Pencarian

Pendekar Kedok Putih 1

Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih Bagian 1


1 "Saya tak mengerti, Kakek."
"Seruling ini bisa menggetarkan jiwa dan mem-
bunuh," kata Ki Ageng Jayasih menjelaskan. "Kau harus menggunakannya dengan
hati-hati. Jangan sem-
barangan, karena ini bukanlah seruling biasa. Kau ba-ru boleh menggunakan
seruling ini jika kau terdesak
oleh suatu masalah yang amat gawat dan mengancam
jiwamu...."
"Kakek...." potong Pranata.
"Ya?"
"Kalau begitu, untuk apa seruling itu aku bawa, kalau hanya menyengsarakan
orang?" "Pranata... pertanyaanmu sungguh bagus. Tak
ada salahnya kalau seruling itu kau bawa tetapi harus kau ingat, jangan bunyikan
seruling itu jika tak ada masalah yang mengharuskan kau membunyikannya.
Itu saja pesanku. Ingat, kau
meniup tanpa sebab, orang yang mendengarnya
bisa mati terkena tiupan seruling itu."
Pranata mengangguk dan sejak saat itu dia
menyimpan seruling naga dalam kamarnya. Dan mem-
buat sebuah seruling biasa. Sampai dia pergi mening-
galkan gunung Muria, sekali pun tak pernah ditiupnya seruling itu.
Keesokan harinya, Pranata sudah kembali ber-
jalan. Tidurnya nyenyak semalam, dia menemukan se-
buah goa Kecil yang nyaman untuk tidur.
Hari ini, dia ingin langsung menuju rumah
ayah bundanya, menuju perguruan Topeng Hiram.
Dengan mempergunakan ilmu larinya, Pranata berke-
lebat cepat. Ketika siang hari, dia berhenti di sebuah dusun
kecil dan mampir di sebuah warung makan. Warung
itu sepi, hanya ada dua orang yang sedang makan.
Seorang laki-laki tua dan seorang wanita muda berpa-
kaian ringkas dan berwarna kuning. Wanita menggu-
nakan sebuah caping yang kini tercantel di lehernya.
Wajah wanita itu kecil dan lonjong. Manis dengan hi-
dung bangir dan mulut yang mungil. Kulitnya kuning
langsat, mulus tanpa cacat. Wanita itu makan dengan
santai. Pranata mengira-ngira, pasti umur gadis itu ba-ru enam belas tahun.
Dan yang membuat dia selalu melirik adalah
karena bibir gadis itu yang mungil indah selalu terbu-ka menutup ketika
mengunyah. Juga tertarik karena
gadis itu membawa sebuah pedang tipis dengan sa-
rung yang indah. Pasti gadis itu bukan gadis semba-
rangan. Tak mungkin seorang gadis membawa pedang
ke mana-mana. Dan nampak gadis itu seorang penge-
lana. "Kenapa kau melihati aku, hah?" Gadis itu membentak keras dan tiba-tiba,
membuat Pranata
menjadi salah tingkah. Buru-buru ia mengalihkan
pandangannya dan segera memesan makanan. Dia
sendiri heran, sejak tadi dia belum memesan apa-apa, masih asyik menatap
kecantikan gadis itu.
Gadis itu membentak lagi, "Laki-laki memang
ceriwis! Tidak boleh melihat gadis sedikit pun!"
Matanya melotot tetapi Pranata tak mempeduli-
kannya. Wajahnya menjadi memerah, ia ketahuan se-
dang menatap gadis itu. Huh, memalukan! Begitu hi-
dangan tiba, dia buru-buru makan.
Gadis itu mendengus dan meneruskan makan-
nya lagi namun sekali-sekali dia masih memperhatikan Pranata. Agaknya dia
jengkel karena diperhatikan te-
rus. Selesai makan, dia menghampiri Pranata. Si-
kapnya angkuh dan sombong. Pranata hanya tenang
saja. Ia pun baru menyelesaikan makannya.
"Hhh! Pemuda macam kau masih berani berla-
gak di depanku!" Gadis itu mendengus dan sengaja meletakkan pedangnya di samping
Pranata dengan maksud agar Pranata jerih.
Pranata tersenyum dan berbalik, tatapannya
beradu dengan tatapan gadis itu. Duh, sayang sekali
tatapan itu sedang marah, kalau tidak betapa cantik-
nya dia. "Maafkan saya, Nona. Saya menyesal, perbuatan saya itu telah membuat
Nona marah...." katanya sopan. "Hhh, enak saja! Kau tahu, aku tidak suka ditatap
demikian, apalagi oleh hidung belang macam kau!"
Pranata menahan kemarahannya. "Saya hanya
tertarik karena kecantikan Nona... tidak ada maksud
lain selain itu. Juga dengan pedang, Nona. Saya he-
ran... kenapa gadis secantik Nona membawa pedang?"
Wajah gadis itu memerah. Dalam hati dia se-
nang dirinya dikatakan cantik, apalagi oleh pemuda
tampan macam ini. Tapi gengsi dong kalau tahu-tahu
berubah menjadi baik dan lembut.
Dia membentak lagi, "Apa urusannya dengan-
mu"!" "Nona tidak takut membawa pedang itu" Kalau saya... melihatnya saja sudah
takut, apalagi membawanya....."
Gadis itu mendengus meremehkan.
"Hhh! Ternyata kau hanya seorang yang pena-
kut! Tapi kau punya keberanian juga menjawab semua
pertanyaanku!"
"Karena aku bisa menjawabnya, Nona."
"Hhh...! Kau tidak takut kubunuh, hah?"
Pranata masih menyahut dengan tenang. Dia
merasa bersalah dan menyesal telah memperhatikan
gadis itu. Kalau tadi dia bisa menahan pandangannya, bukankah dia tidak akan
mendapat kesulitan"
"Kalau aku bersalah, aku takut sekali dibunuh.
Tetapi aku tak bersalah... aku tidak takut dibunuh!"
"Kau sudah bersalah!" seru gadis itu gusar.
"Rupanya kau punya keberanian sedikit, aku ingin lihat sampai di mana
keberanianmu itu!" Gadis itu menyambar pedangnya dan menarik keluar. "Sreeet!"
Pedang yang mengkilat dan tajam itu, diacung-
kan tepat di hidung Pranata.
"Lawanlah aku, aku ingin lihat kau, orang yang
pengecut tapi berani!" Gadis itu melompat keluar. Pranata menggaruk-garuk
kepalanya serba salah.
Pemilik warung itu sudah ketakutan sekali. La-
ki-laki tua yang makan di sana pun sudah tidak keli-
hatan. Rupanya diam-diam dia sudah beranjak pergi.
Tak ada jalan lain selain melayani kemauan ga-
dis itu. Gadis yang keras kepala. Pranata membayar
apa yang dia telah makan lalu beranjak keluar. Sikapnya masih tenang.
Gadis itu sudah menunggu dengan kedua kaki
mengangkang. Sikapnya benar-benar siap tempur.
Pranata masih berusaha untuk menyabarkan gadis
itu. "Nona... untuk apa kita berkelahi. Tak ada gu-
nanya. Aku pun sudah minta maaf, Nona...."
"Sebelum kau layani aku, aku tak mau me-
maafkan. Atau... kau ingin mencium kakiku?"
Geram juga Pranata dibentak demikian. Gadis
ini harus diberi pelajaran.
"Hei, ayo kau bersiap!" gadis itu membentak.
"Atau... kau rela kepalamu pisah dari lehermu...."
"Nona... aku tak punya kepandaian apa-apa...
aku takut melihat pedangmu."
"Bah, kau takut denganku atau pedangku?"
"Dua-duanya, Nona."
"Bagus, sekarang cium ujung kakiku!"
Merah wajah Pranata. Dia benar-benar telah
dihina. Gadis itu memang harus diberi pelajaran.
"Kalau harus mencium kaki, aku yang bodoh
ini, akan melayanimu semampu ku."
"Bagus! Bersiaplah!" seru gadis itu seraya menerjang dengan cepat. Pedangnya
menyabet ke kaki
Pranata. Pranata melompat berkelit. Serangan itu lu-
put dan membuat gadis itu penasaran. Dia mengge-
rakkan lagi pedangnya, kali ini membuat gerakan me-
nusuk. Lagi-lagi Pranata menghindarinya. Dua kali serangan itu gagal dan semakin
membuat gadis itu pe-
nasaran. Dia bergerak lebih cepat lagi. Sabetan, tusukan
dan bacokan pedangnya bergerak dengan cepat. Na-
mun sampai sejauh itu, tak satu pun yang mengenai
sasarannya. Pranata masih menghindar saja. Tidak
membalas. "Hei, ayo balas! Atau bisa mu hanya menghin-
dar saja!" seru gadis itu jengkel, padahal dia tengah menutupi kekesalannya
karena pemuda itu ternyata
mampu menghindari serangannya.
"Aku tak ingin membuat permusuhan dengan-
mu, Nona!" kata Pranata sambil melompat dan bersalto ke depan. Gadis itu memekik
takjub, ternyata pemuda
itu memiliki kepandaian juga. Dia menjadi malu dan
kesal, untuk menutupi semua itu, dia menyerang asal
saja. Jurusnya menjadi kacau. Pranata mengetahui hal
itu pasti gadis itu malu karena serangannya selalu
gagal. Tiba-tiba Pranata menerjang maju, masuk ke
gulungan pedangnya.
"Sreet...!" sebuah sabetan mampir di lengan kanan Pranata. Pranata mundur ke
belakang. Lengan
kanannya mengeluarkan darah.
"Aku menyerah, Nona. Kau sungguh lihai...."
Tetapi gadis itu malah menyerang dengan buas.
Ia tahu, Pranata hanya ingin membuatnya senang. Tak
mungkin serangan yang lamban itu berhasil mengenai
bahunya. Pasti pemuda itu sengaja dan membuat ga-
dis itu merasa terhina. Dia terus menyerang dengan
cepat. Pranata menjadi kesal, sudah diberi keringanan dan kesenangan malah
menyerang terus.
Dia membentak keras dan bersalto ke belakang,
lalu berkelebat pergi dengan cepat.
"Nona... aku tak mungkin melayanimu lagi! Kau
sungguh lihai, Nona...! Tetapi sayang, kau kurang berlatih! Maafkan aku, karena
pertempuran itu hanya
membuang tenaga saja dan menambah permusuhan!"
Dan bayangan Pranata menghilang. Gadis itu
memburu tetapi bayangan pemuda itu sudah tak
nampak. Dia berhenti dengan hati kesal. Ternyata ke-
pandaiannya tak berguna di hadapan pemuda itu. Dia
malu, marah, kesal, jengkel, terhadap pemuda itu. Kapan-kapan dia akan
membunuhnya! Sambil menahan kesal dan tangis dia berlari
kembali ke rumahnya. Nanti dia akan menyuruh
ayahnya mencari pemuda itu.
*** 2 Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah pergu-
ruan yang besar dan megah, dipimpin oleh seorang
pendekar sakti yang bernama Madewa Gumilang dan
istrinya yang tak kalah hebatnya, Ratih Ningrum.
Usia keduanya sudah bertambah sembilan ta-
hun, sungguh suatu perubahan yang tak terasa sekali.
Kedua semakin tua, namun tak mengurangi kegaga-
han mereka sebagai pendekar-pendekar yang selalu
membela kebenaran dan keadilan. Yang menjadikan
nama mereka semakin disenangi lawan dan kawan.
Perguruan Topeng Hitam warisan Paksi Uludara, se-
makin menajak namanya. Murid-muridnya pun dinilai
sebagai orang-orang yang baik dan selalu menolong.
Sebagai ketua, Madewa sangat dihormati oleh
murid-muridnya. Mereka menganggap Madewa sebagai
orang tua mereka yang gagah dan perkasa.
Hari ini Madewa Gumilang berada di kamarnya.
Ia memperhatikan istrinya yang sejak tadi dilihatnya murung. Nampak memikirkan
sesuatu. Entah apa.
Madewa bertanya karena ingin tahu.
"Rayi Ratih Ningrum... ada apa gerangan yang
mengganggu pikiran Rayi" Sejak tadi kulihat Rayi sela-lu murung..., Ada apa,
Rayi.... Katakanlah, aku ingin tahu dan barangkali aku bisa membantu memecahkan
persoalanmu itu, Rayi. Katakanlah...."
Ratih Ningrum membalikkan tubuhnya. Mena-
tap wajah suaminya yang nampak masih tampan, dan
sisa-sisa ketampanannya belum menghilang.
"Kakang Madewa... apakah Kakang tidak tahu
apa yang selama ini mengganggu pikiranku?" Suara Ratih Ningrum lembut dan manja.
"Kau belum mengatakannya Rayi... bagaimana
aku bisa tahu?"
"Kakang... hampir sembilan tahu kita berpisah
dengan putra kita satu-satunya, Pranata Kumala. Ten-
tang dialah yang menjadi pikiranku. Sampai selama ini Kakang... kita tidak tahu
bagaimana kabarnya..,. Apakah dia sehat-sehat saja atau tidak.... Aku rindu
sekali, Kakang. Aku ingin melihat dia sekarang. Pasti dia telah tumbuh dengan
gagah perkasa. Pasti anak kita
tampan dan gantengnya, Kakang" Seperti dirimu...."
Madewa tersenyum, jadi itu masalah yang
mengganggu istrinya Yah... dia sendiri pun rindu pada putranya. Sembilan tahun
mereka tak bertemu dengan
Pranata Kumala, kerinduan itu selalu datang dengan
sendirinya. Madewa merasa dan yakin, anaknya telah
tumbuh menjadi pemuda gagah dan kuat. Juga mem-
punyai ilmu kesaktian yang amat tangguh.
Murid Ki Ageng Jayasih tidak boleh mengece-
wakan. "Aku pun rindu padanya, Rayi...." kata Madewa sambil membelai rambut
istrinya. "Yah... aku ingin sekali melihatnya, membe-
lainya, menciumnya dan mendekapnya, Kakang. Oh...
Pranata... kapan kau akan kembali ke pangkuan ku...."
"Jangan kau pikirkan selalu, Rayi. Nanti putra
mu tak bisa tenang menuntut ilmu."
"Tetapi sudah sembilan tahun, Kakang! Aku
sangat rindu padanya."
"Aku juga begitu, Rayi. Tetapi aku bersabar,
aku menahan semua rindu itu... karena aku tahu,
Pranata akan kembali lagi kepada kita. Kembali seba-
gai putra yang baik dan patuh kepada ayah bun-
danya." Mata Ratih Ningrum membasah. Kerinduannya


Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat menjadi-jadi. Malam semakin larut. Madewa
meninggalkan istrinya, biar wanita itu puas menum-
pahkan kerinduannya lewat air mata.
Madewa melangkah ke ruang tengah dari ba-
gian perguruan Topeng Hitam itu, yang bersatu dengan ruangan yang di tinggalinya
bersama istrinya. Ia duduk di kursi, menatap keremangan malam yang gelap.
Madewa juga heran, kenapa sampai sembilan
tahun ini putranya belum kembali. Padahal kalau dia
pikir, pasti semua ilmu yang diajarkan Ki Ageng Jayasih sudah tamat. Tetapi
putranya belum kembali juga.
Rasa rindu di dada Madewa Gumilang pun te-
rasa menyesakkan, sulit untuk dilampiaskan kepada
siapa pun. Dia pun sangat ingin melihat dan mende-
kap putranya. "Kapan kau akan kembali putra ku...." desah Madewa Gumilang sambil tetap menatap
ke luar. "Ayah bundamu sudah tua... ingin sekali melihatmu berada
di antara kami, putra ku...."
Malam hening. Di luar penjagaan dilakukan
oleh empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Ber-
gantian setiap malam. Mereka menjaga di setiap sudut.
Tetapi sejak sembilan tahun yang lalu, tak ada sekali pun gangguan yang amat
mengganggu dan mendesak,
walaupun ada hanya gangguan kecil yang bisa disele-
saikan secara musyawarah dan damai. Misalnya seper-
ti, pertengkaran antar murid. Madewa selalu menga-
dakan musyawarah dan mendamaikan mereka secara
kekeluargaan dan menasehati mereka panjang lebar.
Kalau pertengkaran itu bisa menimbulkan perpecahan,
dan perpecahan bisa menyebabkan pertumpahan da-
rah, dan kematian. Itu semua harus dihindarkan agar
selalu terjadi persaudaraan yang erat. Karena nasehat itulah tak pernah ada lagi
terdengar pertengkaran an-
tar murid. Mereka sangat menjunjung tinggi nasehat
dan nama baik ketua mereka, Madewa Gumilang.
Pada keesokan harinya, Ratih Ningrum bangun
dengan mata sembab, rupanya semalam dia menangis
memikirkan Pranata Kumala. Madewa Gumilang
menghibur dan Ratih Ningrum hanya mengangguk dan
berjanji akan berusaha bersabar dan selalu berdoa
agar nasib putranya baik.
Ketika matahari sepenggalah, masuk dua orang
murid dan menghormat.
"Maafkan kami, Ketua...." kata salah seorang.
"Hmm, ada apa?"
"Di luar ada beberapa orang tamu yang hendak
bertemu dengan ketua...." "Siapa mereka?"
"Salah seorang dari mereka mengaku bernama
Sandirwo. Seorang kaya raya juragan emas."
"Hmm, baik. "Madewa manggut-manggut." Suruh mereka masuk dan tunggu aku di ruang
tamu...." Kedua murid itu menjura dan mundur ke bela-
kang. Madewa menatap istrinya.
"Ada tamu untukku, Rayi. Aku menemui mere-
ka dulu." Ratih Ningrum mengangguk. Madewa segera
beranjak ke ruang tamu. Di sana sudah menunggu tiga
orang laki-laki dan salah satunya seorang laki-laki bertubuh gemuk namun tinggi.
Dia memegang sebuah pi-
pa dan menghisapnya dengan nikmat. Begitu melihat
Madewa muncul, dia berdiri dan tertawa.
"Ha... ha... maafkan kami, Ketua perguruan To-
peng Hitam. Kedatangan kami mengganggu ketenan-
gan Saudara ketua."
Madewa tersenyum lalu duduk.
"Aku tidak merasa terganggu. Silahkan Sauda-
ra, ada keperluan apa datang kemari."
Laki-laki itu tak lain adalah Sandirwo, harta-
wan yang kaya raya. Dua laki-laki yang di sampingnya adalah Kadir, putranya dan
Semangkun, salah seorang
pengawal utamanya. Kedatangannya kemari adalah
meminta bantuan orang-orang perguruan Topeng Hi-
tam untuk mengawal emasnya kembali bahkan kalau
bisa, mencari emasnya yang hilang dirampok beberapa
hari yang lalu.
Madewa hanya manggut-manggut. Orang-orang
Topeng Hitam bukan orang yang mau berpangku tan-
gan saja. Mendengar kalau jalan menuju desa Pacitan
dikuasai oleh para perampok, tentu saja Madewa ber-
sedia membantu.
"Lalu Saudara hendak mengirimkan kembali
emas itu?"
Sandirwo mengangguk. "Yah... kami membu-
tuhkan pengawal yang tangguh untuk menjaga emas
kiriman kami."
"Baik, kapan itu akan dilaksanakan?"
"Dua hari lagi."
"Baiklah, perguruan Topeng Hitam akan berse-
dia membantu. Untuk memberantas orang-orang jahat
itu...." Wajah Sandirwo nampak cerah, nafasnya kem-bang-kempis gembira. Setelah
membicarakan semua-
nya yang perlu, mereka berpamitan. Di luar menunggu
sebuah kereta kuda dengan en am orang pengawalnya.
Sandirwo masuk ke kereta kuda itu dan melambai.
Rombongan itu bergerak meninggalkan perguruan To-
peng Hitam. Madewa manggut-manggut. Baru diden-
garnya lagi kalau orang-orang jahat yang menamakan
diri gerombolan Golok Iblis beraksi dengan penuh ke-
kejaman. Madewa mendesah. Untuk kebaikan, ia tak se-
gan mengirimkan anak buahnya. Bahkan kalau perlu,
dia sendiri yang turun tangan.
*** Setelah dikalahkan oleh Pranata Kumala, gadis
manis itu berlari sambil terisak. Dia tidak menyangka kalau pemuda yang
kelihatan lemah itu lebih lihai darinya. Bahkan gadis itu yakin, kalau pemuda
itu menghendakinya, pasti dia roboh di tangannya.
Mengingat itu, gadis manis itu semakin ken-
cang berlari dengan rasa malu yang amat sangat dan
dadanya terasa mau pecah karena tak kuasa menahan
isak. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri di sebuah pohon.
Kakinya sudah letih untuk melangkah lagi, tenaganya
pun sudah terkuras. Ia menangis tersedu-sedu di ba-
wah pohon itu. Menangisi rasa malunya yang amat be-
sar. Kalau dia ingat wajah pemuda itu, ingin dibunuhnya saja. Pemuda itu sengaja
mempermainkannya,
sengaja ingin membuatnya malu. Sebel. Sebel. Awas
kalau bertemu nanti, dia akan menebus semua rasa
malu ini dengan pedangnya!
Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya. Ia
mendengar suara langkah mendekatinya dan seperti
baru sadar dia memperhatikan sekelilingnya. Ternyata dia sendiri, berada di
tempat yang sepi ini dan tempat ini merupakan sebuah hutan kecil. Mendengar
langkah itu, wajah gadis itu menjadi pias, agak takut. Siapa yang tidak takut di tempat
sesunyi ini mendengar
langkah menggeser"
Gadis itu buru-buru berdiri, tenaganya seolah
pulih kembali. Dia mencabut pedangnya, untuk men-
jaga segala kemungkinan yang tak diingini. Matanya
memperhatikan sekitarnya dengan waspada.
Diam-diam dia menyesali dalam hati, karena
saking marah dan malunya, dia tidak memperhatikan
jalan hingga secara tidak disengaja tersesat ke hutan kecil ini.
Gadis manis itu bersiaga dengan pedang di tan-
gannya. Tiba-tiba terdengar suara kekeh yang mena-
kutkan dari sampingnya. Gadis manis itu memekik ka-
get dan berbalik dengan pedang siap menusuk.
"He... he... he...."
Tawa itu terdengar dari mulut seorang pemuda
jembel. Pakaian pemuda itu compang-camping. Ram-
butnya awut-awutan tak keruan. Dia memegang se-
buah tongkat dan kakinya tak beralas. Sekujur tubuh-
nya kotor, bahkan cenderung tercium bau yang me-
muakkan. Gadis manis itu menahan nafasnya agar tidak
mencium bau busuk itu. Untunglah angin bertiup ke
arah barat, hingga bau itu tidak begitu menerpa hi-
dungnya. Dia membentak, "Kau siapa, pemuda jembel"!"
Pemuda yang berpakaian seperti pengemis itu,
terkekeh seraya mendekat.
Gadis itu mengangkat pedangnya.
"Jangan dekati aku, Pemuda jembel!"
Tetapi pemuda pengemis itu hanya tertawa sa-
ja. Ia terus mendekat. Gadis itu semakin panik. Mun-
dur perlahan-lahan.
"Jangan mendekat...! Jangan...!"
"He... he... aku tidak akan berbuat apa-apa,
Gadis manis.... Kau terlalu galak rupanya...."
"Tapi... tapi kau mau apa?"
"He... he... aku hanya heran, gadis manis seper-ti kau berada di hutan yang
sunyi ini...."
"Aku... aku...."
"Aku tahu kau pasti tersesat. Tetapi tak men-
gapa, karena kalau tidak ada kau... udara yang sangat dingin ini pasti akan
menusuk kulitku... he... he...."
Gadis manis itu menggeleng-geleng antara tak
mengerti dan ketakutan.
"Kau... kau mau apa?"
He... he... kelinci manis tak boleh disia-
siakan.... Makanan yang lezat pada udara yang sangat dingin ini. Mari manis...
kemarilah...." Pengemis itu menyeringai.
"Kau" Ih!" Gadis itu menepak tangan pengemis jembel yang akan memegang tangannya
dengan jijik. Dan menyabetkan pedangnya, tetapi pengemis itu den-
gan lincah menghindar.
"Marilah, Manis. Kita bersenang-senang di uda-
ra dingin ini...."
"Tidak, tidak!" Gadis itu melompat ke kiri, menghindari pelukan pengemis jembel
yang terkekeh-kekeh dan berbalik, kini berhadapan lagi.
"Kau tak akan lepas dari tanganku, Manis...."
Pengemis jembel itu bergerak menubruk lagi. Tetapi
gadis itu cepat menggerakkan pedangnya membuat
pengemis jembel menghentikan gerakannya. Namun
sungguh hebat, dia bersalto dan berada di belakang
gadis itu. Langsung menubruknya. Tetapi lagi-lagi gag-al, karena gadis itu sudah
berkelit karena merasakan dorongan angin yang kuat.
Pengemis jembel itu terkekeh dengan hati pe-
nasaran. Ia bergerak lagi, kali ini menggerakkan tongkatnya dengan gerakan
menotok. Gadis itu berkelit
dan menangkis dengan pedangnya.
"Trak....!"
Lalu buru-buru dia menghindar ketika penge-
mis jembel menubruknya. Gadis itu menusukkan pe-
dangnya, ketika pengemis itu terdorong ke depan oleh tenaganya sendiri. Tetapi
tusukan itu gagal, karena ta-hu-tahu pengemis jembel bergulingan dan kakinya
menggaet kaki gadis itu hingga kehilangan keseimban-
gan. Dia menjerit kaget dan jatuh bergulingan. Kesempatan itu digunakan oleh
Pengemis jembel untuk
bangkit dan menerkam.
Tetapi lagi gagal, karena gadis itu berguling. Te-
tapi mendadak pengemis jembel menggerakkan tong-
katnya dan "Tuk!" sebuah totokan mampir di tubuh sang gadis dan membuatnya tak
dapat bergerak. Matanya melotot marah.
"Lepaskan aku...! Lepaskan!"
Pengemis jembel itu bangkit dan terkekeh.
Mangsa sudah di tangan, mana mungkin untuk dile-
paskan. Dia menghampiri seraya menyeringai lebar.
"He... he... pasti tubuhmu hangat, gadis manis.
Tak sia-sia aku bekerja keras untuk menaklukkan
mu!" Dan dengan cabulnya pengemis itu menjalankan tongkatnya dari leher gadis
itu turun ke bawah. Di da-da dia menggerak-gerakkan tongkatnya lebih lama dan
semakin lama semakin turun.
Gadis itu menjerit-jerit marah.
"Lepaskan aku, pengemis cabul! Lepaskan.....!"
"He... he... he... benar-benar luar biasa tubuh-mu, Gadis."
Pengemis itu nanar matanya melihat kemonto-
kan dan keindahan tubuh gadis itu. Dua membuang
tongkatnya dan mulai membuka bajunya.
Gadis itu semakin ketakutan. Dia berseru-seru
marah dan gusar, namun seruannya hanya di-anggap
angin saja. Pengemis itu membungkuk dan "Breet...!"
sobek pakaian di bagian dada gadis itu, menampakkan
payudaranya yang masih muda namun mengkel ke-
luar. Melihat itu nafsu birahi si pengemis semakin
menjadi-jadi. Dia mulai menciumi tubuh gadis itu yang menjerit-jerit minta
dilepaskan. "Bangsat cabul!" tiba-tiba terdengar bentakan dan erangan pengemis itu yang
jatuh bergulingan karena terkena tendangan.
Pengemis itu bangkit dengan gusar dan melihat
siapa yang telah mengganggu kesenangannya. Ternya-
ta seorang laki-laki yang wajahnya ditutupi kedok putih. Pengemis itu geram dan
membentak, "Siapa kau"!"
"Aku adalah aku... yang tak suka melihat kela-
kuanmu," kata si Kedok Putih sambil membungkuk. Ia memejamkan matanya dan
membebaskan totokan pa-da tubuh gadis itu.
Melihat itu si pengemis menjadi jengkel, dia
memungut tongkatnya dan membentak dengan gusar,
"Hhhm orang muda! Kau telah berani mengganggu ke-senanganku! Kau belum tahu
rupanya siapa aku"!"
Orang berkedok putih itu tertawa.
"Katakanlah, biar aku bisa mengenang mu se-
belum mati nanti...."
Pengemis itu mendengus marah.
"Hhh! Akulah salah seorang anggota dari Partai
Pengemis Sakti!"
"Hmm... jadi kau merasa sakti?" ejek si Kedok Putih. Diejek demikian, si
pengemis yang bernama
Ayasumo menggeram marah. Ia jengkel sekali


Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena kesenangannya diganggu. Biarlah si Ke-
dok Putih merasakan kesaktiannya bermain tongkat.
Dengan ganas dia menerjang maju. Ayunan
tongkatnya sangat cepat, namun si Kedok Putih lebih
cepat lagi. Dia berkelit dengan lincah, melihat serangannya luput, Ayasumo
menjadi geram dan penasaran,
dia menyerang lagi. Kali ini lebih ganas dan dahsyat.
Gerakannya cepat dan tenaga ayunan tongkatnya me-
nimbulkan desiran angin yang amat kuat. Tetapi lagi-
lagi dengan ringan si Kedok Putih menghindar dan
membalas. "Des...!"
Pukulannya bersarang di dada Ayasumo yang
terhuyung ke belakang. Pukulan itu betapa kerasnya
dan membuatnya semakin bernafsu. Dia menyerang
lagi dengan ayunan tongkatnya yang sangat cepat,
berguling-gulung siap menerjang si Kedok Putih.
Kembali si Kedok Putih memperhatikan kelin-
cahannya dalam mengelak, tak satu pun serangan
Ayasumo yang mengenai sasarannya. Bahkan si Kedok
Putih sudah tiga kali membalas memukulnya.
Ayasumo terhuyung lagi dengan dada yang di-
rasakannya amat sakit. Dia merasa tidak mampu
menghendaki orang yang berkedok putih itu. Maka
sambil menahan rasa sakitnya, dia melompat dan
menghilang di keremangan malam.
Si Kedok Putih tergelak-gelak. Rupanya penge-
mis jembel itu penakut, tetapi dia segera menghenti-
kan tawanya. Partai pengemis Sakti, adalah kumpulan
pengemis yang kejam. Pasti orang itu akan memanggil
temannya. Buru-buru dia menoleh kepada gadis manis itu
yang sudah merapikan pakaiannya, namun masih be-
lum sempurna, karena sobek di bagian dadanya agak
besar. Si Kedok Putih, berkata, "Cepat kau pergi dari sini, orang tadi pasti
akan datang lagi."
Gadis itu menggeleng-geleng ketakutan, sepa-
ruh terisak. Dia tadi baru saja menerima kekalahan
dan malu dari Pranata Kumala dan sekarang hampir
saja kehormatannya direbut orang! Betapa malu dan
mengerikannya. Dia hanya menatap si Kedok Putih
yang menghela napas panjang.
"Siapa namamu?"
"Ambarwati...." suara gadis itu lemah.
"Cepat kau tinggalkan tempat ini, Ambar. Pu-
langlah... sebelum orang-orang itu datang lagi.... Cepat, Ambar...."
Mendengar suara yang halus tapi penuh buju-
kan itu, Ambarwati mengangguk, dia cepat berlari pa-
dahal dia tidak ingin pergi karena belum mengucapkan terima kasih, tetapi kata-
kata si Kedok Putih benar
adanya, karena baru beberapa menit dia pergi, datang lima orang dari partai
pengemis sakti itu dan salah satunya pengemis yang tadi si Ayasumo.
Si Kedok Putih terbahak.
"Ha... ha... rupanya partai Pengemis Sakti ada-
lah orang-orang pengecut, yang beraninya hanya
mengganggu wanita dan mengeroyok orang!"
Salah seorang dari mereka yang berberewok
tebal dan bertubuh besar, bertanya kepada Ayasumo,
"Dia orang yang telah menghinamu, Ayasumo?"
"Iya, Kakang."
"Ha... ha... ternyata, kau memang seorang yang
pengecut! Kalau kau digjaya, majulah, bertanding denganku satu persatu!" Si
Kedok Putih terbahak-bahak.
Kakangnya Ayasumo yang bernama Rinjahgede
mendengus marah, merasa adiknya telah diejek.
"Hei, orang berkedok! Kalau kau jantan, buka
kedokmu! Kita bertempur satu lawan satu!" seru Rinjahgede keras.
"Ha... ha... kalau kau mampu, bukalah kedok
ku! Tak usah malu, kalian semua boleh mengeroyok-
ku!" "Bangsat!" Rinjahgede menggeram marah dan
maju menyerang dengan sabetan tongkatnya. Angin
sabetan itu betapa kuatnya. Namun si Kedok Putih
cuma berkelit sedikit ke samping dan menghantam ka-
ki Rinjahgede dengan kakinya.
"Des...! "Rinjahgede tersuruk ke depan, apalagi tenaga dorongannya tadi sudah
begitu kuat dan sekarang dihantam kakinya, semakin keras dia ambruk ke
tanah. Si Kedok Putih terbahak.
"Ha... ha... ada gajah jatuh! Seram sekali bu-
nyinya!" Melihat Rinjahgede ambruk, yang lain segera
maju menyerang. Rinjahgede sendiri pun sudah bang-
kit dengan marah dan membantu mengeroyok. Lima
buah tongkat bergerak dengan cepatnya, siap mencari
sasaran yang empuk. Begitu deras dan memusingkan,
karena mereka menyerang dari arah yang berlainan.
Namun si Kedok Putih tetap tenang dan berhasil melo-
loskan diri. Tak satu pun tongkat-tongkat itu yang
mengenai sasarannya, bahkan membuat mereka pena-
saran. Suatu ketika si Kedok Putih membentak dan
tubuhnya melenting ke atas. Orang-orang itu segera
memburu ketika dia hinggap di tanah, namun tiba-tiba si Kedok Putih mengibaskan
tangannya. Dan sebuah
dorongan angin yang amat besar menghantam orang-
orang itu hingga jatuh bergulingan.
Rinjahgede segera bangkit dan menyerang.
Seluruh kekuatannya dia kerahkan, namun si
Kedok Putih tidak mau kalah. Kali ini dia pun maju ke dean, menyambut serangan
Rinjahgede. "Plaak...!"
Dua buah tenaga keras berbenturan dan tubuh
Rinjahgede terhuyung ke belakang sedangkan si Kedok
Putih tetap di tempat dengan tubuh tak kurang suatu
apa. Dari situ sudah terlihat, kalau tenaga dalam si Kedok Putih lebih Besar
daripada Rinjahgede. Rinjahgede mendengus dan memerintahkan anak buahnya
untuk menyerang si Kedok Putih.
Tetapi sebelum serangan itu mengenai sasa-
rannya, si Kedok Putih sudah mengibaskan tangan.
Dan tubuh-tubuh itu jatuh bergulingan. Rinjahgede
bangkit dengan gusar. Ia menyerang dengan kedua ke-
palan tangannya.
Namun si Kedok Putih sudah enggan untuk
bermain-main lagi. Ketika Rinjahgede menyerang, dia
bersalto ke depan dan berbalik, tendangannya mampir
ke punggung Rinjahgede yang langsung tersuruk ke
depan dan ambruk dengan muntah darah. Dia mera-
sakan sakit yang amat sekali. Anak buahnya segera
menyerang dan dengan kecepatan yang hebat, si Kedok
Putih berkelebat menghantam mereka satu persatu
hingga berjatuhan kembali. Gerakannya sukar diikuti
oleh mata, sangat cepat.
Rinjahgede yang bersusah payah bangkit di-
hantam kembali oleh si Kedok Putih. Rupanya dia me-
rasa, orang-orang itu harus dibasmi.
"Des..!" Rinjahgede ambruk untuk tak bangun lagi. Si Kedok Putih membentak yang
lain, "Jangan coba-coba menyerangku lagi, kalau tidak ingin kubuat seperti ini!
Katakan kepada ketua partai Pengemis Sakti, kalau kulihat lagi anak buahnya
bertindak begini, aku, si Kedok Putih, menyatakan bermusuhan dengan
kalian!" Sesudah berkata begitu si Kedok Putih berkelebat menghilang di
kegelapan malam. Ayasumo membu-
ru kakangnya dan menangis tersedu-sedu ketika men-
getahui kakangnya telah tewas. Dia dan kawan-
kawannya segera membawa mayat Rinjahgede untuk
dihadapkan kepada ketua.
*** 3 Perkumpulan Partai Pengemis Sakti dipimpin
oleh seorang laki-laki setengah baya keturunan Cina.
Dia pernah belajar ilmu kesaktian dari dataran Tiongkok sana. Jurus-jurusnya
mantap. Semacam jurus
kungfu yang amat tangguh. Dia bernama Cin Bun. Da-
tang ke tanah persada ini dengan sebatang kara. Teta-pi dengan ilmu yang di
punyainya, dia membentuk se-
buah partai besar yang hebat, yaitu partai Pengemis
Sakti, karena asalnya Cin Bun seorang pengemis.
Partai itu berjumlah puluhan orang, yang ke-
semuanya terdiri dari pengemis. Partai itu juga ada beberapa orang wanitanya,
selain sebagai anggota, para wanita itu juga dipakai untuk pemuas nafsu anggota
pria lainnya atau ketua mereka sendiri. Wanita di sana hanya berjumlah dua puluh
orang, sedangkan prianya
hampir seratus. Sudah tentu para prianya bergilir dan menunggu untuk
melampiaskan nafsunya. Karena itulah banyak beberapa anggota yang mencari wanita
di luar. Sudah tentu memasuki kompleks pelacuran pen-
gemis-pengemis itu tidak diizinkan, selain tidak punya duit juga bau badan
mereka yang busuk. Maka tak ada
jalan lain, selain memperkosa wanita secara paksa.
Dan partai Pengemis Sakti sudah terkenal den-
gan tabiat mereka yang buruk itu.
Malam ini pun, Cin Bun atau nama partainya
Sengkawung, tengah melambung ke sorga dengan di-
layani seorang pengemis wanita muda cantik. Partai
Pengemis Sakti betapa bejat orang-orangnya. Kemak-
siatan sudah merajai di tempat itu. Orang-orangnya
sudah tak mau mengerti akan kebusukan mengadakan
hubungan secara bebas.
Selesai melakukan hubungan itu, Sengkawung
keluar dengan desah napas lega. Betapa nikmatnya
bermain dengan pengemis muda yang cantik itu. Wani-
ta itu pun keluar, lalu masuk ke sebuah kamar itu. Di sana sudah menunggu dua
orang pria dengan tidak
sabar. Begitu wanita itu muncul, kedua pria itu langsung bangkit. Dan perbuatan
hina itu kembali teru-
lang. Benar-benar menjijikkan!
Sengkawung duduk sambil membayangkan ke-
lembutan tubuh wanita muda tadi. Bukan main, dia
hampir saja kewalahan menghadapinya. Tetapi ra-
muan dari Tiongkok yang dia bawa, menjadikan dia
bertenaga gajah dan buas.
Tiba-tiba muncul Ayasumo dan ketiga teman-
nya yang membawa mayat Rinjahgede. Sengkawung
bangkit dengan melotot dan memeriksa tubuh Rinjah-
gede yang sudah agak kaku. Dia melotot pada Ayasu-
mo. "Apa yang telah terjadi"!" bentaknya keras.
Ayasumo sejenak menggigil. Tetapi dengan ta-
bah dia menyahut. "Seorang yang berkedok putih, telah membunuhnya, Ketua...."
"Bodoh! Siapa si Kedok Putih itu!"
"Kami tidak tahu, Ketua!"
"Kenapa tidak kalian bunuh si Kedok Putih
itu"! Kalian kan lebih banyak dari dia!!"
"Tetapi dia sungguh lihai ketua. Kepandaian
dan kesaktiannya berada jauh di atas kami, Ketua...."
"Dasar bodoh kalian! Bodoh! Dengan mengor-
bankan nyawa Rinjahgede, kalian sudah mencoreng
arang di mukaku!"
Ayasumo menunduk, tiga orang temannya pun
berbuat yang sama. Sengkawung menggerutu panjang
pendek. Baru kali ini ada orang yang berani menen-
tangnya, bahkan membunuh anak buahnya yang pal-
ing dia sayangi. Dengan itu, si Kedok Putih sudah me-nanamkan bibit permusuhan.
Nanti dia akan menda-
patkan buahnya, geram Sengkawung dalam hati.
"Apa sebenarnya yang terjadi, hingga dia mem-
bunuh Rinjahgede?"
Takut-takut Ayasumo menjelaskan semuanya.
Disangkanya ketuanya marah. Tetapi Sengkawung ma-
lah tertawa. Dia senang anak buahnya mau berbuat
yang kotor itu, memperkosa seorang gadis! Tetapi dia juga agak menyesali
kematian Rinjahgede.
Sengkawung menatap Ayasumo. "Kau harus
mencari gadis itu sebagai tebusan atas kematian Rin-
jahgede. Serahkan kepadaku bulat-bulat, dia merupa-
kan sajian yang paling nikmat!"
Ayasumo mengangguk.
"Akan saya laksanakan, Ketua."
"Bagus! Besok pagi kau sudah harus pergi
mencarinya. Kau boleh membawa teman sebanyak-
banyaknya. Tetapi ingat, kau harus menemukannya
dalam jangka waktu sebulan!"
"Iya, Ketua. Kami akan menguburkan mayat
Rinjahgede sekarang."
"Lakukanlah!"
Sementara itu, di ujung Laut Pantai Selatan,
pemimpin gerombolan Golok Iblis, Jedangmoro, sedang
uring-uringan. Putrinya sejak dua hari yang lalu belum
kembali. Padahal dia sudah melarangnya untuk pergi.
Tetapi putrinya memang keras kepala. Keinginannya
tak bisa dibantah lagi. Terpaksa Jedangmoro mengi-
zinkan. Dia selalu mengizinkan keinginan putrinya.
Hanya putrinya itu yang dimilikinya sekarang, istrinya sudah lama meninggal
dunia. Jedangmoro sangat
mengasihi putrinya.
Biarpun begitu, Jedangmoro tidak mau mence-
ritakan apa yang telah dilakukannya selama ini untuk memanjakan putrinya, dengan
kekayaan dan kesenangan. Barang-barang yang diberikan kepada putrinya
adalah hasil rampokan. Jedangmoro tidak ingin pu-
trinya mengetahui dari mana semua itu dia peroleh,
juga tidak ingin putrinya tahu dia adalah anak seorang pemimpin gerombolan yang
amat ditakuti. Tiba-tiba terdengar suara, "Bapa... hu... hu...!
Bapa!" Jedangmoro segera melompat dari kursinya dan menyambut. Ternyata putrinya
yang kembali dan menangis. Jedangmoro segera merangkulnya dan mene-
nangkan. "Ada apa, Ambar" Siapa yang telah menggang-
gumu?" tanyanya sambil membelai rambut putrinya yang ternyata Ambarwati, gadis
yang diselamatkan si
Kedok Putih dari cengkraman Ayasumo.
Ambarwati menangis tersedu-sedu. "Katakan
Ambar... katakan siapa yang telah mengganggumu,
Sayang?"

Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh... hu... Ambar... Ambar malu, Bapa." "Ma-lu kenapa, Nak?"
Ambarwati melepaskan rangkulannya, mele-
takkan pedangnya di meja. Ia duduk sambil mengusap
matanya. Jedangmoro memperhatikan saja. Semakin
didesak, anaknya akan tidak mau berbicara.
"Ambar... dibuat malu oleh seorang pemuda,
Bapa." "Kenapa, Nak?" tanya Jedangmoro was-was.
Dibuat malu" Apanya" Mata Jedangmoro memperhati-
kan sekujur tubuhnya.
Ambarwati menceritakan kejadian di rumah
makan kecil itu, di mana dia dikalahkan oleh Pranata Kumala. Jedangmoro malah
terbahak-bahak. Ambarwati cemberut.
"Kenapa Bapa tertawa?" tanyanya agak marah.
"Ha... ha... hanya masalah itu toh, Sayang" Itu biasa, tapi kau tidak terluka,
kan" Di atas langit, masih ada langit...."
"Aku tak mengerti maksudmu, Bapa?"
Jedangmoro menghentikan tawanya. Menatap
putrinya yang sungguh-sungguh menanti penjelasan-
nya. Jedangmoro menghela napas. Putrinya ternyata
masih pendek pikirannya, tetapi dia terlalu berani untuk bertindak tanpa
dipikirkan baik buruknya.
"Maksud Bapa... orang yang tinggi ilmunya.
masih ada yang menandingi. Masih ada yang lebih
tinggi darinya. Biarpun sudah amat tinggi, masih ada yang menandingi."
"Siapa Bapa?"
"Yang Kuasa," sahut Jedangmoro yang merasa kaget sendiri. Masih ada Yang Kuasa"
Dia menghela napas pelan. Dia sendiri sudah merasa hebat dan ting-gi, tetapi masih ada yang
lebih tinggi. Masih ada.
Melihat ayahnya mendadak terdiam, Ambarwati
bertanya. "Bapa kenapa" Apa penjelasan Bapa hanya sampai di sana saja?"
Jedangmoro mengangguk terburu-buru. Biar-
pun dia orang jahat, tetapi dia tidak ingin anaknya
menjadi jahat. "Masih ada, Ambar. Karena itu... kita tidak bo-
leh sombong tidak boleh menyatakan diri kita hebat.
Ingat, orang yang sombong pasti akan jatuh...."
Ambarwati terdiam. Ingatannya kembali ke pe-
ristiwa di warung kecil di desa sana. Dia sudah berlaku sombong terhadap pemuda
itu, yang ternyata lebih digjaya daripadanya. Bahkan kalau dipikir-pikir, kepan-
daiannya tak ada satu banding sepuluh dari pemuda
tampan itu. Tampan" Ih, wajah Ambarwati mendadak me-
merah. Kenapa dia mengatakan pemuda itu tampan,
padahal dia sangat membencinya sekarang.
Dan ingatan itu kembali lagi kepada si Kedok
Putih. Entah siapa dia adanya. Bagaimana dengan wa-
jahnya, buruk atau tidak. Tua atau muda. Dia pun su-
dah memberikan penerangan tidak langsung kepada
Ambarwati. Karena si Kedok Putih pun masih lebih
sakti dari padanya.
Ambarwati buru-buru bangkit masuk ke ka-
marnya. Di kamar itu dia merenung kembali. Mere-
nungi tentang dirinya sendiri. Ternyata benar kata Ba-pa, masih ada langit di
atas langit. Masih ada yang lebih jago dari padanya.
Pemuda tampan itu pun jago dan begitu me-
rendah mau mengalah, dengan membiarkan pedang-
nya menggores bahunya. Ih, lagi-lagi wajah Ambarwati memerah. Pemuda tampan...
idih, kok tampan sih"
Mendadak Ambarwati jadi tersipu sendiri dan memba-
likkan tubuhnya menghadap dinding.
Di luar kamar, Jedangmoro masih memikirkan
akan perkataannya sendiri. Yang Kuasa masih ada di
atasnya, bahkan di atasnya sekali. Tetapi dirinya sudah terlanjur basah, sudah
tidak bisa diampuni segala
kesalahannya. Jedangmoro jadi enggan untuk insyaf.
Biarlah hanya dia yang berbuat demikian, jangan pu-
trinya. Mendadak muncul seorang laki-laki muda den-
gan tergopoh-gopoh. Dia berlutut di depan Jedangmo-
ro. "Ada apa, Kasta?"
"Menurut laporan regu pengintai, ada pengiri-
man barang yang sedang berjalan menuju ke daerah
Pacitan, Ketua."
"Hmm, bagaimana dengan pengawalnya?"
"Luar biasa, Ketua. Delapan orang regu pen-
gawal dan seorang penarik kuda, berpakaian hitam-
hitam semua, dengan sepasang pedang di pundak
masing-masing."
Jedangmoro manggut-manggut mendengar se-
mua penuturan itu. Dia adalah contoh orang yang tak
mau bertobat. Mendengar itu semua, dia langsung
bangkit. "Kita begal pengiriman barang itu. Persetan
dengan para pengawalnya, mungkin hanya untuk me-
nakut-nakuti saja," kata Jedangmoro sambil tertawa meremehkan.
Kasta pun berlari ke luar. Secara sembunyi-
sembunyi dia memberitahukan kawan-kawannya, yang
kalau berada di rumah Jendangmoro, agar putrinya ti-
dak tahu apa yang dia kerjakan.
Dan Ambarwati tidak mengetahui apa yang te-
lah diperbuat atau pekerjaan ayahnya selama ini. Dia hanya tahu, ayahnya seorang
pria yang patut dibang-gakan dan menjadi kebanggaannya.
Ayah begitu baik, mau memanjakannya, mem-
perhatikan segala sesuatu atas dirinya. Tetapi ayah selalu sibuk dengan
pekerjaannya sehingga jarang di
rumah. Itulah sebabnya, Ambarwati lebih senang bera-
da di luar rumah dari pada di rumahnya sendiri. di
luar rumah, dia bisa menghilangkan rasa bosan dalam
kesendiriannya. Dia bisa melihat apa yang tengah terjadi di luar sana. Dia juga
baru mengetahui, kalau kepandaiannya selama ini tidak ada apa-apanya di luar
sana. Dia akan meminta ayahnya untuk mengajarkan
kepandaian lebih mendalam. Juga akan ilmu golok
yang sangat ayahnya banggakan.
Atau... mendatangkan guru yang mampu men-
gajarkan kepandaian dan kesaktian yang lebih hebat.
Ambarwati masih asyik memikirkan semua itu,
dan perlahan matanya terpejam. Letih dan ngantuk
bercampur menjadi satu, apalagi malam telah semakin
larut. Dia tidak tahu, ayahnya dan anak buahnya,
sudah pergi untuk menjegal pengiriman barang besok
pagi. Malam ini, mereka mengatur strategis yang ba-
gus. *** 4 Setelah mendengar permintaan Sandirwo untuk
mengawal pengiriman emasnya, Madewa Gumilang se-
gera memilih delapan orang murid perguruan Topeng
Hitam untuk melaksanakan tugas itu.
Salah seorang yang di tunjuknya adalah Jaya-
laksa, murid utama yang gagah perkasa. Mereka ber-
delapan, bergerak menuju rumah Sandirwo. Sandirwo
sendiri sebenarnya sudah menyewa lima tenaga orang-
orang jago. Tetapi dia nampaknya lebih mempercayai
murid-murid perguruan Topeng Hitam daripada kelima
jago itu. Pukul delapan pagi pengiriman barang itu su-
dah dilakukan. Jayalaksa telah menempatkan orang-
orangnya di sekeliling kereta kuda itu. Mereka semua menunggang kuda.
Perjalanan kali ini sepertinya aman, tidak ada
tanda-tanda yang mencurigakan, tetapi begitu mema-
suki daerah menuju desa Pacitan, mereka semua su-
dah waspada. Mereka tidak memakai topeng yang
menjadikan ciri khas perguruan Topeng Hitam. Itu di-
lakukan. agar perguruan Topeng Hitam tidak dikenali
dan tidak dinyatakan tenaga-tenaga bayaran. Padahal
Madewa Gumilang telah menolak uang yang diberikan
Sandirwo. Tiba-tiba rombongan itu berhenti, karena tak
jauh dari mereka bergerak, duduk seorang pemuda di
atas batu sambil memainkan serulingnya. Agaknya
pemuda itu baru muncul, karena suara serulingnya
sejak tadi tidak kedengaran.
Jayalaksa menghentikan rombongannya. Ia
menduga, pasti akan terjadi apa-apa. Tetapi dia tidak takut, dengan tenang dia
menjalankan kudanya mendekati pemuda itu.
Pemuda itu acuh saja, masih memainkan seru-
lingnya. Alunan nadanya merdu sekali dan enak untuk
didengar oleh telinga.
"Saudara... apa maksud Saudara duduk di sini,
sepertinya sedang menunggu kami?"
Pemuda itu tak acuh saja, dia masih asyik den-
gan serulingnya. Jayalaksa menjadi agak marah kare-
na merasa didiamkan.
"Saudara...."
Pemuda itu tiba-tiba memotong perkataannya,
"Aku memang menunggu kalian datang...."
Jayalaksa segera menjadi curiga. Tetapi dia te-
tap tenang, walau dalam pikirannya melintas,
gerombolan Golok Iblis memasang jebakan den-
gan pemuda ini. Ia menoleh ke rombongannya. Masih
belum ada kejadian apa-apa.
"Apa maksud Saudara menunggu kami?" Kem-
bali Jayalaksa menatap pemuda itu dan suaranya te-
tap tenang. Pemuda itu menatapnya tajam. Agaknya marah
karena dicurigai.
"Aku melihat, akan terjadi sesuatu yang tidak
beres kalau kalian melanjutkan perjalanan...."
"Hmm, siapa sebenarnya Saudara?" Kecurigaan Jayalaksa semakin menjadi-jadi.
"Aku hanya orang yang ingin menyelamatkan
kalian, kalian harus menuruti perintahku."
"Perintah?" Jayalaksa mendengus meremehkan.
"Kami tidak ingin diperintah siapa-siapa. Termasuk kau! Kami akan tetap
melanjutkan perjalanan!"
"Hhh! Kau orang sombong, diperingatkan untuk
kembali tidak mau! Baik, boleh kau buktikan ucapan-
ku!" sahut pemuda itu agak tersinggung dan bangkit meninggalkan Jayalaksa sambil
mendengarkan sebuah
nada enak. Pemuda itu tak lain adalah Pranata Kumala.
Keinginannya untuk segera bertemu dengan ayah
bundanya, dia tahan. Pranata masih penasaran den-
gan orang-orang jahat yang telah membakar kereta
kuda dan membunuh para pengawalnya. Dia bermak-
sud hendak menyelidiki siapa adanya
para perampok itu! Di samping juga ingin
menghapus tuduhan Kadir atas dirinya.
Dia memang menunggu iringan-iringan pengi-
riman barang yang lewat. Pranata menduga, tak jauh
dari sini akan muncul belasan orang untuk merampas
pengiriman barang itu. Dia pun buru-buru muncul
dan memberitahu kepada Jayalaksa, tetapi pria itu
malah menuduhnya yang bukan-bukan.
Tetapi Jayalaksa sebenarnya percaya dengan
ucapan pemuda tadi. Namun dia ragu, kuatir ini suatu jebakan. Jika dia tidak
maju dan mundur, dikuatirkan serangan akan datang dari belakang. Berarti mereka
digiring untuk masuk perangkap.
Jayalaksa segera kembali kepada rombongan-
nya, memerintahkan kembali untuk segera bergerak.
Rombongan itu bergerak dengan sikap hati-hati dan
waspada. Selalu memperhatikan setiap sekelilingnya.
Sementara Pranata Kumala sudah menjauh
dan suara serulingnya sudah tidak terdengar lagi. Dia masih agak jengkel kepada
Jayalaksa. Diberitahu kok
malah menuduh! Rombongan itu bergerak dengan perlahan-
lahan dengan sikap waspada yang semakin meninggi.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas dan ber-
munculan puluhan ekor kuda dengan penunggangnya
sambil mengacungkan golok. Bergerak dengan cepat
dan bersuara ramai. Meneriakkan kata-kata kematian.
Jayalaksa segera mencabut sepasang pedang-
nya dan menghentikan rombongan. Yang lain pun ber-
buat yang sama. Mereka menunggu apa yang akan di-
perbuat orang-orang itu, yang segera mengurung me-
reka dengan rapat.
Salah seorang yang agaknya pemimpinnya, ma-
ju dengan senyum sinis. Mengitari kereta kuda itu.
Jayalaksa bersiap.
Tetapi dia membentak ketika orang itu yang tak
lain Jedangmoro membuka tirai kereta kuda. Dan para
pengawal kereta kuda itu segera bersiap.
"Hei, apa yang akan kamu perbuat"!"
Jedangmoro menoleh dan terbahak. Dia sudah
melihat apa isi tirai itu. Sebuah peri yang pasti berisikan barang-barang
berharga. "Ha... ha... rupanya ada juga orang yang berani membentak Jedangmoro."
"Kalau kau berbuat jahat, aku akan menen-
tang!" sahut Jayalaksa gagah.
Jedangmoro menggeram. "Bangsat! Hei, serah-
kan barang itu kepada kami cepat, kalau kau tidak ingin mati konyol di golok-
golok kami!"
Dibentak demikian, Jayalaksa bukannya takut,
malah membalas membentak, "Kalau kami sudah bergeletak tanpa nyawa, kau boleh
memilikinya!"
"Settaaaan...! Serbu...!" Jedangmoro memberi aba-aba keras.
Dan puluhan orang yang mengurung rombon-
gan itu segera menggerakkan kudanya ke depan dan
menyambarkan golok-goloknya ke arah para rombon-
gan itu, yang segera disambut dengan tangkas.
Tak berapa lama kemudian, di tempat itu su-
dah terjadi suatu keramaian yang dahsyat. Ringkik
kuda, suara senjata beradu, debu yang mengepul, me-
nambah suasana semakin ramai. Suasana penuh da-
rah. Jedangmoro terbahak melihat ketangkasan
anak buahnya. Dua orang dari pengawal rombongan
itu sudah tumbang bersimbah darah, terhantam sabe-
tan golok anak buahnya, tetapi anak buahnya pun ada
yang terluka. Jedangmoro geram terhadap salah seo-


Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang pengawal rombongan itu, dia begitu tangkas me-
mainkan pedangnya. Orang itu adalah Jayalaksa yang
sudah mengamuk sejadi-jadinya. Dia harus memper-
tahankan barang bawaannya dan harus bisa membu-
nuh para perampok itu.
Pedangnya sudah menebas lima orang yang
mengeroyoknya. Belum lagi yang terluka. Melihat itu, Jedangmoro mengemprak
kudanya dan maju ke depan
dengan golok di tangan.
Jayalaksa segera menyambut sabetan golok Je-
dangmoro. "Trang...! Trang...!"
Benturan dua senjata mereka menimbulkan pi-
jar yang agak terang dan keduanya sudah membalik-
kan kuda mereka dan menyerang lagi. Kembali bentu-
ran kedua senjata mereka bertemu. Tetapi kali ini
Jayalaksa hampir terjatuh, karena tenaga Jedangmoro
lebih besar darinya. Jelas saja, sebab Jayalaksa sudah bertempur sejak tadi
melawan anak buah Jedangmoro,
sedangkan Jedangmoro masih nampak belum apa-apa.
Dia terbahak melihat Jayalaksa terhuyung dan
sekali lagi dia maju menyerang. Kali ini dua sabetan digerakkan sekaligus.
"Trang...!" Jayalaksa berhasil menahan serangan itu, tetapi serangan yang satu
lagi membuatnya
lebih baik bersalto turun dari kuda. Soalnya gerakan itu sangat cepat dan penuh
tenaga. Lagi-lagi Jedangmoro terbahak. Jayalaksa ber-
siap dengan kedua pedangnya. Kali ini lebih baik, karena dia tidak perlu
memegang tali kendali. Jedangmo-ro memutarinya sambil mencari kelemahan lawan.
Sementara itu, anak buahnya sudah hampir
berhasil merobohkan para pengawal itu. Tentu saja
mereka senang, jumlah mereka lebih banyak daripada
pengawal itu. Jedangmoro masih terbahak sambil memutari
kudanya. Dan Jayalaksa bersiap dengan mata
waspada. Tiba-tiba Jedangmoro berseru dan
menggeprak kudanya hingga lari dengan kencang, ke
arah Jayalaksa!
Jayalaksa cepat berkelit dengan jalan bergulin-
gan. Jedangmoro berbalik lagi dan kembali menum-
bruk Jayalaksa, kali ini dengan disertai sabetan goloknya. Jayalaksa kembali
bergulingan. Kali ini lebih susah, karena harus pula menangkis sabetan golok Je-
dangmoro. "Trang...!"
Tubuh Jayalaksa terguling dengan kecepatan
deras. Sebab benturan pedang dengan goloknya me-
nyebabkan dirinya semakin terdorong. Dalam keadaan
susah begitu, tenaganya separuh terkuras untuk ber-
guling, bukan menangkis. Jadi tenaga tangkisannya
agak lemah karenanya dia terhenyak ke tanah dengan
keras. Jedangmoro terbahak-bahak.
"Ha... ha... itulah akibatnya kalau berani me-
nentang permintaan Jedangmoro!"
Jayalaksa menggeram. Bibirnya berdarah kare-
na terbentur batu di tanah. Dia buru-buru berdiri sebelum Jedangmoro menyerang
lagi. Dilihatnya para pe-
rampok itu sudah menguasai kereta kuda dan menu-
runkan barang bawaannya.
Wajah Jayalaksa menjadi pias, bukan karena
takut mati. Tetapi sedih karena kawan-kawannya su-
dah menemui ajal mereka lebih dulu. Dalam hati dia
menyesal, karena tidak mau menuruti nasehat pemu-
da tadi. Malah secara keji dia mencurigainya.
Tiba-tiba terdengar derap kuda dengan cepat,
Jedangmoro sudah menggeprak kudanya ke arah
Jayalaksa. Dia akan menghabisi nyawa orang itu detik ini juga. Jayalaksa
berusaha berkelit. Tetapi Jedangmoro sudah mengibaskan tangannya dan beberapa
buah jarum berbisa menyambar tubuh Jayalaksa. Pria
itu mengaduh dan terjatuh lagi. Tidak sanggup untuk
menghindar lagi. Ia memejamkan mata, ajalnya sudah
tiba hari ini. Jedangmoro semakin buas dan bernafsu
melihat lawannya sudah tak berdaya, ia mempercepat
laju kudanya. Dan siap menginjak-injak tubuh Jaya-
laksa! Tetapi mendadak tubuh Jayalaksa lenyap. Se-
buah bayangan telah menyambar tubuhnya. Jedang-
moro terhenyak, karena tidak merasakan kudanya
menginjak sesuatu. Dengan cepat dia menghentikan
kudanya dan berbalik.
Agak jauh dari sana, seorang laki-laki berkedok
putih tengah menolong Jayalaksa dari maut. Dia me-
nekan tangan kanan Jayalaksa yang terkena jarum
berbisa itu dan menekan pahanya, agar bisa jarum itu tidak menjalar sampai ke
jantung. Sedetik dia terlambat, maut sudah menjemput
Jayalaksa. Itu pun sudah agak terlambat, karena ada
sedikit bisa jarum itu yang sudah menjalar. Dengan
cepat di Kedok Putih merobek baju Jayalaksa dan me-
nempelkan kedua tangannya di punggung Jayalaksa.
Memberikan sedikit hawa panas agar bisa jarum itu
terhalang jalannya menuju ke jantung. Dan berhasil,
karena dengan mendadak Jayalaksa muntah darah,
sebagian bisa itu keluar bersama darah.
Melihat itu, Jedangmoro menjadi geram dengan
sekali mengangkat tangannya, anak buahnya sudah
mengepung si Kedok Putih dengan sikap beringas.
Jedangmoro melangkahkan kudanya mendekat,
perlahan dan berseru, "Siapa kau orang berkedok" Kau
berani-beraninya mengganggu kerja Jedangmoro, ke-
tua gerombolan Golok Iblis, hah"!"
Si Kedok Putih berdiri perlahan, memperhati-
kan orang-orang yang mengepungnya dengan mata
waspada. Sementara Jayalaksa sedang memulihkan
tenaganya dengan jalan mengatur pernafasannya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jedangmoro!"
seru si Kedok Putih, suaranya angker. "Kau boleh ta-hu, kalau aku orang yang
paling tidak suka dengan
perbuatanmu, uang selalu membuat onar dan keru-
gian orang lain!"
Jedangmoro hanya tertawa.
"Ha... ha... kau punya kepandaian apa berani
menantangku, Kedok Putih?"
"Hhh! Kau boleh coba, Jedangmoro!"
Jedangmoro geram sekali. Ia berseru, "Bunuh
orang itu!"
Serentak anak buahnya menyerang dengan
buas. Orang berkedok putih itu tenang saja, tetapi ti-ba-tiba dia menyambar
tubuh Jayalaksa dan melenting
ke atas. Gerakannya sangat ringan. Orang-orang itu tidak menemui sasarannya,
malah ada beberapa orang
yang terbacok oleh golok temannya sendiri.
Si Kedok Putih membawa tubuh Jayalaksa ke
seekor kuda. Ia menaikkan Jayalaksa dengan cepat
dan memukul pantat kuda itu hingga lari dengan ken-
cang. "Selamatkan dirinya, Sobat!" seru si Kedok Putih sambil berkelit karena
orang-orang itu sudah mendekat dan menyabetkan goloknya. Puluhan golok itu
berkelebat ke sana kemari dengan sangat cepatnya. Tetapi tak satu pun yang
mengenai tubuh si Kedok Putih, karena tubuh itu sudah menghindar, berkelit,
bersalto dengan ringannya.
Bahkan tubuh itu sudah balas menyerang den-
gan hanya mengandalkan kaki dan tangan. Begitu ce-
patnya dan si Kedok Putih berkelebat dengan hebat
menyebarkan pukulan dan tendangannya.
Lima orang dari pengurungnya roboh dan
membuat yang lain menjadi penasaran. Dengan ber-
nafsu mereka menyerang kembali.
Tetapi kembali si Kedok Putih memperlihatkan
kelincahannya berkelit. Bahkan membuat gerakan
yang tak terduga, tiba-tiba saja dia melenting dan bergerak ke arah Jedangmoro
dengan kaki lurus ke muka.
Jedangmoro tersentak kaget, tidak menyangka
dia akan diserang, padahal si Kedok Putih tengah di-
kurung rapat! Dengan cepat Jedangmoro merunduk, tendan-
gan si Kedok Putih melesat, tetapi lagi-lagi si Kedok Putih membuat gerakan yang
tak terduga. Begitu tubuhnya hinggap di tanah dia kembali bergerak dengan
membalikkan tubuhnya dan menendang.
"Des...!" tendangannya mengenai pantat kuda yang ditunggangi Jedangmoro. Kuda
itu terkejut dan
meringkik hebat. Mendadak dia berlari kencang-
kencang, tak terkendali.
Jedangmoro cepat melompat bersalto agar tidak
jatuh dari kuda yang ngamuk itu. Dia berbalik dan
menatap si Kedok Putih dengan geram.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya?"
Si Kedok Putih terbahak.
"Rupanya kau mengakui juga kehebatanku, Je-
dangmoro. Sudah kubilang, kau tak akan mampu me-
nandingi ku! Biar kau membawa anak buah banyak,
tak seorang pun yang bisa mengalahkanku ha... ha...!"
Jedangmoro semakin geram. Tiba-tiba dia men-
gibaskan tangannya dan beberapa buah jarum berbisa
melesat. Kedok Putih berkelit dan mengibaskan tan-
gannya pula. Sebuah dorongan angin yang kuat berge-
rak menuju Jedangmoro. Jedangmoro pun cepat men-
gelak dengan jalan melompat. Dan membentak, "Bangsat sialan!!"
Kembali si Kedok Putih terbahak. Jedangmoro
kembali memerintahkan anak buahnya untuk menye-
rang dan dia sendiri melompat ke kuda yang ada di
dekatnya, lalu memerintahkan sebagian anak buahnya
untuk membawa hasil rampasan itu. Dan dia sendiri
pun menggeprak kudanya untuk lari.
Si Kedok Putih yang tengah menghadapi ke-
royokan itu, bermaksud akan mengejar. Tetapi golok-
golok itu terus mencecarnya. Membuat dia sulit untuk menghindar. Dengan jengkel
dia menyambar sebuah
golok yang tergeletak di tanah dan dengan golok itu dia berkelebat menghajar
setiap pengurungnya hingga semuanya roboh dan tak mampu untuk menyerang lagi.
Si Kedok Putih berkelebat mengejar, namun
bayangan orang itu sudah tidak nampak. Ia kembali ke tempat semula. Menatap
mayat-mayat yang bergeletakan. Semua ini gara-gara nafsu angkara murka yang
tidak dapat dikekang. Ser makin dituruti akan sema-
kin menggebu-gebu.
Anak buah Jedangmoro yang hanya terluka ka-
ki dan tangannya hanya memperhatikan saja tanpa
berani berbuat sesuatu. Bertanya-tanya dalam hati,
siapa kiranya orang yang berada di balik kedok putih itu. Dia begitu lihai dan
pandainya. Si Kedok Putih geleng-geleng kepala. Hatinya
sedih melihat pengawal pengiriman barang yang mati
itu, walau orang-orang itu membela kebenaran. Mati
karena dicabut nyawanya oleh orang-orang jahat!
Si Kedok Putih menjadi geram terhadap Je-
dangmoro, apalagi dia tidak bisa menangkapnya.
Orang itu licik dan licin, selalu menggunakan tenaga anak buahnya. Tetapi si
Kedok Putih yakin, akan kepandaian dan kesaktian Jedangmoro yang tidak ba-
nyak jauh berbeda. Tadi dia kalah karena lebih memi-
kirkan barang hasil rampasan yang tidak akan dinik-
matinya kalau dia mati duluan.
Entah di mana orang itu bermarkas, kalau ber-
temu lagi, si Kedok Putih tidak akan mengampuninya.
Mendadak dia mendongak, menatap matahari
yang sudah tinggi. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat, begitu cepat sekali, karena
sudah menghilang dari pan-
dangan. Anak buah Jedangmoro yang mampu bangkit,
berusaha untuk mencapai kuda mereka. Dan
memacu kuda mereka cepat-cepat. Hari ini me-
reka sial, bertemu dengan orang sakti macam si Kedok Putih. Benar-benar sial,
apalagi ketua mereka tidak mau membela. Malah melarikan diri! Sebenarnya
Jedangmoro bukan melarikan diri, tetapi dia harus sege-ra sampai ke rumah cepat-
cepat. Kuatir putrinya akan bertanya banyak ke mana saja dia semalam.
Si Kedok Putih pun berkelebat dengan cepat.
*** 5 Kuda yang membawa tubuh Jayalaksa sampai
ke perguruan Topeng Hitam. Hari sudah sore. Bebera-
pa orang murid yang menjaga di depan terkejut, kare-
na tubuh Jayalaksa penuh luka. Dan begitu kudanya
berhenti, tubuh Jayalaksa ambruk. Buru-buru mereka
mengangkat dan membawanya ke dalam. Membaring-
kan dan segera mengobati.
Ketua mereka Madewa Gumilang, sedang pergi.
Dan ketika datang langsung menjenguk dan kaget
mendengar semua penuturan Jayalaksa yang sudah
selesai diobati dan sekarang sedang istirahat.
"Jadi gerombolan Golok Iblis yang melakukan
semua, Jaya?" tanya Madewa meyakinkan.
"I... iya, ketua. Padahal kalau saja kami mau
menuruti nasehat orang muda itu, tentu tak akan ter-
jadi hal seperti ini."
"Kau kenal siapa dia, Jaya?"
"Tidak, Ketua. Pemuda itu kelihatannya seperti
orang baru. Dia mendendangkan sebuah lagu dari se-
rulingnya."
Madewa manggut-manggut. Siapa gerangan
pemuda itu" Tetapi bagaimana caranya Jayalaksa bisa
selamat dari gerombolan Golok Iblis"
Seperti mengetahui jalan pikiran orang tuanya,
Jayalaksa berkata, "Seorang laki-laki berkedok putih telah menyelamatkan saya,
Ketua." Lagi kening Madewa berkerut.
"Laki-laki berkedok putih" Siapa dia?"
"Entah, ketua. Orang itu sangat misterius. Dia
tidak ingin ada orang yang mengenalnya. Datangnya
pun secara tiba-tiba entah dari mana."
"Tidak ada ciri-ciri yang bisa menandakan siapa dia adanya?" Madewa masih
penasaran. "Tidak. Ketua. Dia tidak memegang senjata apa-
apa. Juga tidak memperlihatkan wajahnya. Satu-
satunya yang menjadi ciri-ciri orang itu, adalah kedoknya yang berwarna putih."


Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Madewa terdiam. Mengira-ngira siapa kiranya
orang itu. Baru kali ini dia mendengar adanya orang
pembela kebenaran dan keadilan dengan identitas ti-
dak jelas, hanya menutupi wajahnya dengan kedok pu-
tih itu. Mungkinkah wajah orang itu sangat buruk,
hingga dia tidak mau memperlihatkan wajahnya"
Atau... dia memang tidak ingin diketahui orang siapa dia sebenarnya.
Tiba-tiba Madewa menoleh, ke arah jendela.
Suatu bayangan bergerak dengan sangat cepat. Entah
siapa, Madewa hanya melihat kelebatannya saja. Keli-
hatan kalau murid-muridnya tidak melihat hal itu, istrinya pun demikian. Itu
jelas, bertanda bayangan
yang berkelebat tadi mempunyai ilmu yang tinggi.
Madewa tidak mau membuat ribut-ribut, apala-
gi Jayalaksa dalam keadaan sakit. Dia berlalu dari
tempat itu seolah masih memikirkan siapa si Kedok
Putih itu. Tetapi begitu keluar ruangan, dia cepat bersalto ke jendela dan
hinggap di tanah dengan ringan.
Tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.
Dia menyelinap di balik pohon bunga. Memper-
hatikan bayangan tadi. Madewa melihat suatu bayan-
gan menyelinap ke kandang kuda. Hmm, pasti pencuri
kuda yang mempunyai ilmu tinggi. Gerakannya tidak
menimbulkan suara, ringan dan cepat.
Madewa bergerak pula dengan ringan. Ia meli-
hat sesosok tubuh dari belakang. Seorang pemuda
yang tegap. Pemuda itu kelihatan hendak masuk ke
kandang kuda. Tetapi belum dia bergerak, Madewa su-
dah mengibaskan tangannya.
"Wuuut...!" serangkum dorongan angin bergerak menuju pemuda itu yang langsung
bergulingan dan bersiaga. Madewa berkelebat keluar dari persem-
bunyiannya. Pemuda itu tidak jadi lari, karena merasa sudah kepergok.
Madewa melihat seraut wajah tampan dan gan-
teng berdiri di hadapannya. Juga rambut yang gon-
drong. Ringan ia melangkah ke depan.
"Kau mau apa menyelinap ke mari, Anak muda
dan siapa kau sebenarnya?"
Pemuda itu masih terdiam. Memperhatikan se-
kujur tubuh laki-laki setengah baya di hadapannya.
Inikah ayahnya" Ayah yang hampir sembilan tahun di
tinggalinya" Ayah masih tetap gagah dan tampan. Pe-
muda itu adalah Pranata Kumala. Dia sengaja datang
bersembunyi-sembunyi, karena kuatir ketua pergu-
ruan Topeng Hitam sudah diganti. Dia ingin menyelidi-ki dulu. Tetapi sekarang
dia yakin, ketua perguruan Topeng Hitam masih tetap dipegang ayahnya, ayah yang
sangat dirinduinya siang dan malam.
Karena pemuda itu diam saja, Madewa ber-
tanya lagi, agak tajam, "Hei, Orang muda. Aku yang tua ini segan untuk
bertanding denganmu. Kulihat da-ri sikapmu, kau hendak mencuri kuda. Benarkah?"
Hei, ayah tidak mengenalinya. Apakah wajah-
nya selama sembilan tahun ini dilupakan ayah" Atau
ayahnya mulai pikun" Pranata ingin berteriak, ayah ini aku, Pranata putra mu!"
Tetapi dia diam saja, biar ayahnya menuduh
demikian. Dia ingin ayahnya menangkapnya. Dan dia
akan melawan sekedar menguji ilmunya dengan ilmu
ayahnya. "Kau telah menuduhku sembarangan, Paman,"
sahut Pranata memulai sandiwaranya.
"Lalu apa maksudmu menyelinap begitu kalau
tidak ada maksud jelek."
"Yah... tidak dapat ku sangkal, kalau aku me-
mang bermaksud jelek," kata Pranata.
"Dan kau hendak mencuri kuda-kuda itu"!"
bentak Madewa marah.
"Hhh!" Pemuda itu mendengus. "Hanya kuda, berapalah harganya. Kau tahu Paman,
aku hendak membunuh ketua perguruan Topeng Hitam ini! Cepat
suruh dia keluar Paman, kalau tidak, kau yang kubu-
nuh!" Madewa terdiam, mengira-ngira. Siapa pemuda ini. Kalau tidak salah, dia
sepertinya pernah melihat wajah pemuda ini. Tetapi kapan, kapan"
"Orang muda, akulah ketua perguruan Topeng
Hitam ini. Kenapakah engkau hendak membunuhku?"
"Aku ingin menantangmu berkelahi. Kalau bisa,
aku akan membunuhmu! Nah bersiaplah. Ketua!"
"Tahan!"
"Kau takut rupanya, hah?" Pemuda itu men-
dengus dan mengejek meremehkan
"Sedikit pun aku tidak takut denganmu. Tetapi
ingat, kalau di antara kita ada yang kalah, kau harus meninggalkan tempat ini
dan jangan mengganggu perguruan Topeng Hitam lagi. Topeng Hitam bukanlah
perguruan untuk mengadu ilmu. Kalau kau datang se-
cara damai ke mari, aku akan menerimamu dengan
senang hati. Nah, mulailah!"
Pemuda itu membuka jurusnya. Pranata tahu,
kesaktian ayahnya sangat hebat. Dia pun tidak tang-
gung lagi, dia langsung membuka jurus Tangan
Bayangan warisan gurunya Ki Ageng Jayasih.
Madewa masih tenang saja. Dia yakin, kesak-
tian pemuda itu tinggi. Tetapi dia terlalu sombong. Terlalu membanggakan diri.
Perbuatan menantang berke-
lahi itu tidak benar, karena bagi yang kalah, akan semakin penasaran untuk
menang dan bagi yang me-
nang bisa menjadi keras kepala karena tidak terkalah-
kan dan bisa membuatnya menjadi sombong dengan
menaklukkan orang-orang yang lemah hanya untuk
memperlihatkan kehebatannya.
Pemuda itu sudah menukik dan melesat ke de-
pan dengan gerakan yang sangat cepat dan penuh te-
naga. Madewa bergerak ke samping dengan ringan,
pukulan itu luput, tetapi kembali menyambar dengan
cepat. Tangan itu seolah menjadi banyak dan seperti
bayangan yang bergerak ke sana-kemari.
Dengan jurus Ulas Meloloskan Diri, Madewa
menghindari setiap serangan tangan kosong pemuda
itu, namun serangan itu sedemikian gencar dan cepat.
Tiba-tiba Madewa bersalto ke belakang dan membuka
jurusnya, Ular Cobra Bercabang Tiga, yang membuat
tangannya bergerak demikian cepat pula. Dan dengan
jurus itu dia bisa mengimbangi jurus Tangan Bayan-
gan pemuda itu. Malah pemuda itu agak terdesak,
soalnya tenaga dalam Madewa lebih tinggi darinya.
Dia bergulingan menjauh. Madewa tidak mem-
buru. "Bagaimana, Anak muda" Kau sudah mengakui kekalahanmu?"
"Belum!" Pemuda itu bangkit. "Kau belum memukul ku, Ketua!"
"Hmm, kau minta dipukul. Baik, majulah."
Pemuda itu kembali membuka jurusnya dan
menyerang dengan sangat cepat. Madewa merubah ju-
rusnya. Jurus Ular Mematuk Katak digunakan. Prana-
ta sudah tentu mengenal jurus itu, jurus yang sangat cepat dan tangguh. Dia la]u
menjaga jaraknya, tidak
mau terlalu dekat karena tangan ayahnya bisa sede-
mikian cepat menyambar. Dia mempergunakan ten-
dangan kakinya yang sangat cepat. Jurus tendangan
berantai, yang bergerak beruntun dan mencecar kepala
dan perut. Saking cepatnya, Madewa sulit untuk menang-
kap kaki itu. Tetapi dia tetap tenang menghindar dan berkelit, bahkan tangan
kirinya sempat mematuk mata
kaki pemuda itu, yang langsung mengaduh dan mena-
rik diri ke belakang. Matanya melotot gusar. "Kau"!"
"Kau sudah mengakui kekalahanmu, orang
muda?" tanya Madewa tenang.
Pemuda itu mendengus. Mengeluarkan sesuatu
dari balik bajunya. Sebuah seruling dan seruling itu diputar-putar hingga
menimbulkan desingan yang
agak keras. "Kau belum merasakan kehebatan seruling ku,
Ketua! Bersiaplah, nyawamu akan ku cabut hari ini ju-ga!!" "Mulailah, Orang
muda. Aku sudah siap!"
Pemuda itu bergerak dengan cepat dan men-
gayunkan serulingnya dalam bentuk totokan dan sabe-
tan. Madewa menghindari semua itu dengan ringan.
Kecepatan pemuda ini memang luar biasa, tetapi nam-
pak pengalaman bertandingnya kurang. Madewa
memperlihatkan kelincahannya berkelit. Dalam hati
Pranata kagum, ayahnya masih tetap digjaya. Usia
yang merambat tidak mengurangi kelincahannya.
Dan mendadak totokan serulingnya ditangkis.
"Trak...!" begitu keras. Pranata sampai terhuyung beberapa tindak. Madewa sudah
mengguna- kan pukulan Tembok Menghalau Badai, tetapi tidak
mematikan, hanya mengejutkan pemuda itu saja.
Pranata tersenyum dalam hati, ilmunya masih
berada jauh di bawah ayahnya.
Tetapi mendadak Madewa tersenyum, ia men-
gulurkan kedua tangannya.
"Putra ku... Pranata, selamat kembali Nak ke
perguruan Topeng Hitam...." desisnya yang membuat Pranata terkejut. Ia bangkit
sambil tertawa. Dan menjura. "Ayah... maafkan, Pranata," katanya sambil berjalan
dan memeluk ayahnya. Madewa memeluk pu-
tranya yang sembilan tahun tidak dijumpainya. Pemu-
da itu tumbuh gagah dan pandai. Sebenarnya dia su-
dah mengetahui siapa pemuda ini sejak tadi. Wajahnya mengingatkan dia kepada
putranya. Dan jurus Tangan
Bayangan itu adalah jurus kepunyaan Ki Ageng Jaya-
sih. Sembilan tahun membuatnya pangling pada
anaknya sendiri.
"Kau hebat, Nak...." suara Madewa tergetar.
"Ah... hanya ilmu kosong yang tidak pantas di-
pamerkan di depan Ayah...."
"Kau hebat, Ayah bangga dengan mu!"
Pranata tersipu, melepaskan rangkulannya.
"Maafkan aku Ayah... aku lancang menantang Ayah tadi." "Ha... ha... Ayah malah
bangga. Ayah senang melihat kepandaianmu, Pranata. Ayah yakin, kau pun
menguasai pukulan sakti sinar merah."
"Iya, Ayah. Ki Ageng Jayasih, menurunkan ilmu
saktinya itu kepadaku. Tahukah Ayah... untuk bisa
pandai dalam pukulan sinar merah itu, memerlukan
waktu hampir empat tahun. Ki Ageng Jayasih tidak
memperbolehkan aku pulang sebelum ilmu itu ku ku-
asai." "Tak kusangka, kau pun menguasainya."
"Ayah, aku kangen Ibu. Di mana dia sekarang?"
"Di dalam, ayo masuk, Nak."
Ratih Ningrum tentu saja terkejut melihat pe-
muda itu yang ternyata anaknya. Dia pun agak heran
tadi, siapa gerangan pemuda yang dirangkul suaminya
itu. Ketika dia tahu itu Pranata Kumala, dia cepat merangkulnya dan menciumnya
dengan penuh kasih
sayang. Sembilan tahun tidak merangkul putranya,
sudah tentu menjadikan Ratih Ningrum rindu yang
amat mendalam. Hari itu mereka berpesta menyambut kedatan-
gan Pranata Kumala yang tumbuh menjadi pemuda
hebat. Ratih Ningrum selalu menatap putranya. Seperti suaminya dulu ketika
seusia Pranata. Gagah dan tampan. Ketika mendengar berita ada murid perguruan
Topeng Hitam terluka, Pranata segera bangkit untuk
melihat. Pranata tahu siapa Jayalaksa, ketika dia be-rusia sembilan tahun,
Jayalaksa menjadi pembim-
bingnya dalam berlatih ilmu pedang perguruan Topeng
Hitam. Jayalaksa terkejut ketika Pranata menjenguk-
nya. "Kau... kau...."
Pranata pun terkejut. Tetapi kemudian terse-
nyum. "Iya, kakang. Aku Pranata Kumala."
"Bukan, bukan itu. Kau... kau yang memberi-
tahu aku agar tidak meneruskan perjalanan...." kata Jayalaksa terbata, ternyata
pemuda tadi itu adalah putra ketuanya sendiri.
Yang lain pun terkejut. Tak terkecuali Madewa.
Ternyata putranya yang memberitahukan itu. Tetapi
kenapa putranya tidak membantu, di mana hatinya"
Atau dia tidak senang Jayalaksa tidak mengantahkan
nasehatnya"
"Jadi kau orangnya, Pranata. Hh, kenapa kau
tidak membantu mereka?"
"Aku ingin membantu Ayah, tetapi kulihat ada
seorang laki-laki berkedok putih yang membantu me-
reka. Aku terus saja pergi. Kurasa, orang yang berkedok putih itu mampu mengusir
mereka. Lagipula, aku
sangat rindu pada kalian berdua, ayah dari ibu...."
Madewa Gumilang terdiam. Agak tidak senang
karena putranya tidak membantu membela kebenaran.
Tetapi Ratih Ningrum malah menyanjungnya, "Tidak apa, Pranata. Ibu juga sudah
rindu pada kalian."
Pranata mengangguk, ia tahu ayahnya tidak
suka dia berbuat begitu. Meninggalkan begitu saja
orang-orang yang berada dalam kesulitan.
Untuk mengenakkan ayahnya, dia bertanya,
"Ayah, kapan pengiriman barang itu akan dilakukan lagi?" "Entah, ayah tidak
tahu." "Kalau ada lagi, aku akan turun serta, Ayah.
Aku akan membela mereka-mereka yang lemah."
Madewa memperhatikan sekujur tubuh anak-
nya, lalu mengangguk.
"Hmm, baik. Tetapi kau harus diuji dulu ke-
pandaianmu. Biarpun murid tunggal Ki Ageng Jayasih,
aku kuatir kau tidak bisa menggunakan ilmu kepan-
daianmu itu. Mari kita ke ruang latihan!"
Madewa sudah beranjak mendahului. Ratih
Ningrum ingin protes, anaknya baru saja tiba, sudah
disuruh bertanding. Madewa memanggil sepuluh mu-
ridnya yang agak pandai. Mereka disuruh untuk me-
nandingi Pranata Kumala yang sudah berdiri di hada-
pan mereka. Madewa memandang putranya.
"Ingat Pranata, kalau kau terluka, itu resiko mu sendiri. Dan ingat, kau tidak
boleh melukai mereka!"
"Kakang!" seru Ratih Ningrum terkejut. Jelas saja itu kerugian bagi putranya.
Dia tidak boleh melukai lawan, tetapi lawan boleh melukainya. "Kalau tidak
adil dalam memberi peraturan."
"Aku ingin melihat kepandaiannya, Rayi. Kalau


Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya tenaga kasar yang diperlihatkan, aku yakin,
Pranata mampu mengalahkan mereka. Tetapi aku in-
gin lihat serangan halusnya tanpa melukai kesepuluh
lawannya. Pranata, kau bersiap!"
Ratih Ningrum akan protes lagi, tetapi didahu-
lui oleh Pranata, "Biarkan saja, Bu. Aku sanggup menghadapi mereka. Ayah
nampaknya marah karena
aku meninggalkan pertempuran antara perampok dan
Harpa Iblis Jari Sakti 2 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Raden Banyak Sumba 5
^