Pencarian

Rahasia Si Bungkuk Berjubah 3

Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih Bagian 3


Kakek muka tengkorak kembali tertawa.
Kakek buta keluarkan suara seperti mau menangis.
Mahesa cepat mengeledah tubuh dan pakaian dukun
jahat itu. Apa yang dicarinya segera diketemukan. Yaitu Keris Naga Biru yang
dulu dicuri Embah Bromo Tunggal.
Setelah meneliti sesaat Mahesa memastikan senjata
mustika itu benar-benar asli. Selain itu dia juga menemukan dua buah benda
lainnya. Yang pertama sebuah buku berkulit tebal yang sudha sangat lusuh, penuh
dengan tulisan dan gambar pohon serta dedaunan. Benda kedua sebuah buku yang
hanya terdiri dari beberapa halaman dan pada bagiannya ada tulisan berjudul
"Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai".
"Anak muda, apa yang kau temukan....?" Gembel
Cengeng Sakti Mata Buta tiba-tiba bertanya.
"Ada tiga benda kek. Aku mohon petunjukmu. Yang pertama Keris Naga Biru yang
memang aku sudah lama mencari-cari. Dukun ini mencurinya sewaktu trjadi
bentrokan di Pesantren Nusa Barung. Benda kedua sebuah kitab
berkulit tebal dan lusuh. Isinya aku belum sempat mem-baca. Selintas ada gambar
tanaman. Benda ketiga buku tipis berjudul Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai.
Sekali lagi aku mohon petunjukmu...."
Si kakek buta mendongak ke langit sementara Embah
Bromo Tunggal masih menggeletak di tanah, terjepit di bawah kaki dan pegangan
tangan tiga orang itu.
"Benda pertama yaitu Keris Naga Biru menurut hematku boleh kau ambil dan simpan.
Tapi ini bukan berarti kau pemiliknya. Bagaimanapun juga senjata itu masih
simpang siur siapa pemiliknya. Sampai kau menemukan pemiliknya yang sebenarnya,
kau kurasa boleh mempergunakan dan merawatnya seperti milik sendiri. Tapi ingat,
senjata itu setahuku mempunyai pantangan ganas. Tidak boleh dicabut sembarangan
dari sarungnya. Jika dicabut berarti harus ada darah tertumpah dan nyawa binasa.
Entah nyawa kawan antah nyawa lawan..."
"Aku mengerti kek. Sekarang bagaimana dengan dua
benda lainnya ini...?" tanya Mahesa seraya melirik pada kakek muka tengkorak. Dia
melirik begitu karena ingin melihat bagaimana air muka si kakek. Seperti
dituturkan sebelumnya, setelah terjadi perkelahian di puncak Bromo antara
Pendekar Muka Tengkorak dengan si dukun jahat, kakek muka tengkorak itu pernah
menceritakan bahwa dia tengah mencari sebuah buku silat yang dicuri oleh Embah
Bromo Tunggal setelah lebih dulu menipu dan memendam-nya di bawah sebuah arca.
Buku yang dicari kakek muka tengkorak itu bukan lain adalah buku Tujuh Jurus
Ilmu Silat Orang Katai yang kini berada dalam pegangan Mahesa.
Memperhatikan wajah si kakek nampaknya dia tenang-
tenang saja sambil terus menghisap rokok kawung.
Kemudian Mahesa memandang kembali pada Gembel
Cengeng Sakti Mata Buta. Dia berharap orang buta sakti itu akan memberikan
petunjuk sebagai jalan keluar hingga dia tak perlu saling bertarikan urat dengan
kakek yang baik itu guna memperebutkan buku.
Setelah mendongak sekali lagi ke langit. Gembel
Cengeng Sakti Mata Buta membuka mulut.
"Benda kedua, buku berkulit tebal itu mungkin...
dengan, kataku mungkin ada manfaatnya jika kau miliki.
Tetapi bagiku jelas seribu kali lebih baik jika segera kau musnahkan. Bakar jadi
abu..." Sampai di situ tiba-tiba Embah Bromo Tunggal berteriak memotong: "Jangan... jangan
bakar buku itu.... Kalian boleh ambil Keris Naga Biru itu. buku silat itu, tapi
jangan musnahkan bukuku...."
"Buku celaka itu...." desisinya. "Dengan buku
pengobatan jahat itulah kau telah menebar malapetaka di delapan penjuru angin!"
"Kalian boleh tukar buku itu dengan sebelah tanganku!
Sebelah telingaku! Malah sebelah mataku! Tapi jangan musnahkan bukuku!"
Pendekar Muka Tengkorak menyeringai.
"Buat apa bagi kami telinga atau tangan atau matamu"!
Anjingpun tak mau menyantapnya!"
"Jangan, jangan musnahkan buku itu....!" Embah Bromo Tunggal meminta setengah
meratap. "Mahesa! Bakar buku itu cepat!"
Embah Bromo Tunggal meraung.
Mahesa keluarkan korek api dari balik pakaiannya.
Ketika buku tebal yang berisi petunjuk mengenai seribu satu macam pengobatan
jahat itu mulai terbakar, kembali Embah Bromo Tunggal melolong-lolong. Tapi tak
ada gunanya. Buku tebal kepunyaannya musnah dimakan api, berubah jadi debu hitam!
"Kek, kau belum memberi petunjujk mengenai benda
ketiga." Kata Mahesa ketika dilihatnya kakek buta hanya tegak diam-diam saja.
Kini tampak si kakek kerenitkan kening.
"Ini hal yang sulit bagiku. Aku tahu sahabatku Pendekar Muka Tengkorak yang
pertama kali memegang kitab tipis berisi ilmu silat langka itu. asal muasalnya
tidak kuketahui dan aku memang tidak mau tahu..." sampai di situ si kakek buta
mengusap wajahnya seperti menyeka air mata. Lalu dia meneruskan: "Kemudian
sahabat Pendekar Muka
Tengkorak kena dikibuli Embah Bromo Tunggal. Kitab dibawa kaburnya dan sang
pendekar sendiri diperdayai hingga kena dipendam dibawah arca batu. Bukan begitu
sahabatku...?"
Pendekar Muka Tengkorak hanya bisa manggut-
manggut dan mendehem beberapa kali.
"Aku memang tolol. Mudah saja diperdayai kunyuk
bungkuk ini! Kalau si buyung ini tidak menolongku pastilah aku sudah jadi cacing
tanah saat ini. Ha... ha... ha!" begitu kata Pendekar Muka Tengkorak yang tetap
mengingat budi pertolongan Mahesa.
"Nah... nah... nah..." kakek buta bicara lagi. "Aku
mengetahui pula kalau anak muda ini harus menjalankan amanat orang, yakni tujuh
manusia katai si pemilik kitab itu. dia harus menemukan kitab yang hilang lalu
menyerah-kannya pada mereka. Nah... nah, kalau begini urusan bisa jadi pelik.
Kuharap kalian berdua langsung saja
berunding...."
Pendekar Muka Tengkorak ambil buku tipis itu dari
tangan Mahesa, menelitinya beberapa ketikan halaman demi halaman lalu berkata.
"Ini buku yang asli..."
"Hai, apakah kalian sudah berunding bagaimana
baiknya?" tanya kakek buta.
"Kek, sebelum kami berunding, aku ada satu
pertanyan." kata Mahesa.
"Heh, kau selalu bertanya. Apa yang ingin kau ketahui?"
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku harus menjalankan amanat dari tujuh manusia
katai sakti itu..."
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta tersenyum. Dia men-
jawab: "Angin bertiup, dedaunan berdesir. Burung berkicau, awan berarak. Ombak
berdebur, matahari bersinar dan rembulan tersenyum. Semua menebar kabar dan
akhirnya sampai ke telingaku. Apa susahnya menyirap kabar...?"
Mahesa dan kakek muka tengkorak hanya bisa saling
pandang mendengar ucapan itu sementara Sari geleng-geleng kapala. Perempuan ini
sudah lama mendengar
kehebatan kakek buta tersebut. Dimasa dia gentayangan dalam kehidupan sesat,
maka Gembel Cengeng Sakti Mata Buta termasuk salah seorang yang selalu
dihindarkannya.
Untungnya hari ini bertemu tokoh hebat itu dalam suasana persahabatan. Kalau
tidak mungkin tadi-tadi dia sudah mendapat celaka.
"Sudah selesaikah kalian berunding?"
"Belum kek. Bagaimana baiknya...?" Mahesa tampak
bingung. Kakek muka tengkorak usap-usap dagunya lalu cabut
rokok kawungnya dari sela bibir. Sesaat kemudian diapun hendak berkata, tetapi
tiba-tiba Embah Bromo Tunggal yang masih dicekal dan menggeletak di tanah
mendahului; "Dengar, berikan buku itu padaku. Aku akan berikan satu peti perhiasan emas.
Cukup banyak untuk kalian bagi berempat...!"
"Dukun busuk!" hardik Gembel Cengeng Sakti Mata
Buta. "Tidak ada yang mengajakmu bicara. Kalau kau tidak mau menutup mulutmu
jangan salahkan kalau kuwuruh
orang mengencingi mulutmu itu...!" habis berkata begitu si kakek lalu sesunggukan.
Karena jengkelnya kakek muka tengkorak tekankan
kakinya keras-keras ke langan Embah Bromo Tunggal
hingga dukun ini menjerit kesakitan. Dukun ini menjerit tiada hentinya. Dia baru
diam setelah Mahesa menampar pipinya hingga bibirnya berdarah.
"Hai! Kalian masih belum mengadakan perundingan!
Aku tak punya waktu lama-lama di tempat ini!" seru kakek mata buta.
Mahesa tak tahu harus berkata apa. Akhirnya terdengar kakek muka tengkorak
berkata: "Buyung, jika kau memang mendapat amanat dari tujuh orang katai itu,
kau ambillah buku itu dan pulangkan pada mereka. Memang jelas
mereka pemiliknya... Aku hanya menemukan buku itu di satu tempat. Hanya
kebetulan..."
"Bagus! Kalau begitu kata sepakat sudah membentuk
penyelesaian!" kakek buta tampak lega.
"Sekarang apa yang kana kita lakukan dengan kambing buruk ini"!" tanya Pendekar
Muka Tengkorak. "Dia dulu pernah menipu dan memendamku dalam tanah. Aku
tengah memikirkan pembalasan bagaimana harus
kuberkan..."
"Jangan... jangan bunuh diriku. Sekujur badanku serasa sudah hancur!" ratap Embah
Bromo Tunggal. "Aku mohon kalian mengampuni selembar nyawaku...!"
Pelipis Mahesa nampak menggembung. Tanpa melepas-
kan jepitan kakinya di lengan Embah Bromo Tunggal, pemuda ini jambak rambut
dukun itu. "Kau yang menyebabkan ayahku jadi gila! Kau yang
menggunai ayah sampai dia tidak waras. Katakan padaku apa dan bagaimana
pengobatan harus dilakukan hingga dia bisa sembuh kembali...!"
"Itu soal mudah... Soal mudah anak muda. Jika kowe
berjanji mau melepaskanku, kau akan beritahu..." jawab Embah Bromo Tunggal.
Kakek buta tampak geleng-gelengkan kepala dan
kembali keluarkan suara sesunggukan.
"Anak muda, jangan kau sampai kena ditipu manusia
licik jahat ini! Jika seseorang sudah rusak oleh guna-guna hampir tak ada satu
obat mujarabpun di dunia ini mampu mengobatinya. Juga tidak oleh orang yang
telah men-celakainya... Merusak itu mudah, memperbaiki itulah yang sulit!"
"Kalau begitu biar kubunuh dia detik ini juga!" kata Mahesa. Tangan kanannya
diayunkan ke batok kepala
Embah Bromo Tunggal. Baik Gembel Cengeng Sakti Mata Buta maupun Pendekar Muka
Tengkorak apalagi Sari, tak satu pun hendak menghalangi apa yang akan dilakukan
Mahesa. Namun pasa saat itu dikejauhan terdengar
ledakan amat dahsyat. Tanah di mana mereka berada
bergoncang keras seperti dilanda gempa. Mahesa terduduk ke tanah. Kakek muka
tengkorak terdorong keras ke samping. Sari jatuh punggung sedang Gembel Cengeng
Sakti Mata Buta terhuyung-huyung. Injakan kaki dan cekalan orang-orang itu pada
tubuh Embah Bromo Tunggal tanpa sadar terlepas. Kesempatan ini tidak disia-
siakan dukun jahat itu. secepat kilat dia melompat bangun lalu lari ke arah
rimba belangkara. Kakek muka tengkorak dan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta cepat
mengejar. Mahesa begitu bangun hebdak melepaskan pukulan Api Geledek tapi tidak
jadi begitu dia ingat pada janjinya untuk tidak pernah lai mempergunakan ilmu
silat dan kesaktian yang pernah dipelajarinya dari gurunya Kunti Kendil.
Embah Bromo Tunggal sadar sepenuhnya walaupun
dalam gerakan cepat dia bisa meloloskan diri, namun tak mungkin dapat lari jauh.
Dalam waktu singkat dua kakek sakti itu pasti akan dapat mengejar dan
menangkapnya kambali. Maka sebelum itu terjadi dia gerakkan tangannya ke
pinggang lalu memukul ke belakang ke arah para
pengejarnya. Terlihat cahaya menyilaukan menyambar.
Dilain saat kakek buta dan kakek muka tengkorak yang melakukan pengejaran tiba-
tiba laksana menumbuk
tembok tebal keras yang tidak kelihatan. Tubuh keduanya tertahan bahkan
terpental ke belakang.
Buk! Duk! Kakek mata buta benjut keningnya.
Pendekar Muka Tengkorak berdarah hidungnya.
Kedua tua renta ini memaki panjang pendek.
Embah Bromo Tunggal lenyap ke dalam hutan.
Sari dan Mahesa kaget bukan main. Keduanya serentak berdiri dan cepat mengejar.
Namun merekapun mengalami hal yang sama. Mereka tertahan dan menghantam sebuah
tembok yang tidak kelihatan. Empat orang itu menggapai-gapai ke depan dan
masing-masing merasakan menyentuh benda licin serta keras yang sama sekali tidak
dapat dilihat oleh pandangan mata. Kakek muka tengkorak melompat setinggi tiga
tembok. Buk! Dia kembali tertumbuk.
Di atas sana ternyata tembok tak kelihatan itu seperti masih menghadang. Dia
lari ke arah kanan, lalu ke kiri.
Juga tembok ini seperti tidak ada batasnya. Seolah-olah mencuat tinggi ke
angkasa dan memanjang tanpa batas!
"Gila!" maki Pendekar Muka Tengkorak.
Kakek mata buta geleng-gelengkan kepala.
"Kaca Iblis Pembatas Jagat!" desisnya. "Ternyata dukun keparat itu memiliki ilmu
ini. Tak ada yang bisa kita lakukan. Kaca iblis itu seolah tidak ada batas
tinggi dan panjang. Tak mungkin sihancurkan dengan pukulan. Kita harus mennggu
sampai hitungan keseratus. Dinding kaca akan lenyap dengan sendirinya..."
"Anak setan betul!" ikut memaki Mahesa. "Ini semua gara-gara ledakan keras tadi.
Apa yang terjadi...?"
"Bahan peledak yang ditanam dukun jahat itu mungkin sekali meledak..." menyahuti
kakek muka tengkorak.
Paras Mahesa berubah. Jika apa yang dikatakan kakek muka tengkorak itu betul dan
para tokoh silat itu masih berada di lereng gunung Merapi, niscaya mereka semua
menemui ajal, termasuk Kemala. Memikir sampai di situ Mahesa segera memutar
tubuh. "Aku harus kembali ke gunung itu!" katanya.
"Buyung! Jangan jadi orang gila! Apa yang hendak kau lakukan"!" seru si muka
tengkorak. "Aku harus menyelamatkan kawan-kawan dan saudara
seperguruanku. Ayahkupun masih di sana..." sahut
Mahesa, namun yang terbayang olehnya bukan wajah
Wirapati atau Randu Ampel, melainkan wajah Kemala, gads jelita yang diam-diam
selalu dikenangnya.
"Kalau mereka memang celaka, pada saat kau sampai
di sana kau hanya akan menemui timbunan tanah. Tak mungkin kau akan menggali
seluruh lereng gunung untuk mencari mayat mereka!" kata kakek muka tengkorak.
"Aku tidak perduli." sahut Mahesa pula.
"Anak muda tolol!" kakek buta ikut bicara. "Kalau orang-orang itu memang sudah
jadi mayat, apakah kedatanganmu akan dapat menghidupkan mereka kembali"!"
Sesaat Mahesa jadi ragu kini.
"Manusia-manusia itu bukan orang-orang tolol! Setelah tahu ada bahan peledak
dalam tanah, mereka tentu akan cepat menyingkir!" Sari bicara untuk pertama
kalinya. Kakek muka tengkorak melirik pada perempuan ini.
Kakek buta mendongak ke langit. Tiba-tiba dia berseru.
"Kaca iblis pembatas jagat sudah lenyap! Lekas kejar dukun keparat itu!"
Maka si buta dan si muka tengkorak berkelebat pergi.
Sesaat Mahesa masih ragu, namun akhirnya lari juga ke jurusan lenyapnya dua
kakek tadi, diikuti oleh Sari.
Baru saja masuk sekitar dua puluh langkah ke dlam
hutan keempat orang itu mendadak menghentikan lari masing-masing. Di hadapan
mereka tampak Embah Bromo Tunggal terguling-guling di tanah sambil memegang luka
besar yang mengoyak pipinya sebelah kiri. Di depan sana tegak menyeringai lelaki
bertopi tinggi hitam, di pinggang-nya terselip sebuah seruling.
"Ayah!" seru Mahesa hampir tak percaya pada
penglihatannya. Orang yang barusan disangkanya sudah mati tertimbun tanah
ledakan gunung kini tegak di


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seberang sana. Di seberang sana. Di sebelahnya berdiri gadsi cantik anak murid
Malaikat Maut Berkuda Putih.
*** 9 GANASNYA PEMBALASAN
MENGUJI PENDEKAR GILA
BERTEMU DAN BERPISAH LAGI
ari melengak kaget ketika Mahesa berseru
memanggil ayah. Sambil pegang tangan pemuda itu
S tanda bertanya: "Hai! Siapa yang kau panggil ayah"!"
Mahesa hendak menjawab tapi memutuskan akhirnya
untuk diam saja. Matanya memandang ke depan tak ter-kedip. Sang ayah, yang
tangan kanannya tampak merah bernoda darah, mencabut suling bambu dari pinggang
lalu meniupnya. Demikian kerasnya tiupan suling itu hingga semua orang yang ada
di situ, tak kecuali Gembel Cengeng Sakti Mata Buta yang sudah sangat tinggi
kepandaiannya merasa telinga masing-masing sakit bukan main seperti dicucuk
jarum! Sementara itu Embah Bromo Tunggal yang mukanya
berkelukuran luka dan darah merangkak bangun. Selagi orang itu meniup suling,
dan selagi empat orang yang barusan datang masih berada dalam keadaan tertegun.
Inilah kesempatan baginya untuk melarikan diri. Ini adalah kesempatan terakhir.
Jika diatidak berhasil maka riwayat-nya pasti akan tamat di tempat itu. dia
kumpulkan tenaga.
Tiba-tiba tubuhnya yang terbungkus melenting dan mencelat seperti bola. Langsung
meninggalkan orang-orang yang mengurungnya sejauh hampir empat tombak.
Mahesa dan Pendekar Muka Tengkorak cepat bergerak
untuk mengejar. Tetapi sungguh luar biasa. Entah kapan dilakukannya, tahu-tahu
lelaki bertopi tinggi butut yang meniup suling sudah melesat dan menghadang
Embah Bromo Tunggal dangan suling masih menempel di bibir!
Membuat dukun jahat ini tertegun seperti patung.
Randu Ampel tutup tiupan sulingnya dengan satu
lengkingan yang seperti hendak merobek gendang-
gendang telinga. Lalu lelaki malang berotak miring ini menyanyikan sebuah
tembang yang membuat Embah
Bromo Tunggal keluarkan keringat dingin sedang Mahesa setengah mati berusaha
untuk tidak mengucurkan air mata.
Dua puluh tahun silam
Di satu malam kelam
Tak ada rembulan
Tak ada bintang
Dari puncak Bromo pangkal bahala
Melayang guna-guna durjana
Tak ada dosa tak ada salah
Anak manusia menerima bencana
Membunuh sahabat membunuh istri
Dalam keadaan gila lari membawa diri
Fitnah kembali kepada fitnah
Hutang nyawa dibayar nyawa
Hanya kematian yang pantas baginya
Walau itu terasa masih enak belaka
Jangan dibunuh....jangan dibunuh
Biarkan hidup sengsara seumur hidup
Selesai membawa nyanyian itu, Randu Ampel kembali
tiup sulingnya. Seperti orang gila Embah Bromo Tunggal melompat kian kemari
mencari jalan untuk melarikan diri.
Tetap setiap dia berkelebat, pada saat itu pula Randu Ampel tahu-tahu sudah
menghadang di depannya.
"Dukun jahat dukun keparat, aku akan berikan
kesempatan kabur bagimu. Tapi tubuhmu tak akan kubiarkan hidup sempurna!"
Tiba-tiba suling menempel di bibir itu melesat dan cras!
Embah Bromo Tunggal menjerit. Kedua tangannya
menekap mata kirinya yang ditusuk sampai ke dekat
telinga. Darah luka pada pipi yang terkoyak dan kini ditambah darah dari luka
pada mata mengucur mengerikan.
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta mendongak ke langit dan menangis tersedu-sedu.
Embah Bromo Tunggal lari berputar-putar sambil tiada putus-ptusnya berteriak
kesakitan. Plak! Bret! Satu tamparan yang disertai betotan keras merobek
mulut Embah Bromo Tunggal sampai ke pipi kanan. Suara jeritannya yang tadi keras
mengerikan kini berubah menjadi sember seperti kerbau melenguh.
"Mulut yang pandai menjampai telah kurusak! Mana
tangan yang meramu obat durjana itu mana..."!"
Saat itu Embah Bromo Tunggal jatuh tersungkur di
tanah. Dia menggapai-gapai mencoba bangun. Namun satu injakan keras
menghancurkan telapak dan jari-jari tangan kanannya.
"Baru tangan kiri. Mana yang kanan.... Mana yang
kanan...!" teriak Randu Ampel keras sehingga suara jerit kesakitan Embha Bromo
Tunggal hampir tidak terdengar.
"Ampun... ampuni selembar nyawaku. Tidak... tidak!
Bunuh saja aku saat ini. Cepat...! Cepat!"
Randu Ampel tertawa mengekeh. Di sebelahnya Pudji
tiba-tiba juga ikut tertawa. "Tangannya yang satu lagi Randu! Tangannya yang
satu lagi...!" kata gadis ini.
Randu Ampel membungkuk. Tangan kirinya
mencengkeram telapak dan jari-jari tangan sebelah kiri Embah Bromo Tunggal.
Kereteeek! Tulang-tulang tangan itu hancur luluh!
"Bikin lubang di perutnya Randu! Bikin lubang di
perutnya!" teriak Pudji.
Randu Ampel tertawa panjang.
Suling di tangan kanannya ditusukkan ke perut dukun jahat dari gunung Bromo itu,
di bagian pusarnya. Darah mengucur. Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut
sang dukun bukan seperti lolongan manusia lagi, tapi lebih menyerupai lolongan
binatang! Dan belum sampai di situ.
Dengan tumit kirinya Randu Ampel injak tulang kering kaki Embah Bromo Tunggal.
Kraak! Kaki itupun patah.
Ketika Randu Ampel hendak menginjak selangkangan
orang yang telah merusak jiwa dan kehidupannya itu.
Pendekar Muka Tengkorak berseru.
"Itu akan memtaikannya Rndu! Bukankah kau tak ingin dia mampus"!"
Randu Ampel tahan gerakan kakinya.
"Terima kasih kau memberi peringatan. Tapi aku tak suka ada yang ikut campur
urusanku, kecuali sahabatku Pudji. Jadi kaupun harus mendapat hajaran!"
Selesai mengucapkan kata-kata itu Randu Ampel
langsung menyerang Pendekar Muka Tengkorak dengan
tusukan suling ke arah kening. Demikian cepat dan aneh gerakan itu hingga si
kakek tidak punya kesempatan mengelak. Kalau tidak tubuhnya cepat didorong oleh
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta, pastilah kakek ini akan mendapat celaka paling
tidak robek kulit keningnya!
"Hebat.... hebat!" terdengar si kakek buta berkata. "Aku tak ingat nama jurusnya.
Tapi itu adalah jurus kedua dari ilmu Keramat Tujuh Belas. Cuma aneh, dimainkan
secara terbalik.
Mendengar kata-kata itu Randu Ampel tahan
serangannya terhadap Pendekar Muka Tengkorak. Dia
berpaling pada si kakek.
"Orang tua buta! Apa hubunganmu dengan Goa Keramat Tujuh Belas" Apakah kau setan
penghuni goa itu...?"
Si kakek buta tertawa perlahan.
"Ditanya malah kau mentertawaiku! Tadipun kau
membantu manusia jerangkong ini! Jelas kau tidak
bersahabat terhadapku. Siapa yang berani bertindak begitu akan merasakan
hajaranku. Kalian berdua boleh maju bersama!"
"Ah, sombong amat orang gila ini!" tukas Pendekar
Muka Tengkorak dalam hati. Dia mengerling pada Gembel Cengeng. Dilihatnya kakek
buta itu memberikan isyarat dengan gerakan tangan. Maka serentak kedua maju
menyerbu. "Jangan keroyok ayahku!" teriak Mahesa. Siapa yang tidak kawatir. Dua kakek itu
memiliki kehebatan luar biasa, yang jarang ada tandingannya dlam dunia
persilatan. Dan kini mereka mengeroyok ayahnya, seorang yang dia tidak tahu
memiliki kepandaian sampai di mana, tetapi jelas memiliki otak yang tidak waras.
"Jangan berlaku curang! Dia bukan musuh kita!" Sari yang merasakan kekawatiran
Mahesa ikut berteriak.
Tapi dua kakek sakti itu seperti tidak perduli dan terus saa menghambur serangan
ke arah Randu Ampel.
Sebelumnya Pendekar Muka Tengkorak pernah berkelahi melawan Randu Ampel di
puncak Bromo. Dari pengalaman itu ditambah serangan mendadak ganas yang tadi
dilancarkan Randu Ampel sudah cukup membuat si kakek ber-
gerak dengan hati-hati. Dia tidak mau mengirimkan
serangan berupa hembusan asap rokok. Bagi orang lain hembusan asap itu bisa
membutakan mata dan melukai tubuh. Tapi bagi Randu Ampel, asap itu bisa
dipergunakan-nya untuk melancarkan serangan balik yang dua kali lebih ganas. Dan
ini sudah dirasakan Pendekar Muka Tengkorak di puncak Bromo dulu.
Mahesa memperhatikan bagaimana Gembel Cengeng
Sakti Mata Buta menyerang dengan jurus-jurus silat orang buta yang sangat lihay.
Bukan saja cepat dan tak terduga, tetapi disertai tenaga dalam sangat tinggi
hingga setiap gerakan yang dibuat mengeluarkan suara angin bersiuran dan dingin.
Pendekar Muka Tengkorak di dalam kehati-hatiannya melancarkan jurus-jurus silat
yang mematikan.
Untuk beberapa ketika kelihatan Randu Ampel seperti terkunci di bawah kecamuk
serangan. Mahesa tahu sekali jika orang lain yang dikeroyok seperti itu sudah
sejak gebrakan pertama akan roboh. Diam-diam pemuda ini
mengagumi kehebatan ayahnya itu. namun menyadari
kenyataan bahwa kehebatan sang ayah disertai pula
dengan keadaan otak yang tidak waras maka kedua mata pemuda ini jadi berkaca-
kaca. Sari yang memperhatikan ini serta merta hendak membuka mulut, tapi Mahesa
memberi isyarat agar perempuan itu diam.
Lima jurus berlalu. Kedua pengeroyok terutama si kakek buta jadi terheran-heran
karena dia dan muka tengkorak masih belum bisa merobohkan lawan. Jangankan
merobohkan, sempat memukulpun belum! Maka dengan ilmu memindahkan suara, yakni
bicara tanpa orang lain mendengar kecuali orang yang dituju, kakek buta berkata
pada Pendekar Muka Tengkorak.
"Sahabatku, puluhan tahun hidup di dunia persilatan, sampai jadi tua bangka
seperti ini belum pernah aku menemui manusia berkepandaian seperti ini!
Bagaimana pendapatmu. Maksud kita tadi hanya menguji sampai di mana
kehebatannya. Tapi salah-salah kitabisa celaka!"
Pendekar Muka Tengkorak menjawab: "Kurasa sudah
kepalang tanggung. Kita berhenti dia pasti terus mengejar.
Kita teruskan saja, tetapi hati-hatilah..."
"Aku pernah meyirap cerita tentang manusia ini. Tapi apakah dia benar bapak
moyangnya si buyungmu itu....?"
"Betul," sahut Pendekar Muka Tengkorak membenar-
kan. Lalu dia cepat-cepat menyingkir ke kiri untuk menghindarkan serangan lawan.
Tapi entah bagaimana tahu-tahu salah satu tangan Randu Ampel berkelebat menusuk
ke arah lambungnya. Pendekar Muka Tengkorak melompat ke belakang sambil memukul.
Akibatnya bentrokan lengan tak dapat dihindarkan lagi.
Duk! Tampang kakek muka tengkorak tampak berkerut.
Lengannya seperti dihantam batangan besi! Sakitnya bukan kepalang hingga dia
terpaksa menggigit bibir untuk tidak sampai mengeluh. Bentrokan lengan itu
membuat tubuhnya miring ke kiri dan hampir jatuh berlutut. Melihat lawan dalam
kuda-kuda yang sangat lemah tanpa
perlindungan, Randu Ampel susul serangannya tadi dengan satu hantaman tinju
kanan ke batok kepala si kakek muka tengkorak. Randu Ampel seperti tidak
memperhatikan lawannya yang lain yakni kakek buta. Dia hanya
memusatkan perhatian pada pukulan yang dirasakannya pasti akan memecahkan kepala
si muka Gembel Cengeng Sakti Mata Buta menghantam keras bagian bahu dekat dada
kanannya. Hantaman tangan kanan Randu Ampel melebar ke
samping dan hanya meyerempet pelipis Pendekar Muka Tengkorak. Tubuh Randu Ampel
roboh ke kanan akibat hantaman Gembel Cengeng, tetapi hebatnya, dilain kejap dia
sudah berdiri lagi sambil melancarkan serangan balasan ke arah dada si kakek
buta. Justru pada saat itu si kakek buta masih berdiri tertegun sambil usap-usap
tinju kirinya yang merah dan berdenyut sakit.
"Kek! Awas serangan pada dadamu!"
Mahesa berteriak memberi peringatan.
Cepat si kakek buta menghindar, tapi tak urung dada pakaiannya yang compang
camping masih kena tersambar serangan Randu Ampel hingga robek. Karuan saja
kakek buta ini keluarkan suara menangis. "Bajuku! Bajuku jadi tambah buruk!
Robek...!"
"Kakek buta." Kata Pendekar Muka Tengkorak. Seperti tadi dia bicara tanpa
terdengar orang lain. "kini aku terpaksa menghentikan perkelahian gila ini. Kita
tidak perlu malu. Dari pada celaka..."
"Rasanya sku harus belajar dua puluh tahun lagi..."
sahut Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. "Hanya ada satu cara untuk
mengalahkannya..."
"Maksudmu?"
"Memperalat otak gilanya!"
"Sudahlah, aku tak berminat lagi menguji ke-
pandaiannya...." Kata Pendekar Muka Tengkorak pula.
"Terserah padamu, aku tetap ingin mengujinya!" kata kakek buta pula. Lalu diapun
berkelebat dalam gerakan aneh. Sambil menyerang dari mulutnya tiada henti keluar
ucapan-ucapan yang menggangu jalan pikiran lawan.
"Randu Ampel... Randu Ampel.... Aku datang. Lihat...
lihat, aku datang. Aku istrimu. Apa kau lupa padaku Randu..."
Wajah Randu Ampel tampak berubah. Suara itu
didengarnya dari sebelah kiri. Berpaling ke jurusan itu dia tidak melihat siapa-
siapa. Lalu suara tadi muncul lagi, kini datang dari sebelah kanan. "Aku datang
membawa pakaianmu Randu. Pakaian kebesaran untuk
penobatanmu jadi Adipati. Lihat Randu bagusnya pakaian ini. Kau pasti gagah
memakainya..."
Gerakan-gerakan Randu Ampel berubah menjadi
perlahan. Pandangan matanya berputar dan kepalanya dipalingkan kian kemari. Saat
itulah satu pukulan menghantam pertengahan dadanya, tepat dan telak serta keras.
Tubuh Randu Ampel mencelat. Mahesa berseru tegang.
Kakek buta mendongak. Seprti tadi tangannya yang memukul terasa sakit. Naun kini
hatinya puas karena ternyata dia akhirnya dapat merobohkan lawan. Tapi rasa puas
si kakek hanya seketika. Karena tubuh Randu Ampel yang mental dan jatuh punggung
di tanah itu tiba-tiba kelihatan melayang ke atas, lalu menukik membentuk
setengah lingkaran. Sebelum sempat berbuat sesuatu, kakek buta merasakan leher pakaiannya
dicengkeram orang dan
tubuhnya terangkat ke atas. Secepat kilat kakek ini membalik dan melepaskan tiga
kali pukulan berantai tapi aneh!
Walau dia merasa jelas pukulannya itu mengenai tubuh lawan namun tinju-tinjunya
seperti tengelam dalam
tumpukan kapas lembut. Selagi dia terheran-heran, tubuhnya tahu-tahu
dibantingkan lawan ke bawah hingga ter-hentak di tanah. Kalau bukan orang tua
sakti ini yang mengalami itu, pasti tulang-tulangnya sudah pada ber-patahan! Si
kakek bangkit dan memandang dengan
sepasang mata butanya pada Randu Ampel. Wajahnya
menunjukkan rasa kagum. Lalu dia geleng-geleng kepala.
"Hebat... hebat! sayang otaknya tidak waras..." kata si kakek dalam hati.
Randu Ampel sendiri saat itu tampak beringas.


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang matanya tampak bertambah merah. Dia
melangkah mendekati Gembel Cengeng Sakti Mata Buta dengan sepasang tangan
terpentang. "Ayah! Hentikan perkelahian ini! Kedua orang itu tidak sungguhan melawanmu!
Mereka sahabat dan orang-orang tua yang aku hormat! Aku banyak berhutang budi
padanya! Hentikan perkelahian!"
Randu Ampel hentikan langkahnya. Sesaat dia masih
memandang pada kakek buta. Perlahan-lahan kemudian kepalanya dipalingkan pada
Mahesa. Lama dia menatap wajah pemuda itu dengan pandangan garang mula-mula.
Lalu seperti menyelidik, akhirnya pandangannya menjadi sayu. Suaranya kemudian
terdengar bergetar.
"Aku tidak kenal kau. Adalah aneh kalau kau memanggil aki ayah. Atau.... Mungkin
otakmu kurang waras. Ha... ha...
ha! Atau apakah kedua kakek yang katamu sahabatmu itu yang menyuruh kau berkata
begitu dengan kepandaian bicara tanpa suara...?"
Kakek buta dan kakek mka tengkorak terkejut saling pandang. Luar biasa dan
hampir tak dapat mereka
percaya. Bagaimana Randu Ampel tahu kalau tadi-tadi mereka telah bicara tanpa
suara" "Manusia gila ini kepandaiannya seperti menyamai
malaikat...!" ujar kakek muka tengkorak berbisik pada Gembel Cengeng Sakti Mata
Buta. Randu Ampel masih memandangi Mahesa. Dan
meneruskan ucapanya tadi. "Seingatku bukan sekali ini kita bertemu. Setiap
bertemu kau selalu memanggil aku ayah..."
"Aku memang anakmu..."
"Bagaiman mungkin! Kau pasti gila! Aku tak punya istri.
Istriku meninggal hampir dua puluh tahun yang silam..."
"Istrimu itulah yang melahirkanku. Istrimu itulah
ibuku..." "Ngacok!" hardik Randu Ampel. Meski menghardik tapi anehnya wajahnya tidak
menunjukkan perasaan marah.
"Bagaimana aku harus menerangkan..." Mahesa jadi
bingung. Mulutnya tercekat. Akhirnya dia berkata juga.
"Kalau... kalau kau tidak mengakuiku sebagai anak, tidak jadi apa. Tapi bagiku kau
tetap ayahku. Kau mau
menghentikan perkelahian bukan?"
Randu Ampel tak menjawab. Dia memandang pada
kakek buta dan kakek muka tengkorak. Kedua tinjunya di-kepalkan. Dua kakek itu
terpaksa berjaga-jaga. Siap menunggu segala kemungkinan. Mahesa berpaling pada
Pudji dan mengharap perempuan muda itu mau berbuat sesuatu. Kelihatannya hanya
padanya sang ayah mau
menurut. Pudji yang juga berotak miring ternyata masih mampu menangkap arti pandangan
Mahesa. Maka diapun berkata:
"Randu, aku tak suka lama-lama di tempat ini. Kita pergi saja sekarang. Apalagi...
bukankah kau sudah menemui musuh besarmu si dukun jahat itu" dan dia sudha
menerima hukumannya?"
Randu Ampel alihkan pandangan pada Pudji. Lalu dia mengangguk. "Memang kita
harus pergi." Katanya. Dia cabut suling yang diselipkan di pinggang, sambil
memutar tubuh dia mulai meniup suling itu. lalu sambil berjalan setengah berlari
terdengar dia menyanyi.
Istriku tidurlah dengan tenteram
Istriku tidurlah dengn tenang
Manusia jahat itu telah kutemui
Manusia jahat itu sudah mendapat hukumannya
Tidurlah tenang Hanya aku ingin bertanya
Apakah dapat kau menjawab dan bercerita
Betulkah kau pernah melahirkan seorang putra"
Betulkah... betulkah...."
Randu ampel dan Pudji lenyap di kejauhan. Mahesa
bergerak hendak mengejar. Sari siap mengikuti. Tapi Gembel Cengeng Sakti Mata
Buta cepat memegang bahu pemuda itu.
"Jangan kau kejar dia. Saat ini tak ada gunanya, anak muda. Sulit
baginyamenerima kenyataan dengan otak tidak waras seperti itu. kenyataan bahwa
kau adalah anaknya.
Jika kau memaksa, bisa jadi da akan membunuhmu..."
habis berkata begitu si buta ini menangis sesunggukan.
Mahesa pun ikut hanyut. Air mata mengalir ke pipinya. Sari tertunduk haru sedang
Pendekar Muka Tengkorak
memandang ke rah kejauhan. Sesaat suasana di tempat itu menjadi sunyi, hanya
suara erangan Embah Bromo Tunggal yang mengeletak di tanah yang terdengar.
"Aku harus pergi sekarang." kata kakek muka
tengkorak. "Kek, apakah kita masih bertemu...?" tanya Mahesa.
"Heh... apakah kau kira aku akan segera mati" Buyung selama bumi masih berputar,
selama tubuh bobrok ini masih bernafas kita pasti akan bertemu lagi..." habis
berkata begitu kakek ini tepuk-tepuk bahu Mahesa, menjura pada Gembel Cengeng
lalu berkelebat pergi.
"Akupun harus pergi..." kakek buta berkata dengan
wajah sedih. "Namun ada beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu..."
Ucapan kakek buta terputus oleh seruan Sari. "Hai!
Lihat! Dukun jahat itu hendak melarikan diri!"
Kakek buta mendongak ke langit. Mahesa cepat ber-
paling. Memang saat itu merasa dirinya bebas, Embah Bromo Tunggal cepat berdiri.
Namun dengan satu kaki patah begitu, dia cuma mampu berjalan tiga langkah lalu
roboh terjengkang di tanah tak berkutik selain hanya bisa mengerang.
"Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu
anak mua." Mengulang kakek buta. Dipegangnya bahu
Mahesa lalu dibawanya cukup jauh dari Sari. Hal ini memang disengaja kakek buta
karena ada sebagian pembicaraan yang dia tak ingin perempuan itu mendengarnya.
"Pertama ini." Kata Gembel Cengeng seraya mengeluarkan dua buah benda dari balik
pakaian rombengnya.
Ketika Mahesa memperhatikan ternyata benda itu adalah dua batang rokok daun
jagung. Rokok kemenyan. Gembel Cengeng serahkan sebatang rokok pada Mahesa.
"Nyalakan rokokmu, lalu nyalakan rokokku. Mari kita sama-sama merokok dulu..."
Mahesa menuruti apa yang dikatakan si kakek meski
dia tidak mengerti apa sebenarnya tujuan orang tua itu.
Dua batang rokok yang dihisap itu menebar bau menyan yang santar sekali.
"Seperti bau rumah orang yang kematian. Angker seperti di kuburan..." kata Mahesa.
"Tepet!" Gembel Cengeng menjawab. "Rokok kawung
tidak pantas untukmu. Rokok menyan ini lebih tepat. Ingat, kau lahir di
perkuburan bukan..."
"Memang benar, kek."
"Kau seorang pemuda. Seorang pendekar. Karenanya
kau layak mendapat julukan Pendekar Dari Liang Kubur.
Aku mau, jika kau muncul di suatu tempat dan orang mencium bau rokok kemenyanmu,
maka mereka segera tahu bahwa Pendekar Dari Liang Kubur ada di tempat itu..."
Mahesa hampir tertawa gelak-gelak.
"Kau ini ada-ada saja kek. Aku tidak menginginkan gelar atau julukan yang hebat.
Apalagi julukan aneh seperti itu..."
"Kau lupa anak muda. Dunia ini memang penuh
keanehan. Banyak manusia yang dilahirkan secara aneh.
Dan berapa saja mereka yang mati dalam keanehan.
Karenanya tidak aneh kalau kau memakai julukan aneh itu.... Eh, menurutmu
bagaimana rasa rokok itu. Enak...?"
"Boleh juga. Lebih mantap dari rokok kawung memang.
Tapi baunya seperti hendak membuatku mabuk!"
"Nantipun kau akan terbiasa. Nah sekarang hal kedua.
Hal terakhir yang ingin ketanyakan padamu.... Sudah lama kau berhubungan dengan
perempuan itu...?"
Mahesa terkejut. "Perempuan mana maksudmu kek...?"
"Anak tolol. Apa ada perempuan lain di tempat ini?"
Sadar kalau yang dimaksudkan si kakek adalah Sari
maka Mahesa menjawab. "Belum berapa lama kek. Baru beberapa bulan saja. Jangan
kau salah sangka. Aku tak ada hubungan yang tidakbaik dengannya..."
Si kakek menyeringai. "Saat ini memang mungkin tidak.
Tapi jika seiring berjalan ke mana pergi, lama-lama bisa kejadian. Tapi itu
urusan kalianlah. Aku tua bangka begini tidak mau ikut campur urusan orang-orang
muda. Asal saja kau dapat menjaga diri, anak muda. Hidungku membaui sesuatu yang
harum. Berasal dari tubuh perempuan itu. Ini mengingatkan aku pada seorang
perempuan cantk yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Cantik tapi buas.
Bukankah temanmu itu perempuan yang berjuluk Ratu
Mesum...?"
"Kau... kau benar kek. Tapi dia tidak seperti dulu lagi.
Kurasa dia sudah tobat dan mau menempuh hidup baikbaik..."
"Aku tak tahu hal itu anak muda. Perjalanan hidup
masih panjang. Kau harus membuktikan sendiri. Hanya aku menaruh firasat, bukan
mustahil dia akan mendatangkan bencana bagi dirimu..."
Mahesa terdiam. "Kalau begitu apa yang harus ku-
lakukan...?"
"Perempuan itu menyukaimu anak muda. Mungkin dia
mencintaimu. Sebaliknya aku tak tahu apa kau juga men-cintainya..." Sesaat wajah
Mahesa menjadi merah. Kakek buta meneruskan kata-katanya: "Kau harus hati-hati
Mahesa. Ingat, banyak orang yang jadi korban karena kebaikan hatinya sendiri....
Kuharap kau jangan jadi orang tolol seperti itu!"
"Nasihatmu akan kuperhatikan kek..."
Si kakek tersenyum. Tapi tiba-tiba saja senyumnya
lenyap dan wajahnya berubah sedih. Sesaat kemudian diapun mulai menangis.
"Aku harus pergi anak muda. Perhatikan kawanmu yang cantik itu. Yang lebih
penting jaga dirimu baik-baik..."
"Kek..." Mahesa ingin minta petunjuk mengenai
hubungannya lebih lanjut dengan gurunya Kunti Kendil.
Tetapi astaga, barusan bicara si kakek buta sudah lenyap!
"Apa yang kalian bicarakan kasak kusuk...?" tanya Sari sambil melangkah mendekati
Mahesa. "Dia memberikan banyak nasihat padaku. Meminta aku agar cepat mengembalikan
kitab silat milik tujuh orang kata itu." Jawab Mahesa berdusta.
"Hemm, begitu..?" ujar Sari, "Kalau begitu apa lagi yang kita tunggu di sini..."
"Ya, sebaiknya kita pergi. Tapi aku ingin kembali dulu ke lereng gunung Merapi.
Ledakan dahsyat tadi tentu banyak makan yang celaka..." Mahesa keluarkan kerudung
kain merahnya dan segera mengenakannya. Sari melakukan hal yang sama. Baru saja
keduanya hendak bergerak pergi tiba-tiba terdengar panggilan Embah Bromo Tunggal
merintih-rintih.
"Anak muda, jangan tinggalkan diriku di sini. Tolong...
bawa aku ke mana kalian pergi. Ke desa atau kampong ter-dekat..."
"Anak setan! Kau pantas mampus busuk di tempat ini!
Biar mayatmu hancur digerogoti binatang hutan!"
"Tolong. Kasihani diriku sekali ini saja. Dudukkan aku di bawah pohon sana.
Hanya itu pintaku. Apakah kalian begitu tega....?"
Mahesa melangkah pergi. Tapi Sari berpaling sebentar pada Embha Bromo Tunggal.
"Mahesa, kalau cuma minta tolong brgitu aku tak keberatan melakukannya..."
Ketika Sari hendak menolong dukun jahat itu, selintas pikiran muncul dibenak
Mahesa. Dukun itu bukan saja jahat tetapi juga sangat licik. Karenanya cepat-
cepat dia melangkah mendekati seraya berkata: "Biar aku yang menyeretnya ke
dekat pohon itu!"
Mahesa lalu tarik salah satu kaki Embah Bromo Tunggal dan mencampakkan tubuh
dukun itu di bawah pohon.
"Terima kasih. Sekali lagi kumintakan kebaikan hatimu.
Sandarkan punggungku ke batang pohon. Kalau aku hidup kelak au tak akan
melupakan kebaikanmu..."
"Anak setan!" maki Mahesa. "Pintamu banyak amat!"
Namun dia membungkuk juga untuk mengangkat tubuh
Embah Bromo Tunggal walaupun dengan gerakan kasar.
Saat itulah secara tidak terduga, tangan kanan sang dukun menyelinap cepat ke
balik pakaian Mahesa. Dilain kejap dia telah berhasil menarik lepas Keris Naga
Biru keluar dari sarungnya! Berarti ada darah yang tertumpah. Ada nyawa yang
harus melayang!
*** 10 AKHIRNYA MATI JUGA
REJEKI BESAR TAK TERDUGA
nak setan!" maki Mahesa marah sekali karena
kebaikannya dibalas dengan pengkhianatan licik dan A keji. Lutut kirinya
diangkat menahan ayunan tangan Embah Bromo Tunggal yang menikam. Begitu serangan
lain orang tertahanMahesa hantamkan tepi telapak tangan kirinya ke bawah.
Kraak! Embah Bromo Tunggal menjerit. Tangannya di atas siku hancur dagingnya dan remuk
tulangnya. Keris Naga Biru terpental lepas. Mahesa cepat menangkapnya dengan
tangan kiri. Begitu hulu keris berada dalam genggamannya, senjata mustika yang
mengandung racun ganas ini
langsung dihunjamkannya ke leher Embah Bromo Tunggal.
Dari tenggorokan dukun jahat itu terdengar suara
seperti ayam disembelih. Mayanya yang masih utuh membeliak, mulutnya yang robek
terbuka lebar. Lidahnya terjulur. Tubuhnya kemudian tergelimpang roboh di akar
pohon! Bengkak membiru akibat racun ganas Keris Naga Biru.
"Diberi madu minta racun!" desis Mahesa. "Diberi susu membalas dengan tuba!
Mampuslah!"
"Itu memang pantas baginya." Sari menimpali. "bagaimana sekarang?" tanya
perempuan itu kemudian.
"Aku akan kembali ke gunung Merapi..." sahut Mahesa.
"Heh...?"
"Aku akan menyelidiki ledakan dahsyat tadi." Lalu
tanpa banyak berkata apa-apa lagi Mahesa tinggalkan tempat itu, berlari kencang
menuju lereng gunung Merapi.
Sari mengikuti dari belakang. Karena ingin sampai lebih cepat Mahesa sengaja
menempuh jalan memintas. Tak
selang berapa lama ketika dia sampai dibekas dilangsung-kannya upacara peresmian
Partai Merapi Perkasa itu, yang ditemuinya hanya sebuah lubang luar biasa
besarnya di lereng gunung. Pohon-pohon dan batu-batu besar serta bekas panggung
yang terbakar dan bekas tempeat duduk lenyap oleh timbunan tanah gunung. Mahesa
memandang berkeliling. Tak seorangpun yang terlihat. Tak tampak sesosok tubuh
hidup atau mati di tempat ini sebelum ledakan terjadi" Atau mereka semua telah
mati tertimbun reruntuhan tanah" Pemuda ini coba menggali setumpuk timbunan
tanah yang mencurigainya. Tapi tidak ditemuinya apa-apa.
"Mungkin mereka semua sudah pergi sebelum ledakan
Mahesa..." kata Sari yang mengetahui apa arti perbuatan pemuda itu. Cuma dia tidak
tahu siapa yang sebenarnya dikawatirkan pemuda itu. Gurunya atau orang lain..."
"Mungkin Sari... mungkin..." menyahuti Mahesa degnan
suara agak tersendat.
"Kita pergi sekarang...?"
Pemuda itu diam sesaat. Akhirnya mengangguk.
Ketika menuruni lereng gunung Merapi mereka sengaja menempuh jalan lain. Yakni
jalan yang sebelumnya dilalui orang-orang yang sengejar Lembu Surah. Sekitar
beberapa ratus langkah berlari Mahesa berhenti dan memberi isyarat pada Sari,
seraya berbisik.
"Aku mendengar suara orang menangis..."
"Aku juga. Suara perempuan..." ujar Sari.
Mengendap-endap dibalik belukar keduanya melangkah kejurusan datangnya suara
orang menangis itu. Sesaat kemudian Sari mencekal lengan Mahesa dan menunjuk ke
depan. Dari balik semak belukar mereka melihat seorang nenek berambut putih
oanjang awut-awutan duduk
menjelepok di tanah sambil menangis dan memangku
sesosok tubuh yang berlumuran darah, diam tak bergerak entah pingsan entah mati.
"Bukankah... bukankah itu gurunu....?"
Mahesa cepat memberi isyarat agar Sari tidak
mengeluarkan suara ataupun bergerak karena kawatir akan didengar orang.


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nenek yang duduk menangis itu memang adalah guru-
nya, Kunti Kendil. Manusia yang paling dihormatinya, tetapi yang telah
membuatnya sangat kecewa seumur hidup.
Kunti Kendil menangis sambil memangku sosok Lembu
Surah yang berada dalam keadaan mengerikan. Kedua
tangannya kini tampak buntung. Darah membasahi bajunya. Lalu di sebelah bawah,
celananyapun basah oleh darah. Maseha tak dapat memastikan apa yang telah
terjadi. "Sesuatu terjadi sewaktu kita pergi tadi..." bisik Sari.
"Diamlah, aku tidak ingin nenek itu mengetahui
kehadiran kita di sini!" balas bisik Mahesa.namun dia setuju dengan ucapan Sari.
Rupanya setelah mereka pergi terjadi perkelahian di lereng Merapi sebelah sana
para tokoh pasti mengeroyok kedua orang itu. Lalu karena hanya Lembu Surah yang
celaka" Sedang Kunti Kendil tampaknya tak kurang suatu apa.
"Surah.... Surah! Kau dengarlah Surah!" terdengar
ratapan Kunti Kendil diantara tangisannya. "Kau tak boleh mati.... Kau tak boleh
mati! Kau harus menyaksikan pem-balasanku! Aku bersumpah Surah!"
Seperti dituturkan sebelumnya, setelah Lembu Surah roboh luka parah, tubuh Kunti
Kendil yang berada dalam keadaan tertotok ikut tergelimpang jatuh ke tanah.
Setelah beberapa lama kemudian totokan yang membuat tubuhnya kaku terlepas
dengan sendirinya. Cepat nenek ini lepaskan totokan yang menutup jalan suaranya
lalu memeluki tubuh Lembu Surah. Tubuh itu kemudian dipangku dan ditangisi.
"Surah.... Surah suamiku.... Kau tak boleh mati. Kau tak boleh mati...!" ratap Kunti
Kendil kembali. Lalu tangan kirinya bergerak kemuka, menarik lepas sehelai kulit
tipis yang menutupi wajahnya yang keriput. Dan dibalik wajah buruk itu kini
tampak sebuah wajah perempuan muda yang cantik sekali. Mahesa sama sekali tidak
terkejut melihat hal ini karena sebelumnya dia telah menyaksikan kejadian yang
sama di puncak pegunungan Iyang. Lain halnya
dengan Sari. Perempuan ini sempat mengeluarkan seruan tertahan saking kagetnya.
Celakanya seruan itu terdengar oleh Kunti Kendil. Sepasang mata "si nenek"
berwajah cantik membeliak besar. Wajahnya membersit sinar
garang. Dia memandang kejurusan semak belukar di
depannya dan membentak.
"Bangsat! Siapa yang bersembunyi di sana"! Lekas
keluar!" Mahesa dan Sari tidak bergerak.
"Anak setan! Kurang ajar!" Kunti Kendil memaki. Tubuh Lembu Surah diturunkannya
dari pangkuan dan
dibaringkan di tanah. Perlahan-lahan dia berdiri. Tangan kanannya diangkat lalu
dihantamkan ke depan. Sinar merah berkiblat. Pukulan Api Geledek merambas semak
belukar, membuatnya hancur berantakan dan beterbangan ke udara dalam keadaan
hangus. Namun tak ada seorangpun dilihat Kunti Kendil dibalik semak belukar yang
hancur itu. Pada saat sang guru mengangkat tubuh Lembu Surah dari pangkuannya.
Mahesa yang melihat gelagat tidak baik cepat menarik lengan Sari dan tinggalkan
tempat per-sembunyian mereka hingga keduanya terhindar dari
pukulan maut tadi.
Penasaran Kunti Kendil melangkah menuju semak
belukar itu. Namun langkahnya tertahan ketika dibelakang-nya terdengar Lembu
Surah merintih.
"Kunti... di mana kau. Jangan tinggalkan aku.... Mungkin sebentar lagi aku akan
mati. Kunti..."
Kunti Kendil hentakkan kaki kanannya ke tanah hingga tanah berlubang dalam.
"Tidak Surah! Kau tidak akan mati! Kau tidak boleh mati sebelum melihat
pembalasan yang akan aku lakukan...!"
"Bawa aku ke tempat yang sejuk Kunti.... Aku ingin mati dengan tenang..."
Kunti Kendil kucurkan air mata. "Surah, kau tidak akan mati. Aku akan bawa kau
ke puncak Iyang. Jika ajal memang akan sampai, kita mati bersama di sana..."
perempuan itu lalu mengangkat tubuh Lembu Surah
setelah terlebih dulu melakukan beberapa kali totokan di tempat-tempat tertentu.
Sesaat sebelum pergi dia masih memandang kejurusan semak belukar dengan wajah
penasaran. Namun akhirnya dia pergi juga dari tempat itu.
Sari tarik nafas lega.
"Dia sudah pergi. Bagaimana dengan kita....?"
"Kitapun harus pergi." Jawab Mahesa.
Keduanya keluar dari balik pohon besar tempat mereka bersembunyi ketika Kunti
Kendil lepaskan pukulan sakti-nya tadi. Tetapi baru saja melangkah mendadak
terdengar suara berisik campur aduk. Ada suara seperti orang bersiul, ada
seperti suara tawa cekikikan. Ketika suara itu sirna tiba-tiba terndengar suara
nyanyian. Sepasang anak manusia berkerudung merah
Seperti malu menyembunyikan muka pada dunia
Yang satu pemuda gagah
Satu lagi perempuan jelita
Di tengah rimba belantara
Di lereng gunung bencana
Perjalanan nasib membawa kaki ke sini
Peruntungan masa depan di tangan Illahi
Hik... hik... hik... hik... hik...
Mahesa segera mengenali suara ramai yang bernyanyi itu. Dia mendongak ke arah
pohon besar sebelah kiri dari mana datangnya suara nyanyian tadi. Tapi anehnya
dia tidak melihat apa-apa di sana.
"Aku seperti mengenali suara itu.... Aku pernah men-
dengarnya sebelumnya..." kata Sari. Diapun memandang ke atas mencari-cari.
Sesaat kemudian kembali terdengar suara orang suara anak-anak menyanti.
Dulu cantik Sekarang tetap cantik
Dulu ganas dan keras
Sekarang lembut menawan
Jatuh cinta memang bisa merubah manusia
Hik... hik... hik...
Wajah Sari di balik kerudung menjadi merah. Entah
mengapa dia merasa nyanyian tadi merupakan sindiran yang ditujukan padanya. Dia
cepat membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu. Tapi Mahesa cepat mendahului.
"Kawan-kawan, aku tahu kalian dtang untuk menjemput kitab itu. Keluarlah. Kitab
itu segera akan keserahkan pada kalian....!"
Tujuh benda seperti bola bergulung keluar dari tujuh penjuru, lala tegak berdiri
di hadapan Mahesa dan Sari, berjajar rapi membentuk barisan warna warni.
Ketujuhnya memperlihatkan tingkah lucu. Ada yang mengedip-ngedipkan matanya pada
Sari, ada yang menekap hidung.
Lalu ada pula yang menark-narik kedua pipinya. Yang di ujung kiri sengaja
menjuling-julingkan mata. Kawan di sebelahnya menjulurkan lidah. Lalu yang satu
lagi di ujung kanan menggoyang-goyangkan pinggul seperti menari.
"Tujuh manusia katai! Hai! Kalian pasti yang tempo hari menggangguku di bangunan
gudang tua itu...!" Sari
berseru. Hatinya jengkel tapi diam-diam di balik kerudung wajahnya tersenyum.
"Kalian datang hendak memper-mainkanku lagi?"
"Hik... hik... hik!" si katai baju putih tertawa. "Dulu lain sekarang lain. Dulu
kami tidak suka padamu, tapi sekarang suka...."
"Aku tidak butuh rasa sukamu!" jawab Sari.
"Tentu saja!" menyahuti si katai baju merah. "Mana ada rasa suka terhadap kami
dihatimu. Tapi bagaimana kalau yang suka itu pemuda sahabat kami itu....?"
Tujuh orang katai itu kemudian tertawa riuh rendah. Ada yang bertepuk-tepuk.
Sari melangkah maju. Tujuh orang katai memencar
menyebar. Si baju biru berkata: 'Kawan-kawan, dia hendak mengajak kita menari."
"Wah! Bagus sekali kalau begitu!" menyahuti si baju kuning.
Orang katai berbaju putih menimpali. "Aku ingin sekali memegang tangannya yang
halus..." Kembali tempat itu ramai oleh gelak tawa mereka.
"Tubuhnya masih harum seperti dulu...!" orang katai
berbaju hitam menyeletuk sambil mendongak ke atas dan mencium-cium.
"Kalian nakal semua! Akan kujewer satu persatu!"
mengancam Sari.
Ketujuh orang katai itu serentak maju ke muka dan
mengangsurkan telinga masing-masing. Seperti ingin berebut agar dijewer duluan.
Hal ini membuat Sari tidak tahu harus melakukan apa.
Mahesa tersenyum-senyum.
"Kawan-kawan, aku gembira bertemu lagi dengan kalian semua. Amanat kalian telah
kujalankan. Kitab silat itu ada padaku. Sebenarnya aku memang berniat mencari
kalian. Bagusnya kalian tahu-tahu sudah datang kemari hingga aku tak usah susah payah...."
Si hijau menjawab. "Bukankah kami berjanji untuk
datang mengambilnya...?"
"Ya... ya aku ingat." Mahesa lalu mengeluarkan kitab Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang
Katai yang berhasil diambilnya dari tangan Embah Bromo Tunggal. Buku itu
diserahkan pada si katai baju merah.
Tapi si baju merah ini bukan menerima malah me-
mandang pada kawan-kawannya lalu tertawa gelak-gelak.
"Hai! Kenapa kalian tertawa?" tanya Mahesa tak
mengerti. "Buku itu milikmu!" kata si merah.
Mahesa terkejut heran. "Sahabat. Buku ini jelas milik kalian. Bukankah kalian
dulu mengatakan buku ini lenyap dan meminta aku mencarinya. Sekarang setelah
bertemu dan hendak kuserahkan kalian mengatakan buku ini
milikku. Bagaimana ini...?"
"Betul. Buku itu milikmu. Karena kami memberikannya untukmu!" kata si katai baju
merah. "Jangan bergurau! Aku tak berani menerimanya!" kata Mahesa.
Si katai baju hitam maju mendekati Mahesa.
"Dunia persilatan penuh tantangan. Rimba persilatan penuh bahaya. Berilmu
kepalang tanggung bisa celaka.
Memiliki kepandaian setengah-setengah membawa
sengsara...."
"Sahabat, aku tak mengerti maksdu kata-katamu."
Mahesa memotong.
"Tentu saja, karena ucapannya belum selesai!"
menyeletuk si katai baju uning.
"Tentu saja, karena ucapannya belum selesai!"
menyeletuk si katai baju kuning.
Si hitam lantas meneruskan. "Kami tahu silang
sengketamu dengan gurumu. Bukankah kau talah me-
mutuskan untuk tidak mempergunakan lagi semua ilmu silat dan pukulan sakti yang
pernah kau pelajari dari Kunti Kendil...?"
"Heh! Bagaiman kalian bisa tahu hal ini..."!" balik
bertanya Mahesa.
"Mudah saja..." si merah yang menjawab. "Dalam setiap pertempuran kami tak pernah
melihat kau mengeluarkan jurus-jurus silat yang diajarkan Kunti Kendil. Juga kau
tak pernah melepaskan pukulan sakti seperti api geledek dan sebaginya...."
"Mahesa!" ikut bicara Sari. "Kalau begitu selama ini mereka mengikuti perjalanan
kita. "Betul." Sahut si baju biru. "Kami orang-orang tolol yang tak pernah ke mana-
mana. Tapi ingin jalan-jalan. Dari pada kesasar bukankah lebih baik mengintip
kalian.....?"
"Tapi jangan kawatir. Kami tak pernah mengintip apa-apa yang kalian perbuat..."
yang bicara si katai baju putih.
"Memangnya kami berbuat apa?" kata Sari. Saking
marahnya dia buka kerudungnya.
"Waaaaah!" tujuh orang katai itu sama-sama berseru dan geleng-geleng kepala.
"Cantik sekali... cantik sekali!"
Sari cepat kenakan kerudung merahnya kembali.
Tujuh orang katai tertawa gelak-gelak. Lalu si merah berkata. "Kami memang tidak
ingin mengintip-intip kalian.
Lagi pula bukankah kalian tak pernah bermesraan..."
"Mulutmu usil amat!" pekik Sari.
"Paling-paling cuma pegang-pegangan tangan!" me-
nimpali si katai baju biru. Dan kembali ketujuh manusia katai itu tertawa gelak-
gelak. "Kami gembira karena sekarang punya tambahan satu
teman." Berkata si katai baju hitam. "Sesama teman bukankah boleh bergurau..."
"Tapi kalian nakal dan usil!" sahut Sari.
"Dunia memerlukan orang-orang nakal dan jelek seperti kami..." jawab si kuning.
"Tidak... tidak .... Kalian tidak jelek. Kalian hanya suka mengganggu. Kalian gagah
semua..." kata Sari pula.
Tujuh orang katai itu gembira sekali dan berjingkrak-jingkrak. Lalu si hijau
berkata. "Kami bergembira buku silat itu sudah ditemukan. Dan lebih gembira lagi
karena kau sudi menerimanya...."
"Sudah kubilang, aku tak berani menerimanya. Ini bukan buku silat sembarangan...."
"Justru karena bukan sembarangan maka kami mem-
beri padamu. Kalau cuma ilmu silat picisan buat apa....?"
kata si merah. Mahesa garuk-garuk kepalanya.
"Bagus! Menggaruk berarti mau menerima!" kata si
merah. "Kami tak ingin mengganggu kalian berdua lebih lama. Kami minta diri
sekarang...."
"Kalian mau ke mana?" tanya Mahesa.
"Ah... orang-orang seperti kami ini pergi ke mana-mana sipembawa kaki." sahut si
hijua. "Buku ini.... Aku tak tahu harus bagaimana
mengucapkan terima kasih..." kata Mahesa. "ini benar-benar tidak terduga."
"Dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak terduga!"
kata si katai baju merah. Lalu dia memberi isyarat pada kawan-kawannya. Ketujuh
manusia katai itu lari
mengelilingi Mahesa dan Sari lalu cepat sekali mereka melesat ke dalam rimba
belantara dan lenyap. Hanya suara tawa cekikikan mereka yang masih kedengaran di
kejauhan. Sesaat kemudian suara itupun ikut sirna.
Mahesa masukkan kitab silat langka itu ke balik
pakaiannya. Lalu memegang langan Sari dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Entah bagaimana tahu-tahu ketujuh orang katai yang tadi lenyap itu tahu-tahu
kini berkelebat muncul dan mengelilingi mereka kembali.
Ketujuhnya bernyanyi-nyanyi.
Lihat mereka berpegangan tangan
Lihat mereka berpegangan tangan
Asyikkkkkk......
Berikan ini untuk kami
Berikan ini untuk kami
Baik Mahesa maupun Sari merasakan kerudung kain
merah yang menutup kepala dan wajah mereka tahu-tahu ditarik lepas. Sesaat
setelah kerudung itu lepas, tujuh orang katai itupun lenyap seperti ditelan
bumi. "Anak setan...!" maki Mahesa. Tapi mulutnya tersenyum.
Sari hanya bisa geleng-geleng kepala.
TAMAT Serial Berikutnya : Ranjang Setan
Kelana Buana 23 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Penyebar Maut 24
^