Pencarian

Penobatan Di Bukit Tulang 1

Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Bagian 1


PENOBATAN DI BUKIT TULANG IBLIS Serial Silat JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: Penobatan di Bukit Tulang Iblis
112 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 SEHARUSNYA hujan turun siang itu. Men-
dungnya sudah menebal sejak tadi. Tetapi entah
siapa yang telah menahan hujan di hari itu. Se-
dangkan di sebelah timur dan selatan hujan telah
turun dengan lebatnya. Hanya di daerah barat, di
mana terdapat Bukit Tulang Iblis berada, hujan
tak turun di sana. Mendung tetap menggantung
dan semakin lama semakin tebal. Angin bertiup
bagai saling berlomba dalam menghempaskan
daun-daun hutan.
Di kaki sebuah lembah berpohon renggang,
tampak seorang lelaki berpakaian serba hitam
terdorong mundur oleh sebuah pukulan tapak
tangan yang belum menyentuh dadanya. Pukulan
tapak tangan berkekuatan gelombang tenaga da-
lam itu ternyata milik seorang gadis yang menge-
nakan pakaian hijau muda dirangkap rompi ungu
tua yang terkancing rapat, membentuk tonjolan
nyata pada permukaan dada atasnya, sehingga
tampak menantang selera seorang lelaki. Namun
gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun itu
tak terlihat jalang, justru tampak kalem dan lem-
but. "Keparat kau, Sri Tanding! Rupanya kau menghendaki pertarungan kita
mencapai titik kematian!" geram lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu. Ia baru saja tegak
dari tubuh lim-
bungnya yang terkena gelombang pukulan tapak
tangan kiri Sri landing tadi.
"Sumo Loda, sebenarnya aku tidak meng-
hendaki pertarungan ini! Tapi kau memaksaku
berbuat seperti ini, Sumo Loda. Padahal aku me-
rasa tidak mempunyai perkara denganmu!" ucap gadis itu dengan tegas.
"Siapa bilang kau tidak punya perkara
denganku"! Niatmu untuk datang ke Bukit Tu-
lang Iblis sudah merupakan perkara besar bagi-
ku!" "Aku datang ke Bukit Tulang Iblis karena mewakili guruku!"
"Aku tidak inginkan hal itu!" sergah Sumo Loda. "Pihak perguruanmu tak boleh ada
yang hadir dalam pertemuan para tokoh sakti di Bukit
Tulang Iblis ini! Aku bersumpah untuk mengha-
langi siapa pun dari pihak perguruanmu yang in-
gin datang ke sana!"
"Apa alasannya, Sumo Loda?" tanya gadis berambut poni sepanjang lewat pundak
itu. "Hmmm...!" Sumo Loda sunggingkan se-
nyum sinis. "Aku masih menyimpan sakit hati
kepada gurumu; Ratu Candra Wulan itu! Lima be-
las tahun yang lalu, dia telah mengusirku dari
Perguruan Elang Betina dengan seenaknya sendi-
ri. Kupendam sakit hatiku kala itu, dan aku ber-
sumpah untuk selalu menggagalkan rencana
orang-orang Perguruan Elang Betina yang punya
maksud apa pun di dunia persilatan ini!"
Sri Tanding tetap tenang. Berdiri dengan
kedua kaki tegak berjarak, kedua tangan berside-
kap di dadanya, kepalanya sedikit mendongak se-
hingga tampak keangkuhan sikapnya. Sumo Loda
melangkah mondar-mandir di depan Sri Tanding.
Dadanya selalu membusung maju dengan kedua
tangan sedikit ditarik ke belakang. Itulah ciri ke-biasaan Sumo Loda jika
berjalan. Dengan sesekali mengusap kumis tebalnya,
lelaki bermata angker itu berkata, "Seharusnya aku berharap Ratu Candra Wulan
sendiri yang keluar dari perguruan
dan menghadiri pertemuan nanti. Dengan
begitu aku bisa berhadapan dengan perempuan
jahat itu!"
"Guruku bukan perempuan jahat! Kalau
kau dulu dipecat dan diusir dari pesanggrahan itu lantaran kau mau berniat
kurang ajar dengan
Nyai Guru! Sebuah sikap rendah yang amat me-
malukan, jika seorang murid ingin berniat kurang
ajar terhadap gurunya! Layak jika kau diusir dari perguruan. Masih beruntung kau
tidak dijatuhi hukuman yang lebih berat lagi, Sumo Loda!"
"Kau tidak bisa menuduhku begitu saja,
Sri Tanding. Jika dulu aku berniat kurang ajar
kepada Ratu Candra Wulan, itu lantaran dia
menggoda gairah ku terus-menerus!"
"Omong kosong! Kau hanya mencari alasan
buat pembelaan dirimu!" sentak Sri Tanding yang mulai tersinggung dengan ucapan
Sumo Loda yang bersifat merendahkan gurunya. Sri Tanding
pun berkata tegas,
"Sekarang akulah wakil dari Guru untuk
hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu! Seka-
rang apa maumu. Sumo Loda"!"
"Menggagalkan niatmu untuk datang ke
sana! Bila perlu harus dengan cara membunuh-
mu!" Sumo Loda berkata dengan nada mengge-
ram. "Kalau kau ingin menjajal ilmuku, aku tak keberatan memamerkannya di
depanmu, Sumo Loda. Supaya lain waktu kau tidak menganggap
ringan murid Nyai Guru Ratu Candra Wulan!"
"Sesumbarmu membakar darahku dan
makin menantang hasratku untuk membunuh-
mu, Sri Tanding! Jika begitu, terimalah jurus
mautku ini!" Sumo Loda memainkan jurus maut-
nya dengan tiga jari mengeras pada kedua tan-
gannya. Kaki merendah, satu ditarik ke belakang,
mata melirik tajam, urat lengan menjadi keras,
dan ia pun cepat melompat dalam satu gerakan
yang sangat tiba-tiba.
"Heaaah...!"
Sri Tanding yang sejak tadi hanya berside-
kap tangan di dada itu, kali ini melepaskan lipa-
tan tangannya itu, dan menahan sodokan tiga jari
yang mengancam leher kanan-kirinya. Taabb...
taabb...! Dengan telapak tangan membuka, sodo-
kan tiga jari di tangan kanan-kiri lawan itu tertahan kuat. Memercikkan bunga
api yang membara
kecil. Lalu, kaki Sumo Loda menendang, tapi di-
tangkis dengan kaki Sri Tanding, sehingga mereka
akhirnya perang kaki dengan tangan masih saling
menahan dan menekan.
Plak, plak, plak, dugg, duug, plak, duug...!
Buuaaggh...! Sumo Loda berhasil kecurian jurus. Kaki
lawannya dengan kuat menendang ulu hatinya.
Tendangan itu membuat tubuh besar Sumo Loda
terangkat terbang ke atas dan kehilangan ke-
seimbangan. Sedangkan Sri Tanding yang jari-jari
di kedua tangannya masih mengeras dan merapat
itu segera membalikkan tapak tangan tersebut,
lalu menyodokkan ke arah depan. Zaapp...!
Wuuttt...! Dua tenaga dalam terlepas dari
ujung-ujung telapak tangan tersebut. Tenaga ber-
gelombang panas itu menghantam tubuh Sumo
Loda yang sedang melayang. Bhaag...! Wuuss...!
Tubuh itu kian terlempar bagaikan seonggok
daun kering dihempas badai.
Braagg...! Sumo Loda jatuh di atas rerun-
tuhan pohon kering. Walaupun ia berhasil me-
lenting lagi ke udara untuk lakukan lompatan ke
samping, tapi ia sudah tak mampu menapakkan
kakinya dengan mantap. Ia limbung dan jatuh
kembali dengan mulut keluarkan darah kental.
Wajah angker Sumo Loda menjadi pucat pasi.
Sri Tanding tak mau mengejar dan menye-
rang lagi. Ia biarkan dulu lawannya yang jelas terluka berat di bagian dalam
tubuhnya. Ia berharap
lawannya mau diajak berdamai dan tidak meng-
ganggunya lagi. Tapi agaknya Sumo Loda tidak
mau kenal kata berdamai dengan orang-orang
Perguruan Elang Betina itu. Terbukti dari sikap-
nya memandang masih menampakkan sikap
permusuhan. Bahkan mungkin lebih sengit lagi.
"Tak ada perlunya melanjutkan pertarun-
gan ini, Sumo Loda! Aku terpaksa harus mening-
galkanmu!" kata gadis yang kelihatan lebih berwi-bawa daripada lawannya.
"Tunggu!" sentak Sumo Loda sambil bersikap tegak di depan gadis itu. Lalu, ia
mencabut senjatanya berupa kipas tiga keping. Hanya ada
tiga logam bertepian tajam yang dapat dibuka-
tutupkan seperti kipas itu. Jari-jari Sumo Loda
menyelinap di sela-sela logam tajam itu, lalu
menggenggamnya kuat-kuat.
"Tak perlu terburu-buru merasa menang,
Sri Tanding! Aku masih menggunakan satu jurus
maut yang rupanya bisa kau lawan. Tapi bebera-
pa jurus maut ku tak akan bisa ditandingi oleh
jurus-jurus dari Perguruan Elang Betina. Terima-
lah jurus 'Kipas Tigo' ini! Hiaaat...!"
Sumo Loda menyerang dengan satu lompa-
tan ke arah lain. Tapi kipasnya yang berkerilap
terkena pantulan sinar matahari itu mengibas
dan menimbulkan hawa panas yang cukup tinggi.
Sri Tanding kaget dan cepat menghindar dengan
lompatan salto tiga kali ke arah belakangnya.
Wus, wus, wus...!
"Edan! Kalau aku tidak menghindar sece-
patnya, meleleh seluruh tubuhku seperti pohon
besar itu!" kata Sri Tanding dalam hatinya. Matanya masih memandangi pohon yang
batangnya bagai melepuh dan mengelupas akibat terkena
hawa panas jurus 'Kipas Tigo' itu. Bahkan dua
pohon di belakang pohon pertama pun kulit ba-
tangnya ikut mengelupas, namun tak sampai
membuat kayunya retak dan melintir, seperti po-
hon pertama. Daun-daun pohon pun cepat layu
dan akhirnya saling berguguran.
"Rupanya Sumo Loda benar-benar unjuk
kesaktian di depanku. Ia pamerkan jurus yang
diperolehnya selama ia menjadi anggota Pergu-
ruan Lawa Murka. Hmm...! Aku terpaksa kelua-
rkan jurus-jurus simpanan kalau begini caranya!"
pikir Sri Tanding.
Sumo Loda segera lakukan serangan lagi
dengan melompat ke arah lain, "Heaaahh...!"
Wuuttt...! Kipas Tigo berkelebat mengibas
dengan cepat. Hawa panas berupa serbuk putih
menebar bagaikan tepung dibuang ke satu arah.
Sri Tanding cepat tanggap, serbuk putih itu pasti racun yang membahayakan. Maka
dengan cepat ia berdiri dengan satu kaki, ujung jempol kakinya yang menapak di tanah, lalu
tubuhnya berputar
dengan cepat bagai gangsing. Wuuusstt...!
Hanya sekejap hal itu dilakukan. Tepung-
tepung putih bertebaran ke berbagai arah. Angin
yang ditimbulkan dari putaran tubuh itu cukup
kuat hingga membuat Sumo Loda terpelanting ja-
tuh bagaikan dihempas badai besar. Tetapi di luar dugaannya, dari putaran tubuh
itu Sri Tanding
berhasil lepaskan senjata rahasia berupa logam
putih berkilat seperti ujung anak panah yang pi-
pih. Runcing di berbagai sudutnya. Logam itu me-
lesat begitu cepat dan sukar dilihat dengan mata
telanjang. Zlaapp...! Juubb...!
"Auw...!" Sumo Loda terpekik, lengan kirinya terkena senjata kecil itu. Menancap
dengan cepat dan tak mampu dihindari lagi.
"Ouh... badanku seperti ditusuk ratusan
jarum dari segala arah!" pikir Sumo Loda. "Ooh...
lemas sekali. Urat-uratku bagaikan putus!"
Sumo Loda tak mampu menggerakkan tu-
buhnya. Bahkan mengangkat kepalanya pun tak
bisa. Ia terkulai lemas di tanah seperti seonggok karung basah lupa di jemur.
Wajahnya kian pucat, matanya semakin sayu. Pada saat itu, Sri
Tanding bermaksud pergi meninggalkan Sumo
Loda. Namun tiba-tiba dari mata Sumo Loda yang
menjadi sayu itu keluar dua larik sinar hijau bening mengarah ke tubuh Sri
Tanding. Rupanya itu-
lah kekuatan terakhir Sumo Loda yang bisa dila-
kukan dengan menggerakkan batinnya. Claapp...!
Sri Tanding berbalik dan cepat lepaskan
pukulan sinar kuningnya dari dua jari tangannya
yang ditotokkan ke udara. Claap...! Sinar kuning
dua larik itu menghantam tepat dua larik sinar
hijau. Biaarr...!
Sebuah ledakan terjadi timbulkan gelom-


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bang hentak yang amat kuat. Tubuh Sri Tanding
terhuyung-huyung ke belakang dan membentur
batang pohon. Sedangkan tubuh Sumo Loda yang
mirip karung basah lupa dijemur itu terguling-
guling tak beraturan lagi gerakannya. Kalau tidak ada pohon berjajar yang
menghalangi gerakan tu-
buhnya, mungkin Sumo Loda sudah jatuh ke ju-
rang yang tak seberapa dalam itu. Untung ada
dua pohon berjajar, hingga tubuhnya tersangkut
di sana. "Rupanya kau betul-betul belum puas jika
di antara kita belum ada yang mati, Sumo Loda!
Baiklah. Dengan sangat terpana aku harus menu-
ruti kehendak hatimu! Terimalah Jurus terakhir
ku ini! Hiaaah!"
Sri Tanding sentakkan tangan kirinya da-
lam keadaan semua jari mekar keras. Dari tela-
pak tangannya keluar seberkas sinar merah yang
membentuk bulatan seperti bola. Sinar merah itu
mempunyai lidah api yang berkelebat jelas dalam
gerakan layangnya yang cepat Biaarr...!
Seberkas sinar biru bagai sepenggal besi
tiba-tiba saja menghantam sinar bola berapi. Aki-
batnya pecah dan hancurlah kekuatan tenaga da-
lam Sri Tanding di pertengahan jarak antara di-
rinya dengan Sumo Loda. Tentu saja Sri Tanding
menjadi kaget dengan munculnya sinar biru itu.
Maka ia segera memandang ke arah datangnya
sinar biru tersebut.
Seorang wanita berusia sekitar enam puluh
tahun berdiri dengan tenangnya di atas sebuah
pohon. Setelah ia dipandang oleh Sri Tanding, ia
pun lekas-lekas melompat turun. Wuuttt...! Gera-
kan turunnya cukup lamban. Pakaiannya tidak
sampai tersingkap ke atas. Bahkan ketika mena-
pakkan kaki di tanah, tak terdengar bunyi rum-
put dipijaknya. Rupanya ia bisa kendalikan gera-
kan tubuh yang turun dari atas pohon dengan
mengendalikan daya tank bumi.
Buat Sri Tanding, tidak heran jika perem-
puan berpakaian kuning dengan berkalung selen-
dang merah di lehernya itu bisa lakukan hal se-
perti itu. Karena Sri Tanding tahu, siapa perem-
puan itu dan seberapa tinggi ilmunya. Maka, den-
gan cepat Sri Tanding segera menegur.
"Rupanya kau ingin ikut campur dalam
perkara ini, Nyai Selendang Badai"! Kau membela
Sumo Loda karena ingin mendapatkan keme-
sraannya yang menggugah semangat mu, Nyai"!"
"Jaga bicaramu, Gadis Setan! Bisa kurobek
tujuh cabik mulut mungilmu itu!" ucap Nyai Selendang Badai dengan nada dingin.
Ia dipanggil dengan sebutan Nyai oleh Sri Tanding, sebab ia
berusia sedikit lebih muda dari guru Sri Tanding.
Tapi para tokoh lainnya memanggilnya dengan
sebutan Nyai, itu berarti Sri Tanding masih mau
memberi hormat kepada orang yang lebih tua da-
rinya itu. Tetapi jika sikap Selendang Badai tetap memusuhinya, maka Sri Tanding
pun siap melu-pakan sebutan Nyai kepada Selendang Badai.
"Apa maksudmu membela Sumo Loda,
Nyai" Setahuku dia bukan kekasihmu, juga bu-
kan orang perguruanmu! Setahuku kau bermu-
suhan dengan Sumo Loda, Nyai!"
"Benar. Tapi aku punya persoalan sendiri
dengan orang Perguruan Elang Betina. Dan kare-
na kudengar kau tadi tampil sebagai wakil guru-
mu; si Ratu Candra Wulan, maka terpaksa aku
melibatkan urusan dengan mu, Sri Tanding!"
"Apakah yang kau maksudkan adalah uru-
san masa lalumu dengan Nyai Guruku"!" tanya
Sri Tanding karena ingat cerita gurunya tentang
seorang musuh yang bernama Selendang Badai,
yang punya ciri khas berkalung selendang merah
di lehernya itu. Kali ini selendang merah tersebut dikalungkan dengan kedua
ujungnya ada di
punggung. "Rupanya gurumu punya cerita sendiri ten-
tang permusuhan kami!"
"Tapi aku tidak tertarik dengan cerita itu,
Nyai!" kata Sri Tanding dengan tetap bersikap tegas. "Tertarik ataupun tidak,
tapi aku tetap harus bikin perhitungan dengan pihak Elang Betina!
Kekasihku, Panji Timur, telah dibunuh oleh gu-
rumu! Sampai sekarang aku belum bisa memba-
lasnya karena kesibukan ku dengan urusan lain.
Tapi sekarang aku sudah punya waktu untuk me-
lampiaskan dendam ku kepada gurumu. Karena
kau yang menjadi wakil dari gurumu untuk tam-
pil di Bukit Tulang Iblis nanti, maka aku terpaksa melampiaskan dendam ku
kepadamu, Sri Tanding!" "Demi kepercayaan dan tugas yang diberi-kan oleh guru
kepadaku, apa pun yang terjadi
akan kuhadapi, Nyai!"
"Baik. Itu murid yang terpuji. Rela mati
demi guru, adalah jiwa seorang murid yang patut
dibanggakan. Tetapi ketahuilah Sri Tanding, aku
punya dua pilihan untuk mu sebagai sikap bijak
ku sebagai orang berilmu tinggi. Kau akan kube-
baskan dari dendam, jika kau mau batalkan
niatmu untuk hadir di pemilihan hakim dan raja
dunia persilatan di Bukit Tulang Iblis nanti. Atau kau mati melawanku sebelum
sampai ke Bukit
Tulang Iblis"!"
Perempuan berusia banyak yang masih
punya sisa kecantikan masa lalunya itu bicara
dengan mata memandang dingin, wajah tanpa ke-
san apa pun kecuali kesan datar dan dingin. Gi-
wang berliannya berkerilap terkena pantulan si-
nar matahari dan sesekali menyilaukan pandan-
gan mata Sri Tanding. Selain mengenakan kain
kuning sebagai baju, ia juga mengenakan jubah
tanpa lengan warna biru tua. Rambutnya disang-
gul ke atas dengan rapi, sisanya hanya sedikit
yang meriap di samping kanan kirinya.
"Bagaimana, Sri Tanding" Kau pilih yang
mana dari dua tawaranku tadi, Gadis Bodoh"!"
"Apa pun yang terjadi, aku harus tetap
tampil di Bukit Tulang Iblis mewakili guru, sekali-gus mewakili orang Perguruan
Elang Betina! Jika
kau Ingin bertindak sesuai dengan tawaranmu
tadi, aku siap menghadapimu, Selendang Badai!"
Sri Tanding sudah tidak bersikap hormat lagi
dengan calon musuhnya itu.
"Benar dugaanku. Kau memang gadis bo-
doh! Apa boleh buat jika memang itu pilihan
mu...!" Wuuutt!
Tiba-tiba tubuh Selendang Badai bergerak
cepat bagaikan tanpa menjejakkan kakinya dulu
ke tanah. Begitu cepat gerakannya sehingga sem-
pat mengejutkan Sri Tanding dan membuatnya
kelabakan. Karena tiba-tiba sebuah pukulan telak
mendarat di rahang kanan Sri Tanding. Deesss...!
Pukulan itu berhasil membuat tubuh Sri
Tanding terpental terbang. Selain terbang ke atas cukup tinggi, juga cukup jauh
dari jarak tempat
berdirinya semula. Rupanya pukulan itu bukan
saja pukulan yang mengejutkan, namun juga dis-
ertai pengerahan tenaga dalam yang mampu ha-
dirkan sentakan kuat.
Bruuhg...! Tubuh Sri Tanding jatuh ter-
sungkur. Rahangnya terasa pecah. Namun ia ma-
sih bisa berdiri dengan mengibaskan kepalanya,
membuang bintik-bintik dalam pandangan ma-
tanya. Kini ketika pandangan matanya cukup je-
las, ia pun segera lepaskan serangan balasan
dengan melompat dan bersalto dua kali ke depan.
Kakinya cepat menjejak kepala Selendang Badai.
Wuuttt...! Plaakk...!
Tendangan itu ditangkis oleh Selendang
Badai dengan menghadangkan lengan kirinya.
Dan itu membuat Sri Tanding justru terjungkal
sendiri. Kekuatan tenaga dalam yang telah dike-
rahkan membalik menghantam dirinya sendiri,
sehingga Sri Tanding terpental sejauh tujuh lang-
kah dari tepat Sri Tanding berdiri.
Tenaga dalam yang membalik itu membuat
Sri Tanding memuntahkan darah dari mulutnya
dalam keadaan setengah merangkak di tanah.
Tubuhnya terasa sakit semua. Dan kesempatan
itu rupanya digunakan oleh Selendang Badai un-
tuk mengakhiri riwayat Sri Tanding. ia Segera
menarik selendangnya, lalu dikibaskan ke arah
tubuh Sri Tanding. Blaarrr...!
Selendang tipis membayang berwarna me-
rah itu ternyata mempunyai kekuatan dahsyat.
Ketika dikibaskan, seberkas sinar biru memancar
terang dalam sekejap. Sinar biru itu menghantam
tubuh Sri Tanding yang sedang berusaha untuk
bangkit. Akibatnya tubuh tersebut terlempar ja-
tuh dengan kulit-kulitnya retak dan mengucur-
kan darah bagaikan disambar petir.
"Cukup tinggi dia punya ilmu tenaga da-
lam. Buktinya ia tak sampai pecah terkena sabe-
tan selendang ku"!" pikir Selendang Badai. Ia ingin mengakhiri hidup gadis
cantik itu secepatnya.
Maka, ia kibaskan kembali selendang merahnya
itu. Tetapi, tiba-tiba ada angin kencang ber-
hembus dan membuat tubuhnya sempat oleng.
Ternyata angin itu timbul karena kepak sayap
seekor rajawali besar warna merah. Rajawali itu
ditunggangi oleh seorang pria tampan yang masih
muda, berpakaian putih dengan selempang dada
kain bulu coklat dari kulit beruang. Pemuda itu
menyandang pedang merah tembaga di pung-
gungnya dengan gagang berujung kepala dua ra-
jawali yang saling bertolak belakang.
Melihat ciri-ciri itu, Selendang Badai men-
genal tokoh tampan tersebut. Dialah Pendekar
Rajawali Merah yang bernama Yoga. Selendang
Badai memang belum pernah jumpa, namun na-
ma Yoga sudah tidak asing lagi di dunia persila-
tan. Nama itu menjadi bahan bicaraan para tokoh
dunia persilatan bersama-sama nama Lili, yang
menyandang gelar Pendekar Rajawali Putih.
Selendang Badai sempat terkesiap matanya
ketika melihat burung besar itu menyambar tu-
buh Sri Tanding yang terluka parah. Ia sempat
berseru kepada Pendekar Rajawali Merah,
"Lepaskan gadis itu! Jangan ikut campur
urusan ku!"
Tetapi Yoga tidak memberikan jawaban.
Burung Rajawali Merah itu tetap membawa pergi
tubuh Sri Tanding. Selendang Badai marah, ia se-
gera menyabetkan selendangnya ke angkasa. Ble-
gaarr...! Angin bergelombang besar menghempas ke
seluruh penjuru. Hawa panas yang ditimbulkan
oleh ledakan bercahaya putih kebiruan dari se-
lendang tersebut membuat burung Rajawali Me-
rah memekikkan suaranya keras-keras,
"Keaaak...! Keaaak...!" sambil ia terbang semakin cepat. Sayapnya yang lebar
menghem-buskan angin kibasan yang kuat juga, sehingga
gelombang hawa panas itu tidak sampai menerpa
tubuhnya. Hanya sedikit yang menerpa tubuh
dan membuat udara lebih panas dari matahari,
namun tidak membuat melepuh kulit tubuh atau
merontokkan bulu-bulunya. Yoga hanya berkata
kepada burung rajawalinya,
"Jalan terus dan jangan hiraukan orang
itu, Merah! Gadis inilah yang kita butuhkan un-
tuk menjadi penunjuk Jalan tentang tempat ting-
gal Wong Sakti yang menyekap Bocah Bodoh itu!"
"Keaak...! Keaaak...!"
Rupanya dalam perkara penculikan Bocah
Bodoh yang dilakukan oleh Wong Sakti itu, Yoga
telah kehilangan jejak pelarian Wong Sakti. Dan
menurut seseorang yang bicara dl kedai bersama
temannya, Wong Sakti mempunyai sahabat baik
yang bernama Sri Tanding.
Konon di masa lalu Sri Tanding ingin di-
angkat sebagai murid oleh Wong Sakti, tapi Wong
Sakti tidak suka murid perempuan, jadi mereka
hanya bersahabat sebatas pergaulan balk saja.
Kemudian pada usia empat belas tahun, Sri
Tanding diangkat menjadi murid oleh Ratu Can-
dra Wulan. Sejak itu mereka pun jarang bertemu
lagi. Tapi jelas Sri Tanding masih ingat di mana
Wong Sakti bertempat tinggal. Itulah sebabnya
Yoga menyelamatkan Sri Tanding yang mempu-
nyai ciri-ciri pada pakaian hijau berompi rapat
warna ungu tua, wajah cantik mungil berambut
poni. "Semoga ia tidak tertolong dengan lukanya separah itu!" kata Selendang
Badai yang kehilangan lawannya. Ia segera mendekati Sumo Loda.
Sekalipun Selendang Badai tak menyukai sifat
Sumo Loda yang angkuh dan sombong dengan
kesaktian ilmunya, tapi ia merasa kasihan juga
melihat Sumo Loda antara mati tidak, hidup pun
tidak. Selendang Badai lakukan pengobatan se-
bentar untuk Sumo Loda, lalu ditinggalkan pergi
begitu saja. * * * 2

Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

MENJELANG pertemuan para tokoh sakti
di Bukit Tulang Iblis itu, memang banyak terjadi
pertarungan di sana-sini. Pertemuan di Bukit Tu-
lang Iblis untuk memilih dan menobatkan siapa
orang yang berhak menyandang gelar Pendekar
Maha Sakti, yang berarti menjadi orang tertinggi
di rimba persilatan. Dengan gelar tersebut, ia sudah menjadi raja di rimba
persilatan, di mana se-
gala aturan dan perintahnya harus di taati oleh
semua tokoh persilatan. Selain itu ia juga akan
dinobatkan sebagai hakim yang akan mengadili
perkara-perkara di dunia persilatan yang tidak bi-sa terselesaikan.
Dari mulut ke mulut berita itu menyebar
dan menarik minat para pendengarnya, terutama
yang merasa berilmu tinggi. Entah dari mana da-
tangnya berita tersebut, tahu-tahu sudah banyak
orang yang mengetahui dan berminat menghadi-
rinya. Salah satu pertarungan yang mengawal
pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu terjadi di pan-
tai hutan karang. Pantai itu mempunyai banyak
gugusan batu karang, ada yang tingginya melebi-
hi pohon kelapa, ada yang hanya sebatas ukuran
manusia biasa. Yang jelas karang-karang itu men-
julang tinggi di sana-sini menyerupai pilar dan
bentuk-bentuk aneh lainnya. Pantai hutan karang
itu dikenal dengan nama Pantai Karang Liar.
Di pantai itulah, sebuah pertarungan seru
terjadi antara Resi Panuluh dengan seseorang
berbadan kurus ceking dengan rambut putih pan-
jang sampai pantat, mirip seorang perempuan,
dan dialah yang berjuluk Ki Tenung Jagat. Pa-
kaiannya abu-abu, rambutnya tak pernah digu-
lung dan dibiarkan meriap begitu saja. Kumisnya
putih rata tapi tidak memiliki jenggot atau cam-
bang. Usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas.
Sejajar dengan usia Resi Panuluh yang bertubuh
gemuk, mengenakan pakaian model biksu warna
coklat tua. Rupanya mereka bertarung sudah sejak
tadi, sehingga keduanya sama-sama sudah terlu-
ka. Resi Panuluh mengalami luka ujung pundak-
nya akibat tongkat putih lawannya, sedangkan Ki
Tenung Jagat terluka di bagian dadanya, yang
membekas telapak tangan merah kebiruan akibat
pukulan. Saat ini mereka sedang berhadapan sambil
mengatur napas. Mereka saling pandang penuh
permusuhan dalam jarak sekitar lima langkah.
Keduanya tampaknya tak ada yang mau mundur
sedikit pun. Keduanya sama-sama bernafsu un-
tuk menumbangkan lawannya, mungkin bila per-
lu sampai lawan kehilangan nyawanya. Padahal
keduanya dulu hidup bersama satu panji-panji
perguruan. Ketika guru mereka wafat, mereka mulai
membentuk aliran masing-masing. Resi Panuluh
membentuk aliran Partai Petapa Gunung, se-
dangkan KI Tenung Jagat membentuk aliran Par-
tai Petapa Laut. Mereka bersaing, dan akhirnya
persaingan itu menjadi permusuhan besar, hing-
ga banyak korban yang timbul akibat permusu-
han tersebut. Banyak anggota Partai Petapa Gu-
nung yang tewas di tangan Partai Petapa Laut,
namun juga banyak anggota Partai Petapa Laut
yang tewas dirobohkan oleh orang-orang Petapa
Gunung. Kini anggota mereka tinggal beberapa gelin-
tir orang. Sebenarnya kedua tokoh sakti itu tidak ingin lanjutkan permusuhan
mereka demi menjaga kelanjutan berdirinya aliran mereka. Tetapi
agaknya pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu me-
mancing hati mereka untuk saling bertemu dan
saling menyingkirkan.
Ki Tenung Jagat tidak ingin Resi Panuluh
yang nantinya terpilih sebagai hakim di rimba
persilatan. Sedangkan Resi Panuluh sendiri men-
jaga agar gelar Pendekar Maha Sakti tidak sampai
jatuh ke tangan orang dari aliran Petapa Laut Ka-
rena itulah akhirnya mereka bertemu dan saling
menjatuhkan sebelum tiba saat pemilihan dilak-
sanakan. Tapi agaknya sampai saat terakhir me-
reka mengatur napas, mereka masih sama-sama
kuat dan belum ada yang mempunyai niat untuk
mengalah. "Kau tidak akan unggul melawanku, Te-
nung Jagat! Kusarankan mundur saja dan tak
perlu hadir di Bukit Tulang Iblis!"
Ki Tenung Jagat diam memandang dengan
tajam. Pandangan matanya lebih berkesan dingin.
Sedingin salju dari kutub utara. Setelah diam be-
berapa saat, Ki Tenung Jagat berkata dengan da-
tar, "Dari dulu aku tidak pernah gentar melawanmu, Panuluh! Tapi kulihat sinar
matamu me- nampakkan kegentaran hatimu. Kalau kau mera-
sa akan lebih unggul dari ku, tunjukkan ke depan
para tokoh nantinya di Bukit Tulang Iblis. Kita
bertarung di sana sampai ada yang mati!"
"Tantanganmu hanya ingin menunda wak-
tu. Aku tahu kau mencari kesempatan untuk
mencari kelengahan ku, Tenung Jagat! Kurasa ki-
ta tidak perlu menunda waktu lagi; sekarang
tinggal menentukan siapa yang unggul di antara
kita. Aliran Petapa Gunung tak pernah mau me-
nunda waktu untuk tentukan kepastian! Kalau
kau takut, sekali lagi kusarankan untuk mundur
dan perpanjang nyawamu beberapa saat lagi!"
"Aliran Petapa Laut tak mengenai kata
mundur!" "Jika begitu, kita teruskan pertarungan ki-
ta dan jangan berhenti sebelum ada yang mati!"
"Aku setuju!" jawab Ki Tenung Jagat den-
gan datar, sepertinya tidak berperasaan sama se-
kali. Resi Panuluh melemparkan sesuatu dari
tangannya. Ternyata keluar seekor ular yang ber-
kelebat menyambar Ki Tenung Jagat. Orang ber-
jubah abu-abu itu masih tetap tenang, hanya ma-
tanya memandang ke arah ular hitam itu dengan
tidak berkedip. Kemudian ular itu lenyap begitu
saja ketika berjarak dua langkah dari tempatnya
berdiri. Wuusss...! Asap hitam menggantikan ular
tersebut dan asap itu pun sirna secepatnya kare-
na hembusan angin pantai. Ki Tenung Jagat me-
mandang tajam ke arah Resi Panuluh. Pandangan
mata itu disambut dengan tajam pula oleh Resi
Panuluh. Kejap berikutnya terjadi suatu keanehan,
tanah tempat berpijak Resi Panuluh menjadi am-
blas, tubuh gendut itu melesat masuk ke dalam
tanah sebatas mata kaki lebih sedikit.
Resi Panuluh masih diam dan membiarkan
tubuhnya bagai ada yang menyedot dari dalam
tanah. Namun tiba-tiba Ki Tenung Jagat pun me-
rasakan ada yang menyedotnya ke dalam tubuh.
Suuttt...! Kini kaki orang kurus itu tenggelam ke dalam tanah sebatas betis.
Namun dalam waktu
cepat ia kembali naik ke permukaan lagi dengan
menekan tongkatnya yang digenggam dan sedikit
dihentakkan pada tanah.
Wuuttt...! Ki Tenung Jagat berdiri dengan
tegak di permukaan tanah, namun Resi Panuluh
Justru semakin melesak masuk. Suuttt...!
Kini Resi Panuluh terpendam sampai seba-
tas lutut. Lelaki berambut putih digulung ke atas itu masih tetap tenang. Kedua
tangannya tetap
saling merapatkan telapaknya di dada. Matanya
masih belum mau berkedip. Dan tiba-tiba telapak
kaki Ki Tenung Jagat mulai berasap. Semakin la-
ma semakin banyak asap yang keluar dari tempat
berpijak Ki Tenung Jagat. Bahkan lama-lama ter-
lihat warna cahaya merah membara pada tanah
tempat berpijak Ki Tenung Jagat. Tanah itu pasti
sepanas bara api batu lahar.
Suuttt...! Resi Panuluh semakin tersedot
masuk ke dalam tanah. Kini tubuhnya yang ter-
tanam di dalam tanah mencapai seluruh pa-
hanya. Sedangkan tanah tempat berpijak Ki Te-
nung Jagat semakin membara lebar. Bau hangus
tercium searah dengan hembusan angin saat itu.
Toh hal itu tidak membuat Ki Tenung Jagat ber-
geming sedikit pun. Hanya saja, makin lama ma-
kin terlihat jelas bahwa telapak kaki orang itu tidak menapak di tanah membara
tersebut. Seakan
tubuhnya terangkat karena tangannya bertumpu
pada tongkat putihnya. Tongkat itulah yang men-
jadi penyangga tubuh Ki Tenung Jagat.
Ssuuttt...! Brruusss...!
Tubuh orang gemuk itu semakin lebih da-
lam lagi tersedot ke tanah. Kini mencapai batas
perutnya yang tertanam. Sedangkan pandangan
mereka masih saling beradu dengan tajam dan
tak berkedip. Tiba-tiba tubuh Ki Tenung Jagat
berkelebat memutar seperti hendak bersalto.
Wuuttt...! Jleggg...! Tahu-tahu ia sudah berdiri di atas tongkatnya dengan satu
kaki. Tongkat itu
berdiri tegak tak tenggelam sedikit pun bagian
ujung bawah. Bertepatan dengan gerakan pindah
tubuh Ki Tenung Jagat itu, tubuh Resi Panuluh
pun tersentak lompat keluar dari tanah yang
membenamnya. Wuuttt...! Bruusss...!
Jleegg...! Resi Panuluh bersalto satu kali di
udara. Dan mendarat di atas gundukan karang
runcing menyerupai mata tombak. Ia berdiri di
sana tanpa tembus kakinya. Kedudukannya men-
jadi sama tinggi dibanding Ki Tenung Jagat yang
berdiri di atas tongkatnya.
lalu, pelan-pelan Resi Panuluh membuka
telapak tangannya yang sejak tadi merapat di da-
da. Telapak tangan dibuka pelan, mengarah ke
depan. Kejap berikutnya angin berhembus sangat
kencang. Arah angin menuju ke timur, sehingga
tubuh Ki Tenung Jagat mulai di terpa angin. Se-
makin lama semakin kencang, sehingga rambut
putih meriap itu melambai-lambai dengan jubah-
nya yang mirip bendera kapal karam itu.
Kraakkk...! Terdengar bunyi berderak dari
seonggok batu karang yang menjulang menyeru-
pai pilar. Batu karang itu akhirnya pecah bagai
terpotong di pertigaan bagiannya. Angin kencang
itulah yang memotong batu karang tersebut. Tapi
tak mampu menumbangkan tubuh Ki Tenung Ja-
gat yang masih tetap diam tanpa goyah di atas
tongkatnya. Kejap berikutnya angin kencang menjadi
diam secara mendadak sekali. Sllupp...! Sepi dan
hening. Debur ombak tidak sekuat tadi. Seper-
tinya hembusan angin itu diredam oleh ilmunya
Ki Tenung Jagat. Kini justru datang angin beliung yang memutar-mutar dengan
cepat. Angin puting
beliung itu sempat membuat ombak lautan me-
muncak tinggi dan bergerak ke arah pantai. Air
laut bagaikan disingkapkan ke atas. Air laut itu
bergerak dengan sangat cepat dan akhirnya me-
raup tubuh Resi Panuluh dengan buasnya.
Byuuhhr...! Wuuttt...! Ombak laut yang bergelombang
tinggi itu menyambar tubuh di atas karang runc-
ing. Namun ketika ombak itu kembali ke perten-
gahan laut, ternyata tubuh gemuk itu tidak ikut
terbawa. Hebatnya lagi, tubuh Resi Panuluh tidak
basah sedikit pun. Padahal ia habis digulung om-
bak sebegitu besarnya.
"Heaaah...!" akhirnya Resi Panuluh tak sabar lagi. Ia melompat ke arah Ki Tenung
Jagat. Sedangkan Ki Tenung Jagat sendiri juga melom-
pat menyambut serangan lawannya. Wuuuttt...!
Di pertengahan jarak mereka bertemu dan
saling beradu telapak tangan. Plaakk...! Blaarrr...!
Cahaya merah terang menyala cukup besar
dari peraduan kedua tangan tersebut. Ledakan
dahsyat terjadi, begitu mengguncangkan tanah di
sekitarnya, sehingga beberapa tonjolan batu ka-
rang ada yang roboh karena tanahnya bagai ingin
dijungkir balikkan dengan gelombang ledakan
dahsyat tersebut.
Tubuh kedua orang itu sama-sama terpen-
tal. Ki Tenung Jagat terpental mundur dan kem-
bali berdiri di atas tongkatnya, sedangkan Resi
Panuluh terhuyung-huyung ke belakang saat ia
menapakkan kakinya di pasir pantai. Guncangan
bumi mulai reda dan lenyap tak bergeming lagi.
Namun akibat guncangan tadi masih berpengaruh
pada beberapa pohon di sekitar hutan sebelah ba-
rat, sehingga lebih dari lima pohon tumbang den-
gan sendirinya, menimbulkan suara gemuruh
yang menggema. "Kurang ajar!" geram Resi Panuluh setelah melihat telapak tangannya menjadi biru
memar. Matanya kembali menatap Ki Tenung Jagat.
Orang itu tetap tenang dan dingin, walaupun dia
tadi juga memaki di dalam hati begitu melihat te-
lapak tangannya merah, bagaikan daging seten-


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gah matang. "Heaaah...!" Resi Panuluh kembali melompat. Tapi sebelum hal itu ia lakukan,
seseorang telah melepaskan pukulan jarak jauh bersinar
warna-warni. Selarik sinar pelangi itu melesat di pertengahan jarak antara Ki
Tenung Jagat dengan
Resi Panuluh. Orang tersebut agaknya hanya
bermaksud menahan serangan Resi Panuluh, dan
tidak bermaksud melukai keduanya. Sinar itu
memang menghentikan gerakan Resi Panuluh,
memancing kedua orang itu saling memandang ke
selatan. Sedangkan sinar pelangi itu dibiarkan
menghantam gugusan karang yang menjulang
tinggi bagaikan menara. Karang tersebut lenyap
tak berbekas sedikit pun begitu terhantam sinar
pelangi tersebut.
Rupanya mereka kedatangan tamu yang
memaksa pertarungan dihentikan. Tamu tersebut
berjalan dengan santai, seakan tidak pernah me-
lepaskan sinar apa pun dari tangan kirinya yang
berjari-jari pendek. Ia hanya mempunyai dua ruas
untuk tiap jarinya, seperti ibu jari manusia biasa.
Sedangkan ibu jari orang tersebut justru tidak
mempunyai ruas lebih dari satu.
Orang tersebut datang bersama seorang
sahabatnya yang bermata sipit. Rambutnya di-
kuncir ke atas dan ujungnya melengkung seperti
ekor kuda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun
berkesan tegap. Wajahnya kaku dan dingin. Men-
genakan pakaian longgar berwarna hitam berga-
ris-garis merah. Membawa sebilah pedang hitam
panjang yang pantas disebut samurai.
"Hentikan pertikaian kalian sebentar. Ada
yang perlu dibicarakan," kata orang berjari pendek yang kenakan pakaian putih
berkembang- kembang merah dan biru itu. Orang tersebut
usianya sebanding dengan Ki Tenung
Jagat maupun Resi Panuluh. Badannya ti-
dak terlalu kurus, rambutnya panjang warna
abu-abu diikat kain merah. Ia mempunyai jenggot
sepanjang lewat leher warnanya biru. Sebab itu ia dijuluki dengan nama si
Jenggot Biru. Jenggot itu menjadi biru manakala dulu ia pernah terkena
racun berbahaya yang hampir merenggut nya-
wanya. "Mengapa kau menghentikan pertarungan kami, Jenggot Biru"!" tegur Ki
Tenung Jagat. Jenggot Biru yang selalu sedikit angkat da-
gu ke atas jika sedang bicara itu, segera berkata dengan suaranya yang sedikit
serak, "Aku ingin memperkenalkan sahabat baru-
ku dari Negeri Matahari Terbit. Dia bernama Sho-
gun Kogawa!"
"Untuk apa kau kenalkan pada kami?"
tanya Resi Panuluh.
"Supaya kalian tahu saja, ini sahabat ba-
ruku dan ingin hadir dalam pertemuan di Bukit
Tulang iblis, besok siang!"
"Jika terjadi pertarungan, apakah dia su-
dah siap korbankan nyawanya di Bukit Tulang ib-
lis nanti"!"
"Kurasa setiap orang yang datang ke sana,
selalu slap untuk korbankan nyawanya!"
"Yang kutanyakan, apakah dia mampu?"
kata Resi Panuluh.
"Cobalah sendiri!" ujar Jenggot Biru.
Resi Panuluh memandang Shogun Kogawa
tak berkedip. Tiba-tiba kaki Resi Panuluh menen-
dang sebongkah batu karang sebesar kepala bayi
ke arah Shogun Kogawa. Wuuttt...! Deeg...! Men-
dadak batu itu berhenti di udara, tepat satu langkah sebelum kenai Shogun
Kogawa. Dengan cepat orang bermata kecil itu men-
cabut samurainya. Srrt! Lalu Samurai itu mene-
bas batu karang tersebut beberapa kali tanpa
timbulkan suara sentuhan benda keras, selain
suara desing pedang panjang itu. Zing, zing,
zing...! Srrt...! Samurai kembali masuk ke sarungnya. Shogun Kogawa memandang
dingin kepada Resi Panuluh. Batu itu masih utuh, berhenti di
udara. Tetapi kejap berikutnya batu itu retak dan pecah menjadi beberapa potong
dan saling berja-tuhan. Pruk, pruk, pruk, pruk...! Potongan itu lebih dari
sepuluh keping.
"Boleh juga ilmu orang ini?" pikir Resi Panuluh. Claapp...! Tiba-tiba batu yang
tadi terpo- tong-potong itu lenyap dan berganti dalam wujud
serupa dan letak yang sama, yaitu di depan kaki
Resi Panuluh. Seketika itu Jenggot Biru dan Resi
Panuluh memandang ke arah Ki Tenung Jagat.
Karena mereka tahu, pasti Ki Tenung Jagat yang
mengembalikan batu dalam wujud, bentuk dan
tempat seperti semula. Tapi Ki Tenung Jagat tetap tenang dan memandangi Shogun
Kogawa, seakan menantangnya adu kesaktian.
Ketika Resi Panuluh dan Jenggot Biru me-
mandang Shogun Kogawa, orang itu merasa se-
dang dituntut untuk membalas pelecehan ilmu
yang dilakukan oleh Ki Tenung Jagat itu. Maka,
Shogun Kogawa pandangi batu karang tersebut.
Kejap berikutnya, batu karang itu pecah lagi men-
jadi selembut tepung. Praass...!
Ki Tenung Jagat hanya manggut-manggut
tipis tanpa memberikan sanjungan atau ucapan
apa pun. Namun dalam hatinya ia mengakui ke-
hebatan ilmu Shogun Kogawa.
Kini terdengar suara Jenggot Biru berkata,
"Secara jujur, dan kesatria, kita harus akui kehebatan ilmu Shogun Kogawa.
Tentang apakah dia
nanti akan terpilih sebagai Pendekar Maha Sakti
atau tidak, itu urusan nanti! Yang jelas, aku ingin ajak kalian untuk bersatu
dalam melumpuhkan
satu aliran yang cukup berbahaya!"
Jenggot Biru baru bicara sampai di situ.
Tiba-tiba, sekelebat sinar warna kuning bagaikan
piringan kecil, berkelebat menghantam punggung
Shogun Kogawa. Dengan cepat dan tanpa berpal-
ing, Shogun Kogawa jatuhkan tubuh dalam kea-
daan kaki merentang panjang ke depan dan ke
belakang. Slaap...! Pleek...! Sinar kuning itu lewat di atas kepalanya. Hampir
saja kenai Resi Panuluh. Untung orang itu sigap dan segera menghan-
tamnya dengan pukulan tak bersinar. Sedangkan
sinar kuning tersebut segera pecah bersama
bunyi ledakan yang menggelegar.
Duuaarr...! Gelombang ledakan sebenarnya
cukup dahsyat, terbukti air laut sempat berlonjak tinggi dan bergolak bagai
murka. Namun getaran
gelombang ledak itu membuat para tokoh sakti
tersebut tidak bergeming sedikit pun dan mem-
biarkan angin ledakan lewat menerabas tubuh
mereka masing-masing.
Shogun Kogawa segera palingkan wajah ke
arah datangnya sinar kuning tadi. Ternyata di sa-
na sudah berdiri seorang wanita cantik yang ber-
pakaian merah menyala, memegang kipas yang
sedang digunakan untuk kipasan. Wanita cantik
yang usianya sebenarnya sudah banyak, yaitu
mencapai tujuh puluh dua, namun masih seperti
berusia dua puluh tujuh itu, cukup dikenal oleh
para tokoh sakti tersebut. Ia tak lain adalah Putri Kumbang, Ketua Perguruan
Biara Sita, yang tem-po hari pernah babak belur dihajar oleh murid-
muridnya sendiri karena salah paham. Namun
dengan cepat ia mampu pulihkan luka dan men-
jadi cantik seperti semula. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Setan
Dari Biara").
Shogun Kogawa tidak peduli apakah orang
itu cantik atau jelek. Yang jelas penyerangan tadi harus dibalasnya. Karena itu,
Shogun Kogawa cepat sentakkan tubuh dalam keadaan duduk den-
gan kaki lurus. Sentakan tubuh itu membuat ia
terayun naik dan melenting ke atas dengan ber-
salto satu kali ke arah Putri Kumbang. Jleeg...!
Begitu tiba di depan Putri Kumbang, lelaki
berkulit kuning itu segera lepaskan pukulan te-
naga dalamnya menggunakan dua jari yang di-
hantamkan ke arah dada Putri Kumbang. Dua jari
itu keluarkan semacam pisau kecil bersinar biru.
Claapp...! Putri Kumbang sempat terperanjat se-
kejap, namun dengan cekatan ia kelebatkan tan-
gannya dan menangkap sinar biru tersebut.
Blaarrr...! Tiba-tiba sinar itu meledak begitu terjepit
dua jemari Putri Kumbang. Ledakannya cukup
kuat, membuat Putri Kumbang terlempar ke
samping dan berguling-guling. Namun secepatnya
ia bangkit berdiri dan memandang ke arah Sho-
gun Kogawa. Tubuhnya tetap utuh tanpa luka. Itu berar-
ti Putri Kumbang mempunyai ilmu semacam keb-
al terhadap kekuatan tenaga dalam. Tubuh tak
tergores luka sedikit pun, padahal orang lain
akan hancur jika menangkap sinar biru berben-
tuk pisau dari Shogun Kogawa. Keadaan Putri
Kumbang yang utuh tanpa luka itu membuat
Shogun Kogawa terperanjat sedikit, dan mengakui
kehebatan ilmu Putri Kumbang itu dalam hatinya.
Ketika Putri Kumbang mau menyerang
kembali, Jenggot Biru segera menghadang dan
menengahi perkara tersebut. Ia berkata,
'Tahan...!"
Tidak. Aku harus balas kematian anak bu-
ahku be berapa waktu yang lalu, yang dipancung
seenaknya oleh orang itu!"
"Ada yang lebih penting dari masalah mu
itu, Putri Kumbang!"
"Tidak bisa! Harus kuselesaikan dulu pem-
balasanku terhadap Shogun Kogawa! Dia harus
kupancung juga dengan kipas ku ini!" geram Putri Kumbang. Lalu, ia pun melompat
dan melintasi kepala Jenggot Biru dalam gerakan saltonya.
Wuuttt...! Tiba di depan Shogun Kogawa, kipas itu
segera disabetkan dalam gerakan memenggal ke-
pala dari samping. Wuungng...! Shogun Kogawa
lompat mundur satu langkah, kemudian segera
cabut samurainya kembali. Srrt...! Wuuttt...! Sa-
murai langsung berkelebat membelah kepala Putri
Kumbang. Tetapi dengan sigap Putri Kumbang
menangkis dengan kipas dikembangkan. Trakk...!
Samurai tajam itu beradu dengan tepian kipas.
Seharusnya dapat membelah kipas dengan sangat
mudah. Tapi rupanya kipas itu bukan sekadar ki-
pas dari kayu cendana saja, melainkan kipas ber-
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Akibatnya
kipas itu tidak lecet sedikit pun.
Kaki Shogun Kogawa segera menendang,
tapi kaki Putri Kumbang juga balas menendang.
Akibatnya tulang kaki bertemu dengan tulang ka-
ki dan hasilnya suara keras seperti besi beradu
dengan besi. Trak! Keduanya sama-sama terhem-
pas mundur karena tendangan itu sama-sama
berkekuatan tenaga dalam besar. Keduanya sa-
ma-sama terhuyung-huyung sambil membatin,
"Kurang ajar! Semakin linu seluruh tulang-
ku. Luka ledakan yang seakan meremukkan tu-
langku belum selesai ku atasi, sudah ditambah
dengan getaran ini lagi. Uuh...! Kalau tak cepat
ku atasi bisa hancur tubuhku! Sebaiknya aku
mundur dulu."
"Perempuan ini punya ilmu lumayan hebat.
Kakiku terasa hilang satu sejak beradu dengan
kakinya," kata Shogun Kogawa dalam hatinya.
"Percuma kalian saling beradu kekuatan!"
kata Jenggot Biru. "Yang paling berbahaya adalah aliran rajawali!"
Semua orang memandang Jenggot Biru.
Kemudian, orang beralis putih sedikit kebiru-
biruan itu berkata lagi,
"Jurus aliran rajawali diramalkan oleh ba-
nyak ahli nujum akan menguasai dunia persila-
tan. Itu berarti dalam pemilihan dan penobatan
Pendekar Maha Sakti nanti, aliran rajawali akan
unggul dan menguasai kita!"
"Mengapa kita harus takut"!" potong Resi Panuluh. "Aliran rajawali hanya
dimiliki oleh dua orang, yaitu Pendekar Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali
Merah!" "Justru karena hanya dua orang itulah,
maka mereka pasti akan pertahankan aliran itu
agar berada di tempat teratas dari seluruh aliran yang ada, dan mereka akan
merajai, menguasai,
dan memerintah kita! Maka aku punya gagasan
jika kalian setuju!"
"Apa gagasan mu, Jenggot Biru!" celetuk Putri Kumbang.
"Kita bergabung. Serang kedua pendekar
rajawali itu! Kita tumbangkan mereka lebih dulu
sebelum masuk dalam arena pemilihan nanti!
Dengan begitu, kita tidak akan dianggap curang
jika kedua pendekar itu berhasil kita lumpuh-
kan." Putri Kumbang berkata dalam hati, "Wah, ini kesempatan untuk memperalat
mereka. Jika Lili bisa dilumpuhkan oleh mereka, maka aku
tinggal mendesaknya secara diam-diam untuk
dapatkan Kitab Jagat Sakti! Ini kesempatan baik!"
Maka, di sela keheningan mereka, Putri


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kumbang berkata lebih dulu,
"Baik. Aku sangat setuju dengan gagasan
Jenggot Biru!"
"Apakah gagasan seperti itu harus kita la-
kukan" Apa perlu"!" tanya Resi Panuluh, dan
Jenggot Biru menjawab,
"Apakah kau belum dengar kehebatan me-
reka berdua" Alangkah tulinya telingamu, Panu-
luh! Malaikat Gelang Emas saja dibuat lari terbi-
rit-birit jika melawan mereka berdua!"
Ki Tenung Jagat tiba-tiba berkata, "Aku se-
tuju usul mu!"
"Baiklah, aku juga setuju!" Resi Panuluh mengimbangi.
Shogun Kogawa menyahut, "Aku juga setu-
ju!" "Kalau begitu, sekarang juga, sebelum ter-lambat, kita cari mereka dan kita
lumpuhkan agar tak hadir dalam pertemuan nanti!" kata
Jenggot Biru memberi perintah, seakan dialah
yang menjadi ketua penyerangan terhadap aliran
rajawali, yaitu Yoga dan Lili.
* * * 3 SEMENTARA orang-orang sibuk mencari
Lili dan Yoga, sesosok bayangan berkelebat sibuk
dengan sendirinya. Orang yang sibuk dengan
sendirinya itu tak lain adalah Wong Sakti, tokoh
tua di rimba persilatan yang usianya mencapai
seratus tahun lebih.
Orang ini sibuk memindahkan ilmunya ke
tubuh muridnya, hingga segala macam cara di-
tempuhnya. Ia ingin seluruh ilmunya menjadi mi-
lik sang murid secepatnya, karena ia sudah bosan
hidup dan ingin istirahat di alam baka secepatnya pula. Orang tersebut tak lain
adalah Wong Sakti,
yang dulu dikenal dengan julukan Dewa Nujum.
Untuk mempercepat pemindahan ilmu,
Wong Sakti yang sudah lupa mantera dan jurus
pemindahan ilmu itu, ingin meminjam pisau pu-
saka milik Tua Usil. Pisau itu akan dipegang oleh sang murid yang baru berusia
sepuluh tahun itu,
lalu sang murid disuruhnya menikam diri sang
Guru. Dengan bantuan pisau pusaka yang diti-
kamkan itu, seluruh ilmu Wong Sakti akan men-
jadi milik Kukilo, si murid bocah itu. (Untuk lebih jelasnya baca serial Jodoh
Rajawali dalam episode: "Setan Dari Biara"). Tetapi sampai saat itu, Wong Sakti
belum berhasil temukan si Tua Usil. Sedangkan Yoga yang
sudah ditemuinya tidak mau menyebutkan di
mana Tua Usil berada, sebab pada dasarnya Yoga
tidak menyetujui cara seperti itu. Dianggapnya
cara seperti itu sama saja men
didik sang murid untuk menjadi seorang
pembunuh tanpa alasan kuat. Menurut Yoga, hal
itu akan membahayakan jika Kukilo, yang diper-
kirakan bisa menjadi orang berilmu tinggi namun
berprilaku keji dan sewenang-wenang terhadap
sesama. Karena jengkel, Wong Sakti punya cara un-
tuk memancing Tua Usil dengan menculik Bocah
Bodoh. Tua Usil pasti akan mengejarnya untuk
membebaskan sesama pelayan dua pendekar ra-
jawali itu. Setidaknya Yoga atau Lili pasti akan
memburu Wong Sakti dan memohon agar Bocah
Bodoh dibebaskan. Jika keadaan begitu, maka
Wong Sakti punya kesempatan untuk menukar
Bocah Bodoh dengan pisau Pusaka Hantu Jagal
yang ada di tangan Tua Usil itu, walaupun hanya
bersifat meminjami saja. Bukan memiliki pisau
tersebut. Untuk itu, Wong Sakti terpaksa menotok
Bocah Bodoh dan membawanya lari ke suatu
tempat. Bocah Bodoh menjadi lemas, bagaikan
kehilangan seluruh tulang-tulangnya. Namun ia
masih bisa bernapas, bicara dan memandang. Ke-
tika ia ditaruh di atas sebongkah batu datar, se-
perti seonggok makanan kuda, ia masih bisa
mendengar percakapan yang terjadi antara Wong
Sakti dan Kukilo.
"Sebetulnya aku ingin kau jadikan murid-
mu, atau hanya menjadi penonton ilmu-ilmu ke-
hebatanmu, guru?" kata Kukilo yang memang
berlagak tua dan sering mengomel kepada gu-
runya itu. Rupanya ia tak sabar ingin segera
mendapat ilmu turunan dari siang Guru, sehing-
ga ia menjadi jengkel sendiri mengikuti sang Guru selama satu tahun namun tidak
mempunyai ju- rus apa-apa. "Sabar, Muridku sayang! Sebentar lagi se-
luruh ilmu ku akan menjadi milikmu. Jika mere-
ka datang untuk membebaskan Bocah Bodoh ini,
maka aku akan menukarnya dengan pisau itu.
Kau tinggal tancapkan pisau itu ke dadaku, dan
seluruh ilmuku akan mengalir dan menjadi mi-
likmu. Kau akan menjadi sakti, sesakti diriku. He he he he...!"
"Tapi bagaimana jika mereka tidak ada
yang peduli dengan Bocah Bodoh ini, Guru"! Bo-
ro-boro mau menukarnya dengan pisau itu, yang
mau mengejar kita untuk membebaskan dia pun
tak ada. Bagaimana jika begitu, Guru" Pasti aku
tak jadi mendapatkan warisan ilmu darimu!"
"Itu tak mungkin, Nak. Tak mungkin! Aku
tahu bahwa dua pendekar rajawali itu punya rasa
persahabatan dan persaudaraan yang tinggi ter-
hadap orang yang telah menanam kebaikan kepa-
da mereka. Itu sifat dari guru mereka. Baik Yoga
atau Lili, pasti akan mengejar kita untuk membe-
baskan Bocah Bodoh ini!"
Mendengar percakapan itu, Bocah Bodoh
yang hanya terpuruk bagaimana makanan kuda
itu segera menyahut,
"Wong Sakti, aku bisa membantumu jika
hanya itu maksudmu menculiki diriku! Aku bisa
menolongmu, Wong Sakti."
Dengan tertatih-tatih Wong Sakti mendeka-
ti Bocah Bodoh dan berkata di sela senyum kem-
potnya, "Apa maksudmu bisa menolongku" Apakah
kau bisa memindahkan ilmuku ke dalam tubuh
muridku?" "Memang tak bisa. Tapi aku bisa bantu
mencurikan pisau itu dari tangan Tua Usil."
"Ah, yang benar sajalah kau...!" Wong Sakti melirik girang dengan senyum tua
bagaikan memamerkan gusinya.
"Bebaskanlah aku. Nanti akan kubicarakan
rencanaku. Bebaskan dulu aku dari pengaruh to-
tokanmu ini, Wong Sakti."
"Tapi kau janji akan menolongku?"
"Benar, Wong Sakti!"
"Baiklah! He he he he...!"
Wong Sakti segera menyentil telinga Bocah
Bodoh. Taakkk...! Tubuh Bocah Bodoh tersentak
kaget sekejap, kemudian ia rasakan seluruh urat
dan tulangnya kembali bisa bekerja seperti bi-
asanya. Bocah Bodoh pun segera bangkit dan me-
lompat turun dari atas batu datar.
"Nah, sekarang kau sudah kubebaskan da-
ri pengaruh totokanku. Mana janji mu, Bocah Bo-
doh"!" tagih Wong Sakti. Perbuatan itu hanya dipandangi oleh Kukilo dari bawah
pohon. Bocah itu tenang-tenang saja, seakan ia merasa sebagai
orang yang sudah berilmu tinggi.
Bocah Bodoh sedikit menjauh, lalu berka-
ta, "Sebenarnya aku bisa saja membujuk Tua Usil untuk meminjam pisau pusakanya,
tapi aku tidak mau melakukannya, sebab tampaknya muridmu
itu kelak akan menjadi orang sombong dan ber-
tindak kejam jika sudah berilmu tinggi!"
"Hajar dia, Guru!" seru Kukilo. "Dia telah kelabui kita!"
Wong Sakti hanya cengar-cengir. "Eeh,
heh, heh, heh, heh...! Kau benar-benar cari pe-
nyakit jika berani mengelabuiku, Bocah Bodoh!"
"Aku berani begitu, karena aku berani ber-
tarung denganmu, Wong Sakti! Aku tidak takut
denganmu!"
"Apa kau cukup sakti untuk melawanku,
Bocah Bodoh?" sambil Wong Sakti garuk-garuk
kepala. "Aku tidak merasa cukup sakti, tapi merasa mampu mengalahkan dirimu,
Wong Sakti. Per-
lu kau ketahui, aku memiliki pedang pusaka ini!"
Seett...! Bocah Bodoh mengambil pedang
bersama sarungnya dari pinggang. Pedang pendek
yang tidak pernah dihiraukan keberadaannya
oleh Wong Sakti itu kini menjadi pusat pandan-
gan mata orang berjubah ungu kusam.
"Sepertinya aku pernah melihat pusaka
itu?" gumamnya pelan.
"Majulah, Wong Sakti! Kalau kau memang
benar-benar sakti, hadapilah pusaka Pedang Ji-
mat Lanang ini!"
Seett,..! Bocah Bodoh mencabut pedang
tersebut dari sarungnya. Wong Sakti terkejut dan
mundur satu tindak. Senyum ompongnya hilang
begitu saja setelah ia mengetahui tentang pedang
tersebut. Ia bahkan berkata dengan sedikit geme-
tar, "Bukankah... bukankah itu yang namanya
Pedang Jimat Lanang?"
"Tentu saja kau tahu karena aku tadi su-
dah menyebutkannya!"
"Bukankah...pedang itu milik Tapak Gem-
pur?" Sekarang Bocah Bodoh terperangah sebentar, "Dari mana kau mengenali eyang
guruku itu?" "Tapak Gempur adalah adik bungsuku!
Dan hanya Tapak Gempur yang mendapat wari-
san pedang Jimat Lanang itu! Kenapa bisa ada di
tangan orang sepertimu, Bocah Bodoh?"
Kukilo berseru, "Hajar, Guru! Hajar dia!"
"Nanti dulu!" sentak Wong Sakti dengan
jengkel kepada Kukilo. "Dia ternyata memegang pedang pusaka milik adikku! Kami
sangat meng-hormati Tapak Gempur. Kami tak berani main-
main dengan pemegang Pedang Pusaka Jimat La-
nang, Kukilo! Jangan main hajar sembarangan
begitu!" Bocah Bodoh segera memotong kata, "Wong
Sakti, ketahuilah, aku adalah anak dari Nyai
Sembur Maut. Dan Nyai Sembur Maut, atau ibu-
ku itu, adalah murid kesayangan Eyang Tapak
Gempur, sehingga pedang ini di wariskan kepada
ibu, lalu ibu mewariskan kepadaku!"
"Ooo...!" Wong Sakti manggut-manggut
dengan mulut melongo.
"Sekarang kalau kau mau melawanku, ma-
julah! Pedang ini yang akan menandingi kesak-
tianmu!" "Wah...!" orang berjubah lusuh itu garuk-garuk kepalanya yang berambut tipis
itu. Ia me- nimbang-nimbang sambil cengar-cengir pamerkan
gusinya lagi. Kejap berikutnya ia perdengarkan
kembali suaranya,
"Kalau ternyata kau pemegang pusaka Pe-
dang Jimat Lanang, aku tak mau melawanmu,
Bocah Bodoh. Itu sama saja aku melawan roh
adikku yang ada di dalam pedang tersebut."
"Jadi, apa yang kau inginkan dariku seka-
rang ini, Wong Sakti?" Bocah Bodoh menampak-
kan sikap bangganya dapat membuat Wong Sakti
merasa takut melawannya.
"Begini sajalah...," kata Wong Sakti dengan pasrah. "Ku urungkan niatku menculik
mu, Bocah Bodoh. Tolong masukkan dulu pedang itu ke
sarungnya. Nanti ku jelaskan segalanya."
Bocah Bodoh memasukkan pedang ke da-
lam sarung tersebut. Setelah itu, pedang dis-
elipkan kembali ke pinggangnya. Lalu, terdengar
Wong Sakti perdengarkan suaranya,
"Kalau aku sadar bahwa pedangmu itu Pe-
dang Jimat Lanang, aku tak berani menculik mu.
Tapak Gempur punya tiga kakak, termasuk aku.
Dan kami semua hormat kepadanya, sayang ke-
padanya, karena memang dia anak yang paling
disayang oleh keluarga kami. Roh adikku itu sela-
lu ada di dalam pedang tersebut. Jadi, tolong
mintakan maaf kepadanya. Bicaralah melalui ba-
tin mu, Bocah Bodoh. Dan, aku akan membe-
baskan mu, tapi... kalau bisa tolong benar-benar
bantu aku untuk memindahkan ilmuku ke dalam
diri Kukilo itu. Tolong bujuk Tua Usil supaya mau meminjamkan pisaunya. Hanya
kupinjam saja kok. Tidak akan kumiliki selamanya!"
Anak Pendekar 23 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Istana Yang Suram 16
^