Pencarian

Tongkat Dewa Badai 1

Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 TANGGAL lima belas, bulan Sapar, penangga-
lan Jawa. Sang candra bundar bak kuning telur melekat
di layar hitam langit kelam. Kerlip berjuta bintang ber-canda dalam permainan
cahaya gemerlap. Putaran
waktu berlalu, membawa hari ke tengah malam buta.
Sepi menggeluti bumi, berkuasa di atas mayapada.
Angin berhembus dingin, mengusik tatanan si-
rap yang menjadi atap rumah joglo di lereng Gunung
Lawu. Rumah yang menjadi tempat tinggal para murid
Perguruan Tapak Sakti itu tergeluti sepi pula. Semua
penghuninya telah terlelap dalam buaian mimpi. Di an-
tara suara dengkur orang tidur, terdengar tekur bu-
rung hantu yang ditimpali suara jangkrik mengerik.
Malam semakin larut.
Namun, di tengah sepi yang merajai suasana
malam di Perguruan Tapak Sakti itu, seorang bocah le-
laki terbaring gundah di dalam empok, bangunan kecil
di sisi kiri-belakang rumah joglo.
Tubuh kurus si bocah menggeletak miring di
atas tumpukan jerami. Berkali-kali dia mendesah pan-
jang. Ada beban berat yang membebani batinnya, se-
hingga dia kelihatan begitu resah.
Saat si bocah menggerakkan tubuhnya, terbar-
ing telentang, dapatlah dilihat wajahnya yang tampan
namun tampak sangat lugu. Bola matanya yang bun-
dar bening menatap kosong tatanan bambu yang me-
nopang sirap. Alisnya tebal, kedua ujungnya meleng-
kung ke atas, memberi kesan gagah laksana sayap
elang menukik. Hidungnya mancung dengan sebentuk
bibir kemerahan.
Sayang, ketampanan bocah berumur dua belas
tahun itu agak tersamar oleh noda lumpur yang mele-
kat di kedua pipinya. Tubuhnya pun hanya terbung-
kus pakaian kumal penuh tambalan. Di beberapa ba-
gian malah terlihat robek-robek karena tak sempat di-
tambal. "Ibu...," desis si bocah bernama Seno Prasetyo.
"Maafkan aku, Bu.... Mungkin aku telah mengecewakan mu. Aku telah datang ke
Perguruan Tapak Sakti,
menuruti pesanmu, tapi aku tak dapat belajar ilmu si-
lat di sini...."
Seno mengerjap-ngerjapkan matanya untuk
menahan air bening yang hendak tumpah. Dia tak
mau menangis. Kalau dia sampai menangis, berarti dia
tak tabah. Kalau dia tak tabah, berarti dia tak kuasai menjalani hidup yang
penuh tantangan ini. Begitulah
pengertian yang selalu melekat di benak Seno.
Namun, tak dapat bocah amat lugu itu mengu-
sir rasa sedih di hatinya. Sebagai manusia biasa, dia pun tak mampu menipu diri
sendiri. Bayangan Ibunya
tiba-tiba berkelebat di benaknya....
* * * Ketika itu sang baskara baru beranjak naik. Si-
narnya lemah, hingga hembusan angin leluasa mem-
beri kesejukan di kemarau panjang yang sedang me-
landa tanah Jawa.
Dengan pandangan nanar, Seno menatap pe-
tak-petak sawah yang gundul tanpa tanaman. Di anta-
ra pematang, terlihat permukaan tanah kering retak-
retak. Sedih hati Seno. Dia tak bisa menanam apa-apa di tanah kering seperti
itu. Namun kemudian, tercetus
sebuah gagasan. Dia akan mengambil air sungai yang
membelah bukit di tempat ia tinggal. Dia akan memin-
ta izin Ibunya terlebih dulu. Kalau ada apa-apa, biar nanti dia tidak
disalahkan. Terkadang Seno merasa heran dan tak habis
mengerti, kenapa Ibunya mau tinggal seorang diri di
balik bukit sebelah selatan. Padahal, di punggung bu-
kit sebelah utara terdapat aliran sungai yang bisa di-manfaatkan untuk bercocok
tanam di musim kemarau.
Kini, saat musim kemarau telah tiba, petak-petak sa-
wah yang telah dibuat oleh Seno bersama ibunya me-
mang tak dapat ditanami lagi.
"Ah! Bagaimanapun, aku harus menanam padi.
Aku harus membuat sawah kering ini menjadi basah.
Walau aku harus berjalan jauh melingkari bukit sam-
bil memikul gentong-gentong berisi air, aku akan tetap melakukannya," tekat
Seno. Karena merasa mendapat gagasan cemerlang,
sedih di hati Seno jadi hilang. Dengan mata berbinar-
binar, dia bawa kakinya melangkah setengah berlari,
untuk dapat segera pulang dan mengutarakan gaga-
sannya kepada sang ibunda tercinta.
Namun mendadak, Seno terhenyak kaget. Kon-
tan langkahnya terhenti. Dari jarak sepuluh tombak,
dengan kaki gemetaran, Seno menatap tak berkedip
sebuah gubuk bambu yang nyaris terbakar musnah
oleh si jago merah.
Lidah-lidah api begitu cepat melalap gubuk
yang menjadi tempat tinggal Seno bersama Ibunya itu.
Mulut Seno pun ternganga, penuh rasa tidak percaya.
Ibu Seno bukanlah orang yang ceroboh, sehingga ke-
bakaran itu mustahil terjadi karena keteledoran. Pasti ada orang yang telah
berbuat jahat! Tapi, siapa" Bukankah Seno dan ibunya tinggal di bukit terpencil
yang hampir tak mungkin dijamah orang lain"
Trang! Trang! Terdengar suara benturan senjata tajam. Seno
terhantam keterkejutan lagi. Karena yakin ada orang
yang sedang bertempur di halaman belakang rumah-
nya, cepat Seno berlari menuju ke sana. Lupa sudah
dia pada keadaan rumahnya yang tengah terbakar.
Tak dipedulikannya si jago merah yang terus melalap
ganas. Seno berlari sekuat tenaga agar dapat segera
sampai di halaman belakang.
Dan ketika Seno tengah berlari, terdengar oleh-
nya suara seorang lelaki yang disambung kata-kata
kasar. Ucapan orang itu begitu keras dan penuh pen-
garuhi sehingga tanpa sadar Seno menghentikan lang-
kahnya lagi. "Ha ha ha...! Susah payah aku mencarimu, ki-
ranya kau berada di sini. Setelah ku bakar rumahmu,
masihkah kau berkeras hati untuk tetap tak mau
mengatakan di mana suamimu berada" Hayo, cepat
katakan, di mana Darma Pasulangit berada"! Atau, ke-
tajaman pedangku ini akan segera mencincang tu-
buhmu!" Begitu kalimat yang penuh ancaman itu terhen-
ti, Seno mendengar suara seorang wanita yang telah
dikenalnya. yaitu suara ibunya.
"Banyak Langkir keparat! Jahanam kau kaki-
tangan raja licik Parameswara! Siapa takut menghada-
pi ketajaman pedangmu" Kalau memang mampu, se-
gera kau buktikan kata-katamu itu!"
Lalu, Seno mendengar rentetan kata-kata kotor
si lelaki. Disusul kemudian dengan terdengarnya suara berdesing babatan pedang.
Suara benturan senjata tajam ditimpali pekik kemarahan terdengar pula.
Seno baru menyadari keadaan saat mendengar
jerit kesakitan ibunya. Namun ketika hendak berlari,
kaki kanan Seno tersandung batu. Karena tak dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya, dia pun menggelo-
sor jatuh ke tanah berdebu.
Trang! Wukh! "Argh...!"
Sekali lagi, terdengar jerit kesakitan sang ibu.
Pandangan si bocah lugu Seno Prasetyo jadi semakin
nyalang dan penuh rasa khawatir. Bergegas dia melon-
cat bangkit. Tapi karena tergesa-gesa dan tidak hati-
hati, dia terpeleset. Dia pun jatuh menggelosor kemba-li. Malang, kali ini
kepala si bocah membentur sebongkah batu yang menonjol di permukaan tanah.
Karena benturannya cukup keras, bocah berpakaian itu jatuh
pingsan! Sementara itu, di dekat gubuk bambu yang
masih dilahap keganasan api, seorang wanita cantik
bersenjata pedang tampak berdiri terhuyung-huyung.
Kain bajunya yang berwarna putih telah ternoda cairan darah. Ada luka di bahu
kiri dan pinggang kanannya.
Luka itu tidak seberapa dalam, tapi cukup banyak
mengeluarkan darah.
Dia Ibu Seno Prasetyo, Dewi Ambarsari yang
bergelar Putri Bunga Putih!
Sekitar dua tombak di hadapan pendekar wani-
ta itu, berdiri seorang lelaki setengah baya berpakaian kuning-hijau. Rambutnya
panjang, diikat dengan sehe-lai kain merah. Tangan kanannya mencekal sebatang
pedang yang ternoda beberapa titik cairan darah.
"Aku telah membuat tubuhmu terluka. Masih-
kah kau tak mau mengatakan di mana Darma Pasu-
langit berada?" ujar lelaki bernama Banyak Langkir itu, menatap bengis sosok
Dewi Ambarsari.
"Huh! Walau telah terluka, jangan harap kau
dapat mengancamku dengan gertak sambal mu itu! Li-
hat...!" Mendadak, Dewi Ambarsari menyambitkan pedangnya. Sambitan pedang itu
dilakukan dengan se-
kuat tenaga, mengarah tepat ke jantung Banyak Lang-
kir! Wuttt...! Trang...! Dengan satu tangkisan yang disertai pengera-
han tenaga dalam tingkat tinggi, mudah sekali Banyak
Langkir membuat terpental pedang Dewi Ambarsari.
Tapi..., alangkah terkejutnya lelaki berperawakan ke-
kar itu. Tiba-tiba, luncuran pedang Dewi Ambarsari
berbalik arah. Melesat lebih cepat dan hendak menu-
suk Jantung Banyak Langkir lagi!
"Haram jadah!" maki Banyak Langkir seraya
berkelit. Wuttt...! Tusukan pedang Dewi Ambarsari hanya men-
genai tempat kosong. Anehnya, pedang itu kembali
berbalik arah. Terus mengejar ke mana pun Banyak
Langkir berkelit!
Sementara lelaki itu meloncat ke sana-sini un-
tuk menghindari bahaya maut, Dewi Ambarsari tam-
pak menggerak-gerakkan kedua telapak tangan. Agak-
nya, dia tengah mengendalikan gerak pedangnya den-
gan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang bersi-
fat menarik dan mendorong.
Dewi Ambarsari menamakan ilmu itu 'Pedang
Terbang Memburu Jiwa'. Dan berkat ilmu itulah gelar
Putri Bunga Putih jadi cepat terkenal di rimba persilatan.
Akan tetapi, tak mudah untuk melumpuhkan
Banyak Langkir. Sebagai orang kepercayaan Prabu Wi-
ra Parameswara, tentu saja dia memiliki ilmu kesak-
tian tinggi. Dan... salah satu ilmu kesaktian lelaki itu terlihat manakala...,
Blus...! Pedang Dewi Ambarsari tepat menembus perut
Banyak Langkir. Namun Banyak Langkir malah terta-
wa bergelak. Tak ada cairan darah yang menetes. Lela-
ki itu tak merasa kesakitan sama sekali!
"Ha ha ha...! Dengan Ilmu 'Lubangi Tubuh Me-
nahan Senjata!', tak akan ada orang yang dapat mem-
bunuhku! Kau tahu itu, Ambarsari" Buka matamu le-
bar-lebar!"
Dewi Ambarsari yang tengah berusaha menca-
but pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam jarak
jauh tampak terkesiap. Matanya terbeliak lebar saat
melihat Banyak Langkir menepuk-nepuk dadanya sen-
diri. Seirama dengan tepukan itu, pedang Dewi Ambar-
sari semakin dalam menembus perutnya!
Lalu, cepat sekali Banyak Langkir membalikkan
badan seraya menepuk dadanya lebih keras!
Buk...! Wuttt...!
Mendadak, pedang Dewi Ambarsari melesat ke-
luar dan hendak menusuk dada sang empunya sendiri!
"Ilmu setan! Ilmu setan!" seru Dewi Ambarsari dalam keterkejutannya.
Bergegas wanita cantik itu menggeser kedudu-
kan tubuh. Tangan kanannya turut berkelebat. Walau
telah terluka, dia masih dapat bergerak cepat. Bilah
pedang yang hendak menusuk dadanya berhasil di-
tangkap. Akan tetapi, Dewi Ambarsari tidak tahu bila
Banyak Langkir telah menerjang. Jerit kesakitan sege-
ra terdengar saat ketajaman pedang Banyak Langkir
kembali melukai tubuh Dewi Ambarsari!
"Sengaja aku tak langsung membunuhmu, Am-
barsari," ujar Banyak Langkir dengan senyum keme-nangan menghias di bibir.
"Sekali lagi, katakan di ma-na Darma Pasulangit berada!"
Dalam keadaan jatuh terduduk, Dewi Ambarsa-
ri menatap tajam sosok Banyak Langkir. Tak terdapat
sinar ketakutan di matanya walau dia berada di am-
bang maut. "Keparat kau, Banyak Langkir!" geram wanita itu, menahan rasa sakit. "Kalaupun
aku tahu di mana Darma Pasulangit berada, tak akan kukatakan! Kau
hanya kaki-tangan raja licik, Parameswara!"
Berkerut kening Banyak Langkir mendengar
kata-kata Dewi Ambarsari. "Hmmm.... Jadi, wanita ini tak tahu tempat
persembunyian Darma Pasulangit.
Sayang... sayang sekali...," ucapnya dalam hati.
"Bunuhlah aku kalau memang itu yang menjadi
keinginanmu!" tantang Dewi Ambarsari, mengacung-
kan pedang.

Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak perlu! Aku tak perlu repot-repot mengelua-
rkan tenaga lagi," sahut Banyak Langkir. "Walau luka-lukamu tidak seberapa
dalam, tapi kalau banyak da-
rah yang keluar, bukankah kau tetap akan mati?"
Di ujung kalimatnya, Banyak Langkir tertawa
bergelak. Perlahan kakinya melangkah. Namun, di be-
naknya terkandung satu maksud.... "Dewi Ambarsari dan Darma Pasulangit memiliki
seorang anak laki-laki.
Anak itu harus kubunuh pula!"
Kaki Banyak Langkir terus melangkah... ke uta-
ra! Dan karena salah arah itulah bahaya tak jadi men-
gancam Seno Prasetyo yang masih tergolek pingsan.
Karena putaran waktu terus berlalu, Seno pun
siuman. Begitu ingatannya kembali, si bocah langsung
meraba-raba kepalanya yang benjol.
"Ibuuu...!" teriak bocah itu ketika melihat gubuk bambunya yang telah hangus
terbakar. Bergegas Seno bangkit. Siku kanannya tampak
memar, sementara lutut kirinya pun lecet dan menge-
luarkan darah. Tapi, Seno tak menghiraukan rasa sa-
kit. Dia berlari, berlari, dan berlari sekencang mungkin.
Sesampai di halaman belakang, Seno tak meli-
hat siapa-siapa kecuali seorang wanita cantik berpa-
kaian serba putih, yang tengah tergolek lemah di ta-
nah. Wanita yang tak lain ibu Seno Prasetyo itu tam-
pak bermandikan darah.
"Ibuuu...!" pekik khawatir Seno, melompat ke hadapan sang ibu seraya menopang
kepala wanita itu.
"Seno anakku...," desis sang Ibu bernama Dewi Ambarsari. "Maafkan Ibu, Nak....
Ibu harus pergi...."
"Tidakkk...! Ibu tidak boleh pergi! Seno tak mau hidup sendiri!" pekik Seno
lagi, semakin khawatir. Apalagi luka di dada sang ibu terus mengucurkan darah
segar. Sementara, Dewi Ambarsari yang direjam rasa
sakit mencoba tersenyum. Dengan tangan gemetaran,
dielusnya rambut Seno penuh kasih. Kontan rasa haru
merebak di hati si bocah. Bibirnya bergetar dan ma-
tanya pun berkaca-kaca. Seno hendak menangis.
"Anakku, Seno Prasetyo...," sebut sang ibu dengan suara berat berwibawa. "Sampai
di mana pun kau merasakan kesengsaraan dan kedukaan, kau tidak boleh menangis!
Apa kau lupa pada nasihat Ibu?"
"Ya. Ya, Ibu. Seno tidak lupa, tapi...," menggantung kalimat Seno, Ditekannya
perasaan sedih yang
menggeluti batinnya. Air mata yang hendak jatuh me-
nitik diusapnya pula.
"Seno,.., kalau kau masih ingat nasihat Ibu itu,
coba kau ulangi. Ibu ingin mendengarnya...," perintah sang ibu, sungguh-sungguh.
Seno mengusap lagi matanya untuk menghalau
air bening yang hendak tumpah. Sambil memandang
wajah pucat sang Ibu, Seno berkata, "Mana dapat Seno lupa pada nasihat yang
seringkali Ibu berikan..." Dalam keadaan apa pun, Seno tidak boleh menangis. Ka-
lau Seno menangis, berarti Seno tidak tabah. Kalau
Seno tidak tabah, berarti Seno tak kuasa menjalani hidup yang kata Ibu memang
penuh tantangan dan co-
baan...." "Bagus!" puji sang ibu Dewi Ambarsari. "Kalau nanti Ibu pergi, Seno tidak boleh
menangis pula. Kuburkan mayat Ibu sedalam kau mampu menggali ta-
nah di Bukit Takeran ini..."
"Ibuuu...," desis Seno. "Ibu tidak boleh pergi.
Siapa nanti yang menemani Seno...?"
"Hus!" sentak sang ibu, menekap luka di da-
danya. "Kau harus tahu, Seno. Semua manusia menjalani tiga tahap kehidupan yang
telah ditentukan oleh
Sang Pencipta. Pertama, hidup di alam kandungan se-
bagai janin. Kedua, hidup di alam nyata atau dunia fa-na seperti yang Seno lihat
dan rasakan ini. Ketiga atau yang terakhir, setiap manusia akan hidup di alam
bar-zah atau alam kekal. Di sana, setiap manusia akan
menerima pembalasan dari segala perbuatannya di
dunia fana. Yang baik akan menerima budi kebaikan-
nya dan yang jahat akan menerima balasan siksa dari
kejahatannya...."
"Ibu...," sebut Seno semakin khawatir karena melihat sang ibu begitu memaksakan
diri untuk dapat
berbicara banyak.
"Seno! Kau tidak boleh menangis!" sentak sang ibu lagi. "Ibu akan segera pergi
untuk menjalani kehi-
dupan Ibu yang ketiga. Relakan kepergian Ibu. Setelah kau mengubur mayat Ibu
nanti, pergilah ke Perguruan
Tapak Sakti. Belajarlah ilmu olah kanuragan di pergu-
ruan silat yang terletak di lereng Gunung Lawu itu.
Kau di sana akan mendapat banyak teman. Jadi, tak
perlu kau sesali kepergian Ibu nanti...."
"Ya. Ya, Bu. Tapi...."
"Hus! Tak ada kata 'tapi' lagi!" potong sang ibu.
"Ingat satu lagi pesan ibu. Seumur hidup kau harus jujur. Sekali kau tidak
jujur, maka akan ada ketidakjujuran yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Kalau
sudah begitu, kau akan terbiasa berbohong. Dan kalau sudah
terbiasa berbohong, suatu saat kau pasti akan meme-
tik buah kebohongan mu itu...."
"Ya. Ya, Bu. Seno berjanji akan selalu jujur...,"
sambut Seno penuh kesungguhan.
"Bagus! Kau memang anak yang baik," puji
sang ibu. "Kenapa Ibu berkata bahwa kau harus selalu jujur, Seno" Kau harus tahu
bahwa apa yang terjadi
pada Ibu ini tak lain karena akibat ketidakjujuran
ayahmu.... Ayahmu telah berbohong. Dan, Ibu yang
sebenarnya tidak bersalah apa-apa turut menanggung
akibatnya pula...."
"Ayah?" kesiap si bocah lugu Seno Prasetyo.
"Siapa sebenarnya ayah Seno, Bu" Kenapa Seno tidak pernah bertemu dengannya"
Apakah dia masih hidup,
Bu" Di mana dia sekarang" Dan, kenapa dia membo-
hongi Ibu?"
Dewi Ambarsari menarik napas panjang men-
dengar si bocah yang mencecarnya dengan rentetan
pertanyaan. Dewi Ambarsari teringat masa lalunya.
Rasa sedih tiba-tiba datang merejam kalbunya. Air ma-
tanya hendak menitik, tapi cepat dia tekan rasa sedih itu.
Kemudian dengan suara yang mulai terbata-
bata, Dewi Ambarsari berkata, "Ayahmu bernama
Darma Pasulangit. Dia seorang putra mahkota raja
Mahespati yang bernama Darma Sagotra. Sayangnya,
ayahmu tak dapat diangkat menjadi raja karena seo-
rang punggawa kerajaan berpangkat senopati berhasil
menyulut api pemberontakan. Kakekmu, Eyang Darma
Sagotra, meninggal di ujung keris Senopati Raksa Ja-
linti. Lalu, ayahmu menjadi seorang buronan.... Bertahun-tahun dia mengasingkan
diri dan terus berlatih
ilmu bela diri. Hingga lima tahun kemudian, dia keluar dari tempat
persembunyiannya dengan memakai gelar
Ksatria Seribu Syair, karena ayahmu memang pandai
membuat syair dan sajak.... Kemudian, dia berkenalan
dengan Ibu. Waktu itu Ibu sudah cukup punya nama
di rimba persilatan. Orang-orang menjuluki Ibu seba-
gai Putri Bunga Putin.... Huk! Huk!"
Terbelalak mata Seno melihat sang ibu batuk-
batuk dan dari sudut bibirnya melelehkan darah segar.
"Ibuuu...!" pekik khawatir si bocah. "Katakan bagaimana aku harus menolong Ibu"!
Katakan Ibu! Apakah aku harus menggendong Ibu menuruni bukit
untuk pergi ke seorang tabib" Katakan Ibu! Jangan
buat Seno jadi ketakutan seperti ini!"
"Hus! Kau tidak bersalah, kenapa harus ta-
kut"!" sentak sang ibu untuk kesekian kalinya. Tak ada seorang pun tabib yang
dapat menolong Ibu. Luka-luka Ibu terlalu parah.... Oleh karena itu, yang dapat
Seno lakukan hanyalah mendengarkan kata-kata Ibu
ini...." "Ya. Ya, Seno mengerti. Tapi...."
"Sudah Ibu bilang, tidak ada kata 'tapi'! Buka
telingamu lebar-lebar. Dengarkan kata-kata ibumu
ini...." Mengangguk si bocah lugu Seno Prasetyo. Ang-
gukannya perlahan dan penuh getaran karena mena-
han air mata yang mendesak hendak tumpah.
"Perkenalan Ibu dengan Ksatria Seribu Syair
berlanjut menjadi akrab...," Dewi Ambarsari mene-ruskan ceritanya. "Kami sama-
sama jatuh cinta dan menikah, lalu lahirlah kau, Seno. Namun, kau harus
tahu. Ibu mau menikah dengan Ksatria Seribu Syair
karena Ibu tidak tahu kalau dia sebenarnya adalah
seorang bekas putra mahkota bernama Darma Pasu-
langit. Ayahmu itu telah membohongi Ibu. Semula, dia
mengaku bernama Wisnu Sidharta.... Hingga sampai
akhirnya, terjadilah rentetan peristiwa yang amat men-gerikan itu. Saat kau
masih berumur enam bulan, ke
mana pun ibu dan ayahmu pergi, kami selalu dikejar-
kejar orang yang punya satu niat, yakni membunuh
kami. Karena Ibu curiga, Ibu melakukan penyelidikan.
Dan kemudian, Ibu dapat membuktikan bahwa ayah-
mu memang telah membohongi Ibu. Dengan memakai
nama Wisnu Sidharta dan bergelar Ksatria Seribu
Syair, ayahmu bermaksud menyusun kekuatan untuk
merebut kembali takhta Kerajaan Mahespati yang telah
direbut Senopati Raksa Jalinti. Namun, maksud
ayahmu itu tercium, dan Senopati Raksa Jalinti pun
mengirim kaki-tangannya untuk membunuh ayahmu
dan tentu saja Ibumu ini.... Karena tak tahan hidup
selalu jadi buronan orang, Ibu memisahkan diri den-
gan ayahmu. Ibu terus hidup berpindah-pindah men-
cari tempat yang aman sambil merawat dirimu hingga
kau sebesar ini...."
"Lalu, ke mana perginya Ayah, Bu?" tanya Se-no, tak kuasa menahan rasa ingin
tahunya. Kepala sang ibu menggeleng lemah. "Ibu tak ta-
hu. Namun, yang harus kau tahu, sekarang Ibu telah
menjadi korban kebohongan ayahmu. Dan secara tak
langsung, kau pun turut menanggung akibatnya. Kau
akan menjadi anak piatu, Seno...."
"Tidak, Bu! Ibu tidak boleh pergi!" pekik Seno, kalut. "Hus! Sudah Ibu bilang
bahwa setiap manusia akan menjalani tiga tahap kehidupan. Ibu pun demikian. Ibu
harus pergi untuk menjalani tahap kehidu-
pan Ibu yang ketiga...," tutur Dewi Ambarsari, mencoba tersenyum untuk
menguatkan hati putranya. "Dan sebelum Ibu pergi, Ibu Ingatkan sekali lagi. Kau
harus tabah menjalani kehidupan ini. Selain tabah, kau harus jujur pula. Kau
tidak boleh berbohong. Apa yang
terjadi pada Ibu ini, bisa kau jadikan sebagai pelajaran.... Huk! Huk!"
Dewi Ambarsari menutup kalimatnya dengan
batuk-batuk. Darah segar meleleh lagi dari sudut bi-
birnya. Dia pun menekap erat luka di dadanya dengan
tangan kanan. Sementara, tangan kirinya membelai
rambut si bocah lugu Seno Prasetyo.
"Ibu...," desis Seno dengan kesedihan yang semakin merebak.
"Seno anakku...," sahut Dewi Ambarsari. Kepala Seno ditekannya lalu diciumnya
kedua pipi si bocah.
Seno pun terhanyut haru dalam ciuman itu.
Namun, segera dia memekik parau saat mengetahui
pelukan sang ibu melemah dan hembusan nafasnya
terhenti karena terlalu banyak darah yang keluar. Dewi Ambarsari meninggal dalam
pelukan buah kasihnya....
"Ibuuu...! Ibuuu...!"
Seno memekik berulang kali. Dia panggil seraya
menggoyang-goyangkan tubuh ibunya. Tapi, Dewi Am-
barsari tetap diam. Kelopak matanya terpejam rapat.
Bibirnya menyungging senyum. Dewi Ambarsari tam-
pak begitu ikhlas melepas nyawanya dalam pelukan si
bocah lugu Seno Prasetyo.
Walau kesedihan telah membuat remuk redam
hati Seno, tapi bocah lelaki itu tak mau menangis. Tekadnya sudah bulat untuk
menuruti semua nasihat
dan pesan ibunya. Saat sang baskara tegak lurus di
atas kepala; Seno mulai menggali tanah dengan meng-
gunakan pedang peninggalan ibunya yang baru saja
digunakan untuk bertempur.
Menuruti pesan sang ibu, Seno menggali tanah
sekuat tenaga. Dia ingin mengubur jenazah ibunya se-
dalam dia mampu. Dan karena menggali dengan sege-
nap tekad membaja, dia mampu membuat lubang se-
dalam dua tombak. Ketika itu hari sudah menjelang
malam. Susah payah Seno membopong jenazah ibunya
untuk disemayamkan. Pedang peninggalan sang ibu
turut dikuburkan pula. Begitu lubang makam sudah
ten timbun rapi, Seno tergolek pingsan karena kelela-
han. Saat cahaya fajar menyiramkan warna keema-
san, Seno siuman. Sampai sang baskara beranjak naik
membawa hari menjadi pagi, Seno terus duduk ber-
simpuh, mengucap doa-doa bagi sang ibu.
"Ibu...," desis si bocah lugu kemudian. "Aku ta-hu orang yang membunuh Ibu
adalah seorang lelaki
bernama Banyak Langkir atas suruhan Raksa Jalinti.
Aku bersumpah untuk membalas kebiadaban ini!"
Seno tahu nama orang yang telah membunuh
ibunya karena dia sempat mendengar sang ibu menye-
but nama lelaki yang membakar rumah dan kemudian
membunuh wanita yang paling dicintainya itu.
"Aku akan pergi ke Perguruan Tapak Sakti," tekad si bocah lugu lagi. "Setelah
cukup menimba ilmu,
akan kucari pula ayahku yang bernama Darma Pasu-
langit atau Wisnu Sidharta yang bergelar Ksatria Seri-bu Syair. Walau dia
ayahku, aku tetap akan meminta
pertanggung jawabannya karena dia telah membohongi
mu dan kemudian membuatmu begitu menderita,
Bu...." Usai mengutarakan tekad hatinya, Seno mencium pusara ibunya. Lalu, dia
bangkit seraya meman-
dang sisa gubuk bambunya yang telah terbakar habis
menjadi arang dan setumpuk abu.
Seno lalu mendorong-dorong sebongkah batu
sebesar kambing untuk dijadikan tanda di makam
ibunya. Karena batu itu cukup berat dan letaknya cu-
kup jauh, Seno pun mendapat kesulitan. Tapi, Seno
punya tekad baja. Dia tak mau menyerah. Hingga keti-
ka sang baskara telah bergeser di atas kepala, akhir-
nya dapatlah Seno meletakkan nisan bongkah batu di
makam ibunya.

Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan keringat membanjir dan perut lapar
melilit-lilit, Seno menatap makam ibunya beberapa la-
ma. Diciumnya nisan bongkah batu seraya berkata,
"Seno pergi ke Gunung Lawu sekarang, Bu. Semoga
Ibu dapat tenang dan bahagia dalam menjalani kehi-
dupan Ibu yang ketiga...."
Seno menguatkan hatinya agar tak menangis.
Dia bungkukkan badannya tiga kali, lalu membalikkan
badan, berjalan tertatih-tatih menuruni lereng Bukit
Takeran.... *** 2 GUNUNG Lawu terletak di sebelah barat Bukit
Takeran. Namun karena tidak seberapa paham akan
daerah-daerah di sekitarnya, langkah kaki si bocah lu-gu Seno Prasetyo melenceng
arah ke utara. Dia berja-
lan dengan semangat dan tekad yang panas bergelora.
Tapi, semangat dan tekad besar itu justru membuat
Seno melangkah tanpa perhitungan matang.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari,
sampailah dia di tepi Alas Roban. Karena bingung me-
lihat hutan yang begitu luas dan lebat, Seno bermak-
sud mencari dusun atau desa sebagai tempat untuk
beristirahat, sekaligus mencari keterangan di mana letak Perguruan Tapak Sakti
yang berada di lereng Gu-
nung Lawu. Sebenarnya, sejak dari turun dari Bukit Take-
ran, Seno telah melihat puncak sebuah gunung yang
tinggi menjulang. Namun karena tidak yakin apakah
gunung yang dilihatnya itu adalah puncak Gunung
Lawu atau bukan, Seno berjalan ke utara. Lagi pula,
puncak gunung yang dilihatnya itu tak sebegitu jauh
dari Bukit Takeran, sehingga Seno berpikiran bahwa
tak mungkin ibunya memberikan wasiat yang begitu
mudah dicapai. Bukankah kalau orang punya tujuan
dan cita-cita tinggi akan banyak mendapat kesulitan
dan tantangan" Kalau Perguruan Tapak Sakti di lereng
Gunung Lawu dapat dicapai dengan mudah, lalu di
mana letak kesulitan dan tantangan itu" Begitulah pi-
kiran yang ada di benak Seno. Sehingga, dia tak mau
mengambil arah ke puncak gunung yang sejak semula
telah terlihat olehnya.
Tapi setelah langkah kakinya sampai di tepi
Alas Roban, barulah Seno sadar bila telah tersesat jalan. Dia lalu memutuskan
untuk berjalan ke timur. Di
sepanjang perjalanan, dia makan seadanya. Asal dapat
menghilangkan rasa laparnya, apa pun makanan yang
dia jumpai akan disantapnya.
Pada perjalanan di hari ketiga, langkah kaki si
bocah lugu Seno Prasetyo sampai di sebuah desa ter-
pencil bernama Karangmojo. Di desa itu, Seno berma-
lam sehari di rumah seorang petani miskin. Dari petani itu, Seno mendapat
keterangan bahwa puncak gunung
yang sejak semula dilihatnya ternyata memang puncak
Gunung Lawu. Maka, tiada henti Seno merutuk dan
mengutuk kebodohannya sendiri.
Dan dari mulut si petani miskin pula, Seno
mendapat keterangan lain yang tak kalah berharga.
Menurut cerita petani itu, tujuh belas tahun yang lalu di kotapraja Mahespati
memang terjadi pertempuran
besar-besaran. Pasukan pemberontak yang dipimpin
oleh Senopati Raksa Jalinti bermaksud menggulingkan
takhta Prabu Darma Sagotra, yang kemudian berhasil
dibunuhnya. Pasukan kerajaan lalu tercerai-berai. Banyak
yang mati, banyak pula yang melarikan diri. Sang pu-
tra mahkota Darma Pasulangit pun turut mencari se-
lamat, dan tak terdengar lagi kabar beritanya.
Kemudian, Senopati Raksa Jalinti mengangkat
dirinya sendiri sebagai raja Mahespati. Setahun setelah memegang tampuk
kekuasaan, Raksa Jalinti mengganti namanya menjadi Wira Parameswara.
"Lalu, sampai sekarang ini apakah Prabu Wira
Parameswara dapat menjalankan pemerintahan den-
gan baik, Kek?" tanya Seno di pagi hari itu.
Si petani miskin yang tak lebih dari seorang
kakek kurus tak segera menjawab pertanyaan si bo-
cah. Diambilnya sepotong ubi yang disuguhkan is-
trinya. Setelah menyantap habis ubi itu, barulah dia
membuka suara lagi.
"Walau mendapat kekuasaan dengan cara yang
tidak benar, boleh dikata Prabu Wira Parameswara da-
pat menjalankan pemerintahan dengan baik. Dia dapat
berbuat adil dan bijaksana, sehingga hati para pung-
gawa istana menjadi senang. Dan tampaknya, rakyat
pun puas pula melihat kepemimpinan sang Prabu.
Hanya saja...."
"Hanya saja apa, Kek?" kejar Seno karena mendengar kalimat si petani yang
menggantung. "Hmmm.... Tampaknya, kau begitu tertarik
mendengar cerita ku. Memangnya kau ini siapa?" si petani malah menyelidik.
Mendengar pertanyaan itu, ingin rasanya Seno
berdusta. Karena kalau dia berterus terang, bukan
mustahil dirinya berada dalam bahaya. Bukankah di-
rinya adalah putra bekas putra mahkota Mahespati,
Darma Pasulangit yang mencoba menyusun kekuatan
untuk dapat merebut kembali takhta kerajaan" Bu-
kankah ayahnya itu terus menjadi buronan, yang bu-
kan mustahil dirinya turut menjadi buronan pula"
"Hei! Kenapa kau diam saja, Seno" Kau tak
mendengar pertanyaanku?" sentak si petani miskin.
Sejenak, Seno nyengir kuda. Teringat akan pe-
san ibunya yang melarangnya untuk berbohong, ak-
hirnya Seno menjawab.
"Aku adalah putra Ksatria Seribu Syair."
"Ksatria Seribu Syair?" kening si petani berkerut rapat. Sebagai seorang petani
yang tak mau men-
campuri urusan rimba persilatan, orang tua ini tak ta-hu siapa itu Ksatria
Seribu Syair. "Kakek tidak pernah mendengar nama Ksatria
Seribu Syair?" tanya Seno, kebodoh-bodohan.
"Aku seorang petani miskin yang tak tahu uru-
san rimba persilatan. Mana aku mengenal orang yang
kau sebutkan itu?" ujar si petani. "Tapi, cobalah kau terangkan siapa Ksatria
Seribu Syair itu?"
Seno nyengir kuda lagi. Karena melihat kebai-
kan si petani dan karena tak mau berbohong pula, ter-
paksa Seno bercerita.
"Sebenarnya, Ksatria Seribu Syair itu adalah
sebuah gelar, Kek. Dia sendiri bernama Darma Pasu-
langit. Tapi dulu ketika berjumpa dengan ibuku, dia
mengaku bernama Wisnu Sidharta. Kemudian...."
"Sebentar!" potong si petani. "Kau tadi berkata bahwa Ksatria Seribu Syair
adalah Darma Pasulangit.
Berarti, kau ini putra bekas calon pewaris takhta Ma-
hespati.... Benarkah itu?"
"Benar, Kek," angguk Seno. "Kemudian, setelah ibuku tahu kalau ayahku sebenarnya
adalah seorang buronan, ibuku lari dengan membawa diriku. Hingga
beberapa candra yang lalu, aku dan ibuku tinggal di
Bukit Takeran. Tapi, kini Ibuku telah meninggal dibu-
nuh orang, Kek...."
Si petani tak seberapa mendengarkan cerita
Buyung lagi. Begitu tahu bila Seno adalah putra Dar-
ma Pasulangit, hatinya langsung diliputi perasaan tak enak. Rasa takut dan
khawatir bergelut pula dalam dirinya. "Seno...," sebut si petani kemudian,
tarikan nafasnya tiba-tiba memburu. "Bukan aku tak membolehkan kau tinggal di
tempat ini. Tapi, kau harus tahu,
kalau kau berada di sini, sama saja aku memelihara
anak harimau...."
"Kakek mengusirku?" tanya Seno, kebodoh-
bodohan lagi. "Tidak! Aku tidak mengusirmu!" tukas si petani,
cepat. "Sampai hari ini, kudengar orang-orang Prabu Wira Parameswara terus
mencari ayahmu itu. Aku tak
mau terkena getahnya...."
Usai berkata, si petani membungkus suguhan
ubi yang masih tersisa dengan daun pisang. Lalu, dia
sodorkan bungkusan ubi itu kepada Seno seraya ber-
kata, "Aku tidak mengusirmu. Tapi, kau harus pergi jauh-jauh dari desa ini.
Bawalah ubi ini sebagai be-kalmu...."
Si petani bangkit berdiri dari tikar pandan. Wa-
lau dia berkata tidak mengusir, namun dipaksanya
Seno untuk berdiri. Lalu, si bocah yang masih terlon-
gong bengong diseretnya keluar rumah.
"Hei! Kenapa dengan bocah itu, Aki"!" tegur istri si petani yang tiba-tiba
muncul dari serambi belakang.
"Walau kita tak punya anak, tapi bocah lelaki
ini harus cepat angkat kaki dari rumah kita, Ni!" seru si petani.
"Kenapa"!" sentak si istri, agak marah. "Dia putra Darma Pasulangit!"
"Apa?"
"Dia putra Darma Pasulangit!"
"Bekas putra mahkota yang menjadi buronan
itu?" "Ya!"
Mendengar keterangan suaminya, mendadak
amarah si nenek ditujukan kepada Seno yang sebe-
narnya tak berdosa apa-apa. Seno yang masih tampak
terlongong bengong didorong-dorongnya sampai keluar
dari halaman rumah. Akhirnya, Seno pun menyadari
keadaan. Demi keselamatan si petani dan istrinya dia
memang harus segera pergi.
Seno melangkah cepat. Tapi....
"Tunggu dulu!" cegah si petani.
Langkah Seno terhenti seraya menoleh. Tampak
olehnya si kakek miskin yang menyorongkan bungku-
san ubi sambil berkata, "Bawalah ubi ini, Seno!"
Karena Seno masih harus berjalan jauh yang
tentu saja butuh makanan, segera dia melangkah un-
tuk menerima ubi pemberian si petani. Tapi, istri lelaki tua itu tiba-tiba
merampas bungkusan ubi yang hendak diberikan kepada Seno.
"Jangan, Aki!" sergah si nenek. "Jangan beri apa-apa kepada bocah itu. Kalau
orang-orang sang
Prabu tahu kita memberi makan pada anak Darma Pa-
sulangit, kita nanti bisa celaka!"
"Ya. Ya!" sambut si kakek.
Seno menarik napas panjang. Setelah nyengir
kuda sejenak karena kecewa, dia melangkah cepat un-
tuk segera dapat pergi dari desa Karangmojo. Dia pun
melangkah semakin cepat, agar dapat sampai pula di
lereng Gunung Lawu yang kini telah dia ketahui letak-
nya. * * * Enam hari kemudian....
Setelah melalui aral rintangan berupa tebing
terjal dan rimbunan semak belukar, sampailah Seno di
sebuah rumah joglo besar beratap sirap. Rumah yang
terletak di lereng Gunung Lawu itu adalah padepokan
Perguruan Tapak Sakti.
Namun sayang, beberapa murid perguruan silat
itu mengusir dan menghardik Seno. Tampang si bocah
memang kelihatan begitu kotor dan dekil. Selembar
pakaian yang melekat di tubuhnya pun sudah robek di
sana-sini. Selain itu, kedatangan Seno pun bertepatan
dengan meninggalnya ketua padepokan yang bernama
Ki Tunggul Jaladara yang telah digerogoti usia tua. Sehingga, dalam suasana
berkabung, anak murid Pergu-
ruan Tapak Sakti tak mau menerima tamu. Apalagi,
tamu itu hanya seorang bocah macam Seno Prasetyo
yang miskin-papa.
Namun karena tekad di hati Seno sudah sede-
mikian besar dan kuat, dia tak mau pergi jauh dari
padepokan. Dengan tidur di atas pohon, dia menunggu
selama tujuh hari sampai suasana berkabung habis.
Dan pada pagi itu, dengan tubuh lelah lunglai
karena kurang makan dan kepayahan, Seno menda-
tangi lagi Perguruan Tapak Sakti.
Kebetulan kedatangan Seno disambut langsung
oleh Gagak Ireng, seorang murid tertua yang telah
menggantikan Ki Tunggul Jaladara. Tapi, nasib apes
agaknya masih suka mengiringi perjalanan hidup si
bocah lugu Seno Prasetyo. Gagak Ireng ternyata punya
sifat berangasan dan tinggi hati. Sifat buruk itu ter-cermin dari kata-katanya
manakala dia menyambut
Seno di halaman padepokan.
"Hei! Tujuh hari yang lalu, menurut laporan
anak buahku, ada seorang bocah gembel datang kema-
ri. Apakah gembel itu kau?"
Gagak Ireng yang bertubuh tinggi besar dan
brewokan menatap tajam wajah dekil Seno, seakan in-
gin menelan tubuh si bocah. Sementara, Seno yang
mendengar ucapan kasar Gagak Ireng tampak ragu-
ragu. Dia tak segera menjawab karena tak tahu yang
disebut bocah gembel itu dirinya atau bukan. Seno
merasa, walau tubuhnya kurus kotor dan berpakaian
compang-camping, tapi dirinya bukan gembel. Bukan-
kah dirinya putra sepasang pendekar" Menurut piki-
ran Seno, putra seorang tokoh terkenal tidak bisa dis-
ebut gembel, bagaimanapun keadaannya.
"Hei! Kau dengar pertanyaanku atau tidak"!"
sentak Gagak Ireng yang melihat Seno diam terpekur.
"Pertanyaan apa, Tuan Pendekar?" si bocah balik bertanya dengan raut wajah
kebodoh-bodohan.
Semakin melotot bola mata Gagak Ireng. "Dasar
tuli!" umpatnya. "Tujuh hari yang lalu ada seorang bocah gembel datang kemari.
Apakah bocah gembel itu
kau"!" Seno tak segera menjawab lagi. Setelah berpikir-pikir, akhirnya dia
berkata, "Tujuh hari yang lalu saya memang datang ke padepokan ini, Tuan
Pendekar. Tapi..., saya bukan gembel...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Gagak Ireng melihat keluguan si bocah. "Kalau
bukan gembel, lalu kau ini apa"! Pengemis" Atau gelandangan?"
"Saya bukan pengemis, Tuan Pendekar. Seu-


Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mur hidup, saya memang tidak pernah mengemis. Ta-
pi, kalau diberi makanan orang, saya sangat senang
dan pasti menerimanya. Tapi, saya tidak mengemis,
Tuan Pendekar. Saya diberi bukan karena saya me-
minta...," tutur Seno. "Tapi, Tuan Pendekar, kalau saya disebut gelandangan,
mungkin ada benarnya. Beberapa hari ini saya memang hidup menggelandang karena
melakukan perjalanan jauh. Ibu saya baru saja me-
ninggal, Tuan Pendekar...."
Mendengar kata-kata si bocah yang tampak be-
gitu jujur dan terkesan sangat lugu, Gagak Ireng ter-
tawa bergelak lagi. Suara tawa ketua Perguruan Tapak
Sakti yang baru itu begitu kerasnya, sampai belasan
murid yang tengah berlatih di halaman belakang
menghentikan latihannya karena terkejut. Tapi setelah mengenali suara tawa itu
berasal dari mulut sang ketua, mereka segera melanjutkan latihan lagi.
"Ha ha ha...! Kau ini lucu, Bocah! Kau tidak
mau disebut gembel, tapi mau disebut sebagai gelan-
dangan. Lalu, apa bedanya gembel dengan gelandan-
gan?" kejar Gagak Ireng. Pemuda berumur tiga puluh tahunan ini mulai suka pada
Seno karena melihat keluguan si bocah.
Mendengar pertanyaan Gagak Ireng, Seno
nyengir kuda sejenak. Matanya mengerjap-ngerjap, se-
hingga wajahnya tampak jenaka. Namun, dia bingung
juga. Apa bedanya gembel dan gelandangan" Dia tak
bisa menjawab. Tapi karena dia tadi sudah telanjur
berkata tak mau disebut gembel dan membolehkan
orang menyebut dirinya sebagai gelandangan, maka
diputarnya otak untuk mencari perbedaan dua sebu-
tan itu. "Begini, Tuan Pendekar...," ujar Seno kemudian. "Gembel itu orang jelek
dan sangat miskin. Kalau gelandangan, dia juga sangat miskin, tapi belum tentu
kalau dia jelek...."
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Gagak Ireng. "Kau ini aneh, Bocah. Aku tahu kau
sangat lugu dan jujur. Apa
yang ada di hatimu, maka itulah yang kau katakan.
Aku pun tahu kedatanganmu ini tentu punya maksud
agar aku bersedia mengangkatmu sebagai murid. Kau
sudah memenuhi salah satu syarat. Karena kejuju-
ranmu itu. Tapi, ada banyak syarat lain yang harus
kau penuhi agar bisa menjadi murid Perguruan Tapak
Sakti..." "Apa saja itu, Tuan Pendekar?" buru Seno. "Apa pun akan saya lakukan
agar saya dapat belajar ilmu
silat. Saya harus membalas kematian ibu saya. Ibu
saya dibunuh orang, Tuan Pendekar...."
"Hmmm.... Itu alasan basi, Bocah. Hampir se-
mua murid di padepokan ini berkata punya dendam
karena orangtua atau orang yang sangat dicintainya
mati dibunuh orang, lalu datang ke padepokan ini un-
tuk belajar ilmu silat, agar kelak dapat menuntut ba-
las. Dulu, ketika pertama kali datang ke hadapan Ki
Tunggul Jaladara, aku pun punya alasan seperti itu.
Tapi, aku tidak berbohong. Kedua orang tuaku me-
mang mati dibunuh orang. Kemudian, aku diterima.
Namun sebelum diberi pelajaran ilmu silat, Ki Tunggul Jaladara memberi wejangan.
Suatu saat nanti, aku boleh menuntut balas pada si pembunuh kedua orang
tuaku. Tapi, aku tidak boleh menuntut balas karena
alasan dendam. Apa yang kulakukan hanyalah karena
dorongan jiwa pendekar bahwa yang jahat mesti dibe-
rantas, kebenaran mesti dijunjung, dan keadilan mesti ditegakkan.... Kau
mengerti apa yang kukatakan, Bocah?" Nyengir kuda Seno. Karena umurnya belum
genap dua belas tahun, yang tentu saja akal pikirannya
tidak seberapa pintar, maka hanya beberapa bagian
kalimat Gagak Ireng yang dapat dimengertinya.
Sementara, Gagak Ireng yang melihat Seno te-
rus nyengir kuda, tertawa bergelak lagi. "Ha ha ha...!
Kau tak mengerti pun tak jadi apa, Bocah. Pada saat-
nya nanti, kau pasti akan mengerti. Yang penting, agar bisa diterima menjadi
murid Perguruan Tapak Sakti,
kau harus jujur. Lain itu, kau harus punya jiwa ksa-
tria. Membela yang lemah, dan menindas yang kuat
namun jahat.... Sekarang, aku ingin tahu, siapa na-
mamu, kenapa ibumu sampai meninggal dibunuh
orang, dan apakah ayahmu sudah meninggal pula?"
Senang sekali hati Seno mendengar kata-kata
Gagak Ireng yang kini terdengar ramah dan bersaha-
bat. Karena desakan rasa senangnya itu, dia bangkit
dari duduk bersimpuhnya, lalu mencium kedua kaki
Gagak Ireng. "Eh! Eh! Kau ini kenapa?" sentak Gagak Ireng karena kaget melihat perilaku si
bocah. Seno duduk bersimpuh lagi. "Saya senang,
Tuan Pendekar. Sungguh saya senang sekali...."
"Kenapa?"
"Karena saya akan diterima jadi murid...."
"Siapa bilang" Aku baru mau bertanya, Bodoh!"
Mengelam paras Seno mendengar ucapan Ga-
gak Ireng yang kembali keras dan ketus. Setelah nyen-
gir kuda sejenak, si bocah berkata, "Saya kira Tuan Pendekar mau mengangkat saya
sebagai murid...."
"Untuk menjadi murid Perguruan Tapak Sakti
tidak mudah, Bocah. Ada banyak syarat dan ujian
yang harus kau penuhi. Namun kesemuanya itu, yang
terpenting adalah sifat. Hanya orang bersifat jujur dan ksatria yang dapat
menjadi murid padepokan ini...."
"Saya pasti jujur, Tuan Pendekar," sambut Se-no. "Seumur hidup, saya tak akan
berbohong. Sebelum meninggal, ibu saya berpesan bahwa saya tidak boleh
berbohong. Kalau berbohong, suatu saat saya pasti
akan celaka."
"Bagus! Tapi kuharap kesanggupan untuk me-
menuhi pesan Ibumu itu bukan hanya untuk bermanis
mulut saja. Kau harus benar-benar menjalankannya.
Sekarang, katakan siapa namamu dan ceritakan asal-
usulmu...."
"Nama saya Seno Prasetyo, Tuan Pendekar,"
ujar Seno dengan mata berbinar-binar karena men-
dengar nada ucapan Gagak ireng melembut lagi. "Sejak kecil, saya hidup
berpindah-pindah dengan ibu saya.
Ibu saya bernama Dewi Ambarsari. Beberapa candra
yang lalu, bersama Ibu, saya tinggal di lereng Bukit
Takeran. Namun, sekitar dua puluh hari yang lalu, se-
belum saya datang ke padepokan ini, rumah saya di
Bukit Takeran dibakar orang. Dan..., ibu saya dibu-
nuh...." Wajah Seno berubah muram durja saat mengatakan bila Ibunya dibunuh
orang. Setelah menarik na-
pas panjang untuk menguatkan hatinya, dia menyam-
bung ucapannya.
"Sebelum meninggal, ibu saya bercerita bahwa
sebenarnya ibu saya bergelar Putri Bunga Putih. Dan,
ayah saya adalah Darma Pasulangit atau Ksatria Seri-
bu Syair...."
"Apa"!" kejut Gagak Ireng. Tanpa sadar pemuda brewokan ini tersurut mundur. "Kau
bohong! Kau dusta! Darma Pasulangit adalah buronan kerajaan. Mana
mungkin dia membiarkan putranya hidup berkeliaran
seperti dirimu"!"
"Sungguh, Tuan Pendekar! Saya tidak berbo-
hong! Kalau berbohong, saya akan celaka," tegas Seno.
"Ayah saya memang Darma Pasulangit atau Ksatria Seribu Syair. Ibu saya Dewi
Ambarsari atau Putri Bunga
Putih...."
Begitu Seno berhenti berkata, Gagak Ireng maju
selangkah. Mendadak tangan kanannya berkelebat!
Plakkk...! "Aduhhh...!"
Gagak Ireng menampar wajah Seno. Walau
hanya menggunakan tenaga luar, tapi tamparan itu
sudah cukup mampu untuk membuat tubuh Seno ter-
pelanting dan jatuh berguling-guling.
Terkejut bukan main si bocah lugu Seno Pra-
setyo. Setelah bangkit dia menatap tak mengerti. Ke-
napa Gagak Ireng menamparnya" Apa salahnya" Bu-
kankah dia telah berkata jujur"
Seno duduk bersimpuh lagi. Pakaiannya yang
kotor terlihat makin kotor. Pipi kirinya yang bengkak lebam terasa panas luar
biasa. Tapi, Seno mampu menahan rasa sakit itu. Dia pun tak menangis. Dan me-
mang, dia tak boleh menangis. Kalau menangis, berarti dia tidak tabah. Kalau
tidak tabah, berarti dia tak kuasa menjalani hidup yang penuh cobaan dan
tantangan ini. Dengan pengertian itu, Seno pun menganggap
tamparan Gagak Ireng sebagai cobaan hidupnya. Un-
tuk mencapai tujuan dan cita-cita tinggi, sudah wajar apabila menemui banyak
aral dan rintangan.
Sementara Seno terlihat duduk bersimpuh lagi
dan diam terpekur, Gagak Ireng melototkan bola mata.
Dengan kata-kata keras menggelegar, dia berujar.
"Kalau kau keturunan Putri Bunga Putih dan
Ksatria Seribu Syair, tak mungkin kau dengan mudah
dapat kutampar! Walau umurmu belum seberapa, an-
dai kau memang benar putra kedua pendekar itu, kau
pasti bisa berkelit! Atau..., kau memang sengaja tak
berkelit?"
"Saya... saya tidak bohong, Tuan Pendekar...,"
sahut Seno, tergagap. "Saya memang anaknya Putri Bunga Putih dan Ksatria Seribu
Syair. Tapi..., saya tak mengerti ilmu silat karena kedua orangtua saya tak
pernah mengajari.... Saya tidak pernah berjumpa den-
gan ayah saya. Sementara, saya pun hidup berpindah-
pindah dengan ibu saya, sehingga Ibu saya tak punya
waktu untuk mengajari ilmu silat kepada saya. Dan,
saya pun tak pernah minta diajari karena saya tidak
tahu kalau sebenarnya ibu saya adalah seorang pen-
dekar wanita bergelar Putri Bunga Putih...."
"Bohong!" sentak Gagak Ireng dengan mata
mendelik. "Pergi kau! Perguruan Tapak Sakti tak
mungkin menerima pendusta macam kau! Masih kecil
sudah pandai berbohong, apalagi nanti kalau sudah
besar! Ayo, cepat pergi kau!"
Kasar sekali Gagak Ireng mencekal lengan
Buyung. Lalu, tubuh si bocah dilemparkannya keluar
halaman. Namun, bergegas Seno bangkit. Tak dia ra-
sakan rasa sakit yang merejam tubuhnya. Dia berlari.
Sesampai di hadapan Gagak Ireng lagi, dia bentur-
benturkan dahinya ke tanah, sampai benjol dan berda-
rah. "Terimalah saya sebagai murid, Tuan Pende-
kar...," iba Seno. "Apa pun akan kulakukan asal Tuan Pendekar meluluskan
permohonan saya...."
Melihat kenekatan si bocah, Gagak Ireng mere-
dam amarahnya. Dan setelah berpikir-pikir, dia berka-
ta, "Andai kau benar anak Ksatria Seribu Syair, kau malah akan kulempar jauh-
jauh dari padepokan ini.
Aku tak mau Perguruan Tapak Sakti punya urusan
dengan pihak kerajaan. Tapi karena aku tak percaya
kalau kau anak buronan itu, bolehlah kau tinggal di
sini...." "Terima kasih... terima kasih, Tuan Pendekar...," sambut Seno,
membentur-benturkan lagi dahinya ke tanah.
"Aku belum selesai bicara! Kau boleh tinggal di
sini, tapi bukan sebagai murid! Tiap pagi kau harus
menggembalakan kambing dan mencari rumput untuk
makanan kuda. Dan sore harinya, kau harus mencari
air untuk keperluan ku!"
Berkerut kening Seno mendengar ucapan Ga-
gak Ireng. Tanpa sadar, dia menatap Gagak Ireng sam-
bil nyengir kuda. Dan dalam hati, dia berkata, "Tampaknya aku sedang diuji. Aku
harus menerima ujian
itu. Aku tak boleh mengecewakan Ibu...."
Lalu, Seno menganggukkan kepalanya seraya
berkata, "Saya terima apa pun tugas dari Tuan Pende-
kar...." 3 MANAKALA terdengar kokok ayam alas, si bo-
cah lugu Seno Prasetyo tersadar dari lamunannya. Dia
menatap nanar tatanan bambu yang menopang atap
sirap. Dia masih punya waktu beberapa saat untuk ti-
dur. Namun, kelopak matanya tak juga mau terpejam.
Apalagi, ketika dari halaman belakang terdengar hiruk pikuk para murid Perguruan
Tapak Sakti yang hendak
memulai latihan.
"Maafkan aku, Bu...," desah Seno. "Aku tak dapat berlatih ilmu silat seperti
mereka. Walau telah
enam candra di sini, tapi tiap hari yang kulakukan hanyalah menggembalakan
kambing, mencari rumput
untuk makanan kuda, dan mencari air untuk keper-
luan Tuan Gagak Ireng...."
Si bocah nyengir kuda, lalu memiringkan tu-
buhnya untuk dapat tidur walau cuma sebentar. Tapi
karena hatinya terserang gelisah dan perasaan tak
enak hatinya, kelopak matanya tetap tak mau dipe-
jamkan. "Maafkan Seno, Bu...," desah si bocah lagi. "Aku telah menuruti pesan Ibu untuk
datang ke Perguruan
Tapak Sakti. Tapi, aku tak memperoleh apa-apa di sini.
Tak ada yang mau mengajari ku ilmu silat. Tak Juga
Tuan Gagak Ireng...."
Seno menelentangkan tubuhnya lagi. Saat ter-
dengar teriakan para pemuda yang tengah berlatih il-
mu silat, dia bangkit dari tempat tidurnya yang berupa tumpukan jerami. Perlahan
dibukanya jendela. Gerakannya hati-hati sekali, seperti tak mau ada orang
yang melihat apa yang akan diperbuatnya.
"Kalau di padepokan ini aku tak dapat mempe-
roleh pelajaran ilmu silat, aku akan menyesal seumur
hidup. Aku harus belajar ilmu silat! Harus! Agar aku
dapat membalas kematian ibuku...," tekad Seno dalam hati. Begitu mendapat
gagasan bagus, Seno merayap
keluar tembok tempat tinggalnya lewat jendela. Dia terus merayap, hingga sampai
di sisi kiri kandang kamb-
ing. Lalu dari balik anyaman bambu yang dibuat reng-
gang, dia mengintip belasan pemuda yang tengah ber-
latih ilmu silat di halaman belakang.
Senang sekali hati Seno saat melihat Gagak
Ireng memberikan petunjuk-petunjuk kepada anggota
baru Perguruan Tapak Sakti. Walau samar-samar ka-
rena hari masih agak gelap, Seno dapat mencatat se-
mua petunjuk Gagak Ireng ke dalam otaknya. Dan saat


Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para murid mempraktekkan petunjuk Gagak Ireng,
Seno pun mengikuti.
Seno menggerakkan tangan dan kakinya mem-
bentuk kuda-kuda. Lalu, dia angkat kedua tangannya
ke atas seraya dirangkapkan di depan dada. Setelah
itu, kedua tangan dan kakinya bergerak melakukan
serangan ataupun tangkisan.
Sungguh tak bisa digambarkan betapa senang-
nya hati Seno. Usai memperagakan jurus curiannya,
dia mengintip lagi. Lalu, memperagakannya lagi. Men-
gintip lagi, memperagakannya lagi. Demikian seterus-
nya. Tentu saja semua gerakan si bocah lugu Seno
Prasetyo terlihat kaku dan sedikit asal-asalan. Tapi, itu pun sudah membuat hati
si bocah teramat senang.
Sehingga, tak bosan dia mengulang-ulang jurus hasil
curiannya. Saking senangnya, Seno sampai lupa pada tu-
gasnya menggembalakan kambing dan mencari rum-
put yang harus dilakukannya begitu matahari terbit di ufuk timur. Suara kambing
mengembik karena lapar
pun tak terdengar lagi oleh Seno, padahal dia berada di dekat kandang binatang
piaraan itu. "Seno...!"
Tiba-tiba terdengar panggilan keras menggele-
gar. Seno pun melonjak kaget. Waktu menoleh, tahu-
lah dia bila Gagak Ireng telah berdiri tak seberapa jauh darinya dengan
pandangan tajam berkilat. Sementara,
matahari telah menampakkan seluruh wajahnya, ber-
sinar membawa terang.
"Tuan Pendekar..., saya... ya, ya... saya harus
menggembalakan kambing...," ujar Seno tergagap dan merasa bersalah karena hampir
melalaikan tugasnya.
Usai berkata, Seno melangkah masuk ke kan-
dang untuk mengeluarkan kambing-kambing yang
hendak digembalakannya. Tapi, lima jari tangan yang
amat kuat tiba-tiba mencengkeram kain bajunya. Tu-
buh kurus Seno diangkat, lalu dibawa keluar lagi dari kandang.
Bruk...! "Uh...!"
Tubuh Seno dijatuhkan di tanah. Dia menga-
duh kesakitan karena tulang belikatnya membentur
batu. Sambil meringis-ringis, Seno mengiba pada Ga-
gak Ireng yang telah membanting tubuhnya.
"Maafkan saya, Tuan.... Saya memang bersalah.
Tapi, kambing-kambing tak akan mati hanya karena
saya terlambat menggembalakan mereka...."
"Bukan karena itu!" bentak Gagak Ireng.
Melihat bola mata Gagak ireng yang melotot be-
sar, nyali Seno langsung menciut. Dia pun merasa ma-
lu ketika melihat para murid yang menontonnya dari
kejauhan. Walau mereka tidak mengeluarkan suara,
tapi Seno merasa seperti diejek dan diolok-olok.
"Apa yang kau lakukan tadi, Seno"!" Gagak
Ireng membentak lagi.
Seno cengar-cengir. Wajahnya terlihat amat bo-
doh. Dengan suara bergetar dia berkata, "Saya... saya memperagakan beberapa
jurus ilmu silat, Tuan Pendekar...." "Hmmm.... Begitu, yah! Siapa yang
mengajari-mu"!" "Saya belajar sendiri, Tuan Pendekar...."
"Belajar sendiri?"
"Ya, Tuan Pendekar. Saya tadi melihat Tuan
Pendekar memberikan petunjuk pada para murid baru.
Lalu, saya mencobanya...."
"Hmmm.... Kalau begitu, kau tadi mengintip
alias mencuri lihat!" ujar Gagak Ireng, tatapannya tetap tajam menusuk. "Ayo,
berdiri kau, Seno!"
Mendapat perintah itu, perlahan Seno bangkit
berdiri sambil mendekap tulang belikatnya yang masih
terasa sakit. "Kau bukan murid Perguruan Tapak Sakti! Kau
tidak boleh memperagakan jurus ilmu silat ciptaan
mendiang Ki Tunggul Jaladara!"
Di ujung kalimatnya, Gagak Ireng mengayun-
kan telapak tangan kanannya!
Plakkk...! "Aduhhh...!"
Begitu telapak tangan Gagak Ireng mendarat di
pipi kiri Seno, tubuh kurus si bocah mencelat! Lalu,
membentur dinding kandang yang terbuat dari any-
aman bambu. Tak ayal lagi, anyaman bambu itu ber-
patahan. Menimbulkan suara berderak gaduh yang
disusul dengan mengembik-embiknya belasan ekor
kambing! Untunglah, walau kurus tapi tubuh Seno cu-
kup kuat. Dia tak mendapat luka yang berarti. Saat dia bangkit, hanya luka memar
dan lecet yang terlihat.
Hebatnya, begitu dapat berdiri, Seno langsung
berjalan menghampiri Gagak Ireng lagi seraya duduk
bersimpuh di hadapan ketua Perguruan Tapak Sakti
itu. Dia pun tidak menangis. Andai tamparan Gagak
Ireng mendarat di pipi bocah lain seusia Seno, pastilah bocah itu akan menangis
menggerung-gerung karena
kesakitan. Namun, Gagak Ireng yang kurang pengalaman
tak dapat melihat kelebihan Seno itu. Keteguhan hati
si bocah tak menjadikan Gagak Ireng senang, tapi ma-
lah membuat memuncaknya amarah. Kalau saja Ki
Tunggul Jaladara masih hidup, pendiri Perguruan Ta-
pak Sakti itu pasti menerima Seno sebagai murid den-
gan senang hati. Sebagai tokoh tua yang sudah ke-
nyang makan asam-garam rimba persilatan, Ki Tung-
gul Jaladara pasti dapat melihat kelebihan Seno bila dibanding dengan bocah lain
seusianya. "Hayo! Pergi kau sekarang!" usir Gagak Ireng kemudian.
Terkejut bukan main Seno mendengar ucapan
keras itu. Dia pun memberanikan diri untuk menatap
wajah garang pemuda brewokan yang berdiri di hada-
pannya. "Kenapa Tuan Pendekar mengusir saya...?" ujar Seno. "Saya mengaku bersalah, Tuan
Pendekar telah menghukum saya, tapi kenapa Tuan Pendekar mengusir saya...?"
"Padepokan ini haram didiami oleh seorang
pencuri busuk macam kau!"
"Tapi, Tuan Pendekar..., saya hanya mencuri li-
hat..." "Hanya mencuri lihat, katamu"!" sentak Gagak Ireng. "Kau bukan hanya
mencuri lihat! Kau telah memainkan jurus-jurus 'Tapak Sakti'! Yang bukan murid,
dilarang memainkan jurus itu! Kau tahu, para pemuda
menjadi murid baru di sini itu telah membayar banyak
kepadaku. Mereka para putra lurah atau demang,
bahkan ada yang putra seorang adipati! Tapi, kau"
Kau cuma gembel yang mengaku-aku sebagai anak
Ksatria Seribu Syair! Hmmm.... Tempat ini sudah tak
boleh kau jamah lagi, Seno! Enyahlah kau sekarang
juga!" "Tapi, Tuan Pendekar...."
Seno hendak mengucap beberapa patah kata
untuk berkilah, tapi jemari tangan Gagak Ireng keburu mencengkeram kain bajunya.
Sekali lagi, tubuh kurus
Seno dilemparkan begitu saja, seperti melemparkan
seonggok sampah.
Seno jatuh bergulingan, hingga mencapai tepi
halaman belakang. Belasan pemuda murid baru Per-
guruan Tapak Sakti tampak menatap haru pada sosok
Seno yang merangkak bangkit. Mereka tak habis men-
gerti, kenapa Gagak Ireng bisa sampai berbuat kasar
seperti itu" Mereka ingin berbuat sesuatu untuk meno-
long Seno, tapi mereka takut akan mendapat hukuman
juga dari Gagak Ireng. Maka, yang dapat mereka laku-
kan hanyalah menatap dan terus menatap tatkala Se-
no melangkah tertatih-tatih menghampiri Gagak Ireng
lagi. "Hei! Kau rupanya keras kepala, Seno!" bentak Gagak Ireng. "Tidakkah kau
takut bila kupecahkan batok kepalamu"!"
"Tuan Pendekar...," desis Seno, menahan rasa sakit yang merejam sekujur
tubuhnya. "Sebelum me-
ninggal, ibu saya berpesan agar saya belajar ilmu silat di Perguruan Tapak Sakti
ini. Kalau saya pergi, berarti saya telah melawan wasiat terakhir ibu saya.
Harap Tuan Pendekar mau mengerti...."
"Hmmm... Apa pun pesan ibumu, aku tak pe-
duli! Segeralah enyah dari tempat ini!"
Melihat Gagak Ireng hendak menampar Seno
lagi, salah seorang pemuda murid baru memberanikan
diri untuk maju. Setengah memaksa, dibawanya Seno
menjauhi Gagak Ireng.
"Tidak! Aku tidak mau pergi!" berontak Seno.
"Hus! Kalau kau keras kepala, kau bisa mati!"
bisik si pemuda. "Di tanah Jawa ini, banyak perguruan silat. Kau bisa mencari
padepokan lain.... kalaupun
kau diperbolehkan tinggal di tempat ini lagi, kau tetap tak akan mendapat
pelajaran ilmu silat. Di sini, untuk belajar, para murid harus membayar. Ini
adalah aturan baru yang dibuat oleh ketua baru itu...."
"Hei, Gati! Kau berkata apa pada bocah itu"!"
tegur Gagak Ireng yang melihat si pemuda membisik-
kan sesuatu di telinga Seno.
"Ah! Saya hanya menyarankan agar Seno sege-
ra pergi, Guru," jawab si pemuda yang dipanggil Gati.
Sementara, Seno tampak mengusap darah ker-
ing yang meleleh dari sudut bibirnya. Pipi kirinya terlihat bengkak memerah.
Namun, tak ada rasa sakit
yang membayang di matanya. Dia tatap wajah Gati pe-
nuh keluguan. Seno pun merasakan kebenaran uca-
pan pemuda bertubuh kekar itu. Maka, melangkahlah
Seno mendekati Gagak Ireng. Bukan untuk merengek-
rengek lagi, melainkan untuk berpamitan.
"Saya pikir, saya memang tidak pantas untuk
tinggal di padepokan ini. Saya minta pamit, Tuan Pen-
dekar. Maafkan segala kesalahan saya...."
Seno membungkuk tiga kali, lalu membalikkan
badan seraya melangkah. Dia berjalan tertatih-tatih
melewati samping kiri rumah joglo untuk kemudian
keluar dari Perguruan Tapak Sakti.
Begitu sosok Seno hilang dari pandangan, Ga-
gak Ireng memerintahkan para murid barunya untuk
membentuk barisan lagi. Sebentar saja, suasana pagi
di Perguruan Tapak Sakti telah diramaikan oleh teria-
kan para pemuda yang sedang berlatih ilmu silat.
Seperti tak ada kejadian apa-apa, Gagak Ireng
pun tampak bersemangat memberi petunjuk-petunjuk.
Namun, andai Ki Tunggul Jaladara masih hidup, dia
pasti akan menyesali perbuatan Gagak Ireng di pagi
itu. Sebelum meninggal, hanya karena terpaksalah
Ki Tunggul Jaladara mengangkat Gagak Ireng sebagai
ketua Perguruan Tapak Sakti untuk menggantikannya.
Karena, para murid Ki Tunggul Jaladara yang telah
tamat mendapat pelajaran sedang merantau semua.
Yang ada di padepokan hanya Gagak Ireng. Maka, tak
ada pilihan lain bagi Ki Tunggul Jaladara untuk tidak mengangkat Gagak Ireng
sebagai penggantinya.
4 DENGAN wajah kusut-masai dan hati gundah-
gulana, si bocah lugu Seno Prasetyo duduk terpekur di tengah padang rumput. Di
situlah Seno selama enam
candra ini menggembalakan kambing-kambingnya.
Namun, kambing-kambing itu tak dapat dia gembala-
kan lagi karena dia telah diusir dari Perguruan Tapak Sakti.
Lama sekali Seno duduk terpekur di tengah pa-
dang rumput yang masih berada di lereng Gunung La-
wu itu. Dia tak tahu ke mana harus melangkahkan
kaki lagi. Dia ingin mencari perguruan silat lainnya, tapi ke mana"
"Maafkan Seno, Bu...," desis si bocah, teringat peristiwa sedih yang baru
dialaminya. "Seno baru tahu dan sadar kini. Seno telah berbuat tidak jujur. Seno
telah mencuri lihat orang berlatih silat. Seno telah memainkan jurus-jurus silat
yang sebenarnya tidak boleh Seno lakukan. Seno berdosa, Bu.... Kini, Seno harus
memetik buah dari ketidakjujuran Seno itu, Bu. Seno
diusir, Bu.... Seno tak tahu lagi ke mana harus pergi, Bu...." Seno mendongak.
Ditatapnya jajaran pohon hijau subur. Dia arahkan pandangannya lebih ke atas.
Dia berharap dapat melihat sosok ibunya di atas sana.
Tentu saja harapannya itu hanya mendatangkan rasa
kecewa belaka. Dia tak melihat bayangan siapa-siapa d sana. Namun, dia masih
ingin menyampaikan isi hatinya kepada ibunya yang telah tiada.
"Sungguh Seno telah sadar, Bu.... Semoga Ibu
dapat memaafkan Seno...," desis si bocah lagi. "Seno telah dapat memetik
pelajaran yang sangat berharga.
Seno bersumpah untuk jujur selamanya...."
Begitu Seno menghentikan ucapannya, menda-
dak langit yang semula cerah berubah remang-remang.
Gumpalan awan bergerak berarak-arak dari selatan
menutupi wajah sang baskara. Hembusan angin terasa
mengencang.... Terkejut Seno melihat perubahan cuaca yang
begitu tiba-tiba itu. Lebih terkejut lagi dia saat melihat iring-iringan kambing
yang berjalan dari arah Perguruan Tapak Sakti. Seno mengenali belasan kambing
itu sebagai milik Gagak Ireng karena Seno biasa meng-
gembalakannya setiap hari.
Melihat belasan kambing yang terus berjalan
mendekatinya, Seno bangkit berdiri. Seno tak melihat
orang lain yang datang bersama kambing-kambing itu.
Agaknya, mereka dilepas begitu saja agar dapat men-
cari makan sendiri.
Namun, begitu menginjakkan kaki di padang
rumput, kambing-kambing itu tidak langsung merum-
put. Mereka mendekati Seno seraya mengembik-embik.
"Aku tahu... aku tahu...," ujar Seno. "Kalian tentu lapar. Kalian tidak bisa
mencari rumput sendiri karena rumput-rumput di padang ini telah kering. Bolehlah
aku carikan rumput yang masih hijau segar.
Tapi setelah itu, kalian harus pulang sendiri. Aku tak bisa mengantarkan karena
aku tak boleh menjamah
lagi Perguruan Tapak Sakti,..."
Usai berkata, Seno berjalan naik, melewati ba-
tu-batu besar di lereng gunung itu. Tapi, baru saja Se-no melangkah, tiupan
angin mendadak jadi kencang.


Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Debu bersama daun-daun kering beterbangan. Saat ti-
upan angin bertambah kencang lagi, semakin bingun-
glah Seno. "Celaka!" seru si bocah. "Angin puyuh akan datang!" Seno hendak menggiring
kambing-kambingnya untuk berlindung ke sebuah gua. Tapi, melihat tiupan
angin yang begitu kencang, kambing-kambing itu jadi
panik. Mereka tak mau digiring Seno. Mereka lari ber-
pencaran. Lari mereka yang berlainan arah tak me-
mungkinan Seno untuk mengumpulkan mereka Lagi.
Sementara, angin berhembus semakin kencang.
Semakin banyak debu dan daun-daun kering yang be-
terbangan. Belasan kambing kini sudah tak terlihat la-
gi. Walau Seno sangat mengkhawatirkan keselamatan
mereka, tapi Seno pun harus memikirkan keselama-
tannya sendiri. Tentu saja Seno tak mau tubuhnya di-
hempaskan tiupan angin yang bisa membuatnya jatuh
berguling-guling ke bawah gunung.
Seno pun berlari sekuat tenaga. Beberapa kali
dia hampir terpeleset jatuh. Tapi untunglah, sebelum
tiupan angin benar-benar mengganas, Seno telah sam-
pai di gua yang dia tuju.
* * * Setelah angin puyuh berlalu, cuaca kembali ce-
rah Sang baskara dapat memancarkan sinarnya den-
gan leluasa. Seno keluar dari gua dengan hati lega.
Namun, begitu ingat pada kambing-kambingnya, ha-
tinya jadi kalut. Bergegas dia berlari untuk mencari.
Dan..., tersenyum senanglah Seno. Dari kejauhan, dia
melihat belasan kambing yang tengah berkumpul se-
perti sedang menantikan kehadirannya.
Seno berlari menuju ke padang rumput tempat
kambing-kambing berkumpul. Namun sebelum sampai
di sana, langkahnya terhenyak. Sambil nyengir kuda,
Seno menatap sebuah tempat bekas longsoran. Long-
soran itu terjadi karena tiupan angin puyuh yang
mengganas tadi.
Di sebidang tanah longsoran itu terdapat nisan
kubur yang diseraki benda-benda yang sangat menarik
perhatian Seno. Benda-benda itu berupa patung batu
yang dipahat sangat halus dan indah. Bentuk patung
ada yang menyerupai manusia ataupun hewan.
Namun, Seno tak seberapa memperhatikan pa-
tung-patung kuno itu lagi saat dia menemukan sebuah
tongkat pendek berwarna putih mengkilat. Panjang
tongkat itu cuma dua jengkal. Satu ujungnya bulat-
tumpul, dan ujung yang satunya lagi tampak runcing.
Saat memegang tongkat pendek itu, Seno terke-
jut. Tubuhnya mendadak terasa amat ringan dan se-
gar. Batang tongkat mengalirkan hawa sejuk.
"Tongkat ajaib! Tongkat ajaib!" desis Seno.
Kontan keterkejutan Seno berubah menjadi ke-
gembiraan yang meluap-luap. Saking senangnya, dia
melonjak dan menari-nari. Batang tongkat diputar-
putarnya di atas kepala.
Wusss...! Wusss...!
Seno melonjak kaget. Dia mendengar suara ge-
muruh angin yang bertiup di atas kepalanya. Dia pun
menghentikan putaran tongkatnya. Mendadak, gemu-
ruh angin itu pun lenyap.
"Tongkat ajaib! Tongkat ajaib!" seru Seno lagi.
Seno tahu kalau suara gemuruh angin di atas
kepalanya tadi berasal dari putaran tongkat di tangan kanannya. Terdorong rasa
senang, Seno mengibas-ngibaskan tongkat pendek temuannya itu!
Wusss! Wusss! B1ammm...! Blammm...!
Luar biasa! Kibasan tongkat di tangan Seno
menimbulkan serangkum angin pukulan. Dua bong-
kah batu besar terpental, dan menggelinding ke kaki
gunung. Dengan kegembiraan yang semakin meluap,
Seno menghampiri bongkah batu sebesar anak kamb-
ing. Lalu, dia menggoreskan bagian ujung tongkat yang runcing ke permukaan batu
itu. Set...! Prukkk...! "Astaga...!"
Melonjak kaget lagi si bocah lugu Seno Pra-
setyo. Batu yang terkena goresan tongkat tiba-tiba terbelah jadi dua. Bekas
belahannya halus rata seperti di-tebas sebilah pedang yang amat tajam!
Karena masih ingin mencoba kehebatan tong-
kat mustika di tangannya, Seno mencari sebongkah
batu lain yang lebih keras. Lalu dengan mengerahkan
seluruh tenaganya, dia tusuk batu itu!
Brummm...! Bergegas Seno meloncat ke belakang. Bongkah
batu keras yang ditusuknya hancur berkeping keping.
Pecahannya menyebar ke berbagai penjuru. Untung,
Seno dapat meloncat cepat ke belakang, sehingga tu-
buhnya tak sempat tertimpa pecahan-pecahan batu
itu. Dalam luapan kegembiraannya, tiba-tiba Seno
teringat ibunya yang telah meninggal. Dengan mata
berbinar-binar, dia mendongak menatap langit. Seno
seakan dapat melihat sosok Ibunya di atas sana.
"Ibu...," desis si bocah. "Kini, Seno tak lagi sedih, Bu. Seno telah menemukan
tongkat ajaib. Seno
akan menghajar semua orang jahat, Bu. Seno akan se-
gera menuntut balas pada Banyak Langkir!"
Usai berkata, mendadak wajah Seno terlihat
muram. Setelah nyengir kuda sejenak, dia menggu-
mam, "Kalau cuma berbekal tongkat ajaib ini, mungkinkah aku bisa menuntut balas
pada Banyak Lang-
kir" Ibuku yang seorang pendekar saja bisa dikalah-
kannya, apalagi diriku...."
Seno menimang tongkat mustika sambil cen-
gar-cengir. Mendadak, air mukanya cerah lagi.
"Aku harus belajar silat! Aku harus belajar si-
lat!" seru Seno kepada dirinya sendiri.
Saat pandangan Seno bertumbuk pada nisan
batu yang diseraki patung-patung kuno, dia melang-
kah menghampiri. Dia bersihkan gumpalan tanah yang
menempel di nisan itu. Hingga, Seno dapat melihat ba-
risan huruf yang dipahat rapi. Sebenarnya, Seno su-
dah cukup pandai membaca. Namun, tulisan yang ter-
tera di batu nisan itu terdiri dari huruf-huruf kuno, sehingga Seno tak dapat
membacanya. Seno jadi kecewa. Tapi, rasa kecewa justru
membuatnya bersemangat untuk menggali tanah di
sekitar batu nisan. Dia berharap akan mendapat se-
buah benda pusaka lagi.
Sepeminum teh lamanya Seno menggali. Kini,
terlihat olehnya sebuah makam batu berukuran besar.
Panjangnya tiga depa, dengan lebar dua depa.
Di tiap bagian pinggir makam batu, dilekati ba-
tok kura-kura yang berjumlah puluhan. Seno bersorak
girang dalam hati saat melihat puluhan batok kura-
kura itu terdapat ukiran indah yang melukiskan orang
sedang memperagakan jurus silat. Dan, di bagian ba-
wah batok terdapat tulisan yang menerangkan gam-
bar-gambar di atasnya. Tapi karena tulisan itu terdiri dari huruf-huruf kuno,
Seno tak dapat membacanya
pula. Saat memperhatikan gambar yang terukir di pu-
luhan batok kura-kura, Seno teringat pada mendiang
ibunya. Ibunya pernah dan bahkan sering menyuruh
Seno duduk bersila dan mengatur pernapasan setiap
pagi. Waktu itu, Seno tidak tahu apa maksud ibunya
itu. Dia hanya menurut tanpa bertanya apa-apa. Dan
kini, Seno melihat ada beberapa gambar di batok kura-
kura yang sama persis dengan apa yang pernah dila-
kukannya semasa ibunya masih hidup.
Seno mengurutkan gambar-gambar yang dili-
hatnya seraya menirunya. Pertama, dia duduk bersila
dengan mata terpejam seraya mengatur pernapasan
seperti yang pernah diajarkan oleh ibunya. Kedua tan-
gannya bersedekap. Sementara, tongkat mustika te-
muannya terus tercekal erat di jemari tangan kanan-
nya. Saat Seno mengosongkan pikiran, dia merasa-
kan hawa aneh yang mengalir dari tongkat mustika.
Hawa aneh itu masuk ke tubuhnya, lalu berputar-
putar di sekitar pusar.
Namun karena merasa pening, Seno menghen-
tikan semadinya. Dia tatap tongkat mustikanya dengan
kening berkerut. Dia tak mau bersemadi lagi. Dia takut kepalanya akan bertambah
pening. Seno bangkit berdiri. Dia perhatikan gambar di
batok kura-kura lainnya. Dia meniru gambar itu. Ke-
dua tangan dan kakinya bergerak, dan terus bergerak.
Tanpa disadari oleh Seno, dia telah memainkan jurus-
jurus silat yang amat hebat.
Seperti tak punya lelah, Seno terus mempera-
gakan semua gambar yang terukir di batok kura-kura.
Kedua tangan dan kakinya terus bergerak. Semakin
lama semakin cepat. Tongkat mustika pun berkeleba-
tan.... Tanpa disadari juga oleh si bocah lugu Seno
Prasetyo, kelebatan tongkat mustika di tangannya te-
lah menimbulkan serangkaian angin pukulan dahsyat.
Hingga.... Blarrr...! Blarrr...! Dua ledakan keras menggelegar di angkasa.
Makam batu besar hancur berkeping-keping. Dan, ten-
tu saja puluhan batok kura-kura turut meledak han-
cur! "Astaga...!" kejut Seno.
Melihat batok kura-kura yang kini telah hancur
menjadi kepingan-kepingan kecil, Seno berdiri terpaku.
Namun, dia tak menjadi menyesal ataupun kecewa ka-
rena semua gambar yang terdapat di batok kura-kura
telah pindah ke otaknya. Gambar-gambar orang mem-
peragakan jurus silat itu telah dapat dia hafal dan tak mungkin terlupakan lagi.
Saat berdiri terpaku, tanpa sengaja Seno men-
gosongkan pikiran. Mendadak dia melonjak kaget. Dia
mendengar suara kambing mengembik-embik yang be-
gitu dekat dengan telinganya.
Seno menoleh, tapi dia tak melihat seekor
kambing pun yang ada di dekatnya. Waktu melihat ke
kejauhan, barulah Seno melihat belasan kambing yang
tengah memakan rumput kering.
"Aneh...!" desis Seno. "Aku tadi mendengar dengan jelas suara kambing mengembik,
tapi tak ada kambing yang berada di dekatku. Apakah kambing-
kambing di padang rumput itu yang mengembik tadi"
Tapi, kambing-kambing itu begitu jauh dari sini, ba-
gaimana aku bisa mendengar suaranya?"
Berkerut kening Seno memikirkan keanehan
yang baru dia alami. Dia pun cengar-cengir sampai be-
berapa lama....
Sebenarnya, tanpa disadari oleh Seno, dalam
tubuhnya telah bersemayam hawa sakti yang dapat
membuat pendengarannya jadi sangat peka. Hawa sak-
ti itu mengalir dari tongkat mustika waktu dia berse-
madi beberapa saat tadi.
Saat menatap kambing-kambing yang tengah
merumput, tanpa sadar Seno mengosongkan pikiran
lagi. Kali ini, telinganya menangkap suara langkah ka-ki berderap-derap. Langkah
kaki itu diberangi dengus
napas memburu dan lolongan serigala!
Karena terkejut, Seno meloncat ke belakang.
Dia putar pandangan, tapi tak ada seekor pun serigala yang terlihat. Seno pun
menarik napas panjang. Dia
tak mengerti keanehan apa yang telah terjadi pada di-
rinya. Sambil mengelus-elus tongkat mustikanya, Se-
no cengar-cengir. Dan, Seno pun benar-benar terpe-
ranjat kaget saat melihat ke kejauhan. Di padang rum-
put, puluhan ekor serigala tampak datang menyerbu
belasan kambing.
Belasan kambing yang biasa digembalakan Se-
no itu lari berserabutan. Namun, jumlah serigala yang datang terlalu banyak,
sehingga mereka terkepung!
"Celaka! Celaka!" seru Seno.
Walau mempunyai keteguhan hati dan ketaba-
han tinggi, tubuh Seno bergetar karena khawatir dan
takut. Dia mengkhawatirkan keselamatan kambing-
kambing milik Gagak Ireng itu. Tapi, dia juga takut
apabila puluhan serigala yang datang akan menge-
pungnya pula. Waktu melihat tubuh belasan kambing dicabik-
cabik serigala, Seno lupa pada rasa takutnya. Dia pandangi tongkat mustika di
tangannya. Dia benci melihat keganasan serigala. Dia ingin menghentikan
keganasan itu! Maka tanpa memikirkan keselamatan dirinya
lagi, Seno berlari sekuat tenaga. Seno pun terperangah heran saat merasakan
tubuhnya dapat melesat cepat.
Jarak puluhan tombak dicapainya hanya dalam bebe-
rapa kejap mata. Tapi sampai di mana pun cepatnya
dia berlari, belasan kambing telah tergeletak tanpa
nyawa. Tubuh mereka tercerai-berai, menjadi rebutan
puluhan serigala. Cairan darah membanjiri tanah pa-
dang rumput kering. Bau anyir pun tercium di mana-
mana.... Sementara, puluhan serigala yang melihat ke-
datangan Seno langsung meninggalkan santapan me-
reka. Serigala-serigala itu merasa terganggu oleh kedatangan Seno. Maka,
bergegas mereka mengepung!
Tampak kemudian, seekor serigala yang tu-
buhnya hampir sama dengan tubuh Seno, melolong
panjang seraya menerkam!
Sebagai seorang bocah yang belum pernah ber-
tempur melawan serigala, tentu saja wajah Seno men-
jadi pucat. Bola matanya melotot karena kaget. Namun
demikian, kesadarannya tidak hilang. Tangan kanan-


Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya yang memegang tongkat mustika mengibas!
Wusss...! "Hauuung...!"
Serangkum angin pukulan melesat dari batang
tongkat. Tubuh serigala yang hendak menerkam Seno
tampak terlontar, jatuh berdebam di tanah, lalu bergulingan, dan diam tak
berkutik lagi. Mati!
Namun, Seno tak dapat menarik napas lega.
Serigala-serigala lainnya datang menerkam bergantian.
Karena tak mau mati konyol, Seno mengibas-
ngibaskan tongkat mustikanya. Dia mainkan jurus si-
lat yang baru dipelajarinya dari batok kura-kura.
Padang rumput itu segera diramaikan pekik ke-
sakitan serigala. Tubuh mereka berpentalan. Ada yang
batok kepalanya pecah, ada yang isi perutnya ambrol,
bahkan ada yang tubuhnya terbelah jadi dua. Mereka
mati terkena sabetan dan tusukan tongkat mustika di
tangan Seno! Namun..., karena jumlah serigala yang menyer-
bu puluhan ekor dan Seno pun tak punya pengalaman
bertempur, maka lama-lama pertahanan Seno jadi
kendor. Sambil memutar-mutar tongkat mustikanya,
Seno terus melangkah mundur. Perlahan tapi pasti,
langkah kaki Seno mulai mendekati bibir tebing yang
amat curam Saat dua ekor serigala menerkam bersamaan,
Seno mengibaskan tongkat mustikanya. Terdengar ge-
muruh angin menderu yang disusul dengan lolongan
panjang. Tubuh dua ekor serigala yang hendak meng-
habisi riwayat Seno tampak terlontar tinggi. Cairan darah muncrat dari luka-luka
di tubuh mereka. Tapi..,
waktu mengibaskan tongkat mustikanya tadi, Seno tak
mampu menjaga keseimbangan tubuh. Dalam keadaan
terhuyung-huyung, tiga ekor serigala menerkam lagi
secara bersamaan!
"Mati aku...!" keluh si bocah.
Tongkat mustika yang dikibaskan Seno hanya
mampu membunuh seekor serigala yang sedang me-
nerkam. Sementara, dua ekor lainnya lolos. Tubuh me-
reka melesat dengan cakar terjulur lurus ke depan!
Brukkk...! "Argh...! Dada dan perut Seno terbentur cakar dua ekor
serigala. Karena terkaman mereka mengandung tenaga
yang amat kuat, tubuh Seno terpental. Setelah bergu-
lingan, tubuh bocah lugu itu jatuh ke dalam jurang!
5 DARI kejauhan, kakek berpakaian merah-hitam
ini menatap Perguruan Tapak Sakti dengan senyum
sinis tersungging di bibir. Ujung-ujung ikat kepalanya yang bercorak batik
tampak berkibar, dimainkan hembusan angin gunung. Walau batang usianya sudah la-
puk, tubuh si kakek masih terlihat sehat gagah. Kedua kakinya berdiri kokoh
tegak di atas lempengan batu
besar. "Hmmm.... Andai orang-orang di perguruan itu tak mau menurut pada titah
sang Prabu, aku punya
kuasa untuk melumatkan tubuh mereka. Termasuk
ketua perguruan mereka...," gumam si kakek.
Teringat tugas yang harus segera dilaksana-
kannya, kakek bersorot mata tajam menusuk ini ber-
gegas menjejak lempengan batu. Seperti anak panah
lepas dari busur, tubuh si kakek melesat cepat, hingga berubah menjadi bayangan
yang hampir kasat mata!
Ringan sekali bayangan si kakek melenting dan
menukik di antara tonjolan batu-batu gunung. Rimbu-
nan semak belukar dan jajaran pohon diloncatinya
dengan mudah. Bayangan si kakek seakan dapat me-
nyatu dengan hembusan angin.
Tak sampai sepuluh tarikan napas, kaki si ka-
kek telah menginjak pelataran Perguruan Tapak Sakti.
Dalam waktu sesingkat itu, dia telah melewati jarak
hampir tiga ratus tombak. Itu pun harus melalui rin-
tangan alam, pegunungan yang tak begitu bersahabat.
Petualang Asmara 4 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Pedang Sakti Tongkat Mustika 18
^