Pencarian

Rahasia Si Bungkuk Berjubah 2

Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih Bagian 2


sini. Kalau undanganku untuk bergabung tidak dapat kalian penuhi, apakah juga
menampik untuk ikut makan minum bersama kami"!"
"Makan dan minum"! Hai kami memang haus dan
lapar!" sahut Randu Ampel. "Di meja sebelah mana kami boleh duduk"!"
Ketua menunjuk ke meja besar di sebelah belakang
panggung. "Silahkan mengambil tempat duduk di sana!"
"Kami tak ingin duduk jauh di belakang sana... Kami
mau duduk di sebelah depan saja!" kata Randu Ampel.
Lalu dia pegang lengan Pudji. Sesaat kemudian keduanya melayang terjun ke bawah.
Tubuh mereka berputar bergulung-gulung, aneh luar biasa. Tetapi begitu sampai di
panggung sepasang keki mereka dengan enteng menjejak panggung lebih dahulu.
"Manusia-manusia aneh berpandaian tinggi luar biasa!"
kata Ki Sandakan di antara decak orang yang menyaksikan kejadian itu dengan
penuh kagum. Malaikat Maut Berkuda Putih sendiri tampak terheran-heran. Jika
tidak mendapat tambahan ilmu secara mendesak, tidak mungkin murid perempuannya
itu sanggup melompat dan jungkil balik berputar seperti itu.
Lembu Surah menggamit lengan Kunti Kendil lalu berbisik: "Aku tidak suka melihat
suasana ini. Sebaiknya kita pergi saja dari sini Kunti!"
"Eh, jangan ngacok Lembu. Apa yang ingin kuketahui belum kudapat. Mana mungkin
kita pergi begitu saja!"
Mendengar jawaban istrinya itu Lembu Surah jadi
terdiam meskipun hatinya jengkel sekali. Yang
dikawatirkannya ialah jika sekian banyak musuh-musuhnya yana ada di situ sempat
mengenali siapa dirinya maka bukan saja dia tapi Kunti Kendil pun bisa celaka!
Sementara itu Randu Ampel dan Pudji melangkah
menuju meja panjang sebelah depan di mana terdapat berbagai macam makanan yang
lezat-lezat serta puluhan kendi berisi tuak serta minuman lainnya.
"Orang gagah, kau dan kawanmu harap suka duduk di meja sebelah sana..." Ketua
Partai Merapi Perkasa berkata sambil mendatangi. Tapi baik Randu Ampel maupun
Pudji tidak perdulikan. Keduanya melangkah mengelilingi meja panjang itu.
Kemudian dengan seenaknya Randu Ampel mencicipi beberapa jenis makanan,
mengeragot paha
kambing dengan lahap. Terakhir sekali meneguk dua kendi tuak sementara Pudji
hanya tegak di sebelahnya memperhatikan.
Ketua partai tampak gelisah. "Celaka... celaka. Sebentar lagi mampuslah orang gila
ini. Terbuka rahasiaku!"
Selagi sang Ketua menunggu dengan hati cemas. Randu Ampel usap-usap perutnya
yang gembul lalu meneguk
habis lagi sekendi tuak. "Sedap... sedap sekali..." katanya seraya usap-usap kembali
perutnya. Tiba-tiba dengan satu gerakan cepat luar biasa orang ini menangkap
leher salah satu dari dua orang manusia raksasa yang masih hidup dan menariknya
ke meja makan. Dia membetot sepotong paha kambing panggang lalu menyodorkannya
pada orang itu. "Makan!" bentak Randu Ampel.
Lalu kendi berisi tuak di tangan kiri menyusul
disodorkan. "Minum!" hardiknya.
Manusia raksasa itu tampak marah dan ulurkan tangan kanannya untuk mencekik
Randu Ampel. Tetapi lelaki gila ini lebih cepat. Paha kambing itu dimasukkannya
secara paksa ke dalam mulut si raksasa hingga megap-megap dan tak mau menelan
sebagian minyak daging. Sesaat
kemudian Randu Ampel cabut paha kambing, sebagai
gantinya dia guyurkan tuak dalam kendi ke mulut si raksasa. Manusia tinggi besar
ini berusaha berontak berusaha memukul dan menendang, namun aneh dia merasakan
sekujur tubuhnya lemas. Cekikan pada lehernya membuat dia terpaksa meneguk tuak
yang diguyurkan. Randu Ampel kemudian hempaskan orang itu ke lantai panggung,
lalu habiskan sisa tuak dalam kendi.
Si tinggi besar tampak berusaha bangun. Aneh dari
mulutnya terdengar suara mengerang. Mukanya yang
hitam tampak lebam merah kebiruan. Tiba-tiba dia
membuka mulutnya lebar-lebar.
"Huah!"
Darah kental berbuku-buku menghanbur dari mulutnya.
Detik itu pula tubuhnya roboh di lantai dan diam tak berkutik lagi.
"Dia mampus!" seru Randu Ampel seraya memandang
berkeliling dengan sepasang mata merah membeliak.
"Mampus karena racun jahat yang ditaruh dalam makanan an minuman itu!"
Maka gemparlah semua orang yang ada di tempat itu. Di samping gempar puluhan
tokoh silat juga menjadi marah.
Terutama mereka yang tidak mau bergabung dan diundang untuk makan minum di meja
itu! "Kalau begitu sang Ketua hendak meracun kita!" se-
orang tokoh berteriak marah.
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta terdengar menangis.
"Bangsat penipu!" seorang tokoh lainnya mendamprat lalu melompat ke panggung.
Yang lain-lain ikut naik ke atas panggung hingga panggung besar itu penuh ssak
dan sang Ketua terkurung di tengah-tengah.
"Dusta!" teriak lelaki bungkuk berjubah putih. "Jika daging dan tuak itu
beracun, mengapa dia sendiri tidak mati"!"
Randu Ampel menyeringai. "Karena aku kebal terhadap segala macam racun! Sang
Ketua! Sekarang kau harus menyantap hidangan dan minuman yang ada di meja ini!"
"Manusia gia! Kedatanganmu hanya mengacau saja!
Teriak sang Ketua marah.
Randu Ampel tertawa aneh. Dia cabut suling yang tadi diselipkan di pinggang lalu
menunding ke arah sang Ketua.
"Aku ke mari bukan untuk mengacau. Tapi hendak mengambil nyawa anjingmu!"
"Manusia sinting gila! Kalau kau dan kawan
perempuanmu itu tidak lekas angkat kaki dari sini kalian berdua akan mampus
dengan tubuh hancur lumat!"
Randu ampel kembali tertawa. "Sahabat." Katanya pada Pudji. 'Lekas kau katakan
pada orang banyak di sini apa yang kau ketahui!"
"Para tamu semua! Dengarkan baik-baik keteranganku ini!"
Ucapan Pudji itu mendadak dipotong oleh Ketua partai yang merasa tidak enak.
"Jangan dengarkan keterangan orang gila yang bisa menyesatkan!"
"Aku dan sahabatku memang gila!" tukas Randu Ampel.
Pandangan matanya menyorot ganas. "Tapi apa yang bakal diterangkan sahabatku
bukan sesuatu yang menyesat.
Lekas ceritakan!"
"Pertama!" ujar Pudji pula. "Kalian semua sudah menyaksikan bagaimana makanan
dan minuman yang ter-
sedia di meja sana mengandung racun. Karena manusia berjubah itu memang berniat
jahat. Yaitu hendak membunuh para tokoh yang tidak mau bergabung dalam partai-
nya...!" "Dusta besar! Kurobek mulutmu!" teriak sang Ketua
marah. Tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya melesat ke depan, ke arah kepala
Pudji. Aneh, tangan itu seperti berubah jadi panjang, hampir dua kali panjang
aslinya hingga Pudji tak punya kesempatan untuk mengelak
sambaran lima jari berkuku panjang hitam yang
mengandung racun jahat!
Para tokoh silat yang tidak senang dengan pendirian partai serta sikap sang
Ketua, bahkan mereka yang telah menyatakan diri bersedia bergabung sama
keluarkan seruan tertahan. Mereka semua tidak atau belum
mengetahui sampai di mana kehebatan manusia bungkuk berjubah putih yang telah
mengangkat diri sebagai Ketua partai itu. Namun kini menyaksikan gerakan kilat
yang ganas mematikan itu, semua sama menyadari bahwa
manusia tersebut memang memiliki kepandaian yang tidak sembarangan!
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta terdengar menangis
keras. Malaikat Maut Berkuda Putih yang ada di samping kiri panggung tanpa
tunggu lebih lama segera menerjang sambil lepaskan satu pukulan sakti yang
mengeluarkan sinar putih. Melihat sinar ini orang banyak yang
berkerubung segera menyingkir.
Diserang begitu rupa, dengan sikap acuh tak acuh sang Ketua angkat tangan
kirinya dan mendorong telapak
tangan ke arah pukulah Malaikat Maut. Dari telapak tangannya menyembur sinar
merah yang kemudian berubah menjadi gulungan api dan menyambar ke arah muka
serta pakaian Malaikat Maut. Hal ini membuat semakin banyak orang yang menjauhi
tempat itu bahkan ada yang melompat urun dari atas panggung. Tinggal Malaikat
Maut Berkuda Putih tegak sendirian pada bagian panggung di mana sambaran api
datang menderu!
Hanya ada satu jalan bagi guru Pudji itu untuk selamatkan diri yakni melompat ke
samping atau ke belakang. Dia memilih melompat ke samping kanan seraya kembali
melepaskan pukulan saktidengan mengerahkan hampir
seluruh tenaga dalamnya!
"Bagus Malaikat Maut! Kau membela perempuan muda
itu! Pasti kau ada hubungan apa-apa dengan dia!" kata Ketua partai. Lalu
menambahkan. "Aku tidak sungkan-sungkan membunuhmu lebih dulu!" sang Ketua
goyangkan tangan kirinya. Semburan api yang tadi seperti sebuah jaring besar,
langsung membuntal Malaikat Maut Berkuda Putih. Orang tua ini menjerit tinggi
ketika pakaiannya dan sebagian janggutnya terbakar hangus!
"Ilmu sihir busuk!"
Satu suara membentak dari samping. Bersamaan
dengan itu sebuah benda kecil yang ujungnya berapi melesat ke arah cadar yang
menutupi wajah Ketua partai. Lalu menyusul hembusan asap kelabu keras dan panas.
Sang Ketua merasakan tubuhnya tergontai-gontai. Terpaksa dia turunkan tangan
kirinya. Ini membuat Malaikat Maut Berkuda Putih selamat dari panggangan api.
Sambil melempar diri ke samping untuk menghindar serangan benda aneh tadi yang
ternyata adalah sebatang rokok kawung menyala, Ketua partai tetap meneruskan
gerakan tangan kanannya mencengkeram wajah Pudji. Seperti juga Malaikat Maut
Berkuda Putih tadi, perempuan muda inipun tidak sempat mengelak selamatkan
dirinya. Saat itulah terdengar satu jeritan marah. Menyusul suara menderu seperti suara
seruling ditiup dengan tenaga raksasa. Sang Ketua merasakan tangan kanannya
dicengkeram orang dipuntir ke belakang tiap untuk dibikin patah!
"Keparat! Kalian semua minta mampus!" terdengar
kutuk Ketua. Dia membuat gerakan aneh. Cengkeraman pada tangannya terlepas lalu
dia membalik dan memukul.
Bukk! Randu Ampel merasakan tubuhnya seperti dihantam
batu besar ketika terkena pukulan itu. Tapi dia tetap tegak tanpa bergeming,
malah menyeringai, membuat sang
Ketua kaget bukan main hingga tak jadi melancarkan serangan terhadap Pendekar
Muka Tengkorak yang tadi menghantamnya dengan serangan rokok kawung dan
hembusan asap! Selagi sang Ketua terkesiap menyaksikan lawan yang di-pukulnya tidak roboh
apalagi mati, Randu Ampel berkata pada Pudji yang baru saja diselamatkannya.
"Sahabat, kau sudah membuka rahasia racun dalam
makanan itu! Mengapa kini tidak membuka rahasia siapa manusia bungkuk berjubah
putih ini sebenarnya"!"
"Ya... ya...! Memang sudah tiba saatnya untuk membuka
kedok manusia iblis ini!" ujar Pudji. "Tapi dengan dulu!
Kalian mungkin tidak tahu! Selain hendak meracuni para tokoh di sini, dia juga
telah menanam bahan peledak di bawah tanah sana! Dia hendak meledakkan tanah
lapang itu guna membunuh semua orang yang tidak suka bergabung dengannya. Jika
tidak percaya silahkan periksa bagian bawah panggung ini..."
"Gila!" teriak seseorang.
"Benar-benar ganas!" teriak yang lain.
Serentak puluhan orang mengurung dan siap menghajar sang Ketua tapi Pudji
menghardik keras!
"Tidak satu orangpun berhak turun tangan terhadapnya kecuali sahabatku yang
memakai topi butut ini!" yang dimaksudkannya adalah Randu Ampel.
Seseorang berseru: "Tadi kau mengatakan hendak
membuka keok manusia ini! Katakan siapa dia sebenarnya!"
"Siapa aku tidak penting!" berteriak sang Ketua.
Suaranya keras sekali. "Yang penting adalah jubahku ini!"
tanpa disadari ucapannya itu membuat semua orang
tertarik untuk memperhatikan jubah putihnya yang saat itu tampak dibukanya.
Begitu terbuka jubah itu dilemparkan ke udara. Luar biasa! Jubah putih itu tiba-
tiba berubah menjadi seekor burung rajawali besar. Binatang ini mengepakkan
sayapnya yang lebar. Kepakan sayap ini mendatangkan angin kencang luar biasa
hingga banyak orang di atas panggung roboh atau terpelanting. Tiba-tiba burung
jejadian ini menukik ke bawah. Mematuk dan men-cengkeramkan kedua kakinya.
Terdengar jeritan susul menyusul. Lima orang tokoh silat yang tak sempat
menyingkir menemui ajal dengan tubuh atau kepala
hancur!" "Setan alas!" maki Pendekar Muka Tengkorak. "Jelas, pasti si keparat itu! Siapa
lagi manusia yang memiliki ilmu sihir terkutuk ini kalau bukan dia!"
Habis berkata begitu kakek muka tengkorak ini me-
mukul ke atas dengan kerahkan hampir dua pertiga tenaga dalamnya.
Dess! Burung rajawali jejadian itu sesaat seperti hendak meng-gelepar tapi tiba-tiba
membalik dan menyerbu ke arah si kakek. Melihat ini hampir saja Mahesa tidak
sadar dan hendak lepaskan pukulan Api Geledek ke arah burung raksasa itu. Namun
saat itu dilihatnya Randu Ampel melompat ke udara. Dilain kejap dia sudah
menggayuti burung raksasa lalu menggeragot leher binatang itu dengan gigi-
giginya ke perut burung.
Menyusul terjadi keanehan yang tidak terduga. Sosok tubuh burung yang dicekal
dan digigit Randu Ampel mendadak lenyap hingga Randu Ampel terjatuh keraske
panggung tapi cepat berdiri.
Di saat itu pula semua orang baru menyadari bahwa
sang Ketua yang tadi membuka jubahnya tak ada lagi di tempat itu!
"Kita tertipu!" Teriak Ki Sandakan.
"Benar! Jubah dan burung itu hanya untuk mengalihkan perhatian kita!" Sari ikut
berteriak. "Waw waw! Semua tolol! Semua tolol!" Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam
ikut-ikutan berteriak.
Pada saat itulah Mahesa merasakan ada seseorang
yang menarik lengannya dan satu suara halus mengiang di teinganya.
"Anak muda! Lekas ikut aku!"
MAhesa coba sentakkan pegangan orang. Astaga dia tak berdaya. Malah tubuhnya
terseret hingga mau tak mau harus berlari mengikutu orang yang menariknya.
Ketika dia berpaling ke samping dia jadi tambah kaget bercampur heran. Yang
menariknya ternyata adalah Gembela Cengeng Sakti Mata Buta. Pemuda ini berpaling
ke arah panggng dan lambaikan tangan pada Sari. Perempuan ini cepat melompat
turun dan lari kejurusan yang ditempuh Mahesa serta kakek buta itu. Pendekar
Muka Tengkorak Suko Inggil sesaat memandang kearah lenyapnya ke tiga orang
tersebut, geleng-geleng kepala lalu tiba-tiba memaki.
"Keparat setan kurap! Pasti dia!" lalu tanpa tunggu lebih lama diapun berkelebat
mengejar! 5 GURU DAN MURID AKHIRNYA SALING TEMPUR
i atas panggung upacara yang tadi hendak
diledakkan kini tinggallah belasan tokoh silat.
D Diantara mereka terdapat beberapa tokoh utama
yang telah menggetarkan dunia persilatan, baik karena memang oleh kehebatan
ilmunya, maupun oleh
pembunuhan-pembunuhan yang pernah dilakukan. Secara tidak langsung para tokoh
itu terpisah dalam kelompok-kelompok yang saling mendendam dan bermusuhan.
Kelompok pertama adalah Kutni Kendil dan Lembu
Surah yang ingin membunuh Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam yang ada disitu
bersama Kemala. Kelompok lain Randy Ampel bersama Pudji yang kini tegak dalam
bingung karena musuh besar yang mereka cari yakni
Embah Bromo Tunggal serta Datuk Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah berada
ditempat itu dalam bentuk wajah yang asli.
Lalu terdapat pula Ki Sandakan, Ketua pesantren Nusa Barung. Orang tua berjubah
an bersorban putih ini bukan saja mendendam setengah mati terhadap Wirapati,
tetapi juga sangat benci kepada Kunti Kendil.
Berikut adalah Malaikat Maut Berkuda Putih yang tak ingin melihat muridnya yakni
Pudji mengalami celaka di tempat itu. Dia merasa heran tidak menjumpai Lembu
Surah. Padahal musuh besar pemerkosa muridnya itu


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru ada di tempat tersebut! Karena otang tua berjanggut putih yang sebagian
janggutnya terbakar oleh api buatan Ketua partai yang melarikan diri,
menumpahkan dendam kesumatnya pada Kunti Kendil. Dia sudah memutuskan, jika
terjadi perkelahian kembali maka dia akan bergabung dengan kelompok yang menjadi
lawan nenek itu.
"Bagus! Ketua partai yang tak lebih dari kecoak berhati jahat tapi pengecut itu
sudah kabur melarikan diri!
Sekarang tak ada yang menghalangiku lagi untuk
membunuh Wirapati!"
Yang buka suara adalah Kunti Kendil.
"Tunggu dulu." Ki Sandakan cepat maju ke muka. "
Mana bisa begitu. Sekali aku bilang nyawanya adalah hakku, tak ada lain orang
berani mendahului!"
"Keparat bersorban!" damprat Kunti Kendil. Kali ini si nenektampaknya tak bisa
lagi menahan amarahnya.
"Kalau begitu biar kau kuhabisi lebih dahulu!" lalu Kunti Kendil berbisik pada
Lembu Surah. "Awasi anak setan itu.
Jangan sampai dia kabur!"
Lembu Surah mengangguk dan menggeser tegaknya
untuk dapat lebih mudah mengawasi Wirapati. Ini
membuat dia sekaligus lebih dekat dengan Kemala. Diam-diam sang Datuk merasakan
darahnya menjadi panas.
Sebaliknya emala memandang dengan beringas. Gadis
ini menggertak. "Manusia tangan buntung! Jika kau berani bergerak, kupatahkan
tanganmu yang tinggal satu itu!"
Lembu Surah memang tak bergerak. Tapi kedua
matanya menjelajahi wajah dan tubuh Kemala, dan
melotot kedua melihat keputihan tubuh gadis itu, pada bagian pakaian yang robek
waktu berkelahi sebelumnya.
Sementara itu Suwo Permana alias Malaikat Maut
Berkuda Putih yang ikut memandang ke arah Lembu Surah mulai menduga-duga siapa
adanya kakek berambut
pendek kelabu itu. Melihat kepadanya wajahnya jelas dia tidak mengenali siapa
sesungguhnya orang ini. Namun perhatikan nada bicaranya, seperti dia pernah
mendengar sebelumnya. Dan melihat kenyataan orang ini datang bersama Kunti
Kendil pastilah dia punya hubungan sangat rapat dengan si nenek. Setahunya
selama puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan Kunti Kendil tak
pernah berjalan seiring dengan siapapun, apalagi dengan seorang lelaki. Maka mau
tak mau Malaikat Maut Berkuda Putih mulai merasa curiga.
"Jangan-jangan orang ini...."
Namun Malaikat Maut Berkuda Putih tidak ber-
kesempatan berpikir lebih jauh karena saat itu antara Kunti Kendil dan Ki
Sandakan telah pecah perkelahian. Si nenek dengan tangan kosong sedang sang
Ketua pesantren dengan tasbih putih yang dihantamkan kian ke mari, menahan serangan
ganas lawannya. Memang si
nenek ingin sekali membantai Ki Sandakan dalam waktu singkat. Karena itu dia
menyerbu dangan serangan-serangan mematikan.
Meski Ki Sandakan merupakan seorang tokoh silat
cukup disegani nama besarnya, dan sekalipun dia saat iu memeangtasbih yang
merupakan senjata mustika, namun kehebatan Kunti Kendil masih berada beberapa
tingkat di atasnya.
Setelah mengimbangi dalam tiga jurus pertama dan
bertahan pada tujuh jurus berikutnya, memasuki jurus ke sebelas pertahanan Ki
Sandakan tergempur berantakan.
Lengan kananya seperti dihantam besi keras ketika
terpukul sambaran lengan kiri Kunti Kendil. Tasbih yang dipegangnya terlepas dan
mental ke bawah panggung.
Selagi Ketua pesantren Nusa Barung ini tersurut menahan sakit, jotosan kanan
lawan bersarang di perutnya!
Ki Sandakan merasakan seolah-olah perutnya pecah
dan ususnya berbusaan. Tubuhnya terlibat ke depan.
Sebelum dia sempat mengimbangi diri, dari depan rambut putih panjang si nenek
tampak menyambar mengeluarkan suara menderu deras, membabat ke arah batang leher
Ki Sandakan. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu
mengetahui bahwa rambut si nenek merupakan salah satu senjata maut yang
dimilikinya. Sekali menyambar atau membabat, kehebatanya sama dengan babatan
sebilah pedang. Tidak dapat tidak leher Ki Sandakan akan putus disambar rambut yang
dialiri tenaga dalam tinggi itu!
Wirapati yang berotak miring, melihat tadi Ki Sandakan berkelahi melawan Kunti
Kendil mengira bahwa kakek bersorban itu membela dan berada dipihaknya, padahal
seperti diketahui Ki Sandakan sebenarnya juga ingin membunuh Wirapati. Karenanya
ketika melihat Ki Sandakan berada dalam bahaya, Wirapati serta merta menolong
dengan lepaskan pukulan tangan kosong. Sinar hitam mengandung racun jahat luar
biasa menderu dari samping, menghantam sisi kiri Kunti Kendil.
Semua orang terkesiap tegang. Lembu Surah yang
sudah merasakan keganasan pukulan Iblis Gila Tangan Hitam itu berseru keras
memperingatkan istrinya.
"Anak setan keparat!" maki Kunti Kendil marah sekali.
Dia menggenjot tubuhnya dan melesat ke atas. Meski dia berhasil lolos dari
hantaman pukulan muridnya sendiri itu namun serangan mautnya terhadap Ki
Sandakan menjadi gagal. Masih trus memaki panjang pendek, dari ats si nenek
lepaskan pukulan Api Geledek Menggusur Makam.
Dalam marahnya nenek ini kerahkan hampir seluruh
tenaga dalamnya!
Sinar merah berkiblat. Hawa panas menyambar
mengerikan. Para tokoh di atas panggung banyak yang mengeluarkan seruan kaget
serta buru-buru menyingkir.
"Kak Wira! Lekas menghindar!" terdengar seruan
Kemala. Tapi pemuda gila itu tidak mau ambil perduli. Meski tubuhnya terasa seperti
dipanggang dia tetap berdiri di atas panggung dan kini tampak Wirapati angkat
kedua tangannya lalu hantamkan telapak tangannyake atas, ke arah tubuh Kunti
Kendil yang masih mengapung di udara.
Terjadilah hal hebat luar biasa.
Sinar merah pukulan sakti Kunti Kendil terbelah oleh dua larik sinar hitam yang
menghambur keluar dari tangan kiri kanan Wirapati. Terdengar dua ledakan keras
susul menyusul. Panggung kayu yang kokoh itu hancur
berantakan dan hangus menghitam. Tubuh Kunti Kendil tampak jungkil balik di
udara. Si nenek lemparkan dirinya ke arah timur panggung. Dia masih mampu jatuh
dan tegak di atas kedua kakinya, namun begitu berdiri langsung roboh. Pakaiannya
tampak menghitam di sebelah depan.
"Kunti!"
Lambu Surah berteriak, lari memburu dan menubruk
tubuh istrinya, langsung memangkunya.
"Kunti ... kau..."
"Aku tidak apa-apa...." Sahut si nenek. Tapi dari sela bibirnya tampak keluar
darah. Pakaiannya disebelah depan hangus. Dia usap wajahnya lalu bertanya
perlahan: "Topeng kulitku tak apa-apa..."
"Tidak, tak apa-apa Kunti. Tapi kau terluka di dalam!"
sahut Lembu Surah.
"Dadaku memang terasa sesak sedikit...."
"Aku kawatir kau keracunan!"
Kunti Kendil tersenyum. Dari balik pakaiannya dia
keluarkan dua butir benda bulat sebesar kelereng berwarna hijau. Benda itu
kemudian ditelannya.
"Aku tidak apa-apa," katanya lagi. "Anak setan itu memang hebat. Tapi aku tidak
puas. Dia tentu sudah mampu saat ini!" dibantu oleh Lembu Surah si nenek bangkit
berdiri. Bagaimana dengan Wirapati alias Iblis Gila Tangan
Hitam" Di mana dia berada saat itu" Kemala orang yang paling cemas memikirkan
nasib pemuda itu. Dia tak henti-hentinya memanggil.
"Kakak Wira...! Kakak Wira!"
Semua mata ikut mencari-cari di mana adanya Wirapati dan semua ingin tahu apa
yang terjadi dengan manusia gila berkepandaian tinggi itu.
"Kakak Wira!" panggil Kemala lagi.
"Waw waw!"
Terdengar suara pemuda itu tapi orangnya masih tak kelihatan!
Kemala memandang ke arah reruntuhan panggung yang
kini tinggal tumpukan kayu-kayu hitam hangus.
"Waw waw waw!"
Tumpukan reruntuhan paling tinggi tmpak bergerak lalu mental kian kemari. Dari
bawah tumpukan itu muncul sosok tubuh bercelemongan hitam dan batuk-batuk.
Sesaat dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegang dada.
"Kakak Wira!" Kemala menjerit lalu lari ke arah
reruntuhan panggung.
Namun dari samping dua sosok berkelebat mendahului.
Kedua orang ini seperti berebut cepat hendak saling mendahului untuk dapat
menghantam dan membunuh
Wirapati. Yang satu berjubah putih, satunya lagi berpekaian serba kuning,
memegang sebilah keris di tangan kiri!
Yang berjubah putih bukan lain adalah Ki Sandakan, Ketua pesantren Nusa Barung
yang punya segudang
dendam terhadap Wirapati. Bukan saja Wirapati telah membantai empat orang
pengurus Pesantren, termasuk salah seorang Ketua yang kini digantikannya.
Kemudian yang berpakaian kuning adalah Made Tantre alias Tangan Dewa Dari
Klungkung. Wirapati telah membuat tubuhnya cacat seumur hidup. Tadi-tadi memang
sulit bahkan tidak mungkin baginya untuk menghadapi manusia gila berkepandaian
tinggi itu. Tapi kini melihat Wirapati dalam keadaan cidera begitu rupa. Made
Tantre merasa inilah kesempatan paling baik baginya untuk membalaskan dendam
kesumat. Keris di tangan kirinya ditusukkan langsung ke dada kiri Wirapati,
tepat di arah jantung!
Serangan yang benar-benar mematikan!
Ditambah pula dengan sambaran dua tangan Ki
Sandakan ke arah leher maka keadaan Wirapati memang sulit diselamatkan, jika
benar-benar pemuda itu memang dalam keadaan tak berdaya atau cidera akibat baku
hantam dengan Kunti Kendil tadi.
"Manusia-manusisa pengecut! Menyerang orang yang
tidak berdaya!" triak Kemala. Gadis ini menyerbu ke depan.
Dia agak bingung karena tak mungkin sekaligus
menyelamatkan Wirapati dari dua serangan yang datang dari dua jurusan terpisah
itu. Karena Made Tantre berada paling dekat, maka Kemala langsung saja
menggempur yang satu ini. Saat itu ujung keris di tangan kiri Made Tantre hanya
tinggal seujung jari saja siap menusuk dada Wirapati. Karenanya meskipun
mengetahui ada yang menghantamnya dari samping. Made Tantre tidak berusaha untuk
menarik pulang serangannya.
Buk! Pukulan Kemala mendarat di bahu kanan Made Tantre.
Terdengar suara krak! Made Tantre mengeluh kesakitan ketika tulang bahunya
patah, tubuhnya terpental. Tapi dia puas. Kerisnya berhasil menancap di dada
kiri Wirapati! Kemala menjerit!
Ki Sandakan yang mengira dia telah kedahuluan Made Tantre dengan sangat gemas
dan penuh dendam mencengkeram leher Wirapati, siap menghancurkan remukkannya.
Tapi sedetik kemudian terjadilah satu hal yang tidak terduga. Cekikan kedua
tangan Ketua pesantren Nusa Barung itu tampak terlepas dam tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang. Ada bercak merah pada dadanya.
Dan pada dada itu kelihatan menancap sebilah keris. Keris milik Made Tantre yang
tadi telah menikam dada Wirapati!
"Waw waw!"
Apa yang sebenarnya terjadi"
Ketika Made Tantre menikam dengan kerisnya,
sebenarnya senjata itu tidak menghunjam di dada kiri Wirapati. Dengan kecepatan
luar biasa yang hampir tak satu orangpun melihat bahkan Made Tantre sendiripun
tidak menyadarinya, tusukan senjata itu dapat dielakkan Wirapati lalu keris
dikempitnya di ketiak kirinya! Pukulan Kemala membuat Made Tantre terpelanting
ke samping kiri sementara keris masih berada dalam kempitan Wirapati.
Lalu sewaktu Ki Sandakan mencengkeram lehernya,
Wirapati cabut keris yang berada dalam kempitan ketiak kirinya dan menghujamkan
senjata ini ke dada Ki
Sandakan! "Waw waw!"
Ki Sandakan mundur terus sambil pegangi dadanya.
Ketika sepasang kakinya tak sanggup lagi menunjang tubuhnya, Ketua pesantren
Nusa Barung ini terjungkal ke tanah, terkulai rubuh dan rebah menggeletak.
Mulutnya tampak komat-kamit. Jelas dia mengucapkan sesuatu sebelum ajalnya
sampai. Sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak lagi. Dia mati dengan kedua mata
memandang ke langit di atasnya.
"Waw waw! Siapa lagi yang ingin mampus di tangan-
ku"!" Wirapati memandang buas berkeliling. Dia berdiri sambil berpegangan pada
Kemala. Jelas keadaan dirinya pun mengalami cidera di dalam akibat bentrokan
pukulan sakti dan tenaga dalam tinggi dengan Kunti Kendil tadi.
Kemudian pandangan matanya yang merah mengarah
pada Made Tantre yang masih terduduk di tanah sambil merintih kesakitan pegangi
bahunya tadi. "Waw waw! Manusia pengecut sepertimu tak layak
hidup lebih lama!" bentak Wirapati. Dia siap melangkah untuk menghajar Made
Tantre. Sementara itu Lembu Surah yang tegak memapah Kunti Kendil, berbisik pada
perempuan itu. "Sebaiknya kita pergi saja dari sini. Lain kali kita buat lagi
perhitungan dengan pemuda gila itu!"
"Mana bisa begitu!" sahut Kunti Kendil keras kepala.
"Tapi kau terluka di dalam Kunti!"
"Aku tidak apa-apa! Kau dengar itu" Malah aku rela mati asal dapat membunuh
murid sesat itu!"
"Atau kau ingin aku yang menghajarnya?" tanya Lembu Surah.
"Tidak, dia harus mampus di tanganku...."
"kau akan terbunuh sia-sia."
"Kalau kau takut melihat kematianku, silahkan pergi dari sini." ujar Kunti
Kendil pula. Lembu Surah jadi serba salah. Wirapati diketahuinya memang menderita cidera di
dalam akibat bentrokan
dengan istrinya tadi. Tapi keaaannya jauh lebih kuat dari pada Kunti Kendil.
Jika istrinya itu tetap bersikera untuk melanjutkan niatnya, niscaya dia akan
mati di tangan Wirapati. Dia tidak takut untuk turun tangan membela istrinya.
Namun kalau itupun sia-sia tak ada gunanya. Lebih baik mencari kesempatan lain.
Apalagi dilihatnya ditempat itu tidak ada yang akan berpihak padanya. Banyak
para tokoh silat lebih suka menjadi penonton dari pada turun tangan menggempur
Wirapati. Dalam pada itu kehadiran Malaikat Maut Berkuda Putih serta Pudji yang
muncul bersama lelaki aneh bertopi tinggi itu sejak tadi-tadi telah membuat
Lembu Surah merasa was-was. Karenanya ia jadi penasaran kalau Kunti Kendil tidak
mau mengikuti nasihatnya. "Kita pergi sekarang Kunti!"
"Kau pergilah sendirian. Tapi dengar. Jangan kau
mencari-cari aku lagi!" kata Kunti Kendil mengancam.
Lembu Surah merutuk dalam hati. Ketika si nenek mulai melangkah ke arah
Wirapati. Lembu Surah cepat gerakkan tangan kirinya, menusuk ke punggung Kunti
Kendil. Serta merta Kunti Kendil merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang.
Dia tak memapu lagi melangkah atau
menggerakkan bagian tubuhnya yang lain. Tapi mulutnya masih bisa terbuka dan
suara. Maka nenek inipun
membentak. "Surah! Apa yang kau lakukan ini. Gila! Lekas lepaskan totokanmu!"
Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah
tersentak kaget. Mukanya pucat. Cepat dia menotok urat besar jalan suara di
leher si nenek hingga Kunti Kendil kini tak bisa bersuara lagi. Tetapi


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlambat! Kunti kendil di luar sadar telah keburu menyebut namanya tadi!
*** 6 RAHASIA TERBUKA SUDAH!
PAMBALASAN AKHIRNYA DATANG JUGA!
uka Lembu Surah semakin pucat. Dia memandang
berkeliling dengan tengkuk terasa dingin. Belasan
M tokoh-tokoh silat ada di situ dilihatnya seperti berubah menjadi setan yang
hendak mencabik-cabik tubuhnya.
"Astaga! Benar dia... Keparat besar!" maki Malaikat
Maut Berkuda Putih. Diam-diam kakek ini salurkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Di tempat lain Pudji tegak dan memandang dengan
mata melotot pada lelaki tangan buntung berambut
pendek kelabu itu. Dia seperti tidak percaya akan pen-dengarannya tadi. Kunti
kendil memanggil si rambut kelabu itu dengan nama Surah!
"Sahabat." Randu Ampel berkata pada Pudji. "Kau
dengar nenek jelek itu menyebut nama orang tangan
buntung ini"!"
Pudji mengangguk. Matanya memandang tak berkesip.
Mulutnya terbuka. Dan suaranya terdengar keras sekali.
"Manusia tangan buntung! Jadi kau adalah Lembu
Surah! Manusia terkutuk bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah!"
Kata-kata Pudji ini membuat Kemala terkesiap. Lalu ikut membuka mulut.
"Apa"! Orang ini Datuk Iblis Penghisap Darah"! Sekian tahun aku mencari!
Sekarang kau tak bisa lepas lagi dari tanganku! Kau yang membunuh ibuku!"
Beberapa tokoh silat yang ada di situ jelas tampak kaget. Siapa mengira lelaki
yang datang bersama Kunti Kendil itu ternyata adalah lembu Surah. Manusia iblis
yang pernah melang melintang berbuat kejahatan, membunuh dan memperkosa. Tanpa
diatur, mereka bergerak membuat lingkaran dan mengurung Lembu Surah di tengah-
tengah. "Celaka! Tamtlah riwayatku hari ini!" keluh Lembu
Surah. Dia memutar otak lalu berkata. "Kalian salah sangka. Aku bukan Lembu
Surah. Bukan pula orang yang kalian sebut dengan gelar Datuk Iblis itu! Aku
hanya kawan seperjalanan Kunti Kendil. Kebetulan saja terpesat ke gunung ini..."
lalu dengan gerakan cepat dia segera memanggul tubuh Kunti Kendil. Dia memandang
berkeliling dan berkata: "Sahabatku ini terluka di dalam. Aku harus membawanya
pergi dan mengobatinya...."
"Kau boleh pergi tapi nyawamu tinggalkan di sini!" terdengar ada yang bicara.
Ternyata orang ini adalah Malaikat Maut Berkuda Putih.
"Aku tidak kenal siapa kau!" Lembu Surah coba
berkilah. Malaikat Maut menyeringai. "Pandang wajahku baik-baik Surah. Lalu katakan apa
benar kau tidak kenal aku.... Lalu lihat gadis itu. Muridku yang bernama Pudji.
Apa kau juga tidak kenal dia...?"
Sepasang mata Lembu Surah memandang ke jurusan
lain. "Aku harus pergi! Beri jalan! Atau akan aku bunuh
semua!" teriak Lembu Surah. Dalam keadaan terdesak seperti itu dia hampir tidak
dapat lagi menguasai dirinya., tetap dia juga mencemaskan keadaan Kunti Kendil.
Jika pecah perkelahian, bukan mustahil Kunti Kendil akan menjadi bulan-bulanan
serangan. Dan tampaknya bukan hanya satu dua orang saja yang bakal dihadapi!
Kunti kendil yang berada di atas bahu Lembu Surah
dalam keadaan tertotok menyumpah tiada henti, "Kalau dia tidak menotokku sudah
dari tadi kuhantam mansia-manusia keparat itu! Ah, hidup ini kenapa jadi sialan
seperti ini! Surah! Lepaskan totokanku!" tapi mana Lembu Surah bisa mendengar
ucapan tanpa suara itu.
Di saat itu pula kembali terdengar kata-kata Malaikat Maut Berkuda Putih Suwo
Permono. "Surah! Puluhan tahun kita menggalang persahabatan. Tapi kau khianati
diriku. Kau perkosa muridku hingga dia menjadi gila. Tak ada hukuman yang lebih patut
bagimu dari pada mampus!"
"Gila! Semua gila! Aku bukan Lembu Surah! Aku bukan Datuk Iblis Penghisap Darah!
Aka kalian semua tuli" Tidak mendengar"!"
Malaikat Maut Berkuda Putih tersenyum angker.
"Mukamu mungkin bisa tukar dengan muka setan. Tapi suaramu tidak. Walau kau
berusaha merubah suaramu."
"Copot saja kepalanya. Habis perkara!"
Yang mengeluarkan kata-kata itu adalah Randu Ampel.
Dia tegak dekat reruntuhan panggung, sambil mengunyah paha ayam yang didapatnya
berhamburan di tanah.
"Aku memang ingin mencopot kepalanya!" kata Malaikat Maut Berkuda Putih dan
langsung melompat kirimkan
serangan. Seperti diketahui beberapa kali sebelumnya kedua
orang itu telah terlibat dalam perkelahian. Sebegitu jauh kakek berjanggut dan
berpakaian serba putih itu tidak pernah berhasil mengalahkan lawannya. Malah
dirinya hampir selalu celaka. Kini Lembu Surah dalam keadaan cacat, ditambah
harus memanggul tubuh Kunti Kendil maka Malaikat Maut merasa mempunyai peluang
untuk menghajar musuh besarnya itu. Namun bagaimanapun
juga Lembu Surah bukan tokoh silat sembarangan. Gelar Datuk Iblis yang diberikan
padanya bukan merupakan gelar kosong. Meski tangannya kini cuma satu dirinya
dibebani beratnya tubuh Kunti Kendil tapi dengan sebat dia
menahan serangan lawan, malah kemudian balas meng-
hantam dengan tangan kiri, membuat Malaikat Maut Suwo Permono terpaksa
menghindar penuh penasaran.
Dari samping kiri Pudji telah siap berkelebat untuk menyerbu. Tapi bahunya tiba-
tiba dipegang oleh Randu Ampel. Lelaki ini berkata.
"Sahabat, manusia seperti ini si tangan buntung itu terlalu enak jika langsung
dibunuh..."
"Apa maksudmu Randu?" tanya Pudji.
"Kuntung tangannya yang sebelah kiri. Hancurkan
kemaluannnya. Biar dia hidup menderita sengsara seumur-umur.....!"
"Nasihatmu akan kuturuti Randu!" suhut Pudji. Maka murid Malaikat Maut Berkuda
Putih yang berotak miring inipun menerkam ke depan. Kaki kanannya meluncur ke
arah selangkangan Lembu Surah.
Walau kini diserang dua orang, tetap saja Lembu Surah tidak bisa segera didesak.
Apalagi dia sengaja mempercepat gerakan dan keluarkan jurus-jurus silatnya yang
paling hebat. Pudji dan Malaikat Maut seperti menghadapi tembok yang sukar
ditembus. "Waw waw! Dewiku! Apa kau tak akan ambil bagian"!
Jangan sampai ketinggalan..." terdengar suara Wirapati.
Ucapannya ditujukan Kemala. Entah dari mana dia men-dapatkannya, saat itu
Wirapati angsurkan sebilah golok pada Kemala seraya berkata lagi; "Dua orang
yang menyerang lelaki buntung itu berlaku tolol waw waw!
Mereka berkelahi tidak pakai otak! Waw waw, aku tak mau dewiku juga tolol. Cepat
masuk ke kalangan pertempuran.
Tapi jangan serang di buntung. Serang nenek jelek yang dipanggulnya! Ayo cepat
dewiku! Waw waw waw!"
Kemala ambil golok yang disodorkan. Begitu masuk
kalangan pertempuran dia kirimkan bacokan ke kaki Kunti Kendil. Lembu Surah
membuat gerakan berputar setengah lingkaran. Bacokan golok mengenai tempat
kosong. Sang Datuk coba balas menendang dengan kaki kiri, tapi dari samping kiri
kanan kembali datang serangan yang
dilancarkan dua lawan lainnya. Terpaksa dia tarik
tendangan, melompat ke kiri, dan menghantam. Sekali membuat gebrakan itu dua
serangan tadi dapat dihindarkannya. Namun dari belakang kembali menderu golok
Kemala. Kali ini ke arah kepala Kunti Kendil.
Lembu Surah menyumpah.
Jika dia terus melayani ke tiga pengeroyok itu, dirinya sendiri mungkin bisa
bertahan dari serangan lawan.
Namun sulit dijamin dia mampu menghindarkan Kunti
Kendil dari hantaman. Kelihatannya Kemala memang
sengaja mengincar tubuh Kunti Kendil terus menerus. Di samping itu setiap
melihat wajah Kemala - gadis yang pernah membuatnya tergila-gila setengah mati
itu - Lembu Surah menjadi tidak tenang. Menyadari kenyataan ini sang Datuk
berteriak keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya bersama tubuh Kunti Kendil yang
dipanggulnya melesat tinggi ke udara, lalu laksana seekor burung besar melayang
melewati deretan bangku-bangku di lapangan. Di lain kejap dia sudah berada di
ujung lapangan, terus lari ke arah lamping gunung sebelah timur.
"Sialan! Hampir aku celaka!" kata Lembu Surah dalam hati. Dia merasa lega karena
berhasil melarikan diri dan tak satu orangpun kelihatan sanggup mengejar.
Namun baru saja membatin seperti itu, tiba-tiba terasa ada orang yang menepuk
bahunya, menyusul ucapan
mengejek. "Urusan hutang piutang belum selesai, mengapa cepat-cepat pergi" Sungguh manusia
tidak tahu peradatan!"
Lembu Surah kaget bukan main dan cepat berpaling ke kri dan jurusan mana dia
mendengar datangnya suara serta gerakan menepuk tadi. Tapi astaga. Dia tidak
melihat siapa-siapa di situ. Lalu tiba-tiba saja ada suara dan menepuk lagi di
sebelah kanan. "Aku di sini!"
Ketika dia menoleh ke kanan, diapun tidak melihat
siapa-siapa! "Datuk, aku di belakangmu!"
Kembali terdengar suara serta tepukan pada punggungnya. Berpaling ke belakang
tetap saja Lembu Surah tidak menemukan orang yang bicara dan menepuknya itu.
Ber-ubahlah paras sang Datik. Cepat-cepat dia memutar tubuh untuk meneruskan
pelariannya. Namun baru bergerak
mendadak di depannya menghadang sesosok tubuh ber-
telanjang dada. Dan sebuah benda panjang menerima di kening!
Orang yang di depannya ternayata lelaki tinggi yang muncul bersama Pudji. Randu
Ampel! Dan benda yang
menempel di keningnya adalah suling bambu yang di-
pegang di tangan kanannya.
"Keparat buntung! Kau mau lari kemana....?" Ujar Randu Ampel menyeringai.
Inilah pertama kali dalam hidupnya Lembu Surah yang menyandang gelar angker
Datuk Iblis Penghisap Darah itu merasa ketakutan yang amat sangat. Tadi-tadi dia
sudah menyadari bahwa lelaki berotak miring ini memiliki kepandaian tinggi.
Namun dia tidak menduga kalau
kehebatan Randu Ampel begitu luar biasa. Bukan saja Randu Ampel sanggup mengejar
dan mendahuluinya tanpa diketahuinya, juga lelaki ini memiliki gerakan cepat
luar biasa. Dan suling yang ditempelkan dikeningnya itu setiap detik bisa tembus
masuk ke batok kepalanya! Untuk
beberapa lamanya Lembu Surah hanya bisa tegak, tak berani bergerak sedikitpun.
Sebaliknya di atas panggulan-nya Kunti Kendil memaki panjang pendek tanpa
terdengar, berteriak agar totokannya dilepas. Nenek ini ingin sekali menghajar
Randu Ampel saat itu.
Beberapa orang berkelebat. Sepasang bola mata Lembu Surah berputar berkeliling.
Dadanya terasa tambah sesak ketika dia melihat dirinya kini dikurung oleh
Malaikat Maut Berkuda Putih, Kemala, Pudji dan Wirapati.
"Waw waw! Semua kita sudah ada di sini! Tunggu apa lagi"!" Wirapati berseru.
"Betul!" menyahuti Randu Ampel dan tekanan ujung
sulingnya pada kening Lembu Surah dilipat gandakan.
Lembu Surah merasa seperti keningnya sudah rengkah dan pemandangannya berkunang.
Tetapi baru saja tangannya bergerak, dari samping menyambar golok yang di-
genggam Kemala.
Cras! Tak ampun lagi bagian tangan di bawah ketiak kiri sang Datuk terkutung putus.
Darah menyembur. Lembu Surah luka parah dan menahan sakit begitu rupa, dari
depan Pudji ayunkan tangannya, memukul ke bawah selangkangan sang Datuk. Untuk
kedua kalinya lelaki ini meraung keras. Anggota rahasianya hancur dan darah
merah tampak membasahi celananya. Seperti belum puas Pudji bergerak lagi untuk
mencengkeram leher Lembu Surah tapi Randu Ampel cepat menghalangi.
?"Cukup sahabat! Kematian terlalu enak baginya. Lebih baik dia kita biarkan
hidup sengsara seperti ini!"
"Waw waw!" terdengar suara Wirapati. "Kurasa kau
sudah cukup puas. Apa perlu kita berlama-lama di tempat ini"!" lalu pemuda gila
itu sambar pinggang Kemala, langsung mendukungnya dan membawanya pergi dari
tempat itu. Tinggal kini Randu Ampel, pudji dan Malaikat Maut
Berkuda Putih. Sementara itu Lembu Surah yang tak
sanggup lagi berdiri, tampak terkapar roboh di tanah.
Tubuh Kunti Kendil yang tadi di panggulnya ikut terhempas ke tanah menggeletak
beberapa langkah jauhnya.
Kedua mata Malaikat Maut Berkuda Putih tampak ber-
kaca-kaca. Orang tua ini merasa terharu. Sekian tahun mencari dan tapi dengan
sebat dia menahan serangan lawan, malah kemudian balas mengejar mushu besarnya
itu, hari itu dia hanya bisa meyaksikan pembalasan dilakukan oleh orang lain
tanpa dia bisa berbuat apa.
Pudji berdiri di bawah sebatang pohon, menutupi
wajahnya dengan kedua tangan, menangis sesunggukan.
Di tempat lain Kemala juga tampak berusaha dengan susah payah untuk menahan
tangis, ingat akan kematian ibunya serta ayahnya yang lenyap tanpa diketahui
kabarnya lagi. "Waw waw! Nenek butut itu! Dia pasti kawan Lembu
Surah. Mau kita apakan dia...?" terdengar Wirapati berkata.
Kunti Kendil menyumpah setengah mati. "Anak setan
keparat. Sampai kiamat aku bersumpah untuk membunuh-mu!"
"Nenek itu bukan cuma kawan. Dia adalah istri Datuk Iblis. Aku yakin sekali hal
itu....!" Malaikat Maut Berkuda Putih membuka mulut.
"Waw waw! Kalau dia istrinya, pasti sama jahatnya
dengan suaminya! Sebaiknya dihajar biar tahu rasa!"
Tak ada yang menjawab ataupun bergerak. Tampaknya
semua orang di situ tidak punya hasrat lagi untuk
melakukan kekerasan. Sesaat kemudian Malaikat Maut Berkuda Putih berkata; "Kita
semua adalah orang-orang gagah dunia persilatan, walaupun dengan segala
kekurangan. Itu berarti tidak menjadi alasan bagi kita untuk bertindak pengecut
manghantam orang yang tidak berdaya." orang tua ini kemudian melangkah mendekati
Pudji. "Muridku," katanya, "Aku tidak tahu apa kau masih mengenal dirinya diriku
atau tidak. Bagaimanapun juga aku tetap gurumu yang ldulu membesarkanmu dan
memberi pelajaran sesuai dengan kemampuanku. Setelah per-
temuan kali ini apakah kau masih tidak ingin ikut ber-samaku... Mungkin kita bisa
menemukan sesuatu sehingga kau dapat menempuh kehidupan baru...!"
"Aku tidak kenal kau siap..." menyahut Pudji. "Aku tidak perduli kau siapa. Saol
hidup baru aku sudah menemuinya.
Bersama sahabatku itu..." Pudji menggoyangkan kepalanya ke arah Randu Ampel. "Kita
Pergi sekarang Randu...."
"Ya... ya... Kita pergi sekarang!" sahut Randu.
Malaikat Maut Berkuda Putih mengurut dada. Dia hanya bisa melepas kepergian
muridnya itu dengan pandangan mata.
"Waw waw! Dewiku, kitapun tak ada gunanya berlama-
lama di tempat ini. Mari kita pergi. Jika menuruti hati, mau saja aku membunuh
Datuk keparat yang dulu membunuh dewiku yang satu ini. Tapi sudahlah... Waw waw!
Dewiku Sundari saat ini tentu sudah enak hidup di akhirat!"
Maka Kemala dan Wirapati lalu tinggalkan tempat itu.
Tinggal kini Malaikat Maut Berkuda Putih tegak sendirian.
Dia memandang pada Datuk Iblis yang tergeletak di tanah, merintih tiada henti.
Lalu perhatikannya Kunti Kendil yang terdampar tak bergerak. Hati kecilnya ingin
menolong melepaskan totokan di tubuh si nenek. Namun jalan
pikirannya menolak. "Buat apa aku menolong! Salah-salah begitu bebas dari
totokan dia akan menyerang diriku! Biar saja, nantipun totokan itu akan punah
sendiri!" Lalu kakek berjanggut putih inipun putar tubuhnya. Saat itulah tiba-tiba
terdengar satu ledakan dahsyat dari lereng gunung Merapi sebelah atas. Bumi
ambruk dan langit seolah terbelah. Malaikat Maut Berkuda Putih sampai terbanting


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh ke tanah saking hebatnya ledakan itu.
Apakah yang terjadi"
Ketika pukulan Api Geledek dan pukulan yang dilepaskan Wirapati menghancurkan
lebur dan membakar
panggung, nyala api telah pula membakar ujung tali yang berhubungan dengan
karung-karung itu, maka bahan
peledak itupun meledak. Lamping timur gunung Merapi tampak berlubang besar.
Masih untung semua tokoh silat yang berada dibekas tempat upacara peresmian
partai sudah meninggalkan tempat itu sehingga tidak satu
orangpun menemui celaka.
Sekarang mari kita ikuti ke mana Mahesa. Gembel
Cengeng Sakti Mata Buta, Sari serta Pendekar Muka
Tengkorak. *** 7 WAJAH DIBALIK CADAR HITAM
akek! Kau mau bawa aku ke mana"!" seru Mahesa
bertanya. K "Anak edan, jangan bicara keras-keras. Nanti
orang yang kita kejar mendengar..." jawab Gembel
Cengeng Sakti Mata Buta.
"Eh, siapa yang kita kejar saat ini?" tanya Mahesa. Dia masih berusaha
melepaskan lengannya dari pegangan si kakek buta, tapi tetap saja sia-sia.
"Jangan coba engkel-engkelan menarik tanganmu.
Salah-salah yang kita kejar itu bisa merat tanpa bekas!"
"Hai! Aku bertanya siapa sih yang kita kejar?" Mahesa mengulangi pertanyaannya.
"Kau akan lihat sendiri nanti. Ikuti saja aku. Jangan banyak tanya!" jawab si
kakek. Orang tua buta itu larinya bukan kepalang cepatnya.
Meskipun Mahesa memiliki kemampuan berlari yang dapat mengimbangi namun pemuda
ini menyadari bahwa
kecepatannya lari saat itu sebagian besar ditambah oleh daya tarik si gembel
buta. Memandang kebelakang dilihatnya Sari jauh ketinggal, tapi perempuan itu
masih dapat mengikuti mereka.
"Kau cemas kehilangan perempuan itu eh" Hik-hik-hik...
Sebentar-sebentar kau menoleh ke belakang!"
"Kek, ini pertama kali aku melihat kau tertawa. Biasanya menangis terus!" kata
Mahesa. "Sekali-sekali hidup itu perlu perubahan. Agar segar!"
jawab si buta. "Menurutmu kek, apa yang terjadi dengan orang-orang yang masih berada di tempat
upacara tadi itu...?"
"Itu urusan mereka. Jika mereka tolol, mereka boleh melanjutkan perkelahian.
Jika mereka cerdik, mereka akan cepat-cepat meninggalkan tempat celaka itu.
Sebentar lagi pasti gunung itu meledak..." dan tiba-tiba saja si buta ini mulai
menangis. Mahesa hanya bisa geleng-geleng kepala.
Barusan saja dia tertawa, kini sudh kembali menangis.
"Hai, bagaimana mungkin gunung itu meletus. Maksud-ku bahan-bahan peledak itu.
bukankah aku sudah me-
mutuskan tali pembakarnya?" Mahesa bertenya lagi
dengan perasaan heran.
"Talinya memang kau putus! Tapi apa kua kira bahan peledak itu tidak bisa
meledak tanpa tali" Jangan jadi anak tolol! Jika mereka berkelahi, saling
keluarkan pukulan sakti yang menimbulakan hawa panas bahkan api! Nah apa
pendapatmu....?"
"Kau betuk kek. Kasihan orang-orang itu..." ujar
Mahesa. Dia teringat pada Kemala dan kakak seper-
guruannya Wirapati. Lalu para tokoh silat yang baik-baik lainnya, termasuk juga
Kunti Kendil, gurunya yang telah membuatnya kecewa seumur hidup.
"Aku... aku juga kasihan pada mereka." Berkata Gembel Cengeng dan makin keras
sesunggukannya. "Tapi perduli amat, mereka tidak kasihan diri sendiri..."
Setelah lari beberapa ratus tombak lagi, Mahesa
kembali buka mulut. "Kek, aku masih belum melihat orang yang kita kejar..."
"Aku juga belum." sahut si kakek.
Mahesa dongkol dalam hati. Tentu saja dia tidak
melihat. Matanya buta! Baru saja dia mengomel dalam hati seperti itu tiba-tiba
si kakek mendorongnya memasuki jalan menurun yang berbelok-belok hingga akhirnya
mereka sampai di sebuah anak sungai yang airnya sangat dangkal hingga mudah saja
diseberangi. Sampai di
seberang Mahesa menoleh lagi ke belakang. Dilihatnya Sari baru saja mulai
menyeberani sungai dangkal itu. lalu agak jauh di belakang Sari dia melihat ada
seorang lain yang juga lari satu jurusan dengan mereka.
"Kek, ada orang lain di belakang sana yang mengikuti arah lari kita."
memberitahu Mahesa.
"Aku sudah tahu sejak tadi-tadi!" jawab Gembal
Cengeng Sakti Mata Buta. "Malah aku sudah tahu siapa orangnya!"
"Kau memang luar biasa kek. Bagaimana kau bisa
tahu?" Mahesa memuji dan bertanya.
"Mudah saja. Dari bau rokok kawung yang dihisapnya.
Sama sepertimu..."
"Jadi orang itu si kakek muka tengkorak?"
"Siapa lagi" Si jerangkong sahabatmu itu!"
"Ah, kalau begitu kita tak usah kawatir..." Mahesa
merasa lega. "Kalau bukan diapun kita tak perlu kawatir. Mulai
sekarang tutup mulutmu. Orang yang kita kejar semakin dekat di depan sana. Kita
harus mengambil jalan
memotong..." si buta mendorong Mahesa memasuki hutan kecil. Sekeluarnya dari hutan
mereka sampai di sebuah daerah yang ditumbuhi pohon-pohon kapas. Dekat sebuah
batu besar Gembel Cengeng hentikan lari, membawa
Mahesa berlindung di balik batu itu. tak lama kemudian Sari sampai di situ.
Menyusul Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil.
"Mengapa berhenti di sini...?" tanya Sari.
"Ssst.... Diam. Semua berlindung di balik batu. Sebentar lagi monyet tua itu akan
samapi di sini. Begitu muncul cepat potong jalannya dan kurung..."
Seperti Mahesa, Saripun tidak tahu siapa sebenarnya orang yang mereka kejar. Sementara si kakek muka
tengkorak tenang-tenang saja dan menyedot rokoknya dalam-dalam. Tiba-tiba rokok
ini tercabut dari sela bibirnya seolah-olah disentakkan oleh tangan yang tidak
kelihatan. Memandang ke samping si kakek dapatkan rokok itu
sudah diremas hancur oleh Gembel Cengeng Sakti Mata Buta.
"Hai, maafkan aku sudah berlaku tolol." bisik kakek muka tengkorak. Dia
menyadari kalau bau rokok kawungnya bisa membuat orang yang mereka kejar akan
me- ngetahui kehadiran mereka di tempat itu!
Tiba-tiba semak belukar di seberang mereka tersibak.
Seseorang tubuh bungkuk menyeruak keluar. Nafasnya keras memburu. Sesaat dia
tegak di tempat terbuka, memandang berkeliling. Wajahnya tertutup cadar.
Meskipun kini tidak lagi mengenakan jubah outih namun baik
Mahesa, maupun Sari serta Pendekar Muka Tengkorak
segera mengenali orang itu bukan lain adalah manusia yang telah mengangkat
dirinya sebagai Ketua Partai Merapi Perkasa.
"Bangsat! Bangsat semua!" tiba-tiba orang itu memaki.
Nafasnya masih memburu. "Salah kaprah! Aku salah
kaprah. Setan betul!" mendadak dia hentikan makiannya.
Dia mendengar sesuatu. Suara seperti orang sesungukan.
"Eh, setan dari mana yang tersesat dan menangis di hutan kapas ini!" sentaknya.
Baru saja memaki begitu dia segera menyadari ada tiga orang yang tegak
mengurungnya. Dua berkerudung merah dan satu lagi kakek
jerangkong yang dikenalinya betul yakni Pendekar Muka Tengkorak. "Keparat, apa
mau ketiga setan alas ini. Dia pasti mengejarku!" dengan sikap dibuat setenang
mungkin, si bongkok itu menegur: "Para sahabat, kalian menunjukkan sikap yang
benar-benar mendukung Partai Merapi Perkasa. Sampai-sampai menemuiku di tempat
ini! Kakek muka tengkorak tertawa mengekeh.
"Kalau orang gila bicara ngaco masih kuanggap wajar.
Tapi kalau kau yang mengaku punya hak jadi ketua partai bicara melantur, bener-
bener lebih keblinger dari orang gila! Kami datang kemari bukan untuk bicara
segala macam soal partai. Kami ingin membuktikan siapa kau sebenarnya manusia
bungkuk!" Orang bungkuk bercadar hitam kini ganti tertawa
mengekeh walau sebenarnya ini hanyalah tawa pura-pura untuk dapat menutup
goncangan hatinya.
"Siapa yang tidak kenal pada jago kawakan bergelar Pendekar Muka Tengkorak. Tapi
hari ini aku juga heran kalau kau bicara melantur tak tahu ujung pangkal. Siapa
aku apa perdulimu" Jika kau memang ingin bergabung dalam partai, kau harus
tunduk padaku. Jangan banyak tanya. Tak perlu banyak mau tahu!"
Dari balik batu besar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta keluar sambil usap-usap
mata. Sesaat dia mendongak ke langit. Kemunculan orang yang dianggap nomor satu
di dunia persilatan ini membuat wajah di balik cadar hitam itu menjadi pucat.
"Celaka, menghadapi si muka tengkorak ini saja sudah cukup repot, apalagi kini
muncul si buta ini!" begitu si cadar hitam membatin. Agaknya dia sama sekali
menganggap remeh Mahesa dan Sari yang sampai saat itu
masih mengenakan kerudung kain merah.
"Ah, tidak disangka sahabatku Gembel Cengeng Sakti Mata Buta ternayat juga hadir
di sini!" si bungkuk lalu menjura dan batuk-batuk.
"Bagus... bagus. Jika kau mengganggapku sebagai
sahabat, silahkan buka cadar hitam yang menutui wajah-mu. Aku tidak begitu suka
bicara dengan manusia yang bermulut manis tapi menutupi wajahnya dengn segala
macam kedok!"
Kembali si bungkuk batuk-batuk. "Tapi dua kawanmu
inipun menutupi wajahnya mereka dengan kain!" katanya seraya menunjuk pada
Mahesa dan Sari.
"Jika aku minta mereka membuka kerudung itu, apakah kau juga mau membuka cadar
hitammu"!" tanya Gembel Cengeng.
Si bungkuk tak bisa menjawab.
Karena merasa memang tak ada perlunya lagi menutupi wajah masing-masing maka
Mahesa dan Sari lantas membuka kerudung merahnya.
"Nah... nah. Kedua sahabatku telah membuka kerudung
mereka. Sekarang lekas kau buka cadarmu..." yang bicara kini adalah Pendekar Muka
Tengkorak. "Engg... Tak mungkin cadar ini kubuka. Aku menderita sejenis penyakit kulit. Tidak
tahan terkena sinar
matahari..." si bungkuk menjawab.
"Kalau begitu, terpaksa aku yang melakukannya..." ujar Gembel Cengeng Sakti. Baru
saja dia selesai mengucapkan kata-kata itu bungkuk merasa ada angin menyambar
wajahnya datang dari samping kiri. Cepat dia
menghindarkan kepalanya ke samping kanan. Tapi dia tertipu. Justru dari sebelah
kanan ini tiba-tiba tangan kakek buta itu berkelebat cepat.
Sret! Cadar hitam penutup wajah si bungkuk terbetot lepas dan kini kelihatanlah
wajahnya yang asli. Begitu wajah si bungkuk, berserulah Pendekar Muka Tengkorak.
"Astaga! Bukan dia!"
Kakek buta mendongak ke langit. "Apa maksudmu
bukan dia?" tanyanya dengan nada sedih, hampir
menangis. "Bukan dukun keparat dari gunung Bromo itu!" sahut Pendekar Muka Tengkorak.
"Bukan...?" desis si kakek buta.
"Hai, rupanya kalian menyangkah aku Embah Bromo
Tunggal! Kalian benar-benar keterlaluan. Buka matamu lebar-lebar Pendekar Muka
Tengkorak. Apakah wajahku sama dengan muka dukun jahat itu"!"
Pendekar Muka Tengkorak tak bisa berkata apa-apa.
Hanya kedua matanya saja yang memandang tak berkesip.
Hatinya menyumpah. Dia melakukan pengejaran tadi
karena menyangka pasti bahwa manusia bungkuk yang
punya rencana besar mendirikan Partai Merapi Perkasa itu sebenarnya adalah Embah
Bromo Tunggal yang bernama asli Roko Nuwu. Ternayat bukan dia. Mau tidak mau
kakek ini jadi jengkel dan gemas. Mahesa sendiri kini baru menyadari kalau dia
diajak mengejar seseorang karena si kakek buta maupun si kakek muka tengkorak
mengira Ketua partai yang gagal itu adalah itu adalah Embah Bromo Tunggal. Manusia yang
memang dicari-carinya. Ternyata kini mereka semua melihat kenyataan bahwa si
bungkuk bukanlah Embah Bromo Tunggal!
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta kembali mendongak
ke langit sambil usap-usap dagu. Sementara itu manusia bungkuk tadi buka mulut
berkata: "Jika kalian memang tidak mau bergabung dalam partaiku, percua aku
lama-lama di sini. Selamat tinggal para sahabat yang tolol!"
Lelaki bungkuk itu siap untuk berkelebat pergi. Tapi tiba-tiba kakek buta sudah
menghadangnya. "Mataku memang buta. Tapi aku tidak bisa ditipu...'
"Apa maksudmu"!" lelaki bungkuk membentak.
Tampaknya dia sudah kehilangan kesabaran.
"Ada satu hal lagi yang belum kau lakukan!" kata kakek buta pula.
"Apa"!" sentk si bungkuk masih terus garang.
"Buka topeng tipis yang menutupi wajah aslimu!"
Kagetlah si bungkuk kini.
Mahesa, Sari dan Pendekar Muka Tengkorak juga tak
kalah terkejutnya.
*** 8 TERNYATA MEMANG DIA!
KACA IBLIS PEMBATAS JAGAT
alian semua orang-orang gila!" bentak lelaki
bungkuk marah. "dan aku tidak mau menghabiskan
K waktu dengan orang-orang macam kalian!
Menyingkir semua kalau tidak mau mampus!"
Kakek muka tengkorak kembali tertawa mengekeh lalu hidupkan sebatang rokok
kawung. Tak ada satu orangpun yang tampak mau melepaskan manusia bungkuk yang
hendak mengangkat diri jadi ketua partai itu.
"Bagus! Jadi kalian tidak mau menyingkir! Bersiaplah untuk mati!"
Lalu si bungkuk hantamkan tangan kanannya ke depan.
Segulung asap kelabu menggebubu.
"Awas! Jangan sampai dia kabur! Gembel Cengeng Sakti Mata Buta berteriak memberi
ingat begitu dia mendengar suara deru dan bau asap.
Laksana seekor burung elang Sari jatuhkan diri,
menukik dan cepat sekali dia berhasil mencekal sepasang kaki manusia bungkuk
tepat sesaat dia hendak melarikan diri. Sementara itu Pendekar Muka Tengkorak
hembuskan asap rokoknya ke depan. Asap rokok ini langsung menembus dan mengobrak
abrik asap kelabu yang tadi menutupi pemandangan.
Karena ketika hendak lari kedua kakinya dicekal Sari, orang itu jatuh terbanting
ke tanah. Salah satu pegangan pada kakinya terlepas. Secepat kilat dia hantamkan
tumitnya ke kepala Sari.
Buk! Sari yang dulunya dikenal sebagai Ratu Mesum, yang selain cantik juga memiliki
kepandaian tinggi dan menggegerkan dunia persilatan langsung sambut hantaman
kaki lawan dengan jotosan tangan kiri. Si bungkuk mengeluh tinggi. Telapak
kakinya serasa remuk. Sakit dan juga marah dia memukul ke bawah, namun hanya
mengenai tempat
kosong karena saat itu Sari sentakkan kaki kanannya hingga tubuh lelaki itu
terguling-guling. Begitu gulingan tubuhnya terhenti, seseorang diraskan
menginjak lengan kanannya, seorang lain menginjak tangan kirinya.
Memandang ke atas yang melakukan ternyata Mahesa dan Pendekar Muka Tengkorak.
Karena Sari masih mencekal pergelangan kakinya, dengan sendirinya orang itu tak
berkutik lagi. "Nah, nah!" Gembel Cengeng buka suara. Nadanya
kembali sedih. "Sekarang terpaksa aku membuka kedok-mu..." dia membungkuk ulurkan
tangan ke arah muka
orang yang terkapar tak berkutik di tanah itu justru saat itu orang tersebut
buka mulutnya lebar-lebar dan ulurkan lidahnya, maka terjadilah satu keanehan
luar biasa dan juga mengerikan.


Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lidah itu tampak tambah panjang, tambah panjang dan berubah menjadi seekor ular
merah berbelang hitam.
Binatang jejadian ini bergerak sebat dan tahu-tahu sudha menggelung leher kakek
buta. Karena ini merupakan
binatang buatan, si kakek tidak dapat mengetahui apa sebenarnya yang menggelung
lehernya. Jika saja itu ular sungguhan maka dia dapat mengetahui walau hanya
sesaat. Setelah menyadari apa yang terjadi dia kerahkan tenaga dalamnya ke
leher. Ular jejadian itu merasa kepanasan dan lepaskan gelungnya. Namun kemudian
ganti mematuk ke wajah si kakek. Saat itulah Pendekar Muka Tengkorak cabut
rokoknya dan tusukkan bagian yang berapi ke mata ular.
Cess! Binatang itu tarik kepalanya. Si kakek tusuk lagi
matanya yang satu. Kesakitan akhirnya binatang ini jatuhkan diri, menjadi kecil
dan akhirnya kembali kebentuk aslinya yakni lidah yang terjulur.
"Apakah kau ingin menunjukkan ilmu sulapmu yang
lain...?" bertanya kakek mata buta dengan nada mengejak.
"Dengar! Kita semua adalah orang-orang gagah dunia persilatan. Mari bicara dan
berunding secara gagah!" lelaki bungkuk yang masih terkapar di tanah itu
berkata. Ucapannya disambut gelak mengekeh oleh Pendekar
Muka Tengkorak. "Siapa bilang kau orang gagah! Kau tidak lain manusia pengecut,
penipu ulung, pengkhianat kawan, mencelakai orang-orang tak berdosa dengan ilmu
kejimu. Aku tidak was-was, kau memang pasti bangsatnya yang kucari-cari selama ini!"
Begitu ucapannya selesai tangan kanan Pendekar Muka Tengkorak menyambar ke wajah
orang itu. Bret! Sehelai topeng kulit yang sangat tipis tersingkap dari mukanya. Dan kini
terlihat tampang yang asli!
"Dukun keparat Embah Bromo Tunggal!" seru Mahesa.
Jaka Lola 12 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Jejak Di Balik Kabut 26
^