Pencarian

Prasasti Tonggak Keramat 2

Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat Bagian 2


merupakan hutan rimbun, sukar dijangkau kedalamannya, sedangkan arah utaramaupun timur punya jalan yang lebih cepat untuk di-
lalui. Banyak gugusan batu yang bisa dipakai untuk
bersembunyi. Ternyata firasatnya itu ingin menunjukkan se-
suatu yang di luar dugaan Yoga. Di balik semak-semak mata Yoga melihat sebuah
pedang tergeletak di tanah, bagian yang tajam berkerlip karena pantulan sinar
matahari. Mata Pendekar Rajawali Merah segera mengiku-
ti arah pedang itu sampai ia temukan tangan seseo-
rang yang terkulai tanpa gerak sedikit pun. Tangan itu agaknya tangan seorang
perempuan, karena mempunyai jari yang lentik. Yoga semakin bergegas
mendekatinya. Luar biasa terkejutnya Yoga setelah ia melihat seorang gadis
tergeletak tanpa nyawa di balik semak-semak tersebut. Gadis itu mengenakan pita
merah da- lam ikatan rambutnya yang menjadi satu. Wajahnya
lonjong, cantik, berhidung mancung. Ia mengenakan
baju merah rompi rapat warna biru muda dengan sa-
buk putih. Gadis itu mati dalam keadaan luka pan-
jang, dari perut sampai ke leher. Agaknya ia dibunuh dengan senjata tajam yang
sama dengan nasib Lembayung Senja dan Jalak Hutan. Jurus yang digunakan
pembunuhnya juga sama dengan jurus yang diguna-
kan untuk menghabisi nyawa Lembayung Senja dan
Jalak Hutan. Yoga tertegun tak berkedip melihat mayat gadis
yang cukup akrab dikenalnya itu. Karenanya, Yoga se-
gera mengucap pelan dengan hati duka yang tertahan.
"Mutiara Naga..."!" Yoga menarik nafasnya.
"Oh, malang nian nasibmu. Pamanmu, Jalak Hutan, juga dibunuh seperti keadaanmu
sekarang. Tapi entah
siapa yang lebih dulu dibunuh, kau atau pamanmu"
Yang jelas, darahmu masih basah, ini pertanda belum
terlalu lama kau dibunuh oleh seseorang. Siapakah
orang itu, Mutiara Naga" Bisakah kau mengatakannya
lewat bisikan batin ku?"
Tak ada bisikan yang didengar oleh telinga ba-
tin Yoga pada saat itu. Hanya saja, beberapa saat ia mendengar suara rumput
diinjak kaki yang makin la-ma makin menjauh dan dilakukan dengan pelan-
pelan. Suara itu datang dari arah belakangnya. Mata
Yoga melirik ke arah samping dan menyimak betul-
betul suara itu. Agaknya ada seseorang yang hendak
tinggalkan tempat tersebut secara diam-diam.
Dengan cepat Yoga berbalik badan sambil tan-
gan buntungnya menyentak ke depan. Zlaappp...! Si-
nar merah terlepas bagai selarik besi panjang ke arah langkah kaki tersebut.
Jurus Sinar Buntungnya itu
mengenai sebatang pohon, dan seseorang yang ada di
dekat pohon itu menjerit ketakutan sambil berlari
menjauhinya. Blarrr...! "Aaauww...! Ampuun...! Ampun, Kaang...!"
Pohon yang pecah menjadi serpihan kecil itu ti-
dak dihiraukan lagi oleh Yoga, Ia segera lari mengejar orang yang berteriak
ketakutan itu. Orang tersebut tak lain adalah Cola Colo, si Bocah Bodoh.
Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya menggigil ketakutan sewaktu tangan Yoga
mencengkeram rompinya dari belakang dan
membuatnya tak bisa melarikan diri lagi.
Yoga menyeret Bocah Bodoh itu sampai di
samping mayat Mutiara Naga. Wajah Bocah Bodoh di-
palingkan dengan mata sedikit terpejam karena mera-
sa ngeri melihat keadaan mayat tersebut.
"Jangan, Tuan! Jangan saya disuruh menghi-
dupkan mayat itu. Saya tak bisa, Tuan! Sumpah sera-
pah pun berani, saya tak bisa menghidupkan mayat,
Tuan!" Tangan Yoga segera mencomot wajah Bocah Bodoh, meremas pelan kedua
pipinya dengan dihadapkan
ke arahnya, lalu berkata dongkol,
"Aku tidak menyuruhmu menghidupkan mayat
itu, Bodoh!"
Mulut yang teremas dengan bibir monyong itu
menjawab, "Fukur, fukur... Feliwa kawin!"
"Terima kasih apanya"! Kau harus mengaku
siapa dirimu sebenarnya!" gertak Yoga dengan mata sengaja dibuat tajam dalam
memandang. Remasan pa-da wajah itu dilepas oleh Yoga. Bocah Bodoh menelan
ludah menenangkan dirinya yang ketakutan. Matanya
melirik ngeri ke arah mayat.
"Jangan... jangan saya lagi yang dituduh, Tuan.
Saya sudah bosan dituduh jadi pembunuh oleh Tuan
dan teman-teman Tuan.
"Namaku Yoga, temanku yang wanita tadi ber-
nama Lili, dan yang tua hampir sebaya denganmu itu
bernama Tua Usil," kata Yoga mencoba mengakrabkan diri supaya Bocah Bodoh itu
tidak merasa takut. Me-
nurut Yoga, barangkali jika Cola Colo tidak merasa ketakutan, ia berani jelaskan
apa yang ia lihat dan apa yang ia lakukan.
"Sekarang kau menjadi sahabatku, Cola Colo!
Sekarang mengakulah apa yang kau lakukan di sini
tadi dan apa yang kau lihat!"
"Yang saya lakukan... saya mau lari, lalu Tuan
keluarkan sinar merah menghantam pohon, saya ta-
kut, lalu saya semakin lari dan...."
"Sebelum aku datang!" sentak Yoga dengan
jengkel. "Sebelum aku datang kemari, apa yang kau lihat dan kau lakukan"!"
"Jalan," jawabnya dengan pendek dan polos.
"Jalan ke mana?"
"Jalan ke sana, mau mencari Lembah Maut.
Sebab di sana ada prasasti, dan saya ditugaskan oleh Ibu untuk...."
"Yang itu aku sudah tahu! Jangan jelaskan la-
gi!" bentak Yoga dengan jengkel. Bocah Bodoh meme-jam-mejamkan mata ketika
dibentak beruntun. Ia jadi
ketakutan kembali. Yoga sadar hal itu tidak akan
membuat Bocah Bodoh berani berkata jujur. Oleh se-
bab itu, Yoga segera menarik napas, menenangkan ke-
jengkelannya sesaat, lalu berkata lagi,
"Begini, ia merangkul pundak Bocah Bodoh.
Tadi, sebelum aku datang kemari, kau sedang jalan.
Lalu kau bertemu dengan seseorang dan orang itu kau
bunuh. Begitu"!"
"Ya. Tapi saya tidak membunuh seseorang, se-
bab seseorang yang saya temui itu adalah Tuan Yoga
sendiri." "Aku..."!"
"Ya. Saya lihat tuan berdiri di situ, lalu saya semakin curiga dengan apa yang
dilihat Tuan. Saya
dekati, dan saya lihat ada mayat. Saya takut, lalu saya
mundur, lalu tuan lepaskan sinar merah, lalu pohon
itu hancur, saya lari, tuan tangkap saya, saya diseret kemari dan tuan paksa
saya mengaku sebagai pembunuhnya, kemudian...."
"Cukup!" potong Yoga. "Jadi kau datang kemari setelah lihat aku ada di sini"!"
"Nah, itu yang betul, Tuan!" Bocah Bodoh tersenyum girang. Wajah tuanya yang
kebocahan itu menggelikan hati Yoga, namun Yoga menahan diri un-
tuk tidak tertawa. Ia hanya tersenyum dan segera berkata, "Kau kenal dengan
mayat itu?"
"Tidak, Tuan. Sekarang pun seandainya saya
diajak kenalan oleh dia, saya tidak mau, Tuan. Sebab dia sudah menjadi mayat,"
jawabnya seakan dengan sungguh-sungguh mengutarakan isi hatinya.
"Kau melihat sekelebat orang dari sini?"
'Tidak, Tuan. Tapi kalau di balik gundukan ta-
nah di sebelah sana, saya tadi melihat seseorang berkelebat pergi. Saya lebih
tertarik menghampiri Tuan
daripada memperhatikan orang tersebut, maka saya
segera datang kemari, Tuan. Saya yakin, pasti di sini ada mayat yang
mengherankan Tuan."
"Dari mana kau yakin kalau di sini ada mayat?"
"Dari sebelah sana tadi, Tuan."
"Maksudku, bagaimana kau bisa tahu kalau di
sini ada mayat?"
"Jantung saya selalu berdebar-debar kalau ada
mayat tak jauh dari tempat saya berjalan, Tuan."
"Selalu begitu?"
"Ya. Selalu begitu. Kalau tidak ada mayat, jan-
tung saya tidak berdebar-debar, Tuan. Tapi kalau sela-gi saya berjalan, lalu
tiba-tiba jantung saya berdebar-debar, berarti tak jauh dari tempat saya
berjalan, pasti ada mayat tergeletak. Saya segera hampiri untuk meli-
hat mayat itu, barangkali mayat orang yang saya ken-
al." Yoga manggut-manggut sambil menekan rasa
sedih melihat mayat Mutiara Naga. Kemudian untuk
meyakinkan jawab Bocah Bodoh, Yoga bertanya lagi,
"Mengapa jantungmu berdebar-debar jika ada
mayat di sekitarmu?"
"Saya punya ilmu 'Getar Jantung', Tuan."
"Dari siapa ilmu itu kau peroleh?"
"Dari Ibu saya, Tuan."
"Ibumu orang sakti?"
"Bukan, Tuan. Ibu saya orang berilmu tinggi.
Saya tak boleh menyombongkan diri dengan mengata-
kan Ibu orang sakti, Tuan."
Hening tercipta beberapa saat, karena Yoga ti-
dak ajukan pertanyaan lagi kepada Bocah Bodoh, dan
Bocah Bodoh itu tidak berani bicara sebelum ditanya.
Ia masih merasa takut kepada Yoga. Saat itu, Yoga
berlutut sambil memeriksa lebih teliti luka panjang
yang diderita mayat Mutiara Naga itu. Hatinya sempat berkecamuk.
"Firasat ku mengatakan, Bocah Bodoh berkata
sejujurnya. Jadi, jika bukan dia, lantas siapa pembunuh Mutiara Naga itu"
Mungkinkah Gadis Linglung
itu" Kulihat dia mempunyai pedang di pinggangnya.
Jika benar yang membunuh Gadis Linglung, lalu per-
soalan apa yang dihadapi Gadis Linglung terhadap Mu-
tiara Naga, Jalak Hutan, dan Lembayung Senja" Jelas, jika terhadap Jalak Hutan
dia punya dendam karena
kematian saudara seperguruannya. Tapi haruskah dia
juga membunuh Mutiara Naga" Haruskah dia membu-
nuh Lembayung Senja?"
Dengan dada terasa sesak, Yoga menarik napas
panjang-panjang sambil masih jongkok berlutut di
samping mayat gadis yang sering merindukannya itu.
Yoga terngiang kata-kata Jalak Hutan saat terakhir
bertemu dengannya tadi, bahwa Mutiara Naga menca-
ri-cari diri-nya karena sangat rindu kepadanya. Alangkah menyedihkan nasib
Mutiara Naga, mencari orang
yang dirindukan, tapi yang ia temukan adalah kema-
tian. "Maaf kan aku, Mutiara Naga," ucap batin Yoga kembali. "Aku tidak bisa
menerima cinta mu, walau aku tahu kau mencintai ku, sama seperti Kencana Ratih,
Mahligai, Sendang Suci, Lili, dan gadis-gadis lainnya. Kalau saja hatiku bisa
menjelma menjadi seribu
hati, mungkin aku rela memberikannya satu untukmu.
Sayang sekali hatiku hanya satu dan sudah telanjur
memiliki dan dimiliki oleh Pendekar Rajawali Putih itu.
Jadi, mau tak mau aku harus menghindari kasih mu,
daripada aku harus membalas dengan kepalsuan cin-
ta. Namun sejujurnya ku katakan, bahwa aku senang
bersahabat denganmu...."
Untuk memakamkan mayat Mutiara Naga, Yoga
harus minta bantuan Bocah Bodoh. Ia segera bangkit
dan menemui Bocah Bodoh. Tapi orang berusia banyak
itu ternyata sudah tidak ada di tempatnya. Ia telah
pergi entah ke arah mana.
Mata Pendekar Rajawali Merah segera terpejam,
ia ingin mengikuti kata firasatnya. Lalu ia temukan firasatnya berkata, bahwa ia
harus melangkah ke utara.
Maka ia pun melangkah ke sana, karena firasatnya
berkata bahwa ke arah utara itulah Bocah Bodoh pergi meninggalkan dirinya.
Sekali lagi apa yang ada dalam firasatnya itu
memang terbukti benar. Bocah Bodoh ada di sana, tapi kail ini ia sedang
berhadapan dengan Gadis Linglung.
Yoga menjadi tertarik untuk mengintai percakapan dan pertemuan mereka. Karena
Yoga ingin tahu, ada hubungan apa antara Bocah Bodoh dengan Gadis Lin-
glung yang cantik jelita itu"
Gadis Linglung mendekati Bocah Bodoh dengan
mulut lancip, pertanda menahan kegemasan dalam ha-
tinya. Bocah Bodoh melangkah mundur pelan-pelan,
tampak cemas dan ketakutan.
"Kalau kau tak menunjukkan tempat itu, kau
akan ku siksa di sini, Bocah Bodoh!
"Janganlah! Aku pasti sakit kalau kau siksa,
Gadis Linglung!" Bocah Bodoh tampak memohon.
"Kalau tak mau ku siksa, lekas tunjukkan di
mana prasasti itu berada! Lekas katakan arah mana
yang harus ku tuju"!"
"Sumpah gancet berani aku! Sudah kukatakan,
aku tidak tahu secara pasti, Gadis Linglung. Aku
hanya tahu kalau Prasasti Tonggak Keramat itu ada di Lembah Maut. Tapi aku tidak
tahu di mana arah dan
tempatnya!"
"Kau bohong!"
"Betul!" Bocah Bodoh meyakinkan jawabannya sampai tertunduk-tunduk. "Ibuku
berpesan aku tak boleh bohong, kalau tidak kepepet!"
"Hmm...!" Gadis Linglung mendengus kesal dan diam sesaat untuk mempertimbangkan
keputusan hatinya. Bocah Bodoh berkata,
"Kalau kau tak percaya, tanyakanlah kepada
Ibuku sendiri! Dia pasti akan bilang, bahwa aku belum tahu letak lembah Itu dan
ditugaskan untuk mencari
tahu tempat tersebut!"
"Tak sudi aku bertanya pada ibumu, karena
ibumu sudah tidak mau bersahabat denganku!"
"Karena kau setiap datang kepadanya selalu bi-
cara tentang lelaki. Ibuku tak suka bicara soal cinta dan lelaki. Dia sudah
bosan!" "Jangan alihkan percakapan kita, Bocah Bo-
doh!" bentak Gadis Linglung dengan mulut mungil se-
makin runcing. "Sekarang juga bawa aku ke Lembah Maut!" "Baik. Tapi kalau kita
tersesat, jangan salahkan aku, ya"!"
"Kupenggal kepalamu kalau sengaja menye-
satkan aku!"
Bocah Bodoh terkejut dan pegangi lehernya
sambil berkata takut, "Janganlah...! Jangan penggal kepalaku."
"Sebab itu, bawa aku dengan benar ke Lembah
Maut! Kudengar percakapan terakhir antara kau dan


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibumu itu, bahwa kau harus selalu ingat ciri-cirinya.
Itu berarti ibumu memberitahukan arah dan letak Pra-
sasti Tonggak Keramat bersama ciri-cirinya."
"Memang," jawab Bocah Bodoh sambil menun-
duk, "Memang ibu memberikan ciri-ciri tempat tersebut. Tapi...."
"Apa ciri-cirinya"! Katakan!"
"Tapi aku dilarang sebutkan ciri-ciri itu kepada siapa pun, kecuali kepepet!"
jawab Bocah Bodoh dengan polosnya.
"Kalau begitu kau harus ku pepetkan dulu!" geram Gadis Linglung.
"Jangan! Ibuku berpesan agar aku tidak boleh
saling berpepet-pepetan dengan perempuan yang bu-
kan istriku."
"Dasar bodoh! Begini caraku memepetkan diri-
mu! Hiih...!"
Buuhg...! Gadis Linglung kirimkan tendangan
dan terkena telak di dada Bocah Bodoh. Tubuh tua itu terlempar ke belakang
dengan suara pekik yang tertahan. Ia menyeringai ketika jatuh di tanah, tubuhnya
menggeliat dengan mulut ternganga karena sukar ber-
napas. Dadanya dipegangi dan diurut-urutnya sendiri.
Tapi Gadis Linglung segera hampiri dia dan menen-
dang wajahnya dengan kaki. Plakkk...!
"Ampun, Gadis Ling...! Ampun...!"
"Katakan ciri-cirinya!" bentak Gadis Linglung.
"Ibu melarangku untuk tidak...."
Gadis Linglung mengangkat tubuh Bocah Bo-
doh, membuat ucapannya terhenti seketika dan ia ber-
teriak, "Wuaaaa...!"
Bruukkk...! Tubuhnya dibanting oleh Gadis
Linglung, dilemparkan begitu saja bagaikan melempar
nangka busuk. Bocah Bodoh mengaduh kesakitan, si-
kunya nyeri bagai terkilir. Gadis Linglung mendeka-
tinya sambil membentak,
"Katakan atau tidak! Kalau tidak, kulemparkan
tubuhmu lebih tinggi lagi!"
"Jangan...! Jangan lemparkan aku lagi! Kuadu-
kan kepada Ibu kau, biar Ibu melemparkan kau den-
gan semburannya, seperti kau melemparkan aku!"
"Aku tidak takut pada ibumu! Semburannya bi-
sa kutangkis dan ku balikkan hingga dia sendiri yang akan terlempar! Ayo,
katakan! Katakan ciri-ciri di sekitar Prasasti Tonggak Keramat itu!"
"Aku tidak mau," Bocah Bodoh geleng-geleng kepala sambil mau menangis. Tapi
Gadis Linglung tidak punya rasa kasihan kepada Bocah Bodoh. Ia kem-
bali menendang rusuk Bocah Bodoh, tanpa tenaga da-
lam pun sudah cukup membuat Bocah Bodoh kesaki-
tan. "Katakan! Lekas...!"
Tiba-tiba sebuah suara berseru dari belakang
Gadis Linglung,
"Jangan paksa dia!"
Gadis Linglung berbalik arah dan terperanjat
hatinya melihat wajah tampan milik Pendekar Rajawali Merah sudah ada di sana.
Bocah Bodoh cepat berusaha bangkit dan berseru, "Tuan Yoga, tolong aku! Aku
disiksa oleh Gadis Linglung ini! Aku dipaksa untuk...!"
Plok...! Kaki Gadis Linglung menendang ke be-
lakang sambil tersenyum kaku kepada Yoga. Tendan-
gan itu mengenai mulut Bocah Bodoh, sehingga kata-
katanya terhenti. Bocah Bodoh mengaduh sambil ter-
sentak ke belakang.
"Sekali lagi kau menyakiti dia, aku bertindak!"
kata Yoga dengan penuh wibawa. Gadis Linglung se-
nyum-senyum dan membiarkan Yoga mendekatinya.
Ternyata yang didekati Bocah Bodoh. Gadis Linglung
tak jadi berdebar hati, karena ia menyangka akan di-
pandang lebih dekat oleh Yoga, dan berharap dipegang tubuhnya.
"Mulutku sakit, Tuan Yoga!" orang tua itu mengadu seperti bocah.
"Mulai sekarang jangan jauh-jauh dariku, biar
kau tak disakiti oleh siapa pun! Mengerti"!"
Bocah Bodoh hanya mengangguk, seperti seo-
rang bocah yang menahan tangis karena malu. Yoga
segera berpaling memandang Gadis Linglung dan ber-
kata, "Jangan menyakiti dia lagi. Kasihan dia."
"Aku tidak menyakiti. Aku hanya bermain-main
dengannya," kata Gadis Linglung sambil bersungut-sungut tampakkan manjanya.
Lalu, ia berkata dengan
membuang muka, "Kalau kau tak ingin aku bermain-main seperti
tadi, kau juga jangan jauh-jauh dariku!"
Yoga tersenyum dan berkata, "Aku tak berani
dekat-dekat denganmu. Takut kau menyakiti ku seper-
ti kau menyakiti Bocah Bodoh tadi."
"Aku tak akan menyakitimu, kecuali kau meno-
lak untuk dekat denganku!"
"Aku menolak untuk dekat denganmu!" kata
Yoga. "Kalau begitu aku harus menyakitimu."
"Kalau itu maumu, lakukanlah!" kata Yoga, karena dia berpikir ingin memberi
pelajaran buat Gadis Linglung.
Dengan cepat dan secara tiba-tiba, Gadis Lin-
glung memutar tubuh dan menendang dalam sentakan
lurus ke arah kepala Yoga. Wuuttt! Yoga menghindar
dengan rendahkan kepala. Tak disangka ternyata Bo-
cah Bodoh ada di belakang Yoga, maka wajah Bocah
Bodoh itulah yang menjadi sasaran kaki Gadis Lin-
glung. Plookkk...!
"Uuuf...! Kena lagi saya, Tuan...!" rengek Bocah Bodoh sambil menutup mulutnya.
Dengan cepat Yoga semakin merendah dan me-
nyambar kaki Gadis Linglung. Wuutttt...! Gadis Lin-
glung cukup gesit, ia melompat ke atas hindari sambaran kaki Yoga. Tapi ia tak
tahu bahwa Yoga segera
menggunakan tangan buntungnya untuk bertumpu
pada tanah, dan tubuhnya melesat dalam keadaan
jungkir balik, lalu kakinya menendang tiga kali berturut-turut ke perut Gadis
Linglung. Buk buk buk!
"Uhg..."!" Gadis Linglung sempat mendelik dan sesak nafasnya. Lalu lempar tiga
tombak ke belakang.
Tangannya menahan perut yang merasa mual seketika
dengan rasa nyeri pada ulu hatinya.
"Gila! Tenaga dalamnya sangat tinggi!" pikir Gadis Linglung. "Kalau aku tak siap
lapisi diri dengan napas dalam, pasti semua isi perutku tersontak keluar"!
Hmrn...! Pendekar Tampan ini tak boleh diang-
gap enteng rupanya. Sebaiknya aku berpura-pura ka-
bur, tapi menguntit Bocah Bodoh! Pasti dia pergi ke
arah Lembah Maut! Ah, kurasa itu gagasan yang ba-
gus. Bersembunyi dan mengikuti Bocah Bodoh itu dari
belakang. Setelah tiba di sana, baru aku bertindak!"
Terdengar Yoga berkata, "Masih mau main-
main denganku?"
Gadis Linglung berdiri dan berkata, "Ya. Tapi
tidak sekarang. Karena aku menghendaki permainan
lembut. Bukan kasar seperti tadi. Maafkan aku!"
Zlaapp...! Gadis Linglung seperti menghilang,
padahal bergerak lompat dengan tenaga peringan tu-
buh yang cukup tinggi. Yoga membiarkan dengan se-
nyum kemenangan tersungging di bibirnya.
Lalu, Yoga berkata kepada Bocah Bodoh, "Ka-
lau kau tak keberatan, aku akan mendampingimu per-
gi ke Lembah Maut."
"Sebenarnya saya keberatan, karena saya bisa
jaga diri sendiri. Tapi kalau Tuan ingin ikut saya, silakan jalan di belakang
saya!" Yoga muak mendengar ucapan itu. Tapi rasa
ingin tahu tentang teka-teki di dalam diri Bocah Bodoh dan prasasti itulah yang
membuat Yoga menahan ke-muakkannya dan mengikuti langkah Bocah Bodoh.
* * * 5 SETIDAKNYA dengan mengikuti Cola Colo dari
jarak dekat, Yoga dapat yakinkan diri bahwa Bocah
Bodoh itu bukan pembunuh Lembayung Senja, Jalak
Hutan, dan Mutiara Naga. Jika sampai ia menemukan
mayat yang punya luka sama dengan mayat yang su-
dah-sudah, maka Yoga akan tahu, apakah Bocah Bo-
doh yang membunuhnya atau orang lain.
Tetapi, Bocah Bodoh agaknya kurang suka ber-
jalan ditemani Yoga. Terbukti ia berjalan lebih cepat dan tak mau seiring dengan
Yoga. Ketika Yoga menyu-
sulnya dan bertanya,
"Mengapa kau tidak mau ku dampingi, Bocah
Bodoh?" Maka, Cola Colo pun menjawab, "Ibu berpesan
kepada saya, kalau tidak kepepet Jangan minta ban-
tuan orang lain, nanti saya tidak bisa mandiri. Jadi, sekarang saya merasa tidak
terpepet, Tuan. Maka saya tidak ingin mendapat bantuan apa-apa dari, Tuan Yo-
ga!" "Ajaran ibumu itu baik. Tapi bukan berarti
ibumu menyuruhmu menolak persahabatan!"
"Saya tahu. Tapi saya juga tahu, karena Ibu
berpesan, bahwa saya harus berhati-hati dengan ke-
baikan orang. Kalau ada orang baik pada saya, berla-
gak mau menolong, saya harus curiga. Sebab adaka-
lanya kebaikan seseorang itu hanya kedok untuk me-
nutupi maksud jahatnya. Jadi, saya curigai Tuan Yo,
karena Tuan Yo bermaksud baik kepada saya!"
Mendengar kepolosan itu, Yoga hanya tertawa
pelan. Merasa geli dengan cara berpikir Bocah Bodoh
yang sungguh bodoh menurut Yoga. Tapi Yoga meng-
hargai kejujuran Bocah Bodoh itu, sehingga ia tidak
merasa sakit hati sedikit pun mendengar ucapan ter-
sebut. "Apakah kau sudah merasa mampu hidup tan-pa bantuan orang lain?"
"Saya harus mampu!" jawab Bocah Bodoh. Seolah-olah ia menjawab dengan yakin dan
bersungguh- sungguh, membuat Yoga tersenyum tipis.
Senyum Yoga berubah seketika, ia terperanjat
melihat Bocah Bodoh tersentak tubuhnya dan terlem-
par ke samping. Bocah Bodoh jatuh berguling-guling
dan kepalanya membentur batu. Kepala itu tak sempat
bocor, namun jelas benjol dan memar di belakang te-
linga. "Seseorang telah memukulnya dari jarak jauh,"
pikir Yoga, Ia melirik ke arah kanan, karena firasatnya mengatakan bahwa di
kerimbunan pohon sebelah kanan ada orang yang bersembunyi. Orang itu lebih dari
satu. Firasatnya pun mengatakan, bukan Gadis Linglung yang ada di sana, tapi
orang yang belum pernah dilihatnya.
Bocah Bodoh bangkit dan berjalan sedikit lim-
bung ke arah Yoga, ia segera berkata dengan wajahnya yang pucat,
"Kenapa tuan menendang saya?"
"Bukan aku yang menyerangmu, tapi seseorang
yang ada di semak-semak pohon di sebelah sana!"
"Mana mungkin" Kalau ada orang di sana, ma-
na bisa menendang saya yang ada di sini" Apakah dia
punya kaki sepanjang pohon bambu?"
"Kau ingin buktikan?"
Bocah Bodoh tidak menjawab, hanya mendesis
sambil menyeringai merasakan sakit di kepalanya: Ta-
pi ia melihat Yoga segera membungkuk mengambil se-
butir batu, seukuran biji salak. Batu itu segera di sen-tilkan dengan jempol
tangannya ke belakang. Batu itu melesat ke arah semak-semak diikuti oleh
pandangan mata Bocah Bodoh.
Blaarrr...! Bocah Bodoh menjadi sangat terkejut. Matanya
terbuka lebar-lebar melihat batu itu mampu meledak
dahsyat ketika membentur batang pohon, dan batang
pohon itu segera tumbang dalam keadaan koyak-
koyak. Lalu, dua orang melompat keluar dari tempat
jatuhnya pohon tersebut. Mereka menghindari rubu-
han pohon itu. Bocah Bodoh makin terbengong dan berkata,
"Oh, benar! Ada dua orang yang bersembunyi di sana, Tuan Yo!"
Orang-orang itu segera datang mendekati Bo-
cah Bodoh dengan langkah tegas dan berkesan ganas.
Bocah Bodoh sempat mengambil tempat di belakang
Yoga karena rasa takutnya. Tetapi Yoga segera lompat ke satu arah yang menjauh.
Bocah Bodoh kebingungan dalam gerakkannya, karena seolah-olah ia merasa
tidak punya tempat untuk bersembunyi. Kedua orang
berwajah sangar itu semakin mendekatinya.
Bocah Bodoh memandang ke arah Yoga den-
gan tatapan mata seakan memohon perlindungan. Tapi
Yoga hanya tersenyum dan berdiri dengan santainya di bawah sebuah pohon.
"Cola Colo..,!" sapa orang yang berpakaian merah dengan suara keras dan kasar.
"Katakan kepada temanmu itu agar jangan ikut campur urusan kita jika ia mau
selamat!" sambil orang itu menuding Yoga.
Cola Colo mengangguk dan berkata, "Iiy... iya.
iya...!" Kemudian ia cepat berlari dengan gerakan seperti seekor bebek keberatan
pantat, menemui Yoga
dan berkata dengan gugup,
"Diiiaa... dia bilang, Tuan jangan ikut campur
urusan kami kalau Tuan mau selamat...!"
"Siapa mereka berdua itu?"
"Yang baju merah... Hantu Tamak Getih, yang...
yang baju hitam itu bernama Sabuk Geni! Dia, eh...
mereka berdua dari Perguruan Lereng Lawu. Mereka...
mereka jahat kepada Ibu, dan...."
"Bocah Bodoh!" teriak Sabuk Geni.
"Iyaaa...!" jawab Bocah Bodoh dengan cepat, dan segera berlari menghadap Sabuk
Geni yang sejak
tadi memegangi gagang goloknya. Sedangkan Yoga ma-
sih tetap tenang di tempatnya.
Sabuk Geni yang berbadan sedikit lebih besar
dari Hantu Tamak Getih itu, berkata dengan suara
menggertak Bocah Bodoh.
"Mana pusaka itu"! Cepat serahkan pada ka-
mi!" Bocah Bodoh gugup dan bingung, sehingga ia
sebentar-sebentar memandang Yoga dan garuk-garuk
kepala. Hal itu membuat Sabuk Geni merasa jengkel,
lalu dengan seenaknya mencengkeram rambut abu-
abunya Bocah Bodoh itu.
"Mana pusaka itu, hah"!" suaranya lebih keras, matanya mendelik, wajahnya
mendekat. Bocah Bodoh


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyapu wajah karena kehujanan ludah Sabuk Geni.
"Pus... pus... pus...."
"Pus meong"!" bentak Sabuk Geni makin ge-
ram. Bocah Bodoh menyeringai dengan kaki berjingkat
dalam berdiri karena rambutnya terasa bagai mau di-
copot dari kulit kepalanya.
"Mmm... meong" Oh, aak... aku tidak membawa
kucing, Sabuk Geni!"
Plaakkk...! Dengan seenaknya tangan Sabuk
Geni yang berukuran besar itu menampar Bocah Bo-
doh. Terpelantinglah orang tua berjiwa anak-anak itu.
Ia jatuh di tanah dan mengerang kesakitan sambil
mengusap-usap pipinya yang habis kena tampar.
"Bangun!" Sabuk Geni kembali menjambak
rambut Bocah Bodoh, sehingga Bocah Bodoh itu berdi-
ri mengikuti gerakan tangan yang menjambak rambut-
nya itu. "Mana pusaka itu" Lekas serahkan pada kami, atau kau kubunuh!"
"Pu... pus... pusaka apa?"
Hantu Tamak Getih yang sejak tadi hanya ber-
tolak pinggang sambil matanya sebentar-sebentar me-
lirik Yoga itu, kini mendekati Bocah Bodoh dan berkata dengan lebih berwibawa
dari Sabuk Geni,
"Jangan berpura-pura tidak tahu, Bocah Bo-
doh! Kau ditugaskan oleh ibumu yang lumpuh itu un-
tuk mengambil Pusaka Pedang Jimat Lanang dari pra-
sasti tersebut! Kami tahu hal itu, karena kami dengar saat ibumu memberikan
tentang Pusaka Pedang Jimat
Lanang itu kepadamu! Sekarang juga, serahkan pe-
dang itu!"
"Ak... aku tidak membawa pusaka itu, Hantu
Tamak Getih," kata Bocah Bodoh dengan mata memohon belas kasihan.
"Bohong!" bentak Sabuk Geni. "Kau pasti sudah sampai di Lembah Maut, dan
menemukan Prasasti
Tonggak Keramat, lalu mengambil Pedang Jimat La-
nang itu."
"Be... belum... belum sampai kok. Sumpah!"
Hantu Tamak Getih melirik Yoga sebentar, ke-
mudian berkata kepada temannya, "Bocah ini harus di buntungi tangannya biar mau
serahkan pedang itu!"
"Ja... jangan...! Jangan buntungi tanganku! Ta-
nganku hanya dua dan tak ada gantinya lagi di rumah.
Jangan buntungi aku, Sabuk Geni, jangan buntungi
tanganku, Hantu Tamak Getih!"
"Kalau kau tak mau ku buntungi, serahkan pe-
dang pusaka itu!"
"Aku tidak membawanya."
"Mungkin kau titipkan pada seseorang"!" kata Hantu Tamak Getih sambil melirik
Yoga sekejap. Yoga
sendiri tahu, dirinya disindir-sindir sejak tadi. Tapi Yo-ga tetap tenang
memperhatikan mereka dengan se-
nyum tipis tetap mekar di bibirnya.
"Aku benar-benar belum memiliki pedang itu!
Sumpah disambar kerupuk satu kaleng, aku berani!
Tak ada pusaka padaku, Teman!"
"Mulutmu belakangan ini sukar dipercaya!" geram Sabuk Geni. "Kau memang harus
dihajar dulu bi-ar tidak jadi pendusta! Huuh...!"
Bhuugh...! "Uhg...!" tubuh Bocah Bodoh terpental karena pukulan telapak tangan Sabuk Geni.
Pukulan itu cukup keras dan membuat tubuh Bocah Bodoh jatuh
terkapar di depan Yoga. Mulutnya keluarkan darah
dengan mata terbeliak-beliak.
Rupanya tindakan itu merupakan tantangan
bagi Yoga. Kedua orang berwajah bengis itu sengaja
memancing kemarahan Yoga supaya bertindak, sebab
mereka sama-sama menduga bahwa pusaka yang ber-
nama Pedang Jimat Lanang itu ada di punggung Yoga.
Mereka pun merasa sirik melihat ketampanan Yoga
yang jauh lebih tinggi dari wajah bengis mereka.
Tetapi Yoga tetap tidak bertindak apa, pun. Ia
hanya memandangi jatuhnya Bocah Bodoh dengan te-
nang. Bocah Bodoh berusaha bangkit dengan seringai
kesakitan. Ia meludah dan darah keluar dari mulut.
'Tuan Yo..., mengapa diam saja!" Mengapa tak
tolong saya, Tuan" Katanya Tuan mau bersahabat
dengan saya?"
Yoga menjawab, "Menurut pesan ibumu, kau
tak boleh meminta tolong kepada siapa pun dan harus
bisa mandiri"!"
"Iya. Tapi... tapi... tapi ibu saya kan di rumah.
Ibu tidak melihatnya. Uuh...! Tolonglah saya, Tuan.
Mereka jahat kepada saya." '
"Nanti kau curiga kalau aku punya maksud
baik padamu?"
"Tid... tidak...! Saat ini saya tidak akan curiga apa-apa. Uuh... dada saya
panas, Tuan...!"
Tak tega hati Yoga mendengar ratapan Bocah,
Bodoh. Nafasnya segera ditarik kuat-kuat. Pada saat
itu, terdengar Sabuk Geni menyapa Yoga dengan ka-
sar, "Hei, buntung! Suruh Bocah Bodoh itu kemari!"
Dengan tenang Yoga menjawab, "Ini bukan
urusanku. Suruh saja dia datang sendiri padamu!?"
Hantu Tamak Getih menggeram gemas kepada
Yoga. Namun yang dijadikan sasaran adalah Cola Colo, ia melangkah hampiri Cola
Colo dan menjambak rambut Bocah Bodoh itu. Dan pada saat Hantu Tamak Ge-
tih membungkuk untuk meraih rambut Bocah Bodoh,
Yoga segera berkata,
"Menginjak cacing adalah hal yang mudah, tapi
menginjak naga belum tentu bisa!"
Hantu Tamak Getih merasa ucapan itu dituju-
kan kepadanya dengan maksud meremehkannya. Ma-
ka, niatnya menarik rambut poni Bocah Bodoh itu di-
batalkan. Kini Hantu Tamak Getih berdiri tegak me-
mandang Yoga dan berkata dalam geram,
"Kau meremehkan aku, Bangsat"! Kau menghi-
na Hantu Tamak Getih, hah" Terimalah ini, salam per-
kenalan ku! Heaah...!"
Hantu Tamak Getih segera melompat untuk be-
rikan satu tendangan terbang kepada Yoga. Tendangan
yang bermaksud menjejak dada itu segera ditangkis
dengan tangan buntungnya Yoga. Tangan itu disodok-
kan tepat di telapak kaki Hantu Tamak Getih.
Deesss...! "Ohg...!" Hantu Tamak Getih mendelik bagai mendapat hantaman begitu beratnya di
sekujur tubuh. Sodokan itu pun membuat tubuh Hantu Tamak Getih
hilang keseimbangannya dan jatuh menimpa tubuh
Bocah Bodoh yang sedang berusaha bangkit itu.
Brusss...! "Heeehg...."!"
Bocah Bodoh terkapar, perut dan dadanya ter-
tindih tubuh Hantu Tamak Getih. Matanya mendelik,
mulutnya ternganga. Dan ketika Hantu Tamak Getih
sentakkan pinggulnya untuk melenting bangkit, Bocah
Bodoh yang perutnya dipakai tumpuan pinggang tadi
kembali memekik dengan suara tertahan dan kian
mendelik kelojotan.
"Mati aku...!" keluhnya setelah tubuh yang me-nindih pergi dari atasnya. Bocah
Bodoh menggeliat
bangkit dengan merayap menjauh dulu. Karena pada
saat itu, Hantu Tamak Getih menyerang Yoga dengan
pukulan cakarnya.
Wuuttt...! Arah sasaran adalah wajah Yoga.
Maka dengan cepat Yoga menarik kepalanya ke bela-
kang, kemudian tubuhnya meliuk miring ke kiri depan, dan tangan yang mencakar
itu lewat di depan wajahnya, tangan buntung Yoga menyodok rusuk Hantu
Tamak Getih. Duuhg...! Krak...!
Terdengar suara bunyi patah yang pelan. Hantu
Tamak Getih tersentak mundur dengan langkah ter-
huyung-huyung. Ia menyeringai sebentar merasakan
sakit di bagian tulang rusuknya. Ia berkata dalam hatinya, "Celaka! Setidaknya
ada satu tulang rusuk ku yang patah karena tangan buntungnya itu! Ternyata
tangan buntungnya lebih berbahaya dari tangannya
yang sehat itu!"
Terdengar suara Sabuk Geni berseru, "Mundur-
lah, Hantu Tamak Getih! Biar ku hadapi kecoa satu
itu!" Niat untuk menggantikan Hantu Tamak Getih itu terpaksa batal, karena Sabuk
Geni melihat Bocah
Bodoh larikan diri dengan gerakan membabi buta. Ma-
ka, Sabuk Geni pun berteriak,
"Bocah Bodoh, berhenti kau! Hoi...! Berhenti!"
Bocah Bodoh tetap berlari secepat-cepatnya de-
ngan tujuan tak pasti. Sabuk Geni takut kehilangan
Bocah Bodoh, maka segera mengejarnya sambil mele-
paskan sabuk besarnya dari kulit ular kuning.
Yoga mengkhawatirkan keselamatan Bocah Bo-
doh. Tapi ketika ia ingin menyusul mengejar Sabuk
Geni, tahu-tahu sebuah pukulan bersinar putih seperti gumpalan kapas melesat
cepat mengarah ke punggungnya. Yoga terpaksa cepat berbalik dan sentakkan
telapak tangannya hingga keluarkan sinar merah. Si-
nar itu menghantam cahaya putih dari tangan Hantu
Tamak Getih. Blaarrr!
Hantu Tamak Getih terpental sekitar tujuh
tombak ke belakang karena gelombang ledakan itu,
sedangkan Yoga terhuyung-huyung hingga berpegan-
gan pohon. Tapi ia kembali berdiri sigap ketika Hantu Tamak Getih mulai berdiri
lagi dengan erangan kemarahan. "Ku rajang habis tubuhmu, Buntung busuk!
Heaaah...!" Hantu Tamak Getih keluarkan dua sabit kembar dari samping kanan-
kiri. Dua sabit itu dige-rakkan dengan cepat bersimpang siur di depannya
sambil ia berlari menyerang dengan ganasnya.
Wuuttt, wuuttt, wuuttt! traakk...! 'Yoga dihujani
tebasan dua sabit. Pendekar Rajawali Merah hanya
menghindar dan mundur beberapa tindak. Ketika dua
sabit itu hendak menyerangnya secara bersamaan, Yo-
ga melompat dan kedua kakinya menendang secara
bersamaan ke depan dengan gerakkan tendang ke
atas. Dhhaak, dhaak...! Wuusss...! Tendangan itu
mengenai kedua siku secara bersamaan, sabit itu ter-
pental lepas dari genggaman pemiliknya. Keduanya
melayang ke atas. Dan pada saat kedua tangan tersen-
tak naik, Yoga cepat kirimkan pukulan telapak tan-
gannya tepat di tengah dada Hantu Tamak Getih.
Bhaahg...! "Heegh..."!" Hantu Tamak Getih terpental dengan mata mendelik. Dari hidung,
mulut, d6an telin-
ganya, mengalir darah segar yang tak terhindari lagi
Itu. Dada tersebut membekas telapak tangan warna hi-
tam. Baju yang tak dikancingkan membuat jelas warna
dada yang merah memar dengan noda hitam membe-
kas telapak tangan Pendekar Rajawali Merah. Sudah
pasti dada itu sakitnya bukan kepalang dan panasnya
melebihi di bakar api.
Hantu Tamak Getih berkata dalam hati, "Tak
mungkin aku bisa mengalahkan dia jika sudah terluka
begini! Ku sembuhkan dulu lukaku, baru nanti menca-
rinya untuk bikin perhitungan baru!"
Wuuttt...! Hantu Tamak Getih lekas pergi ting-
galkan arena pertarungan itu. Yoga membiarkannya
dan merasa tak perlu memburu, sebab ia lebih
mengkhawatirkan keselamatan Bocah Bodoh itu. Ma-
ka, ia pun segera berlari mengejar ke arah kepergian Bocah Bodoh yang diburu
oleh Sabuk Geni tadi.
Gerakan Yoga tertahan ketika ia hampir mene-
robos celah dedaunan rambat yang ada di hutan itu.
Gerakan itu terhenti karena Yoga melihat sesuatu yang tak disangka-sangka.
Sabuk Geni lecutkan sabuknya yang mengha-
dirkan cahaya hitam berkelok-kelok jumlahnya lima
baris. Sasarannya adalah tubuh Bocah Bodoh yang
sudah bercucuran darah hidungnya dan sekarang da-
lam keadaan terdesak. Di belakang Bocah Bodoh ada
pohon yang membuatnya sulit menghindar. Tapi ter-
nyata buat Bocah Bodoh itu bukan hal yang sulit.
Ketika sinar hitam lima baris menyerangnya,
Bocah Bodoh melompat ke atas, dan kedua kakinya
segera menyentak ke belakang. Batang pohon dipa-
kainya untuk tempat sentakkan dua kaki, lalu tubuh
melesat ke arah lawan, bersalto satu kali di udara, dan tepat di atas kepala
Sabuk Geni, Bocah Bodoh hantamkan pukulannya ke kepala itu dengan sentakkan
ujung telapak tangannya. Duuhg...! Craak...!
Retak kepala Sabuk Geni seketika itu. Suara je-
ritannya menggema keras ke mana-mana. Bukan
hanya dari mulut, hidung, dan telinga saja ia kelua-
rkan darah, melainkan dari mata dan keretakkan di
bagian belakang kepala juga keluarkan darah segar.
Bocah Bodoh menapakkan kedua kakinya di
tanah dengan sigap. Tapi agaknya ia menangis karena
amukan marah di dalam hatinya. Ia biarkan tubuh la-
wannya oleng sebentar. Kemudian, ia melangkah maju
dengan satu hujaman telapak tangan ke arah perten-
gahan pangkal leher, dekat dada. Craab...! Separo telapak tangannya masuk ke
leher lawan. Membuat lawan
semakin mendelik dan tak bisa keluarkan suara. Keti-
ka Bocah Bodoh cabut kembali tangannya, Sabuk Geni
yang bertubuh jauh lebih besar darinya itu tumbang
tanpa ampun lagi.
Erangan tangis Bocah Bodoh terdengar seperti
anak kecil habis berantem. Bahkan di sela tangisnya ia mengomel,
"Biar! Biar mati kau! Bilang dan adukan sama
ibuku tidak takut! Aku kau desak terus hampir mati!
Jadi terpaksa aku melawanmu! Matilah sana, tak perlu ajak-ajak aku!"
Sabuk Geni memang mati. Bocah Bodoh mem-
bersihkan darah dengan dedaunan. Tapi dalam kea-
daan belum bersih, terutama di bagian tangannya, Bo-
cah Bodoh sudah lari tinggalkan mayat lawannya. Ia
tak tahu ada sepasang mata yang mengintainya.
Dari balik persembunyiannya, Yoga hanya bisa
diam membatin, 'Ternyata dia berilmu cukup lumayan"! Gera-
kan jurus-jurusnya menarik perhatianku. Kurasa dia


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki jurus yang lebih dahsyat lagi. Hmmm...! Dia bukan Bocah Bodoh
sebenarnya. Hanya karena patuh
terhadap nasihat dan pesan ibunya, dia telah salah ar-
tikan pesan itu sehingga tak pernah membalas jika
diserang, kecuali kepepet! Rupanya dia tadi sudah terpepet, sehingga lakukan
perlawanan terhadap Sabuk
Geni. Jurus-jurus berbahaya dikeluarkan, dan nya-
tanya ia bisa membunuh Sabuk Geni yang memiliki
senjata maut itu! Tapi... aku harus tetap mengiku-
tinya. Jika melihat kepandaiannya mengalahkan lawan
tangguh, ada kemungkinan memang dialah pembunuh
Lembayung Senja, Jalak Hutan, dan Mutiara Naga!
Mungkin ia gunakan jurus dahsyat yang tanpa pedang
bisa merobek tubuh lawan"!"
Yoga pun segera lari mengikuti Bocah Bodoh
secara diam-diam.
* * * 6 TERNYATA Bocah Bodoh mampu bergerak de-
ngan cepat. Karena kali ini Yoga kembali kehilangan jejak orang tua yang
bersifat kebocahan itu. Yoga men-
duga, Bocah Bodoh lari dengan menggunakan tenaga
peringan tubuh. Mungkin ia punya jurus seperti yang
dimiliki Yoga dan Lili, yaitu jurus 'Langkah Bayu', yang mampu berlari melebihi
melesatnya anak panah.
'Tapi tak mungkin dia mempunyai jurus yang
menyamai jurusku dengan Lili," bantah hati kecil Yoga.
"Memang dia punya gerakan lari yang cukup cepat, namun tidak sama dengan jurus
'Langkah Bayu'"! Barangkali dia mengambil arah lain dan aku mengambil
arah lain, sehingga pelariannya tak terkejar oleh ku, walaupun aku gunakan jurus
'Langkah Bayu'."
Yoga berhenti di atas sebuah batu besar, duduk
sebentar di sana sambil memperhatikan keadaan seke-
lilingnya. Tempat itu tinggi, sehingga Yoga bisa lihat gerakan Bocah Bodoh yang
lari ke jalanan hutan di sebelah bawahnya. Tapi gerakan itu tidak ditemukan
oleh mata Yoga. Barangkali karena Yoga kurang cu-
rahkan perhatian kepada pandangan matanya, sehing-
ga ia tak melihat gerakan Bocah Bodoh. Ia sibuk den-
gan kecamuk di hatinya sendiri,
"Rupanya bukan Prasasti Tonggak Keramat
yang diinginkan oleh Bocah Bodoh, Gadis Linglung,
dan yang lainnya. Prasasti Tonggak Keramat hanya
merupakan tempat saja. Tempat menyimpan pedang
pusaka. Dan pedang pusaka itulah yang dikehendaki
oleh mereka! Kalau tak salah ingat, Sabuk Geni tadi
mengatakan pedang tersebut bernama Pedang Jimat
Lanang. Seperti apa kehebatan pedang itu sebenar-
nya?" Ada sesuatu yang menyentak Yoga dalam hatinya. Sesuatu itu dirasakannya
betul, ternyata sebuah firasat lagi yang seolah-olah menyuruh Yoga turun ke
hutan bawah sana. Tak jelas ada apa di hutan bawah
sana, yang pasti hati kecil Yoga ingin sekali turun ke sana dan tak bisa
ditawar-tawar lagi.
Maka, Pendekar Rajawali Merah yang baru se-
bentar beristirahat itu segera bergegas kembali lewat jalan semula, dan membelok
turun ke hutan yang banyak di tumbuhi pohon cemara liar itu.
"Ada apa ini" Mengapa perasaanku jadi tak
enak?" pikir Yoga sambil menerabas masuk ke hutan cemara liar itu. "Hatiku tiba-
tiba berdebar-debar dan sangat gelisah. Apakah Malaikat Gelang Emas sedang
mengikutiku dengan tidak menampakkan diri" Oh, ka-
lau begitu aku harus lebih waspada lagi. Tapi... bagaimana mengalahkan dia,
sedangkan dia orang yang se-
perti bayangan dan sukar ditebas dengan pedang, tak
bisa dipukul ataupun disentuh"! Guru tidak bekali
aku ilmu memukul bayangan! Apakah Lili mempunyai
ilmu itu untuk bisa kalahkan Malaikat Gelang Emas?"
Bau amis darah tercium oleh Yoga dan mem-
buat langkah pendekar tampan menjadi pelan. Sengaja
Yoga melangkah lamban sambil hidungnya mengen-
dus-endus bau amis darah itu yang dirasakan semakin
tajam. Semakin membelok ke kiri, semakin tajamlah
bau amis darah itu. Yoga memasuki semak-semak se-
tinggi tubuhnya, menerabas dengan pelan-pelan sam-
pai ia temukan tanah datar yang berumput pendek.
"Hahh..."!" Yoga terpekik dengan mata mendelik melihat sesosok tubuh terkapar
bermandikan darah.
Tubuh itu jelas sudah tak bernyawa lagi. Hal itu membuat jantung Yoga berdetak
semakin keras dengan
tangan dan kaki gemetaran.
Yoga ingin berteriak keras-keras, namun lidah-
nya bagaikan kelu dan tenggorokannya seperti ter-
sumbat oleh gumpalan asap padat yang di namakan
murka itu. Akibatnya, mulut Yoga hanya bisa melon-
tarkan sepotong nama mayat yang mati dalam keadaan
tersayat robek dari perut sampai ke bagian leher itu,
"Ratiiih..."!"
Lebih dari sepotong nama itu, Yoga tak sanggup
mengucapkannya. Bahkan ia jatuh berlutut dengan
lemas dan napas terasa sesak memandangi mayat
Kencana Ratih yang agaknya mati karena suatu perta-
rungan. Pedangnya masih di tangan, dan lengannya
terdapat sayatan bekas tergores benda tajam, tentunya senjata lawan yang telah
melukainya. Entah pedang,
entah sabit, entah kapak, atau apa saja. Mungkin juga sebuah tombak maut yang
sulit dikalahkan.
Tetapi kejap berikutnya Yoga mempunyai fira-
sat yang membuat hatinya berkata, "Pasti pedang! Ya.
pedang tajam yang dimainkan oleh seseorang yang
mahir bermain jurus-jurus pedang. Jurus yang digu-
nakan adalah jurus yang sama dengan saat orang itu
melawan Mutiara Naga ataupun Lembayung Senja dan
Jalak Hutan."
Mata Yoga sempat berkaca-kaca menahan ke-
sedihan yang amat dalam melihat kematian Kencana
Ratih. Bayangan masa lalu, saat berkenalan dengan
Kencana Ratih, saat menghancurkan Gua Bidadari,
saat mempertahankan bunga Teratai Hitam, semua
terbayang jelas di pelupuk mata Pendekar Rajawali Merah. Bahkan ketika ia pernah
menghantam kencana
Ratih dengan pukulan maut ketika ia terkena penga-
ruh Jarum Jinak Jiwa, juga terbayang di pelupuk mata Yoga. (Baca serial Jodoh
Rajawali dalam episode:
"Mempelai Liang Kubur").
Hal yang paling jelas dalam ingatan Yoga ada-
lah saat pertarungan dengan Malaikat Gelang Emas.
Kencana Ratih seolah-olah selalu menjadi dewa penye-
lamat baginya. Belum lama peristiwa penyelamatan
Kencana Ratih dirasakan oleh Yoga, sekarang tahu-
tahu gadis yang jika tersenyum mempunyai lesung pipi seperti Lili itu, mati
dalam keadaan yang menge-naskan.
Kemarahan Yoga sudah mencapai ulu hati, lalu
naik terus sampai ke tenggorokan. Yoga tak tahan, akhirnya bangkit dan
melepaskan pukulan membabi bu-
ta ke segala penjuru. Blaarrr...! Glegarr...! Blaarrr...!
"Kubunuh kau, Pengecuuut...! Hadapilah aku!"
teriaknya keras-keras sambil menghantam beberapa
pohon yang menjadi porak-poranda.
Bukan cinta yang ada di hati Yoga, melainkan
rasa sayang dan senang bersahabat dengan Kencana
Ratih itulah yang membuat Yoga sangat berang meng-
hadapi kematian gadis itu. Kenangan masa menempuh
bahaya bersama, juga membuat mendidih darah Yoga
melihat nasib sahabatnya seperti binatang.
Sampai ia terengah-engah dan akhirnya jatuh
duduk terkulai di samping mayat Kencana Ratih, ke-
marahan itu sepertinya belum surut dari dada Yoga.
Masih menyesak dan membuat nafasnya berat dihela.
Karena Yoga tahu, gadis itu sangat mencintainya. Yoga kasihan, karena tak bisa
membalas cintanya. Sekarang lebih kasihan lagi, karena melihat gadis itu mati
dengan amat menyedihkan. Yoga meremas tangan kanan-
nya sambil berucap dalam hati,
"Akan kubalas! Akan kubalas kematianmu,
Kencana Ratih! Persahabatan ku denganmu melebihi
rasa persaudaraan seseorang. Saat kulihat kematian-
mu di depan mata Ini, aku merasa kehilangan seorang
adik kandung yang amat ku sayangi! Oh, Kencana Ra-
tih... mengapa tadi kau pergi begitu saja tanpa mem-
perhitungkan bahaya yang mengancam mu"! Benarkah
Lili, guruku dan kekasihku itu, yang telah membelah
tubuhmu sekejam ini"! Bicaralah lewat sentuhan hati
kecilku, Kencana Ratih! Bicaralah, siapa pembunuh
keji yang telah menewaskan dirimu"!"
Di dalam benak duka Yoga sempat terbayang
Pendekar Rajawali Putih. Karena Yoga ingat, ketika
Kencana Ratih tadi pergi meninggalkan dirinya, ia be-rujar akan menantang
pertarungan dengan Lili, karena rasa cemburunya. Kencana Ratih ingin tentukan
siapa yang berhak mencintai Yoga; dia atau Lili. Ketentuan itu diambil dari suatu
pertarungan sampai mati.
Mungkinkah Kencana Ratih sudah bertemu dengan Li-
li, kemudian mereka bertarung dan Lili membunuh
Kencana Ratih dengan pedangnya"
"Mengapa harus sama dengan jurus yang digu-
nakan membunuh Lembayung Senja, Mutiara Naga,
dan Jalak Hutan"!" hati Yoga bertanya-tanya. Kata hati kecilnya lagi,
"Setega inikah Lili membunuh Kencana Ratih"
Atau... mungkin justru si Gadis Linglung itu yang melakukan" Bisa juga si Bocah
Bodoh yang punya ilmu
tinggi secara diam-diam dan mampu membunuh den-
gan tangan kosong bagai membunuh dengan pedang"
Tapi apa alasannya mereka membunuh Kencana Ra-
tih" Setan! Kenapa aku tak bisa menemukan pembu-
nuh orang-orang yang menjadi sahabatku ini"! Aku
harus segera menemui mereka; Gadis Linglung, Bocah
Bodoh, dan Lili! Pasti salah satu dari mereka, dan mereka harus mengaku untuk
memperhitungkan tinda-
kannya di depanku!"
Setelah memakamkan Kencana Ratih dengan
sebuah tanda khusus yang akan dikenalinya sebagai
makam Kencana Ratih, Yoga pun bergegas pergi den-
gan menggenggam bara murka di dalam hatinya. Ia
akan memaksa Gadis Linglung, Bocah Bodoh, dan Lili
agar mengakui perbuatannya. Siapa nanti yang akan
mengakui perbuatannya, Yoga akan bikin perhitungan
sendiri dengan orang tersebut.
*** Yoga tak tahu bahwa Lili pada saat itu sudah
berada di Lembah Maut. Tua Usil yang menunjukkan
jalan ke Lembah Maut, sehingga tanpa susah-susah
harus mencarinya, Lili sudah bisa sampai ke lembah
tersebut. Tetapi, di mana letak Prasasti Tonggak Keramat itu" Lili dan Tua Usil
belum menemukannya.
"Menurut keterangan Bocah Bodoh," kata Lili.
"Prasasti Itu sebuah tugu dari batu, tingginya sebatas perut dan punya bekas
telapak tangan guru ibunya!
Sekarang cari batu yang tingginya sebatas perut, Tua Usil!" Tua Usil garuk-garuk
kepala sambil meman-
dang sekelilingnya. Ia berkata dengan nada seperti
orang menggumam,
"Di sini cukup banyak batu! Batu yang ting-
ginya sebatas perut juga banyak. Apakah... apakah
enaknya setiap batu setinggi perut kita anggap prasasti saja, Nona Li"!"
"Gagasan mu tak pernah waras, Tua Usil!" kecam Lili. Tua Usil hanya nyengir.
Sekejap berikutnya, Tua Usil berkata,
Kalau Nona Li mau ajarkan saya berdiri di atas
ilalang sekarang juga, maka saya akan periksa semua
batu yang ada di lembah ini! Itu janji saya, Nona Li!"
"Dan kalau aku mencabut pedangku untuk me-
robek lehermu, apakah kau tetap tak akan mau men-
cari prasasti itu" Tak akan mau"!"
Dengan rasa takut, Tua Usil menjawab,
"Yaaah... tetap mau!" Mata Tua Usil melirik dan bersungut-sungut, Lili berlagak
tidak mengetahui sikap
Tua Usil itu. 'Tua Usil, kita berpencar saja, kau ke mari, aku
ke..." "Ssst...! Saya mendengar langkah orang berlari menuju kemari, Nona Li"
Apakah Nona tidak mendengarnya?"
Lili kerutkan dahi, telengkan telinga, lalu ia
menjawab dengan nada berbisik,
"Ya, benar! Kita bersembunyi di balik batu be-
sar itu. Lekas!"
Maka keduanya bergegas bersembunyi di balik
batu besar yang tingginya melebihi ukuran tubuh me-
reka. Tak berapa lama kemudian, seseorang memang
sedang berlari menuju ke tanah depan batu tersebut.
Tua Usil semakin merapatkan tubuh ke badan Lili. Ta-
pi Lili menyentakkan tubuh itu hingga Tua Usil jatuh terduduk.
"Kenapa Nona mendorong saya?"
"Jangan menggunakan kesempatan untuk me-
rapatkan tubuh ke badanku, Setan! Badanku hanya
boleh disentuh oleh Yoga!"
"Iya, iya...! Saya tahu! Tapi sekarang kita kan sedang bersembunyi. Kalau lengan
saya menyentuh lengan Nona Li, sah-sah saja!"
"Ssst...!" Lili segera kembali ke perhatian semula. Seseorang dilihatnya
melintas dalam pelarian yang disertai wajah ketakutan. Orang tersebut adalah
Cola Colo; si Bocah Bodoh itu.
"Itu dia Bocah Bodoh, Nona Li! Kita ikuti saja
langkahnya, pasti menuju ke Prasasti Tonggak Kera-
mat." "Belum tentu. Siapa tahu dia mencari sungai karena perutnya mulas" Untuk
apa kita ikuti"!"
"He he he... kalau itu, ya memang tidak perlu
kita...." "Ssst...!" Lili kembali memberi isyarat supaya Tua Usil diam. "Ada
yang mengejar Bocah Bodoh!"
tambah Lili dalam bisikan.
Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Putih
itu memang benar. Bocah Bodoh ternyata sedang dike-
jar-kejar oleh Gadis Linglung. Lili sempat berkerut dahi sebentar, merasa heran
melihat Gadis Linglung memburu Bocah Bodoh. Tapi setelah Lili temukan jawa-
bannya, bahwa Gadis Linglung pasti tidak tahu arah


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju Prasasti Tonggak Keramat itu, maka tak heran
dan bukan hal aneh jika Gadis Linglung mengikutinya, baik secara diam-diam
maupun secara terang-terangan.
Dengan cepat dan tanpa pamit lagi, Lili pun se-
gera mengikuti pelarian kedua orang tersebut. Hal itu membuat Tua Usil sempat
kebingungan mencari Nona
Li yang pergi bagai menghilang itu. Tapi ketika ia meli-
hat Lili sudah ada di belakang Gadis Linglung, Tua
Usil pun segera mengikutinya.
"Bocah Bodoh!" teriak Gadis Linglung. "Berhenti kau! Kalau tidak akan kulempar
senjata dari sini!"
Mendengar ancaman begitu, Bocah Bodoh sege-
ra hentikan langkahnya. Ia terengah-engah dengan
mata tuanya memandang penuh rasa takut. Ia mera-
pat ke celah sebuah batu dengan wajah tegang. Se-
mentara itu, Gadis Linglung segera mendekatinya den-
gan memaksakan dirinya untuk bisa kelihatan menye-
ramkan di mata Bocah Bodoh.
"Kau benar-benar manusia terbodoh di dunia!"
kata Gadis Linglung. "Kau sama sekali manusia yang tidak sayang kepada nyawa
sendiri! Sudah kubilang,
kau akan kubunuh dan tubuhmu ku potong menjadi
enam puluh bagian kalau kau tidak tunjukkan di ma-
na Lembah Maut itu berada!"
Pada waktu itu, Tua Usil tiba di tempat perhen-
tian Lili. Tangan Lili memberikan isyarat agar Tua Usil berhenti di situ saja.
Mendengar suara keras Gadis
Linglung, Tua Usil hampir tertawa. Ia berbisik kepada Lili,
"Gadis itu benar-benar linglung. Sudah berada
di Lembah Maut, eeh... masih tanya di mana lembah
itu"!" "Barangkali mereka berdua tak sadar kalau pelarian mereka sudah sampai di
Lembah Maut," bisik Lili juga. "Sebaiknya kita jadi penonton saja, tak perlu
ikut campur urusan mereka."
'Tapi mereka akan tahu kalau kita ada di sini,
Nona. Kita dapat terlihat oleh mereka! Kita sembunyi lagi saja, seperti tadi!"
"Malas. Nanti kamu gunakan kesempatan lagi.
Biar mereka melihat kita. Aku ingin tahu apa tindakan Gadis Linglung itu jika
melihatku ada di sini! Kalau
masih menyebut-nyebut nama Yoga akan ku sikat ha-
bis dia!" Tua Usil bersungut-sungut menggumam, "Be-
sar amat cemburunya...?"
Lili hanya melirik, Tua Usil segera diam dan
bersikap biasa-biasa saja, karena dia paling takut kalau lihat Lili marah.
Sementara itu, di depan mereka tampak Gadis
Linglung sedang memaksa Bocah Bodoh untuk tun-
jukkan di mana Lembah Maut itu, dan ciri-ciri apa
yang digunakan sebagai tanda tempat tersebut. Tetapi agaknya Bocah Bodoh tetap
ingin menjaga rahasia itu, sehingga biar pun dibanting-banting beberapa kali,
namun ia tetap tidak mau menjawab pertanyaan Gadis
Linglung. "Kalau kau tak mau sebutkan, kupecahkan ke-
palamu sekarang juga!" ancam Gadis Linglung kepada Bocah Bodoh. Waktu itu Bocah
Bodoh terkapar sambil
mengerang merasakan tulang-tulangnya sekujur tu-
buh bagaikan patah karena dibanting-banting oleh
Gadis Linglung. Sedangkan Gadis Linglung sudah
kembali mengangkat batu besar dan siap menghan-
tamkan batu itu ke kepala Bocah Bodoh.
"Nona, kasihan si Bocah Bodoh itu! Dia tidak
berdaya, karena dia tidak punya ilmu silat sedikit
pun!" kata Tua Usil. Rupanya ucapan Tua Usil yang membisik itu menyentuh hati
Lili, hingga timbul rasa kasihan kepada Bocah Bodoh.
Terdengar lagi suara Gadis Linglung memben-
tak, "Ku hitung sampai tiga kali, kalau kau tak mau jawab pertanyaanku,
kujatuhkan batu ini ke kepalamu! Kalau tak remuk, jangan panggil aku Gadis Lin-
glung! Satu...!" Gadis Linglung menghitung, "Dua...!"
Pendekar Rajawali Putih segera memetik selem-
bar daun kecil yang ada dalam satu jangkauan tan-
gannya. Dan... kecil itu dilemparkan ke depan.
Zuirttt...! Daun kecil itu menghantam batu besar yang diangkat dengan dua tangan
oleh Gadis Linglung.
Braasssh! Batu itu pecah tanpa timbulkan bunyi ledakan.
Pecahannya menjadi serpihan kerikil yang kecil sekali, sekecil sebutir merica.
Tentu saja hal itu membuat Gadis Linglung terkejut bukan kepalang. Ia segera
menatap ke arah datangnya selembar daun kecil itu, lalu ia temukan wajah cantik
Pendekar Rajawali Putih yang
berdiri dengan tenangnya bersama Tua Usil.
Gadis Linglung geram dan bergegas mengham-
piri Pendekar Rajawali Putih. Sementara itu, Cola Colo merasa punya kesempatan
untuk segera bangkit dan
lanjutkan pelariannya. Tetapi, Tua Usil segera meng-
hadang dalam satu lompatan dan berkata,
"Jangan lari dulu! Selesaikan dulu perkara mu
ini!" "O, iya, ya...! Aku hampir lupa," kata Bocah Bodoh, kemudian tak jadi pergi,
namun segera hampiri
Lili dan Gadis Linglung yang sedang saling berhadap-
hadapan dalam jarak empat langkah itu.
"Siapa kau"!" hardik Gadis Linglung.
"Tidakkah kau mengenaliku?" kata Lili.
Gadis Linglung kerutkan dahi sebentar, kemu-
dian mengangguk-angguk,
"O, ya...! Aku ingat, kau perempuan galak yang
bersama pendekar tampan memikat hatiku itu!"
Wuuttt..! Plaakkk...! Lili bergerak sangat cepat
dan di luar dugaan. Tangannya menghantam wajah
Gadis Linglung dengan telapak tangan. Begitu Gadis
Linglung terhantam dan terpental jatuh, Lili masih di-am dengan gerakan tangan
bekas menghantam masih
terangkat naik.
Gadis Linglung segera bangkit dengan gerutu
dan makian tajam.
"Kadal buntung! Kau pikir hanya kau sendiri
yang bisa galak dan menampar wajah" Aku juga bi-
sa...!" Pada waktu itu, Bocah Bodoh berkata, "Sudah, sudah... aku tidak apa-apa
kok. Jangan berantem!"
sambil ia mendekati Gadis Linglung.
Tangan Gadis Linglung berkelebat menampar
pipi Pendekar Rajawali Putih. Tapi tiba-tiba Lili melompat ke samping bagaikan
lenyap. Tangan yang me-
nampar luput dari wajah Lili, tapi kena telak di wajah Bocah Bodoh. Plookkk...!
Wuurrrr...! Tubuh Bocah Bodoh berputar sece-
pat gangsing akibat tamparan keras itu. Ia jatuh terkulai karena pusing. Ketika
berusaha bangkit, tubuhnya menggeloyor, matanya sayu, mulutnya bengong, suaranya
sedikit serak, "Aku di mana ini..,"!"
Gadis Linglung tidak pedulikan Bocah Bodoh.
Ia masih penasaran dengan tamparan dari Lili tadi.
Maka, dengan cepat ia pun melompat dan menendang
Lili dalam gerakkan putar di udara. Wuk wukkk...!
Zlappp...! Lili tahu-tahu sudah berada di bela-
kang Bocah Bodoh. Bocah Bodoh kaget dan cepat-
cepat jongkok sambil tutupi kepalanya dengan dua
tangan karena takut menjadi salah sasaran lagi.
Zlaapp...! Gadis Linglung pun sudah ada di de-
pan Lili dalam jarak satu tindak. Kemudian, sebelum
Lili sempat terkesiap kaget, tangan Gadis Linglung
menghantam dagu Lili memakai pangkal telapak tan-
gan. Duuhg...! Lili kena pukul, tersentak mundur ti-ga tindak, ia segera tegak
kembali dan siap lepaskan pukulan. Tapi pukulan itu tertahan oleh gerakan cepat
seberkas sinar merah terang yang melesat di depan Lili
dan Gadis Linglung. Claapp...! Blaarrr...! Batu di seberang sana yang menjadi
sasaran, meledak dan berkep-
ing-keping jadinya. Lili dan Gadis Linglung segera memandang arah datangnya
sinar tadi, demikian pula
Tua Usil dan Bocah Bodoh yang masih jongkok.
Yoga berdiri di sana, menjadi pusat pandangan
mata. Di wajah tampan Pendekar Rajawali Merah itu,
tak ada senyum dan ketenangan sedikit pun. Wajah
tersebut kelihatan berkesan angker dan garang. Lili segera tanggap, pasti Yoga
sedang dilanda kemarahan
besar. Tapi kemarahan sebab apa, Lili tak bisa mendu-ganya, sehingga Lili pun
segera bertanya dari tempatnya, "Apa yang terjadi, Yo..."!"
Mulut pemuda tampan itu masih rapat mem-
bungkam. Matanya memandang tajam pada Lili, Gadis
Linglung, Bocah Bodoh, dan Tua Usil. Ia memandangi
wajah itu secara bergantian. Bocah Bodoh menjadi ta-
kut. Ia segera berdiri, lalu melangkah mundur dengan tegang. Tanpa sengaja ia
menginjak kaki Tua Usil yang berdiri di belakangnya. Jleg...!
Plaakkk...! Tua Usil menahan sakit sambil me-
nepak kepala Bocah Bodoh. Yang ditepak cepat berpal-
ing cemberut sambil mengusap-usap kepalanya. Tua
Usil mendelik, Bocah Bodoh cepat palingkan wajah
Naga Dari Selatan 8 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Walet Emas Perak 9
^