Pencarian

Setan Dari Biara 2

Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara Bagian 2


Kukilo menurut dengan cemberut. Namun
rasa dongkolnya itu cepat hilang setelah Lili dan
Pandu Tawa keluar dari persembunyiannya dan
segera mendekati Wong Sakti.
"Guru, ada yang datang!" seru Kukilo den-
gan keras. Wong Sakti berhenti melompat-lompat, Me-
natap kedatangan Lili dan Pandu Tawa. Ia terse-
nyum kempot, lalu kembali melompati tubuh Jin
Arak berkali-kali. Sambil melompat-lompat begitu,
Wong Sakti berkata kepada Pandu Tawa,
"Sudah bosankah kau bersembunyi di sana
berduaan, Pandu Tawa"!"
"Sudah," jawab Pandu Tawa.
"Siapa dia?" bisik Lili.
"Wong Sakti, tokoh putih yang sudah sangat
tua jadi hingga pikun dan jalan pikirannya tak
beres. Sebenarnya dia tidak jahat, tapi karena pikirannya sudah berubah seperti
anak kecil, jadi ke-
lihatannya dia seperti orang jahat!"
"Kalau tidak terpepet ya tidak jahat," sahut Wong Sakti.
Pandu Tawa berbisik kepada Lili. "Penden-
garannya sangat tajam. Jadi jangan sekali-kali ka-
sak-kusuk di belakangnya."
"Lha kamu sekarang sudah kasak-kusuk,
kok mengingatkan orang lain?" sela Wong Sakti
sambil bersungut-sungut.
"Wong Sakti," kata Pandu Tawa. "Aneh sekali cara mu mengobati orang terluka
seperti itu"
Apakah aku boleh mempelajarinya?"
"Orang ini terkena suatu jurus maut yang
bernama jurus 'Karang Keji'! Makanya tubuh Jin
Arak ini timbul kulit berkarang, makin lama akan
semakin menyumbat jalannya pernapasan dan
akan membuatnya mati!"
"Jurus 'Karang Keji'"!" gumam Lili. "Rasa-rasanya Yoga tidak punya jurus 'Karang
Keji'." Mendengar ucapan Lili begitu, Wong Sakti
segera berhenti melompat-lompat dan berkata ke-
pada Lili, "Ya, tentu saja Yoga bisa keluarkan ilmu
'Karang Keji', sebab dia tadi sebenarnya bukan Yo-
ga!" "Hah..."!" Lili tidak terlalu kaget, tapi hanya terperanjat sedikit. Lalu,
Pandu Tawa berkata,
"Sudah kuduga, dia memang bukan Yoga.
Lalu... siapa dia itu, Wong Sakti"! Apakah kau bisa tahu pula siapa orang yang
menyamar sebagai Yo-ga tadi?"
"O, itu rahasia! He he he he...! Kalau ingin
tahu, harus ada imbalannya! Kalau tidak ingin ta-
hu, tidak memberi imbalan boleh, mau memberi
imbalan juga tidak
apa-apa." Sementara Pandu Tawa dan Lili saling pan-
dang, Jin Arak segera bangkit dan merasakan ba-
dannya menjadi segar kembali. Rasa sakitnya hi-
lang, rasa perih pun tak ada, tubuhnya sendiri
kembali mulus, dalam arti tanpa daging tumbuh
yang seperti bunga karang tadi. Begitu berdiri, Jin Arak meneguk beberapa kali
arak yang dibawanya.
Setelah itu ia bersendawa, "Hhheeegggr...!"
"Wah, badak bodoh kekenyangan," ucap
Wong Sakti kepada muridnya.
Kukilo berkata, "Cepatlah, Guru! Cari tahu
tentang orang yang kita butuhkan itu! Tanyakan-
lah kepada kedua orang cantik dan tampan itu
guru. Kalau tidak mau kasih tahu, hajar dia!"
"Ya, ya... sabar dulu, Kukilo!" kata Wong Sakti. "Pak tua, kau yang menolong dan
mengoba-tiku" Hmm...! Baik. Aku ucapkan banyak terima
kasih, dan lain kali kalau mau lompati aku harus
permisi dulu, mengerti"! Kalau caramu seperti ta-
di, itu namanya orang tua tidak tahu sopan san-
tun!" "Lho, kau ini bagaimana" Sudah kutolong malah masih menggerutu tak karuan.
Orang melompat kok disalahkan. Itu kan demi kesembu-
hanmu sendiri!"
"Wong Sakti," sahut Lili. "Cepat katakan siapa orang yang menyamar sebagai Yoga
tadi?" Jin Arak berkerut heran dan curiga, lalu ia
bertanya, "Lho, jadi yang kuserang tadi bukan Yo-ga"!" "Bukan," jawab Wong
Sakti. "Kalau dia Yoga asli, tindakannya tidak akan seganas tadi!"
"Setan belang!" geram Jin Arak. "Jadi aku tadi salah serang!"
"Lalu, bagaimana dengan orang itu, Wong
Sakti?" Pandu Tawa kembali mengulangi perta-
nyaannya dengan rasa ingin tahu.
"He he he he...! Sudah kubilang, itu rahasia
dan untuk membongkar rahasia itu dibutuhkan
imbalan yang setara."
Lili berkata, "Jadi, imbalan seperti apa yang
kau inginkan?"
"Cukup dengan memberitahukan kepadaku,
di mana Tua Usil berada!"
"Untuk apa kau mencari Tua Usil sampai
merahasiakan siapa penyamar tadi sebenarnya?"
kata Lili. "Aku ingin mencari Tua Usil untuk...."
Kata-kata Wong Sakti dipotong oleh Jin
Arak, "Tunggu dulu. Kau mau mencari Tua Usil"
Oh, tidak bisa! Dia adalah kelinci buruanku! Kau
jangan mengacaukannya, Wong Sakti!"
"Aku sangat membutuhkan bantuannya!"
"Tidak bisa! Tua Usil adalah buronanku
yang harus jalani hukuman mati. Yah, setidaknya
akan kuhajar sampai mati, karena dia hampir me-
newaskan aku ketika berada di Teluk Gangga."
"Enak saja! Kalau kau berani membunuh
Tua Usil, akan kubunuh kau lebih dulu, Jin Arak!
Tua Usil itu jatah ku! Boleh atau tidak aku akan
pinjam pusakanya. Kalau dia pertahankan, ter-
paksa akan kubunuh juga untuk mengambil pu-
sakanya. Tapi... kalau bisa aku jangan membunuh
lagi, ah! Tanganku sudah bosan jika dipakai mela-
kukan kekejaman seperti itu. Kalau bisa, Tua Usil
rela meminjamkan pusaka itu kepadaku. Hanya
meminjam saja, masa tidak boleh"!" Wong Sakti
menggerutu, bagaikan bicara pada diri sendiri.
"Oh, kalau begitu kau lawanku, Wong Sak-
ti," tukas Jin Arak dengan tubuh meliuk-liuk, mulai dipengaruhi oleh hawa
mabuknya. Suaranya
pun makin lama semakin terdengar mengambang
dengan mata yang tadinya sudah putih bersih se-
karang menjadi merah kembali.
"Aku tidak ingin memusuhi mu, Jin Arak.
Tapi kalau kau jual, aku beli. Kau mau jajal, aku
akan ladeni!"
"Bagus! Hiaaah...!" Jin Arak serta-merta
menyerang dengan pukulan cepatnya ke arah dada
Wong Sakti. Tapi oleh Wong Sakti tangan itu
hanya didengus dengan napas melalui hidung.
Fuih...! Wuuuhg...! Tangan Jin Arak terpental bagai
diterabas angin sebesar badai dahsyat. Akibat tan-
gannya terhempas, badannya pun berputar. Aneh-
nya putarannya itu melebihi dari hitungan sepu-
luh kali. Ketika Jin Arak berhenti bergerak memu-
tar, tubuhnya menjadi semakin meliuk terhuyung-
huyung, Begitu berhenti ia langsung ambil sikap
berlutut satu kaki, kepala sedikit bungkuk, dan
mulutnya segera mengeluarkan apa saja yang tadi
atau kemarin sudah dimakannya. Ia muntah, ma-
buk berat akibat putaran angin topan dari hidung
Wong Sakti. Dan setelah itu, Jin Arak kembali ber-
diri dan menyerang Wong Sakti melalui tepukan
tangan satu kali. Plok..!
Dari tepukan dua telapak tangan itu meng-
hasilkan sinar panjang menghantam tubuh Wong
Sakti. Oleh Wong Sakti, sinar kuning kemerahan
itu dihantamnya dengan pukulan tanpa sinar na-
mun timbulkan dentuman dahsyat. Blaarr...! Jin
Arak kembali terpental tunggang-langgang. Kepa-
lanya yang botak terbentur-bentur batu atau ba-
tang pohon. Akibatnya keadaan tubuh Jin Arak
menjadi lemah, kepalanya pusing dan mual perut-
nya. "Bangunlah kalau kau ingin coba-coba denganku, Jin Arak!" seru Wong Sakti
dengan bersiap mencari jarak yang tidak berkerumun. Seolah-olah
Wong Sakti siap hadapi Jin Arak dengan sengit-
nya. Pandu Tawa hendak bergerak, tapi dengan
cepat lengannya ditahan Lili sambil berkata, "Biarkan dulu mereka selesaikan
sendiri urusan mere-
ka. Kita lihat saja apa jadinya."
Pandu Tawa jalan ke samping, membiarkan
pertarungan itu terjadi. Ia melihat Wong Sakti
memungut beberapa daun yang jatuh di tanah.
Daun-daun kecil itu bagaikan dibuat mainan seca-
ra bertumpuk di tangan kirinya. Wajahnya masih
menampakkan senyum kempotnya dengan mata
menatap Jin Arak yang sedang berusaha untuk
bangkit. Orang gemuk itu penasaran sekali kepada
Wong Sakti. Kemudian dengan gerakan cepat ia
menyentakkan kedua tangannya ke langit, dan ti-
ba-tiba terdengar bunyi menggelegar, kemudian
turun hujan di bagian atas kepala Wong Sakti saja.
Hujan rintik-rintik bukan hujan air, melainkan hu-
jan bara yang dapat melelehkan kepala manusia.
Wong Sakti terkekeh sebentar, kemudian
salah satu daun dilemparkan ke atas. Daun kecil
itu berputar semburkan sinar biru berkeliling. Ma-
kin lama semakin lebar dan menjadi semacam
payung pelindung. Dengan adanya payung pelin-
dung dari sinar biru itu, rintik hujan bara dapat
tertangkis. Setiap rintikan bara yang jatuh menim-
pa sinar biru menjadi padam dan menimbulkan
bunyi letusan yang berentet.
Daun bersinar biru itu semakin lama makin
naik, semakin mendekati pusat rintikan hujan ba-
ra, dan akhirnya menghantam pusat itu dengan
timbulkan suara menggelegar kembali. Bumi pun
berguncang akibat gelombang ledakan tersebut.
Jin Arak yang sempat terbengong meman-
dang sinar biru tadi kini menjadi tersentak kaget,
karena Wong Sakti menyerangnya dengan helai-
helai daun yang tersisa di tangan kirinya. Daun itu dilempar-lemparkan
menggunakan tangan kanan
dan menimbulkan suara berdesing bagaikan lem-
pengan logam tajam yang melesat cepat.
Jraab...! Salah satu daun mengenai ujung
lengan bawah pundak Jin Arak. Orang itu terpen-
tal dan roboh dengan mengerang keras karena ke-
sakitan. Sebagian tubuhnya menjadi biru legam
seketika, Bertepatan dengan itu, sekelebat bayangan
lewat di depan mereka. Melintas dengan cepatnya,
dan menyambar tubuh Jin Arak. Wong Sakti dan
Kukilo terkejut sekejap, demikian juga Lili dan
Pandu Tawa. Bocah berkulit hitam itu berseru,
"Dia digondol orang, Guru!"
"Digondol, digondol... kau pikir kucing"!" gerutu Wong Sakti.
Pandu Tawa tertawa. "Wong Sakti, aku ter-
paksa tinggalkan tempat ini, karena merasa tidak
punya kepentingan apa-apa denganmu!"
"Tunggu dulu. Perlu kau ketahui, menurut
ramalan ku, kau adalah jodohnya Lili. Jadi kalau
kau mau pergi, bawalah Lili!"
Pendekar Rajawali Putih terperanjat kaget
dan berdetak-detak tegang, demikian pula halnya
dengan Pandu Tawa yang segera saling, pandang
dengan Lili. Wong Sakti berkata lagi,
"Sesuatu yang berharga sudah kuberitahu-
kan kepada kalian. Sekarang kalian harus berita-
hukan padaku di mana Tua Usil berada."
Pandu Tawa yang menjadi tak enak hati
terhadap Lili itu segera berkata kepada gadis ter-
sebut, "Jangan hiraukan kata-katanya. Dia termasuk peramal bodoh. Aku harus
kejar Yoga palsu
itu dan ingin membuka kedok orang tersebut!"
Wuuttt...! Pandu Tawa cepat tinggalkan
tempat setelah berkata demikian. Lili masih terte-
gun dalam kebingungan. Waktu itu Wong Sakti
berkata kepada Lili,
"Kau murid Dewi Langit Perak, pasti kau
mau tolong aku, Nona Manis. Aku ingin pindahkan
ilmuku ,ke dalam tubuh muridku, si Kukilo ini.
Tapi selalu gagal karena aku lupa caranya. Jadi
aku butuh meminjam pisau pusakanya Tua Usil
agar muridku menikamku dengan pisau itu. Den-
gan demikian ilmuku bisa mengalir sepenuhnya ke
dalam diri muridku ini! Maka, tolong aku, berita-
hukan di mana aku bisa menemui si Tua Usil
itu...?" "Aku tidak tahu!" jawab Lili dengan kaku dan datar. Kukilo menyahut,
"Guru, tinggalkan sa-ja nona cantik itu. Kejar si Jin Arak, supaya dia tidak
lebih dulu dapatkan Tua Usil dan membu-
nuhnya! Lekas, Guru!"
"O, iya...! Kalau begitu, maafkan aku, Nona.
Aku terpaksa meninggalkanmu sementara di sini!"
Wuuttt...! Wong Sakti segera berlari pergi,
Kukilo mengikutinya dengan berlari bagaikan anak
celeng cepatnya. Pendekar Rajawali Putih hanya
mengikuti dengan pandangan mata sambil hatinya
berkata, "Apa benar ucapan Wong Sakti tadi" Pandu


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tawa adalah jodohku" Jadi, bagaimana hubun-
gan kasihku dengan Yoga" Apakah akan berakhir
dengan perpisahan" Oh, jangan! Aku tidak mau.
Aku lebih mencintai murid angkatku itu ketim-
bang Pandu Tawa. Aku harus kejar ke mana pun
Yoga pergi. Aku harus cari dia dan memberitahu-
kan ucapan Wong Sakti tadi...!"
Lili segera berdiri tegak. Kedua tangannya
menggenggam. Kedua genggaman itu beradu di
pertengahan dada. Kemudian dari sela-sela geng-
gaman yang beradu itu melesatlah sinar putih pe-
rak yang bergelombang-gelombang Sinar itu mele-
sat lurus ke angkasa dan menimbulkan suara
denging yang makin tinggi semakin menggema ke
mana-mana. Itulah tandanya Lili memanggil burung ra-
jawali putihnya. Burung itu jika mendengar suara
denging yang khas menjadi isyarat panggilannya,
selalu dengan cepat terbang menuju ke arah deng-
ing tersebut. Dan jika ia sudah temukan di mana
Lili berdiri, burung itu pun segera menukik turun
dengan gesitnya.
Wuuukkksss...!.
Hembusan angin dari sayapnya cukup be-
sar dan kuat. Jika orang tak berilmu berdiri di de-
kat Lili, pasti akan terpental terbang karena hem-
busan angin datangnya sang rajawali putih itu. Ji-
ka burung besar sudah datang, Lili segera melom-
pat ke atas, duduk di punggung sang rajawali, ke-
mudian ia pun dibawa terbang oleh burung besar
itu, menjelajahi angkasa, mencari apa yang dicari.
Pada sebuah lereng bukit yang berpohon
tak begitu rapat. Yoga sedang menuruni lereng itu
untuk mencapai tanah di kaki bukit. Tiba-tiba ia
rasakan hembusan angin panas berkekuatan ting-
gi yang menyerangnya dari arah samping kiri.
Wuuusss...! "Huup...!" Yoga melompat dan bersalto dua kali ke arah depan. Gelombang angin
panas tanpa sinar dan tanpa bentuk itu berhasil di hindarinya.
Gelombang itu menghantam pohon dan kulit po-
hon terkelupas dengan cepat dari bawah sampai
atas. "Hmmm...! Ada yang menghendaki kema-
tianku, rupanya"!" pikir Yoga dengan mata me-
mandang tajam sekelilingnya. Tapi tak disangka-
sangka sebatang dahan di atas pohon berderak pa-
tah dan jatuh menimpa kepala Yoga.
Kraaakkk...! Wuurrsss...!
Duaarrr...! Yoga menghentakkan tangannya,
melepaskan pukulan penghancur dari tangan bun-
tungnya itu. Dahan besar yang semestinya dapat
membuat kepala Yoga pecah itu, hancur lebih dulu
semasa dalam perjalanan turun. Serpihannya me-
nyebar ke mana-mana bagaikan rintik hujan.
"Siapa yang ingin berkenalan denganku, si-
lakan keluar dan berkenalan secara baik-baik!" se-ru Yoga sambil menyelidiki
sekelilingnya dengan
penuh waspada. Kejap berikutnya terdengar suara di bela-
kang Yoga. "Aku...!" Dan Yoga segera memandang ke arah orang tersebut, lalu
menyunggingkan senyum keramahannya.
"Oh, kau Pandu...! Kau kalau bercanda ser-
ing membahayakan teman sendiri!" Yoga tertawa
kecil dan menunggu Pandu Tawa mendekatinya.
Setelah dalam jarak empat langkah, Pandu Tawa
berhenti dan menatap dengan wajah dingin. Hal
itu membuat hati Yoga sempat menaruh curiga.
"Seharusnya kutumbangkan semua pohon
dan kulemparkan kepadamu! Tapi aku butuh pen-
jelasan dan pengakuanmu. Siapa dirimu sebenar-
nya?" "Aku tak mengerti maksudmu, Pandu Ta-wa?" "Jangan berlagak bodoh, karena
itu hanya akan mengurangi kesabaranku. Katakan, siapa dirimu sebenarnya!"
"Pandu Tawa....?" Wajah pendekar tampan
itu berkerut dahi. Ia menampakkan keheranannya
yang amat sangat. Ia sempat berkata, "Kau ber-
canda atau cari masalah?"
"Katakan siapa dirimu sebenarnya"!"
"O, kau membentakku, Pandu"!"
Zlapp...! Sebatang ranting kering melesat
cepat menuju telinga Yoga. Ranting itu akan ma-
suk ke dalam telinga dan sangat menyakitkan jika
tidak segera dihindari oleh Yoga. Jelas gerakan
ranting kering yang tajam itu akibat ilmu 'Serat
Jiwa'-nya Pandu Tawa, yang mampu melemparkan
ranting tersebut menggunakan alam pikirannya.
Zlaapp...! Kini sebutir batu dalam ukuran
sebesar kepalan tangan orang dewasa, berkelebat
cepat dari tanah ke arah kepala Yoga. Tapi tangan
kanan Yoga segera berkelebat. Tabbb...! Batu itu
ditangkap dengan tangan. Lalu dalam sekejap be-
rubah menjadi serpihan debu-debu hitam yang se-
gera ditaburkan oleh Yoga.
"Hiaaat...!" Pandu Tawa penasaran, segera menyerang Yoga dengan satu lompatan.
Dan Yoga pun menyambutnya dengan serangan satu lompa-
tan ke depan. Plak, plak... buhk, buhk...!
Wuusss...! Keduanya sama-sama mendaratkan kaki ke
tanah. Saling memunggungi. Dan tiba-tiba dari
mulut Yoga keluarkan darah kental yang meleleh
pelan-pelan sambil tangan Yoga pegangi dada ka-
nannya. Sedangkan Pandu Tawa pun diam seben-
tar memegangi ulu hatinya, dari mulutnya keluar
darah, demikian juga dari lubang hidungnya. Ru-
panya ia pun terkena pukulan berbahaya dari
Pendekar Rajawali Merah itu. Wajahnya menjadi
pucat, sepucat wajah Yoga saat itu.
* * * 6 SIAPA orangnya yang tidak tertarik meman-
dang seekor burung rajawali besar terbang dengan
di tunggangi gadis cantik berpakaian merah" Bagi
orang awam, memang pemandangan itu sangat
mengagumkan dan akan bertanya-tanya, siapa ga-
dis yang mempunyai kecantikan melebihi bidadari
itu" Tapi bagi tokoh dunia persilatan mereka su-
dah tak asing lagi. Mereka tahu, gadis penunggang
rajawali putih itu adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih, Murid mendiang Dewi
Langit Perak itu sengaja terbang sedikit rendah untuk mencari keka-
sihnya yang menjadi murid angkatnya itu. Dalam
waktu tak berapa lama, mata indah milik Pendekar
Rajawali Putih itu berhasil temukan dua pemuda
tampan yang saling mengadu ketinggian ilmunya.
Kedua pendekar tampan itu tak lain adalah Yoga
dan Pandu Tawa. Maka, Pendekar Rajawali Putih
pun segera memerintahkan kepada burung raja-
walinya untuk mendarat di salah satu gundukan
tanah yang membukit, tak jauh dari pertarungan
tersebut. Pada waktu itu, keadaan Pandu Tawa dan
Yoga sama-sama saling melompat dan menghan-
tamkan telapak tangan mereka kembali. Plakkk...!
Keduanya kini berdiri dengan kaki sedikit meren-
dah. Telapak tangan kanan mereka saling beradu
dan tetap lengket, tak ada yang mau menariknya.
Telapak tangan itu kepulkan asap putih menanda-
kan dua kekuatan tenaga dalam sedang saling di-
kerahkan. "Hentikan!" seru Pendekar Rajawali Putih
begitu turun dari punggung rajawalinya. Tapi ke-
dua pemuda tampan itu tidak hiraukan seruan
tersebut. Asap putih semakin banyak mengepul
dari perpaduan dua telapak tangan itu. Lili terpak-
sa harus berteriak keras, "Hentikan...!"
Yoga dan Pandu Tawa masih saling adu ke-
kuatan tenaga dalam mereka. Bahkan, sekarang
Yoga sentakkan kakinya dan melambung sedikit
ke atas, ia bersalto maju dengan menggunakan te-
lapak tangan lawan untuk bertumpu, wuuttt...!
Tubuhnya melayang memutar balik di atas kepala
Pandu Tawa. Kemudian kakinya segera menjejak
ke belakang dan tepat mengenai punggung Pandu
Tawa. Duuuhg...!
Wuusss...! Bruuhg...!
Pandu Tawa terpental maju dan hilang ke-
seimbangan sehingga jatuh tersungkur di tanah.
Beruntung sekali wajahnya tidak sampai memben-
tur sebongkah batu yang tepat ada di depannya.
Tetapi pemuda yang menjadi cucu dari tokoh sakti
bernama Eyang Wejang Keramat itu, semakin me-
muntahkan darah lebih banyak lagi dari mulutnya.
Tendangan yang kenai punggung itu bagai meng-
hentakkan seluruh darah dalam tubuhnya. Hal itu
membuat Lili sangat terkejut karena mengenali ju-
rus tersebut, yang dinamakan jurus 'Rajawali Me-
nipu Naga'. Wuuttt...! Jleegg...!
Pendekar Rajawali Putih cepat melompat
dan tahu-tahu sudah berada di pertengahan jarak
antara Yoga dan Pandu Tawa. Ketika itu, Yoga su-
dah menyiapkan jurus lain untuk menyerang Pan-
du Tawa. "Tahan! Tahan seranganmu, Yoga!" bentak
Lili dengan berang karena diliputi kecemasan akan
luka-luka yang diderita Pandu Tawa. Luka-luka itu
sangat berbahaya. Bisa membuat Pandu Tawa te-
was saat itu juga. Dan Lili tidak inginkan hal itu
terjadi. "Apa maksudmu melindunginya"!" tanya
Yoga kepada Lili dengan wajah cemberut. "Apakah karena kau merasa sebagai calon
jodohnya"!"
Lili terperanjat kaget mendengar ucapan
Yoga begitu. Ia belum bisa bicara untuk beberapa
saat, karena merasa bingung mengatasi hal itu.
Sementara ia pun harus segera menolong Pandu
Tawa dari luka parahnya tersebut.
"Tahan murkamu, Yo! Tahan!" Lili pun ber-
gegas hampiri Pandu Tawa.
Tetapi pemuda berpakaian biru muda itu
segera bangkit sendiri. Napasnya terhirup dalam-
dalam dan di pendamnya beberapa saat, lalu di-
hembuskannya pelan-pelan. Pandu Tawa masih
bisa berdiri tegak, itu pertanda ia bisa atasi luka dalamnya yang diduga parah
oleh Lili. "Pandu, kau tidak apa-apa"!"
"Tidak," jawab Pandu Tawa masih jelas.
"Minggirlah, akan kuhajar dia dengan jurus pembuka kedok penyamaran!"
"Jangan, Pandu. Tahan kemarahanmu."
"Dia harus kita hajar habis-habisan jika tidak mau tunjukkan wajah aslinya,
Lili!" kata Pandu Tawa dengan keras dan didengar oleh Pendekar Rajawali
Merah. Maka, dari tempatnya berdiri Yoga berseru,
"Apa yang ingin kau lakukan padaku sebe-
narnya, Pandu Tawa"! Apa alasanmu menyerang-
ku"!" "Kau bukan Yoga yang asli! Kau manusia sesat yang menyamar sebagai Yoga!
Dan aku tidak terima jika sahabatku kau lecehkan dengan pe-
nyamaranmu! Buka kedokmu! Rubah dirimu ke
wujud aslimu! Lekas!" bentak Pandu Tawa. Namun bentakan itu justru membuat wajah
Yoga berkerut dahi dengan menampakkan keheranannya.
Lili sempat membisik di samping Pandu Ta-
wa, "Agaknya dia Yoga yang asli, Pandu. Kukenali jurusnya yang bernama jurus
'Rajawali Menipu
Naga' tadi! Tahanlah dulu kemarahanmu, akan
kuuji dia!"
Kemudian Lili maju mendekati Yoga, semen-
tara Yoga berkata dengan masih bernada marah.
"Apa maksud kata-katanya itu, Guru?"
"Seseorang telah menyamar sebagai Yoga.
Kami tahu hal itu. Tapi sulit membedakannya. Se-
karang, jika kau memang Yoga yang asli, panggil-
lah burung rajawali mu!"
"Guru tidak percaya padaku"!"
"Kubilang, panggil burung rajawalimu itu-
sekarang juga!" Lili sedikit membentak. Yoga pun kendurkan ketegangannya.
Setelah menarik napas dan menghem-
paskannya sebagai penenang gejolak amarah da-
lam dada. Yoga pun segera menggenggamkan tan-
gannya. Tetapi hanya dua jari yang ditekuk di
genggaman, sedangkan jari telunjuk, jari kelingk-
ing, dan jempolnya berdiri tegak. Tangan tersebut
segera disentakkan ke atas. Wuuttt...! Lurus ke
langit. Dari ketiga ujung jari yang berdiri tegak Itu melesatlah tiga larik
sinar merah. Sinar tersebut
bertemu di angkasa dan menimbulkan suara den-
tuman yang menggaung dan menggema ke mana-
mana. Lalu, tak beberapa lama, muncullah seekor
burung rajawali berbulu merah. Burung besar itu
segera menukik dan menyerukan suaranya di
angkasa. "Keaaak...! Keeaaak...!"
Burung rajawali putih yang tadi ditunggangi
Lili itu tampak girang melihat Rajawali Merah da-
tang. Ia segera bentangkan sayapnya tak terlalu
lebar sambil membalas seruan tersebut,
"Kaaaakk...! Kaaakk...!"
Burung Rajawali Merah hinggap tak jauh
dari Rajawali Putih, jodohnya. Si Rajawali Putih
melompat dan kian mendekat, kemudian sayap-
sayap mereka saling beradu bersentuhan menim-


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulkan getaran gelombang yang membuat pohon-
pohon bergetar. Suara mereka pendek dan pelan,
tapi berisik didengar orang. Mereka seperti dua
kekasih yang saling melepas rindu dan kegembi-
raan. Tiga manusia yang ada di tempat itu sama-
sama memandang. Pendekar Rajawali Putih sung-
gingkan senyum tipis melihat burungnya berceng-
kerama dengan rajawali merah, tetapi Yoga tidak
tersenyum sedikit pun. Pandu Tawa juga tidak ter-
senyum, melainkan justru terperangah meman-
dangi dua burung berpasangan yang saling ber-
canda menurut caranya sendiri itu; Lalu, Pandu
Tawa mendengar Lili berkata,
"Kalau begitu kau memang Yoga yang asli!"
Pandu Tawa menghempaskan napas keke-
cewaan dan penyesalannya. Ia segera dekati Yoga,
berdiri dalam jarak dua langkah, lalu berkata!
"Maafkan aku! Aku salah serang."
Setelah mendapat penjelasan lebih lengkap,
Yoga bisa memaklumi kekeliruan itu dan memaaf-
kan tindakan Pandu Tawa. Tetapi di dalam hati Lili
yang merasa lega itu terpetik sebaris kata,
"Ternyata Yoga tetap unggul seandainya be-
nar-benar bertarung dengan Pandu Tawa."
Keyakinan itu jelas ada di dalam hati Lili,
sebab ia melihat sendiri Pandu Tawa terancam ba-
haya sebelum ia datang melerainya. Jika Lili tidak
segera menengahi pertarungan itu. Yoga pasti le-
paskan pukulan dahsyatnya untuk membuat Pan-
du Tawa cedera. Dan Pandu Tawa pasti tidak bisa
menghindarinya. Pencegahan dari Lili itulah yang
membuat Pandu Tawa tadi punya kesempatan un-
tuk pulihkan kesehatannya sendiri dan menjadi
tegak kembali. Dengan dua telapak tangan ditempelkan ke
punggung dua pemuda itu, Lili salurkan hawa
murninya ke dalam tubuh mereka. Dengan begitu
luka dalam yang sama-sama mereka derita walau-
pun tak kentara, kini dapat dipulihkan kembali
oleh Lili. Keadaan tubuh mereka pun segar kemba-
li. * * * Lalu, bagaimana dengan Yoga palsu jelmaan
dari Putri Kumbang itu"
Yoga palsu sempat terhenti dari pelarian-
nya. Hal yang membuatnya terhenti itu karena di-
hadang oleh seseorang bertubuh tinggi, besar dan
berwajah angker. Orang berwajah angker itu kena-
kan jubah hitam berlengan longgar, tepian jubah-
nya dilapis kain merah mengkilap. Rambutnya bo-
tak separo, sisanya yang belakang terjurai panjang
sebatas pundak. Kepala botak separo itu dililit ikat kepala warna merah dengan
simbul swastika dari
emas di tengah dahinya. Di kanan kirinya terselip
senjata berupa gelang-gelang dari logam kuning
emas dengan garis tengah sekitar dua jengkal dan
tepiannya bergerigi. Orang beralis tebal itulah yang dikenal oleh setiap tokoh
dunia persilatan dengan
nama: Malaikat Gelang Emas; musuh utama dari
Yoga dan Lili. "Sial! Agaknya aku harus terlibat perkara
dengan Malaikat Gelang Emas ini! Apa kemaua-
nnya menghadangku?"
Putri Kumbang dalam wujud Yoga segera
mundur satu tindak ketika Malaikat Gelang Emas
maju dua tindak. Dengan wajah menyimpan mur-
ka, mata memandang ganas dan tangan sudah
menggenggam, orang berbadan besar itu berkata
dalam geram bernada marah,
"Sekarang kau sendirian! Sekarang juga
saatnya. untuk membunuhmu. Yoga! Tak mungkin
kau lolos lagi dari tanganku!"
Tunggu dulu!" sergah Putri Kumbang. "Jan-
gan serang aku dulu. Aku bukan Yoga, si Pendekar
Rajawali Merah! Aku bukan dia!"
"Gggrrr...! Rupanya kau mulai ketakutan
melawan ku satu lawan satu, bocah kambing"! Ta-
pi aku tak pernah memberi ampun untuk orang
semacam kau, Yoga!"
"Aku bukan Yoga! Percayalah. Aku Putri
Kumbang yang sedang menyamar sebagai...!"
Wuuuttt...! Buuhg...!
Tiba-tiba Malaikat Gelang Emas keluarkan
pukulan tenaga dalamnya dari jarak tujuh lang-
kah. Pukulan tenaga dalam itu keluar dari dua
genggaman tangannya yang disodokkan ke depan
secara bersamaan. Pukulan bergelombang besar
itu membuat Putri Kumbang terlempar hingga
membentur pohon besar dengan kuat." Padahal
dengan cepat tangan Putri Kumbang telah me-
nyentak memberi penahanan, tetapi tetap saja tu-
buhnya melayang bagaikan kapas dihempas angin
besar. "Gggrrr...! Modar kau, Setan! Heeaahh...!"
Malaikat Gelang Emas melompat dan berusaha
menginjak tubuh, yang di sangka Yoga itu.
Bleeehg...! Untung Putri Kumbang dengan cepat ber-
guling ke kiri menghindari dua kaki besar yang
hendak menginjaknya itu. Ia lekas bangkit dari
bergulingnya. Tetapi tak sempat lakukan sesuatu,
karena kaki Malaikat Gelang Emas sudah lebih
dulu menendang sambil berputar satu kali,
Daahhg...! Tendangan itu tepat mengenai
wajah Putri Kumbang, seperti sebuah tamparan
yang amat kuat dan besar. Tendangan kaki tampar
itu membuat Putri Kumbang terlempar lagi, enam
langkah jauhnya.
Wajah itu memar biru pada bagian rahang
kanan. Sepercik darah tersembur keluar dari mu-
lut. Putri Kumbang rasakan nyeri di sekujur tu-
buh, dari kaki sampai kepala. Matanya pun terasa
gelap untuk memandang. Ia mengerjap-ngerjapkan
matanya dan berusaha bangkit.
Ketika baru saja pandangan matanya mulai
terang kembali, ia melihat sekelebat sinar kuning
bergelang-gelang melesat dari pergelangan tangan
Malaikat Gelang Emas. Putri Kumbang yang sudah
lama mengenali keganasan Malaikat Gelang Emas
itu segera mengerti bahwa dirinya saat itu dalam
bahaya besar. Dengan satu kali jejakkan kaki ringan, Putri
Kumbang melambung tinggi di angkasa dan hing-
gap di atas dahan sebuah pohon, sementara sinar
gelang-gelang kuning itu menghantam pohon lain.
Pohon itu lenyap tinggal sisa kulitnya saja.
Zlaaapp...! Putri Kumbang lepaskan serangan sinar hi-
jau dari kesepuluh ujung jarinya. Sinar hijau yang
berlarik-larik itu menghantam tubuh besar Malai-
kat Gelang Emas. Ternyata orang berwajah angker
itu mampu menghalangi sinar-sinar hijau itu den-
gan menghentakkan kaki ke tanah dan dari tanah
keluar sinar putih bening bagaikan kaca yang me-
lebar membentengi tubuhnya. Akibatnya, sinar hi-
jau itu tidak bisa menembus cermin pelapis tenaga
dalam tersebut. Drrrubb...! Sinar hijau itu padam
seketika. Zlaaap...! Malaikat Gelang Emas lenyap dari
pandangan mata Putri Kumbang. Tahu-tahu tu-
buh Putri Kumbang terjungkal jatuh dan atas po-
hon seperti ada yang menendang punggungnya da-
ri belakang. Bruuss! Tubuh berwujud Yoga itu ter-
sungkur tanpa ampun lagi di tanah. Wajahnya lu-
ka dan memar. Bibirnya pecah sebagian. Dalam
keadaan tengkurap dalam jatuhnya, tiba-tiba ia
merasakan ada benda yang amat berat dan besar
telah menjatuhi punggungnya. Bluuuhg...!
"Nggehk...!" Putri Kumbang mendelik tak bi-sa bernapas, tapi yang terlihat
adalah wajah Yoga
yang kesakitan tak mampu bernapas. Lalu, segera
terdengar suara tawa Malaikat Gelang Emas yang
terbahak-bahak menggema ke mana-mana itu.
"Huah, hah, hah, hah, hah...! Ternyata kau
mudah sekali kukalahkan, Yoga! Akan ku per-
mainkan dulu diri mu sebelum kuhabisi nyawamu!
Huah, hah, hah...!"
Putri Kumbang segera kerahkan tenaganya.
Ia tahu tubuhnya sedang diinjak oleh tubuh besar
Malaikat Gelang Emas, walaupun orang itu tidak
tampak dalam penglihatannya. Putri Kumbang
pun segera sentakkan kedua sikunya yang ber-
tumpu di tanah agar punggungnya bisa menghen-
tak naik. Wuuttt...! Dan ia cepat membalik dalam
keadaan telentang, lalu tangannya menyentak ke
depan dan memancarkan cahaya kuning yang me-
nyebar ke berbagai arah. Zrrraaapp...!
"Uuhg...!" terdengar suara lawan mengaduh tertahan. Tubuh Putri Kumbang terasa
ringan, berarti sudah tidak diinjak oleh tubuh besarnya Ma-
laikat Gelang Emas. Serta-merta Putri Kumbang
bangkit dan membiarkan pohon-pohon terbakar
akibat sinar kuningnya tadi. Dengan mengguna-
kan tenaga dalam cukup tinggi, Putri Kumbang
mengibas-ngibaskan tangannya yang pada waktu
itu dalam keadaan buntung sebelah kiri, karena ia
sebagai Yoga. Kibasan tangan yang berkali-kali itu me-
nimbulkan gelegar petir berulang-ulang. Cahaya
biru menyambar-nyambar bumi bagaikan serang-
kaian pasukan petir yang mengamuk dan ingin
menghancurkan bumi.
Pada saat itu, wujud Malaikat Gelang Emas
nyata dalam ilmu bayang siluman, hingga tampak
jelas di mata, namun keadaannya tak bisa ditem-
bus benda apa pun. Wajahnya itu bagaikan cermin
samar-samar. Dan, Putri Kumbang merasa kewa-
lahan. "Kalau tak segera lari, bisa modar di sini!"
maka, Putri Kumbang pun cepat-cepat larikan diri
dengan ilmu peringan tubuhnya yang cukup ting-
gi. Ia bergerak cepat dan zig-zag, sehingga sulit diikuti lawan.
Dalam keadaan babak belur, Putri Kum-
bang yang masih berwujud Yoga itu lari menuju
Biara Sita. Repotnya lagi, ketika ia tiba di pintu
gerbang Biara Sita, ia dihadang oleh Roh Gantung,
Juru Kubur, dan Tambur Pati. Bahkan mereka ti-
dak memberi kesempatan Putri Kumbang untuk
bicara. Karena pada saat itu, suara Cemplon Sari
yang ada di menara pengawas bersama seorang
pemuda kekasihnya itu terdengar menyerukan ka-
ta, "Itu dia yang bernama Yoga! Dia pasti akan
menuntut balas atas perlakuan sang Ketua terha-
dap kekasihnya!"
Suara itulah yang membuat Roh Gantung
segera keluarkan lempengan logam kuning seperti
sepasang piringan yang diadukan satu dengan sa-
tunya. Graaang...! Craaang...! Gelombang sua-
ranya membentuk sinar merah setengah lingkaran,
menghantam Putri Kumbang.
"Hal...!" Putri Kumbang hanya bisa berteriak satu kata dan segera melompat ke
kiri. Tapi di kiri ia disambut oleh serangan Juru Kubur yang ber-senjatakan
terompet dililit kulit bambu. Terompet
itu dikibaskan bagaikan mengibaskan pedang, se-
hingga timbulkan gelombang hebat yang menghan-
tam tubuh Putri Kumbang.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat itu terjadi ka-
rena Putri Kumbang sentilkan jarinya ke arah
hembusan gelombang tersebut. Rupanya sentilan
jari Putri Kumbang mempunyai tenaga dalam yang
lebih besar dan mampu. meledakkan gelombang
tenaga tingginya Juru Kubur.
Akibat ledakan itu, Juru Kubur terlempar
empat tindak ke belakang dan jatuh terkulai ba-
gaikan tak berurat lagi. Sedangkan Tambur Pati
yang ke mana-mana selalu menggantungkan gen-
derang di perutnya itu, cepat-cepat mengambil dua
kayu pemukul genderang. Dengan dua kayu Itu
Tambur Pati melompat hendak menusukkan ke-
dua kayu pemukul yang tajamnya bisa melebihi
mata tombak. Punggung yang menjadi sasaran itu
tiba-tiba berbalik arah, dan tangan kanan Putri
Kumbang menghentak ke depan. Wuuttt...! Tubuh
besar dan gendut itu terhempas mundur karena
tenaga yang terpancar dari sentakan tangan terse-
but. "Hentikan! Hentikan semua! Aku ketua ka-
lian. Bukan Yoga!"
"Astaga..."!" Roh Gantung kaget. Seharus-
nya ia melemparkan salah satu logam piringannya
untuk memenggal leher lawan. Namun ketika ia
mendengar suara Yoga berkata demikian, ia segera
ingat bahwa Ketua Biara Sita itu sedang menya-
mar sebagai Yoga untuk memancing Lili agar se-
rahkan Kitab Jagat Sakti.
"Tahan semua serangan! Tahan...!" Roh
Gantung sendiri yang mengangkat kedua tangan-
nya yang masih memegangi dua lempengan logam
itu, menyuruh kedua temannya untuk berhenti
menyerang, juga menghalau para penghuni Biara
Sita yang berhamburan keluar dari dalam biara,
ingin mengepung orang yang disangka Yoga.


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara Cemplon Sari terdengar dari atas
menara pengawas, "Kalau kau memang sang Ke-
tua, coba tampakkan wujud aslimu!"
Beberapa saat kemudian, tubuh Yoga bera-
da dalam cahaya putih menyilaukan. Sinar putih
itu keluar dari tubuh tersebut dan semakin menyi-
laukan hingga tak bisa terlihat lagi bentuknya. Ke-
jap berikut, sinar itu surut dan menjadi padam, la-
lu wujud sang Ketua mereka, yaitu Putri Kum-
bang, mulai tampak jelas di mata mereka: "Setan belang semua! Orang sendiri
diserang seenaknya!
Kalau tak kumaklumi, bisa kubantai habis kalian
semua. Mengerti"!" Putri Kumbang membentak
dengan mata melotot. Mereka jadi takut dan sama-
sama tundukkan wajah.
* * * 7 ATAS saran Roh Gantung, Putri Kumbang
ganti menyamar sebagai si Tua Usil. Roh Gantung
mengatakan, "Tua Usil. adalah pelayan Lili. Begitu menurut banyak kabar yang
saya terima. Dengan
merubah diri menjadi Tua Usil, maka Ketua bisa
menjadi pelayan Lili!"
Plook...! Mulut Roh Gantung ditampar tak
seberapa keras oleh Putri Kumbang sambil berka-
ta, "Kurang ajar! Kau menyuruhku menjadi pe-
layan Lili"! Itu keterlaluan, Roh Gantung! Gaga-
sanmu hanya ingin merendahkan harga diriku di
depan lawan, dan membuatku malu! Kau pikir aku
jauh lebih rendah martabatnya daripada Lili"!"
Juru Kubur berkata dengan suaranya yang
keras, kering, lengking, dan cempreng, "Maksud Roh Gantung begini, Ketua...!"
"Sudah, sudah...! Kamu jangan turut bicara.
Suara mu bikin telingaku bengkak!"
Cemplon Sari segera berkata, "Maksudnya,
sang Ketua berpura-pura menjadi pelayan Lili.
Dengan menjadi pelayan Lili, maka sang Ketua bi-
sa keluar-masuk di tempat tinggal gadis itu dan ti-
dak dicurigai jika mendekati penyimpanan kitab
pusaka tersebut. Dengan menyamar sebagai Tua
Usil, sang Ketua akan dipercaya oleh Lili dan sete-
lah dapatkan Kitab Jagat Sakti bisa lekas kabur
tinggalkan mereka!"
"Naaah... itu yang saya maksudkan tadi, Ke-
tua," kata Roh Gantung.
Putri Kumbang yang sangat bernafsu sekali
untuk mendapatkan Kitab Jagat Sakti dari tangan
Lili itu, kali ini hanya manggut-manggut dengan
dahi sedikit berkerut, pertanda mempertimbang-
kan gagasan tersebut. Kejap berikutnya, Putri
Kumbang menyatakan setuju akan usul itu dan
segera merubah diri menjadi Tua Usil, lengkap
dengan lagak lagunya.
Pada waktu itu, di tempat yang tepatnya se-
belah utara Biara Sita, terdapat sebuah selat laut
yang cukup lebar. Selat itu berpantai dan pasirnya
berwarna putih bagaikan bedak perawan.
Di pantai itu terlihat seorang perempuan
cantik yang membawa seekor burung beo di pun-
daknya sedang berjalan menyusuri pantai. Ru-
panya ia sedang menuju ke suatu tempat yang be-
lum bisa dipastikan ke mana arahnya. Ia tampak
sedikit bingung. Gadis cantik berpakaian jingga itu tak lain adalah Lintang Ayu,
murid dari si Jubah
Peri. Pandu Tawa melihat langkah Lintang Ayu
yang sudah dikenalnya sejak dulu. Ia segera
menghampiri Lintang Ayu dengan beberapa kali
lompatan jarak jauhnya. Rupanya Pandu Tawa
memisahkan diri dari Yoga dan Lili, setelah persoa-
lan salah paham mereka bisa teratasi. Pandu Tawa
tak ingin mengganggu pembicaraan dua insan itu
yang sudah menjurus ke masalah cinta pribadi.
Lintang Ayu sempat kaget dan cepat pasang
kuda-kudanya ketika Pandu Tawa tahu-tahu ber-
diri di depannya. Namun kuda-kuda itu segera di-
kendurkan setelah ia tahu siapa yang mengha-
dangnya dan si burung beo menyerukan kata,
"Hai kekasih... datang lagi kau padaku, Ke-
kasih. Hai...!"
Pluk! Kepala burung beo itu ditampol oleh
tangan majikannya. Lintang Ayu sedikit tersipu
menghadapi Pandu Tawa akibat ocehan burung
beonya. Pandu Tawa sendiri hanya tersenyum ki-
kuk, sebab dulu ia memang pernah ingin mende-
kati Lintang Ayu. Namun hati perempuan yang
berjuluk 'Gadis Penakluk Hati' itu, segera menjau-
hi Pandu Tawa karena Pandu Tawa sering menye-
but-nyebut dan membanggakan kekasihnya yang
pertama, yaitu Roro Wilis. Sejak itulah mereka ja-
rang jumpa. Pertemuan ini membuat Lintang Ayu pa-
sang sikap jual mahal lebih dulu. Dengan sikap te-
gas, berwibawa, Lintang Ayu menyapa tanpa se-
nyum sedikit pun, "Ada perlu apa menemuiku,
Pandu Tawa"!"
"Tak bolehkah aku menemuimu tanpa ke-
perluan?" Pandu Tawa balas bertanya dengan se-
nyum menawannya.
"Aku terganggu dengan pertemuan ini jika
memang tidak ada perlunya. Waktuku sangat ber-
harga." Pandu Tawa lebarkan senyum, melangkah
ke samping memandang ke laut, dan mulutnya
terdengar ucapan yang mengandung makna ke-
nangan, "Dari dulu kau selalu mengatakan waktumu
berharga. Sampai kapan kau akan berhenti diper-
budak oleh waktu dan keperluan?"
"Kurasa kau akan tahu sendiri jawabannya.
Sebaiknya aku harus cepat-cepat pergi! Selamat
tinggal, Pandu!"
Seet...! Pandu Tawa kembali menghadang
tepat di depan Lintang Ayu. Burung beo serukan
kata sambil terbang,
"Ayo, ayo... mulai cekcok... ayo... ayo... mu-
lai cek-cok...!"
Pandu Tawa tersenyum geli mendengar sua-
ra. burung beo. Lintang Ayu menahan tawa, se-
hingga ia terpaksa tundukkan kepalanya seakan
membetulkan letak sabuknya yang dipakai menye-
lipkan pedang emas pendek bergagang hias ronce-
ronce benang merah.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada-
mu, Lintang Ayu."
"Katakanlah secepatnya," ujar gadis bertahi lalat kecil di sudut bibir kirinya
itu. "Tiga hari lagi akan ada pertemuan seluruh
pendekar di dunia persilatan. Pertemuan itu di-
adakan di Bukit Tulang Iblis. Dalam pertemuan itu
akan dipilih dan dinobatkan seseorang untuk men-
jadi Pendekar Maha Sakti dan menjabat sebagai
hakim dalam pengadilan rimba persilatan. Wak-
tunya untuk menuju ke Bukit Tulang Iblis hanya
tiga hari dua malam. Jika kau berangkat mulai se-
karang, maka tiba di Bukit Tulang Iblis tepat pada
saat pertemuan itu berlangsung."
"Aku tidak tertarik untuk datang ke sana,
Pandu Tawa," kata gadis berpakaian jingga yang dirangkapi jubah lengan panjang
warna putih tipis
itu. Sikap berdirinya masih tegak dan berkesan
angkuh. "Aku berharap kau bisa menjadi hakim se-
kaligus raja di rimba persilatan yang berhak me-
nyandang gelar Pendekar Maha Sakti!"
Lintang Ayu tersenyum tipis, bernada sinis.
"Aku tidak berminat menjadi raja. Karena
kelak pun aku akan mewarisi tahta kedudukan
tertinggi di Kadipaten Windunegara, menggantikan
ayahandaku."
"Tidak setidaknya kau harus hadir dalam
pertemuan itu untuk menyaksikan siapa yang ter-
pilih. Mungkin juga akulah yang terpilih!"
"Maaf, aku tidak berminat sama sekali.
Jangan bujuk aku. Sekarang aku harus cepat per-
gi, Pandu Tawa. Ada keperluan yang sangat pent-
ing dan harus segera kukerjakan."
Pandu Tawa menghela napas, sedikit kece-
wa dengan penolakan Lintang Ayu. Kemudian pe-
muda tampan itu bertanya,
"Hendak ke mana sebenarnya kau, Lintang
Ayu?" "Mencari seorang tabib untuk sembuhkan guruku."
"O, Nyai Guru Jubah Peri dalam keadaan
sakit"!' Pandu Tawa sedikit terkejut. "Apakah ada seseorang yang melukainya?"
"Tidak. Guru terkena 'Racun Air Mata'!"
Melihat gerakan dahi yang berkerut, Pandu
Tawa kelihatannya belum pernah mendengar na-
ma 'Racun Air Mata'. Ia menjadi heran dan ber-
tanya, "Apa 'Racun Air Mata' itu?"
"Sebuah tangis kerinduan yang tercemar te-
naga inti. Air mata itu berubah menjadi racun dan
membuat tubuh Guru bergelembung air di sela se-
la kulit tubuhnya. Jika sampai tulang, daging dan
uratnya berubah menjadi cair atau mengandung
air racun tersebut, maka hal itu dapat mengaki-
batkan Guru tewas."
"Hmmm...!" Pandu Tawa manggut-manggut.
"Lalu, apa yang ditangisi oleh Guru Jubah
Peri itu?"
"Kukatakan tadi, beliau menangis karena
kerinduan. Kerinduan terhadap seorang kekasih
lamanya yang sudah puluhan tahun tak pernah
dijumpainya!" "Siapa kekasihnya itu?"
"Kurasa kau tak perlu tahu, Pandu. Karena
persoalan ini sangat pribadi sifatnya."
"Maksudku, kalau memang aku tahu siapa
orangnya, aku bisa mencari orang itu dan mem-
pertemukannya kepada gurumu."
Gadis berhidung mancung itu geleng-geleng
kepala, "Tidak akan menolong, Pandu. Sekali pun kau berhasil membawa sang
kekasih Guru, tetap
saja racun itu akan membahayakan keselamatan
guruku. Menurut pesan Guru, aku harus mencari
seorang tabib. Ada seorang yang menjadi tabib
ampuh dan dapat sembuhkan berbagai macam ra-
cun, tapi aku tidak tahu di mana tepat tinggalnya.
Guru sendiri tidak tahu hal itu."
"Siapa nama tabib yang dimaksud itu?"
"Sendang Suci, atau yang disebut pula Ta-
bib Perawan!"
"Ooo... ya. Aku pernah dengar nama itu. Ka-
lau tidak salah dia adalah sahabat dari Pendekar
Rajawali Merah. Apakah kau kenal Yoga?"
"Ya, aku kenal!"
"Nah, dialah yang tahu tempat tinggal Tabib
Perawan, karena waktu kami berada di Teluk
Gangga, aku pernah dengar dia bercerita tentang
Tabib Perawan kepada Dewi Gita Dara dan Lili.
Tapi waktu itu aku mendengarkannya sambil lalu
saja. Jadi saranku, sebaiknya kau cari Pendekar
Rajawali Merah itu dan tanyakan kepadanya tem-
pat tinggal Tabib Perawan."
Lintang Ayu diam, tapi hatinya bicara, "Ka-
lau tahu begitu, seharusnya kemarin saat aku ber-
temu dengan Yoga, kukatakan keperluanku ini.
Menyesal sekali aku tidak ceritakan kepada Yoga
soal tugas dari Guru ini. Hmmm...! Kalau begitu,
aku sebaiknya memang harus mencari dia!"
Karena Lintang Ayu dianggap merasa bim-
bang, maka Pandu Tawa berkata, "Akan kubantu
untuk mencari Yoga, karena belum lama aku jum-
pa dia di pancuran sungai Bening. Sebaiknya kita
ke sana sekarang juga, mudah-mudahan dia be-
lum pergi bersama Lili."
Lintang Ayu sulit menerima tawaran itu,
namun juga sulit menolaknya. Ia dalam kebim-
bangan dan kebimbangan itu timbul karena keku-
atan batin Pandu Tawa yang mempengaruhi hati
Lintang Ayu agar mau menerima tawaran tersebut,
sedangkan pikiran Lintang Ayu ingin menolaknya,
supaya tidak terjadi kemesraan masa lalu. Namun
agaknya kekuatan batin Pandu Tawa lebih besar
dari kekuatan pikiran Lintang Ayu, sehingga Lin-
tang Ayu pun akhirnya membiarkan Pandu Tawa
mengiringinya dalam perjalanan.
Hanya saja, perjalanan mereka mencari Yo-
ga itu terganggu sebentar oleh kemunculan seo-
rang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, ber-
pakaian coklat muda, sabuk hitam, rambut putih
tipis dan kumisnya pun putih tipis. Orang tersebut
tak lain adalah Tua Usil yang punya nama asli
Pancasona. "Kebetulan sekali aku bertemu denganmu
Pandu Tawa," kata Tua Usil.
"Apa yang membuatmu kebetulan?" Pandu
Tawa ganti bertanya.
"Aku mencari-cari Nona Lili, Pandu Tawa.
Ada pesan penting yang harus kusampaikan kepa-
da beliau."
"Lili..."! Oh, aku tadi melihatnya sedang


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berduaan dengan Yoga! Kami pun sedang menuju
ke sungai Bening, karena tadi kulihat dia ada di
sana bersama Yoga."
"Kalau begitu, aku ikut dengan kalian saja.
Apakah mengganggu kemesraan kalian?" sambil
Tua Usil tersenyum-senyum.
Lintang Ayu cepat menyahut, "Kami bukan
sedang bermesraan. Jaga bicaramu, Tua Usil!"
"O, maaf! Soalnya, kulihat kalian berdam-
pingan dengan mesra. Menurutku, kalian adalah
jodoh." "Pandu Tawa bukan jodohku. Pandu Tawa
adalah jodohnya Lili!"
Pria tampan itu terperanjat, lalu tertawa
pendek. "Mengapa kau bilang begitu?" ia ingat ucapan Wong Sakti yang meramalkan
bahwa dirinya adalah jodoh dari Lili.
Lintang Ayu memandang sebentar dan ber-
kata, "Wong Sakti meramalkan bahwa jodohmu
adalah Lili!"
"Itu bukan Wong Sakti, itu wong edan alias
orang gila. Jangan hiraukan ramalannya. Tidak
semua ramalan Wong Sakti adalah benar. Kadang
ia bicara seenaknya saja tanpa memikirkan kebe-
narannya!" kata Pandu Tawa dengan sedikit dongkol kepada Wong Sakti yang
dianggap menyebar
berita yang bukan-bukan.
Mereka bertiga sedang melangkah, tiba-tiba
tubuh Tua Usil terpental ke belakang dan bergul-
ing-guling. Hal itu membuat Lintang Ayu dan Pan-
du Tawa sama-sama terkejut. Sementara itu, bu-
rung beo yang ada di pundak Lintang Ayu itu ber-
seru. "Bahaya! Bahaya! Ada orang jahat. Ba-
haya...!" Lintang Ayu segera pasang sikap waspada.
Matanya yang sedikit lebar tapi indah dan serasi
dengan kecantikannya itu segera memandang ta-
jam sekelilingnya. Pandu Tawa sendiri melakukan
hal itu karena takut kalau dia dan Lintang Ayu
menjadi sasaran pukulan tersembunyi dari seseo-
rang yang telah menyerang si Tua Usil itu.
"Setan kasur!" teriak Tua Usil dalam ma-
kian. "Siapa yang berani menyerangku tadi"!" Tua Usil tampak berang dan berdiri
dengan mata memandang penuh amarah. Serangan bertenaga da-
lam tinggi tadi telah membuat dadanya panas, ba-
gaikan dihantam dengan batu lahar.
Kemudian, seorang bertubuh tinggi dan
mengenakan jubah abu-abu muncul dan balik po-
hon besar. Orang itu muncul dengan tenang dan
berjalan mendekati mereka. Pandu Tawa maupun
Lintang Ayu kenal betul dengan orang tersebut,
demikian pula si Tua Usil. Orang itu segera di-
hampiri pula oleh Tua Usil sambil berteriak,
"Apa urusanmu denganku sehingga kau
menyerangku Jubah Jangkung"!"
"Apa kau lupa" Aku menuntut balas atas
kematian calon istriku yang kau bunuh dengan pi-
sau pusaka itu! Sampai kapan pun kau tetap ku
buru karena telah membunuh Nyai Kuku Setan!"
kata Jubah Jangkung. (Untuk lebih jelasnya, baca
serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Pusaka Hantu Jagal").
Tua Usil berkata dengan bertolak pinggang,
"O, jadi kau ke sini mau antar nyawamu supaya
cepat susul calon istrimu itu" Baik!"
Pandu Tawa mau melangkah maju membela
Tua Usil, tetapi tangannya dicekal Lintang Ayu,
sambil wanita cantik itu, berkata,
"Jangan ikut campur. Itu urusan mereka.
Sebaiknya kita teruskan langkah kita mencari Yo-
ga! Kalau kau tak setuju dengan gagasanku, tetap-
lah tinggal di sini dan aku akan mencarinya sendi-
ri!" "Baiklah. Aku ikut mencari bersamamu,"
kata Pandu Tawa. Tapi ia sempat berseru kepada
Tua Usil, "Tua Usil, bisakah kau kutinggalkan di sini
dan atasi masalah mu sendiri dengan Jubah
Jangkung"!"
"Sangat bisa! Jubah Jangkung tak ubahnya
seperti anak kecil yang bandel dan perlu dihajar!
Jika perlu akan kubuat mampus!"
"Dasar mulut besar! Kurobek habis mulut-
mu, Tua Usil! Hihhh...!"
Jubah Jangkung sentakkan kaki ke tanah
dengan pelan dan tubuhnya terlihat melompat ba-
gaikan terbang dengan jubahnya yang berkobar.
Kedua tangannya mengeras dan tertuju ke wajah
Tua Usil. Dengan cepat Tua Usil pun melompat ke
depan dan telapak tangannya beradu dengan ta-
pak tangan Jubah Jangkung. Plaakkk...!
Bllaaarr...! Kedua tubuh itu terpental setelah ter-
jadi ledakan yang menimbulkan cahaya merah
bercampur hijau pada saat tangan mereka saling
beradu. Tua Usil jatuh terjengkang dalam jarak em-
pat langkah dari tempatnya mengadu tangan. Se-
dangkan Jubah Jangkung terpental dalam jarak
sekitar enam langkah dari tempatnya mengadu
kekuatan tenaga dalam. Tapi dalam sekejap, me-
reka sudah sama-sama bangkit dan siap bertarung
kembali. Dan pada saat itu, Pandu Tawa sudah
menghilang mengikuti langkah Lintang Ayu.
Zllaaap...! Tiba-tiba Tua Usil kehilangan la-
wannya. Tahu-tahu juga sang lawan sudah ada di
belakangnya dan berkata,
"Aku di sini, Tua Usil!"
Tua Usil menengok seketika itu juga. Tepat
Tua Usil menengok ke belakang, saat itu pula kaki
Jubah Jangkung berkelebat menendang wajah Tua
Usil dengan sangat cepatnya. Ploookkk...!
Tentu saja hal itu membuat Tua Usil ter-
lempar bagaikan pakaian lusuh tak terpakai lagi.
Jatuhnya pun tidak bisa menjaga keseimbangan
tubuh. Ia terpuruk ke bawah pohon dengan men-
gerang kesakitan. Jubah Jangkung memanfaatkan
kelemahan lawannya dengan segera melepas se-
rangan bersinar biru yang keluar dari ujung jari
tengah yang ditudingkan ke depan. Zlaappp...!
Sepotong sinar biru berukuran sekitar satu
jengkal melesat dengan cepat menghantam Tua
Usil. Tapi pada waktu itu, sinar biru itu terhantam oleh datangnya sinar putih
yang merupakan garis
bercahaya datang dari langit.
Blarrr...! Sinar biru itu gagal mencapai sa-
saran dan meledak di angkasa. Siapa yang mele-
paskan sinar putih menyilaukan itu" Jubah Jang-
kung pun segera memandang ke langit, ternyata di
sana tampak seekor burung rajawali putih sedang
terbang dengan penunggangnya gadis cantik ber-
pedang di punggung warna putih perak.
"Jahanam kau, Rajawali Putih!" geram Ju-
bah Jangkung. Begitu burung tersebut hendak
mendarat, Jubah Jangkung segera melepaskan
pukulan mautnya yang kelihatannya cukup rin-
gan. Ia bagaikan menebar jagung ke udara untuk
memberi makan burung. Tapi gerakan menebar itu
ternyata hasilkan kekuatan tenaga dalam tinggi
berupa pisau-pisau kecil berwarna kuning menya-
la. Sekitar lima pisau bergerak berjajar bagai barisan siap sergap lawan.
Namun mata burung rajawali putih itu se-
gera keluarkan sinar putih seperti tadi, dan meng-
hantam pisau sinar kuning dari arah samping, se-
hingga satu larik sinar putih dapat menghantam
kelima sinar kuning dalam satu kali serangan.
Bbrrraaall...! Suara ledakan beruntun dan
seperti suara rentetan geledek beruntun. Akibat
ledakan tersebut, mengepullah awan hitam yang
hampir saja membungkus burung besar bersama
penunggangnya. Tapi sebelum awan berhasil
membungkus mereka, binatang sakti itu sudah le-
bih dulu mendarat dari sisi lain.
"Monyet belang!" geram Jubah Jangkung.
"Burungnya saja bisa mematahkan jurus mautku.
Naga-naganya aku bakal kerepotan jika harus me-
lawan penunggang burung tersebut! Sebaiknya ku-
tinggalkan dulu urusan ini, aku harus tiba di Bu-
kit Tulang Iblis sebelum pertemuan itu dimulai!"
Maka, Jubah Jangkung pun segera tinggal-
kan tempat tersebut. Sementara itu, Tua Usil yang
segera dapat kuasai diri itu melepaskan pukulan
yang keluar dari telapak tangan kirinya. Pukulan
bergelombang besar itu menghantam telak ke
punggung Jubah Jangkung. Buuhg!
"Uhhg!" Jubah Jangkung yang juga berusia
sekitar enam puluh tahun itu tersentak ke depan
dan jatuh berguling-guling. Tua Usil bergegas
mengejar dan siap membunuhnya, tapi tiba-tiba
terdengar suara Lili yang baru saja turun dari bu-
rung rajawalinya itu,
"Cukup, Tua Usil! Jangan kejar lagi dia! Bi-
arkan dia lari!"
Jubah Jangkung lanjutkan pelariannya
dengan tubuh luka bagian dalam. Tua Usil hanya
pandangi kepergian lawannya. Tapi tiba-tiba Pen-
dekar Rajawali Putih berkelebat ke samping Tua
Usil dan menyentakkan kedua tangannya ke de-
pan. Wuukkk...! Pukulan gelombang hawa dingin
dilepaskan ke arah semak-semak, karena ia mera-
sakan ada gelombang hawa panas yang dilepaskan
seseorang dari semak-semak. Sasarannya jelas
Tua Usil, sedangkan Tua Usil sedang lengah.
Duaaar...! Ledakan kembali terjadi ketika
dua gelombang itu beradu di pertengahan. Lalu,
sebuah suara pekikan terdengar tertahan dengan
semak belukar berguncang keras. Sesosok tubuh
terlempar ke sana. Orang tersebut cepat melompat
keluar walaupun pinggangnya menjadi robek aki-
bat duri-duri tajam dalam semak belukar tersebut.
"Hmmm..."! Rupanya kau, Jin Arak"!" ge-
ram Lili. "Aku tidak memusuhimu, Lili. Mengapa kau
menyerangku?"
"Dari mana dia tahu namaku?" tanya Lili
dalam hatinya. Ternyata Jin Arak berkata, "Kau pasti yang
bernama Lili, seperti penjelasan Jubah Jangkung
padaku saat dia habis menyembuhkan aku!"
Rupanya Jin Arak saat menderita luka dari
serangan Wong Sakti telah disambar oleh Jubah
Jangkung. Ia disembuhkan oleh Jubah Jangkung,
dan tentunya Jubah Jangkung banyak bercerita
tentang Lili, Yoga, dan Tua
Usil. Dan agaknya saat itu Jin Arak ingin
balas budi kepada Jubah Jangkung dengan mem-
bela Jubah Jangkung. Tapi secara kebetulan me-
reka sama-sama punya maksud memusuhi Tua
Usil karena alasan pribadi masing-masing.
"Apa maumu, Jin Arak?" sentak tua Usil
sambil melangkah maju.
Dalam keadaan tidak sedang mabuk, Jin
Arak berkata, "Aku akan membalas kekalahanku
tempo hari ketika di Teluk Gangga! Sekarang teri-
ma saja pembalasan ku ini, Bangsat! Heaaah...!"
Jin Arak mengibas-ngibaskan tangannya
berserabutan seperti orang tenggelam di air. Mu-
lutnya serukan teriakan panjang. Dan tiba-tiba da-
ri kibasan-kibasan kedua tangan itu keluar jarum-
jarum hitam yang amat berbahaya. Jumlahnya
cukup banyak dan arahnya melayang cepat ke tu-
buh Tua Usil. Dengan sigap pula Tua Usil melepaskan
pukulan bersinar dari kedua tangannya yang dite-
kuk ke dalam dan disentakkan bagai sayap seekor
bangau. Wuuttt...! Sinar hijau tua menyebar mem-
bentuk lempengan lebar. Arahnya ke tubuh Jin
Arak, dan hal itu membuat jarum-jarum hitamnya
saling meledak beruntun, sementara Jin Arak sen-
diri terlempar menghantam pohon besar hingga
pohon itu rontok daunnya.
Braalll...! Buuuhg...! Wwwrrr...!
Jin Arak menyeringai kesakitan. Kulitnya
menjadi merah bagaikan matang terbakar. Lili
yang menyaksikan hal itu hanya membatin,
"Kalau dia bukan orang berilmu tinggi, tak
mungkin hanya menderita begitu. Pasti akan han-
cur terkena sinar hijau yang dahsyat itu!"
Tua Usil segera berkata, "Nona Li, sebaiknya
cepat ikut saya ke Biara Sita!"
"Kenapa kesana"!"
"Tuan Yo tertangkap oleh orang-orang Biara
Sita!" "Haahh..."!" Lili kaget sekali. Lalu ia perin-tahkan kepada burungnya
untuk mendampingi
dari atas, ia dan Tua Usil menggunakan jalan da-
rat. Sebab ia tahu, Tua Usil segan diajak terbang,
kecuali terdesak.
* * * 8 LINTANG Ayu hentikan langkahnya dengan
dahi berkerut dan matanya sedikit menyipit. Pan-
du Tawa memperhatikan dengan heran dan ber-


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya pelan, "Ada apa"!"
"Ada sesuatu yang tak enak di hatiku!"
"Tentang apa?"
"Entahlah!" jawab Lintang Ayu. "Karena kau tak suka berjalan denganku, begitu"!"
"Aku tak ta-hu. Yang Jelas... sulit kukatakan!" Burung beo
menyahut, "Cinta tumbuh lagi, cinta tumbuh la-
gi...!" Plook...!
"Aow...!" burung beo memekik dan terbang
mengitari majikannya. Ia menggoda dengan uca-
pan yang sama, tapi merasa selamat dari tampolan
tangan gadis cantik itu.
"Sudahlah. Jangan ikuti perasaanmu.
Mungkin kau teringat masa lalu kita. Sekarang ki-
ta sudah berdamai dan tak ada masalah apa-apa.
Yang penting sekarang pikirkan bagaimana sece-
patnya bisa menghubungi Tabib Perawan supaya
dia bisa cepat sembuhkan guru!" kata Pandu Ta-
wa. Lalu, mereka pun melangkah lagi, teruskan
perjalanan menuju sungai Bening.
Tetapi tiba-tiba langkah Lintang Ayu ber-
henti kembali. Kali ini ada sebab yang jelas. Pandu Tawa sendiri melihat apa
yang membuat Lintang
Ayu berhenti melangkah.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam pu-
luh tahun duduk bersandar menikmati udara se-
juk dan semilir angin di bawah pohon. Orang itu
adalah Tua Usil, yang memejamkan mata bagai
sedang meresapi kenyamanan udara semilir sejuk
itu. Lintang Ayu sempat berbisik,
"Cepat sekali dia tiba di tempat ini"!"
"Dia memang hebat!" Pandu Tawa terse-
nyum, kemudian ia memungut ranting kecil sebe-
sar jari kelingkingnya. Ranting itu lemparkan ke-
pada Tua Usil yang sedang memejamkan mata.
Wuuttt...! Tab...! Dengan gerakan cepat tangan Tua
Usil bagaikan bergerak sendiri menangkap ranting
kecil itu. Ia segera membuka mata dan kaget melihat
Lintang Ayu berdiri di depannya dalam jarak tujuh
langkah bersama Pandu Tawa. Tua Usil segera
membuang ranting itu sambil nyengir dan berkata,
"Sepantasnya yang mendapat julukan usil
adalah kau sendiri, Pandu. Oho, bersama gadis
cantik rupanya. Sedang bermesraan agaknya. He
he he he...!"
Tampak ada senyum di bibir Pandu Tawa,
tapi tidak di bibir Lintang Ayu. Mereka berdua de-
kati Tua Usil, lalu Pandu Tawa berkata,
"Nikmat sekali istirahatmu setelah menyele-
saikan urusan dengan Jubah Jangkung tadi, Tua
Usil. Sampai-sampai..."
"Dengan siapa kau bilang tadi?" potong Tua Usil. "Dengan Jubah Jangkung!"
Lintang Ayu menambahkan kata, "Bukankah kau tadi bertarung dengan Jubah Jangkung
saat kami tinggal-
kan?" Tua Usil tampak bengong dan bingung.
Pandu Tawa segera berkata,
"Rupanya kau dapat kalahkan tokoh yang
tergolong sakti itu, Tua Usil! Lantas... bagaimana
keadaannya" kau bunuh dengan pusakamu atau
kau usir hingga dia lari tunggang langgang"!"
"Aku... aku... aku tak mengerti omongan ka-
lian!" kata Tua Usil.
"Jangan berlagak bodoh. Kami hanya ingin
tahu saja bagaimana hasil pertarunganmu dengan
Jubah Jangkung tadi?"
"Tadi"! Oh, dari tadi aku belum sempat ber-
tarung dengan siapa-siapa. Apakah kalian mengi-
gau?" kata Tua Usil semakin bingung, namun juga membuat heran Pandu Tawa dan
Lintang Ayu. Rupanya Lintang Ayu lebih dulu menaruh
curiga sehingga ia berbisik kepada Pandu Tawa,
"Inilah rupanya sesuatu yang tadi ku rasakan tak enak di hati. Aku curiga
padanya." "Curiga bagaimana?"
Lintang Ayu tidak menjawab, melainkan
ajukan tanya kepada Tua Usil. "Apakah benar kau sejak tadi ada di sini?"
"Benar. Berani sumpah!" jawab Tua Usil
sambil mengacungkan dua jarinya. "Apa yang terjadi sebenarnya?"
Pandu Tawa yang segera ikut curiga menga-
takan, "Kami tadi bertemu denganmu, lalu meli-
hatmu bertarung dengan Jubah Jangkung! Jika
memang kau sejak tadi ada di sini, berarti ada
orang yang menyamar sebagai dirimu, Tua Usil!"
"Kurang ajar! Di mana orang itu berada?"
Lintang Ayu yang berkata, "Sebaiknya kita
tengok ke lembah tadi, apakah Jubah Jangkung
masih bertarung dengan orang yang mirip dengan
Tua Usil!"
Tentu saja Tua Usil menjadi tegang dan in-
gin melihat bukti ucapan mereka. Maka ia pun
bergegas pergi mengikuti Pandu Tawa dan Lintang
Ayu yang berlari dengan cepat.
Ketika mereka tiba di lembah, di mana dari
situ masih bisa terlihat pantai dan lautnya, ternya-ta mereka tidak menemukan
orang yang dimak-
sud. Tetapi mereka menemukan Jin Arak yang tu-
buhnya melepuh merah kebiruan karena terkena
serangan Tua Usil palsu tadi. Jin Arak sedang
mengerang-erang menahan rasa sakit di sekujur
tubuhnya. "Jin Arak..."! Apa yang terjadi pada dirimu?"
Jin Arak jelaskan, "Aku kehabisan arak!"
"Separah itukah jika kau kehabisan arak?"
"Tidak."
"Lantas mengapa tubuhmu menjadi matang
begitu?" tanya Tua Usil. Jin Arak memandang
bermusuhan sambil berkata,
"Jangan berlagak tolol kau! Semua ini gara-
gara dirimu! Kau memang hebat! Kau bisa mem-
buatku terluka seperti ini. Tapi kelak jika aku
sembuh, belum tentu kau bisa membuatku begini
lagi, Setan Usil!"
"Aku tidak menyerangmu!" bantah Tua Usil.
"Omong kosong!" sentak Jin Arak. "Sayang aku kehabisan arak. Kalau aku tidak
kehabisan arak, sekali tepuk maut menjemput mu!"
sesuatu. Pandu Tawa cepat berseru me-
manggil Yoga hingga pendekar tampan itu henti-
kan langkah dan memandang ke arah Pandu Ta-
wa. Maka Pendekar Rajawali Merah pun segera
hampiri mereka dan berkata,
"Apakah kau melihat Bocah Bodoh"!"
"Tidak," Jawab Pandu Tawa. "Ada apa dengan Bocah Bodoh?"
"Dia dibawa lari oleh Wong Sakti! Dia ingin
dijadikan jaminan dan akan ditukar dengan pisau
Pusaka Hantu Jagal!"
"Lho..."!" Tua Usil terbengong. "Dari dulu dia kok selalu dijadikan bahan
pertukaran pusaka"! Malang amat nasibnya"!"
"Dari mana kau tahu Bocah Bodoh dibawa
lari oleh Wong Sakti"!"
"Aku bertemu dengan Raja Tipu dan ia
mengatakan hal itu padaku!"
"Ah...!" Pandu Tawa dan Tua Usil sama-
sama bersungut-sungut meremehkan berita terse-
but. Pandu Tawa berkata,
"Akan kurobek mulut orang itu! Di mana
dia sekarang?"
Tapi Tua Usil menimpali, "Tuan Yo jangan
mudah percaya dengan kata-kata Raja Tipu! Nanti
Tuan Yo kena tipu lagi!"
Pendekar Rajawali Merah menjadi ragu se-
jenak. Ia diam memikirkan kemungkinan itu. Lalu,
ia berkata kepada mereka bertiga,
"Kali ini firasatku mengatakan, bahwa Raja
Tipu berkata yang sebenarnya!"
Kini tiga orang itu menjadi bimbang juga.
Mereka saling pandang. Akhirnya Tua Usil berka-
ta, "Ada yang lebih penting lagi, Tuan Yo. Se-
seorang telah menyamar sebagai saya, dan berha-
sil menipu Nona Li untuk dibawa ke Biara Sita!"
"Hahh..!!" Yoga terperanjat kaget. "Pasti ini masalah Kitab Jagat Sakti!"
katanya dengan tegang. "Benar," Pandu Tawa menyahut. "Tempo ha-ri waktu aku
bertemu Lili pertama kali, dia sedang
menghadapi orang-orang Biara Sita yang ingin
menguasai Kitab Jagat Sakti, yang disebut-sebut
oleh mereka sebagai kitab para dewa yang tak bo-
leh dipelajari oleh manusia. Sedangkan menu-
rutku, memang aku pernah dengar kakekku bicara
tentang adanya kitab para dewa yang tak boleh di-
pelajari manusia, tapi tidak disebutkan nama kitab
tersebut. Mungkin memang Kitab Jagat Sakti itu,
atau mungkin kitab lain!"
Lintang Ayu segera berkata, "Sebenarnya
mana yang harus kita kerjakan lebih dulu, Yoga"
Menyelamatkan Lili atau menyelamatkan Bocah
Bodoh lebih dulu"!"
"Saya yang akan selamatkan Nona Li!" sa-
hut Tua Usil bersemangat.
"Kalau begitu, biar aku dan Lintang Ayu
yang kejar Wong Sakti untuk selamatkan Bocah
Bodoh!" kata Pandu Tawa.
"Balk," Jawab Yoga. "Aku setuju! Mari kita berangkat sekarang Juga, Tua Usil!"
"Baik, Tuan Yo...!" Mereka berpisah, berpencar. Dua ke utara, dua lagi ke barat.
Kesaktian yang diperoleh Tua
Usil dari berbagai orang sakti yang pernah dika-
lahkannya itu, membuat Tua Usil dapat mengim-
bangi kecepatan lari Pendekar Rajawali Merah. Te-
tapi jika Yoga gunakan jurus 'Langkah Bayu'-nya,
Tua Usil menyerah, tak bisa imbangi kecepatan ju-
rus 'Langkah Bayu' tersebut.
Namun Yoga pun sadar, Tua Usil telah
mendapatkan perpindahan ilmu-ilmunya tokoh
sakti bernama Ratu Gaib, yaitu pada saat Tua Usil
berhasil membunuh seekor naga Jelmaan Ratu
Gaib. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Tua Usil dari
hasil membunuh naga tersebut telah membuat
Tua Usil mampu merubah menjadi seekor burung
merpati. Kekuatan gaib milik si Ratu Gaib itulah
yang membuat Tua Usil sekarang berubah menjadi
seekor burung merpati berbulu hitam berkalung
warna bulu putih. Burung tersebut bisa bicara
dengan bahasa manusia.
"Saya akan mendahului Tuan Yo dan men-
cegat Ketua Biara Sita di depan pintu gerbang. Ji-
ka Nona Lili sudah telanjur masuk dalam perang-
kap, saya takut beliau akan dikalahkan oleh Putri
Kumbang dengan peralatan gaib yang dimilikinya
di dalam Biara Sita itu!"
"Berangkatlah! Aku akan gunakan jurus
'Langkah Bayu'-ku!"
Wuuurrr...! Burung merpati jelmaan Tua
Usil itu terbang dengan cepat mengikuti arah yang
menuju ke Biara Sita. Dari tempatnya terbang, Tua
Usil dapat memandang alam sekeliling dengan te-
nang, tanpa rasa takut, tidak setakut kalau dia
naik burung rajawali. Dari tempatnya terbang itu
pula, ia melihat Lili bersama orang yang persis
dengan wujud dirinya. Tua Usil tidak menghampiri
mereka, melainkan mendului mereka, hingga da-
lam sekejap ia sudah sampai di semak-semak kaki
bukit. Sebelum mendekati pintu gerbang yang di-
jaga oleh Roh Gantung dan Juru Kubur, Tua Usil
sudah merubah diri menjadi aslinya.
Dengan keberanian yang tidak sekecil dulu,
Tua Usil menghampiri mereka; para penjaga itu. Ia
berlagak terengah-engah dan wajah dibuat tegang.
Tentu saja kedua penjaga berilmu tinggi itu terke-
jut melihat kehadiran Tua Usil.
"Lili datang menuju kemari bersama Tua
Usil yang asli. Aku tak bisa menghadapinya! Ke-
rahkan semua orang kita untuk serang Tua Usil.
Sebab ternyata Tua Usil lebih sakti daripada Lili!"
"Balk, Ketua!" jawab Roh Gantung. Mereka
menyangka Tua Usil yang bicara itu adalah Putri
Kumbang. Sebab itu, mereka patuh dengan perin-
tah Tua Usil yang asli.
"Keluar semua dan serang Tua Usil yang as-
li itu. Jangan kasih kesempatan untuk lolos! Aku
akan menyerobot Lili dan membawanya Ian ke
pantai!" "Baik, Ketua!" jawab Roh Gantung mewakili mereka.
Tua Usil bersembunyi di balik pohon pagar
yang mengelilingi biara tersebut. Sementara itu,
orang-orang Biara Sita semuanya keluar dan tem-
bok biara, membuat barisan penyergapan. Pagar
betis yang melapisi biara itu cukup kuat. Semua-
nya bersenjata dan berwajah garang. Bagian atas
biara pun dijaga ketat oleh beberapa orang yang
siap dengan anak panah masing-masing.
Roh Gantung berseru kepada para pema-
nah, "Hati-hati, jangan sampai kena Lili, dan jangan sampai kena teman sendiri!
Biarkan gadis itu
diserobot dulu oleh sang Ketua kita!"
"Yaaa..,!" seru mereka di atas menara dan di simpangan bagian atas tembok yang
merupakan benteng biara. Ketika Lili muncul dengan Tua Usil palsu,
langkah mereka terhenti. Tua Usil palsu berbisik,


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihat, penjagaan mereka begitu kuatnya, bukan"
Kalau tidak karena di dalamnya mereka memenja-
rakan Tuan Yoga, mereka tidak akan menjaga se-
ketat ini!"
Padahal dalam hati Putri Kumbang bertanya
heran, "Mengapa mereka menjaga biara seketat
ini" Ada pertempuran apa sebenarnya"!"
Lili sendiri menjadi semakin yakin, dan ke-
marahannya mulai timbul membara di dalam da-
rahnya. Ia mengamuk melihat orang-orang biara
menangkap kekasihnya yang juga murid angkat-
nya itu. Maka, Lili pun segera mencabut pedang
pusakanya yang bernama Pedang Sukma Halilin-
tar di mana pada ujung gagangnya terdapat ukiran
dua kepala burung saling bertolak belakang.
Blegarrr...! Petir di angkasa menggelegar se-
tiap pedang itu dicabut dari sarungnya. Pedang
tersebut menyala putih berpijar-pijar menyilaukan.
Sementara itu, Putri Kumbang segera berbisik,
"Tak perlu mencabut pedang pusaka! Mere-
ka bisa saya atasi dengan ucapan! Mereka akan
menjadi patuh pada saya karena saya gunakan il-
mu yang bisa membuat mereka patuh. Masukkan
kembali pedang Nona!".
Lili pun menuruti usul itu, karena ia per-
caya bahwa Tua Usil memang mempunyai ilmu
yang tidak banyak ia ketahui karena ilmu itu dis-
adarinya telah diperoleh Tua Usil dari orang sakti
yang dikalahkan. Jadi Lili percaya saja bahwa Tua
Usil memang mempunyai ilmu yang bisa membuat
orang patuh. Ia tidak tahu kalau Tua Usil yang ada
di sampingnya itu adalah Ketua Perguruan Biara
Sita itu sendiri. Lili tidak tahu bahwa Putri Kum-
bang sebenarnya cemas dan was-was kalau sam-
pai Lili menggunakan pedang pusakanya. Ia bisa
kehilangan banyak murid atau anak buahnya.
Dengan sikap yakin sebagai ketua pergu-
ruan yang sudah diketahui oleh anak buahnya
tentang penyamarannya, Putri Kumbang memba-
wa Lili dekati pintu gerbang. Dengan lantang ia
berseru, "Buka pintu gerbang dan biarkan kami ma-
suk!" Zlaappp...! Seorang pemanah lebih dulu melepaskan anak panah ke arah Putri
kumbang. Trraakkk...! Dengan dua jari Putri Kumbang me-
nangkis sekaligus mematahkan anak panah terse-
but. Tapi dari arah lain melesat juga anak panah
ke arahnya. Sedangkan Roh Gantung segera berse-
ru memberi perintah, "Serrraaang...!"
"Hei, apa-apaan ini" Hoi..."!" Putri Kumbang diserbu oleh mereka dengan berbagai
senjata dan kekuatan tenaga dalam. Ia sempat kebingungan
dan bimbang untuk lakukan perlawanan. Semen-
tara itu, Lili membela Putri Kumbang karena me-
nyangka mereka ingin mencelakai Tua Usil.
Maka pertarungan secara serentak pun ter-
jadi. Putri Kumbang melawan sekian banyak mu-
rid dan orang-orangnya sendiri. Sedangkan Lili
melompat ke sana kemari untuk selamatkan Putri
Kumbang dalam wujud Tua Usil.
Pada kesempatan Lili menjauhi Putri Kum-
bang, Tua Usil yang asli muncul dan segera mena-
rik tangan Lili dari pertarungan. Bahkan ia berha-
sil menggendong Lili untuk kemudian dipanggul
dan dibawanya lari. Lili sendiri tak bisa berbuat
apa-apa karena bingung melihat ada dua Tua Usil
di situ. "Lepaskan aku atau aku berbuat kasar padamu, Tua Usil!"
Mau tak mau Tua Usil melepaskan Lili, tapi
sudah agak jauh dari Perguruan Biara Sita. Tua
Usil langsung dibentak oleh Lili, "Siapa kau"!"
"Tua Usil, Nona! Yang tadi bersama Nona Li
itu Tua Usil palsu. Dia Putri Kumbang, ketua Per-
guruan Biara Sita!"
"Omong kosong! Kau pasti bermaksud jahat
pada ku. Hiih...!"
Lili menghantam wajah Tua Usil, tapi den-
gan cepat sekelebat bayangan tiba di situ dan me-
nahan tangan Lili. Ternyata orang itu adalah Pen-
dekar Rajawali Merah. "Kau...?" Lili terperanjat kaget dan memandang Yoga.
"Ya, kita hampir saja terkecoh, Guru! Tapi
untunglah Tua Usil yang asli ini punya akal cukup
lihat! Dan... Tua Usil, tunjukkan keaslian mu su-
paya Nona Li ini percaya padamu!"
Tua Usil menunjukkan pisau Pusaka Hantu
Jagal. Dengan pusaka itu Lili menjadi percaya be-
tul bahwa Tua Usil yang ada di depannya itu ada-
lah Tua Usil yang asli. Lili pun jadi tertawa geli ketika Tua Usil berkata,
"Untung Tuan Yo segera datang. Kalau ti-
dak, wajah saya pasti sudah bonyok dihantam No-
na Li tadi!"
"Lekas tinggalkan tempat ini dan biarkan
Putri Kumbang dihajar habis oleh orang-orangnya
sendiri!" kata Yoga sambil. kemudian bergerak
meninggalkan tempat itu diikuti oleh Lili dan Tua
Usil. Sementara itu, Putri Kumbang hanya bisa
berteriak-teriak dan memaki-maki anak buahnya
sendiri yang tidak percaya bahwa dia adalah ketua
mereka. Sibuknya Putri Kumbang, beruntunnya
serangan yang membingungkan membuat Putri
Kumbang tak punya kesempatan untuk memun-
culkan jati dirinya sebagai sosok perempuan can-
tik yang angkuh. Karena ia tidak punya kesempa-
tan merubah wujud aslinya, maka orang-orang Bi-
ara Sita semakin gencar menghajar habis orang
yang dianggapnya Tua Usil asli itu.
Andaikata Lintang Ayu dan Pandu Tawa
melihat kejadian itu, pasti mereka akan tertawa
geli melihat Putri Kumbang diserang oleh anak
buahnya sendiri yang berjumlah lebih dari tiga pu-
luh orang itu. Sayang sekali Lintang Ayu dan Pan-
du Tawa sedang mengejar Wong Sakti yang mem-
bawa lari Bocah Bodoh sebagai sandera.
Tapi seandainya Lintang Ayu dan Pandu
Tawa berhasil berhadapan muka dengan Wong
Sakti, apakah mereka bisa merebut Bocah Bodoh
dan mengalahkan Wong Sakti".
SELESAI Segera menyusul:
PENOBATAN Dl BUKIT TULANG
IBLIS E-Book by
Abu Keisel https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Makam Asmara 2 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Golok Maut 3
^