Pencarian

Rahasia Makam Mahesa 2

Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa Bagian 2


berbaju kuning itu." membantin Lembu Surah. "Bagaimana dia mengetahui kalau hari
ini aku muncul di sini"!"
"Datuk Iblis! Waw waw! Hari ini akhirnya kau tak bisa lolos lagi dari tanganku!
Hutang nyawa dibayar nyawa. Apa kau sudah tahu kalau hari ini adalah hari
kematianmu"!
Waw... waw!"
Lembu Surah tak segera menjawab. Menghadapi
Wirapati kali ini tidak sama dengan menghadapi pemuda itu sebelum dia menyatakan
persetujuan hidup sebagai suami istri dengan Kunti Kendil. Dia tidak takut
terhadap pemuda ini, namun jika dia bertindak setengah-tengah berarti bisa
mencelakakan dirinya sendiri. Sebaliknya jika dia sampai mencelakai pemuda ini,
bagaimana urusannya dengan Kunti Kendil nanti"
"Wirapati," kata Lembu Surah. "Apapun yang terjadi di waktu lalu kau lupakan.
Sundari mati adalah akibat dari keadaan yang tak bisa dihindari. Lagi pula satu
hal harus kau ketahu. Sejak kemarin aku telah menjadi suami Kunti Kendil...."
"Waw waw! Siapa itu Kunti Kendil. Aku tak perduli. Dan sekalipun kau suaminya
setan kepala tujuh tetap saja kau harus menyerahkan nyawamu kepadaku. Baru arwah
dewiku bisa tentram dialam baka!"
"Kak Wira, ingat apa janjimu padaku?" untuk pertama kali Kemala membuka
mulutnya. "Waw waw! Apa janjiku, aku tidak ingat!" jawab Wirapati.
"Kau berjanji untuk tidak lagi melakukan pembunuhan!"
"Waw waw! Janji memang harus ditepati. Tapi lihat dulu urusannya dewiku. Orang
enak saja membunuh manusia yang kukasihi lalu apakah kau hanya berpangku
tangan"!"
tukas Wirapati.
"Yang sudah biarlah berlalu. Mari kita tinggalkan tempat ini," kata Kemala
seraya tarik lengan Wirapati. Namun sekali ini Wirapati tak mau tunduk pada
gadis itu. "Kemala, aku memang berjanji akan mematuhi semua kata-katamu. Waw waw! Tapi demi
arwah Sundari, sekali pun bencana menimpa diriku tetap aku harus membuat
perhitungan dengan manusia ini!"
"Kalau kau tak patuh aku akan pergi!" mengancam
Kemala. "Pergilah, Waw waw! Tapi kaupun akan kubunuh
sekalian!" kata Wirapati. Sepasang matanya tiba-tiba saja membersitkan warna
merah mengerikan. Melihat hal ini Kemala segera maklum bahwa Wirapati tidak
main-main. Datuk Iblis alias Lembu Surah juga maklum kalau perkelahian tak bakal bisa
dihindari. Cuma satu hal dilihatnya perubahan pada diri Wirapati. Kalau dulu
pemuda ini berambut gondrong awut-awutan, berpakaian dekil dan bau, kini
Wirapati berpakaian bagus bersih dan rapi.
Rambutnya dicukur pendek dan badannya tidak bau.
Tampangnya keren cuma kegilaan yang masih lengket di otaknya.
"Kak Wira," kata Kemala. Dia masih berusaha mem-
bujuk, "Kalau kau memang ingin meneruskan membuat perhitungan terserahlah. Hanya
kuminta jangan sampai membunuh orang tua ini. Misalnya hanya mencopot tangan
kanannya dan membuat cacat seumur hidup, bukankah itu sudah lebih dari cukup?"
Ucapan sang dewi termakan juga oleh Wirapati. "Waw waw! Baiklah," katanya. "Demi
hormat dan cintaku padamu permintamu akan kupenuhi." Habis berkata begitu
Wirapati berpaling pada Lembu Surah dan berkata, "Datuk Iblis, hanya karena
permintaan dewiku kuampuni nyawamu!
Waw... waw!"
Paras Datuk Iblis yang kuning tampak berubah. Kedua tangannya mengepal tanda dia
tengah menekan hawa amarah yang hendak meledak.
"Anak muda. Kalau tidak memandang jalan pikiranmu yang kurang sehat ditambah
pula hubunganmu dengan Kunti Kendil dan hubunganku dengan perempuan itu, maka
jangan harap mulutmu yang sombong kurang ajar itu bisa selamat dari hajaranku!"
Datuk Iblis berpaling pada Kemala. Dalam hatinya terasa getaran nafsu melihat
kecantikan dan keelokan potongan tubuh gadis ini. Namun mengingat janjinya pada
Kunti Kendil untuk menempuh hidup baik-baik, maka dengan cepat dia menekan
gelora darahnya dan berkata, "Anak gadis, aku tahu kau bernama Kemala. Dulu aku
pernah bermaksud keji padamu. Tapi sekarang kau tak perlu lagi takut padaku.
Hanya kuminta agar kau membawa pemuda ini pergi dari sini. Kalau terjadi
perkelahian siapapun yang menang tak bakal ada yang untung!"
Kemala tertawa dingin. "Datuk Iblis!" katanya tandas.
"Kalau kuingat kematian ibuku oleh anggota kompolatan penghisap darahmu, kalau
kuingat pula niat kejimu mengejar aku tempo hari rasanya aku sendiri ingin
memenggal batang lehermu! Tapi mengingat janjiku pada pemuda ini maka aku masih
bersedia melupakan semua kejadian itu. Tapi jika kau banyak cingcong, jangan
menyesal jika aku sampai merubah putusan!"
Melihat dua orang itu tak mungkin dapat dibujuk atau dirubah jalan pikirannya,
maka Datuk Iblis-pun kini tak mau mengalah terus-terusan. Dia tidak sungkan-
sungkan lagi dan berkata, "Kalau begitu minta kalian, hari yang cerah ini akan
berubah jadi hari buruk!"
"Tua bangka muka kuning!" bentak Wirapati. "Waw...
waw! Kau tunggu apa lagi. Lekas tanggalkan tangan kanan-mu, atau aku sendiri
yang akan menebasnya dengan pedang dewiku"!" Wirapati gerakkan tangan kiri
seperti hendak mengambil pedang yang tergantung di pinggang Kemala.
"Edan!" maki Datuk Iblis. Sayang saat itu dia tidak lagi membawa kelabang hitam
perenggut jiwa yang biasanya dimasukkan dalam kantong kulit bersama cairan darah
busuk. Namun tuak yang kini ada dalam kantong itu tak kalah hebat berbahayanya
jika disemburkan. Cuma
memang kalah hebat dibandingkan dengan kelabang-
kelabang hitam itu.
Melihat si kakek jela tak mau mengikuti perintahnya maka berkatalah Wirapati:
"Dewiku, manusia ini rupanya tak mau ikut perintah. Waw waw! Terpaksa aku
sendiriyang harus mencopot tangan kanannya. Pinjami aku pedangmu.
Waw... waw. Kurasa lebih baik jika memakai tangan kosong saja!"
Habis berkata begitu Wirapati lalu melompat ke depan.
Tangan kirinya yang hitam cepat sekali berkelebat ke arah tangan kanan Datuk
Iblis. Yang diserang menggembor marah, menyingkir ke kiri lalu menghantam dengan
pukulan tangan kanan ke arah kepala pada bagian pelipis Wirapati. Pemuda ini
keluarkan suara waw waw. Sambil merunduk dia gerakkan tangan kanannya
mencengkeram ke perut Datuk Iblis. Sekali perut itu kena dicengkeram pasti akan
robek dan isinya berburaian keluar!
Tapi sang datuk bukan pendekar kemarin. Puluhan
tahun dia sudah meyakini ilmu silat tingkat tinggi yang jarang tandingannya.
Semua serangan yang dilancarkan Wirapati menemui kegagalan. Dengan cerdik kakek
ini selalu menghindari bentrokan lengan karena dia maklum bagaimana bahaya dia
kena racun yang terkandung pada lengan lawan. Sekali dia kena racun itu
celakalah dirinya.
Sadar dengan ilmu silat tangan kosong sulit baginya untuk menghadapi Datuk Iblis
maka Wirapati lantas mulai lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Sinar hitam
berkelebat tak kunjung henti setiap Wirapati lepaskan pukulan sakti.
Hanya karena memiliki ilmu meringankan tubuh yang lihay.
Datuk Iblis mampu mengelakkan semua serangan itu.
Namun kakek ini sadar, cepat atau lambat dirinya akan ter-desak juga. Maka
diasegera buka penutup kantong kulitnya dan teguk tuak dalam kantong itu. Dengan
semburan-semburan tuak yang mengandung tenaga dalam bukan saja dia sanggup
menangkis serangan pukulan sakti lawan, malah datuk Iblis sempat membuat pakaian
Wirapati ber-lubang-lubang di beberapa bagian dan kulit pemuda ini terasa nyeri
akibat luka-luka kecil semburan tuak itu!
"Waw waw! Keparat setan alas!" maki Wirapati.
Sepasang matanya membersitkan sinar merah. Hawa
amarah membuat mukanya yang klimis menjadi gelap.
Tubuhnya berputar setengah lingkaran. Tiba-tiba tubuh itu melesat aneh. Demikian
aneh dan cepatnya hingga Datuk Iblis yang sudah banyak pengalaman dan makan asam
garam dunia persilatan tak menduga, terkesiap kaget.
Bagaimana pun cepatnya dia menghindar ke samping untuk cari selamat dari
tendangan deras kaki kanan lawan, tetapi saja tendangan itu masih sempat
menyerempet pinggulnya hingga tubuhnya terpuntir melintir! Namun bukan tendangan
itu yang berbahaya. Justru adalah serangan susulan yang kemudian dilancarkan
Wirapati. Serangan susulan ini aialah jotosan tangan kiri yang meng-arah ke bahu kanan!
"Gila!" teriak Datuk Iblis. Kedua kakinya dientakkan ke tanah. Tubuhnya melesat
ke kiri. Namun pukulan wirapati yang mengandung tenaga dalam serta racun jahat
datang lebih cepat!
Buk! Datuk Iblis mengeluh tinggi. Tubuhnya terbanting ke kiri.
Pakaian putihnya di bagian bahu robek hangus. Kulit bahunya jelas kelihatan
menjadi merah lalu berubah hitam.
Sesaat kemudian sekujur tubuhnya mulai terasa panas. Ini tanda bahwa racun jahat
yang mematikan mulai menjalar dalam peredaran darahnya. Tak ada jalan lain!
Orang tua ini gigit bibirnya lalu pukulan tangan kiri ke tulang bahu.
Terdengar suara patahnya tulang bahu itu. Tengkuk Kemala merinding ketka melihat
bagaimana kakek muka kuning itu kemudian membetot lepas bahu kanannya.
Darah menyembur. Datuk Iblis cepat totok pangkal ketiak-nya beberapa kali. Darah
yang mancur langsung berhenti.
Dia sendiri kemudian jatuh terduduk di tanah, beringsut mendekati sebatang pohon
dan bersandar di sana dengan nafas panjang pendek. Sepasang matanya memanang
menyorot pada Wirapati. Diam-diam kakek ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke
tangan kiri. Jika pemuda gila itu kembali menyerangnya maka dia akan berjibaku,
melompat dan menghantam dengan tangan kiri. Saat itu memang Iblis Gila Tangan
Hitam yang sudah dirasuk setan untuk membunuh dan melupakan perjanjiannya pada
Kemala tampak melangkah mendekati Lembu Surah. Sang Datuk bersiap. Kedua kakinya
ditekankan ke tanah untuk membuat lompatan.
"Kakak Wira!" tiba-tiba Kemala buka suara. "Hukuman telah kau jatuhkan. Saatnya
kita tinggalkan tempat ini!"
Wirapati hentikan langkahnya. Dia sadar akan janjinya.
Lalu mengangguk. "Waw waw! Baik, bagusnya memang kita tinggalkan tempat ini.
Mari!" Kedua orang itu memutar tubuh dan melangkah pergi.
Namun baru saja bergerak dua langkah, dari belakang Datuk Iblis yang tak kuasa
menahan sakit hati dendam kesumat hantamkan tangan kirinya. Sinar hitam meng-
gidikkan menggebubu menyambar ke arah tubuh Iblis Gila Tangan Hitam. Pemuda gila
ini begitu mendengar ada suara angin menyambar dari belakang, cepat mendorong
Kemala ke samping. Dia sendiri membuang diri ke samping yang lain. Namun
gulungan sinar hitam maut yang dilepas-kan Datuk Iblis memiliki ujung yang
membuntal besar hingga sekalipun sudah menyngkir sebagian tubuh Wirapati tetap
saja akan kena dihantam. Dan itu sudah cukup untuk membuat menemui ajal!
"O... ladalah! Aku datang terlambat! Anak setan itu telah melakukan pembalasan!"
tiba-tiba terdengar seruan dari balik rerumpunan pohon. Menyusul berkiblatnya
satu sinar merah yang luar biasa panas dan menyilaukan! Terdengar suara
dentuman. Bumi laksana di guncang gempa.
Wirapati dan Kemala jatuh terguling-guling di tanah. Sinar hitam pukulan Datuk
Iblis dan sinar merah yangsaling baku hantam di udara berubah jadi asap lalu
lenyap. *** 5 TUDUHAN TAK BERAMPUN
ATUK IBLIS terkapar di bawah pohon. Wajahnya
dibalik topeng memucat seputih kain kafan! Dari
D sela bibirnya mengalir darah. Kakek ini terlauka parah di dalam. Keadaannya
antara sadar dan pingsan.
Kedua matanya tertutup. Ini adalah akibat dalam keadaan terluka tadi dia telah
memusatkan seluruh tenaga dalam dan lepaskan pukulan sakti, yang merupakan
pantangan! Wirapati bangkit dengan cepat, diikuti oleh Kemala.
Keduanya berpaling ke arah orang yang barusan datang sambil berseru. Yang datang
adalah Mahesa. Juga dia pulalah tadi yang melepaskan pukulan Api Geledek
Menggusur Gunung, yang telah menyelamatkan Wirapati.
"Waw waw! Mahesa, lagi-lagi kau menyelamatkan aku dari kematian. Hitung lama
belum kulunasi, hari ini aku membuat hutang baru! Waw waw!"
"Jangan sebut segala macam hutang!" tukas Mahesa.
"Kita berada dalam kesulitan! Kalau kakek itu sampai mampus celaka!" Lalu murid
Kunti Kendil yang satu ini mendatangi Datuk Iblis dan berjongkok memeriksa.
Hatinya lega sedikit ketika mengetahui kakek muka kuning itu msih hidup walaupun
keadaannya sangat parah.
"Mahesa! Apa maksudmu kita berada dalam ke-
sulitan"!" Kemala tiba-tiba ajukan pertanyaan.
Sebelum menjawab Mahesa pandangi wajah gadis itu beberapa ketika. Hatinya
berdebar. Dara yang selalu dirinduinya itu kini ada dihadapannya. Tapi dia
bersama Wirapati. Dan sekian lama telah berlalu sejak keduanya ke mana-mana
bersama-sama. Sejauh manakah hubungan
kedua orang ini" Apakah mereka telah menempuh hidup seperti dulu Wriapati
menggauli Sundari" Diam-diam hati Mahesa merasa luruh.
"Waw waw! Dewiku bertanya! Mengapa kau tak men-
jawab waw waw!" Wirapati membentak.
Mahesa sadar dari larut perasaannya.
"Kakak wirapati, apa kau lupa" Guru pernah
mangatakan bahwa segala urusan kita dengan orang tua ini, beliau yang ambil
alih. Kini kau telah kelepasan tangan.
Mencelakai membuatnya cacat. Aku tak tahu apakah luka tangan dan luka dalamnya
sanggup ditahnnya!"
"Waw waw! Itu rupanya yang kau takutkan! Mahesa, apa yang kau takutkan tidak
membuat aku kecut! Aku tak pernah punya giri. Aku tak tak pernah punya segala
macam janji untuk tidak membalaskan dendam kematian Sundari!
Waw!" "Betul, jika kau takut kenapa muncul di sini"!" Kemala ikut bicara.
"Ah, gadis ini sudah menanam sifat-sifat Wirapati," kata Mahesa dalam hati
dengan perasaan sedih. Ketika dia coba memandang mata Kemala, gadis itu
tundukkan wajahnya. "Dewiku, jika Mahesa ingin menolong kakek keparat waw waw itu biar dia melakukan
sendiri. Kita tak ada urusan lagi di tempat ini. Dendam sudah terbalaskan! Mari
kita pergi dari sini!"
Sebenarnya saat itu Kemala masih ingin bicara dengan Mahesa. Namun karena
tangannya telah ditarik oleh Wirapati, terpaksa dia mengikuti. Namun tanpa
setahu Wirapati gadis itu menjatuhkan sehelai sapu tangan putih ke tanah. Sesaat
Mahesa tegak termangu. Setelah kedua orang itu lenyap pemuda ini ambil sapu
tangan yang tadi dijatuhkan Kemala. Beberapa lamanya diperhatikannya sapu tangan
itu. Dibulak-baliknya. Tak ada tanda apa-apa.
Sapu tangan itu putih bersih dan wangi.
"Apa maksudnya menjatuhkan sapu tangan ini...?" pikir Mahesa. Karena tak bisa
mencari jawaban, sapu tangan itu dilipatnya lalu dimasukkan ke dalam saku
pakaiannya. Ketika Mahesa hendak mendekati tubuh Datuk Iblis kembali, tiba-tiba terdengar
suara pekik menggeledek.
"Surah! Siapa yang telah berani mencelakaimu"!"
Mahesa terkejut bukan main. Bukan saja karena
teriakan itu demikian dahsyat seperti hendak meruntuhkan langit di atasnya,
tetapi karena dia juga mengenali suara itu. Suara gurunya. Suara Kunti Kendil!
Dan memang, di lain kejap si nenek sudah berkelebat sosok tubuhnya di tempat
itu. Langsung dia menubruk tubuh Datuk Iblis. Dari mulutnya terdengar suara
anah. Seperti suara menggerung menangis, tetapi seperti suara srigala haus darah di
malam buta! "Surah! Surah.... Aku sudah bilangkau tak usah pergi!
Sekarang inilah akibatnya!" Si nenek memeriksa tubuh kekasih yang baru kemarin
menjadi suaminya itu lalu cepat melakukan totokan di beberapa bagian. Dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan dua macam obat. Pertama berupa bubuk yang segera
ditebarkannya pada luka di bahu Lembu Surah yang tanggal. Obat kedua berbentuk
butiran-butiran hitam. Dua butir obat ini dimasukkannya ke nulut si kakek.
Dengan menekan tenggorokannya.
"Surah.... Surah ...." Si nenek tak henti-hentinya
menyebut nama lelaki itu. Tiba-tiba dia menjerit setinggi langit. Tubuhnya
mencelat ke atas.
Brak!

Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pohon besar di hadapannya dihantam hingga patah dan tumbang dengan suara ribut.
Brak! Pohon kedua rubuh dimakan tendangannya. Hal itu dilakukannya seperti orang
kemasukan setan dan sambil berteriak-teriak: "Katakan!
Katakan Surah! Siapa yang mencelakaimu!" lalu setelah menghantam sebatang pohon
lagi, Kunti Kendil tubruk tubuh Lembu Surah, ciumi wajahnya dan kini nenek itu
menangis. Mahesa perhatikan semua kejadian itu. Dia hanya bisa berdiam diri. Jangankan
bicara, bergerakpun dia tak berani. Hatinya hiba melihat keadaan gurunya. Namun
ini adalah akibat yag harus sanggup diterima jika hidup dalam dunia persilatan.
Dunia persilatan yang buas dan kejam.
Akan menjadi sangat berlawanan jika dikaitkan dengan kasih sayang seperti kasih
sayang yang dimiliki Kunti Kendil atas diri Lembu Surah itu!
Kunti Kendil peluk tubuh Lembu Surah, lalu meng-angkatnya dan perlahan-lahan
memutar tubuh, siap untuk membawa suaminya itu menuju puncak Iyang untuk di-
rawat. Saat memutar tubuh itulah pandangannya mem-bentur Mahesa. Seolah-olah
baru sadar akan kehadiran pemuda itu di situ sepasang mata si nenek mandang
lekat-lekat pada muridnya. Mata itu seperti dikobari api yang mengerikan.
Pandangan si nenek seperti menembus
jantung Mahesa. Pemuda ini merasakan dadanya berdebar dan tengkuknya menjadi
dingin. "Anak setan! Kau!" Kunti Kendil membentak. Tubuhnya bergetar. Sosok tubuh Lembu
Surah yang dibopongnya perlahan-lahan diturunkannya ke tanah sementara kedua
matanya tetap memandang lekat ke arah Mahesa. Dari tenggorokan nenek ini
terdengar suara seperti air mendidih.
"Jadi kau yang melakukannya!" sentak Kunti Kendil.
"Murid laknat! Manusia tidak tahu terima kasih!"
"Nek," kata Mahesa cepat. "Jangan salah sangka.
Bukan aku yang mencelakai Datuk itu...."
"Bukan kau" Haram jadah! Bukan kau katamu!" Kunti Kendil maju selangkah.
Mahesa mundur dua langkah.
"Betul, bukan aku!" ujar Mahesa.
Kunti Kendil menyeringai.
"Anak setan! Dosamu berlipat ganda. Berani mencelakai suami gurumu dan kini
berani berdusta!"
"Nenek, demi Tuhan aku tidak dusta. Bukan aku yang mencelakai suamimu...!"
"Yang kulihat hanya kau seorang di tempat ini! Atau mungkin ada setan yang
melakukannya" Tanda-tanda sekitar sini menyatakan adanya bentrokan dua pukulan
sakti. Salah satu pukulan itu jelas bagiku adalah pukulan Api Geledek! Nah,
murid sundal, apakah kau masih berani dusta"!"
"Nek, memang betul aku melepaskan pukulan Api
Geledek. Tapi bukan untuk mencelakai sang datuk. Dia sudah celaka sebelum aku
datang!" menerangkan Mahesa.
Kunti Kendil meludah ke tanah.
"Kalau begitu siapa yang mencelakainya" Dan kenapa kau melepaskan pukulan Api
Geledek"! Ayo coba kau jelaskan padaku!"
"Nek, seperti kubilang. Ketika aku datang kakek itu sudah terkapar di tanah
dengan tangan kanan buntung.
Pukulan Api Geledek kulepaskan untuk menolong muridmu Wirapati yang hendak
dibokong dari belakang oleh si kakek!"
"Wirapati"!" wajah Kunti Kendil mengerenyit.
"Benar. Agaknya sebelum aku datang antara mereka terjadi perkelahian yang
membuat suamimu cidera!"
"Hebat! Pandai sekali kau mengarang cerita bohong!"
tukas Kunti Kendil. "Kau katakan terjadi perkelahian antara Wirapati dengan
suamiku. Tapi anehnya kau juga mengatakan menolong murid gendeng itu ketika
dibokong! Dua keterangan yang berlawanan. Bagaimana aku bisa percaya ceritamu...?"
"Demi Tuhan aku menceritakan apa adanya...."
Muka Kunti Kendil mengelam.
"Mahesa...." kata Kunti Kendil dengan suara bergetar.
"Aku memungutmu dari comberan di liang kubur, bukan untuk memberi pelajaran
dusta dan membalas air susu dengan air tuba! Dunia memang aneh. Dan keanehan itu
harus kau tebus dengan kematianmu!"
Habis berkata begitu Kunti Kendil angkat tangan kanannya. Tangan itu serta merta
berubah menjadi merah dan bergetar. Tanda dialiri tenaga dalam sangat tinggi dan
siap melepas pukulan sakti Api Geledek!
Mahesa tegak tak bergerak di tempatnya.
"Murid laknat! Sebelum mampus apa ada permintaan-mu yang terakhir! Atau ada yang
hendak kau katakan!"
sentak si nenek.
Yang terasa dihati Mahesa saat itu adalah pedih teramat sangat mendengar ucapan
gurunya tadi. Matanya tampak berkaca-kaca. Dia menahan tangis sebisanya. Dia tak
boleh menangis. Dia tak boleh memperlihatkan
kelemahannya! "Kalau aku harus mati di tanganmu, aku pasrah nek.
Hanya memang ada kata-kata yang harus kukeluarkan.
Pertama, bukan aku yang mencelakai kakek itu. Kedua, aku sangat berterima kasih
bahwa kau telah mengambil aku dari comberan. Mungkin itu ataupan diriku tidak
pernah meminta untuk diangkat dari comberan itu. hanya memang murid kurang
patuh, tapi rasa hormatku padamu tetap kujunjung tinggi. Aku memang turunan
manusia hina, tidak beribu dan bapak entah di mana. Tapi untuk membalas semua
budi kebaikkanmu dengan kejahatan tak pernah terlintas dalam benakku. Untuk
membalas susu yang kau berikan padaku dengan racun tak akan pernah aku lakukan!"
Mahesa hentikan kata-katanya sejenak. Betapapun dia berusaha menahan diri, tetap
saja butir-butir air mata mengelinding jatuh ke pipinya.
"Nah, nek. Aku sudah habis bicara. Jika kau hendak membunuhku saat ini silakan.
Aku sudah pasrah!" kata Mahesa kemudian.
Apa yang diucapkan Mahesa itu membuat dada Kunti Kendil berdenyut. Namun saat
itu perasaannya lebih banyak dikuasai oleh amarah melihat keadaan Lembu Surah.
Puluhan tahun dia menunggu untuk dapat kawin dengan lelaki yang dikasihinya itu.
kini, baru satu hari hidup bersama, dia mendapat kenyataan suaminya ditimpa
malapetaka yang begitu mengerikan dan mengenaskan!
"Kau pandai bicara!" sentak Kunti Kendil. "Kupikir-pikir terlalu enak jika kau
menemui kematian dengan seketika.
Aku akan atur kematianmu berdikit-dikit agar tahu bagaimana pedihnya hatiku
melihat suamiku celaka!"
Dalam hatinya Mahesa menjawab, "Nenek, kau boleh bicara apapun. Aku sudah pasrah
untuk mati..."
Baru saja dia membatin tiba-tiba di telinganya Mahesa mendengar suara ramai
sekali namun sehalus nyamuk mengiang.
"Lari... lari... lari...!"
Mahesa ingin memandang berkeliling untuk melihat siapa orang-orang yang berkata
itu. suara yang dilayangkan dengan ilmu memindahkan suara jarak jauh hebat luar
biasa. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Dia hanya menatap pada gurunya dengan
pandangan sayu. Benar-benar
menerima nasib untuk mati. Dulu nenek itu yang
menolongnya hingga hidup jadi manusia. Kini kalaupun dia hendak merampas kembali
nyawanya, mungkin itu
memang sudah menjadi haknya.
Tiba-tiba dilihatnya nenek itu berkelebat lenyap dari hadapannya. Lalu tahu-tahu
Mahesa merasakan tubuhnya kaku. Si nenek telah menotoknya hingga dia tak mampu
bergerak. Tapi kalan suaranya masih tetap lepas. Mahesa tak tahu mengapa gurunya
tidak sekaligus menotok jalan suaranya.
Begitu tubuh pemuda itu kaku, si nenek cepat
memanggulnya di bahu kiri. Kemudian dia mengangkat tubuh Lembu Surah. Kakek ini
dipanggulnya di bahu kanan. Seperti terbang dia kemudian lari menuju puncak
gunung Iyang. Dalam hatinya Mahesa berkata: "Dia tak mau mem-
bunuhku seketika. Seperti katanya tadi dia ingin membunuhku berdikit-dikit.
Agaknya diamau menyiksaku lebih dulu...." Disaat dilarikan seperti itu terbayang
oleh Mahesa wajah ayahnya yang bernama Randu Ampel itu. Lalu terbayang pula
wajah Wirapati. Dia tak pernah menyesali kakak seperguruannya itu. walau karena
perbuatan Wirapati terhadap Lembu Surahlah maka kini dia
menerima nasib seperti itu. terakhir sekali terbayang olehnya itu. Lalu mendadak
saja dia teringat pada sapu tangan putih bersih yang dijatuhkan gadis itu.
agaknya sampai dia mati dia tak akan mendapatkan jawaban apa arti sapu tangan
yang sengaja dicampakan itu.
6 DI SINI DIMAKAMKAN MAHESA
AMPAI di puncak Iyang Kunti Kendil mencampakkan
tubuh Mahesa ke tanah dekat tumpukan kayu. Lalu
S dia masuk ke dalam pondok dan membaringkan
Lembu Surah di atas sebuah kasur kain. Kasur di atas mana semalam mereka
bermesraan melepaskan rindu
puluhan tahun. Tapi kini keadaan berubah. Lembu Surah terbaring dalam keadaan
luka dan cacat. Cacat yang tak bakal pulih seumur hidup.
"Surah..." berbisik Kunti Kendil ke telinga kakek itu.
"Walau kau cacat, cintaku padamu tak akan berkurang.
Malah bertambah. Aku akan merawatmu. Biarlah aku dipanjangkan umur agar dapat
menjagamu baik-baik!"
Eantah oleh ucapan itu, entah memang saat itu dia mulai siuman Lembu Surah alias
Datuk Iblis Penghisap Darah tampak bukakan kedua matanya. Mulutnya
tersenyum. "Kunti.... Kau ada didekatku...."
"YA, aku ada dekatmu. Akan selalu didekatmu, Surah...."
Si kakek tidak membantah ketika Kunti Kendil membuka topeng kulit tipis yang
menutupi wajah dan kepalanya. Kini kelihatanlah wajah yang asli. Wajah yang
masih gagah serta rambut pendek kelabu. Kunti Kendil usap paras Lembu Surah dan
belai rambutnya. "Kau akan sembuh Surah. Tak usah khawatir. Aku akan merawatmu
sampai sembuh. Saat ini sebaiknya kau harus banyak istirahat.
Kau tunggulah sebentar di sini. Aku akan menyelesaikan urusan dengan anak setan
itu!" Menyangka yang dimaksud istrinya dengan anak setan adalah Wirapati maka Lembu
Surah tak berkata apa-apa.
Kedua matanya dipejamkan kembali. Saat itu sekujur tubuhnya terasa sakit
terutama pada bahu kanan yang kini kuntung. Tenggorokannya panas sekali seperti
ada bara yang menyumpal di situ.
Sebelum keluar dari pondok, Kunti Kendil mengambil sesuatu dari sebuah peti
kayu. Benda itu ternyata seutas tambang tebal dan panjang. Dengan tambang ini
diikatnya kedua kaki Mahesa. Ujung tali yang lain dilemparkannya ke sebuah
cabang pohon setinggi delapan meter, digantung kaki di atas kepala di bawah!
"Anak setan! Aku selalu menetapi janji. Kalau kau kubilang harus mati berdikit-
dikit maka itu harus terjadi! Itu pembalasan yang sangat pantas untuk murid
jahat berhati bengkok! Yang tega dan berani mencelakai suami guru sendiri walau
sudah dipesan agar tidak turun tangan!"
Dalam keadaan seperti itu, walau jalan suaranya tidak ditotok namun tak sepotong
kata-katapun meluncur keluar dari mulut Mahesa sebagai jawaban. Baginya sudah
jelas. Apapun yang akan dikatakannya sang guru tak akan meu tahu. Dan bagaimanapun
terasa sakitkedua kakinya, bagaimanapun pemandangannya mulai berkunang dan
kepalanya mendenyut, jangankan berteriak kesakitan, merintihpun pemuda ini
tidak. Dia ingin menghadapi kematian ini dengan tenang. Hanya memang tak pernah
diduganya kalau kematian itu akan datang dari tangan gurunya sendiri!
Sambil berkacak pinggang Kunti Kendil pandangi sosok tubuh Mahesa yang
tergantung sungsang itu dengan hati puas. Sesaat kemudian dia masuk kembali ke
dalam pondok untuk merawat Lembu Surah. Selama satu hari satu malam tubuh Lembu
Surah diselimuti hawa panas luar biasa. Kakek ini terbujur dengan nafas satu-
satu, kedua matanya terus terpicing dan dari mulutnya yang tiada hentinya
mengeluarkan suara rintih campur ingauan itu sekali mengalir keluar darah segar.
Kunti Kendil maklum sekali, dalam darah suaminya mengalir racun jahat. Karena
itulah selama semalam suntuk dia terus berjaga-jaga, membuat beberapa totokan
baru di tubuh lelaki tua itu serta memberikan obat-obat tambahan. Sebenarnya
jika si nenek mau berpikir lebih panjang dia akan menyadari bahwa bukan Mahesa
yang mencelakai suaminya karena pemuda itu tidak memiliki ilmu pukulan yang
mengandung racun jahat sejenis yang merendam di tubuh Lembu Surah.
Selama satu hari satu malam Kunti Kendil tak keluar-keluar dari dalam pondok,
selama itu pula Mahesa tergantung penuh siksa. Dia merasa kepalanya seperti mem-
besar, berat dan seperti mau meledak. Kedua matanya walau dibukanya namun dia
tak dapat melihat apa-apa lagi dengan jelas.
Beberapa kali dicobanya mengerahkan tanaga dalam dengan mengatur jalan darah.
Namun dalam keadaan tubuh terbalik begitu serta sangat lemah, tak mungkin hal
itu dilakukannya. Salah-salah pengerahan tanaga dalam akan menguras tenaganya
sia-sia dan lebih mengacukan jalan darahnya.
Sore hari kedua darah mulai tampak mengucur dari hidung dan telinga Mahesa.
Dadanya tak bergerak lagi seperti tak ada nafas yang bisa dihirup dan
dihembuskan-nya. Sampai saat itu Kunti Kendil masih mendekam dalam pondok
menemani Lembu Surah. Menjelang tengah malam nenek ini merasa lega sedikit
karena panas tubuh suaminya mulai menurun. Setelah memberi minim air gunung yang
sejuk pada Lembu Surah nenek ini menyempatkan diri keluar pondok melihat Mahesa.
Dia melangkah memutari tubuh yang tergantung tak bergerak itu. "Hem.... Jadi kau
belum mati!" desisnya seraya menusuk jari telunjuknya ke dada pemuda itu hingga
tubuh yang tergantung ini bergerak dan bergoyang-goyang kian kemari beberapa
kali. "Sebentar lagi maut akan menjemputmu Mahesa! Kalau kau sudah mati baru aku
puas! Walau seumur hidup harus menyesal telah mengambilmu jadi murid!" Setalah
berkata begitu si nenek masuk kembali ke dalam pondok.
Keesokan paginya, ketika nenek itu menjenguk lewat pintu pondok dia jadi
tersentak kaget dan melompat keluar. Dari mulutnya keluar seruan tertahan. Kedua
matanya melotot memandang ke arah cabang pohon besar di mana tubuh Mahesa
sebelumnya tergantung. Kini yang tampak hanya tambang yang telah terpotong.
Tubuh Mahesa tak ada lagi di situ!
"Edan! Gila! Ke mana lenyapnya anak setan itu!" kata Kunti Kendil setengah
berteriak. Dia memandang berkeliling, menyelidik ke atas pepohonan. Tetap saja
Mahesa telah gaib. Kunti Kendil melompat dan tarik putus tambang besar yang
masih menjulai cabang pohon. Matanya yang tajam mengawasi ujung tambang itu yang
jelas putus. "Seseorang telah melarikan tubuhnya. Entah mau
menolong entah mau diapakan! Keparat!" Kunti Kendil banting-banting kaki. "Aneh,
malam tadi aku tidak tidur, berjaga-jaga terus. Bagaimana aku bisa tidak
mengetahui ada orang datang dan melarikan anak setan itu"!" Kunti Kendil
mengerendeng sendiri tapi otaknya juga coba menduga-duga siapa yang telah
melakukan hal itu. "Kalau bukan orang berkepandaian luar biasa tak mungkin bisa
terjadi. Siapa setan alas yang berani kurang ajar. Jangan-jangan si kakek muka
tengkorak yang datang beberapa hari lalu!" Tuduhan Kunti Kendil jatuh pada
Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil.
Mengharap si pencuri sosok tubuh muridnya itu masih belum jauh, Kunti Kendil
lalu lari menyelidik sampai ke pertengahan lamping gunung. Namun sia-sia saja.
Dengan kesal campur marah dia kembali ke puncak gunung.
"Lebih baik aku tak usah mengurusi anak setan itu lagi.
Siapapun yang menolong dan melarikannya, umurnya tak bakal panjang. Merawat
suamiku jauh lebih penting!"
Lenyapnya tubuh Mahesa bagi Kunti Kendil bukan saja merupakan satu keanehan,
tetapi juga dianggapnya kekurangajaran dan penghinaan. Lebih dari itu dia juga
merasa siapapun adanya orang yang menolong dan
melirikan pemuda itu berarti telah melakukan satu tantangan terhadapnya.
*** Hari ketujuh sejak lenyapnya Mahesa dari puncak
gunung Iyang. Keadaan Lembu Surah sudah jauh baik.
Luka di bahunya yang buntung mulai mengering. Sisa-sisa racun jahat di tubuhnya
sudah musnah. Kakek tua ini bahkan mulai bisa berjalan. Hal ini membuat Kunti
Kendil gembira.
Pagi itu setelah membuat secangkir kopi untuk Lembu Surah si nenek berkata,
"Surah, aku gembira melihat kau sudah sembuh begini. Hanya saja kau masih perlu
istirahat panjang...."
Si kakek yang kini tidak lagi mengenakan topeng kulit tipisnya tersenyum dan
menjawab: "Kalau aku sembuh, semua itu adalah berkat rawatanmu, Kunti.
Seandainya hal ini terjadi dan kita belum kawin, entah siapa yang bakal
menolongku. Mungkin aku sudah menemui ajal seperti anjing hutan di kaki gunung
itu...! Hati si nenek berbunga-bunga mendengar kata-kata suaminya itu, digenggamnya
tangan kiri Lembu Surah dengan kedua telapak tangannya. "Surah," kata si nenek


Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian. "Jika kau tak keberatan, aku kan turun gunung sebentar. Ingin melihat-
lihat keadaan sekitar sini...."
"Apa pula yang ingin kau lhat-lihat Kunti" Bukankah lebih baik tetap di
sampingku saja?"
Sampai saat itu Kunti Kendil masih tidak menceritakan apa yang telah terjadi di
puncak gunung itu. Lembu Surah sendiri merasa-rasa ingat sesuatu, namun hendak
bertanya dia masih merasa ragu. Yakni mengenai ucapan Kunti Kendil keitka mereka
baru sampai di pondok bahwa perempuan itu hendak menyelesaikan urusan dengan
"anak setan". Apakah istrinya itu betul-betul telah melakukan sesuatu"
"Aku tidak tidak lama Surah. Perasaanku tak enak.
Mungkin terjadi sesuatu di luar sana."
"Kalau hatimu keras, pergilah. Tapi lekas kembali..."
kata Lambu Surah pula.
Seperti sepasang remaja yang baru dimabuk cinta
sebelum pergi kedua kakek nenek itu saling berpelukan dulu.
Sejak dua hari belakangan ini seperti ada sesuatu yang mendorong Kunti Kendil
untuk turun gunung. Karena itulah dia bersikeras untuk pergi menyelidik, walau
tidak tahu pasti apa yang akan diselidikinya. Sampai di kaki gunung sebelah
timur suasana dilihatnya tenang-tenang saja.
Angin bertiup sejuk. Sesekali terdengar suara kicau burung.
Nenek ini melanjutkan perjalanan, memutar ke arah utara.
Dari suatu tempat berbatu-batu yang tinggi tiba-tiba Kunti Kendil melihat
kepulan asap. Asap ini mengepul dari sebuah lembah kecil yang ditumbuhi rumput
hijau. Di pertengahan lembah mengalir sebuah sungai kecil berair dangkal.
"Ada asap ada manusia!" pikir Kunti Kendil. Segera dia menuruni bebukitan batu
itu dan lari ke arah lembah.
Tepat ketika dia mencapai sungai kecil itu, disebuah tikungan si nenek mendadak
hentikan larinya. Beberapa langkah di hadapannya tampak sebuah kuburan. Tanahnya
masih merah tanda kubur itu masih baru. Di bagian kepala kuburan menancap sebuah
papan nisan. Pada papan ini tertera serangkaian tulisan berbunyi:
Di sini dimakamkan
M a h e s a Anak manusia yang malang
Yang tak pernah kenal ibu dan kehilangan ayah.
Yang menemui kematian dengan pasrah,
mati disiksa untuk perbuatan yang
tak pernah dilakukannya.
Kedua mata Kunti Kendil terbuka lebar dan tak mampu berkesip untuk beberapa
lamanya setelah dia membaca tulisan itu. kedua kakinya laksana dipantek ke
tanah. "Ternyata anak setan itu sudah mati!" kata si nenek dalam hati. "Tapi siapa yang
membawa mayatnya ke sini"
Siapa yang mengubur dan membuatkan papan nisan bertuliskan kata-kata sialan
seperti ini"! Mati disiksa untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya! Gila!"
Kunti Kendil melangkah mundar-mandir di depan
makam. Ingin dia mengobrak-abrik menendangi tanah kuburan. Ingin dia mematah
menghancurkan papan nisan di kepala makam. Namun hal itu tak dilakukannya. Dia
melangkah terus mundar-mandir sambil mengerendeng.
Akhirnya nenek ini putar tubuhnya. Hatinya merasa sangat tidak enak. Ada satu
pertanyaan kecil di lubuk hatinya. Apa benar bukan Mahesa yang mencelakakan
Lembu Surah"
Pertanyaan itu demikian kecil dan jauh hingga sampai saat itu si nenek tetap
berkeyakinan Mahesalah yang telah mencelakai Lembu Surah. Karenanya dia pantas
menemui kematian! Cepat-cepat Kunti Kendil kembali menuju pondoknya di puncak
gunung. *** 7 MAKAM ITU LENYAP
ADA hari kedua puluh kesehatan Lembu Surah boleh dikatakan sudah pulih. Dia
sudah bisa berjalan
P bahkan mulai berlatih silat. Dengan hanya memiliki satu tangan keseimbangan
tubuhnya berubah total.
Gerakan-gerakan tangan kiri perlu dilatih, kedudukan kuda-kuda kedua kaki harus
dipelajari lagi. Beruntung saat itu dia bersama Kunti Kendil sehingga si nenek
menjadi kawan latihan yang banyak membantu.
Siang itu selesai berlatih silat, Kunti Kendil duduk di sebelah suaminya dan
berkata, "Surah, coba kau ingat kembali kejadian di kaki gunung tempo hari. Bisa
kau menceritakan kepadaku apa sebenarnya yang berlangsung di tempat itu?"
"Sebenarnya aku sendiripun ada yang hendak ku-
tanyakan. Tentang urusanmu dengan seseorang yang kau sebut anak setan itu,
apakah sudah kau selesaikan?"
justru Lembu Surah belik bertanya.
"Sudah," sahut Kunti Kendil perlahan. "Di hari yang sama kau kubawa kemari, anak
setan itu juga kubawa ke sini, kugantung kaki ke atas kepala ke bawah. Hanya
aneh, mayatnya yang masih tergantung mendadak hilang sekitar sepuluh hari lalu!"
"Kalau tidak digondol harimau atau anjing hutan pasti ada yang mencurinya!" ujar
Lembu Surah. "Di sini tak pernah ada harimau atau anjing hutan.
Seseorang memang telah mengambil dan melarikan
mayatnya. Makam anak itu kutemukan di sebuah lembah sebelah utara kaki gunung."
"Aku harus berterima kasih padamu Kunti. Kau telah membalaskan sakit hati dendam
kesumatmu walau
pemuda itu adalah muridmu sendiri. Ini menjadi bukti bagiku bahwa kau
mengasihiku di atas segala-galanya!"
Kedua berdiam diri sesaat. Kemudian terdengar Lembu Surah bertanya yang membuat
Kunti Kendil menjadi heran:
"Apa yang kau lakukan terhadap kawannya, gadis berbaju kuning itu?"
Kunti Kendil berpaling dan menatap wajah suaminya beberapa lama. "Gadis berbaju
kuning" Gadis yang mana..." Siapa maksudmu Surah?" tanya si nenek
kemudian. "Setahuku gadis itu bernama Kemala. Dia juga punya dendam kesumat tersembunyi
terhadapku karena anggota komplotanku membunuh ibunya. Aku tak tahu jelas apa
hubungan muridmu itu dengan Kemala. Tapi bisa kuterka mereka lebih dari kawan
biasa...."
Kunti Kendil putar duduknya kini tepat-tepat menghadapi Lembu Surah. "Ketika aku
menemuimu luka parah di bawah pohon besar di kaki gunung, yang kulihat hanya
anak setan itu sendiri. Tak ada orang lain. Tak ada gadis atau setan baju kuning
di tempat ini. Bagaimana kini kau mengatakan murid setan itu berdua dengan
seorang gadis berbaju kuning?"
"TidakKunti. Ketika aku dihadang, mereka muncul berdua. Sebelum aku jatuh
pingsan mereka kemudian pergi.
Aku berusaha membokong muridmu dengan sisa tenaga yang ada. Tapi gagal...."
Kunti Kendil pegang bahu suaminya dan menggoyang tubuh kakek itu beberapa kali.
"Surah! Coba kau ingat, sebelum kau jatuh pingsan, sebelum kedua orang itu
lenyap, apakah ada sesuatu lainnya yang terjadi"!"
Lembu Surah mengangguk.
"Aku melihat sinar merah yang amat panas dan
menyilaukan. Sudah itu aku tak ingat apa-apa lagi...!"
"Berarti ada tiga orang di tempat itu!" ujar Kunti Kendil yakin sekali.
"Orang ketiga siapa maksudmu?"
"Orang lain selain muridku dan gadis berbaju kuning itu.
Surah, hal ini perlu dibuat terang. Ketika aku datang aku hanya menemuimu dan
dia seorang. Lantas ke mana
perginya gadis baju kuning yang katamu bernama Kemala itu...?"
"Mungkin saja dia sudah kabur karena tahu kau muncul di situ," sahut Lembu
Surah. Si nenek menggeleng. Dia merenung sejenak. "Jika memang bukan Mahesa yang
mencelakai suamiku, kenapa dia tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya"
Kenapa dia hanya mengatakan bukan dia yang melakukan"
Apakah ada satu rahasia yang coba disembunyikannya atau memang dia benar-benar
berdusta...?"
"Kunti, apa yang ada dalam benakmu?" tiba-tiba Lembu Surah bertanya.
"Aku khawatir telah kesalahan tangan Surah..." jawab si nenek dengan suara
bergetar dan tiba-tiba saja dadanya terasa sesak.
"Kesalahan tangan bagaimana?" Lembu Surah tak
mengerti. "Aku mengatakan padamu anak setan itu sudah
kuhukum mati, kugantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Namun ... kau tahu anak setan mana yang kumaksudkan?"
"Tentu saja yang bernama Wirapati, yang berjuluk Iblis Gila Tangan Hitam. Karena
memang dialah yang telah menyerangku hingga aku cacat begini!"
Kunti Kendil terlompat dari duduknya. Wajahnya dibalik topeng tipis menjadi
pucat. Dari mulutnya terdengar suara seperti melolong. "Jelas aku kesalahan
tangan! Jelas aku kesalahan tangan!" katanya berulang kali dan banting-banting
kaki! Lembu Surah berdiri dan pegang bahu si nenek. "Kunti, tenang. Coba jelaskan. Kau
telah kesalahan tangan bagaimana...?"
"Surah.... Ketika aku muncul di tempat itu yang kutemui adalah kau dan murid yang
bernama Mahesa...."
"Jadi bukan Wirapati"!"
"Bukan! Mungkin dia sudah kabur duluan bersama
gadis baju kuning itu! Mahesalah yang kubawa kemari dan kugantung!"
Kunti Kendil terduduk di lantai dan tutup wajahnya dengan kedua tangan. Ada
suara sesenggukan keluar dari tenggorokannya. "Anak itu... kenapa dia tidak
mengatakan kejadian yang sesungguhnya" Kalau dia mengatakan hal yang benar tak
mungkin aku memperlakukannya begitu!
Dia benar-benar murid baik. Tak ada manusia seperti dia di dunia ini. Ya Tuhan!
Aku membunuh orang yang tak berdosa!"
"Kunti.... Semuanya masih belum jelas. Mungkin
Mahesa tidak mati. Ada yang menyelamatkan dan
melarikannya...." Lembu Surah mencoba membujuk.
"Tidak. Waktu aku turun gunung sepuluh hari lalu, kutemui makamnya di lembah
sana! Dia benar-benar sudah mati Surah. Dan sudah dikuburkan orang!" kata Kunti
Kendil. Nenek ini kemudian memekik lalu tegak berdiri. "Aku akan pergi
kemakamnya saat ini juga Surah.
Aku tidak malu untuk minta maaf padanya sekalipun sudah terlambat dan dia sudah
jadi korban kesalahanku!"
"Aku akan menyertaimu Kunti."
"Sanggupkah kau berlari?"
"Sanggup asal kau jangan lari terlalu kencang."
Sepasang kakek nenek itu kemudian lari menuruni
puncak gunung Iyang.
Karena ingin cepat-cepat sampai di lembah, Kunti Kendil berlari sekencang yang
bisa dilakukan, meninggalkan Lembu Surah jauh di belakang. Ketika akhirnya dia
sampai di lembah dekat tikungan sungai pemandangan baru yang mengejutkan
menyambut kedatangan Kunti Kendil. Di situ tak ada lagi makam Mahesa. Tanah
merah telah sama rata dengan tanah di sekitarnya. Pada salah satu bagian tanah
menancap sebuah papan bertuliskan: Untuk menjaga hal-hal yang tidak
di inginkan makam Mahesa telah
dipindahkan ke tempat lain.
"Apa-apaan artinya ini"!" ujar Kunti Kendil dengan mulut komat-kamit. "Beberapa
hari lalu makam itu masih di sini.
Kini sudah dipindahkan!" dia berpaling pada Lembu Surah yang barusan sampai
dengan nafas mengengah.
"Jangan-jangan ada orang yang sengaja mempermainkanmu, Kunti..." menyahuti si
kakek. "Tak mungkin. Untuk apa...?" tukas Kunti Kendil pula.
Tapi kemudian dia berkata: "Kalau memang ada yang berani mengganggu kubur
muridku akan kubunuh
mereka...?"
"Aneh, memang aneh..." kata Lembu Surah dalam hati lalu pergi duduk di tepi sungai
kecil, merendam kedua kakinya di air yang bening dan sejuk. "Apa yang akan kau
lakukan sekarang Kunti" Lebih baik kita kembali ke puncak Iyang."
"Apakah tubuhmu sudah cukup kuat untuk mengadakan perjalanan jauh Surah?"
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak akan kembali ke puncak Iyang. Aku akan menyelidik apa arti semua ini.
Mungkin aku terpaksa melakukan perjalanan jauh. Kalau makam anak itu
memang dipindahkan, aku harus tahu di mana makamnya sekarang!"
Dalam keadaan seperti itu tentu saja enggan bagi Lembu Surah untuk mengadakan
perjalanan. Apalagi saat itu topeng tipis kuningnya tertinggal pula di pondok.
Ketika hal itu dikatakannya pada Kunti Kendil si nenek menjawab:
"Kurasa kau tak perlu lagi menyembunyikan diri di balik segala macam topeng
kulit ini!"
"Kau sudah siap Surah?"
Lembu Surah mengangguk. "Aku hanya mengikuti apa maumu saja Kunti," jawabnya.
Keduanya lalu tinggalkan lembah tersebut.
*** 8 SANG PENGANTIN MINGGAT
DIHADANG SI TUDUNG MAUT
ITA tinggalkan dulu Kunti Kendil dan Lembu Surah yang mengadakan perjalanan
untuk menyingkap
K misteri dibalik kematian Mahesa. Kita kembali ke pesta perkawinan Ratu Mesum
alias Mawar Merah dengan Pringgo.
Abadseto berusaha menutupi apa yang terjadi ditingkat atas rumah besarnya.
Secara diam-diam keempat mayat Gede Ageng Kuntjoro, Sri Pujiati dan Sepasang
Ular Biru dibawa dengan kereta dan dibuang di sebuah jurang di luar kota. Namun
sebagian para tamu yang berjubal di sekitar pintu dan tangga yang mengerikan
itu. kabar yang di-sampaikan dari mulut ke mulut tidak terbendung lagi dan pesta
itu tak urung menjadi geger.
Pengantin perempuan mengunci diri dalam kamar.
Namun diam-diam tanpa diketahui siapapun dia
menyelinap keluar lewat jendela, masih dengan berpakaian pengantin. Yang ingin
dilakukannya saat itu adalah mencari Tombo, lelaki yang bersama Liku pertama
sekali mengenali dirinya di pesta perkawinan itu. tombo juga harus dibunuh kalau
tidak cerita tentang dirinya akan ber-kembang lebih luas.
Menurut dugaan Ratu Mesum, Gede Ageng Kuntjoro dan tiga orang lainnya itu pasti
datang ke pesta dengan petunjuk Tombo. Berarti Tombo juga hadir di situ. Ratu
Mesum mendekam dibalik rerimbunan pohon di sebuah tikungan jalan yang menuju
jalan itu. dan memang dia tak menunggu lama.
Setelah Tombo mengetahui bahwa Sri Pujiati dan
ayahnya serta Sepasang Ular Biru menemui ajal di tingkat atas rumah besar,
dengan ketakutan lelaki ini segera tinggalkan tempat pesta dan memacu kudanya
menuju Sumbersari. Dia akan melaporkan kejadian itu pada kepala desa. Namun
lelaki ini tak pernah samapi ke desanya kembali. Di tikungan jalan yang gelap
kudanya tiba-tiba meringkik keras dan berhenti. Sesosok tubuh melompat keluar
dari kegelapan dan mencekal tali kekang kuda hingga binatang ini tersentak dan
berhenti berlari.
Tombo yang hampir terlempar berteriak ketakutan
ketika melihat sosok tubuh berpakaian pengantin. Wajah cantik itu menyeringai.
Tombo seperti melihat setan. Serta merta dia melompat dari punggung kuda untuk
melarikan diri. Namun sebelum hal itu sempat dilakukan lima jari tangan yang
halus tapi sangat kukuh mencengkeram batang lehernya. Sepasang mata Tombo
membeliak. Lidahnya terjulur.
Krak! Tulang leher lelaki itu hancur. Tubuhnya kemudian terbanting ke tanah tanpa
nyawa lagi! Ratu Mesum cepat kembali ke kamar pengantin tepat pada saat pringgo dan keluarga
pengantin lelaki lainnya merasa khawatir kalau telah terjadi apa-apa dengan
mempelai perempuan itu. mereka mengetuk pintu dan Pringgo memanggil-manggil nama
istrinya. Tak lama kemudian Ratu Mesum membuka pintu. Pringgo dan yang lain-
lainnya merasa lega. Dengan alasan bahwa pengantin perempuan tidak enak badan
maka dia tidak duduk
kembali di pelaminan.
Tiga hari tinggal di rumah besar itu bersama suami mencintainya, Ratu Mesum
memperlihatkan sifat pribadinya yang sebenarnya. Dia mulai bosan dengan Pringgo
dan muak dengan sikap lelaki itu yang terlalu memanjakannya seperti anak kecil.
Dalam benaknya sudah mulai pula terpikir untuk mencari lelaki lain walau dia
belum punya niat untuk meninggalkan Pringgo selama-lamanya. Bagaimanapun
suaminya ini bisa diperalat untuk segala kebutuhannya.


Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau dihadapan orang lain Ratu Mesum memanggil
"mas" pada suaminya, dalam keadaan berdua-dua dia selalu menyebut nama. Suatu
malam perempuan ini
berkata, "Pringgo, malam ini untuk satu keperluan aku terpaksa meninggalkanmu...."
Pringgo yang baru saja hendak meneguk minuman,
letakkan gelas kembali ke atas meja dan memandang pada istrinya.
Dia tersenyum dan berkata, "Kau tidak main-main atau bergurau Mawar...?"
Sang istri tak menjawab. Pringgo lalu pegang bahu perempuan ini dan cium
tengkuknya. "Kau berkata mau pergi, malam-malam. Aneh terdengarnya. Ada apa sebetulnya?"
"Tak ada apa-apa. Jika saja kau ingat syarat yang pernah kita bicarakan dulu
sebelum kita menyetujui perkawinan...."
"Tentu saja aku ingat syarat-syaratmu itu Mawar. Namun kita belum lagi satu
minggu jadi suami istri. Kau sudah hendak pergi. Malam-malam pula. Apa kata
orang tuaku dan bahkan semua orang nanti....?"
"Soal itu pandai engkaulah mengatakannya, Pringgo."
"Kalau kau pergi untuk satu urusan, dimalam buta.
Tentu urusanmu penting luar biasa. Apakah urusanmu itu Mawar?" tanya Pringgo.
"Kita sudah sepakat bahwa kau tak boleh bertanya."
Mendengar jawaban istrinya itu Pringgo tersenyum namun hatinya mulai jengkel.
"Kau tidak boleh pergi!"
katanya tandas. "Kalaupun kau terpaksa pergi, aku harus ikut!"
"Semua itu menyalahi syarat yang telah kau terima!"
"Kalau kau memaksa, akupun memaksa tidak mau
perduli dengan syarat itu. kau istriku dan kau harus tunduk dengan semua apa
yang aku katakan dan putuskan. Merah kataku merah. Putih harus putih! Tak ada
istri di Jawa ini yang boleh tidak patuh pada suaminya!"
"Tiga hari baru aku jadi istrimu sudah demikian buruk sikapmu..."
"Semua karena kekeras kepalamu!" tukas Pringgo.
"Sebagai istri kau harus tahu sampai di mana batas-batas hakmu. Kalau larangan
baik suami tidak kau indahkan, bagaimana kau mau jadi istri yang baik!"
"Buruk atau baik keadaan diriku dimatamu, memang begitulah adanya. Yang nyata
segala janji dan syarat telah kau langgar. Tak ada gunanya aku tinggal di rumah
ini lagi!"
"Lalu apa maumu"!" tanya Pringgo.
Ratu Mesum tak menjawab. Dari dalam lemari diambilnya pakaian merah yang menjadi
ciri-ciri khasnya. Dengan cepat dia mengenakan pakaian itu, lalu berpaling pada
Pringgo dan berkata, "Aku datang dengan hanya membawa pakaian ini. Kini aku
pergi juga dengan pakaian yang sama.
Tidak sepotong harta atau perhiasan darimupun akan kubawa. Hubungan kita cukup
sampai di sini!"
"Mawar! Kau mau kemana" Kau mau berbuat apa"!"
Dalam hatinya Ratu Mesum berkata, "Masih untung kau tidak kubunuh!"
"Hai! Mawar!" seru Pringgo ketika dilihatnya istrinya melangkah ke jendela.
Sekali hantam saja jendela itu tinggal enselnya dan terpentang lebar. Ratu Mesum
melompat keluar. Pringgo cepat mengejar.
Baru saja Ratu Mesum menginjakkan kaki di halaman samping, tiba-tiba terdengar
suara orang menegur keras.
"Malam-malam buta pengantin baru mau minggat ke
mana"!"
Sesosok tubuh melayang turun dati atas genteng rumah besar. Ternyata orang ini
tidak sendirian. Dua orang lainnya itu menyusul berkelebat. Namun dibandingkan
dengan yang pertama gerakan kedua orang terakhir lebih lamban dan sepasang kaki
mereka mengeluarkan suara keras ketika menyentuh tanah.
Ratu Mesum segera maklum, siapapun adanya ketiga orang ini, yang berbahaya
adalah yang pertama sekali melompat turun. Orang ini berpakaian seperti petani,
dengan kain sarung diselempangkan dibahu. Kepalanya memakai topi bambu yang
lebar hingga dalam gelap malam tak jelas wajahnya. Dua orang yang tegak dikiri
kanannya mengenakan pakaian prajurit kerajaan dengan tanda-tanda bahwa mereka
memiliki pangkat cukup tinggi.
Masing-masing membekal pedang besar di pinggangnya.
Tak satupun dari ketiga orang itu dikenal Ratu Mesum.
Namun perempuan ini seperti maklum, siapapun adanya mereka pasti kemunculan
mereka ada sangkut pautnya dengan segala perbuatannya dimasa sebelumnya.
"Kalian bertiga bangsa rampok atau maling kesasar"!"
bentak Ratu Mesum.
Orang bertudung keluarkan suara tertawa.
"Kami bertiga memang rampok. Tapi bukan mau
merampok harta bendamu. Karena kami tahu kau tidak punya apa-apa. Jadi yang akan
kami rampok adalah jantung dan nyawamu!"
"Manusia-manusia rendah!" Pringgo maju kemuka dan berteriak marah. "Tinggalkan
tempat ini. Jangan berani mengganggu istriku!"
Orang bertudung berpaling pada Pringgo. "Anak orang kaya! Kau masih ingusan! Apa
kau tahu siapa istrimu ini sebenarnya"!"
"Manusia keparat! Tutup mulutmu!" teriak Ratu Mesum.
Berbarengan dengan itu dia lancarkan serangan ganas.
Tapi dengan mudah dapat dikelit oleh lawan. "Aih, jelas dia memiliki kepandaian
tinggi!" kata Ratu Mesum dalam hati ketika melihat serangannya yang bukan
senbarangan itu mudah dihindari!
"Pringgo!" seru Ratu Mesum. "Kau masuk ke dalam!
Tiga rampok kesasar ini akan aku bereskan!"
Tapi Pringgo tak bergerak di tempatnya.
"Mana dia mau disuruh masuk, dia kan ingin
mengetahui rahasia dirimu sebenarnya!" kata orang bertudung lalu tertawa
mengekeh. Sebelum orang itu bicara lebih banyak, Ratu Mesum kembali menyerbu. Serangannya
yang kedua langsung dengan pengerahan tenaga dalam dan jurus berbahaya.
Yang diserang tak tinggal diam. Dua kawannya disaat itu sudah pula menghunus
pedang masing-masing.
"Manusia-manusia rongsokan!" kertak Ratu Mesum.
"Aku tidak begitu suka membunuh orang-orang yang aku tidak tahu nama atau asal
usulnya. Sebelum mampus lebih baik kalian bertiga jelaskan diri masing-masing!
Juga apa kepentingan kalian sesumbar ingikan nyawaku!"
"Ah, kalau tak dijelaskan memang mungkin kau sudah lupa. Dosa dan kejahatanmu
sudah bertumpuk! Namaku tak perlu kau ketahui. Orang menjuluki si Tudung Maut!
Dua kawanku ini adalah perwira muda pengawal seorang Pangeran keranton
Banyuwangi. Tiga bulan yang silam kau menculik seorang pemuda keponakan Pangeran
itu lalu membunuhnya! Nah apa kau ingat sekarang"!"
"Hanya urusan kecil begitu kalian sampai datang
mengantar nyawa di malam buta!" dengus Ratu Mesum dan sekilas dia melirik pada
Pringgo. Jelas dilihatnya suaminya itu terkejut mendengar ucapan lelaki yang
mengaku berjuluk si Tudung Maut.
"Kecil bagimu besar bagi kami. Urusan nyawa orang tak ada yang kecil!" jawab
Tudung Maut. Lalu dia ganti membalas serangan Ratu Mesum. Dua perwira muda di
sampingnya ikut menyerbu dari kiri kanan. Namun
perempuan berkepandaian tinggi ini tidak takut. Dengan melompat ke atas serangan
dua prdang dapat dikelitnya sekaligus.
Kemudian didahului oleh suara tertawa melengking, Ratu Mesum menukik ke bawah.
Dua jari tangannya yang diluruskan menusuk ke arah tudung bambu lebar. Yang
diserang cepat menunduk. Dari bawah tiba-tiba dia tanggalkan topi bambunya itu
dan pukulkan ke atas! Serangkum angin dahsyat melanda Ratu Mesum yang masih
meng-apung di udara. Pakaian merahnya tersingkap lebar hingga kelihatan betis,
paha dan auratnya yang terlarang. Ternyata sang ratu tidak memakai apa-apa di
balik pakaian merahnya itu.
Sesaat dua perwira muda merasa darah mereka jadi panas melihat pemandangan itu
sedang si Tudung Maut tampak merah wajahnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Ratu Mesum untuk berjungkir balik. Sambil berputar di udara salah satu kakinya
meluncur ke arah dada lawan.
Si Tudung Maut yang tidak menduga mendapat serangan kilat dan sulit dielakkan
itu hanya bisa pergunakan tudungnya untuk menutup bagian dada yang diincar
tendangan. Brak! Tudung yang terbuat dari bambu itu jebol ditembus kaki kanan Ratu Mesum. Si
Tudung Maut terjajar ke belakang tapi dadanya selamat dari kaki lawan. Sebelum Ratu Mesum tarik pulang kakinya, Tudung
Maut putar tudung bambunya keras-keras. Ratu Mesum menjerit kesakitan.
Ujung-ujung bambu menggurat pergelangan kakinya hingga berdarah.
Mendengar jeritan istrinya dan melihat darah keluar dari pergelangan kaki Mawar
Merah, Pringgo menyerbu kalap dan ayunkan tinju ke kepala si Tudung Maut. Tapi
dari samping salah seorang perwira mengetuk kepalanya dengan gagang pedang
hingga pemuda yang tak punya kepandaian silat apa-apa ini melosoh pingsan ke
tanah! Si Tudung Maut tertawa mengekeh. Dia sudah
mendengar lama kehebatan perempuan mesum ini.
Namun kalau kini dia mampu menciderainya berarti lawan tidak sehebat apa yang
didengarnya. Hal ini membuat lelaki itu menjadi memandang enteng dan lancarkan
serangan bertubi-tubi tanpa begitu memperhatikan pertahanan dirinya lagi.
Setiap kelemahan serangan lawan sempat diawasi mata tajam Ratu Mesum. Disatu
ketika kembali perempuan ini melompat ke udara. Tubuhnya berputar kencang.
"Awas! Dia hendak tebarkan racun jahat!" seru si Tudung Maut. "Lekas tutup jalan
nafas!" Pedang Pelangi 6 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pangeran Perkasa 16
^