Pencarian

Kemelut Di Telaga Dewa 1

Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa Bagian 1


1 Di penghujung bulan Besar, Telaga Dewa se-
nantiasa diramaikan oleh perahu sewaan para pelan-
cong. Mereka para saudagar kaya atau para bangsa-
wan yang sedang berpelesir. Namun, di antara para pelancong itu, yang terbanyak
adalah petualang-
petualang yang banyak berkecimpung di rimba persilatan.
Para saudagar dan bangsawan yang datang ke
Telaga Dewa bermaksud menikmati keindahan pano-
rama telaga dan meresapi hawa segar di awal musim
kemarau. Lain itu, mereka berharap akan dapat meli-
hat wujud ikan mas besar yang oleh penduduk setem-
pat dinamakan Ikan Mas Dewa. Ikan mas yang besar-
nya melebihi tubuh manusia dewasa itu selalu muncul setiap tanggal satu Suro.
Sementara, para tokoh rimba persilatan yang
datang ke telaga hanya mempunyai satu tujuan, yaitu memperebutkan sebuah benda
ajaib bernama Kodok
Wasiat Dewa yang tersimpan di dalam perut Ikan Mas
Dewa. Namun, sampai saat ini belum ada seorang pun
tokoh yang mampu menangkap ikan mas itu, apalagi
mengambil Kodok Wasiat Dewa yang tersimpan di da-
lam perutnya. Telaga Dewa yang terletak di ujung utara Pulau
Jawa adalah sebuah telaga besar yang dipagari barisan pohon cemara.
Walau musim senantiasa berganti, air Telaga
Dewa selalu jernih. Hingga, dari atas perahu, setiap orang bisa melihat ikan-
ikan yang tengah berenang di dalam air. Sementara, di pucuk-pucuk pohon cemara
yang memagari telaga selalu tampak sekumpulan bu-
rung parkit berwarna-warni. Burung-burung itu sese-
kali terbang mendekati perahu dan tampak jinak. se-
hingga hati orang yang berada di atas perahu menjadi sangat senang. Apalagi,
mereka selalu berkicau nyaring seakan mengajak bercanda pada setiap orang.
Di antara puluhan perahu yang sedang berlayar
ke tengah telaga, terlihat sebuah perahu coklat kusam bergerak menepi. Layarnya
yang berwarna kuning sudah digulung dan diikatkan ke tiang perahu. Pemiliknya
seorang lelaki tua yang telah mendekati usia enam puluh tahun. Kakek itu
mendayung dengan tatapan
kosong. Berkali-kali dia mendesah. Ada pikiran tak
enak yang menggeluti benaknya.
Sebenarnya ada beberapa orang yang telah me-
nawar harga perahu si kakek untuk disewa, tapi si kakek menolak dengan alasan
perahunya akan diguna-
kan untuk mencari ikan. Namun ternyata, setelah be-
berapa hari berlayar ke tengah telaga, dia tak mendapatkan hasil seperti yang
diharapkannya. Tapi, bila melihat raut wajah si kakek yang se-
demikian keruh, dapat dipastikan bukan karena masa-
lah itu yang membuat gundah hati si kakek.
Kakek bernama Karapak itu terus mendesah
dengan kening berkerut rapat. Di benaknya terbayang wajah seorang gadis bernama
Sawitri yang beberapa
pekan lalu diambilnya sebagai anak angkat. Istri Karapak bernama Salindri memang
tak dapat memberikan
keturunan. "Aku harus dapat mengungkap tabir rahasia
komplotan Lembah Dewa-Dewi...," gumam si kakek,
"Ya! Aku harus dapat! Agar tak sia-sia semua jerih payah ku selama ini!"
Sinar redup di mata Karapak berubah terang
mana-kala melihat seorang pemuda yang berjalan
mendatangi perahu yang telah ditambatkannya. Pe-
muda itu berparas tampan. Kedua alisnya tebal terbentang seperti sayap elang
menukik. Sementara, di balik ketampanan si pemuda terpancar sinar keluguan dan
kejujuran. Tubuhnya yang tinggi tegap terbungkus pakaian biru-biru dengan ikat
pinggang kain merah. Angin yang berhembus kencang mengibarkan anak-anak
rambutnya yang tergerai panjang.
"Pak Tua...," sapa si pemuda. "Saya hendak bertanya, apakah telaga ini bernama
Telaga Dewa?"
Karapak tak langsung menjawab. Ditatapnya
sosok si pemuda dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Melihat kegagahan dan ketampanan pemuda itu,
Karapak berpikir, "Anak angkatku juga punya kesem-purnaan wajah dan tubuh.
Hmmm.... Alangkah se-
nangnya aku andai pemuda ini bersedia kujadikan
mantu." Berpikir demikian, untuk beberapa saat si ka-
kek lupa pada masalah pelik yang harus segera disele-saikannya.
"Eh, Pak Tua," tegur si pemuda yang melihat Karapak terlongong bengong.
"Eh ya, ya.... Ada apa, Anak Muda?" kesiap Karapak. Si pemuda tersenyum. Dan,
entah karena apa,
dia lalu cengar-cengir. Sementara, Karapak menatap-
nya dengan kening berkerut. Namun, di balik tatapan Karapak yang penuh tanda
tanya itu, tersimpan keka-guman yang mencetuskan sebuah harapan.
"Inikah yang disebut Telaga Dewa, Pak Tua?"
pemuda berpakaian biru-biru bertanya lagi.
"Ya," jawab Karapak. "Agaknya, kau datang dari jauh, Anak Muda. Siapakah kau"
Apakah kau datang
juga untuk berpelesir?"
"Aku Seno Prasetyo...," kata si pemuda. "Aku datang untuk satu tujuan. Bolehkah
pada tanggal satu Suro nanti aku meminjam perahu Pak Tua?"
Si pemuda yang memang Seno Prasetyo adanya
berkata sangat lugu, tanpa malu atau sungkan. Kon-
tan Karapak mengangkat kedua ujung alisnya. Perahu
Karapak disewa saja tidak boleh, apalagi dipinjam"!
Namun, Karapak yang sudah telanjur suka pa-
da Seno tak mau pikir panjang lagi. Sambil menyungging senyum, dia berkata,
"Boleh. Boleh saja. Tapi, kau harus membantuku mencari ikan."
Seno nyengir kuda. Pemuda remaja yang mau
saja dijuluki orang sebagai Pendekar Bodoh itu tampak berpikir-pikir. Sepanjang
usianya yang menginjak tujuh belas tahun, dia tak pernah berlayar mencari ikan.
Bagaimana dia bisa membantu si kakek" Apakah nanti
tidak malah merepotkan"
"He, kenapa lama berpikir?" tegur Karapak.
"Kau boleh meminjam perahu ku asal kau bantu aku mencari ikan. Tubuhmu tinggi
tegap. Tenagamu tentu
kuat...." "Aku tidak bisa berlayar, apalagi mencari ikan...," sahut Seno, jujur.
"Hmmm.... Aneh benar kau ini. Kau mau me-
minjam perahu, tapi tidak bisa berlayar. Lalu, perahu ku nanti hendak kau
gunakan untuk apa?"
"Aku meminjam perahu, sekaligus dengan
orangnya."
Mendengar ucapan Seno yang begitu lugu, kon-
tak Karapak tertawa. Suara tawanya lepas berderai seperti lak ada lagi rasa
sedih di hatinya.
"Kau ini lucu, Seno...," ujar Karapak sambil menepuk bahu Seno. "Tapi, sudahlah.
Kau ikut saja. Nanti ku ajari berlayar."
Usia berkata, Karapak melepas lagi ikatan pe-
rahunya. "Ayolah...," ajaknya, setengah memaksa.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Seno melang-
kah naik ke perahu, menuruti ajakan Karapak. Me-
mang, ada baiknya bila Seno belajar berlayar. Kalau berlayar saja tidak bisa,
bagaimana nanti dia bisa
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa"
Kedatangan Seno ke Telaga Dewa memang
bermaksud untuk mendapatkan benda ajaib yang ter-
simpan di dalam perut Ikan Mas Dewa itu. Sebelum
berpisah dengan Dewa Dungu gurunya, Seno diperin-
tahkan untuk mencari murid murtad Dewa Dungu
yang bernama Mahisa Lodra. Seno diberi kuasa untuk
menjatuhkan hukuman kepada kakak seperguruannya
yang telah melarikan dua bagian dari Kitab Sanggalangit itu. Perilaku Mahisa
Lodra memang telah jauh melenceng dari jalan kebenaran. Selain melarikan dua
bagian kitab milik gurunya, dia pun telah membuat
lumpuh sepasang kaki Dewa Dungu dengan cara yang
amat licik. (Baca episode perdana serial Pendekar Bodoh: "Tongkat Dewa Badai").
Sementara itu, Karapak dan Seno terlihat telah
berlayar ke tengah telaga. Dengan menuruti semua perintah Karapak, akhirnya
dapat juga Seno mengemu-
dikan perahu dan bahkan membantu mencari ikan.
Karena mengetahui bila Seno seorang pemuda
lugu dan amat penurut, senanglah hati Karapak. Se-
mangat dalam diri Karapak bergelora lagi. Dia ingin memamerkan kemahiran
berlayarnya kepada Seno,
sekaligus ingin menunjukkan bahwa walau sudah tua
pun dia masih mahir berburu ikan di Telaga Dewa
yang amat luas.
Dan agaknya, berlayar dengan Seno membawa
keberuntungan bagi Karapak. Belum sampai mentari
tenggelam, keranjang besar di dalam perahu telah dipenuhi berbagai jenis ikan.
Maka, tak dapat lagi digambarkan betapa gembiranya hati Karapak. Ketika
pulang, baru menginjak pinggir halaman rumah, dia
telah berteriak-teriak.
"Nini! Nini! Lihat! Aku pulang membawa hasil
sekeranjang penuh!"
Teriakan Karapak ditujukan kepada istrinya,
namun tidak ada siapa-siapa yang muncul dari dalam
rumah. Sambil berlari-lari, Karapak memperkeras te-
riakannya. "Nini! Nini! Lekaslah keluar! Lihat! Aku pulang dengan siapa"! Ada seorang
pemuda cakap yang akan
menjadi teman anak kita!"
Sambil nyengir kuda, Seno mengikuti langkah
Karapak yang melonjak-lonjak kegirangan. Seno me-
langkah memasuki halaman rumah sederhana yang
terbuat dari bilah-bilah papan. Ringan saja Seno melangkah walau sambil
menjinjing keranjang besar yang penuh berisi ikan.
Saat Karapak dan Seno sampai di serambi de-
pan, dari ruangan sebelah dalam muncul seorang ne-
nek yang tak lain dari istri Karapak. Nenek itu mengenakan kebaya hijau dan kain
batik bercorak parang
rusak. Dan, di belakang si nenek tampak seorang gadis tujuh belas tahunan,
mengenakan kebaya merah dan
kain batik bercorak sidomukti. Si gadis berparas cantik. Bulu matanya lentik dan
bola matanya bening ber-pijar penuh daya pesona. Hidungnya mancung dengan
belahan bibir merah ranum. Tubuh si gadis pun terlihat sintal-montok berkulit
kuning langsat. Rambutnya hitam panjang, digelung dengan hiasan dua tusuk
konde yang terbuat dari batok penyu.
"Eh, kau... kau...," kesiap Seno. Matanya terbelalak menatap si gadis.
Seno kaget bukan karena melihat kecantikan si
gadis yang memang sangat menarik. Tapi, karena dia
telah mengenal gadis putri Karapak itu. Si gadis tak lain dari Kemuning atau
Dewi Pedang Kuning, yang dijumpai Seno beberapa waktu yang lalu.
Seno pernah menyelamatkan jiwa Kemuning
yang hampir melayang terbabat ketajaman golok Soka-
lanang. Dengan Tongkat Dewa Badai-nya, Seno mem-
buat Sokalanang lari terbirit-birit. Lalu Seno dan Kemuning berkenalan. Namun,
Kemuning harus segera
pergi karena ditunggu Dewi Pedang Halilintar gurunya di Kademangan Lemah Pitu.
Sebelum pergi, Kemuning
menjuluki Seno sebagai Pendekar Bodoh. (Baca epi-
sode perdana : "Tongkat Dewa Badai").
"Hei! Kenapa kau, Seno"!" tegur Karapak yang melihat Seno berdiri terpaku.
Karapak menyangka bila Seno telah jatuh hati pada putrinya di pandangan pertama.
Maka, Karapak yang memang ingin mengambil
Seno sebagai mantu menjadi sangat senang. Kontan
Karapak tertawa bergelak, terbawa luapan kegembi-
raannya. "Ha ha ha...! Rupanya, kau sangat tertarik me-
lihat kecantikan Sawitri, Seno. Silakan. Silakan berjabat tangan untuk
berkenalan agar kalian cepat menja-di akrab. Ha ha ha...!"
"Sawitri" Siapa Sawitri?" sahut Seno dengan kening berkerut rapat.
Melihat raut wajah Seno yang menyiratkan rasa
heran, cepat Kemuning mengedipkan mata, memberi
isyarat agar Seno mengikuti kemauan Karapak. Tapi,
Seno yang amat lugu mana dapat menangkap isyarat
itu. Kedipan Kemuning malah dibalasnya dengan tata-
pan tajam. "Ayo! Ayolah, Seno. Jangan bersikap seperti
itu!" tegur Karapak. "Berjabat tanganlah. Putriku itu bernama Sawitri. Dia akan
menjadi teman baikmu."
Mendengar Karapak menyebut Kemuning seba-
gai Sawitri, Seno terlongong bengong. Setelah nyengir kuda, dia menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Sementara, Kemuning tampak malu-malu kucing dan
bersembunyi di belakang nenek berkebaya hijau.
"Hei! Hei!" sentak si nenek pada Kemuning. "Tidakkah kau lihat pemuda itu sangat
tampan" Kenapa
malah bersembunyi" Ayo, cepat perkenalkan dirimu!"
Mendapat teguran itu, Kemuning cemberut. La-
lu dengan sikap yang amat manja dan terkesan malu-
malu, dia melangkah mendekati Seno. Namun, diam-
diam gadis berparas elok rupawan itu mengirim bisi-
kan kepada Seno dengan mempergunakan ilmu mengi-
rim suara dari jarak jauh.
"Seno! Aku sedang melakukan penyamaran.
Kuharap kau mau membantuku."
Mendengar bisikan itu, Seno terkesiap. Tapi,
sebagai seorang pemuda yang pernah digembleng se-
lama lima tahun oleh Dewa Dungu yang berkepan-
daian tinggi, Seno segera tahu kalau bisikan yang didengarnya itu adalah suara
Kemuning. Maka, walau
dia belum tahu apa maksud Kemuning sebenarnya,
bergegas dia menyambut jabatan tangan si gadis.
"Nah! Nah, begitu!" seru Karapak melihat Seno dan Kemuning telah berjabat
tangan. "Untuk selanjutnya, kau harus dapat melayani Seno dengan baik, Sa-
witri. Kau harus dapat menyediakan semua keperluan
Seno. Karena, mulai saat ini dia telah menjadi anggota keluarga kita."
"Ya. Ya...," sambut Kemuning yang disebut Ka-
rapak sebagai Sawitri.
"Usia Sawitri sebaya denganmu, Seno," jelas Karapak. "Namun, dia belum begitu
mengenal aturan.
Kuharap kau sudi memaafkannya...."
"Tak jadi apa, Pak Tua. Anak gadismu itu can-
tik sekali...."
Mendengar pujian Seno yang lugu, Karapak ter-
tawa bergelak-gelak. Kakek berpakaian coklat kumal
itu semakin yakin bila Seno memang telah jatuh hati pada Sawitri.
Sementara, istri Karapak pun turut merasa se-
nang. Tapi, karena nenek itu punya adat cerewet, dia memasang wajah ketus saat
melihat Sawitri atau Kemuning belum juga beranjak dari tempat berdirinya.


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo, Sawitri!" tegur si nenek. "Cepatlah pergi!
Ambil uang tabungan kita! Belilah arak yang paling
bagus untuk teman barumu itu! Cepatlah!"
Kemuning menatap sejenak wajah istri Karapak
seraya menganggukkan kepala. Namun sebelum ma-
suk ke ruangan sebelah dalam, dia melempar kerlin-
gan ke arah Seno secara diam-diam.
Seno nyengir kuda, tak tahu makna kerlingan
itu. 2 REMBULAN sepenggal menyiramkan cahaya
tembaga. Langit hitam kelam. Bintang berkedip dalam kebisuan. Angin berhembus
dingin, tak mampu men-gusik sepi.
Di dalam sebuah kamar yang disediakan oleh
Karapak dan istrinya, Seno terbaring telentang di atas dipan beralas tikar daun
pandan. Keningnya berkerut.
Ada sesuatu yang tengah menjadi beban pikirannya.
"Kemuning...," desis Seno, menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman
bambu. "Kenapa nelayan tua itu menyebut namanya sebagai Sawitri" Be-
narkah Kemuning itu anaknya" Hmmm.... Kemuning
sempat membisikkan sesuatu kepadaku. Dia sedang
menyamar, dan aku diminta untuk membantu. Untuk
apa dia menyamar" Bagaimana aku harus memban-
tunya?" Seno mendesah. Kejadian tadi sore memang membuat resah hatinya.
Sebenarnya, Seno ingin ber-cakap-cakap dengan Kemuning untuk meminta penje-
lasan, tapi tak ada kesempatan. Sepulang dari membeli arak, Kemuning tak muncul-
muncul lagi. Dan, Seno
pun tak berani menanyakannya kepada Karapak. Seno
merasa, sebagai orang baru, sangat tak pantas bila
bertanya-tanya.
"Hmmm.... Aneh sekali Kemuning itu...," ujar Seno dalam hati, "Tempo hari ketika
berjumpa denganku, dia pergi begitu saja setelah menjulukiku sebagai Pendekar
Bodoh. Katanya, dia hendak pergi ke Pademangan Lemah Pitu karena gurunya ada di
sana. Tapi, kenapa tiba-tiba aku menemuinya di tempat ini"
Benarkah nelayan tua bernama Karapak itu ayahnya"
Kenapa usia mereka terpaut amat jauh?"
Plok! Mendadak, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
"Bodoh sekali aku ini!" rutuknya. "Bukankah dia tengah menyamar" Tentu ada
sesuatu yang tengah diseli-
dikinya! Tentu! Tapi... apa atau siapa yang tengah dis-elidikinya...?"
Bola mata Seno melotot ketika tiba-tiba dia
mendengar suara langkah kaki mengendap-endap.
Bergegas Seno bangkit. Dia tahu kalau suara mencuri-
gakan itu mendekati kamarnya.
"Hmmm.... Ada orang mendatangi kamarku dari
luar," kata hati Seno. "Kalau dia pencuri atau seseorang yang bermaksud jahat
lainnya, aku akan membe-
ri pelajaran kepadanya."
Terbawa perasaan tegang, Seno mencekal erat
Tongkat Dewa Badai yang terselip di balik bajunya.
Urat-urat darah di pergelangan tangannya tampak
menggembung karena tanpa sadar dia mengalirkan te-
naga dalam. Namun..., cepat Seno mendekap mulutnya.
Hampir saja dia berseru kaget. Dia mendengar bisikan yang begitu dekat dengan
telinganya. Ada seseorang
yang memanggil namanya dengan ilmu mengirim sua-
ra. "Seno...! Seno...!"
"Kemuning...," desis Seno.
Setelah dapat memastikan bahwa yang me-
manggilnya adalah Kemuning, tanpa pikir panjang lagi Seno meloncat seraya
membuka jendela. Gerakannya
hati-hati sekali. Seno tak mau Karapak dan istrinya terbangun dari tidur mereka.
Lewat jendela yang dibukanya sebagian, Seno
melihat sesosok tubuh berpakaian serba kuning ten-
gah berdiri di bawah naungan pohon. Walau remang-
remang, Seno dapat memastikan bila sesosok tubuh
itu adalah Kemuning yang telah berganti pakaian.
"Keluarlah, Seno. Tutup lagi jendela mu. Ikuti aku...." Seno mendengar sebuah
bisikan lagi. Bisikan itu jelas berasal dari mulut seorang gadis. Bertambah
yakinlah Seno bila sesosok tubuh yang dilihatnya memang Kemuning. Maka, bergegas
dia meloncati jendela.
Gerakannya tak mengeluarkan suara sedikit pun ka-
rena dia menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang
bernama 'Lesatan Angin Meniup Dingin'.
Namun, begitu Seno menutup kembali daun
jendelanya, sosok tubuh berpakaian serba kuning me-
lesat pergi. Dan, Seno pun mengikuti. Mudah saja bagi Seno untuk mengikuti
lesatan sosok tubuh itu karena ilmu peringan tubuhnya lebih unggul beberapa
tingkat. Beberapa tarikan napas kemudian, di pinggir
Kota Gambiran yang terletak tak sebegitu jauh dari Telaga Dewa, sosok tubuh
berpakaian serba kuning
menghentikan lesatannya. Seno turut berhenti.
"Bodoh sekali kau, Seno!" rutuk sesosok tubuh yang ternyata memang Kemuning atau
Dewi Pedang Kuning. "Tadi sore, hampir saja penyamaran ku terbuka akibat ulah mu! Tahukah
kau, Seno, kalau penyamaran ku sampai terbuka, maka sia-sialah semua jerih payah
ku selama ini" Nyawaku pun bisa terancam!"
"Ah! Aku...," sahut Seno, tergagap. "Aku... aku tak tahu kalau kau sedang
menyamar. Tapi... tapi, untuk apakah penyamaranmu itu" Apakah kau bukan
putri orang tua bernama Karapak itu?"
"Huh! Bodoh benar kau, Seno!" sambar Kemuning lagi. "Kau punya kepandaian hebat,
tapi otakmu bebal! Kau memang pantas dijuluki Pendekar Bodoh!"
"Ya..., ya! Terserah apa katamu," sambut Seno.
Pemuda lugu ini tak marah disebut berotak bebal wa-
lau sebenarnya otaknya tidak bebal.
"Ya! Kau memang Pendekar Bodoh! Matamu
dapat melihat, tapi otakmu tak mampu menimbang-
nimbang! Tentu saja aku bukan anak nelayan tua itu!
Dia dan istrinya sudah begitu uzur. Bagaimana mung-
kin mereka punya anak seusia ku! Usiaku baru tujuh
belas tahun! Kau harus tahu itu!"
"Sama...," sahut Seno sambil nyengir kuda. "Eh!
Kalau begitu, kenapa Karapak dan istrinya menyebut
mu sebagai putri mereka" Apakah kau putri angkat
mereka?" "Hmmm.... Rupanya, otakmu bisa juga diguna-
kan untuk berpikir. Mulai hari ini, kau harus mem-
bantuku, Seno. Harus!"
"Kalau aku tak mau?" goda Seno.
"Karena kau sudah mengetahui penyamaran
ku, terpaksa aku akan membunuhmu!" ancam Kemuning penuh kesungguhan seraya
mencekal gagang pe-
dang yang terselip di punggungnya.
"Eh! Tunggu dulu!" cegah Seno. "Aku tadi cuma bercanda. Tapi..., kalau kau
memang ingin membunuhku, mampukah kau melakukannya" Tempo hari
kau hampir tewas di tangan Sokalanang. Tidakkah kau ingat bagaimana aku telah
membuat perampok itu lari terbirit-birit?"
Kemuning melepas cekalannya pada gagang
pedang. Kesal dia mendengar ucapan Seno. Dia me-
mang pernah ditolong Seno. Dengan mudah, Seno
mengusir Sokalanang yang hendak menjatuhkan tan-
gan maut kepadanya. Seno punya kepandaian hebat.
Kemuning merasa tak mampu menandingi kehebatan
pemuda lugu itu.
"Kau murid Dewa Dungu! Seharusnya kau
mengikuti jejak gurumu. Kau harus membantuku un-
tuk memberantas kejahatan!" seru Kemuning kemudian. "Ya..., ya! Aku tadi cuma
bercanda," sambung Seno. "Tapi, katakan dulu apa sebenarnya maksud penyamaranmu
ini...." Lewat cahaya rembulan temaram, Kemuning
menatap lekat wajah Seno. Dia seakan ingin melongok isi hati pemuda lugu itu.
Dan setelah menarik napas
panjang, Kemuning berkata, "Bila kau menghitung ha-ri, kau pasti tahu kalau
pertemuan kita tempo hari itu telah lewat satu candra...."
"Ya, aku tahu."
Sebelum berpisah denganmu, aku mengatakan
bahwa aku akan pergi ke Kademangan Lemah Pitu.
Aku memang pergi ke sana. Bersama guruku, aku
langsung pergi ke Telaga Dewa. Kata guruku, di Telaga Dewa setiap tanggal satu
Suro selalu muncul seekor
ikan mas besar bernama Ikan Mas Dewa. Di dalam pe-
rut ikan itu terdapat... eh...."
Kemuning tak melanjutkan ucapannya. Dia me-
rasa kelepasan bicara. Ditatapnya wajah Seno penuh
selidik. "Kau kenapa?" tegur Seno. "Aku tahu kelanju-tan bicaramu. Bukankah kau
hendak mengatakan bila
di dalam perut Ikan Mas Dewa terdapat sebuah benda
ajaib bernama Kodok Wasiat Dewa?"
"Dari mana kau tahu itu?"
"Guruku yang mengatakannya. Aku pun tahu,
di sekitar sini telah muncul puluhan tokoh rimba persilatan. Mereka semua tentu
menginginkan Kodok Wa-
siat Dewa itu."
"Kau juga menginginkannya?"
"Ya," Jawab Seno, jujur.
Mendengar jawaban pemuda lugu itu, Kemun-
ing langsung terdiam. Setelah berpikir-pikir, akhirnya dia berkata, "Kau baru
datang tadi sore. Kau pasti belum tahu kalau di tempat ini telah banyak jatuh
korban...." "Maksudmu?"
"Kata guruku, setiap tahun Telaga Dewa me-
mang selalu jadi ajang pertumpahan darah. Puluhan
tokoh rimba persilatan mati sia-sia tanpa sempat meli-
hat bagaimana wujud Ikan Mas Dewa itu. Mereka di-
bunuh oleh sekelompok orang yang mengaku berasal
dari Lembah Dewa-Dewi. Di mana letak lembah itu dan siapa pemimpinnya, sampai
sekarang tak ada yang ta-hu...." "Lalu, apa tujuan mereka dengan membunuh orang-
orang yang datang ke Telaga Dewa?" tanya Seno, tertarik.
"Komplotan Lembah Dewa-Dewi hanya membu-
nuh orang-orang yang menginginkan Kodok Wasiat
Dewa. Para pendatang lain yang terdiri dari para saudagar dan bangsawan tak
pernah mereka usik. Dari si-tu bisa ditebak kalau sebenarnya komplotan Lembah
Dewa-Dewi sangat menginginkan Kodok Wasiat De-
wa...." "Mereka telah mendapatkannya?"
"Belum. Oleh karena itu kau harus hati-hati,
Seno. Aku menduga, puluhan tokoh rimba persilatan
yang telah mati sekarang ini dibunuh oleh komplotan Lembah Dewa-Dewi."
"Hmmm.... Aku tahu sekarang," tukas Seno.
"Penyamaranmu ini tentu ada hubungannya dengan komplotan jahat itu."
"Ya."
"Kau menyamar sebagai putri Karapak yang tak
mengerti ilmu silat agar kau selamat...."
"Bukan begitu!" sergap Kemuning. "Aku menyamar bukan karena ingin menghindari
komplotan Lembah Dewa-Dewi. Walau mereka berkepandaian
tinggi, aku tak takut! Aku hanya mengikuti petunjuk guruku!"
"Petunjuk apa?"
Mendengar pertanyaan Seno, Kemuning men-
gedarkan pandangan seraya menajamkan pendenga-
ran. Kemuning khawatir ada orang yang mencuri den-
gar. Tapi setelah dapat memastikan tak ada orang lain di tempat itu, Kemuning
berkata, "Guruku mencurigai Karapak dan istrinya!"
Kontan kening Seno berkerut rapat. Tanpa sa-
dar, dia nyengir kuda. "Aneh...," desisnya. "Kenapa Karapak dan istrinya yang
tak mengerti ilmu silat harus dicurigai?"
"Nah! Di situlah letak kebodohanmu, Seno!" rutuk Kemuning.
"Aku telah terkecoh?"
"Ya! Karapak dan Istrinya hanya berpura-pura
tak mengerti ilmu silat. Guruku yang berpengalaman
luas mencurigai mereka sebagai dua orang anggota
komplotan Lembah Dewa-Dewi...."
"Benarkah itu?" kejut Seno.
"Setelah datang ke Telaga Dewa, aku dan guru-
ku langsung mengadakan penyelidikan. Menurut
orang-orang yang berdiam di sekitar Telaga Dewa, Karapak dan istrinya telah
cukup lama berdiam di tem-
patnya itu. Namun, pada hari-hari tertentu, Karapak dan istrinya selalu pergi,
dan tak seorang pun ada
yang tahu...,"
"Lalu?" kejar Seno, penasaran.
"Aku diperintah guruku dengan berpura-pura
menjadi anak yatim-piatu yang sedang kelaparan. Aku mengetok pintu rumah Karapak
pada malam hari dua
pekan yang lalu. Aku berhasil melakukan sandiwara
dengan baik. Karapak dan istrinya senang melihatku.
Rupanya, mereka benar-benar ingin punya anak...."
"Hmmm.... Setelah jadi anak mereka, apa hasil
penyelidikan mu" Benarkah mereka anggota komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi?"
"Aku tak tahu. Aku tak mendapatkan apa-apa,"
jawab Kemuning seraya menghela napas panjang. "Aku jadi tak tahu, mereka itu
sangat pandai menyembunyikan ilmu kepandaian yang mereka atau memang
mereka tak punya kepandaian apa-apa...."
Seno turut menghela napas panjang.
"Kebetulan kalau kau datang, Seno," ujar Kemuning kemudian. "Kau bisa membantuku
untuk memecahkan persoalan ini."
"Ya. Tapi, apa yang harus kulakukan?"
"Untuk sementara, jangan kau tunjukkan ilmu
silatmu. Kau turuti saja apa kata Karapak dan is-
trinya. Aku tahu mereka amat suka kepadamu. Mereka
akan menjodohkan kita...."
Kemuning tersenyum. Manisss... sekali. Darah
muda Seno kontan berdesir aneh. Ditatapnya wajah
Kemuning tanpa bosan. Seno ingin memegang tangan
Kemuning, memeluknya, lalu.... Tapi, Seno tak berani melakukannya. Namun, malam
yang dingin dan suasana yang sunyi membuat keinginan Seno menghen-
tak-hentak.... "Eh, kau kenapa?" tegur Kemuning yang melihat Seno terus menatapnya.
"Ah! Aku... aku...."
Seno tergagap. Dalam hatinya terjadi perang
besar. Sebagai seorang pendekar, tentu saja dia harus menjunjung tinggi adab
kesusilaan dan kesopanan.
Tapi, sebagai manusia biasa, Seno tak mampu menipu
dirinya sendiri. Dia amat tertarik melihat kecantikan wajah dan kemontokan tubuh
Kemuning.

Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perang besar dalam hati Seno membuatnya
berkeringat dingin. Dan, begitu cairan keringat me-
nyentuh kain baju Seno, Kemuning terkejut karena
mencium aroma harum kayu cendana. Agaknya, ra-
muan yang telah menyatu dengan kain baju Seno be-
kerja bila terkena cairan keringat.
Dan anehnya, setelah mencium aroma harum
kayu cendana yang menyebar dari kain baju Seno,
otak Kemuning jadi linglung. Nafsu birahinya tiba-tiba bangkit. Tanpa sadar,
Kemuning memeluk tubuh Seno.
Erat... sekali!
"Kemuning... Kemuning...!" sebut Seno, kaget melihat perubahan sikap si gadis.
"Kau tampan dan sangat gagah, Seno..." desis Kemuning. "Aku... aku ingin kau
memeluk ku, Seno...."
Semakin erat Kemuning memeluk Seno. Dia
tengadahkan wajahnya, mengharap ciuman si pemu-
da.... Aliran darah Seno berdesir makin kuat. Keinginan yang sudah dia coba
untuk ditahan malah sema-
kin menguasai jalan pikirannya. Degup jantung Seno mengencang. Dengus nafasnya
memburu. Perlahan dia
angkat kedua tangannya, lalu membalas pelukan Ke-
muning.... 3 SENO mencium kening Kemuning. Dan, Ke-
muning pun menerimanya dengan penuh perasaan.
Matanya terpejam rapat. Bibirnya yang merah merekah tampak bergetar....
"Kau cantik sekali, Kemuning...," ujar Seno seraya mempererat pelukannya.
Terbawa hasrat hatinya yang semakin meng-
hentak-hentak, Seno mencium bibir Kemuning. Se-
mentara, Kemuning menikmati benar ciuman itu. Dia
pun balas mencium. Hingga, kedua anak manusia itu
saling pagut. Mereka terlena dalam buaian kenikma-
tan. Merasakan sesuatu yang belum pernah dirasa-
kannya, lupa sudah Seno pada keadaan sekelilingnya.
Dan, Kemuning pun menurut saja ketika Seno mem-
bopong tubuhnya untuk kemudian dibaringkan di
permukaan tanah berumput tebal.
"Seno...," desis Kemuning,
"Ya..., ya, kau cantik sekali, Kemuning.... " Usai berkata, Seno mencium lagi
bibir Kemuning. Dilumat-nya penuh hasrat menggebu. Jemari tangannya pun
mulai bergerak nakal. Satu persatu kancing baju Ke-
muning dilepaskannya. Lalu, dia singkapkan pakaian
dalam Kemuning yang berwarna putih berenda-renda!
Napas Seno terhenti manakala melihat dua bu-
kit putih halus yang tampak begitu menggemaskan.
Tak sabaran lagi, Seno membenamkan wajahnya di an-
tara belahan kedua bukit itu.
Kemuning mendesis seraya menggelinjang saat
merasakan sentuhan hangat di dadanya. Dia dekap
kepala Seno, lalu dia benamkan lebih dalam....
Sementara Seno dan Kemuning larut dalam ge-
jolak hasrat jiwa muda, rembulan sepenggal yang berwarna kuning pucat
menyiramkan cahaya temaram.
Berjuta bintang yang berkedip-kedip tak mampu mem-
berikan cahaya lebih terang. Hembusan angin menu-
suk dingin, membuat sepi semakin merajai suasana
malam. Sebelum godaan setan benar-benar menguasai
jalan pikiran Seno, mendadak pemuda itu menggera-
gap kaget. Seno merayap bangkit. Bayangan Ibunya
yang telah meninggal berkelebatan di benaknya.
"Ibu.... Seno bersalah, Bu. Seno lupa diri...."
Seno duduk menekuk lutut sambil berkata-
kata seorang diri. Dia mendekap wajahnya, penuh rasa
sesal. Sementara, Kemuning yang masih dikuasai naf-
su setan tampak bangkit. Tanpa membenarkan letak
pakaiannya, dia memeluk tubuh Seno dari belakang....
"Kemuning.... Kemuning!" seru Seno, mengin-gatkan. Namun, Kemuning tak ambil
peduli. Tubuh Se-
no dipeluknya lebih erat. Pipi kanan pemuda lugu itu diciuminya tanpa bosan.
Merasakan sentuhan sesuatu yang lembut ke-
nyal di punggungnya, hasrat Seno bangkit lagi. Tapi, sosok ibunya yang terbayang
di benaknya membuai
Seno tersadar kembali. Sedikit kasar, ditepisnya pelukan Kemuning.
Tapi, Kemuning menerkam lagi. Dengan dengus
napas memburu, diciuminya kedua pipi Seno....
Seno berusaha mengelak.
"Kemuning! Ingatlah, Kemuning...! " ujarnya.
Selagi Kemuning berusaha melepaskan hasrat
hatinya, angin terus berhembus dingin. Cairan keringat di tubuh Seno menghilang.
Perlahan namun pasti, aroma harum kayu cendana yang menyebar dari baju
Seno mulai lenyap. Dan..., sedikit demi sedikit gejolak birahi yang menguasai
akal pikiran Kemuning mulai
lenyap pula. Ketika kesadaran Kemuning telah pulih kemba-
li, gadis cantik itu melonjak kaget. Cepat dia benarkan letak bajunya. Lalu,
dengan tubuh gemetaran dan ma-ta mendelik, dia berkata, "Apa... apa yang telah
kulakukan...?"
Seno tak menjawab. Dia tak tahu apa yang ha-
rus dikatakannya. Yang dapat dilakukannya adalah
menunduk dan terus menunduk, menyesali apa yang
telah dilakukannya.
"Kau... kau! Apa yang telah kau lakukan kepa-
daku, Seno"!" sentak Kemuning seraya menyambar pedang yang tergeletak di tanah.
Melihat Seno tak juga membuka suara, Kemun-
ing menghunus pedangnya. Lalu, ujung pedang ber-
warna kuning itu ditodongkannya ke dada Seno!
"Katakan, Seno! Apa yang telah kau lakukan
kepadaku"!"
Perlahan Seno menegakkan wajah. Sambil me-
natap ketajaman pedang Kemuning, dia berkata, "Kita sama-sama khilaf, Kemuning.
Aku memang berdosa....
Tapi, aku belum... belum.... Kau tak perlu khawatir, Kemuning. Kau masih...
masih...."
Walau ucapan Seno banyak yang menggantung,
tapi Kemuning tahu apa yang dimaksud oleh pemuda
itu. Setelah memperhatikan keadaan dirinya, Kemun-
ing tahu bila dirinya memang belum sampai ternoda.
"Aku tadi juga khilaf, Seno...," ujar Kemuning kemudian. "Namun, andai di lain
kali kau melakukan sesuatu yang tidak-tidak kepadaku, aku akan mengadu nyawa
denganmu!"
Seno cuma cengar-cengir melihat Kemuning
menyarungkan bilah pedangnya. Sementara, usai me-
nyandarkan kembali pedangnya ke punggung, Kemun-
ing membentak, "Berdirilah...!"
Tanpa berkata apa-apa, Seno bangkit berdiri.
Namun, dia tak berani lagi menatap wajah cantik Ke-
muning. Dia takut akan menjadi lupa diri lagi.
"Ikuti aku...!" ajak Kemuning dengan suara ketus, menyimpan kekesalan.
Melihat si gadis hendak berlari cepat, bergegas
Seno mencegah. "Hei! Kau hendak ke mana?"
"Ikuti saja aku!"
"Kalau aku tak tahu ke mana tujuanmu, aku
tak mau mengikutimu!" tolak Seno, ketolol-tololan.
"Huh! Bodoh benar kau!" semprot Kemuning.
"Kalau kau gunakan otakmu untuk berpikir, kau tentu tahu apa yang akan
kuperbuat!"
"Apa?" tanya Seno, nyengir kuda. Pemuda lugu ini benar-benar tak tahu maksud
ajakan Kemuning.
Kemuning mendelikkan mata. Dengan suara
ketus, dia berkata, "Dasar Pendekar Bodoh! Bukankah tadi sudah ku utarakan bahwa
aku punya tujuan menyelidiki komplotan Lembah Dewa-Dewi" Sekarang,
aku mengajak mu pergi tentu ada hubungannya den-
gan begundal-begundal itu!"
"Ya. Ya," sahut Seno sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Cepat ikuti aku!"
Tanpa menanti persetujuan dari Seno, Kemun-
ing menjejak tanah seraya berkelebat pergi, menyusuri tepi sebuah sungai yang
berada di selatan Kota Gambiran. Karena tak mau mengecewakan Kemuning,
bergegas Seno mengikuti. Hanya dengan mengerahkan
beberapa bagian ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', Seno sudah dapat mengimbangi
kecepatan lari Kemuning. Kelebatan tubuh Seno meninggalkan tiupan angin berhawa
dingin yang ditebari aroma harum kayu cendana....
* * * "Selama dua pekan ini, hampir setiap malam
aku berada di tempat ini," beri tahu Kemuning. Gadis itu bersembunyi di balik
bongkahan batu besar berse-mak-semak, dekat dengan aliran sungai. Tatapan ma-
tanya tertuju lurus ke arah jalan yang membelah Kota
Gambiran. Seno yang diajak bicara tampak bersembunyi
pula di sisi kiri Kemuning, juga menatap lurus ke arah jalan yang membelah Kota
Gambiran. Karena hari sudah sampai pada titik tengah malam, jalan yang berjarak
sekitar seratus tombak dari tempat persembunyian Seno dan Kemuning itu terlihat
sepi lengang. Namun
demikian, keadaan jalan cukup terang. Semua kedai
dan rumah warga kota menyalakan lampu luar di ma-
lam hari. "Untuk apa kau mengajakku bersembunyi di
sini, Kemuning?" tanya Seno karena Kemuning tak ju-ga melanjutkan bicaranya.
Kemuning yang masih menyimpan rasa kesal
menjawab dengan suara ketus. "Dari tempat ini, ketika tengah malam telah lewat,
aku dapat melihat kelebatan sesosok bayangan hitam. Bayangan itu berkelebat
amat cepat, sehingga aku tak mampu mengejarnya...."
"Bayangan itu orang jahat?" tanya Seno, lugu.
"Kupikir begitu," jawab Kemuning, masih ketus.
"Setiap aku melihat kelebatan bayangan itu, esok pa-ginya warga Kota Gambiran
pasti gempar. Beberapa
orang pelancong yang menginap di rumah penginapan
ditemukan dalam keadaan terbujur kaku menjadi
mayat. Mereka yang mati selalu dari kaum rimba persilatan...."
"Dibunuh oleh komplotan Lembah Dewa-Dewi?"
"Kita akan buktikan nanti. Apabila bayangan
itu telah lewat, kau harus menguntitnya Seno. Aku ta-hu kau punya ilmu peringan
tubuh amat hebat. Kau
pasti dapat menangkap basah durjana itu!"
"Ya," sambut Seno. "Lalu, apa yang akan kau kerjakan?"
"Beberapa kali mencoba menguntit bayangan
itu, tapi selalu kehilangan jejak. Kali ini, lebih baik aku menunggu di sini.
Atau, aku akan pulang diam-diam."
"Uh! Enak saja!" gerutu Seno. "Kau suruh aku menguntit orang jahat, tapi kau
malah pergi pulang!
Kalau aku tak berhasil menangkap penjahat itu dan
aku terbunuh, bagaimana?"
Hampir meledak tawa Kemuning mendengar
ucapan Seno yang begitu lugu. Namun, karena masih
ingin menunjukkan kekesalannya, cepat Kemuning
menekan rasa ingin tertawanya itu. Lalu katanya, "Kalau tak bisa menangkap orang
jahat, kau tak pantas
menjadi murid Dewa Dungu yang berkepandaian se-
tinggi langit! Kalau kau mati, itu lebih baik! Agar, na-ma Dewa Dungu tak
tercemar oleh kebodohanmu!"
"Eh! Eh!" Seno nyengir kuda. "Kenapa kau berkata kasar seperti itu" Aku.... Eh!
Kau masih marah padaku, ya" Eh! Lupakan dulu kemarahan mu itu.
Aku...." Mendengar ucapan Seno yang tergagap-gagap, sekuat tenaga Kemuning
menekan rasa gelinya. Namun begitu, sebentuk senyuman tersungging juga di
bibirnya. Karena tak mau Seno melihat senyumnya itu, cepat Kemuning memalingkan
muka. "Eh! Eh! Kau kenapa?" tanya Seno. Tangan kanannya terangkat hendak menepuk bahu
Kemuning, tapi tak jadi. Tangan Seno mengambang di udara, lalu bergerak turun perlahan.
"Sudah! Jangan banyak cakap! Sebal!" rutuk Kemuning.
"Ya! Ya! Aku memang tak boleh ngomong terlalu
banyak. Tapi, kalau kau terus marah-marah seperti
itu... aduh..., bagaimana aku..., aduh...."
Kemuning mendekap mulutnya melihat Seno
salah tingkah. Walau secara lahir Kemuning menahan
tawa, tapi batinnya tertawa senang. Kemuning tahu
kalau Seno menaruh hati kepadanya. Namun, sampai
di mana pun rasa senang Kemuning, dia harus selalu
memasang wajah ketus. Menurut Kemuning, kalau di-
beri hati, setiap lelaki suka berbuat yang tidak-tidak.
Dan, apa yang terjadi di tanah berumput tebal tadi sudah cukup menjadi pelajaran
bagi Kemuning. Dia tak
ingin hal itu terulang lagi. Namun, dia tak pernah bisa mengerti, bagaimana dia
bisa begitu terlena dalam de-kapan Seno" Bahkan, dia merasakan desakan nafsu
birahi yang amat kuat" Apakah Seno sengaja membe-
rinya obat perangsang"
Kemuning tak pernah berpikir seperti itu sedi-
kit pun. Walau belum lama berkenalan, Kemuning bisa menilai bila Seno adalah
pemuda jujur dan amat lugu.
Seno tak mungkin berbuat jahat kepadanya. Tapi, ba-
gaimana perbuatan tak senonoh itu hampir terjadi"
Kemuning menggeleng-gelengkan kepalanya.
Untuk sementara waktu, dia tak mau memikirkan pe-
ristiwa itu lagi. Dia ingin menangkap salah seorang anggota komplotan Lembah
Dewa-Dewi. Dan, dengan
bantuan Seno, Kemuning yakin akan bisa mewujud-
kan keinginannya itu. Bila ada salah seorang anggota komplotan Lembah Dewa-Dewi
yang tertangkap, orang
itu bisa dipaksa untuk membongkar rahasia komplo-
tannya. "Kurasa, hari telah lewat tengah malam, Se-no...," ujar Kemuning
kemudian. "Bayangan itu akan segera lewat. Kau harus dapat menguntitnya,
kemudian menangkap basah!"
"Kau mau pulang?" tanya Seno, mencoba menatap wajah Kemuning di balik kegelapan
malam "Dasar Pendekar Bodoh!" rutuk Kemuning.
"Semua orang pasti akan menertawakan perbuatanku
kalau aku menyuruhmu mengejar seorang penjahat,
sementara aku sendiri malah pergi...."
"Lalu, maksud bicaramu tadi?"
"Bodoh benar kau, Seno! Apa kau tidak bisa
membedakan, mana ucapanku yang sungguh-
sungguh, mana ucapanku yang bercanda"!"
"Jadi, kau tadi bercanda?"
Kemuning tak menjawab. Dia cuma menden-
gus. "Uh! Sebal!"
Seno nyengir kuda seraya menggaruk kepa-
lanya yang tak gatal. "Aneh benar gadis ini...," katanya dalam hati. "Mendengar
kata-katanya yang begitu kasar, ingin rasanya aku segera pergi menjauh. Tapi...,


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatiku selalu berdebar-debar bila berdekatan dengannya. Di hatiku ada rasa suka.
Apakah aku telah.... Ah!"
Plok! Mendadak, Seno menggaplok kepalanya sendiri
seraya menggerutu. "Aku memang bodoh! Banyak tu-gas yang harus kukerjakan, tapi
kenapa aku malah
memburu rasa senang ku sendiri"! Dasar aku memang
bodoh!" "He, apa yang kau katakan, Seno?" tanya Kemuning yang mendengar gerutuan
Seno. "Kau katakan dirimu bodoh" Itu sudah benar! Kau memang Pendekar Bodoh!"
Nyengir kuda lagi Seno. Lalu dengan suara sen-
gau, dia berkata, "Aku memang bodoh, tapi tak sebo-doh yang kau kira, Kemuning.
Di dunia ini, tak ada
orang yang mau dikatakannya dirinya bodoh walau
orang itu berotak udang sekalipun! Kau tahu"!"
"Tahu! Tapi, kau memang bodoh!" bentak Kemuning.
Seno terdiam. Dia merasa tak mampu melawan
keketusan Kemuning. Namun setelah cengar-cengir,
dia mengutarakan kedongkolanya.
"Kau boleh merutuk ku sesuka hatimu, Kemun-
ing. Tapi, jangan di hadapan orang banyak. Aku malu!"
Kali ini, tak dapat lagi Kemuning menahan ta-
wanya. Gadis cantik bertubuh sintal montok itu terta-wa mengikik panjang.
Sementara, Seno menatap den-
gan sinar mata tak mengerti.
Namun tiba-tiba, Kemuning menghentikan ta-
wanya. Matanya melotot, menatap lurus ke jalan yang membelah Kota Gambiran.
Sesosok bayangan hitam
tampak berkelebat amat cepat, hampir tak terlihat oleh pandangan mata.
"Itu dia, Seno!" seru Kemuning.
4 BAYANGAN ini berkelebat cepat sekali, laksana
menyatu dengan hembusan angin. Ketika melewati se-
buah perempatan, si bayangan membelok ke kiri, lalu berhenti di sisi kanan
Penginapan Asri, sebuah penginapan terbesar di Kota Gambiran.
Lewat cahaya lampu yang menyorot dari pengi-
napan, dapatlah dilihat rupa sosok manusia ini. Ternyata, dia seorang kakek yang
mengenakan ikat kepala kain batik. Tubuhnya masih tampak tegap berisi,
terbungkus pakaian serba hitam. Tatapan matanya tajam
menusuk, tertuju ke deretan jendela yang terletak di tingkat tiga.
"Kalian manusia-manusia dungu! Mana pantas
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa"!" gumam Si kakek.
Kakek berikat kepala batik ini lalu menjejak ta-
nah. Ringan sekali tubuhnya melayang, hinggap dan
menempel di sisi jendela salah satu kamar di tingkat tiga. Sejenak, dia tak
melakukan gerakan apa-apa, di-am meringkuk dan dengan berpegangan pada kayu
jendela yang tertutup rapat"
Telinga si kakek mendengar suara dengkuran
dari dalam kamar. Wajahnya malah kaku menegang.
Sorot matanya tambah berkilat-kilat.
"Hmmm.... Sekaranglah saatnya," si kakek
menggumam lagi. "Kalian harus mati! Kalian tak pantas memperebutkan Kodok Wasiat
Dewa!" Kakek berikat kepala batik menggerakkan tu-
buhnya, menghadap ke daun jendela yang terbuat dari kayu jati tua. Lalu, kakek
yang masih tampak gagah
ini meluruskan telunjuk jari tangan kanannya seraya dialiri tenaga dalam.
Kemudian.... Si kakek menusukkan telunjuk jarinya ke daun
jendela. Tak sedikit pun terdengar suara. Daun jendela yang terbuat dari kayu
jati itu langsung bolong!
Lewat lubang yang baru dibuatnya, kakek beri-
kat kepala batik mengintip. Keadaan di dalam kamar
remang-remang karena sinar lampu yang menempel di
dinding kamar sengaja dikecilkan. Sementara, di atas pembaringan tergolek
seorang lelaki setengah baya,
mengenakan pakaian ringkas putih-hitam. Lelaki yang terbaring telentang itu
tengah tidur lelap. Suara deng-kurannya terdengar cukup jelas.
"Selamat tinggal, Kerbau Dungu!" gumam kakek berikat kepala batik.
Lelaki tua yang masih tampak gagah ini mena-
rik napas dalam-dalam seraya menurunkan kepalanya
hingga mulutnya menyentuh lubang kecil di daun jen-
dela. Si kakek meniup. Aneh sekali! Udara yang ke-
luar dari mulut lelaki tua ini menyerupai asap yang
berwarna hijau gelap. Dapat dipastikan bila tiupan si kakek mempunyai daya bunuh
yang amat mematikan!
Satu tarikan napas kemudian, dari dalam ka-
mar terdengar suara keluh pendek yang disusul men-
gerang. Kakek berikat kepala batik tersenyum. Diintip-nya lagi keadaan di dalam
kamar lewat lubang kecil di daun jendela. Senyum si kakek semakin mengembang
lebar. "Malam ini, satu kerbau telah mati. Kerbau-kerbau lainnya harus segera
menyusul...," gumam si kakek untuk kesekian kalinya.
Kakek berikat kepala batik menggeser tubuh ke
kiri. Dengan merayap seperti cicak, dia mendekati
daun jendela di kamar lainnya.
* * * "Turunkan aku! Turunkan aku!" pinta Kemuning yang berada di gendongan pemuda
lugu Seno Pra- setyo. "Ya! Ya! Tanpa kau minta, aku memang akan menurunkan mu di tempat ini,"
sahut Seno. Pemuda yang dijuluki Kemuning sebagai Pendekar Bodoh menarik kedua
tangannya. Tubuh Kemuning yang meng-
gelendot di punggungnya melorot turun. Tadi terpaksa Seno menggendong Kemuning
karena ilmu peringan
tubuh si gadis berada jauh di bawahnya.
Untunglah, sewaktu Seno berlari dengan meng-
gunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', pemuda
tampan ini tidak berkeringat sama sekali, sehingga
aroma harum kayu cendana yang keluar dari baju Se-
no tidak membuat Kemuning mabuk kepayang.
"Kau lihat orang itu?" tanya Seno, menunjuk kakek berikat kepala hitam yang
sedang merayap di
dinding kamar Penginapan Asri.
Dari jarak sekitar dua puluh tombak, Kemun-
ing menajamkan pandangan. Setelah mengetahui so-
sok tubuh yang ditunjukkan oleh Seno, Kemuning
langsung berkata, "Itulah orang yang kita kejar. Kita bersembunyi dulu. Dia
harus ditangkap basah!"
Kemuning meloncat di sisi bangunan besar
yang tak lain dari sebuah toko, tanpa pikir panjang, Seno langsung mengikuti.
Sementara, malam semakin
larut. Dingin yang menusuk tulang membuat sepi se-
makin berkuasa.
"Orang itu terus merayap di deretan kamar di
tingkat tiga," ujar Seno, terus memperhatikan tingkah laku kakek berikat kepala
batik. "Hmmm.... Dia membuat lubang di daun jendela dengan ujung jari telunjuk.
Dia mengintip.,.. Apakah dia hendak mencuri"
Atau...?" "Diamlah!" sergap Kemuning. "Kita pasti akan tahu apa yang akan diperbuatnya
nanti." Mendengar teguran itu, kontan Seno mengunci
mulut rapat-rapat. Namun matanya tak henti menga-
wasi segala gerak-gerik kakek berikat kepala batik.
Kebetulan, toko yang digunakan Seno dan Ke-
muning untuk bersembunyi terdapat dinding batu di
bagian depan yang berlubang-lubang. Sehingga, mere-
ka bisa leluasa mengintai tanpa takut ketahuan. Dan, dari dalam toko yang sudah
tutup itu pun tak terdengar suara apa pun.
Sementara itu, kakek berikat kepala batik tam-
pak mengulum senyum. "Satu kerbau lagi akan segera dijemput ajal," gumamnya.
Seperti yang telah dilakukannya tadi, dia mena-
rik napas dalam-dalam. Lalu, dia tempelkan bibirnya ke lubang kecil yang telah
dibuatnya di daun jendela.
Terdengar suara desis lirih waktu si kakek me-
niup. Dari mulut kakek berikat kepala batik ini menyembur udara aneh yang
menyerupai asap berwarna
hijau gelap. Sesaat terdengar jerit kecil yang disusul suara
benda berat jatuh ke pembaringan. Setelah itu suasa-na hening sunyi lagi. Kakek
berikat kepala batik tertawa pelan.
"Malam ini, cukuplah dua ekor kerbau yang
kubunuh...," desisnya seraya meloncat turun, dan berkelebat cepat
* * * "Kita kejar!" ajak Seno.
"Sebentar! Kita belum tahu apa yang telah di-
perbuat durjana itu!" tolak Kemuning.
Sementara kakek berikat kepala batik berkele-
bat menembus kegelapan malam, Kemuning dan Seno
berkelebat mendekati Penginapan Asri. Karena tak sabar, Seno meloncat tinggi,
dan merayap ke deretan
kamar di tingkat tiga.
Lewat lubang di daun jendela yang dibuat oleh
kakek berikat kepala batik, Seno melihat ke dalam
kamar. Dan..., betapa terkejutnya pemuda lugu ini.
Tubuhnya bergetar melihat tubuh seorang lelaki ber-
pakaian ketat ringkas, pakaian khas seorang ahli silat, yang tergolek telentang
tak berkutik. Bola mata lelaki yang terbujur kaku di atas pembaringan itu tampak
melotot besar, dan mulutnya pun terbuka lebar dengan kulit wajah berubah hijau
gelap! "Celaka!" seru Seno. "Orang di dalam kamar itu mati terserang racun ganas!"
Bergegas Seno meloncat turun. Namun, pemu-
da lugu ini tak melihat Kemuning berada di tempatnya lagi. Setelah mengedarkan
pandangan, tahulah Seno
bila Kemuning tengah memeriksa kamar-kamar di
tingkat tiga. Kemuning berhenti merayap ketika menemu-
kan lubang kecil di daun jendela, terpaut tiga kamar dari tempat Seno melihat
sesosok mayat di dalam kamar. Kemuning turut terhantam keterkejutan. Lewat
lubang di daun jendela, dia melihat tubuh seorang lelaki berpakaian ringkas
putih-hitam yang terbujur ka-ku di atas pembaringan. Sama seperti yang dilihat
Se-no, tubuh lelaki setengah baya itu juga tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan
lagi! Kulit wajahnya telah berubah hijau gelap. Raut muka lelaki naas itu tampak
sangat mengerikan karena bola matanya melotot besar dengan mulut terbuka lebar!
"Celaka!" seru Kemuning yang tak menyangka bila kakek yang diintainya telah
melakukan pembunuhan. "Kau melihat mayat di dalam kamar itu, Kemuning?" tanya
Seno. "Ya. Kita kejar dia!" sahut si gadis seraya meloncat turun.
Sebelum kaki Kemuning menginjak tanah, Seno
berkelebat cepat. Diraihnya pinggang Kemuning, lalu berlari mengejar kakek
berikat kepala batik. Namun
sampai di mana pun Seno mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya, bayangan si kakek tak dapat dia temukan.
Sosok kakek berikat kepala batik lenyap bagai ditelan bumi. Agaknya, si kakek
mempunyai ilmu peringan
tubuh yang tak kalah dengan Ilmu 'Lesatan Angin Me-
niup Dingin' yang sedang diterapkan oleh Seno.
"Bagaimana ini" Bagaimana ini?" seru Seno, seperti orang kalut. Berhenti
berkelebat seraya menu-
runkan tubuh Kemuning.
"Sudah jelas bila orang berpakaian hitam-hitam itu baru saja melakukan
pembunuhan. Dia pasti anggota komplotan Lembah Dewa-Dewi," sahut Kemuning.
"Kita harus dapat menangkapnya!"
"Ya, tapi ke mana kita harus mengejar?" tanya Seno sambil nyengir kuda.
Kemuning terdiam. Ke mana harus mengejar"
Tak dapat Kemuning menjawab pertanyaan Seno. So-
sok kakek berikat kepala batik memang telah lenyap
tanpa bekas. Sementara, waktu terus berputar. Lamat-lamat terdengar lolongan
serigala. Mendadak, Seno memalingkan muka ke kanan.
Telinganya yang tajam dapat menangkap suara per-
tempuran. Indera pendengar Seno memang sudah se-
demikian tajamnya karena lima tahun yang lalu dia
mendapat aliran hawa sakti dari Tongkat Dewa Badai
yang ditemukannya dengan tidak sengaja.
"Kau dengar suara itu?" tanya Seno untuk memastikan pendengarannya. Sebagai
pemuda yang baru
berkecimpung di rimba persilatan, seringkali Seno kurang begitu percaya pada
kemampuannya sendiri.
"Suara apa?" Kemuning balik bertanya. "Lolongan serigala itukah yang kau
maksud?" "Bukan."
"Suara apa" Aku hanya mendengar desau angin
dan lolongan serigala."
Untuk beberapa lama Seno nyengir kuda. Kare-
na suara pertempuran semakin terdengar jelas oleh-
nya, bergegas Seno menyambar lagi tubuh Kemuning.
Dengan menggamit pinggang si gadis, Seno mengem-
pos tenaga. Dia keluarkan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin' sampai ke puncak.
Dada Kemuning kontan jadi sesak karena kesu-
litan bernapas. Tiupan angin terasa menghajar sekujur tubuhnya. Andai gadis ini
tidak mempunyai keteguhan hati, dia pasti telah pingsan dalam rengkuhan tangan
Seno yang membawanya berlari amat cepat. Begitu cepatnya lari Seno, hingga tubuh
Kemuning dan tubuh-
nya sendiri laksana dapat menghilang.
* * * "Jahanam! Kenapa kalian menghadangku"!"
bentak kakek berikat kepala batik seraya mengirim
pukulan dan tendangan beruntun.
Dua sosok tubuh yang menjadi sasaran cepat
membuang tubuh ke belakang. Namun, kedua orang
itu mengeluarkan pekik kaget karena merasakan sam-
baran angin pukulan si kakek yang membuat kulit tu-
buh mereka menjadi pedih seperti tersayat pedang.
"Kalau kalian masih ingin menghirup udara se-
gar, biarkan aku lewat!" usir kakek berikat kepala batik, menatap tajam penuh
nafsu membunuh.
Ternyata, yang menghadang langkah kaki ka-
kek berikat kepala batik adalah sepasang kakek dan
nenek. Mereka sama-sama mengenakan pakaian long-
gar, terbuat dari kain sederhana berwarna putih-
kuning. Menilik dari raut wajah mereka, kedua orang yang sudah lanjut usia itu
adalah Karapak dan istrinya! "Jangan harap kami akan melepaskanmu, Mahisa
Lodra!" seru Karapak yang membawa senjata berupa dayung perahu yang terbuat dari
kayu besi. "Siapa kau"! Begitu berani kau berbuat telen-
gas di hadapan Setan Selaksa Wajah!"
Mendengar bentakan Mahisa Lodra atau Setan
Selaksa Wajah, istri Karapak tersenyum sinis. "Buka
mata dan telingamu lebar-lebar, Mahisa Lodra! Kami
adalah Sepasang Nelayan Sakti!" kenalnya. "Bertahun-tahun kami tinggal di
pinggir Telaga Dewa dengan
maksud menghukum mati dirimu, Mahisa Lodra. Aku


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan suamiku tahu persis bila kaulah biang pelaku
yang telah membunuh puluhan tokoh silat beberapa
tahun ini!"
"Sudah cukup lama aku berdiam diri di pinggir
Telaga Dewa dengan menyamar sebagai petani nelayan
biasa, mustahil aku mau melepaskan dirimu, Mahisa
Lodra!" tambah Karapak.
"Sepasang Nelayan Sakti...," desis Setan Selaksa Wajah. "Aku memang pernah
mendengar kebesaran julukan kalian itu. Kalau tak salah aku menebak, kalian
pasti Karapak dan Salindri. Namun..., persetan dengan segala nama dan julukan!
Sungguh suatu ke-betulan! Sedari dulu aku memendam maksud untuk
melenyapkan seluruh tokoh silat yang berani mende-
kati Telaga Dewa! Kecuali aku, tak ada satu pun ma-
nusia yang layak memiliki Kodok Wasiat Dewa!"
Istri Karapak, Salindri, yang memegang senjata
berupa pancing berjoran panjang mendengus gusar.
Setelah memberi isyarat kepada suaminya, nenek ini
langsung menerjang. Joran pancingnya berkelebat un-
tuk menotok salah satu jalan darah penting di dada
Mahisa Lodra. Sementara, mata pancingnya yang teri-
kat tali baja lentur berputar di angkasa untuk segera menghujam ke kepala lawan.
Karapak membarengi serangan istrinya dengan
menyabetkan dayung perahunya mengarah pinggang.
Timbul suara bergemuruh keras saat dayung yang ter-
buat dari kayu besi itu berkelebat!
"Hiahhh...!"
Mahisa Lodra memekik nyaring seraya berkele-
bat ke atas. Tanpa mendapat kesulitan, kakek berikat kepala batik ini
menghindari serangan beruntun yang ditujukan kepada dirinya. Sewaktu joran
pancing dan dayung melesat lewat di sisi kiri tubuhnya, mendadak Mahisa Lodra
membuat gerakan jungkir balik di udara Wusss...!
Dari kedua telapak tangan Mahisa Lodra mele-
sat dua larik sinar biru, masing-masing mengarah ke tubuh Karapak dan Salindri!
Pukulan jarak jauh Mahisa Lodra yang dilan-
carkan sambil bersalto di udara itu memiliki daya
penghancur luar biasa. Bongkahan sebesar gajah pun
akan lebur menjadi debu apabila tertimpa. Apalagi, tubuh Karapak dan Salindri
yang cuma terbuat dari su-
sunan tulang dan daging empuk!
"Awasss...!" teriak Karapak yang lebih dulu me-nyadari keadaan.
Mendengar peringatan suaminya, bergegas Sa-
lindri membuang tubuh sejauh mungkin. Sementara,
Karapak pun tampak meloncat sejauh tiga tombak.
Blarrr...! Blarrr...! Dua ledakan dahsyat menggelegar di angkasa.
Kesunyian malam tercabik-cabik. Satu larik sinar biru yang melesat dari telapak
tangan Mahisa Lodra menerpa batang pohon besar. Tak ampun lagi, batang pohon
bergaris tengah satu depa itu meledak hancur menjadi debu halus! Sementara, yang
satu larik sinar lainnya menerpa permukaan tanah, dan membentuk kubangan besar
yang sudah cukup untuk menguburkan dua
bangkai gajah sekaligus!
"Jangan gentar! Kita gempur terus durjana itu!"
seru Karapak seraya menerjang lagi. Dayung di tan-
gannya berkelebatan, mengarah bagian-bagian penting
di tubuh Mahisa Lodra.
"Hanya kematian yang pantas kau terima, Ma-
hisa Lodra!" timpal Salindri.
Mengikuti tindakan suaminya, Salindri menye-
rang gencar dengan mengeluarkan seluruh kemam-
puannya. Joran pancing menyambar ke sana-sini. Me-
luncur lurus untuk menotok jalan darah penting sam-
bil sesekali berkelebat sebagai alat pemukul. Sementara, mata pancingnya terus
berputar-putar di angkasa.
berusaha menghujani ke kepala Mahisa Lodra!
Berkali-kali Setan Selaksa Wajah memekik ma-
rah. Mendapat serangan yang sedemikian hebat, mau
tak mau kakek berikat kepala batik ini mesti mengeluarkan seluruh daya
kemampuannya. Untung saja, dia
memiliki ilmu peringan tubuh bernama "Angin Pergi Tiada Berbekas'. Sehingga,
Sepasang Nelayan Sakti
mendapat kesulitan untuk mendaratkan serangan.
Dan, beberapa kali mereka dipaksa bergerak mundur
karena Mahisa Lodra mengirim serangan yang tak ka-
lah berbahaya. Tak lebih dari dua puluh tarikan nafas, per-
tempuran di tepi hutan kecil itu sudah memuncak. Sepasang Nelayan Sakti dan
Setan Selaksa Wajah sama-
sama tak mau membuang-buang waktu. Masing-
masing ingin segera menghabisi riwayat lawan.
Akibatnya, suasana malam di tepi hutan kecil
yang sudah cukup jauh dari Telaga Dewa itu berubah
hingar-bingar. Pekik kemarahan berbaur dengan leda-
kan keras yang timbul akibat bentrokan tenaga dalam tingkat tinggi.
Tampak kemudian, sosok bayangan Mahisa Lo-
dra melenting tinggi, menghindari sambaran dayung
dan joran pancing Sepasang Nelayan Sakti. Namun se-
belum Mahisa Lodra menjejak tanah, dayung di tangan
Karapak berkelebat untuk meremukkan tulang kaki.
Sementara, joran pancing Salindri menyambar cepat,
hendak menebas leher. Dan, mata pancingnya pun tu-
rut ambil bagian. Dengan mengeluarkan suara men-
dengung seperti lebah, mata pancing yang terbuat dari baja runcing itu menghujam
sebat, mengarah ulu hati!
Mendapat serangan beruntun itu, Mahisa Lodra
malah tersenyum. Dengan mengibaskan ujung lengan
bajunya, Mahisa Lodra melentingkan tubuhnya lagi.
Lalu dia berjumpalitan di udara. Gerakan itu sedemikian cepatnya, hingga tubuh
Mahisa Lodra berubah
menjadi segumpal asap yang bergulung-gulung di uda-
ra! "Matilah kalian! Wussss...!"
Sambil terus berjumpalitan, Mahisa Lodra me-
niup. Serangkum angin berwarna hijau gelap menyem-
bur! Sekejap mata kemudian, bau amis menyebar.
Udara di tepi hutan itu dipenuhi hawa beracun yang
timbul dari dalam perut Mahisa Lodra!
"Celaka...!"
Berteriak kaget Karapak ketika merasakan tu-
buhnya lemas tiba-tiba. Seluruh tenaganya hilang entah ke mana. Dan, Salindri
pun mengalami hal serupa.
Tubuhnya juga terasa lemas tanpa tenaga!
Akibatnya, serangan kakek-nenek bergelar Se-
pasang Nelayan Sakti itu jadi kendor. Maka, Mahisa
Lodra tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Kalian telah terkena 'Racun Pem-
bunuh Naga' Nyawa kalian akan segera melayang ke
neraka! Ha ha ha...!"
"Jahanam...!" geram Karapak. Kakek bertubuh kurus ini hendak menerjang lagi,
tapi tenaganya benar-benar telah lenyap. Kedua tangannya bergetar, tak kuasa
memegang senjata dayungnya hingga jatuh ke
tanah. "Telan puyer 'Penghidup Jiwa', Aki!" teriak Salindri. Senjata berupa alat
pancing di tangan nenek ini pun telah lepas dari cekalan.
Tergesa-gesa sekali Sepasang Nelayan Sakti
mengambil bungkusan kertas dari lipatan baju mere-
ka. Serbuk kuning yang berada di dalam bungkusan
itu langsung mereka telan. Tapi..., tenaga mereka tetap tak kembali. Bahkan,
perlahan-lahan wajah suami-istri itu mulai berubah warna menjadi hijau matang!
"Hmmm.... Kalau cuma puyer picisan, mana
dapat melawan pengaruh 'Racun Pembunuh Naga'"!"
ejek Mahisa Lodra.
"Keparat! Licik sekali kau, Jahanam!" umpat Karapak sambil mendekap dadanya yang
mulai sesak. "Binatang culas! Kau benar-benar bukan ma-
nusia, Mahisa Lodra!" tambah Salindri dengan napas memburu, dadanya terasa sesak
pula. Mendengar kata-kata kasar Karapak dan Is-
trinya, Mahisa Lodra mengerutkan kening. Dia sedikit heran melihat ketahanan
tubuh suami-istri yang telah berusia lanjut itu. Sebenarnya, bila seseorang
telah menghirup 'Racun Pembunuh Naga', maka tak sampai
tiga tarikan napas kemudian, jiwa orang itu pasti dijemput maut.
"Hmmm.... Aku dapat memastikan bila puyer
'Penghidup Jiwa' sama sekali tak mampu melawan
pengaruh 'Racun Pembunuh Naga'...," gumam Mahisa Lodra. "Tapi kenapa mereka bisa
bertahan cukup la-ma. Hmmm.... Kemungkinan besar mereka mempunyai
tenaga simpanan. Agar tak mengulur waktu, lebih baik ku lumatkan tubuh kakek-
nenek yang sok pandai itu dengan pukulan 'Pelebur Sukma'!"
Tanpa pikir panjang lagi, Mahisa Lodra alias
Setan Selaksa Wajah mengalirkan kekuatan tenaga da-
lam ke kedua telapak tangannya. Lalu....
"Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Mahisa Lodra me-
lancarkan pukulan jarak jauh. Dua larik sinar biru
yang mempunyai daya penghancur dahsyat melesat ke
de-pan tanpa dapat dibendung lagi. Sementara, Sepa-
sang Nelayan Sakti cuma dapat membelalakkan mata.
Tubuh mereka yang lemas sudah tak memungkinkan
lagi untuk bergerak menghindar. Tampaknya, nyawa
Karapak dan istrinya benar-benar akan melayang di
tangan Setan Selaksa Wajah"
Namun tiba-tiba....
"Hanya setan laknat yang tega berbuat seperti
ini!" Terdengar teriakan keras menggelepar yang dibarengi melesatnya gelombang
angin pukulan dahsyat!
Blarrr...! Blarrr...! Dua ledakan keras membahana di angkasa.
Bumi berguncang beberapa lama. Akibatnya, gumpa-
lan tanah dan bebatuan berhamburan. Beberapa ba-
tang pohon yang berada di dekat pusat ledakan tercabut akarnya, lalu terlontar
tinggi di angkasa!
Dua larik sinar biru wujud dari ilmu pukulan
'Pelebur Sukma' tampak melesat tegak lurus ke atas, kemudian lenyap tanpa bekas.
Rupanya, gelombang
angin yang memapaki ilmu pukulan Mahisa Lodra itu
mempunyai daya kekuatan yang tak kalah hebat!
"Seno...!" pekik Karapak dan istrinya, hampir bersamaan.
Dengan tubuh sempoyongan, kakek-nenek ber-
gelar Sepasang Nelayan Sakti itu menatap tak berkedip sosok pemuda remaja
berwajah tampan yang memang
Seno Prasetyo adanya.
"Aki! Nini!" teriak Kemuning yang berdiri di belakang Seno.
Bergegas Kemuning meloncat mendekati ketika
melihat Karapak dan istrinya jatuh berguling-guling.
Sementara, Seno langsung meloncat ke hada-
pan Mahisa Lodra. Tongkat Dewa Badai tampak ter-
cekal erat di tangan kanannya. Tongkat mustika itu
baru saja digunakan Seno untuk meredam pukulan
'Pelebur Sukma' Mahisa Lodra.
5 AKU tahu kau baru saja melakukan pembunu-
han di Penginapan Asri," ujar Seno. "Aku pun tahu dengan Ilmu pukulan 'Pelebur
Sukma', kau hendak
membunuh Kakek Karapak dan Istrinya. Sungguh kau
manusia biadab, Pak Tua! Katakan siapa dirimu, dan ada hubungan apa kau dengan
Dewa Dungu"!"
Seno sengaja menyebut nama Dewa Dungu gu-
runya karena ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' adalah
ilmu andalan tokoh tua lumpuh yang kini masih ting-
gal di salah satu lembah di Gunung Lawu itu. Seno ingat benar bila sebelum
berpisah, Dewa Dungu berpe-
san bahwa dia diwajibkan untuk mencari kakak seper-
guruannya yang telah salah langkah, melenceng dari
jalan kebenaran. Kakak seperguruan Seno yang telah
membuat lumpuh kedua kaki Dewa Dungu itu berna-
ma Mahisa Lodra.
Menurut penuturan Dewa Dungu, Mahisa Lo-
dra selain telah membuatnya lumpuh, juga melarikan
dua bagian Kitab Sanggalangit. Masing-masing buku
yang dilarikan oleh Mahisa Lodra itu berisi ilmu perin-
gan tubuh bernama 'Angin Pergi Tiada Berbekas' dan
sebuah pelajaran ilmu sihir atau ilmu semacamnya
yang bernama 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'. (Baca
episode : "Tongkat Dewa Badai").
"He! Kenapa kau diam saja"! Benarkah kau
Mahisa Lodra"!" bentak Seno melihat kakek berikat kepala batik tak segera
menjawab pertanyaannya.
Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Ilmu
pukulannya dapat dikenali Seno saja sudah membuat-
nya terkejut, apalagi kini si pemuda dapat menyebut nama Dewa Dungu dan
mengatakan dengan tepat siapa namanya. Padahal, kakek yang masih tampak ga-
gah ini sama sekali tak mengenal pemuda yang terke-
san amat lugu itu.
"He! Kau punya mulut untuk bicara, kenapa
kau diam saja mendengar pertanyaan orang"!" Seno membentak lagi.
"Hmmm.... Aku tak mengenal siapa kau! Tapi
melihat mulutmu yang ceriwis itu, gatal tanganku untuk segera memecahkan batok kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Setan Selaksa
Wajah menerjang. Kedua tangannya berkelebat cepat,
mengeluarkan suara menderu keras dan member-
sitkan hawa panas yang menyengat kulit!
"Hiahhh...!"
Untuk meladeni serangan si kakek, sengaja Se-
no tak menggunakan Tongkat Dewa Badai. Tongkat
mustika sepanjang dua jengkal itu disimpannya lagi di balik pakaian.
Dengan menggunakan Ilmu 'Lesatan Angin Me-
niup Dingin', Seno meloncat ke sana-sini, menghindari serangan kakek berikat
kepala batik tanpa membalas sama sekali. Seno bermaksud mengenali jurus-jurus
yang sedang diperagakan oleh si kakek.
"Jurus 'Memetik Bunga Melempar Batu'!" seru Seno sambil berkelit dari pukulan
dan tendangan. Jurus 'Memetik Bunga Melempar Batu' adalah
salah satu jurus ciptaan Dewa Dungu. Seno hafal be-
nar akan ciri-ciri gerakan jurus itu karena pernah
mempelajarinya, dan dapat pula memainkannya den-
gan sempurna. Terkejut luar biasa Setan Selaksa Wajah men-
dengar seruan Seno, apalagi setelah si pemuda menye-rangnya dengan jurus yang
sama. Maka, terbawa rasa


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penasaran, Setan Selaksa Wajah bermaksud mengha-
bisi riwayat Seno secepat mungkin. Cepat Setan Selak-sa Wajah mengganti jurus
'Memetik Bunga Melempar
Batu' yang tengah dimainkannya.
"Jurus 'Memetik Bunga Menghindari Duri'!" se-ru Seno lagi, dapat mengenali
perubahan jurus kakek berikat kepala batik.
"Jahanam! Ada hubungan apa kau dengan De-
wa Dungu"!" sentak Setan Selaksa Wajah, terus men-cecar dengan serangan
mematikan. "Itu pertanyaanku tadi, Pak Tua! Seharusnya
kaulah yang menjawab!" sahut Seno.
Dengan menggunakan jurus 'Memetik Bunga
Melempar Batu', Seno terus meladeni gempuran Setan
Selaksa Wajah yang memainkan jurus 'Memetik Bunga
Menghindari Duri'.
Kedua jurus itu sama-sama ciptaan Dewa Dun-
gu. Kehebatannya bukan alang-kepalang lagi. Apalagi, Seno dan Setan Selaksa
Wajah memiliki ilmu peringan tubuh yang hebat luar biasa. Hingga ketika
memainkan kedua jurus itu, tubuh Seno dan Setan Selaksa
Wajah berubah menjadi dua gumpal asap berwarna bi-
ru dan hitam yang saling terjang.
Selagi kedua anak manusia itu terlibat dalam
pertempuran seru, waktu terus berlalu, gelap malam
terusir oleh semburat cahaya jingga sang baskara di ufuk timur. Hari berganti
karena fajar telah menyingsing.
Tubuh Sepasang Nelayan Sakti tampak terbar-
ing lemah di permukaan tanah, cukup jauh dari ajang pertempuran. Tubuh sepasang
suami-istri berusia lanjut itu telah dipindahkan Kemuning. Sementara, den-
gan mengeluarkan seluruh daya kemampuannya yang
didapat dari Dewi Pedang Halilintar, si gadis berusaha menyelamatkan Sepasang
Nelayan Sakti yang terserang 'Racun Pembunuh Naga'.
Kemuning menyalurkan hawa murni ke tubuh
Sepasang Nelayan Sakti bergantian. Walau tidak ber-
hasil mengusir pengaruh 'Racun Pembunuh Naga', tin-
dakan Kemuning dapat menghambat aliran racun yang
menuju ke jantung. Hingga untuk beberapa lama, Se-
pasang Nelayan Sakti masih dapat bertahan dari ke-
matian. Sementara itu, pertempuran antara Seno den-
gan Mahisa Lodra semakin berlangsung sengit. Lewat
lima belas jurus kemudian, sosok bayangan Mahisa
Lodra tampak melenting menjauhi ajang pertempuran.
"Aku tidak punya banyak waktu. Katakan siapa
dirimu, dan punya hubungan apa kau dengan Dewa
Dungu"!" seru Setan Selaksa Wajah begitu mendarat di tanah. "Kau mengulang
pertanyaanku lagi, Pak Tua!"
sahut Seno. "Kaulah yang harus menjawabnya. Apakah benar kau Mahisa Lodra" Kalau
benar, segera se-
rahkan kepadaku dua bagian Kitab Sanggalangit yang
kau larikan tiga puluh tahun yang lalu! Setelah itu, kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu
yang telah membuat lumpuh Kakek Dewa Dungu!"
"Jahanam! Mulutmu semakin ceriwis saja,
Anak Muda!" bentak Mahisa Lodra. "Cepat katakan siapa dirimu! Agar nanti aku
dapat menyebarkan beri-ta kematianmu!"
Melihat muka Mahisa Lodra yang merah padam
penuh rasa gusar, Seno nyengir kuda sambil mengga-
ruk-garuk pantatnya yang terasa gatal. Sikapnya amat lugu dan tak dibuat-buat
sama sekali. Namun, hal itu malah membuat amarah Mahisa Lodra memuncak.
"Cepat katakan siapa dirimu, dan punya hu-
bungan apa kau dengan Dewa Dungu"!" geram si kakek. "Atau, ku lumatkan tubuhmu
sekarang ini juga dengan pukulan 'Pelebur Sukma'!"
"Kau katakan siapa dirimu dulu, baru aku
memperkenalkan diri!" sahut Seno dengan wajah kebodoh-bodohan.
"Bangsat! Kalau begitu, mati saja kau, Kerbau
Dungu!" Usai berkata, kedua pergelangan tangan Mahi-
sa Lodra tampak bergetar. Dia tengah menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya sampai ke puncak!
Tersurut mundur si pemuda lugu Seno Pra-
setyo. Bukan karena gentar, melainkan karena tahu
kakek berikat kepala batik mempersiapkan pukulan
'Pelebur Sukma' yang teramat dahsyat. Seno tahu be-
nar ilmu pukulan itu adalah ciptaan Dewa Dungu yang hanya diturunkan kepada
murid pertamanya. Seno
sendiri tidak diajari ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' karena dia telah mendapat
ilmu pukulan yang lebih dahsyat. Ilmu pukulan yang dipelajari Seno itu berasal
da-ri salah satu bagian Kitab Sanggalangit yang bernama
'Dewa Badai Rontokkan Langit'.
"Hmmm.... Menilik dari ilmu pukulan yang te-
lah disiapkan kakek itu, dia pasti Mahisa Lodra. Ya,
tak salah lagi. Dia pasti Mahisa Lodra!" kata Seno dalam hati. "Dan melihat
perbuatan biadabnya di Penginapan Asri berikut meracuni Kakek Karapak dan is-
trinya, aku wajib melaksanakan amanat Kakek Dewa
Dungu untuk menghukum mati murid murtad ini!"
Tanpa pikir panjang lagi, bergegas Seno mem-
persiapkan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'. Di lain kejap, kedua
pergelangan tangan Seno berubah
warna menjadi putih berkilat.
Bersamaan dengan itu, Mahisa Lodra menghen-
takkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua larik
sinar biru melesat cepat, menebarkan hawa panas luar biasa! WUSSS...!
Dengan menggunakan pergelangan kakinya,
Seno menghentakkan pula kedua telapak tangannya
ke depan. Dan..., melesatlah dua larik sinar putih ber-keredapan, memapaki sinar
biru yang melesat dari telapak tangan Mahisa Lodra!
Blarrr...! Blarrr...! Dua ledakan dahsyat membahana panjang saat
empat larik sinar berbenturan di udara. Gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan.
Bunga api memercik
ke segala penjuru. Keadaan di tepi hutan itu laksana terserang gempa hebat.
Puluhan pohon tumbang, sebagian malah meledak hancur menjadi kepingan-
kepingan kecil!
Setelah berbenturan, empat larik sinar berwar-
na biru dan putih tampak melesat tegak lurus ke atas, kemudian berbaur menjadi
satu membentuk beraneka
macam warna mirip pelangi. Hingga, keadaan di ang-
kasa menjadi terang benderang, sementara di dekat
pusat ledakan masih gelap gulita karena pandangan
tertutup oleh gumpalan tanah dan bebatuan yang ber-
hamburan. Tampak kemudian, tubuh Seno terlontar seki-
tar tiga puluh tombak. Karena dihempaskan oleh tena-ga dorong yang amat kuat,
tubuh pemuda tampan itu
jatuh berguling-guling ke tanah!
Untunglah, Seno melindungi tubuhnya dengan
'Perisai Dewa Badai', sebuah ilmu pengerahan tenaga dalam yang membuat tubuh
Seno jadi kebal. Namun
demikian, Seno tampak meringis kesakitan sewaktu
meloncat bangkit. Walau tidak menderita luka dalam, tapi kepala Seno terasa
pening dan pandangannya pun mengabur.
"Aku masih hidup! Aku masih hidup!" desis Se-no sambil menggeleng-gelengkan
kepala untuk men-
jernihkan pandangannya.
Begitu keadaannya telah pulih seperti sediaka-
la, bergegas Seno meloncati kubangan besar yang terbentuk akibat bentrokan dua
ilmu pukulan tadi. Dipu-tarnya pandangan ke segenap penjuru untuk mencari
sosok kakek berikat kepala batik. Namun, orang yang dicarinya itu sudah tak
tampak lagi batang hidungnya.
"He! Di mana kau, Pak Tua"! Jangan lari! Kau
masih punya urusan denganku!"
Seno berteriak-teriak penuh rasa penasaran.
Kakek berikat kepala batik tetap tak dapat ditemukannya. Dan selagi Seno
menggedruk-gedrukkan kakinya
ke tanah karena kesal, telinga pemuda itu menangkap sebuah bisikan yang
disampaikan dengan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.
"Keparat kau, Anak Muda! Walau aku belum
mengenal dirimu, dapatlah aku menebak bila kau tak
lain dari murid Dewa Dungu! Pada saatnya nanti, urusan ini akan ku lanjutkan!"
Kontan Seno mencak-mencak. Dia dapat men-
genali dengan jelas bila bisikan yang didengarnya itu adalah suara kakek berikat
kepala batik. "Hmmm.... Rupanya, kakek jelek itu masih hi-
dup," gumam Seno. "Heran aku. Menurut penuturan Kakek Dewa Dungu, ilmu pukulan
"Dewa Badai Rontokkan Langit' lebih unggul dari ilmu pukulan 'Pelebur Sukma'.
Tapi, kenapa kakek yang kuduga sebagai Mahisa Lodra itu tak mati?"
Sebenarnya, ilmu pukulan Seno memang satu
tingkat di atas ilmu pukulan Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah. Namun karena
Mahisa Lodra telah
memperdalam ilmu itu selama tiga puluh tahun, tentu saja tenaga dalam si kakek
meningkat berlipat ganda.
Sementara, Seno baru mendalami ilmu silat selama li-ma tahun. Walau Seno telah
menelan sebuah benda
ajaib bernama Capung Kumala, namun tenaga dalam
Seno belum dapat mengungguli tenaga dalam Mahisa
Lodra. Sehingga, ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' dan
'Dewa Badai Rontokkan Langit' menjadi seimbang.
Sewaktu terjadi bentrokan dua ilmu pukulan
tadi, Mahisa Lodra mengalami hal serupa dengan Seno.
Tubuh si kakek juga terlontar jauh dan berguling-
guling di tanah. Karena tenaga dalam Mahisa Lodra
sudah sedemikian kuatnya, dia pun tak mengalami lu-
ka dalam. Setelah bangkit, Mahisa Lodra langsung
berkelebat pergi. Dia pikir, bertempur dengan seorang pemuda yang belum punya
nama di rimba persilatan,
menang pun tak akan membuatnya lebih termasyhur,
sementara kalau kalah malah akan membuatnya men-
derita malu. * * * "Hei! Bodoh benar kau, Seno!" teriak lantang Kemuning. "Cepatlah kau tolong
kakek dan nenek ini!"
Seno yang masih tergeluti rasa penasaran tam-
pak terkesiap kaget. Diarahkannya pandangan ke so-
sok Kemuning yang sedang melambaikan tangan. Di
dekat Kemuning terbujur tubuh Karapak dan Salindri.
Saat terjadi ledakan keras tadi, tubuh kakek-nenek
bergelar Sepasang Nelayan Sakti itu turut terlontar.
Tapi, kemudian telah mengangkat tubuh mereka un-
tuk kemudian dibaringkan di sebuah tanah datar be-
rumput. "Uh! Aku memang bodoh! Uh! Kenapa aku bisa
lupa kalau ada orang yang membutuhkan pertolon-
gan!" rutuk Seno kepada dirinya sendiri.
Bergegas Seno meloncat. Karena menggunakan
ilmu 'Lesatan Angin Meniup Badai', Seno telah sampai di hadapan Kemuning dalam
beberapa loncatan. Padahal jarak yang dilaluinya tak kurang dari empat puluh
tombak! Kening Seno berkerut rapat melihat tubuh Ka-
rapak dan istrinya yang terbaring pingsan di atas tanah. Wajah kakek-nenek itu
telah berwarna hijau ma-
tang. Tahulah Seno bila mereka terserang 'Racun Pembunuh Naga'. Sebenarnya, ilmu
mengolah udara di da-
lam perut hingga mengandung racun ganas itu meru-
pakan salah satu ilmu andalan Dewa Dungu. Kini, Se-
no pun tahu sosok mayat di Penginapan Asri juga terkena 'Racun Pembunuh Naga'.
Hanya karena tergesa-
gesa, sehingga Seno tidak dapat memastikan racun
apa yang bersarang di tubuh ahli silat yang menjadi korban pembunuhan itu
"Pantas Kakek Dewa Dungu tak mau mengajar-
kan ilmu mengolah udara di dalam perut bernama
'Racun Pembunuh Naga', kiranya ilmu itu sangat ga-
nas dan kejam," gumam Seno. "Hmmm.... Bertambah besar keyakinanku bila kakek
berikat kepala batik itu adalah Mahisa Lodra, kakak seperguruanku yang telah
melenceng dari jalan kebenaran!"
"Hei! Kenapa kau malah bengong, Seno"!" tegur Kemuning melihat Seno berdiri
termangu. "Eh..., ya, ya!"
Seno tergagap. Bergegas dia berjongkok seraya
menekan dada kiri Karapak dan istrinya. Seno berna-
pas lega. Walau detak jantung kakek-nenek itu amat
lemah, tapi masih terasa akan adanya tanda-tanda kehidupan.
"Semoga Tuhan berkenan memperpanjang
usiamu, Aki-Nini...," desis Seno.
Saat Seno mengeluarkan Tongkat Dewa Badai
dari balik bajunya, Kemuning menatap tak berkedip.
Walau sikap Seno tampak kebodoh-bodohan, Kemun-
ing percaya bila Seno mempunyai kepandaian hebat.
Dan, dia pun diam saja ketika Seno menempelkan
tongkat mustikanya di urat nadi pergelangan tangan
kanan Karapak. Hanya dalam dua tarikan napas, warna hijau di
wajah Karapak berangsur-angsur lenyap. Itu berarti
pengaruh 'Racun Pembunuh Naga' di tubuh si kakek
mulai lenyap pula. Di lain kejap, Tongkat Dewa Badai yang berwarna putih bersih
menjadi hijau matang.
"Uh... "
Karapak mengeluh pendek, tersadar dari ping-
sannya. Wajah kakek kurus itu telah berwarna merah
sehat. Tongkat Dewa Badai telah menghisap habis ra-
cun yang bersarang di tubuhnya.
"Seno...," desis Karapak, mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Ya. Aku Seno, Kek. Jangan terlalu banyak ber-
gerak dulu. Atur jalan darahmu dengan duduk bersila.
Rahasia Hiolo Kumala 17 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 7
^