Pencarian

Kemelut Di Telaga Dewa 2

Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa Bagian 2


Kek...." Ucapan Seno terdengar amat polos dan lugu.
Namun demikian, Karapak menuruti ucapan pemuda
itu tanpa bertanya apa-apa. Sementara, Seno tampak
bangkit berdiri. Tongkat Dewa Badai yang telah ber-
warna hijau matang dijulurkan lurus ke depan. Saat
Seno mengalirkan tenaga dalam, salah satu ujung
Tongkat Dewa Badai yang runcing menyemburkan
asap berwarna hijau.
"Wusss...!"
Seno meniup. Asap yang mengandung 'Racun
Pembunuh Naga' itu segera lenyap diterbangkan angin.
"Kasihan sekali kau, Nek...," desis Seno melihat tubuh Salindri yang masih
terbaring pingsan di tanah.
Bergegas Seno mengambil tindakan. Tongkat
Dewa Badai yang telah kembali berwarna putih bersih ditempelkannya di urat nadi
pergelangan tangan kanan Salindri. Seperti Karapak, pengaruh racun di tubuh
nenek itu pun berangsur-angsur lenyap. Di lain
kejap, Salindri telah duduk bersemadi di sisi sua-
minya. * * * "Tak kusangka! Sungguh aku tak menyangka!"
ujar Karapak setelah sampai di rumah berdinding bi-
lah-bilah papan. "Aku tak menyangka bila kau punya kepandaian sehebat itu, Seno.
Ketika bertemu denganmu, aku menduga kau hanya seorang pesilat biasa
yang tak punya kepandaian apa-apa. Kiranya, kau
adalah murid Dewa Dungu yang sangat termasyhur ti-
ga puluh tahun silam. Sungguh aku tak menyang-
ka...." Seno yang duduk di hadapan Karapak tampak
nyengir kuda. "Kakek jangan terlalu memuji. Aku takut nanti kepalaku membengkak
besar...," sergahnya. "Aku pun tak menyangka bila Kakek dan istri Kakek adalah
sepasang pendekar bergelar Sepasang Nelayan Sakti.
Sungguh aku juga tak menyangka, Kek...."
"Aku pun demikian. Aku sama sekali tak me-
nyangka bila kau sebenarnya bernama Kemuning, mu-
rid Dewi Pedang Halilintar...," sahut Salindri seperti la-tah. "Sungguh pandai
kau menyembunyikan kepan-
daianmu, Kemuning. Benar-benar tak kusangka bila
kau adalah Dewi Pedang Kuning...."
Karapak, Seno, dan Salindri sama-sama menge-
luarkan isi hatinya. Mereka berucap dengan mata berbinar-binar. Namun, Kemuning
atau Dewi Pedang
Kuning tampak menundukkan kepala. Lidah si gadis
terasa kelu. Bibirnya terasa kaku untuk diajak mengucap kata-kata,
"Eh, kau kenapa, Kemuning?" tegur Karapak.
"Di antara kita sudah tidak ada rahasia lagi. Adakah sesuatu yang membuat hatimu
risau?" Perlahan Kemuning mengangkat wajah. Dita-
tapnya Karapak dengan sinar mata redup. "Maafkan aku, Ki...," desisnya.
Kontan kening Karapak berkerut rapat. "Kau ti-
dak salah, Kemuning. Justru aku dan Nini Salindri
mesti berterima kasih kepadamu. Bersama Seno, kau
telah menyelamatkan jiwa kami...."
Kemuning diam, menunduk lagi.
"Kau kenapa, Kemuning?" buru Karapak, penasaran. "Maafkan aku, Ki...," ulang
Kemuning, lirih.
"Maaf" Kau tidak bersalah."
Kemuning menggeleng. Ditatapnya wajah Kara-
pak dan Salindri bergantian, lalu katanya, "Sebenarnya, penyamaran ku sebagai
Sawitri adalah dengan
maksud menyelidiki Aki dan Nini berdua...."
"Maksudmu?" kejar Karapak, tak mengerti.
"Aki tentu sudah tahu, setiap menjelang tanggal satu Suro, banyak peristiwa
pembunuhan di Telaga
Dewa. Kaum rimba persilatan yang menginginkan Ko-
dok Wasiat Dewa banyak yang mati di tangan komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi...," tutur Kemuning. "Dan..., maafkan kesalahanku dan
guruku. Aku dan guruku
menaruh curiga kepada Aki dan Nini...."
"Maksudmu, kau dan Dewi Pedang Halilintar
mencurigai kami sebagai anggota komplotan Lembah
Dewa-Dewi?" tebak Karapak.
Kemuning mengangguk.
Karapak tersenyum seraya berkata, "Kau dan
gurumu memang keliru, tapi tak perlu meminta maaf.
Ketahuilah, aku dan Istriku menyamar sebagai nelayan biasa juga dengan maksud
menyelidiki komplotan
pembunuh itu...."
"Perlu juga kau ketahui, Kemuning..., komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi benar-benar menyimpan tabir
rahasia yang tak dapat kami pecahkan," tambah Salindri. "Kami tidak tahu berapa
jumlah anggota komplotan itu. Yang kami tahu bahwa di dalam komplotan itu
terdapat seorang tokoh sakti bernama Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah...."
"Kakek berikat kepala batik itu?" cetus Seno ti-ba-tiba, teringat sosok kakek
yang memiliki ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' dan ilmu mengolah udara di da-
lam perut bernama 'Racun Pembunuh Naga'.
"Ya," jawab Salindri. "Orang yang telah meracuni aku dan suamiku itu adalah
Mahisa Lodra. Dengan
ilmu kesaktiannya, dia bisa merubah wajahnya sesuka
hati. Oleh karena itu dia dijuluki Setan Selaksa Wajah.
Selama bertahun-tahun tinggal di tepi Telaga Dewa,
aku terus menyelidiki komplotan Lembah Dewa-Dewi,
termasuk Mahisa Lodra. Hingga kemudian, aku dan
suamiku dapat mengenal salah satu perubahan wajah
tokoh jahat itu. Kalau dia merubah wajahnya menjadi seorang kakek, dia selalu
mengenakan ikat kepala
yang terbuat dari kain batik...."
Di ujung kalimat Salindri, Seno hendak menga-
jukan beberapa pertanyaan, namun Kemuning keburu
mendahului. "Ada kemungkinan bila sesungguhnya komplo-
tan Lembah Dewa-Dewi itu tidak ada."
"Ya. Aku juga menduga demikian, Kemuning,"
sahut Karapak. "Dengan mengubah-ubah wajahnya, Mahisa Lodra melakukan
serangkaian pembunuhan.
Tentu saja banyak yang tidak tahu kalau pembunuhan
itu dilakukan oleh satu orang saja. Dan untuk menye-satkan pikiran orang, Mahisa
Lodra menyebarkan ka-
bar bila serangkaian pembunuhan itu dilakukan oleh
komplotan Lembah Dewa-Dewi."
"Dengan demikian, dapatlah dianggap bila
komplotan Lembah Dewa-Dewi memang tidak ada," tegas Salindri.
"Bisa ada, bisa tidak," sahut Seno.
Kemuning mengangkat bahu. Karapak dan is-
trinya saling pandang.
"Mahisa Lodra adalah kakak seperguruanku
yang telah melenceng jauh dari jalan kebenaran," geram Seno tiba-tiba. "Dia tega
membuat lumpuh Guru yang telah memberinya ilmu kesaktian. Lain itu, dia pun
telah melarikan dua bagian kitab milik Kakek De-wa Dungu untuk kemudian
digunakan di jalan sesat.
Hmmm.... Kakek Dewa Dungu telah memberi ku kuasa
untuk memecahkan batok kepala murid murtad itu!"
"Aku akan membantumu, Seno," sahut Kemun-
ing penuh kesungguhan.
Seno menatap lekat wajah gadis berpakaian
serba kuning itu. Mendadak, darah mudanya berdesir
saat melihat bibir Kemuning mengulum senyum. Seno
teringat kejadian semalam di mana waktu itu dia bersama Kemuning hampir saja
terjerumus dalam per-
buatan dosa. Plok! Tiba-tiba, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
"Bodoh sekali aku ini! Kenapa aku begitu mudah ter-goda oleh seraut wajah
cantik"!" rutuknya dalam hati.
6 TANGGAL tiga puluh bulan Besar....
Kota Gambiran berubah menjadi lautan manu-
sia. Para pelancong dari berbagai daerah datang bagai guyuran air bah. Di antara
para saudagar kaya dan
bangsawan yang ingin melihat wujud Ikan Mas Dewa,
banyak dijumpai tokoh silat yang telah punya nama
besar di rimba persilatan. Sehingga, Kota Gambiran
benar-benar menjadi ajang pertemuan bagi orang-
orang yang biasa berkecimpung di dunia yang penuh
kekerasan dan pertumpahan darah itu.
Di bawah siraman sinar mentari pagi yang me-
nyapa hangat, seorang pemuda bertubuh tinggi tegap
tampak berjalan perlahan memasuki keramaian kota.
Pemuda remaja berumur tujuh belas tahun itu menge-
nakan pakaian biru-biru dengan ikat pinggang kain
merah. Kulit tubuhnya kuning langsat dan halus se-
perti kulit wanita. Berwajah tampan. Sementara, kedua bola matanya yang bening
senantiasa menyiratkan sinar keluguan dan kejujuran. Dia Seno Prasetyo.
Setelah membantu Karapak mencari ikan di Te-
laga Dewa, Seno sengaja mendatangi Kota Gambiran.
Selain untuk menyelidiki dan mencari keterangan pe-
rihal Setan Selaksa Wajah, Seno bermaksud melihat
seberapa banyak orang-orang yang menginginkan Ko-
dok Wasiat Dewa. Sekiranya dapat, Seno juga bermak-
sud mengukur seberapa tinggi ilmu kepandaian mere-
ka. Setelah berputar-putar beberapa lama, langkah
kaki Seno menapak di lantai Kedai Mawar yang meru-
pakan rumah makan terbesar di Kota Gambiran.
Seorang pelayan setengah baya menyambut ke-
datangan Seno dengan senyum ramah. Namun, di ba-
lik senyum ramah si pelayan, Seno melihat rasa kha-
watir yang memancar dari sorot mata pelayan berpa-
kaian putih-putih itu.
Di hati si pelayan memang tersimpan rasa
khawatir. Bukan karena kehadiran Seno, tapi karena
di kedai tempatnya bekerja telah didatangi beberapa tokoh silat yang tampak
kasar dan garang. Si pelayan khawatir bila mereka akan membuat onar.
Namun, kehadiran beberapa tokoh silat itu ju-
stru membuat senang hati Seno. Maka dengan lagak
dibuat-buat seperti orang agung, Seno duduk di kursi dengan punggung ditegakkan
dan wajah sedikit diten-gadahkan. Diambilnya beberapa keping uang logam
dari saku. bajunya. Lalu, uang pemberian Karapak itu diberikan kepada pelayan
setengah baya. "Berikan aku anggur yang paling bagus dan
makanan yang paling enak," pinta Seno.
Kening si pelayan langsung berkerut. Selama
bekerja sebagai pelayan kedai, belum pernah dia men-jumpai orang yang memesan
makanan dengan membe-
rikan uang terlebih dulu. Namun, rasa heran di hati lelaki berpakaian putih-
putih itu segera berubah menja-di rasa geli. Setelah menatap wajah Seno beberapa
saat, dia berlalu sambil mengulum senyum. Sejenak,
kekhawatiran di hati si pelayan lenyap.
Seno duduk diam menanti pesanannya. Sikap-
nya acuh tak acuh walau tahu banyak mata memper-
hatikan. Sementara, di sudut ruangan kedai sebelah
belakang tampak seorang gadis cantik yang juga tak
lepas memperhatikan semua gerak-gerik Seno. Gadis
berpakaian serba kuning itu duduk semeja dengan
seorang nenek yang juga berpakaian serba kuning.
Walau sudah tua, wajah si nenek masih menyiratkan
sinar kecantikan.
Seno terkesiap saat mendengar seruan yang di-
tujukan kepada dirinya.
"Dasar Pendekar Bodoh! Tolol benar kau! Mau
makan saja harus membayar lebih dulu!"
Walau merasa tersinggung, Seno diam saja. Si-
kapnya tetap acuh tak acuh. Namun, diam-diam hati
Seno berdesir juga. Dia hafal akan warna suara orang yang telah mengolokinya
itu. "Dasar Pendekar Bodoh! Tahu dihina orang,
kenapa diam saja"!"
Sekali lagi, terdengar seruan yang ditujukan
kepada Seno. Seruan pertama dan kedua itu berasal
dari mulut yang sama, yaitu gadis cantik yang duduk semeja dengan seorang nenek
berambut panjang digelung ke atas.
Tak kuasa lagi Seno menahan rasa ingin ta-
hunya. Dan, berbinarlah bola mata pemuda lugu ini
ketika melihat orang yang telah mengolokinya ternyata
Kemuning. Namun, Seno segera menundukkan kepala
karena melihat nenek yang duduk semeja dengan Ke-
muning tampak memandangnya tanpa berkedip.
"Biarlah aku pura-pura tak mengenal Kemun-
ing. Agar nanti gadis itu tak membuatku repot," pikir Seno. Seno benar-benar
mengikuti pikiran di benaknya. Tapi sambil menunduk, dia memperhatikan pe-
nampilan si nenek yang terus mengawasinya.
"Kemuning pernah mengatakan ciri-ciri gu-
runya yang bergelar Dewi Pedang Halilintar. Tampak-
nya, nenek yang terus memandangku itulah Dewi Pe-
dang Halilintar," pikir Seno lagi.
Sementara, melihat sikap Seno yang kembali
acuh tak acuh, Kemuning jadi sebal. Bibirnya cembe-
rut. Lalu dengan suara lebih lantang, dia berseru lagi.
"Dasar Pendekar Bodoh! Apa kau tak tahu ka-
lau ada banyak mata yang memperhatikan dirimu"!"
"Hus! Jangan mencari gara-gara!" tegur nenek bersanggul yang memang Dewi Pedang
Halilintar. "Aku tidak mencari gara-gara, Eyang. Aku
hanya sebal melihat sikap pemuda itu. Dia berpura-
pura tidak mengenalku!" kilah Kemuning.
"Hmmm.... Begitu" Siapa dia?" tanya Dewi Pedang Halilintar, tertarik. Nenek ini
turut merasa penasaran melihat sikap Seno.
"Bukankah aku telah bercerita kepada Eyang
tentang Sepasang Nelayan Sakti. Pemuda itulah yang
telah menyelamatkan nyawa mereka dari keganasan
'Racun Pembunuh Naga'," beri tahu Kemuning.
"Seno Prasetyo?"
"Ya. Dia Pendekar Bodoh!"
Mendengar kata-kata Kemuning yang cukup
keras, semua orang yang berada di kedai langsung
mengarahkan pandangan lagi ke arah Seno. Dan kare-
na kata-kata Kemuning itulah, di kelak kemudian hari tokoh-tokoh rimba
persilatan lebih mengenal Seno sebagai Pendekar Bodoh.
Sementara, Seno masih melanjutkan sikap


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

acuh tak acuhnya. Namun dalam hati dia berkata,
"Sebenarnya, panas juga telingaku mendengar Kemuning terus mengatakan aku
sebagai Pendekar Bodoh.
Tapi, tak apa. Biarlah orang banyak mengenalku sebagai Pendekar Bodoh asal aku
tidak benar-benar bo-
doh." Seno nyengir kuda sejenak. Lewat ekor matanya, dia melihat wajah Kemuning
yang tampak cem-
berut. "Sehari yang lalu, gadis itu pergi tanpa berpami-tan kepadaku. Rupanya,
dia hendak menemui gu-
runya," kata hati murid Dewa Dungu ini. "Hmmm....
Apakah dia bermaksud mempertemukan Dewi Pedang
Halilintar dengan Sepasang Nelayan Sakti?"
Bola mata Seno berbinar ketika melihat pelayan
setengah baya telah datang menyuguhkan anggur dan
makanan pesanannya. Tanpa ambil pusing dengan
keadaan di sekitarnya lagi, Seno menyantap makanan-
nya. Suara kecapan mulut terdengar jelas karena Seno makan seperti orang
kelaparan. "Agaknya, di kedai ini ada seekor monyet yang
habis puasa satu bulan. Ha ha ha...!"
Mendadak, terdengar suara sindiran yang di-
ikuti tawa bergelak. Tanpa sadar Seno menghentikan
makannya. Dengan kening berkerut rapat, Seno mena-
tap seorang kakek kurus yang mengucap sindiran tadi.
Kakek berpakaian kuning-hitam itu duduk se-
meja dengan seorang kakek yang sebaya dengannya
namun bertubuh gemuk bundar. Mereka adalah Dua
Iblis Dari Gunung Batur. Yang kurus dikenal dengan
julukan Iblis Perenggut Roh, dan yang gemuk berjuluk Iblis Pencabut Jiwa.
Tersinggung juga Seno disindir sebagai seekor
monyet. Namun sebelum dia membalas ejekan Iblis Pe-
renggut Roh itu, dari sisi kiri tempat duduk Seno terdengar suara lantang.
"Sungguh kau tak tahu diri, Iblis Perenggut
Roh! Seorang pemuda tampan kau katakan seekor
monyet, lalu kau yang sudah bangkotan itu lebih pantas disebut apa?"
Yang berkata adalah seorang kakek berwajah
halus, mengenakan pakaian serba hijau seperti orang terpelajar. Dia bernama
Bagus Tembini, namun lebih
dikenal sebagai Sastrawan Berbudi.
Di samping kakek berambut putih tergerai itu
duduk seorang tokoh tua lain bergelar Pendeta Tasbih Terbang. Dia memang seorang
pendeta ahli silat. Dengan kepala gundul licin, wajah si pendeta menyiratkan
sikap welas asih. Tubuhnya yang tinggi besar terbungkus jubah kuning dan di
bahunya terselampir kain
merah bercorak kotak-kotak. Seuntai tasbih melingkar di leher kakek yang tampak
amat pendiam itu.
"Hmmm.... Keparat kau, Sastrawan Jelek!" geram iblis Perenggut Roh. "Aku berkata
tidak menyindir dirimu. Kenapa kau mencampuri urusan orang" Apakah monyet geblek
itu anakmu"!"
"Bukan. Tapi, cobalah kau jaga mulutmu. Apa
kau tak tersinggung bila disamakan dengan seekor
monyet?" sahut Sastrawan Berbudi yang tampaknya menaruh belas kasihan kepada
Seno. Mendelik mata Iblis Perenggut Roh. Kakek ku-
rus yang punya sifat berangasan ini naik darah. Dan, semakin mendidih saja darah
Iblis Perenggut Roh ketika Dewi Pedang Halilintar turut memojokkannya.
"Dari dulu kau selalu menyebut orang seenak
perutmu sendiri! Sebenarnya, kalau kau mau berkaca
sebentar saja, maka kau akan tahu bagaimana wajah-
mu yang mirip tikus comberan itu!"
Ucapan Dewi Pedang Halilintar diikuti suara
tawa bergemuruh pengunjung kedai. Maka, tak dapat
digambarkan lagi betapa marahnya Iblis Perenggut
Roh. Dengan sinar mata berapi-api, dia menatap wajah Dewi Pedang Halilintar.
"Kurang ajarrr...! Apa kau tidak tahu sedang
berhadapan dengan siapa"!" bentak Iblis Perenggut Roh seraya bangkit dari tempat
duduknya. Bibir Dewi Pedang Halilintar mengulum se-
nyum. "Siapa yang tak kenal kau" Sekali lihat, setiap orang pasti akan mengingat
dirimu seumur hidup. Karena, kau punya mulut monyong dan kumis kaku pan-
jang yang benar-benar mirip tikus comberan!"
"Bangsat!"
Sambil memaki, Iblis Perenggut Roh menjejak
lantai. Mendadak, tubuh kakek kurus ini melayang cepat seperti burung walet.
Jemari tangan kanannya terkepal dan menjulur lurus ke depan.
Para pengunjung kedai yang telah mengenal Ib-
lis Perenggut Roh terperangah. Mereka menatap kelebatan tubuh si kakek tanpa
berkedip. Walau tahu Iblis Perenggut Roh punya sifat berangasan, mereka sama
sekali tak menyangka bila si kakek hendak menjatuh-
kan tangan maut.
Kepalan tangan kanan Iblis Perenggut Roh me-
mang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Sekali lihat, Sastrawan Berbudi dan
Pendeta Tasbih Terbang tahu
kalau Iblis Perenggut Roh bermaksud menghantam
dada Dewi Pedang Halilintar dengan pukulan
'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'. Karena ilmu pukulan
itulah nama Dua Iblis dari Gunung Batur pernah beberapa kali menggegerkan rimba
persilatan karena ber-
hasil mengalahkan tokoh-tokoh jajaran atas. Sayang-
nya, Dua Iblis dari Gunung Batur lebih terkenal sebagai dua tokoh beraliran
hitam yang sering membuat
onar. Oleh karena itu, mereka memang lebih pantas
dipanggil 'iblis'.
Set...! Dewi Pedang Halilintar yang telah mengetahui
kehebatan ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Ji-
wa' bergegas bangkit seraya menghunus pedang yang
terselip di punggungnya. Cepat sekali gerakan guru
Kemuning ini. Di lain kejap, terdengar ledakan keras menggelegar mirip
halilintar. Akibatnya, lantai kedai bergetar. Semua meja dan kursi yang masih
kosong tampak bergeser.
Semua mata memandang tak berkedip ketika
tubuh Iblis Perenggut Roh tertahan di udara, lalu jatuh terduduk di lantai.
Namun, kakek kurus ini dapat segera bangkit karena tak mendapat luka apa-apa.
Hanya wajahnya yang tampak pucat-pasi karena ter-
hantam keterkejutan.
Sastrawan Berbudi, Pendeta Tasbih Terbang,
dan Seno menghela napas panjang menyaksikan ade-
gan mendebarkan yang baru saja berlangsung. Iblis
Pencabut Jiwa yang tak sempat berbuat apa-apa pun
menarik napas lega. Mata mereka yang tajam dapat
melihat dengan jelas apa yang telah dilakukan oleh
Dewi Pedang Halilintar.
Sewaktu kepalan tangan Iblis Perenggut Roh
kurang sedepa untuk mengenai sasaran, Dewi Pedang
Kuning mengibaskan bilah pedang yang telah dihu-
nusnya. Kibasan pedang di tangan nenek berilmu ting-gi itu menimbulkan ledakan
keras yang mampu mena-
han terjangan Iblis Perenggut Roh.
"Jahanam kau, Nenek Kudisan!" geram Iblis Perenggut Roh, menahan rasa malu.
"Saat ini juga aku menantangmu untuk bertempur seribu jurus!"
Usai berkata, Iblis Perenggut Roh melirik sau-
dara seperguruannya. Sebagai seorang tokoh golongan hitam, dia tak merasa malu
untuk meminta bantuan
Iblis Pencabut Jiwa.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
tampak geleng-geleng kepala melihat perilaku Iblis Perenggut Roh yang tak
mengindahkan aturan di rimba
persilatan. Mereka menganggap Iblis Perenggut Roh
sebagai manusia yang tak tahu diri. Andai Dewi Pe-
dang Halilintar bermaksud menurunkan tangan maut
pada gebrakan tadi, mana mungkin Iblis Perenggut
Roh masih dapat menghirup udara segar.
Tapi tampaknya, Dewi Pedang Halilintar yang
punya sifat keras kepala dan sedikit tinggi hati bersedia meladeni tantangan
Iblis Perenggut Roh. Dia julurkan pedangnya yang terbuat dari logam pilihan ber-
warna kuning ke muka Iblis Perenggut Roh.
"Tua bangka tak tahu malu! Tak sampai lima
puluh jurus pun kepalamu pasti menggelinding di ke
tanah!" ujar Dewi Pedang Halilintar.
"Baik! Baik! Kita keluar mencari tempat yang
lebih lapang!" sambut Iblis Perenggut Roh.
"Tunggu!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.
Semua orang langsung mengarahkan pandangan ke
Sastrawan Berbudi yang telah bangkit berdiri.
"Tahan hawa amarah!" Sastrawan Berbudi melanjutkan teriakannya. "Kalian sudah
tua. Kenapa masih bersifat kekanak-kanakan" Hanya karena persoa-
lan sepele, darah tak perlu ditumpahkan! Lebih baik
kalian menyimpan tenaga untuk digunakan esok hari!"
Yang dimaksud 'esok hari' oleh Sastrawan Ber-
budi adalah perebutan Kodok Wasiat Dewa di Telaga
Dewa. Tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan
benda ajaib yang tersimpan di dalam perut Ikan Mas
Dewa itu. Karena, di rimba persilatan sudah lama ter-siar kabar bila Ikan Mas
Dewa memiliki kekuatan luar biasa. Kibasan ekornya saja sudah cukup mampu untuk
menggulingkan dua puluh perahu sekaligus.
"Kita pergi!"
Sambil berkata demikian, Dewi Pedang Halilin-
tar menyarungkan pedangnya seraya menggamit len-
gan Kemuning. Setelah meninggalkan beberapa keping
uang logam di meja, nenek bersanggul itu berkelebat keluar kedai. Setengah
terpaksa, Kemuning mengikuti.
Agaknya, Dewi Pedang Halilintar mau menuruti nasi-
hat Sastrawan Berbudi.
Namun, Iblis Perenggut Roh tidak demikian.
Karena tergeluti rasa malu dan penasaran, dia ber-
maksud mengajak kakak seperguruannya untuk men-
gejar Dewi Pedang Halilintar. Tapi, Iblis Perenggut Roh jadi kecewa karena Iblis
Pencabut Jiwa menolak aja-kannya dengan menggeleng-gelengkan kepala.
"Biarkan nenek itu pergi!" ujar Iblis Pencabut Jiwa seraya menenggak segelas
arak. Tubuhnya yang
gemuk bulat tampak bergoyang-goyang ketika cairan
arak keras mengalir ke dalam perutnya.
"Tapi..., dia telah membuatku malu!" desak Iblis Perenggut Roh.
"Kau dengar ucapanku tidak"!" bentak Iblis Pencabut Jiwa. Cairan arak yang masih
tersisa di rongga mulutnya menyemprot keluar.
"Dia telah mencoreng mukaku!" dengus Iblis Perenggut Roh dengan mata mendelik.
"Walau kau tak
mau membantu, aku akan tetap membuat perhitungan
dengan nenek cerewet itu!"
Iblis Perenggut Roh menjejak tanah untuk sege-
ra berkelebat keluar kedai. Tapi tiba-tiba, Iblis Pencabut Jiwa bangkit berdiri.
Cepat sekali tangan kanannya bergerak!
Plak...! "Uhhh...!"
Memekik kesakitan Iblis Perenggut Roh. Tu-
buhnya berpusing ke kanan terkena tamparan Iblis
Pencabut Jiwa. Setelah mendapat tamparan yang cukup keras
itu, Iblis Perenggut Roh berdiri terpaku dengan kepala tertunduk. Rupanya, dia
menyimpan rasa takut terhadap kakak seperguruannya.
"Ha ha ha...!"
Mendadak, terdengar suara tawa lepas berderai.
Kontan Iblis Perenggut Roh menggeram marah. Bola
matanya melotot besar, tak berkedip menatap Seno
yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.
"Hei! Apa yang kau tertawakan, Monyet Bau"!"
bentak Iblis Perenggut Roh dengan muka merah pa-
dam. "Eh! Eh! Maaf, Pak Tua...," ujar Seno, gelaga-pan. "Kau mentertawakan aku,
heh"!"
"Ya. Eh..."
Cepat Seno mendekap mulut karena kelepasan
bicara. Tadi, pemuda lugu ini memang merasa geli melihat sikap iblis Perenggut
Roh yang tampak begitu takut kepada Iblis Pencabut Jiwa.
"Jahanam!" geram Iblis Perenggut Roh.
Kakek kurus yang merasa terhina itu tak kuasa
menahan hawa amarah. Jajaran giginya yang bertau-
tan memperdengarkan suara gemelutuk. Seluruh rasa
kesalnya tertumpah pada Seno.
Dengan sorot mata tajam menusuk, Iblis Pe-
renggut Roh menghampiri. Begitu sampai di hadapan
Seno, tangan kanan Iblis Perenggut Roh melayang un-
tuk menepuk bahu kiri si pemuda!
Melihat Seno yang tampak tenang-tenang saja,
seluruh pengunjung kedai terbelalak. Walau hanya sebuah tepukan, jangan dikira
jemari tangan Iblis Pe-
renggut Roh tidak berbahaya. Karena, tepukan itu disertai ilmu pukulan
'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'!
Balok baja pun akan lumer terkena pukulan tokoh se-
sat itu, apalagi bahu seorang pemuda yang hanya terdiri dari tulang dan segumpal
daging empuk! "Jangan!" cegah Pendeta Tasbih Terbang yang sedari tadi cuma diam. Kakek gundul
ini langsung meloncat bangkit untuk menolong jiwa Seno, tapi mana
sempat" Ketika telapak tangan Iblis Perenggut Roh
hampir menyentuh bahu Seno, semua pengunjung ke-
dai memejamkan mata karena tak tega melihat akibat
yang akan diterima si pemuda yang bertampang kebo-
doh-bodohan. Hanya Iblis Pencabut Jiwa yang tampak
tenang-tenang saja melihat perbuatan adik sepergu-
ruannya. Kakek bertubuh gemuk bulat itu memang telah
terbiasa melihat Iblis Perenggut Roh melakukan tindakan semena-mena.
Sementara, Seno yang diam tak bergeming bu-
kan tidak tahu kalau ada bahaya yang sedang men-
gancam jiwanya. Pada waktu terjadi bentrokan antara Dewi Pedang Halilintar
dengan Iblis Perenggut Roh ta-di, Seno sudah dapat mengukur sampai di mana kehe-
batan ilmu pukulan Iblis Perenggut Roh.
Maka ketika merasakan tiupan angin dingin
yang dibarengi bau anyir darah yang menebar dari telapak tangan Iblis Perenggut
Roh, Seno mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke bahu kirinya. Dengan ilmu
'Perisai Dewa Badai', Seno bermaksud menadahi tepu-
kan maut Iblis Perenggut Roh!
Blammm...! Terdengar suara ledakan cukup keras. Sekali
lagi, semua pengunjung kedai membelalakkan mata,


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termasuk Iblis Pencabut Jiwa. Mereka terperangah melihat tubuh Iblis Perenggut
Roh yang tiba-tiba mencelat dan membentur dinding kedai sampai jebol! Sementara,
Seno masih duduk diam di tempatnya sambil cen-
gar-cengir! Rupanya, ilmu pukulan 'Merenggut Roh Men-
cabut Jiwa' tak mampu menembus ilmu kebal Seno
yang bernama 'Perisai Dewa Badai'. Beberapa orang
tampak bertepuk tangan melihat kehebatan Seno.
Yang lainnya, menyampaikan rasa kagumnya dengan
tatapan mata. Hal itu membuat Seno salah tingkah.
"Aku pergi saja! Aku pergi saja!" desis Seno sambil menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Saat Iblis Perenggut Roh kembali masuk ke ke-
dai dengan langkah sempoyongan, Seno beranjak per-
gi. Karena terburu-buru, tanpa sadar Seno mengguna-
kan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin'.
"Astaga!" seru beberapa orang ketika melihat tubuh Seno berkelebat amat cepat
seakan dapat menghilang. Suasana kedai jadi ramai karena semua pen-
gunjung membicarakan kehebatan Seno. Demikian ju-
ga dengan Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Ter-
bang. "Siapa dia?" tanya Sastrawan Berbudi.
"Kalau tidak salah aku mendengar, tadi murid
Dewi Pedang Halilintar menyebut pemuda itu sebagai
Pendekar Bodoh," jawab Pendeta Tasbih Terbang.
Mendengar ucapan kakek berkepala gundul itu,
seluruh pengunjung kedai semakin ramai membicara-
kan Seno yang disebut-sebut sebagai Pendekar Bodoh.
7 PUCUK-PUCUK cemara meliuk gemulai tersapu
hembusan sang bayu. Burung parkit aneka warna
bernyanyi dalam canda riang. Namun, kegembiraan di
hati mereka segera terhalau manakala bau anyir darah menebar. Bau menusuk hidung
itu berasal dari halaman rumah sederhana yang terbuat dari bilah-bilah
papan. Ketika hembusan sang bayu bertambah ken-
cang, bau anyir darah semakin menyengat. Belasan
burung parkit mencicit ngeri seraya terbang ke angka-sa luas. Mereka tak kuasa
melihat sebuah pemandan-
gan yang sungguh amat mengenaskan.
Di halaman rumah papan yang tak beberapa
jauh dari Telaga Dewa tampak dua sosok mayat terbu-
jur kaku dalam keadaan telentang. Pakaian kedua
orang yang telah dijemput ajal itu penuh lumuran darah yang mulai mengering.
Wajah kedua mayat itu sama-sama menggam-
barkan rasa penasaran. Rahang mereka tampak meng-
gembung hingga berbentuk balok persegi empat. Dan,
bola mata mereka pun melotot besar dengan mulut
ternganga lebar.
Mereka adalah seorang kakek dan nenek. Dili-
hat dari garis-garis wajahnya, mereka tak lain dari Karapak dan Salindri alias
Sepasang Nelayan Sakti!
"Ya, Tuhan...."
Sebuah pekik parau merobek suasana sepi.
Dengan menyebut nama Sang Penguasa Tunggal, seo-
rang pemuda remaja berlari panik penuh rasa tidak
percaya. Pemuda berpakaian biru-biru dengan ikat
pinggang kain merah itu membelalakkan mata. Seku-
jur tubuhnya bergetar karena jantungnya berdegup lebih kencang.
"Kakek Karapak.... Nenek Salindri...," sebut si pemuda yang tak lain dari Seno
Prasetyo. Tak percaya pada penglihatannya sendiri, Seno
memeriksa jalan napas Karapak dan Salindri. Diperik-sanya pula detak jantung
sepasang suami-istri berusia lanjut itu. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Jiwa
mereka memang telah melayang beberapa waktu yang lalu.
Sejenak Seno mengedarkan pandangan. Tak
ada manusia lain yang terlihat. Suasana sunyi sepi.
Hanya desau angin yang terdengar.
"Pembunuh kejam itu tentu telah pergi...," pikir Seno, raut wajah keruh. Lalu
dengan suara bergetar, pemuda lugu ini berkata, "Kakek dan nenek yang baik...,
kasihan sekali kau.... Aku tahu Kakek dan Nenek berdua mati dibunuh orang.
Percayalah kepadaku.
Akan kubalas tindakan biadab ini. Ya. Akan kubalas
tindakan biadab ini!"
Setelah mengatakan tekadnya, Seno memeriksa
lagi jenazah Karapak dan Salindri. Tepat di ulu hati kakek-nenek itu terdapat
luka berlubang yang tembus sampai ke punggung.
"Hmmm.... Aku tahu kakek dan nenek ini dibu-
nuh orang dengan tusukan senjata tajam. Mungkin
pedang atau senjata semacamnya," pikir Seno.
Murid Dewa Dungu ini mengedarkan pandan-
gan lagi, lalu melangkah untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai
petunjuk mencari si pembunuh. Seno memasuki rumah bilah-bilah papan. Na-
mun, di rumah sederhana itu, Seno tak menemukan
apa-apa. Seno berdiri termangu sejenak. Hatinya be-
nar-benar sedih dan perih teriris-iris. Selama beberapa hari tinggal bersama
Karapak dan Salindri, kakek-nenek bergelar Sepasang Nelayan Sakti itu telah
memperlihatkan sikap ramah dan penuh kasih sayang.
Terbayang di benak Seno, ucapan Karapak
yang ingin menjodohkan dirinya dengan Kemuning.
Ucapan si kakek yang mengiang di telinga itu membuat hati Seno makin sedih.
Hingga, pada puncak kesedi-hannya, Seno teringat pada sosok Ibunya yang juga
mati dibunuh orang.
Dengan langkah gontai, Seno keluar rumah. Di-
tatapnya langit biru yang ditebari awan perak. Di atas sana, Seno seakan dapat
melihat sosok ibunya yang
bernama Dewi Ambarsari atau Putri Bunga Putih.
"Maafkan Seno, Bu...," desis Seno, tetap me-nengadahkan wajah. "Belum dapat aku
mencari siapa orang-orang yang telah menyengsarakan Ibu, kini Seno mesti
kehilangan dua orang tua yang juga menyayangi Seno. Seno sedih sekali, Bu. Seno
bersalah.... Seno tak mampu mencegah tindakan kejam itu...."
Seno menumpahkan rasa sedihnya dengan
berkata-kata seorang diri. Namun, Seno tak mau me-
nangis. Karena kalau menangis, berarti dia tidak tabah. Dan kalau tidak tabah,
berarti dia tak kuasa men-jalani hidup yang memang penuh tantangan dan co-
baan. Begitulah pengertian yang telah mendarah dag-
ing dalam diri Seno sejak kecil.
Dengan langkah masih gontai, Seno melangkah
ke halaman samping rumah. Mendadak, langkah pe-
muda lugu itu terhenyak. Cepat diambilnya sebatang
kayu besi yang tergeletak di tanah. Batang kayu berwarna hitam itu ternyata
potongan dayung perahu.
"Dayung ini senjata Kakek Karapak," desis Se-no, mengamati potongan kayu di
tangannya. "Dayung ini terpapas jadi dua karena tebasan senjata tajam.
Hmmm.... Bersama Nenek Salindri, Kakek Karapak
tentu habis melakukan pertempuran sengit melawan
orang bersenjata pedang atau golok."
Melangkah lagi Seno. Di balik tonjolan batu be-
sar, Seno menemukan joran pancing yang juga telah
terpotong sebagian. Bekas potongannya rata karena
memang tertebas oleh senjata tajam,
"Joran pancing ini senjata Nenek Salindri. Aku yakin bila pembunuh itu memang
seorang pesilat yang mahir memainkan senjata pedang atau golok," pikir Seno.
"Tapi, siapa" Mungkinkah Setan Selaksa Wajah"
Atau, orang lain anggota komplotan Lembah Dewa-
Dewi?" Seno cengar-cengir, tak mampu menjawab pertanyaan di benaknya. Tapi
mendadak, bola mata pe-
muda berwajah tampan itu melotot. Di bawah batang
pohon cemara, dia melihat sesosok tubuh terbaring
miring. Bergegas Seno meloncat menghampiri. Sosok
tubuh yang dilihat Seno itu mengenakan pakaian ser-
ba kuning. Rambutnya yang telah berwarna dua dige-
lung ke atas. Dan, di punggungnya terikat sarung pedang kosong.
Seno terkesiap ketika tahu jemari tangan kanan
sosok tubuh itu mencengkeram sebatang pedang yang
terbuat dari logam pilihan berwarna kuning. Dan, bilah pedang itu penuh
berlumuran darah yang telah mengering! "Dewi Pedang Halilintar...!" pekik Seno
setelah dapat mengenali sosok tubuh yang ditemukannya
Tanpa pikir panjang lagi, Seno memeriksa kea-
daan sosok tubuh yang memang Dewi Pedang Halilin-
tar itu. Seno dapat merasakan detak jantung si nenek, berarti guru Kemuning itu
masih hidup. Namun, Seno terkesiap lagi saat menemukan
sebentuk luka di bahu kiri Dewi Pedang Halilintar. Lu-ka itu tidak seberapa
besar, seperti bekas cabikan. Se-no segera dapat memastikan bila luka di bahu
guru Kemuning itu bekas sambaran mata pancing!
Kontan mata Seno berkilat-kilat karena tergelu-
ti pikiran tak enak. Seperti orang kesetanan, Seno
membalikkan tubuh Dewi Pedang Halilintar. Di pung-
gung si nenek, Seno menemukan luka memar akibat
benturan senjata tumpul.
Benak Seno semakin digeluti pikiran tak enak.
Dapat dipastikan bila dua luka di tubuh Dewi Pedang Halilintar akibat senjata
Salindri dan Karapak, yang memang biasa menggunakan senjata alat pancing dan
dayung perahu. Melihat darah yang melumuri pedang
Dewi Pedang Halilintar, kemungkinan besar nenek bersanggul Itulah yang telah
membunuh Sepasang Ne-
layan Sakti. Bukankah tubuh Dewi Pedang Halilintar
terdapat luka akibat senjata Karapak dan Salindri"
Ingin rasanya Seno memecahkan batok kepala
Dewi Pedang Halilintar saat itu juga. Tapi, dia tak mau berbuat gegabah. Dia
harus dapat membuktikan kebe-narannya dulu.
Tak sabaran lagi Seno menotok beberapa jalan
darah di tubuh Dewi Pedang Halilintar. Setelah nenek
bersanggul itu siuman, Seno hendak mengorek penga-
kuan darinya. "Uh...!"
Pada totokan kelima di dada kiri, Dewi Pedang
Halilintar mengeluh pendek, tersadar dari pingsannya.
Karena si nenek menderita luka dalam akibat pukulan dayung, tangannya langsung
mendekap dadanya yang
sesak. "Pendekar Bodoh...," desis Dewi Pedang Halilintar, mengerjap-ngerjapkan
mata. "Ya. Ini aku," sahut Seno, cepat. "Engkaukah yang telah membunuh Sepasang
Nelayan Sakti?"
"Uh...!"
Dewi Pedang Halilintar mengeluh kesakitan,
mencoba duduk sambil memegangi punggungnya. Se-
no memungut bilah pedang kuning yang terlepas dari
cekalan nenek bersanggul itu.
"Kau dengar perkataan ku tidak, Nek?" ujar Se-no, menunjukkan bilah pedang yang
berlumuran da- rah. "Engkaukah yang telah membunuh Sepasang Nelayan Sakti?"
"Uh...!"
Mengeluh lagi Dewi Pedang Halilintar. Nafasnya
terdengar memburu. Seno mendelikkan mata melihat
si nenek menundukkan kepala, tak menjawab perta-
nyaannya. "Aku tahu kau terluka dalam," ucap Seno, keras membentak. "Walau begitu, tentu
kau masih bisa menjawab pertanyaanku. Engkaukah yang telah membunuh Sepasang
Nelayan Sakti?"
Tak Juga menjawab Dewi Pedang Halilintar. Dia
terus menunduk sambil mendesah-desah. Seno men-
dengus gusar. Andai Seno tak ingat nasihat ibunya
bahwa Seno harus berlaku sopan dan hormat kepada
siapa saja terutama kepada orang tua, pastilah saat itu Seno telah menonjok
mulut Dewi Pedang Halilintar
yang tak mau menjawab pertanyaannya.
"Pedangmu ini berlumuran darah, Nek!" geram Seno yang masih memegang bilah
pedang kuning. "Kalau kau tidak segera menjawab pertanyaanku, maka
darah yang melumuri pedang ini akan bertambah lagi!
Kau tak menjawab, berarti kau mengakui. Engkaulah
pembunuh Sepasang Nelayan Sakti!"
"Bukan...," sahut Dewi Pedang Halilintar, lirih seperti orang menggumam.
"Bukan" Lalu, siapa?" desak Seno.
Dewi Pedang Halilintar diam. Kepalanya me-
nunduk lagi. Seno jadi sebal karena si nenek terus
mendesah-desah.
"Kakek Karapak dan Nenek Salindri mati terke-
na tusukan senjata tajam. Dan, aku menemukan diri-
mu yang pingsan dengan memegang pedang berlumu-
ran darah. Sementara, aku tahu di bahu kirimu terdapat luka sambaran mata
pancing senjata Nenek Salin-
dri. Lain itu, di punggungmu terdapat luka memar akibat pukulan benda tumpul
yang kemungkinan besar
adalah pukulan dayung perahu senjata Kakek Kara-
pak," ujar Seno, panjang lebar. "Melihat bukti-bukti yang sedemikian kuat,
apakah kau mau mungkir?"
"Aku tidak membunuh mereka...," elak Dewi Pedang Halilintar. "Aku tidak membunuh
siapa-siapa...."
"Lalu, darah yang melumuri pedangmu ini da-
rah siapa?" sergap Seno.
"Darah Karapak dan istrinya."
"Kalau begitu, memang engkaulah pembunuh
Sepasang Nelayan Sakti itu!"
"Bukan!"
"Ngaco belo! Kau jangan membuatku bingung,
Nek! Kau jangan berkata terbelit-belit!"
Seno membentak keras sekali. Bahunya naik
turun karena desakan napas memburu. Amarah Seno
benar-benar hendak meledak. Walau Seno bukanlah
seorang pemuda yang gampang naik pitam, tapi kare-
na desakan rasa sedih dan kehilangan, darahnya jadi mendidih. Apalagi, Dewi
Pedang Halilintar tak segera memberi penjelasan.
"Kau akui bila darah yang melumuri pedangmu
adalah pedang Sepasang Nelayan Sakti, tapi kenapa
kau tak mau mengakui bila kaulah pembunuh kakek-
nenek itu"!" seru Seno dengan sorot mata berkilat-kilat. "Aku tidak membunuh
siapa-siapa...," sahut Dewi Pedang Halilintar.
Bummm...! Terdesak rasa jengkel, Seno menggedruk tanah.
Tanpa sadar gedrukannya disertai tenaga dalam. Aki-
batnya, bumi berguncang, dan tubuh Dewi Pedang Ha-
lilintar jatuh berguling-guling.
"Dasar Pendekar Bodoh!" maki Dewi Pedang
Halilintar kemudian. Bola matanya melotot besar, tak berkedip menatap wajah
Seno. Melihat perubahan sikap si nenek, Seno meng-
geram marah. "Aku memang Pendekar Bodoh! Tapi, kalau cuma memecahkan kepala


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang pembunuh
kejam macam kau, kurasa aku cukup mampu!"
"Aku bukan pembunuh!" elak Dewi Pedang Halilintar. Usai berkata, guru Kemuning
ini mendekap dadanya, yang sesak. Dia lalu terbatuk-batuk.
Melihat penderitaan si nenek, Seno jadi iba dan
kasihan. Tapi setelah ingat bila dia punya bukti kuat untuk menuduh si nenek
sebagai seorang pembunuh,
cepat Seno menepis rasa iba dan kasihannya. Ditatapnya wajah si nenek dengan
sorot mata makin berapi-
api. Tapi, Dewi Pedang Halilintar yang punya sifat
tinggi hati balas menatap tajam pula. Walau menderita luka dalam, dia tidak
gentar sama sekali melihat tatapan Seno yang seakan ingin menelannya hidup-
hidup. "Aku bukan pembunuh!" seru si nenek lagi.
"Bukti sudah cukup kuat! Kau jangan mung-
kir!" bentak Seno.
"Aku tidak mungkir! Aku memang bukan pem-
bunuh! Dasar kau Pendekar Bodoh! Mana tahu siasat
licik orang"!"
Seno mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
tanyanya. Mendadak, amarah di hati pemuda lugu ini
menurun. "Sekujur tubuhku terasa sakit. Tapi, hatiku lebih sakit lagi!" ujar Dewi Pedang
Halilintar. Usai berkata, nenek yang tubuhnya masih
tampak sintal itu bangkit berdiri sambil meringis kesakitan. Dia melangkah
sempoyongan. Begitu sampai di
hadapan Seno, dia berkata, "Serahkan pedangku!"
"Enak saja!" tolak Seno. "Kau seorang pembunuh! Justru pedang ini akan kugunakan
untuk me- menggal kepalamu!"
"Bodoh sekali kau!" bentak Dewi Pedang Halilintar. "Aku harus segera
menyelamatkan muridku! Bi-la kau masih penasaran, kau bisa menemuiku di lain
waktu! Serahkan pedang itu!"
Mendengar ucapan si nenek yang sama sekali
tak takut kepadanya, Seno mengerutkan kening lagi.
Tanpa sadar dia melakukan kebiasaan buruknya, yak-
ni nyengir kuda. Hidungnya berkernyit dengan kelopak mata menyipit. Kalau sudah
begitu, wajah Seno sema-
kin tampak kebodoh-bodohan.
"Eh! Kau tadi berkata hendak menyelamatkan
muridmu?" ujar Seno kemudian. "Kenapa dengan Kemuning?"
"Dia diculik orang!" sahut Dewi Pedang Halilintar. "Cepat serahkan pedang itu!"
Seno menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ti-
ba-tiba, otaknya jadi bebal memikirkan semua ucapan Dewi Pedang Halilintar.
Bukti sudah kuat, tapi kenapa si nenek bersikeras menolak tuduhan bahwa dialah
pembunuh Sepasang Nelayan Sakti" Apakah nenek itu
memang bukan pembunuhnya" Lalu, kenapa pula si
nenek mengatakan Kemuning diculik orang"
Plok! Mendadak, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
Untuk beberapa lama, dia cuma dapat cengar-cengir
seperti telah hilang akal pikirannya. Namun, begitu teringat pada Sepasang
Nelayan Sakti yang telah terbujur kaku menjadi mayat, Seno menodongkan pedang di
tangannya ke dada Dewi Pedang Halilintar.
"Kau jangan membuat aku bingung, Nek!" har-dik Seno. "Cepat katakan siapa
sebenarnya yang telah membunuh Kakek Karapak dan istrinya! Dan, apa pula
yang telah terjadi pada Kemuning!"
"Aku tak biasa diancam seperti ini!" tantang Dewi Pedang Halilintar.
Pergelangan tangan Seno bergetar melihat tata-
pan tajam Dewi Pedang Halilintar. Tanpa terasa, pedang ditangannya melorot
turun. "Andai kau mau berpikir matang, kau pasti ta-
hu apa yang sebenarnya telah terjadi," ujar Dewi Pedang Halilintar sambil
mendekap dada. "Ada orang jahat yang hendak membunuhku dengan meminjam
tanganmu, Pendekar Bodoh!"
"Apa maksudmu?" seru Seno kaget. Dewi pe-
dang Halilintar tak segera menjawab. Dia terbatuk-
batuk beberapa lama. Setelah menarik napas beberapa kali, barulah dia dapat
bernapas dengan lega. Tata-pannya pada Seno tiba-tiba berubah redup.
"Aku tahu kau seorang pemuda yang lugu dan
jujur, Seno...," ujar si nenek kemudian. "Percayalah kepadaku. Aku bukan seorang
pembunuh kejam seperti yang kau kira. Aku tidak membunuh Sepasang
Nelayan Sakti. Bersama mereka, aku dan Kemuning
baru saja bertempur melawan seorang pemuda yang
punya ilmu kesaktian amat tinggi..."
"Benarkah itu?" selidik Seno sambil menyengir kuda. "Aku dan Kemuning sedang
mengunjungi Sepasang Nelayan Sakti. Kedatanganku adalah dengan satu maksud untuk
meminta maaf. Kau tahu aku telah salah menilai orang. Sepasang Nelayan Sakti
yang ter- nyata dua tokoh beraliran putih telah kusangka sebagai anggota komplotan Lembah
Dewa-Dewi" tutur Dewi Pedang Halilintar.
Guru Kemuning itu memaksakan diri untuk bi-
cara banyak walau dengan napas tersengal-sengal. Se-no membiarkan saja karena
dia ingin tahu peristiwa
pembunuhan Sepasang Nelayan Sakti yang sebenar-
nya. "Di rumah sederhana itu," lanjut Dewi Pedang Halilintar, menunjuk rumah
kediaman Sepasang Nelayan Sakti, "Aku dan Sepasang Nelayan Sakti sempat beramah-
tamah dan menyusun siasat untuk menjebak
Setan Selaksa Wajah. Namun tiba-tiba, dari halaman
depan terdengar teriakan keras yang menyuruh Kami
semua keluar. Karena teriakan itu kata-kata kotor
yang tak enak didengar telinga, aku bersama Kemun-
ing dan Sepasang Nelayan Sakti keluar rumah...."
"Ternyata, yang berteriak itu siapa?" tanya Se-no, mulai percaya pada ucapan
Dewi Pedang Halilintar.
"Kami semua tak mengenal," jawab si nenek.
"Dia seorang pemuda kekar yang mengenakan pakaian serba merah. Dan...."
Dewi Pedang Halilintar tak meneruskan ceri-
tanya. Mendadak, air bening mengambang di pelupuk
matanya. "Terus bagaimana, Nek?" kejar Seno, terharu.
"Pemuda itu langsung menyerang kami...," ujar Dewi Pedang Halilintar, lirih
seperti mengandung penyesalan dalam. "Dia sangat hebat luar biasa. Ilmu peringan
tubuhnya benar-benar telah mencapai tingkat
sangat tinggi. Lalu...."
"Lalu apa, Nek?" Seno semakin penasaran.
"Pedangku dirampas. Dengan pedangku ini, dia
membabat putus senjata Sepasang Nelayan Sakti yang
berupa dayung perahu dan joran pancing...."
Cerita Dewi Pedang Halilintar terhenti lagi. Air
bening yang mengambang di pelupuk matanya tampak
menitik ke pipi. Sesaat kemudian, dia terbatuk-batuk lagi. "Kau terluka dalam,
Nek...," ucap Seno, kebodoh-bodohan.
"Ya. Tapi, aku harus bercerita dulu kepada-
mu...," sahut Dewi Pedang Halilintar. "Setelah pemuda jahat itu berhasil
membabat putus senjata Sepasang
Nelayan Sakti, dia tertawa bergelak-gelak. Dia mengucap kata-kata penuh
kesombongan yang membuat hati
kami semua jadi panas membara. Secara bersamaan,
kami menerjang. Namun...," Dewi Pedang Halilintar menyeka air matanya, "Tiba-
tiba, Sepasang Nelayan Sakti memekik parau. Dada mereka tertembus pedang
di tangan pemuda jahat itu...."
Mendelik mata Seno mendengar cerita Dewi Pe-
dang Halilintar. Amarahnya memuncak lagi. "Benarkah apa yang kau katakan itu,
Nek?" selidiknya lagi.
"Kalau kau tak percaya, kau boleh bunuh aku
sekarang juga."
Mendengar ucapan Dewi Pedang Halilintar itu,
Seno mendesah. Antara percaya dan tidak, Seno ber-
kata, "Lanjutkan ceritamu, Nek."
Dewi Pedang Halilintar batuk-batuk sebentar,
lalu berkata, "Kemuning yang berilmu lebih rendah di-totok hingga tak dapat
berbuat apa-apa. Dan dengan
kecepatan luar biasa, pemuda itu memungut potongan
senjata yang tergeletak di tanah. Tak dapat aku menghindar ketika mata pancing
melukai bahu kiriku. Sela-gi aku mengaduh kesakitan, tiba-tiba pemuda itu
menggebuk punggungku dengan potongan dayung...."
"Lalu?" buru Seno.
"Aku jatuh ke tanah. Namun sebelum pingsan,
aku sempat melihat pemuda berpakaian serba merah
itu menyambar tubuh Kemuning dan membawanya la-
ri...." "Keparat!" geram Seno tiba-tiba.
"Bila kau menemukan tubuhku yang terkulai
pingsan dengan tangan mencekal pedang kuning, itu
karena perbuatan pemuda jahat itu pula. Sebelum
membawa lari Kemuning, dia melemparkan pedang
yang dibawanya ke arah ku. Aku memungutnya. Tentu
saja aku hendak mengejar guna menyelamatkan Ke-
muning, tapi bayang-bayang gelap keburu menyelimuti pandanganku...."
Dewi Pedang Halilintar mengakhiri ceritanya
dengan desah panjang. Ditatapnya wajah Seno lekat-
lekat seraya berkata, "Serahkan pedang itu. Aku akan
pergi mencari Kemuning...."
Seno berpikir-pikir sebentar. Dia tak melihat
adanya dusta atau suatu kebohongan dalam cerita
Dewi Pedang Halilintar. Maka, dia angsurkan pedang
di tangannya yang memang milik Dewi Pedang Halilin-
tar. "Kau hendak mencari Kemuning ke mana,
Nek?" tanya Seno dengan suara lembut dan polos.
"Ke mana saja," jawab Dewi Pedang Halilintar.
"Sampai ke ujung langit pun Kemuning harus kutemukan kembali. Bila perlu aku
akan mengadu nyawa
dengan pemuda yang melarikan Kemuning itu!"
"Tapi, kau menderita luka dalam, Nek...."
Tersenyum Dewi Pedang Halilintar. Ditatapnya
wajah Seno lekat-lekat seraya berkata, "Kau tak perlu mengkhawatirkan keadaanku.
Luka dalamku pasti bi-sa ku atasi. Namun, Seno...," suara Dewi Pedang Halilintar
bergetar. "Kau seorang pemuda yang amat lugu dan jujur. Kemuning banyak
bercerita hingga aku tahu siapa dirimu. Hati-hatilah. Di dunia ini banyak
manusia jahat. Hati-hatilah. Jangan sampai mereka meman-faatkan keluguan dan
kejujuranmu...."
Usai berkata, Dewi Pedang Halilintar memba-
likkan badan seraya melangkah meninggalkan tempat.
Seno menatap punggung si nenek tanpa berkedip.
"Aku akan membantumu mencari Kemuning,
Nek!" teriak Seno.
Namun, Dewi Pedang Halilintar terus melang-
kah. Seno cuma dapat mendesah.
Plok! Sekali lagi, Seno menggaplok kepalanya sendiri.
"Bodoh benar aku ini!" rutuknya kepada diri sendiri.
"Kenapa aku hanya berdiri bengong di tempat ini. Aku harus segera mengurus
jenazah Kakek Karapak dan is-
trinya!" 8 SATU Suro.... Semburat cahaya jingga di kaki
langit timur hanya dapat memberi keremangan. Sang
baskara bagai putri malu untuk menampakkan wu-
judnya. Walau hari baru saja menyingsing fajar, Telaga Dewa telah diramaikan
hiruk-pikuk suara orang. Puluhan perahu tampak berjajar memenuhi pinggiran te-
laga. Manakala kepala sang baskara terlihat samar-
samar, suasana di Telaga Dewa, berubah sunyi. Tak
ada lagi orang yang membuka percakapan. Semua di-
am membisu dalam ketegangan. Terutama tokoh-tokoh
rimba persilatan yang menginginkan Kodok Wasiat
Dewa yang tersimpan di dalam perut Ikan Mas Dewa.
Putaran waktu terus berlalu. Sang baskara
yang telah menampakkan wujud utuhnya menyiram-
kan cahaya hangat. Pagi telah tiba. Keremangan terusir. Namun, di hari yang
telah menjadi terang benderang itu, ikan Mas Dewa tak juga ada tanda-tanda
akan menampakkan diri.
Semua yang menanti kehadiran ikan mas rak-
sasa yang memiliki kekuatan luar biasa itu menjadi ge-lisah. Bukan saja tokoh-
tokoh rimba persilatan, juga para saudagar kaya dan bangsawan yang memang
sangat berhasrat untuk dapat melihat wujud Ikan Mas Dewa. Namun akhirnya,
penantian mereka membua-hkan hasil juga. Saat sang baskara naik dua jengkal dari
kaki langit timur, mendadak di tengah telaga sinar kuning keemasan melesat
tinggi ke atas. Sinar itu melesat cepat sekali, dan menimbulkan gelombang besar
yang disertai ombak setinggi pohon kelapa.
Di bawah lesatan sinar kuning keemasan, terli-
hat seekor ikan yang panjang tubuhnya sekitar tiga
depa. Ikan yang meloncat di atas permukaan air itu
bersisik kuning mengkilat yang benar-benar mirip
emas yang berkilau tertimpa sinar mentari.
"Ikan Mas Dewa...!" seru orang-orang di atas perahu, gegap gempita.
Selagi puluhan perahu bergerak serentak men-
dekati, ikan mas raksasa yang memang Ikan Mas Dewa
tampak meluncur berputar-putar di tengah telaga.
Timbul gelombang yang lebih besar. Belasan perahu
yang bergerak di depan langsung terbalik. Pekik parau terdengar susul-menyusul.
Gelombang yang dibuat oleh Ikan Mas Dewa
benar-benar kuat luar biasa. Belasan perahu lagi, yang ditumpangi tokoh-tokoh
silat, tampak saling bentur.
Sebagian pecah berantakan. Sebagian lagi terbalik.
Tentu saja para penumpangnya menjadi panik. Demi
keselamatan nyawa, bergegas mereka berenang mene-
pi. Tak hendak lagi berusaha menangkap Ikan Mas
Dewa. Namun tiba-tiba, tiga buah perahu melesat
amat cepat. Penumpangnya adalah tiga orang kakek
yang sama-sama berpakaian serba putih.
Sesaat, terdengar suara mendesing disertai ge-
muruh angin. Tiga batang tombak meluncur deras.
Ujung-ujungnya yang terbuat dari besi runcing mengarah kepala Ikan Mas Dewa!
Buk! Buk! Buk! Ketiga ujung tombak tepat menerpa kepala Ikan
Mas Dewa. Namun, betapa terkejutnya tiga kakek ber-
pakaian serba putih yang berada di atas perahu. Tombak-tombak yang mereka
lemparkan tak dapat melukai
Ikan Mas Dewa. Dua batang terlontar balik lalu tenggelam ke dasar telaga.
Sementara, yang satunya lagi pa-tah jadi dua, dan turut tenggelam pula.
Sebenarnya, ketiga kakek pelempar tombak itu
bukanlah orang sembarangan. Di rimba persilatan,
mereka terkenal dengan julukan Tiga Saudagar Putih.
Mereka adalah ahli memainkan senjata tombak. Dan,
lemparan ketiga tombak tadi sesungguhnya sudah cu-
kup mampu untuk menembus batu karang sebesar
kerbau. Namun agaknya, lemparan tombak mereka tak


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berarti sama sekali bagi Ikan Mas Dewa yang memang
memiliki kekuatan luar biasa.
Tampak kemudian, Ikan Mas Dewa mengi-
baskan ekornya. Gerakannya terlihat pelan, namun ti-ba-tiba terbentuk ombak
besar yang mampu melontar-
kan perahu Tiga Saudara Putih!
Seperti beberapa tokoh silat lainnya yang telah
mendapat nasib apes, Tiga Saudara Putih pun berge-
gas berenang ke tepi telaga.
Sementara, Ikan Mas Dewa terus meluncur
berputar-putar. Semakin besar gelombang dan ombak
yang terbuat. Akibatnya, semakin banyak perahu yang terbalik atau pecah karena
saling bentur. Para saudagar dan bangsawan tak berani mendayung perahu ke
tengah telaga. Kekuatan Ikan Mas Dewa benar-benar
membuat mereka ngeri. Belasan saudagar dan bang-
sawan bahkan tampak tergesa-gesa menambatkan pe-
rahu lalu meloncat ke daratan.
Namun, bagi para pesilat yang sudah terbiasa
melihat sesuatu yang menggiriskan, kekuatan Ikan
Mas Dewa malah membuat semangat mereka terbakar.
Sambil menjaga keseimbangan perahu agar tak terba-
lik, mereka melemparkan berbagai jenis senjata tajam.
Maka dalam beberapa kejap mata, puluhan tombak,
pedang, golok, trisula, dan anak panah tampak berlesatan. Namun, Ikan Mas Dewa
tampak tenang-tenang
saja. Hujan senjata yang menimpa tubuhnya tak satu
pun yang dapat melukai. Padahal, senjata-senjata itu dilemparkan dengan kekuatan
penuh yang disertai tenaga dalam.
Melihat tubuh Ikan Mas Dewa yang kebal, la-
ma-kelamaan para pelempar senjata tajam jadi putus
asa. Satu-persatu mereka mundur teratur. Namun,
banyak di antara mereka yang mesti minggir dengan
berenang karena perahu yang mereka tumpangi telah
terbalik ataupun pecah.
Pada saat Ikan Mas Dewa meloncat-loncat ke
atas air memperlihatkan keelokan tubuhnya, terdengar siulan panjang amat keras.
Lalu, dari arah utara telaga meluncur sebuah perahu kecil secepat luncuran anak
panah lepas dari busur. Penumpangnya seorang pe-
muda remaja berumur tujuh belas tahun. Berwajah
tampan dan mengenakan pakaian biru-biru dengan
ikat pinggang kain merah. Rambutnya yang tergerai
panjang tampak berkibaran karena terhempas tiupan
angin kencang. Dia Seno Prasetyo!
Setelah menguburkan jenazah Sepasang Ne-
layan Sakti, sebenarnya Seno telah berputar-putar ke berbagai tempat untuk
mencari pembunuh kakek-nenek itu. Tentu saja Seno sangat mengkhawatirkan
keselamatan Kemuning karena menurut penuturan
Dewi Pedang Halilintar, Kemuning diculik orang yang telah membunuh Sepasang
Nelayan Sakti. Dewi Pedang Halilintar berkata bahwa si orang jahat adalah
seorang pemuda kekar yang mengenakan pakaian serba merah. Namun hingga hari
berganti, Seno tak dapat
menemukan penjahat itu. Akhirnya, Seno memu-
tuskan untuk mencari jejak si penjahat di Telaga De-wa. Dan ketika melihat
kemunculan Ikan Mas Dewa,
Seno teringat tujuannya semula untuk mendapatkan
Kodok Wasiat Dewa seperti yang telah dipesankan oleh Dewa Dungu gurunya. Dengan
turut memperebutkan
Kodok Wasiat Dewa, Seno berharap akan dapat ber-
jumpa dengan si penjahat untuk kemudian membuat
perhitungan. Byarrr...! Byarrr...!
Melihat kedatangan perahu yang ditumpangi
Seno, Ikan Mas Dewa mengibaskan ekornya dua kali.
Terciptalah dua gulungan ombak setinggi pohon kela-
pa. Seno tidak menjadi panik karena dia sudah cukup mahir mengendalikan perahu
hasil ajaran Karapak.
Dua gulungan ombak ciptaan Ikan Mas Dewa mampu
mengangkat perahu Seno. Tapi, Seno dapat berbuat
sedemikian rupa hingga perahunya dapat meluncur
turun lagi tanpa terbalik.
Srat...! Srat...!
Tiba-tiba, Seno melemparkan dua utas tali pan-
jang berwarna putih berkilat. Bagai ular yang amat ge-sit, dua utas tali
pemberian Salindri yang terbuat dari baja lentur itu langsung melilit sirip dan
ekor Ikan Mas Dewa! Tentu saja Ikan Mas Dewa tak tinggal diam. Dia memberontak
dengan mengerahkan seluruh daya ke-kuatannya. Hingga, segulung ombak sebesar
bukit terbentuk. Permukaan air telaga naik tiga tombak dan
meluber ke daratan. Puluhan perahu berpentalan ke
udara! Namun demikian, Ikan Mas Dewa tak dapat
melepaskan diri dari belitan tali baja Seno. Sementara, perahu Seno pun tak
terbalik ataupun terlontar. Pera-
hu Seno bagai lengket di permukaan air, naik-turun
mengikuti ombak atau gelombang besar yang dicipta-
kan oleh Ikan Mas Dewa.
Hingga sepeminum teh, Ikan Mas Dewa terus
mengempos tenaga untuk dapat membebaskan diri.
Tapi sampai tenaganya terkuras, belitan tali baja Seno tak dapat terlepas. Dan
perlahan-lahan, gerakan Ikan Mas Dewa melemah. Sedikit demi sedikit, ombak
ataupun gelombang di tengah telaga mulai lenyap.
Kemudian, dari tepi telaga terdengar sorak-
sorai yang mengelu-elukan kehebatan Seno. Namun
karena mereka tak tahu nama Seno yang sebenarnya,
mereka menyebut dengan julukan yang pernah mereka
dengar dari mulut Kemuning.
"Pendekar Bodoh! Hebat sekali kau, Pendekar
Bodoh!" "Luar biasa! Pendekar Bodoh memang luar biasa!" "Ajaib! Pendekar Bodoh
seorang pemuda ajaib!"
Begitulah teriakan para tokoh silat yang pernah melihat Seno di Kedai Mawar
tempo hari. Dan, pesilat-
pesilat lainnya pun turut mengelu-elukan kehebatan
Seno. Karena tak tahu pula nama Seno yang sebenar-
nya, mereka juga menyebut Seno dengan sebutan Pen-
dekar Bodoh. Belum reda sorak-sorai yang terdengar dari tepi
telaga, mendadak dua buah perahu meluncur cepat
mendekati perahu Seno. Mereka dua orang kakek ber-
pakaian kuning-hitam. Satu bertubuh kurus kerem-
peng dan yang satunya lagi bertubuh gemuk bulat.
Mereka adalah Dua Iblis dari Gunung Batur, Iblis Perenggut Roh dan Iblis
Pencabut Jiwa! Ketika perahu Dua Iblis dari Gunung Batur
hampir mendekati perahu Seno, mereka memisahkan
diri. Iblis Perenggut Roh langsung melepas pukulan
'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'. Kakek kurus itu me-
nyertai pukulan jarak jauhnya dengan tenaga dalam
penuh. Dia tak mau kejadian di Kedai Mawar terulang lagi. Sementara, Iblis
Pencabut Jiwa tampak meloncat untuk merampas dua utas tali baja di tangan Seno.
"Hiahhh...!"
Wusss...! Tahu ada bahaya mengancam, cepat Seno me-
nyatukan kedua talinya ke tangan kiri. Dengan kedua kaki menjepit bilah kayu di
geladak perahu, Seno meloncat tinggi untuk menghindari sambaran tangan Iblis
Pencabut Jiwa. Dan, telapak tangan kanannya yang di-lambari Ilmu pukulan 'Dewa
Badai Rontokkan Langit'
mengibas guna memapaki pukulan jarak jauh Iblis Pe-
renggut Roh! Blar...! Selarik sinar putih berkilat bentrok dengan dua
larik sinar kuning. Walau Seno cuma mengerahkan
seperempat bagian tenaga dalamnya, tapi sudah cukup mampu untuk meredam pukulan
'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'. Bahkan, tubuh Iblis Perenggut Roh
tampak terlontar dari perahu, lalu tercebur ke telaga.
Untung dia tak mendapat cedera, sehingga dapat berenang ke tepian.
Byurrr...! Iblis Pencabut Jiwa pun tercebur ke telaga ka-
rena sambarannya hanya mengenai tempat kosong.
Sambil memapaki pukulan jarak jauh Iblis Perenggut
Roh, Seno meloncat tinggi dengan menjepit perahunya.
Hingga, usaha Iblis Pencabut Jiwa tak menghasilkan
apa-apa. Dan, dia pun tercebur ke telaga.
Terucap sumpah serapah dari mulut Iblis Pen-
cabut Jiwa. Namun, dia pun tak dapat berbuat apa-
apa lagi kecuali berenang ke tepian, menyusul saudara seperguruannya. Walau
tubuh kakek itu gemuk bulat,
tapi dia dapat berenang dengan cepat.
Seno bernapas lega. Matanya menatap Ikan
Mas Dewa yang sudah tampak jinak. Namun, tanpa
diduga-duga oleh pemuda lugu ini, dari arah bela-
kangnya melesat empat perahu yang ditumpangi em-
pat kakek berkepala gundul. Mereka mengenakan
rompi kuning dan celana merah.
Keempat kakek itu langsung menerjang Seno
dengan serangan-serangan mematikan. Mereka melon-
cat bergantian dan saling bertukar perahu. Seno jadi kerepotan. Selain harus
menghindari sambaran golok
yang datang bertubi-tubi, dia pun harus tetap memegangi tali baja yang membelit
Ikan Mas Dewa. "Empat Setan Gundul! Kalian benar-benar tak
tahu peradatan!"
Tiba-tiba, dari sisi kiri perahu Seno terdengar
teriakan keras yang dibarengi melesatnya sebuah pe-
rahu. Penumpangnya seorang kakek berwajah halus
yang mengenakan pakaian serba hijau. Dia Bagus
Tembini alias Sastrawan Berbudi!
Usai berteriak, Sastrawan Berbudi langsung
menerjang salah seorang dari empat kakek berkepala
gundul yang disebut sebagai Empat Setan Gundul. Ce-
pat sekali gerakan Sastrawan Berbudi. Dengan meng-
gunakan sebatang bambu sepanjang tiga jengkal yang
ujungnya terdapat bulu-bulu halus, dia berani me-
nangkis tebasan golok yang mengarah ke pinggang Se-
no. Trang...! Bunga api memercik ke mana-mana ketika alat
tulis Sastrawan Berbudi berbenturan dengan golok salah seorang dari Empat Setan
Gundul. Pertempuran
sengit segera berlangsung.
Melihat ada orang yang membantu Seno, Empat
Setan Gundul bertambah beringas. Mereka memain-
kan senjata golok bagai orang kesetanan. Nafsu mem-
bunuh benar-benar telah menguasai jalan pikiran me-
reka. "Puji bagi Tuhan seru sekalian alam...."
Terdengar sebuah desisan halus. Empat Setan
Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Seno tampak terke-
siap. Tanpa sadar mereka menghentikan pertempuran.
Dari barat, mereka melihat sebuah perahu bergerak
pelan mendekati. Di atas perahu itu terlihat seorang kakek berjubah kuning dan
berselempang kain merah
kotak-kotak. Dia adalah Pendeta Tasbih terbang.
"Kalian Empat Setan Gundul, kenapa melang-
gar aturan?" tegur Pendeta Tasbih Terbang setelah berada di dekat arena
pertempuran. "Apakah kalian tak tahu, mengeroyok seorang pemuda tak bersenjata
adalah perbuatan licik?"
"Jahanam kau, Pendeta Jelek!" sahut salah seorang dari Empat Setan Gundul. "Apa
pedulimu datang ke tempat ini"! Apakah juga bermaksud sama dengan
sastrawan dungu itu"!"
"Segala puji bagi Tuhan...," sebut Pendeta Tasbih Terbang, menyambut ucapan
kasar yang didengar-
nya dengan sikap sabar. "Aku tidak biasa mencampuri urusan orang. Tapi, aku
tidak bisa membiarkan perbuatan tak adil berlangsung di hadapanku."
"Jangan banyak bacot kau, Pendeta Jelek!" ma-ki salah satu dari Empat Setan
Gundul yang menge-
nakan kalung perak. "Jangan banyak alasan! Katakan saja kalau kau juga
menginginkan Kodok Wasiat De-wa!" "Tidak!" tolak Pendeta Tasbih Terbang, mengge-
lengkan kepalanya yang gundul licin. "Aku datang ke Telaga Dewa ini hanya untuk
mencegah terjadinya pertumpahan darah. Berdosa kalau aku turut mempere-
butkan Kodok Wasiat Dewa. Sekali lagi aku katakan,
aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan
darah. Harap kalian tahu itu!"
"Terlalu banyak mulut kau, Pendeta Jelek!"
Usai berkata, salah seorang dari Empat Setan
Gundul langsung menerjang Pendeta Tasbih Terbang.
Sementara, salah satu temannya lagi menyerang Sa-
strawan Berbudi. Mereka menyabetkan golok dengan
membabi buta. Terpaksa Pendeta Tasbih Terbang me-
loloskan senjata berubah tasbih yang melingkar di le-hernya. Dan, Sastrawan
Berbudi pun tak segan-segan
lagi mengeluarkan jurus-jurusnya andalannya dengan
menggunakan senjatanya yang berupa alat tulis.
Sementara, dua orang lagi menyerang Seno.
Golok mereka menyambar-nyambar, mengincar jalan
darah mematikan di tubuh Seno. Gerakan mereka cu-
kup cepat karena mereka memiliki ilmu peringan tu-
buh yang bisa diandalkan.
Empat Setan Gundul memang bukanlah tokoh
sembarangan. Mereka termasuk empat orang tokoh
aliran hitam tingkat atas. Tempat tinggal mereka sebenarnya di Pesisir Laut
Selatan. Dan karena biasa hidup di tepi laut, mereka jadi mahir berperahu
ataupun berenang. Oleh karena itu, mereka sama sekali tak mendapat kesulitan
ketika harus bertempur di tengah Telaga Dewa.
Andai Seno tak mendapat bantuan Sastrawan
Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang, dia pasti terdesak hebat. Karena selain
harus menghindari serangan yang datang bagai guyuran air bah, Ikan Mas Dewa
yang berada dalam belitan tali bajanya mulai membe-
rontak lagi. Gulungan ombak besar pun kembali mun-
cul! Terpaksa Seno mengeluarkan Tongkat Dewa
Badai yang tersimpan di balik pakaiannya. Dengan
tangan kiri tetap memegang erat kedua tali baja, tangan kanan Seno mengibas dua
kali. Tongkat Dewa
Badal berkelebat menimbulkan tiupan angin kencang.
Sesaat kemudian, terdengar dua pekik parau.
Tubuh dua orang pengeroyok Seno tampak terlontar
tinggi di udara karena terhempas gelombang angin pukulan Tongkat Dewa Badai!
Tubuh kedua kakek itu tercebur lalu tenggelam
ke air telaga. Susah payah mereka berenang ke atas.
Golok mereka pun terlepas dari cekalan. Begitu sampai di permukaan air telaga,
kedua orang itu mendengar


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua jerit kesakitan. Rupanya, kedua teman mereka
pun telah dapat dipukul mundur oleh Sastrawan Ber-
budi dan Pendeta Tasbih Terbang.
Terpaksa Empat Setan Gundul berenang mene-
pi. Mereka harus melupakan tujuan mereka untuk
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa.
Sementara itu, setelah mengalahkan kedua
pengeroyoknya, Seno menatap Ikan Mas Dewa dengan
sinar mata aneh. Ikan Mas Dewa tak bergerak-gerak
lagi, membalas tatapan Seno dengan sinar mata redup.
Ikan Mas Dewa diam terapung di permukaan
air. Sisik-sisik tubuhnya tampak berkilauan tertimpa sinar mentari. Sementara,
orang-orang yang berdiri di tepi telaga semakin mengelu-elukan sebutan Pendekar
Bodoh yang telah berhasil menjinakkan Ikan Mas De-wa.
"Ya, Tuhan... " desis Seno, kaget.
Ikan Mas Dewa yang masih diam terapung di
permukaan air tampak mengedip-ngedipkan kelopak
matanya. Tentu saja Seno kaget karena mana ada di
dunia ini seekor ikan yang dapat mengedipkan ma-
tanya" Dan..., keterkejutan Seno berubah menjadi rasa kasihan saat melihat
butir-butir air bening yang menetes dari mata Ikan Mas Dewa.
"Ya, Tuhan...," desis Seno lagi. "Ikan itu menangis. Agaknya, dia minta belas
kasihan.... Oh! Sungguh aku berdosa besar bila tidak melepaskannya...."
Terdorong rasa kasihan, si pemuda lugu Seno
Prasetyo lupa pada tujuannya untuk mendapatkan
Kodok Wasiat Dewa. Sambil menatap haru, Seno mele-
pas aliran tenaga dalamnya. Dua utas tali baja men-
gendor. Ikan Mas Dewa pun terbebas dari belitan. Namun, Ikan raksasa bersisik
kuning kemilau itu tidak langsung pergi. Sambil terus meneteskan air mata, dia
mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda terima
kasih. Seno tambah terharu. Tapi tiba-tiba, bola mata pemuda lugu ini terbelalak
lebar. Dia melihat sesosok bayangan merah yang berkelebat di permukaan air.
Bayangan itu berkelebat cepat sekali. Namun, mata
Seno yang tajam dapat melihat bila si bayangan mem-
bawa sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning
berkeredepan. Jelas sekali bila pedang itu adalah seje-nis pedang pusaka yang
tentu saja memiliki ketajaman luar biasa!
Melihat si bayangan terus melesat mendekati
Ikan Mas Dewa, Seno jadi khawatir. Walau Ikan Mas
Dewa kebal terhadap senjata tajam, tapi apakah dia juga kebal terhadap tusukan
atau tebasan pedang pusaka" "Awas...!"
Seno berteriak keras untuk memberi peringa-
tan. Ikan Mas Dewa menggerakkan sirip dan ekornya,
namun... lesatan bayangan merah lebih cepat. Akibatnya..... Crept!
Crash...! Byarrr...! Byarrr...!
Ikan Mas Dewa menggeliat kesakitan. timbul
gulungan ombak besar. Air telaga yang semula jernih berubah merah karena ternoda
oleh cairan darah
"Ya, Tuhan...."
Sekali lagi, Seno menyebut nama kebesaran
Sang Penguasa Tunggal. Pemuda ini dapat melihat
dengan jelas bagaimana pedang pusaka di tangan so-
sok orang yang baru datang menusuk dan menebas
tubuh Ikan Mas Dewa. Kekhawatiran Seno terbukti.
Ikan Mas Dewa memang tidak kebal terhadap ketaja-
man pedang pusaka! Sementara, Seno sendiri tidak
sempat berbuat apa-apa karena pikirannya sedang linglung akibat terhantam
keterkejutan. "Ha ha ha...! Matilah kau, Ikan Keparat! Akan
segera kurobek perutmu untuk mengambil Kodok Wa-
siat Dewa!" ujar sosok orang yang baru melukai Ikan Mas Dewa
Dia seorang pemuda gagah bertubuh tinggi te-
gap. Mengenakan pakaian serba merah yang terbuat
dari bahan mahal. Di kepalanya melingkar ikat kepala merah yang terbuat dari
kain sutera. Dengan pongah-nya, dia terus tertawa bergelak-gelak sambil menatap
Ikan Mas Dewa yang masih menggeliat kesakitan.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
tampak terperangah. Di balik rasa tak suka melihat
kekejaman yang baru saja berlangsung, mereka me-
nyimpan rasa kagum. Pemuda berbaju merah dapat
berdiri tegak di atas permukaan air tanpa menumpang perahu. Kedua telapak
kakinya dialasi dua bilah papan
sepanjang dua jengkal.
"Pusaka Pedang Naga...," desis Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
ketika melihat wujud pedang di tangan pemuda berbaju merah.
Sementara, Seno pun tampak terkejut. Bola
matanya melotot besar seperti hendak meloncat dari
rongganya. Dia melihat tak berkedip pada sosok pe-
muda berbaju merah yang terus tertawa bergelak-
gelak. "Hmmm.... Melihat bentuk tubuh dan pakaian yang dikenakannya, kemungkinan
besar pemuda itulah yang telah membunuh Sepasang Nelayan Sakti dan
menculik Kemuning...," pikir Seno. "Ciri-cirinya persis seperti yang dikatakan
oleh Dewi Pedang Halilintar. Ya!
Pasti dialah penjahat itu. Aku harus membuat perhitungan sekarang juga!"
Seno menatap sosok pemuda berbaju merah
dengan segudang dendam di hati. Namun, hati pemu-
da lugu ini bergetar ketika melihat kelopak mata kiri pemuda berbaju merah yang
selalu terpejam di saat
tertawa. Ucapan Dewa Dungu langsung mengiang lagi di
telinga Seno. Sebelum Seno diperintah pergi dari tempat persembunyiannya, Dewa
Dungu menugaskan Se-
no mencari Mahisa Lodra yang telah tersesat jalan.
"Sepandai-pandainya Mahisa Lodra merubah
wajahnya, kau akan tetap dapat mengenalinya," kata Dewa Dungu waktu itu. "Mahisa
Lodra mempunyai bekas luka di batok kepala bagian belakang.... Ada satu ciri
lain yang pasti dapat kau kenali. Kalau tertawa, kelopak mata Mahisa Lodra yang
sebelah kiri akan selalu terpejam."
Teringat akan ucapan gurunya itu, Seno lang-
sung berteriak, "Keparat kau, Mahisa Lodra! Kau mu-
rid murtad yang benar-benar layak dikirim ke neraka!"
Pemuda berbaju merah yang memang Mahisa
Lodra tampak terkesiap. Namun, pemuda ini menutupi
keterkejutannya dengan tertawa bergelak-gelak. Melihat Seno hendak menerjangnya,
dia menyilangkan pe-
dangnya ke depan dada untuk berjaga-jaga.
Namun, Mahisa Lodra yang bergelar Setan Se-
laksa Wajah itu tak memperhatikan Seno lagi ketika
melihat Ikan Mas Dewa berenang cepat, berlalu dari
hadapannya. "Hei! Jangan lari kau, Ikan Buduk!" seru Mahisa Lodra seraya mengejar.
Kelebatan tubuh Mahisa Lodra cepat sekali ka-
rena dia mengeluarkan ilmu peringan tubuh tingkat
tinggi yang bernama 'Angin Pergi Tiada Berbekas'. Namun, luncuran tubuh Ikan Mas
Dewa pun tak kalah
cepat walau dia telah menderita luka-luka.
Luncuran tubuh Ikan Mas Dewa menuju ke tepi
telaga sebelah timur. Orang-orang yang berada di sebelah sana pun langsung
bersorak-sorai. Tapi, wujud
Ikan Mas Dewa mendadak hilang karena telah menye-
lam ke air telaga.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
tampak menggerakkan perahunya menuju ke sana.
Sementara, Seno tampak cengar-cengir. Mestinya dia
langsung mengejar Mahisa Lodra. Tapi, itu tak dilakukannya karena otaknya tiba-
tiba sangat bebal. Rasa
kasihan, penyesalan, dan segudang amarah bercampur
dendam telah membuat sikap Seno jadi sedemikian
bodoh. Tapi, Sikap bodoh Seno itu justru mendatang-
kan sebuah keberuntungan. Tiba-tiba, Ikan Mas Dewa
menampakkan wujudnya di dekat perahu Seno. Tubuh
Ikan raksasa itu berada satu tombak di bawah permu-
kaan air telaga yang jernih. Karena tak ada orang lain yang berada di dekat
Seno, maka hanya Seno sendiri-lah yang melihat kehadiran Ikan Mas Dewa.
"Maafkan aku...," desis Seno penuh kesungguhan, terdesak penyesalan. "Aku telah
membuatmu sengsara. Tubuhmu terluka, kau pasti merasa kesakitan. Aku ingin
menolongmu, tapi aku tak tahu bagai-
mana caranya...."
Seno berkata-kata seakan Ikan Mas Dewa da-
pat mengerti makna ucapannya. Mata Seno tak berke-
dip ketika melihat Ikan Mas Dewa mengangguk-
anggukkan kepalanya. Lalu, sang Ikan membuka mu-
lutnya. Dan....
Slup! Dari mulut Ikan Mas Dewa melesat sebuah
benda sebesar kedondong. Seno menangkapnya. Ter-
nyata, benda itu berupa gumpalan sinar putih yang di dalamnya terdapat sebentuk
katak kecil berwarna
emas, "Kodok Wasiat Dewa...," desis Seno antara sadar dan tidak.
Di dalam air, Ikan Mas Dewa menganggukkan
kepalanya tiga kali, lalu menyelam dan menghilang da-ri pandangan. Sementara,
Seno langsung memasukkan
benda pemberian sang ikan ke saku bajunya. Benda
itulah yang disebut sebagai Kodok Wasiat Dewa!
Teringat pada Mahisa Lodra, Seno mengarah-
kan pandangan ke timur. Sosok Mahisa Lodra sudah
tak terlihat lagi. Yang dilihat Seno hanyalah sekelompok orang yang terus
berteriak-teriak. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang tak tampak pula.
Mereka pergi entah ke mana....
SELESAI Ikuti petualangan selanjutnya :
SETAN SELAKSA WAJAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Bara Diatas Singgasana 2 Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan 3
^