Rahasia Ranjang Setan 1
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan Bagian 1
BASTIAN TITO PENDEKAR DARI LIANG KUBUR
MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG
SETAN Sumber: Bastian Tito
EBook: syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
1 KEMATIAN MISTERIUS DI RUMAH
PERKEBUNAN TEH UA PENUNGGANG kuda itu memacu kuda masing-
masing laksana dikejar setan. Dalam waktu singkat Dkeduanya telah meninggalkan
daerah berbukit-bukit yang penuh dengan pohon-pohon teh. Selewatnya sebuah
jembatan kayu di atas sungai barair kuning mereka mem-belok ke arah utara,
memasuki hutan kecil, terus mengambil jalan ke timur hingja akhirnya memasuki
sebuah desa di pinggiran Wonosobo.
Saat itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur.
Udara masih terasa dingin dan embun masih bartengger di atas dedaunan. Kedua
penunggang kuda tadi berhenti di halaman sebuah rumah besar menterang yang
atapnya berbentuk joglo.
"Kau saja yang memberi tahu pada Jeng Jumilah," kata salah seorang dari
penunggang kuda pada kawannya.
Ketika temannya sudah turun dari kuda, dia tetap saja duduk di atas kudanya.
Sang teman gelengkan kepala. "Tak berani aku. Lebih baik kau saja. Gila! Kenapa
bisa jadi begini urusannya!"
"Kau hanya bisa merocos! Tapi bicara saja takut! Sudah pergi sana. Laporkan apa
yang terjadi pada Kepala Desa.
Tapi ingat, kejadian ini harus dirahasiakan..."
"Gila! Mana bisa urusan ini dirahasiakan" Orang mati mau dirahasiakan"!"
"Sudah! Pokoknya jangan terlalu banyak mulut! Lekas kau temui Kepala Desa!"
Lelaki berkumis kecil, bernama Paiman turun dari kuda, setengah berlari menaiki
tangga rumah besar lalu mengetuk pintu depan.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu terbuka dan
muncul seorang pelayan perempuan.
"Hai kau Paiman..." Pelayan itu menegur: Dia memandang ke halaman. "Kau sendirian"
Mana majikanmu"
Rupanya kalian bermalam di kebun. Jeng Jumilah semalaman tak bisa tidur...."
"Jeng Jumilah sudah bangun?" tanya Paiman.
"Baru selesai mandi..."
"Katakan padarrya aku mau ketemu."
"Akan kukatakan. Tapi kau harus sabar. Perempuan itu kalau dandan kan lama... "
Paiman tidak tersenyum mendengar kata-kata pelayan itu. Sang pelayan tampak agak
heran melihat sikap Paiman yang tak seperti biasanya.
"Ada apa sebenarnya Paiman" Kulihat kau seperti tidak sabaran. Wajahmu gelisah..."
"Ah sudah! Lekas temui Jeng Jumilah!" ujar Paiman pula.
Cukup lama menunggu pelayan itu muncul kembali dan memberi tahu agar Paiman
masuk karena Jeng Jumilah sudah selesai dandan dan menunggunya di ruangan
makan. Jeng Jumilah duduk di belakang meja. Di hadapannya ada secangkir teh panas.
Perempuan ini berwajah lebar.
Kulitnya yang sangat puth membuat garis-garis ketuaan cepat kentara di kedua
sudut matanya. "Kalian pasti menginap di kebun teh malam tadi..." Kata-kata itu diucapkan Jumilah
begitu melihat Paiman datang.
"Be ... benar sekali Jeng..."
"Kalau memang mau menginap karena banyak pekerjaan, mengapa tidak diberi tahu
padaku" Semalaman aku tak bisa tidur. Memikirkan suami. Apakah dia mendadak
sakit atau mengalami celaka. Diserang harimau yang kabarnya banyak berkeliaran
di kebun teh akhir-akhir ini...."
Dalam hatinya Paiman berkata, "Akan kukatakan saja bahwa suaminya memang telah
diserang harimau...!
Mustahil harimau bisa menjerat leher manusia tanpa melukainya..."
"Kau tak menjawab ucapanku Paiman..."
Paiman terkejut. "Maaf Jeng Jumilah. Saya dan Rawi tak sempat memberi tahu.
Malam tadi hujan Iebat sekali turun di bukit teh. Kedatangan saya pa... pa ...
pagi ini..."
Jeng Jumilah tiba-tiba memotong.
"Kulihat kau gugup. Bicaramu gagap. Ada apa ini Paiman" Mana suamiku" Apakah dia
masih di rumah di kebun teh itu .... Keterlaluan!"
"Kedatangan saya pagi-pagi ke mari..,." Paiman menyeka keringat yang mnengucur
di keningnya. Lalu dia mengulang ucapannya tadi. "Kedatangan saya pagi-pagi ke
mari justru hendak memberi tahu,.. Memberi tahu kalau... kalau..."
"Kalau apat"!" sentak Jumilah sangat tidak sabar sambil membantingkan cangkir
teh ke atas tatakannya di meja.
"Kalau Raden Bondo, suami Jeng Jumilah meninggal dunia pagi tadi!" Akhimya lepas
juga penjelasan itu dari mulut Paiman. Dia merasa lega telah memberi tahu tapi
rasa takut tetap berkepanjangan dalam dadanya.
"Suamiku meninggal" Oh Gusti Allah!" Jumilah terpekik.
Lantai di atas kursi di mans dia duduk tiba-tiba terasa seperti bergoyang.
Ruangen makan itu seolah-olah ber-putar. Sebelum tubuhnya jatuh, seorang pelayan
cepat me-nopang. Dan perempuan berusia lebih dari 42 tahun itu mulai menangis.
Mule-mula perlahan, kemudian tangisnya berubah menjadi ratapan panjang, Sesaat
Jumilah hentikan ratapnya, memandang dengan mats basah pada
Paiman, lelaki yang sehari-hari menjadi penjaga rumah merangkap pengawal
suaminya. "Ketika pergi mas Bondo sehat-sehat saja. Apa... apa yang terjadi" Mana
Remo... Mana anakku" Beri tahu dia. Aku harus ke rumah di kebun teh saat ini juga.
Antarkan aku ke sana Paiman ..."
Remo adalah putera tunggal Raden Bondo yang berusia 23 tahun.
Mendengar kata-kata istri majikannya tadi, kembali Paiman tampak gugup.
"Sebaiknya... sebaiknya Jeng Jumilah tak usah ke kebun.
Jenazah Raden Bondo akan kami bawa ke mari. Kami
sudah melaporkan pada Kepala Desa..."
Dua bola mata Jumilah membesar. Dia berdiri sambil berpegang pada tepi meja
sementara pelayan perempuan masih memegangi bahunya.
"Paiman!"sentak perempuan isteri pemilik kebun teh yang kaya raya itu. "Kau
menyembunyikan sesuatu padaku.
Aku tahu kau menyembunyikan seasuatu! Katakan apa yang terjadi di rumah di kebun
teh itu...!"
"Maakan Jeng Jumilah," jawab Paiman agak ketakutan.
"Sebenarnya kami sendiri tidak jelas apa yang terjadi.
Kapan sebenarnya Raden Bodoo meninggal. Atau apa yang menyebabkan kematiannya.
Hanya saja pagi tadi saya dan Rawi menemukannya tewas dalam kamar. Di atas
ranjang. "Tewas"! Tewas katamu Paiman"!" ujar Jumilah hampir berteriak. "Berarti dia
dibunuh! Benar dia dibunuh Paiman"
Bilang! Katakan!"
"Saya tak berani mengatakan beliau dibunuh. Kepalanya teklok! Lehernya dijerat..."
"Jelas dia dibunuh! Jelas...!" pekik Jumilah. Perempuan ini menggerung lalu
hempaskan tubuhnya ke atas kursi.
Matanya mendelik-delik seperti orang kemasukan lalu tubuhnya mendadak menjadi
kuyu dan tak ingat apa-apa lagi.
*** Dalam waktu singkat, pagi itu seluruh desa Watu Limo boleh dikatakan telah
mengetahui peristiwa kematian Raden Bondo pemilik kebun teh yang sangat luas dan
sangat kaya di timur Wonosobo. Bagaimana pun, kematian yang mendadak itu dan di
rumah di kebun teh pula
menimbulkan tanda tanya di kalangan penduduk. Banyak di antara mereka yang ingin
tahu. Akibatnya tanpa dapat dicegah penduduk desa beramai-ramai pergi ke kebun
teh. Kebun yang biasanya sunyi itu kini menjadi ramai. Mereka berkerumun di luar
rumah di puncak bukit karena tak di-perbolehkan masuk ke dalam.
Rumah di puncak bukit itu hanya memiliki sebuah
kamar. Di dalam kamar di atas ranjang besi yang besar tampak terbujur sesosok
tubuh tertutup selimut. Sosok tubuh Raden Bondo. Di dalam kamar itu hanya ada
tiga orang yakni Paiman, Kepala Desa dan Remo. Atas isyarat Kepala Desa Paiman
menyingkapkan selimut di bagian kepala. Maka kelihatanlah satu pemandangan yang
meng-gidikkan. Raden Bondo mati dengan mata membeliak. Lidahnya
terjulur. Di lehernya yang patah masih tergelung seutas tambang kuning besar.
Remo, putera Raden Bondo palingkan muka den bersandar ke dinding ketika melihat
keadaan ayahnya itu. Kedua matanya dipajamkan dan air mata ke luar membasahi
pipinya. Kepala Desa mendekati Paiman dan berkata perlahan.
"Majikanmu ini jelas mati dibunuh orang. Hanya kau dan Rawi yang ada di tempat
ini malam tadi. Jadi hanya kalian yang tahu apa sebenarnya terjadi. Dengar
Paiman, jika kau tidak mau memberi keterangan yang benar, kau dan Rawi akan
kutuduh sebagai pembunuh Raden Bondo!"
Pucatlah paras Paiman. Dia melirik sekilas ke arah Remo.
"Bukan kami yang melakukannya! Kami tidak bersalah apa-apa!"
"Jangan berdusta Paiman!"
"Saya tidak berdusta. Kepala Desa, saya mau mengatakan sesuatu. Kalau bisa
jangan sampai didengar oleh putera Raden Bondo. Ini menyangkut kehormatannya..."
Kepala Desa gelengkan kepala. "Tidak bisa! Justru kau harus bicara di hadapan
puteranya agar tak ada yang disembunyikan!"
"Kalau begitu baiklah..."
Maka Paiman lalu menuturkan bahwa majikan mereka
Raden Bondo sehari yang lalu telah melangsungkan
pernikahan dengan seorang perempuan muda cantik yang dikenal dengan nama Surti.
Pernikahan dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Kaliangki. Untuk istri mudanya
ini Raden Bondo telah membuat sebuah rumah di desa
Surowangi. Karena belum salesai untuk sementara isteri mudanya itu diminta
tinggal di rumah di bukit teh tersebut.
Malam tadi adalah malam pertama atau malam pengantin mereka. Menjalang pagi
Paiman melihat ada seeorang meninggalkan rumah. Karena masih gelap dia tak dapat
mengenali siapa adanya orang itu. Karena curiga dia mem-bangunkan Rawi. Bersama
kawannya itu dia memeriksa ke dalam rumah. Di dalam satu-satunya kamar, mereka
menemukan Raden Bondo telah jadi mayat di atas ranjang tanpa pakaian. Lehernya
patah dan ada tambang kuning besar menjirat leher itu. Mata mencelat, lidah
terjulur. Setelah menutupi tubuh Raden Bondo dengan sehelai selimut, kedua orang itu
segera menuju Watu Limo guna memberi tahu apa yang terjadi pada isteri majikan
mereka. "Begitu kejadiannya, Kepala Desa..." kata Paiman. "Saya ataupun Rawi sama sekali
tidak tahu apa-apa. Apalagi kalau dituduh membunuh Raden Bondo."
"Ada satu hal yang tidak kau katakan," ujar Kepala Desas. "Di mana isteri muda
majikanmu sekarang..."
"Itu yang membuat saya dan Rawi heran. Ketika mayat Raden Bondo kami temui, di
dalam kamar tak ada siapa-siapa. Perempuan bernama Surti itu lenyap!"
Kepala Desa Watu Limo memandang sejurus pada
Remo. Terdengar kembali suara Paiman. "Saye harap soal perkawinan Raden Bondo
dengan perempuan itu hanya kita saja yang tahu. Mendiang memesan benar agar
merahasiakan hal itu..."
"Ayah sangat mengasihi ibu. Sulit dapatkan percaya kalau ayah kawin lagi..." kata
Remo. "Paiman," kata Kepals Desa, "karena kau dan Rawi orang yang paling dekat dengan
ayah Remo, kau pasti tahu darimana perempuan bernama Surti itu berasal. Di mana
Raden Bondo menemui atau mengenalnya pertama kali.
Atau di mana rumah orang tuanya. Kita harus menyelidik sampai ke sana...."
"Harap dimaafkan Kepala Desa," kata Paiman pula.
"Soal asal muasal perempuan itu atau di mana rumahnya sebelum Raden Bondo
mengawininya, saya atau pun Rawi tidak tahu. Kami baru melihatnya pertama kali
pada hari pernikahan di Kaliangki. Raden Bondo tidak pernah menceritakan apa-apa
tentang isteri mudanya itu. Dan kami mana berani bertanya-tanya..."
Kepala Desa terdiam sesaat lalu berkata, "Kejadian ini hampir sama dengan
malapetaka yang menimpa seorang sahabatku di Kendal. Dia ditemui mati di rumah
isteri muda yang baru dikawininya dua bulan lalu. Sang isteri sendiri lenyap..."
Seseorang masuk memberi tahu bahwa kereta kuda
pembawa jenazah ke Watu Limo telah datang. Setelah tali yang menjirat lobar
ditanggalkan, maka jenazah Raden Bondo yang dibungkus dengan selimut lalu
dinaikkan ke atas kereta.
Ketika orang-orang,itu siap naik ke atas kuda masing-masing untuk mengiringkan
kereta pambawa jenazah, Paiman mendekati Kepala Desa dan berbisik, "Ada orang
asing di antara orang banyak yang mengundang kecuriga-an. Dia tegak di bawah
cucuran atap sambil merokok.
Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan kematian Raden Bondo..."
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
2 PEMUDA ASING MEROKOK MENYAN
EPALA DESA Watu Limo memutar kepalanya ke
arah yang dikatakan Paiman. Di sana, di bawah
Kcucuran atap rumah memang tampak berdiri
seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan
berikat kepala putih. Sikapnya tenang-santai bersidekap lengan di muka dada. Di
sela bibirnya terselip sebatang rokok yang asapnya menabur bau menyan yang
sangat menusuk.
Sejak tadi sebenarnya orang banyak yang berkerumun di depan rumah itu merasa
terganggu oleh rokok yang dihisap pemuda itu. Bukan saja karena bau menyan yang
ditebar-nya tetapi juga mendatangkan rasa mengkirik. Kematian dan bau menyan
merupakan gabungan dua hal yang membuat orang merasa angker.
"Gila! Dia rupanya yang menghisap rokok itu! Siang-siang begini menghisap rokok
klobot!" kata Kepala Desa dalam hati. Seperti orang-orang lainnya di tempat itu
dia memang tidak mengenali siapa adanya pemuda tersebut. Jelas dia bukan orang
Watu Limo atau diam di sekitar bukit teh.
Mandadak air muka Kepala Desa berubah. Dia ingat
kembali pada kematian sahabatnya di Kendal tempo hari.
Di rumah duka saat itu telah terjadi satu kegaduhan karena munculnya seorang
pemuda asing menghisap rokok menyan yang kemudian dituduh sebagai pembunuh
sahabatnya itu. Apa pemuda yang tegak di bawah cucuran atap itu bukan orang yang
sama" "Paiman, kau dan yang lain-lain terus iringi kereta jenazah. Aku akan menanyai
pemuda itu..." kata Kepala Desa.
Ketika kereta pembawa jenazah bergerak diikuti oleh orang banyak, pemuda yang
merokok di bawah atap segera pula melangkahkan kakinya.
"Saudara... Tunggu dulu!" seru Kepala Desa.
Pemuda yang menghisap rokok menyan hentikan
langkahnya. "Aku Wenang Kulo, Kepala Desa Watu Limo,"
memperkenalkan diri sang Kepala Desa. "Aku kenal semua panduduk desa Watu Limo.
Juga orang-orang yang tinggal sekitar perkebunan dan bukit teh ini. Kau bukan
salah satu dari mereka. Apa kepentinganmu berada di tempat ini...?"
"Tak ada kepentingan apa-apa," sahut si pemuda tanpa mencabut rokok menyan di
mulutnya hingga suaranya terdengar somber tidak enak.
Melihat sikap menjawab seperti itu Wenang Kulo
merasa dipandang rendah. Maka dia pun berkata dengan nada ketus.
"Jika tidak ada kepentingan mengapa datang ke mari"!"
"Aku hanya kebetulan lewat. Rumah ini satu-satunya bangunan di daerah kebun teh.
Kulihat banyak orang di depan rumah. Lalu kulihat pula ada kereta membawa
usungan jenazah tanda ada orang yang meninggal..."
"Jelas kau ke mari karena ingin tahu!"
"Lalu apakah itu salah?"
"Memang tak ada salahnya orang muda! Tapi jika aku menaruh curiga padamu,
sebagai Kepala Desa aku bisa menangkapmu! Lekas katakan siapa namamu dan kau
datang dari mana!"
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soal dari mana aku datang, bisa saja kukatakan. Aku barusan dari daerah utara.
Hanya siapa namaku kurasa tidak penting bagimu." Habis berkata begitu si pemuda
menyeringai lalu hisap rokok klobotnya dalam-dalam.
Mendengar jawab orang seperti itu Wenang Kulo menjadi jengkel. "Jika kau
merahasiakan namamu berarti kau menyembunyikan maksud tak baik..."
Si pemuda kembali menyeringai. Dia cabut rokoknya dari sela bibir lalu menguap
lebar-lebar. "Jangan-jangan aku berhadapan dengan orang sinting!"
kata Wenang Kulo dalam hati. Matanya memandangi
pemuda di hadapannya dari rambut sampai ke kaki. Lalu dia cepat-cepat melompat
ke atas punggung kuda untuk tinggalkan tempat itu menyusul rombongan pembawa
jenazah yang saat itu sudah mencapai pertengahan lereng bukit teh.
"Kepala desa, kenapa buru-buru pergi. Aku melihat ada sesuatu yang tak wajar
terjadi di rumah itu. Jenazah siapa yang tadi diangkut dengan kereta...?"
"Nah! Jadi kedatanganmu ke mari memang sengaja hendak menyelidik!" ujar Kepala
Desa pula. "Terserah kau mau menduga apa. Apakah orang yang meninggal itu mati dibunuh...?"
"Orang muda. Jika kau ingin tahu lebih banyak ikut aku ke Watu Limo!"
"Kita sudah bertemu di sini. Kenapa aku mesti susah-susah ikut ke Watu Limo"!"
tukas si pemuda.
"Kalau begitu tak usah kau banyak mulut!" Kata Wenang Kulo jadi jengkel. Dia
sentakkan tali kekang kudanya. Tapi binatang itu tak mau bergerak. Apalagi
melompat dan kabur. Memandang ke depan dilihatnya pemuda yang
merokok menyan tengah memegangi salah satu bagian dari leher kudanya.
"Menyingkirlah!" hardik Kepala Desa. "Atau kusuruh binatang ini menendangmu!"
"Sabar Kepala Desa. Jangan cepat-cepat marah. Aku ingin sedikit keterangan lagi.
Katakan, apakah orang-orang yang meninggal itu mati dengan seutas tali kuning
menjirat lehernya?"
Kepala Desa Watu Limo terkejut mendengar pertanyaan si pemuda. "Bagaimana kau
bisa tahu hal itu"!" tanyanya heran.
Pertanyaan itu sudah cukup merupakan satu jawaban yang membenarkan bagi si
pemuda. Maka dia pun berkata sambil geleng-geleng kepala. "Ah, anak setan itu
telah gentayangan lagi mencari korban!"
"Anak setan siapa maksudmu"I" tanya Kepala Desa. Dia jadi curiga. Jangan-jangan
pemuda yang dianggapnya tidak waras ini tahu siapa yang telah membunuh Raden
Bondo. Berarti ada sangkut paut dengsn peristiwa pembunuhan itu! Wenang Kulo merasa
berkewajiban untuk menangkap pemuda ini.
"Anak muda! Ulurkan kedua tanganmu!" Kepala Desa itu memerintah sambil
tanggalkan ikat kepalanya yang terbuat dari kain hitam.
"Eh, kenapa aku harus mengulurkan tangan ...?" tanya si pemuda terheran-heran
dan tanpa mau melakukan apa yang diperintahkan.
"Aku harus mengikat kedua tanganmu! Kau kutangkap!"
Pemuda itu keluarkan suara tawa bergelak.
"Apa salahku sampai ditangkap"!"
"Aku menaruh curiga! Kau tersangkut dalam perristiwa pembunuhan Raden Bondo!"
"Tuduhan edan!" kata si pemuda pula.
Saat itu Wenang Kulo telah turun dari kudanya. Dengan kain hitam ikat kepalanya
dia berusaha mengikat kedua pergelangan tangan pemuda itu. Tapi si pemuda tanpa
bergerak dari tempatnya hembuskan asap rokok menyan-nya ke wajah si Kepala Desa.
Bau menyan menebar tajam, menusuk pernafasan. Wenang Kulo yang memang
mengidap penyakit bengek terbatuk-batuk berulang kali sampai mukanya menjadi
merah. Di kibas-kibaskannya kain hitamnya sambil berteriak, "Rokok jahanam!
Lekas kau matikan dan campakkan benda celaka itu ke tanah!"
Namun setelah batuknya reds dan asap rokok sirna dari hadapannya, Kepala Desa
ini jadi heran bercampur kaget.
Pemuda yang tadi berada di depannya tahu-tahu tak ada lagi di situ. Lenyap!
Wenang Kulo memandang berkeliling, meneliti ke lereng bukit. Pemuda itu sama
sekali tak tampak.
"Jangan jangan aku tadi berhadapan dengan setan bukit teh!" pikir Wenang Kulo.
Tengkuknya menjadi dingin.
Ditariknya tali kekang kudanya, Binatang itu dibedalnya sekencang-kencangnya
menuruni bukit.
Pemuda tadi yang ternyata sudah menyelinap masuk ke dalam rumah memperhatikan
kepergian Wenang Kulo
sambil menyeringai.
Di dalam kamar di mane mayat Raden Bondo ditemu-
kan, dia membungkuk mengambil tali besar berwarna kuning yang tercampak di
lantai. Tali inilah yang telah menjirat patah leher pemilik perkebunan teh itu.
Beberapa lamanya dia menimang-nimang tali itu. Dari balik pakaiannya, sesaat
kemudian dia keluarkan dua helai tambang. Dua helai tambang ini bentuknya, warna
dan panjangnya persis sama dengan tambang yang menjirat leher Raden Bondo.
Ketiga utas tali itu kemudian
dimasukkannya ke balik pakaiannya. Setelah meneliti isi kamar itu sesaat
akhirnya pemuda yang menghisap rokok klobot ini tinggalkan rumah tersebut.
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
3 SI CANTIK DI PASAR WLINGI
ENDU MEMBANTING topi hitamnya ke atas meja,
mengejutkan Komang yang asyik mencabuti bulu-
G bulu kasar di dagunya sambil terpejam-pejam.
"Masih pagi lagakmu sudah seperti orang kegerahan!"
kata Komang. "Aku barusan dari pasar Wlingi..." kata Gendu tanpa perdulikan rasa kesal
kawannya. "Ya... ya! Seperti biasa mampir di warungnya mbok Suket, minum kopi, makan pagi
dan tidak bayar..."
"Semula memang itu yang hendak kulakukan. Tapi ketika melewati pasar sayur,
sesuatu menarik perhatianku.
Ada seorang pedagang baru. Penjual rempah-rempah. . . ."
"Kalau cuma itu ape perlunya kau ceritakan padaku!"
ujar Komang tak perduli lalu bangkit dari kursinya dan hendak pergi.
"Eh, tunggu dulu Mang!" kata Gendu seraya memegangi bahu kawannya, menekannya
dengan kuat hingga Komang kembali duduk di kursinya. "Kalau cuma penjual rempah
biasa, tentu tak perlu kuceritakan padamu. Justru penjual satu ini benar-benar
luar biasa. Masih sangat muda, ber-kulit kuning langsat, berbadan montok tapi
tinggi semampai. Dan ini yang paling penting. Berwajah cantik selangit tembus!"
Mendengar kata-kata Gendu itu kini Komang berubah sikap dan menunjukkan
perhatian penuh. Dia memutar duduk dan menghadapi kawannya, langsung berkata:
"Kalau perempuan itu benar-benar cantik, aku pun ingin melihat dengan mata
kepala sendiri. Bagaimana kalau kita pergi ke pasar Wlingi sekarang juga"!"
"Aku saja! Aku pun belum puas melihat kecantikan dan kesintalan tubuh yang
terbungkus kulit kuning langsat bersih itu!" sahut Gendu menyetujui.
Maka dengan menunggang kuda kedua orang lelak yang sehari-harinya menjadi
petugas dan pengawal gedung Kadipaten Tumenggung itu berangkat menuju pasar
Wlingi. Saat itu pasar sedang ramai-ramainya dipadati oleh orang-orang yang berbelanja.
Sebagian besar mereka adalah kaum ibu. Meskipun jalan sempit dan orang yang
berbelanja padat namun begitu Gendu dan Komang
muncul memasuki pasar, orang banyak segera menyingkir memberi jalan. Siapa yang
tidak kenal dengan dua petugas Kadipaten itu" Yang kadang-kadang tak segan-segan
bertindak kasar dan suka memungut pajak lebih tinggi dari yang sudah ditentukan.
Gendu hentikan kudanya di samping penjual sayur
mayur laiu menunjuk ke depan seraya berkata, "Pasang matamu baik-baik Komang.
Itu penjual rempah yang
kuceritakan..."
Komang memandang ke jurusan yang ditunjuk kawan-
nya. Dan lelaki yang sudah beranak tiga ini mau tak mau harus mengakui, belum
pernah dia melihat perempuan secantik penjual rempah-rempah itu.
"Cantik sekali. Masih sangat muda. Kurasa dia masih gadis..." bisik Komang. Lalu
dia menggerakkan kudanya mendekati gubuk kecil pedagang rempah. Gendu mengikuti
dari belakang. Tahu kalau ada yang mendatangi dan memperhatikan, perempuan pedagang rempah itu
mengangkat wajahnya dan tersenyum. Gendu dan Komang seperti terpantek di atas
punggung kuda masing-masing saking terpesonanya.
Komang berbisik pada Gendu, "Perempuan ini benar-benar tak pantas menjadi tukang
jual rempah-rempah begini..."
Komang yang sudah gatal hendak menegur, sesaat
bingung. Bagaimana dia akan memanggil si cantik penjual rempah itu. Dengan
sebutan jeng pasti tidak pantas. Tapi kalau dipanggil mbok wah, malah sangat
tidak pantas. Lebih baik dipanggil dengan sebutan adik saja. Maka menegurlah Komang.
"Adik, kulihat kau pedagang baru di sini..."
"Betul sekali. Saya memang baru hari ini mulai berdagang. Apakah di situ hendak
membeli dagangan saya"
Semua rempah-rempah yang saya jual masih baru, asli tidak dicampur..."
"Hem .... Aku dan kawanku ini petugas-petugas dari Kadipaten," kata Komang pula.
"Harap maafkan kalau saya tidak berlaku hormat," kata penjual rempah itu.
"Sebelum mulai berjualan, apakah sudah melapor kepada Kepala Pasar ....?" Gendu
ajukan pertanyaan.
"Saya .... saya memang belum melapor. Saya tidak tahu di mana harus menemui
Kepala Pasar. Juga tidak tahu yang mana orangnya ...."
"Aku Komang, petugas Kadipaten Temanggung, sekaligus merangkap Kepala Pasar
Wlingi!" "Aduh, benar-benar tidak disangka kalau saya berhadapan dengan Kepala Pasar
Wlingi. Jadi saya telah berbuat kesalahan karena tidak melapor ....?" Si jelita
pedagang rempah-rempah bertanya sambil menatap
dengan sepasang matanya yang bagus pada Komang
"Tidak .... Tidak begitu. . . ." Komang jadi salah tingkah dipandang seperti
itu. "Kau boleh melapor kemudian. Tapi untuk catatanku, aku harus tahu namamu.
Lalu di mana tempat kediamanmu. Nanti kami berdua akan mendatangi rumahmu untuk
urusan laporan itu..."
"Bapak-bapak ini petugas yang baik. Tapi nama saya jelek. Soya malu
mengatakannya..."
"Jangan bagitu..." membujuk Gehdu. "Cantik orangnya pasti bagus namanya... Katakan
namamu dan di mana tempat tinggalmu...."
"Orang tua saya memberi name jelek pada saya.
Randini..."
"Ah, betul kan" Itu nama yang amat bagus!" ujar Gendu memuji.
"Tempat tinggalmu .... ?" tanya Komang pula.
"Saya tinggal di rumah pak tua Tukiman, pembuat kendi di pinggir timur
Temanggung...."
"Apa hubungan adik dengan orang tua itu. Anaknya atau cucunya... ?"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Saya menyewa satu bilik di rumah orang tua itu.
Rumahnya cukup besar dan dia hanya tinggal bersama isterinya ..,."
Saat itu orang-orang yang berada di pasar mulai
memperhatikan ke arah mereka hingga kedua petugas Kadipaten ini diam-diam merasa
malu berada lebih lama di tempat itu. Maka Komang cepat berkata, "Kami akan
datang ke tempat tinggalmu begitu pasar usai..."
"Tapi siang nanti saya tidak ada di rumah, " menjelaskan Randini.
"Kalau begitu kami datang menjelang sore," yang berkata Gendu. Lalu dia memberi
isyarat pada Komang.
Keduanya segera meninggalkan pasar Wlingi.
Ketika Gendu dan Komang sampai di gedung Kadipaten, Adipati Suryo Maget
menyambut keduanya dengan
semprotan. "Bogus sekali tingkah kalian! Sudah siang begini baru muncul! Apa kalian lupa
kalau pagi ini kalian harus mengantar aku ke Bandongan"!"
Melihat sang Adipati marah tentu saja kedua petugas Kadipaten itu menjadi
ketakutan. Sesaat mereka saling pandang dan baru menyadari kalau pagi itu memang
mereka mempunyai tugas untuk mengawal Suryo Maget ke selatan.
"Mohon maafmu, Adipati. Kami mengaku salah. Kami memang lupa kalau pagi ini
harus mengantar Adipati ke Bandongan." Yang berkata adalah Gendu. Lalu dia
menyambung. "Kami barusan dari pasar Wlingi..."
"Hemmm ... Begitu" Kalian lebih mementingkan perut kalian dari pada tugas! Ape
sudah tak ingin lagi bekerja di sini"!"
Paras Gendu dan Komang menjadi pucat.
"Kami... kami bukan pergi makan atau minum ke Wlingi.
Ada suatu urusan..." jawab Gendu sementara Komang tertunduk kecut.
"Ada urusan! Hebat benar kalian! Urusan apa" Lekas katakan. Aku mau tahu...!"
Gendu memandang pada kawannya. Komang Iantas
berbisik, "Katakan saja apa adanya, nDu..."
"Sialan! Aku bertanya kalian malah kasak-kusuk!" Adipati Suryo Maget menjadi
sangat jengkel melihat tingkah laku kedua bawahannya itu.
"Be ... begini Adipati," lagi-lagi Gendu yang bicara. "Di pasar Wilingi pagi ini
kami melihat ada seorang pedagang rempah-rempah. Karena dia orang baru maka kami
menanyakan apakah dia sudah melapor dan mendapat izin berdagang ..."
"Lalu apa yang kaudapati"!"
"Pedagang baru ini memang belum melapor. Karenanya nanti sore kami akan ke
rumahnya menyelesaikan urusan ini..."
"Goblok!" sentak Suryo Maget. "Dasar goblok! Urusan itu seharusnya sudah kalian
selesaikan di pasar! Bukan menunggu sampai sore dan mengurusnya di rumah orang!
Kembali ke pasar dan minta pedagang itu membayar pajak bulan pertama ditambah
denda!" "Tapi Adipati..." Komang membuka mulut untuk pertama kalinya. "Perempuan muda itu
sudah mengakui kesalahan-nya."
'Perempuan muda! Perempuan muda siapa maksud-
mu"!"
"Maksud saya pedagang rempah-rempah itu. Kami telah ketelanjuran mengatakan akan
menyelesaikan urusan di rumahnya nanti petang. Kami... Terus terang kami agak
rikuh. Soalnya pedagang rempah itu seorang gadis yang cantik sekali..."
"Apa katamu Komang" Coba ulangi!" ujar Suryo Maget sambil melangkah mendekati
Komang dan betulkan letak sabuk besar yang melilit di pinggangnya.
"Pedagang rempah itu seorang gadis sangat cantik Adipati," kata Komang pula.
"Tidak pantas dia menjadi pedagang di pasar yang kotor itu. Belum pernah saya
melihat perempuan secantik itu..."
Sepasang mata Suryo Maget menyipit dan keningnya
mengerenyit. "Apakah dia lebih cantik dari isteriku yang paling muda"!" Adipati bertanya
blak-blakan. Ini membuat Komang maupun Gendu menjadi sulit
menjawab. Jika mereka katakan bahwa memang benar
isteri paling muda sang Adipati itu tidak secantik si penjual rempah-rempah
bernama Randini mungkin mereka bakal kena tempeleng. Kalau mereka mengatakan
bahwa isteri muda atasannya itu lebih cantik, jelas tidak begitu kenyataannya.
Karena kedua pembantunya tidak menjawab Suryo
Maget cukup memaklumi bahwa gadis pedagang rempah-rempah itu pastilah lebih
cantik dari pada isteri ketiganya, yakni isterinya paling muda. Sesaat Suryo
Maget berpaling ke dalam gedung lalu bertanya dengan suara perlahan,
"Gendu, Komang! Katakan apakah perempuan itu juga lebih cantik dari Naimah,
janda muda yang jadi peliharaan-ku..."
"Maafkan kami Adipati," akhirnya Gendu menjawab.
"Kami berdua tak mungkin membanding-bandingkan.
Harap Adipati maklum kalau tadi Komang mengetakan bahwa dia belum pernah melihat
perempuan secantik penjual rempah-rempah itu ...."
"Kalau begitu, aku ingin melihatnya sendiri!'' kata Suryo Maget pula.
Lelaki, bilamana sudah mempunyai kedudukan atau
pangkat tinggi serta memiliki harta dan uang berlimpah, biasanya cenderung akan
muncul salah satu sifat jeleknya, yakni rakus pada perempuan-perempuan cantik.
Hal inilah yang terjadi dengan Adipati Temanggung itu. Secara resmi Suryo Maget
telah mempunyai tiga orang isteri. Lalu ditambah lagi dengan beberapa orang
perempuan muda dan cantik yang diam-diam dipeliharanya tanpa setahu ketiga
isterinya itu. Kini mendengar keterangan kedua anak buahnya maka sifat rakus
perempuan itu berkobar kembali. Daun muda itu harus dibabat sebelum disambar
orang lain. Bunga indah sekuntum itu harus diambil sebelum dipetik orang lain.
Begitu yang ada dalam hati dan jalan pikiran sang Adipati.
"Jika Adipati menghendaki demikian, kami siap mengantar ke pasar Wlingi saat ini
juga..." kata Gendu.
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, pagi ini kalian tetap harus mengantar aku ke Bandongari!" sahut Adipati
pula. "Satu hal harus kalian ingat! Cara kumbang bernama Suryo Maget menghisap
bunga tidak sama dengan cara kerkelak atau kecoak macam kalian! Nanti sore kau
antar aku ke tempat
kediaman gadis itu!"
"Kami siap melakukannya Adipati," jawab Gendu.
"Sekarang izinkan kami menemui kusir, melihat apakah dia sudah menyiapkan kuda
dan kereta."
Kedua petugas itu pergi ke bagian belakang gedung.
Sambil berjalan Komang berkata, "Aku punya firasat jelek, Gendu. Bahkan sangat
jelek!" "Aku sudah tahu apa firasatmu itu, Mang. Kau tak akan mendapatkan penjual
rempah-rempah itu. Adipati pasti akan mengambilnya sebagai tambahan
perbendaharaan ranjang tidurnya. Entah sebagai isteri ke empat. Atau dipelihara
seperti dua perempuan lainnya itu..."
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
4 ISTERI KE EMPAT
IGA PENUNGGANG KUDA itu berhenti di depan sebuah
rumah besar berdinding gedek beratap rumbia yang
T terletak di pinggir timur Temanggung. Di halaman depan dan samping rumah
terdapat ratusan kendi
berbagai bentuk dan ukuran. Inilah rumah Tukiman, orang tua pembuat dan pedagang
kendi yang terkenal itu.
"Kalian berdua turun dan periksa ke dalam apa perempuan itu ada di rumah,"
penunggang kuda berpakaian bagus berkata. Dia bukan lain adalah Suryo Maget,
Adipati Tumenggung.
Komang dan Gendu cepat turun dari kuda masing-
masing. Di pintu depan seorang tua berpakaian putih model gunting Cina dan
berkain sarung tampak muncuL
Dia segera mengenali orang berpaksian bagus yang duduk di punggung kuda dan
cepat-cepat memberi salam serta hormat. Dalam hatinya dia membatin ada apakah
Adipati Tumengung tiba-tiba saja dating ke rumahnya" Jelas tidak membeli atau
memesan kendi. Lalu orang tua ini berpaling pada dua petugas Kadipaten yang
menghampirinya.
"Kami mencari seorang gadis bernama Randini. Benarkah dia tinggal di sini?"
tanya Gendu. "Ah, gadis itu rupanya yang mereka cari ..." ujar Tukiman pak tua ahli kendi
dalam hati. Diapun menjawab, "Memang benar. Dia menyewa satu kamar di sini.
Adipati, apakah sudi masuk ke rumah saya yang buruk ini...?"
Karena Suryo Maget hanya menggoyangkan kepala saja sedikit dan tak menjawab maka
Komang berkata, "Panggil saja gadis itu pak tua. Kalau dia sudah datang Adipati
akan bicara padanya..."
Make Tukiman tua pun masuk ke dalam rumahnya. Tak selang berapa lama orang tua
ini keluar kembali diiringi oleh seorang gadis yang memang Randini adanya,
penjual rempah-rempah di pasar Wlingi itu.
Kedua mata Adipati Suryo Maget tampak membesar.
Pandangannya tak berkedip dan tubuhnya seperti dipantek di atas punggung
kudanya. Tidak salah kalau kedua anak buahnya pagi-pagi sudah nyasar ke pasar.
Ternyata gadis itu benar-benar cantik. Tak pernah sang Adipati melihat dara yang
begini molek sebelumnya. Rambutnya hitam pekat tersisir ke belakang dan
membentuk sebuah sanggul besar. Alisnya juga hitam laksana sepasang bulan sabit
bertengger di atas kedua matanya yang indah bening.
Kedua pipinya tampak ke merah-merahan mengapit hidung yang mancung.
Wajah yang dihias bibir merah merekah dan dagu
laksana lebah bergantung itu tampak tersenyum. Lalu tubuh yang mulus montok itu
merunduk memberi hormat pada Suryo Maget.
"Nama saya Randini. Ada apakah sampai Adipati Temanggung datang berkunjung ke
mari...?" Si gadis berpaling pada Gendu dan Komang. Segera dia ingat dan mengenali.
"Bukankah bapak berdua yang pagi tadi datang ke pasar Wlingi?" Ketika dilihatnya
kedua orang itu mengangguk maka Randini bertanya, "Jadi... bapak berdua hendak
membicarakan soal laporan berjualan itu"
Saya memang bersalah, berdagang tapi tidak melapor.
Apakah Adipati hendak menangkap saya saat ini...?"
Saat itu Suryo Maget sudah turun dari kudanya.
Sementara Komang berbisik pada si gadis. "Lupakan soal lapor melapor itu. Kami
datang ke mari bukan untuk menangkapmu. Adipati Suryo Maget kepingin melihat
wajahmu!" Merahlah paras Randini.
"Bolehkah aku masuk dan bicara di dalam...?" Suryo Maget bertanya.
"Tentu saja. Tentu saja Adipati," menyahut Tukiman tua.
"Hanya mohon dimaafkan, rumah saya buruk sekali, atap rumbia, dinding gedek dan
lantai tanah. Tak pantas Adipati berada di dalamnya."
Suryo Maget tertawa kecil. Pada kedua pembantunya dia berkata, "Kalian berdua
tunggu di sini ...." Lalu Adipati masuk ke dalam rumah. Ketika pemilik rumah
hendak menyusul masuk, Gendu cepat memegang tangan orang tua itu dan berkata,
"Kita di sini saja pak tua. Biarkan Adipati dan gadis itu bicara berdua di
dalam..." Lalu Gendu berpaling pada Randini. "Masuklah. Jika Adipati ingin
menemuimu tentu ada sesuatu yang ingin dibicarakan-nya..."
Randini, perempuan muda bertubuh molek dan
berparas jelita itu tampak ragu-ragu sesaat" Namun akhirnya dia masuk juga ke
dalam rumah. Sampai di dalam rumah dilihatnya Adipati Suryo Maget tegak memandang dengan
tersenyum padanya.
"Mohon maaf, tak ada kursi yang layak untuk duduk Adipati..." kata Randini.
"Tidak apa. Aku biasa berdiri kalau bicara," jawab Suryo Maget. "Benarkah kau
berjualan rempah-rempah di pasar Wlingi?"
"Benar sekali Adipati. Baru pagi tadi saya mulai berjualan. Dan saya telah
membuat kesalahan. Tidak melapor lebih dulu pada petugas-petugas Kadipaten..."
"Lupakan hal itu. Aku melihat, kau sangat tidak pantas menjadi penjual rempah-
rempah. Tidak pantas berjualan apa pun di pasar yang kotor itu..."
"Tapi saya harus melakukan sesuatu untuk dapat hidup... Saya sebatang kara di
Temanggung ini..."
Suryo Maget memperhatikan kedua tangan dan kaki
Randini. Halus sekali. Menandakan meskipun dara ini berdagang di pasar tapi
jelas dia tidak terbiasa melakukan pekerjaan kasar atau berat.
"Di mana kedua orang tuamu?" tanya Suryo Maget.
"Ibu meninggal waktu saya masih kecil. Ayah tewas waktu terjadi banjir bandang
beberapa tahun lalu di Ambarawa . . . ."
"Jadi di situ berasal dari Ambarawa?"
"Bukan. Kedua orang tua saya berasal dari Jepara,"
jawab Randini. "Lalu bagaimana sampai terpesat di Temanggung?"
"Panjang ceritanya Adipati. Tak mungkin saya ceritakan karena Adipati akan bosan
mendengarnya. Apakah saya boleh terus berjualan di pasar Wlingi. Hanya itu
tumpuan dan mata pencaharian saya..."
"Aku tidak mangizinkanmu berdagang lagi di Wlingi..."
kata Suryo Maget.
Ucapan ini membuat Randini terkejut. Parasnya berubah dan wajahnya seperti
hendak menangis. Tapi di hadapannya dilihatnya Adipati Temanggung itu tersenyum.
"Sukakah kau menjadi teman hidupku?" tiba-tiba sang Adipati bertanya.
Ini tambah mengejutkan Randini.
"Saya... saya tidak mengerti maksud Adipati..." katanya terbata-bata.
"Makudku apakah kau suka kalau kuperisterikan?"
Kedua mata sang dara terbelalak. Lalu dia cepat-cepat tundukkan kepala. Karena
menunduk tengkuknya yang putih tampak menyembul di bawah sanggulnya yang besar,
"Ada keringat di kudukmu! Kau tentu terkejut bukan?"
ujar Suryo Maget seraya menghampiri lebih dekat. Lalu dengan jari-jari tangannya
disekanya percikan keringat di tengkuk Randini. Si gadis menggelinjang karena
kegelian. Suryo Maget tertawa perlahan. Tangannya yang basah oleh keringat diciumnya
beberapa kali. Lalu jari-jari yang basah itu dihisapnya. Rupanya sudah demikian
besarnya daya tarik si gadis di hati sang Adipati hingga keringatnya pun
dinikmatinya. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi..." kata Suryo Maget pula.
"Saya tak bisa menjawab. Saya tak berani memberikan jawaban..." kata Randini.
"Kenapa tak bisa" Kenapa tak berani?"
Lama gadis itu terdiam. Akhirnya dia berkata, "Saya seorang miskin yang tidak
sebanding dengan Adipati. Jika Adipati menginginkan, bukankah bisa mendapatkan
seorang gadis lain yang lebih segala-galanya dari saya...?"
"Justru saat ini aku sudah menemukan gadis yang iebih dari segala-galanya itu.
Yaitu kau sendiri. Aku memang sudah punya tiga isteri. Tapi jika kubandingkan
dirimu dengan ketiganya... Mereka seperti buIan redup tertutup awan sedang kau
seolah-olah buIan purnama yang memancarkan sinarnya yang indah. Nah, apakah kau
sudi kujadikan isteriku yang keempat?"
"Apakah Adipati tidak merasa malu dan turun derajat nanti karena mengambil saya
gadis yang tidak ketahuan asal usulnya sebagai isteri...?" bertanya Randini.
Suryo Maget tertawa lebar. "Ucapanmu itu menandakan bahwa kau bisa menjadi
seorang isteri yang baik. Karena itulah sejak pertama kali tadi aku melihatmu di
pintu rumah, aku yakin bahwa aku harus memperisterikan dirimu. Aku menunggu
jawabanmu saat ini..."
"Jika... jika niat Adipati memang sebaik itu, apa yang harus saya katakan selain
bersedia mengabdi pada
Adipati..."
Saking gembiranya, Suryo Maget sampai lupa diri.
Sambil tertawa dirangkulnya tubuh Randini dan diciumnya wajah gadis itu
berulang-ulang, membuat sang dara meng-geliat coba melepaskan diri.
"Mulai besok kau tak boleh berjualan lagi di pasar," kata Suryo Maget. "Untuk
beberapa hari tetap saja tinggal di sini. Orang-orangku akan mengatur segala
sesuatunya untukmu. Pesta perkawinan, rumah... dan sebagainya...
dan sebagainya."
"Kalau saya boleh meminta, tak usahlah diadakan pesta segela."
"Hemm... Kalau begitu kehendakmu aku pun setuju,"
ujar Suryo Maget. Memang mana ada orang yang mau
mengadakan pesta untuk perkawinannya yang ke empat, padahal tiga isterinya masih
ada. Dari balik pakaian bagusnya Adipati Tumenggung itu mengeluarkn sebuah kotak
kecil berwarna merah. Kotak itu diulurkannya pada Randini seraya berkata. "Ambil
dan bukalah..."
Si gadis mengambil kotak itu. Lalu membukanya.
Ternyata di dalam kotak terdapat sebentuk cincin emas bermata berlian yang besar
sekali. "Itu untukmu!" kata sang Adipati pula.
"Saya tak berani menerimanya, Adipati..."
"Jangan menampik. Itu pemberian seorang calon suami pada bakal isterinya. Kau
harus mau menerimanya!"
Suryo Maget mengeluarkan cincin itu dari dalam kotak lalu memasangkannya ke jari
manis tangan kiri Randini.
Ternyata cincin itu pas betul di jari sang dara. Sambil memegangi jari-jari
tangan Randini Suryo Maget berkata:
"Aku harus pergi sekarang. Segala sesuatunya akan segera diatur. Aku akan
menempatkan seorang pengawal di sini.
Bila kau memerlukan apa-apa tinggal memberitahu
padanya..."
"Saya sangat berterima kasih Adipati. Benar-benar berterima kasih ...." kata
Randini pula. Lalu dia menundukkan tubuh memberi hormat, sekaligus menghindarkan
sang Adipati yang hendak mencium wajahnya.
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
5 AJAL Dl MALAM PENGANTIN
UMAH ITU terletak di aliran Kali Progo, di sebelah tenggara Temanggung, pada
sebuah daerah yang
Rsubur. Di dalam rumah Adipati Suryo Maget duduk di meja makan berhadap-hadapan
dengan istri barunya, istri paling muda atau istri ke empat yaitu Randini. Sang
Adipati hanya sedikit saja menyentun makanan yang terhidang.
Seleranya same sekali tidak ada karena dikalahkan oleh kobaran hasrat yang ingin
cepat-cepat masuk ke dalam kamar, menjalani malam pertama bersama Randini.
Sore tadi, menjelang magrib dengan disaksikan oleh dua orang petugas Kadipaten
Temanggung yakni Gendu dan Komang, seorang penghulu telah datang ke tempat itu,
menikahkan Suryo Maget yang berusia 53 tahun dengan Randini yang berumur 21
tahun. bararti malam ini adalah malam pengantin yang berbahagia bagi keduanya.
Di luar rumah Komang dan Gendu berjaga-jaga sambil bercakap-cakap.
"Nasib kita memang sial Gendu. Gadis cantik itu tidak jatuh ke tangan kita..."
kata Komang. "Kalau kupikir-pikir, seandainya Adipati tidak memper-istrikannya, belum tentu
dia mau padaku atau padamu..."
menyahuti Gendu.
"Sedang apa mereka sekarang" Mungkin sudah masuk ke dalam kamar..."
"Tadi kulihat masih di meja makan. Kalau mereka masuk ke kamar apa kau mau
mengintip...?"
"Komang menyeringai. "Tak ada salahnya. Dari pada tak dapat sama sekali mencuri
intip pun..."
"Ya, sekali ketahuan oleh Adipati kita berdua bisa celaka!"
Di dalam rumah Adipati Suryo Maget meneguk kopi
hangat yang barusan diantar seorang pelayan lalu menyalakan sebatang rokok.
Setelah beberapa kali menghisapnya dia memandang pada Randini dan berkata, "Mata
tua ini cepat sekali mengantuk. Tubuh lanjut ini terasa letih.
Bagaimana kalau kita masuk saja ke kamar untuk beristirahat...?"
Randini yang maklum apa maksud kata-kata Adipati
yang kini telah menjadi suaminya itu menganggukkan kepala lalu berdiri. Dia
merapikan pakaiannya sebentar kemudian melangkah menuju ke kamar. Tidak menunggu
lebih lama Suryo Maget cepat berdiri dan menyusul masuk.
Kamar itu besar sekali, dilengkapi dengan perabotan yang serba baru dan bagus,
termasuk sebuah ranjang besar terbuat dari besi berlapis kuningan.
"Tidak disangka di usia yang begini lanjut aku mendapat seorang isteri
pendamping yang kuidam-idamkan..." kata Suryo Maget seraya melepas sandalnya
lalu naik a,e atas ranjang.
"Setelah mendapatkan saya, apakah kakanda akan mencari istri baru lagi...?"
bertanya Randini. Dia duduk di tepi tempat tidur, dekat kaki Suryo Maget.
Adipati itu tertawa.
"Kukira tidak. Cukup kau yang terakhir. Soalnya kini aku sudah mendapatkan
segala-galanya..."
"Mudah-mudahan saya bisa menjadi isteri yang baik.
Saya merasa bersyukur dari hidup terlunta-lunta sebatang kara hari ini saya
menemui kebahagiaan, menjadi isteri Adipati Tumenggung."
"Kau pasti akan menjadi isteri yang baik. Aku sudah melihat dari raut wajahmu
yang cantik, tutur katamu yang halus dan sikapmu yang lemah lembut. ..." kata
Suryo Maget memuji isterinya. "Berbaringlah di sampingku. Ini malam pertama kita
Randini. Malam pengantin yang tidak akan kita lupakan selama hidup..."
"Pernahkah kakanda mendengar cerita tentang lelaki-lelaki yang mati pada malam
pengantinnya..."
Suryo Maget menggeleng. "Tak pernah kudengar.
Pengantin lelakinya pasti mengidap penyakit jantung!" ujar sang Adipati pula.
"Mengapa kau bertanya begitu..." Kalau pun aku mati setelah bersenang-senang
denganmu rasanya aku akan puas..."
"Tak baik berkata begitu. Saya tak ingin kehilangan kakanda. Apalagi di malam
pengantin ini..."
"Kalau begitu menggeserlah ke mari. Berbaringlah di sampingku..."
"Aneh malam ini terasa panas. Tidakkah kakanda ingin membuka pakaian?" tanya
Randini. Pertanyaan isterinya itu merangsang darah sang Adipati.
Cepat-cepat dia membuka pakaiannya hingga hanya
tinggal pakaian dalam saja.
"Giliranmu sekarang Randini..."
Randini menggerakkan tangannya ke pinggang hendak membuka gulungan angkinnya.
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kemudian hal itu tak jadi dilakukannya dan berkata, "Kakanda, saya tak mau
membuka pakaian kalau kakanda memperhatikan. Malu...
Berpalinglah menghadap ke dinding..."
Suryo Mager tertawa lebar. "Isteriku ini benar-benar gadis tulen. Masih malu-
malu ...." katanya dalam hati. Lalu seperti yang dikehendaki Randini dia pun
memutar tubuhnya membelakangi sang isteri, menghadap ke dinding dengan dada yang
bergemuruh karena membayangkan
apa sebentar lagi yang akan dilihat dan dinikmatinya.
Setelah Suryo Maget membelakanginya, baru Randini kembali menggerakkan tangannya
ke pinggang. Namun apa yang dilakukannya bukanlah membuka angkin atau
setagennya, Dari balik angkin itu dia justru mengeluarkan seutas tali berwarna
kuning sepanjang empat jengkal, memegangnya pada masing-masing ujungnya.
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya gadis ini men-jiratkan tali itu ke leher
Suryo Maget hingga sang Adipati terkejut. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu
nafasnya telah sesak, lidah menjulur. Kedua tangan coba menggapai dan kedua kaki
melejang-lejang.
Kreeek...! Terdengar suara patahnya tulang leher ketika Randini membuat satu sentakan yang
kuat. Tubuh Adipati Suryo Maget tak bergerak lagi. Nyawanya putus sudah!
Dari mulut Randini keluar suara tertawa aneh. Hampir seperti kuda meringkik.
"Lelaki keparat! Hidung belang busuk macammu pantas menerima mampus seperti ini!
Kau tunggulah ayahku! Kau tunggulah guruku! Juga semua lelaki-lelaki bejat itu!
Kalian semua pantas berkumpul di liang neraka!"
Habis berkata begitu Randini mombuka jendela kamar.
Sesaat kemudian dia pun lenyap dalam kegelapan malam.
Hanya angin malam yang berdesir menyaksikan kepergian-nya.
Di luar rumah Komang berbisik pada kawannya.
"Hai... Kau dengar suara tawa gadis itu... Cekikikan!
Tubuhku jadi panas. Bagaimana kalau kita mengintip...''
Memang Gendu-pun tadi sempat mendengar suara tawa Randini. Rupanya malam
pengantin sudah dimulai. Kalau tadi dia menolak ajakan kawannya, kini dia pun
tertarik. Keduanya lalu mengendap-endap mendekati rumah di
bagian mana kamar tidur terletak. Namun sebelum sampai di dinding bangunan,
sebuah perahu kecil merapat di tepi.
Kali Progo. Dari atas perahu melompat turun seorang pemuda yang langsung lari ke
arah rumah. "Hai! Siapa di sana"!" bentak Gendu ketika melihat ada orang yang datang dengan
sikap mencurigakan.
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
6 SAKIT HATI YANG KETIGA KALI
IANG ITU Tumbal Sakti menemui ibunya yang masih
berbaring di atas tempat tidur. Dia adalah putera S tertua Adipati Suryo Maget
dari istri pertamanya yaitu Siti Resmi.
"Sesiang ini ibu masih belum bangun. Apakah ibu sakit?"
tanya Tumbal Sakti.
Siti Resmi tidak menjawab. Dia memandang ke langit-langit kamar.
"Ibu tak mau menjawab. Ibu seperti merahasiakan sesuatu, . .."
Perempuan itu coba tersenyum. "Apa pula yang harus kurahasiakan, Tumbal?"
"Saya tahu ibu memang merahasiakan sesuatu. Hanya saja rahasia itu sudah saya
ketahui. Dan saya berniat melakukan sesuatu!" kata Tumbal Sakti pula.
Hal ini mengejutkan ibunya yang langsung bangkit dan duduk di ujung tempat
tidur. "Apa maksud Tumbal"!" tanya perempuan itu.
"Ayah hendak kawin lagi! Itu yang menimbulkan pikiran hingga ibu hanya berdiam
diri dalam sakit hati yang mendalam. Betul kan begitu, bu...?"
Siti Resmi terdiam. Kini dia merasa tak ada gunanya merahasiakan hal itu lagi.
Puteranya ternyata sudah tahu.
"Dari mana kau tahu hal itu Tumbal?"
"Seseorang menceritakannya pada saya..."
"Seseorang siapa?"
"Ibu tak usah tahu. Yang jelas perbuatan busuk seperti itu mana bisa ditutup-
tutup"!"
"Itu sudah nasib kita, Tumbal. Kita tak bisa merubah sifat ayahmu..."
"Sudah tiga kali dengan ini dia menyakiti ibu... Apakah tiga orang istri dan
sekian banyak peliharaan masih tidak cukup bagi ayah?"
"Jangan berkata begitu Tumball"
"Tidak ibu. Saya harus melakukan sesuatu. Saya tahu di mana mereka berada malam
nanti!" Tumbal Sakti menyibakkan pakaian luarnya yang
menyerupai jas pendek tanpa lengan.
"Lihat, apa yang saya bawa ini, bu!"
Ketika melihat keris yang tersisip di pinggang puteranya terkejutlah Siti Resmi.
"Tumbal! Apa yang hendak kau lakukan"!"
"Saya akan membunuh perempuan itu, bu!"
"Kau gila!"
"Bukan saya yang gila! Tapi perempuan itu! Juga ayah!"
"Perempuan itu, siapa pun dia adanya tidak bersalah.
Ayahmu yang salah. Tidak pernah puas dengen apa yang ada...!"
"Kalau begitu ayah juga akan saya bunuh!" kata Tumbal Sekti pula dengan mata
berapi-api. Sebaliknya sepasang mata sang ibu tampak berkaca-caca.
"Jangan kau lakukan itu, anakku! Jangan kau tambah derita ibu..."
"Ini derita ibu yang terakhir! Kalau kita tidak melakukan sesuatu ayah tak akan
pernah bisa berubah! Lagi pula dua ibu yang lain merestui tindakan saya..."
"Jadi... jadi kau sudah mengatakan maksudmu pada dua istri ayahmu yang lain...?"
Tumbal Sakti mengangguk.
"Tidak Tumbal! Jangan kau lakukan itu! Jangan senekad itu. Berikan padaku keris
ayahmu itu. Kau tak pantas membawanya. Serahkan padaku cepat...!"
"Saya akan menyerahkannya bu. Tapi nanti. Kalau senjata ini sudah berlumuran
darah!" Lalu pemuda itu membalikkan tubuh, melangkah cepat menuju ke pintu. Siti Resmi
turun dari tempat tidur, berusaha mengejar anaknya namun sia-sia saja. Akhirnya
perempuan ini menggulingkan diri di lantai kamar dan hanya bisa menangis.
Dengan sebuah perahu Tumbal Sekti mengarungi Kali Progo menu ju arah tenggara.
dia tahu di mana ayahnya berada. Kesitulah dia menuju. Dia sampai di tempat itu
pada malam hari, ketika Gendu dan Komang mengendap-endap hendak mengintip kamar
pengantin. Begitu melihat ada orang yang datang dengan sikap mencurigakan maka
Gendu langsung membentak.
"Hail Siapa di sana"!"
Orang yang dibentak hentikan langkah dan bertolak pinggang.
"Aku Tumbal Sakti!" katanya menyebutkan nama.
Terkejutlah kedua petugas Kadipaten yang berjaga-jaga itu. "Raden kiranya!" kata
Gendu lalu saling pandang dengan Komang dengan perasaan sama tidak enak.
'"Ada apakah Raden malam-malam datang ke mari?"
tanya Komang. "Kalian sendiri mengapa berada di sini"!" membentak Tumbal Sakti hingga kedua
orang itu tercekat diam.
"Ayahku ada di dalam"!"
Gendu dan Komang tak berani berdusta. "Ada Raden..."
"Aku akan menemuinya...!"
"Raden..." Komang berusaha menghalangi.
"Sebaiknya Raden jangan masuk. Nanti kami berdua bisa mendapat hajaran..."
"Memangnya mengapa aku tak boleh masuk"!" tanya Tumbal Sekti melotot.
"Kami berdua hanya bertugas di sini, Raden. Mendapat perintah tak boleh satu
orang pun masuk ke rumah. Ayah Raden tak mau diganggu."
Tumbal Sakti menyeringai.
"Tak boleh masuk, tak mau diganggu. Karena dia sedang bersenang-senang dengan
istri mudanya bukan"!
Minggir kalian berdua!"
"Maafkan kami Raden. Kami hanya menjalankan tugas!"
"Jadi kalian berdua berani menghalangiku"!" sentak Tumbal Sakti.
"Sabar Raden. Sebaiknya kembali saja ke Temanggung.
Kalau ayah Raden pulang ke sana nanti, tentu persoalan ini bisa diselesaikan..."
kata Gendu. "Justru persoalan ini harus diselesaikan di sini, saat ini juga!"
"Tenang Raden. Pikirkan buruk baiknya..."
"Gendu keparat kau! Apakah kau ada memikirkan buruk baiknya ayahku kawin lagi"
Kau dan kawanmu ini mau melakukan apa saja karena dijejali uang! Bukan begitu"!
Menyingkir kataku!"
"Apa pun yang terjadi kami tetap menjalankan perintah!"
Naiklah amarah Tumbal Sakti. Pemuda ini hunus keris di pinggangnya. "Kalau
kalian tetap bersikeras, terpaksa aku menghabisi kalian berdua lebih dulu!"
Sebagai seorang putera Adipati, selain mendapat pen-didikan tulis baca Tumbal
Sekti juga mendapat pelajaran ilmu silat dari jago-jago silat ternama. Karenanya
meskipun dua petugas Kadipaten itu memiliki kepandaian, namun dibanding dengan
Tumbal Sakti keduanya ketinggalan jauh. Ditambah pula dalam keadaan nekad maka
serangan-serangan si pemuda benar-benar membahayakan jiwa Gendu dan Komang.
Gendu adalah yang pertama terluka tangannya ketika menangkis satu tusukan deras
keris putera Adipati itu. Hendak mecabut senjata baik Gendu maupun Komang tak
mau melakukan karena takut akan mencelakai putera Adipati itu. Tidak
mengeluarkan senjata berarti sebentar lagi mereka akan jadi bulan-bulan keris di
tangan Tumbal Sakti!
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
7 SAKIT HATI MASA LAMPAU DAN
TUDUHAN KELIRU KAKEK MATA BIRU
ADA SAAT Tumbal Sekti dan dua anak buah
Suryo Maget mulai bertengkar, dari kegelapan
Ptanpa mereka ketahui muncul sesosok bayangan
putih yang langsung masuk ke dalam rumah lewat
jendela kamar yang terbuka. Bersamaan dengan ke-
munculannya menyeruaklah bau kemenyan di tempat itu.
Begitu masuk ke kamar ditemuinya Adipati Tumenggung Suryo Maget telah jadi
mayat. Menggeletak di atas ranjang, hanya mengenakan pakaian dalam. Matanya
membeliak, lidah terjulur dan dilehernya ada tali kuning menjirat!
"Lagi-lagi aku terlambat! Anak setan itu selalu lebih cepat!" Orang yang barusan
masuk menggerendeng kesal.
Dia melangkah mendekati ranjang lalu tangannya bergerak membuka jeratan tali di
leher Suryo Maget.
Sambil memutar-mutar tali itu dengan tangan kanannya orang ini membatin.
"Mungkinkah dia ....?" Memandang pada tubuh Suryo Maget hati kecilnya menolak
dugaan itu. "Jika memang dia, kebiasaannya adalah bersenang-senang dulu baru membunuh.
Lelaki yang mati ini tampaknya belum sempat melakukan hal itu... Lagi pula jika
memang dia, mengapa harus susah-susah membunuh mempergunakan tali segala" Aku
tak yakin dia telah menjelma menjadi Ratu Mesum kembali. Menebar nafsu dan
maut!" Baru saja orang ini merenung seperti itu mendadak melesat masuk lewat jendela
yang terbuka sesosok tubuh.
Di hadapannya kini tegak seorang kakek berpakaian compang camping. Sepasang
matanya berwarna bru dan memancarkan sinar dingin yang angker.
"Ha... ha... ha! Bertahun-tahun kucari kini tertangkap basah berbuat kejahatan!"
Kakek aneh itu umbar suara tawa yang disusul dengan bentakan.
Si pemuda tersentak kaget. Dia pandangi orang tua di depannya dari atas sampai
ke bawah. "Kakek Mata Biru!" seru pemuda itu ketika dia akhirnya mengenali siapa adanya
orang tua itu. Kakek Mata Biru adalah salah seorang dari beberapa tokoh langka
dunia persilatan yang merupakan adik kandung Gembel Cengeng Sakti Mata Buta,
seorang kakek berkepandaian tinggi yang telah mengajarkan Tujuh Jurus Ilmu Silat
Orang Buta kepadanya. ( Baca Pendekar Dari Liang Kubur).
"Hemm... Bagus! Kau masih mengenai diriku! Apakah juga masih ingat campur
tanganmu yang menyakitkan hati sewaktu aku bertanding catur dengan Gembel
Cengeng...?"
"Ah, tentu saja aku ingat kek. Tapi itu sudah lama sekali.
Mengapa harus diingat-ingat lagi..." sebut si pemuda pula.
Si kakek menyeringai jengkel. "Kau tidak merasa sakit hati memang tak perlu
mengingat-ingat. Tapi aku yang kau beri malu mana mungkin melupakan! Waktu itu
aku ingin menggebukmu, tapi kau lolos karena ditolong oleh kakakku. Aku mau
lihat apakah malam ini kau masih bisa meloloskan diri"!"
"Persoalan lama urusan mainan anak-anak kenapa mau diperpanjang. Jika kau anggap
aku menyakiti hatimu, aku tidak sungkan minta maaf saat ini juga. Nah kau
maafkan-lah diriku yang ceroboh!"
"Enak saja kau minta maaf. Sebelum kugebuk kau mana senang hatiku!" kata Kakek
Mata Biru. "Lagi pula saat ini aku berhasil menangkapmu basah! Membunuh Adipati
Suryo Maget dari Temanggung!"
"Bukan aku yang membunuhnya!" kata pemuda itu dengan suara keras dan berang.
"Jangan menuduh sembarangan! "
Kembali si kakek umbar suara tawa bergelak.
"Aku sudah lama mengintai gerak gerikmu, anak muda!
Beberapa kali terjadi pembunuhan yang korbannya tewas dijerat dengan tali
kuning, kau selalu ada di situ. Dan saat ini aku lihat sendiri kau masih
memegang tali kuning itu!
Sudah terbukti jelas masih hendak mungkir"!"
"Aku datang ke mari justru hendak menyelidiki. Tetapi terlambat! Si pembunuh
keburu kabur...!"
"Mahesa... Eh, Mahesa bukan...?" kata kakek Mata Biru.
"Pada orang lain kau boleh berdusta. Tapi padaku jangan coba-coba!"
"Anak setan!" maki si pemuda dalam hati yang memang Mahesa adanya. "Ape perlunya
aku membunuh Adipati itu"!"
"Soal apa perlumu itu bukan urusanku. Yang jadi urusanku ialah melenyapkan
manusia-manusia jahat
sepertimu saat ini juga!"
"Edan!" maki Mahesa.
"Kau yang edan!" balas memaki Kakek Mata Biru.
Tangan kanannya bergerak. Gerakan ini perlahan saja.
Namun seperti mulur tahu-tahu tangan kanan itu sudah berada dekat sekali dengan
tubuh Mahesa dan menghantam ke arah dada!
Mahesa yang sebelumnya pernah berhadapan dengan
kakek sakti ini, sudah tahu kelihayannya maka pagi-pagi sudah berjaga-jaga.
Begitu si kakek terlihat gerakan tangan kanannya, pemuda ini tiupkan asap rokok
klobot yang dihisapnya kuat-kuat ke depan. Asap rokok yang disertai tenaga dalam
tinggi itu menerpa menghadang jotosan Kakek Mata Biru, sebagiannya lagi menderu
ke arah kedua matanya. Si kakek merasakan tangan kanannya seperti masuk ke dalam
satu gelombang dahsyat yang membuat tangan itu bergetar keras serta panas dan
sakit. Sementara itu asap yang menyerbu ke arah kedua
matanya membuat mata itu terasa perih sekali. Mau tak mau Kakek Mate Biru cepat
melompat mundur.
"Pemuda edan ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi sekali," kata Kakek Mata
Biru dalam hati.
"Apakah kakakku juga menghadiahkan sebagian tenaga dalamnya" Lalu membuat asap
rokok menjadi senjata ampuh dari mana pula dia mempelajarinya...!" Setelah
menatap sejenak pada Mahesa, Kakek Mate Biru kembali lancarkan serangan. Mahesa
menyambut dengan balas menghantam. Maka perkelahian seru pun berkecamuk
dalam kamar besar itu.
Seperti diketahui dari gurunya Kunti Kendil di puncak pegunungan lyang Mahesa
telah mendapat gemblengan ilmu kesaktian den ilmu silat tingkat tinggi. Selama
malang melintang dalam dunia persilatan pemuda ini telah menimbulkan hal-hal
yang menggegerkan hingga disegani kawan ditakuti lawan den mendapat julukan
Mahesa Edan, Pendekar Dari Liang Kubur. Namun sejak sang guru telah menjatuhkan
hukuman yang sangat menyakiti hati bahkan sempat menggantungnya kaki ke atas
kepala ke beawah, Mahesa mengambil keputusan, apa pun yang terjadi dia tidak
akan mau mempergunakan lagi semua ilmu
kepandaian yang diberikan Kunti Kendil kepadanya.
Mahesa tahu betul ini merupakan satu hal yang membuat lebih dari setengah
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepandaiannya akan lenyap. Dia tak akan lagi mau mempergunakan pukulan Sakti
bernama pukulan Api Gledek, Menggusur Makam atau Kincir Air Melabrak Kuburan
atau Makam Sakti Maletus, dan
sebagainya. Dia juga tidak akan mau mengeluarkan lagi jurus-jurus silat dahsyat
seperti Macan Gila Keluar Dari Kuburan, Batu Karang Menghimpit Kuburan, Di atas
Kubur Badai Mengamuk atau Tombak Sakti Menembus Lianq
Kubur den yang lain-lainnya. Dia sudah bersumpah untuk tidak lagi mempergunakan
semua kesaktian dan ilmu silat warisan gurunya itu. Bahkan senjata mustika ampuh
tapi aneh berupa papan berbentuk nisan pemberian Kunti Kendil telah dikuburnya
di satu tempat!
Kini menghadapi kakek lihay seperti Kakek Mata Biru, Mahesa harus mengerahkan
seluruh kepandaiannya yang ada. Dengan hembusan asap rokok klobot yang disembur-
kannya berulang-ulang ke arah lawan Mahesa berhasil membendung serangan-serangan
maut, Kakek Mata Biru.
Namun ketika rokok yang dihisapnya habis dan dia tak berkesempatan lagi untuk
menyalakan sebatang rokok baru maka gempuran Kakek Mata Biru mulai membuatnya
terdesak. Kakek Mata Biru tertawa mengejek.
"Bukankah kau anak murid Kunti Kendil yanig kesohor itu" Mana ilmu silat dan
pukulan sakti yang kau pelajari dari dia" Dari tadi kau hanya melenggang lenggok
seperti wayang banci!"
Dihina seperti wayang bahkan disebut wayang banci Mahesa jadi penasaran. Setelah
mengelakkan dua jurus serangan deras berupa pukulan-pukulan dahsyar yang sempat
menyerempet pipinya hingge merah membengkak, Mahesa keluarkan jurus-jurus silat
orang buta yang di-ajarkan Gambol Cengeng Sakti Mata Buta. Kini pemuda itu
pergunakan ilmu silat si kakek buta untuk menghadapi adik kandungnya sendiri!
Ketika gempuran-gempurannya selama dua jurus
kemudian tidak membawa hasil apa-apa sementara lawan dilihatnya membuat gerakan-
gerakan aneh gerabak-gerubuk tak keruan, Kakek Mata Biru selain heran juga
menjadi jengkel.
"Heh! Jadi sontoloyo mata buta itu mengajarkan ilmu silatnya padamu!" bentak
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 16 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Petualang Asmara 7
BASTIAN TITO PENDEKAR DARI LIANG KUBUR
MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG
SETAN Sumber: Bastian Tito
EBook: syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
1 KEMATIAN MISTERIUS DI RUMAH
PERKEBUNAN TEH UA PENUNGGANG kuda itu memacu kuda masing-
masing laksana dikejar setan. Dalam waktu singkat Dkeduanya telah meninggalkan
daerah berbukit-bukit yang penuh dengan pohon-pohon teh. Selewatnya sebuah
jembatan kayu di atas sungai barair kuning mereka mem-belok ke arah utara,
memasuki hutan kecil, terus mengambil jalan ke timur hingja akhirnya memasuki
sebuah desa di pinggiran Wonosobo.
Saat itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur.
Udara masih terasa dingin dan embun masih bartengger di atas dedaunan. Kedua
penunggang kuda tadi berhenti di halaman sebuah rumah besar menterang yang
atapnya berbentuk joglo.
"Kau saja yang memberi tahu pada Jeng Jumilah," kata salah seorang dari
penunggang kuda pada kawannya.
Ketika temannya sudah turun dari kuda, dia tetap saja duduk di atas kudanya.
Sang teman gelengkan kepala. "Tak berani aku. Lebih baik kau saja. Gila! Kenapa
bisa jadi begini urusannya!"
"Kau hanya bisa merocos! Tapi bicara saja takut! Sudah pergi sana. Laporkan apa
yang terjadi pada Kepala Desa.
Tapi ingat, kejadian ini harus dirahasiakan..."
"Gila! Mana bisa urusan ini dirahasiakan" Orang mati mau dirahasiakan"!"
"Sudah! Pokoknya jangan terlalu banyak mulut! Lekas kau temui Kepala Desa!"
Lelaki berkumis kecil, bernama Paiman turun dari kuda, setengah berlari menaiki
tangga rumah besar lalu mengetuk pintu depan.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu terbuka dan
muncul seorang pelayan perempuan.
"Hai kau Paiman..." Pelayan itu menegur: Dia memandang ke halaman. "Kau sendirian"
Mana majikanmu"
Rupanya kalian bermalam di kebun. Jeng Jumilah semalaman tak bisa tidur...."
"Jeng Jumilah sudah bangun?" tanya Paiman.
"Baru selesai mandi..."
"Katakan padarrya aku mau ketemu."
"Akan kukatakan. Tapi kau harus sabar. Perempuan itu kalau dandan kan lama... "
Paiman tidak tersenyum mendengar kata-kata pelayan itu. Sang pelayan tampak agak
heran melihat sikap Paiman yang tak seperti biasanya.
"Ada apa sebenarnya Paiman" Kulihat kau seperti tidak sabaran. Wajahmu gelisah..."
"Ah sudah! Lekas temui Jeng Jumilah!" ujar Paiman pula.
Cukup lama menunggu pelayan itu muncul kembali dan memberi tahu agar Paiman
masuk karena Jeng Jumilah sudah selesai dandan dan menunggunya di ruangan
makan. Jeng Jumilah duduk di belakang meja. Di hadapannya ada secangkir teh panas.
Perempuan ini berwajah lebar.
Kulitnya yang sangat puth membuat garis-garis ketuaan cepat kentara di kedua
sudut matanya. "Kalian pasti menginap di kebun teh malam tadi..." Kata-kata itu diucapkan Jumilah
begitu melihat Paiman datang.
"Be ... benar sekali Jeng..."
"Kalau memang mau menginap karena banyak pekerjaan, mengapa tidak diberi tahu
padaku" Semalaman aku tak bisa tidur. Memikirkan suami. Apakah dia mendadak
sakit atau mengalami celaka. Diserang harimau yang kabarnya banyak berkeliaran
di kebun teh akhir-akhir ini...."
Dalam hatinya Paiman berkata, "Akan kukatakan saja bahwa suaminya memang telah
diserang harimau...!
Mustahil harimau bisa menjerat leher manusia tanpa melukainya..."
"Kau tak menjawab ucapanku Paiman..."
Paiman terkejut. "Maaf Jeng Jumilah. Saya dan Rawi tak sempat memberi tahu.
Malam tadi hujan Iebat sekali turun di bukit teh. Kedatangan saya pa... pa ...
pagi ini..."
Jeng Jumilah tiba-tiba memotong.
"Kulihat kau gugup. Bicaramu gagap. Ada apa ini Paiman" Mana suamiku" Apakah dia
masih di rumah di kebun teh itu .... Keterlaluan!"
"Kedatangan saya pagi-pagi ke mari..,." Paiman menyeka keringat yang mnengucur
di keningnya. Lalu dia mengulang ucapannya tadi. "Kedatangan saya pagi-pagi ke
mari justru hendak memberi tahu,.. Memberi tahu kalau... kalau..."
"Kalau apat"!" sentak Jumilah sangat tidak sabar sambil membantingkan cangkir
teh ke atas tatakannya di meja.
"Kalau Raden Bondo, suami Jeng Jumilah meninggal dunia pagi tadi!" Akhimya lepas
juga penjelasan itu dari mulut Paiman. Dia merasa lega telah memberi tahu tapi
rasa takut tetap berkepanjangan dalam dadanya.
"Suamiku meninggal" Oh Gusti Allah!" Jumilah terpekik.
Lantai di atas kursi di mans dia duduk tiba-tiba terasa seperti bergoyang.
Ruangen makan itu seolah-olah ber-putar. Sebelum tubuhnya jatuh, seorang pelayan
cepat me-nopang. Dan perempuan berusia lebih dari 42 tahun itu mulai menangis.
Mule-mula perlahan, kemudian tangisnya berubah menjadi ratapan panjang, Sesaat
Jumilah hentikan ratapnya, memandang dengan mats basah pada
Paiman, lelaki yang sehari-hari menjadi penjaga rumah merangkap pengawal
suaminya. "Ketika pergi mas Bondo sehat-sehat saja. Apa... apa yang terjadi" Mana
Remo... Mana anakku" Beri tahu dia. Aku harus ke rumah di kebun teh saat ini juga.
Antarkan aku ke sana Paiman ..."
Remo adalah putera tunggal Raden Bondo yang berusia 23 tahun.
Mendengar kata-kata istri majikannya tadi, kembali Paiman tampak gugup.
"Sebaiknya... sebaiknya Jeng Jumilah tak usah ke kebun.
Jenazah Raden Bondo akan kami bawa ke mari. Kami
sudah melaporkan pada Kepala Desa..."
Dua bola mata Jumilah membesar. Dia berdiri sambil berpegang pada tepi meja
sementara pelayan perempuan masih memegangi bahunya.
"Paiman!"sentak perempuan isteri pemilik kebun teh yang kaya raya itu. "Kau
menyembunyikan sesuatu padaku.
Aku tahu kau menyembunyikan seasuatu! Katakan apa yang terjadi di rumah di kebun
teh itu...!"
"Maakan Jeng Jumilah," jawab Paiman agak ketakutan.
"Sebenarnya kami sendiri tidak jelas apa yang terjadi.
Kapan sebenarnya Raden Bodoo meninggal. Atau apa yang menyebabkan kematiannya.
Hanya saja pagi tadi saya dan Rawi menemukannya tewas dalam kamar. Di atas
ranjang. "Tewas"! Tewas katamu Paiman"!" ujar Jumilah hampir berteriak. "Berarti dia
dibunuh! Benar dia dibunuh Paiman"
Bilang! Katakan!"
"Saya tak berani mengatakan beliau dibunuh. Kepalanya teklok! Lehernya dijerat..."
"Jelas dia dibunuh! Jelas...!" pekik Jumilah. Perempuan ini menggerung lalu
hempaskan tubuhnya ke atas kursi.
Matanya mendelik-delik seperti orang kemasukan lalu tubuhnya mendadak menjadi
kuyu dan tak ingat apa-apa lagi.
*** Dalam waktu singkat, pagi itu seluruh desa Watu Limo boleh dikatakan telah
mengetahui peristiwa kematian Raden Bondo pemilik kebun teh yang sangat luas dan
sangat kaya di timur Wonosobo. Bagaimana pun, kematian yang mendadak itu dan di
rumah di kebun teh pula
menimbulkan tanda tanya di kalangan penduduk. Banyak di antara mereka yang ingin
tahu. Akibatnya tanpa dapat dicegah penduduk desa beramai-ramai pergi ke kebun
teh. Kebun yang biasanya sunyi itu kini menjadi ramai. Mereka berkerumun di luar
rumah di puncak bukit karena tak di-perbolehkan masuk ke dalam.
Rumah di puncak bukit itu hanya memiliki sebuah
kamar. Di dalam kamar di atas ranjang besi yang besar tampak terbujur sesosok
tubuh tertutup selimut. Sosok tubuh Raden Bondo. Di dalam kamar itu hanya ada
tiga orang yakni Paiman, Kepala Desa dan Remo. Atas isyarat Kepala Desa Paiman
menyingkapkan selimut di bagian kepala. Maka kelihatanlah satu pemandangan yang
meng-gidikkan. Raden Bondo mati dengan mata membeliak. Lidahnya
terjulur. Di lehernya yang patah masih tergelung seutas tambang kuning besar.
Remo, putera Raden Bondo palingkan muka den bersandar ke dinding ketika melihat
keadaan ayahnya itu. Kedua matanya dipajamkan dan air mata ke luar membasahi
pipinya. Kepala Desa mendekati Paiman dan berkata perlahan.
"Majikanmu ini jelas mati dibunuh orang. Hanya kau dan Rawi yang ada di tempat
ini malam tadi. Jadi hanya kalian yang tahu apa sebenarnya terjadi. Dengar
Paiman, jika kau tidak mau memberi keterangan yang benar, kau dan Rawi akan
kutuduh sebagai pembunuh Raden Bondo!"
Pucatlah paras Paiman. Dia melirik sekilas ke arah Remo.
"Bukan kami yang melakukannya! Kami tidak bersalah apa-apa!"
"Jangan berdusta Paiman!"
"Saya tidak berdusta. Kepala Desa, saya mau mengatakan sesuatu. Kalau bisa
jangan sampai didengar oleh putera Raden Bondo. Ini menyangkut kehormatannya..."
Kepala Desa gelengkan kepala. "Tidak bisa! Justru kau harus bicara di hadapan
puteranya agar tak ada yang disembunyikan!"
"Kalau begitu baiklah..."
Maka Paiman lalu menuturkan bahwa majikan mereka
Raden Bondo sehari yang lalu telah melangsungkan
pernikahan dengan seorang perempuan muda cantik yang dikenal dengan nama Surti.
Pernikahan dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Kaliangki. Untuk istri mudanya
ini Raden Bondo telah membuat sebuah rumah di desa
Surowangi. Karena belum salesai untuk sementara isteri mudanya itu diminta
tinggal di rumah di bukit teh tersebut.
Malam tadi adalah malam pertama atau malam pengantin mereka. Menjalang pagi
Paiman melihat ada seeorang meninggalkan rumah. Karena masih gelap dia tak dapat
mengenali siapa adanya orang itu. Karena curiga dia mem-bangunkan Rawi. Bersama
kawannya itu dia memeriksa ke dalam rumah. Di dalam satu-satunya kamar, mereka
menemukan Raden Bondo telah jadi mayat di atas ranjang tanpa pakaian. Lehernya
patah dan ada tambang kuning besar menjirat leher itu. Mata mencelat, lidah
terjulur. Setelah menutupi tubuh Raden Bondo dengan sehelai selimut, kedua orang itu
segera menuju Watu Limo guna memberi tahu apa yang terjadi pada isteri majikan
mereka. "Begitu kejadiannya, Kepala Desa..." kata Paiman. "Saya ataupun Rawi sama sekali
tidak tahu apa-apa. Apalagi kalau dituduh membunuh Raden Bondo."
"Ada satu hal yang tidak kau katakan," ujar Kepala Desas. "Di mana isteri muda
majikanmu sekarang..."
"Itu yang membuat saya dan Rawi heran. Ketika mayat Raden Bondo kami temui, di
dalam kamar tak ada siapa-siapa. Perempuan bernama Surti itu lenyap!"
Kepala Desa Watu Limo memandang sejurus pada
Remo. Terdengar kembali suara Paiman. "Saye harap soal perkawinan Raden Bondo
dengan perempuan itu hanya kita saja yang tahu. Mendiang memesan benar agar
merahasiakan hal itu..."
"Ayah sangat mengasihi ibu. Sulit dapatkan percaya kalau ayah kawin lagi..." kata
Remo. "Paiman," kata Kepals Desa, "karena kau dan Rawi orang yang paling dekat dengan
ayah Remo, kau pasti tahu darimana perempuan bernama Surti itu berasal. Di mana
Raden Bondo menemui atau mengenalnya pertama kali.
Atau di mana rumah orang tuanya. Kita harus menyelidik sampai ke sana...."
"Harap dimaafkan Kepala Desa," kata Paiman pula.
"Soal asal muasal perempuan itu atau di mana rumahnya sebelum Raden Bondo
mengawininya, saya atau pun Rawi tidak tahu. Kami baru melihatnya pertama kali
pada hari pernikahan di Kaliangki. Raden Bondo tidak pernah menceritakan apa-apa
tentang isteri mudanya itu. Dan kami mana berani bertanya-tanya..."
Kepala Desa terdiam sesaat lalu berkata, "Kejadian ini hampir sama dengan
malapetaka yang menimpa seorang sahabatku di Kendal. Dia ditemui mati di rumah
isteri muda yang baru dikawininya dua bulan lalu. Sang isteri sendiri lenyap..."
Seseorang masuk memberi tahu bahwa kereta kuda
pembawa jenazah ke Watu Limo telah datang. Setelah tali yang menjirat lobar
ditanggalkan, maka jenazah Raden Bondo yang dibungkus dengan selimut lalu
dinaikkan ke atas kereta.
Ketika orang-orang,itu siap naik ke atas kuda masing-masing untuk mengiringkan
kereta pambawa jenazah, Paiman mendekati Kepala Desa dan berbisik, "Ada orang
asing di antara orang banyak yang mengundang kecuriga-an. Dia tegak di bawah
cucuran atap sambil merokok.
Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan kematian Raden Bondo..."
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
2 PEMUDA ASING MEROKOK MENYAN
EPALA DESA Watu Limo memutar kepalanya ke
arah yang dikatakan Paiman. Di sana, di bawah
Kcucuran atap rumah memang tampak berdiri
seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan
berikat kepala putih. Sikapnya tenang-santai bersidekap lengan di muka dada. Di
sela bibirnya terselip sebatang rokok yang asapnya menabur bau menyan yang
sangat menusuk.
Sejak tadi sebenarnya orang banyak yang berkerumun di depan rumah itu merasa
terganggu oleh rokok yang dihisap pemuda itu. Bukan saja karena bau menyan yang
ditebar-nya tetapi juga mendatangkan rasa mengkirik. Kematian dan bau menyan
merupakan gabungan dua hal yang membuat orang merasa angker.
"Gila! Dia rupanya yang menghisap rokok itu! Siang-siang begini menghisap rokok
klobot!" kata Kepala Desa dalam hati. Seperti orang-orang lainnya di tempat itu
dia memang tidak mengenali siapa adanya pemuda tersebut. Jelas dia bukan orang
Watu Limo atau diam di sekitar bukit teh.
Mandadak air muka Kepala Desa berubah. Dia ingat
kembali pada kematian sahabatnya di Kendal tempo hari.
Di rumah duka saat itu telah terjadi satu kegaduhan karena munculnya seorang
pemuda asing menghisap rokok menyan yang kemudian dituduh sebagai pembunuh
sahabatnya itu. Apa pemuda yang tegak di bawah cucuran atap itu bukan orang yang
sama" "Paiman, kau dan yang lain-lain terus iringi kereta jenazah. Aku akan menanyai
pemuda itu..." kata Kepala Desa.
Ketika kereta pembawa jenazah bergerak diikuti oleh orang banyak, pemuda yang
merokok di bawah atap segera pula melangkahkan kakinya.
"Saudara... Tunggu dulu!" seru Kepala Desa.
Pemuda yang menghisap rokok menyan hentikan
langkahnya. "Aku Wenang Kulo, Kepala Desa Watu Limo,"
memperkenalkan diri sang Kepala Desa. "Aku kenal semua panduduk desa Watu Limo.
Juga orang-orang yang tinggal sekitar perkebunan dan bukit teh ini. Kau bukan
salah satu dari mereka. Apa kepentinganmu berada di tempat ini...?"
"Tak ada kepentingan apa-apa," sahut si pemuda tanpa mencabut rokok menyan di
mulutnya hingga suaranya terdengar somber tidak enak.
Melihat sikap menjawab seperti itu Wenang Kulo
merasa dipandang rendah. Maka dia pun berkata dengan nada ketus.
"Jika tidak ada kepentingan mengapa datang ke mari"!"
"Aku hanya kebetulan lewat. Rumah ini satu-satunya bangunan di daerah kebun teh.
Kulihat banyak orang di depan rumah. Lalu kulihat pula ada kereta membawa
usungan jenazah tanda ada orang yang meninggal..."
"Jelas kau ke mari karena ingin tahu!"
"Lalu apakah itu salah?"
"Memang tak ada salahnya orang muda! Tapi jika aku menaruh curiga padamu,
sebagai Kepala Desa aku bisa menangkapmu! Lekas katakan siapa namamu dan kau
datang dari mana!"
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soal dari mana aku datang, bisa saja kukatakan. Aku barusan dari daerah utara.
Hanya siapa namaku kurasa tidak penting bagimu." Habis berkata begitu si pemuda
menyeringai lalu hisap rokok klobotnya dalam-dalam.
Mendengar jawab orang seperti itu Wenang Kulo menjadi jengkel. "Jika kau
merahasiakan namamu berarti kau menyembunyikan maksud tak baik..."
Si pemuda kembali menyeringai. Dia cabut rokoknya dari sela bibir lalu menguap
lebar-lebar. "Jangan-jangan aku berhadapan dengan orang sinting!"
kata Wenang Kulo dalam hati. Matanya memandangi
pemuda di hadapannya dari rambut sampai ke kaki. Lalu dia cepat-cepat melompat
ke atas punggung kuda untuk tinggalkan tempat itu menyusul rombongan pembawa
jenazah yang saat itu sudah mencapai pertengahan lereng bukit teh.
"Kepala desa, kenapa buru-buru pergi. Aku melihat ada sesuatu yang tak wajar
terjadi di rumah itu. Jenazah siapa yang tadi diangkut dengan kereta...?"
"Nah! Jadi kedatanganmu ke mari memang sengaja hendak menyelidik!" ujar Kepala
Desa pula. "Terserah kau mau menduga apa. Apakah orang yang meninggal itu mati dibunuh...?"
"Orang muda. Jika kau ingin tahu lebih banyak ikut aku ke Watu Limo!"
"Kita sudah bertemu di sini. Kenapa aku mesti susah-susah ikut ke Watu Limo"!"
tukas si pemuda.
"Kalau begitu tak usah kau banyak mulut!" Kata Wenang Kulo jadi jengkel. Dia
sentakkan tali kekang kudanya. Tapi binatang itu tak mau bergerak. Apalagi
melompat dan kabur. Memandang ke depan dilihatnya pemuda yang
merokok menyan tengah memegangi salah satu bagian dari leher kudanya.
"Menyingkirlah!" hardik Kepala Desa. "Atau kusuruh binatang ini menendangmu!"
"Sabar Kepala Desa. Jangan cepat-cepat marah. Aku ingin sedikit keterangan lagi.
Katakan, apakah orang-orang yang meninggal itu mati dengan seutas tali kuning
menjirat lehernya?"
Kepala Desa Watu Limo terkejut mendengar pertanyaan si pemuda. "Bagaimana kau
bisa tahu hal itu"!" tanyanya heran.
Pertanyaan itu sudah cukup merupakan satu jawaban yang membenarkan bagi si
pemuda. Maka dia pun berkata sambil geleng-geleng kepala. "Ah, anak setan itu
telah gentayangan lagi mencari korban!"
"Anak setan siapa maksudmu"I" tanya Kepala Desa. Dia jadi curiga. Jangan-jangan
pemuda yang dianggapnya tidak waras ini tahu siapa yang telah membunuh Raden
Bondo. Berarti ada sangkut paut dengsn peristiwa pembunuhan itu! Wenang Kulo merasa
berkewajiban untuk menangkap pemuda ini.
"Anak muda! Ulurkan kedua tanganmu!" Kepala Desa itu memerintah sambil
tanggalkan ikat kepalanya yang terbuat dari kain hitam.
"Eh, kenapa aku harus mengulurkan tangan ...?" tanya si pemuda terheran-heran
dan tanpa mau melakukan apa yang diperintahkan.
"Aku harus mengikat kedua tanganmu! Kau kutangkap!"
Pemuda itu keluarkan suara tawa bergelak.
"Apa salahku sampai ditangkap"!"
"Aku menaruh curiga! Kau tersangkut dalam perristiwa pembunuhan Raden Bondo!"
"Tuduhan edan!" kata si pemuda pula.
Saat itu Wenang Kulo telah turun dari kudanya. Dengan kain hitam ikat kepalanya
dia berusaha mengikat kedua pergelangan tangan pemuda itu. Tapi si pemuda tanpa
bergerak dari tempatnya hembuskan asap rokok menyan-nya ke wajah si Kepala Desa.
Bau menyan menebar tajam, menusuk pernafasan. Wenang Kulo yang memang
mengidap penyakit bengek terbatuk-batuk berulang kali sampai mukanya menjadi
merah. Di kibas-kibaskannya kain hitamnya sambil berteriak, "Rokok jahanam!
Lekas kau matikan dan campakkan benda celaka itu ke tanah!"
Namun setelah batuknya reds dan asap rokok sirna dari hadapannya, Kepala Desa
ini jadi heran bercampur kaget.
Pemuda yang tadi berada di depannya tahu-tahu tak ada lagi di situ. Lenyap!
Wenang Kulo memandang berkeliling, meneliti ke lereng bukit. Pemuda itu sama
sekali tak tampak.
"Jangan jangan aku tadi berhadapan dengan setan bukit teh!" pikir Wenang Kulo.
Tengkuknya menjadi dingin.
Ditariknya tali kekang kudanya, Binatang itu dibedalnya sekencang-kencangnya
menuruni bukit.
Pemuda tadi yang ternyata sudah menyelinap masuk ke dalam rumah memperhatikan
kepergian Wenang Kulo
sambil menyeringai.
Di dalam kamar di mane mayat Raden Bondo ditemu-
kan, dia membungkuk mengambil tali besar berwarna kuning yang tercampak di
lantai. Tali inilah yang telah menjirat patah leher pemilik perkebunan teh itu.
Beberapa lamanya dia menimang-nimang tali itu. Dari balik pakaiannya, sesaat
kemudian dia keluarkan dua helai tambang. Dua helai tambang ini bentuknya, warna
dan panjangnya persis sama dengan tambang yang menjirat leher Raden Bondo.
Ketiga utas tali itu kemudian
dimasukkannya ke balik pakaiannya. Setelah meneliti isi kamar itu sesaat
akhirnya pemuda yang menghisap rokok klobot ini tinggalkan rumah tersebut.
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
3 SI CANTIK DI PASAR WLINGI
ENDU MEMBANTING topi hitamnya ke atas meja,
mengejutkan Komang yang asyik mencabuti bulu-
G bulu kasar di dagunya sambil terpejam-pejam.
"Masih pagi lagakmu sudah seperti orang kegerahan!"
kata Komang. "Aku barusan dari pasar Wlingi..." kata Gendu tanpa perdulikan rasa kesal
kawannya. "Ya... ya! Seperti biasa mampir di warungnya mbok Suket, minum kopi, makan pagi
dan tidak bayar..."
"Semula memang itu yang hendak kulakukan. Tapi ketika melewati pasar sayur,
sesuatu menarik perhatianku.
Ada seorang pedagang baru. Penjual rempah-rempah. . . ."
"Kalau cuma itu ape perlunya kau ceritakan padaku!"
ujar Komang tak perduli lalu bangkit dari kursinya dan hendak pergi.
"Eh, tunggu dulu Mang!" kata Gendu seraya memegangi bahu kawannya, menekannya
dengan kuat hingga Komang kembali duduk di kursinya. "Kalau cuma penjual rempah
biasa, tentu tak perlu kuceritakan padamu. Justru penjual satu ini benar-benar
luar biasa. Masih sangat muda, ber-kulit kuning langsat, berbadan montok tapi
tinggi semampai. Dan ini yang paling penting. Berwajah cantik selangit tembus!"
Mendengar kata-kata Gendu itu kini Komang berubah sikap dan menunjukkan
perhatian penuh. Dia memutar duduk dan menghadapi kawannya, langsung berkata:
"Kalau perempuan itu benar-benar cantik, aku pun ingin melihat dengan mata
kepala sendiri. Bagaimana kalau kita pergi ke pasar Wlingi sekarang juga"!"
"Aku saja! Aku pun belum puas melihat kecantikan dan kesintalan tubuh yang
terbungkus kulit kuning langsat bersih itu!" sahut Gendu menyetujui.
Maka dengan menunggang kuda kedua orang lelak yang sehari-harinya menjadi
petugas dan pengawal gedung Kadipaten Tumenggung itu berangkat menuju pasar
Wlingi. Saat itu pasar sedang ramai-ramainya dipadati oleh orang-orang yang berbelanja.
Sebagian besar mereka adalah kaum ibu. Meskipun jalan sempit dan orang yang
berbelanja padat namun begitu Gendu dan Komang
muncul memasuki pasar, orang banyak segera menyingkir memberi jalan. Siapa yang
tidak kenal dengan dua petugas Kadipaten itu" Yang kadang-kadang tak segan-segan
bertindak kasar dan suka memungut pajak lebih tinggi dari yang sudah ditentukan.
Gendu hentikan kudanya di samping penjual sayur
mayur laiu menunjuk ke depan seraya berkata, "Pasang matamu baik-baik Komang.
Itu penjual rempah yang
kuceritakan..."
Komang memandang ke jurusan yang ditunjuk kawan-
nya. Dan lelaki yang sudah beranak tiga ini mau tak mau harus mengakui, belum
pernah dia melihat perempuan secantik penjual rempah-rempah itu.
"Cantik sekali. Masih sangat muda. Kurasa dia masih gadis..." bisik Komang. Lalu
dia menggerakkan kudanya mendekati gubuk kecil pedagang rempah. Gendu mengikuti
dari belakang. Tahu kalau ada yang mendatangi dan memperhatikan, perempuan pedagang rempah itu
mengangkat wajahnya dan tersenyum. Gendu dan Komang seperti terpantek di atas
punggung kuda masing-masing saking terpesonanya.
Komang berbisik pada Gendu, "Perempuan ini benar-benar tak pantas menjadi tukang
jual rempah-rempah begini..."
Komang yang sudah gatal hendak menegur, sesaat
bingung. Bagaimana dia akan memanggil si cantik penjual rempah itu. Dengan
sebutan jeng pasti tidak pantas. Tapi kalau dipanggil mbok wah, malah sangat
tidak pantas. Lebih baik dipanggil dengan sebutan adik saja. Maka menegurlah Komang.
"Adik, kulihat kau pedagang baru di sini..."
"Betul sekali. Saya memang baru hari ini mulai berdagang. Apakah di situ hendak
membeli dagangan saya"
Semua rempah-rempah yang saya jual masih baru, asli tidak dicampur..."
"Hem .... Aku dan kawanku ini petugas-petugas dari Kadipaten," kata Komang pula.
"Harap maafkan kalau saya tidak berlaku hormat," kata penjual rempah itu.
"Sebelum mulai berjualan, apakah sudah melapor kepada Kepala Pasar ....?" Gendu
ajukan pertanyaan.
"Saya .... saya memang belum melapor. Saya tidak tahu di mana harus menemui
Kepala Pasar. Juga tidak tahu yang mana orangnya ...."
"Aku Komang, petugas Kadipaten Temanggung, sekaligus merangkap Kepala Pasar
Wlingi!" "Aduh, benar-benar tidak disangka kalau saya berhadapan dengan Kepala Pasar
Wlingi. Jadi saya telah berbuat kesalahan karena tidak melapor ....?" Si jelita
pedagang rempah-rempah bertanya sambil menatap
dengan sepasang matanya yang bagus pada Komang
"Tidak .... Tidak begitu. . . ." Komang jadi salah tingkah dipandang seperti
itu. "Kau boleh melapor kemudian. Tapi untuk catatanku, aku harus tahu namamu.
Lalu di mana tempat kediamanmu. Nanti kami berdua akan mendatangi rumahmu untuk
urusan laporan itu..."
"Bapak-bapak ini petugas yang baik. Tapi nama saya jelek. Soya malu
mengatakannya..."
"Jangan bagitu..." membujuk Gehdu. "Cantik orangnya pasti bagus namanya... Katakan
namamu dan di mana tempat tinggalmu...."
"Orang tua saya memberi name jelek pada saya.
Randini..."
"Ah, betul kan" Itu nama yang amat bagus!" ujar Gendu memuji.
"Tempat tinggalmu .... ?" tanya Komang pula.
"Saya tinggal di rumah pak tua Tukiman, pembuat kendi di pinggir timur
Temanggung...."
"Apa hubungan adik dengan orang tua itu. Anaknya atau cucunya... ?"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Saya menyewa satu bilik di rumah orang tua itu.
Rumahnya cukup besar dan dia hanya tinggal bersama isterinya ..,."
Saat itu orang-orang yang berada di pasar mulai
memperhatikan ke arah mereka hingga kedua petugas Kadipaten ini diam-diam merasa
malu berada lebih lama di tempat itu. Maka Komang cepat berkata, "Kami akan
datang ke tempat tinggalmu begitu pasar usai..."
"Tapi siang nanti saya tidak ada di rumah, " menjelaskan Randini.
"Kalau begitu kami datang menjelang sore," yang berkata Gendu. Lalu dia memberi
isyarat pada Komang.
Keduanya segera meninggalkan pasar Wlingi.
Ketika Gendu dan Komang sampai di gedung Kadipaten, Adipati Suryo Maget
menyambut keduanya dengan
semprotan. "Bogus sekali tingkah kalian! Sudah siang begini baru muncul! Apa kalian lupa
kalau pagi ini kalian harus mengantar aku ke Bandongan"!"
Melihat sang Adipati marah tentu saja kedua petugas Kadipaten itu menjadi
ketakutan. Sesaat mereka saling pandang dan baru menyadari kalau pagi itu memang
mereka mempunyai tugas untuk mengawal Suryo Maget ke selatan.
"Mohon maafmu, Adipati. Kami mengaku salah. Kami memang lupa kalau pagi ini
harus mengantar Adipati ke Bandongan." Yang berkata adalah Gendu. Lalu dia
menyambung. "Kami barusan dari pasar Wlingi..."
"Hemmm ... Begitu" Kalian lebih mementingkan perut kalian dari pada tugas! Ape
sudah tak ingin lagi bekerja di sini"!"
Paras Gendu dan Komang menjadi pucat.
"Kami... kami bukan pergi makan atau minum ke Wlingi.
Ada suatu urusan..." jawab Gendu sementara Komang tertunduk kecut.
"Ada urusan! Hebat benar kalian! Urusan apa" Lekas katakan. Aku mau tahu...!"
Gendu memandang pada kawannya. Komang Iantas
berbisik, "Katakan saja apa adanya, nDu..."
"Sialan! Aku bertanya kalian malah kasak-kusuk!" Adipati Suryo Maget menjadi
sangat jengkel melihat tingkah laku kedua bawahannya itu.
"Be ... begini Adipati," lagi-lagi Gendu yang bicara. "Di pasar Wilingi pagi ini
kami melihat ada seorang pedagang rempah-rempah. Karena dia orang baru maka kami
menanyakan apakah dia sudah melapor dan mendapat izin berdagang ..."
"Lalu apa yang kaudapati"!"
"Pedagang baru ini memang belum melapor. Karenanya nanti sore kami akan ke
rumahnya menyelesaikan urusan ini..."
"Goblok!" sentak Suryo Maget. "Dasar goblok! Urusan itu seharusnya sudah kalian
selesaikan di pasar! Bukan menunggu sampai sore dan mengurusnya di rumah orang!
Kembali ke pasar dan minta pedagang itu membayar pajak bulan pertama ditambah
denda!" "Tapi Adipati..." Komang membuka mulut untuk pertama kalinya. "Perempuan muda itu
sudah mengakui kesalahan-nya."
'Perempuan muda! Perempuan muda siapa maksud-
mu"!"
"Maksud saya pedagang rempah-rempah itu. Kami telah ketelanjuran mengatakan akan
menyelesaikan urusan di rumahnya nanti petang. Kami... Terus terang kami agak
rikuh. Soalnya pedagang rempah itu seorang gadis yang cantik sekali..."
"Apa katamu Komang" Coba ulangi!" ujar Suryo Maget sambil melangkah mendekati
Komang dan betulkan letak sabuk besar yang melilit di pinggangnya.
"Pedagang rempah itu seorang gadis sangat cantik Adipati," kata Komang pula.
"Tidak pantas dia menjadi pedagang di pasar yang kotor itu. Belum pernah saya
melihat perempuan secantik itu..."
Sepasang mata Suryo Maget menyipit dan keningnya
mengerenyit. "Apakah dia lebih cantik dari isteriku yang paling muda"!" Adipati bertanya
blak-blakan. Ini membuat Komang maupun Gendu menjadi sulit
menjawab. Jika mereka katakan bahwa memang benar
isteri paling muda sang Adipati itu tidak secantik si penjual rempah-rempah
bernama Randini mungkin mereka bakal kena tempeleng. Kalau mereka mengatakan
bahwa isteri muda atasannya itu lebih cantik, jelas tidak begitu kenyataannya.
Karena kedua pembantunya tidak menjawab Suryo
Maget cukup memaklumi bahwa gadis pedagang rempah-rempah itu pastilah lebih
cantik dari pada isteri ketiganya, yakni isterinya paling muda. Sesaat Suryo
Maget berpaling ke dalam gedung lalu bertanya dengan suara perlahan,
"Gendu, Komang! Katakan apakah perempuan itu juga lebih cantik dari Naimah,
janda muda yang jadi peliharaan-ku..."
"Maafkan kami Adipati," akhirnya Gendu menjawab.
"Kami berdua tak mungkin membanding-bandingkan.
Harap Adipati maklum kalau tadi Komang mengetakan bahwa dia belum pernah melihat
perempuan secantik penjual rempah-rempah itu ...."
"Kalau begitu, aku ingin melihatnya sendiri!'' kata Suryo Maget pula.
Lelaki, bilamana sudah mempunyai kedudukan atau
pangkat tinggi serta memiliki harta dan uang berlimpah, biasanya cenderung akan
muncul salah satu sifat jeleknya, yakni rakus pada perempuan-perempuan cantik.
Hal inilah yang terjadi dengan Adipati Temanggung itu. Secara resmi Suryo Maget
telah mempunyai tiga orang isteri. Lalu ditambah lagi dengan beberapa orang
perempuan muda dan cantik yang diam-diam dipeliharanya tanpa setahu ketiga
isterinya itu. Kini mendengar keterangan kedua anak buahnya maka sifat rakus
perempuan itu berkobar kembali. Daun muda itu harus dibabat sebelum disambar
orang lain. Bunga indah sekuntum itu harus diambil sebelum dipetik orang lain.
Begitu yang ada dalam hati dan jalan pikiran sang Adipati.
"Jika Adipati menghendaki demikian, kami siap mengantar ke pasar Wlingi saat ini
juga..." kata Gendu.
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, pagi ini kalian tetap harus mengantar aku ke Bandongari!" sahut Adipati
pula. "Satu hal harus kalian ingat! Cara kumbang bernama Suryo Maget menghisap
bunga tidak sama dengan cara kerkelak atau kecoak macam kalian! Nanti sore kau
antar aku ke tempat
kediaman gadis itu!"
"Kami siap melakukannya Adipati," jawab Gendu.
"Sekarang izinkan kami menemui kusir, melihat apakah dia sudah menyiapkan kuda
dan kereta."
Kedua petugas itu pergi ke bagian belakang gedung.
Sambil berjalan Komang berkata, "Aku punya firasat jelek, Gendu. Bahkan sangat
jelek!" "Aku sudah tahu apa firasatmu itu, Mang. Kau tak akan mendapatkan penjual
rempah-rempah itu. Adipati pasti akan mengambilnya sebagai tambahan
perbendaharaan ranjang tidurnya. Entah sebagai isteri ke empat. Atau dipelihara
seperti dua perempuan lainnya itu..."
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
4 ISTERI KE EMPAT
IGA PENUNGGANG KUDA itu berhenti di depan sebuah
rumah besar berdinding gedek beratap rumbia yang
T terletak di pinggir timur Temanggung. Di halaman depan dan samping rumah
terdapat ratusan kendi
berbagai bentuk dan ukuran. Inilah rumah Tukiman, orang tua pembuat dan pedagang
kendi yang terkenal itu.
"Kalian berdua turun dan periksa ke dalam apa perempuan itu ada di rumah,"
penunggang kuda berpakaian bagus berkata. Dia bukan lain adalah Suryo Maget,
Adipati Tumenggung.
Komang dan Gendu cepat turun dari kuda masing-
masing. Di pintu depan seorang tua berpakaian putih model gunting Cina dan
berkain sarung tampak muncuL
Dia segera mengenali orang berpaksian bagus yang duduk di punggung kuda dan
cepat-cepat memberi salam serta hormat. Dalam hatinya dia membatin ada apakah
Adipati Tumengung tiba-tiba saja dating ke rumahnya" Jelas tidak membeli atau
memesan kendi. Lalu orang tua ini berpaling pada dua petugas Kadipaten yang
menghampirinya.
"Kami mencari seorang gadis bernama Randini. Benarkah dia tinggal di sini?"
tanya Gendu. "Ah, gadis itu rupanya yang mereka cari ..." ujar Tukiman pak tua ahli kendi
dalam hati. Diapun menjawab, "Memang benar. Dia menyewa satu kamar di sini.
Adipati, apakah sudi masuk ke rumah saya yang buruk ini...?"
Karena Suryo Maget hanya menggoyangkan kepala saja sedikit dan tak menjawab maka
Komang berkata, "Panggil saja gadis itu pak tua. Kalau dia sudah datang Adipati
akan bicara padanya..."
Make Tukiman tua pun masuk ke dalam rumahnya. Tak selang berapa lama orang tua
ini keluar kembali diiringi oleh seorang gadis yang memang Randini adanya,
penjual rempah-rempah di pasar Wlingi itu.
Kedua mata Adipati Suryo Maget tampak membesar.
Pandangannya tak berkedip dan tubuhnya seperti dipantek di atas punggung
kudanya. Tidak salah kalau kedua anak buahnya pagi-pagi sudah nyasar ke pasar.
Ternyata gadis itu benar-benar cantik. Tak pernah sang Adipati melihat dara yang
begini molek sebelumnya. Rambutnya hitam pekat tersisir ke belakang dan
membentuk sebuah sanggul besar. Alisnya juga hitam laksana sepasang bulan sabit
bertengger di atas kedua matanya yang indah bening.
Kedua pipinya tampak ke merah-merahan mengapit hidung yang mancung.
Wajah yang dihias bibir merah merekah dan dagu
laksana lebah bergantung itu tampak tersenyum. Lalu tubuh yang mulus montok itu
merunduk memberi hormat pada Suryo Maget.
"Nama saya Randini. Ada apakah sampai Adipati Temanggung datang berkunjung ke
mari...?" Si gadis berpaling pada Gendu dan Komang. Segera dia ingat dan mengenali.
"Bukankah bapak berdua yang pagi tadi datang ke pasar Wlingi?" Ketika dilihatnya
kedua orang itu mengangguk maka Randini bertanya, "Jadi... bapak berdua hendak
membicarakan soal laporan berjualan itu"
Saya memang bersalah, berdagang tapi tidak melapor.
Apakah Adipati hendak menangkap saya saat ini...?"
Saat itu Suryo Maget sudah turun dari kudanya.
Sementara Komang berbisik pada si gadis. "Lupakan soal lapor melapor itu. Kami
datang ke mari bukan untuk menangkapmu. Adipati Suryo Maget kepingin melihat
wajahmu!" Merahlah paras Randini.
"Bolehkah aku masuk dan bicara di dalam...?" Suryo Maget bertanya.
"Tentu saja. Tentu saja Adipati," menyahut Tukiman tua.
"Hanya mohon dimaafkan, rumah saya buruk sekali, atap rumbia, dinding gedek dan
lantai tanah. Tak pantas Adipati berada di dalamnya."
Suryo Maget tertawa kecil. Pada kedua pembantunya dia berkata, "Kalian berdua
tunggu di sini ...." Lalu Adipati masuk ke dalam rumah. Ketika pemilik rumah
hendak menyusul masuk, Gendu cepat memegang tangan orang tua itu dan berkata,
"Kita di sini saja pak tua. Biarkan Adipati dan gadis itu bicara berdua di
dalam..." Lalu Gendu berpaling pada Randini. "Masuklah. Jika Adipati ingin
menemuimu tentu ada sesuatu yang ingin dibicarakan-nya..."
Randini, perempuan muda bertubuh molek dan
berparas jelita itu tampak ragu-ragu sesaat" Namun akhirnya dia masuk juga ke
dalam rumah. Sampai di dalam rumah dilihatnya Adipati Suryo Maget tegak memandang dengan
tersenyum padanya.
"Mohon maaf, tak ada kursi yang layak untuk duduk Adipati..." kata Randini.
"Tidak apa. Aku biasa berdiri kalau bicara," jawab Suryo Maget. "Benarkah kau
berjualan rempah-rempah di pasar Wlingi?"
"Benar sekali Adipati. Baru pagi tadi saya mulai berjualan. Dan saya telah
membuat kesalahan. Tidak melapor lebih dulu pada petugas-petugas Kadipaten..."
"Lupakan hal itu. Aku melihat, kau sangat tidak pantas menjadi penjual rempah-
rempah. Tidak pantas berjualan apa pun di pasar yang kotor itu..."
"Tapi saya harus melakukan sesuatu untuk dapat hidup... Saya sebatang kara di
Temanggung ini..."
Suryo Maget memperhatikan kedua tangan dan kaki
Randini. Halus sekali. Menandakan meskipun dara ini berdagang di pasar tapi
jelas dia tidak terbiasa melakukan pekerjaan kasar atau berat.
"Di mana kedua orang tuamu?" tanya Suryo Maget.
"Ibu meninggal waktu saya masih kecil. Ayah tewas waktu terjadi banjir bandang
beberapa tahun lalu di Ambarawa . . . ."
"Jadi di situ berasal dari Ambarawa?"
"Bukan. Kedua orang tua saya berasal dari Jepara,"
jawab Randini. "Lalu bagaimana sampai terpesat di Temanggung?"
"Panjang ceritanya Adipati. Tak mungkin saya ceritakan karena Adipati akan bosan
mendengarnya. Apakah saya boleh terus berjualan di pasar Wlingi. Hanya itu
tumpuan dan mata pencaharian saya..."
"Aku tidak mangizinkanmu berdagang lagi di Wlingi..."
kata Suryo Maget.
Ucapan ini membuat Randini terkejut. Parasnya berubah dan wajahnya seperti
hendak menangis. Tapi di hadapannya dilihatnya Adipati Temanggung itu tersenyum.
"Sukakah kau menjadi teman hidupku?" tiba-tiba sang Adipati bertanya.
Ini tambah mengejutkan Randini.
"Saya... saya tidak mengerti maksud Adipati..." katanya terbata-bata.
"Makudku apakah kau suka kalau kuperisterikan?"
Kedua mata sang dara terbelalak. Lalu dia cepat-cepat tundukkan kepala. Karena
menunduk tengkuknya yang putih tampak menyembul di bawah sanggulnya yang besar,
"Ada keringat di kudukmu! Kau tentu terkejut bukan?"
ujar Suryo Maget seraya menghampiri lebih dekat. Lalu dengan jari-jari tangannya
disekanya percikan keringat di tengkuk Randini. Si gadis menggelinjang karena
kegelian. Suryo Maget tertawa perlahan. Tangannya yang basah oleh keringat diciumnya
beberapa kali. Lalu jari-jari yang basah itu dihisapnya. Rupanya sudah demikian
besarnya daya tarik si gadis di hati sang Adipati hingga keringatnya pun
dinikmatinya. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi..." kata Suryo Maget pula.
"Saya tak bisa menjawab. Saya tak berani memberikan jawaban..." kata Randini.
"Kenapa tak bisa" Kenapa tak berani?"
Lama gadis itu terdiam. Akhirnya dia berkata, "Saya seorang miskin yang tidak
sebanding dengan Adipati. Jika Adipati menginginkan, bukankah bisa mendapatkan
seorang gadis lain yang lebih segala-galanya dari saya...?"
"Justru saat ini aku sudah menemukan gadis yang iebih dari segala-galanya itu.
Yaitu kau sendiri. Aku memang sudah punya tiga isteri. Tapi jika kubandingkan
dirimu dengan ketiganya... Mereka seperti buIan redup tertutup awan sedang kau
seolah-olah buIan purnama yang memancarkan sinarnya yang indah. Nah, apakah kau
sudi kujadikan isteriku yang keempat?"
"Apakah Adipati tidak merasa malu dan turun derajat nanti karena mengambil saya
gadis yang tidak ketahuan asal usulnya sebagai isteri...?" bertanya Randini.
Suryo Maget tertawa lebar. "Ucapanmu itu menandakan bahwa kau bisa menjadi
seorang isteri yang baik. Karena itulah sejak pertama kali tadi aku melihatmu di
pintu rumah, aku yakin bahwa aku harus memperisterikan dirimu. Aku menunggu
jawabanmu saat ini..."
"Jika... jika niat Adipati memang sebaik itu, apa yang harus saya katakan selain
bersedia mengabdi pada
Adipati..."
Saking gembiranya, Suryo Maget sampai lupa diri.
Sambil tertawa dirangkulnya tubuh Randini dan diciumnya wajah gadis itu
berulang-ulang, membuat sang dara meng-geliat coba melepaskan diri.
"Mulai besok kau tak boleh berjualan lagi di pasar," kata Suryo Maget. "Untuk
beberapa hari tetap saja tinggal di sini. Orang-orangku akan mengatur segala
sesuatunya untukmu. Pesta perkawinan, rumah... dan sebagainya...
dan sebagainya."
"Kalau saya boleh meminta, tak usahlah diadakan pesta segela."
"Hemm... Kalau begitu kehendakmu aku pun setuju,"
ujar Suryo Maget. Memang mana ada orang yang mau
mengadakan pesta untuk perkawinannya yang ke empat, padahal tiga isterinya masih
ada. Dari balik pakaian bagusnya Adipati Tumenggung itu mengeluarkn sebuah kotak
kecil berwarna merah. Kotak itu diulurkannya pada Randini seraya berkata. "Ambil
dan bukalah..."
Si gadis mengambil kotak itu. Lalu membukanya.
Ternyata di dalam kotak terdapat sebentuk cincin emas bermata berlian yang besar
sekali. "Itu untukmu!" kata sang Adipati pula.
"Saya tak berani menerimanya, Adipati..."
"Jangan menampik. Itu pemberian seorang calon suami pada bakal isterinya. Kau
harus mau menerimanya!"
Suryo Maget mengeluarkan cincin itu dari dalam kotak lalu memasangkannya ke jari
manis tangan kiri Randini.
Ternyata cincin itu pas betul di jari sang dara. Sambil memegangi jari-jari
tangan Randini Suryo Maget berkata:
"Aku harus pergi sekarang. Segala sesuatunya akan segera diatur. Aku akan
menempatkan seorang pengawal di sini.
Bila kau memerlukan apa-apa tinggal memberitahu
padanya..."
"Saya sangat berterima kasih Adipati. Benar-benar berterima kasih ...." kata
Randini pula. Lalu dia menundukkan tubuh memberi hormat, sekaligus menghindarkan
sang Adipati yang hendak mencium wajahnya.
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
5 AJAL Dl MALAM PENGANTIN
UMAH ITU terletak di aliran Kali Progo, di sebelah tenggara Temanggung, pada
sebuah daerah yang
Rsubur. Di dalam rumah Adipati Suryo Maget duduk di meja makan berhadap-hadapan
dengan istri barunya, istri paling muda atau istri ke empat yaitu Randini. Sang
Adipati hanya sedikit saja menyentun makanan yang terhidang.
Seleranya same sekali tidak ada karena dikalahkan oleh kobaran hasrat yang ingin
cepat-cepat masuk ke dalam kamar, menjalani malam pertama bersama Randini.
Sore tadi, menjelang magrib dengan disaksikan oleh dua orang petugas Kadipaten
Temanggung yakni Gendu dan Komang, seorang penghulu telah datang ke tempat itu,
menikahkan Suryo Maget yang berusia 53 tahun dengan Randini yang berumur 21
tahun. bararti malam ini adalah malam pengantin yang berbahagia bagi keduanya.
Di luar rumah Komang dan Gendu berjaga-jaga sambil bercakap-cakap.
"Nasib kita memang sial Gendu. Gadis cantik itu tidak jatuh ke tangan kita..."
kata Komang. "Kalau kupikir-pikir, seandainya Adipati tidak memper-istrikannya, belum tentu
dia mau padaku atau padamu..."
menyahuti Gendu.
"Sedang apa mereka sekarang" Mungkin sudah masuk ke dalam kamar..."
"Tadi kulihat masih di meja makan. Kalau mereka masuk ke kamar apa kau mau
mengintip...?"
"Komang menyeringai. "Tak ada salahnya. Dari pada tak dapat sama sekali mencuri
intip pun..."
"Ya, sekali ketahuan oleh Adipati kita berdua bisa celaka!"
Di dalam rumah Adipati Suryo Maget meneguk kopi
hangat yang barusan diantar seorang pelayan lalu menyalakan sebatang rokok.
Setelah beberapa kali menghisapnya dia memandang pada Randini dan berkata, "Mata
tua ini cepat sekali mengantuk. Tubuh lanjut ini terasa letih.
Bagaimana kalau kita masuk saja ke kamar untuk beristirahat...?"
Randini yang maklum apa maksud kata-kata Adipati
yang kini telah menjadi suaminya itu menganggukkan kepala lalu berdiri. Dia
merapikan pakaiannya sebentar kemudian melangkah menuju ke kamar. Tidak menunggu
lebih lama Suryo Maget cepat berdiri dan menyusul masuk.
Kamar itu besar sekali, dilengkapi dengan perabotan yang serba baru dan bagus,
termasuk sebuah ranjang besar terbuat dari besi berlapis kuningan.
"Tidak disangka di usia yang begini lanjut aku mendapat seorang isteri
pendamping yang kuidam-idamkan..." kata Suryo Maget seraya melepas sandalnya
lalu naik a,e atas ranjang.
"Setelah mendapatkan saya, apakah kakanda akan mencari istri baru lagi...?"
bertanya Randini. Dia duduk di tepi tempat tidur, dekat kaki Suryo Maget.
Adipati itu tertawa.
"Kukira tidak. Cukup kau yang terakhir. Soalnya kini aku sudah mendapatkan
segala-galanya..."
"Mudah-mudahan saya bisa menjadi isteri yang baik.
Saya merasa bersyukur dari hidup terlunta-lunta sebatang kara hari ini saya
menemui kebahagiaan, menjadi isteri Adipati Tumenggung."
"Kau pasti akan menjadi isteri yang baik. Aku sudah melihat dari raut wajahmu
yang cantik, tutur katamu yang halus dan sikapmu yang lemah lembut. ..." kata
Suryo Maget memuji isterinya. "Berbaringlah di sampingku. Ini malam pertama kita
Randini. Malam pengantin yang tidak akan kita lupakan selama hidup..."
"Pernahkah kakanda mendengar cerita tentang lelaki-lelaki yang mati pada malam
pengantinnya..."
Suryo Maget menggeleng. "Tak pernah kudengar.
Pengantin lelakinya pasti mengidap penyakit jantung!" ujar sang Adipati pula.
"Mengapa kau bertanya begitu..." Kalau pun aku mati setelah bersenang-senang
denganmu rasanya aku akan puas..."
"Tak baik berkata begitu. Saya tak ingin kehilangan kakanda. Apalagi di malam
pengantin ini..."
"Kalau begitu menggeserlah ke mari. Berbaringlah di sampingku..."
"Aneh malam ini terasa panas. Tidakkah kakanda ingin membuka pakaian?" tanya
Randini. Pertanyaan isterinya itu merangsang darah sang Adipati.
Cepat-cepat dia membuka pakaiannya hingga hanya
tinggal pakaian dalam saja.
"Giliranmu sekarang Randini..."
Randini menggerakkan tangannya ke pinggang hendak membuka gulungan angkinnya.
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kemudian hal itu tak jadi dilakukannya dan berkata, "Kakanda, saya tak mau
membuka pakaian kalau kakanda memperhatikan. Malu...
Berpalinglah menghadap ke dinding..."
Suryo Mager tertawa lebar. "Isteriku ini benar-benar gadis tulen. Masih malu-
malu ...." katanya dalam hati. Lalu seperti yang dikehendaki Randini dia pun
memutar tubuhnya membelakangi sang isteri, menghadap ke dinding dengan dada yang
bergemuruh karena membayangkan
apa sebentar lagi yang akan dilihat dan dinikmatinya.
Setelah Suryo Maget membelakanginya, baru Randini kembali menggerakkan tangannya
ke pinggang. Namun apa yang dilakukannya bukanlah membuka angkin atau
setagennya, Dari balik angkin itu dia justru mengeluarkan seutas tali berwarna
kuning sepanjang empat jengkal, memegangnya pada masing-masing ujungnya.
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya gadis ini men-jiratkan tali itu ke leher
Suryo Maget hingga sang Adipati terkejut. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu
nafasnya telah sesak, lidah menjulur. Kedua tangan coba menggapai dan kedua kaki
melejang-lejang.
Kreeek...! Terdengar suara patahnya tulang leher ketika Randini membuat satu sentakan yang
kuat. Tubuh Adipati Suryo Maget tak bergerak lagi. Nyawanya putus sudah!
Dari mulut Randini keluar suara tertawa aneh. Hampir seperti kuda meringkik.
"Lelaki keparat! Hidung belang busuk macammu pantas menerima mampus seperti ini!
Kau tunggulah ayahku! Kau tunggulah guruku! Juga semua lelaki-lelaki bejat itu!
Kalian semua pantas berkumpul di liang neraka!"
Habis berkata begitu Randini mombuka jendela kamar.
Sesaat kemudian dia pun lenyap dalam kegelapan malam.
Hanya angin malam yang berdesir menyaksikan kepergian-nya.
Di luar rumah Komang berbisik pada kawannya.
"Hai... Kau dengar suara tawa gadis itu... Cekikikan!
Tubuhku jadi panas. Bagaimana kalau kita mengintip...''
Memang Gendu-pun tadi sempat mendengar suara tawa Randini. Rupanya malam
pengantin sudah dimulai. Kalau tadi dia menolak ajakan kawannya, kini dia pun
tertarik. Keduanya lalu mengendap-endap mendekati rumah di
bagian mana kamar tidur terletak. Namun sebelum sampai di dinding bangunan,
sebuah perahu kecil merapat di tepi.
Kali Progo. Dari atas perahu melompat turun seorang pemuda yang langsung lari ke
arah rumah. "Hai! Siapa di sana"!" bentak Gendu ketika melihat ada orang yang datang dengan
sikap mencurigakan.
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
6 SAKIT HATI YANG KETIGA KALI
IANG ITU Tumbal Sakti menemui ibunya yang masih
berbaring di atas tempat tidur. Dia adalah putera S tertua Adipati Suryo Maget
dari istri pertamanya yaitu Siti Resmi.
"Sesiang ini ibu masih belum bangun. Apakah ibu sakit?"
tanya Tumbal Sakti.
Siti Resmi tidak menjawab. Dia memandang ke langit-langit kamar.
"Ibu tak mau menjawab. Ibu seperti merahasiakan sesuatu, . .."
Perempuan itu coba tersenyum. "Apa pula yang harus kurahasiakan, Tumbal?"
"Saya tahu ibu memang merahasiakan sesuatu. Hanya saja rahasia itu sudah saya
ketahui. Dan saya berniat melakukan sesuatu!" kata Tumbal Sakti pula.
Hal ini mengejutkan ibunya yang langsung bangkit dan duduk di ujung tempat
tidur. "Apa maksud Tumbal"!" tanya perempuan itu.
"Ayah hendak kawin lagi! Itu yang menimbulkan pikiran hingga ibu hanya berdiam
diri dalam sakit hati yang mendalam. Betul kan begitu, bu...?"
Siti Resmi terdiam. Kini dia merasa tak ada gunanya merahasiakan hal itu lagi.
Puteranya ternyata sudah tahu.
"Dari mana kau tahu hal itu Tumbal?"
"Seseorang menceritakannya pada saya..."
"Seseorang siapa?"
"Ibu tak usah tahu. Yang jelas perbuatan busuk seperti itu mana bisa ditutup-
tutup"!"
"Itu sudah nasib kita, Tumbal. Kita tak bisa merubah sifat ayahmu..."
"Sudah tiga kali dengan ini dia menyakiti ibu... Apakah tiga orang istri dan
sekian banyak peliharaan masih tidak cukup bagi ayah?"
"Jangan berkata begitu Tumball"
"Tidak ibu. Saya harus melakukan sesuatu. Saya tahu di mana mereka berada malam
nanti!" Tumbal Sakti menyibakkan pakaian luarnya yang
menyerupai jas pendek tanpa lengan.
"Lihat, apa yang saya bawa ini, bu!"
Ketika melihat keris yang tersisip di pinggang puteranya terkejutlah Siti Resmi.
"Tumbal! Apa yang hendak kau lakukan"!"
"Saya akan membunuh perempuan itu, bu!"
"Kau gila!"
"Bukan saya yang gila! Tapi perempuan itu! Juga ayah!"
"Perempuan itu, siapa pun dia adanya tidak bersalah.
Ayahmu yang salah. Tidak pernah puas dengen apa yang ada...!"
"Kalau begitu ayah juga akan saya bunuh!" kata Tumbal Sekti pula dengan mata
berapi-api. Sebaliknya sepasang mata sang ibu tampak berkaca-caca.
"Jangan kau lakukan itu, anakku! Jangan kau tambah derita ibu..."
"Ini derita ibu yang terakhir! Kalau kita tidak melakukan sesuatu ayah tak akan
pernah bisa berubah! Lagi pula dua ibu yang lain merestui tindakan saya..."
"Jadi... jadi kau sudah mengatakan maksudmu pada dua istri ayahmu yang lain...?"
Tumbal Sakti mengangguk.
"Tidak Tumbal! Jangan kau lakukan itu! Jangan senekad itu. Berikan padaku keris
ayahmu itu. Kau tak pantas membawanya. Serahkan padaku cepat...!"
"Saya akan menyerahkannya bu. Tapi nanti. Kalau senjata ini sudah berlumuran
darah!" Lalu pemuda itu membalikkan tubuh, melangkah cepat menuju ke pintu. Siti Resmi
turun dari tempat tidur, berusaha mengejar anaknya namun sia-sia saja. Akhirnya
perempuan ini menggulingkan diri di lantai kamar dan hanya bisa menangis.
Dengan sebuah perahu Tumbal Sekti mengarungi Kali Progo menu ju arah tenggara.
dia tahu di mana ayahnya berada. Kesitulah dia menuju. Dia sampai di tempat itu
pada malam hari, ketika Gendu dan Komang mengendap-endap hendak mengintip kamar
pengantin. Begitu melihat ada orang yang datang dengan sikap mencurigakan maka
Gendu langsung membentak.
"Hail Siapa di sana"!"
Orang yang dibentak hentikan langkah dan bertolak pinggang.
"Aku Tumbal Sakti!" katanya menyebutkan nama.
Terkejutlah kedua petugas Kadipaten yang berjaga-jaga itu. "Raden kiranya!" kata
Gendu lalu saling pandang dengan Komang dengan perasaan sama tidak enak.
'"Ada apakah Raden malam-malam datang ke mari?"
tanya Komang. "Kalian sendiri mengapa berada di sini"!" membentak Tumbal Sakti hingga kedua
orang itu tercekat diam.
"Ayahku ada di dalam"!"
Gendu dan Komang tak berani berdusta. "Ada Raden..."
"Aku akan menemuinya...!"
"Raden..." Komang berusaha menghalangi.
"Sebaiknya Raden jangan masuk. Nanti kami berdua bisa mendapat hajaran..."
"Memangnya mengapa aku tak boleh masuk"!" tanya Tumbal Sekti melotot.
"Kami berdua hanya bertugas di sini, Raden. Mendapat perintah tak boleh satu
orang pun masuk ke rumah. Ayah Raden tak mau diganggu."
Tumbal Sakti menyeringai.
"Tak boleh masuk, tak mau diganggu. Karena dia sedang bersenang-senang dengan
istri mudanya bukan"!
Minggir kalian berdua!"
"Maafkan kami Raden. Kami hanya menjalankan tugas!"
"Jadi kalian berdua berani menghalangiku"!" sentak Tumbal Sakti.
"Sabar Raden. Sebaiknya kembali saja ke Temanggung.
Kalau ayah Raden pulang ke sana nanti, tentu persoalan ini bisa diselesaikan..."
kata Gendu. "Justru persoalan ini harus diselesaikan di sini, saat ini juga!"
"Tenang Raden. Pikirkan buruk baiknya..."
"Gendu keparat kau! Apakah kau ada memikirkan buruk baiknya ayahku kawin lagi"
Kau dan kawanmu ini mau melakukan apa saja karena dijejali uang! Bukan begitu"!
Menyingkir kataku!"
"Apa pun yang terjadi kami tetap menjalankan perintah!"
Naiklah amarah Tumbal Sakti. Pemuda ini hunus keris di pinggangnya. "Kalau
kalian tetap bersikeras, terpaksa aku menghabisi kalian berdua lebih dulu!"
Sebagai seorang putera Adipati, selain mendapat pen-didikan tulis baca Tumbal
Sekti juga mendapat pelajaran ilmu silat dari jago-jago silat ternama. Karenanya
meskipun dua petugas Kadipaten itu memiliki kepandaian, namun dibanding dengan
Tumbal Sakti keduanya ketinggalan jauh. Ditambah pula dalam keadaan nekad maka
serangan-serangan si pemuda benar-benar membahayakan jiwa Gendu dan Komang.
Gendu adalah yang pertama terluka tangannya ketika menangkis satu tusukan deras
keris putera Adipati itu. Hendak mecabut senjata baik Gendu maupun Komang tak
mau melakukan karena takut akan mencelakai putera Adipati itu. Tidak
mengeluarkan senjata berarti sebentar lagi mereka akan jadi bulan-bulan keris di
tangan Tumbal Sakti!
*** MAHESA EDAN RAHASIA RANJANG SETAN
7 SAKIT HATI MASA LAMPAU DAN
TUDUHAN KELIRU KAKEK MATA BIRU
ADA SAAT Tumbal Sekti dan dua anak buah
Suryo Maget mulai bertengkar, dari kegelapan
Ptanpa mereka ketahui muncul sesosok bayangan
putih yang langsung masuk ke dalam rumah lewat
jendela kamar yang terbuka. Bersamaan dengan ke-
munculannya menyeruaklah bau kemenyan di tempat itu.
Begitu masuk ke kamar ditemuinya Adipati Tumenggung Suryo Maget telah jadi
mayat. Menggeletak di atas ranjang, hanya mengenakan pakaian dalam. Matanya
membeliak, lidah terjulur dan dilehernya ada tali kuning menjirat!
"Lagi-lagi aku terlambat! Anak setan itu selalu lebih cepat!" Orang yang barusan
masuk menggerendeng kesal.
Dia melangkah mendekati ranjang lalu tangannya bergerak membuka jeratan tali di
leher Suryo Maget.
Sambil memutar-mutar tali itu dengan tangan kanannya orang ini membatin.
"Mungkinkah dia ....?" Memandang pada tubuh Suryo Maget hati kecilnya menolak
dugaan itu. "Jika memang dia, kebiasaannya adalah bersenang-senang dulu baru membunuh.
Lelaki yang mati ini tampaknya belum sempat melakukan hal itu... Lagi pula jika
memang dia, mengapa harus susah-susah membunuh mempergunakan tali segala" Aku
tak yakin dia telah menjelma menjadi Ratu Mesum kembali. Menebar nafsu dan
maut!" Baru saja orang ini merenung seperti itu mendadak melesat masuk lewat jendela
yang terbuka sesosok tubuh.
Di hadapannya kini tegak seorang kakek berpakaian compang camping. Sepasang
matanya berwarna bru dan memancarkan sinar dingin yang angker.
"Ha... ha... ha! Bertahun-tahun kucari kini tertangkap basah berbuat kejahatan!"
Kakek aneh itu umbar suara tawa yang disusul dengan bentakan.
Si pemuda tersentak kaget. Dia pandangi orang tua di depannya dari atas sampai
ke bawah. "Kakek Mata Biru!" seru pemuda itu ketika dia akhirnya mengenali siapa adanya
orang tua itu. Kakek Mata Biru adalah salah seorang dari beberapa tokoh langka
dunia persilatan yang merupakan adik kandung Gembel Cengeng Sakti Mata Buta,
seorang kakek berkepandaian tinggi yang telah mengajarkan Tujuh Jurus Ilmu Silat
Orang Buta kepadanya. ( Baca Pendekar Dari Liang Kubur).
"Hemm... Bagus! Kau masih mengenai diriku! Apakah juga masih ingat campur
tanganmu yang menyakitkan hati sewaktu aku bertanding catur dengan Gembel
Cengeng...?"
"Ah, tentu saja aku ingat kek. Tapi itu sudah lama sekali.
Mengapa harus diingat-ingat lagi..." sebut si pemuda pula.
Si kakek menyeringai jengkel. "Kau tidak merasa sakit hati memang tak perlu
mengingat-ingat. Tapi aku yang kau beri malu mana mungkin melupakan! Waktu itu
aku ingin menggebukmu, tapi kau lolos karena ditolong oleh kakakku. Aku mau
lihat apakah malam ini kau masih bisa meloloskan diri"!"
"Persoalan lama urusan mainan anak-anak kenapa mau diperpanjang. Jika kau anggap
aku menyakiti hatimu, aku tidak sungkan minta maaf saat ini juga. Nah kau
maafkan-lah diriku yang ceroboh!"
"Enak saja kau minta maaf. Sebelum kugebuk kau mana senang hatiku!" kata Kakek
Mata Biru. "Lagi pula saat ini aku berhasil menangkapmu basah! Membunuh Adipati
Suryo Maget dari Temanggung!"
"Bukan aku yang membunuhnya!" kata pemuda itu dengan suara keras dan berang.
"Jangan menuduh sembarangan! "
Kembali si kakek umbar suara tawa bergelak.
"Aku sudah lama mengintai gerak gerikmu, anak muda!
Beberapa kali terjadi pembunuhan yang korbannya tewas dijerat dengan tali
kuning, kau selalu ada di situ. Dan saat ini aku lihat sendiri kau masih
memegang tali kuning itu!
Sudah terbukti jelas masih hendak mungkir"!"
"Aku datang ke mari justru hendak menyelidiki. Tetapi terlambat! Si pembunuh
keburu kabur...!"
"Mahesa... Eh, Mahesa bukan...?" kata kakek Mata Biru.
"Pada orang lain kau boleh berdusta. Tapi padaku jangan coba-coba!"
"Anak setan!" maki si pemuda dalam hati yang memang Mahesa adanya. "Ape perlunya
aku membunuh Adipati itu"!"
"Soal apa perlumu itu bukan urusanku. Yang jadi urusanku ialah melenyapkan
manusia-manusia jahat
sepertimu saat ini juga!"
"Edan!" maki Mahesa.
"Kau yang edan!" balas memaki Kakek Mata Biru.
Tangan kanannya bergerak. Gerakan ini perlahan saja.
Namun seperti mulur tahu-tahu tangan kanan itu sudah berada dekat sekali dengan
tubuh Mahesa dan menghantam ke arah dada!
Mahesa yang sebelumnya pernah berhadapan dengan
kakek sakti ini, sudah tahu kelihayannya maka pagi-pagi sudah berjaga-jaga.
Begitu si kakek terlihat gerakan tangan kanannya, pemuda ini tiupkan asap rokok
klobot yang dihisapnya kuat-kuat ke depan. Asap rokok yang disertai tenaga dalam
tinggi itu menerpa menghadang jotosan Kakek Mata Biru, sebagiannya lagi menderu
ke arah kedua matanya. Si kakek merasakan tangan kanannya seperti masuk ke dalam
satu gelombang dahsyat yang membuat tangan itu bergetar keras serta panas dan
sakit. Sementara itu asap yang menyerbu ke arah kedua
matanya membuat mata itu terasa perih sekali. Mau tak mau Kakek Mate Biru cepat
melompat mundur.
"Pemuda edan ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi sekali," kata Kakek Mata
Biru dalam hati.
"Apakah kakakku juga menghadiahkan sebagian tenaga dalamnya" Lalu membuat asap
rokok menjadi senjata ampuh dari mana pula dia mempelajarinya...!" Setelah
menatap sejenak pada Mahesa, Kakek Mate Biru kembali lancarkan serangan. Mahesa
menyambut dengan balas menghantam. Maka perkelahian seru pun berkecamuk
dalam kamar besar itu.
Seperti diketahui dari gurunya Kunti Kendil di puncak pegunungan lyang Mahesa
telah mendapat gemblengan ilmu kesaktian den ilmu silat tingkat tinggi. Selama
malang melintang dalam dunia persilatan pemuda ini telah menimbulkan hal-hal
yang menggegerkan hingga disegani kawan ditakuti lawan den mendapat julukan
Mahesa Edan, Pendekar Dari Liang Kubur. Namun sejak sang guru telah menjatuhkan
hukuman yang sangat menyakiti hati bahkan sempat menggantungnya kaki ke atas
kepala ke beawah, Mahesa mengambil keputusan, apa pun yang terjadi dia tidak
akan mau mempergunakan lagi semua ilmu
kepandaian yang diberikan Kunti Kendil kepadanya.
Mahesa tahu betul ini merupakan satu hal yang membuat lebih dari setengah
Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepandaiannya akan lenyap. Dia tak akan lagi mau mempergunakan pukulan Sakti
bernama pukulan Api Gledek, Menggusur Makam atau Kincir Air Melabrak Kuburan
atau Makam Sakti Maletus, dan
sebagainya. Dia juga tidak akan mau mengeluarkan lagi jurus-jurus silat dahsyat
seperti Macan Gila Keluar Dari Kuburan, Batu Karang Menghimpit Kuburan, Di atas
Kubur Badai Mengamuk atau Tombak Sakti Menembus Lianq
Kubur den yang lain-lainnya. Dia sudah bersumpah untuk tidak lagi mempergunakan
semua kesaktian dan ilmu silat warisan gurunya itu. Bahkan senjata mustika ampuh
tapi aneh berupa papan berbentuk nisan pemberian Kunti Kendil telah dikuburnya
di satu tempat!
Kini menghadapi kakek lihay seperti Kakek Mata Biru, Mahesa harus mengerahkan
seluruh kepandaiannya yang ada. Dengan hembusan asap rokok klobot yang disembur-
kannya berulang-ulang ke arah lawan Mahesa berhasil membendung serangan-serangan
maut, Kakek Mata Biru.
Namun ketika rokok yang dihisapnya habis dan dia tak berkesempatan lagi untuk
menyalakan sebatang rokok baru maka gempuran Kakek Mata Biru mulai membuatnya
terdesak. Kakek Mata Biru tertawa mengejek.
"Bukankah kau anak murid Kunti Kendil yanig kesohor itu" Mana ilmu silat dan
pukulan sakti yang kau pelajari dari dia" Dari tadi kau hanya melenggang lenggok
seperti wayang banci!"
Dihina seperti wayang bahkan disebut wayang banci Mahesa jadi penasaran. Setelah
mengelakkan dua jurus serangan deras berupa pukulan-pukulan dahsyar yang sempat
menyerempet pipinya hingge merah membengkak, Mahesa keluarkan jurus-jurus silat
orang buta yang di-ajarkan Gambol Cengeng Sakti Mata Buta. Kini pemuda itu
pergunakan ilmu silat si kakek buta untuk menghadapi adik kandungnya sendiri!
Ketika gempuran-gempurannya selama dua jurus
kemudian tidak membawa hasil apa-apa sementara lawan dilihatnya membuat gerakan-
gerakan aneh gerabak-gerubuk tak keruan, Kakek Mata Biru selain heran juga
menjadi jengkel.
"Heh! Jadi sontoloyo mata buta itu mengajarkan ilmu silatnya padamu!" bentak
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 16 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Petualang Asmara 7