Pencarian

Munculnya Si Pamungkas 1

Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas Bagian 1


MUNCULNYA SI PAMUNGKAS Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar Oleh: Jesco Setting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau se-
luruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Munculnya Si Pamungkas
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Sesungguhnya, cukup banyak yang tidak dis-
ukai Ratih Ningrum istri dari Madewa Gumilang
atau Pendekar Bayangan Sukma. Namun sebagai
seorang istri yang amat setia, Ratih Ningrum jarang memperlihatkan rasa tidak
sukanya. Seperti pagi ini, ketika datang tiga orang tamu ke Perguruan Topeng Hitam.
Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah perguruan silat yang namanya
cukup terkenal kala itu. Sebelum dipimpin oleh
Madewa Gumilang, Perguruan Topeng Hitam di-
pimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara. Dan
sebelum Paksi Uludara tewas di tangan Nindia, dia menyerahkan tampuk kekuasaan
atau kepemim-pinannya pada Madewa Gumilang. Itu terjadi beberapa puluh tahun
yang lalu. Kala Pranata Kumala, putra dari Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum
berusia lima tahun (baca: Dewi Cantik Penyebar
Maut). Sekarang Pranata Kumala sudah dewasa, bah-
kan sudah memiliki seorang istri yang jelita. Istrinya bernama Ambarwati, putra
dari seorang kepala perampok di desa Pacitan daerah sekitar Pantai Selatan
(baca: Pendekar Kedok Putih).
Saat ini Pranata Kumala dan istrinya tengah
melakukan petualangan mereka, sama seperti hal-
nya yang pernah dilakukan Ratih Ningrum dan
suaminya. Pagi ini sebenarnya Ratih Ningrum mengingin-
kan keberduaannya bersama suaminya tidak di-
ganggu. Namun mendadak saja seorang murid
Perguruan Topeng Hitam masuk dan mengatakan
ada tiga orang tamu yang ingin bertemu dengan
Ketua. Sebagai seorang pendekar yang arif dan bijak-
sana tentu saja Madewa bermaksud menemui me-
reka. Dan ini sebenarnya membuat Ratih Ningrum
sedikit jengkel, karena merasa terganggu keber-
duaan mereka. Tetapi tentu saja dia diam saja.
Bahkan hatinya merasa bersalah karena siapa ta-
hu kedatangan ketiga orang itu membutuhkan
pertolongan mereka.
"Ya Tuhan... mengapa sikapku menjadi seperti ini?" desisnya dalam hati.
Dan ketiga tamu yang datang itu sudah berdiri
di ruang pertemuan berhadapan dengan Madewa
Gumilang yang mengenakan pakaian berjubah pu-
tih dan Ratih Ningrum yang berpakaian ringkas
dengan sepasang pedang kembarnya yang tersam-
pir bersilangan di punggung.
Ketiga orang itu menjura di hadapan Madewa
Gumilang dan istrinya. "Salam hormat dari kami bertiga, Ketua dan Nyonya Ketua,"
kata salah seorang dari tamu itu. Dia seorang laki-laki yang kira-kira berusia
60 tahun. Dia mengenakan pakaian
berwarna putih. Rambut serta kumis dan jenggot-
nya sudah memutih. Namun sikapnya masih ga-
gah. "Salam hormat kembali dari kami, Orang
Tua...." kata Madewa sambil tersenyum arif. "Si-lahkan duduk."
Ketiga tamu itu pun duduk.
Madewa menatap mereka satu per satu. Dari
wajah ketiga tamu itu nampak sekali ada kecema-
san yang terpancar dari mata dan wajah mereka.
Hmm... ada masalah apakah gerangan"
"Kalau boleh aku tahu sekarang, ada masalah apakah hingga kalian datang ke
sini?" tanyanya tetap tersenyum arif.
Laki-laki tua tadi menjura dulu sebelum berka-
ta, "Maafkan kelancangan kami bertiga yang mengganggu ketenangan Ketua dan
Nyonya Ketua. Namaku Karna Jarot. Dan kedua pemuda yang
bersamaku itu adalah putra-putraku. Yang men-
genakan pakaian hitam dengan pedang di pung-
gungnya bernama Jaka Tama. Putraku yang per-
tama. Dan yang kedua bernama Seno Arga. Mak-
sud kedatangan kami ke sini, ingin meminta ban-
tuan dan pertolongan dari Ketua...."
"Hmm... pertolongan apa, Karna Jarot?"
"Ketua... kami adalah warga sebuah desa yang permai dan indah. Seluruh penduduk
desa kami, desa Glagah Jajar, amat menjunjung tinggi per-
saudaraan. Dan di desa kami tinggal seorang kaya yang bernama Juragan Wilada
Tista. Namun yang
sungguh amat mengejutkan kami, Juragan yang
baik hati itu suatu malam ditemukan tewas den-
gan mengerikan. Lehernya hampir putus dari ke-
palanya. Sudah tentu kematian Juragan Wilada
Tista membuat hati kami semua penduduk yang
begitu menyukainya menjadi sedih sekali. Dan
yang membuat kami heran, para pengawalnya
yang berjumlah cukup banyak itu tak seorang pun yang mendengar dan melihat
bagaimana matinya
Juragan Wilada Tista. Namun kami tetap mendu-
ga, kalau Juragan Wilada Tista mati dibunuh
orang. Hanya sampai sekarang belum ketahuan
siapa orang yang mesti bertanggungjawab akan
kematian Juragan Wilada Tista."
"Kapan matinya juragan itu?"
"Sebulan yang lalu."
Madewa mengangguk-angguk. Karna Jarot ber-
kata lagi, "Ketua... tentunya ketua berpikir, mengapa hanya dengan kematian
Juragan Wilada Tista saya sampai mengganggu ketenangan ketua. Tetapi tidak
sampai di sana saja ceritanya, Ketua. Secara mengerikan dan berturut-turut satu
per satu keluarga Juragan Wilada Tista tewas. Dan kembali tak seorang pengawal
pun yang mengetahui siapa
yang membunuh mereka. Itulah sebabnya kami
meminta pertolongan kepada Ketua. Karena hanya
Perguruan Topeng Hitamlah yang kami rasakan ja-
raknya cukup dekat dengan desa kami, meskipun
kami harus berjalan kaki selama dua minggu...."
Madewa terdiam. Dia dapat merasakan kalau
ada sesuatu dibalik kematian keluarga Juragan
Wilada Tista dan dirinya sendiri. Agaknya si pembunuh itu mempunyai dendam
kesumat pada diri
Juragan Wilada Tista dan keluarganya.
"Karna Jarot... apakah kau tahu kalau Juragan Wilada Tista mempunyai musuh?"
"Tidak, Ketua... Ah, biarkan putra saja Jaka Tama yang menjawabnya, karena dia
pun menjadi pengawal Juragan Wilada Tista."
Pemuda yang berahang kukuh dan berwajah
tampan itu menjura pada Madewa Gumilang.
"Maafkan saya, Yang Agung Madewa Gumilang.
Setahu saya, majikan saya tidak mempunyai mu-
suh atau pun orang-orang yang mendendam pa-
danya. Dia begitu bersahabat pada siapa saja. Baik kawan maupun lawan. Sikapnya
selalu mengenakan orang lain. Saya pun berpikir, mana mungkin ada orang yang
tega mencelakakan orang sebaik
majikan saya. Apalagi sampai membunuhnya den-
gan cara mengerikan seperti itu."
"Berarti dia memang manusia yang bersih."
"Begitulah adanya, Ketua."
"Hmm... sebaiknya kalian beristirahat sajalah dulu. Tentunya kalian letih
berjalan beberapa hari lamanya," kata Madewa Gumilang kemudian.
"Tidak, Ketua!" kata Karna Jarot. "Kami harus segera kembali ke desa, karena
kami kuatir terjadi apa-apa lagi dengan orang-orang desa kami. Kemunculan si
Pamungkas itu terlalu mengerikan."
"Si Pamungkas?"
"Ya, dia begitu pandai menyelinap dan selalu membunuh lawannya dengan cara
mengerikan. Meskipun orang itu sebenarnya bukanlah lawan-
nya." "Ketua..." kata Seno Arga yang sejak tadi diam saja. "Saya pun berpikir,
tentunya ilmu yang dimiliki si Pamungkas itu demikian tinggi, karena kami
sebagai pengawal Juragan Wilada Tista tak mendengar suara apa-apa. Dan rasa
pengabdian kami
yang tinggi itulah kami bermaksud untuk mencari si Pamungkas. Tentunya kami tak
berani menghadapi begitu saja tanpa mendapat bantuan dari pihak mana pun juga.
Ketua... mungkin dari pihak
Ketualah kami meminta bantuan. Terserah ban-
tuan apa yang hendak ketua kirimkan pada ka-
mi.... Yang pasti, kami akan mengucapkan banyak terima kasih...."
Madewa tersenyum.
"Dengan senang hati, kami akan membantu kalian mencari si Pamungkas. Tetapi
sebaiknya ka- lian beristirahatlah dulu. Menjelang senja bila kalian tidak mau bermalam dan
ingin kembali ke de-sa, kalian bisa segera meninggalkan tempat ini..."
"Tidak, Ketua... saat ini juga kami akan kembali ke Glagah Jajar."
"Terserah bila itu mau kalian."
"Kalau begitu... kami permisi, Ketua..." kata Karna Jarot sambil berdiri yang
diikuti oleh kedua putranya. Ketiganya menjura serentak.
Lalu ketiganya pun meninggalkan Perguruan
Topeng Hitam dengan sedikit membawa kegembi-
raan karena Madewa Gumilang mau membantu
mereka dalam mencari si Pamungkas.
Mereka begitu geram sekali melihat pemban-
taian yang dilakukan oleh si Pamungkas itu den-
gan begitu mengerikan. Terutama hati Seno Arga
dan Jaka Tama. Kedua pemuda itu sudah hampir
dua tahun bekerja sebagai pengawal pribadi Juragan Wilada Tista. Dan mereka
tidak mengetahui
sedikit pun bagaimana cara orang itu masuk dan
membunuh Juragan Wilada Tista dan keluar-
ganya, padahal penjagaan sudah sedemikian ke-
tatnya. Dan kini mereka sedikit terasa gembira, karena
bantuan yang diharapkan mungkin bisa dikabul-
kan. Sudah tentu akan dikabulkan! Madewa memang
selalu menolong orang yang dalam kesusahan. Be-
gitu banyak nama yang disandangnya. Orang-
orang rimba persilatan kadang menjulukinya Ma-
nusia Dewa karena kesaktian dan kearifannya
amat tinggi. Lalu Pendekar Budiman, karena dia
selalu menolong dan membela kebenaran. Yang te-
rakhir Pendekar Bayangan Sukma, karena dia
memiliki ilmu yang berkaitan dengan sukma.
Saat ini sepeninggal ketiga tamunya, Madewa
tengah mengumpulkan para muridnya yang sudah
selesai berlatih.
Dia menceritakan maksud dari kedatangan tiga
tamu tadi. Madewa pun memilih sepuluh orang
murid pilihannya untuk membantu ke desa Glagah
Jajar. Dan para murid pilihannya pun menyatakan diri siap.
Bagi mereka pula, kebenaran harus ditegakkan.
Dan selama ini mereka amat salut dan bangga pa-
da ketua mereka, Madewa Gumilang. Yang tidak
hanya mengajarkan ilmu-ilmu pedang namun juga
selalu memberikan wejangan-wejangan yang amat
berguna dan bermanfaat bagi mereka.
Belum lagi sikapnya yang begitu arif dan bijak-
sana. Dalam memutuskan segala sesuatunya pun
Madewa begitu adil. Bahkan dia tidak membeda-
kan statusnya dengan status mereka yang ada di
antara mereka antara seorang guru dan murid. Tidak pernah, tidak pernah Madewa
melakukan itu. Bahkan dia seakan hanyalah seorang sahabat
dan kadang bertindak sebagai orang tua.
Madewa menatap sepuluh murid pilihannya
yang tengah berdiri di hadapannya. Kesepuluh
muridnya mengenakan pakaian hitam-hitam den-
gan topeng yang menutup kepala berwarna hitam
pula. Ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam se-
mua muridnya memang mengenakan pakaian ber-
pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.
Dan senjata mereka adalah sepasang pedang
dan senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam.
Murid-murid Perguruan Topeng Hitam laki-laki
semua. Mungkin di perguruan itu yang perempuan
hanyalah Ratih Ningrum.
"Kalian siap menjalankan tugas yang kuberikan?" bertanya Madewa pada para
muridnya yang dipilih.
Salah seorang menyahut, mewakili yang lain,
"Kami siap melakukannya, Ketua."
"Bagus! Dalam hal ini, janganlah bertindak ke-palang tanggung. Bila ada
keangkara-murkaan
yang terjadi di depan mata kalian, kalian harus membasminya sampai ke akar-
akarnya. Namun bi-la tak ada keangkaramurkaan, janganlah kalian
sekali-sekali mencoba membuat keangkaramur-
kaan itu. Mengerti?"
"Kami mengerti, Ketua."
"Bagus! Aku minta... kalian selidiki dulu siapa yang membuat onar di desa Glagah
Jajar. Dan cari tahu siapa si Pamungkas itu. Dan mau apa dia
muncul dengan menebarkan teror yang amat men-
gerikan. Mengerti."
"Ya, Ketua."
"Besok pagi, kalian sudah harus meninggalkan
Perguruan Topeng Hitam menuju ke desa Glagah
Jajar. Aku tidak ingin mendengar ada laporan
bahwa kalian telah membuat onar disana. Bukan-


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya membantu para penduduk desa Glagah Jajar."
"Semua kata-kata Ketua, akan kami junjung setinggi-tingginya."
"Bila kalian memang membuktikan ucapan ka-
lian itu, sebelumnya aku mengucapkan terimaka-
sih." Lalu Madewa kembali masuk ke dalam. Istrinya
yang sepertinya tengah menunggu berkata.
"Kanda... apakah akan terjadi lagi sesuatu kepada kita?" Madewa menatap sepasang
mata ben-ing itu yang memancarkan sinar tidak enak.
"Entahlah, Dinda... hanya yang Maha Kuasa
yang tahu semua ini. Tetapi... mengapa Dinda berkata demikian?"
Ratih Ningrum mendesah.
"Kanda... sebagai seorang istri, tentu saja aku menginginkan hidup kita yang
damai dan tentram...."
Madewa merangkul bahu istrinya tersenyum.
Dia dapat mengerti maksud istrinya.
"Dinda... selama kejahatan masih banyak di muka bumi ini, maka kita belum dapat
hidup dengan damai dan tentram. Dinda... kita ditugaskan oleh Gusti Allah untuk
membasmi semua kejahatan yang terjadi. Untuk itulah kita hidup, Dinda...
sebagai pembela kebenaran. Kau mengerti mak-
sudku, bukan?"
Ratih Ningrum tersenyum. Yah, dia tentu saja
dapat mengerti. Dan diam-diam dia semakin bang-
ga pada suaminya. Cintanya semakin tumbuh
menjadi besar. *** 2 Tiga sosok itu melangkah pelan memasuki se-
buah hutan kecil. Suasana hutan begitu menye-
ramkan. Malam telah datang sejak dua jam yang
lalu. Suara binatang malam ramai terdengar.
Salah seorang dari tiga sosok itu berhenti me-
langkah. Menatap kedua sosok lain yang juga berhenti.
"Ada apa, Ayah?" yang berpakaian hitam-hitam dengan pedang di punggung bertanya.
"Sebaiknya kita beristirahat di sini saja, Jaka.
Besok pagi barulah kita melanjutkan perjala-
nan...." kata yang dipanggil ayah itu yang tak lain Karna Jarot. Dan kedua sosok
tadi adalah Jaka
Tama dan Seno Arga.
Keduanya kini tiba di sebuah hutan kecil. Kare-
na tubuh yang dirasakan penat oleh Karna Jarot
maka dia menginginkan untuk beristirahat dan
bermalam di sini.
Namun belum lagi terdengar jawaban Jaka Ta-
ma, terdengar suara tawa yang menggema, mem-
bedah hutan kecil itu.
Dan secara tidak sengaja, tiga sosok itu menjadi bersiaga. Penat mereka yang
rasakan seolah hilang begitu saja.
"Siapa yang tertawa itu, Ayah?" tanya Seno Ar-
ga. "Entahlah," sahut Karna Jarot sambil memandang berkeliling.
Suara tawa itu terdengar kembali.
Karna Jarot menjadi jengkel, karena tawa itu
seakan mengejek mereka yang kebingungan.
"Hei, orang yang tertawa! Keluarlah kau dari tempat persembunyianmu"!" bentaknya
dan sua-ranya menggema keras.
Tetapi hanya tawa lagi yang terdengar keras.
Membuat ketiganya semakin bersiaga. Naluri
mengatakan, akan terjadi sesuatu yang tidak beres di sini.
Tiba-tiba terdengar suara seperti membentak
dengan nada yang jengkel.
"Hhhh! Kalian adalah manusia-manusia yang
ingin mampus! Berani-beraninya kalian mening-
galkan desa Glagah Jajar untuk meminta ban-
tuan!" "Siapa kau" Kalau kau berani, cepat ke luar!"
seru Karna Jarot sambil berkeliling lagi matanya.
"Hhh! Karna Jarot... kau akan mampus malam ini bersama dengan kedua anakmu itu!"
"Bangsat! Bila kau benar-benar jantan, jangan hanya bersembunyi saja!" bentak
Karna Jarot dan tiba-tiba dia bersalto ke samping yang diikuti oleh kedua
putranya karena tiba-tiba saja dirasakan
ada serangkum angin deras mengarah pada mere-
ka. "Bangsat!" bentak Karna Jarot setelah hinggap di bumi.
"Rupanya nyalimu begitu kecil, Bangsat!"
"Hahaha... mengapa kau terburu-buru ingin
mengenalku, Karna Jarot!"
"Karena aku ingin segera mencabut nyawamu, Bangsat!"
"Kalau itu maumu, baiklah Karna Jarot! Aku akan keluar dari persembunyianku!"
Tiba-tiba satu angin keras terasa menerpa keti-
ganya yang membuat ketiganya kembali bergulin-
gan menghindari angin itu. Terdengar suara 'krak'
yang cukup keras. Dan sebatang pohon jati kecil tumbang oleh angin itu.
Suaranya jatuh berdebam.
Ketiganya terkejut melihat hasil dari serangan
angin itu. Dan lebih terkejut lagi ketika mereka melihat
sosok tubuh yang telah berdiri di hadapan mereka.
Sosok itu mengenakan pakaian berwarna biru dan
mengenakan kedok penutup kepala dan wajahnya
yang berwarna biru pula.
Karna Jarot segera membentak, "Siapa kau
adanya, hah"!"
Orang itu tertawa.
"Hahaha... rupanya kau memiliki nyali yang cukup besar, Karna Jarot... hingga
kau berani mem-bentakku!"
"Dan kau pun memiliki nyali yang sungguh besar pula, karena kau berani muncul di
hadapan- ku!" "Karna Jarot... kau memang orang yang gagah.
Sama seperti kedua putramu itu, Jaka Tama dan
Seno Arga!"
Jaka Tama mendengus.
"Siapa kau, Bangsat"!"
"Hahaha... aku sendiri tidak tahu namaku. Tetapi yang perlu kalian ketahui,
kalianlah yang telah memberikan nama padaku!"
"Apa maksudmu"!"
"Hahaha... bukankah kalian sedang mencari
orang yang membunuh Juragan Wilada Tista dan
keluarganya"!"
"Ya, akan kami cincang manusia kejam itu!" se-ru Jaka Tama tegang.
"Agaknya Yang Maha Kuasa memang memper-
temukan kita di sini! Akulah yang telah menghancurkan keluarga Juragan Wilada
Tista! Dan kalian telah memberikan nama padaku, si Pamungkas!"
seru orang itu dan kembali tertawa dengan keras yang membahana membedah seluruh
hutan. Mendengar kata-kata itu, wajah ketiganya men-
jadi tegang. Dari rasa tegang berubah perlahan-
lahan menjadi kemarahan yang amat sangat.
Karna Jarot mendengus.
"Hhh! Jadi kaulah orang yang telah membunuh Juragan Wilada Tista dan
menghancurkan keluarganya"!"
"Benar, benar... akulah orangnya..."
"Mengapa kau melakukan hal yang keji itu pada mereka, hah"!"
"Karena merekalah yang keji padaku! Hingga aku terpaksa membunuh mereka!"
"Apa maksud dari kata-katamu itu, hah"!"
"Hahaha... tak perlu kita berpanjang lebar ber-cakap-cakap, Karna Jarot karena
hanya menim- bulkan kebosanan padaku! Sebaiknya kalian ber-
siaplah untuk mampus, karena kalian telah berani mencari-cari aku!"
"Kami memang akan menangkap dan mengadi-
limu, Bangsat!" bentak Karna Jarot.
"Dan kau akan mampus di tangan kami!" seru Jaka Tama sambil menyerbu ke depan.
Tetapi si Pamungkas hanya tertawa saja. Dia
memiringkan tubuhnya sedikit dan menggerakkan
kakinya ke arah kaki Jaka Tama dengan gerakan
sapuan. Jaka Tama terkejut karena tidak me-
nyangka orang itu dapat melakukannya dengan
cepat. Tak ada jalan lain selain membanting tubuh ke kiri bergulingan. Tetapi
orang itu terus mengejar dengan sapuan-sapuan kakinya.
Membuat Jaka Tama menjadi kewalahan dan
tunggang langgang. Dan ketika dia bisa berdiri
kembali, satu pukulan dari si Pamungkas mengge-
dor dadanya. "Des!"
Tubuh Jaka Tama terhuyung ke belakang.
Dan begitu dia bisa menguasai keseimbangan-
nya, dia muntah darah.
Si Pamungkas terkekeh.
"Hehehe... rupanya hanya begitu saja kebiasaan manusia yang besar mulut!"
katanya mengejek.
Sementara itu Karna Jarot yang sudah jengkel,
menjadi murka melihat putranya berhasil dikalahkan oleh si Pamungkas dengan
sekali gebrak. Maka dia pun langsung menyerang yang disusul
oleh Seno Arga. Menghadapi serangan keduanya,
si Pamungkas hanya terkekeh saja sambil meng-
hindar. "Lebih baik kalian membunuh diri saja daripada kucabut nyawa kalian dengan
kekejaman!"
"Nyawamu yang akan kami cabut, Orang Ke-
jam!" bentak Karna Jarot sambil terus mencecar.
Namun Si Pamungkas benar-benar begitu hebat
dan tangguh. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Karna Jarot dan Seno Arga
hanya dihindarinya dengan terkekeh.
"Kalian hanya membuang-buang tenaga saja
dengan percuma!"
"Kau akan merasakan kehebatan kami, Pa-
mungkas!" bentak Karna Jarot yang semakin jengkel karena serangan-serangannya
tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Hehehe... kehebatan macam begini yang kalian perlihatkan" Hehehe... kalian pun
berambisi untuk menghabisiku" hehehe.... benar-benar pemimpi
rupanya!" Mendengar kata-kata yang penuh ejekan dan
serangan-serangan yang tak pernah mengenai sa-
saran, membuat Karna Jarot dan Seno Arga men-
jadi semakin garang menyerang.
Keduanya semakin gila dan buas.
Namun sampai sejauh itu serangan-serangan
keduanya belum membuat si Pamungkas terdesak.
Bahkan secara tiba-tiba si Pamungkas melenting-
kan tubuhnya ke atas.
Dan berseru, "Kini kalian yang harus merasakan serangan-seranganku!" Lalu tubuh
yang masih melenting itu atas itu bersalto dua kali ke arah Karna Jarot dan Seno
Arga. Langsung menyerang dengan hebat.
Kedua bapak beranak itu menjadi terkejut me-
nyaksikan dan menerima serangan-serangan bala-
san dari Pamungkas. Dan dengan satu gerak tipu
yang sungguh manis, tangan si Pamungkas berha-
sil memukul roboh Seno Arga yang langsung jatuh pingsan.
Melihat hal itu Karna Jarot menjadi murka. Dia
menyerang kembali dengan hebat.
Namun dua jurus telah berlangsung, Karna Ja-
rot berhasil di desak oleh si Pamungkas.
"Karna Jarot! Aku tak meninggalkan lawan-
lawanku sebelum aku yakin dia sudah mampus!"
bentak si Pamungkas sambil menyerang.
"Jangan banyak bacot! Buktikan bila kau benar-benar mampu melakukannya!" seru
Karna Jarot sambil menghindar dan membalas.
"Hehehe... baiklah... bila itu yang kau inginkan!"
sahut si Pamungkas dan bersalto. Kedua tangan-
nya tiba-tiba berbentuk seperti paruh bangau. Dan dia menyerang dengan jurus
Patuk Bangau. Membuat Karna Jarot jadi kalang kabut karena
kedua tangan yang berbentuk paruh bangau itu
mencecarnya dengan hebat dan cepat.
"Hehehe... mengapa kau jadi pias begitu, hah"!"
"Diam kau, Bangsat!"
"Hehehe... memang seperti itu orang yang sudah ingin mampus! Suka kebanyakan
omong dan selalu besar mulut!"
"Kau yang akan mampus di tanganku!"
"Hehehe... dalam keadaan seperti ini kau masih bisa berbacot seperti itu!" seru
si Pamungkas dan tiba-tiba tubuhnya menyuruk ke depan dengan
kedua tangan yang siap untuk menghantam dada
Karna Jarot. Karna Jarot menghindarinya dengan jalan ber-
guling. Dan yang tak pernah disangkanya begitu
tubuhnya berhasil menghindari serangan itu, si
Pamungkas melanjutkan serangannya ke pada Se-
no Arga yang sudah terkapar pingsan.
Tanpa ampun lagi kedua tangan yang berben-
tuk paruh bangau yang sudah dialiri tenaga dalam yang kuat, menghantam kepala
Seno Arga yang tertelungkup. Tidak terdengar jeritan.
Tidak terdengar pekikan.
Yang terdengar hanyalah suara krak yang cu-
kup keras, yang menandakan kalau tulang kepala
Seno Arga pecah, dan mengalirlah darah dari ke-
pala itu. Seno Arga mati dalam keadaan yang menyedih-
kan. Sedetik kemudian terdengar jeritan pilu dari
Karna Jarot, "Senooooo!"
Si Pamungkas cuma terkekeh saja.
Kekejamannya sudah terlihat.
Karna Jarot menjadi murka dan kemarahannya
sudah tidak terhingga lagi. Sepasang matanya berapi-api dan berkilat berbahaya
ketika menatap Si Pamungkas.
"Kau harus membayar nyawa anakku dengan
nyawamu, Manusia kejam!"
Wajah yang tertutup kedok biru itu terkekeh.
"Atau... kau yang akan segera menyusul putramu itu!"
Sementara itu Jaka Tama yang masih merasa-
kan sakit di dadanya, menahan kegeramannya
yang luar biasa dan kepiluannya melihat adiknya telah tewas. Dia tadi bergidik
ngeri ketika melihat si Pamungkas menurunkan tangan telengasnya.
Mendadak saja dia tidak merasakan lagi sakit-
nya. Rasa sakitnya telah berganti dengan rasa marah dan dendam yang menggelora.
Sambil menggeram keras dia menyerbu dengan


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang di tangan ke arah si Pamungkas yang ma-
sih tertawa. Namun kehebatan dan kelincahan si Pamung-
kas benar-benar luar biasa.
Dia hanya menggeser sedikit tubuhnya hingga
pedang itu melesat dari sasarannya. Namun Jaka
Tama yang sudah marah luar biasa terus menya-
betkan pedangnya ke dada si Pamungkas.
Gerakan itu dilakukan demikian cepat, sehingga
sepertinya si Pamungkas tidak bisa lagi untuk meloloskan diri. Namun suatu
keajaiban terjadi.
Begitu pedang itu membentur dada si Pamung-
kas, bukan suara jeritan yang terdengar, malah suara "trang" yang cukup keras
yang terdengar.
Jaka Tama segera menarik serangannya dan
bersalto dengan kaget.
Dia menatap si Pamungkas tidak percaya. Bera-
du dengan apa pedangnya tadi hingga menimbul-
kan suara "trang?"
Melihat wajah yang pias karena terkejut itu, si Pamungkas terkekeh.
"Hehehe... jangan heran, inilah yang dinamakan ilmu kebal. Seribu Bobot Besi!
Hehehe... senjata
macam apa pun tak akan pernah mampu melu-
kaiku karena tubuhku sudah sekeras besi!"
Jaka Tama bukanlah pemuda penakut. Dia ma-
lah menjadi penasaran. Dengan cepat dia menye-
rang lagi. Kali ini si Pamungkas tidak mengelak.
Malah sepertinya dengan sengaja menerima sa-
betan pedang itu.
Terdengar lagi suara, "Trang!"
"Trang!"
"Trang!"
Pedang yang disabetkan Jaka Tama sebanyak
tiga kali ke tubuh si Pamungkas memang seakan
membentur pada besi yang keras.
Tubuh si Pamungkas sudah berubah menjadi
sekeras besi. Bahkan boleh dikatakan tubuh itu
telah menjadi besi.
Karena merasa serangannya sia-sia, Jaka Tama
bersalto ke belakang berdiri bersisian dengan
ayahnya yang juga terkejut melihat ilmu yang di-perlihatkan oleh si Pamungkas.
Mereka sadar, kalau ilmu yang dimiliki si Pa-
mungkas begitu tinggi dan hebat. Tetapi mereka
bukanlah orang-orang penakut.
Keinginan mereka mencari si Pamungkas untuk
membalas kematian Juragan Wilada Tista dan ke-
luarganya sudah menunjukkan kalau mereka ada-
lah orang-orang yang pemberani!
Dan sekarang mereka sudah menemukan dan
tengah berhadapan dengan orang yang mereka ca-
ri. Pantang bagi mereka untuk mundur meskipun
setinggi apa pun ilmu si Pamungkas!
Mereka lebih baik mati dengan cara kesatria da-
ripada mundur seperti kucing di kejar anjing!
"Rupanya kau memiliki ilmu setan, Iblis!" geram Karna Jarot.
"Dan kau jeri dengan ilmu setan yang kumiliki ini bukan, Karna Jarot?" terkekeh
si Pamungkas. "Anjing buduk! Biarpun kau memiliki sejuta il-mu setan lainnya, kau tak akan
pernah mundur menghadapimu!"
"Majulah kalau begitu!" seru si Pamungkas.
Dan kedua anak beranak itu pun menyerang
kembali dengan kegeraman yang luar biasa. Mere-
ka memang menyadari tak mungkin dapat menga-
lahkan si Pamungkas. Tetapi mereka telah berte-
kad untuk mengadu jiwa dengan manusia kejam
ini. Namun serangan kedua orang itu hanya disambut dengan tawa saja. Si
Pamungkas tidak berges-er dari berdirinya. Dia membiarkan saja pukulan,
tendangan, sepakan, atau pun jotosan kedua
orang itu menghantam sekujur tubuhnya.
"Hehehe... keluarkanlah seluruh tenaga dalam kalian dan ilmu yang kalian
miliki!" terkekeh si Pamungkas sambil memperhatikan keduanya yang
begitu bernafsu untuk merobohkannya.
Tetapi sampai sejauh itu malah keduanya yang
nampak kepayahan. Pedang di tangan Jaka Tama
sudah gompal-gompal. Sedangkan rasa Karna Ja-
rot merasakan tangannya ngilu luar biasa.
"Rupanya kalian tidak memiliki apa-apa kecuali kenekatan yang tak berguna..."
"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Pamung-
kas!" geram Karna Jarot yang sudah mengelua-
rkan ajian Karang Hawu. Namun ajian itu pun siasia belaka karena tak
menghasilkan sesuatu yang menggembirakan.
Tiba-tiba kedua tangan si Pamungkas yang ter-
diam bergerak ketika keduanya kembali melancar-
kan serangan. Kedua tangan itu menangkis serangan mereka
dan terdengar suara "krak!" bertanda tangan keduanya telah patah.
Sambil menahan rasa sakit dan ngilu keduanya
mundur. "Hahaha... mengapa harus mundur kalian" Rupanya kalian memang tak mempunyai apa-
apa yang patut dibanggakan. Keberanian kalian hanya sia-sia belaka. Dan aku paling
tidak suka meninggalkan lawan-lawanku sebelum menjadi mayat!"
Ucapan itu bernada ancaman. Bernada kema-
tian. Membuat Karna Jarot dan Jaka Tama menjadi
lebih bersiaga. Dan keduanya pun segera me-
nyambut serangan yang dilancarkan oleh si Pa-
mungkas dengan tiba-tiba.
Karena tangan keduanya sudah patah, tak ba-
nyak yang bisa diperbuat oleh mereka selain bersalto, bergulingan untuk
menghindar. Sampai tiba-tiba terdengar jeritan Jaka Tama
yang memilukan. Mendirikan bulu roma karena je-
ritan itu begitu keras.
Lehernya patah dihantam oleh pukulan tangan
kanan si Pamungkas yang sekeras besi. Mampus-
lah Jaka Tama dengan leher patah.
"Jakaaaaa!" jerit Karna Jarot yang mendirikan
bulu roma. Nafasnya mendengus-dengus. Tadi me-
lihat Seno Arga tewas dia sudah tak bisa membendung lagi kemarahannya, dan kali
ini kemarahan itu semakin membludak.
Karna Jarot menjadi kalap.
Dia menerjang si Pamungkas yang hanya terke-
keh-kekeh menghindar. Dan memang tak banyak
yang bisa dilakukan Karna Jarot, karena sebuah
hantaman tangan kanan si Pamungkas yang men-
genai dadanya menghentikan perlawanannya.
Tubuh Karna Jarot ambruk dan mampus untuk
selama-lamanya.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha... itulah akibatnya bila berani menghalangi sepak terjang si Pamungkas!"
Lalu tubuh itu pun melesat dengan cepat seper-
ti angin. Meninggalkan malam yang semakin larut.
Meninggalkan tiga sosok tubuh yang telah men-
jadi mayat! *** 3 Sepuluh sosok tubuh yang berpakaian hitam-
hitam dengan bertopeng hitam pula dan sepasang
pedang di punggung masing-masing, menghenti-
kan laju kudanya begitu melihat tiga sosok tubuh bergeletakan menjadi mayat.
Matahari saat ini tepat berada di atas kepala,
namun sinarnya tidak terlalu menyengat hingga ke
tanah. Karena hutan kecil yang ditumbuhi banyak pohon itu menghalangi sinar
panasnya. Dua sosok tubuh melompat dari kuda mereka.
"Hei, bukankah ini adalah orang-orang yang datang menemui Ketua!" serunya kaget
setelah me-meriksa mayat itu.
Sepuluh sosok tubuh itu adalah murid-murid
dari Perguruan Topeng Hitam yang diutus untuk
membantu desa Glagah Jajar mencari si Pamung-
kas. "Benar! Ya, Tuhan... siapa yang telah melakukan kekejaman seperti ini"!"
"Yang membunuh mereka ini tentunya seorang yang kejam, yang begitu tega
menghancurkan tubuh mereka seperti ini!"
"Pratama, bagaimana tindakan kita selanjutnya"!"
Yang dipanggil Pratama menatap kawannya.
"Sengkala, kita sudah dibebani tugas oleh Ketua untuk mencari si Pamungkas, kita
akan terus melakukannya."
"Apakah tidak sebaiknya kita laporkan dulu kepada Ketua, Pratama?"
Pratama terdiam. Lalu katanya, "Baiklah, dua orang di antara kita kembali ke
Perguruan! Laporkan semua ini pada Ketua!"
Dan tanpa diperintahkan lagi dua orang dari
mereka segera membalikkan kuda-kuda mereka
dan melarikannya ke Perguruan Topeng Hitam.
"Lalu kita sendiri bagaimana, Pratama?"
"Kita tetap ke Glagah Jajar! Biarkan mereka menyusul nanti!"
Lalu dengan sekali lompat Pratama sudah hing-
gap di kudanya. Begitu pula dengan Sengkala.
Belum lagi mereka menggebrak lari kuda mere-
ka, tiba-tiba satu sosok tubuh memegang cangkul muncul dari balik hutan. Wajah
orang itu begitu buruk sekali. Bahkan boleh dibilang amat mengerikan. Sebelah
matanya picek. Yang sebelah lagi melotot keluar, berair. Wajah orang itu benar-
benar rusak. Hidungnya melesak ke dalam. Ram-
butnya agak botak. Bibir bagian atasnya pecah,
sedangkan bagian bawah agak turun. Belum lagi
leher orang itu yang berkeriput seperti luka terba-kar.
Orang itu menatap heran pada orang-orang
yang menunggang kuda.
Begitu pula dengan para murid Perguruan To-
peng Hitam. Mereka tersentak kaget melihat beta-pa buruk dan mengerikannya wajah
itu. Bila ber- temu dengan orang itu malam hari, tentu yang
bertemu akan menyangkanya setan gentayangan.
Tetapi bagi Pratama kemunculan orang ini bisa
dijadikan tempat untuk menjawab pertanyaannya.
"Ki Sanak yang baru muncul... siapakah gerangan Ki Sanak adanya?"
Orang yang berwajah sangat buruk itu keliha-
tan takut-takut. Tadi saja dia sudah kaget melihat orang-orang bertopeng hitam
itu. "Aku... aku... Mandali Sewu, Ki Sanak...." katanya tergagap.
"Jangan takut, Mandali. Namaku Pratama... dan mereka ini kawan-kawanku. Kami
orang baik-baik.
Kami berasal dari Perguruan Topeng Hitam yang
bertempat di sebelah timur Gunung Slamet."
"Oh, salam kenal dariku untuk kalian semua,"
kata Mandali Sewu yang merasa agak tenang.
"Salam kenal kembali dari kami untukmu,
Mandali..." kata Pratama dengan suara bersahabat. "Mandali... dapatkah kau
menceritakan kejadian apa yang telah menimpa tiga mayat itu?"
"Oh, tidak... aku tidak tahu... Tadi pagi pun, saat aku hendak menebang kayu di
hutan ini, sudah kutemui tiga sosok mayat yang terkapar den-
gan tubuh yang mengerikan. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Dan sekarang,
aku pun sebenarnya bermaksud hendak menguburkan
mayat-mayat mereka dengan cangkul yang kuam-
bil dari rumah...."
Pratama mendesah. Sayang sekali orang ini ti-
dak tahu. "Kau tinggal di mana, Mandali?"
"Cukup jauh dari hutan ini."
"Kerjamu menebang kayu?"
"Ya."
"Jadi kau tidak mengetahui kejadian apa yang menimpa orang-orang ini?"
"Tidak."
"Ah, sayang sekali..."
"Memangnya ada hubungan apa kalian dengan
orang-orang yang telah menjadi mayat ini?"
"Mereka adalah warga desa Glagah Jajar. Yang baru saja datang ke perguruan
kami." "Dengan maksud apa mereka datang?"
"Mereka hendak meminta bantuan kami untuk
menyelidiki dan menangkap seseorang yang den-
gan tangan telengasnya telah membunuh Juragan
Wilada Tista dan keluarganya."
"Oh, kejam sekali orang itu! Siapakah dia
adanya?" "Kami juga belum mengetahui siapa dia. Tetapi dia dinamakan si Pamungkas!"
"Si Pamungkas?"
"Ya. Kenalkah kau dengan orang itu?"
"Mengenalnya aku tidak. Tetapi tiga malam yang lalu, ada kejadian yang
mengerikan menimpa desa Bojong Sawo. Di mana beberapa orang terpandang
di desa itu tewas secara mengerikan dengan tubuh yang hancur dan luka yang amat
parah! Orang-orang di desa itu pun memanggil si pembunuh
dengan sebutan si Pamungkas. Entah dengan
maksud apa sebenarnya si Pamungkas itu menye-
barkan teror!"
"Oh, kau mengetahuinya?"
"Secara pasti tidak. Tetapi seorang sahabatku tinggal di sana."
"Lalu?"
"Dialah yang menceritakan padaku siapa si Pamungkas itu. Saat setelah membunuh
orang ter- pandang di desa itu, si Pamungkas kepergok oleh beberapa petugas ronda. Namun
ilmu yang dimiliki orang berpakaian biru-biru dengan topeng biru
itu..." "Orang berpakaian biru-biru dan bertopeng bi-ru?" potong Pratama dan dia merasa
beruntung karena dapat mengetahui sedikit tentang si Pamungkas.
"Ya! Si Pamungkas itu mengenakan pakaian bi-
ru-biru dan bertopeng biru! Tetapi para peronda itu tak berhasil menangkapnya,
bahkan beberapa
orang tewas dan beberapa orang lagi luka parah
karena ilmu yang dimiliki si Pamungkas begitu
tinggi!" "Lalu bagaimana keadaan desa Bojong Sawo sekarang?"
"Sudah tentu penjagaan diperketat. Dan semua warga bersiaga dengan penuh! Karena
mereka kuatir si Pamungkas akan muncul kembali dan me-
nyebarkan terornya!"
"Rupanya si Pamungkas itulah menjadi bibit penyakit. Apakah ada yang mengetahui


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapakah dia sebenarnya?"
"Sampai sejauh ini belum ada yang mengetahui siapa orang di balik topeng biru
itu." "Juga sebab-sebab dia melakukan teror?"
"Ya. Tak ada seorang pun yang tahu. Tetapi mengingat adanya kejadian itu, ada
yang menduga kalau si Pamungkas itu mempunyai dendam kesumat pada orang-orang
yang dibunuhnya! Namun
tak seorang pun yang yakin akan dugaan itu!"
Pratama mendesah panjang. Kalau begitu si
Pamungkas sudah menyebarkan terornya ke setiap
desa. Dan ini tentunya amat meresahkan warga
desa. Bila demikian adanya, Pratama bermaksud un-
tuk menyelidiki si Pamungkas di desa Bojong Sawo sebelum ke desa Glagah Jajar.
Barangkali saja di sana dia dapat sesuatu yang bisa membawanya ke
pada si Pamungkas.
Lalu katanya pula pada Mandali Sewu, "Manda-
li... sebelumnya aku mengucapkan terima kasih
banyak atas percakapan ini. Dan terima kasih banyak pula kau mau bersusah payah
untuk men- guburkan ketiga mayat ini. Tetapi maafkan kami
karena tidak dapat membantumu. Kami harus se-
gera berangkat untuk menyelidiki dan kalau bisa menangkap si Pamungkas."
"Kudoakan semoga kalian berhasil. Mengenai ketiga mayat ini, aku akan
menguburkannya dengan senang hati."
"Terima kasih, Mandali. Kau baik sekali."
"Karena sebagai umat manusia, kita harus saling tolong menolong, bukan?"
"Kau betul, Mandali. Bila semua umat manusia punya pendirian sepertimu itu, maka
tak akan pernah ada lagi pertumpahan darah yang bersim-
bah di muka bumi ini!"
"Berangkatlah kalian! Aku pun berdoa semoga kalian cepat menemukan si Pamungkas
dan menangkapnya!"
"Terima kasih, Mandali!" kata Pratama lalu dia mengajak teman-temannya untuk
segera memacu kuda kembali. Perasaan di hati masing-masing begitu geram
dengan apa yang telah dilakukan si Pamungkas.
*** Senja hari delapan ekor kuda itu memasuki
perbatasan desa Bojong Sawo. Para warga desa
yang nampak tengah bersiap siaga menyambut
kedatangan si Pamungkas, sudah tentu menyam-
but dengan tidak enak pada para penunggang ku-
da itu. Tiga orang laki-laki gagah yang menjaga di per-
batasan desa Bojong Sawo, menghentikan laju ku-
da-kuda mereka.
Sikap ketiga orang itu nampak tidak bersaha-
bat. Di pinggang masing-masing tersampir sebilah golok besar.
Pratama dan kawan-kawannya menjadi maklum
mengapa mereka bersikap seperti itu, karena tentunya kedatangan mereka amat
menarik perhatian
orang-orang itu. Karena teror yang dilakukan si Pamungkas begitu mencekam dan
membekas. Tetapi mereka pun mengambil sikap yang ber-
sahabat. "Maafkan kami, Ki Sanak... kalau kedatangan kami mengejutkan kalian...." kata
Pratama. Salah seorang dari ketiga orang itu yang berwa-
jah seram membentak dengan suara kasar, "Hhh!
Siapakah kalian" Dan mau apa kalian datang ke
desa kami ini, hah"!"
"Hhh! Namaku Pratama, dan ini adalah kawan-kawanku! Kami berasal dari Perguruan
Topeng Hi- tam!" "Persetan kalian berasal dari mana! Yang kami tanyakan, mau apa kalian datang ke
desa kami ini"!"
"Kami datang untuk mencari tahu tentang si Pamungkas, yang mana kami telah
mendapat kabar kalau manusia kejam itu tengah melancarkan
terornya di desa ini!"
Ketiga orang itu memandang mereka dengan ti-
dak percaya. "Apakah kami bisa percaya?"
"Sudah tentu, karena kami dari golongan putih!"
Tiba-tiba yang seorang membentak, "Hhh! Kalian jangan coba-coba mengelabui
kami!" "Apa maksud dari Ki Sanak?" tanya Pratama yang dapat menangkap suara tidak
senang dari orang itu. "Kami tahu siapa kalian"!"
"Jelaskan maksud Ki Sanak?"
"Kalian adalah anak buah dari si Pamungkas, yang dikirim olehnya untuk memata-
matai kami dengan dalih dari golongan putih yang datang untuk menyelidiki si Pamungkas!"
"Hei!" seru Pratama tercekat. "Dari mana da-tangnya pikiran demikian hingga Ki
Sanak berkata seperti itu"!"
"Melihat dari pakaian yang kalian kenakan"!"
"Ada apa dengan pakaian kami?"
"Si Pamungkas mengenakan pakaian biru-biru dan bertopeng biru pula. Sama seperti
yang kalian kenakan! Hanya beda warnanya saja. Sudah tentu
ini menandakan kalian anak buah si Pamungkas.
Dan dia adalah ketua dari kalian, karena dia berpakaian dan bertopeng biru!"
"Tenang, Ki Sanak... kami datang jelas-jelas untuk menyelidiki si Pamungkas dan
membantu desa ini dari teror yang dilancarkannya!"
"Jangan membual di hadapan kami!" bentak orang itu seraya meloloskan goloknya
yang amat tajam. Pratama dapat menduga kalau salah paham ini
bisa menjadi besar. Namun dia masih mencoba
menerangkan siapa mereka dan maksud apa me-
reka datang. Tetapi agaknya orang itu memang benar-benar
pemarah dan keras kepala. Dia tidak perduli dengan kata-kata Pratama. Bahkan
sambil menjerit
keras dia sudah menyerbu dengan goloknya ke
arah Pratama. "Mampuslah kau, Manusia Laknat!"
Pratama pun tak mau kalau dirinya dijadikan
sasaran empuk golok tajam itu. Dia mengempos
tubuhnya bersalto dari kudanya.
"Tahan!" serunya begitu hinggap di tanah.
Orang itu berhenti menyerang. Tatapannya begi-
tu buas untuk membunuh. Nafasnya mendengus-
dengus. "Hhh" Mau apa kau, Manusia Laknat"!"
"Tenang, Ki Sanak! Aku tahu kau begitu geram dan emosi dengan apa yang dilakukan
oleh si Pamungkas! Tetapi yang perlu kau ingat, kami bu-
kanlah anak buah si Pamungkas! Dan kedatangan
kami bukan untuk membuat teror! Tetapi untuk
menyelidiki dan menangkap si Pamungkas! Teror
yang dilakukannya ini sama dengan yang terjadi di desa Glagah Jajar! Dan tiga
orang warga desa Glagah Jajar telah datang ke perguruan kami untuk
meminta bantuan! Tetapi sayang, sepulang dari
perguruan kami, dia dicegat dan dibunuh si Pa-
mungkas!" "Hhh! Siapa lagi kalau bukan kalian yang telah membunuhnya, hah!?"
"Aku mempunyai dugaan seperti itu, karena si Pamungkas tentunya marah ada yang
berani men- gadukan dan mencoba menghalangi perbuatan-
nya!" "Hhh! Mana ada maling yang berteriak maling!"
"Kau begitu pemarah dan emosi sekali, Ki Sanak!"
"Karena teror yang kalian lakukan dan ketua kalian lakukan itu amat menyakitkan
hati kami!"
Pratama mendesah. Dapat memaklumi menga-
pa orang ini bersikap seperti itu.
"Tenanglah, Ki Sanak... gunakanlah akal pikiranku secara sehat!"
"Aku sudah menggunakan akal dan pikiranku, Settttaaan!"
"Kau hanya dibawa oleh emosi dan hawa naf-
sumu saja untuk membunuh kami! Kau telah
menduga salah terhadap kami! Karena kau begitu
dendam dan sakit hati dengan apa yang telah dilakukan si Pamungkas!"
"Ya, katakan pada Ketua kalian, aku Saburo Manda tak akan mundur sejengkal pun
untuk menghadapinya! Juga untuk menghadapi orang-
orang seperti kalian!" bentak laki-laki yang bernama Saburo Manda itu. Lalu dia
menyerbu lagi ke
arah Pratama dengan goloknya!
"Tahan serangan!"
"Sabar, Ki Sanak!" seru Pratama namun segera menghindari serangan golok itu.
Serangan yang dilakukan Saburo Manda begitu
kejam dan telengas. Goloknya selalu mengarah ke bagian-bagian tubuh yang
mematikan dari Pratama. Ini menandakan bukan main geramnya dia.
Dan melihat dari gerakannya dan cara dia me-
megang golok, agaknya dia memang memiliki ilmu
silat yang cukup lumayan.
Golok itu berkelebat dengan cepat.
Namun sampai sejauh itu, Pratama belum juga
menurunkan tangan. Karena dia yakin kalau
orang itu sedang dilanda oleh emosi dan amarah-
nya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewalahan
juga karena hanya menghindar saja sedangkan go-
lok di tangan Saburo Manda sudah terus mence-
carnya dengan kalap.
"Saburo.. hentikan seranganmu ini!" serunya masih mencoba untuk tidak membalas.
"Anjing buduk! Kau harus mampus di tangan-
ku!" geram Saburo Manda tidak perduli. Dia malah semakin mempergencar serangan-
serangannya. Goloknya berkelebat kesana kemari dengan he-
bat. Membuat Pratama merasa kewalahan juga ak-
hirnya. Karena terlalu sulit untuk menenangkan Sabu-
ro Manda, diapun akhirnya membalas semua se-
rangan-serangan itu.
"Maafkan aku, Saudara Saburo..." desisnya sambil membalas dengan sebuah pedang
yang telah diloloskan dari sarungnya.
Yang sebuah lagi masih tertengger di tempat-
nya. "Hhh! Jangan banyak lagak kau. Manusia bu-
suk! Sampai matipun aku tak akan pernah menye-
rah dari tanganmu!" geram Saburo Manda sengit dan menyerang.
Pratama pun menangkis serangan golok itu
dengan pedangnya.
Suara nyaring yang ditimbulkan ketika dua sen-
jata itu beradu cukup keras terdengar.
Trang! Trang! Trang! Dan tiga jurus kemudian, terlihat Saburo Man-
da ganti terdesak. Dia sebisanya menahan seran-
gan-serangan pedang yang dilancarkan oleh Pra-
tama. Namun Pratama yang menduga kalau sikap dan
perbuatan Saburo Manda hanya dilandasi oleh
amarah dan sakit hatinya terhadap si Pamungkas
tidak menurunkan tangan telengas. Dia hanya
mencecar agar Saburo Manda melepaskan golok-
nya. Dan dia berhasil melakukannya, dengan satu
gerak tipu yang cepat.
Pedangnya digerakkan ke arah samping kiri tu-
buh Saburo Manda. Saburo pun menggeser tu-
buhnya agak ke kanan dan menangkis dengan go-
loknya. Trang! Dan saat itulah Pratama melesat maju, meng-
hantam pergelangan tangan kanan Saburo Manda
yang sedang memegang golok dengan sisi bawah
tangan kirinya.
Golok itu pun terlepas.
Pratama menghentikan serangannya. Dia mena-
tap Saburo Manda yang melotot gusar.
"Anjing buduk!" geramnya.
"Tenanglah, Saudara... kita ini hanya salah paham. Atas nama Gusti Allah, aku
bersumpah, ka- mi ini datang dengan maksud baik. Untuk mem-
bantu kalian dan menyelidiki siapa adanya si Pamungkas!"
"Orang jahat pun bisa bersumpah atas nama
Tuhan!" geram Saburo Manda.
"Kami adalah orang-orang golongan putih, yang tidak sembarangan bersumpah atas
nama Tuhan!"
"Bah! Orang golongan hitam pun banyak yang mengaku-ngaku dari golongan putih!
Lebih baik kalian tinggalkan desa ini sebelum kupanggil para penduduk!"
Pratama mendesah. Bingung dia menghadapi
kata-kata orang ini.
Didengarnya salah seorang dari kawan Saburo
berkata, "Ki Sanak... yah, kami pun bisa mengerti perasaan Ki Sanak. Dari
melihat sepak terjang
yang Ki Sanak lakukan terhadap Saburo Manda,
kami dapat menduga kalau Ki Sanak dari golongan baik-baik..."
Mendengar kata-kata dari temannya itu, mem-
buat Saburo Manda memalingkan tubuhnya dan
berkata gusar, "Apa-apaan kau ini, Junggo"! Mengapa kau berpihak pada orang-
orang yang telah
menebarkan teror di desa kita!"
Yang dipanggil Junggo cuma tersenyum.
"Saburo.. aku yakin sekali meskipun mereka mengenakan pakaian hitam dan
bertopeng hitam
pula sama yang seperti dikenakan si Pamungkas,
hanya dia berwarna biru, aku tetap berkeyakinan kalau mereka bukanlah orang-
orang kejam itu!"
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Karena bagi dia, dengan sekali gebrak kau dapat dikalahkan olehnya, Saburo!


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi dia tidak menurunkan tangan telengas, tidak seperti yang
dilakukan oleh si Pamungkas!"
"Junggo.. kau rupanya tengah dikecoh oleh kebaikan berpura-pura dari orang ini!
Kau bodoh, Junggo! Dia hanya berpura-pura saja, untuk menutupi siapa dirinya
yang sebenarnya! Kau tahu, banyak orang-orang jahat yang bertindak seperti ini!"
"Tenanglah, Saburo... lebih baik kita ajak mereka menemui Ki Lurah Wijayatikta!
Nah, Ki Sanak...
mari ikut kami menemui Ki Lurah!" kata Junggo pada Pratama.
Pratama menjura.
"Agaknya kami menemukan juga orang yang
mau mengerti siapa kami sebenarnya," katanya sopan pada Junggo. Lalu pada Saburo
Manda yang masih berwajah memerah dia berkata, "Maafkan atas kelancangan aku tadi, Saudara
Saburo Manda..."
Saburo Manda hanya terdiam, tetapi mengikuti
juga ketika Junggo mengajak kedelapan orang itu untuk menemui Ki Lurah
Wijayatikta. Yang seorang lagi tetap menjadi di perbatasan
desa Bojong Sawo.
*** 4 Kemunculan si Pamungkas yang mengenakan
pakaian biru-biru dan bertopeng biru pula mem-
buat geger rimba persilatan. Sepak terjangnya begitu telengas dan kejam.
Dia seolah tidak mengenal ampun pada kor-
bannya. Namun sampai sejauh itu belum ada yang tahu
ada maksud apa si Pamungkas melakukan semua
kekejaman ini! Beberapa pendekar dari golongan putih pun
bermunculan untuk mencari si Pamungkas. Mere-
ka begitu marah mendengar sepak terjang yang dilakukannya.
Namun sampai sejauh ini belum terdengar di
mana dan siapa sesungguhnya si Pamungkas itu.
Dan yang lebih mengenaskan lagi, ketika orang-
orang golongan putih mendengar kabar, Jarot dan istrinya, Yanti Kesuma,
ditemukan tewas di sebuah hutan kecil. Tubuh keduanya yang bergelar
Sepasang Pengantin Abadi, ditemukan dalam kea-
daan hancur dan luka yang mengerikan.
Menurut saksi mata, keduanya dibunuh oleh
orang yang berpakaian biru-biru dan mengenakan
topeng berwarna biru pula. Hal ini membuat
orang-orang dari golongan putih semakin marah.
"Kau yakin sekali kalau keduanya dibunuh oleh orang berpakaian topeng biru?"
tanya Ki Moro Se-ta, atau yang bergelar si Tua Welas Asih. Dia bermukim di
gunung Tangkuban Perahu.
Saat ini si Tua Welas Asih bersama dua orang
sahabatnya, Renggo Petaka atau si Tangan Besi
dan Nimas Prilastri, si Dewi Baju Putih tengah berada di hutan kecil di mana
ditemukannya mayat
Sepasang Pengantin Abadi.
Dan mereka tengah menanyai saksi mata yang
melihat kejadian itu, yang tak lain si Mandali Se-wu. Laki-laki berwajah buruk
yang amat mengeri-
kan. Tadi pun Dewi Berbaju Putih sedikit bergidik
melihat wajah yang amat mengerikan itu.
"Benar, Kakek Tua... saat saya hendak menebang kayu, saya melihatnya sendiri.
Kalau orang yang berpakaian biru-biru dan bertopeng biru
yang membunuh kedua manusia ini."
"Kemana larinya orang itu?"
"Dia berlari ke arah barat. Dan dia bilang, orang-orang golongan putih di rimba
persilatan ini akan dibasminya satu per satu."
"Apakah dia menyebutkan dirinya kalau dialah si Pamungkas?"
"Benar, Kakek Tua. Dia menyatakan dirinya
dengan sebutan si Pamungkas! Orang itu begitu
kejam sekali, Kakek Tua! Kedua temanmu yang
tewas ini pun dihajarnya habis-habisan hingga tak bisa berkutik lagi!"
Geram dan memerah wajah si Tua Welas Asih.
Dia dapat membayangkan bagaimana pedihnya
dan kalang kabutnya Sepasang Pengantin Abadi.
Menghadapi si Pamungkas dan menerima kema-
tian yang amat mengenaskan.
"Mandali.. kau yakin orang itu pergi ke arah Ba-
rat?" "Benar, Kakek Tua!"
"Terima kasih atas penjelasanmu," kata si Tua Welas Asih. Lalu berpaling kepada
kedua temannya. "Lebih baik kita susul dia sekarang sebelum dia menurunkan
tangan telengasnya lagi!"
Lalu ketiga orang itu pun bergerak dengan
menggunakan ilmu lari mereka. Mandali Sewu
sampai terkagum-kagum melihat mereka yang ti-
ba-tiba saja seperti menghilang.
"Bukan main! Mereka hebat sekali!" desisnya, lalu menyandang kembali kapaknya
untuk mencari kayu.
Ketiga pendekar dari golongan putih itu seakan
saling beradu lari dan memperlihatkan ilmu lari mereka masing-masing.
Ketiganya berkelebat demikian cepat.
Dan ketiganya menghentikan lari mereka ketika
ada dua jalan di hadapan mereka. Ketiganya saling pandang.
"Hmm... arah mana kira-kira yang ditempuh
oleh si Pamungkas," kata si Tua Welas Asih..
"Aku pun tidak tahu," kata Dewi Berbaju Putih.
"Bagaimana bila kita berpisah saja di sini," usul Renggo Petaka atau si Tangan
Besi. "Itu lebih baik," kata si Tua Welas Asih. "Kalian pergi ke arah kiri, aku pergi
ke arah kanan."
"Kalau begitu, baiklah," kata si Tangan Besi.
Namun belum lagi ketiganya berpisah, tiga buah
benda melayang dengan deras ke arah mereka.
Dan serentak ketiganya bergulingan menghindari
tiga benda yang mengarah kepada mereka.
"Bangsat! Siapa yang berani membokong secara pengecut seperti ini"!" maki si Tua
Welas Asih ketika dia sudah berdiri.
Begitu pula dengan kedua temannya.
Dan bukan main terkejutnya mereka ketika me-
lihat benda apa yang hendak mengancam mereka.
Tiga buah daun yang kini menancap di tanah!
Walaupun terkejut tetapi ketiganya mendengus.
Sebuah ilmu tenaga dalam yang amat tinggi ten-
gah dipamerkan oleh pembokong mereka!
"Hei, Pembokong, Pengecut! Cepat kau ke luar dari tempat persembunyianmu!"
bentak si Tangan Besi.
Tiba-tiba terdengar tawa yang cukup keras.
"Hahaha... rupanya kalian adalah orang-orang hebat yang sedang mencari si
Pamungkas!"
"Hahaha.. Kakek Tua... mau apa kau mencari ke kiri dan ke kananmu... aku ada di
atas pohon tepat di depanmu!"
Serentak ketiganya menoleh ke atas, dan meli-
hat satu sosok duduk dengan santainya di sebuah ranting yang kecil. Kedua kaki
orang itu terjuntai.
Dan dia mengenakan pakaian biru dengan topeng
biru pula! "Si Pamungkas!" seru Si Tangan Besi.
"Rupanya dia yang membokong kita!" bentak Dewi Berbaju Putih. Lalu membentak
pada sosok tubuh yang dengan santainya menjuntai-juntaikan kaki, "Pengecut! Turunlah kau
dari tempatmu!"
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. bukankah aku orang yang sedang kalian cari" Tentunya kalian gembira
bukan dapat bertemu denganku dan tak perlu lagi bersusah
payah mencariku"!"
"Kami akan mencincang tubuhmu. Manusia bu-
suk!" bentak Dewi Berbaju Putih lagi.
"Nimas Prilastri.. wajahmu memang cantik sekali, tetapi dalam keadaan marah
seperti itu kau buruknya bukan main!"
"Perduli setan dengan kata-katamu! Kau harus membayar nyawa pada orang yang
telah kau bunuh! Juga pada Sepasang Pengantin Abadi yang
kau bunuh dengan mengerikan!"
"Haha.. itu salah mereka sendiri! Mengapa mereka berani menghalangi
perbuatanku?"
"Siapa pun akan menghalangi perbuatanmu,
Pamungkas!"
"Dan berarti mautlah sebagai ganjarannya!"
"Sombong!" bentak si Tangan Besi. "Turun kau dari tempatmu, itu, biar aku
cincang tubuhmu!"
"Hahaha... jangan terlalu sesumbar, Tangan Be-si! Agaknya kau belum mengenal
siapa aku!" seru si Pamungkas dan tiba-tiba dia menggerakkan
tangannya ke arah si Tangan Besi.
Sebuah benda kembali melayang ke arahnya,
membuat si Tangan Besi harus bergulingan.
"Bangsat!" desisnya setelah berdiri.
"Hahaha.. maafkan, maafkan aku, Tangan Besi!
Daun itu jatuh tertiup angin.... hahahaha!"
Diam-diam si Tua Welas Asih dapat mengukur
ilmu dari si Pamungkas. Dan dia sungguh terkejut ketika menyadari betapa
tingginya kesaktian si
Pamungkas. Hh! Siapa dia sebenarnya" Siapakah yang bera-
da di balik topeng berwarna biru itu"
"Pamungkas... betapa banyaknya korban yang jatuh di tanganmu. Dan rata-rata
mereka tewas secara mengerikan" Belum cukupkah kau menye-
barkan terormu ini"!"
"Hahaha... tidak akan pernah cukup, Kakek
Tua... Tidak akan pernah cukup. Sampai kapan-
pun aku akan membuat teror untuk membunuh
orang-orang seperti kau itu!"
"Dengan maksud apa kau sebenarnya melaku-
kan teror seperti ini?"
"Hahaha.. untuk apa kau ketahui" Toh percuma karena sebentar lagi kau akan
mampus!" "Pamungkas., mati ada di tangan Tuhan. Dan ketahuilah, kami tidak pernah
menyukai sepak terjangmu yang kejam dan telengas ini!"
"Aku" Hahaha.. aku kejam dan telengas" orang-orang itulah yang membuatku jadi
begini?" "Apa maksudmu?"
"Hahaha.. ganti aku yang bertanya, apa maksudmu menghalangi perbuatanku, Tua
Welas Asih!" "Karena aku tak pernah menyukai kekejaman-
mu ini!" "Lalu kau mencoba untuk menghentikannya!"
"Ya!"
"Hahaha... kau hanya bermimpi rupanya, Kakek Tua! Siapa pun orangnya yang hendak
menghalangi sepak terjangku, akan kubuat mampus se-
perti orang-orang terdahulu! Juga kalian, yang
akan kubuat berkalang tanah seperti Sepasang
Pengantin Abadi!"
"Manusia sombong!" geram Dewi Berbaju Putih yang tak dapat menahan kemarahannya.
"Orang seperti kau tak layak untuk hidup!"
Setelah berkata begitu, dia mengibaskan tangan
kanannya ke arah si Pamungkas. Serangkum an-
gin deras mengarah pada si Pamungkas yang lang-
sung bersalto hinggap di bumi.
Sambaran angin itu mengenai batang pohon itu
hingga hangus! Si Pamungkas terbahak.
"Bukan main! Ilmu Sambaran anginmu itu begi-tu hebat, Dewi Berbaju Putih!"
"Manusia busuk! Kau harus mampus di tan-
ganku!" bentak Dewi Berbaju Putih dan sudah bergerak menyerbu ke arah si
Pamungkas yang berdiri di hadapannya.
"Hahaha... kau tak sabaran sekali! Bukankah lebih baik kau tenang sedikit! Dan
kita bicarakan persoalan ini! Barangkali saja kau sebenarnya
berminat padaku!" terbahak si Pamungkas sambil menghindari serangan Dewi Berbaju
Putih. Keduanya pun sudah terlibat pertempuran yang
hebat. Dan masing-masing memperlihatkan ketanggu-
han mereka. Namun si Pamungkas menghadapinya dengan
tertawa. Bahkan terlihat kalau dia seakan enggan untuk melayani Dewi Berbaju
Putih. Menyadari hal itu, Dewi Berbaju Putih menjadi
jengkel karena merasa si Pamungkas memper-
mainkannya. Dia kembali meningkatkan seran-
gannya. Tetapi si Pamungkas yang ilmunya begitu tinggi, hanya membutuhkan tiga jurus
untuk menyudahi
perlawanan Dewi Berbaju Putih. Ketika si Pa-
mungkas ingin membuat mampus wanita itu, Si
Tangan Besi sudah melayang memapaki.
"Des!"
Tangan telengas yang siap diturunkan oleh si
Pamungkas dipapakinya. Tubuh si Pamungkas
melayang bersalto, sementara si Tangan Besi me-
rasakan tangannya kesemutan.
Dia mendesis dalam hati, "Tinggi sekali tenaga dalam bangsat ini!"
Sedangkan Dewi Berbaju Putih yang baru saja
selamat dari maut mendesah lega dalam hati. Dan dia pun segera membantu si
Tangan Besi mengeroyok si Pamungkas.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. rupanya kalian sudah kelihatan sifat kalian yang sesungguhnya! Tua
Welas Asih, mengapa kau tidak turun tangan sekalian untuk men-
geroyokku, hah"!"
Mendengar kata-kata si Pamungkas yang mele-
deknya, Si Tua Welas Asih menjadi geram. Dia sudah menahan diri untuk tidak ikut
dalam pertem- puran itu. Namun kini keadaan sudah berubah.
Di samping geram, dia juga yakin ilmu yang di-
miliki si Pamungkas begitu tinggi.
Dalam sepuluh jurus saja kedua sahabatnya
yang mengeroyok si Pamungkas belum bisa ber-
buat apa-apa. Maka si Tua Welas Asih pun segera menerjunkan diri.
"Kalau itu maumu, baiklah, Pamungkas! Jan-
gan katakan aku pengecut karena hanya bisa
mengeroyokmu!"


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahahaha.. aku tidak pernah mengatakan kalian pengecut! Kalian mencariku saja
itu sudah membuatku salut karena kalian begitu berani
menjual lagak!"
Meskipun dikeroyok oleh tiga pendekar dari go-
longan putih itu, si Pamungkas belum kelihatan
terdesak. Dia begitu hebat dan tangguh.
Kelincahan dan keperkasaannya membuka ma-
ta ketiganya semakin lebar. Dan ini membuat me-
reka menjadi amat penasaran.
Mereka pun jadi malu sendiri dengan gelar yang
selama ini mereka sandang. Karena sampai bebe-
rapa jurus mereka belum juga berhasil mengalah-
kan si Pamungkas, jangankan untuk mengalah-
kan, mendesak pun belum kelihatan.
"Hahaha.. hanya kepandaian seperti ini saja yang sudah membuat kalian nekat dan
berani mencariku?"
"Jangan banyak bacot kau, Pamungkas!" geram si Tangan Besi yang sudah
mengeluarkan ilmu
tangan besinya. Namun tak sekalipun tangannya
mengenai sasarannya.
Begitu pula dengan Dewi Berbaju Putih yang
sudah mengeluarkan ajian terakhirnya, Gengga-
man Tangan Dewa. Namun kelincahan si Pamung-
kas dalam menghindar belum juga membuatnya
mampu untuk menjatuhkan tangan.
Si Tua Welas Asih pun merasa kalau dia dan
kedua sahabatnya tak akan mungkin bisa menga-
lahkan si Pamungkas.
Tiba-tiba si Pamungkas bersalto ke belakang.
Dan begitu hinggap di tanah dia sudah membuka
jurus Pukulan Patuk Bangaunya.
"Hahaha... rupanya permainan ini akan terus berlanjut, Para Pendekar Sok Jago!"
terbahak dia sambil menyerang.
Dan ketiganya pun segera memapaki dengan
ajian masing-masing. Namun si Pamungkas lagi-
lagi memperlihatkan keperkasaannya. Kedua tan-
gannya yang berbentuk paruh bangau bergerak
demikian cepat, bahkan terlihat dua jurus beri-
kutnya Dewi Berbaju Putih yang dijadikan sasaran pukulan-pukulannya.
"Hati-hati, Dewi!" seru si Tua Welas Asih. Sambil mencoba membantu. Namun dia
pun harus menghindar ketika tangan kanan si Pamungkas
berkelebat ke belakang.
"Hahaha.. kalian tak akan bisa meloloskan diri dari tanganku. Orang-orang sok
Jago!" "Kau yang tak akan bisa meloloskan diri dari tangan kami!" seru si Tangan Besi
yang juga membantu Dewi Berbaju Putih dengan serangan-
serangan tangannya yang menjadi sekeras besi.
Dewi Berbaju Putih sendiri menjadi kelabakan
ketika si Pamungkas menjadikan dirinya sasaran-
sasaran serangannya yang hebat dan cepat itu.
Dia sebisanya untuk bertahan.
Begitu pula dengan si Tangan Besi dan si Tua
Welas Asih yang mencoba membantu Dewi Berbaju
Putih. Tetapi si Pamungkas memang menunjukkan
kelasnya tersendiri. Serangan-serangan yang di-
lancarkan oleh si Tangan Besi dan si Tua Welas
Asih dengan mudahnya dihindari. Bahkan kakinya
pun dapat menghalangi niat mereka untuk mem-
bantu Dewi Berbaju Putih.
Hingga membuat keduanya mundur.
Kini tinggalkan Dewi Berbaju Putih sendiri yang harus mempertahankan diri
menghadapi serangan
yang dilancarkan si Pamungkas. Namun jelas ter-
lihat kalau kesaktian Dewi Berbaju Putih jauh berada di bawah si Pamungkas.
Dua pukulan patuk bangau si Pamungkas tak
bisa dihindarinya lagi.
"Des!"
"Des!"
Dua pukulan itu mengenai sasarannya. Mem-
buat Dewi Berbaju Putih terhuyung dan merasa-
kan sakit yang luar biasa pada bagian tubuhnya
yang terkena pukulan si Pamungkas.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. kini terimalah ajalmu, Dewi Berbaju Putih!" desisnya. "Sayang, orang
secantik kau harus mampus di tanganku sekarang juga!"
Lalu terlihat kedua tangan si Pamungkas beru-
bah menjadi semerah darah. Dan tatapannya pun
begitu mengerikan. Dia sudah melancarkan ajian Sambar Nyawa.
Tiba-tiba tubuhnya memekik keras dan melun-
cur ke arah Dewi Berbaju Putih yang masih sem-
poyongan! *** 5 Dewi Berbaju Putih tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Dia hanya bisa memejamkan mata.
Begitu pula dengan si Tangan Besi dan si Tua
Welas Asih keduanya nampak terpaku pada tem-
pat mereka masing-masing. Dan tak bisa berbuat
banyak untuk menghalangi niat si Pamungkas,
untuk membunuh Dewi Berbaju Putih.
Maka tanpa ampun lagi ajian Sambar Nyawa
yang ada di tangan si Pamungkas mengenai tepat
pada sasarannya.
"Des!"
"Aaaakhhh!"
Terdengar jeritan yang memilukan keluar dari
mulut Dewi Berbaju Putih. Dan tubuh itu pun me-
luncur dengan deras ke belakang. Menabrak se-
buah pohon besar hingga tubuh itu terpelanting
lagi ke depan dan ambruk ke tanah.
Saat ambruk itu barulah terlihat kalau sekujur
tubuh Dewi Berbaju Putih hangus dan perlahan-
lahan terlihat asap berbau sangit menguar dari tubuh itu. Lalu keanehan terjadi.
Tubuh itu meledak!
Betapa kagetnya si Tua Welas Asih. Dan Si Tan-
gan Besi melihat hasil pukulan Sambar Nyawa
yang dilancarkan si Pamungkas!
Satu ajian yang benar-benar begitu kejam dan
menakutkan! Si Pamungkas terbahak puas melihat hasil dari
perbuatannya. Lalu dia berpaling pada si Tua Welas Asih dan si Tangan Besi yang
wajah mereka be-
rubah menjadi merah.
Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 4 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Tiga Maha Besar 7
^