Pencarian

Racun Darah 2

Gento Guyon 23 Racun Darah Bagian 2


menghancurkan seluruhnya. Terkecuali aku sang-
gup membangkitkan tiga sumber tenaga dalam
yang ada di tubuhku. Dengan tiga sumber tenaga
dalam yang berasal dari titik yang berlainan kura-
sa baru dapat menguras ilmu yang ada padamu,
namun sejauh ini tak seorangpun tokoh hebat di
dunia persilatan yang memiliki tiga titik pembang-
kit tenaga dalam seperti yang aku sebutkan. Satu-
satunya yang mempunyai kemampuan hebat se-
perti itu hanyalah kakek setengah roh setengah
manusia yang bergelar Manusia Seribu Tahun.
Sayang... tak ada orang yang mengetahui dimana
keberadaan orang yang satu ini." menerangkan si gendut dengan serius.
"Tak bisa kau memusnahkan seluruhnya,
sebagian pun tak jadi apa!"
"Angin Pesut. Tidak dapatkah kau memikir-
kan hal lain selain memusnahkan ilmu yang kau
miliki?" "Ada... pertama aku berfikir untuk men-
gembalikan beberapa kitab milik orang lain yang
dulu pernah kucuri. Yang kedua aku merindukan
puteriku yang diculik orang delapan belas tahun
yang lalu." jawab si kakek.
"Kau tahu siapa yang menculiknya?"
"Seandainya aku tahu, tentu sudah sejak
dulu aku melabraknya." jawab orang tua itu.
"Siapa nama puterimu itu?" tanya kakek
Gentong Ketawa.
"Aku belum sempat memberinya nama,
waktu diculik usianya baru beberapa pekan saja.
Kau melarang aku bunuh diri dan kau juga kulihat
tak bersedia memusnahkan ilmuku. Jadi sekarang
kuminta pendapatmu, apa yang seharusnya aku
lakukan"!"
Si gendut terdiam sejenak, setelah berfikir
baru dia berkata. "Untuk mencari anakmu tentu sulit karena aku tak tahu namanya.
Lagipula jika dia hidup tentu sekarang sudah dewasa. Kau pasti
tak mengenalnya?"
"Putriku punya tanda berupa tahi lalat di
bagian punggungnya." menerangkan Angin Pesut.
"Lalu apakah kau harus menyingkap pa-
kaian di punggung setiap gadis yang kau jumpai"
Setiap orang bisa melabrakmu. Jadi menurutku
alangkah baik jika kau kembalikan kitab-kitab
yang kau curi pada pemiliknya."
"Mereka pasti akan membunuhku!"
"Itu adalah salah satu resiko yang harus
kau tanggung!" ujar si gendut.
Angin Pesut tidak segera menanggapi uca-
pan Gentong Ketawa. Wajahnya jelas membayang-
kan keraguan. Selagi suasana di dalam ruangan gua dice-
kam kebisuan, pada waktu bersamaan pula dari
arah mulut gua terdengar satu suara. "Angin Pesut, manusia seribu satu dosa
bergelar Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Saat datangnya pemba-lasan itu sudah
hampir tiba. Seseorang telah ku-
percayakan untuk menjemput nyawamu, lalu
menghancurkan tubuhmu hingga menjadi daging
bubur meleleh. Kau akan mendapatkan azab yang
pedih. Ha ha ha!"
Kedua orang yang berada di dalam gua ter-
sentak kaget dan sama memandang ke mulut
gua. Tapi mereka tak melihat apa-apa, karena mu-
lut gua diselimuti kabut putih yang tak jelas dari mana datangnya.
"Siapa kau?" tanya Angin Pesut dengan bergetar, perlahan namun cukup jelas.
"Hik hik hik. Siapa diriku kelak jika rohmu
sudah diseret ke neraka bisa kau tanyakan pada
malaikat penjaga disana, Angin Pesut. Kau den-
gar... ilmu kepandaianmu boleh tinggi. Namun
kematian tetap datang padamu. Kau hanya tinggal
menunggu...!"
"Aku tak takut mati. Jika kau inginkan
nyawaku datanglah kemari, unjukkan dirimu!" teriak kakek itu.
Mendadak dia bangkit berdiri. Sekali dia
bergerak sosoknya berkelebat lenyap dan kini telah berdiri pula di luar gua.
Kakek Gentong Ketawa
yang datang menyusul berkata dengan suara per-
lahan. "Kau lihat, kabut di mulut gua lenyap. Aku yakin siapapun dia adanya, dia
tak datang langsung kesini. Dia mengirimkan suaranya dari satu
tempat yang jauh beribu tombak. Suara itu tak
dapat dibedakan sama sekali. Mungkin dia laki-
laki, boleh jadi juga seorang perempuan. Angin Pe-
sut, sebaiknya tak-usah kau tanggapi. Jika kau ti-
dak melanggar permintaanku dengan tidak mem-
bunuh lagi. Aku berjanji akan membantumu." kata si kakek gendut.
"Aku sudah mengatakan tidak akan ada lagi
pembunuhan yang kulakukan. Terkecuali satu
hal, terhadap ilmu Ratap Langit aku tidak dapat
berbuat apa-apa." sahut Angin Pesut dengan suara perlahan.
"Angin Pesut. Kematian yang akan menjem-
putmu bisa datang dalam bentuk apa saja. Kau
tunggulah... hik hik hik!"
Gema suara tanpa rupa itu kemudian le-
nyap. Angin Pesut kepalkan kedua tinjunya sambil
berkata. "Jika itu memang menjadi suatu kenyataan aku merasa sangat berterima
kasih sekali!"
gumam si kakek. Dalam gelap dia memandang ke
arah kakek Gentong Ketawa. Selanjutnya dia beru-
cap. "Orang tua, kepadamu aku menaruh satu
permintaan. Jika aku mati tolong carikan anakku.
Seandainya kau bertemu dengannya tolong sam-
paikan salamku bahwa aku mencintai dan merin-
dukannya selalu."
"Kau hendak kemana?" tanya si kakek.
"Aku tak pergi kemanapun. Kau pergilah, o-
rang tua. Kumohon..."!"
"Kau yakin tidak akan membunuh diri?"
"Aku akan menjalani hidup sebagaimana
yang kau anjurkan! Segala kenyataan apapun
yang terjadi padaku, sedapatnya aku akan beru-
saha menerima dengan dada lapang."
"Baiklah. Sekarang aku mohon pamit. Aku
berdoa semoga Gusti Allah selalu memberimu pe-
tunjuk jalan yang benar, hingga kau menemukan
suatu kedamaian hidup yang selama ini belum
pernah kau dapatkan!"
"Terima kasih orang tua. Jika kau mau aku
ingin menitipkan Panah Matahari padamu."
"Buat apa?" tanya si gendut kaget.
"Boleh jadi umurku tak akan lama. Aku me-
rasa aman jika senjata itu ada padamu yang kelak
dapat kau serahkan pada Hantu Pembawa Petaka
di tanah Andalas."
"Orang tua yang kau sebutkan sulit ditemui,
bahkan mungkin sekarang telah berpulang!"
"Belum... mungkin dia masih hidup. Seti-
daknya itu dibuktikan dengan datangnya dua mu-
rid Hantu Pembawa Petaka. Iblis Tangan Batu dan
Iblis Lidah Api sebelum hendak membunuhku ada
mengatakan mereka diutus gurunya untuk men-
gambil Panah Matahari. Tapi mereka tidak hanya
meminta senjata itu saja. Iblis Tangan Batu me-
minta beberapa kitab sakti lain yang bukan milik
guru mereka. Sangat disayangkan mereka bukan
saja tak sanggup membunuhku, tapi malah terbu-
nuh oleh ilmu Ratap Langitku."
"Konon yang kudengar Hantu Pembawa Pe-
taka bukan manusia berhati serakah. Tubuhnya
tidak sempurna tapi dia memiliki keluhuran jiwa.
Aku sendiri ragu apakah Hantu Pembawa Petaka
mempunyai murid atau tidak. Dan mungkin pula
kedua orang yang termakan ilmumu itu memang
bukan muridnya?"
"Lalu mereka murid siapa?"
"Bisa jadi murid setan. Mengingat musuh-
mu tidak sedikit, tentu banyak sekali kemungki-
nan yang terjadi di luar perhitunganmu!" ujar kakek Gentong Ketawa.
"Baiklah, sekarang aku semakin bertambah
yakin hanya kau yang dapat kupercaya untuk me-
nyimpan senjata ini." Lalu Angin Pesut mengeluarkan sebuah bungkusan terbuat
dari kain putih
sepanjang tiga jengkal belum lagi si gendut sempat mengucapkan sesuatu, Angin
Pesut ulurkan tangan yang memegang bungkusan itu.
"Terima dan simpanlah." ujar si kakek alls merah. "Mana aku berani menerimanya?"
"Orang tua, apakah kau lebih suka senjata
berbahaya ini jatuh ke tangan orang jahat" Kau
sudah mendengar bahwa aku tidak akan melawan
siapapun. Semua musuh-musuhku setiap saat bi-
sa saja datang kemari. Jika andainya mereka da-
pat membunuhku, mereka pasti menjarah apa saja
yang ada di dalam gua ini. Tolong simpan senjata
itu, Gentong Ketawa!" pinta si kakek bersungguh-sungguh.
Melihat Angin Pesut nampak begitu me-
maksa, semakin tidak enak saja perasaan si gen-
dut untuk menolak. Diapun kemudian ulurkan
tangan menerima kain putih pembungkus Panah
Matahari. Gentong Ketawa masukkan kain putih itu di
balik pakaian hitamnya. Setelah itu dia balikkan
badan siap hendak melangkah pergi. Tapi pada
saat itu Angin Pesut berkata. "Tunggu orang tua?"
"Ada lagi yang hendak kau sampaikan?"
"Aku punya saudara seperguruan. Namanya
Sateaki, dia sama sekali tidak tahu menahu ten-
tang kejahatanku. Jadi kuharap kau jangan me-
musuhinya."
"Semoga aku dapat memperhatikan permin-
taanmu itu!" kata si kakek gendut. Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama lagi
orang tua itu berkelebat tinggalkan Angin Pesut yang masih berdiri
tegak disamping mulut gua.
8 Kekesalan gadis berpakaian putih ini pada
gadis yang bernama Nyi Sekar Langit bukan kepa-
lang. Seandainya dia tahu Nyi Sekar Langit yang
semula berupa seorang nenek tua berwajah buruk
itu sesungguhnya adalah seorang gadis cantik jeli-
ta. Tentu dia tak akan mengizinkan Gento mem-
bantu gadis itu. Gara-gara Nyi Sekar Langit, gadis berpakaian putih merasa
dirinya diabaikan. Dalam
pandangannya Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
nampaknya lebih tertarik pada gadis jelita itu.
Entah mengapa dia begitu marah pada Nyi
Sekar ketika melihat gadis itu memandang Gento
dengan mata berbinar. Masih jelas terbayang di
matanya saat mereka berada di gua karang di te-
luk, Nyi Sekar Langit langsung memeluk Gento be-
gitu dirinya terbebas dari belenggu ketuaan.
"Dia pernah mengatakan suka kepadaku.
Tapi mengapa dia mudah tergoda oleh perempuan
lain." batin si gadis yang bukan lain adalah Mutiara Pelangi. Sejenak dia
menarik nafas, lalu pan-
dangannya menatap kosong ke arah sungai kecil
yang terdapat di depannya. "Mungkin rasa su-
kanya kepadaku hanya suatu kedustaan belaka.
Gento... ahk apakah kau tidak tahu bagaimana pe-
rasaanku kepadamu?" rintih si gadis. Tanpa sadar sepasang matanya nampak
berkaca-kaca. "Mengapa perasaanku jadi begini. Gara-gara
Nyi Sekar aku terpaksa meninggalkan Gento. Kini
setelah aku tak berada di dekatnya aku jadi kha-
watir jangan-jangan Nyi Sekar dengan segala ke-
cantikannya berusaha memikat pemuda itu.
Hmm... Nyi Sekar. Jika kau mencoba memperdaya
orang yang aku kasihi, aku bersumpah pasti akan
membunuhmu. Jangan mengira aku takut pada-
mu!" geram Mutiara Pelangi sambil kepal-kepalkan tinjunya.
Sang dara gelengkan kepala. Kini wajahnya
nampak berubah muram. Matanya yang menatap
kosong memandang ke sungai dimana sepasang
ikan nampak berenang mundar-mandir dengan
bebasnya. "Diriku tidak sebebas ikan itu. Guruku yang
misterius bahkan sering mengingatkan aku agar
jangan mudah percaya dengan segala bujuk rayu
mulut laki-laki. Gento... tanpa sadar apa yang pernah kau ucapkan telah
menumbuhkan harapan di
hatiku. Tapi ternyata, tingkah lakumu membuat
aku ragu, apakah benar kau mencintai diriku?" fikir Mutiara Pelangi alias Puteri
Kupu-kupu Putih
gelisah. Kegelisahan serta segala kegalauan hati
kadangkala membuat seseorang berlaku ceroboh
dan tidak cepat tanggap dengan apa yang berada
di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan Pelangi.
Kegelisahan serta fikirannya yang tertuju pada
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon membuatnya tak
menyadari kalau sejak tadi ada sepasang mata
yang terus memperhatikannya.
Pemilik sepasang mata yang hanya kepa-
lanya saja menyembul di permukaan tanah mena-
tap ke arah Pelangi dengan penuh kegusaran.
"Bocah itu apa yang dilakukannya di tempat
ini" Seharusnya dia membantu Iblis Edan dan Se-
tan Sableng membebaskan ayahnya yang dipenja-
rakan Adipati di Ladang Wadas Cimangu. Eeh...
dia malah menangis" Aku tak pernah mengaja-
rinya ilmu menangis! Dasar setan!" dengus sosok yang sebagian tubuhnya terpendam
di dalam tanah. Kepala yang tersembul di atas permukaan ta-
nah itu mendadak lenyap. Diatas permukaan ta-


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nah terjadi gerakan disertai suara bergemuruh
aneh. Apa yang terjadi berlangsung sangat cepat,
dan mendadak Pelangi menjerit ketika satu kekua-
tan menariknya ke bawah hingga membuat sosok
Pelangi lenyap ke dalam tanah untuk kemudian
melesat ke udara seperti dilemparkan dari dalam
tanah. Selagi gadis itu berjumpalitan di udara be-
rusaha keras agar tidak jatuh punggung sang dara
kembali dikagetkan dengan terdengarnya suara
bentakan yang seakan berasal dari kedalaman pe-
rut bumi. "Murid tolol keblinger. Sedari kecil aku mendidikmu dengan maksud agar
mempunyai pendirian sekokoh karang dan hati sekeras baja.
Tidak kusangka baru dua purnama turun gunung
kau tak sanggup menghadapi tantangan hidup!"
Pelangi yang baru saja jejakkan kakinya
nampak bergetar, wajah berubah pucat dan mata
memandang membeliak ke arah lubang menganga
dimana tadi dia sempat ditarik amblas ke dalam-
nya. Menyadari siapa yang datang Pelangi jatuh-
kan diri berlutut sambil menjura penuh hormat ke
arah lubang dimana orang yang bicara tadi belum
juga terlihat sosoknya.
"Guru... maafkan aku. Maafkan segala kesa-
lahanku. Murid mengaku bersalah. Aku mohon pe-
tunjuk. Belasan tahun aku menjadi muridmu, se-
lama itu aku tak pernah melihat ujudmu yang se-
benarnya. Kini aku berharap guru mau memperli-
hatkan diri!" kata Pelangi masih dengan sikap menghormat.
"Huh, memperlihatkan diri padamu apa su-
sahnya. Kau pentang dua matamu, lihat baik-baik
kemari!" kata suara dari lubang yang selalu melakukan perjalanan dengan
menggunakan Ilmu 'Me-
nyusup Bumi' Sesuai dengan perintah suara itu, Mutiara
Pelangi memandang ke depan.
Begitu perhatiannya tertuju ke arah suara
yang terdengar. Mendadak sontak terdengar suara
bergemuruh hebat dari dalam bumi. Lalu permu-
kaan tanah tersibak, serpihan tanah berlesatan ke
segenap penjuru arah. Pelangi lindungi wajahnya
dengan kedua telapak tangan. Di lain kejab begitu
suara bergemuruh lenyap terdengar pula suara
tawa panjang menggidikkan.
"Kau lihatlah kemari Pelangi. Sewaktu aku
menggemblengmu selama belasan tahun sekalipun
kau belum melihat diriku. Kini kesempatan itu
terbuka bagimu. Lihat...!"
Perlahan Pelangi tengadahkan wajahnya
memandang lurus ke depan. Gadis ini memekik
kaget, mata melotot, sedangkan tangan kiri cepat
dipergunakan untuk menutup mulutnya. Bebera-
pa saat lamanya Pelangi tak kuasa bicara, sekujur
tubuhnya malah basah bersimbah keringat dingin.
Apa yang dilihatnya bukanlah seperti apa yang dia
bayangkan selama ini. Sosok berpakaian serba hi-
tam itu tidak menyerupai manusia. Ujudnya boleh
dikata setengah manusia setengah binatang.
Betapa tidak" Wajah si nenek rusak hancur
mengerikan, hidung sumplung mata belok, telinga
lenyap entah kemana. Sedangkan lidahnya terjulur
merah meneteskan darah, lalu di kanan kiri lidah
yang terjulur terdapat dua pasang taring yang ta-
jam, panjang dan berlumuran darah. Selain itu
dada si nenek nampak berlubang besar, hangus
menghitam seperti bekas terbakar. Karena dia
hanya memakai celana panjang sebatas lutut,
dengan jelas Pelangi dapat melihat sepasang kaki
si nenek yang kecil bengkok cacat penuh codet.
Bagian betis bersambung dengan besi seperti mata
tombak. Mungkin dengan kedua kaki bertumit
runcing inilah dia melubangi bagian permukaan
tanah, hingga dia dapat menembus tanah mana
saja yang dia suka.
"Kau melihatku seperti melihat setan, Pe-
langi?" hardik si nenek.
"Wajah guru bahkan lebih angker dari se-
tan!" sahut sang dara.
"Hik hik hik! Sekarang setelah bertemu dan
melihat rupaku. Aku ingin bertanya ketika kau tu-
run gunung mengatakan ingin membebaskan pa-
manmu. Lalu apakah kau telah berhasil melaku-
kannya" Dan apakah kau telah bertemu dengan
Setan Sableng dan Iblis Edan adik misanmu itu?"
tanya si nenek yang dikenal dengan nama nenek
Palasik itu dengan tatapan menyelidik.
Mendapat pertanyaan seperti itu wajah sang
dara berubah muram. Dengan suara bergetar me-
nahan kesedihan dia menjawab. "Pamanku Karma
Sudira tewas terbunuh. Sedangkan Setan Sableng
dan Iblis Edan kini ikut dengan Dewa Sinting."
menerangkan si gadis. Dia kemudian juga mence-
ritakan bagaimana caranya sampai bisa membu-
nuh Adipati Purbolinggo yang telah membuat
sengsara kerabat pamannya itu. Tak lupa dia juga
menceritakan pertemuannya dengan Gento dan
bantuan yang diberikan oleh pemuda itu. (Untuk
lebih jelas, silahkan baca Episode Setan Sableng).
"Kedua adik misanmu itu semoga bisa men-
jadi manusia berguna di dalam didikan Dewa Sint-
ing. Lalu mengapa kau tinggalkan Kadipaten bu-
kan malah mendudukinya setelah kau dapat me-
numpas Adipati Purbolinggo dan orang-orangnya?"
tanya si nenek. Dua bola matanya yang belok me-
natap penuh selidik ke arah Pelangi.
"Mohon dimaafkan, guru. Aku wanita, aku
merasa tidak pantas menduduki jabatan itu. Un-
tuk sementara biarlah Purbolinggo dibiarkan ko-
song tanpa pemerintahan."
"Hik hik hik. Aku tahu jalan fikiranmu, kau
sejak dulu lebih suka hidup sebagai manusia biasa
tanpa embel-embel segala macam tahta jabatan!
Lalu, kulihat tadi kau menangis" Apa yang terjadi
padamu?" Sang dara nampak tersipu dan sempat be-
rubah merah air mukanya.
"Tidak! Aku tidak menangisi apapun."
Nenek angker di depannya dongakkan kepa-
la lalu tertawa panjang. Beberapa saat kemudian
setelah tawa dinginnya lenyap dia berkata. "Aku tahu kau berdusta. Sejak dulu
aku tak pernah mengajarimu berbohong terkecuali bila dalam kea-
daan terpaksa dan terjepit. Aku tahu, di hatimu
ada satu ganjalan. Matamu bahkan menyimpan
suatu rasa, kerinduan, benci, cemas dan rasa ta-
kut kehilangan. Kau sedang memendam berbagai
perasaan. Pasti yang satu ini erat hubungannya
dengan laki-laki, dengan seorang pemuda. Kau ja-
wab, betul atau tidak yang kukatakan ini?"
Terkejutlah sang dara. Sama sekali dia tak
menyangka gurunya mengetahui apa yang terjadi
pada dirinya saat itu. Sekarang dia menjadi ragu
apakah merasa perlu untuk berterus-terang" Pe-
langi menarik nafas, lalu menghembuskannya
sambil gelengkan kepala. "Tidak benar guru!"
Sepasang mata belok Si nenek mendelik be-
sar. "Bocah kurang ajar. Sekarang kau mulai berani membohongi dirimu dan gurumu
ini" Aku pernah muda muridku. Kalau kau tak mau berte-
rus-terang kupecahkan kepalamu!"
Mendapat ancaman ini tentu saja Pelangi
jadi takut. Sehingga dengan muka merah dan pe-
rasaan malu dia akhirnya berterus-terang.
"Guru... aku... aku...!"
"Ah, suaramu bergetar. Jantungmu pasti
berdetak keras. Katakan siapa laki-laki yang telah menggerogoti fikiran dan
hatimu itu?"
"Namanya Gento, guru...!" jawab Pelangi
sambil tundukkan wajahnya.
"Gento siapa dia" Orangnya tua atau masih
muda" Apakah dia masih perjaka tulen?"
"Aku tidak tahu dia perjaka atau bukan.
Tapi dia masih muda."
"Dia seorang pembuat senjata atau peda-
gang getuk keliling?"
"Dia adalah Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon." menerangkan sang dara. Nenek angker di depannya manggut-manggut, tapi
keningnya berkerut seolah tengah berfikir keras dan menduga
siapa gerangan pendekar itu.
"Hemm, Pendekar Sakti 71. Akhir-akhir ini
namanya memang sering menjadi pembicaraan
orang. Konon dia memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Sayang otaknya agak sinting. Jadi pemuda edan
itu yang telah menyakiti perasaanmu?"
"Dia tidak menyakitiku."
"Lalu apakah dia pernah mengatakan cinta
padamu?" "Tidak. Tapi dia pernah mengatakan suka
padaku." jawab Pelangi.
"Suka bukan berarti cinta. Sejak dulu su-
dah kukatakan, laki-laki itu memang suka me-
rayu. Laki-laki mulutnya beracun. Apa kau lupa
aku telah menyuruhmu untuk menjauhi semua
laki-laki. Kau lihat wajahku, diriku menjadi cacat begini rupa karena ulah laki-
laki. Aku tak mau apa yang menimpa diriku terjadi padamu." kata si nenek dingin.
"Ah, jadi cacat di sekujur tubuhmu itu ka-
rena ulah laki-laki, guru?" Si nenek anggukkan kepala perlahan. Dengan wajah
murung, namun pandangan mata dingin si nenek membuka mulut
berucap. "Kau tak usah risau, muridku. Jika kau suka pada pemuda geblek edan itu
aku bisa men-carinya. Dia tidak mungkin dapat meloloskan diri
dari tanganku. Namun apakah kau benar-benar
menyukainya?"
"Suka guru." jawab Pelangi malu-malu.
"Kau cinta padanya?" tanya si nenek lagi.
"Cinta guru."
"Cinta lahir batin?"
"Lahir dan batin."
"Ah, kalau begitu aku akan punya menantu.
Aku akan jodohkan kau dengannya!" kata nenek
Palasik. Sosok angker itu memandang muridnya
dengan mata berbinar gembira.
Sebaliknya mendengar ucapan si nenek wa-
jah Pelangi nampak berubah pucat. "Jangan membuat aku malu. Gento belum tentu
cinta kepada- ku. Mungkin hanya aku yang punya perasaan se-
perti itu kepadanya, sedang dia mungkin saja
hanya menganggapku sebagai sahabatnya. Lagipu-
la...!" "Lagi pula apa heh...?" tanya si nenek gusar.
"Lagi pula ada gadis lain yang lebih cantik dariku.
Gadis itu agaknya suka pada Gento..."
"Nah... nah, apa kataku. Bukankah sudah
kubilang, laki-laki itu suka mempermainkan pe-
rempuan. Siapa nama gadis itu?"
"Nyi Sekar Langit."
"Nyi Sekar Langit." mengulang si nenek.
"Apakah dia secantik dirimu?" Dengan suara ter-sendat sang dara menjawab. "Dia
bahkan lebih cantik dariku."
"Kurang ajar. Pendekar edan yang kau su-
kai kalau begitu memang patut dihajar. Tenang...
kau tak usah gusar. Aku punya cara agar pemuda
itu tak banyak bertingkah. Dia pasti menjadi jo-
dohmu." tegas si nenek.
"Guru... kau hendak berbuat apa" Lebih
baik kau lupakan saja masalah pribadiku."
"Gadis sontoloyo. Bicara plintat pelintut
macam kentut. Apa yang telah kuputuskan jangan
coba-coba kau bantah. Urusanmu itu harus dis-
elesaikan sampai tuntas, tapi nanti setelah dua
urusanku selesai!" tegas si nenek.
Mendengar ketegasan si nenek tentu Pelangi
tak berani membantah. Dia tahu gurunya orang
yang berwatak keras. Segala apa yang dimauinya
tak bisa ditawar-tawar. Baginya lebih baik berdiam diri, walau jauh di lubuk
hatinya dia tak setuju
dengan cara yang hendak ditempuh nenek itu.
"Dua urusan yang hendak kau selesaikan
itu, apakah ada hubungannya dengan masa lalu-
mu guru?" tanya sang dara sengaja mengalihkan pembicaraan. Si nenek tak segera
menjawab. Sebaliknya dia memandang ke satu jurusan. Lalu
tanpa terduga dia balikkan badan, dua tangan di-
hantamkan ke arah segerumbul semak belukar
sambil berseru keras. "Pengintai tengik sialan. Ikut menguping pembicaraan orang
adalah dosa yang
patut dapat ganjaran!"
Wuss! Wuus! Dua larik sinar hitam berkiblat dari tangan
si nenek disertai suara bergemuruh dahsyat dan
hawa panas luar biasa. Dua pukulan tangan ko-
song dengan cepat sekali menghantam semak be-
lukar itu hingga membuatnya hancur berkeping-
keping. Tapi beberapa saat sebelum pukulan yang
dilancarkan si nenek memporak porandakan se-
mak belukar itu dua sosok bayangan kuning ber-
kelebat keluar ke arah si nenek dan muridnya
sambil berseru memuji. "Nenek muka iblis. Sungguh hebat kesaktian yang kau
miliki. Sayang jika
kami tak membalasnya!" berkata begitu selagi dua sosok yang meluncur deras ke
arah mereka itu
masih mengambang di udara keduanya jentikkan


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jari tangannya secara bersilangan.
Wuus! Wuus! Sinar merah secara bersilangan melabrak
ke arah si nenek dan Pelangi. Si gadis tidak tinggal diam, dia kebutkan ujung
lengan bajunya hingga
menderulah segulung angin dingin yang sangat ke-
ras luar biasa.
Sebaliknya nenek angker Palasik gerakkan
bahunya sebelah kiri. Begitu bahu digerakkan dari
bagian dada si nenek yang berlubang membersit
sinar hitam berbau busuk berhawa dingin luar bi-
asa. Gelombang angin membadai yang keluar
dari ujung jubah Pelangi membuat sinar merah
yang keluar dari jari tangan sosok baju kuning
amblas. Bahkan memaksa pemilik serangan jatuh
terbanting. Sebaliknya orang yang mendapat se-
rangan balasan dari si nenek secara tak terduga
terdorong mundur ke arah mana dia tadi datang,
lalu jatuh terhempas disertai pekikan keras.
Nenek Palasik keluarkan suara tawa dingin
menyeramkan. Sebaliknya sang murid segera
mengambil sikap waspada. Murid dan guru kini
sama memandang ke depan. Dua orang yang me-
nyerang mereka kini nampak bangkit berdiri. Begi-
tu melihat wajah dua sosok laki-laki berbadan
tinggi itu terkejutlah sang dara. Betapakan tidak.
Kedua orang itu memiliki wajah bersisik seperti sisik ular, disetiap celah sisik
ditumbuhi bulu kasar.
Dua tangan mereka juga ditumbuhi sisik sampai
ke siku. Yang lebih aneh lagi adalah bagian jari
tangannya. Jari tangan hanya terdiri dari ibu jari dan jari telunjuk. Jari
kelingking, jari manis dan
jari tengah menyatu dengan jari telunjuk. Jauh
berbeda dengan manusia normal umumnya.
Pelangi sama sekali merasa belum pernah
bertemu dengan mereka. Lain halnya dengan ne-
nek Palasik. Orang tua itu nampak begitu tenang
sedangkan mulutnya mengurai senyum sinis.
9 "Nenek jelek." berkata pemuda aneh yang
tadi serangannya dapat dimentahkan oleh Pelangi.
"Kau mengatakan hendak menjodohkan muridmu
dengan Pendekar edan bernama Gento Guyon"
Mengapa bersusah payah mencari pemuda itu.
Muridmu cantik, jika kau berkenan kami berdua
siap menjadi jodohnya. Ha ha ha!"
Lalu yang satunya lagi menimpali. "Dia be-
nar. Kami berdua pasti bisa membahagiakan mu-
ridmu. Dengan menjadi istri kami muridmu tidak
akan kesepian apalagi kecewa."
"Dan lagi, jika kau inginkan cucu. Dalam
waktu sekejap kami dapat memberimu cucu bera-
papun yang kau minta! Ha ha ha."
Mendengar ucapan kedua pemuda berwajah
aneh ini wajah Pelangi nampak berubah merah
padam. Darahnya menggelegak dan dia siap me-
lancarkan serangan ganas ke arah mereka. "Ma-
nusia jahanam tak tahu diri. Berani bicara lancang kurobek mulutmu!"
"Kau mau merobek atau minta kami cium"
Ha ha ha." kata pemuda kedua sambil monyong-
kan mulutnya yang lancip.
Pelangi semakin bertambah gusar saja di-
buatnya. Sebaliknya nenek Palasik diam menga-
wasi. Dalam hati dia berkata. "Dua pemuda bersisik seperti ular beludak ini
pastilah yang dijuluki Dua Budak Setan. Murid Si Pengemis Nyawa. Dua
manusia tak tahu diuntung. Aku tahu guru mere-
ka bersahabat dengan Empu Barada Sukma. Apa-
kah kemunculan mereka ada hubungannya den-
gan dendam kesumat Empu Barada Sukma den-
gan gendut gila Gentong Ketawa?"
"Nenek jelek, kami melihat sejak tadi kau
diam saja. Apakah diammu sebagai suatu tanda
bahwa kau setuju dengan permohonan kami?"
tanya salah seorang dari pemuda itu.
Nenek Palasik tiba-tiba tertawa tergelak-
gelak. Melihat sikap gurunya yang masih belum
mengambil tindakan apa-apa Pelangi jadi tidak sa-
bar. "Guru, izinkan aku menggebuk mereka!" ka-ta sang dara lantang.
Si nenek hentikan tawanya. Dia meman-
dang dengan mata mendelik ke Arah kedua pemu-
da berwajah dipenuhi sisik. "Bocah-bocah keparat.
Bukankah kalian yang dijuluki Dua Budak Setan,
murid Si Pengemis Nyawa" Beraninya kau muncul
dihadapanku. Atau kedatangan kalian karena di-
utus oleh Empu Barada Sukma" Hik hik hik!"
Tak terbayangkan betapa kagetnya kedua
pemuda ini mendengar ucapan si nenek. Sama se-
kali mereka tak menyangka nenek yang lidahnya
selalu terjulur itu mengenal siapa mereka adanya.
Hanya rasa kaget itu cuma berlangsung sekejap,
sebentar kemudian pemuda yang berbadan paling
tinggi dari yang satunya lagi berkata. "Ha ha ha.
Penglihatanmu ternyata cukup tajam. Kami me-
mang Dua Budak Setan. Aku Budak Setan ke satu
biasa dipanggil Setan Satu dan ini adikku Budak
Setan Ke Dua, atau Setan Dua. Kau sudah men-
genal siapa kami, guru kami juga Empu Barada
Sukma. Terus terang kami memang sedang men-
cari Gentong Ketawa. Dimana beradanya orang tua
itu harap kau suka memberitahukannya pada ka-
mi!" kata Setan Satu.
"Anak-anak setan sialan. Tadinya kalian
minta dijodohkan dengan muridku. Sekarang bica-
ra yang lain lagi. Apakah kau mengira aku ini gen-
daknya Gentong Ketawa?" hardik si nenek dengan mata mendelik.
"Orang tua, muridmu kenal dengan Gento
Guyon, malah sudah mengaku jatuh cinta. Gento
konon adalah murid tunggal orang yang kami cari.
Jika dia dekat dengan muridnya masa tak tahu
dimana gurunya"!" kata Setan Dua pula.
Mendengar ucapan pemuda di depannya
tentu saja si nenek tak sanggup menutupi rasa he-
rannya. Dia berpaling pada Pelangi sambil ajukan
pertanyaan. "Benar Pendekar Sakti 71 murid kakek geblek Gentong Ketawa?"
Pelangi anggukkan kepala.
"Gento pernah berkata begitu. Aku sendiri
belum pernah bertemu. Malah Gento sampai saat
ini sedang mencari gurunya." jawab sang dara.
"Nah, kau dan adikmu sudah mendengar-
nya sendiri. Sekarang enyahlah dari hadapanku
sebelum aku berubah fikiran!" tegas nenek Palasik.
Setan Satu dan Setan Dua saling berpan-
dangan. Setan Dua kemudian anggukkan kepala.
"Nenek tua, kami tidak puas dengan penje-
lasan muridmu. Dia bisa saja berbohong. Mungkin
ingin melindungi Gentong Ketawa karena muridmu
itu mencintai murid orang yang kami cari." dengus Setan Satu.
Hilanglah sudah kesabaran si nenek. Den-
gan hati jengkel dan perasaan geram dia memben-
tak. "Anak setan ingusan. Perlu apa aku melindungi tua bangka gendut itu" Aku
punya firasat, kalau kau dan adikmu tetap nekad mencari gen-
dut sinting itu, umur kalian tak bakal lama. Pu-
langlah, katakan pada Empu Barada Sukma agar
dia menyelesaikan urusannya sendiri."
"Nenek tua, mungkin kau atau muridmu
memang tak tahu dimana beradanya orang yang
kucari. Lalu bagaimana jika kami minta muridmu
untuk menjadi teman seperjalanan. Dengan begitu
bila malam hari kami tidak akan kedinginan!" kata Setan Dua.
Setan Satu tertawa gelak-gelak mendengar
ucapan adiknya. Dia malah secara kurang ajar
menambahkan. "Sudah lama kami tak merasakan
kehangatan pelukan perempuan apalagi gadis se-
cantik muridmu itu!"
"Oh, jadi kalian menginginkannya. Boleh sa-
ja, tapi terimalah gebukanku dulu!" Selesai berkata si nenek membarenginya
dengan satu serangan ja-
rak jauh yang langsung menghantam bagian kaki
kedua pemuda itu. Mendapat serangan ganas Dua
Budak Setan melompat ke udara, lalu balas me-
nyerang dengan menghantamkan dua pukulan
yang tak kalah hebatnya. Melihat hal ini Pelangi tidak tinggal diam. Dari arah
samping dia hantam-
kan dua tangannya menyambuti pukulan yang
mengarah pada gurunya.
Buum! Satu ledakan berdentum mengguncang
tempat itu. Sang dara terjajar dengan wajah pucat
dan dada bergetar hebat. Dua tangan yang diper-
gunakan untuk menangkis pukulan lawan terasa
panas seperti terbakar. Selagi gadis ini siap melancarkan serangan balasan
gurunya berseru.
"Muridku... jangan kau campuri urusanku.
Dua budak setan ini rupanya memang kurang
mendapat pengajaran dari Si Pengemis Nyawa.
Duduklah yang tenang, cari tempat sebaik mung-
kin. Biar kubunuh dulu dua bocah setan terkutuk
bermulut keji ini!"
Walau merasa geram dan penasaran. Mutia-
ra Pelangi tentu saja tak berani membantah uca-
pan gurunya. Sehingga dia pun memilih menying-
kir ke tempat yang aman. Sementara itu Setan Sa-
tu dan adiknya kini menyerang si nenek dari dua
arah sekaligus. Masing-masing jari tangan mereka
menyambar ganas dan berusaha mencekal tangan
atau leher lawannya. Jari tangan yang menyatu
satu sama lain tersebut merupakan senjata anda-
lan yang sangat hebat dan perlu mendapat perha-
tian dari si nenek. Sudah belasan nyawa me-
layang akibat tersambar atau terjepit jari tangan
dempet itu. Tapi kini orang yang dihadapi oleh Dua Bu-
dak Setan adalah nenek Palasik, salah satu de-
dengkot dunia persilatan yang memiliki kesaktian
serta tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari me-
reka. Bahkan mungkin sama dengan guru mereka
sendiri. Disamping itu gerakan si nenek yang de-
mikian gesit membuat serangan hebat yang dilan-
carkan Setan Satu dan Setan Dua selalu menemui
tempat kosong. Pada gebrakan selanjutnya nenek
ini dibarengi dengan teriakan menggeledek tiba-
tiba melompat tinggi ke udara. Begitu tubuhnya
mengapung di udara kaki kanannya yang berben-
tuk aneh seperti ladam kuda namun memiliki ke-
tajaman seperti mata tombak bergerak berputar
menyapu bahu dan kepala lawannya.
Setan satu dengan cepat melompat ke
samping, bergulingan selamatkan diri. Sedangkan
Setan Dua walau sempat berusaha mengelak na-
mun gerakannya kalah cepat dengan gerakan kaki
si nenek. Tak ayal lagi ujung kaki yang setajam
mata tombak berbentuk tiga persegi namun pipih
ini mengoyak bahunya.
Raak! "Akrh...!"
Setan Dua menjerit, tubuhnya limbung, da-
rah mengucur dari luka di bahu. Luka menganga
yang dialami Setan Dua tidak membuat pemuda
itu surut. Kini dengan tangan kiri dia menyerang
nenek itu. Setan Satu juga tidak tinggal diam. Be-
gitu melihat adiknya terluka dia jadi sangat marah
sekali. Kembali dia menyerbu, dua tangan kemu-
dian diputar sebat hingga terciptalah segulung an-
gin berputar yang memulas apa saja yang dila-
luinya. Pepohonan besar yang berada di sekitarnya
tercabut. Seakan ada satu kekuatan yang sangat
besar pohon-pohon terangkat naik ke udara lalu
melayang, lenyap dan jatuh berkerosakan di ke-
jauhan disertai suara bergemuruh mengerikan.
Pelangi sendiri jika tidak cepat melompat
dan berlindung di balik batu besar pasti sudah
ikut digulung pusaran angin yang diciptakan oleh
Dua Budak Setan. Berturut-turut mendapat se-
rangan ganas berupa pusaran angin yang dicipta-
kan lawannya ini walau pakaian si nenek mulai
tercabik-cabik akibat menahan serangan itu, na-
mun tidak membuat nenek Palasik menjadi jerih.
Kini disaat Setan Satu dan Setan Dua ber-
gerak mendekat sambil lipat gandakan serangan-
nya. Si nenek merasa tiba-tiba dirinya terbetot ke dua arah. Sekujur tubuhnya
seperti tercabik. Dia
nampak terhuyung, sementara dari lubang hi-
dungnya mengucur cairan darah. Pelangi tentu sa-
ja menjadi cemas. Namun dia tak berani turun
membantu karena takut gurunya jadi tersinggung.
Dia hanya mampu memperhatikan segala
yang terjadi dengan penuh kecemasan.
Setan Satu merasa yakin lawan pasti tak
bakal sanggup meloloskan diri dari maut. Sedang-
kan Setan Dua yang saat itu banyak mengelua-
rkan darah akibat pengerahan tenaga sakti yang
terus menerus membuat wajahnya pucat dan mu-
lai merasa lemas.
"Dua bocah ingusan sialan! Jadi rusak pa-
kaianku karena kenakalan kalian. Jika tidak ku-
bunuh rasanya menyesal aku membuang tenaga!"
didahului teriakan seperti itu si nenek hantamkan


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki kirinya ke atas tanah sedang mulut nampak
berkomat-kamit seperti orang merapal sesuatu.
Satu keanehan pun kemudian terjadi. Tubuh si
nenek mendadak amblas lenyap masuk ke dalam.
Lalu kedua lawan merasakan mendadak tanah
yang dipijaknya bergerak-gerak. Dua lawan terce-
kat, saling berpandangan lalu terdengar suara te-
riakan Setan Satu.
"Awas... nenek itu menggunakan Ilmu Me-
nyusup Bumi!" Bersamaan dengan peringatan Se-
tan Satu. Tanah di tempat Setan Dua berpijak
mendadak dijebol dari bagian dalam. Kemudian
satu tangan mencekal kedua kaki Setan Dua dan
menariknya ke bawah.
"Kakang...!" jerit Setan Dua. Jeritan pemuda itu lenyap karena tubuhnya langsung
amblas lenyap ke dalam tanah. Dari dalam tanah terdengar
seperti suara tulang berpatahan tidak ubahnya di-
lilit ular piton. Tercengang dan bergetarlah sekujur tubuh Setan Satu melihat
kejadian aneh yang berlangsung singkat itu.
"Nenek jahanam, kau apakan adikku...!" teriak Setan Satu lantang. Teriakan gusar
pemuda itu dijawab dengan tawa dingin si nenek. Lalu ter-
dengar suara sayup-sayup si nenek dari dalam ta-
nah. "Kau inginkan adikmu bocah ingusan.
Adikmu sudah kujadikan ikan pepes. Jika kau su-
ka memakan daging saudaramu sendiri, silahkan
saja kau boleh memakannya. Ini terimalah...!" Suara si nenek lenyap. Kembali
terdengar suara ber-
gemuruh. Lalu tiga langkah di depan Setan Satu
tanah tiba-tiba terbelah rengkah. Satu sosok serba kuning berlumuran darah
terlempar dari dalamnya
dan jatuh persis satu langkah di depan kaki Setan
Satu. Pemuda itu tercengang, dua mata mendelik
besar sedangkan tengkuknya menjadi dingin. Di
depannya sang adik terkapar menjadi mayat. Mu-
lai dari kepala hingga ke bagian kaki hancur men-
gerikan seperti habis digulung ular besar. Dua ma-
ta amblas, biji mata hancur. Tak kuat Setan Satu
menyaksikan semua itu membuatnya keluarkan
suara raungan menggidikkan.
"Nenek jahanam! Kau bunuh adikku dengan
cara begini rupa" Tidak puas hatiku jika belum
mencincang tubuhmu. Keluarlah...!" teriak pemu-da itu kalap.
Kembali terdengar tawa si nenek yang tak
kalah dinginnya dengan tawa Setan Satu. Permu-
kaan tanah terbelah. Dari tanah yang terbelah me-
lesat keluar nenek Palasik.
"Rupanya kematian adikmu tidak juga
membuka mata dan membuatmu berfikir untuk
tinggalkan tempat ini?" hardik si nenek sambil ber-tolak pinggang.
"Jahanam! Kau boleh bangga dengan ilmu
anehmu. Jika aku pergunakan Pedang Tumbal Pe-
rawan apakah masih ada kemungkinan bagimu
untuk menyelamatkan diri. Kau yang kubunuh
duluan. Setelah aku berpuas diri dengan muridmu
baru dia akan menyusulmu!"
"Pedang Tumbal Perawan. Kudengar senjata
itu dibuat oleh Ki Ageng Pamanakan. Kertadilaga
yang memesannya untuk keperluan membalas
dendam pada Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan.
Bagaimana senjata itu kini berada di tangan anak
setan ini?" batin si nenek. Diam-diam dia melirik ke arah pedang dengan rangka
aneh yang tergantung di pinggang Setan Satu. Dikata aneh karena
rangka pedang tidak sebagaimana lazimnya ter-
buat dari kayu atau besi. Rangka pedang itu jelas
berasal dari potongan pangkal lengan manusia,
mungkin juga lengan seorang gadis. Sesuai dengan
nama pedang Tumbal Perawan!
"Pedang itu dibuat oleh Ki Ageng Pamana-
kan. Kakek sakti ahli pembuat senjata. Aku punya
dugaan pedang ditangan bocah setan itu bukan
senjata sembarangan. Aku merasakan seolah ada
kekuatan iblis yang menyelubungi pedang tersebut
disamping jelas mengandung racun." batin nenek Palasik.
"Nenek keparat, bersiap-siaplah kau untuk
menerima kematian!" habis berkata, Setan Satu segera menghunus pedangnya. Satu
keanehan terjadi dan dirasakan oleh pemuda ini. Begitu pedang
berada dalam genggaman tangannya, pedang tera-
sa bergerak dan sulit dikendalikan.
"Senjata iblis!" dengus si nenek ketika melihat pedang ditangan lawan nampak
menggeletar memancarkan sinar hitam redup menebar bau
amis. "Kau benar. Senjata iblis siap memenggal
kepalamu. Kau harus ingat nenek jahanam. Pe-
dang ini sangat beracun. Tanganku sendiri jika ti-
dak tebal dan memiliki kekebalan pasti bisa han-
gus melepuh seketika. Hiaa...!" satu teriakan menggelegar mengawali serangan
ganas yang dilancarkan Setan Satu. Yang diarahnya adalah ba-
gian perut dada, leher juga kepala nenek itu. Se-
dangkan yang dipergunakan Setan Satu adalah ju-
rus Dua Setan Membongkar Kubur.
Tentu saja serangan ini bukan main dah-
syatnya di samping sangat ganas luar biasa. Sosok
Setan Satu berkelebat cepat laksana bayangan se-
tan. Sedangkan pedang ditangannya dalam waktu
yang demikian singkat telah mengurung lawannya
hingga membuat nenek Palasik terpaksa mengan-
dalkan seluruh kecepatan gerak disamping ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai pun-
caknya. Walau begitu ujung pedang Tumbal Pera-
wan masih sempat menyambar ujung lengan baju
si nenek. Breet! Orang tua itu memekik kaget sambil me-
lompat mundur. Ketika dia melirik ke arah ujung
lengan bajunya, pucatlah wajah nenek Palasik.
Ujung lengan bajunya bukan hanya sekedar robek
terkena sambaran pedang tapi juga hangus men-
jadi bubuk. Untung kulit lengannya tidak sampai
tergores. Di depannya sana lawan menyeringai.
"Sekarang lengan bajumu, sekejap lagi nyawamu yang dibuat amblas oleh ketajaman
pedang ini!"
dengus si pemuda sambil sibuk mengendalikan
pedang ditangan yang terus menggeletar bergerak
liar dengan sendirinya.
"Pedangmu boleh hebat. Tapi kehebatan
senjata tanpa didukung oleh kemampuan pemilik-
nya cuma bualan kosong. Bocah ingusan... pedang
itu bukan milikmu. Dari siapa kau mencurinya"
Senjata hebat tapi hasil curian. Hik hik hik!"
"Persetan dengan segala ucapanmu!" teriak si pemuda. Kemudian dengan kecepatan
laksana kilat dia kembali menyerbu ke arah si nenek. Pe-
dang di tangan Setan satu menghantam secara
bersilangan. Wuus! Mendadak lawan yang mendapat serang-
kaian serangan hebat lenyap. Setan Satu sejenak
jadi kebingungan menyangka lawan kembali mene-
rapkan ilmu Menyusup Bumi.
Selagi lawan dibuat bingung dengan mata
liar mencari-cari. Dari atas pohon terdengar suara tawa mengikik.
"Aku disini, bocah ingusan. Kau tak punya
kemampuan mengejarku!" seru si nenek sambil
menyeringai. "Huh...! Ke neraka sekalipun kau akan ku-
kejar!" dengus Setan Satu. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap. Mendadak
terdengar suara cabang-cabang pohon seperti ditebas, disertai den-
gan runtuhnya cabang pohon dari bagian bawah
hingga ke pucuknya. Di bawah pohon terdengar
suara bergemuruh dari runtuhnya cabang yang
terbabat pedang. Pohon menjadi gundul. Lawan
kembali lenyap.
"Jahanam. Kau rupanya manusia penge-
cut!" maki Setan Satu.
"Hik hik hik. Muridku... lebih baik kita tinggalkan bocah edan penebang pohon
itu. Biarkan dia mengamuk seperti orang gila. Badanku terasa
gerah dan urusan pun belum selesai!" kata si nenek yang tahu-tahu sudah berada
di bawah pohon kembali. Di balik batu Pelangi merapal mantra-
mantra ilmu Menyusup Bumi. Hampir bersamaan
dengan gurunya dia jejakkan kaki kirinya ke atas
tanah. Duuk! Serta merta tubuh murid dan guru ini am-
blas lenyap ke dalam tanah. Setan Satu yang telah
kehilangan adiknya tentu tidak membiarkan la-
wannya lolos begitu saja. Laksana elang menyam-
bar dia berkelebat turun, pedang diayunkan ke
arah kepala si nenek yang hampir tenggelam le-
nyap ke dalam tanah.
Wuuuut! Serangannya luput. Si nenek dan muridnya
lenyap meninggalkan tawa berkepanjangan. Setan
Satu seperti kesurupan terus mengejar dan berte-
riak-teriak ke arah lenyapnya sang lawan. Sambil
berlari pedang di tangan dimasukkan lagi ke dalam
sarungnya. Sampai suaranya parau, dan pemuda
ini letih sendiri. Orang yang dikejar tetap tidak
muncul dari bawah tanah sebagaimana yang dia
harapkan. 10 Di bawah kerindangan pohon kakek berpa-
kaian serba putih berambut dan berjanggut putih
panjang hingga sampai sebatas dada itu mengerja-
kan tugasnya. Beberapa jenis tetumbuhan yang
berhasil dikumpulkan oleh pemuda berbadan rak-
sasa bernama Anggagana itu seluruhnya hampir
selesai diramunya.
Si kakek yang bukan lain adalah Tabib Se-
sat alias Tabib Setan ini kadang kala nampak ter-
tegun memikirkan Gento yang saat ini entah bera-
da dimana. Seperti telah diceritakan dalam episode Iblis Penebus Dosa. Tabib
Setan ketika sedang
menikmati daging binatang langka bersama Pen-
dekar Sakti Gento Guyon, selagi perutnya mulas
tak tertahankan muncul seorang pemuda yang
memiliki besar badan luar biasa dan tinggi melam-
paui pucuk pohon cemara. Pemuda raksasa yang
kemudian diketahui bernama Anggana itu lalu
menangkapnya dan membawa sang tabib ke pun-
cak bukit dimana kedua orang tua manusia raksa-
sa itu menderita sakit keras. Takut akan kesela-
matan jiwanya, Tabib Setan kemudian menyang-
gupi dapat menyembuhkan penyakit Senggana dan
Senggini, yaitu orang tua pemuda raksasa itu.
Kini setelah selesai membuat ramuan obat
yang dibutuhkan, tabib yang menguasai seribu sa-
tu macam ilmu pengobatan tersebut duduk men-
cangkung dengan punggung bersandar pada po-
hon di belakangnya.
"Bocah edan itu. Seandainya dia ada disini,
paling tidak aku tidak merasa begitu tegang. Aku
khawatir keluarga raksasa itu ingkar janji. Jika
ternyata nanti setelah kusembuhkan, aku tidak
mereka bebaskan. Tamatlah sudah riwayatku.
Sayang aku tak dapat membuat penawar Racun
Perubah Bentuk yang mendekam dalam tubuh
mereka selama puluhan tahun. Seandainya obat
penawar itu bisa kubuat, tentu tubuh mereka yang
besar itu dapat dikembalikan seperti sediakala."
batin sang tabib.
Kakek itu begitu tenggelam dalam fikiran-
nya sendiri. Sehingga dia tidak menyadari gerak
geriknya sejak tadi tak luput dari perhatian sepa-
sang mata yang terus mengintai dari balik tebing
kiri puncak bukit.
Pemilik sepasang mata itu memandangnya
penuh rasa kagum. Matanya yang berbinar dan
menyimpan kesepian hidup nampak berkedap-
kedip. Tak lama setelah berusaha menenangkan
debaran jantung dan gemuruh di dadanya sosok
yang ternyata adalah perempuan cantik berusia
empat puluhan bertubuh tinggi seperti raksasa
namun ramping melangkah menghampiri sang ta-
bib. Jarak lamping bukit dengan pohon besar
dimana si kakek berada sebenarnya mencapai be-
lasan tombak. Tapi hanya dengan beberapa kali
langkahkan kaki perempuan raksasa itu telah ber-
diri tegak di depan Tabib Setan.
Si kakek terkejut melihat kehadiran perem-
puan itu. Beberapa saat lamanya dia tak mampu
berkata apa-apa. Perempuan itu tersenyum ramah,
lalu julurkan lidah basahi bibirnya yang putih pu-
cat. "Kakek tabib. Apakah obat untukku dan
untuk suamiku telah selesai engkau buat?" tanya perempuan setengah baya namun
tetap cantik itu
ramah. "Ah... sudah. Senggini, kurasa dengan meminum obat buatanku tiga kali
dalam sehari pe-
nyakitmu akan sembuh." ujar sang tabib.
Sepasang mata perempuan itu membulat
besar. Secercah senyum menghias di wajahnya.
Dia kemudian bungkukkan tubuhnya yang seting-
gi pohon. Tabib Setan menatap Senggini. Mata si
kakek yang nakal sempat melihat celah belahan
dada perempuan yang tersembul dari balik pa-
kaiannya. Putih mulus dan tabib iseng ini dalam


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati berkata. "Jika aku sampai terjatuh di sana.
Sepuluh tahun pun aku betah mendekam di tem-
pat itu!" "Kau baik sekali tabib. Seandainya Racun
Perubah bentuk itu dapat kau buatkan obat pena-
warnya, aku pasti bersedia mengabdi padamu se-
panjang hidupku!" kata Senggini. Suaranya demikian pelan. Sang tabib merasakan
hembusan na- fas hangat si raksasa itu menyapu lembut daun te-
linga, membuat si kakek menggeliat tapi juga ka-
get. "Apa maksudmu, Senggini?" tanya sang tabib. "Aku ingin kau menjadi
suamiku?" bisik
Senggini. Tabib Setan tidak akan sekaget itu bila ti-
dak mengingat Senggini belum bersuami. Lagipula
dia sudah mempunyai dua anak. "Perempuan ini
sudah gila agaknya. Mentang-mentang aku seo-
rang tabib, dia beranggapan aku ini kerjanya me-
ramu obat kuat. Sekali aku kena dijepitnya bisa
mejret!" batin kakek itu sambil menyengir dan garuk kepalanya sendiri.
"Kau bergurau, kau bermaksud menjebak-
ku. Ketahuilah, walau usiaku tidak terbilang muda
lagi namun aku masih punya kewarasan. Uca-
panmu itu jika sampai didengar oleh suamimu,
bukan kau saja yang mendapat kesulitan, tapi aku
juga bisa mendapat celaka." kata si kakek.
Raksasa Senggini gelengkan kepala.
"Kau tahu mengapa aku mengungkapkan
perasaanku padamu?" tanya perempuan itu sambil kedipkan matanya.
"Aku tak mau tahu dan aku tidak ingin
mendengarnya!" tegas si tabib dengan mata jelala-tan memandang kian kemari
seperti maling yang
takut ketahuan.
"Dengar kakek tabib. Aku mengagumimu
begitu melihat kehadiranmu pertama kali. Kurasa
inilah yang dikatakan jatuh cinta pada pandangan
pertama." "Aku tidak perduli apakah kau jatuh cinta
pada pandangan yang ke sepuluh atau yang kese-
ribu kali. Apa yang kau ucapkan jika sampai dike-
tahui suami atau anakmu bisa ikut menyengsara-
kan diriku." ucap sang tabib makin bertambah
cemas. Senggini gelengkan kepala.
Masih dengan tersenyum dan tubuh mem-
bungkuk perempuan itu berkata. "Kau dengar tabib. Suamiku sejak dua puluh tahun
yang lalu ti- dak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai
mana layaknya. Sebagai istri aku sangat tersiksa
sekali. Sebagai suami dia mengakui kelemahan-
nya, karena itu jika aku menikah dengan laki-laki
lain asal aku bahagia dia pasti merestuinya."
"Walah, bicaramu ngaco Senggini. Suami
mana yang merelakan istrinya kawin dengan laki-
laki lain" Bisa jadi kau dibunuhnya!" menyahuti si kakek sambil cibirkan
mulutnya. "Tabib...!"
Belum sempat Senggini melanjutkan uca-
pannya mendadak terdengar suara langkah kaki
menuju ke arah mereka. Cepat sekali perempuan
ini tegak berdiri. Melihat siapa yang datang dia
berkata dengan suara mengguntur, hingga mem-
buat si kakek kalang kabut dan telinga menjadi
pengang. "Tabib... sejak tadi kerjamu hanya duduk
saja. Mana obat yang kami minta"!"
"Sialan perempuan ini, pandai dia bersilat
lidah!" rutuk si kakek. Cepat orang tua itu palingkan kepala memandang orang
yang datang. Semu-
la Tabib Setan menduga yang datang adalah Ang-
gagana. Dugaannya ternyata meleset. Yang datang
bukan Anggagana putera perempuan itu, melain-
kan seorang gadis berpakaian kuning, berkulit pu-
tih mulus berambut panjang sepinggang. Sama
seperti Senggini gadis ini juga berbadan tinggi semampai seperti raksasa.
"Ibu, apa yang kau lakukan disini" Kakek
cebol ini siapa?" tanya si gadis sambil memandangi Tabib Setan.
"Sialan. Aku dikatai kakek cebol." maki si kakek dalam hati. "Kalau saja Gento
ada disini. Gadis ini pasti cocok buatnya."
"Dia seorang tabib. Kakangmu Senggana
baru menangkapnya. Seharusnya kakek ini dijadi-
kan bubur, tapi karena dia punya kepandaian me-
ramu obat ayahmu memintanya untuk membua-
tkan obat untuk kami!" menerangkan Senggini.
Dia lalu berkata lagi ditujukan pada Tabib Setan.
"Mana obatnya!"
"Bawalah obat ini. Kau dan suamimu boleh
meminumnya. Setelah itu segala penyakit yang ka-
lian derita pasti sembuh." ujar si kakek sambil angsurkan sepuluh butir obat
sebesar kepalan
tangan namun bagi raksasa itu hanya sebesar jari
kelingking. Senggini menerima obat pemberian sang ta-
bib. Sebelum pergi dia berkata. "Anakku, kau jaga kakek ini. Jangan biarkan dia
pergi kemana pun.
Jika dia meloloskan diri kau bunuh saja!"
"Baik bu," kata si gadis.
"Aku sudah buatkan obat yang kalian min-
ta, mengapa aku tak dibebaskan?" tanya si kakek.
"Kehebatan obatmu harus dibuktikan dulu.
Jika ternyata kami bisa sembuh perlu apa kami
menahanmu?"
"Huh, mulutmu berkata begitu. Tapi aku
tahu hatimu berkata lain, "kata sang tabib nampak bersungut-sungut.
Seperginya perempuan cantik berusia se-
tengah baya itu, gadis yang disuruh ibunya men
jaga sang tabib segera duduk. Sebentar dia pan-
dangi Tabib Setan. Lalu dia tersenyum. "Dengan jari tangannya yang besar
dibelainya kepala si kakek. Tabib Setan tentu saja merasa senang. Laki-
laki mana yang tidak senang dibelai apalagi dipe-
luk oleh gadis cantik. Tapi kegembiraan Tabib Se-
tan kemudian berubah jadi jerit tertahan ketika telapak tangan gadis raksasa itu
menekan ubun- ubun kepalanya. Jika Tabib Setan tidak cepat sa-
lurkan tenaga dalam ke sekujur tubuhnya dapat
dipastikan kepala sampai ke punggungnya remuk.
Walau pun si kakek telah salurkan tenaga
dalam tetap saja pantatnya amblas dua jengkal ke
dalam tanah. "Gadis cantik namun edan, mengapa kau
perlakukan aku seperti ini. Apa kau ingin aku ma-
ti?" tanya si kakek geram.
Gadis raksasa itu turunkan tangannya yang
menekan kepala si kakek. Lalu dia tertawa terge-
lak-gelak. "Apa yang bisa kau lakukan padaku, kakek cebol. Kau mau melawanku
dengan ilmu pukulan sakti, senjata pedang, tusukan tombak
atau apa" Kau tak bakal sanggup membunuhku,
tabib cebol. Hi hi hi!" kata gadis itu.
"Tak kusangka ternyata kau gadis berhati
jahat." kata Tabib Setan sinis.
Gadis itu gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku
bukan gadis jahat, kakek cebol. Aku adalah seo-
rang gadis baik. Mau dengar... ada beberapa per-
tanyaan yang perlu kuajukan. Jika kau bisa men-
jawabnya dengan jujur, aku pasti bersedia mele-
paskanmu!" kata si gadis. Dia lalu cengkeramkan tangan kirinya ke pinggang Tabib
Setan. Begitu kena dicekal, sang tabib diangkat, lalu didekatkan ke wajahnya. Diperlakukan
seperti itu si tabib pu-ra-pura meronta, tapi mata nakalnya kembali me-
lirik ke bawah. "Ah, dada itu lebih mulus lebih bagus!" kata si kakek dalam
hati. "Apa pertanyaanmu?" dengus si kakek pu-
ra-pura tak senang.
Si gadis raksasa diam sebentar. Setelah
mencoba mengingat sesuatu dia kemudian berka-
ta. "Namaku Senggini. Tadi pagi ketika aku
mandi, ada seorang pemuda gondrong mengintai-
ku. Bukan hanya dia, tapi ada laki-laki cebol lainnya yang tak perlu kujelaskan
siapa dia adanya.
Pemuda itu berambut gondrong. Badannya seting-
gi dirimu."
"Gondrong... siapa lagi pemuda gondrong
kalau bukan bocah edan itu?" batin si kakek.
"Lalu apa gunanya kau tanyakan pemuda
itu padaku?" dengus si kakek.
"Mungkin kau mengenalnya, mungkin dia
temanmu." "Hah... bagaimana ciri-ciri pemuda itu?"
tanya si kakek.
"Rambut gondrong sebahu, bertelanjang
dada dan dilehernya ada kalung kecil bercelana bi-
ru!" menerangkan Anggagini.
"Aku tidak punya teman tukang mengintip.
Siapa pemuda sialan itu mana aku tahu. Lalu jika
dia telah berbuat kurang ajar mengintip orang
mandi mengapa kau tak menangkapnya?"
"Pemuda gondrong cebol itu cepat sekali
menghilang. Lagipula dia bukan pemuda kurang
ajar, dia hanya pemuda nakal."
"Gadis aneh, sudah jelas si gondrong bersa-
lah dia cuma mengatakan hanya pemuda nakal.
Dasar sial, coba kalau aku ikut mengintip. Paling
dia juga mengatakan kakek cebol tua yang nakal.
Wah, rugi aku. Gadis ini pasti memiliki bentuk ba-
dan yang sangat luar biasa bagusnya." batin si kakek lalu menyengir sendiri.
"Kakek cebol apa yang kau tertawakan" Kau
pasti mengenal pemuda gondrong itu. Katakan! Ji-
ka tak mau mengaku kuremukkan pinggangmu!"
berkata begitu Anggagini cengkeramkan lima jari
tangannya. Si kakek menjerit kesakitan. Tubuhnya
melintir, lidah terjulur, nafas megap-megap dan
pemandangan berkunang-kunang.
"Mau mengaku tidak?"
"Ba... baiklah... gondrong sialan itu memang
temanku. Tapi mana aku tahu dia mengintipmu."
"Namanya. Coba kau sebutkan namanya?"
ujar Anggagini.
"Namanya Pendekar Sakti 71 Gento Guyon."
sahut Tabib Setan.
"Seorang pendekar tapi nakal. Tabib apa
yang kau dan temanmu cari di tempat ini?" tanya gadis itu lagi mengalihkan
pembicaraan. "Sahabatku itu mencari gurunya. Sedang-
kan aku sendiri hanya menemani." sahut si kakek.
"Hem, kalau aku melepaskanmu, apakah
kau mau mempertemukan aku dengan sahabatmu
itu?" "Untuk apa?"
"Mungkin menghukumnya. Tapi kesalahan-
nya bisa kumaafkan asalkan dia mau membantu-
ku meminta obat Penawar Racun Perubah Bentuk
pada dedemit Rimba Persilatan bergelar Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan."
"Kau ingin agar tubuhmu kembali pada
ukuran yang seharusnya?" tanya si kakek.
"Kurasa betul. Aku ingin seperti manusia
biasa." "Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Orang itu yang telah mencelakai
kedua orang tuamu dengan pukulan beracun Perubah Bentuk. Hingga ka-
lian sekeluarga berubah menjadi manusia raksa-
sa." "Kau benar."
"Aku tidak berani berjanji. Pendekar Sakti
71 mempunyai watak sulit diduga. Terkadang ti-
dak diminta dia mau saja membantu orang. Tapi
jika menginginkan pertolongannya mencari bocah
edan itu sulit."
"Aku tak tahu. Sekarang kita berangkat."
ujar Anggagini, seraya lalu bangkit berdiri. Masih sambil membawa Tabib Setan
dalam genggaman-nya Anggagini melangkah tinggalkan puncak bu-
kit. Ketika mereka mulai menuruni bukit itu, Tabib Setan ajukan pertanyaan.
"Bagaimana jika kakak dan ibumu marah?"
"Kau berada dalam tanggunganku karena
aku yang membawamu. Aku pula yang akan
menghadapi mereka!" jawab si gadis tegas.
Tabib Setan terdiam. Dia coba memejamkan
matanya. Sedangkan Anggagini terus melangkah
dengan gerakan ringan tanpa suara.
11 Pendekar Sakti 71 Gento Guyon yang berja-
lan di belakang Sateaki mendadak hentikan lang-
kahnya begitu mereka melewati sebuah lapangan
kecil yang terdapat di tengah-tengah pulau tera-
pung itu. Dia merasa heran, sebenarnya pula di
tengah rawa dimana mereka berada saat itu tidak
begitu luas. Tapi setelah sekian lama mereka men-
cari tempat kediaman Srimbi di pulau itu tidak ju-
ga mereka temukan.
"Aki, mungkin kita telah datang ke tempat
yang salah." kata Gento tiba-tiba.
Sateaki berpaling ke belakang. "Eeh, apa
maksudmu Pendekar 71?" tanya kakek berpakaian putih itu sambil berpaling ke
belakang. "Apakah menurutmu tidak aneh. Pulau ini
tidak begitu besar, rasanya sejak tadi kita berputar disini-sini saja, seolah
ada satu kekuatan yang tidak terlihat sengaja menyesatkan kita." Si kakek
terdiam. Beberapa saat lamanya dia mencoba
mengingat-ingat. Kalau tak salah tempat kediaman
kakak iparnya terletak di tengah pulau tak jauh
dari lapangan kecil. Apa mungkin kakak iparnya
itu sekarang sudah tidak lagi tinggal di pulau itu"
Sateaki gelengkan kepala.


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingat sekarang. Kakakku rumahnya
tak jauh dari lapangan ini. Sebaiknya kita melinta-si lapangan. Kurasa di balik
kerapatan pohon di
seberang lapangan itulah dia berdiam. Hayo tung-
gu apa lagi"!" berkata si kakek. Dia kemudian melanjutkan langkahnya. Dengan
diikuti oleh sang
pendekar keduanya menyeberangi lapangan. Me-
reka terus berjalan melewati kerapatan pepoho-
nan. Ternyata apa yang dikatakan si kakek me-
mang benar adanya. Di balik pepohonan besar ter-
dapat sebuah gubuk panggung beratap dedaunan.
"Apa kataku, tempat yang kita tuju akhir-
nya kita temukan juga. Tapi mengapa sunyi...?"
"Mungkin bekas kakak iparmu sudah me-
ninggal, Ki!" sahut Gento dengan suara berbisik.
"Tidak mungkin. Kakakku masih sangat
muda." ujar si kakek.
"Kalau begitu tunggu apa lagi. Sebaiknya ki-
ta datangi pondok." usul si pemuda. Sateaki anggukkan kepala. Tapi baru saja dia
hendak melang- kah, gerakan kakinya jadi tertahan karena menda-
dak terdengar suara ratapan seseorang dari dalam
pondok itu. "Akibat terlalu lama menanggung beban de-
rita, jiwa rapuh tidak berguna. Tangis sedihku
membuat dunia ini menjadi gelap. Buah hati yang
kukasihi lenyap entah kemana. Dua puluh tahun
terpisah dengan sanak kerabat membuat hati ini
menjadi buta dan mati. Jahanam... siapa yang te-
lah menculik anakku?"
Suara itu kemudian lenyap. Suasana kem-
bali tenggelam dalam kesunyian. Gento dan Satea-
ki yang mendekam di balik pohon saling berpan-
dangan. Sang pendekar menyeringai. "Agaknya kita
datang pada waktu yang tidak tepat, Ki. Mungkin
kakak iparmu itu sekarang telah terganggu inga-
tannya!" celetuknya.
"Apa maksudmu?" tanya si kakek tak men-
gerti. "Ah, kau ini berlagak tolol, padahal memang bego. Kau tidak dengar
ucapannya tadi. Dia begitu
sedih kehilangan anaknya."
"Kau benar. Kurasa semua ini salah kakang
Angin Pesut. Jika dulu dia tak begitu cepat men-
gambil keputusan dengan meninggalkannya. Pal-
ing tidak kakak Srimbi tidak merasa terpukul se-
perti sekarang!" ujar si kakek menyesalkan.
"Sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, bu-
burnya sudah basi. Buat apa kau sesali segala
yang telah terjadi. Lebih baik kita datang kepa-
danya. Kalau perlu kau hibur dia setelah itu baru
kau minta obat penawar Racun Perubah Bentuk."
usul sang pendekar.
Si kakek manggut-manggut. Tapi baru saja
dia bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar bentakan
keras menggelegar. "Kepada dua tamu yang da-
tang. Saat ini aku sedang larut dalam duka yang
teramat sangat, apakah kalian datang mengantar-
kan anakku" Hik hik hik!"
"Celaka, apa kataku. Kakak iparmu itu ter-
nyata sudah terganggu kewarasannya?" desis Gen-
to. Sateaki tercekat. Dia hendak mengatakan
sesuatu, tapi tak sepatah kata pun yang keluar da-
ri mulutnya. "Dua tamu kurang ajar. Kalian tak mau
menjawab pertanyaanku. Apa kalian ingin aku
memanggil para sahabat buaya?" sekali lagi terdengar bentakan dari dalam pondok
panggung. Belum lagi suara bentakan lenyap satu sosok tu-
buh berkelebat keluar dari pintu pondok yang ter-
buka. Dilain kejap di depan Gento dan Sateaki
berdiri tegak satu sosok berpakaian biru lusuh
berbadan kurus luar biasa macam jerangkong.
Rambutnya yang hitam lebat awut-awutan, pipi
cekung dan matanya merah laksana darah.
Kalau Gento sempat terkejut melihat pe-
nampilan perempuan ini. Sebaliknya Sateaki ma-
lah tercengang. Dia sama sekali tak menyangka,
bekas kakak iparnya yang dulu cantik mempesona
kini telah berubah menyedihkan begitu rupa. Ke-
cantikan sang kakak ipar yang dulu begitu mem-
pesona kini lenyap sama sekali.
"Ah, kasihan sekali dia. Mungkin kedukaan
kehilangan orang yang dia kasihi begitu hebat
mendera batinnya hingga membuat bekas kakak
ipar jadi begini menderita." batin si kakek.
Sementara itu di depan si nenek baju biru
memandang ke arah Gento dan Sateaki silih ber-
ganti. Sang pendekar menyambut kehadiran si ne-
nek dengan senyum ramah. Tapi nenek itu sama
sekali tidak menanggapi.
"Mana anakku" Kalian datang tidak mem-
bawa anakku, apakah ini berarti kalian mengan-
tarkan daging segar dan nyawa kemari?"
Gento jadi celingukan. Pada Sateaki dia
berbisik. "Ki apakah kau merasa membawa daging
segar?" "Pendekar Sakti 71. Kau jangan bercanda, yang dimaksudkan daging segar
oleh nenek ini adalah kau juga aku." sahut si kakek lalu telan lu-dah membasahi tenggorokannya
yang mendadak terasa kering. "Celaka, dia mau mengumpankan kita pada
buaya-buaya itu?"
"Kurang lebihnya memang begitu!"
"Apakah kalian tidak mendengar perta-
nyaanku?" hardik si nenek gusar.
"Kakak... maafkan kami. Mengenai putrimu
kami belum menemukannya. Aku dan sobatku ini
sudah mencari kemana-mana, tapi seperti yang
kau lihat dia raib entah kemana." kata Sateaki berbohong.
"Kau siapa?" tanya si nenek sinis.
"Ki, nenek ini ingatannya ternyata memang
tidak beres. Jangan sampai salah kau bicara." kata Gento mengisiki.
"Kakak ipar. Aku Sateaki, adik Angin Pesut!"
jawab si kakek. Mendengar jawaban si kakek be-
rubahlah air muka nenek itu. Cukup lama si ne-
nek terdiam, sementara sepasang matanya yang
merah membara memandang tajam pada Sateaki.
"Hik hik hik. Jadi kau adik iparku, jadi kau
adik Angin Pesut. Manusia paling terkutuk yang
pernah kukenal. Apakah jahanam itu sekarang
sudah mampus?" tanya si nenek. Si kakek ter-
diam. "Kau takut menjawab pertanyaanku. Apa-
kah ini berarti Angin Pesut masih hidup?" hardik si nenek.
"Nek, Angin Pesut sudah mampus berku-
bur." jawab Gento. Dalam hati dia berkata. "Nenek sinting ini jika tak dikadali
dia bisa membuat celaka. Apalagi kulihat dia begini benci pada bekas su-aminya."
Si nenek memutar kepala dan alihkan per-
hatiannya pada Gento. "Pemuda gondrong. Kau
siapa?" hardik si nenek.
Sebelumnya Gento pernah mendengar dari
Sateaki, bahwa Srimbi mempunyai seorang adik
laki-laki yang hilang raib akibat musibah di Ben-
gawan Solo. Karena itu enak saja dia menjawab.
"Kakak... apakah kau sudah lupa kalau aku ini adikmu. Aku Belalang kecil.
Bukankah begitu dulu
kau memanggiiku!" kata Gento. Dalam hati dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Belalang kecil... Belalang Kecil...!" kata si nenek berulang-ulang. Sepasang
mata yang memancarkan kemarahan itu perlahan berangsur re-
dup. "Bocah gendeng itu pandai betul dia bergurau." batin si kakek.
"Bukankah adikku telah tewas tenggelam di
Bengawan Solo?" tanya si nenek bingung.
"Kakak... aku masih hidup. Berkat belas
kasih dan Kuasa Gusti Allah aku diberi keselama-
tan." "Mengapa kau menghilang begitu lama?"
tanya perempuan itu lagi ragu. Dan sebelum kera-
guan berubah menjadi rasa curiga, buru-buru
Gento menjawab. "Aku menghilang sekian lama
karena aku merasa malu denganmu. Bukankah
dulu kau pernah mengejekku, aku Belalang Kecil
yang tidak berguna. Apa yang kau katakan itu
membuat aku merasa rendah diri, kemudian aku
berguru pada seseorang menimba ilmu kesaktian,
agar aku tidak malu lagi bila bertemu denganmu!"
"Ah, apakah aku pernah berkata begitu pa-
damu" Rasa-rasanya...!"
"Kakak... kau pasti lupa. Kejadian itu sudah
belasan tahun telah berlalu. Setelah kita berpisah tentu fikiranmu selalu kusut
karena dibebani berbagai beban yang tidak pernah kau duga sebelum-
nya." potong Gento cepat.
Si nenek terdiam, keningnya berkerut da-
lam. Tiba-tiba secara tak terduga dia memeluk
Gento. "Ah, maafkan aku Belalang Kecil. Kau benar, belasan tahun ini fikiranku
begitu kacau. Aku sedih kehilangan anakku. Celakanya Angin Pesut
malah menuduhku yang bukan-bukan. Maafkan
aku, adikku... huk huk huk...!" kata si nenek sambil memeluk sang Pendekar.
Gento kedipkan matanya ke arah Sateaki.
"Sialan, entah berapa tahun nenek ini tidak
mandi. Badannya bau amat!" umpatnya dalam ha-
ti. 12 Sateaki menyeringai. "Di peluk gadis cantik
mungkin aku bisa ikut ngiler. Dipeluk nenek bau
begitu biar sehari penuh aku tak akan tergoda."
celetuk si kakek perlahan.
Tak lama kemudian si nenek lepaskan pe-
lukannya. Beberapa saat lamanya dia pandangi
Gento dengan mata berkaca-kaca. Melihat air mata
bergulir di pipi si nenek, Gento menyekanya den-
gan punggung tangan.
"Kakak, tak usah menangis lagi. Bukankah
kini kita sudah dipertemukan Tuhan. Seharusnya
kau merasa gembira, bukan menangis seperti se-
karang." "Ah, kau baik sekali Belalang kecil. Menyes-
al sekali aku dulu selalu menghinamu." kata si nenek. "Yang telah berlalu
biarlah berlalu, kakak."
ujar Gento lembut. Dalam hati dia berkata. "Siapa punya kakak setua dia. Kalau
bukan karena membantu kakek geblek itu, tidak nantinya aku mau
ikutan jadi orang tidak waras!" gerutunya.
"Kau benar, Belalang Kecil. Mungkin kau
mau berbagi cerita denganku. Bagaimana kau bisa
menjadi seperti sekarang ini."
"Nanti saja, kakak. Aku... aku sengaja da-
tang kemari untuk satu keperluan."
"Bukankah untuk melihatku" Tapi...eh, ba-
gaimana kau bisa menemukan tempat ini?" tanya nenek Srimbi heran.
"Aku telah memaksa kakek itu untuk me-
nunjukkan tempat kediamanmu." jawab Gento
berbohong. Seolah diingatkan, tiba-tiba saja si nenek
balikkan badan. Mendadak dia melompat ke hada-
pan Sateaki. Sekali tangannya berkelebat, tanpa
sempat mengelak krah baju kakek itu kena dicekal
lalu dicengkeram erat.
"Kau adik Angin Pesut. Manusia yang telah
membuatku melahirkan anak tapi kemudian
membuahkan kesengsaraan berkepanjangan bagi-
ku. Tak ada jalan selamat. Kau akan kubunuh lalu
kuumpankan pada para sahabatku penghuni ra-
wa!" geram perempuan itu dengan suara dingin
menusuk. Sateaki jadi ketakutan. Terbata-bata dia be-
rucap. "Kakak ipar...!"
"Aku bukan kakak iparmu lagi." dengus
Srimbi. "Dengar kakak. Yang bersalah adalah kakang seperguruanku. Mengapa kau
hendak meng- hukumku?" "Setiap orang yang ada hubungannya den-
gan Angin Pesut harus mati di tanganku!" geram si nenek. Lalu dia cengkeramkan
lima kuku jari tangannya yang beracun itu, hingga membuat Sateaki
megap-megap sulit bernafas.
"Kalau aku tak mencegah, kakek konyol itu
bisa dibuat celaka oleh si nenek sinting ini." batin Gento. Dia kemudian
melangkah menghampiri
Srimbi. Dengan lembut dia memegang lengan si
nenek. "Kakak Srimbi. Jangan kau bunuh dulu
dia. Jika aku tak mengenal dia mana mungkin aku
bisa bertemu denganmu. Dia yang menunjukkan
tempat ini padaku."
"Kau membelanya?"
"Sama sekali tidak membela. Mau kau bu-
nuh dia sama sekali aku tak melarang." jawab
Gento. "Pendekar Sakti 71 sialan. Dia bukan mem-belaku, tapi malah mengatakan
tidak melarang!"
maki Sateaki dalam hati.
"Jadi apa maksudmu?" tanya si nenek.
"Beri dia kesempatan untuk menghirup
udara segar. Membunuhnya adalah persoalan ke-
cil. Ketahuilah... aku begitu senang bertemu den-
gan dirimu. Kebahagiaan bertemu denganmu me-
lebihi apapun di dunia ini."
Mendengar ucapan Gento, si nenek le-
paskan cengkeramannya pada krah baju Sateaki.
Kepada kakek itu dia lalu berkata. "Ingat... jika aku melepaskanmu bukan berarti
aku tidak membunuhmu. Aku bukan orang bodoh. Aku tak per-
caya Angin Pesut sudah mati. Jika benar telah ma-
ti aku harus melihat kuburnya!"


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah rasakan...!" batin si kakek sambil melirik ke arah Gento.
Yang dilirik mengusap telinganya pulang
balik. Srimbi kemudian menghadap ke arah Pen-
dekar Sakti 71 Gento Guyon. Dengan suara lembut
dia berkata. "Aku pun turut merasakan hal yang sama. Cuma sekarang ini masih ada
satu ganjalan di hatiku."
"Apakah itu kakak" Jika aku dapat mem-
bantumu, tentu dengan senang hati akan kulaku-
kan." "Belalang Kecil. Aku ingin bertemu dengan anakku yang diculik orang.
Rasanya aku tak bisa
menutup mata dengan tenang sebelum bertemu
dengan putriku itu." ujar si nenek sedih.
"Kakak, anakmu berarti keponakanku juga.
Jika kau merasa kehilangan aku pun merasakan
hal yang sama. Bagaimana jika kita cari anakmu
itu bersama-sama?"
Sepasang mata si nenek yang cekung berbi-
nar-binar. "Sungguhkah itu?"
"Aku tidak berbohong." sahut Gento.
"Padahal sejak tadi kau sudah mengadali
nenek itu mentah-mentah." celetuk si kakek dalam hati. "Tapi... sekarang ini
masih ada satu ganjalan di hatiku."
"Ganjalan... ganjalan apakah Belalang Ke-
cil?" tanya Srimbi.
"Sebenarnya aku ingin menolong seorang
sahabat. Sahabatku itu kini sedang menanggung
penderitaan luar biasa."
"Apa maksudmu?" tanya si nenek dengan
kening berkerut. "Katakan saja. Jika aku mampu membantu pasti kubantu."
Legalah perasaan Sateaki mendengar uca-
pan Srimbi. "Begini, sahabatku itu terkena Racun Peru-
bah Bentuk. Akibat racun tersebut kini tubuhnya
menjadi besar dan tinggi seperti raksasa. Bukan-
kah kau memiliki obat penawar racun itu. Aku in-
gin minta obat penawar itu untuk kuberikan pada
sahabatku"
Paras nenek macam jerangkong seketika be-
rubah. Tatapan matanya mendadak menjadi ben-
gis. "Semua ini pasti gara-gara ulah Angin Pesut, kakang seperguruan kakek muka
kambing itu! Kukata tadi apa, lebih baik kubunuh dia seka-
rang!" dengus si nenek. Dia kemudian angkat tangannya, siap dihantamkan ke arah
si kakek. Orang
tua itu tercekat, tapi siap menghindari serangan
maut si nenek. "Kakak... jangan. Biarkan dia hidup."
"Kau selalu menghalangi aku untuk mem-
bunuhnya, mengapa?" kata si nenek kesal.
"Aku berhutang budi padanya. Karena dia
telah mempertemukan aku denganmu. Jika bukan
karena dia seumur hidup kita tak akan pernah
berjumpa!"
Meskipun jengkel, si nenek perlahan turun-
kan tangannya. Dia menarik nafas pendek. Kemu-
dian mulutnya berucap. "Belalang Kecil. Sekali lagi kuturuti keinginanmu. Aku
juga akan membantu
menyembuhkan sahabatmu dari pengaruh racun
Perubah Bentuk. Tapi ingat yang bisa kutolong
cuma dua orang, tidak lebih. Karena sisa obat pe-
nawar racun Perubah Bentuk kini cuma tinggal
dua butir lagi. Aku sudah tidak membuatnya dan
tidak akan pernah membuatnya lagi!"
"Wah, celaka. Padahal menurut kakek itu
orang yang harus disembuhkan ada empat. Dalam
keadaan seperti ini aku tak mungkin membujuk-
nya agar mau membuatkan obat penawar lagi. Sa-
lah-salah dia mengetahui bahwa aku telah mem-
bohonginya!" pikir Gento.
"Kau tunggu apa lagi. Sekarang ikuti aku.
Kita tinggalkan pulau ini!" ujar si nenek.
"Memang kau hendak kemana kakak?"
tanya Gento. "Belalang pikun. Bukankah aku hendak
mencari anakku, memberikan obat penawar racun
pada sahabatmu, lalu melihat kubur si keparat
Angin Pesut!"
"Ah, maafkan. Aku terlalu gembira hingga
lupa." sahut Gento.
"Kutunggu kau di pinggir pulau sebelah ba-
rat!" kata si nenek lalu berkelebat pergi.
"Celaka, Ki. Dia ingin datang langsung me-
nemui manusia-manusia raksasa itu. Dia juga in-
gin melihat kubur saudaramu. Padahal pada ke-
luarga raksasa aku sama sekali tak mengenalnya.
Lebih celaka lagi, Angin Pesut jelas masih hidup."
kata Gento cemas.
"Salahmu sendiri, mengapa kau membo-
honginya?" dengus si kakek ikutan bingung.
"Semula aku ingin agar segala sesuatunya
berjalan mudah dan lancar. Sama sekali aku tak
menyangka urusan jadi kapiran begini." ujar si Pendekar Sakti 71 jadi bingung.
"Sudahlah, kita fikirkan saja nanti. Lebih
baik kita ikuti dia agar tidak lebih curiga."
"Memang apa yang hendak dilakukannya?"
tanya sang pendekar.
"Dia tak punya burung seperti kau dan aku.
Mungkin dia sedang mempersiapkan kawanan
buaya untuk menyeberang."
"Kau benar Ki. Dia tidak punya burung.
Cuma kita yang punya. Ha ha ha!" berkata begitu Gento raba bagian bawah
perutnya. "Hei, gila apa yang kau lakukan?"
"Cuma ingin memastikan apakah masih ada
di tempat atau tidak. Ternyata burungnya sedang
mengeram. Ha ha ha."
"Pendekar sialan!" kata si kakek ikut pula tertawa. Sebelum berkelebat
tinggalkan tempat itu
dia raba celananya.
Masih dengan tertawa berkekeh-kekeh si
kakek berkata. "Kau benar. Dia masih tidur. Ha ha ha!" Tawa Gento dan Sateaki
lenyap begitu mereka sampai di pinggir pulau. Mereka sama tercen-
gang dan belalakkan mata begitu melihat puluhan
bahkan ratusan kawanan buaya besar kini berjejer
berbaris dengan posisi mengambang di permukaan
air. Sementara si nenek nampak sibuk memberi
aba-aba pada kawanan buaya itu dengan bahasa
yang sulit dimengerti.
"Kalian tunggu apa lagi. Cepat menyebe-
rang. Anggap saja kepala buaya-buaya itu sebuah
jembatan!" ujarnya.
"Kakak! Bagaimana aku berani melakukan-
nya?" tanya Gento ketakutan.
"Belalang kecil. Kalau kau takut biarkan
aku yang memimpin di depan." Selesai berucap si nenek segera melompat. Lalu
melesat berpindah
dari satu kepala buaya ke kepala buaya yang be-
rada di belakangnya. Gento kemudian mengiku-
tinya. Di susul dengan Sateaki yang gemetaran
dan takut luar biasa.
Setelah melewati ratusan kepala buaya. Ak-
hirnya mereka pun sampai di seberang. Sateaki
merasa tengkuknya menjadi dingin hingga dia tak
mau menoleh ke belakang. Dalam kesempatan itu
Gento sambil memandang kakek itu berucap.
"Selamat Ki. Ternyata segalanya menjadi
mudah atas bantuan kakakku."
"Aku... entahlah, aku begitu takut."
"Ha ha ha. Ternyata celanamu basah, Ki.
Kau ngompol. Kau terkencing-kencing dicelana!
Untung buaya itu tak terkena air kencingmu. Ka-
lau tidak mereka bisa marah dan menelan itu-
nya... kemudian kau tak bisa kencing selamanya!"
kata sang pendekar.
"Sial. Seumur hidup baru sekali ini aku
sampai terkencing-kencing. Tapi tak apa, hitung-
hitung mandi lagi walau cuma mandi sepotong ba-
dan! Ha ha ha!" celetuk si kakek.
Bersama Gento dia berkelebat ke arah le-
nyapnya si nenek jerangkong.
TAMAT EPISODE BERIKUTNYA:
PERISAI MAUT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Naga Pembunuh 2 Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Kelana Buana 1
^