Sang Maha Sesat 2
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Bagian 2
juga!" "Bukan, aku mentertawakan manusia edan itu." kata Suro dengan muka
berubah merah. Mereka akhirnya saling terdiam lagi. Puspi-
ta bersungut-sungut, namun tetap mengikuti Su-
ro tidak jauh di belakangnya. Belum sampai di
depan pintu gerbang mereka melihat sebuah
bayangan berkelebat dari bagian dalamnya.
"Awas Suro...!" Puspita berteriak keras memberi peringatan pada Pendekar Blo'on.
Terlihat jelas sedikitnya tujuh buah benda
berwarna kuning melesat ke arah mereka. Suro
menyambar Puspita dan membawanya serta ber-
guling-guling. Mereka tumpang tindih, namun lu-
put dari serangan paku-paku beracun yang di-
lemparkan oleh Ratu Alam Kubur.
Suro bangkit berdiri, di depannya berdiri
seorang nenek jelek berpakaian kumuh. Suro
nyengir lagi. Si nenek terkejut karena tidak menyangka bahwa orang yang baru
dibokongnya ta-
di adalah seorang pemuda tampan bertampang
ketolol-tololan.
"Kau manusia konyol darimana?" tanya Ra-tu Alam Kubur.
"Pita, nenek jelek bau tengik ini bertanya
kita darimana" Kita kan baru berbulan madu,
ya... sayang...!" kata si pemuda seenaknya.
"Pendekar geblek ini masih juga main-
main." gerutu Puspita. Lalu ia menyahuti. "Benar kita baru jalan-jalan dan
nyasar kemari!" sahut gadis berpakaian Ninja.
"Rupanya pengantin baru. Tapi mengapa
isterimu memakai penutup kepala segala, manu-
sia gendeng?" bentak si nenek.
"Oh itu" Isteriku sakit mata, wajahnya je-
lek, dibandingkan wajahmu tentu jelek lagi wajah isteriku. Betul kan isteriku?"
"Palamu peang...!" dengus Puspita tidak dapat menahan kejengkelannya.
"Nah dia marah. Kalau sudah marah begitu
biasanya wajahnya berubah semakin jelek. Jadi
sebaiknya kau menyingkir nenek-nenek. Kami
akan melewatkan malam di gudang...!"
"Bangsat gelo dari manakah kalian. Jangan
coba-coba masuk ke dalam gudang itu kalau ti-
dak ingin mampus!" ancam Ratu Alam Kubur.
Diam-diam ia menjadi curiga. Jangan-
jangan pemuda bertampang ketolol-tololan itu
punya maksud yang sama seperti dirinya.
"Aih... kau melarangku. Apakah kau juga
sedang berbulan madu, nek" Kalau orang tua
yang berbulan madu sebaiknya di kuburan saja,
biar gampang mengurusnya jika kehabisan na-
fas!" kata Suro.
"Pemuda edan! Jika kau tetap ngotot, aku
akan mengirim kalian berdua ke neraka...!" den-
gus Ratu Alam Kubur.
Pendekar Blo'on bukannya takut tapi ma-
lah tertawa-tawa. Setelah tawanya lenyap, maka
sikapnya kemudian berubah serius.
"Aku tahu kau ingin mengambil harta har-
tawan Abdi Banda. Yang ku herankan manusia
bau tanah sepertimu kok masih kemaruk harta.
Untuk apa" Atau untuk menyuap Malaikat di
alam kubur nanti?"
Gempita Loka kaget bukan main. Ia sama
sekali tidak menyangka kalau pemuda setengah
edan itu mengetahui apa yang sedang dikerja-
kannya di tempat itu.
"Kau sudah tahu, sebaiknya menyingkir.
Harta itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain!"
perintah Ratu Alam Kubur.
"Walah, bukan harta itu yang penting bagi-
ku. Kami hanya ingin mengambil sesuatu yang
lebih penting dari harta-harta itu!"
"Tidak bisa!"
"Harus bisa!" bantah Suro ngotot.
"Tidak!"
"Bisa...!"
"Keparat kowe! Heaaa...!" Ratu Alam Kubur berteriak marah. Ia langsung menyerang
Suro Blondo dengan serangkaian tendangan menggele-
dek. "Menyingkir Pita!" kata Suro memberi aba-aba. Puspita pun dengan cepat
segera menyingkir.
Pendekar Blo'on sendiri dengan mulut termo-
nyong-monyong langsung menghindari serangan
lawannya dengan gerakan yang lucu sekali.
"Aih... pakaianmu benar-benar bau tengik,
sudah berapa tahun sih tidak mandi...?" ejek Su-ro
"Bangsat, heaaat...!"
Dengan marahnya Gempika Loka hantam-
kan tinjunya ke wajah Suro. Pemuda ini cepat
merunduk. Serangan lewat di atas kepala. Seran-
gan luput Gempika Loka lepaskan tendangan. Su-
ro lompat ke samping, lalu berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Lalu dia
bergulingan, selanjutnya melompat ke udara sambil menggaruk-garuk sekujur
tubuhnya. "Ciaa...!"
"Nguk! Nguk...!" Gerakan dan tingkah si konyol yang seakan mengejek lawannya ini
membuat Ratu Alam Kubur menjadi semakin marah.
Tapi diam-diam hatinya kaget juga. Pemuda ko-
nyol berambut kemerah-merahan ini mempunyai
jurus-jurus kacau seperti jurus monyet. Hal ini mengingatkan dirinya pada
seorang tokoh sakti
yang tinggal di gunung Mahameru. Dia tidak lain adalah Penghuni Siluman Kera
Putih yang dikenal dengan nama Barata Surya.
Namun seingatnya kakek berilmu tinggi itu
tidak punya seorang murid pun. Lalu pemuda
tampan bertampang ketolol-tololan ini murid sia-pa" Sadar pemuda itu tidak dapat
dipandang en- teng, maka Ratu Alam Kubur segera mengelua-
rkan jurus-jurus simpanannya.
ENAM "Jurus-jurusmu seperti pernah kukenal.
Katakan kau murid siapa?" dengus Ratus Alam Kubur kertakkan rahangnya.
"Entahlah, mungkin murid monyet, mung-
kin murid Hantu, perlu apa kau tahu?" sahut Su-ro.
"Anak Setan...!" maki si nenek. Mendidihlah amarahnya. Ia tiba-tiba menyentakkan
ka- kinya ke belakang. Lalu kaki itu mengais di atas tanah. Selanjutnya ia melompat,
tangannya mencengkeram wajah Pendekar Blo'on.
Si Bocah Ajaib selamatkan wajahnya dari
cakaran. Lalu ia keluarkan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
Disertai dengan bentakan keras yang disusul oleh suara lolongan membuyarkan
kosentrasi lawannya. Suro Blondo
berkelebat lenyap. Gerakan-gerakan kaki dan
tangannya semula memang mirip dengan gerakan
kera. Main lompat sana lompat sini, garuk sana
garuk sini, lalu tangannya secepat kilat me-
nyambret. Ratu Alam Kubur menghindar ke
samping, tangannya menepis. Tapi Suro men-
gangkat tangannya lebih ke atas lalu meluncur ke atas dada.
Dell...! "Pemuda kurang ajar!" geram Gempita Lo-ka. Wajahnya yang hitam penuh keriputan
sema- kin bertambah hitam.
"Tidak usah marah-marah nek. Kau punya
memang sudah kempes!" ejek Suro lalu tertawa.
"Tertawalah kau sepuasmu, sebentar lagi
tampang konyol mu akan kubuat babak belur!"
teriak Ratu Alam Kubur.
Tiba-tiba saja nenek renta membuka se-
rangannya sambil melepaskan paku-paku bera-
cunnya. Beberapa buah benda berwarna kuning
berkeredepan menyerang Pendekar Blo'on. Pemu-
da ini bersungut-sungut. Lalu melenting ke uda-
ra. Paku-paku beracun lewat di bawah kaki Pen-
dekar Blo'on. Selagi pemuda itu meluncur turun.
Gempita Loka memburunya, lalu telapak tangan
perempuan itu menghantam punggung si konyol.
Sulit bagi Suro menghindari pukulan selagi
tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dengan te-
lak pukulan itu menghantam tubuhnya. Suro ter-
guling-guling. Punggungnya seperti remuk. Seper-ti orang sakit encok dia bangkit
lagi. Tapi si konyol masih sempat tersenyum.
"Heea...!"
Nenek renta yang sudah kalap ini tidak
membiarkan lawannya yang sudah terluka punya
kesempatan membela diri. Kini kakinya meluncur
ke depan. Suro terkesiap. Ia pergunakan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Namun
walau pun sekarang tubuhnya telah berubah
menjadi banyak. Kiranya Ratu Alam Kubur juga
sudah mengerahkan jurus andalan 'Menggulung
Langkah Menempuh Jarak'.
Pemuda berambut hitam kemerahan jadi
kaget. Kemana pun ia bergerak lawan terus men-
gikutinya. Bahkan serangan lawan semakin ber-
tambah mengkhawatirkan keselamatannya. Lima
buah jari meluncur deras ke perutnya. Suro me-
nangkis dengan mempergunakan sikunya.
Buuk! Reet! "Aih...!" Suro terhuyung, mulutnya peletat-pletot seperti orang yang sedang
berusaha mena- han marah. Kulit sikunya mengucurkan darah.
Selagi ia belum sempat mengembalikan keseim-
bangannya, Ratu Alam Kubur sudah melepaskan
tendangan ke dadanya.
Diegkh.! "Hekh, mati aku...!" keluh Pendekar Blo'on.
Ia terguling-guling hingga membuat pakaian bi-
runya menjadi kotor. Satu kebiasaan jelek Pendekar Blo'on ia selalu terlambat
berpikir untuk mengambil tindakan terbaik. Sehingga apa yang
terjadi pada dirinya membuat Puspita menjadi
khawatir. Ia ingin turun tangan menggantikan
pemuda itu, namun ia ragu karena luka akibat
Racun Bunga Asmara belumlah sembuh benar.
"Kerahkan semua yang kau miliki, Suro!
Cepatlah sebelum kau kojor di tangannya...!" teriak Puspita.
"Perempuan keparat! Nanti giliranmu akan
tiba!" maki Gempita Loka.
Sebaliknya Pendekar Mandau Jantan ini
seperti orang yang baru tersadar dari mimpi jelek yang dialaminya. Ia tepuk
keningnya berulang-
ulang. "Otak geblek, cerdik tapi telat mikir! Aku digebuki terus, masa' tidak
becus membalas!" gerutu Pendekar Blo'on.
Seraya melompat dan langsung berdiri.
Gempita Loka yang merasa berada di atas angin
tersenyum mengejek.
"Keluarkan semua yang kau punya! Kau ti-
dak bakal selamat melawan Ratu Alam Kubur!"
dengus si nenek jumawa.
"Ha ha ha...! Aku punya mana boleh ditun-
jukkan pada nenek jelek sepertimu. Tapi kau ha-
rus ingat, kalau kau kalah kau harus mencium
pantatku. Apakah kau mau?"
"Bocah sinting!" maki si nenek.
Perempuan itu tiba-tiba kembangkan tan-
gannya seperti orang yang hendak memeluk ke-
kasihnya. Di luar sepengetahuan Pendekar Blo'on ternyata ia sedang mengerahkan
tenaga dalamnya
ke bagian tangan itu. Sebentar saja kedua tan-
gannya telah menjadi hitam macam arang hingga
sampai ke siku. Dari setiap ujung jari tangan si nenek menebar kabut hitam
berbau amis. Suro melotot dan langsung sadar bahwa
lawan bermaksud membunuhnya. Termonyong-
monyong Suro mengerahkan tenaga dalamnya
pula. Hanya dalam waktu singkat kedua tangan
sampai siku berwarna putih seperti salju. Inilah pukulan 'Ratapan Pembangkit
Sukma' warisan Malaikat Berambut Api yang tidak lain adalah kakek merangkap gurunya sendiri.
"Hiyaa...!"
Ratu Alam Kubur hentakkan tangannya ke
arah lawan. Suro pun mengibaskan tangannya ke
arah pukulan lawan yang menebar hawa dingin
menyesakkan dada ini.
Angin kencang disertai melesatnya sinar
putih dan dingin bukan kepalang melabrak sinar
hitam. Terjadilah benturan di udara. Ledakan keras itu membuat dua-duanya jatuh
tunggang langgang. Puspita sendiri sampai tergontai-gontai.
"Si konyol itu benar-benar punya kepan-
daian yang tidak disangka-sangka!" gumam Puspita kagum.
Dua sosok tubuh yang sama merentak
bangkit. Ratu Alam Kubur merasa nyawanya se-
perti mau lepas, sekujur tubuhnya membeku. Se-
telah mengerahkan sebagian tenaga dalamnya
maka hawa dingin itu sedikit berkurang. Ia me-
rangkak bangkit. Suro Blondo walau pun sudut-
sudut bibirnya mengucurkan darah namun masih
mampu tersenyum, meskipun wajahnya yang ko-
nyol tampak sepucat kertas.
"He he he...! Kau hampir mampus, aku
sendiri setengah mati! Akibatnya sama saja. Ma-
sih ada kesempatan bagimu untuk menikmati
udara bebas! Tapi kalau mau menyabung nyawa
kita boleh mencobanya!"
"Kau... bukankah kau muridnya Barata
Surya, Penghulu Siluman Kera Putih...?"
Murid Malaikat Berambut Api dan Penghu-
lu Siluman Kera Putih ini tersenyum.
"Tau aja nenek haul"
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Huh, kebetulan sekali! Aku ingin mengadu
jiwa denganmu!" dengus Ratu Alam Kubur.
Sret! Ratu Alam Kubur keluarkan senjata ter-
buat dari tali berbentuk jeratan. Salah satu keis-timewaannya pabila telah
mengenai sasarannya
tidak mudah terlepas. Bukan itu saja, ia juga
mengeluarkan senjata melengkung berbentuk
arit. Si konyol yang garuk-garuk kepala lang-
sung turunkan tangannya sambil terkekeh-kekeh.
"Nenek jelek, apakah kau mau mengarit padi?"
"Bocah sinting!" maki Gempita Loka.
Set! Sing! Suro yang sudah mengeluarkan jurus
'Kacau Balau' ini sudah melompat menghindar
secara tidak beraturan justeru pada saat senjata lawan meluncur ke arahnya.
Gerakan silat si pemuda benar-benar kacau tidak beraturan. Setiap
gerakan yang dilakukannya serabutan dan tidak
menentu, tapi tidak satu pun serangan lawan
mengenai sasaran.
"Hiekh...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Blo'on melompat
tinggi ke udara. Justru pada saat itu tali milik lawan menjerat kakinya. Sekali
nenek renta ini menyentakkan talinya. Maka terpelantinglah tubuh
si pemuda, Ratu Alam Kubur menghantamkan
aritnya persis di punggung Suro, hingga membuat Puspita menutupi wajahnya karena
ngeri. Namun disaat-saat yang sangat kritis itu
Pendekar Blo'on cabut senjata mautnya Mandau
Jantan berhulu seorang pertapa. Senjata berwar-
na hitam itu menderu....
Trraang...! Pyaar! "Heh...!"
Pada saat Mandau Jantan di tangan Pen-
dekar Blo'on membentur keras arit di tangan Ratu Alam Kubur. Maka senjata
lawannya itu terbabat
putus menjadi beberapa bagian. Gempita Loka
bersurut mundur, tidak dapat menyimpan rasa
kagetnya. Tapi ia tidak dapat berfikir lebih lama pula karena si konyol ketika
itu sudah memba-batkan mandau di tangannya.
Gempita Loka terpaksa main mundur, sen-
jata yang dapat merintih, meringkik dan meraung sesuai dengan cara
menggerakkannya ini meluncur deras ke perut lawan. Nenek renta menge-
butkan tali di tangannya.
Wuut! Tess! Tali tersebut terbabat putus, sementara
ujung mandau terus meluncur. Hingga akhirnya
tanpa terelakkan lagi menembus jantung Ratu
Alam Kubur. "Akh...!"
Nenek renta itu menjerit keras, matanya
melotot, dari mulutnya yang terbuka menyembur
darah segar. Suro menyentakkan senjata di tan-
gannya. Bruk! Robohlah Ratu Alam Kubur ini tanpa sem-
pat menikmati harta yang dikumpulkannya.
Suro menggelengkan kepalanya. Senjata
dimasukkannya lagi ke dalam warangkanya. Pus-
pita gadis berpakaian ala Ninja menghampirinya.
"Ternyata di balik ketololanmu, kau me-
nyimpan kehebatan yang tidak diperhitungkan
oleh siapapun"!" puji si gadis. Matanya pun ber-binar indah.
"Kau kelewat memuji, padahal kau hanya
mau mengatakan bahwa aku Pendekar geblek,
bukan?" sahut Suro sambil nyengir.
"Aku bersungguh-sungguh!"
"Kalau betul ucapanmu. Bagaimana kalau
aku minta cium?" tanya si konyol.
"Iih... kamu..,!" Puspita tersipu-sipu, kemudian ia berlari-lari menuju ke dalam
gudang harta. "Eeh, dia mengajakku ke tempat yang gelap. Biar nggak malu sama mayat-
mayat itu, teru-tama mayat nenek jelek ini!"
Lalu Suro pun melangkahkan kakinya
memasuki gudang yang penuh dengan harta ben-
da. "Suro... aku tidak melihat ada kitab berisi surat Maha penting itu di sini."
kata Puspita. "Cari terus, kalau perlu kita obrak-abrik
daki dunia ini. Mungkin kitab penting itu tersimpan di bawah tumpukan harta.!"
kata Pendekar Blo'on menyahuti.
Baru saja mereka hendak mencari ke ba-
gian lain. Tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak-gelak. Suara tawa itu
kemudian lenyap, suasana
berubah sunyi sekejab.
"Ada setan lain lagi rupanya di dalam gu-
dang ini. Sebaiknya kau bersikap hati-hati!" Pendekar Blo'on memberi peringatan.
Baru selesai Suro bicara, tiba-tiba tampak
sosok tubuh berpakaian serba putih berkelebat ke arah Suro. Pemuda berambut
hitam kemerahan
ini siap melepaskan pukulan 'Neraka Hari Terak-
hir'. Namun tiba-tiba saja terdengar suara se-
ruan.... "Tahan...!"
Niat Suro untuk melepaskan pukulan
urung. Ia melihat seorang kakek tua telah berdiri di depannya. Wajah si kakek
seperti orang yang
menanggung penderitaan.
"Siapakah anda?" tanya Si Bocah Ajaib.
Si kakek tersenyum, senyumnya sedih se-
kali hingga membuat Suro serasa mau menangis
saja. "Kulihat wajahmu, hanya membuat aku semakin menderita. Waktu hamil ibumu
memang kepingin apa, apa kebanyakan bengong, hingga
membuat anaknya terlahir seperti orang tolol?"
"Jangan menghina, jangan bawa-bawa aku
punya emak. Kau kawan atau musuh, Kisanak"
Atau kau kekasihnya nenek jelek yang sudah ko-
jor di depan gudang itu?" tanya Suro serius.
"Kulihat ulah manusia, membuat aku
menderita. Keserakahan manusia, kesombongan
manusia adalah penderitaanku. Aku adalah Ma-
laikat Penderitaan!" jawab si kakek.
"Walah, gelarmu sengsara amat. Yang aku
tahu Malaikat biasanya membagi rezeki, menu-
runkan hujan, memberi rahmat atau menyiksa
dan mencabut nyawa. Tapi kini di hadapanku ada
Malaikat yang begitu menderita. Apa saja kerjamu disini Malaikat menderita?"
tanya Suro disertai tawa tergelak-gelak.
"Kau Pendekar Konyol Suro Blondo, Bocah
Ajaib yang terlahir pada malam satu Asyuro di
gunung Bromo. Murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan murid si banyak pacar Malaikat Be-
rambut Api! Sebaiknya kau pergi dan temui Pen-
dekar Lugu yang kini sedang menunggumu! Perja-
lanan ke Anyer adalah tujuan Hartawan Abdi
Banda...!"
Suro kaget bukan kepalang ketika Malaikat
Penderitaan menyebut asal usul dan siapa di-
rinya. Puspita Sari lebih terperangah lagi. Ia tidak menyangka kalau Pendekar
Mandau Jantan ini
adalah muridnya Malaikat Berambut Api yang
pernah menolongnya. Barata Surya juga bukan
tokoh sembarangan manusia yang tinggal di gu-
nung Mahameru bersama kera-keranya itu, selain
tingkahnya yang konyol angin-anginan juga me-
miliki kesaktian dahsyat. Ternyata selama ini ia bersama seorang murid dari dua
guru yang sukar
dicari tandingannya. Sungguh Puspita merasa
menjadi gadis yang paling beruntung di dunia.
Suro garuk-garuk rambutnya. "Hei...
kat...!" "Kat siapa?" tanya si kakek.
"Lho Malaikat kan harus dipanggil 'Kat".
Kau tidak boleh menyuruhku pergi begitu saja!
Aku sekarang sedang mencari kitab Maha penting
yang menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persila-
tan di seluruh dunia. Kitab itu harus disela-
matkan! Agar jangan sampai terjatuh di tangan
orang yang salah!"
"Ha ha ha...! Masalah itu jangan kau kha-
watirkan. Aku telah menemukannya! Kau tidak
perlu tahu dimana kitab berisi surat itu sekarang.
Yang perlu kau ketahui, selain Anak Langit, di dunia ini juga sudah turun dari
langit makhluk Maha Sesat yang juga mengincar kitab itu. Tu-
juan yang sebenarnya bukan itu saja, ia ingin
menyesatkan manusia, mengadu domba manusia,
merusak moral manusia hingga membuat manu-
sia kufur terhadap nikmat yang diberikan Tuhan-
nya. Ia datang ke bumi untuk mencari kawan se-
banyak-banyaknya agar kelak menjadi pengikut-
nya di Neraka! Sekarang dia bergentayangan ke-
mana saja, merasuk ke dalam darah, bercokol da-
lam hati dan pembuluh otak manusia. Dia tidak
dapat dimusnahkan, tapi dapat diusir dan di-
jauhkan. Berhati-hatilah, karena dia dapat berujud dirimu sendiri. Sekarang
hartawan Abdi Ban-
da, kemungkinan angkara murka peluang terbe-
sarnya terjadi pada hartawan itu."
"Tapi kitab itu kalau boleh tahu apa
isinya?" tanya Suro.
"Aku tidak kuasa membukanya terkecuali
di depan Anak Langit! Tunggulah satu purnama
mendatang di kota kerajaan Ujung Dunia!" kata Malaikat Penderitaan.
Laki-laki tua ini selanjutnya tanpa berkata
apa-apa lagi langsung berkelebat pergi.
"He... Kat... tunggu...!" cegah Suro Blondo.
Percuma saja ia berteriak. Karena Malaikat
Penderitaan telah lenyap dari pandangan mereka.
Di kejauhan terdengar suara sedu sedan Malaikat Penderitaan.
"Sekarang semuanya sudah hampir jelas.
Hanya kita tidak tahu mengapa makhluk-
makhluk aneh ini muncul. Apakah karena surat
dalam kitab itu atau...!" Puspita ragu-ragu.
"Sudahlah! Mari kita pergi, segala sesuatu yang memusingkan kepala akan menjadi
jelas jika sudah kita jalani!" kata Suro.
Tanpa menunggu si cantik berhidung ban-
gir ini bicara. Ia menyambar lengan si gadis dan membawanya berlari meninggalkan
Hutan Larangan.
TUJUH Ia berjalan seperti hamparan kabut di dae-
rah pegunungan dan lembah. Atau terkadang le-
bih cepat lagi dari angin. Ujudnya antara ada dan tidak. Namun sesungguhnya ia
memang ada. Ia telah tercipta bahkan jauh sebelum manusia ter-
cipta di bumi ini. Kehadirannya dapat ditandai
dengan terciumnya bau aroma bunga mayat, bau
cendana atau bau-bauan yang dibakar di atas
pendupaan. Dialah 'Sang Maha Sesat'. Yang sela-
lu dekat dengan orang yang berhati hasut, sirik, dengki, marah, sombong dan
penuh kebencian.
Kini bersama hembusan angin ia bergerak,
meninggalkan Magetan dan menyusul iring-
iringan rombongan hartawan Abdi Banda yang
tengah menuju ke Anyer.
"Surat itu tidak boleh diketahui oleh orang-orang berhati lurus. Ia harus
senantiasa tersimpan. Surat itu tidak juga boleh dilihat oleh orang yang memuja
kesenangan dunia dan seisinya.
Agar mereka tetap lalai dan ingkar pada Tuhan-
Nya." kata suara tanpa ujud itu seakan ditujukan pada diri sendiri.
Kabut tipis itu terus bergerak, tentu saja
gerakannya cepat melebihi kuda mana pun yang
paling cepat di dunia.
"Manusia sombong itu adalah pengikutku
yang iri, yang dengki, yang kejam, yang tamak,
yang gemar membunuh yang suka memfitnah se-
samanya, yang meriba, yang durhaka pada orang
tuanya, yang durhaka pada suaminya, yang men-
zinahi darahnya sendiri dan juga yang memuja
harta! Mereka adalah pengikut-pengikut setia
yang kelak menemaniku di Neraka. Ha ha ha...!"
Sang Maha Sesat tertawa tergelak-gelak. "Ada lagi yang hampir kulupa, mereka
yang termasuk jadi
pengikutku adalah para pelacur, ibu yang mem-
bunuh anaknya, pemabuk, penjudi, penyabung
ayam, berhati keras, pembohong, dan juga orang
yang marah namun tidak ada reda-redanya...!"
Suasana kemudian berubah sunyi mence-
kam. Angin terus berhembus, makhluk gaib yang
berjuluk Sang Maha Sesat ini terus mengikuti
hembusan angin tersebut. Hingga akhirnya kabut
tersebut berhenti di tengah-tengah tenda yang
terletak di pinggir telaga kecil.
Ahli Nujum Zuhgafarah dan Nukman Jaya
sendiri sebagai orang-orang yang ahli meramal
dan permainan sihir tidak mengetahui kehadiran
Sang Maha Sesat. Sosok gaib ini kemudian me-
meriksa setiap tenda yang ada. Sampai kemudian
ia berhenti ketika mendengar pembicaraan di sa-
lah satu tenda yang paling besar.
"Rasanya kita sudah berada jauh dari
jangkauan mereka, kakang!" kata laki-laki muka bulat perut besar seperti kuali
raksasa tertelung-kup. "Bahaya itu tetap ada." sahut kakek berwajah buruk
berkepala botak penuh keyakinan.
"Pemuda konyol yang punya gelar Pendekar
Blo'on itu pernah kudengar sepak terjangnya.
Menurut telik sandi, pemuda itu bersama seorang gadis berpakaian Ninja. Aku jadi
yakin mungkin
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu adalah muridku!"
"Lagi-lagi masalah muridmu itu yang
mengganjal dalam pikiranmu, kakang. Padahal
masih banyak persoalan lain yang lebih penting
dari semua itu."
Laki-laki bertubuh kurus ceking itu cembe-
rut. "Jadi kau sudah tidak merindukan muridku lagi?" "Ha ha ha..,!" Si gendut
kikir tergelak-gelak. Hingga membuat perutnya yang besar ter-
guncang. "Tentu saja aku selalu merindukan muridmu, aku ingin mendekapnya,
merasakan ke- hangatan di malam pertama. Namun sampai se-
karang kan Puspita Sari tidak kita jumpai. Aku
malah mengkhawatirkan surat dalam kitab itu!"
"Apa isinya?" tanya Datuk Alam Salindra.
"Isinya tidak ada yang boleh tahu. Itu rahasia."
"Kau selalu merahasiakan apa yang mem-
bebani pikiranmu, bagaimana aku dapat mem-
bantu?" tegur Datuk Alam Salindra.
"Yang satu ini memang harus kurahasia-
kan walau sampai mati. Kakang tidak perlu ma-
rah. Malam ini kakang boleh mengambil dua
orang isteriku untuk menemani kakang! Berse-
nang-senanglah dengan mereka. Aku rasanya in-
gin bersemedi untuk memulihkan kondisiku!" ka-ta hartawan Abdi Banda.
Berbinar mata tua bangka itu. Ia segera
meninggalkan adiknya. Keluar dari tenda suasana dingin menyambutnya. Ia
tersenyum, lalu berjalan menghampiri tenda besar di mana beberapa
orang pengawal berjaga-jaga disitu. Sang Maha
Sesat yang mengawasi gerak-gerik Datuk Alam
Salindra tersenyum.
"Bagus, tingkahmu sudah mendekati bina-
tang. Isteri orang lain diperlakukan seperti isteri sendiri. Kelak kau juga akan
menjadi pengikutku di neraka!" dengus Sang Maha Sesat. Ia sendiri kemudian
menghampiri tenda di mana Abdi Banda sedang bersemedi.
Sementara itu Datuk Alam Salindra sudah
mengusir dua orang pengawal. Pintu tenda dis-
ibakkan. Para isteri hartawan Abdi Banda ketakutan dan tampak malu-malu kucing
melihat keha- diran sang Datuk.
Mata sang Datuk mencari-cari, setelah pilih
sana pilih sini akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada dua perempuan muda. Yang
satu berkulit hitam manis sedangkan satunya lagi berkulit pu-
tih laksana susu. Datuk Alam Salindra leletkan
lidah basahi bibir.
"Kalian berdua ikuti aku!" perintah laki-laki tua ini, seraya melambaikan
tangannya. Sampai di luar tenda sang Datuk meng-
gandeng tangan mereka menuju ke tendanya. Di
tenda yang ditinggalkan terdengar suara tawa ce-kikikan berbau mesum.
Sampai di tendanya Datuk Alam menutup
pintu tenda rapat-rapat. Ia memperhatikan kedua wanita yang sesungguhnya masih
gundik-gundik adiknya sendiri.
"Kau yang hitam manis siapa namamu?"
"Saya Indriani, Datuk dan kawan saya ini
Mayang...!" jawab perempuan bertubuh sintal ini
disertai sesungging senyum genit.
"Indriani dan Mayang adalah nama-nama
bagus! Kalian malam ini harus melayani aku!" ka-ta Datuk Alam Salindra. Tangan
kanan kirinya gerayangan dan meremas dada kedua wanita mu-
da itu hingga keduanya memekik.
"Tapi, Datuk. Bagaimana kalau adik Datuk
mengetahuinya?" tanya Mayang kelihatan begitu takut. "Ha ha ha...! Justru adikku
akan marah ji-ka kalian tidak bisa membuatku puas!" kata laki-laki berwajah
angker ini. Maka legalah hati para gundik-gundik har-
tawan Abdi Banda ini. Mereka akhirnya merebah-
kan diri di atas kasur. Datuk Alam Salindra su-
dah lupa daratan, jemari tangannya bergerayan-
gan kemana-mana. Sedangkan tangannya yang
lain membelai-belai Mayang. Perempuan itu dici-
uminya dengan nafsu menggebu-gebu. Tampak-
nya para gundik Abdi Banda ini memang tidak
canggung dalam permainan ini, mereka juga tidak malu walau pun di dalam tenda
itu terdapat dua
perempuan. Apa yang terjadi selanjutnya hanya mereka
yang tahu. Desah-desah nafas, mandi keringat
atau erangan-erangan berbau kemaksiatan. Sang
Maha Sesat dalam kegelapan pun tertawa. Inilah
manusia yang telah dikuasai nafsunya, tidak
mempergunakan akal sehat dan mata hati.
Kejadian itu terus berlangsung, kelihatan-
nya Datuk Alam Salindra memang tidak mengenal
rasa lelah dan puas. Ia terus menggeluti dari perempuan yang satu lalu berpindah
ke perempuan yang lain. Sampai-sampai kedua perempuan itu
kewalahan. Mereka menyerah pasrah dalam hem-
pasan badai asmara sang Datuk yang tidak kun-
jung reda. Sementara itu Sang Maha Sesat mulai
mendekati hartawan Abdi Banda. Makhluk alam
gaib yang tercipta dari api ini mengisiki.
"Mengapa kau biarkan Datuk Alam Salin-
dra bersenang-senang dengan kedua isterimu?"
Abdi Banda kaget mendengar bisikan gaib
itu. Ia membuka mata, memandang ke sekeliling-
nya. Tidak terlihat siapa-siapa.
"Siapa kau?" tanya si gendut kikir.
"Aku Sang Maha Sesat. Aku makhluk alam
gaib. Tidak cemburukah kau melihat isterimu?"
Sang Maha Sesat kembali berbisik, jelas niatnya penuh hasut adu domba.
"Tidak! Aku yang menyuruhnya. Aku tidak
akan perduli dia berbuat apa. Yang ku pikirkan
sekarang ini adalah tentang kitab, harta bendaku dan tentang diriku yang takut
mati!" "Ha ha ha...! Jika kau mau menjadi pengi-
kutku, maka kau tidak akan mati-mati. Harta
bendamu tetap terjamin dan kitab kedamaian itu
tetap berada di tempatnya!" kata suara gaib itu berbohong.
Mata sipit si gendut membuka lebar. "Apa
betul" Benar kau dapat menjamin agar aku dapat
bertahan hidup selamanya?" tanya sang hartawan
penuh harap. "Tentu saja. Asal kau mau jadi pengi-
kutku!" "Hanya itu saja syaratnya?" tanya si gendut. "Tidak, masih ada dua syarat lagi.
Syarat pertama adalah berlaku salahlah kau sepanjang
hidupmu, ingkari kebenaran dan buat angkara
murka di bumi ini. Sedangkan yang kedua, akan
datang di tanah Jawa ini Lima Utusan Akherat,
mereka datang ingin mencari surat dalam kitab
itu. Untuk itu sedapatnya kau harus mencegah
mereka, rahasiakan terus kitab itu bagi orang-
orang yang ingin mencari kedamaian. Kitab itu
adalah musuhku, kitab itu mengandung kebena-
ran yang sangat kubenci. Padahal sebelum dunia
ini kiamat aku telah bersumpah untuk mencari
pengikut sebanyak-banyaknya!"
"Kalau cuma itu syaratnya tentu tidak
memberatkan bagiku. Jika orang-orang golongan
putih mencari pasti tidak menemukannya. Hanya
aku yang tahu dimana kusimpan kitab yang ku-
dapat lima puluh tahun yang silam tersebut. Kitab itu kurampas dari tangan
seorang ahli agama tingkat paling tinggi."
Sang Maha Sesat tertawa rawan. "Harta-
wan Goblok takut mati. Aku sendiri tidak yakin
apakah kitab yang juga menjadi incaranku masih
berada di gudang penyimpanan harta atau tidak.
Terakhir aku hendak datang kesana tapi aku
mencari hiburan dengan membunuhi kawan-
kawan Kuswara yang konyol, itu sedikit kejutan
bagi orang-orang yang punya jalan menyimpang."
dengus makhluk kegelapan itu sinis.
"Nah, kata sepakat sudah didapat, kau
punya umur akan bertambah panjang asalkan
kau selalu mengabdi padaku! Harta bendamu ini
hanya boleh kau pergunakan untuk kemaksiatan!
Ingat untuk kemaksiatan dan angkara murka...!"
tegas suara gaib tersebut.
"Jangan khawatir, sejak dulu jalan hi-
dupku memang selalu berliku-liku dan penuh
tanjakan. Bolehkah aku tahu Utusan Lima Benua
itu datang dari mana?"
"Mereka datang dari tempat yang sangat
jauh. Dari dunia dingin, dunia panas dan dunia
empat musim. Peradapan mereka ada yang lebih
maju dari kalian yang di tanah Jawa ini tapi ada juga yang lebih mundur. Nah
sekarang sudah waktunya bagiku untuk pergi!" kata Sang Maha Sesat. "Baiklah... terima kasih
atas petunjukmu!?"
ujar hartawan Abdi Banda.
Kemudian keadaan di dalam tenda beru-
bah menjadi sunyi. Hartawan Abdi Banda terse-
nyum-senyum sendiri. Ia sangat senang karena
harta bendanya terjamin, ia senang kitabnya da-
lam keadaan aman. Dan satu kesenangan yang
tiada bandingnya, umurnya menjadi panjang, ia
tidak akan pernah mati sebagaimana yang dika-
takan oleh Sang Maha Sesat.
*** Pada masa itu kekeringan melanda di ma-
na-mana. Musim paceklik berkepanjangan. Ba-
nyak penduduk yang tewas karena kelaparan, di-
antara mereka ada yang mencoba memakan ba-
tang pisang untuk menyambung hidup. Tidak he-
ran bila di kota-kota besar para pengemis berta-buran di mana-mana. Para orang
tua, ibu-ibu rumah tangga, bahkan gadis-gadis tidak malu-
malu mengemis demi menyambung hidup. Mere-
ka rela melakukan apa saja demi mendapat se-
suap nasi. Hari kelima dalam perjalanan hartawan
Abdi Banda menuju Anyer iring-iringan kereta
kuda hartawan itu dihadang oleh sekelompok ka-
wanan pengemis yang terdiri dari gadis-gadis be-rumur sekitar tujuh belas tahun.
Wajah para ga- dis itu tampak pucat menderita lapar, tubuh me-
reka kurus kering, langkah mereka terbungkuk-
bungkuk akibat menahan rasa lapar.
Hartawan Abdi Banda keluar dari kereta
kencananya. Ia memandang ke depan.
"Ada apa, pengawal?" tanya si kikir setengah berteriak.
Pengawal yang paling depan menyahuti.
"Kita dihadang sekawanan gadis-gadis pengemis!"
"Tanyakan apa keperluan mereka?"
"Sudah, mereka minta makanan dari kita!"
jawab Pengawal yang berada di barisan depan
Hartawan meludah. "Bueh...! Mereka kira
kita membawa harta dan makanan milik nenek
moyangnya." dengus sang hartawan. Ia turun dari kereta kudanya. Berjalan ke
depan terseok-seok
seperti orang bunting. Ternyata para gadis pen-
gemis itu sangat cantik-cantik, pantasnya mereka menjadi anak raja.
"Kalian lapar?" tanya Abdi Banda sambil tersenyum.
"Ya tuan. Kami membutuhkan uluran tan-
gan tuan yang kaya raya." sahut belasan gadis-gadis pengemis itu serentak.
Wajah bundar berminyak berubah sinis.
"Kalian pikir aku mau membagikan maka-
nan dengan percuma?"
"Apapun kami lakukan demi menyambung
nyawa kami!" sahut salah seorang gadis itu me-wakili kawan-kawannya.
"Bagus, di akhir jaman ini setiap pembe-
rian harus ada timbal baliknya. Nah jika aku
memberi kalian makan, apakah kalian mau me-
nyerahkan kehormatan kalian padaku?"
Maka terkejutlah kawanan gadis pengemis
itu. Mereka saling berpandangan sesamanya. Ada
keragu-raguan di mata mereka yang cekung. Na-
mun hartawan ini boleh juga, ia memakai perhia-
san yang tidak ternilai harganya. Lalu mereka
mendengar suara gaib mengisiki.
"Lebih baik turuti saja permintaan harta-
wan ini. Kehidupan kalian terjamin dan sela-
manya tidak akan menderita lapar!"
"Kami mau...!" empat belas orang gadis
menyanggupi. Namun tidak dengan gadis berpa-
kaian putih berwajah polos. Ia menjauhkan diri
dari kelompoknya.
"Beri makan pada mereka semua!" teriak hartawan Abdi Banda.
Seluruh anak buah hartawan itu akhirnya
menjadi sibuk memberi makan kawanan gadis-
gadis pengemis itu. Mereka makan dengan lahap,
sampai sebutir nasi pun tidak tersisa.
"Nah sekarang kalian sudah kenyang se-
mua. Aku ingin melihat kebagusan kalian!" kata hartawan itu.
Karena sudah terlanjur janji, maka gadis-
gadis itu dengan malu-malu membuka pakaian-
nya. Maka terlihatlah aurat mereka, hartawan
Abdi Banda dan abangnya leletkan lidah. Mereka
semuanya masih suci, mereka tentu akan berse-
nang-senang nanti malam. Harta memang selalu
kuasa pikir hartawan itu.
"Kenakanlah pakaian kalian kembali!" perintah si hartawan kikir. Gadis-gadis itu
dengan patuh mengenakan pakaiannya kembali. Dalam
kesempatan itu langit sudah berubah menjadi
mendung. Petir menyambar di siang bolong.
Gadis baju putih mendekati hartawan Abdi
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Banda. Wajahnya yang lugu tampak memelas se-
kali. Kening Abdi Banda berkerut melihat kehadiran gadis pengemis yang satu ini.
"Bolehkah saya minta sedikit nasi, tuan.
Saya lapar, sudah tidak makan lima hari...!" ber-getar suara si gadis.
Abdi Banda tersenyum mengejek. Kemu-
dian ia tertawa tergelak-gelak.
DELAPAN "Kau tadi mengapa tidak ikut makan...?"
tanya si gendut.
"Saya merasa berat dengan persyaratan itu, tuan! Apakah tidak ada cara lain yang
tidak ber-syarat?" tanya si gadis.
"Persyaratan berlaku bagi apa saja. Apakah kau mau menyembahku sebagai orang
yang akan memberimu makan?"
Si gadis gelengkan kepala. "Hanya Gusti Allah yang patut ku sembah, manusia
tidak layak menyembah manusia. Karena dia tidak mampu
menegakkan langit dan menghamparkan bumi!"
sahut si gadis benar-benar di luar dugaan sang
hartawan. Datuk Alam Salindra, berubah kelam
wajahnya. Sedangkan Abdi Banda katubkan bi-
birnya rapat-rapat.
"Bagaimana, kalau kuminta kau menye-
rahkan kesucianmu?"
"Hal itu hanya boleh terjadi bila tuan telah menikahiku secara sah. Jika tuan
mengajakku berzina, maka demi Gusti Allah aku lebih rela ma-ti dalam keadaan kelaparan...!"
Bagaikan terdengar petir di siang hari har-
tawan Abdi Banda terkesima. Belum pernah ada
perempuan di mana pun yang berani bicara begi-
tu di depannya.
"Seret dia dan cambuk tubuhnya yang mu-
lus itu sampai hancur!" perintah hartawan Abdi Banda ditujukan pada anak
buahnya. Dua orang prajurit berbadan tegap lang-
sung menghampiri si gadis berpakaian putih.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara ledakan-
ledakan dahsyat di sekelilingnya. Dua orang prajurit langsung terkapar dengan
wajah hancur se-
perti terkena ledakan bahan peledak.
Hartawan Abdi Banda, Datuk Alam Salin-
dra dan dua orang ahli nujum lebih kaget lagi ketika melihat gadis di depannya
telah berubah menjadi seorang pemuda bertampang lugu ber-
jenggot kambing. Pemuda itu memakai baju pu-
tih. Dia tidak lain adalah Pendekar Lugu, seba-
gaimana telah sama kita ketahui Pendekar Lugu
ini dapat merubah dirinya menjadi kakek renta,
perempuan cantik ataupun jadi anak kecil (Dalam Episode Anak Langit & Pendekar
Lugu). Pemuda inilah yang dulu pernah hadir dalam mimpi hartawan Abdi Banda. Ia
memberi peringatan agar
hartawan itu meninggalkan kemaksiatan, kikir,
tamak, sombong dan memuja harta.
Melihat pemuda itu tentu Abdi Banda men-
jadi was-was. Ia memberi kisikan pada kedua ahli nujumnya.
"Ini tugas kalian. Usahakan agar dia tidak mengganggu kita. Jika terlalu sulit
membuatnya takut. Maka sebaiknya di bunuh saja!"
"Kalian adalah orang-orang yang melam-
paui batas! Apa katamu nanti jika Tuhan ber-
tanya padamu tentang segala kemewahan yang
telah diberikanNya padamu?" tanya Pendekar Lu-gu, pemuda yang tadi telah membaur
dengan ga- dis-gadis pengemis itu.
"Jangan kau bicara lagi padaku, aku men-
dapatkan semua ini dengan otak dan jerih payah-
ku sendiri!" sahut Abdi Banda.
"Celakanya manusia karena terlalu som-
bong dan memuja diri, hai hartawan sadarkah
kau dari apa kau diciptakan" Kejadianmu dari se-tetes air hina, kemudian kau
disempurnakan di
dalam rahim. Kau manusia yang nyata-nyata te-
lah tersesat jauh. Kelak kau akan menjadi orang yang serugi-ruginya...!" kata
Pendekar Lugu. "Bocah berjanggut kambing!" Ahli Nujum Zulgafarah membentak. "Tuan kami tidak
perlu kau ganggu. Jika kau punya keperluan, silakan
berurusan dengan kami!"
Wahyu Sakaning Gusti alias Pendekar Lu-
gu tersenyum rawan. "Kalian juga salah satu dari sekian banyak manusia sesat.
Kalian pemuja setan, Sang Maha Sesat! Setan jelas-jelas musuh
manusia, mengapa manusia mau bersekutu den-
gannya?" Di langit terdengar suara ledakan halilin-
tar. Pendekar Lugu menyebut Nama kebesaran
Gusti Allah. Tiba-tiba kedua ahli Nujum itu lemparkan dua utas tali ke arah
Pendekar Lugu. Be-
gitu tali melayang di udara, maka dua utas tali itu berubah menjadi dua ekor
ular raksasa. Ular-ular hitam dengan mata membara dan
mulut ternganga lebar itu langsung menyerang
Pendekar Lugu. Pemuda ini melompat ke samp-
ing. "Astaga! Ini benar-benar permainan sihir yang nyata!" kata si pemuda. Ia
kemudian mem-baca doa-doa suci, lalu ia melepaskan kain putih tipis yang
dijadikan pengikat pinggangnya. Ketika stagen pendek tersebut dilecutkan ke
udara. Ma-ka memijarlah bunga api dari bagian ujungnya.
Bunga api yang kemudian membesar ini langsung
meluncur dan membelah membagi dua. Masing-
masing bunga api melesat ke arah kedua ekor
ular raksasa tersebut. Sebagai tokoh lurus penye-ru umat manusia berbuat
kebajikan. Pendekar
Lugu sangat berpantang melakukan pembunu-
han, terkecuali hanya untuk membela diri. Dan
apa yang dilakukannya sekarang ini semata-mata
juga untuk membela diri.
Dua bola api tadi langsung menghantam
tubuh ular-ular jejadian tersebut. Terdengar sua-ra berdebum. Ular-ular yang
terhantam bola api
mendesis. Mereka menggelepar ke tanah, namun
secara aneh, meliuk dan bergerak kembali. Dua-
duanya menyerang Pendekar Lugu dari dua sisi
sekaligus. Pemuda itu kibaskan stagen di tangannya
ke dua arah. Kembali ujung stagen menghantam
tubuh ular tersebut.
Praat! Sssst! Ular hancur berkeping-keping. Ahli sihir
Zulgafarah dan Nukman Jaya terdorong mundur
dengan muka berubah pucat. Mereka segera
mengangkat tongkatnya. Ketika salah satu ujung
tongkat ditekan, maka menyemburlah asap tipis
dari bagian hulunya yang berbentuk kepala ular
Cobra. Pendekar Lugu mengebutkan stagennya
untuk mengusir uap beracun yang terus me-
nyembur ke arah wajahnya. Tetapi sayang gera-
kannya kalah cepat dibandingkan semburan uap
beracun itu sehingga sebagian diantara racun itu sempat terhirup olehnya.
"Hekh...!"
Pemuda baju putih itu tekap lehernya yang
seperti tercekik. Dari bagian lubang hidung me-
netes darah kental, wajah si pemuda pun membi-
ru. Kemudian ia jatuh terhempas tidak sadarkan
diri. Maka meledaklah tawa hartawan Abdi
Banda dan Datuk Alam Salindra melihat kedua
ahli Nujum itu berhasil merobohkan lawannya.
Dari arah kiri telinga Abdi Banda terdengar suara gaib mengisiki
"Buatkan kayu penyangga, pentang tangan
dan kaki penyampai kebenaran itu, kemudian ku-
liti tubuhnya, bila kulitnya sudah mengelupas,
maka siram dengan air jeruk! Para pengemis itu suruh mengambil dagingnya sedikit
demi sedikit untuk dipanggang! Agar kau tahu dia adalah mu-
suhku yang nyata...!"
"Tapi bukankah itu perbuatan yang sangat
kejam?" guman sang hartawan.
"Jangan bodoh, kau mau hidup kekal atau
tidak! Setiap penyampai kebenaran adalah mu-
suhku dan musuhmu juga!" bisik Sang Maha Sesat. Hartawan Abdi Banda angguk-
anggukkan kepala "Nukman Jaya! Perintahkan pada pengawal itu untuk membuatkan kayu
penyanggah, lalu
pentang tubuh Pendekar Lugu. Setelah itu kuliti, sebentar lagi pesta besar akan
segera dimulai!"
Nukman Jaya laki-laki bermuka seperti
seekor babi segera mengerjakan apa yang diperintahkan padanya. Tiga orang
pengawal langsung
menyeret Pendekar Lugu yang tidak sadarkan di-
ri. Setelah kaki dan tangan Pendekar Lugu di-
ikat di sebuah tonggak besar. Tiba-tiba di langit terdengar suara gelegar petir.
Lalu hujan pun turun dengan lebatnya.
Hartawan Abdi Banda dan Datuk Alam Sa-
lindra berteduh ke dalam kereta kuda. Sebelum
tubuh Pendekar Lugu tersentuh senjata tajam
dan kulitnya dikupas oleh algojo-aljogo tajam itu, maka di kejauhan terdengar
suara bentakan yang
disertai dengan sumpah serapah. Lalu terdengar
pula suara tawa bergelak.
Dalam suasana hujan pertama selama mu-
sim kemarau itu, semua orang yang mengelilingi
Pendekar Lugu tersentak kaget. Ketika mereka
berpaling ke arah datangnya suara, maka di tem-
pat itu telah berdiri dua orang asing. Yang sa-
tunya adalah seorang pemuda bertampang keto-
lol-tololan berambut hitam kemerah-merahan.
Sedangkan yang satunya lagi adalah sosok yang
sekujur tubuhnya tertutup kain hitam, hanya ma-
tanya saja yang kelihatan. Dia tidak lain adalah Rana Unggul alias Puspita Sari,
gadis berpakaian Ninja. "Kaukah yang bicara tadi?" tanya Zulgafarah yang sudah
mengetahui siapa adanya pemu-
da ini. Pendekar Blo'on inilah yang muncul dalam ramalannya. Tapi ia sungguh
tidak menyangka
bahwa Pendekar yang konon sangat sakti ini ki-
ranya hanya seorang pemuda tampan ketolol-
tololan. "Aku yang bicara jika telingamu tidak tuli!
Kuperintahkan lepaskan pemuda jenggot kambing
itu jika kau dan kawanmu tidak ingin kugebuk
mampus!" dengus Pendekar Blo'on.
"Ha ha ha...! Kami sudah tahu siapa dirimu dan Pendekar Lugu jauh sebelum kau
dan kawanmu sampai kemari. Jika musuh sudah ter-
tangkap. Masa kami akan melepaskannya lagi,
bodoh itu namanya!" sahut Zulgafarah.
"Hmm, begitu"!" Suro termonyong-
monyong. "Tukang sihir, tukang Nujum sama saja dengan manusia bangsat. Di depan
majikan tentu kalian dapat menggonggong dengan lantang!
Nah... sekarang tinggal sebutkan, mati bagaimana yang kalian sukai?" tanya Suro
disertai senyuman
mengejek. "Tidak tahu penyakit, kawanmu saja dapat
kami ringkus apalagi manusia tolol sepertimu!"
sahut Nukman Jaya.
"Suro, hati-hatilah! Ujung tongkat itu sangat berbahaya. Kalau bisa tutup jalan
nafasmu sepanjang pertempuran...!" Puspita Sari alias Ra-na Unggul mengisiki.
Sementara itu hujan semakin menggila.
Kabut tebal membuat pemandangan orang-orang
yang berada di dalam kereta kuda jadi terhalang.
Puspita yang telah sembuh dari luka pengaruh
Racun Bunga Asmara ketika itu langsung mem-
babat dan menyerang para pengawal harta harta-
wan Abdi Banda.
"Sobat Zulgafarah, bunuh Pendekar ber-
tampang geblek ini!" teriak Nukman Jaya.
Laki-laki muda babi ini kemudian melom-
pat mundur, sedangkan Zulgafarah begitu men-
dapat aba-aba langsung melemparkan sesuatu di
udara. Tiga kali terdengar suara letupan-letupan kecil. Lalu belasan ekor ular
berwarna hitam meluncur cepat ke arah Suro.
Si konyol menyeringai, kemudian tertawa
membahak. Bagaimana pun ia adalah murid
Penghulu Siluman Kera Putih. Permainan sihir
baginya tidak bedanya dengan permainan sulap.
Ia tadi melihat tali dan lidi yang dilemparkan oleh Zulgafarah.
"Ular-ular hitam bunuh Pendekar Konyol
itu!" perintah sang ahli sihir.
"Hei badut tukang sihir. Kau sedang mem-
banyol atau mimpi! Aku si bocah ajaib, Zulgafa-
rah! Bagaimana pun kau tidak dapat menipuku!
Lidi tetap lidi, mana bisa menjadi ular atau menjadi makhluk lain. Terkecuali
kau sudah gila...!"
teriak Suro. Tssst...! Benar saja ular-ular yang meluncur ke
arah Suro berubah menjadi lidi kembali. Sang ah-li nujum terkejut bukan
kepalang. Bagaimana pemuda bertampang ketolol-
tololan itu hanya dengan bicara asal-asalan seenak perutnya dapat merubah barang
sihirnya kembali ke asalnya"
Tidak sempat berfikir lebih lama, maka
Zulgafarah pun menggebrak ke depan. Seraya ti-
ba-tiba berseru dengan pengaruh sihirnya yang
sedemikian hebat.
"Awas harimau di depanmu!" teriak Zulgafarah. "Graauung...!"
Terdengar suara raungan hebat. Seekor ha-
rimau yang sangat besar tiba-tiba muncul di de-
pan Suro dan langsung menerkamnya. Suro ter-
tawa ganda lalu ia membentak dan tubuhnya me-
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lompat tinggi ke udara.
"Aku Bocah Ajaib, mataku mata ajaib, pen-
ciuman ku penciuman ajaib. Malam satu Asyuro
malam yang paling tinggi dari bilangan hari dan bulan, hari penuh keajaiban.
Mataku tidak dapat ditipu, hidungku tidak tertipu kuping ku tidak
dapat ditipu, sihir tidak mampu mempengaruhi
aku! Ha ha ha...!" kata Pendekar Blo'on.
Harimau besar yang menerkamnya tadi
langsung tersentak ke belakang dan ujudnya se-
makin menyusut. Semakin lama semakin bertam-
bah kecil hingga pada akhirnya berubah menjadi
hamparan kabut.
Suro termonyong-monyong, Zulgafarah ka-
get bukan alang kepalang.
"Putar kau punya otak, ahli sihir. Kerahkan kelicikanmu! Jika kau menghadapi aku
hanya dengan mengandalkan ilmu sihir mu, sesungguh-
nya mataku tidak dapat kau tipu!" dengus si konyol serius.
Zulgafarah menggeram hebat, ia mengang-
kat tongkat berhulu kepala ular cobra. Ia mene-
kan salah satu sisinya, hingga menyemburlah ka-
but beracun dari mulut kepala ular itu. Suro sejak jauh tadi sudah menutup
pernafasannya. Se-
kali ia memutar-mutar tangannya, maka mende-
rulah angin kencang hingga membuat kabut be-
racun itu musnah. Suro dengan mengandalkan
jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Pe-
muda ini tiba-tiba melabrak ke arah Zulgafarah.
Namun ahli Nujum ini telah mengerahkan jurus
tongkat dahsyat 'Menggulung Mega Di Ujung
Maut'. Tongkat di tangan lawannya menghantam
lambung menusuk mata, menyodok dada dan
berputar-putar mengincar kelemahan lawannya.
Namun tubuh si konyol ini sudah berkele-
bat, sehingga yang terlihat hanya bayangan biru
menyilaukan mata.
"Hiyaa...!"
Zulgafarah membuat gerakan-gerakan yang
sangat rumit, tahu-tahu tubuhnya berputar dan
hulu tongkatnya menghantam dengan cepat. Suro
jungkir balik. Tidak urung bahunya terhantam
tongkat lawannya
Buuk! "Akh...!"
Suro menggeliat sambil menyeringai kesa-
kitan. Hujan semakin menggila, darah menetes
dari sudut-sudut bibir. Belum lagi Suro bersiap siaga, lawan telah menghantamnya
dengan pukulan 'Iblis Selaksa'.
"Bangsat betul! Heaa...!" teriak Suro.
Kakinya di tekuk ke depan. Ketika melihat
sinar hitam berhawa dingin bergulung-gulung ke
arahnya. Si konyol dorongkan kedua tangannya
dengan mulut termonyong-monyong. Terdengar
suara jeritan di sekelilingnya, Sinar hitam merah menghampar hawa panas bukan
kepalang melesat laksana kilat. Pukulan 'Neraka Hari Terakhir'
menghantam pukulan lawan. Serangan Zulgafa-
rah buyar malah serangan Suro terus meluncur
sedangkan suara jeritan gaib terus terdengar tia-da henti.
Zulgafarah melompat dengan bersalto un-
tuk selamatkan diri. Gerakannya ini kalah cepat dengan sinar merah hitam yang
menderu ganas ke arahnya. Akibatnya....
Buum! Zulgafarah menjerit histeris, tubuhnya ter-
guling-guling. Orang ini menghantam batu, tu-
buhnya hangus. Ia tewas dengan sangat penasa-
ran sekali. Nukman Jaya yang memiliki tingkatan ke-
pandaian dua tingkat di atas Zulgafarah kaget
bukan main-main. Pemuda bertampang ketolol-
tololan ini memang tidak dapat dianggap main-
main. Tingkahnya yang cengengesan mana mem-
buat orang percaya dia memiliki kehebatan jika
tidak melihatnya sendiri. Nukman Jaya melompat
maju, murid Penghulu Siluman Kera Putih dan
murid Malaikat Berambut Api ini garuk-garuk ke-
pala. "Kau juga ingin melihat neraka yang menyala-nyala" Silakan maju!" dengus
Suro, seraya pencongkan bibirnya.
"Bangsat betul kau, Pendekar Geblek! Jika
sihir ku tidak mempan, tentu aku punya hadiah
yang menarik untuk melenyapkan kekonyolan
mu!" sahut Nukman Jaya.
Lalu, laki-laki ini melakukan gerakan-
gerakan yang sangat aneh. Demikian aneh dan
cepat, hingga membuat Suro melongo. Kelenga-
han yang sekejab ini dipergunakan lawan berge-
rak ke arahnya. Suro terkesiap, ia mengelak. Namun tinju lawan sudah menghantam
pelipisnya. Pendekar Mandau Jantan ini jatuh terdu-
duk. Pelipisnya bengkak memerah. Suro mengge-
rendeng tidak jelas, namun cepat bangkit lagi.
SEMBILAN Sementara itu, Puspita alias Rana Unggul
kelihatannya sudah banyak melakukan pemban-
taian. Ia mempergunakan pedang tipis yang me-
miliki ketajaman yang sangat luar biasa. Belasan pengawal tersungkur roboh
bermandi hujan dan
darahnya sendiri.
Puspita tidak berhenti di situ saja. Ia terus
merangsak maju, para pengawal itu kelihatannya
seperti sudah tidak menghiraukan keselamatan-
nya lagi. Mereka bahu membahu menyerang gadis
berpakaian Ninja tersebut. Walau pun senjata
mereka dengan gencar menerobos pertahanan la-
wannya, namun Puspita adalah gadis tangguh
yang memiliki jurus-jurus dahsyat. Ia murid
tunggal tokoh sesat Datuk Alam Salindra. Tidak
heran bila dalam waktu singkat para pengawal itu hanya tinggal beberapa orang
saja. Hujan mulai mereda, hingga membuat Da-
tuk Alam Salindra yang duduk dekat Abdi Banda
dapat menyaksikan pertempuran yang sedang
berlangsung. "Eeh... bukankah orang yang memakai pa-
kaian Ninja dan membunuhi pengawal-pengawal
itu muridku" Murid murtad itu tidak boleh di-
biarkan berbuat sesuka hatinya. Aku harus me-
nangkapnya!" tegas sang Datuk. Ia kemudian melompat dan berlari cepat ke arah
Puspita. "Jangan bunuh calon isteriku, kakang!"
Hartawan Abdi Banda berteriak keras.
"Tidak usah khawatir. Aku akan menang-
kapnya hidup-hidup untukmu!" sahut Datuk
Alam Salindra. Saat itu Puspita kaget sekali melihat ke-
munculan gurunya. Ia bergerak mundur. Berpal-
ing pada Suro, ternyata pemuda itu sedang sibuk menghadapi serangan-serangan
gencar yang dilakukan oleh lawannya. Tidak ada harapan baginya
untuk meloloskan diri dari cengkeraman guru se-
sat ini. "Kau melarikan diri untuk kujodohkan pa-da hartawan kaya. Kau rupanya
memilih berka- sih-kasihan dengan pemuda konyol geblek itu.
Sekarang kau berlutut dan segera kembali pada
calon suamimu!" perintah Datuk Alam Salindra.
"Guru bangsat! Aku tahu kebiadabanmu,
jangan perintah aku"! Aku merasa lebih baik mati daripada menuruti keinginanmu
yang gila!" sahut Puspita ketus.
Datuk Alam Salindra jadi marah. "Ingat!
Aku adalah gurumu, kau tidak bakalan unggul
menghadapi aku!"
"Apa pun yang terjadi aku layak memper-
tahankan diri!" tegas Puspita.
"Bangsat! Heaa...!"
Datuk Alam Salindra menerjang muridnya.
Tangannya, mencengkeram leher Puspita. Gadis
ini kemudian mengibaskan pedang di tangannya.
Sang Datuk memaki, lalu menarik balik seran-
gannya. Kini gantian kakinya yang meluncur dan
menghantam perut Puspita.
Si gadis terpaksa melompat ke belakang.
Bagaimana pun jurus-jurus yang dimiliki oleh
Puspita bersumber dari gurunya, sehingga setiap gerakan yang dilakukannya dapat
dibaca oleh lawannya.
Menghadapi tekanan-tekanan yang dilaku-
kan oleh gurunya ini, maka ia pun memutar sen-
jatanya untuk melindungi diri.
"Hiaaa...!"
Datuk Alam Salindra melompat ke udara.
Gerakan yang dilakukannya ini terkenal dengan
nama 'Memupus Mendung Membalik Awan'. Pus-
pita mengangkat pedang ke atas kepala. Lalu
memutarnya dengan cepat. Sayang lawan berbalik
ke belakang, tangannya meluncur menotok pung-
gung Puspita. Duuk! "Akh...!"
Gadis itu menjerit tertahan. Tubuhnya
menjadi kaku tidak dapat digerakkan lagi. Datuk Alam Salindra menyambar Puspita
dan membawanya ke kereta kuda di mana Abdi Banda me-
nunggu. Melihat kejadian ini Suro yang sudah ba-
bak belur menghadapi Nukman Jaya menjadi
khawatir sekali. Untuk itu ketika Nukman Jaya
menyerangnya dalam jarak yang cukup pendek.
Maka Pemuda berbaju biru ini segera kerahkan
jurus 'Kacau Balau'. Gerakan yang dilakukan oleh Pendekar Blo'on menjadi semakin
kacau tidak be-
raturan. Serangan dan pertahanan yang dilaku-
kannya berubah-ubah. Malah kemudian ia den-
gan terhuyung-huyung seperti orang yang mau ja-
tuh melesat ke depan. Nukman Jaya menggerak-
kan tongkatnya. Namun Suro sudah merunduk-
kan kepala seperti seekor kodok. Tangannya
menghantam telak ke bagian perut dengan penge-
rahan tenaga dalam sepenuhnya.
Kraak! Nukman Jaya melolong panjang seperti
anjing yang kena gebut. Ususnya hancur di da-
lam, matanya melotot. Darah bergumpal-gumpal
menyembur dari mulutnya. Laki-laki itu jatuh terjengkang, menggelepar sekejab
lalu terdiam tidak bergerak-gerak lagi.
Suro meraung panjang dan menyerbu ke
arah kereta. Sebelum sampai Datuk Alam Salin-
dra telah menghadangnya. Pendekar Blo'on henti-
kan langkah, memandang pada sang Datuk den-
gan mata melotot.
"Menyingkir!" bentak Si Bocah Ajaib.
"Kau bocah kemarin sore berani memben-
tak ku?" Datuk Alam Salindra mendengus keras.
"Setan! Kau apakan gadis itu?"
"Ini urusan negeri orang lain, kau tidak
pantas bertanya!" sahut laki-laki tersebut. Tangannya menggebrak ke depan.
Selarik sinar me-
luncur deras menghantam Suro.
Pemuda ini cepat bergulingan di tanah be-
cek. Di belakangnya terdengar suara ledakan be-
runtun. Suro menggeram keras, tampangnya keto-
lol-tololan tampak semakin kacau. Ia melompat,
lalu menuding dengan mulut termonyong-
monyong. "Kau orang jelek yang dikepalanya terdapat benjolan telur ayam. Kau harus
bertanggung jawab jika sampai terjadi apa-apa pada Puspita!"
"Ha ha ha...! Jangan banyak mulut, keka-
sihmu bakal menjadi bangkai!" sahut Datuk Alam Salindra.
Sementara itu hartawan Abdi Banda sudah
mulai tampak gelisah. Ia tidak mungkin terus bertahan disitu. Bagaimana nanti
jika Datuk Alam
Salindra kalah"
Pada saat dirinya sedang bingung itulah
terdengar Sang Maha Sesat mengisiki.
"Cepat kau larikan dia, tidak perlu mem-
buang-buang waktu. Kau dapat menikmati ke-
hangatan tubuhnya di tempat lain!"
Tanpa memikirkan harta bendanya lagi,
Hartawan Abdi Banda langsung memanggul tu-
buh Puspita. Gadis ini sama sekali tidak mampu
memberontak. Bersuara pun ia tidak mampu ka-
rena jalan suaranya juga dalam keadaan tertotok.
Ketika Abdi Banda keluar dari kereta ku-
danya dengan memanggul Puspita, tentu saja
sempat dilihat oleh Suro.
"Hei, keparat! Mau kau bawa kemana dia!"
teriak Suro. Dan pemuda ini pun bermaksud
mengejar, namun langkahnya tertahan karena di-
hadang oleh Datuk Alam Salindra.
"Biarkan mereka pergi untuk bersenang-
senang! Urusanmu denganku saja!" kata laki-laki tua itu sinis.
"Tua bangka setan! Haaa...!"
Pendekar Blo'on jadi marah karena niatnya
terhalang. Kini yang menjadi sasaran kemara-
hannya adalah Datuk Alam Salindra. Itulah ja-
dinya, begitu bergebrak Suro langsung mengelua-
rkan jurus-jurus silat yang menjadi andalannya.
Tidak kurang ia mengeluarkan jurus
'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor' atau jurus 'Seribu Kera Sakti
Mengecoh Harimau'. Datuk Alam Salindra kaget bukan main-main. Ia
sama sekali tidak menyangka lawan mengerahkan
jurus-jurus aneh dan dapat berubah-ubah den-
gan cepat itu. Gerakannya sulit terbaca, terka-
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang pemuda itu melompat-lompat seperti seekor
monyet sambil menjerit-jerit meniru suara kera.
Namun di lain waktu ia sudah meluncur ke de-
pan, sedangkan tangannya membeset perut-perut
lawan, sedangkan posisinya dalam keadaan ber-
jongkok. "Gila...!" Datuk Alam Salindra bersurut mundur sambil kibaskan tangannya. Suro
tidak lagi menghindar, seakan nekad. Ia terus mener-
jang, hingga tangannya menghantam tangan la-
wannya. Duuk! Hanya sedikit saja Suro terhuyung, lawan
leletkan lidah dan sempat memucat wajahnya.
Tingkah dan cara menyerang Pendekar Blo'on
memang penuh kegilaan, sulit diduga dan nekad.
Mungkin semua ini karena kemarahannya.
Datuk Alam Salindra menjadi maklum be-
tapa pemuda ini walau pun kelihatan goblok, tapi memiliki jurus-jurus yang
dahsyat. Ia pun membentak garang. Sekali ia melesat ke depan, maka Datuk sesat
ini pun mengerahkan jurus 'Menebas
Kepala Merenggut Nyawa'. Inilah salah satu jurus simpanan yang sangat berbahaya.
Terbukti ketika Datuk itu menghantam dengan jemari tangan ter-kembang. Suro
merasakan sambaran angin din-
gin yang menusuk-nusuk di wajahnya.
Suro miringkan kepalanya ke kiri, sedang-
kan kakinya terus bergerak lincah atau terkadang menyapu ke punggung lawan.
Datuk Alam Salindra mengelak, tapi tangannya terus meluncur.
Pendekar Blo'on terkesiap. Lalu tarik tubuhnya, namun sudah terlambat.
Bret! "Ekh...!"
Bahu pemuda itu robek, ada darah yang
mengucur dari luka itu. Suro menyeringai, na-
mun geram. Ia menyerang lagi, sementara gera-
kannya semakin menghebat, tubuhnya berputar-
putar seperti orang bingung. Lawan merasa
punya kesempatan. Secepat terbang ia lepaskan
tendangan, namun Suro sudah melompat, se-
dangkan sejak tadi mulai terdengar suara tawa
yang tiada putus-putusnya. Pemuda itu terka-
dang lenyap sehingga tinggal bayang-bayang saja.
Tapi di lain waktu bergerak lambat seperti orang
yang sudah lelah bertarung.
"Heit...!"
Serangan Datuk Alam Salindra luput, ia
bingung dan gelengkan kepala. Rupanya kosen-
trasi lawan sempat terpecah karena Suro menge-
luarkan jurus 'Tawa Kera Siluman' yang memang
fungsinya untuk memecah belah perhatian la-
wannya. "Kunyuk geblek! Pandai juga kau menghin-
dar rupanya!"
"Bapak moyangnya kunyuk! Sebentar lagi
kau akan kubuat mampus!" dengus Suro.
Tiba-tiba saja pemuda itu mencakar wajah
Datuk Alam Salindra. Lawan menangkisnya.
Duuk! "Wadow...!"
Suro kesakitan, tangan lawan keras seperti
besi. Sehingga ia kibaskan tangannya yang men-
denyut. Datuk Alam Salindra membentak keras,
tubuhnya melesat kembali ke depan. Ketika itu ia sudah mengeluarkan jurus
'Menari-nari Di Atas
Pusara'. "Iih...!"
Pemuda berambut hitam kemerahan ini
langsung jatuhkan tubuhnya, tubuh diputar, kaki membalik dan menendang.
Jendul! "Auu...!"
Menjeritlah sang Datuk ketika kaki lawan
tiada disangka-sangka menghantam bola kramat-
nya. Ia berjingkrak-jingkrak, perutnya terasa mu-
las. "Datuk bangsat! Heaa...!"
Suro melompat, namun secara aneh ia ber-
guling-guling kembali. Tubuhnya melabrak kaki
lawannya. Datuk Alam Salindra pontang-panting
hindari tabrakan itu. Padahal sakit di selangkangannya belum hilang betul.
"Heaa...!"
Karena lawan terus melompat-lompat se-
perti monyet, maka Suro bangkit dan tinjunya
menghantam perut lawannya.
Beek! Ngeek! Pukulan Pendekar Blo'on cukup keras se-
hingga membuat lawan terbungkuk-bungkuk. Si
Konyol menggerakkan jemarinya memberi isyarat
pada lawan untuk menyerang.
Mendapat tantangan seperti itu, maka
mendidihlah amarah sang Datuk. Ia mengerahkan
tenaga dalamnya, kedua telapak tangan sampai
ke siku berubah merah seperti bara. Ketika laki-laki itu menjejakkan kakinya
maka tubuh kurus
kering itu melayang seperti mengapung di udara.
"Mau apa setan benjol di jidad ini!" pikir Suro. Namun akhirnya ia segera
memahami apa yang akan dilakukan oleh Datuk Alam Salindra.
Tangan yang telah berubah merah semerah bara
ini hendak mencengkeram kepala Suro biar han-
gus. Pemuda ini mana merelakan kepalanya jadi
korban. Ia jatuhkan diri dengan posisi menelen-
tang. Selanjutnya ia dorong kedua tangan ke
arah tangan lawannya. Tidak dapat dihindarkan
lagi, kedua tangan itu pun saling bertemu.
Trep! Mula-mula Pendekar Blo'on merasakan
adanya satu hawa panas menyengat tangannya.
Sehingga seolah-olah tangannya hangus terbakar.
Namun ketika ia melipat gandakan tenaga dalam-
nya, maka hawa panas yang menyengat itu pun
menghilang. Kini Suro malah nyengir.
"Orang gelo, posisi seperti ini kan seperti suami isteri yang mau bikin anak!"
katanya. Baru saja selesai bicara ia langsung menendang perut lawannya.
Diekh...! "Akkh...!"
Datuk Alam Salindra terjengkang lagi, kini
gilirannya yang berguling-guling. Waktu itu si konyol baru saja bangkit berdiri.
Punggungnya kena gedor kaki lawannya.
Gdbuk! "Akh...!"
Giliran si konyol yang tunggang langgang.
Keadaan pemuda ini benar-benar sudah seperti
monyet yang baru tercebur kubangan lumpur. Ia
kemudian berbalik, nafasnya megap-megap, tapi
tangannya telah berubah menjadi merah kehitam-
hitaman. Wuuk! Wuuk! Dengan mulut peletat-pletot ia mendorong
kedua tangannya, tubuhnya pun ikut melesat.
Sinar merah hitam menggebu, Datuk Alam Salin-
dra tidak tinggal diam. Ia mengeluarkan senjata berbentuk aneh berwarna kuning.
Tas! Tas! Ting! Welwh pukulan 'Neraka Hari Terakhir' yang
dilepaskan Suro membalik dan menghantam di-
rinya sendiri. Untung sebagian kecil saja yang
mengenainya. Kalau tidak tentu tubuhnya hangus
dan nyawanya berangkat ke neraka. Datuk Alam
Salindra tertawa membahak.
"Sebentar lagi kau mampus di ujung senja-
ta Aji Bulanku ini! Dasar goblok, mau bunuh diri saja pakai pukulan sendiri!"
teriak sang Datuk.
"Tertawalah engkau Datuk Jahanam! Di
neraka nanti kau akan menangis menghiba-hiba!"
kata Pendekar Blo'on.
Sret! Suro mencabut Mandau Jantan berwarna
hitam dengan empat lubang miring ditengah-
tengahnya. Ketika senjata maut itu diputar, maka terdengar suara ringkik kuda,
suara tangis dan
suara tawa yang tidak ada habis-habisnya. Suara-suara aneh yang terdengar itu
tentu bersumber
dari lubang pipih di tengah-tengah mandau. Da-
tuk Alam Salindra sampai kaget dibuatnya.
SEPULUH Namun ia dengan berani terlebih dulu me-
rangsak ke depan. Senjata aneh yang banyak
lengkungannya itu menyambar perut Suro. Si ko-
nyol menangkis dengan senjatanya.
Traang! "Heh...!"
Dua-duanya bersurut mundur, sang Datuk
gelengkan kepala, sedangkan Si Bocah Ajaib me-
longo. Tangannya sebentar tadi sempat tergetar, walau pun ia melihat salah satu
sisi senjata lawan rompal.
"Tua bangsat! Senjatamu boleh juga, mari
kita adu lagi!" tantang Suro sambil cengar-cengir.
"Pendekar Blo'on, gelarmu memang tidak
percuma, aku tidak penasaran jika kalah! He-
aaa...!" Kembali senjata aneh berbentuk setengah lingkaran namun punya ketajaman
pada setiap sisinya ini diputar. Angin pun menderu-deru, senjata berwarna kuning itu
menyambar. Pontang-
panting Suro menghindar, tidak urung salah satu sisi senjata menyambar dadanya.
Set! "Busrut! Keparat juga, tuh setan...!" maki Suro sambil mendekap dadanya. Ia
kemudian menyongsong serangan lawannya, mandau men-
deru. Benturan kembali terjadi. Setelah terjadi benturan Suro tidak mundur, tapi
terus maju. Ujung mandau menikam, dan Datuk Alam Salin-
dra tidak sempat menangkis. Akibatnya luncuran
senjata lawan tidak dapat ditahan-tahan lagi.
Blees! Datuk Alam Salindra menjerit kesakitan.
Tubuhnya yang tertembus Mandau terus didorong
oleh Suro sementara senjata masih menancap di
dada lawannya. Tindakan si pemuda memang pe-
nuh kegilaan, mungkin karena marahnya tadi.
Bruuk! Datuk Alam Salindra terhempas, Suro juga
ikut-ikutan jatuh dan menubruk sang Datuk yang
sedang meregang ajal. Mandau dicabut, lawan
melotot. Tapi sudah tidak berkutik lagi.
"Seharusnya aku mengejar Hartawan itu.
Tapi...!" Suro sambil memasukkan senjatanya menoleh ke arah Pendekar Lugu yang
masih belum sadarkan diri. "Kalau dia kutinggalkan aku takut nanti tubuhnya di
sate para pengemis itu"
Merasa tidak punya pilihan lain, maka
Pendekar Blo'on menghampiri Pendekar Lugu
yang dalam keadaan terikat. Ia membebaskan
ikatan itu, nah... di saat itu pula terdengar suara gemuruh air bah. Rupanya
banjir besar sedang
terjadi. "Gila betul, air datang sehebat ini...!" desis Suro kaget. Sambil
memanggul Pendekar Lugu
langsung berlari-lari menyelamatkan diri. Dalam waktu singkat terdengar jeritan
para isteri sang hartawan dan juga gadis-gadis pengemis. Mereka
panik dan mencoba menyelamatkan diri. Tapi ter-
jangan air bah itu seakan tidak mengenal kom-
promi. Akhirnya tenggelamlah harta benda dan
juga segala macam kesenangan milik sang harta-
wan. Sementara Suro ketika itu telah sampai di sebuah bukit paling tinggi.
Kejadian yang berlangsung singkat itu membuatnya ngeri. Ia ke-
mudian menggerakkan kepala ke arah Pendekar
Lugu, karena masih belum sadarkan diri juga,
maka ia mengambil sejenis daun yang menebar-
kan bau busuk seperti kentut. Daun itu diremas-
nya hingga hancur, setelah itu didekatkan ke hidung Pendekar Lugu.
Si pemuda bersin-bersin, lalu segera bang-
kit seperti orang yang terkejut. Ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya yang
sudah berubah. Air meluap kemana-mana. Ia lebih kaget lagi ketika
melihat Pendekar Blo'on di sampingnya.
"Eeh, apa yang sudah terjadi" Ya Tuhan...
aku ingat, para nujum itu menyerangku. Kemu-
dian aku...!"
"Kelenger!" sambung Suro termonyong-
monyong. "Mereka hampir membunuhmu Pende-
kar Lugu. Aku heran mengapa Anak Langit tidak
menolongmu! Padahal kalau aku terlambat sedikit saja, pasti kau sudah disiangi
dan dijadikan sate, sungguh malang sekali nasibmu!"
"Tuhan masih melindungiku. Banjir itu su-
atu pertanda amarahnya. Malang benar nasib
manusia yang tidak berfikir!"
"Yang malang nasib kawanku, Jelita. Har-
tawan gemblung itu telah melarikannya. Aku ha-
rus mencari sebelum terjadi aib besar pada diri Puspita!" kata Suro.
"Para ahli Nujum itu bagaimana?"
Suro menggaruk rambutnya. "Mereka seka-
rang sudah berangkat ke neraka! Tidak usah di-
pikirkan!"
"Kalau begitu aku mau ikut bersamamu."
"Boleh, tapi jangan bikin aku repot, jangan ngompol dan jangan minta gendong
pula!" tegas Suro bersungut-sungut.
*** Sementara itu di selatan pantai Jawa terli-
hat ada lima buah perahu yang merapat dengan
jarak tidak berjauhan. Jumlah mereka cukup be-
sar. Tampaknya mereka orang-orang asing yang
datang dari sebuah negeri yang jauh. Lima buah
kapal besar itu sarat penumpang.
Kelihatannya orang-orang asing ini punya
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepentingan yang begitu mendesak. Dan mungkin
pula terdiri dari pejabat dan orang-orang penting beberapa kerajaan. Dari
masing-masing kapal itu kemudian turun para penumpangnya. Mereka segera
mendirikan tenda-tenda darurat tidak jauh
dari pantai itu. Sama sekali para pendatang asing ini tidak mengetahui, bahwa
ketika itu prajurit-prajurit kerajaan Ujung Dunia yang berpatroli di sekitar
situ tampak terus mengawasi gerak-gerik orang asing yang sangat mencurigakan.
Beberapa orang dari perajurit-perajurit itu
segera bergerak meninggalkan kawan-kawannya
yang terus mengintai. Mereka tampak memacu
kuda tunggangan menuju kota raja Ujung Dunia.
Sementara itu di lain tempat, namun masih
di sekitar pantai selatan muncul pula seorang la-ki-laki bengis memakai topi
terbuat dari daun
rumbia. Di punggungnya terdapat sebuah pedang
panjang. Tatapan matanya sinis, dan ia melang-
kah dengan angkuhnya.
Laki-laki memakai pakaian warna jingga ini
dirimba persilatan dikenal dengan julukan Si Raja Tega. Ia membunuh orang-orang
tidak disukainya
terlepas dari rasa salah atau tidak.
Ia adalah pembunuh bayaran dan merupa-
kan tokoh peralihan yang paling tega di dunia.
Itulah sebabnya ia dijuluki Si Raja Tega.
Mengapa tokoh dari daerah Andalas ini
sampai berkeliaran meninggalkan Asahan" Lalu
bagaimana nasib si Jelita Puspita di tangan hartawan sinting itu. Dan siapa
orang-orang di dalam lima kapal asing itu" Bagaimana dengan kitab
Kedamaian Dunia" Ikuti petualang si konyol se-
lanjutnya. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Badai Awan Angin 9 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Pendekar Bloon 6
juga!" "Bukan, aku mentertawakan manusia edan itu." kata Suro dengan muka
berubah merah. Mereka akhirnya saling terdiam lagi. Puspi-
ta bersungut-sungut, namun tetap mengikuti Su-
ro tidak jauh di belakangnya. Belum sampai di
depan pintu gerbang mereka melihat sebuah
bayangan berkelebat dari bagian dalamnya.
"Awas Suro...!" Puspita berteriak keras memberi peringatan pada Pendekar Blo'on.
Terlihat jelas sedikitnya tujuh buah benda
berwarna kuning melesat ke arah mereka. Suro
menyambar Puspita dan membawanya serta ber-
guling-guling. Mereka tumpang tindih, namun lu-
put dari serangan paku-paku beracun yang di-
lemparkan oleh Ratu Alam Kubur.
Suro bangkit berdiri, di depannya berdiri
seorang nenek jelek berpakaian kumuh. Suro
nyengir lagi. Si nenek terkejut karena tidak menyangka bahwa orang yang baru
dibokongnya ta-
di adalah seorang pemuda tampan bertampang
ketolol-tololan.
"Kau manusia konyol darimana?" tanya Ra-tu Alam Kubur.
"Pita, nenek jelek bau tengik ini bertanya
kita darimana" Kita kan baru berbulan madu,
ya... sayang...!" kata si pemuda seenaknya.
"Pendekar geblek ini masih juga main-
main." gerutu Puspita. Lalu ia menyahuti. "Benar kita baru jalan-jalan dan
nyasar kemari!" sahut gadis berpakaian Ninja.
"Rupanya pengantin baru. Tapi mengapa
isterimu memakai penutup kepala segala, manu-
sia gendeng?" bentak si nenek.
"Oh itu" Isteriku sakit mata, wajahnya je-
lek, dibandingkan wajahmu tentu jelek lagi wajah isteriku. Betul kan isteriku?"
"Palamu peang...!" dengus Puspita tidak dapat menahan kejengkelannya.
"Nah dia marah. Kalau sudah marah begitu
biasanya wajahnya berubah semakin jelek. Jadi
sebaiknya kau menyingkir nenek-nenek. Kami
akan melewatkan malam di gudang...!"
"Bangsat gelo dari manakah kalian. Jangan
coba-coba masuk ke dalam gudang itu kalau ti-
dak ingin mampus!" ancam Ratu Alam Kubur.
Diam-diam ia menjadi curiga. Jangan-
jangan pemuda bertampang ketolol-tololan itu
punya maksud yang sama seperti dirinya.
"Aih... kau melarangku. Apakah kau juga
sedang berbulan madu, nek" Kalau orang tua
yang berbulan madu sebaiknya di kuburan saja,
biar gampang mengurusnya jika kehabisan na-
fas!" kata Suro.
"Pemuda edan! Jika kau tetap ngotot, aku
akan mengirim kalian berdua ke neraka...!" den-
gus Ratu Alam Kubur.
Pendekar Blo'on bukannya takut tapi ma-
lah tertawa-tawa. Setelah tawanya lenyap, maka
sikapnya kemudian berubah serius.
"Aku tahu kau ingin mengambil harta har-
tawan Abdi Banda. Yang ku herankan manusia
bau tanah sepertimu kok masih kemaruk harta.
Untuk apa" Atau untuk menyuap Malaikat di
alam kubur nanti?"
Gempita Loka kaget bukan main. Ia sama
sekali tidak menyangka kalau pemuda setengah
edan itu mengetahui apa yang sedang dikerja-
kannya di tempat itu.
"Kau sudah tahu, sebaiknya menyingkir.
Harta itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain!"
perintah Ratu Alam Kubur.
"Walah, bukan harta itu yang penting bagi-
ku. Kami hanya ingin mengambil sesuatu yang
lebih penting dari harta-harta itu!"
"Tidak bisa!"
"Harus bisa!" bantah Suro ngotot.
"Tidak!"
"Bisa...!"
"Keparat kowe! Heaaa...!" Ratu Alam Kubur berteriak marah. Ia langsung menyerang
Suro Blondo dengan serangkaian tendangan menggele-
dek. "Menyingkir Pita!" kata Suro memberi aba-aba. Puspita pun dengan cepat
segera menyingkir.
Pendekar Blo'on sendiri dengan mulut termo-
nyong-monyong langsung menghindari serangan
lawannya dengan gerakan yang lucu sekali.
"Aih... pakaianmu benar-benar bau tengik,
sudah berapa tahun sih tidak mandi...?" ejek Su-ro
"Bangsat, heaaat...!"
Dengan marahnya Gempika Loka hantam-
kan tinjunya ke wajah Suro. Pemuda ini cepat
merunduk. Serangan lewat di atas kepala. Seran-
gan luput Gempika Loka lepaskan tendangan. Su-
ro lompat ke samping, lalu berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Lalu dia
bergulingan, selanjutnya melompat ke udara sambil menggaruk-garuk sekujur
tubuhnya. "Ciaa...!"
"Nguk! Nguk...!" Gerakan dan tingkah si konyol yang seakan mengejek lawannya ini
membuat Ratu Alam Kubur menjadi semakin marah.
Tapi diam-diam hatinya kaget juga. Pemuda ko-
nyol berambut kemerah-merahan ini mempunyai
jurus-jurus kacau seperti jurus monyet. Hal ini mengingatkan dirinya pada
seorang tokoh sakti
yang tinggal di gunung Mahameru. Dia tidak lain adalah Penghuni Siluman Kera
Putih yang dikenal dengan nama Barata Surya.
Namun seingatnya kakek berilmu tinggi itu
tidak punya seorang murid pun. Lalu pemuda
tampan bertampang ketolol-tololan ini murid sia-pa" Sadar pemuda itu tidak dapat
dipandang en- teng, maka Ratu Alam Kubur segera mengelua-
rkan jurus-jurus simpanannya.
ENAM "Jurus-jurusmu seperti pernah kukenal.
Katakan kau murid siapa?" dengus Ratus Alam Kubur kertakkan rahangnya.
"Entahlah, mungkin murid monyet, mung-
kin murid Hantu, perlu apa kau tahu?" sahut Su-ro.
"Anak Setan...!" maki si nenek. Mendidihlah amarahnya. Ia tiba-tiba menyentakkan
ka- kinya ke belakang. Lalu kaki itu mengais di atas tanah. Selanjutnya ia melompat,
tangannya mencengkeram wajah Pendekar Blo'on.
Si Bocah Ajaib selamatkan wajahnya dari
cakaran. Lalu ia keluarkan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
Disertai dengan bentakan keras yang disusul oleh suara lolongan membuyarkan
kosentrasi lawannya. Suro Blondo
berkelebat lenyap. Gerakan-gerakan kaki dan
tangannya semula memang mirip dengan gerakan
kera. Main lompat sana lompat sini, garuk sana
garuk sini, lalu tangannya secepat kilat me-
nyambret. Ratu Alam Kubur menghindar ke
samping, tangannya menepis. Tapi Suro men-
gangkat tangannya lebih ke atas lalu meluncur ke atas dada.
Dell...! "Pemuda kurang ajar!" geram Gempita Lo-ka. Wajahnya yang hitam penuh keriputan
sema- kin bertambah hitam.
"Tidak usah marah-marah nek. Kau punya
memang sudah kempes!" ejek Suro lalu tertawa.
"Tertawalah kau sepuasmu, sebentar lagi
tampang konyol mu akan kubuat babak belur!"
teriak Ratu Alam Kubur.
Tiba-tiba saja nenek renta membuka se-
rangannya sambil melepaskan paku-paku bera-
cunnya. Beberapa buah benda berwarna kuning
berkeredepan menyerang Pendekar Blo'on. Pemu-
da ini bersungut-sungut. Lalu melenting ke uda-
ra. Paku-paku beracun lewat di bawah kaki Pen-
dekar Blo'on. Selagi pemuda itu meluncur turun.
Gempita Loka memburunya, lalu telapak tangan
perempuan itu menghantam punggung si konyol.
Sulit bagi Suro menghindari pukulan selagi
tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dengan te-
lak pukulan itu menghantam tubuhnya. Suro ter-
guling-guling. Punggungnya seperti remuk. Seper-ti orang sakit encok dia bangkit
lagi. Tapi si konyol masih sempat tersenyum.
"Heea...!"
Nenek renta yang sudah kalap ini tidak
membiarkan lawannya yang sudah terluka punya
kesempatan membela diri. Kini kakinya meluncur
ke depan. Suro terkesiap. Ia pergunakan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Namun
walau pun sekarang tubuhnya telah berubah
menjadi banyak. Kiranya Ratu Alam Kubur juga
sudah mengerahkan jurus andalan 'Menggulung
Langkah Menempuh Jarak'.
Pemuda berambut hitam kemerahan jadi
kaget. Kemana pun ia bergerak lawan terus men-
gikutinya. Bahkan serangan lawan semakin ber-
tambah mengkhawatirkan keselamatannya. Lima
buah jari meluncur deras ke perutnya. Suro me-
nangkis dengan mempergunakan sikunya.
Buuk! Reet! "Aih...!" Suro terhuyung, mulutnya peletat-pletot seperti orang yang sedang
berusaha mena- han marah. Kulit sikunya mengucurkan darah.
Selagi ia belum sempat mengembalikan keseim-
bangannya, Ratu Alam Kubur sudah melepaskan
tendangan ke dadanya.
Diegkh.! "Hekh, mati aku...!" keluh Pendekar Blo'on.
Ia terguling-guling hingga membuat pakaian bi-
runya menjadi kotor. Satu kebiasaan jelek Pendekar Blo'on ia selalu terlambat
berpikir untuk mengambil tindakan terbaik. Sehingga apa yang
terjadi pada dirinya membuat Puspita menjadi
khawatir. Ia ingin turun tangan menggantikan
pemuda itu, namun ia ragu karena luka akibat
Racun Bunga Asmara belumlah sembuh benar.
"Kerahkan semua yang kau miliki, Suro!
Cepatlah sebelum kau kojor di tangannya...!" teriak Puspita.
"Perempuan keparat! Nanti giliranmu akan
tiba!" maki Gempita Loka.
Sebaliknya Pendekar Mandau Jantan ini
seperti orang yang baru tersadar dari mimpi jelek yang dialaminya. Ia tepuk
keningnya berulang-
ulang. "Otak geblek, cerdik tapi telat mikir! Aku digebuki terus, masa' tidak
becus membalas!" gerutu Pendekar Blo'on.
Seraya melompat dan langsung berdiri.
Gempita Loka yang merasa berada di atas angin
tersenyum mengejek.
"Keluarkan semua yang kau punya! Kau ti-
dak bakal selamat melawan Ratu Alam Kubur!"
dengus si nenek jumawa.
"Ha ha ha...! Aku punya mana boleh ditun-
jukkan pada nenek jelek sepertimu. Tapi kau ha-
rus ingat, kalau kau kalah kau harus mencium
pantatku. Apakah kau mau?"
"Bocah sinting!" maki si nenek.
Perempuan itu tiba-tiba kembangkan tan-
gannya seperti orang yang hendak memeluk ke-
kasihnya. Di luar sepengetahuan Pendekar Blo'on ternyata ia sedang mengerahkan
tenaga dalamnya
ke bagian tangan itu. Sebentar saja kedua tan-
gannya telah menjadi hitam macam arang hingga
sampai ke siku. Dari setiap ujung jari tangan si nenek menebar kabut hitam
berbau amis. Suro melotot dan langsung sadar bahwa
lawan bermaksud membunuhnya. Termonyong-
monyong Suro mengerahkan tenaga dalamnya
pula. Hanya dalam waktu singkat kedua tangan
sampai siku berwarna putih seperti salju. Inilah pukulan 'Ratapan Pembangkit
Sukma' warisan Malaikat Berambut Api yang tidak lain adalah kakek merangkap gurunya sendiri.
"Hiyaa...!"
Ratu Alam Kubur hentakkan tangannya ke
arah lawan. Suro pun mengibaskan tangannya ke
arah pukulan lawan yang menebar hawa dingin
menyesakkan dada ini.
Angin kencang disertai melesatnya sinar
putih dan dingin bukan kepalang melabrak sinar
hitam. Terjadilah benturan di udara. Ledakan keras itu membuat dua-duanya jatuh
tunggang langgang. Puspita sendiri sampai tergontai-gontai.
"Si konyol itu benar-benar punya kepan-
daian yang tidak disangka-sangka!" gumam Puspita kagum.
Dua sosok tubuh yang sama merentak
bangkit. Ratu Alam Kubur merasa nyawanya se-
perti mau lepas, sekujur tubuhnya membeku. Se-
telah mengerahkan sebagian tenaga dalamnya
maka hawa dingin itu sedikit berkurang. Ia me-
rangkak bangkit. Suro Blondo walau pun sudut-
sudut bibirnya mengucurkan darah namun masih
mampu tersenyum, meskipun wajahnya yang ko-
nyol tampak sepucat kertas.
"He he he...! Kau hampir mampus, aku
sendiri setengah mati! Akibatnya sama saja. Ma-
sih ada kesempatan bagimu untuk menikmati
udara bebas! Tapi kalau mau menyabung nyawa
kita boleh mencobanya!"
"Kau... bukankah kau muridnya Barata
Surya, Penghulu Siluman Kera Putih...?"
Murid Malaikat Berambut Api dan Penghu-
lu Siluman Kera Putih ini tersenyum.
"Tau aja nenek haul"
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Huh, kebetulan sekali! Aku ingin mengadu
jiwa denganmu!" dengus Ratu Alam Kubur.
Sret! Ratu Alam Kubur keluarkan senjata ter-
buat dari tali berbentuk jeratan. Salah satu keis-timewaannya pabila telah
mengenai sasarannya
tidak mudah terlepas. Bukan itu saja, ia juga
mengeluarkan senjata melengkung berbentuk
arit. Si konyol yang garuk-garuk kepala lang-
sung turunkan tangannya sambil terkekeh-kekeh.
"Nenek jelek, apakah kau mau mengarit padi?"
"Bocah sinting!" maki Gempita Loka.
Set! Sing! Suro yang sudah mengeluarkan jurus
'Kacau Balau' ini sudah melompat menghindar
secara tidak beraturan justeru pada saat senjata lawan meluncur ke arahnya.
Gerakan silat si pemuda benar-benar kacau tidak beraturan. Setiap
gerakan yang dilakukannya serabutan dan tidak
menentu, tapi tidak satu pun serangan lawan
mengenai sasaran.
"Hiekh...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Blo'on melompat
tinggi ke udara. Justru pada saat itu tali milik lawan menjerat kakinya. Sekali
nenek renta ini menyentakkan talinya. Maka terpelantinglah tubuh
si pemuda, Ratu Alam Kubur menghantamkan
aritnya persis di punggung Suro, hingga membuat Puspita menutupi wajahnya karena
ngeri. Namun disaat-saat yang sangat kritis itu
Pendekar Blo'on cabut senjata mautnya Mandau
Jantan berhulu seorang pertapa. Senjata berwar-
na hitam itu menderu....
Trraang...! Pyaar! "Heh...!"
Pada saat Mandau Jantan di tangan Pen-
dekar Blo'on membentur keras arit di tangan Ratu Alam Kubur. Maka senjata
lawannya itu terbabat
putus menjadi beberapa bagian. Gempita Loka
bersurut mundur, tidak dapat menyimpan rasa
kagetnya. Tapi ia tidak dapat berfikir lebih lama pula karena si konyol ketika
itu sudah memba-batkan mandau di tangannya.
Gempita Loka terpaksa main mundur, sen-
jata yang dapat merintih, meringkik dan meraung sesuai dengan cara
menggerakkannya ini meluncur deras ke perut lawan. Nenek renta menge-
butkan tali di tangannya.
Wuut! Tess! Tali tersebut terbabat putus, sementara
ujung mandau terus meluncur. Hingga akhirnya
tanpa terelakkan lagi menembus jantung Ratu
Alam Kubur. "Akh...!"
Nenek renta itu menjerit keras, matanya
melotot, dari mulutnya yang terbuka menyembur
darah segar. Suro menyentakkan senjata di tan-
gannya. Bruk! Robohlah Ratu Alam Kubur ini tanpa sem-
pat menikmati harta yang dikumpulkannya.
Suro menggelengkan kepalanya. Senjata
dimasukkannya lagi ke dalam warangkanya. Pus-
pita gadis berpakaian ala Ninja menghampirinya.
"Ternyata di balik ketololanmu, kau me-
nyimpan kehebatan yang tidak diperhitungkan
oleh siapapun"!" puji si gadis. Matanya pun ber-binar indah.
"Kau kelewat memuji, padahal kau hanya
mau mengatakan bahwa aku Pendekar geblek,
bukan?" sahut Suro sambil nyengir.
"Aku bersungguh-sungguh!"
"Kalau betul ucapanmu. Bagaimana kalau
aku minta cium?" tanya si konyol.
"Iih... kamu..,!" Puspita tersipu-sipu, kemudian ia berlari-lari menuju ke dalam
gudang harta. "Eeh, dia mengajakku ke tempat yang gelap. Biar nggak malu sama mayat-
mayat itu, teru-tama mayat nenek jelek ini!"
Lalu Suro pun melangkahkan kakinya
memasuki gudang yang penuh dengan harta ben-
da. "Suro... aku tidak melihat ada kitab berisi surat Maha penting itu di sini."
kata Puspita. "Cari terus, kalau perlu kita obrak-abrik
daki dunia ini. Mungkin kitab penting itu tersimpan di bawah tumpukan harta.!"
kata Pendekar Blo'on menyahuti.
Baru saja mereka hendak mencari ke ba-
gian lain. Tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak-gelak. Suara tawa itu
kemudian lenyap, suasana
berubah sunyi sekejab.
"Ada setan lain lagi rupanya di dalam gu-
dang ini. Sebaiknya kau bersikap hati-hati!" Pendekar Blo'on memberi peringatan.
Baru selesai Suro bicara, tiba-tiba tampak
sosok tubuh berpakaian serba putih berkelebat ke arah Suro. Pemuda berambut
hitam kemerahan
ini siap melepaskan pukulan 'Neraka Hari Terak-
hir'. Namun tiba-tiba saja terdengar suara se-
ruan.... "Tahan...!"
Niat Suro untuk melepaskan pukulan
urung. Ia melihat seorang kakek tua telah berdiri di depannya. Wajah si kakek
seperti orang yang
menanggung penderitaan.
"Siapakah anda?" tanya Si Bocah Ajaib.
Si kakek tersenyum, senyumnya sedih se-
kali hingga membuat Suro serasa mau menangis
saja. "Kulihat wajahmu, hanya membuat aku semakin menderita. Waktu hamil ibumu
memang kepingin apa, apa kebanyakan bengong, hingga
membuat anaknya terlahir seperti orang tolol?"
"Jangan menghina, jangan bawa-bawa aku
punya emak. Kau kawan atau musuh, Kisanak"
Atau kau kekasihnya nenek jelek yang sudah ko-
jor di depan gudang itu?" tanya Suro serius.
"Kulihat ulah manusia, membuat aku
menderita. Keserakahan manusia, kesombongan
manusia adalah penderitaanku. Aku adalah Ma-
laikat Penderitaan!" jawab si kakek.
"Walah, gelarmu sengsara amat. Yang aku
tahu Malaikat biasanya membagi rezeki, menu-
runkan hujan, memberi rahmat atau menyiksa
dan mencabut nyawa. Tapi kini di hadapanku ada
Malaikat yang begitu menderita. Apa saja kerjamu disini Malaikat menderita?"
tanya Suro disertai tawa tergelak-gelak.
"Kau Pendekar Konyol Suro Blondo, Bocah
Ajaib yang terlahir pada malam satu Asyuro di
gunung Bromo. Murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan murid si banyak pacar Malaikat Be-
rambut Api! Sebaiknya kau pergi dan temui Pen-
dekar Lugu yang kini sedang menunggumu! Perja-
lanan ke Anyer adalah tujuan Hartawan Abdi
Banda...!"
Suro kaget bukan kepalang ketika Malaikat
Penderitaan menyebut asal usul dan siapa di-
rinya. Puspita Sari lebih terperangah lagi. Ia tidak menyangka kalau Pendekar
Mandau Jantan ini
adalah muridnya Malaikat Berambut Api yang
pernah menolongnya. Barata Surya juga bukan
tokoh sembarangan manusia yang tinggal di gu-
nung Mahameru bersama kera-keranya itu, selain
tingkahnya yang konyol angin-anginan juga me-
miliki kesaktian dahsyat. Ternyata selama ini ia bersama seorang murid dari dua
guru yang sukar
dicari tandingannya. Sungguh Puspita merasa
menjadi gadis yang paling beruntung di dunia.
Suro garuk-garuk rambutnya. "Hei...
kat...!" "Kat siapa?" tanya si kakek.
"Lho Malaikat kan harus dipanggil 'Kat".
Kau tidak boleh menyuruhku pergi begitu saja!
Aku sekarang sedang mencari kitab Maha penting
yang menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persila-
tan di seluruh dunia. Kitab itu harus disela-
matkan! Agar jangan sampai terjatuh di tangan
orang yang salah!"
"Ha ha ha...! Masalah itu jangan kau kha-
watirkan. Aku telah menemukannya! Kau tidak
perlu tahu dimana kitab berisi surat itu sekarang.
Yang perlu kau ketahui, selain Anak Langit, di dunia ini juga sudah turun dari
langit makhluk Maha Sesat yang juga mengincar kitab itu. Tu-
juan yang sebenarnya bukan itu saja, ia ingin
menyesatkan manusia, mengadu domba manusia,
merusak moral manusia hingga membuat manu-
sia kufur terhadap nikmat yang diberikan Tuhan-
nya. Ia datang ke bumi untuk mencari kawan se-
banyak-banyaknya agar kelak menjadi pengikut-
nya di Neraka! Sekarang dia bergentayangan ke-
mana saja, merasuk ke dalam darah, bercokol da-
lam hati dan pembuluh otak manusia. Dia tidak
dapat dimusnahkan, tapi dapat diusir dan di-
jauhkan. Berhati-hatilah, karena dia dapat berujud dirimu sendiri. Sekarang
hartawan Abdi Ban-
da, kemungkinan angkara murka peluang terbe-
sarnya terjadi pada hartawan itu."
"Tapi kitab itu kalau boleh tahu apa
isinya?" tanya Suro.
"Aku tidak kuasa membukanya terkecuali
di depan Anak Langit! Tunggulah satu purnama
mendatang di kota kerajaan Ujung Dunia!" kata Malaikat Penderitaan.
Laki-laki tua ini selanjutnya tanpa berkata
apa-apa lagi langsung berkelebat pergi.
"He... Kat... tunggu...!" cegah Suro Blondo.
Percuma saja ia berteriak. Karena Malaikat
Penderitaan telah lenyap dari pandangan mereka.
Di kejauhan terdengar suara sedu sedan Malaikat Penderitaan.
"Sekarang semuanya sudah hampir jelas.
Hanya kita tidak tahu mengapa makhluk-
makhluk aneh ini muncul. Apakah karena surat
dalam kitab itu atau...!" Puspita ragu-ragu.
"Sudahlah! Mari kita pergi, segala sesuatu yang memusingkan kepala akan menjadi
jelas jika sudah kita jalani!" kata Suro.
Tanpa menunggu si cantik berhidung ban-
gir ini bicara. Ia menyambar lengan si gadis dan membawanya berlari meninggalkan
Hutan Larangan.
TUJUH Ia berjalan seperti hamparan kabut di dae-
rah pegunungan dan lembah. Atau terkadang le-
bih cepat lagi dari angin. Ujudnya antara ada dan tidak. Namun sesungguhnya ia
memang ada. Ia telah tercipta bahkan jauh sebelum manusia ter-
cipta di bumi ini. Kehadirannya dapat ditandai
dengan terciumnya bau aroma bunga mayat, bau
cendana atau bau-bauan yang dibakar di atas
pendupaan. Dialah 'Sang Maha Sesat'. Yang sela-
lu dekat dengan orang yang berhati hasut, sirik, dengki, marah, sombong dan
penuh kebencian.
Kini bersama hembusan angin ia bergerak,
meninggalkan Magetan dan menyusul iring-
iringan rombongan hartawan Abdi Banda yang
tengah menuju ke Anyer.
"Surat itu tidak boleh diketahui oleh orang-orang berhati lurus. Ia harus
senantiasa tersimpan. Surat itu tidak juga boleh dilihat oleh orang yang memuja
kesenangan dunia dan seisinya.
Agar mereka tetap lalai dan ingkar pada Tuhan-
Nya." kata suara tanpa ujud itu seakan ditujukan pada diri sendiri.
Kabut tipis itu terus bergerak, tentu saja
gerakannya cepat melebihi kuda mana pun yang
paling cepat di dunia.
"Manusia sombong itu adalah pengikutku
yang iri, yang dengki, yang kejam, yang tamak,
yang gemar membunuh yang suka memfitnah se-
samanya, yang meriba, yang durhaka pada orang
tuanya, yang durhaka pada suaminya, yang men-
zinahi darahnya sendiri dan juga yang memuja
harta! Mereka adalah pengikut-pengikut setia
yang kelak menemaniku di Neraka. Ha ha ha...!"
Sang Maha Sesat tertawa tergelak-gelak. "Ada lagi yang hampir kulupa, mereka
yang termasuk jadi
pengikutku adalah para pelacur, ibu yang mem-
bunuh anaknya, pemabuk, penjudi, penyabung
ayam, berhati keras, pembohong, dan juga orang
yang marah namun tidak ada reda-redanya...!"
Suasana kemudian berubah sunyi mence-
kam. Angin terus berhembus, makhluk gaib yang
berjuluk Sang Maha Sesat ini terus mengikuti
hembusan angin tersebut. Hingga akhirnya kabut
tersebut berhenti di tengah-tengah tenda yang
terletak di pinggir telaga kecil.
Ahli Nujum Zuhgafarah dan Nukman Jaya
sendiri sebagai orang-orang yang ahli meramal
dan permainan sihir tidak mengetahui kehadiran
Sang Maha Sesat. Sosok gaib ini kemudian me-
meriksa setiap tenda yang ada. Sampai kemudian
ia berhenti ketika mendengar pembicaraan di sa-
lah satu tenda yang paling besar.
"Rasanya kita sudah berada jauh dari
jangkauan mereka, kakang!" kata laki-laki muka bulat perut besar seperti kuali
raksasa tertelung-kup. "Bahaya itu tetap ada." sahut kakek berwajah buruk
berkepala botak penuh keyakinan.
"Pemuda konyol yang punya gelar Pendekar
Blo'on itu pernah kudengar sepak terjangnya.
Menurut telik sandi, pemuda itu bersama seorang gadis berpakaian Ninja. Aku jadi
yakin mungkin
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu adalah muridku!"
"Lagi-lagi masalah muridmu itu yang
mengganjal dalam pikiranmu, kakang. Padahal
masih banyak persoalan lain yang lebih penting
dari semua itu."
Laki-laki bertubuh kurus ceking itu cembe-
rut. "Jadi kau sudah tidak merindukan muridku lagi?" "Ha ha ha..,!" Si gendut
kikir tergelak-gelak. Hingga membuat perutnya yang besar ter-
guncang. "Tentu saja aku selalu merindukan muridmu, aku ingin mendekapnya,
merasakan ke- hangatan di malam pertama. Namun sampai se-
karang kan Puspita Sari tidak kita jumpai. Aku
malah mengkhawatirkan surat dalam kitab itu!"
"Apa isinya?" tanya Datuk Alam Salindra.
"Isinya tidak ada yang boleh tahu. Itu rahasia."
"Kau selalu merahasiakan apa yang mem-
bebani pikiranmu, bagaimana aku dapat mem-
bantu?" tegur Datuk Alam Salindra.
"Yang satu ini memang harus kurahasia-
kan walau sampai mati. Kakang tidak perlu ma-
rah. Malam ini kakang boleh mengambil dua
orang isteriku untuk menemani kakang! Berse-
nang-senanglah dengan mereka. Aku rasanya in-
gin bersemedi untuk memulihkan kondisiku!" ka-ta hartawan Abdi Banda.
Berbinar mata tua bangka itu. Ia segera
meninggalkan adiknya. Keluar dari tenda suasana dingin menyambutnya. Ia
tersenyum, lalu berjalan menghampiri tenda besar di mana beberapa
orang pengawal berjaga-jaga disitu. Sang Maha
Sesat yang mengawasi gerak-gerik Datuk Alam
Salindra tersenyum.
"Bagus, tingkahmu sudah mendekati bina-
tang. Isteri orang lain diperlakukan seperti isteri sendiri. Kelak kau juga akan
menjadi pengikutku di neraka!" dengus Sang Maha Sesat. Ia sendiri kemudian
menghampiri tenda di mana Abdi Banda sedang bersemedi.
Sementara itu Datuk Alam Salindra sudah
mengusir dua orang pengawal. Pintu tenda dis-
ibakkan. Para isteri hartawan Abdi Banda ketakutan dan tampak malu-malu kucing
melihat keha- diran sang Datuk.
Mata sang Datuk mencari-cari, setelah pilih
sana pilih sini akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada dua perempuan muda. Yang
satu berkulit hitam manis sedangkan satunya lagi berkulit pu-
tih laksana susu. Datuk Alam Salindra leletkan
lidah basahi bibir.
"Kalian berdua ikuti aku!" perintah laki-laki tua ini, seraya melambaikan
tangannya. Sampai di luar tenda sang Datuk meng-
gandeng tangan mereka menuju ke tendanya. Di
tenda yang ditinggalkan terdengar suara tawa ce-kikikan berbau mesum.
Sampai di tendanya Datuk Alam menutup
pintu tenda rapat-rapat. Ia memperhatikan kedua wanita yang sesungguhnya masih
gundik-gundik adiknya sendiri.
"Kau yang hitam manis siapa namamu?"
"Saya Indriani, Datuk dan kawan saya ini
Mayang...!" jawab perempuan bertubuh sintal ini
disertai sesungging senyum genit.
"Indriani dan Mayang adalah nama-nama
bagus! Kalian malam ini harus melayani aku!" ka-ta Datuk Alam Salindra. Tangan
kanan kirinya gerayangan dan meremas dada kedua wanita mu-
da itu hingga keduanya memekik.
"Tapi, Datuk. Bagaimana kalau adik Datuk
mengetahuinya?" tanya Mayang kelihatan begitu takut. "Ha ha ha...! Justru adikku
akan marah ji-ka kalian tidak bisa membuatku puas!" kata laki-laki berwajah
angker ini. Maka legalah hati para gundik-gundik har-
tawan Abdi Banda ini. Mereka akhirnya merebah-
kan diri di atas kasur. Datuk Alam Salindra su-
dah lupa daratan, jemari tangannya bergerayan-
gan kemana-mana. Sedangkan tangannya yang
lain membelai-belai Mayang. Perempuan itu dici-
uminya dengan nafsu menggebu-gebu. Tampak-
nya para gundik Abdi Banda ini memang tidak
canggung dalam permainan ini, mereka juga tidak malu walau pun di dalam tenda
itu terdapat dua
perempuan. Apa yang terjadi selanjutnya hanya mereka
yang tahu. Desah-desah nafas, mandi keringat
atau erangan-erangan berbau kemaksiatan. Sang
Maha Sesat dalam kegelapan pun tertawa. Inilah
manusia yang telah dikuasai nafsunya, tidak
mempergunakan akal sehat dan mata hati.
Kejadian itu terus berlangsung, kelihatan-
nya Datuk Alam Salindra memang tidak mengenal
rasa lelah dan puas. Ia terus menggeluti dari perempuan yang satu lalu berpindah
ke perempuan yang lain. Sampai-sampai kedua perempuan itu
kewalahan. Mereka menyerah pasrah dalam hem-
pasan badai asmara sang Datuk yang tidak kun-
jung reda. Sementara itu Sang Maha Sesat mulai
mendekati hartawan Abdi Banda. Makhluk alam
gaib yang tercipta dari api ini mengisiki.
"Mengapa kau biarkan Datuk Alam Salin-
dra bersenang-senang dengan kedua isterimu?"
Abdi Banda kaget mendengar bisikan gaib
itu. Ia membuka mata, memandang ke sekeliling-
nya. Tidak terlihat siapa-siapa.
"Siapa kau?" tanya si gendut kikir.
"Aku Sang Maha Sesat. Aku makhluk alam
gaib. Tidak cemburukah kau melihat isterimu?"
Sang Maha Sesat kembali berbisik, jelas niatnya penuh hasut adu domba.
"Tidak! Aku yang menyuruhnya. Aku tidak
akan perduli dia berbuat apa. Yang ku pikirkan
sekarang ini adalah tentang kitab, harta bendaku dan tentang diriku yang takut
mati!" "Ha ha ha...! Jika kau mau menjadi pengi-
kutku, maka kau tidak akan mati-mati. Harta
bendamu tetap terjamin dan kitab kedamaian itu
tetap berada di tempatnya!" kata suara gaib itu berbohong.
Mata sipit si gendut membuka lebar. "Apa
betul" Benar kau dapat menjamin agar aku dapat
bertahan hidup selamanya?" tanya sang hartawan
penuh harap. "Tentu saja. Asal kau mau jadi pengi-
kutku!" "Hanya itu saja syaratnya?" tanya si gendut. "Tidak, masih ada dua syarat lagi.
Syarat pertama adalah berlaku salahlah kau sepanjang
hidupmu, ingkari kebenaran dan buat angkara
murka di bumi ini. Sedangkan yang kedua, akan
datang di tanah Jawa ini Lima Utusan Akherat,
mereka datang ingin mencari surat dalam kitab
itu. Untuk itu sedapatnya kau harus mencegah
mereka, rahasiakan terus kitab itu bagi orang-
orang yang ingin mencari kedamaian. Kitab itu
adalah musuhku, kitab itu mengandung kebena-
ran yang sangat kubenci. Padahal sebelum dunia
ini kiamat aku telah bersumpah untuk mencari
pengikut sebanyak-banyaknya!"
"Kalau cuma itu syaratnya tentu tidak
memberatkan bagiku. Jika orang-orang golongan
putih mencari pasti tidak menemukannya. Hanya
aku yang tahu dimana kusimpan kitab yang ku-
dapat lima puluh tahun yang silam tersebut. Kitab itu kurampas dari tangan
seorang ahli agama tingkat paling tinggi."
Sang Maha Sesat tertawa rawan. "Harta-
wan Goblok takut mati. Aku sendiri tidak yakin
apakah kitab yang juga menjadi incaranku masih
berada di gudang penyimpanan harta atau tidak.
Terakhir aku hendak datang kesana tapi aku
mencari hiburan dengan membunuhi kawan-
kawan Kuswara yang konyol, itu sedikit kejutan
bagi orang-orang yang punya jalan menyimpang."
dengus makhluk kegelapan itu sinis.
"Nah, kata sepakat sudah didapat, kau
punya umur akan bertambah panjang asalkan
kau selalu mengabdi padaku! Harta bendamu ini
hanya boleh kau pergunakan untuk kemaksiatan!
Ingat untuk kemaksiatan dan angkara murka...!"
tegas suara gaib tersebut.
"Jangan khawatir, sejak dulu jalan hi-
dupku memang selalu berliku-liku dan penuh
tanjakan. Bolehkah aku tahu Utusan Lima Benua
itu datang dari mana?"
"Mereka datang dari tempat yang sangat
jauh. Dari dunia dingin, dunia panas dan dunia
empat musim. Peradapan mereka ada yang lebih
maju dari kalian yang di tanah Jawa ini tapi ada juga yang lebih mundur. Nah
sekarang sudah waktunya bagiku untuk pergi!" kata Sang Maha Sesat. "Baiklah... terima kasih
atas petunjukmu!?"
ujar hartawan Abdi Banda.
Kemudian keadaan di dalam tenda beru-
bah menjadi sunyi. Hartawan Abdi Banda terse-
nyum-senyum sendiri. Ia sangat senang karena
harta bendanya terjamin, ia senang kitabnya da-
lam keadaan aman. Dan satu kesenangan yang
tiada bandingnya, umurnya menjadi panjang, ia
tidak akan pernah mati sebagaimana yang dika-
takan oleh Sang Maha Sesat.
*** Pada masa itu kekeringan melanda di ma-
na-mana. Musim paceklik berkepanjangan. Ba-
nyak penduduk yang tewas karena kelaparan, di-
antara mereka ada yang mencoba memakan ba-
tang pisang untuk menyambung hidup. Tidak he-
ran bila di kota-kota besar para pengemis berta-buran di mana-mana. Para orang
tua, ibu-ibu rumah tangga, bahkan gadis-gadis tidak malu-
malu mengemis demi menyambung hidup. Mere-
ka rela melakukan apa saja demi mendapat se-
suap nasi. Hari kelima dalam perjalanan hartawan
Abdi Banda menuju Anyer iring-iringan kereta
kuda hartawan itu dihadang oleh sekelompok ka-
wanan pengemis yang terdiri dari gadis-gadis be-rumur sekitar tujuh belas tahun.
Wajah para ga- dis itu tampak pucat menderita lapar, tubuh me-
reka kurus kering, langkah mereka terbungkuk-
bungkuk akibat menahan rasa lapar.
Hartawan Abdi Banda keluar dari kereta
kencananya. Ia memandang ke depan.
"Ada apa, pengawal?" tanya si kikir setengah berteriak.
Pengawal yang paling depan menyahuti.
"Kita dihadang sekawanan gadis-gadis pengemis!"
"Tanyakan apa keperluan mereka?"
"Sudah, mereka minta makanan dari kita!"
jawab Pengawal yang berada di barisan depan
Hartawan meludah. "Bueh...! Mereka kira
kita membawa harta dan makanan milik nenek
moyangnya." dengus sang hartawan. Ia turun dari kereta kudanya. Berjalan ke
depan terseok-seok
seperti orang bunting. Ternyata para gadis pen-
gemis itu sangat cantik-cantik, pantasnya mereka menjadi anak raja.
"Kalian lapar?" tanya Abdi Banda sambil tersenyum.
"Ya tuan. Kami membutuhkan uluran tan-
gan tuan yang kaya raya." sahut belasan gadis-gadis pengemis itu serentak.
Wajah bundar berminyak berubah sinis.
"Kalian pikir aku mau membagikan maka-
nan dengan percuma?"
"Apapun kami lakukan demi menyambung
nyawa kami!" sahut salah seorang gadis itu me-wakili kawan-kawannya.
"Bagus, di akhir jaman ini setiap pembe-
rian harus ada timbal baliknya. Nah jika aku
memberi kalian makan, apakah kalian mau me-
nyerahkan kehormatan kalian padaku?"
Maka terkejutlah kawanan gadis pengemis
itu. Mereka saling berpandangan sesamanya. Ada
keragu-raguan di mata mereka yang cekung. Na-
mun hartawan ini boleh juga, ia memakai perhia-
san yang tidak ternilai harganya. Lalu mereka
mendengar suara gaib mengisiki.
"Lebih baik turuti saja permintaan harta-
wan ini. Kehidupan kalian terjamin dan sela-
manya tidak akan menderita lapar!"
"Kami mau...!" empat belas orang gadis
menyanggupi. Namun tidak dengan gadis berpa-
kaian putih berwajah polos. Ia menjauhkan diri
dari kelompoknya.
"Beri makan pada mereka semua!" teriak hartawan Abdi Banda.
Seluruh anak buah hartawan itu akhirnya
menjadi sibuk memberi makan kawanan gadis-
gadis pengemis itu. Mereka makan dengan lahap,
sampai sebutir nasi pun tidak tersisa.
"Nah sekarang kalian sudah kenyang se-
mua. Aku ingin melihat kebagusan kalian!" kata hartawan itu.
Karena sudah terlanjur janji, maka gadis-
gadis itu dengan malu-malu membuka pakaian-
nya. Maka terlihatlah aurat mereka, hartawan
Abdi Banda dan abangnya leletkan lidah. Mereka
semuanya masih suci, mereka tentu akan berse-
nang-senang nanti malam. Harta memang selalu
kuasa pikir hartawan itu.
"Kenakanlah pakaian kalian kembali!" perintah si hartawan kikir. Gadis-gadis itu
dengan patuh mengenakan pakaiannya kembali. Dalam
kesempatan itu langit sudah berubah menjadi
mendung. Petir menyambar di siang bolong.
Gadis baju putih mendekati hartawan Abdi
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Banda. Wajahnya yang lugu tampak memelas se-
kali. Kening Abdi Banda berkerut melihat kehadiran gadis pengemis yang satu ini.
"Bolehkah saya minta sedikit nasi, tuan.
Saya lapar, sudah tidak makan lima hari...!" ber-getar suara si gadis.
Abdi Banda tersenyum mengejek. Kemu-
dian ia tertawa tergelak-gelak.
DELAPAN "Kau tadi mengapa tidak ikut makan...?"
tanya si gendut.
"Saya merasa berat dengan persyaratan itu, tuan! Apakah tidak ada cara lain yang
tidak ber-syarat?" tanya si gadis.
"Persyaratan berlaku bagi apa saja. Apakah kau mau menyembahku sebagai orang
yang akan memberimu makan?"
Si gadis gelengkan kepala. "Hanya Gusti Allah yang patut ku sembah, manusia
tidak layak menyembah manusia. Karena dia tidak mampu
menegakkan langit dan menghamparkan bumi!"
sahut si gadis benar-benar di luar dugaan sang
hartawan. Datuk Alam Salindra, berubah kelam
wajahnya. Sedangkan Abdi Banda katubkan bi-
birnya rapat-rapat.
"Bagaimana, kalau kuminta kau menye-
rahkan kesucianmu?"
"Hal itu hanya boleh terjadi bila tuan telah menikahiku secara sah. Jika tuan
mengajakku berzina, maka demi Gusti Allah aku lebih rela ma-ti dalam keadaan kelaparan...!"
Bagaikan terdengar petir di siang hari har-
tawan Abdi Banda terkesima. Belum pernah ada
perempuan di mana pun yang berani bicara begi-
tu di depannya.
"Seret dia dan cambuk tubuhnya yang mu-
lus itu sampai hancur!" perintah hartawan Abdi Banda ditujukan pada anak
buahnya. Dua orang prajurit berbadan tegap lang-
sung menghampiri si gadis berpakaian putih.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara ledakan-
ledakan dahsyat di sekelilingnya. Dua orang prajurit langsung terkapar dengan
wajah hancur se-
perti terkena ledakan bahan peledak.
Hartawan Abdi Banda, Datuk Alam Salin-
dra dan dua orang ahli nujum lebih kaget lagi ketika melihat gadis di depannya
telah berubah menjadi seorang pemuda bertampang lugu ber-
jenggot kambing. Pemuda itu memakai baju pu-
tih. Dia tidak lain adalah Pendekar Lugu, seba-
gaimana telah sama kita ketahui Pendekar Lugu
ini dapat merubah dirinya menjadi kakek renta,
perempuan cantik ataupun jadi anak kecil (Dalam Episode Anak Langit & Pendekar
Lugu). Pemuda inilah yang dulu pernah hadir dalam mimpi hartawan Abdi Banda. Ia
memberi peringatan agar
hartawan itu meninggalkan kemaksiatan, kikir,
tamak, sombong dan memuja harta.
Melihat pemuda itu tentu Abdi Banda men-
jadi was-was. Ia memberi kisikan pada kedua ahli nujumnya.
"Ini tugas kalian. Usahakan agar dia tidak mengganggu kita. Jika terlalu sulit
membuatnya takut. Maka sebaiknya di bunuh saja!"
"Kalian adalah orang-orang yang melam-
paui batas! Apa katamu nanti jika Tuhan ber-
tanya padamu tentang segala kemewahan yang
telah diberikanNya padamu?" tanya Pendekar Lu-gu, pemuda yang tadi telah membaur
dengan ga- dis-gadis pengemis itu.
"Jangan kau bicara lagi padaku, aku men-
dapatkan semua ini dengan otak dan jerih payah-
ku sendiri!" sahut Abdi Banda.
"Celakanya manusia karena terlalu som-
bong dan memuja diri, hai hartawan sadarkah
kau dari apa kau diciptakan" Kejadianmu dari se-tetes air hina, kemudian kau
disempurnakan di
dalam rahim. Kau manusia yang nyata-nyata te-
lah tersesat jauh. Kelak kau akan menjadi orang yang serugi-ruginya...!" kata
Pendekar Lugu. "Bocah berjanggut kambing!" Ahli Nujum Zulgafarah membentak. "Tuan kami tidak
perlu kau ganggu. Jika kau punya keperluan, silakan
berurusan dengan kami!"
Wahyu Sakaning Gusti alias Pendekar Lu-
gu tersenyum rawan. "Kalian juga salah satu dari sekian banyak manusia sesat.
Kalian pemuja setan, Sang Maha Sesat! Setan jelas-jelas musuh
manusia, mengapa manusia mau bersekutu den-
gannya?" Di langit terdengar suara ledakan halilin-
tar. Pendekar Lugu menyebut Nama kebesaran
Gusti Allah. Tiba-tiba kedua ahli Nujum itu lemparkan dua utas tali ke arah
Pendekar Lugu. Be-
gitu tali melayang di udara, maka dua utas tali itu berubah menjadi dua ekor
ular raksasa. Ular-ular hitam dengan mata membara dan
mulut ternganga lebar itu langsung menyerang
Pendekar Lugu. Pemuda ini melompat ke samp-
ing. "Astaga! Ini benar-benar permainan sihir yang nyata!" kata si pemuda. Ia
kemudian mem-baca doa-doa suci, lalu ia melepaskan kain putih tipis yang
dijadikan pengikat pinggangnya. Ketika stagen pendek tersebut dilecutkan ke
udara. Ma-ka memijarlah bunga api dari bagian ujungnya.
Bunga api yang kemudian membesar ini langsung
meluncur dan membelah membagi dua. Masing-
masing bunga api melesat ke arah kedua ekor
ular raksasa tersebut. Sebagai tokoh lurus penye-ru umat manusia berbuat
kebajikan. Pendekar
Lugu sangat berpantang melakukan pembunu-
han, terkecuali hanya untuk membela diri. Dan
apa yang dilakukannya sekarang ini semata-mata
juga untuk membela diri.
Dua bola api tadi langsung menghantam
tubuh ular-ular jejadian tersebut. Terdengar sua-ra berdebum. Ular-ular yang
terhantam bola api
mendesis. Mereka menggelepar ke tanah, namun
secara aneh, meliuk dan bergerak kembali. Dua-
duanya menyerang Pendekar Lugu dari dua sisi
sekaligus. Pemuda itu kibaskan stagen di tangannya
ke dua arah. Kembali ujung stagen menghantam
tubuh ular tersebut.
Praat! Sssst! Ular hancur berkeping-keping. Ahli sihir
Zulgafarah dan Nukman Jaya terdorong mundur
dengan muka berubah pucat. Mereka segera
mengangkat tongkatnya. Ketika salah satu ujung
tongkat ditekan, maka menyemburlah asap tipis
dari bagian hulunya yang berbentuk kepala ular
Cobra. Pendekar Lugu mengebutkan stagennya
untuk mengusir uap beracun yang terus me-
nyembur ke arah wajahnya. Tetapi sayang gera-
kannya kalah cepat dibandingkan semburan uap
beracun itu sehingga sebagian diantara racun itu sempat terhirup olehnya.
"Hekh...!"
Pemuda baju putih itu tekap lehernya yang
seperti tercekik. Dari bagian lubang hidung me-
netes darah kental, wajah si pemuda pun membi-
ru. Kemudian ia jatuh terhempas tidak sadarkan
diri. Maka meledaklah tawa hartawan Abdi
Banda dan Datuk Alam Salindra melihat kedua
ahli Nujum itu berhasil merobohkan lawannya.
Dari arah kiri telinga Abdi Banda terdengar suara gaib mengisiki
"Buatkan kayu penyangga, pentang tangan
dan kaki penyampai kebenaran itu, kemudian ku-
liti tubuhnya, bila kulitnya sudah mengelupas,
maka siram dengan air jeruk! Para pengemis itu suruh mengambil dagingnya sedikit
demi sedikit untuk dipanggang! Agar kau tahu dia adalah mu-
suhku yang nyata...!"
"Tapi bukankah itu perbuatan yang sangat
kejam?" guman sang hartawan.
"Jangan bodoh, kau mau hidup kekal atau
tidak! Setiap penyampai kebenaran adalah mu-
suhku dan musuhmu juga!" bisik Sang Maha Sesat. Hartawan Abdi Banda angguk-
anggukkan kepala "Nukman Jaya! Perintahkan pada pengawal itu untuk membuatkan kayu
penyanggah, lalu
pentang tubuh Pendekar Lugu. Setelah itu kuliti, sebentar lagi pesta besar akan
segera dimulai!"
Nukman Jaya laki-laki bermuka seperti
seekor babi segera mengerjakan apa yang diperintahkan padanya. Tiga orang
pengawal langsung
menyeret Pendekar Lugu yang tidak sadarkan di-
ri. Setelah kaki dan tangan Pendekar Lugu di-
ikat di sebuah tonggak besar. Tiba-tiba di langit terdengar suara gelegar petir.
Lalu hujan pun turun dengan lebatnya.
Hartawan Abdi Banda dan Datuk Alam Sa-
lindra berteduh ke dalam kereta kuda. Sebelum
tubuh Pendekar Lugu tersentuh senjata tajam
dan kulitnya dikupas oleh algojo-aljogo tajam itu, maka di kejauhan terdengar
suara bentakan yang
disertai dengan sumpah serapah. Lalu terdengar
pula suara tawa bergelak.
Dalam suasana hujan pertama selama mu-
sim kemarau itu, semua orang yang mengelilingi
Pendekar Lugu tersentak kaget. Ketika mereka
berpaling ke arah datangnya suara, maka di tem-
pat itu telah berdiri dua orang asing. Yang sa-
tunya adalah seorang pemuda bertampang keto-
lol-tololan berambut hitam kemerah-merahan.
Sedangkan yang satunya lagi adalah sosok yang
sekujur tubuhnya tertutup kain hitam, hanya ma-
tanya saja yang kelihatan. Dia tidak lain adalah Rana Unggul alias Puspita Sari,
gadis berpakaian Ninja. "Kaukah yang bicara tadi?" tanya Zulgafarah yang sudah
mengetahui siapa adanya pemu-
da ini. Pendekar Blo'on inilah yang muncul dalam ramalannya. Tapi ia sungguh
tidak menyangka
bahwa Pendekar yang konon sangat sakti ini ki-
ranya hanya seorang pemuda tampan ketolol-
tololan. "Aku yang bicara jika telingamu tidak tuli!
Kuperintahkan lepaskan pemuda jenggot kambing
itu jika kau dan kawanmu tidak ingin kugebuk
mampus!" dengus Pendekar Blo'on.
"Ha ha ha...! Kami sudah tahu siapa dirimu dan Pendekar Lugu jauh sebelum kau
dan kawanmu sampai kemari. Jika musuh sudah ter-
tangkap. Masa kami akan melepaskannya lagi,
bodoh itu namanya!" sahut Zulgafarah.
"Hmm, begitu"!" Suro termonyong-
monyong. "Tukang sihir, tukang Nujum sama saja dengan manusia bangsat. Di depan
majikan tentu kalian dapat menggonggong dengan lantang!
Nah... sekarang tinggal sebutkan, mati bagaimana yang kalian sukai?" tanya Suro
disertai senyuman
mengejek. "Tidak tahu penyakit, kawanmu saja dapat
kami ringkus apalagi manusia tolol sepertimu!"
sahut Nukman Jaya.
"Suro, hati-hatilah! Ujung tongkat itu sangat berbahaya. Kalau bisa tutup jalan
nafasmu sepanjang pertempuran...!" Puspita Sari alias Ra-na Unggul mengisiki.
Sementara itu hujan semakin menggila.
Kabut tebal membuat pemandangan orang-orang
yang berada di dalam kereta kuda jadi terhalang.
Puspita yang telah sembuh dari luka pengaruh
Racun Bunga Asmara ketika itu langsung mem-
babat dan menyerang para pengawal harta harta-
wan Abdi Banda.
"Sobat Zulgafarah, bunuh Pendekar ber-
tampang geblek ini!" teriak Nukman Jaya.
Laki-laki muda babi ini kemudian melom-
pat mundur, sedangkan Zulgafarah begitu men-
dapat aba-aba langsung melemparkan sesuatu di
udara. Tiga kali terdengar suara letupan-letupan kecil. Lalu belasan ekor ular
berwarna hitam meluncur cepat ke arah Suro.
Si konyol menyeringai, kemudian tertawa
membahak. Bagaimana pun ia adalah murid
Penghulu Siluman Kera Putih. Permainan sihir
baginya tidak bedanya dengan permainan sulap.
Ia tadi melihat tali dan lidi yang dilemparkan oleh Zulgafarah.
"Ular-ular hitam bunuh Pendekar Konyol
itu!" perintah sang ahli sihir.
"Hei badut tukang sihir. Kau sedang mem-
banyol atau mimpi! Aku si bocah ajaib, Zulgafa-
rah! Bagaimana pun kau tidak dapat menipuku!
Lidi tetap lidi, mana bisa menjadi ular atau menjadi makhluk lain. Terkecuali
kau sudah gila...!"
teriak Suro. Tssst...! Benar saja ular-ular yang meluncur ke
arah Suro berubah menjadi lidi kembali. Sang ah-li nujum terkejut bukan
kepalang. Bagaimana pemuda bertampang ketolol-
tololan itu hanya dengan bicara asal-asalan seenak perutnya dapat merubah barang
sihirnya kembali ke asalnya"
Tidak sempat berfikir lebih lama, maka
Zulgafarah pun menggebrak ke depan. Seraya ti-
ba-tiba berseru dengan pengaruh sihirnya yang
sedemikian hebat.
"Awas harimau di depanmu!" teriak Zulgafarah. "Graauung...!"
Terdengar suara raungan hebat. Seekor ha-
rimau yang sangat besar tiba-tiba muncul di de-
pan Suro dan langsung menerkamnya. Suro ter-
tawa ganda lalu ia membentak dan tubuhnya me-
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lompat tinggi ke udara.
"Aku Bocah Ajaib, mataku mata ajaib, pen-
ciuman ku penciuman ajaib. Malam satu Asyuro
malam yang paling tinggi dari bilangan hari dan bulan, hari penuh keajaiban.
Mataku tidak dapat ditipu, hidungku tidak tertipu kuping ku tidak
dapat ditipu, sihir tidak mampu mempengaruhi
aku! Ha ha ha...!" kata Pendekar Blo'on.
Harimau besar yang menerkamnya tadi
langsung tersentak ke belakang dan ujudnya se-
makin menyusut. Semakin lama semakin bertam-
bah kecil hingga pada akhirnya berubah menjadi
hamparan kabut.
Suro termonyong-monyong, Zulgafarah ka-
get bukan alang kepalang.
"Putar kau punya otak, ahli sihir. Kerahkan kelicikanmu! Jika kau menghadapi aku
hanya dengan mengandalkan ilmu sihir mu, sesungguh-
nya mataku tidak dapat kau tipu!" dengus si konyol serius.
Zulgafarah menggeram hebat, ia mengang-
kat tongkat berhulu kepala ular cobra. Ia mene-
kan salah satu sisinya, hingga menyemburlah ka-
but beracun dari mulut kepala ular itu. Suro sejak jauh tadi sudah menutup
pernafasannya. Se-
kali ia memutar-mutar tangannya, maka mende-
rulah angin kencang hingga membuat kabut be-
racun itu musnah. Suro dengan mengandalkan
jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Pe-
muda ini tiba-tiba melabrak ke arah Zulgafarah.
Namun ahli Nujum ini telah mengerahkan jurus
tongkat dahsyat 'Menggulung Mega Di Ujung
Maut'. Tongkat di tangan lawannya menghantam
lambung menusuk mata, menyodok dada dan
berputar-putar mengincar kelemahan lawannya.
Namun tubuh si konyol ini sudah berkele-
bat, sehingga yang terlihat hanya bayangan biru
menyilaukan mata.
"Hiyaa...!"
Zulgafarah membuat gerakan-gerakan yang
sangat rumit, tahu-tahu tubuhnya berputar dan
hulu tongkatnya menghantam dengan cepat. Suro
jungkir balik. Tidak urung bahunya terhantam
tongkat lawannya
Buuk! "Akh...!"
Suro menggeliat sambil menyeringai kesa-
kitan. Hujan semakin menggila, darah menetes
dari sudut-sudut bibir. Belum lagi Suro bersiap siaga, lawan telah menghantamnya
dengan pukulan 'Iblis Selaksa'.
"Bangsat betul! Heaa...!" teriak Suro.
Kakinya di tekuk ke depan. Ketika melihat
sinar hitam berhawa dingin bergulung-gulung ke
arahnya. Si konyol dorongkan kedua tangannya
dengan mulut termonyong-monyong. Terdengar
suara jeritan di sekelilingnya, Sinar hitam merah menghampar hawa panas bukan
kepalang melesat laksana kilat. Pukulan 'Neraka Hari Terakhir'
menghantam pukulan lawan. Serangan Zulgafa-
rah buyar malah serangan Suro terus meluncur
sedangkan suara jeritan gaib terus terdengar tia-da henti.
Zulgafarah melompat dengan bersalto un-
tuk selamatkan diri. Gerakannya ini kalah cepat dengan sinar merah hitam yang
menderu ganas ke arahnya. Akibatnya....
Buum! Zulgafarah menjerit histeris, tubuhnya ter-
guling-guling. Orang ini menghantam batu, tu-
buhnya hangus. Ia tewas dengan sangat penasa-
ran sekali. Nukman Jaya yang memiliki tingkatan ke-
pandaian dua tingkat di atas Zulgafarah kaget
bukan main-main. Pemuda bertampang ketolol-
tololan ini memang tidak dapat dianggap main-
main. Tingkahnya yang cengengesan mana mem-
buat orang percaya dia memiliki kehebatan jika
tidak melihatnya sendiri. Nukman Jaya melompat
maju, murid Penghulu Siluman Kera Putih dan
murid Malaikat Berambut Api ini garuk-garuk ke-
pala. "Kau juga ingin melihat neraka yang menyala-nyala" Silakan maju!" dengus
Suro, seraya pencongkan bibirnya.
"Bangsat betul kau, Pendekar Geblek! Jika
sihir ku tidak mempan, tentu aku punya hadiah
yang menarik untuk melenyapkan kekonyolan
mu!" sahut Nukman Jaya.
Lalu, laki-laki ini melakukan gerakan-
gerakan yang sangat aneh. Demikian aneh dan
cepat, hingga membuat Suro melongo. Kelenga-
han yang sekejab ini dipergunakan lawan berge-
rak ke arahnya. Suro terkesiap, ia mengelak. Namun tinju lawan sudah menghantam
pelipisnya. Pendekar Mandau Jantan ini jatuh terdu-
duk. Pelipisnya bengkak memerah. Suro mengge-
rendeng tidak jelas, namun cepat bangkit lagi.
SEMBILAN Sementara itu, Puspita alias Rana Unggul
kelihatannya sudah banyak melakukan pemban-
taian. Ia mempergunakan pedang tipis yang me-
miliki ketajaman yang sangat luar biasa. Belasan pengawal tersungkur roboh
bermandi hujan dan
darahnya sendiri.
Puspita tidak berhenti di situ saja. Ia terus
merangsak maju, para pengawal itu kelihatannya
seperti sudah tidak menghiraukan keselamatan-
nya lagi. Mereka bahu membahu menyerang gadis
berpakaian Ninja tersebut. Walau pun senjata
mereka dengan gencar menerobos pertahanan la-
wannya, namun Puspita adalah gadis tangguh
yang memiliki jurus-jurus dahsyat. Ia murid
tunggal tokoh sesat Datuk Alam Salindra. Tidak
heran bila dalam waktu singkat para pengawal itu hanya tinggal beberapa orang
saja. Hujan mulai mereda, hingga membuat Da-
tuk Alam Salindra yang duduk dekat Abdi Banda
dapat menyaksikan pertempuran yang sedang
berlangsung. "Eeh... bukankah orang yang memakai pa-
kaian Ninja dan membunuhi pengawal-pengawal
itu muridku" Murid murtad itu tidak boleh di-
biarkan berbuat sesuka hatinya. Aku harus me-
nangkapnya!" tegas sang Datuk. Ia kemudian melompat dan berlari cepat ke arah
Puspita. "Jangan bunuh calon isteriku, kakang!"
Hartawan Abdi Banda berteriak keras.
"Tidak usah khawatir. Aku akan menang-
kapnya hidup-hidup untukmu!" sahut Datuk
Alam Salindra. Saat itu Puspita kaget sekali melihat ke-
munculan gurunya. Ia bergerak mundur. Berpal-
ing pada Suro, ternyata pemuda itu sedang sibuk menghadapi serangan-serangan
gencar yang dilakukan oleh lawannya. Tidak ada harapan baginya
untuk meloloskan diri dari cengkeraman guru se-
sat ini. "Kau melarikan diri untuk kujodohkan pa-da hartawan kaya. Kau rupanya
memilih berka- sih-kasihan dengan pemuda konyol geblek itu.
Sekarang kau berlutut dan segera kembali pada
calon suamimu!" perintah Datuk Alam Salindra.
"Guru bangsat! Aku tahu kebiadabanmu,
jangan perintah aku"! Aku merasa lebih baik mati daripada menuruti keinginanmu
yang gila!" sahut Puspita ketus.
Datuk Alam Salindra jadi marah. "Ingat!
Aku adalah gurumu, kau tidak bakalan unggul
menghadapi aku!"
"Apa pun yang terjadi aku layak memper-
tahankan diri!" tegas Puspita.
"Bangsat! Heaa...!"
Datuk Alam Salindra menerjang muridnya.
Tangannya, mencengkeram leher Puspita. Gadis
ini kemudian mengibaskan pedang di tangannya.
Sang Datuk memaki, lalu menarik balik seran-
gannya. Kini gantian kakinya yang meluncur dan
menghantam perut Puspita.
Si gadis terpaksa melompat ke belakang.
Bagaimana pun jurus-jurus yang dimiliki oleh
Puspita bersumber dari gurunya, sehingga setiap gerakan yang dilakukannya dapat
dibaca oleh lawannya.
Menghadapi tekanan-tekanan yang dilaku-
kan oleh gurunya ini, maka ia pun memutar sen-
jatanya untuk melindungi diri.
"Hiaaa...!"
Datuk Alam Salindra melompat ke udara.
Gerakan yang dilakukannya ini terkenal dengan
nama 'Memupus Mendung Membalik Awan'. Pus-
pita mengangkat pedang ke atas kepala. Lalu
memutarnya dengan cepat. Sayang lawan berbalik
ke belakang, tangannya meluncur menotok pung-
gung Puspita. Duuk! "Akh...!"
Gadis itu menjerit tertahan. Tubuhnya
menjadi kaku tidak dapat digerakkan lagi. Datuk Alam Salindra menyambar Puspita
dan membawanya ke kereta kuda di mana Abdi Banda me-
nunggu. Melihat kejadian ini Suro yang sudah ba-
bak belur menghadapi Nukman Jaya menjadi
khawatir sekali. Untuk itu ketika Nukman Jaya
menyerangnya dalam jarak yang cukup pendek.
Maka Pemuda berbaju biru ini segera kerahkan
jurus 'Kacau Balau'. Gerakan yang dilakukan oleh Pendekar Blo'on menjadi semakin
kacau tidak be-
raturan. Serangan dan pertahanan yang dilaku-
kannya berubah-ubah. Malah kemudian ia den-
gan terhuyung-huyung seperti orang yang mau ja-
tuh melesat ke depan. Nukman Jaya menggerak-
kan tongkatnya. Namun Suro sudah merunduk-
kan kepala seperti seekor kodok. Tangannya
menghantam telak ke bagian perut dengan penge-
rahan tenaga dalam sepenuhnya.
Kraak! Nukman Jaya melolong panjang seperti
anjing yang kena gebut. Ususnya hancur di da-
lam, matanya melotot. Darah bergumpal-gumpal
menyembur dari mulutnya. Laki-laki itu jatuh terjengkang, menggelepar sekejab
lalu terdiam tidak bergerak-gerak lagi.
Suro meraung panjang dan menyerbu ke
arah kereta. Sebelum sampai Datuk Alam Salin-
dra telah menghadangnya. Pendekar Blo'on henti-
kan langkah, memandang pada sang Datuk den-
gan mata melotot.
"Menyingkir!" bentak Si Bocah Ajaib.
"Kau bocah kemarin sore berani memben-
tak ku?" Datuk Alam Salindra mendengus keras.
"Setan! Kau apakan gadis itu?"
"Ini urusan negeri orang lain, kau tidak
pantas bertanya!" sahut laki-laki tersebut. Tangannya menggebrak ke depan.
Selarik sinar me-
luncur deras menghantam Suro.
Pemuda ini cepat bergulingan di tanah be-
cek. Di belakangnya terdengar suara ledakan be-
runtun. Suro menggeram keras, tampangnya keto-
lol-tololan tampak semakin kacau. Ia melompat,
lalu menuding dengan mulut termonyong-
monyong. "Kau orang jelek yang dikepalanya terdapat benjolan telur ayam. Kau harus
bertanggung jawab jika sampai terjadi apa-apa pada Puspita!"
"Ha ha ha...! Jangan banyak mulut, keka-
sihmu bakal menjadi bangkai!" sahut Datuk Alam Salindra.
Sementara itu hartawan Abdi Banda sudah
mulai tampak gelisah. Ia tidak mungkin terus bertahan disitu. Bagaimana nanti
jika Datuk Alam
Salindra kalah"
Pada saat dirinya sedang bingung itulah
terdengar Sang Maha Sesat mengisiki.
"Cepat kau larikan dia, tidak perlu mem-
buang-buang waktu. Kau dapat menikmati ke-
hangatan tubuhnya di tempat lain!"
Tanpa memikirkan harta bendanya lagi,
Hartawan Abdi Banda langsung memanggul tu-
buh Puspita. Gadis ini sama sekali tidak mampu
memberontak. Bersuara pun ia tidak mampu ka-
rena jalan suaranya juga dalam keadaan tertotok.
Ketika Abdi Banda keluar dari kereta ku-
danya dengan memanggul Puspita, tentu saja
sempat dilihat oleh Suro.
"Hei, keparat! Mau kau bawa kemana dia!"
teriak Suro. Dan pemuda ini pun bermaksud
mengejar, namun langkahnya tertahan karena di-
hadang oleh Datuk Alam Salindra.
"Biarkan mereka pergi untuk bersenang-
senang! Urusanmu denganku saja!" kata laki-laki tua itu sinis.
"Tua bangka setan! Haaa...!"
Pendekar Blo'on jadi marah karena niatnya
terhalang. Kini yang menjadi sasaran kemara-
hannya adalah Datuk Alam Salindra. Itulah ja-
dinya, begitu bergebrak Suro langsung mengelua-
rkan jurus-jurus silat yang menjadi andalannya.
Tidak kurang ia mengeluarkan jurus
'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor' atau jurus 'Seribu Kera Sakti
Mengecoh Harimau'. Datuk Alam Salindra kaget bukan main-main. Ia
sama sekali tidak menyangka lawan mengerahkan
jurus-jurus aneh dan dapat berubah-ubah den-
gan cepat itu. Gerakannya sulit terbaca, terka-
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang pemuda itu melompat-lompat seperti seekor
monyet sambil menjerit-jerit meniru suara kera.
Namun di lain waktu ia sudah meluncur ke de-
pan, sedangkan tangannya membeset perut-perut
lawan, sedangkan posisinya dalam keadaan ber-
jongkok. "Gila...!" Datuk Alam Salindra bersurut mundur sambil kibaskan tangannya. Suro
tidak lagi menghindar, seakan nekad. Ia terus mener-
jang, hingga tangannya menghantam tangan la-
wannya. Duuk! Hanya sedikit saja Suro terhuyung, lawan
leletkan lidah dan sempat memucat wajahnya.
Tingkah dan cara menyerang Pendekar Blo'on
memang penuh kegilaan, sulit diduga dan nekad.
Mungkin semua ini karena kemarahannya.
Datuk Alam Salindra menjadi maklum be-
tapa pemuda ini walau pun kelihatan goblok, tapi memiliki jurus-jurus yang
dahsyat. Ia pun membentak garang. Sekali ia melesat ke depan, maka Datuk sesat
ini pun mengerahkan jurus 'Menebas
Kepala Merenggut Nyawa'. Inilah salah satu jurus simpanan yang sangat berbahaya.
Terbukti ketika Datuk itu menghantam dengan jemari tangan ter-kembang. Suro
merasakan sambaran angin din-
gin yang menusuk-nusuk di wajahnya.
Suro miringkan kepalanya ke kiri, sedang-
kan kakinya terus bergerak lincah atau terkadang menyapu ke punggung lawan.
Datuk Alam Salindra mengelak, tapi tangannya terus meluncur.
Pendekar Blo'on terkesiap. Lalu tarik tubuhnya, namun sudah terlambat.
Bret! "Ekh...!"
Bahu pemuda itu robek, ada darah yang
mengucur dari luka itu. Suro menyeringai, na-
mun geram. Ia menyerang lagi, sementara gera-
kannya semakin menghebat, tubuhnya berputar-
putar seperti orang bingung. Lawan merasa
punya kesempatan. Secepat terbang ia lepaskan
tendangan, namun Suro sudah melompat, se-
dangkan sejak tadi mulai terdengar suara tawa
yang tiada putus-putusnya. Pemuda itu terka-
dang lenyap sehingga tinggal bayang-bayang saja.
Tapi di lain waktu bergerak lambat seperti orang
yang sudah lelah bertarung.
"Heit...!"
Serangan Datuk Alam Salindra luput, ia
bingung dan gelengkan kepala. Rupanya kosen-
trasi lawan sempat terpecah karena Suro menge-
luarkan jurus 'Tawa Kera Siluman' yang memang
fungsinya untuk memecah belah perhatian la-
wannya. "Kunyuk geblek! Pandai juga kau menghin-
dar rupanya!"
"Bapak moyangnya kunyuk! Sebentar lagi
kau akan kubuat mampus!" dengus Suro.
Tiba-tiba saja pemuda itu mencakar wajah
Datuk Alam Salindra. Lawan menangkisnya.
Duuk! "Wadow...!"
Suro kesakitan, tangan lawan keras seperti
besi. Sehingga ia kibaskan tangannya yang men-
denyut. Datuk Alam Salindra membentak keras,
tubuhnya melesat kembali ke depan. Ketika itu ia sudah mengeluarkan jurus
'Menari-nari Di Atas
Pusara'. "Iih...!"
Pemuda berambut hitam kemerahan ini
langsung jatuhkan tubuhnya, tubuh diputar, kaki membalik dan menendang.
Jendul! "Auu...!"
Menjeritlah sang Datuk ketika kaki lawan
tiada disangka-sangka menghantam bola kramat-
nya. Ia berjingkrak-jingkrak, perutnya terasa mu-
las. "Datuk bangsat! Heaa...!"
Suro melompat, namun secara aneh ia ber-
guling-guling kembali. Tubuhnya melabrak kaki
lawannya. Datuk Alam Salindra pontang-panting
hindari tabrakan itu. Padahal sakit di selangkangannya belum hilang betul.
"Heaa...!"
Karena lawan terus melompat-lompat se-
perti monyet, maka Suro bangkit dan tinjunya
menghantam perut lawannya.
Beek! Ngeek! Pukulan Pendekar Blo'on cukup keras se-
hingga membuat lawan terbungkuk-bungkuk. Si
Konyol menggerakkan jemarinya memberi isyarat
pada lawan untuk menyerang.
Mendapat tantangan seperti itu, maka
mendidihlah amarah sang Datuk. Ia mengerahkan
tenaga dalamnya, kedua telapak tangan sampai
ke siku berubah merah seperti bara. Ketika laki-laki itu menjejakkan kakinya
maka tubuh kurus
kering itu melayang seperti mengapung di udara.
"Mau apa setan benjol di jidad ini!" pikir Suro. Namun akhirnya ia segera
memahami apa yang akan dilakukan oleh Datuk Alam Salindra.
Tangan yang telah berubah merah semerah bara
ini hendak mencengkeram kepala Suro biar han-
gus. Pemuda ini mana merelakan kepalanya jadi
korban. Ia jatuhkan diri dengan posisi menelen-
tang. Selanjutnya ia dorong kedua tangan ke
arah tangan lawannya. Tidak dapat dihindarkan
lagi, kedua tangan itu pun saling bertemu.
Trep! Mula-mula Pendekar Blo'on merasakan
adanya satu hawa panas menyengat tangannya.
Sehingga seolah-olah tangannya hangus terbakar.
Namun ketika ia melipat gandakan tenaga dalam-
nya, maka hawa panas yang menyengat itu pun
menghilang. Kini Suro malah nyengir.
"Orang gelo, posisi seperti ini kan seperti suami isteri yang mau bikin anak!"
katanya. Baru saja selesai bicara ia langsung menendang perut lawannya.
Diekh...! "Akkh...!"
Datuk Alam Salindra terjengkang lagi, kini
gilirannya yang berguling-guling. Waktu itu si konyol baru saja bangkit berdiri.
Punggungnya kena gedor kaki lawannya.
Gdbuk! "Akh...!"
Giliran si konyol yang tunggang langgang.
Keadaan pemuda ini benar-benar sudah seperti
monyet yang baru tercebur kubangan lumpur. Ia
kemudian berbalik, nafasnya megap-megap, tapi
tangannya telah berubah menjadi merah kehitam-
hitaman. Wuuk! Wuuk! Dengan mulut peletat-pletot ia mendorong
kedua tangannya, tubuhnya pun ikut melesat.
Sinar merah hitam menggebu, Datuk Alam Salin-
dra tidak tinggal diam. Ia mengeluarkan senjata berbentuk aneh berwarna kuning.
Tas! Tas! Ting! Welwh pukulan 'Neraka Hari Terakhir' yang
dilepaskan Suro membalik dan menghantam di-
rinya sendiri. Untung sebagian kecil saja yang
mengenainya. Kalau tidak tentu tubuhnya hangus
dan nyawanya berangkat ke neraka. Datuk Alam
Salindra tertawa membahak.
"Sebentar lagi kau mampus di ujung senja-
ta Aji Bulanku ini! Dasar goblok, mau bunuh diri saja pakai pukulan sendiri!"
teriak sang Datuk.
"Tertawalah engkau Datuk Jahanam! Di
neraka nanti kau akan menangis menghiba-hiba!"
kata Pendekar Blo'on.
Sret! Suro mencabut Mandau Jantan berwarna
hitam dengan empat lubang miring ditengah-
tengahnya. Ketika senjata maut itu diputar, maka terdengar suara ringkik kuda,
suara tangis dan
suara tawa yang tidak ada habis-habisnya. Suara-suara aneh yang terdengar itu
tentu bersumber
dari lubang pipih di tengah-tengah mandau. Da-
tuk Alam Salindra sampai kaget dibuatnya.
SEPULUH Namun ia dengan berani terlebih dulu me-
rangsak ke depan. Senjata aneh yang banyak
lengkungannya itu menyambar perut Suro. Si ko-
nyol menangkis dengan senjatanya.
Traang! "Heh...!"
Dua-duanya bersurut mundur, sang Datuk
gelengkan kepala, sedangkan Si Bocah Ajaib me-
longo. Tangannya sebentar tadi sempat tergetar, walau pun ia melihat salah satu
sisi senjata lawan rompal.
"Tua bangsat! Senjatamu boleh juga, mari
kita adu lagi!" tantang Suro sambil cengar-cengir.
"Pendekar Blo'on, gelarmu memang tidak
percuma, aku tidak penasaran jika kalah! He-
aaa...!" Kembali senjata aneh berbentuk setengah lingkaran namun punya ketajaman
pada setiap sisinya ini diputar. Angin pun menderu-deru, senjata berwarna kuning itu
menyambar. Pontang-
panting Suro menghindar, tidak urung salah satu sisi senjata menyambar dadanya.
Set! "Busrut! Keparat juga, tuh setan...!" maki Suro sambil mendekap dadanya. Ia
kemudian menyongsong serangan lawannya, mandau men-
deru. Benturan kembali terjadi. Setelah terjadi benturan Suro tidak mundur, tapi
terus maju. Ujung mandau menikam, dan Datuk Alam Salin-
dra tidak sempat menangkis. Akibatnya luncuran
senjata lawan tidak dapat ditahan-tahan lagi.
Blees! Datuk Alam Salindra menjerit kesakitan.
Tubuhnya yang tertembus Mandau terus didorong
oleh Suro sementara senjata masih menancap di
dada lawannya. Tindakan si pemuda memang pe-
nuh kegilaan, mungkin karena marahnya tadi.
Bruuk! Datuk Alam Salindra terhempas, Suro juga
ikut-ikutan jatuh dan menubruk sang Datuk yang
sedang meregang ajal. Mandau dicabut, lawan
melotot. Tapi sudah tidak berkutik lagi.
"Seharusnya aku mengejar Hartawan itu.
Tapi...!" Suro sambil memasukkan senjatanya menoleh ke arah Pendekar Lugu yang
masih belum sadarkan diri. "Kalau dia kutinggalkan aku takut nanti tubuhnya di
sate para pengemis itu"
Merasa tidak punya pilihan lain, maka
Pendekar Blo'on menghampiri Pendekar Lugu
yang dalam keadaan terikat. Ia membebaskan
ikatan itu, nah... di saat itu pula terdengar suara gemuruh air bah. Rupanya
banjir besar sedang
terjadi. "Gila betul, air datang sehebat ini...!" desis Suro kaget. Sambil
memanggul Pendekar Lugu
langsung berlari-lari menyelamatkan diri. Dalam waktu singkat terdengar jeritan
para isteri sang hartawan dan juga gadis-gadis pengemis. Mereka
panik dan mencoba menyelamatkan diri. Tapi ter-
jangan air bah itu seakan tidak mengenal kom-
promi. Akhirnya tenggelamlah harta benda dan
juga segala macam kesenangan milik sang harta-
wan. Sementara Suro ketika itu telah sampai di sebuah bukit paling tinggi.
Kejadian yang berlangsung singkat itu membuatnya ngeri. Ia ke-
mudian menggerakkan kepala ke arah Pendekar
Lugu, karena masih belum sadarkan diri juga,
maka ia mengambil sejenis daun yang menebar-
kan bau busuk seperti kentut. Daun itu diremas-
nya hingga hancur, setelah itu didekatkan ke hidung Pendekar Lugu.
Si pemuda bersin-bersin, lalu segera bang-
kit seperti orang yang terkejut. Ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya yang
sudah berubah. Air meluap kemana-mana. Ia lebih kaget lagi ketika
melihat Pendekar Blo'on di sampingnya.
"Eeh, apa yang sudah terjadi" Ya Tuhan...
aku ingat, para nujum itu menyerangku. Kemu-
dian aku...!"
"Kelenger!" sambung Suro termonyong-
monyong. "Mereka hampir membunuhmu Pende-
kar Lugu. Aku heran mengapa Anak Langit tidak
menolongmu! Padahal kalau aku terlambat sedikit saja, pasti kau sudah disiangi
dan dijadikan sate, sungguh malang sekali nasibmu!"
"Tuhan masih melindungiku. Banjir itu su-
atu pertanda amarahnya. Malang benar nasib
manusia yang tidak berfikir!"
"Yang malang nasib kawanku, Jelita. Har-
tawan gemblung itu telah melarikannya. Aku ha-
rus mencari sebelum terjadi aib besar pada diri Puspita!" kata Suro.
"Para ahli Nujum itu bagaimana?"
Suro menggaruk rambutnya. "Mereka seka-
rang sudah berangkat ke neraka! Tidak usah di-
pikirkan!"
"Kalau begitu aku mau ikut bersamamu."
"Boleh, tapi jangan bikin aku repot, jangan ngompol dan jangan minta gendong
pula!" tegas Suro bersungut-sungut.
*** Sementara itu di selatan pantai Jawa terli-
hat ada lima buah perahu yang merapat dengan
jarak tidak berjauhan. Jumlah mereka cukup be-
sar. Tampaknya mereka orang-orang asing yang
datang dari sebuah negeri yang jauh. Lima buah
kapal besar itu sarat penumpang.
Kelihatannya orang-orang asing ini punya
Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepentingan yang begitu mendesak. Dan mungkin
pula terdiri dari pejabat dan orang-orang penting beberapa kerajaan. Dari
masing-masing kapal itu kemudian turun para penumpangnya. Mereka segera
mendirikan tenda-tenda darurat tidak jauh
dari pantai itu. Sama sekali para pendatang asing ini tidak mengetahui, bahwa
ketika itu prajurit-prajurit kerajaan Ujung Dunia yang berpatroli di sekitar
situ tampak terus mengawasi gerak-gerik orang asing yang sangat mencurigakan.
Beberapa orang dari perajurit-perajurit itu
segera bergerak meninggalkan kawan-kawannya
yang terus mengintai. Mereka tampak memacu
kuda tunggangan menuju kota raja Ujung Dunia.
Sementara itu di lain tempat, namun masih
di sekitar pantai selatan muncul pula seorang la-ki-laki bengis memakai topi
terbuat dari daun
rumbia. Di punggungnya terdapat sebuah pedang
panjang. Tatapan matanya sinis, dan ia melang-
kah dengan angkuhnya.
Laki-laki memakai pakaian warna jingga ini
dirimba persilatan dikenal dengan julukan Si Raja Tega. Ia membunuh orang-orang
tidak disukainya
terlepas dari rasa salah atau tidak.
Ia adalah pembunuh bayaran dan merupa-
kan tokoh peralihan yang paling tega di dunia.
Itulah sebabnya ia dijuluki Si Raja Tega.
Mengapa tokoh dari daerah Andalas ini
sampai berkeliaran meninggalkan Asahan" Lalu
bagaimana nasib si Jelita Puspita di tangan hartawan sinting itu. Dan siapa
orang-orang di dalam lima kapal asing itu" Bagaimana dengan kitab
Kedamaian Dunia" Ikuti petualang si konyol se-
lanjutnya. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Badai Awan Angin 9 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Pendekar Bloon 6