Pencarian

Setan Dari Biara 1

Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara Bagian 1


SETAN DARI BIARA Serial Silat JODOH RAJAWALI Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode;
Setan dari Biara
112 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 KABUT tipis menyapu hutan berpohon
renggang. Kabut tipis itu merayap setinggi satu be-
tis dari permukaan tanah. Kalau bukan karena
pagi, kabut itu akan lenyap diserap mentari. Se-
mentara itu, di atas sebongkah batu datar rendah,
seorang bocah duduk bersila dengan telanjang ba-
ju. Sebagian tubuhnya dirayapi kabut. Tapi ia ti-
dak pedulikan hal itu.
Bocah berusia sekitar sepuluh tahun ini
berkulit hitam. Matanya terpejam, duduknya bersi-
la. Kepalanya sedikit tertunduk, sehingga sepintas
kelihatan seperti bocah sedang bertapa. Padahal
bocah itu terkantuk dan tidur tanpa dengkur.
Tentu saja bocah itu tidak sendirian. Seo-
rang lelaki tua berdiri di belakangnya. Lelaki tua
itu mempunyai jenggot putih tipis dan agak me-
lengkung ke depan sehingga mirip jenggot kamb-
ing. Tubuhnya kurus, berjubah ungu kusam. Ce-
lananya hitam, tidak mengenakan baju dalam. Ju-
bah berlengan panjang itu tidak dikancingkan ba-
gian depannya, sehingga kulit dada dan perutnya
tampak berkerut dan bersisik. Lelaki itu memang
kulitnya bersisik sampai pada bagian lengan dan
telapak kaki. Di wajahnya yang kempot dengan gigi
tinggal empat dan tidak teratur letaknya itu, tam-
pak bekas-bekas sisik yang habis dikelupas. Ram-
butnya putih tipis sekali sehingga berkesan botak
namun tidak selicin gundu.
Lelaki tua itu berulang kali menghentakkan
telapak tangannya ke punggung bocah yang duduk
bersila dengan celana kotak-kotak papan catur.
Hempasan tangan lelaki kempot itu tidak pernah
hasilkan sinar ataupun tenaga apa-apa, sehingga
semalaman ia bingung mengatasinya.
Kedua jarinya ditekankan pada punggung
bocah itu, tapi juga tidak menghasilkan tenaga
yang diharapkan. Lelaki tua itu garuk-garuk kepa-
lanya sambil menggerutu pelan,
"Kok tidak bisa"! Bagaimana caranya me-
nyalurkan ilmuku ke orang lain, ya" Dulu aku bi-
sa, sekarang aku lupa!"
Lelaki tua itu mengulangi lagi beberapa cara
untuk memindahkan seluruh ilmunya ke tubuh
bocah berambut cepak itu. Tetapi ia selalu saja
menemui kegagalan. Itulah sebabnya dari semalam
sampai sepagi itu ia hanya ah, uh, ah, uh... tanpa
bisa lakukan jurus menyalur tenaga murninya.
Rupanya sang bocah yang dari semalam disuruh
duduk itu akhirnya mengantuk dan tertidur dalam
keadaan tetap duduk.
"Uh, capek! Istirahat dulu, ah!" Lelaki berjubah ungu kusam itu duduk melonjor
dengan punggung bersandar sebatang pohon. Letaknya
berhadapan dengan bocah itu, sehingga ia bisa
pandangi sang bocah dengan mulut bicara sendiri
pelan-pelan, "Nasibmu buruk amat, Kukilo. Sudah ham-
pir satu tahun kau berguru denganku, tapi tak sa-
tu jurus pun yang bisa ku salurkan padamu. Pa-
dahal dulu aku punya mantera khusus untuk me-
nyalurkan jurusku ke tubuh seekor monyet atau
orang utan, dan orang utan itu bisa
mainkan jurus-jurusku untuk melawan
musuh. Tapi sekarang mantera itu tidak bisa
kuingat lagi. Gerakan napas dan urat pun telah ku
lupa. O, Gusti...! Kenapa baru setua ini aku sudah
pikun dan lupa segala-galanya. Cuma makan yang
tidak ku lupa, barangkali!"
Bocah itu ternyata bernama Kukilo, artinya
burung. Ia bertemu dengan lelaki jubah ungu itu
kira-kira satu tahun yang lalu, ketika terjadi banjir di sungai Cindelaras yang
membuat bocah itu ter-sangkut di atas sebuah pohon. Lelaki jubah ungu
itu semula ingin mencari sarang burung untuk di-
ambil telurnya, tetapi yang ia peroleh malah seo-
rang bocah yang tak diketahui namanya. Sebab
itu, jubah ungu menamakan bocah tersebut: Kuki-
lo. Tetapi sejak satu tahun ikut lelaki jubah
ungu, bocah itu tidak mewarisi ilmu silatnya sedi-
kit pun. Pelajaran silat tangan kosong saja tidak
bisa diturunkan oleh si jubah ungu karena bocah
itu tidak mudah mengingat gerakan-gerakan jurus
tangan kosong. Sementara itu, lelaki berjubah un-
gu itu masih bertekad ingin menurunkan ilmunya
kepada bocah tersebut. Sebab setua itu usianya,
lelaki jubah ungu belum pernah mempunyai mu-
rid. Anehnya tidak ada orang yang mau menjadi
murid lelaki jubah ungu itu. Ketika ia temukan
Kukilo, dan Kukilo mau menjadi muridnya, maka
lelaki jubah ungu itu amat girang dan tak mau me-
lepaskan Kukilo.
Menurut lelaki jubah ungu, sebenarnya bo-
cah itu bukan bocah bodoh. Bukan karena sema-
ta-mata tak bisa mengingat gerakan silat, tapi bo-
cah itu tak mau berlatih dan tak mau lelah. Kare-
na lelaki jubah ungu ingat kata-kata bocah itu per-
tama dikenalnya,
"Aku mau jadi muridmu, Kek. Tapi aku ti-
dak mau capek. Aku mau menerima ilmu-ilmumu
secara cepat, tidak pakai lompat sana-lompat sini
yang melelahkan."
"O, itu gampang. Jangan khawatir. Aku
akan jadikan kau muridku tanpa berlatih. Cukup
dengan menyalurkan tenaga dalamku dan tenaga
inti murni, kau sudah akan bisa mewarisi ilmu-
ilmuku, Nak! Tapi... yah, buat pemanasan kamu
mesti latihan kuda-kuda dan pukulan-pukulan
tangan kosong. Habis itu baru ku salurkan tena-
gaku ke tubuhmu!"
Ternyata sampai sekarang bocah itu malas-
malasan jika disuruh berlatih tangan kosong.
Bahkan sampai sekarang lelaki jubah ungu belum
bisa salurkan tenaganya ke dalam tubuh Kukilo.
Sampai akhirnya bocah berkulit hitam itu bangun
dari tidurnya, dan ia mendapatkan orang yang di-
panggil: Guru itu, sedang duduk melonjor di de-
pannya. Ketika bocah itu membuka mata, sang
guru nyengir sambil tetap berada di tempatnya.
"Bagaimana, Guru" Sudah berhasil?" tanya
Kukilo. "Belum," jawabnya dengan lesu. "Aku masih lupa manteranya, Nak."
"Uuh...! Jadi Guru kok lupa mantera?" bo-
cah itu bersungut-sungut, tapi Jubah ungu itu
hanya cengar-cengir saja sambil garuk-garuk ke-
pala. Kukilo dibiarkan turun dari atas batu, dan
mengencangkan urat-uratnya sebentar sambil
menguap. Lalu, bocah itu mengenakan rompinya
yang bercorak kotak-kotak putih hitam.
"Aku mau pergi saja, Guru!"
"Eh, mau pergi ke mana"!" jubah ungu ka-
get dan segera berdiri.
"Aku mau cari guru lain saja." "Jangan begi-tulah...!" lelaki jubah ungu itu
merayu sambil dekati Kukilo, memegangi pundaknya. "Sabarlah,
kuingat-ingat dulu caranya. Maklumlah,
usiaku sudah lewat dari seratus lima puluh tahun,
jadi sudah pikun."
"Habis, sudah cukup lama aku jadi murid-
mu, tapi tak bisa apa-apa. Lalu untuk apa aku
ikut kau ke mana-mana" Cuma nonton orang ta-
rung saja" Kalau cuma nonton orang tarung, tak
usah ikut kau aku sudah bisa cari sendiri, Guru!"
"Iya. Maaf, ya..."!" lelaki jubah ungu itu menunduk. Keadaannya menjadi
terbalik. Kini sang
murid yang ngomel dan marah-marah kepada gu-
runya, sedangkan sang guru mendengarkan den-
gan sikap takut. Bocah itu memang sering berla-
gak tua, karena ia memang pandai bicara. Akibat-
nya yang tua menjadi seperti muridnya, yang mu-
da menjadi seperti gurunya.
"Kuberi waktu sampai satu bulan lagi.
Guru! Kalau sampai satu bulan aku masih belum
bisa apa-apa, aku keluar dari perguruanmu dan
tidak mau menjadi murid mu lagi!"
"Iya, iya...! Aku mengerti."
"Percuma kau menjadi guru dan berjuluk
Dewa Nujum kalau memindahkan ilmu saja tak
bisa." "Eh, sekarang julukanku bukan Dewa Nujum lagi. Sudah banyak tokoh
persilatan yang
menggunakan nama julukan Dewa."
"Jadi, Guru mau pakai julukan apa?"
"Julukanku sudah lama diganti menjadi
Wong Sakti. Sudah sepuluh tahun lebih penggan-
tian itu. Apa kau belum dengar, Nak?"
"Lha aku ikut Guru saja baru setahun!"
"O, iya...!" jubah ungu yang mengaku berjuluk Wong Sakti itu cengar-cengir
menampakkan giginya yang tinggal gusi dan empat gigi keropos
itu. "Sekarang begini saja," kata Wong Sakti,
"Ada sebuah pisau Pusaka Hantu Jagal yang ber-
nama... yang bernama...."
"Namanya ya Pusaka Hantu Jagal itu!"
"O, iya...!" Wong Sakti garuk-garuk kepala sambil nyengir. "Nah, Pusaka Hantu
Jagal itu bisa memindahkan ilmu jika ditikamkan ke tubuh
orang berilmu. Jadi kalau kau pegang pisau itu, la-
lu menikamkan pisau itu ke tubuhku, maka ilmu-
ku akan mengalir dan pindah ke tubuhmu. Aku
menjadi orang yang tidak punya ilmu lagi, kamu
menjadi orang yang punya banyak ilmu!"
"Di mana kita bisa dapatkan pisau pusaka
itu?" "Kabar yang kudengar belakangan ini, pisau pusaka itu ada di tangan
seseorang yang bernama
Tua Usil, Nak."
"Lalu, setelah kita bisa peroleh ilmu itu ba-
gaimana?" "Kau harus mau membunuhku dengan pi-
sau itu. Kalau kau tidak mau membunuhku, kau
tidak akan dapatkan ilmu itu!"
"Nanti kau mati, Guru?"
"O, iya, ya..."!" Wong Sakti nyengir sambil garuk-garuk kepala. Sambungnya lagi,
"Tapi tak apa aku mati, usiaku toh sudah banyak. Aku sudah puas menikmati hidup
dengan segala kesak-
tianku. Aku memang sudah bosan hidup dan ingin
mati. Maka, kau harus mau membunuhku dengan
pisau itu. Bagaimana" Kau setuju dengan perjan-
jian ini, Kukilo muridku"!"
Bocah itu diam berpikir beberapa saat, sete-
lah itu berkata, "Kalau memang perjanjian itu tidak memberatkan Guru, aku
bersedia memenuhi
perjanjian itu, Guru!"
"Bagus! Bagus! He he he he...!" Wong Sakti girang. "Kalau begitu, kita cari Tua
Usil, kita pinjam pisaunya, lalu kau tusukkan di dadaku ini!
Setuju?" "Setuju!"
"Bagus!" Wong Sakti mengajak bersalaman
muridnya. Setelah itu, guru dan murid yang ku-
rang beres itu segera pergi mencari Tua Usil.
* * * Pada sebuah kaki bukit yang tak jauh dari
tempat Wong Agung dan Kukilo berada, terlihat
sekelebat gerakan berwarna merah yang meluncur
turun dari atas pohon dan menendang punggung
seorang wanita berpakaian jingga. Tetapi karena
wanita cantik berpakaian jingga itu membawa see-
kor burung beo di pundaknya, maka sang beo pun
berseru sambil terbang,
"Awas, maliiing...! Maliiing...!"
Itulah isyarat datangnya bahaya dari bela-
kang yang menjadi kebiasaan wanita berpakaian
jingga itu. Maka dengan cepat wanita itu berbalik
dengan tangannya berkelebat cepat. Plaakkk...!
Tendangan orang yang turun dari pohon itu ber-
hasil ditangkis dan dikibaskan ke samping. Lalu
wanita berpakaian jingga itu sentakkan kakinya ke
depan dan mengenai punggung orang berpakaian
merah. Buuhg...! Wuuusst...! Bruuhg...! Orang
berpakaian merah jatuh terpelanting.
Wanita berpakaian jingga itu tak lain adalah
Lintang Ayu yang sedang dalam perjalanan menca-
ri seorang tabib untuk mengobati sakit gurunya.
Sedangnya penyerangnya yang berpakaian merah
itu seorang gadis yang berusia lebih muda dari
Lintang Ayu. Karenanya, pandangan mata Lintang
Ayu sedikit menyipit karena tidak begitu mengenali
gadis muda berpakaian merah itu.


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kau menyerangku" Siapa kau se-
benarnya?" tegur Lintang Ayu dengan nada dingin.
"Aku adik dari Gadis Linglung yang kau bu-
nuh beberapa waktu yang lalu. Namaku Yayi. Aku
mau tuntut balas atas kematian kakakku!"
"Gadis Linglung..." Mmh...! Yang waktu itu
menyamar menjadi Lili?" Lintang Ayu segera ingat tentang seorang gadis yang
menyamar sebagai
Pendekar Rajawali Putih dan bikin onar ke mana-
mana, sampai melibatkan kematian adik Lintang
Ayu. (Lebih jelasnya, baca serial Jodoh Rajawali
dalam episode: "Geger Perawan Siluman").
"Kakakmu bersalah dan layak dihukum ma-
ti!" kata Lintang Ayu.
"Kau pun harus menerima pembalasan yang
setimpal. Heaaah...!"
Buuhg...! Tiba-tiba Lintang Ayu bergerak
menghantamkan pukulan jarak jauhnya tanpa si-
nar. Pukulan itu menghantam telak di dada Yayi
sebelum Yayi bergerak melakukan satu lompatan.
Dan hal itu membuat Yayi terpental jauh dan ter-
guling-guling. Ia terkapar di bawah rumpun bam-
bu dengan mulut keluarkan darah segar.
Pada waktu Itu Lintang Ayu kembali kirim-
kan pukulan bersinar hijau yang cukup berba-
haya, karena ia takut lawannya mendului dengan
serangan jarak jauhnya. Claap...! Sinar hijau mele-
sat dan menghantam Yayi.
Namun dalam kejap berikutnya, sesosok
bayangan coklat putih berkelebat menyambar tu-
buh Yayi dengan cepatnya. Wuuuttt...!
Bayangan coklat putih itu naik ke atas po-
hon dan diam di sana. Lintang Ayu sedikit terkejut
memandang ke atas pohon. Ternyata di sana su-
dah berdiri sesosok pemuda tampan yang meng-
gendong tubuh Yayi dengan satu tangan. Pemuda
itu tak lain adalah Yoga, si Pendekar Rajawali Me-
rah, murid angkat Lili; si Pendekar Rajawali Putih.
Lintang Ayu pun tahu. Yoga bukan saja murid
angkat Lili, melainkan juga kekasih si Pendekar
Rajawali Putih itu.
Wuuusss...! Yoga segera turun dari atas po-
hon setelah melihat Lintang Ayu mengendurkan
ketegangan wajahnya, kurangi kemarahannya.
Yayi pun diletakkan oleh Yoga di rerumputan yang
jauh dari pepohonan bambu, sebab pepohonan
bambu itu sudah terbakar dan tinggal sisa arang
kepulkan asap akibat terhantam sinar hijaunya
Lintang Ayu. "Mengapa kau menyelamatkan gadis itu.
Yoga"!" "Dia bukan lawanmu! Tidak kau serang lagi pun ia akan mati. Lihat saja
wajahnya yang pucat
itu. Hanya dengan pukulan seringan itu ia sudah
celaka, apalagi dengan pukulan dahsyat mu."
Lintang Ayu tarik napas dalam-dalam, keli-
hatan menyesal atas tindakannya tadi. Ia tidak ta-
hu kalau Yayi gadis berilmu rendah. Ia sudah le-
paskan pukulan yang di luar takaran lawan. Seha-
rusnya itu tak perlu terjadi, ia tak perlu menye-
rang. "Dia adiknya Gadis Linglung. Kupikir ia sa-ma tinggi ilmunya dengan Gadis
Linglung."
Yoga segera lakukan penyembuhan terha-
dap diri Yayi. Beberapa saat kemudian, Yayi si-
uman dari pingsannya. Ia segera merasakan segar
kembali tubuhnya. Tapi segera terperanjat melihat
pemuda tampan ada di sampingnya.
"Kau... kaukah yang menolongku?"
"Ya," jawab Yoga sambil sunggingkan se-
nyum kepada Yayi. "Sekarang ku ingatkan agar
kau pulang dan jangan melawan Lintang Ayu. Kau
belum sebanding dengannya. Jika kau melawan-
nya, kau bisa kehilangan masa hidupmu, dan aku
tak mau obati kamu lagi."
"Tapi... dia membunuh kakakku; Gadis Lin-
glung." "Kakakmu memang bersalah. Jangan membela orang bersalah kalau kau ingin
menegakkan kebenaran dan keadilan," tutur Yoga cukup me-
nimbulkan kesan wibawa di mata Yayi. Tambah
Yoga lagi, "Pergilah sana, dan jangan bikin perkara
dengan dia!" sambut Yoga melirik Lintang Ayu.
"Jangankan dirimu, dewa yang baru saja turun da-ri kayangan tari terbirit-birit
oleh kesaktiannya."
Yayi memandang Lintang Ayu sebentar, se-
telah itu cepat berlari tinggalkan tempat itu. Pen-
dekar Rajawali Merah tertawa kecil melihat Lintang
Ayu sunggingkan senyum tipisnya. Kemudian, Lin-
tang Ayu perdengarkan suaranya yang bernada
wibawa. "Kau terlalu berlebihan memujiku. Mana
ada dewa lari terbirit-birit melawanku" Kau pikir
aku ini neneknya dewa"!"
Yoga tertawa geli, lalu berkata, "Sekadar
memberikan peringatan kepada Yayi agar tak me-
neruskan permusuhan denganmu!"
"Ya, tapi tak perlu berlebihan begitu. Ilmuku
masih belum seberapa dibandingkan ilmumu, Yo-
ga!" Yoga sengaja maju dekati Lintang Ayu. Hati perempuan cantik itu diam-diam
berdebar tak ada
ujung pangkalnya. Tapi ia pandai sembunyikan
perasaan itu, sehingga kelihatan tetap tenang.
"Kalau ilmumu lebih rendah dariku," kata
Yoga. "Sudah kutundukkan dirimu! Nyatanya toh
sampai sekarang aku tidak bisa tundukkan diri-
mu, Lintang Ayu."
"Kalau kau mau, aku akan tunduk padamu
sekarang juga," jawabnya sambil menatap wajah
tampan Pendekar Rajawali Merah itu. Kata-kata
tersebut pun membuat Yoga tertawa geli, walau ti-
dak terbahak-bahak dan nyaris tanpa suara. Tapi
tawa di bibir Yoga itu menjadi pusat perhatian Lin-
tang Ayu dan jantung Lintang Ayu semakin berde-
tak kuat. Pada saat itu, selembar daun jatuh dari po-
hon dan melayang-layang hendak jatuh di pundak
Lintang Ayu. Tiba-tiba Yoga punya firasat aneh
yang membuat tangannya berkelebat cepat mena-
rik lengan Lintang Ayu, sehingga gadis cantik ber-
wibawa itu menabrak tubuh Yoga dan secara tak
sengaja memeluk pundak Yoga sebagai pegangan.
Bruus...! Siiirrr...! Hati Lintang Ayu berdesir indah,
hingga detak jantungnya kian bertambah cepat.
Tapi ia berlagak sewot dan berkata,
"Apa-apaan kau ini"!"
Yoga tidak menjawab, namun memandangi
gerakan daun yang jatuh ke tanah. Tiba-tiba begi-
tu menyentuh tanah, seberkas sinar merah me-
nyembur naik, memercikkan bunga-bunga api.
Daarrr...! Suaranya cukup mengagetkan walau tak
tergolong keras. Suara itu membuat Lintang Ayu
dan Yoga saling lompat ke belakang.
"Daun apa itu?" gumam Lintang Ayu sambil
terperangah heran. la sama sekali tak menyangka
daun itu nyaris memotong pundaknya.
"Itulah sebabnya kutarik tanganmu. Jangan
marah dulu padaku," kata Yoga. Kemudian kedu-
anya segera memandang sekeliling memeriksa
keadaan berbahaya yang jelas sedang mengancam
keselamatan mereka.
Seseorang berilmu tinggi sedang menyerang
kita secara diam-diam," kata Yoga setengah berbisik. Angin pun berhembus
mengguncangkan pepohonan. Hembusan itu semilir teduh melena-
kan mata membuat kantuk. Yoga segera berkata,
"Lawan dengan tenaga dalammu, Lintang
Ayu. Dia menghembuskan angin yang akan mem-
buat kita tertidur!"
Lintang Ayu segera menahan napasnya be-
berapa saat, kemudian mengeluarkan pelan-pelan.
Kedua tangannya menggenggam, itu pertanda Lin-
tang Ayu sedang melawan kekuatan yang mem-
buatnya ingin tertidur nyenyak. Yoga pun melaku-
kan hal serupa hanya beda caranya. Yoga diam
berdiri dengan mata melirik ke sana-sini, tapi ibu
jari tangan kanannya dilipat dan digenggam kuat-
kuat. Hembusan angin mereda. Hawa kantuk pun
hilang, tetapi dedaunan segera gugur sedikit demi
sedikit dan beterbangan ke sana-sini. Mereka te-
ringat daun yang nyaris memotong pundak Lin-
tang Ayu itu. Maka serta-merta mereka berlompa-
tan hindari daun-daun itu agar jangan sampai ter-
sentuh tubuh mereka.
Ketika dua-tiga daun jatuh ke tanah tanpa
timbulkan ledakan kecil seperti tadi, Lintang Ayu
hempaskan napas leganya, demikian pula Yoga.
Karena mereka tahu bahwa daun yang runtuh be-
terbangan itu adalah daun biasa yang tidak mem-
punyai kekuatan tenaga dalam seperti tadi. Na-
mun dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa pe-
nyerang berilmu tinggi itu" Sebab daun yang dis-
angkanya daun biasa itu, ternyata beberapa kejap
setelah tergeletak di tanah berubah bentuknya
menjadi busuk dan berbelatung menjijikkan. Tiap
satu helai daun selebar telinga itu mempunyai ra-
tusan belatung yang saling menggeliat berjubel.
* * * 2 SUARA tawa terkekeh-kekeh berat terden-
gar di belakang Yoga dan Lintang Ayu. Secepatnya
kedua orang itu berpaling memandang ke arah da-
tangnya suara tawa itu. Mereka sama-sama terke-
siap dan memandang heran terhadap kemunculan
seorang lelaki tua kempot dengan mengenakan ju-
bah ungu. Orang itu bersama anak kecil yang be-
rompi kotak-kotak menyerupai papan catur.
"Apakah kau mengenal dia?" tanya Yoga ke-
pada Lintang Ayu.
"Sepertinya pernah kulihat beberapa puluh
tahun yang lalu, tapi aku lupa siapa dia," jawab Lintang Ayu bernada bisik.
"Tidak usah berbisik-bisik, Nona Manis," ka-ta Wong Sakti, "Aku mendengar
suaramu sekali pun kau berdiri di puncak gunung sebelah sana
itu!" Wong Sakti menuding ke arah selatan.
"Beritahukan siapa namamu, Guru!" perin-
tah Kukilo berlagak tua. Gurunya menurut saja,
dan segera berkata,
"O, iya...! Nona manis, mungkin kau me-
mang pernah melihatku, tapi pada waktu itu,
mungkin kau masih kecil, atau belum lahir dari
perut ibumu, jadi...."
Kukilo memotong pembicaraan dengan me-
nepuk pantat gurunya, "Kalau belum lahir mana bisa melihat mu. Guru!"
"O, iya!" kemudian ia berkata kepada Lin-
tang Ayu. "Jujur saja karena aku memang orang
jujur, namaku adalah Wong Sakti. Kalau dulu na-
maku Dewa Nujum, tapi karena sudah banyak
orang yang memakai nama Dewa, maka kuhapus
julukan itu. Sekarang julukanku Wong Sakti!"
"Kurasa dialah tokoh sakti yang unjuk ke-
saktiannya menggunakan daun-daun tadi, Lintang
Ayu," bisik Pendekar Rajawali Merah.
"Eeeh... jangan bisik-bisik, Cah Bagus! Ka-
lau tak salah kaulah yang bernama Yoga dan ber-
gelar Pendekar Rajawali Merah; murid dari Empu
Dirgantara yang punya julukan si Dewa Geledek!
Benarkah itu?"
"Dari mana kau tahu namaku, Wong Sak-
ti"!" "O, aku ahli nujum. Jago tebak tepat! He he
he..." Wong Sakti terkekeh-kekeh sambil garuk-
garuk kepala. "Dan Nona cantik ini pasti yang bernama Lintang Ayu, putri Adipati
Windunegara, murid dari si Jubah Peri!" "Bagaimana kau bisa tahu namaku, Wong Sakti?"
"Lhaaa... tadi aku sudah bilang; aku ini ahli nujum, jago tebak tepat!
Kalau soal begitu, ooh... keciill, Nak! Kecil sekali!"
Wong Sakti sedikit mencibir sombong.
Kukilo berbisik kepada gurunya, "Guru,
wanita itu. cantik."
"Ssst...! Kamu masih bocah, tak boleh bica-
ra soal kecantikan wanita. Karena kecantikan wa-
nita itu hanya boleh dibicarakan oleh yang dewasa
saja. Jadi...."
"Jangan melantur. Guru! Tanyakan saja
tentang si Tua Usil itu!"
"O, iya...!" Wong Sakti tersenyum dengan
bibir bagaikan mau ditelan ke mulut karena kem-
potnya. Pendekar Rajawali Merah dan Lintang Ayu,
sekiranya kalian berkenan hati maukah kalian
menolongku" Jika kalian mau menolongku, maka
aku pun akan menolong kalian. Sebab aku tahu,
masing-masing dari kalian punya kesulitan sendi-
ri-sendiri. Lintang Ayu punya guru sedang sakit,
bukan?" "Benar. Dari mana kau tahu?"
"Tanya lagi..."!" Wong Sakti bersungut-
sungut. "Tadi sudah kukatakan, aku ini ahli nujum dan jago tebak tepat. Apakah
tebakanku itu kurang tepat, Lintang Ayu?"
"Ya. Cukup tepat. Lalu, apalagi yang kau


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketahui tentang kami!"
"Tak berapa lama akan ada sesuatu yang
meraba kepala Yoga!"
"Apa maksudmu?" sahut Yoga. "Begini, kalau aku...."
Pluk...! Tiba-tiba seekor burung lewat mem-
bawa ranting untuk sarangnya. Ranting itu jatuh
dan mengenai kepala Yoga.
"Nah, apa kubilang. Ada yang meraba kepa-
lamu, bukan?"
Yoga memungut ranting itu, memandang
burung yang sedang terbang menjauh, lalu me-
mandang Lintang Ayu dan berkata, "Suatu kebetulan saja."
"Kurasa begitu."
"Eit... itu bukan suatu kebetulan, tapi se-
buah ramalan yang tepat pada sasaran dan kuli-
hat sebelum hal itu
terjadi, Yoga. Malahan kukatakan kepada-
mu, Lintang Ayu, kau akan melompat dan meme-
luk Yoga karena sesuatu sedang melanda mu, No-
na Manis."
Lintang Ayu dan Yoga saling berpandangan.
Kemudian Lintang Ayu berkata, "Tolong hadapi
dia, aku mau pergi. Ada yang perlu kuselesaikan
dan kuurus ketimbang dia!"
"Baiklah. Tapi...."
"Aaow...!" Lintang Ayu melompat dan tak
sengaja memeluk Yoga karena kagetnya. Ada see-
kor kupu-kupu terbang dan hampir hinggap di ka-
ki Lintang Ayu. Yoga tidak tahu kalau Lintang Ayu
sangat takut kepada binatang kupu-kupu. Rasa
takut dan jijik terhadap binatang. kupu-kupu itu
sudah sejak kecil dimiliki. Sampai sekarang masih
pula dimiliki. "Maaf...!" kata Lintang Ayu dengan rasa ma-lu, wajahnya semburat merah dan ia
buru-buru merenggangkan jarak dari tubuh Yoga yang hanya
tertawa geli melihat Lintang Ayu takut dengan ku-
pu-kupu. "Naaah... tepat pula tebakanku, bukan" Lin-
tang Ayu akan melompat. Memeluk Yoga karena
takut. Lintang. Ayu malu, karena hatinya berdebar
indah saat sadar memeluk Yoga. Yoga sendiri me-
rasa deg-degan, takut ketagihan dipeluk Lintang
Ayu. He he he he...! Lintang Ayu sendiri mengha-
rap kesempatan seperti itu ada. Karena itu...."
"Cukup!" bentak Lintang Ayu. Wong Sakti
meneruskan, "Karena itu, cukup!"
Kukilo mengejar kupu-kupu itu dan Wong
Sakti membiarkannya. Lalu, Wong Sakti pun ber-
kata, "Menurut ramalanku, kalian ini sebetulnya saling jodoh! Jadi Lintang Ayu
tak perlu malu jika
memeluk Yoga dan Yoga tidak perlu takut ketagi-
han. Sebab..."
"Tunggu. Jaga bicaramu, Wong Sakti! Apa
maksud mu mengatakan kami saling jodoh?" kata
Yoga sedikit tegang.
"Dewata telah menggariskan bahwa jodoh-
mu adalah Lintang Ayu!"
Lintang Ayu membantah dengan hati deg-
degan, "Tidak mungkin! Menurutku jodohnya Yoga adalah Lili! Karena dia memang
kekasih Lili; si
Pendekar Rajawali Putih itu!"
"O, perempuan cantik yang bernama Lili itu
bukan jodohnya Yoga, tapi jodohnya seorang pe-
muda tampan lain."
"Siapa maksudmu"!" sergah Yoga bertam-
bah tegang. "Dewata menggariskan bahwa gadis berna-
ma Lili itu mempunyai jodoh seorang pemuda
tampan yang bernama Pandu Tawa!"
"Bohong!" Yoga membentak karena cemas.
"Lhooo... aku ini ahli nujum dan jago tebak
tepat! Kalau kubilang kau jodohnya Lintang Ayu,
ya memang benar. Kalau tidak percaya, coba tela-
pak tangan kalian saling dirapatkan. Diukur dari
pergelangan tangan sampai ke jari tengah. Ting-
ginya akan sama, jika mekar juga lebarnya akan
sama. Cobalah kalau kalian tak percaya!"
Karena penasaran, Lintang Ayu dan Yoga
segera mengukur telapak tangan mereka. Kedua
telapak tangan itu saling dikembangkan dan di-
tempelkan. Ternyata ukurannya sama persis, dari
ujung jari paling tinggi sampai pergelangan tan-
gan, sama semua. Pas.
Lintang Ayu dan Yoga sama-sama terbelalak
kaget dan semakin kelihatan tegang. Pada saat itu,
Wong Sakti hanya terkekeh-kekeh sambil garuk-
garuk kepalanya. Lalu, ia berkata lagi,
"Kalau masih tidak percaya, coba kalian
ukur, panjang lengan dari telapak tangan sampai
siku kalian, pas! Tidak lebih, tidak kurang!"
Mereka berdua kembali penasaran, namun
juga kembali terkejut. Ukuran lengan sampai per-
gelangan tangan mereka ternyata memang sama
panjang. Ini membuat Lintang Ayu merasakan de-
nyut jantungnya menjadi lebih cepat alias berde-
bar-debar. Terdengar pula suara Yoga berkata da-
lam gumam, "Benarkah kita saling berjodohan?"
"Jangan percaya ramalan dia!" Wong Sakti
berkata lagi, "Kalau masih juga belum percaya
bahwa kalian adalah berjodohan, ukurlah lebar bi-
bir kalian pasti pas! Sama lebar, sama panjang,
dan sama tebalnya."
Penasaran sekali Yoga, maka ia menghadap
Lintang Ayu. Tapi Lintang Ayu segera sadar ketika
mereka masing-masing ingin menempelkan bibir
untuk diukur lebar dan ketebalannya. Lintang Ayu
cepat tarik diri dan berkata,
"Jangan, Yoga. Berbahaya bagi hatiku!"
"Ya. Maaf, hampir saja aku terpancing oleh
omongannya!" kata Yoga menjadi malu sendiri.
Wong Sakti hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat
mereka nyaris terjebak.
"Apa maksudmu menemui kami, Wong Sak-
ti" Hendak mengacau kami"!" Lintang Ayu berkata tegas. "Jujur saja, aku mencari
Tua Usil. Di mana dia?" "Bukankah kamu orang sakti, bisa meramal ini-itu, tapi
mengapa tidak bisa mengetahui di ma-na Tua Usil?" kata Lintang Ayu.
"Sebab Tua Usil membawa pisau Pusaka
Hantu Jagal. Dan itu membuatku tak bisa menge-
tahui di mana dia berada. Kurasa Pendekar Raja-
wali Merah mengetahui di mana dia!"
"Untuk apa kalau kau sudah tahu di mana
Tua Usil?" tanya Yoga.
"Aku membutuhkan pisau pusaka yang di-
bawanya." "Untuk apa?" desak Yoga. "Kau tidak berhak memilikinya."
"Aku hanya ingin meminjamnya."
"Mengapa kau ingin meminjamnya?" Yoga
kembali bertanya mendesak.
"Supaya muridku bisa membunuhku!"
"Aneh..."!" gumam Lintang Ayu.
"Aku ingin salurkan semua ilmuku kepada
Kukilo, bocah yang... ke mana tadi itu anak"!"
Wong Sakti mencari-cari Kukilo yang mengejar ku-
pu-kupu. Lalu ia berkata,
"Aku lupa manteranya untuk bisa memin-
dahkan ilmuku ke raga muridku itu. Sudah lama
kucoba dan kulakukan tapi selalu gagal. Lalu aku
ingat tentang kehebatan Pusaka Hantu Jagal itu.
Kudengar dari puncak gunung, pusaka itu dipere-
butkan dari tangan Tua Usil. Jadi aku ingin me-
minjamnya, lalu muridku kusuruh membunuhku,
supaya ilmuku mengalir semua ke dalam raganya!
Kalau sudah begitu aku akan tenang dan lega. Se-
tidaknya kalau terjadi sesuatu padaku, aku bisa
dibela oleh muridku!"
"Kalau kau ditikam dengan pisau itu berarti
kau mati!" sahut Lintang Ayu. Maka Wong Sakti
pun menjawab, "Tidak apa-apa. Yang penting ilmuku sudah
bisa masuk dan menjadi milik Kukilo. Aku sendiri
sudah bosan hidup. Terlalu lelah menahan ke-
rangka tubuhku dalam usia setua ini,"
Lintang Ayu memandang Pendekar Rajawali
Merah. Pendekar tampan itu diam saja. Lalu,
Wong Sakti berkata,
"Jadi kumohon Yoga mau tunjukkan di ma-
na aku bisa temukan Tua Usil itu!"
"Sekali pun seandainya aku tahu di mana
dia, aku tidak akan mengatakannya. Karena niat-
mu itu sama saja mendidik muridmu untuk men-
jadi seorang pembunuh, apa pun alasanmu, Wong
Sakti!" "Lho... kalau begitu kau ingin kupaksa supaya mau menunjukkan di mana
Tua Usil berada"
Aku tahu dia pelayanmu, karena aku dengar per-
cakapan kalian dari ujung gunung sana!"
"Jangan memancing kekerasan dengan dia,
Wong Sakti!" Lintang Ayu mengingatkan. Tapi
Wong Sakti hanya terkekeh-kekeh dan berkata,
"Justru aku ingin gunakan kekerasan jika
kalian tak mau bantu aku! Kalian boleh maju ber-
dua kok! Silakan saja...!"
Lintang Ayu dan Pendekar Rajawali Merah
hanya diam berdiri bersebelahan dalam jarak dua
langkah. Sementara itu, Wong Sakti berdiri dalam
jarak lima langkah dari depan mereka sambil cen-
gar-cengir memamerkan gusinya.
Tiba-tiba Lintang Ayu mengawali serangan-
nya dengan kibasan jemarinya yang memercikkan
lima larik sinar hijau berkelok-kelok. Clap! Dalam
jarak kurang dari dua langkah, lima larik sinar
yang mengarah ke tubuh Wong Sakti itu bergerak
turun ke bumi dengan tajamnya.
Jluuub..! Blaaarrr...!
Tanah meledak, menyembur lebar ke arah
Yoga dan Lintang Ayu. Keduanya cepat-cepat me-
lompat dalam gerakan bersalto ke belakang. Jika
tidak begitu, mereka akan terkena semburan ta-
nah yang langsung membara merah panas.
Lintang Ayu berbisik kepada Yoga, "Dia ti-
dak bisa ditembus serangan kita! Lapisan tenaga
dalamnya cukup kuat dan tebal."
"Akan kucoba dengan jurus 'Sinar Bun-
tung'-ku!"
Tangan buntung yang terbungkus kain baju
itu segera disodokkan ke arah lawan ketika Yoga
melompat dengan sentakan badan kirinya.
Claap...! Tangan buntung itu keluarkan selarik si-
nar merah yang mengarah ke tubuh Wong Sakti.
Sinar itu biasanya mampu memecahkan bongka-
han batu sebesar apa pun menjadi serbuk lembut.
Tetapi kali ini agaknya sinar merah tak mampu
mengenai tubuh Wong Sakti.
Dengan sikap diam saja dan hanya cengar-
cengir memandang tajam ke arah lawan, Wong
Sakti sentakkan napasnya melalui hidung, dan si-
nar merah itu meledak di pertengahan jarak, me-
nyala lebar sinarnya bagai gelombang dahsyat
yang menghentak balik. Akibatnya, Pendekar Ra-
jawali Merah terjungkal ke belakang dan Lintang
Ayu terbanting ke samping bagaikan dihempas to-
pan berkekuatan besar.
"He he he...! Ayo, pilih salah satu, mau to-
long aku atau mau kuhancurkan, Anak-anak ma-
nis!" kata Wong Sakti sambil berjalan santai mendekati Yoga.
"Mundur, Yoga! Biar kuselesaikan dengan
pedang ku!" kata Lintang Ayu sambil mencabut
pedangnya. Srettt...! Tapi tangan Yoga segera
memberi isyarat dan berkata,
"Jangan, Lintang Ayu! Jangan dengan pe-
dang! Mungkin itu pun tak akan mampu mem-
buatnya jera. Sebaiknya biar kuhadapi dia dengan
caraku sendiri!"
Wong Sakti berhenti lagi dalam jarak lima
langkah di depan mereka. Suaranya terdengar se-
dikit serak, "Percuma saja kalian melawanku. Wong
Sakti bukan tandingan kalian. Jadi sebaiknya ka-
lian tolong aku sajalah... biar sama-sama enak!"
"Jika keperluanmu bukan keperluan yang
salah langkah, aku mau membantumu, Wong Sak-
ti!" kata Yoga. "Tapi niatmu kuanggap keliru. Jika seorang murid sudah dididik
untuk membunuh gurunya sendiri, maka ia pun kelak akan tega
membunuh bapaknya sendiri. Artinya, ia akan
tumbuh sebagai tokoh sakti yang kejam dan tak
mengenai ampun! Kumohon kau bisa memaklumi
keberatanku ini, Wong Sakti!"
"Aku tidak bisa memaklumi, karena kau ti-
dak bisa mencarikan jalan keluar buatku!" kata Wong Sakti. "Kalau kau masih
tetap keras kepala, aku juga akan mengeraskan kepala! Rupanya aku
memang harus tetap memaksamu dengan kasar,
Pendekar Rajawali Merah!"
Claaap...! Tiba-tiba dari mata Wong Sakti
melesat sinar hijau ke arah Yoga. Dengan cepat
tangan kanan Yoga menahan sinar hijau itu den-
gan gerakkan tangan terbuka dan menghadang di
dada dengan keadaan membara pada bagian tela-


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paknya. Sinar hijau itu diterima oleh telapak tan-
gan tersebut. Syyrrruub...! Langsung tangan Yoga
menggenggam dan melemparkan ke arah kiri.
Wuuttt...! Blaaarr...! Sebuah pohon menjadi han-
cur ketika sinar hijau dilemparkan ke sana dari
genggaman tangan Yoga. Hal itu membuat Wong
Sakti terkekeh-kekeh sambil memandangi pohon
tersebut, lalu berkata,
"Jurus apa itu tadi namanya" Cukup aneh
bagiku! Sinar hijauku bisa kau tangkap dan kau
lemparkan ke arah lain. Hebat juga jurus ajaran si
Dewa Geledek itu!" Wong Sakti manggut-manggut.
"Itu namanya jurus 'Tolak Guntur'!" kata
Yoga. Lintang Ayu manggut-manggut juga karena
kagum melihat jurus itu, dan hatinya berkata,
"Memang hebat jurus si ganteng ini! Tapi,
apakah benar dia akan menjadi jodohku"! Ah, ku-
rasa Wong Sakti punya ramalan ngawur dan sama
sekali tidak benar. Kurang ajar! Wong Sakti hanya
bikin hatiku berdebar-debar terus dengan ucapan-
nya tadi. Aku tidak percaya. Tidak! Hanya saja...
kenapa ukuran telapak tangan dan lenganku sama
persis dengan milik Yoga" Apakah benar itu tan-
danya dia adalah jodohku?"
Sementara wanita cantik itu gelisah sendiri,
dari arah runtuhnya pohon tadi berlarilah bocah
berpakaian kotak-kotak dengan wajah tegang. Ku-
kilo segera menghampiri Wong Sakti sambil berte-
riak-teriak, "Guru...! Guru...! Pohon itu angker. Ada se-
tannya. tahu-tahu pohon itu meledak sendiri. Ti-
dakkah Guru tadi melihatnya?"
Kepala bocah itu didorong dengan tangan
Wong Sakti, "Goblok! Bukan meledak sendiri, tapi diledakkan oleh Yoga memakai
jurus 'Mata Elang'!"
"Ooo... diledakkan sama dia?" Kukilo manggut-manggut.
"Mana kupu-kupunya" Sudah kau da-
patkan?" "Kupu-kupunya terbang, Guru!"
"Kenapa kau tidak ikut terbang"!"
"Sudahlah, yang penting Guru bisa me-
nangkap Tua Usil atau tidak?"
"Kau saja menangkap kupu-kupu saja sulit,
kok mau mengejar Tua Usil. Hmmm...! Mana bi-
sa"!" "Kalau Guru tak bisa tangkap Tua Usil dan pinjam pisaunya, lebih baik
jangan jadi guruku sajalah!" "Yaaah... jangan begitu, Kukilo...!" Wong Sakti
menahan tangan anak itu yang mau pergi
dengan sewot. Yoga dan Lintang Ayu hanya me-
mandanginya. "Kelihatannya anak itu sangat dimanja," bisik Lintang Ayu.
"Benar. Kalau dia sakti, dia bisa menjadi ja-
hat karena terlalu sering dimanja!"
"Hei, sudah kubilang jangan bisik-bisik...!
Aku dengar semua apa yang kalian bicarakan! Se-
karang sebaiknya kita lanjutkan pertarungan kita
demi untuk menolongku. Yoga!"
"Wong Sakti, jangan salahkan aku kalau
kau celaka!"
Kemudian Yoga segera gunakan jurus "Ba-
dai Petir'. Napasnya tersentak lepas dari hidung
dengan sedikit di tahan, karena ia tak berani terla-lu keras. Dan pada saat itu
pula, tubuh Wong Sak-
ti terhempas jauh bagaikan di sapu badai dahsyat
yang mengamuk. Wuuusss...!
Seandainya Wong Sakti bukan orang beril-
mu tinggi, maka ia tidak akan terhempas jauh.
Seandainya Yoga tidak menahan sedikit napasnya,
maka daya pentalnya lebih jauh lagi dan membuat
tubuh Wong Sakti menjadi pecah berkeping-
keping. Tapi karena Yoga tidak melepaskan selu-
ruh napas 'Badai Petir'-nya, maka tubuh Wong
Sakti itu hanya terpental jauh dan berguling-
guling menyedihkan.
"Guru...! Guru...!" Kukilo berlari-lari menyu-sui gurunya yang sedang
menyeringai memegangi
pinggang belakang yang terasa sakit. Wong Sakti
berada dalam jarak cukup jauh, diperkirakan ber-
jarak tiga puluh langkah lebih. Dan hal itu mem-
buat Lintang Ayu tertegun bengong, walau cepat
disembunyikan dengan sikap tenangnya. Tapi da-
lam hatinya, Lintang Ayu memuji kehebatan jurus
Yoga tersebut. "Apakah dia masih ingin memaksamu?" Lin-
tang Ayu bertanya.
"Entahlah. Kelihatannya dia dimarahi oleh
muridnya. Oh... rupanya dia diajak pergi oleh si
bocah yang tadi kudengar bernama Kukilo."
"Ya. Mereka memang pergi. Tapi kurasa
pergi untuk mencari Tua Usil. Hati-hatilah, jangan
sampai pisau itu jatuh ke tangan bocah itu. Jika
sudah digunakan untuk membunuh gurunya, be-
rarti semua ilmu Wong Sakti
berpindah ke tubuh bocah itu. Dan tentu
saja akan sulit merebut pisau Pusaka Hantu Jagal
itu." Yoga diam dan manggut-manggut kecil.
* * * 3 SEBUAH Biara dibangun di atas bukit ger-
sang. Hanya ada beberapa pohon yang mengelilingi
biara tersebut dengan kayu-kayunya berjajar
membentuk pagar. Biara itu mempunyai pintu
gerbang tinggi dan kokoh. Dulu bekas Perguruan
Sayap Paderi, tapi sekarang sudah dikuasai dan
disita oleh tokoh sesat yang terkenal cukup sakti,
berjuluk Putri Kumbang.
Ketika Putri Kumbang yang cantik karena
ilmu perawat rupa dan pengawet wajah itu, men-
dengar kabar tentang munculnya Kitab Jagat Sakti
dari orang-orang Pulau Kana, maka Putri Kum-
bang pun segera mengutus tiga anak buahnya un-
tuk mendapatkan kitab tersebut. Mereka yang di-
utus adalah Juru Kubur, Roh Gantung, dan Tam-
bur Pati. Mereka berusaha mengambil Kitab Jagat
Sakti dari tangan penemunya, yaitu Lili; Pendekar
Rajawali Putih, kekasih dan guru angkat Yoga, te-
tapi mereka gagal karena kemunculan Pandu Tawa
yang memihak Pendekar Rajawali Putih itu. (Lebih
jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode;
"Rembulan Berdarah").
Karenanya, Putri Kumbang pun menjadi
marah kepada tiga utusannya yang gagal menang-
kap Lili dan membawa pulang Kitab Jagat Sakti.
Ketiga utusan itu tundukkan kepala dengan rasa
takut, berdiri berjajar menghadap ke arah serambi
biara. Dari serambi biara yang bertangga sepuluh
baris itu, seorang perempuan cantik berpakaian
warna merah menyala turun ke pelataran luas
yang dikurung tembok biara. Di sanalah ia akan
mengadili tiga utusannya yang tidak berani masuk
ke dalam biara karena gagal membawa Kitab Jagat
Sakti. "Mengapa kalian tidak berhasil membawa Lili atau Kitab Jagat Sakti"!"
tanya Putri Kumbang dengan angkuhnya kepada Roh Gantung.
"Hmm... eh... sebenarnya... ehh...!"
Plook...! Tamparan keras mendarat di pipi
Roh Gantung. Orang berpakaian hijau tua dan
berkepala botak tengah itu terpelanting hingga
tangannya berkelebat menampar wajah Juru Ku-
bur. Plakk...! Juru Kubur tak berani membalas
dan membiarkan Roh Gantung rubuh di tanah.
Wajahnya menjadi merah, bukan hanya pada ba-
gian yang ditampar saja, melainkan seluruh wa-
jahnya merah memar.
Kepada Tambur Pati yang gemuk dan ber-
kepala gundul itu, Putri Kumbang bertanya den-
gan suara tegas,
"Mana hasil tugasmu, Tambur Pati"!"
"Ampun, Ketua... hmmm... soalnya...
anu...." Baaahg...! Satu pukulan telapak tangan menghantam kuat di pinggang
kanan Tambur Pati.
Pukulan itu jelas bertenaga dalam cukup besar,
sehingga orang. gendut itu terbang ke samping
menabrak Juru Kubur, hingga Juru Kubur sendiri
rubuh diterjangnya. Tubuh besar itu jatuh ter-
jungkal bersama genderangnya yang menimbulkan
bunyi berisik. Kepalanya terlipat di tanah dan den-
gan susah payah ia berusaha bangkit dari keadaan
nunggingnya. Ia menyeringai kesakitan, karena
pakaian merahnya terbakar hangus di bagian
pinggang, membentuk bekas tapak tangan warna
hitam. Lehernya terasa ngilu karena jatuhnya ter-
kilir tadi. Juru Kubur yang sudah berdiri dengan ke-
pala menunduk itu didekati oleh Putri Kumbang,
kemudian perempuan bermata tajam itu bertanya,
"Apakah kau membawa kitab itu, Juru Ku-
bur"!" Juru Kubur menjawab dengan wajah pucat,
"Sebaiknya Ketua hukum saya dengan pukulan
seperti tadi saja!"
Duuhk...! Kaki perempuan itu berkelebat
menendang ke atas. Ujung kaki mengenai dagu
Juru Kubur, lalu Juru Kubur tersentak kepalanya
hingga mendongak dan ia berjungkir balik ke bela-
kang, lalu jatuh tersungkur dengan mulut berda-
rah. "Memalukan sekali! Kalian semua memalu-
kan Perguruan Biara Sita!" bentak Putri Kumbang pada saat ketiga utusan itu
sama-sama sudah
berdiri dengan sikap tegap, namun kepala mereka
tertunduk. Putri Kumbang benci melihat sikap le-
mah seperti itu, hingga ia berseru,
"Pandang ke depan!"
Wuuttt...! Ketiga kepala itu sama-sama di-
angkat dan menatap ke depan. Tapi tak satu pun
ada yang berani memandang Putri Kumbang, wa-
laupun perempuan itu amat cantik, seperti masih
berusia dua puluh tujuh tahun saja. Padahal
usianya sudah cukup banyak. Lebih dari tujuh pu-
luh dua tahun. "Ku pilih orang terkuat di Biara Sita ini, su-
paya bisa dapatkan kitab tersebut, setidaknya
membawa pulang gadis itu sebagai tawanan, tapi
kalian datang dengan tangan hampa! Sebetulnya
kalian layak menerima hukuman dariku, yaitu hu-
kum gantung! Tapi, aku masih sedikit memberi
ampun kepada kalian. Hanya kali ini saja. Jika
nanti kalian gagal mengemban tugas, kalian harus
menggantung diri kalian masing-masing! Aku tak
sudi mempunyai anak buah yang tidak pernah
mampu mengatasi kesulitan sekecil itu!" Putri
Kumbang diam sebentar, lalu:
"Apa penyebabnya sampai kalian gagal"!" Ia memandang Tambur Pati, "Jawab
pertanyaan ini,
Tambur Pati!"
"Baik, Ketua!" sentak Tambur Pati dengan
tegas. Tiba-tiba dia dihampiri Putri Kumbang dan
ditampar mulutnya, plookkk...!
"Jangan sekali-sekali membentak ku! Bisa
kuhancurkan mulutmu!"
"Maaf, Ketua," kata Tambur Pati dengan
menahan sakit di mulut yang robek bibirnya itu.
"Jelaskan!"
"Kami gagal karena... karena... Pandu Tawa
ikut campur, Ketua!"
"Pandu Tawa..."!" Putri Kumbang semakin
menampakkan keangkuhan dan kegalakan sikap-
nya. "Melawan Pandu Tawa saja kalian kalah" Benar-benar memalukan!"
Kemudian, ketika mereka bertiga saling li-
rak-lirik, Putri Kumbang segera berseru memanggil
pelayannya, "Cemplon...! Cemplon Sari...!"
Dari serambi atas muncul seorang perem-
puan bertubuh gemuk, wajah lebar, bibir tebal,
dan hidung bundar. Perempuan itu dulu pernah
menjadi pelayan putri Adipati yang bernama Galuh
Ajeng. Setelah peristiwa dalam kisah "Mempelai Liang Kubur" yang membuatnya
terluka parah, dia diselamatkan oleh seseorang, yaitu Putri Kumbang, dan sejak
itu menjadi pelayannya Putri
Kumbang. "Ada apa, Ketua"!" tanya Cemplon Sari
sambil mendekat.
"Ambil pedang untuk memenggal kepala tiga
utusan ini!"
Ketiga utusan itu terperangah dengan mata
melebar, tapi mereka tak berani bergerak, tetap te-
gak dan wajah menatap ke depan. Cemplon Sari
yang berada di samping Putri Kumbang itu segera
bertanya dengan beraninya,
"Apa salah mereka, Ketua?"
"Mereka melawan Pandu Tawa saja kalah,
jadi untuk apa aku memiliki anggota seperti mere-
ka"!" "Saya rasa mereka masih banyak gunanya, Ketua. Bisa dipakai sebagai umpan
kepada lawan. Kalau toh mati, ya biar saja mati sebagai umpan,
daripada mati di penggal sang Ketua"!"
"Hmmm...! Benar juga katamu," gumam Pu-
tri Kumbang sambil manggut-manggut. Ketiga
utusan yang semula hampir marah kepada Cem-
plon Sari itu, sekarang menjadi lega karena tak ja-
di dipenggal.

Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi aku kecewa mereka datang tidak
membawa kitab pusaka itu. Padahal kau tahu
sendiri apa yang pernah kuceritakan dulu, bahwa
ada sebuah kitab yang berisi jurus-jurus sakti, ta-
pi kitab itu milik dewa yang terbuang, yaitu Betara Kala. Kitab itu adalah Kitab
Jagat Sakti, yang menjadi pegangan tokoh cikal bakal penduduk Pulau
Kana itu. Sekarang kitab itu ada di tangan Pende-
kar Rajawali Putih. Tentu saja dia nanti menjadi
sakti setelah pelajari isi kitab tersebut, dan dengan begitu perguruan kita
dapat dengan mudah digu-lung habis olehnya! Karena itu, Kitab Jagat Sakti
harus kita rebut!"
"Harus...!" Cemplon mempertegas.
"Ilmu yang ada di dalam kitab itu, harus
menjadi ilmu aliran kita! Yaitu aliran Biara Sita!"
"Ya. Biara Sita!" kata Cemplon Sari seakan mendukung penuh apa yang dikatakan
oleh sang ketua. Lalu, ia berkata,
"Tetapi melawan Pendekar Rajawali Putih
bukan hal yang, mudah, Ketua, Sudah saya in-
gatkan, bahwa tiga utusan ini tidak akan berhasil
mengalahkan Pendekar Rajawali Putih. Satu-
satunya orang yang bisa menandingi ilmu Lili itu
hanyalah sang Ketua sendiri."
"Aku..."!"
"Ya! Itu pun harus dengan siasat, sang Ke-
tua." "Siasat apa"!"
"Sang Ketua harus gunakan ilmu 'Rupa Se-
tan'." "Hmmm...!" Putri Kumbang manggut-manggut, dia lupa bahwa dirinya
mempunyai ilmu 'Rupa Setan' yaitu ilmu yang bisa merubah wajah
seperti orang yang di maksud dengan menye-
butkan nama orang itu dalam manteranya, "Mak-
sudmu aku harus merubah diri menjadi Lili?"
"Jangan menjadi Lili, melainkan menjadi
Yoga; si Pendekar Rajawali Merah itu! Dengan be-
gitu, Lili akan lunak dan menurut dengan sang Ke-
tua karena sang Ketua disangka kekasihnya!"
Tiba-tiba Juru Kubur menyahut, "Itu gaga-
san yang bagus, Ketua! Gunakan jurus 'Rupa Se-
tan' lalu ketua berubah wujud menjadi Yoga. Ka-
rena Yoga adalah kekasih Lili, maka Lili akan tun-
duk kepadanya. Kalau perlu, Ketua seret dia ke-
mari secara halus, lalu kita siksa supaya dia mau
serahkan Kitab Jagat Sakti!"
Cemplon Sari dan kedua utusan lainnya itu
menyeringai karena suara Juru Kubur jika bicara
sangat keras, cempreng pecah dan membuat telin-
ga berdenging. Tapi Putri Kumbang tidak merasa-
kan hal itu, karena ia tahu, setiap Juru Kubur in-
gin bicara, ia sudah lebih dulu menutup telinganya
dengan hawa redam yang ada di dalam tubuhnya.
"Baiklah," kata Putri Kumbang. "Akan kugunakan jurus 'Rupa Setan' itu untuk
menjebak Lili!" Putri Kumbang diam berlipat tangan di da-da. Matanya terpejam. Lalu
tubuhnya bercahaya
putih perak menyilaukan. Yang terlihat oleh mere-
ka hanya cahaya putih besar namun tak bisa me-
nembus kedalaman cahaya tersebut. Tapi bebera-
pa kejap berikutnya, zuuutt...! Cahaya itu hilang
dalam seketika. Kini tubuh Putri Kumbang sudah
berubah menjadi wujud Pendekar Rajawali Merah,
lengkap dengan pedang di punggungnya yang ber-
gagang merah tembaga dengan hiasan kepala bu-
rung saling bertolak belakang.
Cemplon Sari terbengong-bengong melihat
wajah tampan palsu itu. Ia merasa seperti berha-
dapan dengan Yoga asli, karena tangan kiri jel-
maan Putri Kumbang itu juga buntung. Cemplon
Sari tersenyum-senyum dan pelan-pelan tangan-
nya meraba jemari tangan kiri Yoga palsu itu. Ma-
tanya dan senyumnya menandakan Cemplon Sari
terpikat oleh Yoga palsu. Hal itu membuat Putri
Kumbang dalam wujud Yoga tersenyum geli terha-
dap Cemplon Sari.
Senyum itu membuat mata Cemplon Sari
semakin terperangah kagum. Ia merindukan ke-
tampanan Yoga sudah cukup lama, ia ingin meli-
hat senyum pemuda itu yang sudah lama tak per-
nah dijumpai. Kini pemuda tampan palsu itu ter-
senyum, dan hati Cemplon Sari berdebar-debar,
jantungnya tersentak-sentak sangat kuat. Akhir-
nya karena bangga dan girangnya ia jatuh terkulai,
kelenger! "Gadis edan!" omel Yoga palsu. "Begitu saja ping-san! Hmmm...! Roh Gantung,
angkat dia ke dalam. Aku akan pergi mencari Lili. Jangan ada
yang menguntit ku, nanti ketahuan siapa aku se-
benarnya!"
* * * Gemuruh suara air hujan menjadi irama
sehari-hari kawasan lembah tersebut. Di atas se-
buah batu berbentuk kepala manusia yang terjadi
secara alam, seorang gadis yang kecantikannya di-
ibaratkan melebihi kecantikan bidadari itu, duduk
bersila dengan mata terpejam dan dahi sedikit
berkerut. Di belakang gadis itu, ada sebatang kayu
yang sengaja diletakkan di atas batu datar. Kayu
yang besarnya satu genggaman tangan dengan
panjang kurang dari satu jengkal itu, sesekali di-
pandangnya, lalu ditinggalkan kembali. Memejam
mata lagi dengan memunggungi kayu tersebut.
Beberapa saat, gadis berpakaian merah jambu
dengan jubah putih tipis yang tak lain adalah Lili
itu, menoleh ke belakang, ke arah kayu itu, lalu
kembali memunggunginya.
Ia mendesah sebentar, hatinya bergumam
dalam gerutuan, "Susah! Dari tadi aku belum bisa memindahkan kayu itu ke tempat
lain. Bergeser pun tak bisa, tapi kalau dengan memandangnya,
aku sudah bisa memindahkan kayu itu, bahkan
melemparkannya sejauh mungkin. Tetapi ilmu 'Aji
Sukma' tidak begitu. Ilmu 'Aji Sukma' dapat meng-
gerakkan benda seberat apa pun tanpa meman-
dang dan menyentuh. Bahkan benda di tempat
jauh bisa melayang dengan kekuatan ilmu 'Aji
Sukma'. Sayang sekali sampai saat ini aku belum
berhasil memperdalam ilmu yang kudapatkan dari
Kitab Jagat Sakti itu. Sedangkan Pandu Tawa, su-
dah menguasai kendali batin dengan ilmu 'Serat
Jiwa'-nya. Ia bisa menerbangkan benda apa pun
tanpa dilihat dan dipegang."
Lili menghela napas dan menghembuskan-
nya, "Harus kucoba lagi! Aku harus bisa kuasai ilmu 'Aji Sukma' supaya bisa
mengimbangi kekuatan ilmu Pandu Tawa. Jadi aku tak malu jika Pan-
du Tawa keluarkan ilmu 'Serat Jiwa'-nya!"
Pendekar Rajawali Putih kembali lakukan
semadi, pusat pikirannya tertuju sepenuhnya ke
sepotong kayu itu. Namun sampai beberapa saat
kayu itu masih belum bisa bergerak juga.
Tapi beberapa saat kemudian, tiba-tiba
kayu itu bergerak sendiri dengan cepat dan mem-
bentur di punggung Lili. Buuhk...! Pendekar Raja-
wali Putih terkejut. Ia menoleh ke belakang dan
menemukan kayu yang sedang jadi sasaran itu te-
lah bergerak sendiri mengenai punggungnya. Un-
tung tak terlalu keras, hingga tak terasa sakit.
"Mengapa bergeraknya justru ke arahku"
Padahal dalam semadiku tadi kuharapkan kayu ini
bergerak ke kanan dan tercebur di sungai.
Hmmm...! Akan kucoba lagi!" sambil Lili bangkit, lalu meletakkan kayu tersebut
ke batu datar lagi.
Lili duduk bersila, memusatkan perhatian-
nya. Dan tiba-tiba kayu yang dipunggungi itu ber-
gerak membentur punggungnya lagi. Buuuk...!
Gadis cantik yang menyandang pedang di pung-
gung itu tersentak kaget walaupun hanya kaget
kecil. Ia mendapatkan kayu itu sudah jatuh di be-
lakangnya. Kayu kembali diletakkan di tempat semula.
Lili kembali bersila dan memejamkan mata. Tapi
baru sebentar ia memejam mata, tiba-tiba ia me-
lompat dari duduknya ke kanan. Wuuuttt...!
Jleeg...! Ia sudah berdiri menghadap ke arah kayu
tersebut. Kayu itu sudah telanjur terbang sendiri
ke arah bekas tempat duduk Lili tadi dan menge-
nai tempat kosong. Wuuuss...! Pluk.
"Hmmm...! Ada yang menggangguku ru-
panya"!" kata Lili dalam hati. Ia memandangi keadaan sekeliling dengan gerakan
matanya yang lin-
cah itu. Lalu tiba-tiba ia ingat akan Pandu Tawa.
"Pasti dia yang menggangguku. Karena
hanya dia yang ku tahu, bisa melakukan hal se-
perti itu. Melemparkan benda tanpa melihatnya.
Hmm... di mana si tampan nakal itu"!"
Karena bingung menemukan Pandu Tawa,
akhirnya Lili berseru,.
"Pandu! Keluarlah! Aku tahu kau yang
menggangguku! Keluarlah sekarang juga, Pandu!
Jangan memancing kemarahanku!"
Lalu terdengar suara tawa dari balik rum-
pun ilalang tinggi.
"Hah, ha ha ha ha...!"
Lili membatin, "Hmmm...! Benar dia yang
menggangguku." Tapi Lili segera menahan napas-
nya sambil masih membatin, "Dia menebarkan
'Racun Tawa' biar aku Ikut tertawa. Hmmm...! Co-
ba saja kalau dia memang bisa menyerangku den-
gan 'Racun Tawa'-nya..."!"
Pendekar Rajawali Putih menahan napas
cukup lama. Pandu Tawa sendiri tertawa cukup
lama juga. Ia ingin membuat Lili agar ikut tertawa, tapi sampai sekian lama Lili
tidak ikut tertawa.
Akhirnya Pandu Tawa bosan, lalu segera hentikan
tawanya. Lili melepaskan napasnya. Pandu Tawa
segera muncul dari semak ilalang dalam satu lom-
patan bersalto.
Wuuttt...! Jleeg...!
Seraut wajah tampan tersenyum. Berjalan
dengan gagahnya. Rambutnya yang dikuncir tinggi
dalam satu genggaman itu mempunyai ujung yang
bergerak-gerak, sedangkan sisa rambut yang me-
riap di kanan-kiri pelipisnya bergerak disapu an-
gin. Pemuda bertubuh tinggi, gagah dan berkulit
kuning langsat itu mendekati Lili dengan mata tak
lepas memandang gadis itu. Lili hanya tersenyum
tipis sebagai senyum penyambut keakraban mere-
ka. "Aku tahu apa yang sedang kau pelajari, Li-
li!" "Aku pun tahu apa yang sedang kau guna-
kan untuk menggangguku!"
"Rupanya kau ingin kuasai ilmu 'Serat Ji-
wa'" Hmm...! Mengapa tidak bicara padaku soal
itu" Aku bersedia membantumu mencapai ilmu
tersebut. Ayo, kita mulai...!"
"Tidak." Lili menjauh, menuju ke bawah pohon. Ia berdiri di sana dengan tenang
dan tegak. Kakinya selalu sedikit merenggang dan lurus tegak
jika berdiri. "Aku sudah punya jurus itu sendiri.
Tinggal kupelajari. Aku tak mau kau ikut mem-
bantuku," kata Lili kemudian.
"Aku hanya ingin mempermudah kau men-
capai ilmu 'Serat Jiwa'!"
"Bukan. Ilmu yang kupelajari bukan ilmu
'Serat Jiwa'. Hampir mirip dengan ilmumu itu, tapi
punya perbedaan!"
Pandu Tawa tersenyum. "Apa perbedaan-
nya?" "Nanti kalau sudah ku kuasai, kau akan ta-hu sendiri," jawab Lili seakan
tak ingin ilmu itu diketahui oleh Pandu Tawa.
Gelak tawa pemuda tampan itu kian me-
manjang, tapi tidak keras. Itu pertanda ia tidak
sedang menaburkan 'Racun Tawa'. Ia melangkah
mendekati Lili dan berkata,
"Kau memang selalu ingin unggul dari yang
lain. Aku sempat heran melihatmu mampu mena-
han 'Racun Tawa'-ku. Padahal orang lain akan ikut
tertawa jika aku sudah menebarkan 'Racun Tawa'
seperti tadi."
"Aku punya penangkal Racun Tawa-mu'
"Ajarkan padaku, Lili."
Lili tersenyum. "Nanti. Penangkal itu akan
kuajarkan padamu sebagai hadiah kelak jika kau
menikah dengan seorang gadis!"
"Ha ha ha ha...! Jadi kau mengharapkan
aku cepat menikah?"
"Aku tidak bilang begitu," Lili angkat bahu.
Kemudian Pandu Tawa duduk di atas sebongkah
batu yang ada di bawah pohon rindang itu. Ia ber-
kata dengan mata memandang sekeliling,
"Aku ingin bertemu dengan Yoga. Di mana
kekasih mu itu berada?"
"Ada perlu apa kau ingin menemuinya?"
"Ingin menyampaikan undangan buat dia,
termasuk buatmu juga."
Lili memandang dengan dahi berkerut. "Un-
dangan apa, Pandu"!"
"Jelasnya, aku ingin mengajak kalian ber-
dua untuk menghadiri pertemuan para tokoh per-


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silatan di Bukit Tulang Iblis. Di sana akan di lakukan pemilihan dan penobatan
gelar Pendekar Ma-
ha Sakti yang akan menjadi Hakim dalam pengadi-
lan di dunia persilatan ini!"
"Bagaimana cara pemilihannya" Apakah ki-
ta akan diadu satu persatu?"
"Justru karena aku belum tahu, maka aku
tertarik ingin tahu. Aku ingin menghadiri perte-
muan itu bersama kalian berdua. Kita bertiga ti-
dak perlu ikut mencalonkan diri, namun sekadar
ingin tahu, seperti apa pemilihan dan penobatan
Pendekar Maha Sakti untuk diangkat menjadi ha-
kim di antara kita itu."
Lili manggut-manggut "Hmmm... ya, ya....
Aku tertarik juga untuk datang ke sana! Kalau be-
gitu, kita cari Yoga ke selatan! Kulihat gerakannya berkelebat menuju selatan."
"Baik." Pandu Tawa pun segera bangkit berdiri.
* * * 4 BARU saja Lili dan Pandu Tawa hendak me-
langkah, tiba-tiba mereka melihat seseorang me-
lompat dari batu ke batu di atas permukaan sun-
gai. Gerakannya cukup lincah dan cepat. Dalam
waktu singkat pemuda berbaju selempang dari ku-
lit beruang coklat yang membungkus baju putih
lengan panjang di dalamnya itu tiba di depan Lili
dan Pandu Tawa. Dialah Yoga.
"Dari mana kau, Yo?" sapa Lili mengawali
percakapan mereka.
"Mencarimu ke mana-mana, Lili. Aku harus
pergi denganmu: Hanya berdua denganmu," kata
Yoga, matanya melirik sekejap ke arah Pandu Ta-
wa. Lirikan mata itu berkesan tak ramah. Kurang
bersahabat. Pandu Tawa sedikit heran. Mengapa Yoga
bersikap tak bersahabat padanya. Padahal ketika
mereka pulang dari Teluk Gangga, mereka saling
bersahabat dengan damai. Mungkinkah Yoga ter-
kena hasutan seseorang hingga menaruh curiga
dan cemburu kepada Pandu tawa" Dugaan terse-
but hanya disimpan oleh Pandu tawa di dalam ha-
tinya. "Ada persoalan apa, Yo?"
"Penting sekali. Ini menyangkut urusan kita
berdua, tidak melibatkan orang lain. Sekarang ju-
ga kita harus pergi, Lili."
"Nanti dulu. Aku ingin dengar dulu persoa-
lannya. Mungkin kau menganggapnya penting, ta-
pi bagiku belum tentu persoalan itu penting."
Pandu Tawa tak enak hati. Ia segera berkata
kepada Lili, "Aku akan cuci muka dulu di tepian sana. Kalau urusanmu sudah
selesai, lekas beritahukan padaku bagaimana dengan rencana kita ta-
di?" "Baiklah. Pergilah dulu ke sana, biar aku bicara dengannya, Pandu!"
Pemuda tampan berpakaian biru itu segera
menuju ke tepian sungai berair bening. Ia mende-
kati curahan air terjun dan mengambil air untuk
mencuci mukanya yang berwajah tampan dengan
hidung mancung.
"Bicaramu menyinggung perasaan Pandu
Tawa, Yo. Aku tak enak jadinya. Lain kali jangan
begitu." "Persetan dengan dia! Kita punya kepentin-
gan sendiri. Aku harus segera membawamu ke Pa-
deri Duta Surga."
"Siapa itu Paderi Duta Surga?" Lili berkerut dahi merasa aneh.
"Seorang peramal sakti, yang mengetahui
perjalanan nasib kita berdua di masa mendatang.
Kabarnya ada bahaya yang akan menyerang kita
berdua. Karena itu, kita berdua dipanggilnya un-
tuk diberi wejangan tentang menghadapi bahaya
yang akan datang itu."
"Kalau begitu aku harus memberitahu Pan-
du Tawa dulu, supaya dia tidak menunggu-nunggu
kita." "Baik. Tapi cepatlah, jangan buang-buang waktu, Lili!"
Maka gadis cantik itu pun segera menemui
Pandu Tawa yang sudah duduk di bebatuan tepi
sungai. Ia memandangi permukaan air sungai
yang berbintik-bintik karena siraman air terjun.
Ketika ia tahu Lili mendekatinya, sikapnya tidak
berubah, dan tetap duduk di tempat tersebut, se-
mentara Yoga masih tinggal di bawah pohon.
"Pandu Tawa, aku harus menemui seseo-
rang yang akan memberitahukan padaku tentang
bahaya masa mendatang. Ini menyangkut masalah
hubungan ku dengan Yoga. Jadi, kuharap kau
jangan kecewa jika aku dan dia belum bisa ikut ke
Bukit Tulang Iblis menghadiri pertemuan itu. Ku-
harap kau bisa memahami, Pandu."
"Kurasa kau tak perlu ikut dia," kata Pandu Tawa dengan tenang sambil menatap
kalem, tersenyum lembut dan tipis. Lili sedikit terkesiap ma-
tanya karena merasa aneh dengan ucapan terse-
but. "Kenapa kau sepertinya tidak menyukai ke-
hadiran Yoga, Pandu" Jangan begitu, nanti mem-
perburuk perdamaian kita!"
"Jangan katakan kalau aku punya rencana
untuk membawa kalian ke Bukit Tulang Iblis."
"Mengapa?"
"Aku curiga padanya. Dia memanggilmu
dengan nama Lili. Biasanya dia memanggilmu
dengan sebutan Guru." "Memang. Tapi tidak selalu dia memanggil-
ku dengan sebutan Guru. Terutama dalam kea-
daan mendesak dan berbahaya, dia sering menye-
butku dengan Lili saja. Kurasa itu tidak menjadi
masalah, sebab...."
Kata-kata Lili terhenti karena mendengar
suara orang berteriak dari arah tempat Yoga me-
nunggu. Lili dan Pandu Tawa sama-sama terkejut,
cepat lemparkan pandangan ke arah tersebut. Dan
mereka melihat seseorang berbadan gemuk besar
sedang menyerang Yoga, lalu oleh Yoga orang itu
berhasil dijungkir-balikkan dalam satu gebrakan
kecil. Orang yang menyerang Yoga itu berkulit ka-
sar totol-totol hitam seperti bekas borok lama, se-
lain gendut dan gemuk, perutnya juga membuncit.
Ia mengenakan rompi merah yang tak cukup den-
gan ukuran badannya. Lelaki berusia sekitar em-
pat puluh tahun itu menggantungkan tempat mi-
num dari kulit binatang. Dan tempat minumnya
itu berisi arak.
Melihat ciri-ciri tersebut, Lili dan Pandu Ta-
wa segera mengenalinya, bahwa orang itu adalah
Jin Arak. Jin Arak pernah datang ke Teluk Gangga
untuk membunuh Naga Bara. Tetapi Lili dan Pan-
du Tawa kala itu belum datang. Mereka mengenali
ciri-ciri tersebut dari cerita yang dituturkan oleh Cola Colo, si Bocah Bodoh
yang memiliki Pedang
Jimat Lanang itu.
"Aku yakin dialah orangnya yang bernama
Jin Arak."
"Ya, kata Pandu Tawa. Tapi agaknya Jin
Arak masih mempersoalkan kekalahannya mela-
wan Yoga di Teluk Gangga."
"Tapi menurut pengakuan Bocah Bodoh,
dan Tua Usil, justru Tua Usil itulah yang telah
mengalahkan Jin Arak."
"Benar. Tapi awal persoalannya dengan Yo-
ga. Jadi sepertinya Jin Arak masih mengincar Yo-
ga, penasaran dan ingin mengalahkan Yoga."
"Ya, ya! Kurasa memang begitu."
"Apa perlu kita bantu?"
"Tidak. Biarkan murid angkatku itu menga-
tasinya sendiri. Aku yakin dia pasti mampu men-
galahkan Jin Arak!"
"Kalau begitu, kita lihat saja siapa yang un-
ggul!" Jin Arak memandang Yoga dengan mata
angker, berwarna merah, dan berdirinya tidak bisa
tegak karena terlalu banyak minum arak. Dalam
keadaan mabuk begitu, Jin Arak masih bisa men-
genali Yoga dan mengingat persoalan di Teluk
Gangga. "Siapa kau, berani-beraninya menyerangku
dari belakang" Apakah kau tak tahu siapa aku?"
"Hei," kau...!" Jin Arak menunjuk tempat kosong, karena menurut pandangan
matanya Yoga ada di sana. "Aku yang mabuk saja tidak lupa
denganmu, kenapa kau yang tidak mabuk lupa
denganku, hah"! Aku adalah Jin Arak, yang per-
nah kau buat kecewa di Teluk Gangga. Kau masih
ingat peristiwa itu, hah..."!"
Jin Arak berbicara dengan nada meliuk-liuk
karena pengaruh arak yang memabukkan. Badan-
nya tak bisa diam, selalu goyang ke sana-sini. Yoga tampak tenang dan segera
berkata, "Ya, sekarang kuingat siapa dirimu. Kau
memang punya masalah denganku, Jin Arak. Ka-
lau kau masih merasa belum puas, kau boleh
puas-puaskan melawanku di sini!"
"Hmmm...! Baik! Aku minum sebentar!"
Jin Arak membuka tutup tempat minumnya
itu, lalu menenggaknya beberapa teguk. Tapi be-
lum selesai menenggak arak, ketika ia mendon-
gakkan kepalanya. Yoga segera menyerangnya
dengan satu tendangan lompat yang cukup cepat.
Wuuuttt...! Plaakkk...!
Kaki kanan Yoga yang menendang itu men-
genai kepala bagian belakang lawannya. Akibat-
nya, mulut tempat minum itu beradu dengan mu-
lut Jin Arak, dan air arak di dalamnya mengguyur
wajah bulat gundul itu.
"Bangsat...!" teriak Jin Arak setelah ia tak berhasil jatuh, hanya terhuyung-
huyung ke depan
beberapa tindak, ia segera menutup tempat mi-
numnya dan melangkah dengan limbung mende-
kati Yoga. Pemuda tampan itu hanya menatap
dengan sorot pandangan mata cukup ganas.
Sementara itu, Lili berkata dalam hati,
"Mengapa Yoga lakukan kecurangan" Mestinya ia
menunggu lawannya berhenti minum dulu baru
menyerang!"
Jin Arak semakin menggeram penuh luapan
amarah. Dengan badan sedikit bungkuk dan tan-
gan agak terangkat sedikit, Jin Arak menunggu
kesempatan menyerang. Tetapi agaknya Yoga
menduluinya dengan serangan tenang berputar
beberapa kali hingga tepat mengenai wajah Jin
Arak berulang-ulang. Plak, plak, plak, plak...!
Dengan tubuh besarnya Jin Arak ter-
huyung-huyung ke belakang dan gelagapan karena
terkena tendangan beberapa kali. Wajah Jin Arak
menjadi memar merah kebiru-biruan.
Sambil memandangi pertarungan itu alis
mata Lili berkernyit. Ia pun berkata lirih kepada
Pandu Tawa, "Jurus dari mana yang dipergunakan Yoga"
Aku baru tahu dia mempunyai jurus tendangan
putar berantai. Agaknya tendangan itu bertenaga
dalam aneh. Wajah lawannya dibuat memar me-
rah." "Mungkinkah dia mempunyai jurus simpanan yang belum pernah kau lihat
selama ini?"
Lili menggeleng, "Kurasa tak mungkin!"
Pada waktu itu, Jin Arak dihajar habis oleh
Yoga dengan pukulan dan tendangan yang tak bisa
ditangkis lagi. Dan hal itu membuat Lili semakin
heran, memendam kecurigaan. Ia berkata kepada
Pandu Tawa dengan mata tetap tertuju ke arah
pertarungan, "Jurus-jurusnya sama sekali tak kukenal,
Pandu!" "Kalau begitu, lekas kita sembunyi di sebe-
lah sana. Kurasa Yoga akan kebingungan jika ia
tidak bisa tumbangkan Jin Arak. la pasti akan
mencari kita. Di sana kita bisa lebih bebas lagi
memperhatikan jurus-jurus yang di gunakan Yoga
itu." Lili menuruti saran Pandu Tawa. Mereka
bersembunyi agak jauh, namun ruang pandang
mereka tidak terhalang pepohonan.
Jin Arak menggunakan jurus tepukannya.
Sekali ia bertepuk, tenaga dalam tersalur keluar
dan menghantam lawan. Plok...! Wuuttt! Buuhg...!
Dan Yoga pun terpental ke belakang.
Plok, plok...! Tepukan kali ini memancarkan
dua sinar biru yang berkelebat menyerang Yoga.
Tetapi Yoga segera meliuk-liukkan tangannya den-
gan cepat di bagian depan, seperti seekor naga se-
dang bergegas untuk menyambar lawan. Dan dari
liukan tangannya itu keluarlah sinar-sinar merah
yang berkelok-kelok seperti gerakan seekor naga
yang sedang mengamuk. Lalu, sinar biru itu ter-
hantam sinar merah. Biar! Blegaaarrr...!
Tubuh Jin Arak kembali terdorong ke bela-
kang. Tapi ia masih berusaha berdiri walau dengan
terhuyung-huyung. Maka dengan cepat Yoga ber-
salto dalam satu lompatan. Gerakan saltonya
mampu mencapai tiga putaran, dan tahu-tahu ke-
dua kakinya menjejak dada besar Jin Arak.
Buuug...! Kedua kaki yang menjejak bersama itu se-
gera menghentak di dada lawan dan membuat tu-


Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buh Yoga terpental balik, lalu bersalto satu kali.
Wuuuttt...! Kejap berikutnya Yoga sudah berdiri
dengan sigap. Jleeg...!
Pada waktu itu, Jin Arak memuntahkan da-
rah segar dari mulutnya.
"Hoeeek...!"
Rupanya Yoga kurang puas, sehingga den-
gan pukulan jarak jauhnya ia berhasil menghan-
tam punggung si gendut Jin Arak itu. Wuuuttt...!
Bhaaak...! Pukulan itu. terkena telak dan mem-
buat rompi merah Jin Arak membekas hitam dan
tubuh itu tersungkur dengan kekuatan yang san-
gat rapuh lagi.
"Heaah...!" Jin Arak masih berusaha mela-
wan. Tanah di depannya dihantam dengan tapak
tangan terbuka. Lalu, tiba-tiba sebaris api berkelebat membakar rerumputan.
Gerakan api itu seper-
ti gerakan ular yang meliuk ke sana-sini sambil
menyala berkobar-kobar dan akhirnya berhasil
mengurung Yoga dalam lingkaran api.
Namun Yoga bagaikan tak kalah akal. Ia
menghembuskan udara dari mulut. Wuuusss...!
Tiba-tiba semua api padam secara serentak.
Bluub...! Kemudian ia melompat dari bekas lingka-
ran itu, tangannya berkelebat cepat begitu tiba di
depan Jin Arak yang memunggunginya karena
bingung mencari lawannya ada di mana.
Baaahk...! Pukulan telapak tangan itu
membuat Jin Arak kembali terlempar ke depan
dan jatuh berguling-guling. Tapi dengan cepat ia
pun bangkit dan kebingungan lagi mencari lawan-
nya ada di mana. Akibatnya ia lepaskan satu pu-
kulan dengan kedua tangan menggenggam dan
disentakkan ke depan. Bebatuan besar yang men-
jadi sasaran karena disangka ada Yoga di sana.
Wuuttt...! Sinar kuning bagaikan cakram itu mele-
sat menghantam gugusan batu besar itu, lalu me-
lesat balik membentuk sudut lebar, dan menghan-
tam tubuh Yoga yang tidak menyangka akan me-
nerima balik sinar yang dihantamkan pada batu.
Wuuuttt...! Blaarrr...! Yoga hampir saja terlambat. Ia
berhasil menyentakkan satu jari telunjuknya hing-
ga keluarlah sinar merah membara sedikit keku-
ningan. Kemudian sinar itu melebar dan memben-
tur sinar dari lawannya. Akibatnya, timbullah le-
dakan yang membuat tubuh Yoga terlempar ke be-
lakang dan tubuh Jin Arak terpuruk di tanah den-
gan suara erang samar-samar.
Ketika ia mendongakkan kepalanya, Yoga
hanya tersenyum sinis. Wajah Jin Arak seperti di-
kelupas seluruh kulitnya. Terasa perih rasanya.
Tapi Yoga belum puas dan segera melompat den-
gan satu tendangan layang yang tepat mengenai
rahang kanan Jin Arak.
Draakk...! Rahang itu berderak hampir pa-
tah. Tubuh besar dan gendut itu semakin tak ber-
daya lagi, yang akhirnya jatuh terkapar dalam
keadaan terluka parah baik luar maupun bagian
dalamnya. "Saatnya menghabisi nyawamu, Jin Arak!
Heaaah...!"
Yoga segera menghantamkan pukulan tan-
gan kanannya dengan kuat, dan memancarkan
cahaya seperti besi terpanggang api. Tetapi sebe-
lum niat itu dilaksanakan, tiba-tiba ada seseorang
yang berkelebat menyambar tubuh besar Jin Arak.
Wuuttt...! Pandu Tawa dan Pendekar Rajawali Putih
semakin merapatkan diri dalam persembunyian-
nya. Munculnya tokoh kurus yang mampu me-
nyambar tubuh gemuk Jin Arak sudah menanda-
kan persoalan akan menjadi panjang. Dan tokoh
kurus tua itu sudah pasti bukan orang sembaran-
gan. Yoga pun berpendapat demikian di dalam ha-
tinya. Tapi ia tetap berdiri di tempat dan matanya
memandang tajam kepada tokoh kurus tua yang
tak lain adalah Wong Sakti itu.
"Maaf, aku tidak ingin ikut campur uru-
sanmu, Pendekar Rajawali Merah. Tapi aku hanya
ingin menghentikan pertarungan ini Sebentar un-
tuk menyampaikan pesan."
"Siapa kau, Pak Tua"! Kenapa berani me-
nyambar lawanku"!"
"Lho, ternyata yang pikun justru kamu, Yo-
ga! Baru saja kita jumpa di sana, tapi kau sudah
lupa padaku. Akulah Wong Sakti yang kau buat
terpental terbang jauh sekali tadi."
"Wong Sakti akan jera melawanku. Tapi ke-
napa kau masih tetap ingin melawanku" Apakah
kau saudara kembar Wong Sakti"!"
"Bukan. Aku Wong Sakti asli! Aku berani
bersumpah!"
Seorang bocah berpakaian kotak-kotak ber-
lari menghampiri Wong Sakti. Dan lelaki tua kem-
pot itu berkata, "Dan ini adalah muridku yang ta-di. Apakah kau juga lupa?"
"Tidak!" jawab Yoga tegas. "Tapi jika kau tidak serahkan si Jin Arak itu padaku,
kau akan kubuat lupa dengan menghilangnya nyawamu dari
raga. Dan muridmu itu akan kehilangan nyawa
pula jika memang kupandang perlu!"
"Wah, wah, wah...kejam nian dikau!" kata
Wong Sakti seenaknya dalam bicara. Waktu itu,
Kukilo segera berkata, "Apakah orang gundul ini yang bernama Tua Usil, Guru"!"
"Bukan! Ini namanya Jin Arak."
"Ilmunya tinggi atau rendah?"
"Tinggi. Tapi dia ternyata bisa dikalahkan
oleh Yoga. Berarti ilmunya Yoga lebih tinggi lagi
dari setan tepuk tangan ini!" "Mengapa Guru me-nyebutnya setan tepuk tangan?"
"Karena kekuatannya pada tepuk tangan-
nya. Sekali tepuk, bisa tujuh-delapan nyawa me-
layang!" Yoga menyahut, "Wong Sakti, kau ingin
berpesan apa padaku" Cepat katakan! Setelah itu
tinggalkan Jin Arak. Dia punya urusan sendiri
denganku. Kau tak perlu ikut campur!"
"Aku hanya ingin berpesan padamu, jadi
pendekar itu jangan kejam-kejam! Lawan sudah
tidak berdaya masih dihajar juga! Apakah begitu
ajaran dari gurumu; si Dewa Geledek itu"!"
"Persetan dengan nasihat atau pesanmu itu!
Kalau kau tidak mau menyingkir, kuhabisi juga
nyawamu, Wong Sakti!"
"He he he...!" Wong Sakti tertawa sambil garuk-garuk kepala. "Kau pikir aku tadi
lari darimu karena kalah dan takut" Oho... tidak begitu, Yoga.
Aku lari karena ingin segera mencari Tua Usil. Ba-
rangkali saja tanpa bantuanmu aku bisa temukan
sendiri si Tua Usil itu. Tapi jika sekarang kau me-
nantangku begitu, aku akan layani dengan senang
hati. Yoga!"
Terdengar suara Jin Arak mengerang kesa-
kitan dan tak berdaya lagi. Bahkan Jin Arak sem-
pat meratap lirih,
"Tolong, Kek... tolong...!"
"Ya. Nanti kutolong. Sekarang kuhadapi du-
lu orang itu. Sabarlah! Menurut ramalanku, kau
masih punya umur panjang dan susah matinya!"
Pada waktu itu. Yoga segera sentakkan dua
jarinya lurus ke depan. Dan dua jari itu keluarkan
selarik sinar merah lurus menghantam tubuh Jin
Arak yang terkapar di depan kaki Wong Sakti.
Zlaaap...! Wong Sakti segera bertindak. Jubahnya di-
kibaskan ke depan, dan tiba-tiba sinar merah lu-
rus itu berbelok arak, melengkung membuat suatu
lingkaran yang dengan cepat mengurung tubuh
Yoga sendiri. Sinar merah itu seperti kawat yang
memagari Yoga dengan nyalanya yang semakin le-
bar dan besar. Sinar itu bergerak semakin sempit dan ling-
karannya semakin kecil. Sinar yang hendak menje-
rat Yoga itu bergerak dengan cepat. Maka Yoga
pun segera lompat ke atas dan bersalto keluar dari
lingkaran yang kini tinggal satu genggaman itu.
Ketika lingkaran merah mengecil lagi dan men-
gumpul menjadi satu, sinarnya pecah di segala
arah menjadi lebih dari dua belas larik sinar,
Zrrraattt...! Blaarrar...! Wong Sakti melindungi diri dan
melindungi muridnya dengan cara mengibaskan
jubah lagi ke depan, sehingga dua sinar yang me-
lesat ke arahnya itu membelok ke arah lain, Sinar-
sinar itu mengenai pohon, batu atau apa saja yang
menimbulkan suara ledakan menggema. Hampir
saja tubuh Yoga menjadi sasaran jika ia tidak se-
gera tengkurap di tanah.
"Percuma saja dia kulayani. Lili sudah tidak
kelihatan. Pasti pergi dengan Pandu Tawa," pikir Yoga, "Lebih baik waktunya
kugunakan untuk
mengejar Lili!"
Maka dengan gerakan seolah-olah ingin
menyerang, tiba-tiba Yoga melompat ke arah lain
dan berlari menyeberangi sungai dengan melompa-
ti batu demi batu, lalu menghilang di balik kerim-
bunan pohon seberang sungai tersebut.
"Guru, dia lari! Kejar dia. Guru!" Kukilo bagai keluarkan perintah kepada anak
buahnya. Gu- runya menyahut,
"Baik. Tapi... orang gemuk ini bagaimana"
Kasihan. Dia sakit. Jenguklah dia kalau kau tak
percaya!" "Biarlah sakit. Kita tidak pernah menyu-
ruhnya sakit, Kenapa harus repot-repot pikirkan
dia" Lebih baik kejar saja orang itu tadi!"
"Kenapa repot-repot kejar dia" Bukankah
yang kita butuhkan si Tua Usil" Lebih baik waktu
kita digunakan untuk kejar si Tua Usil saja, Kuki-
lo!" "Tolong dulu aku, Pak Tua... aku si Jin Arak
dalam keadaan gawat!" ratap Jin Arak dengan sua-ra tertekan karena sesak
napasnya. * * * 5 TUBUH gemuk berkulit keras itu kini dalam
keadaan benar-benar menderita. Diawali dari len-
gan kiri dan punggung, melepuh dan menjadi
gumpalan daging keras. Lalu disusul di beberapa
tempat lainnya, juga melepuh dan menjadi gumpa-
lan daging yang mengeras membentuk seperti
tumpukan batu karang. Akibatnya, tubuh Jin Arak
memang menyerupai onggokan batu karang yang
berwarna merah kehitam-hitaman. Hidungnya
sendiri semakin besar dan lubang hidungnya ter-
sumbat. Ia bernapas melalui mulut, namun bibir-
nya sendiri melepuh dan membentuk daging keras.
Mekarnya kulit yang mengeras itu timbul-
kan rasa sakit yang tak terhingga. Semakin lama
semakin besar, sehingga Jin Arak dalam keadaan
sangat menderita. Itulah sebabnya ia mengerang-
erang dalam nada rintih yang memilukan.
Wong Sakti melihat tubuh Jin Arak sudah
sedemikian parahnya. Ia sempat berkata, seperti
ditujukan pada diri sendiri,
"Wah, tubuhmu kok jadi malah seperti ja-
mur dimusim hujan"! Seram tapi indah. He he he
he...! Baiklah, ku sembuhkan dirimu tapi setelah
itu bantulah aku!"
Kukilo memperhatikan Jin Arak diobati oleh
Wong Sakti. Caranya cukup unik. Tubuh Jin Arak
ditelentang kan di tanah, lalu dilompati bolak-balik, le-
bih dari dua puluh lompatan. Tiap satu lompatan
daging tumbuh yang keras itu menjadi susut. Ma-
kin banyak lompatan semakin banyak susutnya.
Melihat gurunya melompat-lompat di atas
tubuh Jin Arak, bocah berusia sepuluh tahun itu
berkata, "Kok Guru malah seperti anak kecil" Kalau begitu aku juga ikut
melompat-lompat, ah!"
"Husy, jangan! Ini lompat bukan sembarang
lompat. Ada manteranya dan ada jurusnya. Den-
gan melompat begini akan timbul angin panas dari
tubuhku yang dapat untuk mematikan racun di
tubuh si badak bodoh ini," kata Wong Sakti*. "Ka-mu duduk saja dulu di sana.
Jangan ke mana-
mana, nanti tertukar anak babi lagi!"
Seruling Sakti 12 Pendekar Pemanah Rajawali Sia Tiauw Eng Hiong Karya Jin Yong Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 15
^