menggelegar ketika pedang di-
cabut Orang berbaju kuning itu segera sentakkan si-
kunya sebagai alat penghentak ke tanah dan tubuhnya
melenting di udara satu kali dalam gerakan bersalto.
Yoga sempat kaget, karena seharusnya orang yang ter-
kena pukulan Cakar Gersang' akan menjadi lemas,
pusing, berat kepalanya, dan mual. Jurus itu bukan
jurus mematikan, namun melumpuhkan lawan. Jika
orang berbaju kuning itu masih mampu melenting ke
udara berarti dia punya lapisan tenaga dalam cukup
tinggi. Jleeg...! Orang itu mendaratkan kakinya ke tanah bersamaan dengan kedua
kaki Yoga berpijak di
tanah dari lompatannya tadi. Pedang Yoga masih te-
rangkat ke samping dengan nyala biru pijar yang me-
mercikkan bunga api berkelok-kelok mengelilingi te-
pian pedang. Mereka saling pandang dan Yoga baru menya-
dari siapa yang ia hadapi kala itu. Detak jantungnya semakin keras, pikirannya
pun menjadi sangat kacau.
Tangannya gemetar memegangi pedang, dadanya ge-
muruh karena tak dapat menentukan perasaan, serta
tak bisa memutuskan langkahnya.
Orang yang dikejarnya adalah gadis cantik be-
rambut panjang dengan ikat kepala merah. Ia menge-
nakan ikat pinggang biru dari kain selendang yang bi-sa digunakan sebagai
senjata maut. Ia juga mempu-
nyai pedang pendek warna hitam. Gadis berusia seki-
tar dua puluh tahun itu adalah gadis yang hadir dalam pemakaman Dewa Geledek,
gurunya Yoga. Hanya Yoga
dan gadis Itulah yang ada pada saat sang Guru dima-
kamkan. Dengan suara bergetar Yoga menyebut na-
manya lirih, "Mahligai...!"
Gadis itu masih menatap Yoga dengan mata ta-
jam, tapi pedangnya segera dimasukkan. Mata itu tak
berkedip, seakan menembus masuk ke dalam hati
Pendekar Rajawali Merah. Hal itu membuat seluruh tu-
lang Yoga bagaikan patah, urat-urat tubuh bagaikan
putus semua. Yoga menjadi lemas, karena ia merasa
tidak bisa bertindak apa-apa.
Mahligai adalah gadis yang pertama kali men-
cintainya, karena memang dia gadis yang pertama kali ditemukan Yoga setelah
turun gunung, setelah berhasil selesaikan pelajaran dari gurunya itu. Mahligai
gadis yang membuat sejarah bagi kehidupan Yoga, mem-
pertemukan Yoga dengan Bibi gurunya; Sendang Suci,
membuat Yoga bisa temukan Lili, membuat Yoga bisa
bertemu Kencana Ratih, karena harus mencari bunga
Teratai Hitam untuk mengobati sakit gila yang diderita Mahligai kala itu.
Sementara itu, Yoga juga ingat bahwa antara
dirinya dengan diri Sendang Suci; bibinya Mahligai,
terjalin hubungan yang baik, akrab, damai dan saling memiliki kasih sayang
terpendam dalam keagungan.
Yoga tahu, bibi gurunya Mahligai sangat mencintainya.
Tapi perempuan yang dijuluki Tabib Perawan itu
punya pertimbangan lain, sehingga ia mundur secara
damai dari harapan mencintai Yoga, sebab ia tahu ke-


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ponakannya sendiri juga mencintai Yoga, dan Mahligai itulah gadis pertama yang
jatuh cinta kepada Yoga.
Kasih sayang Yoga sendiri kepada Mahligai sungguh
besar, sekalipun bukan dalam bentuk kasih sayang
seorang kekasih. Karenanya, saat-saat seperti ini Yoga diguncang jiwanya oleh
suatu penentuan yang membe-ratkan hati.
Dalam hati, Yoga mempunyai suatu penghara-
pan yang tipis, namun tetap ia coba untuk bertanya,
"Kaukah yang membunuh Kencana Ratih, Lem-
bayung Senja, Jalak Hutan, dan Mutiara Naga?"
"Ya. Aku yang membunuh mereka!" jawab Mah-
ligai dengan tegas.
Harapan tipis itu lenyap dari hati Yoga. Padahal
semula ia berharap semoga bukan Mahligai orang yang
membunuh mereka. Semoga hanya melukai Lili saja
yang dilakukan oleh Mahligai. Tapi gadis itu telah
mengaku dengan tegas-tegas di depan Yoga, yang
membuat Yoga terasa sulit menelan ludahnya sendiri.
"Kupelajari jurus pedang milik Bibi Sendang
Suci secara diam-diam. Setelah ku kuasai, saat ku merebut dirimu dari tangan-
tangan mereka telah tiba.
Sayang sekali aku belum bisa berhadapan muka den-
gan Lili, sehingga aku tidak bisa membunuhnya. Tapi
kurasa racun di dalam senjataku yang tertancap di tubuh Pendekar Rajawali Putih
telah cukup membuat
gadis itu akan mati dalam beberapa saat nanti."
Yoga memasukkan pedangnya, lalu menarik
napas dalam-dalam. Sementara itu, Mahligai mulai ke-
lihatan merah matanya, berkaca-kaca bagai menahan
luapan kemarahan yang bercampur kesedihan. Gadis
itu masih bicara walau tidak memandang Yoga.
Tak kubiarkan orang lain menguasai hatimu!
Selama ini aku sudah bersabar untuk tidak menyerang
mereka, tapi mereka terasa semakin menjerat hatimu.
Maka, satu persatu mereka harus kulenyapkan. Jalak
Hutan pun ikut kulenyapkan karena dia ingin membe-
la keponakannya. Siapa pun yang mencintai kamu, ha-
rus kubunuh! Aku tak ingin ada musuh dalam meme-
luk hatimu."
"Kau kejam, Mahligai!"
"Cinta adalah sebuah kasih sayang yang bisa
menghadirkan sejuta kekejaman," ucap Mahligai dengan tekanan tandas, "Kadang
untuk mendapatkan kasih sayang, kita perlu unjuk kekejaman di depan me-
reka yang ingin merebut kasih sayang itu!"
Dengan memandang dingin, Yoga berkata, "Aku
tidak suka dengan gadis berdarah dingin seperti diri-mu! Aku tidak suka gadis
yang lakukan kekejaman
demi cintanya. Kuanggap cinta itu sendiri adalah se-
gumpal kekejaman yang tak layak ada di dalam hati-
ku!" Dengan gerakan cepat Mahligai berpaling dan memandang tajam kepada Yoga.
"Kulakukan hal itu demi menunjukkan kesu-
cian cintaku padamu, Yo. Mengapa sekarang kau ber-
kata begitu"!"
"Karena aku kecewa dengan tindakanmu, Mah-
ligai. Kau merusak hubungan kita, merusak persaha-
batan kita, menghancurkan kasih sayang ku kepada-
mu, yang sudah kuanggap melebihi adik kandungku
sendiri! Kau telah merusak segala keindahan yang ada pada diriku. Keindahan itu
semula terpancar timbul
dari sikapmu yang menyenangkan hatiku. Tapi seka-
rang sikapmu tidak lagi menyenangkan, namun mem-
buatku kecewa. Ku banggakan dirimu di dalam hatiku,
tapi sekarang kebanggaan itu pun kau buang dan kau
injak-injak dengan kekejianmu ini!"
Wajah kuning langsat itu menjadi merah, malu,
menyesal, benci, marah, dan duka. Semua berkumpul
menjadi satu di hati Mahligai pada saat itu. Semua ter-cermin melalui wajahnya
hingga merah karena tak
mampu membendung perasaan-perasaan tersebut. Air
mata Mahligai pun mulai menggenang di kedua bola
matanya yang indah itu. Kian menunduk, kian meleleh
air mata itu. Ia sengaja melangkah dengan tegakkan
badan kembali, menjauhi Yoga, namun tak berani lari
darinya. Pendekar Rajawali Merah mengusap rambutnya
sendiri yang panjang sebatas punggung. Rambut yang
meriap dikebelakangkan sambil menarik napas untuk
kendalikan perasaannya. Ia melangkah mendekati
Mahligai, kemudian dengan suara tegas ia berkata,
"Jangan harap kau memperoleh apa-apa dari-
ku, karena kau telah berbuat seperti itu! Kusarankan, lupakan tentang hubungan
kita. Anggap kita tak pernah saling jumpa sebelumnya!"
Makin deras air mata itu mengalir. Makin kuat
bibir itu digigitnya. Tubuh pun terguncang karena tangis yang meratap dalam
hatinya. "Selamat tinggal, Mahligai!" Tiba-tiba Yoga mengucap kata lirih yang seperti
petir menyambar di
telinga Mahligai. Wajah yang dibanjiri air mata itu terangkat. Yoga telah mundur
dua langkah walau masih
tetap memandangnya. Beberapa saat mereka saling
pandang, tangis Mahligai kian deras, guncangannya
semakin menghentak-hentak.
Pelan-pelan Yoga melangkah mundur lagi, lalu
berbalik arah dan cepat melangkah tinggalkan Mahli-
gai. Gadis itu kian terdengar suara ratapannya. Bah-
kan kini ia memanggil dengan suara parau, "Yogaaa...!"
Pendekar Rajawali Merah tetap melangkah ting-
galkan gadis itu. Dalam hatinya ia hanya berkata, "Tepat seperti apa kata Resi
Gumarang ketika aku susah
payah mencarikan obat untuk sembuhkan Mahligai,
bahwa gadis itu akan menjadi malapetaka bagi orang-
orang yang mencintai ku. Dan ternyata ramalan Resi
Gumarang itu tidak meleset sedikit pun. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam
episode: "Bunga Penyebar
Maut"). Bagaimana perasaan Mahligai saat itu, tak lagi dipedulikan oleh Yoga.
Sekali pun ada dugaan, bahwa
Mahligai akan mengadu kepada bibinya; Sendang Suci,
tentang sikap Yoga yang menyakitkan hatinya itu, Yoga sudah siap hadapi Sendang
Suci kapan saja. Karena,
pikiran dan hati Yoga saat itu tertuju kepada Lili; si Pendekar Rajawali Putih.
Ada kecemasan besar di hati
Yoga setelah tahu bahwa senjata itu milik Mahligai,
tentu saja mempunyai racun ganas yang amat berba-
haya, karena Mahligai mempunyai bibi yang termasuk
ahli racun juga.
Yoga tidak tahu, bahwa Lili saat itu justru se-
dang bertarung dengan seorang tokoh sakti yang ber-
nama Nyai Rajang Demit. Perempuan kurus berambut
putih rata dengan tinggi badan sedikit jangkung, na-
mun mempunyai mata cekung yang memancarkan ke-
bengisan itu, muncul setelah Hantu Tamak Getih me-
larikan diri. Dengan sebatang tongkat bergagang tiga mata pisau seperti garpu,
nenek berjubah ungu itu
melompat dari suatu tempat, dan tahu-tahu sudah be-
rada di antara mereka.
Bocah Bodoh kaget dan menjadi takut. Mulut-
nya mengucap kata dalam kekagetannya yang tidak
sadar itu, "Bibi..."!"
Tapi Tua Usil mengetahui tokoh tua yang punya
kesaktian tinggi itu, Tua Usil pun menyebutkan sepo-
tong nama, "Nyai Rajang Demit?"
"Ya. Aku yang datang, Pancasona!" kata Nyai Rajang Demit, rupanya ia kenal
dengan Tua Usil, sehingga menyebutkan nama asli si Tua Usil.
"Siapa dia?" bisik Lili kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh.
Cola Colo yang menjawab, "Dia bibi saya, Nona
Li. Dia adik tiri Ibu saya. Namanya Nyai Rajang Demit."
"Apa maksudnya datang kemari?"
"Entah, Nona. Saya tak berani menanyakan,
sebab Bibi galak kepada saya dan sering memusuhi
Ibu saya."
"Cola Colo...!" panggil Nyai Rajang Demit dengan suara keras.
"Eh, hmm... iya...! Iya, Bibi!" Bocah Bodoh agak
maju dua tindak.
"Ku perintahkan padamu, dan kepada dua te-
manmu itu, pergi dari Lembah Maut ini! Kalau tidak,
nyawa kalian tak akan ku sisakan walau separo pun!"
"Eh, hmmm... eeh... anu... eeh...."
"Cepat!" bentaknya. Bocah Bodoh terlonjak kaget.
"Iyyaa... iya... iya...!"
Bocah Bodoh segera temui Tua Usil dan Pende-
kar Rajawali Putih. Ia berkata kepada mereka berdua,
"Kita disuruh pergi, Nona. Mari pergi sekarang
juga." "Jangan mau!" bisik Lili dengan mata tetap memandang Nyai Rajang Demit.
"Kita harus tetap di sini, dan biar dia yang pergi!"
"Saya tidak berani mengusirnya, Nona Li! Lebih
baik saya mengusir si Tua Usil saja daripada harus
mengusirnya. Dia lebih galak dari pada si Tua Usil,
Nona Li!" "Biar aku yang mengusirnya!" bisik Lili sambil menggapai tubuh Bocah Bodoh,
menyingkirkan tubuh
itu, lalu Lili maju tiga tindak.
"Kami tidak ingin tinggalkan tempat ini!" kata Lili dengan lantang dan berani.
Nyai Rajang Demit
sunggingkan senyum sinis dan berkata dengan nada
dingin, "Siapa dirimu, sehingga ikut campur dalam masalah Prasasti Tonggak
Keramat"! Apakah kau tahu
banyak tentang prasasti itu"!"
"Aku ada di pihak Bocah Bodoh yang ingin di-
perdaya oleh bibinya sendiri!" kata Lili tegas-tegas, seakan ia sudah bisa
mengetahui apa yang ingin dilakukan oleh Nyai Rajang Demit itu.
"Agaknya kau juga ingin memiliki pusaka itu,
Gadis Dungu"! Hmm...! Jangan mimpi kau bisa ambil
bagian dalam perkara prasasti ini! Gurunya Sembur
Maut adalah guruku juga. Hanya aku dan Sembur
Maut yang punya hak atas prasasti ini. Apa pun yang
ada di dalam prasasti adalah hak kami, karena itu merupakan peninggalan guru
kami!" "Sudah ku tahu sebelumnya, bahwa hanya Nyai
Sembur Maut yang punya hak untuk memegang pe-
dang pusaka itu! Pedang itu akan diturunkan kepada
anaknya, yaitu Bocah Bodoh! Sudah kuduga sebelum-
nya, pasti akan ada pihak yang ingin menguasai pusa-
ka itu dengan mengaku-aku sebagai pewaris yang ber-
hak memiliki pusaka tersebut. Jika kau bicara dengan Bocah Bodoh, maka kau akan
berhasil memper-dayainya. Tapi jika kau bicara denganku, kau tak akan bisa
berhasil menguasai pusaka yang ada dalam Prasasti Tonggak Keramat itu!"
Ucapan Lili membuat panas hati Nyai Rajang
Demit. Mata cekung itu memandang semakin tajam.
Senyum sinisnya hilang, berganti rona wajah yang
memancarkan kebencian dan permusuhan Kemudian,
Nyai Rajang Demit berkata dengan suara berat,
"Siapa dirimu agaknya tak perlu ku pedulikan!
Kalau kau tak mau menyingkir, berarti kau harus siap menghadapi amukan ku!"
"Aku sudah menunggu amukan mu sejak tadi,
Nyai Rajang Demit! Kau yang terlalu lamban untuk
mengamuk!" tantang Lili tak tanggung-tanggung. Ma-ka, Nyai Rajang Demit pun
menggeram angker,
"Bangsat cantik kau rupanya! Heaah...!" Nyai Rajang Demit sentakkan ujung
tongkatnya ke depan.
Dari tiga mata pisau itu melesat sinar hitam berkelok-kelok tiga larik. Pendekar
Rajawali Putih segera ambil sikap menempelkan dua jari tangannya yang kanan ke
kening dalam posisi tegak, tangan kirinya menyangga
siku kanan, kaki kanannya terlipat ke samping.
Tubuh Pendekar Rajawali Putih itu memancar-
kan cahaya melingkar-lingkar bersusun seperti obat
nyamuk. Cahaya tersebut berwarna putih berpijar-
pijar. Ketika sinar hitam berkelok-kelok itu menghan-tamnya, sinar itu berhenti
bagai tak mampu menem-
bus ke dalam tubuh Pendekar Rajawali Putih.
"Heaaah...!" Nyai Rajang Demit kian kerahkan tenaganya sampai tubuhnya bergetar.
Kini tangan kirinya ikut diangkat dan kedua kakinya sedikit meren-
dah. Tangan kirinya itu memancarkan selarik sinar
kuning yang juga menghantam lingkaran-lingkaran si-
nar putihnya Pendekar Rajawali Putih. Sinar tersebut juga tidak mampu menyentuh
tubuh Lili, namun tetap
terpancar bagai selarik besi lurus mendesak benteng
baja. Zruub...!
Sinar hitam dari tiga mata pisau itu padam. Si-
nar kuning juga padam. Sinar putihnya Lili juga le-
nyap. Nyai Rajang Demit terengah-engah, sedangkan
Lili hanya memandanginya dengan dingin, seakan me-
nunggu serangan berikutnya.
Nyai Rajang Demit berkata dalam hatinya, "Ku-
nyuk sinting! Gadis ingusan ini ternyata punya ilmu
tinggi juga" Murid siapa dia itu" Jurus maut ku tidak mempan menembus dirinya.
Mengguncang tubuhnya
saja tak mampu. Dua jurus telah kulepaskan, tapi ia
masih tetap tidak bergeming sedikit pun. Bahkan tu-
buhku yang terasa sakit semua bagaikan memar kare-
na hantaman kuat! Benar-benar monyet dia itu!"
Tua Usil dan Bocah Bodoh bersembunyi di ba-
lik batu prasasti. Mereka sama-sama tegang dan ber-
debar-debar, namun juga merasa kagum melihat Lili
tak mampu ditembus oleh sinar mautnya Nyai Rajang
Demit. Lili berkata, "Kusarankan sebaiknya jangan kau usik hak milik Bocah Bodoh
dan ibunya, Nyai Rajang
Demit! Kau akan menyesal kalau memaksakan diri un-
tuk mengusik mereka, karena aku ada di depan mere-
ka, Nyai!"
"Tutup bacotmu, Gadis Tolol! Jangan menggu-
rui ku karena kau masih ingusan! Rupanya kau me-
mang perlu kuhajar dengan jurus 'Cengkeram Nyawa'-
ku ini! Heaah,..!"
Duugh...! Tongkat disentakkan di tanah, tepat
di depan tubuh Nyai Rajang Demit. Seketika itu tubuh Nyai Rajang Demit menjadi
merah bagaikan besi mem-bara. Warna merah kekuning-kuningan itu, membuat
rumput yang diinjaknya maupun yang ada di sekitar-
nya menjadi terbakar hangus. Batu kerikil yang diin-
jaknya menjadi bara.


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keadaan seperti itu, Nyai Rajang Demit
melompat menyerang Pendekar Rajawali Putih. Jelas
jika tubuh Lili tersentuh tubuh Nyai Rajang Demit sedikit saja, maka akan
terbakar hangus bagai disentuh oleh bara api. Karena itu, ketika Nyai Rajang
Demit melompat maju, Pendekar Rajawali Putih bersalto ke
belakang dua kali.
Plak, plak...! Kemudian kedua tangan Lili berkelebat bagai
menari, menuju ke dada sambil satu kakinya berlutut, kemudian kedua tangan itu
menyentak ke depan bersamaan. Wuuttt...! Dan segumpal asap putih menyem-
bur dari kedua telapak Lili. Wuurrrsss...! Semburan itu mengenai Nyai Rajang
Demit dan mengurungnya seketika. Jraass...! Terdengar suara mengagetkan bagaikan
bara api dimasukkan ke dalam air dingin. Rupanya
asap itu adalah salju maut yang berguna untuk me-
madamkan bara di tubuh Nyai Rajang Demit.
"Aahg...!" Nyai Rajang Demit justru kelojotan bagaikan dibakar api, sementara
asap uap salju itu
masih tersembur tiada hentinya dari kedua tangan
Pendekar Rajawali Putih. Itulah yang dinamakan jurus
'Salju Neraka'.
Uap salju itu makin lama semakin menebal
membungkus tubuh Nyai Rajang Demit. Perempuan
tua itu menjerit-jerit kesakitan, karena salju itu sendiri mempunyai ratusan
jarum yang menyerang sekujur
tubuh lawan. Gerakan Nyai Rajang Demit menjadi kian
pontang-panting. Lalu, dengan tanpa hentikan teria-
kan-teriakan-nya, Nyai Rajang Demit pun segera mela-
rikan diri dari tanah prasasti tersebut. Ia melompat pergi dengan cepat,
menerabas apa saja yang dila-luinya. Tua Usil dan Bocah Bodoh masih berdiri
terbengong melompong memandangi kepergian Nyai Rajang
Demit. Lili segera menegur, dan mereka pun buru-
buru terlepas dari keterpakuan diri.
"Aku punya dugaan, pedang itu ada di bawah
batu itu!" kata Lili segera mengalihkan pikiran kedua orang itu agar tidak
hanyut dalam kekagumannya.
"Kalau begitu, kita gali tanah di bawah tugu
prasasti itu untuk mencari pedang pusaka tersebut,"
kata Tua Usil. "Baik. Mari kita gali, Tua Usil!" kata Bocah Bodoh. Mendadak Lili berkerut dahi
dan melirikkan matanya penuh curiga. Kemudian ia berkata kepada
Tua Usil dan Bocah Bodoh.
"Tahan dulu! Jangan lakukan sekarang! Seper-
tinya ada langkah orang mendekati tempat kita!"
"Lekas sembunyi!" kata Bocah Bodoh sambil
berlari mencari batu besar untuk dipakainya bersem-
bunyi. Tua Usil terpengaruh oleh ketakutan Bocah Bo-
doh dan segera ikut bersembunyi. Namun Pendekar
Rajawali Putih tetap berdiri di tempat terbuka, seakan menunggu kedatangan orang
yang dicurigai. Tanpa
disadari keadaannya di tempat terbuka itu memudah-
kan lawan menyerangnya dari berbagai arah.
* * * 9 TERNYATA sejak tadi segala gerak-gerik mereka
diperhatikan oleh sepasang mata indah. Sepasang ma-
ta itu ada di atas pohon, duduk bersandar di sebuah
dahan pohon rapat, tampak santai dan sangat menik-
mati pertarungan dan ketegangan yang terjadi di ba-
wahnya. Sepasang mata konyol itu tak lain milik seo-
rang dara jelita yang punya julukan Gadis Linglung.
Sebenarnya, kala Lili bertarung melawan Nyai
Rajang Demit, Gadis Linglung sempat dibuat sedikit tegang, karena ia tahu
kehebatan ilmu yang dimiliki tokoh tua yang tergolong sesat itu. Gadis Linglung
me- nyangka Lili akan tumbang melawan Nyai Rajang De-
mit. Namun ia segera terperangah kagum dan terpaku
melihat Lili berhasil kalahkan Nyai Rajang Demit dengan jurus 'Salju Neraka'
yang jarang digunakan itu.
Tetapi hal yang membuat Lili curiga bukan ke-
hadiran Gadis Linglung, sebab gadis itu tetap berada di atas pohon sambil
senyum-senyum, menunggu saat-nya untuk turun. Sebuah langkah tergesa-gesa diden-
gar oleh telinga Lili, dan langkah itu makin dekat, lalu semakin tampak siapa
pemiliknya. Ternyata orang
yang membekas di hati Lili selama ini, yaitu Yoga.
Pendekar Rajawali Merah itu semakin memper-
cepat langkah melihat Lili berdiri bagai menunggu ke-datangannya. Hatinya
sedikit merasa lega melihat Lili
sehat dan masih tegar berdiri di depannya. Yoga pun
segera sunggingkan senyum menawan yang sebenar-
nya sangat disukai oleh guru angkatnya itu.
"Bagaimana luka Guru?" tanya Yoga sambil
memandang bagian pakaian Lili yang robek itu.
"Mereka berdua menyelamatkan aku!" jawab Li-li sambil melirik Tua Usil dan Bocah
Bodoh yang mun-
cul dari persembunyiannya. Kemudian, Lili bertanya
kepada Yoga, "Bagaimana dengan penyerang gelap Itu" Ber-
hasil kau kejar?"
"Aku gagal karena mencemaskan dirimu,
Guru!" "Bodoh!"
"Ada apa Nona Li?" Bocah Bodoh maju merasa dipanggil.
"Aku tidak memanggilmu!" sentak Lili. "Aku mengatakan, orang ganteng itu
ternyata sama dengan
kamu...!" "Terima kasih," jawab Bocah Bodoh, lalu berkata kepada Tua Usil, "Aku dianggap
sama gantengnya dengan Tuan Yo!"
Kepala Bocah Bodoh didorong oleh tangan Tua
Usil sambil berkata, "Yang sama itu bodohnya, bukan gantengnya!"
"Ooo...," Bocah Bodoh manggut-manggut, hi-
lang senyumnya.
Raut wajah lucu Bocah Bodoh membuat Lili
sembunyikan senyum. Demikian halnya Yoga. Tetapi,
Pendekar Rajawali Merah itu segera kehilangan se-
nyum dan menjadi tegang ketika ia melihat sekelebat
pisau terlepas melesat menuju punggung Lili. Dengan
cepat tangan Lili ditariknya. Wuuttt...! Lalu tangan yang habis menarik itu
berkelebat ke punggung Lili.
Teeb...! Pisau itu berhasil ditangkap dan terselip di sela
jari. "Seseorang ingin membunuhku lagi"!" gumam
Lili dengan mulai naik kemarahannya. Yoga segera me-
lemparkan kembali pisau itu ke arah semak tempat da-
tang-nya pisau tersebut. Wuuzzt...! Jebb...!
"Aaahg...!"terdengar suara orang memekik. Setelah suara lelaki yang memekik itu,
terdengar tubuh jatuh berdebam di tanah. Bluhg...! Kejap berikutnya
dari semak itu berlompatan sosok-sosok tubuh yang
tak dikenal oleh Lili dan Yoga. Tiga manusia angker
berdiri di depan mereka, dua di belakang, satu di depan. Yang di depan kenakan
pakaian hijau dengan
kain jubah longgar hitam dan rambutnya putih beru-
ban. "Wali Kubur..."!" ucap Bocah Bodoh. Yoga berbisik dalam tanya,
"Siapa mereka?"
"Orang perguruan Lereng Lawu. Ketuanya yang
berdiri di depan itu, Tuan. Namanya Wali Kubur! Jahat sekali dia kepada Ibu dan
saya!" Terdengar suara orang berusia sekitar enam
puluh tahun itu berkata kepada Bocah Bodoh,
"Bocah Bodoh, mana hasil kerjamu, Nak" Ibu-
mu meminta ku menjemput kamu dan menjaga pusa-
ka itu!" Bocah Bodoh menjawab dengan takut, "Belum digali, Paman Wali Kubur!
Kami... kami baru akan
menggalinya. Tunggu sebentar!"
Pendekar Rajawali Merah berkata, "Tidak ada
pusaka di sini!"
"Hei, jangan turut campur urusanku! Apakah
kau belum kenal siapa aku, hah"! Kuremukkan mu-
lutmu sekarang juga baru tahu rasa kau!"
"Cobalah!" tantang Yoga. Senyum sinis dipa-merkan sebagai ejekan. Ternyata Wali
Kubur menjadi terpancing amarahnya. Kedua muridnya ingin maju
menyerang, tapi ditahannya. Ia sendiri yang segera melangkah maju dan tahu-tahu
kakinya menyentak, tu-
buhnya melayang bagaikan terbang, seperti harimau
menerkam mangsa.
"Hiaaah...!"
Wuuttt...! Sebenarnya Yoga ingin menghadapinya sendiri,
tapi tiba-tiba Lili segera maju dan sentakkan kedua
tangannya yang membentuk cakar dari samping telin-
ga kanan-kiri. Satu sentakan pendek telah hasilkan
cahaya putih keperakan. Cahaya itu menghantam ke-
pala Wali Kubur, zlaap...! Kemudian tubuh Wali Kubur itu jatuh bagaikan tak
mampu bergerak dalam lompatannya. Sedangkan dua larik sinar putih keperakan
tadi meresap masuk ke telapak tangan Lili.
"Guru...!" teriak kedua muridnya di belakang.
Kedua orang itu maju menyerang bersamaan. Tapi Yo-
ga segera sentakkan kaki dan melesat lompat ke de-
pan, dua kakinya menendang secara bersamaan.
Draagh...! Tendangan itu sama-sama kenai dada dua
murid Wali Kubur, dan keduanya sama-sama terjung-
kal kembali ke tempat semula.
Wali Kubur cepat berdiri dan segera sentakkan
kedua tangannya ke arah Lili. Tetapi ia terkejut dan menjadi tegang. Tangan itu
tidak keluarkan sinar tenaga dalam sedikit pun. Ia ulangi beberapa kali, tapi ia
tidak melihat ada sinar keluar. Bahkan beberapa jurus maut dan jurus yang paling
andal digunakan. Tapi se-muanya tak bisa digunakan lagi. Wali Kubur menjadi
takut dan segera mundur dengan mata mendelik,
"Celaka!" gumamnya lirih.
Lili tersenyum dan berkata, "Tak akan ada yang
bisa kau pakai! Semua jurusmu lenyap dan hilang
tanpa bekas sedikit pun, karena kau telah terkena pu-
kulan 'Sirna Jati' dariku!"
Bukan hanya Wali Kubur dan kedua muridnya
yang terkejut, tapi Yoga juga ikut terkejut, karena ia tahu bahwa jurus pukulan
'Sirna Jati' yang bisa melenyapkan seluruh ilmu seseorang itu hanya ada di da-
lam Kitab Jagat Sakti. Yoga tidak menduga kalau Lili telah kuasai ilmu tersebut.
Gadis Linglung di atas pohon hanya mencibir.
Ia membatin, "Wali Kubur sudah tua masih bisa dibohongi oleh gadis itu! Hmmm...!
Mau-maunya dia per-
caya dengan omongan Lili! Hi hi hi...! Wali Kubur malahan lari"! Ya ampuun...
goblok amat Ketua Pergu-
ruan Lereng Lawu itu"! Baru digertak begitu sudah
kabur"! Amit-amit!"
Gadis Linglung boleh tak percaya, tapi Yoga ta-
hu persis tentang adanya jurus 'Sirna Jati' itu. Yoga ingin menanyakan tentang
hal itu, tapi Lili segera alihkan percakapan setelah Wali Kubur dan kedua murid-
nya itu lari terbirit-birit dalam satu gebrakan saja.
"Sebaiknya cepat gali tanah di bawah tonggak
batu itu. Sebentar lagi akan datang masa petang, kita harus cepat tinggalkan
tempat ini! Setidaknya kita cari gua untuk bermalam!"
Maka, penggalian itu pun dilakukan mereka be-
rempat. Dengan gunakan alat apa saja yang bisa digu-
nakan dan yang ditemukan, mereka menggali tanah
sekeliling Prasasti Tonggak Keramat itu. Dan ternyata usaha mereka tidak sia-
sia. Sebuah bumbung bambu
berwarna hitam ditemukan oleh mereka. Bumbung
bambu hitam itu agaknya dilapisi bahan pengawet se-
hingga tidak mudah dimakan rayap walau sudah ta-
hunan dipendam dalam tanah.
Bocah Bodoh menerima bumbung bambu itu
dari Yoga. Lalu, dia sendiri yang membuka penutup-
nya. Dari dalam bumbung bambu itu keluarlah sebilah
pedang pendek lengkap dengan sarungnya yang ter-
buat dari ukir-ukiran kayu berwarna putih, mirip tu-
lang ikan besar.
"Akhirnya kudapatkan juga pedang pusaka
ini..."!" Bocah Bodoh tersenyum girang, yang lain pun hanya ikut memandang
dengan rasa lega dan senang.
Tetapi tiba-tiba Gadis Linglung meluncur dari
atas pohon. Jleeg! Kemudian ia melompat dengan ge-
rakan cepat dan menyambar pedang itu dari tangan
Cola Colo. Wuuttt...!
"Hai...!" sentak Lili melihat pedang itu dibawa lari oleh Gadis Linglung. Dengan
cepat sinar merah da-ri tangan buntung Yoga keluar melesat menghantam
punggung Gadis Linglung. Desss...!
"Uuhg...!" Gadis Linglung tersentak ke depan.
Pedangnya terlepas, ia pun rubuh di tempat. Yoga se-
gera melompat dan berguling di tanah satu kali, lalu menyambar pedang yang jatuh
di tanah itu. Wussstt...!
Semua yang memandang menjadi lega. Tapi Gadis Lin-
glung menatap dengan sorot mata menjadi berang. Ia
ingin menyerang Yoga, tapi ia rasakan ada luka di dalam tubuhnya yang amat
berbahaya. Maka, ia hanya
bisa memandang dengan sikap mengancam, lalu sege-
ra melesat pergi sambil memendam rasa malu, marah,
dan jengkel sendiri.
"Sungguh tinggi lapisan tenaga dalamnya. Mes-
tinya dia hancur terkena jurus 'Sinar Buntung'-ku, ta-pi ternyata masih bisa
lari!" kata Yoga, lalu Lili menyahut sambil memandang kepergian Gadis Linglung.
"Tapi bagian dalamnya akan hancur kalau tak
segera mendapat hawa murni yang berkekuatan tinggi!
Dia bisa mati hari ini juga!"
Pedang tersebut segera diserahkan kepada Bo-
cah Bodoh. Lalu, dengan senyum gembira, Bocah Bo-
doh mencabut pedang dari sarungnya. Srettt...!
Pedang pendek itu bergagang pendek. Bocah
Bodoh terlalu gembira sehingga mencoba menebaskan
pedang tersebut ke ranting-ranting pohon terdekat.
Breet... breet,.. breettt...!
Tetapi alangkah terkejutnya mereka, karena se-
telah dilakukan berbagai percobaan, ternyata pedang
itu hanyalah pedang biasa yang tidak memiliki ketajaman seperti yang diceritakan
oleh ibunya Cola Colo.
Untuk menebang pohon kecil saja bagian tepiannya
menjadi geripis.
"Kok begini..."! Katanya ini pedang sakti"!" Bocah Bodoh tampak kecewa sekali.
Pedang itu dilem-


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

parkan ke tanah dengan wajah cemberut. Yoga dan Lili hanya saling pandang.
Mereka memungut pedang itu
dan memperhatikannya. Lili berbisik,
"Ku rasakan tak ada getaran dalam nadi ku!
Agaknya pedang ini pedang biasa yang tidak punya
kekuatan apa-apa."
"Kelihatannya memang begitu," jawab Yoga.
"Bahkan untuk membelah kayu saja tidak mampu!"
Bocah Bodoh termenung sedih sambil duduk di
atas batu. Matanya berkaca-kaca mau menangis. Lili
mendekatinya saat Tua Usil membujuk Bocah Bodoh
dengan berkata,
"Mungkin terlalu lama disimpan di dalam ta-
nah, jadi tumpul. Kau harus mempertajam pedang itu.
Diasah setiap hari biar tajam!"
"Percuma! Susah payah aku memburu pedang
itu, ternyata hanya pedang tumpul tak mempunyai ke-
saktian apa-apa. Ibu bohong! Ibu bohong!" Bocah Bodoh menangis, Lili jadi ikut
menghibur dengan rasa
iba. Tetapi Yoga menemukan sesuatu pada pedang
tersebut. Jauh dari mereka, Yoga melihat ada tutup di ujung gagang pedang. Ia
memutar tutup tersebut dan,
zrakkk...! "Gila..."!" ucap Yoga dengan pelan dan mata mendelik. Mereka bertiga tidak
mengetahui apa yang
ditemukan Yoga. Bahkan ternyata gagang pedang itu
berisi permata penuh. Butiran intan, berlian, dan batuan permata lainnya menjadi
satu di dalam gagang
pedang tersebut. Tak terdengar suaranya gemericik karena padat memenuhi gagang
pedang yang rupanya
merupakan sebuah tabung penyimpan perhiasan.
"Pantas gagang pedang ini panjang, rupanya
gagangnya inilah yang berharga daripada mata pe-
dangnya"! Banyak sekali"! Sudah pasti orang yang
memiliki pedang ini akan menjadi kaya raya dan ke-
kayaannya cukup dimakan tujuh turunan"! Tapi..., ka-
lau Bocah Bodoh itu kuberitahu, pasti dia tak bisa
simpan rahasia karena kepolosan dan kejujurannya.
Bisa-bisa pedang ini direbut oleh orang yang tidak berhak memilikinya! Hmmm...!
Sebaiknya tak kukatakan
kepadanya tentang pedang ini. Tapi aku yakin, Nyai
Sembur Maut, ibu dari Bocah Bodoh itu pasti menge-
tahui rahasia pedang ini...!"
Yoga kembali menutup gagang pedang itu den-
gan rapat dan rapi. Tak satu pun permata yang tercec-er. Semuanya dimasukkan ke
dalam gagang pedang,
kemudian pedang diserahkan kembali kepada Cola Co-
lo. Tapi dengan cemberut kesal Cola Colo berkata,
"Buang saja pedang itu, Tuan! Saya dibohongi
Ibu! Pedang itu bukan pedang sakti seperti yang per-
nah diceritakannya pada saya..."
Bocah Bodoh tak mau melirik pedang itu. Yoga
berkata dengan pelan,
'Tunjukkan hasil kerjamu kepada Ibu. Serah-
kan pedang ini kepada beliau, supaya beliau tahu
bahwa kau anak yang berbakti kepadanya dan mau
menjalankan tugas dengan baik."
"Saya malu membawa pedang seperti itu! Di
rumah saya banyak!"
"Husy! Tak boleh begitu. Pokoknya bawa dan
serahkan pedang ini kepada ibumu. Aku yakin ibumu
lebih tahu rahasia pedang ini!"
Karena didesak Yoga terus, akhirnya Bocah Bo-
doh mau membawa pulang pedang tersebut. Tapi da-
lam perjalanan pulangnya yang sendirian itu, Bocah
Bodoh masih memendam kekecewaan besar, sehingga
dalam hatinya ia mempertimbangkan rencana,
Pedang tak ada gunanya pakai dibawa-bawa
pulang segala! Enaknya, pedang ini ku buang saja,
atau tetap ku serahkan pada Ibu"!"
SELESAI kisah selanjutnya:
PEDANG JIMAT LANANG
Ebook by Abu Keisel Dendam Empu Bharada 36 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Hoa San Lun Kiam Karya Chin Yung Hati Budha Tangan Berbisa 10
^