Pencarian

Rahasia Si Bungkuk Berjubah 1

Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR DARI LIANG KUBUR
MAHESA EDAN RAHASIA SI BUNGKUK
BERJUBAH PUTIH Sumber: Bastian Tito
EBook: kingthunder
1 SANG KETUA TAK BERNAMA
21 TOKOH BERGABUNG INGINKAN KEDUDUKAN
unti Kendil yang sejak tadi tidak tenang berbisik
pada suaminya, "Surah, bagaimana kalau saat ini
K aku naik saja ke panggung. Menanyakan perihal
muridku itu pada hadirin."
Lembu Surah alias Datuk Penghisap Darah terkejut.
Cepat-cepat dia menjawab, "Jangan bertindak gila Kunti.
Kita disini sebagai tamu. Jangan mengacau upacara tuan rumah. Semua orang akan
gusar kepadamu!"
"Perduli setan dengan semua orang!" sahut si nenek yang memang sulit diberi
pengertian. "Bukankah kita datang kemari bukan untuk menghadirin segala macam
upacara kentut busuk ini. Tapi untuk mencari jejak mayat Mahesa!"
"Aku tahu alasanmu itu. Tapi bagaimanapun aku tidak setuju maksudmu naik ke
panggung. Tunggu saat yang baik!"
Kuntu Kendil tidak senang mendengar kata-kata Lembu Surah itu. Namun dia
terpaksa menahan diri. Seperti tetamu lainnya dia lalu memandang panggung.
Saat itu lelaki bungkuk berjubah putih yang menutup wajahnya dengan cadar hitam,
tegak di atas panggung sambil angkat tangan kanannya. Kemudian terdengar
suaranya. Keras tetapi hanya mengandung hasrat hati yang keras, sama sekali
tidak berwibawa.
"Para hadirin, para sahabat sekalian! Perkenankan aku atas nama partai yang
sebentar lagi akan diumumkan dan diresmikan, mengucapkan rasa hormat yang
setinggi-tingginya kepada semua orang yang telah sudi datang kemari dari
perbagai penjuru dunia persilatan. Hari ini adalah hari bersejarah dan hari
berbahagia bagi kami selaku tuan rumah. Semoga kebahagiaan itu menjadi
bagian para sahabat yang hadir di tempat ini.
Seperti para sahabat semua mengetahui, sejak dua
puluh lima tahun terakhir ini tidak ada lagi satu partai persilatanpun berdiri.
Padahal dunia persilatan telah ber-kembang pesat dengan segala pasang surutnya.
Karena itulah saat ini dirasakan perlu untuk membangun, mendirikan dan
meresmikan sebuah partai silat baru, demi persatuan diantara kita orang-orang
rimba persilatan.
Aku saat ini memberanikan diri untuk mengundang para sahabat guna menyaksikan
peresmian partai baru yang akan diberi nama Partai Merapi Perkasa. Namun satu
hal perlu para sahabat ketahui, kalian semua datang kemari bukan saja untuk
menyaksikan dan meresmikan, tetapi juga untuk turut ambil bagian dalam partai
baru ini, dan menduduki jabatan-jabatan penting yang tersedia...."
Sampai disitu ramailah suasana diantara para hadirin.
Ada yang menunjukkan rasa terkejut, ada yang cukup senang dengan penjelasan itu
karena merasa punya bobot untuk dapat duduk dalam pengurusan partai. Tetapi
lebih banyak lagi yang merasa tidak senang.
Kunti Kendil berpaling pada Lembu Surah dan berkata menyatakan ketidak
senangnya. "Si bungkuk bertopeng itu belum lagi memperkenalkan siapa dirinya,
apalagi membuktikan bahwa dirinya memang pantas untuk mengatur peresmian partai
baru. Enak saja dia mengajak para hadirin untuk duduk dalam partai. Manusia
bungkuk tidak tahu diri!"
Lembu Surahpun merasa tidak enak. Sebagai tokoh silat walaupun dari golongan
hitam - tata cara yang dipakai orang diatas panggung itu tidak layak sama sekali.
Seolah-olah para hadirin adalah kambing-kambing yang dikumpulkan bersama-sama
lalu diberi tugas ini itu.
Di atas panggung, lelaki berjubah kembali membuka
mulut. "Para sahabat, kalian tidak usah terkejut. Kalian juga tidak perlu jengkel atau
marah. Kami di sini tidak memaksa kalian harus duduk dalam partai. Siapa yang
suka akan disambut dengan rasa hormat, tangan terbuka dan terima kasih. Siapa
yang tidak mau, tetap akan menjadi sahabat kami."
"Anak setan!" kembali terdengar Kunti Kendil memaki.
"Tidak begini caranya mendirikan partai. Paling tidak harus melewati ujian baru
layak diresmikan..." karena tidak dapat menahan kejengkelannya Kunti Kendil lantas
berteriak. "Orang berjubah! Perkenalakan dulu siapa dirimu! Apa kedudukanmu dalam Partai
dan siapa yang mensyahkan kedudukanmu itu!"
Para hadirin ramai terdengar teriakan yang blak-blakan itu. Banyak yang setuju
tapi ada juga menganggap si nenek terlalu berani nyerocos seperti itu.
Si bungkuk di atas panggung mengangkat kepalanya
memandang ke rah si nenek. Dalam hatinya dia merasa tidak senang. Namun sambil
mengangkat tangan kanan dia menyambuti.
"Ah, ternyata sahabatku nenek sakti dari pegunungan Iyang yang bicara. Terima
kasih atas kata-katamu tadi Kunti Kendil."
"Eh, anak setan ini mengenali diriku!" ujar Kunti Kendil seraya memegang lengan
suaminya. "Memang ucapan seperti itu pantas dikeluarkan. Dan aku tidak berkeberatan untuk
menjawab memberi
keterangan..." kata lelaki bungkuk berjubah putih. "Tetapi sebelum aku memberi
keterangan, biar aku memberitahu dulu para hadirin siapa adanya sahabatku itu..."
"Anak setan! Apa maksud orang itu!" kata Kunti Kendil seraya berdiri tapi cepat
dicegah Lembu Surah.
Di atas panggung si jubah putih meneruskan ucapannya.
"Sahabat si nenek bernama Kunti Kendil merupakan tokoh silat terkenal di daerah
ini. Sejak puluhan tahun dia bertempat tinggal di pegunungan Iyang. Namanya
ditakuti lawan disegani kawan. Hanya sayang saat ini dia datang kemari bukan
saja untuk menghadiri upacara peresmian, tetapi juga untuk menyirap kabar
mengenai muridnya, yang mayatnya lenyap tak tentu rimba sejak beberapa minggu
lalu. Bukan begitu Kunti Kendil?"
Si nenek ternganga. "Gila! Bagaimana anak setan itu tahu apa yang terjadi"!"
desis Kunti Kendil. Lembu Surahpun tampak heran sementara para hadirin banyak
yang memandang padanya dengan wajah bertanya-tanya.
"Jangan-jangan dia yang menculik mayat Mahesa..."
bisik si nenek pada Lembu Surah. "Aku harus
menanyainya!" Dan tanpa dapat dicegah oleh Lembu
Surah, nenek itu sudah meloncat dari tempat duduknya, secepat kilat lari ke arah
panggung, berhadap-hadapan dengan lelaki bungkuk.
Tiga manusia bertubuh raksasa cepat melompat ke atas panggung menghadang Kunti
Kendil. Orang bungkuk
berjubah putih mengangkat tanganny, memberi isyarat agar ke tiga orang itu
segera meninggalkan panggung.
"Tidak disangka, tamu terhormat Kunti Kendil bersedia datang ke panggung!" kata
si bungkuk. "Ini benar-benar tanda persahabatan yang luar biasa!"
"Lekas katakan apa yang kau ketahui tentang muridku bernama Mahesa itu!" kata
Kunti Kendil membentak.
Si bungkuk perdengarkan suara tertawa.
"Kalau aku ingin mendirikan partai, sudah selayaknya aku mengetahui apa yang
terjadi di sekelilingku..."
"Sekarang jawab apa yang kau ketahui mengenai
Mahesa. Di mana jenazahnya sekarang berada"!"
"Pengetahuanku belum sampai sejauh itu....."
"Dusta! Pasti kau ada sangkut pautnya dengan
lenyapnya mayat pemuda itu!" tukas Kunti Kendil.
Si bungkuk berjubah kembali tertawa.
Saat itu seseorang melompat gesit ke atas panggung dan menarik tangan Kunti
Kendil. Ternyata orang ini adalah Lembu Surah.
"Kunti! Jangan membuat malu! Ikut aku turun lekas!"
Semula si nenek hendak menepis pegangan suaminya.
Tapi ketika Lembu Surah menariknya dengan paksa, mau tak mau Kunti Kendil turun
juga dari panggung meskipun dengan hati sangat mendongkol.
Pendekar Muka Tengkorak yang hadir di tempat itu juga terkejut mendengar ucapan
orang berjubah putih tadi tentang Mahesa. Besar dugaannya orang itu tahu lebih
banyak bahkan mungkin terlibat dengan kematian pemuda yang disukainya itu.
Meskipun dia kepingin pula mencari keterangan namun kakek ini tidak mau
bertindak gegabah seperti yang dilakukan si nenek. Dia menunggu sampai saat yang
baik untuk mendatangi orang berjubah itu.
Di atas panggung, si bungkuk tampak mengangkat
tangan. "Para sahabat, harap maafkan kalau sahabatku Kunti Kendil tadi begitu
bersemangat. Tadi dia minta agar aku menerangkan lebih dulu siapa diriku, apa
kedudukanku dalam partai dan siapa yang mengesahkan kedudukanku itu! Bagus...itu
pertanyaan yang bagus. Dan memang saat serta semestinya aku memberitahu. Aku
dilahirkan tidak bernama karena memang tidak ada yang memberi nama.
Dalam pendirian partai Merapi Perkasa aku menduduki jabatan sebagai Ketua. Jadi
para sahabat bisa
memanggilku dengan sebutan itu. Soal siapa yang
mengesahkan aku sebagai ketua, ini agak lucu juga.
Soalnya aku yang mendirikan partai, apakah tidak pantas kalau aku menyebut diri
sebagai Ketua. Lalu sebagai Ketua aku punya hak untuk mengangkat para pengurus
partai. Dan semua jabatan yang bakal kuberitahu adalah hak para sahabat yang suka untuk
memegangnya. Aku mengundang saudara semua ke sini salah satu maksudku adalah
untuk keperluan itu..."
"Apa sebenarnya tujuan partai Merapi Perkasa"'
seorang yang duduk di sebelah timur bertanya.
"Mudah saja jawabnya." Sahut si jubah putih. "Guna mempersatukan berbagai aliran
dan berbagai tokoh silat di daerah ini!"
"Kalau ada yang tidak mau menerima undanganmu
duduk dalam partai apa akibatnya?" tanya seseorang lain.
"Tak ada akibatnya. Kita akan tetap bersahabat. Tapi ketahuilah. Partai Merapi
Perkasa akan menjadi partai besar. Kedudukan dalam pengurusan partai merupakan
kedudukan terhormat!"
"Keampuhan partai baru ini harus perlu diuji!" tiba-tiba seorang tamu yang duduk
di sebelah barat berseru.
Sang ketua melambaikan tangan. "Saudara betul!" katanya. "Saat untuk pengujian
itu nanti akan diberkan. Yaitu setelah para sahabat mencicipi makanan dan
minuman yang telah disediakan di suatu meja besar sana... Sekarang aku akan
teangkan sedikit mengenai nama partai dan artinya. Merapi merupakan sebuag
gunung besar di daerah ini. Tinggi dan megah. Begitu pulalah kebesaran dan
ketinggian derajat partai. Merapi artinya Merah dan Api.
Merah artinya berani. Api artinya penuh semangat. Lihat kobaran api ini...!" si
jubah putih angkat tangan kanannya dan bluup!
Tahu-tahu di samping kanannya berkobar nyala api yang besar dan tinggi. Panasnya
luar biasa. Si jubah putih tertawa mengekeh.
Para tamu terkejut. Ada yang berkata: "Ini ilmu sihir!"
"Ilmu hitam!" kata yang lain.
Sang Ketua angkat kanannya kembali. Kobaran apipun padam. Lalu cepat berkata,
"Jangan salah pengertian. Apa yang para sahabat saksikan tadi bukan ilmu sihir,
bukan pula ilmu hitam. Api adalah lambang partai. Yang dapat mempergunakannya
dan mau bersahabat dengannya kan
merasakan kehangatan yang menggairahkan. Siapa yang mencoba membuatnya menjadi
lawan, niscaya akan
terbakar hangus! Nah, untuk mempercepat waktu sebelum partai diresmikan, aku
mengundang para sahabat yang mau bergabung untuk naik ke atas panggung. Undangan
ini bukna paksaan. Silahkan..."
Tak ada seorangpun diantara para tamu bergerak. Si jubah putih menunggu.
"Silahkan...!" katanya kembali.
Dua sosok tubuh berpakaian kuning melompat ke atas panggung.
"Ah, terima kasih. Terima kasih. Sahabatku Made Tantre yang bergelar Tangan Dewa
Dari Klungkung serta sahabatku Nyoman Wiratha rupanya bersedia bergabung dengan
kami! Terima kasih. Kalian akan mendapatakan kedudukan yang baik dalam partai!"
sang Ketua menyambut gembira dan menjura dalam-dalam. Made Tantre dan
Nyoman Wiratha balas menjura.
"Nah siapa lagi" Siapa menyusul"!" kata sang Ketua kemudian.
Beberapa orang lagi melompat ke atas panggung hingga jumlah keseluruhan mencapai
delapan belas orang.
Sang Ketua sangat gembira. Tapi dia masih belum puas.
"Panggung masih lebar. Masih banyak tempat kosong!
Para sahabat silahkan naik dan bergabung!"
Dua orang lagi menyusul naik. Lalu seorang lainnya.
Hingga kini dua puluh satu orang di atas sana.
Di bawah panggung kakek buta yang bergelar Gembel
Cengenga Sakti Mata Buta geleng-gelengkan kepala.
"Mansia-manusia tolol." Katanya dalam hati.
Dair atas panggung sang ketua kembali membuka
mulut. Dia menyapa Kunti Kendil. "Nenek sakti dari gunung Iyang, dan juga
kawannya yang berambut kelabu apakah tidak ingin bergabung dengan kami?"
"Siapa sudi!" jawab Kunti Kendil terang-terangan.
Sanga Ketua berpaling pada Pendekar Muka Tengkorak yang duduk enak-enakan sambil
merokok. "Pendekar Muka Tengkorak, bagaimana dengan kau?"
"Aku pikir-pikir dulu..." jawab si kakek.
"Hai, jangan terlalu lama berpikir-pikir. Nanti tidak kebagian kedudukan bagus
dalam partai!"
"Kau salah sangka! Aku bukan berpikir-pikir untuk
masuk dalam partaimu. Tapi berpikir-pikir apakah bukan kau orangnya yang punya
hutang piutang padaku....!"
Wajah sang Ketua yang terlindung dibalik cadar tampak berubah. Namun cepat dia
perdengarkan suara tertawa seraya berkata:"Sahabatku Pendekar Muka Tengkorak,
soal hutang piutang itulah soal yang tak pernah kulakukan dalam hidupku.tapi
jika kau anggap begitu, partai nanti yang akan menyelesaikan setelah upacara
peresmian!"
Si muka tengkorak tidak menjawab apa-apa dan
menyedot rokok kawung dalam-dalam.
Orang bungkuk berjubah putih di atas panggung
memandang berkeliling. Dia melihat tamu bersorban itu, mengenalinya sebagai
ketua pesantren Nusa Barung,
maka diapun berseru.
"Ki Sandakan! Naiklah kemari! Mari kita bergabung
dalam Partai Merapi Perkasa!"
"Terima kasih. Saat ini aku belum berminat untuk bergabung. Mungkin kemudian
hari. Boleh aku bertanya..."
ujar Ki Sandakan.
"Tentu saja. Tentu saja. Silahkan. Apa yang hendak kau tanykan...?"
"Pertanyaan tolol. Yaitu bagaimana kau bisa meng-
angkat diri sebagai ketua partai. Padahal pemilihan belum pernah diadakan.....!"
Si bungkuk berjubah putih mendongkol sekali men-
dengar pertanyaan itu. Namun dia menjawab dengan nada suara yang sengaja
merendah dan dipersabar.
"Katamu pertanyaanmu pertanyaan tolol. Biarlah aku juga menjawab tolol!
Sebetulnya aku tidak serakah untuk mau-mauan jadi ketua. Tanggung jawabnya tidak
kecil. Benar difitnah, salah dimaki. Selama ini tak ada satu orang pun yang punya minat
serta mau merintis pendirian sebuah partai. Aku secara diam-diam, dengan susah
payah mem-persiapkannya. Salahkah kalau dari hasil jerih payah itu aku mendapat
hak untuk menjadi Ketua" Nah Ki
Sandakan, itu jawabanku. Coba kau renungkan saja..."
habis berkata begitu sang Ketua kembali memandang berkeliling, lalu berseru
bertanya: " Ada lagi diantara para sahabat yang hendak mengajukan pertanyaan
tolol...."!"
Air muka Ki Sandakan tampak menjadi merah oleh
sindiran itu. Jika menurut kehendak hatinya ingin dia meninggalkan tempat
tersebut saat itu juga. Namun orang tua ini tetap tenang sambil permainkan
tasbihnya. Kedatangan ke situ sebenarnya bukan untuk menyaksikan upacara
peresmian partai. Tapi guna yang dilarikan dukun jahat Embah Bromo Tunggal


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bebepara waktu lalu.
Sepasang mata sang Ketua yang masih memandang
kian kemari dari atas panggung terpaku pada sososk seorang tamu yang berpakaian
compang-camping, mata buta. "Kalau manusia ini dapat kuajak bergabung semua
pasti beres. Tapi satu orangpun berani mengganggu
partaiku. Aku harus mendatanginya!" begitu sang Ketua membathin. Lalu dengan
gerakkan enteng, laksana
terbang, tubuhnya melesat ke bawah panggung, melewati kepala para tetamu. Sesaat
kemudian dia sudah tegak di depan orang tua bermata buta itu. Sambil menepuk-
nepuk bahu si buta, sang Ketua berkata.
"Sungguh tidak disangka, tokoh silat nomor satu bergelar Gembel Cengeng Sakti
Mata Buta berkenan pula datang kemari. Aku menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih... Tentu sahabat sudah menanam niat untuk
bergabung dengan kami. Jabatan Wakil Ketua tersedia untukmu....."
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta mendongak ke langit.
Wajahnya tampak seperti mau menangis. Suaranya perlahan saja ketika menjawab.
"Mataku buta. Tidak ada manfaatnya mengambil aku jadi Wakil Ketua. Apa-apa aku
tidak becus!"
"Sahabat, jangan merendah!" kata sang Ketua pula.
"Siapa yang tidak kenal dengan nama besarmu" Mari kita naik ke panggung!"
"Terima kasih. Biarlah aku duduk di sini saja. Banyak angin sejuk bertiup di
sini. Lagi pula kalau sampai aku menangis di atas panggung sana akan memalukan
saja!" "Jika begitu aku tidak memaksa." Kata sang Ketua.
Dengan rasa kecewa dia membalikkan badan tubuh untuk kembali ke atas panggung.
Namun aneh, tiba-tiba saja saat itu dia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya.
Sepasang kakinya tak mau diangkat atau diseret. Seolah di-paku dan ditancap ke
dalam tanah lalu disemen! Manusia bungkuk ini berusaha tidak panik. Tidak dapat
tidak pasti kakek buta lihay itu telah melakukan sesuatu atas dirinya.
Tapi melakukan apa dan kapan.
"Kurang ajar! Si buta keparat ini pasti telah menotok jalan darah kedua kakiku!
Tapi aneh. Aku tidak meluhat dia menggerakkan tangan!"
Sang ketua sama sekali tidak tahu, sewaktu tadi dia menepuk-nepuk bahu orang tua
buta itu, si buta langsung kirimkan tenaga dalamnya yang sangat tinggi melewati
bahu, terus ke tangan sang Ketua dan terus mengbungkus kedua kakinya hingga dia
berada keadaan seperti tertotok.
"Hai! Jangan berdiri juga di sini. Sebagai Ketua kau harus lekas kembali ke atas
panggung!" tiba-tiba si kakek berkata sambil hentakkan kaki kirinya ke tanah.
Ajaib! Pada saat itu pula kedua kaki sang Ketua mampu bergerak kembali menuju panggung.
Untung saja tidak satu
orangpun mengetahui apa yang terjadi hingga dia tidak kehilangan muka!
Karena tidak enak dengan adanya kejadian tadi sang Ketua memutuskan untuk
mempercepat saja jalannya
uacara. Maka diapun berkata. "Para sahabat dan semua yang hadir. Sebenarnya saat
ini aku akan sampai pada acara memberitahukan susunan pengurusan partai.
Semua terdiri dari para sahabat yang telah sudi menyatakan bergabung dengan
jalan naik ke panggung ini. Namun aku juga tahu kalau sahabat sekalian datang
dari jauh. Ada yang harus memerlukan waktu berhari-hari untuk sampai kemari.
Karenanya biarlah acara [engumuman pengurus itu ditunda dahulu. Kita langsung
pada acara jamuan. Para sahabat yang telah sudi bergabung, jadi layak disebut
sebagai tuan rumah, dipersilahkan mengambil tempat di meja sebelah ujung sana.
Lalu para sahabat yang berada di lapangan silahkanduduk di meja sebelah depan
sini. Silahkan minum dan makan sepuas-puasnya...!"
Para tamu yang berada di lapangan hanaya sekitar dua puluh orang saja yang
tampak bergerak dan melangkah menuju anggung. Sisanya hampir enam puluh orang
tetap di tempat masing-masing. Entah sungkan entah memang tidak suka ikut
mencicipi jamuan. Sebaliknya dua puluh satu tokoh silat yang sudah menyatakan
diri bersedia bergabung langsung saja mencari tempat di meja sebelah belakang
panggung. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara seseorang dari lereng gunung yang
terletak di samping kiri panggung dan lapangan upacara.
"Waw waw! Apakah kami tamu yang duduk di sini tidak diundang makan dan minum"!
Waw waw, tuan rumah
sungguh kerterlaluan!"
Demikian kerasnya suara itu hingga semua yang hadir termasuk sang Ketua dan
delapan orang anak buahnya terkejut lalu serentak memandang ke lereng gunungyang
rapat pepohonan besar bebatuan dan semak lebat.
*** 2 IBLIS GILA TANGAN HITAM MUNCUL
SEMUA BEREBUTAN UNTUK MEMBUNUH
ua sosok manusia nampak duduk uncang-uncang
kaki dicabut sebuah pohon besar sambil tertawa-
D tawa. Yang pertama, seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih. Wajahnya
tertutup oleh rambut
gondrong awut-awutanserta cambang bawuknya merang-
gas. Kedua tangannya hitam pekat sampai sebatas siku. Di sebelah dudukseorang
perempuan muda berambut
panjang kusut, berpakaian warna kuning. Meskipun
keadaan dirinya kelihatan tida terurus namun kecantikan asli yang dimiliknya
tidaklah pupus.
Puluhan orang, antara lain, Made Tantre alias Tangan Dewa Dari Klungkung, Ki
Sandakan Ketua Pesantren Nusa Barun, Kunti Kendil serta Lembu Surah terkejut
melihat kehadiran lelaki di atas pohon itu. Mereka semua sama menggangap orang
itu adalah musuh besar mereka karena perkelahian, sakit hati atau dendam kesumat
dimasa lampau! "Iblis Gila Tangan Hitam!" seorang berseru dengan lidah tercekat.
Dan gemparlah suasana di tempat itu.
"Bagus! Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang muncul
sendiri anak setan ini!" yang berteriak adalah Kunti Kendil.
Si nenek masih menambahkan: "Wirapati! Murid laknat murid keparat! Hari ini hari
terakhir bagiu untuk hidup! Tak ada hukuman yang lebih baik dari pada mampus
badan dan kepala terpisah!"
Dari atas panggung, Made Tantre yang tadi telah
mengambil tempat duduk di maja makan serta berdiri.
Pada dasarnya manusia bergelar Tangan Dewa Dari
Klungkung ini tidak memiliki nyali untuk menghadapi Wirapati, orang yang telah
membuat dirinya menjadi cacat.
Namun saat itu dia berada bersama serombongan tokoh-tokoh silat yang telah
bergabung dalam satu partai. Berarti dia tidak sendirian. Disamping itu dia tahu
betul, dari para tokoh yang tidak bergabung juga terdapat banyak orang yang
memendam permusuhan dengan Iblis Gila Tangan
Hitam. Maka Made Tantrepun berteriak.
"Iblis Gila! Setahun lalu kau membuat hutang! Hari ini kau bayar berikut
bunganya!"
Ki Sandakan, mungkin satu-satunya orang yang memiliki dendam kesumat paling
besar terhadap Iblis Gila Tangan Hitam. Bagaimana tidak. Seluruh pengurus
Pesantren mati di tangan pemuda gila itu. Lalu dia pula yang mencuik Sundari,
anak murid Pesantre yang kabarnya telah
menemui kematian. Maka pemimpin Pesantren inipun ikut berdiri dan berteriak:
Wirapati! Nyawamu hanya satu! Aku tidak rela membagi kematianmu dengan siapapun!
Aku bersumpah hari ini untuk mengorek jantungmu,
membasahi gunung ini dengan darahmu!"
Diantara kegemparan tu terdengar suara seseorang
menangis. Ketika diperhatikan, yan sesengukan itu ternyata adalah si kakek buta
yang terkenal dengan julukan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Dia menangis sambil
mendongak ke langit. Sesaat kemudian terdengar dia berkata. "Aih... bakalan ramai
jadinya. Bakalan ramai jadinya! Kasihan anak gila itu. Seorang diri melawan
badai!" "Siapa bilang dia seorang diri! Aku temannya ada di sini!" tiba-tiba dara
berbaju kuning di atas pohon yang tentu saja Kemala adanya membuka mulut.
Mendengar itu Wirapati tertawa dan tak hentinya mengeluarkan suara waw waw!
Di dalam kegemparan itu pula Mahesa dan Sari yang
tadi meninggalkan lapangan upacara, menyelinap ke
dalam terowongan di bawah tanah, kini tanpa kesulitan kembali menyelinap dan
masuk ke tempat upacara, duduk lagi diantara para tamu, diuung yang agak
terpisah. Tentu saja Mahesa yang berurusan samap itercengang melihat kemunculan
Wirapati, kakak seperguruannya. Di samping itu hatinya merasa gembira, terlebih
ketika melihat Kemala meskipun sesaat dia sedikit terharu melihat keadaan gadis
cantik itu. Dalam hatinya Mahesa bertanya-tanya apakah Kemala dan Wirapati telah
menjalani hidup sebagai suami istri atau bagiaman. Mungkin pula dia akan dapat
mengetahui apa arti sapu tangan putih yang dilemparkan Kemala kepadanya dulu.
"Kulihat matamu memandang tak berkesip pada si baju kuning di atas pohon itu...
kau kenal dia?" tiba-tiba Mahesa mendengar suara Sari.
Mahesa menggangguk terus terang.
"Eh, apa hubunganmu dengan dia...?" Sari kelihatannya seperti cemburu.
"Aku tidak punya hubungan apa-apa. Kami hanyasaling kenal. Pernah saling tolong-
menolong....."
"Kau juga kenal dengan pemuda yang kelihatannya
seperti gila itu" Aku pernah dengar nama angkernya! Apa dia benar gila
sungguhan" Sepeti aku dia banyak sekali musuh!"
"Dia memang gila sungguhan," sahut Mahesa. Lalu
menambahkan: "Dia kakak seperguruanku......!"
Tentu saja ucapan itu membuat Sari kerkejut. "Kalau begitu....." katanya. "ika
terjadi apa-apa dengan dia, kau akan membelanya!"
Mahesa kini yang jadi terkejut. Dpegangnya tangan Sari dan berkata: "Terima
kasih Sari...Akupun tak akan mem-biarkannya dikeroyok orang banyak! Jika terjadi
apa-apa di sini, kau akan melihat sendiri kelihat sendiri kehebatan.
Dibanding dia, kepandaian bukan apa-apa!"
Di atas pohon kembali terdengar suara tertawa dan
suara waw waw Wirapati. Dia menunjuk pada Kunti Kendil dan tertanya: "Nenek
jelek, kelihatannya kau sudah lama tidak pernah mandi. Waw waw! Siapa sih kau
ini yang sesumbar menentukan hari ini hari terakhir hidupku. Kau ini Gusti Allah
atau Apanya" Hik... hik... hik! Waw waw!"
Wajah Kunti Kendil di balik topeng seperti kepiting dipanggang. Terlebih lagi
ketika dia mendengar dara berbaju kuning disebelah Wirapati ikut-ikutan
mentertawai-nya dan berkata: "Hik... hik...! Nenek butut! Apa kau tidak mendengar
ucapan kawanku tadi" Kenapa tidak lekas cari air, pergi mandi dan cebok... Hik...!"
Sekujur tubuh Kunti Kendil menggeletar. Tanah gunung yang dipijaknya melesat
dalam saking marahnya nenek ini.
Disebelahnya, Lembu Surah berdiri sambil mengepalkan tinju kirinya. Karena tidak
dapat menahan amarahnya lagi, Kunti Kendil langsung menghantam dengan tangan
kanannya. Selaris sinar merah menderu menyilaukan.
"Pukulan Api Geledek!" beberapa orang berseru tegang.
Di atas pohon, cabang yang diduduki Wirapati serta Kemala hancur lebur,
terpenggang hitam. Dedaunan yang terbakar hangus berguguran ke bawah. Tapi
Wirapati serta Kemala sudah lebih dahulu melompat sedang Wirapati tertawa waw
waw. Ketika Kunti Kendil hendak menggempur kembali, terdengar bentakan.
"Tahan! Kunti Kendil! Nyata anak itu milikku! Aku paling layak membunuhnya!"
Kunti Kendil hentikan gerakkan dan berpaling dengan wajah bengis. Yang bicara
dilihatnya ternyata adalah kakek bersorban yang bukan lain ialah Ki Sandakan,
pimpinan Pesantren Nusa Barung.
"Ki Sandakan! Jangan bicara ngacok!" balas membentak Kunti Kendil. "Anak setan
gila itu adalah muridku! Aku satu-satunya manusia dijagat ini yang berhak
menghukumnya! Aku satu-satunya orang di dunia ini yang berhak atas nyawanya!"
Ki Sandakan sunggingkan senyum dingin dan mengejak.
"Nenek," katanya, "saat ini kau hanya mau mencari nama untuk menutup kelalaimu
dimasa silam! Apa yang kau lakukan ketika muridmu itu membunuh,menjagal belasan
tokoh silat dan puluhan manusia tidak berdosa"! Kalau kau merasa dia memang
muridmu dan hanya kau yang berhak ini itu! Sebelum nya kau sama sekali tidak
punya tanggung jawab apa-apa sebagai guru! Memalukan bagi seorang tokoh
sepertimu!"
Saking marahnya Kunti Kendil sampai menjerit men-
dengar kata-kata Ki Sandakan itu. Sambil menudingkan telunjuk kirinya ke pada
Ketua Pesantren Nusa Barung, si nenek mengancam: "Bicaramu mulus tapi mulutmu
kotor! Tidak pantas untuk seorang yang menyandang sorban
sepertimu! Semua menyingkir!" Habis berkata begitu si nenek dorongkan kedua
tangannya ke samping. Beberapa orang yang berada di dekat situ cepat menyingkir
sebelum tersambar sangin deras yang keluar dari kedua tangan Kunti Kendil.
Sekali melompat saja si nenek kemudian sudah tegak di hadapan Ki Sandakan. Lembu
Surah cepat mendampinginya.
"Ki Sandakan," desis si nenek dengan muka angker dan pandangan mata berapi-api.
"Jika kau kira kau yang paling berhak terhadap anak setan gila itu maka kau yang
harus mampus lebih dulu di tanganku!
"Aha! Aku memang sudah lama mendengar nama besar
Kunti Kendil dari gunung Iyang! Kau dan murid-muridmu juga pernah membuat
keonaran dipesantrenku tempo hari!
Hari ini aku akan berterima kasih jika dapat memberi pelajaran dua kakinya.
Tangan kanannya yang memegang tasbih diangkat ke atas melindungi dada.
Dalam keadaan tegang begitu rupa, dari arah panggung menggelegar seruan keras.
"Tahan! Ditempat ini aku tuan rumah. Aku tidak suka terjadi keributan di sini!
Aku mengundang kalian bukan untuk berbuat keonaran! Jika ada yang mau pamer
kehebatan silahkan membuat urusan sesudah peresmian partai selesai!"
Yang bicara bukan lain orang berjubah putih, Ketua partai yang hendak
diresmikan. Ucapannya ini disambut oleh gelak tawa dari atas pohon.
"Ketua Partai! Kau benar! Di sini bukan tempatnya membuat segala macam urusan
dan memamerkan kehebatan
waw waw! Usir saja manusia-manusia yang tidak tahu peradatan itu! Waw! Nah
sekarang apakah aku dan
kawanku ini tidak diundang untuk ikut makan minum"!
Di atas phon Wirapati memegang lengan Kemala.
Sesaat kemudian keduanya seperti sepasang burung besar melayang turun, langsung
menuju panggung. Ketika
Wirapati dan Kemala hendak mengabil tempat duduk di meja sebelah depan, sang
Ketua cepat berkata; "Silahkan kalian berdua mengambil tempat di meja sebelah
sana!" "Waw waw! Kenapa musti di meja sebelah sana"
Padahal di meja sini masih kosong" Waw waw!" berkata Wirapati.
Kemala ikut bicara. "Meja di sana sudah penuh. Kami tidak suka duduk
berdesakan!"
"Seperti kukatakan sebelumnya," menerangkan Ketua
partai, "Meja sebelah sana adalah untuk para sahabat yang telah menyatakan ingin
bergabung dalam partai.
Sedang yang di sebelah sini untuk para sahabat yang belum bersedia ikut bersama
kami....!"
"Waw waw! Aku dan sahabatku ini tidak saling bilang kalau kami mau bergabung
dengan partaimu! Kami ke sini hanya ingin makan dan minum!' menjawab Wirapati.
Dalam hati sang Ketua merutuk. Karena tidak tahu apa yang hendak dikatakan,
sesaat dia jadi termangu. Pada detik ini pula Ki Sandakan sudk melesat d\ke atas
panggung, menerjang ke arah Wirapati dengan hantaman tasbih putihnya!
Melihat hal ini dan takut akan kedahuluan, Kunti Kendil segera pula berkelebat
ke atas panggung diikuti oleh Lebu Surah alias Datuk Iblis. Tangan Dewa Dari
Klungkung alias Made Tantre tidak dapat menahan hati, segera memimpin dua puluh
orang yang barusan menyatakan diri ke arah Wirapati dan Kemala. Wirapati maupun
Kemala nampak tenang-tenang saja malah masih tertawa-tawa!
"Para sahabat! Jangan bertindak keburu nafsu!" sang Ketua berteriak dari bawah
lalu cepat-cepat naik ke panggung. Namaun cukup sulit baginya untuk dapat
menyelinap mendekati kedua orang itu. Terpaksa dia pergunakan kekerasan dengan
jalan menorong, menyikut dan mencegah kian kemari hingga akhirnya dia sampai di
dekat wirapati dan Kemala. Terbungkuk-bungkuk dan sambil berkacak pinggang sang
Ketua berkta. "Apapun persoalan kalian dengan kedua orang ini harap diselesaikan
kemudian! Sekarang semua menyingkir. Para sahabat yang tidak bergabung kami
kembali ke lapangan juga kembali ke meja makan sebelah sana!"
Melihat tak ada satu orangpun yang bergerak maka
sang Ketua terpeaksa memberi isyarat pada kedelapan orang anak buahnya yakin


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia-manusia bertubuh
raksasa itu! Kunti Kendil tertawa mengekeh ketika melihat delapan lelaki tinggi besar itu
mendatangi. Dia memberi isyarat pada Lembu Surah. Maka kedua orang inipun
berkelebat cepat. Tahu-tahu enam orang lelaki raksasa itu sduah tertegun kaku
kena ditotok. Dua lainnya mengamuk marah.
Kunti Kendil menendang yang sebelah kiri sedang Lembu Surah memukul yang datang
dari sebelah kanan.
Buk! Buk! Buk! Baik si nenek maupun si kakek berambut kelabu ini
mengira kedua orang itu bakal trjungkal rubuh dan tak bisa bangkit lagi. Tetapi
mereka jadi terkejut sewaktu
menyaksikan bagaimana kedua makhluk raksasa itu hanya sempoyongan sebentar lalu
mengembor marah dan balsa menyerang!
"O ladalah! Tuan rumah sengaja mencari sengketa!"
teriak Kunti Kendil marah. Dia memberi isyarat pada Lembu Surah. Sepasang suami
istri ini berkelebat. Laksana kilat dua jari telunjuk mereka melesat menotok ke
arah mata lelaki-lelaki raksasa itu tanpa keduanya dapat menghindar lagi.
Keduanya meraung keras ketika mata masing-masing kena ditusuk dan memuncratkan
darah. Masih sambil meraung keduanya lari meninggalkan panggung.
Kesunyian di tempat itu diubah oleh suara tawa Kunti Kendil.
"Siapa lagi yang berani melawan kehendakku"!" katanya menantang.
Ketua partai yang masih belum sempat diresmikan itu kini tidak dapat lagi
menahan kesabarannya. Dia berkelebat cepat beberapa kali dan dilain kejap enam
orang lelaki tinggi besar yang tadi tertegun kaku, kini tampak bergerak karena
sang Ketua telah memusnahkan totokan di-tubuh mereka.
"Bunuh dua tua bangka itu!" perintah sang Ketua.
Tangan Dewa Klungkung tampak tidak senang dengan
situasi ini. Begitu pula dengan dua puluh orang lainnya yang telah menyatakan
ikut bergabung. Sebelum enam manusia raksasa itu bergerak Made Tantre segera
mendekati sang Ketua mewakili kawan-kawannya. Dia cepat berbisik. "Ketua jika
kejadian ini diteruskan banyak diantara para sahabat yang bakal tidak senang.
Ini bisa menjadi pangkal perpecahan diantara kita. Padahal partai belum sempat
diresmikan. Kedudukan belum sempat diumumkan. Biarkan saja nenek buruk itu atau
siapapun membunuh pemuda gila itu. Aku sendiri mempunyai
hutang piutang dengan dia dan tak mungkin akan tinggal diam saja...!"
Mendapat kisikan seperti itu sang ketua menjadi
bimbang. Akhirnya dia berkata: "Terserah pada kalialah!
Kau ambil alih pimpinan Made Tantre. Tapi ingat, begitu pemuda gila bersama
kawannya itu menemui kematian, lekas tingglakan panggung dan menyingkir ke
lereng sebelah selatan!"
"Kenapa musti menyingkir?" tanya Made Tantre.
"Tidak perlu bertanya. turuti kata-kataku. Aku Ketuamu!"
Made Tantre mengangguk. Lalu dia memberi isyarat
pada dua puluh orang tokoh silat yang berada dalam kelompoknya. Sementara itu
Kunti Kendil dan Lembu
Surah sudah mendesak maju lebih dulu. Ki Sandakan
datang dari sebelah kiri.
Disaat itu pula dua sosok tubuh berpakaian putih yang memakai penutup kain merah
melompat ke atas
panggung, langsung tegak di kiri kanan Wirapati dan Kemala.
"Keparat berkerudung! Siapa kalian"!" sentak Kunti Kendil marah.
Maseha salah satu dari dua orang yang berkerudung
merah itu lebih dulu mengubah suaranya sebelum menjawab. "Siapa kami bukan
urusanmu!"
"Bagus! Rupanya kalian berdua ingin ikut-ikutan
mampus hendak membela pemuda gila dan sesat itu!"
damprat Kunti Kendil.
"Apapun dosa dan kesalahannya dimasa lampau tetap
tidak adil untuk menghukumnya dengan cara mengeroyok begini rupa! Kalian tokoh-
tokoh persilatan harus men-junjung tinggi keberanian dan kejujuran! Kau nenek
yang banyak mulut! Jika memang merasa berkepandaian paling tinggi, mengapa tidak
berani menghadapi pemuda gila ini satu lawan satu"!" tukas Mahesa oula.
"Siapa bilang aku tidak berani! Hanya kunyuk-kunyuk lain ini yang merusak
acara!" "Kalau begitu yang lain harap menyingkir! Biarkan nenek ini berkelahi satu lawan
satu dengan Iblis Gila Tangan Hitam!" Sari yang ada disamping Kemala berseru.
"Monyet berkerudung! Apa hak dan pangkatmu
menyuruh kami menyingkir!" sentak Made Tantre alias Tangan Dewa Dari Klungkung.
"Lalu apa hak dan pangkat kalian mengeroyok secara pengecut begini rupa"!"
membalas Sari. "Waw waw waw!" Wirapati keluarkan suara keras. "Ini baru hebat! Tidak disangka
aku yang jelek ini punya dua orang kawan yang hendak membela! Waw waw!"
"Kau bukan Cuma punya kawan anak muda! Tapi tiga
dengan aku!" satu suara lantang terdengar dalam suasana yang keruh itu. Terasa
angin menyambar disertai semburan asap rokok. Tiga orang terpental ke samping.
Lembu Surah dan Kunti Kendil tergontai-gontai tubuhnya, Made Tantre hampir jatuh
terjengkang ditabrak orang yang melompat dari bawah panggung. Ketika orang itu
tegak di depan Mahesa, semua orang jadi tertegun. Dia bukan lain si kakek muka
jelangkong yang dalam dunia persilatan
dikenal dengan nama besar Pendekar Muka Tengkorak.
Dia tegak dengan muka menyerngai dan sebatang rokok kawung terselip di sela
bibirnya. "Hemm..." bergumam Kunti Kendil. "Tidak disangka
pendekar yang disegani dan dihormati sepertimu ikut membela iblis pembunuh yang
dosanya sudah selangit tembus!"
Kakek muka tengkorak tertawa mengekeh. "Aku Cuma
manusia biasa. Malah bisa dikatakan jembel tak berguna.
Aku tidak butuh disegani apa lagi dihormati! Bicara soal dosa, siapa manusia
yang tidak pernah berbuat dosa dan kesalahan"! Dendam kesumat boleh saja! Tapi
memalukan jika lebih dari dua puluh tokoh menghakimi seorang anak manusia! Lagi
pula kalau pemuda gila ini yang salah mengapa temannya si baj ukuning itu ikut-
ikutan hendak dibunuh"!"
"Karena dia menjadi bergundal yang hendak membantu Wirapati!" menjawab Lembu
Surah. "Siapa saja yang coba hendak membantu iblis ini akan sama nasibnya.
Mampus!" Kakek muka tengkorak tertawa gelak-gelak.
"Hebat an aneh!" katanya. "Tuhan sendiri belum
menghukum anak manusia bernama Wirapati ini. Mengapa kita manusia jelata yang
hina dinabertindak lebih berani dari Tuhan"!"
"Pendekar Muka Tengkorak!" ujar Lembu Surah. "Sudah selesai pidatomu...."!"
Si kakek cabut rokok kawungnya, mendongak ke atas
dan hembuskan asap rokok ke udara. Serta merta banyak orang ditempat itu
merasakan mata masing-masing menjadi perih dan ada pula terbatuk-batuk.
"Maafkan, aku tidak tahu kalau banyak diantara kalian yang tak tahan asap
rokok." katanya. Lalu dia berpaling pada Lembu Surah. "Manusia keren berambut
kelabu adalah aneh kau mengenali diriku tapi aku tidak mengenal dirimu. Coba terangkan
dulu siapa kau adanya. Dari mana asal usulmu! Tak pernah tampang sepertimu
kulihat dalam dunia persilatan sebelumnya!"
Merahlah wajah Lembu Surah mendengar kata-kata
kakek muka tengkorak itu. Tentu saja tak mungkin baginya menerangkan siapa
dirinya. Kehidupannya dimasa lampau tidak banyak beda dengan Iblis Gila Tangan
Hitam. Di tempat itu dia memiliki musuh sebanyak orang yang mem-benci Wirapati!
"Siapa dirinya tidak penting!" terdengar Kunti Kendil menjawab.
Mahesa yang sudah mengetahi siapa adanya lelaki
berambut kelabu itu menimpali. "orang bertanya, mengapa tidak dijawab" Mengapa
tidak penting"!"
Sepasang mata Kunti Kendil berapi-api. "Anak setan berkerudung!" dampratnya.
"Kau akan mampus setelah kubunuh Wirapati!"
Sari mendengus dari balik kerudung. "Dari tapi kau hanya mengancam
hendakmembunuh! Hendak bikin orang mampus! Kau cuma bicara! Sama sekali tidak
bertindak!"
Marahlah Kunti Kendil. "Kaupun agaknya bukan
manusia baik-baik. Kalau tidak mengapa menutupi wajah dengan kerudung"!"
Sari tertawa. "Mengapa aku bukan manusia bak-baik."
sahutnya. "Tapi aku bukan bangsa munafik sepertimu.
Dalam hidup ini aku bukan pula manusia pengecut! Yang berkedok menghukum padahal
hanya melampiaskan sakit hati belaka!"
Selagi semua orang menaruh perhatian paa silat lidah antara kelompok Kunti
Kendil dengan pihak yang hendak membela Wirapati, kesempatan ini dipergunakan Ki
Sandakan untuk meluncur serangan ganas kearah
Wirapati. Tasbih di tangan kanannya berkelebat. Sekali leher itu terbabat pasti
remuk berantakan!
Ketika terjadi keributan di Pesantren Nusa Barung
beberapa waktu yang lalu sebenarnya Ki Sandakan jauh dari mampu untuk menghadapi
Wirapati satu lawan satu.
Hanya saja saat itu dia mendapat bantuan dari beberapa tokoh silat berkepandaian
tinggi, satu diantaranya Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah. Kini
walau diserang secara mendadak dan sangat mematikan itu, bukan hal yang susah
bagiWirapati untuk mengelak
menyelamatkan diri.
"Waw waw!" seru pemuda gila itu. Tubuhnya berkelebat kesamping. Sambil
menyingkir dia gerakkan tangan kirinya untuk memukul lengan lawan. Ki Sandakan
yang sudah tahu kehebatan racun di tangan Wirapati tak berani bentrok, cepat
melompat ke kiri justru dari arah ini Kemala datang membabat dengan tendangan
menusuk lambung!
Ketua partai, manusia bungkuk berjubah putih, dalam jengkel dan marah berteriak
pada enam manusia raksasa.
"Bunuh nenek keparat dan lelaki berambut kelabu itu!"
Agaknya perkelahian masal tidak dapat dihindarkan lagi.
Melihat hal ini Made Tantre diikuti oleh dua puluh orang lainnya segera pula
menyerbu ke arah Wirapati.
"Waw waw! Siapa yang inginkan nyawaku akan mampus
lebih dulu!" seru Wirapati. Seluruh tenaga dalamnya dilahirkan pada kedua lengan
hingga tangan itu tampak berkilat-kilat dan mengeluarkan asap tipis yang panas.
*** 3 PANGGUNG DARAH agi Lembu Surah tidak sulit mengelak tendangan
yang dilancarkan Kemala. Tapi tua bangka yang
B bertampang masih muda akibat madu putih yang
amat berkhasiat itu, sesaat telah dibawah hanyut pe-rasaannya. Seperti pernah
ditutur Lembu Surah demikian tergila-gila pada Kemala hingga mengejar dan
mencari gadis itu ke mana-mana. Kenangan ini membuat dia sedikit ayal. Masih
untung tendangan Kemala yang menyerempet pakaiannya.
Di tengah lapangan, para tamu yang tidak ikut terlibat dalam perkelahian gila-
gilaan di atas panggung, menyaksikan perkelahian dengan tegang. Hanya si kakek
mata buta yang bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta tampak sesunggukan dan
tiada hentinya mengusut air mata. Di sudut yang lain Malaikat Maut Berkuda Putih
tampak duduk gelisah. Sesekali dia memandang berkeliling seperti mencari-cari
seseorang atau sesuatu.
Di atas panggung, beberapa sosok tubuh tampak ber-
geletakan. Darah mulai mengalir. Suara pekik kesakitan dan erangan orang yang
meregang nyawa membuat
suasana tambah mengerikan.
Kunti Kendil dan Lembu Surah tidak dapat dengan
mudah mendekati Wirapati karena hampir setiap serangannya disambut oleh orang-
orang yang mengelilingi pemuda gila itu yakni Kemala, Mahesa, Sari dan Pendekar
Muka Tengkorak. Ditambah pula enam manusia raksasa yang datang menggempur
laksana air bah. Enam manusia
raksasa itu tidak memiliki kepandaian silat berarti, tetapi daya kekuatan
pukulan atau tendangannya serta daya tahan tubuhnya terhadap hantaman sungguh
luar biasa. Sementara itu Made Tantre yang memiliki dendam
kesumat terhadap Wirapati, mengamuk dengan keris di tangan kiri. Sejak tangan
kanannya cacat lumpuh akibat kena racun tangan Wirapati beberapa waktu yang
lalu, dia telah melatih diri dengan tekun untuk menggunakan
tangan kiri. Hasilnya tidak mengecewakan. Tapi untuk dapat mengalahkan Wirapati,
bukan pekerjaan yang
mudah baginya walau saat itu dia dibantu oleh lebih dari sepuluh orang!
"Manusia berbaju kuning!" kata Wirapati. "Waw waw!
Dulu kuampuni nyawamu karena seseorang meminta
begitu padaku. Kini kau muncul lagi. Waw waw! Manusia tak tahu diri sepertimu
ini patut jadi umpan cacing tanah!
"Iblis sesat!" balas Made Tantre, "Mencacilah semaumu!
Sebentar lagi nyawamu akan terbang ke akhirat!"
Lalu Made Tantre tusukkan kerisnya ke lambung
Wirapati. Di saat yang sama empat serangan tangan
kosong dari dua serangan senjata tajam ikut menggempur pemuda gila itu!
Kemala melompat ke udara, tendangan kepala salah
seorang penyerang. Tapi pengeroyok yang di samping kiri hampir saja berhasil
membabat punggungnya. Pakaiannya robek besar. Kalau dia tidak lekas jatuhkan
diri ke depan pasti punggungnya akan tertembus senjata lawan! Melihat kekasihnya
dilukai marahlah Wirapati. Kedua tangannya menghantam ke depan silih berganti.
Dua pengeroyok ter-pekik dan mencelat mental jatuh di bawah panggung tak
berkutik lagi. Made Tantre kertakkan rahang dan perhebat serangannya sememntara
dia mendapat bantuan tiga
orang lain. Di bagian lain dua orang manusia raksasa telah menemui kematian di
tangan Lembu Surah dan Kunti
Kendil. Kedua orang ini kini menggempur Pendekar Muka Tengkorak dengan hebat
hingga kakek ini terdesak. Namun ketika Mahesa dan Sari datang membantu, baik
Kunti Kendil maupun Lembu Surah seperti merasakan tertahan tembok karang dan tak
mampu lagi berbuat banyak.
Beberapa kali Kunti Kendil dan Lembu Surah lapaskan pukulan sakti tetapi
semuanya mengenai sasaran.
Malah sekali pukulan sakti, tetapi semuanya tidak
mengenai sasaran. Malah sekali pukulan Api Geledek yang dilancarkan Kunti Kendil
menghantam dua orang tokoh silat yang berkelahi disebelah Made Tantre hingga
mati hangus detik itu juga!
Berkelahi di atas panggung Mahesa sama sekali tidak mengeluarkan ilmu silat yang
dipelajarinnya dari Kunti Kendil. Selain dia memang sudah bersumpah untuk tidak
mempergunakan segala apa yang didapatinya dari si
nenek, dia juga tak ingin gerakan-gerakan silatnya dapat dibaca sang guru, yang
hanya akan membuka kedoknya saja. Maka Mahesa bertahan dan menyerang dengan
mengeluarkan jurus-jurus silat orang buta yang didapatnya dari Gembel Cengeng
Sakti Mata Buta. Ilmu silat itu, walau hanya terdiri dari tujuh jurus namun
merupakan ilmu silat langkah. Gerakannya aneh, sulit diduga. Tidak mengheran-kan
banyak lawan yang kena dihajar bahkan Kunti Kendil serta Lembuh Surah kini mulai
terdesak. Setelah beberapa saat memperhatikan jurus-jurus silat yang dimainkan Mahesa,
Kunti Kendil bertanya-tanya dalam hati apa hubungan orang berkerudung itu dengan
si Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Jelas dia mainkan ilmu silat yang hanya
dimiliki oleh kakek buta berkepandaian tinggi itu. Maka si nenekpun berseru.
"Orang berkerudung! Siapa kau sebenarnya! Apa
hubunganmu dengan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta!"
Mahesa tersirat kaget. "Gila! Apakah dia mengenali diriku?" pikir Mahesa. Dia
ingat dulu sewaktu dijajal oleh gurunya disebuah bukit, yakni setelah keonaran
di Pesantren Barung, dia pernah mengeluarkan jurus-jurus silat orang buta itu. Juga
dia pernah menceritakan dari mana dia mendapatkan kepanaian tersebut. Jika dia
sampai mengenaliku, celakalah!" Maka Mahesa terpeaksa berdusta: "Aku memang
murid kakek sakti itu. Kau mau apa..."!"
"keparat! Dimasa muda gurunu itu pernah mem-
perdayaiku! Kini biar muridnya yang menerima balasan!"
"Nenek licik! Rupanya kehidupan masa mudamu penuh
dengan berbagai pengalaman!" ujar Mahesa yang mem-


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buat si nenek tersentak dan melompat mundur. Sepasang matanya memandang tak
terkesip pada Mahesa, seolah-olah hendak menembus kerudung kain merah itu.
"Siapa kau sebenarnya! Buka kerudungmu jika kau
benar-benar laki-laki!"
"Sobat, jangan turuti kata-katanya!" Sari bicara. "Jika kau buka kerudungmu,
nanti dia suruh kau buka
pakaianmu! Hik... hik... hik...!"
"Manusia rendak bermulut cabul" bentak Kunti Kendil.
"Aku tahu kau sebenarnya perempuan! Biar kurobek mulutmu agar kau tetap
berkerudung seumur hidup untuk
menyembunyikan kecacatanmu!"
"Jika kau berani melakukan itu, kulit mukamu pun akan kurobek!" kata Mahesa.
Sebenarnya tidak ada maksud apa-apa dari ucapan pemuda ini selain hanya untuk
membela Sari. Namun si nenek sekali ini melengak pucat.
Dia menganggap kata-kata Mahesa itu seperti kata-kata seseorang yang mengetahui
rahasia dirinya. Rahasia topeng tipis yang menutupi wajahnya!
"Anak setan ini. Jangan... jangan... Tapi tidak mungkin.
Bukankah dia sudah mampus"!" si nenek merenung
sementara. Lembu Surah terus menempur Pendekar Muka Tengkorak yang dibantui oleh
Kemala. "Anak setan! Siapa kau sebenarnya! Lekas jawab atau kau akan mampus
dengan sejuta penasaran"!"
Disentak begitu rupa oleh gurunya, bagaimanapun
tabahnya Mahesa namun sesaat membuat pemuda itu
menjadi gugup. "Celaka! Terbukalah kedokku!" membatin Mahesa.
Disaat itulah sebuah bayangan melesat ke atas
panggung menebar bau yang kurang sedap. Di lain kejap seorang kakek bermata
buta, berpakaian kotor dekil compang-camping tegak di depan Kunti Kendil. Kakek
ini mendongak ke langit lalu berkata; " Orang berkerudung itu, mereka keduanya
adalah muridku! Apakah kau keberatan"!"
Kunti Kendil tercekat menghadapi kakek buta ini. Dia surut mundur dua langkah.
"Tentu saja aku tidak keberatan! Yang aku keberatan jika dia pergunakan
kepandaian untuk menghalangi
maksudku membasmi manusia-manusia jahat termasuk
muridku sendiri bernama Wirapati itu!"
"Ah, itu menyedihkan sekali!" kata Gembel Cengeng. Dia kembali mulai sesunggukan
dan air mata mulai mengalir ke pipinya. "Dunia ini memang penuh kesedihan!"
sebuah tombak pendek melesat dari samping kiri, siap untuk menembus kepala kakek
buta ini. Tanpa berpaling Gembel Cengeng Sakti Mata Buta gerakkan tangan kirinya
menangkap senjata itu. Masih dengan tangan kiri dia remas batang tombak hingga
melengkung dan patah!
Lalu si buta meneruskan ucapannya yang tadi terpotong.
"Kesedihan di masa lalu belum terobat, kini datang kesedihan baru semakin
menumpuk Kunti Kendil, aku
tidak ingin melihat kau berada di tempat ini lebih lama!
Berlalu dari sini! Bawa lelaki yang datang bersamamu itu!"
"Tidak mungkin!" sahut si nenek keras kepala. "aku datang kemari untuk mencari
murid murtad itu! Setelah bertemu masakan hendak kulepas begitu saja"!"
Si kakek tersenyum tapi air mata masih terus mem-
basahi wajahnya yang keriput. "Setahuku kau pernah memberitahu pelajaran tentang
perasaan dan pikiran pada murid-muridmu. Yaitu katamu, jangan sekali-kali
perasaan dari pada pikiran sehat!"
"Urusanku dengan muridku tak boleh orang lain ikut campur!" ujuar Kunti Kendil.
"Aku menaruh syak wasangka.
Setahuku kau tidak pernah punya murid. Aku tidak percaya kedua orang berkerudung
itu adalah murid-muridmu! Siapa mereka"!"
"Urusanku dengan murid-muridku juga tak boleh orang lain iktu campur!" sahut
kakek mata buta meniru ucapan Kunti Kendil tadi. "Hari makin tinggi, korban
makin banyak berjatuhan. Apa kau masih belum mau pergi dari sini"!"
"Tidak! Sebelum Wirapati mati di tanganku!" jawab Kunti Kendil terus.
"Kenapa kau begitu ingin membunuhnya" Hingga kau
benar-benar menindih pikiran dengan perasaan?"
"Kejahatannya sudah kelewat batas. Apa salah kalau hari ini aku harus
menghukumnya"!"
"Aku tahu..." kata kakek buta sambil mengusap air
mata-nya. "Bukan alasan itu membuat kau ingin sekali membunuh Wirapati. Ada
alasan yang lain. Apa perlu kukatakan padamu saat ini...?"
Paras si nenek sesaat jadi pucat. "Kau membela semua orang yang ada di sini
karena sakit hatimua terhadapku di masa lalu"!"
"Apa yang sudah lalu tak akan kembali. Tak perlu di-sakitkan atau disesali..."
Sementara itu karena Kunti Kendil telibat pembicaraan yang tak jelas baginya,
Lembu surah yang menghadapi Mahesa, Sari serta Pendekar Muka Tengkora dengan
sendirinya lelaki buntung ini terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya.
"Kalau begitu mengapa kau muncul dan sengaja
menghalangi maksudku menghukum murid sendiri!"
"Kunti, muridmu itu tidak pernah salah. Nasibnyalah yang salah...!"
"Apa maksudmu...?"
"Wirapati menjadi gila larena terserang demam panas.
Bisakah orang gila dituntut untuk semua apa yang dilakukannya"!"
Sesaat Kunti Kendil jadi terdiam.
"Kalau kau tidak segera pargi, kau berdua dengan
kawanmu itu akan celaka..." memperingatkan Gembel
Cengeng Sakti Mata Buta.
"Kau terlalu keras kepala..." si kakek buta usut lagi air matanya. "Jika terjadi
apa-apa denganmu, maafkan kalau aku tidak dapat membantu..."
"Aku tidak butuh bantuanmu!" sahut Kunti Kendil ketus.
"Terserah padamulah!" kakek itu lantas berkelebat dan duduk kembali ke tempat
semula di tengah lapangan. Di sini dia menangis lebih sedih lagi.
Di atas panggung Kunti Kendil cepat memasuki
kalangan perkelahian ketika suaminya Lembu Surah terdesak hebat dan sempat
digebuk hingga melintir oleh Pendekar Muka Tengkorak.
"Kakek setan! Sudah saatnya kau harus mempus!"
teriak Kunti Kendil lalu menerjang kakek muka jerangkong itu. "Nenek sombong!
Keras kepala! Kau harus dihajar!"
yang membentak adalah Sari. Habis membentak dia lalu menebar serangan berantai
yang membuat Kunti Kendil mau tidak mau terpaksa mundur sesaat lalu menggempur
dengan jurus-jurus terhebet dari ilmu silatnya.
Ketua partai Merapi Perkasa yang sejak tadi
menyaksikan jalannya perkelahian di atas panggung tanpa bisa berbuat apa, kini
merasa sudah saatnya dia harus bertindak Nyoman Wirathe sahabat Made Tantre saat
itu dilihatnya tergeletak mati di atas panggung. Tubuhnya terinjak-injak mereka
yang berkelahi. Made Tantre sendiri sudah kehilangan kerisnya dan bertahan mati-
matian bersama enam orang lainnya terhadap serangan ganas
Wirapati dan Kemala.
"Hentikan pekelahian!" teriak sang Ketua. "Semua yang sudah memutuskan untuk
bergabung dengan partai lekas menyingkir ke selatan panggung!"
Kalau tadi Made Tantre tidak mau menuruti perintah yang sama maka kali ini
adalah setelah terdesak hebat, dia memberi isyarat pada teman-temannya lalu
melompat turun dari atas panggun. Sang Ketua sendiri kemudian menyusul.
"Sekarang saatnya!" kata lelaki bungkuk berjubah putih yang menutupi wajahnya
dengan kain hitam itu. Lalu hantamkan tangan kanannya ke depan. Satu gelombang
api menderu ke tengah panggung. Oran-orang yang masih berada di atas panggung
terpaksa menyingkir. Kecuali Lembu Surah. Dia menjangkau kendi berisi tuak yang
terletak si atas meja, lalu semburkan minuman itu ke arah api. Alam waktu
sekejap saja kobaran api menjadi padam.
"Keparat!" maki Ketua partai. Dia lari dan menyusup ke bawah panggung. Setelah
mencari sesat akhirnya
ditemukannya tali besar yang menembus ke dalam tanah di bawah panggung. Tali itu
segera dibakarnya. Begitu tali menyala dia cepat menyingkir lebih jauh ke lereng
sebelah selatan bersama para pendukungnya, termasuk anak-anak buahnya yang
bertubuh raksasa yang saat itu hanya tinggal tiga orang.diam-diam dia
menghitung. Sampai hitungan ke lima belas api yang diharapakannya tidak terjadi.
"Keparat! Pasti ada yang tidak beres!" sang Ketua memanggil salah seorang dari tiga
manusia raksasa. Lalu berbisik: "Lekas kau periksa ke dalam terowongan!
Seharusnya lereng gunung di sebelah lapangan itu sudha meledak! Pergi lekas!"
Si tinggi besarpun bergerak lakukan perintah. Namun baru dua langkah dia
berjalan menuju mulut terowongan dari lamping gunung sebelah kiri terdengar
suara berbunyi melengking keras, menusuk liang telinga. Bunyi seruling!
Disaat yang sama sebatang patahan cabang pohon
melesek dan menghujam di punggun manusia raksasa
yang tadi jalankan perintah sang Ketua. Patahan cabang pohon itu menembus
punggung, terus ke jantung. Orang ini keluarkan suara meraung dahsyat lalu
terguling roboh tanpa nyawa!
Ketegangan yang tadi menggantung, kini kembali
berubah menjadi kegemparan! Semua mata berpaling ke arah lamping gunung. Ada dua
orang tegak di atas batu besar di sebelah sana. Dan ada dua orang yang terkejut
ketika mengenali siapa adanya lelaki bertopi yang tegak di sebelah depan. Orang
ini ialah Mahesa dan sang Ketua partai.
*** 4 RAHASIA TERBUKA
ang tegak di atas batu besar di lamping gunung itu adalah seorang lelaki dan
seorang perempuan muda.
Y Yang lelaki bertelanjang dada, mengenakan celana panjang hitam butut dan
banyak robeknya. Dia memakai topi hitam tinggi yang pada beberapa bagian sudah bolong-bolong. Di
lehernya tergantung sehelai kalung burung berwarna kuning. Yang perempuan
mengenakan pakaian penuh tambalan. Rambutnya hitam panjang tergerai lepas.
Kulitnya kuning. Meskipun keadaannya kotor namun
keayuan parasnya jelas terlihat.
Bak dariraut wajah maupun deri gerak-gerik kedua
orang ini jelas mereka kelihatan kurang waras.
"Ayah..." mulut Mahesa melompat suara mendesis
begitu dia melihat orang lelaki di atas batu.
"Hai, kudengar kau mengatakan sesuatu!" terdengar
Sari menegur. Tapi Mahesa tidak mengacuhkan. Sepasang matanya memandang tak
terkesip pada lelaki itu yang bukan lain memang adalah Randu Ampel, ayahnya
sendiri. Ayah yang lenyap selama belasan tahun dan muncul dalam keadaan tidak waras serta
menyedihkan. Namun memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi luar biasa. Mahesa
tidak mengenal siapa perempuan muda yang berdiri di samping ayahnya. Istrinya
atau kekasihya atau apanya.
Hanya dua orang yang tahu jelas siapa adanya
perempuan muda itu. Yang kedua Malaikat Maut Berkuda Putih Suwo Pernomo. Orang
tua ini tampak lega. Sejak muncul di tempat itu dia merasa gelisah. Seperti
dituturkan, sejak pertemuan dengan perempuan itu yakni Pudji -
muridnya sendiri - Malaikat Maut Berkuda Putih terus menerus menguntit perejalanan
Pudji bersama Randu
Ampel. Di kaki gunung Merapi mendadak dia kehilangan kedua orang itu. Setelah
mencari kian kemari tidak bertemu, Malaikat Maut Berkuda Putih memutuskan
melanjutkan perjalanan ke atas gunung. Harapannya
bahwa kedua orang itu juga akan datang ke sana ternyata tidak meleset. Randu dan
Pudji kini muncul. Yang membuat si orang tua heran dan gelisah ialah mengapa
kawan seperjalanan muridnya itu begitu berani bertindak gegabah langsung turun
tangan membunuh manusia tinggi besar dan anak buah Ketua Partai Merapi Perkasa.
Ini bukan saja akan membuat dia terlibat dalam urusan berdarah di tempat itu,
tapi juga sekaligus akan menambah keruh suasana! Dan yang membutanya tambah
kuatir ialah Pudji - muridnya ikut terlibat pula. Kalau sejak tadi dia diam saja tidak ingin
mencampuri urusan di atas panggung, kini jika terjadi apa-apa dengan muridnya
mau tidak mau dia terpeksa bahakan harus turun tangan. Melihat lelaki sahabat
Pudji telah bertindak membunuh anak buah partai jelas dia tidak berada dipihak
partai. "Bakalan ruwet tampaknya." Membatin Malaikat Maut
Berkuda Putih. Orang lain sangat terkejut dengan kemunculan randu Ampel adalah sang Ketua
partai sendiri.
"Ah... keparat itu masih hidup rupanya. Kuharap saja dia tidak mengenaliku. Tak
mungkin dia mengenaliku! Bagaimana kalau kuajak saja dia bergabung....?"
Setelah berpikir ampai di situ maka sang ketuapun berseru sambil angkat tangan
kanannya. "Orang gagah di atas batu! Setelah datang dari jauh mengapa tidak segera naik
panggung sini" Bawa kawanmu yang cantik itu. Bergabung dengan kami dalam Partai
Merapi pada hari baik bulan baik ini!"
Lelaki di atas batu tampak menyeringai. Dia ketuk-
ketukkan suling bambunya ke telapak tangan kiri lalu berpaling pada perempuan
muda di sebelahnya.
"Sahabat apa pendapatmu mengenai undangan orang
bungkuk itu?"
Pudji cepat menjawab, "Kami datang kemari bukan
untuk bergabung atau segala urusan tolol seperti yang tadi kalian lakukan! Kami
datang kemari mau mencari seorang manusia terkutuk bernama Lembu Surah bergelar
Datuk Iblis Penghisap Darah! Apakah dia ada di sini"! Jika ada lekas tunjukkan
diri! Dia harus tahu umurnya hanya tinggal beberapa saat lagi!"
Semua orang tersentak kaget. Terutama sekali Kunti Kendil. Di sebelahnya, Lembu
Surah tegak dengan tubuh bergetar.
"Anak itu masih hidup. Ah... Mengapa dulu aku sampai melakukan perbuatan itu.
Masih untung dia tidak
mengenali wajahku..." baru saja Lembu Surah membatin begitu dan sekilas melirik ke
arah Malaikat Maut Berkuda Putih, didengarnya si nenek berbisik. "Ada hubungan
apa kau dengan perempuan sinting itu"! Mengapa dia mencari kau"!"
Meski merasa tidak enak tapi Lembu Surah menjawab
juga; "Kami punya silang sengketa dimasa silam. Tak dapat kukatakan lebih jauh
saat ini!"
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan"!" Tanya Kunti Kendil.
Lembu Surah jadi penasaran seperti itu. Dia menjawab.
"Kumau aku berteriak mengatakan kalau aku Lembu
Surah" Membuka kedokku di tempat ini....?"
Si nenek jadi terdiam. Sementara itu. Ketua partai memandang berkeliling lalu
berpaling pada perempuan di atas batu dan berseru: "Lihat sendiri tak ada yang
kau cari di tempat ini!"
Mendengar itu Randu Ampel berpaling pada Pudji.
"Sahabat bagaimana sekarang?" Tanyanya.
Pudji tampak tidak senang. Dia memandang tajam
berkeliling. Sesaat pandangannya tertuju tak terkesip pada gurunya yaitu
Malaikat Maut Berkuda Putih. "Mungkin bangsat itu tak ada di sini. Kau mulai
saja dengan urusanmu Randu!"
MakaRandu Ampel berseru. "Jika tak ada Lembu Surah atau Datuk Iblis di sini maka
aku akan mencari seorang lain. Apakah ada dukun iblis bernama Embah Bromo
Tunggal diantara para tetamu!"
Suara Randu Ampel keras sekali, menggema beberapa
saat lamanya di lereng gunung itu. Tak ada jawaban.
Hampir tak ada yang bergerak.
Ketua partai balas berteriak: "Lihat orang-orang yang kalian cari tidak ada di
Seruling Gading 13 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Pengemis Tua Aneh 1
^