Tongkat Dewa Badai 2
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai Bagian 2
Jadi, bisa dibayangkan betapa hebatnya ilmu peringan
tubuh si kakek.
Dengan suara serak parau, si kakek berteriak
lantang, "Hei! Aku datang membawa titah sang Prabu!
Harap Ki Tunggul Jaladara sendiri yang menyambut
ku!" Teriakan si kakek terdengar keras menggelegar di angkasa. Karena dialiri
tenaga dalam, getaran suaranya mampu menerbangkan debu dan dedaunan
yang berserakan di tanah. Sementara, ranting-ranting
pohon pun tampak bergoyang bagai dihempas angin
kencang. Tampak kemudian, lima orang pemuda berlari-
lari dari halaman belakang. Mereka adalah adik seper-
guruan Gagak Ireng, ketua Perguruan Tapak Sakti
yang baru diangkat enam candra yang lalu.
Kelima pemuda itu langsung menghampiri ka-
kek berpakaian merah hitam yang berdiri berkacak
pinggang di pelataran. Sementara, si kakek yang meli-
hat kedatangan mereka, langsung menggerendeng ma-
rah. "Hmmm.... Apakah KI Tunggul Jaladara sudah begitu uzur, sehingga dia tidak
bisa berjalan sendiri untuk menyambut kedatanganku"!"
Mendengar ucapan yang tak bersahabat itu, ke-
lima murid Ki Tunggul Jaladara langsung menge-
rutkan kening. Belum pernah mereka melihat ada
orang yang begitu memandang remeh pada pendiri
perguruan mereka.
"Maaf, Pak Tua...," ujar salah seorang pemuda yang berpakaian serba putih. "Pak
Tua ini siapa" Dan, untuk apa mencari Ki Tunggul Jaladara?"
"Kau tidak berhak menanyakan itu, Anak Mu-
da!" sentak si kakek berikat kepala batik. "Cepat suruh si tua bangka Tunggul
Jaladara untuk datang ke hadapanku!"
Mendengus gusar pemuda berbaju putih men-
dengar kata-kata si kakek yang semakin meremehkan
gurunya. Dia melangkah dua tindak. Ditatapnya wajah
si kakek tajam-tajam.
"Kau ini siapa, Pak Tua"!" geramnya. "Kau datang tanpa diundang, kenapa main
perintah seenak
perutmu sendiri"! Kau pikir, kami anak murid Pergu-
ruan Tapak Sakti tak dapat melemparkan tubuhmu ke
kaki gunung sana"!"
"Hmmm.... Kata-katamu membuat panas telin-
gaku, Anak Muda...," sahut kakek berikat kepala batik.
"Kalau kau memang mampu melemparkan tubuhku ke
kaki gunung, kenapa tidak kau laksanakan sekarang
juga?" Sebenarnya, pemuda berbaju putih bukanlah orang yang mudah berbuat
kekerasan. Tapi demi
membela nama perguruannya yang diremehkan dan
untuk mengajar adat pula pada si kakek, pemuda ber-
tubuh kekar ini maju beberapa tindak lagi. Lalu, den-
gan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, ke-
dua tangan si pemuda berkelebat. Hendak disambar-
nya tubuh kakek berikat kepala batik. Namun....
Krakkk...! "Wuahhh...!"
Kedua tangan kakek berikat kepala batik ter-
nyata dapat berkelebat lebih cepat. Sepuluh jari tangan si kakek mencengkeram
pergelangan tangan pemuda
berbaju putih. Lalu, terdengar suara gemeretak tulang patah yang disusul pekik
kesakitan! Brukkk...! Kakek berikat kepala batik melemparkan tubuh
pemuda berbaju putih. Karena dilemparkan dengan
tenaga yang amat kuat, tubuh si pemuda jatuh berde-
bam ke tanah, hingga menerbangkan batu-batu kerikil!
Dalam keadaan telentang, bola mata pemuda
berbaju putih tampak melotot besar dengan mulut
ternganga lebar. Kedua tulang lengannya patah. Dan,
tulang kepala bagian belakangnya pun telah retak ka-
rena membentur tanah keras. Setelah berkelojotan se-
jenak, si pemuda menghembuskan nafasnya yang te-
rakhir! Terkejut bukan main empat pemuda lainnya.
Sebenarnya, saudara seperguruan mereka yang telah
mati itu memiliki kepandaian yang tak bisa dibilang
ringan. Dia telah berguru pada Ki Tunggul Jaladara selama tiga tahun, tapi
kenapa dia bisa begitu mudah
dibunuh oleh kakek berikat kepala batik"
Melihat kehebatan si kakek, tanpa terasa empat
pemuda adik seperguruan Gagak Ireng melangkah
mundur. Nyali mereka langsung menciut. Tapi, sebagai
seorang murid perguruan yang sering mendapat we-
jangan dari Ki Tunggul Jaladara, cepat mereka meng-
halau rasa takut dan giris. Mati dalam memberantas
kejahatan dan kekejaman adalah cita-cita seorang
pendekar sejati. Begitulah pengertian yang selalu dita-namkan Ki Tunggul
Jaladara kepada anak muridnya.
"Tua bangka keparat!" maki salah seorang pemuda berbaju kuning. "Rupanya, kau
iblis kejam yang tersesat jalan! Enyahlah kau ke neraka!"
Usai berkata, pemuda bertubuh tinggi tegap itu
menerjang. Tangan kanannya terjulur lurus ke depan
untuk menghantam dada si kakek, Sementara, tangan
kirinya ditekuk tapi siap mengirim serangan pula.
"Ciattt...!"
"Hiahhh..!"
Ternyata, tiga pemuda lainnya turut menerjang.
Jadilah kakek berikat kepala batik diserang dari empat penjuru angin. Tapi
tampaknya, si kakek seperti tak
ambil peduli walau tahu bahaya tengah mengancam
jiwanya. Namun, saat serangan keempat pemuda
hampir mengenai sasaran, dia memekik tinggi seraya
memutar tubuh! Terdengar deru angin bergemuruh, disusul jerit
kematian empat pemuda murid Ki Tunggul Jaladara.
Putaran tubuh kakek berikat kepala batik telah mem-
buat tubuh mereka berpentalan. Saat jatuh berdebam
di tanah, dapat dilihat bila tubuh mereka telah berlu-muran darah segar. Jiwa
mereka melayang tanpa da-
pat ditahan lagi!
Kini, sepi menyelimuti Perguruan Tapak Sakti.
Perlahan, sang baskara bergeser ke barat. Sinarnya
melemah, membawa kesejukan. Semilir angin segera
melenakan.... Namun, suasana sepi dan kesejukan udara gu-
nung malah membuat hati kakek berikat kepala batik
memanas. Dengan berdiri berkacak pinggang, dia me-
nanti beberapa saat. Tapi, orang yang dicarinya tetap tak mau muncul
"Hei! Tunggul Jaladara keparat!" teriak si kakek. "Apakah telingamu sudah
tertutup usia bangkotan mu, sehingga kau tak dapat mendengar jerit kema-
tian anak buahmu"! Hayo, cepat keluar! Ada titah sang Prabu yang harus
kusampaikan kepadamu!"
Kakek berikat kepala batik menunggu lagi. Ta-
pi, hanya desau angin gunung yang menyahuti teria-
kannya. Tak ada sosok manusia yang muncul dari da-
lam padepokan. "Hmmm.... Tua bangka bernyali kadal! Kalau
ku bakar gubuk reot mu itu, mungkin kau baru mau
menampakkan batang hidungmu!"
Di ujung teriakannya, kakek berikat kepala ba-
tik mengeluarkan dua butir batu api dari saku cela-
nanya. Dia benar-benar hendak membakar Perguruan
Tapak Sakti! Sambil mendengus gusar, si kakek mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke jari-jari tangannya. Dan,
apabila nanti kedua permukaan batu api dibenturkan,
akan melesat bunga-bunga api ke bangunan rumah
joglo beratap sirap. Tapi sebelum si kakek mewujud-
kan niatnya, terdengar teriakan keras menggelegar....
"Jahanam! Menyatroni Perguruan Tapak Sakti,
sama halnya dengan mencari mati!"
Kakek berikat kepala batik mengurungkan
niatnya. Saat menoleh ke belakang, tahulah dia bila di belakangnya telah berdiri
seorang pemuda brewokan
mengenakan pakaian putih-kuning. Pemuda bertubuh
tegap itu adalah Gagak Ireng. Sementara, di belakang
Gagak Ireng tampak berbaris sekitar tiga puluh pemu-
da. Mereka adalah murid pertengahan dan murid baru
Gagak Ireng. Bersama Gagak Ireng, mereka baru kem-
bali dari latihan yang mengambil tempat di kaki gu-
nung sebelah utara.
"Hmmm.... Cecurut-cecurut dungu pula yang
datang ke hadapanku...," dengus kakek berikat kepala batik. "Kenapa bukan
Tunggul Jaladara sendiri yang menampakkan batang hidung"!"
Mendengar ucapan si kakek yang sangat mere-
mehkan, terbelalak mata Gagak Ireng. Lebih terkejut
lagi dia setelah melihat kelima mayat adik sepergu-
ruannya yang tergolek kaku di pelataran.
"Jahanam! Orang tua bau busuk! Kaukah yang
telah membunuh saudara-saudara seperguruanku
ini"!" geram Gagak Ireng.
"Mereka mati untuk menebus kesalahan sendi-
ri!" tukas kakek berikat kepala batik. "Aku mencari Tunggul Jaladara, tapi
kenapa mereka yang datang
menemuiku" Karena mereka menggangguku, terpaksa
aku turun tangan!"
"Iblis laknat! Kejam benar kau, Pak Tua!" geram Gagak Ireng lagi. "Kau datang
mencari Ki Tunggul Jaladara, tidak tahukah kau bila guruku itu telah me-
ninggal enam candra yang lalu"!"
"Meninggal" Tunggul Jaladara meninggal" Ha
ha ha...!" kakek berikat kepala batik tertawa bergelak.
"Pantas! Pantas sekali bila teriakan ku tadi tak pernah dia dengar! Rupanya, tua
bangkotan itu telah mati! Ha
ha ha...!"
"Hmmm.... Kau tertawa tampak begitu gembira.
Aku tahu, di balik suara tawamu itu, kau hanya me-
mandang sebelah mata pada kami-kami anak murid
Perguruan Tapak Sakti," ujar Gagak Ireng, menyimpan geram kemarahan di hati.
"Sudah kubilang tadi, me-nyatroni Perguruan Tapak Sakti, berarti mencari mati.
Apalagi, kau telah membunuh lima adik sepergurua-
nku, Pak Tua! Kau layak dilemparkan ke neraka seka-
rang juga!"
Di ujung kalimatnya, Gagak Ireng memasang
kuda-kuda. Kedua pergelangan kakinya dibuka seraya
menggerakkan telapak tangan di depan dada. Semen-
tara, para pemuda di belakangnya tampak tersurut
mundur. Mereka sadar bila Gagak Ireng akan segera
terlibat dalam pertempuran sengit. Ilmu kepandaian
mereka yang masih dangkal tentu saja tak bisa digu-
nakan untuk membantu Gagak Ireng. Yang dapat me-
reka lakukan hanyalah menyingkir jauh-jauh.
"Tunggu dulu!" sergah kakek berikat kepala batik
Tapi, Gagak Ireng tak mau mendengarkan te-
riakan si kakek. Dia terus menggerakkan kedua tan-
gannya di depan dada. Sesaat kemudian, kedua perge-
langan tangan Gagak Ireng memancarkan sinar putih
berkeredepan. Itulah ciri Ilmu pukulan 'Tapak Sakti
Pelebur Jagat', yang menjadi Ilmu andalan Perguruan
Tapak Sakti. Agaknya, Gagak Ireng benar-benar akan
membalas kematian lima adik seperguruannya.
Namun sebelum Gagak Ireng menerjang, kakek
berikat kepala batik mengeluarkan lempengan logam
kuning dari balik bajunya. Di salah satu permukaan
logam berwarna kuning itu terdapat ukiran Dewa Wis-
nu yang tengah duduk di punggung burung Jatayu.
"Aku membawa titah sang Prabu. Harap kau
bersabar dulu!" seru si kakek, mengacungkan lempengan logam ke depan.
"Lencana Dewa Wisnu...," kesiap Gagak Ireng.
Tanpa sadar, pemuda ini menarik lagi ilmu pukulan
yang telah disiapkannya.
Lencana Dewa Wisnu adalah tanda pelimpah
wewenang dari Prabu Wira Parameswara. Siapa pun
yang memegang lencana yang terbuat dari emas cam-
puran itu dapat melakukan tindakan apa saja untuk
kepentingan Kerajaan Mahespati. Dan, dia juga memi-
liki wewenang tak terbatas, termasuk membunuh
orang yang dianggap membahayakan atau tak mema-
tuhi undang-undang kerajaan.
"Sebenarnya, kedatanganku ini adalah untuk
menyampaikan titah sang Prabu kepada Tunggul Jala-
dara...," ujar kakek berikat kepala batik. "Tapi karena dia telah meninggal,
maka titah sang Prabu itu wajib
dilaksanakan oleh penggantinya!"
"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua...?" tanya Gagak Ireng dengan suara bergetar.
Pemuda ini berusaha
meredam kemarahannya. Untuk berurusan dengan
utusan sang Prabu yang mempunyai kekuasaan besar,
dia harus pikir-pikir dulu.
"Kau dapat mengenali lencana yang kubawa ini,
berarti kau telah tahu kalau aku adalah orang keper-
cayaan Prabu Wira Parameswara," sahut kakek berikat kepala batik. "Tapi kalau
kau ingin tahu nama dan gelarku, kau harus mengatakan dulu siapa yang meng-
gantikan kedudukan Tunggul Jaladara di padepokan
ini...." Dengan hati yang masih mendongkol, Gagak Ireng berkata, "Akulah
sekarang yang menjadi ketua Perguruan Tapak Sakti...."
"Kau?"
"Ya. Aku bernama Gagak Ireng."
"Hmmm.... Sebuah nama yang cukup gagah,"
puji si kakek, tapi dalam hati dia mengejek. Lalu dengan suara lantang, utusan
Prabu Wira Parameswara
ini berkata, "Agar kau nanti tak ragu-ragu dalam me-laksanakan titah sang Prabu,
baiklah kukatakan siapa
diriku sebenarnya. Aku bernama Mahesa Lodra, na-
mun orang-orang biasa menyebutku sebagai Setan Se-
laksa Wajah!"
Usai berkata, kakek yang mengaku bernama
Mahesa Lodra atau Setan Selaksa Wajah mengusap
mukanya tiga kali. Dan..., terbelalaklah mata Gagak
Ireng dan para pemuda yang berdiri jauh di belakang-
nya. Ternyata, muka tua Mahisa Lodra telah beru-
bah menjadi muka seorang pemuda tiga puluh tahu-
nan. Muka baru Mahisa Lodra itu begitu halus dan
tampan, dihiasi sepasang alls yang tampak gagah ber-
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wibawa. Hanya saja, sorot matanya tetap tajam menu-
suk, menyiratkan kebengisan.
Gagak Ireng kaget bukan main. Sebelum ini,
dia memang belum pernah bertemu langsung dengan
Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah. Tapi, sering
kali dia mendengar kehebatan dan sepak terjang tokoh
beraliran sesat itu.
Sebenarnya, begitu mengetahui bila tokoh yang
berdiri di hadapannya adalah Mahisa Lodra, Gagak
Ireng ingin segera menghabisi riwayat tokoh sesat itu.
Sebagai anak murid Ki Tunggul Jaladara, Gagak Ireng
wajib menyingkirkan semua tokoh jahat. Tapi karena
Mahisa Lodra membawa Lencana Dewa Wisnu, Gagak
Ireng berusaha meredam hasrat hatinya. Dia ingin
mendengar terlebih dulu apa yang dititahkan sang
Prabu kepadanya.
"Ketahuilah kau, Gagak Ireng...," ujar Mahisa Lodra kemudian. "Sang Prabu
menitahkan agar semua anak murid Perguruan Tapak Sakti ikut membantu tokoh-tokoh
istana dalam mencari dan memburu Darma
Pasulangit atau Ksatria Seribu Syair yang telah meng-
ganti namanya menjadi Wisnu Sidharta! Titah sang
Prabu ini terutama dibebankan kepadamu, Gagak
Ireng! Karena kau telah menggantikan kedudukan
Tunggul Jaladara sebagai ketua perguruan.... Berang-
katlah sekarang juga. Kalau sudah bertemu, bunuh
bekas putra mahkota itu! Bawa kepalanya ke hadapan
sang Prabu!"
Berkerut kening Gagak Ireng mendengar uca-
pan Mahisa Lodra. Gagak Ireng tak pernah menyangka
akan mendapat tugas dari Prabu Wira Parameswara.
Sejak Perguruan Tapak Sakti didirikan oleh Ki Tunggul Jaladara sekitar dua puluh
tahun yang lalu, tokoh-tokoh istana ataupun sang Prabu sendiri tak pernah
mengusik keberadaan perguruan silat yang terletak di
lereng Gunung Lawu itu, baik semasa pemerintahan
Prabu Darma Sagotra maupun Prabu Wira Parameswa-
ra. Kalau sekarang Prabu Paremeswara memberikan
tugas yang amat berat kepada semua anak murid Per-
guruan Tapak Sakti, tentu saja hal itu mengherankan
Gagak Ireng. Menurut desas-desus yang terdengar Gagak
Ireng tahu kalau Ksatria Seribu Syair adalah putra
Prabu Darma Sagotra yang telah digulingkan oleh Se-
nopati Raksa Jalinti. Setahun setelah menjadi raja,
Senopati Raksa Jalinti mengganti namanya menjadi
Wira Parameswara. Sementara, Ksatria Seribu Syair te-
rus menyusun kekuatan untuk dapat merebut kembali
takhta Kerajaan Mahespati. Jadi, bisa dibayangkan be-
tapa berat tugas Gagak Ireng bersama anak murid Per-
guruan Tapak Sakti lainnya bila harus membunuh
Ksatria Seribu Syair yang tentunya telah berhasil mengumpulkan puluhan tokoh
sakti sebagai andalannya.
"Hei! Kenapa kau diam saja, Gagak Ireng"!"
bentak Mahisa Lodra. "Apakah kau tak mendengar ka-ta-kataku tadi"!"
Gagak Ireng menggeragap kaget. Sadarlah dia
bila telah terdiam beberapa lama. Ditatapnya wajah
tampan Mahisa Lodra yang masih memegang Lencana
Dewa Wisnu. Dengan suara berat, dia berkata, "Ketahuilah kau, Mahisa Lodra....
Perguruan Tapak Sakti
tak pernah mau mencampuri urusan kerajaan..., seka-
rang ataupun esok hari! Dan, sudah menjadi pendi-
rianku, seumur hidup aku tak mau berhubungan den-
gan kaki-tangan raja! Aku tak mau menuruti perintah
siapa pun!"
"Hmmm.... Ucapanmu itu menyiratkan bahwa
kau menolak titah sang Prabu. Mayat lima adik seper-
guruanmu itu apakah belum bisa kau jadikan sebagai
pelajaran?"
"Justru karena kekejamanmu itu, aku menolak
perintah seorang utusan macam kau!"
"Bedebah!" maki Mahisa Lodra dengan raut
muka merah-padam. "Menolak perintahku, sama hal-
nya dengan menolak perintah sang Prabu. Menolak pe-
rintah sang Prabu, berarti mati!"
"Sama dengan aturan yang telah kubuat!" sa-
hut Gagak Ireng. "Menyatroni Perguruan Tapak Sakti, berarti kematian pula!"
Mendengus gusar Mahisa Lodra melihat kebe-
ranian Gagak Ireng. Walau tadi Mahisa Lodra dapat
membunuh lima murid langsung Ki Tunggul Jaladara
dengan mudah, tapi kali ini dia tak mau bertindak ge-
gabah. Gagak Ireng diangkat menjadi ketua perguruan
tentu karena memiliki kesaktian yang dapat diandal-
kan. Selagi Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah
memasang kuda-kuda, Gagak Ireng tampak memutar-
mutar kedua tangannya di depan dada. Sesaat kemu-
dian, kedua pergelangan tangan Gagak Ireng meman-
carkan cahaya putih berkeredepan. Itu tandanya Ga-
gak Ireng telah mengetrapkan ilmu pukulan 'Tapak
Sakti Pelebur Jagat'
"Hiahhh...!"
Gagak Ireng menggembor keras seraya meng-
hentakkan telapak tangan dan kirinya bergantian. La-
lu, melesat dua bayangan tangan berwarna putih se-
perti perak. Andai salah satu bayangan tangan itu
membentur sebongkah batu, maka batu itu akan han-
cur-lebur menjadi debu! Sementara, yang menjadi sa-
sarannya adalah tubuh Mahisa Lodra yang terdiri dari
rangkaian tulang dan gumpalan daging. Apakah tubuh
Mahisa Lodra akan hancur-lebur menjadi debu pula"
Tampaknya, Mahisa Lodra dapat menyadari
bahaya yang tengah mengancam jiwanya. Sambil
menghembuskan napas panjang, dia sorongkan kedua
telapak tangannya ke depan. Dua larik sinar biru me-
lesat, memapaki dua bayangan tangan wujud dari pu-
kulan 'Tapak Sakti Pelebur Jagat'
Wusss...! Blarrr...! Blarrr...! Dua ledakan keras menggelegar di angkasa. Ge-
taran suara itu mampu menerbangkan atap sirap yang
menopang rumah joglo Perguruan Tapak Sakti. Rant-
ing dan dahan pohon berpatahan. Sementara, sekitar
tiga puluh pemuda yang berdiri jauh di belakang Ga-
gak Ireng tampak terlontar, dan jatuh bergulingan ke
kaki gunung! Terbentur dua larik sinar biru yang melesat da-
ri telapak tangan Mahisa Lodra, dua bayangan tangan
wujud dari ilmu pukulan 'Tapak Sakti Pelebur Jagat'
langsung musnah tiada berbekas. Sementara, lesatan
dua larik sinar biru berbelok arah, melesat tegak lurus ke atas, lalu musnah
pula tiada berbekas.
Namun, di pusat ledakan yang terjadi karena
benturan dua ilmu pukulan tingkat tinggi itu telah
membuat kubangan besar di tanah. Kubangan yang
terbentuk di tengah pelataran itu cukup besar untuk
menguburkan dua ekor gajah sekaligus!
"Lumayan juga kau punya kesaktian, Gagak
Ireng," ujar Mahisa Lodra.
"Aku tidak butuh pujian mu!" sahut Gagak
Ireng. "Yang kubutuhkan adalah nyawamu untuk me-
nebus kematian lima adik seperguruanku!"
Usai berkata, Gagak Ireng menerjang ganas.
Kedua tangannya yang memancarkan sinar putih ber-
kelebatan ke sana-sini, mencari jalan kematian di tu-
buh Mahisa Lodra. Gagak Ireng terus mencecar dengan
jurus-jurus mematikan yang didapatkannya dari Ki
Tunggul Jaladara. Setiap tangannya bergerak, terden-
gar deru angin bergemuruh yang mendatangkan hawa
panas luar biasa. Karena Gagak Ireng menyerang se-
perti kesetanan, tak ayal lagi rumah joglo padepokan-
nya terbakar hangus!
Namun, sampai di mana pun Gagak Ireng men-
geluarkan kepandaiannya, Mahisa Lodra dapat mela-
deni tanpa mendapat kesulitan. Tubuh Mahisa Lodra
dapat bergerak sedemikian cepat, hingga berubah
menjadi bayangan yang berlesatan ke sana-sini. Dia
pun mengirim serangan balasan yang tak kalah berba-
hayanya. Hingga tiga puluh jurus kemudian....
Desss...! "Arghhh...!"
Gagak Ireng memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
lontar ke atas, lalu jatuh berdebam di tanah. Setelah berkelojotan, tubuh pemuda
berewokan itu mengejang
kaku. Segera nyawanya melayang dengan tulang iga
remuk berpatahan
Rupanya, Gagak Ireng terkena pukulan 'Jari
Pematah Tulang' milik Mahisa Lodra!
"Ha ha ha...!" si Setan Selaksa Wajah Mahisa
Lodra tertawa bergelak, tak berkedip menatap tubuh
kaku Gagak Ireng. "Begitulah akibatnya kalau mem-bangkang pada perintah Setan
Seribu Wajah!"
Sejenak, Mahisa Lodra mengedarkan pandan-
gan. Tapi, anak murid Perguruan Tapak Sakti lainnya
sudah tak terlihat lagi. Saat terjadi bentrokan ilmu pukulan jarak jauh tadi,
tubuh mereka terlontar, dan jatuh bergulingan ke kaki gunung. Dengan luka memar
dan lecet, kemudian mereka menyingkir sejauh mung-
kin. Pikir mereka, membela Gagak Ireng berarti memu-
suhi pihak kerajaan, yang sama artinya dengan tinda-
kan bunuh diri. Sementara, kalau menuruti kehendak
Mahisa Lodra, sama halnya dengan menyeberangi lau-
tan api. Ksatria Seribu Syair dan para andalannya
yang harus mereka bunuh adalah tokoh-tokoh berilmu
tinggi. Karena itulah mereka memilih pergi dari pade-
pokan untuk kemudian pulang ke rumah masing-
masing mencari selamat.
Gagak Ireng memang belum pernah mengajar-
kan kepada mereka tentang perlunya memupuk rasa
memiliki pada perguruan silat yang susah payah didi-
rikan oleh Ki Tunggul Jaladara. Sehingga, rasa cinta dan kesetiaan mereka pada
perguruan teramat tipis.
Maka, tak heran apabila mereka bisa dibilang berjiwa
pengecut. Sementara itu, wajah sang baskara telah teng-
gelam separo di garis cakrawala barat. Petang akan segera tiba untuk
mengantarkan datangnya sang Dewi
Malam. Melihat hari yang akan segera menjadi gelap,
Mahisa Lodra mengusap wajahnya tiga kali. Di lain ke-
jap, wajah tokoh yang tak jelas berapa umurnya ini berubah menjadi wajah seorang
kakek lagi. Lalu, dia
menjejak tanah seraya berkelebat menuruni lereng gu-
nung.... 6 SEWAKTU membuka kelopak mata, si bocah
lugu Seno Prasetyo hanya dapat melihat bayang-
bayang hitam. Maka, dia kerjapkan matanya beberapa
lama. Hingga, dapatlah dia lihat dinding-dinding gua
yang dipenuhi tonjolan batu.
"Oh.... Di mana aku...?" keluh si bocah. Rasa sakit menyiksa Seno. Kepalanya
pening. Tulang-belulang tubuhnya terasa seperti telah patah beranta-
kan. Angin yang semilir dingin membuat bulu kuduk
Seno berdiri. Seno mencoba bangkit dari lantai gua tempat-
nya terbaring. Tapi, cepat dia urungkan niat itu karena dadanya terasa amat
sesak. Kedua tangan dan kakinya
pun amat sulit digerakkan, lemas tanpa tenaga.
Dengan tetap terbaring telentang, Seno mena-
tap langit-langit gua. Pikirannya menerawang pada ke-
jadian yang baru dialaminya.
"Di sebuah makam batu besar, aku menemu-
kan tongkat ajaib...," gumam si bocah. "Lalu, aku bertempur dengan puluhan
serigala yang telah memangsa
belasan kambing milik Tuan Gagak Ireng.... Sebagian
dari serigala-serigala itu dapat kubunuh, tapi... aku terlontar jatuh ke
jurang.,.. Aku masih hidup. Pasti
ada orang yang telah menolongku...."
Selagi Seno berpikir-pikir, dari balik dinding
gua sebelah dalam terdengar suara seorang lelaki
tua.... "Bocah bagus, kau menderita luka dalam yang cukup berat. Jangan mencoba
berdiri. Akan ku usaha-kan untuk...."
Suara itu menggantung. Si empunya suara
mengucapkannya dengan perlahan-lahan dan seperti
sedang berpikir berat.
Dengan menggerakkan kepala ke kanan-kiri,
Seno berusaha mencari asal suara yang didengarnya.
Tapi dia tak melihat siapa-siapa di dekatnya. Dan, selagi Seno terpana heran,
suara seorang lelaki tua itu terdengar lagi....
"Tiga puluh tahun bukanlah jangka waktu yang
pendek. Begitu panjang aku menanti dalam penderi-
taan. Tak mungkin aku membuang kesempatan ini be-
gitu saja...."
Suara itu berhenti sejenak, lalu disambung lagi.
"Ah! Aku yang sudah tua ini sudah tak membu-
tuhkan apa-apa lagi. Lebih baik barang itu kuberikan
kepadanya...."
Terdengar kemudian, suara helaan napas pan-
jang beberapa kali. Tentu saja Seno tidak tahu siapa
empunya suara itu, tapi dia sudah yakin bila pemilik
suara itulah yang telah menolongnya. Maka, tak dapat
Seno menahan hasrat hatinya untuk bertanya.
"Kakek yang baik..., di manakah kau" Cobalah
tampakkan dirimu. Aku ingin mengucapkan terima ka-
sih...." Seno menggeragap kaget ketika merasakan hembusan angin dingin yang
bertiup di sisi kanan tubuhnya. Dan, terbelalaklah mata si bocah saat melihat
seorang kakek yang tiba-tiba telah duduk bersila di
dekatnya. Raut wajah kakek itu mencerminkan sifat
welas asih dan kehalusan budi. Hanya saja, tatapan
matanya tampak kosong seperti orang berotak bebal.
Rambutnya yang putih panjang digelung ke atas dan
dilingkari sebuah gelang perak. Sementara, pakaian-
nya amat kumal berwarna kelabu. Anehnya, pakaian si
kakek menyiarkan aroma harum bunga kenanga.
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seno diam saja saat si kakek mengelus-elus
dahinya. Dia dengarkan penuh perhatian kata-kata si
kakek yang diucapkan dengan suara lemah lembut.
"Bocah bagus..., kau tentu telah mempelajari
ilmu silat. Atau paling tidak, kau pernah berlatih dasar-dasar ilmu silat. Jika
tidak, mana mungkin kau
dapat selamat" Kau telah jatuh dari tempat yang se-
demikian tingginya...."
Senang sekali hati Seno merasakan elusan
lembut jemari tangan si kakek. Seno dapat merasakan
ada pancaran kasih sayang di balik elusan itu. Kecuali dari ibunya, belum pernah
Seno mendapatkan kasih
sayang yang begitu tulus sebelum ini. Maka, tak bosan Seno menatap wajah si
kakek penuh kasih pula. Hingga, dia pun lupa pada rasa sakitnya sampai beberapa
lama. Sementara, kakek berbaju kumal yang melihat
Seno terus menatapnya lantas tersenyum. Dia tarik
tangan kanannya seraya bertanya, "Kau pernah mempelajari ilmu pukulan?"
Seno hendak menggeleng, tapi pening di kepa-
lanya terasa lagi. Maka, dia menjawab dengan suara
desis. "Aku tak pernah belajar ilmu silat. Ibu hanya mengajarkan cara mengatur
pernapasan dengan duduk bersila."
Mendengar jawaban si bocah, kakek berjubah
kumal terdiam. Lalu, bibirnya menyungging senyum
senang. "Jika nanti kau telah menelan 'Capung Kumala'
kau harus mengatur jalan nafasmu. Agar, inti kekua-
tan 'Capung Kumala' dapat menyatu dengan hawa
murni di tubuhmu. Luka dalammu akan sembuh. Ba-
rulah nanti aku membantumu mengatur jalan darah."
Kening si bocah lugu Seno Prasetyo berkerut
rapat. Dia tak tahu makna ucapan kakek berbaju
kumal. Namun, Seno tak dapat berpikir lama karena
keterkejutan segera menghantam dirinya. Tubuh si
kakek tiba-tiba lenyap, meninggalkan tiupan angin
dingin. Begitu sosok kakek berbaju kumal lenyap, Seno ingin bangkit. Tapi,
teringat pada pesan si kakek yang melarangnya berdiri, dia pun mengurungkan
niatnya. Hanya pikirannya yang melayang ke mana-mana.
Sesaat kemudian, Seno merasakan tiupan an-
gin dingin lagi. Sosok kakek berbaju kumal tiba-tiba
telah berada di sisi kanannya kembali. Namun, kali ini wajah si kakek terlihat
tegang. Kedua tangannya bergetar menyangga gumpalan cahaya kuning keemasan se-
besar buah kedondong. Di dalam gumpalan cahaya itu
terdapat seekor capung berwarna putih berkilat, meng-
gerak-gerakkan sayapnya seperti hendak terbang lepas
dari kurungan cahaya.
Seno hendak bertanya, tapi kakek berbaju
kumal keburu berkata, "Lekas buka mulutmu...."
Perkataan si kakek mengandung kekuatan
aneh yang memaksa Seno menuruti perintah itu. Dan,
begitu mulut Seno terbuka, si kakek menjejalkan gum-
palan cahaya yang dibawanya!
"Huk! Uh...!"
Tersedak Seno karena harus menelan benda
yang cukup besar. Anehnya, setelah dapat menelan
gumpalan cahaya, Seno merasakan sebuah hawa han-
gat yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Hawa hangat
itu berasal dari pusar.
"Kau telah menelan 'Capung Kumala'. Seka-
rang, duduklah bersila. Atur jalan pernafasanmu...."
Mendengar perintah kakek berbaju kumal, ber-
gegas Seno bangkit. Dia pun bersorak girang dalam ha-
ti. Dia dapat menggerakkan tubuhnya dengan leluasa.
Pening dan rasa sakit yang merejam tubuhnya telah
lenyap pula. Namun, saat duduk bersila dengan mata terpe-
jam, Seno merasakan hawa hangat yang mengalir dari
pusarnya berubah jadi panas membakar. Tubuh Seno
kontan bergetar. Dia merasa kepanasan seperti dima-
sukkan ke tungku pembakaran!
"Cepat atur jalan nafasmu!" seru kakek berbaju kumal, menyiratkan rasa khawatir.
Tanpa pikir panjang lagi, Seno menjalankan pe-
rintah si kakek. Dia atur jalan nafasnya seperti yang pernah diajari oleh
mendiang ibunya.
Sementara, kakek berbaju kumal terus mena-
tap tak berkedip. Diam-diam timbul rasa heran di hati kakek berwajah teduh ini.
Dia tahu Seno telah jatuh
dari tebing yang sangat tinggi. Seorang pesilat kelas menengah pun akan mati
bila terjatuh dari tebing se-tinggi lebih dari lima ratus tombak itu. Tapi,
bagaima-na Seno dapat selamat" Memang benar Seno pernah
berlatih menghimpun tenaga dalam walau tanpa dis-
adarinya, tapi itu saja belum menjamin keselamatan!
Dalam keheranannya, si kakek mengeluarkan
sebatang tongkat pendek dari balik baju kumalnya. Sa-
lah satu ujung tongkat putih sepanjang dua jengkal itu tampak runcing.
"Tongkat Dewa Badai ini kutemukan di dekat
tubuh bocah itu. Mungkinkah benda mustika ini telah
mengalirkan hawa sakti, sehingga tubuhnya tak han-
cur berantakan waktu jatuh ke tanah?"
Sambil terus menatap wajah lugu Seno Pra-
setyo, si kakek mengelus-elus tongkat mustika di tan-
gannya. Dia tersenyum senang waktu melihat getaran
tubuh Seno melemah dan napas si bocah pun berhem-
bus sangat teratur.
Siapakah sebenarnya kakek berbaju kumal itu"
Di rimba persilatan, dia masuk dalam golongan
tokoh jajaran atas yang sudah sangat sulit dicari tan-dingannya. Sekitar tiga
puluh tahun silam, orang-
orang biasa menyebutnya sebagai Dewa Dungu walau
sebenarnya otak si kakek tidak dungu ataupun bebal.
Kaum rimba persilatan memberi julukan Dewa Dungu
karena tatapan mata si kakek yang senantiasa kosong
seperti orang berotak bebal. Lagi pula, si kakek juga punya sifat pelupa,
sehingga kadang-kadang perbuatannya terkesan amat bodoh.
Dewa Dungu pernah mengambil seorang murid
yang punya bakat luar biasa untuk mendalami ilmu si-
lat. Namun sayang, Dewa Dungu telah keliru dalam
menilai sifat dan pribadi muridnya. Hingga pada ak-
hirnya, kekeliruan itu membuat Dewa Dungu terus di-
rundung rasa sesal.
Sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, Dewa
Dungu menemukan setumpuk buku pelajaran ilmu si-
lat. Buku-buku ilmu silat itu terdiri dari lima bagian.
Namun, karena tidak terdapat gambar-gambar yang
memberikan petunjuk, Dewa Dungu agak kesulitan da-
lam mempelajarinya. Maka, Dewa Dungu mengajak
muridnya menyingkir dari keramaian agar dapat mem-
pelajari isi buku-buku temuannya tanpa ada gang-
guan. Selama beberapa tahun tinggal bersama di se-
buah lembah sepi, Dewa Dungu dapat mencium peri-
laku muridnya yang tak baik. Oleh karena itu, Dewa
Dungu tak mau menurunkan semua ilmu kesaktian-
nya. Tindakan Dewa Dungu itu justru membuat si
murid membenci dan menyusun sebuah siasat licik.
Saat Dewa Dungu duduk bersemadi, beberapa aliran
darahnya ditotok. Aliran darah Dewa Dungu jadi ka-
cau, kemudian menyebabkan 'salah api'. Akibatnya,
sepasang kaki Dewa Dungu lumpuh!
Tapi sebelum kejadian itu, Dewa Dungu telah
menyembunyikan lima buku temuannya secara terpi-
sah-pisah. Namun demikian, si murid yang jahat ber-
hasil mendapatkannya walau cuma dua buku. Dan, la-
rilah murid murtad itu dengan membawa dua kitab
curiannya. Dewa Dungu yang telah lumpuh ditinggal-
kannya tanpa belas kasihan sedikit pun.
Beruntung bagi Dewa Dungu. Walau lumpuh,
dia dapat bertahan hidup sampai sekarang ini. Dia
tinggal di sebuah gua yang terletak di salah satu lembah Gunung Lawu. Dalam
kesendiriannya itu, Dewa
Dungu telah mendapatkan 'Capung Kumala' yang
mempunyai khasiat luar biasa, yang kemudian diberi-
kannya kepada si bocah lugu Seno Prasetyo.
Demikianlah riwayat kakek berbaju kumal yang
tak lain dari Dewa Dungu itu. Sekarang, tokoh tua
yang telah berumur hampir delapan puluh tahun itu
tampak menempelkan kedua telapak tangannya ke
punggung Seno. Hingga, dalam semadinya, Seno merasakan se-
buah aliran hawa hangat lain yang masuk ke tubuh-
nya. Hawa hangat yang berasal dari telapak tangan
Dewa Dungu itu mengalir ke seluruh urat darah di tu-
buh Seno. Sebentar kemudian, raut wajah si bocah ter-
lihat merah sehat.
Setelah membantu Seno mengatur aliran da-
rahnya, Dewa Dungu menggeser duduknya dengan
menggunakan telapak tangan sebagai pijakan. Tahulah
Seno, bila sang dewa penolongnya ternyata seorang
kakek lumpuh. "Bertahun-tahun aku tinggal di gua ini. Berta-
hun-tahun aku melatih daya batin ku...," ujar Dewa Dungu, menatap wajah Seno
lekat-lekat. "Tak mungkin aku salah menentukan pilihan lagi. Bocah bagus...,
aku dapat membaca sifat dan pribadimu dari raut wa-
jah dan sorot matamu. Kau seorang bocah yang amat
lugu dan jujur.... Sekarang, ikutlah aku...."
Usai berkata, kedua tangan Dewa Dungu me-
nekan lantai gua. Dan, terbelalaklah mata Seno. Si bocah terkejut melihat tubuh
Dewa Dungu yang tiba-tiba
berpindah tempat, sekitar lima tombak dari hadapan-
nya. "Ayo! Ikutlah aku...!" ajak Dewa Dungu, me-lambaikan tangannya.
Seno nyengir kuda sejenak, lalu berlari-lari
mengikuti lesatan tubuh Dewa Dungu yang memasuki
bagian gua sebelah dalam. Sambil berlari, Seno berpi-
kir-pikir. Dia merasa langkah kakinya dapat berkelebat cepat, namun dia tak tahu
apa penyebabnya. Tapi, karena tak mau tertinggal, cepat dia mengusir segala
tanda tanya yang berkecamuk di benaknya.
Kini, Seno telah menginjakkan kaki di sebuah
ruangan berhawa sejuk. Dia memandang kagum pada
tatanan meja dan kursi yang terbuat dari batu. Di de-
kat meja dan kursi itu terdapat sebuah rak buku yang
juga terbuat dari batu.
"Duduklah...," perintah Dewa Dungu.
Walau Seno tak tahu apa yang akan diperbuat
si kakek pada dirinya, namun dia menurut juga. Dia
duduk di salah satu kursi batu yang dingin. Sewaktu
Dewa Dungu menggeser tubuh mendekati rak buku,
Seno menyentuh bahunya.
"Kakek yang baik..., yang baru ku telan tadi
apa" Kenapa tubuhku jadi bertambah ringan seperti
ini?" "'Capung Kumala'. Yang kau telan tadi adalah
'Capung Kumala'. Jika seorang ahli silat menelannya,
sama artinya dengan dia tekun berlatih selama dua
puluh tahun," jawab Dewa Dungu, penuh kesunggu-
han. "Tiga puluh tahun lamanya aku menunggu ke-
munculan barang ajaib itu. Hmmm.... Kau memang
punya peruntungan yang bagus,..."
Mendengar itu, Seno jadi tak enak hati. Dia te-
lah menelan barang ajaib milik Dewa Dungu yang telah
menunggu kemunculannya selama tiga puluh tahun.
Lalu, dengan suara bergetar mengandung penyesalan,
Seno berkata, "Tidak seharusnya Kakek memberikan barang yang sangat berharga itu
kepada ku. Kalau di
dunia ada lagi barang macam itu, aku akan berjuang
sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Aku harus
mengganti kebaikan Kakek...."
Tersenyum lebar Dewa Dungu. Bola matanya
membesar dan tampak lucu. "Sudahlah, tak perlu kau pikirkan soal ganti-mengganti
kebaikan," sahutnya.
"Untuk mendapatkan 'Capung Kumala* sangat tergantung pada peruntungan. Menunggu
sampai seratus ta-
hun pun, belum tentu 'Capung Kumala' akan muncul
lagi." "Kakek baik sekali...," ujar Seno. Turun dari kursi seraya berlutut di
hadapan Dewa Dungu.
"Hmmm.... Walau batang usiamu belum sebe-
rapa, kau telah memiliki peradatan bagus. Tapi, aku
tak butuh penghormatan yang berlebihan. Bangkitlah.
Ceritakan siapa dirimu sebenarnya...."
Dengan isyarat tangan, Dewa Dungu menyuruh
Seno untuk duduk lagi di kursi. Tapi kali ini, Seno
menggeleng. Seno tak mau duduk di atas, sementara
ada orang tua yang duduk di bawah. Begitulah perada-
tan Jawa yang diketahui Seno dari mendiang ibunya.
Dan, Dewa Dungu pun tak mau memaksa. Dia biarkan
Seno duduk bersila di hadapannya.
"Nama lengkap ku adalah Seno Prasetyo,
Kek...," ujar si bocah. "Ibuku yang bernama Dewi Ambarsari atau Putri Bunga
Putih baru saja dibunuh
orang, Kek...," lalu, bocah berpakaian compang-
camping ini menceritakan peristiwa di Bukit Takeran,
termasuk kedatangannya di Perguruan Tapak Sakti,
hingga dia jatuh ke dalam jurang.
Sewaktu Seno bercerita bahwa dia telah mene-
mukan sebuah makam batu besar yang terdapat pulu-
han batok kura-kura, Dewa Dungu membelalakkan
mata. "Luar biasa! Penemuan yang bagus!" serunya.
Dewa Dungu lalu menggeser tubuhnya mende-
kati rak buku. Diambilnya tiga buku tua yang ter-
bungkus rapi. Setelah membuka halaman buku-buku
itu beberapa lembar, dia berkata, "Sekarang, kau tun-jukkan padaku gerakan-
gerakan yang telah kau hafal
itu...." Seno menurut saja. Ditariknya napas panjang, lalu menggerakkan anggota-
anggota tubuhnya, persis
seperti gambar yang terukir di puluhan batok kura-
kura. Semakin lama, gerakan Seno semakin cepat.
Dewa Dungu menatap tak berkedip. Kepalanya meng-
geleng-geleng karena kagum.
Sepeminum teh kemudian, dengan tubuh ber-
mandi keringat Seno duduk bersila lagi di hadapan
Dewa Dungu. Sementara, Dewa Dungu tampak mem-
buka-buka halaman tiga buku di pangkuannya.
"Sama persis. Sama persis...," gumam Dewa
Dungu. Kakek lumpuh itu lalu berkata sambil menatap
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajah Seno lekat-lekat, "Semua gerakan yang kau peragakan tadi sama persis
dengan isi ketiga buku ini.
Ketahuilah, ketiga buku ini berisikan pelajaran tentang ilmu tenaga dalam, ilmu
pukulan, dan ilmu menggunakan senjata berupa tongkat pendek.... Telah pulu-
han tahun aku mempelajarinya, namun tak dapat aku
mendalami secara menyeluruh. Ketiga kitab ini ditulis oleh seorang tetua pendiri
aliran Angin Selatan. Ke-mungkinan besar, makam yang kau temui itu adalah
makam si tetua yang bernama Sanggalangit."
Dewa Dungu mengambil napas panjang. Ke-
ningnya berkerut rapat, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba membebani pikirannya.
Namun tak lama kemu-
dian, dia melanjutkan perkataannya.
"Sebenarnya, buku ciptaan Sanggalangit atau
Kitab Sanggalangit terdiri dari lima buku. Sayangnya, dua buku lainnya telah
dilarikan oleh si binatang itu!"
Mendelik mata Dewa Dungu saat mengucapkan
'si binatang'. Seno tak tahu siapa yang dimaksud da-
lam kata itu karena Dewa Dungu tak mau menje-
laskan. Sementara, Dewa Dungu mengeluarkan tongkat
pendek yang telah tersimpan di balik bajunya. Lalu katanya, "Tongkat mustika ini
kutemukan tak seberapa jauh dari tempat tubuhmu tergeletak pingsan...."
"Ya. Ya, tongkat ajaib itu milikku, Kek," tukas Seno. Gembira sekali hati bocah
lugu itu. Tongkat
mustika, hasil temuannya yang dia sangka hilang ter-
nyata disimpan oleh Dewa Dungu.
"Tahukah kau, Seno, apa nama tongkat ini?"
tanya Dewa Dungu kemudian.
Seno nyengir kuda seraya menggeleng.
"Menurut bagian pertama dari Kitab Sangga-
langit, tongkat pendek ini bernama Tongkat Dewa Ba-
dai. Tongkat Dewa Badai adalah sebuah senjata mus-
tika. Hanya orang yang mempunyai keberuntungan
besar yang dapat memilikinya...."
Seno mengangguk-angguk.
"Tongkat Dewa Badai memiliki daya kekuatan
luar biasa," lanjut Dewa Dungu. "Bila dikibas-kibaskan akan menimbulkan tiupan
angin kencang laksana badai. Bila dipukulkan atau ditusukkan ke bongkah ba-
tu, maka bongkah batu itu akan hancur berkeping-
keping...."
Seno mengangguk-angguk lagi. Dalam hati dia
membenarkan ucapan si kakek karena pernah mem-
buktikannya. "Dan, di balik kedahsyatan Tongkat Dewa Badai
ini terdapat satu khasiat yang tak kalah hebat. Tong-
kat Dewa Badai dapat memusnahkan pengaruh segala
jenis racun, baik yang berasal dari hewan maupun
yang berasal dari tumbuhan. Maka, kau harus dapat
menyimpannya sebaik mungkin...."
Usai berkata, Dewa Dungu menyodorkan Tong-
kat Dewa Badai. Seno menerima tongkat mustika itu
dengan kedua tangan. Namun, segera dia meletakkan-
nya ke lantai. Dia lalu berlutut seraya berkata, "Kakek baik sekali.... Dapatkah
Kakek menerimaku sebagai
murid" Aku berjanji akan menggunakan ilmu kesak-
tian yang kudapatkan dari Kakek di jalan kebena-
ran...." Dewa Dungu tak menjawab. Namun, setelah Seno membentur-benturkan
dahinya ke lantai, dia
berkata, "Sudah kubilang, aku tak butuh peradatan yang berlebihan. Duduklah
lagi," tangan Dewa Dungu mengangkat bahu Seno. Begitu Seno duduk bersila la-gi,
dia menyambung kalimatnya. "Tak usah kau me-
minta, aku memang akan mengangkatmu sebagai mu-
rid. Tapi, harap kau katakan asal-usulmu lebih jelas.
Kau mengaku anak dari Dewi Ambarsari atau Putri
Bunga Putih. Aku tak mengenal ibumu yang kau kata-
kan baru meninggal itu. Karena, tiga puluh tahun le-
bih aku tak berkecimpung di rimba persilatan. Kini,
harap kau ceritakan siapa ayahmu, masih hidupkah
dia atau telah meninggal seperti ibumu?"
Tanpa pikir panjang lagi, Seno berkata, "Ayah
Seno bernama Darma Pasulangit yang bergelar Ksatria
Seribu Syair...."
"Sebentar," tukas Dewa Dungu, mengerutkan
kening. "Darma Pasulangit adalah putra mahkota Kerajaan Mahespati. Ketika aku
masih berkecimpung di
rimba persilatan, dia masih kanak-kanak. Sekarang
ini, dia pasti telah menggantikan Darma Sagotra ayah-
nya sebagai raja...."
"Tidak, Kek," ganti Seno yang menukas. "Sebelum meninggal, ibuku bercerita bahwa
Senopati Raksa Jalinti berhasil menggulingkan takhta Prabu Darma
Sagotra. Sementara, Darma Pasulangit ayahku terus
menjadi buronan sampai sekarang...."
Semakin rapat kerut di kening Dewa Dungu.
Bola matanya berputar-putar. Walau sedang berpikir
keras, tapi wajahnya terlihat lucu.
"Tak jadi apa. Tak jadi apa...," ujar Dewa Dungu kemudian, ditujukan kepada
dirinya sendiri. "Gua tempat tinggalku ini berada di lembah yang tersem-bunyi
dan jarang dijamah manusia. Tak akan ada yang
tahu kalau anak Darma Pasulangit berada di sini."
"Kakek jadi mengangkat ku sebagai murid?"
tanya Seno yang sempat mendengar perkataan Dewa
Dungu. "Tentu saja," jawab si kakek, cepat. "Siapa pun kau, bagaimanapun asal-
usulmu, aku tetap akan
mengangkatmu sebagai murid. Aku tahu kau punya
jiwa bersih. Kau amat lugu dan jujur. Namun, ada satu syarat yang harus kau
penuhi...."
"Asal bukan perbuatan jahat, apa pun syarat
Kakek akan kulaksanakan," sahut Seno penuh keyakinan. Dewa Dungu mengangguk-
angguk sambil men-
gelus jenggotnya yang tak seberapa lebat. Lalu ka-
tanya, "Baiklah, kau belajar ilmu olah kanuragan dulu.
Pada saatnya nanti, kau akan tahu apa yang harus
kau kerjakan untukku."
Maka, hari itu juga si bocah lugu Seno Prasetyo
dan Dewa Dungu melakukan upacara pengangkatan
guru dan murid di depan meja sembahyang. Dan, kee-
sokan harinya Dewa Dungu mulai mencurahkan selu-
ruh ilmu kesaktiannya kepada Seno. Sementara, Seno
pun menerima dan menjalankan semua petunjuk gu-
runya dengan penuh kesungguhan.
Selain mengajarkan ilmu kesaktiannya sendiri,
Dewa Dungu juga mengajarkan isi Kitab Sanggalangit
yang terdiri dari tiga buku. Seno pun dapat menerima
semua pelajaran dan petunjuk dengan baik karena dia
punya tekad dan semangat besar. Selain itu, khasiat
'Capung Kumala' yang telah ditelannya turut memban-
tu banyak dalam menerima gemblengan Dewa Dungu.
Dapat dipastikan, bila kelak di kemudian hari di rimba persilatan akan muncul
seorang pendekar muda yang
belum tentu dapat dicari dalam jangka waktu seratus
tahun. 7 PUTARAN waktu berlalu sedemikian cepat. Ke-
cuali kekuatan Sang Pencipta, tak ada kekuatan lain
yang mampu menahannya. Tak juga kekuatan manu-
sia yang punya banyak kekurangan. Tanpa terasa, li-
ma tahun telah berlalu. Tentu saja banyak perubahan
yang telah terjadi.
Seno Prasetyo yang dulunya hanya seorang bo-
cah kurus dekil, kini telah berubah menjadi seorang
pemuda remaja berumur tujuh belas tahun. Ketampa-
nan wajahnya tak lagi tersamar oleh debu dan kotoran.
Sebagai seorang anak manusia yang telah menginjak
dewasa, Seno tahu arti kebersihan.
Karena tiap hari berlatih ilmu silat, tubuh Seno
menjadi tinggi tegap, berdada bidang, dengan sepasang tangan dan kaki yang kokoh
kuat. Rambutnya hitam
panjang, dibiarkan tergerai bebas di punggung. Sepa-
sang alisnya yang menyerupai sayap elang menukik te-
lah menebal, hingga mirip sepasang golok yang diben-
tangkan. Hidungnya mancung, bertengger di atas bibir
kemerahan. Namun, keluguan Seno masih tetap ter-
pancar di balik ketampanan wajahnya.
Sebenarnya, lima tahun adalah ukuran waktu
terpendek untuk mendalami ilmu kesaktian. Tapi, ka-
rena Seno telah menelan 'Capung Kumala' dan digem-
bleng oleh seorang tokoh sakti yang sangat matang
pengalaman, dia mendapat kemajuan yang amat pesat.
Seluruh ilmu kesaktian Dewa Dungu telah dapat dis-
erap. Dan, isi Kitab Sanggalangit dapat pula dipahami inti-sarinya.
Pagi itu, dengan mengenakan pakaian yang ter-
buat dari besetan kulit harimau, Seno tampak me-
mainkan salah satu jurus yang terdapat dalam Kitab
Sanggalangit. Sementara, Dewa Dungu yang lumpuh
mengawasi dari jarak sekitar lima belas tombak.
"Bagus! Bagus!" puji Dewa Dungu, keras menggelegar. "Sekarang, mainkan jurus
'Dewa Badai Menghajar Lautan'"
Mendengar perintah gurunya, Seno menghenti-
kan gerakannya, lalu dia berkelebat lagi, memainkan
jurus lain yang terdapat dalam Kitab Sanggalangit.
Hebat sekali jurus yang sedang dimainkan Se-
no. Tubuh pemuda tampan itu dapat berkelebat amat
cepat, hingga berubah menjadi bayangan coklat yang
menyerupai asap. Sementara, Tongkat Dewa Badai te-
rus berkelebat pula. Dan, setiap Tongkat Dewa Badai
mengibas, timbul tiupan angin kencang laksana badai
topan. "Jangan ragu-ragu! Tambah tenaga! Anggap kau sedang melawan seorang musuh
tangguh!" Sekali lagi, Dewa Dungu berteriak. Segera Seno
mengempos tenaga. Dia alirkan beberapa bagian tena-
ga dalamnya ke Tongkat Dewa Badai. Maka tak ayal
lagi, kibasan tongkat mustika itu menimbulkan leda-
kan-ledakan keras yang membarengi tiupan angin
kencang! Karena Seno terus menambah kekuatan tenaga
dalamnya, tiupan angin yang ditimbulkan oleh kibasan
Tongkat Dewa Badai semakin kuat bergemuruh. Gum-
palan tanah dan bongkahan batu mulai beterbangan
Ranting dan dahan pohon berpatahan. Sementara, be-
berapa batang pohon kecil tampak tercabut dari akar-
nya, lalu terlontar jauh dan menghilang dari pandan-
gan. Dewa Dungu tersenyum puas melihat kema-
juan yang telah dicapai muridnya. Namun, di balik se-
nyum itu Dewa Dungu menahan napas. Dia mengelua-
rkan ilmu memperberat tubuh agar tubuhnya tak tu-
rut dilontarkan oleh badai topan ciptaan yang timbul
akibat kibasan Tongkat Dewa Badai.
"Cukup! Cukup!" seru Dewa Dungu kemudian.
Bergegas Seno menghentikan kelebatan tubuh-
nya. Dia pun sedikit heran melihat keadaan di sekitarnya. Permukaan tanah telah
dipenuhi kubangan.
Bongkah-bongkah batu yang semula berada di dekat-
nya, kini sudah tak terlihat lagi. Sementara, pohon-
pohon di sekitarnya telah menjadi gundul. Ranting dan dahannya banyak yang
sempal patah. Beberapa pohon
kecil tak berada di tempatnya lagi.
"Arahkan pandanganmu ke tebing batu itu, Se-
no!" perintah Dewa Dungu. "Dari tempatmu berdiri, cobalah kau hancurkan tebing
batu itu dengan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'!"
Tanpa berkata apa-apa, Seno membungkukkan
badannya, menghadap ke Dewa Dungu. Setelah itu,
dia membalikkan badan. Ditatapnya tebing batu yang
dimaksud oleh sang Guru. Lalu, dia alirkan beberapa
bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan. Dipasang-
nya kuda-kuda seraya....
"Hiahhh...!"
Seno memekik tinggi. Pergelangan tangan ka-
nannya yang telah berubah warna menjadi putih berki-
lat, dia hentakkan ke depan. Saat itu juga, melesat se-larik sinar putih
berkeredepan dari telapak tangan kanan Seno!
Wusss...! Blarrr...! Terdengar ledakan keras menggelegar di angka-
sa. Bumi berguncang bagai terjadi gempa. Debu men-
gepul tebal. Pecahan batu berhamburan ke berbagai
penjuru! Manakala pandangan telah menjadi terang lagi,
tebing batu yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh
Seno telah hancur luluh. Rata dengan permukaan ta-
nah! "Hebat! Hebat!" puji Dewa Dungu. "Aku tahu kau tidak menggunakan seluruh
kekuatan tenaga dalammu. Itu lebih baik. Aku tak mau melihat seluruh
tempat di lembah Gunung Lawu ini menjadi porak-
poranda.... Sekarang, kita kembali ke gua, Seno. Ada
sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu."
"Baik, Kek," sambut Seno, membungkukkan
badan. Bergegas Dewa Dungu membalikkan tubuhnya.
Kedua tangannya menekan tanah. Tiba-tiba, tubuh
kakek lumpuh itu melesat cepat, dan menghilang dari
pandangan! Seno yang sudah tahu ke mana perginya Dewa
Dungu, bergegas menjejak tanah. Dia kerahkan ilmu
peringan tubuh untuk dapat mengimbangi lesatan
sang Guru. * * * * "Seluruh kepandaian yang kumiliki telah kuwa-
riskan kepadamu. Isi Kitab Sanggalangit telah dapat
kau serap pula," ujar Dewa Dungu setelah berada di dalam gua. "Kini, sudah
saatnya kau keluar dari lembah Gunung Lawu yang sepi ini. Carilah pengalaman
sendiri. Ingat! Di pundakmu terpikul beban kewajiban.
Membela yang lemah. Memberantas yang kuat namun
jahat, Menjunjung tinggi kebenaran. Dan, selalu beru-
saha untuk dapat menegakkan keadilan. Nah! Pagi ini
juga, kau boleh pergi...."
Berkerut kening Seno mendengar perkataan
Dewa Dungu. Untuk beberapa lama, dia nyengir kuda.
Rupanya, kebiasaan buruk semasa kecil itu terus ter-
bawa sampai dia tumbuh menjadi pemuda remaja.
"Tidak, Kek...," tolak Seno kemudian. "Aku akan tinggal di sini sampai beberapa
tahun lagi. Kaki Kakek belum sembuh. Kalau aku pergi, siapa lagi yang akan
melayani Kakek?"
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ucapan Seno yang masih terkesan
lugu itu, Dewa Dungu tersenyum lebar. "Kau pikir, siapa yang melayaniku sebelum
kau tinggal di tempat
ini bersamaku" Sejak puluhan tahun yang lalu, dalam
keadaan lumpuh, aku terbiasa melayani diriku sendiri.
Tapi..., aku pun bisa merasakan isi hatimu. Kau tidak tega meninggalkan diriku
yang sudah semakin tua renta digerogoti usia ini."
Seno diam. Dalam hati, dia membenarkan uca-
pan Dewa Dungu. Memang, berat rasanya meninggal-
kan sang Guru yang sangat menyayanginya itu. Apala-
gi, sang Guru dalam keadaan lumpuh.
"Di dunia ini, tidak ada satu pun kejadian yang
tidak berubah...," lanjut Dewa Dungu. "Kau tak perlu mengkhawatirkan keadaanku,
Seno. Selama lebih dari
tiga puluh lima tahun aku tinggal di tempat ini, aku
dapat menyerap saripati Kitab Sanggalangit. Aku dapat menghimpun kembali inti
kekuatan tubuhku. Tak lebih dari setahun lagi, sepasang kakiku akan sembuh
seperti sediakala. Oleh karena itu, kau tak perlu khawatir, Seno. Pergilah.
Carilah pengalaman di dunia
luar...." Usai berkata, Dewa Dungu menepuk-nepuk bahu Seno yang belum juga mau
angkat kaki. Mendadak, kakek berbaju kumal itu menggaplok kepalanya
sendiri. Plok...!
"Uh! Bodoh sekali aku ini! Penyakit lupa ku be-
lum juga mau hilang!"
Setelah merutuk dirinya sendiri, Dewa Dungu
berkata kepada Seno. "Untung kau belum pergi, Seno.
Ada satu hal penting yang harus kau kerjakan untuk-
ku." "Apa itu, Kek?" tanya Seno.
"Masih ingatkah kau pada satu syarat ku sebe-
lum kau kuterima sebagai murid?"
Seno nyengir kuda sejenak, lalu menjawab, "Ya.
Aku harus mengerjakan satu tugas untuk Kakek."
Dewa Dungu menatap wajah Seno lekat-lekat.
Dia seakan ingin melongok isi hati muridnya itu.
"Sebenarnya, kau mempunyai kakak sepergu-
ruan. Dia bernama Mahisa Lodra," tutur Dewa Dungu kemudian. "Lebih dari tiga
puluh tahun yang lalu bersama muridku itu, aku mempelajari isi Kitab Sangga-
langit di tempat ini. Namun sayang, Mahisa Lodra
mempunyai sifat-sifat yang tak terpuji. Aku telah keliru memilihnya sebagai
murid...."
Bergetar suara Dewa Dungu saat bercerita. Te-
ringat masa lalunya, hati Dewa Dungu tergeluti rasa
sedih. Sementara, Seno mendengarkan cerita gurunya
dengan penuh perhatian.
"Karena aku tak mau menurunkan seluruh il-
mu kesaktianku, Mahisa Lodra menyusun siasat licik.
Saat aku bersemadi, beberapa jalan darahku ditotok-
nya. Jalan darahku jadi 'salah api' yang menyebabkan
sepasang kakimu lumpuh," lanjut Dewa Dungu. "Dan, Kitab Sanggalangit yang ku
sembunyikan secara terpisah, dapat dicurinya dua bagian. Masing-masing buku
yang dilarikan oleh Mahisa Lodra itu berisi tentang il-mu peringan tubuh bernama
'Angin Pergi Tiada Berbe-
kas' dan sebuah pelajaran ilmu sihir atau ilmu sema-
camnya yang bernama 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'."
Dewa Dungu menghentikan ceritanya untuk
mengambil napas panjang. Lalu, dengan suara tetap
bergetar, dia melanjutkan lagi.
"Kalau Mahisa Lodra dapat mendalami kedua
bagian dari Kitab Sanggalangit itu, maka dia akan da-
pat berlari secepat angin. Dan, dia pun dapat merubah wajahnya sesuka hatinya.
Dia bisa merubah wajahnya
menjadi seorang pemuda tampan atau seorang kakek
tua renta, bahkan dia pun dapat merubah wajahnya
menjadi seorang wanita. Dan..., sekarang kau harus
tahu tugasmu, Seno. Carilah murid murtad itu sampai
ketemu. Kalau dia kau temui sebagai seorang penja-
hat, kau boleh menamatkan riwayatnya. Dan, kalau
kau temui dia sebagai seorang pendekar, ampuni jiwa
murid murtad itu. Namun, mintalah kedua buku ba-
gian dari Kitab Sanggalangit untuk kau pelajari."
"Baik, Kek," sambut Seno. "Aku akan melaksa-nakan tugas dari kakek ini dengan
sekuat tenaga."
"Bagus! Percayalah, Yang di Atas selalu menyer-
tai orang-orang yang berjalan di jalan kebenaran. An-
dai nanti kau temui Mahisa Lodra sebagai seorang
penjahat, kau tak perlu takut atau gentar. Kau akan
dapat mengimbangi ilmu peringan tubuhnya dengan
'Lesatan Angin Meniup Dingin' yang telah kuajarkan
kepadamu. Kau tak perlu takut melihat kesulitan pula.
Sepandai-pandainya Mahisa Lodra merubah wajahnya,
kau tetap akan dapat mengenalinya. Mahisa Lodra
mempunyai bekas luka di batok kepala bagian bela-
kang. Luka itu sebesar telur ayam dan tak ditumbuhi
rambut.... Bila kau masih sulit untuk dapat mengena-
linya. Ada ciri lain yang pasti dapat kau kenali. Kalau tertawa, kelopak mata
Mahisa Lodra yang sebelah kiri
akan selalu terpejam. Nah! Kau boleh berangkat seka-
rang, Seno...."
Dengan penuh haru, Seno berlutut seraya men-
cium kaki Dewa Dungu. Namun, saat dia bangkit un-
tuk segera meninggalkan tempat, mendadak Dewa
Dungu berseru. "Tunggu dulu!"
Seno duduk bersila lagi. Sementara, Dewa
Dungu tampak menggaplok kepalanya untuk yang ke-
dua kali. Plok...! "Duh! Pelupa benar aku ini!"
Usai merutuk dirinya sendiri, Dewa Dungu
menggeser tubuh seraya mengambil sebuah bungku-
san yang tersimpan di antara sela-sela rak buku yang
terbuat dari batu.
Sewaktu Dewa Dungu membuka bungkusan
itu, Seno mencium aroma kayu cendana yang semer-
bak mewangi. Isi bungkusan ternyata selembar baju
lengan panjang berwarna biru dan selembar celana
berwarna biru pula. Pakaian itu terlipat rapi, dan di atasnya terdapat ikat
pinggang kain berwarna merah.
"Bertahun-tahun aku menjalin seuntai demi
seuntal benang untuk kubuat menjadi sebentuk pa-
kaian lengkap," tutur Dewa Dungu. "Setelah jadi, aku merendamnya ke dalam ramuan
obat pengawet yang
telah ku campur dengan sari kayu cendana. Inilah ha-
silnya...."
Dewa Dungu menunjuk pakaian di tangannya
seraya menyodorkan kepada Seno.
"Pakaian ini untukmu. Pakailah...."
"Terima kasih, Kek. Aku akan selalu mema-
kainya agar senantiasa ingat pada budi baik Kakek,"
terima Seno. "Sekarang, kau boleh pergi. Eh! Tunggu dulu!"
Seno nyengir kuda melihat Dewa Dungu meng-
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Agaknya, Dewa
Dungu lupa lagi pada sesuatu yang harus dia sampai-
kan pula kepada Seno.
"Yah! Yah, aku ingat," ujar Dewa Dungu, menatap wajah Seno lekat-lekat. "Sebelum
kau mencari Mahisa Lodra, ada baiknya bila kau pergi ke Telaga Pe-
tuah Dewa yang terletak di ujung utara pulau Jawa. Di sana, setiap tanggal satu
Suro akan muncul seekor
ikan mas besar. Di dalam perut ikan itu terdapat
'Kodok Wasiat Dewa'. Dapatkan kodok itu, lalu makan-
lah. Kau akan tahu sendiri khasiatnya nanti. Nah! Ku-
kira tak ada lagi yang terlupakan. Kau boleh berang-
kat." Seno berlutut lagi. Kembali dia cium kaki Dewa Dungu. "Aku mohon pamit,
Kek...," katanya dengan suara lirih karena desakan rasa haru.
*** 8 SEORANG pemuda bertubuh tinggi tegap tam-
pak berdiri termangu di atas tonjolan batu. Pakaiannya yang berwarna serba biru
berkibaran tertiup angin gunung. Kedua ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari
kain berwarna merah terlihat mengibas-ngibas. Ber-
sama hembusan angin, pakaian si pemuda menyiarkan
aroma harum kayu cendana.
Mata si pemuda yang bersinar terang menatap
jurus ke rimbunan pohon dan semak-belukar yang ada
di hadapannya. Setelah cengar-cengir, dia menge-
rutkan kening, seperti ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya. "Hmmm.... Tak mungkin aku salah lihat. Tanah
datar itu adalah letak Perguruan Tapak Sakti. Aku ya-
kin benar. Selama enam candra aku pernah tinggal di
tempat itu lima tahun yang lalu. Tapi..., kenapa rumah joglo beratap sirap itu
tak lagi tampak" Hanya rimbunan pohon dan semak-belukar yang kulihat. Apakah
Perguruan Tapak Sakti telah bubar" Atau, ada satu
musibah, sehingga Perguruan Tapak Sakti roboh rata
dengan tanah" Atau barangkali, Perguruan Tapak Sak-
ti telah berpindah tempat?"
Pemuda remaja berumur tujuh belas tahun itu
menggumam panjang dengan kening berkerut rapat.
Sepasang matanya terus menatap rimbunan pohon
dan semak belukar di hadapannya. Dia Seno Prasetyo!
Setelah menerima pesan dan tugas dari gu-
runya, Seno pergi meninggalkan gua tempat tinggal-
nya. Dia hendak pergi ke Telaga Petuah Dewa yang ter-
letak di ujung utara pulau Jawa. Namun dia pikir, ada
baiknya bila melihat-lihat dulu keadaan Perguruan Ta-
pak Sakti yang pernah ditinggalnya semasa kecil. Tapi ternyata, Perguruan Tapak
Sakti telah tiada. Tentu sa-ja Seno tidak tahu bila rumah perguruan itu telah
musnah lima tahun yang lalu akibat kedatangan Mahi-
sa Lodra atau Setan Selaksa Wajah, yang tak lain dari kakak seperguruannya
sendiri. "Hmmm.... Untuk apa aku memikirkan padepo-
kan yang mungkin memang telah berpindah tempat
itu" Lebih baik aku ke Telaga Petuah Dewa sekarang
juga." Mengikuti pikiran di benaknya, Seno melangkah menuruni lereng gunung.
Sang baskara sedikit
naik dari bentangan garis cakrawala timur. Angin se-
milir lembut membawa sejuk. Burung-burung bercan-
da dalam kicau riang. Melihat satwa bersayap aneka
warna itu, hati Seno jadi gembira. Dia melangkah rin-
gan seperti tanpa beban apa-apa.
Namun setelah melewati kaki gunung, langkah
Seno terhenti mendadak. Hatinya menjadi galau. Dia
teringat pada Dewa Dungu yang lumpuh. Dia amat
sayang dan kasihan pada kakek bertubuh kurus yang
telah cukup jauh ditinggalkannya itu. Tapi, ketika ingat pada tingkah polah sang
Guru yang sering meng-
gaplok-gaplok kepalanya sendiri, Seno tersenyum seo-
rang diri. Dewa Dungu memang punya kebiasaan
aneh. Kalau lupa pada sesuatu, dia akan menggaplok-
gaplok kepalanya sendiri sampai sesuatu yang dilupa-
kannya itu teringat lagi.
"Semoga kakimu cepat sembuh, Kek...," doa
Seno, menghadap ke punggung gunung. "Mudah-
mudahan di kelak hari nanti Yang di Atas memperte-
mukan kita lagi...."
Sejenak, Seno memejamkan matanya, berusaha
mengusir rasa haru di hatinya. Dia tak ingin rasa haru terus bergelut di hatinya
yang hanya akan memberati
langkah kakinya.
Namun, begitu bayangan Dewa Dungu hilang
dari benaknya, Seno teringat pada ibunya yang telah
meninggal. Seno tengadah, menatap langit biru. Kalau
ingat pada mendiang ibunya, begitulah kebiasaan yang
dilakukan Seno sejak kecil. Dengan tengadah menatap
langit, dia seakan melihat sosok ibunya di atas sana.
"Ibu...," desis Seno. "Kata Kakek Dewa Dungu yang menjadi guru Seno, Seno telah
selesai mendalami
ilmu kesaktian. Seno diperintah pergi untuk mencari
pengalaman di dunia luar. Seno mohon restu, Bu. Se-
no akan selalu mengingat semua pesan Ibu...."
Kalimat Seno terhenti. Dia menekan perasaan
agar tak menangis. Dia harus tabah. Tak ada yang per-
lu ditangisi. Dewi Ambarsari ibunya telah berbahagia
menjalani tahap kehidupannya yang ketiga.
Dengan kepala tetap tengadah, Seno teringat
pada sumpah yang pernah dia ucapkan di depan ma-
kam ibunya. "Setelah mendapatkan 'Kodok Wasiat Dewa',
sambil mencari Mahisa Lodra yang telah melarikan
dua bagian Kitab Sanggalangit, akan kucari pula Ba-
nyak Langkir yang telah membunuh ibuku. Aku harus
membalas kebiadaban lelaki suruhan Prabu Wira Pa-
rameswara itu. Akan kucari pula ayahku yang berna-
ma Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta yang berge-
lar Ksatria Seribu Syair. Walau dia ayahku, aku tetap akan meminta
pertanggungjawabannya karena dia telah membohongi dan membuat ibuku menderita."
Usai mengucap tekadnya, Seno memutar pan-
dangan sejenak. Dia tentukan arah mata angin. Lalu,
dia melangkah ke utara. Telaga Petuah Dewa yang
menjadi tujuannya memang terletak di ujung utara pu-
lau Jawa. Tapi..., belum genap seratus langkah Seno ber-
jalan, telinganya menangkap suara benturan senjata
tajam yang disahuti pekik kemarahan orang yang ten-
gah bertempur. Selama lima tahun hidup di tempat
sunyi yang terpisah dari peradaban dunia luar, Seno
belum pernah melihat orang bertempur. Maka, suara
pertempuran yang didengarnya itu begitu menarik
perhatiannya. Tanpa pikir panjang lagi, dia mengelua-
rkan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Di lain ke-
jap, tubuh Seno berkelebat lenyap, meninggalkan ti-
upan angin dingin yang menebarkan aroma wangi
kayu cendana. * * * "Hiahhh...!"
Trang...! Sebilah pedang berwarna kuning dan sebilah
golok besar berwarna putih berkilat tampak berbentu-
ran di udara. Bunga api berpijar dan meletik ke mana-
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana. Pedang kuning terpental. Untung, pemiliknya
mencekal erat, sehingga pedang itu tidak lepas dari pe-gangan. "Ha ha ha...!"
pemilik golok tertawa bergelak.
"Kau kalah tenaga, Kemuning. Sadarkah kau bila wa-jahmu tampak begitu pucat" Aku
tahu hatimu panas,
tapi sebaiknya kau segera angkat kaki. Kalau tidak
mengingat nama besar gurumu, sudah dari tadi-tadi
kupenggal kepalamu!"
Yang berkata itu seorang lelaki setengah baya
bertubuh kekar. Wajahnya kasar bercambang bauk le-
bat. Mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat ke-
pala kain berwarna hitam pula. Tatapannya tajam me-
nusuk menyiratkan sifatnya yang biasa berbuat kejam.
"Sokalanang keparat!" umpat gadis bersenjata pedang yang dipanggil Kemuning.
"Mengingat begitu banyak kejahatan yang telah kau perbuat, enak betul
kalau kau menyuruhku pergi. Kau seorang perampok
hina! Justru kepalamulah yang harus kupenggal!"
Kemuning menunjuk hidung Sokalanang den-
gan ujung pedangnya. Pakaiannya yang serba kuning
tampak berkibaran tertiup angin, hingga tekuk-liku
tubuhnya yang sintal membayang jelas di mata Soka-
lanang. "Hmmm... Tubuhmu sungguh menggiurkan,
Kemuning...," desis Sokalanang. "Andai kau bukan murid Dewi Pedang Halilintar,
ingin rasanya aku ber-main cinta denganmu. Ha ha ha...!"
"Jahanam! Bercintalah kau dengan malaikat
kematian!"
Sambil menggembor keras, Kemuning mener-
jang. Melihat tusukan pedang yang mengarah ke jan-
tung, cepat Sokalanang menyabetkan goloknya ke de-
pan! Trang...! Benturan senjata tajam terdengar lagi. Bunga
api memercik. Kemuning mendengus gusar merasakan
jemari tangan kanannya yang kesemutan. Jelas bila
dia kalah tenaga. Untung, pedang kuningnya terbuat
dari logam pilihan, sehingga tidak sampai terbabat ku-tung. Kemuning tidak
menjadi gentar mengetahui di-
rinya kalah tenaga. Dia empos tubuhnya seraya mengi-
rim serangan beruntun dengan jurus-jurus andalan.
Dia tutupi kekalahannya dengan ilmu peringan tubuh.
Hingga, tubuh Kemuning dapat meletik ke sana-sini
dengan cepat, menghindari benturan senjata.
Menggeram marah Sokalanang mengetahui di-
rinya terkurung oleh babatan pedang Kemuning. Tak
mau mati konyol, cepat dia mainkan jurus andalan pu-
la. Pertempuran jadi seimbang.
Namun, lewat tiga jurus kemudian, golok Soka-
lanang tampak melesat sebat hendak membabat ping-
gang kiri Kemuning. Sementara, kedudukan Kemuning
tak memungkinkan untuk berkelit. Terpaksa Kemun-
ing menyabetkan pedangnya untuk menangkis!
Trang...! "Ih...!"
Tangan kanan Kemuning yang memegang pe-
dang bergetar kencang. Aliran darahnya mengalir den-
gan cepat ke otak, hingga Kemuning jadi linglung sejenak. Pedang Kemuning masih
tercekal erat, tapi si ga-
dis tidak tahu kalau golok Sokalanang berkelebat lagi.
Mengarah pinggang kanan!
Wuk...! Kemuning tak dapat berkelit atau menangkis
lagi. Kalau tidak terbabat jadi dua, tubuh Kemuning
pasti menderita luka yang amat parah!
Namun sebelum ketajaman golok Sokalanang
benar-benar mengenai sasaran, mendadak berkelebat
sesosok bayangan biru yang menyabetkan tongkat
pendek berwarna putih!
Trang...! "Heh"!"
Betapa terkejutnya Sokalanang. Goloknya
membentur sebuah benda yang amat keras. Dengan
mata mendelik, dia menatap bilah goloknya yang telah
rompal di beberapa bagian!
"Paman tidak boleh gegabah...," ujar si penolong Kemuning.
Dia seorang pemuda remaja berpakaian serba
biru dengan ikat pinggang merah. Wajahnya tampan,
namun terkesan amat lugu. Dia tak lain dari Seno Pra-
setyo! Di tangan kanannya tercekal sebatang tongkat
pendek yang salah satu ujungnya runcing. Tongkat
yang panjangnya cuma dua jengkal dan berwarna pu-
tih itu adalah Tongkat Dewa Badai!
"Siapa kau"! Kenapa mencampuri urusan
orang"!" bentak Sokalanang, menyimpan rasa giris.
"Namaku Seno Prasetyo, Paman. Aku tidak bisa
membiarkan perbuatan kejam berlangsung di hada-
panku," sahut Seno, lugu.
Melihat wajah si pemuda yang tampak kebo-
doh-bodohan, lenyap rasa giris di hati Sokalanang.
Nafsu membunuhnya timbul. Ketajaman goloknya
yang telah cacat dia sabetkan sepenuh tenaga!
Tahu ada bahaya mengancam jiwanya, Seno
yang sudah bisa mengukur tenaga Sokalanang cuma
mengalirkan sebagian kecil kekuatan tenaga dalamnya
ke Tongkat Dewa Badai. Lalu, tongkat mustika itu dia
kibaskan Wusss...! "Wuahhh...!"
Kibasan Tongkat Dewa Badai menimbulkan ti-
upan angin kencang bergemuruh. Sabetan golok tidak
sampai mengenai sasaran karena tubuh pemiliknya
keburu terlontar, lalu jatuh bergulingan sejauh sepu-
luh tombak. Namun, hawa amarah membuat Sokalanang
lupa diri. Sebagai seorang tokoh yang sudah cukup
lama malang-melintang di rimba persilatan, Sokala-
nang merasa malu bila dipencundangi oleh seorang
pemuda remaja macam Seno Prasetyo. Maka, bergegas
Sokalanang bangkit. Dipungutnya golok putih yang
tergeletak di tanah. Lalu, dia menerjang kalap!
"Maafkan aku, Paman...," ujar Seno, masih
terkesan lugu. Sambil mengucapkan kata itu, Seno menya-
betkan Tongkat Dewa Badai. Sekali lagi, timbul tiupan angin kencang, bergemuruh
keras laksana badai topan. Tubuh Sokalanang yang tengah melesat di udara
tampak terpental jauh, lalu jatuh berdebam di tanah
keras. Sementara, goloknya lepas lagi dari cekalan, dan melayang hilang dari
pandangan Susah payah Sokalanang bangkit. Tulang belu-
lang tubuhnya terasa telah hancur berantakan. Kali
ini, Sokalanang dapat menyadari bila ilmu kepan-
daiannya terpaut amat jauh bila dibanding dengan il-
mu kepandaian Seno. Maka, tanpa menghiraukan har-
ga dirinya lagi, Sokalanang lari terbirit-birit bagai melihat setan gentayangan
Seno menatap kepergian Sokalanang sambil
cengar-cengir. Dia menggumam, "Maafkan aku, Pa-
man. Tidak sepantasnya aku berlaku demikian terha-
dap orang tua. Aku berbuat hanya karena terpaksa,
supaya Paman tahu diri..."
"Hei! Kenapa kau cengar-cengir?"
Menggeragap kaget Seno mendengar perkataan
yang ditujukan pada dirinya. Saat menoleh, aliran da-
rah Seno berdesir aneh. Matanya tak berkedip mena-
tap wajah cantik Kemuning. Sungguh Seno tak me-
nyangka bila orang yang ditolongnya adalah seorang
gadis yang bertampang sedemikian menawan.
"Kau... kau...."
Seno tergagap. Dia kagum melihat kecantikan
Kemuning. Wajar, karena usia Seno sedang tumbuh
menginjak dewasa. Apalagi, dia belum pernah melihat
seorang pun wanita sejak tinggal bersama Dewa Dun-
gu. Sementara, Kemuning yang melihat keterpa-
naan Seno tampak tersenyum. Namun, senyuman itu
justru membuat Seno tersipu. Kepalanya tertunduk.
Pikirannya jadi linglung.
"Hei, kenapa kau?" tegur Kemuning.
Sebenarnya, Kemuning ingin tertawa melihat
perilaku Seno yang tampak lucu. Tapi, Kemuning me-
nahan keinginannya itu karena tak mau membuat ter-
singgung dewa penolongnya.
"Eh, aku tak apa-apa...," sahut Seno, memberanikan diri menatap wajah Kemuning.
Melihat seraut wajah tampan namun tampak
kebodoh-bodohan milik Seno, Kemuning tersenyum la-
gi. Sementara, Seno tak kuasa membalas tatapan Ke-
muning. Dia alihkan pandangannya ke gagang pedang
Kemuning yang telah disarungkan di punggung.
"Terima kasih...," ucap Kemuning kemudian.
"Terima kasih" Untuk apa?" tanya Seno sambil nyengir kuda.
Kemuning tersenyum kembali. "Kau telah me-
nolongku. Aku harus mengucap terima kasih."
"Eh, ya, ya..."
"Kalau tidak ada kau, mungkin aku telah terbu-
jur menjadi mayat. Tahukah kau siapa lelaki brewokan
bersenjata golok tadi?"
Seno menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku tidak
mengenal siapa-siapa. Aku baru keluar dari sebuah
lembah sunyi di lereng Gunung.... Lawu."
"Hmmm.... Begitu?" sahut Kemuning. "Pantas kau begitu canggung. Rupanya, kau
baru melihat dunia luar. Di lembah sunyi itu, kau pasti tinggal cuma berdua
dengan gurumu. Dan karena telah menamatkan pelajaran, kau diperintah untuk pergi
mencari pengalaman. Benar, bukan?"
Ucapan Kemuning begitu lancar dan tegas.
Agaknya, si gadis berotak encer dan cukup matang
pengalaman walau umurnya sebaya dengan Seno.
"Ya. Ya, begitulah," sahut Seno, membenarkan tebakan Kemuning.
"Aku tadi sempat mendengar kau menyebutkan
nama. Benarkah namamu Seno Prasetyo?"
"Ya. Kau?"
"Aku Kemuning. Orang-orang biasa menye-
butku sebagai Dewi Pedang Kuning. Tapi, kau jangan
meremehkan kemampuanku. Aku memang kalah me-
lawan perampok hina tadi. Kau harus tahu, aku me-
mang belum menamatkan pelajaran dari guruku. Ka-
lau mau tahu, guruku bergelar Dewi Pedang Halilintar.
Guruku jauh berbeda dengan gurumu. Guruku tak
mau mengajari ku ilmu silat di tempat sunyi. Guruku
memberi pelajaran sambil mengembara. Katanya, agar
aku cepat mendapat pengalaman."
Mendengar ucapan Kemuning yang nyerocos
panjang, Seno cuma menjawab singkat, "Ya. Ya."
"Eh, aku ingin tahu, siapa gurumu?"
"Dewa Dungu."
"Dewa Dungu?"
Kemuning tampak terkejut. Keningnya berkerut
seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu katanya, "Menurut cerita guruku, Dewa
Dungu pernah menggempar-
kan rimba persilatan sekitar empat puluh tahun silam.
Semua penjahat akan lari terbirit-birit bila melihat wajah gurumu itu. Mereka
takut dan giris mendengar se-
pak terjang Dewa Dungu yang selalu memusuhi orang
jahat. Tapi..., dia lalu pergi mengasingkan diri dengan muridnya yang bernama
Mahisa Lodra. Di mana kakak
seperguruanmu itu sekarang?"
"Aku tak tahu."
Seno menjawab sambil nyengir kuda. Kemuning
tersenyum. Tapi agaknya, Kemuning tak mau mengo-
rek lebih jauh tentang Mahisa Lodra. Kemuning tak
bertanya pula tentang keberadaan Dewa Dungu seka-
rang ini. "Eh, bagaimana kau bisa bertempur dengan
Paman Brewokan tadi?" tanya Seno kemudian.
"Dia orang jahat. Namanya Sokalanang. Aku
menguntitnya dari Kademangan Lemah Pitu," jawab
Kemuning. "Eh, Seno, sebenarnya aku ingin bercakap-cakap lebih lama denganmu.
Tapi, aku takut guruku
marah. Aku meninggalkannya di Kademangan Lemah
Pitu tanpa minta izin lebih dulu...."
"Ya. Ya, kau harus segera kembali menemui gu-
rumu...." Kemuning hendak berkelebat pergi, tapi urung.
Dia menatap lekat wajah Seno seraya berkata, "Kau sudah tahu nama dan gelarku.
Aku sudah tahu namamu, tapi belum tahu gelarmu...."
Seno cengar-cengir. "Aku tak punya gelar. Aku
belum bertemu dengan orang banyak, tak ada yang
memberi ku gelar. Guruku juga tak pernah memberi
gelar...," katanya.
Tersenyum Kemuning mendengar ucapan Seno
yang terkesan amat lugu dan jujur. "Maukah kau kuberi gelar?" tawarnya.
Seno nyengir lagi. "Boleh," sambutnya Kemuning menatap lekat wajah Seno yang
tampak kebodoh-
bodohan. Lalu sambil tersenyum, dia berkata, "Kau pantas memakai gelar Pendekar
Bodoh." "Pendekar Bodoh?" Seno menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ya! Pendekar Bodoh!" seru Kemuning seraya
menjejak tanah, berkelebat pergi.
"Hei! Tunggu...!"
Seno berteriak lantang untuk mencegah keper-
gian Kemuning, tapi tubuh si gadis terus berkelebat,
hingga hilang dari pandangan.
Tinggallah Seno cengar-cengir seorang diri.
Sambil berjalan perlahan, dia menggumam.
"Pendekar Bodoh.... Aku Pendekar Bodoh..." Ya.
Ya, aku Pendekar Bodoh...."
SELESAI Ikuti petualangan selanjutnya :
KEMELUT DI TELAGA DEWA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naga Naga Kecil 9 Istana Kumala Putih Karya O P A Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 1
Jadi, bisa dibayangkan betapa hebatnya ilmu peringan
tubuh si kakek.
Dengan suara serak parau, si kakek berteriak
lantang, "Hei! Aku datang membawa titah sang Prabu!
Harap Ki Tunggul Jaladara sendiri yang menyambut
ku!" Teriakan si kakek terdengar keras menggelegar di angkasa. Karena dialiri
tenaga dalam, getaran suaranya mampu menerbangkan debu dan dedaunan
yang berserakan di tanah. Sementara, ranting-ranting
pohon pun tampak bergoyang bagai dihempas angin
kencang. Tampak kemudian, lima orang pemuda berlari-
lari dari halaman belakang. Mereka adalah adik seper-
guruan Gagak Ireng, ketua Perguruan Tapak Sakti
yang baru diangkat enam candra yang lalu.
Kelima pemuda itu langsung menghampiri ka-
kek berpakaian merah hitam yang berdiri berkacak
pinggang di pelataran. Sementara, si kakek yang meli-
hat kedatangan mereka, langsung menggerendeng ma-
rah. "Hmmm.... Apakah KI Tunggul Jaladara sudah begitu uzur, sehingga dia tidak
bisa berjalan sendiri untuk menyambut kedatanganku"!"
Mendengar ucapan yang tak bersahabat itu, ke-
lima murid Ki Tunggul Jaladara langsung menge-
rutkan kening. Belum pernah mereka melihat ada
orang yang begitu memandang remeh pada pendiri
perguruan mereka.
"Maaf, Pak Tua...," ujar salah seorang pemuda yang berpakaian serba putih. "Pak
Tua ini siapa" Dan, untuk apa mencari Ki Tunggul Jaladara?"
"Kau tidak berhak menanyakan itu, Anak Mu-
da!" sentak si kakek berikat kepala batik. "Cepat suruh si tua bangka Tunggul
Jaladara untuk datang ke hadapanku!"
Mendengus gusar pemuda berbaju putih men-
dengar kata-kata si kakek yang semakin meremehkan
gurunya. Dia melangkah dua tindak. Ditatapnya wajah
si kakek tajam-tajam.
"Kau ini siapa, Pak Tua"!" geramnya. "Kau datang tanpa diundang, kenapa main
perintah seenak
perutmu sendiri"! Kau pikir, kami anak murid Pergu-
ruan Tapak Sakti tak dapat melemparkan tubuhmu ke
kaki gunung sana"!"
"Hmmm.... Kata-katamu membuat panas telin-
gaku, Anak Muda...," sahut kakek berikat kepala batik.
"Kalau kau memang mampu melemparkan tubuhku ke
kaki gunung, kenapa tidak kau laksanakan sekarang
juga?" Sebenarnya, pemuda berbaju putih bukanlah orang yang mudah berbuat
kekerasan. Tapi demi
membela nama perguruannya yang diremehkan dan
untuk mengajar adat pula pada si kakek, pemuda ber-
tubuh kekar ini maju beberapa tindak lagi. Lalu, den-
gan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, ke-
dua tangan si pemuda berkelebat. Hendak disambar-
nya tubuh kakek berikat kepala batik. Namun....
Krakkk...! "Wuahhh...!"
Kedua tangan kakek berikat kepala batik ter-
nyata dapat berkelebat lebih cepat. Sepuluh jari tangan si kakek mencengkeram
pergelangan tangan pemuda
berbaju putih. Lalu, terdengar suara gemeretak tulang patah yang disusul pekik
kesakitan! Brukkk...! Kakek berikat kepala batik melemparkan tubuh
pemuda berbaju putih. Karena dilemparkan dengan
tenaga yang amat kuat, tubuh si pemuda jatuh berde-
bam ke tanah, hingga menerbangkan batu-batu kerikil!
Dalam keadaan telentang, bola mata pemuda
berbaju putih tampak melotot besar dengan mulut
ternganga lebar. Kedua tulang lengannya patah. Dan,
tulang kepala bagian belakangnya pun telah retak ka-
rena membentur tanah keras. Setelah berkelojotan se-
jenak, si pemuda menghembuskan nafasnya yang te-
rakhir! Terkejut bukan main empat pemuda lainnya.
Sebenarnya, saudara seperguruan mereka yang telah
mati itu memiliki kepandaian yang tak bisa dibilang
ringan. Dia telah berguru pada Ki Tunggul Jaladara selama tiga tahun, tapi
kenapa dia bisa begitu mudah
dibunuh oleh kakek berikat kepala batik"
Melihat kehebatan si kakek, tanpa terasa empat
pemuda adik seperguruan Gagak Ireng melangkah
mundur. Nyali mereka langsung menciut. Tapi, sebagai
seorang murid perguruan yang sering mendapat we-
jangan dari Ki Tunggul Jaladara, cepat mereka meng-
halau rasa takut dan giris. Mati dalam memberantas
kejahatan dan kekejaman adalah cita-cita seorang
pendekar sejati. Begitulah pengertian yang selalu dita-namkan Ki Tunggul
Jaladara kepada anak muridnya.
"Tua bangka keparat!" maki salah seorang pemuda berbaju kuning. "Rupanya, kau
iblis kejam yang tersesat jalan! Enyahlah kau ke neraka!"
Usai berkata, pemuda bertubuh tinggi tegap itu
menerjang. Tangan kanannya terjulur lurus ke depan
untuk menghantam dada si kakek, Sementara, tangan
kirinya ditekuk tapi siap mengirim serangan pula.
"Ciattt...!"
"Hiahhh..!"
Ternyata, tiga pemuda lainnya turut menerjang.
Jadilah kakek berikat kepala batik diserang dari empat penjuru angin. Tapi
tampaknya, si kakek seperti tak
ambil peduli walau tahu bahaya tengah mengancam
jiwanya. Namun, saat serangan keempat pemuda
hampir mengenai sasaran, dia memekik tinggi seraya
memutar tubuh! Terdengar deru angin bergemuruh, disusul jerit
kematian empat pemuda murid Ki Tunggul Jaladara.
Putaran tubuh kakek berikat kepala batik telah mem-
buat tubuh mereka berpentalan. Saat jatuh berdebam
di tanah, dapat dilihat bila tubuh mereka telah berlu-muran darah segar. Jiwa
mereka melayang tanpa da-
pat ditahan lagi!
Kini, sepi menyelimuti Perguruan Tapak Sakti.
Perlahan, sang baskara bergeser ke barat. Sinarnya
melemah, membawa kesejukan. Semilir angin segera
melenakan.... Namun, suasana sepi dan kesejukan udara gu-
nung malah membuat hati kakek berikat kepala batik
memanas. Dengan berdiri berkacak pinggang, dia me-
nanti beberapa saat. Tapi, orang yang dicarinya tetap tak mau muncul
"Hei! Tunggul Jaladara keparat!" teriak si kakek. "Apakah telingamu sudah
tertutup usia bangkotan mu, sehingga kau tak dapat mendengar jerit kema-
tian anak buahmu"! Hayo, cepat keluar! Ada titah sang Prabu yang harus
kusampaikan kepadamu!"
Kakek berikat kepala batik menunggu lagi. Ta-
pi, hanya desau angin gunung yang menyahuti teria-
kannya. Tak ada sosok manusia yang muncul dari da-
lam padepokan. "Hmmm.... Tua bangka bernyali kadal! Kalau
ku bakar gubuk reot mu itu, mungkin kau baru mau
menampakkan batang hidungmu!"
Di ujung teriakannya, kakek berikat kepala ba-
tik mengeluarkan dua butir batu api dari saku cela-
nanya. Dia benar-benar hendak membakar Perguruan
Tapak Sakti! Sambil mendengus gusar, si kakek mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke jari-jari tangannya. Dan,
apabila nanti kedua permukaan batu api dibenturkan,
akan melesat bunga-bunga api ke bangunan rumah
joglo beratap sirap. Tapi sebelum si kakek mewujud-
kan niatnya, terdengar teriakan keras menggelegar....
"Jahanam! Menyatroni Perguruan Tapak Sakti,
sama halnya dengan mencari mati!"
Kakek berikat kepala batik mengurungkan
niatnya. Saat menoleh ke belakang, tahulah dia bila di belakangnya telah berdiri
seorang pemuda brewokan
mengenakan pakaian putih-kuning. Pemuda bertubuh
tegap itu adalah Gagak Ireng. Sementara, di belakang
Gagak Ireng tampak berbaris sekitar tiga puluh pemu-
da. Mereka adalah murid pertengahan dan murid baru
Gagak Ireng. Bersama Gagak Ireng, mereka baru kem-
bali dari latihan yang mengambil tempat di kaki gu-
nung sebelah utara.
"Hmmm.... Cecurut-cecurut dungu pula yang
datang ke hadapanku...," dengus kakek berikat kepala batik. "Kenapa bukan
Tunggul Jaladara sendiri yang menampakkan batang hidung"!"
Mendengar ucapan si kakek yang sangat mere-
mehkan, terbelalak mata Gagak Ireng. Lebih terkejut
lagi dia setelah melihat kelima mayat adik sepergu-
ruannya yang tergolek kaku di pelataran.
"Jahanam! Orang tua bau busuk! Kaukah yang
telah membunuh saudara-saudara seperguruanku
ini"!" geram Gagak Ireng.
"Mereka mati untuk menebus kesalahan sendi-
ri!" tukas kakek berikat kepala batik. "Aku mencari Tunggul Jaladara, tapi
kenapa mereka yang datang
menemuiku" Karena mereka menggangguku, terpaksa
aku turun tangan!"
"Iblis laknat! Kejam benar kau, Pak Tua!" geram Gagak Ireng lagi. "Kau datang
mencari Ki Tunggul Jaladara, tidak tahukah kau bila guruku itu telah me-
ninggal enam candra yang lalu"!"
"Meninggal" Tunggul Jaladara meninggal" Ha
ha ha...!" kakek berikat kepala batik tertawa bergelak.
"Pantas! Pantas sekali bila teriakan ku tadi tak pernah dia dengar! Rupanya, tua
bangkotan itu telah mati! Ha
ha ha...!"
"Hmmm.... Kau tertawa tampak begitu gembira.
Aku tahu, di balik suara tawamu itu, kau hanya me-
mandang sebelah mata pada kami-kami anak murid
Perguruan Tapak Sakti," ujar Gagak Ireng, menyimpan geram kemarahan di hati.
"Sudah kubilang tadi, me-nyatroni Perguruan Tapak Sakti, berarti mencari mati.
Apalagi, kau telah membunuh lima adik sepergurua-
nku, Pak Tua! Kau layak dilemparkan ke neraka seka-
rang juga!"
Di ujung kalimatnya, Gagak Ireng memasang
kuda-kuda. Kedua pergelangan kakinya dibuka seraya
menggerakkan telapak tangan di depan dada. Semen-
tara, para pemuda di belakangnya tampak tersurut
mundur. Mereka sadar bila Gagak Ireng akan segera
terlibat dalam pertempuran sengit. Ilmu kepandaian
mereka yang masih dangkal tentu saja tak bisa digu-
nakan untuk membantu Gagak Ireng. Yang dapat me-
reka lakukan hanyalah menyingkir jauh-jauh.
"Tunggu dulu!" sergah kakek berikat kepala batik
Tapi, Gagak Ireng tak mau mendengarkan te-
riakan si kakek. Dia terus menggerakkan kedua tan-
gannya di depan dada. Sesaat kemudian, kedua perge-
langan tangan Gagak Ireng memancarkan sinar putih
berkeredepan. Itulah ciri Ilmu pukulan 'Tapak Sakti
Pelebur Jagat', yang menjadi Ilmu andalan Perguruan
Tapak Sakti. Agaknya, Gagak Ireng benar-benar akan
membalas kematian lima adik seperguruannya.
Namun sebelum Gagak Ireng menerjang, kakek
berikat kepala batik mengeluarkan lempengan logam
kuning dari balik bajunya. Di salah satu permukaan
logam berwarna kuning itu terdapat ukiran Dewa Wis-
nu yang tengah duduk di punggung burung Jatayu.
"Aku membawa titah sang Prabu. Harap kau
bersabar dulu!" seru si kakek, mengacungkan lempengan logam ke depan.
"Lencana Dewa Wisnu...," kesiap Gagak Ireng.
Tanpa sadar, pemuda ini menarik lagi ilmu pukulan
yang telah disiapkannya.
Lencana Dewa Wisnu adalah tanda pelimpah
wewenang dari Prabu Wira Parameswara. Siapa pun
yang memegang lencana yang terbuat dari emas cam-
puran itu dapat melakukan tindakan apa saja untuk
kepentingan Kerajaan Mahespati. Dan, dia juga memi-
liki wewenang tak terbatas, termasuk membunuh
orang yang dianggap membahayakan atau tak mema-
tuhi undang-undang kerajaan.
"Sebenarnya, kedatanganku ini adalah untuk
menyampaikan titah sang Prabu kepada Tunggul Jala-
dara...," ujar kakek berikat kepala batik. "Tapi karena dia telah meninggal,
maka titah sang Prabu itu wajib
dilaksanakan oleh penggantinya!"
"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua...?" tanya Gagak Ireng dengan suara bergetar.
Pemuda ini berusaha
meredam kemarahannya. Untuk berurusan dengan
utusan sang Prabu yang mempunyai kekuasaan besar,
dia harus pikir-pikir dulu.
"Kau dapat mengenali lencana yang kubawa ini,
berarti kau telah tahu kalau aku adalah orang keper-
cayaan Prabu Wira Parameswara," sahut kakek berikat kepala batik. "Tapi kalau
kau ingin tahu nama dan gelarku, kau harus mengatakan dulu siapa yang meng-
gantikan kedudukan Tunggul Jaladara di padepokan
ini...." Dengan hati yang masih mendongkol, Gagak Ireng berkata, "Akulah
sekarang yang menjadi ketua Perguruan Tapak Sakti...."
"Kau?"
"Ya. Aku bernama Gagak Ireng."
"Hmmm.... Sebuah nama yang cukup gagah,"
puji si kakek, tapi dalam hati dia mengejek. Lalu dengan suara lantang, utusan
Prabu Wira Parameswara
ini berkata, "Agar kau nanti tak ragu-ragu dalam me-laksanakan titah sang Prabu,
baiklah kukatakan siapa
diriku sebenarnya. Aku bernama Mahesa Lodra, na-
mun orang-orang biasa menyebutku sebagai Setan Se-
laksa Wajah!"
Usai berkata, kakek yang mengaku bernama
Mahesa Lodra atau Setan Selaksa Wajah mengusap
mukanya tiga kali. Dan..., terbelalaklah mata Gagak
Ireng dan para pemuda yang berdiri jauh di belakang-
nya. Ternyata, muka tua Mahisa Lodra telah beru-
bah menjadi muka seorang pemuda tiga puluh tahu-
nan. Muka baru Mahisa Lodra itu begitu halus dan
tampan, dihiasi sepasang alls yang tampak gagah ber-
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wibawa. Hanya saja, sorot matanya tetap tajam menu-
suk, menyiratkan kebengisan.
Gagak Ireng kaget bukan main. Sebelum ini,
dia memang belum pernah bertemu langsung dengan
Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah. Tapi, sering
kali dia mendengar kehebatan dan sepak terjang tokoh
beraliran sesat itu.
Sebenarnya, begitu mengetahui bila tokoh yang
berdiri di hadapannya adalah Mahisa Lodra, Gagak
Ireng ingin segera menghabisi riwayat tokoh sesat itu.
Sebagai anak murid Ki Tunggul Jaladara, Gagak Ireng
wajib menyingkirkan semua tokoh jahat. Tapi karena
Mahisa Lodra membawa Lencana Dewa Wisnu, Gagak
Ireng berusaha meredam hasrat hatinya. Dia ingin
mendengar terlebih dulu apa yang dititahkan sang
Prabu kepadanya.
"Ketahuilah kau, Gagak Ireng...," ujar Mahisa Lodra kemudian. "Sang Prabu
menitahkan agar semua anak murid Perguruan Tapak Sakti ikut membantu tokoh-tokoh
istana dalam mencari dan memburu Darma
Pasulangit atau Ksatria Seribu Syair yang telah meng-
ganti namanya menjadi Wisnu Sidharta! Titah sang
Prabu ini terutama dibebankan kepadamu, Gagak
Ireng! Karena kau telah menggantikan kedudukan
Tunggul Jaladara sebagai ketua perguruan.... Berang-
katlah sekarang juga. Kalau sudah bertemu, bunuh
bekas putra mahkota itu! Bawa kepalanya ke hadapan
sang Prabu!"
Berkerut kening Gagak Ireng mendengar uca-
pan Mahisa Lodra. Gagak Ireng tak pernah menyangka
akan mendapat tugas dari Prabu Wira Parameswara.
Sejak Perguruan Tapak Sakti didirikan oleh Ki Tunggul Jaladara sekitar dua puluh
tahun yang lalu, tokoh-tokoh istana ataupun sang Prabu sendiri tak pernah
mengusik keberadaan perguruan silat yang terletak di
lereng Gunung Lawu itu, baik semasa pemerintahan
Prabu Darma Sagotra maupun Prabu Wira Parameswa-
ra. Kalau sekarang Prabu Paremeswara memberikan
tugas yang amat berat kepada semua anak murid Per-
guruan Tapak Sakti, tentu saja hal itu mengherankan
Gagak Ireng. Menurut desas-desus yang terdengar Gagak
Ireng tahu kalau Ksatria Seribu Syair adalah putra
Prabu Darma Sagotra yang telah digulingkan oleh Se-
nopati Raksa Jalinti. Setahun setelah menjadi raja,
Senopati Raksa Jalinti mengganti namanya menjadi
Wira Parameswara. Sementara, Ksatria Seribu Syair te-
rus menyusun kekuatan untuk dapat merebut kembali
takhta Kerajaan Mahespati. Jadi, bisa dibayangkan be-
tapa berat tugas Gagak Ireng bersama anak murid Per-
guruan Tapak Sakti lainnya bila harus membunuh
Ksatria Seribu Syair yang tentunya telah berhasil mengumpulkan puluhan tokoh
sakti sebagai andalannya.
"Hei! Kenapa kau diam saja, Gagak Ireng"!"
bentak Mahisa Lodra. "Apakah kau tak mendengar ka-ta-kataku tadi"!"
Gagak Ireng menggeragap kaget. Sadarlah dia
bila telah terdiam beberapa lama. Ditatapnya wajah
tampan Mahisa Lodra yang masih memegang Lencana
Dewa Wisnu. Dengan suara berat, dia berkata, "Ketahuilah kau, Mahisa Lodra....
Perguruan Tapak Sakti
tak pernah mau mencampuri urusan kerajaan..., seka-
rang ataupun esok hari! Dan, sudah menjadi pendi-
rianku, seumur hidup aku tak mau berhubungan den-
gan kaki-tangan raja! Aku tak mau menuruti perintah
siapa pun!"
"Hmmm.... Ucapanmu itu menyiratkan bahwa
kau menolak titah sang Prabu. Mayat lima adik seper-
guruanmu itu apakah belum bisa kau jadikan sebagai
pelajaran?"
"Justru karena kekejamanmu itu, aku menolak
perintah seorang utusan macam kau!"
"Bedebah!" maki Mahisa Lodra dengan raut
muka merah-padam. "Menolak perintahku, sama hal-
nya dengan menolak perintah sang Prabu. Menolak pe-
rintah sang Prabu, berarti mati!"
"Sama dengan aturan yang telah kubuat!" sa-
hut Gagak Ireng. "Menyatroni Perguruan Tapak Sakti, berarti kematian pula!"
Mendengus gusar Mahisa Lodra melihat kebe-
ranian Gagak Ireng. Walau tadi Mahisa Lodra dapat
membunuh lima murid langsung Ki Tunggul Jaladara
dengan mudah, tapi kali ini dia tak mau bertindak ge-
gabah. Gagak Ireng diangkat menjadi ketua perguruan
tentu karena memiliki kesaktian yang dapat diandal-
kan. Selagi Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah
memasang kuda-kuda, Gagak Ireng tampak memutar-
mutar kedua tangannya di depan dada. Sesaat kemu-
dian, kedua pergelangan tangan Gagak Ireng meman-
carkan cahaya putih berkeredepan. Itu tandanya Ga-
gak Ireng telah mengetrapkan ilmu pukulan 'Tapak
Sakti Pelebur Jagat'
"Hiahhh...!"
Gagak Ireng menggembor keras seraya meng-
hentakkan telapak tangan dan kirinya bergantian. La-
lu, melesat dua bayangan tangan berwarna putih se-
perti perak. Andai salah satu bayangan tangan itu
membentur sebongkah batu, maka batu itu akan han-
cur-lebur menjadi debu! Sementara, yang menjadi sa-
sarannya adalah tubuh Mahisa Lodra yang terdiri dari
rangkaian tulang dan gumpalan daging. Apakah tubuh
Mahisa Lodra akan hancur-lebur menjadi debu pula"
Tampaknya, Mahisa Lodra dapat menyadari
bahaya yang tengah mengancam jiwanya. Sambil
menghembuskan napas panjang, dia sorongkan kedua
telapak tangannya ke depan. Dua larik sinar biru me-
lesat, memapaki dua bayangan tangan wujud dari pu-
kulan 'Tapak Sakti Pelebur Jagat'
Wusss...! Blarrr...! Blarrr...! Dua ledakan keras menggelegar di angkasa. Ge-
taran suara itu mampu menerbangkan atap sirap yang
menopang rumah joglo Perguruan Tapak Sakti. Rant-
ing dan dahan pohon berpatahan. Sementara, sekitar
tiga puluh pemuda yang berdiri jauh di belakang Ga-
gak Ireng tampak terlontar, dan jatuh bergulingan ke
kaki gunung! Terbentur dua larik sinar biru yang melesat da-
ri telapak tangan Mahisa Lodra, dua bayangan tangan
wujud dari ilmu pukulan 'Tapak Sakti Pelebur Jagat'
langsung musnah tiada berbekas. Sementara, lesatan
dua larik sinar biru berbelok arah, melesat tegak lurus ke atas, lalu musnah
pula tiada berbekas.
Namun, di pusat ledakan yang terjadi karena
benturan dua ilmu pukulan tingkat tinggi itu telah
membuat kubangan besar di tanah. Kubangan yang
terbentuk di tengah pelataran itu cukup besar untuk
menguburkan dua ekor gajah sekaligus!
"Lumayan juga kau punya kesaktian, Gagak
Ireng," ujar Mahisa Lodra.
"Aku tidak butuh pujian mu!" sahut Gagak
Ireng. "Yang kubutuhkan adalah nyawamu untuk me-
nebus kematian lima adik seperguruanku!"
Usai berkata, Gagak Ireng menerjang ganas.
Kedua tangannya yang memancarkan sinar putih ber-
kelebatan ke sana-sini, mencari jalan kematian di tu-
buh Mahisa Lodra. Gagak Ireng terus mencecar dengan
jurus-jurus mematikan yang didapatkannya dari Ki
Tunggul Jaladara. Setiap tangannya bergerak, terden-
gar deru angin bergemuruh yang mendatangkan hawa
panas luar biasa. Karena Gagak Ireng menyerang se-
perti kesetanan, tak ayal lagi rumah joglo padepokan-
nya terbakar hangus!
Namun, sampai di mana pun Gagak Ireng men-
geluarkan kepandaiannya, Mahisa Lodra dapat mela-
deni tanpa mendapat kesulitan. Tubuh Mahisa Lodra
dapat bergerak sedemikian cepat, hingga berubah
menjadi bayangan yang berlesatan ke sana-sini. Dia
pun mengirim serangan balasan yang tak kalah berba-
hayanya. Hingga tiga puluh jurus kemudian....
Desss...! "Arghhh...!"
Gagak Ireng memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
lontar ke atas, lalu jatuh berdebam di tanah. Setelah berkelojotan, tubuh pemuda
berewokan itu mengejang
kaku. Segera nyawanya melayang dengan tulang iga
remuk berpatahan
Rupanya, Gagak Ireng terkena pukulan 'Jari
Pematah Tulang' milik Mahisa Lodra!
"Ha ha ha...!" si Setan Selaksa Wajah Mahisa
Lodra tertawa bergelak, tak berkedip menatap tubuh
kaku Gagak Ireng. "Begitulah akibatnya kalau mem-bangkang pada perintah Setan
Seribu Wajah!"
Sejenak, Mahisa Lodra mengedarkan pandan-
gan. Tapi, anak murid Perguruan Tapak Sakti lainnya
sudah tak terlihat lagi. Saat terjadi bentrokan ilmu pukulan jarak jauh tadi,
tubuh mereka terlontar, dan jatuh bergulingan ke kaki gunung. Dengan luka memar
dan lecet, kemudian mereka menyingkir sejauh mung-
kin. Pikir mereka, membela Gagak Ireng berarti memu-
suhi pihak kerajaan, yang sama artinya dengan tinda-
kan bunuh diri. Sementara, kalau menuruti kehendak
Mahisa Lodra, sama halnya dengan menyeberangi lau-
tan api. Ksatria Seribu Syair dan para andalannya
yang harus mereka bunuh adalah tokoh-tokoh berilmu
tinggi. Karena itulah mereka memilih pergi dari pade-
pokan untuk kemudian pulang ke rumah masing-
masing mencari selamat.
Gagak Ireng memang belum pernah mengajar-
kan kepada mereka tentang perlunya memupuk rasa
memiliki pada perguruan silat yang susah payah didi-
rikan oleh Ki Tunggul Jaladara. Sehingga, rasa cinta dan kesetiaan mereka pada
perguruan teramat tipis.
Maka, tak heran apabila mereka bisa dibilang berjiwa
pengecut. Sementara itu, wajah sang baskara telah teng-
gelam separo di garis cakrawala barat. Petang akan segera tiba untuk
mengantarkan datangnya sang Dewi
Malam. Melihat hari yang akan segera menjadi gelap,
Mahisa Lodra mengusap wajahnya tiga kali. Di lain ke-
jap, wajah tokoh yang tak jelas berapa umurnya ini berubah menjadi wajah seorang
kakek lagi. Lalu, dia
menjejak tanah seraya berkelebat menuruni lereng gu-
nung.... 6 SEWAKTU membuka kelopak mata, si bocah
lugu Seno Prasetyo hanya dapat melihat bayang-
bayang hitam. Maka, dia kerjapkan matanya beberapa
lama. Hingga, dapatlah dia lihat dinding-dinding gua
yang dipenuhi tonjolan batu.
"Oh.... Di mana aku...?" keluh si bocah. Rasa sakit menyiksa Seno. Kepalanya
pening. Tulang-belulang tubuhnya terasa seperti telah patah beranta-
kan. Angin yang semilir dingin membuat bulu kuduk
Seno berdiri. Seno mencoba bangkit dari lantai gua tempat-
nya terbaring. Tapi, cepat dia urungkan niat itu karena dadanya terasa amat
sesak. Kedua tangan dan kakinya
pun amat sulit digerakkan, lemas tanpa tenaga.
Dengan tetap terbaring telentang, Seno mena-
tap langit-langit gua. Pikirannya menerawang pada ke-
jadian yang baru dialaminya.
"Di sebuah makam batu besar, aku menemu-
kan tongkat ajaib...," gumam si bocah. "Lalu, aku bertempur dengan puluhan
serigala yang telah memangsa
belasan kambing milik Tuan Gagak Ireng.... Sebagian
dari serigala-serigala itu dapat kubunuh, tapi... aku terlontar jatuh ke
jurang.,.. Aku masih hidup. Pasti
ada orang yang telah menolongku...."
Selagi Seno berpikir-pikir, dari balik dinding
gua sebelah dalam terdengar suara seorang lelaki
tua.... "Bocah bagus, kau menderita luka dalam yang cukup berat. Jangan mencoba
berdiri. Akan ku usaha-kan untuk...."
Suara itu menggantung. Si empunya suara
mengucapkannya dengan perlahan-lahan dan seperti
sedang berpikir berat.
Dengan menggerakkan kepala ke kanan-kiri,
Seno berusaha mencari asal suara yang didengarnya.
Tapi dia tak melihat siapa-siapa di dekatnya. Dan, selagi Seno terpana heran,
suara seorang lelaki tua itu terdengar lagi....
"Tiga puluh tahun bukanlah jangka waktu yang
pendek. Begitu panjang aku menanti dalam penderi-
taan. Tak mungkin aku membuang kesempatan ini be-
gitu saja...."
Suara itu berhenti sejenak, lalu disambung lagi.
"Ah! Aku yang sudah tua ini sudah tak membu-
tuhkan apa-apa lagi. Lebih baik barang itu kuberikan
kepadanya...."
Terdengar kemudian, suara helaan napas pan-
jang beberapa kali. Tentu saja Seno tidak tahu siapa
empunya suara itu, tapi dia sudah yakin bila pemilik
suara itulah yang telah menolongnya. Maka, tak dapat
Seno menahan hasrat hatinya untuk bertanya.
"Kakek yang baik..., di manakah kau" Cobalah
tampakkan dirimu. Aku ingin mengucapkan terima ka-
sih...." Seno menggeragap kaget ketika merasakan hembusan angin dingin yang
bertiup di sisi kanan tubuhnya. Dan, terbelalaklah mata si bocah saat melihat
seorang kakek yang tiba-tiba telah duduk bersila di
dekatnya. Raut wajah kakek itu mencerminkan sifat
welas asih dan kehalusan budi. Hanya saja, tatapan
matanya tampak kosong seperti orang berotak bebal.
Rambutnya yang putih panjang digelung ke atas dan
dilingkari sebuah gelang perak. Sementara, pakaian-
nya amat kumal berwarna kelabu. Anehnya, pakaian si
kakek menyiarkan aroma harum bunga kenanga.
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seno diam saja saat si kakek mengelus-elus
dahinya. Dia dengarkan penuh perhatian kata-kata si
kakek yang diucapkan dengan suara lemah lembut.
"Bocah bagus..., kau tentu telah mempelajari
ilmu silat. Atau paling tidak, kau pernah berlatih dasar-dasar ilmu silat. Jika
tidak, mana mungkin kau
dapat selamat" Kau telah jatuh dari tempat yang se-
demikian tingginya...."
Senang sekali hati Seno merasakan elusan
lembut jemari tangan si kakek. Seno dapat merasakan
ada pancaran kasih sayang di balik elusan itu. Kecuali dari ibunya, belum pernah
Seno mendapatkan kasih
sayang yang begitu tulus sebelum ini. Maka, tak bosan Seno menatap wajah si
kakek penuh kasih pula. Hingga, dia pun lupa pada rasa sakitnya sampai beberapa
lama. Sementara, kakek berbaju kumal yang melihat
Seno terus menatapnya lantas tersenyum. Dia tarik
tangan kanannya seraya bertanya, "Kau pernah mempelajari ilmu pukulan?"
Seno hendak menggeleng, tapi pening di kepa-
lanya terasa lagi. Maka, dia menjawab dengan suara
desis. "Aku tak pernah belajar ilmu silat. Ibu hanya mengajarkan cara mengatur
pernapasan dengan duduk bersila."
Mendengar jawaban si bocah, kakek berjubah
kumal terdiam. Lalu, bibirnya menyungging senyum
senang. "Jika nanti kau telah menelan 'Capung Kumala'
kau harus mengatur jalan nafasmu. Agar, inti kekua-
tan 'Capung Kumala' dapat menyatu dengan hawa
murni di tubuhmu. Luka dalammu akan sembuh. Ba-
rulah nanti aku membantumu mengatur jalan darah."
Kening si bocah lugu Seno Prasetyo berkerut
rapat. Dia tak tahu makna ucapan kakek berbaju
kumal. Namun, Seno tak dapat berpikir lama karena
keterkejutan segera menghantam dirinya. Tubuh si
kakek tiba-tiba lenyap, meninggalkan tiupan angin
dingin. Begitu sosok kakek berbaju kumal lenyap, Seno ingin bangkit. Tapi,
teringat pada pesan si kakek yang melarangnya berdiri, dia pun mengurungkan
niatnya. Hanya pikirannya yang melayang ke mana-mana.
Sesaat kemudian, Seno merasakan tiupan an-
gin dingin lagi. Sosok kakek berbaju kumal tiba-tiba
telah berada di sisi kanannya kembali. Namun, kali ini wajah si kakek terlihat
tegang. Kedua tangannya bergetar menyangga gumpalan cahaya kuning keemasan se-
besar buah kedondong. Di dalam gumpalan cahaya itu
terdapat seekor capung berwarna putih berkilat, meng-
gerak-gerakkan sayapnya seperti hendak terbang lepas
dari kurungan cahaya.
Seno hendak bertanya, tapi kakek berbaju
kumal keburu berkata, "Lekas buka mulutmu...."
Perkataan si kakek mengandung kekuatan
aneh yang memaksa Seno menuruti perintah itu. Dan,
begitu mulut Seno terbuka, si kakek menjejalkan gum-
palan cahaya yang dibawanya!
"Huk! Uh...!"
Tersedak Seno karena harus menelan benda
yang cukup besar. Anehnya, setelah dapat menelan
gumpalan cahaya, Seno merasakan sebuah hawa han-
gat yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Hawa hangat
itu berasal dari pusar.
"Kau telah menelan 'Capung Kumala'. Seka-
rang, duduklah bersila. Atur jalan pernafasanmu...."
Mendengar perintah kakek berbaju kumal, ber-
gegas Seno bangkit. Dia pun bersorak girang dalam ha-
ti. Dia dapat menggerakkan tubuhnya dengan leluasa.
Pening dan rasa sakit yang merejam tubuhnya telah
lenyap pula. Namun, saat duduk bersila dengan mata terpe-
jam, Seno merasakan hawa hangat yang mengalir dari
pusarnya berubah jadi panas membakar. Tubuh Seno
kontan bergetar. Dia merasa kepanasan seperti dima-
sukkan ke tungku pembakaran!
"Cepat atur jalan nafasmu!" seru kakek berbaju kumal, menyiratkan rasa khawatir.
Tanpa pikir panjang lagi, Seno menjalankan pe-
rintah si kakek. Dia atur jalan nafasnya seperti yang pernah diajari oleh
mendiang ibunya.
Sementara, kakek berbaju kumal terus mena-
tap tak berkedip. Diam-diam timbul rasa heran di hati kakek berwajah teduh ini.
Dia tahu Seno telah jatuh
dari tebing yang sangat tinggi. Seorang pesilat kelas menengah pun akan mati
bila terjatuh dari tebing se-tinggi lebih dari lima ratus tombak itu. Tapi,
bagaima-na Seno dapat selamat" Memang benar Seno pernah
berlatih menghimpun tenaga dalam walau tanpa dis-
adarinya, tapi itu saja belum menjamin keselamatan!
Dalam keheranannya, si kakek mengeluarkan
sebatang tongkat pendek dari balik baju kumalnya. Sa-
lah satu ujung tongkat putih sepanjang dua jengkal itu tampak runcing.
"Tongkat Dewa Badai ini kutemukan di dekat
tubuh bocah itu. Mungkinkah benda mustika ini telah
mengalirkan hawa sakti, sehingga tubuhnya tak han-
cur berantakan waktu jatuh ke tanah?"
Sambil terus menatap wajah lugu Seno Pra-
setyo, si kakek mengelus-elus tongkat mustika di tan-
gannya. Dia tersenyum senang waktu melihat getaran
tubuh Seno melemah dan napas si bocah pun berhem-
bus sangat teratur.
Siapakah sebenarnya kakek berbaju kumal itu"
Di rimba persilatan, dia masuk dalam golongan
tokoh jajaran atas yang sudah sangat sulit dicari tan-dingannya. Sekitar tiga
puluh tahun silam, orang-
orang biasa menyebutnya sebagai Dewa Dungu walau
sebenarnya otak si kakek tidak dungu ataupun bebal.
Kaum rimba persilatan memberi julukan Dewa Dungu
karena tatapan mata si kakek yang senantiasa kosong
seperti orang berotak bebal. Lagi pula, si kakek juga punya sifat pelupa,
sehingga kadang-kadang perbuatannya terkesan amat bodoh.
Dewa Dungu pernah mengambil seorang murid
yang punya bakat luar biasa untuk mendalami ilmu si-
lat. Namun sayang, Dewa Dungu telah keliru dalam
menilai sifat dan pribadi muridnya. Hingga pada ak-
hirnya, kekeliruan itu membuat Dewa Dungu terus di-
rundung rasa sesal.
Sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, Dewa
Dungu menemukan setumpuk buku pelajaran ilmu si-
lat. Buku-buku ilmu silat itu terdiri dari lima bagian.
Namun, karena tidak terdapat gambar-gambar yang
memberikan petunjuk, Dewa Dungu agak kesulitan da-
lam mempelajarinya. Maka, Dewa Dungu mengajak
muridnya menyingkir dari keramaian agar dapat mem-
pelajari isi buku-buku temuannya tanpa ada gang-
guan. Selama beberapa tahun tinggal bersama di se-
buah lembah sepi, Dewa Dungu dapat mencium peri-
laku muridnya yang tak baik. Oleh karena itu, Dewa
Dungu tak mau menurunkan semua ilmu kesaktian-
nya. Tindakan Dewa Dungu itu justru membuat si
murid membenci dan menyusun sebuah siasat licik.
Saat Dewa Dungu duduk bersemadi, beberapa aliran
darahnya ditotok. Aliran darah Dewa Dungu jadi ka-
cau, kemudian menyebabkan 'salah api'. Akibatnya,
sepasang kaki Dewa Dungu lumpuh!
Tapi sebelum kejadian itu, Dewa Dungu telah
menyembunyikan lima buku temuannya secara terpi-
sah-pisah. Namun demikian, si murid yang jahat ber-
hasil mendapatkannya walau cuma dua buku. Dan, la-
rilah murid murtad itu dengan membawa dua kitab
curiannya. Dewa Dungu yang telah lumpuh ditinggal-
kannya tanpa belas kasihan sedikit pun.
Beruntung bagi Dewa Dungu. Walau lumpuh,
dia dapat bertahan hidup sampai sekarang ini. Dia
tinggal di sebuah gua yang terletak di salah satu lembah Gunung Lawu. Dalam
kesendiriannya itu, Dewa
Dungu telah mendapatkan 'Capung Kumala' yang
mempunyai khasiat luar biasa, yang kemudian diberi-
kannya kepada si bocah lugu Seno Prasetyo.
Demikianlah riwayat kakek berbaju kumal yang
tak lain dari Dewa Dungu itu. Sekarang, tokoh tua
yang telah berumur hampir delapan puluh tahun itu
tampak menempelkan kedua telapak tangannya ke
punggung Seno. Hingga, dalam semadinya, Seno merasakan se-
buah aliran hawa hangat lain yang masuk ke tubuh-
nya. Hawa hangat yang berasal dari telapak tangan
Dewa Dungu itu mengalir ke seluruh urat darah di tu-
buh Seno. Sebentar kemudian, raut wajah si bocah ter-
lihat merah sehat.
Setelah membantu Seno mengatur aliran da-
rahnya, Dewa Dungu menggeser duduknya dengan
menggunakan telapak tangan sebagai pijakan. Tahulah
Seno, bila sang dewa penolongnya ternyata seorang
kakek lumpuh. "Bertahun-tahun aku tinggal di gua ini. Berta-
hun-tahun aku melatih daya batin ku...," ujar Dewa Dungu, menatap wajah Seno
lekat-lekat. "Tak mungkin aku salah menentukan pilihan lagi. Bocah bagus...,
aku dapat membaca sifat dan pribadimu dari raut wa-
jah dan sorot matamu. Kau seorang bocah yang amat
lugu dan jujur.... Sekarang, ikutlah aku...."
Usai berkata, kedua tangan Dewa Dungu me-
nekan lantai gua. Dan, terbelalaklah mata Seno. Si bocah terkejut melihat tubuh
Dewa Dungu yang tiba-tiba
berpindah tempat, sekitar lima tombak dari hadapan-
nya. "Ayo! Ikutlah aku...!" ajak Dewa Dungu, me-lambaikan tangannya.
Seno nyengir kuda sejenak, lalu berlari-lari
mengikuti lesatan tubuh Dewa Dungu yang memasuki
bagian gua sebelah dalam. Sambil berlari, Seno berpi-
kir-pikir. Dia merasa langkah kakinya dapat berkelebat cepat, namun dia tak tahu
apa penyebabnya. Tapi, karena tak mau tertinggal, cepat dia mengusir segala
tanda tanya yang berkecamuk di benaknya.
Kini, Seno telah menginjakkan kaki di sebuah
ruangan berhawa sejuk. Dia memandang kagum pada
tatanan meja dan kursi yang terbuat dari batu. Di de-
kat meja dan kursi itu terdapat sebuah rak buku yang
juga terbuat dari batu.
"Duduklah...," perintah Dewa Dungu.
Walau Seno tak tahu apa yang akan diperbuat
si kakek pada dirinya, namun dia menurut juga. Dia
duduk di salah satu kursi batu yang dingin. Sewaktu
Dewa Dungu menggeser tubuh mendekati rak buku,
Seno menyentuh bahunya.
"Kakek yang baik..., yang baru ku telan tadi
apa" Kenapa tubuhku jadi bertambah ringan seperti
ini?" "'Capung Kumala'. Yang kau telan tadi adalah
'Capung Kumala'. Jika seorang ahli silat menelannya,
sama artinya dengan dia tekun berlatih selama dua
puluh tahun," jawab Dewa Dungu, penuh kesunggu-
han. "Tiga puluh tahun lamanya aku menunggu ke-
munculan barang ajaib itu. Hmmm.... Kau memang
punya peruntungan yang bagus,..."
Mendengar itu, Seno jadi tak enak hati. Dia te-
lah menelan barang ajaib milik Dewa Dungu yang telah
menunggu kemunculannya selama tiga puluh tahun.
Lalu, dengan suara bergetar mengandung penyesalan,
Seno berkata, "Tidak seharusnya Kakek memberikan barang yang sangat berharga itu
kepada ku. Kalau di
dunia ada lagi barang macam itu, aku akan berjuang
sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Aku harus
mengganti kebaikan Kakek...."
Tersenyum lebar Dewa Dungu. Bola matanya
membesar dan tampak lucu. "Sudahlah, tak perlu kau pikirkan soal ganti-mengganti
kebaikan," sahutnya.
"Untuk mendapatkan 'Capung Kumala* sangat tergantung pada peruntungan. Menunggu
sampai seratus ta-
hun pun, belum tentu 'Capung Kumala' akan muncul
lagi." "Kakek baik sekali...," ujar Seno. Turun dari kursi seraya berlutut di
hadapan Dewa Dungu.
"Hmmm.... Walau batang usiamu belum sebe-
rapa, kau telah memiliki peradatan bagus. Tapi, aku
tak butuh penghormatan yang berlebihan. Bangkitlah.
Ceritakan siapa dirimu sebenarnya...."
Dengan isyarat tangan, Dewa Dungu menyuruh
Seno untuk duduk lagi di kursi. Tapi kali ini, Seno
menggeleng. Seno tak mau duduk di atas, sementara
ada orang tua yang duduk di bawah. Begitulah perada-
tan Jawa yang diketahui Seno dari mendiang ibunya.
Dan, Dewa Dungu pun tak mau memaksa. Dia biarkan
Seno duduk bersila di hadapannya.
"Nama lengkap ku adalah Seno Prasetyo,
Kek...," ujar si bocah. "Ibuku yang bernama Dewi Ambarsari atau Putri Bunga
Putih baru saja dibunuh
orang, Kek...," lalu, bocah berpakaian compang-
camping ini menceritakan peristiwa di Bukit Takeran,
termasuk kedatangannya di Perguruan Tapak Sakti,
hingga dia jatuh ke dalam jurang.
Sewaktu Seno bercerita bahwa dia telah mene-
mukan sebuah makam batu besar yang terdapat pulu-
han batok kura-kura, Dewa Dungu membelalakkan
mata. "Luar biasa! Penemuan yang bagus!" serunya.
Dewa Dungu lalu menggeser tubuhnya mende-
kati rak buku. Diambilnya tiga buku tua yang ter-
bungkus rapi. Setelah membuka halaman buku-buku
itu beberapa lembar, dia berkata, "Sekarang, kau tun-jukkan padaku gerakan-
gerakan yang telah kau hafal
itu...." Seno menurut saja. Ditariknya napas panjang, lalu menggerakkan anggota-
anggota tubuhnya, persis
seperti gambar yang terukir di puluhan batok kura-
kura. Semakin lama, gerakan Seno semakin cepat.
Dewa Dungu menatap tak berkedip. Kepalanya meng-
geleng-geleng karena kagum.
Sepeminum teh kemudian, dengan tubuh ber-
mandi keringat Seno duduk bersila lagi di hadapan
Dewa Dungu. Sementara, Dewa Dungu tampak mem-
buka-buka halaman tiga buku di pangkuannya.
"Sama persis. Sama persis...," gumam Dewa
Dungu. Kakek lumpuh itu lalu berkata sambil menatap
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajah Seno lekat-lekat, "Semua gerakan yang kau peragakan tadi sama persis
dengan isi ketiga buku ini.
Ketahuilah, ketiga buku ini berisikan pelajaran tentang ilmu tenaga dalam, ilmu
pukulan, dan ilmu menggunakan senjata berupa tongkat pendek.... Telah pulu-
han tahun aku mempelajarinya, namun tak dapat aku
mendalami secara menyeluruh. Ketiga kitab ini ditulis oleh seorang tetua pendiri
aliran Angin Selatan. Ke-mungkinan besar, makam yang kau temui itu adalah
makam si tetua yang bernama Sanggalangit."
Dewa Dungu mengambil napas panjang. Ke-
ningnya berkerut rapat, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba membebani pikirannya.
Namun tak lama kemu-
dian, dia melanjutkan perkataannya.
"Sebenarnya, buku ciptaan Sanggalangit atau
Kitab Sanggalangit terdiri dari lima buku. Sayangnya, dua buku lainnya telah
dilarikan oleh si binatang itu!"
Mendelik mata Dewa Dungu saat mengucapkan
'si binatang'. Seno tak tahu siapa yang dimaksud da-
lam kata itu karena Dewa Dungu tak mau menje-
laskan. Sementara, Dewa Dungu mengeluarkan tongkat
pendek yang telah tersimpan di balik bajunya. Lalu katanya, "Tongkat mustika ini
kutemukan tak seberapa jauh dari tempat tubuhmu tergeletak pingsan...."
"Ya. Ya, tongkat ajaib itu milikku, Kek," tukas Seno. Gembira sekali hati bocah
lugu itu. Tongkat
mustika, hasil temuannya yang dia sangka hilang ter-
nyata disimpan oleh Dewa Dungu.
"Tahukah kau, Seno, apa nama tongkat ini?"
tanya Dewa Dungu kemudian.
Seno nyengir kuda seraya menggeleng.
"Menurut bagian pertama dari Kitab Sangga-
langit, tongkat pendek ini bernama Tongkat Dewa Ba-
dai. Tongkat Dewa Badai adalah sebuah senjata mus-
tika. Hanya orang yang mempunyai keberuntungan
besar yang dapat memilikinya...."
Seno mengangguk-angguk.
"Tongkat Dewa Badai memiliki daya kekuatan
luar biasa," lanjut Dewa Dungu. "Bila dikibas-kibaskan akan menimbulkan tiupan
angin kencang laksana badai. Bila dipukulkan atau ditusukkan ke bongkah ba-
tu, maka bongkah batu itu akan hancur berkeping-
keping...."
Seno mengangguk-angguk lagi. Dalam hati dia
membenarkan ucapan si kakek karena pernah mem-
buktikannya. "Dan, di balik kedahsyatan Tongkat Dewa Badai
ini terdapat satu khasiat yang tak kalah hebat. Tong-
kat Dewa Badai dapat memusnahkan pengaruh segala
jenis racun, baik yang berasal dari hewan maupun
yang berasal dari tumbuhan. Maka, kau harus dapat
menyimpannya sebaik mungkin...."
Usai berkata, Dewa Dungu menyodorkan Tong-
kat Dewa Badai. Seno menerima tongkat mustika itu
dengan kedua tangan. Namun, segera dia meletakkan-
nya ke lantai. Dia lalu berlutut seraya berkata, "Kakek baik sekali.... Dapatkah
Kakek menerimaku sebagai
murid" Aku berjanji akan menggunakan ilmu kesak-
tian yang kudapatkan dari Kakek di jalan kebena-
ran...." Dewa Dungu tak menjawab. Namun, setelah Seno membentur-benturkan
dahinya ke lantai, dia
berkata, "Sudah kubilang, aku tak butuh peradatan yang berlebihan. Duduklah
lagi," tangan Dewa Dungu mengangkat bahu Seno. Begitu Seno duduk bersila la-gi,
dia menyambung kalimatnya. "Tak usah kau me-
minta, aku memang akan mengangkatmu sebagai mu-
rid. Tapi, harap kau katakan asal-usulmu lebih jelas.
Kau mengaku anak dari Dewi Ambarsari atau Putri
Bunga Putih. Aku tak mengenal ibumu yang kau kata-
kan baru meninggal itu. Karena, tiga puluh tahun le-
bih aku tak berkecimpung di rimba persilatan. Kini,
harap kau ceritakan siapa ayahmu, masih hidupkah
dia atau telah meninggal seperti ibumu?"
Tanpa pikir panjang lagi, Seno berkata, "Ayah
Seno bernama Darma Pasulangit yang bergelar Ksatria
Seribu Syair...."
"Sebentar," tukas Dewa Dungu, mengerutkan
kening. "Darma Pasulangit adalah putra mahkota Kerajaan Mahespati. Ketika aku
masih berkecimpung di
rimba persilatan, dia masih kanak-kanak. Sekarang
ini, dia pasti telah menggantikan Darma Sagotra ayah-
nya sebagai raja...."
"Tidak, Kek," ganti Seno yang menukas. "Sebelum meninggal, ibuku bercerita bahwa
Senopati Raksa Jalinti berhasil menggulingkan takhta Prabu Darma
Sagotra. Sementara, Darma Pasulangit ayahku terus
menjadi buronan sampai sekarang...."
Semakin rapat kerut di kening Dewa Dungu.
Bola matanya berputar-putar. Walau sedang berpikir
keras, tapi wajahnya terlihat lucu.
"Tak jadi apa. Tak jadi apa...," ujar Dewa Dungu kemudian, ditujukan kepada
dirinya sendiri. "Gua tempat tinggalku ini berada di lembah yang tersem-bunyi
dan jarang dijamah manusia. Tak akan ada yang
tahu kalau anak Darma Pasulangit berada di sini."
"Kakek jadi mengangkat ku sebagai murid?"
tanya Seno yang sempat mendengar perkataan Dewa
Dungu. "Tentu saja," jawab si kakek, cepat. "Siapa pun kau, bagaimanapun asal-
usulmu, aku tetap akan
mengangkatmu sebagai murid. Aku tahu kau punya
jiwa bersih. Kau amat lugu dan jujur. Namun, ada satu syarat yang harus kau
penuhi...."
"Asal bukan perbuatan jahat, apa pun syarat
Kakek akan kulaksanakan," sahut Seno penuh keyakinan. Dewa Dungu mengangguk-
angguk sambil men-
gelus jenggotnya yang tak seberapa lebat. Lalu ka-
tanya, "Baiklah, kau belajar ilmu olah kanuragan dulu.
Pada saatnya nanti, kau akan tahu apa yang harus
kau kerjakan untukku."
Maka, hari itu juga si bocah lugu Seno Prasetyo
dan Dewa Dungu melakukan upacara pengangkatan
guru dan murid di depan meja sembahyang. Dan, kee-
sokan harinya Dewa Dungu mulai mencurahkan selu-
ruh ilmu kesaktiannya kepada Seno. Sementara, Seno
pun menerima dan menjalankan semua petunjuk gu-
runya dengan penuh kesungguhan.
Selain mengajarkan ilmu kesaktiannya sendiri,
Dewa Dungu juga mengajarkan isi Kitab Sanggalangit
yang terdiri dari tiga buku. Seno pun dapat menerima
semua pelajaran dan petunjuk dengan baik karena dia
punya tekad dan semangat besar. Selain itu, khasiat
'Capung Kumala' yang telah ditelannya turut memban-
tu banyak dalam menerima gemblengan Dewa Dungu.
Dapat dipastikan, bila kelak di kemudian hari di rimba persilatan akan muncul
seorang pendekar muda yang
belum tentu dapat dicari dalam jangka waktu seratus
tahun. 7 PUTARAN waktu berlalu sedemikian cepat. Ke-
cuali kekuatan Sang Pencipta, tak ada kekuatan lain
yang mampu menahannya. Tak juga kekuatan manu-
sia yang punya banyak kekurangan. Tanpa terasa, li-
ma tahun telah berlalu. Tentu saja banyak perubahan
yang telah terjadi.
Seno Prasetyo yang dulunya hanya seorang bo-
cah kurus dekil, kini telah berubah menjadi seorang
pemuda remaja berumur tujuh belas tahun. Ketampa-
nan wajahnya tak lagi tersamar oleh debu dan kotoran.
Sebagai seorang anak manusia yang telah menginjak
dewasa, Seno tahu arti kebersihan.
Karena tiap hari berlatih ilmu silat, tubuh Seno
menjadi tinggi tegap, berdada bidang, dengan sepasang tangan dan kaki yang kokoh
kuat. Rambutnya hitam
panjang, dibiarkan tergerai bebas di punggung. Sepa-
sang alisnya yang menyerupai sayap elang menukik te-
lah menebal, hingga mirip sepasang golok yang diben-
tangkan. Hidungnya mancung, bertengger di atas bibir
kemerahan. Namun, keluguan Seno masih tetap ter-
pancar di balik ketampanan wajahnya.
Sebenarnya, lima tahun adalah ukuran waktu
terpendek untuk mendalami ilmu kesaktian. Tapi, ka-
rena Seno telah menelan 'Capung Kumala' dan digem-
bleng oleh seorang tokoh sakti yang sangat matang
pengalaman, dia mendapat kemajuan yang amat pesat.
Seluruh ilmu kesaktian Dewa Dungu telah dapat dis-
erap. Dan, isi Kitab Sanggalangit dapat pula dipahami inti-sarinya.
Pagi itu, dengan mengenakan pakaian yang ter-
buat dari besetan kulit harimau, Seno tampak me-
mainkan salah satu jurus yang terdapat dalam Kitab
Sanggalangit. Sementara, Dewa Dungu yang lumpuh
mengawasi dari jarak sekitar lima belas tombak.
"Bagus! Bagus!" puji Dewa Dungu, keras menggelegar. "Sekarang, mainkan jurus
'Dewa Badai Menghajar Lautan'"
Mendengar perintah gurunya, Seno menghenti-
kan gerakannya, lalu dia berkelebat lagi, memainkan
jurus lain yang terdapat dalam Kitab Sanggalangit.
Hebat sekali jurus yang sedang dimainkan Se-
no. Tubuh pemuda tampan itu dapat berkelebat amat
cepat, hingga berubah menjadi bayangan coklat yang
menyerupai asap. Sementara, Tongkat Dewa Badai te-
rus berkelebat pula. Dan, setiap Tongkat Dewa Badai
mengibas, timbul tiupan angin kencang laksana badai
topan. "Jangan ragu-ragu! Tambah tenaga! Anggap kau sedang melawan seorang musuh
tangguh!" Sekali lagi, Dewa Dungu berteriak. Segera Seno
mengempos tenaga. Dia alirkan beberapa bagian tena-
ga dalamnya ke Tongkat Dewa Badai. Maka tak ayal
lagi, kibasan tongkat mustika itu menimbulkan leda-
kan-ledakan keras yang membarengi tiupan angin
kencang! Karena Seno terus menambah kekuatan tenaga
dalamnya, tiupan angin yang ditimbulkan oleh kibasan
Tongkat Dewa Badai semakin kuat bergemuruh. Gum-
palan tanah dan bongkahan batu mulai beterbangan
Ranting dan dahan pohon berpatahan. Sementara, be-
berapa batang pohon kecil tampak tercabut dari akar-
nya, lalu terlontar jauh dan menghilang dari pandan-
gan. Dewa Dungu tersenyum puas melihat kema-
juan yang telah dicapai muridnya. Namun, di balik se-
nyum itu Dewa Dungu menahan napas. Dia mengelua-
rkan ilmu memperberat tubuh agar tubuhnya tak tu-
rut dilontarkan oleh badai topan ciptaan yang timbul
akibat kibasan Tongkat Dewa Badai.
"Cukup! Cukup!" seru Dewa Dungu kemudian.
Bergegas Seno menghentikan kelebatan tubuh-
nya. Dia pun sedikit heran melihat keadaan di sekitarnya. Permukaan tanah telah
dipenuhi kubangan.
Bongkah-bongkah batu yang semula berada di dekat-
nya, kini sudah tak terlihat lagi. Sementara, pohon-
pohon di sekitarnya telah menjadi gundul. Ranting dan dahannya banyak yang
sempal patah. Beberapa pohon
kecil tak berada di tempatnya lagi.
"Arahkan pandanganmu ke tebing batu itu, Se-
no!" perintah Dewa Dungu. "Dari tempatmu berdiri, cobalah kau hancurkan tebing
batu itu dengan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'!"
Tanpa berkata apa-apa, Seno membungkukkan
badannya, menghadap ke Dewa Dungu. Setelah itu,
dia membalikkan badan. Ditatapnya tebing batu yang
dimaksud oleh sang Guru. Lalu, dia alirkan beberapa
bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan. Dipasang-
nya kuda-kuda seraya....
"Hiahhh...!"
Seno memekik tinggi. Pergelangan tangan ka-
nannya yang telah berubah warna menjadi putih berki-
lat, dia hentakkan ke depan. Saat itu juga, melesat se-larik sinar putih
berkeredepan dari telapak tangan kanan Seno!
Wusss...! Blarrr...! Terdengar ledakan keras menggelegar di angka-
sa. Bumi berguncang bagai terjadi gempa. Debu men-
gepul tebal. Pecahan batu berhamburan ke berbagai
penjuru! Manakala pandangan telah menjadi terang lagi,
tebing batu yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh
Seno telah hancur luluh. Rata dengan permukaan ta-
nah! "Hebat! Hebat!" puji Dewa Dungu. "Aku tahu kau tidak menggunakan seluruh
kekuatan tenaga dalammu. Itu lebih baik. Aku tak mau melihat seluruh
tempat di lembah Gunung Lawu ini menjadi porak-
poranda.... Sekarang, kita kembali ke gua, Seno. Ada
sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu."
"Baik, Kek," sambut Seno, membungkukkan
badan. Bergegas Dewa Dungu membalikkan tubuhnya.
Kedua tangannya menekan tanah. Tiba-tiba, tubuh
kakek lumpuh itu melesat cepat, dan menghilang dari
pandangan! Seno yang sudah tahu ke mana perginya Dewa
Dungu, bergegas menjejak tanah. Dia kerahkan ilmu
peringan tubuh untuk dapat mengimbangi lesatan
sang Guru. * * * * "Seluruh kepandaian yang kumiliki telah kuwa-
riskan kepadamu. Isi Kitab Sanggalangit telah dapat
kau serap pula," ujar Dewa Dungu setelah berada di dalam gua. "Kini, sudah
saatnya kau keluar dari lembah Gunung Lawu yang sepi ini. Carilah pengalaman
sendiri. Ingat! Di pundakmu terpikul beban kewajiban.
Membela yang lemah. Memberantas yang kuat namun
jahat, Menjunjung tinggi kebenaran. Dan, selalu beru-
saha untuk dapat menegakkan keadilan. Nah! Pagi ini
juga, kau boleh pergi...."
Berkerut kening Seno mendengar perkataan
Dewa Dungu. Untuk beberapa lama, dia nyengir kuda.
Rupanya, kebiasaan buruk semasa kecil itu terus ter-
bawa sampai dia tumbuh menjadi pemuda remaja.
"Tidak, Kek...," tolak Seno kemudian. "Aku akan tinggal di sini sampai beberapa
tahun lagi. Kaki Kakek belum sembuh. Kalau aku pergi, siapa lagi yang akan
melayani Kakek?"
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ucapan Seno yang masih terkesan
lugu itu, Dewa Dungu tersenyum lebar. "Kau pikir, siapa yang melayaniku sebelum
kau tinggal di tempat
ini bersamaku" Sejak puluhan tahun yang lalu, dalam
keadaan lumpuh, aku terbiasa melayani diriku sendiri.
Tapi..., aku pun bisa merasakan isi hatimu. Kau tidak tega meninggalkan diriku
yang sudah semakin tua renta digerogoti usia ini."
Seno diam. Dalam hati, dia membenarkan uca-
pan Dewa Dungu. Memang, berat rasanya meninggal-
kan sang Guru yang sangat menyayanginya itu. Apala-
gi, sang Guru dalam keadaan lumpuh.
"Di dunia ini, tidak ada satu pun kejadian yang
tidak berubah...," lanjut Dewa Dungu. "Kau tak perlu mengkhawatirkan keadaanku,
Seno. Selama lebih dari
tiga puluh lima tahun aku tinggal di tempat ini, aku
dapat menyerap saripati Kitab Sanggalangit. Aku dapat menghimpun kembali inti
kekuatan tubuhku. Tak lebih dari setahun lagi, sepasang kakiku akan sembuh
seperti sediakala. Oleh karena itu, kau tak perlu khawatir, Seno. Pergilah.
Carilah pengalaman di dunia
luar...." Usai berkata, Dewa Dungu menepuk-nepuk bahu Seno yang belum juga mau
angkat kaki. Mendadak, kakek berbaju kumal itu menggaplok kepalanya
sendiri. Plok...!
"Uh! Bodoh sekali aku ini! Penyakit lupa ku be-
lum juga mau hilang!"
Setelah merutuk dirinya sendiri, Dewa Dungu
berkata kepada Seno. "Untung kau belum pergi, Seno.
Ada satu hal penting yang harus kau kerjakan untuk-
ku." "Apa itu, Kek?" tanya Seno.
"Masih ingatkah kau pada satu syarat ku sebe-
lum kau kuterima sebagai murid?"
Seno nyengir kuda sejenak, lalu menjawab, "Ya.
Aku harus mengerjakan satu tugas untuk Kakek."
Dewa Dungu menatap wajah Seno lekat-lekat.
Dia seakan ingin melongok isi hati muridnya itu.
"Sebenarnya, kau mempunyai kakak sepergu-
ruan. Dia bernama Mahisa Lodra," tutur Dewa Dungu kemudian. "Lebih dari tiga
puluh tahun yang lalu bersama muridku itu, aku mempelajari isi Kitab Sangga-
langit di tempat ini. Namun sayang, Mahisa Lodra
mempunyai sifat-sifat yang tak terpuji. Aku telah keliru memilihnya sebagai
murid...."
Bergetar suara Dewa Dungu saat bercerita. Te-
ringat masa lalunya, hati Dewa Dungu tergeluti rasa
sedih. Sementara, Seno mendengarkan cerita gurunya
dengan penuh perhatian.
"Karena aku tak mau menurunkan seluruh il-
mu kesaktianku, Mahisa Lodra menyusun siasat licik.
Saat aku bersemadi, beberapa jalan darahku ditotok-
nya. Jalan darahku jadi 'salah api' yang menyebabkan
sepasang kakimu lumpuh," lanjut Dewa Dungu. "Dan, Kitab Sanggalangit yang ku
sembunyikan secara terpisah, dapat dicurinya dua bagian. Masing-masing buku
yang dilarikan oleh Mahisa Lodra itu berisi tentang il-mu peringan tubuh bernama
'Angin Pergi Tiada Berbe-
kas' dan sebuah pelajaran ilmu sihir atau ilmu sema-
camnya yang bernama 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'."
Dewa Dungu menghentikan ceritanya untuk
mengambil napas panjang. Lalu, dengan suara tetap
bergetar, dia melanjutkan lagi.
"Kalau Mahisa Lodra dapat mendalami kedua
bagian dari Kitab Sanggalangit itu, maka dia akan da-
pat berlari secepat angin. Dan, dia pun dapat merubah wajahnya sesuka hatinya.
Dia bisa merubah wajahnya
menjadi seorang pemuda tampan atau seorang kakek
tua renta, bahkan dia pun dapat merubah wajahnya
menjadi seorang wanita. Dan..., sekarang kau harus
tahu tugasmu, Seno. Carilah murid murtad itu sampai
ketemu. Kalau dia kau temui sebagai seorang penja-
hat, kau boleh menamatkan riwayatnya. Dan, kalau
kau temui dia sebagai seorang pendekar, ampuni jiwa
murid murtad itu. Namun, mintalah kedua buku ba-
gian dari Kitab Sanggalangit untuk kau pelajari."
"Baik, Kek," sambut Seno. "Aku akan melaksa-nakan tugas dari kakek ini dengan
sekuat tenaga."
"Bagus! Percayalah, Yang di Atas selalu menyer-
tai orang-orang yang berjalan di jalan kebenaran. An-
dai nanti kau temui Mahisa Lodra sebagai seorang
penjahat, kau tak perlu takut atau gentar. Kau akan
dapat mengimbangi ilmu peringan tubuhnya dengan
'Lesatan Angin Meniup Dingin' yang telah kuajarkan
kepadamu. Kau tak perlu takut melihat kesulitan pula.
Sepandai-pandainya Mahisa Lodra merubah wajahnya,
kau tetap akan dapat mengenalinya. Mahisa Lodra
mempunyai bekas luka di batok kepala bagian bela-
kang. Luka itu sebesar telur ayam dan tak ditumbuhi
rambut.... Bila kau masih sulit untuk dapat mengena-
linya. Ada ciri lain yang pasti dapat kau kenali. Kalau tertawa, kelopak mata
Mahisa Lodra yang sebelah kiri
akan selalu terpejam. Nah! Kau boleh berangkat seka-
rang, Seno...."
Dengan penuh haru, Seno berlutut seraya men-
cium kaki Dewa Dungu. Namun, saat dia bangkit un-
tuk segera meninggalkan tempat, mendadak Dewa
Dungu berseru. "Tunggu dulu!"
Seno duduk bersila lagi. Sementara, Dewa
Dungu tampak menggaplok kepalanya untuk yang ke-
dua kali. Plok...! "Duh! Pelupa benar aku ini!"
Usai merutuk dirinya sendiri, Dewa Dungu
menggeser tubuh seraya mengambil sebuah bungku-
san yang tersimpan di antara sela-sela rak buku yang
terbuat dari batu.
Sewaktu Dewa Dungu membuka bungkusan
itu, Seno mencium aroma kayu cendana yang semer-
bak mewangi. Isi bungkusan ternyata selembar baju
lengan panjang berwarna biru dan selembar celana
berwarna biru pula. Pakaian itu terlipat rapi, dan di atasnya terdapat ikat
pinggang kain berwarna merah.
"Bertahun-tahun aku menjalin seuntai demi
seuntal benang untuk kubuat menjadi sebentuk pa-
kaian lengkap," tutur Dewa Dungu. "Setelah jadi, aku merendamnya ke dalam ramuan
obat pengawet yang
telah ku campur dengan sari kayu cendana. Inilah ha-
silnya...."
Dewa Dungu menunjuk pakaian di tangannya
seraya menyodorkan kepada Seno.
"Pakaian ini untukmu. Pakailah...."
"Terima kasih, Kek. Aku akan selalu mema-
kainya agar senantiasa ingat pada budi baik Kakek,"
terima Seno. "Sekarang, kau boleh pergi. Eh! Tunggu dulu!"
Seno nyengir kuda melihat Dewa Dungu meng-
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Agaknya, Dewa
Dungu lupa lagi pada sesuatu yang harus dia sampai-
kan pula kepada Seno.
"Yah! Yah, aku ingat," ujar Dewa Dungu, menatap wajah Seno lekat-lekat. "Sebelum
kau mencari Mahisa Lodra, ada baiknya bila kau pergi ke Telaga Pe-
tuah Dewa yang terletak di ujung utara pulau Jawa. Di sana, setiap tanggal satu
Suro akan muncul seekor
ikan mas besar. Di dalam perut ikan itu terdapat
'Kodok Wasiat Dewa'. Dapatkan kodok itu, lalu makan-
lah. Kau akan tahu sendiri khasiatnya nanti. Nah! Ku-
kira tak ada lagi yang terlupakan. Kau boleh berang-
kat." Seno berlutut lagi. Kembali dia cium kaki Dewa Dungu. "Aku mohon pamit,
Kek...," katanya dengan suara lirih karena desakan rasa haru.
*** 8 SEORANG pemuda bertubuh tinggi tegap tam-
pak berdiri termangu di atas tonjolan batu. Pakaiannya yang berwarna serba biru
berkibaran tertiup angin gunung. Kedua ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari
kain berwarna merah terlihat mengibas-ngibas. Ber-
sama hembusan angin, pakaian si pemuda menyiarkan
aroma harum kayu cendana.
Mata si pemuda yang bersinar terang menatap
jurus ke rimbunan pohon dan semak-belukar yang ada
di hadapannya. Setelah cengar-cengir, dia menge-
rutkan kening, seperti ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya. "Hmmm.... Tak mungkin aku salah lihat. Tanah
datar itu adalah letak Perguruan Tapak Sakti. Aku ya-
kin benar. Selama enam candra aku pernah tinggal di
tempat itu lima tahun yang lalu. Tapi..., kenapa rumah joglo beratap sirap itu
tak lagi tampak" Hanya rimbunan pohon dan semak-belukar yang kulihat. Apakah
Perguruan Tapak Sakti telah bubar" Atau, ada satu
musibah, sehingga Perguruan Tapak Sakti roboh rata
dengan tanah" Atau barangkali, Perguruan Tapak Sak-
ti telah berpindah tempat?"
Pemuda remaja berumur tujuh belas tahun itu
menggumam panjang dengan kening berkerut rapat.
Sepasang matanya terus menatap rimbunan pohon
dan semak belukar di hadapannya. Dia Seno Prasetyo!
Setelah menerima pesan dan tugas dari gu-
runya, Seno pergi meninggalkan gua tempat tinggal-
nya. Dia hendak pergi ke Telaga Petuah Dewa yang ter-
letak di ujung utara pulau Jawa. Namun dia pikir, ada
baiknya bila melihat-lihat dulu keadaan Perguruan Ta-
pak Sakti yang pernah ditinggalnya semasa kecil. Tapi ternyata, Perguruan Tapak
Sakti telah tiada. Tentu sa-ja Seno tidak tahu bila rumah perguruan itu telah
musnah lima tahun yang lalu akibat kedatangan Mahi-
sa Lodra atau Setan Selaksa Wajah, yang tak lain dari kakak seperguruannya
sendiri. "Hmmm.... Untuk apa aku memikirkan padepo-
kan yang mungkin memang telah berpindah tempat
itu" Lebih baik aku ke Telaga Petuah Dewa sekarang
juga." Mengikuti pikiran di benaknya, Seno melangkah menuruni lereng gunung.
Sang baskara sedikit
naik dari bentangan garis cakrawala timur. Angin se-
milir lembut membawa sejuk. Burung-burung bercan-
da dalam kicau riang. Melihat satwa bersayap aneka
warna itu, hati Seno jadi gembira. Dia melangkah rin-
gan seperti tanpa beban apa-apa.
Namun setelah melewati kaki gunung, langkah
Seno terhenti mendadak. Hatinya menjadi galau. Dia
teringat pada Dewa Dungu yang lumpuh. Dia amat
sayang dan kasihan pada kakek bertubuh kurus yang
telah cukup jauh ditinggalkannya itu. Tapi, ketika ingat pada tingkah polah sang
Guru yang sering meng-
gaplok-gaplok kepalanya sendiri, Seno tersenyum seo-
rang diri. Dewa Dungu memang punya kebiasaan
aneh. Kalau lupa pada sesuatu, dia akan menggaplok-
gaplok kepalanya sendiri sampai sesuatu yang dilupa-
kannya itu teringat lagi.
"Semoga kakimu cepat sembuh, Kek...," doa
Seno, menghadap ke punggung gunung. "Mudah-
mudahan di kelak hari nanti Yang di Atas memperte-
mukan kita lagi...."
Sejenak, Seno memejamkan matanya, berusaha
mengusir rasa haru di hatinya. Dia tak ingin rasa haru terus bergelut di hatinya
yang hanya akan memberati
langkah kakinya.
Namun, begitu bayangan Dewa Dungu hilang
dari benaknya, Seno teringat pada ibunya yang telah
meninggal. Seno tengadah, menatap langit biru. Kalau
ingat pada mendiang ibunya, begitulah kebiasaan yang
dilakukan Seno sejak kecil. Dengan tengadah menatap
langit, dia seakan melihat sosok ibunya di atas sana.
"Ibu...," desis Seno. "Kata Kakek Dewa Dungu yang menjadi guru Seno, Seno telah
selesai mendalami
ilmu kesaktian. Seno diperintah pergi untuk mencari
pengalaman di dunia luar. Seno mohon restu, Bu. Se-
no akan selalu mengingat semua pesan Ibu...."
Kalimat Seno terhenti. Dia menekan perasaan
agar tak menangis. Dia harus tabah. Tak ada yang per-
lu ditangisi. Dewi Ambarsari ibunya telah berbahagia
menjalani tahap kehidupannya yang ketiga.
Dengan kepala tetap tengadah, Seno teringat
pada sumpah yang pernah dia ucapkan di depan ma-
kam ibunya. "Setelah mendapatkan 'Kodok Wasiat Dewa',
sambil mencari Mahisa Lodra yang telah melarikan
dua bagian Kitab Sanggalangit, akan kucari pula Ba-
nyak Langkir yang telah membunuh ibuku. Aku harus
membalas kebiadaban lelaki suruhan Prabu Wira Pa-
rameswara itu. Akan kucari pula ayahku yang berna-
ma Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta yang berge-
lar Ksatria Seribu Syair. Walau dia ayahku, aku tetap akan meminta
pertanggungjawabannya karena dia telah membohongi dan membuat ibuku menderita."
Usai mengucap tekadnya, Seno memutar pan-
dangan sejenak. Dia tentukan arah mata angin. Lalu,
dia melangkah ke utara. Telaga Petuah Dewa yang
menjadi tujuannya memang terletak di ujung utara pu-
lau Jawa. Tapi..., belum genap seratus langkah Seno ber-
jalan, telinganya menangkap suara benturan senjata
tajam yang disahuti pekik kemarahan orang yang ten-
gah bertempur. Selama lima tahun hidup di tempat
sunyi yang terpisah dari peradaban dunia luar, Seno
belum pernah melihat orang bertempur. Maka, suara
pertempuran yang didengarnya itu begitu menarik
perhatiannya. Tanpa pikir panjang lagi, dia mengelua-
rkan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Di lain ke-
jap, tubuh Seno berkelebat lenyap, meninggalkan ti-
upan angin dingin yang menebarkan aroma wangi
kayu cendana. * * * "Hiahhh...!"
Trang...! Sebilah pedang berwarna kuning dan sebilah
golok besar berwarna putih berkilat tampak berbentu-
ran di udara. Bunga api berpijar dan meletik ke mana-
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana. Pedang kuning terpental. Untung, pemiliknya
mencekal erat, sehingga pedang itu tidak lepas dari pe-gangan. "Ha ha ha...!"
pemilik golok tertawa bergelak.
"Kau kalah tenaga, Kemuning. Sadarkah kau bila wa-jahmu tampak begitu pucat" Aku
tahu hatimu panas,
tapi sebaiknya kau segera angkat kaki. Kalau tidak
mengingat nama besar gurumu, sudah dari tadi-tadi
kupenggal kepalamu!"
Yang berkata itu seorang lelaki setengah baya
bertubuh kekar. Wajahnya kasar bercambang bauk le-
bat. Mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat ke-
pala kain berwarna hitam pula. Tatapannya tajam me-
nusuk menyiratkan sifatnya yang biasa berbuat kejam.
"Sokalanang keparat!" umpat gadis bersenjata pedang yang dipanggil Kemuning.
"Mengingat begitu banyak kejahatan yang telah kau perbuat, enak betul
kalau kau menyuruhku pergi. Kau seorang perampok
hina! Justru kepalamulah yang harus kupenggal!"
Kemuning menunjuk hidung Sokalanang den-
gan ujung pedangnya. Pakaiannya yang serba kuning
tampak berkibaran tertiup angin, hingga tekuk-liku
tubuhnya yang sintal membayang jelas di mata Soka-
lanang. "Hmmm... Tubuhmu sungguh menggiurkan,
Kemuning...," desis Sokalanang. "Andai kau bukan murid Dewi Pedang Halilintar,
ingin rasanya aku ber-main cinta denganmu. Ha ha ha...!"
"Jahanam! Bercintalah kau dengan malaikat
kematian!"
Sambil menggembor keras, Kemuning mener-
jang. Melihat tusukan pedang yang mengarah ke jan-
tung, cepat Sokalanang menyabetkan goloknya ke de-
pan! Trang...! Benturan senjata tajam terdengar lagi. Bunga
api memercik. Kemuning mendengus gusar merasakan
jemari tangan kanannya yang kesemutan. Jelas bila
dia kalah tenaga. Untung, pedang kuningnya terbuat
dari logam pilihan, sehingga tidak sampai terbabat ku-tung. Kemuning tidak
menjadi gentar mengetahui di-
rinya kalah tenaga. Dia empos tubuhnya seraya mengi-
rim serangan beruntun dengan jurus-jurus andalan.
Dia tutupi kekalahannya dengan ilmu peringan tubuh.
Hingga, tubuh Kemuning dapat meletik ke sana-sini
dengan cepat, menghindari benturan senjata.
Menggeram marah Sokalanang mengetahui di-
rinya terkurung oleh babatan pedang Kemuning. Tak
mau mati konyol, cepat dia mainkan jurus andalan pu-
la. Pertempuran jadi seimbang.
Namun, lewat tiga jurus kemudian, golok Soka-
lanang tampak melesat sebat hendak membabat ping-
gang kiri Kemuning. Sementara, kedudukan Kemuning
tak memungkinkan untuk berkelit. Terpaksa Kemun-
ing menyabetkan pedangnya untuk menangkis!
Trang...! "Ih...!"
Tangan kanan Kemuning yang memegang pe-
dang bergetar kencang. Aliran darahnya mengalir den-
gan cepat ke otak, hingga Kemuning jadi linglung sejenak. Pedang Kemuning masih
tercekal erat, tapi si ga-
dis tidak tahu kalau golok Sokalanang berkelebat lagi.
Mengarah pinggang kanan!
Wuk...! Kemuning tak dapat berkelit atau menangkis
lagi. Kalau tidak terbabat jadi dua, tubuh Kemuning
pasti menderita luka yang amat parah!
Namun sebelum ketajaman golok Sokalanang
benar-benar mengenai sasaran, mendadak berkelebat
sesosok bayangan biru yang menyabetkan tongkat
pendek berwarna putih!
Trang...! "Heh"!"
Betapa terkejutnya Sokalanang. Goloknya
membentur sebuah benda yang amat keras. Dengan
mata mendelik, dia menatap bilah goloknya yang telah
rompal di beberapa bagian!
"Paman tidak boleh gegabah...," ujar si penolong Kemuning.
Dia seorang pemuda remaja berpakaian serba
biru dengan ikat pinggang merah. Wajahnya tampan,
namun terkesan amat lugu. Dia tak lain dari Seno Pra-
setyo! Di tangan kanannya tercekal sebatang tongkat
pendek yang salah satu ujungnya runcing. Tongkat
yang panjangnya cuma dua jengkal dan berwarna pu-
tih itu adalah Tongkat Dewa Badai!
"Siapa kau"! Kenapa mencampuri urusan
orang"!" bentak Sokalanang, menyimpan rasa giris.
"Namaku Seno Prasetyo, Paman. Aku tidak bisa
membiarkan perbuatan kejam berlangsung di hada-
panku," sahut Seno, lugu.
Melihat wajah si pemuda yang tampak kebo-
doh-bodohan, lenyap rasa giris di hati Sokalanang.
Nafsu membunuhnya timbul. Ketajaman goloknya
yang telah cacat dia sabetkan sepenuh tenaga!
Tahu ada bahaya mengancam jiwanya, Seno
yang sudah bisa mengukur tenaga Sokalanang cuma
mengalirkan sebagian kecil kekuatan tenaga dalamnya
ke Tongkat Dewa Badai. Lalu, tongkat mustika itu dia
kibaskan Wusss...! "Wuahhh...!"
Kibasan Tongkat Dewa Badai menimbulkan ti-
upan angin kencang bergemuruh. Sabetan golok tidak
sampai mengenai sasaran karena tubuh pemiliknya
keburu terlontar, lalu jatuh bergulingan sejauh sepu-
luh tombak. Namun, hawa amarah membuat Sokalanang
lupa diri. Sebagai seorang tokoh yang sudah cukup
lama malang-melintang di rimba persilatan, Sokala-
nang merasa malu bila dipencundangi oleh seorang
pemuda remaja macam Seno Prasetyo. Maka, bergegas
Sokalanang bangkit. Dipungutnya golok putih yang
tergeletak di tanah. Lalu, dia menerjang kalap!
"Maafkan aku, Paman...," ujar Seno, masih
terkesan lugu. Sambil mengucapkan kata itu, Seno menya-
betkan Tongkat Dewa Badai. Sekali lagi, timbul tiupan angin kencang, bergemuruh
keras laksana badai topan. Tubuh Sokalanang yang tengah melesat di udara
tampak terpental jauh, lalu jatuh berdebam di tanah
keras. Sementara, goloknya lepas lagi dari cekalan, dan melayang hilang dari
pandangan Susah payah Sokalanang bangkit. Tulang belu-
lang tubuhnya terasa telah hancur berantakan. Kali
ini, Sokalanang dapat menyadari bila ilmu kepan-
daiannya terpaut amat jauh bila dibanding dengan il-
mu kepandaian Seno. Maka, tanpa menghiraukan har-
ga dirinya lagi, Sokalanang lari terbirit-birit bagai melihat setan gentayangan
Seno menatap kepergian Sokalanang sambil
cengar-cengir. Dia menggumam, "Maafkan aku, Pa-
man. Tidak sepantasnya aku berlaku demikian terha-
dap orang tua. Aku berbuat hanya karena terpaksa,
supaya Paman tahu diri..."
"Hei! Kenapa kau cengar-cengir?"
Menggeragap kaget Seno mendengar perkataan
yang ditujukan pada dirinya. Saat menoleh, aliran da-
rah Seno berdesir aneh. Matanya tak berkedip mena-
tap wajah cantik Kemuning. Sungguh Seno tak me-
nyangka bila orang yang ditolongnya adalah seorang
gadis yang bertampang sedemikian menawan.
"Kau... kau...."
Seno tergagap. Dia kagum melihat kecantikan
Kemuning. Wajar, karena usia Seno sedang tumbuh
menginjak dewasa. Apalagi, dia belum pernah melihat
seorang pun wanita sejak tinggal bersama Dewa Dun-
gu. Sementara, Kemuning yang melihat keterpa-
naan Seno tampak tersenyum. Namun, senyuman itu
justru membuat Seno tersipu. Kepalanya tertunduk.
Pikirannya jadi linglung.
"Hei, kenapa kau?" tegur Kemuning.
Sebenarnya, Kemuning ingin tertawa melihat
perilaku Seno yang tampak lucu. Tapi, Kemuning me-
nahan keinginannya itu karena tak mau membuat ter-
singgung dewa penolongnya.
"Eh, aku tak apa-apa...," sahut Seno, memberanikan diri menatap wajah Kemuning.
Melihat seraut wajah tampan namun tampak
kebodoh-bodohan milik Seno, Kemuning tersenyum la-
gi. Sementara, Seno tak kuasa membalas tatapan Ke-
muning. Dia alihkan pandangannya ke gagang pedang
Kemuning yang telah disarungkan di punggung.
"Terima kasih...," ucap Kemuning kemudian.
"Terima kasih" Untuk apa?" tanya Seno sambil nyengir kuda.
Kemuning tersenyum kembali. "Kau telah me-
nolongku. Aku harus mengucap terima kasih."
"Eh, ya, ya..."
"Kalau tidak ada kau, mungkin aku telah terbu-
jur menjadi mayat. Tahukah kau siapa lelaki brewokan
bersenjata golok tadi?"
Seno menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku tidak
mengenal siapa-siapa. Aku baru keluar dari sebuah
lembah sunyi di lereng Gunung.... Lawu."
"Hmmm.... Begitu?" sahut Kemuning. "Pantas kau begitu canggung. Rupanya, kau
baru melihat dunia luar. Di lembah sunyi itu, kau pasti tinggal cuma berdua
dengan gurumu. Dan karena telah menamatkan pelajaran, kau diperintah untuk pergi
mencari pengalaman. Benar, bukan?"
Ucapan Kemuning begitu lancar dan tegas.
Agaknya, si gadis berotak encer dan cukup matang
pengalaman walau umurnya sebaya dengan Seno.
"Ya. Ya, begitulah," sahut Seno, membenarkan tebakan Kemuning.
"Aku tadi sempat mendengar kau menyebutkan
nama. Benarkah namamu Seno Prasetyo?"
"Ya. Kau?"
"Aku Kemuning. Orang-orang biasa menye-
butku sebagai Dewi Pedang Kuning. Tapi, kau jangan
meremehkan kemampuanku. Aku memang kalah me-
lawan perampok hina tadi. Kau harus tahu, aku me-
mang belum menamatkan pelajaran dari guruku. Ka-
lau mau tahu, guruku bergelar Dewi Pedang Halilintar.
Guruku jauh berbeda dengan gurumu. Guruku tak
mau mengajari ku ilmu silat di tempat sunyi. Guruku
memberi pelajaran sambil mengembara. Katanya, agar
aku cepat mendapat pengalaman."
Mendengar ucapan Kemuning yang nyerocos
panjang, Seno cuma menjawab singkat, "Ya. Ya."
"Eh, aku ingin tahu, siapa gurumu?"
"Dewa Dungu."
"Dewa Dungu?"
Kemuning tampak terkejut. Keningnya berkerut
seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu katanya, "Menurut cerita guruku, Dewa
Dungu pernah menggempar-
kan rimba persilatan sekitar empat puluh tahun silam.
Semua penjahat akan lari terbirit-birit bila melihat wajah gurumu itu. Mereka
takut dan giris mendengar se-
pak terjang Dewa Dungu yang selalu memusuhi orang
jahat. Tapi..., dia lalu pergi mengasingkan diri dengan muridnya yang bernama
Mahisa Lodra. Di mana kakak
seperguruanmu itu sekarang?"
"Aku tak tahu."
Seno menjawab sambil nyengir kuda. Kemuning
tersenyum. Tapi agaknya, Kemuning tak mau mengo-
rek lebih jauh tentang Mahisa Lodra. Kemuning tak
bertanya pula tentang keberadaan Dewa Dungu seka-
rang ini. "Eh, bagaimana kau bisa bertempur dengan
Paman Brewokan tadi?" tanya Seno kemudian.
"Dia orang jahat. Namanya Sokalanang. Aku
menguntitnya dari Kademangan Lemah Pitu," jawab
Kemuning. "Eh, Seno, sebenarnya aku ingin bercakap-cakap lebih lama denganmu.
Tapi, aku takut guruku
marah. Aku meninggalkannya di Kademangan Lemah
Pitu tanpa minta izin lebih dulu...."
"Ya. Ya, kau harus segera kembali menemui gu-
rumu...." Kemuning hendak berkelebat pergi, tapi urung.
Dia menatap lekat wajah Seno seraya berkata, "Kau sudah tahu nama dan gelarku.
Aku sudah tahu namamu, tapi belum tahu gelarmu...."
Seno cengar-cengir. "Aku tak punya gelar. Aku
belum bertemu dengan orang banyak, tak ada yang
memberi ku gelar. Guruku juga tak pernah memberi
gelar...," katanya.
Tersenyum Kemuning mendengar ucapan Seno
yang terkesan amat lugu dan jujur. "Maukah kau kuberi gelar?" tawarnya.
Seno nyengir lagi. "Boleh," sambutnya Kemuning menatap lekat wajah Seno yang
tampak kebodoh-
bodohan. Lalu sambil tersenyum, dia berkata, "Kau pantas memakai gelar Pendekar
Bodoh." "Pendekar Bodoh?" Seno menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ya! Pendekar Bodoh!" seru Kemuning seraya
menjejak tanah, berkelebat pergi.
"Hei! Tunggu...!"
Seno berteriak lantang untuk mencegah keper-
gian Kemuning, tapi tubuh si gadis terus berkelebat,
hingga hilang dari pandangan.
Tinggallah Seno cengar-cengir seorang diri.
Sambil berjalan perlahan, dia menggumam.
"Pendekar Bodoh.... Aku Pendekar Bodoh..." Ya.
Ya, aku Pendekar Bodoh...."
SELESAI Ikuti petualangan selanjutnya :
KEMELUT DI TELAGA DEWA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naga Naga Kecil 9 Istana Kumala Putih Karya O P A Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 1