Pencarian

Rahasia Lenyapnya Mayat 3

Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa Bagian 3


tambah urusan!"
"Aku tahu kau enggan jalan sama-sama. Tapi dengan pakaian seperti ini
aku tak bisa membawamu. Terus terang aku suka melihat pakaian tipis
itu..." kata Mahesa senyum-senyum. "Namun pakaian itu akan lebih
banyak mengundang malapetaka..."
"Kalau saja aku punya pakaian lain..."
Mahesa melemparkan sehelai baju dan celana panjang putih yang selalu
dibawanya dalam kantong perbekalan. "Pakai itu," katanya.
"Sekarang?" Tanya Ratu Mesum.
"Lalu kapan lagi?"
Ratu Mesum mengambil pakaian itu. Biasanya dia tidak akan malu-
malu membuka pakaiannya dihadapan lelaki yang disukainya. Namun
sekali ini entah mengapa dia merasa jengah dan berkata: "Balikkan
tubuhmu, aku mau ganti pakaian."
Mahesa tertawa lalu membalikkan tubuh sementara Ratu Mesum
membuka pakaian merahnya dan mengenakan pakaian yang diberikan
Mahesa. "Nah, dalam pakaian itu kau bukan saja kelihatan cantik, tapi juga
gagah!" Mahesa memuji setelah dilihatnya Ratu Mesum selesai
berpakaian. Senang menerima pujian itu Ratu Mesum berkata: "Ada satu hal yang
aku kawatirkan mengenakan pakaian seperti ini. Aku tidak bias lagi
menebar hawa harum beracun seperti yang kulakukan dengan baju merha
itu..." Mahesa belum pernah melihat Ratu Mesum menebar hawa harum
beracun. Tapi dua punya pertimbangan lain. "Kau harus belajar supaya
dapat menebarhawa itu dari kedua ujung lengan pakaianmu. Itu bisa kau
lakukan lebih cepat karena tidak perlu membuat gerakan yang
merepotkan!"
"Astaga! Kau benar. Mengapa aku tidak memikirkannya dari dulu-
dulu..." "Lalu kau mau panggil aku apa?" Ratu Mesum ingat para Pringgo yang
memberikan nama Mawar Merah padanya. Semula hendak dikatakannya
hal itu namun diputuskannya untuk tidak memberi tahu.
"Masakan kau tidak punya nama?" ujar Mahesa tak percaya.
Ratu Mesum menggigit bibirnya. "Aku memang pernah punya nama.
Ayahku yang memberikan. Tapi aku telah bersumpah untuk tidak
memakai nama itu lagi...?"
"Memangnya kenapa?"
Ratu Mesum hanya geleng-geleng kepala. Kedua matanya tampak
berkaca-kaca. Mahesa terdiam.
"Kalau begitu aku tak akan menanyakan hal itu lagi," katanya.
"Terserah kau mau memanggil aku apa..." ujar Ratu Mesum.
Mahesa merenung beberapa lama. "Sulit juga memberikan nama yang
serasi untuk perempuan secantikmu," kata pemuda itu. "Aku menemuimu
di desa Bangsalsari itu. Bagaimana kalau kau kupanggil Sari saja. Pendek,
tapi menawan dan berkesan..."
Sesaat perempuan itu menatap dalam-dalam ke mata Mahesa. Perlahan-
lahan diulurkannya tangannya memegang tangan pemuda itu. Mahesa
balas memegang. Seumur hidupnya baru kali ini perempuan itu merasakan
kebahagiaan berpegang tangan seperti itu. Dan matanya mulai tampak
berkaca-kaca. "Kau perempuan gagah. Kau tak boleh menangis!" kata Mahesa.
"Aku menangis bukan karena sedih. Atau cengeng. Tapi karena
bahagia. Aku suka padamu... Mahesa," kata perempuan itu sejujurnya.
Dalam hatinya perempuan ini berjanji jika pemuda itu dapat dijadikan
pautan hidupnya, dia akan merubah seluruh kehidupan sesat yang selama
ini ditempuhnya.
"Kau suka nama itu?" tanya Mahesa.
"Itu nama bagus. Aku menyukainya... Terima kasih..."
"Kalau begitu kita pergi sekarang," kata Mahesa seraya berdiri dan
ulurkan tangan membimbing Sari.
"Mahesa malam tadi kau menyelamatkanku. Tidak mudah melakukan al
itu. Siapakah kau sebenarnya" Kau pasti seorang pendekar dengan gelar
besar..." "Namaku Mahesa. Aku adalah aku dan tidak punya segala macam
gelar..." "Lalu siapakah gurumu?" tanya Sari.
"Guruku adalah nasibku," jawab pemuda itu. Kalaupun dia tidak ada
masalah dengan Kunti Kendil, tak akan diberitahukannya nama gurunya
itu. Apalagi saat itu dia memang punya masalah besar yang membuat
dirinya mengambil keputusan untuk tidak mau bertemu lagi dengan sang
guru dan untuk selama-lamanya.
Keduanya turun dari dangau. Sesaat Sari memandang pada pakaian
merahnya yang ditinggalkannya di lantai dangau itu dengan perasaan
sedih. Lalu dia membalikkan tubuh, menyusul Mahesa yang telah
melangkah lebih dulu. Namun tiba-tiba perempuan ini berseru: "Mahesa,
ada seseorang menuju kemari!"
9 SI PENCURI JANTUNG MASIH PENASARAN
MAHESA cepat berpaling ke arah yang ditunjuk Sari. Dari arah timur
saat itu memang tampak seseorang berlari cepat menuju ke tempat mereka.
Semakin dekat semakin jelas siapa adanya.
"Rupanya dia tahu juga kalau kita berada di jurusan ini..." kata Sari.
"Kau tetap tenang, biar aku yang melayaninya. Bila urusan ini bias
diselesaikan secara damai itu akan lebih baik..." kata Mahesa. Tapi
pemuda ini yakin urusan tidak semudah itu diselesaikan. Apalagi jika
orang itu nanti melihat mayat Parit Teguh di kolong dangau.
Yang datang adalah si kakek berpakaian hitam, Tulodong Hitam.
Sepasang matanya menatap tajam pada Sari lalu dia menyeringai. "Ratu
Mesum, kau boleh bertukar pakaian seribu kali. Kau boleh menyamar
ribuan kali tapi mataku tak bias ditipu..."
"Apa maumu"!" bentak Sari.
"Apa mauku..."! Ha... ha... ha...!" Kakek itu tertawa gelak-gelak.
"Kau masih bias bertanya begitu" Ha... ha... ha...?"
Mahesa maju selangkah, "Kakek, kalau kau mau menerima usulku, itu
akan lebih baik..."
Tulodong Hitam berpaling pada Mahesa. "Pasti kau manusianya yang
mencampuri urusan malam tadi. Berani berbuat berani bertanggung jawab.
Kau juga harus menyerahkan jantungmu padaku..."
"Dengar kek. Kau dating jauh-jauh mencapaikan diri untuk satu hal
yang tak ada kaitan langsung dengan dirimu!"
"Jelas kau membela perempuan dajal ini! Biar kau kubunuh lebih dulu!"
meradang si kakek.
"Tua bangka tolol!" bentak Sari cepat ketika dilihatnya si kakek hendak
bergerak menyerang. "Kau tidak lihat ada apa di kolong dangau itu"!"
Ucapan Sari ini membuat Tulodong Hitam berpaling kea rah bagian
bawah dangau. Berubahlah parasnya begitu melihat mayat Parit Teguh
dalam keadaan bugil. Perut ditancapi tongkat, mata mendelik dan lidah
mencelet. Rahang si kakek tampak menggembung. Gerahamnya
mengeluarkan suara bergemeletak. Didahului oleh pekik penuh amarah
Tulodong Hitam langsung melompat menerjang Sari. Tapi gebrakannya ini
dipotong oleh Mahesa. Si pemuda dorongkan tangannya ke bahu si kakek
hingga orang tua ini terhuyung-huyungan ke kiri.
"Keparat!"
Tulodong Hitam marah sekali. Dia membalik dan kini menyerbu
Mahesa. Semula Sari ingin sekali masuk dalam kalangan perkelahian untuk
membantu Mahesa. Selain itu dia juga punya rasa dendam terhadap kakek
baju hitam itu, karena orang tua inilah yang hamper mencelakakannya,
menimbulkan cidera pada dadanya. Namun diam-diam diapun ingin sekali
untuk menyaksikan ketinggian ilmu pemuda yang entah bagaimana sejak
dilihatnya wajahnya pagi tadi langsung saja dia merasa suka kalau tidak
mau dikatakan jatuh cinta!
Tulodong Hitam kaget sekali ketika mendapat semua serangannya yang
bertubi-tubi tak satupun mengenai sasaran. Lain dari pada itu jelas-jelas
dia melihat pemuda lawannya berkelahi tidak sungguh-sungguh. Merasa
dihina dianggap enteng. Kakek ini lipat gandakan tenaga dalamnya.
Serangannya menggebu laksana hujan. Sepuluh jari kukunya mengeluarkan cahaya hitam dan sambaran angina dingin. Namun sampai
lima jurus dimuka tetap saja dia tidak mampu berbuat apa-apa.
"Ah pemuda ini ternyata benar-benar luar biasa. Si kakek sudah
bertempur habis-habisan sebaliknya dia enak-enak saja!" kata Sari dalam
hati sambil berdecak kagum. Semakin besarlah rasa sukanya terhadap
Mahesa. Tiba-tiba Tulodong Hitam mengeluarkan suara menggerung seperti
harimau lapar. Tubuhnya mencelat ke atas, langsung menukik dari arah
belakang. Tangan kanan menghantam dengan satu pukulan tangan kosong
yang mengandung tenaga dalam tinggi sedang kaki kiri menyusul
membabat ke kepala Mahesa! Serangan aneh itu membuat Mahesa
merunduk seraya lepaskan pukulan Makam Sakti Meletus dengan tangan
kosong. Karena secara aneh pula laksana seekor ikan dalam tanggok tubuh
Tulodong Hitam mencelat kembali ke atas dan ketika Mahesa menyadari
lawan tahu-tahu dating dari depan, keadaan sudah terlambat.
"Gila!" rutuk Mahesa.
Kaki kanan Tulodong Hitam menyambar cepat sekali ke arah mukanya.
Tak ada kesempatan untuk mengelak. Di sana yang keritis itu pemuda ini
memainkan jurus keempat ilmu silat orang buta yang didapatnya dari
pengemis Cengeng Sakti Mata Buta. Yakni jurus yang bernama: Si Buta
Mencengkeram Langit! Kedua tangan Mahesa melesat ke depan.
Gerakan jurus silat yang dikeluarkan Mahesa memiliki dua keampuhan.
Pertama dia meredam daya kekuatan tendangan lawan dan mengalihkan ke
bagian lain yang kurang berbahaya yakni ke arah bahu. Kedua,
cengkeramannyaitu mencederai pergelangan kaki lawan hingga daging
kaki Tulodong Hitam terkelupas sedang tulang keringnya remuk.
Tulodong Hitam mengeluh, tubuhnya jungkir balik di udara dan tegak
di tanah dengan miring. Sementara Mahesa terdorong keras ke tanah,
mukanya selamat dari tendangan maut, hanya tulang bahunya yang terasa
sakit! Sari segera menubruk pemuda itu karena manyangka Mahesa cidera
berat. Dia merasa lega ketika dapatkan Mahesa suah lebih dulu melompat
dan berdiri. Kakek berbaju hitam memandang Mahesa dengan sepasang mata
berkilat-kilat. Melihat kenyataan ini nyalinya menjadi ciut. Pemuda itu
memiliki kepandaian bukan main. Menghadapinya satu lawan satu sulit
baginya untuk menang, apalagi kakinya cidera berat begitu rupa. Kalau
sampai pula Ratu Mesum membantu si pemuda. Celakalah dia. Memikir
sampai disitu, tanpa banyak bicara lagi Tulodong Hitam putar tubuh,
tinggalkan tempat itu.
"Mahesa, aku hanya melibatkanmu pada persoalan yang sama sekali tak
ada sangkut pautnya dengan dirimu..."
Mahesa tersenyum. Kemudian dia termenung. Waktu berkelahi tadi dia
telah mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Kunti
Kendil, termasuk pukulan sakti Makam Sakti Meletus. Setelah kejadian si
nenek menggantungkannya tempo hari apakah dia masih berhak
mempergunakan kepandaian yang diterimanya dari perempuan tua itu"
Juga apakah berhak memegang terus kayu hitam berbentuk papan nisan
yang pernah diberikan Kunti Kendil sebagai senjata yang ampuh"
"Mahesa... kau memikirkan sesuatu?" terdengar suara Sari serta
sentuhan pada lengannya.
Pemuda itu sadar kalau dia barusan hanyut dibawa pikiran.
Dipegangnya lengan Sari sesaat. Dia harus mengambil keputusan. Dia
tidak boleh mempergunakan ilmu kepandaian yang didapatkannya dari
Kunti Kendil. Dia tidak boleh melancarkan pukulan-pukulan sakti yang
dipelajarinya dari nenek itu. Segala yang berbau Kunti Kendil harus
dikikis habisnya. Bukankah dengan jalan menggantungkannya
sesungguhnya nenek itu telah memutuskan hubungan mereka sebagai guru
dan murid"!
"Sari, maukah kau mengantarkan aku ke pegunungan Iyang?" Mahesa
ajukan pertanyaan itu.
"Kemanapun kau mengajak aku akan ikut bersamamu Mahesa..."
Namun selintas pikiran muncul pula dibenak Mahesa. Jika dia pergi ke
puncak Iyang untuk mengembalikan Papan Nisan Kayu Hitam, berarti dia
membuka rahasia bahwa sebenarnya dia masih hidup. Bukankan dia lebih
suka kalau si nenek menganggapnya sudah mati" Seperti yang telah diatur
oleh sahabat-sahabat tujuh orang katai itu"
"Tidak jadi Sari. Kita tidak jadi ke sana..."
"Hai, bagaimana kau berubah pikiran secepat itu?"
Mahesa tak menjawab, melainkan keluarkan Papan Nisan Kayu Hitam.
Melihat benda aneh itu Sari kerenyitkan kening keheranan.
"Benda apa itu Mahesa...?"
"Ini senjata aneh pemberian guruku. Tapi sejak beliau memutuskan
hubungan sebagai guru dan murid, aku merasa tidak berhak lagi membawa
apa lagi mempergunakannya.... Aku harus mengubur senjata ini disatu
tempat!" "Aku tidak mengerti Mahesa!"
"Suatu waktu akan kuceritakan semuanya padamu. Mari..."
Mahesa lari kea rah selatan, diikuti Sari. Disatu tempat di dalam sebuah
hutan kecil, dibawah sebatang pohon lamtorogung Mahesa menggali
sebuah lubang. Kayu hitam berbentuk papan nisan itu kemudian dipendam
di dalam lubang itu. Juga dikeluarkan obat ampuh berbentuk hijau bulat
yang masih bersisa sebuah dari balik pakaiannya dan dicampakkannya ke
dalam lobang. Dibantu oleh Sari lobang itu ditimbunnya kembali.
"Selamat tinggal guru. Maafkan segala kesalahanku. Kini aku tak ada
beban derita apa-apa lagi!" kata pemuda ini dalam hati. Lalu dipegangnya
lengan Sari. Keduanya meninggalkan tempat itu menuju ke barat.
10 GEROBAK MISTERIUS
DUA ORANG pejalan kaki berpakaian serba putih dan bertopi lebar itu
terpaksa melompat ke tepi agar tidak ditabrak sebuah gerobak yang
meluncur kencang, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Di belakang gerobak
mengikuti dua penunggang kuda maupun kusir gerobak masing-masing
memiliki tampang bengis, mengenakan pakaina serba biru dan membekal
golok besar di punggung masing-masing.
"Anak setan! Manusia-manusia keparat!" maki Mahesa.
"Ingin sekali aku menghajar mereka!" ujar Sari sambil menepuk debu
yang mengotori pakaian putihnya. Saat itu keduanya berada jauh di
tenggara Kawah Ijen, menyusuri jalan kecil menuju barat, kea rah gunung
Merapi. Menjelang tengah hari mereka sampai di sebuah kota kecil
bernama Pasirgambir. Karena perut sama laparnya maka yang pertama
sekali mereka cari adalah kedai makanan.
Satu-atunya kedai makanan di kota kecil itu terletak di pusat kota.
Sampai di depan kedai Mahesa berbisik; "Gerobak yang di bawah pohon
sana, bukanlah yang tadi hampir menabrak kita?"
Sari berpaling ke arah pohon yang dimaksudkan Mahesa. Memang
benar. Di bawah pohon itu tampak gerobak berikut dua kuda penariknya.
Lalu di dekat kereta kelihatan dua orang lelaki berpakaian tegak seperti
berjaga-jaga. Baik Mahesa maupun Sari tidak melihat di mana adanya


Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kusir gerobak. "Jelas dua orang itu mengawal gerobak. Rupanya ada barang penting
atau berharga did lam gerobak," kata Sari. Bersama Mahesa dia kemudian
masuk ke dalam kedai makanan. Ketika mengambil tempat duduk di sudut
kiri, mereka melihat lelaki yang menjadi kusir gerobak duduk di sudut
lain, tengah makan dengan lahap. Selesai makan dia pergi ke pintu dan
melambaikan tangannya. Sesaat kemudian muncul dua kawannya yang
tadi mengawal gerobak.
"Kalian makanlah. Aku akan menjaga gerobak. Cepat. Waktu kita tidak
banyak!" Dua lelaki berpakaian biru masuk ke dalam kedai. Pengemudi gerobak
keluar dang anti berjaga-jaga dekat gerobak.
"Ingin sekali tahu apa isi gerobak itu," kata Mahesa.
"Cukup sulit. Selain terus dijaga juga bagian belakang gerobak ditutup
rapat dengan terpal tebal," sahut Sari.
"Aku ada akal. Habiskan cepat makananmu!" kata Mahesa.
Selesai makan pemuda ini mendekati dua orang berpakaian biru yang
baru pula menghabiskan makanannya.
"Kawan," ujar Mahesa menegur. "Kulihat kalian membawa barang.
Bias kusewa untuk mengangkut barang milikku?"
"Gerobak sudah penuh. Lagi pula kami ingin cepat!" jawab seorang
lelaki berpakaian biru.
"Ah saying. Aku sanggup membayar mahal. Ke mana tujuan kalian?"
"Ke mana tujuan kami itu bukan urusanmu!"
Kedua orang itu berdiri. Mahesa keluarkan sekeping perak dari saku
pakaiannya. "Perak ini untuk kalian, jika aku bisa ikut dengan gerobak
kalian..."
Melihat kepingan perak yang begitu besar dan tentu mahal harganya
kedua orang itu jadi terkesiap. Keduanya berunding. Yang seorang lalu
melangkah ke pintu memanggil kawannya. Sewaktu kusir gerobak
mendatangi, diam-diam Sari menyelinap keluar.
"Ada apa?" tanya pengemudi gerobak.
Dua kawannya menerangkan maksud Mahesa yang hendak ikut
bersama mereka, membawa sejumlah barang yang membayar dengan
kepingan perak besar itu.
Mendengar keterangan dua kawannya itu, marahlah pengemudi
gerobak. "Kacoak-kacoak tolol! Jangan mencari penyakit. Urusan kita belum
selesai. Terlambat sampai bukan saja kita tak akan mendapat bayaran!
Tapi juga hukuman berat! Apa kau lupa hal itu"!"
Mendengar kata-kata pengemudi gerobak yang agaknya menjadi
pimpinan dalam rombongan itu dua lelaki berpakaian biru hanya bisa
angkat bahu. Tanpa berpaling lagi pada Mahesa keduanya keluar dari
kedai makanan, diikuti pengemudi gerobak. Sesaat rombongan itupun
berlalu. Mahesa temui Sari yang tegak di tepi jalan.
"Apa yang kau dapat?" tanya pemuda ini.
Sari membuka tangan kirinya yang dikepalkan. Pada telapak tangan
perempuan ini Mahesa melihat setumpuk kecil bubuk berwarna hitam dan
berkilauan terkena sinar matahari.
"Emas hitam...?" ujar Mahesa sambil perhatikan bubuk itu.
Sari tertawa geli. Perempuan yang lebih banyak pengalaman dari
Mahesa ini berkata: "Mana ada emas hitam. Coba kau cium..." Sari
mendekatkan telapak tangannya ke hidung Mahesa. Ketika pemuda ini
mencium terasa bau menusuk yang membuatnya hampir terbatuk-batuk.
"Bubuk edan celaka apa ini"! Ujar Mahesa lalu gosok-gosok hidungnya.
"Ini bubuk bahan peledak!" kata Sari.
"Bahan peledak?" Mahesa kerenyitkan kening dan perhatian lagi bubuk
di tangan Sari lalu geleng-gelengkan kepala.
"Di gerobak itu kulihat ada delapan karung bubuk seperti ini. Cukup
untuk menghancurkan empat buah kota atau dua buah bukit besar atau
sebuah gunung!" Sari memberi keterangan lagi.
"Bagaimana kalau kita ikuti rombongan itu!"
"Hai! Itulah yang ingin kulakukan! Mari!"
Maka kedua orang itupun berkelebat melakukan pengejaran. Sari yang
berada di depan bertindak cerdik. Dia tidak lari menyusuri jalan biasa
tetapi mengambil jalan memotong menuju puncak sebuah bukit. Dari sini
mereka dapat meneliti daerah di bawah mereka dengan jelas. Dan gerobak
berikut dua pengawalnya segera terlihat di sebelah barat, bergerak menuju
ke timur, menempuh satu-satunya jalan yang ada. Di sebuah timur terlihat
tiga buah gunung yakni gunung Suket, gunung Pendil lalu gunung Merapi.
"Kita bisa sampai di kaki gunung Suket jauh lebih cepat dan menunggu
di suit. Seterusnya kita bayangi gerakan mereka," kata Sari.
"Kau cerdik!" memuji Mahesa.
"Kau ingat ucapan pengemudi gerobak ketika dua kawannya
mengatakan kita hendak ikut mereka" Kusir gerobak itu marah besar.
Menyebut soal pembayaran dan hukuman! Nah aku punya dugaan keras
ada satu rencana besar dibalik delapan karung bahan peledak itu."
"Menurutku begitu..."
Kedua berunding terus sambil menuruni bukit menuju ke timur. Mereka
harus menunggu cukup lama di kaki gunung Suket baru rombongan yang
mereka intai sampai di situ lalu terus menguntit menuju ke timur.
Sampai rembang petang, rombongan yang mereka ikuti hanya berganti
satu kali yakni untuk memberi minum empat ekor kuda di sebuah kali
dangkal. Setelah itu rombongan bergerak cepat kembali kea rah timur,
melewati kaki gunung Pendil, berputar di sebuah lemabh lalu terus lagi ke
timur. "Kurasa mereka menuju gunung Merapi," kata Mahesa.
Sari hentikan larinya tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Mahesa heran.
"Pernah mendengar rencana pendirian sebuah partai persilatan yang
mangambil tempat di gunung Merapi?"
Mahesa menggeleng.
"Kabar itu tersiar sejak dua bulan lalu. Disiarkan dari mulut ke mulut.
Semua orang dalam rimba diundang tanpa terkecuali. Kurasa
peresmiannya dalam minggu ini juga."
"Siapa orang yang punya rencana besar itu?"
"Tak satu orangpun tahu. Yang membuat banyak para tokoh gologan
hitam dan putih penasaran ialah terbetiknya berita bahwa yang melakukan
peresmian partai persilatan itu langsung saja mengangkat diri sebagai
ketua. Padahal siapa dirinya dan sampai di mana kehebatannya tidak
diketahuai..."
"Kurasa dia pasti memiliki apa-apa. Kalau tidak masakan berani
bertindak gegabah begitu. Tidak memandang sebelah matapun pada para
tokoh silat di Jawa Timur ini.... Menurutmu siapa yang punya kerja ini?"
Sari geleng-geleng kepala. "Tak bisa kuduga. Selain banyak tokoh-
tokoh silat yang lenyap begitu saja dari rimba persilatan, terdapat pula
tokoh baru yang coba bikin nama dengan membuat gebrakan-gebrakan
tertentu..."
"Seperti kau misalnya!" kata Mahesa menggoda.
Godaan ini membuat Sari menjadi merah wajahnya, terpekik dan
langsung menghujani pemuda itu dengan cubitan hingga Mahesa menjerit
kesakitan lalu tertawa gelak-gelak. Karena Sari belum menghentikan
cubitannya maka Mahesa membalas dengan mengelitik. Kini perempuan
itu yang ganti terpekik-pekik. Kegelian tetapi juga senang. Dia ingat betul
kegembiraan itu hanya dirasakan dulu sewaktu masih kecil, bercanda dan
bergelut dengan kawan-kawan sebaya. Mengalami kegembiraan seperti itu
kembali membuat Sari semakin dalam menyukai Mahesa. Dia tahu
pemuda itupun menyukainya. Dia tahu Mahesa bukan seorang pemuda
bodoh yang tidak mengerti kenikmatan apa yang bisa didapat dari
hubungan antara lelaki dengan perempuan. Sebegitu jauh Mahesa
memperlakukannya dengan baik, malah terlalu sopan. Atau mungkin dia
takut terjerat yang bisa membawa kematian baginya seperti laki-laki
lainnya" Berpikir sampai di situ Sari menduga-duga apakah Mahesa tahu betul
siapa dirinya di masa lampau" Disamping itu ada satu hal yang membuat
Sari heran pada dirinya sendiri. Sebelum mengenal Mahesa dia selalu
diracuni oleh nafsu hubungan badan serta nafsu membunuh yang keji.
Tetapi sejak dia kenal pemuda ini, sifat itu seperti lenyap tak berbekas. Dia
sudah merasa bahagia kalau dapat saling berpegangan tangan dengan
Mahesa. Lalu bagaimanakah kalau seandainya Mahesa tak ada
disampingnya" Daptakah dia menguasai dirinya"
"Hai! Apa yang kau lamunkan"!"
Teguran itu membuat Sari terkejut dan tersipu.
"Gerobak itu sudah jauh di depan kita. Mari kita kejar lagi...!" kata
Mahesa. Keduanya kembali berlari sementara matahari mulai memasuki
ufuk tengelamnya dan gunung Merapi tampak semakin dekat.
Ketika malam tiba rombongan pembawa delapan karung bahan peledak
itu membelok memasuki sebuah jalan kecil menuju ke lereng gunung
Merapi. Jalan ini kelihatannya baru dan sengaja dibuat. Di situ ketinggian,
dimana kuda-kuda penarik gerobak tidak mungkin lagi terus naik, kusir
gerobak hentikan kendaraannya lalu keluarkan suara bersuit tiga kali
berturut-turut.
Dari kegelapan dari belakang batu-batu gunung yang besar-besar
diantara semak belukar liar muncul delapan sosok tubuh yang luar biasa
besar dan tinggi. Manusia-manusia ini hanya mengenakan semacam cawat,
berambut gondrong, berkumis lebat dan bercambang bawuk. Tampang
mereka ganas sekali.
"Kalian terlambat dua jam dari yang ditentukan!" orang tinggi besar
paling depan keluarkan suara. Suaranya parau besar.
"Mana mungkin!" menyahuti kusir gerobak. "Perjanjaian adalah kami
harus sampai di sini beberapa saat setelah malam tiba!"
"Jangan berani melawan ketentuan yang telah ditetapkan Ketua!"
"Kami tidak melawan. Mana uang pembayaran!" kusir gerobak tampak
jengkel. Tapi baik dia maupun kawannya diam-diam merasa takut. Kalau
pecah perkelahian mereka bertiga walaupun bersenjata golok tidak akan
menang melawan delapan raksasa itu.
"Uang pembayaran kau tak usah kawatir. Kami haurs periksa dulu isi
gerobak itu!" si tinggi besar lalu memberi isyarat pada dua orang
kawannya. Yang dua ini menyingkapkan kain terpal penutup gerobak lalu
memeriksa isinya. Sesaat kemudian mereka melaporkan semuanya beres.
Entah dari mana dia mengambilnya si raksasa yang bertindak sebagai
pemimpin tahu-tahu sudah memegang sebuah kantong kain.
"Ini pembayaran kalian!" katanya seraya melemparkan kantong itu ke
arah tiga lelaki berpakaian biru.
Pengemudi gerobak cepat memungutnya.
"Kalian sudah dapat bayaran. Lekas pergi dari sini!"
Dua pengawal gerobak siap untuk berlalu, tapi pengemudi gerobak
merasa was-was lebih dulu membuka kantong kain itu dan memasukkan
tangannya ke dalam. Ketika tangan itu dikeluarkan, yang terlihat dalam
genggaman jari-jarinya bukan uang atau kepingan logam berharga
melainkan batu-batu kecil!
"Penipu!" bentak pengemudi gerobak marah. Dia hunus goloknya. Dua
kawannya serta merta pula melakukan hal yang sama.
Delapan manusia tinggi besar itu tertawa gelak-gelak. Mereka masih
terus tertawa ketika tiga bilah golok berkelebat ke arah leher, dada dan
pinggang mereka. Tahu-tahu!
Kraak! Kraak! Kraak! Leher pengemudi gerobak dan dua kawannya ditekuk patah. Ketiga
orang itu mati detik itu juga.
"Lepaskan kuda-kuda gerobak! Usir bersama kuda-kuda lainnya.
Masukan gerobak ke jurang. Lenyapkan setiap tanda-tanda yang
mencurigakan. Angkat karung-karung itu ke markas!"
Sesuai dengan perintah pemimpin mereka, dua kuda penarik gerobak
dilepas lalu digebrak pergi bersama dua kuda lainnya. Delapan karung di
turunkan dari gerobak. Gerobak itu sendiri bersama tiga mayat kemudian
ditarik ke satu tempat gelap, lalu diluncurkan ke bawah jurang. Kemudian
seperti hanya mengangkat sebuah buntalan ringan, delapan lelaki bercawat
itu memanggul masing-masing sebuah karung besar dan berlari cepat ke
ats gunung. 11 SANG KETUA BERJUBAH PUTIH TEROWONGAN DILERENG
GUNUNG SEBELUM mengenal Mahesa, soal nyawa manusia atau membunuh
orang bagi Sari adalah semudah dan sesepele membalikkan telapak tangan.
Tidak ada rasa kasihan, apalagi rasa takut. Namun untuk pertama kali tiga
orang berpakaian biru itu dipatahkan leher mereka. Sampai-sampai
perempuan itu memegang lengan mahesa erat-erat dan tak sadara berbisik:
"Aku ngeri, Mahesa..."
"Seorang ratu sepertimu tidak boleh ngeri!" sahut Mahesa.
Kontan saja satu cubitan menyengat pemuda ini. Hampir Mahesa
terpekik kalau tidak cepat-cepat menekap mulutnya sendiri.
"Aku bukan ratu. Namaku Sari!"
Mahesa mengangguk-angguk antara meringis dan tersenyum karena
menahan sakit sekaligus juga geli. Sambil mengelus-elus pinggangnya
yang sakit Mahesa memberi isyarat agar mereka segera mengikuti delapan
orang bercawat yang membawa delapan karung bubuk peledak itu. Mereka
harus bergerak cepat, tetapi juga sangat hati-hati agar tidak menimbulkan
suara. Makin tinggi ke atas semakin dingin udara. Disuatu lereng terjal,
delapan orang membawa karung membelok ke kanan. Mahesa dan Sari
mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah lapangan
berdiri semacam pintu gerbang yang dibuat dari batang-batang bambu
diberi hiasan daun-daun kepala dan bendera-bendera besar warna-warni.
Bendera-bendera ini juga ada disepanjang tepi lapangan. Pada ujung
lapangan terdapat sebuah panggung kayu yang dibangun amat kokoh. Lalu
di hadapan panggung tersebut bersusun-susun puluhan batang bambu yang
dibentuk menjadi bangku-bangku panjang.
"Apa yang kau katakan mungkin betul Sari. Agaknya di sini akan
dilakukan upacara peresmian partai itu..."
Sari mengangguk lalu menunjuk ke depan. "Lihat..." bisiknya.
Delapan orang yang membawa karung berisi bubuk peledak berhenti di
tepi lapangan sebelah kiri, dekat samping gunung yang ditumbuhi pohon-
pohon berlumut serta batu-batu besar. Mereka menurunkan karung tadi di
depan kaki masing-masing. Lalu yang bertindak selaku pimpinan
terdengar berteriak.
"Ketua! Kami sudah sampai!"
Suara teriakan orang ini mendtangkan gema yang panjang di seantero
lereng gunung tanda dia memiliki tenaga luar biasa. Tahu-tahu sesosok
tubuh bungkuk berjubah putih muncul di lereng gunung itu.
"Hai, dari mana mahkluk bungkuk itu muncul?" tanya Sari heran.
"Pasti ada pintu rahasia di lereng situ. Mari kita mencari tempat
mengintai lebih dekat agar bisa melihat jelas tampang si bungkuk itu. Tapi
hati-hati..."
Mahesa dan Sari bergerak dibalik-balik pepohonan. Pada jarak paling
dekat yang bisa mereka capai, keduanya kecewa. Ternyata orang bertubuh
bungkuk itu menutupi wajahnya dengan sejenis cadar tipis berwarna
hitam. "Ketua! Kami menunggu perintahmu selanjutnya!" kembali terdengar
suara di tinggi besar.
"Lakukan pekerjaan kalian sesuai petunjukku sebelumnya. Ingat,
semuanya harus selesai sebelum matahari terbit! Laporkan padaku jika
pekerjaan kalian selesai!
Habis berkata begitu, orang bungkuk berjubah putih itu bergerak ke kiri
dan tahu-tahu tubuhnya lenyap seperti ditelan gunung!
Delapan lelaki bertubuh raksasa mengangkat kembali karung-karung
berisi bahan peledak itu. Mereka melangkah ke ujung lapangan.
Disamping panggung besar terdapat tangga tanah menurun. Di sebelah


Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah tangga terlihat sebuah lobang berkurun dua meter persegi yang
ditutup dengan papan jati. Papan ini terbuka ketika orang terdepan
menekan sebuah tombol rahasia. Lalu satu demi satu ke delapan orang itu
memasuki lobang tersebut dan papan jati menutup kembali.
"Bagaimana menurutmu. Kita ikuti mereka sampai ke dalam lobang
itu?" tanya Sari.
Mahesa gelengkan kepala. "Tunggu saja sampai mereka keluar. Kita
tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Sekali terjebak bisa celaka!"
Ternyata keduanya harus menunggu lama. Pada saat langit di sebelah
timur mulai kelihatan kemerahan, papan penutup lobang terbuka. Satu
demi satu delapan lelaki raksasa keluar. Yang tadi bertindak sebagai
pemimpin kembali berseru. Tak lama kemudia manusia bungkuk itu
muncul, si tinggi memberi laporannya.
"Bagus... bagus. Sekarang empat orang dari kalian harus segera ke desa
itu. Bawa kemari semua makanan dan minuman yang telah dipesan.
Sementara itu aku akan menyiapkan ramuanku. Ingat, pada saat matahari
terbit yang berempat itu sudah harus berada di sini!"
Orang bungkuk berjubah putih itu kembali lenyap di lamping gunung.
Empat lelaki tinggi besar meninggalkan tempat itu sedang empat lainnya
berjaga-jaga di empat sudut lapangan. Seorang diantaranya tepat di dekat
lobang yang bertutupkan papan jati.
"Kita harus tahu apa yang ada di bawah lobang itu," kata Mahesa.
"Penjaga yang satu itu harus disingkirkan dulu!"
"Aku sanggup menotoknya!" kata Sari.
Mahesa punya rencana lain, tapi perempuan itu telah melemparkan
sebutir batu yang tepet mengenai urat besar dipangkalan leher lelaki
raksasa yang ada dekat lobang. Kontan manusia ini tidak bisa buka suara
tidak bisa bergerak. Dengan cepat Mahesa dan sari menyelinap mendekati
lobang. Ketika coba dibuka papan jati yang kokoh itu tak bergerak
sedikitpun. "Hantam saja biar jebol!" mengusulkan Sari.
"Jangan bodoh. Sekali mereka melihat kerusakan pada papan ini, kita
akan mati konyol di dalam sana. Pasti ada alat rahasia untuk membuka
penutup lobang ini..." Mahesa menyelidik dan meraba-raba kian kemari.
Di sudut kiri penutup lobang, tersenyum diantara kepingan-kepingan batu
gunung kelihatan sebuah kayu hitam menonjol kepermukaan. Mahesa
menggerak-gerakan kayu ini. Tidak trjadi apa-apa. Tetapi begitu kayu
ditekan, perlahan-lahan papan jati penutup lobang membuka. Mahesa
melompat msuk, menyusul Sari. Papan jati kemudian menutup dengan
sendirinya. "Edan! Gelap sekali!" desis Mahesa. "Manusia-manusia raksasa itu tak
mungkin bergerak leluasa kalau tidak ada penerangan." Mahesa lalu
keluarkan korek api yang biasa dipakainya untuk menyalakan rokok
kawung. Sesaat lobang itu menjadi terang.
"Ada obor di dinding sana..." bisik Sari.
Ternyata pada dinding lobang sebelah kanan tergantung delapan buah
obor. Mahesa menyalakan dua buah obor. Dengan masing-masing
memegang saru obor kini mereka dapat melihat keadaan dalam lobang itu.
Dari tempat mereka berdiri, lobang itu tampak lurus ke depan sepanjang
dua tombak. Lalu membelok ke kanan. Dari sini lobang membentuk
terowongan lurus sepanjang puluhan tombak dimuka lobang lain di
sebelah kanan. Lalu sepuluh tombak dimuka lobang lain di sebelah kiri.
Begitu terus berselang saling sampai delapan lobang. Empat di kiri, empat
di kanan. Pada setiap lobang yang delapan ini Mahesa dan Sari
menemukan sebuah karung berisi bubuk peledak itu. Setiap karung
dihubungkan satu dengan lainnya dengan seuntai tali yang dibasahi dengan
senjata minyak yang mudah terbakar.
"Hati-hati Sari," memperingatkan Mahesa. "Tali-tali ini mengandung
minyak yang mudak terbakar. Jauhkan obormu!"
Delapan tali dari delapan karung dibuhul menjadi satu, dihubungkan
dengan sebuah tali besar. Tali besar ini melintang sepanjang atap
terowongan. Ketika diteliti ternyata menembus ke atas pada ujung sebelah
selatan. "Apa arti semua ini Mahesa...?" tanya Sari.
"Akupun tak dapat menerka," jawab Mahesa. Otaknya bekerja keras.
"Jika kuukur-ukur, delapan karung berisi bubuk peledak itu semuanya
berada diatas deretan bangku-bangku panjang yang terbuat dari bambu.
Lalu tali besar ini menembus ke atas kira-kira disekitar panggung kayu.
Eh, kau benar. Apa artinya semua ini...?"
Saripun berpikir keras. Namun kedua orang itu belum dapat
memecahkan rahasia di balik apa yang mereka saksikan di dalam
terowongan itu. Dari tiga manusia raksasa itu menemukan kawan mereka
yang dekat pintu lobang berada keadaan tertotok mereka mungkin akan
menyelidik sampai ke sini.
"Sebaiknya kita cepat-cepat kembali ke lobang jalan masuk tadi."
Mahesa menyetujui ucapan Sari itu. Keduanya bergegas menuju lobang
keluar. Justru pada saat itu di ujung lobang tampak cahaya menyeruak.
"Celaka! Ada yang masuk!" bisik Sari.
"Kurasa mereka sudah mengetahui ada kawan yang dibokong. Matikan
obor!" Sari dan Mahesa meniup pada obor yang mereka bawa. Mahesa lalu
menancapkan kayu obor ke tempat semula di dinding terowongan. Di
ujung sana kelihatan dua pasang kaki-kaki besar menuruni lobang. Dua
orang lelaki bertubuh raksasa masuk ke dalam terowongan. Mereka
menyalakan dua buah obor lalu bergerak lebih ke dalam. Jelas keduanya
melakukan penyelidikan. Tak berapa lama keduanya kembali menuju ke
lobang keluar. Yang disebelah belakang berkata pada temannya.
"Aneh, tak ada siapa-siapa di dalam sini. Tak ada yang mencurigakan.
Semua dalam keadaan semula. Lalu bagaimana si jelek satu itu bisa kaku
dan bisu kalau tidak ditotok orang"!"
"Jangan-jangan dia mempermainkan kita!"
"Terlalu edan kalau saat seperti ini ada yang berani bergurau. Apa perlu
kejadian ini diberitahu pada Ketua?"
"kalau diberitahu kita yang bakal didamprat!"
"Jika begitu kurasa ada baiknya kita meneliti sekali lagi seluruh
terowongan!"
"Gila! Kita sudah memeriksa setiap jengkal dari terowongan itu. Tikus
bahkan setanpun tak bakal luput dari penglihatan kita. Kita tak punya
waktu banyak. Hari sudah terang. Lagi pula tidaklah kau lihat sudah ada
beberapa tamu yang muncul walau mereka masih belum masuk ke dalam
lapangan upacara?"
"Baiklah. Kita keluar saja dari sini!"
Kedua orang itu memadamkan api obor lalu membuka papan jati
penutup lobang dan keluar satu demi satu.
Kembali ke dalam terowongan.
Mahesa dan Sari melompat turun dari langit-langit terowongan di mana
tadi mereka memepetkan diri serata mungkin dengan bersitekan pada dua
telapak tangan serta ujung kaki ke dinding paling atas terowongan. Tubuh
masing-masing mandi keringat kerena tegang.
"Bagaimana sekarang?" tanya Sari.
"Kita harus menunggu kesempatan. Kita harus keluar dari sini. Jika hari
ini benar diadakan upacara peresmian partai itu, pada puncak acara, ketika
semua perhatian tertuju pada upacara, kurasa kita punya kesempatan untuk
menyelinap keluar dari tempat ini..."
"Lalu kita bergabung dengan para tamu, ikut duduk menyaksikan
jalannya upacara!" menyambung Sari.
"Bisa saja begitu. Tapi..." mendadak Mahesa ingat sesuatu. Upacara
peresmian partai itu merupakan satu kejadian besar dalam dunia persilatan.
Mungkin hanya sekali dalam sepuluh bahkan mungkin sekali dalam dua
puluh lima tahun. Tidak dapat tidak akan banyak tetamu yang datang,
terdiri dari tokoh-tokoh silat di delapan penjuru angin. Bukan mustahil
gurunya Mahesa lebih suka menyebut sebagai bekas gurunya yaitu si
nenek bernama Kunti Kendil akan datang ke tempat itu. Jika dia muncul
pula di antara para tamu, pasti si nenek akan melihatnya. Padahal dia lebih
suka bahwa nenek itu menganggapnya sudah mati. Lain dari pada itu besar
kemungkinan si dukun jahat Embah Bromo Tunggal ikut hadir. Berarti dia
bisa memenuhi permintaan tujuh manusia katai untuk mendapatkan
kembali kitab silat yang dicuri kakek tersebut. Sekaligus dia juga harus
berusaha mendapatkan kembali Keris Naga Biru yang tempo hari dilarikan
sang dukun. Kalau dia tidak ingin dikenali oleh gurunya, hanya ada satu jalan. Dia
harus melindungi wajahnya dengan sesuatu. Mungkin dengan topeng atau
kain penutup muka. Tetapi di tempat seperti itu di mana pula dia akan
mendapatkan topeng atau kain"!
"Hai! Kau seperti memikirkan sesuatu atau melamun?" menegur Sari.
"Tadi kau mengatakan tapi. Tapi apa...?"
"Jika kita muncul di antara para tamu, aku tak ingin tampangku dikenali
orang." "Hai! Kau malu karena mukamu jelek"!" menggoda Sari.
"Amggap saja begitu," sahut Mahesa.
"Lalu apa yang hendak kau lakukan?"
"Aku butuh topeng, cadar, kain! Pokoknya apa saja yang bisa
menyembunyikan wajahku..."
"Hemm... kalau Cuma begituan mengapa haurs kawatir"!" ujar Sari.
"Apa meksudmu?" tanya Mahesa.
Dari balik pakaiannya perempuan itu mengeluarkan secarik lembar kain
berwarna merah.
"Dari mana kau dapat kain itu?" Mahesa bertanya heran.
"Bekas pakaianku. Waktu melepaskan pakaian merahku di sawah itu,
aku sengaja merobek salah satu bagiannya. Sekedar untuk kenang-
kenangan. Siapa tahu saat ini besar gunanya!" lalu jari-jari tangan yang
halus mungil perempuan itu bergerak cepat. Merobek, membuhul,
merobek lalu membuhul lagi. Tak lama kemudian potongan kain itu telah
berubah menjadi kantong. Setiap memiliki dua lobang.
"Kau mau yang mana?" tanya Sari seraya mengoyang-goyangkan
kantong itu. Satu di tangan kiri satu lagi di tangan kanan.
"Kau bener-bener cerdik. Pandai dan... dan cantik!" ujar Mahesa lalu
menyambar kantong merah di tangan kiri Sari. Kantong langsung
disusupkannya ke kepala. Keseluruhan kepalanya mulai dari rambut
sampai ke pangkal leher kecuali sepasang mata kini tertutup, tak mungkin
dikenali! Sari menyusul menutupi kepalanya dengan kantong kain yang satu lagi.
"Terus terang aku banyak musuh. Sekali mereka mengenali wajahku,
mereka akan mencegatku seusai upacara. Lain dari itu, aku tak mau ke
ucemburu kalau ada pendekar-pendekar muda yang terus-terusan
memandangku. Hik... hik... hik..." perempuan itu tertawa cecikikan.
"Kalau bukan di sini tempatnya, pasti kau kugelitik sampai terkencing-
kencing!" kata Mahesa pula. Lalu dia memberi isyarat agar Sari mengikuti.
Dengan hati-hati Mahesa mengungkit papan jati penutup lobang dan
mengintai. Di atas panggung saat itu dilihatnya makanan dan minuman terletak dua
buah meja panjang. Di sebelah depan meja panjang terdapat satu meja
kecil berikut kursi. Baik kursi maupun meja bentuknya bagus sekali.
Terbuat dari kayu jati berukiran halus.
Saat itu lebih dari separuh bangku-bangku panjang yang terbuat dari
batang-batang bambu telah terisi oleh tamu. Sayang dari tempat mengintai
Mahesa tak dapat melihat dengan jelas wajah-wajah para tamu itu.
Kemudian dilihatnya pula delapan lelaki bercawat bertubuh raksasa tegak
di delapan sudut lapangan, berarti lobang keluar masuk terowongan itu
tidak ada penjaga. Setelah meneliti keadaan beberapa lamanya, Mahesa
buka lebar-lebar papan jati dan melompat keluar. Sari mengikuti dari
belakang. Keduanya lari menuruni lereng gunung menjauhi tempat itu lalu
berputar ke selatan akhirnya kembali lagi ke tempat upacara dari arah
pintu masuk. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di tempat itu,
termasuk delapan manusia raksasa menganggap kedua orang ini adalah
dua tamu yang baru datang dan dipersilakan mengambil tempat duduk.
Akan hal kain-kain merah penutup kepala mereka atau penampilan yang
aneh-aneh merupakan hal yang terbiasa di kalangan tokoh-tokoh
persilatan. 12 MISTERI DELAPAN KARUNG BAHAN PELEDAK
MAHESA DAN SARI sengaja mengambil tempat duduk agak ke
belakang. Hal ini agar orang banyak yang telah lebih dulu datang tidak
memperhatikan keduanya, sebaliknya mereka bisa memperhatikan para
tetamu itu dari belakang.
"Banyak yang kau kenal...?" tanya Mahesa berbisik.
Sari mengangguk. "Banyak, tapi hampir semua orang-orang yang
selama ini mencariku. Musuh-musuhku!"
Mahesa melihat Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil duduk lima
bangku di depannya. Kakek ini duduk tenang-tenang sambil menghisap
rokok kawungnya. Setelah sekian lama tidak bertemu, ingin sekali Mahesa
mendatangi orang tua itu. Tetapi tentu saja dia tidak mau dirinya diketahui
orang. Du jurusan lain dilihatnya dua orang lelaki berpakain kuningmembekal
keris di pinggang masing-masing. Ketika diperhatikan Mahesa segera
mengenali salah seorang diantaranya yakni Made Tantre, pendekar Bali
yang bergelar Tangan Dewa Dari Klungkung. Seperti diceritakan dalam
jilid ke-6 pendekar ini telah menjadi hitam dan cacat tangan kanannya
ketika berkelahi melawan Wirapati.
Mahesa juga melihat kakek berjanggut putih berjuluk Malaikat Maut
Berkuda Putih. Kakek itulah dulu yang pernah menyelamatkan jiwanya
dari tangan Datuk Iblis Penghisap Darah ketika bertempur di Bukit
Akhirat. (Baca jilid ke-2). Si kakek kelihatan semakin tua. Apakah dia
telah berhasil menemui muridnya yang hilang tak tentu rimbanya itu, tanya
Mahesa dalam hati.
Sepasang mata Mahesa mencari-cari orang yang paling tak ingin
ditemuinya tetapi justru ingin mengetahuinya apakah juga berada di situ.
Orang ini bukan lain adalah si nenek gurunya sendiri yakni Kunti Kendil.
Mahesa merasa pasti nenek itu tidak ada di situ.
Ada rasa kecewa, tetapi hatinya juga agak lega. Selanjutnya Mahesa
coba menemukan apakah dukun jahat Embah Bromo Tunggal berada di
tempat tersebut. Diapun tidak melihat manusia satu ini, juga tidak tampak
Datuk Iblis Penghisap Darah. Jelas jika tak ada si nenek, Kunti Kendil, tak
akan ada pula sang datuk. Bukankah mereka sudah menjadi suami istri"
Mahesa memegang tangan Sari. "Ingat dukun jahat bernama Embah
Bromo Tunggal yang kuceritakan padamu itu" Juga pemuda gila
berkepandaian tinggi bernama Wirapati bergelar Iblis Gila Tangan
Hitam?" "Mereka ada di sini...?" balik bertanya Sari yang ingin sekali melihat
langsung orang-orang itu.
"Mereka tidak ada..." menjelaskan Mahesa. Lalu diapun teringat pada
Kemala. Apalagi gadis cantik berbaju kuning yang pernah menjadi
kenangannya itu masihbersama-sama Wirapati"
Seorang tamu baru memasuki tempat upacara. Orang ini mengenakan
jubah putih dan sorban tinggi. Di tangan kirinya tergenggam seuntai tasbih
hijau. Mahesa segera mengenalinya yaitu Ki Sandakan, ketua pesantren
Nusa Barung. "Tak banyak yang menerimaku di sini. Bagaimana kalau kita pergi
saja..." kata Mahesa.
Sari tampaknya tidak menyetujui ajakan itu. "Jauh-jauh kita datang
kemari. Sudah sampai hendak pergi begitu saja. Bukankah kita ingin tahu
partai apa yang akan diresmikan di tempat ini. Siapa ketuanya. Siapa
manusia bungkuk misterius bercadar yang membuat acara ini. Lalu kitapun
belum memecahkan rahasia terowongan itu."
"Kalau kau memang suka tetap di sini, aku hanya menurut saja," kata
Mahesa mengalah walau dia kecewa tidak melihat Embah Bromo Tunggal
di tempat itu. Berarti dia tidak akan dapat menemukan Keris Naga Biru.
Lebih penting dari itu dia tak mungkin mendapatkan kitab ilmu silat tujuh
orang katai yang harus dicarinya itu.
"Ada sepasang tamu yang datang..." tiba-tiba Sari berbisik.


Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa berpaling. Lututnya bergetar. Dadanya berdebar. Bagaimana
tidak. Salah seorang dari tamu itu adalah bekasa gurunya, si nenek Kunti
Kendil! Perempuan tua ini tampak semakin tua. Pakaiannya kotor,
rambutnya awut-awutan. Dia melangkah terpincang-pincang diikuti
seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun, berambut
pendek warna kelabu. Mahesa bertanya-tanya dalam hati saja dia ingat!
Lelaki itu bukan lain adalah Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap
Darah, suami si nenek yang muncul tanpa topeng! Dan Mahesa merasa
dadanya lebih sesak karena kedua orang itu duduk hanya terpisah dua
bangku di depan mereka!
"Kulihat kau tidak tenang," berkata Sari sambil menyentuh lengan
Mahesa. "Kau kenal kedua tamu yang baru datang itu...?"
Mahesa cepat menggeleng.
"Hai, aku tahu kau gugup. Aku tahu kau pasti kenal nenek jelek dan
lelaki gagah berambut kelabu itu!" kata Sari lagi.
Mahesa merasakan tenggorokannya kering dan mulutnya asam. Maka
dia keluarkan rokok kawungnya. Ketika hendak menyulut rokok ini
mendadak dia mendengar suara halus seperti ngiangan nyamuk di
telinganya. "Pemuda tolol! Dengan merokok begitu sama saja kau membuka kedok
siapa dirimu!"
Astaga! Mahesa tersentak kaget. Rokok kawung yang hendak
dinyalakan terlepas jatuh dari tangannya. Dia memandang berkeliling.
Mencari-cari. Siapa orang yang tadi bicara dengan mengerahkan
kepandaian menyampaikan suara jarak jauh! Tak mungkin Kunti Kendil.
Tak mungkin pula Lembu Surah. Apalagi si kakek muka tengkorak yang
duduk jauh di ujung sana. Lalu siapa" Mahesa kembali memandang
berkeliling. "Siapa yang tengah kau cari?" tanya Sari.
"Ada seseorang bicara dari jauh padaku..." menerangkan Mahesa. Dan
pemuda ini memandang berkeliling mencari-cari. Tiba-tiba dia lihat orang
itu. Seorang kakek berpakaian compang-camping. Bermata buta dan duduk
seperti acuh tak acuh.
"Gembel Cengeng Sakti Mata Buta!" seru Mahesa dalam hati begitu dia
mengenali siapa adanya kakek itu. Tokoh sakti yang diketahuinya
merupakan tokoh silat nomor satu saat itu. Kakek yang bersifat aneh,
mudah menangis inilah yang dulu pernah mengajarkannya jurus-jurus silat
yang luar biasa yakni jurus ilmu silat orang buta!
"Ah, dia masih seperti dulu-dulu juga. Apakah masih suka main catur"
Aku harus menemuinya!" Mahesa lalu berdiri. Namun saat itu pula
kembali terdengar suara mengiang di kedua telinganya.
"Lagi-lagi kau bertindak tolol. Tetap duduk di tempatmu! Sekarang
bukan saatnya untuk mengobrol!"
Mau tak mau Mahesa terpaksa duduk kembali. Kalau saja dia bisa
menyampaikan suara jarak jauh seperti kakek itu banyak hal yang akan
ditanyakannya. "Manusia luar biasa! Kedua matanya buta. Kepalaku
tertutup kain merah. Aku duduk cukup jauh dari dia. Bagaimana kakek itu
bisa mengenali dan mengenali dan mengetahui aku ada di sini" Bagaimana
pula dia bisa sampai di tempat upacara ini tanpa ada yang membawanya"
Benar-benar luar biasa! Apakah adiknya si mata biru juga hadir di tempat
ini?" Selagi berkata-kata dalam hati seperti itu Mahesa kembali memandang
berkelilingnya. Dilihatnya Pendekar Muka Tengkorak tengah menyalakan
lagi sebatang rokok kawung. Semakin asam rasanya mulut Mahesa.
"Anak setan betul! Aku tak bisa merokok. Aku tak bisa mendekati
kakek cengeng itu. Bagaimana kalau aku menemui si muka tengkorak?"
Mahesa melirik pada gembel Cengeng Sakti Mata Buta lalu memamdang
lagi pada kakek muka tengkorak yang asyik menyedot rokok kawungnya
tanpa melepaskan rokok itu dari sela bibirnya. Angin di lereng gunung itu
keras sekali hingga rokok yang baru dinyalakan si kakek padam apinya.
Ketika melihat nyala api penyulut rokok itu mendadak Mahesa teringat
pada delapan karung peledak yang dihubungkan dengan tali berminyak.
Kalau ujung tali itu dibakar...
Delapan karung itu berada di dalam tanah, tepat di bawah lapangan di
mana hampir seratus tamu duduk menghadiri upacara, termasuk dia dan
Sari! "Gila!" seru Mahesa.
"Hai, siapa yang gila"!" bisik Sari.
Mahesa pegang tangan perempuan itu lalu membawanya duduk
menjauh ke sudut lapangan. Diceritakannya apa yang tadi dibayangkannya. Wajah Sari dibalik kain merah jadi berubah.
"Astaga, kalau begitu.... Siapapun yang mengadakan acara peresmian
ini pasti mempunyai maksud keji luar biasa! Dia hendak meledakkan
gunung ini! Membunuh kita semua!"
Mahesa berdiri, memandang berkeliling dengan cepat. Delapan lelalki
bertubuh raksasa dilihatnya masih tegak di tempatnya semula, pada sisi-
sisi lapangan. "Kita harus menyelinap kembali ke dalam terowongan itu," bisik
Mahesa. "Ikuti aku!"
Keduanya segera berdiri, melangkah cepat menuju pintu lapangan.
Seorang lelaki tinggi besar bercawat yang berjaga-jaga di sana serta merta
menghadang mereka.
"Celaka, agaknya kita terpaksa membuat urusan," ujar Sari.
"Tenang saja..." sahut Mahesa.
"Dua tamu berkerudung! Kalian mau ke mana?" penjaga itu bertanya.
"Ada barang penting yang harus kami ambil di kaki gunung."
Orang itu menyeringai. Ternyata gigi-giginya pun besar luar biasa.
"Kami taun rumah punya aturan. Setiap tamu yang sudah datang tidak
boleh meninggalkan tempat ini! Kembali ke tempat kalian!"
"Anak setan!" maki Mahesa dalam hati. Tapi dia coba tersenyum. Lalu
menjawab. "Memamg kami tahu aturan itu. Ketua juga telah memberitahu
pada kami..."
"Ketua" Ketua siapa maksudmu?" tanya si raksasa.
"Ketua siapa lagi kalau bukan ketua kami dan juga ketua kalian! Jangan
berpura-pura bodoh!" Mahesa membual dan sekaligus menggertak. Sesaat
orang di hadapannya itu tampak terkesiap. Mahesa segera menyambung:
"Barang yang akan kami ambil itu adalah milik dan untuk keperluan
Ketua. Akan dipergunakan dalam upacara nanti. Jika kau berani
melarangnya kami akan melapor pada Ketua!"
"Ketua tidak pernah mengatakan ada petugas-petugas lain selain aku
dan tujuh kawanku!"
"Ketua tidak sebodohmu! Tidak semua urusan diberitahukan pada anak
buah. Apa kau tidak percaya"!"
Orang itu semakin ragu.
Mahesa kembali menggertak. Dia berpaling pada Sari berkata: "Bertahu
Ketua. Kita mendapat halangan dari orang dalam sendir!"
Sari segera melangkah.
"Tunggu!" kata si tinggi besar bercawat. "Kalian boleh pergi, tapi lekas
kembali. Upacara akan segera dimulai!"
"Nah, begitu lebih baik bagimu!" ujar Mahesa. Diikuti oleh Sari dia
segera meninggalkan tempat upacara. Menuruni gunung ke arah selatan
lalu membelok ke timur, mengambil jalan berputar dan akhirnya muncul
kembali di lereng gunung tepat di belakang panggung. Karena tak ada
yang menjaga lobang terowongan tanah, dengan mudah dan cepat
keduanya bisa memasuki pintu atau lobang terowongan itu.
Di tempat upacara, mengatahui Mahesa dan kawannya pergi
meninggalkannya, si kakek yang bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata
Buta mulai sesenggukan, lalu menangis tersedu-sedu. Para tamu yang
duduk didekatnya tak satupun yang berani menegur. Mereka semua
memaklumi kalau yang bersifat dan bersikap aneh itu biasanya adalah
tokoh-tokoh kelas satu dalam dunia persilatan.
Entah dari mana sumbernya, saat itu terdengar suara gong dipukul tujuh
kali berturut-turut. Para hadirin segera mengarahkan perhatian ke
panggung kayu, ke araas mana saat itu melangkah cepat seorang lelaki
berpakaian putih. Sulit untuk memperhatikan wajahnya karena tertutup
cadar hitam. Manusia bungkuk ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Gong
terdengar lagi bertalu delapan kali. Disusul oleh suara tiupan terompet
nyarig sekali. Begitu orang bungkuk itu menurunkan kedua tangannya
kembali, maka suara terompetpun sirna. Lalu orang ini duduk ke atas kursi
berukir yang terletak di belakang sebuah meja kecil.
Diantara para tamu mulai terdengar suara berisik kasak kusuk. Kunti
Kendil berpaling pada Lembu Surah dan berbisik: "Lembu, kau tahu siapa
adanya orang di atas panggung itu?"
"Sulit diduga. Wajahnya tertutup cadar yang sulit ditembus pandangan
mata. Sosok tubuhnya tidak mengatakan apa-apa. Banyak orang yang
bungkuk seperti dia. Entah kalau dia bicara nanti. Mungkin aku mengenali
suaranya," jawab Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah yang
saat itu hadir dengan wajah aslinya, tanpa topeng tipis.
Tiba-tiba terompet berbuyi lagi. Tinggi dan panjang. Begitu lenyap,
orang yang berada di atas panggung tegak dari kursinya.
TAMAT Serial berikutnya:
RAHASIA SI BUNGKUK BERJUBAH PUTIH
Makam Bunga Mawar 10 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Manusia Srigala 3
^