Pencarian

Ratu Kembang Mayat 1

Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Bagian 1


RATU KEMBANG MAYAT Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Ratu Kembang Mayat 128 hal.
JODOH RAJAWALI Ratu Kembang Mayat
1 GADIS cantik berparas lonjong berjalan mera-
patkan badan di sebelah kiri pendekar tampan; Yoga
Prawira yang mengenakan baju selempang dari kulit
beruang coklat yang membungkus baju putih lengan
panjang di dalamnya. Bukan hanya berdebar mesra
saja hati gadis itu, tapi juga merasa bangga dapat seir-ing melangkah bersama
seorang pendekar yang na-
manya cukup dikenal di kalangan tokoh-tokoh rimba
persilatan yaitu: Pendekar Rajawali Merah.
Gadis cantik berambut panjang yang disanggul
kecil di tengah dengan sisanya meriap ke samping, me-
rasa damai hatinya manakala ia dibiarkan menggeng-
gam lengan Pendekar Rajawali Merah yang kekar, ga-
gah. dan tampak perkasa itu. Gadis itu membiarkan
jubah ungu berlengan longgar yang menutup pakaian
hijaunya berkibar disapu angin. Seakan sang angin
sendiri merasa ikut gembira melihat langkahnya yang
santai dengan diselingi obrolan-obrolan mesra.
Sementara itu, di belakang mereka berdua ber-
jalan seorang wanita cantik yang usianya lebih tua dari yang menggandeng Yoga,
dan wanita cantik itu menyimpan rasa iri yang tak mungkin dilampiaskan. Si-
kapnya yang penuh waspada memandang kanan-kiri
menandakan sikap seorang pengawal. Wanita cantik
berwajah mungil dengan rambut berponi itu tak lain
adalah Lembayung Senja, yang bertugas menjaga kese-
lamatan ketua perguruannya, yaitu Kembang Mayat.
Hati Lembayung Senja sendiri sebenarnya Ikut
merasakan gembira, karena Kembang Mayat berhasil
menyiasati Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu, den-
gan mengatakan bahwa di tempatnya banyak terdapat
bunga Teratai Hitam. Yoga terkecoh sebenarnya, dan ia bernafsu sekali untuk ikut
ke Pesanggrahan Belalang
Liar demi mendapatkan Teratai Hitam. Kalau bukan
karena merasa iba melihat nasib Mahligai yang terkena Racun Edan dan harus
disembuhkan dengan bunga
Teratai Hitam, mungkin Yoga tak akan ikut ke tempat
tinggal Kembang Mayat (Baca Jodoh Rajawali dalam
kisah: "Misteri Topeng Merah").
Sejauh ini, Pendekar Rajawali Merah memang
belum tahu bahwa dirinya ditipu untuk dipancing su-
paya ikut bersama Kembang Mayat, sebab hati Kem-
bang Mayat semakin lama semakin terkesan oleh ke-
lembutan Yoga, juga terkesan oleh ketampanan dan
senyumnya yang memikat. Namun sebagai Ketua Per-
guruan Belalang Liar, tentu saja Kembang Mayat tidak
menampakkan perasaan hatinya.
Ketika ia mengajaknya bermalam ke rumah
seorang sahabat, Kembang Mayat pun tidak kelihatan
mengumbar cintanya. Di rumah sahabatnya itu, ia ju-
stru banyak bicara dengan Lembayung Senja di dalam
sebuah kamar. Sementara itu, Yoga ada di kamar lain
dan tak tahu apa yang dibicarakan mereka.
"Padahal kalau kita mau bergerak cepat, kita
sudah sampai ke pesanggrahan sebelum matahari
tenggelam," kata Lembayung Senja pada malam itu.
Kembang Mayat tertawa kecil dan berkata,
"Sengaja ku perpanjang perjalanan, supaya aku
punya banyak kesempatan menikmati alam bebas ber-
sama Pendekar Rajawali Merah. Apa katamu itu me-
mang benar, Lembayung Senja. Dia memang lebih
layak mendapat gelar atau julukan sebagai pendekar
tampan pemikat hati wanita! Karena saat ini begitu cepat aku dapat merasakan
daya pikatnya yang luar bi-
asa. Padahal selama ini aku tidak pernah merasakan
terpikat sebegitu hebat terhadap seorang pemuda. Tapi terhadap pendekar tampan
itu, rasa terkesan ku sudah berubah menjadi terpikat, dan akhirnya menjadi
ingin memiliki dia! Apakah hatimu tidak begitu, Lem-
bayung Senja?"
"Tidak, Ketua!" jawab Lembayung Senja.
"Mengapa kau tidak terpikat olehnya?"
"Saya takut jatuh cinta, Ketua!"
"Apa yang kau takuti" Jatuh cinta itu indah!"
"Saya takut tidak bisa lepas dari orang yang
saya cintai. Jadi saya menutup diri untuk tidak jatuh cinta pada siapa pun!"
"Aha, aneh juga kau rupanya!" Kembang Mayat tertawa pelan.
Padahal di dalam hati Lembayung Senja tidak
seperti apa yang diucapkannya. Ia justru lebih dulu
terpikat ketimbang sang Ketua. Namun karena pende-
kar tampan itu diincar oleh sang Ketua, ia tidak berani bersaing, dan secara
tidak langsung mengundurkan
diri dari hasratnya. Ia merasa cukup menyimpan pera-
saan hatinya jauh di dasar sanubarinya dan tak berani dinyatakan dalam kehidupan
sehari-hari. Karena itulah, Lembayung Senja bisa merasakan kebahagiaan
yang tumbuh di hati sang Ketua, manakala ia berjalan
dl belakang sang Ketua yang menggenggam lengan
pendekar tampan itu.
Langkah mereka terhenti ketika dari tikungan
jalan muncul seorang berpakaian hitam, berkumis,
dan berkepala mendongak. Orang itu adalah Jalak Hu-
tan, yang pernah mendapat tendangan jurus 'Rajawali
Paruh Pendek' dari Yoga sehingga kepalanya tetap
mendongak tak bisa kembali seperti biasanya.
Melihat ada orang berdiri menghadang dalam
keadaan menyamping, dengan mata memandang mir-
ing, Kembang Mayat segera memberi isyarat kepada
Lembayung Senja untuk maju ke depan. Lembayung
Senja cepat melangkah dan mendekati Jalak Hutan
dengan tangan siap mengambil cambuknya dari ping-
gang. Tetapi terdengar suara Yoga berseru,
"Biar aku yang temui dia, Lembayung Senja!"
Lembayung Senja memandang Kembang Mayat.
Isyarat kecil diberikan oleh Kembang Mayat sehingga
Lembayung Senja mundur dan membiarkan Yoga
mendekati Jalak Hutan.. Sekalipun begitu, Kembang
Mayat tetap menyertainya, Lembayung Senja tetap
menjaganya. "Agaknya kau sengaja menemuiku, Jalak Hu-
tan!" kata Yoga.
"Benar! Aku memang sengaja menemuimu, wa-
lau sulit bagiku mencarimu, Pendekar Rajawali Me-
rah!" jawab Jalak Hutan tidak sekasar sebelumnya, sehingga Yoga sendiri bersikap
tenang. "Apakah kau masih ingin melanjutkan perta-
rungan kita kemarin?"
"Tidak! Ada beberapa hal yang ingin kukatakan
padamu secara empat mata, Yoga!"
Kembang Mayat berkerut dahi, merasa tak su-
ka mendengar ucapan tersebut. Seakan ia ingin dis-
ingkirkan dari pembicaraan mereka berdua. Maka
Kembang Mayat pun segera berkata,
"Bicaralah di sini, tak perlu harus empat mata!"
"Ini soal pribadi!" kata Jalak Hutan kalem.
"Kau juga telah mengganggu perjalanan priba-
diku!" balas Kembang Mayat dengan suara sedikit
tinggi. Yoga mulai menangkap adanya gelagat tak baik
dalam perasaan Kembang Mayat yang pasti tersing-
gung dengan kata-kata Jalak Hutan tadi. Maka, Yoga
pun segera berkata,
"Beri aku kesempatan bicara dengannya, Kem-
bang Mayat. Antara aku dan dia pernah bertarung ga-
ra-gara pedang pusaka milik guruku. Mungkin dia in-
gin mengatakan sesuatu dan malu jika didengar ka-
mu." Dengan napas terhempas menahan dongkol
dan wajah sedikit murung, akhirnya Kembang Mayat
mengizinkan Yoga bicara dengan Jalak Hutan berdua.
Mereka segera melangkah ke bawah sebuah pohon, se-
dikit berlindung di belakang pohon itu.
"Kita lupakan dulu pertikaian antara kita ber-
dua," kata Jalak Hutan, dan Yoga menyahut,
"Kalau itu maumu, aku tak pernah keberatan!
Lalu apa maksudmu bicara empat mata denganku, Ja-
lak Hutan?"
Sambil tetap mendongakkan kepala, Jalak Hu-
tan menjawab, "Aku mempunyai seorang keponakan
yang cantik...."
"Kau mau menukar keponakanmu itu dengan
pedang pusakaku ini?" potong Yoga kaget.
"Dengar dulu kata-kataku, Yo!" sergah Jalak Hutan sedikit keras. Hal itu membuat
Lembayung Senja mencabut cambuknya dan melangkah mendekati
Yoga. Tangan Yoga memberi isyarat bahwa di situ tidak terjadi hal yang
membahayakan. Maka Lembayung
Senja pun kembali berdiri di samping Kembang Mayat
dengan cambuk tetap di tangan, sewaktu-waktu siap
dilecutkan. Melihat sikap jaga-jaganya Lembayung Senja,
Jalak Hutan segera bertanya kepada Yoga,
"Apakah kau punya hubungan intim dengan
Kembang Mayat dan orang Perguruan Belalang Liar
itu?" 'Tidak se intim dugaanmu! Aku hanya ada uru-
san sedikit dengan Kembang Mayat untuk menolong
seseorang! Lanjutkan saja kata-katamu!"
"Begini, Yo..., aku mempunyai seorang kepona-
kan yang sangat ku sayangi! Dia mengenal kamu, dia
pernah bertemu dengan kamu, dan dia menyuruhku
mencari kamu untuk menyampaikan kabar darinya,
bahwa dia rindu sama kamu! Dia mengharapkan keda-
tanganmu, Yo!"
"Siapa nama keponakanmu itu?"
"Mutiara Naga!" "Oooh... dia keponakanmu"!"
"Benar, Yo!"
Pendekar Rajawali Merah manggut-manggut
sambil tersenyum. Terbayang wajah Mutiara Naga yang
berhidung mancung, wajah bulat telur, mata bulat in-
dah, dan rambutnya yang panjang diikat jadi satu
dengan tali pita merah. Sisa pitanya cukup panjang
hingga melambai-lambai bagaikan ekor burung cende-
rawasih. "Datanglah padanya, Yo. Dia sangat merindu-
kan kamu. Sebenarnya aku enggan menemuimu den-
gan sikap seperti saat ini, tapi karena dia merengek terus padaku, dan aku tak
bisa bilang apa-apa lagi, ma-
ka kucari juga kau, Yo! Dan... dan... yah, mau tidak mau kita berhenti dululah
dari pertikaian kita!"
"Heh... lucu sekali!" kata Yoga sambil tertawa pendek dan pelan.
"Dia mencintaimu, Yo! Dia tekadkan hati untuk
kawin denganmu! Jadi, karena itulah kuharap kau
mau datang padanya. Yo!"
Tiba-tiba suara Kembang Mayat menyahut dari
jarak empat tombak.
'Tidak bisa! Yoga punya urusan sendiri dengan-
ku dan harus diselesaikan sekarang juga!"
Yoga dan Jalak Hutan tertegun memandang ke
arah Kembang Mayat. Rupanya Kembang Mayat guna-
kan ilmu penyadap suara, sehingga dari jarak sejauh
itu pun ia masih bisa dengarkan suara bisik-bisik percakapan kedua lelaki itu.
"Yo, kita lanjutkan perjalanan kita dan jangan
hiraukan omongan orang mabuk itu!" kata Kembang
Mayat yang telah menyusul sambil menarik tangan
Pendekar Rajawali Merah.
Jalak Hutan segera berseru,
"Hei, jangan campuri dulu urusan pribadiku,
Kembang Mayat!"
"Kau yang merampas urusan pribadi orang
dengan mencegat seenaknya saja!" bentak Kembang
Mayat. Yoga menengahi, "Kembang Mayat, sebaiknya ku beri keputusan dulu kepada
Jalak Hutan bahwa...."
"Kalau kau masih mengurus dia, tidak akan ku
izinkan kau memetik bunga itu dari tempatku!" ancam Kembang Mayat dengan ketus.
Pendekar Rajawali Merah menjadi bimbang. ia
bu-tuh sekali bunga Teratai Hitam itu agar Mahligai
lekas sembuh, namun ia perlu memberi jawaban past!
kepada Jalak Hutan bertalian dengan permohonan
Mutiara Naga itu. Tetapi di lain sisi ia diancam oleh Kembang Mayat dan tak enak
jika sampai mengecewakan sahabat barunya itu.
"Kembang Mayat!" seru Jalak Hutan setelah
mereka melangkah makin jauh, "Jangan paksa aku
melepaskan amarahku kepadamu! Biarkan Yoga ikut
denganku, Kembang Mayat!"
"Lembayung Senja, urusi dia!" perintah Kem-
bang Mayat kepada Lembayung Senja dan wanita can-
tik itu bergegas membalikkan langkah sambil menca-
but cambuknya. Yoga mulai cemas dan berusaha menahan apa
yang ingin dilakukan Lembayung Senja.
"Lembayung Senja, tahan dulu...!"
Tapi terlambat, Lembayung Senja cepat berge-
rak dan cambuknya segera melecut ke arah Jalak Hu-
tan. Taaar...! Jalak Hutan melompat ke kiri, ternyata gerakan cambuk itu seperti
kibasan ekor buaya, ia
bergerak ke kanan namun sesungguhnya ujung cam-
buk mengarah ke kiri. Maka tak ayal lagi, Jalak Hutan pun terkena lecutan cambuk
pada pahanya. Craas...!
"Auh...!" Jalak Hutan memekik kesakitan.
Ujung cambuk itu setajam mata pedang. Paha Jalak
Hutan robek, lukanya menguak dan darahnya menga-


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lir deras. Darah itu lama-lama menjadi kehitam-
hitaman, itu pertanda racun dari ujung cambuk telah
membaur dengan darah di tubuh Jalak Hutan.
"Jangan serang dia!" sentak Yoga sambil me-
nyambar cambuk dari tangan Lembayung Senja. Tapi
Lembayung Senja mempertahankan dan berkata kepa-
da Yoga, "Ini perintah dari Ketua!"
"Penyelesaiannya tidak harus dengan cara ke-
ras begini!"
Tiba-tiba Jalak Hutan melepaskan pukulan
bercahaya merah melesat menuju Lembayung Senja.
Melihat kilatan cahaya merah itu, Yoga segera menyen-
takkan tangannya dan melepaskan cahaya merah pula
ke arah cahayanya Jalak Hutan.
Blaaar...! Cahaya itu pecah di pertengahan dan
tak jadi mengenai tubuh Lembayung Senja.
Tetapi akibat ledakan itu, Lembayung Senja
terpental keras, hanya untungnya segera dipeluk oleh
Yoga untuk diselamatkan dari hempasan kuat, se-
dangkan Jalak Hutan terpental dan berguling-guling
mendekati pohon di mana tadi ia berdiri.
Melihat Lembayung Senja dipeluk oleh Yoga,
Kembang Mayat menjadi semakin jengkel, karenanya
ia segera berseru,
"Yo, mau ikut aku atau tidak! Kalau tidak, ku
tinggalkan kau di sini!" Kembang Mayat mempercepat langkah dan melesat pergi.
Terpaksa Yoga segera mengejarnya karena takut kehilangan arah. Lembayung
Senja masih tinggal di tempat dan kembali mengham-
piri Jalak Hutan.
Racun yang meresap dalam darah Jalak Hutan
membuat tubuhnya menjadi lemas. Akibatnya, ketika
Lembayung Senja menghajarnya, Jalak Hutan tidak
bisa membuat perlawanan. Apalagi keadaan kepalanya
masih kaku mendongak begitu, maka dengan seenak-
nya Lembayung Senja menghajar memakai cambuk-
nya. Akibatnya Jalak Hutan menderita luka-luka cu-
kup banyak dan ia segera melarikan diri.
Untung Lembayung Senja tak sampai membu-
nuhnya. la merasa puas melihat lawannya menderita
banyak luka cambukan, berarti lawan dalam keadaan
semakin lemas tubuhnya termakan racun dari ujung
cambuk. Kemudian ia bergegas pergi menyusul Kem-
bang Mayat dan Pendekar Rajawali Merah.
Jalak Hutan berusaha mencari tempat yang le-
bih aman lagi. Sasaran arah adalah pondok Tabib Pe-
rawan. Setidaknya di sana ia bukan saja mendapat
tempat aman, melainkan juga bisa mendapat obat un-
tuk melawan racun dari ujung cambuk tadi. Tetapi
agaknya langkahnya sudah sangat lemah, tenaganya
bagai hilang. Jalak Hutan hanya merapatkan badan di
bawah pohon besar dan terengah-engah di sana mena-
han luka. Ia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri
dalam keadaan susah payah, karena kepalanya tetap
mendongak dan tak bisa dipakai untuk melihat luka-
lukanya. Beberapa saat kemudian, ketika hari mulai me-
rayap siang dan matahari pun mendekati titik perten-
gahannya, Jalak Hutan melihat sekelebatan warna me-
rah jambu. Warna itu adalah pakaian seseorang yang
berkelebat di balik semak antara delapan tombak da-
rinya. Jalak Hutan sengaja memekik untuk memanc-
ing perhatian orang tersebut, dan ternyata usahanya
itu berhasil. Orang tersebut berpaling ke arahnya dan segera mendekatinya.
Ternyata orang itu adalah seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian merah
jambu dan menyandang pedang bergagang dua kepala
burung rajawali yang bertolak belakang berwarna pu-
tih keperakan di punggungnya. Jalak Hutan terkejut
sesaat melihat kehadiran gadis cantik itu.
"Pasti itu Pedang Sukma Halilintar, milik Dewi
Langit Perak!" pikir Jalak Hutan dalam keterbengon-gannya. "Lalu siapa gadis
ini" Muridnya Dewi Langit Perak"! Jadi..., ada dua pendekar rajawali sekarang
ini" Benarkah begitu"!"
Mata gadis cantik yang ternyata bernama Lili
itu memandangi Jalak Hutan dengan dahi berkerut
Semakin dekat semakin berkerut dahinya itu. ia pun
segera bertanya,
"Siapa yang melukaimu sebanyak ini, Pak
Tua?" Sambil mendongak ke atas karena memang begitu keadaan kepalanya, Jalak
Hutan pun menjawab,
"Seseorang dari Perguruan Belalang Liar! Kalau
kau bisa tolong aku, tolonglah. Kalau tak bisa, tinggalkan saja aku!"
Karena kepala Jalak Hutan memandang ke
atas, maka Lili yang berjuluk Pendekar Rajawali Putih
pun ikut memandangi ke atas pohon. Lili menyangka
lawan Pak Tua itu ada di atas pohon. Ia hampir saja
melepaskan pukulan tenaga dalamnya untuk memanc-
ing agar orang yang di atas pohon itu turun mene-
muinya. Tetapi Jalak Hutan mencegahnya,
"Mau apa kau"!"
"Melepaskan pukulan agar lawanmu turun dari
atas pohon!"
"Lawanku sudah lari!"
"Lalu, kenapa kau mendongak terus begitu?"
"Memang beginilah nasib kepalaku, tak bisa di-
kembalikan seperti semula sejak aku berselisih dengan Pendekar Rajawali Merah!"
"Hah..."! Kau bertarung dengannya"!" Lili terkejut.
"Ya, tapi itu beberapa waktu yang lalu! Seka-
rang aku sudah berdamai dengannya, tapi dia lupa
mengembalikan kepalaku ke tempat semula! Bahkan
tadi pun dia pergi begitu saja tanpa sempat memulih-
kan keadaanku ini!"
Lili membatin dalam hatinya, "Pasti orang ini
kena tendangan 'Rajawali Paruh Pendek'! Hmm...! Me-
mang suka usil juga Yoga itu!"
Pendekar Rajawali Putih yang matanya sudah
tidak terkena pasir lagi itu, segera bertanya kepada Jalak Hutan,
"Jadi kau tadi juga bertemu dengan Yoga?"
"Ya! Kulihat dia berjalan dengan dua perem-
puan cantik."
Lili tersentak dan jantungnya mulai bergemu-
ruh. Hatinya pun membatin, "Hmm.... Rupanya dia
pergi dengan dua perempuan cantik. Awas kalau ku-
temukan nanti!"
"Sekarang ke mana dia perginya" Kau bisa tun-
jukkan padaku di mana dia berada?" tanyanya kepada Jalak Hutan.
"Bisa!" jawab Jalak Hutan. 'Tapi dengan syarat kau mau pulihkan kembali kepalaku
ini dan obati lu-ka-lukaku."
"Apakah yang melukaimu ini juga Yoga?"
"Bukan! Sudah kukatakan tadi, orang Pergu-
ruan Belalang Liar yang melukai ku, Nona Manis!"
Lili memeriksa keadaan luka Jalak Hutan, lalu
ia berkata, "Lukamu ini beracun!"
"Benar! Dan apakah kau bisa menawarkan ra-
cunnya?" "Baiklah! Akan ku coba! Tapi kau harus tun-
jukkan dl mana Yoga berada, kalau tidak... kau akan
ku bantai lebih kejam dari ini!"
"Baik. Aku berjanji!"
Karena Lili tahu kunci melepaskan jurus
'Rajawali Paruh Pendek', maka ia pun segera menghan-
tam bagian di bawah tulang dekat leher depan. Dengan
kedua tangan menguncup, Lili sentakkan tangan itu ke
arah tempat tersebut. Deeb, deeb...! Dan kepala Jalak Hutan pun seketika
terkulai ke depan. Wuuut...! Lega
rasanya. Kemudian Lili juga salurkan hawa murninya
ke tubuh Jalak Hutan, sehingga darah hitam semakin
banyak yang keluar dari setiap lukanya. Makin lama
darah itu semakin bening, menjadi merah seperti da-
rah pada umumnya. Itu pertanda racun di dalam da-
rah tersebut telah keluar habis.
"Sekarang giliranmu menolongku, Pak Tua!
Tunjukkan di mana Yoga pergi dan ke mana arah-
nya"!" kata Lili menagih janji.
"Dia pergi ke Perguruan Belalang Liar. Dia
agaknya terpikat kepada Ketua Perguruan Belalang
Liar itu yang bernama Kembang Mayat!"
Terpikat"!" Lili berdebar-debar.
'Yang ku khawatirkan, dia terkena Racun Bun-
ga Asmara! Itu berbahaya! Sebab jika ia terkena Racun Bunga Asmara, ia tak akan
kenal siapa-siapa kecuali
Kembang Mayat saja!"
"Celaka...!" Lili menjadi tegang dan menahan amarah.
* * * 2 BEBERAPA saat lagi mereka akan tiba di Pe-
sanggrahan Belalang Liar. Sepanjang perjalanan Yoga
sibuk membujuk Kembang Mayat yang cemberut kare-
na merasa tak suka dengan pembicaraan yang dilaku-
kan Yoga terhadap Jalak Hutan. Beberapa kali Yoga
terpaksa harus meyakinkan Kembang Mayat, "Aku tak punya hubungan apa-apa dengan
Mutiara Naga, selain
hanya sahabat biasa!"
"Aku mendengar sendiri dari ucapan Jalak Hu-
tan kalau gadis itu mencintaimu dan mengharapkan
kau datang padanya!"
'Tapi aku tidak menyuruhnya mencintai ku dan
aku belum datang kepadanya! Kenapa kau harus tak
suka dengan percakapan itu"!"
"Kurasa Mutiara Naga harus dibunuh!" "Jangan begitu, Kembang Mayat! Dia manusia,
sama halnya dengan kamu, kalau dia tertarik padaku itu wajar, ka-
rena aku lelaki! Kau pun wajar kalau tertarik padaku, Lembayung Senja juga wajar
atau perempuan mana
pun wajar tertarik padaku, karena aku lawan jenis me-
reka! Mengapa kau ingin mempersalahkan Mutiara Na-
ga?" "Aku tidak menyalahkan dia, aku hanya ingin melenyapkan dia, karena dia
akan menjadi penghalang
ku nantinya!" kata Kembang Mayat dengan sikap tegas.
"Penghalang dalam hal apa?"
"Dalam hal... dalam hal memiliki kamu!"
Pendekar Rajawali Merah hentikan langkah ka-
rena terkejut mendengar pengakuan yang terang-
terangan itu. Kembang Mayat menatapnya dalam, tak
peduli Lembayung Senja yang ada di sampingnya sete-
lah menyusul tadi, memperhatikan ke arah mereka
berdua. "Aku memang ingin memiliki kamu, karena aku tertarik padamu!"
Yoga tertawa pendek, "Ini hal yang lucu, Kem-
bang Mayat!"
"Di mana letak lucunya?"
"Kita baru saja saling bertemu kau sudah bisa
jauh hati padaku! Bukankah itu hal yang lucu?"
"Itu hal yang aneh!" sahut Kembang Mayat.
"Dan seumur hidupku belum pernah aku merasa sea-
neh ini, Yo!"
"Aku... aku...," Yoga cengar-cengir kebingungan. "Aku jadi tak tahu harus
bersikap apa dan bagaimana terhadapmu!"
Kembang Mayat semakin mendekatkan wajah.
Lembayung Senja risi dan segera palingkan wajahnya
ke arah lain. Lalu terdengar olehnya sang Ketua ber-
tanya kepada Yoga dengan suara pelan dan lembut,
Tidakkah kau ingin memiliki diriku juga, Yo"!"
Senyum Pendekar Rajawali Merah yang mem-
bual hati itu mengembang, matanya memandang ke
atas berkeliling, sebagai sikap memandang yang salah
tingkah. Belum sempat Yoga melontarkan jawaban, ti-
ba-tiba terdengar suara Lembayung Senja berseru,
"Ketua...! Kelihatannya orang yang menuju ke-
mari itu Rahsumi!"
Kembang Mayat dan Yoga sama-sama meman-
dang ke arah yang ditunjuk Lembayung Senja. Kem-
bang Mayat semakin terperanjat setelah tahu orang
yang memakai pakaian kuning dan sedang berlari-lari
itu memang anak buahnya yang bernama Rahsumi.
Kembang Mayat yang tegang segera menyambut keda-
tangan Rahsumi dengan berlari menjemputnya. Rah-
sumi pun roboh di atas rerumputan dalam keadaan
tubuhnya terluka. Banyak luka bakar maupun luka
sayatan pedang pada tubuh Rahsumi. Hal itu mem-
buat wajah Kembang Mayat yang jelita menjadi merah
karena menahan murkanya sendiri
"Apa yang terjadi, Rahsumi"! Siapa yang men-
ganiaya kamu seperti ini"! Siapa..."!" Kembang Mayat membentak karena tak sabar.
"Perguruan... diserang orang... dibakar!" ucap Rahsumi dengan suara lemah.
Kembang Mayat dan
Lembayung Senja saling bertatap pandang dengan ma-
ta terbelalak lebar.
Lembayung Senja segera bertanya kepada Rah-
sumi, "Ceritakan dengan jelas, siapa pelakunya, Rahsumi"!" "Mereka... orang-
orang kita... tewas semua...
hanya sebagian yang masih hidup, dan... dan aku lari
mencari Ketua untuk... untuk melaporkan kerusuhan
itu!" "Siapa pelakunya...!" sentak Kembang Mayat.
"Manusia... manusia bertopeng merah...!"
"Hahh..."!" Kembang Mayat dan Lembayung
Senja kembali tersentak kaget mendengar jawaban itu.
Yoga pun menjadi terperanjat mendengarnya, wajah-
nya berubah tegang. Ke arah utara ia memandang,
samar-samar terlihat asap mengepul di sela relung ta-
naman di tempat jauh sana.
"Topeng Merah..."! Mengapa ia lakukan hal
itu"!" pikir Yoga.
Ia tak sempat berkecamuk dalam hati terlalu
panjang, karena Kembang Mayat segera berkata kepa-
da Lembayung Senja,
"Pergi dan hadapi dia secepatnya!"
"Baik, Ketua!" Lembayung Senja pun melesat
pergi lebih dulu. Kembang Mayat bertanya kepada
Rahsumi yang semakin tipis nafasnya,


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang lari ke mana si Topeng Merah itu?"
"Mas... masih... masih di sana, Ketua...!"
"Berapa orang yang menyerang perguruan ki-
ta?" "Hanya... hanya dia... Topeng Merah sendiri...."
"Biadab!" geram Kembang Mayat dengan napas
mulai memburu cepat karena dadanya bagai ingin me-
ledak menyimpan murka.
"Tolong dia!" katanya kemudian kepada Yoga, lalu tanpa pamit lagi Kembang Mayat
segera meninggalkan tempat. Yoga tahu maksudnya, bahwa ia dis-
uruh menolong mengobati Rahsumi. Tetapi apa yang
harus ditolong jika begitu Kembang Mayat pergi, Rah-
sumi menghembuskan napas terakhir. Ia mati dengan
terlalu lemas. Yoga pun segera menyusul Kembang
Mayat untuk memberi bantuan. Setidaknya menahan
tindakan Topeng Merah yang sampai saat itu belum
diketahui siapa orangnya.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Merah me-
lesat antara lima belas tombak dari mayat Rahsumi
tergeletak, tiba-tiba sebaris cahaya biru melintang di depan langkahnya dalam
jarak lima langkah. Cahaya
biru itu lebarnya tiga jengkal, membentang lurus dari pohon kiri ke pohon yang
kanan. Tingginya sekitar li-ma jengkal dari permukaan tanah.
Yoga hentikan langkah melihat sinar biru
membentang dari pohon ke pohon. Ia hanya menggu-
mam dengan tubuh melemas menahan jengkel.
"Pagar Kematian! Ini pasti perbuatan Lili...!"
Pendekar Rajawali Merah yakin betul, pasti ada
Pendekar Rajawali Putih di sekitar tempat itu. Karena ia tahu, sinar biru yang
membentang itu adalah 'Pagar Kematian' yang biasanya dipakai sebagai jebakan
maut bagi pengejaran lawan yang gegabah. Siapa pun me-
lompati, atau meloloskan diri dari bawah sinar itu,
pasti akan mati terbakar. Apalagi menerobosnya, jelas akan hancur tubuh orang
tersebut. Yoga pun bisa memasang 'Pagar Kematian', ka-
rena ilmu itu ia peroleh juga dari mendiang gurunya.
Karena itu, dengan menarik napas panjang dan mena-
hannya dl dada, Yoga menggerakkan tangannya dari
kanan ke kiri dalam satu kelebatan. Zruub...! Sinar itu padam dan hilang.
Kemudian ia berseru,
"Guru...! Keluarlah!"
Dari balik sebuah pohon muncul seraut wajah
cantik yang melebihi wajah bidadari. Wajah cantik itu cemberut dan memandang
sinis kepada Yoga. Wajah
cantik itu adalah wajah Lili; guru angkatnya Yoga.
Lili melangkah dengan tenang namun penuh
kedongkolan dl hatinya. la mendekati Yoga dan me-
mandang tak berkedip, menampakkan kemarahannya
Pendekar Rajawali Merah hanya tersenyum-senyum
dan berkata, "Mengapa aku tak boleh lewat?"
"Bukan urusanmu!"
"Aku ingin menolong Kembang Mayat, karena
Topeng Merah mengamuk di sana dan membakar ha-
bis perguruan yang diketuai oleh Kembang Mayat itu,
Guru!" "Gurumu adalah aku, bukan dia!" kata Lili dengan tegas. "Kau harus patuh
padaku, bukan kepada dia!" Senyum Yoga semakin mengembang dan membuat gemas hati
Lili. Yoga berkata lagi,
"Aku hanya ingin menolongnya, Guru!"
"Setiap perempuan cantik apakah harus kau to-
long?" "Kau cemburu kepadanya?" ucap Yoga pelan dengan mata memandang lembut
kepada Lili. "Jangan lontarkan lagi pertanyaan seperti itu
kalau tak ingin kutampar mulutmu!"
"Lalu kenapa kau menghalangiku ke sana" Apa
alasannya?"
"Kau terlalu jauh melibatkan diri dalam urusan
perguruan lain! Kau bukan dari perguruan itu. Yoga!"
"Apakah dalam menolong kita harus meman-
dang perguruan?"
"Aku tidak berkata begitu!" jawab Lili dengan tegas. "Tapi aku tidak suka kau
selalu ikut campur
urusan pribadi orang, sementara urusan pribadimu
sendiri belum bisa kau selesaikan!"
"Bukankah Guru mengajarkan juga agar kita
lebih mementingkan pertolongan untuk orang lain da-
ripada mementingkan diri sendiri"!"
"Artinya, kita menolong sebatas kemampuan ki-
ta dan tidak perlu sampai berlebih-lebihan!"
"Pertolonganku kepada orang-orang Belalang
Liar itu tidak berlebihan!"
"Dengan menyelam ke dalam jiwa dan pribadi
ketuanya yang genit itu, kau sudah berlebihan membe-
ri pertolongan, Yo!"
"Kurasa tidak! Kurasa tidak ada salahnya kalau
aku datang ke sana untuk melerai pertarungan antara
Topeng Merah dan Kembang Mayat! Bukankah tugas
kita juga mencegah tindakan yang sewenang-wenang
dan tidak manusiawi"!"
'Topeng Merah sudah kelewat batas! Dia telah
menyerangku dan membela Mata Neraka saat aku ber-
tarung dengan adik si Malaikat Gelang Emas itu!"
Pendekar Rajawali Merah terperanjat menden-
garnya. Matanya menatap dengan tajam di iringi keru-
tan dahi. Ia melangkah dua tindak agar lebih dekat lagi dengan Lili, kemudian
segera berkata pelan,
"Kau telah melawan Mata Neraka?"
"Ya!" Lili buang muka. "Kudengar percakapan-nya dengan Panglima Makar, bahwa
kuburan kakek- nya tidak boleh dilangkahi siapa pun, supaya kelak dalam masa tiga tahun
kemudian dapat bangkit kemba-
li!" "Lalu apa yang kau lakukan?"
"Aku melompati makam Itu."
"Berhasil?"
'Tidak! Dia menggagalkan gerakanku. Kami pun
segera membuka pertarungan! Sebenarnya Mata Nera-
ka bisa kubunuh, tapi Topeng Merah muncul dan
membantunya! Sekarang aku melarikan diri dari me-
reka, dan agaknya Mata Neraka masih mengejarku!"
"Mengapa kau harus lari"! Mengapa Topeng
Merah tidak kau bunuh sekalian"! Barangkali dia me-
mang sekutunya Malaikat Gelang Emas!"
"Mataku terkena semburan pasir dari batu yang
di ledakkannya. Aku terpaksa harus mencuci mataku
lebih dulu sebelum meneruskan pertarungan!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan na-
pas panjang, pandangannya terlempar jauh ke arah
kepulan asap di seberang sana. Tapi pikirannya mene-
rawang pada wajah si Mata Neraka. Di dalam hati, Yo-
ga menyimpan kemarahan mendengar Lili dikejar-kejar
oleh si Mata Neraka. Tapi kemarahan itu dipendamnya
dengan rapi dan ia tetap bersikap tenang. Bahkan se-
karang ia bertanya dengan suara pelan,
"Lalu untuk apa kau berada di sini sekarang?"
"Mata Neraka mencarimu juga!"
"Ya, aku tahu! Tapi dari siapa kau tahu aku
menuju kemari?"
"Pak Tua yang pernah kau tendang dengan ju-
rus 'Rajawali Paruh Pendek' itu yang menunjukkan
arah kemari! Dia yang menceritakan bahwa kau dalam
pengaruh kecantikan Kembang Mayat! Kau dibawanya
pulang oleh perempuan yang layaknya menjadi seo-
rang gundik! Bukan seorang istri yang baik!" ketus Lili dengan penuh kebencian.
Wajahnya semakin cemberut.
"Kita belum tahu persis siapa Kembang Mayat,"
kata Yoga, "Jadi tak pantas memberikan penilaian jelek terhadapnya!"
"Pak Tua yang terluka itu menyebutkan adanya
Racun Bunga Asmara yang dimiliki oleh Kembang
Mayat!" "Apa kehebatan Racun Bunga Asmara itu?"
"Jika kau terkena racun itu, kau akan lupa se-
gala-galanya, tak ingat dengan siapa pun. Yang kau
ingat hanya Kembang Mayat! Karena itu aku akan
mencegahmu datang ke sana, supaya kau tetap ingat
padaku!" "Itu omong kosongnya si Jalak Hutan, yang kau
temui di jalan tadi! Jangan mau percaya dengan bua-
lan orang sinting itu, Guru!"
Pendekar Rajawali Putih melangkah pelan
mendekati bawah pohon yang berdaun rindang, dan
Pendekar Rajawali Merah mengiringinya di samping
kanan. Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Putih masih
cemberut dan berkata,
"Terlepas omongan Pak Tua itu bualan atau ju-
jur, tapi kekhawatiran itu memang ada padaku, Yo!"
"Maksudnya, kau khawatir kalau aku lupa pa-
damu?" "Ya! Itu adalah musuh yang paling ku takuti!
Malaikat Gelang Emas berani kuhadapi, seribu pun
orang macam dia tetap berani kuhadapi! Tapi keadaan
dirimu yang melupakan aku, adalah ha! yang paling ku
takuti dan membuatku gelisah dan cemas, Yo!"
"Mengapa sampai sebegitu takut" Apa sebab-
nya?" desak Yoga.
Lili berhenti, tepat di bawah pohon rindang itu
mereka hentikan langkah secara bersamaan. Kemu-
dian dengan memandang tajam penuh makna dari hati
ke hati, Lili menjawab pertanyaan Yoga yang tadi.
"Kau satu-satunya muridku! Wajarlah rasanya
kalau seorang guru takut kehilangan muridnya, kare-
na sang Guru tidak mau ambil murid lain lagi!"
"Hanya karena hubungan itukah yang mem-
buatmu takut, Guru"!"
"Apa maksudmu mendesak ku terus?" Lili ganti bertanya dan Yoga menjadi terpojok
sendiri. Ia gelaga-pan dan hanya bisa tersenyum-senyum sambil me-
mandang ke arah lain.
Pada saat memandang ke arah lain itulah, Yoga
melihat sekelebat sinar hijau melesat ke arah Lili. Den-
gan cepat Yoga menarik tubuh Lili untuk menghindar
dari sinar hijau yang datang dari belakang tubuh Lili itu.
Wuuut...! Sreeb...! Lili dipeluknya dengan kuat.
Sinar hijau melesat tiga jengkal di belakang Lili. Sinar hijau itu menghantam
sebatang pohon yang agak jauh
dari mereka. Duaaar...! Pohon tersebut hancur berkeping-
keping dari akar sampai ranting kecilnya.
Kalau bukan karena ada bahaya, mau rasanya
Lili dipeluk terus oleh Yoga seperti Itu Bahkan mung-
kin ia tak mau merenggangkan jarak sedikit pun. Tapi
karena adanya bahaya yang menyerangnya, Lili ter-
paksa cepat menarik diri dan menghadap ke tempat
yang tadi di punggunginya.
Wuuut...! Jleeg...!
Sesosok tubuh agak gemuk gurun dari atas po-
hon. Wajahnya angker, menyandang golok besar beru-
jung lengkungan runcing yang layak disebut pedang
lebar Orang itu tak lain adalah Mata Neraka. Ia tertawa terbahak-bahak melihat
Lili sudah berada bersama Yo-ga.
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ini baru seru! Tak siasia aku meninggalkan makam
kakekku, karena aku
berhasil menemukan kelinci buruanku dua-duanya
sekaligus! Hua, ha, ha, ha...!"
Claap...! Tiba-tiba Pendekar Rajawali Merah
melemparkan sesuatu dari tangannya. Ternyata seber-
kas sinar merah pipih yang melesat dengan cepat ke
tubuh si Mata Neraka. Bersamaan dengan itu, Pende-
kar Rajawali Putih juga melemparkan sesuatu dari
tangan kirinya. Ternyata juga seberkas sinar merah pipih sama seperti yang
dilemparkan Yoga.
Tawa si Mata Neraka terhenti seketika melihat
dua sinar itu melesat ke arahnya secara bersamaan.
Cepat-cepat ia sentakkan kedua tangannya ke depan
dan sinar pipih keduanya tertahan oleh telapak tan-
gannya, satu dl kanan satu lagi di kiri.
"Grrrmmm...!" Mata Neraka seperti mendorong benda berat ketika sinar biru
membungkus telapak tangannya kanan-kiri untuk menahan sinar merah terse-
but. Tubuhnya gemetar pada saat itu. Urat-uratnya
bagaikan mau keluar dari lapisan kulitnya. Wajah
angker itu semakin tambah menyeramkan karena
menjadi merah. Jelas sudah, Mata Neraka mengerah-
kan segenap tenaganya untuk menahan dua berkas
sinar pipih yang berusaha didorongnya kembali ke
tempat semula. "Menyebar, serang dia dengan jurus 'Rajawali
Menembus Langit'!" bisik Pendekar Rajawali Putih.
"Baik, Guru!"
Kemudian kedua pendekar rajawali itu menye-
bar ke kanan-kiri. Pada waktu itu sinar merah berhasil ditolak balik ke arah
semula, tapi Yoga dan Lili sudah tidak ada di tempat awal, sehingga sinar merah
itu melesat terbang dua-duanya menghantam pohon di ke-
jauhan. Blaar...! Blaaar...!
"Heaaat...!"teriak Lili.
"Hiaaah...!" teriak Yoga.
Keduanya bergulingan ke tanah dua kali dan
tahu-tahu sudah berada di bawah kaki Mata Neraka;
Lili di sebelah kanan, Yoga di sebelah kiri. Maka, dengan cepat kedua pendekar
rajawali itu melakukan ge-
rakan mencakar dengan sangat cepat dari kaki Mata
Neraka sampai ke bagian wajahnya.
Cras, cras, cras, cras, cras, cras...!
"Uaaa...!" Mata Neraka menjerit karena tubuh-
nya bagaikan terkena sengatan yang amat panas. Sen-
gatan itu merayap dengan cepatnya dari kaki sampai
kepala dan tak sempat ditangkis lagi. Sengatan itu sebenarnya luka cakar yang
merobek kulit dan daging
dari kaki sampai kepala.
Begitu gerakan mencakar sampai di kepala,
Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih
berhenti serempak, lalu kaki mereka sama-sama ber-
kelebat menendang dengan tendangan samping.


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiaaah...!" mereka sama-sama menyentak
dengan suara keras. Kaki mereka sama-sama masih
membentang tegak dan diam di tempat, sementara tu-
buh lawannya terpental jauh hingga membentur pohon
dan membuat daun-daun pohon berguguran.
Wuuurrr...! Kaki mereka yang hampir membentuk garis te-
gak lurus itu sama-sama ditarik dalam sentakan man-
tap bersamaan. Wurrt...! Lalu kedua pendekar tampan
dan cantik itu berdiri dengan kaki sedikit merenggang, tangan di samping sama-
sama mengepal kuat. Mereka
memandangi tubuh Mata Neraka yang koyak habis
dengan darah menyembur dari mulut, hidung, dan te-
linganya pada saat ditendang bersamaan tadi.
Mengerikan sekali keadaan Mata Neraka. Ia ba-
gaikan habis dikoyak-koyak serombongan singa lapar.
Baju dan kulit serta serat dagingnya lengket menjadi satu dalam keadaan
tercabik-cabik Kepalanya pun
menjadi retak karena benturan kuat saat mengenal ba-
tang pohon tadi.
Mata Neraka pun akhirnya menghembuskan
napas terakhir dengan keadaan jenazahnya yang tak
layak lagi dipandang orang. Melihat lawannya telah
mati, Yoga segera memandang Lili, dan gadis cantik itu pun segera memandang
Yoga. Mereka sama-sama me-
mendam rasa kagum terhadap perpaduan dua jurus
mereka yang begitu dahsyatnya itu.
Akhirnya, Pendekar Rajawali Putih berkata ke-
pada Pendekar Rajawali Merah, "Sekarang kita cari si Topeng Merah! Habisi dia
dengan jurus seperti tadi!"
"Topeng Merah..."! Kita belum tahu siapa dia
sebenarnya, mengapa kita bertekad menghabisinya"!"
kata Yoga yang agak keberatan dengan usul tersebut.
Lili menggeram gemas, dan cepat mendengus buang
muka. * * * 3 KEPULAN asap itu sudah menipis ketika Yoga
dan Lili tiba di Pesanggrahan Belalang Liar. Keadaan
pesanggrahan itu sudah tinggal reruntuhan yang hi-
tam. Bangunan-bangunan yang ada di sana telah han-
gus dimakan api. Mayat-mayat bergelimpangan dl sa-
na-sini. Suasana sepi dan hening menyelimuti Pergu-
ruan Belalang Liar. Tak ada suara lain kecuali derak
kayu arang yang terdengar sesekali atau sisa percikan bara api yang belum padam.
Di antara reruntuhan hitam itulah, dua pendekar rajawali nan tangguh me-
langkah dengan penuh rasa prihatin melihat nasib
perguruan tersebut.
'Topeng Merah benar-benar membumihan-
guskan perguruan ini!" kata Pendekar Rajawali Putih.
"Bukan hanya membumihanguskan saja, me-
lainkan juga membantai habis seluruh orang Pergu-
ruan Belalang Liar," sahut Pendekar Rajawali Merah dengan ma-tanya yang
memandang ke sana-sini. Ia
menatap setiap mayat yang dijumpainya, namun tak
ditemukan mayat Lembayung Senja dan sang Ketua.
'Tak kulihat mayat kedua perempuan yang ke-
girangan berjalan denganmu tadi!" kata Lili dengan nada menyindir "Mungkinkah
mereka sedang menan-timu dl perempatan jalan menuju neraka?"
Yoga hanya tertawa pendek dan pelan. Tercetus
dari mulut Yoga kalimat yang membuat Lili semakin
merah pipinya, "Kau punya kecemburuan yang berlebihan,
Guru Li!" "Aku tidak pernah cemburu kepada siapa pun!"
Lili berkata ketus sambil cemberut dan tetap melang-
kah pelan dl antara reruntuhan yang masih mengepul-
kan sisa asap dengan tipis itu.
Yoga ingin mengatakan sesuatu di sela senyu-
man-nya, namun terpaksa dibatalkan, karena samar-
samar la mendengar suara orang merintih. Dahl Yoga
berkerut dengan telinga di telengkan. Agaknya Lili pun mendengarkan suara rintih
pelan itu, sehingga ia pun
menyimak dari mana arah datangnya suara tersebut.
Ia sempat berucap kata,
"Ada yang selamat! Agaknya menderita luka be-
rat!. "Sepertinya suara itu datang dari balik tembok tinggi di sebelah timur
itu, Guru Li!"
"Kurasa juga begitu," Lili bergegas menuju ke arah timur.
Bentangan tembok yang diduga bekas dinding
pembatas ruangan itu tampak jebol dan berlubang be-
sar pada bagian tengahnya. Agaknya tembok itu jebol
karena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Dan
melalui lubang itulah Lili serta Yoga menembus ke se-
berang tembok. Apa yang mereka duga memang benar. Dari se-
kian banyak korban yang bergelimpangan, ada satu
yang masih hidup walau harus menderita luka cukup
parah. Lili dan Yoga menemukan orang tersebut dalam
keadaan terhimpit bongkahan dinding yang runtuh.
Yoga sangat terkejut, karena ia kenal betul dengan perempuan yang masih hidup
itu, yang tak lain adalah
Lembayung Senja.
"Lembayung Senja, bertahanlah...! Kami akan
mengeluarkan mu dari himpitan itu...!" ucap Yoga dengan suara menegang. "Guru
LI, bantu aku mengangkat bongkahan tembok Ini...!"
Dengan memandang rada sinis, Lili melangkah
mendekati bongkahan tembok yang menghimpit bagian
batas paha ke bawah dari tubuh Lembayung Senja. Pe-
rempuan itu menderita luka di bagian lambung juga,
sepertinya luka karena senjata tajam yang merobek
kulit lambung. Juga ada memar di pipi kanan serta
dagunya. Agaknya Lembayung Senja sempat melakukan
perlawanan hebat ketika ia bertemu dengan lawannya.
Ter-bukti, pada dada kirinya pun terdapat bekas luka
yang menghitam akibat pukulan jarak jauh yang ber-
tenaga dalam cukup tinggi. Kain pakaiannya pada da-
da kiri berlubang dengan bekas bakaran.
Setelah tubuh Lembayung Senja berhasil di-
angkat dari bongkahan tembok, ia dibawa oleh Lili dan Yoga ke tempat yang lebih
lega, yaitu di !uar pagar
areal pesanggrahan, di bawah sebuah pohon yang
daunnya tidak ikut terbakar, kecuali hanya !ayu seba-
gian sisi saja.
"Bagian dalamnya ikut terbakar," kata Pendekar Rajawali Putih. "Ada racun yang
membakarnya dan menyerang pada paru-paru serta sebagian jantungnya.
Se-bentar lagi orang ini akan mati!" ,
"Dapatkah kau menyembuhkannya?"
"Mudah sekali! Tapi untuk apa harus" disem-
buhkan?" Lili masih berucap kata dengan sinis, karena ia khawatir perempuan itu
jika ditolong dan menjadi
sembuh bisa berbalik menjadi lawannya, terutama la-
wan da-lam merebut hati Pendekar Rajawali Merah.
"Berpikirlah bijak, Guru Li! Jangan terlalu me-
nuruti nafsu kecemburuan mu saja!"
"Aku tidak cemburu!" sentaknya dengan jeng-
kel, karena setiap ia dituduh cemburu, wajahnya men-
jadi panas dan kulit pipinya yang putih mulus itu menjadi merah karena menahan
rasa malu. Terdengar suara Lembayung Senja mengerang
tipis. Matanya terbuka sedikit, dan Yoga segera meng-
gunakan kesempatan itu untuk bertanya,
"Di mana sang Ketua, Lembayung Senja?"
Dengan suara lirihnya Lembayung Senja men-
jawab, "Lari...."
"Lari ke mana?"
"Mengajar... Topeng Merah... ke selatan!" "Dapatkah kau mengetahui siapa si
Topeng Merah itu?"'
"Be... belum...! Tapi sang Ketua... bertekad un-
tuk mengupas pembungkus tubuh orang itu, dan...
dan akan mengulitinya!"
Yoga dan Lili saling bertatapan pandang seben-
tar, kemudian Yoga yang semula jongkok, kini berdiri
dan memandang ke arah selatan. Ia menerawangkan
pandangan matanya itu sambil berkata dalam hati,
"Mereka pasti akan bertarung sampai mati. Aku
tak tahu apa kemauan Topeng Merah selama ini, tapi
aku merasa dia selalu melindungiku dari bahaya mu-
suh! Sa-yang sekali kalau dia harus mati dl tangan
Kembang Mayat. Sedangkan Kembang Mayat pun san-
gat disayangkan jika harus mati dl tangan Topeng Me-
rah, karena Kembang Mayat mempunyai bunga Teratai
Hitam! Aku membutuhkan bunga tersebut dan...," Yo-ga menyapu-kan pandangan
matanya ke seluruh tem-
pat di sekeliling-nya, di sekitar reruntuhan pesanggrahan itu. Tapi ia tidak
menemukan tempat yang mem-
punyai bunga Teratai Hitam. Di mana Teratai Hitam
itu tumbuh, tak terlihat di sekitar tempat itu. Maka, Yoga pun membatin kata
lagi dalam hatinya,
"Pasti hanya Kembang Mayat yang mengeta-
huinya! Aku harus segera mengejar mereka supaya ti-
dak saling bunuh! Setidaknya aku harus menjaga agar
Kembang Mayat tetap hidup, supaya dia bisa memberi
tahu di mana bunga itu tumbuh!"
Lembayung Senja semakin parah keadaannya.
Ia memuntahkan darah kental berwarna merah kehi-
tam-hitaman. Memang tak banyak darah yang dimun-
tahkan itu, tapi sudah merupakan pertanda bahwa ra-
cun yang membakar dalam tubuhnya mulai mem-
bungkus bagian jantung.
"Guru Li, ku mohon kau menyembuhkan lu-
kanya demi kemanusiaan!" Setelah berkata begitu Yoga melompat ke arah timur.
Pendekar Rajawali Putih segera berseru kepadanya.
"Yo...! Kau mau ke mana?"
"Mengejar mereka! Mencegah agar jangan saling
membunuh!"
"Mengapa harus repot-repot begitu"! Biarlah
mereka saling mempertahankan harga diri masing-
masing! Mereka punya urusan yang sangat pribadi dan
tak bisa dicampuri, Yo!"
"Aku harus menyelamatkan Kembang Mayat!"
"Yo...!" Tapi Pendekar Rajawali Merah sudah lebih dulu melesat kabur dari tempat
itu. Pendekar Rajawali Putih mendengus kesal dengan kaki menghentak ke tanah
satu kali. Lili segera berkata kepada Lembayung Senja,
"Akan ku sembuhkan dirimu, tapi kau tidak boleh dekati dia lagi. Setuju"!"
Lembayung Senja tak bisa menjawab karena si-
buk menahan rasa sakitnya. Lili terpaksa melakukan
apa yang diperintahkan Pendekar Rajawali Merah tadi
tanpa menunggu jawaban dari Lembayung Senja la
mulai menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh
Lembayung Senja, juga angin kutub disalurkan oleh-
nya melalui dada Lembayung Senja.
Pada waktu Lili mengobati Lembayung Senja
yang ditelentangkan di tanah dengan sebagian pakaian
dilepaskan supaya tidak mengganggu peredaran da-
rahnya, tanpa disadari Lili dalam keadaan terancam
keusilan seseorang. Ada kabut tipis mendekatinya. Ka-
but itu merayap di permukaan tanah. Warnanya ham-
pir serupa dengan asap sisa pembakaran. Itulah se-
babnya, Lili tidak menaruh curiga terhadap kabut ter-
sebut Semakin lama kabut itu semakin dekat dengan
kaki Lili. Kejap berikutnya mulai merambah telapak
kaki Pendekar Rajawali Putih. Kabut itu didiamkan sa-
ja oleh Lili. Ia masih sibuk mengobati luka-luka Lem-
bayung Senja. Tetapi setelah beberapa saat, agaknya Lili me-
rasa perlu menghentikan pengobatan yang tinggal se-
dikit itu. Ia merasakan betisnya seperti sedang diusap-
usap oleh tangan manusia Lili segera menyadari
adanya kabut yang membungkus kedua kakinya. Se-
makin lama semakin ia rasakan gerakan mengusap
oleh sebuah tangan yang tak tahu milik siapa. Lili menyadari, bahwa rasa usapan
di betisnya itu telah me-
rambat naik menyelusup ke dalam celah gaunnya.
"Kabut ini agaknya kabut tak beres," pikir Lili.
Tapi hatinya sempat sane is sekejap, karena yang ia lihat hanyalah gumpalan
kabut. Semakin tebal gumpa-
lannya semakin jelas rasa betisnya diusap-usap sam-
pai ke bagian lutut dan sebentar lagi akan merayap di paha. "Kabut setan...!"
geramnya dalam hati secara diam-diam. Kemudian ia segera mencabut pedangnya
dari punggung. Sreet...! Blaar..! Petir menggelegar di angkasa tanpa mendung dan
tanpa hujan sedikit pun.
Itulah tandanya jika Pedang Sukma Halilintar keluar
dari sarungnya.
Jruub...! Pedang yang menyala putih menyilau-
kan itu ditancapkan dl tanah. Kemudian Lili pun naik
dan berdiri di atas gagang pedang yang berdiri tegak
itu. Lembayung Senja yang mulai bisa melihat den-
gan jelas walau masih lemas, merasa heran meman-
dang apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Putih itu.
Ia melihat ada gumpalan kabut yang membungkus
mata pedang. Percikan api keluar setiap kabut Itu
mendekati mata pedang yang menancap dl tanah. Per-
cikan api itu berwarna biru dan memercik-mercik ba-
gaikan serabut petir yang mengagumkan. Setiap terjadi percikan akibat kabut
menyentuh mata pedang, maka
kabut tersebut bagai tersentak menyebar, lalu men-
gumpul lagi mendekati mata pedang, dan menyebar
kembali apabila terjadi percikan biru pada mata pe-
dang yang menyilaukan itu.
Pendekar Rajawali Putih masih berdiri di atas
pedangnya dengan satu kaki. Lalu, tangannya men-
gembang ke samping atas, mengeras keduanya, dan ti-
ba-tiba tangan itu menyentak ke bawah, wuuut...!
Claap...!

Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinar putih perak berkilauan melesat dari ke-
dua telapak tangan Pendekar Rajawali Putih. Sinar itulah yang membuat kabut
tersebut terserap menjadi sa-
tu dan membentuk gulungan besar seperti gentong.
Kemudian gulungan kabut itu dihantam lagi oleh Pen-
dekar Rajawali Putih melalui pukulan jarak jauhnya
yang berwarna hijau bening.
Claaap...! Gulungan kabut itu terpental membentur ba-
tang pohon, buugh...!
"Uhg...!" ada suara orang memekik tertahan, tapi tak terlihat ujud manusianya.
Hati Pendekar Rajawali Putih semakin yakin dengan kecurigaannya tadi.
Maka dengan cepat la kembali sentakkan tangannya
yang memancarkan sinar hijau bening bagaikan sepo-
tong tongkat pendek itu.
Claap...! "Uuhg...!" makin jelas suara itu, makin heran pula Lembayung Senja yang sempat
menyaksikan kejadian aneh tersebut.
"Keluarlah dari kabut itu! Kalau tak mau ke-
luar, ku-hancurkan dengan pedangku ini!" kata Lili membentak sambil turun dari
atas pedang, dan pedang tersebut di cabut dari tanah, lalu digenggamnya
dengan kedua tangan.
Lembayung Senja saat itu membatin, "Bicara
dengan siapa dia" Sepertinya yang dipandang adalah
gulungan kabut itu. Tapi apakah kabut itu bisa bica-
ra?" Ternyata memang bisa. Kabut itu bisa berbica-
ra, terbukti setelah mendengar ancaman Lili tadi, ada suara yang berkata
"Jangan..! Jangan hancurkan aku, Nona Can-
tik...!" suara itu bagai mengandung gema dan bergetar, sepertinya suara seorang
kakek. "Keluar kau!" sentak Lili lagi.
"Baik! Aku akan keluar, tapi ku mohon kau
jangan menghukumku, Nona Cantik yang budiman!"
kata suara kabut itu.
"Kau perlu dihukum atas tindakan usil mu!"
'Tidak, tidak...! Aku tidak akan berani usil lagi! Aku tidak akan melakukan hal
seperti tadi lagi! Jangan kau
hukum aku, Nona Cantik! Ku mohon sekali padamu,
jangan menyerangku!"
Lembayung Senja merasa heran sekali ada ka-
but bisa bicara. Bam sekarang ia melihat kejadian seaneh itu. Matanya yang masih
sayu itu memandang ke
arah kabut dengan punggung dan kepala sudah ber-
hasil di sandarkan pada batang pohon dengan me-
rayap-rayap tadi.
"Cepat keluar...!" "Bba... ba... baik...!" Bluuub...!
Wuuus...! Kabut itu pecah dengan sendirinya, menyebar
ke seluruh penjuru. Pecahnya gumpalan kabut itu me-
nampakkan sosok tubuh lelaki tua yang berpakaian
coklat muda, berambut putih dengan kumisnya yang
tak begitu lebat juga berwarna putih uban Rambutnya
diikat dengan ikat kepala kain hitam, yang sama den-
gan warna sabuknya. Orang itu berusia sekitar enam
puluh tahun, bermata sedikit sipit.
Lembayung Senja semakin heran melihat ke-
munculan orang yang saat itu nyengir takut-takut ke-
pada Pendekar Rajawali Putih. Tapi bagi Lili, kemunculan orang itu tidak terlalu
mengherankan sekali, kare-na ia sudah menduga bahwa kabut itu bukan semba-
rang kabut. "Siapa kau, Tua Usil"!" tanya Lili dengan suara ketusnya.
"Ku mohon, jangan serang aku! Sarungkanlah
pedangmu, Nona!" agaknya orang yang langsung dijuluki oleh Lili sebagai Tua Usil
itu ketakutan sekali melihat sinar pedang yang berkilauan. Maka, Lili pun segera
menyarungkan pedangnya ke punggung. Tua Usil
nyengir dengan merasa lega.
"Jawab pertanyaanku tadi, siapa kau"!" mata Lili mendelik galak.
"Hmm... eh... anu... namaku Pancasona, tapi
orang banyak menjuluki ku sebagai Manusia Kabut,
karena aku mempunyai ilmu 'Halimun."
Lili berjalan cepat mendekati orang itu dan ber-
henti tepat di depan orang tersebut yang punggungnya
sudah terdesak ke batang pohon. Dengan mata masih
membelalak garang, Lili berkata,
"Sekali lagi kau berani berbuat kurang ajar pa-
daku, kubunuh kau saat itu juga! Mengerti"!"
Dengan takut-akut orang itu menjawab.
"Meng... mengerti!"
"Bagus!"
Plak, plak, plak, ploook...!
Pendekar Rajawali Putih melepaskan tamparan
beruntun beberapa kali. Yang terakhir kali tamparan-
nya membuat Tua Usil terpental ke samping dengan
tulang pinggulnya membentur sebongkah batu.
Taak...! "Aaoow...!"
Pancasona memekik kesakitan. Lili mengham-
piri-nya, mencengkeram baju Pancasona dengan tan-
gan kiri, mengangkatnya, wuuut...! Dengan ringan se-
kali Lili menenteng Tua Usil dan berkata,
"Kau tidak pantas menjadi orang bernama Pan-
casona! Mulai sekarang namamu adalah Tua Usil!
Mengerti"!"
Plook...! Buuhg...!
Lili menghantam telak dagu Tua Usil, kemudian
menghantam pula perutnya dengan tangan kiri. Dan
orang tersebut kembali mental ke belakang dan jatuh
tak beraturan. Bruuuk...!
"Auuuh...!" ia menggeliat sambil memegangi
pinggangnya. Kejap berikut terdengar suaranya di sela rintihan kesakitan,
"Nona, kau sudah berjanji tidak akan menghu-
kum ku, tapi mengapa sekarang kau menghajar ku"!"
"Aku tidak pernah berjanji apa-apa padamu!"
Wuuut...! Rook...! Kaki Lili menendang dada
orang itu dengan kelebatan keras, dan Pancasona ter-
pental kembali dengan berguling-guling. Ia mengerang
dan memaki-maki di sana. Tanpa sengaja tangannya
memegang batu satu genggaman, dan batu itu dilem-
parkan ke arah Pendekar Rajawali Putih yang sedang
berang itu. "Kau curang, Nona...!"
Wuuut...! Batu melayang, dan Pendekar Raja-
wali Putih melompat ke kiri. la hinggap di atas selembar daun ilalang yang
tingginya sebatas lutut itu. Se-lembar daun ilalang itu tidak patah atau pun
rubuh, bahkan meliuk rendah pun tidak sama sekali. Padahal
daun ilalang itu digunakan kedua kaki Lili untuk ber-
diri memandang ke arah si Tua Usil. Dan sana ia ber-
seru, "Kelancangan dan keusilan tanganmu sepatut-
nya ku potong, Tua Usil! Tapi bersyukurlah, bahwa
aku masih memandang kasihan pada dirimu yang tua
renta dan peot kempot itu! Lain kali tak akan kuberi
ampun lagi kau!"
Tua Usil tidak menjawab. Rintihan dan seringai
kesakitannya hilang. Matanya tak berkedip meman-
dangi kaki Lili yang bisa berdiri di atas ilalang. la memandang dengan sorot
pandangan mata yang penuh
kekaguman dan keheranan.
Cepat-cepat si Tua Usil bangkit bagaikan lupa
dengan pinggang dan pinggulnya yang sakit. Kemudian
ia mendekati Lai dan mendongakkan kepala untuk bi-
sa memandang wajah Lili yang masih berdiri di atas
Ilalang itu. "Nona...! Bagaimana caranya bisa berdiri di atas ilalang begitu" Bagaimana
caranya, Nona?"
Lili hanya mendenguskan nafas kekesalannya.
Kemudian ia turun dari atas ilalang dan mendekati
Lembayung Senja. SI Tua Usil ikut mendekat dan ber-
kata, "Nona, ajarilah aku berdiri di atas ilalang! Tolonglah, aku ingin sekali
bisa berdiri dl atas ilalang!"
Tapi Lili tak menanggapi malah berkata ketus
kepada Lembayung Senja, "Berbaliklah! Ku lanjutkan pengobatan ku yang tertunda
tadi melalui punggung-mu!" Lembayung Senja mengangguk, tak mau ba-
nyak bicara karena masih lemas tubuhnya, masih ada
sisa sakit yang terasa. la membalik seakan menyodor-
kan punggungnya. Kemudian Lili menempelkan kedua
jarinya di punggung Lembayung Senja. Terdengar sua-
ra si Tua Usil yang dengan takut-takut mencoba men-
dekat lagi, "Nona, tolonglah aku! Ajarilah ilmu berdiri di
atas ilalang! Dari bayi, bahkan dari sejak belum lahir, aku sudah kepingin
sekali bisa berdiri di atas ilalang!"
Lili diam saja sekalipun si Tua Usil membujuk-
nya dengan berbagai macam kibulannya. Kedua jari Li-
li me-nyala hijau bening saat menempel di punggung
Lembayung Senja. Si Tua Usil berkata lagi,
"Aku akan mengabdi padamu kalau kau mau
mengajari ku berdiri di atas ilalang, Nona Cantik yang budi man! Tolonglah...
sebentar saja, Nona! Nanti kuceritakan bagaimana hebatnya saat kelahiranku dari
perut ibuku! Tolonglah, Nona Cantik... ajar! aku berdiri di atas ilalang! Aku
hanya...."
Plaaak ..! Dengan berkelebat cepat Lili menam-
par wajah si Tua Usil. Tamparan itu membuat tubuh
Tua Usil terpental, jatuh, dan pingsan. Lalu, Lili kembali melanjutkan
pengobatannya di punggung Lem-
bayung Senja. * * * 4 TOPENG Merah akhirnya berhenti di kaki bukit
cadas yang tak seberapa tinggi itu. Bisa saja ia menda-ki bukit dan terus
melarikan din. Tetapi agaknya ada
sesuatu yang ia lakukan untuk memancing Kembang
Mayat menjauhi tempatnya yang sudah dibakar itu.
Pelarian Topeng Merah rupanya bukan pelarian
se-mata-mata takut menghadapi Kembang Mayat. Pe-
larian itu ternyata disebabkan karena ia sempat meli-
hat sekelebat bayangan Yoga di kejauhan sana, yaitu
sebelum Yoga mencapai reruntuhan pesanggrahan
bersama Lili. Karena itulah Topeng Merah memancing
Kembang Mayat ke tempat lain untuk melanjutkan
pertarungannya.
Kini Topeng Merah sengaja menunggu pengeja-
ran lawannya. Sang lawan segera berhenti setelah me-
lakukan lompatan bersalto dua kali di udara dan ka-
kinya mendarat di depan Topeng Merah.
"Lelah juga kau melarikan diri rupanya"! Seka-
rang giliranmu untuk minggat ke neraka sana, Topeng
Merah! Heaaat...!"
Kembang Mayat menebaskan pedangnya den-
gan gerakan cepat dan penuh tenaga dalam. Bunyi ge-
rakan pedangnya sampai menyerupai gaung seribu le-
bah; wuuung... wuuung... wuuung ..! Itu terjadi jika
Topeng Merah bergerak menghindari pedang tersebut.
Tapi jika Topeng Merah menangkisnya, maka akan terja-
di bunyi lengking yang menggema panjang berkali-kali; triing...! Triiing...!
Triiing...! Dan pada saat itu, setiap denting perpaduan pedang terdengar, dua-
tiga daun dl sekitar tempat mereka itu jatuh dengan sendirinya, patah dari tangkainya akibat
bunyi denting yang berke-
kuatan tinggi itu. Agaknya kedua pedang itu juga me-
rupakan pedang pusaka yang mempunyai kekuatan
tersendiri. Bahkan ketika Kembang Mayat berteriak keras-
ke-ras sebagai pencurahan tenaga dalamnya saat me-
mainkan ilmu pedangnya, Topeng Merah pun menge-
rahkan tenaga dalam ke dalam pedangnya tanpa berte-
riak sedikit pun. Kedua pedang itu beradu di udara
dan menimbulkan bunyi dentang yang keras mengge-
ma panjang, Traaang...! Traaang...!
Bebatuan yang ada di sekitar mereka pecah ka-
rena bunyi dentang tersebut. Daun bukan hanya ron-
tok dari tangkainya, tapi beberapa ranting patah dari dahannya. Jika keduanya
tidak berilmu cukup tinggi,
sudah pasti kedua gendang telinga mereka akan pecah
mendengar bunyi dentang tersebut. Bahkan ada dua
ekor burung yang tiba-tiba jatuh berkelojotan dengan
telinga berdarah, sedang sisa burung lainnya buru-
Jago Kelana 13 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut 7
^