Pencarian

Maut Buat Madewa Gumilang 2

Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Bagian 2


nenek itu. "Ada apa, Nek?"
Nenek Berbaju Sutra mendesah. Dia menatap langit
sejenak. Langit bersih dan cerah. Lalu tatapannya di-alihkan kepada pemuda yang
kini duduk di depannya.
"Bayu... sudah lima tahun kau berlatih padaku, dan semua ilmu kepandaian yang
kumiliki telah kuturun-kan padamu. Nah, bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Aku senang dan bahagia, Nek... dan sepertinya aku telah siap untuk membunuh
Murko Wiroko dan menumpas Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa."
"Bagus! Namun kau belum tahu siapa sesungguh-
nya Murko Wiroko itu...."
"Oh, siapakah dia sesungguhnya, Nek" Bukankah
dia adalah orang jahat yang telah membunuh ayah-
ku?" tanya pemuda itu.
"Benar, Bayu... namun kau belum mengetahui siapakah Murko Wiroko itu
sebenarnya."
"Ceritakanlah padaku, Nek...."
"Ketahuilah Bayu... Murko Wiroko mempunyai ilmu yang sangat tinggi dan hebat.
Konon dia memiliki ajian Tapak Badai yang sukar untuk ditandingi. Aku sendiri
merasa, belum tentu sanggup untuk menandingi ajian
Tapak Badai milik dari Murko Wiroko...."
"Oh, kalau begitu... aku sia-sia belaka berlatih seperti ini, Nek...."
"Jangan takut, Cucuku... Ajian Tapak Badai milik Murko Wiroko hanya bisa
ditandingi oleh Pukulan
Bayangan Sukma...."
"Mengapa Nenek tidak mengajarkan padaku?"
"Nenek memang tidak mengajarkannya padamu.
Karena Nenek tidak memiliki pukulan maha hebat
itu...." "Lalu siapakah yang memiliki, Nek?"
"Di dunia ini, hanya seorang yang memiliki pukulan maha dahsyat itu. Dia bernama
Madewa Gumilang,
atau yang berjuluk Pendekar Bayangan Sukma...."
"Oh... kalau begitu, percuma saja aku berlatih..."
kata pemuda itu seperti mengeluh.
"Jangan takut dulu, Cucuku... Nenek akan mengirimkan pada Pendekar Bayangan
Sukma, untuk men-
gajarimu pukulan yang maha hebat itu...."
Wajah pemuda itu berseri. "Benarkah, Nek?"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum.
"Ya."
"Apakah dia mau mengajariku, Nek?"
"Pendekar Bayangan Sukma adalah sahabatku...
sudah tentu kalau aku yang memintanya, dia pasti
mau mengajarimu Pukulan Bayangan Sukma...."
"Kalau begitu... kapan kita akan menemuinya, Nek"
Aku sudah tidak sabar untuk mempelajarinya...."
"Besok kala matahari sudah sepenggalah, kita akan pergi ke Selatan Gunung
Slamet. Di sanalah berdiri
sebuah perguruan silat yang bernama Perguruan To-
peng Hitam, di mana Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma yang menjadi ketua bersama istrinya
yang bernama Ratih Ningrum...."
"Apakah aku harus menjadi murid dari Perguruan Topeng Hitam, Nek?"
"Tidak, Bayu... Perguruan Topeng Hitam hanya ber-senjatakan sepasang pedang dan
permainan ilmu pe-
dang yang sangat hebat."
"Lho, apakah Pendekar Bayangan Sukma tidak pernah mengajarkan ilmu kepandaian
yang dimilikinya?"
"Memang tidak, Bayu. Madewa Gumilang hanya
meneruskan perjuangan dan perguruan dari Paksi
Uludara yang berjuluk Dewa Pedang. Dia tidak mau
mengubah tradisi yang telah dipegang oleh Paksi Uludara. Itulah sebabnya Madewa
Gumilang hanya menu-
runkan jurus-jurus pedang yang dimilikinya dan dicip-takannya...."
"Oh, kalau begitu... aku siap untuk berangkat, Nek...."
"Ya, besok saat matahari sudah sepenggalah, kita semua juga Ibumu, akan pergi ke
Perguruan Topeng
Hitam...."
Bayu Menggolo tersenyum.
Lalu Nenek Berbaju Sutra segera mengajaknya pu-
lang dengan berlari terlebih dahulu. Tubuhnya bagaikan melesat seperti angin.
Dia memang sengaja ingin menguji ilmu lari muridnya itu.
Bayu Menggolo pun tak mau kalah. Dia pun segera
mengeluarkan ilmu larinya, dan sebentar saja dia sudah bisa menjajari Nenek
Berbaju Sutra. Nenek itu tersenyum. Karena merasa tidak sia-sia
menurunkan ilmunya.
*** Dari pondok kecil yang terletak menyendiri di Le-
reng Gunung Dieng itu, keluar tiga sosok tubuh. Ketiganya masih berdiri menatap
rumah kecil itu.
Lalu terdengar suara berkata, "Sebaiknya kita berangkat saja sekarang, Bayu...
Srinti...."
Bayu Menggolo dan ibunya, Srinti, segera mengang-
guk. Kini usia Srinti pun bertambah lima tahun. Tetapi wajahnya masih kelihatan
segar dan bercahaya.
Meskipun sepasang matanya masih belum bisa me-
nyembunyikan sinar dendam atas kematian suaminya.
Baginya, semua itu akan sirna bila dia telah melihat Murko Wiroko mati di tangan
putranya. "Baik, Nek..." kata Srinti.
Bayu Menggolo sendiri mengambil beberapa bunta-
lan yang mereka bawa. Dan menyampirkannya di ba-
hunya. Srinti tersenyum bahagia melihat putranya tumbuh
menjadi pemuda yang gagah. Dia berharap, kegagahan
pemuda itu tak jauh berbeda dengan mendiang sua-
minya. Wanita itu pun penuh berterima kasih pada Nenek
Berbaju Sutra yang dengan suka rela membimbing
Bayu Menggolo akan ilmu kesaktian.
Bahkan kini dengan suka rela pula dia membawa
putranya untuk berguru kepada seorang sahabatnya
yang sering disebutnya sebagai manusia dewa.
Hal itu membuat Srinti tidak sabar lagi untuk meli-
hat kematian Murko Wiroko di tangan putranya.
Lalu ketiganya pun mulai melangkah, bersamaan
matahari yang telah sepenggalah.
*** 7 Di perguruan Topeng Hitam, pagi itu seperti biasa
para muridnya tengah berlatih. Mereka semuanya
mengenakan pakaian hitam-hitam dan kain hitam
yang menutupi wajah mereka. Boleh dikatakan selu-
ruh tubuh mereka ditutupi oleh bahan berwarna hi-
tam. Perguruan Topeng Hitam dulunya memang diketuai
oleh seorang yang dijuluki Dewa Pedang yang bernama Paksi Uludara. Namun setelah
Paksi Uludara tewas di tangan Nindia, dia pun menyerahkan tampuk kekuasaan atau
pimpinan kepada Madewa Gumilang (Baca:
Dewi Cantik Penyebar Maut).
Saat ini Pendekar Bayangan sukma tengah berada
di ruang khususnya, dia tengah bercakap-cakap den-
gan istrinya, Ratih Ningrum.
"Kanda... aku sudah rindu sekali dengan putra kita Pranata Kumala dan istrinya
Ambarwati," terdengar suara Ratih Ningrum berkata pada suaminya.
Madewa Gumilang tersenyum. Senyum selalu
berkesan arif dan bijaksana. Dia duduk di depan is-
trinya. Jubah putihnya tergerai di belakang.
"Aku pun demikian, Dinda... Tetapi mau diapakan lagi" Petualangan yang dilakukan
putra kita dan istrinya, sama halnya seperti yang kita lakukan dulu, bukan" Ada
kalanya bila mereka sudah lelah, semuanya pun pasti akan kembali ke rumah...."
"Hampir satu tahun mereka sekali pun belum kembali ke sini..." kata Ratih
Ningrum lagi seperti keluhan.
"Dinda Ratih... tidak ingatkah Dinda... bahwa putra kita dan istrinya mempunyai
rumah di Laut Selatan"
Barangkali saja Pranata Kumala dan istrinya Ambar-
wati sudah tiba di sana?"
Madewa dapat merasakan kerinduan yang dalam
dari istrinya terhadap putra mereka. Namun Pranata
Kumala bukan lagi seorang bocah kecil. Kini dia telah punya istri yang bernama
Ambarwati, putra mendiang
Jedangmoro yang tewas di tangan Pranata Kumala
sendiri (Baca: Pendekar Kedok Putih).
"Baiklah, Dinda... dua bulan di muka, mudah-
mudahan kita bisa ke laut Selatan..." kata Madewa Gumilang yang mencoba menghibur istrinya.
Ratih Ningrum tersenyum. Dia begitu sayang dan
cinta pada suaminya yang selalu melimpahkan kasih
sayang padanya. Sekali pun Ratih Ningrum tidak per-
nah melihat Madewa Gumilang marah padanya. Sejak
dulu Ratih Ningrum yakin siapa sesungguhnya Made-
wa Gumilang, yang dulu pernah bekerja pada ayahnya
sebagai penjaga kuda (Baca: Pedang Pusaka Dewa Ma-
tahari). Kala itu Ratih Ningrum masih gadis remaja, dan hi-
dup dalam kekayaan yang berlimpah. Karena ayahnya
yang bernama Biparsena seorang yang kaya raya di
desa Bojongronggo, di mana Ratih Ningrum dilahirkan.
"Kau belum menjawab kata-kataku, Dinda Ratih..."
terdengar suara Madewa Gumilang berkata karena is-
trinya hanya tersenyum saja.
"Oh! Iya, Kanda... aku tengah membayangkan ba-
gaimana pertemuan kita dengan Pranata Kumala dan
Ambarwati nanti...."
"Mudah-mudahan tak akan ada halangan atau pun
rintangan...."
Tiba-tiba seorang murid Perguruan Topeng Hitam
masuk ke ruangan itu. Bagi Madewa Gumilang, me-
mang hal itu tidak mengherankan. Murid-murid Pergu-
ruan Topeng Hitam memang dapat masuk dengan mu-
dah dan seenaknya saja ke ruang khususnya. Madewa
tak pernah melarang. Namun dengan begitu justru
membuat murid-muridnya jadi bersikap berhati-hati.
Karena mereka tak mau membuat ketua mereka kece-
wa. Namun sampai sejauh ini, tak satu murid pun
yang berani dengan lancang memasuki ruangan itu.
Apalagi bila sang Ketua sedang bersemedi.
"Ada apa, Renggopati?" tanya Madewa pada murid yang tengah menjatuhkan diri di
hadapannya. Meskipun sang murid mengenakan pakaian hitam-
hitam dan topeng hitam yang menutupi seluruh wa-
jahnya, Madewa dapat melihat siapa yang datang. Ma-
dewa memang memiliki ilmu Pandangan Menembus
Sukma. Bila ajian atau ilmu dikeluarkan, pandangan-
nya dapat menembus gunung tinggi dan jarak yang
cukup jauh! Lain halnya dengan Ratih Ningrum, dia baru bisa
membedakan murid-muridnya dengan suara mereka
yang telah cukup dikenalnya.
"Maafkan saya, Ketua..." berkata Renggopati sambil masih berlutut.
"Hmm... ada apakah?"
"Di luar... ada seorang Nenek Berbaju Sutra. Dia datang dengan seorang wanita
setengah baya yang ber-
nama Srinti, dan seorang pemuda yang bernama Bayu
Menggolo...."
Madewa mengangguk-anggukkan kepala. Sudah
lama dia tidak bertemu dengan nenek dari gunung Di-
eng itu. Lalu dia pun bangkit.
Mengajak istrinya keluar.
Di halaman, Nenek Berbaju Sutra tengah menunggu
bersama Srinti dan Bayu Menggolo. Bayu Menggolo
menjadi berhasrat sekali ketika melihat murid-murid Perguruan Topeng Hitam
berlatih. Dari dalam bangunan besar itu, keluar Madewa
Gumilang bersama istrinya.
"Nenek Berbaju Sutra!" serunya. "Hahaha... lama ki-
ta tidak jumpa, hah"!"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum.
Ratih Ningrum menyuruh murid-muridnya menyu-
dahi latihan dulu sejenak. Dan menyuruh berbaris.
Nenek Berbaju Sutra melangkah mendekat sambil
diikuti oleh Srinti dan Bayu Menggolo.
Dan sungguh tiba-tiba sekali tubuh nenek bongkok
itu melesat menyerbu Madewa Gumilang dengan puku-
lan lurus ke depan!
Orang-orang yang berada di sana tidak menyangka
akan hal itu. Beberapa murid Perguruan Topeng Hitam serentak hendak maju, namun
mereka melihat tangan
kanan Madewa Gumilang terangkat, bertanda tak bo-
leh satu pun yang bergerak.
Begitu pula dengan Srinti yang terkejut. Tak keting-galan Bayu Menggolo yang
memekik, "Nenek... mengapa kau menyerangnya"!"
Namun tubuh Nenek bongkok itu sudah melesat ke
arah Madewa! *** 8 Madewa sendiri sepertinya sudah menduga Nenek
Berbaju Sutra akan menyerangnya. Dilihat dari posi-
sinya berdiri. Kaki kanan di depan, dan badan agak
condong ke muka.
Namun serangan seperti itu hanya dilewatkan begi-
tu saja oleh Madewa. Dan begitu pukulan tadi tinggal beberapa senti saja di
depan wajahnya, dengan sigap Madewa bergerak ke kiri. Dan tangan kanannya meliuk
segera mematuk lambung dari Nenek Berbaju Sutra.
Nenek Berbaju Sutra sendiri tidak menyangka Ma-
dewa akan membalas secepat itu. Makanya dia urung
memukul, dan menangkis serangan tadi. Sedangkan
Madewa kembali melancarkan pukulannya melalui
tangan kirinya yang berbentuk kepala ular.
"Wuuutt!"
Nenek Berbaju Sutra membuang tubuh ke kiri, dan
bergulingan. Setelah berdiri dia tidak menyerang lagi.
Malah terkikik.
"Hihihi... tak kusangka kau semakin hebat saja, Pendekar Bayangan Sukma!"
"Hahaha... Nenek bongkok... sama seperti dulu kau masih suka usil saja bila
bertemu denganku?" balas Madewa Gumilang.
"Hihihi... lain kali kau akan kuserang sampai mati, Madewa...."
"Terserah kau, Nenek bongkok... itu pun bila kau tidak menganggap lagi hubungan


Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita ini sebagai persaudaraan... Hahaha... mari, mari masuk!"
Orang-orang yang berada di sana mendesah nafas
lega. Rupanya begitu cara Nenek Berbaju Sutra me-
nyampaikan salam. Mereka dijamu oleh Madewa di
ruang tengah. Nenek Berbaju Sutra pun memperke-
nalkan Srinti dan putranya, Bayu Menggolo.
Dan dalam satu kesempatan, Nenek Berbaju Sutra
pun berkata, "Kedatanganku ini memang ada maksudnya, Sahabat. Dan kuharap kau
jangan gusar...."
"Hahaha... katakanlah itu, Nenek...."
Lalu Nenek Berbaju Sutra pun menceritakan siapa
sesungguhnya Srinti dan putranya. Setelah itu dia pun mengemukakan maksudnya
untuk meminta kepada
Pendekar Bayangan Sukma untuk rela memungut
Bayu Menggolo sebagai muridnya.
"Sahabat..." kata Madewa. "Kau tahu bukan, bahwa selama ini aku tak pernah
mengajarkan jurus-jurus
Ular Saktiku" Apalagi Pukulan Bayangan Sukma. Aku
tidak dapat membayangkan bila pukulan dahsyat itu
dimiliki oleh orang jahat. Maksudku... oleh orang lain yang terlalu sombong dan
pongah...."
"Kau tidak percaya padaku, Sahabat?" tanya Nenek Berbaju Sutra.
"Sejak dulu pun aku percaya padamu, Sahabat.
Namun agaknya... aku tidak bisa memenuhi permin-
taanmu kali ini..." kata Madewa Gumilang.
Srinti yang merasa usahanya dan usaha anaknya
nanti sia-sia belaka, menangis sesenggukan.
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar... Tolonglah... arwah suamiku tak akan tenang
bila Murko Wiroko be-
lum terbunuh... Tolonglah...."
"Nyonya... bukan maksudku untuk menolak putra-
mu tetapi... aku sepertinya belum bisa mengajarkan pada putramu akan Pukulan
Bayangan Sukma... Maaf,
bukannya aku tak percaya dengan putramu, tidak sa-
ma sekali. Tapi bila putramu ingin mempelajari ilmu-ilmu pedang dari Perguruan
Topeng Hitam, aku sama
sekali tidak keberatan. Siapa pun bisa mempelajarinya di sini, asalkan mematuhi
semua peraturan yang
ada...." Wajah Srinti nampak sedih sekali. Sorot matanya
lemah tak berdaya. Sekilas Madewa dapat menangkap
kekecewaan yang terpancar dari kedua mata itu. Dan
nampak letih, sarat dengan duka.
"Apakah kau benar-benar tidak mau menolong ka-
mi, Tuan Pendekar?" katanya sedih.
"Nyonya... bukankah sebaiknya kau jelaskan pada putramu... dendam tak usahlah
dibalas... semakin
dendam dipendam, dia akan semakin kuat bertanam di
hati. Dan bila belum membalas, bisa terbawa sampai
mati. Bukankah ini mengerikan, Nyonya?"
Air mata Srinti berlinang. Dia menatap Madewa
Gumilang yang kukuh tengah duduk di hadapannya.
Wajah itu begitu bijaksana. Dan senyumannya berke-
san arif sekali.
"Bila Tuan Pendekar berjiwa besar, tentulah Tuan Pendekar mau menolong kami...
dendam kami harus
terbalas. Perbuatan Gerombolan Malaikat Pencabut
Nyawa akan semakin menjadi-jadi bila tidak diberan-
tas" Lalu mengapa Tuan Pendekar tidak mau membe-
rikan bekal pada putraku untuk menumpas gerombo-
lan iblis itu" Mengapa" Bukankah dengan begitu be-
rarti Tuan Pendekar membiarkan keangkara-murkaan
merajalela di muka bumi ini" Dan di mana harga diri Tuan Pendekar yang sering
disebut sebagai Pendekar
Budiman" Di mana?" kata Srinti berapi-api. Dia nampak kecewa sekali karena
Madewa tidak mau menga-
jarkan putranya ilmu yang dahsyat itu.
Madewa terdiam. Biar bagaimana pun dia tidak
menghendaki putra dari wanita ini menjadi pembunuh
karena dendam. Bila dia menumpas Gerombolan Ma-
laikat Pencabut Nyawa tanpa dendam, saat ini pula
Madewa akan menerimanya sebagai murid.
Untuk mengenakan hati wanita itu, Madewa berka-
ta, "Baiklah Nyonya... aku akan memikirkannya dulu.
Sebaiknya kalian beristirahat saja...."
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar... tolonglah..." kata Srinti mengiba.
Madewa tersenyum.
"Sekarang beristirahatlah... tentunya kalian sangat letih sekali karena harus
berjalan kaki ke sini...."
Bersama putranya Srinti berjalan ke kamar yang te-
lah disediakan. Sementara Nenek Berbaju Sutra mena-
tap Madewa Gumilang.
"Sahabat... mengapa kau menolak permintaan dari wanita yang sengsara itu"
Bukankah bila kau menerima putranya menjadi muridmu, berarti ada yang
membantumu untuk menumpas kejahatan?" tanyanya.
Madewa tersenyum. "Nenek Bongkok... kau rupanya
belum mengenal aku, hah" Tentu saja aku tak main
terima saja. Biarlah satu malam ini aku akan menge-
cek siapa keduanya dan bagaimana sifat mereka...."
"Aku percaya padamu, Madewa...."
"Nenek Bongkok... beristirahatlah kau sekarang."
Nenek Berbaju Sutra menyeringai. "Hihihi... kau sengaja mengusirku karena kau
sudah ingin berdua
saja dengan istrimu, bukan?" katanya sambil mengerl-ing pada Ratih Ningrum yang
duduk di sebelah Made-
wa. Madewa tersenyum.
"Hei, Nenek Bongkok... apa kau pikir kami masih sepasang remaja, hah?"
"Remaja atau bukan, namun cinta kalian tetap ber-semi sepanjang masa. Hihihi...
baiklah, aku permisi untuk pergi ke kamarku. Maaf kalau aku mengganggu...."
Lalu Nenek Berbaju Sutra pun melangkah ke kamar
yang disediakan untuknya.
Ratih Ningrum menatap suaminya.
"Kanda... apakah kau akan menurunkan Pukulan
Bayangan Sukma-mu pada Bayu Menggolo?" tanyanya.
"Dinda... aku sudah tahu siapa Murko Wiroko, pimpinan dari Gerombolan Malaikat
Pencabut Nyawa. Dia
adalah seorang jahat yang sakti mandraguna. Memang
tepat bila Nenek Berbaju Sutra membawa Bayu Meng-
golo padaku. Karena satu-satunya pukulan yang bisa
menandingi dan mengalahkan Tapak Badai milik Mur-
ko Wiroko, hanyalah Pukulan Bayangan Sukma...."
"Dengan begitu, kau akan menurunkannya pada
Bayu Menggolo, Kanda?"
"Antara iya dan tidak."
"Mengapa demikian, Kanda?"
"Iya... karena aku setuju Bayu Menggolo menumpas kejahatan. Tidak, karena dia
tengah dilapisi dendam
yang amat sangat untuk menuntut kematian ayahnya.
Ini yang membuatku bingung, Dinda. Sebab apa" Ka-
rena bila dia menerjunkan diri untuk menumpas Mur-
ko Wiroko dan teman-temannya dalam keadaan men-
dendam, niscaya dia akan menjadi sombong dan telen-
gas. Ini sebenarnya yang membuat aku ragu, Dinda...."
Ratih Ningrum mengerti apa yang membuat sua-
minya ragu. "Jadi keputusanmu bagaimana, Kanda?"
"Malam ini... aku akan memikirkannya. Mungkin
besok keputusan itu akan kita lihat," sahut Madewa Gumilang sambil tersenyum
pada istrinya. *** Sehabis sarapan pagi keesokan harinya, Srinti
kembali bertanya dengan tidak sabar, "Bagaimana, Tuan Pendekar" Apakah Tuan
Pendekar mau menerimanya sebagai murid?"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana.
"Nyonya... apakah kau sudah yakin anakmu akan
mampu menjaga dan mengamalkan ilmu yang akan
kuajarkan padanya?" tanya Madewa.
"Saya yakin, Tuan Pendekar...."
Madewa berpaling pada Bayu Menggolo yang sejak
tadi diam saja. Walaupun pemuda itu nampak kecewa,
namun dia bisa menyembunyikan perasaannya.
"Kau sendiri bagaimana, Bayu" Apakah kau dapat menjaga dirimu dari semua
kesombongan apabila kau
telah menguasai Pukulan Bayangan Sukma..."
"Semua kata-kata Ketua akan saya pegang teguh..."
kata Bayu Menggolo sambil menunduk.
"Bagus! Kalau kau bisa berjanji dan bertekad untuk mengamalkan ilmu yang
kuajarkan ini... mulai besok
pagi... kau sudah bisa belajar dariku...."
Kata-kata Madewa Gumilang membuat kepala yang
ada di sana menegak. Senyum gembira menebar di bi-
bir Srinti, Bayu Menggolo dan Nenek Berbaju Sutra.
Sementara Ratih Ningrum hanya tersenyum tipis.
"Sahabat... kau benar hendak mengambil Bayu
Menggolo sebagai muridmu juga?" tanya Nenek Berbaju Sutra tak dapat menutupi
kegembiraannya dari su-
aranya. Madewa tersenyum.
"Sahabat... karena kau telah mengambilnya sebagai murid, tentu aku percaya apa
yang telah kau lakukan padanya. Dan aku percaya, bagaimana sesungguhnya
Bayu Menggolo, karena kau nampak begitu rela menu-
runkan semua ilmumu padanya. Bukan begitu?"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum. "Sahabat... kau tak akan merasa sia-sia
menurunkan ilmumu pada
pemuda ini."
"Baiklah, Sahabat... mulai saat ini, kuterima Bayu Menggolo menjadi muridku..."
Semua bibir tersenyum. Bayu Menggolo cepat-cepat
menjatuhkan diri di hadapan Madewa. Dari bibirnya
terucap pelan namun pasti, "Guru... saya akan men-taati semua perintah Guru...."
*** 9 Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak
terasa tiga bulan telah lewat ke muka. Suasana di desa Kaliwungu sangat
menyedihkan sekali. Desa itu tak
ubahnya seperti neraka, dan Gerombolan Malaikat
Pencabut Nyawa yang menjadi penjaganya.
Siang dan malam seluruh penduduk semakin dice-
kam ketakutan. Nasib mereka tak ubahnya bagaikan
telur di ujung tanduk. Ke mana pun mereka melang-
kah, maut taruhannya.
Memang ada beberapa orang yang mencoba untuk
melawan, namun perlawanan itu hanyalah sia-sia be-
laka. Ada pula yang mencoba melarikan diri, namun
maut pun yang menghadang mereka.
Nasib kaum wanita lebih menyedihkan lagi. Mereka
dipermainkan, dioper sana sini dan diperkosa. Ada
yang mencoba melawan, namun gerombolan itu tak
segan-segan untuk membunuh. Dan yang mengingin-
kan nyawanya tetap hidup, membiarkan saja dirinya
diperkosa dan menanggung malu. Namun yang masih
mempertahankan harga dirinya, langsung bunuh diri
sebelum diperkosa. Dan ada pula yang sukarela dijadikan gundik mereka.
Gerombolan Pencabut Nyawa pun sudah menyebar-
kan kekuasaan mereka ke desa Bojongjingga. Mereka
pun menghancurkan desa itu dan mendudukinya. Na-
sib penduduk Bojongjingga tak ubahnya seperti pen-
duduk di desa Kaliwungu.
Semua di bawah kekuasaan orang-orang biadab itu.
Hari ini, Gerombolan Pencabut Nyawa tengah bera-
da di desa Kaliwungu. Murko Wiroko sedang menggu-
muli seorang wanita muda yang dibawanya dari desa
Bojongjingga. Wanita muda itu hanya bisa menahan sakit saat di-
rinya digumuli Murko Wiroko. Bagaikan dicabik-cabik binatang buas.
Murko Wiroko mendesah puas setelah selesai. Lalu
dia pun mengenakan pakaiannya kembali.
"Bagus! Kau tak banyak berontak, bila itu kau lakukan, maka matilah sebagai
ganjarannya!" katanya pada wanita muda itu yang terkulai lemah di ranjang.
Namun dia tidak menjawab. Sepasang matanya ter-
tutup rapat. Terlihat air mata yang mengalir di pipi.
"Hei, jangan hanya menutup mulut! Ayo, jawab!"
bentak Murko Wiroko. "Kau mau menjadi gundikku atau mati sekarang juga!"
Tetapi wanita itu tetap tidak menjawab.
Murko Wiroko menjadi geram karena merasa di-
permainkan. Dia mengguncang kaki wanita itu.
"Hei, Budak wanita! Jawab pertanyaanku, hah"!"
Namun wanita itu masih terdiam.
Murko Wiroko menjadi geram. Dia menekan perge-
langan kaki wanita itu. Dipikirnya wanita itu akan
menjerit kesakitan, namun tak ada suaranya.
"Hei!" Murko Wiroko menjadi heran. Lalu dihampi-rinya wanita yang matanya
tertutup itu. Dia melihat ada darah yang mengalir dari mulut wanita itu.
Seketika dia menggeram. "Anjing buduk!"
Ternyata wanita itu telah membunuh diri dengan
menggigit lidahnya sendiri.
Murko Wiroko mendengus. Geram dia melangkah
keluar dan menyuruh salah seorang anak buahnya un-
tuk membuang mayat gadis itu.
Setelah anak buahnya itu kembali, mendadak dia
melihat tiga sosok tubuh berdiri di ujung desa Kaliwungu. Anak buah Murko Wiroko
yang bernama Pati
Slomo berhenti melangkah. Dan memperhatikan tiga
sosok tubuh itu.
Samar dia seperti mengenal sosok tubuh wanita se-
tengah baya itu. Di samping kiri kanannya berdiri seorang nenek bongkok dan
seorang pemuda tegap berba-
ju putih. "Hei... bukankah wanita itu istrinya Ki Lurah Jalu Prakoso..." desisnya.
Tiga sosok tubuh yang tak lain dari Nenek Berbaju
Sutra, Srinti dan Bayu Menggolo, memperhatikan anak
buah dari Murko Wiroko. Srinti jelas mengenali laki-laki itu.
Setelah merasa cukup apa yang telah diajarkan oleh
Madewa Gumilang, lalu Nenek Berbaju Sutra segera
berpamitan. Kini muridnya, Bayu Menggolo telah men-
guasai ilmu Pukulan Bayangan Sukma.
Lalu mereka pun segera berangkat menuju desa Ka-
liwungu. Sementara itu Pati Slomo mendengus. Hhh, ru-
panya memang benar dugaannya. Dia istri dari men-
diang Ki Lurah Jalu Prakoso. Mau apa mereka ke ma-


Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri" Hanya mengantarkan nyawa saja!
Pati Slomo pun mendekat dan berdiri di hadapan
ketiga orang itu. Wajah Srinti nampak memerah kare-
na menaruh dendam. Dan dia sudah tidak sabar un-
tuk membunuh laki-laki yang berdiri angkuh di hada-
pannya ini. Pati Slomo membentak, "Hhh! Rupanya kau Srinti...
istri dari mendiang Ki Lurah Jalu Prakoso!"
"Orang biadab! Katakan pada pimpinanmu, aku datang untuk membalas dendam dan
menumpas kalian!"
seru Srinti lantang.
Mendengar kata-katanya itu Pati Slomo terbahak-
bahak. "Hahaha... rupanya kau datang untuk mengantar-
kan nyawamu, Srinti!"
"Orang biadab... sebutkan namamu!"
"Bagus! Biar kau ingat dan kau bawa ke liang ku-burmu! Namaku Pati Slomo... tak
ada seorang pun
yang dapat menumpas gerombolan kami...."
"Jangan sombong!" geram Srinti.
"Hahaha... rupanya dengan dua orang teman yang kau bawa itu kau yakin sekali
akan bisa menumpas
kami!" "Pati Slomo..." terdengar suara Bayu Menggolo yang
sejak tadi mencoba bersabar. Namun teringat akan
kematian ayahnya dan kesombongan laki-laki itu, ke-
marahannya pun mulai naik ke ubun-ubun. Wajahnya
memerah karena marah yang membludak. "Sebaiknya kau lari dari sini dan laporkan
pada pemimpinmu,
kami datang untuk membunuhnya!"
Pati Slomo memperhatikan Bayu Menggolo dengan
seksama. Lalu berkata mengejek, "Hhh! Siapa kau anak muda"!"
"Apakah kau tidak mengenaliku, hah"!"
"Siapa kau"! Sebutkan namamu!"
"Baik... akulah putra tunggal dari Ki Lurah Jalu Prakoso... namaku Bayu
Menggolo!"
Mendengar siapa adanya pemuda itu, wajah Pati
Slomo berubah agak pias. Namun dia hanya menden-
gus dengan berani.
"Bagus! Sebentar lagi kau akan menyusul ayahmu, Bayu Menggolo!"
"Jangan sombong, orang jelek! Buktikan bahwa kau mampu mengalahkan aku!"
"Anjing kurap! Lihat serangan!" seru Pati Slomo geram, lalu dia pun menyerbu
dengan dua pukulan yang
siap dilontarkan.
Namun Bayu Menggolo kini telah menjadi seorang
pemuda yang gagah perkasa. Dia memiliki ilmu yang
cukup tinggi. Maka dengan mudah saja dia menggeser kaki ka-
nannya, dan memiringkan tubuhnya. Pukulan yang di-
lancarkan Pati Slomo lewat di dekat dadanya.
Namun Pati Slomo pun bukanlah orang sembaran-
gan. Dengan cepat pula tiba-tiba dia memutar dan
mengirimkan satu tendangan.
Bayu Menggolo cepat menggerakkan tangannya me-
nangkis. "Des!"
Tubuh Pati Slomo terhuyung. Masih untung dia da-
pat menguasai keseimbangannya sehingga tidak jatuh.
Dan dirasakannya kakinya kesemutan. Ini cukup
membuatnya terkejut karena menyadari tenaga dalam
yang begitu besar dan kuat dari Bayu Menggolo.
"Hhh! Mengapa kau meringis, Pati Slomo! Ayo, keluarkan semua kemampuanmu!" ejek
Bayu Menggolo yang berdiri tegak tanpa kurang suatu apa.
Pati Slomo menggeram. Lalu melancarkan lagi se-
rangannya. Kali ini dengan hebat dan cepat. Bayu
Menggolo sendiri mengimbanginya dengan santai saja.
Bahkan berkali-kali dia bisa memukul Pati Slomo.
"Anak muda... aku akan mengadu jiwa denganmu!"
geram Pati Slomo sambil meloloskan golok besarnya.
Golok itu nampak bercahaya diterpa sinar matahari.
"Hahaha... majulah, Pati Slomo... jiwamu memang sudah tidak pantas untuk hidup
lagi!" "Bangsaaaaat!" sambil menggeram Pati Slomo bergerak ke arah Bayu Menggolo.
Goloknya berkelebat den-
gan hebat, mencecar bagian tubuh dari Bayu Menggo-
lo. Bayu Menggolo pun mencoba ilmu meringankan tu-
buhnya. Dengan indah tubuh itu melenting, mengeles, menghindar dan bersalto.
Membuat Pati Slomo menjadi geram karena merasa dipermainkan. Dia terus me-
nyerang membabi buta dengan hebat.
Bayu Menggolo memang sengaja untuk menguras
tenaga dari Pati Slomo. Dia membiarkan saja laki-laki itu menyerangnya dengan
ganas. Dan benar saja, setelah agak lama Pati Slomo me-
nyerang, terlihat serangannya mulai melemah. Bayu
Menggolo pun segera merangsek maju. Dengan hebat.
Pati Slomo yang sudah kehabisan tenaga, sebisanya
mencoba bertahan. Namun serangan-serangan dari
Bayu Menggolo begitu hebat.
Bila diperhatikan lebih seksama, agaknya Bayu
Menggolo memang sengaja untuk mempermainkan Pati
Slomo. Melihat berkali-kali dia melepas ruang kosong untuk menyerang habis.
Semula Pati Slomo tidak menyadari hal itu, dipikir-
nya memang kemampuan Bayu Menggolo hanya sam-
pai di situ saja. Tetapi perlahan-lahan akhirnya dia sadar kalau dirinya tengah
dipermainkan. Maka dia menjadi sangat geram.
Lalu dia pun kembali menyerang. "Anjing kurap!
Mampus kau!" geramnya.
Namun tenaganya yang sudah terkuras, tidak me-
mungkinkannya untuk menyerang secara terus mene-
rus. Apalagi satu pukulan dari Bayu Menggolo meng-
gedor dadanya. Membuatnya terhuyung menahan sakit.
Belum lagi dia bisa menguasai keseimbangannya,
Bayu Menggolo sudah maju merangsek. Dan dua buah
pukulannya pun secara beruntun menghantam kem-
bali dada Pati Slomo yang kali ini ambruk ke tanah.
Dari mulutnya mengeluarkan darah.
Sepasang matanya buas berbahaya.
"Bayu... untuk apa lagi kau bermain-main dengan manusia semacam ini, hah?"
terdengar Nenek Berbaju Sutra bersuara karena merasa bosan. Bila dia yang
menyerang, sudah dipukulnya mampus manusia itu.
"Kalau memang itu maumu... baiklah, Nek! Nah, Pa-ti Slomo... kau masih kuberi
kesempatan untuk me-
nyerangku! Bila kau gagal dalam seranganmu kali ini, maka nyawamu akan lepas
dari jasadmu! Mengerti"!"
Merasa dirinya tak ada jalan lain lagi untuk meng-
hindar, Pati Slomo pun bergerak maju dengan pekikan keras dan golok siap
mengayun. Bayu Menggolo sendiri hanya tersenyum. Dan begi-
tu Pati Slomo sudah dekat, dengan tiba-tiba dia bersal-
to ke depan. Dan tangannya menghantam kepala Pati
Slomo. Terdengar suara berderak dan pekikan keras.
"Aaaaaakkkhhhh!"
Tubuh Pati Slomo pun ambruk dengan kepala pe-
cah. Darah merah bercampur cairan putih mengalir
dari kepala itu.
Srinti merasa puas melihat salah seorang dari Ge-
rombolan Pencabut Nyawa mampus di tangan pu-
tranya. "Bagus, Bayu... kau harus melakukan hal yang sa-ma pada Murko Wiroko...."
"Sebentar lagi, Bu... tanganku pun sudah gatal untuk menggepruk habis Murko
Wiroko. Biar arwah ayah
tenang di sana...."
"Baiklah... kita segera saja mencari Murko Wiroko dan anak buahnya yang lain,"
kata Nenek Berbaju Sutra. "Apakah kalian tidak bisa melihat, betapa sengsa-ranya
penduduk di desa ini...."
Bayu Menggolo mendesah panjang. Dia teringat
akan masa kecilnya. Di mana dia dilahirkan di desa
ini, desa yang permai dengan pemandangan yang in-
dah. Desa di mana para penduduknya menjalin kea-
kraban dan persaudaraan. Suasana yang makmur dan
sentosa. Namun sejak kedatangan orang-orang jahat itu, su-
asana yang pernah dinikmatinya saat kecil, kini telah berubah bagaikan neraka.
Memang pantas orang-orang itu menjuluki diri Malaikat Pencabut Nyawa. Ke-kejaman
mereka tak terhingga. Tiada maaf bagi siapa saja. Dan tangan telengas mereka
telah mencabut pu-luhan nyawa manusia yang tak berdosa. Belum lagi
berapa banyak yang membunuh diri. Karena tidak ta-
han disiksa atau pun harus menanggung malu yang
tiada terhingga.
Mengingat itu, dada Bayu Menggolo seakan mau
meledak. Apalagi teringat bagaimana penderitaan
ibunya. Bagaimana dengan dendam ibunya. Hal ini,
membuat Bayu Menggolo tidak sabar lagi untuk mem-
bunuh Murko Wiroko. Dia ingin melihat sinar mata
ibunya cerah seperti dulu. Tidak dilapisi kepedihan, kesengsaraan, duka yang
dalam dan dendam yang
panjang. Dia tidak ingin melihat hal itu lagi.
Lalu dia menghampiri mayat Pati Slomo. Dengan go-
lok milik Pati Slomo sendiri, dia memenggal kepala itu.
Darah menetes dari kepala yang kini berada di tan-
gannya. "Mari, Nek... Ibu... kita cari Murko Wiroko!" katanya dengan suara geram.
*** 10 Murko Wiroko merasa heran kepada Pati Slomo be-
lum kembali juga. Padahal sudah hampir tiga jam dia pergi. Biasanya hal ini
tidak pernah terjadi.
Lalu dia memanggil seluruh anak buahnya. Kini
mereka menempati sebuah bangunan besar yang di-
bangun dari uang rakyat dan tenaga rakyat.
"Hari ini aku mencium hawa tidak enak," kata Murko Wiroko di kursinya.
"Maksud, Kakang?" tanya Menak Supo.
"Aku sendiri tidak tahu. Dan lagi yang membuatku heran, mengapa Pati Slomo belum
juga kembali dari
membuang mayat gadis yang membunuh diri itu."
Menak Supo terkekeh. "Kakaang... sudah tentu dia langsung ke tempat gundiknya."
"Semula dugaanku pun demikian. Tapi hawa tidak
enak ini mengganggu perasaanku."
Anak buah Murko Wiroko merasa heran, karena
mereka tidak merasakan tanda-tanda bahaya akan da-
tang. Namun akhirnya mereka sadar, kalau ilmu yang
dimiliki Murko Wiroko cukup tinggi.
Mereka pun menjadi siaga bila bahaya mendadak
muncul. "Hmm... sebaiknya kau Garot dan Ronggo, cari Pati Slomo cepat. Katakan... aku
sudah menunggunya!"
"Baik, Kakang!" sahut Garot. Lalu bersama Ronggo, keduanya bangkit.
Namun belum lagi mereka melangkah, tiba-tiba se-
buah benda melayang jatuh tepat di hadapan Murko
Wiroko. Orang-orang itu terkejut. Dan keterkejutan mereka
berubah menjadi pekikan ketika melihat benda apa
yang jatuh itu.
Kepala Pati Slomo yang pecah terpenggal!
"Anjing kurap! Siapa yang berbuat seperti ini"!" bentak Murko Wiroko murka.
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari luar, "Orang-orang yang berada di
dalam... bila kalian ingin tahu siapa yang membunuh ulah, cepat kalian keluar!"
Suara itu keras, karena disertai tenaga dalam yang
cukup kuat. Serentak orang-orang itu berlarian keluar. Dan me-
reka melihat tiga sosok tubuh berdiri di hadapan mereka. Sepasang mata Murko
Wiroko seolah tidak per-
caya melihat Srinti berdiri di antara orang-orang itu.
Tetapi kekagetannya itu hanya sejenak. Karena ke-
mudian terdengar tawanya, "Hahaha... rupanya kau Dinda Srinti... ya, ya... aku
yakin kau pun pasti akan rindu padaku...."
"Cih!" Srinti meludah. "Murko Wiroko... hari ini aku datang untuk mencabut
nyawamu...."
"Hahaha... mengapa kau begitu garang sekali, Srinti. Wajahmu tetap cantik.
Hampir enam tahun kita tidak bertemu... tetapi kau tetap cantik dan bisa mem-
bangkitkan birahiku...."
Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu terhadap
ibunya, Bayu Menggolo menggeram marah.
"Murko Wiroko... mau mampus kau masih bisa bersuara dan menjual lagak pula"!"
"Anak muda... siapa kau yang besar bacot itu,
hah"!" membentak pula Murko Wiroko.
"Hhh! Ketahuilah, Murko... aku Bayu Menggolo, putra mendiang Jalu Prakoso yang
kau bunuh secara
pengecut!"
Wajah Murko Wiroko memerah. Dia terdiam mem-
perhatikan pemuda itu. Tetapi sedikit pun dia tidak merasa takut.
"Anak muda... sebaiknya kau membunuh diri saja sebelum kubunuh!"
"Besar bacot pula kau, hah"!"
"Hihihi..." terdengar tawa Nenek Berbaju Sutra.
"Bukankah kau yang sebaiknya membunuh diri, Mur-ko..."
"Hmm... rupanya kali ini pun aku berhadapan dengan nenek bongkok yang bergelar
Nenek Berbaju Su-
tra. Bagus, dengan begitu aku tidak perlu bersusah
payah untuk membunuh kalian!"
"Hhh! Mampuslah kau, Murko!" seru Bayu Menggolo sambil maju menyerang.
Serangannya begitu dahsyat,
disertai tenaga dalam yang kuat.
Namun masih tertawa Murko Wiroko menghindar
dan membalas menyerang. Keduanya pun terjadi se-
rang menyerang. Karena didasari dendam yang menya-
la-nyala Bayu Menggolo tak mau tanggung-tanggung
lagi. Dia langsung mengeluarkan jurus yang diajarkan oleh Nenek Berbaju Sutra,
Telapak Mengundang Maut!
Setiap kali telapak tangan itu berkelebat, menim-
bulkan angin yang dingin. Dirasakan bagaikan hawa
maut yang siap mengundang.
Bagi Murko Wiroko sendiri hal itu bukanlah sesuatu
yang menakutkan baginya. Namun lama kelamaan dia
merasa terdesak. Karena sambaran anginnya saja su-
dah membuat bulu romanya berdiri.


Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dia pun mengimbanginya dengan ajian, Bayu
Mengusir Mega. Dan jurus itu rupanya mampu me-
nandingi dan mengimbangi Telapak Mengundang Maut
milik Bayu Menggolo.
Namun karena pengalaman bertarung lebih banyak
dimiliki oleh Murko Wiroko dia dapat berkali-kali me-nipu Bayu Menggolo dengan
serangan-serangan ter-
sembunyi. Melihat hal itu, Nenek Berbaju Sutra serentak men-
deru maju. Namun lima anak buah Murko Wiroko se-
gera mengurungnya.
"Mau ke mana kau, Nenek peot"!" geram Menak Su-po menyeringai.
Nenek Berbaju Sutra mendengus. Dan tiba-tiba saja
dia menyerang dengan Telapak Mengundang Maut. Li-
ma orang itu pun kocar-kacir dibuatnya. Dan serentak mereka mencabut golok
masing-masing. Melihat hal itu bukannya membuat nyali Nenek
Berbaju Sutra semakin ciut. Namun malah semakin
besar dan tegar.
"Hhh! Kalian mau mampus rupanya!"
"Jangan banyak omong, Nenek peot!" geram Menak Supo. "Bunuh dia!"
Lima golok besar itu bergerak menyambar Nenek
Berbaju Sutra. Serangan mereka hebat dan cepat,
membuat Nenek Berbaju Sutra harus mengeluarkan
ilmu peringan tubuhnya semaksimal mungkin.
"Mau lari ke mana kau, Nenek peot!"
"Hhh... dikasihkan ke anjing pun tak mau mereka memakan dagingmu, Nenek
Bongkok!" Mendengar ejekan-ejekan itu, membuat Nenek Ber-
baju Sutra menggeram hebat. Dia menyerang dengan
dahsyat sambil sekali-sekali menghindari serbuan golok-golok itu.
Pengalaman yang dimilikinya kini membawa hasil
yang cukup memuaskan. Dua dari lima penyerangnya
harus memekik keras dan mampus terkena sambaran
telapak tangannya yang dahsyat.
Dada kedua orang itu jebol seketika, dan memun-
cratkan darah! Melihat hal itu, tiga orang penyerangnya menghen-
tikan serangan mereka. Menak Supo menggeram ma-
rah. Dia membentak, "Anjing kurap! Kubunuh kau"!"
Lalu dia menyerang kembali dengan ganas. Begitu
pula dengan Garot dan Ronggo. Ketiganya menyerang
dengan cepat dan hebat.
Sementara itu, pertarungan antara Bayu Menggolo
dan Murko Wiroko berlangsung dengan seru. Kedua-
nya kini saling meningkatkan tenaga dalam mereka.
Saling serang. Saling tangkis.
Murko Wiroko sendiri merasa sudah bosan berta-
rung lama-lama. Apalagi setelah dia yakin ajian Bayu Mengusir Mega-nya tak akan
bisa mengalahkan Telapak Mengundang Maut milik Bayu Menggolo.
Tiba-tiba dia bersalto.
Lalu hinggap dengan tatapan mata sedingin es.
"Bayu Menggolo... tak kusangka kau sudah menjadi sedemikian hebat. Tapi kini kau
hadapilah ajianku,
Tapak Badai!"
Setelah berkata begitu, kedua tangan Murko Wiroko
mengembang ke kanan kiri. Lalu dia membuka kedua
tapak tangannya. Dan mengayunkannya ke atas, lalu
ke bawah. Dari ayunan tangan itu terdengar suara seperti badai mengamuk. Dan
siap untuk menghancur-
kan siapa saja yang menghalanginya.
"Nah, bersiaplah kau untuk mampus, anak muda!"
seru Murko Wiroko seraya menyerang Bayu Menggolo.
Kini ajian Tapak Badai berada di kedua tangannya.
Dan siap untuk memusnahkan Bayu Menggolo. Dari
jarak tiga meter saja, Bayu Menggolo sudah merasakan desiran angin keras
menerpanya. Dia menjadi insyaf, kalau lawan kini telah mengeluarkan ajian
pamung-kasnya. Sebisanya Bayu Menggolo menghindar, namun an-
gin besar yang ditimbulkan oleh dorongan kedua tapak tangan itu telah
menerpanya, membuatnya terpelant-ing ke belakang.
"Bayuuuuu!" seru Srinti terkejut dan kuatir melihat keadaan putranya.
Bayu Menggolo sigap berdiri tegak, dan bersalto dua kali melompati tubuh Murko
Wiroko yang terus menyerang. Begitu hinggap di bumi, dia segera merangkum
kedua tangannya di dada. Dan terlihat asap putih
mengepul dari kedua tangan itu.
Murko Wiroko memekik, "Pukulan Bayangan Suk-
ma! Hhh, ada hubungan apa kau dengan Pendekar
Bayangan Sukma, Anak Muda"!"
Bayu Menggolo tertawa. "Hahaha... rupanya kau jeri melihat pukulanku ini. Nah,
ketahuilah... bahwa Pendekar Bayangan Sukma adalah guruku...."
"Anjing kurap!" maki Murko Wiroko dan meningkatkan tenaga dalamnya.
"Bersiaplah untuk mampus kau, Murko Wiroko!" se-ru Bayu Menggolo. Lalu dia
berpaling pada Murko Wi-
roko. "Hhh, majulah kau!"
Murko Wiroko pun menggeram marah. Lalu dia pun
bergerak menderu. Begitu pula dengan Bayu Menggolo, dia pun segera memapaki.
Dua buah tenaga dan ajian dahsyat bertemu. Ter-
dengar ledakan dahsyat bagai sebuah bom yang mele-
dak. "DUAAARRRR!"
Debu-debu berterbangan. Daun-daun berguguran.
Dari kepulan debu itu, mencelat dua sosok tubuh
ke belakang. Dan dua sosok tubuh itu sama-sama ter-
hempas ke tanah.
Dan sama-sama muntah darah.
Namun terlihat perlahan-lahan Bayu Menggolo
bangkit dan berdiri tegak. Sementara Murko Wiroko
tak sanggup lagi untuk bangkit.
Sepasang mata Bayu Menggolo mengeluarkan sinar
berbahaya. Dan siap mencabut nyawa.
Melihat hal itu, Murko Wiroko terkesiap. Sadar ka-
lau nyawanya sudah di ambang pintu. Ternyata ajian
Tapak Badainya masih kalah oleh Pukulan Bayangan
Sukma. Dia bergidik ngeri melihat Bayu Menggolo perlahan-
lahan mendekatinya, siap dengan Pukulan Bayangan
Sukma di tangan.
"Ampun... ampun... jangan cabut nyawaku... am-
pun..." rengek Murko Wiroko seraya beringsut. Dadanya dirasakan sakit luar
biasa. Jalan darahnya seakan terhenti.
"Hhh! Murko Wiroko... nyawamu harus kucabut pu-la hari ini!"
"Ampun... ampunkan aku... maaf, maafkan aku..."
rengek Murko Wiroko bagaikan rintihan belaka. "Ampunkan, Anak muda... maafkan
aku... aku berjanji...
tidak akan berbuat jahat lagi...."
Nenek Berbaju Sutra yang telah menghabisi lawan-
lawannya terkikik melihat Murko Wiroko ketakutan
bagai anak kecil.
Srinti sendiri tersenyum puas. "Bunuh dia, Bayu!
Bunuh dia... kau tak ingin melihat Ayahmu penasaran, bukan?"
"Baik, Ibu! Aku memang akan membunuhnya!" geram Bayu Menggolo.
"Jangan... jangan... maaf, maafkan aku... jangan...
ampun... ampunkan aku, Anak muda..."
"Hhh! Ayahku akan penasaran bila kau tidak kubunuh!"
"Ampun... ampunkan aku...."
"Hhh! Mampuslah kau, Murko!" seru Bayu Menggolo siap untuk menurunkan tangannya
pada Murko Wiroko. Namun belum lagi dia menurunkan tangannya, ter-
dengar suara, "Tahan, Bayu!"
Bayu Menggolo berhenti melangkah. Dan entah ka-
pan datangnya, di dekatnya telah berdiri satu sosok berjubah putih yang
tersenyum arif dan bijaksana.
"Guru...."
Madewa Gumilang tersenyum.
"Kau telah berhasil mengalahkannya, Bayu..."
"Ya, Guru... saya akan membunuhnya sekarang."
"Bayu..." masih tersenyum Madewa Gumilang melanjutkan kata-katanya, "Apakah kau
tidak merasa kasihan melihat lawanmu telah kalah dan mohon am-
pun?" "Tidak, Guru. Ayahku pun dulu dibunuhnya secara keji...."
"Tetapi lawanmu sudah lemah sekali, Bayu. Sebagai seorang pendekar... kau harus
welas asih padanya...."
Bayu Menggolo terdiam. Tiba-tiba kepalanya mene-
gak, menatap Madewa Gumilang.
"Tidak, Guru... aku harus tetap membunuhnya...."
"Ingat, Bayu... lawanmu sudah tidak berdaya...."
"Tapi dia telah membunuh ayahku, Guru!"
"Aku mengerti, Bayu... namun bukankah dia sudah berjanji tidak akan berbuat
jahat lagi" Dan telah memohon ampun padamu. Kau seharusnya bisa memaaf-
kannya..."
Tiba-tiba sepasang mata Bayu Menggolo meradang.
Mata itu sudah diliputi dendam yang membara.
"Tidak, aku tidak akan membebaskannya, Guru...."
"Meskipun aku yang memintanya, Bayu...."
"Ya, meskipun Guru yang meminta...."
Madewa tersenyum, meskipun terlihat wajahnya
tersaput kekecewaan karena Bayu Menggolo tak punya
rasa belas kasihan.
"Kau bukan berjiwa seorang pendekar, Bayu...."
"Persetan dengan semua omongan Guru!" seru Bayu Menggolo keras. "Bila Guru
melarang, aku akan mem-bantah!"
"Aku melarangmu, Bayu!"
Bayu Menggolo mendengus. "Tak seorang pun yang bisa melarangku, Guru...."
"Bayu...."
"Menyingkirlah dari sini, Guru...."
"Bayu... sadarlah...."
"Persetan dengan ucapan Guru!" seru Bayu Menggolo. Dan tiba-tiba saja dia
menyerbu ke arah Madewa
Gumilang dengan Pukulan Bayangan Sukma!
"Sadarlah, Bayu..." kata Madewa masih menenang-kan. Namun pemuda itu telah
menderu, Madewa pun
tak mau dirinya dijadikan sasaran Pukulan Bayangan
Sukma. Dia pun menghindar. Namun Bayu Menggolo
yang sudah kalap seperti kemasukan setan terus me-
nyerang. Membuat Madewa menghindar. Lalu bersalto dua
kali. Dan dia pun merangkum Pukulan Bayangan
Sukma di tangannya.
"Sadarlah, Bayu... ini akan berakibat buruk untukmu...."
"Perduli setan!" Lalu Bayu Menggolo pun menderu maju. Tak ada jalan lain bagi
Madewa, dia pun mema-pakinya.
Kedua pukulan itu berbenturan.
Dahsyat. Madewa yang masih setengah-setengah mengelua-
rkan Pukulan Bayangan Sukma harus terpental bebe-
rapa tombak ke belakang. Sementara Bayu Menggolo
hanya dua tindak.
Madewa muntah darah. Belum lagi dia bisa mengu-
asai keadaan, Bayu Menggolo sudah menerjang kem-
bali. Hebat. Madewa tidak bisa lagi untuk menghindar karena
serangan itu begitu cepat di samping dia sendiri merasa sakit di dada.
Namun mendadak terdengar jeritan hebat dari Bayu
Menggolo. Tubuhnya terpental ke belakang, terhantam oleh Pukulan Bayangan
Sukmanya sendiri. Tubuh itu
hancur seketika dan mampus.
Ini kesalahan dari Bayu Menggolo. Dia tidak tahu
Madewa memiliki tenaga ajaib yang didapatnya secara tidak sengaja dari sari
rumput Kelangkamaksa. Bila
marahnya mereda, maka tenaga ajaib itu akan muncul
begitu saja. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Tiba-tiba terdengar jeritan pula. Murko Wiroko te-
was dengan kepala terpenggal. Di tangan Srinti terpegang golok yang berlumuran
darah. "Madewa... kini puaslah hatiku menyaksikan manusia itu mati. Dan
aku akan segera menyusul putraku!" Lalu golok itu pun dihunjamkannya ke dadanya.
Madewa mendesah. Nenek Berbaju Sutra menun-
duk pilu. Langit mendadak berubah hitam.
TAMAT Scan: Clickers Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** 5 *** 6 *** *** 7 *** 8 *** *** 9 *** 10 TAMAT Pahlawan Dan Kaisar 24 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Sumpah Palapa 10
^