Pencarian

Sang Maha Sesat 1

Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya ke-
betulan belaka.
SANG MAHA SESAT
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Sang Maha Sesat
SATU Pemuda baju biru berambut hitam keme-
rah-merahan terus mengejar Rana Unggul yang
berlari kencang di depannya. Hingga secara tidak terduga-duga sosok hitam
berpakaian ala Ninja di depannya tiba-tiba saja menghilang dari pandangan
matanya. "Apa-apaan nih, Rana Unggul" Mau main
kucing-kucingan dengan aku?" Suro Blondo si konyol Pendekar Blo'on hentikan
langkahnya. Toleh sana toleh sini, pandang sana pandang situ
yang terlihatnya puing reruntuhan bangunan be-
kas sebuah kuil tua. "Rana Unggul bukan setan, bukan hantu. Pemuda berbadan
ramping seperti
wanita itu mana mungkin bisa hilang seperti si-
luman. Walah... malam sebentar lagi sudah tiba.
Aku harus periksa sisa kuil ini, siapa tahu Rana Unggul bersembunyi di situ.
Huh... hujan lagi...! "
gerutu Si Bocah Ajaib Pendekar Mandau Jantan.
Tergesa-gesa ia masuk ke dalam bangunan yang
atapnya hanya tinggal beberapa lembar saja. Lantai bangunan kotor berselimut
debu. Suro garuk-
garuk rambutnya. Lalu ia memasuki ruangan se-
belah. Hanya kamar yang terakhir ini saja yang
kelihatannya dapat dijadikan tempat berteduh,
sementara di luar hujan semakin menggila.
Di dalam ruangan ini ada anak tangga me-
nuju ke ruangan bawah tanah. Si konyol rupanya
penasaran. Ia menuruni tujuh undakan anak
tangga. Ternyata di lantai bawah itu terdapat sebuah anak sungai di bawah tanah.
"Weh, kebetulan sekali. Aku mau mandi,
badan ini rasanya sudah bau domba!" pikir si konyol. Tanpa merasa curiga Suro
langsung menco-
pot semua pakaiannya. Sambil cengar-cengir me-
nertawakan keadaannya sendiri Suro langsung
menceburkan diri ke dalam air yang jernih itu.
Ternyata air di situ dinginnya seperti es. Pemuda ini seperti anak kecil
berenang kian kemari. Di luar sepengetahuan si konyol. Kiranya ada sepasang mata
yang terus memperhatikan tingkahnya.
Wajah orang ini terkadang berubah memerah. Ke-
tika Suro naik kembali, maka pemilik sepasang
mata itu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Orang geblek ini benar-benar tidak punya
rasa malu!" gerutu si pengintai. Ia sendiri sebenarnya memang ingin mandi sejak
tadi, gara-gara si konyol muncul ia urungkan niatnya. Suro akhirnya selesai juga
berpakaian. Setelah selesai ba-rulah terlintas dalam otaknya. Di kanan kiri anak
tangga ada obor menyala sejak kedatangannya
tadi. "Kenapa goblok, ya" Kuil ini sudah ditinggal minggat oleh para pendeta.
Mustahil obor ini menyala sepanjang tahun" Lalu siapa yang lebih
dulu masuk kesini?" pikirnya. Wajah si konyol berubah memerah. "Pasti ada orang
yang telah mendahuluiku kesini. Sial betul...!" Suro raba bawah pusernya.
"Tongkat ini pasti sudah dilihat orang." Pemuda berambut hitam kemerah-
merahan mencari-cari, namun ia tidak melihat
siapa-siapa. Terlintas dalam pikirannya tentang Rana Unggul. Rasanya mustahil
Rana Unggul mengintipnya. Mana mungkin ia mengintip" Se-
bab Rana juga punya tongkat.
Suro seka keningnya, lalu golang-
golengkan kepala. Terlintas satu akal di benak-
nya. Ia tersenyum, lalu dengan cepat dia berlari menaiki undakan anak tangga
paling atas. Sampai di atas ia turun lagi seperti orang gila. Gerakannya pelan
dan Suro langsung menyelinap di
tempat yang gelap. Orang yang mengintainya itu
kemudian memperlihatkan diri.
"Pemuda geblek itu mana boleh tahu siapa
aku yang sebenarnya!" dengus sosok berpakaian seperti Ninja. "Badanku sudah
lengket karena pakaian sialan ini. Mumpung si konyol tidak meli-
hat, aku harus mandi juga!" Tanpa merasa curiga menanggalkan pakaiannya. Astaga!
Tubuh Rana Unggul ternyata putih mulus. Ada stagen mengi-
kat dadanya dengan kencang. Ternyata setelah
stagen dibuka. Dada Rana Unggul yang sangat
putih itu bergelombang. Dia punya bisul kembar
yang bagus bentuknya. Rana Unggul ternyata
punya rambut panjang sepinggang. Wajah dibalik
asesoris Ninja itu cantik bukan main.
"Di... dia gadis cantik seperti dugaanku!
Duh mengapa lututku gemetar" Jantungku nyut-
nyutan, ini pemandangan bagus yang belum per-
nah kulihat sebelumnya. Eeh... dia buka cela-
na...!" guman Suro. Pemuda konyol ini menutup
wajahnya dengan jari tangan. Karena jari-jarinya renggang, tentu saja ia dapat
melihat tubuh telanjang Rana Unggul yang indah bukan main. Rana
Unggul lalu masuk ke dalam air, Suro garuk-
garuk kepala. Kemudian ia menepuk keningnya.
"Rana Unggul punya dua mulut, dia tidak
punya tongkat. Aku melihatnya pasti dosa...! Aku harus pergi, malu kalau sampai
ketahuan. Nanti aku harus menyelidik siapa dia yang sebenarnya!"
batin Suro. Si Pemuda Ajaib Suro Blondo kemudian
menyelinap pergi tanpa sepengetahuan Rana Un-
ggul. Sampai diundakan tangga teratas ia lang-
sung membersihkan lantai untuk melewatkan
malam ini. Sebentar saja ia membaringkan diri di lan-
tai itu hanya dengan berlapiskan daun-daun yang telah mengering. Sementara itu
di luar sana hujan sudah mereda. Suara gemuruh hujan diganti-
kan dengan suara kodok yang saling bersahut-
sahutan. Suro memejamkan matanya. Dia pun ke-
mudian sudah tertidur. Suara tarikan nafasnya
teratur. Dari ruangan bawah muncul Rana Un-
ggul yang sudah berpakaian rapi seperti Ninja.
"Hem, dia sudah tidur rupanya." pikir Rana Unggul. Ia duduk tidak jauh dari
Suro. Dipan-danginya si lugu, wajahnya yang tampan, ram-
butnya yang hitam kemerah-merahan merupakan
daya tarik tersendiri. Hati Rana Unggul pun bergetar.
"Aneh memang. Aku belum pernah mera-
sakan perasaan yang seperti ini. Aku selalu ingat pada si tolol ini bila
berjauhan. Ilmunya tinggi, jurus-jurusnya kacau tapi hebat. Pemuda seperti
dia siapa sangka punya kepandaian. Tampangnya
saja bego" Mengapa justru sekarang aku ingin selalu dekat padanya?" batin Rana
Unggul. "Wuaaakh...!"
Suro tiba-tiba menggeliat. Mulutnya ter-
monyong-monyong, lalu dia diam lagi. Rana Un-
ggul tersenyum.
Suro sendiri sebenarnya tidak tidur. Tadi ia
sempat mengintip Rana dengan sudut matanya.
"Dia pakai baju Ninja lagi. Padahal aku sudah melihat dia punya. Aneh...
perempuan ingin
jadi laki-laki. Laki-laki ingin jadi perempuan, gelo betul..."
Rana Unggul kemudian merebahkan tu-
buhnya tidak jauh dari samping Suro. Ia meman-
dang ke langit-langit ruangan yang kusam. Tanpa diduga-duga Si Bocah Ajaib sudah
bergeser ke arahnya. Rana Unggul menggeser badannya agak
menjauh. Eeh... si konyol mendekat lagi.
Plak! Rana menampar pipi Suro. Pemuda itu ka-
get dan langsung buka matanya.
"Kau berani-beraninya menampar aku?" tegur Suro.
Plak! Suro membalas tamparan itu. Rana Unggul
melotot. "Kau mau tidur apa mau berdekatan
dengan orang lain?".
"Lho, memang kenapa" Kalau kau merasa
laki-laki mengapa curiga" Mustahil kalau kau
punya pedang aku punya pedang lalu kita berta-
rung. Lagi pula pedang itu khusus buat perem-
puan...!" kata si konyol.
"Hati-hati kau bicara. Aku tidak suka men-
dengar kata-kata seperti itu. Aku bisa membu-
nuhmu!" gertak Rana Unggul.
"Ha ha ha...! Di bunuh oleh laki-laki bersuara merdu seperti perempuan mengapa
aku ta- kut" Aku yakin kau wanita sejati, mengapa kau
harus merahasiakan diri" Kalau tempat-tempat
rahasia baru boleh disembunyikan. Sekarang le-
bih baik kita berbuka-bukaan... eeh, maaf mak-
sudku saling terbuka saja...!" kata si pemuda sambil garuk-garuk rambutnya.
"Rupanya kau sudah mengintip ku, ya?"
tebak Rana Unggul.
"Siapa mengintip siapa" Biasanya maling
yang teriak maling!"
"Kurang ajar! Jadi kau... menuduhku..."!"
"Menuduh itu dosa." sahut si pemuda
sambil cengengesan.
Kemudian suasana berubah sunyi. Namun
kesunyian tidak berlangsung lama. Rana Unggul
sudah menoleh dan memandang pada Suro agak
lama. "Kau ini sebenarnya siapa" Ilmu kepan-daianmu tinggi, tampangmu konyol
mendekati to- lol!" "Kau sudah tahu namaku...!" kata si pemuda. "Apakah kau punya gelar?" tanya
Rana. "Kalau itu yang kau tanyakan, mungkin
Pendekar Blo'on itulah gelarku...!" jawab Suro seenaknya.
Diam-diam Rana Unggul terkejut juga. Ia
pernah mendengar tentang seorang pendekar
muda berjuluk Pendekar Blo'on ketika masih be-
rada di Arung Jeram. Tidak disangka rupanya se-
lama beberapa hari ini ia bersama-sama dengan
pemuda ganteng ketolol-tololan yang tidak lain
adalah Pendekar Blo'on. (Untuk lebih jelasnya dalam Episode Anak Langit &
Pendekar Lugu). Namun gadis ini bersikap seperti biasa kembali.
"Pantesan! Tampang geblek sepertimu me-
mang langka di dunia. Kau bagusnya diawetkan
dan dijadikan pajangan di ruangan tamu." ejek Rana Unggul. "Eeh... kudengar kau
anak ajaib. Benarkah begitu?"
"Kau sudah berani menghina apakah ma-
sih layak bertanya?"
"Jangan marah dulu. Kalau mau tahu sia-
pa aku, tentu kau harus jawab pertanyaanku!"
Wajah di balik topeng tersenyum.
Suro nyengir, sebelum pada akhirnya ia
berkata, "Ki Begawan Sudra yang bicara bahwa aku anak ajaib. (Dalam Episode
Neraka Gunung Bromo). Bagaimana tentang keajaiban ku itu.
Mungkin karena aku punya sesuatu yang berlebih
di bawah puser!"
"Konyol, jangan kau bicara ngaco lagi. Nan-ti kutampar kau punya mulut...!"
dengus Rana Unggul kesal.
"Jangan kau tanya yang ajaib-ajaib. Bisa
jadi karena rambutku. Boleh jadi karena plek hitam di punggungku. Ah, sudahlah,
aku bosan bi- cara asal usul. Sekarang kau ceritakan padaku
benarkan dugaanku kau seorang gadis cantik
yang menyamar seperti Ninja laki-laki?"
Si Rana tersipu. "Hi hi hi...! Walau pun be-go kau pandai menebak...!" sahut
Rana Unggul. "Tebakanku karena sudah melihat bisul-
mu, tolol!" dengus Suro dalam hati.
"Aku memang seorang gadis, tapi wajahku
jelek." ujar Rana berbohong. "Itu sebabnya aku harus memakai topeng. Aku tidak
punya bapak tidak punya ibu. Aku melarikan diri dari Arung
Jeram karena aku tidak mau dijodohkan pada se-
seorang oleh guruku...!" Rana Unggul tiba-tiba sa-ja terisak-isak. Hingga
membuat suaranya ter-
sendat-sendat. "Apa yang membuatmu bersedih. Bukan-
kah dijodohkan itu enak, tidak usah cari-cari lain dan tahu beres saja!" ujar si
pemuda tanpa maksud menggurui.
"Aku bukan kambing. Aku punya hati, pe-
rasaan, jiwa, pikiran dan tentu saja dapat menen-tukan pilihan untuk hidupku
nanti!" tegas Rana Unggul.
"Wah itu pikiran yang tepat. Eeh... siapa
sih namamu yang sebenarnya?" tanya Suro sam-
bil nyengir namun juga prihatin mendengar uca-
pan si gadis. "Namaku Puspita Sari...!"
"Nama yang bagus, pasti orangnya secantik
wajahnya." puji Suro.
"Tidak! Aku jelek kok, bahkan orang yang
paling jelek di dunia ini!" sahut Puspita.
"Kau bohong. Hmm, sekarang aku baru in-
gat, bukankah kau yang mengobrak-abrik tempat
pelacuran itu. Kemudian kau pergi dan kembali
dengan berpakaian seperti Ninja!" tebak Suro.
"Memang betul. Semua usaha haram milik
hartawan Abdi Banda memang harus kumusnah-
kan. Kalau perlu bahkan orangnya sekalian ku-
bunuh!" geram Puspita alias Rana Unggul.


Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suro sampai terlonjak kaget, tanpa sadar ia
sekarang sudah duduk bersila. Tampangnya se-
makin bertambah bego dan mulutnya melongo.
"Kau seperti punya dendam selangit pada
hartawan itu?" tanya Suro.
"Memang, karena dia masih merupakan
adik guruku dan guruku mau menjodohkan tua
bangka itu padaku!"
"Weleh... ini cerita yang lucu. Bagaimana
sih asal mulanya?"
Mata Rana Unggul alias Puspita Sari mene-
rawang. Sepasang mata yang indah itu menjadi
basah. Kemudian ia bertutur....
"Lima belas tahun yang lalu, ayah ibuku
tewas di tangan prajurit kerajaan Ujung Dunia.
Persoalan yang sesungguhnya mengapa sampai
ibuku dan juga ayahku dibunuh aku tidak tahu.
Kemudian aku dipungut oleh Datuk Alam Salin-
dra. Ia mengajari ku berbagai macam ilmu olah
kanuragan. Ia membesarkan aku, namun selama
aku hidup bersamanya hatiku selalu tertekan...!"
"Lho kok begitu?"
"Masalahnya guruku punya kebiasaan
yang sangat aneh. Beliau manusia tidak bermalu
bahkan boleh dikata setengah binatang. Ia sering mempertontonkan auratnya di
depanku. Ketika
usiaku menginjak tujuh belas tahun, sering dia
mengajakku berbuat mesum bahkan nyaris mem-
perkosaku. Aku bersyukur Tuhan masih melin-
dungiku. Suatu sore datang Hartawan Abdi Ban-
da yang ternyata masih adik kandung guruku,
Datuk Alam Salindra. Ia melihatku kemudian me-
reka kasak-kusuk. Ternyata hartawan simbol ke-
sengsaraan itu ingin menjadikan aku sebagai is-
trinya. Selidik punya selidik, guruku telah menjual aku dengan satu kereta emas.
Satu gerobak emas permata itu sudah diserahkan. Lalu, guru-
ku memaksa aku agar mau menjadi istri adiknya.
Karena aku menolak, maka ia memasung ku. Su-
atu malam datang kakek tua berwajah dingin,
berpakaian serba merah dan berambut merah.
Beliau membebaskan aku. Kedatangannya seperti
Malaikat, ia pergi secepat angin!" ujar Puspita Sa-ri.
Ciri-ciri yang disebut oleh Puspita mem-
buat Suro tercengang. Orang tua berwajah dingin berambut kemerahan itu tidak
lain adalah kakek,
sekaligus guru Suro Blondo. Yaitu Malaikat Be-
rambut Api yang tinggal di Pulau Seribu Satu Malam di daerah pantai Selatan.
"Lalu kakek aneh itu berpesan apa pada-
mu?" tanya Suro.
"Dia hanya mengatakan bahwa di akhir
jaman ini. Tingkah laku manusia banyak yang
mengikuti langkah dan cara-cara setan. Manusia
cenderung mengikuti hawa nafsunya. Ada guru
sudah tidak dapat menjadi panutan, pejabat ting-gi kerajaan banyak yang korup
dan membusung- kan perut sendiri. Orang sengsara, orang melarat, orang kere hina papa nasibnya
seperti laler ijo.
Orang sekarang moral dan imannya yang semakin
menipis itu katanya mengantongi bahkan mema-
sukkan iman dan moral ke tong-tong sampah. Hi-
dup dalam kebobrokan moral, tapi aneh masih bi-
sa tertawa, mentertawakan diri orang lain dan diri sendiri." jelas Puspita.
"Oh, dia bicara begitu?"
"Ya, dan ia menyuruhku agar meninggal-
kan Arung Jeram."
Suro usap-usap keningnya yang berkerin-
gat. "Nasibmu sengsara amat. Mungkin gurumu mengganggap engkau seperti sapi.
Guru seperti itu pantasnya dikemplang sampai mampus!" geram Suro dengan mulut termonyong-
monyong "Tidak semudah itu. Guruku itu punya ke-
pandaian selangit. Kawan-kawannya dari golon-
gan sesat banyak. Ia juga punya hubungan baik
dengan raja Lalim Durjana di kerajaan Ujung Du-
nia." "Memang persoalanmu tidak mudah. Jika kita bunuh hartawan Abdi Banda
persoalan semakin meluas, Datuk Alam Salindra tidak tinggal diam. Lalu jika ia
minta bantuan kerajaan Ujung Dunia. Nasib kita seperti telur ayam di atas pir-
ing. Tapi kau tidak usah khawatir. Pendekar Lugu punya tugas seperti kita. Anak
Langit pasti tidak tinggal diam. Mungkin juga si tua Konyol tidak
tinggal diam!" guman Suro.
"Siapa si tua konyol?" tanya Puspita.
"Oh itu guruku, Penghulu Siluman Kera
Putih, Barata Surya...!" jawab Si Bocah Ajaib sambil cengar-cengir.
"Sudahlah, sekarang semakin larut. Se-
baiknya kita istirahat dulu." usul Puspita Sari.
Gadis yang tetap berpakaian Ninja ini lalu
membaringkan tubuhnya di samping Pendekar
Blo'on. "Tidur jangan dekat-dekat!"
"Memang kenapa?" Wajah di balik topeng tersipu-sipu.
"Kau kan perempuan. Nanti kalau keta-
huan calon suamimu aku bisa babak belur!"
"Huh, kau jangan kurang ajar. Aku benci
pada guruku sendiri dan manusia macam gentong
bernama Abdi Banda itu, kau dengar!" geram Puspita.
"Tentu saja dengar, aku belum budek kok!"
sahut si pemuda cengengesan.
"Bagaimana kalau ketahuan pacarmu yang
lain?" pancing si usil.
"Heh, kok usil amat sih" Aku belum punya
pacar, tahu?" sahut Puspita ketus suaranya.
Suro nyengir lagi. "Sama aku juga belum
punya kok."
"Manusia sepertimu tidak punya pacar. Ka-
lau kau tidak berbohong, pasti sedang ngibul."
"Memang ngibul dengan bohong bersauda-
ra sejak dulu-dulu!" Seenaknya Pendekar Blo'on menimpali.
Grek! Tiba-tiba saja bangunan tua yang mereka
jadikan sebagai tempat melewatkan malam berge-
tar dengan keras. Suro tersentak kaget, sama
halnya dengan Puspita Sari.
"Aku merasa seperti ada gempa terjadi di
sekitar bangunan ini." kata Puspita pelan.
Hidung Si Bocah Ajaib kembang kempis. Ia
mengendus-endus, lalu tercium bau sesuatu yang
sangat khas. Bunga Mayat! Itulah yang sedang di-rasakan oleh Si Bocah Ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro ini. Ini salah satu kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh
orang-orang biasa.
"Apa yang kau baui?" tanya Puspita alias Rana Unggul terheran-heran.
"Aku mencium bau bunga Mayat. Bau Se-
tan yang paling jahat di kolong langit ini!" kata si pemuda serius.
"Yang betul kau bicara?"
"Tidak percaya terserah."
Blaang! Tiba-tiba terdengar suara aneh, suara se-
perti jeritan dan lolongan tangis dari neraka. Kemudian terdengar pula suara
tawa dan nyanyian
panjang. Tembang lagu kematian. Suara-suara
aneh menyeramkan itu akhirnya menghilang. Su-
ro termangu, wajahnya berubah pucat. Sedang-
kan sikap Puspita biasa-biasa saja.
DUA Kakek tua berambut serba putih itu duduk
ngejelepok di atas batu sebesar gajah yang lagi tidur. Tatapan matanya memandang
lurus ke de- pan. Ia sama sekali tidak pernah menunjukkan
kegembiraan, kerut merut di wajahnya menyim-
pan penderitaan yang teramat dalam.
Lalu kemuraman di wajahnya semakin ber-
tambah nyata. Bibirnya yang ditutupi kumis ber-
warna putih menggerimit.
"Hari ini tanggal sembilan hari sembilan.
Akan terjadi peristiwa besar di Magetan. Ada rahasia besar yang harus diungkap,
rahasia itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun. Hanya aku
yang dapat wangsit, urusanku bukan sekedar
harta. Ada yang lebih penting dari semua itu agar jalan hidup manusia tidak
salah kaprah. Dia
hanya berupa surat, surat wasiat yang tentu saja sangat besar pengaruhnya bagi
perkembangan kehidupan manusia. Dua persoalan besar harus
bisa diselesaikan dengan satu cara. Tapi satu ra-
hasia besar hanya aku saja yang boleh tahu. Oh
oh.... Malaikat Penderitaan. Begini rumitkah persoalan hidup manusia?" kata
kakek berambut serba putih ini yang lebih dikenal dengan julukan Malaikat
Penderitaan. Untuk lebih jelasnya (dalam Episode Anak Langit & Pendekar Lugu).
Sekali lagi si kakek menadahkan wajahnya
ke langit. Telinganya yang tajam tiba-tiba saja mendengar gemuruh suara langkah
kaki kedua di kejauhan. Semakin lama derap suara kuda sema-
kin bertambah dekat. Sampai akhirnya terlihatlah serombongan orang-orang berkuda
mendekati Malaikat Penderitaan. Kuda-kuda itu kemudian
berhenti, para penunggangnya rata-rata berpa-
kaian serba mewah.
"Bertanya dengan curiga, perkenalkan na-
ma dan mengapa berada di wilayah Magetan ini?"
tegur salah seorang diantaranya dengan angkuh.
Malaikat Penderitaan tersenyum dalam rasa kepe-
rihatinannya. Lalu tanpa menoleh ia menjawab.
"Bertanya pada batu apa dia punya bisa"
Batu lebih punya harga daripada beberapa ekor
anjing penjilat. Kulihat cara hidup manusia, hatiku selalu menderita. Dari
tetes-tetes air hina manusia berasal. Mengapa dia menjadi sombong,
mengapa kerjanya hanya menebar angkara murka
di bumi dan membuat orang lain menderita. Jika
manusia menderita maka aku lebih menderita la-
gi! Akulah Malaikat Penderitaan, Malaikat yang
bisa ditanya betapa pedihnya azab menjelang sa-
kratul maut! Adakah manusia pernah berpikir
tentang hari kematiannya, pernahkah manusia
ingat betapa siksa kubur itu teramat dasyatnya"
Manusia cuma bisa berkeluh kesah bila dirinya
sengsara. Lalu ia akan menjadi lupa segala bila hidupnya bergelimang kemewahan.
Tahukah manusia bahwa semua itu hanya cobaan?"
"Manusia busuk. Kami tidak membutuh-
kan kotbahmu!" bentak yang jadi pimpinan. Dia tidak lain adalah Kala Menak.
Seperti sudah sama kita ketahui tangan kanan Abdi Banda ini pernah dibuat tidak
berdaya oleh Pendekar Lugu alias
Wahyu Sakaning Gusti. Ia juga berjanji untuk
bertaubat. Untuk itu ia masih diberi kesempatan hidup lebih lama lagi.
"Mungkin kata-kataku tidak berguna. Uca-
panku lebih busuk dari bangkai. Namun tahukah
kalian bahwa dunia dan seisinya ini lebih busuk dari segala kebusukan! Pulanglah
nak ke pang-kuan ibumu! Terlambat sedikit keburu menjadi
bangkai!" tegas Malaikat Penderitaan.
"Ha ha ha...! Bicaramu kelewat lancang se-
kali. Kami adalah pasukan pembersihan. Julu-
kanmu Malaikat Penderitaan, sungguh pas sekali!
Sebentar lagi kau benar-benar akan kami buat
menderita!" teriak Kala Menak.
Laki-laki sadis dan merupakan pembunuh
berdarah dingin ini langsung memberi isyarat pa-da anak buahnya yang berjumlah
lima belas orang lebih. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kelima belas anggota Kala Menak ini
langsung me- nyerang Malaikat Penderitaan. Kala Menak ru-
panya tidak tahu, siapa kakek tua ini.
Sebaliknya si kakek masih tampak tenang-
tenang saja. Ia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Lima belas buah
senjata yang terdiri dari berbagai jenis langsung menghantam sekujur tubuh
Malaikat Penderitaan. Tapi sungguh aneh,
tidak satu pun dari senjata-senjata itu yang menyentuh tubuh si kakek.
"Gila... setan atau manusiakah orang yang
satu ini?" pikir Kala Menak terheran-heran.
Sementara itu semua anak buah Kala Me-
nak terus berusaha membacok, menusuk atau
mengibaskan senjata di tangan mereka. Celaka!
Tidak satu pun dari senjata-senjata itu yang
mampu menembus pertahanan lawannya. Padah-
al Malaikat Penderitaan sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Seakan tubuh si kakek terlindung sebuah kekuatan berupa tabir gaib
yang sangat kuat.
"Aku menderita melihat usaha kalian tidak
menghasilkan apa-apa. Begitulah kehidupan di
dunia ini. Angan-angan tidak selalu sesuai den-
gan kenyataan...!" kata Malaikat Penderitaan.
Kakek berambut putih ini lalu menggerak-
kan tangannya sedikit saja. Tidak disangka-
sangka, lima belas laki-laki itu berpelantingan ke segala penjuru arah. Mereka
mencoba bangkit,
namun seakan ada kekuatan yang tidak terlihat
telah menindih dada mereka.
Mata orang-orang ini pun melotot seperti
melihat setan. Nafasnya megap-megap. Mata me-
reka kemudian membeliak, seakan ada sesuatu
yang sangat menyiksa diri mereka.
"Orang banyak dosa mati ada yang melotot,
ada yang menangis ada yang berteriak-teriak ke-
takutan. Sesungguhnya pada waktu menjelang
nyawa terpisah dari raga, sebagian ada diperli-
hatkan amal kebaikan dan amal yang merusak.
Bila ajal sudah ditenggorokan, maka tertutuplah pintu tobat! Nah apakah kalian
memilih kembali
ke jalan yang baik atau pilih mampus?"
"Akh... ekkh... aduh emaaak, duh bapak...
kami memilih kembali ke jalan yang baik....!" sahut anak buah Kala Menak
serentak. Pernyataan mereka ini tentu membuat Kala


Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menak menjadi murka. Ia hunus senjatanya. Se-
cepat kilat melompat dari punggung kuda, lalu
dengan sadisnya ia menebaskan pedang di tangan
ke arah anak buahnya sendiri. Semua yang terja-
di berlangsung sangat singkat dan di luar dugaan.
Hanya sebentar saja tujuh orang anak buah Kala
Menak sudah terkapar dengan tubuh bersimbah
darah. Jerit kematian terdengar saling susul menyusul. Malaikat Penderitaan
gerakkan jari telun-juknya ke belakang. Kala Menak tersentak dan
tahu-tahu ia sudah tercampak. Laki-laki sadis ini secepatnya bangkit berdiri.
Mata melotot memandang Malaikat Penderitaan.
"Kau manusia bangsat! Sekarang tiba gili-
ranmu sengsara di tanganku!" geram Kala Menak.
"Manusia tidak punya hak mencabut nya-
wa orang lain. Kau membunuh sambil tertawa.
Kelak kau masuk neraka sambil menangis!" Da-
patkah kau menjawab pengadilan hari Kiamat
nanti tentang orang yang kau bunuh, sedangkan
mereka sudah mengucapkan kalimat taubat?"
"Samber geledek!" maki Kala Menak semakin pitam.
Pedang besar di tangan manusia sadis itu
berkelebat. Sedemikian besarnya pedang dan te-
naga dalam yang dimiliki oleh Kala Menak. Se-
hingga ketika senjata melayang terasa adanya
sambaran angin yang sangat kuat. Kenyataan ini
tidak membuat Malaikat Penderitaan tergontai-
gontai apalagi sampai jatuh tunggang langgang.
Ia malah tersenyum, senyum dalam pende-
ritaan yang tidak terlukiskan dengan kata-kata.
Malaikat Penderitaan menggelengkan kepalanya.
Hanya dengan gerakan kecil saja lagi-lagi Kala
Menak terdorong mundur.
Tidak dapat dibayangkan betapa tingginya
kesaktian yang dimiliki oleh Malaikat Penderitaan ini. Kala Menak yang juga
memiliki kepandaian
tidak ringan dibuat mati kutu.
"Langkah hidupmu terlanjur berliku-liku.
Hatimu berserabut seperti biji kedondong. Hingga menjelang akhir hayatmu kau
tidak mengenal ka-ta taubat! Ketahuilah, kau tidak mungkin dapat
mengalahkan aku! Aku bukan manusia seperti di-
rimu!" tegas Malaikat Penderitaan.
"Ha ha ha...! Manusia pembual bermulut
besar! Heaa...!" teriak Kala Menak kalap. Tiba-tiba
saja lepaskan pukulan dahsyat ke arah Malaikat Penderitaan. Seleret gelombang
sinar biru, hitam, kuning menderu dahsyat melabrak si kakek. Namun sebelum
pukulan dahsyat itu menghantam
tubuhnya maka Malaikat Penderitaan tepukkan
tangannya. Plok! Plok! Tepuk tangan itu cuma pelan saja, lalu dari
sela-sela jemari tangan kakek berambut putih ini meluncur deras sinar putih dan
menghantam habis pukulan milik Kala Menak.
Glaar! Terlihat bunga api berpijar di udara. Seba-
gian pukulan Malaikat Penderitaan terus melun-
cur untuk kemudian melabrak tubuh Kala Me-
nak. Laki-laki sadis ini masih sempat berusaha
melindungi diri. Namun pedang besar di tangan-
nya meleleh terhantam sinar putih berhawa pa-
nas bukan main.
Buum! Kala Menak menjerit keras. Pakaiannya
hangus, kulit tubuhnya melepuh. Ia menggelepar, dengan terhuyung-huyung ia
mencoba bangkit
berdiri. Tiba-tiba saja ia menerkam ke depan, rupanya ia nekad untuk mati
bersama Malaikat
Penderitaan. Dalam keadaan mengapung di udara itulah
dari setiap ujung jemari tangannya meluncur si-
nar dingin mematikan. Malaikat Penderitaan to-
koh yang tidak jelas asal usulnya ini langsung dorongkan tangannya ke arah
lawan. Angin pun menderu dahsyat, lesatan sinar
dari jemari tangan Kala Menak membalik lalu
menghantam diri pemiliknya sendiri. Tidak dapat dibayangkan betapa celakanya
laki-laki sadis itu.
Ia langsung terpelanting dengan jeritan tersendat-sendat. Kala Menak tewas
dengan tubuh membe-
ku termakan ulahnya sendiri.
"Manusia kebanyakan mati karena ulah
sendiri. Kebanyakan manusia memilih jalan pin-
tas yang mudah. Padahal jalan yang sulit lagi
mendaki itu merupakan langkah yang tepat bagi
orang yang berfikir!" kata Malaikat Penderitaan.
Laki-laki itu memandangi sisa-sisa anak
buah Kala Menak yang masih hidup.
"Kembalilah kalian ke jalan yang betul!"
"Ba... baik, tuan...!" sahut para laki-laki berpakaian mewah hampir serentak.
Mereka tanpa menunggu lebih lama lagi segera meninggal-
kan tempat itu.
"Hhh, perjalanan ku masih jauh lagi. Mage-
tan masih belum terlihat. Hal ini hanya membuat aku menderita!" gerutu Malaikat
Penderitaan. *** Sepuluh kereta kuda telah dipersiapkan.
Masing-masing kereta berisi penuh emas permata
harta kekayaan Abdi Banda. Tidak semua harta
benda hartawan itu terangkut. Masih ada satu
gudang emas di tempat rahasia bawah tanah yang
tidak dapat dibawa serta. Abdi Banda memang
memutuskan untuk pindah ke tempat lain yang
aman. Segudang emas untuk sementara di jaga
oleh beberapa orang pengawal berkepandaian
tinggi. Pagi itu hartawan berbadan gemuk berpe-
rut besar dan memakai baju tidak pernah dikanc-
ing duduk di atas kursi kesayangannya.
Hadir di dalam ruangan itu adalah ahli nu-
jum Zulgafarah dan juga Nukman Jaya.
"Kita semua sudah siap berangkat mening-
galkan Magetan ini. Hanya satu gedung emas
yang dapat kita angkut, sedangkan sisanya yang
satu gudang untuk sementara kita tinggalkan.
Lain waktu kita bisa mengambilnya ke sini. Untuk menjaga hal-hal yang tidak
diingini, bagaimana
jika kita minta perlindungan tentara kerajaan
Ujung Dunia?" tanya hartawan Abdi Banda serius. "Anak buah kita sudah banyak,
tuan!" Ahli Nuzum Zuhgafarah menimpali. "Saya tahu raja Lalim Durjana adalah
sahabat baik tuan. Namun
untuk sementara saya kira kita tidak membutuh-
kan bantuan tentara kerajaan." Jelas laki-laki berpakaian mencolok itu penuh
keyakinan. "Kuat dengkulmu" Kalian tahu aku takut
mati, jika aku mati harta benda ini bisa tidak ber-tuan. Aku punya pasukan
Ninja, mereka semua-
nya tewas di rumah madat, lalu lima mata picak
pasukan terkuat dan terpercaya. Mereka semua
menjadi bangkai di rumah pelacuran, ladang
emasku! Bahkan ladang emas itu sekarang terba-
kar, kalian hitunglah berapa banyak kerugianku!"
dengus Abdi Banda sengit.
"Itu salah satu suratan nasib, tuan!" Ahli Nujum Nukman Jaya menimpali.
"Sekali lagi kau bicara suratan nasib, ku-
penggal kau punya kepala!" teriak Abdi Banda dengan mata melotot.
"Lalu apa yang harus kami lakukan sebe-
lum perjalanan panjang ini?" tanya Nukman Jaya.
"Kalian kan ahli Nujum, sekarang mengapa
bego semua. Tentu saja mengumpulkan tokoh-
tokoh berkepandaian tinggi untuk mengawal har-
ta bendaku selama berada dalam perjalanan!"
Ahli Nujum Zulgafarah dan Nukman Jaya
saling berpandangan. Mereka sadar betul bahwa
majikan mereka sedang tidak senang hati.
TIGA "Saya kira hal itu dapat kita lakukan nanti dalam perjalanan. Yang terpenting
kita harus segera berangkat," ujar Zulgafarah.
"Aku tidak mau sepotong hartaku tercecer.
Aku juga tidak ingin melihat manusia yang berjuluk Pendekar Blo'on dan Pendekar
Lugu itu. Siapa saja yang dapat membawa kepalanya ke hadapanku. Maka aku akan
memberi hadiah besar."
tegas hartawan Abdi Banda. Laki-laki berperut
macam periuk tengkurap ini kemudian tampak
begitu resah. "Ada satu hal yang membuat aku
pusing. Yaitu sebuah kitab yang menjadi rahasia dunia. Tidak... tidak mungkin
aku membawanya.
Kitab ini telah kusimpan di sebuah tempat yang
aman." kata hartawan itu seperti orang yang mengigau.
"Kitab apa, tuan?"
"Diam, kalian tidak pantas mengeta-
huinya!" bentak si gendut bermuka bundar.
"Ha ha ha...! Mau pindah kau tidak pernah
kasih tahu diriku. Apakah kau sudah melupakan
saudara sendiri adikku?" kata sebuah suara disertai tawa bergelak.
Semua orang yang berada di dalam ruan-
gan itu menoleh ke arah datangnya suara. Tidak
lama kemudian muncul seorang laki-laki berwa-
jah buruk. Keningnya menonjol seperti bisul be-
sar, kepala setengah botak dan tubuhnya kurus
kering. Sikap dan tindak tanduknya benar-benar
tidak mengenal peradatan sekali.
"Datuk Alam Salindra! Kebetulan sekali
kau datang kemari. Aku membutuhkan perlin-
dunganmu!" kata hartawan Abdi Banda tampak gembira sekali.
"Hu hu hu...! Aku senang jika kau telah
melupakan perjodohan dengan muridku yang ti-
dak berbakti itu. Sebenarnya aku malu datang
kemari. Tapi perjalananku ini juga semata-mata
ingin mencari murid murtad itu!" kata si ceking basa-basi.
"Waduh, kakang. Hal ini tidak usah terlalu kau risaukan. Aku memang tidak dapat
melupa- kan muridmu yang cantik itu. Tapi untuk seka-
rang ini ada yang lebih penting dari hanya sekedar jodoh. Kami mau pindah karena
disini sudah tidak aman lagi!" jelas Abdi Banda.
Kening si ceking berkerut dalam. Ia sadar
betul bahwa adiknya itu adalah orang yang paling takut mati. Tapi gerangan apa
yang membuatnya
begitu ketakutan"
"Mengapa harus pindah, bukankah kau te-
lah membangun sorga di sini?" tanya Sang Datuk akhirnya.
"Kakang tidak mengerti, sekarang ini aku
selalu dikejar-kejar bayangan menakutkan." jawab Abdi Banda. Kemudian secara
singkat men- ceritakan duduk persoalan yang sebenarnya.
Selesai mendengar penjelasan adiknya,
maka Datuk alam Salindra pun tergelak-gelak.
"Mengapa kakang tertawa, apakah ada
yang lucu?"
Datuk Alam Salindra hentikan tawanya. Ia
seka matanya yang sempat berair.
"Mimpi tidak perlu dipercaya. Pendekar Lu-
gu dan Pendekar Blo'on yang kau maksudkan
tentu bukan sesuatu yang harus ditakuti, kalau
benar mereka ada. Lagipula kau punya orang-
orang yang cukup kuat. Tenaga mereka pasti bisa kau pergunakan untuk
menghancurkan perusuh-perusuh itu...!"
"Sebagian orang-orangku sudah tewas ka-
kang. Bahkan rumah pelacuran tempat perjudian
dan juga rumah madat sudah mereka bakar. Aku
memutuskan untuk dapat mengungsi kakang,
demi keselamatan harta benda, juga istriku yang dua puluh orang itu." kata Abdi
Banda. "Istrimu banyak amat. Mengapa kau tidak
pernah menghadiahkannya padaku barang satu
dua orang! Ha ha ha...!"
"Itu gampang diatur. Nanti kakang dalam
perjalanan tinggal pilih yang kakang suka. Yang terpenting kakang harus
melindungiku dalam
perjalanan menuju Anyer!"
"Walah, perjalananmu jauh sekali. Satu
pekan kita baru bisa sampai di sana. Padahal ini tidak perlu kau lakukan. Jika
kau cuma butuh perlindungan, maka aku dapat melindungimu, ji-
ka masih kurang juga kau bisa meminta bantuan
raja Lalim Durjana!" saran Datuk Alam Salindra.
"Tidak!" tegas Abdi Banda. "Untuk sementara ini aku hanya membutuhkan bantuan
orang- orang yang dekat denganku! Tapi...!" Abdi Banda tampak ragu-ragu.
"Tapi kenapa" Aku melihat sesuatu yang
merisaukan hatimu?" tanya Datuk Alam Salindra.
"Aku tidak mungkin membawanya. Walau
pun ia menjadi barang kesayanganku...!"
"Berterus teranglah."
"Sebuah kitab tipis. Namun mempunyai se-
ribu arti bagi manusia!"
"Kitab apa" Sangat pentingkah bagimu?"
"Maha penting sekali. Aku tidak dapat
mengatakannya padamu, kakang. Biarlah dia te-
tap tersimpan di tempat yang aman!"
"Padaku kau masih berahasia. Tidak men-
gapa, sekarang apa yang ingin kau lakukan?"
"Berangkat meninggalkan Magetan ini se-
cepatnya!" tegas hartawan Abdi Banda.
"Mari aku akan mengantarmu kemana pun
kau akan pergi!" kata Datuk Alam Salindra.
Tidak lama kemudian mereka telah berada
di atas kereta kuda. Di dalam kereta kuda yang
paling depan penuh dengan isteri-istri hartawan Abdi Banda. Yang di tengah-
tengah iringan kereta kuda itu adalah ahli Nujum Nukman Jaya dan
Zulgafarah. Lalu hartawan Abdi Banda dan juga
Datuk Alam Salindra.


Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan yang di belakang mereka ada-
lah kereta berisi emas dan permata. Yang terakhir sekali para pengawal
bersenjata lengkap. Iring-iringan itu terus bergerak meninggalkan kota Magetan.
*** Ujud yang sesungguhnya berbentuk seperti
kabut, terkadang berpedar seperti api berwarna
merah suram. Ia dapat merubah ujudnya menjadi
manusia, gadis cantik atau bahkan menjadi bina-
tang atau pohon.
Ciri-ciri khasnya di mana pun ia hadir sela-
lu menebarkan bau bunga Mayat. Bau bunga dan
simbol yang paling menyeramkan dalam kehidu-
pan manusia. Malam itu sejak hartawan Abdi Banda me-
ninggalkan Magetan. Suasana kota memang agak
sunyi. Tidak terlihat para begundal hartawan itu berkeliaran. Mereka tahu pasti
sebagian anak buah hartawan itu sudah mengikuti tuannya. Se-
bagian lagi menghilang entah kemana" Ini yang
membuat heran penduduk setempat.
Di sebuah warung yang menjual minuman
keras, tampak beberapa orang laki-laki sedang
minum. Diantara mereka ada yang sedang mem-
bicarakan masalah hartawan itu. Sementara itu
malam semakin bertambah larut.
"Aku merasa bersyukur hartawan itu
minggat dari sini!" kata salah seorang diantara mereka.
"Kenapa rupanya?" Yang bertubuh pendek menimpali. Matanya sudah merah pertanda
dia sudah mulai mabuk.
"Dulu keluarga kami punya utang padanya.
Utang tidak seberapa bunganya beranak pinak.
Terlambat sedikit membayar, anak buah harta-
wan itu main pukul!"
"Itu belum seberapa. Terkadang ada orang
punya hutang, karena tidak bisa membayar maka
anak gadisnya yang dijadikan korban!" kata kawannya menimpali.
"Mudah-mudahan saja hartawan itu mam-
pus tertimbun hartanya sendiri!" ujar laki-laki pertama.
"Hust, hati-hati kau bicara. Jika orang-
orangnya hartawan itu muncul kita semua bisa
celaka!" kata kawannya.
Selagi mereka terlibat pembicaraan seperti
itu, tiba-tiba saja terdengar suara langkah-
langkah kaki yang begitu berat hingga menggun-
cangkan warung dan seisinya.
"Aku mencium bau sesuatu!" kata seorang pemuda yang duduk disudut warung. Pemuda
ini tampaknya tidak minum arak seperti kawan-
kawannya. "Bau apa" Bidadari" Atau bau gadis telan-
jang?" cibir kawannya yang sudah mabuk dengan sinis. Pemuda itu bersikap lebih
serius. "Kalian tidak mendengar suara-suara aneh itu?"
"Ha ha ha...! Ngaco... kami yang mabuk
kok malah kau yang bicara kacau. Mana ada sua-
ra langkah kaki. Yang ada hanya suara tawa gadis tetangga yang sedang pacaran
dengan kawan-kawan kita!"
Maka suasana warung itu berubah menjadi
hiruk pikuk para pemabuk yang mentertawakan
kawannya sendiri.
"Bau bunga mayat!" desis pemuda berbaju putih. Ia menjadi tidak enak hati. Lalu
ia teringat pada kawan-kawannya yang sedang memadu kasih di tempat-tempat yang
gelap. Ia beranjak pergi meninggalkan warung tersebut. Beberapa orang
kawannya mencegah dan ada pula yang menge-
jek, namun pemuda tidak menghiraukannya.
Sampai di sebuah tempat yang gelap, pe-
muda itu hentikan langkahnya. Ia tahu persis kebiasaan gadis dan perjaka
sekarang. Memadu ka-
sih di tempat yang gelap hanya untuk mencari
kesempatan tangan berbuat usil dan kelayapan
kemana-mana. Tidak heran jika kemudian ba-
nyak gadis yang menjadi korban dan masuk an-
gin. Banyak anak-anak yang akhirnya tidak tahu
kemana ia harus memanggil bapak"
"Sirun! Masihkah kau disitu?" suara si pemuda memecah keheningan malam. Tidak
ter- dengar jawaban apa-apa, sementara bau bunga
mayat semakin jelas terasa.
"Sindar, Saali, dimanakah kalian?"
Sepi menghentak. Pemuda baju putih me-
rasakan ada bau kematian di situ. Lalu ia menca-ri-cari, tidak lama kemudian ia
menemukan dua sosok tubuh tergeletak tumpang tindih di bawah
pohon. Pabila pemuda baju putih bernama Kus-
wara ini menyalakan pelita kecil. Maka terlihatlah Mayat Sirun yang sedang
menyatu dengan kekasihnya. Mayat-mayat itu dalam keadaan telan-
jang, tubuh mereka pucat, kering seakan darah-
nya tersedot habis. Tetapi di tubuh mereka tidak ada luka sedikit pun.
Kuswara tercekat, ia bergerak mundur. Ta-
pi langkahnya terhenti ketika ia merasakan ka-
kinya menginjak sesuatu. Ia lebih kaget lagi, ternyata yang terinjak olehnya
kaki Sindar. Sindar dan kekasihnya tewas dengan tangan kiri masih
menempel di celah-celah dada kekasihnya. Meng-
gigil sekujur tubuh Kuswara. Ia kembali bergegas menuju warung untuk
memberitahukan hal ini
pada kawan-kawannya. Baru beberapa langkah ia
menemukan mayat Saali dengan pacarnya. Saat
mereka tewas rupanya sedang berciuman.
Sama seperti yang lainnya. Maka mayat-
mayat ini juga tidak mengalami luka sedikit pun.
Kuswara semakin kecut, lalu ia berlari-lari dan masuk ke dalam warung.
Baru sampai di depan pintu matanya su-
dah melotot seperti melihat perempuan jelek te-
lanjang. "Hah... apa yang terjadi... apa..."!" jerit Kuswara panik.
Menggigil tubuh pemuda itu, bibirnya ber-
getar. Kawan-kawannya yang sedang mabuk di
warung semuanya tewas dengan tubuh kering se-
perti kehabisan darah. Anehnya lagi, Kuswara tidak mendengar suara jeritan
mereka. Kuswara berlari-lari dalam kegelapan ma-
lam, begitu panik dan bingungnya dia sampai-
sampai dia tidak tahu kemana harus pergi dan
melaporkan kejadian itu.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi ti-
dak seorang pun tahu. Penduduk kota Magetan
semuanya sedang dibuai mimpi. Sampai keesokan
paginya penduduk setempat menemukan mayat-
mayat bergelimpangan yang tewas secara aneh
dan kehilangan darah. Tidak heran jika pagi itu kota yang baru saja ditinggalkan
oleh hartawan kikir menjadi gempar. Orang pun saling bertanya, siapa yang telah melakukan
pembunuhan biadab
seperti itu. Kita tinggalkan dulu penduduk kota yang
sedang tertimpa musibah. Tidak jauh dari kota
Magetan. Tampak seorang pemuda dan seorang
gadis berpakaian Ninja sedang berlari-lari memasuki gerbang kota.
Pemuda baju biru yang berada di belakang
gadis berpakaian serba hitam tidak henti-
hentinya menggerutu.
"Kau rupanya lupa, banyak jejak kaki kuda
di jalan ini. Kurasa kita sudah terlambat dan hartawan itu sudah pergi pula."
"Sontoloyo, mana kau tahu hartawan itu
pergi atau tidak. Siapa tahu ini hanya siasatnya saja. Semakin dekat aku dengan
tempat tinggal-nya, semakin besar semangatku untuk membu-
nuhnya!" "Puspita...! Kau begini bersemangat, semu-
la aku menyangka kau rindu padanya. Tidak ta-
hunya kau masih terus ngotot mau membunuh-
nya. Bagaimana kalau misalnya gurumu ada dis-
ana?" "Huh, kalau pun guruku ada disana, maka aku juga akan membunuhnya
sekalian!" sahut Puspita Sari.
"Aku setuju. Bagusnya guru seperti itu
memang dibunuh saja. Kalau tidak kau sebagai
muridnya kelak tentu akan rugi sendiri." Kata Su-ro menimpali dengan seenaknya.
Mereka terus terlibat pembicaraan, sampai
memasuki kota kedua muda mudi ini hentikan
langkahnya dan memandang heran pada keru-
munan orang yang berada tidak jauh di depan
mereka. "Mengapa mereka tutup hidung, mengapa
mereka menangis, Puspita?" tanya si konyol dengan mulut melongo.
"Manalah aku tahu!" sahut Puspita.
Dengan tergesa-gesa gadis ini menghampiri
kerumunan orang-orang itu. Tiba-tiba ia melang-
kah mundur, wajah di balik kain itu memerah.
Ternyata orang-orang itu sedang memisahkan
dua mayat antara pemuda dan pemudi yang te-
was dalam keadaan menyatu auratnya.
Suro sendiri sempat melihat semua apa
yang terjadi. Mereka segera berlalu meninggalkan pemandangan memalukan itu.
"Apa yang terjadi disini?"
"Itulah yang aku tidak tahu. Mereka mam-
pus dalam keadaan gandeng begitu. Tubuh mere-
ka kering tidak berdarah. Apa ya enak, tewas dalam keadaan tongkat digigit
mulut!" "Jangan bicara macam-macam, konyol!!
Bersihkan hati dan pikiranmu dari sesuatu yang
berbau maksiat!" ketus suara Rana Unggul alias Puspita Sari.
"Aku cuma bicara satu macam saja. Lagi
pula ini sebuah kenyataan." sahut Suro sambil garuk-garuk kepala.
"Bukan kematian itu yang kita persoalkan.
Apa yang menyebabkan mereka tewas begitu ru-
pa?" "Kurasa telah terjadi sesuatu yang menge-rikan disini!"
"Sebaiknya kita cari keterangan Suro!" usul
Puspita. Si Bocah Ajaib mengangguk setuju. Mereka
kemudian menelusuri kota kecil itu. Tidak lama
mereka melihat seorang pemuda berpakaian putih
berlari-lari seperti orang panik.
"Aku mendengar suara langkah-
langkahnya. Lalu bumi seperti di guncang. Aku
katakan ini pada mereka, tapi tidak satu pun
yang percaya. Hu hu hu...! Aku mencium bau
bunga mayat, kukatakan ini pada mereka, juga
mereka tidak percaya. Lalu ku dapati tubuh me-
reka telah kering menjadi mayat... hu hu hu...!"
Pemuda baju putih itu tampaknya memang
sangat histeris sekali. Suro dan Puspita datang menghampiri.
"Saudara apa yang kau lihat dan apa pula
yang membuatmu begini?" tanya Pendekar Blo'on.
Tadi ia sempat terkejut juga ketika pemuda baju putih yang tidak lain adalah
Kuswara itu menyebut-nyebut 'bunga Mayat'.
EMPAT Kuswara hentikan tangisnya. Matanya me-
nerawang kosong, jelas sudah kalau diri pemuda
itu sudah terganggu ingatannya.
"Kalian siapa" Apakah juga mendengar ada
langkah-langkah kaki yang suaranya seperti gem-
pa?" Suro dan Puspita serentak menggeleng.
"Kami tidak mendengar suara apa-apa, itu sebabnya kami bertanya kepadamu!" jawab
Puspita. "Ka... kalian orang asing di Magetan ini.
Sebaiknya menjauhlah dariku. Aku tidak bisa
menjelaskannya pada kalian, karena aku belum
sempat melihat pembunuh itu. Aku hanya men-
cium bau bunga mayat...! Hu hu hu...!"
Kuswara kembali terisak-isak, ia bahkan
menutupi wajahnya. Puspita memberi isyarat pa-
da Suro untuk segera meninggalkan pemuda itu.
Mereka kembali meneruskan perjalanannya me-
nuju tempat tinggal hartawan Abdi Banda yang
sudah tidak seberapa jauh lagi dari tempat mere-ka berada.
"Begitu banyak keanehan yang terjadi dis-
ini. Kalau tidak melihat sendiri mana aku per-
caya." "Mungkinkah ini pekerjaannya hartawan itu?" tanya Suro sambil seka
keningnya yang ber-keringat
"Rasanya mustahil. Menurut hematku
mungkin ada orang lain yang mengincar harta
atau bahkan nyawa hartawan itu." jawab Puspita.
Suro terdiam, mereka kemudian melihat
sebuah bangunan mirip sebuah istana. Bangunan
mewah yang dinding dan lantainya berasal dari
batu pualam putih itu dalam keadaan sunyi. Se-
telah mereka sampai di bagian teras depan orang-orang ini pun jadi terkejut.
Bangunan tersebut
tampak hangus disana-sini seperti terbakar. Langit-langit ruangannya juga dalam
keadaan terba- kar. "Apa hartawan itu sudah gila. Rumah mewah seperti ini kok dibakar!" seru
Pendekar Blo'on. "Hartawan itu telah minggat. Kurasa ada orang lain yang telah
sampai kesini. Lihatlah semua perabotan acak-acakan." timpal Puspita.
Dengan mulut termonyong-monyong Suro
memperhatikan keadaan di setiap ruangan yang
ada. Ucapan Puspita memang benar, semua ba-
rang-barang yang ditinggalkan oleh hartawan Ab-
di Banda dalam keadaan berantakan seperti habis diacak-acakan.
"Mungkin orang itu tidak mendapatkan apa
yang dicarinya, sehingga ia marah dan membakar
tempat ini. Namun tidak mempan, batu pualam
tidak bisa termakan api begitu saja!"
"Sebaiknya kita cari tahu, mungkin ada se-
suatu yang dapat kita jadikan petunjuk." usul Puspita Sari.
Suro golang-golengkan kepala, namun ak-
hirnya mengangguk-angguk seperti burung pela-
tuk. Mereka lalu memeriksa setiap ruangan demi
ruangan. Kamar yang tersedia seluruhnya ber-
jumlah hampir seratus kamar. Sebuah jumlah
yang sangat besar juga. Letih memeriksa kamar-
kamar yang ada, maka akhirnya kedua muda


Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudi ini memeriksa kamar yang terakhir. Kamar
boleh dikata seperti gudang kecil. Kamar ini ternyata dalam keadaan rapat
terkunci. Sebagian
dindingnya terbakar berbentuk telapak tangan
seseorang. "Lihat! Kamar kecil di samping kamar ini
sangat lain dari yang lainnya. Bentuknya seperti penjara kecil sementara. Aku
yakin ada apa-apanya dibalik pintu ini!" kata Puspita. Seraya la-lu mengetuk-
ngetuk dindingnya. Tidak disangka-
sangka terdengar suara erangan seseorang.
"Ada orang dibalik pintu ini!" seru Suro sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan.
"Sebaiknya kita bongkar saja kamar ini!"
usul Puspita. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi Suro
dan Puspita segera berusaha mendobrak pintu
dari jati tersebut. Karena usaha itu tidak menda-tangkan hasil. Maka pemuda itu
sambil bersun- gut-sungut mencabut Mandau jantan yang terse-
lip di balik pakaiannya.
"Mundur, Pita!" perintah Si Bocah Ajaib.
Puspita Sari melangkah mundur. Suro ke-
mudian mengibaskan senjata berwarna hitam itu.
Empat lubang miring yang terdapat di tengah-
tengah mandau memperdengarkan suara rintihan
tangis. Tring! Clang! Kunci pintu hancur berantakan. Maka se-
kejap kemudian pintu dapat dibuka. Puspita Sari dengan sangat berhati-hati
sekali langsung melangkah masuk.
"Suro, kemarilah...!" seru si gadis.
Si Bocah Ajaib langsung menyerbu ke da-
lam. Astaga! Suro terkejut. Di dalam ruangan
sempit itu ternyata terdapat seorang gadis cantik dalam keadaan terikat rantai
kaki dan tangannya.
Tampaknya ia tidak makan selama berhari-hari.
Pakaian gadis itu berselimut debu. Ada sebuah
luka seperti terbakar di lehernya. Gadis ini dalam keadaan telentang. Sehingga
bagian-bagian yang
menonjol terlihat nyata. Puspita segera memerik-sa denyut nadi di leher.
"Dia keracunan. Mampukah kau menyem-
buhkannya?" tanya Puspita.
"Apa ini bukan jebakan?" Suro ragu-ragu.
"Tol... tolonglah, tuan... kalau tuan menolong aku, maka aku bersedia melakukan
apa saja untuk kepentingan tuan!" kata si gadis tersendat-sendat. Puspita memberi isyarat
dengan anggu- kan kepala. Maka tanpa menunggu lagi, Suro segera
melepaskan rantai baja yang membelengguh tan-
gan dan kaki si gadis. Tidak lama Suro telah me-mondong gadis malang tersebut
menuju ke se- buah ruangan yang luas. Tubuh gadis itu panas
bukan main. Pendekar Blo'on meletakkannya di
atas tempat tidur. Setelah diperiksa sana sini, setelah pegang sana sini pula.
Maka wajah pemuda
itu berubah memucat.
"Racun 'Bunga Asmara'...! Bagaimana ini"
Warangka mandau ku tentu tidak dapat menghi-
langkan pengaruh racun itu. Terkecuali...!" Suro nyengir sambil garuk-garuk
kepala. "Terkecuali apa, Suro?" tanya Puspita serius, "Walah, kau seperti tidak pernah
terkena panah asmara saja. Aku harus mengerahkan tenaga dalamku untuk mendesak
keluar racun yang mengendap di tubuhnya. Aku sesungguhnya
heran sekali, bagaimana racun itu bisa mende-
kam di tubuhnya" Racun Bunga Asmara sangat
langka. Sedangkan orang yang terkena racun itu
harus diobati dengan cara membuka sekujur tu-
buhnya. Dalam arti dia telanjang bulat-bulat...!"
Plaak! Satu tamparan mendarat di wajah Suro.
Pemuda itu kontan jatuh terduduk. Suro
bangkit berdiri sambil usap-usap pipinya yang
merah. Lalu....
Plook! Suro membalas tamparan Puspita. "Apa sa-
lahku, aku bicara sebenarnya bukan bermaksud
cabul, porno jorok dan kotor...!" kata si pemuda serius. "Ucapanmu jorok
melulu!" desis Puspita seperti seorang gadis yang sedang cemburu pada
kekasihnya. "Aku serius. Orang yang terkena racun itu
harus disembuhkan oleh lawan jenisnya. Kalau
orang sejenis juga yang menyembuhkannya maka
salah-salah orang itu pun akan keracunan juga!"
"Aku tidak percaya!" Puspita Sari tetap ngotot. Rupanya ia tidak ingin melihat
pemuda yang mulai disenanginya itu menyentuh gadis itu.
"Kalau tidak percaya silahkan obati sendiri dan resiko tanggung sendiri!" kata
Pendekar Mandau Jantan serius.
Dasar Puspita gadis yang kelewat besar ra-
sa cemburunya. Sehingga ia pun menjadi nekad.
"Kau keluar dulu Suro. Badan gadis ini pa-
nas sekali. Sebagaimana katamu, aku harus
membuka seluruh pakaiannya."
"Baik, sekalian aku berjaga-jaga di luar."
kata si pemuda.
Pendekar Blo'on kemudian keluar. Puspita
mulai membuka pakaian si gadis. Begitu pakaian
dibuka ternyata gadis malang itu tidak memakai
kutang dan celana dalam. Bukan kenyataan ini
yang membuat Puspita terkejut. Melainkan ukir-
ukiran di sekujur tubuh si gadis. Tampaknya se-
seorang sengaja mentatto tubuh gadis itu untuk
menyembunyikan sesuatu. Sementara gadis ma-
lang itu terus mengerang-erang.
Puspita mengerahkan tenaga dalamnya
persis di atas dada si gadis. Belum sampai sepemakan sirih, gadis berpakaian ala
Ninja ini ter-lempar. Wajahnya pucat, sudut-sudut bibirnya
menyemburkan darah. Ternyata apa yang dikata-
kan oleh si konyol memang betul. Tenaga dalam
Puspita membalik, bahkan sebagian racun Bunga
Asmara menyerang gadis itu.
"Sur... Suro...!" panggil Puspita dengan napas terengah-engah.
Suro Blondo yang mendengar suara gadis
itu langsung menghampiri. Ia menjadi kaget, bu-
kan saja karena melihat tubuh mulus yang dalam
keadaan telanjang itu, namun juga karena meli-
hat Puspita menderita luka dalam.
"Tuh kan, apa kubilang tadi!" tegur Pendekar Blo'on. Ia segera menghampiri
Puspita. Setelah memegang lengan gadis itu, wajah konyolnya
berubah pucat. "Kau keracunan 'Bunga Asmara'.
Sebaiknya jangan banyak bergerak! Mungkin un-
tuk sementara aku hanya dapat menghambat ra-
cun itu agar jangan sampai menjalar ke jantung."
Suro menotok kedua pangkal lengan Puspi-
ta. Gadis itu merintih dan menunjuk-nunjuk ke
arah gadis malang.
"Tampaknya dia ingin bicara sesuatu?" desis Puspita.
"Bagaimana aku bisa mendekatinya, dia
dalam keadaan polos begitu?" tanya Suro bingung. "Mari kita dekati, kurasa tatto
berbentuk peta itu mempunyai arti penting!" kata Puspita Sari. Mereka segera
menghampiri tubuh telanjang yang dalam keadaan menelentang tersebut.
Suro sendiri sebenarnya malu juga melihat aurat perempuan yang terpentang di
depannya. Namun
gadis malang ini tampaknya memang tiada hara-
pan hidup lebih lama lagi.
"Deng... dengarkanlah baik-baik...!" kata si gadis malang terputus-putus.
Nafasnya satu-satu.
"Aku... adalah isteri simpanan hartawan Abdi Banda. Tato di tubuhku ini ia yang
membuatnya. Katanya sebuah tempat penyimpanan sebuah ki-
tab Maha penting. Tatto ini merupakan sebuah
tempat yang dijaga siang dan malam. Bentuk-
bentuk tubuhku ini adalah letak penyimpanan ki-
tab itu...! Ak... aku... ekh...!" Suara si gadis malang terputus. Kepalanya
terkulai, ia tewas seketika itu juga.
"Dia mati...!" desis si pemuda.
"Ya... kita harus mempelajari peta ini secepatnya. Setelah itu kita kuburkan dia
secara layak. Aku yakin kitab yang dimaksudkannya
adalah kitab yang sangat penting." kata Puspita sambil menyeringai menahan rasa
sakit yang di-deritanya.
Suro dan Puspita sama-sama memperhati-
kan tatto yang terdapat di tubuh si gadis malang.
Setelah memperhatikan cukup lama hanya mem-
buat mata Suro menjadi sepet, jantung pemuda
itu bergemuruh. Ia berpikir keras hingga mem-
buat keningnya berkerut dalam.
"Kau bisa memahaminya?" tanya Suro.
Puspita menggeleng-gelengkan kepala.
"Hm sulit juga." Pendekar Blo'on menggu-man pelan, lalu garuk-garuk kepala.
"Sekarang aku mengerti. Hartawan terkutuk itu sungguh
pandai dan licik sekali. Payudara gadis ini tentu diumpamakan sebagai bukit.
Karena dua, pasti
letak penyimpanan kitab itu di dekat bukit kem-
bar." kata Suro termonyong-monyong, sementara tangannya menunjuk-nunjuk dada
mayat di depannya. "Kemudian ada jalan menghubungkan ke
puser. Nah... ini agak membingungkan. Puser...
akh, mungkin pusat. Lalu ada garis lurus yang
menghubungkan antara pusat dan bawah puser.
Gelo, porno betul...! Hartawan gila itu benar-
benar penuh keedanan."
"Dekat aurat yang di bawah ini diberi tanda silang. Nah... apa maksudnya...?"
tanya Puspita tersipu-sipu. Bagaimana pun apa yang dilihat
oleh Suro adalah bagian-bagian yang sangat vital.
Walau pun mungkin otak Suro tidak ngeres.
Hanya Puspita malu hati sendiri melihat Suro
cengar-cengir melulu.
"Nah... kurasa dekat pusat ini ada bukit la-gi. Mungkin saja bukit itu ditumbuhi
pohon- pohon lebat seperti bukit ini...!" Suro menunjuk-nunjuk. Namun tangannya segera
ditepiskan oleh
Puspita. "Kenapa sih" Aku kan tidak menyentuh-
nya?" Si Bocah Ajaib nyengir lagi.
"Karena ada aku, kalau tidak mungkin su-
dah lecek mayat gadis ini!" dengus Puspita.
Suro garuk-garuk rambutnya. "Sudahlah,
sekarang aku paham. Sebaiknya kita kuburkan
dulu mayatnya!" usul si pemuda berambut hitam kemerahan.
Tentu saja Puspita tidak dapat membantu,
karena dia sendiri menderita keracunan. Akhir-
nya Pendekar Blo'on yang dibuat sibuk. Setelah merapikan kembali pakaian si
gadis mereka keluar meninggalkan singgasana kebesaran milik
hartawan Abdi Banda.
Mereka tidak mau repot, sebuah kubur me-
reka buat di samping rumah hartawan yang telah
ditinggalkan pemiliknya. Setelah mereka selesai menguburkan mayat gadis itu,
Suro memberikan
penghormatan yang terakhir.
"Nisanak, aku belum mengetahui siapa kau
punya nama. Kudoakan agar kau masuk sorga,
dapat jodoh pangeran tampan. Maaf lho aku ter-
paksa melihat peta di tubuhmu. Hartawan sinting itu nanti akan mendapat bagian
setimpal dariku.
Nanti tubuhnya akan ku ukir gambar tongkat
yang paling besar di dunia.... Selamat jalan, kalau dikubur ada kabar baik dan
banyak bidadari cantik kasih tau aku ya...!"
"Geblek! Ngomong apa kau?" dengus Puspita. Gadis itu meringis kesakitan.
Suro tepuk keningnya. "Astaga...! Aku lupa kau tidak boleh banyak bergerak.
Sebaiknya kita cari dulu tempat yang aman untuk menyembuhkan mu!"
"Tapi...!"
"Sudah jangan rewel! Biar ku gendong!" tegas si konyol.
Merasa tidak punya pilihan lain, maka
Puspita Sari terpaksa mau saja ketika Suro Blon-do menggendongnya. Dengan
mengerahkan ilmu
lari cepat Kilat Bayangan. Maka hanya dalam
waktu singkat tubuh si pemuda melesat laksana
terbang. Sambil lari si konyol senyum-senyum sen-
diri. Betapa tidak, dada si gadis menekan pung-
gungnya. Dada yang liat itu benar-benar mem-
buat Suro jadi gelisah.
"Nafasmu seperti nafas kuda, ada apa sih?"
tanya Puspita. "Heh, anu... tadi mulutku kemasukan
nyamuk. Rupanya nyamuknya nyasar di tenggo-
rokan!" sahut si pemuda terbata-bata.
"Kurasa disini adalah tempat yang aman!
Cepat Suro aku sudah tidak kuat lagi...!" rintih Puspita.
Si Bocah Ajaib menghentikan larinya. Sete-
lah melihat kanan kiri kelihatannya memang cu-
kup aman. Saat itu hari sudah menjelang senja.
Suro menyelinap di balik semak-semak belukar.
"Ini termasuk sulit. Pilihannya tergantung kau sendiri!" ujar Pendekar Blo'on
sambil menu-runkan Puspita dari dukungannya.
"Maksudmu aku sudah mengerti. Asal di
dalam kepalamu tidak berpikir yang bukan-
bukan. Maka demi kesembuhan ku aku harus
mengesampingkan rasa malu." kata Puspita serius. Satu hal yang membesarkan
hatinya, wak- tu itu suasana sudah mulai gelap. Sehingga kalau pun ia membuka sebagian
pakaiannya tentu Suro
tidak begitu melihatnya.
Dengan tangan gemetaran, akhirnya Puspi-
ta melepaskan seluruh pakaian yang di bagian
atas. Sehingga tubuh mulusnya terlihat nyata. Si konyol bersikap lebih serius.
Setelah mengosong-kan pikirannya. Suro mulai menghimpun tenaga
dalamnya ke bagian dada dan sekujur tangannya.
Mereka saling berhadap-hadapan. Suro kemudian
memeluk tubuh polos Puspita yang terasa panas


Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan main. Satu sengatan hawa panas dirasa-
kan oleh Suro dan ia semakin memperhebat tena-
ga dalamnya. Puspita mulai merintih, akibat racun yang
mengendap di tubuhnya itu telah membangkitkan
gairahnya. Suro sadar betul akan hal itu. Namun mereka tetap saling berpelukan.
Bahkan Puspita semakin mempererat pelukannya. Matanya seten-
gah terpejam, sedangkan bibirnya merah mere-
kah. "Suro... oh, kau... akh...!" Puspita merintih-rintih. Tampaknya ia semakin
terhanyut terbakar Birahi. Si konyol sudah mandi keringat. Ia terus melipat
gandakan tenaga dalamnya. Sampai akhirnya racun yang mengendap di tubuh Puspita
terdesak keluar. Suro melepaskan pelukannya. Ia kemudian bersemedi untuk
mengembalikan tenaga dalamnya yang sempat terkuras.
Perlahan Puspita seperti tersadar dari apa
yang dialaminya. Ia merapikan pakaiannya. Dili-
hatnya pemuda yang telah meluluhkan hatinya
masih tetap memejamkan matanya. Lalu timbul
rasa was-was dalam jiwanya.
"Dia telah menolongku dengan cara meme-
luk tubuhku. Bagaimana jika aku sampai hamil?"
pikirnya. Si konyol membuka matanya.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik-baik saja. Tapi kurasa luka dalamku
belum sembuh betul!" si gadis melirik dengan ker-lingan penuh arti.
"Entah siapa yang memiliki racun maut itu.
Kita juga harus menyelidikinya. Eeh... kau kelihatan gelisah sekali...!" Suro
terkejut. "Ak... aku... aku takut hamil...!" sahut Puspita lugu.
Mendengar ucapan si gadis, Si Bocah Ajaib
langsung tergelak-gelak.
"Kok tertawa?" Puspita salah tingkah.
"Ha ha ha...! Kau lucu, aku kan cuma me-
nyembuhkan mu, cuma memeluk saja. Himal...
eeh, hamil itu baru akan terjadi kalau yang dibawah saling bertabrakan... selama
belum pernah terjadi pertarungan sengit mana mungkin seorang gadis hamil...!" kata Suro
terkekeh-kekeh.
"Eh, kau bicara apa?"
"Tentu saja bicara masalah orang bunting.
Ah sudahlah, urusan kita masih banyak. Kita ha-
rus cari kitab itu, dan kita juga harus cari tahu kunyuk mana yang telah
membunuh gadis itu?"
"Lalu bagaimana urusan dengan hartawan
itu?" "Perjalanan masih panjang, kita belum bertemu lagi dengan Pendekar Lugu.
Nanti jika persoalan di sini beres, kita temui Pendekar Lugu
untuk bersama-sama mencari Hartawan Abdi
Banda...!"
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan ini!"
usul Puspita. Maka akhirnya malam itu juga Suro Blondo
dan Puspita Sari mencari tempat sebagaimana
yang tertera dalam peta.
LIMA Jauh di sudut kota Magetan, di sana ter-
dapat sebuah daerah yang lebih dikenal dengan
nama Hutan Larangan. Jarang sekali ada orang
yang berani berkeliaran di daerah itu. Penduduk setempat percaya betul di daerah
ini di huni oleh mambang dan peri-peri jahat.
Namun hal-hal yang bersifat tahyul tam-
paknya tidak berlaku pada nenek dekil berwajah
jelek ini. Ia keluar masuk daerah itu sambil mencari-cari sesuatu.
"Bwe... tidak ada harta benda yang tertinggal di rumah hartawan itu. Satu-
satunya tempat dan gudang harta milik Abdi Banda hanyalah di
hutan larangan Candi Mungkur ini. Dulu sekali
aku pernah melihat orang-orang hartawan itu
membuat gudang di sini. Tapi... mengapa seka-
rang hutan seperti berubah?" kata si nenek dekil yang tidak lain adalah Gempita
Loka atau lebih
dikenal dengan julukan Ratu Alam Kubur. Untuk
lebih jelasnya (dalam Episode Anak Langit & Pendekar Lugu). Sebagaimana di
ketahui nenek jelek ini sangat rakus sekali akan harta benda. Ia tinggal di
Tegal Waru daerah Kali Urang.
"Mungkin lebih baik aku mencari di sekitar sana!" ujar Ratu Alam Kubur disertai
sesungging senyum di bibirnya. Karena nenek-nenek tentu
senyumannya sama sekali tidak menarik hati.
Gempita Loka kemudian bergerak ke arah
lain. Ia melewati dua buah bukit. Tidak jauh dari bukit-bukit itu terdapat
sebuah lubang besar mirip sumur tidak terpakai. Ia melewati sumur itu, namun
baru beberapa langkah dari arah depannya muncul belasan laki-laki bersenjata
lengkap. Orang-orang ini langsung mengurung si nenek.
Tampang-tampang mereka benar-benar tidak ra-
mah sekali. "Siapa kau, katakan apa tujuanmu kema-
ri?" tanya salah seorang di antaranya sinis.
"Hik hik hik...! Para kurcaci tengik, aku ta-hu kalian pasti pengawal gudang
harta Abdi Ban-
da. Rupanya tuan kalian tidak sempat mengang-
kut semua hartanya. Aku Ratu Alam Kubur da-
tang kemari untuk mengambil harta yang terting-
gal. Jangan halangi jika tidak pengin mampus!"
tegas Gempita Loka tanpa malu-malu.
"Hmm, tua bangka rongsokan. Bicaralah
kau sesuka hatimu pada setan-setan penghuni
neraka!" teriak kepala pengawal gudang harta sengit. Sepuluh orang langsung maju
ke depan. Senjata mereka menderu menghantam tubuh ku-
rus kering di depan mereka. Tapi sebelum senjata itu menyentuh tubuh lawan. Ratu
Alam Kubur sudah menyambitkan senjata rahasia paku emas
beracun ke arah lawan-lawannya.
"Haarkh...!"
Delapan orang langsung terkapar dan te-
was dengan tubuh berubah kuning. Paku emas
beracun menancap di kening mereka, dua orang
lainnya sempat selamatkan diri dengan cara ber-
guling-guling. Pimpinan penjaga gudang harta jadi kaget,
ia sama sekali tidak menyangka kalau perempuan
renta itu memiliki kepandaian tinggi. Sambil bersikap waspada ia memberi isyarat
lagi pada anak buahnya.
"Cincang! Bunuh...!" teriak Pimpinan pengawal memberi semangat.
Maka menderulah berbagai jenis senjata
menghujani Ratu Alam Kubur. Nenek renta itu
dengan gesitnya menghindar, terkadang ia me-
lompat ke udara. Ketika tubuhnya melayang tu-
run ke tanah, maka ia melakukan tendangan be-
runtun secara menyilang.
Duuk! "Hekh...!"
Dua orang pengawal terjengkang, giginya
rontok, yang satunya lagi jatuh terduduk. Tulang iganya patah. Namun serangan
bukan semakin mengendur. Yang terjadi malah sebaliknya. Si nenek melayani serangan itu sambil
terkikik-kikik.
"Heaa...!"
Di iringi dengan bentakan keras ia melom-
pat mundur ke belakang. Ia merogoh kantung hi-
tamnya. Kemudian secepat kilat ia mengibaskan
tangannya ke arah pengawal-pengawal itu.
"Awas...!!" Kepala pengawal berteriak memberi peringatan.
Sayang peringatan itu terlambat. Paku-
paku emas beracun telah menghujam tubuh lima
orang pengawal. Mereka tergelimpang roboh,
mengge-lepar sekejap, lalu kejang kaku dan ji-
wanya pun melayang.
"Hik hik hik...! Majulah kalian semua, biar aku tidak membuang-buang waktu
percuma...!"
dengus Ratu Alam Kubur sengit.
Tantangan itu tentu membuat para pen-
gawal harta tersebut semakin bertambah mar ah.
Apalagi mengingat kawan-kawan mereka sudah
banyak yang tewas menjadi korban si nenek.
Set! Set! Sepuluh senjata mengurung Ratu Alam
Kubur dari delapan penjuru arah. Salah seorang
diantara mereka bahkan bertindak nekad dan
menyerang mendahului kawan-kawannya. Golok
di tangannya menyabet pinggang lawan dengan
cepat sekali. Namun Gempita Loka sudah meng-
hindar kesamping, serangan pengawal luput, ma-
lah sekarang tangan si nenek meluncur cepat
mengancam kepalanya.
Prook...! Kepala pengawal itu pecah, otaknya ber-
hamburan. Tubuh tersungkur dan tidak mampu
bangkit lagi. Sebelum nenek renta itu beranjak
dari tempatnya. Maka sebuah mata tombak me-
nusuk ke bagian perutnya.
Bret! "Hekh... kurang ajar...!" maki Ratu Alam Kubur. Pakaiannya sobek, pantatnya yang
hitam mengucurkan darah. Dan Ratu Alam Kubur men-
jadi sangat murka. Ia berbalik secepatnya Sekali bergerak tombak lawan telah
berpindah tangan.
Lalu tombak itu diputarnya, laksana kilat dilemparkannya ke arah pengawal tadi
Shhet! Jebb...! "Hegh...!"
Pengawal sial itu melotot, perutnya tertu-
suk tombak hingga tembus ke punggung. Tewas-
lah pengawal ini dengan penasaran.
"Kunyuk betina! Kau telah melakukan
pembunuhan seenak perutmu! Heaaa...!" Belasan pengawal harta hartawan Abdi Banda
mengge-rung keras. Karena di landa kemarahan, maka se-
rangan-serangan yang mereka lakukan sudah ti-
dak teratur lagi. Tentu saja hal ini sangai men-guntungkan Ratu Alam Kubur.
Sekali nenek renta
menerjang ke depan, lalu ia melepaskan serang-
kaian tendangan beruntun....
Des! Des! Des! Celakalah bagi pengawal-pengawal yang
berada begitu dekat dengan dirinya. Kepala mere-ka retak, ada pula yang
terhantam dadanya bah-
kan ada yang tulang bahunya putus.
Selagi yang terkena tendangan sekarat,
maka Ratu Alam Kubur melepaskan paku-paku
beracunnya ke arah kepala pengawal yang seka-
rang juga sudah turun tangan.
Laki-laki itu tampaknya lebih berpengala-
man dibandingkan dengan anak buahnya. Ter-
bukti begitu serangan datang, maka ia memutar
golok besar di tangan untuk lindungi diri.
Tring! Triing! Paku-paku beracun berpentalan, namun
ada juga yang langsung rontok. Kini giliran kepala pengawal yang merangsak maju.
Golok itu meluncur deras menembus perut si nenek. Namun Ratu
Alam Kubur sudah menggeser langkahnya. Se-
rangan meluncur terus dan mengenai tempat ko-
song. Gempita Loka tidak tinggal diam. Ia memu-
kul pergelangan tangan kepala pengawal. Laki-
laki berwajah angker mencoba menarik tangan-
nya, namun gerakannya kalah cepat.
Dhaak! Trang! "Auh...!"
Laki-laki itu mengeluh, pergelangan tan-
gannya patah, golok jatuh terpental menghempas
batu hingga menimbulkan suara berkrontangan.
Tidak memberi kesempatan lagi, Ratu Alam Ku-
bur mengambil golok lawan. Kemudian dengan
sadisnya langsung mengibaskan golok itu ke ba-
gian kepala lawan.
Praak! "Aaaaa.,.!"
Kepala pengawal menjerit keras. Tubuhnya
langsung terbanting, Ratu Alam Kubur tertawa
terkekeh-kekeh. Ia membuang golok itu, sisa-sisa pengawal yang selamat langsung
melarikan diri.
Perempuan renta ini tampaknya sudah ti-
dak perduli lagi. Ia terus berjalan ke arah mun-culnya pengawal-pengawal gudang
harta tadi. Se-
telah meneliti sana sini, akhirnya ia melihat sebuah pintu batu yang bentuknya
sangat mengge- likan sekali. Ternyata pintu batu itu setelah didorong beratnya minta ampun.
Ratu Alam Kubur
terpaksa melepaskan pukulan 'Telaga Sukma'.
Salah satu pukulan dahsyat yang dimilikinya.
Wuuut! Blaaar...! Pintu batu itu hancur berkeping-keping. Di
dalam ruangan terpancar cahaya warna warni
yang menyilaukan mata. Sebagai orang yang san-
gat cerdik ia tidak langsung masuk. Namun di-
ambilnya sebuah batu, batu dilemparkannya ke
dalam ruangan. Wing! Set! Buum! Rupanya dibalik pintu batu itu sengaja di-
pasang berbagai jenis senjata rahasia. Salah satu diantaranya adalah panah-panah
beracun yang tadi sempat menghunjam ke berbagai arah.
"Hik hik hik...! Manusia seperti aku mana
kena ditipu. Segala jebakan picisan begitu mana ada artinya bagiku!" dengus Ratu
Alam Kubur. Tidak berselang lama, maka nenek renta


Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu masuk ke dalam gudang penyimpanan harta
tersebut. Perempuan itu bukan main senangnya
begitu melihat emas dan permata bertumpuk-
tumpuk. "Aku akan menjadi orang yang paling kaya
di dunia ini! Hi hi hi...!" Ratu Alam Kubur mengumpulkan harta-harta yang
terdiri dari emas
dan permata itu. Kantong demi kantong diisinya.
Sampai seluruh kantong yang tersedia penuh.
Walaupun semua kantong telah terisi harta, na-
mun sebagian terbesar harta itu tetap teronggok di tempatnya.
Sementara itu Pendekar Blo'on dan Puspita
Sari telah sampai di daerah Hutan Larangan. Me-
reka kelihatan terkejut saat melihat belasan orang laki-laki dalam keadaan
tewas. "Kita sudah keduluan orang, Pita!" celetuk si pemuda.
"Ya, orang itu mungkin juga sudah menge-
tahui tentang peta penyimpanan harta milik har-
tawan Abdi Banda."
"Lihat... itu ada dua bukit. Berarti kita telah mendekati tempat yang kita tuju.
Itulah bukit kembar, bukit itu benar-benar gundul, licin dan putingnya lancip
seperti payudara. Tempat ini lebih pantas di sebut alam porno." kata Suro lalu
tertawa sambil garuk-garuk kepala.
"Ini ada sebuah sumur. Mungkin sumur in-
ilah yang dimaksud dengan pusat...!"
Suro terdiam, ia mencari-cari. "Lalu bukit yang ada hutannya mana?" tanya si
pemuda disertai senyum simpul.
"Itu yang disebelah sana itu!" Puspita tiba-tiba menunjuk ke arah dataran
tinggi. "Ha ha ha...! Hartawan gemblung itu me-
mang sangat pandai bercanda. Ia menyimpan
harta kekayaannya di tempat yang mirip dengan
aurat perempuan. Bukit itu memang ada hutan-
nya. Pertama bukit kembar yang gundul lalu,
puser, kemudian bukit tunggal yang ditumbuhi
semak belukar! Gelo betul...!"
"Pendekar geblek, jangan kau bercanda te-
rus. Sebaiknya kita periksa gudang itu...!" kata Puspita.
Cuping hidung Suro kembang kempis.
Puspita hampir tertawa melihat ulah pemuda
yang diam-diam dicintainya itu. "Aku mengendus ada kunyuk bau pesing di dalam
gudang itu. Sebaiknya kau berlindung di belakangku! Luka da-
lammu belum sembuh benar!" Suro Blondo mengingatkan.
Sikap si konyol yang begitu serius mem-
buat Puspita sadar bahwa pemuda berambut hi-
tam kemerah-merahan itu tidak main-main. Den-
gan berhati-hati sekali mereka mulai mendekati
pintu gudang yang bagian atasnya ditimbuni ta-
nah. "Ha ha ha...!" Pendekar Blo'on tertawa sambil garuk-garuk kepalanya.
"Mengapa tertawa" Bukankah tawamu
hanya membuat orang yang berada dalam gudang
mengetahui kehadiran kita?" tegur Puspita.
"Lihat, mulut gudang ini bentuknya seper-
ti... ha ha ha...! Dasar hartawan bangsat. Seleranya pada perempuan begitu
rendah. Sampai-
sampai mulut pun ia buat disini. Ha ha ha...!" ka-ta Suro terpingkal-pingkal.
"Dasar Pendekar Goblok! Nenekmu, ibumu
juga punya. Berarti kau mentertawakan mereka
Mas Rara 5 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Si Racun Dari Barat 10
^